Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

185
TESIS KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA MUHAMAD ALKAUSAR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 TESIS

Transcript of Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Page 1: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

TESIS

KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR

KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA

MUHAMAD ALKAUSAR

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2011

TESIS

Page 2: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR

KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA

MUHAMAD ALKAUSAR NIM 0990261026

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2011

Page 3: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR

KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

MUHAMAD ALKAUSAR NIM 0990261026

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2011

Page 4: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan yang Mahakuasa karena berkat rahmat

dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Keterancaman Ritual

Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi

Tenggara tepat pada waktunya.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana wujudnya sekarang ini berkat bantuan

dan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung dari semua pihak. Oleh karena itu, sebagai

wujud nyata ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerja sama

yang penulis terima dengan penuh kebaikan dan cinta, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1) Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U, selaku pembimbing I yang dengan semangat

kekeluargaan membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis dalam berbagai kesulitan,

khususnya dalam mendeskripsikan gagasan-gagasan yang rumit dan abstrak dengan cara

yang lebih sederhana dan konkret;

2) Prof. Dr. Pudentia, MPSS., M.A. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan

tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan, khususnya di bidang Tradisi

Lisan;

3) Bapak Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. PD (KHOM), selaku Rektor Universitas Udayana ;

Ibu Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Dekan Fakultas Sastra Universitas

Udayana beserta staf atas segala yang diberikan; Ibu Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.,

selaku Ketua Program Magister Kajian budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana, atas

segala tuntutan dan petunjuknya; Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Sastra

Page 5: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Universitas Udayana Program Magister Kajian Budaya, atas segala motivasi dan berbagai

petunjuk dalam pengerjaan laporan penelitian;

4) Dewan penguji yang telah membaca dan memberikan masukan-masukan kritis dan objektif

terhadap keseluruhan tesis ini. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, Prof. Dr. Aron Meko

Mbete, dan Dr. I Gede Mudana, M.Si;

5) seluruh staf pengajar di Program Pendidikan Magister Kajian Budaya yang telah membekali

penulis dengan berbagai konsep, teori, dan metodologi sehingga penulis dapat melakukan

penelitian dengan baik.

6) seluruh staf pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi S2 Kajian Budaya :

Bapak I Putu Sukaryawan, Bapak Madya, Ibu Luh, Ibu Aryati, Ibu Cok, Ibu Agung, Bapak

Candra, Bapak Hendra yang dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan melayani

berbagai urusan administrasi akademik dan kemahasiswaan.

7) Rektor Universitas Haluoleo Sulawesi Tenggara Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S,

dan selaku ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Kendari Dr. La Niampe. S.Pd M.Hum. yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 Kajian

Budaya Universitas Udayana

8) para informan pegawai kelurahan Bungkutoko dan masyarakat kelurahan Bungkutoko

khususnya Nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara yang telah memberikan data bagi

penulis secara langsung maupun tidak langsung selama masa penelitian dengan penuh

semangat kekeluargaan dan persaudaraan.

9) teman-teman S2 angkatan 2009 khususnya dikelas pagi : Rahmat, Darwan,Ibu Choleta, Ibu

Wahyu, Pak Made, Pak Nurite, Pak Suriante, rekan-rekan seperjuangan dari Kendari: Dr. La

Taena SPd. M.Si, Abdul Rahman (Abu), Pak La Ino, Pak Hamiruddin Udu, Pak La Ode

Page 6: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Dirman, Pak Hadirman, Pak La Aso, Pak La Tari, Hardin, Wa Irma, La Kolona, Pak Ali

yang telah memberikan dukungan, semangat, nasehat dan doa sampai penulisan tesis ini.

10) Ayahanda Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad. M.S, Ibunda Wa Ode Atiah, serta saudara-

saudariku Ahdunyadin S.E, M.Si, Lili Darlian S.Si, M.Si, Muhamad Syahlan Jayanegara

S.E., M.Si., Nirmala Sari, S.Pd., M.Hum., Muhammad Awaluddin S.H., Wd. Fitriani Sari,

S.Pd dan yang terspesial dan tercinta keluarga besar Riski Eprilianti Ramdani Putri Tombili

S.Si (Kikhy) yang tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan dan suport kepada

penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini; dan

11) Keluarga Besar Bapak Soedjiwo yang telah memberikan nasehat, dukungan, bantuan, serta

doa kepada penulis.

Akhirnya, penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan yang Maha Pengasih membalas budi

baik mereka dengan balasan yang setimpal.

Denpasar, Agustus 2011

Penulis

Page 7: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

ABSTRAK

Judul : Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara

Oleh : Muhamad Alkausar Program Studi : (S2) Kajian Budaya

Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam

Masyarakat Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Ritual mappandesasi ini merupakan identitas budaya etnik Mandar yang di dalamnya banyak terkandung pengetahuan tradisional, seharusnya dilestarikan oleh masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya dalam kemajuan iptek dan peraliharan mata pencaharian masyarakat nelayan etnik Mandar saat ini, ritual mappandesasi sudah terancam punah atau hampir tidak lagi dilaksanakan ritual mappandesasi.

Tujuan dari ritual mappandesasi adalah para nelayan meminta keselamatan dan rezeki (hasil tangkapan) pada saat melaut, dengan cara memberikan beberapa jenis makanan (sesajen) kepada penguasa laut. Ritual ini juga merupakan ucapan syukur para nelayan etnik Mandar kepada penjaga sasi atas berkah keselamatan dan rezeki yang didapat dalam melaut, Adapun manfaat ritual mappandesasi dilakukan setelah pulang dari melaut.

Masalah yang diteliti dirumuskan dalam tiga pertanyaan berikut ini. (1) bagaimana bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara? (2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi? (3) bagaimanakah dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ritus untuk menganalisis permasalahan pertama, teori dekonstruksi untuk menganalisis permasalahan ke dua, dan teori semiotika untuk menganalisis permasalahan pertama dan ke tiga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungukutoko Sulawesi Tenggara dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan media, faktor pendidikan, faktor ekonomi, serta kurangnya pemahaman generasi muda terhadap ritual mappandesasi, tidak adanya pewarisan budaya dari generasi tua terhadap generasi muda, dan faktor tradisi.

Terdapat beberapa dampak dan makna dalam penelitian ini terkait dengan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Dampak tersebut adalah dampak sosial, dampak ekonomi, dan dampak budaya. Adapun makna yang terdapat dalam ritual mappandesasi ini adalah makna religi, makna solidaritas dan makna kedamaian. Kata kunci: keterancaman, ritual mappandesasi, dan nelayan etnik Mandar

Page 8: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Abstract Judul : Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar

Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara Oleh : Muhamad Alkausar

Program Studi : (S2) Kajian Budaya

This thesis is the result of research on the threatened of ritual Mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko Mandar Southeast Sulawesi. This is a ritual mappandesasi Mandar ethnic cultural identity that many contained therein traditional knowledge, should be preserved by the community. However, the reality in the progress of science and technology and transition livelihoods of fishing communities currently Mandar ethnic, ritual mappandesasi already endangered or almost no longer carried out the ritual mappandesasi.

The purpose of ritual mappandesasi is the asking of safety and sustenance fishermen (catch) at sea, or by providing some type of food (offerings) to the ruler of the sea. This ritual is also a thanksgiving to the Mandar ethnic fishermen guard sasi blessing and provision of safety obtained in the sea. As for the benefits ritual mappandesasi performed after coming home from fishing.

Issues, formulated in the following three questions. (1) how the shape of the threatened rituals Mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko Southeast Sulawesi? (2) what factors are causing the threatened of ritual mappandesasi ? (3) how the impact and the threatened ritual mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko ?. The theory used in this study is the theory of ritus to analyze the first problem, the theory of deconstruction is to analyze the second problem and the theory of semiotics to analyze the problem first and third. This study used qualitative methods. Data collection in this study was done by using observation, interview and literature study. The results of this study indicate that the threatened of ritual mappandesasi in fishing communities in the Mandar ethnic village Bangkutoko Southeast Sulawesi influenced by the advance of technology and media, education factor, economic factors and lack of understanding of the ritual mappandesasi younger generation, the lack of cultural inheritance from older generations to younger generations, and the tradition factor.

There are some impacts and meanings in this research associated with the threatened of ritual mappandesasi in fishing communities in the Mandar ethnic in village Bangkutoko Southeast Sulawesi. The impacts are the social, economic, and cultural impact. As for the meanings contained in this ritual mappandesasi are religious, solidarity and peace meaning. Key words: the threatened, ritual mappandesasi and fishermen of Mandar ethnic

Page 9: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

RINGKASAN

Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bungkutoko

Kecamatan Abeli, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Penduduk kelurahan tersebut terdiri atas

suku Tolaki sebagai penduduk pribumi, suku Mandar, suku Buton, suku Muna, dan Jawa sebagai

penduduk pendatang. Yang mendiami kelurahan Bungkutoko ini adalah etnik Mandar yang

bermata pencaharian sebagai nelayan. Kelima suku tersebut memiliki tradisi budaya yang

berbeda-beda. Penelitian ini berjudul Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat

Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Penelitian ini berfokus

pada tradisi budaya etnik Mandar yang biasa dipentaskan menjelang melaut dan sesudah melaut

yang disebut oleh etnik Mandar dengan istilah ritual memberi makan penjaga laut (setassasi)

yang disebut dengan ritual mappandesasi.

Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok permasalahan. Pertama, mengidentifikasi dan

mendeskripsikan bentuk-bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko. Kedua, mendeskripsikan faktor-faktor yang

mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan

etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko. Ketiga, menginterpretasi dampak dan makna

keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko.

Permasalahan tentang bentuk-bentuk keterancaman ritual mappandessai, dianalisis

dengan menggunakan teori ritus. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat di kelurahan

Bungkutoko tidak lagi ditemukan ritual ,mappandesasi sebagai bentuk perwujudan masyarakat

nelayan etnik Mandar terhadap kepercayaan terhadap mitos penguasa laut. Ritual mappandesasi

yang dilakukan oleh etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai fungsi sosial untuk

mengintensifkan kerja sama atau memperkuat rasa solidaritas sesama nelayan etnik Mandar.

Page 10: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Selain itu, dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko di temukan adanya kelompok yang

menganggap ritual mappandesasi dilakukan sekedar mencari kepuasan hati tanpa ada makna

apa-apa. Ada kelompok yang menganggap pelaksanaan ritual mappandesasi sebagai kewajiban

sosial untuk mengikuti tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang. Dalam

pelaksanaan ritual mappandesasi ini ditampilkan berbagai bahan perlengkapan dari berbagai

jenis tumbuh-tumbuhan, nasi, telur, gambir, dupa atau kemenyan, dan ikut pula dikurbankan

hewan seperti kambing (beke) dan ayam (mannu). Beke dan mannu beserta bahan sesembahan

lainnya disodorkan untuk penjaga sasi.

Bentuk-bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko sebagai berikut. Pertama, proses pelaksanaan upacara seperti

terjadinya pengurangan jenis hewan yang dijadikan sebagai binatang sesembahan. Selain itu,

sudah terjadi pembaruan bahan ritual di antaranya digantinya tembakau tradisional dengan rokok

hasil produksi modern. Pengurangan dalam jenis binatang sesembahan, pada mulanya, dalam

ritual mappandesasi memiliki tiga jenis hewan sebagai binatang kurban yakni sapi, kambing

(beke) dan ayam (manu buluh sirua). Dalam perkembangan seperti sekarang binatang yang

dijadikan sebagai binatang kurban adalah kambing (beke) dan ayam (mannu). Kondisi ini

diakibatkan harga sapi mencapai tujuh juta rupiah per ekor. Kedua, bentuk keterancaman lain

yang terdapat dalam ritual mappandesasi adalah terjadi penurunan jumlah dan peserta dalam

pelaksanaan ritual mappandesasi. Pada mulanya ritual ini diikuti oleh semua suku yang ada di

Kelurahan Bungkutoko, akan tetapi seiring berjalannya waktu perserta ikut berkurang karena

pergantian mata pencaharian. Sebagian masyarakat tidak lagi bekerja di sektor kelautan yakni

sebagai nelayan, tetapi sudah beralih pada pekerjaan yang tidak berhubungan lagi dengan laut,

seperti tukang ojek, sopir angkutan umum, kuli bangunan dan menjadi karyawan di pusat-pusat

perbelanjaan di Kota Kendari.

Page 11: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Adapun permasalahan yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya

keterancaman ritual mappandesasi dianalisis dengan menggunakan teori dekonstruksi. Hasilnya

menunjukkan bahwa telah terjadi konstruksi sosial baru dalam masyarakat terkait dengan

pelaksanaan ritual mappandesasi. Konstruksi tersebut adalah adanya pembaruan dan

pengurangan sarana ritual akibat kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dan media, faktor

pendidikan dan faktor ekonomi mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi.

Tiga faktor tersebut merupakan faktor penyebab secara eksternal. Ada faktor internal yang

mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi yakni kurangnya pemahaman

generasi muda terhadap ritual mappandesasi, tidak adanya pewarisan kebudayaan dari generasi

tua kepada generasi muda, dan faktor tradisi.

Semua bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi melahirkan dampak negative

dalam berbagai hal. Pertama, keterancaman mengakibatkan dampak secara sosial, yakni

terjadinya penurunan dan memudarnya rasa persatuan serta solidaritas masyarakat dalam

berbagai hal. Menurunnya tingkat kerja sama dalam masyarakat dapat kita jumpai dalam wujud

kerja bakti. Sudah jarang warga Kelurahan Bungkutoko yang menghadiri acara kerja bakti di

kantor kelurahan. Selain itu, dalam hajatan masyarakat, seperti pesta pernikahan, sudah jarang

laki-laki datang membantu, kebanyakan perempuan dengan alasan laki-laki pergi mencari uang.

Zaman modern merupakan zaman setiap orang selalu disorientasi dislokasi dengan orientasi

materi. Jarang orang yang memberikan tenaganya dengan cara gratis, harus ditukar dengan uang.

Kepentingan individu diletakkan di atas kepentingan kelompok. Dampak yang lain yakni

dampak yang berhubungan langsung dengan nelayan. Dampak tersebut sangat berkaitan dengan

penghasilan para nelayan dalam menangkap ikan. Berkurangnya penghasilan para nelayan

dikaitkan dengan akibat dari kurangnya dan terjadinya pembaruan sarana dalam ritual

mappandesasi.

Page 12: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Tidak saja memiliki dampak, ritual mappandesasi memiliki makna positif terhadap

masyarakat nelayan etnik Mandar. Pertama, makna religi, ritual mappandesasi dijadikan oleh

masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai simbol mengimplementasikan kepercayaan terhadap

mitos penjaga laut yang dipersonifikasikan dengan setassasi, dan terkait dengan mitos

keselamatan, kedamaian, serta keyakinan masyarakat nelayan etnik Mandar akan mendapatkan

hasil tangkapan yang banyak dalam melaut, ketika sudah melaksanakan ritual mappandesasi.

Kedua, makna solidaritas. Dengan melakukan ritual mappandesasi semua masyarakat dari etnis

mana pun seharusnya ikut membantu dan merayakan pelaksanaan ritual mappandesasi. Akan

tetapi, kondisi seperti itu sudah jarang ditemukan dalam masyarakat. Solidaritas yang terjadi

sekarang hanyalah tinggal antara sesama anggota nelayan dalam kelompok yang sama. Ketiga,

makna kedamaian. Setiap kelompok nelayan yang telah melakukan ritual mappandesasi baru

beraktivitas melaut selalu merasakan kedamaian meskipun menghadapi ombak besar di laut.

Perasaan ini diakibatkan oleh pola pikir bahwa dia telah memberi makan penjaga sasi sudah pasti

penjaga sasi akan melindungi dan memberikannya rezeki yang banyak.

Untuk menghindari agar ritual mappandesasi tidak mengalami kepunahan, peneliti

menyampaikan beberapa saran. Pertama, disarankan agar orang tua menghindari keterputusan

regenerasi terhadap pelaku ritual mappandesasi, sudah saatnya para orangtua memperkenalkan

ritual mappandesasi kepada anak-anaknya dengan cara menceritakan kepada mereka menjelang

tidur. Setelah diperkenalkan dan diketahui, orang tua menganjurkan kepada anak-anaknya

supaya pengetahuan itu ikut diiplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, disarankan

agar generasi muda yang pernah atau sedang mengikuti pendidikan formal supaya tidak

menyalahgunakan ilmunya dengan tidak menghargai pengetahuan-pengetahuan lokal sebagai

bentuk kearifan lokal. Jadikanlah tradisi lokal sebagai filter untuk menyaring hasil produk

Page 13: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

budaya modern yang masuk dan merusak dalam masyarakat agar tidak mengambil tatanan sosial

yang sudah ada sebelumnya.

Ketiga, disarankan kepada pemerintah khususnya Pemerintah Daerah meningkatkan

kepekaan dan perhatiannya terhadap kebudayaan lokal sebagai penunjang kebudayaan nasional.

Kepekaan dan perhatian tersebut dapat direalisasikan oleh pemerintah dengan melakukan atau

mengadakan pertunjukan pameran kebudayaan lokal. Selain itu, perhatiannya dapat ditunjukan

atau diperlihatkan dengan cara membentuk sanggar budaya. Lewat sanggar budaya pemerintah

bisa mengadakan pertunjukan atau pentas kebudayaan yang harus diikuti oleh semua suku yang

mendiami wilayah tersebut. Alternatif terakhir yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk

menunjukkan perhatiannya terhadap kebudayaan lokal adalah dengan memberikan bantuan

kepada masyarakat yang hendak melakukan pementasan kebudayaan, seperti etnik Mandar yang

melakukan ritual mappandesasi sekali dalam setahun.

Page 14: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..…...i

PERSYARATAN GELAR ………………………………………………….……ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………..……iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……...………………………………...……iv

UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………………v

ABSTRAK ……………………………………………………………………….ix

ABSTRACT ………………………………………………………………..……..x

RINGKASAN ……………………………………………………………………xi

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...…xvii

LAMPIRAN………………………………………………………………….….xxi

DAFTAR TABEL ………………………………………………………….…..xxii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...xiii

GLOSARIUM …………………………………………………………………..xiv BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………..1

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………...……..9

1.3 Tujuan Penelitian ………………………..…………………………….……..10

1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………….………….10

1.3.2 Tujuan Khusus ……………………………………………….…………...10

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………………...10

1.4.1 Manfaat Teoretis ……………………………………………..…………...10

1.4.2 Manfaat Praktis ……………………………………………….…………..11

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………….…………..…12

2.2 Konsep…………………….……………………………….…...................26

2.2.1 Keterancaman…………………………………………….………………26

2.2.2 Ritual Mappandesasi…...………...…………..…………………………..27

Page 15: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

2.2.3 Keterancaman Ritual Mappandesasi……………………………………..29

2.2.4 Masyarakat Nelayan …..……...………………………………………….29

2.2.5 Etnik Mandar…...……………………….…………………….………….30

2.2.6 Tradisi Lisan………………………………………….…………………..32

2.2.7 Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar……..…32

2.3 Landasan Teori …………………………………………………...…………34

2.3.1 Teori Ritus…..……………...……………………………………...……….34

2.3.2 Teori Dekonstruksi………………………………………………...….……35

2.3.3 Teori Semiotik …………………………………..………………….……...37

2.4 Model Penelitian ……………………………………………………...…….38

BABA III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ………………………………………………………..42

3.2 Lokasi Penelitian ………………………………………………………...…..43

3.3 Jenis dan Sumber Data ………………………………………………………43

3.4 Penentuan Informan …………………………………………………………44

3.5 Instrumen Penelitian ……………………………...…………………...…….44

3.6 Teknik Pengumpulan Data …………………………………………………..45

3.6.1 Observasi …………………………………………………………………..45

3.6.2 Wawancara Mendalam………………………….…………………...……..45

3.6.3 Studi Dokumen….………………………………………………………….46

3.7 Teknik Analisis Data ………………………………………………………...47

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ……………………………………….49

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis ……………………………………………………………...50

4.2 Demografi ………………………………………………………………........51

4.3 Mata Pencaharian ……………………………………………………………55

4.3.1 Nelayan……………………………………………………………………..56

4.3.2 Pegawai Negeri Sipil ………………………………………………...........58

4.3.3 Berdagang ………………………………………………………….............59

4.3.4 Tukang Kayu ………………………………………………………………61

Page 16: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

4.4 Agama dan Kepercayaan ...…………………………………………………..63

4.5 Bahasa dan Kesenian ………………………………………………………...66

4.5.1 Bahasa………………………………………………………………….......66

4.5.2 Kesenian ……………………………………………………………….......68

4.6 Organisasi Sosial …………………………………………………………….69

4.7 Asal Usul Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko ………………………...74

4.8 Ritual Mappandesasi ………………………………………………………...76

BAB V BENTUK KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM

MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA

5.1 Proses Pelaksanaan Ritual Mappandesasi …………………………………...82

5.1.1 Mengecilnya Jumlah Sumbangan …………………………………….........83

5.1.2 Berkurangnya Binatang Kurban dalam Ritual Mappandesasi …………….86

5.1.3 Memotong Hewan Kurban…………………………………………………89

5.1.4 Meletakkan Sesaji ...………………………………………………….......104

5.1.5 Makan Bersama …………………………………………………………..106

5.2 Berubahnya Sarana Ritual Mappandesasi ………………………………….109

5.3 Menurunnya Jumlah Peserta yang Melakukan Ritual Mappandesasi ,…….112

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA

KETERANCAMAN TERHADAP RITUAL MAPPANDESASI 6.1 Faktor Eksternal…………………………………………………………….118

6.1.1 Teknologi dan Media …………………………………………………….118

6.1.2 Faktor Pendidikan ………………………………………………………..128

6.1.3 Faktor Ekonomi …………………………………………….…………….133

6.2 Faktor Internal ……………………………………………………………...138

6.2.1 Tidak Adanya Tranmisi Budaya dari Generasi Tua

kepada Generasi Muda ………………………………………………….139

6.2.2 Tidak Adanya Pengetahuan Generasi Muda

tentang Ritual Mappandesasi……………………………………………142

6.2.3 Faktor Tradisi……………………………………………………………..146

Page 17: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR

7.1 Dampak …………………………………………………………….………151

7.1.1 Dampak Sosial …………………………………………………………....151

7.1.2 Dampak Ekonomi ………………………………………………………...154

7.1.3 Dampak Budaya…………………………………………………………..158

7.2 Makna ………………………………………………….…………………...161

7.2.1 Makna Religius ………………………………………………………….162

7.2.2 Makna Solidaritas ………………………………………………………..165

7.2.3 Makna Kedamaian ……………………………………………………….168

7.3 Refleksi …………………..………………………………………………....170

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan …………………………………………………………………...173

8.2 Saran …………………………………………………….………………….175

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara …………………………………………………..184

2. Daftar Informan ………………………………………………………...186

3. Peta Kelurahan Bungkutoko ……………………………………………187

Page 19: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

DAFTAR TABEL

TABEL

1. Komposisi Penduduk Kelurahan Bungkutoko Menurut

Umur dan Jenis Kelamin ………...………………………………………53

2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan

Bungkutoko ………………………………………...……………………56

Page 20: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

DAFTAR GAMBAR

5.1 Pemotongan Kambing (Beke)………………………………………….....90

5.2 Pemotongan Ayam (Mannu) …………………………………………….92

5.3 Bahan-Bahan Sesajen Ritual …………………………………………….97

5.4 Wadah untuk Menyimpan Bahan Sesajen (Anja) ……………………….99

5.5 Rakit Tempat Sesajen……………………………………………….......105

5.6 Sandro dan Beberapa Masyarakat yang Berpartisipasi

dalam Ritual Mappandesasi …………………………………………...107

Page 21: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

GLOSARIUM anja : wadah untuk menyimpan bahan sesajen untuk dibawa ketempat

keramat.

bakal : jenis tembakau tradisional yang digunakan sebagai salah satu

perlengkapan ritual mappandesasi

ba’go : nama kapal yang digunakan nelayan etnik Mandar pertama kali tiba

di Kelurahan Petoaha

beke : kambing salah satu jenis hewan kurban dalam ritual mappandesasi.

dambarisan : kebersamaan

ghoniwi : mengirim do’a kepada roh leluhur disertai dengan makanan dan

minuman secukupnya, biasanya hanya telur, air the, dan nasi.

kaluppin : daun sirih yang dilipat berbentuk persegi empat untuk perlengkapan

ritual mappandesasi.

kanjilo : salah satu nyanyian etnik Mandar yang selalu dinyanyikan pada saat

mau turun melaut.

lariangi : nama salah satu tarian milik etnik Buton yang selalu ditampilkan

pada saat acara peng-Islaman.

layya : salah satu jenis tumbuhan yang digunakan menjadi perlengkapan

ritual, atau biasa disebut jahe.

lulo : salah satu tarian di Sulawesi Tenggara, Tarian ini milik etnik Tolaki

hanya saja sekarang sudah sering dilakukan oleh semua etnik di

Sulawesi Tenggata pada saat acara hajatan, seperti pesta pernikahan.

majalla : salah satu jenis penangkapan ikan yang pertama kali digunakan oleh

etnik Mandar sampai mereka tiba di Kelurahan Petoaha.

mannu : salah satu jenis hewan kurban dalam ritual mappandesasi, mannu

sama dengan ayam.

mappandesasi : salah satu ritual memberi makan laut bagi nelayan etnik Mandar.

masiriballe’ : salah satu nama doa untuk meminta rezeki yang banyak dalam

melaut.

pallili : salah satu jenis persyaratan ritual mappandesasi yang terbuat dari

dupa atau kemenyan.

Page 22: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pamere : daun dari tumbuhan sirih yang digunakan sebagai perlengkapan

dalam ritual mappandesasi.

pangudunna alo : salah satu malam yang penuh berkah bagi masyarakat nelayan etnik

Mandar, malam ini jatuh pada Malam Jum’at dengan hitungan 10

bulan di langit

panno-panno : salah satu jenis tumbuhan yang menjadi persyaratan dalam ritual

mappandesasi.

pobhelo : nama salah satu silat tradisional dalam masyarakat Muna, yang selalu

ditampilkan pada saat acara aqikah.

rarambanga : kelompok kerja sama masyarakat nelayan etnik Mandar yang

dibentuk sebagai wadah tolong-menolong dalam aktivitas melaut

atau aktivitas kemasyarakatan lainnya.

sandro : sebutan pemimpin dalam melaksanakan ritual, orang pintar seperti

dukun.

sasi : yang berarti laut.

setasasi : sebutan penjaga laut bagi masyarakat etnik Mandar.

sikaada : perasaan atau sikap saling menerima kekurangan antarsesama

nelayan etnik Mandar.

sippatapa : perasaan jujur atau sikap tidak saling mencurigai antarsesama

nelayan etnik Mandar atau sikap saling mempercayai antara sesama

mereka.

sirua : jenis bulu ayam yang bisa digunakan sebagai hewan kurban dalam

ritual mappandesasi. Ayam ini semua berbulu hitam yang di

ketiaknya (di bawah sayapnya) terdapat bulu putih atau ayam yang

semuanya berbulu putih tetapi di ketiak (di bawah sayapnya)

terdapat bulu hitam.

Situlu-tulu : sikap saling menolong dalam hal meringankan beban atau

penderitaan hidup.

sokko : salah satu sarana ritual mappandesasi yang terbuat dari beras ketan

dan terbentuk dalam empat warna, seperti putih, merah, hitam dan

kuning.

Page 23: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

taru : buah pinang yang digunakan sebagai perlengkapan dalam ritual

mappandesasi

torada : bambu yang digunakan sebagai perlengkapan ritual mappandesasi.

tusuk Bobal : nama salah satu tarian ernik Mandar yang selalu ditampilkan pada

saat-saat hajatan yang terkait dengan siklus hidup manusia, seperti

aqikah.

Page 24: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etnik-etnik yang tersebar di seluruh Nusantara ini, memiliki dua kemungkinan yang tidak

dapat disangkal. Kemungkinan pertama, etnik mayoritas dengan dukungan populasi yang besar

dan kedua, etnik minoritas dengan dukungan populasi yang kecil. Namun, etnik minoritas

tersebut tetap memperlihatkan ciri-ciri kebudayaannya, baik yang universal maupun yang unik

sifatnya. Sebagaimana diketahui kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai,

dan konsep, yang memungkinkan bagi suatu kelompok untuk kehidupannya atau sebagai

pandangan hidup (world view). Dalam sebuah kebudayaan tiap-tiap anggota pendukungnya

secara mental memiliki suatu kerangka pikiran tertentu. Secara fisik memiliki ketetapan bentuk

tubuh dasar tertentu, dan secara sosial berhubungan yang satu dengan lain dengan cara-cara

tertentu. Dalam pandangan ini identitas merupakan salah satu fungsi inkulturasi (Fay,2002:74).

Identitas etnik tersebut dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, cara makan, cara

berpakaian, cara bersopan santun, standar etika, dan moral yang berbeda antarkomunitas.

Perbedaan itu tampak kontradiktif. Namun, sejarah menunjukkan adanya inti budaya yang sama

(sharing of culture) yang dapat saling menerima dan saling mengerti perbedaan itu

(Purwasito,2003:224). Hal ini dapat ditemukan dalam etnik Mandar yang bermukim di

Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Etnik Mandar memiliki tradisi budaya tersendiri

yang menjadi identitasnya dalam hidup berdampingan dengan etnik-etnik lain di lokasi

pemukimannya, yakni di Bungkutoko yang dihuni oleh beberapa etnik.

Budaya etnik Mandar merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang belum

didokumentasikan. Sebagai masyarakat yang memiliki identitasnya sendiri, Kelurahan

Page 25: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Bungkutoko dihuni oleh berbagai etnik yang mayoritas beragama Islam. Salah satu di antaranya

adalah etnik Mandar. Walaupun masyarakat etnik Mandar mayoritas beragama Islam, tetapi

masih dalam kategori Islam sinkretis. Hal ini dapat dijumpai dalam kehidupan mereka sehari-

hari yang masih mempraktikkan kepercayaan lokal (religi) dan masih animisme dan dinamisme,

seperti memberikan sesajen terhadap penguasa laut.

Purwasito (2003:230), mengatakan bahwa kekuatan unsur-unsur religi merupakan

kepercayaan manusia terhadap keberadaan kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi

kedudukannya daripada manusia. Masyarakat menjalankan aktivitas ritual religi sebagai cara

berkomunikasi dengan kekuatan gaib tersebut sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Lebih

lanjut, Van Ball (1967: 12) menyatakan bahwa peranan upacara (baik ritual maupun seremonial)

adalah selalu mengingatkan manusia untuk dibiasakan dalam pelaksanaan upacara berkenan

dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan. Dengan adanya upacara-upacara,

masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol

yang bersifat abstrak serta berada di tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial nyata

dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terdapat dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.

Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dalam masyarakat etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko hingga saat ini adalah ritual Mappandesasi. yaitu suatu tradisi

kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih dipegang

teguh. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual memberi makan laut ini sudah dilaksanakan

sejak nenek moyang yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun-temurun

hingga saat ini.

Masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sedang berubah karena bersentuhan

langsung dengan kemajuan global. Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko juga memiliki

Page 26: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dinamika sosial, yaitu gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan

dalam tata masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh globalisasi yang mengagungkan rasionalitas dan

menghapus hal-hal yang bersifat mistik, sehingga, globalisasi yang diidentikkan dengan

kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, dapat dikatakan sebagai silet yang bermata dua. Selain

memajukan masyarakat, globalisasi ikut merusak tatanan hidup sosial suatu kelompok

masyarakat. Menurut Giddens (2003:67 ; Avia, 2004:25), globalisasi membawa prinsip budaya

modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dalam peradaban manusia.

Melalui ideologi budaya konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik,

kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua

jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau

homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengancam

eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju

kepunahan (Storey, 2007:54).

Hal yang sama dikemukakan oleh Kleden (1996:239) bahwa kalau sistem budaya itu

tidak cukup kuat lagi untuk menjadi landasan sistem sosial, sistem sosial terpaksa berubah

karena didesak oleh perubahan. Di lapisan material kebudayaan, maka yang terjadi ialah dua

kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, muncul semacam entropi kebudayaan, yaitu sistem

nilai kebudayaan bersangkutan tidak mati, tetapi kehilangan dayanya untuk memotivasi dan

mengontrol sistem sosial yang ada. Kemungkinan yang kedua, bisa terjadi bahwa kekuatan

kebudayaan sebagai sistem kognitif dan sistem normatif memang telah berakhir, dan tinggal

peranannya sebagai embel-embel yang berfungsi sebagai hiasan lahiriah (paraphernalia) yang

tidak fungsional cara pikir dan cara bertingkah laku.

Kondisi di atas, dapat ditemukan dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan ritual mappandesasi telah mengalami

Page 27: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

keterancaman dalam hal peserta ritual dan tingkat efektifitas pemahaman makna dan fungsi

pelaksanaan ritual yang semakin hari semakin berkurang. Hal ini, selain diakibatkan oleh

kurangnya pemahaman makna dan fungsi para generasi muda terhadap ritual mappandesasi,

pengaruh arus globalisasi yang telah meluluhlantahkan pengetahuan-pengetahuan tradisional

yang dianggap mistik dan digantikan dengan mengagungkan pemikiran rasional. Sementara

ritual mappandesasi sangat penting bagi masyarakat etnik Mandar karena terkait langsung

dengan aktivitas mereka sehari-hari sebagai pemburu hasil laut (nelayan) tradisional.

Dalam aktivitas kebaharian, Lampe (2004:7) menyatakan bahwa nelayan dan pelaut-

pelaut dari Sulawesi Selatan mempercayai keyakinan dan praktik agama sebagai model

penyelamatan serta keberuntungan ekonomi. Dengan keyakinan, doa, dan mantra dapat

dihindarkan ancaman ganasnya gelombang laut, badai, pusaran air, dan arus besar. Kekuatan

do’a dapat menghindarkan diri (nelayan) dari gangguan raksasa laut (gurita, hiu) dan

menjinakkan gelombang, bahkan menaklukkan hantu-hantu laut di lokasi-lokasi penangkapan

yang kaya dengan sumber daya bernilai ekonomi tinggi. Spirit agama dipadukan dengan mental

untuk menggerakkan usaha lainnya seperti keberanian menanggung resiko ekonomi. Keteguhan

mental, persaingan, adanya adaptasi, wawasan luas, dan lain-lain menjadi modal sosial

masyarakat Mandar.

Ritual mappandesasi merupakan tradisi lisan folklor, yaitu folklor yang bentuknya

merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Yang termaksud folklor sebagian lisan

adalah kepercayaan rakyat, adat-istiadat, permainan rakyat, upacara pesta rakyat, (Dananjaja

1986:22). Unsur lisan dari ritual mappandesasi terletak dalam doa/mantranya, nyanyian rebana.

Unsur bukan lisan dapat dilihat dalam sesaji, pemotongan kurban, pembakaran dupa (kemenyan),

kepercayaan adanya penjaga laut.

Page 28: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan

itu diturunkan dari generasi ke generasi, dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan

perilaku secara individu dan kelompok adalah implemtasi senyatanya dari teks-teks tulisan itu.

J.J. Kusni (1994) menegaskan bahwa tradisi lisan bisa dipandang sebagai rangkaian

berkesinambungan dari dokumen sejarah, yang kemudian dapat dijadikan sebagai bukti sejarah;

sejarah keberlangsungan hidup dan kehidupan sebuah suku bangsa.

Salah satu upacara ritual adat warisan dari nenek moyang yang diturunkan secara

internalisasi dari generasi ke generasi dan masih dipertahankan dan dilaksanakan hingga saat ini

oleh masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah mappandesasi. Mappandesasi,

yaitu suatu tradisi kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini

masih dipegang teguh. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual ini sudah dilaksanakan

sejak nenek moyang mereka yang bermukim di daerah Mandar.

Masyarakat Bungkutoko, khususnya masyarakat nelayan Mandar tidak terlepas dari

berbagai ritual upacara yang dilakukannya. Nelayan etnik Mandar mempercayai adanya

penghuni laut yang disebut Penjaga Sasi. Sebagaimana halnya suku Mandar yang beraktivitas

sebagai nelayan, rutinitas dalam melakukan upacara-upacara selalu dilakukan untuk kesuksesan

pekerjaan sebagai nelayan. Hal ini dilakukan karena dianggap sangat penting sehingga

pelaksanaannya pun melibatkan tokoh-tokoh adat yang berasal dari Mandar.

Masyarakat nelayan etnik Mandar sangat mempercayai adanya ritual mappandasesasi.

Prosesi ritual mapandasesasi dipimpin oleh seorang sansro ‘dukun’ yang berasal dari etnik

Mandar. Dukun atau sandro dalam kehidupan sehari-harinya hidup bersama dengan masyarakat

pada umumnya dan mempunyai mata pencaharian seperti masyarakat lainnya, yakni sebagai

nelayan. Akan tetapi, seorang sandro biasanya ada hal-hal tertentu yang membedakannya dengan

Page 29: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

masyarakat pada umumnya, yakni seorang sandro dapat berhubungan dengan roh-roh halus para

leluhur yang dianggap membantu dan melindungi masyarakat Mandar .

Pengetahuan tradisional masyarakat Mandar tentang ekologi kelautan merupakan

pengetahuan tradisional yang sifatnya turun-temurun. Nelayan etnik Mandar sangat percaya

bahwa betapapun kuatnya tantangan dalam mengarunginya, laut tetap menawarkan peluang

keberhasilan bagi nelayan dalam mencari nafkah, dengan berbagai sumber daya laut yang

terkandung di dalamnya. Agar memperoleh hasil tangkapan yang banyak, masyarakat nelayan

etnik Mandar harus memiliki daya juang, yakni ulet meskipun hanya memanfaatkan terknologi

tradisional andalan masyarakat. Nelayan etnik Mandar umumnya masih memegang aturan-

aturan, mekanisme alamiah (natural), pedoman-pedoman tradisi leluhur dalam melaut, seperti

kepercayaan tentang roh dan penguasa laut. Musim penangkapan ikan berdasarkan arah dan

kekuatan angin, pengetahuan tentang gelombang laut, badai, dan sebagainya.

Ritual mappandesasi (memberi makan laut), merupakan suatu bentuk upacara khas yang

bersifat sakral (suci) bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di mana pun berada. Ritual

mappandesasi merupakan media komunikasi masyarakat etnik Mandar dengan lingkungan laut,

sehingga sangat penting ritual ini dilakukan. Pelaksanaan ritual mappandesasi terhadap

masyarakat nelayan Mandar bertujuan untuk meminta kepada penjaga sasi agar diberikan

keselamatan dalam melaut dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Dengan demikian,

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko masih tetap mempertahankan ritual

mappandesasi di era globalisasi seperti sekarang ini, meskipun pelaku ritual telah berkurang.

Masyarakat etnik Mandar sangat meyakini ritual Mappandesasi sebagai salah satu media

yang menghubungkan mereka untuk berkomunikasi dengan penjaga sasi. Dengan ritual

mappandesasi masyarakat etnik Mandar dapat menjinakkan ganasnya air laut menjadi bersahabat

dengan nelayan, dapat terhindar dari ancaman gurita besar, gelombang besar, dan bisa

Page 30: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mempermudah datangnya rezeki. Masyarakat etnik Mandar meyakini bahwa ketika dalam

melakukan aktivitas sebagai nelayan tanpa melakukan ritual mappandesasi terlebih dahulu, maka

kelompok nelayan tersebut tidak mendapat keselamatan dan rezeki, karena belum direstui oleh

penjaga sasi.

Kejadian seperti di atas, pernah terjadi beberapa tahun silam. Ada salah satu kelompok

nelayan yang tidak melakukan ritual mappandesasi ketika melakukan pelayaran (menangkap

ikan). Di tengah perjalanan kelompok nelayan ini tiba-tiba dihantam oleh gelombang besar dan

tenggelam. Dalam kejadian itu, tidak ada satu orang pun dari anggota kelompok nelayan dalam

pelayaran itu yang selamat. Kejadian lain yang pernah dialami oleh para nelayan yang tidak

melakukan ritual mappandesasi sebelum melaut adalah seringnya kelompok nelayan melihat

gurita besar. Gurita besar dianggap sebagai penjaga laut (setasasi) oleh nelayan.

Tradisi seperti ini sudah menurun entitasnya dalam masyarakat etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko diakibatkan oleh dua hal. Pertama, tidak adanya kemauan dari generasi

muda untuk melakukan ritual mappandesasi karena dianggap oleh generasi muda sebagai salah

satu tindakan yang menduakan Tuhan (sirik). Kedua, masyarakat etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko sudah terbawa arus globalisasi sehingga memiliki katergantungan terhadap

kecanggihan teknologi mutahir. Berangkat dari keresahan sebagian besar masyarakat etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko, maka penulis mencoba meneliti Keterancaman Ritual

Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Apabila

kondisi seperti ini dibiarkan maka dikhawatirkan memberikan dampak negatif bagi masyarakat

nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko.

Page 31: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada tiga masalah yang perlu di teliti. Ketiga masalah

tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan di bawah ini.

1) Bagaimanakah bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara ?

2) Faktor-faktor apakah yang mengakibatkan terjadi keterancaman ritual mappandesasi dalam

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara?

3) Bagaimanakah dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami mendeskripsikan,

dan menginterpretasi dampak serta makna ritual mappandesasi yang dijadikan cermin dan

pedoman dalam kehidupan etnik Mandar dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko Sulawesi

Tenggara.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan khusus sebagai berikut :

1) untuk mengetahui bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan

Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.

2) untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keterancaman ritual

mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar kelurahan Bungkutoko Sulawesi

tenggara; dan

3) untuk menginterpretasi dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam

masyarakat etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.

Page 32: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan bermanfaat secara praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan informasi ilmiah dalam

perkembangan studi kebudayaan tradsi lisan.

2) Hasil penelitian dapat menambah khasanah pengetahuan tentang dinamika ritual

mappandesasi.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian dapat dipakai sebagai masukan kepada pemerintah dan lembaga terkait

tentang kebijakan pembinaan dan pemeliharaan fungsi-fungsi yang terkandung dalam ritual

mappandesasi.

2) Hasil penelitian dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan

dengan kebudayaan masyarakat etnik Mandar kelurahan Bungkutoko dalam ritual

Mappandesasi.

3) Bagi masyarakat Mandar dan sekitarnya di Kelurahan Bungkutoko, dalam ritual

mappandesasi tersebut dapat dijadikan sebagai jati diri, kearifan lokal, tradisi budaya dan

objek wisata budaya.

Page 33: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

2.1 Kajian Pustaka

Studi tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia telah banyak dilakukan.

Tiap-tiap studi mencoba membahas aspek-aspek tertentu mulai dari faktor terjadinya ritual,

karakteristik ritual, dan nilai budaya yang mendasarinya. Demi menjaga orisinalitas penelitian

ini, peneliti menampilkan hasil-hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan mengenai ritual,

khususnya yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dan dianggap relevan dengan

penelitian ini.

Maria Goretty (2010) tentang “Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku

Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini

merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana, ritual syukuran atas

hasil panen yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Rendu dalam pelaksanaannya mengalami

degradasi atau penurunan, yang ditandai dengan enga gua atau pengumuman pelaksanaan gua

yang tidak tepat waktu, menurunnya jumlah pelaku ritual, adanya perubahan sarana ritual dan

tuturan ritual semakin pendek, berkurangnya kata-kata adat dalam menyusun doa adat.

Temuan Maria dalam penelitian, yaitu perubahan perilaku masyarakat suku Rendu, dalam

melaksanakan ritual gua Leza di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo Flores, terlihat

dalam semakin berkurangnya anggota masyarakat suku Rendu yang melaksanakan ritual,

penetapan waktu pelaksanaan ritual yang tidak serentak dan melunturnya kepatuhan dan ketaatan

dari sebagian anggota masyarakat suku Rendu. Selain itu kelompok generasi mudanya tidak

paham dengan nilai-nilai budaya lokal warisan leluhurnya yang sarat dengan pesan-pesan moral.

Page 34: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Penelitian Maria tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.

Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian, memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti

tulis, yakni sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dan

penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian kajian budaya dengan menggunakan teori-teori

post-modern. Kajian Maria ini berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti

memang mengkaji tentang ritual tetapi peneliti fokus pada ritual mappandesasi (memberi makan

laut) dalam masyarakat etnik Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi

Tenggara, sedangkan Maria mengkaji Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Rendu

di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Jadi, obyek dan lokasi

penelitian sudah manggambarkan perbedaan yang jauh.

Hasil penelitian Maria tersebut, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, dan bahan

pembanding. Selain itu, dijadikan rujukan awal dan sebagai sumber inspirasi peneliti untuk

melakukan atau mengkaji tentang ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar

di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.

Penelitian tentang ritual dilakukan oleh Abdul Rahman (2007) tentang “ritual Cera Lepa

(selamatan perahu baru) Pada Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota Kendari, Sulawesi

Tenggara”. Penelitian ini merupakan penelitian untuk skripsi di Jurusan Antropologi Universitas

Haluoleo. Cera Lepa merupakan ritual yang dilakukan oleh suku Bajo pada saat mau

mengoperasikan perahu baru. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa setiap perahu yang baru

selesai dibuat harus dicera sebelum dioperasikan. Tujuan cera lepa adalah untuk meminta

keselamatan pada penguasa laut (mbombongana lao) sekaligus untuk menyatukan arwah perahu

dengan penguasa laut.

Temuan Rahman yang menarik adalah perahu yang tidak dicera mendapatkan berbagai

tantangan dan hambatan dalam melakukan pelayaran untuk menangkap ikan. Perahu selalu

Page 35: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

diterjang ombak besar, tiba-tiba perahu tidak jalan karena dililit oleh jari-jari gurita besar, semua

awak perahu selalu ketakutan karena sering melihat gurita di atas perahu. Nelayan yang

menggunakan perahu yang belum dicera selalu tidak mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Penelitian Rahman tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.

Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian Rahman, memiliki persamaan dengan penelitian yang

peneliti lakukan, yakni sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia,

yakni sama-sama berkaitan dengan aktivitas manusia sebagai nelayan. Penelitian Rahman

tersebut merupakan penelitian Antropologi yang menggunakan pendekatan posotivistik dan

menggunakan teori-teori modern, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian

kajian budaya dengan menggunakan teori-teori post-modern.

Penelitian di atas, banyak memberikan sumbangan pemikiran, khusunya pemahaman

peneliti terhadap konsep, bentuk, dan fungsi ritual. Oleh karena itu, penelitian di atas, peneliti

jadikan sebagai kepustakaan utama, sebagai sumber inspirasi, sekaligus sebagai bahan

pembanding.

Penelitian tentang dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan orang Bajo demikian

prominensia, sehingga Robert Zacot menyebut masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang cinta

damai, masyarakat yang tidak suka bersungut-sungut. Zacot (2008: 222) menyatakan bahwa

“Orang Bajo tidak menyukai kekejaman. Mereka membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Orang merendahkan harga dirinya kalau naik pitam secara terang-terangan. Selain beberapa

percekcokan antara suami dan istri yang mudah didengar melalui dinding penyekat yang dijuarai

oleh Ua Piana dan istrinya, tidak pernah terjadi pertengakaran di antara penduduk desa”

Masyarakat Bajo begitu menyelami dan memahami makna filosofi hidup bertetangga,

yakni mereka harus kasih-mengasihi dan saling memelihara antara yang satu dengan yang

lainnya. Akutualisasi pemahaman itu di antaranya adalah mereka wujudkan dengan membentuk

Page 36: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

jaringan kerjasama atau rarambanga dengan menjadikan tetangga dekat mereka sebagai basis

kekuatan utama.

Penelitian Zacot tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.

Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian Zacot, memiliki persamaan dengan penelitian yang

peneliti lakukan, yakni sama-sama mengkaji masyarakat yang bermukim di daerah etnik lain di

antaranya adalah mereka wujudkan dengan membentuk jaringan kerjasama.

Penelitian di atas, memberikan sumbangan pemikiran, khusunya pemahaman peneliti

terhadap tentang dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan. Oleh karena itu, penelitian di

atas, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, sebagai sumber inspirasi, sekaligus sebagai

bahan pembanding.

Sumitri (2005) tentang “Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga,

Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Penelitian ini merupakan tesis di Program Studi Kajian

Budaya Universitas Udayana. Dalam penelitiannya Sumitri menemukan bahwa ritual Dhasa

Jawa merupakan ritual tahunan yang bertujuan untuk menyatukan manusia dengan penguasa

adikodrati khususnya penghuni alam gaib. Selain itu, dalam ritual Dhasa Jawa terdapat

seperangkat norma dan nilai-nilai sosial yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika oleh

masyarakat Rongga untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dari ritual ini,

masyarakat Rongga mengetahui cara beradaptasi, memperlakukan alam dan roh para leluhur,

serta memperlakukan orang lain supaya mereka (penghuni alam gaib, roh leluhur) senang atau

bersahabat dengan masyarakat Rongga yang berprofesi sebagai petani.

Berdasarkan hasil penelitian Sumitri tersebut, peneliti mendapatkan data sekunder

tentang konsep, definisi ritual dan penggunaan teori. Dilihat dari fokus kajian, penelitian tersebut

memiliki persamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama berfokus pada ritual keagamaan.

Penelitian Sumitri memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti.

Page 37: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Dari segi pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan, sama-sama dalam kategori penelitian

kualitatif dan menggunakan rancangan fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Selain itu,

dalam hal penggunaan teori untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian memiliki

persamaan, yaitu sama-sama menggunakan teori semiotik. Kajian Sumitri berbeda dengan

penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti memang mengkaji tentang ritual tetapi peneliti

berfokus pada ritual mappandesasi (memberi makan laut) dalam masyarakat etnik Mandar yang

bermukim di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Sumitri mengkaji tentang ritual Dhasa

Jawa dalam masyarakat petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jadi, obyek dan

lokasi penelitian sudah manggambarkan perbedaan yang jauh.

Hasil penelitian Sumitri tersebut, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, bahan

pembanding, menjadi rujukan awal dan menjadi sumber inspirasi bagi peneliti untuk melakukan

atau mengkaji tentang ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.

Selain hasil penelitian di atas, penulis menampilkan beberapa kajian ilmiah lainnya untuk

menunjang pustaka utama guna mempertajam dan memperkaya kepustakaan dalam penelitian

ini. Penelitian Nong Hoban (2007) tentang “Ritual Reba dalam Masyarakat Petani Etnik

Bhajawa Kabupaten Ngada Nusa Tenggara Timur: Prespektif Kajian Budaya”. Penelitian ini

merupakan sebuah penelitian untuk tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam

penelitiannya, Hoban menemukan bahwa ritual reba sangat penting dalam kehidupan masyarakat

petani etnik Ngada. Dengan melakukan ritual reba sebelum melakukan aktivitas pertanian, maka

masyarakat Ngada senantiasa merasakan kenyamanan, ketenangan dalam mengelola lahan

pertanian mereka. Selain itu, etnik Ngada selalu mendapatkan hasil panen yang melimpah.

Selain itu, para pelaku ritual (etnik Ngada) dalam melakukan ritual dengan memberikan

binatang persembahan berupa babi dan ayam dengan tujuan agar Dewa Zeta Nitu Zale berkenan

Page 38: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

menerima persembahan mereka (etnik Ngada). Setelah menerima sesembahan itu etnik Ngada

berharap supaya diberikan petunjuk yang lurus oleh sang Dewa. Etnik Ngada meyakini bahwa

dengan melakukan ritual Reba maka hubungan antara manusia dengan leluhur tetap terjaga

keharmonisannya. Dengan demikian masyarakat Ngada selalu mendapat kekuatan spiritual

dalam setiap gerak langkah atau dan seperti tidak mendapat halangan atau rintangan dan

bencana.

Dilihat dari fokus kajian, antara penelitian Hoban dan penelitian yang peneliti lakukan

memiliki persamaan, yakni sama-sama berfokus pada ritual untuk mendapatkan keselamatan,

menjaga keharmonisan antara manusia dengan penguasa alam gaib (roh para leluhur) dan Dewa,

sama-sama merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kajian budaya. Penelitian Hoban

berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Hoban berfokus pada ritual yang berhubungan

dengan aktivitas pertanian dalam masyarakat petani, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan

adalah berfokus pada ritual yang berkaitan dengan aktivitas melaut, khususnya dalam masyarakat

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.

Dari hasil penelitian Nong Hoban di atas, peneliti mendapatkan data khususnya data

sekunder, seperti konsep ritual dan konsep masyarakat. Selain itu, hasil penelitian di atas, telah

membuka dan menambah wawasan pengetahuan peneliti tentang objek yang diteliti. Oleh karena

itu, penelitian di atas peneliti jadikan sebagai bahan pembanding dan sumber inspirasi guna

memperdalam kajian ritual mappandesasi dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.

La ode Aris (2010), tentang “Kaago-Ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam

Masyarakat Muna)”. Penelitian ini merupakan penelitian untuk tesis di Program Pascasarjan

Univesitas Gajah Mada. Dalam penelitiannya La Ode Aris menemukan bahwa masyarakat Muna

sangat intens melakukan riual kaago-ago guna mencegah penyakit yang datang pada waktu

Page 39: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pergantian musim. Jenis penyakit yang dicegah oleh masyarakat Muna dengan menggunakan

ritual kaago-ago, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh angin (pergantian cuaca), seperti demam,

flu, panas, dan sakit kepala. Selain penyakit yang diakibatkan oleh pergantian musim, penyakit

yang dicegah dengan kaago-ago adalah penyakit yang disebabkan oleh agen aktif (manusia)

seperti sihir dan tenung.

Temuan yang menarik dalam penelitian La Ode Aris adalah dampak yang dirasakan oleh

masyarakat kalau tidak melakukan ritual kaago-ago dalam melakukan aktivitas pertanian.

Masyarakat mendapat bencana seperti lahan pertanian selalu diganggu oleh hama khususnya

gangguan binatang liar sehingga tidak menghasilkan panen yang memadai. Selain itu,

masyarakat mendapat bencana penyakit yang sampai merenggut nyawa manusia. La Ode Aris

pada waktu melakukan penelitian mendapatkan kejadian serupa, yakni ada tiga orang warga

masyarakat yang meninggal secara berturut-turut dalam satu minggu, yang diakibatkan karena

mereka melakukan aktivitas pertanian tanpa melakukan ritual kaago-ago terlbih dahulu.

Penelitian La Ode Aris di atas, memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian

yang peneliti lakukan. Apabila dilihat dari fokus kajian, maka sama-sama meneliti ritual yang

berkaitan dengan siklus hidup manusia. Penelitian yang dilakukan oleh La Ode Aris merupakan

penelitian antropologi yang menggunakan pendekatan positivistik, sedangkan penelitian yang

peneliti lakukan merupakan penelitian postmodern dengan menggunakan pendekatan kajian

budaya.

Dari hasil penelitian La Ode Aris tersebut, peneliti mendapatkan pengetahuan tambahan

mengenai objek yang peneliti kaji. Selain itu, peneliti mendapatkan variasi konsep tentang ritual

dan mendapat teori yang relevan dengan objek yang dikaji. Kepustakaan di atas peneliti jadikan

sebagai kepustakaan pembanding dan sumber inspirasi.

Page 40: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Benekditus Belang Niron (2005), tentang “Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat

Lamaholot di Desa Sulengwaleng Kecamatan Solor Barat, Flores Timur: Prespektif Kajian

Budaya”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Dalam penelitiannya, Benekditus menemukan bahwa ritual adat Lepa Bura dalam

masyarakat Lamaholot disakralkan pelaksanaanya karena berkaitan dengan keselamatan para

petani dalam mengelola lahan pertaniannya. Selain keselamtan, masyarakat selalu mendapatkan

panen yang melimpah apabila mereka melakukan ritual Lepa Bura sebelum melaksanakan

aktivitas pertanian.

Ritual Lepa Bura bagi masyarakat Lamaholot dijadikan sebagai media untuk

berkomunikasi dengan kekuatan yang ada di luar diri manusia seperti Dewa, penguasa alam gaib,

dan sekaligus mereka jadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur.

Ritual Lepa Bura oleh masyarakat Lamaholot dijadikan sebagai salah satu wahana untuk

memperakrab atau mempererat hubungan silaturahmi antarsesama warga Lamaholot. Hal ini bisa

terjadi karena pada saat diadakan upacara Lepa Bura semua warga Lamaholot diwajibkan ikut

tanpa terkecuali. Dengan demikian, terbina hubungan antara Dewa, penguasa alam gaib dengan

manusia dan terbina hubungan antara sesama manusia.

Upacara Lepa Bura memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan.

Persamaannya dalam hal fokus kajian, yakni sama-sama meneliti ritual yang berkaitan dengan

siklus hidup manusia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Benekditus merupakan

penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan kajian budaya, sehingga sama dengan

pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti mendapatkan

tambahan pengetahuan tentang ritual, peneliti tidak lagi menelaah objek kajian ini. Peneliti

mendapatkan data sekunder, seperti konsep, teori serta makna ritual. Oleh karena itu, hasil

penelitian Benekditus di atas peneliti jadikan sebagai kepustakaan pembanding.

Page 41: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Penjelasan Turner tentang ritual sesungguhnya telah memberi gambaran khusus pada apa

yang disebut dengan simbol-simbol Turner (1967 : 19). Hal ini mirip dengan apa yang

ditunjukkan masyarakat Ujung,Bone, Sulawesi Selatan tentang tradisi ritual Addewatang Putta

Sereng. Mereka melakuakan ritual itu sebagai mediasi sesembahan yang secara terus-menurus

dan turun-temurun dilakukan dengan penuh khusuk dan menyertakan simbol-simbol di

dalamnya.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa munculnya pemahaman dan mitos putta sereng

ini didasarkan pada orang yang pertama kali mendeskripsikan mitos tersebut. Tidak seorang pun

yang menyangkal, termaksud para Sandro (Dukun) generasi sekarang bahwa orang yang pertama

kali memunculkan mitos ini adalah Sandro maggangka. Sandro ini menjadi sumber dan sentral

informasi di atas eksistensinya mitos Putta Sereng. Penelitian tersebut dapat dipakai sebagai

acuan untuk mendapatkan konsep dan teori yang berhubungan dengan ritual.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Turner dan yang dilakukan oleh penulis adalah

tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih dilaksanakan. Perbedaan antara penelitian yang

dilakukan oleh Turner dengan yang penulis lakukan adalah bahwa dalam ritual Addewatang

Putta Sereng yang diteliti oleh Turner, munculnya pemahaman dan mitos putta sereng ini

didasarkan pada orang yang pertama kali mendeskripsikan mitos tersebut. Tidak satu pun yang

menyangkal, termaksud para Sandro (Dukun) generasi sekarang bahwa orang yang pertama kali

memunculkan mitos ini adalah Sandro maggangka. Sandro ini menjadi sumber dan sentral

informasi di atas eksistensinya mitos Putta Sereng, dan penelitian yang dilakukan penulis adalah

ritual mappandesasi dianggap suatu bentuk upacara yang bersifat sakral (suci) dan dipimpin oleh

sandro, yakni dalam hal tertentu seorang Sandro dapat berhubungan dengan roh-roh halus para

leluhur yang dianggap biasa membantu dan melindungi masyarakat nelayan etnik Mandar.

Page 42: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Mbete, dkk. (2006) dengan hasil penelitian berjudul “Khazanah Budaya Lio-Ende” di

Kabupaten Ende Propinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus kajiannya adalah menggali berbagai

ritual adat dan kearifan-kearifan lokal yang kurang diminati oleh masyarakat pendukungnya

khususnya generasi mudanya. Penelitian yang dilakukan oleh Mbete memberi inspirasi pada

penulis khususnya dalam hal konsep, teori yang berhubungan dengan ritual.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Mbete dan kawan-kawan dan penelitian yang

dilakukan oleh penulis adalah sama-sama membahas ritual adat dan kearifan-kearifan lokal yang

kurang diminati oleh masyarakat pendukungnya terutama oleh generasi muda sebagai pewaris

dan penerus nilai-nilai budaya yang dianut. Penelitian yang dilakukan oleh Mbete dan kawan-

kawan terfokus pada religi masyarakat Lio-Ende, sistem sosial masyarakat Lio-Ende, budaya

agraris, dan khazanah seni budaya Lio-Ende. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah ritual

mappandesasi dalam masyarakat etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko, yang terfokus pada

bentuk keterancaman ritual mappandesasi, faktor-faktor yang menyebabkan keterancaman dalam

ritual, serta dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap kelompok remaja.

Gluckman dalam Morris (2003 : 311) dengan hasil penelitiannya tentang upacara

Inowala di Swazi merupakan salah satu upacara tradisional. Inowala adalah ritual kerajaan yang

rumit dan berlangsung hingga berhari-hari, ritual itu dilaksanakn setiap tahun pada saat musim

panen pertama. Tidak seorang pun diperbolehkan menyentuh hasil panen tersebut hingga upacara

itu dilaksanakan dan di pihak kerajaan, hanya raja yang boleh melakukannya. Dalam upacara

tersebut kebanyakan lagu-lagu sakral yang dinyanyikan selama upacara, mengekspresikan dan

mendramatisasikan ide bahwa raja telah dibenci dan ditolak oleh masyarakat. Berkaitan langsung

dengan topik penelitian ini belum ditemukan.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Gluckman dan yang dilakukan oleh penulis

adalah tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih tetap dilaksanakan kendatipun pelaksanaanya

Page 43: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

yang rumit dan berlangsung hingga berhari-hari. Perbedaanya antara penelitian yang dilakukan

oleh Gluckman dengan penelitian yang peneliti lakukan. Gluckman meneliti ritual Inowala yang

merupakan upacara tradisional yang dikaji secara utuh dari aspek bentuk, fungsi dan makna.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai keterancaman ritual mappandesasi yang

meliputi faktor-faktor yang menyebabkan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar, dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap nelayan

etnik Mandar.

Moertjipto (1997 : 26) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dalam masyarakat

Kepuharjo, Sleman Yogyakarta tiap tahunnya sering mengadakan ritual becekan, yakni suatu

ritual memohon hujan, pada saat mengalami kekeringan yang berkepanjangan, memohon agar

secepat-cepatnya hujan turun, sehinggah sawah dan tumbuh-tumbuhan yang kering menjadi

hijau kembali dan dapat dimanfaatkan kembali. Pelaksanaan ritual itu, ditujukan kepada

penguasa gunung Merapi, karena masyarakat setempat percaya bahwa gunung Merapi

merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu melindungi mereka.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Moertjipto dan yang dilakukan oleh penulis,

yaitu sama-sama meneliti tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih tetap dilaksanakan

kendatipun pelaksanaanya pada saat mengalami kekeringan. Perbedaanya antara penelitian yang

dilakukan oleh Moertjipto dengan yang dilakukan peneliti. Moertjipto meneliti ritual becekan,

yaitu memohon hujan yang ditujukan kepada penguasa gunung Merapi. Masyarakat setempat

percaya bahwa gunung Merapi merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu melindungi

mereka. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bentuk ritual mappandesasi yaitu

memberi makan laut yang ditujukan kepada penghuni laut atau dinamakan penjaga sasi.

Masyarakat nelayan etnik Mandar percaya dan terhindar dari bahaya dan diberikan rezeki.

Page 44: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Watu (2008) melakukan penelitian tentang “Representasi Citraan Ilahi dan Insani” dalam

Ritus Sa’o Ngaza di Kampung Guru Sina, Flores dengan fokus penelitiannya, yaitu representasi

citraan yang Ilahi dan Insani dalam upacara pembuatan rumah adat di kampung Guru Sina.

Penelitian yang dilakukan oleh Watu menambah wawasan penulis khususnya dalam hal konsep,

teori, dan metodologi.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Watu dan yang dilakukan penulis adalah

sama-sama meneliti tentang ritual adat. Bahwa ritual adat tetap dilaksanakan. Perbedaannya

penelitian yang dilakukan oleh Watu dengan yang dilakukan oleh peneliti Watu meneliti

“Representasi Citraan Ilahi dan Insani” khususnya dalam hal ritus pembuatan rumah adat dengan

mengungkapkannya lewat bentuk, fungsi, dan makna ritual. Penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah tentang keterancaman ritual mappandesasi, dalam Etnik Mandar, faktor-faktor

apa yang mengakibatkan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik

Mandar, dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap nelayan etnik Mandar.

Kajian-kajian tersebut di atas bermanfaat bagi peneliti karena dapat memberikan

gambaran yang berarti dalam melihat secara jeli dan ilmiah fenomena budaya di tengah arus

globalisasi yang berdampak pada perubahan budaya lokal yang diangkat dalam penelitian ini.

2.2 Konsep

Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar

generalisasi dari sejumlah karekteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu

(Singarimbun dkk, 1989:34). Dalam kaitan dengan penelitian terhadap ritual mappandesasi

dalam masyarakat nelayan etnik Mandar, digunakan sejumlah konsep terkait untuk memberikan

pemahaman dasar tentang topik sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dirumuskan

dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang akan dijelaskan meliputi : konsep degradasi

Page 45: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

ritual mappandesasi, masyarakat nelayan, etnik Mandar, dan bentuk ritual masyarakat nelayan

etnik Mandar.

2.2.1 Keterancaman

Secara morfologis, kata ‘keterancaman’ berasal dari bentuk dasar ‘terancam’ yang

dilekati oleh imbuhan ke-an. Kata ‘terancam’ adalah kata kerja yang berarti (1) diancam oleh (2)

dalam keadaan bahaya” (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia). Di sisi lain, menurut Ramlan,

imbuhan ke-an dalam bahasa Indonesia dapat diartikan proses. Dengan demikian, kata

keterancaman dapat berarti sebuah proses terjadinya suatu objek ke dalam kondisi

terancam/bahaya oleh sesuatu.

2.2.2 Ritual Mappandesasi

Ritual adalah upacara kurban untuk pemulihan dan pemeliharaan keharmonisan

hubungan dengan Tuhan, leluhur dan dengan alam. Di dalamnya termaksud tuntutan pemujaan

dalam upacara untuk berkomunikasi dengan alam semesta atau dengan Tuhan dalam konteks

budaya suatu masyarakat, misalnya upacara adat keanekaragaman, upacara keagamaan (Fox,

1984 : 16 Halliday, 1997 : 12).

Menurut Hadi (1999:29-30) ritual merupakan suatu bentuk perayaan yang berhubungan

dengan beberapa kepercayaan atau agama ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa

normal atau seperti biasa yang dirasakan oleh semua manusia dan yang luhur dalam arti

merupakan suatu pengalaman yang suci. Berkaitan dengan hal tersebut ritual mappandesasi

adalah upacara memberi makan laut. Mappandesasi merupakan suatu upacara berupa

serangkaian tindakan yang dilakukan sekelompok orang menurut adat kebiasaaan setempat, yang

menimbulkan rasa hormat yang luhur sebagai suatu pengalaman suci.

Endaswara (2003 : 175) mengklasifikasi ritual menjadi dua. Pertama, ritual krisis hidup,

artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan

Page 46: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mengalami krisis hidup, ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam

lingkup krisis karena terjadi perubahan tahapan hidup termaksud dalam lingkup ini antara lain

kelahiran, pubertas dan kematian. Kedua ritual gangguan, yakni ritual sebagai negosiasi dengan

roh agar tidak menggangu hidup manusia. Ritual semacam ini dalam masyarakat Mandar sering

diwujudkan dalam tradisi selamatan.

Tradisi ritual tersebut di atas, ternyata memiliki fungsi bagi keberlangsungan hidup di

antaranya :

1. ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan

nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu dan kelompok, berarti ritual menjadi

alat pemersatu atau interaksi.

2. ritual juga menjadi sarana pendukung untuk mengungkapkan emosi khususnya nafsu-nafsu

negative; dan

3. ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1994:147) bahwa sistem upacara

merupakan wujud kelakuan dan religi dan seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam

upacara yang bersifat harian, musiman dan kadang kala. Dalam sistem upacara keagamaan

terkandung empat aspek, yaitu (1) tempat upacara keagamaan, (2) tempat pelaksanaan upacara,

(3) waktu pelaksanaan upacara, dan (4) benda-benda dan peralatan upacara serta orang yang

melakukan dan memimpin jalannya upacara.

Mappandasesasi berasal dari bahasa Mandar, yakni dari kata ma yang berarti ‘me’, pande

berarti ‘beri makan’ dan sasi berarti ‘laut’. Kata mappandasesasi bermakna ‘memberi makan

laut’. Kata mappandasesasi ‘memberi makan laut’ merupakan salah satu tradisi masyarakat

nelayan etnik Mandar yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun-temurun,

serta masih tetap dipertahankan keberadaan walaupun bukan di kampung sendiri.

Page 47: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

2.2.3 Keterancaman Ritual Mappandesasi

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, keterancaman tradisi ritual mappendesasi dapat

diartikan sebagai suatu proses tradisi ritual mappendesasi dalam keadaan terancam punah karena

faktor pengurangan hewan kurban, mengecilnya jumlah sumbangan, penurunan jumlah peserta,

dan perubahan sarana ritual mappandesasi.

2.2.4 Masyarakat Nelayan

Satuan konsep masyarakat nelayan terdiri atas dua unsur, yaitu masyarakat dan nelayan.

Masyarakat adalah sekelompok orang yang berdomisili di suatu wilayah dengan batas-batas

tertentu, saling berinteraksi antarsesama warganya, memiliki adat-istiadat, norma-norma serta

aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warganya dan memiliki rasa identitas yang

mengingat semua anggota masyarakatnya tanpa kecuali.

Koentjaraningrat (1992 : 122), menjelaskan bahwa masyarakat hendaknya memiliki

empat cirri, yaitu (1) interaksi antarwarga, (2) adat-istiadat, norma-norma, hukum serta aturan-

aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga, (3) kontinuitas dalam waktu, dan (4) rasa

identitas yang mengikat semua warga. Berdasarkan keempat ciri tersebut dapat dirumuskan

bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup yang saling berinteraksi sesuai dengan sistem adat

istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

Nelayan merupakan orang-orang yang kerjanya menangkap ikan di sungai, di danau dan

di laut (Surayanto, 1994 : 24). Nelayan sebagai produser ikan dapat dibedakan manjadi 3

golongan, yaitu (1) golongan nelayan kecil, dengan modal kecil atau bahkan dengan hanya

bermodalkan tenaga kerja saja; (2) golongan nelayan menengah, dengan peralatan-peralatan

sederhana seperti perahu kecil dan jala; dan (3) golongan nelayan tertinggi, yang mempunyai

peralatan-peralatan dan perlengkapan khusus yang cukup canggih dan seringkali mempunyai

cara-cara atau usaha lain.

Page 48: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Bagi masyarakat nelayan di dunia, agama dan magis yang dapat terwujud dalam ritual

dipandang sebagai suatu elemen dalam sistem ekonominya. Suatu yang fungsinya lebih banyak

terkait pada usaha-usaha nelayan untuk memperoleh keselamatan dan keberuntungan dan

menghindari malapetaka dalam proses-proses berproduksi. Konsep masyarakat nelayan adalah

masyarakat yang pada umumnya bekerja dalam sektor nelayan yang orang-orangnya bekerja

sebagai penangkap ikan di danau, di sungai, dan di laut yang pada umumnya bermukim di sekitar

pesisir laut.

Jadi masyarakat nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekelompok

masyarakat yang memiliki persamaan adat-istiadat, aktivitas (nelayan) yang bermukim dalam

satu wilayah, dalam hal ini masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko.

2.2.5 Etnik Mandar

Konsep etnik adalah konsep kultural yang terpusat pada persamaan norma, nilai,

kepercayaan, symbol, dan praktik kultural. Terbentuknya ‘suku bangsa’ bersandar pada penanda

kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan

politis tertentu dan yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada

nenek moyang mitologis yang sama.

Barth (1988 : 11-16) menyatakan bahwa pada umumnya definisi tentang kelompok etnik

mengemukakan ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang dan bertahan

cirri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam

suatu bentuk budaya;

2. membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri;

3. menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain.

Page 49: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Barth mengemukakan bahwa konsep kelompok etnik sebagai tatanan sosial akan

menentukan ciri khasnya yang akan dapat dilihat oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat

kategoris adalah ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk

kelompok etnik mana dan ini dapat di perkirakan dari latar belakang asal-usulnya, dengan

mengacu pada konsep kelompok etnik sebagai unit budaya dan tatanan sosial tersebut. Dapat

dijelaskan bahwa kelompok pendatang di Kelurahan Bungkutoko, yaitu orang-orang berasal dari

luar sebagai migran yang sadar akan identitas etniknya.

Etnik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan yang memiliki

persamaan norma, nilai, kepercayaan, dan memiliki persamaan dalam seperangkat tata cara

dalam menjalani hidup. Etnik tersebut adalah etnik nelayan Mandar yang bermukim di

Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.

2.2.6 Tradisi Lisan

Dalam kerangka besar corpus terdapat filsafat, sejarah, nilai-nilai moral, etika, religius,

hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra, dan estetika. Selain itu, teks lisan juga memuat

ilmu pengetahuan dengan metodenya. Masyarakat etnik Mandar mengetahui cara-cara

pemanfaatan sumber daya alam yang berkesinambungan, mereka mengetahui nama dan manfaat

tumbuh-tumbuhan. Tradisi lisan menjelaskan secara pasti pola-pola kepemilikan dan penguasaan

atas laut dan sumber daya alam.

Tradisi lisan, dengan demikian, menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa

depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan sehari-hari,

pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi

senyatanya dari teks-teks lisan itu. J.J Kusni (1994) menegaskan bahwa tradisi lisan bisa

dipandang sebagai rangkaian berkesinambungan dari dokumen sejarah, yang kemudian dapat

dijadikan sebagai bukti sejarah; sejarah berkelangsungan hidup dan kehidupan suku bangsa.

Page 50: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

2.2.7 Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar

Ritual mappandasesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar adalah salah satu tradisi

masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun

temurun, serta masih tetap dipertahankan keberadaannya walaupun bukan di kampung sendiri.

Ritual mappandesasi (memberi makan laut), dianggap sebagai bentuk upacara yang bersifat

sakral (suci) bagi nelayan etnik Mandar, yaitu sebagai wujud ekspresi jiwa mereka dalam

menjalin hubungan vertikal dengan dunia gaib, khususnya penghuni lingkungan laut. Hal itu

mereka lakukan untuk meminta izin kepada penghuni laut, dengan tujuan agar masyarakat

nelayan etnik Mandar diberi keselamatan, dilindungi, dan mendapatkan hasil tangkapan yang

banyak.

Ritual adat dari masa lampau yang masih berakar kuat hingga kini masih tetap

dipertahankan dan dilaksanakan adalah mappandesasi, yaitu suatu tradisi kepercayaan

masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih dipegang teguh oleh

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari.

Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual ini sudah dilaksanakan sejak nenek moyang

mereka yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun temurun hingga saat ini

yang dilakukan tiap satu tahun sekali.

Jadi, ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah sebuah upacara sesembahan kepada laut yang dilakukan oleh komunitas

nelayan etnik Mandar, yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, dengan tujuan meminta dan

memohon kepada penjaga sasi agar mereka (nelayan) diberikan keselamatan dan rezeki (hasil

tangkap) yang banyak dalam melaut.

Page 51: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Namun dalam pelaksanaannya, ritual mappandesasi mengalami keterancaman, dalam arti

ada dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang tetap tekun melaksanakan ritual sebagaimana

dijelaskan di atas. Akan tetapi, ada

masyarakat nelayan etnik Mandar yang tidak melaksanakannya.

Adapun indikator keterancaman ritual mappandesasi adalah sebagai berikut:

1. menurunnya peserta yang melakukan ritual mappandesasi;

2. pengurangan terhadap ritual mappandsasi;

3. pengurangan binatang kurban dalam ritual mappandesasi;

4. adanya perubahan sarana dalam ritual mappandesasi.

2.3 Landasan Teori

Dalam penelitian ini, untuk membedah masalah diapresiasikan secara ekletik digunakan

beberapa teori. Adapun teori-teori yang digunakan adalah teori ritus, teori dekonstruksi, dan teori

semiotika.

2.3.1 Teori Ritus

Teori ritus dikemukakan oleh Smith (dalam Winarno, 1978 : 865), sebagai salah satu

simbol dari suatu kenyataan didasarkan atas peraturan yang sewenang-wenang atau simbol dari

suatu masyarakat yang sangat penting (transcendent) yang merupakan realitas rohani kepada

nilai-nilai tertinggi dari suatu komunitas atau masyarakat.

Rebertson Smith mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian

tentang religi dan agama. Gagasan pertama, mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan

dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dan religi atau agama yang

memerlukan studi dan analisis yang khusus. Dalam agama upacaranya itu tetap, tetapi latar

belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah. Gagasan kedua adalah bahwa upacara

religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi

Page 52: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempuyai fungsi sosial untuk mengintesifkan

solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama menjalankan upacara dengan

sungguh-sungguh, dan ada yang menjalankannya setengah-setengah. Mereka menganggap

upacara adalah untuk mengalami kepuasan keagamaan secara peribadi dan upacara adalah

kewajiban sosial. Gagasan ke tiga adalah teori mengenai fungsi upacara sesaji. Pada pokoknya

dalam upacara seperti itu, manusia menyajikan seekor binatang, terutama darahnya, kepada

dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya.

Dalam konteks teori ritus, Dhavamony (1995 : 175-176) membedakan ritual atas empat

macam, yakni (1) tindakan magi, yakni tindakan yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-

bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur juga

bekerja dengan cara ini; (3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan

sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistik dengan demikian upacara-upacara

kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual faktif, yakni meningkatkan produktivitas atau kekuatan,

atau permunian dan perlindungan atau dengan kata lain, meningkatkan suatu kesejahtraan materi

dari suatu kelompok.

Teori ritus dipergunakan sebagai alat analisis dalam membahas dan menjawab rumusan

masalah yang pertama yaitu bagaimana bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam

masyarakat etnik Mandar.

2.3.2 Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru

dalam filsafat, strategi intelektual atau model pemahaman, yang telah dikembangkan oleh

Jacques Derrida, seorang tokoh filsafat Perancis keturunan Yahudi yang lahir di El-Biar Aljazair

pada tahun 1930. Derrida lebih memusatkan pemikiran filsafatnya pada makna atau lebih

tepatnya kemustahilan makna dari sebuah teks.

Page 53: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Dekonstruksi bisa diartikan sebagai pembongkaran, tetapi bukanlah pembongkaran atau

penghancuran yang berakhir dengan kekosongan. Dekonstruksi adalah pembongkaran atas suatu

teks, kemudian merekonstruksi kembali konstruksi yang telah dibongkar sebagai suatu

konstruksi yang baru (konstruksi dekonstruksi). Mendekonstruksi berarti memisahkan,

melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan suatu teks. Secara khusus, dekonstruksi

melibatkan pelucutan oposisi biner hierarkis, misal tuturan/tulisan, realitas/citra,

alam/kebudayaan, akal/kegilaan, yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara

mengesampingkan dan merendahkan bagian “inferior” oposisi biner tersebut, sehingga tuturan

lebih diutamakan daripada tulisan, lebih diutamakan daripada citra, dan alam lebih diutamakan

daripada kebudayaan.

Dekonstruksi berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks. Derrida memandang

bahwa bahasa selalu merupakan sistem tanda yang defferensial yang membangun makna melalui

perbedaan ketimbang melalui korespondensi dengan makna transedental yang tetap atau acuan

kepada yang nyata. Sejak ada makna tidak ada lagi yang lain kecuali tanda, apa yang dipikir

selalu di dalam tanda (Derrida, 2004:76-79). Tidak ada makna asli di luar tanda yang merupakan

bentuk representasi grafis, sehingga tulisan menjadi asal muasal makna. Pengetahuan, kebenaran,

dan kebudayaan tidak dapat dipikir tanpa tanda, yaitu tulisan. Bagi Derrida tulisan adalah jejak

permanen yang ada sebelum presepsi peduli atau sadar akan dirinya sendiri. Jadi, Derrida

mendekonstruksi gagasan bahwa tuturan menyediakan suatu identitas antara tanda dan penanda

(Barker, 2004 : 76).

Tujuan dekonstruksi bukan hanya sekedar membalik urutan biner tetapi menunjukkan

bahwa mereka saling terimplikasi pada yang lainnya. Dekonstruksi ingin menelanjangi titik-titik

buta sebuah teks, asumsi-asumsi yang tidak diakui yang mendasari operasi teks tersebut.

Page 54: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Teori ini digunakan untuk mempertajam analisis dalam upaya menjawab rumusan

masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual

mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar.

2.3.3 Teori Semiotik

Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua

yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.

Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (dalam Hoed, 2008:3), melihat tanda

sebagai pertemuan antara bentuk ( yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi,

yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). De Saussure menggunakan istilah significant

(penanda) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signife (petanda) untuk segi maknanya.

Dalam konteks semiotika, Geetz menawarkan cara menafsirkan kebudayaan dengan cara

memaparkan konfigurasi atau sistem simbol-simbol bermakna secara mendalam dan

menyeluruh. Geertz berkesimpulan bahwa simbol-simbol yang tersedia di kehidupan umum

sebuah masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarkat yang

bersangkutan melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia mereka dan bertindak berdasarkan

nilai-nilai yang sesuai. Bagi Greetz, kebudayaan adalah semiotik ; hal-hal yang berhubungan

dengan simbol-simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal oleh warga masyarakat yang

bersangkutan. Simbol adalah suatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya

dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat dan diwariskan kepada anak cucu (Sukanto, 1993 :

VI-VII).

Ritual mappandesasi merupakan salah satu wujud kebudayaan yang ada dalam

masyarakat adat Mandar yang sarat dengan simbol-simbol. Ritual mappandesasi harus

diinterpretasikan dan diterjemahkan agar generasi muda sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai

budaya dapat menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya di masyarakat.

Page 55: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Teori semiotika dipergunakan sebagai alat analisis dalam membahas dan menjawab

rumusan masalah yang pertama dan ke tiga, yaitu bagaimanakah bentuk keterancaman ritual

mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi

Tenggara dan apa dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah masalah-masalah

yang terdapat dalam penelitian dan sekaligus menjadi fokus penelitian. Model penelitian ini

dapat digambarkan berikut ini.

Bagan 1 : Model Penelitian

Globalisasi Nelayan Etnik Mandar

- Tradisi - Mitos

Keterancaman Ritual Mappandesasi

dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar

- Teknologi - Ekonomi - Pendidikan

Dampak dan makna keterancaman ritual

Mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar.

Bentuk keterancaman ritual Mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keterancaman terhadap

ritual mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar

Emansipasi Masyarakat Kelurahan

Bungkutoko

Page 56: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Keterangan

: garis yang menunjukkan saling mempengaruhi : garis yang memberi hubungan atau pengaruh secara sepihak ----------- : garis yang memberi pengaruh tidak langsung secara sepihak

Penjelasan Model

Masyarakat mana pun di dunia ini memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat

lainnya dalam memandang hidup dan kehidupan, berdasarkan tradisi budaya dan kebiasaan

masing-masing. Sebagaimana halnya dengan masyarakat Nelayan Etnik Mandar yang ada di

Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara, memiliki tradisi kebiasaan tersendiri yang berbeda

dengan masyarakat sekitarnya dalam hal memandang laut. Masyarakat Mandar di Kelurahan

Bungkutoko menjadikan laut sebagai kebun tempat mereka mencari nafkah, sehingga

masyarakat Mandar di kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai nelayan memiliki

kebiasaan memperlakukan laut seperti makhluk hidup. Hal ini dapat dilihat dalam kebiasaan

mereka yang selalu memberi makan laut (mappandesasi). Tradisi ini mereka (masyarakat

Mandar) lakukan pada saat mau turun melaut dengan tujuan supaya pada saat mereka melaut

mendapat perlindungan dari dewa laut, rezeki yang banyak, serta keselamatan.

Tidak dapat disangkal bahwa dengan masuknya era globalisasi, ilmu pengetahuan

modern sudah membuat sebagian masyarakat terlena dengan alat-alat teknologi modern dan

melupakan pengetahuan masa lalu (indigenous knowledge). Hal ini terjadi dalam masyarakat

Mandar di Kelurahan Bungkutoko khusunya dalam tradisi ritual mappandesasi. Modernisasi

mengagungkan ilmu pengetahuan empiris, sedangkan tradisi mempertahankan kebiasaan-

Page 57: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

kebiasaan dan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat setempat dan diperoleh secara

turun-temurun dari generasi ke generasi. Akibat pergulatan globalisasi dan tradisi, sehingga

ritual mappandesasi mengalami pergeseran dalam hal berkurangnya perserta ritual yang

diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain ekonomi, dan teknologi. Hal ini diakibatkan oleh

adanya desakan ekonomi yang membuat masyarakat nelayan etnik Mandar beralih mata

pencaharian dari nelayan ke mata pencaharian yang tidak berhubungan dengan laut, seperti

mengojek, berdagang di pasar. Selain desakan ekonomi, penyebaran masyarakat nelayan etnik

Mandar ke wilayah-wilayah lain di kota Kendari yang diakibatkan karena pergeseran pekerjaan

mereka, mengakibatkan terjadinya penurunan peserta dan dan pelaksanaan ritual mappandesasi.

Dampak pendidikan, generasi muda nelayan etnik Mandar yang memiliki ilmu pengetahuan

khusunya ilmu agama, menganggap ritual mappandesasi sebagai salah satu bentuk praktek

kemusryikan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak generasi muda nelayan

etnik Mandar tidak mau mempelajari ritual mappandesasi.

Page 58: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang

yang diamati. Berdasarkan filsafat rasionalisme bahwa suatu ilmu yang valid diperoleh dari

pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi secara logis. Dalam realitas empirik

adalah tunggal (sama dengan positivism penganut paham monism) tetapi realitas tersebut tidak

diinterpretasikan dari prespektif (Muhadjir, 2000 : 83-84).

Metode kualitatif adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara atau

penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama,

menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak.

Kedua, metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan

informan. Ketiga, metode kualitatif ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan

banyak penajaman dengan pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Maleong,

2004:9). Melalaui metode kualitatif, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan

mengklarifikasikan data yang menarik. Dengan demikian, penelitian kualitatif ini membimbing

peneliti untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan

membangun kerangka teoritis yang baru (Endraswara, 2003:14-15).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Sulawesi

Tenggara. Lokasi ini ditentukan dengan pertimbangan berikut ini.

Page 59: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

1. Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mayoritas etnik Mandar yang menggantungkan

hidupnya pada hasil laut, dalam hal ini berprofesi sebagai nelayan.

2. Ritual mappandesasi, pada awalnya sering dilakukan oleh masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko, tetapi sekarang pelaksanaan ritual mappandesasi di

Kelurahan Bungkutoko telah berkurang dan hampir punah.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa mantra memotong hewan

kurban, mantra memandikan perahu, mantra mendapatkan rezeki, dan mantra supaya terhindar

dari musibah, dan ditunjang dengan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari hasil obsevasi,

wawancara. Data yang digunakan adalah data tentang ritual mappandesasi. Adapun data

kuantitatif di antaranya diperoleh dari data BPS dan monografi kelurahan.

Sumber data dalam rencana penelitian ini dibedakan atas sumber data primer dan sumber

data sekunder. Sumber data primer adalah para informan. Sumber data sekunder adalah ritual

pelaksanaan studi dokumen berupa hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku, laporan-laporan

lembaga swasta seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

3.4 Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini, dilakukan secara purposive. Pertimbangannya

bahwa informan tersebut dinilai memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman tentang objek

penelitian. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan kunci dan informan lainnya.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan

tentang lokasi penelitian, memiliki banyak pengetahuan tentang objek penelitian yaitu Kepala

Kelurahan, tokoh masyarakat, dan tokoh adat, sedangkan informan lainnya adalah peserta ritual

sekaligus sebagai pelaku utama dalam ritual mappandesasi, seperti pemimpin upacara (sandro),

Page 60: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

masyarakat nelayan Etnik Mandar, khususnya orang-orang tua yang sering melakukan dan

mengikuti ritual mappandesasi,

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan kartu-kartu data. Kartu-

kartu data digunakan untuk pencatatan, kategorisasi, dan klarifikasi data, sedangkan pedoman

wawancara digunakan sebagai pengarah peneliti dalam melakukan wawancara. Dalam konteks

tersebut Nawawi (1992: 69) mengatakan bahwa, dalam pengumpulan data diperlukan alat

(instrumen) yang tepat agar data yang berhubungan dengan tujuan penelitian dapat dikumpulkan

secara lengkap. Kemudian Nawawi, (1992 : 98) mengemukakan bahwa pedoman wawancara

adalah alat yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan

yang diajukan kepada informan. Di samping itu, berkenaan dengan kerja pengamatan, maka

diperlukan penggunaan kamera foto atau kamera Video untuk merekam hasil pengamatan serta

alat perekam untuk merekam hasil wawancara.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara triangulasi yakni observasi,

wawancara mendalam studi dokumen dan teks atau mantra. Di bawah ini diberikan

penjelasannya

3.6.1 Observasi

Pengamatan lapangan dilakukan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan

menyeluruh tentang bentuk, fungsi, dan makna ritual mappandesasi dan dinamikanya dalam

realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Mandar. Teknik yang digunakan adalah

pengamatan terlibat. Peneliti ikut berperan serta secara langsung dalam rangkaian kegiatan ritual

Page 61: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

memberi makan laut. (Muhadjir, 1992 : 179-180). Pengamatan terlibat di lapangan ditopang pula

dengan penggunaan alat perekam data, khususnya rekaman video dan foto.

3.6.2 Wawancara Mendalam

Wawancara difokuskan pada pengetahuan dan pengalaman pribadi informan tentang

upacara ritual mappandesasi. Tujuan wawancara untuk menjaring data tentang pendapat dan

pandangan informan tentang upacara ritual mappandesasi terutama bentuk, fungsi dan makna

tekstual dan kontekstual. Jenis wawancara yang diterapkan adalah wawancara terbuka dan

mendalam guna menjaring pandangan mereka tentang kegunaan upacara ritual mappandesasi

dan kandungan norma dan nilai yang tersirat di baliknya. Wawancara demikian digunakan jika

dipandang sangat perlu untuk mengurangi variasi yang bisa terjadi antara seorang yang

diwawancarai dengan yang lainnya (Maleong, 2003 : 136).

Selain pengamatan dan wawancara, peneliti juga merekam dan mencatat tuturan upacara

ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar dengan menggunakan media pandang

dengar seperti video kamera dan tape recorder. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran

secara utuh dan menyeluruh berbagai interaksi verbal dan nonverbal yang terjadi selama upacara

ritual mappandesasi berlangsung, termasuk di dalamnya perekaman wacana ritual.

3.6.3 Studi Dokumen

Dalam rangka pengumpulan data untuk memperkaya dan memperluas wawasan dan

pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang akan dikaji, maka peneliti menelusuri,

mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan objek kajian yang

sudah dipublikasikan. Materi-materi kepustakaan yang dimaksud oleh peneliti adalah buku-buku,

koran, majalah, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan dan pelestarian budaya daerah,

laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

Page 62: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dan buku-buku bacaan lain yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian

ini.

Studi kepustakaan digunakan untuk menemukan pemahaman yang dapat dikembangkan

dalam melakukan penelitian. Selain itu, studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data

sekunder yang digunakan sebagai pelengkap data. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan

data digunakan bukan saja dalam memperoleh data, tetapi juga merupakan bagian dari proses

melihat keabsahan data. Menurut (Moleong,1995:178), untuk melihat keabsahan data tersebut

digunakan teknik implementasi atau triangulasi data yang memiliki tiga prosedur, yaitu (1)

membandingkan data observasi dengan hasil interview; (2) membandingkan informasi antara

sumber satu dengan sumber yang lainnya; dan (3) membandingkan hasil interview dengan

dokumen yang terkait. Berkaitan dengan pernyataan yang disampaikan Moleong, maka peneliti

melakukan pembandingan data yang diperoleh melalui observasi di lapangan selama penelitian

berlangsung, hasil wawancara, studi kepustakaan.

3.7 Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif. Proses analisis

dimaksudkan untuk mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan

satuan uraian sehingga dihasilkan suatu temuan atau simpulan sejalan dengan tujuan penelitian.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh melalui berbagai

sumber, yaitu wawancara, pengamatan dan perekaman dan catatan lapangan (Maleong, 2002 :

190). Prosedur berikutnya dalam penelitian ini adalah analisis data. Tahapan ini terdiri atas

beberapa langkah berikut ini.

a. Penyusutan data (data reduction), yaitu melakukan pengurangan data yang tidak relevan

dengan permasalahan. Reduksi data sebagai proses penyaringan, penyerdahanaan,

Page 63: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pengabstraksian, dan transpormasi data kata yang muncul dari catatan-catatn tertulis dari

lapangan dilakuakan pula dalam penelitian ini. Upaya ini sesuai dengan kerangka masalah

dan kerangka konseptual yang dikaitkan dengan tujuan utama penelitian ini, yakni untuk

menemukan khasanah budaya etnik Mandar. Sebagian dari proses analisis, reduksi

merupakan bentuk analisis yang menajamkan, mengklasifikasi, mengarahkannya,

mengorganisasikannya untuk kemudian bermuara pada simpulan, verifikasi, dan

rekomendasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dengan aneka cara

: seleksi yang ketat, meringkas, dan menggolong-golongkannya ke dalam pola tertentu yang

lebih luas. Sajian data (data display) dilakukan dengan pengelompokan dan kategorisasi data

sesuai dengan bentuk, fungsi dan makna, pengaruh bahasa dan budaya serta langkah-langkah

dalam mempertahankan keaslian upacara ritual dalam masyarakat etnik Mandar.

b. Penggalian makna dan fungsi dilakukan melalaui penafsiran makna atas semua bentuk

upacara dan prosesnya, hasil penafsiran makna dan fungsi dinegosiasikan pula dengan para

tetua adat yang menjadi informan kunci.

c. Pengambilan simpulan mengenai bentuk, fungsi dan makna, sistem nilai budaya dan

pengaruh budaya serta langkah-langkah pemberdayaan upacara ritual dalam masyarakat

Mandar.

d. Penemuan fakta tentang adanya perubahan atau dinamika ritual dilakukan dengan kajian

perbandingan terhadap struktur bentuk dan makna serta fungsi ritual yang diperoleh melalui

pengetahuan para pemiliknya antargenerasi, yaitu generasi tua dan muda. Perbedaan persepsi

generasi tua dan muda tentang bentuk, makna, dan fungsi ritual itu merupakan makna

perubahan dan dinamika yang dimaksudkan itu. (Miles dan Huberman, 1992 : 17-18).

Page 64: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini akan peneliti sajikan secara informal

dan formal. Teknik penyajian secara informal adalah cara penyajian hasil analisis data dengan

cara deskripsi kata-kata atau narasi, sedangkan secara formal penyajian hasil penelitian berupa

tabel dan gambar. Laporan penelitian dituangkan ke dalam delapan bab.

Page 65: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis

Kelurahan Bungkutoko merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Abeli

Kota Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kelurahan Bungkutoko merupakan daerah tersendiri,

yakni kepulauan Bungkutoko yang terletak di pesisir teluk Kendari. Adapun luas wilayah

Kelurahan Bungkutoko adalah 700 ha. Batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan teluk Kendari;

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Nambo;

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Talia; dan

- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.

Apabila menggunakan jalur laut untuk ke Kelurahan Bungkutoko, maka digunakan dua

jenis alat transportasi. Pertama, lewat pelabuhan kecil (tempat perahu berlabuh) di Pantai Biru

Sanggula (kota lama) menuju Kelurahan Bungkutoko digunakan jenis tansportasi kapal motor

(perahu mesin tempel atau katinting) yang membutuhkan waktu tempuh ± 30 menit dengan biaya

transportasi Rp 5.000,00 per kepala. Kedua, dengan menggunakan kapal motor jenis Speed

menuju Kelurahan Bungkutoko membutuhkan waktu tempuh selama ± 10 menit dengan biaya

transportasi Rp 7.000,00 per kepala. Jarak antara Pantai Biru Sanggula dengan Kelurahan

Bungkutoko ± 5 Km.

Sebagaimana wilayah-wilayah lain di kota Kendari yang memiliki waktu perubahan

musim, maka Kelurahan Bungkutoko juga mengenal perubahan musim. Akan tetapi, di

Kelurahan Bungkotoko hanya dikenal dua jenis musim yakni musim, kemarau dan musim hujan.

Kedua musim ini memiliki waktu perputaran yang berbeda. Musim hujan terjadi bulan Oktober

Page 66: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

sampai dengan bulan April yang dibawa oleh angin barat, berasal dari Benua Asia dan Samudera

Pasifik, dengan melewati beberapa lautan. Pada bulan Mei sampai dengan bulan September

terjadi musim kemarau diakibatkan karena angin yang bertiup dari Timur (Benua Australia)

kurang mengandung uap air.

4.2 Demografi

Dilihat dari aspek kependudukan, masyarakat Kelurahan Bungkutoko merupakan

masyarakat yang heterogen sebagai hasil dari migrasi dan perkawinan campuran antara

penduduk asli (suku Tolaki) dengan suku pendatang yakni suku Mandar, Bugis, Jawa, Muna, dan

Buton.

Penduduk Kelurahan Bungkutoko pada akhir tahun 2010 berjumlah 1.280 jiwa,

sedangkan pada akhir penelitian ini (Februari, 2011), berdasarkan data dari Kelurahan

Bungkotoko, penduduk Kelurahan Bungkutoko telah mencapai jumlah 1.461 jiwa. Berdasarkan

data tersebut di atas, terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk Kelurahan Bungkutoko selama

kurun waktu dua tahun terakhir yakni dari tahun 2009 sampai 2011 sebesar 1,1 persen per tahun.

Luas wilayah Kelurahan Bungkutoko adalah 700 Ha, yang dibagi dalam tiga lingkungan.

Lingkungan pertama diberi nama Air Mancur, yang dibagi dalam tiga Rukun Tetangga (RT)

dengan jumlah penduduk 71 kepala keluarga (KK). Lingkungan ke dua diberi nama Padang Pasir

yang dibagi dalam empat Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk sebanyak 92 kepala

keluarga (KK), dan Lingkungan ke tiga diberi nama Nelayan yang dibagi dalam lima Rukun

Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk 149 kepala keluarga (KK). Dengan demikian, penduduk

kelurahan Bungkutoko berjumlah 312 kepala keluarga atau 1.461 jiwa.

Dari tiga lingkungan di Kelurahan Bungkutoko, lingkungan ke tiga yang paling padat

penduduknya. Lingkungan nelayan terdiri atas lima Rukun Tetanga, dan sebagain besar

penduduknya adalah etnik Mandar, yakni 92 kepala keluarga (KK), 57 kepala keluarga yang

Page 67: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

menghuni lingkungan nelayan adalah terdiri atas 29 kepala keluarga etnik Buton, 25 kepala

keluarga etnik Muna dan 3 kepala keluarga etnik Jawa. Sebagian besar mata pencaharian

penduduk etnik Buton dan Muna di lingkungan Nelayan, yaitu sebagai nelayan yang

berkelompok dengan etnik Mandar. Nelayan terbanyak di Kelurahan Bungkutoko terdapat pada

lingkungan nelayan dan mayoritas penduduknya didominasi oleh etnik Mandar, sehingga di

lingkungan inilah lokasi ritual mappandesasi selalu dilaksanakan.

Struktur umur penduduk di suatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat kelahiran,

kematian, dan migrasi. Oleh karena itu, jika angka kelahiran di suatu daerah sangat tinggi maka

dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang berpenduduk usia muda.

Keadaan struktur penduduk di Kelurahan Bungkutoko berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat

dilihat dalam tebel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Kelurahan Bungkutoko Menurut Umur dan Jenis Kelamin. Kelompok Umur (tahun

Laki-Laki (L)

Perempuan (P)

Jumlah (L+P)

0 – 4

5 – 9

10 – 14 15 – 19

20 – 24 24 – 29 30 – 34 35 – 39

40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 -59

60 – 64 65 – 69 70 – 74

91

91

67 78

75 78 57 55

42 33 29 14

12 9 6

84

72

67 72

100 75 60 58

37 34 29 10

9 4 7

175

163

134 150

175 153 117 113

79 67 58 24

21 13 13

Page 68: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Jumlah Total 740 722 1.462

Sumber : Kantor Kelurahan Bungkutoko 2010.

Tabel di atas, menunjukkan bahwa pada tahun 2010 hampir seperdua jumlah penduduk

Kelurahan Bungkutoko, yakni 48,06 persen dari jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko secara

keseluruhan atau sebanyak 622 jiwa adalah penduduk usia muda yang berumur di bawah 20

tahun. Tabel di atas, juga menunjukkan bahwa Kelurahan Bungkutoko tidak tergolong kelurahan

yang berpenduduk usia muda. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penduduk Kelurahan

Bungkutoko berjumlah 251.477 jiwa. Apabila ditinjau dari besarnya jumlah penduduk

Kelurahan Bungkutoko berdasarkan jenis kelamin, maka ternyata bahwa jumlah perempuan

lebih sedikit dari jumlah laki-laki. Perempuan berjumlah 722 jiwa atau 49, 82 persen, sedangkan

laki-laki berjumlah 740 jiwa atau 50,12 persen.

Perbandingan jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko antara laki-kaki dan perempuan

disebut dengan rasio jenis kelamin. Tahun 2010 menunjukkan bahwa setiap 100 jiwa penduduk

Kelurahan Bungkutoko terdapat 48 jiwa penduduk yang berjenis kelamin perempuan dan

terdapat 52 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki. Rasio jumlah penduduk yang berdasarkan

jenis kelamin ini dijumpai secara merata di setiap lingkungan dalam Kelurahan Bungkutoko.

Apabila hal ini dilihat dari sudut analisis ekonomi dan dihubungkan dengan struktur

sosial budaya dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko, maka keadaan seperti ini tampaknya

menguntungkan bagi masyarakat Kelurahan Bungkutoko, karena laki-laki harus bertanggung

jawab penuh atas kelangsungan hidup keluarga. Kendatipun demikian, dalam masyarakat

kelurahan Bungkutoko, perempuan sejak kecil sudah dibiasakan oleh orangtua untuk belajar

hidup mandiri.

Page 69: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Dalam hal tenaga kerja, masyarakat Kelurahan Bungkutoko tidak mengalami kesulitan

karena jumlah penduduknya yang tergolong dalam usia non produktif (usia 0-14 tahun dan usia

60 tahun ke atas) lebih kecil yakni 526 jiwa, bila dibandingkan dengan kategori usia produktif

(usia 15-59 tahun) berjumlah 936 jiwa.

Penduduk Kelurahan Bungkutoko sebagian besar beragama Islam. Tampaknya agama

Islam di Kelurahan Bungkutoko ini cukup berkembang dengan pesat, tetapi masih banyak di

antara penduduk yang menganut agama Islam hanya lebih dalam tataran Islam simbolik. Hal ini

dapat dilihat dari kebiasaan sebagian besar penduduk yang menganut agama Islam mulai dari

anak-anak sampai pada orang tua yang pandai dan lancar membaca Al-Qur’an, meskipun

kebanyakan di antara mereka tidak pernah bersekolah dan buta aksara Latin. Selain itu, masih

pula penduduk kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam tetapi masih mempercayai

kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap dua kepercayaan itu tidak hanya

sebatas diyakini tetapi dimanifestasikan dalam bentuk tindakan dan perilaku dalam kehidupan

sehari-hari.

4.3 Mata Pencaharian

Secara umum sumber mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Bungkutoko

menangkap ikan dan hasil-hasil laut lainnya. Selain mempunyai keahlian kelautan, beberapa

orang pandai berdagang dan menjadi tukang (membuat perahu/kapal kayu dan membuat rumah)

sebagai pekerjaan sambilan untuk memperoleh penghasilan tambahan.dan sebagian kecil

bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Komposisi mata pencaharian

menduduk di kelurahan Bungkutoko dapat dilihat dalam tabel 4.2 di bawah ini.

Page 70: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Tabel 4.2 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Bungkutoko.

No Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa)

1 Nelayan 724

2 Pegawai Negeri 93

3 Pedagang 57

4 Tukang 38

Jumlah 912

Sumber: Kantor kelurahan Bungkutoko 2010

4.3.1 Nelayan

Keterampilan penduduk Kelurahan Bungkutoko adalah menangkap ikan (nelayan) dan

mengumpulkan hasil laut lainnya. Tabel 4.2 di atas, secara jelas menunjukkan bahwa hampir

seperdua atau berjumlah 724 jiwa dari jumlah keseluruhan penduduk Kelurahan Bungkutoko

atau 1.462 jiwa adalah bermata pencaharian sebagai nelayan. Menangkap ikan tidak dengan

menggunakan pukat, pancing saja, tetapi memburunya di dalam air dengan menggunakan panah

ikan dan tombak yang dibuat sendiri. Hal ini dilakukan karena kebutuhan pasar terhadap

beberapa jenis ikan yang harus ditangkap dalam keadaan hidup memberi peluang kepada nelayan

etnik Mandar untuk memburu dan menangkap ikan tersebut sesuai pesanan. Biasanya yang

beroperasi mengumpulkan ikan hidup adalah beberapa pengusaha ikan dari Bungkutoko yang

memiliki relasi bisnis dengan pengusaha ikan dari PT. Djayanti Group dan PT Samudera Group,

dua pabrik pengolahan ikan di Kendari-Sulawesi Tenggara.

Salah satu bentuk kerja sama antara nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko

dengan para pengusaha ikan adalah para pengusaha selain memberikan modal awal memberikan

Page 71: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

keramba plastik secara cuma-cuma untuk menampung ikan hidup hasil buruan. Cara

penangkapanya adalah ikan dipanah di bagian ujung ekornya. Setelah lemas ikan tersebut

ditangkap dan dimasukkan ke dalam keramba plastik yang berisi air laut. Selain dipanah ikan

tersebut ditangkap dengan menggunakan pancing. Dalam melakukan perburuan, hasil yang

diperoleh tidak menentu, biasanya berkisar antara satu sampai delapan ekor.

Adapun jenis ikan yang menjadi sasaran buruan para nelayan adalah kerapu (cronileptes

altivelis), seperti kerapu batu (epinephelus taufina), kerapu sunuk (plectrophanus leopardus),

kakap, seperti kakap putih (lace calcarifer), dan kakap merah (lutganus altifrontalis), ikan tuna,

dan lain-lain. Para nelayan menjual ikan hasil buruan mereka dengan harga berkisar antara Rp

25.000,00 sampai Rp 30.000,00 per kilogram. Ikan-ikan tersebut selalu datang diambil di

Kelurahan Bungkutoko oleh pengusaha ikan yang memiliki relasi bisnis dengan para nelayan

setempat. Biasanya para pengusaha ikan ini turun di Kelurahan Bungkutoko untuk mengambil

ikan hasil buruan para nelayan sesering-seringnya (3 kali dalam seminggu).

Nelayan etnik Mandar, selain menangkap ikan dengan menggunakan panah dan

pancing,juga menangkap ikan dengan menggunakan kapal yang terbuat dari kayu (perahu

dengan menggunakan mesin dalam yang dilengkapi dengan jaring dan pukat) dan memasang

bagang. Dilihat dari peralatan tangkapnya, nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko

sudah termasuk dalam kategori nelayan modern. Hasil-hasil yang diperoleh dari laut, dijual

dipasar oleh istri atau kerabat yang merupakan anggota kelompok nelayan.

4.3.2 Pegawai Negeri Sipil

Selain pedagang penduduk Kelurahan Bungkutoko ada yang berprofesi sebagai Pegawai

Negeri Sipil (PNS). Jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai PNS

berjumlah 93 jiwa yang tersebar di seluruh instansi pemerintah dan instansi swasta yang ada di

kota Kendari. Akan tetapi, peneliti tidak dapat merinci berapa banyak jiwa yang mengisi

Page 72: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

lapangan pekerjaan di instansi pemerintah dan di instansi swasta. Hal itu diakibatkan karena

tidak adanya data yang membagi atau membedakan hal tersebut.

Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai PNS di Kelurahan Bungkutoko di atas

menunjukkan bahwa aktivitas sebagai nelayan lebih banyak digemari oleh warga setempat,

khususnya etnik Mandar. Hal ini diakibatkan oleh selain keterbatasan sumberdaya manusia

dalam komunitas etnik Mandar, juga diakibatkan oleh kebiasaan etnik Mandar yang sejak kecil

sudah melaut. Aktivitas melaut menurut etnik Mandar gampang untuk mendapatkan uang,

nelayan etnik Mandar dapat menikmati hasilnya setelah pulang dari melaut. Pekerjaan sebagai

PNS menurut etnik Mandar lama untuk mendapatkan uang karena nanti setiap awal bulan baru

mendapatkan hasilnya (terima gaji). Hal ini yang mengakibatkan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko mengenyampingkan dunia pendidikan.

Dari 93 jiwa penduduk di Kelurahan Bungkutoko yang bermata pencaharian sebagai

pegawai negeri sipil (PNS) tidak ada satu orang pun yang berasal dari etnik Mandar.

Kebanyakan dari penduduk yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil berasal dari

etnik Buton, Muna, dan Bugis. Meskipun demikian, tidak berarti perekonomian etnik Mandar

tidak mapan, justru perekonomian etnik Mandar lebih mapan dari perekonomian penduduk yang

bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil yang ada di Kelurahan Bungkutoko.

Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya yang telah diwariskan secara turun temurun dari

nenek moyang orang Mandar, bahwa orang Mandar tidak akan pernah sukses meraih hidup

dengan bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil, kecuali berwiraswasta dalam hal yang

halal. Selain itu, didorong oleh kenginan masyarakat untuk mendapatkan uang pada setiap hari.

Semua ini diakibatkan oleh pola hidup sebagian besar masyarakat di Kelurahan Bungkutoko

yang cenderung boros dan royal dalam hal uang.

Page 73: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

4.3.3 Berdagang

Penduduk Kelurahan Bungkutoko selain berprofesi sebagai nelayan, ada sebagian

penduduk Kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai pedagang. Akan tetapi, jumlah

penduduk yang berprofesi sebagai pedagang sangatlah kecil yakni 57 jiwa. Aktivitas bedagang

ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan membuka kios untuk berjualan di dalam rumah.

Jenis barang yang diperdagangkan pada umumnya adalah makanan ringan, seperti kue kering,

berbagai jenis roti, indomie, berbagai jenis permen, minuman botol, seperti 7-Up, lemonaden,

fanta, soda, alat tulis-menulis, beberapa jenis kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako),

seperti beras, minyak tanah, minyak goreng, bawang, terigu, dan beberapa jenis peralatan melaut

sederhana, seperti mata kail, dan tasi.

Menurut pengakuan para penjual, barang jualan kurang laris, karena penduduk Kelurahan

Bungkutoko pergi menjual ikan hasil tangkapan di luar (pasar di luar Bungkutoko). Pada saat

kembali ke Bungkutoko selalu membawa barang-barang yang dibutuhkan terutama yang

berhubungan dengan bahan makanan dan kebutuhan melaut. Berbagai jenis barang dagangan

tersebut di atas, yang banyak digemari oleh konsumen adalah jenis makanan ringan dan rokok,

karena kebanyakan konsumennya dari kalangan anak-anak dan remaja. Mengenai jumlah

keuntungan dalam berdagang tidak memberikan informasi yang pasti, karena para pedagang

selalu mengatakan berdagang ini sama dengan berjudi, tergantung nasib, kalau lagi bernasib

baik atau mujur penghasilan akan laku banyak tapi kalau nasib lagi tidak mujur maka barang

dagangan kurang laku.

Dari 57 jiwa yang berdagang, ada salah satu ibu yang mengehentikan aktivitas

berdagangnya adalah Minarti istri salah seorang Kepala Lingkungan Tiga yang telah diganti. Ibu

tersebut menghentikan jualannya karena rugi. Kerugian ini kerena barang dagangannya kurang

laku sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh anggota keluarganya. Lebih lanjut ibu lima orang

Page 74: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

anak itu menyatakan bahwa usahanya dihentikan bukan bangkrut akibat pembeli yang tidak

membayar hutangnya, tetapi karena semata-mata kurang laku. Menurut Minarti, memang ada

sebagian pembeli yang suka menghutang, tetapi selalu membayarnya tepat waktu. Nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko paling takut berhutang uang karena menurut nelayan etnik

Mandar utang terkait dengan lancar tidaknya mendapat rezeki. Apabila salah satu yang merasa

kecewa (tempat menghutang) bisa menjadi salah satu penyebab kesialan dalam mencari rezeki di

laut. Kesulitan mencari rezeki pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup.

4.3.4 Tukang Kayu

Mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Bungkutoko adalah nelayan. Akan tetapi,

ada sebagian dari warga Kelurahan Bungkutoko yang memiliki keterampilan sebagai tukang

kayu. Keterampilan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka. Pewarisan

keterampilan tersebut dilakukan melalui proses pembelajaran dalam keluarga. Biasanya seorang

bapak yang memiliki keterampilan sebagai tukang, selalu mengajari anaknya menjadi tukang.

Proses tersebut diawali dengan peniruan, yakni anak disuruh memperhatikan apa yang dikerjakan

oleh orang tuanya. Lama-kelamaan anak tersebut terbiasa untuk mencoba mengerjakannya

sendiri. Meskipun demikian, anak tersebut tetap berada dalam bimbingan orang tuanya.

Keberadaan para tukang kayu dan tukang batu di Kelurahan Bungkutoko dirasakan cukup

membantu warga setempat. Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain yang membutuhkan

jasa tukang kayu atau tukang batu, masyarakat Kelurahan Bungkutoko pun demikian adanya.

Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh sebagian penduduk di

Kelurahan Bungkutoko, misalnya membangun rumah, baik rumah panggung maupun rumah

batu, dan jenis pertukangan lainnya. Oleh karena itu, penduduk Kelurahan Bungkutoko

senantiasa memiliki ketergantungan pada jasa tukang, bila ingin membangun rumah baru, atau

ingin memiliki peralatan rumah, seperti lemari, tempat tidur, kursi, meja, daun pintu dan daun

Page 75: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

jendela. Bahan-bahan pembuatan rumah biasanya disediakan oleh pemesan melalui saran dari

tukang. Biasanya bahanya didatangkan dari pengumpul kayu bahan rumah untuk rumah

panggung dan dari pengumpul bahan bangunan, seperti batu, pasir, untuk rumah batu.

Melakukan aktivitas sebagai tukang, biasanya dijalani pada saat tidak ada aktivitas

melaut. Keadaan tidak melaut umumnya pada musim terang bulan, kencang ombak, atau

memang ada pesanan untuk menyelesaikan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dipesan seperti

membuat rumah, membuat lemari, atau perabot rumah lainnya. Maksudnya pemesan sangat

membutuhkan barang tersebut dalam waktu tertentu (dalam waktu dekat atau sifatnya

mendesak), maka tukang meninggalkan aktivitas melautnya demi memenuhi keinginan pemesan

tersebut.

Udin yang bekerja selain sebagai nelayan juga sebagai tukang kayu menyatakan bahwa

kalau sedang musim angin kencang atau musim terang bulan, ia tidak melaut, tetapi dia bekerja

sebagai tukang untuk membuat lemari, pintu atau jendela. Udin mempunyai bangsal di samping

rumahnya untuk tempat dia bekerja sebagai tukang. Harga yang Udin pasang sangat ber fariasi,

tergantung jenis barang yang dipesan oleh pelanggan. Alemari misalanya, ini juga memiliki

harga yang sangat ber fariasi tergantung ukuran dan bentuk lemari yang dipesan. Begitu juga

harga pintu dan jendela. Udin memasang tarif mulai dari Rp 750.000,00 sampai Rp

3.000.000,00. Lemari yang memiliki harga mahal yakni lemari besar dan dihiasi dengan berbagai

bentuk ukiran. Selain membuat lemari, pintu, dan jendela, Udin biasa menerima pesanan untuk

membuat rumah. Mengerjakan pesanan rumah, Udin dibayar mulai dari Rp 3.000.000,00 sampai

Rp 6.000.000,00 per unit. Menurut Udin, dirinya lebih senang mengerjakan pesananan rumah

daripada pesan lemari, jendela, dan pintu. Karena pesanan lemari, jendela dan pintu, cara

kerjanya repot, capek dan butuh ketelitian karena harus diukir.

Page 76: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

4.4 Agama dan Kepercayaan

Seperti halnya kelurahan-kelurahan lain, Kota Kendari memiliki penduduk yang

beragam. Keberagaman itu bukan hanya dalam hal suku, etnis, daerah asal tetapi juga agama dan

kepercayaan. Kelurahan Bungkutoko juga memiliki penduduk yang beragam mulai dari suku,

etnis, daerah asal sampai pada keberagaman agama dan kepercayaan. Kelurahan Bungkutoko

memilki keberagaman suku atas etnik yang terdiri dari etnik Mandar sebagai penduduk yang

mayoritas meskipun etnik Mandar sebagai etnis pendatang, etnis Buton, etnis Bugis-Makassar,

etnis Jawa, dan entis Tolaki sebagai penduduk pribumi.

Keberagaman etnik tersebut dibarengi dengan keberagaman agama dan kepercayaan. Di

Kelurahan Bungkutoko terdapat dua agama yang teridentifikasi oleh pemerintah, yaitu agama

Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dengan

jumlah pengikutnya sebanyak 1428 jiwa, dan agama Kristen Katolik yang penganutnya

berjumlah 34 jiwa. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagaman etnik yang ada di Kelurahan

Bungkutoko tidak diikuti dengan keberagaman agama atau pluralisme agama.

Sebagai agama yang pengikutnya sangat sedikit atau minoritas, maka agama Kristen di

Kelurahan Bungkutoko tidak dapat dilihat secara simbolik karena tidak memiliki tempat atau

rumah ibadah. Untuk menunaikan kewajibannya (melakukan ibadah) sebagai umat kristen, harus

melakukan ibadah di pusat Kota Kendari yang letaknya tidak terlalu jauh dari kelurahan

Bungkutoko (±15 KM). Berbeda dengan agama Islam yang merupakan agama mayoritas yang

dianut oleh penduduk di kelurahan Bungkutoko, maka agama Islam dapat dilihat secara simbolik

seperti tempat ibadah.

Agama Islam di Kelurahan Bungkutoko berkembang dengan pesat. Salah satu

indikasinya adalah banyaknya masjid dan sarana yang ada di Kelurahan Bungkutoko. Masjid-

masjid tersebut sangat diramaikan oleh kegiatan-kegiatan keislaman. Bagi masyarakat di

Page 77: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam masjid berfungsi sebagai tempat melakukan ibadah

sholat lima waktu, selamatan, tahlilan, dan tempat mengaji. Keyakinan beragama Islam di

kalangan masyarakat di Kelurahan Bungkutoko pada hakikatnya telah ditanamkan sejak masa

kanak-kanak. Kewajiban belajar mengaji bagi anak-anak yang beragama Islam dilakukan pada

malam hari atau pada pagi hari setelah selesai melaksanakan sholat Subuh, Hal ini di sebabkan

karena pada siang hari anak-anak pergi ke sekolah.

Walaupun masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mayoritas yang beragama Islam, tetapi

Islam yang dianut dan dikembangkan oleh separuh penganut agama Islam di Kelurahan

Bungkutoko, tampaknya Islam sinkritis. Indikasinya adalah sering dijumpainya keyakinan lain

yang bukan berasal dari agama Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat di

Kelurahan Bungkutoko. Misalnya, etnik Mandar yakin dan mempercayai adanya berbagai

makhluk halus yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti adanya penjaga laut (sasi), batu

besar, gua dan pohon-pohon besar. Berbagai makhluk halus itu dianggap sebagai pemilik atau

penjaga tempat tersebut. Pendek kata masyarakat yang menganut agama Islam di kelurahan

Bungkutoko juga masih yakin dan mempercayai kepercayaan animisme percaya roh-roh dan

dinamisme percaya kepada benda-benda gaib.

Nelayan etnik Mandar yakin bahwa makhluk halus itu ada yang bersifat baik dan ada

yang bersifat jahat. Agar tidak mencelakakan manusia, maka tempat-tempat tersebut selalu diberi

sesajen. Selain itu, setiap ingin menggunakan benda-benda atau mengunjungi tempat-tempat

yang dianggap keramat tersebut, terlebih dahulu meminta izin atau bersalam kepada penunggu

atau penjaganya. Ungkapan yang lazim mereka ucapkan untuk meminta izin atau bersalam pada

penjaga tempat-tampat tersebut adalah sebagai berikut, “tabe anabi sasi” apabila hendak melaut,

atau tabe anabi madara ketika hendak menginjakan kaki di darat.

Page 78: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam masih yakin akan adanya

roh leluhur dan hubungan dengan roh-roh semacam ini tetap dipelihara kesinambungannya

dalam kehidupan sehari-hari. Terperliharanya kesinambungan itu dimanifestasikan dalam

perilaku masyarakat yang disebut ghoniwi, yakni mengirim do’a dengan disertai makanan dan

minuman sekedarnya yang ditujukan kepada arwah-arwah para leluhur. Hal itu biasanya

dilakukan pada setiap malam Jum’at atau pada hari-hari tertentu yang dianggap baik menurut

nelayan etnik Mandar. Selain itu, ada upacara dan ritus adat yang dilakukan pada waktu-waktu

tertentu, misalnya dalam peristiwa yang berhubungan dengan siklus hidup individu, seperti

kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Biasanya ghoniwi itu dilakukan sebelum acara

puncak dilaksanakan, misalnya dalam pesta pernikahan, sebelum memasuki acara ijab qobul

terlebih dahulu dilakukan ritual ghoniwi yang dilakukan satu malan sebelum acara puncak

dilaksanakan.

Selain Ghoniwi, ada kebiasaan dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko yang

dimiliki oleh masyarakat nelayan etnik Mandar dan sampai saat ini masih dipertahankan

eksistensinya oleh etnik Mandar, yakni ritual mappandesasi. Ritual ini merupakan tradisi

kebiasaan nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko yang dilakukan sebelum atau sesudah

melaut. Ritual ini dilakukan untuk meminta kepada penjaga laut (sasi) supaya para nelayan

diberikan, keselamatan dalam melaut dan diberikan rezeki atau hasil tangkapan yang banyak.

4.5 Bahasa dan Kesenian

4.5.1 Bahasa

Banyaknya suku bangsa atau etnis yang bertempat tinggal di kelurahan Bungkutoko

dengan sendirinya membuat Kelurahan Bungkutoko kaya akan bahasa. Semua suku bangsa yang

berasal dari daerah lain dan bertempat tinggal menetap di Kelurahan Bungkutoko secara otomatis

Page 79: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

membawa persebaran bahasa daerah suku bangsa tersebut. Misalnya, orang yang berimigrasi dari

daerah Mandar Sulawesi Selatan secara otomatis bahasa ikut berimigrasi.

Pergaulan hidup sehari-hari penduduk di Kelurahan Bungkutoko menggunakan bahasa

Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya suku yang tinggal di

Kelurahan Bungkutoko dan tidak ada bahasa daerah dari suku-suku tersebut untuk dijadikan

bahasa yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti bahasa Bali di Jati Bali. Tidak

adanya bahasa daerah yang bisa digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari sehingga bahasa

Indonesia yang lazim digunakan sebagai bahasa sehari-hari.

Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari bukan berarti bahasa daerah

masing-masing tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi. Semua bahasa daerah dapat

digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Kelurahan

Bungkutoko sesama suku, etnis yang menggunakan bahasa daerah tersebut. Misalnya bahasa

Mandar digunakan berkomukasi dengan sesama etnik Mandar. Hal ini diakibatkan oleh

masyarakat pengguna bahasa tersebut terbatas pada etnik Mandar saja, begitu pula halnya bahasa

daerah yang lain.

Walaupun ada suku Tolaki yang mendiami Kelurahan Bungkutoko sebagai penduduk

pribumi tetapi jumlahnya sangat minoritas. Hal itu yang mambuat bahasa Tolaki tidak digunakan

sebagai bahasa sehari-hari karena tidak populer di kalangan masyarakat Kelurahan Bungkutoko

diakibakan oleh masyarakat pengguna bahasa Tolaki sangat sedikit. Akan tetapi, sekarang

bahasa Tolaki sebagai bahasa suku pribumi sudah dijadikan bahan pelajaran di sekolah, mulai

dari Sekolah Dasar sampai pada Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai salah satu mata

pelajaran muatan lokal. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk melestarikan bahasa

lokal agar tidak mengalami kepunahan karena bahasa merupakan salah satu unsur identitas

masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Page 80: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Mengenai rekayasa tulisan, Ong mengatakan bahwa bahasa pada hakikatnya bersifat

lisani (oral); begitu lisan sehingga seakan-akan aksara tidak diperlukan, buktinya di antara

berpuluh-puluh ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia, hanya sekitar 106 yang memiliki

sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan, sebagian besar tidak mengenal tulisan (Ong

1980: 7). Selanjutnya, di antar kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup hanya kira-kira 78 yang

memiliki kesusasteraan tertulis.

4.5.2 Kesenian

Masyarakat di kelurahan Bungkutoko terdiri atas tiga etnis yang tergolong besar, yaitu

etnik Mandar, Bugis, dan Muna. ketiga etnik tersebut memiliki kesenian daerah yang berdeda-

beda. Misalnya, kesenian pobhelo dari etnik Muna, kesenian ini dipentaskan pada saat

melakukan acara hajatan aqiqah dan pada saat menyambut tamu, tetapi di Kelurahan

Bungkutoko ditampilkan pada saat melakukan acara aqiqah. Kesenian lariangi dari etnik Buton,

kesenian ditampilkan pada saat melakukan hajatan pengislaman (katoba).

Dalam etnik Mandar terdapat seni tari dan seni suara. Seni tari terdiri atas tetabuhan

rebana. Seni ini menurut masyarakat etnik Mandar mempunyai nilai sejarah tersendiri karena

menandai pertama kalinya agama Islam masuk di tanah Mandar. Kesenian ini selalu ditampilkan

oleh etnik Mandar pada saat mau melakukan acara ritual mappandesasi di mana pun etnik

Mandar bermukim, termasuk di Kelurahan Bungkutoko. Selain seni tari tetabuhan rebana,

masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko juga memiliki tarian Tusuk Bobal. Tarian ini

selalu ditampilkan oleh masyarakat etnik Mandar pada saat melakukan hajatan yang terkait

dengan siklus hidup manusia dan pada saat upacara-upacara adat, seperti ritual mappandesasi.

Selain seni tari, masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai seni

suara, yang disebut kanjilo. Kanjilo ini selalu dinyanyikan oleh etnik Mandar pada saat mereka

hendak turun melaut. Meskipun masyarakat Kelurahan Bungkutoko memiliki banyak kesenian

Page 81: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

tetapi ada salah satu kesenian yang berlaku secara universal dalam masyarakat. Kesenian

tersebut berupa seni tari yang disebut tari lulo. Tari lulo itu selalu ditampilkan pada saat

melakukan hajatan yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, seperti pernikahan, aqiqah, dan

pengislaman. Tari lulo ditampilkan dalam upacara syukuran keberhasilan dalam melaut. Tari ini

ditampilkan pada malam hari yang berfungsi sebagai alat pemersatu berfungsi sebagai

penghibur.

4.6 Organisasi Sosial

Kelurahan Bungkutoko yang terbagi dalam tiga Rukun Tetangga dan tediri atas dari 12

Rukun Warga tidak membuat masyarakat di kelurahan ini bercerai berai atau tidak saling

mengenal. Akan tetapi, dengan kondisi wilayah seperti itu masyarakat tetap tolong-menolong

dan bantu-membantu dalam berbagai aktivitas. Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko memiliki

organisasi sosial tradisional yang dapat menyatukan semua etnik di kelurahan tersebut.

Organisosial tradisional tersebut disebut rarambanga, yaitu bentuk hubungan kerjasama yang

oleh masyarakat Kelurahan Bungkutoko dari berbagai etnik dalam melakukan berbagai bentuk

aktivitas.

Pada hakikatnya perkumpulan sosial ini dibentuk sebagai wadah partisipasi anggota

masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dalam rangka memenuhi tujuan bersama yang tidak bisa

dilakukan secara perseorangan, dan perkumpulan sosial merupakan sarana untuk saling

menolong dalam meringankan beban hidup dan membantu memecahkan persoalan hidup sesama

masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dari etnik mana pun.

Rarambanga ini tidak berlaku dalam aktivitas sosial yang bersifat umum, seperti

bersama-sama membangun rumah, tetapi rarambanga berlaku sampai pada kegiatan sosial yang

sifatnya khas seperti ritual mappandesasi. Hal ini dapat dijumpai dalam aktivitas masyarakat dari

luar etnik Mandar yang sibuk membantu proses berjalannya ritual, bahkan sampai ikut serta

Page 82: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dalam pelaksanaan sebagai anggota. Ada yang membantu menyediakan peralatan upacara,

memberikan, dan menghiasi lokasi pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh kaum laki-laki.

Bukan kaum laki-laki yang terlibat dalam menyukseskan pelaksanaan ritual

mappandesasi ini melainkan kaum ibu-ibu dari berbagai etnik dan berbagai rukun tetangga ikut

berpartisipasi dalam hal membantu pekerjaan dapur. Memasak untuk persiapan sesajen, untuk

persiapan makan bersama setelah melakukan ritual mappandesasi. Bantuan dari etnik lain tidak

terbatas dalam hal moril atau tenaga (bukan etnik Mandar), tetapi ada bantuan materi yang

berwujud benda atau barang, seperti menyumbang sapi, kambing, dan ayam, untuk sesajen atau

pun untuk santapan setalah melakukan ritual.

Dilihat dari banyaknya bentuk partisipasi masyarakat dari luar etnik Mandar dalam hal

melancarkan proses jalannya ritual mappandesasi, dapat dikatakan bahwa masyarakat di

Kelurahan Bungkutoko sangat mematuhi organisasi sosial tradisional yang mereka bentuk

bersama, yakni rarambanga. Rarambanga diadopsi oleh masyarakat etnik Mandar dan

diterapkan dalam proses melaut. Melaut merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara

berkelompok maka rarambanga sangat cocok mereka jadikan sebagai patokan berpijak dalam

membentuk sebuah kelompok. Pembentukan kelompok untuk melakukan aktivitas melaut ini

didasarkan pada prinsip rarambanga yang dijabarkan dalam tiga poin penting.

Tiga poin Rarambanga dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang

universal, yakni sippatappa (saling percaya), sikaada (saling menerima keadaan), dan situlutulu

(bahu membahu). Maksudnya, sippatappa adalah sesama anggota kelompok harus saling

mempercayai, tidak saling membohongi, tidak saling mencurigai. Sikaada yakni harus saling

memahami dan menerima keadaan bahwa memiliki perbedaan fisik, memiliki kelebihan dan

kekurangan sehingga harus mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Situlutulu

maksudnya harus bahu-membahu, tolong-menolong karena senasib sepenanggungan yakni

Page 83: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mengadu nasib di laut yang penuh dengan tantangan dan resiko, serta nelayan etnik Mandar telah

menjadi satu kesatuan yang lebih dekat lagi yakni rarambanga.

Kelompok kerja sama yang terbangun dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko tidah

hanya berlaku bagi kaum laki-laki atau suami tetapi berlaku untuk kaum perempuan atau istri.

Hal ini terbukti dengan banyaknya perempuan dari kalangan ibu-ibu dan remaja yang ikut

membantu dalam menyukseskan pelaksanaan ritual mappandesasi dari berbagai etnik. Tidak

terbatas sampai di situ aktivitas ibu-ibu yang suaminya terlibat dalam rarambanga untuk melaut.

Artinya bahwa, para suami yang melakukan kerja sama itu, istri-istri mengorganisir diri sebagai

kelompok rarambanga untuk membantu kelancaran dan meringankan pekerjaan suami. Para istri

bekerja sama dalam hal menjemur ikan hasil tangkapan, memasang atau mengikat bibit rumput

laut tali nilon dan lain-lain.

Keterlibatan etnik Mandar dalam rarambanga, selain sebagai pencerminan diri sebagai

makhluk sosial, mencerminkan adanya suatu struktur sosial sebagai jaringan kerja sama

antarindividu yang terorganisasi secara teratur. Dalam kehidupan etnik Mandar, hubungan sosial

yang dilakukan individu merupakan upaya untuk senantiasa mempertahankan keberadaannya.

Setiap individu memiliki keterbatasan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial.

Keterbatasan kemampuan ini pula yang mendorong etnik Mandar untuk saling berhubungan

dengan sesamanya sehingga terbentuklah suatu jaringan sosial. Jaringan sosial merefleksikan

terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus yang terbentuk di antara

sekelompok orang, yakni sedikitnya tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas

tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada. Pengelompokan tersebut dibentuk

guna memungkinkan bagi anggota-anggotanya dalam memenuhi kebutuhan individual dan

kelompoknya (Suparlan, 1982:35). Rarambanga merupakan salah satu pengelompokan sosial

Page 84: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko yang dibentuk sebagai jaringan kerja sama untuk

saling membantu meringankan beban hidup di antara masyarakat termasuk dari etnik Mandar.

Dalam jaringan kerja sama tersebut etnik Mandar sadar bahwa suatu anggota kelompok sosial

dengan batas-batas yang jelas. Kesadaran etnik Mandar tentang kehidupan kolektif, telah

mengubah kelakuan individu menjadi kelakuan sosial, sehingga tercipta proses interaksi yang

teratur antarindividu dalam kehidupan kolektif tersebut. Kesadaran ini malahirkan kesalahan

sosial, yang di antaranya dapat terlihat dari komitmen moral yang tertuang dalam prinsip kerja

rarambanga.

Pola tingkah laku seperti ini bukan hanya semata-mata sebagai upaya mengejar

kebutuhan individu, tetapi lebih pada upaya melanggengkan keberadaan kelompok, sebagai

konsekuensi dari persetujuan-persetujuan kontraktual di antara masyarakat dalam membangun

jalinan kerjasama. Realitas ini sejalan dengan pemikiran Karl Marx (dalam Magnis

Suseno,1993:99) bahwa pekerjaan tidak mengandung makna ekonomis semata, tetapi pekerjaan

adalah jembatan antar manusia untuk memenuhi sifat sosial dan medan objektivasi diri. Artinya,

melalui rarambanga, masyarakat di Kelurahan Bungkutoko termasuk etnik Mandar bisa saling

mengetahui keadaan hati serta perasaan secara lebih akrab dan lebih dekat, sehingga setiap orang

melakukan peran-peran nyata untuk anggota dan kelompoknya. Dalam konteks ini peran-peran

individu lebih bernuansa psikologis. Nuansa sosialnya tampak jelas bahwa dalam rarambanga

terdapat pamataha (ketua kelompok) dan anggota yang saling berinteraksi.

Dengan adanya rarambanga sebagai lembaga yang sah dalam masyarakat kelurahan

Bungkutoko, semakin mudah merencanakan dan melaksanakan program-program kerja dalam

masyarakat. Melalui rarambanga tersebut membangun kesadaran melalui rencana-rencana

pengolahan hasil laut untuk pengembangan ekonomi. Memalui wadah ini etnik Mandar saling

memberikan pemahaman dengan etnik dari luar Mandar untuk mengelola sumber daya alam

Page 85: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dengan bijak dan berkelanjutan untuk menigkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Selain itu,

rarambanga ini menjadi wadah pengumpulan dan penyaluran bantuan modal usaha, bahkan bisa

menampung dan memasarkan hasil-hasil produksi masyarakat Kelurahan Bungkutoko. Dengan

demikian rarambanga tersebut memiliki kemampuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi

masyarakat kelurahan Bungkutoko termasuk nelayan etnik Mandar, serta membawa dampak

positif terhadap kegairahan dan perkembangan sendi-sendi perekonomian masyarakat pesisir

secara makro.

Jika dicermati lebih jauh rarambanga-rarambanga yang telah terbentuk dalam

masyarakat Kelurahan Bungkutoko dapat saja ditransformasi menjadi lembaga formal yang

mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian masyarakat di Kelurahan Bungkutoko,

khususnya yang berprofesi sebagai nelayan. Pada gilirannya rarambanga dapat menjadi lembaga

ekonomi berupa koperasi atau bank desa yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat Bungkutoko

yang dapat berfungsi sebagai wadah penyaluran bantuan modal usaha untuk anggota, pemasaran

hasil produksi menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh anggota. Hanya saja ini belum

dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang terkait yang fokus dengan pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat pesisir.

4.7 Asal Usul Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko

Berdasarkan pengakuan dan keterangan yang terhimpun selama penelitian di lapangan

dapat dikatakan bahwa etnik Mandar yang mendiami sebagian kelurahan Bungkutoko pada

awalnya satu kapal atau perahu. Menurut pengakuan salah seorang etnik Mandar yang

sesepuhnya masyarakat di Kelurahan Bungkutoko bahwa, etnik Mandar pertama kali tiba di kota

Kendari pada tahun 1996. Waktu itu nelayan etnik Mandar belum ada keinginan untuk tinggal

menetap, tetapi baru sekedar berlayar menangkap ikan. Karena melihat potensi hasil laut dalam

hal ini ikan, sangat memadai sehingga masyarakat berniat untuk tinggal menetap.

Page 86: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Pada awalnya etnik Mandar hanyalah sekelompok nelayan tradisional yang berjumlah 12

orang dalam satu kapal. Kapal itu bernama hotel indah dan merupakan kapal jenis ba’go, yakni

kapal nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap jala atau biasa disebut nelayan majalla

dengan pimpinan atau juragan kapal waktu itu bernama Husen. Meskipun nelayan etnik Mandar

tinggal menetap, tetapi bukan di darat, melainkan di atas kapal karena belum memiliki lahan.

Sifat penetapan masih sementara, karena setiap satu kali dalam satu minggu pulang ke Mandar

dengan menggunakan kapal nelayan etnik Mandar. Mereka bukan menetap di Kelurahan

Bungkutoko tetapi di laut Petoaha.

Nelayan etnik Mandar tinggal dan menetap di darat nanti pada tahun 2001, yakni di

Kelurahan Bungkutoko. Mereka masih berjumlah 12 orang, dan semuanya sudah berkeluarga.

Pada tahun 2001 itu, nelayan etnik Mandar belum datang bersama keluarga. Setelah nelayan

etnik Mandar yang berjumlah 12 orang itu memilki rumah sendiri, nelayan etnik Mandar pulang

ke Mandar dan datang kembali bersama keluarga (istri dan anak-anaknya yang belum

bersekolah). Pertama kali etnik Mandar menetap tinggal bersama keluarga di Kelurahan

Bungkutoko pada akhir tahun 2001 dan 12 keluarga ini tinggal dalam satu rumah panjang yang

menyerupai rumah gadang.

Selama enam bulan tinggal di darat bersama keluarga, mulailah berdatangan para nelayan

etnik Mandar yang lain. Untuk sementara waktu para nelayan yang baru datang itu tinggal di

rumah panjang. Seiring berjalannya waktu terjadilah perkawinan silang antara nelayan etnik

Mandar dengan penduduk lokal, dalam hal ini etnik Tolaki. Mulai saat itu dan sampai sekarang,

keluarga Bungkutoko sebagian besar dihuni oleh nelayan etnik Mandar (menjadi penduduk

terbesar di Kelurahan Bungkutoko).

Page 87: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

4.8 Ritual Mappandesasi

Ritual mappandesasi adalah salah satu ritual tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar

yakni memberi makan laut dengan cara memberi sesajen kepada laut. Pelaksanaan ritual

mappandesasi dipimpin oleh seorang dukun (sandro) yang memang didatangkan dari tanah

Mandar. Ritual mappandesasi bertujuan untuk meminta kepada penjaga sasi yang biasa disebut

setassasi, agar nanti dalam melaksanakan aktivitas melaut para nelayan senantiasa diberikan

keselamatan dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Dukun (sandro) yang menjadi pemimpin upacara adalah masyarakat biasa yang hidup

bermasyarakat seperti para nelayan. Biasanya pekerjaan sandro dalam masyarakat adalah bertani

atau juga bisa sebagai nelayan. Akan tetapi, orang menjadi sandro harus melalui kesepakatan

para tokoh adat dan tokoh masyarakat. Seseorang apabila dinobatkan menjadi sandro harus

memiliki bebrapa criteria, seperti harus beribadah kepada Allah SWT, berprilaku sopan terhadap

sesama, baik dan rendah hati, serta memiliki kelebihan dalam hal menyembuhkan atau

mengobati orang sakit.

Tidak hanya itu, yang menjadi sandro atau pemimpin dalam pelaksanaan ritual

mappandesasi adalah benar-benar orang yang memiliki kelebihan dalam hal menghadirkan roh-

roh para leluhur dan bisa berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh tersebut. Termasuk

juga sandro tersebut bisa berkomunikasi dengan setassasi melalui kemampuan ilmu spritual

yang dia miliki. Sandro yang menjadi pemimpin dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah sandro yang selalu didatangkan dari

Mandar Sulawesi Barat. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan ilmu spritual yang dimilki oleh

sandro di Kelurahan Bungkutoko belum bisa mengantarkan mereka untuk berkomunikasi dengan

roh para leluhur dan setassasi.

Page 88: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Agar keinginan para nelayan itu yakni keselamatan dan hasil tangkapan yang banyak

maka dalam upacara itu diadakan pemotongan hewan sebagai korban. Setelah dipotong hewan

korban tersebut dibuang ke laut. Apabila hewan tersebut tenggelam maka itu pertanda bahwa

hewan yang menjadi sesembahan diterima oleh setassasi. Dengan demikian, maka para nelayan

tidak akan mendapatkan kesialan lagi dalam melaut karena menurut nelayan etnik Mandar

kesialan itu sudah tenggelam bersama hewan korban yang dibuang ke laut oleh sandro. Hewan

yang menjadi bahan sesajen dalam ritual mappandesasi tersebut terdiri atas kambing (beke) dan

ayam (manu). Kedua jenis hewan tersebut disembelih oleh dukun (sandro). Sebelum disembelih

hewan tersebut terlebih dahulu dimandikan oleh sandro dengan air bersih dan air tersebut sudah

dibacakan mantra oleh sandro. Hewan tersebut disirami air dari kepala sampai ujung kaki dan

hal tersebut (memandikan hewan) diulangi sampai tiga kali, semua itu dilakukan oleh sandro.

Ayam yang dijadikan kurban dalam ritual ini adalah ayam yang keseluruhan bulunya

berwarna putih, tetapi di ketiak ayam tersebut terdapat sehelai buluh hitam. Bisa sebaliknya,

ayam yang keseluruhan bulunya berwarna hitam, tetapi di ketiak ayam tersebut terdapat sehelai

buluh berwarna putih atau disebut sebagai bulu sirua. Ayam yang dijadikan sebagai hewan

korban dalam ritual mappandesasi haruslah ayam jantan, sedangkan kambing yang dijadikan

sebagai hewan kurban, yaitu kambing jantan yang masih muda. Menurut salah seoerang tokoh

adat etnik Mandar terkait dengan mengapa ayam dan kambing yang dikorbankan harus sama-

sama jantan. Hal ini terkait dengan aktivitas melaut yang dilakukan oleh kaum laki-laki.

Hari pelaksanaan ritual mappandesasi ini harus ditentukan oleh sandro. Biasanya

pelaksanaan ritual ini selalu jatuh pada hari Kamis sampai malam Jum’at, yang menurut sandro

hari itu adalah hari yang baik dalam perputaran hari. Untuk mentukan bulan berapa dan tanggal

berapa serta hari apa pelaksanaan ritual mappandesasi ini, biasanya sandro menggunakan

penghitungan atau perputaran waktu pada hitungan 10 atau lebih bulan di langit. Pelaksanaan

Page 89: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

ritual mappandesasi jatuh pada hari Kamis dan puncak ritual dilakukan pada malam Jum’at yang

disebut pangudunna allo atau malam istimewa.

Page 90: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB V

BENTUK KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO

Penjelasan Turner tentang ritual sesungguhnya telah memberi gambaran pada apa yang ia

sebut dengan simbol-simbol (Turner, 1974:19). Hal ini mirip dengan apa yang ditunjukkan oleh

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari

tentang tradisi ritual mappandesasi. Mereka (nelayan etnik Mandar) melakukan ritual

mappandesasi sebagai mediasi sesembahan yang secara terus-menerus dan turun-temurun

dilakukan dengan penuh khusuk dan menyertakan simbol-simbol di dalamnya.

Bentuk penghormatan terhadap penjaga sasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari ini dilakukan sekali dalam dua tahun.

Masyarakat merasa ada yang kurang atau belum sempurna dalam melaut jika tidak atau belum

melakukan ritual mappandesasi. Anggapan ini setidaknya menjadi cara kelompok masyarakat

nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko melegitimasi keberadaan ritual mappandesasi

sebagai struktur ideologis yang mampu menggerakkan keseluruhan aktivitas dalam tataran niat,

spirit hidup, hingga ketundukan-ketundukan tiap-tiap individu pelaku atas dimensi super struktur

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko atau apa yang disebut oleh Berger

(dalam Abdullah, 2008:136) dengan istilah super-structure of society.

Masyarakat nelayan etnik Mandar memitoskan atau mempersonifikasikan penjaga sasi

atau disebut setassasi sebagai makhluk yang selalu memberikan perlindungan, keselamatan, dan

mempermudah rezeki bagi mereka dalam melaut. Akan tetapi, setassasi murka kepada nelayan,

ketika ada musibah di laut seperti kapal nelayan tenggelam atau para nelayan tidak mendapatkan

hasil tangkapan maka itu dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai bentuk murka

dari setassasi. Menurut pemahaman masyarakat nelayan etnik Mandar di lokasi penelitian ini,

Page 91: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

hal itu terjadi karena para nelayan belum memberi makan atau belum melakukan ritual

mappandesasi pada saat melaut.

Ritual mappandesasi mulai dilakukan oleh nelayan etnik Mandar saat adanya pengakuan

para nelayan etnik Mandar terhadap eksistensi setassasi yang selalu memberikan perlindungan,

keselamatan, dan rezeki serta setassasi juga bisa memberikan musibah di laut pada saat melaut.

Bentuk ritual memberi makan laut (mappandesasi) ini dilakukan satu kali setahun atau dua tahun

sekali, dan dilakukan pada saat mereka (nelayan etnik Mandar) mau turun melaut.

Menariknya, keberadaan ritual mappandesasi melahirkan berbagai tafsir mistis, bahkan

mereka meyakini adanya kaitan sebuah kelangsungan hidup, khususnya perkembangan

kehidupan perekonomian para nelayan. Meskipun ritual mappandesasi begitu sangat penting

dalam kehidupan nelayan etnik Mandar, akan tetapi sekarang eksistensi ritual ini dalam

masyarakat telah mengalami keterancaman. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya

keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah bertambahnya ilmu pengetahuan masyarakat,

khusunya dalam ilmu agama. Komunitas atau masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam

dalam hal ilmu pengetahuan dan ilmu agama, menganggap perilaku masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko dalam melakukan ritual mappandesasi merupakan perilaku

yang mengarah pada kemusyrikan dan sama sekali merusak aqidah dan menggoyahkan

pemahaman ajaran Islam yang benar.

Pelaksanaan ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari dewasa ini sudah mengalami pergeseran dan

pengurangan atau mengalami keterancaman. Hal itu dapat dilihat dalam rangkaian pelaksanaan

ritual mappandesasi yang ternyata telah mengalami beberapa pengurangan, baik dari segi jumlah

peserta maupun sarana ritual, bila dibandingkan dengan ritual yang dilakukan pada masa lalu.

Mencermati penurunan entitas ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di

Page 92: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari sejalan dengan konsep Sairin (2001:50),

bahwa dimensi kehidupan yang dibawah oleh sistem informasi dan teknologi telah membawa

berbagai implikasi dalam kehidupan masyarakat, terutama komunitas masyarakat yang masih

berkembang. Melalui teknologi canggih gagasan-gagasan baru dari seluruh pelosok dunia,

terutama yang berasal dari masyarakat atau negara maju datang menyerbu masyarakat dunia.

Secara berangsur-angsur gagasan itu berhasil mengubah pola gagasan budaya masyarakat yang

tersentuh serbuan tersebut.

Kenyataan seperti di atas, tampak dalam perubahan gaya hidup masyarakat yang terkena

imbas dari teknologi mutakhir sejak era globalisasi melanda dunia. Fenomena ini tampak pula

dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota

Kendari. Adapun bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko dijelaskan di bawah ini.

5.1 Proses Pelaksanaan Ritual Mappandesasi Terdapat beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian setiap orang bila hendak

mengikuti ritual mappandesasi. Orang yang hendak melakukan ritual mappandesasi perlu

mempersiapkan diri (sehat jasmani dan rohani). Selain kesehatan jasmani dan rohani, orang-

orang yang hendak melakukan ritual mappandesasi harus menyiapkan benda-benda sebagai

prasarat sahnya ritual. Syarat sahnya ritual ini terdiri atas bebrapa jenis, mulai dari binatang

sebagai sesembahan, dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan.

Upacara atau ritual mappandesasi merupakan salah satu tradisi masyarakat nelayan etnik

Mandar di mana pun berada, termasuk di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota

Kendari. Ritual ini (mappandesasi) diwariskan secara lisan dan turun-temurun dari generasi ke

generasi, dan diyakini oleh masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar) sebagai ritual

Page 93: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

untuk menolak bala atau menghindari malapetaka selama melakukan aktivitas melaut. Selain itu,

ritual mappandesasi diyakini oleh masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar) sebagai

ritual yang dapat mempermudah datangnya rezeki. Artinya, bahwa dengan melakukan ritual

mappandesasi maka orang yang melaut akan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Pelaksanaan ritual mappandesasi terdiri atas beberapa tahapan, yakni mengumpulkan

sumbangan, memotong hewan kurban, pelaksanaan ritual mappandesasi, meletakkan sesaji,

acara makan bersama.

5.1.1 Mengecilnya Jumlah Sumbangan

Pertama kali yang dilakukan oleh warga etnik Mandar dalam mempersiapkan

pelaksanaan ritual mappandesasi adalah mengumpulkan sumbangan. Sumbangan ini biasanya

dalam bentuk uang, tetapi ada juga dalam bentuk barang. Sumbangan dalam bentuk barang

seperti kambing, (beke), ayam (mannu) atau bahan perlengkapan ritual lainnya seperti beras.

Pengumpulan sumbangan tidak melalui rumah ke rumah, tetapi melalui kapal, artinya semua

kapal yang pemiliknya dari etnik Mandar dan digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan

dimintai uang demi lancarnya pelaksanaan ritual mappandesasi. Artinya, setiap kapal milik

nelayan etnik Mandar dikenakan iuran untuk biaya pelaksanaan ritual mappandesasi, dan

biasanya satu kapal dimintai uang sejumlah Rp 400.000,00.

Semua kebutuhan dalam ritual mappandesasi mulai dari pengadaan binatang yang akan

dijadikan sebagai binatang kurban sampai dengan sesembahan diadakan. Pembelian kambing

(beke) dan ayam (mannu) selalu terpenuhi oleh uang sumbangan dari para peserta ritual. Akan

tetapi, dalam kondisi yang modern seperti ini, tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin hari

semakin berat membuat salah satu tahapan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi hilang

tergilas roda modernisasi yang cenderung membuat manusia untuk mendahulukan sifat

Page 94: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

individual. Tahapan dalam proses pelaksanaan ritual mappandesasi yang hilang adalah kebiasaan

masyarakat dalam mengumpulkan sumbangan.

Pergeseran ini membuat proses pelaksanaan ritual mappandesasi khususnya dalam

mengumpulkan sumbangan sudah berkurang. Dalam era modern seperti sekarang tidak lagi

semeriah dulu. Pelaksanaan ritual mappandesasi, sekarang dilakukan secara individu-individu

atau perseorangan. Hal ini terjadi karena masyarakat nelayan etnik Mandar banyak yang beralih

mata pencaharian. Dulunya mata pencaharian masyarakat etnik Mandar hanyalah melaut atau

sebagai nelayan, sehingga pelaksanakan ritual mappandesasi sangat meriah. Nelayan etnik

Mandar banyak yang beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi pekerja yang tidak

berhubungan lagi dengan laut. Dari nelayan mejadi tukang ojek, buruh bangunan, serta semakin

banyaknya etnik Mandar yang berprofesi sebagai sopir angkot (angkutan kota). Kondisi ini

diakibatkan oleh faktor kebutuhan ekonomi (uang). Apabila mereka sebagai nelayan maka hasil

yang didapatkan hari ini nanti beberapa minggu atau satu bulan baru dapat. Kalau menjadi

tukang ojek dan sopir angkot setiap hari mendapatkan uang, menjadi buruh bangunan setiap tiga

hari sudah menerima hasilnya. Kondisi inilah yang memotivasi para nelayan etnik Mandar untuk

beralih mata pencaharian. Hal ini senada dengan ungkapan informan Andi 34 tahun yang

mengatakan sebagai berikut.

“Pada awalnya pelaksanaan ritual mappandesasi ini kami mengumpulkan sumbangan dari bebrapa kapal milik etnik Mandar untuk biaya pelaksanaan ritual. Bagi yang tidak membayar uang mereka menggantinya dengan barang kebutuhan ritual. Tetapi seiring berkembangnya zaman, masyarakat sudah banyak yang berpindah mata pencaharia, melakukan aktivitas yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Mereka beranggapan bahwa menjadi nelayan lama baru didapat hasilnya (uang), sementara melakukan aktivitas di darat seperti tukang ojek, sopir angkot, atau menjadi buruh bangunan, hasilnya kita dapat tiap hari. Memang pada zaman seperti sekarang uang adalah segalanya, orang mau kehilangan identitas budaya demi uang” (Wwancara, 9 februari 2011).

Page 95: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Penuturan di atas menggambarkan bahwa dalam dunia modern seperti sekarang, kebutuhan

ekonomi semakin mendesak. Desakan kebutuhan ekonomi inilah yang membuat masyarakat

nelayan etnik Mandar kebanyakan berpindah mata pencaharian. Selain itu, ungkapan di atas juga

menunjukkan bahwa karena uang masyarakat nelayan etnik Mandar rela meninggalkan tradisi

ritual mappandesasi. Demi mendapatkan uang tiap hari nelayan etnik Mandar harus terserabut

dari akar budaya dan mengalami pergeseran identitas budaya karena tidak lagi melakukan ritual

mappandesasi yang semua itu diakibatkan oleh globalisasi. Kondisi ini sejalan dengan apa yang

dikatakan oleh Storey (2007:54). di mengatakan bahwa globalisasi telah membersihkan hampir

semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola persamaan

budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini

mengakibatkan atau mangancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan

mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan.

Meminjam istilah Kleden (2000:138) yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat seperti

dalam penuturan informan di atas sebagai masyarakat yang mengalami perubahan mencakup

hampir semua kebudayaan kendatipun di tataran sistem budaya yang abstrak dan yang mendasar

dalam kehidupan dan demi kebutuhan kepribadian manusia secara kolektif. Dengan demikian,

secara umum sama dengan pendapat Mbete dkk., (2006:191) bahwa perubahan dalam dimensi

atau sosok nonmaterial meliputi perubahan pola pikir, cara hidup, sikap dasar, orientasi dan pola

perilaku.

5.1.2 Berkurangnya Binatang Kurban dalam Ritual Mappandesasi

Awalnya syarat sah ritual ini terdiri atas sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu). Ketiga

jenis binatang ini merupakan prasyarat utama dalam ritual mappandesasi karena ketiga jenis

binatang ini nanti dijadikan sebagai binatang sesembahan. Apabila dalam melakukan ritual ini

Page 96: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dan tidak dilengkapi dengan binatang sebagai sesembahan, maka ritual ini dianggap tidak sah

dan dalam pelaksanaanya terjadi hambatan seperti ada diantara peserta ritual yang jatuh atau

kapalnya terbalik ke laut maka nelayan tersebut meninggal.

Masyarakat nelayan etnik Mandar yang dulunya melakukan ritual mappandesasi selalu

menggunakan binatang sebagai sesembahannya, seperti sapi, kambing (beke), dan ayam

(mannu). Tiga jenis binatang ini merupakan harga mati dalam ritual mappandesasi. Artinya,

bahwa tiga jenis binatang sesembahan ini merupakan syarat sahnya ritual mappandesasi. Bahan-

bahan yang lain itu hanyalah pelengkap dan bisa digantikan dengan jenis atau bahan-bahan lain.

Apabila dalam ritual mappandesasi, binatang sesembahan tidak lengkap atau dari tiga jenis itu

ada yang kurang salah satu seperti tidak ada ayam (mannu) atau tidak ada kambing (beke) maka

sudah bisa dipastikan ritual mappandesasi tidak bisa dilaksanakan. Sapi, kambing (beke), dan

ayam (mannu) yang digunakan dalam ritual mappandesasi harus berjenis kelamin jantan. Ayam

jantan yang digunakan harus ayam jantan yang berwana hitam dan sedikit memiliki bulu putih di

bagian

ketiaknya atau etnik Mandar menyebutnya buluh sirua. Hal ini diungkapkan oleh

informan Beddu 65 tahun di bawah ini.

“Bahan-bahan yang harus disiapkan terlebih dahulu dalam ritual mappandesasi adalah binatang sesembahan yang terdiri atas sapi, kambing (beke) dan ayam (mannu). Semua jenis binatang itu harus berjenis kelamin jantan, dan mannu yang digunakan dalam ritual mappandesasi adalah mannu yang kami sebut mannu bulu sirua, yakni ayam yang semuanya berbulu hitam tetapi ada beberapa lembar bulu putih yang ada di bawah ketiaknya, atau sebaliknya, mannu yang semua berbulu putih tetapi ada beberapa lembar bulu hitam di bawah ketiaknya. Selain binatang sesembahan itu yang harus kami penuhi dalam ritual mappandesasi ini juga kami selalu melakukannya karena menurut kami nelayan etnik Mandar, dengan kami melakukan ritual mappandesasi kami merasakan ada kepuasan dan kenyamanan tersendiri dalam melaut oleh karena itu kami selalu mengulanginya sampai saat ini” (Wawancara, 4 Februari 2011).

Page 97: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa, betapa penting dan sangat berharganya binatang sapi,

kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua dalam ritual mappandesasi sebagai

binatang sesembahan sehingga harus diprioritaskan untuk diadakan. Apabila dari tiga jenis

binatang sesembahan ini, sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua tidak ada,

maka ritual mappandesasi pun secara otomatis harus ditunda pelaksanaanya, menunggu sampai

binatang sesembahan tersebut lengkap. Selain itu, ritual mappandesasi ini sudah dianggap

sebagai pandangan hidup (world view) bagi masyarakat nelayan etnik Mandar, sehingga mereka

selalu melakukannya dari generasi ke generasi dan membudaya. Meminjam istilah atau konsep

Manuel Casstel (2001:39), komunitas seperti ini bisa disebut sebagai komunitas budaya, yakni

komunitas yang dibentuk dan dikonstruksi oleh budaya. Komunitas yang diorganisir melalui

sejumlah tata nilai serta makna dengan sharing-nya ditandai oleh beberapa kode identifikasi diri,

seperti komunitas kaum beriman, ikon-ikon nasionalisme dan lokalitas. Komunitas budaya yang

saya asumsikan sebagai bagian dari identitas diri bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko dalam sikap keberagaman yang didasari oleh sebuah pandangan

kosmologi atau keyakinan tertentu adalah mappandesasi.

Meskipun ritual mappandesasi sudah menjadi bangunan world view bagi masyarakat

nelayan etnik Mandar, akan tetapi dengan kemajuan globalisasi dewasa ini, ritual mappandesasi

mengalami penurunan entitas dalam masyarakat. Penurunan itu dapat kita lihat dalam jenis

binatang sesembahan misalnya, pada mulanya melaksanakan ritual mappandesasi di Kelurahan

Bungkutoko dan sampai pada beberapa generasi menggunakan sapi, kambing (beke), dan ayam

(mannu) jantan bulu sirua sebagai binatang sesembahannya. Namun, sekarang binatang

sesembahan itu sudah digampangkan yakni cukup dengan menggunakan kambing (beke), dan

ayam (mannu) jantan bulu sirua. Hal ini, diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi yang

Page 98: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

semakin hari semakin berat. Senada dengan penuturan informan Rustam 45 tahun yang dikutip di

bawah ini.

“Pelaksanaan ritual mappandesasi tidak seperti dulu lagi, khususnya dalam hal binatang yang menjadi sesembahan. Sekarang binatang sesembahannya yang utama cukup beke dan mannu jantan bulu sirua. Hal ini diakibatkan selain pengaruh ekonomi, juga dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan generasi muda khususnya tentang agama Islam yang menganggap sapi itu bukanlah binatang kurban utama dalam Islam” (wawancara 9 Februari 2011).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran dalam tata cara pelaksanaan ritual

mappandesasi, khusunya dalam hal binatang yang menjadi sesembahan. Sudah terjadi

pengurangan atau penggampangan dalam jenis binatang sesembahan. Hal ini diakibatkan oleh

desakan kebutuhan ekonomi, dan pengaruh pengetahuan generasi muda khususnya dalam hal

agama, sangat berpengaruh dalam perubahan sebagian tata cara dan pelaksanaan ritual

mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Dengan

demikian, di bagain tertentu ritual mappandesasi ini telah terjadi proses elaborasi dengan nilai-

nilai dalam ajaran Islam. Uangkapan di atas sejalan dengan pandangan Soedjono Tirtokoesoemo

dalam Abdullah, (2002:12) yang mengatakan bahwa ritual juga bisa diubah dan disesuaikan

dengan tadisi Islam. Selain itu, ungkapan di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa betapa

ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat istiadat masyarakat setempat Pelras,

(2006:4).

Sebagian tahapan proses pelaksanaan dalam ritual mappandesasi sudah digerogoti dengan

nilai-nilai ajaran agama Islam, sehingga ritual mappandesasi sudah menjadi sebagai salah satu

ritual yang sudah berelaborasi dengan ritual-ritual dalam Islam. Makna dari ritual mappandesasi

adalah tanda atau pesan keselamatan hidup, mempermudah datangnya rezeki serta doa panjang

umur bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota

Kendari.

Page 99: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

5.1.3 Memotong Hewan Kurban

Mengingat puncak pelaksanaan ritual mappandesasi yang selalu dilaksanakan pada

malam hari yakni malam Jum’at, maka pemotongan hewan kurban untuk sesembahan dalam

ritual mappandesasi dilakukan pada hari Kamis, yaitu pada sore hari. Pemotongan hewan kurban

selalu didahului oleh pemotongan sapi, setelah itu menyusul pemotongan kambing (beke), dan

yang terakhir pemotongan ayam (mannu). Semua hewan sesembahan ini dipotong oleh seorang

sandro yang sudah ditugasi oleh pemimpin sandro. Semua jenis binatang yang menjadi

sesembahan dalam ritual mappandesasi haruslah jantan. Hal ini terkait dengan aktivitas melaut

yang selalu dilakukan oleh kaum laki-laki. Sandro dalam melaksanakan ritual mappandesasi

terdiri atas lima orang dan setiap sandro sudah memiliki tugas masing-masing.

Sebelum disembelih, semua binatang sesembahan ini terlebih dahulu dimandikan dengan

air dari kepala sampai kaki setelah itu dibacakan doa-doa dan kemudian diikuti dengan niat,

keselamatan dan supaya nanti binatang sesembahan itu halal untuk dimakan dan dapat diterima

oleh penjaga sasi. Setiap jenis binatang sesembahan disembelih dengan niat atau doa

pemotongan (sembelih) yang berbeda-beda.

Gambar 5.1 Pemotongan Kambing (Beke) (Dok, Alkausar : 2010)

Page 100: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Dalam gambar di atas tampak peserta ritual yang baru selesai memotong beke dan siap-siap

untuk menguliti beke tersebut untuk sesembahan dalam ritual mappandesasi. Beke tersebut

disembelih oleh salah seorang sandro yang memang sudah ditugasi oleh pimpinan sandro untuk

memotongnya. Sandro memotongnya dengan menggunakan doa sebagai berikut:

“Bismillah amantu billah tawakaltu allaulah laha ulla walla kuataillah billah innawa itu in aniba innali wadhdhaini magere Olo-kolo ri gere matan’ A piso napettui eppa ureeonroang mattitti darana, darana pole ri tanae, bukunna pole ri batu na anging, uremu pole ri batang a’lambaka, alunrakeng sibawa baunna ma wangie. Lokkano mai, mimmaui iyaro de na makessing jokka ko Allahu akbar 4x bacaan ” Setelah membaca doa tersebut, sandro tidak langsung menyembelih beke, akan tetapi

diniatkan dulu. Lafaz niatnya, yakni “saya memotong beke ini atas kehendak-Mu dan tidak ada

kemampuan kami selain terjadi karena atas kuasaMu. Semoga pada suatu saat nanti kami akan

beretemu kembali karena setiap yang bernyawa akan mengalami kematian dan akan

dipertemukan kembali pada suatu saat (di akhirat). Semoga beke ini diterima dengan baik oleh

penjaga sasi”. Setelah meniatkankannya, sandro langsung memotong beke tersebut.

Dalam mantra untuk memotong beke di atas, jelas sekali kolaborasi antara ajaran Islam

dalam ritual mappandesasi ini. Percampuran antara ayat suci Alqur’an dengan mantra tradisional

etnik Mandar. Fenomena di atas sejalan dengan Pelras (2006:4) yang mengatakan bahwa ajaran

Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan budaya masyarakat setempat.

Setelah menyembelih beke, sandro melanjutkan tugasnya dengan menyembelih mannu.

Dalam menyembelih mannu, sandro memandikan sama seperti beke, setelah itu membacakan

mantra dan niat, dengan menggunakan mantra dan niat yang hampir sama. Bedanya hanyalah

dalam hal takbirnya, ayam takbirnya sebanyak dua kali, sedangkan kambing ditakbirkan

sebanyak empat kali. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan jumlah kaki antara ayam dengan

kambing.

Page 101: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Gambar 5.2 Pemotongan Ayam (Mannu)

(Dok, Alkausar : 2010)

Dalam gambar di atas tampak sandro sedang menyembelih mannu dan dibantu oleh beberapa

orang dari peserta ritual mappandesasi. Tampak seorang peserta yang bertugas memegang ayam

agar tidak bergerak-gerak pada saat disembelih oleh sandro dan ada satu lagi dari peserta yang

bertugas menadah darah mannu dalam satu tempat. Darah itu nantinya digunakan sebagai

campuran beberapa tumbuh-tumbuhan perlengkapan dalam ritual untuk dioleskan di bodi kapal

atau perahu yang digunakan melaut.

Sandro menyembelih mannu dengan menggunakan doa sebagai berikut:

“Bismillah amantu billah tawakaltu allaulah laha ulla walla kuataillah billah innawa itu in aniba innali wadhdhaini magere Olo-kolo ri gere matan’ A piso napettui rua ureeonroang mattitti darana, darana pole ri tanae, bukunna pole ri batu na anging, uremu pole ri batang a’lambaka, alunrakeng sibawa baunna ma wangie. Lokkano mai, mimmaui iyaro de na makessing jokka ko Allahu akbar 2x bacaan ”

Setelah membaca doa tersebut, sandro tidak langsung menyembelih mannu, tetapi diniatkan

dulu. Lafaz niatnya, yakni “saya memotong mannu ini atas kehendakMu dan tidak ada

kemampuan kami selain terjadi karena atas kuasaMu. Semoga pada suatu saat nanti kami akan

bertemu kembali karena setiap yang bernyawa akan mengalami kematian dan akan

Page 102: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dipertemukan kembali pada satu saat (di akhirat). Semoga mannu ini diterima dengan baik oleh

penjaga sasi”. Setelah meniatkankannya, sandro langsung memotong mannu tersebut.

Mantra untuk memotong mannu di atas, jelas sekali memiliki penggalan-penggalan kata

dari mantra tersebut merupakan atau diambil dari ayat-ayat suci Alqur’an yang sudah terjadi

percampuran atau kolaborasi dengan kebiasaan etnik Mandar, sehingga terdapat beberapa

kalimat yang berasal dari bahasa Mandar. Percampuran ini semakin memperjelas apa yang

dikatakan oleh Pelras (2006:4) bahwa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat

istiadat dan budaya masyarakat setempat.

Semua doa-doa dalam ritual mappandesasi ini diturunkan oleh generasi tua secara lisan

ke generasi muda dan terjadi secara turun-temurun. Doa-doa tersebut selalu diturunkan atau

diwariskan murni secara lisan. Kebiasanaan ini sudah terjadi selama beberapa generasi, hanya

saja generasi muda yang sekarang sudah tidak mau mempelajari kebiasaan ini karena dianggap

tidak bermanfaat buat mereka. Generasi muda lebih memilih belajar budaya pop seperti musik

karena musik bisa membuat mereka (generasi muda) menjadi populer dan terkenal. Bagi

generasi muda yang memiliki pemahaman terhadap ajaran agama, khususnya agama Islam,

mereka juga tidak mau mempelajarinya karena menganggap doa-doa dan perilaku dalam ritual

mappandesasi sebagai sebuah perilaku yang mengarah pada kemusyrikan. Kondisi ini diperkuat

lagi oleh pemahaman generasi muda dengan melihat mantra-mantra yang digunakan dalam

memotong binatang sesembahan yang telah mencampurkan ayat-ayat suci Alqur’an dengan

bahasa yang tidak jelas berasal dari mana.

Darah beke dan darah mannu yang dipotong oleh sandro tidak dibuang ke tanah tetapi

ditadah dalam satu tempat, karena darahnya juga berfungsi sebagai salah satu peralatan ritual,

yakni dicampur dengan beberapa bahan lainnya lalu dilumuri atau dioleskan di perahu yang

nelayan gunakan pada saat melaut. Salah satu jenis campuran darah dari beke dan mannu adalah

Page 103: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

rumput ‘pennu-pennu’ (panno-panno). Menurut masyarakat nelayan etnik Mandar penggunaan

rumput pennu-pennu atau panno-panno, ini memilki mitos yang terkait dengan hasil tanggkapan

para nelayan. Panno-panno menurut para nelayan sama artinya dengan penuh-penuh. Artinya,

dengan menggunakan jenis rumput ini diharapkan nanti hasil tanggakapannya akan seperti nama

rumput itu, yakni pennu-pennu. Nanti diharapkan perahu atau kapal yang digunakan untuk

menangkap ikan nanti akan penuh dengan hasil tangkapan seperti yang diungkapkan oleh

Rustam 45 tahun salah seorang nelayan. Di bawah ini.

“Darah beke dan mannu itu kami tidak buang tapi kami tadah di ember atau loyang karena kami gunakan sebagai salah satu peralatan ritual. Darah beke dan mannu kami campur dengan rumput panno-panno yang sudah kami tumbuk halus lalu kami oleskan pada keseluruhan bodi kapal atau perahu. Dengan seperti ini kami berharap supaya hasil tangkapan kami bisa banyak sampai kapal kami penuh seperti namanya rumput panno-panno. Menurut salah seorang tetua adat kami, semua peralatan dalam ritual mappandesasi ini merupakan simbol-simbol yang memiliki makna-makna sendiri-sendiri. Hanya saja kami belum mengetahi secara pasti semua jenis sarana itu menyimbolkan apa dan maknanya apa. Akan tetapi katanya semua itu memiliki nilai-nilai tersendiri” (Wawamcara, 9 Februari 2011).

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa semua peralatan yang menjadi syarat sahnya

ritual mappandesasi merupakan simbol-simbol yang memiliki makna dan nilai-nilai sendiri-

sendiri yang terkait dengan aktivitas melaut. Darah beke dan darah mannu yang dioleskan di bodi

kapal memiliki makna supaya kapal atau perahu yang digunakan nelayan dalam menangkap ikan

selalu cerah. Adapun rumput panno-panno memiliki makna yang terkait dengan hasil tangkapan.

Dengan mencat atau mengoleskan hasil tumbukan rumput pennu-pennu atau panno-panno

bermakna agar nanti mendapat hasil tangkapan yang banyak, perahunya penuh. Ungkapan di atas

sejalan dengan pendapat M. Rais Amin (2008:148) yang mengatakan bahwa setiap jenis benda-

benda yang disajikan dalam ritual, baik itu yang berbentuk makanan maupun yang berbentuk

benda, seperti daun sirih, dupa, dan binatang sesembahan memiliki makna tersendiri yang tidak

jauh dari pemaknaan secara kontekstual. Betapapun situasi dan kondisi masyarakat nelayan etnik

Page 104: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Mandar di Kelurahan Bungkutoko, ketika ingin atau tiba waktunya untuk melaksanakan ritual

mappandesasi harus menyiapkan makanan dengan segala kelengkapannya dan menyempurnakan

segala rangkaian prosesi jalannya ritual.

Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa sebelum sampai

pada puncak pelaksanaan ritual, terlebih dahulu masyarakat nelayan etnik Mandar menyiapkan

beberapa sarana dan perlengkapan ritual seperti yang disebutkan dalam pembahasan terdahulu

dalam tulisan ini. Setelah semua perlengkapan upacara terpenuhi, maka tahapan selanjutnya

adalah puncak pelaksanaan ritual mappandesasi. Pada hakikatnya puncak pelaksanaan ritual ini

terdapat di dua tempat, yakni di rumah dan di tempat yang dianggap keramat seperti di

pelabuhan. Ritual mappandesasi dilaksanakan dalam rumah yang sudah ditunjuk oleh sandro

sebagai tempat pelaksanaan ritual dan dilaksanakan pada waktu malam hari, yakni pada malam

Jum’at. Proses yang mengawali aktivitas dalam pelaksanaan puncak ritual ini adalah

menyediakan hidangan makanan dan peralatan ritual lain seperti dupa. Menu makanan yang

disajikan untuk peralatan ritual mappandesasi berdasarkan jenis makanan yang selama ini

dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat nelayan etnik Mandar. Salah satu sumber

(sandro) mengatakan bahwa “makanan yang selama ini dimasak untuk hidangan pada saat

prosesi puncak ritual harus semua merupakan makanan kesukaan penjaga sasi, karena itu, setiap

masakan harus disesuaikan dengan selera penjaga sasi”.

Setelah semua makanan itu jadi (selesai dimasak), kemudian diletakkan di atas piring dan

disatukan dalam baki besar. Makanan yang telah disiapkan kemudian disajikan untuk dimantrai

oleh sandro dan disaksikan oleh semua masyarakat atau tokoh-tokoh yang menjadi perwakilan

dari mereka yang melakukan ritual. Proses pelaksanaan ritualnya diawali dengan pembacaan

doa-doa keselamatan dan kesyukuran kepada yang melakukan hajatan dengan menggunakan

ayat-ayat suci yang dipadukan dengan mantra-mantra berbahasa daerah Mandar. Pengucapan

Page 105: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

doa-doa tersebut dibarengi dengan ritual mengangkat dupa yang berasap sambil menggerak-

gerakkan mengelilingi kanan dan kiri makanan yang disajikan dalam ritual. Hal ini dilakukan

sebanyak tiga kali putaran. Proses pelaksanaan puncak ritual mappandesasi ini dilakukan dalam

rumah tempat melakukan ritual, setelah di dalam rumah dikuti dengan peletakan sesaji di tempat

keramat atau tempat yang menurut masyarakat dihuni oleh penjaga sasi seperti di pelabuhan .

Gambar 5.3 Bahan-Bahan Sesajen Ritual (Dok, Alkausar : 2010)

Dalam gambar 5.3 di atas, tampak seorang sandro yang dibantu oleh beberapa orang perempuan

untuk menyusun sarana ritual. Ada beberapa sarana ritual yang sudah siap untuk dibaca-bacakan

doa oleh sandro. Suasana ini merupakan puncak dari pelaksaanaa ritual mappandesasi. Pada saat

inilah sandro sebagai pemimpin upacara melaksanakan tugasnya. Pada saat puncak pelaksanaan

ritual mappandesasi ini, yang menjadi pemimpin sandro atau yang memimpin dalam

pelaksanaan ritual tidak lupa membacakan doa untuk para nelayan agar mendapatkan rezeki yang

banyak. Kebiasaan meminta rezeki ini bagi masyarakat nelayan biasa disebut masiri balle’.

Masiri balle’ ini sama halnya membacakan doa supaya ikan-ikan itu berlomba-lomba untuk

mendekati perahu atau kapal sehingga mudah untuk ditangkap (ikan-ikan mengelilingi perahu

Page 106: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

atau kapal yang digunakan oleh para nelayan). Mantera yang dibaca oleh sandro dalam masiri

balle’ ini yaitu “assalamu alaikum anabi washadara asal kanuru illahi jarati anabi mustafa

alfatiha, bismillahi rahmanirrahim allahumasya dunia angkamuru tapere Baraka-baraka

laillaha anabi Mustafa ala ullah”.

Setelah proses itu dilakukan, maka hidangan makanan tersebut siap-siap dibawa ke

tempat yang dianggap keramat atau tempat yang dianggap oleh masyarakat nelayan etnik

Mandar dihuni oleh penjaga sasi seperti pelabuhan. Setelah dibaca-bacakan doa oleh pemimpin

upacara, semua peralatan atau sarana upacara dibuka-buka lalu disusun sesuai jenisnya masing-

masing dan selanjutnya disimpan di atas sebuah wadah yang sudah dibuat khusus untuk

menyimpan bahan sesajen. Wadah tersebut disebut anja dan terbuat dari daun lontara, rumput

pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur kelapa (pucuk manyang), dan bambu. Semua

makanan yang menjadi bahan sesajian dalam ritual mappandesasi diletakkan di atas anja dan

ditutupi dengan kain putih. Makanan yang menjadi sesembahan dalam ritual ini bisa dibawa atau

dipegang oleh orang tua dan bisa dibawa atau dipegang oleh anak-anak.

Semua peralatan ritual mappandesasi disimpan di atas anja mulai dari, kapur (palili),

pinang (paru), jahe (layya), tembakau yang sudah digulung dari daun nipa (bakal), daun sirih

(pamera) yang diikat atau dilipat-lipat sehingga berbentuk persegi empat atau disebut kaluppin.

Selain bahan-bahan itu, di atas anja disimpan juga ayam (mannu) panggang utuh satu ekor hanya

dikeluarkan isi dalamnya saja. Meskipun ayam tersebut dikeluarkan isi dalamnya, tetapi tidak

dengan dibelah hanya dikeluarkan melalui pantatnya. Selain ayam (mannu), kepala kambing

(beke) yang sudah dimasak, bulunya dibersihkan dan tanduknya dipotong lalu diletakkan di atas

anja sebagai sesajen. Anja yang berisi semua sesajen ini disimpan di tempat yang dianggap

keramat atau tempat yang dihuni oleh penjaga sasi, seperti di pelabuhan.

Page 107: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Gambar : 5.4 Wadah untuk Menyimpan Bahan Sesajen untuk Dibawa ketempat Keramat.(Anja)

(Dok, Alkausar : 2010)

Dalam gambar 5.4 di atas tampak jelas beberapa anja yang diisi dengan semua sarana ritual

mappandesasi. Semua sarana ritual yang disusun oleh sandro dan beberapa perempuan yang

membantunya seperti dalam gambar yang ditampilkan di halaman pembahasan terdahulu.

Setalah dibaca-bacakan doa lalu disusun di atas wadah yang namanya anja, seperti yang nampak

dalam gambar 5.4 di atas.

Puncak pelaksanaan prosesi ritual mappandesasi seperti dalam gambar di halaman

sebelumnya sama dengan yang diungkapkan oleh salah seorang informan yang bernama Hj.

Nani, 54 tahun dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Penuturan Hj. Nani diberikan di bawah

ini.

“Sebelum kami sampai pada puncak pelaksanaan ritual mappandesasi, terlebih dahulu kami mengumpulkan dan menyiapkan semua perlengkapan ritual. Kami membagi pekerjaan, dari laki-laki menyiapkan sarana ritual seperti mencari beke dan mannu jantan bulu sirua untuk binatang sesembahan, dan perelengkapan lainnya yang tidak berhubungan dengan masak-memasak. Sementara kami dari perempuan menyediakan sarana ritual yang berkaitan dengan masak-memasak seperti nasi dan membuat sokko. Selain itu kami menyiapkan atau menyusun bahan sesembahan di atas baki untuk dibaca-bacakan doa oleh sandro. Setelah

Page 108: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dibaca-bacakan doa keselamatan oleh sandro sesembahan itu dibuka-buka lagi lalu disusun di atas anja untuk persiapan memberikan sesaji kepada penjaga sasi di tempat yang kami anggap keramat atau tempat yang kami anggap dihuni oleh penjaga sasi seperti di pelabuhan” (wawancara, 4 Februari 2011).

Penuturan informan di atas menunjukkan adanya kerja sama dan pembagian kerja antara laki-

laki dan perempuan dalam mencari dan menyiapkan sarana ritual. Penuturan informan di atas

menunjukkan bahwa mulai dari penyiapan sarana, pelaksaan ritual dan peletakan sesajen, semua

orang atau peserta ritual selalu bekerja berdasarkan struktur dan fungsi masing-masing. Dukun

(sandro) memiliki posisi kedudukan yang sangat tinggi dalam ritual karena berperan sebagai

pemimpin upacara dan menjalankan fungsinya sebagai pemimpin. Hal ini sandro tunjukkan pada

saat membaca doa dan meletakkan sesajen yang selalu sandro lakukan karena sebelum

meletakan sesajen terlebih dahulu sandro berkomunikasi atau meminta izin dulu kepada penjaga

sasi. Penuturan informan di atas sejalan dengan pendapat Levis-Strauss (dalam

Koenjaraningrat,1987:235) yang mengatakan bahwa peran dan fungsi seseorang dalam

masyarakat sangat ditentukan oleh struktur sosial yang dia miliki dalam masyarakat.

Dalam pelaksanaan puncak ritual mappandesasi ini, sandro tidak lupa membentengi

perahu dengan mantra-mantra agar perahu terbebas dari berbagai malapetaka, seperti terkena

sihir dari para nelayan yang lain. Adapun cara membentengi perahu atau kapal dalam melaut

terdapat dua cara. Pertama, sandro memandikan perahu dengan air yang sudah dibacakan

mantra-mantra. Mantra untuk memandikan perahu atau kapal, yaitu “wahualla jaza kumulllah”.

Mantra ini diambil dari ayat suci Al Qur’an. Inti dari mantera ini adalah untuk meminta

keselamatan dari bahaya ilmu sihir dan meminta agar perahu atau kapal selalu mendapatkan

rezeki (hasil tangkap yang banyak dalam melaut). Memandikan perahu atau kapal, memiliki

pemaham tersendiri, yakni memandikan perahu atau kapal dengan cara berputar dari arah kanan

menuju arah kiri sebanyak satu kali putaran. Cara ini diyakini oleh sandro sebagai cara untuk

Page 109: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

membuang sial, karena kebaikan itu selalu disimbolkan dengan tangan kanan dan keburukan

dengan tangan kiri. Maka dengan berputar mengelilingi perahu atau kapal dari arah kanan ke kiri

berarti telah membuang dan melindungi perahu atau kapal dari keburukan dan kesialan.

Tidak hanya itu cara untuk membentengi perahu, sandro juga membentengi perahu

dengan cara memasukkan air dalam sepotong bambu, kemudian bambu tersebut ditutup dengan

sabut kelapa dan disimpan di bagian paling depan di atas perahu atau kapal. Sandro menyimpan

potongan bambu yang berisi air ini dengan menggunakan mantra. Mantra yang dibaca sandro

pada saat menyimpan bambu di atas perahu atau kapal adalah sebagai berikut; iyyaakana budu,

wa iyyaaka nasta ‘iin,. Adapun doa yang dibacakan pada saat puncak pelaksanaan ritual

mappandesasi, pimpinan sandro sekaligus pemimpin dalam pelaksanaan ritual tidak mau

memberikannya kepada peneliti. Hal ini menurut pimpinan sandro Maruka (92 tahun) yang

menjadi pemimpin ritual mappandesasi terkait dengan sumpah dan janji kepada gurunya bahwa

selain untuk keperluan ritual mappandesasi maka doa itu tidak bisa dibacakan kepada siapa pun.

Apabila doa itu dibacakan bukan untuk keperluan ritual maka orang yang membacakan doa

tersebut mendapatkan kutukan dari nenek moyang etnik Mandar. Kutukan itu berupa, orang

yang membacakan doa itu bukan pada tempatnya pendek umurnya atau cepat mati, dan anak

turunannya akan mengalami hal yang sama.

Doa yang dibaca sandro pada saat puncak pelaksanaan ritual itu sangat sakral menurut

etnik Mandar, sehingga untuk proses pewarisannya tidak mudah. Harus mengikuti ketentuan

yang ditentukan oleh orang yang mau mewariskan ilmunya, seperti peserta yang mau mewarisi

mantra tersebut harus etnik Mandar, duduk bersila di atas kain putih dan harus pada malam

Jum’at. Selain itu, mantra tersebut tidak boleh ditulis bagi orang yang mempelajarinya, harus

didengarkan saja dan dihafal. Menurut Maruka, apabila mantra tersebut ditulis dapat mengurangi

kemujarapan atau tidak sakral lagi.

Page 110: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Fenomena tersebut sesuai dengan pendapat Ong dalam bukunya yang terkenal, Orality

dan Literacy the Thecnologizing of the Word, yang mengkhusus yang dia sebut “Primary

orality” kelisanan dasar untuk orang yang sama sekali tidak pernah mengenal tulisan kecuali

dalam situasi yang sama sekali terisolasi di Indonesia kelisanan dasar sudah tidak ada lagi.

Kelisanan yang mengimplikasikan bunyi bunyi, memiliki kekhasan bahwa begitu ia ada,

begitu pula ia tiada; sifatnya sesaat, tidak lestari dan tidak dapat dihentikan. Justru yang sifatnya

demikian itu bangsa-bangsa tertentu memberi kekuatan magis kepada mantra yang harus dihafal

tanpa salah supaya efektif. Tak ada dukun yang melafalkan mantra dengan membacanya dari

buku atau tulisan (yang memang muncul setelah aksara).

Dapat dipastikan bahwa pada zaman dini telah timbul keperluan untuk mengingat

kembali apa yang telah dikatakan, direnungkan atau dipikirkan, lebih-lebih lagi kalau dari dukun

(sandro) yang ingin dialihkan kepada orang lain, misalnya generasi berikutnya. Daya ingat

sangat penting dan sangat dihargai dan diusahakan.

Maka ditemukan juga peranti mnemonik yang dapat menunjang dan membantu daya

ingat yang berfungsi sebagai tempat petimpangan pengetahuan dan pengalaman. Dengan

menggunakan Definisi Lord dengan beberapa tambahan disini, formula (lihat juga Lord 1976:

30-67 dan Sweeney 1987: 119) dimaksudkan dalam arti yang luas, yaitu bunyi, kata,

sekelompok kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan. Formula

merupakan peranti mnemonik yang membantu orang menemukan pikiran yang tersimpan dalam

ingatan, di antaranya rima, paralelisme, aliterasi, asonansi, struktur-struktur tetap yang

digunakan dalam tradisi lisan.

Dalam konteks pewarisannya, tradisi diwariskan secara lisan (oral). Secara sederhana

tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang

beraksara“ atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang bukan aksara”. (Pudentia (ed),

Page 111: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

1998, : Vii). Lebih lanjut James Danandjaja, dalam Pudentia (1998 53-54) menjelaskan konsep

tradisi lisan (verbal folklore). Folklore itu sendiri adalah pengindonesiaan kata Inggris (folklore).

Folk sama artinya dengan kolektif (collectivity), yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau

kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.

Adapun lore, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan turun temurun secara lisan atau

melalui salah satu contoh yag disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic

device).

5.1.4 Meletakkan Sesaji

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa puncak

pelaksanaan ritual yaitu pada malam hari (malam Jum’at) dan dilaksanakan di dalam rumah.

Puncak pelaksanaan ritual ini adalah semacam baca-baca doa biasa, hanya semua bahan-bahan

yang menjadi perlengkapan upacara termasuk hewan sesajen turut dibaca-bacakan doa. Setelah

di baca-bacakan doa, maka hewan sesajen dengan perlengkapan ritual lainnya disimpan di atas

anja lalu dibawa ke tempat yang dianggap keramat lalu disajikan untuk penjaga sasi.

Meletakkan sesajen ini dipimpin oleh seorang sandro. Sebelum meletakkan atau

menyimpan sesajen terlebih dahulu meniatkan agar sesajen yang diberikan itu diterima dengan

baik oleh panjaga sasi. Lafaz niat tersebut sebagai berikut: “wahai penjaga sasi, kami datang

untuk memberi makanan kesukaanmu. Semoga setelah menerima sesembahan kami ini, kamu

bisa senang dan akan selalu menjaga dari maharabahaya serta memberi kami rezeki yang

banyak dalam melaut”. Setelah berniat seperti di atas, sandro langsung mengeluarkan sesajen

dari dalam anja untuk diletakkan di atas rakit sebagai pertanda bahwa para nelayan telah

melakukan ritual mappandesasi atau memberi makan laut. Niat ini sandro peroleh secara turun

temurun dari nenek moyang atau orang tua yang mendahuluinya. Proses memperoleh niat itu,

Page 112: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

sandro bertanya kepeda orang-orang tua dan untuk memperolehnya tidak dengan mencatat akan

tetapi secara lisan dalam bentuk cerita-cerita biasa.

Gambar 5.5 Rakit Tempat Sesajen (Dok, Alkausar : 2010)

Dalam gambar 5.5 di atas, tampak beberapa peralatan ritual mappandesasi yang

diletakkan di atas rakit, yaitu bahan-bahan tersebut, seperti daun sirih (pamera), pinang (taru’),

daun lontara, rumput pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur (pusuk manyang), bambu

(taroda), jahe (layya), tembakau (bakal), sokko yang terdiri atas empat warna yaitu, merah,

kuning, hitam dan putih, serta dupa atau kemenyan, kapur (pallili), gambir (gambiri). Untuk

sesajen bagi penjaga sasi. Semua sesembahan yang ada di atas rakit merupakan sarana ritual

yang disusun oleh sandro dan dibantu oleh beberapa orang perempuan seperti yang ditampilkan

dalam gambar di depan.

Kondisi yang tampak dalam gambar di atas sejalan dengan pendapat Baedawi (dalam

Abdullah 2008:31) bahwa masyarakat yang mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan gaib

akan sering melakukan upacara tertentu dengan memberikan sesaji kepada kekuatan gaib dengan

maksud agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin dan masyarakat bisa

Page 113: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dijauhkan dari bencana. Hal inilah yang memotifasi masyarakat nelayan etnik Mandar yang

masih beraktivitas sebagai nelayan tetap mempertahankan ritual mappandesasi dan masih

melakukannya secara berulang-ulang.

5.1.5 Makan Bersama

Setelah semua rangkaian dalam pelaksanaan ritual mappandesasi terlaksana seperti

dalam tahapan-tahapan yang telah diuraikan di atas, maka aktivitas selanjutnya dari semua warga

yang ikut dalam ritual mappandesasi adalah acara makan bersama ini merupakan sebuah bentuk

rasa syukur para nelayan karena ritual mappandesasi yang dilakukan berjalan dengan lancar,

tanpa ada hambatan. Makan bersama ini dilakukan di atas kapal atau perahu yang digunakan

pada saat meletakkan sesajen di pelabuhan atau di bawah lampu merah atau yang dianggap oleh

para nelayan etnik Mandar ada penjaga sasi atau keramat.

Gambar 5.6 Sandro dan Beberapa Masyarakat yang Berpartisipasi dalam Ritual Mappandesasi Siap untuk Melakukan Acara Makan Bersama.

(Dok, Alkausar : 2010)

Dalam gambar 5.6 di atas, sandro dan beberapa masyarakat yang berpartisipasi dalam

ritual mappandesasi siap untuk melakukan acara makan bersama. Wajah yang berseri-seri yang

Page 114: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

ditampilkan oleh para peserta dan sandro, menunjukkan bahwa mereka dengan senang hati untuk

menyantap makanan yang dihidangkan. Itu pertanda bahwa ritual yang dilakukan telah selesai

dan berjalan sesuai dengan rencana.

Gambar di atas menunjukkan rasa senang yang dirasakan (para nelayan etnik Mandar

yang telah selesai melakukan ritual mappandesasi) tidak bisa disembunyikan. Tampak dari

wajah masyarakat nelayan etnik Mandar yang berseri-seri. Dalam gambar di atas nampak

seorang imam atau Ustadz dengan menggunakan baju putih dan kopiah yang membaca doa

sebelum makan bersama. Tujuannya adalah agar kesyukuran para nelayan yang mengadakan

ritual bisa dinikmati oleh semua orang. Melalui doa yang dibacakan oleh Imam atau Ustadz

mereka berharap agar apa yang dihajatkan oleh para nelayan etnik Mandar bisa disampaikan

kepada Allah SWT. Selain itu, sebagian dipahami kalau pembacaan doa itu dikirimkan atas nama

Nabi Muhammad SAW. Fenomena seperti dalam gambar di atas sejalan dengan Pelras (2006:4)

yang mengatakan bahwa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan

budaya masyarakat setempat. Selain itu, makna dari ritual mappandesasi adalah tanda atau pesan

keselamatan hidup, serta menjadi sarana untuk meminta agar dimudahkan rezeki bagi

masyarakat nelayan etnik Mandar.

Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota

Kendari, melaksanakan ritual mappandesasi merupakan suatu keharusan. Hal ini disebabkan

oleh adanya keyakinan masyarakat nelayan etnik Mandar mengenai adanya kekuatan yang ada di

laut yang sewaktu-waktu kekuatan itu bisa membahayakan para nelayan. Untuk menjinakkan

kekuatan yang ada di laut agar bisa bersahabat dengan para nelayan maka masyarakat nelayan

etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi. Nelayan etnik Mandar meyakini ritual ini bisa

membuat mereka melakukan aktivitasnya sebagai nelayan dengan merasa aman. Masyarakat

nelayan etnik Mandar di mana pun berada, selalu memitoskan laut sebagai sesuatu yang

Page 115: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

memiliki kekuatan maha dahsyat dan sewaktu-waktu kekuatan tersebut bisa mengancam

keamanan nelayan etnik Mandar dalam menjalankan aktivitasnya sebagai nelayan. Agar

kekuatan yang dimiliki oleh laut itu tidak mengganggu para nelayan dalam melaut, maka

masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi.

5.2 Berubahnya Sarana Ritual Mappandesasi

Proses keterancaman dalam ritual mappandesasi juga terjadi dalam sarana dan prasarana

ritual. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta media yang semakin canggih telah

mempengaruhi pola pikir manusia dalam berperilaku. Seharusnya dengan adanya kemajuan

teknologi manusia berubah ke arah yang lebih baik tanpa harus meninggalkan atau merusak

budaya yang menjadi identitas mereka sendiri. Aron Meko Mbete dkk., dalam bukunya yang

berjudul “Khazanah Budaya Lio-Ende” (2006:185) mengatakan bahwa perkembangan dan

perubahan kebudayaan secara fungsional didambakan agar bergerak menuju arah kemajuan

adab, harkat, dan martabat kemanusiaan ke tingkat yang lebih tinggi.

Ritual mappandesasi tidak terlepas dari perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan

zaman. Perubahan itu terjadi dalam sarana ritual, seperti jenis hewan sesembahan, padahal

binatang sesembahan tersebut merupakan simbol yang memiliki makna dan nilai tersendiri

dalam pelaksanaan ritual. Sesuai dengan pendapat Featherstone (dalam Abullah, 2008:189) yang

mengatakan bahwa materi atau sarana merupakan sebuah simbol yang biasanya mengandung

sesuatu yang bersifat implisit seperti keinginan-keinginan, maksud-maksud, dan tujuan

masyarakat penggunanya.

Perubahan yang terjadi dalam sarana ritual mappandesasi ini, dapat kita lihat dari

pengakuan informan Rusdi (43 tahun). Rusdi yang berprofesi sebagai nelayan sekaligus pemiliki

kapal yang digunakan untuk menangkap ikan, mengatakan sebagai berikut.

Page 116: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

“Adanya kemajuan seperti dalam zaman sekarang sehingga membuat menusia harus memiliki sesuatu yang baru. Parahnya kebiasaan ini sampai pada tataran kehidupan yang mendasar. Dalam ritual mappandesasi yang dulunya menggunakan binatang sesembahan seperti sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua, sekarang sudah digampangkan dengan menghilangkan sapi, cukup menggunakan beke dan mannu saja. Selain itu, dalam ritual mappandesasi juga harus dan wajib menggunakan tembakau tradisional yang digulung di daun nipa, sekarang sudah digampangkan lagi, menggantinya dengan rokok yang dijual di warung-warung” (wawancara, 26 Januari 2011).

Ungkapan informan Rusdi di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan hewan kurban

dan pembaruan berbagai sarana perlengkapan dalam ritual mappandesasi, yaitu tembakau

trdisional yang digulung di daun nipa yang sekarang sudah digampangkan dengan menggunakan

rokok yang dijual di warung-warung. Selain diakibatkan oleh pengaruh modern, hal ini juga

diakibatkan oleh keinginan masyarakat yang tidak mau susah dalam mencari perlengkapan

sarana ritual. Selain itu, uangkapan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi penempatan ruang

dan waktu dalam tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan

Abeli, Kota Kendari, sehingga terjadi pelipatan simbol-simbol dan nilai-nilai dalam ritual

mappandesasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Piliang (2006:38) yang mengatakan bahwa dunia

yang disaksikan sekarang adalah dunia yang dilipat, yang di dalamnya berbagai sisi dunia tampil

dengan wajahnya yang baru. Telah terjadi pemaksaan, pemadatan, pemamfaatan, perusakan,

pengerdilan, dan telah terjadi miniaturisasi.

Kondisi inilah yang terjadi dalam ritual mappandesasi di kelurahan Bungkutoko saat ini.

Terjadi pemaksaan, seharusnya dalam ritual itu, binatang sesembahan sebagai kurban tidak boleh

tidak harus sapi, kambing (beke) dan ayam (mannu). Akan tetapi, sekarang sudah digantikan

atau terjadi pengerdilan binatang sesembahan dalam ritual mappandesasi, yaitu sapi dihilangkan,

cukup dengan menggunakan beke dan mannu jantan bulu sirua. Selain pemaksaan, dalam ritual

mappandesasi telah terjadi pemadatan dan pemampatan. Pada awalnya dalam ritual

mappandesasi harus dan wajib menggunakan tembakau tradisional (bakal) yang digulung

Page 117: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

dengan daun nipa sebagai salah satu bahan perlengkappannya, sekarang sudah diganti dengan

tembakau modern yang sudah berbentuk rokok dalam kemasan yang dijual di warung-warung.

Hal ini dilakukan oleh masyarakat, selain karena susah mencari tambakaunya (bakal), proses

penggulungannya pun memerlukan waktu yang lama, karena daun nipanya harus dijemur dulu

sampai kering. Karena merasa rugi dari segi waktu, maka masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko, mencari yang instan saja, meskipun harus mengurangi nilai-nilai

kesakralan dari simbol-simbol dalam ritual mappandesasi.

Pembaruan dalam berbagai sarana perlengkapan ritual mappandesasi, bukan berarti ritual

mappandesasi mengalami perkembangan atau kemajuan ke arah yang lebih baik karena

mengikuti perkembangan zaman. Dilihat dari sudut pandang modern, memang ritual

mappandesasi telah mengalami perkembangan atau kemajuan ke arah modern. Akan tetapi,

ketika kita lihat dari sudut pandang tradisi, hal ini adalah sebuah pemunduran atau keterancaman.

Tradisi yang mengutamakan simbol-simbol tradisional dalam pelaksanaanya, dan simbol-simbol

tersebut telah disepakati bersama oleh masyarakat pendukungnya karena dianggap memiliki

nilai-nilai sakral tersendiri. Disadari atau tidak oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari bahwa pembaruan dalam sarana ritual

mappandesasi dengan hal-hal yang modern telah menggeser tradisi yang diwariskan turun-

temurun dari nenek moyang.

5.3 Menurunnya Jumlah Peserta yang Melakukan Ritual Mappandesasi

Ritual mappandesasi adalah tradisi budaya yang dimiliki oleh etnik Mandar. Secara

umum dapat disebutkan bahwa pelaku ritual mappandesasi adalah semua masyarakat nelayan

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Akan tetapi, dalam

pelaksanaannya, masyarakat lokal kelurahan Bungkutoko seperti, orang Buton dan orang Tolaki

Page 118: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pernah ikut melaksanakan ritual sebatas sebagai peserta. Hal ini diakibatkan karena pada waktu

itu orang Buton dan orang Tolaki ini bekerja sebagai nelayan di kelompok nelayan etnik Mandar.

Seiring berjalannya waktu, peserta ritual mappandesasi mengalami pengurangan dalam

hal jumlah, karena etnik lain sudah tidak ikut lagi. Masyarakat nelayan etnik Mandar sudah

jarang yang melakukan ritual mappandesasi, bahkan masyarakat nelayan etnik Mandar sudah

tidak lagi menjadi peserta. Keadaan seperti ini diperkuat oleh kondisi mata pencaharian sebagian

masyarakat etnik Mandar yang tidak melaut dan lebih memilih pekerjaan di darat. Untuk

mendapatkan peserta dalam ritual ini, masyarakat yang memiliki hajatan bekerja sama dengan

pegawai kelurahan sehingga pegawai kelurahan yang menghimbau warga untuk ikut dalam

pelaksanaan ritual, terkesan bahwa ritual ini dilakukan oleh pemerintah kelurahan.

Sudding (40 tahun) merupakan salah seorang informan yang masih melakukan hajatan

ritual mappandesasi dalam era modern seperti sekarang mengatakan sebagai berikut.

“Dulu ritual mappandesasi ini tidak saja dilakukan oleh masyarakat etnik Mandar, tetapi ada etnik lain yang ikut bergabung. Namun, dalam era seperti sekarang, masyarakat sudah tidak punya keinginan lagi untuk melakukan atau bahkan mengikuti saja sebagai peserta. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah masalah mata pencaharian. Orang tidak mau ikut lagi karena pekerjaan dia bukan di laut lagi. Jadi kalau orang yang bekerja di darat mau ikut dalam ritual mappandesasi sudah tidak mau karena dia pasti merasa rugi, apalagi kalau mereka sebagai kuli bangunan atau tukang ojek. Cara untuk menghadirkan masyarakat agar bisa ikut dalam ritual, saya selalu berkoordinasi dengan pihak kelurahan” (wawancara, 8 Februari 2011).

Ungkapan Sudding di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan peserta ritual,

khususnya dalam hal jumlah. Kondisi ini diakibatkan oleh faktor ekonomi, dalam hal ini

pekerjaan sebagian masyarakat etnik Mandar yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Akibat

pekerjaan yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas melaut adalah sebagian masyarakat

merasa acuh tak acuh dengan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa

perhatian pemerintah, khususnya Pemerintah Kelurahan terhadap ritual mappandesasi ini cukup

Page 119: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

signifikan. Salah satu bukti perhatian pemerintah adalah dengan menghadirkan masyarakat untuk

mengikuti acara ritual yang dilakukan oleh warga dengan mengatasnamakan Pemerintah

Kelurahan. Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat Dhavamony (1995:175) yang mengatakan

bahwa era modern telah membuat manusia untuk berpikir akan kebutuhan ekonomi (uang)

meskipun harus meninggalkan kebiasaan berperilaku sehari-hari.

Meskipun pemerintah menyarankan masyarakat ikut serta dalam setiap ada pelaksanaan

ritual mappandesasi, tetapi tidak semua masyarakat menjalankan himbauan itu. Gambaran

masyarakat tidak mengindahkan himbauan itu dapat dilihat dari jumlah peserta ritual

mappandesasi yang sangat sedikit seperti yang diuangkapkan oleh salah seorang pegawai

Kelurahan Bungkutoko berikut ini. Burhan kepala Lurah Kelurahan Bungkutoko mengatakan

sebagai berikut.

“Kami (pemerintah kelurahan Bungkutoko) telah berusaha untuk mengembalikan animo masyarakat, khususnya masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai pemilik ritual mappandesasi untuk selalu mengikuti setiap pelaksanaan ritual mappandesasi, tetapi kenyataannya masih saja sedikit jumlah pesertanya. Ini diakibatkan oleh peralihan mata pencaharian mereka. Meskipun demikian, saya tidak pernah kehabisan akal untuk membesarkan kembali ritual mappandesasi ini. Saya pernah menghadirkan Wakil Walikota Kendari yang juga satu suku mereka (etnik Bugis) dalam acara ritual mappandesasi. Wakil Walikota ini tidak sekedar saya hadirkan tetapi memberikan sambutan dan memberikan bantuan sejumlah uang untuk pelaksanaan ritual ini yang dia berikan langsung pada tetua adat mereka. Dalam sambutannya Wakil Walikota mengatakan bahwa tradisi ritual seperti ini supaya dipertahankan dan selalu dilakukan karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijadikan sebagai filter agar masyarakat tidak terbawa atau terserabut dari akar budayanya yang diakibatkan oleh globalisasi” (Wawancara, 8 Februari, 2011).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa begitu besar respon pemerintah, bukan saja Pemerintah

Kelurahan Bungkutoko tetapi juga Pemerintah Kota Kendari dalam menghidupkan ritual

mappandesasi. Hal ini, dapat kita lihat dari usaha kepala Lurah yang menghadirkan Wakil

Walikota untuk menghadiri acara ritual mappandesasi. Ini bertujuan untuk menggugah

keinginan masyarakat, khususnya nelayan etnik Mandar untuk tetap mempertahankan tradisi

Page 120: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mappandesasi dalam era globalisasi ini. Mulai saat itu pemerintah kota sudah selalu memberikan

bantuan untuk pelaksanaan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat

Dhavamony (1995:181) yang mengatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah proaktif untuk

menghidupkan tadisi-tradisi lokal (kepercayaan) bekerja sama dengan pemuka agama agar

masyarakat tidak terbawa arus globalisasi.

Page 121: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KETERANCAMAN RITUAL TERHADAP MAPPANDESASI

Globalisasi telah minimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai

budaya lokal dan global. Meminjam pemikiran Aruppadai (dalam Ardika, 2007:18) dikatakan

bahwa era globalisasi dicirikan oleh adanya perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh

perkembangan teknologi (technoscape), pengaruh media dan informasi (mediascape), pengaruh

aliran dana dari Negara kaya ke Negara miskin (finascape), dan adanya pengaruh ideologi seperti

HAM dan demokrasi (ideoscape) yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat.

Berbagai pengaruh globalisasi seperti di atas, bersentuhan langsung dengan sendi-sendi

kehidupan dan tidak sedikit dari pengaruh globalisasi telah meruntuhkan tatanan sosial

masyarakat yang telah terbina dari dulu. Tidak sedikit masyarakat yang terserabut dari akar

budayanya bahkan sampai kehilangan identitas pribadi akibat globalisasi. Bukan saja masyarakat

yang ada di sekitar perkotaan tetapi globalisasi telah merasuki tatanan kehidupan masyarakat

pedesaan. Banyak masyarakat yang mengalami, tidak saja manusia yang hidup dan betempat

tinggal di sekitar wilayah perkotaan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat dalam berbagai

dimensi kehidupan manusia, khusunya dalam hal kebutuhan pokok, pengaruh media dan

teknologi yang banyak menampilkan kebutuhan pokok manusia dengan promosi yang sangat

menarik perhatian.

Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kurangnya silaturrahim yang terjalin sesama

mereka (etnik Mandar) di Kelurahan Bungkutoko. Selain kondisi seperti itu, ada beberapa faktor

lain yang pengaruhi terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi, misalnya para etnik

Page 122: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Mandar terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sudah

jarang kita menjumpai orang-orang yang berasal dari etnik Mandar yang ikut terlibat.

Pada umumnya orang-orang etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai

aktivitas yang sama yakni melaut. Pada waktu malam hari, berbondong-bondong turun melaut,

ada yang menetap di laut sampai selama kurang lebih satu bulan, ada yang pada malam hari saja.

Pada waktu siang hari, kebanyakan dari mereka (nelayan etnik Mandar) memilih berdiam diri

(istirahat) di rumah, ada pula yang beraktivitas mengeringkan hasil tangkapan atau buruan.

Adapun aktivitas sampingan adalah berdagang, seperti membuka kios di rumah-rumah

masyarakat, yang dilakukan dilakoni oleh kaum ibu. Dengan demikian, pada saat ada kegiatan-

kegiatan sosial, seperti kerja bakti di kelurahan atau ada pernikahan, tampak sekali kuatnya

persatuan warga masyarakat Bungkutoko. Akan tetapi sekarang, dengan adanya globalisasi,

mengakibatkan kebutuhan manusia semakin hari semakin bertambah, sehingga membuat

sebagian etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko beralih mata pencaharian. Dari awal sebagai

nelayan, kini beralih ke mata pencaharian yang hasilnya langsung dirasakan, seperti tukang ojek,

kuli bangunan, dan sopir angkot (angkutan umum).

6.1 Faktor Eksternal

Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam ritual

mappandesasi adalah faktor dari luar atau eksternal. Artinya, perubahan itu terjadi dalam

masyarakat nelayan etnik Mandar sendiri. Akan tetapi, hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain

yang tidak berasal dari dalam masyarakat nelayan etnik Mandar sendiri. Faktor-faktor itu antara

lain teknologi dan media, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan.

6.1.1 Faktor Teknologi dan Media

Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota

Kendari yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada aktivitas kelautan

Page 123: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

seperti nelayan. Kebudayaan dalam konteks norma dan sistem sosial masyarakat nelayan etnik

Mandar masih tercermin secara sadar atau tidak sadar di setiap aspek kehidupan. Kesenangan

berkumpul dalam rangka suatu solidaritas, keterlibatan keluarga, semua ini mencerminkan

kebiasaan para nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang masih berakar dalam tubuh

mereka. Akan tetapi, saat ini masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sedang

mengalami goncangan atau tantangan dalam hal mempertahankan tradisi kebiasaan masyarakat

sebagai nelayan. Tradisi itu adalah ritual mappandesasi memberi makan laut.

Sebagian besar kehidupan generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar,

kehidupannya sudah terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai gaya hidup. Ini terjadi

karena pengaruh teknologi dan media, baik media elektronik seperti televisi maupun media cetak

seperti surat kabar. Selain itu, media telekomunikasi seperti telpon genggam telah mengubah

gaya hidup masyarakat, khususnya dalam hal pergaulan. Solidaritas sosial dalam masyarakat

nelayan etnik Mandar yang selama ini menjadi sangat positif ketika arah perhatian tertuju pada

kebersamaan, gotong-royong, saling memperhatikan dan tolong-menolong. Makna peningkatan

kualitas hidup yang demikian memperoleh substansi yang tepat dalam keadilan, kesejahteraan

bersama, dan harmoni. Bukan kepentingan individual atau kelompok tertentu.

Kebudayaan nelayan yang memiliki kekentalan nilai manusiawi, seperti perhatian,

persamaan, kebersamaan, dan saling menolong tidak lagi tercipta. Sama halnya dengan

kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang memiliki makna

menciptakan kebersamaan, tolong-menolong, antara sesama warga dari berbagai etnik, sekarang

sudah kurang memiliki power atau daya kontrol terhadap masyarakat untuk menjalin sebuah

solidaritas. Makna atau nilai kebersamaan yang terkandung dalam ritual mappandesasi dalam

masyarakat nelayan etnik Mandar, tidak saja kebersamaan antara sesama manusia, tetapi

membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan penguasa alam gaib, khususnya

Page 124: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

penjaga sasi. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh teknologi yang masuk dalam kehidupan

masyarakat nelayan etnik Mandar. Teknologi mutakhir yang memiliki kecenderungan

menciptakan alienasi atau pengasingan, sikap individual, dan cenderung merusak kebudayaan

yang hakiki. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh para generasi tua dalam masyarakat nelayan

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, tempat pelaksanaan ritual mappandesasi selalu saja

mendapat tantangan dari generasi muda yang memiliki pengetahuan dan terkontaminasi dengan

budaya global.

Tantangan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi yang dialami oleh para generasi tua,

yaitu para generasi muda menyebut generasi tua sebagai pengikut aliran sesat, melakukan

praktek kemusyrikan, dikatakan mengubah ajaran Islam yang sebenarnya. Klaim dari generasi

muda ini tidak terlepas dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki

oleh para generasi muda. Generasi muda menganggap praktek ritual sebagai salah satu perilaku

yang mencontohkan percaya kepada tahyul, karena generasi muda tergantung pada hal-hal yang

rasional saja.

Teknologi sebagai hasil kebudayaan yang bersifat fisik dan tanpa sipritualitas nilai-nilai

yang terkandung dalam adat, agama, dan kesenian, sudah kehilangan fungsinya untuk

meningkatkan kualitas hidupnya. Kehidupan di era global yang ditandai dengan kemajuan iptek

telah mempercepat tercabutnya akar budaya dari komunitasnya, terserabut dari landasan

dasarnya, berupa nilai-nilai, norma, dan etika (Wibowo, 2007:30). Lebih lanjut Geertz (dalam

Wibowo, 2007:31) menjelaskan bahwa kapitalisme sepenuhnya telah menguasai teknologi,

sementara ideologi-ideologi lain yang merupakan simbol-simbol kebudayaan tidak dapat lagi

berfungsi sebagai referensi orientasi dunia dalam nilai-nilai karena didominasi kapitalisme.

Kebudayaan merupakan seluruh usaha manusia dengan akal budinya, melalui proses

belajar yang bertujuan memperbaiki situasinya, mempertinggi kualitas hidupnya, dan semakin

Page 125: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

menyempurnakan dunia. Oleh Karen itu tindakan apa pun yang berupa pembunuhan kehidupan

serasi manusia adalah tindakan anti kebudayaan (Wibowo, 2007:28). Dalam konteks ini, jika

budaya global yang didominasi oleh kapitalisme ternayata banyak menciptakan ketidakadilan,

peperangan, dan pembunuhan kehidupan sebagian manusia. Ritual mappandesasi yang selama

ini dikenal dalam masyarakat sebagai salah satu bentuk ritual dalam masyarakat nelayan etnik

Mandar yang menciptakan kebersamaan, tolong- menolong, dan memperkokoh persatuan dan

solidaritas antarwarga, sekarang telah mengalami penurunan entitas dalam masyarakat. Ini

merupakan gerakan dari generasi yang ingin menghancurkan ritual mappandesasi, sehingga

selalu mendapatkan reaksi negatif dari sebagian besar masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko.

Kebudayaan yang selalu bertolak dari pemikiran ideal tentang apa yang seharusnya

dilakukan oleh manusia untuk menyempurnakan hidup dan kehidupan. Inilah makna kebudayaan

yang hakiki. Menyempurnakan berarti selalu memperbaiki dan tidak merusaknya. Upaya ini

melahirkan berbagai nilai, norma, aturan pergaulan, dan perilaku antarmanusia, serta terhadap

lingkungan. Di samping itu, upaya-upaya tersebut menghasilkan penemuan baru yang kemudian

berkembang bermacam-macam teknologi. Dengan demikian, teknologi sebenarnya hasil

kebudayaan manusia. Sebenarnya, pemikiran-pemikiran ekonomi dengan berbagai upaya

meningkatkan produksi hasil kebudayaan. Permasalahannya adalah mengapa akhirnya teknologi

dan ekonomi-bisnis melahirkan dampak yang justru bertentangan dengan kebudayaan yang

hakiki.

Fenomena di atas, saat ini dialami oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Sebagian masyarakat nelayan etnik Mandar di

kelurahan Bungkutoko menjadi lebih percaya pada hasil-hasil teknologi dan hukum-hukum

ekonomi untuk mencapai tujuan yang sudah bergeser ke kepentingan-kepentingan individual.

Page 126: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Dalam hal ini, aturan-aturan pergaulan, etika dan perilaku antarmanusia, serta pergaulan antara

manusia dengan alam lingkungannya, telah diabaikan. Akibatnya, sikap dan kebudayaan nelayan

etnik Mandar yang selama ini dijadikan sebagai identitas lokal mereka kini menjadi kabur. Ini

diakibatkan karena nelayan etnik Mandar sebagian sudah memberhalakan hukum ekonomi yang

materialistik dan hasil teknologi yang sering merusak keseimbangan serta struktur alam

lingkungan.

Kemajuan teknologi seperti media komunikasi dan media cetak ikut mempengaruhi

terjadinya perubahan pola perilaku, cara berpikir, dan cara pandang masyararakat dalam

memaknai hidup dan kehidupan. Kemajuan media yang penuh dengan bujuk rayu kenikmatan

telah membuat manusia untuk mengikuti keinginannya (media). Semua kenikmatan yang

ditawarkan oleh media hanyalah keniscayaan. Kelurahan Bungkutoko saat ini menghadapi

persoalan globalisasi dalam hal ekonomi, informasi, dan budaya. Dalam hal ini media massa

khususnya televisi dan internet sebegitu jauh terkesan sebagai media yang sangat spektakuler

dalam memfasilitasi proses-proses globalisasi melalui berbagai produk budaya yang disampaikan

kepada khalayak (masyarakat). Kecenderungan yang demikian membawa konsekwensi yang luas

dan mendalam terhadap perkembangan masyarakat Kelurahan Bungkutoko khususnya dalam hal

identitas lokal. Ritual mappandesasi yang selama ini dijadikan oleh masyarakat nelayan etnik

Mandar sebagai ciri khas atau sebagai identitas lokal mereka kini telah mengalami pengaburan

makna. Banyak masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang tidak lagi melakukan

ritual. Hal ini karena sudah tidak bermanfaat lagi menurut masyarakat nelayan etnik Mandar, ini

terjadi karena pengaruh media televisi dan internet yang selalu mengiklankan berbgai hasil

produk global yang menjanjikan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan tetapi kenyataannya

tidaklah seperti itu.

Page 127: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Banyak nelayan etnik Mandar yang beralih mata pencaharian demi mendapatkan

kemudahan untuk memperoleh uang agar tercapai kebutuhan ekonomi rumah tangganya.

Banyaknya infrastruktur ekonomi yang dibangun pemerintah seperti Mall membuat generasi

muda etnik Mandar tidak mau lagi menjalankan aktivitas sebagai nelayan dan memilih bekerja

sebagai karyawan di mall-mall. Kondisi ini membuat banyak generasi muda yang tidak

melaksanakan ritual mappandesasi, serta melupakan tradisi kebiasaan nenek moyang yang

sebenarnya sangat terkait dengan filosofis kehidupan nelayan etnik Mandar. Bakri 47 tahun salah

seorang informan yang merupakan tokoh masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko

Kecamatan Abeli Kota Kendari, mengatakan sebagai berikut.

“Salah satu faktor yang sangat dominan pengaruhnya terhadap keterancaman ritual kami adalah kemajuan teknologi dan media dengan segala bentuk paket promosi yang selalu ditayangkan pada setiap detik, dan sasaran utamanya adalah para generasi muda. Banyak generasi muda kami yang lebih memilih bekerja menjadi karyawan di mall-mall di kota daripada menjadi nelayan, dan penghasilannya juga lebih mendingan menjadi nelayan. Selain itu, dengan adanya berbagai paket hiburan yang selalu ditayangkan oleh televisi dalam setiap hari, seperti berbagai acara musik, film, membuat generasi muda tidak ada keinginan untuk mempelajari tradisi kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Menurut mereka generasi muda, tradisi itu lebih bersifat norak, kampungan dan tidak membuat mereka mejadi populer bila dibandigkan dengan mereka yang menjadi anak band” (Wawancara, 10 Februari 2011).

Ungkapan Bakri di atas menunjukkan bahwa para generasi muda di Kelurahan Bungkutoko lebih

memilih pekerjaan yang selalu dikaitkan dengan faktor gengsi dan penampilan daripada melihat

hasil. Selain itu, para generasi muda sudah tidak ada keinginan untuk menghidupkan dan

melestarikan kebiasaan masa lalu yang merupakan warisan dari nenek moyang sebagai identitas

lokal. Ini diakibatkan oleh iklan televisi dan internet seperti pemberitaan musik dan iklan lainnya

yang selalu menawarkan keniscayaan. Pemberitaan musik misalnya, orang mampu bermain gitar

dan menyanyi mereka bisa menjadi populer, sedangkan apabila mereka belajar tradisi, generasi

muda berpikirnya tidak akan membuat mereka menjadi populer. Life style lebih diutamakan

Page 128: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

sehingga membentuk sebuah identitas yang sifatnya hibriditas. Fenomena di atas, sejalan dengan

pendapat Hall, 1977:140) yang mengatakan bahwa televisi berdampak pada ketentuan dan

konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, dimana kita mempersepsikan “dunia”, “

realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan nelayan etnik

Mandar dan kehidupan melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami.

Hibriditas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mengacu pemikiran Homi K. Bhaba

bahwa suatu penciptaan format-format transkultural baru di dalam zona hubungan produk

kolonisasi. Konsep ini diasosiasikan oleh Bhaba dalam menganalisis relasi antara penjajah dan

terjajah dengan menekankan kesalingtergantungan dan konstruksi yang saling mendukung dari

subjektivitas. Analisis ini bila dikaitkan dengan realita sekarang, khususnya yang terjadi di

Keluarahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari sangat tepat. Kehidupan para generasi

muda di Kelurahan Bungkutoko, khususnya generasi muda dari etnik Mandar telah banyak

mengalami pergeseran dari tradisi ke modern. Pergeseran kebiasaan ini tidak terlepas dari

pengaruh media massa sebagai penjajah terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai

terjajah. Media massa menjajah generasi muda nelayan etnik Mandar sampai membuat generasi

muda mengalami ketergantungan terhadap produk-produk yang ditawarkan oleh media. Salah

satu produk media yang membuat generasi muda mengalami ketergantungan adalah produk

berbagai jenis musik. Generasi muda nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko lebih

memilih belajar musik dari pada mempelajari tradisi kebiasaan yang diwariskan secara turun-

temurun oleh nenek moyang dan di dalam warisan itu terkandung nilai-nilai positif, bahkan bagi

nelayan etnik Mandar di seluruh daerah pemukiman sudah dijadikan sebagai pedoman hidup.

Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas,

kesatuan nilai dari kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam

suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam

Page 129: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi.

Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong

pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehiduapn yang

beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara

meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial.

Globalisasi juga telah membuat cara-cara orang mempraktikkan ajaran nenek moyang,

khususnya ritual mengalami perubahan. Kondisi ini diakibatkan oleh cara berpikir masyarakat

yang selalu menginginkan kebaruan. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup

tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, menjauhkan manusia dari konteks

generalnya (Simmel,1991:17).

Pandangan Simmel di atas, apabila kita kaitkan dengan kehidupan masyarakat nelayan

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari sangatlah sejalan.

Masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko yang selalu menginginkan kebaruan,

mulai dari peralihan mata pencaharian sampai pada pembaruan sarana dan prasana ritul

mappandesasi. Peralihan mata pencaharian dari nelayan menjadi sopir angkutan umum, buruh

bangunan, menjadi tukang ojek, dan menjadi karyawan di mall, semua ini didorong oleh adanya

keinginan pembaruan. Pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan jenis pekerjaan dengan

harapan hasil yang didapatkan lebih baru, dari sedikit menjadi banyak. Selain itu, pembaruan ini

dilakukan karena ingin meningkatkan (membarukan) status sosial, karena selama ini masyarakat

nelayan selalu diidentikkan dengan masyarakat miskin dan orang-orang yang tidak

berpendidikan. Pembaruan dalam sarana dan prasana ritual, seperti yang dulunya binatang

sesembahan dalam ritual mappandesasi terdiri atas satu ekor sapi, beke, dan mannu jantan bulu

sirua’ tetapi sekarang digampangkan atau dikonstruksi baru menjadi seekor beke dan mannu.

Selain itu, pembaruan yang terjadi dalam ritual mappandesasi dapat kita jumpai dalam sarana

Page 130: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

ritual. Sarana ritual yang dulunya menggunakan tembakau tradisional dan digulung dengan daun

nipa, sekarang di barukan dengan mengganti tembakau tradisional dengan rokok buatan pabrik.

Media merupakan salah satu saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan

global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup (Abdullah, 2009:50). Saling

ketergantungan hidup yang difasilitasi oleh kemudahan komunikasi dan kedalaman interaksi

antarwarga masyarakat lintas etnik atau antarguyub kultur bahkan dengan masyarakat dunia

umumnya merupakan kekuatan pengubah dan pengembang kebudayaan. Kenyataan bahwa yang

mempengaruhi terjadinya keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko bukan saja dari dalam internal keetnikan seperti hubungan

antarmanusia dengan segala kepentingan terjalin, terajut dan terbina, secara alamiah dan kultural

secara terus-menerus dalam kehidupan sosial. Pada kenyataannya batas keetnikan dan

kebudayaan dalam era global ini memang telah kabur. Berdasarkan kontak dengan orang dan

guyub kultur lain itulah, peristiwa salain belajar dan berbagi pengalaman, pengetahuan dan

berbagi teknologi terjadi. Akibatnya, difusi unsur-unsur baru dapat terjadi secara meluas dan

mendalam menerpa sekat-sekat sistem budaya di kalangan masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko.

6.1.2 Faktor Pendidikan

Perkembangan pendidikan formal dan nonformal dalam berbagai jenjang dan jenisnya

merupakan suatu kekuatan dominan yang sangat menentukan perkembangan penalaran dan cara

berpikir manusia. Pendidikan dalam era informasi yang begitu cepat telah mengubah dan

mengembangkan wawasan dan orientasi hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Pendidikan

formal mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai ke tingkat pendidikan tinggi, baik swasta

Page 131: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

maupun negeri dituntut untuk mengikuti kurikulum yang sudah dioplos menjadi paket-paket

kepentingan tertentu, tanpa perlu mengindahkan kondisi, kepentingan, kebutuhan, dan

spesifikasi, baik sekolahnya maupun daerahnya (Wibowo,2007:52).

Perkembangan pendidikan formal dan nonformal di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan

Abeli, Kota Kendari, khususnya di lokasi pemukiman para nelayan etnik Mandar, baik secara

kualitatif maupun secara kuantitatif sudah memadai. Perkembangan pendidikan formal sangat

mempengaruhi pola pikir masyarakat nelayan etnik Mandar, khusunya para generasi muda.

Melalui pendidikan formal dalam berbagai jenjang inilah para generasi muda masyarakat

nelayan etnik Mandar dibekali ilmu pengetahuan. Salah satu pendidikan generasi muda yang

didapat melalui jenjang pendidikan formal dan dapat mengalihkan kebiasaan berperilaku mereka

sehari-hari, khusunya kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar dalam memperlakukan hal-hal

mistis atau yang berhubungan dengan alam gaib adalah mata pelajaran agama.

Dalam pelajaran agama inilah masyarakat nelayan etnik Mandar, khusunya bagi mereka

yang beragama Islam mendapat pemahaman mengenai perbedaan yang baik dan yang buruk

dalam ajaran Islam. Dalam mata pelajaran ini pula mereka bisa membedakan antara perilaku

yang musyrik dan yang bukan musyrik. Karena itulah, tidak mengherankan banyak kalangan

generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,

Kota Kendari menyebut ritual mappandesasi sebagai perilaku yang mengarah pada kemusyrikan.

Pendidikan generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar tidak terbatas pada

tingkatan atau jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas saja. Akan tetapi, sudah banyak

orangtua yang menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan tinggi, baik itu negeri

maupun swasta di wilayah Nusantara. Dengan bersekolah pada jenjang pendidikan tinggi,

generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar semakin dalam pemahamannya tentang ajaran

agama yang didapat melalui kegiatan eksternal kampus. Kondisi ini semakin membuat generasi

Page 132: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

muda masyarakat nelayan etnik Mandar sampai berani mengklaim bahwa ritual mappandesasi

adalah salah satu bentuk ritual yang menyembah selain Tuhan. Hal ini senada dengan penuturan

Sappe 45 tahun, yang mengatakan sebagai berikut.

“Kami sebagai generasi tua tetap memegang teguh kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang kami. Namun, dalam pelaksanaanya kami sudah banyak mendapatkan kendala. Salah satu kendala yang sering kami hadapi adalah pemahaman generasi muda yang sudah berpendidikan. Faktor yang mengakibatkan keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah banyaknya aliran Islam yang masuk di Kelurahan Bungkutoko ini. Semua yang mebawa aliran itu adalah anak-anak kami yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan formal mereka sudah menganggap kami sebagai orang-orang yang sesat dan musyrik. Hal ini mereka katakan karena kami dalam melakukan ritual mappandesasi selalu menyerahkan atau memberi sesajen pada tempat-tempat yang kami anggap keramat atau dihuni oleh penjaga sasi. Dari sinilah sehingga kami dari generasi tua dalam masyarakat tidak jarang terjadi pertentangan pendapat dengan generasi muda, bahkan pernah kami berpikir untuk mengusir mereka dari Kelurahan Bungutoko ini” (Wawancara, 26 Januari 2011).

Penuturan informan di atas menunjukkan bahwa perilaku masyarakat nelayan etnik Mandar yang

masih memegang teguh kepercayaan lokal, khususnya bagi masyarakat yang kurang

berpendidikan masih selalu melakukan ritual mappandesasi. Dalam melaksanakan ritual

mappandesasi para masyarakat awam selalu mendapat tantangan dari generasi muda yang

berpendidikan. Generasi muda sudah menilai bahwa apa yang dilakukan oleh generasi tua

mereka adalah salah satu bentuk kemusyrikan dan harus dilawan karena telah mengubah ajaran

dan aqidah Islam yang sebenarnya. Dengan penilaian itu tidak sedikit membuat para generasi tua

kebakaran jenggot dan bahkan pernah terbesik niat dari kalangan generasi tua yang masih

berpegang teguh pada tradisi kebiasaan nenek moyang, akan mengusir para generasi muda yang

berbeda aliran kepercayaan dengan nelayan etnik Mandar. Apalagi agama yang dianut oleh

masyarakat nelayan etnik Mandar mayoritas Islam, tetapi masih Islam sinkretis. Hal ini sejalan

dengan pendapat Geertz (1992:107) yang mengatakan bahwa agama sebagai sistem kebudayaan

Page 133: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

tidak memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat,

tetapi berperan memecah belah.

Para generasi muda tidak sekedar menjastivikasi perilaku para generasi tua dalam

masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai perbuatan yang menyimpang dari ajaran Agama

Isalam. Para generasi muda membentuk kelompok-kelompok pengajian dalam masyarakat guna

mempelajari atau memberikan pemahaman agama pada generasi muda yang lainnya sekaligus

mencuci pemikiran mereka agar tidak melakukan ritual mappandesasi yang notabene penuh

dengan simbol-simbol kemusyrikan.

Dari kelompok pengajian inilah banyak bermuculan para generasi muda yang kritis,

sehingga para generasi tua semakin kesulitan untuk mempertahankan atau melembagakan tradisi

mappandesasi ini dalam diri generasi muda sebagai generasi penerus. Bukan itu saja, generasi

tua semakin kesusahan untuk meningkatkan jumlah peserta dalam melakukan ritual

mappandesasi. Kondisi ini mengakibatkan ritual mappandeasasi sebagai identitas budaya etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko terancam akan mengalami kepunahan. Keresahan ini

diungkapkan oleh salah seorang tetua adat dalam masyarakat etnik Mandar. Suddiang 50 tahun

di bawah ini.

“Kalau para generasi muda akan tetap berperilaku frontal seperti ini, maka tidak tertutup kemungkinan 15 tahun ke depan ritual mappandesasi ini akan hanya tinggal nama atau kenangan saja, bahwa masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko pernah memiliki kebiasaan atau budaya ritual mappandesasi. Perilaku generasi muda, khususnya yang mendalami ajaran agama Islam tidak hanya membuat saya resah tetapi semua masyarakat di sini prihatin dengan eksistensi ritual mappandesasi ke depannya. Dari itu, sehingga akan lahirlah masyarakat etnik Mandar yang tidak memiliki ciri khas budaya sebagai identitas lokal atau masyarakat tanpa identitas lokal” (Wawancara, 20 Januari 2011).

Ungkapan Suddiang yang juga merupakan salah satu tetua adat dalam masyarakat etnik Mandar

di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari menunjukkan bahwa para

masyarakat, bukan saja tetua adat, semua masyarakat yang masih memegang teguh kebiasaan

Page 134: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

ritual mappandesasi telah terusik dengan perilaku generasi muda nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko. Keresahan dan kegelisan itu mengarah pada kondisi keberadaan dan

eksistensi ritual mappandesasi dalam masyarakat dalam kurun waktu 15 tahun ke depan.

Suddiang memprediksikan 15 tahun ke depan masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan

Bungkutoko akan menjadi masyarakat tanpa identitas lokal kalau para generasi muda sudah

tidak mau mewarisi lagi tradisi nenek moyang dulu. Ungkapan Suddiang di atas sejalan dengan

pendapat Piliang (2006:279) yang mengatakan bahwa menghidupkan kembali budaya lokal sama

halnya dengan menghidupkan identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak

dapat dipisahkan dari kebudayaan. Identitas menjadi sebuah isu tatkala segala sesuatu yang

sudah dianggap stabil sebagai warisan kultural masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh

dari luar, khusunya akibat berlangsungnya globalisasi yang menciptakan homogenitas budaya.

Krisis identitas muncul ketika apa-apa yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari tidak

dapat lagi dipertahankan, karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai yang berasal dari luar.

Fenomena inilah yang akan dialami oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari apabila generasi muda mereka tetap tidak mau

mempelajari dan mengaktualisasikan lagi pemahaman-pemahaman dari nenek moyang.

Masyarakat nelayan etnik Mandar akan mengalami krisis identitas lokal, akibat pergulatan antara

tradisi dan agama.

Para generasi muda masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko hanya berpikir

dan berperilaku secara sepihak. Yang dimaksud secara sepihak adalah generasi muda etnik

Mandar yang mendalami ajaran agama Islam berpikir untuk kehidupan akhirat saja. Pemikiran

inilah yang membuat nelayan etnik Mandar mengenyampingkan cara untuk meraih kebahagiaan

dunia. Padahal dalam ajaran Islam harus meyeimbangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan

akhirat. Berusaha untuk kebahagiaan hidup di dunia bertujuan agar dalam melaksanakan

Page 135: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pencarian kebahagiaan hidup akhirat terlebih dahulu harus dipenuhi kebutuhan dunia. Oleh

karena itu, adat harus dipertahankan karena adat merupakan warisan nenek moyang yang diakui

masih memiliki fungsi yang luhur sehingga masih dipertahankan karena merupakan pedoman

untuk mendapat kebahagiaan dunia (Abdullah, 1985:7). Adapun agama, dianggap sebagai

kebutuhan batin dan pegangan yang memiliki nilai agung yang dapat menuntun penganutnya ke

arah yang benar untuk kebahagiaan hidup di akhirat (Geertz,1973:61).

6.1.3 Faktor Ekonomi

Selain kemajuan teknologi dan media serta kemajuan ilmu pengetahuan, ternyata faktor

ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam

ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko

Kecamatan Abeli Kota Kendari. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang harus

dipenuhi dalam rumah tangga terkait dengan kebutuhan pangan, sandang dan kebutuhan papan.

Kebanyak masyarakat nelayan etnik Mandar yang beralih mata pencaharian karena akibat dari

penghasilan melaut yang belum mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan.

Desakan pemenuhan kebutuhan inilah yang mengakibatkan masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari melakukan penyebaran untuk

mencari pekerjaan baru yang menurut masyarakat hasilnya lebih menjanjikan daripada menjadi

nelayan. Adapun jenis pekerjaan yang digeluti adalah semua pekerjaan yang tidak berhubungan

dengan laut, seperti supir angkutan umum, tukang ojek, kuli bangunan, dan sebagai karyawan

perusahaan, dan karyawan mall. Akibat dari pilihan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan

laut lagi sehingga sebagian masyarakat nelayan tidak mau melaksanakan dan tidak mau tau lagi

dengan ritual mappandesasi.

Masyarakat etnik Mandar yang memilih menjadi supir angkutan umum, jam kerjanya

mulai pagi sampai jam larut malam baru pulang ke rumahnya. Itupun yang tidak tinggal di

Page 136: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

tempat kerjanya (di kota), karena yang menggeluti pekerjaan ini, biasanya sudah tinggal menetap

di kota dengan tinggal di rumah kontrakan atau kost-kostsan bersama keluarganya (istri dan

anaknya). Dengan tinggal di perkotaan, maka waktu pulang ke Kelurahan Bungkutoko sudah

sedikit. Streotip masyarakat Mandar sebagai masyarakat yang giat bekerja, sehingga kebanyakan

istri dari masyarakat nelayan etnik Mandar ikut bekerja mambantu menambah penghasilan suami

untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Masyarakat etnik Mandar yang bekerja menjadi kuli bangunan jarang pulang ke

Kelurahan Bungkutoko. Mengingat pusat pembangunan kebanyakan ada di pusat kota, maka

setelah mendapat pekerjaan mereka harus tinggal di tempat kerja. Hal ini dilakukan untuk

mengefektifkan waktu kerja. Kalau masyarakat harus pulang di Kelurahan Bungkutoko maka,

secara otomatis waktu untuk bekerja akan berkurang, sementara bangunan yang dikerjakan

kebanyakan sifatnya borongan. Jadi, dengan tinggal di tempat kerja, masyarakat berharap

bangunan yang dikerjakan cepat selesai dan mencari pekerjaan atau borongan yang lain lagi.

Kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini adalah masyarakat etnik Mandar yang tidak memiliki

keterampilan dan pendidikan yang memadai, serta kebanyakan dari nelayan etnik Mandar adalah

generasi muda.

Berbeda lagi dengan pekerjaan sebagai tukang ojek, memang tinggal di Kelurahan

Bungkutoko, tetapi sudah bersifat apatis terhadap pelaksanaan ritual mappandesasi. Tukang ojek

lebih berpikiran materialis daripada pekerja kuli bangunan dan supir angkutan umum. Ini terjadi

karena kebanyakan dari nelyanan etnik Mandar yang menggeluti pekerjaan ini menggunakan

motor cicilan sehingga kecenderungan untuk mencari uang tinggi, mengingat tanggung jawab

nelyanan etnik Mandar terkait dengan cicilan motor yang digunakan mengojek. Kalau harus

mengikuti ritual mappandesasi, tidak mendapatkan uang setoran maka nelyanan etnik Mandar

Page 137: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mengalami kerugian. Tukang ojek berpikiran untung rugi, dan hal ini yang membuat nelyanan

etnik Mandar harus giat mencari dan bersifat individualistik.

Selain tiga jenis pekerjaan di atas, masih ada jenis pekerjaan yang digeluti oleh sebagian

generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar yang berdomisili di Kelurahan Bungkutoko,

yakni sebagai karyawan di mall. Pekerjaan ini lebih sibuk lagi, karena masuk kerja jam 08.00

pagi dan pulang jam 22.00 malam. Kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini adalah generasi

muda, baik laki-laki maupun perempuan. Mengingat jarak antara Kelurahan Bungkutoko dan

pusat kota sebagai tempat mereka bekerja cukup jauh dan memiliki keterbatasan transportasi.

Transportasi dari kota yang menuju Kelurahan Bungkutoko memang ada tetapi sampai pada jam

20.00 malam, di atas jam 20.00 malam sudah tidak ada lagi transportasi yang mau ke Kelurahan

Bungkutoko. Melihat kondisi transportasi yang demikian sehingga semua yang bekerja sebagai

karyawan mall sudah pasti tinggal di rumah kost yang dekat dengan tempat kerja masing-masing.

Selain keterbatasan transportasi, mereka harus tepat waktu, karena waktu jam kerja mulai jam

08.00 pagi. Sudah pasti kalau tinggal di Kelurahan Bungkutoko akan mengalami keterlambatan

untuk masuk kerja karena jarak yang jauh.

Meskipun semua pekerjaan yang digeluti oleh sebagian besar nelayan etnik Mandar ini,

bila ditinjau dari segi penghasilan tidaklah mengalami perbedaan yang signifikan dengan

penghasilan sebagai nelayan. Justru penghasilan menjadi nelayan masih lebih baik daripada

pekerjaan sebagai supir mobil, tukang ojek, dan kuli bangunan. Yang membedakanya itu

hanyalah dalam hal keuangan. Keuangan yang dimaksud adalah bukan dalam jumlah

penghasilan, tetapi keuangan yang dimaksud adalah ketika menjadi supir angkutan umum dan

tukang ojek, memegang uang tiap hari atau tidak kekurangan uang belanja keluarga sehari-

sehari. Sementara menjadi nelayan, untuk menikmati hasilnya harus menunggu sampai pulang

dari melaut, dan lama melaut bisa sampai lebih dari satu bulan atau biasanya 40 hari.

Page 138: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Pekerjaan sebagai karyawan mall sebenarnya penghasilannya lebih sedikit dan untuk

menikmati hasilnya sama dengan nelayan yakni diterima pada setiap bulannya. Hanya yang

membedakan antara karyawan mall dan nelayan terletak pada gengsi atau status sosial saja. Etnik

Mandar yang bekerja sebagai karyawan mall merasa lebih daripada yang bekerja sebagai

nelayan. Terjadi kelompok inferior (nelayan) dan superior (karyawan) dalam hal hubungan

komunikasi antara kelompok karyawan dan kelompok nelayan. Bekerja di sektor produksi dan

bersentuhan langsung denga dunia perkotaan kelompok karyawan merasa lebih segalanya

daripada pekerjaan sebagai nelayan yang hidup dan tempat kerjanya selalu jauh dari pemukiman

manusia.

Kondisi seperti di atas, bisa dilihat dari pemaparan Surding 42 tahun. Surding adalah

salah seorang tokoh masyarakat yang juga berprofesi sebagai supir angkutan umum. Hanya saja

Surding tetap tinggal di Kelurahan Bungkutoko karena mengingat rumah, keluarganya dan

tanggung jawabnya sebagai tokoh masyarakat. Di bawah ini dipetik ucapan Surding.

“Banyak masyarakat nelayan etnik Mandar yang meninggalkan aktivitasnya sebagai nelayan dan mencari pekerjaan yang tidak berhubungan dengan laut. Pekerjaan seperti buruh bangunan, tukang ojek, karyawan dan supir angkutan umum. Karena kesibukan yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas di laut membuat lupa dengan tradisi. Apalagi yang bekerja sebagai karyawan di mall misalnya, etnik Mandar sudah menganggap pekerjaan sebagai nelayan sebagai pekerjaan yang rendah dan identik dengan orang-orang yang tidak berpendidikan. Mereka yang menggeluti pekerjaan yang disebutkan di atas, kebanyakan tinggal di tempat kerja. Akibatnya kondisi kebiasaan di kampung menjadi terlupakan. Masyarakat nelayan etnik Mandar beralih mata pencaharian disebabkan oleh desakan pemenuhan kebutuhan pokok.” (Wawancara 23 Januari 2011).

Ungkapan Surding di atas menunjukkan bahwa terjadinya keterancaman dalam ritual

mappandesasi juga disebabkan oleh adanya penyebaran masyarakat nelayan etnik Mandar untuk

mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhan ekonomi. Jenis pekerjaan yang mereka tekuni

juga sangat menentukan tempat tinggal dan status sosial mereka. Generasi muda nelayan etnik

Mandar yang beralih mata pencaharian, selain karena hasil dalam melaut mereka anggap belum

Page 139: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mencukupi kebutuhan, pekerjaan melaut juga diidentikkan dengan pekerjaan masyarakat miskin

dan tidak memiliki pendidikan yang memadai. Maka dalam masyarakat nelayan etnik Mandar

terjadi oposisi biner antara kelompok pekerja sebagai nelayan dan kelompok pekerja sebagai

karyawan, tukang ojek, buruh bangunan dan supir angkutan umum. Kelompok pekerja sebagai

karyawan menganggap diri mereka lebih dibandingkan dengan kelompok pekerja sebagai

nelayan. Hal ini sejalan dengan pendapat Douglas dan Isherwood, (1980:72) yang mengatakan

bahwa proses konsumsi seperti konsumsi rumah dan jenis pekerjaan seperti pekerjaan menjadi

karyawan, merupakan instrument yang cukup signifikan untuk menjelaskan gaya hidup dan

merupakan penanda identitas.

6.2 Faktor Internal

Faktor perkembangan teknologi dan media, faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan faktor

ekonomi memang merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya keterancaman dalam

ritual mappandesasi secara eksternal. Disadari atau tidak, perubahan atau keterancaman ada yang

datang secara internal atau dari dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Sama halnya

dengan ritual mappandesasi. Terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi tidak saja

disebabkan oleh faktor secara eksternal seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan ini dalam

halaman terdahulu, tetapi terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi ini disebabkan

oleh faktor internal seperti tidak adanya transmisi budaya dari generasi tua kepada generasi muda

dan kurangnya pengetahuan generasi muda tentang ritual mappandesasi. Kedua faktor yang

menyebabkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi ini akan diuraikan di bawah

ini.

Page 140: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

6.2.1 Tidak Adanya Transmisi Budaya dari Generasi Tua kepada Generasi Muda Perubahan dapat didefinisikan secara konseptual sebagai perkembangan, pergeseran,

penggantian (subtitusi) komponen atau subsistem kebudayaan tertentu pada masa perkembangan

tertentu dan terjadi di lingkungan sosial tertentu pula. Aron Meko Mbete dkk. (2006:191)

mengatakan bahwa penyusutan fungsi sebuah komponen budaya merupakan ciri dinamika

kebudayaan.

Hal yang sama juga diuangkapkan oleh Andriani S. Kusni dan J.J. Kusni

(http/www.google.kompas.com.30 November 2009), bahwa pemindahan khazanah budaya dari

generasi satu ke generasi yang lainnya (dari generasi tua ke generasi muda) dilakukan secara

lisan dan tulisan. Pemindahan nilai-nilai budaya umumnya secara lisan, dituturkan dengan cerita-

cerita pada waktu menjelang tidur oleh ibu atau bapak kepada anak-anaknya kakek atau nenek

kepada cucu-cucunya. Saat ini pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah jarang atau tidak

lagi dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua seakan-akan tidak lagi perduli

dengan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Orang tua sudah tidak mewariskan tradisi

budayanya kepada anak-anak sebagai generasi penerus tradisi itu dengan menggunakan cerita-

cerita pada saat menjelang tidur. Kondisi ini terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari.

Generasi muda nelayan etnik Mandar tidak lagi mengetahui apa dan seperti apa tradisi

kebiasaan nenek moyangnya. Hal ini disebabkan karena sudah tidak adanya pewarisan tradisi

dari orang tua (generasi tua) kepada anak-anaknya (generasi muda) sebagai generasi yang

bertanggung jawab untuk melestarikan tradisi tersebut. Generasi tua nelayan etnik Mandar hanya

sekedar melaksanakan untuk mempertahankan tradisi yang diperolehnya dari generasi sebelum

dia tanpa ada usaha atau upaya dalam bentuk konkret untuk melestarikan tradisi tersebut.

Page 141: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Jumlah orang tua atau generasi yang masih sering melakukan ritual mappandesasi dalam

era modern sekarang semakin hari semakin sedikit. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi dalam

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari.

Masyarakat atau generasi yang masih melakukan ritual mappandesasi hanyalah dari kalangan

orang tua. Anak muda tidak memiliki ketertarikan untuk ikut melaksanakan sebagai bentuk

partisipasi dari masyarakat untuk mempertahankan ritual mappandesasi. Tidak adanya

ketertarikan ini diakibatkan karena para generasi muda tidak memiliki pemahaman dan

pengetahuan tentang ritual mappandesasi. Generasi tua pun dalam melaksanakan ritual

mappandesasi sekedar melaksanakan tanpa ada sosialisasi kepada generasi muda untuk

mengetahui dan melestarikannya. Kondisi seperti ini sejalan dengan penuturan informan Rusdi

43 tahun. Rusdi merupakan salah satu tokoh masyarakat nelayan etnik Mandar. Penuturan Rusdi

dicantumkan di bawah ini.

“Sejak saya tiba di kelurahan Bungkutoko ini pada tahun 2005 yang lalu, saya belum pernah melihat pementasan budaya etnik Mandar. Kalau ada itu hanya pada saat-saat tertentu saja. Seperti ritual mappandesasi, itukan ada nanti dua tahun atau satu tahun sekali. Seharusnya itu perlu untuk diadakan demi kelestarian tradisi, selain itu pementasan bisa berfungsi sebagai media pengetahuan bagi generasi muda agar mereka bisa mengetahuai tentang apa fungsi dari ritual mappandesasi. Jadi kalau dari generasi tua tidak melakukan langkah-langkah kongkret untuk melestarikan ritual mappandesasi, maka tidak usah heran jika ritual mappandesasi ini akan hilang dan punah digilas roda globalisasi. Globalisasi banyak melahirkan produk budaya tandingan untuk menghancurkan tradisi, dan semua budaya yang dilahirkan oleh globalisasi selalu diminati oleh generasi muda karena memang sesuai dengan kondisi perkembangan zaman” (Wawancara, 28 Januari 2011)

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa kondisi ritual mappandesasi yang menjadi

identitas lokal sekaligus menjadi tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di

kelurahan Bungkutoko kecamatan Abeli, kota Kendari sedang mengalamai tantangan. Tantangan

itu adalah datangnya dari generasi muda dan generasi tua, sehingga tidak tertutup kemungkinan

ritual mappandesasi akan mengalami kepunahan. Dari generasi tua, tidak adanya sosialisasi

Page 142: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

untuk mewariskan ritual mappandesasi kepada generasi muda, sehingga generasi muda tidak

memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang ritual mappandesasi. Generasi muda lebih akrab

dengan produk budaya lokal, seperti musik dan sejenisnya. Karena musik atau produk budaya

global sifatnya fleksibel, bisa menyesuaikan dengan kemajuan zaman dan bagi orang yang

menekuninya bisa menjadi populer. Produk budaya global memang selalu membawa orang

menjadi terkenal, populer (kemoderenan) tatapi juga selalu mematikan produk-produk budaya

lokal yang tidak memiliki daya saing akibat dari masyarakat pendukungnya yang tidak pro aktif

untuk melestarikan budayanya. Ungkapan ini sejalan dengan pendapat Abdullah (2006:52) yang

mengatakan bahwa proses semacam ini sebagai proses eksklusi sosial, suatu kelompok

cenderung membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dengan orang lain.

Inilah yang dilakukan oleh para generasi muda di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,

Kota Kendari. Generasi muda lebih cenderung mempelajari musik-musik modern daripada ritual

mappandesasi karena musik bisa membuat identitas berbeda dengan kelompok lain khususnya

generasi tua yang masih melakukan ritual mappandesasi.

Fenomena di atas, bila kita meminjam istilah dari Bhaba (dalam Gandhi, 2006:viii)

bahwa seluruh pernyataan dan sistem kultural dikonstruksikan dalam sebuah tempat yang

disebut “tempat pengucapan ketiga”. Identitas kultural selalu berada dalam wilayah kontradiksi

dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hierarki “kemurnian” budaya-budaya tidak

dapat dipertahankan lagi.

6.2.2 Tidak Adanya Pengetahuan Generasi Muda tentang Ritual Mappandesasi

Faktor penyebab terjadinya keterancaman ritual mappandesasi juga dipengaruhi oleh

faktor internal, yakni tidak adanya pengetahuan generasi muda nelayan etnik Mandar tentang

ritual mappandesasi. Sudah tidak memiliki pengetahuan tentang ritual mappandesasi, ditambah

lagi oleh tidak adanya keinginan dari generasi muda untuk mempelajari ritual mappandesasi.

Page 143: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Terjadilah perubahan dalam ritual mappandesasi yang tidak mengarah kepada peningkatan atau

kemajuan, akan tetapi mengalami perubahan yang mengakibatkan penurunan tingkat

pelaksanaan dalam masyarakat nelayan etnik Mandar. Sztompka (1995:57) menyatakan bahwa

dalam era mondial tempat terjadi pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai global,

mengharuskan perubahan tradisi menjadi sesuatu yang bermakna bagi masyarakat

pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi dipengaruhi bahkan disapu

bersih oleh globalisasi.

Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota

Kendari sedang menghadapi tantangan globalisasi. Para generasi muda masyarakat nelayan etnik

Mandar lebih cenderung mempelajari hal-hal yang menurut mereka masih baru dan bisa

membuat mereka menjadi populer dan terkenal. Salah satunya adalah musik, menurut generasi

muda nelayan etnik Mandar dengan mempelajari musik sampai bisa masuk studio rekaman,

maka masyarakat generasi muda bisa terkenal, tidak saja di Kelurahan Bungkutoko tapi terkenal

seluruh dunia. kalau mempelajari ritual mappandesasi, maka tidak akan pernah membawa

generasi muda untuk menjadi populer. Pemikiran inilah yang mengakibatkan para generasi muda

untuk tidak belajar tentang kebiasaan-kebiasaan tradisional. Selain itu, tidak adanya keinginan

generasi tua untuk mewariskan pengetahuan tradisi ini kepada generasi muda. Fenomena di atas

sejalan dengan ungkapan informan Mardin 45 tahun. Mardin merupakan salah satu tokoh

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Mardin mengatakan sebagai

berikut.

“Saya juga bingung dengan keinginan anak muda sekarang. Mereka maunya harus yang modern-modern, seperti musik karena musik itu bisa membuat generasi muda mendapatkan uang yang banyak dan menjadi terkenal. kemungkinan besar 15 tahun ke depan kami (nelayan etnik Mandar di daerah perantauan ini) tidak lagi memilliki identitas budaya sendiri. Era yang serba modern ini memang mangarahkan manusia untuk serba gempang (praktis) tetapi tidak bisa kita pungkiri juga karena globalisasi kita harus kehilangan tatanan

Page 144: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

sosial yang selama ini kita jadikan sebagai ikon budaya dan persaudaraan”. (Wawancara, 23 Januari 2011).

Ungkapan informan di atas menunjukkan kekhawatiranya atas sikap dan perilaku generasi muda

nelayan etnik Mandar yang tidak lagi memperhatikan dan melestarikan tradisi seperti ritual

mappandesasi. Generasi muda lebih cenderung melestarikan produk-produk modern seperti

musik. Selain itu, ungkapan informan di atas menunjukkan adanya penyesalan terhadap gerakan

globalisasi, seharusnya globalisasi mengantarkan manusia untuk modern tanpa harus terserabut

dari akar budayanya, tetapi justru produk modern yang menghancurkan tatanan sosial

masyarakat yang sudah ada. Kita pinjam istilah Storey (2007:54) bahwa globalisasi telah

membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring masyarakat ke

persamaan atau homogenitas budaya serta menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Kondisi

ini bila dibiarkan akan mengancam eksistensi budaya lokal bahkan mengantarkan budaya lokal

menuju kepunahan.

Menurut Giddens (2003:8) bahwa kehancuran masyarakat lokal diakibatkan oleh

masyarakat lokal itu sendiri yang tidak memiliki kemampuan untuk mengimbangi derasnya arus

globalisasi yang melanda masyarakat lokal sehinga komunitas lokal terserabut dari akar

budayanya. Kondisi inilah yang terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Banyak generasi muda yang tidak mengetahui lagi

apa yang menjadi tradisi dan tradisi itu sebenarnya memiliki nilai-nilai bagi nelayan etnik

Mandar. Salah satu cantoh tradisi yang tidak lagi deketahui oleh generasi muda dalam

masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah kebiasaan masyarakat

melakukan ritual mappandesasi. Dalam ritual ini banyak terkandung nilai-nilai kebaikan dan

dijadikan sebagai pandangan hidup bagi masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar).

Page 145: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Tidak membuat generasi muda nelayan etnik Mandar populer. Ritual mappandesasi

dianggap oleh generasi muda nelayan etnik Mandar yang memiliki ilmu pengetahuan khusunya

ilmu agama, sebagai salah satu bentuk praktek kemusryikan. Itulah salah satu penyebab mengapa

generasi muda nelayan etnik Mandar tidak mau mempelajari ritual mappandesasi. Kondisi di

atas sejalan dengan penuturan informan Andri 22 tahun. Andri merupakan salah seorang

pemuda yang aktif dalam dunia hiburan, tetapi sebelum Andri aktif dalam dunia musik, semasa

kuliahnya Andri aktif dalam organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Penuturan Andri dicantumkan di bawah ini.

“Bagaimana kami (generasi muda) mau mempelajari ritual Mapandesasi, menurut kami itu tidak berarti apa-apa, justru itu hanya menjadikan sebagai masyarakat yang menyembah selain Allah. Masa kita diajarkan untuk berbuat musryik. Selain itu, ritual mappandesasi tidak akan pernah membuat menjadi populer karena itu dilakukan sekali dalam setahun, musimanlah sifatnya. Itupun yang melakukannya hanya para generasi tua, kelompok nelayan, dan anak-anak. generasi tua sudah jarang yang ikut-ikut melakukan itu (ritual mappandesasi). beda dengan kami belajar musik misalnya, karena musik bisa membuat generasi muda menjadi populer, mencari jati diri, pelaksanaannya tidak musiman” (Wawancara, 23 Januari 2011).

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ketidakmauan generasi muda untuk mempelajari

tradisi-tradisi lokal seperti ritual mappandesasi karena ritual mappandesasi sifatnya musiman,

cenderung mengajarkan masyarakat untuk menduakan Allah (melakukan kemusryikan). Selain

itu, ritual mappandesasi tidak memiliki nilai positif terhadap generasi muda, karena menurut

masyarakat nelayan etnik Mandar ritual mappandesasi tidak akan membuat generasi muda

menjadi populer, berbeda dengan belajar musik. Musik bisa membuat generasi muda yang

berbakat menjadi terkenal. Ungkapan informan di atas menunjukan bahwa ritual mappandesasi

telah kehilangan daya kontrolnya dalam masyarakat sehingga ritual mappandesasi tidak lagi

dianggap oleh generasi muda sebagai suatu unsur penyeimbang dalam masyarakat guna

menghadapi tantangan globalisasi. Ungkapan ini sejalan dengan pendapat Kleden (1996:239)

Page 146: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

bahwa ketika suatu sistem sosial budaya tidak cukup kuat lagi untuk menjadi landasan sistem

sosial dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu terpaksa berubah karena didesak oleh

perubahan. Perubahan yang dimaksud, yakni globalisasi yang telah merusak tatanan sosial dalam

suatu masyarakat.

6.2.3 Faktor Tradisi

Sebagaimana pandangan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap ritual mappandesasi

adalah konstruksi imaginasi masyarakat etnik Mandar melalui simbol-simbol dalam memahami

suatu kekuatan yang berada di luar dirinya (Turner, 1976:19). Sejalan dengan itu ritual

mappandesasi pada saat yang sama, ditafsirkan sebagai sesuatu yang hadir melalui warisan

tradisi leluhur, karena itu harus dipelihara keberlanjutannya, selain itu masyarakat menganggap

ritual mappandesasi setara dengan ritual keagamaan. Terasa kontrofersial, karena itu ritual

mappandesasi mendapat respon berbeda dari komunitas lain khususnya dari tingkat individu

yang memiliki pemahaman agama Islam.

Seperti yang telah diuraikan di halaman pembahasan sebelumnya bahwa masyarakat

nelayan etnik Mandar merespon fenomena atau mitos ritual mappandesasi ditanggapi berbeda

dan variatif. Selain keyakinan terhadap eksistensi ritual mappandesasi yang selalu hadir setiap

saat, ada yang memahami ritual yang selama ini dilakukan merupakan warisan atau tradisi

leluhur. Menurut pemahaman masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko bernama

Sudding, merupakan salah satu tokoh masyarakat nelayan etnik Mandar mengatakan bahwa “ada

dua makna yang diyakini oleh masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap ritual mappandesasi.

Pertama, sebagai pengikut tradisi leluhur dan kedua, sebagai bentuk rasa syukur karena

bernazar kepada Tuhan”.

Masyarakat nelayan etnik Mandar melanggar atau tidak mengikuti tradisi ini merupakan

sebuah bentuk penghianatan terhadap leluhur. Karenanya, sikap dan perilaku yang diambil

Page 147: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

sesuai dengan apa yang telah dan pernah dilakukan leluhur etnik Mandar, seperti menyiapkan

dan melakukan upacara ritual sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan bahwa keyakinan

masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap mitologi ritual mappandesasi relatif berbeda dengan

orang yang meyakininya tidak berdasarkan konsep warisan tradisi leluhur. Kelompok ini adalah

kelompok orang-orang yang mendalami ajaran agama Islam. Sikap seperti ini berbeda responnya

ketika masyarakat nelayan etnik Mandar meyakini atau memahami bahwa praktek ritual ini

merupakan kelanjutan dari tradisi yang diajarkan oleh orang tua. Bedanya dengan praktek ritual

dengan berdasarkan warisan leluhur terletak pada pola-pola dan bentuk pelaksanaan ritualnya

karena masyarakat nelayan etnik Mandar menganggap ritual ini adalah warisan leluhur

cenderung mempertahankan pola lama dalam upacara, misalnya dari komposisi makanan yang

harus disiapkan sesuai dan sama persis jenis dan jumlahnya yang semestinya disediakan.

Sementara bagi nelayan etnik Mandar secara umum dalam era modern ini melihat ritual

mappandesasi ini sekedar sebagai bentuk ketaatannya pada orang tua lebih memilih

memodifikasi atau reinvention (Hobsbawm dan Ranger, 2003:1) pola-pola ritual yang dilakukan,

dalam istilah lain. Misalnya bentuk rokok yang digunakan, meskipun namanya sama akan tetapi

bahan dan proses pembuatanya berbeda. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah pola

regenarasi yang diterapkan oleh orang tua yang selalu melibatkan anak-anak dalam setiap ada

ritual mappandesasi.

Masyarakat nelayan etnik Mandar dari pelaku ritual mappandesasi ini berbeda dengan

nelayan etnik Mandar yang meyakini ritual sebagai bagian dari kehidupannya. Pada prinsipnya

melakukan praktek ritual ini sekedar ikut-ikutan atau istilah lainnya partisipan semu (virtual

reality). Sikap dan perilaku yang paling menyolok dari orang-orang seperti ini adalah ambivalens

dalam meyakini eksistensi ritual mappandesasi. Biasanya orang-orang yang menampilkan seperti

ini adalah yang sedang atau telah mengenyam pendidikan formal, selain itu orang-orang yang

Page 148: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

memiliki pemahaman mendalam terhadap ajaran agama Islam. Sikap lain yang dapat dilihat dari

orang-orang cenderung melakukan ritual sebagai formalitas tanpa ada usaha dan rasa ingin tahu

apa makna simbolik dari ritual mappandesasi. Pewarisan kebudayaan dilakukan dengan cara,

kebutuhan dan kekuasaan yang dilakukan suatu masyarakat kegiatan ini dilakukan di samping

untuk menjaga kelangsungan kebudayaan itu sendiri, untuk kelangsungan hidup masyarakat.

Dalam “A Scientific Theory of Culture and Other assays “, Malinowski menyatakan, tradisi

budaya harus disampaikan dari setiap generasi salanjutnya. Cara dan mekanisme sifat pendidikan

tersebut harus tetap ada dalam setiap kebudayaan. Peraturan dan hukum harus dijaga, sejak

kesepakatan menjadi inti dari setiap kegiatan budaya (Malinowski, 1960 : 37). Demikian halnya

dengan generasi terakhir dari orang-orang etnik Mandar yang masih memelihara ritual ini, yang

disekolahkan di sekolah agama, seperti madrasah dan pesantren. Prilaku yang mereka tampilkan

sangat resisten terhadap instruksi yang diberikan oleh orang tua selama ini.

Page 149: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB VII

DAMPAK DAN MAKNA KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR

Proses transformasi sosial yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, mengenai

keberagaman, praktek-praktek ritus lokal, hingga bagaimana suatu komunitas berusaha

membangun strategi bertahan di bawah bayang-bayang tantangan global mengalami hambatan

serius. Hambatan ini mulai dari relevansi sampai dengan dampak yang dirasakan oleh

masyarakat lokal. Dampak dari transformasi sosial ini tidak hanya dirasakan dalam dimensi

politik dan ekonomi, tetapi juga dalam aspek spritualitas dan bangunan world view suatu

masyarakat. Kondisi seperti di atas dapat ditemukan dalam masyarakat di Kelurahan

Bungkutoko, khusunya para nelayan etnik Mandar.

Beradasarkan data temuan di lapangan yang merupakan hasil interview dengan

masyarakat nelayan etnik Mandar yang sering melakukan ritual mappandesasi, terungkap bahwa

dengan adanya arus globalisasi yang melanda Kelurahan Bungkutoko telah membawa dampak

terhadap berlangsungnya ritual mappandesasi. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat nelayan

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko terkait dengan adanya transformasi sosial yang

diakibatkan oleh globalisasi yakni terkait dengan world view, telah terjadi keterancaman dalam

ritual mappandesasi.

7.1 Dampak Setiap tindakan yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-harinya selalu memiliki

akibat atau dampak baik-buruk, untung-rugi, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap

Page 150: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

lingkungan sosialnya. Begitu pula dengan kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota kendari. Kebiasaan melakukan ritual

mappandesasi memiliki dampak terhadap lingkungan sosial dan penyebaran masyarakat nelayan

etnik Mandar.

Perubahan merupakan sifat yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia, karena

tanpa perubahan manusia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

Kebudayaan sebagai salah satu produk hasil karya manusia senantiasa selalu berinteraksi dengan

dunia dan berkembang serta berubah dalam perjalanan waktu. Ritual mappandesasi sebagai

sebuah kebudayaan yang merupakan hasil produk masyarakat nelayan etnik Mandar dewasa ini

telah mengalami perubahan. Ritual mappandesasi merupakan salah satu identitas budaya bagi

nelayan etnik Mandar di mana pun berada. Adanya perubahan atau keterancaman dalam berbagai

tahapan proses yang terkait dengan pelaksanaan ritual mappandesasi membawa berbagai dampak

negatif terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,

Kota Kendari.

7.1.1 Dampak Sosial

Keterancaman ritual mappandesasi memiliki banyak pengaruh dalam masyarakat nelayan

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sebagai salah satu etnik pendukung dan sekaligus

sebagai etnik pelaku ritual mappandesasi. Ritual mappandesasi dimaknai oleh masyarakat

nelayan etnik Mandar sebagai salah satu media untuk membangun keharmonisan antara manusia

dengan penghuni alam gaib. Manusia yang dimaksud di sini adalah masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko, dan penghuni alam gaib yang dimaksud yaitu penjaga sasi.

Pelaksanaan ritual mappandesasi pada tahun-tahun sebelumnya tidak dilaksanakan oleh

nelayan etnik Mandar saja, tetapi diikuti oleh semua nelayan yang bermukim di Kelurahan

Bungkutoko Kecamatam Abeli, Kota Kendari. Seiring berjalannya waktu, ritual mappandesasi

Page 151: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mengalami penyusutan, baik itu dari segi anggota dalam pelaksanaan mupun dalam hal sarana

dan prasarana ritual. Penyusutan dalam hal jumlah peserta yang diakibatkan oleh faktor peralihan

mata pencaharian, secara tidak langsung telah mengakibatkan hubungan-hubungan atau kontak

langsung antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan antara etnik yang satu dengan

etnik yang lain mengalami penyusutan.

Sadar atau tidak sadar, dan sengaja atau tidak disengaja kurangnya kontak langsung atau

hubungan secara langsung antara inividu yang satu dengan dinvidu yang lain, antara etnik satu

dengan etnik yang lain akan mengakibatkan kurangnya kebersamaan di dalam masyarakat.

Dengan sendirinya mengakibatkan terjadi varian-varian di dalam masyarakat. Kelompok nelayan

hanya bekerja sama dengan sesama kelompok nelayan, kelompok buruh bangunan bekerja sama

dengan kelompok buruh bangunan, dan yang lebih parah lagi pergaulan itu terjadi dalam satu

kelompok.

Pada awalnya masyarakat di Kelurahan Bungkutoko merupakan masyarakat yang

memiliki persatuan dan kerjasama yang kuat, sekarang semangat gotong-royong itu sudah mulai

memudar. Persatuan itu dapat dilihat pada saat pelaksanaan ritual mappandesasi terjadi, semua

etnis ikut merayakan dan ikut menyumbang terjadi kerja sama yang sangat baik. Dalam era

modern sekarang, masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mengalami penyusutan persatuan

antarsesama warga. Kondisi ini bisa disimak dari pemaparan Burhan seorang Kepala Kelurahan

Bungkutoko. Berikut penuturan Burhan.

“Saya menjadi Kepala Lurah di sini sejak tahun 2006 sampai sekarang. Jadi saya menjadi Kepala Lurah di sini sudah lebih satu periode. Pertama kali saya tiba di sini, saya melihat keakraban dan persatuan yang begitu akrab dan kuat di antara sesama. Persatuan ini tidak terjadi dalam kegiatan ritual mappandesasi tetapi selalu saya jumpai persatuan itu dalam setiap kegiatan. Baik itu kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti dan kegiatan yang menyangkut hajatan seseorang. Dulu pertama kali saya menyaksikan ritual mappandesasi ini, saya kaget karena semua etnik yang ada di Kelurahan Bungkutoko ini ikut semua. Jadi saya kira ini tradisi masyarakat di kelurahan ternyata itu tradisi masyarakat etnik

Page 152: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Mandar. Saya melihat pemudaran kerjasama dan persatuan antarsesama warga itu sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu. Di mana masyarakat sudah banyak beralih mata pencaharian. Masing-masing sibuk dengan pekarjaannya. Jangankan dalam ritual mappandesasi yang mengalami penyusutan peserta, kerja bakti pun sudah banyak yang tidak ikut. Justru saya melihat sudah terjadi berbedaan perlakuan dalam masyarakat antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Ada kelompok yang merasa dirinya lebih baik dan mediskreditkan kelompok lain” (Wawancara, 20 Januari 2011).

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko

sudah terjadi pergeseran dan penyusutan rasa persatuan dan kebiasaan gotong-royong. Semua ini

diakibatkan oleh jenis dan lokasi pekerjaan setiap individu dalam masyarakat yang berbeda-

beda. Ada yang bekerja sebagai sopir angkutan umum, tukang ojek, buruh bangunan, sebagai

karyawan di beberapa perusahaan dan beberapa pusat-pusat perbelanjaan di Kota Kendari, dan

sebagian tetap bekerja sebagai nelayan. Semua jenis pekerjaan ini dilakukan oleh warga etnik

Mandar sebagai pemilik tradisi ritual mappandesasi. Banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan

oleh warga masyarakat mengakibatkan diskriminasi di antara kelompok. Yang sering

menonjolkan perbedaan di antara kelompok itu adalah kelompok karyawan. Kelompok ini selalu

mendiskriminasi kelompok nelayan, bahkan tidak segan-segan kelompok karyawan menganggap

kelompok masyarakat nelayan sebagai kelompok masyarakat rendah dan tidak memiliki

pendidikan. Ungkapan informan di atas sejalan dengan Gandhi (2006:141) bahwa suatu

masyarakat atau penduduk menghadapi dua bentuk penjajah, yakni penjajah asing dan penguasa

patriakal pribumi yang menindas. Kelompok pekerja sebagai karyawan menganggap dirinya

sebagai kelompok superior (berhak menjajah) karena memililki pekerjaan yang lebih baik

daripada kelompok pekerja sebagai nelayan sehingga atas dasar ini mereka menganggap

kelompok kerja nelayan sebagai masyarakat atau kelompok inferior (harus dijajah). Menjajah

dan dijajah dalam tulisan ini adalah kelompok pekerja sebagai karyawan menjajah kebiasaan

Page 153: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

atau budaya dari kelompok pekerja nelayan dengan menghadirkan kebiasaan atau budaya baru

dalam masyarakat.

7.1.2 Dampak Ekonomi

Keterancaman ritual mappandesasi tidak saja berdampak dalam kehidupan sosial

masyarakat, tetapi dampaknya ikut dirasakan oleh masyarakat nelayan sendiri. Sesuai dengan

substansinya, masyarakat nelayan etnik Mandar mengadakan atau melakukan ritual

mappandesasi dengan tujuan untuk meminta keselamatan dalam melaut, dan meminta supaya

diberikan rezeki yang banyak dalam melaut. Masyarakat meminta kedua hal tersebut kepada

penjaga sasi atau masyarakat nelayan etnik Mandar biasa menyebutnya dengan istilah setasasi.

Terkait dengan tujuan awal masyarakat dalam melakukan ritual mappandesasi untuk

meminta rezeki yang banyak dalam melaut kepada penjaga sasi. Ketika masyarakat tetap

melakukan ritual mappandesasi sesuai dengan urutan dan memenuhi semua prasyarat seperti

yang disebutkan dalam halaman pembahasan sebelumnya, masyarakat selalu mendapatkan hasil

tangkapan yang banyak. Ketika masyarakat dalam melakukan ritual mappandesasi dengan tidak

memenuhi semua persayaratan seperti yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, maka

masyarakat juga mengalami kekurangan penghasilan. Disadari atau tidak disadari oleh

masyarakat, ritual mappandesasi ini bisa dikatakan sebagai ritual yang memiliki konsekwensi-

konsekwensi terhadap masyarakat pelaku ketika tidak melakukan ritual mappandesasi sesuai

dengan prosedur.

Nelayan etnik Mandar bukan melakukan ritual mappandesasi tidak sesuai dengan

prosedur dan mengikuti syarat yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya, akan tetapi para

nelayan sekarang melakukan ritual mappandesasi dengan membarukan atau mengurangi syarat-

syarat yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Misalnya, sapi yang dulunya ikut

dijadikan sebagai syarat dalam ritual mappandesasi, sekarang sudah tidak digunakan lagi karena

Page 154: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

harga sapi yang mahal. Selain itu, pembaruan yang dilakukan oleh masyarakat pelaku ritual

mappandesasi adalah rokok yang menjadi prasyarat dalam ritual mappandesasi dulunya berasal

dari tembakau tradisional yang digulung dengan daun nipa kering, sekarang sudah diganti

dengan rokok yang merupakan hasil produksi modern.

Salah satu konsekwensi yang dirasakan oleh masyarakat nelayan ketika tidak melakukan

ritual mappandesasi sesuai dengan persyaratan yang diwariskan oleh nenek moyang adalah

berkurangnya hasil tangkapan para nelayan dalam melaut. Karena penghasilan dalam melaut

sudah tidak seperti dulu lagi (mengalami penurunan) membuat masyarakat nelayan etnik Mandar

melakukan pergantian mata pencaharian. Sebagian nelayan etnik Mandar sepertinya mengalami

frustasi dan menjadi kurang yakin lagi dengan ritual mappandesasi. Hal inilah, yang membuat

nelayan etnik Mandar harus melakukan peralihan mata pencaharian dari nelayan menjadi pekerja

yang tidak berhubungan dengan laut.

Peralihan mata pencaharian ini lebih diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi

keluarga. Sebagian nelayan etnik Mandar tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi rumah

tangganya dengan menggantungkan hidup dari melaut. Kenyataan ini tidak saja dirasakan oleh

para nelayan yang memiliki kebutuhan ekonomi rumah tangga yang banyak, seperti orang tua

yang memiliki anak lebih dari empat orang dan semuanya sekolah. Kondisi ini dirasakan oleh

nelayan yang baru memiliki anak dua atau tiga orang. Informan Rustam (45 tahun), memiliki

enam orang anak dan salah satu di antaranya sudah duduk di kursi perguruan tinggi. Rustam

menuturkan pengalamanya di bawah ini.

“Saya menjalani pekerjaan sebagai nelayan sejak saya berusia 25 tahun. Sampai usiaku memasuki 44 tahun saya tidak lagi memaksakan diri untuk melaut. Bukan karena usia saya yang sudah tua tetapi karena hasil dalam melaut sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang hasil dalam melaut itu untung-untungan bisa mencapai Rp. 200.000,-/orang setelah dibagi. Dikerjakan selama sebulan dengan hasil yang demikian sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi saya sudah memiliki anak yang sudah kuliah. Kejadian ini sering kami (nelayan) alami

Page 155: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

setelah melakukan ritual mappandesasi dengan tidak menggunakan sapi dan tembakau tradisional sebagai sarananya. Tapi kalau kami gunakan sapi, harganya sudah mahal, sementara orang yang melakukan ritual mappandesasi sudah sendiri-sendiri. Artinya sesuai kelompok nelayannya, tidak lagi dilakukan secara bersama-sama. Adik-adiknya masih ada empat orang dan tiga di antaranya sudah bersekolah. Itulah sebabnya saya kembali pada pekerjaan saya masih di Mandar sebagai sopir angkutan umum. Alhamdulillah saya rasa hasilnya lebih memungkinkan daripada penghasilan saya sebagai nelayan” (Wawancara 9 Februari 2011).

Kondisi seperti di atas tidak saja dirasakan oleh Rustam, tetapi dirasakan oleh para nelayan lain.

Salah satu di antara masyarakat etnik Mandar adalah Andi (34). Andi yang memiliki dua orang

anak merasa penghasilannya dari melaut sudah tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Kondisi ini dirasakan Andi sejak beberapa tahun terakhir ini. Hal ini diakibatkan oleh hasil

tangkapan nelayan dalam melaut yang tidak seperti dulu lagi. Sekarang susah untuk

mendapatkan ikan, padahal tempat berlayar atau melaut sudah dekat dengan perbatasan Negara

Malaysia. Berikut penuturan dari Andi.

“Rata-rata hasil tangkapan nelayan sekarang sangat sedikit, saya tidak tau ini diakibatkan oleh apa! Sementara kami berlayar sudah dekat dengan perbatasan Malaysia. Susah sekali untuk mendapatkan ikan. Ada empat kali berlayar kami mendapatkan hasil yang sedikit. Kejadian ini sering dialami oleh para nelayan, bukan saja kami setelah terjadi beberapa pergantian bahan dalam ritual mappandesasi. Dari situ saya berpikir mendingan cari pekerjaan lain dulu di darat. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan iparku mendapat pekerjaan (borongan) membangun Rumah Toko (Ruko) di kota. Saya ikut dia saja, dan hasilnya lebih memuaskan. Satu minggu terimah gaji bersih sebesar Rp. 300.000,-, sementara kalau melaut uang tiga ratus ribu itu tidak dapat dalam sebulan” (Wawancara, 9 Februari 2011).

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa berkurangnya hasil tangkapan dalam melaut

kemungkinan besar karena diakibatkan oleh terjadinya pembaruan dan pengurangan sarana

dalam melakukan ritual mappandesasi. Pengurangan dan pembaruan ini dipengaruhi oleh

mahalnya harga sapi dan susahnya mencari tembakau tradisional. Kelompok nelayan tidak lagi

melakukan ritual mappandesasi secara bersama-sama (satu kelompok besar), tetapi setiap

kelompok nelayan melakukan sendiri-sendiri ritual mappandesasi. Hal ini diakibatkan karena

Page 156: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

tempat berlabuhnya kapal yang berbeda-beda dan sangat berjauhan. Dengan berkurangnya hasil

tangkapan para nelayan dalam melaut, semakin menunjukkan bahwa begitu pentingnya sarana

ritual dalam mappandesasi sehingga harus dipenuhi secara keseluruhan. Ungakapn di atas

sejalan dengan M. Rais Amin (2008:148) yang mengatakan bahwa setiap jenis benda-benda

yang disajikan dalam ritual, baik itu yang berbentuk makanan maupun yang berbentuk benda,

seperti daun sirih, dupa, dan binatang sesembahan masing-masing memiliki makna tersendiri

yang tidak jauh dari pemaknaan secara kontekstual.

7.1.3 Dampak Budaya

Dampak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat nelayan etnik Mandar adalah

pengaruh pendidikan, agama, dan kehidupan modern yang mempengaruhi dari aspek akulturasi

tardisi agama dan kehidupan modern, kesadaran kemanusiaan mengalami penurunan.

Konformisme dalam perilaku kolektif mendominasi kehidupan individu. Perubahan yang sangat

drastis, berkembang menjadi krisis multidimensi termasuk di dalamnya budaya, membuat suatu

pilihan tentang apa yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Pilihan yang dimaksud adalah

reformasi dan transformasi. Pilihan sudah diambil oleh masyarakat generasi muda berdasarkan

pendidikan, agama dan kehidupan modern menuju keterancaman.

Transformasi hidup yang diharapkan oleh masyarakat karena harapannya ingin cepat

mencapai hasil, maka tanpa disadari apa yang terjadi adalah merupakan transformasi. Pengaruh

modernitas dalam aspek budaya yang dianggap tidak bernilai dapat mempengaruhi seluruh

bagian. Akibat dunia era globalisasi mendorong kontak antarbudaya semakin pesat. Kontak

budaya dapat dimaknai sebagai pertemuan antara nilai baru dengan nilai lama yang terjadi di

luar dan di dalam masyarakat nelayan etnik Mandar dan pada akhirnya melahirkan perubahan

budaya Soemarjan (1995: 64) mengatakan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang

terjadi dalam masyarakat tradisional yang mempengaruhi sistem sosialnya. Sementara oknum

Page 157: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mengemukakan bahwa perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material

maupun inmaterial, terutama yang menekankan pengaruh yang datang dari unsur-unsur

kebudayaan material terhadap kebudayaan inmaterial.

Perubahan budaya berkenaan dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya

perubahan sistem stratifikasi sosial, sistem nilai dan norma sosial, proses sosial, struktur sosial,

pola sikap dan tindakan sosial dalam keberadaan masyarakat, serta lembaga-lembaga

kemasyarakatan dalam suatu kurun waktu tertentu. Perubahan sosial berproses di dalam

masyarakat dan mengubah masyarakat secara keseluruhan secara bertahapan. Perubahan terjadi

akibat adanya faktor yang datang dari internal dan faktor eksternal terutama agama dan

pendidikan. Doktrin agama mempengaruhi dalam keterancaman kehidupan adat- istiadat

menyebabkan identitas diri dan jati diri dalam nilai-nilai budaya yang mengatur kehidupan

manusia telah mengaburkan konteks keterancaman ritual mappandesasi.

Dalam kenyataannya agama proses akulturasi sampai asimilasi, lebih jauhnya sampai

homogenisasi atau penyeragaman budaya. Di samping itu, neoliberalisasi yang merasuk semua

ranah kehidupan, termasuk pendidikan, nilai-nilai asli yang sebelumnya sakral dan menjadi

bagian dari jati diri masyarakat hilang dan tidak bermakna lagi.

Pada saat nilai-nilai modern mulai terkontaminasi terhadap masyarakat nelayan etnik

Mandar, saat itu pula terjadi proses penggiringan nilai-nilai budaya masyarakat yang pada

akhirnya mengakibatkan terjadinya split dan kegamangan nilai. Kegamangan nilai yang dialami

masyarakat dewasa ini merupakan akibat manusia lebih mengutamakan kemampuan akal,

memarginalkan peranan nilai-nilai transendental serta tunduk pada paham individualism dan

kapitalisme. Akibatnya, manusia kehilangan roh kemanusiaan dan kosong dari nilai-nilai

spiritual. Kemampuan otak dan rasionalitas telah mencapai titik puncak dan tidak dibarengi

dengan kekuatan rohaniah, akibatnya hidup menjadi kehilangan makna. Mengingat tantangan

Page 158: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

yang dihadapinya semakin nyata dan kompleks, maka proses pendidikan yang berbasis pada

nilai etika dan budaya dewasa ini menjadi sangat penting. Tantangannya datang dari berbagai

arah, terutama datang sebagai efek dari arus informasi global. Susanto (1998: 27) menyebutkan

dalam era globalisasi yang terbuka ini, terpaksa informasi sangat memungkinkan seseorang

mengadopsi nilai-nilai pengetahuan dan kebiasaan luar lingkungan sosialnya jauh dari

jangkauannya secara fisik.

Dalam kondisi semacam itu, pertahanan nilai etika dan budaya yang menjadi pegangan

masyarakat akan semakin tergoyahkan, nilai tradisi yang ramah, lembut, dan santun bisa tergilas

oleh nilai-nilai baru yang bersandar dan berlindung pada kebebasan dengan mengatasnamakan

hak asasi. Dengan demikian, standar nilai yang dipegang oleh masyarakat akan semakin rapuh

dan siap untuk digantikan dengan standar lainnya. Nilai-nilai yang bersumber kepada budaya

atau tatanilai yang dipegang teguh masyarakat akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Karena itu, rujukan nilai etika yang dikembangkan oleh pendidikan tidak cukup hanya

berdasarkan nilai moral masyarakat, melainkan nilai transendetal yang bersumber dari agama

tradisional perlu diperpadukan agar nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia yang mengatur

kehidupan manusia dalam pancasila sebagai identitas bangsa berdasarkan kehidupan budaya

nusantara perlu dipertahankan dalam setiap generasi, karena budaya global mempengaruhi

budaya nasional menyebabkan budaya lokal dimarginalkan dengan ideologi pembangunan,

berubah lagi otonomi khusus dan otonomi daerah pun tidak menyelesaikan sosial ekonomi

masyarakat tetapi menghancurkan sosial budaya yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan.

7.2 Makna

Segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya untuk memenuhi

kebutuhan nalurinya. Demikin pula halnya masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan

Page 159: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

ritual mappandesasi selalu merasakan kepuasan, kedamaian dan kenyaman dalam menjalankan

aktivitasnya di laut sebagai nelayan. Dalam hal ini, hadirnya ritual mappandesasi didukung oleh

tradisi kebiasaan para nelayan etnik Mandar sehingga dapat dilihat bagaimana masyarakat

nelayan etnik Mandar memaknai ritual mappandesasi tersebut.

Makna itu sendiri diberikan oleh suatu subjek atau penafsir terhadap yang dimaknainya

atau yang dia tafsirkan. Sehubungan dengan hal ini, Ratna (2008:127) mengungkapkan bahwa

makna merupakan suatu representasi, proses menghadirkan kembali, yang diperoleh penafsir

melalui kegiatan menafsirkan.

Dalam kehidupan masyarakat, pemaknaan akan mengikuti lajunya perubahan perilaku

dan struktur sosial budaya dalam masyarakat yang selalu bergerak dinamis. Berangkat dari

pernyataan inilah, tentunya makna akan terus bergerak mengikuti teks dan konteks. Hal ini

sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Derrida (dalam Sarup, 2000:48) bahwa makna tidak bisa

tetap, tidak bisa sama dan akan bergerak terus dari konteks yang satu ke konteks yang lainnya.

Ritual mappandesasi yang dulunya ada di daerah Mandar, Sulawesi Barat sekarang ritual

mappandesasi telah sampai di Kelurahan Bungkutoko, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Hal ini

diakibatkan oleh nelayan etnik Mandar yang fanatik terhadap tradisi dan budaya.

7.2.1 Makna Religius

Seorang manusia yang mempercayai dan menghayati ajaran suatu agama akan

memperoleh kerangka berpikir untuk dijadikan acuan dalam memaknai semua kejadian yang

dialami sepanjang hidupnya. Masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi.

Ritual mappandesasi dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko

sebagai salah satu media yang bisa menghubungkan antara manusia dengan penjaga sasi. Selain

itu, ritual mappandesasi juga dimaknai oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai salah satu

Page 160: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

media yang memecahkan permasalah nelayan etnik Mandar dalam melaut, khususnya masalah

yang berhubungan dengan alam gaib.

Dhavamony (1996:167) mengatakan bahwa agama adalah tindakan simbolis dan dalam

mengekspresikan tindakan simbolis itu berlangsung konsekrasi dalam artian terjadi perubahan

imaji terhadap sesuatu, baik benda maupun situasi atau keadaan. Konsentrasi yang ada dalam

ritual mappandesasi dapat dijumpai dalam penuturan doa-doa yang digunakan dan dalam lafaz

niat yang digunakan dalam ritual mappandesasi. Semua doa dan niat yang digunakan memiliki

atau mengandung makna magis, dan bahasa yang digunakan menyiratkan pengertian mistik.

Sehubungan dengan pengertian yang demikian, terjadilah transubstansi dari suasana profan

menjadi suasana sakral. Kondisi seperti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa dengan

melakukan ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar sebenarnya tidak

menginginkan terjadinya keselarasan dengan penjaga sasi sebagai fungsi utama, akan tetapi

dalam melakukan ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar telah menunjukkan

kepada publik bahwa aktif dalam menjalankan kepercayaanya sebagai bentuk ketaatan atau

implikasi dari religi.

Ritual mappandesasi dikatakan memiliki makna religius karena dalam penyampaian

permohonan kepada penjaga sasi selalu dengan menggunakan doa-doa yang mengandung mistik

seperti penjelasan di halaman sebelumnya dalam tulisan ini. Selain itu, kesadaran para generasi

tua yang masih melaksanakan ritual mappandesasi merupakan satu indikator bahwa kepercayaan

masyarakat terhadap ritual mappandesasi sangat tinggi dan dianggap sangat sakral. Hal ini dapat

dilihat dalam penuturan informan Muhtardi bawah ini.

“Dalam melaksanakan ritual mappandesasi masyarakat yang ikut sebagai peserta menunjukkan kekhusukan mereka dalam menjalani ritual mappandesasi ini. Kekhusukan dalam melaksanakan ritual mappandesasi karena menurut nelayan etnik Mandar ritual mappandesasi ini merupakan induk dari segala pemecahan permasalahan dalam kehidupan etnik Mandar, khususnya yang tinggal di daerah

Page 161: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pesisir dan menggantungkan hidup pada saat melaut. Kami meyakini bahwa kalau tidak melakukan ritual mappandesasi terus langsung melaut, maka kami sering mendapatkan bahaya, seperti tidak mendapatkan ikan, selalu dihantam oleh ombak, setelah kami melakukan ritual ini maka kami baru mengerti bahwa harus melakukan dulu ritual jika kami belum melakukan ritual. Oleh karena itu, dengan melakukan ritual mappandesasi, kami merasakan kenyamanan tersendiri dalam melaut. Itu sebabnya kami selalu melakukan ritual mappandesasi dan menghindari larangan-larangan yang bisa membatalkan kemanjuran doa-doa dalam ritual ini” (Wawancara 10 Februari 2011).

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa setelah melakukan ritual mappandesasi

masyarakat nelayan etnik Mandar merasakan ada kepuasan batin tersendiri. Kepuasan batin itu

sehingga membuat nelayan etnik Mandar untuk selalu melakukannya. Kepuasan yang selalu

merasa nyaman dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam melaut. Itulah yang

membuat nelayan etnik Mandar selalu melakukan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas sejalan

dengan E.B Tylor (dalam Koentjaraningrat 1987:71) yang mengatakan suatu kelompok manusia

selalu mengulangi tindakannya karena dimotivasi oleh kepuasan tersendiri yang diperoleh

melalui tindakanya tersebut.

7.2.2 Makna Solidaritas

Manusia sebagai makhluk sosial yang di dalam kehidupannya senantiasa dituntut untuk

menjalin hubungan dan kerja sama dengan orang lain guna menjalani aktivitas kehidupan dalam

Kesehariannya. Manusia harus menjalin atau membangun hubungan solidaritas yang penuh

harmonis dengan Tuhan sang Pencipta, dengan sesama manusia dan dengan alam yang ada di

sekitarnya. Bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, sebagai makhluk

sosial tidak hanya menjalin hubungan solidaritas yang harmonis dengan Tuhan, dan manusia.

Akan tetapi, masyarakat nelayan etnik Mandar selalu menjalin hubungan yang harmonis dengan

penguasa ilmu gaib seperti dewa-dewa, roh nenek moyang, bahkan dengan penjaga sasi

sekalipun. Hubungan solidaritas antara masyarakat nelayan etnik Mandar dengan penguasa alam

Page 162: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

gaib, khususnya penjaga sasi termanifestasi dalam bentuk upacara ritual mappandesasi atau

ritual memberi makan laut.

Dalam melakukan ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari, selalu dikerjakan bersama-sama dengan orang-

orang di sekitarnya (secara gotong-royong). Dengan melakukan ritual mappandesasi, maka sama

halnya menguatkan kembali rasa persatuan, kebersamaan, dan solidaritas masyarakat nelayan

etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, sesama etnik Mandar, dengan etnik lain, serta dengan

lingkungan, dalam hal ini laut, dan antara etnik Mandar dengan penguasa alam gaib seperti

penjaga sasi. Solidaritas antara sesama manusia, dapat dilihat dalam bentuk kerja sama

masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dari berbagai etnik dalam tolong-menolong menyiapkan

semua perlengkapan sarana upacara ritual mappandesasi. Solidaritas masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko dengan alam, khususnya sasi dapat dilihat bahwa setelah

melakukan ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar dapat melaksanakan

aktivitasnya sebagai nelayan dengan aman dan nyaman. Adapun solidaritas masyarakat nelayan

etnik Mandar dengan penguasa alam gaib (penjaga sasi) dapat dilihat dengan keberhasilan

nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini terjadi karena salah satu fungsi dari ritual mappandesasi

adalah meminta kepada penjaga sasi agar memberikan rezeki yang banyak.

Dalam era globalisasi seperti sekarang, masyarakat nelayan etnik Mandar sebagian sudah

beralih mata pencaharian, dari nelayan berpindah mata pencaharian menjadi sopir angkutan

umum, tukang ojek, dan menjadi buruh bangunan, atau menekuni aktivitas yang tidak lagi

berhubungan dengan laut. Hal ini membuat peserta ritual mappandesasi di Kelurahan

Bungkutoko menjadi berkurang. Meskipun masyarakat yang mata pencahariannya tidak lagi

berhubungan dengan laut, bukan berarti sudah tidak ada rasa solidaritas di antara masyarakat

nelayan etnik Mandar. Masyarakat yang beralih mata pancaharian tidak ikut serta dalam

Page 163: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pelaksanaan ritual mappandesasi tetapi pada saat mengumpulkan atau membuat sarana ritual

tetap meluangkan waktu untuk ikut membantu. Dengan kondisi ini, ritual mappandesasi bagi

masyarakat nelayan etnik Mandar masih diyakini sebagai sesuatu yang sangat bermakna dalam

pencapaian kebersamaan dan membangkitkan rasa solidaritas. Di bawah ini dicantumkan

penuturan informan Imran, (31 tahun) dan berprofesi sebagai pegawai negeri sipil.

“Masyarakat nelayan etnik Mandar sudah banyak yang berpindah mata pencaharian dan melakukan akitivitas yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Secara otomatis memang mereka tidak mengikuti pelaksanaan ritual mappandesasi tetapi dalam mengumpulkan bahan dan membuat sarana ritual, masyarakat yang tidak lagi melakoni aktivitas sebagai nelayan tetap meluangkan waktunya untuk selalu ikut membantu. Masyarakat selama ini tidak sering ketemu karena kesibukan dengan pekerjaan masing-masing, terkesan sudah tidak ada keakraban dan kebersamaan lagi diantara sesama. Akan tetapi, pada saat mengumpulkan bahan dan membuat peralatan ritual suasana ketidakakraban itu kembali menjadi sebuah kebersamaan dan membangun solidaritas yang tinggi dengan aktivitas mereka tolong-menolong dalam membuat dan mengumpulkan peralatan ritual” (Wawancara, 20 Februari 2011).

Penuturan Imran di atas menunjukkan bahwa ritual mappandesasi bagi masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko selain berfungsi untuk mempermudah datangnya rezeki,

berfungsi sebagai media untuk membangun solidaritas di antara sesama warga di Kelurahan

Bungkutoko. Meskipun masyarakat nelayan etnik Mandar telah mengalami sekat-sekat dalam

hal ini perbedaan jenis mata pencaharian akibat tuntutan kebutuhan ekonomi di era globalisasi

ini. Akan tetapi, solidaritas masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko tetap

terjaga dan terbangun dengan adanya ritual mappandesasi. Penuturan informan di atas

berbanding terbalik dengan pendapat Syaefudin, (2007:185) yang mengatakan bahwa secara

sosiologis masyarakat sedang mengalami perubahan sosial yang cepat akibat globalisasi,

akibatnya dapat dirasakan, khususnya di segmen-segmen masyarakat tertentu telah mengalami

disorientasi, dilokasi dan alienasi yang semuanya sangat kondusif bagi timbulnya keresahan

sosial. Masyarakat yang biasanya sangat rentan terjadi dengan apa yang disebut konflik.

Page 164: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

7.2.3 Makna Kedamaian

Selain makna religi dan makna solidaritas, masih ada makna lain yang terkandung dalam

ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar yang sering melakukannya. Makna

tersebut adalah makna kedamaian bagi masyarakat yang selalu melaksanakan ritual

mappandesasi sebelum dan sesudah melakukan pelayaran atau melakukan aktivitas sebagai

nelayan (menangkap ikan).

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di halaman-halaman sebelumnya bahwa

salah satu eksistensi dari pelaksanaan ritual mappandesasi adalah memnita kepada setasasi

supaya diberikan keselamatan kepada nelayan etnik Mandar dalam melaksanakan aktivitasnya

sebagai nelayan. Terkait dengan eksistensi di atas, maka masyarakat nelayan etnik Mandar yang

telah melakukan ritual mappandesasi, selalu mendapatkan kedamaian, ketenangan, dan

kenyamanan dalam melaut. Tidak merasa gentar atau takut meskipun melewati lautan bebas

yang gelombangya besar. Nelayan yang sudah melakukan ritual mappandesasi selalu berpikiran

bahwa tidak akan mendapat musibah apa-apa dalam melaut meskipun melewati ombak besar

karena penjaga sasi sudah berpihak kepada mereka atau penjaga sasi selalu melindungi mereka

dari segala mara bahaya yang mengancam.

Kedamaian yang didapat oleh nelayan etnik Mandar setelah melakukan ritual

mappandesasi ini tidak saja dirasakan pada saat melakukan pelayaran untuk menangkap ikan,

tetapi merasakan setelah melakukan pelayaran untuk menangkap ikan. Kedamaian yang

dirasakan setelah menangkap ikan adalah kedamaian dan ketenangan jiwa setelah mengkonsumsi

hasil (uang) yang diperoleh dari melaut. Kedamaian ini, seperti membeli barang dengan

menggunakan uang hasil dari melaut, barang-barang tersebut dapat awet dan tahan lama. Uang

yang diperoleh dari hasil melaut bisa ditabung, tidak selalu dikeluarkan (tidak panas), berbeda

dengan uang yang diperoleh dengan tidak mengeluarkan keringat.

Page 165: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Pemahaman masyarakat seperti di atas terjadi atau terpola dalam pemikiran dan

tingkahlaku masyarakat nelayan etnik Mandar secara turun temurun dari nenek moyang. Disadari

atau tidak disadari pemikiran itu ada dengan sendirinya dalam otak para nelayan etnik Mandar

karena seringnya anak-anak melihat dan mendengarkan apa yang sering dilakukan oleh orang

tua. Oleh karena itu, kebiasaan berpikir dan berprilaku seperti itu masih ada yang

mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan

Bungkutoko, jumlahnya sudah tidak sebanyak dulu lagi.

Meskipun jumlah yang mempertahankan tradisi sudah tidak banyak tetapi tidak

menyurutkan niat kelompok penerus tradisi ini untuk tidak melakukan kebiasaan nenek

moyangnya, yakni melakukan ritual mappandesasi. Dengan jumlah yang tinggal sedikit semakin

kelihatan bahwa mereka tetap eksis melakukan ritual mappandesasi. Meskipun hasil tangkapan

yang sudah tidak banyak dalam setiap kali melakukan pelayaran, nelayan etnik Mandar tetap

berpikiran bahwa ini persoalan nasib. Kelompok ini samapai sekarang tetap melakukan ritual

mappandesasi karena didorong oleh keinginan para nelayan untuk mendapatkan berbagai

kenikmatan dan kedamaian seperti yang telah diuraikan di atas.

Refleksi

Ritual mappandesasi merupakan salah satu ritual tradisi yang dimiliki oleh nelayan etnik

Mandar yang selalu mereka lakukan pada saat mau turun melaut atau pada saat mereka pulang

melaut di mana pun mereka berada. Pada awalnya ritual ini dilakukan sekali dalam dua tahun.

Akan tetapi, nelayan etnik Mandar yang bermukin di kelurahan Bungkutoko, sekarang

melakukan ritual mappandesasi ini sekali dalam setahun. Hal ini dilakukan karena nelayan etnik

Mandar banyak mengalami kesialan dalam melaut, seperti selalu mendapatkan musibah dalam

melaut, selalu mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit. Setelah melakukan ritual

Page 166: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

mappandesasi sekali dalam setahun, nelayan etnik Mandar selalu mendapatkan kedamaian,

kenyamanan serta mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam melaut.

Pada awal pelaksanaan ritual mappandesasi ini di Kelurahan Bungkutoko, semua nelayan

yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, baik itu dari etnik Mandar maupun dari etnik lain ikut

melaksanakan, turut merayakan meskipun sebagai peserta. Seiring berjalan waktu, ritual

mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko mengalami penyusutan. Adapun bentuk-bentuk

keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah terjadinya pengurangan jumlah peserta,

terjadinya pengurangan dan adanya pembaruan dalam hal sarana dan prasarana ritual.

Pengurangan sarana ritual misalnya pada awal pelaksanaan ritual binatang yang menjadi

sesembahan terdiri atas binatang sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu), tetapi sekarang

binatang sesembahan itu tinggal kambing (beke) dan ayam (mannu). Pembaruan dalam sarana

ritual, dulunya ritual mappandesasi ini menggunakan perlengkapan sarana, seperti tembakau

tradisional yang digulung dengan daun nipa, sekarang sudah dibarukan dengan menggunakan

rokok modern yang dibeli di toko atau warung-warung.

Terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik

Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari diakibatkan oleh dua faktor,

yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal atau perubahan yang diakibatkan oleh

faktor dari luar seperti keterancaman diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan media, kemajuan

ilmu pengetahuan, dan diakibatkan oleh faktor ekonomi. Kemajuan teknologi dan media

mempengaruhi pola perilaku manusia yang diakibatkan oleh pencitraan media, seperti media

televisi dan internet. Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya generasi muda banyak

yang tidak mau melakukan ritual mappandesasi karena dianggap ritual mappandesasi itu salah

satu praktek tindakan kemusyrikan dan dianggap oleh generasi muda ritual mappandesasi

sebagai tindakan yang cenderung mengubah ajaran Islam yang seseungguhnya karena memimta

Page 167: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

sesuatu kepada selain Allah. Keterancaman yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, yakni

terjadinya persebaran penduduk untuk mencari pekerjaan karena desakan pemenuhan kebutuhan

ekonomi. Pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan.

Ritual mappandesasi dianggap sebagai salah satu tradisi masyarakat nelayan etnik

Mandar yang selalu dilakukan sekali dalam setahun guna mencari ketenangan, kedamaian,

kenyamanan pada saat melakukan aktivitasnya sebagai nelayan. Selain itu, ritual mappandesasi

dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar untuk meminta keselamatan dan rezeki yang

banyak pada saat melaut. Keterancaman ritual mappandesasi melahirkan beberapa dampak yang

terjadi dalam masyarakat, seperti dampak sosial dan berkurangnya hasil tangkapan para nelayan.

Ritual mappandesasi juga memberikan makna bagi masyarakat nelayan etnik Mandar. Adapun

makna yang terdapat dalam ritual mappandesasi terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar,

yakni makna religius, makna solidaritas, dan di dalam ritual mappandesasi juga terdapat makna

kedamaian. Ritual mappandesasi merupakan ukuran kualitas tinggkat religiusitas terhadap

masyarakat nelayan etnik Mandar.

Selain sebagai ukuran tingkat religiusitas masyarakat nelayan etnik Mandar, ritual

mappandesasi merupakan simbol pemersatu masyarakat nelayan etnik Mandar. Pada saat ada

hajatan untuk melakukan ritual mappandesasi maka semua warga nelayan etnik Mandar bahu

membahu mencari, mengumpulkan bahan-bahan untuk perlengkapan ritual mappandesasi.

Kebersamaan itu tidak berlaku di kalangan kaum laki-laki tetapi berlaku pada kaum perempuan.

Para perempuan bekerjasama atau bergotong royong mengerjakan pekerjaan dapur, seperti

membuat sokko, memasak daging beke untuk perlengkapan ritual, dan sebagainya.

Page 168: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan Ritual mappandesasi adalah sebuah ritual yang dimiliki oleh nelayan etnik Mandar, ritual

selalu dilakukan sekali dengan menggunakan jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut

ditentukan oleh sandro sebagai pemimpin dalam pelaksanaan ritual tersebut dengan berdasarkan

kesepakatannya dengan penjaga sasi atau seta sasi. Biasanya ritual mappandesasi ini dilakukan

oleh nelayan etnik Mandar sekali dalam setahun atau berdasarkan hasil perjanjian sandro dengan

penjaga sasi. Pergelaran ritual ini dilakukan biasanya sebelum melakukan pelayaran untuk

menangkap ikan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan rezeki yang banyak kepada

penjaga sasi dan setelah melakukan pelayaran menangkap ikan sebagai bentuk rasa syukur para

nelayan kepada penjaga sasi atas berkah yang telah dia berikan kepada nelayan.

Ritual mappandesasi ini selalu dilakukan dimulai pada hari Kamis dan puncak

pelaksanaan ritual mappandesasi, yakni pada malam hari (malam Jum’at). Hari Kamis dan

malam Jum’at yang dipilih tidak sembarang hari Kamis atau malam Jum’at, tetapi hari Kamis

yang dipilih adalah harus bertepatan dengan penghitungan 10 bulan di langit. Puncaknya

dilakukan pada malam hari karena pada malam Jum’at yang bertepatan dengan hitungan 10

bulan di langit dianggap oleh nelayan etnik Mandar sebagai malam yang penuh berkah atau biasa

disebut dengan pangguduna alo.

Dalam pelaksanaan ritual mappandesasi masyarakat menyiapkan beberapa perlengkapan

sebagai sarana ritual. Perlengkapan tersebut terdiri atas sapi, beke, dan mannu sebagai binatang

sesembahan. Akan tetapi, sekarang sapi sudah tidak digunakan lagi karena harganya mahal.

Page 169: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Selain binatang sesembahan, sarana ritual mappandesasi terdiri atas daun sirih (pamera), pinang

(taru’), daun lontara, rumput pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur (pusuk manyang),

bambu (taroda), jahe (layya), tembakau (bakal), sokko yang terdiri atas empat warna, yaitu

merah, kuning, hitam, dan putih, serta dupa atau kemenyan, kapur (pallili), gambir (gambiri).

Pelaksanaan ritual mappandesasi terdiri atas lima tahapan, yakni tahapan pengumpulan

sumbangan, tahapan pemotongan binatang sesembahan, tahapan pelaksanaan ritual

mappandesasi, tahapan meletakkan sesajen, dan tahapan akhir adalah acara makan bersama.

Pelaksanaan ini dipimpin oleh seorang pimpinan ritual yang disebut sandro. Tiap tahapan dalam

pelaksanaan ritual mappandesasi ini memiliki sandro masing-masing, terkecuali tahapan

pengumpulan sumbangan. Tahapan ini dipimpin oleh salah seorang masyarakat yang ditokohkan

dalam masyarakat.

Dulu pelaksanaan ritual mappandesasi ini dijalankan sesuai dengan tradisi yang

diturunkan atau diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Akan tetapi, dalam era

globalisasi seperti sekarang telah terjadi penyusutan eksistensi, terjadinya pengurangan dan

pembaruan terkait dengan sarana dan prasarana ritual mappandesasi dalam masyarakat.

Peyusutan atau berkurangnya jumlah peserta yang diakibatkan oleh penyebaran penduduk dalam

hal mencari lapangan pekerjaan baru. Penghasilan sebagai nelayan dianggap oleh sebagian

nelayan etnik Mandar tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena hasil tangkapan ikan

yang sudah berkurang. Penghasilan sedikit, sedangkan kebutuhan yang harus dipenuhi banyak

terutama terhadap nelayan yang anaknya telah duduk di bangku kuliah.

Keterancaman dalam ritual mappandesasi disebabkan oleh beberapa faktor yang tiap-tiap

faktor memiliki keterkaitan yang erat. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar

yakni faktor eksternal, dan factor internal. Faktor ekternal meliputi faktor teknologi dan media,

faktor pendidikan, dan faktor ekomoni. Adapun faktor internal, yaitu tidak adanya pengetahuan

Page 170: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

generasi muda tentang ritual mappandesasi dan tidak adanya transmisi budaya dari generasi tua

kepada generasi muda, serta faktor tradisi.

Sementara dampak keterancaman ritual mappandesasi dalam kehidupan nelayan etnik

Mandar adalah dampak sosial dan berkurangnya hasil tangkapan para nelayan. Ritual

mappandesasi juga memiliki makna terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar, yakni makna

religi, makna solidaritas, dan makna kedamaian.

8.2 Saran

Fenomena keterancaman ritual dalam masyarakat sudah menjadi tontonan yang biasa

bagi setiap masyarakat. Akan tetapi, tidak semua masyarakat pendudukung kebudayaan

menganggap keterancaman itu sebagai hal yang biasa. Banyak masyarakat yang justru resah

dengan fenomena keterancaman ini, karena mengakibatkan pergeseran identitas dan

mengakibatkan perubahan kebiasaan yang dianggap oleh masyarakat sudah menjadi pandangan

hidup.

Perubahan-perubahan ini diakibatkan oleh faktor globalisasi yang merenggut dan

meluluhlantahkan tatanan sosial yang pernah ada dalam masyarakat. Melihat kondisi yang

demikian, maka peneliti menyarankan kepada pihak-pihak yang terkait supaya segera

memperhatikan nasib kebudayaan lokal yang juga merupakan pendukung paling utama

kebudayaan nasional. Oleh karena itu, peneliti menyarankan beberapa hal yang kiranya dapat

dijadikan sebagai pertimbangan dalam bertindak.

1. Kepada Masyarakat

Khususnya para orang tua agar tetap memperkenalkan produk budaya-budaya tradisi

masa lalu kepada generasi muda, mulai sejak dini dan melalui cerita-cerita kepada anak-anak

menjelang tidur. Cerita itu tidak berfungsi mengantar anak-anak untuk tidur tetapi diharapkan

Page 171: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

pula agar anak-anak itu bisa mengetahui apa fungsi dari tradisi-tradisi tersebut. Setelah

diceritakan, diharapkan kepada orang tua agar menyarankan kepada anak-anaknya sejak dini

untuk ikut mempraktekkan cerita-cerita tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diyakini

akan efektif untuk mempertahankan budaya masa lalu yang diturunkan secara turun-temurun dari

nenek moyang.

Masyarakat yang masih berstatus generasi muda, diharapkan supaya tidak gampang

terserabut dari akar budayanya karena desakan-desakan modernism. Semua janji dari modernism

itu adalah sebuah keniscayaan yang jarang untuk dicapai. Pertahankanlah budaya daerahmu

sebagai identitas lokalmu dan jadikanlah kebudayaan itu sebagai filter untuk menyaring hasil

produk budaya global yang dapat merenggut atau melumpuhkan semua tatanan sosial yang sudah

ada dalam masyarakat.

Jangan karena sudah mengenyam pendidikan formal lalu ikut melupakan bahkan menjadi

agen utama dalam masyarakat untuk memusnahkan tradisi karena berbeda dengan apa yang

didapatkan dalam bangku sekolah atau perkuliahan. Jangan pula mendiskreditkan masyarakat

yang melakukan tradisi sebagai kelompok masyarakat yang berusaha untuk mengubah ajaran

Islam, karena antara agama dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang saling menopang.

Jadikanlah ilmu yang diperoleh di bangku sekolah atau di bangku kuliah untuk membangun

kearifan lokal daerah, dengan cara melakukan pementasan-pementasan budaya sekaligus

memperkenalkan identitas budaya kepada orang lain.

2. Kepada Pemerintah

Didasarnkan agar Pemerintah Daerah lebih meningkatkan kepekaanya untuk

memperhatikan pengembangan budaya lokal sebagai salah satu faktor pendukung kebudayaan

nasional. Kepekaan atau perhatian itu dapat ditunjukkan dalam bentuk kebijakan dengan

menetapkan dan mengeluarkan kebijakan yang peka terhadap kearifan lokal.

Page 172: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Pemerintah rajin mengadakan pameran kebudayaan dengan menampilkan semua

kebudayaan etnik penduduk daerah tersebut. Jangan mengadakan pameran pembangunan yang

terfokus pada hasil-hasil produksi saja. Sementara tradisi kebuadayaan merupakan salah satu

pendukung utama pembangunan yang lebih bermartabat dan berbudaya. Pemerintah juga

seharusnya selalu memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat yang mau mangadakan

pentas budaya, seperti tradisi ritual mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,

Kota Kendari. Masyarakat ini merupakan kelompok masyarakat yang setiap tahun melakukan

ritual kebudayaan sebagai bentuk tolak bala dan ucapan terima kasih kepada penguasa laut yang

disebut dengan istilah setasasi.

Page 173: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makasar. Jakarta: Inti Idayu Press. Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna, dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan Pada

Upacara Garebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah & Nilai Tradisional. ------------------.2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakatra: Sekolah

Pascasarjana UGM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Ames, Roger T. 2001. Ritual Sebagai Hak : Laternatif Konfusius dalam Etika Terapan I,

Yogyakarta: CV, Tirta Wacana Yoga. Amin, Rais Mohammad. 2008. Keragaman Masyarakat Ujung Bone: Sebuah Ritual

“Addewatang Putang Sereng” di Sulawesi Selatan. (Irwan Abdullah ed). Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM Bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

Ardika, I Wayan. 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitas dalam Refleksi

Hubungan Antar Etnis. Antara Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali”. Dalam Jurnal Lembaga Kebudayaan. UMM. Edisi Maret Tahun 2007.

Aris, La Ode. 2010. Kaago-ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna). Tesis di

Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Tidak diterbitkan Barker, Chirs. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta.

Kreasi Wacana. Bath, Frederik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : University Press

Casstel, Manuel. 2001. The Information Of Age: Economy, Society, and Culture: Vol II, The Power of Identity. Ozford: Blackwell.

Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta : PN.

Grafiti Pers. Dhavamony, M. 1995. Fenomena Agama. Yogyakarta: Kanisius. Douglas, M. dan B. Isherwood. 1980. The World of Goods. Harmonsworth: Penguins. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi PenelitianKebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada

University press. Foley, William A. 1991. Antropological Linguistics : An Intruduction, Oxford, UK : Blackwell

Publisher, Ltd

Page 174: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah : Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Djambatan.

Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:

Penerbit Qalam. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. ---------. 1973. The Interpretation of Cultures. Terjemahan New York: Basic. Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD Komplek Polri Gowok. Goretty, Maria. 2010. Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Endu Aesea Propinsi

Flores. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Hadi, Y. Sumandiyo. 2000, Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Yayasan untuk Indonesia. Hadi, Abdul. W.M. 2004. Hermeneutika Estika Religius, Yogyakarta : DN Matahari Hadi, Sutrisno. 1978. Metode Reascard. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah

Mada. Hall, S. 1977. Culture The Media an The Ideological Effect, dalam J.Curran, M. Gurevilch dan J.

Woollacott (ed). Mass Cominications and Society. London. Edwar Arnold. Halliday. 1997. Explorations in The Function of Language. London : Edward Arnold. Hoban, Nong. 2007. Ritual Reba dalam Masyarakat Petani Etnik Bhajawa Kabupaten Ngada,

Nusa Tenggara Timur. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan

Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger. 2003. The Invention of Tradition. United Kingdom:

Cambirdge University Perss. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta :

Balai Pustaka Kleden, Ignatius. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan

Sosial. Kolom 8, 5-6. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press) ---------, 1987 Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press) --------, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

---------, 1994, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat

---------, 2004. Kebudayaan Mentalis dan Pembanungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 175: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Lampe, Munsi. 2004. Masyarakat Bahari Wallecea dalam Catatan Antropologi Sosial Budaya

Universitas Hasanudin. Makassar. Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York: Harvard University Press. Maleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Posdakarya. ___________, 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific Theory of Culture and Other assays. New York :

Oxford University Press. Moertjipto, Drs, dkk. 1997. Upacara Tradisional Mohon Hujan Desa Kephoharjo Cangkringan

Sleman, Yogyakarta Morris, Brian. 2003. Antropologi Agama Kritik Teori-Teori Agama Kontermporer. Yogyakarta:

AK Group. Muhadjir, Noeng. 1995. Metododlogi Penelitian Kualitatif : Telaah Posistivistik, Rasionalistik,

Phenomonologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta : Rake Sarisin. Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta :

Gadja Mada University Press. Niron, Benekditus Belang. 2005. Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat Lamaholot di Desa

Sulengwaseng Kecamatan Solok Barat, Flores Timur: Prekspektif Kajian Budaya. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan

O’dea, Thomas. 1985. Sosiologi Agama, Jakarta. Rajawali.

Ong, Walter J. 1983. Orality and Literacy: The Technologizing of the word’ Reprinted. London:

Methuen.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEQ.

Piliang, Amir Yasraf. 2006. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.

Yogyakarta: Jalasutra. Pudentia, MPSS. (ed), 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : ATL Purwasita, Andrik. 2003 .Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University

Press.

Page 176: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Rahman, Abdul. 2007. Ritual Cera Lepa (Selamatan Perahu Baru) dalam Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota kendari, Sulawesi Tenggara. Skripsi di Jurusan Antropologi Universitas Haluoleo. Tidak diterbitkan.

Rais, Muhammad. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global dalam

Keberagaman Masyarakat Ujung Bone Sebuah Ritual “Addewatang Putta Sereng”. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM.

Ratna, I Nyoman Kutha 2008. Postkolonialisme di Indonesia: Refleksi Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Sairin, Sjafri. 2001. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarup, Madan. 2000. Postrukturalismen dan Postmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES Simmel, Georg. 1991. “Money in Modern Cultur”, Theory Culture and Society. 8 (3): 7-13. Soemardjan. 1995. Sosiologi. Semarang: IKIP Semarang Press. Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop (terjemahan dari judul asli An Introductory Guide

Theory and Populer Culture) Edisi 1. Yogyakarta: CV. Qalam. Sumitri, Ni Wayan. 2005. Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai,

Nusa Tenggara Timur. Tesis Program Pascasarjana Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, (tidak diterbikan).

Surayanto A. 1994. Ekosistem Pesisir Potensi Permasalahan dan Upaya Pengelolaan Secara

Terpadu. Jakarta: BPPT Spradley. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Kencana

Sweeny, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley: University of California Press.

Syaefudin, Asep. 2007. Merukunkan Umat Beragama. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Turner, V. 1974. Darmas, Fields and Metaphors. Ithaca: Cornel University Press.

Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta : Gramedia.

Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat Perubahan Sikap, Perilaku Serta Sikap yang tidak Berkebudayaan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Zacot, Francius R, 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Page 177: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayanan Etnik Mandar

Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Bagaimanakah sejarah masuknya etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko ?

2. Apakah selain etnik Mandar ada etnik lain yang ikut dalam ritual mappandesasi ?

3. Bagaimanakah sistem kepercayaan dalam masyarakat nelayan etnik Mandar ?

4. Apakah dalam masyarakat etnik Mandar ada stratifikasi sosial ? kalau ada bentuknya

seperti apa ?

5. Selain ritual mappandesasi apakah ada ritual lain ? kalau ada ritual apa saja ?

6. Siapakah yang paling berperan dalam ritual mappandesasi ?

B. Masalah Bentuk-Bentuk Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan

Etnik Mandar

1. Jelaskan apa itu ritual mappandesasi ?

2. Apa fungsi dari ritual mappandesasi ?

3. Apakah manfaat dari ritual mappandesasi ?

4. Sejak kapan ritual mappandesasi dilakukan di Kelurahan Bungkutoko?

5. Siapakah yang memimpin ritual mappandesasi ?

6. Jelaskan mengapa ritual mappandesasi dilaksanakan pada hari Kamis atau malam

Jum’at?

7. Sarana apa saja yang digunakan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi ?

8. Persiapan apa saja yang disediakan dalam ritual mappandesasi ?

Page 178: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

9. Siapakah peserta ritual mappandesasi ?

C. Masalah Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Keterancaman Ritual Mappandesasi.

dan Pengurangan terhadap Ritual Mappandesasi

1. Apa penyebab terjadinya penurunan peserta ritual mappandesasi ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadi penurunan peserta ritual mappandesasi?

3. Apakah peserta ritual mappandesasi tidak pernah berkomunikasi dengan para pimpinan

ritual sandro ?

4. Bagaimanakah peran pimpinan ritual dengan penurunan peserta ritual ?

5. Apa yang mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap ritual mappandesasi ?

D. Masalah Dampak dan Makna Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat

Nelayan Etnik Mandar

1. Makna apa yang terdapat dalam ritual mappandesasi ?

2. Apakah dampak dari penurunan peserta dan pengurangan ritual mappandesasi ?

3. Apakah pernah ritual mappandesasi tidak dilaksanakan dalam satu tahun ? kalau pernah

mengapa ? Apa akibatnya terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar ?

4. Apakah para peserta ritual mappandesasi paham dengan makna-makna yang terkandung

di dalam ritual mappandesasi ?

5. Apakah pernah terjadi kekurangan bahan ritual atau sesajen ?

6. Apakah masyarakat asli Kelurahan Bungkutoko pernah melarang adanya ritual

mappandesasi ?

Page 179: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Lampiran 2

DAFTAR INFORMAN

NO Nama L/P Usia Pekerjaan Alamat

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

19

Ba’dul

Bakri

Mardin

Sudiang

Maruka

Beddu

Sappe

Drs.Burhan S.E

Muhtar S.E

Imran

Intan

Hj. Nani

Reski

Rustam

Rusdi

Andri

Cullang

Andi

Surding

Sudding

L

L

L

L

L

L

L

L

L

L

P

P

P

L

L

L

L

L

L

L

70 thn

47 thn

45 thn

50 thn

92 thn

65 thn

45 thn

45 thn

37 thn

30 thn

27 thn

54 thn

25 thn

41 thn

43 thn

22 thn

37 thn

34 thn

42 thn

40 thn

Tokoh Masyarakat

Tokoh Masyarakat/ Nelayan

Tokoh Masyarakat/Nelayan

Tetua Adat

Pimpinan Ritual Sandro (Dukun)

Sandro (Dukun)

Sandro (Dukun)

Lurah Kel. Bungkutoko

Sekertaris Lurah

PNS Kel.Bungkutoko

PNS Kel.Bungkutoko

Ibu Rumah Tangga

Ibu Rumah Tangga

Nelayan

Tokoh Masyarakat/ Nelayan

Mahasiswa

Nelayan

Nelayan

Tokoh Masyarakat/Supir Angkutan

Nelayan

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-02

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-02

Kel.Bungkutoko RW-03

Kel.Bungkutoko RW-02

Kel.Bungkutoko RW-03

Kel.Bungkutoko RW-02

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Kel.Bungkutoko RW-01

Page 180: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Peta Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara

Page 181: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS UDAYANA

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) KAJIAN BUDAYA

Jalan Nias 13 Denpasar, Bali Telp/Fax (0361)246653

SURAT PERNYATAAN PEMBIMBING Yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. (Pembimbiing I) 2. Nama : Dr. Pudentia MPSS., M.A.

(Pembimbing II) Menyatakan bahwa tesis mahasiswa berikut telah kami bimbing dan kami nyatakan siap diuji. Mahasiswa tersebut adalah : Nama : Muhamad Alkausar NIM : 0990261026 Pengkhususan : Tradisi Lisan Judul Penelitian : Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar

Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Denpasar, Agustus 2011

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. Dr. Pudentia MPSS., M.A. NIP 194409271976021001 NIP 195605081982032002

Page 182: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL, 13 AGUSTUS 2011

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. Dr. Pudentia MPSS., M.A. NIP 19440927 1976 021001 NIP 19560508 1982 03 2002

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister (S2) Direktur Kajian Budaya Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19430521 198303 2001 NIP. 19590215 198510 2001

Page 183: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal, 13 Agustus 2011

Panitia Penguji Tesis, Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1390/UN14.4/HK/2011, Tanggal, 09 Agustus 2011

Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.

Anggota :

1. Dr. Pudentia MPSS., M.A.

2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S

3. Prof. Dr. Aron Meko Mbete

4. Dr. I Gede Mudana, M.Si

Page 184: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS UDAYANA

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) KAJIAN BUDAYA

Jalan Nias 13 Denpasar, Bali Telp/Fax (0361)246653

SURAT PERNYATAAN PEMBIMBING DAN PENGUJI Nomor : /J 14.4.5/PP.00.08/2011

Kami yang bertanda tangan dibawah ini, masing-masing secara terpisah telah mencermati hasil perbaikan tesis : Berjudul : Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Disusun oleh : Muhamad Alkausar NIM : 0990261026 Mahasiswa : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana Lebih lanjut kami nyatakan bahwa hasil perbaikan tersebut telah dapat kami setujui karena sesuai dengan masukan-masukan yang telah kami berikan dalam ujian pada tanggal Agustus 2011. Kami mengharap “Surat Pernyataan” ini dapat digunakan sesuai dengan keperluan.

Para Pembimbing dan Penguji NO Nama Tanda Tangan Persetujuan

1. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. (Pembimbing I)

1. ………………………………………….

2. Dr. Pudentia MPSS., M.A (Pembimbing II)

2. ………………………………………….

3. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S (Anggota Penguji)

3. …………………………………………

4. Prof. Dr. Aron Meko Mbete. (Anggota Penguji)

4. ………………………………………….

5. Dr. I Gede Mudana, M.Si (Anggota Penguji)

5. ……………………………………………

Denpasar,13 Agustus 2011 Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S NIP 1943 0521 1983 03 2001 Catatan : Persetujuan secara berturut-turut supaya Diminta oleh mahasiswa kepada masing-masing Anggota Penguji, Pembimbing II dan terakhir Pembimbing I

Page 185: Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...