kerajaan-kerajaan islam
-
Upload
aribinhotopplapongo-supraptowirojoksonosutrisno-dilappootolannyakkiulunna -
Category
Documents
-
view
250 -
download
22
Embed Size (px)
description
Transcript of kerajaan-kerajaan islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran Islam di Nusantara pada abad ke-7 telah membawa perubahan
penting dalam sejarah kepulauan Nusantara. Pada awalnya Islam hanyalah milik
pedagang yang berniaga di kepulauan Nusantara, tetapi seiring dengan perkembangan
waktu, maka Islam mampu membuktikan bahwa dirinya layak dimiliki dan
dikembangkan di wilayah Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya berbagai
Kerajaan Islam di wilayah Nusantara.1
Kemunculan dan keberadaan kerajaan – kerajaan tersebut merupakan
kelanjutan dari proses islamisasi daerah – daerah pantai yang pernah disinggahi para
pedagang muslim sejak abad ke-7,8 dan seterusnya. Tidaklah semua kerajaan –
kerajaan Islam di Nusantara akan kami bahas, melainkan dipilih kerajaan tertentu
yang dianggap dapat mewakili wilayah – wilayah Nusantara, meliputi kerajaaan –
kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.2
B. Rumusan Masalah
1 Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara (cet.I;Jakarta:Buku Islam Utama,2010),h.171.2 M.Sewang,Ahmad. Sejarah Islam di Indonesia (cet.I;Makassar:Alauddin Press,2010),h.48.
1

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Jelaskan kerajaan – kerajaan Islam di Sumatera !
2. Jelaskan kerajaan – kerajaan Islam di Jawa !
3. Jelaskan kerajaan – kerajaan Islam di Kalimantan !
4. Jelaskan kerajaan – kerajaan Islam di Sulawesi !
5. Jelaskan kerajaan – kerajaan Islam di Maluku !
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui kerajaan – kerajaan Islam di Sumatera.
2. Untuk mengetahui kerajaan – kerajaan Islam di Jawa.
3. Untuk mengetahui kerajaan – kerajaan Islam di Kalimantan.
4. Untuk mengetahui kerajaan – kerajaan Islam di Sulawesi.
5. Untuk mengetahui kerajaan – kerajaan Islam di Maluku.
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI SUMATERA
Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, tidak identik dengan
masuknya Islam di daerah-daerah tersebut, kadang-kadang melalui proses
sejarah yang panjang setelah kedatangan Islam barulah berdiri suatu kerajaan
Islam. Kemunculan dan keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut merupakan
kelanjutan dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi
para pedagang muslim sejak abad ke-7, 8, dan seterusnya. Berdasarkan bukti-
bukti sejarah, Sumatera merupakan daerah Indonesia pertama yang
mendapatkan pengaruh Islam. Secara geografis, hal itu sangat memungkinkan
karena pulau Sumatera memang terletak di wilayah bagian barat dari
kepulauan Indonesia.
1. Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai
yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut
Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan sejak awal abad
ke-13 sampai pertengahan abad ke-14 M yang dapat diketahui dari berita Cina
dan pendapat Ibnu Batutah, seorang pengembara dari Maroko. Dalam berita
Cina, dituliskan bahwa sejak tahun 1282 M, Al-Malik al-Saleh telah
3

mengirimkan utusan ke Quilon, yang terletak di Pantai Barat India, dan
bertemu dengan duta-duta dari Cina. Diantara nama-nama duta yang dirimkan
adalah Husain dan Sulaiman.3 Ibnu Batutah yang berkunjung ke Sumatera
tahun 1346 M menyatakan bahwa di sana Islam sudah berkembang pesat
sekitar satu abad. Selain itu, Samudera Pasai juga digambarkan menjadi pusat
studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negeri
membicarakan masalah keagamaan dan keduniaan.4
Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu juga
didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai.
Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada
bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun
1297 M.
Bertolak dari bukti tersebut di atas, para sarjana-sarjana Barat
khususnya sarjana Belanda seperi Snouck Hurgronye, J.P. Moguette, J.L.
Moens, J. Husshoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan dan lain-lain, mereka
menyebutkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri pada pertengahan
abad ke-13 dan sebagai pendiri kerajaan ini adalah Sultan Malik Al-Saleh,
beliau pulalah sebagai raja pertama dengan memakai gelar Sultan. Sultan
Malik Al-Saleh kemudian menikah dengan puteri raja Perlak. Dari
3Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. IV (Jakarta, Pt. Raja Grafindo Persada, 1996), h.4Tim Penyusun TextBook Sejarah dan Kebudayaan Islam Direktoral Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid III (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984),h.118
4

perkawinannya itu lahirlah dua orang putera, masing-masing Muhammad
Malik dan Ahmad Malik.
Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samudrera Pasai abad ke-
13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang
sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan
sekelilingnya.5
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan6 gelar Malik Al-Saleh
sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Beliau masuk Islam
berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah,
yang kemudian memberinya gelar Sultan.
Merah Selu adalah putera Merah Gajah. Nama Merah merupakan gelar
bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata
sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula. Kepimpinannya yang
menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
Dari hikayat itu tedapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat
kerajaan Samudera Pasai adalah muara sungai Peusangan, sebuah sungai yang
cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-
perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan
sebaliknya. Ada dua kota yang terletak bersebarangan di muara sungai
Peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih ke
5Uka Tjandrasasmita,”Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh”, dalam A. Hasyny, ibid., hal 362
6Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, op.cit.,hlm.423-426
5

pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang
terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja.
Sultan Malik Al-Saleh digantikan oleh puteranya Sultan
Muhammad yang terkenal dengan nama Sultan Malik Al-Dhahir, kemudian
Sultan ini digantikan oleh Sultan Ahmad yang juga memakai nama Malik Az-
Zakir. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Al-Dhahir, Samudera Pasai
mendapat kunjungan dari Ibnu Batutah yang tiba di Indonesia tahun 1345 M.
Menurut keterangan yang didapat oleh Ibnu Batutah raja tersebut adalah putra
tertua dari Sultan Malik Al-Saleh, raja ini sangat peramah dan suka kepada
ilmu pengetahuan. Istananya selalu dikunjungi oleh ahli syair dan para ulama.
Dikatakan juga bahwa di Samudera Pasai, hidup dua orang cerdik pandai
berasal dari Iran mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas. Mereka
ini sudah beberapa kali diutus ke Delhi untuk menyampaikan hadiah dan
untuk mempererat tali persahabatan dengan raja-raja yang memerintah di
Hindustan. Hubungan diplomatik antara muslim Indonesia dengan muslim
Hindustan telah erat. Beliau juga seorang prajurit Islam yang bercita-cita
mengembangkan Islam. Menurut catatan Ibnu Batutah, bahwa pejabat-pejabat
kerjaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana.
Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan Islam dan sebagai pemimpin
tertinggi kerajaan berada ditangan Sultan yang biasanya memerintah secara
turun-temurun. Di samping sultan, terdapat menteri besar, seorang bendahara,
seorang komandan militer atau panglima Angkatan Laut yang gelarnya
6

Laksamana, seorang sekretaris kerajaan, seorang Qadhi, dan beberapa orang
syahbandar yang mengelapai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di
kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu.
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak
mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan
pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu merupakan
sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh
penghasilan dan pajak yang besar. Dengan perdagangan, kerajaan Samudera
Pasai menjalin kerjasama tetap dengan kerajaan-kerajaan luar seperti Malaka,
Cina, India, dan sebagainya yang menjadikannya kerajaan Islam Samudera
Pasai sebagai sebuah kerajaan Islam yang sangat terkenal dan berpengaruh di
kawasan Asia Tenggara terutama pada abad ke-14 dan abad ke-15. Karena
kebesarannya itu, maka kerajaan Islam Samudera Pasai telah pula dapat
mengembangkan penyiaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di
Nusantara pada waktu itu diantaranya ke Minangkabau, Palembang, Jambi,
Patani, Maluku, Jawa, dan beberapa kerajaan pantai disekitarnya.
Samudera Pasai memainkan peranan di dalam perkembangan Islam di
Jawa dan Sulawesi. Pada tahun 1395 M, Sultan Zainal Abidin telah mengantar
penyiara Islam ke Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak
yang bergelar Syekh Awwalul Islam.
Sultan-sultan di kerajaan Samudera Pasai adalah pelindung bagi
ulama-ulama dan bertanggung jawab terhadap penyiaran Islam, bukan hanya
7

dalam kesultanan/kerajaan Samudera Pasai, tetapi kepada siapa saja, sesuai
dengan ajaran Islam, sebagai usaha penguasa dunia dan penguasa agama,
dalam arti petugas dalam urusan-urusan duniawi dan bertugas menyiarkan
agama Islam.
Kerajaan Islam Samudera Pasai cukup makmur menurut ukuran masa
itu. Hal ini dibuktikan dengan kemampuannya menerbitkan mata uang emas
yang disebut deureuham, yang berhasil ditemukan sebagai salah satu
peninggalan kerajaan. Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah
diteliti oleh H.K.J. Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja
Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan
Manshur Malik Al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan Abdullah. Pada tahun
1973,ditemukan lagi 11 mata uang dirham diantaranya bertuliskan Sultan
Muhammad Malik Al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah, semuanya
adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke-14 M dan ke-15 M.7
Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu dapat diketahui nama-
nama raja dan urut-urutannya, sebagai berikut :
1. Sultan Malik Al-Saleh (Merah Silu), 1275-1297 M.
2. Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, 1297-1326 M.
3. Sultan Mahmud Malik Al-Zahir, 1326-1345 M.
4. Sultan Manshur Malik Al-Zahir, 1345-1346 M.
5. Sultan Ahmad Malik Al-Zahir, 1346-1383 M.
7Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet. IV (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996),h.208
8

6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Al-Zahir, 1383-1405 M.
7. Sultan Nahrasiyah, 1405-1428 M.
8. Sultan Abu Zaid Malik Al-Zahir, 1428-1455 M.
9. Sultan Mahmud Malik Al-Zahir, 1455-1477 M.
10. Sultan Zain Al-Abidin, 1477-1500 M.
11. Sultan Abdullah Malik Al-Zahir, 1501-1513 M.
12. Sultan Zain Al-Abidin, 1513-1524 M.8
Mata uang emas kerajaan Samudera Pasai ini telah diperkenalkan pula
oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan di nusantara
pada waktu itu, diantaranya bandar Malaka.
Untuk mempercepat hubungan antara kerajaan yang berada di bawah
pengaruh kerajaan Islam Samudera Pasai ditempuh jalan perkawinan,
misalnya perkawinan puteri perlak dengan Sultan Samudera Pasai,
Parameswara raja Malaka kawin dengan puteri kerajaan Pasai, Fatahillah
ulama Pasai kawin dengan puteri Banten, kemudian mendirikan kesultanan
Banten.
Menjelang akhir abad ke-14, Samudera Pasai diliputi suasana
kekacauan karena adanya perebutan kekuasaan, sebagaimana dapat
disimpulkan dari berita-berita Tiongkok. Namun sampai pertengahan abad ke-
15 Samudera Pasai masih mengirim utusan-utusan ke Tiongkok. Pada masa
Sultan Zain Al-Abidin (1513-1524 M), Samudera Pasai dikuasai Portugis
8Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, op.cit.,hlm.430.
9

selama 3 tahun, kemudian tahun 1524 M di aneksasi oleh raja Aceh, Ali
Mughayat Syah. Sejak itu, kerajaan Islam Samudera Pasai berada di bawah
pengaruh Kesultanan Aceh.
2. Aceh Darussalam
Daerah inti kesultanan Aceh adalah daerah yang sekarang dikenal
dengan nama Kabupaten Aceh Besar yang sering juga disebut Aceh Raucuk.
Kurang begitu diketahui kapan sebenarnya kerajaan ini berdiri. Menurut
“Hikayat Aceh”, dua orang bersaudara Muzaffar Syah yang menjadi raja
Mahkota Alam dan Inayat Syah yang menjadi raja Dar Al-Kamal saling
berperang. Peperangan itu berakhir dengan kemenangan Muzaffar Syah. Ia
menyatukan kedua kerajaan tersebut menjadi Aceh Dar As-Salam. Menurut
H.J.Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi wilayah Aceh
dan pergantian agama diperkirakan terjadi pada dekade pertengahan abad ke-
14 M.9 Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan
kecil yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa raja
yang pertama adalah Ali Mughayat Syah. Anas Mahmud berpendapat,
kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M di atas puing-puing kerajaan
9H.J de Graaf, Islam di Asia Tenggara Sampai Abad ke 18 dalam Azyumardi Azra (ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 5
10

Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M), dialah yang membangun kota
Aceh Darussalam.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie
yang bekerjasama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M.
Dengan kemenangannya terhadap kedua kerajaan tersebut, Aceh dengan
mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur
daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah
seorang diantaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan sultan-sultan
Deli dan Serdan.
Peletak dasar kerajaan Aceh Darussalam adalah sultan Alauddin
Riayat Syah yang bergelar Al-Qahhar dalam menghadapi bala tentara
Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di
Turki dan kerajaan-kerajaan Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan
Turki Usmani tersebut Aceh dapat membangun angkatan perangnya yang
kuat. Aceh ketika itu, nampaknya mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam Islam.
Puncak kejayaan Aceh Darussalam terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia terkenal dengan gelar Marhum
Mahkota Alam. Di bawah pemerintahannya, perluasan wilayah dan
mengukuhkan ekonominya melalui sistem monopoli, pesisir Sumatera Barat
sampai Indapura telah dipegang Aceh. Bandar yang terpenting di pesisir itu
ialah Pariaman, di situlah diangkut lada ke Indapura kemudian dari daerah
11

lain juga untuk di bawah ke Aceh. Dari Pariaman lah terutama Islam
dikembangkan ke Minangkabau.
Sultan Iskandar Muda meneruskan perlawanan Aceh terhadap Portugis
dan Johor dengan maksud menguasai Selat Malaka dan daerah-daerah lada.
Untuk mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerjasama dengan musuh
Portugis yaitu Belanda dan Inggris. Ditaklukannya Aru, Padang (1618 M),
Kedah (1619 M), Perak (1620), Indragiri dan Batu Sawar (ibu negeri Johor).
Richard Winsterds dan Praja Muhammad Affandi menjelaskan bahwa kebun-
kebun lada di Kedah telah dimusnahkan oleh tentara Aceh, sebagai satu
langkah untuk menghapuskan persaingan perdagangan.
Dengan penaklukannya terhadap Kedah dan Perak berarti Iskandar
Muda berhasil menguasai pertambangan biji timah, begitu juga penaklukan-
penaklukan yang pantas menyebabkan kerajaan Aceh benar-benar menjadi
satu kuasa besar, malah sebagian besar dari hasil-hasil perdagangan di
kawasan barat Asia berada dalam genggamannya.
Setelah menguasai berbagai wilayah, baik di Sumatera maupun di
Semenanjung Melayu, maka perhatian Iskandar Muda segera difokuskan pada
Portugis yang berkedudukan di Malaka. Rencana ini memang sudah lama
dipersiapkan. Sultan Iskandar Muda menyerang Portugis di Malaka selama
dua, yaitu tahun 1628-1629. Sayangnya, Iskandar Muda tidak berhasil
menguasai Malaka dari tangan Portugis.10
10Ibid., hlm. 471-472.M.C.Ricklefs,Op.Cit.,hlm.51.
12

Berhasilnya Sultan Iskandar Muda dalam mengembangkan Kesultanan
Aceh sampai pada masa kejayaannya tidak dapat dilepaskan dari
kemampuannya dalam membangun angkatan perangnya. Kesultanan Aceh
memiliki armada yang besar dan didukung oleh kapal-kapal yang tangguh.
Satu kapal bisa mengangkut 400-800 orang. berbentuk panjang dan
bergeladak dengan dayung sepanjang 1,2 meter. Setiap kapal dilengkapi
dengan tiga meriam yang ampuh dengan empat puluh pon peluru.11
Di darat, Sultan Iskandar Muda memiliki armada yang tangguh yang
terdiri dari gajah-gajah yang sudah dijinakkan. Kekuatan kesultanan sangat
tergantung pada kekuatan gajah. Dalam sebuah catatan, Iskandar Muda
diperkirakan memiliki 900 ekor gajah. Gajah-gajah tersebu tsudah terlatih
dengan baik, sehingga terbiasa dengan suara tembakan. Gajah-gajah itu juga
dilatih untuk memberi penghormatan kepada Sultan dengan cara bertekuk
lutut dan mengangkat belalai sampai tiga kali. Sultan Iskandar Muda tidak
hanya menjadikan gajah sebagai alat pertahanan, tetapi juga dijadikan sebagai
komoditi ekspor. Gajah-gajah itu diekspor ke Ceylon.12
Sultan Iskandar Muda juga memiliki pasukan angkatan darat yang
terdiri atas laki-laki. Jumlahnya diperkirakan sampai 40.000 orang. Apabila
Sultan ingin berperang maka semua angkatan perangnya sudah siap dengan
berbagai perbekalan yang telah mereka siapkan sendiri. Masing-masing
11Denys Lombard, Op.Cit., hlm. 125-128.12Ibid., hlm. 130.
13

pasukan membawa bekal untuk tiga bulan. Sultan hanya memberi
perlengkapan tambahan berupa senjata api dan sebagainya. Tidak hanya itu,
Sultan Iskandar Muda juga telah menyiapkan meriam-meriam tempur untuk
dapat digunakan sebagai basis penyerangan dan pertahanan. Diperkirakan,
Iskandar Muda telah memiliki 500 pucuk meriam. Meriam-meriam itu didapat
dari kekhalifahan Turki dan dibeli dari bangsa Eropa.13
Dimasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam
menjadi salah satu tempat pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh
dibangun Masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah, dan lembaga-lembaga
pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf tekenal seperti
Hamzah Fanshuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf
As-Sinkili. Syaikh Syamsuddin Sumatrani adalah ulama yang menjabat
sebagai mufti pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.14
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, masalah peradilan
telah berkembang baik. Pada masa ini ada empat macam lembaga peradilan
yaitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengadilan perdata diadakan setiap
pagi kecuali pada hari Jumat di sebuah balai besar dekat Masjid
Baiturrahman. Dalam masalah pidana, hukuman yang diberikan adalah
hukuman potong tangan bagi para pencuri dan denda apabila barang yang
dicurinya tidak memenuhi standar. Apabila mereka telah menjalani hukuman,
13Ibid., hlm. 123-133.14Harun Nasution, dkk., Op.Cit., hlm. 472
14

maka mereka diterima kembali sebagai anggota masyarakat dan kehormatan
mereka kembali dihargai sebagai seorang manusia. Sultan Iskandar Muda juga
menerapkan hukum qishas bagi mereka yang melakukan pembunuhan. Dalam
bidang pengadilan agama, maka yang berperan adalah seorang Qadhi (hakim).
Tugas Qadhi adalah memberikan hukuman kepada mereka yang telah
melanggar syariat-syariat Islam, terutama dalam masalah ibadah dan
perbuatan maksiat, seperti judi dan minum-minuman keras. Dalam bidang
pengadilan agama, Sultan Iskandar Muda sangat ketat dalam menegakkan
hukum. Sultan pernah menuangkan timah hitam mendidih ke dalam
tenggorokan dua warga Aceh yang terbukti melakukan perbuatan mabuk-
mabukkan. Sultan ini juga pernah memotong tangan rakyatnya yang terbukti
melakukan pencurian. Bagi mereka yang terbukti melakukan pencurian
berulang kali, maka hukuman yang diberikan adalah hukuman pembuangan.
Mereka dibuang ke pulau lepas pantai Sabang. Begitu teguhnya Sultan
Iskandar Muda dalam menegakkan hukum, maka Sultan pun tidak segan-
segan menjatuhkan hukuman rajam kepada putranya sendiri. Sultan Iskandar
Muda pernah menjatuhkan hukuman rajam kepada puteranya, Meurah Pupok.
Hukuman rajam itu dilakukan karena puteranya terbukti melakukan perbuatan
zina dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda berkata : “ Mati anak
ada makamnya, mati hukum ke mana hendak dicari”. Di pelabuhan, Sultan
Iskandar Muda juga mengadakan pengadilan yaitu pengadilan niaga.
15

Pengadilan ini diadakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi
antara para pedagang baik pedagang pribumi maupun pedagang asing.15
Sebagai aturan hidup yang luas, Islam tidak hanya berpengaruh dalam
bidang perundang-undangan Aceh, tetapi juga banyak mempengaruhi
kehidupan masyarakat Aceh dalam berbagai bidang dan salah satunya adalah
pendidikan keluarga. Dalam mendidik anak-anak, keluarga Aceh sangat
dipengaruhi dengan nilai-nilai Islam. Berikut kutipan tentang bagaimana
pengaruh Islam dalan pendidikan keluarga di Aceh.
“…Anak yang baru lahir dimandikan, kemudian diadzankan atau
iqomatkan. Sesudah tujuh hari, mencukur kepala anak dan mengadakan
acara aqiqah. Apabila anak sudah mencapai umur enam tahun, ia harus
dikhitan. Apabila umurnya tujuh tahun, ia harus pindah kamar dan diajarkan
sembahyang. Apabila umurnya enam belas atau tujuh belas tahun, ia harus
diberi istri. Sementara itu, seyogyanya dicarikan guru-guru yang pandai
mengajarkan ilmu-ilmu agama….”16
Kutipan di atas menjelaskan kepada kita, bagaimana besarnya
pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh pada masa pemerinthan
Sultan Iskandar Muda. Kelurga Aceh sangat memperhatikan nilai-nilai agama.
Pada umur tujuh tahun, anaknya harus pisah kamar dari orang tua dan apabila
15Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta:Pustaka Gramedia, 2007), hlm.118-121. Anonim, Op.Cit., hlm.49.Musyirah Sunanto, Op.Cit.,hlm. 138.
16Denys Lombard, Op.Cit., hlm. 85.
16

berumur tiga belas tahun harus melaksanakan syariat Islam, terutama salat
lima waktu.
Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, ia mendapat gelar Marhum
Mangkuta Alam. Sebagai pengganti Sultan Iskandar Muda, maka diangkatlah
Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Setelah diangkat, ia diberi gelar dengan
Sultan Alauddin Mughayat Syah. Sultan ini adalah menantu Sultan Iskandar
Muda yang berasal dari Semenanjung Melayu. Pengangkatannya sebagai
Sultan Aceh Darussalam berdasarkan wasiat dari Sultan Iskandar Muda.
Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas hubungan Aceh Darussalam
dengan Semenanjung Melayu. Sultan Iskandar Tsani mempertahakan
kejayaan Aceh Darussalam yang telah dicapai oleh mertuanya, Sultan
Iskandar Muda. Karena tidak memiliki keturunan, maka setelah Sultan
Iskandar Tsani wafat, jabatannya sebagai Sultan diambil alih oleh istrinya,
Sofiatuddin Tajul Alam (1641-1675), putri Sultan Iskandar Muda. Setelah
diangkat, ia diberi gelar Sri Sultan Tajus Sofiatuddin Syah. Pada masa
pemerintahannya, kejayaan Aceh mulai menurun dalam bidang politik,
ekonomi, dan militer. Sri Sultan lebih mempertimbangkan bidang pendidikan,
karenanya pada masa ini Aceh banyak mengirimkan kitab-kitab karangan
ulama dan Al-Quran pada raja-raja di Ternate, Tidore, Bacan, Maluku Utara
beserta para guru agama dan mubaligh.
Setelah Sofiatuddin Tajul Alam wafat, jabatannya dilanjutkan oleh
Inayat Syah (1678-1688), dan berakhir Sulthonah Kamalat Syah (1688-1699).
17

Kepemimpinan wanita dalam kesultanan Aceh tidak dilanjutkan lagi, Karena
pada tahun 1699, keluar fatwa dari Mekkah, bahwa secara syariat wanita
dilarang memimpin suatu negara.17
Setelah keluarnya fatwa tersebut, maka sultan-sultan yang memimpin
Kesultanan Aceh Darussalam adalah sultan-sultan dari keturunan Arab.
Mereka itu adalah Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-
1702), Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-17893), Sultan Jamalul
Alam (1703-1726). Setelah Sultan Jamalul Alam, maka yang menjadi sultan
di kesultanan Aceh adalah sultan dari keturunan bugis. Keturunan Bugis
memimpin kesultanan Aceh untuk beberapa periode. Pada tahun 1818,
keturunan Jawharul Alam berkuasa kembali atas bantuan Inggris. Pada tahun
1873, Belanda menyerang kesultanan Aceh. Pada tahun 1874, istana
kesultanan Aceh berhasil dkuasai oleh Belanda, tetapi sultan yang berkuasa,
Mahmud Syah dapat lolos dari serangan Belanda. Sultan Mahmud Syah
akhirnya meninggal di pengungsian karena sakit. Sebagai penggantinya, maka
rakyat Aceh mengangkat sultan yang baru, yaitu Sultan Muhammad Daud
Syah tetapi sultan ini dapat ditangkap oleh Belanda pada tahun 1903 dan
dibuang ke Ambon pada tahun 1907. Ia meninggal dalam pembuangan pada
tahun 1939. Sultan Muhammad Daud Syah adalah sultan terakhir dari
kesultanan Aceh Darussalam. Setelah Aceh tidak memiliki kesultanan, maka
17Mundzirin, dkk., Op.Cit., hlm. 69.
18

perjuangan melawan kolonial Belanda dilanjutkan oleh rakyat Aceh di bawah
pimpinan para ulama hingga 1942.
B. TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI
JAWA
Dengan adanya gerakan dakwah yang dijalankan oleh Wali Songo dan
ditambah adanya proses Islamisasi dari Malaka, maka dua hal ini yang menyebabkan
semakin merosotnya Kerajaan Hindu Majapahit yang berpusat di Jawa Timur dan
menyebabkan pula lahirnya kerajaan Islam di pulau Jawa.
1. Demak
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi
Raja Majapahit. Hal inilah yang memberi peluang kepada penguasa – penguasa Islam
di persisir untuk membangun pusat – pusat kekuasaan.
Demak adalah kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang didirikan oleh
Raden Patah pada tahun 1478. Ia adalah anak dari istri Prabu Brawijaya V,seorang
muslimah keturunan Cina. Nama Raden Patah diberikan Sunan Ampel yang artinya
pembuka pintu gerbang kemenangan. 18
Di bawah kepemimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat
mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak. Setelah diangkat
menjadi sultan Demak, Raden Patah diberi gelar Sultan Al-Fattah Alamsyah Akbar.
18 Harun Nasution dkk.,Op.Cit.,hlm 240.
19

Sedangkan menurut sumber lain, beliau diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan nama
Senapati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Gama. 19
Untuk menjaga kewibawaan negara, maka dibangunlah angkatan perang
Kesultanan Demak. Angkatan perang ini tidak hanya sebagai penjaga dan pengayom
negara, tetapi juga mewujudkan cita – cita agama Islam sebagaimana yang telah
dirintis oleh Wali Songo.
Atas nasihat Sunan Kudus, maka Raden Patah membuat strategi berikut :
1) Menghancurkan kekuatan Portugis di luar Indonesia
2) Membuat pertahanan yang kuat di Indonesia. 20
Pada tahun 1513, Raden Patah mengirimkan putranya sendiri bernama Patih
Yunus atau Adipati Unus untuk memimpin pasukan Islam dari Demak dengan
bantuan dari Palembang guna menghancurkan kedudukan Portugis di Malaka. Dalam
serangan ini, Adipati Unus dilengkapi dengan 90 kapal dan 1200 prajurit. Tetapi,
serangan yang dipimpin oleh Adipati Unus ini mengalami kegagalan. Atas
keberaniannya dalam memimpin pasukan Demak mengarungi laut Jawa, maka ia
diberi gelar Pangeran Sebrang Lor. 21
Setelah Adipati Unus gagal, maka Raden Patah kembali mengutus cucunya
sendiri untuk memimpin pasukan Islam dari Demak untuk menghancurkan
kedudukan Malaka, tetapi serangan ini kembali gagal. Ketika keinginan Raden Patah
19 Taufik Abdullah (Ed.),Op.Cit.,hlm.6920 Mundzirin dkk,Op.Cit.,hlm.7821 H.J. De Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud,Op.Cit.,hlm.49
20

belum terwujud, beliau telah meninggal dunia pada tahun 1518. Jabatannya
digantikan oleh anaknya yang bernama Adipati Unus atau Pangeran Sebrang Lor. 22
Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak II 1518-1521), yang juga bernama Patih
Yunus, tidak lama memerintah dan masa pemerintahannya kebanyakan dihabiskan
dalam medan perang. Setelah Pangeran Sebrang Lor wafat pada tahun 1521 ia
digantikan oleh saudaranya Sultan Trenggono.
Sultan Trenggono (Sultan Demak III 1521-1546) bercita – cita untuk
mengislamkan seluruh tanah Jawa. Di bawah kepemimpinannya, Demak mampu
menjadi pusat penyebaran dan pengembangan Islam di Jawa. Namun, banyak kendala
yang dihadapinya terutama mengubah pola pikir dan kebiasaan Hindu ke Islam. Pada
masa itu banyak hukum agama Hindu yang dimasukkkan ke dalam hukum Islam.
Akibatnya, tidak sedikit rakyat jelata yang beribadah di mesjid tetapi tetap
menghormati candi dan arca Hindu dalam kesehariannya. 23
Islam berkembang ke seluruh Jawa bahkan sampai ke Kalimantan Selatan.
Majapahit dan Tuban jatuh dalam kekuasaan Demak sekitar tahun 1527. Selanjutnya
Demak berhasil menundukkan Madiun tahun 1529, Blora (1530), Surabaya (1531),
Pasuruan (1535), antara tahun 1541-1542 Lamongan, Blitar dan Wirasaba, dan Kediri
(1544).
Beliau memperkuat kekuasaan melalui pertalian darah. Syarif Hidayatullah
dinikahkan dengan saudara perempuannya. Puterinya yang tertua dinikahkan dengan
22 Ibid.,hlm.4623 R.P.Suyono,Peperangan Kerajaan di Nusantara:Penelusuran Kepustakaan Sejarah,
(Jakarta:Grasindo,2004),hlm.25
21

Pangeran Langgar dari Madura. Dengan cara ini, Madura tergabung dalam kekuatan
Demak. Puterinya yang kedua dinikahkan dengan Pangeran Hadiri yang kemudian
diangkat menjadi Adipati Jepara (Kali Nyamat). Putrinya yang ketiga dinikahkan
dengan Pangeran Pasarean dan puterinya yang bungsu dinikahkan dengan Ki Joko
Tingkir atau Mas Krebet atau Adiwijaya. Dengan pertalian kekeluargaan tersebut,
maka rencana beliau banyak tercapai. Bupati – bupati yang menjadi menantunya itu
menjalankan rencana beliau dengan sebaik – baiknya.
Pada tahun 1546 dalam penyerbuan ke Blambangan, Sultan Trenggono
terbunuh. Ia digantika oleh adiknya Prawoto. Masa pemerintahannya tidak
berlangsung lama karena terjadi pemberontakan adipati – adipati sekitar kerajaan
Demak. Sultan Prawoto kemudian dibunuh oleh Arya Panangsang dari Jipang pada
tahun 1549. Sehingga terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Panangsan dengan
Adiwijoyo. Sunan Kudus ulama yang sangat berpengaruh di Jawa rupanya berpihak
kepada Arya Panangsang karena memang dia yang berhak melanjutkan kerajaan
Demak. Akan tetapi, Arya Panangsang juga terbunuh karena ditikam oleh Joko
Tingkir atau Adiwijaya. 24 Akhirnya kerajaan Demak mengalami kemunduran dan
sebagai gantinya, maka lahirlah kerajaan Pajang di bawah pimpinan Sultan Adiwijaya
alias Jaka Tingkir.
2. Pajang
24 Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid III (Ujung Pandang,IAIN Alauddin,1984),hlm.138
22

Kerajaan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan
Demak. Kerajaan yang terletak di daerah Kartasura ini merupakan kerajaan Islam
pertama di daerah pedalaman pulau Jawa. Usia kerajaan ini tidak panjang. Peralihan
kekuasaan politik dari kerajaan Demak kepada kerajaan Pajang, diikuti pula dengan
perubahan pusat pemerintahan dari pinggir laut yang bersifat maritime, ke pedalaman
yang bersifat pertanian (agraris) serta terjadi perubahan aliran agama Islam dari
mazhab Hanafi menjadi aliran Syiah.
Joko Tingkir atau Sultan Adiwijaya menjadi raja pertama dari Kerajaan
Pajang. Ia memindahkan atribut – atribut kerajaan Demak ke Pajang. 25 Pengesahan
Adiwijaya sebagai raja pertama dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah diangkat menjadi
Sultan, ia diberi gelar Sultan Adiwijaya.
Kerajaan Pajang tidak mudah mendapatkan pengakuan dari adipati – adipati
yang setia pada kerajaan Demak. Gresik di bawah pimpinan Sunan Giri Perapen
(Sunan Giri IV) dan Sedayu, Surabaya dan Pasuruan di bawah pengaruh Pangeran
Langgar (menantu Sultan Trenggana), pada mulanya tidak mau mengakui Pajang
sebagai kerajaan tertinggi di Jawa. Setelah melalui perjuangan yang cukup lama,
akhirnya pengaruh Pangeran Langgar mulai memudar, terutama setelah keluarnya
fatwa dari Sunan Giri Perapen, bahwa untuk menghindari pertumpahan darah maka
lebih baik bersatu di bawah pimpinan Kerajaan Pajang.
25 Atribut tersebut berupa alat- alat upacara kerajaan Demak yang merupakan warisan kerajaan Hindu Majapahit yang dibawa oleh Raden Patah ke Demak, ketika ia mendirikan kerajaan Demak. Jadi Demak dan Pajang secara historis masih merupakan kelanjutan dari kerajaan Hindu Majapahit yang membedakannya hanya agama resmi dari kerajaan itu sendiri. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu, sedangkan kerajaan Demak dan Pajang merupakan kerajaan Islam.
23

Setelah daerah – daerah di atas, maka daerah Tuban, Pati, Pemalang Madiun,
Blitar, Banyumas, Demak dan Mataram ikut pula mengakui kerajaan Pajang.
Khususnya wilayah Demak sendiri, statusnya berubah menjadi kadipaten yang
dipimpin oleh seorang adipati yaitu Arya Parigi, anak Pangeran Prawoto (cucu Sultan
Trenggana). 26 Akhirnya kerajaan Pajang tampil sebagai pewaris kerajaan Demak
yang mendapatkan pengakuan dari berbagai adipati yang ada di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya, kesusastraan dan kesenian keraton
yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa. Niti
Sruti adalah sajak monolistik yang dikarang oleh pujangga Pajang, Pangeran Karang
Gayam. 27
Sultan Pajang meninggal pada tahun 1582, ia digantikan oleh Arya Parigi
sebagai Sultan Pajang dan menggabungkan daerah Demak ke dalam wilayah Pajang.
Ternyata tindakan Sultan bari ini dapat merugikan rakyat, sehingga rakyat tidak
senang kepadanya. Kesempatan ini dipergunakan Pangeran Benowo (putera Joko
Tingkir) yang disingkirkan oleh Arya Parigi untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia
meminta bantuan kepada Senopati di Mataram yang memang menginginkan
lenyapnya kerajaan Pajang. Sehingga terjadi perang antara Pajang dan Mataram.
Sultan Arya Parigi menyerah sedangkan Pangeran Benowo mengakui kekuasaan
Senapati. Semua alat kebesaran Majapahit yang ada di istana Pajang diserahkan
26 Harun Nasution dkk.,Op.Cit.,hlm.87327 Mundzirin dkk .,Op.Cit.,hlm.82
24

kepada Senopati untuk dibawa ke Mataram. Maka daerah Pajang dapat dipersatukan
dengan Mataram dan tamatlah riwayat kerajaan Pajang.
3. Mataram
Pada awalnya, Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan oleh Sultan
Adiwijaya (Sultan Pajang) kepada Ki Gede Pemanahan. 28 Sultan Adiwijaya
menghadiahkannya karena Ki Gede Pemanahan telah berhasil membantu Sultan
Adiwijaya dalam membunuh Aryo Penangsang, ketika memperebutkan tahta
Kerajaan Demak setelah meninggalnya Sultan Trenggana.
Di tangan Ki Gede Pemanahan, Mataram mulai menunjukkan kemajuan. Pada
tahun 1575,Ki Gede Pemanahan meninggal maka usaha untuk memajukan Mataram
dilajutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya. 29 Sutawijaya yang telah berhasil
meruntuhkan Pajang mengangkat dirinya menjadi raja Mataram (1586-1601). Ia
terkenal sebagai seorang yang pemberani dan mahir dalam berperang sehingga diberi
gelar Senopati Ing Alaga (Panglima Perang) dan Syaidin Panatagama (pemimpin
yang mengatur agama).30
Dalam masa pemerintahannya banyak tantangan yang dihadapi karena ia
menunjukkan politik expansinya. Daerah – daerah yang dulu berada di bawah
pengaruh kekuasaan Pajang satu demi satu ingin melepaskan diri dari ikatan
Mataram. Sehingga untuk memperkuat diri terpaksa Panembahan Senopati
28 Nama lain Ki Gede Pemanahan adalah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Gede Mataram.29 Nama lain Sutawijaya adalah Senopati.30 R.Soetmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid III(Yogyakarta,Kanisius,1973),hlm.55
25

mengadakan peperangan. Peperangan yang pertama terjadi dengan Surabaya pada
tahun 1586. Surabaya tidak ditudukkan tetapi bersedia mengakui kekuasaan Senopati.
Pada tahun 1586, Senopati juga berhasil manghancurkan perlawanan dari
Maduin dan Ponorogo. Kemudian pada tahun 1587 ia menggempur Pasuruan,
Panarukan dan Blambangan yang masih tetap belum Islam namun belum berhasil.
Tahun 1595 ia berhasil memaksa Cirebon dan Galuh untuk mengakui kekuasaannya.
Pajang, Demak serta daerah – daerah pantai utara Jawa mengadakan pemberontakan,
tetapi Penembahan Senopati berhasil memadamkannya. Cita – cita dan usahanya
untuk mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram belum berhasil.
Namun, telah dapat meletakkan dasar – dasar kerajaan Mataram. Senopati meninggal
pada tahun 1601 dan kedudukannya digantikan oleh puteranya Raden Mas Jolang.
Setelah diangkat menjadi Sultan Mataram, Raden Mas Jolang atau Seda Ing
Krapyak dengan gelar Sultan Anyokrowati (1601-1613). Pada masa itu keadaan
Mataram goncang. Demak dan Ponorogo berontak, tetapi Sultan dapat mengatasinya.
Kemudian tahun 1612 Surabaya tidak bersedia lagi mengakui kedaulatan Mataram.
Akhirnya Sultan menduduki Mojokerto, merusak Gresik dan membakar desa – desa
sekitar Surabaya. Namun Surabaya tetap bertahan. Sultan mengalami kegagalan
disusul dengan wafatnya pada tahun 1613.31
Menjelang wafatnya, Raden Mas Jolang menunjuk Raden Mas Rangsang
sebagai penggantinya,tetapi kebijakannya itu bertentangan dengan janjinya terdahulu.
31 Raden Mas Jolang meninggal di Krapyak (daerah Magelang), sehingga diberi gelar Panembahan Seda Krapyak.
26

Mas Jolang pernah berjanji bahwa sebagai penggantinya adalah Martapura (adik
Raden Mas Rangsang). Setelah Raden Mas Jolang meninggal, para bangsawan lebih
memilih menjalankan janji Mas Jolang terdahulu, yaitu mengangkat Martapura
sebagai Sultan Mataram. Tetapi, karena Martapura sakit – sakitan, maka ia tidak lama
menjadi Sultan Mataram dan menyerahkan tahta kepada kakaknya yaitu Raden Mas
Rangsang. 32
Setelah dilantik menjadi Sultan Mataram (1613-1645), Raden Mas Rangsang
diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman.
Ia dikenal sebagai orang yang kuat, jujur dan adil. Pada masa pemerintahannya
Mataram mengalami kejayaan sebagai kerajaan yang terhormat dan disegani, tidak
hanya di pulau Jawa tetapi juga di pulau – pulau lainnya. Namun, tidak dapat
dipungkiri Sultan Agung juga mengalami banyak tantangan, terutama dari mereka
yang menganggap bahwa Sultan Mataram bukanlah keturunan dari raja Majapahit
atau Demak.
Diantara raja – raja atau Sultan Mataram, dialah yang bercita – cita untuk
mempersatukan seluruh Indonesia serta menguasai perdagangan internasional. Dalam
tahun 1639 Kerajaan Blambangan dapat ditundukkan. Jawa Tengah dan Jawa Timur
bahkan di luar Jawa berada di bawah kekuasaan Sultan Agung.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung melakukan usaha – usaha, antara
lain :
1) Mempersatukan Jawa dibawah pemerintahan Mataram.
32 Harun Nasution,dkk.,Op.Cit.,hlm.41
27

2) Perayaan Grebek yang telah menjadi tradisi nenek moyang sejak sebelum
Islam, disesuaikan dengan perayaan hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi
Muhammad SAW.
3) Sejak tahun 1633 M ia mengadakan tareh baru. Perhitungan tahun baru ini
kemudian disebut dengan kalender Jawa Islam. Kalender Jawa didasarkan
pada perjalanan matahari (365 hari). Setelah diubah, maka perhitungan
kalender Jawa didasarkan perjalanan bulan (354 hari).
4) Gamelan Sekaten yang semula hanya dibunyikan pada Grebek Mulud itu,
atas kehendak Sultan Agung dipukul di halaman mesjid besar.
5) Memperluas daerah pertanian dengan memindahkan penduduk dari Jawa
Tengah ke tempat itu.
6) Perdagangan dengan luar negeri tetap dijalankan melaui pelabuhan –
pelabuhan besar seperti Cirebon, Pekalongan, Gresik, dll.33
Sebelum Sultan Agung mencapai cita – citanya itu, ia meninggal pada tahun
1645. Namun kebesaran dan keberaniannya sebagai Sultan Mataram tetap diakui oleh
lawan maupun kawan.34
Posisi Sultan Agung digantikan oleh anaknya yang bernama Amangkurat I
atau Sunan Tegalwangi (1645-1677). Sebagai penguasa Mataram yang baru, Sultan
Amangkurat I tidak mampu melanjutkan system kepemimpinan yang pernah
dijalankan ayahnya. Justru, Sultan Amangkurat I membuat kebijakan – kebijakan 33 Tim Penyusun Text Book Sejarah Kebudayaan Islam Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid III (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984),hlm.144
34 Harun Nasution,dkk.,Op.Cit.hlm.42
28

yang kontroversil, diantaranya : Pertama, tidak lagi menghargai para ulama bahkan
berusaha untuk menyingkirkannya. Kedua, berusaha menghapus lembaga – lembaga
agama yang di kesultanan, seperti menghapus Mahkamah Syariah yang telah
dibentuk oleh ayahnya. Ketiga, berusaha membatasi perkembangan Islam dan
melarang kehidupan agama mencampuri masalah kesultanan. Keempat, berusaha
membangun kerjasama yang baik dengan penjajah Belanda yang menjadi musuh
bebuyutan ayahnya. 35
Sultan Amangkurat I terkenal sebagai seorang sultan yang doyan kekerasan.
Ia telah menindas Pangeran Alit, adiknya sendiri. Ia juga mengasingkan anaknya,
Adipati Anom. Pada tahun 1670, Sultan Amangkurat I mengumpulkan ulama dan
keluarganya di alun – alun Plered. Para ulama itu kemudian dibariskan dan dibantai
secara keji. Menurut laporan Van Goens ada sekitar 6000 ulama beserta keluarganya
uang tewas dibunuh di tempat tersebut. Bahkan sumber lain mengatakan bahwa
jumlah ulama yang dibunuh oleh Sultan Amangkurat I lebih dari 6000 orang.36
Melihat sikap Sultan Amangkurat I tersebut, terjadi pemberontakan oleh
Trunojoyo, Raden Kajora dan Adipati Anom yang mendapat bantuan dari beberapa
daerah seperti Banten. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Adipati Anom
berkhianat dan keluar dari aliansi Trunojoyo dan Raden Kajora. Pada tahun 1677
Mataram jatuh ke tangan Trunojoyo, sedangkan Sultan Amangkurat I beserta anaknya
Adipati Anom berhasil menyelamatkan diri dan lari menuju Batavia untuk meminta
35 Ahmad Adaby Darban,Op.Cit.,hlm.24 36 Ibid.,hlm.27
29

bantuan kepada Belanda. Di tengah perjalanan Sultan Amangkurat I jatuh sakit dan
meninggal di hutan Wanayasa.
Sebelum meninggal, ia sudah menetapkan Adipati Anom sebagai Sultan
Mataram yang baru. Setelah dilantik Adipati Anom diberi gelar Sultan Amangkurat
II. Ia memerintah pada Tahun 1677-1679. Amangkurat II bertekad untuk merebut
kembali Mataram dengan meminta bantuan Belanda. Mereka melakukan penyerangan
besar – besaran terhadap Mataram. Akhirnya Raden Kajora dibunuh oleh Belanda
pada tanggal 14 September 1679 sedangkan Trunojoyo berhasil dibunuh oleh Sultan
Amangkurat II pada tanggal 25 Desember 1679. Dengan demikian, Sultan
Amangkurat II berhasil merebut kembali Mataram.
Sultan Amangkurat II meninggal pada 1702. Setelah wafatnya, kesultanan
Mataram semakin merosot dan campur tangan Belanda semakin menguat. Pada tahun
1755 melalui perjanjian Gianti, Belanda berhasil membagi dua Kerajaan Mataram
yaitu Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta. Pada tahun 1757, kerajaan
Surakarta dibagi dua lagi yaitu wilayah yang dikuasai oleh Paku Buwono dan wilayah
yang dikuasai Mangkunegara. Tahun 1813, kerajaan Yogyakarta dibagi dua oleh
Inggris yaitu wilayah kesultanan yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono dan
Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Pangeran Paku Alam.37 Peristiwa ini
merupakan pangkal perpecahan dan keruntuhan kerajaan Islam di Jawa Tengah yang
hanya tinggal nama saja sedangkan kekuasaan mutlak berada di tangan Belanda.
4. Cirebon
37 Nugroho Notosusanto,dkk.,Sejarah Nasional Jilid IV,(Jakarta:Balai Pustaka,1993)
30

Kerajaan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh Sunan Gunung Jati. 38 Di awal abad ke-16, Cirebon masih merupakan
sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya
menempatkan sebuah juru labuhan di sana yang bernama Pangeran Walangsungsang,
seorang tokoh yang memilki hubungan darah dengan raja Pajajaran. Islam telah ada
di Cirebon sekitar 1470-1475 M. Akan tetapi, orang yang berhasil menigkatkan status
Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayat yang terkenal dengan gelar
Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang. Dialah
pendiri dinasti raja – raja Cirebon dan Banten.
Sunan Gunung Jati lahir pada tahun 1448 M dan wafat tahun 1568 M dalam
usia 120 tahun. Ia mendapatkan penghormatan dari raja – raja lain di Jawa, seperti
Demak dan Pajang karena kedudukannya sebagai seorang Wali Songo. Setelah
Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan
Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran yang masih
belum menganut Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah – daerah
lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten.
Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya Sultan Hasanuddin.
Sultan inilah yang menurunkan raja – raja Banten. Pada tahun 1527 M, berdasarkan
prakarsa Sunan Gunung Jati penyerangan ke Sunda Kelapa dilakuakan dan dipimpin
38 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Islam Baru:1500-1900,Jilid I (Jakarta,Gramedia,1987), hlm.32
31

oleh Falatehan dengan bantuan tentara Demak. Setelah Gunung Jati wafat, ia
digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan
Ratu pada tahun 1570. 39 Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan
oleh puteranya bergelar Panembahan Girilaya.
Keutuhan Cirebon sebagai suatu kerajaan hanya sampai pada Pangeran
Girilaya. Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah
oleh dua puteranya yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepu dan Kartawijaya atau
Panembahan Anom. Panembahan Sepu memimpin kesultanan Kesepuhan sebagai
rajanya yang pertama dengan gelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom
memimpin Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.
5. Banten
Kerajaan Banten juga didirikan oleh Fathillah40 pada tahun 1525. Fatahillah
menyerahkan kekuasaan Banten kepada anaknya yang bernama Hasanuddin. Sejak
itu Hasanuddin resmi menjadi Sultan I di Banten pada tahun 1552-1570 dan Banten
diumumkan sebagai kerajaan Islam di Jawa.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil mengembangkan
usaha penyebaran Islam sampai ke wilayah Lampung dan sekitarnya. Pelabuahan
Banten tumbuh menjadi pelabuhan lada terbesar di Jawa serta menjadi Bandar dan
pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh saudagar dari Cina, India dan Eropa. 39 Ibid.,hlm.3340 Fatahillah memiliki banyak nama, diantaranya adalah Syarif Hidayatullah, Syaikh Nurullah,
Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syaikh Mazkurullah, Makdum Jati, Maulana Israil dan Sunan Gunung Jati
32

Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570. Setelah meninggal ia diberi gelar
Pangeran Saba Kingking dan posisinya sebagai Sultan Banten digantikan oleh
anaknya Maulana Yusuf Panembahan Pangkalan Gede.41
Pengeran Yusuf Sultan Banten II (1570-1580) giat memperluas daerahnya
dengan menaklukkan kerajaan Pajajaran yang masih belum Islam pada tahun 1579.
Memajukan pertanian dan pengairan demi kemakmuran rakyat. Mendirikan mesjid
Agung Banten dan membuat benteng dari batu bata. Ia juga membuat ibu kota baru
yakni Banten Surasowan (Sura Saji).42 Pada tahun 1580 Sultan Yusuf wafat dan
meninggalkan kerajaan yang sudah kuat dan luas. Ia digantikan oleh anaknya
Maulana Muhammad.
Setelah wafatnya Sultan Yusuf, Banten beberapa kali dipimpin oleh sultan
yang masih anak – anak. Maulana Muhammad (1580-1596) yang baru berumur 9
tahun diangkat menggantikan ayahnya dan didampingi oleh Mangkubumi sebagai
walinya. Pada tahun 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan terhadap
Palembang. Pada saat itu, Palembang hampir dikuasai tetapi tiba – tiba Sultan Banten
itu tertembak mati dalam usia 25 tahun. Hal ini menyebabkan serangan terhenti dan
armada kembali tanpa membawa hasil. Posisinya digantikan oleh anaknya
Abulmufakhir Mahmud Abdulkadir.
Pada tanggal 22 Juni 1596 mendaratlah orang – orang Belanda di pelabuhan
Banten di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Kedatangan bangsa Belanda ini
41 Harun Nasution,dkk.,Op.Cit.,hlm.177 42 Ibid.,hlm.178
33

merupakan titik awal dari hari depan Indonesia yang gelap. Sedangkan yang
memerintah pada saat itu adalah anak Sultan Muhammad yang masih berusia 5 bulan
dan didampingi oleh walinya yang bernama Jayanegara.
Kerajaan Banten mulai bangkit kembali ketika dipimpin oleh Sultan Ageng
Tirtayasa43 yang berkuasa pada tahun 1651-1680. Untuk memajukan agama Islam,
Sultan Ageng Tirtayasa bekerjasama dengan ulama tasawuf salah satunya Syaikh
Yusuf al-Makassari. Ia adalah seorang ulama tasawuf yang terkenal dan berasal dari
Gowa, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1644, ia pergi berkelana sampai ke di Jazirah
Arab untuk mendalami ajaran Islam. Pada tahun 1670, ia kembali ke Nusantara dan
ketika tiba di Nusantara, Syaikh Yusuf al-Makassari telah mendapati kampung
halamannya, Gowa telah dikuasai oleh penjajah Belanda. Sehingga ia memutuskan
untuk menetap di Kesultanan Banten. Di Banten, ia dijadikan menantu oleh Sultan
Ageng Tirtayasa.44
Menetapnya Syaikh Yusuf al-Makassari di kerajaan Banten telah
menyebabkan Banten berkembang menjadi salah satu pusat pengajaran tarekat.
Melalui tarekat, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengasah semangad jihad rakyat
Banten untuk berperang melawan Belanda.45
Pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Pelabuhan Banten mampu berkembang menjadi
pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan Banten, banyak komoditi dagang
43 Nama asli Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abul Fathi Abdul Fatha.44 Darmawijaya,Op.Cit.,hlm.5845 Harun Nasution,dkk.,Op.Cit.,hlm.178
34

yang diekspor ke Persia, India, Arab, Manila, Tiongkok dan Jepang. Sultan Ageng
melakukan hubungan dagang dengan Inggris, Perancis, Denmark dan Portugis.
Sementara di sector pertanian, ia membuka ladang – ladang baru, perluasan sawah
dan perbaikan pengairan. Ia juga membuat kapal pesiar “Lancang Kuning” yang
dapat dipakai bersama bangsawan Banten pergi berburu rusa dan banteng.46
Petaka Banten dimulai ketika Sultan Muda Abun Nashr Abdul Kahar (anak
Sultan Ageng Tirtayasa) atau Sultan Haji main mata dengan Belanda. Belanda sering
melakukan tindakan – tindakan yang merugikan kerajaan Banten. Melihat gelagat
Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa menyatakan perang terhadap Belanda. Pada tahun
1681-1682 perang terbuka antara Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda yang
bekerjasama dengan anaknya, Sultan Haji yang berlangsung sengit. Pada tahun 1683,
Sultan Ageng Tirtayasa menyerah kepada Belanda. Ia wafat pada tahun 1695 dalam
penahanan di Batavia.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerah, perjuangan rakyat Banten tetap
dilanjutkan oleh menatunya, Syaikh Yusuf al-Makassari yang dibantu oleh Pangeran
Purbaya dan Pangeran Kidul. Pada tanggal 14 Desember 1983, penjajah Belanda
berhasil menangkap Syaikh Yusuf bersama pasukannya.47 Setelah ditangkap, ia
dibuang ke Ceylon (Sri Langka). Kharisma Syaikh Yusuf yang begitu besar membuat
penjajah Belanda terpaksa memindahkan tempat pembuangan dari Ceylon ke Tanjung
46 Ibid,hlm.19347 Darmawijaya,Loc.Cit.hlm.58
35

Harapan di Afrika Selatan pada tahun 1694 dalam usia 68 tahun. Pada tanggal 22 Mei
1699, Syaikh Yusuf al-Makassari wafat di Tanjung Harapan.48
C. TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI
KALIMANTAN
1. Kalimantan
Pada akhir abad ke-15, Islam mulai masuk ke Kalimantan dibawa oleh putera
Raja Daha, Raden Sekar Sungsang. Di samping itu, Islam juga telah mulai
diperkenalkan di Kalimantan oleh pedagang dan mubaligh Islam yang berasal dari
Keling, Gurajat, Melayu, Bugis dan Biaju.49 Perkembanga Islam di Kalimantan
semakin baik setelah berdirinya Kerajaan Banjar dan Kerajaan Kutai.
a. Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan
Tulisan – tulisan yang membicarakan tentang masuknya Islam di Kalimantan
Selatan selalu mengidentikkan dengan berdirinya kerajaan Banjarmasin. Kerajaan
Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama Hindu.
Peristiwanya dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana antara
pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha dengan pamannya pangeran
Tumenggung. Menurut hikayat Banjar, setelah terjadi perpecahan antara keduanya
maka terjadilah perang. Kerajaan Banjar di daerah pantai dipimpin oleh pangeran
48 Ibid.,hlm.6049 Kamrani Buseri,dkk,”Islam dan Keragaman Budaya Lokal di Kalimantan”,Op.Cit.,hlm.268
36

Samudera sedangkan di Daha, di hulu sungai dipimpin oleh Tumenggung.50 Pangeran
Samudera meminta bantuan kepada raja Demak. Sultan Demak akan memberikan
bantuan denga n syarat setelah pemberontakan berakhir, penduduk Banjarmasin dan
sekitarnya harus menerima agama Islam sebagai agama mereka. Syarat tersebut
diterima oleh Pangeran Samudera.
Dalam peperangan itu, pangeran Samudera memperoleh kemenangan dan
sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh kerabat kerajaan dan penduduk Banjar
menyatakan diri masuk Islam. Setelah masuk Islam, pangeran Samudera diberi nama
Sultan Suryanullah atau Suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam
kerajaan Islam Banjar. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1540. Adapun urutan – urutan
nama Sultan kerajaan Banjar adalah :
1) Sultan Suriansyah atau pangeran Samudera memerintah tahun 1595-1620. Pusat
pemerintahannya yang semula di Banjarmasin dipindahkan ke Kayu Tinggi
Teluk Selong, Martapura.
2) Sultan Rahmatullah memerintah tahun 1620-1642.
3) Sultan Hidayatullah memerintah pada tahun 1642-1650. Pada masa
pemerintahannya pusat kerajaan dipindahkan ke Batang Mangapan, sekarang
bernama Muara Tambangan dekat Martapura.
4) Sultan Musta’in Billah memerintah antara tahun 1650-1678.
5) Sultan Inayatullah memerintah antara tahun 1678-1685.
50 J.J.Ras,Hikayat Banjar : Study in Malay Historiography,(The Hangue-Martinus Nijhoff-KTLV,1968),hlm.376-398
37

6) Sultan Sa’dillah memerintah antara tahun 1685-1700.
7) Sultan Tahilillah memerintah antara tahun 1700-1745. Pada masa
pemerintahannya beliau mendatangkan ulama – ulama untuk mengajarkan
rukun Islam yang ke-5.
8) Sultan Tamjidillah memerintah antara tahun 1745-1778. Pada masa
pemerintahannya yaitu tahun 1766, ia memindahkan pusat pemerintahan ke
Martapura.
9) Sultan Tahmidillah memerintah antara tahun 1778-1808. Pada masa
pemerintahannya Syekh Muhammad Arsyad tiba di Banjarmasin setelah kurang
lebih 35 tahun belajar agama di Mekkah dan Madinah. Di Banjarmasin, Syekh
Muhammad telah didudukkan mendampingi Sultan, dalam mengandalkan
pimpinan pemerintahan sehari – hari sebagai seorang mufti besar Kalimantan.
Maulana Syekh Muhammad al-Banjari adalah orang pertama yang menyusun
organisasi Mahkamah Syar’iyah dan qadhi – qadhi pemimpin pengadilan
seluruh sultan. Beliau juga pelopor pembangunan kompleks pesantren untuk
menampung santri – santri yang menuntut ilmu pengetahuan di Banjarmasin.
10) Sultan Sulaiman memerintah antara tahun 1808-1825. Pada masa
pemerintahannya ia memindahkan lagi ibu kota kerajaan ke Karang Intan.
11) Sultan Adam Al Wasi’Billah memerintah antara tahun 1825-1857. Ibu kota
mengalami perpindahan lagi ke Martapura. Pangeran Abdurrahman diangkat
menjadi raja muda atau putera mahkota pada tahun 1855 dan pangeran
Hidayatullah sebagai Mangkubumi.
38

12) Pangeran Tamjidillah merupakan sultan terakhir kerajaan Banjar. Sebab pada
tanggal 11 Juli 1860 kekuasaan kolonial Hindia Belanda menjajah
Kalimantan.51 Perpindahan ibu kota kerajaan itu terjadi karena datangnya pihak
Belanda ke Banjarmasin dan menimbulkan huru – hara.
b. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur
Kerajaan Kutai adalah kelajutan dari Kerajaan Hindu Kutai Kartanegara yang
sudah berdiri sejak 1300.52 Islam masuk ke Kalimantan Timur pada abad ke-17
melalui dua arah, yaitu dari Kalimantan Selatan yang berasal dari Kerajaan Bandar
dan dari arah timur, yang dibawa oleh para pedagang Bugis-Makassar. Islam yang
dating diterima baik oleh kerajaan Kutai. Sultan yang pertama memerintah adalah
Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739).
Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris syahid dalam berperang
melawan Belanda. Sepeninggalnya, tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado yang
sebenarnya tidak berhak atas tahta tersebut. Dalam peristiwa perebutan tahta ini,
putera mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa dilarikan ke tanah Wajo yang
juga tanah kakeknya, Lamaddukelleng. Sejak itu, Aji Kado resmi menjadi Sultan
Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyuddin (1739-1780).
51 Ahmad M. Sewang dan Wahyuddin., Sejarah Islam di Indonesia,(Makassar:Alauddin Pers), hlm.127-128.
52 Kerajaan Hindu Kutai Kartanegara adalah pecahan dari Kerajaan Hindu Kutai yang berdiri sejak abad ke-5 dan dipimpin oleh Mulawarman. Pada abad ke-13, kerajaan ini pecah menjadi tiga yaitu kerajaan Kutai Kartanegara, Berau dan Pasir.
39

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah kembali ke Kutai.
Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang masih setia pada mendiang Sultan Aji
Muhammad Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan
gelar Aji Muhammad Muslihuddin. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji
Kado alias Sultan Aji Muhammad Aliyuddin. Dalam perlawanan tersebut, Aji Imbut
berhasil merebut tahta kerajaan Kutai Kartanegara sedangkan Aji Kado dijatuhi
hukuman mati.
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memerintah pada tahun 1780-1816.
Setelah dua tahun berkuasa, pada tanggal 28 September 1782, Aji Imbut
memindahkan pusat kerajaan Kutai Kartanegara dari Pemarangan ke Tepian Pandan.
Pemindahan ini dilakukan untuk menghapus kenangan pahit pada masa pemerintahan
Aji Kado. Pada tahun 1816, Aji Imbut atau Sultan Aji Muhammad Muslihuddin wafat
dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin (1816-1850).53 Setelah Sultan
Salehuddin wafat, maka jabatan Sultan Kutai digantikan berturut – turut oleh Sultan
Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899), Sultan Aji Alimuddin (1899-1915) dan
Sultan Aji Muhammad Parikesit (1915-1960).
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasannya pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Muslihuddin (1780-1816) dan Sultan Muhammad Salehuddin
(1816-1850). Pada masa ini, Kutai tampil sebagai negara maritim yang memiliki
armada pelayaran yang meramaikan perdagangan. Para pedagang dari kerajaan Kutai
53 Harun Nasution,dkk.,Op.Cit.,hlm.649
40

sangat aktif berlayar di kepulauan Nusantara bahkan sampai ke Singapura, Filipina
dan Cina.
Ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang Tenggarong sebagai
pusat kerajaan, Tenggarong berhasil dihancurkan Belanda pada tanggal 14 April
1844. Sehingga sultan Kutai terpaksa menandatangani perjanjian damai yang dikenal
dengan “Tepian Pandan Traktat”. Perjanjian ini adalah akhir dari kemerdekaan
Kerajaan Kutai tunduk pada residen Belanda di Kalimantan.
D. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI
Kerajaan-kerajaan besar di semenanjung Suawesi bagian selatan terdiri
atas kerajaan Gowa-Tallo, Luwu, Bone, Wajo, dan Soppeng. Kerajaan Gowa-
Tallo adalah kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut
kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung barat daya pulau
Sulawesi yang merupakan daerah transito sangat strategis. Sedangkan
kerajaan-kerajaan Luwu, Bone, Wajo, dan Soppeng biasa disebut kerajaan
Bugis.
41

1. Gowa
Cikal bakal kesultanan Makassar adalah kerajaan Gowa yang didirikan
oleh Tumanurung.54 Sebelum Tumanurung, Gowa terdiri dari Sembilan
daerah yang otonom, yaitu Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data,
Ajangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalli. Kesembilan daerah ini disebut
juga dengan Bate Salapang.55 Di kalangan Bate Salapang sering terjadi
pertikaian. Kehadiran seorang perempuan di Bukit Tamalate yang tidak
diketahui asal-usulnya, membuat orang Makassar menyebutnya dengan
Tumanurung. Tumanurung membawa berkah tersendiri bagi Bate Salapang.
Karena ia mampu menjadi simbol pemersatu di Bate Salapang. Tumanurung
pun diangkat sebagai raja pertama dari kerajaan Gowa yang berpusat di
Tamalate.56
Dalam perkembangan berikutnya, tepatnya pada masa pemerintahan
raja Gowa VI Tonatangka Lopi, wilayah Gowa dibagikan kepada dua orang
putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Batara Gowa
melanjutkan kekuasaan Gowa sebagai raja Gowa VII. Wilayah kekuasaannya
meliputi Paccelekang, Pattalasang, Bontomanai I-Lau, Bontomanai I-Raya,
Tombolo, dan Mangasa. Sedang adiknya, Karaeng Loe ri Sero mendirikan
kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah kekuasaan
54Tumanurung artinya adalah orang yang turun dari atas (langit). Tumanurung kerajaan Gowa adalah seorang perempuan. Para budayawan menafsirkan bahwa dengan sifat keibuan yang dimiliki oleh Tumanurung, ia mampu mempersatukan Bate Salapang yang sering terlibat pertikaian.
55Mundzirin, dkk.,op.cit., hlm. 114-115.56Ibid., hlm. 115
42

meliputi Saumata, Pannampu, Moncong Loe, dan Parang Loe. Dalam sejarah
kedua kerajaan ini disebut sebagai “Kerajaan Kembar”.57
Pada awal abad ke-16, ketika Gowa dipimpin oleh karaeng
Tumapa’risi Kallona. Raja ini memerintah pada tahun 1510-1546. Pada masa
pemerintahannya, karaeng Tumapa’risi Kallona berhasil mempersatukan
kerajaan Gowa dengan kerajaan Tallo. Setelah bergabung, kerajaan Gowa
dan Tallo lebih dikenal kerajaan Makassar. Dalam pemerintahan sehari-hari,
raja Gowa bertindak sebagai raja Makassar dan raja Tallo bertindak sebagai
mangkubuminya. Karaeng Tumapa’risi Kallona tidak hanya berhasil
mendirikan kerajaan Makassar tetapi juga berhasil memindahkan istana
kerajaan Makassar dari Tamalate agraris ke Somba Opu yang berwilayah
maritim. Pindahnya kerajaan Gowa dari Tamalate ke Somba Opu merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan Makassar cepat berkembang menjadi
kerajaan maritim di Nusantara bagian timur. Keuntungan ekonomi
merupakan faktor utama yang menyebabakan karaeng Tumapa’risi Kallona
memindahkan pusat kerajaan Makassar dari Tamalate ke Somba Opu dekat
muara Sungai Jeneberang. Pada akhir abad ke-15, Makassar sudah ramai
dikunjungi oleh para pedagang Jawa dan Malaka. Jadi perkembangan
perdagangan yang ada di pelabuhan Makassar merupakan salah satu faktor
utama yang menyebabkan di pindahkannya pusat kerajaan ke pinggir pantai.
Dengan pindahnya pusat kerajaan ke pinggir pantai, maka karaeng
57Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara (cet I;Jakarta:Buku Islam Utama,2010),h. 94.
43

Tumapa’risi Kallona dapat dengan mudah mengembangkan Makassar
sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara bagian timur.58
Selain faktor keuntungan ekonomi, faktor darah yang mengalir dalam
tubuh karaeng Tumapa’risi Kallona juga mempengaruhi mengapa karaeng
ini menjadikan kerajaan Makassar sebagai kerajaan yang berhaluan maritim.
Karaeng Tumapa’risi Kallona adalah seorang Raja yang lahir dari keluarga
pedagang. Ibunya, I Rerasi adalah seorang putri pedagang kapur dari utara
yang mengunjungi Gowa pada masa pemeruintahan Gowa ke-7, Batara
Gowa. Darah pedagang yang mengalir dari ibunya telah mengalir pula dalam
tubuh Karaeng Tumapa’risi Kallona dan itu pula yang mendorong karaeng
ini menjadikan Makassar sebagai kerajaan yang berorientasi pada
perdagangan maritim.59
Setelah Karaeng Tumapa’risi Kallona meninggal, maka kerajaan
Makassar diperintah oleh Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung Tunipalangga (1546-1565). Pada masa pemerintahan Karaeng
Lakiung Tunipalangga sudah banyak para pedagang Islam Nusantara yang
menetap di Makassar. Mereka itu terdiri atas para pedagang dari Pahang,
Johor, Campa, Minangkabau dan jawa.
Setelah Karaeng Lakiung Tunipalangga meninggal, ia digantikan oleh
Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta sebagai Raja Gowa XI.
58Ibid., h. 95.59Ibid., h. 96.
44

Karaeng Data Tunibatta ini hanya memerintah selama 40 hari, karena tewas
dalam pertempuran melawan kerajaan Bone. Setelah itu, kerajaan Makassar
dipimpin oleh Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa
Tunijallo. Raja Gowa XII ini memerintah pada tahun 1565-1590. Setelah
Tunijallo meninggal, kerajaan Makassar dipimpin oleh Raja Gowa XIII, I
Tepu Karaeng Daeng Parambung Karaeng ri Bontolangkasa Tunipasulu’.
Raja Gowa XIII ini memerintah pada tahun 1590-1593. Raja ini hanya
memerintah selama tiga tahun karena ia dipecat dari jabatannya. Tunipasulu’
dipecat sebagai raja Gowa karena banyak melakukan perbuatan-perbuatan
buruk. Sebagai gantinya, maka diangkatlah I Mangarangi Daeng Manrabia
Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa XIV. Sultan Alauddin merupakan raja
Makassar yang pertama masuk Islam. Ia memerintah pada tahun 1593-
1639.60
Sebelum Kerajaan Makassar masuk Islam, Pada tahun 1580, Sultan
Baabullah dari Kerajaan Ternate pernah datang ke Makassar dan mengajak
raja Makassar, Karaeng Bontolangkasa Tunijallo’ (1565-1590) untuk
memeluk Islam. Tetapi, ajakan Sultan Baabullah ditolak oleh Karaeng
Bontolangkasa Tunijallo’. Salah satu alasan penolakannya adalah adanya
ketakutan dari Karaeng Bontolangkasa Tunijallo’ atas dijadikannya Islam
oleh Sultan Baabullah sebagai alat untuk mempengaruhinya agar takluk
kepada Kerajaan Ternate.Nampaknya penolakan Karaeng Bontolangkasa
60Ibid., h. 96
45

Tunijallo’ terhadap ajakan Sultan Baabullah lebih bersifat politis, karena
pada masa pemerintahannya, Karaeng Bontolangkasa Tunijallo’ telah
mendirikan sebuah masjid sebagai fasilitas bagi para pedagang muslim yang
tinggal di Mangallekana, Makassar.61
Dalam perkembangan berikutnya, ketika Karaeng Matoaya sebagai
Mangkubumi Kerajaan Makassar, ia melakukan telaah lebih jauh tentang
agama. Untuk itu, Karaeng Matoaya meminta kepada Kerajaan Aceh
mengirimkan ulama-ulama Islam ke negerinya. Ia juga meminta kepada
Portugis untuk mendatangkan pastur-pastur dari Malaka. Namun, yang lebih
dulu tiba adalah utusan Islam. Kesultanan Aceh mengutus tiga orang ulama
sufi dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Bandang (Abdul Makmur Khatib
Tunggal), Datuk ri Tiro (Abdul Jawad Khatib Bungsu), dan Datuk Patimang
(Sulaiman Khatib Sulung).62
Setelah mendapat seruan dakwah dari ulama-ulama tersebut, akhirnya
Karaeng Matoaya dari Tallo (1591-1639) masuk Islam malam Jumat 9
Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605. Setelah masuk Islam
Karaeng Matoaya diberi gelar Sultan Abdullah Awwalulu Islam. Sultan ini
sangat giat dalam memajukan dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga
ketika meninggal, ia diberi gelar Tumenanga ri Agamana. Setelah Karaeng
Matoaya masuk Islam kemudian diikuti pula oleh raja Makassar, I
61Ibid., h. 9762Ibid.
46

Mangarangi Daeng Manrabia. Setelah masuk Islam, I Mangarangi Daeng
Manrabia diberi gelar Sultan Alauddin. Dalam waktu dua tahun seluruh
rakyat Gowa dan Tallo di Islamkan. Peristiwa besar itu ditandai dengan
melakukan salat Jumat yang pertama di Tallo, yakni pada tanggal 9
November 1607 ( 9 Rajab 1016 H).63
Setelah kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam dan raja-rajanya
telah memperoleh gelaran sultan, maka kerajaan itu juga menjadi pusat peng-
Islaman di seluruh daerah Sulawesi Selatan. Sesuai dengan perjanjian-
perjanjian persahabatan yang sudah lama terkait antara raja-raja di Sulawesi
Selatan bahwa barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia
berjanji akan memberitahukan (tentang jalan yang baik itu) kepada raja-raja
sekutunya.64
Selama masa pemerintahan Sultan Alauddin, ia aktif menyiarkan Islam
ke seluruh lapisan masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan di luar Sulawesi
Selatan pun sempat menjadi sasarannya seperti Bima dan Buton.
Seruan dakwah yang disyiarkan oleh Sultan Alauddin ini diterima baik
oleh kerajaan Sawitto, kerajaan Balanipa di Mandar, kerajaan Bantaeng, dan
kerajaan Selayar. Tetapi ajakan itu ditolak oleh ketiga kerajaan besar yang
tergabung dalam ikatan kerajaan Tellumpocoe, yaitu kerajaan Bone,
Soppeng, dan Wajo.65 Kerajaan Tellumpocoe menolak ajakan Sultan 63Ibid., h. 9764 M.Sewang,Ahmad. Sejarah Islam di Indonesia (cet.I;Makassar:Alauddin Press,2010),h. 71.
65Ibid., h. 98
47

Alauddin kartena mereka melihat bahwa seruan dakwah yang disyiarkan oleh
Sultan Alauddin hanyalah taktik dari Kerajaan Makassar untuk dapat
melakukan hegemono politik dan ekonomi di seluruh kerajaan Tellumpocoe.
Mereka tidak percaya bahwa syiar Islam yang disampaikan oleh Kesultanan
Makassar didasarkan atas ketulusan, sebagaimana yang telah disepakati
dalam perjanjian sebelumnya. Karena kerajaan Tellumpocoe menolak ajakan
Sultan Alauddin untuk masuk Islam secara damai, maka terjadilah perang
antara Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Tellumpocoe.66 Pada tahun 1609,
Kerajaan Makassar berhasil mengalahkan Kerajaan Soppeng kemudian
diikuti oleh Kerajaan Wajo, sedangkan Kerajaan Bone baru bisa dikalahkan
pada tahun1611. Padatahun 1609, Raja Soppeng masuk Islam dan kemudian
diikuti oleh Raja Wajo tahun 1610. Ketika Raja Wajo menyatakan
kesediaannya masuk Islam, ia meminta kepada Sultan Alauddin untuk tidak
merampas kerajaannya dan tidak mengambil barang-barang milik rakyatnya
dan kepunyaannya. Permintaan raja Wajo ini diterima baik oleh Sultan
Alauddin . Atas dasar itu, Raja Wajo beserta rakyatnya menyatakan diri
masuk Islam. Setelah berhasil mengajak Soppeng dan Wajo masuk Islam,
maka hanya Kerajaan Bone yang belum masuk Islam. Akhirnya, pada tahun
1611, raja Bone mengikuti rekan-rekannya sesama Raja Tellumpocoe untuk
masuk Islam. Sultan tidak hanya berhasil menguasai Kerajaan Tellumpocoe,
tetapi pada masa pemerintahnnya, ia berhasil menguasai seluruh kerajaan di
66Ibid.
48

Sulawesi.67 Tidak hanya itu, Sultan Alauddin juga berhasil merintis Somba
Opu sebagai bandar niaga maritim di Indonesia Timur.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, para pelaut dan pedagang
Makassar telah berjaya dalam membeli rempah-rempah di wilayah Maluku
dan sekitarnya. Para pelaut dan pedagang Makassar berhasil membeli
rempah-rempah dalam jumlah yang sangat besar dan menjualnya di
Makassar dengan harga yang murah, bahkan lebih murah bila dibeli di negeri
asalnya.
Suatu hal menarik yang perlu diperhatikan adalah mengapa Makassar
dapat menjual rempah-rempah lebih murah daripada membelinya di negeri
asalnya ? Ternyata para pedagang Makassar memiliki taktik tersendiri dalam
melakukan transaksi dagang di wilayah Maluku dan sekitarnya. Van der
Chijs dalam catatannya mengungkapkan :
“,,,(ia) setiap tahun menyediakan beras, pakaian dan segala sesuatu
yang disenangi di sana (Banda) agar dapat mengumpulkan pala sebanyak
mungkin bagi negerinya, sehingga memikat sejumlah pedagang serta dapat
memborong dalam jumlah besar, (ia) juga tahu bagaimana memberikan
hadiah kepada para ulama Banda agar dapat mengeruk keuntungan
besar…”68
67Ibid., h. 9968Ibid., h. 100
49

Cara berdagang seperti inilah yang memudahkan pelaut dan pedagang
Makassar untuk memperoleh rempah-rempah dari wilayah Maluku dan
sekitarnya dalam jumlah besar dan murah, sehingga harga jualnya di
Makassar lebih murah dibandingkan dengan harga di daerah produksinya
sendiri. Para pelaut dan pedagang Makassar tidak hanya tahu tentang apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat Maluku dan sekitarnya, tetapi mereka juga
tahu bagaimana menghargai masyarakat Maluku, sehingga masyarakat
tersebut luluh hatinya dan urusan dagang pun menjadi lebih mudah dan
murah.69
Kemampuan dan taktik jitu yang dimainkan oleh para pelaut dan
pedagang Makassar dalam membeli rempah-rempah di Maluku telah
membuat kompeni Belanda merasa tidak senang dengan Kerajaan Makassar.
Keinginan Belanda untuk dapat menjadi pembeli tunggal rempah-rempah
tidak akan pernah terwujud, jika Kerajaan Makassar masih Berjaya. Atas
dasar itu, penjajah Belanda mendesak Sultan Alauddin sebagai penguasa
Kerajaan Makassar untuk tidak lagi membiarkan para pelaut dan pedagang
Makassar membeli rempah-rempah di Maluku. Desakan Belanda ini dijawab
dengan tegas Sultan Alauddin :
“…Tuhan telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi diantara umat
manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang
69Ibid.
50

dilarang berlayar di laut. Jika anda melakukan itu berarti anda merampas
(roti) dari mulut. Saya seorang raja miskin.70
Jawaban Sultan Alauddin menggambarkan bahwa ia adalah seorang
sultan yang terbuka dengan siapa saja dalam masalah perdagangan, karena
Allah telah menjadikan laut sebagai milik bersama. Tidak hanya itu, Sultan
Alauddin juga menegaskan bahwa rakyatnya hidup dari berdagang. Jika
berdagang itu dilarang, berarti secara tidak langsung kompeni Belanda ingin
membunuh rakyat Makassar secara pelan-pelan.71
Desakan kompeni Belanda telah dibaca oleh Sultan Alauddin sebagai
bentuk ancaman. Sebagai seorang sultan yang bertanggung jawab. Maka ia
telah menyiapkan kapal-kapal khusus untuk mengawal para pedagang yang
berangkat dari Makassar menuju wilayah Maluku dan sekitarnya. Dalam
salah satu catatan harian kompeni Belanda tahun 1624 diceritakan sebagai
berikut :
“…Semua pedagang Melayu dan Asing lainnya, lebih dari enam ratus
orang, mempersiapkan diri untuk berlayar lagi mengikuti datangnya (angin)
muson Barat. Kebanyakan dengan perahu kecil (biasa untuk perdagangan
rempah-rempah) menuju Amboina dan daerah sekitarnya dengan modal
besar yang dapat mereka bawa, sebagian berupa beras, tetapi kebanyakan
berupa alat tukar. Keuntungan tahun lalu mendorong (mereka) untuk tekun
70Ibid.71Ibid., h. 101
51

dan bersemangat dengan harapan memperoleh (keuntungan) lebih dari
tahun sebelumnya; (dikatakan bahwa) raja hendak mengirim dua orang
pimpinan di antara mereka, dengan tanggung jawab utama bila penduduk
Amboina atau sekitarnya membutuhkan bantuan, mereka akan menolong
sepenuhnya seperti dulu, sesuai dengan kemampuan mereka…”72
Catatan diatas memberikan gambaran bahwa Sultan Alauddin sangat
memperhatikan rasa aman bagi para pedagaang. Semua pedagang dilindungi,
sehingga mereka selalu tertarik untuk melakukan aktivitas perdagangan di
Makassar. Dengan demikian, Sultan Alauddin telah berhasil
mengembangkan Makassar sebagai Kerajaan yang bergerak dalam dunia
perdagangan laut.
Setelah Sultan Alauddin wafat, posisinya sebagai Sultan Makassar
digantikan oleh Sultan Malikus Said sebagai raja Makassar ke- XV. Sultan
Malikus Said merupakan putera dari Sultan Alauddin yang bernama I
Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung alias Karaeng Lakiung dengan
gelar Sultan Muhammad Said, beliau mendapat gelar kehormatan gelar dati
mufti kerajaan Makkah dengan Al-Malik As-Said yang akhirnya dalam
catatan sejarah gelar tersebut diteruskan menjadi nama asli yaitu Sultan
Malikus Said. Sultan Maliku Said sangat terkenal dan terpuji karena
kepribadiannya, pandai bergaul dengan raja-raja, mereka menghargai jasa-
72Ibid.
52

jasa bawahan-bawahannya, tahu membalas budi, bijaksana sehingga rakyat
sangat mencintainya.
Sultan ini memerintah pada tahun 1639-1653. Sultan Malikus Said
mampu melanjutkan usaha Sultan Aluddin dalam mengembangkan Makassar
sebagai pusat niaga maritim terbesar di Indonesia Timur. Untuk mewujudkan
Makassar sebagai kerajaan yang sukses dalam dunia kemaritiman, maka
Sultan Malikus Said membangun hubungan diplomatik dengan dunia
internasional, di antaranya dengan Gubernur Spanyol di Manila, Gubernur
Portugis di Goa (India), penguasa Keling di Koromandel, Raja Inggris, Raja
Portugal, Raja Kastila, dan Mufti di Makkah.73
Langkah-langkah diplomatik yang dijalankan oleh Sultan Malikus
Said tidak lepas dari upaya menjaga Kerajaan Makassar dalam menghadapi
ancaman yang datng dari kompeni Belanda. Usaha-usaha tersebut
membuahkan hasil yang nyata, karena Sultan Malikus Said berhasil
membawa Kerajaan Makassar mengalami masa keemasannya.74
Pada masa jayanya, Kerajaan Makassar tidak hanya mampu menguasai
seluruh wilayah Sulawesi Selatan, tetapi juga pantai Timur dan Barat
Sulawesi Selatan. Makassar menjadi pelabuhan transit yang strategis antara
wilayah Melayu dan Jawa dengan wilayah Maluku sebagai sumber rempah-
rempah. Sebagai pusat perdagangan, Makassar memiliki hubungan dagang
73Ibid., h. 10274Ibid.
53

dengan berbagai daerah antar lain dari dan ke Manggarai, Timor, Tanimbar,
Alor, Bima, Buton, Tombuku, Seram, Mindanau, Sambuangan, Makao,
Manila, Cebu, Kamboja, Siam, Patani, Bali, Pelabuhan di pesisir Utara Jawa,
Batavia, Batam, Palembang, Jambi, Johor, Malaka, Aceh, Banjarmasin,
Sukadana, Pasir, Kutai, Berau, dan berbagai kota dagang di wilayah Sulawesi
dan Maluku. Sementara itu, barang-barang yang diperdagangkan adalah
rempah-rempah, kayu, cendana, budak, produk India ( tekstil : kaarikam,
dragam, touria, godia, bethilles, dan sebagainya), produk China ( porselin,
sutera, emas, perhiasan emas, gong dan, sebagainya), produk hutan ( kayu
sapan, rotan, dammar, dan lain-lain), hasil industri rumah tangga (parang,
pedang, kapak, kain Selayar, kain Bima, dan sebagainya) dan produk laut
(khususnya sisik penyu dan mutiara).75
Dalam perniagaan, Makassar mampu menjadikan bandar niaganya
sebagai bandar yang dapat menjual rempah-rempah lebih murah daripada
membeli di negeri asalnya. Para pedagang Melayu, Banda, dan Jawa
mendominasi transaksi perdagangan di Bandar Niaga Makassar.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kemampuan Kerajaan
Makassar dalam menyediakan rempah-rempah dengan harga yang lebih
murah telah membawa konflik berkepanjangan dengan kompeni Belanda.
75Ibid., h. 103
54

Konflik antara Kerajaan Makassar dengan Belanda berlanjut terus hingga
wafatnya Sultan Malikus Said.76
Sultan Malikus Said wafat pada 5 November 1655. Setelah Sultan
Malikus Said wafat, ia digantikan oleh puteranya yang bernama I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape yang bergelar Sultan
Hasanuddin. Sebenarnya, Sultan Hasanuddin bukanlah pewaris utama tahta
Kerajaan Makassar, karena ia bukan Anak Pattola.77 Tetapi, karena Sultan
Hasanuddin memiliki berbagai kelebihan dibanding dengan saudaranya yang
lain, maka dialah yang diangkat menjadi Sultan Makassar atau Raja ke-XVI.
78Sultan Hasanuddin meneruskan cita-cita orang tuanya aktif menyiarkan
agama Islam di Sulawesi dan di luar Sulawesi, bahkan pada masa
pemerintahannya beberapa orang Bugis dan orang Makassar yang sebagai
pelaut sengaja tinggal di Banten untuk berguru kepada Syekh Yusuf puter
asli dari kerajaan Makassar yang sejak lahirnya sampai dewasa tetap di
bawah asuhan raja Makassar Sultan Alauddin.
Sultan Hasanuddin berkuasa pada tahun 1653-1669. Pada masa
pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berusaha menjaga kedaulatan dan
kejayaan Kerajaan Makassar dari cengkeraman Belanda. Pada tahun 1653
juga, Sultan Hasanuddin sering mengirimkan angkatan lautnya untuk
berlayar menuju kepulauan Maluku. Angkatan laut itu bertugas untuk
76Ibid.77Ibid.78Ibid.
55

mengawal para pedagang yang berangkat dari Makassar untuk melakukan
aktivitas dagangnya di kawasan Maluku. Setelah sampai di Maluku, para
pedagang dari Makassar melakukan perdagangan di luar pengawasan
Belanda. Hal inilah yang membuat Belanda sangat membenci Kerajaan
Makassar. Bagi Belanda, Kerajaan Makassar merupakan penghalang utama
baginya untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di
kepulauan Indonesia. Dalam sejarah tercatat beberapa kali peperangan antara
Kerajaan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dengan Belanda.
Di antaranya adalah tahun 1653, 1655, dan 1660. Pada perang tahun 1660,
Sultan Hasanuddin bersedia berdamai dengan Belanda dan mengutus
Karaeng Popo untuk menandatangani perjanjian damai di Batavia.79
Setelah perjanjian Batavia, Sultan kembali membangun pertahanan
dan mengerahkan ribuan prajurit dari suku Makassar, Bone, Soppeng, dan
lain-lain. Dalam usaha mengonsolidasikan kekuatan, Sultan Hasanuddin
kehilangan satu tokoh Bugis, yaitu Arung Palakka. Untuk membebaskan
suku Bugis dari kekuasaan Makassar, Arung Palakka bergabung dengan
Belanda. Pada tahun 1666, terjadilah perang besar-besaran antara Kerajaan
Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dengan Belanda. Dalam
perang ini, Belanda dipimpin oleh Cornelis Speelman. Akhirnya, Belanda di
bawah pimpinan Speelman dan dibantu Arung Palakka sebagai bangsawan
Bugis berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin. Pada tanggal 18 Oktober
79Ibid., h. 104
56

1667, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya.
Perjanjian ini sangat merugikan Kerajaan Makassar. Tidak puas dengan
Perjanjian Bongaya, pada tahun 1668 terjadi perang anatara Kerajaan
Makassar dengan Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1669, Benteng Somba opu
sebagai pertahanan terakhir Sultan Hasanuddin berhasil dikuasai oleh
Belanda. Atas keberanian dan ketangguhan Sultan Hasanuddin dalam
berperang melawan Belanda, maka oleh Belanda, ia diberi gelar “Ayam
Jantan dari Timur”(Haantjes van Het Osten). Setelah mengalami kekalahan,
Sultan Hasanuddin dipaksa oleh Belanda untuk menyerahkan tahta
kesultanannya kepada puteranya, I Mappasomba. Sultan Hasanuddin
meninggal pada tanggal 12 Juni 1670. Setelah wafat, Sultan Hasanuddin
mendapat gelar dengan I Mallombasi Muhammad Baqir Daeng Mattawang
Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana.
Para pengganti Sultan Hasanuddin tidak mampu lagi mengangkat kejayaan
Kerajaan Makassar karena selalu diawasi oleh Belanda.80
Setelah Makassar jatuh ke tangan penjajah Belanda, maka para pelaut
dan pedagang Bugis-Makassar melakukan imigrasi ke berbagai wilayah
Nusantara, di antaranya Sulu, Kutai, Banjarmasin, Riau, dan Semenanjung
Malaka. Bahkan , mereka melakukan perdagangan dengan penduduk Maluku
dan sekitarnya di luar pengawasan Belanda.81
80Ibid., h. 10581Ibid.
57

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin perhubungan antara
kerajaan Makassar dan kerajaan Banten bertambah erat apalagi adanya Syekh
Yusuf dan ulama besar dan masyhur tinggal di Banten, yang kemudian
menjadi mufti darhi Sultan Ageng Tirtayasa, sebelum berangkat ke tanah
Arab, belajar dahulu kepada Syekh Nuriddin di Aceh.82
Syekh Yusuf sering ke Makassar berdakwah atas undangan Sultan
Hasanuddin, kedatangannya dari Makassar lebih menambah semangat Sultan
Hasanuddin untuk tetap membela agama, bangsa, dan tanah airnya dengan
segala kemampuan mempertahankan keadilan daan kebenaran. Perjuangan
bukanlah untuk mempertahankan pangkat dan derajat untuk dirinya sendiri,
akan tetapi sebagai raja yang mencintai persatuan rakyatnya dan sebaliknya
rakyatnya mencintai rajanya.83
Penerimaan Islam sebagai agama kerajaan merupakan titik awal
Islamisasi dalam kehidupan politik dan social. Islamisasi tidak berarti
mengubah semua pranata politik dan sosial yang ada. Tetapi, pada umumnya
pranata-pranata yang telah ada masih tetap dipertahankan, kemudian diisi
dan dilengkapi dengan pranata baru yang berasal dari Islam. Di antara prinsip
umum tentang kebijakan para ulama dalam program Islamisasi adalah upaya
menghindari suatu perubahan yang bisa menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan sosial. Karena itu, mereka tidak melakukan perombakkan pada
82Ibid., h. 7383Ibid.
58

strktur pemerintahan yang sudah ada, melainkan melengkapinya dan
memasukkan pranata atau lembaga Islam kedalam struktur itu.84
Di dalam Lontara Latoa disebutkan bahwa hanya empat macam hal
yang memperbaiki negara dan barulah dicukupkan lima ketika syariat Islam
diterima yaitu ade’, rapeng, wari, bicara, dan syara’. Lembaga syara’
diadakan setelah Islam diterima secara resmi menjadi agama kerajaan pada
tahun 1607. Pemimpin tertinggi lembaga syara’ adalah Kadi (daengta
kaliya).85
Daengta kaliya bertugas untuk mengurus masalah keagamaan dalam
masyarakat, seperi masalah nikah, talak, dan rujuk., masalah warisan serta
pemeliharaan rumah-rumah ibadah. Ia juga bertugas dalam upacara resmi
kerajaan sebagai penanggung jawab dalam pengambilan sumpah dalam al-
Quran, seperti yang diperatekkan terhadap Sultan Abdullah Awwalul Islam,
sembayya ri Tallo. Daengta kaliya bertanggung jawab dalam pengembangan
agama Islam dalam wilayah kerajaan. Dalam keadaan tertentu, daengta
kaliya mengurusi juga sampai kepada hal-hal yang kecil, seperti
penyembelihan binatang untuk kegiatan keagamaan. Daengta kaliya
bekedudukan di pusat kerajaan sebagai pembantu raja menggantikan
berbagai peran yang sebelumnya di tangani oleh daengta alakaya, bissu,
yang selama ini mengurusi ritual kegamaan pra- Islam.86
84Ibid.85Ibid., h. 75
86Ibid.
59

Dalam menjalankan tugas sehari-hari, daengta kaliya dibantu oleh
beberapa pejabat di bawahnya, yaitu daeng imang, gurua, katte, bidala, dan
daya atau jannang masigi. Penghasilan mereka sebgai parewa sarak (aparat
agama), ada yang memperoleh penghasilan resmi kerajaan, dan sebagian di
peroleh langsung dari masyarakat. Daengta kaliya mendapat penghasilan
resmi dari kerajaan, sedang para aparat di bawahnya, seperti daeng imang,
gurua, katte, bidala, dan daya atau jannang masigi memperoleh penghasilan
dari masyarakat melalui pembayaran zakat, infak, dan sedekah.87
Pelaksanaan kegiatan keagamaan , seperti Maulid Nabi, permulaan
puasa, lebaran, dan hari-hari besar Islam lainnya, tidak dapat dilakukan tanpa
seizing senbaya. Karena itu, setiap kegiatan aparat sarak harus dilaporkan
kepada sembaya melalui daengta kaliya.88
Sebagai pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan, Kerajaan Makassar
bertanggung jawab untuk mensosialisasikan Islam ke dalam kehidupan
masyarakat di daerah-daerah yang berada di bawah pengaruhnya. Karena itu,
Sultan Alauddin mempersiapkan pembinaan Islam di daerah-daerah. Ketika
Arung Matoa Wajo, La sangkuru Patau, Sultan Abdurrahman meminta
kepada Sultan agar mengirim seorang anreguru (ulama) untuk mengajarkan
Islam di Wajo, maka Sultan Alauddin mengutus Datuk Sulaiman sebagai
87Ibid.88Ibid.
60

Kadi diWajo yang kemudian digantikan oleh Datuk ri Bandang. Ada dua
kebijakan yang dijalankan Datuk ri Bandang.89
Pertama, berusaha menghindari pertentangan antara adat dan sarak
dengan membuat sebuah piagam yang disebut piagam sarak, yaitu :
persetujuan antara adat dan sarak, sarak menghormati adat, adat memuliakan
sarak, adat dan sarak tidak saling membatalkan putusan. Kalau adat tidak
dapat memutuskan suatu perkara, adat bertanya kepada sarak. Kalau sarak
tidak dapat memutuskan suatu perkara, sarak bertanya kepada adat.
Keduanya tidak akan keliru dalam keputusan.90
Kedua, menetapkan peraturan baru tentang pejabat atau aparat sarak.
Pada mulanya, aparat sarak terdiri dari keturunan orang biasa, kemudian
diganti dengan merekrut keturunan raja. Kebijakan ini diambil untuk lebih
memudahkan islamisasi dalam kehidupan masyarakat dan negara, serta untuk
menghimdari benturan sarak dan adat. Menurut datuk ri Bandang,
restruktrusisasi itu dilakukan karena keturunan raja lah yang paling
mengetahui adat istiadat kerajaan. Kebijakan Datuk ri Bandang tersebut
disetujui Arung Matoa Wajo dan para pembantunya.91
2. Luwu
89Ibid.90Ibid.91Ibid.
61

Dari sumber Lontara Luwu dan Wajo disebut diperoleh keterangan
bahwa sebelum ketiga mubaligh (Abdul Makmur Khatib Tunggal, Sulaiman
Khatib Sulung, Abdul Jawad Kahtib Bungsu) memulai pnyebaran agama
Islam, mereka lebih dahulu ke Luwu melalui Teluk Bone, karena Raja Luwu
lah yang dianggap oleh masyarakat Bugis-Makassar sebagai raja atau
kerajaan tertua yang diakui kemuliaannya dikalangan raja dan kerajaan
Bugis-Makassar.Ketika muballigh itu diterima baik oleh Datu Luwu yang
bernama La Patiware’ Daeng Parabu. Raja Luwu ini menerima Islam pada
tanggal 15 Ramadhan 1013 H/1603 M. Baginda diberi nama Islam Sultan
Muhammad Waliyul Mudharuddin, setelah mangkat diberi gelar Mattinroe ri
Ware. Menurut H.M Sanusi Daeng Mattata, Islam datang di Luwu pada abad
ke-17 dibawa oleh seorang muballigh yang bernama Datuk Sulaiman. Proses
penerimaan Islam diawali dengan dialog terbuka antara Datuk Sulaiman
dengan datuk Luwu Patiarase, dialog itu disaksikan oleh orang banyak
termasuk pembesar kerajaan, menampilkan berbagai aspek Islam utamanya
soal kepercayaan, ibadah, pemerintahan, ekonomi, sosial, dan lain-lain.
Kemajuan dan kehebatan Datuk Sulaiman dalam menjelaskan ajaran Islam
menyangkut hal-hal tersebut sangat menarik perhatian. Akhirnya Datuk
Luwu mengakui dengan tulus kebenaran Islam dan menyatakan ke
Islamannya. Dengan demikian beliaulah yang pertama memeluk Islam di
Luwu. Pernyataan keIslamannya segera dimaklumatkan ke seluruh wilayah
kerajaan, yang segera pula mendapat sambutan dari sebagian besar rakyat,
62

yang kemudian mereka pun menyatakan ke Islamannya. Pada masa
pemerintahannya ini pulalah beliau kawin dengan anak raja Gowa yang
bernama Karaeng ri Balla Bugisi. Atas permintaan para muballigh itu agar
kerajaan Luwu dapat memberikan bantuan untuk penyebaran agama Islam ke
negeri-negeri Bugis-Makassar lainnya, dijawab olevh Datu Luwu bahwa
Baginda ingin sekali memberikan bantuan, akan tetapi yang amat perlu
didekati adalah Kerajaan Gowa dan Tallo, karena kerajaan kembar itulah
yang memiliki kekuatan. Alebbiremmi engka ri Luwu, Awatangeng engka ri
Gowa (hanya kemuliaan saja yang di Luwu, sedangkan kekuatan terdapat di
Gowa).92
Patiarase digantikan oleh puteranya yang bernama Patipasaung dengan
gelar Sultan Abdullah. Beliau ini juga dikenal sebagai raja yang adil,
bijaksana, dan pengasih terhadap rakyatnya. Beliau didampingi oleh seorang
Patunru (Perdan Menteri) bernama Daeng Mangawing yang digelar Patunru
Mustafa. Dia seorang yang cakap, ahli pemerintahan yang terkenal pada
waktu itu, ia dapat melakukan perubahan-perubahan atau tindakan-tindakan
untuk kemajuan kerajaan dan kemakmuran rakyat.93
Semasa pemerintahan Sultan Abdullah terjadi pertentangan politik
yang bertahun-tahun lamanya dengan saudaranya yang bernama Patiraja
92Ibid., h. 8093Ibid., h. 81
63

dengan gelar Somba Opu, setelah keamanan pulih kembali maka beliau
berusaha antara lain :
1. Mengubah bentuk pemerintahan sesuai dengan kehendak
Islam, dengan kata lain ditetapkannya Islam sebagai satu-satunya dasar
kerajaan Luwu.
2. Mengadakan Kadi, dengan tujuan :
a. Sebagai penasihat kepada raja agar segala tindakannya
sesuai dengan ajaran Islam.
b. Supaya soal-soal keagamaan dan kepentingan umat Islam
dapat terurus secara khusus.
c. Sebagai anggota Ade 12 mewakili umat Islam dalam
Dewan tertinggi Luwu.
d. Sebagai pemimpin salat Jumat dan salat lima waktu di
masjid Raya yang dibantu oleh imam-imam dan khatib-
khatib.
3. Meratakan paham Islam ke seluruh pelosok kerajaan Luwu.
4. Memindahkan ibu kota kerajaan dari Pattimang ke Palopo.
5. Masjid yang pertama dibangun di Palopo, diperbaiki, dipugar dan
diselamatkan.94
Patipasaung mengubah pula bentuk pemerintahan kerajaan Luwu
dengan membentuk dua dewan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat disebut Ade
94Ibid.
64

Asera, beranggotakan 9 orang dan Majelis Permusyarawatan Rakyat disebut
Ade Sappulo Dua, beranggotakan 14 orang tetapi hanya 12 suara.
Dengan bentuk pemerintahan yang baru itu, maka kekuasaan Datu
telah beralih ke rakyat, terutama dalam soal pengangkatan dan
pemberhentian Datu, sudah berada di tangan Ade Sappulo Dua. Adapun
susunan pemerintahan yang mendampingi Datu pada masa itu terdiri dari :
1. Pakkateni Ade (Pemangku Adat), tugasnya menjalankan uruasan
pemerintahan sehari-hari. Susunannya sebagai berikut :
a. Seorang berpangkat patunru (Perdana Menteri), bergelar Opu
Patunru.
b. Seorang berpangkat pabbicara (Menteri Kehakiman),
bergelar Opu Pabbicara.
c. Seorang berpangkat tomarilalang (Menteri Dalam Negeri),
bergelar Opu Tomarilalang.
d. Seorang berpangkat balirante (Menteri Kesejahteraan),
bergelar Opu Balirante.
2. Ade Asera mewakili tiga golongan besar rakyat, yaitu :
a. Anak TelluE, mewakili tiga kepala pemerintahan, yaitu
madika Bua, madika Ponrang, dan madika Baebunta.
b. Bendera telluE, mewakili tiga golongan masyarakat, yaitu
anreguru anakarung, anreguru attorioloang, dan anreguru
pampawaepu.
65

c. TelluE matoa mewakili tiga daerah/perwakilan daerah, yaitu
matoa wajo (Wajo, Sengkang), matoa cenrana (Bone), dan
matoa laletonro (Bone).
3. Ade Sappulo Dua atau Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
atas :
a. Datu sebagai ketua majelis 1 suara.
b. Panggadarang (kabinet) 1 suara.
c. Anak TelluE 3 suara.
d. Bendera telluE 3 suara.
e. TelluE matoa 3 suara.
f. Kadi 1 suara.
Di dalam setiap persidangan Ade Sappulo Dua, anggota-anggota harus
selalu mendasarkan pikiran dan pertimbangannya kepada hukum dasar baru
yang dkeluarkan oleh Datu Patipasaung ciptaan Patunru Mustafa yang telah
disetujui oleh Majelis Permusyawaratan. Dalam hukum baru tersebut
disebutkan : Pattupui ri AdeE, pasanrei ri SaraE, muattangnga ri rapangE,
mupatarettei ri wariE, mualai pappegau ripobiasangE (sendikan kepada
adat, sandarkan kepada syara’(agama Islam), perhatikan kepada masyarakat,
tertibkan menurut aturan, bandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan). Maksud
hukum-hukum baru tersebut adalah bahwa tiap-tiap sesuatu yang hendak
dikerjakan, harus lebih dahulu didasarkan kepada adat dan disandarkan
kepada syara’, perhatikan pula keadaan masyarakat dan tata tertibnya sesuatu
66

pekerejaan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Bila hal-hal yang akan
dikerjakan itu sudah sesuai dengan adat, cocok pula dengan kebiasaan serta
tata tertibnya, akan tetapi bertentangan dengan syara’ maka maksud itu tidak
boleh dikerjakan karena hukum syara’ lah yang menjadi inti dan pedoman
setiap perbuatan.95
3. Wajo
Arung Mato Wajo, yang mula-mula memeluk agama Islam adalah
Arung Matoa Wajo yang ke-XII bernama La Sangkuru Mulajaji, diberi nama
Islam La Sangkuru Patau Sultan Abdurrahman. Beliau menerima Islam pada
hari selasa, tanggal 15 Safar 1020 H/1610 M. Segera setelah Wajo menerima
Islam, Raja Gowa mengirim Khatib Sulung Datuk Sulaiman untuk
mengajarkan dasar-dasar agama Islam kepada orang-orang Wajo. Lontara
Wajo mencatat bahwa yang menjadi tekanan ajaran Islam yang
dikembangkan Datuk Sulaiman adalah keimanan kepada Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, tentang larangan-larangan disebut :
a. Dilarang mappinang rakka (memberi sesajian kepada siapapun,
seperti setan, jin, benda-benda yang dikeramatkan seperti pantasa
dan saukang).
b. Dilarang mammanu’-manu’ (bertenung tentang alamat baik
dan buruk untuk melakukan suatu pekerjaan).
95Ibid., h. 82
67

c. Dilarang mappolobea’ (bertenung untuk mengetahui nasib).
d. Dilarang mappakere’ (mempercayai sesuatu benda keramat).
e. Dilarang makan cammungu-mungu (babi).
f. Dilarang minum pakkunesse (minuman keras).
g. Dilarang mappangaddi (berzina).
h. Dilarang boto (berjudi) dan makan riba.
Oleh karena peng-Islaman dan penyebaran ajaran Islam ditangani oleh
raja-raja maka syari’at Islam berjalan sering bersama-sama dengan adat-
istiadat masyarakat. Ulama-ulama penyebar Islam tetap mendapat
perlindungan dari raja, tetapi di lain pihak juga mendapat pengawasan
langsung agar antara adat dan syari’at Islam tidak terjadi pertentangan yang
dapat menganggu ketentraman masyarakat. Dalam sejarah Wajo dikenal
bahwa orang Wajo sangat kuat berpegang kepada adat-istiadatnya. Ini
diungkapkan dalam semboyan Wajo yang berbunyi : “Maradeka to
Wajoeadenami napu puang” artinya : orang Wajo merdeka hanya adatnya
yang dipertuan, maksudnya semua orang harus taat kepada aturan hukum
(ade) yang telah disepakati. Dalam Lontara Latowa dikatakan : Empat
macam saja yang memperbaiki Negara, barulah dicukupkan lima macam
ketika sampai kepada keislaman dan dimasukkanlah juga syariat Islam. Pada
tahun 1621-1626 dan tahun 1628-1636 Matowa Wajo ke-18 dan ke-20 ialah
La Pakkolangi Toalinrungu yang lazim disebut To Ali. Pada masa
pemerintahannya, beliau menyuruh mendirikan masjid raja di Wajo. Dalam
68

upacara pembukaan masjid tersebut hadir raja Gowa , raja Tallo, raja Bone,
dan Datu Soppeng. Setelah kira-kira delapan tahun lamanya To Ali kedua
kalinya memegang pimpinan pemerintahan di Wajo, tiba-tiba tombullah
perselisihan antara beliau dengan Arung Battempola yang bernama La Sekati
Topalettei, dari perselisihan tersebut menyebabkan Arung To Ali dipecat dari
jabatannya oleh Arung Ennengnge.96
La Salewange Totentiruwa, Arung Matoa Wajo ke-35 (1715-1736).
Beliau inilah yang memerintahkan ditembok masjid besar Tosora mendirikan
masjid dan langgar (mushallah) sehingga mencapai 40 mushallahm dan satu
masjid Jami Tosora yang merupakan ibu kota kerajaan Wajo dahulu.
La Madukkeleng Arung Matowa Wajo yang terkenal dengan gelar
Sultan Pasir. Beliau dilantik pada tanggal 6 November 1736. Beliau terkenal
sebagai pahlawan besar di Wajo, dia berperang melawan Bone dan Belanda,
kemudian dengan Sidenreng. Peperangan ini berjalan bertahun-tahun
lamanya dengan tidak ada yang kalah dan yang menang. Beliau
mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1754 dan wafat di Sengkang
pada hari Jumat tanggal 2 Rajab 1180 H/1675 M. Pada tahun 1795-1817
yang menjadi Arung Matowa Wajo ke-39 ialah La Mallalengeng alias La
Tjella Puang Na Towapamadeng. Beliau sangat tekun melaksanakan ibadah.
Usaha-usahanya memerintahkan kepada semua Arung lili dan Wajo
mendirikan dan memperbaiki masjid, begitu pula Kadi, Khatib-khatib, Guru
96Ibid., h. 83
69

agama harus mengajarkan pembacaan Al-Quran, ilmu pengetahuan agama
Islam, pembacaan berzanji pada tiap-tiap masjid dan pada tiap-tiap malam
Jumat, kemudian beliau betul-betul bergiat memajukan ajaran agama Islam
di kerajaan Wajo. Pada masa pemerintahan beliau inilah pula hidup seorang
ulama yang bernama Haji Zainal Abidin Ulama yang masyhur di Sulawesi
Selatan, khususnya di tanah Bugis karena penyiarannya dalam agama Islam
berupa syair-syair dan cerita-cerita yang penuh mengandung Ilmu Tauhid,
syairnya yang terkenal berbahasa Bugis diberi nama “Maseala” dan sebuah
cerita roman yang terkenal di tanah Bugis aialah “Indalputera”. Buku itu
ndiliputi gubahannya dengan keyakinan-keyakinaan, pengajaraan dan
tuntunan Islam yang sangat digemari oleh orang-orang Bugis.97
Pada tahun 1817 Arung Matowa La Tjella meletakkan jabatannya dan
digantikan oleh La Mamang Toapamadeng Puang Raden Galla. La Mamang
adalah Arung Matoa Wajo yang ke-40 memerintah pada tahun 1821-1824.
Usaha-usahanya yang terpenting adalah :
1. Memajukan pertanian rakyat Wajo, dengan jalan menggali saluran
air sehingga makanan rakyat sangat jadi dan berlimpah-limpah.
2. Memperluas dan menyempurnakan Masjid Jami’ Tosora.
3. Mendatangkan ulama dari Madinah, masyarakat Wajo memanggil
ulama itu dengan Syekh Madinah.
97Ibid., h. 84.
70

4. Mengeluarkan perintah kepada raja-raja bawahannya agar masjid
yang ada di daerahnya dipelihara dan diperbaiki, yang belum memiliki
masjid segera membangun masjid agar rakyat dapat melaksanakan salat
secara berjamaah. Pohon-pohon yang dikeramatkan ditebang, kuburan-
kuburan yang dianggap keramat segera dihilangkan, perempuan-
perempuan bilamana keluar dari rumahnya agar memakai tutup kepala
dan sarung. Dari segi pelaksanaan hukum, beliau memerintahkan
memotong tangan bagi pencuri. Ini adalah anjuran dari Syekh Madinah.
Usaha-usaha Arung Matowa ini berhasil menekan kemerosotan dan
penyimpangan-penyimpangan ajaran agama yang dijalankan oleh
masyarakat. Akan tetapi, setelah Arung Matowa Wajo dan Syekh Madinah
tiada lagi, maka masyarakat kembali lagi melakukan tradisi-tradisi lama.
Demikianlah keadaan keagamaan masyarakat di daerah Wajo pada akhir
abad yang ke-19.98
La Oddang Datu Latompong, Arung Matowa Wajo ke-47 dilantik
pada tanggal 22 Desember 1926 dan wafat pada tanggal 14 Januari 1933.
Beliau sejak kecilnya dirawat oleh orang tuanya dalam masalah keagamaan.
Beliau belajar mengaji, bahasa Arab, Syaraf, Nahwu, Fiqhi dan tafsir kepada
ulama. Beliau mempunyai tafsir terjemahan bahasa Bugis, tetapi tafsir
tersebut semasa hidup beliau diambil oleh pemerintah dan dikirim ke
98Ibid., h. 85
71

Batavia, karena didalam tafsir tersebut ada kalimat salsabillah yang
diartikannya menyuruh perang kepada orang kafir.
Dalam masa pemerintahan, beliau berusaha :
1. Bergaul dan berdiskusi dengan ulama-ulama seperti :
a. Haji Makkatau, satu-satunya ulama yang sangat ekstrim untuk
dengan tangan sendiri.
b. Haji Moehammad Assad, ke Wajo pada tahun 1629, beliau
banyak jasanya dalam mengembangkan Islam. Beliau pelopor
pemurnian ajaran agama Islam dengan Madrasah Wajo Al-
Arabiyatul Islamiyah yang berpusat di Sengkang.
2. Menyerahkan tanah wakaf kepada organisasi Muhammadiyah
seluas 50x50 m yang terletak di Lappaduppa Sengkang.
3. Dibangun masjid Jami’ yang permanen dan sekolah yang
terletak di Jalan Datuk Sulaiman sekarang.
4. Kembalinya masyarakat kepada ajaran Islam yang murni
dimana masyarakat sudah merubah sikap terhadap norma-norma
hukum adat.99
99Ibid., h. 86.
72

4. Bone
Dengan Islamnya Wajo dan Soppeng, maka raja Gowa mengajak raja
Bone ke-XI yang waktu itu adalah La Tenri Ruwa menerima Islam. Ajakan
ini diterima baik oleh raja Bone dan langsung menyatakan dirinya masuk
Islam dengan gelar Sultan Adam pada tahun 1611 M. Setelah selesainya La
Tenri Ruwa menerima Islam kemudian beliau menyampaikan perintahnya
kepada anggota kerajaan, tetapi ditentang oleh adat Bone yaitu Arung Pitu.
Karena itu timbullah pertentangan antara raja Bone dan anggota hadat. Arung
Pitu menuzulkan raja sehingga raja Bone La Tenri Ruwa meninggalkan Bone
kemudian pindag ke Gowa dan bermukim di Bantaeng sampai wafatnya.
Tindakan Arung Pitu tersebut diatas menimbulkan perang antara Bone dan
Gowa, dimana pada tanggal 23 November 1611, Bone dapat dikalahkan.
Dengan kekalahan ini maka akhirnya Bone dapat menerima ajaran agama
Islam sebagai agama resmi kerajaan. Maka dimulai saat itu Kerajaan Bone
dibawah raja yang ke-XII La Tenri Pale pada tahun 1611-1625 menjadi
kerajaan Islam dan beliau digelar I Sultan Abdullah. Usaha-usaha beliau
dalam menyebarkan Islam ialah beliau sendiri ke Gowa untuk mempelajari
agama Islam bersama dengan beberapa orang dari Kerajaan Bone.100
Dengan selesainya beliau mempelajari pengetahuan agama Islam di
Gowa, kemudian beliau bersama dengan orang-orang yang menyertainya
100Ibid., h. 86.
73

kembali ke Bone dan selanjutnya menyampaikan pengetahuan tersebut
kepada masyarakat Bone. Diduga bahwa pokok-pokok ajaran Islam yang
pertama-tama diajarkan di Bone adalah bersumber dari Datuk ri Bandang,
seperti halnya di Gowa yang menekankan pada ajaran syari’at dan Imu
Kalam.
Lamaddaremmeng Raja Bone ke-XIII dengan gelar Sultan Muhammad
Saleh yang merupakan kemanakan Raja Bone ke-XII La Tenri Pale dalam
memajukan negerinya, beliau berusaha :
a. Memperluas kota Laleng Bata dan membuat payung kerajaan yang
berwarna putih dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari perak.
b. Memberikan tugas kepada orang-orang yang pernah mempelajari
pengetahuan agama Islam di Gowa untuk memberikan pengajian kepada
masyarakat di pelosok-pelosok kerajaan Bone, mulai tingkat dasar
(mengeja) sampai tingkat membaca lancar, demikian juga diajarkan
syari’at Islam dan Ilmu Tasawuf.
c. Beliau ketat mengadakan penghapusan terhadap kepercayaan Animisme.
d. Menghapus segala sistem perhambaan (perbudakan) karena menurut
beliau sesungguhnya tingkat derajat manusia itu sama.
Karena raja Lammadaremmeng sangat ketat dalam usahanya untuk
menyebarkan Islam, sehingga banyak bangsawan Bone termasuk keluarga
dari ibu kandungnya sendiri meninggalkan kerajaan Bone ke Gowa untuk
meminta perlindungan dari raja Gowa. Sebagai akibat ekstrimnya dan tidak
74

mau mendengar nasehat raja Gowa mengakibatkan raja Gowa mengadakan
peperangan melawan dia dan terpaksa melarikan diri ke Cimpu (Palopo).
Disana dia tertangkap lalu diasingkan ke Gowa dan wafat pada tahun 1640.
Raja Bone ke-XV adala La Tenri Tatta yang digelar dengan Arung
Palaka, Datu Mario, Petta Malampee Gemme’na, To Appatunru, Petta To
Risompae, Arung Pone, Sultan Saaduddin Matinroe ri Somba Opu. Setelah
menduduki tahta kerajaan beliau berusaha :
a. Membina dan mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi
Selatan.
b. Segala lembaga-lembaga kerajaan berfunngsi kembali, Pangadenreng
yang didalamnya termasuk syara dan kelengkapannya.
c. Mendirikan masjid yang bernama Masjid Al-Mujahidin, masyarakat Bone
menamainya “Masigi Tuae” artinya masjid tua.
d. Diberikan kekuasaan kepada ulama-ulama untuk melaksanakan tugas-
tugasnya sehingga kesempatan ini pula digunakan oleh para ulama seperti
Syekh Nuruddin Abdul Fattah, Abdul Basir dari Rappang dan Abdul
Kadir Karaeng Jeno, ketiganya murid dari Syekh Yusuf dan lain-lain
untuk lebih leluasa mengembangkan dakwah Islam ke negeri-negeri
Bugis.101
e. Persahabatan dengan kompeni Belanda tetap dipelihara walaupun dalam
batas-batas tertentu.
101Ibid., h. 87.
75

E. TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM
DI MALUKU
Kerajaan Maluku
Maluku adalah daerah yang dikenal dengan julukan Negeri Seribu Pulau.102
Pada awalnya yang disebut dengan Maluku adalah Ternate, Tidore, Makian dan Moti.
Secara keseluruhan, mereka disebut dengan “Moloku Kie Raha”, artinya “persatuan
empat kolano (kerajaan).103
Islam mencapai kepulauan rempah – rempah yang sekarang dikenal dengan
Maluku ini pada pertengahan abad ke-15. Sekitar tahun 1460, raja Ternate yang
bernama Vongi Tidore memeluk agama Islam.104 Namun menurut H.J. de Graaf, raja
pertama yang benar – benar Islam adalah Zayn Al-‘Abidin (1486-1500 M). Di masa
itu, gelombang perdagangan muslim terus meningkat sehingga raja menyerah kepada
tekanan para pedagang muslim dan memutuskan untuk belajar tentang Islam pada
madrasah Giri. Di Giri, ia dikenal dengan nama Raja Bulawa atau Raja Cengkeh,
karena ia membawa cengkeh ke sana sebagai hadiah. Ketika kembali dari Jawa, ia
mengajak Tuhubahahul ke daerahnya yang kemudian dikenal sebagai penyebar utama
Islam di kepulauan Maluku.105
102 Dalam beberapa literatur, wilayah Maluku dikenal juga sebagai Jazirah Al-Muluk yang artinya wilayah raja – raja.
103 M. Saleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya Maluku”,(Bandung:Mizan,2006),hlm.335. Nama Maluku ini masih bertahan hingga akhir abad XVIII. Pada tahun 1907, berdasarkan sistem administrasi pemerintah Hindia Belanda yang dimaksud dengan wilayah Maluku adalah wilayah kepulauan yang terletak antara Sulawesi da Papua yang meliputi Maluku Utara, Maluku Tengah dan Maluku Tenggara.
104 Taufik Abdullah, Sejarah ...,Op.Cit.,hlm.94105 H.J.de Graaf,”Islam…”,Op.Cit.,hlm.14
76

Usia Islam yang masih muda di Ternate membuat Portugis yang dating pada
tahun 1522 M berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Namun,
harapan tersebut tidak terwujud, usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang
sedikit.
Berkenaan dengan Ambon, sejarawan Ambon satu – satunya, Rijali,
menceritakan bahwa Perdana Jamilu dari Hitu (salah satu semenanjung Ambon)
menemani penguasa Ternate, Zayn Al-‘Abidin, dalam perjalanannya ke Giri.
Menurut de Graaf, pernyataaab ini hanya menunjukkan bahwa hubungan antara Hitu
dengan Ternate memang sangat dekat. Menurutnya, tersebarnya Islam di Hitu lebih
dikarenakan datangnya seorang qadi yang bernama Ibrahim dan memberikan
pengajaran kepada seluruh guru agama Islam di pulau ini. Ambon bahkan mendirikan
sebuah mesjid bergonjong tujuh yang mengingatkan orang kepada Giri.106
Komunikasi antara kepulauan Maluku dan Giri memang masih bertahan
sampai abad ke-17. Bahkan, Demak dan Jepara merupakan sekutu – sekutu Hitu
dalam peperangan melawan Portugis yang menempatkan diri di Leitimor,
semenanjung Ambon yang penduduknya masih menyembah berhala. Di daerah inilah
Portugis berhasil memperkenalkan Kristen kepada penganut agama berhala itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
106 Ibid.,hlm.15
77

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu:
1. Di Sumatera berdiri beberapa kerajaan Islam diantaranya kerajaan Samudera
Pasai dan kerajaan Aceh Darussalam.
2. Di Jawa berdiri beberapa kerajaan Islam diantaranya kerajaan Demak,
kerajaan Pajang, kerajaan Mataram, kerajaan Banten dan kerajaan Cirebon.
3. Di Kalimantan berdiri beberapa kerajaan Islam diantaranya kerajaan Banjar di
Kalimantan di Kalimantan Selatan dan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
4. Di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan Islam diantaranya kerajaan Gowa-Tallo
(Makassar), kerajaan Luwu, kerajaan Wajo dan kerajaan Bone.
5. Di Maluku berdiri kerajaan Islam yaitu kerajaan Maluku.
Semua kerajaan di atas memiliki andil yang besar dalam mengembangkan
peradaban Islam di Nusantara. Di samping itu, hampir disetiap kerajaan
tersebut muncul pejuang – pejuang yang berperan besar dalam menegakkan
harga diri masyarakat nusantara dari keangkuhan para penjajah. Mereka
semua berjuang untuk membela harga diri sebagai bangsa. Perjuangan mereka
berlanjut terus, selagi para penjajah masih bercokol di bumi Nusantara
B. Saran
78

Penulis menyarankan kepada pembaca yang ingin memperdalam pengetahuannya
tentang Kerajaan – Kerajaan Islam Sebelum Penjajahan Belanda agar membaca
sumber lain yang berkaitan dengan judul tersebut.
79

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (Ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta:Majelis Ulama Indonesia. 1991.
Darban, Ahmad Adaby. Fragmenta Sejarah Islam. Surabaya:JP Books.2008.
Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta:Buku Islam Utama,2010.
Harun Nasution,dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:Djambatan .2002.
H.J.de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud. Kerajaan – Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta:Grafiti Pers. 1998.
Mundzirin,dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta:Pinus. 2006.
M. Sewang, Ahmad. Sejarah Islam di Indonesia. Makassar:Alauddin Press,2010.
Nugroho Notosusanto,dkk. Sejarah Nasional Jilid IV. Jakarta:Balai Pustaka. 1993.
R.P. Suyono. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta:Grasindo. 2004.
R.Soetmono. Pengantar Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid III. Yogyakarta:Kanisius. 1973.
Sartono Kartodirjo. Pengantar Sejarah Islam Baru:1500-1900 Jilid I. Jakarta:Gramedia. 1987.
80

Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid III . Ujung Pandang:IAIN Alauddin Pers. 1984.
81

82