KERACUNAN opioid

24
BAB I PENDAHULUAN Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium, yang berasal dari getah Papaver somniferum. Mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya yaitu morfin, kodein, tebain dan papverin. Analgesik terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga menimbulkan efek farmakodinamik yang lainnya ( Farmakologi UI, 2007). Morfin adalah analgesik yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai berat, terutama yang terkait dengan penyakit neoplastik (tumor), infark miokard (kematian otot jantung) dan bedah. Selain menghilangkan rasa sakit, morfin juga meredakan kecemasan yang berhubungan dengan nyeri yang parah. Morfin masih merupakan salah satu obat yang paling penting dalam penatalaksanaan nyeri. Heroin juga telah digunakan dalam hal pengobatan. Penggunaan heroin untuk pengobatan diusahakan penggunaan dengan dosis seminimal mungkin, karena heroin akan menimbulkan euphoria, menghilangkan kecemasan dan perasaan terbang serta hal ini akan menyebabkan adanya ketergantungan penggunaan heroin ( Thompson, 1991). Tingkat kematian pada orang dengan ketergantungan oipioid saat ini dilaporkan masih sangat tinggi. 1

description

keracunan

Transcript of KERACUNAN opioid

Page 1: KERACUNAN opioid

BAB I

PENDAHULUAN

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti

opium, yang berasal dari getah Papaver somniferum. Mengandung sekitar 20 jenis

alkaloid diantaranya yaitu morfin, kodein, tebain dan papverin. Analgesik

terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun

juga menimbulkan efek farmakodinamik yang lainnya ( Farmakologi UI, 2007).

Morfin adalah analgesik yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai

berat, terutama yang terkait dengan penyakit neoplastik (tumor), infark miokard

(kematian otot jantung) dan bedah. Selain menghilangkan rasa sakit, morfin juga

meredakan kecemasan yang berhubungan dengan nyeri yang parah. Morfin masih

merupakan salah satu obat yang paling penting dalam penatalaksanaan nyeri.

Heroin juga telah digunakan dalam hal pengobatan. Penggunaan heroin untuk

pengobatan diusahakan penggunaan dengan dosis seminimal mungkin, karena

heroin akan menimbulkan euphoria, menghilangkan kecemasan dan perasaan

terbang serta hal ini akan menyebabkan adanya ketergantungan penggunaan

heroin ( Thompson, 1991).

Tingkat kematian pada orang dengan ketergantungan oipioid saat ini

dilaporkan masih sangat tinggi. Kematian disebabkan oleh beberapa hal, yakni

penyebab kematian utama adalah overdosis narkoba, trauma (termasuk bunuh diri

dan pembunuhan), serta somatic (infeksi melalui darah) (Clausen at al, 2009).

Usia mempunyai pengaruh langsung terhadap kematian dan jenis kematian.

Ketergantungan obat juga terkait dengan proses penuaan, namun sampai saat ini

bukti nyata hubungan antara usia dengan risiko kematian akibat ketergantungan

opioid belum ditemukan secara nyata. Rata-rata usia pada saat kematian di

kalangan pengguna opioid adalah usia 30 tahun. Studi dari Inggris telah

melaporkan tingginya tingkat fatal-overdosis di antara pengguna heroin muda, dan

mereka memiliki ilmu pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko overdosis

dibandingkan dengan pengguna yang lebih tua. Sebaliknya, usia yang lebih tua

juga telah dilaporkan sebagai factor kematian di antara pengguna heroin ( dengan

1

Page 2: KERACUNAN opioid

penelitian kohort). Di Australia umur rata-rata kematian di antara laki-laki

pengguna opioid yang overdosis meningkat dari 24,5 pada 1979 menjadi 30,6

pada tahun 1995.

2

Page 3: KERACUNAN opioid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. JENIS-JENIS OPIUM

Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik

alkaloid opium dan senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai

morfin (Farmakologi FKUI, 2007).

1. Morfin dan Alkaloid Opium

Opium atau candu adalah getah papaver somniverum L yang telah

dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam 2 golongan,

yaitu:

a) Golongan fenantren : morfin dan kodein

b) Golongan benzilisokinolin : noskapin dan papaverin.

Dari alkaloid derivate fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivate

semisintetik.

Efek farmakologik masing-masing derivate secara kulaitatif sama tetapi

berbeda secara kuantitatif dengan morfin.

a. Farmakodinamik

Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbukkan

karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Selain itu, morfin juga

mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan κ.

1) Susunan Saraf Pusat (SSP)

a) Narcosis

Efek morfin terhadap SSP adalah berupa analgesia dan narcosis.

Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien

yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, pada

orang normal seringkali menimbulkan disforia dengan gejala

perasaan kuatir atau takut, disertai dengan mual dan muntah.

Dalam lingkungan yang tenang morfin dengan dosis terapi (15-20

mg) akan menyebabkan tidur cepat dan nyenyak disertai mimi,

napas lambat dan miosis.

3

Page 4: KERACUNAN opioid

b) Analgesia

Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi

sebagai akibat kerja opioid pada reseptor μ. Opioid menimbulkan

analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang

terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan

pada transmisi dan modulasi nyeri. Efek analgetik morfin dan

opioid lain sangat selektif dan tidak disertai hilangnya fungsi

sensorik lain.

c) Eksitasi

Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,

sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.

d) Miosis

Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor μ

dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan

pada segmen otonom inti saraf okulomotor.

e) Depresi Napas

Morfin menimbulkan depredi napas secara primer dan

bersinambungan berdasrkan efek langsung terhadap pusat napas di

batang otak.

f) Mual dan Muntah

Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada

emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area posterma medulla

oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri.

2) Saluran Cerna

Morfin berefek langsung pada saluran cerna tanpa melalui efeknya

terhadap SSP. Di lambung morfin menghambat sekresi HCl,

menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum

meninggi dan motilitasnya berkurang, sedangkan sfingter pylorus

berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum

diperlambat. Sedangkan di usus halus morfin mengurangi sekresi

empedu dan pancreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus

4

Page 5: KERACUNAN opioid

halus. Di usus besar morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan

propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus

besar; akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi

lebih keras.

3) Sistem Kardiovaskular

Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah,

frekuensi, maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi

adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang

baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia

pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain

melepaskan histamine yang merupakan factor penting dalam

timbulnya hipotensi.

4) Metabolisme

Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang

menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di

SSP. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan

merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal dan penglepasan

ADH.

b. Indikasi

1) Terhadap nyeri

Morfin dan opioid lain terutama diindikasinkan untuk meredakan

atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan

analgesic non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang

menyertai: infark miokard, neoplasma, kolik renal atau empedu,

perikarditis akut, pleuritis, pneumothoraks spontan, nyeri akibat

trauma dan oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau

koroner.

2) Terhadap batuk

Penggunaan analgesic opioid untuk mengatasi batuk telah banyak

ditinggalkan karena, telah banyak obat-obatan lain yang efektif dan

tidak menimbulkan adiktif.

5

Page 6: KERACUNAN opioid

3) Edema paru akut

Morfin IV dapat dengan jelas mengurangi / menghilangkan sesak

napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.

4) Efek antidiare

Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek

langsung terhadap otot polos usus.

c. Efek Samping

1) Idiosinkrasi dan Alergi

Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita

berdasarkan idiosinkrasinya. Bentuk idiosinkrasi adalah timbulnya

eksitasi dengan termor dan jarang terjadi delirium, lebih jarang lagi

konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergi dapat timbul gejala

seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.

2) Intoksikasi Akut

Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat

percobaan bunuh diri. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika

intoksikasi cukup berat.

d. Sediaan Obat

1) Pulvus opii : mengandung 10% morfin dan kurang dari 0,5% kodein.

2) Pulvus doveri : mengandung 10% pulvus opii

2. Senyawa Sintetik dengan Sifat Farmakologik menyerupai Morfin

a. Meperidin

Meperidin juga dikenal sebagai petidin. Efek farmakodinamik dan derivate

fenilpiperidin lain serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama

bekerja sebagai agonis reseptor μ. Efek farmakodinamik meperidipin

antara lain:

1) Susunan Saraf Pusat (SSP)

Sama halnya dengan morfin, meperidin akan menyebabkan analgesia,

sedasi, euphoria, depresi napas, dan efek sentral lainnya.

a) Analgesia

Efek analagesik meperidin serupa dengan efek analgesic morfin.

6

Page 7: KERACUNAN opioid

b) Sedasi, euphoria, dan eksitasi

Berbeda dengan morfin, dosis toksik meperidin kadang-kadang

menimbulkan perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot

dan konvulsi.

c) Saluran napas

Obat ini menurunkan kepekaan pusat napas terhadap CO2 dan

mempengaruhi pusat yang mengatur irama napas dalam pons.

Meperidin mempengaruhi terhadap penurunan volume tidal,

sedangkan frekuensi napas tidak terlalu dipengaruhi, sehingga efek

depresi napas tidak disadari.

d) Efek neural lain

2) Sistem Kardiovaskular

Pemberian meperidin secara IV dapat terjadi sinkop, karena terjadi

vasodilatasi perifer dan penglepasan histamine. Meperidin dapat

menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi napas sehingga

menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan menimbulkan

kenaikan tekanan cairan serebrospinal.

b. Fentanil dan Derivatnya

Fentanil dan derivatnya: sulfentanil, alfentanil dan remifentanil merupakan

opioid sintetik dari kelompok fenilpipiredin dan bekerja sebagai agonis

reseptor μ. Seperti agonis reseptor μ lainnya, fentanil dan derivatnya dapat

menimbulkan mual, muntah dan gatal.

3. Metadon dan Opioid Lain

a. Metadon

Farmakodinamik dari metadon akan mempengaruhi:

1) Susunan Saraf Pusat (SSP)

Dalam dosis tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat

morfin, tetapi setelah pemberian metadon berulang kali timbul efek

sedasi yang jelas, kemungkinan karena adanya akumulasi. Seperti

7

Page 8: KERACUNAN opioid

morfin, metadon berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemi,

hipotermia, dan pelepasan ADH.

2) Sistem Kardiovaskular

Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat

menimbulkan hipotensi ortostatik.

Indikasi penggunaan metadon antara lain untuk:

1) Analgesia

Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri

yang dapat dipengaruhi oleh morfin. Obat ini dapat menyebabkan

depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai analgetik

dalam persalinan.

2) Antitusif

Metadon adalah antitusif yang baik, tetapi kemungkinan untuk

timbulnya adiksi lebih besar daripada kodein.

Efek samping dari metadon sendiri dapat menyebabkan perasaan

ringan, pusing kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus,

mual dan muntah.

b. Propoksifen

Propoksifen berefek analgetik karena kerja sentralnya. Propoksifen

terutama terikat pada reseptor μ meskipun kurang selektif disbanding

morfin. Propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi pada tempat

suntikan (parenteral).

Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga

sedang, yang tidak cukup baik diredakn oleh asetosal. Efek samping dari

propoksifen adalah mual, aneroksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk.

Jenis obat opium menurut Buku Ajar IPD (2009) :

Jenis Obat Dosis Fatal (g) Dosis Pengobatan (mg)

Kodein 0,8 60

Dekstrometorphan 0,5 60-120/hari

Heroin 0,2 4

8

Page 9: KERACUNAN opioid

Loperamid (Imodium) 0,5

Meperidin (petidin) 1 100

Morfin 0,2 10

Naloxone

Opium (Papaver

somniferum)

0,3

Pentazocaine (Talwin) 0,3

Tabel 1. Jenis obat, dosis fatal dan dosis pengobatan.

II. FARMAKOLOGI OPIAT

Setelah pemberian dosis tunggal, heroin (putaw) didalam tubuh akan

dihidrolisis oleh hati (6-10 menit) menjadi 6 monoacetyl morphine dan setelah itu

akan diubah menjadi morfin. Morfin selanjutnya diubah menjani Mo 3

monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut du dalam air. Bentuk

metabolit ini yang dapat dites di dalam urin. Oleh karena heroin (putaw) larut di

dalam lemak maka bahan tersebut (± 60%) dapat melalui sawar otak dalam waktu

yang cepat.

Gb.1 Metabolisme heroin dalam tubuh

III. MEKANISME TOKSISITAS

Pada umumnya kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk menstimulasi

SSP melalui aktivasi reseptornya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi

9

Page 10: KERACUNAN opioid

napas. Kematian umumnya terjadi karena apnea atau aspirasi paru dari cairan

lambung, sedangkan reaksi edema pulmoner yang akut (non kardiogenik)

mekanismenya masih belum jelas.

Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing jenis obat opiate

tergantung cara (rute) pemberian, efek toleransi (pemakai kronik), lama kerja dan

masa paruh obat yang akhirnya akan menentukan tingkat toksisitas.

Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP (otak) maka mekanisme

toksisitas dan atidotumnya dapat diterangkan melalui reseptornya. Berikut ini

adalah beberapa jenis reseptornya:

1. Reseptor Mu1 (μ1) : berefek analgesik, euphoria, dan hipotermia

Mu2 (μ2) : bradikardi, depresi napas, miosis, euphoria, penurunan kontraksi

usus dan ketergantungan fisik.

2. Reseptor Kappa (κ) : spinal analgesik, depresi napas dan miosis, hipotermia.

3. Reseptor Delta (δ) : depresi napas, dispori, halusinasi, vasomotor stimulasi.

4. Reseptor Gamma (γ) : inhibisi otot polos, spinal analgesik.

Gb.2 Perbedaan mekanisme kerja Otak pada orang normal dan pengguna

IV. SIMPTOMATOLOGI

Pada kelompok ini dimasukan beberapa obat dengan simptomatologi yang

hampir sama yaitu golongan opiat (morfin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif:

1. Narkotika

2. Barbiturat

3. Benzodiasepin

4. Meprebamat

5. Etanol.

10

Page 11: KERACUNAN opioid

Tanda dan gejala yang sering ditemukan adalah koma, depresi napas, miosis,

hipotensi, bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi,

kejang (pada kasus berat)

V. DIAGNOSIS

Bila ditemukan gejala klinis yang khas (pin point, depresi napas dan membaik

setelak pemberian naloxone) maka penegakan secara klinis dapat ditegakkan

dengan mudah. Kadang-kadang ditemukan bekas suntikan yang khas (needle

track sign).

No. Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Opioid

1. Pemakaian opioid yang belum lama

2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologi yang bermakna secara

klinis (misalnya, euphoria awal diikuti oleh apati, disfotia, agitasi

atau retardasi psikomotor, gangguan pertimbangan, atau gangguan

fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera

setelah pemakaian opioid

3. Kontriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis

berat) dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama,

atau segera setelah pemakaian opioid:

a. Mengantuk atau koma;

b. Bicara cadel;

c. Gangguan atensi atau daya ingat.

4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik

diterangkan oleh gangguan mental lain

Tabel 2. Kriteria diagnostik intoksikasi opioid menurut DSM IV

(Kaplan, 2010)

Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan gejala klinis,

pemeriksaan secara kualitatif dari bahan urin cukup efektif untuk memastikan

diagnosis keracunan opiat dan zat akditif lainnya.

Jenis Obat Lamanya waktu dapat dideteksi

Amfetamin 2 hari

11

Page 12: KERACUNAN opioid

Barbiturate 1 hari (kerja pendek)

3 minggu (kerja panjang)

Benzodiazepine 3 hari

Kokain 2-4 hari

Kodein 2 hari

Heroin 1-2 hari

Metadon 3 hari

Morfin 2-5 hari

Tabel 3. Perkiraan waktu deteksi dalam urin beberapa jenis obat

VI. PRINSIP PENATALAKSANAAN KASUS KERACUNAN

Mengingat kecepaatan diagnosis sangat bervariasi dan disisi lain bahaya

keracunan dapat mengancam nyawa maka upaya penatalaksanaan kasus

keracunan ditujukan kepada hal berikut:

1. Penatalaksanaan Kegawatan

Penilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi

dan prnurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat dan tepat sehingga

tindakan resusitasi tidak terlambat dimulai. Urutan resusutasi:

a. A (airways), bebaskan jalan napas dari sumbatan bahan muntahan,

lender, gigi palsu, bila perlu dengan perubahan posisi dan

oropharyngeal airway dan alat penghisap lender.

b. B (breathing), jaga agar pernapasan sestabil mungkin dan bila

memang diperlukan dapat diberikan alat bantu respiratory.

c. C (circulation), tekanan darah dan volume cairan harus

dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan. Dalam

keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid.

Bila terdapat henti jantung lakukan RJP (resusitasi jantung paru).

2. Penilaian Klinis

Pada kasus keracunan bukan hanya hasil laboratorium toksikologis

yang selalu harus diperhatikan akan tetapi standar pemeriksaan keracunan

yang telah disetujui di masing-masing rumah sakit perlu dibuat untuk

12

Page 13: KERACUNAN opioid

memudahkan penangangan. Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat

perhatian karena dapat mengancam jiwa yaitu koma, kejang, henti jantung,

henti napas dan syok. Hal ini bisa didapatkan dari:

a. Anamnesis

Upaya yang penting adalah anamnesis atau aloanamnesis yang rinci.

Beberapa pegangan yang penting dalam upaya mengatasi keracunan

ialah:

1) Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang

digunakan termasuk obat yang sering dipakai

2) Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas

tentang obat yang digunakan

3) Tanyakan dan simpan (untuk pemeriksaan toksikologis) sisa obat,

muntahan yang masih ada

4) Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok anafilaksis.

b. Pemeriksaan Fisik

Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan

akibat keracunan yaitu pemeiksaan kesadaran, tekanan darah, nadi,

denyut jantung, ukuran pupil, keringat, air liur dan lainnya.

Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasar skala prioritas dan pada

keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan fisik harus

dilakukan berulang.

3. Dekontaminasi

Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap

melalui kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan,

sedang dekontaminasi saluran cerna ditujukan agar bahan yang tertelan

akan sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat diberikan arang aktif, pencahar,

pemberian obat perangsang muntah dan kumbah lambung.

Beberapa upaya lain untuk mengeluarkan bahan/obat dpat dilakukan

dengan dialisis, akan tetapi kadang-kadang peralatan tersebut tidak

tersedia di rumah sakit (hanya RS tertentu) sehingga pemberian

diuretikum dapat dicoba sebagai tindakan pengganti.

13

Page 14: KERACUNAN opioid

4. Pemberian Antidotum

Tidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip utama

adalah mengatasi sesuai dengan besar masalah. Tetapi antidotum untuk

keracunan opiat baik untuk dewasa maupun anak-anak adalah naloxone.

5. Suportif, Konsultasi dan Rehabilitasi

Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara

holistik dan cost effectiveness disesuaikan dengan kondisi masing-masing

pelayanan kesehatan.

VII. PENATALAKSANAAN INTOKSIKASI OPIAT

Gb.3 Alur Tatalaksana Intoksikasi Opium

14

Intoksikasi golongan obat

-aloanamnesa

-riwayat pemakaian obat

-bekas suntikan (needle track sign)

-pemeriksaan urin

Trias intoksikasi opiat:

-depresi napas

-pupil pinpoint

-kesadaran menurun (koma)

Suport sistem pernapasan dan sirkulasi

Naloxone IV (lihat protokol)

Observasi/pengawasan tanda vital dan dipuasakan selama 6 jam

Page 15: KERACUNAN opioid

VIII. PROTOKOL PENANGANAN OVERDOSIS OPIAT DI IGD

Overdosis, gejala putus obat/kegawatan masalah psikiatris

Psikiatri, emergensi komplikasi (ARDS,AIDS,dll) masalah komunikasi

(HCV, pneumonia dg drug abuse,HIV,dll)

Berobat lanjut (kontrol rutin) Ruang Rawat inap

perburukan

POLIKLINIK RAWAT JALAN

15

Pasien pengguna opiat

EMERGENSI TIDAK EMERGENSI

IGD POLIKLINIK RAWAT JALAN

INDIKASI RAWAT INDIKASI RAWAT

TIDAK YA TIDAK YA

Observasi 6 jam Rawat

Pulang HCU

ICU

Ruang Rawat Inap

Detoksifikasi konvensional di RS/berobat jalan Detoksifikasi cepat dengan anestesi

REHABILITASI

Page 16: KERACUNAN opioid

IX. PENGOBATAN1. Naloxone : naloxone adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus

dewada maupun anak-anak. Dosis dewasa: 0,4-2,0 mg , dosis dapat diulang pada kasus berat dengan pemnaduan perbaikan gejala klinis. Dapat dipertimbangkan naloxone drip bila ada kecurigaan intoksikasi dengan obat narkotik kerja panjang. Efek naloxone sekitar 2-3 jam.Bila dalam observasi tidak ada respon setelah pemakaian total 10 mg (naloxone) diagnosis intoksikasi opiat perlu diulang.

2. Edema paru diobati sesuai dengan antidotumnya yaitu pemberian naloxone di samoing oksigen dan respirator bila diperlukan

3. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamine dengan dosis 2-5 mcg/KgBB/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan

4. Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi oral)5. Kumbah lambung. Dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan

opiat oral, awasi jalan napas dengan baik6. Activated Charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan

memberikan 240 ml cairan dengan 30 g charcoal. Dapat diberikan sampai: 100 gram

7. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam IV 5-10 mg dan dapat diulang bila diperlukan. Monitor tekanan darah dan depresi napas dan bila ada indikasi dapat dilakukan intubasi.

16