BAB Isi Telah Jadi makalah analgetik opioid

43
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Farmakologi berasal dari kata (Yunani) pharmakon : obat Logia : studi/ilmu. Pada mulanya farmakologi mencakup berbagai pengetahuan tentang obat yang meliputi: sejarah, sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek fisiologi dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi, serta penggunaan obat untuk terapi dan tujuan lain. Dewasa ini didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat-sifat kimia dan organisme hidup serta segala aspek interaksi mereka. Atau Ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan kadang- kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan jantung. Baru seratus tahun yang lalu terdapat sedikit obat-obat yang berguna secara terapeutik, tetapi morphine telah dikenal untuk meredakan rasa sakit yang sangat hebat dengn efikasi yang tinggi. Kenyataannya sir William osler menyebut morphine sebagai “God’s own 1

description

----

Transcript of BAB Isi Telah Jadi makalah analgetik opioid

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Farmakologi berasal dari kata (Yunani) pharmakon : obat Logia :

studi/ilmu. Pada mulanya farmakologi mencakup berbagai pengetahuan tentang

obat yang meliputi: sejarah, sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi, cara meracik,

efek fisiologi dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi,

biotranformasi dan ekskresi, serta penggunaan obat untuk terapi dan tujuan lain. 

Dewasa ini didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat-sifat kimia dan

organisme hidup serta segala aspek interaksi mereka. Atau Ilmu yang

mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup. Opioid adalah semua zat

baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid

disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk

mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan

kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan

jantung.

Baru seratus tahun yang lalu terdapat sedikit obat-obat yang berguna

secara terapeutik, tetapi morphine telah dikenal untuk meredakan rasa sakit yang

sangat hebat dengn efikasi yang tinggi. Kenyataannya sir William osler

menyebut morphine sebagai “God’s own medicine” (obat milik Tuhan), dan

sampai saat ini morphine tetaplah sebagai pembanding standar untuk obat-obat

dengan kerja analgesik yang kuat. Istilah “narkotik”, sering digunakan dalam

kaitan kelompok obat ini, hal ini tidaklah tepat karena “narkosis” berkonotasi

pada keadaan stupor atau somnolen. Istilah “analgesik opioid” lebih tepat karena

menyatakan penimbulan analgesi (hilangnya rasa sakit) tanpa menyebabkan

tertidur atau kehilangan kesadaran, meskipun sedasi terlihat pada hampir semua

opioid. Opioid biasanya termasuk semua derivate alkaloid alami dan

semisintesis dari opium, sifat farmakologisnya mirip dengan pengganti

sintesisnya, sebgaimana bahan-bahan campuran lain yang memmpunyai efek

menyerupai opium disakat oleh antagonis reseptor opioid nonselektif yaitu

naloxone. Definisi ini meliputi beberapa peptide endogen yang disintesis oleh

1

sel-sel saraf dan sel-sel medulla adrenal, dan berinteraksi dengan reseptor-

reseptor opioid. Morphine dianggap sebagai protipe agonis opioid (Katzung,

2002).

Sumber dari opium, bahan mentahnya, dan morphine yang salah satu

unsure aktifnya adalah apiun/bunga madat, opium (opium poppy), yaitu papaver

somniverum. Unsure-unsur dari tumbuhan ini telah dikenal sejak ribuan tahun

yang lalu dan catatan penggunaannya ditemukan dalam dokumen Mesir kuno,

Yunani, dan Romawi. Sertuner, seorang ahli farmasi Jerman, mengisolasi alkali

aktif murni dari opium pada tahun 1803. Hal ini merupakan peristiwa penting

yang memungkinkan untuk mendapatkan sebuah potensi/kekuatan standar untuk

produksi alami. Setelah menguji bahan campurannya pada dirinya sendiri dan

beberapa temannya, sertuner memberikan nama “morphine” untuk bahan

campuran itu berdasar nama dewa mimpi Yunani, Morpheus (Katzung, 2002).

B. TUJUAN

Tujuan dari makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang analgetik opioid.

2. Untuk mengetahui mekanisme kerja obat analgetik opioid.

3. Untuk mengetahui penggolonggan dan macam-macam obat analgetik opioid.

4. Untuk mengetahui toksisitas dan efek-efek yang tidak diinginkan dari

penggunaan analgetik opioid.

5. Untuk mengetahui penggunaan klinis obat analgetik opioid.

6. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi dan Toksikologi.

2

BAB II

ISI

A. NYERI

Nyeri adalah sensasi subjektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan

dengan kerusakan jaringan actual dan potensial. Nyeri dapat bersifat protektif,

yaitu menyebabkan individu menjauh dari stimulus yang berbahaya, atau tidak

melakukan fungsi, seperti pada kasus nyeri kronis. Nyeri dapat dirasakan apabila

reseptor nyeri spesifik terkativasi (Corwin, 2009).

Reseptor nyeri disebut noisiseptor, yaitu ujung saraf bebas yang

merespon terhadap berbagai stimulus, termasuk tekanan mekanis, deformasi,

suhu yang ekstrem, dan berbagai zat kimia. Impuls saraf dari reseptor nyeri akan

disampaikan ke SSP melalui sel-sel saraf sensoris. Setelah berada di medulla

spinalis, sebagian besar serabut nyeri bersinaps di neuron pada kornu dorsal dari

segmen tempat serabut nyeri masuk. Akan tetapi, sebagian serabut berjalan

keatas atau kebawah beberapa segmen dimedulla spinalis sebelum bersinaps.

Setelah mengaktivasi sel di medulla spinalis,informasi mengenai stimulus nyeri

oleh salah satu dari dua jaras asenden ke otak traktus neospinotalamus atau

traktus paleospinotalamus (Corwin, 2009).

Traktus neospinotalamus. Informasi yang dibawa ke spina dalam serabut

A δ yang mencetuskan potensial aksi dengan cepat, disalurkan naik dari medulla

spinalis ke otak melalui serabut traktus neospinotalamus. Sebagian dari serabut

tersebut berakhir disistem aktivasi reticular sehingga mewaspadakan individu

terhadap terjadinya nyeri, tetapi sebagian besar serabut berjalan ketalamus. Dari

thalamus, sinyal-sinyal dikirim kekorteks somatosensorik tempat lokasi nyeri

terlokalisasi dengan baik. Stimulasi korteks diperlukan untuk interpretasi sinyal

nyeri secara sadar (Corwin, 2009).

Traktus paleospinotalammus. Informasi yang dibawa ke spina dalam

serabut C yang disalurkan secara lambat, dan yang dibawa dalam beberapa

serabut A δ, disalurkan naik ke otak melalui serabut traktus paleospinotalamus.

Serabut ini berjalan kedaerah retikuler batang otak dan kedaeran mesensealon

yang disebut area grisea periakueduktus. Serabut paleospinotalamus yang

3

berjalan melalui area retikuler berlanjut untuk mengaktivasi hipotalamus dan

sistem limbic sehingga mempengaruhi area yang mengontrol emosi ini. Area

grisea periakueduktus adalah pusat integrasi yang penting untuk nyeri. Persepsi

nyeri sangat dimodifikasi pada daerah ini. Nyeri yang dibawa dalam traktus

paleospinotalamus terlokalisasi dengan buruk dan berperan menyebabkan

distress emosional yang berkaitan dengan nyeri (Corwin, 2009).

B. ANALGETIKA OPIOID

Analgetik narkotik, kini juga disebut opioida (mirip opiat) adalah obat-

obat yang daya kerjanya meniru (mimic) opioid endogen dengan

memperpanjang aktifasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya μ-reseptor). Zat-

zat ini bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan

respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Daya kerjanya di-

antagonir oleh a.l nalokson. Minimal ada 4 jenid reseptor, yang pengikatan

padanyamenimbulkan analgesia. Tubuh dan mensintesa zat-zat opioidanya

sendiri, yakni zat-zat endorphin, yang juga bekerja melalui reseptor-reseptor

opioid tersebut (Tjay, 2007).

Peptida opoid endogen. Alkaloid opoid menimbulkan analgesia melalui

kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memilliki sifat

farmakalogi menyerupai opoid. Istilah umum yang dewasa ini digunakan untuk

senyawa endogen tersebut adalah peptida opoid endogen, menggantikan istilah

endorfin yang digunakan sebelumnya. Telah diidentifikasi 3 jenis peptida opoid:

enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid yang didistribusi paling luas

dan memiliki aktivitas analgesik, adalah pentapeptida metionin-enkefalin (met-

enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin). Salah satu atau kedua

pentapeptida tersebut terdapat di dalam ke 3 protein prekursor utama: prepro-

opiomelanokortin, preproenkefalin (pro-enkefalin A), dan preprodinorfin

(proenkefalin B). Prekursor opoid endogen terdapat pada daerah di otak yang

berperan dalam modulasi nyeri, dan juga ditemukan di medula adrenal dan

pleksus saraf di usus. Molekul prekursor opioid endogen dapat dilepaskan

selama stres seperti adanya nyeri atau antisipasi nyeri (Ganiswarna, 2007).

4

Gambar 1. Aksi Opioid endogen dan eksogen terhadap reseptor opioid.

Endorfin (morfin endogen) adalah kelompok polipeptida yang terdapat di

SSP dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin. Zat-zat ini

dapat dibedakan antara β-endorfin, dynorfin, dan enkefalin yang menduduki

reseptor-reseptor berlainan. Secara kimiawi zat-zat ini berkaitan dengan hormon-

hormon hipofisis dan berdaya menstimulasi pelepasan dari kortikotropin

(ACTH), juga dari somatotropin dan prolactin. Sebaliknya, pelepasan LH dan

FSH dihambat oleh zat ini. Β-endorfin pada hewan berkhasiat menekan

pernafasan, menurunkan suhu tubuh, dan menimbulkan ketagihan. Lagipula

berdaya analgetik kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri, melainkan

memperbaiki penerimaannya. Rangsangan listrik dari bagian-bagian tertentu

otak mengakibatkan peningkatan kadar endorphin dalam SSP. Mungkin hal ini

menjelaskan efek analgesia yang timbul selama elektrostimulasi pada

akupunktur atau pada stress, misalnya pada cedera hebat. Peristiwa efek placebo

juga dihubungkan dengan endorphin (Tjay, 2007).

Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (μ), delta (δ) dan kappa (κ).

Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan

protein G, dan memiliki subtipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan

kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda

5

sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis

reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat

memiliki efek farmnakologi yang beragam (Ganiswarna, 2007).

Gambar 2. μ dan κ ligand reseptor opioid.

Tabel 1. Kerja Opioid pada Reseptor Opioid.

ObatReseptor

mu (μ) delta (δ) kappa (κ)

Peptida opioid

Enkefalin

β –endoferin

dinorfin

Agonis

Agonis

Agonis lemah

Agonis

Agonis

Agonis

Kodein

Mofin

Metadon

Meperidin

Agonis lemah

Agonis

Agonis

Agonis

Agonis lemah

Agonis lemah Agonis lemah

6

Fentanil Agonis

Agonis-antagonis

Buprenofrin

Pentazosin

Nalbufin

Agonis parsial

Antagonis/agonis

parsial

Antagonis

Agonis

Agonis

Antagonis

Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis

(Ganiswarna, 2007).

Reseptor μ memperantarai efek analgenik mirip morfin, euforia, depresi

napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor κ diduga

memperantai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis

dan depresi napas yang tidak sekuat agonis μ. Selain itu di susunan saraf pusat

juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε

(epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai

afinitas terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa

reseptor δ memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang

ditimbulkan opioid. Dari penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor δ

dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi napas, sedangkan reseptor μ

dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor μ ada 2 jenis yaitu

reseptor μ1 yang hanya didapatkan di SSP dan dihubungkan dengan analgesia

supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor

μ2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesia yang

berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan respetor δ dan κ (Ganiswarna,

2007).

Undang-Undang Narkotika. Dikebanyakan Negara, beberapa unsur dari

kelompok obat ini, seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk

dalam Undang-Undang Narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya

ringan sekali. Namun penggunaannya untuk jangka waktu lama tidak dianjurkan.

Sejak tahun 1978 sediaan-sediaan dengan kandungan propoksifen di atas 135 mg

di negri Belanda dimasukkan Opiunwet (Undang-Undang Opiat) (Tjay, 2002).

7

C. MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIKA OPIOID

Endorphin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di

SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik opioida

berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang

belum ditempati endorphin. Tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus

menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru distimulasi dan produksi

endorphin diujung saraf otak dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan

ketagihan (Tjay, 2007).

Gambar 3. Mekanisme kerja analgetika opioid.

Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan zat-zat kimia (misalnya

bradikinin, prostaglandin, edenosin trifosfat (ATP), proton) yang menstimulasi

reseptor nyeri (kanan bawah) dan mengionisasi letupan pada serabut aferen

primer yang bersinaps pada lamina I dan II kornu posterior medula spinalis

(dorsal horn of spinal cord). Neuron relay (Ο) dalam kornu posterior

menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensoris melalui neuron dalam

talamus. Hanya sedikit yang diketahui tentang substansi transmitor yang

digunakan pada jalur nyeri asendens, tetapi beberapa serabut arefen primer

melepaskan peptida (misalnya substansi P, yaitu peptida yang berhubungan

dengan gen kalsitonin) (gambar bawah, berarsir). Nyeri neuropati (rasa nyeri

8

akibat tertembak, terbakar) disebabkan oleh kerusakan neuron pada jalur nyeri

dan sering tidak merespons terhadap opioid (Neal, 2002).

Aktivitas neuron relay kornu posterior dimodulasi oleh beberapa input

inhibisi. Input ini meliputi interneuron lokal, yang melepaskan peptida opioid

(terutama dinorfin), dan serabut enkefalinergik, noradrenergik, dan serotonergik

desendens, yang berasal dari batang otak (kiri atas) dan diaktivasi sendiri oleh

peptida opioid. Jadi, peptida opioid yang dilepaskan pada batang otak maupun

medula spinalis dapat menurunkan aktivitas neuron relay kornu posterior dan

dapat menyebabkan analgesia. Efek peptida opioid diperantarai oleh reseptor

opioid spesifik (Neal, 2002).

Analgesik opioid (kanan) adalah obat yang menyerupai peptida opioid

endogen dan menyebabkan aktivasi reseptor opioid yang memanjang (biasanya

reseptor μ). Hal tersebut menyebabkan analgesia, depresi napas, euforia, dan

sedasi. Nyeri berperan sebagai suatu antagonis depresi napas yang

bagaimanapun bisa menjadi masalah bila nyeri dihilangkan, misalnya dengan

anestetik lokal. Opioid sering menyebabkan mual dan muntah sehingga

seringkali memerlukan antiemetik. Efek pada pleksus saraf di usus, yang pasti

dan biasanya membutuhkan laksatif. Terapi kontinu dengan analgesik opioid,

menyebabkan toleransi dan ketergantungan pada pcandu. Akan tetapi, pada

pasien dengan penyakit terminal, peningkatan yang tetap pada dosis morfin tidak

terjadi secara otomatis. Bilamana hal tersebut terjadi, lebih mungkin disebabkan

oleh peningkatan nyeri secara progresif daripada akibat toleransi. Demikian juga

halnya, pada konteks klinis, ketergantungan tidak penting. Sayangnya,

penggunaan analgesik opioid yang terlalu hati-hati sering menyebabkan kontrol

nyeri yang buruk pada pasien (Neal, 2002).

Analgesik tertentu, seperti kodein dan dihidrokodein, kurang poten

dibandingkan dengan morfin dan tidak dapat diberikan dalam dosis

ekuianalgesik karena awitan efek sampingnya. Sebagai akibat pembatasan dosis,

dalam praktiknya, analgesik ini lebih sedikit kecenderungannya untuk

menyebabkan depresi napas dan ketergantungan (Neal, 2002).

Nalokson adalah antagonis spesifik pada reseptor opioid dan memulihkan

depresi napas yang disebabkan oleh obat yag menyerupai morfin. Nalokson juga

9

mempresipitasi sindrom putus obat (withdrawal syndrome) bila sudah terjadi

ketergantungan. Analgesia elektroakupuntur, analgesia yang diinduksi oleh

stimulasi saraf transkutan, serta efek plasebo kadang-kadang dapat diblok secara

parsial oleh nalokson. Hal tersebut memperlihatkan keterlibatan peptida opioid

endogen (Neal, 2002).

Analgesik Opioid kuat

Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak

terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas

dan bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah atau dengan obat

antiinflamasi nonsteroid (OAINS, Bab 32). Morfin parenteral banyak digunakan

untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada

perawatan terminal (Neal, 2002).

Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek

sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat

vasomotor (meyebabkan hipotensi postural), miosis akibat stimulasi nukleus

saraf III (kecuali petinin yang mempunyai aktivitas menyerupai atropin yang

lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor

trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan batuk, tetapi hal ini

tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi,

spasma bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi. Morfin bisa

menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin

mengalami metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam

glukunorat untuk membentuk morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-

glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin itu sendiri,

terutama bila diberikan intratekal (Neal, 2002).

Toleransi (yaitu penurunan respon) terhadap banyak efek analgesik

opioid terjadi dengan pemakaian kasus kontinu. Toleransi ringan terjadi pada

efek miosis dan konstipasi. Baik ketergantungan fisik maupun psikologis pada

analgesik opioid secara bertahap berkembang dan penghentian pemberian obat

secara tiba-tiba mempresipitasi sindrom putus obat (Neal, 2002).

Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada

morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara

10

suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat

daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan

untuk mengendalikan nyeri hebat (Neal, 2002).

Fenazosin merupakan obat yang sangat poten yang digunakan pada nyeri

hebat (Neal, 2002).

Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat

diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang

menyakitkan (Neal, 2002).

Fentanil dapat diberikan secara transdermal pada pasien denga nyeri

kronis yang stabil, terutama bila opioid oral menyebabkan mual dan muntah

hebat. Plester yang digunakan tidak cocok untuk mengobati nyeri akut (Neal,

2002).

Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif

dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan

pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah penggunaan obat

intravena (Neal, 2002).

Petidin mempunyai awitan kerja cepat, tetapi durasinya yang singkat (3

jam) membuatnya tidak cocok untuk pengendalian nyeri jangka panjang. Petidin

menimbulkan penumpukan metabolit toksik (norpetidin) dan menyebabkan

konvulsi. Petidin berinteraksi serius dengan MAOI menyebabkan delirium,

hiperpireksia, konvulsi, atau depresi napas (Neal, 2002).

Buprenorfin merupakan agonis parsial reseptor μ. Buprenorfin

mempunyai awitan kerja lambat. Tetapi merupakan analgesik efektif setelah

pemberian sublingual. Obat ini mempunyai durasi kerja lebih panjang (6-8 jam)

daripada morfin, tetapi bisa menyebabkan muntah berkepanjangan. Depresi

napas jarang terjadi tetapi bila terjadi sulit untuk dipulihkan dengan nalokson,

karena buprenorfin mengalami diasosiasi sangat lambat dari reseptor (Neal,

2002).

Analgesik Opioid lemah

Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ‘ringan sampai sedang’.

Analgesik ini bisa menyebabkan ketergantungan dan cenderung disalahgunakan.

11

Akan tetapi, buprenorfin kurang menarik untuk pecandu karena tidak

memberikan ‘efek’ yang hebat (Neal, 2002).

Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai

afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami

demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung jawab atas efek

analgesik kodein. Efek samping (kostipasi, muntah, sedasi) membatasi dosis ke

kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin.

Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare (Neal, 2002).

Dekstropropoksifen mempunyai kira-kira setengah potensi kodein, tetapi

mempuyai aksi yang serupa pada dosis ekuianalgesik. Obat ini sering diberikan

dalam kombinasi tetap dengan aspirin atau parasetamol (misalnya koproksamol),

tetapi hanya sedikit bukti yang menyatakan bahwa kombinasi tersebut lebih

efektif daripada OAINS saja. Kombinasi dengan parasetamol berbahaya pada

overdosis karena dekstropropoksifen menyebabkan depresi napas, sementara

parasetamol bersifat hepatotoksik (Neal, 2002).

D. PENGGOLONGAN OBAT ANALGETIKA OPIOID

Klasifikasi obat golongan opioid berdasarkan kerjanya pada reseptor,

obat golongan opioid dibagi menjadi: 1. Agonis penuh (kuat), 2. Agonis parsial

(agonis lemah sampai sedang), 3. Campuran agonis dan antagonis, dan 4.

Antagonis. Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis,

sedangkan agonis parsial dapat memimbulkan efek agonis, atau sebagai

antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptoropioid dan

mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis pada satu

subtipe reseptor opioid yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor

opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor

opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi

menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan

benzomorfan (Ganiswarna, 2007).

12

Tabel 2. Klasifikasi Obat Golongan Analgetika Opioid.

Struktur dasar Agonis kuat

Agonis lemah

sampai

sedang

Campuran

agonis-

antagonis

Antagonis

Fenantren Morfin

Hidromorfon

Oksimorfon

Kodein

Oksikodon

Hidrokodon

Nalbufin

Buprenorfin

Nalorfin

Nalokson

Naltrekson

fenilheptilami

n

Metadon Propoksifen

Fenilpiperidin Meperidin

fentanil

Difenoksilat

Morfinan

Benzomorfan

Levorfanol Butorfanol

Pentazosin

(Ganiswarna, 2007).

a. Agonis Kuat

1) Morfin

Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperoleh

dari tumbuhan Papaver somniferum (Lat. Menyebabkan tidur). Morfin

mengandung dua kelompok alkaloida yang secara kimiawi sangat

berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein dan lebain;

kelompok kedua adalah kelompok isokinolin dengan struktur kimiawi

dan khasiat amat berlainanan (a.l. non-narkotik) yakni papaverin,

noskapin (narkotik) dan narsein. Morfin berkhasiat analgetis sangat kuat,

lagi pula memiliki banyak jenis kerja pusat lainnnya, a.l. sedatif dan

hipnotis, menimbulkan euphoria, menekan pernapasan dan

menghilangkan reflex batuk, yang semuanya berdasarkan supresi

susunan saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulkan efek stimulasi SSP,

mis. Miosis (penciutan pupil mata), eksitasi dan kunvulsi. Daya

stimulasinya pada CTZ mengakibatkan mual dan muntah-muntah. Efek

perifernya yang penting adalah obstipasi, retensi kemih dan pelepasan

histamine yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dn gatal-

gatal (urticaria) (Tjay, 2007).

13

Penggunaanya khusus pada nyeri hebat akut dan kronis, seperti

pasca bedah dan setelah infark janung, juga pada fase terminal dari

kanker. Banyak digunakan sebagai tablet retard untuk memperpanjang

kerjanya (Tjay, 2007).

Resorpsinya di usus baik, tetapi BA-nya hanya k.l. 25% akibat

FPE besar. Mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan sampai 7 jam.

Resorpsi dari suppositoria umumnya sedikit lebih baik, secara s.c./I.m.

baik sekali. PP-nya 35%; dalam hati hati 70% dari morfin dimetabolisasi

melalui senyawa konjogasi dengan asam glukuronat menjadi morfin-3-

glukuronida yang tidak aktif dan hanya sebagian kecil (3%) dari jumlah

ini terbentuk morfin-6-glukuronida dengan daya kerja analgetis lebih

kuat dari morfin sendiri. Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan

siklus enterohepatis dan tinja (Tjay, 2007).

Antidota, pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai

antidotum, yakni nalokson (Tjay, 2007).

Dosis: dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam HCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-

20 mg. Anak-anak oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg (Tjay, 2007).

2) Heroin

Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sentetik

dengan kerja analgetik yang 2 x lebih kuat, tetapi mengakibatkan adiksi

yang cepat dan hebat sekali. Dengan alasan ini heroin tidak digunakan

lagi dalam terapi, tetapi sangat disukai oleh para pecandu drugs, lihat Bab

23. Drugs. Kelarutannya dalam lipid lebih baik dari pada morfin, maka

mulai bekerjanya juga lebih pesat bila diberikan per injeksi (Tjay, 2002).

3) Metadon

Zat sintesis ini (1947) adalah suatu campuran rasemis, yang

memiliki daya analgetik 2x lebih kuat daripada morfin dan juga

berkhasiat anastetik lokal. Resorpsinya di usus baik, PP-nya 90% plasma-

t1/2-nya rata-rata 25 jam dan efeknya dapat bertahan sampai 48 jam dan

efeknya dapat bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi

para pecandu. Umumnya metadon tidak menimbulkan euphoria, sehingga

banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi setelah

14

penghentian penggunaan opioida lain. Khusus digunakan pada para

pecandu sebagai obat pengganti heroin dan morfin pada terapi substitusi

(Tjay, 2007).

Efek sampingnya kurang hebat dari morfin, terutama efek

hipnotis dan euforianya lemah, tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan

lama juga menimbulkan adiksi yang lebih mudah disembuhkan. Efek

obstipasinya agak ringan, tetapi penggunaanya selama persalinan harus

dengan berhati-hati karena dapat menekan pernapasan (Tjay, 2007).

Dosis : Pada nyeri oral 4-6 dd 2,5-10 mg garam-HCl, maks. 150

mg/hari. Terapi pemeliharaan pecandu; permulaan 20-30 mg, setelah 3-4

jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg selama 6 bulan (Tjay, 2007).

4) Fentanil

Derivat-piperidin ini (1963) merupakan turunan dari petidin

(Dolantin) yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan sifat

adiksinya, lagi pula daya kerjanya singkat (3 jam) sehingga tidak layak

untuk meredakan rasa sakit jangka panjang. Efek analgetik angonis-opiat

ini 80 x lebih kuat daripada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu dalam 2-

3 menit (i.v.), tetapi singklat, hnya k.i. 30 menit. Zat ini digunakan pada

anastesi dan infark jantung (Tjay, 2007).

Efek sampingnya mirif morfin, termasuk depresi pernapasan,

bronchospasme dan kekauan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan

penghambatan sirkulasi seperti penurunan cardiac output dan bradycardia

(Tjay, 2007).

Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidol

(Thalamonal), bila perlu diulang setelah ½ jam. Plester transdermal

(Durogesic) melepaskan secara konstan senyawa ini selama 72 jam

(Tjay, 2007).

b. Agonis Sedang

1) Propoksifen

Propoksifen adalah derivate metadon. Dekstroisomer ini

digunakan sebagai analgesik untuk menghilangkan nyeri ringan sampai

sedang. Levoisomer bukanlah analgesik tetapi mempunyai aktifitas

15

antitusif. Propoksifen sebagai analgesic yang lebih lemah dari kodein

memerlukan kira-kira dua kali dosis untuk mencapai efek analgesik yang

ekivalen dengan kodein. Propoksifen sering digunakan dalam kombinasi

dengan aspirin atau dengan asetaminofen untuk memperoleh efek

analgesik yang daripada yang didapatnya sendiri. Diabsorpsi dengan baik

apabila diberikan peroral, dengan kadar dalam puncak plasma terjadi

setelah satu jam. Dan dimetabolisme dalam hati. Propoksifen dapat

menimbulkan mual, anoreksia, dan konstipasi. Pada dosis toksik, dapat

menyebabkan depresi pernafasan, konvulsi, halusinasi, dan bingung. Jika

diberikan dosis toksik, akan menimbulkan masalah yang sangat serius

yang dapat meningkat pada beberapa penderita dengan akibat

kardiotoksisitas dan edema pulmonal (Mycek, 2001).

2) Kodein

Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan

induknya, tetapi lebih lemah, misalnya efek analgetiknya 6-7 x kurang

kuat. Efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering

digunakan sebagai obat batuk, obat anti-diare dan obat antinyeri, yang

diperkuat melalui kombinasi dengan parasetamol/asetosal. Obstipasi oral

dan mual dapat terjadi terutama pada dosis lebih tinggi (di atas 3 dd 20

mg). Resorpsi oral dan rektal baik; di dalam hati zat ini didefinisikan

menjadi norkodein dan morfin (10%) yang memberikan sifat

analgetiknya (Tjay, 2007).

Ekskresinya lewat kemih sebagai glukuronida dan 10% secara

utuh. Plasma-t1/2-nya 3-4 jam (Tjay, 2007).

Dosis : pada nyeri, oral 3-6 dd 15-60 mg garam-HCl, anak-anak

di atas 1 thn 3-6 dd 0,5 mg/kg. Pada batuk 4-6 dd 10-20 mg, maks. 120

mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg (Tjay, 2007).

c. Campuran Agonis-Antagonis

1) Pentazosin

Zat sintesis ini diturunkan dari morfin (1964), di mana cincin-

fenantren diganti oleh naftalen. Gugus-N-allil memberikan efek

antagonis terhadap opioida lainnya. Khasiatnya beragam, yakni di

16

samping antagonis lemah, juga merupakan agonis parsiil. Khasiat

analgetiknya sedang sampai kuat, k.l. antara kodein dan petidin (3-6 x

lebih lemah daripada morfin). Di AS sering kali disalahgunakan dalam

kombinasi dengan antihistaminika dan nalokson (Tjay, 2007).

Resorpsinya di usus baik, tetapi BA-nya hanya k.l. 20% akibat

FPE besar. Mulai kerjanya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan

minimal 3 jam. Efek rektalnya sama dengan penggunaan oral. PP-nya

60%, plasma-t1/2nya 2-3 jam. Dalam hati zat ini diubah menjadi

metabolit yang disekresi terutama lewat kemih (Tjay, 2007).

Dosis : pada nyeri sedang-kuat 3-4 dd 50-100 mg, maks. 600 mg

sehari (Tjay, 2007).

2) Bupfrenorfin

Walaupun bupfrenorfin diklasifikasikan sebagai agonis parsial

yang bekerja pada reseptro μ, obat ini berlaku seperti morfin pada

penderita yang naïf. Walaupun begitu, obat ini dapat juga mengantagonis

morfin. Bupfrenorfin diberikan secara parenteral dan mempunyai masa

kerja panjang karena terikat kuat pada reseptor. Dimetabolisme oleh hati

dan dieksresikan kedalam empedu dan urin. Efek samping berupa depresi

pernafasan, penurunan tekanan darah, mual, dan pusing (Mycek, 2001)

d. Antagonis

1) Nalokson

Antagonis-morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil

pada atom-N (1969). Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan

opioida lainnya, terutama depresi pernafasan tanpa mengurangi efek

analgetiknya. Penekanan pernafasan dari obat-obat depresi SSP lain

(barbital, siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat

seperti halnya dengan nalorfin. Sendirinya tidak memiliki kerja agonistis

(analgetik). Penggunaannya sebagai antidotum pada overose opioida (dan

barbital), pasca-bedah untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioida.

Atau, secara diagnostis untuk menentukan adiksi sebelum dimulai

dengan penggunaan naltexron (Tjay, 2007).

17

Kinetik. Setelah injeksi i.v. sudah memberikan efek stelah 2

menit, yang bertahan 1-4 jam. Plasma t1/2 nya hanya 45-90 menit, lama

kerjanya lebih singkat dari opioida, maka lazimnya perlu diulang

beberapa kali (Tjay, 2007).

Efek sampingnya dapat berupa tachycardia (setelah bedah

jantung), jarang reaksi alergi dengan shock dan udema paru-paru.

Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual,

muntah, berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi

dan berhentinya jantung (Tjay, 2007).

Dosis : pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila

perlu diulang setiap 2-3 menit (Tjay, 2007).

2) Naltrekson

Naltrekson mempunyai efek sama seperti nalokson. Obat ini

mempunyai masa kerja lebih panjang daripada nalokson, dan dosis

tunggal peroral naltrekson memblok efek suntikan heroin sampai 48 jam.

Naltrekson digunakan untuk program pemeliharaan ketergantungan

opiate dan mungkin juga bermanfaat dalam pengobatan alkoholisme

kronis (Mycek, 2001).

e. Analgetika lainnya

1) Tramadol

Derivat-sikloheksanol sintesis ini (1997) adalah campuran

rasemis dari isomer. Khasiat analgetiknya sedang dan berdaya

menghambat reuptake noradrenalin dan bekerja antitussif (anti-batuk).

Obat ini di sebagian negara dianggap sebagai analgetikum opiat karena

bekerja pusat, yakni melalui pendudukan reseptor -opioid oleh cis-

isomernya. Meskipun demikian zat ini tidak menekan pernapasan, praktis

tidak memengaruhi sistem kardiovaskular atau motilitas lambung-usus.

Walaupun memiliki sifat adiksi ringan, dalam praktek ternyata risikonya

hampir nihil sehingga tidak termasuk Daftar Narkotika di kebanyakan

negara (AS, GB, BRD, Belanda, Swis, Swedia dan Jepang) termasuk

Indonesia. Efek analgetik dari 120 mg tramadol oral setaraf dengan 30-60

mg morfin oral. Penggunaannya juga rektal dan parenteral untuk nyeri

18

sedang sampai hebat, bila kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs

kurang efektif atau tidak dapat digunakan. Untuk nyeri akut atau kanker

umumnya morfin lebih ampuh (Tjay, 2007).

Resorpsinya di usus cepat dengan BA rata-rata 78%, PP-nya 20%,

plasma-t 1/2nya 6 jam. Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat

bertahan 6-8 jam. Dalam hati sebagian besar zat diuraikan menjadi a.l.o-

desmetil, metabolit dengan daya kerja 6 kali lebih kuat melalui

pengikatan pada reseptor -opioid. Ekskresinya berlangsung lewat urin,

untuk 10% secara utuh (Tjay, 2007).

Efek sampingnya tidak begitu serius dan paling sering berupa

termangu-mangu, berkeringat, pusing, mulut kering, mual dan muntah,

juga obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan rasa letih. Risiko

habituasi, ketergantungan dan adiksi dianggap ringan. Namun tidak

dianjurkan penggunaannya oleh penderita dengan sejarah

penyalahgunaan drugs (Tjay, 2007).

Catatan : Semua reseptor -opioid agonis mengakibatkan gejala

mual dan muntah melalui stimulasi langsung pada reseptor opioid di

pusat muntah. Efek samping gastro-intestinal lainnya adalah obstipasi

yang juga terkait dengan sifat opioid yakni penurunan absorpsi air dan

usus (Tjay, 2007).

Wanita hamil dan menyusui. Opioida dapat melintasi plasenta dan

selama ini diketahui tidak merugikan janin nila digunakan jauh sebelum

partus. Hanya 0,1% dari dosis masuk ke dalam air susu ibu. Meskipun

demikian tramadol tidak dianjurkan selama kehamilan dan laktasi (Tjay,

2007).

Dosis : di atas 14 tahun 3-4dd 50-100mg, maks 400 mg sehari.

Anak-anak di atas 1 tahun : 3-4 dd 1-2 mg/kg (Tjay, 2007).

2) Kanabis

Pucuk dengan kembang dan buah-buah muda yang dikeringkan

dari bentuk wanita tumbuhan Cannabis sativa (Asia Barat).

Kandungannya 0,3% minyak atsiri dengan zat-zat terpen, terutama

tetrahidrokanabinol (THC). Zat ini banyak khasiat farmakologisnya, yang

19

terpenting di antara adalah sedatif, hipnotik dan analgetik, antimual dan

spasmolitik (Tjay, 2007).

Khasiat analgetik dari THC terjadi di batang otak, di mana

terletak pula titik kerja dari opioida. Hanya mekanisme kerjanya yang

berlainan, reseptor morfin tidak memegang peranan dan nalokson tidak

melawan efek analgesiknya. Di samping itu, ambang nyeri diturunkan

(Lancet 1998; 352: 1040). Dahulu (meski jarang) kanabis digunakan

sebagai obat tidur, sedativum dan spasmolitikum pada tetanus, umumnya

dalam bentuk ekstrak 2-3 dd 30-50 mg. Sebagai kanabis banyak

disalahkangunakan sebagai zat penyegar narkotik (Tjay, 2007).

Gambar 4. Perbandingan efikasi maksimum dan kecendrungan addiksi pada

berbagai macam obat analgetik opioid.

E. TOKSISITAS DAN EFEK YANG TIDAK DIINGINKAN DARI

ANALGETIKA OPIOID

Morfin dan opioida lainnya menimbulkan sejumlah besar efek yang tidak

diinginkan, yaitu :

1. Supresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis,

hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi langsung

20

dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dan muntah. Pada dosis yang

lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktifitas mental dan motoris.

2. Saluran nafas, bronkokontriksi, pernafasan menjadi dangkal dan frekuensinya

menurun.

3. Sistem sirkulasi, Vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan

brakikardia.

4. Saluran cerna, motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfinkter kandung

empedu, sekresi pancreas, usus, dan mepedu berkurang.

5. Saluran urogenital, retensi urin, motilitas usus berkurang.

6. Histamin-liberator, urticaria, dan gatal-gatal karena menstimulasi pelepasan

histamine.

7. Kebiasaan dengan resiko addiksi pada penggunaan lama. Bila terapi

dihentuikan dapat terjadi gejala abstinensi.

8. Pada kehamilan dan laktasi, opioida dapat melintasi plasenta, tetapi boleh

digunakan sampai berapa waktu sebelum persalinan. Bila diminum terus

menerus, zat ini dapat merusak janin akibat depresi pernafasan dan

memperlambat persalinan. Bayi dari ibu yang ketagihan menderita gejala

abstinensi. Selama laktasi ibu dapat menggunakan opioida karena hanya

sedikit terdapat dalam air susu ibu

(Tjay, 2007).

Efek toksik langsung dari analgetik opioid adalah perluasan akut kerja-

kerja farmakologisnya termasuk depresi nafas, mual, muntah, dan sembelit.

Sebagai tambahan hal-hal berikut harus diperhatikan :

a. Toleransi dan Ketergantungan

Ketergantungan obat tipe opioida ditandai dengan suatu gejala putus

obat yang relative spesifik dan sindroma abstinensia. Terdapat beberapa

perbedaan farmakologis antara macam-macam opioid, terdapat pula

perbedaan potensi penyalahgunaan dan gejala putus obatyang jelek.

Contohnya, gejala putus obat dari ketergantungan pada agonis kuat yang

dihubungkan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala putus obat yang lebih

hebat daripada gejala putus obat dari agonis ringan sampai sedang.

Pemberian antagonis opioida pada seseorang yang mempunyai

21

ketergantungan opioid diikuti gejala-gejal putus obat yang cepat tetapi

sangat berbahaya. Kecenderungan kecanduan pada antagonis-agonis parsial

opioid Nampak lebih ringan disbanding dengan ketergantungan pada obat-

obat agonis (Katzung, 2002).

1) Toleransi, meskipun perkembangan toleransi dimulai dari pemberian

dosis pertama opioid, toleransi secara umum tidak secara langsung

bermanifestasi klinis, hingga setelah 2-3 minggu pemberian yang berkali-

kalipada dosis terapi biasa. Toleransi berkembang paling baik pada saat

dosis besar diberikan dengan interval waktu yang pendek dan efek

minimal bila diberikan dengan obat dosis kecil dengan interval panjang.

2) Ketergantungan fisik, perkembangan ketergantungan adalah selalu

menyertai toleransi pada pemberian ulang opioid tipe mu. Kegagalan

untuk memberikan obat secara kontinyu menimbulkan gejala putus obat

yang karakteristik atau sindroma abstinensia yang merefleksikan

pantulan berlebihan efek farmakologis akut opiod. Tanda-tanda dan

gejala-gejala putus obat termasuk rinore, lakrimasi, menguap,

kedinginan, hiperventilasi, hipertemia, midriasi, nyeri otot, muntah,

diare, kecemasan, dan perasaan ingin marah.

3) Ketergantungan psikologis, Euphoria, tidak bereaksi terhadao stimulus

dan sedasi biasanya disebabkan oleh analgesic opioid, terutama apabila

pemberian dengan injeksi intravena, cenderung menigkatkan penggunaan

yang berulang-ulang. Sebagai tambahan, pecandu mengalami efek

abdomen yang mirip dengan orgasme seksual yang kuat. Factor-faktor ini

merupakan alasan utama untuk kecendrungan penyalahgunaan opioid dan

diperkuat lagi oleh perkembangan dari ketergantungan fisik, karena

pemakai obat merasionalisasikan kontinuitas penggunaan obat sebagai

alat pencegah gejala-gejala abstinensia, misalnya untuk tetap dapat

“normal”.

(Katzung, 2002)

b. Diagnosis dan Pengobatan Overdosis Opioid

Diagnosis overdosis opioid mungkin sangat sederhana pada pecandu

yang diketahui identitasnya atau akan menjadi sangat sulit seperti pada

22

keadaan seorang pasien dimana tidak diketahui informasi latar belakang

kehidupannya sama sekali.suntikan naloxone secara i.v 0,2-0,4 mg, secara

dramatis akan memperbaiki keadaan koma akibat overdosis opioid tetapi

tidak disebabkan oleh depresan SSP (Katzung, 2002).

c. Kontra Indikasi dan Kewaspadaan Dalam Terapi

1) Penggunaan agonis murni dengan agonis parsial lemah.

2) Penggunaan pada pasien dengan cedera kepala.

3) Penggunaan selama kehamilan.

4) Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi paru.

5) Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.

6) Penggunaan pada pasien dengan penyakit endokrin.

(Katzung, 2002).

Interaksi obat. Karena orang yang sakit parah dirumah sakit mungkin

memerlukan berbagai macam obat-obat, selalu ada kemungkinan interaksi obat

saat analgesik opioid diberikan. Tabel dibawah mendaftarkan beberapa dari

interaksi obat ini dan alasan-alasan untuk tidak mengkombinasikan obat yang

telah disebutkan dengan opioid (Katzung, 2002).

Tabel 3. Interaksi-interaksi obat opioid

Kelompok Obat Interaksi dengan opioid

Sedatif-Hipnotika Menigkatkan depresi sistem saraf pusat, khususnya

depresi nafas

Antipsikosis

penenang

(transquilizer)

Meningkatkan sedasi. Efek beraga pada depresi nafas.

Penonjolan efek-efek kardiovaskuler(kerja

antimuskarinik dan penyekata α.

Inhibitor MAO Kontra indikasi terhadap semua analgesik opioid

karena tingginya insiden koma hiperpireksia,

hipertensi juga dilaporakan.

(Katzung, 2002).

23

F. PENGGUNAAN KLINIS ANALGETIKA OPIOID

1. Analgesi

Nyeri yang parah dan terus menerus (konstan) biasanya dapat diatasi

dengan opioid, sedangkan nyeri yang tajam , sebentar dating dan sebentar

hilang (intermiten), tampaknya sukar untuk dihilangka . sebuah percobaan

harus dilakukan untuk menguantifikasi nyerinya ; hasilnya digunakan untuk

memilih agen yang tepat dan untuk memonitor efeknya. Dalam evaluasi dan

proses seleksi ini, pertimbangan bagaimana cara pemberian pengobatan (oral

atau parenteral), masa kerja efek tertinggi (maksimal), lama terapi,

pengalaman lampau dengan opioid sangatlah penting (Katzung, 2002).

Nyeri yang dihubungkan dengan kanker dan penyakit terminal harus

diterapi secara adekuat, dan berhubungan dengan toleransi dan

ketergantungan harus dikesampingkan dalam usaha membuat pasien merasa

senyaman mungkin. Riset yang diadakan oleh petugas RS dibagian unuit

gawat darurat bahwa interval pemberian opioid (misalnya, dosis regular

dalam waktu yang regular pula) adalah lebih efektif dalam mengatasi rasa

nyeri dibandingkan pada dosis yang berdasarkan saat dibutuhkan (on

demand). Bentuk dosis baru morphine yang memungkinkan rilis yang lebih

lambat dari alkaloidnya jarang tersedia (misalnya, MS-Contin). Keuntungan

utamanya adalah tingkat anestesi yang lebih lama dan lebih stabil. Jika ada

gangguan pada saluran cerna mencegah penggunaan morphine rilis-lambat,

sistem transdermal fentanyl (fentanyl tempel) dapat digunakan dalam periode

lebih lama yaitu mingguan atau bulanan. Lebih jauh lagi, fentanyl

transdermal dapat digunakan untuk beberapa episode dari breakthrough pain .

Pemberian opioid kuat secara insuflasi nasal sudah terbukti ampuh dan

preparat nasal sekarang mula ini, masih sedang dalam proses. Obat-obatan

stimulant seperti amphetamine dapat mengatasi kerja analgesic dari opioid

dan untuk itu dapat sangat berguna bagi penderita dengan nyeri kronis.

Agonis adrenoseptor alfa2 (misalnya clonidine), telah terbukti baik secara

laboratorium maupun studi klinis mempunyai efek analgesik bila diberikan

dalam berbagai macam cara pemberian, tetapi tempat bagi obat-obat ini

dalam pengelolaan penyembuhan nyeri masih jelas (Katzung, 2002).

24

2. Edema Paru Akut

Rasa lega yang dihasilkan dengan pemberian morphine intervena pada

keadaan sesak karena edema paru yang berhubungan dengan kegagalan

ventrikel kiri sangatlah luar biasa. Mekanisme tersebut tidak jelas tetapi

mungkin berkaitan dengan berkurannya pikiran cemas oleh karena sesak

napas dan rasa gelisah dan menurunnya kardiak preload dan afterload

(Katzung, 2002).

3. Batuk

Supresi/penekanan batuk dapat dilakukan dengan pemberian dosis

yang lebih rendah daripada dosis yang diperlukan untuk analgesi. Namun,

pada tahun-tahun terakhir ini penggunaan analgesic opioid untuk melegakan

batuk sangat sedikit karena sejumlah besar senyawa sintesis yang efektif yang

tidak mengandung efek analgesik ataupun aditif telah dikembangkan. Agen-

agen ini dibahas di bawah pada bagian mengenai antitusif (Katzung, 2002).

4. Diare

Diare dari hampir segalam macam penyebab dapat dikendalikan

dengan analgesic opioid, tetapi kalau itu berhubungan dengan infeksi maka

yang tepat. Dulu perparat bahan dasar opium (misalnya paregoric) dipakai

untuk mengendalikan diare, tetapi sekarang pengganti-pengganti sintesis

dengan efek-efek gastrointestinal yang lebih sekektif dan sedikit atau tanpa

efek-efek sistem saraf pusat telah digunakan, seperti diphenoxylate.

Phenylpiperidine yang disebut di bawah ini, dan secara khusus disiapkan

untuk tujuan ini (Katzung, 2002).

5. Aplikasi dalam Anestesi

Opioid seringkali dipakai sebagai obat-obat prammedikasi sebelum

anestesi dan pembedahan dilakukan karena sifat sedatifnya, anticemas, dan

anelgesinya. Opioid juga sering dipakai dalam operasi oleh karena 2 alasan

yaitu satu sebagai tambahan untuk agen-agen anastesik yang lain, dan kedua

dalam pemberian dosis yang tinggi (misalnya fentanyl), sangat umum dalam

operasi kardiovaskuler dan jenis-jenis bedah yang sangat berisiko tinggi

lainnya dimaan sasaran utamanya adalah meminimalkann depresi

25

kardiovaskuler. Dalam situasi-situasi demikian, bantuan respirasi mekanis

harus disiapkan (Katzung, 2002).

26

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Analgetik narkotik adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru opioid

endogen dengan memperpanjang aktifasi dari reseptor-reseptor opioid.

2. Khasiat analgetik opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-

sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endorphin. Endorphin bekerja

dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan

nyeri dapat diblokir.

3. Obat analgeti opioid dibagi menjadi beberapa golongan yaitu agonis kuat,

agonis sedang, campuran agonis-antagonis dan antagonis

4. Penggunaan analgetik opioid antara lain diterapkan pada terapi analgesi,

edema paru akut, diare, batuk dan anestesi.

27

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Ganiswarna. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

Katzung, B.G., M.D., Ph.D. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika. Jakarta

Mycek, M.J. 2001. Lippincott’s Illustrated Reviews Pharmacology 4th Edition. Lippincott-Raven Publisher. Philadelphia.

Neal, M.J. 2002. Medical Pharmacology at a Glance 4th Edition. The Blackwell Publishing Company. London.

Tjay, T.H & Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Gramedia. Jakarta.

28