Kerja Sama Operasional Agung Yuriandi
Click here to load reader
-
Upload
agung-yuriandi -
Category
Documents
-
view
94 -
download
0
Transcript of Kerja Sama Operasional Agung Yuriandi
1
KERJA SAMA OPERASIONAL
Latar Belakang
Pembangunan infrastruktur dalam era otonomi daerah telah
menjadi tanggungjawab sepenuhnya Pemerintah Daerah. Daerah-daerah
yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk membangunnya
harus mencari alternatif terbaik untuk memenuhi kebutuhan
masyarakatnya.
Tidak semua kegiatan usaha bisa dilakukan sendiri, karena
berbagai alasan, baik alasan tehnis produksi, alasan penguasaan pasar,
maupun semata-mata alasan keuangan. Maka beberapa orang atau
beberapa pihak bersama-sama mendirikan satu perusahaan, mungkin
sama-sama berasal dari satu sekolah yang sama, mungkin juga pihak-
pihak yang berpatungan berasal dari negara-negara yang letaknya jauh
satu sama lain. Dalam zaman globalisasi seperti sekarang, sudah biasa
melihat perusahaan patungan dengan pemegang saham yang berasal dari
banyak negara. Karena itu sudah menjadi makin susah untuk menyebut
negara asal mana yang mendominasi satu perusahaan.
Tentu saja suatu perusahaan patungan diharapkan dapat
menghimpun sinergi dari berbagai pihak, khususnya pihak yang
menguasai pasar dan pihak yang menguasai tehnologi produksi. Uang itu
sifatnya universil, bisa dicari dari mana saja dan dari siapa saja. Kalau
2
patungan didasarkan semata-mata atas dasar kemampuan finansial, maka
seringkali tidak kokoh, karena pihak yang tidak mempunyai kemampuan
finansial bisa memperolehnya dari lembaga keuangan lain. Teknologi
produksi sering juga bisa dibeli dan relatif kurang berharga, dibanding
dengan penguasaan pasar, kecuali kalau teknologi itu begitu istimewa
dan tidak dapat dibeli.
Karena itulah pihak yang menguasai pasar memang
mempunyai ”bargaining power” dalam negosiasi dengan pihak lain,
khususnya produsen dari negara lain, yang perlu melakukan penetrasi ke
pasar tertentu. Dalam hal joint venture atau patungan, bargaining power ini
merupakan faktor penting, kalau tidak boleh dikatakan faktor penentu.
Bargaining power akan membuat satu pihak menjadi menonjol dan
harus diikuti oleh pihak-pihak lain. Dengan demikian pihak yang
dominan ini dapat menentukan apa yang diinginkannya, khususnya porsi
pemegang saham mayoritas. Ini merupakan suatu hal yang penting,
bukan hanya pada awalnya, melainkan juga di kemudian hari pada waktu
mengambil keputusan-keputusan operasional, bahkan nanti lebih penting
lagi pada waktu terjadi perselisihan antara para pemegang saham.
Penentuan keputusan sanat tergantung pada komposisi saham. Karena itu
pihak yang membeli satu perusahaan, selalu menginginkan porsi minimal
51%, agar ia dapat mengambil semua keputusan. Tidak perlu ia
menguasai lebih dari 51%, karena dengan porsi sebesar itu saja, pada
umumnya cukup untuk mengambil keputusan dalam rapat umum
3
pemegang saham, kecuali kalau anggaran dasar perusahaan menyatakan
lain. Itulah sebabnya kalau ingin menguasai perusahaan dalam suatu joint
venture atau patungan, sebenarnya 51% cukup, tetapi kalau karena satu
dan lain hal, terpaksa menjadi pemegang saham minoritas, tidak ada
gunanya memiliki saham 49%, karena jumlahnya sudah mendekati
separuh, tetapi praktis tidak bisa mengambil keputusan apa-apa. Ada
kecualinya, yaitu kalau anggaran dasar menyatakan, bahwa semua
kputusan baru dapat diambil setelah mendapat persetujuan dari 2/3 atau
¾ pemegang saham. Maka praktis keputusan harus diambil dengan suara
bulat. Segala hal ihwal tentang joint venture tidak hanya tertuang dalam
anggaran dasar perusahaan, tetapi seringkali dibuat lebih khusus dalam
perjanjian joint venture, yang dibuat mendahului pendirian perusahaan
patungan.
Tidak hanya susunan pemegang saham menjadi penting, tetapi
susunan direksi dan komisaris. Karena itu dalam suatu perusahaan
patungan, posisi Direktur Utama dan Komisaria Utama biasanya
diperebutkan dan harus ada kesepakatan siapa atau yang mewakili siapa
akan duduk dalam posisi-posisi penting itu.
Meskipun susunan sudah disepakati, cara pengambilan keputusan
juga harus ditentukan, misalnya kalau ada tiga direktur dan keputusan
cukup diambil dengan suara terbanyak, maka dua direktur praktis dapat
mengambil semua keputusan, padahal dua direktur kebetulan mewakili
satu pemegang saham. Dengan demikian pemegang saham lain yang
4
hanya diwakili oleh satu direktur tidak pernah bisa mengambil keputusan
penting dalam rapat direksi. Meskipun pada dasarnya direksi adalah
pengelola perusahaan yang mestinya independen, mau tidak mau tidak
bisa dihindarkan faktor siapa yang mengusulkan dan mengangkat
direktur tertentu. Juga sama halnya dengan para anggota dewan
komisaris, yang lazimnya terkotak-kotak mewakili pemegang saham.
Memang perusahaan publik disyaratkan punya komisaris
independen dengan segala kriteria yang baik, tetapi seberapa jauh
seseorang bisa menjadi independen, seberapa jauh ia dapat mencegah
terjadinya blow up atau transfer pricing, sepanjang keputusan-keputusan itu
telah dirancang oleh pemegang saham dan secara formal telah dilakukan
dengan ‘baik’. Joint Venture memang selalu diwarnai kepentingan-
kepentingan.
Mestinya publik yang juga menjadi pemegang saham dalam
perusahaan publik, juga harus terwakili kepentingannya, tidak hanya
sekali setahun pada waktu menghadiri RUPS.
Dalam praktek memang raksasa-raksasa yang menjadi pemegang
saham utama adalah pihak-pihak yang menentukan praktis segalanya,
semua kebijakan penting yang menyangkut apa saja. Tidak jarang
perusahaan induk yang berada di luar negeri, masih minta laporan harian
(bukan bulanan) dari pimpinan perusahaan yang mewakilinya disini.
Memang tidak jarang semua keputusan disini dibuat oleh orang-
orang yang tidak berada disini dan belum tentu tahu benar keadaan disini,
5
tetapi karena mayoritas dari joint venture memang pihak asing, keadaan
seperti itu harus diterima oleh minoritas. Dalam hal demikian sebenarnya
lebih baik kalau perusahaan itu tidak menjadi joint venture, tetapi benar-
benar 100% asing.
Tidak jarang keharusan pemegang saham Indonesia yang sekian
persen itu hanya sekedar prosedur, karena uangnyapun dipinjami oleh
pihak asing. Maka yang demikian itu sebenarnya bukan joint venture dan
tidak mungkin ada problem di kemudian hari, karena de facto pihak asing
adalah pemegang saham tunggal. Bilamana susunan pemegang saham
sudah mayoritas di satu tangan, problem praktis tak ada atau hampir tak
ada. Yang susah adalah joint venture dengan susunan 50%-50%, maka
keputusan tak dapat diambil, apalagi kalau tidak ada yang mau mengalah.
Karena itu jangan pernah membuat joint venture dengan susunan sama
seperti itu. Juga kesukaran banyak terjadi kalau pemegang saham terlalu
banyak dan tidak ada yang benar-benar mayoritas, misalnya lima orang
membuat joint venture dengan komposisi saham masing-masing 20%.
Dalam perjalanan di kemudian hari, pasti ada yang mengoperkan porsi
sahamnya ke pihak lain, karena ketidak puasan.
Joint Venture atau patungan itu bukanlah sesuatu yang sederhana,
meskipun pada awalnya semua nampak indah dan dimulai dengan pesta
pembukaan yang mewah. Masing-masing harus mengenal pasangannya,
bukan hanya dari segi kemampuan pemasaran, produksi atau
keuangannya, tetapi lebih penting lagi dati segi karakter, sama saja
6
dengan orang yang mau kawin. Ini penting untuk mencegah terjadinya
perselisihan yang tidak perlu di kemudian hari.
Perjanjian Kerjasama pada prinsipnya dibedakan kedalam 3 pola,
yaitu:
1. Joint Venture (Usaha Bersama);
Joint Venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum,
dapat dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana para
pihak masing-masing menyerahkan modal untuk membentuk
badan usaha yang mengelola usaha bersama. Contohnya, para
pihak bersepakat untuk mendirikan pabrik garment. Untuk
mendirikan usaha tersebut masing-masing pihak menyerahkan
sejumlah modal yang telah disepakati bersama, lalu mendirikan
suatu pabrik.
2. Joint Operational (Kerjasama Operasional); dan
Joint Operational adalah bentuk kerjasama khusus, dimana
bidang usaha yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang :
- merupakan hak/ kewenangan salah satu pihak
- bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah
beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana
untuk melanjutkan/ mengembangkan usaha yang semula
merupakan hak/ wewenang pihak lain, dengan membentuk
badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan usaha.
7
Contoh: Kerjasama Operasional (KSO) antara PT. Telkom dengan
PT. X untuk pengembangan jaringan pemasangan telepon baru.
Untuk pelaksanaannya dibentuk PT. ABC yang sahamnya dimiliki
PT. Telkom dan PT. X.
3. Single Operational (Operasional Sepihak)
Single Operational merupakan bentuk kerjasama khusus
dimana bidang usahanya berupa “bangunan komersial”. Salah satu
pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah,
sedangkan pihak lain – investor, diijinkan untuk membangun suatu
bangunan komersial diatas tanah milik yang dikuasai pihak lain,
dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial
tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee
tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu
operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta
bangunan komersial diatasnya kepada pihak pemilik/ yang
menguasai tanah. Bentuk kerjasama ini lasimnya disebut : BOT
(Build, Operate and Transfer), dan variannya adalah : BOOT (Build,
Own, Operate and Transfer), BLT (Build, Lease and Transfer) dan BOO
(Build, Own and Operate).
Kontrak Build Operate Transfer (BOT) adalah suatu kerjasama
antara pemerintah dan swasta dalam membangun infrastruktur
publik yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
infrastruktur tanpa pengeluaran dana dari pemerintah. Penerapan
8
kontrak ini, pihak swasta membiayai, mendisain, membangun,
mengoperasikan dan memelihara fasilitas infrastruktur dalam
periode konsesi tertentu dan diakhiri dengan penyerahan fasilitas
kepada pemerintah tanpa kompensasi apapun. Pihak swasta
mendapatkan revenue dari pengoperasian fasilitas infrastruktur
tersebut selama periode konsesi berlangsung.
Dasar Hukum
Pasal 62 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG
BANGUNAN GEDUNG mengatur sebagai berikut :
(1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan
perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasannya.
(2) Pembangunan bangunan gedung wajib dilaksanakan secara tertib
administratif dan teknis untuk menjamin keandalan bangunan
gedung tanpa menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengikuti kaidah pembangunan yang berlaku, terukur,
fungsional, prosedural, dengan mempertimbangkan adanya
keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap
perkembangan arsitektur, ilmu pengetahuan dan teknologi.
9
Adapun yang dimaksud dengan kaidah pembangunan yang
berlaku dalam Pasal 62 ayat (3) PP diatas menunjuk bahwasanya dalam
pembangunan bangunan gedung berlaku sistem pembangunan gedung
dengan sistem seperti disain dan bangun (design build), bangun guna
serah (build, operate, and transfer/BOT), dan bangun milik guna (build, own,
operate/BOO).
Apa yang dimaksud dengan sistem bangun guna serah (build,
operate, and transfer/BOT)? sistem bangun guna serah atau yang lazimnya
disebut BOT Agreement adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana
pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya untuk di
atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua (investor),
dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola
bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee
(atau tanpa fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib
mengembalikan tanah beserta bangunan komersial di atasnya dalam
keadaan dapat dan siap dioperasionalkan kepada pemilik tanah setelah
jangka waktu operasional tersebut berakhir. Dalam praktik hukum
konstruksi dikenal beberapa model BOT Agreement seperti BOOT (Build,
Own, Operate and Transfer) dan atau BLT (Build, Lease and Transfer).
Berdasarkan pengertiannya sebagaimana dimaksud di atas maka
unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and
transfer/BOT) atau BOT Agreement, adalah :
a. Investor (penyandang dana)
10
b. Tanah
c. Bangunan komersial
d. Jangka waktu operasional
e. Penyerahan (transfer)
Berdasarkan unsur yang terkandung dalam perjanjian sistem
bangun guna serah (build, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement
maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik (yang
menguasai tanah) dengan Investor (penyandang dana).
Obyek dalam perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate,
and transfer/BOT) atau BOT Agreement kurang lebih :
1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau
tanpa teknologi tertentu) yang merupakan komponen utama dalam
usaha tersebut disebut sebagai bangunan komersial.
2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka
waktu relatif lama, untuk tujuan :
- Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol,
pembangkit listrik, sistem telekomunikasi, pelabuhan peti
kemas dan sebagainya.
- Pemangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel,
apartemen dan sebagainya.
- Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan
pabrik untuk menghasilkan produk tertentu.
11
Perjanjian sistem bangun guna serah (build, operate, and
transfer/BOT) atau BOT Agreement terjadi dalam hal, jika :
1. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin
membangun suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi
tidak mempunyai biaya, dan ada investor yang bersedia
membiayai pembangunan tersebut.
2. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial
tetapi tidak mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya
bangunan komersial tersebut, dan ada pemilik tanah yang bersedia
menyerahkan tanahnya unt tempat berdirinya bangunan komersial
tersebut.
3. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik
pihak lain, dan setelah pembangunan selesai investor berhak
mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu. Selama
jangka waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee
tertentu.
4. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib
mengembalikan tanah kepada pemiliknya beserta bangunan
komersial di atasnya.