Analisis Juridis Terhadap Fungsi Dan Peran Program Jamsostek Dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja...
-
Upload
agung-yuriandi -
Category
Documents
-
view
4.224 -
download
4
description
Transcript of Analisis Juridis Terhadap Fungsi Dan Peran Program Jamsostek Dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja...
ANALISIS JURIDIS TERHADAP FUNGSI DAN PERAN PROGRAM JAMSOSTEK DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA
DI KOTA MEDAN
Oleh : Agung Yuriandi
Medan 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang merata, material dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen)
dalam rangka wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.1 Dapat dilihat dengan
adanya pembangunan yang sangat pesat sekali pada akhir-akhir ini, contohnya
dengan adanya pembangunan Jembatan Nasional Suramadu, 2 pembangunan
Pembangkit Listrik Swasta, 3 pembangunan Bandara Kuala Namu di Medan, dan
sebagainya.
1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dalam bagian
Menimbang huruf a. 2 “Pembangunan Jembatan Suramadu”, http://www.suramadu.com/, diakses pada 04 Februari
2010. 3 “PLN Buka Tender Listrik Swasta Maret 2010”, Kamis, 04 Februari 2010, http://
www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/29404/PLN-Buka-Tender-Listrik-Swasta-Maret-2010, diakses pada 04 Februari 2010.
2
Seluruh pekerjaan pembangunan tersebut dilakukan oleh begitu banyak tenaga
kerja, apalagi pada pembangunan Jembatan Nasional Suramadu yang menyerap 20%
dari total penduduk Madura untuk bekerja dalam pembangunan jembatan tersebut.4
Tenaga kerja adalah ujung tombak perusahaan, dapat dikatakan sebagai pendukung
dalam menjalankan roda perusahaan. Ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor
yang dapat menunjang keberhasilan pembangunan. Tenaga kerja merupakan salah
satu subjek pembangunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses
produksi barang dan jasa, disamping itu juga merupakan pihak yang ikut menikmati
hasil pembangunan. Dalam hal ini, ada hak dan kewajiban dalam hubungan antara
tenaga kerja dengan perusahaan. Perusahaan membutuhkan tenaga para pekerja,
sedangkan para pekerja membutuhkan penghasilan untuk kebutuhan hidup sesuai
dengan Upah Minimum Regional (UMR).5 Saling ketergantungan inilah yang harus
dibina sebaik-baiknya agar tidak ada terjadi kesenjangan antara pengusaha dengan
para pekerja.6
Pengusaha sebagai pemimpin perusahaan berkepentingan atas kelangsungan
dan keberhasilan perusahaan dengan cara meraih keuntungan setinggi-tingginya
sesuai modal yang telah ditanamkan dan menekan biaya produksi serendah-
rendahnya (termasuk upah pekerja/buruh) agar barang dan/atau jasa yang dihasilkan
dapat bersaing di pasaran. Bagi pekerja/buruh, perusahaan adalah sumber penghasilan
4 Rahardi Soekarno J., “20 Persen Penduduk Madura Terserap Jadi Tenaga Kerja”, Selasa, 02 Juni 2009, http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2009-06-02/36079/20 Persen Penduduk_Madura_Terserap_Jadi_Tenaga_Kerja__, diakses pada 04 Februari 2010.
5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 90 ayat (1) menyebutkan bahwa “pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”.
6 Bandingkan dengan Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 114-115.
3
dan sumber penghidupan sehingga akan selalu berusaha agar perusahaan memberikan
kesejahteraan yang lebih baik dari yang telah diperoleh sebelumnya. Kedua
kepentingan yang berbeda ini akan selalu mewarnai hubungan antara pengusaha dan
pekerja/buruh dalam proses produksi barang dan/atau jasa.7
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen)
dinyatakan bahwa : ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Kemudian pada Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
(Amandemen) dipertegas lagi bahwa : ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Hal di atas berarti bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan
pekerjaan dengan tingkat kemampuannya untuk memperoleh imbalan. Kebijaksanaan
upah disamping memperhatikan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan daya beli
golongan upah rendah. Perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
maksudnya adalah bahwa setiap pekerja berhak untuk mendapatkan jaminan sosial
terhadap jiwanya.
Pengertian pekerja atau dapat dikatakan buruh pada saat ini di mata
masyarakat awam sama saja dengan tenaga kerja.8 Padahal dalam konteks sifat dasar
pengertian dan terminologi di atas sangat jauh berbeda. Secara teori, dalam konteks
7 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan, Suatu Pengantar, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2004),
hal. 101, dikutip Jaminuddin Marbun, Analisis Terhadap Perjanjian Kerja Bersama dalam Hubungan Industrial di Provinsi Sumatera Utara, (Medan : Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 43.
8 Bandingkan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 1 angka (2) menyebutkan bahwa ”pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
4
kepentingan, di dalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu: pemilik
modal (owner) disebut dengan kapitalis; dan kelompok buruh adalah orang-orang
yang diperintah dan dipekerjakan berfungsi sebagai salah satu komponen dalam
proses produksi. Dalam teori Karl Marx tentang nilai lebih, disebutkan bahwa
kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebut sebagai majikan dan
kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih itu disebut buruh. Dari
segi kepemilikan kapital dan aset-aset produksi, dapat ditarik benang merah, bahwa
buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilikan aset, sedangkan majikan adalah
yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan demikian seorang manajer atau direktur
perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun mereka mempunyai gelar
keprofesionalan.9
Perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja/buruh harus dicarikan
harmonisasi antara pekerja/buruh maupun pengusaha yang mempunyai tujuan sama
yaitu menghasilkan barang dan/atau jasa sehingga perusahaan dapat terus berjalan.
Apabila karena satu dan lain hal perusahaan terpaksa ditutup maka yang mengalami
kerugian bukan saja pengusaha karena telah kehilangan modal, tetapi juga
pekerja/buruh karena kehilangan pekerjaan sebagai sumber penghidupan.10
Didorong dengan adanya tujuan yang sama ini maka timbul hubungan yang
saling bergantung antara pengusaha dengan pekerja/buruh dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang dikenal dengan istilah hubungan industrial. Dalam
melaksanakan hubungan industrial pengusaha dan organisasi pengusaha mempunyai
9 Loc.cit. 10 Jaminuddin Marbun, Op.cit., hal. 44.
5
fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas tenaga kerja, dan
memberikan kesejahteraan kepada pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan
berkeadilan. Pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan
keahliannya serta memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan
anggota beserta keluarganya. Fungsi pemerintah dalam hubungan industrial adalah
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Peranan pemerintah dalam hal ini penting sekali mengingat
perusahaan bagi pemerintah betapapun kecilnya merupakan bagian dari kekuatan
ekonomi yang menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan sebagai salah satu sumber serta sarana dalam menjalankan program
pembagian pendapatan nasional.11
Ada etika bisnis dalam konteks Indonesia yang tidak boleh mengabaikan
masalah-masalah buruh dalam industri yang banyak dirasakan sekarang ini. Negara-
negara barat sudah menjadi welfare state yang hak kaum buruh sudah cukup
terpenuhi dan terjamin kesejahteraannya. Salah satu faktor yang menyebabkan teori
komunisme Karl Marx ditinggalkan adalah karena kesejahteraan kaum buruh pada
11 Ibid, hal. 45.
6
konteks ini sudah tertinggal jauh oleh konsep Kapitalis. Berikut analisa Brian Burkitt
tentang pandangan Marx terhadap upah.12
“…Marx stresses the dual character of labor; the worker sells his or her own labor power, but the capitalist buys the worker’s labor time, which is an undefined, productive potential, determined by the hours worked, the machinery employed and the intensity of the labor process. In Marx’s analysis, the crucial distinction remains that the wage is the price of labor power, exchanged by buyers and sellers in the labor market, but not the price of labor itself…”.
Penjelasan seperti itu menjadi penegas bahwasanya dalam ekonomi
kapitalistik terdapat dualisme pandangan terhadap buruh yang saling bertolak
belakang. Pada satu sisi, buruh menjadi komponen penting dalam proses produksi
karena memiliki peran merubah bahan mentah dan alat produksi lainnya agar
memiliki nilai. Walaupun bahan mentah dan alat produksi sudah memiliki nilai
tersendiri namun buruh melengkapi melalui kerja yang dilakukan dalam proses
produksi. Nilai yang diberikan oleh kerja buruh sangat penting sehingga perannya
tidak dapat ditiadakan. Pada sisi lain, ternyata peran buruh dalam proses produksi
tersebut tidak dihargai dengan semestinya. Apa yang dimaksud oleh kerja yang
dilakukan oleh buruh dalam proses produksi dalam sistem ekonomi kapitalistik
bukanlah biaya produksi kerja yang dilakukan buruh dalam satu jam, satu hari,
ataupun satu bulan, namun diterjemahkan sebagai biaya produksi kehidupan buruh.13
12 Brian Burkitt, Marx’s Wage Theory in Historical Perspective: It’s Origin, Development
Interpretation, (Book Reviews, 1999), dikutip Tua Hasiholan Hutabarat, “Realitas Upah Buruh Industri”, (Makalah : Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera, 2006).
13 Tua Hasiholan Hutabarat, Realitas Upah Buruh Industri, (Makalah : Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera, 2006), hal. 45.
7
Pada sistem pengupahan kapitalistik upah dianggap sebagai imbalan yang
diterima pekerja atas jasa yang diberikan dalam proses memproduksi barang atau jasa
di perusahaan. Upah dalam perspektif ekonomi kapitalistik masih menetapkan standar
kebutuhan dasar buruh, antara lain untuk pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan
lainnya. Pada prinsipnya, upah hanya sekedar dijadikan alat untuk mempertahankan
buruh agar dapat bekerja. Agar buruh dapat bekerja, ia harus memenuhi kebutuhan
gizi dan kesehatannya. Pekerja yang kurang protein akan menderita lesu dan tidak
produktif, sehingga kesejahteraan dan kualitas hidup buruh dan keluarganya harus
tetap dipelihara.14
Buruh yang bekerja di perusahaan dalam proses meningkatkan nilai barang
akan menerima upah sesuai dengan biaya produksi seorang buruh agar dapat tetap
bekerja. Artinya, upah yang diterima hanya merupakan bentuk biaya pengganti
pengeluaran hidup buruh secara minimal. Prinsip sistem pengupahan seperti itulah
yang kemudian banyak diterapkan di beberapa dunia ketiga, seperti Indonesia.15
Tidak terbendungnya penyebaran paham ekonomi kapitalistik merupakan
faktor utama pendorong diterapkannya sistem pengupahan seperti yang berlangsung
saat ini di Indonesia. Percepatan pertumbuhan dan pemulihan eknomi seperti yang
saat ini dilakukan pemerintah mensyaratkan sebuah kondisi yang sangat kondusif
sehingga dapat mengacu produksi dan konsumsi masyarakat. Salah satu strategi
menumbuhkan perekonomian adalah dengan meningkatkan jumlah investasi. Konsep
14 Payaman J. Simanjuntak, Reformasi Sistem Pengupahan Nasional, (Jakarta : Informasi
Hukum, 2004), dikutip Tua Hasiholan Hutabarat, Ibid., hal. 46. 15 Loc.cit., hal. 46.
8
ini merupakan kata kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi dikarenakan adanya
keterbatasan modal pemerintah dalam merangsang pemulihan ekonomi negara.16
Bagi Indonesia penting sekali menghindari kesalahan kapitalisme klasik pada
awal industrialisasi yang menghisap tenaga kerja kaum buruh. Karena itu, masalah-
masalah buruh seperti upah yang adil, keselamatan di tempat kerja, kesejahteraan
kesehatan, dan sebagainya masih perlu menjadi tema-tema pokok dalam etika yang
memfokuskan problem-problem yang nyata dalam dunia bisnis dan industri.
Berbicara mengenai upah terhadap buruh tidak terlepas dari hubungan industri.
Di Indonesia konsep hubungan industrial yang dianut adalah Hubungan Industrial
Pancasila (selanjutnya disebut HIP) yang lahir dari hasil Lokakarya Nasional yang
diselenggarakan dari tanggal 4 sampai 7 Desember 1974 dan diikuti oleh wakil dari
organisasi buruh/pekerja, organisasi pengusaha, wakil pemerintah, dan unsur
perguruan tinggi. HIP adalah hubungan antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan jasa (buruh/pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai
yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila Pancasila dan UUD 1945, dan
tumbuh serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional
Indonesia.17 Dengan demikian landasan ideal dari HIP adalah Pancasila, landasan
konstitusionalnya adalah UUD 1945, dan landasan operasionalnya adalah GBHN.
Kebijakan hubungan industrial diarahkan tidak saja untuk dapat menciptakan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat yang
memberikan ketenangan bekerja bagi pekerja/buruh, ketentraman berusaha bagi
16 Ibid. 17 Jaminuddin Marbun, Op.cit., hal. 62.
9
pengusaha, menjamin kelangsungan usaha, namun juga memperluas dan
mengembangkan usaha serta dapat menarik investasi dari dalam dan luar negeri.18
Bahwa keberhasilan pelaksanaan hubungan industrial terletak pada
berjalannya sistem, berfungsinya kelembagaan dan optimalisasi peran serta sarana-
sarana hubungan industrial serta partisipasi dan tanggung jawab pekerja, pengusaha,
pemerintah dan pihak terkait. Dengan demikian maka hubungan industrial menjadi
kegiatan yang strategis dan signifikan dalam pembangunan nasional yang diharapkan
dapat memperluas kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran.19
Untuk menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, pemerintah
melakukan berbagai upaya dalam bentuk membuat suatu kebijakan diantaranya
dengan meningkatkan kapasitas atau memberdayakan sarana-sarana hubungan
industrial. Secara tegas dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.20
Hubungan kerja antara majikan dengan pekerja, terjadi setelah adanya
perjanjian kerja. Sebelumnya sebelum keluarnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan peraturan yang berlaku adalah Pasal 1601 a Bab 7A KUH
Perdata menyebutkan bahwa :
“Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu buruh (pekerja) mengikatkan diri untuk dibawahi pimpinan pihak lain (majikan), untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
18 Ibid., hal. 64. 19 Ibid. 20 Ibid., hal. 67.
10
Jika pekerja tidak memiliki gelar keprofesionalan tersebut, sering sekali di
dalam perusahaan tersisihkan dan tidak terpikirkan oleh majikan. Mengenai jaminan
sosial buruh tidak selalu ada jaminan dari perusahaan. Problem buruh seperti yang
selalu dihadapi oleh pengusaha, antara lain : mengenai upah yang rendah.21
Mengenai Upah Minimum Regional (selanjutnya disebut UMR) 22 di Kota
Medan mengacu pada Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 561/5492/K/2009
tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun 2010, yang menyebutkan
bahwa UMR Kota Medan pada tahun 2010 sebesar Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus
ribu rupiah). UMR tersebut hanya berlaku selama 1 (satu) tahun masa kerja dan
merupakan upah terendah, sedangkan untuk yang bekerja lebih dari 1 (satu) tahun
harus dinegosiasikan secara bipartit antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh
dengan pengusaha di Perusahaan bersangkutan secara musyawarah dan dimuat dalam
materi Kesepakatan Kerja atau yang sering disebut dengan kontrak kerja. Apabila
perusahaan sudah mengeluarkan UMR kepada pekerja/buruh lebih tinggi maka
dilarang untuk mengurangi dan menurunkan gaji pekerja/buruh.23
Kondisi buruh di kota-kota besar di Indonesia hampir sama dengan kondisi
buruh yang ada di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan sama-sama mengalami
tekanan dalam berbagai bentuk, salah satunya tekanan dalam sisi pengupahan. Hal itu
21 Edy Purwo Saputro, “Mengurai Benang Kusut Problem Buruh”, http://www.infoanda.com/
linksfollow.php?lh=VlJZUFJVVlcD, diakses pada 19 Mei 2010. 22 Upah Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para
pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Pemerintah mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum., lihat “Upah Minimum Regional”, http://id.wikipedia.org/wiki/Upah_minimum_regional, diakses pada 19 Mei 2010.
23 Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 561/5492/K/2009 tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun 2010.
11
diakibatkan oleh standar umum kebijakan pengupahan dari pemerintah yang tidak
pernah mempertimbangkan kebutuhan dan produktivitas buruh yang sesungguhnya.
Walaupun dalam beberapa tahun terakhir regulasi kebijakan perburuhan telah
memasukkan karakteristik lokal (Kabupaten/Kota) dalam proses perumusan dan
penetapan upah, namun realitas upah yang berjalan sangat jauh dari kelayakan yang
diharapkan oleh buruh.24
Salah satu aspek yang menyebabkan rendahnya upah dan tidak sejahteranya
buruh adalah adanya beberapa kebijakan pengupahan yang sangat tidak adil dan tidak
berpihak terhadap buruh. Sejak proses kebijakan pengupahan dirubah dari yang
ditentukan oleh Presiden berdasarkan masukan dari Kepala Daerah (Gubernur dan
Bupati) menjadi diputuskan oleh pemerintah setingkat kepala daerah kebijakan
pengupahan tetap tidak membawa perbaikan pada kondisi upah buruh.25
Ada banyak reduksi yang berlangsung ketika kebijakan pengupahan
diserahkan pada Gubernur dan Bupati. Walaupun sebenarnya pengalihan wewenang
tersebut adalah bertujuan untuk mengakomodir berbagai karakteristik daerah (yang
merupakan salah satu bentuk dari penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah), namun pelaksanaannya di lapangan ternyata tetap tidak
membawa perubahan yang cukup berarti bagi buruh. Perubahan kebijakan tersebut
masih sekedar menggeser kewenangan birokrasi dari pemerintah pusat ke daerah
(propinsi dan kabupaten/kota) tanpa merubah substansi dari kebijakan tersebut.
Konsep-konsep inti kebijakan pengupahan yang dirasakan tidak adil ternyata tidak
24 Tua Hasiholan Hutabarat, Op.cit. 25 Ibid., hal. 57.
12
mengalami perubahan sama sekali, sehingga membuat pergeseran kewenangan
pengupahan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tersebut sama sekali menjadi
tidak bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan buruh, malah menciptakan
potensi-potensi penyelewengan dan pembodohan yang lebih besar terhadap buruh.26
Pada banyak sisi, sistem pengupahan yang diberlakukan saat ini belum sesuai
dengan harapan buruh, demikian juga secara institusional, konsep dasar, mekanisme,
maupun pada level aplikasi, sistem pengupahan masih jauh dari dimensi keadilan,
demokrasi, dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan
dari penelitian yang lebih mendalam tentang sistem pengupahan, khususnya bagi
buruh sektor perindustrian di perkotaan.27
Realitas ketidakadilan sistem pengupahan dan tidak berpihaknya kebijakan
perburuhan tersebut dapat dilihat dengan cara mendeskripsikan pengetahuan,
pemahaman, atau persepsi buruh tentang berbagai aspek dalam sistem dan kebijakan
pengupahan, institusi yang memiliki otoritas dalam perumusan dan penetapan upah,
baik itu tentang proses, peran dari institusi atau stakeholder, maupun harapan dan
keinginan buruh terkait dengan proses perumusan dan penetapan upah. Apa yang
ingin diungkapkan nantinya akan menggambarkan bagaimana sebenarnya realitas
(pemahaman, pengetahuan, dan persepsi buruh) tentang kebijakan maupun proses
perumusan dan penetapan upah. Selama ini pemahaman buruh memang kurang
diperhatikan sebagai pertimabngan lembaga pengupahan. Padahal, kebijakan
26 Ibid., hal. 57-58. 27 Ibid., hal. 58.
13
pengupahan yang menindas ini sudah lama berlangsung, sehingga pastinya akan
membentuk pemahaman dan pengetahuan secara subjektif.28
Selama ini, upaya pengkritisan sistem pengupahan cenderung dilakukan
secara sepihak, antara lain perspektif pemerintah, kalangan elemen masyarakat pro
demokrasi, tanpa melihat penilaian atas persepsi buruh sendiri. Bagaimanapun juga,
sikap buruh terhadap sistem pengupahan terbentuk berdasarkan realitas kehidupan
sehari-hari mereka. Buruh yang mengalami secara langsung minimnya upah,
sehingga pantaslah jika pandangan kritis buruh tersebut yang harus diangkat ke
permukaan jika berkeinginan merubah sistem pengupahan yang berlaku saat ini.29
Dengan upah yang begitu minim sehingga tidak menjamin tenaga kerja untuk
mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak maka disinilah ada peran pihak
ketiga yang menanggung segala biaya yang ditimbulkan jika tenaga kerja mengalami
hal demikian. Pihak ketiga yang dimaksud adalah Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(selanjutnya disebut JAMSOSTEK). JAMSOSTEK mengakomodasi kepentingan
pengusaha dan kebutuhan tenaga kerja.
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum
meliputi penyelengaraan Program-Program JAMSOSTEK, Taspen, Askes, dan
Asabri. Penyelengaraan Program JAMSOSTEK didasarkan pada Undang-Undang No.
3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
1981, program Askes didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1991,
program Asabri didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1991,
28 Ibid. 29 Ibid., hal. 58-59.
14
sedangkan program Pensiun didasarkan pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1966.
Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat
dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS), dan
anggota TNI/Polri.30
Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
perlindungan tenaga kerja, undang-undang mengatur penyelenggaraan JAMSOSTEK
sebagai perwujudan pertanggungan sosial. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK. Pada hakikatnya program
jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus
penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti atau seluruh penghasilan yang
hilang.31
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja
dan keluarganya. Program JAMSOSTEK berupa produk jasa, dimaksudkan untuk
melindungi resiko sosial tenaga kerja yang dihadapi oleh tenaga kerja. Program
tersebut terdiri dari: Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Program Jaminan
Hari Tua (JHT); Program Jaminan Kematian (JKM); Program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK).32
30 Yohandarwati, et.al., “Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu”, Direktorat Ke-
pendudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan, BAPPENAS, http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/343/, 2003, diakses pada 24 Maret 2010.
31 Sutardji, Analisis Kepuasan Peserta Jamsostek pada Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) Semarang, (Surakarta : Tesis, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta), hal. 2.
32 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
15
JAMSOSTEK mempunyai dua aspek, yaitu: (a) memberikan perlindungan
dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta
keluarganya; dan (b) merupakan penghargaan tenaga kerja yang telah
menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.33
Program JAMSOSTEK sebagaimana didasarkan pada Undang-Undang No. 3
Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang
mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. JAMSOSTEK dapat dikatakan
suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.34
Cakupan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan,
biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang
bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia
bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas Jaminan
Kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja
telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka
berhak untuk memperolah Jaminan Hari Tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau
secara berkala. Sedangkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja
33 Sutardji., Loc.cit., hal. 2. 34 Pasal 1 angka (1)., Loc.cit.
16
termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.35
Pada dasarnya Program JAMSOSTEK merupakan sistem asuransi sosial,
karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded
system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut
secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial
biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini
pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem
asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi
badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara
Program JAMSOSTEK dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah
akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.36
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, dan diatur lagi dalam PP No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa
penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT. Jamsostek. Setiap
perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat
membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp. 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk
35 Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 20, Tambahan Lembaran Negara No. 3520.
36 Yohandarwati, et.al., Op. cit., hal. 27.
17
mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini.37 Namun demikian, belum semua
perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek.
PT. Jamsostek (Persero) yang ditunjuk sebagai satu-satunya badan
penyelenggara sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang
Penetapan Badan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, bertekad
untuk selalu menjadi badan penyelenggara yang siap, handal, dan terpercaya di
Indonesia. Berkaitan dengan fungsi pemasaran ini, PT. Jamsostek (Persero) Kantor
Wilayah I melakukan strategi pemasaran yang berorientasi pada pelanggan. Hal ini
dilakukan dengan sosialisasi ke berbagai elemen masyarakat. Sasaran ke setiap
elemen masyarakat ini mempunyai dasar pemikiran bahwa membahagiakan atau
memuaskan pelanggan atau peserta sangat menentukan keberhasilan.
Secara khusus di Kota Medan, pelaksanaan Program JAMSOSTEK belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Kantor Cabang Medan dan Kantor Cabang Belawan periode Maret 2010, jumlah
Perusahaan yang tidak mengikuti Program JAMSOSTEK mencapai 1.277
perusahaan.38 Padahal Undang-Undang No 3 tahun 1992 bersifat wajib bagi seluruh
usaha berbadan hukum.
Dari uraian tersebut di atas, dapat terlihat bahwa kurangnya kesadaran
pengusaha dalam melaksanakan Program JAMSOSTEK. Apalagi dibarengi dengan
37 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Pasal 17 yang
menyatakan bahwa “Pengusaha dan Tenaga Kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja”.
38 PT. Jamsostek (Persero) Kanwil I, “Perusahaan Wajib Belum Daftar”, (Medan : Data Perusahaan Potensi, 2010).
18
lemahnya pengawasan dan penegakan hukum bagi perusahaan-perusahaan yang tidak
melaksanakan Program JAMSOSTEK.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana fungsi dan peran Program JAMSOSTEK dalam perlindungan
hukum tenaga kerja di Kota Medan?
2. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi PT. Jamsostek (Persero) dalam
perlindungan tenaga kerja di Kota Medan?
3. Bagaimana upaya PT. Jamsostek (Persero) dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja di Kota Medan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui fungsi dan peran JAMSOSTEK dalam perlindungan
hukum tenaga kerja di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi JAMSOSTEK dalam
perlindungan tenaga kerja di Kota Medan.
3. Untuk mengetahui upaya JAMSOSTEK dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja di Kota Medan.
19
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah perpustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam
memberikan perlindungan terhadap pekerja yang bekerja di perusahaan-
perusahaan di Kota Medan.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) mengenai
perlindungan terhadap pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan di
Kota Medan.
E. Kerangka Teori dan Definisi Operasional
Berbicara mengenai JAMSOSTEK tidak terlepas dari perlindungan sosial,
untuk mengkaji jaminan sosial tenaga kerja terlebih dahulu dilihat perlindungan
sosial pada negara welfare state, yaitu : perlindungan sosial diperlukan untuk
kesejahteraan; perlindungan sosial membutuhkan tindakan kolektif; perlindungan
20
sosial didasarkan pada solidaritas; dan perlindungan sosial harus sekomprehensif
mungkin.39
Dalam hal perlindungan sosial diperlukan untuk kesejahteraan, secara umum
mencakup dua prinsip, yaitu : tindakan kolektif untuk menutup berbagai
kemungkinan yang terjadi pada tenaga kerja; dan penyedia layanan untuk menangani
kebutuhan para pekerja. Keberadaan layanan untuk pekerja tersebut merupakan salah
satu layanan sosial. Perlindungan sosial diperlukan untuk kesejahteraan, baik karena
memenuhi kebutuhan hidup, dan tanpa hal tersebut para pekerja akan menjadi tidak
nyaman apabila terjadi suatu hal yang dapat menyebabkan pekerja tersebut tidak
dapat bekerja.40
Mengenai perlindungan sosial yang membutuhkan tindakan kolektif, hal ini
karena perlindungan sosial memiliki karakteristik solidaritas yaitu pengakuan
tanggung jawab bersama dan mengumpulkan resiko, dimana tanggung jawab atas
resiko seseorang diterima oleh orang lain dalam hal ini pihak ketiga. Bahkan jika,
pada prinsipnya, langkah-langkah untuk perlindungan sosial dapat dilakukan oleh
pekerja sendiri, namun dalam prakteknya sering tidak mungkin bagi pekerja untuk
melakukannya. Hal ini dikarenakan kondisi dimana pekerja membutuhkan
perlindungan termasuk kemiskinan, ketidakmampuan fisik, mental dan penurunan
kemelaratan. Perlindungan sosial yang efektif menuntut kontribusi pihak lain dalam
masyarakat.41
39 Paul Spicker, Welfare State General Theory, (London : SAGE, 2000), hal. 94-97. 40 Ibid. 41 Ibid.
21
Perlindungan sosial didasarkan pada solidaritas maksudnya adalah kewajiban
kepada orang lain, ketika seorang anggota masyarakat atau pekerja yang mengalami
kesulitan untuk mendukung biaya hidupnya dianggap diperlukan atau bergerak ke
arah ketergantungan seperti kanak-kanak atau usia tua, kewajiban untuk orang itu
akan ada. Pada awal manifestasinya perlindungan sosial dianggap sebagai bentuk
amal. Amal adalah bentuk solidaritas sosial yang khas, salah satu motivasinya adalah
agama sebagai kewajiban utamanya adalah untuk Tuhan. Meskipun motif amal telah
selamat, organisasi perlindungan sosial telah bergeser menuju landasan dalam
prinsip-prinsip saling membantu. Prinsip pokok perlindungan sosial adalah penyatuan
resiko. Dalam asuransi saling membantu, orang membayar premi untuk melindungi
diri mereka terhadap keadaan yang kontinjensi. Inilah tempat perlindungan sosial
yang lebih langsung atas dasar kewajiban timbal balik. Bentuk perlindungan sosial
sering dilengkapi dengan pengaturan komersil, yang telah digandakan pola saling
membantu formal.42
Perlindungan sosial harus sekomprehensif mungkin, maksudnya adalah sifat
perlindungan sosial itu dibutuhkan untuk menanggulangi resiko dalam hal
kemungkinan yang menimbulkan kebutuhan. Sangat mungkin untuk pengaturan
formal perlindungan sosial menutupi minoritas istimewa. Menurut Ferrera, ciri sistem
perlindungan sosial di Eropa Selatan sebagai polarisasi dengan pasti dualisme tajam
membedakan orang-orang yang hanya segelintir orang terbaik untuk dilindungi
42 Ibid.
22
dibandingkan dengan kebanyakan para buruh yang ada. Ini disebut kurangnya
kesetaraan perlindungan terhadap orang lain.43
Jika perlindungan sosial dipandang dari sisi jasa di banyak negara yang tidak
universal. Sistem Bismarck dengan ketentuan yang berlaku di Jerman didasarkan
pada resiko yang dikumpulkan hanya untuk orang-orang di bawah pendapatan yang
telah ditentukan oleh pemerintah. Pekerja yang berpenghasilan lebih tinggi yang
seharusnya dapat membuat peraturan yang lebih tinggi juga dalam hal tarif untuk
pembayaran iuran. Alasan dasar untuk perlindungan sosial tidak harus semua orang
tercakup dalam satu sistem yang sama, tetapi bahwa setiap orang perlu dilindungi
terhadap eventualitas. Hal ini dapat dicapai dengan berbagai cara, dan ada argumen
untuk fleksibilitas. Perlu dicatat bahwa nilai dari sistem perlindungan sosial di Jerman
masih kurang lengkap, tetapi saling melengkapi strategi yang dapat diadopsi oleh
negara lain untuk mengembangkan sistem perlindungan sosial.44
Dalam upaya memberikan perlindungan sosial bagi pekerja beserta
keluarganya, banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya
adalah dengan mengeluarkan undang-undang. Seperti ketenagakerjaan diatur dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang bertujuan untuk memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, memberikan perlindungan kepada
43 Ibid. 44 Ibid.
23
tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan, dan meningkatkan kesejahteraan
tenaga kerja dan keluarganya.
Dalam hal perlindungan tenaga kerja diatur dalam Undang-Undang No. 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kedua undang-undang tersebut di
atas adalah undang-undang yang melindungi hak-hak tenaga kerja. Namun, tidak bisa
diterapkan dengan baik. Hal ini dikarenakan lemahnya pengawasan dan penegakan
hukum.
Program JAMSOSTEK merupakan kebutuhan masyarakat yang mendasar
karena menyangkut kelangsungan hidup baik bagi pekerja maupun keluarganya.
Namun demikian diakui bahwa JAMSOSTEK, saat ini memerlukan kebutuhan yang
memperoleh prioritas bagi masyarakat, namun pelaksanaannya masih kurang berjalan
seperti yang diharapkan.45
Pada hakikatnya Program JAMSOSTEK memberikan kepastian
berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian
atau keseluruhan penghasilan yang berkurang, disamping sebagai pelayanan akibat
peristiwa yang dialami oleh pekerja dengan demikian para pekerja akan merasa lebih
tenang dalam bekerja dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
Dengan ketenangan yang diberikan kepada tenaga kerja, maka pekerjaan yang
dilakukan akan sempurna dan menguntungkan pengusaha. Jika pengusaha
diuntungkan maka dengan demikian negara juga diuntungkan. Hal ini semata adalah
untuk membangun ekonomi melalui penerapan hukum yang baik.
45 Surya Perdana, Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) pada
Perusahaan Swasta di Kota Medan, (Medan : Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 3.
24
Hukum dengan demikian, memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan ekonomi, khususnya dunia usaha. Erman Rajagukguk mengatakan:
”faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum itu mampu menciptakan stability, predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang telah diambil khususnya penting bagi negara yang sebagian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.46
Dunia usaha dengan demikian sangat membutuhkan kepastian hukum.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa masyarakat sangat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk
ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang
diperbuatnya, sehingga akhirnya menimbulkan keresahan. Tetapi jika terlalu menitik
beratkan pada kepastian hukum, dan ketat menaati peraturan hukum yang ada, maka
akibatnya akan kaku serta akan menimbulkan rasa tidak adil.47
Keadilan sangat diperlukan dalam substansi hukum. Khususnya dalam hukum
ekonomi, pranata hukum harus mampu mengakomodasi secara berkeadilan berbagai
kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda strata ekonomi dan sosialnya
46 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.
47 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogjakarta : Liberty, 1988), hal. 136.
25
dalam hal ini adalah tenaga kerja dan pelaku usaha. Hukum di bidang ekonomi
dengan demikian harus berimbang dalam mengatur kepentingan pelaku usaha yang
berbeda-beda skala ekonominya, baik itu Usaha Mikro Kecil Menengah (selanjutnya
disebut UMKM), swasta besar, BUMN maupun swasta asing. Hal ini merupakan
implementasi dari pesan konstitusional yang tidak mengizinkan adanya keberpihakan
negara hanya pada satu pilar ekonomi. Peran negara sangat dibutuhkan untuk
menciptakan keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lemah melalui
hukum yang menata sedemikian rupa ketidakmerataan sosial dan ekonomi agar lebih
menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.
Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep48
yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi
operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan :
1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan
penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat
peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan
kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.49
48 Bandingkan dengan M. Solly Lubis, mengemukakan bahwa Pandangan Konseptual dalam
arti mampu berfikir dan memproduk buah pikiran yang bernilai konsepsual untuk menunjang kegiatan-kegiatan konseptualisasi baik melalui jalur formal maupun non-formal, M. Solly Lubis, Sistem Nasional, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal. V, dikutip Jaminuddin Marbun, Op.cit., hal. 33.
49 Pasal 1 angka (1), Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 14, Tambahan Lembaran Negara No. 3468.
26
2. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.50
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.51
4. Hubungan Industri adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.52
5. Jaminan Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan kerja maupun penyakit akibat
kerja merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan.53
6. Jaminan Kematian adalah tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat
kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat
berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang
ditinggalkan.54
50 Pasal 1 angka (2), Ibid. 51 Pasal 1 angka (2), Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 39, Tambahan Lembaran Negara No. 4279. 52 Pasal 1 angka (16), Ibid. 53 Angka (1) Bagian Umum Penjelasan., Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja, Op. cit. 54 Angka (2) Bagian Umum Penjelasan., Ibid.
27
7. Jaminan Hari Tua adalah hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah
karena tidak lagi mampu bekerja.55
8. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan adalah pemeliharaan kesehatan
dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di
bidang penyembuhan (kuratif).56
9. Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri ataupun bukan miliknya baik
yang berkedudukan di wilayah Indonesia maupun yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.57
10. Program JAMSOSTEK adalah Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK).
11. Fungsi JAMSOSTEK adalah untuk memberikan perlindungan kepada tenaga
kerja berupa JKK, JK, JHT, dan JPK.
12. Peran JAMSOSTEK adalah sebagai pelindung pekerja dan mitra pengusaha.
13. Perlindungan hukum adalah berupa santunan uang dan pelayanan kesehatan.
14. Hambatan JAMSOSTEK adalah hal-hal yang dapat menurunkan jumlah
kepesertaan JAMSOSTEK terhadap perusahaan maupun tenaga kerja. Hal-hal
55 Angka (3) Bagian Umum Penjelasan., Ibid. 56 Angka (4) Bagian Umum Penjelasan., Ibid. 57 Pasal 1 angka (5), Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
Op. cit.
28
tersebut dapat berupa faktor eksternal dan internal dari PT. Jamsostek
(Persero) itu sendiri.
F. Keaslian Penelitian
Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara
pribadi dan keseluruhan dengan melihat dan memahami substansi hukum dalam
tujuan diterapkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial dan
Tenaga Kerja yang didukung juga dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Sepanjang penulis ketahui dan konfirmasi, ihwal “Analisis
Juridis terhadap Fungsi dan Peran Program JAMSOSTEK dalam Perlindungan
Hukum Tenaga Kerja di Kota Medan” belum pernah diteliti. Oleh karena itu keaslian
(orisinalitas) dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, penelitian dengan objek kajian yang sama tetapi berbeda
permasalahan dan pembahasan sudah pernah dilakukan, yaitu : Tesis dengan judul
“Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) pada Perusahaan Swasta
di Kota Medan” oleh Surya Perdana tahun 2001 dan “Analisis Terhadap Tujuan
Pendirian BUMN Persero dalam Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)” oleh Ahmad Ansyori tahun 2008; Disertasi
dengan judul “Analisis Terhadap Perjanjian Kerja Bersama dalam Hubungan
Industrial di Provinsi Sumatera Utara” oleh Jaminuddin Marbun tahun 2009. Ketiga
penelitian tersebut dilakukan di Medan.
29
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif. 58 Dengan demikian objek penelitian adalah norma
hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
terkait secara langsung dengan jaminan sosial tenaga kerja.
Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan
penelitian doktrinal (Doctrinal Research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis,
baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun sebagai law as it decided
by judge through judicial process.59
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang
ditujukan untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum dalam peraturan hukum positif
(perundang-undangan) atau disebut dengan pendekatan undang-undang (statute
approach)60 terkait dengan Fungsi dan Peran Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
di Kota Medan.
58 Adapun tahap-tahap dalam analisis yuridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum
dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
59 Ronald Dworkin, dalam Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum dan Hasil Penulisan pada Majalah Akreditasi, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2003), hal. 2.
60 Alvi Syahrin, “Modul Perkuliahan Metode Penelitian Hukum : Pendekatan dalam Penelitian Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Unversitas Sumatera Utara, 2008), hal. 10-35.
30
Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk
menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dalam studi terhadap Fungsi
dan Peran Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Kota Medan.
31
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan
dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang dapat
digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Bahan hukum primer, terdiri sejumlah perangkat dan peringkat peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
antara lain : Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen; Undang-Undang No.
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang No. 40 Tahun 2004
tentang Jaminan Sosial Nasional; Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas; Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggaran
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
2002 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 14 Tahun 1993; Peraturan
Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat Atas PP No. 14
Tahun 1993; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-
12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan,
Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial
Tenaga Kerja; dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.
561/5492/K/2009 tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun
2010.
32
2. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan kajian dan analisis para ahli hukum
yang bersumber dari berbagai jurnal, buku-buku, hasil-hasil penelitian dan
dokumen-dokumen terkait, yaitu : Disertasi dengan judul ”Analisis Terhadap
Perjanjian Kerja Bersama dalam Hubungan Industrial di Provinsi Sumatera
Utara” oleh Jaminuddin Marbun; Tesis dengan judul ”Analisis Terhadap
Tujuan Pendirian BUMN Persero dalam Undang-Undang BUMN dan
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)” oleh Ahmad
Ansyori; Tesis dengan judul ”Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK) pada Perusahaan Swasta di Kota Medan” oleh Surya Perdana.
3. Bahan hukum tertier, berupa bahan-bahan yang berfungsi memberikan
kejelasan pemahaman terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus-kamus hukum, ekonomi, ensiklopedia, catatan
maupun bahan perkuliahan di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera
Utara.
3. Teknik Pengumpulan Data
Hampir semua jenis penelitian memerlukan studi pustaka. Walaupun orang
sering membedakan antara riset kepustakaan (library research) dan riset lapangan
(field research), keduanya tetap memerlukan penelusuran pustaka. Perbedaannya
yang utama hanyalah terletak pada tujuan, fungsi dan/atau kedudukan studi
kepustakaan dalam masing-masing penelitian itu. Dalam riset lapangan, penelusuran
pustaka terutama dimaksudkan sebagai langkah awal untuk menyiapkan kerangka
33
penelitian (research design) dan/atau proposal guna memperoleh informasi penelitian
sejenis, memperdalam kajian teoritis atau mempertajam metodologi. Sedangkan
dalam riset kepustakaan, penelusuran pustaka lebih daripada sekedar melayani
fungsi-fungsi yang disebutkan di atas. Riset pustaka sekaligus memanfaatkan sumber
perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya. Tegasnya riset pustaka
membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa
melakukan riset lapangan. Idealnya, sebuah riset profesional menggunakan kombinasi
riset pustaka dan lapangan atau dengan penekanan pada salah satu diantaranya.61
Tehnik pengumpulan data sekunder pada penelitian ini dilakukan dengan studi
kepustakaan (library research) dengan instrumen pengumpulan data berupa studi
dokumen. Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan tehnik studi
kepustakaan dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dipandang relevan dengan
peran dan fungsi Program JAMSOSTEK dalam melindungi tenaga kerja di Kota
Medan.
4. Analisis Data
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis datanya,
bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri
dari : bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier, maka
61 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008),
hal. 1-2.
34
dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri
dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.62
Penafsiran hukum memiliki karakter hermeunetik. Hermeunetik atau
penafsiran diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti.63
Penerapan hermeneutik (penafsiran) terhadap hukum selalu berhubungan
dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan yang
tersirat, bunyi hukum dengan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdebatkan oleh
para ahli hukum. Dalam hal ini, bahasa menjadi penting. Ketepatan pemahaman
(subtilitas intellegendi) dan ketepatan penjabaran (subtilitas explicandi) adalah sangat
relevan bagi hukum. Penafsiran harus digunakan untuk menerangkan dokumen
hukum.64
Data (bahan hukum) dianalisis dengan menggunakan metode analisis
kualitatif 65 – abstraktif – interpretatif. 66 Bahan hukum primer yang terinventarisis
terlebih dahulu disistematisasaikan sesuai dengan substansi yang diatur dengan
mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan permasalahan dan tujuan
penelitian. Selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap bahan hukum untuk
62 Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.cit., hal. 163. 63 E. Sumaryono, Hermeunetik sebuah Metode Filsafat, (Yogjakarta : Kanisius, 1993), hal. 24,
dikutip Amiruddin dan Zainal Asikin, Ibid. 64 Loc.cit., hal. 164. 65 Metode analisis kualitatif adalah metode penelitian yang tidak bisa dihitung dengan angka,
sebagai contoh : keefektivan KUHP dalam mencegah kejahatan. Hukum adalah norma yang hidup dalam masyarakat yang tidak bisa diukur dengan angka. Muzakkir, ”Catatan Perkuliahan : Metode Penelitian Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
66 Metode analisis interpretatif adalah digunakan dalam riset budaya. Dikarenakan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah norma jadi harus dilihat mengenai budayanya. Metode yang digunakan harus menggunakan metode interpretatif. Ibid.
35
menemukan asas, kaidah, doktrin, ataupun konsep hukum yang terkandung
didalamnya. Kemudian dilakukan pengelompokan konsep hukum yang lebih umum,
misalnya kepastian hukum, prediktabilitas hukum, keadilan hukum, perlindungan
hukum, dan lain-lain.
Analisis dilakukan secara holistik dan integral untuk menemukan hubungan
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan dengan peran dan fungsi Program JAMSOSTEK
dalam melindungi tenaga kerja di Kota Medan sehingga pokok permasalahan yang
ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.
36
BAB II
FUNGSI DAN PERAN PROGRAM JAMSOSTEK DALAM PERLINDUNGAN
HUKUM TENAGA KERJA DI KOTA MEDAN
A. Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Jaminan sosial merupakan konsep universal bagi redistribusi pendapatan
sehingga menjadi program publik yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang.
Demikian pula penunjukan badan penyelenggaraannya harus didasarkan pada
undang-undang karena merupakan badan otonomi yang mandiri, memiliki akses law
enforcement serta berorientasi nirlaba.67
Menyadari pentingnya jaminan sosial dalam redistribusi pendapatan, jaminan
sosial merupakan hak setiap warga negara bahkan termasuk warga negara asing yang
menetap. Pelanggaran terhadap pelaksanaan jaminan sosial berarti pelanggaran
terhadap Hak Azasi Manusia (HAM).68
Eksistensi jaminan sosial bagi redistribusi pendapatan telah diratifikasi dalam
deklarasi PBB sebagai Universal Declaration of Human Rights. Adapun isi dari
deklarasi tersebut terdapat pada Article 22, 1948-1998 mengatakan bahwa :
“Everyone, as a member of society, has the right to social security and is entitled to realization, through national effort and international co-operation and in accordance with the organization and resources of each State, of the
67 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 180. 68 Ibid.
37
economic, social and cultural rights indispensable for his dignity and the free development of his personality”.69
Deklarasi tersebut telah mendapat dukungan penuh dari para anggota PBB,
termasuk human right society bahwa keabsenan di dalam penyelenggaraan terhadap
HAM. Selain itu, implikasi social security bagi redistribusi pendapatan telah
mendapat rekomendasi dari PBB untuk masuk dalam The Economic Council of The
United Nation. Tujuan akhir dari konsep jaminan sosial adalah untuk
mempertahankan daya beli masyarakat sebagai akibat adanya economic insecurity
(ketidaknyamanan ekonomi).70
Pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia bersumber pada landasan idiil.
Pembukaan UUD 1945 sebagaimana tercantum pada alinea keempat yang
menyebutkan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan
kesejahteraan umum sehingga dapat tercapai masyarakat yang adil dan makmur.
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial, pengertian jaminan sosial adalah seluruh sistem perlindungan
dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.71
Menurut ILO, jaminan sosial adalah jaminan yang diberikan kepada
masyarakat melalui suatu lembaga tertentu yang dapat membantu anggota masyarakat
dalam menghadapi resiko yang mungkin dialaminya, misalnya jaminan pemeliharaan
69 “Universal Declaration of Human Rights 1948-1998”,
http://www.wunrn.com/reference/pdf/univ_dec_hum_right.pdf., diakses pada 27 Agustus 2010. 70 Loc.cit. 71 Ibid.
38
kesehatan atau bantuan untuk mendapat pekerjaan yang bermanfaat. Di samping itu,
ILO juga menyebutkan ada tiga kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan
dapat dikatakan program jaminan sosial.72
a. Tujuan berupa perawatan medis yang bersifat penyembuhan atau pencegahan
penyakit, memberikan bantuan pendapatan apabila terjadi kehilangan
sebagian atau seluruh pendapatan, atau menjamin pendapatan tambahan bagi
orang bertanggung jawab terhadap keluarga.
b. Terdapat undang-undang yang mengatur tentang hak dan kewajiban lembaga
yang melaksanakan kegiatan ini.
c. Kegiatan diselenggarakan oleh suatu lembaga tertentu.73
Menurut Redja yang dikutip oleh Purwoko, salah satu tujuan dari
penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk mempertahankan daya beli masyarakat
dalam menghadapi terjadinya ketidakamanan ekonomi.74
Kenyataannya sebelum suatu masyarakat mencapai kondisi ekonomi yang
aman, seringkali diawali dengan kondisi ketidakamanan ekonomi sebagai
konsekuensi yang logis dari masalah kebijakan makro ekonomi. Kebijakan yang luas
tersebut salah satu diantaranya penyebab munculnya perbedaan pendapat antara
golongan masyarakat atas dan masyarakat bawah. Akibatnya terjadi ketidakamanan
72 Ibid., hal. 181. 73 Moh. Syaufi Syamsuddin, “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja Wanita”,
Informasi Hukum, Kamis, 09 November 2006, dikutip Adrian Sutedi, Ibid. 74 Bambang Purwoko, Towards A Social Security Reform : The Indonesian Case, (Jakarta :
Jamsostek, 1999), hal. 6, dikutip Redja dalam Adrian Sutedi, Ibid.
39
ekonomi, yang apabila terus dibiarkan dapat menimbulkan konflik atau disintegrasi di
dalam masyarakat.75
Asuransi sosial adalah program perlindungan dasar bagi pekerja/buruh beserta
keluarganya terhadap resiko sosial dalam kaitannya dengan hubungan industrial
seperti kecelakaan kerja, kematian, kesehatan, dan hari tua. Program tersebut tidak
sepenuhnya dibiayai oleh pemberi kerja, namun pekerja/buruh juga ikut membayar
iuran. Jenis asuransi komersial yang seutuhnya dibiayai sendiri oleh peserta sesuai
dengan jenis asuransi yang diikutinya.76
Menurut Kertonegoro, asuransi komersial merupakan cara lain untuk
mengurangi resiko sosial dan ekonomi yang dilakukan oleh pihak swasta. Meskipun
bagi yang menjadi peserta asuransi ini terlebih dahulu dilakukan seleksi terutama
menyangkut kesehatan dan usia, namun tetap mengandung semangat gotong-royong
sebagai bentuk distribusi resiko.77
Jaminan sosial dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah ”social security”.
Istilah ini untuk pertama kalinya dipakai secara resmi oleh Amerika Serikat dalam
suatu undang-undang yang bernama ”The Social Security Act of 1935”. Kemudian
dipakai secara resmi oleh New Zealand pada tahun 1938 sebelum secara resmi
dipakai ILO (International Labor Organization). Menurut ILO :
”Social Security pada prinsipnya adalah sistem perlindungan yang diberikan oleh pemerintah untuk para warganya, melalui berbagai usaha dalam
75 Adrian Sutedi, Ibid. 76 Ibid. 77 Sentanoe Kertonegoro, Jaminan Sosial : Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
(Jakarta : Mutiara, 1982), hal. 37, dikutip Adrian Sutedi, Ibid., hal. 182.
40
menghadapi resiko-resiko ekonomi atau sosial yang dapat mengakibatkan terhentinya/sangat berkurangnya penghasilan”.78 Sedangkan Kennet Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat Jenderal
International Social Security Association (ISSA) di Jenewa, dalam Regional Training
Seminar ISSA di Jakarta bulan Juni 1980, mengatakan bahwa :
”Jaminan sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk resiko-resiko atau peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan/atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.79 Sejalan dengan dua pengertian di atas, Undang-Undang No. 6 Tahun 1974
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 2 ayat (4)
mengatakan bahwa80 :
”Jaminan sosial sebagai perwujudan dari sekuritas sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warganegara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial”. Kalau diperhatikan ketiga pengertian di atas, maka nampaknya ketiga
pengertian tersebut memberikan pengertian jaminan sosial dengan begitu luas,
seakan-akan jaminan sosial itu sendiri telah mencakup bidang pencegahan dan
pengembangan, bidang pemulihan, dan penyembuhan serta bidang pembinaan. Ketiga
bidang ini kalau dikaitkan lebih jauh lagi apa yang dinamakan perlindungan buruh,
sehingga amat luaslah ruang lingkupnya. Kalau membicarakan jaminan sosial bagi
pekerja dengan bertumpu pada definisi di atas, maka yang dimasukkan ke dalam
78 Zainal Asikin, et.al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1997), hal. 78, dikutip Surya Perdana, Op.cit., hal. 58. 79 Ibid. 80 Ibid.
41
jaminan sosial ini hal-hal yang bersangkutan dengan : Jaminan Sosial; Kesehatan
Kerja; dan Keselamatan serta Kesehatan Kerja.81
Pada hakikatnya Program JAMSOSTEK dimaksudkan untuk memberikan
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang. Di samping itu, Program
JAMSOSTEK mempunyai beberapa aspek antara lain82 :
a. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal
bagi tenaga kerja beserta keluarganya; dan
b. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan
tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja.
JAMSOSTEK dilandasi filosofi kemandirian dan harga diri untuk mengatasi
resiko sosial ekonomi. Kemandirian berarti tidak tergantung orang lain dalam
membiayai perawatan pada waktu sakit, kehidupan dihari tua maupun keluarganya
bila meninggal dunia. Harga diri berarti jaminan tersebut diperoleh sebagai hak dan
bukan dari belas kasihan orang lain.83
Agar pembiayaan dan manfaatnya optimal, pelaksanaan Program
JAMSOSTEK dilakukan secara gotong royong, dimana yang muda membantu yang
tua, yang sehat membantu yang sakit dan yang berpenghasilan tinggi membantu yang
berpenghasilan rendah.84
81 Ibid. 82 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Edisi 1, Cetakan 1, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2009), hal. 122. 83 ”Visi dan Misi”, Op.cit. 84 Ibid.
42
A. Landasan Yuridis
Program JAMSOSTEK di Indonesia sesungguhnya sudah mulai dirintis sejak
tahun-tahun awal kemerdekaan, yaitu ketika Undang-Undang No. 33 Tahun 1947
tentang Kecelakaan Kerja dan Undang-Undang No. 34 Tahun 1947 tentang
Kecelakaan Perang diberlakukan. Setahun berikutnya diluncurkan Undang-Undang
No. 12 Tahun 1948 yang mengatur tentang Usia Tenaga Kerja, Jam Kerja,
Perumahan, dan Kesehatan Buruh.85
Perlindungan bagi tenaga kerja diatur lagi pada tahun 1951 dengan
diluncurkannya Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja. Pada
tahun 1952 diberlakukan Peraturan Menteri Perburuhan No. 48 Tahun 1952 jo.
Peraturan Menteri Perburuhan No. 8 Tahun 1956 tentang Pengaturan Bantuan untuk
Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh. Ketentuan mengenai penyelenggaraan
kesehatan buruh itu kemudian dilengkapi lagi dengan Peraturan Menteri Perburuhan
No. 15 Tahun 1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh. Peraturan tersebut
menguraikan tentang bantuan kepada badan yang menyelenggarakan usaha jaminan
sosial.86
Undang-undang tentang tenaga kerja yang agak lengkap lahir pada tahun 1969.
Pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Tenaga Kerja diatur
tentang Penyelenggaraan Asuransi Sosial Bagi Tenaga Kerja Beserta Keluarganya.
Pada tahun 1977 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977
tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), Asuransi
85 Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 184. 86 Ibid., hal. 184.
43
Kematian (AK), dan Tabungan Hari Tua (THT). Bersamaan dengan itu diterbitkan
pula Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1977 tentang Perusahaan Umum (Perum)
ASTEK sebagai Badan Penyelenggara Program ASTEK.87
Status ASTEK sebagai Perum kemudian diubah menjadi Perseroan Terbatas
(PT) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1990. Pada tahun 1992, Pemerintah
dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mewajibkan setiap perusahaan yang
memiliki karyawan minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji
karyawannya minimal Rp. 1 juta/bulan untuk menyelenggarakan empat Program
JAMSOSTEK, yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),
Jaminan Kematian (JK), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Undang-undang ini
juga menugaskan PT. Jamsostek sebagai pelaksana Program JAMSOSTEK di
Indonesia (hal ini dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995
tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja).88
C. Sejarah Lahirnya Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab
dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada
masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara, Indonesia seperti
87 Ibid. 88 PT. Jamsostek, Kumpulan Peraturan Perundangan Pemerintah Mengenai Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, (Jakarta : Jamsostek, 1999), lihat juga Depnakertrans, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Industrial, Syarat-Syarat Kerja, PTKA dan Perlindungan Tenaga Kerja, (Jakarta : Karya Puri Utomo, 2001), dikutip Ibid., hal 185.
44
berbagai negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial
berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta
dan masih terbatas pada masyarakat pekerja/buruh di sektor formal.89
Sejarah terbentuknya PT. Jamsostek (Persero) mengalami proses yang
panjang, dimulai dari Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 jo. Undang-Undang No. 2
Tahun 1951 tentang Kecelakaan Kerja, Peraturan Menteri Perburuhan No. 48 Tahun
1952 jo. Peraturan Menteri Perburuhan No. 8 Tahun 1956 tentang Pengaturan
Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, Peraturan Menteri
Perburuhan No. 15 Tahun 1957 tentang Pembentukan Yayasan Sosial Buruh,
Peraturan Menteri Perburuhan No. 5 Tahun 1964 tentang Pembentukan Yayasan
Dana Jaminan Sosial, diberlakukannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang
Pokok-Pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga
kerja semakin transparan.90
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan
hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977
diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
No. 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja
(selanjutnya disingkat ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha
swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula Peraturan
89 Ibid., hal. 178. 90 Ibid.
45
Pemerintah No. 34 Tahun 1977 tentang Pembentukan Wadah Penyelenggara ASTEK,
yaitu Perum ASTEK.91
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), melalui Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 1995 ditetapkannya PT. Jamsostek sebagai badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja. Program JAMSOSTEK memberikan
perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan
keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang
hilang, akibat resiko sosial.92
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, pemerintah juga menerbitkan Undang-
Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang
berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada Pasal 34 Ayat
(2), dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan amandemen
tersebut, yang kini berbunyi : “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan”. Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan
rasa aman kepada pekerja, sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan
motivasi maupun produktivitas kerja.93
Kiprah PT. Jamsostek yang mengedepankan kepentingan dan hak normatif
tenaga kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT. Jamsostek (Persero)
91 Ibid. 92 Ibid. 93 Ibid.
46
memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup program Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.94
Dengan penyelenggaraan yang semakin maju, Program JAMSOSTEK tidak
hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha, tetapi juga berperan aktif dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat dan
perkembangan masa depan bangsa.95
D. Fungsi Program JAMSOSTEK Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja di
Kota Medan
JAMSOSTEK, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, mengatur 4 (empat) program pokok yang harus
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara PT. Jamsostek (Persero), yaitu : Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan Kematian (JK); Jaminan Hari Tua (JHT); dan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Namun, sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
memerintahkan untuk menambahkan program yaitu Tenaga Kerja di Luar Hubungan
Kerja (TK-LHK). Ada juga penambahan program dengan dikeluarkannya Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan
94 Ibid. 95 Ibid.
47
Perjanjian Waktu Tertentu pada Sektor Jasa Konstruksi, yang bernama Jasa
Konstruksi.
1. Sebagai Sosial Security.
Sosok jaminan social ini merupakan suatu mekanisme pengumpulan dana
yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas
resiko social ekonomi yang menimpa peserta dan anggota keluarganya .Dalam
perjalanannya manfaat dari program jaminan social ini tidak dirasakan secara optimal
oleh peserta..
Penyelenggaraan jaminan social bagi seluruh rakyat memang diamanatkan
dalam pasal 28 ayat (3) dan pasal 34 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945.
Program ini pada dasaranya merupakan program Negara yang bertujuan
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat
Indonesia. Setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang
layak apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya
pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan,
memasuki usia lanjut atau pensiun.
Program jaminan social yang dijalankan oleh pemerintah baru mencakup
sebagian kecil masyarakat, sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan
yang memadai, manfaat program ini pun jauh dari optimal karena badan
penyelenggaranya berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT. Persero) yang
berorientasi laba.
48
Seyogyanya penyelenggara adalah badan yang tidak dimaksudkan mencari
laba, akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya
kepentingan peserta, hasil pengembangannya dan surtplus atau laba seluruhnya
dikembalikan untuk kepentingan peserta.
Program JAMSOSTEK belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat Kota
Medan, baru dirasakan oleh tenaga kerja yang terorganisir saja, karena prinsip
pendanaannya berasal dari perusahaan dan tenaga kerja, namun demikian para
pekerja rela untuk dipotong gajinya untuk ikut serta dalam program JAMSOSTEK,
kewajiban perusahaan dan pekerja atas pembayaran iuran bila dibandingan dengan
Negara-negara yang menyelenggaran jaminan social Indonesia termasuk yang
penetapan iurannya sangat kecil, bila dibandingkan dengan Malaysia iuran THT 11 %
dan iuran perusahaan 12 % sedangkan iuran program THT JAMSOSTEK 5,7% yang
meliputi kewjiban perusahaan dan tenaga kerja, kondisi ini menunjukan bahwa
tingkat kemampuan pertubuhan ekonomi Indonesia jauh lebih baik Malaysia.
Peserta program jaminan social di Indonesia dibandingkan dengan Negara lain
masih terlalu sedikit (sekitar 20%). Manfaat yang diperoleh peserta juga masih sangat
terbatas. Dapat dikatakan belum dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak,
prinsip/sistem penyelenggaraan juga bervariasi sehingga menimbulkan ketidakadilan
social. Oleh karena itu diperlukan Undang-Undang baru yang diharapkan dapat
memanyungi segenap penyelenggaraan program jaminan social, meningkatkan
jumlah peserta, meningkatkan manfaat serta berkeadilan, atas dasar itu pemerintah
memprakarsai untuk memperbaharui perundangan yang terkait dengan
penyelenggaraan Sistim Jaminan Social Nasional (SJSN). Pemerintah dalam
49
meningatkan kesejaahteraan seluruh rakyat yaitu membangun perekonomian
kesejahteraan dengan salah satu program jaminan soscial (Social Security) yang
dibeberapa negara sudah menerapkannya, tujuannya adalah meningkatkan status
social rakyat dalam berkihidupan dimasyarakat, sekaligus menciptakan manusia yang
sadar dengan segala resiko dalam kehidupan, juga paham arti jaminan social sampai
kegenari yang akan dating, jika telah ditumbuh kembangkan maka rakyat Indonesia
telah siap dalam bekerja dan mencintai pekerjaannya dengan baik, Negara sudah
berbuat yang terbaik kepada rakyatnya, maka sebagaimana program negara untuk
meningkatkan taraf hidup rakyat sudah dapat dinikmati seluruh rakyat, pengabdian
dan kecintaan rakyat kepada Negara sudah semakin besar, bersinergi dalam
melaksanakannnya berarti satu sama yang lain membutuhkan.
Fungsi dan peranan program JAMSOSTEK dalam jaminan sosial yang meliputi :
a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Kecelakaan kerja merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan karena pada umumnya kecelakaan akan mengakibatkan dua hal
berikut96 :
1. Kematian, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan penderitanya
bisa meninggal dunia; dan
2. Cacat atau tidak berfungsinya sebagian dari anggota tubuh tenaga kerja yang
menderita kecelakaan kerja. Cacat ini terdiri dari :
Jenis-jenis kecelakaan antara lain :
96 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Ed. Revisi, (Jakarta : Rajawali Press, 2008), hal. 116.
50
1. Kecelakaan yang terjadi pada waktu cuti
2. Kecelakaan yang terjadi di mes/perkemahan yang tidak berada di lokasi
tempat kerja;
3. Kecelakaan yang terjadi dalam rangka melakukan kegiatan yang bukan
merupakan tugas dari atasan, untuk kepentingan perusahaan; dan
4. Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan meninggalkan tempat
kerja untuk kepentingan pribadi.
Jenis kecelakaan di atas tentunya akan mendapatkan jaminan dari badan
penyelenggara apabila di klaim. Hal tersebut di atas biasanya terjadi pada setiap
perusahaan yang ada.97
1. Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja
2. Jaminan Kecelakaan Kerja
Besarnya jaminan kecelakaan kerja telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No.
14 Tahun 1993 yang telah beberapa kali diubah. Terakhir berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 2002. Jaminan yang diberikan dalam bentuk Santunan
Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB), Santunan Cacat, Santunan Cacat Total,
Santunan Cacat Kekurangan Fungsi, Pengobatan dan perawatan, Biaya rehabilitasi,
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja/industrial, Ongkos pengangkutan
pekerja/buruh dari tempat kejadian kecelakaan kerja ke rumah sakit.
97 Ibid., hal. 117.
51
b. Jaminan Kematian (JK)
Kematian muda atau kematian dini/prematur pada umumnya menimbulkan
kerugian finansial bagi mereka yang ditinggalkan. Kerugian ini dapat berupa
kehilangan mata pencaharian atau penghasilan dari yang meninggal, dan ”kerugian”
yang diakibatkan oleh biaya perawatan selama yang bersangkutan sakit serta biaya
pemakaman. Oleh karena itu, dalam Program JAMSOSTEK pemerintah mengadakan
program Jaminan Kematian.98. Bentuk jaminan kematian program JAMSOSTEK ini
merupakan program asuransi ekawaktu dengan memberikan jaminan untuk jangka
waktu tertentu saja, yaitu sampai dengan usia 55 tahun.99
Jaminan kematian akan diberikan sesuai dengan besaran yang telah ditentukan
meliputi Biaya pemakaman dan Santunan berupa uang. Dan penerima biaya tersebut
adalah keluarga tenaga kerja.
c. Jaminan Hari Tua (JHT)
Program JHT ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga
kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem
tabungan hari tua. Program JHT memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang
dibayarkan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi
persyaratan tertentu. Kemanfaatan JHT adalah sebesar akumulasi iuran ditambah
hasil pengembangannya. JHT merupakan program tabungan wajib yang berjangka
panjang dimana iurannya ditanggung oleh pekerja/buruh dan pengusaha, namun
98 Ibid., hal. 122. 99 Ibid.
52
pembayarannya kembali hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat
tertentu
Dengan demikian, pengertiannya adalah sebagai berikut Program JHT ini
bersifat wajib, Program ini berjangka panjang, Iurannya ditanggung oleh
pekerja/buruh sendiri ditambah dengan iuran dari pengusaha untuk diakreditasi pada
rekening masing-masing peserta (pekerja/buruh) oleh badan penyelenggara; dan
Adanya persyaratan jangka waktu pengambilan jaminan.
Kepesertaan JHT bersifat wajib secara nasional bagi semua pekerja/buruh
yang memenuhi persyaratan. Persyaratan yang dimaksudkan adalah khusus bagi
pekerja/buruh harian lepas, borongan, dan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja
waktu tertentu yang harus bekerja di perusahaannya lebih dari tiga bulan. Artinya
kalau mereka bekerja kurang dari tiga bulan pengusaha tidak wajib
mengikutsertakannya dalam program JHT. Pengusaha hanya wajib mengikutsertakan
dalam program JKK dan JK.
Karena JHT sama dengan program tabungan hari tua, setiap peserta akan memiliki
rekening tersendiri pada badan penyelenggara. Selain itu, program ini merupakan
program berjangka panjang yang hanya dapat dibayarkan kembali setelah mereka
pensiun, kecuali kalau terjadi kematian, cacat tetap total, dan diputuskan hubungan
kerjanya (setelah memenuhi masa kepesertaan lima tahun). Apabila pekerja/buruh
diputuskan hubungan kerja pembayaran kembali JHT dilakukan setelah masa tunggu
enam bulan. Masa tunggu maksudnya adalah suatu masa dimana pekerja/buruh yang
diputuskan hubungan kerjanya telah mempunyai pekerjaan lagi atau tidak
53
d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
Pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan
agar pekerja/buruh memperoleh kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental,
maupun sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal. Oleh karena itu,
program jaminan sosial tenaga kerja juga memprogramkan JPK.100
Sementara itu, JPK yang dilakukan oleh badan penyelenggara adalah paket
pemeliharaan kesehatan dasar yang meliputi : Rawat jalan tingkat pertama; Rawat
jalan tingkat lanjutan dan Rawat inap
e. Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK)
Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (LHK)
adalah orang yang berusaha sendiri yang pada umumnya bekerja pada usaha-usaha
ekonomi informal. Tujuan dari TK-LHK adalah Memberikan perlindungan jaminan
sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja pada saat
tenaga kerja tersebut kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat
terjadinya risiko-risiko antara lain kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia; dan Memperluas cakupan kepesertaan program jaminan sosial
tenaga kerja.
Jenis program dan manfaat TK-LHK dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 14
Tahun 1993, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),
Jaminan Hari Tua (JHT), terdiri dari keseluruhan iuran yang telah disetor, beserta
hasil pengembangannya; dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
100 Ibid., hal. 126-127.
54
f. Jasa Konstruksi
Sektor konstruksi adalah Program Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja Harian
Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Sektor Jasa Konstruksi
yang diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-196/MEN/1999
Tanggal 29 September 1999. Tahap Kepesertaan pada setiap Kontraktor Induk
maupun Sub Kontraktor yang melaksanakan proyek Jasa Konstruksi dan pekerjaan
borongan lainnya wajib mempertanggungkan semua tenaga kerja (borongan/harian
lepas dan musiman) yang bekerja pada proyek tersebut kedalam Program Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).101
2. Mendukung Program Pemerintah Daerah.
Program JAMSOSTEK yang merupakan kebutuhan bagi seluruh pekerja tidak
bisa diabaikan atau dihindari kerena dapat dituntut melanggar hak azasi manusia,
peran program JAMSOSTEK tidak hanya sebagai melindungi resiko kerja terhadap
tenaga kerja dalam bekerja, tetapi dapat menjadikan para pekerja lebih percaya diri
dalam menjalani kehidupan dalam masyarakat, jika tingkat ekonomi para pekerja
sudah terpenuhi maka produktifitas kerja akan semakin baik.
Program JAMSOSTEK selain menciptakan ketenangan bagi para pekerja jika
dilaksanakan dengan baik, peran program JAMSOSTEK terhadap pemerintah di
daerah selain mengentaskan kemiskinan juga telah membuat tenaga kerja tidak lagi
ketergantungan kepada lingkungan jika tenaga kerja dalam bekerja mengalami resiko
kerja seperti sakit sudah dapat membiayai diri sendiri, begitu juga jika tenaga kerja
101 Ibid.
55
mengalami kematian sudah mampu mengatasi dan membiayai biaya kematian sendiri,
khusunya misi dari pemerintahan Propinsi Sumatera Utara sebagaimana yang
diharapkannya agar rakyatnya tidak bodoh, tidak miskin, tidak lapar dan tidak sakit,
program JAMSOSTEK sudah memberikan jawabannya.
Program kerja yang dilaksanakan oleh JAMSOSTEK saat ini secara
kelembagaan di pemerintahan daerah belum menjadikan satu kegiatan yang dianggap
penting, yang diharapkan dapat mendukung kegiatan di pemerintahan baik ditingkat
propinsi (Gubernur) maupun bupati/walikota, hal ini yang perlu untuk
dimasyaraktkan atau disosialisasikan oleh pemerintah daerah karena peran serta
pemerintah daerah sangat menentukan untuk sukses tidaknya program JAMSOSTEK
di daerah , peran dalam mensukseskan program pemerintah ini tidak hanya PT.
Jamsostek (Persero) saja, namun campur tangan pemerintah daerah sangat
menentukan, mayoritas pertumbuhan ekonomi bila dipadukan dengan seluruh daerah
dapat mensukseskan program pemerintahahn pusat atau dapat dikatakan bahwa
suksesnya program pemerintah tida terlepas juga peran serta pemerintah daerah.
program JAMSOSTEK adalah program negara, suksesnya program JAMSOSTEK
dan berhasil dinikmati oleh rakyat, maka pemerintah atau negara dapat dikatan sukses
dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Kontribusi program JAMSOSTEK
dalam pembangunan ekonomi didaerah dapat salah satunya adalah berupa dana
program Jasa Kontruksi penempatannya ditempatkan kepada bank pemerintah seperti
di sumatera utara ditempatkan pada bank pembangunan daerah, kegunaan dana
tersebut diperuntukan kepada kepentingan daerah setempat jika pemerintah daerah
melakukan kegiatan kerja yang menyangkut kepentingan pembangunan baik yang
56
bersifat teknis maupun non teknis, sepanjang untuk kepentingan negara di daerah
dana tersebut dapat digunakan.
Dukungan dari program JAMSOSTEK Terhadap program pemerintah
Provinsi Sumatera Utara tertuang dalam Surat Keputusan/Instruksi Gubernur
Suamtera Utara yaitu:
1. Nomor 560/1046.K/Tahun 2004
2. Nomor 560/293.K/Tahun 2005
3. Nomor 560/1840.K/Tahun 2005
3. Mengentaskan Kemiskinan.
Jika melihat historical lahirnya UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja berawal dari konsep asas gotong royong, dan diyakini
sangat kuat sebagai alat pemersatu masyarakat indonesia, dan ini menjadi sprit atau
semangat dasar berkembangnya sistem jaminan sosial. dikutip dari Sejarah
Perasuransian di Indonesia Supomo (Bumiputera 1912).
Program JAMSOSTEK tidak hanya diperuntukan kepada pekerja sektor
formal saja, akan tetapi juga sudah merambah kepada tenaga kerja pada sektor
informal, fungsi program JAMSOSTEK mengentaskan kemiskinan agar masyarkat
dalam menjalani kehidupannya tidak selalu ketergantungan kepada keluarga atau
famili, tapi tenaga kerja tersebut harus bisa menjadi tenaga kerja yang mempunyai
harga diri, artinya tenaga kerja yang bisa dan mampu membiayai hidup serta mampu
mengatasi resiko pada saat mengalami sakit maupun pada saat usia akan menjalani
masa pensiun, pemerintah telah mencanangkan dan mendukung bahwa seperti dalam
57
Undang Undang Dasar tahun 1945 menjelaskan tentang kesejahteraan Pasal 33 ayat
1 yang menyatukan program perekonomian dengan kesejahteraan, dimana pemerintah
telah menetapkan antara program perekonomian sejajar dengan kesejahteraan, salah
satu dalam sistem yang termuat dalam program sistem jaminan sosial
memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat
kemanusiaan.
Dengan demikian mestinya program jaminan sosial menempatkan tempat
yang tinggi dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu mewujudkan
kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial, mengapa pertumbuhan sangat lamban?
Peran serta dari segenap elemen anak bangsa harus menyadari bahwa upaya
mengentaskan kemiskinan bukan hanya dirumuskan dalam sebuah undang-undang
saja atau dijilid rapi dalam kemasan sebuah buku tapi harus secara serempak dan
bersinergi untuk melaksanakannya, sehingga apa yang dicita-citakan oleh pendahulu
bisa terwujud dan bagi penerus bangsa bisa merasakan manfaat sehingga dalam
kehidupan tercipta sebuah wadah yang dapat menanggulangi kemiskinan, sebagai
badan penyelenggara program JAMSOSTEK dapat berkaca dan melihat sudah
seberapa banyak tenaga kerja yang sudah menikmati program JAMSOSTEK, tapi
evaluasi juga bagaimana para tenaga kerja disuatu daerah belum menikmati dan
mandapatkan manfaat program JAMSOSTEK, perlu dilaporkan kepada pemerintah
daerah agar pemerintah daerah dapat melakukan evaluasi lagi atas program kerja
yang telah ditetapkan dengan tujuan agar penyebaran program JAMSOSTEK dapat
dinikmati secara merata kepada para tenaga kerja yang sudah bekerja dan mengapdi
kepada perusahaan.
58
Penuh harapan agar kemiskinan yang ada pada setiap daerah semakin hari
semakin terkikis dan habis, sehingga tingkat kejahatan pun semakin berkurang, maka
dengan sendirinya akan tercipta kenyamanan, dengan kemakmuran seperti ini
pelanggaran tarhadap hak azasi semakin dirasakan tidak ada lagi, program
JAMSOSTEK adalah merupakan regulasi yang bertujuan untuk menuju kepada
kemakmuran bangsa dan negara, peran dan fungsi JAMSOSTEK dalam mendorong
pemerintah daerah diminta lebih inten dan jangan selelu menunda-nunda, serta juga
dalam setiap tahun penyusunan anggaran dalam pembuatan program kerja dititik
beratkan kepada program bukan hanya penanggulangan kemiskinan tapi lebih kepada
program yang menjanjikan perbaikan ekonomi mikro dan makro, serta kebijakan-
kebijakan yang sudah tidak relepan lagi agar dibahas bersama dengan pemerintah
daerah.
Program JAMSOSTEK berupa bantuan pemberian uang muka perumahan
kepada tenaga kerja seudah berjalan, adapun tujuannya kepada pemenuhan tempat
tinggal, hanya saja masih banyak perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja
bukan sebagai karyawan tetap tapi sebagai tenaga outsourcing yang mempunyai
jangka waktu kerja, kenapa hal ini masih tetap diberlakukan, ini adalah salah satu
cara pengusaha menghindar dalam memberikan fasilitas kepada tenaga kerja, tempat
tinggal bagi tenaga kerja sangatla perlu karena tempat berkumpul dengan keluarga,
jika tenaga kerja telah memiliki tempat tinggal yang berasal bantuannya dari
perusahaan, pasti tenaga kerja tersebut lebih nyaman dalam bekerja dan pasti akan
memberikan kontribusi yang berlebih kepada perusahaan, karena perusahaan telah
memberikan perhatian penuh. Perusahaan tempat tenaga bekerja berarti telah
59
memamtuhi dan menjalankan program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan,
PT. Jamsostek (Persero) sebagai badan penyelenggara jaminan sosial wajib memiliki
target dalam mendukung dan mensejahterakan tenaga kerja beserta keluarganya.
Dalam mensukseskan program pemerintah ini kepada tripartit sudah seharusnya
bergandeng tangan demi mencapai kesuksesan masyarakat adil dan makmur.
E. Peran Program JAMSOSTEK Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja di
Kota Medan
1. Program JAMSOSTEK Sebagai Perlindungan Tenaga Kerja
Perlindungan tenaga kerja dalam penelitian ini adalah sebagai santunan dan
pelayanan kesehatan. Santunan dapat berupa uang sedangkan pelayanan kesehatan
adalah satu bentuk jasa.
a. Pengertian Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan
perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. 102 Secara umum dapat
dijelaskan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah tindakan melindungi atau
memberikan pertolongan dalam bidang hukum.
Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah :
“Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian, yakni kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum
102 “Lindung”, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/., diakses pada 05 Agustus 2010.
60
bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha”.103
Untuk menjamin hak-hak tenaga kerja, maka perlu dilakukan upaya
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja tanpa terkecuali.
Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dituangkan dalam Pasal 28 D ayat (2)
UUD 1945, yang berbunyi : “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya
yang lemah, disebutkan Zainal Asikin, yaitu :
“Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seprti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis”.104 Berdasarkan uraian mengenai hakikat hukum ketenagakerjaan di atas maka
menjadi dasar dalam pemberian perlindungan hukum bagi pekerja. Pemberian
perlindungan hukum bagi pekerja menurut Iman Soepomo meliputi lima bidang
hukum perburuhan, yaitu105 :
1. Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja;
103 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum dalam Negara Hukum Pancasila, Makalah
disampaikan pada Simposium tentang Politik. Hak Azasi dan Pembangunan Hukum dalam Rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994, dikutip Asri Wijayanti, Op.cit., hal. 10.
104 Zainal Asikin, et.al., Op.cit., hal. 5, dikutip Ibid. 105 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 1985), hal. IX,
dikutip Ibid., hal. 11.
61
Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja, adalah perlindungan hukum
yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum menjalani hubungan kerja. Masa ini sering
disebut dengan masa pra-penempatan atau pengerahan.
2. Bidang hubungan kerja;
Bidang hubungan kerja, yaitu masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak
mengadakan hubungan kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja itu didahului
dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu
atau tanpa batas waktu yang disebut dengan pekerja tetap.
3. Bidang kesehatan kerja;
Bidang kesehatan kerja, adalah selama menjalani hubungan kerja yang
merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas kesehatannya.
Apakah lingkungan kerjanya dapat menjamin kesehatan tubuhnya dalam jangka
waktu yang relatif lama.
4. Bidang keamanan kerja;
Bidang keamanan kerja, adalah adanya perlindungan hukum bagi pekerja atas
alat-alat kerja yang dipergunakan oleh pekerja. Dalam waktu relatif singkat atau lama
akan aman dan ada jaminan keselamatan bagi pekerja. Dalam hal ini, negara
mewajibkan kepada pengusaha untuk menyediakan alat keamanan kerja bagi pekerja.
5. Bidang jaminan sosial buruh.
Bidang jaminan sosial buruh, telah diundangkan Undang-Undang No. 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pada tahun 1992, besarnya
kompensasi dan batas maksimal yang diakui oleh PT. Jamsostek (Persero) dapat
dikatakan cukup. Untuk saat ini kompensasi ataupun batas maksimal upah yang
62
diakui untuk pembayaran premi JAMSOSTEK sudah saatnya dilakukan revisi
penyesuaian.
Dalam hal ini setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja harus
memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja sesuai dengan jenis
pekerjaannya. Meskipun hanya seorang pelayan akan tetapi juga tetap harus
diperhatikan. Mengingat peranan tenaga kerja sangat penting demi kelancaran
perusahaan. Tenaga kerja harus memperoleh hak-hak mereka secara penuh, begitu
juga sebaliknya tenaga kerja harus memenuhi kewajibannya dengan baik pula.
Sehingga, akan tercipta hubungan kerja yang dinamis antara perusahaan dengan pihak
tenaga kerja. Jadi, perlindungan hukum tidak hanya semata-mata memberikan
perlindungan melainkan juga kepastian hukum.
b. Tujuan Perlindungan Hukum Tenaga Kerja
Tujuan perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Hal ini berkaitan dengan
kepastian hukum, yaitu memastikan bahwa setiap tenaga kerja/buruh mendapatkan
perlindungan hukum berupa santunan dan bantuan.
Mengingat pentingnya peran tenaga kerja atau pekerja dalam sebuah
perusahaan, maka tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja harus
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tanpa harus membedakan satu dengan yang lain
63
karena pada prinsipnya tenaga kerja berhak memperoleh perlindungan. Selain itu,
dengan mengingat tenaga kerja memiliki resiko yang sangat besar dan sifat
pekerjaannya menuntut kehati-hatian dan ketelitian yang tinggi. Dengan begitu jika
ada keseimbangan antara hak dan kewajiban maka hubungan kerja dapat berjalan
dengan lancar.
Pada dasarnya dalam hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, secara
yuridis pekerja dipandang sebagai orang yang bebas karena prinsip negara kita tidak
seorangpun boleh diperbudak. Secara sosiologis, pekerja itu tidak bebas sebagai
orang yang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun
memberatkan bagi pekerja itu sendiri, lebih-lebih saat sekarang ini dengan banyaknya
jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia.
Akibatnya tenaga kerja sering kali diperas oleh pengusaha dengan upah yang relatif
kecil dan tidak ada jaminan yang diberikan. Selain itu, tenaga kerja memiliki resiko
yang sangat besar dan sifat pekerjaannya menuntut kehati-hatian dan ketelitian yang
tinggi maka perusahaan harus memberikan kepastian hukum kepada tenaga kerja.
Dengan adanya kejelasan tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
dapat memberikan kepastian hukum yang jelas dalam pelaksanaannya sehingga
tenaga kerja tidak dirugikan.
c. Bentuk Perlindungan Hukum Tenaga Kerja
Bentuk perlindungan hukum terhadap tenaga kerja diatur dalam Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain :
64
Waktu Kerja
Waktu kerja diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, setiap pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan waktu kerja berupa cuti dan istirahat kepada pekerja, dengan cara :
1). Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah
bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tidak
termasuk jam kerja;
2). Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
3). Cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus-menerus; dan
4). Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan, dan dilaksanakan
pada tahun ketujuh dari kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi
pekerja yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus
pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja tersebut tidak
berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan
selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Kesehatan Kerja
Dengan memperhatikan keadaan hukum kerja di zaman pra-kemerdekaan,
tentunya dapat diperkirakan bagaimana riwayat kesehatan kerja saat ini. Perbudakan,
perhambaan, rodi, dan poenale sanctie yang mewarnai hubungan kerja di zaman itu
65
menunjukkan pula kurangnya perhatian pemerintah Hindia Belanda dengan kesehatan
kerja. Para budak, para hamba, pekerja rodi, dan pekerja poenale sanctie bekerja
secara tidak teratur, serampangan, tanpa mengindahkan norma-norma dan syarat-
syarat kerja yang baik. Hal yang dicari pada waktu itu adalah pengeksploitasian
tenaga kerja secara penuh demi kepentingan pihak penjajah, sedangkan kepentingan
tenaga kerja tidak diperhatikan sama sekali. Tenaga mereka betul-betul diperas.106
Baru kemudian setelah Raffles mendengung-dengungkan suara anti
perbudakan, perhambaan, rodi, dan poenale sanctie, Pemerintah Hindia Belanda
mulai memperhatikan nasib tenaga kerja. Tercatat dalam sejarah hukum
ketenagakerjaan, akhirnya perbudakan dinyatakan berakhir secara riil pada tanggal 31
Desember 1921, rodi berakhir tanggal 1 Februari 1938, dan poenale sanctie tanggal 1
Januari 1942. Dengan berakhirnya perbudakan, perhambaan, rodi, dan poenale
sanctie, maka dapatlah dikatakan kesehatan kerja di Indonesia dimulai pada
dasawarsa ketiga abad XX.107
Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam108 :
a. Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied ed de Nachtarbeid van de
Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang
pembatasan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan
dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret
1926; dan
106 Zaeni Asyhadie, Op.cit., hal. 88. 107 Ibid., hal. 89. 108 Ibid.
66
b. Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen
ann Boord van Scepen, biasanya disingkat Bepalingen Betreffende, yaitu
peraturan tentang pekerja anak dan orang muda di kapal, yang
diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 Tahun 1926, mulai berlaku
tanggal 1 Mei 1926.
Kedua peraturan di atas sebagaimana namanya membatasi pekerjaan anak dan
wanita, dan mengatur tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang
merupakan pengaturan tindak lanjut dari beberapa konvensi ILO yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Konvensi-konvensi itu adalah :
a. Konvensi No. 4 tentang pekerjaan wanita pada malam hari, diratifikasi dengan
Stb. No. 461 Tahun 1923;
b. Konvensi No. 5 tentang usia terendah bagi anak untuk dapat bekerja di
perusahaan perindustrian, diratifikasi dengan Stb. No. 515 Tahun 1928;
c. Konvensi No. 7 tentang usia terendah bagi anak untuk dapat bekerja di kapal,
diratifikasi dengan Stb. No. 76 Tahun 1932; dan
d. Konvensi No. 15 tentang usia terendah bagi orang muda untuk dapat bekerja
sebagai tukang api dan tukang batu bara, diratifikasi dengan Stb. No. 409
Tahun 1931.
Selain ”Maatreegelen” dan ”Bepalingen Betreffende” di atas, peraturan-
peraturan lain yang dapat dikualifikasi sebagai peraturan kesehatan kerja, yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebagai berikut109 :
109 Ibid., hal. 90.
67
a. Mijn politie reglement, Stb. No. 341 Tahun 1931 (peraturan tentang
pengawasan di tambang);
b. Voorschriften omtrent de dienst en rushtijden van bestuur der van
motorrijtuigen (peraturan tentang waktu kerja dan waktu mengaso bagi
pengemudi kendaraan bermotor), diumumkan dalam Bijblad 14136;
c. Riauw Panglongregeling (peraturan tentang panglong di Riau);
d. Panglongkeur Soematra Oostkust (peraturan tentang panglong di Sumatera
Timur);
e. Aanvullende Plantersregeling (peraturan perburuhan di perusahaan
perkebunan); dan
f. Arbeidsregeling nijverheidsbedrijvn (peraturan perburuhan di perusahaan
industri).
Kesehatan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan-peraturan di atas
sifatnya tidak menyeluruh, artinya hanya berlaku di beberapa tempat dan golongan,
yang akhirnya menimbulkan pluralisme hukum.110
Setelah Indonesia merdeka, yang pertama menjadi perhatian pemerintah,
khususnya dalam bidang ketenagakerjaan adalah masalah kesehatan kerja ini. Oleh
karena itu, sewaktu negara kita berbentuk negara serikat, Republik Indonesia yang
beribukota di Yogjakarta pada tanggal 20 April 1948 mengundangkan Undang-
Undang No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja. Setelah kembali ke bentuk negara
kesatuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 diberlakukan ke seluruh wilayah
110 Ibid.
68
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Undang-Undang No. 2 Tahun
1951 tanggal 1 Januari 1951.111
Undang-undang kerja di atas, sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan
umumnya dimaksudkan sebagai undang-undang pokok yang memuat aturan-aturan
dasar tentang112 :
a. Pekerjaan anak;
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur
tentang norma kerja mulai Pasal 68, yang mana pasal ini melarang keras pengusaha
mempekerjakan anak. Anak dianggap bekerja apabila berada di tempat kerja, kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya.113
Kalau diperhatikan, ketentuan dan dasar dikeluarkannya Pasal 68 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dapat dimengerti, lebih-lebih
kalau dikaitkan dengan ketentuan wajib belajar yang telah dicanangkan pemerintah.
Ketentuan wajib belajar pertama kali dikeluarkan tahun 1950 berdasarkan Undang-
Undang No. 4 yang menetapkan bahwa semua anak yang sudah berusia enam tahun
berhak dan yang sudah berusia delapan tahun wajib belajar sedikit-sedikitnya 6
(enam) tahun lamanya.114
Dengan demikian, anak-anak yang berusia 14 (empat belas) tahun ke bawah
seharusnya sedang giat-giatnya belajar, bukan bekerja. Tugas para orang tua untuk
111 Ibid., hal. 91. 112 Ibid. 113 Ibid., hal. 92. 114 Ibid.
69
bekerja mencarikan biaya hidup demi kelancaran pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan anak-anak.115
Namun kenyataannya, sampai sekarang banyak anak-anak yang terpaksa ikut
serta membanting tulang, bekerja untuk membantu orang tuanya meskipun hanya
sekedar sebagai “peladen” pada tukang bangunan atau pelayan toko, dan lain-lain.
Mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolahnya, demi meringankan beban
ekonomi yang menghimpit keluarga karena tidak bisa ditanggung oleh orang tua
mereka sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perekonomian negara kita
memang belum memungkinkan untuk membebaskan anak dari pekerjaan. Oleh
karena itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih lanjut
mengatur tentang pekerjaan anak ini sebagai berikut116 :
a. Bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan
untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Pengusaha yang
mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan dimaksud harus memenuhi
persyaratan, sebagai berikut :
1). Izin tertulis dari orang tua atau wali;
2). Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
3). Waktu kerja maksimum tiga jam sehari;
4). Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
5). Keselamatan dan kesehatan kerja;
115 Ibid. 116 Ibid., hal. 93.
70
6). Adanya hubungan kerja yang jelas; dan
7). Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Pasal 69 ayat (2)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
b. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan syarat, sebagai
berikut :
1). Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
2). Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Anak dapat juga melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan
minatnya. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan
bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usianya tersebut tidak
terhambat. Untuk itu, pengusaha yang mempekerjakan anak dalam pekerjaan
yang berkaitan dengan perkembangan minat dan bakat ini, diwajibkan untuk
memenuhi persyaratan, sebagai berikut :
1). Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
2). Waktu kerja paling lama tiga jam sehari; dan
3). Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik,
mental, sosial, dan waktu sekolah.
Selanjutnya, berkaitan dengan larangan untuk mempekerjakan anak, Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih menekankan lagi,
“siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
71
terburuk” (Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan). Pekerjaan-pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah117 :
a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya;
b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak
untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak
untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya; dan/ atau
d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak.
Hal tersebut di atas juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan untuk Anak.118
Di samping itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
hal yang berkaitan dengan pekerjaan anak ini dalam Pasal 75, mengatakan bahwa :
”Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran dan sebagainya”.
Penanggulangan ini dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi anak
yang bekerja di luar hubungan kerja tersebut. Upaya itu harus dilakukan secara
terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait.119
b. Pekerjaan orang muda;
117 Ibid., hal. 94-95. 118 Ibid., hal. 95. 119 Ibid.
72
c. Pekerjaan wanita;
Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidaklah semudah yang
dibayangkan. Masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan, mengingat hal-hal
sebagai berikut120 :
a. Para wanita umumnya bertenaga lemah, halus tetapi tekun;
b. Norma-norma susila harus diutamakan agar tenaga kerja wanita tidak
terpengaruh oleh perbuatan negatif dari tenaga kerja lawan jenisnya, terutama
kalau dipekerjakan pada malam hari;
c. Para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
halus yang sesuai dengan kehalusan sifat dan tenaganya;
d. Para tenaga kerja itu ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami
atau berkeluarga yang dengan sendirinya mempunyai beban-beban rumah
tangga yang harus dilaksanakan pula.
Apa yang dikemukakan oleh Gunawi Kartasapoetra di atas memang ada
benarnya. Seluas-luasnya emansipasi yang dituntut oleh kaum perempuan (agar dia
mempunyai kedudukan yang sama dengan pria), namun secara kodrati dia tetap
seorang perempuan yang mempunyai kelemahan-kelemahan yang harus dipikirkan.
Iman Soepomo mengatakan bahwa : “memang ada kalanya badan wanita itu lemah,
yaitu pada saat harus memenuhi kewajiban alam, misalnya pada saat
melahirkan/gugur kandungan, dan bagi beberapa wanita juga pada waktu haid”.121
120 Gunawi Kartasapoetra, et.al., Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan
Hubungan Kerja, (Bandung : Armico, 1982), hal. 43, dikutip Zaeni Asyhadie, Op.cit., hal. 95. 121 Ibid., hal. 96.
73
Semuanya itu harus menjadi pertimbangan dalam menentukan norma kerja
bagi perempuan. Untuk itu maka Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dimulai pada Pasal 76 menentukan norma kerja perempuan, sebagai
berikut122 :
a. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Ini bahwa
pengusaha yang harus bertanggung jawab atas ketentuan dilarang
mempekerjakan perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00
tersebut;
b. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan yang hamil
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan 07.00;
c. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00
sampai dengan 07.00, wajib :
1). Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
2). Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
d. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
05.00.
d. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso; dan
122 Ibid.
74
Penggunaan istilah “waktu kerja”, “mengaso”, dan “waktu istirahat” adalah
untuk mempermudah pengertian. Berikut pengertian ketiga istilah tersebut123 :
- Waktu kerja adalah waktu efektif dimana pekerja/buruh hanya
melaksanakan pekerjaannya;
- Waktu mengaso adalah waktu antara, yaitu waktu istirahat bagi
pekerja/buruh setelah melakukan pekerjaan empat jam berturut-turut
yang tidak termasuk waktu kerja;
- Waktu istirahat adalah waktu cuti, yaitu waktu dimana pekerja/buruh
diperbolehkan untuk tidak masuk bekerja karena alasan-alasan tertentu
yang diperbolehkan oleh undang-undang.
1. Waktu Kerja dan Waktu Mengaso
Waktu kerja menurut ketentuan Pasal 77 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, adalah :
(1) 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) seminggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu;
(2) 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
Waktu kerja tersebut di atas harus diselingi waktu mengaso paling sedikit 30
(tiga puluh) menit setelah pekerja/buruh bekerja 4 (empat) jam berturut-turut.
Ketentuan waktu kerja yang dimaksudkan di atas tidak berlaku bagi sektor-sektor
123 Ibid., hal. 97.
75
usaha tertentu, seperti pengerjaan pengoboran minyak lepas pantai, sopir angkutan
jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal laut, atau penebangan hutan.124
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan
karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan
memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang
mendesak, yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihidari sehingga
pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.125
Dalam hal yang demikian, pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat126 :
(1) Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan;
(2) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam satu minggu;
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh untuk kerja lembur wajib
membayar upah kerja lembur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-102/MEN/VI/2004
Pasal 7 menentukan perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu
kerja lembur berkewajiban127 :
a. Membayar upah kerja lembur;
b. Memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;
124 Ibid., hal. 98. 125 Ibid. 126 Ibid., hal. 99. 127 Ibid.
76
c. Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila
kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam lebih.
Dalam hal upah lembur perhitungan dari besarnya ditentukan, sebagai
berikut128 :
a. Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan;
b. Cara menghitung upah 1 (satu) jam adalah 1/173 kali upah 1 (satu) bulan;
c. Dalam hal upah dibayar secara harian, maka perhitungan besarnya upah 1
(satu) bulan adalah upah 1 (satu) hari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi
pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, atau
dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu;
d. Dalam hal upah dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah 1 (satu) bulan
adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir;
e. Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, maka upah
1 (satu) bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan
ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum setempat;
f. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar
perhitungan upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah
lembur adalah 100% dari upah;
g. Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap dan tunjangan
tidak tetap, maka dasar perhitungan upah lembur adalah 75% dari upah.
Cara perhitungan upah lembur sebagai berikut129 :
128 Ibid., hal. 100.
77
a. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :
- Untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar satu setengah
kali upah sejam;
- Untuk setiap jam lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar dua kali
upah sejam.
b. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari
libur resmi untuk waktu kerja enam hari kerja empat puluh jam seminggu,
maka :
- Perhitungan upah kerja lembur untuk tujuh jam pertama dibayar dua kali
upah sejam, dan jam kedelapan dibayar tiga kali upah sejam dan jam
lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar empat kali upah kerja;
- Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah
lembur lima jam pertama dibayar dua kali upah sejam, jam keenam tiga
kali upah sejam, jam keenam tiga kali upah sejam dan jam lembur ketujuh
dan kedelapan empat kali upah sejam.
c. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari
libur resmi untuk waktu kerja lima hari kerja empat puluh jam seminggu,
maka perhitungan upah kerja lembur untuk delapan jam pertama dibayar dua
kali upah sejam, jam kesembilan dibayar tiga kali upah sejam dan jam
kesepuluh dan kesebelas empat kali upah sejam.
2. Waktu Istirahat (Cuti)
129 Ibid.
78
Waktu istirahat (cuti) bagi pekerja/buruh ditetapkan hampir sama dengan
waktu cuti bagi Pegawai Negeri Sipil. Bahkan, dapat dikatakan lebih banyak karena
pekerja/buruh mempunyai cuti panjang dan cuti haid bagi pekerja/buruh
perempuan.130
Secara yuridis, waktu cuti bagi pekerja/buruh ada empat macam, yaitu cuti
mingguan, cuti tahunan, cuti panjang, serta cuti panjang, serta cuti hamil/bersalin dan
haid bagi pekerja/buruh perempuan.131
a. Cuti mingguan
Cuti mingguan ditetapkan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu, atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Cuti
mingguan ini sebetulnya tidak tepat untuk dikategorikan sebagai cuti sebab sudah
merupakan kewajaran kalau dalam 1 (satu) minggu itu ada 6 (enam) hari kerja seperti
pegawai lainnya. Oleh karena itu, istirahat mingguan ini lebih tepat kalau dimasukkan
sebagai ”waktu kerja”. Misalnya dengan menetapkan bahwa ”waktu kerja adalah 6
(enam) atau 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu”. Jadi, dengan sendirinya 1 (satu)
atau 2 (dua) hari dalam 1 (satu) minggu itu akan dipergunakan untuk istirahat oleh
pekerja/buruh.132
b. Cuti tahunan
Pasal 79 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menentukan bahwa cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas)
hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
130 Ibid., hal. 101. 131 Ibid. 132 Ibid., hal. 102.
79
bulan secara terus-menerus. Cuti tahunan ini harus dimohonkan kepada pengusaha,
artinya harus dengan persetujuan pengusaha. Meskipun cuti tahunan ini merupakan
hak pekerja/buruh, ”ketentuan harus dengan permohonan” dimaksudkan untuk
mengkaji apakah pekerjaan pada saat mengajukan permohonan cuti itu sedang
menumpuk atau tidak. Jika menumpuk, pengusaha dapat menunda permohonan cuti
tahunan pekerja/buruh, atau malah dapat mengganti hak cuti ini dengan uang
pengganti kerugian.133
c. Cuti panjang
Cuti panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 (enam) tahun berturut-turut pada perusahaan yang sama, dengan
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi untuk cuti tahunan dalam 2 (dua)
tahun berjalan. Selama pekerja/buruh menjalankan cuti panjang, pekerja/buruh
diberikan uang kompensasi hak istirahat tahunan kedelapan ½ (setengah) bulan gaji.
Bagi perusahaan yang di dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan/atau
perjanjian kerja bersama mengatur tentang hak cuti tahunan yang lebih baik dari
ketentuan ini, perusahaan yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengubah
ketentuannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Di samping cuti panjang, pengusaha juga diwajibkan untuk
memberikan kesempatan secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.134
133 Ibid. 134 Ibid., hal. 103.
80
d. Cuti haid, hamil/bersalin
Bagi pekerja/buruh perempuan yang merasa sakit sewaktu mengalami ”datang
bulan” harus memberitahukan kepada pengusaha, dan tidak wajib bekerja untuk hari
pertama dan kedua di masa haidnya tersebut. Pekerja/buruh perempuan berhak
memperoleh cuti satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan satu
setengah bulan setelah melahirkan anak menurut perhitungan dokter atau bidan. Di
samping itu, bagi pekerja buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan
berhak untuk cuti yaitu satu setengah bulan sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.135
Selama menjalankan cuti tersebut di atas, pekerja/buruh tetap berhak atas
upah atau gaji. Di samping ketentuan-ketentuan cuti tersebut di atas, Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 85 menentukan beberapa
hal sebagai berikut :
(a) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi;
(b) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari
libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau
dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan
kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha;
(c) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi wajib
membayar upah kerja lembur;
(d) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
135 Ibid., hal. 104.
81
e. Tempat kerja dan perumahan buruh : untuk semua pekerjaan tidak membeda-
bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, pabrik, rumah sakit, perusahaan
pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain.
Hal tersebut dilakukan karena undang-undang pokok tentu saja Undang-
Undang No. 12 Tahun 1948 tersebut memerlukan peraturan pelaksanaan yang lebih
rinci. Namun, untuk melaksanakan ketentuan undang-undang kerja ini secara
sekaligus tentu tidak mungkin, karena bisa menimbulkan ketimpangan-ketimpangan
dalam masyarakat (perusahaan), mengingat keadaan perusahaan-perusahaan pada
awal kemerdekaan masih sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut dikeluarkan secara bertahap, yang pada
akhirnya sempat dikeluarkan adalah136 :
a. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1950 yang memerlukan waktu kerja,
istirahat, dan mengaso serta mengatur tata cara pengusaha untuk dapat
mengadakan penyimpangan dari waktu kerja; dan
b. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1954 yang mengatur tentang berlakunya
ketentuan cuti tahunan bagi pekerja/buruh.
Berbeda dengan undang-undang pokok lainnya, undang-undang kerja
mempunyai ketentuan bahwa semua ketentuan yang tercantum dalam undang-undang
tersebut tidak akan berlaku sebelum dikeluarkan peraturan pelaksanaannya. Oleh
karena itu, sampai saat undang-undang kerja dicabut dengan Undang-Undang No. 13
Tahun 2003, tanggal 25 Maret 2003, peraturan pelaksanaan yang baru keluar hanya
136 Ibid.
82
kedua peraturan pemerintah di atas, maka hanya kedua aturan undang-undang kerja
itu yang sempat berlaku.137
Keselamatan Kerja
Pengertian keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan
mesin, pesawat alat kerja, bahan, dan proses pengelolaannya, landasan tempat kerja
dan lingkungannya, serta cara-cara melakukan pekerjaan.138
Objek keselamatan kerja adalah segala tempat kerja, baik di darat, di
permukaan air, di dalam air, dan di udara. Sedangkan pengertian kesehatan kerja
adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh
keadaan yang sempurna, baik fisik, mental maupun sosial, sehingga memungkinkan
dapat bekerja secara optimal.139
Adapun tujuan upaya keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan untuk
melindungi keselamatan tenaga kerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal, dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian
bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam Pasal 86 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu :
1). Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
(1). Keselamatan dan kesehatan kerja;
(2). Moral dan kesusilaan;
137 Ibid. 138 Ibid., hal. 104-106. 139 Ibid., hal. 106-108.
83
(3). Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama.
2). Untuk melindungi keselamatan pekerja guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan
kerja;
3). Perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan tertentu.
Jadi, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen dan kesehatan
kerja. Apalagi mengingat resiko tenaga kerja sangat berat. Mengenai manajemen
kesehatan kerja yang berkaitan dengan waktu kerja harus mendapat persetujuan dari
Dinas Tenaga Kerja tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal ini dilakukan agar
dapat sejalan dengan undang-undang dimaksud, tetapi selalu saja di simpangi oleh
pejabat-pejabat/pegawai-pegawai di lingkungan instansi terkait. Seperti pembuatan
izin penyimpangan waktu kerja yang membutuhkan tanda tangan dari Kepala Seksi
ataupun Kepala Dinas, perusahaan harus menyediakan sejumlah uang untuk diberikan
kepada pejabat berwenang terkait agar dikeluarkan izin perusahaan berkaitan dengan
penyimpangan waktu kerja.
f. Pengupahan
Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Dalam rangka perlindungan pengupahan dan untuk
84
memenuhi penghidupan yang layak tersebut, Pemerintah menetapkan kebijakan atau
ketentuan mengenai140 :
a. upah minimum baik menurut provinsi dan atau kota/kabupaten, maupun
menurut sektor dan atau sub sektor;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain;
e. upah karena menjalankan hak istirahat kerja;
f. bentuk dan cara pembayaran upah termasuk skala upah, pembayaran
pesangon dan pemungutan pajak.
Setiap pengusaha diminta menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi serta
melakukan peninjauan upah secara berkala.141
Pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja tidak masuk kerja
karena142 :
a. sakit dalam 4 bulan pertama 100%, 4 bulan kedua 75%, 4 bulan ketiga 50%,
hingga dalam 4 bulan keempat 25%;
b. menikah (3 hari), menikahkan anak (2 hari), mengkhitankan atau
membabtiskan anak (2 hari), isteri melahirkan atau keguguran kandungan (2
hari), anggota keluarga meninggal dunia (2 hari);
140 Payaman J. Simanjuntak, Undang-Undang yang Baru tentang Ketenagakerjaan, (Jakarta :
Kantor Perburuhan Internasional, 2003), hal. 32. 141 Ibid. 142 Ibid.
85
c. sedang menjalankan kewajiban negara;
d. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
e. pekerjaan yang dijanjikan pengusaha tidak tersedia;
f. melaksanakan hak istirahat atau cuti;
g. melaksanakan tugas serikat pekerja atas persetujuan pengusaha;
h. melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, maka harus
didahulukan pembayaran upah dan hak-hak pekerja lainnya. Tuntutan pembayaran
upah dan pembayaran lainnya menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu
dua tahun sejak timbulnya hak.143
Pengupahan merupakan sebagai salah satu aspek penting dalam perlindungan
hukum tenaga kerja atau pekerja. Besarnya upah yang diperoleh didasarkan atas
perjanjian kerja atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi.
Tabel 1 Upah Minimum Kota Medan
Nama Kota Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Medan 750.000 820.000 918.000 1.020.000 1.100.000
Sumber : Pemerintah Kota Medan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pada UMK Medan ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Sumatera Utara
No. 561/5492/K/2009 tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun 2010
memerintahkan bahwa perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan
karyawan/pekerja/buruh agar memberikan upah sebesar Rp. 1.100.000,- per bulannya.
143 Ibid., hal. 33.
86
Bagi perusahaan yang belum mengeluarkan upah seperti yang disebutkan di atas,
maka selanjutnya agar meningkatkan upah yang diberikan kepada pekerja/buruh.
Apabila ada perusahaan yang sudah memberikan upah melebihi UMK agar tidak
menurunkan upah yang diberikan tersebut. Peraturan ini berlaku sejak 1 Januari 2010.
Kenyataannya di dalam masyarakat atau di dunia kerja, masih banyak
perusahaan-perusahaan yang membandel tidak menaikkan upah karyawannya.
Sebagai contoh dapat dilihat pada perusahaan PT. Lafarge Cement Indonesia yang
satpamnya masih menerima Rp. 1.020.000,- seperti upah yang diterima pada tahun
sebelumnya. Padahal kenyataannya surat keputusan tersebut sudah berlaku sejak
Januari 2010, namun pekerja/buruh tersebut tidak menerima upah sebesar yang
ditetapkan oleh Gubernur sampai Agustus 2010.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK, dinyatakan
bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT. Jamsostek
(Persero). Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10
orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan
diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian,
belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta
Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi
ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75% dari jumlah
pekerja mereka belum ter-cover dalam Program JAMSOSTEK.144
Manfaat diselenggarakannya Program JAMSOSTEK bagi tenaga kerja sangat
dirasakan terutama bagi tenaga kerja yang berpenghasilan rendah bahkan masih di
144 Yohandarwati, et.al., Op.cit., hal. 9.
87
bawah upah minimum, apabila mereka atau anggota keluarga sakit ada biaya untuk
pengobatan tanpa mengurangi jumlah upah yang diterimanya.145
Dilihat dari sisi penerimaan pembayaran iuran Tabel 5 di bawah ini146 :
Tabel 2 Jumlah Iuran Pembayaran
NO. PROGRAM JAMSOSTEK JUMLAH (dalam Rupiah) 1. 2. 3. 4.
Jaminan Hari Tua Jaminan Kecelakaan Kerja Jaminan Kematian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
111.921.718.691 9.817.578.916 5.897.834.515
21.249.751.179 Sub Total 148.886.883.301
Sumber : PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan, data tahun 2009.
Jika dilihat dari jumlah pembayaran klaim di bawah ini yang dibayarkan,
maka Tabel 6 adalah sebagai berikut147 :
Tabel 3 Jumlah Program JAMSOSTEK yang Telah Dibayarkan
NO. PROGRAM JAMSOSTEK JUMLAH (dalam Rupiah) 1. 2. 3. 4.
Jaminan Hari Tua Jaminan Kecelakaan Kerja Jaminan Kematian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
81.550.178.536 4.695.010.675 5.661.900.000
11.675.014.237 Sub Total 103.582.103.475
Sumber : PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan, data tahun 2009.
Apabila dibandingkan dari penerimaan dengan pembayaran maka akan
didapat selisih. Selisih inilah yang akan didepositokan, obligasi, reksadana, ataupun
diusahakan dalam pasar modal yang hasilnya akan dikembalikan lagi kepada peserta.
145 “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Melalui Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Pada PT. Refi Chemical Industry Yogjakarta”, http://www.skripsi-tesis.com/07/27/pelaksanaan-perlindungan-hukum-terhadap-tenaga-kerja-melalui-jaminan-sosial-tenaga-kerja-pada-pt-refi-chemical-industry-yogyakarta-pdf-doc.htm., diakses pada 04 Agustus 2010.
146 PT. Jamsostek (Persero) Kanwil I, Op.cit., hal. 2. 147 Ibid., hal. 3.
88
2. Program JAMSOSTEK Sebagai Mitra Pengusaha
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas adalah “badan hukum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya”.
Pengertian atau definisi tentang perusahaan dikemukakan oleh para ahli,
namun secara ringkas dapat dikatakan bahwa
“Perusahaan adalah suatu unit kegiatan produksi yang mengolah sumber-sumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan agar dapat memuaskan kebutuhan masyarakat”.148
Perusahaan bertugas mengolah sumber-sumber ekonomi atau sering juga
disebut faktor-faktor produksi. Sumber-sumber ekonomi tersebut dapat
dikelompokkan dalam 4M, yaitu : Manusia (Men); Uang (Money); Material
(Materials); dan Metode (Methods).149
Manusia, di sini tidak hanya berperan sebagai tenaga kerja di perusahaan
namun juga berperan sebagai konsumen dari produk perusahaan. Pada masa sekarag
harus diusahakan agar tenaga kerja ini betul-betul menjadi teman atau pasangan bagi
perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan, sebab meskipun sudah banyak
digunakan mesin-mesin tetapi faktor manusia tetap berperan di dalamnya. Perusahaan
148 Murti Sumarni dan John Soepriharto, Pengantar Bisnis : Dasar-Dasar Ekonomi
Perusahaan, Edisi Ketiga, (Yogjakarta : Liberty, 1993), hal 5, dikutip Surya Perdana, Op.cit., hal. 10. 149 Ibid., hal 10-11.
89
perlu memperhatikan bagaimana cara mengelola tenaga kerja dengan sebaik-
baiknya.150
Uang atau modal usaha (money), yaitu sejumlah uang atau barang yang dibeli
dengan uang tersebut untuk membuat produk yang lain. Barang modal disini adalah
mesin, peralatan pabrik, alat-alat transportasi, dan lain-lain. Untuk itu perusahaan
harus mengusahakan bagaimana keuangan perusahaan dapat dikelola dengan
cermat.151
Material (materials), ini sangat berpengaruh sekali terhadap kelancaran proses
produksi, sebab merupakan faktor pendukung utama dalam proses produksi.
Termasuk disini adalah bahan baku, bahan pembantu, tanah atau proses produksi
serta bahan lain sebagai penunjang proses produksi.152
Metode (methods), yaitu merupakan suatu pelaksanaan kerja produktif
misalkan pengambilan keputusan, pemberian ide atau inisiatif dari pemikiran yang
kesemuanya itu ditujukan agar pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang dapat
berjalan lancar. Singkatnya, di dalam metode ini adalah pelaksanaan manajemen
perusahaan atau pengelolaan perusahaan. Bagaimana agar dengan sumber-sumber
ekonomi yang adanya serba terbatas itu dapat diwujudkan barang/jasa yang dapat
memuaskan konsumen serta sekaligus dapat memberikan keuntungan bagi
perusahaan. Pada masa sekarang ini pemuasan kebutuhan masyarakat (konsumen)
150 Ibid., hal 11. 151 Ibid. 152 Ibid.
90
akan dapat tercapai apabila didukung oleh sistem pelayanan yang baik dari pihak
perusahaan.153
Di dalam perusahaan, sumber-sumber ekonomi tersebut diproses agar menjadi
barang/jasa yang ditujukan untuk memusatkan kebutuhan konsumen sekaligus dapat
memberikan keuntungan bagi perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut,
diterapkannya prinsip ekonomi yaitu dengan pengorbanan tertentu diharapkan dapat
diperoleh hasil atau keuntungan maksimum.154
Organisasi sosial adalah bersifat umum, baik yang menyangkut masalah sosial,
politik, ekonomi, budaya, keagamaan, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud
dengan sistem adalah kesatuan yang menyeluruh dan terorganisasikan, terdiri atas dua
atau lebih bagian atau komponen atau sub sistem yang dipisahkan oleh batas yang
dapat diidentifikasikan dari supra sistem lingkungan (environmental suprasystem)
yang lebih luas. Sebenarnya pengertian sistem meliputi spektrum yang sangat luas
baik dalam kebendaan, alam biologi maupun alam kemasyarakatan.155
153 Ibid. 154 Ibid., hal. 12. 155 Ibid.
91
BAB III
HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI JAMSOSTEK DALAM
MELINDUNGI TENAGA KERJA DI KOTA MEDAN
Meski Program JAMSOSTEK sudah dicanangkan pada tahun 1992, ternyata
masih banyak perusahaan dan pekerja/buruh belum terdaftar sebagai peserta
JAMSOSTEK sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja dengan berbagai peraturan pelaksanaannya,
menyatakan : “setiap tenaga kerja berhak atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan
wajib dilakukan oleh setiap perusahaan dan bila tidak dilaksanakan akan dikenakan
sanksi”.156
A. Hambatan Kelembagaan
Untuk pengembangan dan peningkatan peran seperti yang disebutkan pada
BAB II di atas maka ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi PT. Jamsostek
(Persero). Salah satunya adalah masih banyak kendala dalam sistem jaminan sosial di
Indonesia. Misalnya, dalam kasus pencanangan Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). SJSN sebenarnya sangat positif, karena akan dapat dinikmati semua lapisan
masyarakat, bukan hanya untuk pekerja/buruh di sektor formal. Pekerja/buruh
156 Thoga M. Sitorus, “Masih Banyak Pekerja/Buruh Belum Tersentuh Program Jamsostek”,
www.sinarIndonesia.com., diakses pada 10 November 2006, dikutip Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 204.
92
informal, bahkan penganggur sekalipun bisa menikmatinya. Namun, aturan dan
administrasi badan yang mengelola program tersebut masih belum jelas.157
Jika pelaksanaan SJSN berpedoman pada sistem yang diterapkan di beberapa
negara lain, seperti Thailand, pemerintah harus menyediakan dana yang besar. Di
Thailand, untuk jaminan sosial masyarakat miskin, seperti petani dan pengangguran,
iurannya disubsidi oleh pemerintah. Adapun di Indonesia, iuran jaminan sosial untuk
Pegawai Negeri Sipil saja tidak disubsidi pemerintah. Hal ini berbeda dengan
pegawai swasta, dimana tanggungan perusahaan untuk JAMSOSTEK justru lebih
besar.158
Mengenai perlunya perubahan status PT. Jamsostek (Persero) menjadi badan
dan bukan persero lagi. Langkah ini dilakukan untuk menghindarkan kewajiban PT.
Jamsostek (Persero) sebagai BUMN menyerahkan deviden kepada pemerintah,
sehingga dana itu bisa digunakan untuk kesejahteraan kaum pekerja/buruh. Jika
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah
diubah maka jaminan sosial ini akan dikelola oleh Tripartit.159
Langkah ini cocok dengan praktik yang dilakukan di banyak negara lain. Di
negara-negara tersebut, lembaga yang memberi JAMSOSTEK bukanlah terbentuk
persero, tetapi berupa badan yang dikelola oleh wakil pekerja/buruh dan
pengusaha.160
157 Ibid., hal. 213. 158 Ibid. 159 Ibid. 160 Ibid.
93
Pihak PT. Jamsostek (Persero) sebenarnya sudah lama menyadari hal itu dan
sudah melakuka beberapa langkah ke arah sana. Misalnya, tidak semua deviden
diserahkan ke pemerintah, namun dikembalikan kepada kaum pekerja/buruh, dalam
bentuk : kredit pemilikan rumah; bantuan untuk korban PHK; bantuan koperasi
karyawan; dan bantuan poliklinik karyawan.161
1. Lemahnya Sistem Pengawasan
Sudah saatnya pemerintah tidak lagi bersikap toleransi terhadap pelaksanaan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Ini
berkaitan dengan tekad pemerintah meningkatkan perlindungan hukum dan
kesejahteraan pekerja. Sikap tegas perlu diambil mengingat masih banyaknya
perusahaan yang belum ikut serta dalam Program JAMSOSTEK dan bukan hanya
dilihat dari bentuk kepesertaannya. Jadi pelaksanaan undang-undang tersebut harus
secara utuh.162
Ketentuan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 dan Peraturan
Pemerintah No. 14 Tahun 1993 serta peraturan pelaksanaannya merupakan landasan
hukum bagi perlindungan pekerja di bidang JKK, JK, JHT, JPK, dan Pelayanan
Kesehatan bagi keluarga karyawan dalam satu paket. Pelanggar terhadap ketentuan
161 Ibid. 162 Gerry Silaban, “Program Jamsostek, Hambatan dan Upaya Mengejar Kepesertaan”,
http://library.usu.ac.id/download/fkm/k3-gerry2.pdf., diakses pada 19 Agustus 2010, hal. 3-4.
94
ini diancam sanksi hukum berupa denda sebesar Rp. 50 juta atau 6 bulan kurungan
penjara.163
2. Peranan Pengawas Ketenagakerjaan Belum Optimal
Dilihat dari sisi pengawasan Program JAMSOSTEK disini dilakukan oleh
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan oleh Departemen Tenaga Kerja di Tingkat
Provinsi dan Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) sebagai pengawas
pada Tingkat Kabupaten/Kota.
Apabila ada temuan di lapangan, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan di Kota
Medan wajib melaporkan hal tersebut ke Kepolisian untuk diproses lebih lanjut.
Kepolisian disini berfungsi untuk menegur pengusaha agar tidak semena-mena
terhadap karyawan/buruh.
Dalam hal teguran tersebut tidak digubris, barulah laporan dibuat Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) oleh Kepolisian untuk diserahkan kepada Kejaksaan agar dituntut
pengusaha tersebut. Kejaksaan menuntut dengan memeriksa kembali berkas BAP
Kepolisian untuk dinaikkan ke tingkat pengadilan.
Penegakan peraturan dan perundang-undangan (law enforcement) merupakan
jalan terakhir terhadap pelanggaran Program JAMSOSTEK dan ini pekerjaan yang
tidak ringan mengingat jumlah pegawai Pengawas Disnaker yang tersedia saat ini
terbatas hanya 1.194 orang, kemudian kemungkinan terjadinya ”main mata” (kolusi)
antara oknum pengawas dengan pengusaha dan adanya perusahaan yang dilindungi
163 Ibid.
95
oleh pejabat sehingga kebal hukum. Walaupun demikian, hingga 31 Maret 1995
sebanyak 30.963 perusahaan yang telah diperiksa, 119 diantaranya sudah masuk
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sedangkan yang sudah dijatuhi hukuman oleh
pengadilan sebanyak 16 perusahaan.164
3. Dukungan Pemerintah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
Tidak Maksimal
Sementara Surat Keputusan Gubernur No. 560/293.K/2005 tentang
Koordinasi Fungsional (KF) pelaksanaan Program JAMSOSTEK di Provinsi
Sumatera Utara melalui Tim KF yang tugasnya, antara lain : penyelesaian kasus-
kasus JAMSOSTEK; meningkatkan kepesertaan JAMSOSTEK; pembinaan
kepesertaan JAMSOSTEK; dan penegakan hukum (law enforcement), serta
memberikan petunjuk terhadap pembentukan Tim KF di Kabupaten/Kota. Namun
Tim KF tersebut belum berjalan maksimal. Terbukti dari masih banyaknya keluhan
yang datang dari daerah-daerah (kabupaten/kota) saat diadakannya sosialiasi oleh PT.
Jamsostek (Persero) Kantor Wilayah I, tentang Peraturan Menakertrans No. 24 Tahun
2006 di Medan baru-baru ini. Menurut mereka Tim KF di Kabupaten/Kota belum
berfungsi dan masih banyak yang belum memiliki data kepesertaan Program
JAMSOSTEK. Selain itu, agar Tim KF provinsi lebih pro-aktif dalam melakukan
koordinasi.165
164 Ibid. 165Ibid., hal. 207.
96
4. Hambatan dari Sumber Daya Manusia
Apabila kelemahan dari PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan ditinjau dari
segi Sumber Daya Manusia-nya maka akan ditemui jumlah Account Officer dengan
jumlah perusahaan maupun cakupan wilayah kerja tidak sebanding, sehingga
menimbulkan adanya area kosong dan atau perusahaan peserta dan belum peserta
yang kurang mendapat pembinaan.
5. Pengaruh Birokrasi Tidak Satu Pintu Pada Saat Pengajuan Klaim
Para pekerja/buruh juga sering mengeluhkan besarnya hambatan birokrasi
yang dihadapi apabila mereka mengajukan klaim ke PT. Jamsostek (Persero).166
Hanya Program Jaminan Kesehatan saja yang dianggap relatif bersih dari masalah
tersebut. Karena faktor-faktor tersebut, sebagian besar pekerja/buruh yang mengikuti
Program JAMSOSTEK menganggap pungutan JAMSOSTEK sebagai suatu pajak,
bukanlah suatu jaminan sosial untuk mereka. 167 Karena ketidakpercayaan
pakerja/buruh ini, terdapat kecenderungan bagi pekerja/buruh untuk mengambil
pensiun dini, seperti yang terjadi pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia mulai
tahun 1997. Dalam hal ini, dana JAMSOSTEK ternyata telah menjadi pengganti
(substitutes) bagi dana asuransi pengangguran, yang sampai saat ini belum ada di
Indonesia. Akibat dari penarikan dana awal ini, jumlah dana yang ada di PT.
Jamsostek (Persero) menjadi berkurang, sehingga kemungkinan dapat mempengaruhi
166 Selma Widhi Hayati & Munir, “Questioning the Social Security System in Post-Suharto
Indonesia”. (Asian Labor Updates, Issue 35, June-August, 2000), dikutip Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 210.
167 Chad Leechor, Reforming Indonesia’s Pension System, Policy Research Working Paper No. 1677, (Washington DC : The World Bank, Oktober 1996), hal. 36, dikutip Adrian Sutedi, Op.cit..
97
kemampuan PT. Jamsostek (Persero) untuk membayar klaim para pensiunan di masa
depan.168
Penilaian atas tata kelola Program JAMSOSTEK juga menunjukkan adanya
hal-hal yang perlu diperbaiki dalam pengaturan dan pengelolaan program ini.
Misalnya, biaya administrasi PT. Jamsostek (Persero), yaitu sebesar 11,7% dari total
pungutan PT. Jamsostek (Persero), jauh lebih tinggi daripada biaya administrasi
perusahaan jaminan sosial di ASEAN lainnya. Sebagai contoh, di Malaysia hanya 2%
dan di Singapura hanya 0,5%. Juga tidak ada laporan keuangan atau laporan kinerja
PT. Jamsostek (Persero) yang disediakan untuk dan dapat diakses oleh para peserta
Program JAMSOSTEK dan masyarakat umum. 169 Kurangnya transparansi dapat
menyebabkan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan program ini
sendiri.170
Hal-hal seperti ini dapat menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat
terhadap PT. Jamsostek (Persero) sebagai penyelenggara JAMSOSTEK di Indonesia.
Secara objektif akan sangat sulit untuk menjadikan Program JAMSOSTEK sebagai
mekanisme utama bagi sistem perlindungan sosial apabila pengelolaannya masih
tetap seperti sekarang. Pertama, jumlah angkatan kerja Indonesia sangat besar, akan
sangat sulit bagi perusahaan manapun untuk mencapai dan mengelola jumlah nasabah
sebesar itu. Selain itu, kinerja PT. Jamsostek (Persero) dalam mengelola program
jaminan sosial masih belum maksimal. Investasi dalam bentuk deposito merupakan
hal yang umum pada dana pensiun lainnya di Indonesia, baik yang diadakan oleh
168 International Labor Organization, Op.cit., hal. 90, dikutip Adrian Sutedi, Op.cit. 169 Ibid. 170 Ibid.
98
pemerintah maupun sektor swasta memerlukan banyak perbaikan. Oleh karena itu,
sistem monopoli dalam pelaksanaan Program JAMSOSTEK seperti yang masih
berlaku hingga kini perlu dihapuskan karena sistem ini justru merupakan faktor
penghambat bagi pengembangan sistem JAMSOSTEK dan sistem perlindungan
sosial yang ingin dikembangkan.171
Kedua, sebagian besar tenaga kerja Indonesia bergerak di sektor informal,
yaitu sekitar dua pertiga bagian dari total pekerja/buruh. Walaupun perkembangan
perekonomian semakin lama akan semakin memperkecil peranan sektor informal,
tetapi hal ini hanya akan tercapai dalam jangka waktu yang sangat panjang. Oleh
karena itu, perlu dikembangkan skema-skema baru JAMSOSTEK yang sesuai
pekerja/buruh di sektor informal.172
B. Hambatan Eksternal
1. Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Mengenai Program JAMSOSTEK
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah adanya tudingan dari sejumlah
kalangan yang salah kaprah, bahwa PT. Jamsostek (Persero) seolah-
olah ”memonopoli” jaminan sosial untuk pekerja/buruh Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, mereka mengusulkan agar perusahaan-perusahaan swasta juga
diperbolehkan untuk menjalankan program jaminan sosial bagi tenaga kerja Indonesia
tersebut. Usulan ini adalah contoh dari semangat liberalisasi yang salah arah.173
171 Titik Anas, Op.cit., dikutip Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 212. 172 Ibid. 173 Ibid., hal. 214.
99
Jika usulan tersebut dilaksanakan, nasib para pekerja/buruh Indonesia belum
tentu menjadi lebih baik, tetapi justru bisa terancam. Misalnya, perusahaan swasta itu
bisa untung, tetapi juga bisa bangkrut. Jika kondisi buruk itu terjadi, siapa yang akan
menjamin kembalinya uang pekerja/buruh. Tentu, perusahaan swasta tersebut gagal
memberikan jaminan sosial bagi pekerja/buruh dan akan cenderung lepas tangan.
Akhirnya, persoalannya lagi-lagi akan dilempar ke Pemerintah atau DPR dan
menimbulkan keresahan di kalangan pekerja/buruh.174
Sebaliknya, lewat PT. Jamsostek (Persero) atau badan yang akan dibentuk
nanti, pemerintah dapat menjamin hak-hak kaum pekerja/buruh tersebut. Jika yang
dipersoalkan adalah pelayanan yang kurang baik atau belum optimal, pihak PT.
Jamsostek (Persero) tentunya tidak menutup diri dan berbesar hati menerima kritik.
PT. Jamsostek (Persero) dapat melakukan pembenahan, serta meningkatkan kinerja
dan profesionalisme para petugasnya.175
2. Kesadaran Pengusaha Terhadap Kebutuhan Tenaga Kerja
Sementara masih banyak perusahaan belum melaksanakan Program
JAMSOSTEK, tenaga kerja yang bekerja di sektor informal/luar hubungan kerja,
mulai digarap untuk menjadi peserta Program JAMSOSTEK berdasarkan Undang-
Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan
peraturan pelaksanaannya, telah keluar Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. PER-24/MEN/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program
174 Ibid. 175 Ibid.
100
Jamsostek bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja,
yang jumlahnya sangat besar dan memerlukan perlindungan sosial (social
security).176
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kepesertaan Program JAMSOSTEK
bagi pekerja/buruh bersifat wajib dan bahkan merupakan hak, yaitu terdiri atas JKK,
JK, JHT, dan JPK. Secara jelas dan terinci pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 14 Tahun 1993, Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang
Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi No. PER-12/MEN/IV/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran
Kepesertaan Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja. Pembayaran iuran JAMSOSTEK wajib dibayar oleh pengusaha
dan pekerja/buruh. Iuran yang ditanggung pengusaha adalah iuran JKK, JK, dan JPK,
sedangkan iurang JHT ditanggung bersama oleh pengusaha dan pekerja/buruh.
Besarnya iuran JKK terdiri atas lima tarif sesuai dengan tingkat resiko kecelakaan
dengan persentase dari 0,24% - 1,74% dari upah sebulan; iuran JK sebesar 0,3% dari
upah; iuran JPK 3% dari upah bagi pekerja/buruh lajang dan 6% dari upah bagi
pekerja/buruh yang berkeluarga (seluruhnya ditanggung oleh pengusaha). Sedang
untuk iuran JHT sebesar 5,7% yang ditanggung bersama, yaitu 3,7% oleh pengusaha
dan 2% oleh pekerja/buruh.177
Tata cara pembayaran iuran dilakukan oleh pengusaha dengan memungut
iuran yang menjadi kewajiban pekerja/buruh melalui pemotongan upah pekerja/buruh
176 Ibid., hal. 205. 177 Ibid.
101
kemudian membayarkan kepada Badan Penyelenggaraan Jamsostek dalam waktu
yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur. Dalam hal ini, pengusaha
wajib memiliki daftar pekerja/buruh beserta keluarganya, daftar upah beserta
perubahannya dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan. Selain itu, pengusaha juga
wajib menyampaikan data ketenagakerjaan perusahaan sesuai dengan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan ke Instansi
Ketenagakerjaan yaitu Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat yang
digunakan sebagai bukti kepesertaan perusahaan dan pekerja/buruh dalam Program
JAMSOSTEK.178
Melihat Program JAMSOSTEK belum berjalan sebagaimana mestinya, hal ini
dapat dilihat dari masih banyaknya tuntutan dan protes yang datang dari kalangan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB), LSM, DPR/D, dan masyarakat yang
dialamatkan kepada pengusaha dan PT. Jamsostek (Persero) maupun instansi
ketenagakerjaan dan secara luas beritanya disiarkan oleh surat kabar dan media
elektronik, baik nasional maupun daerah. Namun, tampaknya belum juga ada
perubahan yang signifikan.179
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1981, jumlah perusahaan wajib
lapor di Sumatera Utara ± 11.000 perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh ±
1.500.000 orang termasuk (pekerja/buruh kontrak, pekerja/buruh harian lepas,
pekerja/buruh borongan, dan perusahaan kecil). Perusahaan yang terdaftar menjadi
peserta JAMSOSTEK sampai dengan Agustus 2006 baru 6.537 perusahaan/59,42%
178 Ibid. 179 Ibid.
102
(aktif 4.092 perusahaan/37,2%, non-aktif 2.445 perusahaan/62,8%). Adapun jumlah
peserta (pekerja/buruh) terdaftar 704.958 orang (peserta aktif 37.320/24,82%; non-
aktif 667.638 orang/75,18%). Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya peserta
aktif Program JAMSOSTEK dan tentunya sangat merugikan para pekerja/buruh dan
perlu penanganan secara khusus.180.Sedangkan perusahaan yang terdaftar per Juni
2010 adalah 18.419 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1.973.247 untuk Kantor
Wilayah I.181
Tabel 4 Total Peserta Program JAMSOSTEK
JENIS AKTIF NON-AKTIF JUMLAH Perusahaan 10.390 8.029 18.419
Tenaga Kerja 530.218 1.443.029 1.973.247 Sumber : PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan, data per bulan Juni 2010.
Dari Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak aktif dalam
Program JAMSOSTEK hampir ¾ dari jumlah peserta perusahaan. Dilihat dari tenaga
kerjanya dengan jumlah peserta 1.973.247 yang tidak aktif dalam Program
JAMSOSTEK adalah 1.443.029, menunjukkan bahwa peserta tenaga kerja yang tidak
aktif sebanyak ¾ pekerja dari jumlah peserta tenaga kerja.
Melihat data di atas ternyata tingkat kepesertaan Program JAMSOSTEK
masih sangat rendah. Belum lagi faktor adanya pelanggaran pelaksanaan program
yaitu masih dijumpai Perusahaan Daftar Sebagian Upah (PDS Upah), artinya
perusahaan tidak melaporkan upah yang sebenarnya (upah pokok + tunjangan tetap)
dari seluruh pekerja/buruh, tetapi yang dilaporkan hanya sebatas UMP/UMK atau
180 Ibid., hal. 206. 181 PT. Jamsostek (Persero) Kanwil I, “Executive Summary dan Key Performance Indicator
per Bulan Juni 2010”, (Medan : Jamsostek Kanwil I, 2010), hal. 1.
103
upah pokok saja. Demikian juga jumlah pekerja/buruh yang didaftarkan hanya
sebagian saja (PDS TK), artinya tidak semua didaftarkan. Misalnya, jumlah pekerja
500 orang yang didaftar hanya 250 orang saja dan juga hanya mendaftar sebagian
program dari empat program (PDS Program) dan perusahaan yang masih menunggak
iuran.182
Selain itu, perusahaan diizinkan untuk mensubstitusi jaminan kesehatan
JAMSOSTEK dengan program asuransi kesehatan swasta yang dipilih oleh
perusahaan sendiri apabila benefit program asuransi tersebut lebih besar daripada
benefit yang diberikan oleh Program JAMSOSTEK. Akibatnya, sebagian besar
perusahaan memilih untuk tidak mengikuti Program Jaminan Kesehatan PT.
Jamsostek (Persero), yang menyebabkan semakin terbatasnya jumlah benefit yang
ditawarkan oleh Program Jaminan Kesehatan JAMSOSTEK.183
Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah kebenaran data upah, yang
dilaporkan oleh perusahaan kepada PT. Jamsostek (Persero), karena upah sangat
berpengaruh terhadap kemanfaatan dan hak pekerja/buruh. Jangan sampai terjadi,
perusahaan lalai memberikan data upah pekerja/buruh yang akurat, tetapi
pekerja/buruh justru menyalahkan PT. Jamsostek (Persero), karena
dianggap ”menyunat” jaminan yang menjadi haknya. Hal semacam ini pernah
terjadi.184
Kalau melihat kecenderungan yang ada, perkembangan PT. Jamsostek
(Persero) dalam perannya untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja,
182 Adrian Sutedi, Loc.cit. 183 Ibid. 184 Ibid.
104
sebenarnya cukup membesarkan hati. Hal ini seiring dengan meningkatnya kesadaran
di kalangan para pekerja/buruh sendiri, tentang hak-haknya dan pentingnya Program
JAMSOSTEK bagi mereka.185
3. Program Jamsostek Sebagai Beban Pengusaha
Program JAMSOSTEK merupakan program pemerintah yang badan
penyelenggaranya ditunjuk PT Jamsostek (Persero) dalam rangka pelaksanaan
pengalihan resiko yang terjadi terhadap perusahaan yang mempekerjakan tenaga
kerjanya.
Perusahaan dengan mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program
JAMSOSTEK merasakan bahwa pembayaran iuran sebagai kewajiban pengusaha
menjadikan suatu beban, padahal kewajiban tersebut tanpa diikutsertakan dalam
program JAMSOSTEK perusahaan tetap mengeluarkan kewajiban terhadap tenaga
kerja untuk kesejahteraan tenaga kerja. Seperti tenaga kerja mengalami resiko kerja
pada saat bekerja perusahaan berkewajiban untuk memberikan pelayanan dan bantuan
serta perawatan.
Dengan adanya badan penyelenggara PT.Jamsostek (Persero) yang pola
kerjanya lebih profesional dan memenuhi standar sebagai mana diatur dalam
perlindungan kerja pengusaha mestinya lebih nyaman bahwa perlindungan resiko
kerja sudah menjadi tanggaung jawab PT Jamsostek (Persero)
Pandangan pengusaha terhadap program JAMSOSTEK yang negatip, hal
inilah yang perlu diubah cara berpikirnya sehingga dengan mengikutsertakan tenaga
185 Ibid.
105
kerja dalam program JAMSOSTEK bukan menjadikan beban pengusaha tetapi
sebaiknya diubah menjadi kebutuhan perusahaan karena perusahaan ingin
mendapatkan kinerja yang baik dalam produktifitasnya dengan melingungi hak
pekerja sehingga tenaga kerja tidak lagi kawatir terhadap resiko kerja yang dihadapi
dalam melaksanakan tugas pekerjaan demi kepentingan perusahaan.
Guna memudahkan mereka yang menjadi peserta Program JAMSOSTEK
dalam membayar iuran, maka mereka dihimpun dalam satu wadah yang sejenis dalam
bentuk koperasi, seperti Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM), sopir taksi/angkot di
Medan dikenal dengan KPUM, wadah nelayan/tani (HNSI/HKTI), tukang becak,
pedagang kaki lima, dan lain-lain. Dalam jabatan profesi, seperti wartawan (PWI),
dokter (IDI), pengacara, artis, rohaniawan (misalnya kalangan pendeta HKBP di
Sumatera Utara, melalui Kantor Distrik Medan/Aceh) seluruhnya perlu mendapat
perlindungan jaminan sosial. Wadah atau organisasi tersebut selanjutnya melakukan
Ikatan Kerja Sama (IKS) dengan PT. Jamsostek (Persero) sebagai mitra kerja. Wadah,
koperasi, atau organisasi tersebut mempunyai penanggung jawab yang bertugas untuk
menghimpun tenaga kerja, mendaftarkan ke PT. Jamsostek (Persero) setempat,
menghimpun dan menyetor iuran kepada PT. Jamsostek (Persero), membantu
mendistribusikan Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) kepada peserta, mengurus hak-hak
peserta atas jaminan, memperingati peserta yang menunggak iuran dan melaporkan
kepada PT. Jamsostek (Persero).186
Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan tenaga kerja di luar hubungan
kerja dalam membayar iuran maka Program JAMSOSTEK dilaksanakan secara
186 Ibid., hal. 208.
106
bertahap sesuai kebutuhan dan kemampuan dari tenaga kerja bersangkutan. Adapun
iuran Program JAMSOSTEK ditetapkan berdasarkan nilai nominal tertentu, yaitu
sekurang-kurangnya setara dengan upah minimum Provinsi/Kabupaten/Kota setempat
dengan batas usia peserta ditetapkan maksimal 55 tahun. Diharapkan dengan
keluarnya ketentuan/pedoman tentang Program JAMSOSTEK bagi tenaga kerja di
luar hubungan kerja ini, dapat segera ditindaklanjuti oleh instansi ketenagakerjaan
bekerja sama dengan PT. Jamsostek (Persero) setempat dengan melakukan sosialisasi
dan mendorong masyarakat untuk menjadi peserta.187
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah adanya tudingan dari sejumlah
kalangan yang salah kaprah, bahwa PT. Jamsostek (Persero) seolah-
olah ”memonopoli” jaminan sosial untuk pekerja/buruh Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, mereka mengusulkan agar perusahaan-perusahaan swasta juga
diperbolehkan untuk menjalankan program jaminan sosial bagi tenaga kerja Indonesia
tersebut. Usulan ini adalah contoh dari semangat liberalisasi yang salah arah.188
Jika usulan tersebut dilaksanakan, nasib para pekerja/buruh Indonesia belum
tentu menjadi lebih baik, tetapi justru bisa terancam. Misalnya, perusahaan swasta itu
bisa untung, tetapi juga bisa bangkrut. Jika kondisi buruk itu terjadi, siapa yang akan
menjamin kembalinya uang pekerja/buruh. Tentu, perusahaan swasta tersebut gagal
memberikan jaminan sosial bagi pekerja/buruh dan akan cenderung lepas tangan.
187 Ibid. 188 Ibid., hal. 214.
107
Akhirnya, persoalannya lagi-lagi akan dilempar ke Pemerintah atau DPR dan
menimbulkan keresahan di kalangan pekerja/buruh.189
Sebaliknya, lewat PT. Jamsostek (Persero) atau badan yang akan dibentuk
nanti, pemerintah dapat menjamin hak-hak kaum pekerja/buruh tersebut. Jika yang
dipersoalkan adalah pelayanan yang kurang baik atau belum optimal, pihak PT.
Jamsostek (Persero) tentunya tidak menutup diri dan berbesar hati menerima kritik.
PT. Jamsostek (Persero) dapat melakukan pembenahan, serta meningkatkan kinerja
dan profesionalisme para petugasnya.190
5. Pelayanan Terhadap Kepuasan Peserta Masih Rendah
Secara umum, tingkat kepuasan peserta Program JAMSOSTEK dinilai rendah
karena didorong oleh beberapa hal. Pertama, tidak seperti program jaminan sosial di
banyak negara, Program JAMSOSTEK tidak mendistribusikan dana yang
diperolehnya dari peserta yang lebih kaya ke peserta yang lebih miskin. Disamping
itu, Program JAMSOSTEK juga tidak mempunyai jaminan minimum atas jumlah
pensiun yang akan diperoleh para peserta pada saat mereka pensiun. Kedua, peserta
JAMSOSTEK hanya akan menerima jumlah dana yang telah disetorkan kepada PT.
Jamsostek (Persero) ditambah dengan bunga tetap dan tidak menerima bagian dari
hasil investasi PT. Jamsostek (Persero).191
Hal di atas dikarenakan sistem JAMSOSTEK merupakan suatu sistem
tabungan hari tua (provident fund), serta bukan sebuah sistem asuransi sosial dimana
189 Ibid. 190 Ibid. 191 Ibid., hal. 209.
108
selain merupakan tabungan hari tua, jaminan sosial juga berfungsi sebagai sistem
redistribusi pendapatan dari golongan kaya ke golongan miskin. Di negara-negara
yang mempunyai sistem asuransi sosial, fungsi redistribusi, jaminan minimum, dan
masuknya hasil investasi jaminan sosial sebagai bagian dari paket pensiun diterima
pekerja/buruh sering dipergunakan untuk insentif bagi pekerja/buruh untuk mengikuti
program jaminan sosial.192
Tanpa adanya fungsi-fungsi tersebut, ketertarikan pekerja/buruh dan
perusahaan untuk mengikuti program jaminan sosial sangat berkurang. Hal ini
dibuktikan dengan temuan yang menyebutkan bahwa hanya sekitar 50% dari
perusahaan yang dikategorikan wajib mengikuti Program JAMSOSTEK yang
menyetor iuran ke PT. Jamsostek (Persero). Jumlah ini menunjukkan bahwa banyak
pekerja/buruh dan perusahaan yang merasa bahwa Program JAMSOSTEK tidak
membawa manfaat untuk mereka, sehingga mereka tidak mau mengikuti Program
JAMSOSTEK.193
6. Standar Rumah Sakit Sebagai Provider Belum Memenuhi Harapan
Demikian juga halnya dengan pelayanan kesehatan JPK tidak sedikit
pekerja/buruh dan keluarganya yang mengeluh atas pelayanan rumah sakit/klinik
(provider PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan), belum memenuhi harapan. Tidak
jarang peserta JAMSOSTEK harus menanggung sendiri obat yang dibutuhkan. Oleh
192 Ibid. 193 International Labor Organization, Social Security and Coverage for All : Restructing the
Social Security Scheme in Indonesia – Issues and Options, (Jakarta : International Labor Organization, 2003), hal. 63, dikutip Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 209.
109
karena itu, banyak perusahaan yang keluar dari Program JAMSOSTEK dan
melaksanakan sendiri pelayanan kesehatan melalui rumah sakit yang lebih baik,
kesehatan pekerja/buruh terjamin dan akan bekerja lebih produktif.194
194 Ibid.
110
BAB IV
UPAYA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DALAM
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
DI KOTA MEDAN
Tenaga kerja atau buruh adalah aset, sebagai aset mereka harus diperhatikan,
baik kesehatannya maupun keselamatannya. Dengan adanya jaminan keselamatan
dan kesehatan bagi pekerja, maka akan tercipta suasana aman dan kenyamanan dalam
bekerja. Hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan produktivitas kerja
karyawan maupun peningkatan produksi perusahaan di masa mendatang.195 Adapun
upaya yang dilakukan terbagi atas dua jenis yaitu : upaya eksternal dan upaya internal.
Upaya-upaya tersebut akan dibahas sebagai berikut :
A. Pemberian Tindakan Tegas Terhadap Pelanggar Program JAMSOSTEK
Pemerintah dan aparat penegakan hukum sudah saatnya melakukan langkah
represif dengan menindak tegas perusahaan yang abaikan program jaminan sosial
tenaga kerja (Jamsostek).
Keikutsertaan pekerja dalam program Jamsostek merupakan hak asasi yang
dilindungi UU Nomor 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Saat ini rata-rata
upah minimum provinsi Rp. 600.000,- hingga Rp. 700.000,- per bulan. di Jakarta
195 Sidik M. Nasir, “Meningkatkan Pelayanan Jamsostek di Tengah Peserta Awam”, Koran Pelita, 19 November 2008, hal. 8, seperti yang dikutip Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 215.
111
UMP sebesar Rp. 972.000,- per bulan. Artinya, jika sebuah perusahaan
memperkerjakan dua orang saja maka wajib mengikutsertakan mereka dalam
Program JAMSOSTEK.
Terakhir dua pekerja kebersihan (cleaning service) tewas ketika sedang
bekerja di gedung Mall Semanggi. Satu terdaftar di Jamsostek dan mendapat
santunan, satu lagi tidak terdaftar dan tak mendapat santunan. Sebelumnya, seorang
pilot tewas ketika sedang bertugas dan upah yang dilaporkan Rp. 1 juta per bulan.196
Itulah gambaran kondisi kepesertaan Program JAMSOSTEK. Pada suatu
perusahaan ada yang terdaftar, tapi ada juga yang tidak. Ada yang upahnya
dilaporkan penuh, dan ada yang sebagian.197
Rendahnya kesadaran perusahaan lokal dan BUMN tidak terlihat pada
perusahaan asing. Rata-rata penanam modal asing lebih taat dan melaporkan upah
sebenarnya, bahkan hingga ratusan juta upah jajaran direksinya.198
Menimbang kondisi demikian, pemerintah (Depnakertrans, Disnaker,
Sudinnaker) dan aparat penegakan hukum (kepolisian dan kejaksaan) sudah saatnya
melakukan tindakan represif, menindak tegas perusahaan yang melalaikan
kewajibannya melindungi pekerjanya.199
196 “Pengusaha yang Abaikan Jamsostek Ditindak Tegas”,
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=46246., diakses pada 27 Agustus 2010. 197 Ibid. 198 Ibid. 199 Ibid.
112
UU Nomor 3/1992 memberikan sanksi denda hukuman kurungan badan
hingga enam bulan bagi mereka yang melanggar. Saat ini, rata-rata lima pekerja
tewas karena kecelakaan kerja setiap hari.200
B. Meningkatkan M.o.U dengan Lembaga Lainnya
Memorandum of Understanding (M.o.U) adalah salah satu upaya untuk
meningkatkan kinerja PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan. M.o.U dilakukan
adalah agar produktivitas perusahaan meningkat. Bentuk kerja sama ini akan
ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja sama. Nota kesepahaman atau M.o.U tersebut
akan dibuat antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan Serikat
Pekerja/Buruh yaitu SPSI, SBSI, dan Apindo, pada sektor keagamaan juga sudah
dilakukan.
Upaya peningkatan pelayanan juga dilakukan pada sektor keagamaan.
Kunjungan-kunjungan juga dilakukan ke beberapa gereja-gereja di Sumatera Utara.
Hal ini ditempuh agar para sintua (penatua) di seluruh Indonesia otomatis akan dapat
mengikuti Program JAMSOSTEK.201
Keputusan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan mendekati lembaga
keagamaan sebagai perluasan peserta Jamsostek, karena program HKBP memiliki
sinergi yang sama-sama membawa mission sacre (misi suci) dalam memberikan
perlindungan kepada pekerja, sementara pelayan HKBP seperti pendeta dan sintua
200 Ibid. 201 Sanco Manullang, “Upaya Peningkatan Pelayanan, Pimpinan HKBP Kunjungi PT.
Jamsostek (Persero) Cabang Medan”, Harian Sinar Indonesia Baru, Rabu, 17 Juni 2009.
113
(penatua) dan para pekerja di Gereja yang mengalami sakit, hamil, kecelakaan kerja,
meninggal dan lainnya akan ada jaminan yang diperolehnya. Jaminan Kematian dan
uang kubur yang disediakan Jamsostek cukup besar, mencapai Rp. 16,8 juta, akan
sangat membantu keluarga yang ditinggalkan, sementara iuran yang dibayar hanya
Rp. 3.000,- per bulan. Ini menandakan, Program JAMSOSTEK sangat bermanfaat
dan selalu bersama-sama, saling membantu, baik hidup maupun mati. Artinya, orang
tidak akan takut meninggal, sebab yang meninggal tidak meninggalkan beban.202
C. Peningkatan Sosialisasi Program JAMSOSTEK
Untuk membenahi ketimpangan yang terjadi di lapangan maka yang perlu
dilakukan PT. Jamsostek (Persero) selain memberikan sosialisasi tentang program-
program unggulannya kepada para pengusaha juga harus diikuti sosialisasi kepada
para buruh/pekerja, sehingga keduanya mengerti dan sama-sama memahami apa yang
menjadi hak dan kewajiban buruh/pekerja.203
Untuk menjaga kredibilitas dan peningkatan kualitas kerja serta kepercayaan
buruh/pekerja kepada PT. Jamsostek (Persero), ada beberapa terobosan yang bisa
dilakukan perusahaan dalam rangka sosialisasi kepada peserta JAMSOSTEK.
Pertama, menempatkan petugas di rumah-rumah sakit (customer service) yang bukan
hanya memeriksa kelengkapan berkas untuk diurus ke kantor, tetapi juga dapat
menentukan pesertanya mendapat jaminan rawat inap atau tidak. Begitu pula ketika
202 Ibid. 203 Ibid.
114
pasien akan pulang dari rumah sakit, cukup mengurus di rumah sakit tersebut. Hal ini
akan memudahkan peserta dalam mengurus jaminan kesehatannya/klaim.204
Kedua, petugas menyempatkan diri untuk mengunjungi atau menjenguk
buruh/pekerja peserta atau keluarga yang sedang dirawat di rumah sakit, sekaligus
memberikan dukungan penuh kepada pasien sehingga cepat pulih dan sembuh dari
penyakit.205
Ketiga, petugas dalam bentuk tim melakukan jemput bola mengunjungi
perusahaan-perusahaan untuk melihat dan memberikan sosialisasi langsung kepada
pengusaha dan peserta JAMSOSTEK. Bagi peserta, kunjungan ini dapat
meningkatkan kepercayaan, sedangkan bagi yang belum menjadi peserta
JAMSOSTEK bisa langsung didaftarkan dan dibuatkan kartu peserta dengan
persetujuan pengusaha tempat buruh bekerja.206
Peningkatan pelayanan yang dilakukan oleh PT. Jamsostek (Persero) terhadap
para buruh/pekerja peserta lambat laun dapat menghilangkan image negatif yang
selama ini bertumpu pada PT. Jamsostek (Persero).207
Meskipun PT. Jamsostek (Persero) sebagai sebuah BUMN yang tentunya
menghentikan laba, namun tetap harus menerapkan Undang-Undang No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yakni harus mengutamakan berbagai
jaminan kepada peserta JAMSOSTEK seperti JKK, JK, JHT, dan JPK dan lainnya
yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Hal terpenting lagi, yakni dana iuran
204 Ibid. 205 Ibid. 206 Ibid. 207 Ibid., hal. 216.
115
peserta tidak akan berkurang bahkan JHT-nya bertambah besar, bahkan harus lebih
besar dari bunga bank.208
D. Peningkatan Laju Kepesertaan Program JAMSOSTEK
Mengejar target kepesertaan program jamsostek ternyata tidak semudah yang
diharapkan PT. Jamsostek (Persero), meski secara normatif (Undang-Undang No.3
tahun 1992) setiap pekerja dijamin haknya untuk mendapatkan Program
JAMSOSTEK, kenyataannya baru sekitar 31% jumlah tenaga kerja yang tercatat
sebagai peserta program jamsostek.209
Untuk ini PT. Jamsostek (Persero) perlu kerja keras disamping membenahi
diri dengan langkah-langkah yang di tempuh sebagai berikut210 :
1. Meningkatkan prasarana dan fasilitas pelayanan program jamsostek;
2. Meningkatkan kemampuan, keterampilan dan kinerja sumber daya manusia
yang dimiliki;
3. Menyempurnakan mekanisme keikutsertaan Program JAMSOSTEK;
4. Mampu menciptakan pasar (market created) Program JAMSOSTEK, jadi
tidak hanya sekedar menunggu iuran saja;
5. Pelayanan yang dilaksanakan bersifat costumer service oriented;
6. Perbaikan atas pelaksanaan Program JAMSOSTEK dalam upaya peningkatan
kualitas pelayanan pembayaran santunan (klaim) tenaga kerja terutama
208 Ibid. 209 Ibid. 210 Ibid.
116
kecelakaan kerja baru dibayarkan setelah selesai penyelidikan kejadian
kecelakaan kerja dan ini membutuhkan waktu. Diharapkan dengan kecakapan
petugas PT. Jamsostek (Persero), maka pelayanan dapat diupayakan satu hari
selesai (one day services) 211 . sehingga tidak ada lagi kesan dari peserta
(pengusaha) bahwa prosedur pembayaran yang dilakukan PT. Jamsostek
(Persero) cukup merepotkan sementara pembayaran iuran peserta tidak boleh
terlambat; dan
7. Peningkatan kerja sama dengan instansi terkait dalam penegakan
(pemberdayaan) peraturan dan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Keberadaan PT. Jamsostek (Persero) patut untuk disambut dengan baik karena
tujuannya untuk meringankan beban para pekerja dari bahaya risiko pekerjaan yang
dihadapi terutama kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk kelangsungan
operasionalnya PT. Jamsostek (Persero) tentunya tidak terlepas dalam hal mencari
keuntungan dari usaha yang dijalankan disamping menghimpun dana (rising fund)
dari para peserta program jamsostek untuk kepentingan pembiayaan pembayaran
santunan (klaim) tenaga kerja. Diharapkan dalam menghimpun dana tersebut pihak
PT. Jamsostek (Persero) tidak hanya berdiam diri saja, sebaiknya diupayakan
bagaimana agar jumlah peserta program jamsostek meningkat dan kualitas
pelayanannnyapun ditingkatkan pula.
211 Wawancara dengan Kepala Cabang Medan PT. Jamsostek (Persero), Medan, 18 Agustus
2010.
117
Suatu hal yang tidak kalah penting bahwa PT. Jamsostek (Persero) harus
mampu menimbulkan etos kerja dan semangat kerja sebagai upaya untuk
menimbulkan kondisi lingkungan kerja yang aman.212
E. Penerapan Komunikasi Pemasaran Terpadu (Integrated Marketing
Communication-IMC)
PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dituntut untuk meningkatkan
pemahaman kepada stakeholders dan laju penambahan kepesertaan Program
JAMSOSTEK.213
Menurut Duncan, Penerapan Komunikasi Pemasaran Terpadu (Integrated
Marketing Communication-IMC) adalah proses perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian pesan suatu merek untuk dapat menciptakan hubungan jangka panjang
dengan pelanggan. Jadi, IMC merupakan suatu sinergi, kreativitas, integrasi, dan
komunikasi pemasaran secara terpadu dengan cara memanfaatkan beragam elemen
komunikasi yang berbeda-beda agar tercipta koherensi yang saling mendukung.214
Kita dapat mengklaim memiliki komunikasi terpadu (integrated) secara penuh
apabila kita sudah mengidentifikasikan satu per satu pesan inti yang mengarahkan
pada satu ide kreatif besar dan dapat pula diimplementasikan pada segala bidang yang
kita tekuni. Atau, kita boleh mengatakan mampu mempertahankan komunikasi
212 Sanco Manullanag, Loc.cit. 213 Wawancara dengan Kepala Cabang Medan PT. Jamsostek (Persero), Loc.cit. 214 Tom Duncan, Principles of Advertising and Integrated Marketing Communication, 2nd
Edition, (New York : McGraw Hill, 2005), dikutip Freddy Rangkuti, Strategi Promosi yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated Marketing Communication, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 29.
118
terpadu dari waktu ke waktu apabila dalam perkembangannya, komunikasi kita
dianggap benar sesuai keadaan dan karakteristik produk yang ada.215
Sebagai contoh, komunikasi ”Kami Mencoba Lebih Baik” oleh perusahaan
sewa mobil Avis berjalan selama beberapa tahun, dan pertimbangan unsur-unsurnya
selama rentang waktu itu menunjukkan konsistensi pendekatan yang terkontrol
dengan jelas dan berhati-hati. Usaha Avis ternyata cukup berhasil. Setiap berhadapan
dengan audiens sasaran ia selalu mengatakan, ”Karena kami hanya menjadi nomor
dua di dunia maka kami akan terus melakukan upaya ekstra untuk memenangkan dan
menjaga bisnis dengan Anda”.216
Di pasar konsumen, jeans Levi’s juga telah mampu membangun image dalam
pikiran kita. Komunikasi yang dilakukan jeans Levi’s, baik melalui iklan pada
berbagai media massa (TV, Radio, Surat Kabar, dan Majalah), promosi pada toserta,
maupun melalui teknik-teknik lain selalu menyampaikan pesan inti yang sama. Model
komunikasi tersebut akan mudah dimengerti kapan pun kita melihat dan
mendengarnya. Dan itulah ukuran integrasi yang berhasil.217
Hampir semua komunikasi pemasaran memiliki tujuan sama, yakni
menyampaikan pesan tertentu kepada audiens sasaran yang sudah diidentifikasi
secara jelas. Dalam IMC, teknik komunikasi yang lengkap dan komprehensif akan
semakin mempercepat sebuah perusahaan dalam mengarahkan berbagai kelompok
audiens khusus.218
215 Ibid. 216 Ibid. 217 Ibid. 218 Ibid.
119
Dalam hal berbicara mengenai PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan, yang
perlu diperhatikan untuk meningkatkan kepesertaan dengan cara sosialisasi, antara
lain219 :
1. Penerbitan buletin JAMSOSTEK;
2. Release berita di media cetak & elektronik;
3. Coffee Month bersama wartawan;
4. Kunjungan/audiensi (Pimpinan Media Cetak & Elektronik, Kepala Daerah,
Instansi Penegak Hukum, Pimpinan Klinik & Rumah Sakit);
5. Pelatihan pelaksana humas se-Kota Medan;
6. Melaksanakan konferensi pers rutin;
7. Program JAMSOSTEK masuk kampus;
8. Program JAMSOSTEK masuk desa;
9. Pembangunan website resmi PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan;
10. Call Center; dan
11. Lomba menulis.
Selanjutnya dalam laporan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan sebelum
Agustus 2008 berkaitan dengan IMC, antara lain220 :
1. Rata-rata penambahan perusahaan pada Program JKK, JK, dan JHT dari
Januari – Juli 2008 sebesar 106.29 perusahaan dan tenaga kerja 7.746 orang
per bulan;
219 Mas’ud Muhammad, “Peran Komunikasi Pemasaran Terpadu Dalam Meningkatkan Citra
dan Laju Kepesertaan Jamsostek di Wilayah I”, disampaikan pada Executive Management Development Program (EMDP) LPPM, Jakarta 23 Januari 2009, hal. 13-18.
220 Wawancara dengan Kepala Cabang Medan PT. Jamsostek (Persero), Op.cit.
120
2. Rata-rata penambahan perusahaan pada Program JPK dari Januari – Juli 2008
sebesar 59 perusahaan dengan tenaga kerja 2.631 tenaga kerja;
3. Penerbitan buletin JAMSOSTEK baru satu edisi;
4. Release berita di media cetak & elektronik sangat minim;
5. Coffee Month bersama wartawan jarang dilakukan;
6. Kunjungan/audiensi (Pimpinan Media Cetak & Elektronik, Kepala Daerah,
Instansi Penegak Hukum, Pimpinan Klinik & Rumah Sakit) jarang
dilaksanakan;
7. Pelatihan pelaksana humas se-Kota Medan belum direncanakan;
8. Melaksanakan konferensi pers rutin belum terjadwal;
9. Program JAMSOSTEK masuk kampus belum direncanakan;
10. Program JAMSOSTEK masuk desa belum direncanakan;
11. Pembangunan website resmi PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan, pernah
dibicarakan tetapi tidak ada realisasinya;
12. Call Center belum direncakan; dan
13. Lomba menulis, belum pernah dilakukan.
Setelah diterapkan sistem IMC dalam hal upaya untuk meningkatkan
kepesertaan Program JAMSOSTEK pada PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan,
antara lain221 :
1. Penambahan peserta Pada Program JKK, JK, dan JHT dari Januari – Juni
2010 sebesar 222 perusahaan dan tenaga kerja 18.673 orang;
221 “Evaluasi Kinerja Semester I 2010 Bagian Pengendalian Operasi”, disampaikan pada
Rapat Pimpinan Kanwil I, Medan 5-6 Agustus 2010, hal. 8-9.
121
2. Penambahan peserta Pada Program JPK dari Januari – Juni 2010 sebesar 188
perusahaan dan tenaga kerja mencapai 9.516 orang;
3. Penerbitan buletin JAMSOSTEK, menerbitkan Buletin JAMSOSTEK setiap
bulan;
4. Release berita di media cetak & elektronik sangat minim, dengan cara
memberdayakan personil kehumasan secara optimal sesuai kebutuhan;
5. Coffee Month bersama wartawan, menjalin hubungan baik dengan media
massa (Surat Kabar, Tabloid, Majalah, Radio, Televisi, dan Media lainnya);
6. Kunjungan/audiensi (Pimpinan Media Cetak & Elektronik, Kepala Daerah,
Instansi Penegak Hukum, Pimpinan Klinik & Rumah Sakit), dilakukan secara
berkala;
7. Pelatihan pelaksana humas se-Kota Medan, membuat struktur kehumasan
memberdayakan personil, membuat sistem kehumasan dan melakukan
konferensi pers;
8. Melaksanakan konferensi pers rutin secara berkala;
9. Program JAMSOSTEK masuk kampus, terutama di Kampus Universitas
Sumatera Utara yang sudah dilakukan;
10. Program JAMSOSTEK masuk desa, sudah direncanakan namun belum
terealisasi;
11. Pembangunan website resmi PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan,
mengambil langkah awal untuk menyiapkan anggaran;
12. Call Center dalam tahap persiapan anggaran; dan
13. Lomba menulis, sudah dijadwalkan tetapi belum dilaksanakan.
122
Adapun ukuran keberhasilan dari IMC, antara lain222 :
1. Adanya peningkatan kepesertaan Program JAMSOSTEK di atas 25% per
tahun;
2. Peningkatan volume berita positif di atas 90%;
3. Pemberdayaan personil dalam penerapan IMC;
4. Terbentuknya sistem pengelolaan IMC;
5. Tersedianya struktur kehumasan di Kantor Cabang yang berfungsi dengan
baik;
6. Terlaksananya kegiatan yang direncanakan, yaitu :
a. Membuat pencitraan Program JAMSOSTEK dengan mengeluarkan
visi dan misi sebagai berikut :
i. Visi JAMSOSTEK adalah “Mewujudkan seluruh pekerja
menjadi peserta JAMSOSTEK dengan pelayanan prima dan
manfaat optimal”,
ii. Misi JAMSOSTEK, antara lain :
1. Meningkatkan pemahaman stakeholders akan tugas dan
fungsi masing-masing dalam rangka mensukseskan
Program JAMSOSTEK;
2. Meningkatkan laju kepesertaan JAMSOSTEK di
Kantor Cabang Medan PT. Jamsostek (Persero);
3. Meningkatkan corporate value;
222 Mas’ud Muhammad, Op.cit.
123
b. Meningkatkan citra melalui berita positif tentang Program
JAMSOSTEK dan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan;
c. Menerbitkan Buletin Jamsostek setiap bulannya;
d. Melakukan talkshow di radio; dan
e. Membuat iklan bersama dengan perusahaan strategis.
Adapun hasil yang dicapai dalam penerapan IMC pada PT. Jamsostek
(Persero) Cabang Medan, antara lain223 :
1. Telah memberdayakan personil untuk kehumasan;
2. Terbitnya Buletin Jamsostek dicetak sebanyak 500 eksemplar per bulannya
dan dibagikan kepada setiap peserta;
3. Volume berita positif meningkat Agustus 2009 sebanyak 87 berita, September
2009 sebanyak 73 berita, Oktober 2009 sebanyak 99 berita, pada sekitar 22
media cetak dan 5 media elektronik;
4. Terlaksananya audiensi dengan stakeholders, pimpinan media massa
(Waspada, Medan Bisnis, Medan Pos Group, Analisa, Singgalang Padang,
dan lain-lain); Walikota Medan; Ketua DPRD Medan; Kapoldasu; organisasi
terkait lainnya (Apersi, Apindo, SPSI, IDI, KADIN, dan lain sebagainya);
5. Terbentuknya struktur, personil, sistem, dan melaksanakan konferensi pers
berdasarkan kebijakan Kepala Cabang;
6. Terbitnya iklan bersama dengan perusahaan-perusahaan strategis;
7. Terlaksananya talkshow September 2008, pelatihan kehumasan November
2008;
223 Ibid.
124
8. Telah melakukan Program JAMSOSTEK masuk kampus, pada bulan Oktober
2008;
9. Dukungan dari jajaran pemerintah dan stakeholders semakin kuat;
10. Hubungan dengan mitra kerja seperti Dinas Tenaga Kerja, Serikat Pekerja,
Apindo, dan stakeholders lainnya terjalin semakin erat;
11. Pemberitaan di media cetak semakin gencar;
12. Antusiasme yang sangat besar atas kehadiran Buletin Jamsostek;
13. Adanya respon yang kuat dari masyarakat melalui media;
14. Timbul kesadaran perusahaan dan tenaga kerja mendaftar menjadi peserta
pada Program JAMSOSTEK;
15. Setelah membaca pemberitaan di media, munculnya kritikan terhadap Kinerja
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dan juga terhadap pelayanan Rumah
Sakit dan Klinik; dan
16. Meningkatnya berita positif PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan yang
semakin diketahui banyak pihak.
Dengan diterapkannya sistem IMC untuk membangun PT. Jamsostek
(Persero) Cabang Medan dari dalam perusahaan membuktikan bahwa jumlah
kepesertaan meningkat. Disadari bahwa peran IMC sangat signifikan dalam
penambahan kepesertaan pada Program JAMSOSTEK.
125
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian dengan judul “Analisis Juridis Terhadap Fungsi dan Peran
Program Jamsostek dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja di Kota Medan”, baik
penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan sebagaimana yang telah
diuraikan pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa :
1. Peran dan fungsi Program JAMSOSTEK terhadap perlindungan tenaga kerja di
Medan masih belum maksimal dilakukan oleh badan penyelenggara yaitu PT.
Jamsostek (Persero) karena sinergi antara pegawai pengawas ketenagakerjaan dan
assosiasi pengusaha serta aparat penegak hukum belum memaknai secara utuh
bahwa program JAMSOSTEK adalah merupakan program negara yang wajib
dilaksanakan secara bersama-sama.
2. Hambatan-hambatan yang dialami dalam pelaksanaan Program JAMSOSTEK
yaitu lemahnya sistem pengawasan, peran pengawas ketenagakerjaan belum
optimal, dukungan pemerintah provinsi sumatera utara dan pemerintah
Kabupaten/Kota tidak masksimal sesuai dengan tugas dan fungsinya, tingkat
kesadaran dan kepedulian pengusaha masih rendah.
3. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi hambatan dan
mengoptimalkan fungsi dan peran Program JAMSOSTEK antara lain
126
Pengawas Ketenagakerjaan dan aparat penegak hukum agar memberikan
tindakan tegas terhadap pelanggaran program JAMSOSTEK, meningkatkan
sosialisai program JAMSOSTEK, Perlunya penerapan komunikasi pemasaran
secara berkesinambungan.
B. Saran
Setelah menyimpulkan riset ini maka dalam penelitian ini mengusulkan saran-
saran, sebagai berikut :
1. Disarankan kepada pihak PT. Jamsostek (Persero) dan Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi supaya perlu adanya dukungan kepada Kepala Daerah,
Walikota/Bupati, dan DPRD untuk membuat peraturan daerah tentang pengikatan
tenaga kerja dalam Program JAMSOSTEK yang dapat dilaksanakan dengan
lancar sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
2. Perlunya sosialisasi Program JAMSOSTEK kepada semua pihak agar dapat lebih
memahami bahwa program tersebut harus disukseskan secara nasional untuk
memberikan perlindungan yang mendasar kepada tenaga kerja.
3. Agar pelayanan dan perlindungan terhadap tenaga kerja lebih baik maka sumber
daya manusia (SDM) di lingkungan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan
Rasio dengan Potensi perusahaan harus sebanding.
127
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.
Devi, T. Keizerina., Peonale Sanctie : Studi tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004.
Hutabarat, Tua Hasiholan., “Realitas Upah Buruh Industri”, Makalah : Perserikatan Kelompok Pelita Sejahtera, 2006.
Marbun, Jaminuddin., Analisis Terhadap Perjanjian Kerja Bersama dalam Hubungan Industrial di Provinsi Sumatera Utara, Medan : Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Liberty, 1988.
Muzakkir, ”Catatan Perkuliahan : Metode Penelitian Hukum”, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Nasution, Bismar., Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum dan Hasil Penulisan pada Majalah Akreditasi, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2003.
Perdana, Surya., Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) pada Perusahaan Swasta di Kota Medan, Medan : Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
“Perusahaan Wajib Belum Daftar”, Medan : Data Perusahaan Potensi, 2010.
128
Rajagukguk, Erman., ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.
Rangkuti, Freddy., Strategi Promosi yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated Marketing Communication, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Simanjuntak, Payaman J., Undang-Undang yang Baru tentang Ketenagakerjaan, Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional, 2003.
Spicker, Paul., Welfare State General Theory, London : SAGE, 2000.
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Burgerlijk Wetboek, Jakarta : Pradnya Paramita, 1979.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta, 2005.
Suseno, Franz Magnis., Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Sutardji, Analisis Kepuasan Peserta Jamsostek pada Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) Semarang, Surakarta : Tesis, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sutedi, Adrian., Hukum Perburuhan, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Syahrin, Alvi., “Modul Perkuliahan Metode Penelitian Hukum : Pendekatan dalam Penelitian Hukum”, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Unversitas Sumatera Utara, 2008.
Wijayanti, Asri., Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Edisi 1, Cetakan 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
129
Zed, Mestika., Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008.
ARTIKEL DAN MAJALAH
“Aset”, http://www.jamsostek.co.id/info/subcontent.php?id=24&subid=36., diakses pada 10 Agustus 2010.
“Evaluasi Kinerja Semester I 2010 Bagian Pengendalian Operasi”, disampaikan pada Rapat Pimpinan Kanwil I, Medan 5-6 Agustus 2010.
Jamsostek (Persero) Kanwil I, PT., “Executive Summary dan Key Performance
Indicator per Bulan Juni 2010”, Medan : Jamsostek Kanwil I, 2010.
Jamsostek (Persero) Kanwil I, PT., “Perusahaan Wajib Belum Daftar”, Medan : Data Perusahaan Potensi, 2010.
“Lindung”, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/., diakses pada 05 Agustus 2010.
“Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Melalui Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pada PT. Refi Chemical Industry Yogjakarta”, http://www.skripsi-tesis.com/07/27/pelaksanaan-perlindungan-hukum-terhadap-tenaga-kerja-melalui-jaminan-sosial-tenaga-kerja-pada-pt-refi-chemical-industry-yogyakarta-pdf-doc.htm., diakses pada 04 Agustus 2010.
“Pembangunan Jembatan Suramadu”, http://www.suramadu.com/, diakses pada 04 Februari 2010.
“PLN Buka Tender Listrik Swasta Maret 2010”, Kamis, 04 Februari 2010, http://www.kontan.co.id/index.php/nasional/news/29404/PLN-Buka-Tender-Listrik-Swasta-Maret-2010, diakses pada 04 Februari 2010.
“Program Jamsostek : Jaminan Hari Tua”, http://cimahi.web44.net/ index.php?p=1_2_Program., diakses pada 02 Agustus 2010.
130
“Program Jamsostek : Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja”, http://cimahi.web44.net /index.php?p=1_2_Program., diakses pada 02 Agustus 2010.
”Kantor Cabang Wilayah I”, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=2&id =79., diakses pada 04 Agustus 2010.
Manullang, Sanco., “Upaya Peningkatan Pelayanan, Pimpinan HKBP Kunjungi PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan”, Harian Sinar Indonesia Baru, Rabu, 17 Juni 2009.
Muhammad, Mas’ud., “Peran Komunikasi Pemasaran Terpadu Dalam Meningkatkan Citra dan Laju Kepesertaan Jamsostek di Wilayah I”, disampaikan pada Executive Management Development Program (EMDP) LPPM, Jakarta 23 Januari 2009.
“Sektor Konstruksi”, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=70., diakses 02 Agustus 2010.
Silaban, Gerry., “Program Jamsostek, Hambatan dan Upaya Mengejar Kepesertaan”, http://library.usu.ac.id/download/fkm/k3-gerry2.pdf., diakses pada 19 Agustus 2010.
Soekarno J., Rahardi., “20 Persen Penduduk Madura Terserap Jadi Tenaga Kerja”,
Selasa, 02 Juni 2009, http://www.beritajatim.com/detailnews.php /1/Ekonomi/2009-06-02/36079/20_Persen_Penduduk_Madura_Terserap_Jadi _Tenaga_Kerja, diakses pada 04 Februari 2010.
“Struktur Organisasi”, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=2&id=9., diakses pada 28 Juli 2010.
“Upah Minimum Regional”, http://id.wikipedia.org/wiki/Upah_minimum_regional, diakses pada 19 Mei 2010.
“Universal Declaration of Human Rights 1948-1998”, http://www.wunrn.com/reference/pdf/univ_dec_hum_right.pdf., diakses pada 27 Agustus 2010.
131
”Visi dan Misi”, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=2&id=8., diakses pada 02 Agustus 2010.
Yohandarwati, et.al., “Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu”, Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan, BAPPENAS, http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/343/, 2003, diakses pada 24 Maret 2010.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Keputusan Direksi No. KEP/286/112007 tentang Kode Jabatan, Nama Jabatan, Uraian Tugas dan Persyaratan Jabatan PT. Jamsostek (Persero) Kantor Wilayah dan Kantor Cabang.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 561/5492/K/2009 tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun 2010.
Konvensi International Labour Organization (ILO) mengenai Standar Minimal untuk Jaminan Sosial.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 No. 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3520.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2002 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4203.
Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4582.
132
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 No. 59.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3468.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No. 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4279.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4456.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4756.
Universal Declaration of Human Rights 1948-1998.