KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN
Transcript of KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN
PERANAN KERAJAAN GOWA
DALAM PERNIAGAAN
ABAD XVII
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Meraih Gelar Strata Satu (S1)
(Dosen Pembimbing: Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA)
Disusun Oleh
Mualim Agung Wibawa
NIM : 105022000844
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1431 H
PERANAN KERAJAAN GOWA
DALAM PERNIAGAAN
ABAD XVII
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh
Mualim Agung Wibawa
NIM. 105022000844
Dosen Pembimbing
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA
NIP. 195912221991031003
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ”PERANAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN
ABAD XVII”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Januari 2011. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora
(S.Hum.) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 04 Januari 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd.
NIP: 195912221991031003 NIP: 197504172005012007
Anggota
Penguji Pembimbing
Drs. H. Azhar Saleh, MA Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA
NIP: 195810121992031004 NIP: 195912221991031003
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 02 November 2010
Mualim Agung Wibawa
i
ABSTRAKSI
Nama: Mualim Agung Wibawa (105022000844)
Judul : Kerajaan Gowa Dalam Perniagaan Abad XVII
Fokus perhatian studi ini adalah upaya untuk mengkaji dan
mengungkapkan secara deskriptif naratif mengenai faktor-faktor yang
menyebabkan Kerajaan Gowa pada abad XVII dapat berkembang menjadi Bandar
internasional, Bandar transit dalam dunia perdagangan nusantara.
Sejak masa pra-Kolonial, pelabuhan Makassar (Somba Opu) sudah dikenal
sebagai pintu ke kawasan timur Indonesia. Kota yang terletak di ujung selatan
pulau Sulawesi ini memiliki sejarah yang panjang sebagai Bandar niaga yang
kosmopolitan. Dasar-dasar kemajuan ekonomi Makassar pula tidak hanya faktor
strategis sebagai entrepot yang menghubungkan kawasan Laut Jawa, Selat
Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan Jaringan lokal lainnya serta
perdagangan jarak jauh dengan China, India, dan Eropa, tetapi juga sebagai
produsen komoditi perdagangan penting, terutama beras. Dan jangkauan
jaringannya telah mencapai hampir seluruh kawasan Nusantara, Australia Utara,
Kepupalauan Filipina, Makao, China, dan beberapa kota pelabuhan di
Semenanjung Malaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi Somba Opu seperti letak
geografisnya yang sangat strategis terutama letak dan iklimnya menyebabkan
Kerajaan Gowa dapat berkembang dalam jaringan pelayaran dan perdagangan
hingga menjadi bandar internasional, bandar transito di abad XVII. Penyebab lain
adalah jumlah penduduknya yang terus meningkat dikarenakan raja
memperkenankan kepada pedagang-pedagang dari seluruh Nusantara dan asing
untuk tinggal dan menetap ataupun hanya berdagang di sekitar kerajaan Gowa
atau pelabuhan Somba Opu. Luas kota (wilayah), dan sifat pemerintah terhadap
para pedagang dan masyarakatnya yang senantiasa memberi perlindungan. Selain
itu didukung pula oleh sarana dan prasarana seperti pasar, bandar niaga, laut dan
alat transportasi laut. Pada akhir abad XVII yaitu pada tahun 1669 mengalami
kemunduran hal ini disebabkan oleh VOC yang memonopoli perdagangan dengan
mengembangkan prinsip laut tertutup (mare clausum).
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan agar para sejarawan
dapat meningkatkan perhatiannya dalam mengungkap fakta-fakta sejarah lokal
dari berbagai aspek sehingga gambaran kehidupan bangsa indonesia dan juga
aspek-aspek kemaritiman dapat terungkap secara menyeluruh dan utuh.
ii
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada iman,
menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
segala yang munkar.
Selanjutnya, selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang
penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu
semua ini tidak meyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan
kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S. Hum).
Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bpk. DR. H. Abd. Wahid Hasyim, M. Ag. Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan
seizinnya skripsi ini dapat dibuat dan diujikan.
2. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA., Ketua Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam, yang telah banyak membantu penulis dalam ke
iii
akademikan dan yang telah dengan sabar serta teliti dalam memberikan
bimbingan kepada penulis.
3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam, yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis selama
proses penulisan skripsi ini.
4. Bapak DR. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag. Dosen Penasehat Akademik,
yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat selama penulisan.
5. Seluruh staff dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora,
khususnya dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
6. Staff perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(PNRI), dan perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI Jakarta) yang telah
memberikan data referensi kepada penulis.
7. Kedua orangtua, ayahanda Ruhiyat dan Ibunda Rohyati, yang telah banyak
memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a restu yang tak
pernah putus beliau panjatkan, agar penulis dapat terus dan kuat untuk
menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang begitu
besar.
8. Kakakku, Enggalia Evriyanti Mulida, keponakanku Hanifah Putri, dan
adikku Ammar Muhammad Zakkiniya, yang telah memberikan do’a,
semangat, dan dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
iv
9. Teman-teman seperjuangan SPI angkatan 2005, khususnya, yang telah
memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga dapat
terselesaikannya skripsi ini.
Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baik
Bapak/Ibu/Sdr/i mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan
saran yang membangun dalam rangka saling mengingatkan antara sesama
manusia untuk menuju kearah kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga
skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 18 Februari 2011
Rabiulawal 1432 H
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI……………………………………………………………………....i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….......v
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN..........................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................................6
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................7
D. Tinjauan Kepustakaan.........................................................................................9
E. Metodologi Penelitian........................................................................................11
F. Sistematika Penulisan........................................................................................13
BAB II POTRET WILAYAH DAN MASYARAKAT GOWA
A. Letak Geografis.................................................................................................15
B. Demografis Masyarakat Gowa..........................................................................19
C. Kerajaan Gowa Pra-Islam..................................................................................20
D. Sistem Pemerintahan Pra-Islam........................................................................22
E. Sejarah Berdirinya Kerajaan Gowa...................................................................27
F. Perkembangan Kerajaan Gowa Pra-Islam.........................................................28
G. Islamisasi Kerajaan Gowa.................................................................................29
vi
BAB III ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA
A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan...................................................34
B. Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan
dan Sistem Perdagangan....................................................................................39
C. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain.....................................44
D. Alat Transportasi Perdagangan.........................................................................51
BAB IV PERAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD
XVII
A. Peran Kerajaan Gowa dalam Jaringan Pelayaran
Dan Perdagangan Nusantara............................................................................55
B. Kebangkitan Emporium dan Kapitalisme Ekonomi..........................................59
C. Perdagangan Keramik Asing di Makassar........................................................61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................78
LAMPIRAN I
LAMPIRAN 2
vii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
ANRI : Asip Nasional Republik Indonesia
EIC : East India Company
ENI : Encyclopaedie van Nederlansch Oost-Indie
KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal-. Land en Volkenkunde
RIMA : Review of Indonesian and Malaysian Affaires
TBG : Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde
VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie
BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van de Koninklijk
Instituut
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semangat bangsa Eropa untuk ke Asia dipengaruhi oleh berita Marco
Polo1. Menurut berita tersebut, dunia timur (Asia Tenggara) memiliki tanah yang
subur dan hasil rempah-rempah serta penduduknya ramah tamah, tanaman di
dunia timur tidak pernah mengalami musim gugur seperti di Eropa, karena itu
bangsa Eropa semakin terdorong dan berlomba-lomba mencari jalan ke Asia
Tenggara lewat samudera.
Orang Eropa yang pertama datang ke Indonesia adalah orang Portugis,
kemudian orang Spanyol, dan disusul oleh Belanda. Orang-orang Portugis datang
ke Indonesia mempunyai tiga motif yaitu petualangan, ekonomi, dan agama.
Sedangkan kedatangan orang-orang Belanda ke Indonesia mempunyai dua motif
yaitu ekonomi dan petualangan.2 Pada tahun 1595 perseroan Amsterdam untuk
pertama kalinya mengirim angkatan kapal ke Indonesia di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman.3 Mereka mendarat di pelabuhan Banten, dan mereka
disambut baik oleh penguasa-penguasa Banten, karena maksud mereka hanyalah
untuk berdagang.
Pada abad ke-16 Aceh masih merupakan pelabuhan kecil, namun sudah
mulai disegani oleh tetangganya (Pidie dan Pasai) yang kemudian harus mengakui
1 A. Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, (Jogjakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2005). Hal 94. 2 Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1992). Hal 45. 3 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium
sampai Imperium.( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993). hal. 70.
2
keunggulannya. Tome Pires melaporkan bahwa pada waktu itu (sekitar 1512) aceh
memiliki 30-40 buah kapal berbentuk lancaran untuk keperluan maritimnya.
Suatu ketika Sultan Banten mendapat laporan bahwa nakhoda Belanda
dengan anak buahnya itu keluar masuk kampung penduduk dengan sikap kurang
ajar yang melukai perasaan penduduk. Sultan amat marah karena tamu tersebut
melanggar sopan santun sebagai orang asing yang tidak menghormati adat istiadat
serta keyakinan penduduk. Cornelis de Houtman dengan seluruh anak buahnya
ditangkap dan dimasukan ke dalam penjara. Akan tetapi kawan-kawannya yang
masih berada di kapal datang menghadapi Sultan dan memohon dibebaskannya
semua tawanan dengan sanggup membayar uang tebusan.4
Di situlah orang-orang Belanda memperlihatkan sikap “manisnya” seolah-
olah menunjukkan keinginannya untuk bersahabat dengan Banten. Mereka tidak
tergesa-gesa memperlihatkan wataknya yang sesungguhnya. Belanda
menanamkan kesan bahwa kedatangannya ke Banten semata-mata hendak
berdagang. Tetapi malang nasib yang dialami Cornelis de Houtman. Dalam
pelayarannya ketika menyinggahi Aceh, ia mati terbunuh.5
Pelayaran Belanda selanjutnya terjadi pada tahun 1598 yang dipimpin oleh
Jacob van Neck, Waerwijk, Heemskerck yang berlabuh di pelabuhan Banten,
mereka diterima baik oleh penguasa-penguasa Banten karena pada waktu itu
Belanda dapat menyesuaikan dirinya juga karena Banten baru mengalami
kerugian-kerugian akibat tindakan orang-orang Portugis.
4 Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya. (Bandung : Al-
Ma’arif, 1981). hal. 375-376 5 Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya. (Bandung : Al-
Ma’arif, 1981). Hal. 376.
3
Untuk menyaingi pelayaran dan perdagangan dengan orang-orang Barat
itu maka Belanda mendirikan VOC. VOC merupakan serikat dagang Hindia
Belanda yang didirikan pada tahun 1602 sebagai suatu wadah koperasi bagi
pedagang Belanda yang sejak saat berdirinya membiayai semua usaha-usaha
perdagangan Belanda dan semua aktifitas politik Belanda di kepulauan
Indonesia.6 Didirikannya VOC (Verenigigde Oost Indische Compagnie) oleh
Belanda karena terdorong oleh persaingan hebat dengan bangsa Inggris, Portugis,
dan Spanyol.
Perkumpulan dagang Belanda (VOC) mengangkat Peter Both selaku
gubernur Jenderal untuk Timur, Asia (1609-1614). Jan Pieterzoon Coen, pegawai
perkumpulan dagang Belanda (VOC) yang diberi mandat sebagai gubernur
Jenderal di Indonesia bila berhasil menguasai nusantara. Jelas sekali, bahwa sejak
semula Belanda datang ke Indonesia bukan semata-mata hendak berdagang, tetapi
tujuan utamanya politik, atau tegasnya yaitu kolonialisme, penjajahan.
Persaingan antar Belanda dan Portugis telah melipat gandakan harga
pembelian lada, cengkeh dan pala dalam jangka waktu beberapa tahun yang
memang pada saat itu rempah-rempah sangat sulit untuk mereka dapatkan,
sedangkan perjalanan mereka untuk mendapatkan rempah-rempah ini memakan
waktu yang cukup lama dan juga sulit. Tapi bila dilihat secara ekonomis, Belanda
mempunyai kedudukan lebih kuat daripada Portugis.
Sebagaimana halnya dengan Banjarmasin, pelabuhan Makassar (Ujung
Pandang) pun pada masa Tome Pires belum memainkan peranan yang penting.
Mungkin pada waktu itu Sulawesi Selatan masih berada pada zaman peralihan
6 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa.( Jakarta : Balai Pustaka, 1984). hal. 63.
4
ketika kekuatan orang Makassar yang sebelumnya berpusat di Siang (kini
Pangkajene Kepulauan) mulai menurun dengan munculnya kekuatan gabungan
Gowa dan Tallo yang kemudian memeperkembangkan Makassar sebagai
pelabuhan yang besar. Demikian pula dipantai Timur Sulawesi Selatan Kerajaan
Luwu mundur berangsur-angsur sehingga akhirnya kerajaan Bone berhasil
menjadi kekuatan Bugis yang terkemuka.7
Makasar dengan lokasi pelabuhannya yang baik sangat menarik sebagai
stasiun dalam pelayaran antara Maluku dan Malaka. Kemudian kemunduran
pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong perkembangan yang sangat pesat pada
abad XVII. Di sini di kota Makassar dan daerah di dekatnya, Gowa, telah aktif
dalam pelayaran dan perdagangan paling tidak dari awal abad ke-16.
Terletak di antara Jawa dan Maluku, kerajaan Makassar dan Gowa
menduduki posisi yang secara strategis sangat menguntungkan. Setelah penguasa
Makassar dan Gowa masuk Islam pada 1605, kekuatannya pun mulai menyebar
ke daerah-daerah lain di semenanjung Sulawesi bagian barat daya, pantai timur
Kalimantan dan sebagian Kepulauan Sunda Kecil, khususnya di pulau Sumba dan
Sumbawa. Raja-rajanya memaksa penguasa Buton (lepas pantai Sulawesi bagian
tenggara) untuk mengalihkan pengakuan kedaulatannya dari Ternate ke Gowa.
Portugis, yang terusir dari sebagian besar Maluku, menjadikan Makassar kantor
pusat mereka untuk perdagangan rempah.
Para sultan Makassar, walaupun mereka Muslim, mengikuti kebijakan
dengan hati-hati terhadap orang Eropa, dan menyatakan bahwa mereka ingin tetap
netral dalam perang antara Belanda dan Portugis. Mereka menolak kedua belah
7 Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia, Jilid
I: Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945, (Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga Di
Indonesia / PUSPINDO, 1990). Hal. 47.
5
pihak itu untuk membangun pos dagang berbenteng di wilayah mereka. Portugis,
yang merasa aman di bawah perlindungan sang Sultan, dengan rela tunduk pada
semua peraturannya. Orang Belanda mendirikan ”lodge”, yaitu kantor dagang di
Makassar tapi karena menggunakan cara yang kasar dalam mengahadapi beberapa
pengutang dari kota itu, maka merekapun mendapat kemarahan Sultan. Dari sejak
itu sampai 1667, Makassar tetap menjadi pusat oposisi terhadap orang Belanda.
Portugis, Inggris, dan bahkan Denmark berdagang dari pelabuhan itu, di situ
perdagangan berlangsung marak.
Pada abad ke tujuh belas, Makasar sudah merupakan bandar dan
pelabuhan yang ramai di Indonesia bagian timur, kota ini sangat penting artinya
terutama dalam perdagangan hasil bumi yang pada waktu itu sangat digemari dan
sangat dibutuhkan oleh dunia. Letaknya sangat strategis dan baik sekali ditengah-
tengah lalu lintas perdagangan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian
timur.
Tidaklah mengherankan jikalau kerajaan Gowa mendapat perhatian yang
besar sekali dari orang-orang asing. Orang-orang Eropa seperti orang Portugis,
orang Spanyol, orang Inggris, dan juga orang Belanda yang berusaha mencari
hubungan dan ingin bersahabat dengan raja Gowa.8
Orang-orang Belanda ketika datang ke Indonesia pada mulanya tidak
menaruh perhatian kepada kerajaan Gowa yang terletak di kaki barat Sulawesi
Selatan. Belanda pada mulanya dalam perjalanan ke timur sesudah berangkat dari
pelabuhan-pelabuhan Jawa, mereka meneruskan perjalanannya ke Maluku.
Tentang pentingnya kerajaan Gowa baru diketahui setelah mereka merampas
8 M. D. Sagimun, Sultan Hasanuddin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. (Jakarta. Balai
Pustaka, 1992). Hal. 87.
6
kapal Portugis di dekat perairan Maluku yang ternyata memiliki seorang awak
Makasar.
Dari orang Makasar mereka mengetahui bahwa pelabuhan Gowa
merupakan transito dari kapal-kapal yang berlayar dari atau ke Maluku. Dari
keterangan-keterangan ini Belanda dapat menarik kesimpulan bahwa pelabuhan
Gowa sebenarnya sangat baik karena terletak antara Malaka dan Maluku.9
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembentukan Gowa sebagai kota perdagangan, tidak dapat dipahami tanpa
pengetahuan tentang kehidupan perniagaan penduduk Sulawesi Selatan dan posisi
Makassar dalam peta perdagangan Nusantara baik pada masa Kerajaan maupun
masa pemerintahan Hindia Belanda. Tampilnya Kerajaan Gowa sebagai kerajaan
perdagangan tidak dapat dipisahkan dari posisi Makassar yang secara Geografis
sangat strategis di tengah jaringan pelayaran Nusantara dan Asia Tenggara.
Ruang lingkup penelitian ini bersifat ekonomi, topik utama yang akan
dianalisis dalam penelitian ini, secara khusus terfokus pada hal-hal yang bertalian
dengan perdagangan, seperti komoditi perdagangan berupa barang ekspor dan
impor, alat transaksi dan pelaksanaan perdagangan.
Untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
maka penulis membatasi pembahasan pada “PERANAN KERAJAAN GOWA
DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII”.
9 Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1992). Hal. 79.
7
Untuk memahami pertumbuhan kota Makassar perlu adanya penelusuran
sejarah bandar ini. Beberapa pertanyaan dapat diajukan sebagai permasalahan,
yaitu:
1. Sejak kapan Kerajaan Gowa berperan dalam percaturan perdagangan
Nusantara?
2. Faktor-faktor apakah yang mendukung Kerajaan Gowa menjadi Bandar
Perniagaan?
3. Jenis-jenis Komoditas apakah yang diperjualbelikan di Makassar?
C. Tujuan Penelitian
Selama ini penelitian sejarah banyak terpusat di Jawa mungkin karena
sumber-sumbernya lengkap. Di wilayah-wilayah luar Jawa belum banyak diteliti
memang karena sumber-sumbernya kurang. Sekarang tiba waktunya untuk
mengusahakan penelitian sejarah di luar Jawa perlu dikembangkan, sehingga
gambaran sejarah nasional menjadi makin lengkap, disamping untuk
mengimbangi penelitian sejarah Jawa. Oleh karena itu studi sejarah lokal di luar
Jawa seperti pengkajian sejarah Kerajaan Gowa ini sangat penting artinya
terutama dalam rangka penelitian sejarah Indonesiasentrisme.
Dipilihnya kajian ini, karena dapat dikatakan bahwa rentang waktu abad
ke XVII yang oleh Anthony Reid disebut sebagai The age of Commerce
merupakan periode yang dinamis, yang memperlihatkan besarnya pengaruh
internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan internal adalah terjadinya
perkembangan kerajaan Gowa setelah bersatu dengan kerajaan Tallo dan adanya
konflik intern dalam perebutan hegemoni antara kerjaaan Gowa dengan kerajaan
8
Bone. Sedangkan pengaruh eksternal adalah adanya konstelasi pertikaian dan
perebutan hegemoni antara kekuatan perdagangan Portugis dengan perdagangan
Belanda, serta terjadinya pergeseran jalur pelayaran dan Jaringan perdagangan
dari Jawa Timur ke Makassar.10
Kondisi ini sangat berpengaruh pada penetapan
dan pengembangan jaringan perdagangan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang
mendukung terbentuknya Kerajaan Gowa sebagai Bandar Niaga pelabuhan
Maritim. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami hubungan
antara kota pelabuhan dengan perkembangan kebudayaan sebagai akibat interaksi
antar bangsa yang menyertai kegiatan perdagangan. Penulisan skripsi ini
mempunyai tujuan umum, yaitu:
1. Menambah wawasan intelektual khususnya wawasan kesejarahan, terkait
sejarah Nusantara. Khususnya mengenai Kerajaan Gowa dalam perniagaan
di Nusantara abad XVII.
2. Mengungkapkan sistem perdagangan, sistem pengelolaan pelabuhan, jenis
komoditas yang diperjualbelikan, dan faktor-faktor yang mendukung
Kerajaan Gowa sebagai kota niaga maritim.
3. Untuk menyumbang hasil karya penelitian mengenai Kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara abad XVII di Perpustakaan, khususnya perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah, dan perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora.
10
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Terjemahan), (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1995). Hal. 103.
9
D. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Seperti telah diungkapkan pada halaman sebelumnya, penulisan sejarah
Nusantara khusunya di luar pulau Jawa masih sangatlah minim. Namun ada
beberapa sejarahwan asing dan lokal yang telah melakukan penelitian tentang
daerah Makassar. Sumber lokal penting bagi kajian Makassar khususnya Kerajaan
Gowa adalah Naskah Perjanjian Bongaya “Bongaas CH Verdrag, 18 November
1667”11
yang merupakan salah satu koleksi dari Arsip Nasional Republik
Indonesia; “Lontara’ Patturioyoloanganna ri tu-Gowaya”, milik: Arsip Nasional
Republik Indonesia. Naskah maupun Lontara ini merupakan salah satu sumber
lokal yang memuat cerita tentang sejarah awal kerajaan-kerajaan di Makassar.
Meskipun berbentuk naskah dan lontara’ yang kebenarannya sulit untuk
dibuktikan. Nilai yang dapat diambil dari sumber tersebut, penulis berpendapat
bahwasannya lontara ini bisa memberikan cerminan kehidupan bermasyarakat,
berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang menitik beratkan
untuk kesatuan dan persatuan bangsa.
Tulisan lain tentang Makassar juga telah dilakukan oleh A. Makkarausu
Amansyah dalam bingkisan tahun I/20, dengan judul, Imangngakrangi Daeng
Manrabbia Karaeng Somba ke XIV, dalam bingkisan ini banyak memberikan
gambaran tentang konstalasi politik Tumapa’risi Kallonna yang dianggap unggul
dalam ekspansi territorial. Pada sumber ini penulis berpendapat bahwa kehidupan
11
(18 November) “Bongaisch Tractaat (contract van vreide vrind in bond genootschaap
tuschen de heer Cornelis Speelman en den Paduka Sierie Sulthan Kaslan oudijn koning van
Macassar en descelfs”, (bundel No. 273. dan “Geschiedkundig overzigt van Celebes”, 1 band.
Bundel No. 294. 1666).
10
berpolitik sangatlah penting untuk menjalin persahabatan dan juga persaudaraan
antar bangsa serta dapat pula memajukan perekonomian suatu bangsa.
J.C. Van Leur dalam bukunya yang berjudul “Indonesian trade and society
Lessays in asian social and economic history”12
telah memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi ekonomi dan perdagangan di Nusantara yang sudah
sejak dulu melakukan hubungan interaksi dengan bangsa asing khususnya
Belanda (VOC). Buku ini banyak memberikan gambaran mengenai produk-
produk yang diperjualbelikan terutama pada abad XVII di Nusantara dan
khususnya di kepulauan Sulawesi Selatan yang ketika pada masa kejayaan
Kerajaan Gowa mempunyai peranan yang sangat penting dalam perdagangan dan
pelayaran di wilayah Indonesia bagian timur.
Sejarah Makassar pada abad XVII, pernah dtulis oleh Darmawati A.
Dalam tesisnya “Somba Opu Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan
Nusantara Abad XVII.13
Tulisan ini berisikan tentang bagaimana perdagangan
rempah-rempah yang meningkat pada abad XVII berpengaruh terhadap kondisi
politik Kerajaan Gowa. Di dalam tesis ini dijelaskan mengenai perdagangan
rempah-rempah yang sangat popular ketika itu, yang mana rempah-rempah pada
waktu itu sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa dan juga Asia lainnya. Bahkan
harganya lebih mahal dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti keramik,
beras, lada, dan lain sebagainya.
12
J.C. Van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic
history, (Bandung : Sumur Bandung, 1960). Hal. 403-404. 13
Darmawati, A. Somba Opu Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Nusantara
Abad XVII (Tesis Fakultas Pascasarjana UNM, Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2002).
Hal. 17-18.
11
E. METODOLOGI PENELITIAN
Penulisan sejarah merupakan hasil rekonstruksi imajinatif terhadap masa
lampau dengan melalui suatu proses intelektual pada metode-metode sejarah.
Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan multi-dimensional.
Dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional diharapkan dapat
memberikan gambaran sejarah menjadi lebih bulat dan menyeluruh sehingga
dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Karena hubungan antara suatu
aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.14
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode Deskriptif
naratif. Disini penulis berusaha mendeskripsikan dan atau menggambarkan suatu
peristiwa atau kondisi yang terjadi di Nusantara sekitar abad XVII yang telah
membawa pengaruh kepada perkembangan perdagangan di Kerajaaan Gowa.
Tujuannya adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan
objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memperifikasi serta
mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan
yang kuat. Adapun langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut :
Heuristik.Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan menemukan dan
menghimpun sumber, informasi, serta jejak-jejak masa lampau. Sumber yang
penulis temukan dalam tahapan Heuristik ini adalah sumber tertulis, sumber
tertulis dibagi ke dalam dua bagian yaitu, sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah, sumber yang keterangannya diperoleh secara langsung dari
orang yang menyaksikan peristiwa secara langsung dengan mata kepalanya
sendiri. Sumber sekunder adalah, sumber yang keterangannya diperoleh dari
14
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992). Hal. 87.
12
orang yang tidak menyaksikan peristiwa secara langsung. Dalam usaha
mendapatkan data dengan metode ini, penulis melakukan kunjungan ke beberapa
perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Perpustakaan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI) dan juga ke Arsip Nasional Indonesia (ANRI) untuk
mendapatkan arsip-arsip Belanda, ataupun tempat-tempat lain yang dapat penulis
manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan
pembahasan skripsi ini. Baru setelah itu, data-data dihimpun dan diseleksi guna
dijadikan sebagai rujukan utama dalam upaya penulis mendeskripsikan tentang
tema yang telah penulis angkat.
Kritik. Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan meneliti sumber
informasi secara kritis. Sumber yang telah ditemukan melalui tahapan Heuristik
itu diuji lebih lanjut, pengujian itu dilakukan melalui kritik. Baik kritik intern
maupun kritik ekstern.
Interpretasi. Tahapan ini merupakan tahapan menafsirkan fakta-fakta serta
menetapkan makna yang saling berhubungan dari mulai fakta yang satu dengan
fakta yang lainnya sehingga diperoleh data atau keterangan dari permasalahan
yang dimaksud.
Historiografi. Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan
menyampaikan hasil-hasil rekonstruksi imaginatif daripada masa lampau sesuai
dengan jejak-jejaknya. Dengan perkataan lain, tahapan Historiografi adalah
13
tahapan kegiatan penulisan. Hasil penafsiran atas fakta-fakta itu ditulis menjadi
kisah sejarah yang selaras.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini tersusun dari lima bab di antaranya:
Bab I adalah pendahuluan tentang signifikansi tema yang diangkat,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, studi kepustakaan,
metodologi penelitian dan juga sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang potret wilayah dan kehidupan masyarakat
Gowa, demografis masyarakat Gowa, kerajaan Gowa pra Islam, sistem
pemerintahan kerajaan Gowa, dan sejarah berdirinya Kerajaan Gowa, serta
perkembangan Kerajaan Gowa pra-Islam, juga islamisasi kerajaan Gowa.
Mengingat letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur perdagangan Nusantara
telah menjadikan Makassar banyak disinggahi oleh para pedagang dan juga para
ulama dari seluruh nusantara yang sengaja ingin berdagang maupun berdakwah ke
daerah Makassar dan sekitarnya.
Bab III, bab ini memberikan penjelasan tentang sejarah awal kehadiran
kerajaan Gowa sebagai bandar niaga. Serta membahas posisi Makassar dalam
jaringan perdagangan dan sistem perdagangan, dan era kemajuan perdagangan
juga hubungan perdagangan dengan bangsa lain, dan yang terakhir membahas
tentang alat transportasi yang digunakan oleh para pedagang. Hal ini sangat
diperlukan mengingat bahwa kerajaan Gowa atau pelabuhan Somba Opu terletak
di tengah-tengah kepulauan Nusantara sehingga mudah untuk dikunjungi oleh
para pedagang asing maupun lokal.
14
Bab IV membahas tentang periode dimana Kerajaan Gowa telah berperan
dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di Nusantara, kebangkitan emporium
dan kapitalisme ekonomi, serta perdagangan keramik asing di Makassar. Pokok
bahasan dalam bab ini membahas seputar seberapa besar peran Kerajaan Gowa
dalam memajukan perdagangan.
Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk
penelitian lanjutan.
15
BAB II
POTRET WILAYAH DAN MASYARAKAT GOWA
A. Letak Geografis
Suatu hal yang jelas dalam konteks pembicaraan sebuah Negara ialah adanya
paling tidak tiga unsur yang mendukung berdirinya negara tersebut: daerah tertentu,
daerah itu punya rakyat, dan adanya kekuasaan yang berdaulat. Dari sisi lain, sebuah
negara pada dasarnya adalah hasil perjanjian manusia, karena ingin mempertahankan
kemerdekaan sebagai naluri manusiawinya. Oleh mereka diadakanlah perjanjian dan
dibentuklah sebuah negara yang mana mereka semua menjadi warganya.1
Kata ”Makassar” selalu digunakan untuk menerangkan kata yang
mendahuluinya, seperti orang Makassar, Tanah Makassar, Kerajaan Makassar, dan
Kota Pelabuhan Makassar. Orang Makassar adalah salah satu kelompok etnis yang
bermukim di wilayah pesisir barat dan selatan Sulawesi bagian selatan. Pulau ini
terletak antara Kalimantan di bagian barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur
serta anatar kepulauan Sulu yang meupakan wilayah Filipina disebelah utara dan
kepulauan Nusa Tenggara di sebelah selatan. Masing-masing secara berurutan,
dipisahkan oleh Selat Makassar dan Laut Banda serta Laut Maluku, Laut Sulawesi,
dan Laut Flores.
Bila dilihat dari atas langit Kepulauan Sulawesi maka akan terlihat bahwa
bentuk Pulau Sulawesi menyerupai huruf ”K” sehingga memiliki empat jazirah dan
1Abd. Kadir Ahmad, Islam Di Tanah Gowa. (Makassar-Sulawesi Selatan: Penerbit INDOBIS
Graphic Design, 2004). hal. 9.
16
tiga teluk. Antara jazirah selatan dan jazirah tenggara terdapat Teluk Bone; antara
jazirah tenggara dan jazirah baratlaut terdapat Teluk Tomini; dan antara jazirah
baratlaut dan jazirah utara terdapat Teluk Tomini atauTelukGorontalo. Wilayah
permukiman kelompok etnis Makassar, yang disebut Tanah Makassar, meliputi
daerah yang kini dikenal sebagai: Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Maros,
Kotamadya Makassar, Gowa, Bantaeng, dan Bulukumba.2
Pentingnya penentuan lokasi ini bukan saja untuk mendapatkan gambaran
yang jelas tentang wilayah Kerajaan itu sendiri, tetapi juga untuk dapat dimengerti
betapa aspek geografis memberikan dampak yang besar terhadap corak kebudayaan
masyarakat. Secara geografis Kerajaan Gowa terletak pada koordinat antara 5° 33’ 6”
sampai 5° 34’ 7” Lintang Selatan dan 12° 38’ 6” sampai 12° 33’ 6” Bujur Timur.
Memang Selat Makassar sejak dahulu sudah menjadi jalur lintas perdagangan
yang terkenal. Kemungkinan itu dapat dilihat dengan ditemukannya Kerajaan tertua
di Indonesia, Kutai (400 M) dengan salaha seorang rajanya yang termasyhur yang
bernama Mulawarman. Dengan demikian di selat Makassar sejak abad ke V M, tidak
mustahil terdapat kerajaan-kerajaan lokal, misalnya kerajaan Gowa. Letak Geografis
yang demikian strategis itulah yang memberikan watak tersendiri kepada Gowa
sebagai Kerajaan maritim, dan mampu mengembangkan sayapnya kesegala penjuru
baik dalam arti ekonomi, maupun politik.
Pada pase tertentu dari perkembangannya Gowa merupakan persimpangan
jalur lintas perniagaan antara Timur dan Barat Nusantara. Bahkan pada masa
2 Edward L. Poelinggomang, “Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan
Maritim” (Jakarta: KPG, 2002). Hal. 14-15.
17
kejayaannya (abad XVII M) kekuasaan dan atau pengaruh Kerajaan Gowa sudah
mencapai batas-batas yang sedemikian jauh, meliputi :
a. Laut Tiongkok Utara dan Philipina di Utara.
b. Daerah Kerajaan Ternate dan bahkan pantai Utara Benua Australia di Timur.
c. Selat Karimata, Lautan Nusantara (sekarang Laut Jawa) dan Selat Lombok di
Barat.
Dengan pengaruh di sini dimaksudkan bahwa daerah-daerah tersebut sudah
pernah dijelajahi oleh pelaut-pelaut Gowa.
Selain pantai Utara Benua Australia tempat-tempat yang sudah terjangkau
oleh para pelaut Gowa (Makassar) di luar Nusantara ialah ”Sulu, Mindanao, Siam,
Hongkong, Makao, Malaka, Kalikut di India dan juga bahkan bukan tidak mungkin
sampai ke pulau Madagaskar dan pantai Timur Benua Afrika”.3
Apabila dilihat dari persamaan bahasa yang digunakan maka dapat diketahui
pada suatu fase dalam perkembangannya semua daerah yang berbahasa Makassar
pernah menjadi daerah inti Kerajaan Gowa sejak dari Pangkaje’ne kepulauan, Maros,
Makassar, Takalar, Je’neponto, Bantaeng dan sebagian Bulukumba.
Letak geografis yang sangat strategis ini memungkinkan Gowa dapat
memperoleh gengsi internasional dalam kehidupan maritim dan politik sekaligus
memberikan dampak yang besar terhadap pembentukan kehidupan orang Gowa yang
dinamis kreatif. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh A.A. Cense bahwa
3 Ibid., hal. 11.
18
”suatu masyarakat seperti Gowa yang sepanjang masa telah merasakan pengaruh
asing berganti sama sekali bukan masyarakat yang statis”.4
Dengan lokalisasi seperti disebutkan bahwa Kerajaan Gowa terletak pada
daerah dataran tinggi dan dataran rendah yang terletak di sepanjang pesisir pantai dan
yang dialiri oleh sungai Je’neberang. Hal ini memungkinkan adanya penghidupan
ganda di sektor maritim (nelayan) dan di sektor pertanian yang ternyata telah mampu
menunjang munculnya Gowa sebagai kerajaan yang besar di zamannya.
Orang-orang Gowa digolongkan ke dalam suku bangsa Makassar (Tu
Mangkasara’). Seperti halnya suku-suku bangsa lain di Nusantara, suku Makassar
berasal dari India yang datang ribuan tahun yang lalu secara bergelombang. Menurut
penelitian para Etnolog, orang Makassar termasuk turunan orang Melayu Muda
(Dentro Melayu) yang datang pada gelombang kedua. Sebelum mereka datang di
Sulawesi Selatan sebelumnya sudah ada orang Melayu Tua tetapi kemudian terdesak
dari pesisir pantai oleh Melayu Muda. Dengan demikian dapat diduga keturunan
Melayu Muda didukung oleh suku bangsa Makassar, Bgis dan Mandar.
Jati dirinya adalah kelompok masyarakat beretnis Makassar. Dalam sejarah
perjalanan panjang telah tercipta suatu momentum dalam hidup dan kehidupan yang
dapat mencerminkan kekhasan sebagai masyarakat Gowa. Bentuk kekhasan inilah
yang diprediksikan sebagai unsur budaya yang telah dihasilkan masyrakat Gowa
dalam menapak perjalanan panjang.5
4 A.A. Cense, Beberapa Catatan Mengenai Penulisan Sejarah Makassar, (Bugis. Bhratara,
1972). hal. 16. 5 Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa. (Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional,1990).hal. 60.
19
B. Demografis Masyarakat Gowa
Didukung oleh kondisi alam yang cukup memadai dalam usaha pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat Gowa, sebelumnya telah hidup menggeluti berbagai
jenis bidang usaha, seperti di antaranya berburu, meramu, menangkap ikan, bertani,
dan beternak.
Berburu merupakan suatu kegiatan dalam usaha memenuhi kebutuhan
masyarakat. Binatang buruan saat itu adalah rusa dan babi. Pemburuan binatang
sejenis rusa, dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging sebagai
bahan konsumsi. Sedangkan pemburuan binatang babi dilakukan dengan tujuan untuk
usaha pemberantasan binatang perusak tanaman.
Kegiatan meramu merupakan suatu usaha yang dilakukan masyarakat, guna
memenuhi kebutuhan hidup akan berbagai hasil hutan. Seperti di antaranya kayu
bakar, damar, dan rotan. Kegiatan menangkap ikan dilakukan masyarakat saat itu
memanfaatkan sarana penangkapan di sungai dan di laut. Sehingga ikan yang
ditangkap terdiri atas ikan jenis air tawar dan ikan laut. Semua bentuk penangkapan
dilakukan dengan memanfaatkan cara dan peralatan tradisional, seperti di antaranya
perangkap yang terbuat dari bambu dan jenis jala.
Bertani dilakukan masyarakat saat itu dengan memanfaatkan dua jenis lahan,
yaitu lahan kering dan lahan basah. Lahan kering difungsikan untuk tanaman
perkebunan. Para petani berusaha di sektor persawahan dengan menanam padi di
musim penghujan, dan di musim kemarau diselingi tanaman palawija dan berbagai
jenis sayur-sayuran.
20
Kegiatan beternak diusahakan masyarakat guna memenuhi kebutuhan
hidupnya akan daging ternak, di samping usaha pemenuhan kebutuhan akan media
pembajak lahan persawahan. Jenis ternak untuk kebutuhan konsumsi. Seperti ayam,
itik, dan kambing. Sedangkan hewan kerbau dan sapi untuk keperluan pembajak
sawah.
Sedangkan kegiatan lainnya hingga saat ini menjadi mata pencaharian pokok
masyarakat Gowa secara umum, seperti bertani, beternak, dan menangkap ikan.
Bahkan cara dalam jenis peralatan operasional yang digunakan dalam menekuni
usaha bertani, beternak, dan menangkap ikan sudah berubah ke cara dan peralatan
yang lebih profesional dan modern.6
C. Kerajaan Gowa Pra-Islam
1. Kepercayaan Pra-Islam
1.1. Kepercayaan Masyarakat
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Kerajaan Gowa,
penduduknya telah mengenal dan menganut kepercayaan asli,7 suatu faham dogmatis
yang terjalin dengan adat-istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, terutama
pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya merupakan apa
saja dari adat dan kebiasaan hidup yang mereka peroleh dari warisan nenek
moyangnya. Kepercayaan asli tersebut umumnya bersifat animisme dan dinamisme.
6 Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa. Hal. 61
7 Menurut Rachmat Subagya, kepercayaan asli atau agama asli adalah
kerohanian/kepercayaan khas dari suatu bangsa atau dari suku bangsa, yang berasal dan dikembangkan
di tengah-tengah bangsa itu sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian/kepercayaan bangsa lain
atau menirunya. Kepercayaan ini timbul dan tumbuh secara spontan bersama suku bangsa itu sendiri.
Lihat: Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981). Hal. 1.
21
Sebagai pengantar dalam pemujaan dan upacara kurban, orang yang
memegang peranan penting adalah kasuwiang-kasuwiang8 dan anrong-guru
9, tau-
towa10
, dibantu oleh para bissu,11
pinati12
dan sanro (dukun).13
Kesemuanya
menggunakan ilmu-ilmu gaib, ilmu sihir dengan bermacam jenis jampi dan mantera-
manteranya, dengan berbagai alat penangkal, dan jimat sebagai mediator untuk
mengusai alam dan sekitarnya, menundukkan makhluk-makhluk bernyawa. Mereka
pulalah yang menentukan mana pantangan, pemali kasipali,14
yang merupakan jenis
larangan yang bertalian dengan kepercayaan itu dengan adat. Mereka pula yang
menetapkan hukumnya, bahwa barang siapa melanggar pantangan-pantangan tertentu
terhadap larangan tertentu, akan ditimpa berbagai bencana.15
Hal ini dapat diketahui dari kesaksian orang-orang Portugis yang sekali pun
hanya memberi keterangan yang terlalu singkat tentang kepercayaan dan ibadah
keagamaan di wilayah Kerajaan Gowa pada abad XVI, namun demikian data ini
menarik, sekalipun sebenarnya agama orang Gowa zaman dahulu dapat diketahui
8 Kasuwiang-kasuwiang adalah semacam pemuka-pemuka adat atau juga orang yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan acara keagamaan. 9 Anrong Guru adalah semacam sesepuh adat.
10 Tau-towa adalah yang bertindak untuk membacakan mantra-mantra.
11 Bissu biasanya bertanggung jawab atas benda-benda keramat yang tertinggi dan dilibatkan
dalam upacara-upacara besar kerajaan yang terdapat pada kerajaan-kerajaan besar. 12
Pinati melakukan upacara untuk benda-benda keramat yang kurang penting dan juga
dilibatkan dalam upacara-upacara kecil untuk pertanian, sunatan, kematian, dan perkawinan. 13
Mengenai jenis-jenis sanro, lihat: T. Sianipar, ”Obat dan Mantera Peranan Dukun dalam
Masyarakat Bugis-Makassar,” dalam Dukun Mantra Kepercayaan Masyarakat, (Jakarta: Grafikatama
Jaya, 1992). Hal. 17-20. 14
Pemali kasipali, merupakan suatu jenis larangan yang berhubungan dengan adat. Dikatakan
bahwa barang siapa yang melanggar larangan ini akan ditimpa bencana. 15
Ahmad Makarausu Amansjah, “Kepercayaan-kepercayaan Bugis-Makassar Sebelum
Mengenal Islam”, (dalam Bingkisan No. 18, Th. I, 1968). Hal. 6-7.
22
dengan melihat sisa-sisa kepercayaan yang kita lihat saat ini, dan melalui
kesusasteraan pra-Islam, khususnya cerita mitos La Galigo.16
1.2. Pranata Keagamaan
Secara historis, pranata keagamaan atau kepercayaan di wilayah Kerajaan
Gowa telah cukup mapan, jauh sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, karena
mereka telah menganut ajaran yang lebih menekankan kepada kerohanian-kejiwaan.
Masyarakat Gowa sadar bahwa dunianya terdiri dari dua aspek, yaitu dunia yang
nyata dan dunia yang tidak tampak. Dunia yang tidak tampak adalah dunia di luar
jangkauan panca inderanya dan menurut keyakinannya bahwa di dalam dunia itu
terdapat berbagai makhluk dan kekuatan alam yang tidak dapat dikuasai oleh manusia
secara biasa, melainkan dengan cara yang luar biasa. Akibat ketidak berdayaan untuk
menghadapi kemurkaan makhluk dan kekuatan alam tersebut, timbullah ketakutan
terhadap mereka. Demikianlah asal mula terbentuknya pranata keagamaan menurut
kepercayaan animisme, dinamisme dan kepercayaan kepada Dewata. Sangat sulit
menentukan secara pasti kapan kepercayaan itu dimulai, karena sampai sekarang pun
kepercayaan tersebut masih ada sebagian masyarakat yang tetap menganutnya.17
2. Sistem Pemerintahan Pra-Islam
Pada awal pertumbuhan Kerajaan Gowa, sewaktu kerajaan ini masih
merupakan suatu federasi kerajaan kecil (gallarang) kehidupan kenegaraan diatur oleh
16
Periksa: Gilbert Hamonic “Studi Perbandingan Kosmogoni Sulawesi Selatan tentang
Naskah Asal-Usul Dewata-Dewata Bugis yang belum pernah diterbikan”, dalam Citra Masyarakat
Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Harapan-Archipel, 1983). Hal. 13-40. 17
Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: DEPDIKBUD, 1995). Hal. 33-35.
23
seorang ketua umum yang disebut paccalaya. Peranan ini selanjutnya hilang dengan
munculnya tokoh Tumanurung yang selanjutnya akan menjadi tokoh utama dalam
pemerintahan Kerajaan Gowa. Ia merupakan simbol persatuan seluruh orang
Makassar, karena dipandang lebih mulia dari orang lain, maka ia digelari sombaya.
Untuk lebih rincinya akan diurutkan susunan pemerintahan Kerajaan Gowa seperti
berikut ini:
Sombaya adalah gelar raja yang memimpin Kerajaan Gowa. Adapun yang
paling sesuai dan memenuhi syarat untuk menjadi raja di Gowa ialah yang disebut
Karaeng ti’no. Karaeng ti’no di Gowa ialah seorang yang baik ayah maupun ibunya
berdarah bangsawan tertinggi, dan masih dianggap keturunan langsung dari raja
Gowa pertama. Raja Gowa memiliki kekuasaan mutlak (absolut). Dalam bahasa
Makassar diistilahkan: ”makkanama’ numammio” artinya: ”aku berkata dan engkau
mengiyakan”, maksudnya: aku bertitah dan engkau harus mengiyakan”. Ini bermakna
bahwa semua titah raja harus di- ”iya” kan dan dituruti. Begitu absolutnya kekuasaan
seorang raja Gowa. Dalam menjalankan pemerintahan, raja Gowa didampingi oleh
beberapa orang pembesar atau pejabat Kerajaan18
, yakni:
Pertama, pabbicara butta.19
Arti sebenarnya juru bicara tanah atau juru bicara
negeri. Jabatan ini adalah merupakan jabatan tertinggi setelah raja, yang dapat
disetarakan dengan jabatan perdana menteri, mahapatih atau mangkubumi kerajaan.
18
Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 127-129;
Sagimun M. D., Sultan Hasanuddin Menentang VOC, (Jakarta: Depdikbud, 1986). Hal. 5-15. 19
Pabbicara buta adalah juru bicara negeri yang jabatannya hampir setara dengan perdana
menteri.
24
Kedua, tu-mailalang towa20
(towa = tua; tu = orang; ilalang = dalam).
Jabatan ini adalah jabatan pembesar kerajaan yang berfungsi menyampaikan dan
meneruskan segala perintah raja Gowa kepada kepala distrik, atau kepala wilayah,
dan lain-lain. Selain itu ia bertugas menjaga agar supaya segala perintah raja Gowa
dilaksanakan sungguh-sungguh dan sering pula mendampingi sidang-sidang yang
diadakan untuk membahas persoalan yang sifatnya sangat mendesak. Tumailalang
towa-lah yang menyampaikan kepada sidang tersebut segala kehendak dan titah raja
Gowa. Segala keputusan, saran-saran atau pesan-pesan raja Gowa, juga disampaikan
oleh tumailalang towa.
Ketiga, tu-mailalang lolo.21
Pembesar kerajaan ini selalu berada di dekat raja
Gowa. Pejabat inilah yang menerima usul-usul dan permohonan untuk diteruskan
kepada raja Gowa. Ia menyampaikan segala perintah raja mengenai persoalan rumah
tangga istana. Jabatan tumailalang towa dan tumailalang lolo diangkat dan
diberhentikan oleh raja Gowa.
Keempat, tu-kajannagang22
. Jabatan ini Semacam menteri kerajaan yang
memegang urusan keamanan dalam negeri. Dia menjadi penuntut umum kerajaan dan
mengatur tata tertib dalam lingkungan pejabat-pejabat istana raja Gowa. Mereka
sering membahas dan merencanakan segala persoalan yang bersangkutpaut
20
Tu-mailalang towa. Jabatan ini adalah jabatan pembesar kerajaan yang berfungsi
menyampaikan dan juga meneruskan segala perintah raja kepada kepala-kepala perwakilan setiap
wilayah. 21
Tu-mailalang lolo. Merupakan pejabat yang menerima segala usulan-usulan dan juga
permohonan dan kemudian diteruskan kepada raja. 22
Tu-kajannagang. Ini merupakan jabatan semacam menteri yang memegang segala urusan
keamanan dalam negeri.
25
peperangan. Juga dikenal jabatan pati-matarang23
; semacam menteri kerajaan yang
mengatur urusan pertahanan dan peperangan. Pejabat ini yang memilih dan
menetapkan laskar-laskar Gowa untuk diturunkan ke medan perang.
Kelima, gallarang24
. Untuk mempermudah pengawasan administrasi dari
pusat terhadap daerah-daerah yang tersebar, wilayah kerajaan dibagi jadi distrik-
distrik yang disebut gallarang. Gallarang-gallarang ini memiliki hubungan dan
kepentingan timbal balik yang kuat dengan pusat. Dalam sistem pemerintahan
Kerajaan Gowa, gallarang ini mempunyai wakil yang diutus untuk duduk dalam satu
lembaga adat yang disebut bate salapanga25
. (bate = panji, bendera; salapang =
sembilan). Jadi bate salapanga bermakna pemegang bendera atau pembawa panji
yang sembilan orang. Mula-mula institusi ini disebut kasuwiang salapanga
(kasuwiang = mengabdi; salapang = sembilan).
Keenam, matowa26
. Ini merupakan jabatan yang setingkat di bawah gallarang.
Pejabat ini dipilih secara langsung oleh rakyat untuk satu jangka waktu masa jabatan
yang tidak ditentukan. Dalam sistem administrasi baru sesudah kemerdekaan
Indonesia, jabatan ini disamakan dengan kepala Kampung.
23
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.
(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995). Hal.404-405. 24
Gallarang, merupakan suatu jabatan pengawas administrasi kerajaan. 25
Bate Salapanga, yang berarti pemegang bendera atau sembilan orang pembawa panji. 26
Matowa, ini merupakan jabatan yang setingkat di bawah gallarang atau kepala pengawas
wilayah adminstrasi.
26
Ketujuh, sabannara (syahbandar).27
Jabatan tradisional ini sebenarnya sudah
hilang sejak aktivitas perdagangan Gowa merosot atau sejak tidak berfungsinya lagi
pelabuhan dagang Kerajaan Gowa di Maccini Sombala, muara Sungai Je’ne’ Berang.
Kedelapan, alakaya28
. Disebut juga daengta alakaya. Dia adalah seorang laki-
laki banci yang bertingkah laku dan berpakaian seperti perempuan. Lebih lazim
dikenal dengan nama bissu. Dalam upacara majelis adat (Dewan Kerajaan) daengta
alakaya duduk berdekatan dengan sombaya, di samping benda-benda pusaka kerajaan
yang disebut dengan kalompoang, dialah yang memberi mantera-mantera pada
benda-benda pusaka tersebut, sebab jika kalompoang sakti, maka diharapkan juga
akan menambah kesaktian raja.
Adapun daerah yang berada pada wilayah kerajaan, secara garis besar dapat
dibagi atas: Pertama, palili ata’ rikale: daerah ini disebut pula mapatundang ata’
yaitu daerah taklukkan yang menuntut biaya dan korban yang besar ketika terjadi
penaklukan atas daerah tersebut. Pada daerah ini ditempatkan seorang wakil dari
pusat sedangkan penguasa daerah bersangkutan dipindah ke pusat untuk suatu jabatan
tertentu. Pejabat perwakilan ini disebut jannang.
Kedua, palili ata’ mate’ne. Daerah taklukan yang termasuk dalam kelompok
ini merupakan daerah otonomi, penguasa daerah tersebut tidak ditarik ke pusat. Ia
masih memperoleh kesempatan menjalankan pemerintahannya seperti semula.
27
Sabannara, atau yang disebut dengan Syahbandar. Jabatan ini biasanya yang menguasai
suatu bandar perniagaan di satu wilayah tertentu. 28
Alakaya, adalah seorang laki-laki yang bertingkah laku dan juga berpakaian seperti
perempuan yang mendampingi raja dalam satu upacara pemberian mantera-mantera pada benda-benda
pusaka kerajaan.
27
Daerah yang termasuk kelompok ini mempunyai kewajiban membayar upeti setiap
tahun, sesuai dengan biaya kesalahannya dalam penaklukkan daerah tersebut.
D. Sejarah Berdirinya Kerajaan Gowa
Periode awal berdirinya kerajan Gowa sampai sekarang belum diketahui
secara pasti. Beberapa sumber yang ada menerangkan masalah ini sangat ringkas dan
sama sekali belum cukup untuk dapat dijadikan sebagai sumber utama dalam upaya
menyimak sejarah Kerajaan Gowa. Akan tetapi nama Makassar telah disebut-sebut
pada abad XIV dalam kitab Nagarakertagama29
yang ditulis oleh Mpu Prapanca,
pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di Jawa (1365). Isi dari kitab tersebut
yaitu menceritakan mengenai seluruh wilayah Sulawesi menjadi daerah Kerajaan
Majapahit, yaitu Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu) bisa kemungkinan Luwuk,
Udamakatraya (Talaud), Makasar (Makassar), Butun (Buton), Banggawai (Banggai),
Kunir (P. Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), Muar (Kep. Kei).30
Petunjuk yang
disajikan dari keterangan kitab tersebut adalah nama Kerajaan Gowa tidak disebut-
sebut sebagai suatu Kerajaan orang Makassar, yang mendiami Jazirah Sulawesi
Selatan. Ada kemungkinan Gowa hanyalah merupakan daerah kecil yang belum
memiliki peranan penting ketika itu.
Bila di Jawa, Sumatra, Bali, dan Kalimantan ditemukan beberapa prasasti
(batu atau logam tembaga), namun di Sulawesi-Selatan sampai sekarang belum
29
T. G. Th. Pigeaud, Java in The 14 th Century A Study ini Cultural History the
Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 A. D. (Leiden: KITLV-The Hague
Martinus Nijhoff, 1962). Hal. 34. 30
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, (Ujung Pandang: Bhakti
Baru-Berita Utama, 1982). Hal. 8.
28
ditemukan satu prasasti (tulisan) di atas batu atau logam. Keberadaan prasasti ini
sangat penting sekali artinya dalam pengungkapan sejarah suatu daerah atau dinasti
pemerintahan, demikian pula stratifikasi masyarakat. Dalam prasasti itu sering
tersebut nama raja, atau tempat, serta angka tahun. Dengan demikian pertumbuhan
dan perkembangan suatu kerajaan atau dinasti dapat diketahui, akan tetapi tentu saja
tidak semua prasasti dapat diterima begitu saja sebab ada pula terdapat beberapa
salinan yang kadang-kadang terdapat kesalahan dalam menyalin.31
Berhubung karena di Sulawesi-Selatan belum diketemukan suatu prasasti
yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui waktu yang tepat pertumbuhan dan
perkembangan suatu kerajaan atau dinasti, maka sebagai pegangan dasar untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan,
hanyalah berdasarkan cerita-cerita rakyat, benda-benda peninggalan sejarah, sumber-
sumber tertulis dari bangsa asing, dan naskah-naskah lontara’.32
Menurut Mattulada, sumber-sumber utama dari sejarah kuno Sulawesi-Selatan
dapat diperoleh dalam berbagai macam lontara’ berupa peninggalan-peninggalan
tertulis orang Bugis-Makassar dari zaman dahulu.33
Di dalam Lontara’ Gowa
dikemukakan bahwa peletak dasar adanya raja-raja pemerintahan di Kerajaan Gowa
31
Hadimuljono dan Abd. Mutallib, Sejarah Kuno Sulawesi Selatan, (Ujung Pandang: Kanwil
SPSP Prop. Sul-Sel, 1979). Hal. 12-13. 32
Menurut Zainal Abidin Farid (Budayawan dan Ahli lontara’) bahwa yang dimaksud dengan
tulisan lontara’ adalah tiap-tiap tulisan beraksara Bugis-Makassar yang disebut ”urupu’ sulapa’ eppa”’
(Bugis), ”urupu’ sulapa’ appa’ka” (Makassar) = huruf segi empat yang mungkin berasal dari perkataan
Makassar ”raung ta” atau ”dautta”. Sebelum orang-orang Sulawesi Selatan mempergunakan kertas,
daun lontarlah digunakan dan kalam (pena) yang dibuat dari lidi pohon enau, serta air perasan daun
”ciping” (sejenis kacang-kacangan) sebagai tinta. Lihat: Andi Zainal Abidin Farid, Lontara’ sebagai
Sumber Sejarah Terpendam (masa 1500-1800), (Makassar: Lembaga Penelitian Hukum Fak. Hukum
UNHAS, 1970). Hal. 14. 33
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. (Ujung
Pandang: Hasanuddin University Press, 1995). Hal. 65.
29
itu ialah munculnya seorang putri di Tamalate yang dikenal dengan sebutan
Tumanurung ri Tamalate sebagai raja Gowa yang pertama. Dan pada masanya lah
terbentuk suatu pemerintahan dan konsep kebudayaan yang tercipta di Gowa.
Adalah jelas bahwa konsepsi Tumanurung mengandung unsur mitologis.
Tetapi disini pulalah besarnya peranan dalam sejarah terbentuknya kerajaan pada
banyak tempat. Pada dasarnya apa yang disebut mitos adalah sesuatu yang
sebenarnya tidak pernah terjadi.
Sebenarnya konsep Tumanurung sebagai peletak dasar-dasar pemerintahan
bukan hanya berlaku secara tipikal di Gowa saja, melainkan juga didapati pada
banyak kerajaan kuno di Sulawesi Selatan. Namun demikian illusi tentang
Tumanurung, oleh para sejarawan Kerajaan Gowa yang disebut ”palontara”
senantiasa digambarkan dengan memberikan tekanan pada dimensi manusiawinya.
E. Islamisasi Kerajaan Gowa
Menguraikan isu ini terasa betapa kurangnya rekaman-rekaman sejarah baik
dalam bentuk tertulis mapun dalam bentuk lisan, sementara yang adapun sangat
minus dan terbatas. Bahwa peristiwa masuknya Islam di Kerajaan Gowa secara resmi
ditandai dengan kedatangan Syekh Abdul Makmur Khatib Tunggal beserta kawan-
kawannya adalah jelas. Namun keadaan itu tidak dapat menafikan suatu asumsi
bahwa sebelum ketiga Dato yang notabennya dari Minangkabau, agama Islam sudah
ada di wilayah Kerajaan Gowa. Bahkan Islam sudah mulai menanamkan akar-
akarnya dan karenanya sudah dikembangkan sebelum kehadiran mereka.
30
Dengan dasar pemikiran di atas mudahlah dipahami bahwasannya para
muballig Islam sudah bertebaran dalam wilayah Kerajaan Gowa jauh sebelum
periode Dato ri Bandang dengan rekannya. Hal ini jelas, sebab seperti diuraikan pada
bagian sebelumnya, pedagang-pedagang Melayu dari berbagai tempat sudah
berdatangan di Gowa sejak dekade pertama abad XVI. Bahkan ketika orang-orang
Portugis datang di Gowa pada tahun 1512 mereka mendapati bukan saja pedagang
Melayu yang memegang kontrol perdagangan jalur lintas Maluku tetapi juga
pedagang-pedagang dari Jawa.
Tahap pertama, kontak dan perkenalan awal dengan Islam, disusul
penerimaan Islam utamanya oleh penduduk pelabuhan dan daerah pesisir. Ini
berlangsung dalam masa lima abad sejak I H/VIII M sampai abad V H/XII M. Tahap
kedua, yaitu penyebaran dan penerimaan Islam secara universal bukan hanya terbatas
di daerah pesisir tetapi sudah menembus dinding-dinding daerah di belakang batas
pantai. Ini berlangsung dari abad VI H/XIII M.34
Pada masa pemerintahan I Manngerangi Daeng Manrabbia yang bergelar
Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna raja Gowa ke-14 agama Islam diterima
sebagai agama resmi kerajaan. Sultan Alauddin dinobatkan menjadi raja ketika baru
berusia 7 tahun. Itulah sebabnya sebelum dewasa maka pemerintahan kerajaan
dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo yang bernama I Malingkaang Daeng
Manyonri’ Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga ri Agamana atau nama
keislamannya di sebut Sultan Abdullah Awalul Islam. Mangkubumi inilah yang
memegang peranan yang penting sekali dalam usaha mengembalikan keharuman dan
34
Ibid., hal. 34.
31
kejayaan yang hampir punah di bawah kekuasaan raja ke-13, Tunipasulu. Banyak
penulis Barat yang menulis bahwa raja Gowa itu ialah Karaeng Matoaya itu sendiri.
H. J. De Graaf misalnya, menulis dalam Geschiendenis van Indonesia, bahwa
Karaeng Matoaya, Tumenanga ri Agamana, menaklukkan seluruh Sulawesi dan
daerah-daerah sekitarnya. Disebut pula bahwa dalam tahun 1603, raja Gowa dan
saudara perempuannya memeluk agama Islam. Raja itu bernama Karaeng Matoaya
Tumenanga ri Agamana.
Terjadi banyak peristiwa dalam masa pemerintahan baginda Sultan Alauddin
misalnya, pembangunan masjid yang diprakarsai oleh Mangkubumi/Raja Tallo
Karaeng Matoaya. Baginda dan mangkubuminya menjadi dwi tunggal dalam
membawa Kerajaan Gowa ke puncak kejayaannya. Baginda didampingi oleh
Mangkubumi, Karaeng Matoaya, selama kurang lebih 43 tahun lamanya.
G. Penerimaan Islam sebagai agama Kerajaan
Sesungguhnya agama Islam sudah sampai di Makassar, sejak raja Gowa ke-10
Tunipalangga (1546-1565), yaitu ketika baginda memberi ijin kepada nahkoda
Bonang, untuk menetap di Mangalekana (Somba Opu). Raja Gowa ke-12 Tunijallo
telah mendirikan sebuah masjid (1565-1590) bagi orang-orang Islam di Mangalekana.
Raja Gowa dan Tallo menerima Islam dengan resmi sebagai agamanya
menurut Lontara Gowa-Tallo, ialah pada malam Jum’at, 9 Jumadil-awal 1014 H atau
tanggal 22 september 1605. dinyatakan bahwa Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja
Tallo I Malingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan
32
kalimat syahadat dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangarangai Daeng
Manrabbia.
Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo dinyatakan memeluk
agama Islam, dengan upacara sembahyang Jum’at bersama yang pertama di masjid
Tallo tanggal 9 November 1607. Pada waktu yang sama di Bandar Makassar,
pedagang-pedagang Melayu dan Orang-orang Makassar yang sudah memeluk Islam
di sekitar Benteng Somba Opu, di masjid Mangallekana juga diselenggarakan
sembahyang Jum’at dan doa syukur. Dalam khotbah didoakan keselamatan baginda
dan kesempurnaan kota raja Makassar sebagai ibu kota Kerajaan Islam yang ternama
di Sulawesi Selatan.
Adapun ulama Islam yang mengislamkan kedua raja tersebut dan rakyatnya
ialah Abdullah Ma’mur Khatib Tunggal (kemudian lazim disebut Dato’ri Bandang).
Beliau berasal dari kota tengah (Minangkabau). Beliau mengajar syariat Islam
sebagai langkah dalam da’wah dan penyebarannya. Beliau dibantu oleh dua orang
rekannya yang juga berasal dari Sumatra untuk menyebarkan Islam di Sulawesi
Selatan.35
Dua orang itu ialah:
1. Khatib Sulaiman, kemudian dikenal dengan nama Dato’ Patimang. Beliau
bertugas menyebarkan agama ini di Tana Luwu. Raja Luwu yang mula-mula
memeluk agama Islam Lapati Were Daeng parabiung, dan setelah masuk Islam
namanya menjadi Matinroe ri Ware’.
2. Khatib Bungsu, kemudian dikenal dengan nama Dato’ri Tiro. Beliau
mengajarkan Islam melalui ajaran Tasawuf, di daerah Tiro, Bulukumba dan
35
Abdul Rasjid, dkk, Makassar Sebagai Kota Maritim, DEPDIKNAS, 2000. hal. 40.
33
sekitarnya sesuai dengan keinginan penduduk di tempat-tempat itu yang
menyukai faham kebatinan.
Setelah Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama resmi
kerajaan, maka timbullah hasrat sesuai dengan tuntutan syariat Islam yang
diterimanya sebagai kebenaran yang harus disebarkan ke seluruh pelosok negeri,
kerajaan-kerajaan tetangga dan raja-raja negeri sahabat. Dengan demikian maka
Makassar mendapat kehormatan menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan
pada permulaan abad ke-XVII. Sesuai dengan konvensi raja-raja Bugis-Makassar
yang sudah ada semenjak dahulu kala, yaitu suatu ikrar (Paseng) di antara mereka,
barang siapa di antara mereka menemukan jalan yang baik maka hendaklah
menyampaikan hal yang baik yang ditemukannya itu kepada yang lain. Sesuai dengan
tuntutan syariat dan sejalan dengan konvensi itu, maka raja Gowa menyampaikan
jalan yang lebih baik itu kepada kerajaan-kerajaan Bugis.36
Jauh sebelum rezim Sultan Alauddin, serangan-serangan dari invansi militer
sudah merupakan kebanggaan bagi setiap perang yang terjadi di Gowa yang senatiasa
berada pada posisi yang menguntungkan sekalipun terkadang ia juga harus
mengalami kekalahan. Seorang raja perkasa, seperti sultan Alauddin, tentu saja
berupaya untuk melestarikan kebanggaan itu, betapapun ia tidak menerima Islam,
apalagi kalau dilihat bahwa kerajaan-kerajaan besar Bugis telah berhasil membentuk
sekutu fakta pertahanan bersama yang bagi Gowa tidak lain merupakan sebuah
ancaman besar terhadap keberadaannya.
36
Abdul Rasjid, dkk,. Makassar Sebagai....Ibid.,Hal. 41.
34
BAB III
ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA
A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan
Gowa sebagai kerajaan niaga yang pernah memainkan peranan penting
dikawasan Nusantara bagian Timur bukanlah negara yang berkuasa di sektor
perdagangan saja, melainkan juga memperoleh kekuasaan dan kekayaannya dari
sektor agricultural. Bahkan munculnya sebagai standar transito untuk sebagian
besar pedagang dimungkinkan oleh sektor ini. Hasil pertanian, terutama beras
telah berhasil mensuplai penduduk dengan stok yang senantiasa lebih dari cukup.
Dari sektor ini pula mereka memproduksi kapas untuk bahan pakaian dalam
berbagai bentuk tanpa harus mengimpor lagi pakaian dari bahan yang sama.
Namun demikian, berbicara tentang Kerajaan Gowa masa silam pertama-
tama ia harus melihat sebagai suatu negara niaga lebih dari negara yang hanya
terpukau dalam lingkup pertanian saja. Pandangan ini akan segera dimengerti dan
disorot dari kehidupan perekonomian dan kebudayaan bahwa berkat kehiduypan
maritim, kerajaan Gowa mempunyai gengsi internasional dan dapat berhubungan
dengan bangsa-bangsa lain dibelahan bumi ini.1
Sebenarnya kemunculan Gowa sebagai negara niaga paling tidak, sudah
nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah
efek dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada tahun 1511 dimana saat
Malaka takluk, banyak pedagang pindah dari Malaka ke tempat-tempat
laintermasuk ke Gowa.
1 Abd. Kadir Ahmad, Islam Di Tanah Gowa (Makassar: INDOBIS, 2004). Hal. 45.
35
Tidak dapat dipastikan bilamana kerajaan Gowa terlibat dalam kegiatan
perniagaan. Beberapa peneliti memperkirakan awal kemunculannya pada masa
pemerintahan Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumaparisi Kallonna.2 Dugaan itu
didasarkan atas tiga faktor. Pertama, sebelum masa pemerintahannya istana raja
dan pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang
terletak jauh dari wilayah pantai sekitar enam kilometer. Hal ini dipandang
sebagai faktor yang menunjukkan bahwa kerajaan itu berorientasi ke dunia
agraris. Kedua, raja ini yang mengawali pemindahan istana dan pusat
pemerintahan ke Benteng Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara
Sungai Berang. Wilayah Somba Opu ini yang dijadikan Bandar niaga kerajaan itu,
sehingga dipandang sebagai awal kerajaan itu terlibat dalam dunia niaga. Terakhir
pada masa pemerintahannya baru dikenal adanya jabatan syahbandar yang
bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak perdagangan di pelabuhan.3
Apa yang mendorong raja ini mengalihkan perhatiannya pada dunia niaga
tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi bila memperhatikan latar belakang
perkembangan niaga di wilayah ini, usaha yang dilakukannya dapat diperkirakan
terdorong oleh besarnya keuntungan ekonomi dalam dunia niaga. Latar belakang
keluarga Karaeng Tumaparisi Kallonna memiliki pertalian darah dengan keluarga
pedagang. Ibunya, I Rerasi, adalah putri pedagang kapur dari daerah utara yang
mengunjungi kerajaan tersebut pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-7, Batara
2 H.D. Mangemba, Kota Makassar Dalam Lintasan Sejarah (Makassar, Lembaga Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1972). Hal. 1; Anthony Reid, “The Rise of Makassar”.
Hal. 131-134. 3 Pejabat syahbandar yang diangkat adalah pejabat tumailalang lolo yang bernama I daeng
Pamatte; Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 11-12.
36
Gowa. Dalam hubungan ini ia tentunya dipengaruhi oleh jiwa dagang yang
diwarisinya dan keadaan kegiatan keluarganya.
Langkah awal yang ditempuh kerajaan Gowa dalam mengembangkan
pengaruh kekuasaannya, yaitu menaklukan kerajaan saudara dan tetangganya
yaitu Tallo dan sekutu-sekutunya seperti Maros dan Polobangkaeng yang telah
lama bergiat dalam dunia niaga. Kemudian kerajaan Gowa bergiat memperluas
pengaruh kekuasaannya dengan menaklukan kerajaan-kerajaan lainnya seperti
Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidendreng, Lembangang, Bulukumba
dan Selayar. Sementara bekas sekutu Tallo (Maros dan Polobangkaeng) dan
beberapa kerajaan yang kuat seperti Salumeko, Bone dan Luwu dijalin perjanjian
persahabatan. Politik perluasan kekuasaan itu terkandung harapan bahwa
kerajaan-kerajaan itu nantinya akan mengalihkan kegiatan perniagaan mereka ke
Bandar niaga Kerajaan Gowa.
Pada dasarnya kerajaan itu melakukan hubungan niaga dengan Gowa, akan
tetapi mereka tetap bergiat mengembangkan Bandar niaga mereka masing-masing.
Keadaan itu dipandang menghambat usaha untuk mengembangkan dan
memajukan perniagaan, sehingga ketika Tunipallangga menduduki tahta
dilaksanakan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir, seperti
siang, Bacukiki, Suppa, Sidendreng, Bajeng, Lengkese, Polobangkaeng, Lamuru,
Soppeng, Lamatti, Wajo, Panaikang, Duri, Bulukumba, berbagai kerajaan kecil
disekitar Bone, dan kerajaan kecil lainnya. Berbeda dengan pendahulunya, raja ini
37
dinyatakan memaksakan kerajaan-kerajaan yang ditaklukan untuk mengangkut
penduduk dan harta bendanya ke Gowa.4
Penduduk wilayah taklukan yang diangkut itu ditempatkan di sekitar
Pelabuhan Tallo dan Pelabuhan Somba Opu. Kehadiran mereka itu bukan hanya
meningkatkan jumlah penduduk tetapi yang terpenting adalah untuk
memanfaatkan keahlian mereka, terutama yang telah berpengalaman dan bergiat
pada pusat-pusat perdagangan asal mereka, untuk memajukan Bandar niaga
Kerajaan Gowa. Kebijaksanaan itu berarti bukan semata-mata ditujukan untuk
mengeksploitasi tenaga dan barang tetapi juga berusaha untuk memanfaatkan serta
mengalihkan kemampuan dan tekhnologi dari kerajaan-kerajaan taklukan. Itulah
sebabnya pada periode pemerintahannya terjadi perubahan dalam bidang
organisasi politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah yang ditaklukan tersebut
disamping penduduknya bergiat dalam bidang niaga adalah daerah yang kaya
akan produksi pertanian, peternakan dan perikanan. Seperti diungkapkan Manoel
Pinto ketika mengunjungi Sidendreng pada tahun 1548:
“Menurut saya negeri ini yang paling baik yang pernah saya lihat di dunia,
karena daerahnya berupa daratan dimana padi, ternak, ikan dan buah-
buahan berlimpah-ruah. Kotanya terletak di tepi danau di mana perahu-
perahu besar dan kecil, berlayar simpang siur. Di sekeliling danau itu
terdapat pula kota-kota yang makmur”.5
Demikian juga dengan kerajaan lainnya, seperti Pangkajene (Siang) dan
Suppa. Bahkan penduduk Kerajaan yang ditaklukan dimanfaatkan sebagai tenaga
kerja kasar ataupun dijual sebagai budak. Budak merupakan salah satu komoditi
4 G. J. Wolhoff dan Abdurrahim, Bingkisan Seri A: Sejarah Gowa, hal. 25; Abdurrazak
Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 13.
5 P. A. Tiele, “De Europpeers in den Malaischen archipel”, dalam BKI (vol. 28, No. I,
1980). Hal. 423.
38
perdagangan yang tidak kalah pentingnya pada waktu itu, baik untuk digunakan
sebagai tenaga pendayung, pengangkut beban ataupun kegiatan kerja lainnya. Hal
ini pula merupakan satu faktor yang menempatkan daerah Makassar pada masa itu
sebagai pusat perdagangan budak, di samping orang-orang curian serta
pengeksporan kembali budak-budak yang berasal dari Kalimantan, Timor,
Manggarai, Solor, Alor, dan Tanimbar.6
Politik perluasan kekuasaan dan besarnya perhatian yang dilandasi oleh
sikap terbuka dari penguasa Gowa terhadap kehidupan perniagaan akhirnya
berhasil menempatkan Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan dan
pangkalan kegiatan maritim di wilayah itu. Disamping itu tidak dapat diabaikan
begitu saja peranan para pedagang dan pelaut yang melakukan aktifitas niaga
disana, yang telah berhasil menjadikan Makassar sebagai Bandar niaga tempat
pemasaran produksi perdagangan. Karena itu Pelabuhan Makassar tampil sebagai
Bandar utama mereka dalam hubungan dengan Bandar niaga lain.
Kemajuan yang dicapai itu ternyata tidak memberikan kepuasan bagi
pedagang Belanda. Ini disebabkan karena pihak Belanda tidak menginginkan
keberadaan pedagang Eropa dalam perdagangan rempah-rempah di Makassar.
Bagi pihak Belanda pedagang lain merupakan musuh dan saingan. Di pihak lain
Belanda yang telah menanamkan kekuasaannya setelah mengusir Portugis dan
Spanyol melakukan gangguan terhadap perahu dagang-perahu dagang Makassar
di perairan Maluku untuk dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah.
6 Christian Pelras, “Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian
Bangsa Asing”, dalam: Gilbert Hamonic, ed. Citra Masyarakat Indonesia (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983). Hal. 60-61.
39
Pertentangan antara VOC dengan Makassar pada dasarnya merupakan
pertarungan pemikiran antara kebijaksanaan VOC “berdagang sendiri”
(allenhandel) atau lazim disebut monopoli versus perdagangan bebas yang
diterapkan kerajaan Gowa. Karena itu kerajaan Gowa bergiat membangun
benteng-benteng pertahanan diawali dengan Benteng Tallo di bagian utara dan
Benteng Panakkukang di bagian selatan, Benteng Ujung Tanah, Ujung Pandang,
Barobaso, Mariso, Garasi dan Barombong, untuk melindungi kedudukan mereka
dari ancaman kompeni; juga dipersiapkan pembuatan jenis perahu gorab sekitar
tahun 1620. Menurut Nooteboom pembuatan perahu gorab merupakan bantuan
dari Portugis. Pada tahun 1612 dibangun lagi Sembilan perahu gorab atas perintah
Karaeng Matoaya (raja Tallo).7
B. Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan
Kennet R. Hall meyakini sekitar abad XIV dan awal abad XV, terdapat
lima jaringan perdagangan (commercial zones).8 Pertama, jaringan perdagangan
Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Seilon, Birma,
serta pesisir utara dan barat Sumatra; kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka;
ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka,
Thailand dan Vietnam Selatan (sebut saja dengan jaringan perdagangan Laut Cina
Selatan); keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, meliputi pesisir barat Luzon,
mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam);
7 C. Nooteboom, Aziatische Galein. (Rotterdam: Het Museum voor Land- en
Volkenkunde en het Maritiem Museum Prins Hendrik, 1951). Hal. 1. Usaha pembangunan kapal
(dalam hal ini konstruksi serta gaya arsitekturnya) itu merupakan bantuan dari orang-orang
Portugis, Melayu dan Arab. 8 H.A. Sutherland, Power, Trade and Islam in the Eastern Archipelago, 1700-1850,
dalam Philip Quarles van Ufford and Mattew Schoffeleers, ed., Religion Development : Toward
An Integrated Approach. (Amsterdam: Free University Press, 1988). Hal. 145-146
40
kelima; jaringan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan
Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Pada
dasarnya setiap jaringan perdagangan itu memiliki pola perkembangan pertukaran
internalnya akan tetapi berlangsung pula hubungan perdagangan antara jaringan
perdagangan itu.
Transaksi dagang pada waktu itu umumnya dilakukan secara barter. Beras
dan barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagang Bugis
Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran
secara barter ini didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan
oleh kedua belah pihak.
Sistem penukaran seperti ini berlaku juga bagi barang dagangan yang
berasal dari negeri asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam
kesatuan potong dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan
sebagai kesatuan berat dan sering berbeda ukurannya disetiap tempat, seperti
bahar Maluku = 600 pond, sedangkan bahar Malaka = 550 pond.9
Di bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata
uang timah Cina untuk kemudian diserahkan kepada pedagang Bugis Makassar
yang akan pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Para pedagang Bugis
Makassar yang menerima semacam uang muka ini memberikan jaminan secara
tertulis. Surat tanda terima ini ditulis dalam bahasa Melayu.10
9 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic
history, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 111 10
B.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, (Bandung: The Hague, 1955). Hal. 20-
21
41
Sistem barter yang dipergunakan oleh para pedagang antara pedagang asing
lokal, berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian,
senjata, dan porselen dibawa oleh pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis.
Kemudian ditukar ke pedagang Bugis Makassar untuk selanjutnya barang tersebut
di bawa ke pelosok Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara untuk
ditukar dengan rempah-rempah, kemudian dijual lagi ke pedagang asing.
Adapun alat tukar uang di bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu
telah dibuat mata uang dari emas atau timah disebut dinar yang berbentuk besar
dan kupa yang berbentuk kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari
timah disebut benggolo.11
Pada masa Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan
uang yang sangat menunjang bagi kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu.
Atas anjurannya mata uang emas dan perak dicetak, walaupun pada akhir tahun
1650 terjadi devaluasi emas yang semula masih bertahan nilainya sebesar 4
shilling atau 0,8 real Spanyol.12
Salah satu penghasilan terpenting bagi kerajaan yaitu perdagangan dan
pemberian dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak pula
sebagai pedagang dan memberikan saham kepada pedagang yang membutuhkan
dengan syarat-syarat tertentu. Sesuai yang termuat dalam kitab Amanna Gappa,
yaitu pemberi saham acapkali menjadi pembeli barang yang dimodalinya atau
menjadi calo dengan hak komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga,
11 Uka Thandrasasmita, “Les Fouilles et l’Histoire A Celebes Sud”, (dalam Archipel 3,
Paris, 1972). Hal. 283. 12
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Jilid II, Terjemahan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). Hal. 12.
42
sepertiga pertama dan sepertiga kedua masing-masing untuk pemilik modal,
sisanya digunakan untuk mengembalikan perongkosan peralatan dan awak kapal.
Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti sebenarnya.
Mereka ”berdagang” dalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan barang
dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang
sebagai modal.13
Misalnya hartawan yang menyerahkan dagangannya berupa
rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dengan perjanjian bagi laba
menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa berbeda) juga
dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem bagi laba juga dipakai
menurut ketentuan yang berlaku.
Adapun aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa tentang tata cara
berdagang maupun berlayar, dan daftar sewa bagi orang yang berlayar, adalah
sebagai berikut:
”Apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di
Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja,
sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di
Makassar pergi ke Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus.
Apabila orang naik di perahu di Paser atau Sumbawa dan pergi ke daerah
Buton, ke daerah Bugis, ke Timor, sewanya empat rial dari tiap seratus”.
Sedangkan aturan tata cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa
ada lima jenis cara berjualan :
1) Berkongsi sama banyak;
2) Samatula;
3) Utang tanpa bunga;
4) Utang kembali;
13 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic
history……op.cit, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 228-229.
43
5) kalula
Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung
resiko sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian
yang dipikul bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak
di lautan, kebakaran atau kecurian. Sedangkan yang tidak dipikul bersama
(ditanggung oleh pelaksana perdagangan), yaitu :
1) dijudikan
2) diperlacurkan
3) dipergunakan beristri
4) diboroskan
5) dipinjamkan
6) dimadatkan
7) diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggungannya.
Adapun yang disebut samatula, adalah yang empunya barang jualan yang
memikul segala kerusakannya. Labanya dibagi tiga, dua bagian diambil oleh yang
empunya dagangan, sebagian diambil oleh si pembawa.
Mengenai utang tanpa bunga, si pemberi utang hanya menagih saja, jikalau
telah sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu
ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang
berutang. Kalau tidak laku atau tidak berganti rupa, maka barang boleh
dikembalikan. Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus
bercermin pada adat, segala hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan
tertentu.
44
Dalam pasal 9, disebutkan bahwa sesama penjual tidak tunggu menunggu
kekeliruan, misalnya (dalam hal) bayar membayar. Jikalau setelah diterima,
barulah diketahui tidak cukup pembayarannya, atau robek bagi barang yang
berlembar, dicukupkannyalah yang robek. Sebab tidak boleh mengembalikan
barang yang telah diputuskan harganya, kalau ternyata dengan sesama pedagang.
Kalula atau disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan
menjual barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dari pemilik barang
yang sudah dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian
tidak memberatkan keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri,
Kalula sendiri yang menanggung, keluarganya tidak ikut menanggung resiko.
C. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain
Corak baru perdagangan kerajaan Gowa muncul setelah dalam abad XVI
Mataram mengadakan penghancuran atas kota-kota komersial di Jawa Timur.
Pusat perdagangan rempah-rempah secara simultan pindah ke Makassar; jalur
lintas perdagangan tidak lagi dari Maluku via Gresik, selanjutnya menyusuri selat
Malaka, tetapi dari Maluku melalui Makassar dan selatan Borneo ke selat Malaka
atau Batam. Perubahan rute perdagangan itu bukan tidak mempunyai pengaruh
atas simpati politik orang-orang Maluku. Apabila dalam era Portugis dan bahkan
pada dekade pertama abad XVII mereka (orang-orang Maluku) banyak yang
berlindung kepada penguasa-penguasa di Jawa, maka sekarang mereka tempatkan
diri mereka di bawah proteksi Kerajaan Makassar. Masa inilah Kerajaan Gowa
memasuki zaman keemasannya. Para kaum bangsawan mulai memegang kendali
45
perdagangan rempah-rempah, bahkan raja sudah menjadi pembeli utama barang-
barang yang masuk di daerahnya.
Sebenarnya kemunculan Gowa sebagai negara niaga paling tidak, sudah
nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah
efek dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada tahun 1511 dimana saat
Malaka takluk, banyak pedagang pindah dari Malaka ke tempat-tempat
laintermasuk ke Gowa.
Terdapat suatu hipotesis yang mengatakan bahwa orang Makassar telah
lama mengadakan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain. Hipotesis ini
didasari dari suatu temuan arkeologi yakni dengan ditemukannya tiga patung
emas Budha yang ditemukan didaerah Takalar, yang memiliki karakteristik gaya
Srilangka, dan India Tenggara, menjadi petunjuk bahwa para pedagang Tamil,
atau mungkin Melayu dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan telah
mengadakan kontak dengan orang-orang Makassar untuk mencari emas, beras,
dan hasil hutan selama abad VII dan VIII. 14
Dari penemuan arkeologi inilah
didapatkan gambaran awal kontak dagang dengan bangsa lain di awal milenium
pertama ini.
Sekalipun jika benar hipotesis di atas, namun perdagangan rempah-
rempahlah yang terutama menyebabkan Makassar menjadi pelabuhan yang ramai.
Mengalirnya rempah-rempah dari kepulauan Maluku ke Makassar, menyebabkan
Makassar banyak dikunjungi pedagang-pedagang asing. Schrieke mengatakan
bahwa:
14
Wayne A. Bougas, “Bantayan: An Early Makassarese Kingdom 1200-1600 A.D.”,
dalam Archipel 55, Paris, 1998. hal 88.
46
....Pada awal abad XVII, mula-mula orang asinglah yang membawa
perdagangan dari Makassar, sementara penduduk aslinya bersawah. Hal
yang sama dilakukan oleh orang-orang Bugis Bone. Kita telah melihat
permulaan pertama dari proses perkembangan yang mengikutinya. Pada
waktu kedatangan Portugis pada awal abad XVI, ketika orang-orang
Melayu dari Malaka, dan kemudian Johor, dan orang-orang Jawa,
mengontrol perdagangan rempah-rempah. Makassar belum memainkan
peranan yang penting di Nusantara. Sebagai akibat perjanjian yang mereka
alami di Malaka, banyak orang-orang Melayu yang bermigrasi ke
Makassar, yang menjadi dasar pelayarannya ke Maluku....15
Perubahan baru dimulai setelah Portugis menduduki Malaka pada tahun
1511, kota pelabuhan Melayu yang menjadi pusat dagang utama di Barat. Salah
satu akibat yang tidak terduga adalah perdagangan Malaka sebagian pindah ke
kota-kota dagang lain, di antaranya Makassar.16
Keruntuhan Majapahit selama
abad XV mengakhiri kontrol Jawa atas laut Jawa dan mematahkan dominasi
Majapahit atas perdagangan rempah-rempah. Para pedagang utama di Sulawesi
Selatan kini tidak lagi berasal dari Jawa tetapi juga dari Sumatra. Mereka adalah
orang-orang Melayu Islam dan mencari pelabuhan alternatif untuk menghindari
Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis.17
Orang Melayu baru mempunyai kedudukan resmi dalam Kerajaan Gowa
kira-kira pada tahun 1561, yaitu pada saat pemerintahan Raja Gowa X
15 B. Schrieke, Indonesian sociological Studies, part one, (Bandung: Sumur Bandung
Formerly, N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve, 1960). Hal. 66-67. 16 J. Noorduyn, “De Handelsrelaties van het Makassaarse Rijk Volgens de Notitie van
Cornelis Speelman uit 1670”, dalam Nederlandse Historische Bronnen 3, 1983. hal. 97. 17
Wayne A. Bougas, “Bantayan: An Early Makassarese…op. cti. Hal. 92; Patut diketahui
bahwa hampir seluruh ahli sependapat, sejak awal proses Islamisasi di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan aktivitas ekonomi, khususnya perdagangan. Aktivitas ekonomi menjadi salah
satu jalur utama dalam perluasan komunitas muslim di seluruh Indonesia yang bergerak dari
daerah pantai untuk membentuk pusat-pusat komunitas muslim baru di pedalaman. Lihat Bambang
Purwanto, “Merajut Jaringan di Tengah Perubahan Komunitas Ekonomi Muslim di Indonesia
pada Masa Kolonial”, dalam lembaran sejarah No. 2, volume 2, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah
UGM, 2000). Hal. 48.
47
Tunipalangga (1546-1565), namun dapat dikatakan setengah abad18
sebelum itu
memang telah banyak orang Melayu (terdiri dari: orang Campa, Minangkabau,
Pahang, Patani, dan Johor) berdatangan, maka mereka mengutus seorang di antara
mereka untuk menghadap pada raja Gowa agar supaya mereka itu dapat diberi
tempat kediaman untuk menetap dan diberikan jaminan, maka diutuslah Nahkoda
Bonang.19
Untuk lebih meyakinkan raja Gowa dan agar supaya mereka itu dapat
diberi tempat kediaman menetap, maka ketika menghadap, mereka membawa
beberapa persembahan yang terdiri dari sepucuk bedil yang bernama ”Kamaleti”,
80 perangkat pinacu, satu kodi kain sakalat, satu kodi kain beludru, dan setengah
kodi kain cindai (sutera berbunga). Permohonan mereka diperkenankan oleh raja
Gowa dengan resmi, bahkan mereka mendapat empat jaminan dari Raja
Tunipalangga.20
Jadi sebelum pertengahan abad XVI para pedagang Melayu tinggal di
pelabuhan-pelabuhan pantai Barat Sulawesi.21
Disinilah awal munculnya koloni
dagang orang Melayu yang berasal dari sebagian daerah di semenanjung Malaka,
18 Anthony Reid, “The Rise of Makassar”, dalam RIMA Vol. 17, 1983. Hal. 137-138. 19
Anthony Reid, “Dari Ekspansi hingga Kritis II Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Hal. 94-98. 20
Jaminan tersebut, yakni: pertama, daerah kediaman mereka tidak boleh diperlakukan
sewenang-wenang; kedua, rumah mereka tidak boleh dimasuki begitu saja; ketiga, rumah mereka
tidak nigayang (rapuh); keempat, mereka dipisahkan dari nirappung (pedagang yang berasal dari
pedagang lain) . Lihat: “De Kapitein Malajoe te Makassar (1920)”, dalam Adatrechtbundels XXXI:
Celebes. Hal. 109. 21 Pada tahap awal para pedagang Melayu yang tinggal di Siang (salah satu nama
pelabuhan dan kerajaan di pantai Barat Sulawesi), nampaknya terutama disibukkan dengan ekspor
produk dari Sulawesi dan dari pulau-pulau sekitarnya, khususnya kayu cendana yang dalam
jumlah besar diimpor dari Timor, dan Sunda, serta yang cukup tinggi permintaannya di seluruh
Asia, khususnya di Cina. Dari kepulauan Sunda Kecil ini, juga muncul kulit penyu, lilin, beras,
dan budak untuk melengkapi pasokan local komoditi ini. Lihat: John Villiers, “Makassar: The
Rise and Fall of an East Indonesian Maritime Trading State: 1512-1669”, dalam J.
Kathirithamby-Wells, John Villiers, (ed.)., The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise,
(Singapore: University of Singapore Press, 1974). Hal. 146.
48
yang sangat penting bagi perkembangan budaya dan ekonomi di tempat ini.
Hubungan yang dibangun dengan orang-orang Melayu sangat akrab dengan pihak
kerajaan, begitu akrabnya sehingga orang-orang Melayu turut membantu
memperbaiki peraturan-peraturan di dalam istana, di antaranya mengatur tata cara
berpesta, mengajarkan kepada para pemuda Makassar kesenian Melayu,
permainan pencak, lenggo, dan lain-lain.22
Sampai dengan masa pertumbuhan abad XVII, sebagian besar
perdagangan dan perkapalan Makassar berada di tangan orang-orang Melayu,
namun disamping itu juga orang-orang Makassar ikut terlibat. Para raja dan
bangsawannya tampil sebagi penyandang dana dan melancarkan ekspedisi dagang
sendiri. Bersama orang Melayu pemekaran sayap kekuasaan dan perdagangan luar
daerah Makassar berkembang pesat hingga mancanegara;23
ke barat hingga pantai
Coramandel (India), ke utara hingga Vietnam, Philipina, Cina, Jepang, ke timur
hingga pantai-pantai Irian, bahkan sampai ke pantai-pantai Utara, Barat Australia.
Selain pedagang-pedagang Melayu yang menetap di Makassar juga terdapat
bangsa-bangsa asing, diantaranya bangsa Portugis.
Pada masa pemerintahan Karaeng Tunipalangga (1546-1565), di samping
raja memberi ijin orang Portugis mendirikan secara resmi perwakilan dagangnya
22 Abd. Rahman Daeng Palallo, “Memperkenalkan Kampung Melayu dan
Penduduknya”, dalam 60 Tahun Kota Makassar. (Makassar: Percetakan Sejahtera, 1966). Hal. 54;
Mattulada, “Minangkabau dalam Kebudayaan Orang Bugis-Makassar di Sulawesi-Selatan”,
dalam A. A. Navis (ed.),Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik, (Padang:
Genta Singgalang Press, 1983). Hal- 130-131; 23 Damai N. Toda, “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi”, (Flores: Nusa
Indah, 1999). Hal. 53.
49
di Makassar yang banyak memberi keuntungan baginya,24
juga sebaliknya banyak
bangsawan Gowa mempelajari peradaban dan bahasa mereka. Selain itu dengan
kedatangan Portugis, pihak gowa memperoleh keuntungan dalam peningkatan
sarana-sarana fisik bagi perkembangan dalam berbagai bidang keahlian, seperti
membangun benteng pertahanan dan rumah-rumah dalam lingkungan istana raja.
Dengan adanya hubungan itu pula bandar Somba Opu menjadi semakin ramai dan
besar seperti yang terlihat pada abad XVI hingga awal abad XVII.25
Dalam perdagangan, Portugis sebagian besar membawa barang-barang,
yakni berupa kain-kain dari daerah pantai dan Benggali, bahan mentah sutera,
sejumlah emas, dan barang-barang dagangan lain dari Cina. Sejumlah besar kain
dijual di Makassar, dan kain ini dibawa oleh orang-orang Melayu dan oleh
penduduk dari sana dibawa ke seluruh daerah-daerah di sekitarnya, serta beberapa
daerah kepulauan. Di Makassar, Portugis membeli barang-barang dari Maluku,
Ambon, berupa sandelwood (sandal kayu), lilin kulit penyu, dan batu bezoar dari
Kalimantan, bersama-sama dengan berbagai jenis barang dagangan lainnya.26
Bangsa asing selain Portugis yang kemudian juga mengadakan hubungan
dagang dengan kerajaan Gowa adalah orang Belanda. Perseroan Amsterdam
mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri
dari empat kapal, dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian
24 Keberadaan Loji Portugis di Makassar juga disebutkan dalam ANRI: Bundel Makassar
No. 153. Menurut Erkelens sejak tahun 1532 beberapa orang Portugis telah diberi ijin oleh raja
Gowa untuk tinggal di wilayahnya. 25 Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510-1700), (Ujung
Pandang: Bakti Baru-Berita Utama, 1982). Hal. 29; Harun Kadir, dkk., Sejarah Daerah Sulawesi-
Selatan, (Jakarta: Depdikbud, 1978). Hal. 41-42. Menurut Reid, tenaga orang Portugis digunakan
oleh penguasa Makassar untuk dipekerjakan sebagai penembak dan pembuat senjata, serta pelatih. 26 B. Schrieke, Indonesian sociological Studies, part one, (Bandung: Sumur Bandung
Formerly, N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve, 1960). hal. 68.
50
angkatan kedua tahun 1598 dibawah pimpinan van Nede, van Heemskerk, dan van
Warwijk. Selain dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari berbagai kota
Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 dibawah pimpinan van der
Hagen, dan angkatan keempat tahun 1600 dibawah pimpinan van Neck.27
Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak perseroan
lain berdiri yang juga ingin berdagang, dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan
Maret 1602 perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten_General
Republik dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan
gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di
kawasan antara Tanjung Harapan, dan Kepulauan Solomon, termasuk kepulauan
Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).28
Dalam perjalanan pertama mereka ke kepulauan Nusantara, orang-orang
Belanda hanya menyinggahi Jawa (Banten, Tuban, dan Gresik), serta Maluku;
Sulawesi mereka tinggalkan, baik dalam arti sebenarnya, maupun perintah dari
atas. Baru setelah beberapa tahun kemudian, sesudah mereka mempelajari arti
penting Makassar sebagai tempat persinggahan bagi kapal, dan sebagai pusat
perdagangan rempah-rempah, barulah mereka tertarik dengan Makassar.29
27 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, (Jakarta: Rajawali Press,
2000). Hal. 234-235. 28 Ibid. Lihat juga: Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-batas Pembaratan
jilid I, (Jakarta: PT. Gramedia, 2000). Hal. 61. 29
Dewan Redaksi/Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia jilid
I: ”Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945”, (Jakarta: Yayasan PUSPINDO, 1990). Hal. 62.
51
Perhatian orang Belanda ke Makassar untuk berdagang dimulai sejak
tahun 1603,30
yakni ditandai oleh ketika orang Belanda mengirimkan sebuah surat
dari Banda31
kepada raja Gowa untuk berdagang di Makassar, permohonan ini
dikabulkan dengan senang hati, tetapi dengan satu syarat, yakni ”hanya untuk
berdagang”, karena mereka mengetahui bahwa Belanda adalah musuh besar orang
Portugis, dan mereka tidak menghendaki Makassar dijadikan sebagai tempat
pertahanan kedua bangsa itu, Kemudian berturut-turut orang-orang asing yang
datang ke Makassar dan mendirikan perwakilan dagangnya secara resmi adalah
orang Inggris, Denmark, Cina, dan lain-lain.
D. Alat Transportasi Perdagangan
Berbicara tentang pelayaran niaga perlu dikemukakan di sini bahwa pada
zaman itu agak sukar dibeda-bedakan antara kapal atau perahu kerajaan dan milik
pribadi. Biasanya pejabat kerajaan seperti Bendahara dan Temenggung, malahan
Sultan pun, memiliki kapal atau perahu yang dipergunakan untuk berniaga.
Adapun alat transportasi yang digunakan dalam pelayaran dan
perdagangan antara lain:
a. Pedagang pribumi menggunakan perahu tradisional seperti:
1). Lepa-lepa, yaitu jenis perahu yang digunakan di daerah-daerah teluk yang
tenang, Di mana laut tidak bergelombang, di sekitar pantai atau di air
payau, Untuk menyeberangkan penumpang atau menangkap ikan. Di
30 Anwar Thosibo, “Peranan Suku Bugis-Makassar dalam Aktivitas Perdagangan di
Kerajaan Gowa-Tallo Abad XVII”, dalam SSNI sub tema: Dinamika Pertumbuhan Ekonomi
Bangsa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud, 1991). Hal. 274. 31
Lihat: F. W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie III, (Amsterdam: NV.
Uitgeversmaatshappij Joost van den Vondel, 1939). Hal. 192.
52
samping itu perahu yang dibuat dari batang kayu pohon yang lurus itu,
juga dapat difungsikan sebagai sekoci pada kapal-kapal atau perahu-
perahu yang besar.
Bentuk perahu tersebut sangat tergantung pada besarnya pohon.
Namun umumnya panjang sebuah perahu lepa-lepa itu sekitar 3-4 meter
dengan lebar 0,5 meter serta dalamnya sekitar 0,40 meter.32
2). Soppe. Perahu ini merupakan jenis perahu nelayan yang berukuran kecil.
Bentuk dan ukurannya bervariasi, seperti panjangnya antara 5-7 meter,
lebarnya 0,80-1,5 meter dan dalamnya 0,70-0,90 meter. Perahu ini
dijalankan dengan dayung oleh dua orang nelayan yang dilengkapi jala
atau pun pancing bila akan pergi menangkap ikan.
3). Biseang pajala. Ini merupakan salah satu jenis perahu nelayan, yang
digunakan untuk mencari ikan di perairan lepas pantai. Perahu tersebut
terbuat dari papan jenis kayu bitti-bitti atau jati, yang disusun rapi. Perahu
pajala ini, sedikit lebih besar dari perahu lepa-lepa maupun perahu soppe
dan daya angkut bisa sampai 100 ton. Perahu tersebut menggunakan
sebuah layar yang disebut sombala. Di atas geladaknya terdapat bangunan
rumah-rumah yang sekaligus digunakan sebagai dapur.
4). Patorani dan Pedewakan. Jenis perahu patorani ini digunakan untuk
menangkap ikan terbang (tuing-tuing) di perairan Selat Makassar,
32
Adrian B. Lapian, Orang Laut,Bajak Laut,Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX, (Depok: Komunitas Bambu, 2009). Hal. 87.
53
sedangkan perahu Pedewakang merupakan perahu nelayan yang dipakai
untuk menangkap teripang jauh ke tengah laut.
5). Lete. Jenis perahu ini digunakan sebagai perahu angkutan niaga jarak jauh
antar pulau, bahkan antar benua. Panjang perahu berukuran antara 10-15
meter, lebar dan dalamnya masing-masing 5 meter dan 1,5 – 2 meter.
Bentuk balok tiangnya besar dan tebal serta menonjol pada haluan dan
buritannya.
6). Lambo. Perahu jenis ini juga dipergunakan sebagai alat angkutan, perahu
niaga jarak jauh. Perahu ini memiliki ukuran panjang antara 15-20 meter,
lebar 3,50 – 4 meter dan tinggi 1,5 – 2 meter. Disamping itu perahu
tersebut juga memiliki tenaga (awak perahu) sebanyak 7-12 orang, dan
diperlengkapi dengan 2 buah kemudi yang letaknya di bagian buritan.
b. Perahu Pedagang Melayu dan Jawa
Kelompok pedagang ini menggunakan perahu yang jauh lebih
besar yang dapat mengangkut macam-macam muatan. Jumlah awak
perahu ini 10 sampai 20 orang, bahkan ada yang hanya 5 atau 6 orang,
perahu tersebut mem[unyai bentuk yang bermacam-macam dengan
namanya sendiri antara lain: ”Contingh”, ”tingangh”, ”Gorap”, ”Galjoot”,
”Gallioen” dan lainnya.
c. Perahu Pedagang Asing
1). Perahu Pedagang Cina
54
Pedagang Cina ini mempergunakan Jung untuk berdagang. Jung
Cina yang besar sangat menarik perhatian. Tinggi haluan dan buritannya
tidak sama, sedangkan bagian tengah sangat rendah. Di atas buritan
terdapat sejumlah rumah-rumah kecil dan cukup menyolok pula umbul-
umbulnya yang berwarna coreng moreng, sedang ke dua layarnya yang
lebar dan tebal dibuat dari sebangsa daun rumput yang dianyam.
2). Perahu Pedagang Kompeni VOC (Belanda)
Kompeni ini mempergunakan kapal dagang yang besar dan sesuai standar
keamanan pelayaran perdagangan dalam arti sesuai dengan standar
keselamatan pelayaran.
3). Perahu Pedagang Spanyol dan Portugis, menggunakan kapal-kapal
dagangnya yang lebih besar dari perahu-perahu pribumi, hanya saja
berbeda dengan kapal dagang yang dipergunakan oleh VOC, kapal dagang
yang digunakan oleh Spanyol dan Portugis biasanya tidak sesuai dengan
standar keselamatan pelayaran perdagangan dan tidak diperlengkapi
dengan peralatan pengamanan kapal.
4). Perahu Pedagang Inggris, Vietnam dan Thailand
Inggris, Vietnam, dan Thailand menggunakan kapal-kapal dagang yang
dapat memuat berjenis-jenis barang dagangan yang dapat diperdagangkan
di tempat tujuan.
55
BAB IV
PERAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII
A. Peran Kerajaan Gowa dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan
Nusantara
Politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Kerajaan Gowa bukan hanya
diarahkan untuk memikat pedagang dan pelaut di daerah sekitar (Bugis, Makassar,
Mandar, Selayar, dan Bajo) atau Portugis di Malaka dan Melayu, tetapi juga
mereka yang bergiat di Asia Timur dan Asia Tenggara (pedagang Eropa, Asia
Timur, dan Asia Tenggara). Dalam hal ini peran pelaut dan pedagang Sulawesi
Selatan tidak dapat diabaikan. Mereka melakukan pelayaran niaga antara
Makassar dan daerah penghasil komoditas terpenting ketika itu: Maluku (rempah-
rempah) dan Timor serta Sumba (kayu Cendana). Kedua komoditas ini telah
memikat pedagang lain untuk datang ke Makassar.
Keterbukaan Kerajaan Gowa terhadap semua pedagang memperlancar
hubungan dagang dengan pusat perdagangan lain. I Malikang Daeng Manyonri
(1593-1636), Mangkubumi Kerajaan Gowa, diberitakan mendapat izin dari
penguasa Banda untuk menempatkan wakilnya di Banda pada 1607. Selain itu,
atas izin pemerintah Spanyol di Filipina, penguasa Gowa mendirikan perwakilan
dagang di Manila. Menurut Speelman, perwakilan dagang Gowa di Manila
didirikan karena pedagang Melayu dan Jawa dilarang mengunjungi Manila
dengan mengatasnamakan Makassar (Gowa). Pemerintah Spanyol hanya
menerima pedagang Makassar karena mereka, selain memiliki hubungan dagang,
56
mereka juga dapat memenuhi permintaan rempah-rempah dan komoditas lain
seperti beras.
Adapun taktik dagang yang di ungkapkan catatan Van der Chijs di Banda:
(Ia) setiap tahun menyediakan beras, pakaian, dan segala sesuatu yang
disenangi di sana (Banda) agar dapat mengumpulkan pala sebanyak
mungkin bagi negerinya, sehingga memikat sejumlah pedagang serta dapat
memborong dalam jumlah besar; (ia) juga tahu bagaimana memberikan
hadiah kepada para ulama Banda agar dapat mengeruk keuntungan besar.1
Cara berdagang semacam itu memudahkan pelaut dan pedagang Makassar
memperoleh rempah-rempah dari Maluku dalam jumlah besar dan murah,
sehingga harga jualnya di Makassar lebih murah daripada di daerah produksinya
sendiri. Stapel yang mengkaji tentang Makassar, menggambarkan perdagangan
Makassar pada permulaan abad ke XVI kedalam beberapa bagian: pertama, pusat
perniagaan dan pangkalan bagi pedagang dan pelaut Makassar. Kedua, pelabuhan
transit terpenting bagi komoditas rempah-rempah dan kayu cendana. Ketiga,
daerah yang berlimpah dengan produk pangan (beras dan ternak). Keempat,
bandar niaga internasional.2
Kemajuan yang dicapai Makassar ternyata tidak memuaskan pedagang
Belanda. Mereka tidak menginginkan pedagang Eropa lainnya berkeliaran di
Makassar. Bagi pedagang Belanda, pedagang Eropa lainnya adalah saingan.
Belanda, yang menanamkan kekuasaannya di Maluku setelah mengusir orang
Portugis dan Spanyol, menghalau perahu-perahu dagang Makassar di dekat
perairan Ambon agar dapat memonopoli rempah-rempah. Penguasa Makassar
melaporkan hal itu kepada perwakilan dagang VOC namun tidak digubris.
1 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic
history, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 134. 2 F.W. Stapel, Het Bongaais Verdrag, (Leiden: Rijksuniversiteit Leiden, 1922. Disertasi).
hal. 8.
57
Belum cukup, VOC mendesak Raja I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan
Alauddin (1593-1639) agar tidak menjual beras lagi kepada orang Portugis di
Malaka. Tuntutan itu dijawab oleh raja. ”Negeri saya terbuka untuk semua bangsa
dan tidak ada perlakuan istimewa untuk Tuan sebagaimana juga untuk orang
Portugis.”3 Jawaban ini tidak memuaskan Belanda sehingga pecah ”peristiwa
Enckhuyzen” pada 28 April 1615.4
Tidak lama setelah peristiwa itu pecah, utusan VOC dari Maluku, yang
tidak mengetahui hal-ihwal peristiwa Enckhuyzen, datang dengan menggunakan
kapal De Eendrach pada 10 Desember 1616. Utusan ini menyampaikan pesan
kepada penguasa Makassar untuk melarang orang Makassar berdagang di
kepulauan rempah-rempah, tapi ditolak oleh penguasa Makassar.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin (1593-1639), Makassar
mengadakan perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Mataram dan Aceh.5
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (1639-1653)
terjalin hubungan dengan Gubernur Spanyol di Manila, Gubernur Portugis di Goa
(India), penguasa Keling di Koromandel, Raja Inggris, Raja Portugal, Raja
Kastalia (Spanyol), dan Mufti di Mekkah. Jelas, hubungan persahabatan ini
merupakan langkah Makassar untuk setara dengan kerajaan-kerajaan yang
3 Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka,A History of South Sulawesi
(Celebes) in the Seventeenth Century, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981. VKI, No. 91). Hal. 45. 4 Peristiwa ini bermula ketika di kapal Enckhuyzen, yang berlabuh di Pelabuhan
Makassar, diselenggarakan acara malam ramah-tamah dengan para pembesar dan bangsawan
Kerajaan Makassar. Acara ini diselenggarakan sehubungan dengan dicapainya kesepakatan antara
pedagang Belanda di Makassar setelah mengajukan keluhan mengenai berbagai hambatan dan
tantangan yang dihadapi berkenaan dengan kebijakan ekonomi kerajaan Gowa dan pihak dewan
kapal (scheepsraad) Enckhuyzen. Ketika para undangan tiba di kapal di antaranya Syahbandar
Makassar (Encik Husen) dan beberapa anggota keluarga kerajaan, pihak Belanda berusaha
melucuti persenjataan mereka sehingga terjadi perlawanan yang menelan korban jiwa. Dalam
peristiwa ini Belanda berhasil menawan Encik Husen dan dua orang anggota keluarga raja, yang
kemudian dibawa berlayar ke Banten. Baca Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung
Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1983). Hal. 21-22. 5 G.J. dan Wolhoff dan Abdurrahman, Sejarah Gowa, hal. 64.
58
dipandang kuat dan besar pada waktu itu. Oleh karena itu ketika perdagangan
rempah-rempah di Maluku terancam oleh VOC, Kerajaan Makassar
mempersiapkan bantuan keamanan bagi para pedagang. Dalam salah satu catatan
harian VOC tahun 1624, sebagaimana dikutip oleh Jacob Cornelis van Leur,
memberikan gambaran bahwa perdagangan ke Maluku dilakukan bersama di
bawah perlindungan Kerajaan Makassar. Semua pedagang dilindungi tanpa
kecuali. Kebijakan ini menjadi salah satu faktor yang memikat pedagang untuk
selalu melakukan kegiatan di Makassar.
Strategi Kerajaan Makassar tersebut menjadikan kota pelabuhannya tetap
menjadi pelabuhan Internasional dan pelabuhan transito besar di wilayah
Kepulauan Indonesia bagian timur dalam perdagangan di Asia Tenggara.
Kedudukan politik dan ekonomi Kerajaan Makassar yang kuat menjadi ancaman
besar bagi VOC, yang menjalankan kebijakan monopoli. Pertentangan dan
permusuhan di antara mereka, yang berlangsung sejak 1615, mencapai puncaknya
dalam bentuk Perang Makassar pada Desember 1666 sampai 18 November 1667.
VOC unggul dan berhasil memaksa Gowa untuk menandatangani Perjanjian
Bungaya (Het Bongaais Verdrag). Perjanjian perdamaian ini sangat
menguntungkan VOC. Kerajaan Gowa diwajibkan membayar kerugian perang,
melepaskan seluruh tawanan pegawai VOC, menyerahkan barang VOC yang
disita, melepaskan koloni-koloninya, membongkar benteng-benteng
pertahanannya, mengusir semua bangsa Eropa yang berdagang di Makassar,
melarang orang Makassar berlayar ke Maluku, hanya membolehkan VOC yang
berdagang di Makassar tanpa macam-macam kewajiban, dan menyerahkan
Benteng Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC.
59
Perubahan wajah dan kedudukan Makassar berkaitan erat dengan usaha Belanda
menguasai kota tersebut untuk menjamin monopoli di Maluku. Tak
mengherankan bila Makassar lantas dijadikan pos pengawasan bagi pelayaran ke
bagian timur. Para pegawai yang ditempatkan di kota ini diberi tugas utama
mengawasi pelayaran ke Maluku. Dan masa keemasan Makassar pun sirna.
Dari waktu ke waktu Makassar terbentuk dan semakin meluas sehingga
berkembang sebagai kota dagang dan banyak menerima pengaruh dari luar.
Perkembangan Makassar sebagai kota dagang dan kota yang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan Belanda di sulawesi pada khususnya dan kawasan Timur
Nusantara pada umumnya sesudah kejatuhan Gowa 1667, secara otomatis
menimbulkan konsekuensi logis di bidang pembangunan perumahan dan gedung-
gedung, pembuatan dan perbaikan jalanan, pembangunan sarana-sarana
peribadatan dan sarana-sarana sosial lainnya dan sebagainya.6
B. Kebangkitan Emporium dan Kapitalisme Ekonomi
Sampai awal abad ke XVII, kehadiran orang Eropa di kepulauan Indonesia
membawa perubahan kecil dalam konstelasi politik di wilayah itu. Kerajaan-
kerajaan yang sampai kedatangan Portugis berperan penting tetap unggul selama
abad ke XVI; tiga kekuatan laut yakni Demak, Malaka-Johor, dan Ternate
berhasil menahan pertumbuhan dominasi Portugis.
Termasuk kedalam kegiatan perdagangan adalah hubungan ekonomi
antara bangsa-bangsa yang paling tua. Hal yang sama tampak pula dalam sejarah
6 Mukhlis, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: DEPDIKBUD, 1995). Hal. 10.
60
perdagangan di Indonesia, baik pada periode sebelum datangnya pedagang-
pedagang Eropa maupun sesudahnya.
Kerajaan Gowa terletak di Ujung Selatan barat daya pulau Sulawesi.
Kerajaan Gowa dengan ibukotanya yang terkenal dengan nama Somba Opu
terletak di pantai Selat Makassar. Selat inilah yang memisahkan pulau Sulawesi
dengan Kalimantan. Pada mulanya, Makassar hanya merupakan suatu bandar
kecil, tempat bongkar muatan perahu. Selain sebagai pelabuhan dagang,
pelabuhan Makassar di ujung utara juga difungsikan sebagai pangkalan ”Armada”
kerajaan Gowa (Somba Opu) sebelum ditaklukan Belanda, bandar ini berkembang
dengan pesat pada abad ke XVI-XVII.7
Berkembangnya Makassar sebagai Emporium menyebakan pelayaran
niaga antara timur dan barat tidak lagi ditempuh secara langsung. Para pedagang
dari Cina atau teluk Parsi, misalnya, cukup sampai di Malaka atau di Makassar
saja, di mana perdagangan bisa dilakukan dengan pedagang-pedagang lainnya
yang berdatangan dari berbagai kawasan. Para pedaganga dari Malaka pun tidak
perlu meneruskan pelayaran sampai ke Maluku atau ke tempat manapun.
Demikian pula pedagang dari Cina cukup muncul di Makassar untuk memperoleh
komoditi dagang dari Maluku. Maka dapatlah dipahami betapa pentingnya
Makassar sebagai pelabuhan transito bagi Nusantara dengan dunia timur maupun
dengan Cina dan Asia Tenggara. Inilah yang dinamakan emporium trade trade
yang menurut Chaudhuri, merupakan salah satu sarana pokok bagi munculnya
kapitalisme dikalangan penduduk yang berdiam di sekitar Lautan Hindia.8
7 Mukhlis, dkk., Sejarah Sosial Daerah Sulawesi-Selatan Mobilitas Sosial Kota Makassar
1900-1950, (Jakarta: Depdikbud Ditjarahnitra, 1984/1985). Hal. 9. 8 K.N. Chaudhuri, Asia Before Europe. Economy and Civilization of the Indian Ocean
from the Rise of Islam to 1750. (London: Cambridge University Press, 1989). Emporium di sini
61
Di Makassar mungkin juga di Nusantara pada umumnya, penguasa lokal
berperan penting dalam perdagangan dan pengapalan, atau paling tidak
mewakilkan kepentingannya melalui pertolongan para pedagang asing. Kaum
bangsawan dan penguasa dalam perdagangan berperan sebagai pemilik saham,
sedangkan pelaksana langsung adalah para pedagang atas nama raja ataupun
bangsawan dalam bentuk commenda. Mereka sebagai pemegang saham berhak
memperoleh keuntungan yang pembagiannya diatur dalam suatu perjanjian bagi
hasil.
C. Perdagangan Keramik Asing di Makassar
Terbentuknya jaringan perdagangan Somba Opu (Makassar) bertumpu
pada semangat progresif-revolusioner yang hampir dipraktekkan oleh semua
penguasa Makassar (Somba Opu) dan rakyatnya. Kunci bagi keberhasilan
jaringan ini lebih banyak terletak pada kebijakan-kebijakan penguasanya yang
telah berhasil membentuk satu komunitas internasional di mana para pedagang
mendapatkan fasilitas-fasilitas yang menguntungkan daripada fakta yang ada,
jelas bahwa tempat itu merupakan satu pelabuhan yang baik. Fasilitas yang
tersedia di bandar Somba Opu memungkinkan para pedagang untuk
mengembangkan kegiatan mereka, dan menambah hampir semua sektor
kehidupan. Somba Opu dapat diposisikan menjalankan fungsinya yaitu, pusat
pengumpul (collecting centres), tempat-tempat pengumpan (feeder points), dan
bandar transito atau bandar niaga (entreport).
diartikan sebagai kota-kota pelabuhan yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang
memudahkan para pelaut untuk memperbaiki kapal-kapalnya serta mendukung terselenggaranya
aktifitas perdagangan.
62
Sebagai collecting centres9, Somba Opu memiliki karakteristik alamiah
yang menguntungkan, antara lain; berada pada titik sentral pelayaran menuju
pulau rempah yang menghubungkan jalur navigasi timur-barat; dan mampu
mengambil keuntungan penuh dari perdagangan jarak jauh (long distance trade)
serta didukung oleh wilayah pedalaman (hinterland) yang kaya dengan hasil-hasil
bumi. Dengan demikian Somba Opu berfungsi sebagai jalan keluar dari sejumlah
produk lokal dari pedalaman ke luar. Tempat-tempat ini kemungkinan sudah sejak
lama menjadi rute strategis bagi perdagangan menengah. Lokasinya sangat
berdekatan dengan jalur-jalur perekonomian yang penting dari mana produk lokal
diperoleh.
Somba Opu juga menjadi tempat perakitan barang-barang yang dipasok
dari pengumpan (feeder points). Meskipun pusat-pusat ini jauh lebih besar
daripada pelabuhan-pelabuhan lokal yang kecil, tetapi barang-barang produksi
setempat menjadi komoditi dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya
pusat-pusat ini juga mengimport barang-barang luar, khususnya barang yang tidak
dapat diproduksi di feeder points10
seperti keramik dan tekstil untuk konsumsi
lokal dan diteruskan ke pedagang lebih kecil dan dikirim ke feeder points, di
pedalaman.
Kategori selanjutnya mengenai pusat-pusat pertumbuhan, adalah entreport
yang jangkauannya lebih luas dan besar dalam melayani perdagangan laut. Secara
umum entreport mudah dikenali dengan peninggalan-peninggalan arkeologisnya.
Data aktifitas perdagangan dalam skala besar pada suatu waktu tertentu dapat
9 Collecting Centres, merupakan suatu tempat untuk mengumpulkan barang dari kapal-
kapal pedagang. 10
feeder points merupakan tempat untuk mengumpan barang-barang yang tidak ada di
collecting centres.
63
ditunjukkan dengan keragaman artefak pada lokasi bekas entreport. Yang sering
dijumpai adalah jenis-jenis keramik Cina, termasuk produk dari Asia Tenggara,
Jepang dan Eropa bahkan dari Timur-Tengah. Keragaman temuan ini juga dapat
menggambarkan karakteristik kosmopolitan penduduk pelabuhan yang ikut
berperan memajukan entreport.11
Dalam konteks ini Somba Opu dapat juga
dikatagorikan sebagai entreport dan pelabuhan transito karena memiliki ciri-ciri;
berada dalam sumbu jalur pelayaran timur-barat, memiliki fasilitas pergudangan
dan dermaga, pasar, penginapan, alat tukar perdagangan dan sistem perpajakan
yang mengatur arus lalu lintas barang sebagaimana tercermin dalam kitab Hukum
Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa.12
Penelitian di Somba Opu membuktikan bahwa keramik Cina, Thailand dan
Vietnam memiliki pola distribusi yang hampir sama dengan situs-situs yang
berada di daerah pesisir. Di Takalar, Gowa, Pangkep, dan juga di beberapa
tempat di pedalaman, keramik-keramik tersebut umumnya berasal dari daerah
produksi yang sama, dan jenis yang serupa. Namun dari segi kronologi, seperti di
Takbuncini (Takalar), nampaknya keramik-keramik itu didistribusikan dari
Collecting centres Makassar, terutama keramik dari masa Qing akhir, dan
beberapa diantaranya memperlihatkan masa yang hampir sama dengan temuan
dari Somba Opu. Sebaran keramik pada tempat-tempat tersebut sangat mungkin
terjadi sebab wilayah teritori ini berada dibawah kontrol Gowa, dan menjadi basis
11
Leong Sau Heng, ”Collecting Centres, Feeders Points and Entrpots in the Malay
Peninsula 1000 AD-1400 M”, J. Kathirithamby-Wells dan John Villiers, (ED.), The Southeast
Asian Port and Polity: Rise and Demise. (Singapore: National University of Singapore Press,
1990). Hal. 23-26. 12
DEPDIKNAS, Makassar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta: DEPDIKNAS, 2000). Hal.
70.
64
pertahanan terakhir Makassar sesaat sebelum dikalahkan Belanda pada tahun
1669.
Pedagang-pedagang Melayu, Cina, Gujarat, Jawa dan Bugis-Makassar,
berperan penting dalam lalu lintas perdagangan. Tetapi peran penting pedagang
Cina berlangsung ketika VOC belum menjadi pemain tuinggal dalam long
distance trade (perdagangan jarak jauh), mereka menguasai beberapa pasar
potensial di lautan nan yang. Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan Kaisar
Muzong yang pada tahun 1567 mencabut larangan berdagang dengan selatan.
Pencabutan larangan tersebut segera mengundang pihak swasta untuk
melakukanpelayaran yang lebih intens hampir ke seluruh negeri di kawasan Asia
Tenggara.
C.1. Pedagang Pribumi
Perdagangan keramik yang berskala internasional telah melahirkan begitu
banyak dampaknya bagi masyarakat pribumi, terutama dalam hal modal,
administrasi perdagangan, dan juga etos kerja. Pedagang pribumi dibedakan atas
dua kelompok, yaitu pedagang yang berasal dari kalangan penguasa yang terdiri
dari para bangsawan dan kerabatnya, dan pedagang dari golongan masyarakat
biasa, yang karena profesinya itu dapat ditempatkan pada posisi yang sejajar
dengan kelas menengah. Raja dan kerabatnya adalah pedagang, dan mempunyai
saham dalam ekspedisi-ekspedisi perdagangan di laut, dan bagian terbesar dari
pendapatan negara berasal dari pabean dan aneka pajak perdagangan.13
13
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 6-
7. Diterjemahkan oleh Winarsih Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Jean Couteau dari Le Carrefour
Javanais: Essai d’histoire globale (EHESS, Paris 1990).
65
Pola perdagangan seperti ini tidak terlepas dari sistem commenda. Sistem
ini telah melibatkan raja, kaum bangsawan dan orang kaya yang ikut dalam
berbagai usaha pelayaran dan perdagangan. Tetapi mereka bukanlah pedagang
yang sebenarnya, sebab mereka hanyalah berfungsi sebagai pemegang saham,
sedangkan pelaksana langsung adalah para pedagang atas nama raja ataupun
bangsawan. Mereka sebagai pemegang saham berhaka meperoleh keuntungan
yang pembagiannya diatur dalam suatu perjanjian bagi hasil yang telah ditetapkan.
Dan tiap-tiap kerajaan memiliki sistem tersendiri dalam hal bagi hasil tersebut.14
Selain pedagang Bugis-Makassar yang ikut berkecimpung dalam
perdagangan keramik terdapat pula pedagang-pedagang Jawa. Mereka umumnya
berasal dari Gresik, Giri, Jaratan, Sedayu, Surabaya dan berasal dari berbagai
tempat lainnya yang telah lama menetap di Malaka untuk tujuan berdagang.
Kepindahan mereka bersama orang-orang Melayu ke Makassar disebabkan oleh
kebijakan Portugis yang tidak menguntungkan bagi pedagng-pedagang setempat,
baik dari segi etika maupun moral keagamaan. Pedagang Jawa ini tidak saja
mereka yang pernah tinggal di Malaka, tetapi sebagiannya berasal dari tempat-
tempat di Jawa yang telah lam menjalin hubungan dagang dengan Makassar, abik
sebelum maupun sesudah kejatuhan Malaka. Pedagang Jawa dari Malaka, dalam
batas tertentu sudah ”menjadi orang Melayu”, perilaku dan etos kerjamereka
sudah diwarnai oleh unsur Melayu dan nuansa Islam yang kental. Tetapi argumen
ini tidak bisa digeneralisir, sebab tampaknya mereka juga tetap mempertahankan
unsur kejawaannya.15
14
Effendy A.R. Muslimin, Perdagangan Keramik di Nusantara (Makassar: Indobis,
2002). Hal. 106. 15
Ibid….. hal. 109.
66
Pedagang pribumi menjual keramik yang dibelinya dari pedagang asing di
Makassar atau yang diperoleh selama kunjungannya ke Barat, ke Malaka, Jawa
bahkan ke Cina dan negara-negara penghasil keramik lainnya dikawasan Asia
Tenggara. Ini tentu saja bukan hal yang aneh karena pada masa itu telah terbuka
jaringan pelayaran antar bangsa yang sudah dirintis oleh pedagang-pedagang
setempat maupun oleh pedagang asing. Pedagang Makassar pun memperoleh
keramik dari pusat-pusat produksi di Thailand sudah sejak awal abad ke-XVII,
yakni ketika orang-orang Makassar berpetualang ke Ayuthia sekitar tahun 1664.16
Pelayaran pedagang-pedagang Makassar ke Barat ini, terutama dilakukan
dengan memanfaatkan pengaruh Angin Timur yang berhembus pada bulan Mei
hingga September, sementara pedagang-pedagang Jawa (dan Makassar setelah
kembali dari daerah seberang) berlayar keTimur, ke Makassar, dengan mengikuti
angain Barat yang berhembus antara bulan November hingga Maret. Dalam
pelayarn ke Timur para pedagang membawa keramik juga untuk diperdagangkan
di sana. Dan mereka baru meninggalkan Makassar pada bulan April atau
sesudahnya pada waktu angin musim berhembus dari Timur. Dalam
perlawatannya itu pedagang pribumi mengangkut hasil-hasil bumi yang
diperolehnya baik di Makassar maupun di Maluku untuk kemudian dijual di
pelabuhan-pelabuhan persinggahannya. Rempah-rempah dan beras mereka bawa
ke pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Malaka di mana harga komoditas tersebut
sangat mahal di tempat-tempat itu. Dari sinilah terbentuk akulturasi budaya yang
terbentuk antara pedagang Makassar sendiri maupun pedagang dari Jawa, Malaka
dan lainnya.
16
Christian Pelras, “Petualangan Orang Makassar di Ayuthia (Muang Thai) Pada Abad
ke-XVII”, Jurnal Masyarakat Indonesia. Th. Ke-IX, No.2 (1982), hal. 209.
67
Dan transaksi perdagangan yang dilakukan ketika itu pun pada umumnya
secara barter. Keramik ditukar dengan produk-produk setempat baik berupa
rempah-rempah, beras, kain atau kayu cendana yang kemudian mereka jual
kembali kepada pedagang asing dengan harga yang jauh lebih mahal. Penukaran
secara barter juga didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan
antara kedua belah pihak.
C.2. Pedagang Cina
Pedagang Cina merupakan sebuah komunitas yang dapat membangkitkan
semangat kerja bagi pertumbuhan kota-kota dagang Nusantara. Banten atau
Batavia, contoh dua kota yang semasa dengan kebangkitan Makassar, adalah kota-
kota dagang yang perkembangannya termotivasi oleh kehadiran pedagang-
pedagang Cina. Pertumbuhan kota-kota dagang yang kelihatannya sangat
fenomenal itu, memberikan rangsangan alamiah bagi penguasa-penguasa lokal
lain di Nusantara untuk tidak mengeluarkan kebijakan terlalu protektif bagi
pedagang asing. Prinsip perdagang bebas yang berlaku hampir diseluruh kerajaan-
kerajaan Nusantara sebelum kedatangan bangsa Eropa, adalah aspek penting yang
mempercepat proses perkembangan tersebut. Dan, pedagang Cina memanfaatkan
suasana kebebasan itu dengan penuh semangat, jiwa kapitalisme yang sudah
terpatri dalam sanubari mereka mendapat tempat yang nyata.
Orang-orang Cina yang telah membangun jaringan perdagangan ketika
ekspedisi-ekspedisi itu dilangsungkan, memanfaatkan koneksitas yang sudah
terbentuk sebelumnya dengan pedagang-pedagang pribumi. Poros hubungan yang
sudah terbangun ini memungkinkan mereka untuk melakukan ekspedisi usaha
68
dengan mendatangkan berbagai komoditas sesuai permintaan pasar. Di sinilah
keramik-keramik itu mulai dibawa berlayar hingga pada suatu masa tertentu,
pedagang-pedagang pribumi juga mencoba menerobos rintangan ketergantungan
terhadap pedagang Cina untuk mendatangkan keramik-keramik tersebut.
Sejak permulaan abad ke-XVII orang-orang Cina merupakan kelompok
yang mulai memainkan peranan penting dan menjadi kukuh ketika di tahun 1618,
mereka secara resmi membuka kantor perwakilan dagangannya di Somba Opu.
Namun menjelang dekade kedua dalam abad ke-XVII, orang-orang Belanda,
Inggris, Spanyol dan Denmark yang juga telah membuka kantor dagangnya di
Somba Opu muali berhasil menjalin kerjasama dengan penduduk Cina yang
menetap, yang memungkinkan mereka berpartisipasi dalam perdagangan melalui
pengumpulan barang-barang lokal yang ditukarkan dengan tekstil.17
Pedagang Cina datang dengan memanfaatkan pengaruh angin musim utara
pada bulan Januari dan tiba pada bulan Februari. Jung yang digunakan biasanya
bertipe besar yaitu yang-ch’uan untuk pelayaran samudera, yang dapat membawa
lebih dari 100 orang, baik awak kapal maupun penumpang, yang bermuatan
sekitar 400 last atau sekitar 800 ton.18
Kapal-kapal dagang ini pun dilengkapi
dengan persenjataan terbatas berupa meriam, senjata ringan, pedang, mata panah
serta mesiu. Ada kemungkinan kenapa kapal ini dipersenjatai karena adalah untuk
menjaga serangan bajak-bajak laut yang beroprasi disepanjang perairan Laut Cina
Selatan, dan juga adanya kekhawatiran adanya awak kapal akan melakukan
17
Effendy A.R. Muslimin, Perdagangan Keramik Di Nusantara (Makassar: Indobis,
2002). Hal. 114. 18
Ada empat jenis jung Cina dengan berbagai ukuran dan fungsinya. Chan-ch’uan (Jung
untuk kepentingan perang), shang ch’uan (Jung untuk kepentingan pelayaran perdagangan pantai),
yu-ch’uan (perahu nelayan), dan yang ch’uan (Kapal bertipe besar yang dipergunakan untuk
kepentingan pelayaran samudera dengan bobot mati 200 sampai 800 ton).
69
perompakkan terhadap kapal-kapal mereka sendiri. Perdagangan yang dilakukan
dengan kapal-kapal yang dipersenjatai ini (armed trade) sesungguhnya
merupakan ciri sistem perdagangn di Lautan Hindia, termasuk Nusantara pada
masa itu.
Keramik yang diangkut dalam jung-jung tersebut dikemas dalam sebuah
kotak persegi yang diatur susunannya berdasarkan harga masing-masing barang.
Sedangkan keramik berukuran besar seperti tempayan, dibungkus terpisah dengan
keramik lain. Di wilayah teritori Makassar, para pedagang Cina ini tidak
diperkenankan melakukan pelayaran ke kepulauan di bagian selatan atau timur
sehingga harus menunggu di bandar Somba Opu (antara Februari-Juni) sambil
menanti pedagang dan pelaut yang membawa produksi permintaan mereka.
C.3. Pedagang Melayu
Selain pedagang Cina, pedagang asing lain yang juga membangun jaringan
kerjasama perdagangan di wilayah ini adalah orang-orang Melayu.19
Kepastian
mengenai permulaan orang-orang Melayu mulai mengambil bagian dalam
perdagangan Makassar masih samar-samar, dan banyak pihak memperkirakannya
sekitar pertengahan abad ke-XVI.
Perdagangan orang Melayu yang meningkat sejak dasawarsa pertama abad
ke-XVII, dimulai ketika mereka mengekspor komoditas dari wilayah itu dengan
menggunakan sebuah kapal ke Cina untuk diperdagangkan di sana. Tidak banyak
referensi mengenai pedagang-pedagang Melayu yang melakukan perdagangan di
Makassar tetapi apabila kita flashback kita mengetahui bahwa orang-orang
19
Orang-orang Melayu yang dimaksud di sini adalah suku bangsa yang berbahas Melayu,
beradat istiadat Melayu, dan beragama Islam yang berasal dari Pahang, Patani, Cmpa,
Minangkabau, dan Johor yang pola kehidupannya berorientasi pada kelautan.
70
Melayulah yang pertama kali menyebarkan agama Islam di kepulauan Sulawesi
ini khususnya Kerajaan Gowa, dan raja yang pertama kali memeluk agama Islam
di sana adalah I Mangarangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin), peristiwa
pengislaman itu berlangsung pada tanggal 22 september 1603 / 9 Jumadilawal
1015 H.
Tidak lepas dari pemberitaan ini dapat disimpulkan oleh penulis bahwa
sebenarnya sejak sebelum kerajaan Gowa memeluk agama Islam, disana telah
terdapat orang-orang Melayu yang datang untuk berdagang dan juga berdakwah
ketika itu bahkan mungkin sebelum bangsa Cina, dan Eropa datang ke Makassar,
mereka (orang Melayu) telah tinggal dan menetap di Makassar. Dan salah satu
sumbangan terpenting orang-orang Melayu dalam dinamika sejarah Makassar,
selain dalam bidang perdagangan dan agama, adalah di bidang politik dan
kebudayaan.
C. 4. Pedagang Belanda-Inggris dan Eropa
Setelah bangsa Potugis, datanglah orang-orang Belanda yang mewarisi
aspirasi-aspirasi dan strategi Portugis. Orang-orang Belanda membawa organisasi,
persenjataan, kapal-kapal, dan dukungan keuangan yang lebih baik serta
kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama. Bahkan motifnya lebih
terdorong oleh mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam perdagangan
daripada upaya penyebaran agama seperti apa yang pernah dibawa oleh bangsa
Portugis ketika berdagang di Makassar.
Maskapai dagang VOC dan EIC merupakan dua oraganisasi dagang yang
memainkan peranan penting dalam kancah perdagangan Nusantara sejak
71
pertengahan abad ke-XVII. Dorongan utama kedua badan dagang raksasa dari
Belanda dan Inggris ini adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya dari perdagangan rempah-rempah, dan komoditas lain, seperti keramik
yang belakangan sangat laku di pasaran Eropa.
Pola utama perdagangan VOC dan EIC dikendalikan melalui sistem
administrasi perdagangan yang ketat dan teratur, yang terlepas sama sekali dari
sistem kepegawaian kerajaan. Sistemini dijalankan oleh sebuah kelompok yang
bertumpu pada jenjang pekerjaan ”koopman” (pedagang). Dan untuk mencapai
posisi pedagang biasanya dimulai dari ”onderkoopman” (calon pedagang), dan
posisi puncak dari keseluruhan sistem ini adalah ”opperkoopman” atau pedagang
besar.20
Arsip-arsip Belanda tentang perdagangan Makassar abad ke-XVII hanya
mencatat beberapa hal saja mengenai kebijakan politik Gubernur Speelman di
wilayah kekuasaannya (onderhorighen).21
Seperti telah dikatakan, bahwa pelelangan keramik Cina di Middleburg
dan Amsterdam menghasilkan keuntungan yang besar bagi VOC sehingga
memberi dorongan kuat bagi maskapai dagang itu untuk mengadakan ekspansi ke
wilayah produksi. Dengan motif untuk memperoleh keuntungan, Belanda
berusaha dengan berbagai cara untuk dapat memasok keramik secara
berkesinambungan dari tempat asalnya, Cina. Untuk tujuan itu Belanda mencoba
membuka kantor dagangnya di Formosa pada tahun 1624. pada waktu itu
Formosa bukan merupakan wilayah Cina, namun setiap pedagang Cina yang
datang diperbolehkan untuk berdagang di sana. Formosa kemudian berkembang
20
R.Z. Leirissa., G.A. Ohorella dan Yudi B. Tangkilisan, Sejarah Perekonomian
Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996). Hal. 41. 21
ANRI: Arsip Makassar (No. 123/1) berupa Makassar Bijlagen Resolutie, dan Notitie
van Speelman 1669 Memorie van overgave (catatan Serah terima jabatan).
72
menjadi salah satu pusat terpenting bagi jaringan distribusi dagang VOC terutama
ke Batavia. Nah, melalui pelabuhan Batavia lah keramik-keramik tersebut
disalurkan ke Kepulauan Indonesia, Eropa, dan kawasan Asia lainnya. Namun
hanya berselang sekitar tigabelas tahun kemudian (1657) volume ekspor keramik
Belanda dari Cina mulai menurun bahkan terhenti sama sekali, ketika Cheng
Ch’eng-kung melarang pedagang-pedagang Belanda untuk memasuki wilayah
perairan Cina. Ternyata larangan ini mengundang reaksi keras dari pemerintah
Belanda. Dan untuk menghindari terjadinya stagnasi dalam perdagangan, maka
Belanda mulai mengalihkan perhatiannya ke Jepang dan Persia.
Penghamparan historis dinamika perdagangan keramik oleh VOC,
memperlihatkan bahwa barang-barang tersebut tidak semata-mata diekspor untuk
memenuhi kebutuhan pasaran Eropa, tetapi juga didistribusikan bagi kepentingan
berbagai wilayah Indonesia termasuk Makassar. Di Makassar sendiri VOC telah
merebut hegemoni perdagangan keramik sekitar dasawarsa kelima abad ke-XVII.
Mereka membuka kantor perwakilan dagangnya tahun 1607 dan John Jourdan
diangkat sebagai pimpinannya, serta mulai memlihara hubungan politik dan sosial
dengan masyarakat sekelilingnya. Sementara Inggris menyusul sekitar tahun
1613. perdagangan mulai berjalan secara reguler dengan dukungan sistem
administrasi perdagangan yang teratur.
Di Makassar keramik-keramik yang dibawa oleh pedagang-pedagang
Belanda dari Cina, sementara disimpan lebih dahulu di kantor perwakilan
dagangnya atau langsung didistribusikan langsung kepada agen-agen mereka.
Perdagangan dijalankan dengan pola yang umum berlaku di berbagai pelabuhan
dagang Nusantara. Jual beli dilakukan dengan menggunakan picis (sejenis mata
73
uang lokal) dan barter atau kredit. Kalau dilihat dari perspektif global mengenai
perdagangan Makassar dalam konteks hubungannya dengan VOC dan EIC, maka
kita akan menemukan dua hal penting yang kelihatannya bersifat simbiosis di satu
sisi, namun pada sisi lain bersifat kontrafaktual. Pertama, perdagangan VOC-
Makassar tidak terjadi saling ketergantungan karena Makassar tidak memiliki
”hinterland” yang memadai kecuali Maros dan Pangkajene di bagian utara;
Takalar, Bantaeng dan Bulukumba pada bagian selatan yang merupakan
penyuplai utama kebutuhan pangan, tidak cukup memberi kontribusi bagi VOC
untuk mengeksploitasi wilayah ini.makassar juga tidak mempunyai hasil bumi
yang bisa diandalkan untuk pasaran internasional, serta posisinya lebih dari
sekedar pelabuhan transito bagi pelayaran antara Barat dan Timur (khususnya
daerah produksi rempah-rempah, tekstil dan kayu cendana). Kedua, kehadiran
VOC ternyata membawa perubahan sosial yang mencolok yaitu munculnya istilah
”penguasa pedagang”.22
C. 5. Pedagang Arab dan India
Mengenai riwayat hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara
(khususnya Makassar) terutama kita tahu dari kisah perjalanan spiritual
Muhammad Yusuf Al-Maqassari (1627-1699) atau yang lebih dikenal sebagai
Syeikh Yusuf ke Timur Tengah dalam abad ke-XVII. Tavernier, pengembara
Prancis yang mengunjungi Makassar pada tahun 1660, menceritakan bahwa ketika
raja Makassar sedang mempertimbangkan untuk masuk Islam, ia juga didekati
seorang Jesuit Portugis agar masuk Kristen. Penguasa Makassar ini dilaporkan
22
Effendy A.R. Muslimin, Perdagangan Keramik Di Nusantara (Makassar: Indobis,
2002). Hal. 142.
74
bersedia meninggalkan kepercayaannya kepada berhala jika ”orang-orang
Mohammedan” dapat mengirimkan kepadanya dua atau tiga ”moullah” atau
”doktor” paling cakap dari Makkah, atau orang Kristen dapat mengirimkan orang
Jesuit paling ahli, sehingga ia diberi pengajaran tentang kedua agama ini.
Selanjutnya Tavernier menulis; ...dalam waktu delapan bulan, mereka (kaum
Muslim) mengirim dari Makkah dua ”Moullah” ahli; sehingga ketika Raja
Makassar melihat bahwa orang-orang Jesuit tidak ada yang datang kepadanya,
maka ia segera memeluk Islam.23
Mengenai produk apa yang dijual oleh pedagang-pedagang Arab dan
Timur-Tengah ini tidaklah jelas. Tapi ada juga keterangan yang memberitakan
bahwa para pedagang Arab ini memperdagangkan hasil bumi seperti rempah-
rempah, hasil hutan, hasil tambang, dan hasil pertanian.24
23
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan,
1995). Hal. 56-57. 24
Ibid.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab terdahulu yang telah menjelaskan
mengenai tahap-tahap berkembangnya Kerajaan Gowa dalam perniagaan abad
XVII, maka dapatlah diketahui bahwa berkembangnya Kerajaan Gowa sebagai
salah satu pusat perdagangan dan transito di Nusantara diakibatkan oleh peran
Kerajaan Gowa yang turut bermain dalam pengembangan perdagangan.
Kemunculan Kerajaan Gowa sebagai bandar besar yang turut serta dalam
percaturan perdagangan di Nusantara baru dimulai setelah Raja Gowa ke- IX,
Karaeng Tumaparissi Kallonna (1510-1546), membuat kota raja di Benteng
Somba Opu. Namun nama Makassar sesungguhnya telah dikenal sejak abad ke-
13. Dugaan itu didasarkan atas faktor Internal dan faktor eksternal. Faktor internal
sendiri terdiri atas tiga hal. Pertama, sebelum masa pemerintahannya, istana raja
dan pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang
terletak jauh dari wilayah pantai (kurang lebih 6 km). Hal ini dipandang sebagai
faktor yang menunjukkan bahwa kerajaan itu berorientasi ke dunia agraris.
Kedua, raja ini yang mengawali pemindahan istana dan pusat
pemerintahan ke Benteng Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara
sungai Je’ne berang, wilayah Somba Opu ini yang dijadikan sebagai Bandar niaga
kerajaan itu, sehingga dipandang sebagai awal kerajaan terlibat dalam dunia
niaga.
76
Terakhir pada masa pemerintahannya baru dikenal adanya jabatan
syahbandar yang bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak perdagangan di
pelabuhan. Faktor eksternalnya sendiri terdiri atas beberapa hal diantaranya yakni,
Pertama, adalah letaknya yang strategis karena posisinya berada di tengah-tengah
dunia perdagangan. Dan Kedua, adanya intervensi bangsa Eropa dalam dunia
niaga yang telah memberikan peluang bagi para pedagang dipusat niaga yang
mengitarinya dan mengalihkan kegiatan mereka ke Makassar. Dan juga
perkembangan Makassar menjadi sebuah pusat perdagangan di Nusantara
dikarenakan adanya interaksi perdagangan seperti beras, hewan ternak, keramik,
budak, lada serta rempah-rempah yang telah memicu Makassar menjadi Kerajaan
maritim di Indonesia bagian Timur. Dengan adanya komoditas-komoditas tersebut
maka Makassar khusunya Kerajaan Gowa cukup dikenal oleh khalayak ramai
tidak hanya di Asia tetapi juga sampai ke Eropa.
Raja mengembangkan perdagangan di Kerajaan Gowa dengan cara
melakukan politik ekspansi ke pedalaman dan juga dengan berupaya memberikan
keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang. Politik ekspansi ke pedalaman ini
berfungsi tidak hanya sebagai perluasan wilayah, tetapi juga di manfaatkan untuk
mencari wilayah sokongan baru penghasil komoditi perdagangan. Selanjutnya,
keamanan dan kenyamanan yang telah diberikan oleh kerajaan Gowa kepada para
pedagang agar transaksi perdagangan berjalan lancar juga telah menjadi pemicu
pesatnya perdagangan di Makassar.
Ditambah juga dengan kepemimpinan Raja Gowa yang memerintah dari
tahun 1593-1639 (Sultan Alauddin), 1639-1653 (Sultan Malikussaid), 1653-1669
(Sultan Hasanuddin), inilah raja-raja yang mampu mengembangkan dan
77
mempertahankan kejayaan serta ke eksistensiannya dari pengaruh luar, khususnya
orang Eropa walaupun pada masa Sultan Hasanuddin sedikit mengalami
kegoncangan dalam perdagangan namun tidak menyurutkan cita-cita Kerajaan
Gowa untuk tetap menjadi pelabuhan perdagangan Internasional maupun hanya
sebagai transito para pedagang dari seluruh Nusantara.
78
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: Rosda, 1999.
_____________, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nunsantara:
Mizan, Jakarta, 1999.
B, Adrian, Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17,
Depok: Komunitas Bambu, 2008.
_____________, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2008.
Burger, D. H. Sejarah Ekonomis Sociologis, Jakarta: Pradnyaparamita, 1956.
Cense, A.A. dan H.J. Heeren, Pelajaran dan Pengaruh Kebudajaan Makassar-
Bugis di Pantai Utara Australia, Djakarta: Bhratara, 1972.
Dg. Abdurrazak, Patunru, Sejarah Gowa, Ujung Pandang: YKSS, 1983.
Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and
Commodities in Eighteenth-Century Makassar, Leiden: KITLV, 2004.
Gerrit J. Knaap, Shallow waters, rising tide; Shipping and trade in Java around
1775, Leiden: KITLV, 1996.
Hall, Kenneth R., Maritime Trade and State Development in Early Southeast asia,
Honolulu: University of Hawai Press, 1985.
Hamid, Pananrangi. Sejarah Daerah Gowa, Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah
dan Niali Tradisional, 1990.
Hamonic, Gilbert. Studi Perbandingan Kosmogoni Sulawesi Selatan tentang
Naskah Asal-Usul Dewata-dewata Bugis: Citra Masyarakat Indonesia,
Jakarta: PT. Sinar Harapan-Archipel, 1983.
79
Hamsjah Dg Mangemba, Kota Makassar Dalam Lintasan Sejarah, Makassar:
Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1972.
Kadir, Abd. Ahmad. Islam di Tanah Gowa, Makassar: Indobis Graphic Design,
2004.
Kartodirjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
_____________, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 sampai 1900 dari
Emporium sampai Imperium, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa , Jakarta : Balai Pustaka, 1984.
Leur, J.C. van, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic
history, Bandung :Sumur Bandung, 1960.
M. A. P. Meilink Roelofz, Asian Trade and European Influencein Indonesian
Archipelago Between 1500 and about 1630. The Hague, Martinus Nijhoff.
Mattulada, Latoa, Jogyakarta: Gajah Mada University Vers, 1985.
________, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Ujung Pandang:
Bhakti Baru-Berita Utama, 1982.
Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: DEPDIKBUD, 1995.
_______, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi-Selatan, Mobilitas Sosial Kota
Makassar 1900-1950. Jakarta: DEPDIKBUD Ditjarahnitra, 1984/1985.
Muslimin A.R. Effendy, Perdagangan Keramik Di Nusantara. Makassar:
Indobis, 2002
Muthahhari, Murtadha, Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan, 1992.
Pusponegoro, Nugroho Susantao dan Marwati Djoned, Sejarah Nasional
Indonesia, Jilid III dan IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
80
PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia, Jilid I: Pra Sejarah Hingga
17 Agustus 1945. Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga Di
Indonesia / PUSPINDO, 1990.
Poelinggomang, L. Edward. Makassar abad XIX: Studi Tentang Kebijakan
Perdagangan Maritim, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.
Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah
Angin, Terj-, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
_____________, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global
Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II, Terj-, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998.
Sagimun, M. D., Sultan Hassanudin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. Jakarta: Balai
Pustaka, 1992.
Schrieke, B. O., Indonesian Sociological Studies, Jilid I & 2, Bandung: The
Hague, 1955.
Sianipar, T. Obat dan mantera Peranan Dukun dalam Masyarakat Bugis-
Makassar, dalam Dukun Mantra Kepercayaan Masyarakat, Jakarta:
Grafikatama Jaya, 1992.
Soeminto, Aqip, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), 1985.
Stapel, F.W. Het Bongaais Verdrag, Leiden: Rijksuniversiteit Leiden, 1922.
Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Supratikno Rahardjo, Kota-Kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan Dan
Keruntuhan, Depok: Komunitas Bambu, 2007.
81
Sutherland, H. Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in
Eighteenth-Century Makassar, dalam Frank Broeze, (ed.) Brides of the
Sea: Port Cities of Asia from 16t –20
th Centuries, Kensington: New South
Wales University Press, 1989.
Vlekke, H. M., Bernard, NUSANTARA: Sejarah Indonesia, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2008.
Wasis, Widjiono, Ensiklopedia Nusantara, Mawar Gempita, 1989.
W.P. Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa, Terj-, Depok: Komunitas
Bambu, 2008.
Wiharyanto, A Kardiyat, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, Jogjakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2005.
Wolters, O.W, Early Indonesian, commerce :a study of the origins of Srividjaya,
New York :Cornell University Press, 1967.
Zuhri, Saefudin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya, Bandung:
Al-Ma’arif, 1981.
Artikel/Jurnal/Laporan Penelitian/
Andaya, Leonard Y., The Heritage of arung Palakka, A History of South Sulawesi
(Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: Martinus Nijhoff, 1981.
VKI, No. 91.
M. A. P. Meilink Roelofz, Asian Trade and European Influencein Indonesian
Archipelago Between 1500 and about 1630. The Hague, Martinus Nijhoff.
Nurhadi. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi
Selatan. 1985.
82
Sulistyo, Bambang. Perdagangan Bebas di Makassar pada Abad XIX : Tinjauan
Dari Dimensi Sosial dan Politik. 1970.
William Milburn, Oriental Commerce: Containing a Geographical Description
of the principal Places in The East Indies, China, and Japan, with their
Produce, Manifacture, and Trade. London, 1813.
Arsip Nasional Republik Indonesia-Jakarta
1666 (18 November) “Bongaisch Tractaat (contract van vreide
vrind in bond genootschaap tuschen de heer Cornelis Speelman
en den Paduka Sierie Sulthan Kaslan oudijn koning van
Macassar en descelfs”, bundel No. 273. dan “Geschiedkundig
overzigt van Celebes”, 1 band. Bundel No. 294.
Skripsi/Tesis/Desertasi Seminar
Abbas, Irwan. Bulan Sabit di Pulau Pinisi: Suatu Studi Kepustakaan Islam
Terhadap Masyarakat di Kerajaan Gowa 1605-1669. Tesis Fakultas
Pascasarjana UNM, Makassar: Universitas Negeri Makassar, 1991.
Darmawati A. Somba Opu dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan
Nusantara Abad XVII. Tesis Fakultas Pascasarjana UNM, Makassar:
Universitas Negeri Makassar, 2002.
Rasyid, Abd. Asba. Perdagangan di Makassar Pada Masa Akhir Kolonial
Belanda 1896 – 1958: Kapitalisme dan Kompetisi Perdagangan Dunia.
Disertasi Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 2002.
83
Gambar 1
Kepulauan Sulawesi1
1 Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka A History of South Sulawesi in The
(Celebes) Seventeenth Century, (VKI, The Hague – Martinus Nijhoff (Perpustakaan LIPI), 1981).
Hal. 198.
84
Gambar 2
Peta Pelabuhan Somba Opu Abad XVII2
2 M.D. Sagimun, Somba Opu. Ujung Pandang: Panitia Seminar Sejarah Perlawanan
Rakyat Sulawesi Selatan Menentang Penjajahan Asing (1975). Hal. 218.
85
Gambar 3
Pelabuhan Somba Opu (Makassar Tahun 1638)3
3 Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Expansion and
Crisis, Vol. II. (New Haven: London-YalleUniversity Press, 1993). Hal. 82-83.
86
Gambar 4
Pelabuhan Somba Opu (Makassar Tahun 1638)4
4 Anthony Reid, Indonesian Heritage Early Modern History, (Jakarta: Buku Antar
Bangsa untuk Grolier Internasional, Inc., 1996).
87
Gambar 5
Mata Uang Yang Beredar pada Abad XVII5
5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1990). Hal.
161.
88
Lampiran 1.a
Gambar 1
Perahu Dagang Eropa6
6 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999). Hal. 54
89
Lampiran 1.b
Gambar 2
Perahu Dagang China (Jung China)7
7 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999). Hal. 55.
90
Lampiran 1.c
Gambar 3
Gambar Perahu Pinisi8
8 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999). Hal. 56.
91
Lampiran 1.d.
Gambar 4
Perahu Dagang Jung Asia Tenggara
dan Perahu Dagang Melayu9
9 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999). Hal. 50.
92
Lampiran 1.e.
Gambar 5
Jenis Mata Uang Yang Beredar Pada Abad ke-XVII10
10
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I, (Jakarta: Gramedia, 1990).
Hal.161
93
Lampiran II
Silsilah Raja-Raja Gowa11
Daftar Raja-raja Gowa yang memerintah sampai sesudah peperangan antara Gowa
dan VOC.
I. TuManurunga ri Tamalate (1320-1345)
II. Tumasalangga Baraya (1345-1370)
III. I Puang Loe Lembang (1370-1395)
IV. I Tuniatabanri (1395-1420)
V. Karampang Ri Gowa (1420-1445)
VI. Tunatangka Lopi (1445-1460)
VII. Batara Gowa Tumenanga ri Parallakenna (1460)
VIII. I Pakereta Tunijallo ri Pasukki (1460-1510)
IX. Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi Tumaparrisi Kallonna
(1510-1546)
X. I Marioga Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng
(1546-1565)
XI. I Tajibarani Daeng Karaeng Data’Tunibatta (1565)
XII. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo
(1565-1590)
XIII. I Tepukaraeng Daeng Pirambu Karaeng Botolangkasa Tunipasulu
(1590-1593)
XIV. I Mangngarangngi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri
Gaukanna (memerintah 1593 -1639)
XV. I Mannuntungi Daeng Matola Karaeng Lakiung Sultan Muhammad
Said Tumenanga ri Papambatunna (memerintah 1639-1653)
XVI. I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Muttawang Karaeng
Botomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’pangka
(memerintah 1653 – 1669; lahir 12 januari 1631, wafat 12 juni
1670)
XVII. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah
Tumammalianga ri Allu’ (memerintah : 1669 – 1674)
XVIII. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
(1674-1677)
XIX. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul
Jalil Tuminanga ri Lakiyung (1677-1709)
XX. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu
(1709-1711)
11
Sagimun, M. D., Sultan Hassanudin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1992). Hal. 181.