Pawiwahan Agung

38
LAPORAN PENGAMATAN PAWIWAHAN AGUNG GKR BENDARA DAN KPH YUDANEGARA DI KRATON YOGYAKARTA Laporan ini Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Busana Jawa Dosen: Prof. Dr. Suharti Oleh: 1. Zamsi Indriarwati 10205241060 2. Yacobus Cahyadi 10205241061 3. Dwi Yuni Astuti 10205241062 4. Nur Hanifah Insani 10205241063 5. Nur Afif Wibowo 10205241065 6. Dani Ari Wahyuni 10205241070 7. Fitria Wulandari 10205241073 8. Rista Sapta Perwitasari 10205241074 9. Muhammad Al Ma’arif 10205241077 Kelas : B2 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI

Transcript of Pawiwahan Agung

Page 1: Pawiwahan Agung

LAPORAN PENGAMATAN PAWIWAHAN AGUNG GKR

BENDARA DAN KPH YUDANEGARA DI KRATON

YOGYAKARTA

Laporan ini Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Busana Jawa

Dosen: Prof. Dr. Suharti

Oleh:

1. Zamsi Indriarwati 10205241060

2. Yacobus Cahyadi 10205241061

3. Dwi Yuni Astuti 10205241062

4. Nur Hanifah Insani 10205241063

5. Nur Afif Wibowo 10205241065

6. Dani Ari Wahyuni 10205241070

7. Fitria Wulandari 10205241073

8. Rista Sapta Perwitasari 10205241074

9. Muhammad Al Ma’arif 10205241077

Kelas : B2

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2011

Page 2: Pawiwahan Agung

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap daerah memiliki adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda

dalam setiap bagian kehidupannya. Salah satu tradisi yang berkembang di

daerah-daerah adalah mengenai tradisi dalam tata upacara pernikahan. Ada

banyak variasi penyelenggaraan tata upacara pernikahan. Salah satu daerah

yang memiliki kekhasan dalam penyelenggaraan tradisi pernikahan adalah

Yogyakarta. Yogyakarta memiliki tradisi upacara pernikahan yang berbeda

dengan daerah-daerah lainnya. Keraton Yogyakarta merupakan tempat

munculnya simbol-simbol adat di daerahnya. Perlangsungan upacara

pernikahan yang diselenggarakan di keraton Yogyakarta tentu dilangsungkan

dengan berbagai tahapan upacara di dalamnya. Rangkaian upacara yang

dilangsungkan selama prosesi pernikahan pun sangat beragam dan sarat akan

makna.

Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian budaya, adat tradisi yang

ada di daerah-daerah, termasuk di daerah Yogyakarta ini alangkah baiknya

jika kita mempelajari seluk-beluk yang berkenaan dengan tata upacara

pernikahan, tepatnya adat tradisi pernikahan di keraton Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tata urutan upacara pawiwahan agung?

2. Bagaimana tata busana yang digunakan saat upacara pawiwahan agung?

3. Bagaimana tata rias yang digunakan saat upacara pawiwahan agung?

Page 3: Pawiwahan Agung

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tata Urutan Pawiwahan Agung

1. Upacara Nyantri

Upacara nyantri merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan

oleh calon pengantin pria. Menurut tradisi, upacara nyantri

dilaksanakan satu sampai tiga hari sebelum upacara ijab dilaksanakan.

Dalam satu sampai tiga hari itu, calon pengantin pria harus sudah

diserahkan kepada orang tua calon pengantin putri.

Upacara nyantri ini dimaksudkan untuk mengenalkan semua

hal yang berkaitan dengan kraton. Alasan utama diselenggarakan

upacara ini adalah demi kelancaran jalannya upacara pernikahan

sehingga tidak akan merepotkan pihak calon pengantin putri dan

semua acara dapat berjalan tepat pada waktu yang telah ditetapkan.

Pukul 09.00 WIB, calon pengantin pria (Achmad Ubaidillah

Page 4: Pawiwahan Agung

3

yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudhanegara) sudah

berada di Ndalem Mangkubumen Keraton bersama keluarga yang

didampingi KRT Pujaningrat. Pukul 10.00 WIB, kerabat keraton KRT

Jatiningrat atau Romo Tirun Marwito dan KRT Yudahadiningrat

berangkat menjemput calon pengantin pria di Ndalem Mangkubumen

untuk nyantri di keraton dengan menaiki kereta berkuda yaitu kereta

Kangjeng Kyai Puspo Manik. Pukul 11.00 WIB, calon pengantin pria

tiba di Regol Magangan lalu menuju Bangsal Kasatriyan untuk

upacara nyantri dan beristirahat di Gedhong Srikaton.

Dalam prosesi ini busana yang dikenakan oleh calon temanten

kakung, yaitu atela putih, bebetan batik dan menggunakan iket batik.

2. Upacara Plangkahan

Upacara plangkahan dilakukan sebagai penghormatan bagi

kakak dari calon pengantin putri (GRAy Nurabra Juwita) yang belum

menikah. Calon pengantin putri Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti

Wijareni atau Jeng Reni yang berganti gelar Gusti Kanjeng Ratu

Bendara mengadakan upacara plangkahan di Pendopo Keraton Kilen

dan Ngabekten di Keraton Kilen, tempat tinggal Sultan HB X bersama

keluarga. Syarat plangkahan berupa perhiasan seperti kalung, cincin,

Page 5: Pawiwahan Agung

4

anting dan gelang serta perlengkapan wanita seperti tas, pakaian, dan

sepatu. Selain itu juga diserahkan satu paket pisang sanggan. Pisang

sanggan yang diberikan hanyalah menjadi simbol tebusan. Tebusan ini

memberi makna agar kakak bersedia memberi restu.

Pada prosesi ini melibatkan calon temanten putri GKR

Bendara, kakaknya yang dilangkahi yaitu GRAy. Nurabra Juwita,

serta orang tua calon temanten putri. Busana yang dikenakan GKR

Bendara dan GRAy. Nurabra Juwita sama yaitu kebaya broklat warna

coklat, dengan nyamping batik.

3. Upacara Siraman

Upacara siraman dilaksanakan satu hari sebelum upacara ijab.

Siraman mengandung arti memandikan calon pengantin disertai niat

membersihkan diri agar menjadi bersih dan murni / suci lahir batin.

Perlengkapan dan sajen upacara siraman:

a. Air dari tujuh sumber

b. Kembang setaman (bunga sritaman)

c. Konyoh manca warna

d. Landha merang, santan kanil, air asem

e. Dua butir kelapa yang sudah tua

f. Alas duduk

g. Sehelai mori

h. Motif grompol

i. Sabun dan handuk

j. Kendi

k. Sajen siraman

Page 6: Pawiwahan Agung

5

Pukul 09.00

WIB, siraman calon

pengantin putri di

Bangsal Sekar

Kedaton. Sementara

calon pengantin pria

mengadakan

siraman di Gedong

Pompa (kesatriyan) sekira pukul 11.00 WIB.

Pada saat upacara siraman calon pengantin putri

menggunakan kain mori putih dengan kain batik sebagai pakaian

dalam dan memakai roncean bunga melati menutupi dada sampai

perut. Calon pengantin putra memakai mori putih dengan kain

batik sebagai pakaian dalam.

4. Upacara Tantingan

Page 7: Pawiwahan Agung

6

Upacara tantingan merupakan upacara untuk menanting

(menanyakan kesanggupan untuk menikah). Sekitar pukul 18.00

WIB, upacara tantingan Sri Sultan HB X terhadap putri bungsunya di

Emper Prabayeksa.

Pada saat tantingan calon temanten putri memakai kebaya

broklat warna coklat dengan nyamping batik motif truntum. Ayah

temanten putri, Sri Sultan HB X mengenakan surjan warna hijau

kembang-kembang, iket, keris dan jarik motif truntum, sedangkan

GKR Hemas memakai kebaya broklat warna orange dan jarik sarimbit

dengan Sri Sultan.

5. Upacara Midodareni

Page 8: Pawiwahan Agung

7

Upacara midodareni dilaksanakan pada sore hari menjelang

upacara ijab. Upacara midodareni ini dilakukan oleh calon pengantin

putri. Dalam upacara ini calon pengantin putri tidak diperkenankan

tidur dan tidak diperkenankan keluar dari kamar pengantin sampai jam

24.00 serta tidak diperkenankan bertemu dengan calon pengantin pria.

Selanjutnya, sekira pukul 19.30 WIB, dilakukan prosesi midodareni di

Bangsal Sekar Kedaton. Sekira pukul 21.00 WIB.

Pada saat midodareni calon temanten putri memakai kebaya

broklat warna coklat dengan nyamping batik motif truntum. Ayah

temanten putri, Sri Sultan HB X mengenakan surjan warna hijau

kembang-kembang, iket, keris dan jarik motif truntum, sedangkan

GKR Hemas memakai kebaya broklat warna orange dan jarik sarimbit

dengan Sri Sultan.

6. Upacara Ijab

Upacara ijab merupakan upacara inti atau pokok dari upacara

perkawinan. Upacara ijab merupakan upacara sakral atau religius dan

administratif, dalam arti bahwa upacara ini dilaksanakan atas dasar

hukum yang berlaku baik hukum agama maupun hukum negara.

Page 9: Pawiwahan Agung

8

Pada pukul 06.00 WIB, calon pengantin pria beserta

rombongan menuju Bangsal Srimanganti untuk menunggu waktu akad

nikah. Pukul 06.30 WIB, Sultan HB X menuju Masjid Panepen. Pukul

06.45 WIB, rombongan calon pengantin pria menuju Masjid Panepen.

Pukul 07.00 WIB, prosesi ijab kabul dilakukan di masjid tersebut.

Setelah upacara ijab kabul, KPH Yudanegara melakukan sungkem

ngabekti kepada Sri Sultan HB X. Pukul 08.00 WIB atau usai ijab

kabul, pengantin pria dan rombongan kembali ke Bangsal Kesatriyan.

Pengantin kakung memakai atela putih, jarik batik truntum,

iket dan keris. Ayah pengantin perempuan (Sri Sultan) memakai jarik

truntum, surjan warna hijau kembang-kembang, iket dan keris.

7. Upacara Panggih

Upacara panggih yaitu upacara saat bertemunya pengantin pria

dengan pengantin wanita. Upacara ini melambangkan bahwa usaha

untuk mencari tingkatan kehidupan yang sempurna itu banyak

rintangannya. Dalam upacara panggih ini terdapat upacara edan-

edanan yaitu upacara yang dimaksudkan untuk tolak bala.

Page 10: Pawiwahan Agung

9

Selain itu ada upacara balang-balangan gantal, gantal (daun

sirih) berjumlah tujuh buah. Balang-balangan gantal ini sebagai

lambang saling melemparkan cinta. Setelah balang-balangan gantal

dilanjutkan dengan upacara memecah telur yaitu pengantin laki-laki

menginjak telur dengan kaki kiri, tindakan ini mengandung arti bahwa

pengantin pria mempunyai sikap yang tegas untuk menurunkan

keturunannya melalui seorang wanita yang menjadi istrinya dan

menerimanya dengan segala kesucian hati.

Kemudian dilanjutkan upacara ranupada yaitu pengantin

wanita

mencuci kaki pengantin pria dengan air bunga sritaman. Upacara ini

melambangkan pelayanan dan kesetiaan pengantin wanita terhadap

Page 11: Pawiwahan Agung

10

pengantin pria.

Upacara selanjutnya adalah pondhongan, yaitu pengantin

wanita dipondhong oleh pengantin pria dibantu oleh paman dari

pengantin wanita. Upacara ini dilakukan karena pengantin wanita

berstatus lebih tinggi dari pengantin pria. Upacara panggih

dilaksanakan di Bangsal Kencono.

Setelah upacara panggih dilanjutkan upacara tampa kaya yaitu

upacara di mana pengantin laki-laki menuangkan biji-bijian, beras

kuning dan uang logam kepada pengantin wanita. Upacara ini

Page 12: Pawiwahan Agung

11

melambangkan pemberian nafkah suami kepada istri untuk

melestarikan hidup rumah tangganya. Upacara tampa kaya

dilaksanakan di Bangsal Purworukmi (Kasatriyan).

Setelah tampa kaya dilanjutkan dahar klimah yaitu di mana

penganti pria mengepalkan tiga buah kepalan nasi kuning kemudian

dimakan oleh pengantin wanita. Tindakan ini melambangkan bahwa

kedua pengantin kelak saling bantu-membantu dalam menghadapi

segala macam tantangan hidup. Upacara ini diadakan di Gadri

(Kasatriyan).

Pada saat rangkaian upacara panggih melibatkan temanten

putri, temanten kakung dan orang tua temanten kakung putri. Busana

pengantin putri yaitu, menggunakan busana keprabon gagrag

Yogyakarta yang merupakan busana kebesaran Keraton Yogyakarta.

Busana keprabon putri terdiri dari kampuh dengan tengahan putih

bermotif semen raja, udhet cindhe, nyamping cindhe, memakai 5 buah

cundhuk mentul, pethat gunungan, ceplok jebehan sri taman, kelat

bahu, buntal, kalung atau sangsangan sungsun, gelang atau binggel

kana, dan beberapa assesoris raja kaputren lainnya.

Busana pengantin

kakung yaitu,

menggunakan busana

keprabon gagrag

Yogyakarta yang

merupakan busana

kebesaran Keraton

Yogyakarta. Busana keprabon kakung terdiri dari kuluk matak

warnaputih mengingat status pengantin kakung yang bukan dari trah

bangsawan. Menggunakan ron sumping, kalung sungsun, kaset, gelang

kana, kelat bahu, cincin, buntal, celana cindhe, kamus, timang, moga

bludiran, keris branggah dengan roncen sekar sri taman, serta kampuh

Page 13: Pawiwahan Agung

12

prada dengan

tengahan

berwarna putih

motif semen raja.

Busana yang

dikenakan orang

tua temanten putri

yaitu Sri Sultan

Hamengku Buwono X dan GKR Hemas, Sri Sultan mengenakan surjan

berwarna dasar putih dengan motif bunga – bunga warna oranye

sementara GKR Hemas mengenakan kebaya broklat warna coklat.

Keduanya nyamping sarimbit motif parang barong ceplok mangkara.

Ibu mempelai kakung menggunakan kebaya yang sama dengan GKR

Hemas dan nyamping batik. Sedangkan kakak temanten kakung

menggunakan atela hitam, keris dan bebetan jarik batik.

8. Kirab Temanten

Kirab temanten pasangan GKR Bendara dan KPH Yudanegara

dimulai pukul 16.00 WIB. Kirab ini dimulai dari pintu gerbang Keben

sampai Bangsal Kepatihan. Rombongan kirab terdiri dari dua bregada

prajurit, lima kereta kuda, dan empat belas kuda yang ditunggangi

penari lawung ageng. Dua bregada prajurit kraton berada di barisan

depan yaitu bregada Wirabraja dan bregada Ketanggung. Kereta yang

digunakan dalam kirab berjumlah lima kereta, yaitu Kyai Kus Ijem

atau Landower, Kyai Jong Wiyat, Kyai Roto Biru, Kyai Landower

Surabaya dan Kyai Permili. Kereta yang dinaiki oleh pasangan

pengantin adalah Kyai Jong Wiyat.

Pada saat acara kirab temanten kakung dan putri menggunakan

pakaian beludru merah marun dengan bordir emas, kelat bahu,

perhiasan emas. Temanten kakung juga menggunakan kuluk

Page 14: Pawiwahan Agung

13

kanigaran.

9. Resepsi

Acara resepsi bertempat di Dalem Kepatihan. Acara resepsi

dimulai sekitar pukul 19.00 WIB. Pada awal acara, tampil Tari

Bedoyo Manten yang ditarikan oleh enam orang gadis. Tari Bedoyo

Manten merupakan tarian Keraton yang diciptakan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono IX. Tarian ini hanya digelar ketika ada putri

Sultan yang menikah.

Page 15: Pawiwahan Agung

14

Tari Bedoyo Manten menampilkan kisah perjalanan hubungan

sepasang kekasih hingga diresmikan dalam ikatan suci sebagai suami-

istri. Dalam tarian ini, dua orang penari berperan sebagai pengantin,

sedangkan empat penari lainnya berperan sebagai penari Srimpi.

Musik (gendhing) yang digunakan dalam Tari Bedoyo Manten adalah

Ladrang Gati

Sangaskoro.

Usai

penampilan Tari

Bedoyo Manten,

ditampilkan Tari

Lawung Ageng.

Tari Lawung

Ageng diciptakan

oleh Sri Sultan HB I. Tarian ini merupakan simbolisasi dari para

prajurit Keraton yang sedang berlatih perang. Tari Lawung Ageng

ditarikan oleh 16 penari pria, yang terdiri dari 2 penari botoh, 2 penari

salotho, 4 penari Jajar, 4 penari lurah, dan 4 penari ploncong.

Pada saat acara

resepsi temanten kakung

dan putri menggunakan

pakaian beludru hitam

dengan bordir emas, kelat

bahu, perhiasan emas.

Temanten kakung juga

menggunakan kuluk

kanigaran.

10. Pamitan

Page 16: Pawiwahan Agung

15

Prosesi terakhir dari Pernikahan Agung GKR Bendara dengan

KPH Yudanegara adalah pamitan. Prosesi ini digelar mulai dari

Bangsal Kasatriyan hingga Gedong Jene.

Pada awal prosesi, GKR Bendara berjalan menjemput KPH

Yudanegara di Bangsal Kasatriyan. Di Bangsal Kasatriyan telah

menunggu KPH Yudanegara, orangtua dari pengantin pria, serta

beberapa kerabat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, antara lain

GBPH Prabukusuma.

Rombongan GKR Bendara dan KPH Yudanegara kemudian

berjalan menuju Gedong Jene. Di Gedong Jene, rombongan ini telah

ditunggu oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, GKR Hemas, dan

keempat putri mereka, yaitu: GKR Pembayun, GKR Condrokirono,

GKR Maduretno, dan GRAj Nurabra Juwita.

Acara pertama dalam prosesi pamitan adalah nasehat dari Sri

Sultan HB X kepada GKR Bandara dan KPH Yudanegara dalam

berumah tangga. Sri Sultan memberikan nasehat mulai dari cara

meredam ego masing-masing hingga masukan untuk tetap menjaga

kewibawaan dan harga diri.

Usai Sri Sultan menyampaikan nasehat kepada pasangan

suami-istri ini, tiba waktunya bagi keluarga pihak pria yang diwakili

oleh Tursansi Alwi untuk memberikan nasehat. Tursansi Alwi atas

Page 17: Pawiwahan Agung

16

nama keluarga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya

atas semua kerjasama dari berbagai pihak yang mendukung

terlaksananya pernikahan agung ini. Selain itu juga meminta maaf

apabila telah melakukan berbagai kesalahan terkait dengan adat

karena belum punya pengalaman sama sekali. Sedangkan bagi GKR

Bendara dan KPH Yudanegara, perwakilan dari pihak pria ini

mengucapkan selamat berbahagia dan selamat menempuh hidup baru.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sungkeman. GKR

Bendara melakukan sungkem terlebih dahulu, kemudian disusul oleh

KPH Yudanegara. Sungkeman pertama dilakukan kepada Sri Sultan

HB X, kemudian GKR Hemas. Usai sungkem terhadap Sultan dan

Permaisuri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut,

sungkeman dilanjutkan kepada kedua orangtua KPH Yudanegara.

Pamitan merupakan prosesi terakhir yang dijalani oleh GKR

Bendara dan KPH Yudanegara selama pernikahan agung. Dalam

prosesi pamitan, KPH Yudanegara meminta izin kepada Sultan HB X

dan GKR Hemas untuk membawa istrinya, GKR Bendara ke Jakarta

di mana selama ini KPH Yudanegara bekerja. Selain itu, pamitan  juga

merupakan wujud sembah bakti dan permohonan doa restu kedua

pasangan kepada kedua orangtua dari masing-masing pihak. 

Dalam acara pamitan temanten kakung menggunakan atela

putih, iket batik, dan jarik motif batik. Sedangkan temanten putri

menggunakan kebaya broklat warna merah jambu dan jarik yang sama

dengan temanten kakung.

B. Tata Rias yang Digunakan Saat Upacara Pawiwahan Agung

1. Tata rias biasa

Tata rias biasa merupakan tata rias yang digunakan pada saat

acara plangkahan, tantingan, midodareni, dan pamitan. Tata rias biasa

meliputi pelembab, alas bedak, bedak, eye shadow, blush on, lipstik,

Page 18: Pawiwahan Agung

17

mascara dan lain sebagainya. Sanggul yang digunakan adalah sanggul

ukel tekuk dengan peniti renteng dan bros di tengahnya.

2. Tata rias paes ageng

Tata rias paes ageng digunakan pada saat upacara panggih,

kirab, serta resepsi. Persiapan rias pengantin antara lain meliputi:

memakai lapisan dasar (foundation), boreh, serta kencanan, yaitu apa

yang lazim digunakan untuk merias wajah pengantin.

Perlengkapan rias y ng harus disediakan, antara lain;

1) Pidih: cairan berwarna hitam

2) Prada: kertas emas, yang digunting-gunting selebar ½ cm kemudian

dipotong-potong menurut kebutuhan

3) Prada emas yang dipotong menjadi bentuk kinjengan atau capung-

capung kecil

4) “Keteb” dari bahan metal berwarna putih berbentuk bulat-bulat

kecil

5) Lipstik berwarna merah

6) Boreh (ramuan untuk mengolesi tubuh berwarna kuning kehijauan).

Warna ini menggambarkan keagungan.

Rias dimulai dengan cara mempertebal pola rias untuk

pengantin yang disebut cengkorongan. Pola rias ini telah dibuat secara

tipis usai siraman, dengan garis lengkung di dahi dan pangkal pipi.

Pola rias pada dahi terdiri dari 4 jenis, yaitu: penunggul, pengapit,

penitis, godhek.

Penunggul terletak di pusat dahi dan berbentuk seperti pucuk

daun sirih. Karena ini maka disebut mucuk godhong sirih. Pengapit

berbentuk seperti kuncup daun kantil. Tempatnya di sebelah kanan

dan kiri penunggul. Penitis terletak di pinggil, bentuknya juga seperti

pucuk daun sirih, tetapi lebih kecil dari penunggul. Godhek berbentuk

seperti tanduk kerbau atau seperti pisau yang melengkung ke bawah.

Para ahli paes memiliki patokan perbandingan ukuran lebar, yaitu

3:3:2,5.

Page 19: Pawiwahan Agung

18

Di penunggul dilekatkan prada yang berupa kertas warna emas

berbentuk capung bersayap, yang disebut kinjengan. Di pengapit,

penitis, dan godhek dilekatkan kinjengan tidak bersayap. Di tengah-

tengah dahi, tepatnya di bawah penunggul dibuat cithak, yaitu lukisan

memakai pucuk daun sirih mirip belah ketupat yang kemudian dioles

dengan cairan pidih.

Alis digambar menyerupai tanduk menjangan, lalu ditebalkan

dengan pidih. Bentuk ini dinamakan menjangan ranggah. Di pinggiran

mata dekat bulu mata diberi garis yang disebut celak. Di daerah

kelopak mata kea rah pelipis diberi olesan berwarna coklat sedemikian

rupa sehingga tampak samar-samar. Bibir diberi olesan lipstick

berwarna merah.

Tata rambut pengantin puteri gaya Yogya disebut gelung bokor

mengkurep. Sanggul bulat mirip seperti dua sisir jeruk yang dikupas

dan diletakkan berhadap-hadapan, diisi dengan irisan daun pandan

yang terlebih dahulu dimasukan ke dalam rajut panjang. Gelung ini

kemudian ditutup sepenuhnya dengan ronce melati. Hiasan gelung ini

masih ditambah dengan ronce gajah ngoling, rangkaian melati yang

panjangnya 40 cm. Ronce gajah ngoling dikaitkan di bawah gelung

bokor mengkurep. Gelung ini masih diperindah lagi dengan rangkaian

melati yang disebut teplok. Di tengah-tengah gelkung dihiasi bunga

mawar. Masih disempurnakan lagi dengan jebehan.

Page 20: Pawiwahan Agung

19

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Upacara pawiwahan agung yang telah dilaksanakan oleh keraton

Yogyakarta dalam rangka merayakan pernikahan putri Sri Sultan

Hamengkubuwana X, yaitu GKR Bendara dan KPH Yudanegara merupakan

sebuah tradisi warisan leluhur yang begitu luar biasa. Serangkaian prosesi

pernikahan yang harus dijalani oleh kedua mempelai memang terasa begitu

melelahkan. Akan tetapi, rangkaian ritual upacara yang telah dilakukan itu

tentu mengandung filosofi masing-masing.

Upacara pawiwahan agung yang dilaksanakan oleh keraton Yogyakarta

ini dilaksanakan selama empat hari berturut-turut, dimulai pada hari Minggu

tanggal 16 Oktober 2011 sampai hari Rabu tanggal 19 Oktober 2011.

Rangkaian prosesi pawiwahan agung ini terdiri dari upacara nyantri, upacara

plangkahan, upacara siraman, upacara tantingan, upacara midodareni, upacara

ijab, upacara panggih, upacara tampa kaya, upacara dahar klimah, kirab

temanten, acara resepsi, serta acara pamitan.

Dalam pelaksanaan berbagai macam prosesi tersebut, juga

menggunakan busana dan tata rias yang berbeda-beda disesuaikan dengan

pakem (aturan yang telah ditetapkan). Untuk busana yang digunakan oleh

orang-orang yang terlibat di dalamnya juga berbeda-beda disesuaikan dengan

kedudukan masing-masing saat berlangsungnya prosesi pernikahan itu. Untuk

prosesi puncak dalam acara pawiwahan agung ini, yaitu pada saat upacara

panggih, kedua mempelai pengantin dirias dengan menggunakan tata rias

paes ageng dan busana yang digunakan adalah busana kebesaran Keraton

Yogyakarta. Sementara untuk acara selain upacara panggih menggunakan tata

rias biasa dan busana kebaya untuk pengantin putri serta busana atela untuk

pengantin pria.

Page 21: Pawiwahan Agung

20

B. Saran

Sebagai orang Jawa alangkah baiknya jika kita turut melestarikan adat

tradisi yang telah dilangsungkan sejak dahulu oleh para leluhur kita. Salah

satu contohnya adalah melestarikan rangkaian upacara pawiwahan agung

seperti yang dilakukan oleh pihak Keraton Yogyakarta ini. Dalam menggelar

prosesi pernikahan ada banyak hal yang terlebih dahulu perlu dilakukan oleh

kedua calon mempelai pengantin sebelum pengantin resmi menikah dengan

berlangsungnya acara ijab qobul. Begitu pula untuk rangkaian acara sesudah

ijab qobul.

Memang tidak mutlak harus dilakukan rangkaian prosesi pernikahan

seperti dalam pawiwahan agung ini. Akan tetapi, ketika kita masih bisa dan

mampu untuk melakukan tradisi seperti ini tentu akan lebih baik. Selain itu,

dengan melakukan acara yang telah menjadi tradisi leluhur seperti itu berarti

kita ikut berperan serta dalam menjaga keeksistensian budaya warisan leluhur

kita sendiri. Dan kita pun turut menjaga keberadaan budaya yang telah

diwariskan oleh para generasi sebelum kita terdahulu agar tidak musnah

apalagi dicuri oleh bangsa lain.

Page 22: Pawiwahan Agung

21

DAFTAR PUSTAKA

Condronegoro, Mari. 1995. Memahami Busana Adat Kraton Yogyakarta Warisan Penuh Makna. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

http://jogjanews.com/2011/10/20/berita-foto-upacara-tampa-kaya-dan-dhahar-klimah-pernikahan-agung-kraton-yogyakarta/

http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQwZqxb5kuB18-0Y3STkC6YN_CuVhzccnw_YX75LSAi5m4ybq7W3Q

http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSeBmAHEv321ep7Qto6J3Mnzi26C33elTgIB6by9tklfeNldNSN

http://www.google.co.id/imgres?q=KPH+Yudanegara&hl=id&sa=G&gbv=2&biw=1052&bih=576&tbm=isch&tbnid=Ws7kR-BA-relfM:&imgrefurl=http://anehaneh.tk/kirab-pengantin-kraton-yogyakarta/&docid=QrgwPAaeYzMWKM&imgurl=http://images.detik.com/content/2011/10/18/157/Rombongan-Kirab-7.jpg&w=640&h=427&ei=1_SkTsvCD4iyrAeo2oT7Ag&zoom=1

Jandra, Mifedwil, dkk. 1991. Perangkat/Alat-alat dan Pakaian serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kedaulatan Rakyat, Rabu Kliwon, 19 Oktober 2011.

Mochtar, Kusniati. 1988. Adat Perkawinan Kraton Jogyakarta Dalam Busana Kebesaran. Yogyakarta: Anjungan Daerah Istimewa Jogyakarta TMII.

www.detik.com

www.mediaindonesia.com

Yosodipuro, Marmien Sardjono. 1996. Rias Pengantin Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Page 23: Pawiwahan Agung

22

LAMPIRAN

Kartu Undangan

Prosesi Ngerik

Page 24: Pawiwahan Agung

23

Tari Edan-Edanan

Kembar Mayang

Page 25: Pawiwahan Agung

24

Rombongan Kirab

Rombongan Kirab

Page 26: Pawiwahan Agung

25

Rombongan Kirab

Rombongan Kirab

Page 27: Pawiwahan Agung

26

Rombongan Kirab

Resepsi