Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

33
i DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. i DAFTAR TABEL .................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... i I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 II. WAJAH PERTANIAN KITA SAAT INI ....................................................... 2 A. Ketersedian Sumberdaya Pertanian.............................................................. 2 B. Konstribusi Terhadap Pembangunan Nasional ............................................ 5 C. Mengurai Permasalahan Pertanian Nasional ................................................ 9 D. Kelembagaan dalam Pengelolaan Pertanian Nasional ............................... 17 III. SIMPULAN ................................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31 DAFTAR TABEL Tabel 1. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Indonesia Setiap Provinsi ................................................................................... 3 Tabel 2. Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha................................... 7 Tabel 3. Luas Panen dan Produksi untuk Komoditas Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2007-2011................................................................... 8 Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2011...................................... 9 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian........ 18 Gambar 2. Kuadran Keberhasilan Pembangunan............................................. 23 Gambar 3. Contoh Model Arus Input dan Output Pertanian LEISA................ 26 Gambar 4. Diagram alir pembanguan pertanian berkelanjutan yang berke- arifan komoditas lokal.................................................................... 28

Transcript of Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

Page 1: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

i

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. i

DAFTAR TABEL .................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... i

I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

II. WAJAH PERTANIAN KITA SAAT INI ....................................................... 2

A. Ketersedian Sumberdaya Pertanian.............................................................. 2

B. Konstribusi Terhadap Pembangunan Nasional ............................................ 5

C. Mengurai Permasalahan Pertanian Nasional ................................................ 9

D. Kelembagaan dalam Pengelolaan Pertanian Nasional ............................... 17

III. SIMPULAN ................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Indonesia

Setiap Provinsi ................................................................................... 3

Tabel 2. Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha................................... 7

Tabel 3. Luas Panen dan Produksi untuk Komoditas Padi, Jagung dan

Kedelai Tahun 2007-2011................................................................... 8

Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2011...................................... 9

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian........ 18

Gambar 2. Kuadran Keberhasilan Pembangunan............................................. 23

Gambar 3. Contoh Model Arus Input dan Output Pertanian LEISA................ 26

Gambar 4. Diagram alir pembanguan pertanian berkelanjutan yang berke-

arifan komoditas lokal.................................................................... 28

Page 2: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

1

I. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara agraris dengan luas lahan pertanian mencapai

30,61 juta Ha (Litbang Kementan 2011), menempatkan pertanian sebagai salah

satu sektor primer yang mendukung pembangunan nasional. Variabel penting

terhadap pembangunan nasional tidak hanya ditunjukkan atau dibuktikan dari

aspek ekonomi, namun bersentuhan secara langsung dalam aspek pembangunan

nasional lainnya yakni politik, sosial, dan budaya yang semuanya diarahkan pada

upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam rangka menjaga

ketersediaan pangan –hasil pertanian– dalam jangka panjang, dibutuhkan produksi

pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan

merupakan pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan

kelembagaan sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan

kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang

(FAO 1989).

Istilah “pertanian” yang disandingkan dengan istilah “keberlanjutan”

mencakup beberapa aspek penting. Ada tiga aspek pokok pertanian berkelanjutan,

yaitu: kesadaran lingkungan, bernilai ekonomis, dan berjiwa sosial. Selanjutnya

Libunao (1995) dalam Salikin (2007), menyatakan bahwa paling tidak terdapat

delapan ciri spesifik agar suatu pertanian dikatakan berkelanjutan, meliputi: 1)

bernuansa ekologi; 2) berjiwa sosial; 3) bernilai ekonomis; 4) berbasis ilmu

holistik; 5) berketepatan teknik; 6) berketepatan budaya; 7) dinamis; dan 8) peduli

keseimbangan gender.

Semangat untuk menjaga pertanian dalam koridor keberlanjutan semakin

masif ketika terjadi degradasi tanah khususnya lahan pertanian dan air baik dari

segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini menurut Gliessman (2007), terjadi karena

selama ini pertanian konvensional hanya ditempatkan dalam konteks peningkatan

produksi (orientasi ekonomi) tanpa memperhatikan aspek lingkungan (ekologi).

Fokus keberhasilan pertanian hanya menggunakan indikator produktivitas untuk

mencapai keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo yang cepat bagaimanapun

caranya, seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida, sistem irigasi dan mesin-

mesin pertanian modern.

Page 3: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

2

II. WAJAH PERTANIAN KITA SAAT INI

A. Ketersedian Sumberdaya Pertanian

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pertanian berkelanjutan

secara sistemik menyangkut tiga aspek pokok yaitu ekologi, ekonomi dan

sosial budaya. Ketiga aspek tersebut merupakan mata rantai yang

seharusnya tidak terpisahkan dalam membentuk dan menjaga kesinam-

bungan pertanian nasional.

Uraian mengenai aspek ekologi pertanian lebih difokuskan pada

kondisi lahan pertanian. Metrotvnews.com mengutip komentar Profesor

Iswandi Anas, bahwa hampir 75 % lahan pertanian di Indonesia sudah kritis

karena penurunan kualitas kesuburan tanah. Penurunan kualitas tanah itu

akibat pemakaian pupuk kimia dengan dosis tinggi dalam kurun waktu yang

panjang dan terus-menerus. Penggunaan bahan kimia untuk menghindari

gagal panen dan serangan hama dan penyakit, padahal bahan kimia tersebut

akan menyebabkan residu pada tanah dan hasil produksi pertanian.

Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua,

sekitar 64.783.523 ha lahan digunakan untuk pekarangan, tegalan / kebun /

ladang / huma, padang rumput, lahan sementara tidak diusahakan, lahan

untuk kayu-kayuan, perkebunan dan sawah (BPS 2001). Data lahan

pertanian dari BPS sejak tahun 1986 – 2000, memperlihatkan bahwa

perluasan lahan pertanian berkembang sangat lambat. Terutama lahan sawah

sebagai penghasil utama pangan; hanya berkembang dari 7,77 juta ha pada

tahun 1986 menjadi 8,52 juta ha pada tahun 1996 bahkan cenderung

menyusut menjadi 7,79 juta ha pada tahun 2000.

Berdasarkan hasil evaluasi lahan pada skala eksplorasi untuk seluruh

wilayah Indonesia, diperoleh data bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk

pertanian seluas 100,7 juta ha, terdiri dari lahan sesuai untuk tanaman

pangan seluas 24,6 juta ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering, serta

seluas 50,9 juta ha sesuai untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002).

Sementara data potensi lahan pertanian Indonesia sebagaimana yang

dirilis oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian

Pertanian (2011) menyebutkan luas areal pertanian Indonesia adalah seluas

Page 4: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

3

30.613.634 Ha. Ini berarti bahwa terjadi penurunan areal pertanian 70% jika

dibandingkan data tahun 2002. Adapun data potensi lahan pertanian

Indonesia sebagaimana dicantumkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Indonesia

Setiap Provinsi

Provinsi Luas Total

Lahan (Ha) Deskripsi

Aceh 781.663

431.293 ha (55,2%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 282.109 ha (36,1%) untuk komoditas

tanaman semusim, dan sisanya 68.261 ha (8,7%)

diarahkan untuk padi sawah.

Sumatra

Utara 647.223

429.751 ha (66,4%) untuk komoditas tanaman

semusim. 2141.972 ha (21,9%) untuk komoditas

tanaman tahunan, dan 75.500 ha (11,7%)

diarahkan untuk padi sawah.

Riau 1.335.225

896.245 ha (67,1%) diarahkan untuk komoditas

tanaman tahunan, 252.980 ha (18,9%) untuk

komoditas tanaman semusim, dan 186.000 ha

(13,9%) untuk padi sawah.

Sumatra

Barat 475.766

310.611 ha (65,3%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 110.047 ha (18,9%) untuk padi sawah,

dan sisanya 11,6% komoditas tanaman semusim.

Jambi 633.338

258.997 ha atau 40,9% untuk komoditas tanaman

tahunan, 177.341 ha (28,0%) untuk komoditas

tanaman semusim, dan 197.000 ha (31,1%)

diarahkan untuk padi sawah.

Bengkulu 320.023

209.105 ha (65,3%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 88.078 ha (27,5%) untuk komoditas

tanaman semusim, dan 22.840 ha (7,1%) untuk

padi sawah.

Sumatra

Selatan 967.464

43,9% atau seluas 424.846 ha untuk komoditas

tanaman tahunan, 31,8% atau 307.225 ha untuk

komoditas tanaman semusim, dan sisanya

235.393 ha untuk padi sawah.

Bangka

Belitung 251.227

25.807 ha atau 10,3% saja yang diarahkan untuk

padi sawah. 89,7% atau seluas 225.470 ha

diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan.

Lampung 87.419

45.8% atau 40.000 ha untuk padi sawah, 26.398

ha (30,2%) untuk komoditas tanaman semusim,

21.021 ha (24,0%) komoditas tanaman tahunan.

Page 5: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

4

Provinsi Luas Total

Lahan (Ha) Deskripsi

Jawa Barat 60.410

48.090 ha (79,6%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 7.447 ha (12,3 %) untuk padi sawah,

4.873 ha (8,1%) komoditas tanaman semusim.

Banten 56.556

54.757 ha (96,8%) untuk komoditas tanaman

tahunan. Seluas 311 ha (0,5%) untuk komoditas

tanaman semusim, dan 1.488 ha (2,6%) untuk

padi sawah.

Jawa Tengah 30.922

20.654 ha (66,8%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 8.966 ha (29,0%) untuk komoditas

tanaman semusim, dan 1.302 ha (4,2%) untuk

padi sawah.

Jawa Timur 66.001

Sekitar 35.451 ha (53,7%) diarahkan untuk

komoditas tanaman tahunan, 26.394 ha (40,0%)

diperuntuk komoditas tanaman semusim,

dan sisanya 6,3% untuk padi sawah.

Kalimantan

Barat 2.809.575

1.770.109 ha (63,0%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 856.368 ha (30,5 %) untuk komoditas

tanaman semusim, dan 183.098 ha (6,5%) untuk

padi sawah

Kalimantan

Tengah 3.709.887

2.661.510 ha (71,7%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 401.980 ha (10,8%) untuk komoditas

tanaman semusim, dan 646.397 ha (17,4%) untuk

padi sawah.

Kalimantan

Timur 4.549.356

2.431.329 ha (53,4%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 1.886.264 ha (41,5%) diperuntuk

komoditas tanaman semusim, dan sisanya 5,1%

untuk padi sawah.

Kalimantan

Selatan 1.238.573

409.101 ha (33,0%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 494.791 ha (39,9 %) untuk komoditas

tanaman semusim, dan 334.681 ha (27,0%) untuk

padi sawah .

Sulawesi

Selatan 339.173

266.045 ha (66,6%) untuk komoditas tanaman

tahunan, 69.725 ha (17,5 %) untuk komoditas

tanaman semusim, dan sisanya 63,403 ha (15,9%)

untuk padi sawah .

Sulawesi

Tenggara 321.057

106.158 ha (33,2%) komoditas tanaman tahunan,

93.417 ha (29,1%) tanaman semusim,

dan 121.122 ha (37,7%) padi sawah.

Page 6: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

5

Provinsi Luas Total

Lahan (Ha) Deskripsi

Sulawesi

Tengah 334.528

Sekitar 95.484 ha (28,5%) diarahkan untuk

komoditas tanaman tahunan, 47.219 ha (14,1%)

komoditas tanaman semusim, dan sisanya 57,3%

untuk padi sawah.

Gorontalo 20.257 lahan pertanian yang tersedia seluruhnya

diarahkan untuk padi sawah .

Sulawesi

Utara 164.593

Sekitar 133.135 ha (80,9%) diarahkan untuk

komoditas tanaman tahunan, 5.091 ha (3,1%)

untuk komoditas tanaman semusim, dan 26.367

ha (16,0%) untuk padi sawah.

Bali 14.093 seluruhnya diarahkan untuk padi sawah .

Nusa

Tenggara

Barat

224.534

80.628 ha (35,9%) diarahkan untuk komoditas

tanaman tahunan, 137.659 ha (61,3%) untuk

komoditas tanaman semusim, dan 6.247 ha

(2.8%) untuk padi sawah.

Nusa

Tenggara

Timur

558.120

529.537 ha (94,9%) diarahkan untuk komoditas

tanaman tahunan, dan 28.583 ha (5,1%) untuk

padi sawah.

Maluku 562.061

Sekitar 440.381 ha (78,4%) diarahkan untuk

komoditas tanaman tahunan, dan 121.680 ha

(21,6%) untuk padi sawah. .

Maluku

Utara 384.891

210.480 ha (54,7%) diarahkan untuk komoditas

tanaman tahunan, 50.391 ha (13,1%) untuk

komoditas tanaman semusim, dan 124.020 ha

(32,2%) untuk padi sawah.

Papua 9.669.699

2.790.112 ha (28,9%) diarahkan untuk komoditas

tanaman tahunan, 1.688.587 ha (17,5%) untuk

komoditas tanaman semusim, dan 5.187.000 ha

(53,7%) untuk padi sawah.

Indonesia 30.613.634

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian

Pertanian (2011), setelah diolah.

B. Konstribusi Terhadap Pembangunan Nasional

Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak pernah lepas

dari berbagai persoalan, baik persoalan ekologi, ekonomi, sosial dan

budaya, bahkan persoalan kebijakan politik. Hal ini tidak berlebihan karena

pangan adalah kebutuhan pokok penduduk, terutama di Indonesia. Laporan

Page 7: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

6

BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah

mencapai 237,641,326 jiwa atau meningkat sebesar 15,21% dari tahun

sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup

agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas pangan nasional. Dalam

rangka pemenuhan kebutuhan pangan terutama mempertahankan sekaligus

meningkatkan produksi pangan, pada level lapangan masih banyak

hambatan dan kendala yang dijumpai. Dari sekian banyak hambatan dan

kendala tersebut, ada yang dapat ditangani melalui introduksi teknologi dan

upaya strategis lainnya, tetapi ada pula yang sukar untuk ditangani terutama

yang berkaitan dengan fenomena alam.

Pembangunan pertanian menempati prioritas utama dalam pemba-

ngunan ekonomi nasional. Dalam pendekatan perhitungan pendapatan

nasional, sektor pertanian terdiri dari sub-sektor tanaman pangan dan

hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Selain

sektor pertanian, terdapat delapan sektor ekonomi lainnya yang secara

bersama menentukan besarnya pertumbuhan ekonomi bangsa melalui

pendapatan domestik (GDP) dan pendapatan nasional (GNP). Pada tahun

1993, sumbangan sektor pertanian terhadap GDP adalah 18%, kemudian

turun menjadi 15% pada tahun 1997. Namun dengan adanya krisis ekonomi,

sektor pertanian kembali menunjukkan perannya yang lebih besar yaitu

sumbangannya sebesar 17% pada GDP pada tahun 1998 (BPS 1998).

Sedangkan pertumbuhan PDB menurut lapangan usahanya, pada tahun 1997

pertumbuhan sektor pertanian sebesar 0,7% dan memberikan sumbangan

sebesar 0,1%. Pada tahun 1998, pertumbuhan mengalami penurunan

menjadi 0,2% dan meningkat menjadi 2,7% pada tahun 1999. Pertumbuhan

PDB menurut lapangan usaha disajikan pada Tabel 2.

Page 8: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

7

Tabel 2. Pertumbuhan PDB menurut Lapangan Usaha

Rincian

1997 1998 1999

Pertumbuhan Sumbangan Pertumbuhan Sumbangan Pertumbuhan

Persen

Produk

Domestik

Bruto

4.9 4.9 -13.7 -13.7 -10.3

Pertanian 0.7 0.1 0.2 0.0 2.7

Pertambang-

an dan

penggalian

1.7 0.2 -4.2 -0.4 -0.7

Industri

pengolahan 6.4 1.6 -12.9 -3.2 -9.6

Listrik, gas

dan air

bersih

12.8 0.2 3.7 0.1 7.7

Bangunan 6.4 0.5 -39.7 -3.2 -5.0

Perdagangan

, hotel dan

restoran

5.8 1.0 -19.0 -3.2 -14.1

Pengangkuta

n dan

komunikasi

8.3 0.6 -12.8 -1.0 -18.3

Keuangan,

persewaan

dan jasa

6.5 0.6 -26.7 -2.4 -47.6

Jasa-jasa 2.8 0.3 -4.7 -0.4 -0.2

Non Migas 5.5 5.0 -14.8 -13.6 -11

Migas -1.0 -0.1 -1.0 -0.1 -3.9

Sumber : BPS dalam Laporan tahunan BI 1998/1999

Keterangan: (1) Atas dasar harga konstan 1993; (2) Triwulan I/1999

Selain kontribusinya melalui GDP, peran sektor pertanian dalam

pembangunan nasional dapat dilihat dari peran sektor pertanian yang sangat

luas, mencakup beberapa indikator antara lain:

a. Pertama, pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang terbesar.

Data Sakernas menunjukkan bahwa pada tahun 1997, dari sekitar

87 juta jumlah tenaga kerja yang bekerja, sekitar 36 juta

diantaranya bekerja di sektor pertanian (Sakernas 1986 dan 1997).

b. Pertanian merupakan penghasil makanan pokok penduduk. Peran

ini tidak dapat disubstitusi secara sempurna oleh sektor ekonomi

Page 9: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

8

lainnya, kecuali apabila impor pangan menjadi pilihan. Komoditas

tanaman pangan yang utama adalah padi, jagung dan kedelai.

Adapun luas panen dan produktivitas ketiga tanaman tersebut

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Panen dan Produksi untuk Komoditas Padi, Jagung

dan Kedelai Tahun 2007-2011

Tahun

Padi Jagung Kedelai

Luas

Panen

(ha)

Produksi

(ton)

Luas

Panen

(ha)

Produksi

(ton)

Luas

Panen

(ha)

Produksi

(ton)

2007 12.147.637 57.157.435 4.001.724 16.317.252 459.116 592.534

2008 12.327.425 60.325.925 4.001.724 16.317.252 590.956 775.710

2009 12.883.576 64.398.890 4.160.659 17.629.748 722.791 974.512

2010 13.253.450 66.469.394 4.131.676 18.327.636 660.823 907.031

2011 13.203.643 65.756.904 3.864.692 17.643.250 622.254 851.286

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011), data telah diolah

c. Komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga. Harga

produk-produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks

harga konsumen sehingga dinamikanya sangat berpengaruh

terhadap inflasi.

d. Akselerasi pembangunan pertanian sangat penting untuk

mendorong ekspor dan mengurangi impor. Pembangunan

pertanian mencakup pemasaran dan perdagangan komoditas.

e. Komoditas pertanian merupakan bahan industri manufaktur

pertanian. Masih dalam suatu sistem rantai agribisnis, industri

manufaktur (pengolahan) pertanian, baik yang mengolah

komoditas pertanian maupun yang menghasilkan input pertanian

menduduki tempat yang penting. Kegiatan industri manufaktur

pertanian hanya bisa berjalan apabila memang ada kegiatan

produksi yang sinergis. Dengan demikian kehadiran sektor

pertanian adalah prasyarat bagi adanya sektor industri manufaktur

pertanian yang berlanjut.

Page 10: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

9

f. Pertanian memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi. Keterkaitan

antara sektor pertanian dengan sektor lain dapat dilihat dari aspek

keterkaitan produksi, konsumsi, investasi, dan fiskal.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hortikultura, kontribusi

hortikultura pada pembentukan PDB cenderung meningkat. Pada tahun

2005 PDB Hortikultura sebesar Rp. 61,79 Trilliun naik menjadi Rp. 89,057

Trilliun pada tahun 2009. Pada tahun 2000 sektor pertanian menyerap

tenaga kerja sebesar 38.427.606 orang atau setara 67,79% (BPS 2000).

Berdasarkan data BPS mengenai penyerapan tenaga kerja terbaru, sektor

pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 41.611.840 orang pada tahun

2009, mengalami kecenderungan menurun pada tahun 2010 menjadi

41.494.941 orang dan tahun 2011 menjadi 39.330.000 orang. Data tersebut

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2011

Sumber : BPS (Data ketenagakerjaan bulan Agustus pada masing-masing tahun)

C. Mengurai Permasalahan Pertanian Nasional

Mengurai secara detail dan rinci persoalan pertanian bukan hal yang

cukup mudah. Hal ini selain membutuhkan ruang dan waktu yang cukup

juga membutuhkan metode analisis yang lebih spesifik. Selain itu persoalan

yang terjadi dalam dunia pertanian terjadi mulai dari hulu (on farm) hingga

ke hilir (off farm) serta memiliki keterkaitan (linkage) dengan sektor-sektor

lain. Namun setidaknya dalam uraian ini, secara umum persoalan pertanian

dapat didekati hingga dapat memberikan gambaran yang terjadi. Untuk itu,

data sekunder sangat membantu dalam proses analisis masalah pertanian.

Permasalahan besar dalam pengelolaan sumberdaya pertanian di dunia

termasuk Indonesia yaitu aktivitas pertanian secara konvensional. Pertanian

Sektor Tahun

2009 2010 2011

Pertanian 41.611.840 41.494.941 39.330.000

Non Pertanian 63.258.823 66.712.826 70.340.000

Tidak Bekerja 8.873.745 8.322.233 7.700.000

Total Angkatan Kerja 113.744.408 116.530.000 117.370.000

Persentase Pertanian terhadap

Total Angkatan Kerja 36,58 35,61 33,51

Page 11: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

10

konvensional berprinsip bahwa memaksimalkan hasil produksi (panen)

pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat itu dan

memaksimalkan keuntungan merupakan tujuan utama. Hal tersebut biasanya

diupayakan melalui intensifikasi dan/atau ekstensifikasi pertanian.

Intensifikasi pertanian mengacu pada peningkatan produktivitas tanaman

atau kapasitas produksi per luas lahan, sedangkan ekstensifikasi pertanian

mengacu pada penambahan luas lahan. Kedua cara tersebut baik untuk

mencapai tujuan, namun demi mengejar target produksi, pertanian

konvensional kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.

Berdasarkan data FAO tentang pertumbuhan produksi per kapita di

dunia pada tahun 1984 hingga 2004, adanya tren penurunan surplus

produksi pertanian (FAOSTAT 2005). Hal tersebut disebabkan peningkatan

panen yang semakin sedikit tiap tahunnya dihadapkan pada kenaikan

pertumbuhan populasi manusia. Jika dibiarkan demikian, setelah jangka

waktu tertentu kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hasil pertanian

apabila produksinya hanya mengandalkan pola pertanian konvensional.

Laporan kinerja kemanterian pertanian tahun 2011 menyebutkan

beberapa kendala teknis yang dihadapi dalam pelaksanaan program dan

kegiatan pembangunan petanian tahun 2011, antara lain: (1) dampak

perubahan iklim, (2) kepemilikan lahan sempit dan laju konversi lahan

pertanian pangan, (3) permodalan petani masih sulit diakses dan (4)

kelembagaan petani masih lemah, dan (5) prasarana pertanian terutama jalan

pedesaan dan rusaknya jaringan irigasi.

Bila didekati secara tematik, ada beberapa masalah krusial yang

terjadi dalam dunia pertanian kita yaitu masalah sumber daya lahan dan air

pertanian baik secara kualitatif maupun kuantitatif, masalah petani (sosial

ekonomi, budaya, kepemilikan lahan), masalah teknis budidaya (Alsintan,

Saprodi), dan masalah kebijakan (pemerintah dan regulasi).

1. Degradasi air dan lahan pertanian

Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan

pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (laju

1%/tahun). Degradasi lahan secara kualitatif juga terjadi akibat oleh

Page 12: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

11

adanya residu bahan-bahan kimia sehingga tingkat kesuburan

tanahpun menurun. Hal ini berakibat pada menurunnya tingkat

produktivitas hasil pertanian nasional.

Berdasar catatan Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutkan

bahwa alih fungsi lahan pertanian subur mencapai 30.000 hektar

setiap tahunnya, sebagian besar adalah lahan sawah yang beirigasi

teknis, dan kebanyakan terjadi di Jawa. Menurut Ditjen Pengelolaan

Lahan dan Air Kementerian Pertanian (2011), alih fungsi lahan

pertanian mencapai 110 ribu hektar per tahun.

Masa orde baru telah mencoba mencetak satu juta hektar sawah

lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Proyek ini menelan

biaya yang tidak sedikit karena membutuhkan fasilitas infrastruktur.

Namun akhirnya proyek ini dinilai gagal dan tidak berkelanjutan.

Bahkan menyisakan persoalan lingkungan yakni kebakaran lahan

gambut dan kabut asap.

Penyusutan lahan pertanian subur juga disebabkan oleh peng-

gunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi anorganik. Pemakaian jangka

panjang pupuk dan obat-obatan kimiawi anorganik ternyata telah

membawa kerusakan lahan pertanian dalam jumlah besar, yang

ditandai dengan berkurangnya kesuburan tanah. Pupuk nitrogen (N)

yang digunakan dalam budidaya pertanian mengalami berbagai

perubahan di dalam tanah, seperti dalam bentuk amonium (NH4),

nitrat (NO3), dan/atau nitrit (NO2). Sebagian dari N pupuk (NH3/N2

dan N2O) menguap ke udara (volatilisasi), sebagian lagi hilang

melalui pencucian atau erosi. Di daerah tropis, 40-60% N-urea hilang

dalam bentuk NH3. Pupuk N dosis tinggi dapat mencemari

lingkungan, karena sebagian besar zat N dari pupuk hanyut terbawa

aliran permukaan dan erosi. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah hara

yang hilang dari lahan pertanian berkisar antara 240-1.066 kg N/ha,

80-120 kg P2O5/ha, dan 108-197 kg K2O/ha per musim tanam, suatu

jumlah yang cukup besar dan berpotensi mencemari lingkungan. (Tim

Sintesis Kebijakan, 2008).

Page 13: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

12

Lahan dan air adalah dua sumberdaya utama yang tidak dapat

dipisahkan untuk menopang keberlanjutan sector pertanian. Dewasa

ini, krisis air sudah Nampak terasa. Krisis air dapat diukur dari Indeks

Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan

air. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75–1,0 maka dikatakan

keadaan kritis. Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan

sangat kritis atau defisit air, sedangkan jika IPA-nya berkisar antara

0,30 – 0,60 ini tergolong normal dari segi ketersediaan air. Dengan

semakin tingginya IPA, maka potensi konflik penggunaan air antara

wilayah hulu dan hilir, antar sektor maupun antar individu akan

semakin meningkat (Anshori 2009).

Tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah

termasuk kategori “sangat kritis” karena untuk Jawa dan Madura

diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa Tenggara

Barat tergolong dalam keadaan “kritis” dengan IPA 0,92. Di daerah-

daerah lain kecuali Nusa Tenggara Timur (dengan IPA sekitar 0,73)

kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA di bawah 0,50 (

Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997 dalam Sutawan 2001).

Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku

masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air karena air

sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas

adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis.

Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya

karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air

tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah. Selain itu

tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang masih

rendah kiranya dapat menjadi kendala dalam upaya menurunkan IPA.

Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di berbagai negara Asia

kurang lebih 20% air irigasi hilang di perjalanan mulai dari dam

sampai ke jaringan primer; 15 % hilang dalam perjalanannya dari

jaringan primer ke jaringan sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang

digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan

Page 14: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

13

tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan

Nusyirwan, 1997 dalam Sutawan 2001).

Dampak luar biasa dari degradasi air dan lahan ini adalah

adanya ancaman krisis pangan. Untuk dapat mencegah terjadinya

krisis pangan, maka Indonesia memerlukan tak kurang dari 15 juta

hektar lahan pertanian yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan

seluruh rakyat Indonesia pada 2030 yang diperkirakan berjumlah 280

juta jiwa (Anonim 2011).

2. Lemahnya posisi tawar petani.

Petani adalah pelaku utama sektor pertanian primer (on farm)

yang secara langsung terlibat dalam proses produksi komoditi

pertanian (produsen). Kendati dengan posisi seperti itu, hampir bisa

dipastikan petani tidak berdaya untuk mengatur hasil pertaniannya

dari sisi pasca panen. Bahkan pemilihan jenis komoditi yang harus

ditanam, petani masih dapat diintervensi oleh pasar atau pelaku usaha.

Inilah yang dimaksud dengan lemahnya posisi tawar petani. Menurut

Branson dan Douglas (1984) dalam Reijntjes dkk (1999), lemahnya

posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan

atau memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang

kurang memadai.

Dari sisi harga dasar komoditi, petani tidak cukup berdaya untuk

menetukan harga pasar. Harga komoditi dikendalikan oleh para

pengumpul yang nota bene tidak memiliki lahan dan tidak terlibat

langsung dengan pertanian on farm. Rantai distribusi komoditi

pertanian yang begitu panjang menempatkan petani terus dalam

kondisi miskin karena hal ini menyebabkan disparitas yang terlalu

jauh antara penghasilan petani dengan biaya yang dikeluarkan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Selain itu, cukup banyak petani Indonesia yang sebetulnya

bukan sebagai petani namun berstatus sebagai buruh tani. Konversi

lahan pertanian ke non pertanian yang begitu tinggi menyebabkan

petani kehilangan lahannya. Kondisi kepemilikan lahan petani

Page 15: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

14

dibawah 0,5 hektar, laju konversi lahan sawah ke non sawah sebesar

187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian

sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi lahan ke pertanian

lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering

pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun (BPS 2004)

berakibat pada penurunan kapasitas produksi pangan dan mengancam

ketahanan pangan.

Keterbatasan modal petani sangat menghambat kemampuan

petani dalam meningkatkan produksi, mutu, nilai tambah dan daya

saing produk pertanian. Petani kesulitan akses ke perbenihan,

termasuk akses pada skim kredit, seperti KPEN-RP dengan realisasi

baru 4,7% dan KUPS baru 10,15% dari komitmen bank. Kelembagaan

petani yang belum solid mengakibatkan manajemen produksi yang

kurang efektif serta meningkatkan biaya produksi sehingga nilai

produk kurang berdaya saing (LK Kementan, 2011).

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan masalah

yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan

keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan

berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor

pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat

SLTP hanya 8 persen. Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35

persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003).

Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian

yang berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta

belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi

sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Keterampilan petani yang

rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikem-

bangkan kearifan lokal (indigenous knowledge) (Apriantono, 2006).

Disisi kelembagaan, keberadaan kelembagaan petani sangat

lemah. Kelompok tani yang banyak dibentuk selama periode 1980-an

dalam mengejar swasembada beras sudah banyak yang tidak

berfungsi. Intensitas dan kualitas pembinaan terhadap kelompok pasca

Page 16: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

15

otonomi daerah jauh berkurang karena sistem penyuluhan yang

kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Selama ini

pengembangan kelembagaan petani umumnya berorientasi

keproyekan. Kelompok tani hanya aktif pada saat proyek masih

berjalan. Setelah masa proyek berakhir, umumnya kelompok tani yang

dibentuk menjadi tidak aktif. Pembentukan kelompok tani seringkali

tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Kondisi kelompok tani saat ini

juga dinilai sangat buruk karena berbagai instansi pemerintah masing-

masing membentuk kelompok tani atau kelembagaan tani untuk

pelaksanaan kegiatan proyek mereka. Hal ini menyebabkan timbulnya

banyak kelompok tani yang tumpang tindih (Apriantono, 2006).

3. Kebijakan yang keliru dan tidak berpihak pada petani

Regulasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian.

Distribusi sarana produksi pertanian selama ini tidak transparan dan

bersifat monopoli, akibatnya petani mengalami kesulitan untuk dapat

mengakses kebutuhannya terutama pupuk. Selain itu kebijakan

monokultur yang menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok

nasional, telah menjadikan penanaman padi sebagai program utama

sektor pertanian. Program ini berlaku secara nasional dan harus

dijalankan di seluruh Indonesia, sekalipun harus mengabaikan realitas

bahwa makanan pokok masyarakat Indonesia tidak hanya beras, tetapi

juga ada ubi, jagung dan sagu (Anonim 2011).

Kerusakan lahan pertanian bisa dikatakan sebagai hasil dari

kebijakan pembangunan pertanian yang tidak memperhatikan prinsip-

prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Selama ini petani didera oleh kebijakan peningkatan produktifitas

pertanian melalui penggunaan pupuk dan obat-obatan kimiawi

anorganik. Penggunaan pupuk dan obat-obatan yang seperti itu, bukan

hanya menciptakan ketergantungan, melainkan juga merusak lahan

pertanian (Bryant 1998 dalam Anonim 2011). Realitas masyarakat

Indonesia tidak saja majemuk dalam hal etnis, bahasa dan agama,

tetapi juga dalam hal pangan (Lawang 1999 dalam Anonim 2011).

Page 17: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

16

Maka menjadi sangat mengherankan jika saat ini, pengertian pangan

selalu identik dengan beras. Masyarakat tertentu di Indonesia memang

menempatkan beras sebagai bahan makanan pokok (staple food).

Sementara sebagian masyarakat yang lain ada yang memilih ubi,

jagung dan sagu sebagai makanan pokok.

Kecenderungan untuk menjadikan beras sebagai bahan pangan

pokok (mentality rice) sesungguhnya tidak tumbuh secara kebetulan,

mendadak dan juga bukan persoalan selera rasa. Mentality rice

tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pilihan kebijakan

pembangunan pertanian yang sejak awal tertuju atau menekankan

pada kebutuhan beras (Usman, 2004 dalam Anonim 2011). Ketika

diasumsikan bahwa bahan pangan pokok adalah beras, maka

kebutuhan akan beras menjadi semakin meningkat. Tentu saja ini

berpotensi menimbulkan kelangkaan akan beras, yang akhirnya akan

diikuti dengan peningkatan harga bahan pangan pokok beras.

Pengembangan berbagai varietas tanaman pertanian telah

membantu menaikkan produktivitas, namun di sisi lain banyak plasma

nutfah atau spesies liar yang hilang. Penanaman varietas tanaman

pertanian yang seragam juga membuat keanekaragaman genetik

berkurang atau hilang.

4. Masalah infrastruktur dan teknologi pertanian

Terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang

pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan

pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia

sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal

dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari non-

waduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi

prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga

untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini

dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama

kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih

Page 18: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

17

berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para

pemangku kepentingan di daerah untuk mempertahankan lahan

pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur

pertanian menjadi buruk.

Masalah lain adalah adanya kelemahan dalam sistem alih

teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi,

mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu

meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik

komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan

peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan

kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk

dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang

menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi

persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di

kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan

diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi

mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan

kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi

tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya

baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran

kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin

pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam

pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan

untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi

teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan

mekanisasi pertanian.

D. Kelembagaan dalam Pengelolaan Pertanian Nasional

Secara teknis aspek kelembagaan menjadi syarat untuk mewujudkan

pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan nasional. Kelembagaan yang

dimaksud adalah mencakup kelembagaan atau stakeholder pemerintah,

petani (kelompok tani dan gapoktan), perguruan tinggi dan ormas yang

memiliki kepedulian terhadap sektor pertanian. Kelembagaan ini nantinya

Page 19: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

18

akan memainkan fungsi regulasi, inovasi, motivasi, fasilitasi dan

pengawasan sesuai dengan kedudukan stakeholder masing. Stakeholder

atau lembaga tersebut akan membentuk sistem yang sinergi yang bersifat

kemitraan.

Secara struktural persoalan pertanian di negeri ini ditangani langsung

oleh Kementerian Pertanian. Hanya saja pada kenyataannya pelaksanaan

pembangunan pertanian bersentuhan langsung dengan sektor-sektor lainnya.

Hal ini mencerminkan adanya pola hubungan antara Kementerian Pertanian

dengan kementerian lainnya. Pelaksanan sistem pertanian berkelanjutan dan

ketahanan pangan tentunya melibatkan banyak pihak terkait diantaranya :

- Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum (PU),

Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan

Pertanahan Nasional (BPN)

- Pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota

serta pemerintah desa

- Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)/kelompok tani atau petani

Secara umum pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan

pertanian dapat digambarkan sebagai berikut:

Kementerian PU

(Sarana dan Prasarana

: Irigasi Primer dan

Sekunder)

BPS Provinsi

BPN

(Data dan Informasi

Lahan

BPS

(Data dan Informasi

secara Umum)

Kementerian Pertanian

(Sarana dan Prasarana :

Benih, Saprotan, Irigasi,

Embung, JUT, Penguatan

Modal dan Kelembagaan)

Dinas Pertanian

ProvinsiDinas PU Provinsi

Kelompok Tani / Gapoktan

BPN Kab/KotaBPS Kab/KotaDinas Pertanian

Kabupaten/Kota

Dinas PU Kabupaten/

Kota

BPN Provinsi

Gambar 1. Pola hubungan lintas sektoral dalam pembangunan pertanian

Page 20: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

19

Bagan diatas tentu saja tidak secara komprehensif menggambarkan

pola antar lembaga yang terlibat dalam pembangunan pertanian. Masih

banyak lagi kelembagaan lain yang akan terkait di dalamnya seperti:

Lembaga Keuangan Negara berkaitan pembiayaan pembangunan dan

pengembangan pertanian,

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) berkaitan

dengan dokumentasi perencanaan pembangunan dalam skala nasional,

Perguruan Tinggi menyangkut penelitian pengembangan pertanian,

Lembaga perbankan berkaitan dengan kredit usaha pertanian,

Badan usaha yang bergerak di sektor pertanian berkaitan dengan

penyediaan sarana produksi dan alat mesin pertanian,

Organisasi masyarakat yang behubungan dengan pertanian yang

berperan dalam pengawasan dan pemberdayaan masyarakat tani.

Selain itu kelembagaan atau stakeholder lain yang sangat penting

memainkan peranan dalam pembangunan pertanian adalah kelompok tani

atau gabungan kelompok tani (Gapoktan). Gapoktan/ kelompok tani/ petani

sebagai bagian integral dalam pembangunan pertanian mempunyai peran

dan fungsi penting dalam menggerakan pembangunan pertanian di

pedesaan, hal ini dikarenakan mereka adalah pelaku utama dalam

pembangunan pertanian.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa banyaknya kelembagaan atau

stakeholder yang terlibat, sektor pertanian bersentuhan langsung dengan

hajat hidup orang banyak. Namun disisi lain menjadikan permasalahan di

sektor pertanian menjadi lebih rumit diselesaikan akibat banyaknya lembaga

yang harus berkoordinasi.

Page 21: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

20

I. ANALISIS KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Bagian ini mencoba menganalisis serta menformulasikan solusi alternatif

terhadap pembangunan pertanian kita. Pendekatan yang dilakukan berbasis pada

masalah yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Sesuai judul yang

diangkat yaitu penerapan pertanian berkelanjutan menuju ketahanan pangan.

Setidaknya ada dua kata kunci yaitu “berkelanjutan” dan “ketahanan pangan”.

Kata “penerapan” lebih pada penekanan bahwa konsep ini bersifat aplikatif dan

menunjukan komitmen untuk memajukan dan melestarikan dunia pertanian. Dua

kata kunci tersebut akan terlebih dahulu diurai dalam bab ini.

Kata berkelanjutan sering digunakan dalam jargon pembangunan secara

umum. Perhatian terhadap konsep pembangunan berkelanjutan dimulai sejak

Malthus pada tahun 1798 mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat

ledakan penduduk. Meadow et al. 1972 dalam Fauzi 2006 mengemukakan bahwa

pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam.

Perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan populer kembali pada tahun

1987 saat World Commission on Environment and Development atau dikenal

sebagai Brundtland Commission menerbitkan buku berjudul Our Common Future

(Fauzi 2006). Buku tersebut memicu lahirnya agenda baru pembangunan ekonomi

dan keterkaitannya dengan lingkungan, termasuk di bidang pertanian dalam

konteks pembangunan berkelanjutan. Komisi Brundtland mendefinisikan

pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan

generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk

memenuhi kebutuhan mereka.

The Agricultural Research Service (USDA) mendefinisikan pertanian

berkelanjutan sebagai pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing,

produktif, menguntungkan, mengkonservasi sumber daya alam, melindungi

lingkungan, serta meningkatkan kesehatan, kualitas pangan, dan keselamatan.

Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam serta

pengubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa untuk menjamin

pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi

sekarang dan mendatang (FAO 1989 dalam Saptana dan Ashari 2007).

Page 22: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

21

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya

Tanaman Pasal 2 menjelaskan bahwa sistem budidaya tanaman sebagai bagian

pertanian yang dilakukan dengan asas manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Selain

itu, dalam Bab V (Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budidaya Tanaman) Pasal 44

ayat (2) menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pertanian dilakukan dengan

memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan

hidup khususnya konservasi tanah.

Lebih rinci dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 3 menjelaskan bahwa

perlindungan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan 1)

melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 2)

menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 3)

mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan; 4) melindungi

kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; 5) meningkatkan kemakmuran

serta kesejahteraan petani dan masyarakat; 6) meningkatkan perlindungan dan

pemberdayaan petani; 7) meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi

kehidupan yang layak; 8) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan 9)

mewujudkan revitalisasi pertanian. Adapun peraturan-peraturan yang terkait

dengan pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan disajikan dalam

Lampiran 2.

Salikin (2011) menjelaskan bahwa pertanian berkelanjutan (sustainable

agriculture) menyentuh tiga aspek yakni kesadaran lingkungan (Ecolologically

Sound), bernilai ekonomi (Economic Valueable) dan berwatak sosial atau

kemasyarakatan (Socially Just). Ketiga aspek ini saling berkaitan membentuk satu

sistem pertanian secara terpadu. Mengabaikan salah satu aspek tersebut maka

pertanian akan berjalan timpang dan tidak berkelanjutan.

Aspek kesadaran lingkungan menjelaskan bahwa sistem budidaya

pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan

adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya

dikendalikan oleh hukum alam. Misalnya perburuan ular sawah untuk diambil

kulitnya akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan ketegangan

ekologis berupa timbulnya ledakan populasi tikus sawah, sehingga berubah

Page 23: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

22

menjadi hama yang merugikan. Demikian juga, penggunaan obat-obatan kimia

pada sistem ekologi persawahan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan

lingkungan karena matinya organisme non-hama yang sebenarnya bermanfaat.

Misalnya, sekarang sangat sulit mendapatkan belut, katak hijau, capung, bibis,

belalang, dan serangga lain yang hidup liar di sawah. Padahal hewan-hewan

tersebut memiliki keterkaitan manfaat, baik sebagai tambahan sumber bahan

pangan potensial maupun sebagai penentu keseimbangan ekosistem persawahan.

Aspek ekonomis menjelaskan bagaimana sistem budidaya pertanian harus

mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain,

untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem

ekologi maupun di luar sistem ekologi. Motif-motif ekonomi saja tidak cukup

menjadi alasan pembenaran untuk mengeksploitasi sumberdaya pertanian secara

tidak bertanggung jawab.

Aspek Sosial atau Kemasyarakatan menjelaskan sistem pertanian harus

selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi

oleh masyarakat di sekitarnya. Norma-norma sosial dan budaya harus lebih

diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian di Indonesia biasanya jarak antara

perumahan penduduk dengan areal pertanian sangat berdekatan. Didukung dengan

tingginya nilai sosial, budaya, dan agama, maka aspek ini menjadi sangat sensitif

dan harus menjadi pertimbangan utama sebelum merencanakan suatu usaha

pertanian dalam arti luas. Masing-masing daerah memiliki kekayaan pengetahuan

lokal spesifik dan tatanan adat di bidang pertanian yang sangat dihormati oleh

masyarakat setempat.

Pertanian berkelanjutan juga banyak diidentikan dengan istilah LEISA

(Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Susteainable

Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan

input (benih, pupuk kimia, pestisida dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang

dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian

(Salikin 2007). Secara umum, pertanian berkelanjutan bertujuan meningkatkan

kualitas kehidupan (quality of life). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan

paling tidak tujuh macam kegiatan, yaitu: meningkatkan pembangunan ekonomi,

memprioritaskan kecukupan pangan, meningkatkan pengembangan sumberdaya

Page 24: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

23

manusia, meningkatkan harga diri, memberdayakan dan memerdekakan petani,

menjaga stabilitas lingkungan, dan memfokuskan tujuan produktivitas untuk

jangka panjang (Manguiat 1995 dalam Salikin 2007). Masalahnya, banyak

kebijakan pemerintah sejak zaman orde baru mencetak paradigma yang sangat

kuat. Kebijakan seperti revolusi hijau dan penyeragaman pangan nasional yang

diperkuat oleh haegomoni politik membuat semakin sulitnya menguubah

paradigma tersebut. Bahkan UNDP (United Nations Development Programs)

membuat sebuah kuadran “keberhasilan pembangunan” yang tidak menyinggung

aspek moral dan lingkungan. Human Capital yang dicirikan oleh peningkatan

physical capital dan finance capital secara implisit menjadi variable penentu dari

keberhasilan pembangunan tersebut. Tentu paradigma seperti ini merupakan

paradigma jangka pendek, sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Kuadran Keberhasilan Pembangunan (UNDP, 1996 dalam

makalah Pertanian Berkelanjutan dengan metode LEISA)

Konsep Pertanian Berkelanjutan untuk Menuju Ketahanan Pangan

Kebijakan pertanian pada masa orde baru, yang dikenal revolusi hijau,

bersifat memusat dan cenderung represif terhadap berbagai kreatifitas usaha

tani, pada kenyataannya melahirkan sebuah pola agribisnis yang berbiaya

tinggi secara kesinambungan dan kurang berwawasan lingkungan (Daniel

dan Gudon 1998). Kemudian pada masa Kabinet Reformasi, petani menaruh

harapan besar akan lahirnya kebijakan-kebijakan agribisnis, namun ternyata

Cepat

K4: Tidak Seimbang K1: Seimbang & Kuat

Lambat Cepat

K3: Seimbang & Lemah K2: Tidak Seimbang

Lambat

PE

PM

(Pembangunan Manusia)

(Pembangunan Ekonomi)

Page 25: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

24

masih belum signifikan melepaskan kinerja agribisnis dari keterpurukannya.

Demikian pula pada masa pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional,

Kabinet Gotong Royong, hingga Kabinet Indonesia Bersatu, perhatian

pemerintah terhadap konsep pertanian yang keberlanjutan di Indonesia

masih dinilai kurang serius.

Hegemoni politik masih mendominasi lahirnya kebijakan-kebijakan di

sektor pertanian, sehingga ia lahir tanpa berpihak pada kekuatan

sumberdaya domestik — salah satu ciri yang paling vulgar adalah kebijakan

impor bahan pangan dengan pertimbangan statistik secara nasional. Selain

itu adanya kebijakan pertanian yang kurang mendukung perkembangan

agribisnis nasional seperti liberalisasi pasar pertanian, impor beras,

industrialisasi yang mengikis sektor pertanian, serta kinerja lembaga-

lembaga terkait yang tidak efektif dan efisien. Maka dari itu, perlu suatu

kebijakan yang komprehensif guna meningkatkan kesejahteraan petani

Indonesia, seperti perbaikan infrastruktur terkait, land reform policy agar

petani tidak lagi sekedar menjadi buruh tani, perbaikan mekanisme subsidi

pupuk, serta perluasan lahan pertanian, dengan harapan hasil produksi

meningkat sehingga terwujud ketahanan pangan nasional dan petani

sejahtera. Akan tetapi, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang

sudah secara sistemik dan terstruktur di negara ini sangat mempengaruhi

pembangunan pertanian sampai pada level akar rumput.

Paradigma pembangunan pertanian oleh Menteri Pertanian pada masa

Kabinet Reformasi bisa dikatakan hanya sebagai pendukung, bukan jiwa

pertanian nasional. Akibatnya, sektor pertanian diposisikan sebagai

pemasok bahan kebutuhan pangan dan bahan baku industri berharga murah,

pengendali stabilitas harga, dan sumber tenaga kerja murah. Jadi paradigma

pembangunan pertanian masa pra-reformasi itu tidak sesuai dengan

kekuatan nusantara yang sebenarnya memiliki sumber daya alam tropis

yang melimpah dan sumber tenaga kerja pertanian yang banyak di pedesaan.

Maka pada masa Kabinet Indonesia Bersatu, paradigma itu berubah menjadi

paradigma produksi yang diikuti dengan paradigma sistem dan agribisnis.

Page 26: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

25

Berdasarkan paradigma baru tersebut, tampak bahwa pemerintah

menaruh harapan besar terhadap pelaksanaan pembangunan pertanian yang

memberikan kontribusi besar bagi pemeliharaan ketahanan pangan dan

perekonomian nasional. Namun saat ini, ketahanan pangan nasional lebih

diartikan sebagai penyediaan pangan secara nasional sehingga

pendekatannya selalu berupa upaya pemenuhan kebutuhan pangan rakyat

Indonesia. Namun harapan itu tidak didukung secara nyata melalui

kebijakan-kebijakan yang termonitor terhadap tingkat harga bahan input,

harga jual, dukungan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga menjadikan

tingkat pendapatan usaha tani menjadi rendah dan menyebabkan kerawanan

pangan di tingkat masyarakat.

Visi dan misi kementrian pertanian terbaru masih dirasa kontra

produktif dan dinilai “setengah hati” terhadap ketahanan pangan nasional.

Peluang tetap dilaksanakannya sistem pertanian yang sarat dengan masukan

eksternal (HEIA, high external input agriculture) masih sangat terbuka

lebar. Aspek ekologi tidak secara tegas disebutkan dalam visi, namun hanya

ditempatkan pada misi dengan kalimat “berwawasan lingkungan” (sistem

LEISA, low external input and sustainable agriculture). Selain itu istilah

“kemandirian pangan” yang ada pada visi justru tidak secara jelas terurai

dalam misinya, seharusnya pemerintah konsisten dengan visinya mendorong

setiap wilayah untuk melakukan produksi pangan yang sesuai dengan

keragaman lokal. Sehingga keragamangan ini dirasa masih sebagai

paradigma lama ketahanan pangan yang bersifat pemenuhan pangan secara

nasional bukan individu. Paradigma seperti itu pada kenyataannya terbukti

telah menyebabkan kerawanan pangan di keluarga, bahkan tingkat individu,

seperti yang telah terbukti selama krisis pangan berlangsung.

Pertanian berkelanjutan seperti sistem LEISA, memiliki keunggulan

tata laksana pertanian yang berkearifan lingkungan dan mengedepankan

keragaman lokal tanpa mengesampingkan aspek ekonomi, sosial dan

budayanya. Dengan menyeleksi dan menyesuaikan teknik dan sumberdaya

genetik yang sesuai, petani dapat menciptakan sistem LEISA bagi tata letak

fisik hayati dan sosiokulturnya. Sistem-sistem terpadu inilah yang dapat

Page 27: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

26

menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi keluarga petani. Kombinasi

berbagai macam spesies tanaman dan hewan dan penerapan beraneka ragam

teknik untuk menciptakan kondisi yang cocok dan untuk melindungi

lingkungan juga membantu petani menjaga produktivitas lahan mereka dan

mengurangi resiko usaha tani. Model-model pertanian berkelanjutan dan

terpadu yang ada bukanlah sebuah model yang dibakukan. Model-model itu

berfungsi sebagai suatu basis untuk membahas pilihan-pilihan teknik yang

harus disesuaikan dengan karakteristik khas tiap lahan melalui proses

pengembangan teknologi partisipatoris. Salah satu bentuk model pertanian

LEISA yang terpadu adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Contoh Model Arus Input dan Output Pertanian LEISA.

Sumber: Pertanian LEISA pada Lahan Basah, Solihin (2008)

Produk Utama (daging,

telur, benih ikan)

Produk Ikutan (kotoran ternak)

Proses Produksi

Ternak/Ikan

Produk Utama

Produk

Ikutan

Proses

Produksi

Tanaman

Rumah

Tangga

Pengelola

Limbah Masukan

Eksternal

(agrokimia)

Uang Pasar

Page 28: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

27

Analisis Finansial Usaha

Pertanian Terpadu Unggulan

Berbasis Tanaman / Ternak / Ikan

Pencadangan

Lahan

Identifikasi Karakteristik

Lahan

Evaluasi

Kesesuaian

Lahan

Iklim; Air; Tanah;

Sosial; Budaya;

Peruntukan

Lahan

Analisis Kebutuhan

Hidup Layak (KHL)

Keluarga Tani atau

Kelompok Masyarakat

Analisis

Pemasaran Produk

Pertanian

(Tanaman, Ternak,

dan Ikan)

Tanaman

? Ternak ? Ikan ?

Persyaratan Lingkungan

Tanaman/Ternak

Persyaratan

Sosial, Budaya

Persyaratan

Komoditas

Lokal

Perencanaan Usaha Pertanian Terpadu

Unggulan Berbasis Tanaman/Ternak/Ikan

Page 29: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

28

Gambar 4. Diagram alir pembanguan pertanian berkelanjutan yang

berkearifan komoditas lokal. Sumber: Modifikasi Suwarto dan

Mugnisjah (2008)

Pada diagram alir pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut,

terlihat bahwa penentuan komoditas yang akan diusahakan adalah

komoditas yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan

lokal. Termasuk didalamnya komoditas pangan yang tidak harus berupa

padi, namun disesuaikan dengan kebutuhan pangan setempat seperti jagung,

umbi-umbian dan sagu. Selain itu pertanian yang dikelola bukanlah

pertanian monokultur, namun sebuah konsep pertanian terpadu yang saling

memberikan kontribusi sebagai bahan input maupun subsidi pendapatan,

sehingga mampu mencapai standar pendapatan yang minimal sebanding

dengan nilai Kriteria Hidup Layak (KHL) sebesar Rp 45.000.000 per tahunn

(sesuai KHL Fakultas Pertanian). Sebagai ilustrasi ketangguhan sebuah

pertanian terpadu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembangunan Sistem Pangan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang

Pangan membahas subsistem kegiatan (proses) produksi pangan, subsistem

ini mencakup kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah,

membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan atau

mengubah bentuk pangan (Pasal 1, Ayat 5). Jadi, subsistem kegiatan

(proses) produksi pangan berurusan dengan kegiatan produksi pangan

Perancangan Usaha Pertanian Terpadu Unggulan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Usaha

Pertanian Terpadu Unggulan

Pengoperasian Usaha Pertanian Terpadu Unggulan

Page 30: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

29

yang bersifat on farm (kegiatan produksi bahan mentah) dan yang off farm

(kegiatan pengolahan pangan dan agroindustri). Oleh karena itu, dalam

rangka ketahanan pangan sangat diharapkan adanya kebijakan yang saling

mendukung antar lembaga tinggi negara yang terkait. Kebijakan tentang

intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi produksi pertanian

yang ditempuh oleh Departemen Pertanian, sebagai contoh, merupakan hal

yang relevan di tingkat on farm dalam upaya penyediaan pangan. Di tingkat

off farm, kebijakan yang mencakup pengembangan agroindustri dan industri

pengolahan pangan, juga relevan dalam rangka penyediaan pangan.

Page 31: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

30

III. SIMPULAN

1. Konsep ketahanan pangan yang dianut dan dijalankan saat ini justru telah

menyengsarakan masyarakat tani secara individu.

2. Pertanian berkelanjutan dan terpadu yang mengambil pendekatan ekologi

dan komoditi lokal merupakan solusi untuk menghindari kerawanan pangan

nasional. Pertanian yang dikembangkan harus mengedepankan tiga faktor

penting yaitu ramah lingkungan / ekologi, menguntungkan secara ekonomi,

serta memberikan dampak sosial yang positif.

3. Pertanian organik dapat menjadi solusi untuk pengembangan pertanian di

mana selain produktivitas ekonomi yang tetap terjaga, lingkungan pertanian

pun tetap lestari.

4. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih fundamental, yakni secara

tegas dan rinci mendukung pola pertanian berkelanjutan dan komoditi lokal,

serta bertanggung jawab dalam implementasinya di lapangan.

5. Diperlukan langkah nyata dan terkontrol dari pemerintah melalui kebijakan

dan revitalisasi peran lembaga pertanian sampai ke tingkat daerah.

Page 32: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

31

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2011. http://aksarasahaja.wordpress.com/2011/01/15/kerusakan-

lingkungan-dan-krisis-pangan/ (diakses 20 September 2012).

Anshori, Imam. 2009. Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Menyeluruh dan

Terpadu. Buletin Dewan Sumberdaya Air Nasional tahun 2009.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Hasil Sensus Penduduk, Penyerapan Tenaga

Kerja. Jakarta: BPS.

______________________. 2001. Data Lahan Pertanian. Jakarta: BPS.

______________________. 2004. Data Lahan Pertanian. Jakarta: BPS.

______________________. 2010. Data Kependudukan Nasional. Jakarta: BPS.

Daniel dan Gudon E. 1998. Menggugat Revolusi Hijau Orde Baru. WACANA

No. 12/Juli-Agustus.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1989. World, The State of Food and

Agriculture. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the UN.

[FAOSTAT] Food and Agriculture Organization of the United Nations, Statistics

Database. www.faostat.fao.org (diakses 6 Oktoember 2012).

Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan

Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gliessman SR. 2007. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food System Ed

ke-2. Boca Raton: CRC Press.

Hamm, Ulrich dan Michelsen, Johannes. 2000. Analysis of The Organic Food

Market in Europe. Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss.

Hermanto dan K.S Swastika, Dewi. 2011. Penguatan Kelompok Tani: Langkah

Awal Peningkatan Kesejahteraan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan

Pertanian Volume 9 Nomor 4, Desember 2011.

Jolly, Desmond. 2000. From Cottage Industry to Conglomerates: The

Transformation of The US Organic Food Industry. Prosiding Konferensi

Ilmiah IFOAM di Swiss.

[Litbang Kementan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian

Pertanian. 2011. Data Potensi Lahan Pertanian Indonesia. Jakarta:

Kementerian Pertanian.

Page 33: Ketahanan Pangan Nasional Dan Pertanian Berkelanjutan

32

[LK Kementan] Laporan Kinerja Kementerian Pertanian RI. 2011. Jakarta

MetroTV. 2011. http://metrotvnews.com/read/news/2011/12/15/75484/IPB-75-

Persen-Lahan-Pertanian-Indonesia. (diakses September 2012).

[PSP Kementan] Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian

Pertanian. 2011. www.psp.deptan.go.id (diakses September 2012).

[Puslitbangtanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

2002. Data Hasil Evaluasi Lahan di Indonesia. Jakarta: Puslitbangnak

Reijntjes. 2009.

Salikin KA. 2007. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui

Kemitraan Usaha. Jurnal Litbang Pertanian, no 26(4): 123-130.

Sutawan, Nyoman. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pertanian

Berkelanjutan – Masalah dan Saran Kebijaksanaan. Ejournal Universitas

Udayana - Bali.

[Tim Sintesis Kebijakan] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya

Lahan Pertanian. 2008. Strategi Penanggulangan Pencemaran Lahan

Pertanian dan Kerusakan Lingkungan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1

(2), 2008: 125-128