KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

22
KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING DILIHAT DARI FAKTOR KEMAMPUAN DAN SIKAP INSTITUSI (STUDI DI SMPN 1 SALATIGA) Diajukan kepada Fakultas Teknologi Informasi Moristo Piga 702011055 Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2019

Transcript of KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

Page 1: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING

DILIHAT DARI FAKTOR KEMAMPUAN DAN SIKAP

INSTITUSI (STUDI DI SMPN 1 SALATIGA)

Diajukan kepada

Fakultas Teknologi Informasi

Moristo Piga

702011055

Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer

Fakultas Teknologi Informasi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2019

Page 2: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …
Page 3: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …
Page 4: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …
Page 5: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …
Page 6: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …
Page 7: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

1

KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP

PENERAPAN E-LEARNING DILIHAT DARI FAKTOR

KEMAMPUAN DAN SIKAP INSTITUSI (STUDI DI SMPN 1 SALATIGA) 1.) Moristo Piga, 2.) Hanita Yulia, M.Pd

Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer

Fakultas Teknologi Informasi

Universitas Kristen Satya Wacana

Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, Indonesia

Email : 1.) [email protected], 2.) [email protected]

Abstrak

Kesiapan institusi perlu diketahui sebelum melakukan penerapan e-learning, dimana

kesiapan institusi sekolah dapat dilihat dari faktor kemampuan dan sikap karena dua faktor

ini memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan penerapan e-learning. Penelitian

ini merupakan penelitian deksriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan

kesiapan sekolah dilihat dari faktor kemampuan dan sikap institusi terhadap e-learning di

SMPN 1 Salatiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMPN 1 Salatiga belum siap

menerapkan e-learning jika dilihat dari faktor kemampuan. Selain perangkat komputer dan

spesifikasinya, kemampuan institusi berkaitan dengan jaringan internet, LMS, kebijakan

pengembangan SDM dan penggunaan perangkat pribadi siswa serta keuangan belum sesuai

dengan kriteria yang seharusnya untuk menerapkan e-learning sehingga masih

membutuhkan peningkatan dan keseriusan. Akan tetapi, jika dilihat dari faktor sikap, SMPN

1 Salatiga telah siap untuk menerapkan e-learning.

Kata Kunci : Kesiapan institusi, E-learning, Kemampuan dan sikap

Abstract

The readiness of the institution needs to be identified before implementing e-learning. The e-

learning readiness itself can be viewed from the institution’s ability and attitude because

these two factors have become significant in determining the success of e-learning. This is a

descriptive qualitative research aimed at describing the readiness of schools to implement e-

learning viewed from institution’s ability and attitude towards e-learning in SMPN 1

Salatiga. The result shows that SMPN 1 Salatiga is not yet ready to implement e-learning

viewed from its ability. Excluding ICT tools, institution’s ability in terms of Internet access,

LMS, the policy related to human resources development and the use of students’ gadget,

and financial ability have not yet fullfilled the requirement of e-learning and still need to be

enhanced. On the other hand, SMPN 1 Salatiga is ready to implement e-learning viewed

from its attitude towards e-learning

Keywords : Institution, E-learning, Attitude and Ability.

1. Mahasiswa Fakultas Teknologi Informatika Jurusan Pendidikan Teknik Informatika dan

Komputer Universitas Kristen Satya Wacana. 2. Staff Pengajar Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana.

Page 8: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

2

1. Pendahuluan

Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SIDIKNAS disampaikan

bahwa teknologi informasi harus dimanfaatkan dalam proses pembelajaran yang

salah satunya melalui cara pembelajaran e-learning[1]. E-learning dapat diartikan

sebagai pembelajaran dengan menggunakan komputer yang terkoneksi dengan

jaringan internet dan memberikan kesempatan belajar kepada siswa hampir setiap

waktu, di mana pun. Salah satu definisi e-learning yaitu suatu jenis belajar mengajar

yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan

media internet, intranet atau media jaringan komputer lain[2].

Pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran memberikan keuntungan

seperti merubah peran siswa yang biasanya pasif menjadi aktif dan siswa dapat

mencari tambahan informasi materi pembelajaran di internet[3]. Selain itu, e-

learning tercipta untuk mengatasi keterbatasan antara pendidik dan peserta didik,

terutama dalam hal ruang dan waktu[4]. Dari manfaat yang ada, e-learning menjadi

salah satu model pembelajaran yang menunjang Kurikulum 2013. Kurikulum 2013

menggunakan metode tematik integratif yang mengintegrasikan beberapa mata

pelajaran dan dikemas dalam satu kesatuan tema khusus dengan mengutamakan

kepentingan agar siswa menguasai teknologi. Hal ini berdampak pada perubahan

beberapa mata pelajaran, dimana jam pertemuan juga berkurang seperti pada mata

pelajaran TIK yang sekarang menjadi Bimbingan Konseling TIK (BKTIK).

Diharapkan penerapan e-learning dapat membantu siswa mendapatkan pembelajaran

yang dibutuhkan walau dengan terbatasnya ruang dan waktu.

Dalam penerapan e-learning diperlukan adanya kesiapan sehingga e-learning

dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Jika tidak, e-learning akan

menemui kegagalan[5]. Kesiapan e-learning dikenal sebagai E-learning Readiness

(ELR) didefinisikan sebagai kesiapan mental atau fisik suatu organisasi untuk suatu

pengalaman pembelajaran[6]. ELR menjadi penting karena dalam implementasi e-

learning sering ditemui beraneka ragam rintangan seperti resistensi, literasi

komputer, SDM yang terbatas, infrastruktur hingga budaya organisasi[7].

Kesiapan e-learning di sekolah dapat dilihat dari kesiapan guru, siswa, dan

institusi, dan keberhasilan e-learning salah satunya dapat dilihat dari kesiapan

institusi. Menurut Putri Ika Citra & Triyona Bruri Mochamad, institusi sekolah

mempunyai peran penting sebagai penyelenggara utama, pelaksana, dan penanggung

jawab terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan e-learning [8]. Oleh karena itu,

standarisasi terhadap institusi pelaksana program e-learning harus dilakukan, hal ini

juga sebagai bagian dari penilaian kesiapan dan keseriusan insitusi dalam

melaksanakan e-learning.

Kesiapan institusi dapat dilihat dari faktor sikap dan kemampuan institusi

karena dua faktor ini adalah yang paling signifikan dalam menentukan keberhasilan

e-learning [9]. Faktor sikap dapat mempengaruhi kebijakan institusi sehingga

semakin positif sikap institusi dalam penerapan e-learning juga berdampak positif

pada keberhasilan e-learning. Dengan demikian, perlu diketahui sikap institusi

dengan melihat hasil dari penerapan e-learning yang dilihat dari beberapa hal: e-

learning dapat memberikan manfaat terhadap institusi dan masyarakat, secara

ekonomis e-learning dapat menguntungkan, memberikan kemudahan dalam proses

pembelajaran, menghemat biaya[10][11]. Di sisi lain, faktor kemampuan berkaitan

dengan ketersediaan fasilitas yang menunjang penerapan E-learning termasuk

pembiayaan dan alokasi dana dengan melihat beberapa hal: infrastruktur IT,

pelatihan guru dan keuangan[12].

Page 9: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

3

SMPN 1 Salatiga merupakan salah satu sekolah yang sudah menerapkan

Kurikulum 2013 dan sudah pernah menerapkan e-learning walaupun belum

maksimal. Belum semua guru pada mata pelajaran yang ada menerapkan e-learning.

Kesiapan penerapan pembelajaran e-learning di SMPN 1 Salatiga juga sebenarnya

masih belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan kesiapan sekolah dilihat dari sikap dan kemampuan institusi dalam

menerapkan e-learning.

2. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang dilakukan oleh Ariyawan Agung Nugroho dengan judul

“Pemanfaatan E-learning sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan TIK dalam Proses

Pembelajaran” menyimpulkan bahwa penerapan e-learning memberikan dampak

positif dalam proses pembelajaran seperti kesempatan belajar yang lebih fleksibel

tanpa terikat ruang dan waktu, mempermudah masyarakat mengakses pendidikan,

memperkaya materi pembelajaran, menghidupkan proses pembelajaran, membuat

proses pembelajaran lebih terbuka, meningkatkan efektivitas pembelajaran, serta

mendukung siswa untuk belajar mandiri tentunya harus direspon dengan baik dengan

segera dan secara optimal menerapkan e-learning dalam proses pembelajaran baik di

jenjang pendidikan dasar, menengah maupun tinggi[13]. Dari penelitian tersebut

terbukti bahwa penerapan e-learning memberikan manfaat dalam meningkatkan

kinerja institusi sekolah dalam proses pembelajaran yang hanya jika e-learning

dalam penerapannya dilakukan secara benar. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan

oleh Grendi Hendrastomo dengan judul “Dilema dan Tantangan Pembelajaran e-

learning” menemukan bahwa penerapan e-learning dapat meningkatkan efektivitas

pembelajaran namun ketergantungan e-learning terhadap infrastruktur TI menjadi

dilema dan tantangan tersendiri. Dengan kata lain, penerapan e-learning berjalan

belum maksimal dikarenakan sumber daya manusia dan infrastruktur yang belum

dipersiapkan dengan baik [14]. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa

diperlukan kesiapan dalam penerapan e-learning sehingga perlu diketahui kesiapan

institusinya.

E-learning adalah model pembelajaran yang menggunakan bantuan

perangkat komputer atau jasa elektronik. E-learning juga didefinisikan sebagai

pengiriman materi pembelajaran melalui suatu media elektronik seperti internet,

intranet/extranet, satellite broadcast, audio/video tape, interactive TV, CD-ROM,

dan computer based training (CBT) [15]. Diperlukan kesiapan dalam menerapkan e-

learning.

Manfaat dari e-learning antara lain: (1). Peningkatan produktifitas guru dan

siswa secara keseluruhan. (2). Menciptakan nilai bisnis yang baik dan berkualitas

sesuai dengan manfaat teknologi informasi.(3). Efisiensi dalam hal ruang dan waktu.

(4). Kegiatan dapat dilakukan dimana saja selama ada koneksi internet[11]. E-

learning memungkinkan pembelajaran bisa dilakukan dengan dua cara: synchronous

training dan asynchronous training. Synchronous training adalah proses

pembelajaran yang terjadi pada waktu yang sama ketika pengajar sedang mengajar

dan murid sedang belajar dimana kegiatan pembelajaran dilakukan melalui internet

maupun intranet. Asynchronous training yaitu kegiatan pembelajaran yang dilakukan

dalam waktu yang berbeda dengan rentang waktu yang sudah ditentukan. Selain itu,

William Horton, dalam bukunya yang berjudul “technology and tools for E-

learning”, membedakan E-learning menjadi lima kategori, yaitu: learner-led E-

Page 10: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

4

learning, facilitated E-learning, instructor-led E-learning, embedded E-learning, dan

telementoring and e-coaching.

Hal-hal yang dibutuhkan dalam penerapan e-learning adalah kesadaran

semua pihak baik institusi, guru, maupun siswa tentang pentingnya e- learning,

kemauan dan kemampuan serta SDM, sarana dan prasarananya, informasi yang

selalu up to date, akses cepat dan (diharapkan gratis), serta sosialisasi [16]. Selain

itu, komponen utama yang membentuk e-learning adalah infrastruktur E-learning

dan sistem e-learning yang disebut dengan Learning Management System (LMS).

Infrastruktur e-learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer,

internet dan perlengkapan multimedia, termasuk di dalamnya peralatan

teleconference apabila kita memberikan layanan synchronous learning[17].

Kesiapan e-learning suatu institusi adalah kesanggupan atau kesediaan

institusi, guru, dan pelajar untuk mempersiapkan diri hingga mampu

menyelenggarakan dan menjalankan, pembelajaran berbasis e-learning dengan cara

membekali diri dengan ilmu yang dibutuhkan untuk merancang, menyelenggarakan,

mengelola, menggunakan, serta melengkapi sarana dan prasarana dan

mengkondisikan lingkungan belajar, dengan tujuan mendapat manfaat dari

penyelenggaraan pembelajaran berbasis e-learning[5]. Dari beberapa penelitian yang

sudah dilakukan diketahui keberhasilan dalam menerapkan e-learning perlu adanya

kesiapan dan juga keseriusan. Sikap dan kemampuan merupakan dua faktor

signifikan dalam menentukan kesiapan penerapan e-learning[9]. Sikap adalah

penilaian instutusi terhadap e-learning berdasarkan pengetahuan atas apa yang

dirasakan dari sistem teknologi yang diketahui dari sikap positif atau negatif dengan

didasarkan pada niat perilakunya[18]. Dengan demikian sikap institusi perlu

diketahui dari beberapa indikator, yaitu inovasi dan prestasi, ekonomis dan

kemudahan. Sedangkan kemampuan adalah kesanggupan institusi dalam

mengembangkan sistem e-learning, mengelola serta menyediakan dan memenuhi

kebutuhan perangkat elektronik. Selain itu, kualitas sumber daya manusia dan

infrastruktur TI yang dipersiapkan merupakan faktor yang penting. Penerapan e-

learning juga membutuhkan pembiayaan atau alokasi dana yang harus dikeluarkan.

Institusi sekolah yang mendukung penerapan e-learning memiliki

kemampuan atas tiga hal yaitu: (1) memiliki kebijakan yang memihak, (2)

mengetahui kebutuhan dasar sebagai syarat penerapan e-learning, (3) Guru harus

profesional dalam menggunakan teknologi sehingga menjadi efektif dalam

mengintegratsikan kedalam kurikulum[19]. Faktor kemampuan dan faktor sikap

dideskripsikan atas beberapa indikator dalam pengukuran kesiapan penerapan e-

learning.

Tabel 1.Kriteria minimum standar kesiapan Infrastruktur dalam penerapan e-learning

Infrastruktur TIK Kriteria yang harus dipenuhi

Kriteria Spesifikasi komputer

Prosesor Pentium IV/2,26 GHz, RAM 256 MB,

Harddisk 80 GB

Kriteria jaringan internet Akses berkecepatan baik dan berpusat pada server

Kriteria LMS

Memiliki fitur yang mudah digunakan, user friendly,

stabil, aman, cepat dan responsif

Sumber: Raharja dkk, Lee-Post [20][21]

Page 11: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

5

Kemampuan infrastruktur pada kriteria spesifikasi dan jaringan internet harus

dipenuhi. Begitu juga kriteria LMS harus dimiliki. Bila infrastruktur yang dimiliki

institusi sekolah lebih dari kriteria minimum juga akan lebih baik sehingga lebih

mendukung pada kesiapan penerapan e-learning.

Tabel 2. Kriteria SDM dalam penerapan e-learning

Kesiapan SDM Kriteria yang harus dipenuhi

Tenaga teknisi Tenaga teknisi yang mumpuni

Kebijakan Tersedia program pelatihan penerapan e-learning

Kemampuan Memiliki kemampuan dasar mengelola e-learning

Konten e-learing Tersedia bahan ajar yang dapat diakses dimana saja

dan kapan saja

Sumber: Aydin & Tasci [22]

Pada tabel 2 tentang kriteria kesiapan SDM dalam penerapan e-learning

harus dimiliki. Bila kesiapan SDM yang ada dipenuhi oleh institusi sekolah maka

dapat dikatkan institusi sekolah siap pada kemampuan SDM dalam penerapan e-

learning.

Tabel 3. Kriteria anggaran dana untuk kesiapan penerapan e-learning

Kesiapan Anggaran dana Kriteria yang harus dipenuhi

Anggaran Infrastruktur TIK

Tersedia anggaran dana komputer, akses internet dan

sistem e-learning

Pelatihan Tersedia anggaran dana pelatihan guru

Dana bantuan

Tersedia anggaran dana dari luar (pemrintah dan

masyarakat)

Sumber: Suryosubroto [23] yang telah dimodifikasi

Anggaran dana untuk penerapan e-learning pada tabel 3 harus tersedia untuk

dukungan dalam penerapan e-learning. Bila pada tabel terpenuhi atau melebihi

kriteria maka institusi sekolah lebih siap dalam dukungan anggaran dana untuk

kesiapan penerapan e-learning.

Tabel 4. Kesiapan sikap institusi dalam penerapan e-learning

Indikator sikap Deskripsi sikap

Inovasi dan prestasi • Memotivasi dan meningkatkan minat belajar siswa

• Efektif dan efisien

• Meningkatkan kinerja institusi sekolah

Ekonomis

• E-learning memudahkan dengan biaya yang terjangkau

• Menghemat pengeluaran sekolah

Kemudahan

• Memudahkan guru dan siswa dalam pembelajaran

• Membantu pembelajaran menjadi efektif dan efisien

• Memudahkan guru dan siswa mengikuti perkembangan

teknologi

Sumber: Davis et al dalam Dalimunthe dan Wibisono [18]

Kriteria pada faktor kemampuan pada Tabel 4 harus dimiliki oleh institusi

sekolah untuk penerapan e-learning. Bila pada aspek tersebut terpenuhi maka

institusi sekolah SMPN 1 Salatiga dikatakan siap dalam penerapan e-learning.

Begitu juga faktor sikap yang dideskripsikan dalam tabel 4 jika sikap institusi positif

mendukung e-learning juga menunjukkan bahwa SMPN 1 Salatiga mendukung

positif pada penerapan e-learning.

Page 12: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

6

3. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan

untuk mendeskripsikan kesiapan institusi sekolah dalam penerapan e-learning di

SMPN 1 Salatiga dilihat dari faktor kemampuan dan sikapnya. Penelitian ini

melibatkan tiga orang guru sebagai partisipan di antaranya: kepala sekolah, wakasek

bagian kurikulum dan tenaga teknisi pengelola e-learning sebagai wakil dari sebuah

institusi. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan

wawancara. Observasi digunakan untuk memperoleh data kesiapan infrastruktur di

SMPN 1 Salatiga. Sedangkan wawancara dilakukan kepada tiga orang partisipan

dengan 23 butir pertanyaan untuk mengetahui kemampuan institusi dan 20

pertanyaan untuk mengetahui sikap institusi. Faktor kemampuan disusun berdasarkan

tiga aspek: Infrastruktur TIK, SDM, keuangan. Sedangkan faktor sikap disusun

berdasarkan tiga aspek: inovasi dan prestasi, ekonomis, kemudahan.

Analisis data dalam penelitian menggunakan teknik analisis deksriptif yang

terdiri dari reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. Reduksi data dilakukan

sejak peneliti turun lapangan dimana data hasil penelitian kemudian dilakukan

kategorisasi dan abstraksi. Analisis faktor sikap menggunakan kategorisasi pada tiap

jawaban hasil wawancara yang akan digolongkan dalam kategori tertentu dari empat

kemungkinan kategori yang digunakan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 5.

Tabel 5. Analisis kesiapan sikap dalam penerapan e-learning

Sikap Keterangan

Sangat positif (SP) : Pernyataan informan pada kategori 4 (sangat setuju)

Positif (P) : Pernyataan informan pada kategori 3 (setuju)

Negatif (N) : Pernyataan informan pada kategori 2 (kurang setuju)

Sangat negatif (SN) : Pernyataan informan pada kategori 1 (tidak setuju)

Untuk memudahkan, penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan deskripsi

tertulis disertai kutipan pernyataan informan. Penarikan kesimpulan dilakukan

berdasarkan hasil tabulasi dan deskripsi skala penilaian. Skala penilaian pada faktor

sikap mengacu pada jawaban masing-masing informan yang telah dikategorisasikan

dimana hasilnya dinyatakan positif jika perolehan nilai rata-rata tiap informan adalah

2,5 ≤ 4 dan tidak positif atau negatif jika > 1 dan < 2,5 yang kemudian ditarik suatu

kesimpulan sehingga data yang dikumpulkan dapat menjadi bermakna.

Dalam menguji keabsahan data penelitian menggunakan triangulasi teknik

pengambilan data yaitu melakukan observasi selain wawancara. Selain itu,

triangulasi sumber juga dilakukan, yaitu selain mewawancari kepala sekolah, juga

mewawancarai wakil kepala sekolah dan tenaga teknisi yang ada di SMPN 9

Salatiga. Informasi yang telah diperoleh dari wawancara kemudian dilakukan

perbandingan informasi berdasarkan data masing-masing informan. Begitu juga data

hasil observasi yang telah diperoleh digunakan sebagai perbandingan dengan data

hasil wawancara guna mendapatkan derajat kepercayaan suatu informasi. Selain itu,

perpanjangan waktu penelitian juga dilakukan dalam rangka mendapatkan keabsahan

data.

4. Hasil dan Pembahasan Penelitian

Hasil penelitian yang terdiri dari data observasi data wancara dari faktor sikap

dan kemampuan institusi dalam penerapan e-learning dideskripsikan berdasarkan

hasil temuan di lapangan. Data pada faktor kemampuan dijadikan satu dengan data

Page 13: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

7

observasi di mana data observasi juga digunakan sebagai pembanding dan

pendukung data primer pada faktor kemampuan.

Kemampuan dalam penerapan e-learning

Kesiapan institusi SMPN 1 Salatiga yang dilihat dari kemampuan institusi,

terutama berkaitan dengan infrastruktur berdasarkan hasil wawancara kepada kepala

sekolah, wakil kepala sekolah dan teknisi disajikan dalam tabel 6.

Tabel 6. Kesiapan infrastruktur di SMPN 1 Salatiga

Aspek Kriteria Minimum Keadaan di lapangan

Spesifikasi komputer Prosesor Pentium IV/2,26 GHz,

RAM 256 MB, Harddisk 80 GB

Prosesor Intel Core i3, RAM 2

GB, Hard disk 500 GB

Jaringan internet Akses berkecepatan baik dan

berpusat pada server

Berkecepatan 40Mbps dan tidak

berpusat pada server

LMS Memiliki fitur yang mudah

digunakan, user frienly, stabil,

aman, cepat dan responsif

Tidak tersedia

Dari hasil wawancara kepada kepala sekolah SMPN 1 Salatiga tentang

kemampuan infrastruktur lab komputer dalam kesiapan penerapan e-learning, Kepala

Sekolah menyatakan “SMPN 1 Salatiga memiliki lab yang siap. Kita punya empat

lab dengan jumlah komputer kurang lebih 140.” Sedangkan wakil Kepala Sekolah

menyatakan “Sekolah punya empat lab komputer, untuk jumlah komputer satu kelas

cukup. Jumlahnya Sekitar 30-32 komputer.” Sedangkan tenaga Teknisi menyatakan

bahwa “Jumlah komputer cukup, ini kita punya 4 lab, masing-masing lab 33

komputer.” Di lain pihak, berkaitan dengan spesifikasi komputer, tenaga teknisi

SMPN 1 Salatiga menyatakan, “Komputer sekolah sebagian besar spesifikasinya

sudah pakai prosesor Intel Core i3, RAM berkapasitas 2 GB dan hard disk 500GB.

Tapi di lab II ada yang komponennya lebih rendah karena masih pakai komponen

yang lebih lama.” Selain itu, hasil observasi tentang kemampuan infrastruktur di

SMPN 1 Salatiga dalam kesiapan penerapan e-learning ditunjukkan dalam tabel 7.

Tabel 7 Hasil observasi infrastruktur TIK di SMPN 1 Salatiga

Infrastruktur

TIK Komputer Akses kabel Wifi LCD Proyektor

Lab I 33 komputer 10 Mbps Tersedia Tersedia

Lab II 33 komputer 10 Mbps Tersedia Tersedia

Lab III 33 komputer 5 Mbps Tersedia Tersedia

Lab IV 33 Kmputer 5 Mbps Tersedia Tersedia

Ruang Kelas Tidak tersedia Tidak tersedia Tidak tersedia Tersedia

Perpustakaan 5 komputer Terhubung lab II Tersedia Tidak tersedia

Ruang server 2 komputer 10 Mbps Tersedia Tidak tersedia

Terdapat empat lab dimana masing-masing lab memiliki tiga puluh tiga

komputer. Beberapa komputer juga disediakan di perpustakaan dan ruang server.

Adapun wifi juga tersedia di lab dan perpustakaan namun tidak di ruang kelas.

Selanjutnya, SMPN 1 Salatiga memiliki komputer dengan spesifikasi yang beragam

yang ditunjukkan dalam tabel 8.

Tabel 8 Hasil observasi spesifikasi komputer SMPN 1 Salatiga

Spesifikasi Komputer Lab I Lab II Lab III Lab IV

Prosesor Intel Core i3 Pentium dual core Intel Core i3 Intel Core i3

RAM 2 GB 1GB – 2 GB 2 GB 2 GB

Hardisk 500 GB 200 GB 500GB 500GB

Page 14: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

8

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga

memiliki fasilitas komputer dengan jumlah komputer yang memadai dan juga

spesifikasi komputer yang dimiliki telah siap dalam mendukung penerapan e-

learning. Hal ini sesuai pendapat Raharja dkk dimana untuk jumlah komputer tidak

disebutkan secara detail namun untuk spesifikasi komputer dianggap penting dan

menjadi faktor kunci keberhasilan penerapan e-learning [20].

Selanjutnya, mengenai kemampuan akses internet, kepala sekolah

menyatakan, “Internet sekolah sudah mendukung. Kita punya 200Mbps. Jadi

100Mbps digunakan untuk empat lab, 100 nya lagi di ruang server.” Wakil Kepala

sekolah menyatakan, “Mungkin siap kalau perkelas. Tapi kalau sekaligus e-learning

tidak cukup.” Sedangkan tenaga teknisi menyampaikan sebagai berikut:

“Kalau dipake barengan kecepatan termasuk masih kurang tapi kalau dibagi

pemakaiannya secara bergantian masih mampu. Untuk internet saat ini tersedia kecepatan

40 Mbps tapi ada tiga titik: Satu titik di perpustakaan, satu titik di lab komputer

kemudian satu lagi untuk guru dan karyawan di ruang server.”

Selanjutnya mengenai ketersediaan akses internet di lingkungan sekolah

dalam mendukung penerapan e-learning, Kepala Sekolah menyampaikan, “Hospot

sekolah untuk Guru dan karyawan disediakan akses internet gratis. Untuk siswa

disediakan di ruang komputer dan perpustakaan.” Sedangkan menurut Wakil Kepala

Sekolah “Guru dan karyawan gratis sedangkan siswa hanya di tempat tertentu saja

seperti lab komputer dan Perpustakaan.” Sedangkan menurut tenaga Teknisi ”Sinyal

wifi sudah menjangkau 70% di lingkungan sekolah, internet sementara sampai saat

ini cukup untuk guru dan karyawan, kemudian hanya ditambah lab jadi penggunaan

hospot untuk siswa di luar lab belum disediakan karena banwidth yang masih kurang

mampu.”

Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa ada perbedaan informasi

mengenai kecepatan akses internet di SMPN 1 Salatiga. Menurut kepala sekolah,

internet di sekolah SMPN 1 Salatiga berkecepatan 200Mbps, sementara tenaga

Teknisi mengatakan internet di SMPN 1 Salatiga berkecepatan 40Mbps. Sedangkan

dari hasil observasi, akses internet memang ada namun kecepatan kurang memadai

apalagi jika digunakan untuk mengakses e-learning.

Selain itu, wawancara tentang kesiapan server e-learning di SMPN 1 Salatiga

dimana kepala Sekolah dan wakil Kepala Sekolah menyatakan bahwa untuk server e-

learning tidak disediakan. Sejalan dengan hal itu, tenaga Teknisi juga menyampaikan

“Untuk server e-learning belum ada, belum ada ruangan khusus juga, dari server Try

Out juga masih server dengan kualitas yang rendah. Jadi kalau dipakai untuk e-

learning dan dinyalakan selama 24 jam itu belum mampu.”

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki kesiapan

jaringan internet yang kurang memadai. Padahal dalam Raharja dkk menyatakan

bahwa dukungan akses internet menjadi faktor penting yang harus dimiliki dan juga

diperhatikan. Penerapan e-learning memerlukan dukungan akses internet yang cepat

dan memadai serta didukung jaringan yang terpusat pada server [20]. Demikian juga

dari hasil penelitian ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki dukungan internet

yang terbatas seperti jaringan wifi yang masih dibatasi karena banwidth yang kurang

mampu. Selain itu, pada dukungan server e-learning, SMPN 1 Salatiga masih belum

ada kesiapan sama sekali. SMPN 1 Salatiga memiliki kesiapan infrastruktur yang

Page 15: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

9

terbatas sehingga mempengarhi penerapan e-learning menjadi kurang maksimal. Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Grendi Hendrastomo

bahwa penerapan e-learning menjadi tidak maksimal jika tidak didukung penuh pada

kesiapan infrastruktur [13].

Dari hasil wawancara kepada ketiga informan, yaitu kepala sekolah wakil

kepala sekolah dan tenaga teknisi SMPN 1 Salatiga tentang dukungan LMS dalam

penerapan e-learning menyatakan bahwa SMPN 1 Salatiga tidak menyediakan LMS

secara khusus. Selain itu, SMPN 1 Salatiga belum ada program untuk mendukung

penerapan e-learning. Lab komputer SMPN 1 Salatiga difasilitasi dengan terbatas

dan hanya digunakan untuk keperluan TIK saja. Disampaikan oleh teknisi bahwa

akses internet bisa tergangu jika lab disediakan secara terbuka. Dengan demikian,

pengajar yang ingin menggunakan lab untuk keperluan penerapan e-learning juga

harus ada izin terlebih dahulu.

Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga belum siap

pada kesiapan LMS untuk mendukung penerapan e-learning sebagai pembelajaran

terbuka. Padahal menurut Lee-Post, salah satu faktor kunci yang dapat

menyukseskan penerapan e-learning adalah dukungan LMS yang baik [21]. Oleh

karena itu, seharusnya institusi sekolah perlu menyediakan LMS yang mendukung.

Selain infrastruktur, kemampuan institusi juga bisa dilihat dari kemampuan Sumber

Daya Manusianya.

Sumber Daya Manusia

Kekuatan sumber daya manusia dalam suatu institusi atau organisasi pendidikan

dipandang sebagai aset penting yang mempengaruhi dan menentukan kualitas

pendidikan. Oleh karena itu, kemampuan sumber daya institusi menjadi hal yang

mutlak dimiliki. Adapun kemampuan sumber daya manusia dalam penerapan e-

learning di SMPN 1 Salatiga disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Kemampuan sumber daya manusia dalam penerapan e-learning

Aspek

Kriteria yang harus

dimiliki Keadaan di Lapangan

Tenaga teknisi Tenaga teknisi yang

mumpuni

Tersedia 3 orang guru TIK yang

mumpuni

Kebijakan Tersedia program

pelatihan e-learning

Tidak ada pelatihan untuk guru. Namun

tesedia BKTIK untuk siswa

Kemampuan

dasar

Berkemampuan dalam

mengelola e-learning,

memanfaatkan jasa LMS

Tenaga TIK siap. Namun guru pengampu

kurang siap

Konten e-learning Tersedia bahan ajar

yang dapat diakses

dimana saja dan kapan

saja

Tidak Tersedia

Dalam wawancara tentang dukungan tenaga teknisi di SMPN 1 Salatiga

untuk kesiapan penerapan e-learning baik Kepala Sekolah maupun Wakil Kepala

Sekolah mengatakan bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki tenaga teknisi yang

berjumlah tiga orang. Hal senada juga dinyatakan oleh tenaga Teknisi bahwa di

SMPN 1 Salatiga terdapat tiga tenaga teknisi termasuk guru TIK. Selain itu,

wawancara dengan tenaga teknisi tentang tenaga khusus yang mengelola penerapan

e-learning di SMPN 1 Salatiga dimana Teknisi menyampaikan “Yang disediakan

belum ada, kalau untuk membangun sistem e-learning bisa cuman belum ada

program sekolah yang mengarah ke situ.” Kepala Sekolah menyatakan bahwa tenaga

teknisi khusus saya kira tidak ada, cuman guru TIK itu. Pernyataan yang serupa juga

Page 16: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

10

diperoleh dari wakil kepala sekolah bahwa SMPN 1 Salatiga tidak menyediakan

tenaga khusus untuk mendukung penerapan e-learning.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kesiapan pada tenaga teknisi yang

dimiliki SMPN 1 Salatiga dengan kemampuan yang mumpuni sehingga siap untuk

diandalkan insitusi sekolah SMPN 1 Salatiga dalam penerapan e-learning. Akan

tetapi, jika dilihat lebih lanjut, ternyata tenaga teknisi yang dimaksudkan adalah guru

TIK, dimana guru tersebut sudah mempunyai tugas dan tanggung jawabnya sebagai

guru yang cukup besar. Tenaga teknisi yang khusus menangani e-learning ternyata

belum tersedia. Padahal idealnya harus ada tenaga khusus yang dapat mengelola e-

learning tersebut. Hal ini bertentangan dengan yang disampaikan oleh Aydin &

Tasci yang menyatakan bahwa faktor tenaga teknisi menjadi penting untuk dimiliki,

yaitu perlu dukungan tenaga teknisi yang berkemampuan dalam mengelola sitem e-

learning dan juga sebagai instruktur dalam memfasilitasi penerapan e-learning [22].

Selanjutnya, dalam wawancara tentang program pelatihan e-learning di

SMPN 1 Salatiga, Teknisi menyampaikan “Program pelatihan guru dari sekolah

sendiri belum ada, tapi dari dinas pendidikan sudah melakukan beberapa kali

pelatihan tapi tidak semua guru dan hanya guru yang dipilih. Itupun pelatihan

berkaitan dengan UNBK.” Sedangkan Kepala Sekolah dan wakil Kepala Sekolah

menyatakan bahwa tidak ada program pelatihan rutin dari sekolah, tetapi Dinas

Pendidikan kadang-kadang melakukan pelatihan di SMPN 1 Salatiga namun bukan

berkaitan dengan e-learning.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ketiga informan, pelatihan dari

Dinas Pendidikan arahnya adalah untuk kesiapan pelatihan UNBK bagi sekolah yang

telah melaksanakan UNBK dimana beberapa guru yang mengajar di kelas IX

diwajibkan mengikuti pelatihan yang diselengarakan oleh Dinas Pendidikan tersebut.

Selain itu, SMPN 1 Salatiga dalam sistem pembelajarannya menggunakan K-13,

sehingga BKTIK juga telah dilaksanakan. Namun pelatihan e-learning untuk guru

masih belum dilaksanakan.

Selain itu dari hasil wawancara, ketiga informan menyatakan bahwa SMPN 1

Salatiga memiliki kebijakan yang masih melarang siswa dalam menggunakan gadget

selama jam sekolah. Siswa tidak diizinkan menggunakan handphone saat penerapan

e-learning di lab komputer. Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa

SMPN 1 Salatiga memiliki kebijakan yang kurang mendukung penerapan e-learning.

Hal ini terlihat pada kebijakan sekolah SMPN 1 Salatiga yang tidak mengadakan

pelatihan e-learning bagi tenaga guru, begitu juga tenaga instruktur yang tidak

disediakan. Selain itu, adanya kebijakan yang melarang siswa untuk membawa

gadget ke sekolah juga kurang mendukung penerapan e-learning. Padahal menurut

Aydin & Tasci, kebijakan sekolah menjadi faktor penentu untuk keberhasilan

penerapan e-learning [22]. Selanjutnya mengenai kemampuan sekolah SMPN 1 Salatiga dalam

mengelola penerapan e-learning, tenaga Teknisi menyampaikan “Tenaga operator

sudah siap, tapi untuk guru pengampu yang harus mengelola e-learning

menggunakan LMS ini masih membutuhkan pelatihan lebih lanjut karena

kemampuan tiap guru berbeda juga.”

Sedangkan wawancara dengan wakil kepala sekolah adalah sebagai berikut:

“Sekolah memiliki tenaga teknisi TIK yang siap. Namun kemampuan guru pengampu

sepertinya sebagian guru belum siap. Kalau bahasa inggris bisanya menyuru anak untuk

Page 17: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

11

latihan UNBK memakai android mereka masing-masing tapi tidak serentak dilakukan di

kelas tapi dilakukan di rumah masing-masing.”

Akan tetapi, menurut Kepala Sekolah sekolah dikatakan mampu karena memiliki

tiga tenaga guru TIK. Selain itu berdasarkan hasil wawancara, SMPN 1 Salatiga

telah melakukan penerapan e-learning, namun penerapannya sangat terbatas, dimana

guru TIK dalam penerapanya sudah memanfaatkan LMS, sedangkan beberapa guru

yang mengajar di kelas IX sudah menggunakan email dan aplikasi android dalam

mendukung pembelajaran.

Wawancara tentang kemampuan guru dalam menggunakan sistem e-learning

untuk mengelola pembelajaran seperti peralihan pembelajaran konvensional ke e-

learning dalam mendukung pembelajaran di SMPN 1 Salatiga dimana wawancara

dengan tenaga Teknisi adalah sebagai berikut:

“Dari kondisi sekarang belum bisa dipastikan, tapi untuk seratus persen ke e-learning saya

pikir belum siap, belum siap dari regulasi kemudian ketersediaan sarana juga masih

kurang. Ditambah lagi kemampuan dari guru belum semua menguasai IT. Sampai saat ini

baru guru TIK yang mencoba menggunakan LMS edmodo untuk peralihan

pembelajaran. Tapi itu belum maksimal. Mungkin 50% dari kemampuan e-learning itu

yang diterapkan, baru sedikit, ya dari 50% elearning-nya itu.”

Sedangkan Kepala Sekolah dan wakil kepala sekolah dengan pernyataan yang sama

mengatakan “Mungkin tidak seratus persen tapi beberapa guru seperti guru TIK

sudah, guru PPKN yang memberikan tugas menggunakan e-learning juga mungkin

sudah melakukan peralihan.”

Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa kemampuan SDM guru mata

pelajaran di SMPN 1 Salatiga masih kurang siap dalam mengelola e-learning dengan

LMS dalam penerapan e-learning. Padahal menurut Aydin & Tasci faktor penentu

keberhasilan penerapan e-learning juga dipengaruhi oleh faktor SDM guru dalam

menggunakan atau memanfaatkan jasa LMS. Jika guru memiliki kemampuan itu

maka dipastikan bahwa penerapan e-learning dapat mencapai keberhasilan dalam

penerapannya [22]. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pemanfaatan jasa LMS

masih terbatas pada guru dengan provesi tertentu. Artinya bahwa sebagian besar

tenaga guru di SMPN 1 Salatiga belum siap dalam penerapan e-learning untuk dapat

mengelola e-learning dengan baik. Selain itu, hasil penelitian juga ditemukan bahwa

penerapan e-learning dilakukan hanya oleh tenaga guru yang mengajar di kelas IX.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga

masih kurang dan belum maksimal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Grendi Hendrastomo bahwa penerapan e-learning menjadi tidak maksimal

dipengaruhi oleh faktor SDM guru yang kurang siap [21].

Selain itu, penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga seperti konten e-

learning yang mendukung untuk memudahkan guru dan siswa dalam pembelajaran,

tenaga Teknisi menyampaikan bahwa “Sekolah belum mendukung untuk

menyediakan konten e-learning. Sampai saat ini Sekolah hanya memfasilitasi. Di

Perpustakaan disediakan 5 komputer untuk siswa, diisi dengan ebook kemudian bisa

mengakses e-learning yang dibutuhkan cuman belum diprogramkan secara khusus.”

Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa dukungan konten e-

learning berdasarkan kesiapan sekolah SMPN 1 Salatiga masih belum siap

berdasarkan kemampuannya. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Aydin & Tasci

yang menyatakan bahwa kesuksesan penerapan e-learning salah satunya dapat dilihat

Page 18: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

12

pada faktor kemampuan SDM institusi dalam menyediakan konten e-learning.

Dalam hal ini penerapan e-learning seharusnya memberikan manfaat berupa

kemudahan yang diberikan dalam pembelajaran terbuka [22]. Namun demikian dari

hasil penelitian ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga tidak mendukung dalam

menyediakan konten e-learning. Selanjutnya, keuangan juga perlu dilihat dalam

menentukan kemampuan institusi dalam penerapan e-learning.

Anggaran Keuangan dalam penerapan e-learning

Kesiapan anggaran dana dalam mendukung penerapan e-learning

berdasarkan hasil temuan di SMPN 1 Salatiga disajikan dalam tabel 9.

Tabel 9. Kemampuan anggaran dana dalam penerapan e-learning

Anggaran dana Kriteria yang harus dipenuhi Keadaan di lapangan

Anggaran

Infrastruktur

Tersedia anggaran dana

komputer, akses internet dan

sistem e-learning

Akses internet Rp 3.500.000.00

per bulan

Perawatan perangkat Rp

500.000.00 per tahun

Pelatihan Tersedia anggaran dana pelatihan

guru

Tidak ada

Dana bantuan Tersedia anggaran dana dari luar

(pemrintah dan masyarakat)

Tidak ada

Wawancara dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan tenaga teknisi

tentang alokasi anggaran dana untuk kesiapan penerapan e-learning, dimana pada

anggaran dana infrastruktur menurut Teknisi adalah sebagai berikut:

“Untuk internet alokasinya Rp 3.500.000.00 per bulannya, sedangkan untuk perawatan

perangkat TIK ada cuman memang sangat terbatas, cuman untuk perawatan kerusakan

kecil paling besar Rp500 ribu. Jadi dari semua peralatan komputer itu yang dialokasikan

untuk perawatan tiap tahun mungkin hanya 20%nya dengan masing-masing peralatan itu

tidak lebih dari 500 ribu.”

Sedangkan Kepala Sekolah juga menyatakan bahwa sekolah SMPN 1 Salatiga

mengaloaksikan anggaran untuk akses internet dan perawatan perangkat keras yang

sekian. Dimana kepala sekolah tidak mau menyebutkan secara detail untuk jumlah

anggaran dana yang dialokasikan.

Selain itu Kepala Sekolah dan tenaga Teknisi menyatakan bahwa SMPN 1

Salatiga tidak mengalokasikan angggaran secara khusus untuk e-learning atau

menerima dana bantuan dari luar. Kepala Sekolah menyampaikan “Dana untuk e-

learning tidak ada. Kalau untuk sumbangan perangkat komputer dari pemerintah ada

dengan prioritas persiapan UNBK sekolah diberi bantuan komputer.” Sementara

tenaga Teknisi menyampaikan bahwa “Dana khusus untuk e-learning dari sekolah

belum ada. Tidak ada dana khusus dari pemerintah yang dialokasikan untuk e-

learning. Kita mengalokasikan sendiri kalau memang dibutuhkan tapi belum

dialokasikan karena programnya belum mengarah ke situ.”

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa alokasi anggaran untuk mendukung

penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga termasuk sedikit. Hal tersebut

menunjukkan bahwa anggaran dalam penerapan e-learning kurang siap sehingga

perlu untuk ditingkatkan lagi. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Suryosubroto

bahwa pada penerapan e-learning, faktor anggaran sangat penting sehingga perlu

dukungan dana dalam bentuk subtansi dan finansial. Dikatakan bahwa selama

tersedia anggaran dana dari kedua faktor ini maka penerapan e-learning akan

Page 19: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

13

berjalan dengan lancar [23]. Namun demikian, dari hasil penelitian di SMPN 1

Salatiga ditemukan bahwa kemampuan institusi kurang siap dalam mengalokasikan

anggaran dana dalam mendukung penerapan e-learning.

Faktor Sikap dalam penerapan e-learning

Dari hasil wawancara dengan ketiga informan yaitu kepala sekolah, wakil

kepala sekolah dan tenaga teknisi tentang kesiapan sikap institusi sekolah SMPN 1

Salatiga dalam penerapan e-learning ditunjukkan dalam tabel 10.

Tabel 10. Analisis indikator Inovasi dan prestasi

Inovasi dan Prestasi Penilaian Sikap

Kepsek Wakasek Teknisi

Meningkatkan minat Belajar Siswa 4 3 3

Memotifasi siswa dalam belajar 4 3 4

Menjadi media pembelajaran siswa yang efektif 4 3 3

Menjadi metode belajar dan mengajar yang efektif 2 2 2

Membantu siswa mengikuti perkembangan teknologi 4 4 3

Menjadi media pembelajaran alternatif yang mendukung 4 3 3

Menjadi media belajar yang dapat dijangkau dimana saja dan

kapan saja

4 2 4

Membantu guru mengikuti perkembangan teknologi

informasi

4 3 4

Meningkatkan kinerja institusi menjadi lebih efisien 4 3 3

Menjadi media pembelajaran mandiri yang efektif 4 3 2

Total 38 29 31 Rata-rata 3,8 2,9 3,1

Kategori P P P

Berdasarkan hasil wawancara tentang kesiapan sikap pada inovasi dan

prestasi dimana dalam tabel 10 menunjukkan bahwa sikap masing-masing informan

di sekolah SMPN 1 Salatiga menanggapi positif. Hasil wawancara menunjukkan

bahwa kepala sekolah menanggapi dengan sikap yang mendukung pada inovasi dan

prestasi dengan hasil 3,8 atau dalam kriteria positif. Sedangkan wakil kepala sekolah

juga menanggapi dengan sikap yang positif dengan hasil 3,1 atau dalam kriteria

positif. Selain itu, tenaga teknisi menanggapi dengan sikap dalam kriteria positif

dengan perolehan hasilnya adalah 2,9. Dengan demikian SMPN 1 Salatiga telah siap

atau memiliki sikap yang mendukung pada indikator inovasi dan prestasi dalam

penerapan e-learnng. Hal ini dikarenakan semakin positif sikap terhadap e-learning,

semakin siap juga dalam menerapkan e-learning.

Tabel 11. Analisis indikator e-learning Ekonomis

Ekonomis Penilaian Sikap

Kepsek Wakasek Teknisi

Memudahkan institusi sekolah dengan biaya yang

terjangkau 1 3 3

Menghemat pengeluaran institusi sekolah 1 3 3

Total 2 6 6

Rata-rata 1 3 3

Kategori SN P P

Hasil wawancara tentang sikap institusi dalam penerapan e-learning menjadi

ekonomis dimana hasil dalam tabel 11 menunjukkan bahwa SMPN 1 Salatiga

memiliki dukungan yang cukup positif. Namun demikian, kepala sekolah

Page 20: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

14

menanggapi penerapan e-learning dapat mendukung pembelajaran lebih ekonomis

dengan sikap yang tidak mendukung atau dalam kategori negatif. Sedangkan wakil

kepala sekolah dan tenaga teknisi dengan sikap yang mendukung bahwa penerapan e-

learning pembelajaran menjadi lebih ekonomis seperti yang ditunjukkan dalam tabel

11 dimana wakil kepala sekolah dan tenaga teknisi menyikapi dengan sikap yang

mendukung.

Tabel 12. Analisis indikator Kemudahan

Kemudahan Penilaian Sikap

Kepsek Wakasek Teknisi

Membantu siswa dapat belajar mandiri 4 3 3

Membantu siswa belajar lebih efektif 4 3 3

Membantu pembelajaran lebih efisien 4 2 3

Membantu meningkatkan kinerja guru 4 3 2

Memudahkan dalam mengelola pembelajaran 4 3 3

Memudahkan guru dalam merancang media pembelajaran 4 3 3

Membantu guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran 4 3 3

Menyediakan kemudahan dalam mengakses materi 4 3 4

Total 32 23 24

Rata-rata 4 2,8 3

Kategori SP P P

Berdasarkan hasil wawancara tentang sikap SMPN 1 Salatiga yaitu e-

learning dalam penerapannya memberikan kemudahan, dalam tabel 12 menunjukkan

bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki sikap yang positif. Kepala sekolah menanggapi

dengan sikap yang sangat mendukung berdasarkan hasilnya yaitu pada angka 4 atau

dalam kriteria sangat positif. Selain itu wakil kepala sekolah menggapi dengan sikap

yang mendukung dengan hasil 2,8 atau dalam kriteria positif. Begitu juga tenaga

teknisi menanggapi dengan dukungan sikap yang positif dengan hasil 3 atau dalam

kriteria positif. Berdasarkan data tersebut menunjukkan SMPN 1 Salatiga memiliki

sikap yang siap pada indikator penerapan e-learning memberikan kemudahan.

Hasil penelitian tentang kesiapan sikap berdasarkan ketiga indikator yang

digunakan dapat disimpulan bahwa SMPN 1 Salatiga telah siap. Hal ini, SMPN 1

Salatiga memiliki sikap yang sangat positif mendukung penerapan e-learning

ditunjukkan pada indikator inovasi dan prestasi dan kemudahan. Sedangkan pada

indikator ekonomis, SMPN 1 Salatiga memiliki dukungan sikap yang cukup. Dengan

demikian SMPN 1 Salatiga telah memiliki landasan sikap yang mendukung sehingga

dapat segera mungkin untuk mewujudkan penerapan e-learning. Hal ini sejalan

dengan yang disampaikan Davis et al dalam Dalimunthe dan Wibisono bahwa salah

satu faktor penting yang mempengaruhi manusia untuk dapat menerapkan e-learning

adalah diketahui dari cara seseorang menyikapi sistem teknologi tersebut berdasarkan

penilaiannya dalam bentuk tanggapan sikap positif atau negatif [18]. Berdasarkan hal

tersebut institusi sekolah SMPN 1 Salatiga telah mendukung penerapan e-learning

dari segi faktor sikap.

Page 21: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

15

6. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa SMPN 1 Salatiga belum siap

dilihat dari faktor kemampuan dan telah siap jika dilihat dari faktor sikap. Dilihat dari

faktor kemampuan, SMPN 1 Salatiga memiliki kemampuan yang belum siap pada

indikator infrastruktur, SDM dan keuangan. Selain itu, SMPN 1 Salatiga hanya siap

pada aspek tertentu pada faktor kemampuan yaitu pada indikator infrastruktur saja,

yaitu pada dukungan perangkat komputer. Akan tetapi, jika dilihat dari faktor sikap

terhadap e-learning, SMPN 1 Salatiga memiliki sikap yang mendukung pada

indikator inovasi dan prestasi, kemudahan dan ekonomis dengan hasil yang positif.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran untuk

sekolah dan untuk penelitian selanjunya. Pertama, sekolah perlu menyikapi dengan

dukungan kebijakan yang lebih serius terhadap e-learning dalam mendukung

pembelajaran. Kedua, perlu diadakan pelatihan untuk para guru agar dapat

mengoperasikan sarana yang berbasis teknologi. Ketiga, perlu ditingkatkan lagi

jaringan internet sekolah agar dapat tersedia akses secara terbuka untuk guru dan

siswa. Keempat, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan evaluasi

pada penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga.

7. Daftar Pustaka

[1]. Depdiknas, 2003, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Jakarta

[2]. Rossen, Elisabeth, Darin Hartley, 2001, American Society for Training and

Development, Virginia: Alexandria Publisher.

[3]. Kurniawan A., 2014, Pengukuran Tingkat Kesiapan Penerapan E-Learning Sekolah

Menengah Atas Muhammadiyah di Kota Yogyakarta, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas

Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.

[4]. Kusmana, Ade, 2011, E-learning dalam Pembelajaran, Jurnal Lentera Pendidikan,

14: 35-51. Diakses dari: http://ejurnal.uin- alauddin.ac.id. pada tanggal 20 Juni

2019.

[5]. Fathoni, Muhammad Rosyid, 2015, Evaluasi Penerapan E-Learning di Sekolah

Menengah Atas Negeri 1 Prambanan Sleman, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

[6]. Borotis, S. and Poulymenakou, A., 2004, E-learning readiness components: Key

issues to consider before adopting e-learning interventions, San Diego: Association

for the Advancement of Computing in Education (AACE). Diakses dari:

https://www.learntechlib.org/p/11555/ pada tanggal 23 juni 2018.

[7]. Mungania, P., 2003, The seven e-learning barriers facing employees: Research final

report of the masie center of e-learning consortium, Louisville : University of

Louisville, USA. Diakses dari: https://s3.amazonaws.com pada tanggal 13 Maret

2018.

[8]. Citra, Putri Ika & Triyona Bruri Mochamad, 2017, Kesiapan Pelaksanaan

Pembelajaran Berbasis E-Learning Pada SMK School Partnership Program

Seamolec Di D.I. Yogyakarta, Journal of Vocational and Work Education, 1: 48-58.

Diakses dari: http://journal.student.uny.ac.id. pada tanggal 20 Maret 2018.

[9]. Rohayani, A. H., 2015, A literature review: Readiness factors to measuring e-

Learning readiness in higher education, Procedia Computer Science, 59: 230-

234.

[10]. Effendi, Empty & Hartono Zhunag, 2005, E-learning Aplikasi dan Konsep,

Yogyakarta: Andi Publisher.

Page 22: KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING …

16

[11]. Setiawan, W. and Hana, M.N., 2014, Analisis Penerapan Sistem E-Learning Fpmipa

Upi Menggunakan Technology Acceptance Model (TAM). Jurnal Pengajaran

MIPA, 19: 128-140.

[12]. Azimi, H. M., 2013, Readiness for implementation of e-learning in colleges of

education. Journal of Novel Applied Sciences, 2: 769-775.

[13]. Nugroho Agung Ariyawan. 2008. Pemanfaatan E-Learnng Sebagai Salah Satu

Bentuk Penerapan Tik Dalam Proses Pembelajaran, Majalah Ilmiah Pembelajaran,

4: 1-12. Diakses dari: https://journal.uny.ac.id. pada tanggal 20 Maret 2018.

[14]. Hendrastomo Grendi, 2008, Dilema dan Tantangan Pembelajaran E-Learning,

Majalah Ilmiah Pembelajaran, 4: 32-35. Diakses dari: https://s3.amazonaws.com.

pada tanggal 02 April 2018.

[15]. Gilbert, & Jones, M. G., 2001, E-learning is e-normous, Electric Perspectives, 26:

66-82.

[16]. Muzid, Syaiful, dan Misbahul Munir, 2005, Persepsi Mahasiswa dalam Penerapan

E-Learning sebagai Aplikasi Peningkatan Kualitas Pendidikan (Studi Kasus Pada

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia), Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan.

Diakses dari: www.neliti.com. pada tanggal 10 April 2018.

[17]. Waryanto, Nur H. dan Nur Insani, 2013, Tingkat Kesiapan (Readiness)

Implementasi E-Learning di Sekolah Menengah Atas Kota Yogyakarta. Jurnal

Pendidikan Matematika dan Sains, 1: 117-124.

[18]. Dalimunthe, Nurmaini dan Himawan Wibisono, 2014, Analisis Penerimaan Sistem

E-Learning SMK Labor Pekanbaru dengan Menggunakan Techology Acceptance

Model (TAM). Jurnal Sains, Teknologi dan Industri, 11: 111-117.

[19]. Rusman, Deni Kurniawan, dan Cepi Riyana, 2012, Pembelajaran Berbasis

Teknologi Informasi dan Komunikasi: Mengembangkan Profesionalitas

Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

[20]. Raharja, Setya dkk, 2011, Model Pembelajaran Berbasis Learning Management

System Dengan Pengembangan Software Moodle di SMA Negeri Kota Yogyakarta,

Jurnal Kependidikan, 41: 55-70.

[21]. Lee-Post, A., 2009, E-Learning Success Model: an Information Systems

Perspective, Electronic Journal of e-Learning 7: 61-70. Diakses dari:

https://eric.ed.gov/?id=EJ867103 pada tanggal 23 Maret 2018.

[22]. Aydın, C. H., and Tasci, D., 2005, Measuring readiness for e-learning: Reflections

from an emerging country, Journal of Educational Technology & Society, 8:244-

257.

[23]. Suryosubroto, 2002, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka

Cipta.