kesantunan berbahasa

download kesantunan berbahasa

If you can't read please download the document

Transcript of kesantunan berbahasa

Judul Buku Pengarang Penerbit

: Berbahasa Secara Santun : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. : Pustaka Pelajar

Tahun Terbit : 2009

1 PendahuluanBahasa merupakan cermin kepribadian seseorang. Bahkan, bahasa merupakan cermin kepribadian bangsa. Artinya, melalui bahasa seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui kepribadiannya. Ungkapan kepribadian seseorang yang perlu dikembangkan adalah ungkapan kepribadian yang baik, benar, dan santun sehingga mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang. Dalam buku Berbahasa Secara Santun dibahasa mengenai kesantunan dalam berbahasa. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Seseorang sedang berkomunikasi dalam situasi tidak resmi, mereka menggunakan kaidah bahasa tidak resmi. Ketika seseorang sedang menulis karya ilmiah untuk makalah, skripsi, tesis, atau disertasi mereka menggunakan kaidah bahasa baku. Jika penulis sedang memerankan tokoh pejabat, maka bahasa yang digunakan adalah kaidah bahasa resmi. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Ketika seseorang sedang berkomunikasi, hendaknya disampaikan baik dan benar juga santun. Kaidah kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Agar pemakaian bahasa terasa semakin santu, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang dapat dirasa sebagai bahasa santun, seperti: 1. Menggunakan tuturan tidak langsung biasanya terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung. 2. Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata ligas. 3. Ungkapan memakai gaya bahasa penghalus terasa lebih santun dibandingkan dengan ungkapan biasa. 4. Tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksud biasanya tuturan lebih santun 5. Tuturan yang dikatakan secara implisit biasanya lebih santun dibandingkan dengan

1

tuturan yang dikatakan secara eksplisit. Terlepasa dari tuturan santun dan tidak santun, keduanya adalah tindakan komunikasi. Dalam setiap tindakan komunikasi dapat gagal dan dapat berhasil mencapai tujuan. Gagalnya komunikasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1. Mitra tutur tidak memiliki informasi lama mengenai pokok masalahyang dibicarakan. 2. Mitra tutur tidak tertarik dengan informasi penutur. 3. Mitra tutur tidak berkenan dengan cara yang digunakan untuk menyampaikan informasi penutur. 4. Apa yang diinginkan oleh penutur tidak dimiliki oleh mitra tutur. 5. Mitra tutur tidak memahami pesan yang dimaksud oleh penutur. 6. penutur terkendala kode etik dalam bertutur. Sebaliknya,komunikasi akan berhasil apabila didukung oleh beberapa faktor, seperti: 1. Ada kesepahaman topik yang dibicarakan antara penutur dengan mitra tutur. 2. Ada kesepahaman bahasa yang digunakan oleh penutur kepada mitra tutur. 3. Mitra tutur tertarik dengan pesan yang disampaikan oleh penutur. 4. Penutur dan mitra tutur sama-sama dalam konteks dan situasi yang sama. 5. Praanggapan penutur terhadap mitra tutur benar. 6. Penutur mahir memanfaatkan daya bahasa yang menjadikan komunikasi lebih efektif. 1.1 Alasan Berbahasa secara Santun Bahasa merupakan alat komunikasi, berkomunikasi merupakan interaksi antara penutur dengan mitra tutur. Ada tiga hal penting ketika penutur berinteraksi dengan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan dapat memahami maksud yang disampaikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain (orang ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antar penutur dengan mitra tutur. Berbahasa dan berprilaku santun merupakan kebutuhan setiap orang, bukan sekedar kewajiban. Seseorang berbahasa dan berprilaku santun sebenarnya lebih dimaksudkan sebagai wujud aktualisasi diri. Setiap orang harus menjaga kehormatan dan martabat diri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga mau menghargainya. Inilah hakikat berbahasa secara santun.

1.2 Cara Berbahasa Santun Santun tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada pada mitra tutur. Setiap kata, di samping memiliki makna tertentu juga memiliki daya (kekuatan) tertentu. Kesanggupan menggunakan gaya bahasa seorang penutur dapat terlihat tingkat kesantunannya dalam berkomunikasi. Ada beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur yaitu: 1. Majas Hiperbola Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain secara berlebihan. 2. Majas Perumpamaan Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang berlainan, tetapi dianggap sama. 3. Majas Metafora Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan maupun menambah daya bahasa tuturan. 4. Majas Eufemisme Yaitu salah satu jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal dengan menggunakan pembanding yang lebih halus.

2 Kebiasaan Sebagai Pembentuk Perilaku2.1 Kebiasaan dalam Berbahasa Semua bahasa pada hakikatnya sama, yaitu sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, ungkapan bahwa bahasa menunjukkan bangsa tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa bahasa satu lebih baik dari bahasa yang lain. Sapir dan Worf (dalam Wahab,1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan prilaku budaya manusia memanga ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang benar menandakan bahwa kepribadian orang

3

itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar, dan santun dihadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pillihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak benar dan tidak santun. Memang BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara membutuhkan kebakuan. Pranarka (1979) menekankan adanya modernisasi yang terlibat dalam sederet komponen berbahasa, yakni discipliner, accuracy, dan precision. Sebagai konsekuensi di dalam berbahasa, orang harus menepati kaidah baik dalam pemeliharaan pola struktur maupun kosa katanya. Disamping itu, ia harus pula secara akurat dan tepat menyatakan idenya yang sesuai dengan pola struktur bahasa serta forum, dan situasi berkomunikasi. Ketepatan berbahasa seperti itu tidak hanya menampilkan disiplin, tetapi juga kecendekiaan. Hal ini menuntut penutur untuk dapat membatasi bahasa dalam situasi yang aktual. Dapat dikatakan bahwa dalam rangka menerapkan kaidah komunikasi yang aktual, penutur didorong untuk menampilkan kecermatannya. 2.2 Kesulitan Mengungkapkan Maksud secara Santun Pemakaian bahasa yang baik adalah pemakaian bahasa sesuai dengan ragam, sedangkan pemakaian bahasa yang benar merupakan pemakaian bahasa sesuai dengan kaidah. Mestinya, di samping pemakaian bahasa harus baik dan benar, juga harus santun. Bahasa santun adalah bahasa yang diterima oleh mitra tutur dengan baik. Banyak orang sudah dapat berbahasa secara baik dan benar, tetapi kadang-kadang belum mampu berbahasa secara santun. Dalam berkomunikasi, Grace (1975) mengajukan 4 kaidah agar tuturan dapat menjadi santun yaitu: prinsip kerja sama yang meliputi (a) prinsip kualitas (jika berbahasa, apa yang dikatakan harus didukung oleh data), (b) prinsip kuantitas ( jika berbahasa, apa yang dikatakan cukup seperlunya saja, tidak ditambah dan tidak dikurangi), (c) prinsip relevansi (jika berbahasa, yang dikatakan harus ada relevansinya dengan pokok yang dibicarakan), dan (d) prinsip cara (jika berbahasa, disamping harus memikirkan pokok masalah yang dibisarakan, juga bagaimana cara menyampaikannya). Pemikiran Grace ini dikatakan cukup baik, setidaknya sudah mulai memikirkan perlunya ada kaidah berbahasa diluar kaidah tata bahasa. Namun, jika dicermati, pemikiran Grace tersebut hanya cocok untuk menyampaikan informasi, tetapi justru dapat mengancam keharmonisan hubungan sosial. Kesantunan dalam berkomunikasi ada kaitannya dengan tindak tutur seperti yang

dikemukakan oleh Austin (1978). Austin melihat bahwa setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud yang terkandung dalam ujaran, dan (3) tindak perlokusi berupa efek yang ditimbuklan oleh ujaran. Sejalan dengan pendapat austin di atas adalah pedapat Searle (1979). Searle menyatakan bahwa dalam satu tindak tutur sekaligus terkandung tiga macam tindakan yaitu (1) pengujaran berupa kata atau kalimat, (2) tindak proposisional berupa acuan dan prediksi, (3) tindak ilokusi dapat berupa pernyataan, pertanyaan, janji, perintah, dan sebagainya. Untuk melengkapi teori Grace, Leech (1983) dalam bukunya mengajukan 7 prinsip kesantunan yang disebut dengan istilah maksim yaitu (a) maksim kebijaksanaan, (b) maksim kedermawanan, (c) maksim pujian, (d) maksim kerendahan hati, (e) maksim kesetujaun, (f) maksim simpati, (g) maksim pertimbangan. Prinsip kesantunan Leech ini oleh beberapa ahli pragmatik dipandang sebagai usaha menyelamatkan muka Grice, karena prinsip kesantunan Grice sering tidak dipatuhi daripada diikuti di dalam praktikpenggunaan bahasa yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena cooperative principles Grace hanya cocok untuk berkomunikasi secara formal. Demi kesantunan, penutur harus dapat memperlakukan mitra tutur sebagai berikut (Grace, 2000: 362): 1. Jangan perlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur. 2. Jangan mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur. 3. jangan mengungkapkan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitara tutur merasa jatuh harga dirinya, 4. Jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri Menurut Poedjosoedarmo (1978) mengungkapkan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat diukur melalui 7 prinsip yaitu; 1. Kemampuan mengendalikan emosi agar tidak lepas kontrol dalam berbicara. 2. Kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. 3. Gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. 4. Kemampuan memilih topik yang disukai oelh mitra tutur dan cocok dengan situasi. 5. Kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun tidak harus seperti bahasa

5

proposal. 6. Penutur hendaknya memiliki bentuk kalimat yang baik dan ucapkan dengan enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak pula. 7. Perhatikanlah norma tutur lain, seperti gerakan tubuh, urutan tuturan. 2.3 Strategi Komunikasi agar Santun Untuk menyatakan kesantunan dibutuhkan strategi dalam berkomunikasi, yaitu: (a) apa yang dikomunikasikan, (b) bagaimana cara mengkomunikasikan, dan (c) mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan. Grace menyatakan bahwa ketika penutur berkomunikasi, informasi yang diberikan oleh penutur cukup seperlunya saja, jangan kurang dan jangan lebih. Hal ini juga tidak dapat diperlakukan untuk semua tuturan oleh warga bahasa. Misalnya masyarakat Jawa ketika berkomunikasi tidak mengandalkan rasio, tetapi leboh banyak dipandu oleh rasa. Ketika berkomunikasi, orang Jawa lebih suka adu rasa dan angon rasa (Pranowo, 2005).

2.4 Membawa Sikap-sikap Positif Budaya Jawa dalam Berbahasa Indonesia Dalam ajaran budaya Jawa, untuk menciptakan kesantunan dalam berkomunikasi ada ajaran dalam berbahasa yaitu (a) harus selalu kurmat pada orang lain, (b) harus selalu bersikap andha-asor (rendah hati), (c) harus selalu empan papan (sadar akan tempat atau memahami situasi dan kondisi), dan (d) harus dapat bersikap tepa selira (tenggang rasa) terhadap orang lain (Arsim, 2005)

3 Pemakaian Bahasa Dalam Masyarakat3.1 Fakta Pemakaian Bahasa dalam Masyarakat Pemakaian bahasa dalam masyarakat ada yang santun dan ada yang tidak santun. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan, antara lain (a) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan,

(c) ada yang mahir menggunakan kaidah kesantunan dalam berbahasa tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir berbahasa secara santun. Keadaan seperti itu sampai kapan pun akan terus ditemukan dalam masyarakat. Di masa mendatang, pemakaian bahasa santun harus lebih banyak dan pemakaian bahasa tidak santun harus semakin berkurang. Hal ini akan dapat terwujud jika (a) kaidah kesantunan berbahasa sudah dideskripsikan secara baik, (b) kaidah yang sudah dideskripsikan itu disosialisasikan kepada masyarakat luas, (c) pembinaan secara terus-menerus melalui berbagai jaur, (d) pengawasan/ kontrol yang sifatnya sapa senyum agar masyarakat semakin sadar untuk menggunakan bahasa yang santun terus dilakukan. Analog dengan istilah Krashen (1976) penguasaan kaidah kesantunan dapat dikuasai melalui pemerolehan. Berkaitan dengan pemerolehan kesantunan, dapat diidentifikasi ciri-cirinya sebagai berikut. (1) dikuasai secara informal maupun nonformal, (2) setiap orang dapat berbahasa secara santun sesuai dengan pranata kesantunan yang berkembang dalam lingkungannya, (3) tidak mengetahui kaidah kesantunan secara formal, tetapi setiap berbahasa berusaha santun, (4) belum ada guru yang mengajarkan kesantunan secara formal, (5) belum ada rumusan kaidah kesantunan secara baku, dan (6) tidak ada rumusan tujuan secara pasti. Meskipun BI belum memiliki kaidah kesantunan secara baku, namun beberapa prinsip umum dari berbagai budaya dan bahasa lain dapat diserap sebagai dasar untuk mengembangkan kaidah kesantunan dalam BI. Prinsip umum komunikasi dapat diidentifikasi sebagai berikut (a) setiap komunikasi harus ada yang dikomunikasikan, (b) setiap berkomunikasi harus menggunakan cara-cara tertentu agar dapat diterima oleh mitra tutur dengan baik, (c) setiap berkomunikasi harus ada alasan-alasan tertentu mengapa sesuatu harus dikomunikasikan. 3.2 Fakta Pemakaian Bahasa yang Santun Berdasarkan rambu-rambu yang berlaku di dalam masyarakat, ternyata masih banyak tokoh masyarakat yang berbicara santun dalam Bahasa Indonesia. Beberapa fakta dapat dideskripsikan sebagai berikut (1) penutur berbicara wajar dengan akal sehat, (2) penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, (3) penutur selalu berprasangka baik kepada

7

mitra tutur (4) penutur bersikap terbuka dan menyampaikan kritik secara umum (5) penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir, dan (6) penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius. 3.3 Fakta Pemakaian Bahasa yang tidak Santun Meskipun belum cukup data untuk menarik kesimpulan secara pasti, data di bawah ini sudah dapat dirasakan sebagai tuturan yang tidak santun yaitu (1) penutur menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, (2) penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, (3) penutur protektif terhadap pendapatnya, (4) penutur sengaja ingin menonjolkan mitra tutur dalam bertutur, (5) penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.

4 Penentu Kesantunan4.1 Faktor Penentu Kesantunan Faktor kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor kesantunan dari aspek kebahasaan dapat diidentifikasi sebagai berikut. Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal, seperti gerak gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tanggan, kepalan tangan, tangan kerkacak pinggang, dan sebagainya. Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis, seperti pilihan kata yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang pendeknya struktur kalimat, ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya. Faktor penentu kesantunan dari aspek nonkebahasaab berupa pranata sosial budaya masyarakat, pranata adat, seperti jarak bicara antara penutur dan mitra tutur dan sebagainya. 4.2 Faktor yang dapat Menggagalkan Komunikasi

Banyak faktor yang menyebabkan komunikasi dapat gagal, antara lain: (a) mitra tutur tidak memiliki informasi lama sebagai dasar memahami informasi baru yang disampaikan penutur, (b) mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi yang disampaikan penutur, (c) mitra tutur tidak berkenan dengan cara menyampaikan informasi si penututur, (d) apa yang diinginkan memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh mitra tutur, (e) mitra tutur tidak memahami yang dimaksud oleh penutur, dan (f) jika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melanggar kode etik. 4.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantuna Faktor yang menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa ditentukan oleh dua hal, yaitu faktor kebahasaan, dan faktor non-kebahasaa. Faktor kebahasaan yang dimaksud adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Faktor kebahasaan verbal yang dapat menentukan kesantunan dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) pemakaian diksi, (2) Pemakaian gaya bahasa (majas metafora, majas personifikasi, majas peribahasa, majas perumpamaan). 4.4 Faktor Nonkebahasaab sebagai Penentu Kesantunan Ketikka orang berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor bahasa. Faktorfaktor nonkebahasaan juga ikut menentukan kesantunan. (1) topik pembicaraan, (2) konteks situasi komunikasi.

9

5 Indikator Kesantunan Berbahasa IndonesiaIndikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak. Penanda-penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan maupun unsur nonkebahasaan. 5.1 Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978) (1) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi, (2) mengacu pada orang yang terlibat komunikasi, (3) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai pada komunikasi, (4) mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin disampaikan, (5) mengacu pada pelaksanaan percakapan, (6) mengacu pada norma prilaku partisipan dalam berkomunikasi, dan (7) mengacu pada ragam santai dan sebagainya. 5.2 IndikatorKesantunan Menurut Grace (2000) Grace (2000: 362) menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut. (1) ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan, (2) ketika berkomunikasi tidak boleh mengaakan hal-hal yang kurang baik mengenai mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur, (3) tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur, (4) tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya, dan (5) tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri. 5.3 Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983) Leech memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya (implikatur). Meski tidak mengunakna implikatur, tuturan dapat dikatakan santun, jika ditandai dengan hal-hal sebagai berikut. (1) tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan), (2) tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan), (3) tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian), (4) tturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendah hatian), (5) tuturan dapat memberikan

persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan), (6) tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim simpati), dan (7) tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur (maksim pertimbangan) 5.4 Indikator Kesantunan Menurut Pranowo Indikator lain dikemukakan oleh Pranowo (2005) bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut. (1) perhatikan suasana perasaan mitra tutur (angon rasa), (2) pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur (angon rasa), (3) jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur (empan papan), (4) jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur dihadapan mitra tutur (sifat rendah hati), (5) jagalah agar tuturan memperlihatkan mitra tutur diposisii lebih tinggi 9sikap hormat), dan (6) jagalah agar tuturan selalu memperhatikan apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa selira)

5.5 Implementasi Indikator Kesantunan dalam Pemakaian Bahasa secara teoritis, semua orang harus berbahasa secara santun. Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan komunikasi dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan saat menggunakan bahasa juga harus memerhatikan kaidah-kaidah berbahasa baik kaidah linguistik maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi dapat tercapai. 5.6 Cara Menyampaikan Maksud Bebrapa cara menyampaikan maksud agar tuturan dapat dikatakan santun dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) rasa nrima (menerima keadaan seperti adanya), (2) sikap ngalah demi rasa solidaritas, (3) sikap ngalah demi rasa hormat, (4) sikap tenggang rasa, (5) sikap empan papan (menyesuaikan diri dengan waktu dan tempat).

11

7 Nilai-nilai Pendukung Kesantunan BerbahasaDalam berkomunikasi dengan santun, ada beberapa nilai-nilai etnis yang dapat diterima oleh seluruh atau sebagian besar masyarakat etnis lain dan dapat diserap untuk menumbuh kembangkan kesantunan berbahasa. Yaitu, (a) sikap rendah hati, (b) sikap empan papan, (c) sikap menjaga perasaan, (d) sikap mau berkorban, (e) sikap mawas diri. Dengan nilai-nilai ini diharapkan tercipta hubungan harmonis antar sesama.

8 Pengaruh Daya Bahasa terhadap Berbahasa secara Santun8.1 Menggali Daya Bahasa untuk Berkomunikasi Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektivkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur. Penyampaian pesan dengan menggunakan daya bahasa dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Efektivitas komunikasi dapat bersifat positif maupun negatif. Jika daya bahasa dimanfaatkan secara positif komunikasi dapat berjalan secara santun. Sebaliknya, jika daya bahasa dimanfaatkan secara negatif, komunikasi dapat menimbulkan ketidak santunan. Berkaitan dengan daya bahasa, sebenarnya setiap orang yang berkomunikasi dapat menggali dan memanfaatkan daya bahasa. Daya bahasa dapat dipergunakan untuk (a) meningkatkan efek komunikasi, (b) mengurangi kesenjangan antara apa yang dipikirkan dengan apa yang diungkapkan, (c) memperindah pemakaian bahasa, dan sebagainya. 8.2 Daya Bahasa dan Efektivitas Pemakaian Bahasa Beberapa ahli bahasa telah mengkaji daya bahasa. Sudaryanto (1989) menggali daya bahasa dari aspek linguistik. Hasilnya, hampir seluruh tataran bahasa ternyata mampu memunculkan daya bahasa. Daya bahasa terdapat dalam tataran bunyi, bentuk kata, struktur, leksikon (terutama pilihan kata) dan wacana. Pada tataran bunyi, bunyi bahasa dapat menunjukkan daya bahasa yang berbeda-beda. Kata yang mengandung bunyi /i/ mengandung daya bahasa yang berkadar makna kecil, seperti cicit, kecil, muskil, kerikil, cukil, ambil,

kanthil, pentil, kutil, dan sebagainya. Disamping bunyi /i/ memunculkan daya bahasa yang berimajinasi dengan makna kecil, dapat pula mengimajinasikan makna kerelaan atau kepasrahan. 8.3 Daya Bahasa dan Kesantunan Daya bahasa juga dapat menunjukkan tingkat kesantunan berbahasa dalam

berkomunikasi. Pemakaian kata tertentu ketika menyampaikan kritik kepada orang lain, dapat terasa keras dan kasar. Dalam konteks kesantunan berbahasa, daya bahasa yang bernada negatif hendaknya tidak perlu digali dan dikembangkan agar tidak melukai hati mitra tutur. Sebaliknya, daya bahasa yang bernada positif hendaknya digali semaksimal mungkin agar menjadikan tuturan semakin santun. Untuk menggali daya bahasa agar tuturan dapat efektif, tetapi tetap memperlihatkan kesantunan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, (1) daya bahasa dapat digali melalui aspek-aspek linguistik, (2) daya bahasa dapat digali melalui aspek-aspek pragmatik.

9 Kaidah Kesantunan Berbahasa9.1 Keteraturan dan Kaidah Ada perbedaan persepsi antara keteraturan dengan kaidah. Kesantunan berbahasa memerlukan kaidah. Namun, beberapa pakar menyatakan bahwa kaidah cenderung banyak dilanggar daripada ditaati. Ada yang menyarankan lebih baik digunakan istilah keteraturan. Istilah keteraturan cenderung lebih longgar dan luwes keharusan, tetapi seagai kelaziman. 9.2 Keteraturan Berbahasa agar Santun Ada beberapa keteraturan yang perlu diperhatikan oleh penutur agar ketika berbahasa menjadi santun. Yaitu: 1. Berkaitan dengan citra diri penutur 2. Berkaitan dengan penghargaan terhadap mitra tutur karena ketaatannya bukan sebagai

13

3. Berkaitan dengan bahasa yang digunakan