KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN...

14
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 21 November 2015 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor FL-9 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT KHOLIDAH 1.* , R. KESUMANINGRUM 2 , J.A. UTAMA 1 1 Departemen Pendidikan Fisika, UPI Jl. Dr. Setiabudhi No. 299, Bandung 40154 2 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Djundjunan No 133, Bandung 40173 Abstrak. Badai geomagnet merupakan salah satu fenomena penting dalam sistem cuaca antariksa karena merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks disturbance storm time < - 100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 % disebabkan oleh coronal mass ejection yang umumnya merupakan coronal mass ejection tipe halo dan sebesar 92,4 % coronal mass ejection ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif. Pada penelitian ini, dilakukan analisis tentang keterkaitan luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet. Hasil analisis menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks disturbance storm time < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 %. Semakin luas daerah aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar. Meskipun demikian, daerah aktif yang lebih luas namun dengan konfigurasi medan magnet yang lebih kompleks dapat menghasilkan intensitas badai yang lebih besar dibandingkan daerah aktif yang sama- sama luas namun dengan konfigurasi medan magnet yang sederhana. Kata kunci : Badai Geomagnet, Indeks Disturbance Storm Time, Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif, Luas Daerah Aktif Abstract. The geomagnetic storm is one of the important phenomena in space weather system because it is the impact of the Sun-Earth relationship. By identificating and analysis the characteristics of geomagnetic storms with disturbance storm time index indicator <-100 nT throughout the 23rd and the 24th cycle of the Sun, it is obtained 104 events which approximately 75.9% are due to the halo type - coronal mass ejection and 92.4% of coronal mass ejection are triggered by flares occurred over the active regions. In this study, we analyze the linkage of the active region’s area and the magnetic field configuration on the Sun with geomagnetic storm events. The result shows that the frequency of occurrence of geomagnetic storms with disturbance storm time index <-100 nT throughout the 23rd and 24th cycle of the Sun are mostly produced by active region with narrow coverage is equal to 51.7%. The larger active region’s coverage does not show the higher intensity value. Nevertheless, the wider active region with a more complex magnetic field configuration could product a higher intensity of the storms than the active region which is equally as wide, but with the simple configuration of the magnetic field. Keywords : Geomagnetic Storm, , Disturbance Storm Time Index, Active Region’s Magnetic Fiels Configuration, Active Region ‘s Area * email : [email protected]

Transcript of KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN...

Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya

Sabtu, 21 November 2015

Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor

FL-9

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN

KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

KHOLIDAH1.*

, R. KESUMANINGRUM2, J.A. UTAMA

1

1Departemen Pendidikan Fisika, UPI

Jl. Dr. Setiabudhi No. 299, Bandung 40154 2Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Jl. Dr. Djundjunan No 133, Bandung 40173

Abstrak. Badai geomagnet merupakan salah satu fenomena penting dalam sistem cuaca

antariksa karena merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Hasil identifikasi dan

analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks disturbance storm time < -

100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 %

disebabkan oleh coronal mass ejection yang umumnya merupakan coronal mass ejection tipe

halo dan sebesar 92,4 % coronal mass ejection ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas

daerah aktif. Pada penelitian ini, dilakukan analisis tentang keterkaitan luas daerah aktif dan

konfigurasi medan magnet daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet. Hasil

analisis menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks

disturbance storm time < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak

dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 %. Semakin luas

daerah aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar. Meskipun demikian,

daerah aktif yang lebih luas namun dengan konfigurasi medan magnet yang lebih kompleks

dapat menghasilkan intensitas badai yang lebih besar dibandingkan daerah aktif yang sama-

sama luas namun dengan konfigurasi medan magnet yang sederhana.

Kata kunci : Badai Geomagnet, Indeks Disturbance Storm Time, Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif, Luas Daerah Aktif

Abstract. The geomagnetic storm is one of the important phenomena in space weather

system because it is the impact of the Sun-Earth relationship. By identificating and analysis

the characteristics of geomagnetic storms with disturbance storm time index indicator <-100

nT throughout the 23rd and the 24th cycle of the Sun, it is obtained 104 events which

approximately 75.9% are due to the halo type - coronal mass ejection and 92.4% of coronal

mass ejection are triggered by flares occurred over the active regions. In this study, we

analyze the linkage of the active region’s area and the magnetic field configuration on the

Sun with geomagnetic storm events. The result shows that the frequency of occurrence of

geomagnetic storms with disturbance storm time index <-100 nT throughout the 23rd and

24th cycle of the Sun are mostly produced by active region with narrow coverage is equal to

51.7%. The larger active region’s coverage does not show the higher intensity value.

Nevertheless, the wider active region with a more complex magnetic field configuration

could product a higher intensity of the storms than the active region which is equally as wide,

but with the simple configuration of the magnetic field.

Keywords : Geomagnetic Storm, , Disturbance Storm Time Index, Active Region’s Magnetic Fiels Configuration, Active Region ‘s Area

* email : [email protected]

FL- 10 Kholidah dkk

1. Pendahuluan

Kondisi di Matahari mengalami perubahan yang periodik dengan rata-rata

perubahan sekitar 11 tahun atau dikenal dengan siklus 11 tahun. Saat puncak

siklus, aktivitas Matahari mencapai maksimum dan banyak bermunculan

fenomena daerah aktif seperti bintik Matahari, CME, dan flare yang dapat menjadi

penyebab perubahan cuaca antariksa. Cuaca antariksa merupakan kondisi di

Matahari dan di ruang antarplanet / magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang

dapat mempengaruhi medan magnet Bumi, jaringan listrik, sistem satelit,

penentuan posisi berbasis satelit seperti GPS (Global Positioning System), bahkan

dapat mempengaruhi keadaan iklim di Bumi [1].

Salah satu fenomena terpenting dalam sistem cuaca antariksa yaitu kejadian badai

geomagnet. Badai geomagnet merupakan gangguan pada magnetosfer Bumi yang

diakibatkan oleh lontaran partikel-partikel yang berasal dari Matahari dan medan

magnet Matahari yang dibawa oleh angin Matahari yang mengarah ke selatan

Bumi sehingga dapat memicu terjadinya rekoneksi yang membuat melemahnya

medan magnet Bumi. Kecepatan angin Matahari dapat lebih tinggi dari biasanya

setelah terjadi CME atau saat terdapat lubang korona di Matahari [2].

Lubang korona (Coronal Holes) muncul sebagai daerah gelap di korona Matahari

yang berkaitan dengan garis medan magnet yang terbuka. Lubang korona dapat

menjadi sumber angin Matahari berkecepatan tinggi yang dapat mengakibatkan

terjadinya CIR (Corotating Interaction Region) yang dapat mempercepat partikel

dan menimbulkan terjadinya badai geomagnet.

Coronal Mass Ejection (CME) merupakan material berupa plasma yang

dilepaskan di korona Matahari. Saat terjadi CME, sekitar 2 × 1011

kg s.d 4 × 1013

kg materi korona terlontar ke angkasa dengan energi sebesar 1022

Joule s.d 6 ×

1024

Joule dan kecepatan yang bervariasi berkisar 400 km/s s.d 2500 km/s yang

bersesuaian dengan waktu tiba di Bumi sekitar 1 hari s.d 4 hari [3]. CME

penyebab terjadinya badai geomagnet biasanya terlihat sebagai CME Halo [4]

yang dapat terjadi akibat adanya flare atau erupsi filamen.

Flare merupakan suatu ledakan di Matahari yang melontarkan partikel berenergi tinggi yang disebabkan oleh peristiwa rekoneksi magnet (magnetic reconnection) [5]. Rekoneksi magnet adalah penyusunan kembali garis-garis gaya magnet ketika dua medan magnet berlawanan arah dibawa bersama-sama. Flare biasanya terjadi di daerah aktif Matahari dalam grup bintik Matahari besar terutama yang memiliki medan magnetik kompleks. Dengan menggunakan pengamatan Geostationary Operational Environmental Satelite (GOES) flare diklasifikasikan berdasarkan intensitas sinar-X menjadi 4 kelas yaitu flare kelas B (I < 10

-3 ergs cm

-2s

-1), kelas

C (10-3

ergs cm-2

s-1

), kelas M (10-2

cm-2

s-1

), dan kelas X( ergs cm

-2s

-1) [6].

Pada saat terjadi CME atau flare, partikel-partikel bermuatan dan medan magnet

terlontar dari permukaan Matahari yang kemudian dibawa oleh angin Matahari

melewati ruang antarplanet sehingga menumbuk magnetosfer, yang dikenal

Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat FL- 11

dengan istilah Interplanetary Shock (IPS). Pada saat terjadi IPS, energi dan

momentum dari angin Matahari dapat masuk ke dalam magnetosfer Bumi dan saat

mengarah ke selatan, maka dapat menimbulkan terjadinya badai geomagnet.

Aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME maupun flare

biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari. Daerah aktif di Matahari

mengalami perubahan dari segi ukuran maupun konfigurasi medan magnetnya.

Konfigurasi medan magnet bintik Matahari penting dalam menentukan potensi

perubahan daerah aktif tertentu. Jika konfigurasi medan magnet meningkat, maka

kemampuan daerah aktif untuk menghasilkan kejadian energetik yang besar juga

akan meningkat.

Pada penelitian ini, akan dilakukan analisis tentang keterkaitan daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet sepanjang siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan siklus Matahari ke-24 (2008 s.d 2014). Indikator yang digunakan untuk mengukur intensitas badai geomagnet yaitu indeks Dst yang dibatasi dengan nilai lebih kecil dari -100 nT. Indeks Dst merupakan suatu indeks yang menggambarkan kuat vektor geomagnet komponen H (arah utara-selatan geomagnet). Saat terjadi badai geomagnet, indikasinya adalah penurunan atau pelemahan kuat medan magnet yang mengarah ke utara. Semakin negatif harga Dst mengindikasikan semakin kuat badai geomagnet tersebut. Gonzales, dkk. [7] mengklasifikasikan intensitas badai geomagnet menjadi empat kategori yaitu Lemah (-30 > Dst ), Sedang (-50 > Dst ), Kuat (-100 > Dst ), dan Sangat Kuat (Dst < -200). Adapun variabel daerah aktif yang akan ditinjau yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif.

2. Metode Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu :

Data indeks Dst diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University

database yang tersedia online dan dapat diunduh dari http://wdc.kugi.kyoto-

uac.jp/dst_final/Index.html.

Data CME diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog yang tersedia online

dan dapat diunduh dari http://cdaw.gsfc.nasa. gov/CME_list/ untuk data CME

sampai dengan tahun 2013 dan dari Cactus CME List yang tersedia online

dan dapat diunduh dari http://sidc.oma.be/cactus/ catalog.php untuk data CME

tahun 2014.

Data flare dan erupsi filamen diperoleh dari Spaceweather yang tersedia

online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/ pub/warehouse/ dengan

kode flare yaitu XRA dan kode erupsi filamen yaitu DSF atau EPL.

Data lubang korona diperoleh dari Solar Monitor yang tersedia online dan

dapat diunduh dari http://www.solarmonitor.org/

Data daerah aktif di Matahari yang diperoleh dari Spaceweather yang tersedia

online dan dapat diunduh dari ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/.

Penelitian ini diawali dengan mencari data munculnya badai geomagnet kuat

dengan melakukan identifikasi terhadap nilai indeks Dst. Hal yang perlu

FL- 12 Kholidah dkk

diperhatikan untuk data indeks Dst yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik

kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum).

Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum, maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut .

Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam

selang waktu 2 hari s.d 3 hari. Penentuan selang waktu ini dilakukan berdasarkan

rata-rata CME tiba di Bumi [1]. Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan,

selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan

waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tiba CME di Bumi sesuai dengan waktu

terjadinya badai geomagnet, maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai

geomagnet. Dengan mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka

waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui.

Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu

terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Selang waktu dipilih antara 2 hari

s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan

dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat

dikatakan sebagai pemicu CME jika terdapat adanya kesesuaian antara waktu

terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME.

Jika teridentifikasi flare sebagai pemicu CME, maka kita dapat memperoleh data

berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan

konfigurasi medan magnet daerah aktif, namun jika teridentifikasi bahwa erupsi

filamen sebagai pemicu CME, maka data yang diperoleh berupa waktu kejadian

dan lokasi terjadinya erupsi filamen. Data yang telah diperoleh ditabulasi

disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME.

Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan, maka dilakukan identifikasi

terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai

geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya

badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin

Matahari yaitu berkisar 300 km/s s.d 800 km/s [8]. Data yang diperoleh berupa

waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi

disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet.

Pada penelitian ini, data yang digunakan yaitu data kejadian badai geomagnet

yang disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif.

Keluasan daerah aktif diklasifikasikan berdasarkan distribusi kejadian flare

penyebab terjadinya badai geomagnet. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa

kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-X lebih kecil

dari 10-2

ergs cm-2

s-1

memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif

berkisar 0 Millionths of a Solar Hemisphere (MH) s.d 400 MH, flare kelas M yang

memiliki intensitas sinar-X 10-2

ergs cm-2

s-1

s.d lebih kecil dari 10-1

ergs cm-2

s-1

Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat FL- 13

memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000

MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-X lebih besar sama dengan

10-1

ergs cm-2

s-1

memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar

100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian dibuat dengan menjadikan

kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori

keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan

flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas. Adapun hasil dari

pengklasifikasian teresebut ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif

Klasifikasi

Keluasan

Luas Daerah Aktif

(MH)

Sempit L < 400

Sedang 400

Luas L 1000

Gambar 1. Distribusi flare penyebab badai geomagnet terhadap luas daerah aktif

Klasifikasi konfigurasi medan magnet mengacu pada klasifikasi konfigurasi medan magnet Mount Wilson yaitu [ ]

3. Hasil dan Pembahasan

Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator

nilai indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus ke-23 (1996 s.d 2007)

dan siklus ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian dengan distribusi

kejadian sepanjang siklus ke-23 sebanyak 91 kejadian dan 13 kejadian sepanjang

siklus ke-24 dengan distribusi kejadian tiap tahun seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2.

0,00E+00

2,00E-02

4,00E-02

6,00E-02

8,00E-02

1,00E-01

1,20E-01

0

50

0

10

00

15

00

20

00

25

00

Inte

nsi

tas

Flar

e

Keluasan Daerah Aktif

Flare Kelas B

Flare Kelas C

Flare Kelas M

Flare Kelas X

FL- 14 Kholidah dkk

Gambar 2. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst <

-100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke -24

Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa frekuensi kejadian badai geomagnet

dengan indeks Dst < -100 nT paling banyak pada siklus aktivitas Matahari ke-23

terjadi pada tahun 2001 yaitu sebanyak 17 kejadian, sedangkan pada siklus

aktivitas Matahari ke-24 terjadi pada tahun 2012 sebanyak 7 kejadian.

Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis yang telah dilakukan, dari 104

kejadian 79 diantaranya atau sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME , 14

diantaranya atau sekitar 13,5 % disebabkan oleh lubang korona dan 11

diantaranya atau sekitar 10,6 % tidak diketahui sumbernya seperti ditunjukkan

pada Tabel 2.

Dari Tabel 2 diperoleh bahwa sumber di Matahari yang menghasilkan badai

geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT umumnya disebabkan oleh CME

sebanyak 79 kejadian atau sekitar 75,9 %. Data CME yang diperoleh dari

SOHO/LASCO CME Catalog diketahui bahwa sebesar 73,4 % CME penyebab

badai geomagnet umumnya merupakan CME Halo yang meliputi Parsial Halo,

Halo BA (Brightness Asymmetry), Halo OA (Outline Asymmetry), Halo S

(Symmetric).

Tabel 2. Distribusi Penyebab Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT

Sepanjang Siklus Matahari ke-23 dan ke-24

No Tahun

Penyebab Kejadian Badai Geomagnet

CME Lubang

Korona

Sumber Tidak Diketahui

1 1996 0 1 0

2 1997 2 0 3

02468

1012141618

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

Jum

lah

kej

adia

n

Tahun

Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat FL- 15

3 1998 5 2 5

4 1999 2 2 1

5 2000 12 0 0

6 2001 15 1 1

7 2002 11 3 0

8 2003 6 1 0

9 2004 5 2 0

10 2005 7 2 1

11 2006 1 0 0

12 2007 0 0 0

13 2008 0 0 0

14 2009 0 0 0

15 2010 0 0 0

16 2011 3 0 0

17 2012 7 0 0

18 2013 2 0 0

19 2014 1 0 0

Total 79 14 11

Dari 79 kejadian yang disebabkan oleh CME, 73 kejadian atau sekitar 92,4 %

CME dipicu oleh flare dan 6 kejadian atau sekitar 7,6 % CME dipicu oleh erupsi

filamen. Diperoleh bahwa Prosentase kejadian CME lebih tinggi disebabkan oleh

flare dibandingkan oleh erupsi filamen, hal ini karena jumlah kejadian erupsi

filamen lebih sedikit (filamen yang erupsi lebih jarang) daripada jumlah kejadian

flare.

Pada penelitian ini, terdapat 13 data atau sekitar 17,8 % kejadian CME yang

dipicu oleh flare yang tidak teridentifikasi daerah aktifnya seperti ditunjukkan

pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa kejadian badai geomagnet dengan indeks Dst < -100

nT umumnya disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare dan umumnya sebesar

82,2 % flare terjadi di atas daerah aktif. Flare merupakan salah satu fenomena

daerah aktif . Daerah aktif di Matahari ditandai dengan adanya bintik Matahari

yang merupakan tanda adanya medan magnet yang kuat. Karena medan magnet

kuat inilah maka dapat terjadi flare di daerah aktif tersebut.

Tabel 3. Pemicu Timbulnya CME

No Waktu Terjadinya

CME

Pemicu Terjadinya CME

Flare

Erupsi

Filamen Flare dengan Daerah

Aktif yang

Teridentifikasi

Flare dengan Daerah

Aktif yang Tidak

Teridentifikasi

1 1996 0 0 0

2 1997 2 0 0

3 1998 2 2 1

4 1999 1 1 0

5 2000 8 4 0

FL- 16 Kholidah dkk

6 2001 9 4 2

7 2002 8 2 1

8 2003 6 0 0

9 2004 4 0 1

10 2005 6 0 1

11 2006 1 0 0

12 2007 0 0 0

13 2008 0 0 0

14 2009 0 0 0

15 2010 0 0 0

16 2011 3 0 0

17 2012 7 0 0

18 2013 2 0 0

19 2014 1 0 0

Total 60 13 6

Pada penelitian ini, keluasan daerah aktif diklasifikasikan seperti pada Tabel 1.

Berdasarkan pengklasifikasian tersebut diperoleh distribusi kejadian badai

geomagnet tiap tahunnya berdasarkan klasifikasi keluasan yang ditunjukkan pada

Tabel 4.

Tabel 4. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Berdasarkan

Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif

No Tahun Keluasan Sempit Keluasan Sedang Keluasan Luas

1 1996 0 0 0

2 1997 1 1 0

3 1998 2 0 0

4 1999 1 0 0

5 2000 5 3 0

6 2001 1 6 2

7 2002 5 2 1

8 2003 4 1 1

9 2004 0 2 2

10 2005 1 3 2

11 2006 0 1 0

12 2007 0 0 0

13 2008 0 0 0

14 2009 0 0 0

No Tahun Keluasan Sempit Keluasan Sedang Keluasan Luas

15 2010 0 0 0

16 2011 2 1 0

17 2012 6 0 1

18 2013 2 0 0

19 2014 1 0 0

Total 31 20 9

Dari 60 data, diperoleh sekitar 51,7 % disebabkan oleh daerah aktif dengan

keluasan sempit, 33,3 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan sedang dan

15 % disebabkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas. Hasil ini menunjukkan

Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat FL- 17

bahwa frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT paling

banyak dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit.

Berdasarkan pengklasifikasian Gonzales, dkk [7] diketahui bahwa badai

geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT dapat dikategorikan menjadi badai

geomagnet kuat dan badai geomagnet sangat kuat sehingga dari 60 data, diperoleh

46 kejadian badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai geomagnet kuat

dan 14 kejadian badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai geomagnet

sangat kuat. Berdasarkan klasifikasi keluasan daerah aktif, maka diperoleh

distribusi kejadian seperti ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Keluasan Daerah Aktif terhadap Intensitas Badai Geomagnet

Intensitas Badai Geomagnet Klasifikasi Keluasan

Sempit Sedang Luas

Kuat 26 14 6

Sangat Kuat 5 6 3

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa sekitar 56,5 % badai geomagnet kuat

diakibatkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit, 30,4 %

diakibatkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sedang dan 13,1 %

diakibatkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan luas. Sedangkan frekuensi

terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 35,7 % diakibatkan oleh daerah

aktif dengan keluasan sempit, 42,9 % diakibatkan oleh daerah aktif dengan

keluasan sedang dan 21,4 % diakibatkan oleh daerah aktif dengan keluasan luas.

Hasil ini menunjukkan bahwa luas daerah aktif penyebab terjadinya badai

geomagnet kuat yaitu kategori keluasan sempit, sedangkan untuk badai

geomagnet sangat kuat tidak ada kategori keluasan yang menunjukkan hasil

dominan, namun terlihat bahwa kecenderungan luas daerah aktif penyebab

terjadinya badai geomagnet sangat kuat yaitu dalam kategori keluasan sempit dan

sedang.

Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa tidak semua kejadian badai

geomagnet kuat maupun badai geomagnet sangat kuat disebabkan oleh daerah

aktif dengan keluasan luas, namun dari penelitian ini diperoleh bahwa

kecenderungan luas daerah aktif yang menghasilkan badai geomagnet dengan

indeks Dst < -100 nT dihasilkan oleh daerah aktif dalam kategori keluasan sempit

dan sedang seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Dari analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan

luas daerah aktif dengan frekuensi kejadian badai geomagnet dan intensitas badai

geomagnet sangat kecil. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst

< -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan

oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit. Selain itu, semakin luas daerah

aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar, hal ini menunjukkan

bahwa luas daerah aktif tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

intensitas badai geomagnet.

FL- 18 Kholidah dkk

.

Gambar 4. Hubungan luas daerah aktif dengan intensitas badai geomagnet

Dalam keterkaitan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan kejadian badai

geomagnet digunakan klasifikasi Mount Wilson yang terdiri dari

. Berdasarkan analisis dan identifikasi yang telah

dilakukan, diperoleh frekuensi kejadian badai geomagnet berdasarkan klasifikasi

konfigurasi medan magnet yang ditunjukkan pada Tabel 6.

Dari Tabel 6, dapat dilihat bahwa frekuensi kemunculan konfigurasi medan

magnet pada siklus Matahari ke-23 dan ke-24 antara lain untuk alpha sebesar

6,7 %, beta sebesar 28,3 %, gamma sebesar 0%, beta-gamma sebesar 21,7 %,

gamma-delta sebesar 3,3 % dan beta-gamma-delta sebesar 35 % .

Hasil ini belum signifikan untuk menunjukkan pola konfigurasi medan magnet

daerah aktif yang menyebabkan terjadinya badai geomagnet , namun dari hasil ini

dapat ditunjukkan bahwa frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst

< -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 memiliki kecenderungan

dihasilkan oleh daerah aktif dengan konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta. Tabel 6. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Berdasarkan

Klasifikasi Konfigurasi Medan Magnet

No Tahun Klasifikasi Mount Wilson (Konfigurasi Medan Magnet)

1 1996 0 0 0 0 0 0 0 0

2 1997 1 0 0 0 0 0 0 1

3 1998 0 0 0 0 0 0 2 0

4 1999 1 0 0 0 0 0 0 0

5 2000 0 4 0 2 0 1 0 1

6 2001 0 0 0 2 0 0 0 7

7 2002 0 3 0 2 0 0 0 3

-450

-400

-350

-300

-250

-200

-150

-100

-50

0

0

50

0

10

00

15

00

20

00

25

00

Ind

eks

Dst

(n

T)

Keluasan daerah aktif

Keluasan sempit

Keluasan sedang

Keluasan luas

Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat FL- 19

8 2003 0 2 0 3 0 0 0 1

9 2004 0 0 0 0 0 0 0 4

10 2005 0 2 0 0 0 2 0 2

11 2006 0 0 0 0 0 0 0 1

12 2007 0 0 0 0 0 0 0 0

13 2008 0 0 0 0 0 0 0 0

14 2009 0 0 0 0 0 0 0 0

15 2010 0 0 0 0 0 0 0 0

16 2011 0 1 0 2 0 0 0 0

17 2012 1 4 0 1 0 0 0 1

18 2013 1 1 0 0 0 0 0 0

19 2014 0 0 0 1 0 0 0 0

Total 4 17 0 13 0 3 2 21

Frekuensi terjadinya badai geomagnet kuat dan sangat kuat berdasarkan

konfigurasi medan magnet daerah aktif ditunjukkan pada Tabel 7 . Dari Tabel 7

dapat diketahui bahwa sekitar 8,7 % badai geomagnet kuat disebabkan oleh

daerah aktif dengan konfigurasi medan magnet alpha, 32,6 % beta, 21,7 % beta-

gamma, 4,3 % beta-delta, 2,2 % gamma-delta, dan 30,4 % beta-gamma-delta.

Sementara itu frekuensi terjadinya badai geomagnet sangat kuat sekitar 0 %

disebabkan oleh daerah aktif dengan konfigurasi medan magnet alpha, 14,3 %

beta, 21,4 % beta-gamma, 7,1 % beta-delta, 7,1 % gamma-delta, dan 50 % beta-

gamma-delta.

Hasil ini menunjukkan bahwa konfigurasi medan magnet daerah aktif penyebab

terjadinya badai geomagnet kuat tidak menunjukkan pola konfigurasi medan

magnet yang dominan, namun dapat terlihat bahwa kecenderungan konfigurasi

medan magnet daerah aktif penyebab terjadinya badai geomagnet kuat yaitu beta

sebesar 32,6 % dan beta-gamma-delta sebesar 30,4 %. Sedangkan untuk badai

geomagnet sangat kuat sebesar 50 % dihasilkan oleh konfigurasi medan magnet

beta-gamma-delta. Beta-gamma-delta merupakan konfigurasi medan magnet

paling kompleks.

Tabel 7. Distribusi Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif terhadap Intensitas Badai

Geomagnet

Intensitas Badai

Geomagnet

Konfigurasi Medan Magnet

Kuat 4 15 10 2 1 14

Sangat kuat 0 2 3 1 1 7

Pada penelitian ini diperoleh bahwa flare-flare yang terkait dengan kejadian badai

geomagnet yaitu flare kelas C, dan M. Flare kelas C terbanyak muncul pada

konfigurasi medan magnet beta sedangkan flare kelas M terbanyak muncul pada

konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta seperti ditunjukkan pada Tabel 8 .

FL- 20 Kholidah dkk

Tabel 8. Hasil Analisis Terjadinya Flare dan CME yang Berkaitan dengan Konfigurasi Medan

Magnet Daerah Aktif

Konfigurasi Medan

Magnet

Kelas Flare

CME yang di Hasilkan B C M X

0 3 1 0 4 : CME Halo

1 10 4 2

10 : CME Halo

7 : CME yang memiliki

posisi sudut >180 derajat

γ

1 4 6 2

10 : CME Halo

3 : CME yang memiliki

posisi sudut >180

derajat

δ

0 0 2 1

2 : CME Halo

1 : CME yang memiliki

posisi sudut >180 derajat

Γδ

0 1 0 1

2 : CME Halo

γδ

0 2 7 12

19 : CME Halo

2 : CME yang memiliki

posisi sudut >180 derajat

Hasil ini menunjukkan bahwa flare-flare yang memicu terjadinya CME yang

dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet dipengaruhi oleh konfigurasi

medan magnet. Semakin kompleks konfigurasi medan magnet daerah aktif maka

semakin banyak bermunculan fenomena daerah aktif seperti flare dan CME yang

dapat menjadi penyebab peningkatan angin Matahari yang menyebabkan

terjadinya badai geomagnet sehingga frekuensi kejadian dan intensitas badai

geomagnet menjadi besar.

Dari hasil yang telah diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa konfigurasi medan

magnet memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap frekuensi dan intensitas

badai geomagnet dibandingkan luas daerah aktif. Flare-flare penyebab terjadinya

badai geomagnet kuat dan sangat kuat tidak muncul pada daerah aktif dengan

keluasan luas namun muncul pada konfigurasi medan magnet yang kompleks. Hal

ini berarti bahwa energi magnet merupakan sumber energi terbesar yang

memungkinkan terjadinya flare [10]. Energi magnet ini berasal dari medan

magnet yang menguat karena terpuntirnya garis-garis gaya magnet yang di

sebabkan oleh gerakan konveksi di bawah permukaan Matahari. Munculnya fluks

magnet baru di daerah aktif yang sudah ada akan menyebabkan bertambah

kompleksnya medan magnet, semakin kompleks konfigurasi medan magnet

daerah aktif maka kecenderungan daerah aktif tersebut untuk menghasilkan

fenomena daerah aktif yang dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet

semakin besar.

Dari 46 kejadian badai geomagnet kuat diperoleh bahwa luas daerah aktif

terbanyak yaitu dalam kategori keluasan sempit yang memiliki konfigurasi medan

Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet Kuat FL- 21

magnet terbanyak yaitu beta sebesar 53,9 %. Sedangkan dari 14 kejadian badai

geomagnet sangat kuat diperoleh bahwa kecenderungan luas daerah aktif yaitu

dalam kategori keluasan sempit dan sedang yang memiliki konfigurasi medan

magnet terbanyak yaitu beta dan beta-gamma dan keluasan sedang yang memiliki

konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta. Hasil ini dapat ditunjukkan pada

Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9. Frekuensi Kejadian Badai Geomagnet Kuat Berdasarkan Klasifikasi Keluasan dan

Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif

Klasifikasi Keluasan Konfigurasi Medan Magnet

β Βγ βδ γδ β γδ

Sempit 4 14 6 0 1 1

Sedang 0 1 4 1 0 8

Luas 0 0 0 1 0 5

Tabel 10. Frekuensi Kejadian Badai Geomagnet Sangat Kuat Berdasarkan Klasifikasi Keluasan

dan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif

Klasifikasi keluasan Konfigurasi Medan Magnet

β Βγ βδ γδ β γδ

Sempit 0 2 2 0 1 0

Sedang 0 0 1 1 0 4

Luas 0 0 0 0 0 3

Dari Tabel 9 dan Tabel 10 dapat diketahui bahwa terjadinya badai geomagnet kuat

dan sangat kuat memiliki keterkaitan lebih besar dengan konfigurasi medan

magnet daerah aktif dibandingkan keterkaitan dengan luas daerah aktif. Daerah

aktif dengan keluasan sempit dan sedang namun memiliki konfigurasi medan

magnet yang kompleks memiliki probabilitas yang besar untuk menghasilkan

kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar.

4. Kesimpulan

Dari hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator

indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus ke-23 (1996 s.d 2007) dan

siklus ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 %

disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME Halo dan sebesar 92,4 %

CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif.

Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT sepanjang

siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan oleh daerah aktif

dengan kategori keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 % dan konfigurasi medan

magnet yang paling banyak muncul yaitu beta-gamma-delta sebesar 35 %.

Kejadian badai geomagnet kuat yang disebabkan oleh luas daerah aktif sempit,

diperoleh sebesar 53,9 % memiliki konfigurasi medan magnet beta, sedangkan

untuk kejadian badai geomagnet sangat kuat diperoleh kecenderungan luas daerah

aktif dalam kategori keluasan sempit (konfigurasi medan magnet terbanyak yaitu

beta dan beta-gamma) dan sedang (memiliki konfigurasi medan magnet terbanyak

yaitu beta-gamma-delta).

FL- 22 Kholidah dkk

Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa konfigurasi medan

magnet daerah aktif memiliki keterkaitan yang lebih besar terhadap frekuensi dan

intensitas badai geomagnet dibandingkan luas daerah aktif. Semakin luas daerah

aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar. Konfigurasi medan

magnet yang kompleks memiliki probabilitas yang lebih besar untuk

menghasilkan kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar dibandingkan

daerah aktif dengan keluasan yang luas. Semakin kompleks konfigurasi medan

magnet daerah aktif, maka intensitas badai geomagnet yang dihasilkan semakin

besar.

Ucapan terima kasih

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung beserta seluruh penelitinya dan staf-

stafnya yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.

Daftar Pustaka

1. D.R. Martiningrum, A. Purwono, F. Nuraeni, J. Muhamad, Fenomena Cuaca Antariksa,(2012)

2. M. Wik, R. Pirjola, H. Lundstedt, A. Viljanen, P. Wintoft, A. Pulkkinen, Ann. Geophys 27 (2009) 1775.

3. A. Santoso, Jurnal Pusat Sains Dirgantara 3 (2013) 67. 4. M. Youssef, NRIAG Journal of Astronomy and Geophysics 1 (2012) 172. 5. C.Y. Yatini, S. Saroso, W. Sinambela, J.L. Nugroho, B. Suhandi, Modul

Diseminasi Interaksi Matahari-Bumi untuk Kalangan Guru Sekolah Menengah Atas (2010)

6. L.K. Harra, K.O. Mason, Space Science, (2004), London, Imperial College Press

7. W.D. Gonzales, J.A. Joselyn, Y. Kamide, H. W. Kroehl, G. Rostoker, B. T. Tsurutani, V. M. Vasyliunas, Journal Of Geophysical Research 99 (1994) 5771.

8. Solar Science. [Online]. Diakses dari : solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s. html

9. Space Weather. [Online]. Diakses dari : ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/

10. Setiyowati, Skripsi, (2012), Bandung, UPI.