KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

104
PERANAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Strata Satu (S1) (Dosen Pembimbing: Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA) Disusun Oleh Mualim Agung Wibawa NIM : 105022000844 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1431 H

Transcript of KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

Page 1: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

PERANAN KERAJAAN GOWA

DALAM PERNIAGAAN

ABAD XVII

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Meraih Gelar Strata Satu (S1)

(Dosen Pembimbing: Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA)

Disusun Oleh

Mualim Agung Wibawa

NIM : 105022000844

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1431 H

Page 2: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

PERANAN KERAJAAN GOWA

DALAM PERNIAGAAN

ABAD XVII

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh

Mualim Agung Wibawa

NIM. 105022000844

Dosen Pembimbing

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA

NIP. 195912221991031003

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H

Page 3: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ”PERANAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

ABAD XVII”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Januari 2011. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora

(S.Hum.) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 04 Januari 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd.

NIP: 195912221991031003 NIP: 197504172005012007

Anggota

Penguji Pembimbing

Drs. H. Azhar Saleh, MA Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA

NIP: 195810121992031004 NIP: 195912221991031003

Page 4: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 02 November 2010

Mualim Agung Wibawa

Page 5: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

i

ABSTRAKSI

Nama: Mualim Agung Wibawa (105022000844)

Judul : Kerajaan Gowa Dalam Perniagaan Abad XVII

Fokus perhatian studi ini adalah upaya untuk mengkaji dan

mengungkapkan secara deskriptif naratif mengenai faktor-faktor yang

menyebabkan Kerajaan Gowa pada abad XVII dapat berkembang menjadi Bandar

internasional, Bandar transit dalam dunia perdagangan nusantara.

Sejak masa pra-Kolonial, pelabuhan Makassar (Somba Opu) sudah dikenal

sebagai pintu ke kawasan timur Indonesia. Kota yang terletak di ujung selatan

pulau Sulawesi ini memiliki sejarah yang panjang sebagai Bandar niaga yang

kosmopolitan. Dasar-dasar kemajuan ekonomi Makassar pula tidak hanya faktor

strategis sebagai entrepot yang menghubungkan kawasan Laut Jawa, Selat

Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan Jaringan lokal lainnya serta

perdagangan jarak jauh dengan China, India, dan Eropa, tetapi juga sebagai

produsen komoditi perdagangan penting, terutama beras. Dan jangkauan

jaringannya telah mencapai hampir seluruh kawasan Nusantara, Australia Utara,

Kepupalauan Filipina, Makao, China, dan beberapa kota pelabuhan di

Semenanjung Malaya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi Somba Opu seperti letak

geografisnya yang sangat strategis terutama letak dan iklimnya menyebabkan

Kerajaan Gowa dapat berkembang dalam jaringan pelayaran dan perdagangan

hingga menjadi bandar internasional, bandar transito di abad XVII. Penyebab lain

adalah jumlah penduduknya yang terus meningkat dikarenakan raja

memperkenankan kepada pedagang-pedagang dari seluruh Nusantara dan asing

untuk tinggal dan menetap ataupun hanya berdagang di sekitar kerajaan Gowa

atau pelabuhan Somba Opu. Luas kota (wilayah), dan sifat pemerintah terhadap

para pedagang dan masyarakatnya yang senantiasa memberi perlindungan. Selain

itu didukung pula oleh sarana dan prasarana seperti pasar, bandar niaga, laut dan

alat transportasi laut. Pada akhir abad XVII yaitu pada tahun 1669 mengalami

kemunduran hal ini disebabkan oleh VOC yang memonopoli perdagangan dengan

mengembangkan prinsip laut tertutup (mare clausum).

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan agar para sejarawan

dapat meningkatkan perhatiannya dalam mengungkap fakta-fakta sejarah lokal

dari berbagai aspek sehingga gambaran kehidupan bangsa indonesia dan juga

aspek-aspek kemaritiman dapat terungkap secara menyeluruh dan utuh.

Page 6: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

ii

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji

syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada iman,

menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari

segala yang munkar.

Selanjutnya, selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang

penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu

semua ini tidak meyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan

kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan

Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S. Hum).

Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bpk. DR. H. Abd. Wahid Hasyim, M. Ag. Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan

seizinnya skripsi ini dapat dibuat dan diujikan.

2. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA., Ketua Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam, yang telah banyak membantu penulis dalam ke

Page 7: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

iii

akademikan dan yang telah dengan sabar serta teliti dalam memberikan

bimbingan kepada penulis.

3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban

Islam, yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis selama

proses penulisan skripsi ini.

4. Bapak DR. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag. Dosen Penasehat Akademik,

yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat selama penulisan.

5. Seluruh staff dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora,

khususnya dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

6. Staff perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan

Fakultas Adab dan Humaniora, perpustakaan Nasional Republik Indonesia

(PNRI), dan perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

serta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI Jakarta) yang telah

memberikan data referensi kepada penulis.

7. Kedua orangtua, ayahanda Ruhiyat dan Ibunda Rohyati, yang telah banyak

memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a restu yang tak

pernah putus beliau panjatkan, agar penulis dapat terus dan kuat untuk

menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang begitu

besar.

8. Kakakku, Enggalia Evriyanti Mulida, keponakanku Hanifah Putri, dan

adikku Ammar Muhammad Zakkiniya, yang telah memberikan do’a,

semangat, dan dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

Page 8: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

iv

9. Teman-teman seperjuangan SPI angkatan 2005, khususnya, yang telah

memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga dapat

terselesaikannya skripsi ini.

Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baik

Bapak/Ibu/Sdr/i mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa

skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan

saran yang membangun dalam rangka saling mengingatkan antara sesama

manusia untuk menuju kearah kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga

skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 18 Februari 2011

Rabiulawal 1432 H

Penulis

Page 9: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

v

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI……………………………………………………………………....i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………….......v

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN..........................................................vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................................6

C. Tujuan Penelitian.................................................................................................7

D. Tinjauan Kepustakaan.........................................................................................9

E. Metodologi Penelitian........................................................................................11

F. Sistematika Penulisan........................................................................................13

BAB II POTRET WILAYAH DAN MASYARAKAT GOWA

A. Letak Geografis.................................................................................................15

B. Demografis Masyarakat Gowa..........................................................................19

C. Kerajaan Gowa Pra-Islam..................................................................................20

D. Sistem Pemerintahan Pra-Islam........................................................................22

E. Sejarah Berdirinya Kerajaan Gowa...................................................................27

F. Perkembangan Kerajaan Gowa Pra-Islam.........................................................28

G. Islamisasi Kerajaan Gowa.................................................................................29

Page 10: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

vi

BAB III ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA

A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan...................................................34

B. Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan

dan Sistem Perdagangan....................................................................................39

C. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain.....................................44

D. Alat Transportasi Perdagangan.........................................................................51

BAB IV PERAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD

XVII

A. Peran Kerajaan Gowa dalam Jaringan Pelayaran

Dan Perdagangan Nusantara............................................................................55

B. Kebangkitan Emporium dan Kapitalisme Ekonomi..........................................59

C. Perdagangan Keramik Asing di Makassar........................................................61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................................75

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................78

LAMPIRAN I

LAMPIRAN 2

Page 11: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

vii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

ANRI : Asip Nasional Republik Indonesia

EIC : East India Company

ENI : Encyclopaedie van Nederlansch Oost-Indie

KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal-. Land en Volkenkunde

RIMA : Review of Indonesian and Malaysian Affaires

TBG : Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde

VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie

BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van de Koninklijk

Instituut

Page 12: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semangat bangsa Eropa untuk ke Asia dipengaruhi oleh berita Marco

Polo1. Menurut berita tersebut, dunia timur (Asia Tenggara) memiliki tanah yang

subur dan hasil rempah-rempah serta penduduknya ramah tamah, tanaman di

dunia timur tidak pernah mengalami musim gugur seperti di Eropa, karena itu

bangsa Eropa semakin terdorong dan berlomba-lomba mencari jalan ke Asia

Tenggara lewat samudera.

Orang Eropa yang pertama datang ke Indonesia adalah orang Portugis,

kemudian orang Spanyol, dan disusul oleh Belanda. Orang-orang Portugis datang

ke Indonesia mempunyai tiga motif yaitu petualangan, ekonomi, dan agama.

Sedangkan kedatangan orang-orang Belanda ke Indonesia mempunyai dua motif

yaitu ekonomi dan petualangan.2 Pada tahun 1595 perseroan Amsterdam untuk

pertama kalinya mengirim angkatan kapal ke Indonesia di bawah pimpinan

Cornelis de Houtman.3 Mereka mendarat di pelabuhan Banten, dan mereka

disambut baik oleh penguasa-penguasa Banten, karena maksud mereka hanyalah

untuk berdagang.

Pada abad ke-16 Aceh masih merupakan pelabuhan kecil, namun sudah

mulai disegani oleh tetangganya (Pidie dan Pasai) yang kemudian harus mengakui

1 A. Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, (Jogjakarta:

Universitas Sanata Dharma, 2005). Hal 94. 2 Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1992). Hal 45. 3 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium

sampai Imperium.( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993). hal. 70.

Page 13: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

2

keunggulannya. Tome Pires melaporkan bahwa pada waktu itu (sekitar 1512) aceh

memiliki 30-40 buah kapal berbentuk lancaran untuk keperluan maritimnya.

Suatu ketika Sultan Banten mendapat laporan bahwa nakhoda Belanda

dengan anak buahnya itu keluar masuk kampung penduduk dengan sikap kurang

ajar yang melukai perasaan penduduk. Sultan amat marah karena tamu tersebut

melanggar sopan santun sebagai orang asing yang tidak menghormati adat istiadat

serta keyakinan penduduk. Cornelis de Houtman dengan seluruh anak buahnya

ditangkap dan dimasukan ke dalam penjara. Akan tetapi kawan-kawannya yang

masih berada di kapal datang menghadapi Sultan dan memohon dibebaskannya

semua tawanan dengan sanggup membayar uang tebusan.4

Di situlah orang-orang Belanda memperlihatkan sikap “manisnya” seolah-

olah menunjukkan keinginannya untuk bersahabat dengan Banten. Mereka tidak

tergesa-gesa memperlihatkan wataknya yang sesungguhnya. Belanda

menanamkan kesan bahwa kedatangannya ke Banten semata-mata hendak

berdagang. Tetapi malang nasib yang dialami Cornelis de Houtman. Dalam

pelayarannya ketika menyinggahi Aceh, ia mati terbunuh.5

Pelayaran Belanda selanjutnya terjadi pada tahun 1598 yang dipimpin oleh

Jacob van Neck, Waerwijk, Heemskerck yang berlabuh di pelabuhan Banten,

mereka diterima baik oleh penguasa-penguasa Banten karena pada waktu itu

Belanda dapat menyesuaikan dirinya juga karena Banten baru mengalami

kerugian-kerugian akibat tindakan orang-orang Portugis.

4 Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya. (Bandung : Al-

Ma’arif, 1981). hal. 375-376 5 Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya. (Bandung : Al-

Ma’arif, 1981). Hal. 376.

Page 14: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

3

Untuk menyaingi pelayaran dan perdagangan dengan orang-orang Barat

itu maka Belanda mendirikan VOC. VOC merupakan serikat dagang Hindia

Belanda yang didirikan pada tahun 1602 sebagai suatu wadah koperasi bagi

pedagang Belanda yang sejak saat berdirinya membiayai semua usaha-usaha

perdagangan Belanda dan semua aktifitas politik Belanda di kepulauan

Indonesia.6 Didirikannya VOC (Verenigigde Oost Indische Compagnie) oleh

Belanda karena terdorong oleh persaingan hebat dengan bangsa Inggris, Portugis,

dan Spanyol.

Perkumpulan dagang Belanda (VOC) mengangkat Peter Both selaku

gubernur Jenderal untuk Timur, Asia (1609-1614). Jan Pieterzoon Coen, pegawai

perkumpulan dagang Belanda (VOC) yang diberi mandat sebagai gubernur

Jenderal di Indonesia bila berhasil menguasai nusantara. Jelas sekali, bahwa sejak

semula Belanda datang ke Indonesia bukan semata-mata hendak berdagang, tetapi

tujuan utamanya politik, atau tegasnya yaitu kolonialisme, penjajahan.

Persaingan antar Belanda dan Portugis telah melipat gandakan harga

pembelian lada, cengkeh dan pala dalam jangka waktu beberapa tahun yang

memang pada saat itu rempah-rempah sangat sulit untuk mereka dapatkan,

sedangkan perjalanan mereka untuk mendapatkan rempah-rempah ini memakan

waktu yang cukup lama dan juga sulit. Tapi bila dilihat secara ekonomis, Belanda

mempunyai kedudukan lebih kuat daripada Portugis.

Sebagaimana halnya dengan Banjarmasin, pelabuhan Makassar (Ujung

Pandang) pun pada masa Tome Pires belum memainkan peranan yang penting.

Mungkin pada waktu itu Sulawesi Selatan masih berada pada zaman peralihan

6 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa.( Jakarta : Balai Pustaka, 1984). hal. 63.

Page 15: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

4

ketika kekuatan orang Makassar yang sebelumnya berpusat di Siang (kini

Pangkajene Kepulauan) mulai menurun dengan munculnya kekuatan gabungan

Gowa dan Tallo yang kemudian memeperkembangkan Makassar sebagai

pelabuhan yang besar. Demikian pula dipantai Timur Sulawesi Selatan Kerajaan

Luwu mundur berangsur-angsur sehingga akhirnya kerajaan Bone berhasil

menjadi kekuatan Bugis yang terkemuka.7

Makasar dengan lokasi pelabuhannya yang baik sangat menarik sebagai

stasiun dalam pelayaran antara Maluku dan Malaka. Kemudian kemunduran

pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong perkembangan yang sangat pesat pada

abad XVII. Di sini di kota Makassar dan daerah di dekatnya, Gowa, telah aktif

dalam pelayaran dan perdagangan paling tidak dari awal abad ke-16.

Terletak di antara Jawa dan Maluku, kerajaan Makassar dan Gowa

menduduki posisi yang secara strategis sangat menguntungkan. Setelah penguasa

Makassar dan Gowa masuk Islam pada 1605, kekuatannya pun mulai menyebar

ke daerah-daerah lain di semenanjung Sulawesi bagian barat daya, pantai timur

Kalimantan dan sebagian Kepulauan Sunda Kecil, khususnya di pulau Sumba dan

Sumbawa. Raja-rajanya memaksa penguasa Buton (lepas pantai Sulawesi bagian

tenggara) untuk mengalihkan pengakuan kedaulatannya dari Ternate ke Gowa.

Portugis, yang terusir dari sebagian besar Maluku, menjadikan Makassar kantor

pusat mereka untuk perdagangan rempah.

Para sultan Makassar, walaupun mereka Muslim, mengikuti kebijakan

dengan hati-hati terhadap orang Eropa, dan menyatakan bahwa mereka ingin tetap

netral dalam perang antara Belanda dan Portugis. Mereka menolak kedua belah

7 Dewan Redaksi / Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia, Jilid

I: Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945, (Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga Di

Indonesia / PUSPINDO, 1990). Hal. 47.

Page 16: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

5

pihak itu untuk membangun pos dagang berbenteng di wilayah mereka. Portugis,

yang merasa aman di bawah perlindungan sang Sultan, dengan rela tunduk pada

semua peraturannya. Orang Belanda mendirikan ”lodge”, yaitu kantor dagang di

Makassar tapi karena menggunakan cara yang kasar dalam mengahadapi beberapa

pengutang dari kota itu, maka merekapun mendapat kemarahan Sultan. Dari sejak

itu sampai 1667, Makassar tetap menjadi pusat oposisi terhadap orang Belanda.

Portugis, Inggris, dan bahkan Denmark berdagang dari pelabuhan itu, di situ

perdagangan berlangsung marak.

Pada abad ke tujuh belas, Makasar sudah merupakan bandar dan

pelabuhan yang ramai di Indonesia bagian timur, kota ini sangat penting artinya

terutama dalam perdagangan hasil bumi yang pada waktu itu sangat digemari dan

sangat dibutuhkan oleh dunia. Letaknya sangat strategis dan baik sekali ditengah-

tengah lalu lintas perdagangan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian

timur.

Tidaklah mengherankan jikalau kerajaan Gowa mendapat perhatian yang

besar sekali dari orang-orang asing. Orang-orang Eropa seperti orang Portugis,

orang Spanyol, orang Inggris, dan juga orang Belanda yang berusaha mencari

hubungan dan ingin bersahabat dengan raja Gowa.8

Orang-orang Belanda ketika datang ke Indonesia pada mulanya tidak

menaruh perhatian kepada kerajaan Gowa yang terletak di kaki barat Sulawesi

Selatan. Belanda pada mulanya dalam perjalanan ke timur sesudah berangkat dari

pelabuhan-pelabuhan Jawa, mereka meneruskan perjalanannya ke Maluku.

Tentang pentingnya kerajaan Gowa baru diketahui setelah mereka merampas

8 M. D. Sagimun, Sultan Hasanuddin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. (Jakarta. Balai

Pustaka, 1992). Hal. 87.

Page 17: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

6

kapal Portugis di dekat perairan Maluku yang ternyata memiliki seorang awak

Makasar.

Dari orang Makasar mereka mengetahui bahwa pelabuhan Gowa

merupakan transito dari kapal-kapal yang berlayar dari atau ke Maluku. Dari

keterangan-keterangan ini Belanda dapat menarik kesimpulan bahwa pelabuhan

Gowa sebenarnya sangat baik karena terletak antara Malaka dan Maluku.9

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembentukan Gowa sebagai kota perdagangan, tidak dapat dipahami tanpa

pengetahuan tentang kehidupan perniagaan penduduk Sulawesi Selatan dan posisi

Makassar dalam peta perdagangan Nusantara baik pada masa Kerajaan maupun

masa pemerintahan Hindia Belanda. Tampilnya Kerajaan Gowa sebagai kerajaan

perdagangan tidak dapat dipisahkan dari posisi Makassar yang secara Geografis

sangat strategis di tengah jaringan pelayaran Nusantara dan Asia Tenggara.

Ruang lingkup penelitian ini bersifat ekonomi, topik utama yang akan

dianalisis dalam penelitian ini, secara khusus terfokus pada hal-hal yang bertalian

dengan perdagangan, seperti komoditi perdagangan berupa barang ekspor dan

impor, alat transaksi dan pelaksanaan perdagangan.

Untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini,

maka penulis membatasi pembahasan pada “PERANAN KERAJAAN GOWA

DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII”.

9 Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1992). Hal. 79.

Page 18: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

7

Untuk memahami pertumbuhan kota Makassar perlu adanya penelusuran

sejarah bandar ini. Beberapa pertanyaan dapat diajukan sebagai permasalahan,

yaitu:

1. Sejak kapan Kerajaan Gowa berperan dalam percaturan perdagangan

Nusantara?

2. Faktor-faktor apakah yang mendukung Kerajaan Gowa menjadi Bandar

Perniagaan?

3. Jenis-jenis Komoditas apakah yang diperjualbelikan di Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Selama ini penelitian sejarah banyak terpusat di Jawa mungkin karena

sumber-sumbernya lengkap. Di wilayah-wilayah luar Jawa belum banyak diteliti

memang karena sumber-sumbernya kurang. Sekarang tiba waktunya untuk

mengusahakan penelitian sejarah di luar Jawa perlu dikembangkan, sehingga

gambaran sejarah nasional menjadi makin lengkap, disamping untuk

mengimbangi penelitian sejarah Jawa. Oleh karena itu studi sejarah lokal di luar

Jawa seperti pengkajian sejarah Kerajaan Gowa ini sangat penting artinya

terutama dalam rangka penelitian sejarah Indonesiasentrisme.

Dipilihnya kajian ini, karena dapat dikatakan bahwa rentang waktu abad

ke XVII yang oleh Anthony Reid disebut sebagai The age of Commerce

merupakan periode yang dinamis, yang memperlihatkan besarnya pengaruh

internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan internal adalah terjadinya

perkembangan kerajaan Gowa setelah bersatu dengan kerajaan Tallo dan adanya

konflik intern dalam perebutan hegemoni antara kerjaaan Gowa dengan kerajaan

Page 19: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

8

Bone. Sedangkan pengaruh eksternal adalah adanya konstelasi pertikaian dan

perebutan hegemoni antara kekuatan perdagangan Portugis dengan perdagangan

Belanda, serta terjadinya pergeseran jalur pelayaran dan Jaringan perdagangan

dari Jawa Timur ke Makassar.10

Kondisi ini sangat berpengaruh pada penetapan

dan pengembangan jaringan perdagangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang

mendukung terbentuknya Kerajaan Gowa sebagai Bandar Niaga pelabuhan

Maritim. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami hubungan

antara kota pelabuhan dengan perkembangan kebudayaan sebagai akibat interaksi

antar bangsa yang menyertai kegiatan perdagangan. Penulisan skripsi ini

mempunyai tujuan umum, yaitu:

1. Menambah wawasan intelektual khususnya wawasan kesejarahan, terkait

sejarah Nusantara. Khususnya mengenai Kerajaan Gowa dalam perniagaan

di Nusantara abad XVII.

2. Mengungkapkan sistem perdagangan, sistem pengelolaan pelabuhan, jenis

komoditas yang diperjualbelikan, dan faktor-faktor yang mendukung

Kerajaan Gowa sebagai kota niaga maritim.

3. Untuk menyumbang hasil karya penelitian mengenai Kerajaan-kerajaan

Islam di Nusantara abad XVII di Perpustakaan, khususnya perpustakaan

utama UIN Syarif Hidayatullah, dan perpustakaan Fakultas Adab dan

Humaniora.

10

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Terjemahan), (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1995). Hal. 103.

Page 20: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

9

D. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Seperti telah diungkapkan pada halaman sebelumnya, penulisan sejarah

Nusantara khusunya di luar pulau Jawa masih sangatlah minim. Namun ada

beberapa sejarahwan asing dan lokal yang telah melakukan penelitian tentang

daerah Makassar. Sumber lokal penting bagi kajian Makassar khususnya Kerajaan

Gowa adalah Naskah Perjanjian Bongaya “Bongaas CH Verdrag, 18 November

1667”11

yang merupakan salah satu koleksi dari Arsip Nasional Republik

Indonesia; “Lontara’ Patturioyoloanganna ri tu-Gowaya”, milik: Arsip Nasional

Republik Indonesia. Naskah maupun Lontara ini merupakan salah satu sumber

lokal yang memuat cerita tentang sejarah awal kerajaan-kerajaan di Makassar.

Meskipun berbentuk naskah dan lontara’ yang kebenarannya sulit untuk

dibuktikan. Nilai yang dapat diambil dari sumber tersebut, penulis berpendapat

bahwasannya lontara ini bisa memberikan cerminan kehidupan bermasyarakat,

berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang menitik beratkan

untuk kesatuan dan persatuan bangsa.

Tulisan lain tentang Makassar juga telah dilakukan oleh A. Makkarausu

Amansyah dalam bingkisan tahun I/20, dengan judul, Imangngakrangi Daeng

Manrabbia Karaeng Somba ke XIV, dalam bingkisan ini banyak memberikan

gambaran tentang konstalasi politik Tumapa’risi Kallonna yang dianggap unggul

dalam ekspansi territorial. Pada sumber ini penulis berpendapat bahwa kehidupan

11

(18 November) “Bongaisch Tractaat (contract van vreide vrind in bond genootschaap

tuschen de heer Cornelis Speelman en den Paduka Sierie Sulthan Kaslan oudijn koning van

Macassar en descelfs”, (bundel No. 273. dan “Geschiedkundig overzigt van Celebes”, 1 band.

Bundel No. 294. 1666).

Page 21: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

10

berpolitik sangatlah penting untuk menjalin persahabatan dan juga persaudaraan

antar bangsa serta dapat pula memajukan perekonomian suatu bangsa.

J.C. Van Leur dalam bukunya yang berjudul “Indonesian trade and society

Lessays in asian social and economic history”12

telah memberikan informasi

tentang situasi dan kondisi ekonomi dan perdagangan di Nusantara yang sudah

sejak dulu melakukan hubungan interaksi dengan bangsa asing khususnya

Belanda (VOC). Buku ini banyak memberikan gambaran mengenai produk-

produk yang diperjualbelikan terutama pada abad XVII di Nusantara dan

khususnya di kepulauan Sulawesi Selatan yang ketika pada masa kejayaan

Kerajaan Gowa mempunyai peranan yang sangat penting dalam perdagangan dan

pelayaran di wilayah Indonesia bagian timur.

Sejarah Makassar pada abad XVII, pernah dtulis oleh Darmawati A.

Dalam tesisnya “Somba Opu Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan

Nusantara Abad XVII.13

Tulisan ini berisikan tentang bagaimana perdagangan

rempah-rempah yang meningkat pada abad XVII berpengaruh terhadap kondisi

politik Kerajaan Gowa. Di dalam tesis ini dijelaskan mengenai perdagangan

rempah-rempah yang sangat popular ketika itu, yang mana rempah-rempah pada

waktu itu sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa dan juga Asia lainnya. Bahkan

harganya lebih mahal dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti keramik,

beras, lada, dan lain sebagainya.

12

J.C. Van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic

history, (Bandung : Sumur Bandung, 1960). Hal. 403-404. 13

Darmawati, A. Somba Opu Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Nusantara

Abad XVII (Tesis Fakultas Pascasarjana UNM, Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2002).

Hal. 17-18.

Page 22: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

11

E. METODOLOGI PENELITIAN

Penulisan sejarah merupakan hasil rekonstruksi imajinatif terhadap masa

lampau dengan melalui suatu proses intelektual pada metode-metode sejarah.

Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan multi-dimensional.

Dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional diharapkan dapat

memberikan gambaran sejarah menjadi lebih bulat dan menyeluruh sehingga

dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Karena hubungan antara suatu

aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.14

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode Deskriptif

naratif. Disini penulis berusaha mendeskripsikan dan atau menggambarkan suatu

peristiwa atau kondisi yang terjadi di Nusantara sekitar abad XVII yang telah

membawa pengaruh kepada perkembangan perdagangan di Kerajaaan Gowa.

Tujuannya adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan

objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memperifikasi serta

mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan

yang kuat. Adapun langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut :

Heuristik.Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan menemukan dan

menghimpun sumber, informasi, serta jejak-jejak masa lampau. Sumber yang

penulis temukan dalam tahapan Heuristik ini adalah sumber tertulis, sumber

tertulis dibagi ke dalam dua bagian yaitu, sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer adalah, sumber yang keterangannya diperoleh secara langsung dari

orang yang menyaksikan peristiwa secara langsung dengan mata kepalanya

sendiri. Sumber sekunder adalah, sumber yang keterangannya diperoleh dari

14

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992). Hal. 87.

Page 23: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

12

orang yang tidak menyaksikan peristiwa secara langsung. Dalam usaha

mendapatkan data dengan metode ini, penulis melakukan kunjungan ke beberapa

perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Perpustakaan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia (PNRI) dan juga ke Arsip Nasional Indonesia (ANRI) untuk

mendapatkan arsip-arsip Belanda, ataupun tempat-tempat lain yang dapat penulis

manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan

pembahasan skripsi ini. Baru setelah itu, data-data dihimpun dan diseleksi guna

dijadikan sebagai rujukan utama dalam upaya penulis mendeskripsikan tentang

tema yang telah penulis angkat.

Kritik. Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan meneliti sumber

informasi secara kritis. Sumber yang telah ditemukan melalui tahapan Heuristik

itu diuji lebih lanjut, pengujian itu dilakukan melalui kritik. Baik kritik intern

maupun kritik ekstern.

Interpretasi. Tahapan ini merupakan tahapan menafsirkan fakta-fakta serta

menetapkan makna yang saling berhubungan dari mulai fakta yang satu dengan

fakta yang lainnya sehingga diperoleh data atau keterangan dari permasalahan

yang dimaksud.

Historiografi. Tahapan ini merupakan tahapan atau kegiatan

menyampaikan hasil-hasil rekonstruksi imaginatif daripada masa lampau sesuai

dengan jejak-jejaknya. Dengan perkataan lain, tahapan Historiografi adalah

Page 24: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

13

tahapan kegiatan penulisan. Hasil penafsiran atas fakta-fakta itu ditulis menjadi

kisah sejarah yang selaras.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini tersusun dari lima bab di antaranya:

Bab I adalah pendahuluan tentang signifikansi tema yang diangkat,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, studi kepustakaan,

metodologi penelitian dan juga sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tentang potret wilayah dan kehidupan masyarakat

Gowa, demografis masyarakat Gowa, kerajaan Gowa pra Islam, sistem

pemerintahan kerajaan Gowa, dan sejarah berdirinya Kerajaan Gowa, serta

perkembangan Kerajaan Gowa pra-Islam, juga islamisasi kerajaan Gowa.

Mengingat letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur perdagangan Nusantara

telah menjadikan Makassar banyak disinggahi oleh para pedagang dan juga para

ulama dari seluruh nusantara yang sengaja ingin berdagang maupun berdakwah ke

daerah Makassar dan sekitarnya.

Bab III, bab ini memberikan penjelasan tentang sejarah awal kehadiran

kerajaan Gowa sebagai bandar niaga. Serta membahas posisi Makassar dalam

jaringan perdagangan dan sistem perdagangan, dan era kemajuan perdagangan

juga hubungan perdagangan dengan bangsa lain, dan yang terakhir membahas

tentang alat transportasi yang digunakan oleh para pedagang. Hal ini sangat

diperlukan mengingat bahwa kerajaan Gowa atau pelabuhan Somba Opu terletak

di tengah-tengah kepulauan Nusantara sehingga mudah untuk dikunjungi oleh

para pedagang asing maupun lokal.

Page 25: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

14

Bab IV membahas tentang periode dimana Kerajaan Gowa telah berperan

dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di Nusantara, kebangkitan emporium

dan kapitalisme ekonomi, serta perdagangan keramik asing di Makassar. Pokok

bahasan dalam bab ini membahas seputar seberapa besar peran Kerajaan Gowa

dalam memajukan perdagangan.

Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk

penelitian lanjutan.

Page 26: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

15

BAB II

POTRET WILAYAH DAN MASYARAKAT GOWA

A. Letak Geografis

Suatu hal yang jelas dalam konteks pembicaraan sebuah Negara ialah adanya

paling tidak tiga unsur yang mendukung berdirinya negara tersebut: daerah tertentu,

daerah itu punya rakyat, dan adanya kekuasaan yang berdaulat. Dari sisi lain, sebuah

negara pada dasarnya adalah hasil perjanjian manusia, karena ingin mempertahankan

kemerdekaan sebagai naluri manusiawinya. Oleh mereka diadakanlah perjanjian dan

dibentuklah sebuah negara yang mana mereka semua menjadi warganya.1

Kata ”Makassar” selalu digunakan untuk menerangkan kata yang

mendahuluinya, seperti orang Makassar, Tanah Makassar, Kerajaan Makassar, dan

Kota Pelabuhan Makassar. Orang Makassar adalah salah satu kelompok etnis yang

bermukim di wilayah pesisir barat dan selatan Sulawesi bagian selatan. Pulau ini

terletak antara Kalimantan di bagian barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur

serta anatar kepulauan Sulu yang meupakan wilayah Filipina disebelah utara dan

kepulauan Nusa Tenggara di sebelah selatan. Masing-masing secara berurutan,

dipisahkan oleh Selat Makassar dan Laut Banda serta Laut Maluku, Laut Sulawesi,

dan Laut Flores.

Bila dilihat dari atas langit Kepulauan Sulawesi maka akan terlihat bahwa

bentuk Pulau Sulawesi menyerupai huruf ”K” sehingga memiliki empat jazirah dan

1Abd. Kadir Ahmad, Islam Di Tanah Gowa. (Makassar-Sulawesi Selatan: Penerbit INDOBIS

Graphic Design, 2004). hal. 9.

Page 27: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

16

tiga teluk. Antara jazirah selatan dan jazirah tenggara terdapat Teluk Bone; antara

jazirah tenggara dan jazirah baratlaut terdapat Teluk Tomini; dan antara jazirah

baratlaut dan jazirah utara terdapat Teluk Tomini atauTelukGorontalo. Wilayah

permukiman kelompok etnis Makassar, yang disebut Tanah Makassar, meliputi

daerah yang kini dikenal sebagai: Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Maros,

Kotamadya Makassar, Gowa, Bantaeng, dan Bulukumba.2

Pentingnya penentuan lokasi ini bukan saja untuk mendapatkan gambaran

yang jelas tentang wilayah Kerajaan itu sendiri, tetapi juga untuk dapat dimengerti

betapa aspek geografis memberikan dampak yang besar terhadap corak kebudayaan

masyarakat. Secara geografis Kerajaan Gowa terletak pada koordinat antara 5° 33’ 6”

sampai 5° 34’ 7” Lintang Selatan dan 12° 38’ 6” sampai 12° 33’ 6” Bujur Timur.

Memang Selat Makassar sejak dahulu sudah menjadi jalur lintas perdagangan

yang terkenal. Kemungkinan itu dapat dilihat dengan ditemukannya Kerajaan tertua

di Indonesia, Kutai (400 M) dengan salaha seorang rajanya yang termasyhur yang

bernama Mulawarman. Dengan demikian di selat Makassar sejak abad ke V M, tidak

mustahil terdapat kerajaan-kerajaan lokal, misalnya kerajaan Gowa. Letak Geografis

yang demikian strategis itulah yang memberikan watak tersendiri kepada Gowa

sebagai Kerajaan maritim, dan mampu mengembangkan sayapnya kesegala penjuru

baik dalam arti ekonomi, maupun politik.

Pada pase tertentu dari perkembangannya Gowa merupakan persimpangan

jalur lintas perniagaan antara Timur dan Barat Nusantara. Bahkan pada masa

2 Edward L. Poelinggomang, “Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan

Maritim” (Jakarta: KPG, 2002). Hal. 14-15.

Page 28: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

17

kejayaannya (abad XVII M) kekuasaan dan atau pengaruh Kerajaan Gowa sudah

mencapai batas-batas yang sedemikian jauh, meliputi :

a. Laut Tiongkok Utara dan Philipina di Utara.

b. Daerah Kerajaan Ternate dan bahkan pantai Utara Benua Australia di Timur.

c. Selat Karimata, Lautan Nusantara (sekarang Laut Jawa) dan Selat Lombok di

Barat.

Dengan pengaruh di sini dimaksudkan bahwa daerah-daerah tersebut sudah

pernah dijelajahi oleh pelaut-pelaut Gowa.

Selain pantai Utara Benua Australia tempat-tempat yang sudah terjangkau

oleh para pelaut Gowa (Makassar) di luar Nusantara ialah ”Sulu, Mindanao, Siam,

Hongkong, Makao, Malaka, Kalikut di India dan juga bahkan bukan tidak mungkin

sampai ke pulau Madagaskar dan pantai Timur Benua Afrika”.3

Apabila dilihat dari persamaan bahasa yang digunakan maka dapat diketahui

pada suatu fase dalam perkembangannya semua daerah yang berbahasa Makassar

pernah menjadi daerah inti Kerajaan Gowa sejak dari Pangkaje’ne kepulauan, Maros,

Makassar, Takalar, Je’neponto, Bantaeng dan sebagian Bulukumba.

Letak geografis yang sangat strategis ini memungkinkan Gowa dapat

memperoleh gengsi internasional dalam kehidupan maritim dan politik sekaligus

memberikan dampak yang besar terhadap pembentukan kehidupan orang Gowa yang

dinamis kreatif. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh A.A. Cense bahwa

3 Ibid., hal. 11.

Page 29: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

18

”suatu masyarakat seperti Gowa yang sepanjang masa telah merasakan pengaruh

asing berganti sama sekali bukan masyarakat yang statis”.4

Dengan lokalisasi seperti disebutkan bahwa Kerajaan Gowa terletak pada

daerah dataran tinggi dan dataran rendah yang terletak di sepanjang pesisir pantai dan

yang dialiri oleh sungai Je’neberang. Hal ini memungkinkan adanya penghidupan

ganda di sektor maritim (nelayan) dan di sektor pertanian yang ternyata telah mampu

menunjang munculnya Gowa sebagai kerajaan yang besar di zamannya.

Orang-orang Gowa digolongkan ke dalam suku bangsa Makassar (Tu

Mangkasara’). Seperti halnya suku-suku bangsa lain di Nusantara, suku Makassar

berasal dari India yang datang ribuan tahun yang lalu secara bergelombang. Menurut

penelitian para Etnolog, orang Makassar termasuk turunan orang Melayu Muda

(Dentro Melayu) yang datang pada gelombang kedua. Sebelum mereka datang di

Sulawesi Selatan sebelumnya sudah ada orang Melayu Tua tetapi kemudian terdesak

dari pesisir pantai oleh Melayu Muda. Dengan demikian dapat diduga keturunan

Melayu Muda didukung oleh suku bangsa Makassar, Bgis dan Mandar.

Jati dirinya adalah kelompok masyarakat beretnis Makassar. Dalam sejarah

perjalanan panjang telah tercipta suatu momentum dalam hidup dan kehidupan yang

dapat mencerminkan kekhasan sebagai masyarakat Gowa. Bentuk kekhasan inilah

yang diprediksikan sebagai unsur budaya yang telah dihasilkan masyrakat Gowa

dalam menapak perjalanan panjang.5

4 A.A. Cense, Beberapa Catatan Mengenai Penulisan Sejarah Makassar, (Bugis. Bhratara,

1972). hal. 16. 5 Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa. (Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai

Tradisional,1990).hal. 60.

Page 30: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

19

B. Demografis Masyarakat Gowa

Didukung oleh kondisi alam yang cukup memadai dalam usaha pemenuhan

kebutuhan hidup masyarakat Gowa, sebelumnya telah hidup menggeluti berbagai

jenis bidang usaha, seperti di antaranya berburu, meramu, menangkap ikan, bertani,

dan beternak.

Berburu merupakan suatu kegiatan dalam usaha memenuhi kebutuhan

masyarakat. Binatang buruan saat itu adalah rusa dan babi. Pemburuan binatang

sejenis rusa, dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging sebagai

bahan konsumsi. Sedangkan pemburuan binatang babi dilakukan dengan tujuan untuk

usaha pemberantasan binatang perusak tanaman.

Kegiatan meramu merupakan suatu usaha yang dilakukan masyarakat, guna

memenuhi kebutuhan hidup akan berbagai hasil hutan. Seperti di antaranya kayu

bakar, damar, dan rotan. Kegiatan menangkap ikan dilakukan masyarakat saat itu

memanfaatkan sarana penangkapan di sungai dan di laut. Sehingga ikan yang

ditangkap terdiri atas ikan jenis air tawar dan ikan laut. Semua bentuk penangkapan

dilakukan dengan memanfaatkan cara dan peralatan tradisional, seperti di antaranya

perangkap yang terbuat dari bambu dan jenis jala.

Bertani dilakukan masyarakat saat itu dengan memanfaatkan dua jenis lahan,

yaitu lahan kering dan lahan basah. Lahan kering difungsikan untuk tanaman

perkebunan. Para petani berusaha di sektor persawahan dengan menanam padi di

musim penghujan, dan di musim kemarau diselingi tanaman palawija dan berbagai

jenis sayur-sayuran.

Page 31: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

20

Kegiatan beternak diusahakan masyarakat guna memenuhi kebutuhan

hidupnya akan daging ternak, di samping usaha pemenuhan kebutuhan akan media

pembajak lahan persawahan. Jenis ternak untuk kebutuhan konsumsi. Seperti ayam,

itik, dan kambing. Sedangkan hewan kerbau dan sapi untuk keperluan pembajak

sawah.

Sedangkan kegiatan lainnya hingga saat ini menjadi mata pencaharian pokok

masyarakat Gowa secara umum, seperti bertani, beternak, dan menangkap ikan.

Bahkan cara dalam jenis peralatan operasional yang digunakan dalam menekuni

usaha bertani, beternak, dan menangkap ikan sudah berubah ke cara dan peralatan

yang lebih profesional dan modern.6

C. Kerajaan Gowa Pra-Islam

1. Kepercayaan Pra-Islam

1.1. Kepercayaan Masyarakat

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Kerajaan Gowa,

penduduknya telah mengenal dan menganut kepercayaan asli,7 suatu faham dogmatis

yang terjalin dengan adat-istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, terutama

pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya merupakan apa

saja dari adat dan kebiasaan hidup yang mereka peroleh dari warisan nenek

moyangnya. Kepercayaan asli tersebut umumnya bersifat animisme dan dinamisme.

6 Pananrangi Hamid, Sejarah Daerah Gowa. Hal. 61

7 Menurut Rachmat Subagya, kepercayaan asli atau agama asli adalah

kerohanian/kepercayaan khas dari suatu bangsa atau dari suku bangsa, yang berasal dan dikembangkan

di tengah-tengah bangsa itu sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian/kepercayaan bangsa lain

atau menirunya. Kepercayaan ini timbul dan tumbuh secara spontan bersama suku bangsa itu sendiri.

Lihat: Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981). Hal. 1.

Page 32: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

21

Sebagai pengantar dalam pemujaan dan upacara kurban, orang yang

memegang peranan penting adalah kasuwiang-kasuwiang8 dan anrong-guru

9, tau-

towa10

, dibantu oleh para bissu,11

pinati12

dan sanro (dukun).13

Kesemuanya

menggunakan ilmu-ilmu gaib, ilmu sihir dengan bermacam jenis jampi dan mantera-

manteranya, dengan berbagai alat penangkal, dan jimat sebagai mediator untuk

mengusai alam dan sekitarnya, menundukkan makhluk-makhluk bernyawa. Mereka

pulalah yang menentukan mana pantangan, pemali kasipali,14

yang merupakan jenis

larangan yang bertalian dengan kepercayaan itu dengan adat. Mereka pula yang

menetapkan hukumnya, bahwa barang siapa melanggar pantangan-pantangan tertentu

terhadap larangan tertentu, akan ditimpa berbagai bencana.15

Hal ini dapat diketahui dari kesaksian orang-orang Portugis yang sekali pun

hanya memberi keterangan yang terlalu singkat tentang kepercayaan dan ibadah

keagamaan di wilayah Kerajaan Gowa pada abad XVI, namun demikian data ini

menarik, sekalipun sebenarnya agama orang Gowa zaman dahulu dapat diketahui

8 Kasuwiang-kasuwiang adalah semacam pemuka-pemuka adat atau juga orang yang

bertanggung jawab dalam pelaksanaan acara keagamaan. 9 Anrong Guru adalah semacam sesepuh adat.

10 Tau-towa adalah yang bertindak untuk membacakan mantra-mantra.

11 Bissu biasanya bertanggung jawab atas benda-benda keramat yang tertinggi dan dilibatkan

dalam upacara-upacara besar kerajaan yang terdapat pada kerajaan-kerajaan besar. 12

Pinati melakukan upacara untuk benda-benda keramat yang kurang penting dan juga

dilibatkan dalam upacara-upacara kecil untuk pertanian, sunatan, kematian, dan perkawinan. 13

Mengenai jenis-jenis sanro, lihat: T. Sianipar, ”Obat dan Mantera Peranan Dukun dalam

Masyarakat Bugis-Makassar,” dalam Dukun Mantra Kepercayaan Masyarakat, (Jakarta: Grafikatama

Jaya, 1992). Hal. 17-20. 14

Pemali kasipali, merupakan suatu jenis larangan yang berhubungan dengan adat. Dikatakan

bahwa barang siapa yang melanggar larangan ini akan ditimpa bencana. 15

Ahmad Makarausu Amansjah, “Kepercayaan-kepercayaan Bugis-Makassar Sebelum

Mengenal Islam”, (dalam Bingkisan No. 18, Th. I, 1968). Hal. 6-7.

Page 33: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

22

dengan melihat sisa-sisa kepercayaan yang kita lihat saat ini, dan melalui

kesusasteraan pra-Islam, khususnya cerita mitos La Galigo.16

1.2. Pranata Keagamaan

Secara historis, pranata keagamaan atau kepercayaan di wilayah Kerajaan

Gowa telah cukup mapan, jauh sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, karena

mereka telah menganut ajaran yang lebih menekankan kepada kerohanian-kejiwaan.

Masyarakat Gowa sadar bahwa dunianya terdiri dari dua aspek, yaitu dunia yang

nyata dan dunia yang tidak tampak. Dunia yang tidak tampak adalah dunia di luar

jangkauan panca inderanya dan menurut keyakinannya bahwa di dalam dunia itu

terdapat berbagai makhluk dan kekuatan alam yang tidak dapat dikuasai oleh manusia

secara biasa, melainkan dengan cara yang luar biasa. Akibat ketidak berdayaan untuk

menghadapi kemurkaan makhluk dan kekuatan alam tersebut, timbullah ketakutan

terhadap mereka. Demikianlah asal mula terbentuknya pranata keagamaan menurut

kepercayaan animisme, dinamisme dan kepercayaan kepada Dewata. Sangat sulit

menentukan secara pasti kapan kepercayaan itu dimulai, karena sampai sekarang pun

kepercayaan tersebut masih ada sebagian masyarakat yang tetap menganutnya.17

2. Sistem Pemerintahan Pra-Islam

Pada awal pertumbuhan Kerajaan Gowa, sewaktu kerajaan ini masih

merupakan suatu federasi kerajaan kecil (gallarang) kehidupan kenegaraan diatur oleh

16

Periksa: Gilbert Hamonic “Studi Perbandingan Kosmogoni Sulawesi Selatan tentang

Naskah Asal-Usul Dewata-Dewata Bugis yang belum pernah diterbikan”, dalam Citra Masyarakat

Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Harapan-Archipel, 1983). Hal. 13-40. 17

Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: DEPDIKBUD, 1995). Hal. 33-35.

Page 34: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

23

seorang ketua umum yang disebut paccalaya. Peranan ini selanjutnya hilang dengan

munculnya tokoh Tumanurung yang selanjutnya akan menjadi tokoh utama dalam

pemerintahan Kerajaan Gowa. Ia merupakan simbol persatuan seluruh orang

Makassar, karena dipandang lebih mulia dari orang lain, maka ia digelari sombaya.

Untuk lebih rincinya akan diurutkan susunan pemerintahan Kerajaan Gowa seperti

berikut ini:

Sombaya adalah gelar raja yang memimpin Kerajaan Gowa. Adapun yang

paling sesuai dan memenuhi syarat untuk menjadi raja di Gowa ialah yang disebut

Karaeng ti’no. Karaeng ti’no di Gowa ialah seorang yang baik ayah maupun ibunya

berdarah bangsawan tertinggi, dan masih dianggap keturunan langsung dari raja

Gowa pertama. Raja Gowa memiliki kekuasaan mutlak (absolut). Dalam bahasa

Makassar diistilahkan: ”makkanama’ numammio” artinya: ”aku berkata dan engkau

mengiyakan”, maksudnya: aku bertitah dan engkau harus mengiyakan”. Ini bermakna

bahwa semua titah raja harus di- ”iya” kan dan dituruti. Begitu absolutnya kekuasaan

seorang raja Gowa. Dalam menjalankan pemerintahan, raja Gowa didampingi oleh

beberapa orang pembesar atau pejabat Kerajaan18

, yakni:

Pertama, pabbicara butta.19

Arti sebenarnya juru bicara tanah atau juru bicara

negeri. Jabatan ini adalah merupakan jabatan tertinggi setelah raja, yang dapat

disetarakan dengan jabatan perdana menteri, mahapatih atau mangkubumi kerajaan.

18

Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 127-129;

Sagimun M. D., Sultan Hasanuddin Menentang VOC, (Jakarta: Depdikbud, 1986). Hal. 5-15. 19

Pabbicara buta adalah juru bicara negeri yang jabatannya hampir setara dengan perdana

menteri.

Page 35: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

24

Kedua, tu-mailalang towa20

(towa = tua; tu = orang; ilalang = dalam).

Jabatan ini adalah jabatan pembesar kerajaan yang berfungsi menyampaikan dan

meneruskan segala perintah raja Gowa kepada kepala distrik, atau kepala wilayah,

dan lain-lain. Selain itu ia bertugas menjaga agar supaya segala perintah raja Gowa

dilaksanakan sungguh-sungguh dan sering pula mendampingi sidang-sidang yang

diadakan untuk membahas persoalan yang sifatnya sangat mendesak. Tumailalang

towa-lah yang menyampaikan kepada sidang tersebut segala kehendak dan titah raja

Gowa. Segala keputusan, saran-saran atau pesan-pesan raja Gowa, juga disampaikan

oleh tumailalang towa.

Ketiga, tu-mailalang lolo.21

Pembesar kerajaan ini selalu berada di dekat raja

Gowa. Pejabat inilah yang menerima usul-usul dan permohonan untuk diteruskan

kepada raja Gowa. Ia menyampaikan segala perintah raja mengenai persoalan rumah

tangga istana. Jabatan tumailalang towa dan tumailalang lolo diangkat dan

diberhentikan oleh raja Gowa.

Keempat, tu-kajannagang22

. Jabatan ini Semacam menteri kerajaan yang

memegang urusan keamanan dalam negeri. Dia menjadi penuntut umum kerajaan dan

mengatur tata tertib dalam lingkungan pejabat-pejabat istana raja Gowa. Mereka

sering membahas dan merencanakan segala persoalan yang bersangkutpaut

20

Tu-mailalang towa. Jabatan ini adalah jabatan pembesar kerajaan yang berfungsi

menyampaikan dan juga meneruskan segala perintah raja kepada kepala-kepala perwakilan setiap

wilayah. 21

Tu-mailalang lolo. Merupakan pejabat yang menerima segala usulan-usulan dan juga

permohonan dan kemudian diteruskan kepada raja. 22

Tu-kajannagang. Ini merupakan jabatan semacam menteri yang memegang segala urusan

keamanan dalam negeri.

Page 36: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

25

peperangan. Juga dikenal jabatan pati-matarang23

; semacam menteri kerajaan yang

mengatur urusan pertahanan dan peperangan. Pejabat ini yang memilih dan

menetapkan laskar-laskar Gowa untuk diturunkan ke medan perang.

Kelima, gallarang24

. Untuk mempermudah pengawasan administrasi dari

pusat terhadap daerah-daerah yang tersebar, wilayah kerajaan dibagi jadi distrik-

distrik yang disebut gallarang. Gallarang-gallarang ini memiliki hubungan dan

kepentingan timbal balik yang kuat dengan pusat. Dalam sistem pemerintahan

Kerajaan Gowa, gallarang ini mempunyai wakil yang diutus untuk duduk dalam satu

lembaga adat yang disebut bate salapanga25

. (bate = panji, bendera; salapang =

sembilan). Jadi bate salapanga bermakna pemegang bendera atau pembawa panji

yang sembilan orang. Mula-mula institusi ini disebut kasuwiang salapanga

(kasuwiang = mengabdi; salapang = sembilan).

Keenam, matowa26

. Ini merupakan jabatan yang setingkat di bawah gallarang.

Pejabat ini dipilih secara langsung oleh rakyat untuk satu jangka waktu masa jabatan

yang tidak ditentukan. Dalam sistem administrasi baru sesudah kemerdekaan

Indonesia, jabatan ini disamakan dengan kepala Kampung.

23

Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.

(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995). Hal.404-405. 24

Gallarang, merupakan suatu jabatan pengawas administrasi kerajaan. 25

Bate Salapanga, yang berarti pemegang bendera atau sembilan orang pembawa panji. 26

Matowa, ini merupakan jabatan yang setingkat di bawah gallarang atau kepala pengawas

wilayah adminstrasi.

Page 37: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

26

Ketujuh, sabannara (syahbandar).27

Jabatan tradisional ini sebenarnya sudah

hilang sejak aktivitas perdagangan Gowa merosot atau sejak tidak berfungsinya lagi

pelabuhan dagang Kerajaan Gowa di Maccini Sombala, muara Sungai Je’ne’ Berang.

Kedelapan, alakaya28

. Disebut juga daengta alakaya. Dia adalah seorang laki-

laki banci yang bertingkah laku dan berpakaian seperti perempuan. Lebih lazim

dikenal dengan nama bissu. Dalam upacara majelis adat (Dewan Kerajaan) daengta

alakaya duduk berdekatan dengan sombaya, di samping benda-benda pusaka kerajaan

yang disebut dengan kalompoang, dialah yang memberi mantera-mantera pada

benda-benda pusaka tersebut, sebab jika kalompoang sakti, maka diharapkan juga

akan menambah kesaktian raja.

Adapun daerah yang berada pada wilayah kerajaan, secara garis besar dapat

dibagi atas: Pertama, palili ata’ rikale: daerah ini disebut pula mapatundang ata’

yaitu daerah taklukkan yang menuntut biaya dan korban yang besar ketika terjadi

penaklukan atas daerah tersebut. Pada daerah ini ditempatkan seorang wakil dari

pusat sedangkan penguasa daerah bersangkutan dipindah ke pusat untuk suatu jabatan

tertentu. Pejabat perwakilan ini disebut jannang.

Kedua, palili ata’ mate’ne. Daerah taklukan yang termasuk dalam kelompok

ini merupakan daerah otonomi, penguasa daerah tersebut tidak ditarik ke pusat. Ia

masih memperoleh kesempatan menjalankan pemerintahannya seperti semula.

27

Sabannara, atau yang disebut dengan Syahbandar. Jabatan ini biasanya yang menguasai

suatu bandar perniagaan di satu wilayah tertentu. 28

Alakaya, adalah seorang laki-laki yang bertingkah laku dan juga berpakaian seperti

perempuan yang mendampingi raja dalam satu upacara pemberian mantera-mantera pada benda-benda

pusaka kerajaan.

Page 38: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

27

Daerah yang termasuk kelompok ini mempunyai kewajiban membayar upeti setiap

tahun, sesuai dengan biaya kesalahannya dalam penaklukkan daerah tersebut.

D. Sejarah Berdirinya Kerajaan Gowa

Periode awal berdirinya kerajan Gowa sampai sekarang belum diketahui

secara pasti. Beberapa sumber yang ada menerangkan masalah ini sangat ringkas dan

sama sekali belum cukup untuk dapat dijadikan sebagai sumber utama dalam upaya

menyimak sejarah Kerajaan Gowa. Akan tetapi nama Makassar telah disebut-sebut

pada abad XIV dalam kitab Nagarakertagama29

yang ditulis oleh Mpu Prapanca,

pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di Jawa (1365). Isi dari kitab tersebut

yaitu menceritakan mengenai seluruh wilayah Sulawesi menjadi daerah Kerajaan

Majapahit, yaitu Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu) bisa kemungkinan Luwuk,

Udamakatraya (Talaud), Makasar (Makassar), Butun (Buton), Banggawai (Banggai),

Kunir (P. Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), Muar (Kep. Kei).30

Petunjuk yang

disajikan dari keterangan kitab tersebut adalah nama Kerajaan Gowa tidak disebut-

sebut sebagai suatu Kerajaan orang Makassar, yang mendiami Jazirah Sulawesi

Selatan. Ada kemungkinan Gowa hanyalah merupakan daerah kecil yang belum

memiliki peranan penting ketika itu.

Bila di Jawa, Sumatra, Bali, dan Kalimantan ditemukan beberapa prasasti

(batu atau logam tembaga), namun di Sulawesi-Selatan sampai sekarang belum

29

T. G. Th. Pigeaud, Java in The 14 th Century A Study ini Cultural History the

Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 A. D. (Leiden: KITLV-The Hague

Martinus Nijhoff, 1962). Hal. 34. 30

Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, (Ujung Pandang: Bhakti

Baru-Berita Utama, 1982). Hal. 8.

Page 39: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

28

ditemukan satu prasasti (tulisan) di atas batu atau logam. Keberadaan prasasti ini

sangat penting sekali artinya dalam pengungkapan sejarah suatu daerah atau dinasti

pemerintahan, demikian pula stratifikasi masyarakat. Dalam prasasti itu sering

tersebut nama raja, atau tempat, serta angka tahun. Dengan demikian pertumbuhan

dan perkembangan suatu kerajaan atau dinasti dapat diketahui, akan tetapi tentu saja

tidak semua prasasti dapat diterima begitu saja sebab ada pula terdapat beberapa

salinan yang kadang-kadang terdapat kesalahan dalam menyalin.31

Berhubung karena di Sulawesi-Selatan belum diketemukan suatu prasasti

yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui waktu yang tepat pertumbuhan dan

perkembangan suatu kerajaan atau dinasti, maka sebagai pegangan dasar untuk

mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan,

hanyalah berdasarkan cerita-cerita rakyat, benda-benda peninggalan sejarah, sumber-

sumber tertulis dari bangsa asing, dan naskah-naskah lontara’.32

Menurut Mattulada, sumber-sumber utama dari sejarah kuno Sulawesi-Selatan

dapat diperoleh dalam berbagai macam lontara’ berupa peninggalan-peninggalan

tertulis orang Bugis-Makassar dari zaman dahulu.33

Di dalam Lontara’ Gowa

dikemukakan bahwa peletak dasar adanya raja-raja pemerintahan di Kerajaan Gowa

31

Hadimuljono dan Abd. Mutallib, Sejarah Kuno Sulawesi Selatan, (Ujung Pandang: Kanwil

SPSP Prop. Sul-Sel, 1979). Hal. 12-13. 32

Menurut Zainal Abidin Farid (Budayawan dan Ahli lontara’) bahwa yang dimaksud dengan

tulisan lontara’ adalah tiap-tiap tulisan beraksara Bugis-Makassar yang disebut ”urupu’ sulapa’ eppa”’

(Bugis), ”urupu’ sulapa’ appa’ka” (Makassar) = huruf segi empat yang mungkin berasal dari perkataan

Makassar ”raung ta” atau ”dautta”. Sebelum orang-orang Sulawesi Selatan mempergunakan kertas,

daun lontarlah digunakan dan kalam (pena) yang dibuat dari lidi pohon enau, serta air perasan daun

”ciping” (sejenis kacang-kacangan) sebagai tinta. Lihat: Andi Zainal Abidin Farid, Lontara’ sebagai

Sumber Sejarah Terpendam (masa 1500-1800), (Makassar: Lembaga Penelitian Hukum Fak. Hukum

UNHAS, 1970). Hal. 14. 33

Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. (Ujung

Pandang: Hasanuddin University Press, 1995). Hal. 65.

Page 40: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

29

itu ialah munculnya seorang putri di Tamalate yang dikenal dengan sebutan

Tumanurung ri Tamalate sebagai raja Gowa yang pertama. Dan pada masanya lah

terbentuk suatu pemerintahan dan konsep kebudayaan yang tercipta di Gowa.

Adalah jelas bahwa konsepsi Tumanurung mengandung unsur mitologis.

Tetapi disini pulalah besarnya peranan dalam sejarah terbentuknya kerajaan pada

banyak tempat. Pada dasarnya apa yang disebut mitos adalah sesuatu yang

sebenarnya tidak pernah terjadi.

Sebenarnya konsep Tumanurung sebagai peletak dasar-dasar pemerintahan

bukan hanya berlaku secara tipikal di Gowa saja, melainkan juga didapati pada

banyak kerajaan kuno di Sulawesi Selatan. Namun demikian illusi tentang

Tumanurung, oleh para sejarawan Kerajaan Gowa yang disebut ”palontara”

senantiasa digambarkan dengan memberikan tekanan pada dimensi manusiawinya.

E. Islamisasi Kerajaan Gowa

Menguraikan isu ini terasa betapa kurangnya rekaman-rekaman sejarah baik

dalam bentuk tertulis mapun dalam bentuk lisan, sementara yang adapun sangat

minus dan terbatas. Bahwa peristiwa masuknya Islam di Kerajaan Gowa secara resmi

ditandai dengan kedatangan Syekh Abdul Makmur Khatib Tunggal beserta kawan-

kawannya adalah jelas. Namun keadaan itu tidak dapat menafikan suatu asumsi

bahwa sebelum ketiga Dato yang notabennya dari Minangkabau, agama Islam sudah

ada di wilayah Kerajaan Gowa. Bahkan Islam sudah mulai menanamkan akar-

akarnya dan karenanya sudah dikembangkan sebelum kehadiran mereka.

Page 41: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

30

Dengan dasar pemikiran di atas mudahlah dipahami bahwasannya para

muballig Islam sudah bertebaran dalam wilayah Kerajaan Gowa jauh sebelum

periode Dato ri Bandang dengan rekannya. Hal ini jelas, sebab seperti diuraikan pada

bagian sebelumnya, pedagang-pedagang Melayu dari berbagai tempat sudah

berdatangan di Gowa sejak dekade pertama abad XVI. Bahkan ketika orang-orang

Portugis datang di Gowa pada tahun 1512 mereka mendapati bukan saja pedagang

Melayu yang memegang kontrol perdagangan jalur lintas Maluku tetapi juga

pedagang-pedagang dari Jawa.

Tahap pertama, kontak dan perkenalan awal dengan Islam, disusul

penerimaan Islam utamanya oleh penduduk pelabuhan dan daerah pesisir. Ini

berlangsung dalam masa lima abad sejak I H/VIII M sampai abad V H/XII M. Tahap

kedua, yaitu penyebaran dan penerimaan Islam secara universal bukan hanya terbatas

di daerah pesisir tetapi sudah menembus dinding-dinding daerah di belakang batas

pantai. Ini berlangsung dari abad VI H/XIII M.34

Pada masa pemerintahan I Manngerangi Daeng Manrabbia yang bergelar

Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna raja Gowa ke-14 agama Islam diterima

sebagai agama resmi kerajaan. Sultan Alauddin dinobatkan menjadi raja ketika baru

berusia 7 tahun. Itulah sebabnya sebelum dewasa maka pemerintahan kerajaan

dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo yang bernama I Malingkaang Daeng

Manyonri’ Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga ri Agamana atau nama

keislamannya di sebut Sultan Abdullah Awalul Islam. Mangkubumi inilah yang

memegang peranan yang penting sekali dalam usaha mengembalikan keharuman dan

34

Ibid., hal. 34.

Page 42: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

31

kejayaan yang hampir punah di bawah kekuasaan raja ke-13, Tunipasulu. Banyak

penulis Barat yang menulis bahwa raja Gowa itu ialah Karaeng Matoaya itu sendiri.

H. J. De Graaf misalnya, menulis dalam Geschiendenis van Indonesia, bahwa

Karaeng Matoaya, Tumenanga ri Agamana, menaklukkan seluruh Sulawesi dan

daerah-daerah sekitarnya. Disebut pula bahwa dalam tahun 1603, raja Gowa dan

saudara perempuannya memeluk agama Islam. Raja itu bernama Karaeng Matoaya

Tumenanga ri Agamana.

Terjadi banyak peristiwa dalam masa pemerintahan baginda Sultan Alauddin

misalnya, pembangunan masjid yang diprakarsai oleh Mangkubumi/Raja Tallo

Karaeng Matoaya. Baginda dan mangkubuminya menjadi dwi tunggal dalam

membawa Kerajaan Gowa ke puncak kejayaannya. Baginda didampingi oleh

Mangkubumi, Karaeng Matoaya, selama kurang lebih 43 tahun lamanya.

G. Penerimaan Islam sebagai agama Kerajaan

Sesungguhnya agama Islam sudah sampai di Makassar, sejak raja Gowa ke-10

Tunipalangga (1546-1565), yaitu ketika baginda memberi ijin kepada nahkoda

Bonang, untuk menetap di Mangalekana (Somba Opu). Raja Gowa ke-12 Tunijallo

telah mendirikan sebuah masjid (1565-1590) bagi orang-orang Islam di Mangalekana.

Raja Gowa dan Tallo menerima Islam dengan resmi sebagai agamanya

menurut Lontara Gowa-Tallo, ialah pada malam Jum’at, 9 Jumadil-awal 1014 H atau

tanggal 22 september 1605. dinyatakan bahwa Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja

Tallo I Malingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan

Page 43: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

32

kalimat syahadat dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangarangai Daeng

Manrabbia.

Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo dinyatakan memeluk

agama Islam, dengan upacara sembahyang Jum’at bersama yang pertama di masjid

Tallo tanggal 9 November 1607. Pada waktu yang sama di Bandar Makassar,

pedagang-pedagang Melayu dan Orang-orang Makassar yang sudah memeluk Islam

di sekitar Benteng Somba Opu, di masjid Mangallekana juga diselenggarakan

sembahyang Jum’at dan doa syukur. Dalam khotbah didoakan keselamatan baginda

dan kesempurnaan kota raja Makassar sebagai ibu kota Kerajaan Islam yang ternama

di Sulawesi Selatan.

Adapun ulama Islam yang mengislamkan kedua raja tersebut dan rakyatnya

ialah Abdullah Ma’mur Khatib Tunggal (kemudian lazim disebut Dato’ri Bandang).

Beliau berasal dari kota tengah (Minangkabau). Beliau mengajar syariat Islam

sebagai langkah dalam da’wah dan penyebarannya. Beliau dibantu oleh dua orang

rekannya yang juga berasal dari Sumatra untuk menyebarkan Islam di Sulawesi

Selatan.35

Dua orang itu ialah:

1. Khatib Sulaiman, kemudian dikenal dengan nama Dato’ Patimang. Beliau

bertugas menyebarkan agama ini di Tana Luwu. Raja Luwu yang mula-mula

memeluk agama Islam Lapati Were Daeng parabiung, dan setelah masuk Islam

namanya menjadi Matinroe ri Ware’.

2. Khatib Bungsu, kemudian dikenal dengan nama Dato’ri Tiro. Beliau

mengajarkan Islam melalui ajaran Tasawuf, di daerah Tiro, Bulukumba dan

35

Abdul Rasjid, dkk, Makassar Sebagai Kota Maritim, DEPDIKNAS, 2000. hal. 40.

Page 44: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

33

sekitarnya sesuai dengan keinginan penduduk di tempat-tempat itu yang

menyukai faham kebatinan.

Setelah Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama resmi

kerajaan, maka timbullah hasrat sesuai dengan tuntutan syariat Islam yang

diterimanya sebagai kebenaran yang harus disebarkan ke seluruh pelosok negeri,

kerajaan-kerajaan tetangga dan raja-raja negeri sahabat. Dengan demikian maka

Makassar mendapat kehormatan menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan

pada permulaan abad ke-XVII. Sesuai dengan konvensi raja-raja Bugis-Makassar

yang sudah ada semenjak dahulu kala, yaitu suatu ikrar (Paseng) di antara mereka,

barang siapa di antara mereka menemukan jalan yang baik maka hendaklah

menyampaikan hal yang baik yang ditemukannya itu kepada yang lain. Sesuai dengan

tuntutan syariat dan sejalan dengan konvensi itu, maka raja Gowa menyampaikan

jalan yang lebih baik itu kepada kerajaan-kerajaan Bugis.36

Jauh sebelum rezim Sultan Alauddin, serangan-serangan dari invansi militer

sudah merupakan kebanggaan bagi setiap perang yang terjadi di Gowa yang senatiasa

berada pada posisi yang menguntungkan sekalipun terkadang ia juga harus

mengalami kekalahan. Seorang raja perkasa, seperti sultan Alauddin, tentu saja

berupaya untuk melestarikan kebanggaan itu, betapapun ia tidak menerima Islam,

apalagi kalau dilihat bahwa kerajaan-kerajaan besar Bugis telah berhasil membentuk

sekutu fakta pertahanan bersama yang bagi Gowa tidak lain merupakan sebuah

ancaman besar terhadap keberadaannya.

36

Abdul Rasjid, dkk,. Makassar Sebagai....Ibid.,Hal. 41.

Page 45: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

34

BAB III

ASPEK PERDAGANGAN KERAJAAN GOWA

A. Kehadiran Kerajaan Gowa dalam Perniagaan

Gowa sebagai kerajaan niaga yang pernah memainkan peranan penting

dikawasan Nusantara bagian Timur bukanlah negara yang berkuasa di sektor

perdagangan saja, melainkan juga memperoleh kekuasaan dan kekayaannya dari

sektor agricultural. Bahkan munculnya sebagai standar transito untuk sebagian

besar pedagang dimungkinkan oleh sektor ini. Hasil pertanian, terutama beras

telah berhasil mensuplai penduduk dengan stok yang senantiasa lebih dari cukup.

Dari sektor ini pula mereka memproduksi kapas untuk bahan pakaian dalam

berbagai bentuk tanpa harus mengimpor lagi pakaian dari bahan yang sama.

Namun demikian, berbicara tentang Kerajaan Gowa masa silam pertama-

tama ia harus melihat sebagai suatu negara niaga lebih dari negara yang hanya

terpukau dalam lingkup pertanian saja. Pandangan ini akan segera dimengerti dan

disorot dari kehidupan perekonomian dan kebudayaan bahwa berkat kehiduypan

maritim, kerajaan Gowa mempunyai gengsi internasional dan dapat berhubungan

dengan bangsa-bangsa lain dibelahan bumi ini.1

Sebenarnya kemunculan Gowa sebagai negara niaga paling tidak, sudah

nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah

efek dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada tahun 1511 dimana saat

Malaka takluk, banyak pedagang pindah dari Malaka ke tempat-tempat

laintermasuk ke Gowa.

1 Abd. Kadir Ahmad, Islam Di Tanah Gowa (Makassar: INDOBIS, 2004). Hal. 45.

Page 46: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

35

Tidak dapat dipastikan bilamana kerajaan Gowa terlibat dalam kegiatan

perniagaan. Beberapa peneliti memperkirakan awal kemunculannya pada masa

pemerintahan Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumaparisi Kallonna.2 Dugaan itu

didasarkan atas tiga faktor. Pertama, sebelum masa pemerintahannya istana raja

dan pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang

terletak jauh dari wilayah pantai sekitar enam kilometer. Hal ini dipandang

sebagai faktor yang menunjukkan bahwa kerajaan itu berorientasi ke dunia

agraris. Kedua, raja ini yang mengawali pemindahan istana dan pusat

pemerintahan ke Benteng Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara

Sungai Berang. Wilayah Somba Opu ini yang dijadikan Bandar niaga kerajaan itu,

sehingga dipandang sebagai awal kerajaan itu terlibat dalam dunia niaga. Terakhir

pada masa pemerintahannya baru dikenal adanya jabatan syahbandar yang

bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak perdagangan di pelabuhan.3

Apa yang mendorong raja ini mengalihkan perhatiannya pada dunia niaga

tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi bila memperhatikan latar belakang

perkembangan niaga di wilayah ini, usaha yang dilakukannya dapat diperkirakan

terdorong oleh besarnya keuntungan ekonomi dalam dunia niaga. Latar belakang

keluarga Karaeng Tumaparisi Kallonna memiliki pertalian darah dengan keluarga

pedagang. Ibunya, I Rerasi, adalah putri pedagang kapur dari daerah utara yang

mengunjungi kerajaan tersebut pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-7, Batara

2 H.D. Mangemba, Kota Makassar Dalam Lintasan Sejarah (Makassar, Lembaga Sejarah

Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1972). Hal. 1; Anthony Reid, “The Rise of Makassar”.

Hal. 131-134. 3 Pejabat syahbandar yang diangkat adalah pejabat tumailalang lolo yang bernama I daeng

Pamatte; Abdurrazak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 11-12.

Page 47: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

36

Gowa. Dalam hubungan ini ia tentunya dipengaruhi oleh jiwa dagang yang

diwarisinya dan keadaan kegiatan keluarganya.

Langkah awal yang ditempuh kerajaan Gowa dalam mengembangkan

pengaruh kekuasaannya, yaitu menaklukan kerajaan saudara dan tetangganya

yaitu Tallo dan sekutu-sekutunya seperti Maros dan Polobangkaeng yang telah

lama bergiat dalam dunia niaga. Kemudian kerajaan Gowa bergiat memperluas

pengaruh kekuasaannya dengan menaklukan kerajaan-kerajaan lainnya seperti

Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidendreng, Lembangang, Bulukumba

dan Selayar. Sementara bekas sekutu Tallo (Maros dan Polobangkaeng) dan

beberapa kerajaan yang kuat seperti Salumeko, Bone dan Luwu dijalin perjanjian

persahabatan. Politik perluasan kekuasaan itu terkandung harapan bahwa

kerajaan-kerajaan itu nantinya akan mengalihkan kegiatan perniagaan mereka ke

Bandar niaga Kerajaan Gowa.

Pada dasarnya kerajaan itu melakukan hubungan niaga dengan Gowa, akan

tetapi mereka tetap bergiat mengembangkan Bandar niaga mereka masing-masing.

Keadaan itu dipandang menghambat usaha untuk mengembangkan dan

memajukan perniagaan, sehingga ketika Tunipallangga menduduki tahta

dilaksanakan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir, seperti

siang, Bacukiki, Suppa, Sidendreng, Bajeng, Lengkese, Polobangkaeng, Lamuru,

Soppeng, Lamatti, Wajo, Panaikang, Duri, Bulukumba, berbagai kerajaan kecil

disekitar Bone, dan kerajaan kecil lainnya. Berbeda dengan pendahulunya, raja ini

Page 48: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

37

dinyatakan memaksakan kerajaan-kerajaan yang ditaklukan untuk mengangkut

penduduk dan harta bendanya ke Gowa.4

Penduduk wilayah taklukan yang diangkut itu ditempatkan di sekitar

Pelabuhan Tallo dan Pelabuhan Somba Opu. Kehadiran mereka itu bukan hanya

meningkatkan jumlah penduduk tetapi yang terpenting adalah untuk

memanfaatkan keahlian mereka, terutama yang telah berpengalaman dan bergiat

pada pusat-pusat perdagangan asal mereka, untuk memajukan Bandar niaga

Kerajaan Gowa. Kebijaksanaan itu berarti bukan semata-mata ditujukan untuk

mengeksploitasi tenaga dan barang tetapi juga berusaha untuk memanfaatkan serta

mengalihkan kemampuan dan tekhnologi dari kerajaan-kerajaan taklukan. Itulah

sebabnya pada periode pemerintahannya terjadi perubahan dalam bidang

organisasi politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah yang ditaklukan tersebut

disamping penduduknya bergiat dalam bidang niaga adalah daerah yang kaya

akan produksi pertanian, peternakan dan perikanan. Seperti diungkapkan Manoel

Pinto ketika mengunjungi Sidendreng pada tahun 1548:

“Menurut saya negeri ini yang paling baik yang pernah saya lihat di dunia,

karena daerahnya berupa daratan dimana padi, ternak, ikan dan buah-

buahan berlimpah-ruah. Kotanya terletak di tepi danau di mana perahu-

perahu besar dan kecil, berlayar simpang siur. Di sekeliling danau itu

terdapat pula kota-kota yang makmur”.5

Demikian juga dengan kerajaan lainnya, seperti Pangkajene (Siang) dan

Suppa. Bahkan penduduk Kerajaan yang ditaklukan dimanfaatkan sebagai tenaga

kerja kasar ataupun dijual sebagai budak. Budak merupakan salah satu komoditi

4 G. J. Wolhoff dan Abdurrahim, Bingkisan Seri A: Sejarah Gowa, hal. 25; Abdurrazak

Daeng Patunru, Sejarah Gowa (Ujung Pandang: YKSS, 1993). Hal. 13.

5 P. A. Tiele, “De Europpeers in den Malaischen archipel”, dalam BKI (vol. 28, No. I,

1980). Hal. 423.

Page 49: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

38

perdagangan yang tidak kalah pentingnya pada waktu itu, baik untuk digunakan

sebagai tenaga pendayung, pengangkut beban ataupun kegiatan kerja lainnya. Hal

ini pula merupakan satu faktor yang menempatkan daerah Makassar pada masa itu

sebagai pusat perdagangan budak, di samping orang-orang curian serta

pengeksporan kembali budak-budak yang berasal dari Kalimantan, Timor,

Manggarai, Solor, Alor, dan Tanimbar.6

Politik perluasan kekuasaan dan besarnya perhatian yang dilandasi oleh

sikap terbuka dari penguasa Gowa terhadap kehidupan perniagaan akhirnya

berhasil menempatkan Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan dan

pangkalan kegiatan maritim di wilayah itu. Disamping itu tidak dapat diabaikan

begitu saja peranan para pedagang dan pelaut yang melakukan aktifitas niaga

disana, yang telah berhasil menjadikan Makassar sebagai Bandar niaga tempat

pemasaran produksi perdagangan. Karena itu Pelabuhan Makassar tampil sebagai

Bandar utama mereka dalam hubungan dengan Bandar niaga lain.

Kemajuan yang dicapai itu ternyata tidak memberikan kepuasan bagi

pedagang Belanda. Ini disebabkan karena pihak Belanda tidak menginginkan

keberadaan pedagang Eropa dalam perdagangan rempah-rempah di Makassar.

Bagi pihak Belanda pedagang lain merupakan musuh dan saingan. Di pihak lain

Belanda yang telah menanamkan kekuasaannya setelah mengusir Portugis dan

Spanyol melakukan gangguan terhadap perahu dagang-perahu dagang Makassar

di perairan Maluku untuk dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah.

6 Christian Pelras, “Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan Kesaksian

Bangsa Asing”, dalam: Gilbert Hamonic, ed. Citra Masyarakat Indonesia (Jakarta: Sinar

Harapan, 1983). Hal. 60-61.

Page 50: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

39

Pertentangan antara VOC dengan Makassar pada dasarnya merupakan

pertarungan pemikiran antara kebijaksanaan VOC “berdagang sendiri”

(allenhandel) atau lazim disebut monopoli versus perdagangan bebas yang

diterapkan kerajaan Gowa. Karena itu kerajaan Gowa bergiat membangun

benteng-benteng pertahanan diawali dengan Benteng Tallo di bagian utara dan

Benteng Panakkukang di bagian selatan, Benteng Ujung Tanah, Ujung Pandang,

Barobaso, Mariso, Garasi dan Barombong, untuk melindungi kedudukan mereka

dari ancaman kompeni; juga dipersiapkan pembuatan jenis perahu gorab sekitar

tahun 1620. Menurut Nooteboom pembuatan perahu gorab merupakan bantuan

dari Portugis. Pada tahun 1612 dibangun lagi Sembilan perahu gorab atas perintah

Karaeng Matoaya (raja Tallo).7

B. Posisi Makassar dalam Jaringan Perdagangan dan Sistem Perdagangan

Kennet R. Hall meyakini sekitar abad XIV dan awal abad XV, terdapat

lima jaringan perdagangan (commercial zones).8 Pertama, jaringan perdagangan

Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Seilon, Birma,

serta pesisir utara dan barat Sumatra; kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka;

ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka,

Thailand dan Vietnam Selatan (sebut saja dengan jaringan perdagangan Laut Cina

Selatan); keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, meliputi pesisir barat Luzon,

mindoro, Cebu, Mindanao dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam);

7 C. Nooteboom, Aziatische Galein. (Rotterdam: Het Museum voor Land- en

Volkenkunde en het Maritiem Museum Prins Hendrik, 1951). Hal. 1. Usaha pembangunan kapal

(dalam hal ini konstruksi serta gaya arsitekturnya) itu merupakan bantuan dari orang-orang

Portugis, Melayu dan Arab. 8 H.A. Sutherland, Power, Trade and Islam in the Eastern Archipelago, 1700-1850,

dalam Philip Quarles van Ufford and Mattew Schoffeleers, ed., Religion Development : Toward

An Integrated Approach. (Amsterdam: Free University Press, 1988). Hal. 145-146

Page 51: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

40

kelima; jaringan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan

Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Pada

dasarnya setiap jaringan perdagangan itu memiliki pola perkembangan pertukaran

internalnya akan tetapi berlangsung pula hubungan perdagangan antara jaringan

perdagangan itu.

Transaksi dagang pada waktu itu umumnya dilakukan secara barter. Beras

dan barang lainnya yang dibeli di pelabuhan bagian barat oleh pedagang Bugis

Makassar, kemudian dijual secara barter dengan rempah-rempah. Penukaran

secara barter ini didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan

oleh kedua belah pihak.

Sistem penukaran seperti ini berlaku juga bagi barang dagangan yang

berasal dari negeri asing, misalnya pertukaran antara kain buatan India dalam

kesatuan potong dengan rempah-rempah dalam kesatuan bahar. Bahar digunakan

sebagai kesatuan berat dan sering berbeda ukurannya disetiap tempat, seperti

bahar Maluku = 600 pond, sedangkan bahar Malaka = 550 pond.9

Di bandar Somba Opu orang Portugis sering membawa tunai berupa mata

uang timah Cina untuk kemudian diserahkan kepada pedagang Bugis Makassar

yang akan pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Para pedagang Bugis

Makassar yang menerima semacam uang muka ini memberikan jaminan secara

tertulis. Surat tanda terima ini ditulis dalam bahasa Melayu.10

9 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic

history, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 111 10

B.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, (Bandung: The Hague, 1955). Hal. 20-

21

Page 52: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

41

Sistem barter yang dipergunakan oleh para pedagang antara pedagang asing

lokal, berupa tukar menukar barang dagangan yang diperlukan. Seperti pakaian,

senjata, dan porselen dibawa oleh pedagang dari Cina, Gujarat dan Portugis.

Kemudian ditukar ke pedagang Bugis Makassar untuk selanjutnya barang tersebut

di bawa ke pelosok Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara untuk

ditukar dengan rempah-rempah, kemudian dijual lagi ke pedagang asing.

Adapun alat tukar uang di bandar Somba Opu sekitar abad XVII, yaitu

telah dibuat mata uang dari emas atau timah disebut dinar yang berbentuk besar

dan kupa yang berbentuk kecil, semua menggunakan tulisan Arab. Mata uang dari

timah disebut benggolo.11

Pada masa Karaeng Matoaya telah didirikan percetakan

uang yang sangat menunjang bagi kelancaran perdagangan di bandar Somba Opu.

Atas anjurannya mata uang emas dan perak dicetak, walaupun pada akhir tahun

1650 terjadi devaluasi emas yang semula masih bertahan nilainya sebesar 4

shilling atau 0,8 real Spanyol.12

Salah satu penghasilan terpenting bagi kerajaan yaitu perdagangan dan

pemberian dalam bentuk barang maupun uang. Para bangsawan bertindak pula

sebagai pedagang dan memberikan saham kepada pedagang yang membutuhkan

dengan syarat-syarat tertentu. Sesuai yang termuat dalam kitab Amanna Gappa,

yaitu pemberi saham acapkali menjadi pembeli barang yang dimodalinya atau

menjadi calo dengan hak komisi, jual total penjualan kemudian dibagi tiga,

11 Uka Thandrasasmita, “Les Fouilles et l’Histoire A Celebes Sud”, (dalam Archipel 3,

Paris, 1972). Hal. 283. 12

Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia

Tenggara 1450-1680, Jilid II, Terjemahan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). Hal. 12.

Page 53: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

42

sepertiga pertama dan sepertiga kedua masing-masing untuk pemilik modal,

sisanya digunakan untuk mengembalikan perongkosan peralatan dan awak kapal.

Para bangsawan dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti sebenarnya.

Mereka ”berdagang” dalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan barang

dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya memberi uang

sebagai modal.13

Misalnya hartawan yang menyerahkan dagangannya berupa

rempah-rempah dan kain tenunan kepada saudagar dengan perjanjian bagi laba

menurut ketentuan yang berlaku (persentasi laba dibagikan bisa berbeda) juga

dalam pelayaran, apabila pemilik kapal adalah raja sistem bagi laba juga dipakai

menurut ketentuan yang berlaku.

Adapun aturan yang berlaku dalam kerajaan Gowa tentang tata cara

berdagang maupun berlayar, dan daftar sewa bagi orang yang berlayar, adalah

sebagai berikut:

”Apabila orang naik di perahu, di daerah Makassar, di daerah Bugis, di

Paser, di Sumbawa, di Kaili, pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja,

sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratus. Apabila orang naik di perahu di

Makassar pergi ke Selayar, sewanya dua setengah dari tiap-tiap seratus.

Apabila orang naik di perahu di Paser atau Sumbawa dan pergi ke daerah

Buton, ke daerah Bugis, ke Timor, sewanya empat rial dari tiap seratus”.

Sedangkan aturan tata cara berjualan, diungkapkan dalam pasal 7, bahwa

ada lima jenis cara berjualan :

1) Berkongsi sama banyak;

2) Samatula;

3) Utang tanpa bunga;

4) Utang kembali;

13 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic

history……op.cit, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 228-229.

Page 54: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

43

5) kalula

Adapun berkongsi sama banyak yaitu cara berdagang dengan menanggung

resiko sama-sama, memikul bersama keuntungan dan kerugian. Tetapi kerugian

yang dipikul bersama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu apabila barangnya rusak

di lautan, kebakaran atau kecurian. Sedangkan yang tidak dipikul bersama

(ditanggung oleh pelaksana perdagangan), yaitu :

1) dijudikan

2) diperlacurkan

3) dipergunakan beristri

4) diboroskan

5) dipinjamkan

6) dimadatkan

7) diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggungannya.

Adapun yang disebut samatula, adalah yang empunya barang jualan yang

memikul segala kerusakannya. Labanya dibagi tiga, dua bagian diambil oleh yang

empunya dagangan, sebagian diambil oleh si pembawa.

Mengenai utang tanpa bunga, si pemberi utang hanya menagih saja, jikalau

telah sampai janjinya. Perjanjian dengan utang yang bisa kembali, terlebih dahulu

ditetapkan sesuai harga barang. Kalau laku atau rusak, maka membayarlah yang

berutang. Kalau tidak laku atau tidak berganti rupa, maka barang boleh

dikembalikan. Perihal utang disamakan dengan perihal jual beli, yakni harus

bercermin pada adat, segala hal telah ditetapkan menurut peraturan-peraturan

tertentu.

Page 55: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

44

Dalam pasal 9, disebutkan bahwa sesama penjual tidak tunggu menunggu

kekeliruan, misalnya (dalam hal) bayar membayar. Jikalau setelah diterima,

barulah diketahui tidak cukup pembayarannya, atau robek bagi barang yang

berlembar, dicukupkannyalah yang robek. Sebab tidak boleh mengembalikan

barang yang telah diputuskan harganya, kalau ternyata dengan sesama pedagang.

Kalula atau disebut juga anak guru, merupakan orang yang dipercayakan

menjual barang dagangan. Kalula tidak mungkin bercerai dari pemilik barang

yang sudah dianggap sebagai atasannya. Sehingga dalam membuat perjanjian

tidak memberatkan keluarganya, jika barang rusak karena kesalahan sendiri,

Kalula sendiri yang menanggung, keluarganya tidak ikut menanggung resiko.

C. Era Perdagangan dan Hubungan dengan Bangsa Lain

Corak baru perdagangan kerajaan Gowa muncul setelah dalam abad XVI

Mataram mengadakan penghancuran atas kota-kota komersial di Jawa Timur.

Pusat perdagangan rempah-rempah secara simultan pindah ke Makassar; jalur

lintas perdagangan tidak lagi dari Maluku via Gresik, selanjutnya menyusuri selat

Malaka, tetapi dari Maluku melalui Makassar dan selatan Borneo ke selat Malaka

atau Batam. Perubahan rute perdagangan itu bukan tidak mempunyai pengaruh

atas simpati politik orang-orang Maluku. Apabila dalam era Portugis dan bahkan

pada dekade pertama abad XVII mereka (orang-orang Maluku) banyak yang

berlindung kepada penguasa-penguasa di Jawa, maka sekarang mereka tempatkan

diri mereka di bawah proteksi Kerajaan Makassar. Masa inilah Kerajaan Gowa

memasuki zaman keemasannya. Para kaum bangsawan mulai memegang kendali

Page 56: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

45

perdagangan rempah-rempah, bahkan raja sudah menjadi pembeli utama barang-

barang yang masuk di daerahnya.

Sebenarnya kemunculan Gowa sebagai negara niaga paling tidak, sudah

nampak sejak dekade pertama abad XVI yang untuk sebagian besarnya adalah

efek dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada tahun 1511 dimana saat

Malaka takluk, banyak pedagang pindah dari Malaka ke tempat-tempat

laintermasuk ke Gowa.

Terdapat suatu hipotesis yang mengatakan bahwa orang Makassar telah

lama mengadakan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain. Hipotesis ini

didasari dari suatu temuan arkeologi yakni dengan ditemukannya tiga patung

emas Budha yang ditemukan didaerah Takalar, yang memiliki karakteristik gaya

Srilangka, dan India Tenggara, menjadi petunjuk bahwa para pedagang Tamil,

atau mungkin Melayu dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan telah

mengadakan kontak dengan orang-orang Makassar untuk mencari emas, beras,

dan hasil hutan selama abad VII dan VIII. 14

Dari penemuan arkeologi inilah

didapatkan gambaran awal kontak dagang dengan bangsa lain di awal milenium

pertama ini.

Sekalipun jika benar hipotesis di atas, namun perdagangan rempah-

rempahlah yang terutama menyebabkan Makassar menjadi pelabuhan yang ramai.

Mengalirnya rempah-rempah dari kepulauan Maluku ke Makassar, menyebabkan

Makassar banyak dikunjungi pedagang-pedagang asing. Schrieke mengatakan

bahwa:

14

Wayne A. Bougas, “Bantayan: An Early Makassarese Kingdom 1200-1600 A.D.”,

dalam Archipel 55, Paris, 1998. hal 88.

Page 57: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

46

....Pada awal abad XVII, mula-mula orang asinglah yang membawa

perdagangan dari Makassar, sementara penduduk aslinya bersawah. Hal

yang sama dilakukan oleh orang-orang Bugis Bone. Kita telah melihat

permulaan pertama dari proses perkembangan yang mengikutinya. Pada

waktu kedatangan Portugis pada awal abad XVI, ketika orang-orang

Melayu dari Malaka, dan kemudian Johor, dan orang-orang Jawa,

mengontrol perdagangan rempah-rempah. Makassar belum memainkan

peranan yang penting di Nusantara. Sebagai akibat perjanjian yang mereka

alami di Malaka, banyak orang-orang Melayu yang bermigrasi ke

Makassar, yang menjadi dasar pelayarannya ke Maluku....15

Perubahan baru dimulai setelah Portugis menduduki Malaka pada tahun

1511, kota pelabuhan Melayu yang menjadi pusat dagang utama di Barat. Salah

satu akibat yang tidak terduga adalah perdagangan Malaka sebagian pindah ke

kota-kota dagang lain, di antaranya Makassar.16

Keruntuhan Majapahit selama

abad XV mengakhiri kontrol Jawa atas laut Jawa dan mematahkan dominasi

Majapahit atas perdagangan rempah-rempah. Para pedagang utama di Sulawesi

Selatan kini tidak lagi berasal dari Jawa tetapi juga dari Sumatra. Mereka adalah

orang-orang Melayu Islam dan mencari pelabuhan alternatif untuk menghindari

Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis.17

Orang Melayu baru mempunyai kedudukan resmi dalam Kerajaan Gowa

kira-kira pada tahun 1561, yaitu pada saat pemerintahan Raja Gowa X

15 B. Schrieke, Indonesian sociological Studies, part one, (Bandung: Sumur Bandung

Formerly, N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve, 1960). Hal. 66-67. 16 J. Noorduyn, “De Handelsrelaties van het Makassaarse Rijk Volgens de Notitie van

Cornelis Speelman uit 1670”, dalam Nederlandse Historische Bronnen 3, 1983. hal. 97. 17

Wayne A. Bougas, “Bantayan: An Early Makassarese…op. cti. Hal. 92; Patut diketahui

bahwa hampir seluruh ahli sependapat, sejak awal proses Islamisasi di Indonesia tidak dapat

dipisahkan dengan aktivitas ekonomi, khususnya perdagangan. Aktivitas ekonomi menjadi salah

satu jalur utama dalam perluasan komunitas muslim di seluruh Indonesia yang bergerak dari

daerah pantai untuk membentuk pusat-pusat komunitas muslim baru di pedalaman. Lihat Bambang

Purwanto, “Merajut Jaringan di Tengah Perubahan Komunitas Ekonomi Muslim di Indonesia

pada Masa Kolonial”, dalam lembaran sejarah No. 2, volume 2, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah

UGM, 2000). Hal. 48.

Page 58: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

47

Tunipalangga (1546-1565), namun dapat dikatakan setengah abad18

sebelum itu

memang telah banyak orang Melayu (terdiri dari: orang Campa, Minangkabau,

Pahang, Patani, dan Johor) berdatangan, maka mereka mengutus seorang di antara

mereka untuk menghadap pada raja Gowa agar supaya mereka itu dapat diberi

tempat kediaman untuk menetap dan diberikan jaminan, maka diutuslah Nahkoda

Bonang.19

Untuk lebih meyakinkan raja Gowa dan agar supaya mereka itu dapat

diberi tempat kediaman menetap, maka ketika menghadap, mereka membawa

beberapa persembahan yang terdiri dari sepucuk bedil yang bernama ”Kamaleti”,

80 perangkat pinacu, satu kodi kain sakalat, satu kodi kain beludru, dan setengah

kodi kain cindai (sutera berbunga). Permohonan mereka diperkenankan oleh raja

Gowa dengan resmi, bahkan mereka mendapat empat jaminan dari Raja

Tunipalangga.20

Jadi sebelum pertengahan abad XVI para pedagang Melayu tinggal di

pelabuhan-pelabuhan pantai Barat Sulawesi.21

Disinilah awal munculnya koloni

dagang orang Melayu yang berasal dari sebagian daerah di semenanjung Malaka,

18 Anthony Reid, “The Rise of Makassar”, dalam RIMA Vol. 17, 1983. Hal. 137-138. 19

Anthony Reid, “Dari Ekspansi hingga Kritis II Jaringan Perdagangan Global Asia

Tenggara 1450-1680”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Hal. 94-98. 20

Jaminan tersebut, yakni: pertama, daerah kediaman mereka tidak boleh diperlakukan

sewenang-wenang; kedua, rumah mereka tidak boleh dimasuki begitu saja; ketiga, rumah mereka

tidak nigayang (rapuh); keempat, mereka dipisahkan dari nirappung (pedagang yang berasal dari

pedagang lain) . Lihat: “De Kapitein Malajoe te Makassar (1920)”, dalam Adatrechtbundels XXXI:

Celebes. Hal. 109. 21 Pada tahap awal para pedagang Melayu yang tinggal di Siang (salah satu nama

pelabuhan dan kerajaan di pantai Barat Sulawesi), nampaknya terutama disibukkan dengan ekspor

produk dari Sulawesi dan dari pulau-pulau sekitarnya, khususnya kayu cendana yang dalam

jumlah besar diimpor dari Timor, dan Sunda, serta yang cukup tinggi permintaannya di seluruh

Asia, khususnya di Cina. Dari kepulauan Sunda Kecil ini, juga muncul kulit penyu, lilin, beras,

dan budak untuk melengkapi pasokan local komoditi ini. Lihat: John Villiers, “Makassar: The

Rise and Fall of an East Indonesian Maritime Trading State: 1512-1669”, dalam J.

Kathirithamby-Wells, John Villiers, (ed.)., The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise,

(Singapore: University of Singapore Press, 1974). Hal. 146.

Page 59: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

48

yang sangat penting bagi perkembangan budaya dan ekonomi di tempat ini.

Hubungan yang dibangun dengan orang-orang Melayu sangat akrab dengan pihak

kerajaan, begitu akrabnya sehingga orang-orang Melayu turut membantu

memperbaiki peraturan-peraturan di dalam istana, di antaranya mengatur tata cara

berpesta, mengajarkan kepada para pemuda Makassar kesenian Melayu,

permainan pencak, lenggo, dan lain-lain.22

Sampai dengan masa pertumbuhan abad XVII, sebagian besar

perdagangan dan perkapalan Makassar berada di tangan orang-orang Melayu,

namun disamping itu juga orang-orang Makassar ikut terlibat. Para raja dan

bangsawannya tampil sebagi penyandang dana dan melancarkan ekspedisi dagang

sendiri. Bersama orang Melayu pemekaran sayap kekuasaan dan perdagangan luar

daerah Makassar berkembang pesat hingga mancanegara;23

ke barat hingga pantai

Coramandel (India), ke utara hingga Vietnam, Philipina, Cina, Jepang, ke timur

hingga pantai-pantai Irian, bahkan sampai ke pantai-pantai Utara, Barat Australia.

Selain pedagang-pedagang Melayu yang menetap di Makassar juga terdapat

bangsa-bangsa asing, diantaranya bangsa Portugis.

Pada masa pemerintahan Karaeng Tunipalangga (1546-1565), di samping

raja memberi ijin orang Portugis mendirikan secara resmi perwakilan dagangnya

22 Abd. Rahman Daeng Palallo, “Memperkenalkan Kampung Melayu dan

Penduduknya”, dalam 60 Tahun Kota Makassar. (Makassar: Percetakan Sejahtera, 1966). Hal. 54;

Mattulada, “Minangkabau dalam Kebudayaan Orang Bugis-Makassar di Sulawesi-Selatan”,

dalam A. A. Navis (ed.),Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik, (Padang:

Genta Singgalang Press, 1983). Hal- 130-131; 23 Damai N. Toda, “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi”, (Flores: Nusa

Indah, 1999). Hal. 53.

Page 60: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

49

di Makassar yang banyak memberi keuntungan baginya,24

juga sebaliknya banyak

bangsawan Gowa mempelajari peradaban dan bahasa mereka. Selain itu dengan

kedatangan Portugis, pihak gowa memperoleh keuntungan dalam peningkatan

sarana-sarana fisik bagi perkembangan dalam berbagai bidang keahlian, seperti

membangun benteng pertahanan dan rumah-rumah dalam lingkungan istana raja.

Dengan adanya hubungan itu pula bandar Somba Opu menjadi semakin ramai dan

besar seperti yang terlihat pada abad XVI hingga awal abad XVII.25

Dalam perdagangan, Portugis sebagian besar membawa barang-barang,

yakni berupa kain-kain dari daerah pantai dan Benggali, bahan mentah sutera,

sejumlah emas, dan barang-barang dagangan lain dari Cina. Sejumlah besar kain

dijual di Makassar, dan kain ini dibawa oleh orang-orang Melayu dan oleh

penduduk dari sana dibawa ke seluruh daerah-daerah di sekitarnya, serta beberapa

daerah kepulauan. Di Makassar, Portugis membeli barang-barang dari Maluku,

Ambon, berupa sandelwood (sandal kayu), lilin kulit penyu, dan batu bezoar dari

Kalimantan, bersama-sama dengan berbagai jenis barang dagangan lainnya.26

Bangsa asing selain Portugis yang kemudian juga mengadakan hubungan

dagang dengan kerajaan Gowa adalah orang Belanda. Perseroan Amsterdam

mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri

dari empat kapal, dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian

24 Keberadaan Loji Portugis di Makassar juga disebutkan dalam ANRI: Bundel Makassar

No. 153. Menurut Erkelens sejak tahun 1532 beberapa orang Portugis telah diberi ijin oleh raja

Gowa untuk tinggal di wilayahnya. 25 Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510-1700), (Ujung

Pandang: Bakti Baru-Berita Utama, 1982). Hal. 29; Harun Kadir, dkk., Sejarah Daerah Sulawesi-

Selatan, (Jakarta: Depdikbud, 1978). Hal. 41-42. Menurut Reid, tenaga orang Portugis digunakan

oleh penguasa Makassar untuk dipekerjakan sebagai penembak dan pembuat senjata, serta pelatih. 26 B. Schrieke, Indonesian sociological Studies, part one, (Bandung: Sumur Bandung

Formerly, N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve, 1960). hal. 68.

Page 61: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

50

angkatan kedua tahun 1598 dibawah pimpinan van Nede, van Heemskerk, dan van

Warwijk. Selain dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari berbagai kota

Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 dibawah pimpinan van der

Hagen, dan angkatan keempat tahun 1600 dibawah pimpinan van Neck.27

Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak perseroan

lain berdiri yang juga ingin berdagang, dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan

Maret 1602 perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten_General

Republik dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan

gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di

kawasan antara Tanjung Harapan, dan Kepulauan Solomon, termasuk kepulauan

Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).28

Dalam perjalanan pertama mereka ke kepulauan Nusantara, orang-orang

Belanda hanya menyinggahi Jawa (Banten, Tuban, dan Gresik), serta Maluku;

Sulawesi mereka tinggalkan, baik dalam arti sebenarnya, maupun perintah dari

atas. Baru setelah beberapa tahun kemudian, sesudah mereka mempelajari arti

penting Makassar sebagai tempat persinggahan bagi kapal, dan sebagai pusat

perdagangan rempah-rempah, barulah mereka tertarik dengan Makassar.29

27 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, (Jakarta: Rajawali Press,

2000). Hal. 234-235. 28 Ibid. Lihat juga: Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-batas Pembaratan

jilid I, (Jakarta: PT. Gramedia, 2000). Hal. 61. 29

Dewan Redaksi/Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia jilid

I: ”Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945”, (Jakarta: Yayasan PUSPINDO, 1990). Hal. 62.

Page 62: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

51

Perhatian orang Belanda ke Makassar untuk berdagang dimulai sejak

tahun 1603,30

yakni ditandai oleh ketika orang Belanda mengirimkan sebuah surat

dari Banda31

kepada raja Gowa untuk berdagang di Makassar, permohonan ini

dikabulkan dengan senang hati, tetapi dengan satu syarat, yakni ”hanya untuk

berdagang”, karena mereka mengetahui bahwa Belanda adalah musuh besar orang

Portugis, dan mereka tidak menghendaki Makassar dijadikan sebagai tempat

pertahanan kedua bangsa itu, Kemudian berturut-turut orang-orang asing yang

datang ke Makassar dan mendirikan perwakilan dagangnya secara resmi adalah

orang Inggris, Denmark, Cina, dan lain-lain.

D. Alat Transportasi Perdagangan

Berbicara tentang pelayaran niaga perlu dikemukakan di sini bahwa pada

zaman itu agak sukar dibeda-bedakan antara kapal atau perahu kerajaan dan milik

pribadi. Biasanya pejabat kerajaan seperti Bendahara dan Temenggung, malahan

Sultan pun, memiliki kapal atau perahu yang dipergunakan untuk berniaga.

Adapun alat transportasi yang digunakan dalam pelayaran dan

perdagangan antara lain:

a. Pedagang pribumi menggunakan perahu tradisional seperti:

1). Lepa-lepa, yaitu jenis perahu yang digunakan di daerah-daerah teluk yang

tenang, Di mana laut tidak bergelombang, di sekitar pantai atau di air

payau, Untuk menyeberangkan penumpang atau menangkap ikan. Di

30 Anwar Thosibo, “Peranan Suku Bugis-Makassar dalam Aktivitas Perdagangan di

Kerajaan Gowa-Tallo Abad XVII”, dalam SSNI sub tema: Dinamika Pertumbuhan Ekonomi

Bangsa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud, 1991). Hal. 274. 31

Lihat: F. W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie III, (Amsterdam: NV.

Uitgeversmaatshappij Joost van den Vondel, 1939). Hal. 192.

Page 63: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

52

samping itu perahu yang dibuat dari batang kayu pohon yang lurus itu,

juga dapat difungsikan sebagai sekoci pada kapal-kapal atau perahu-

perahu yang besar.

Bentuk perahu tersebut sangat tergantung pada besarnya pohon.

Namun umumnya panjang sebuah perahu lepa-lepa itu sekitar 3-4 meter

dengan lebar 0,5 meter serta dalamnya sekitar 0,40 meter.32

2). Soppe. Perahu ini merupakan jenis perahu nelayan yang berukuran kecil.

Bentuk dan ukurannya bervariasi, seperti panjangnya antara 5-7 meter,

lebarnya 0,80-1,5 meter dan dalamnya 0,70-0,90 meter. Perahu ini

dijalankan dengan dayung oleh dua orang nelayan yang dilengkapi jala

atau pun pancing bila akan pergi menangkap ikan.

3). Biseang pajala. Ini merupakan salah satu jenis perahu nelayan, yang

digunakan untuk mencari ikan di perairan lepas pantai. Perahu tersebut

terbuat dari papan jenis kayu bitti-bitti atau jati, yang disusun rapi. Perahu

pajala ini, sedikit lebih besar dari perahu lepa-lepa maupun perahu soppe

dan daya angkut bisa sampai 100 ton. Perahu tersebut menggunakan

sebuah layar yang disebut sombala. Di atas geladaknya terdapat bangunan

rumah-rumah yang sekaligus digunakan sebagai dapur.

4). Patorani dan Pedewakan. Jenis perahu patorani ini digunakan untuk

menangkap ikan terbang (tuing-tuing) di perairan Selat Makassar,

32

Adrian B. Lapian, Orang Laut,Bajak Laut,Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi

Abad XIX, (Depok: Komunitas Bambu, 2009). Hal. 87.

Page 64: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

53

sedangkan perahu Pedewakang merupakan perahu nelayan yang dipakai

untuk menangkap teripang jauh ke tengah laut.

5). Lete. Jenis perahu ini digunakan sebagai perahu angkutan niaga jarak jauh

antar pulau, bahkan antar benua. Panjang perahu berukuran antara 10-15

meter, lebar dan dalamnya masing-masing 5 meter dan 1,5 – 2 meter.

Bentuk balok tiangnya besar dan tebal serta menonjol pada haluan dan

buritannya.

6). Lambo. Perahu jenis ini juga dipergunakan sebagai alat angkutan, perahu

niaga jarak jauh. Perahu ini memiliki ukuran panjang antara 15-20 meter,

lebar 3,50 – 4 meter dan tinggi 1,5 – 2 meter. Disamping itu perahu

tersebut juga memiliki tenaga (awak perahu) sebanyak 7-12 orang, dan

diperlengkapi dengan 2 buah kemudi yang letaknya di bagian buritan.

b. Perahu Pedagang Melayu dan Jawa

Kelompok pedagang ini menggunakan perahu yang jauh lebih

besar yang dapat mengangkut macam-macam muatan. Jumlah awak

perahu ini 10 sampai 20 orang, bahkan ada yang hanya 5 atau 6 orang,

perahu tersebut mem[unyai bentuk yang bermacam-macam dengan

namanya sendiri antara lain: ”Contingh”, ”tingangh”, ”Gorap”, ”Galjoot”,

”Gallioen” dan lainnya.

c. Perahu Pedagang Asing

1). Perahu Pedagang Cina

Page 65: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

54

Pedagang Cina ini mempergunakan Jung untuk berdagang. Jung

Cina yang besar sangat menarik perhatian. Tinggi haluan dan buritannya

tidak sama, sedangkan bagian tengah sangat rendah. Di atas buritan

terdapat sejumlah rumah-rumah kecil dan cukup menyolok pula umbul-

umbulnya yang berwarna coreng moreng, sedang ke dua layarnya yang

lebar dan tebal dibuat dari sebangsa daun rumput yang dianyam.

2). Perahu Pedagang Kompeni VOC (Belanda)

Kompeni ini mempergunakan kapal dagang yang besar dan sesuai standar

keamanan pelayaran perdagangan dalam arti sesuai dengan standar

keselamatan pelayaran.

3). Perahu Pedagang Spanyol dan Portugis, menggunakan kapal-kapal

dagangnya yang lebih besar dari perahu-perahu pribumi, hanya saja

berbeda dengan kapal dagang yang dipergunakan oleh VOC, kapal dagang

yang digunakan oleh Spanyol dan Portugis biasanya tidak sesuai dengan

standar keselamatan pelayaran perdagangan dan tidak diperlengkapi

dengan peralatan pengamanan kapal.

4). Perahu Pedagang Inggris, Vietnam dan Thailand

Inggris, Vietnam, dan Thailand menggunakan kapal-kapal dagang yang

dapat memuat berjenis-jenis barang dagangan yang dapat diperdagangkan

di tempat tujuan.

Page 66: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

55

BAB IV

PERAN KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN ABAD XVII

A. Peran Kerajaan Gowa dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan

Nusantara

Politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Kerajaan Gowa bukan hanya

diarahkan untuk memikat pedagang dan pelaut di daerah sekitar (Bugis, Makassar,

Mandar, Selayar, dan Bajo) atau Portugis di Malaka dan Melayu, tetapi juga

mereka yang bergiat di Asia Timur dan Asia Tenggara (pedagang Eropa, Asia

Timur, dan Asia Tenggara). Dalam hal ini peran pelaut dan pedagang Sulawesi

Selatan tidak dapat diabaikan. Mereka melakukan pelayaran niaga antara

Makassar dan daerah penghasil komoditas terpenting ketika itu: Maluku (rempah-

rempah) dan Timor serta Sumba (kayu Cendana). Kedua komoditas ini telah

memikat pedagang lain untuk datang ke Makassar.

Keterbukaan Kerajaan Gowa terhadap semua pedagang memperlancar

hubungan dagang dengan pusat perdagangan lain. I Malikang Daeng Manyonri

(1593-1636), Mangkubumi Kerajaan Gowa, diberitakan mendapat izin dari

penguasa Banda untuk menempatkan wakilnya di Banda pada 1607. Selain itu,

atas izin pemerintah Spanyol di Filipina, penguasa Gowa mendirikan perwakilan

dagang di Manila. Menurut Speelman, perwakilan dagang Gowa di Manila

didirikan karena pedagang Melayu dan Jawa dilarang mengunjungi Manila

dengan mengatasnamakan Makassar (Gowa). Pemerintah Spanyol hanya

menerima pedagang Makassar karena mereka, selain memiliki hubungan dagang,

Page 67: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

56

mereka juga dapat memenuhi permintaan rempah-rempah dan komoditas lain

seperti beras.

Adapun taktik dagang yang di ungkapkan catatan Van der Chijs di Banda:

(Ia) setiap tahun menyediakan beras, pakaian, dan segala sesuatu yang

disenangi di sana (Banda) agar dapat mengumpulkan pala sebanyak

mungkin bagi negerinya, sehingga memikat sejumlah pedagang serta dapat

memborong dalam jumlah besar; (ia) juga tahu bagaimana memberikan

hadiah kepada para ulama Banda agar dapat mengeruk keuntungan besar.1

Cara berdagang semacam itu memudahkan pelaut dan pedagang Makassar

memperoleh rempah-rempah dari Maluku dalam jumlah besar dan murah,

sehingga harga jualnya di Makassar lebih murah daripada di daerah produksinya

sendiri. Stapel yang mengkaji tentang Makassar, menggambarkan perdagangan

Makassar pada permulaan abad ke XVI kedalam beberapa bagian: pertama, pusat

perniagaan dan pangkalan bagi pedagang dan pelaut Makassar. Kedua, pelabuhan

transit terpenting bagi komoditas rempah-rempah dan kayu cendana. Ketiga,

daerah yang berlimpah dengan produk pangan (beras dan ternak). Keempat,

bandar niaga internasional.2

Kemajuan yang dicapai Makassar ternyata tidak memuaskan pedagang

Belanda. Mereka tidak menginginkan pedagang Eropa lainnya berkeliaran di

Makassar. Bagi pedagang Belanda, pedagang Eropa lainnya adalah saingan.

Belanda, yang menanamkan kekuasaannya di Maluku setelah mengusir orang

Portugis dan Spanyol, menghalau perahu-perahu dagang Makassar di dekat

perairan Ambon agar dapat memonopoli rempah-rempah. Penguasa Makassar

melaporkan hal itu kepada perwakilan dagang VOC namun tidak digubris.

1 J. C. van Leur, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic

history, (Bandung: Sumur Bandung, 1960). Hal. 134. 2 F.W. Stapel, Het Bongaais Verdrag, (Leiden: Rijksuniversiteit Leiden, 1922. Disertasi).

hal. 8.

Page 68: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

57

Belum cukup, VOC mendesak Raja I Mangarrangi Daeng Manrabia Sultan

Alauddin (1593-1639) agar tidak menjual beras lagi kepada orang Portugis di

Malaka. Tuntutan itu dijawab oleh raja. ”Negeri saya terbuka untuk semua bangsa

dan tidak ada perlakuan istimewa untuk Tuan sebagaimana juga untuk orang

Portugis.”3 Jawaban ini tidak memuaskan Belanda sehingga pecah ”peristiwa

Enckhuyzen” pada 28 April 1615.4

Tidak lama setelah peristiwa itu pecah, utusan VOC dari Maluku, yang

tidak mengetahui hal-ihwal peristiwa Enckhuyzen, datang dengan menggunakan

kapal De Eendrach pada 10 Desember 1616. Utusan ini menyampaikan pesan

kepada penguasa Makassar untuk melarang orang Makassar berdagang di

kepulauan rempah-rempah, tapi ditolak oleh penguasa Makassar.

Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin (1593-1639), Makassar

mengadakan perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Mataram dan Aceh.5

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (1639-1653)

terjalin hubungan dengan Gubernur Spanyol di Manila, Gubernur Portugis di Goa

(India), penguasa Keling di Koromandel, Raja Inggris, Raja Portugal, Raja

Kastalia (Spanyol), dan Mufti di Mekkah. Jelas, hubungan persahabatan ini

merupakan langkah Makassar untuk setara dengan kerajaan-kerajaan yang

3 Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka,A History of South Sulawesi

(Celebes) in the Seventeenth Century, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981. VKI, No. 91). Hal. 45. 4 Peristiwa ini bermula ketika di kapal Enckhuyzen, yang berlabuh di Pelabuhan

Makassar, diselenggarakan acara malam ramah-tamah dengan para pembesar dan bangsawan

Kerajaan Makassar. Acara ini diselenggarakan sehubungan dengan dicapainya kesepakatan antara

pedagang Belanda di Makassar setelah mengajukan keluhan mengenai berbagai hambatan dan

tantangan yang dihadapi berkenaan dengan kebijakan ekonomi kerajaan Gowa dan pihak dewan

kapal (scheepsraad) Enckhuyzen. Ketika para undangan tiba di kapal di antaranya Syahbandar

Makassar (Encik Husen) dan beberapa anggota keluarga kerajaan, pihak Belanda berusaha

melucuti persenjataan mereka sehingga terjadi perlawanan yang menelan korban jiwa. Dalam

peristiwa ini Belanda berhasil menawan Encik Husen dan dua orang anggota keluarga raja, yang

kemudian dibawa berlayar ke Banten. Baca Abd. Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, (Ujung

Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1983). Hal. 21-22. 5 G.J. dan Wolhoff dan Abdurrahman, Sejarah Gowa, hal. 64.

Page 69: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

58

dipandang kuat dan besar pada waktu itu. Oleh karena itu ketika perdagangan

rempah-rempah di Maluku terancam oleh VOC, Kerajaan Makassar

mempersiapkan bantuan keamanan bagi para pedagang. Dalam salah satu catatan

harian VOC tahun 1624, sebagaimana dikutip oleh Jacob Cornelis van Leur,

memberikan gambaran bahwa perdagangan ke Maluku dilakukan bersama di

bawah perlindungan Kerajaan Makassar. Semua pedagang dilindungi tanpa

kecuali. Kebijakan ini menjadi salah satu faktor yang memikat pedagang untuk

selalu melakukan kegiatan di Makassar.

Strategi Kerajaan Makassar tersebut menjadikan kota pelabuhannya tetap

menjadi pelabuhan Internasional dan pelabuhan transito besar di wilayah

Kepulauan Indonesia bagian timur dalam perdagangan di Asia Tenggara.

Kedudukan politik dan ekonomi Kerajaan Makassar yang kuat menjadi ancaman

besar bagi VOC, yang menjalankan kebijakan monopoli. Pertentangan dan

permusuhan di antara mereka, yang berlangsung sejak 1615, mencapai puncaknya

dalam bentuk Perang Makassar pada Desember 1666 sampai 18 November 1667.

VOC unggul dan berhasil memaksa Gowa untuk menandatangani Perjanjian

Bungaya (Het Bongaais Verdrag). Perjanjian perdamaian ini sangat

menguntungkan VOC. Kerajaan Gowa diwajibkan membayar kerugian perang,

melepaskan seluruh tawanan pegawai VOC, menyerahkan barang VOC yang

disita, melepaskan koloni-koloninya, membongkar benteng-benteng

pertahanannya, mengusir semua bangsa Eropa yang berdagang di Makassar,

melarang orang Makassar berlayar ke Maluku, hanya membolehkan VOC yang

berdagang di Makassar tanpa macam-macam kewajiban, dan menyerahkan

Benteng Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC.

Page 70: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

59

Perubahan wajah dan kedudukan Makassar berkaitan erat dengan usaha Belanda

menguasai kota tersebut untuk menjamin monopoli di Maluku. Tak

mengherankan bila Makassar lantas dijadikan pos pengawasan bagi pelayaran ke

bagian timur. Para pegawai yang ditempatkan di kota ini diberi tugas utama

mengawasi pelayaran ke Maluku. Dan masa keemasan Makassar pun sirna.

Dari waktu ke waktu Makassar terbentuk dan semakin meluas sehingga

berkembang sebagai kota dagang dan banyak menerima pengaruh dari luar.

Perkembangan Makassar sebagai kota dagang dan kota yang berfungsi sebagai

pusat pemerintahan Belanda di sulawesi pada khususnya dan kawasan Timur

Nusantara pada umumnya sesudah kejatuhan Gowa 1667, secara otomatis

menimbulkan konsekuensi logis di bidang pembangunan perumahan dan gedung-

gedung, pembuatan dan perbaikan jalanan, pembangunan sarana-sarana

peribadatan dan sarana-sarana sosial lainnya dan sebagainya.6

B. Kebangkitan Emporium dan Kapitalisme Ekonomi

Sampai awal abad ke XVII, kehadiran orang Eropa di kepulauan Indonesia

membawa perubahan kecil dalam konstelasi politik di wilayah itu. Kerajaan-

kerajaan yang sampai kedatangan Portugis berperan penting tetap unggul selama

abad ke XVI; tiga kekuatan laut yakni Demak, Malaka-Johor, dan Ternate

berhasil menahan pertumbuhan dominasi Portugis.

Termasuk kedalam kegiatan perdagangan adalah hubungan ekonomi

antara bangsa-bangsa yang paling tua. Hal yang sama tampak pula dalam sejarah

6 Mukhlis, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: DEPDIKBUD, 1995). Hal. 10.

Page 71: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

60

perdagangan di Indonesia, baik pada periode sebelum datangnya pedagang-

pedagang Eropa maupun sesudahnya.

Kerajaan Gowa terletak di Ujung Selatan barat daya pulau Sulawesi.

Kerajaan Gowa dengan ibukotanya yang terkenal dengan nama Somba Opu

terletak di pantai Selat Makassar. Selat inilah yang memisahkan pulau Sulawesi

dengan Kalimantan. Pada mulanya, Makassar hanya merupakan suatu bandar

kecil, tempat bongkar muatan perahu. Selain sebagai pelabuhan dagang,

pelabuhan Makassar di ujung utara juga difungsikan sebagai pangkalan ”Armada”

kerajaan Gowa (Somba Opu) sebelum ditaklukan Belanda, bandar ini berkembang

dengan pesat pada abad ke XVI-XVII.7

Berkembangnya Makassar sebagai Emporium menyebakan pelayaran

niaga antara timur dan barat tidak lagi ditempuh secara langsung. Para pedagang

dari Cina atau teluk Parsi, misalnya, cukup sampai di Malaka atau di Makassar

saja, di mana perdagangan bisa dilakukan dengan pedagang-pedagang lainnya

yang berdatangan dari berbagai kawasan. Para pedaganga dari Malaka pun tidak

perlu meneruskan pelayaran sampai ke Maluku atau ke tempat manapun.

Demikian pula pedagang dari Cina cukup muncul di Makassar untuk memperoleh

komoditi dagang dari Maluku. Maka dapatlah dipahami betapa pentingnya

Makassar sebagai pelabuhan transito bagi Nusantara dengan dunia timur maupun

dengan Cina dan Asia Tenggara. Inilah yang dinamakan emporium trade trade

yang menurut Chaudhuri, merupakan salah satu sarana pokok bagi munculnya

kapitalisme dikalangan penduduk yang berdiam di sekitar Lautan Hindia.8

7 Mukhlis, dkk., Sejarah Sosial Daerah Sulawesi-Selatan Mobilitas Sosial Kota Makassar

1900-1950, (Jakarta: Depdikbud Ditjarahnitra, 1984/1985). Hal. 9. 8 K.N. Chaudhuri, Asia Before Europe. Economy and Civilization of the Indian Ocean

from the Rise of Islam to 1750. (London: Cambridge University Press, 1989). Emporium di sini

Page 72: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

61

Di Makassar mungkin juga di Nusantara pada umumnya, penguasa lokal

berperan penting dalam perdagangan dan pengapalan, atau paling tidak

mewakilkan kepentingannya melalui pertolongan para pedagang asing. Kaum

bangsawan dan penguasa dalam perdagangan berperan sebagai pemilik saham,

sedangkan pelaksana langsung adalah para pedagang atas nama raja ataupun

bangsawan dalam bentuk commenda. Mereka sebagai pemegang saham berhak

memperoleh keuntungan yang pembagiannya diatur dalam suatu perjanjian bagi

hasil.

C. Perdagangan Keramik Asing di Makassar

Terbentuknya jaringan perdagangan Somba Opu (Makassar) bertumpu

pada semangat progresif-revolusioner yang hampir dipraktekkan oleh semua

penguasa Makassar (Somba Opu) dan rakyatnya. Kunci bagi keberhasilan

jaringan ini lebih banyak terletak pada kebijakan-kebijakan penguasanya yang

telah berhasil membentuk satu komunitas internasional di mana para pedagang

mendapatkan fasilitas-fasilitas yang menguntungkan daripada fakta yang ada,

jelas bahwa tempat itu merupakan satu pelabuhan yang baik. Fasilitas yang

tersedia di bandar Somba Opu memungkinkan para pedagang untuk

mengembangkan kegiatan mereka, dan menambah hampir semua sektor

kehidupan. Somba Opu dapat diposisikan menjalankan fungsinya yaitu, pusat

pengumpul (collecting centres), tempat-tempat pengumpan (feeder points), dan

bandar transito atau bandar niaga (entreport).

diartikan sebagai kota-kota pelabuhan yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang

memudahkan para pelaut untuk memperbaiki kapal-kapalnya serta mendukung terselenggaranya

aktifitas perdagangan.

Page 73: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

62

Sebagai collecting centres9, Somba Opu memiliki karakteristik alamiah

yang menguntungkan, antara lain; berada pada titik sentral pelayaran menuju

pulau rempah yang menghubungkan jalur navigasi timur-barat; dan mampu

mengambil keuntungan penuh dari perdagangan jarak jauh (long distance trade)

serta didukung oleh wilayah pedalaman (hinterland) yang kaya dengan hasil-hasil

bumi. Dengan demikian Somba Opu berfungsi sebagai jalan keluar dari sejumlah

produk lokal dari pedalaman ke luar. Tempat-tempat ini kemungkinan sudah sejak

lama menjadi rute strategis bagi perdagangan menengah. Lokasinya sangat

berdekatan dengan jalur-jalur perekonomian yang penting dari mana produk lokal

diperoleh.

Somba Opu juga menjadi tempat perakitan barang-barang yang dipasok

dari pengumpan (feeder points). Meskipun pusat-pusat ini jauh lebih besar

daripada pelabuhan-pelabuhan lokal yang kecil, tetapi barang-barang produksi

setempat menjadi komoditi dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya

pusat-pusat ini juga mengimport barang-barang luar, khususnya barang yang tidak

dapat diproduksi di feeder points10

seperti keramik dan tekstil untuk konsumsi

lokal dan diteruskan ke pedagang lebih kecil dan dikirim ke feeder points, di

pedalaman.

Kategori selanjutnya mengenai pusat-pusat pertumbuhan, adalah entreport

yang jangkauannya lebih luas dan besar dalam melayani perdagangan laut. Secara

umum entreport mudah dikenali dengan peninggalan-peninggalan arkeologisnya.

Data aktifitas perdagangan dalam skala besar pada suatu waktu tertentu dapat

9 Collecting Centres, merupakan suatu tempat untuk mengumpulkan barang dari kapal-

kapal pedagang. 10

feeder points merupakan tempat untuk mengumpan barang-barang yang tidak ada di

collecting centres.

Page 74: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

63

ditunjukkan dengan keragaman artefak pada lokasi bekas entreport. Yang sering

dijumpai adalah jenis-jenis keramik Cina, termasuk produk dari Asia Tenggara,

Jepang dan Eropa bahkan dari Timur-Tengah. Keragaman temuan ini juga dapat

menggambarkan karakteristik kosmopolitan penduduk pelabuhan yang ikut

berperan memajukan entreport.11

Dalam konteks ini Somba Opu dapat juga

dikatagorikan sebagai entreport dan pelabuhan transito karena memiliki ciri-ciri;

berada dalam sumbu jalur pelayaran timur-barat, memiliki fasilitas pergudangan

dan dermaga, pasar, penginapan, alat tukar perdagangan dan sistem perpajakan

yang mengatur arus lalu lintas barang sebagaimana tercermin dalam kitab Hukum

Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa.12

Penelitian di Somba Opu membuktikan bahwa keramik Cina, Thailand dan

Vietnam memiliki pola distribusi yang hampir sama dengan situs-situs yang

berada di daerah pesisir. Di Takalar, Gowa, Pangkep, dan juga di beberapa

tempat di pedalaman, keramik-keramik tersebut umumnya berasal dari daerah

produksi yang sama, dan jenis yang serupa. Namun dari segi kronologi, seperti di

Takbuncini (Takalar), nampaknya keramik-keramik itu didistribusikan dari

Collecting centres Makassar, terutama keramik dari masa Qing akhir, dan

beberapa diantaranya memperlihatkan masa yang hampir sama dengan temuan

dari Somba Opu. Sebaran keramik pada tempat-tempat tersebut sangat mungkin

terjadi sebab wilayah teritori ini berada dibawah kontrol Gowa, dan menjadi basis

11

Leong Sau Heng, ”Collecting Centres, Feeders Points and Entrpots in the Malay

Peninsula 1000 AD-1400 M”, J. Kathirithamby-Wells dan John Villiers, (ED.), The Southeast

Asian Port and Polity: Rise and Demise. (Singapore: National University of Singapore Press,

1990). Hal. 23-26. 12

DEPDIKNAS, Makassar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta: DEPDIKNAS, 2000). Hal.

70.

Page 75: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

64

pertahanan terakhir Makassar sesaat sebelum dikalahkan Belanda pada tahun

1669.

Pedagang-pedagang Melayu, Cina, Gujarat, Jawa dan Bugis-Makassar,

berperan penting dalam lalu lintas perdagangan. Tetapi peran penting pedagang

Cina berlangsung ketika VOC belum menjadi pemain tuinggal dalam long

distance trade (perdagangan jarak jauh), mereka menguasai beberapa pasar

potensial di lautan nan yang. Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan Kaisar

Muzong yang pada tahun 1567 mencabut larangan berdagang dengan selatan.

Pencabutan larangan tersebut segera mengundang pihak swasta untuk

melakukanpelayaran yang lebih intens hampir ke seluruh negeri di kawasan Asia

Tenggara.

C.1. Pedagang Pribumi

Perdagangan keramik yang berskala internasional telah melahirkan begitu

banyak dampaknya bagi masyarakat pribumi, terutama dalam hal modal,

administrasi perdagangan, dan juga etos kerja. Pedagang pribumi dibedakan atas

dua kelompok, yaitu pedagang yang berasal dari kalangan penguasa yang terdiri

dari para bangsawan dan kerabatnya, dan pedagang dari golongan masyarakat

biasa, yang karena profesinya itu dapat ditempatkan pada posisi yang sejajar

dengan kelas menengah. Raja dan kerabatnya adalah pedagang, dan mempunyai

saham dalam ekspedisi-ekspedisi perdagangan di laut, dan bagian terbesar dari

pendapatan negara berasal dari pabean dan aneka pajak perdagangan.13

13

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 6-

7. Diterjemahkan oleh Winarsih Arifin, Rahayu S. Hidayat, dan Jean Couteau dari Le Carrefour

Javanais: Essai d’histoire globale (EHESS, Paris 1990).

Page 76: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

65

Pola perdagangan seperti ini tidak terlepas dari sistem commenda. Sistem

ini telah melibatkan raja, kaum bangsawan dan orang kaya yang ikut dalam

berbagai usaha pelayaran dan perdagangan. Tetapi mereka bukanlah pedagang

yang sebenarnya, sebab mereka hanyalah berfungsi sebagai pemegang saham,

sedangkan pelaksana langsung adalah para pedagang atas nama raja ataupun

bangsawan. Mereka sebagai pemegang saham berhaka meperoleh keuntungan

yang pembagiannya diatur dalam suatu perjanjian bagi hasil yang telah ditetapkan.

Dan tiap-tiap kerajaan memiliki sistem tersendiri dalam hal bagi hasil tersebut.14

Selain pedagang Bugis-Makassar yang ikut berkecimpung dalam

perdagangan keramik terdapat pula pedagang-pedagang Jawa. Mereka umumnya

berasal dari Gresik, Giri, Jaratan, Sedayu, Surabaya dan berasal dari berbagai

tempat lainnya yang telah lama menetap di Malaka untuk tujuan berdagang.

Kepindahan mereka bersama orang-orang Melayu ke Makassar disebabkan oleh

kebijakan Portugis yang tidak menguntungkan bagi pedagng-pedagang setempat,

baik dari segi etika maupun moral keagamaan. Pedagang Jawa ini tidak saja

mereka yang pernah tinggal di Malaka, tetapi sebagiannya berasal dari tempat-

tempat di Jawa yang telah lam menjalin hubungan dagang dengan Makassar, abik

sebelum maupun sesudah kejatuhan Malaka. Pedagang Jawa dari Malaka, dalam

batas tertentu sudah ”menjadi orang Melayu”, perilaku dan etos kerjamereka

sudah diwarnai oleh unsur Melayu dan nuansa Islam yang kental. Tetapi argumen

ini tidak bisa digeneralisir, sebab tampaknya mereka juga tetap mempertahankan

unsur kejawaannya.15

14

Effendy A.R. Muslimin, Perdagangan Keramik di Nusantara (Makassar: Indobis,

2002). Hal. 106. 15

Ibid….. hal. 109.

Page 77: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

66

Pedagang pribumi menjual keramik yang dibelinya dari pedagang asing di

Makassar atau yang diperoleh selama kunjungannya ke Barat, ke Malaka, Jawa

bahkan ke Cina dan negara-negara penghasil keramik lainnya dikawasan Asia

Tenggara. Ini tentu saja bukan hal yang aneh karena pada masa itu telah terbuka

jaringan pelayaran antar bangsa yang sudah dirintis oleh pedagang-pedagang

setempat maupun oleh pedagang asing. Pedagang Makassar pun memperoleh

keramik dari pusat-pusat produksi di Thailand sudah sejak awal abad ke-XVII,

yakni ketika orang-orang Makassar berpetualang ke Ayuthia sekitar tahun 1664.16

Pelayaran pedagang-pedagang Makassar ke Barat ini, terutama dilakukan

dengan memanfaatkan pengaruh Angin Timur yang berhembus pada bulan Mei

hingga September, sementara pedagang-pedagang Jawa (dan Makassar setelah

kembali dari daerah seberang) berlayar keTimur, ke Makassar, dengan mengikuti

angain Barat yang berhembus antara bulan November hingga Maret. Dalam

pelayarn ke Timur para pedagang membawa keramik juga untuk diperdagangkan

di sana. Dan mereka baru meninggalkan Makassar pada bulan April atau

sesudahnya pada waktu angin musim berhembus dari Timur. Dalam

perlawatannya itu pedagang pribumi mengangkut hasil-hasil bumi yang

diperolehnya baik di Makassar maupun di Maluku untuk kemudian dijual di

pelabuhan-pelabuhan persinggahannya. Rempah-rempah dan beras mereka bawa

ke pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Malaka di mana harga komoditas tersebut

sangat mahal di tempat-tempat itu. Dari sinilah terbentuk akulturasi budaya yang

terbentuk antara pedagang Makassar sendiri maupun pedagang dari Jawa, Malaka

dan lainnya.

16

Christian Pelras, “Petualangan Orang Makassar di Ayuthia (Muang Thai) Pada Abad

ke-XVII”, Jurnal Masyarakat Indonesia. Th. Ke-IX, No.2 (1982), hal. 209.

Page 78: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

67

Dan transaksi perdagangan yang dilakukan ketika itu pun pada umumnya

secara barter. Keramik ditukar dengan produk-produk setempat baik berupa

rempah-rempah, beras, kain atau kayu cendana yang kemudian mereka jual

kembali kepada pedagang asing dengan harga yang jauh lebih mahal. Penukaran

secara barter juga didasarkan pada perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan

antara kedua belah pihak.

C.2. Pedagang Cina

Pedagang Cina merupakan sebuah komunitas yang dapat membangkitkan

semangat kerja bagi pertumbuhan kota-kota dagang Nusantara. Banten atau

Batavia, contoh dua kota yang semasa dengan kebangkitan Makassar, adalah kota-

kota dagang yang perkembangannya termotivasi oleh kehadiran pedagang-

pedagang Cina. Pertumbuhan kota-kota dagang yang kelihatannya sangat

fenomenal itu, memberikan rangsangan alamiah bagi penguasa-penguasa lokal

lain di Nusantara untuk tidak mengeluarkan kebijakan terlalu protektif bagi

pedagang asing. Prinsip perdagang bebas yang berlaku hampir diseluruh kerajaan-

kerajaan Nusantara sebelum kedatangan bangsa Eropa, adalah aspek penting yang

mempercepat proses perkembangan tersebut. Dan, pedagang Cina memanfaatkan

suasana kebebasan itu dengan penuh semangat, jiwa kapitalisme yang sudah

terpatri dalam sanubari mereka mendapat tempat yang nyata.

Orang-orang Cina yang telah membangun jaringan perdagangan ketika

ekspedisi-ekspedisi itu dilangsungkan, memanfaatkan koneksitas yang sudah

terbentuk sebelumnya dengan pedagang-pedagang pribumi. Poros hubungan yang

sudah terbangun ini memungkinkan mereka untuk melakukan ekspedisi usaha

Page 79: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

68

dengan mendatangkan berbagai komoditas sesuai permintaan pasar. Di sinilah

keramik-keramik itu mulai dibawa berlayar hingga pada suatu masa tertentu,

pedagang-pedagang pribumi juga mencoba menerobos rintangan ketergantungan

terhadap pedagang Cina untuk mendatangkan keramik-keramik tersebut.

Sejak permulaan abad ke-XVII orang-orang Cina merupakan kelompok

yang mulai memainkan peranan penting dan menjadi kukuh ketika di tahun 1618,

mereka secara resmi membuka kantor perwakilan dagangannya di Somba Opu.

Namun menjelang dekade kedua dalam abad ke-XVII, orang-orang Belanda,

Inggris, Spanyol dan Denmark yang juga telah membuka kantor dagangnya di

Somba Opu muali berhasil menjalin kerjasama dengan penduduk Cina yang

menetap, yang memungkinkan mereka berpartisipasi dalam perdagangan melalui

pengumpulan barang-barang lokal yang ditukarkan dengan tekstil.17

Pedagang Cina datang dengan memanfaatkan pengaruh angin musim utara

pada bulan Januari dan tiba pada bulan Februari. Jung yang digunakan biasanya

bertipe besar yaitu yang-ch’uan untuk pelayaran samudera, yang dapat membawa

lebih dari 100 orang, baik awak kapal maupun penumpang, yang bermuatan

sekitar 400 last atau sekitar 800 ton.18

Kapal-kapal dagang ini pun dilengkapi

dengan persenjataan terbatas berupa meriam, senjata ringan, pedang, mata panah

serta mesiu. Ada kemungkinan kenapa kapal ini dipersenjatai karena adalah untuk

menjaga serangan bajak-bajak laut yang beroprasi disepanjang perairan Laut Cina

Selatan, dan juga adanya kekhawatiran adanya awak kapal akan melakukan

17

Effendy A.R. Muslimin, Perdagangan Keramik Di Nusantara (Makassar: Indobis,

2002). Hal. 114. 18

Ada empat jenis jung Cina dengan berbagai ukuran dan fungsinya. Chan-ch’uan (Jung

untuk kepentingan perang), shang ch’uan (Jung untuk kepentingan pelayaran perdagangan pantai),

yu-ch’uan (perahu nelayan), dan yang ch’uan (Kapal bertipe besar yang dipergunakan untuk

kepentingan pelayaran samudera dengan bobot mati 200 sampai 800 ton).

Page 80: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

69

perompakkan terhadap kapal-kapal mereka sendiri. Perdagangan yang dilakukan

dengan kapal-kapal yang dipersenjatai ini (armed trade) sesungguhnya

merupakan ciri sistem perdagangn di Lautan Hindia, termasuk Nusantara pada

masa itu.

Keramik yang diangkut dalam jung-jung tersebut dikemas dalam sebuah

kotak persegi yang diatur susunannya berdasarkan harga masing-masing barang.

Sedangkan keramik berukuran besar seperti tempayan, dibungkus terpisah dengan

keramik lain. Di wilayah teritori Makassar, para pedagang Cina ini tidak

diperkenankan melakukan pelayaran ke kepulauan di bagian selatan atau timur

sehingga harus menunggu di bandar Somba Opu (antara Februari-Juni) sambil

menanti pedagang dan pelaut yang membawa produksi permintaan mereka.

C.3. Pedagang Melayu

Selain pedagang Cina, pedagang asing lain yang juga membangun jaringan

kerjasama perdagangan di wilayah ini adalah orang-orang Melayu.19

Kepastian

mengenai permulaan orang-orang Melayu mulai mengambil bagian dalam

perdagangan Makassar masih samar-samar, dan banyak pihak memperkirakannya

sekitar pertengahan abad ke-XVI.

Perdagangan orang Melayu yang meningkat sejak dasawarsa pertama abad

ke-XVII, dimulai ketika mereka mengekspor komoditas dari wilayah itu dengan

menggunakan sebuah kapal ke Cina untuk diperdagangkan di sana. Tidak banyak

referensi mengenai pedagang-pedagang Melayu yang melakukan perdagangan di

Makassar tetapi apabila kita flashback kita mengetahui bahwa orang-orang

19

Orang-orang Melayu yang dimaksud di sini adalah suku bangsa yang berbahas Melayu,

beradat istiadat Melayu, dan beragama Islam yang berasal dari Pahang, Patani, Cmpa,

Minangkabau, dan Johor yang pola kehidupannya berorientasi pada kelautan.

Page 81: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

70

Melayulah yang pertama kali menyebarkan agama Islam di kepulauan Sulawesi

ini khususnya Kerajaan Gowa, dan raja yang pertama kali memeluk agama Islam

di sana adalah I Mangarangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin), peristiwa

pengislaman itu berlangsung pada tanggal 22 september 1603 / 9 Jumadilawal

1015 H.

Tidak lepas dari pemberitaan ini dapat disimpulkan oleh penulis bahwa

sebenarnya sejak sebelum kerajaan Gowa memeluk agama Islam, disana telah

terdapat orang-orang Melayu yang datang untuk berdagang dan juga berdakwah

ketika itu bahkan mungkin sebelum bangsa Cina, dan Eropa datang ke Makassar,

mereka (orang Melayu) telah tinggal dan menetap di Makassar. Dan salah satu

sumbangan terpenting orang-orang Melayu dalam dinamika sejarah Makassar,

selain dalam bidang perdagangan dan agama, adalah di bidang politik dan

kebudayaan.

C. 4. Pedagang Belanda-Inggris dan Eropa

Setelah bangsa Potugis, datanglah orang-orang Belanda yang mewarisi

aspirasi-aspirasi dan strategi Portugis. Orang-orang Belanda membawa organisasi,

persenjataan, kapal-kapal, dan dukungan keuangan yang lebih baik serta

kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama. Bahkan motifnya lebih

terdorong oleh mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam perdagangan

daripada upaya penyebaran agama seperti apa yang pernah dibawa oleh bangsa

Portugis ketika berdagang di Makassar.

Maskapai dagang VOC dan EIC merupakan dua oraganisasi dagang yang

memainkan peranan penting dalam kancah perdagangan Nusantara sejak

Page 82: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

71

pertengahan abad ke-XVII. Dorongan utama kedua badan dagang raksasa dari

Belanda dan Inggris ini adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-

besarnya dari perdagangan rempah-rempah, dan komoditas lain, seperti keramik

yang belakangan sangat laku di pasaran Eropa.

Pola utama perdagangan VOC dan EIC dikendalikan melalui sistem

administrasi perdagangan yang ketat dan teratur, yang terlepas sama sekali dari

sistem kepegawaian kerajaan. Sistemini dijalankan oleh sebuah kelompok yang

bertumpu pada jenjang pekerjaan ”koopman” (pedagang). Dan untuk mencapai

posisi pedagang biasanya dimulai dari ”onderkoopman” (calon pedagang), dan

posisi puncak dari keseluruhan sistem ini adalah ”opperkoopman” atau pedagang

besar.20

Arsip-arsip Belanda tentang perdagangan Makassar abad ke-XVII hanya

mencatat beberapa hal saja mengenai kebijakan politik Gubernur Speelman di

wilayah kekuasaannya (onderhorighen).21

Seperti telah dikatakan, bahwa pelelangan keramik Cina di Middleburg

dan Amsterdam menghasilkan keuntungan yang besar bagi VOC sehingga

memberi dorongan kuat bagi maskapai dagang itu untuk mengadakan ekspansi ke

wilayah produksi. Dengan motif untuk memperoleh keuntungan, Belanda

berusaha dengan berbagai cara untuk dapat memasok keramik secara

berkesinambungan dari tempat asalnya, Cina. Untuk tujuan itu Belanda mencoba

membuka kantor dagangnya di Formosa pada tahun 1624. pada waktu itu

Formosa bukan merupakan wilayah Cina, namun setiap pedagang Cina yang

datang diperbolehkan untuk berdagang di sana. Formosa kemudian berkembang

20

R.Z. Leirissa., G.A. Ohorella dan Yudi B. Tangkilisan, Sejarah Perekonomian

Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996). Hal. 41. 21

ANRI: Arsip Makassar (No. 123/1) berupa Makassar Bijlagen Resolutie, dan Notitie

van Speelman 1669 Memorie van overgave (catatan Serah terima jabatan).

Page 83: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

72

menjadi salah satu pusat terpenting bagi jaringan distribusi dagang VOC terutama

ke Batavia. Nah, melalui pelabuhan Batavia lah keramik-keramik tersebut

disalurkan ke Kepulauan Indonesia, Eropa, dan kawasan Asia lainnya. Namun

hanya berselang sekitar tigabelas tahun kemudian (1657) volume ekspor keramik

Belanda dari Cina mulai menurun bahkan terhenti sama sekali, ketika Cheng

Ch’eng-kung melarang pedagang-pedagang Belanda untuk memasuki wilayah

perairan Cina. Ternyata larangan ini mengundang reaksi keras dari pemerintah

Belanda. Dan untuk menghindari terjadinya stagnasi dalam perdagangan, maka

Belanda mulai mengalihkan perhatiannya ke Jepang dan Persia.

Penghamparan historis dinamika perdagangan keramik oleh VOC,

memperlihatkan bahwa barang-barang tersebut tidak semata-mata diekspor untuk

memenuhi kebutuhan pasaran Eropa, tetapi juga didistribusikan bagi kepentingan

berbagai wilayah Indonesia termasuk Makassar. Di Makassar sendiri VOC telah

merebut hegemoni perdagangan keramik sekitar dasawarsa kelima abad ke-XVII.

Mereka membuka kantor perwakilan dagangnya tahun 1607 dan John Jourdan

diangkat sebagai pimpinannya, serta mulai memlihara hubungan politik dan sosial

dengan masyarakat sekelilingnya. Sementara Inggris menyusul sekitar tahun

1613. perdagangan mulai berjalan secara reguler dengan dukungan sistem

administrasi perdagangan yang teratur.

Di Makassar keramik-keramik yang dibawa oleh pedagang-pedagang

Belanda dari Cina, sementara disimpan lebih dahulu di kantor perwakilan

dagangnya atau langsung didistribusikan langsung kepada agen-agen mereka.

Perdagangan dijalankan dengan pola yang umum berlaku di berbagai pelabuhan

dagang Nusantara. Jual beli dilakukan dengan menggunakan picis (sejenis mata

Page 84: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

73

uang lokal) dan barter atau kredit. Kalau dilihat dari perspektif global mengenai

perdagangan Makassar dalam konteks hubungannya dengan VOC dan EIC, maka

kita akan menemukan dua hal penting yang kelihatannya bersifat simbiosis di satu

sisi, namun pada sisi lain bersifat kontrafaktual. Pertama, perdagangan VOC-

Makassar tidak terjadi saling ketergantungan karena Makassar tidak memiliki

”hinterland” yang memadai kecuali Maros dan Pangkajene di bagian utara;

Takalar, Bantaeng dan Bulukumba pada bagian selatan yang merupakan

penyuplai utama kebutuhan pangan, tidak cukup memberi kontribusi bagi VOC

untuk mengeksploitasi wilayah ini.makassar juga tidak mempunyai hasil bumi

yang bisa diandalkan untuk pasaran internasional, serta posisinya lebih dari

sekedar pelabuhan transito bagi pelayaran antara Barat dan Timur (khususnya

daerah produksi rempah-rempah, tekstil dan kayu cendana). Kedua, kehadiran

VOC ternyata membawa perubahan sosial yang mencolok yaitu munculnya istilah

”penguasa pedagang”.22

C. 5. Pedagang Arab dan India

Mengenai riwayat hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara

(khususnya Makassar) terutama kita tahu dari kisah perjalanan spiritual

Muhammad Yusuf Al-Maqassari (1627-1699) atau yang lebih dikenal sebagai

Syeikh Yusuf ke Timur Tengah dalam abad ke-XVII. Tavernier, pengembara

Prancis yang mengunjungi Makassar pada tahun 1660, menceritakan bahwa ketika

raja Makassar sedang mempertimbangkan untuk masuk Islam, ia juga didekati

seorang Jesuit Portugis agar masuk Kristen. Penguasa Makassar ini dilaporkan

22

Effendy A.R. Muslimin, Perdagangan Keramik Di Nusantara (Makassar: Indobis,

2002). Hal. 142.

Page 85: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

74

bersedia meninggalkan kepercayaannya kepada berhala jika ”orang-orang

Mohammedan” dapat mengirimkan kepadanya dua atau tiga ”moullah” atau

”doktor” paling cakap dari Makkah, atau orang Kristen dapat mengirimkan orang

Jesuit paling ahli, sehingga ia diberi pengajaran tentang kedua agama ini.

Selanjutnya Tavernier menulis; ...dalam waktu delapan bulan, mereka (kaum

Muslim) mengirim dari Makkah dua ”Moullah” ahli; sehingga ketika Raja

Makassar melihat bahwa orang-orang Jesuit tidak ada yang datang kepadanya,

maka ia segera memeluk Islam.23

Mengenai produk apa yang dijual oleh pedagang-pedagang Arab dan

Timur-Tengah ini tidaklah jelas. Tapi ada juga keterangan yang memberitakan

bahwa para pedagang Arab ini memperdagangkan hasil bumi seperti rempah-

rempah, hasil hutan, hasil tambang, dan hasil pertanian.24

23

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII

dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan,

1995). Hal. 56-57. 24

Ibid.

Page 86: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari bab-bab terdahulu yang telah menjelaskan

mengenai tahap-tahap berkembangnya Kerajaan Gowa dalam perniagaan abad

XVII, maka dapatlah diketahui bahwa berkembangnya Kerajaan Gowa sebagai

salah satu pusat perdagangan dan transito di Nusantara diakibatkan oleh peran

Kerajaan Gowa yang turut bermain dalam pengembangan perdagangan.

Kemunculan Kerajaan Gowa sebagai bandar besar yang turut serta dalam

percaturan perdagangan di Nusantara baru dimulai setelah Raja Gowa ke- IX,

Karaeng Tumaparissi Kallonna (1510-1546), membuat kota raja di Benteng

Somba Opu. Namun nama Makassar sesungguhnya telah dikenal sejak abad ke-

13. Dugaan itu didasarkan atas faktor Internal dan faktor eksternal. Faktor internal

sendiri terdiri atas tiga hal. Pertama, sebelum masa pemerintahannya, istana raja

dan pusat pemerintahan berada di Tamalatea (wilayah Sungguminasa) yang

terletak jauh dari wilayah pantai (kurang lebih 6 km). Hal ini dipandang sebagai

faktor yang menunjukkan bahwa kerajaan itu berorientasi ke dunia agraris.

Kedua, raja ini yang mengawali pemindahan istana dan pusat

pemerintahan ke Benteng Somba Opu yang dibangun di pesisir dekat muara

sungai Je’ne berang, wilayah Somba Opu ini yang dijadikan sebagai Bandar niaga

kerajaan itu, sehingga dipandang sebagai awal kerajaan terlibat dalam dunia

niaga.

Page 87: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

76

Terakhir pada masa pemerintahannya baru dikenal adanya jabatan

syahbandar yang bertugas mengatur lalu lintas niaga dan pajak perdagangan di

pelabuhan. Faktor eksternalnya sendiri terdiri atas beberapa hal diantaranya yakni,

Pertama, adalah letaknya yang strategis karena posisinya berada di tengah-tengah

dunia perdagangan. Dan Kedua, adanya intervensi bangsa Eropa dalam dunia

niaga yang telah memberikan peluang bagi para pedagang dipusat niaga yang

mengitarinya dan mengalihkan kegiatan mereka ke Makassar. Dan juga

perkembangan Makassar menjadi sebuah pusat perdagangan di Nusantara

dikarenakan adanya interaksi perdagangan seperti beras, hewan ternak, keramik,

budak, lada serta rempah-rempah yang telah memicu Makassar menjadi Kerajaan

maritim di Indonesia bagian Timur. Dengan adanya komoditas-komoditas tersebut

maka Makassar khusunya Kerajaan Gowa cukup dikenal oleh khalayak ramai

tidak hanya di Asia tetapi juga sampai ke Eropa.

Raja mengembangkan perdagangan di Kerajaan Gowa dengan cara

melakukan politik ekspansi ke pedalaman dan juga dengan berupaya memberikan

keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang. Politik ekspansi ke pedalaman ini

berfungsi tidak hanya sebagai perluasan wilayah, tetapi juga di manfaatkan untuk

mencari wilayah sokongan baru penghasil komoditi perdagangan. Selanjutnya,

keamanan dan kenyamanan yang telah diberikan oleh kerajaan Gowa kepada para

pedagang agar transaksi perdagangan berjalan lancar juga telah menjadi pemicu

pesatnya perdagangan di Makassar.

Ditambah juga dengan kepemimpinan Raja Gowa yang memerintah dari

tahun 1593-1639 (Sultan Alauddin), 1639-1653 (Sultan Malikussaid), 1653-1669

(Sultan Hasanuddin), inilah raja-raja yang mampu mengembangkan dan

Page 88: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

77

mempertahankan kejayaan serta ke eksistensiannya dari pengaruh luar, khususnya

orang Eropa walaupun pada masa Sultan Hasanuddin sedikit mengalami

kegoncangan dalam perdagangan namun tidak menyurutkan cita-cita Kerajaan

Gowa untuk tetap menjadi pelabuhan perdagangan Internasional maupun hanya

sebagai transito para pedagang dari seluruh Nusantara.

Page 89: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

78

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: Rosda, 1999.

_____________, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nunsantara:

Mizan, Jakarta, 1999.

B, Adrian, Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17,

Depok: Komunitas Bambu, 2008.

_____________, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut

Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2008.

Burger, D. H. Sejarah Ekonomis Sociologis, Jakarta: Pradnyaparamita, 1956.

Cense, A.A. dan H.J. Heeren, Pelajaran dan Pengaruh Kebudajaan Makassar-

Bugis di Pantai Utara Australia, Djakarta: Bhratara, 1972.

Dg. Abdurrazak, Patunru, Sejarah Gowa, Ujung Pandang: YKSS, 1983.

Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and

Commodities in Eighteenth-Century Makassar, Leiden: KITLV, 2004.

Gerrit J. Knaap, Shallow waters, rising tide; Shipping and trade in Java around

1775, Leiden: KITLV, 1996.

Hall, Kenneth R., Maritime Trade and State Development in Early Southeast asia,

Honolulu: University of Hawai Press, 1985.

Hamid, Pananrangi. Sejarah Daerah Gowa, Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah

dan Niali Tradisional, 1990.

Hamonic, Gilbert. Studi Perbandingan Kosmogoni Sulawesi Selatan tentang

Naskah Asal-Usul Dewata-dewata Bugis: Citra Masyarakat Indonesia,

Jakarta: PT. Sinar Harapan-Archipel, 1983.

Page 90: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

79

Hamsjah Dg Mangemba, Kota Makassar Dalam Lintasan Sejarah, Makassar:

Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1972.

Kadir, Abd. Ahmad. Islam di Tanah Gowa, Makassar: Indobis Graphic Design,

2004.

Kartodirjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992.

_____________, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 sampai 1900 dari

Emporium sampai Imperium, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa , Jakarta : Balai Pustaka, 1984.

Leur, J.C. van, Indonesian trade and society Lessays in asian social and economic

history, Bandung :Sumur Bandung, 1960.

M. A. P. Meilink Roelofz, Asian Trade and European Influencein Indonesian

Archipelago Between 1500 and about 1630. The Hague, Martinus Nijhoff.

Mattulada, Latoa, Jogyakarta: Gajah Mada University Vers, 1985.

________, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Ujung Pandang:

Bhakti Baru-Berita Utama, 1982.

Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: DEPDIKBUD, 1995.

_______, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi-Selatan, Mobilitas Sosial Kota

Makassar 1900-1950. Jakarta: DEPDIKBUD Ditjarahnitra, 1984/1985.

Muslimin A.R. Effendy, Perdagangan Keramik Di Nusantara. Makassar:

Indobis, 2002

Muthahhari, Murtadha, Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan, 1992.

Pusponegoro, Nugroho Susantao dan Marwati Djoned, Sejarah Nasional

Indonesia, Jilid III dan IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Page 91: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

80

PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga Di Indonesia, Jilid I: Pra Sejarah Hingga

17 Agustus 1945. Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga Di

Indonesia / PUSPINDO, 1990.

Poelinggomang, L. Edward. Makassar abad XIX: Studi Tentang Kebijakan

Perdagangan Maritim, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.

Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah

Angin, Terj-, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.

_____________, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global

Asia Tenggara 1450-1680, Jilid II, Terj-, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1998.

Sagimun, M. D., Sultan Hassanudin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. Jakarta: Balai

Pustaka, 1992.

Schrieke, B. O., Indonesian Sociological Studies, Jilid I & 2, Bandung: The

Hague, 1955.

Sianipar, T. Obat dan mantera Peranan Dukun dalam Masyarakat Bugis-

Makassar, dalam Dukun Mantra Kepercayaan Masyarakat, Jakarta:

Grafikatama Jaya, 1992.

Soeminto, Aqip, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: Lembaga Penelitian dan

Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), 1985.

Stapel, F.W. Het Bongaais Verdrag, Leiden: Rijksuniversiteit Leiden, 1922.

Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Supratikno Rahardjo, Kota-Kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan Dan

Keruntuhan, Depok: Komunitas Bambu, 2007.

Page 92: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

81

Sutherland, H. Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in

Eighteenth-Century Makassar, dalam Frank Broeze, (ed.) Brides of the

Sea: Port Cities of Asia from 16t –20

th Centuries, Kensington: New South

Wales University Press, 1989.

Vlekke, H. M., Bernard, NUSANTARA: Sejarah Indonesia, Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2008.

Wasis, Widjiono, Ensiklopedia Nusantara, Mawar Gempita, 1989.

W.P. Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa, Terj-, Depok: Komunitas

Bambu, 2008.

Wiharyanto, A Kardiyat, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, Jogjakarta:

Universitas Sanata Dharma, 2005.

Wolters, O.W, Early Indonesian, commerce :a study of the origins of Srividjaya,

New York :Cornell University Press, 1967.

Zuhri, Saefudin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya, Bandung:

Al-Ma’arif, 1981.

Artikel/Jurnal/Laporan Penelitian/

Andaya, Leonard Y., The Heritage of arung Palakka, A History of South Sulawesi

(Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: Martinus Nijhoff, 1981.

VKI, No. 91.

M. A. P. Meilink Roelofz, Asian Trade and European Influencein Indonesian

Archipelago Between 1500 and about 1630. The Hague, Martinus Nijhoff.

Nurhadi. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi

Selatan. 1985.

Page 93: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

82

Sulistyo, Bambang. Perdagangan Bebas di Makassar pada Abad XIX : Tinjauan

Dari Dimensi Sosial dan Politik. 1970.

William Milburn, Oriental Commerce: Containing a Geographical Description

of the principal Places in The East Indies, China, and Japan, with their

Produce, Manifacture, and Trade. London, 1813.

Arsip Nasional Republik Indonesia-Jakarta

1666 (18 November) “Bongaisch Tractaat (contract van vreide

vrind in bond genootschaap tuschen de heer Cornelis Speelman

en den Paduka Sierie Sulthan Kaslan oudijn koning van

Macassar en descelfs”, bundel No. 273. dan “Geschiedkundig

overzigt van Celebes”, 1 band. Bundel No. 294.

Skripsi/Tesis/Desertasi Seminar

Abbas, Irwan. Bulan Sabit di Pulau Pinisi: Suatu Studi Kepustakaan Islam

Terhadap Masyarakat di Kerajaan Gowa 1605-1669. Tesis Fakultas

Pascasarjana UNM, Makassar: Universitas Negeri Makassar, 1991.

Darmawati A. Somba Opu dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan

Nusantara Abad XVII. Tesis Fakultas Pascasarjana UNM, Makassar:

Universitas Negeri Makassar, 2002.

Rasyid, Abd. Asba. Perdagangan di Makassar Pada Masa Akhir Kolonial

Belanda 1896 – 1958: Kapitalisme dan Kompetisi Perdagangan Dunia.

Disertasi Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 2002.

Page 94: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

83

Gambar 1

Kepulauan Sulawesi1

1 Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka A History of South Sulawesi in The

(Celebes) Seventeenth Century, (VKI, The Hague – Martinus Nijhoff (Perpustakaan LIPI), 1981).

Hal. 198.

Page 95: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

84

Gambar 2

Peta Pelabuhan Somba Opu Abad XVII2

2 M.D. Sagimun, Somba Opu. Ujung Pandang: Panitia Seminar Sejarah Perlawanan

Rakyat Sulawesi Selatan Menentang Penjajahan Asing (1975). Hal. 218.

Page 96: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

85

Gambar 3

Pelabuhan Somba Opu (Makassar Tahun 1638)3

3 Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Expansion and

Crisis, Vol. II. (New Haven: London-YalleUniversity Press, 1993). Hal. 82-83.

Page 97: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

86

Gambar 4

Pelabuhan Somba Opu (Makassar Tahun 1638)4

4 Anthony Reid, Indonesian Heritage Early Modern History, (Jakarta: Buku Antar

Bangsa untuk Grolier Internasional, Inc., 1996).

Page 98: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

87

Gambar 5

Mata Uang Yang Beredar pada Abad XVII5

5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1990). Hal.

161.

Page 99: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

88

Lampiran 1.a

Gambar 1

Perahu Dagang Eropa6

6 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia

Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1999). Hal. 54

Page 100: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

89

Lampiran 1.b

Gambar 2

Perahu Dagang China (Jung China)7

7 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia

Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1999). Hal. 55.

Page 101: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

90

Lampiran 1.c

Gambar 3

Gambar Perahu Pinisi8

8 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia

Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1999). Hal. 56.

Page 102: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

91

Lampiran 1.d.

Gambar 4

Perahu Dagang Jung Asia Tenggara

dan Perahu Dagang Melayu9

9 Anthony Reid, Dari Ekspansi hingga krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia

Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1999). Hal. 50.

Page 103: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

92

Lampiran 1.e.

Gambar 5

Jenis Mata Uang Yang Beredar Pada Abad ke-XVII10

10

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid I, (Jakarta: Gramedia, 1990).

Hal.161

Page 104: KERAJAAN GOWA DALAM PERNIAGAAN

93

Lampiran II

Silsilah Raja-Raja Gowa11

Daftar Raja-raja Gowa yang memerintah sampai sesudah peperangan antara Gowa

dan VOC.

I. TuManurunga ri Tamalate (1320-1345)

II. Tumasalangga Baraya (1345-1370)

III. I Puang Loe Lembang (1370-1395)

IV. I Tuniatabanri (1395-1420)

V. Karampang Ri Gowa (1420-1445)

VI. Tunatangka Lopi (1445-1460)

VII. Batara Gowa Tumenanga ri Parallakenna (1460)

VIII. I Pakereta Tunijallo ri Pasukki (1460-1510)

IX. Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi Tumaparrisi Kallonna

(1510-1546)

X. I Marioga Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng

(1546-1565)

XI. I Tajibarani Daeng Karaeng Data’Tunibatta (1565)

XII. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo

(1565-1590)

XIII. I Tepukaraeng Daeng Pirambu Karaeng Botolangkasa Tunipasulu

(1590-1593)

XIV. I Mangngarangngi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri

Gaukanna (memerintah 1593 -1639)

XV. I Mannuntungi Daeng Matola Karaeng Lakiung Sultan Muhammad

Said Tumenanga ri Papambatunna (memerintah 1639-1653)

XVI. I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Muttawang Karaeng

Botomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’pangka

(memerintah 1653 – 1669; lahir 12 januari 1631, wafat 12 juni

1670)

XVII. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah

Tumammalianga ri Allu’ (memerintah : 1669 – 1674)

XVIII. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara

(1674-1677)

XIX. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul

Jalil Tuminanga ri Lakiyung (1677-1709)

XX. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu

(1709-1711)

11

Sagimun, M. D., Sultan Hassanudin Ayam Jantan dari Ufuk Timur. (Jakarta: Balai

Pustaka, 1992). Hal. 181.