KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM THE UNITED...
Transcript of KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM THE UNITED...
KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM THE UNITED
NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE
CHANGE: SKEMA JOINT CREDITING MECHANISM TAHUN
2012-2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Widya Astri Bahtiar
NIM. 11141130000075
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM THE UNITED NATIONS
FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE: SKEMA JOINT
CREDITING MECHANISM TAHUN 2012-2015
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Desember 2018
Widya Astri Bahtiar
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Widya Astri Bahtiar
NIM : 11141130000075
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM THE UNITED NATIONS
FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE: SKEMA JOINT
CREDITING MECHANISM TAHUN 2012-2015
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 10 Januari 2019
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Ahmad Alfajri, MA Inggrid G. Mustikawati, MHSPS
NIP. NIP.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM THE UNITED NATIONS
FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE: SKEMA JOINT
CREDITING MECHANISM TAHUN 2012-2015
oleh
Widya Astri Bahtiar
11141130000075
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Januari
2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua Sekertaris
Ahmad Alfajri, MA
Eva Mushoffa, MHSPS
Penguji I Penguji II
Irfan. R. Hutagalung, S.H., LL.M Febri Dirgantara Hasibuan, MM
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
FISIP UIN Jakarta
Ahmad Alfajri, MA
iv
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis kepentingan Jepang dalam The
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan
Joint Crediting Mechanism (JCM) pada tahun 2012 hingga 2015. Masalah
penelitian ini bermula dari situasi internal Jepang yang mengalami perubahan
karena terjadinya bencana alam berupa gempa dan tsunami pada tahun 2011.
Bencana tersebut berakibat pada rusaknya reaktor nuklir Fukushima Daiichi, di
mana reaktor Fukushima merupakan pemasok sebagian besar energi Jepang.
Pasokan energi Jepang yang berkurang akibat kerusakan tersebut membuat Jepang
harus melakukan impor bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Hal tersebut menyebabkan peningkatan emisi GRK Jepang di tahun-tahun
mendatang pasca bencana Fukushima. Kepentingan Jepang dalam UNFCCC
dengan menggunakan skema JCM dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan
pengurangan emisi GRK Jepang. Melalui bantuan dua kerangka pemikiran yaitu
Konsep Kepentingan Nasional dan Konsep Interdepedensi, ditemukan ada tiga
alasan utama mengapa Jepang menggunakan JCM dalam kepentingannya
terhadap UNFCCC. Alasan pertama yaitu Jepang harus memenuhi target Intended
Nationally Determined Contribution (INDC). Alasan kedua yaitu Jepang ingin
mempertahankan mitra strategisnya di kawasan The Association of Southeast
Asian Nations (ASEAN). Alasan ketiga yaitu mengoptimalkan JCM sebagai
langkah mitigasi alternatif. Kesimpulan dari skripsi ini adalah kepentingan
nasional tercipta dari adanya perubahan pada situasi internal suatu negara.
Kata Kunci: Jepang, The United Nations Framework Convention on Climate
Change, Joint Crediting Mechanism.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat fdan
karuniaNya kepada penulis, pun shalawat dan salam senantiasa dicurahkan
kepada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM THE UNITED
NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE: SKEMA
JOINT CREDITING MECHANISM TAHUN 2012-2015, sebagai syarat untuk
menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Selain itu, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa
dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Ketiga orangtua penulis yaitu Mama Suryati, Ayah Syaiful Bahri dan Abi
Amiruddin yang senantiasa memberikan doa yang tak henti-hentinya serta
semua dukungan baik moril maupun materil.
2. Ibu Inggrid Galuh Mustikawati selaku dosen pembimbing skripsi.
Terimakasih atas segala saran, solusi, kritik serta kesabaran dalam
membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi hingga selesai.
3. Seluruh bapak dan ibu dosen Hubungan Internasional UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terimakasih atas ilmu-ilmu yang telah diberikan.
vi
4. Asroru Maulana Malik, partner yang selalu memberikan doa, dukungan dan
kesabarannya kepada penulis, baik selama proses penyusunan skripsi atau
dalam hal dan keadaan apapun.
5. Allysa Julia Shafira dan Lathifa Rulia Sa’ddiyah sebagai sahabat yang selalu
memberikan dukungan kepada penulis selama penyusunan skirpsi dan
drama-drama di dalamnya.
6. Wienda Fitri Rahayu, Muhammad Husni Mubarak, Nisrina Nur Yuzha,
Harly Adam Budiyanto, Mulya Abdullah dan seluruh anggota Keluarga
Besar Baba.
7. Hubungan Internasional Kelas C 2014, Bang Jay, Alip, Apip, Andam,
Komeng, Hana, Risfi, Atun, Tirana, Roby, Beben dan teman-teman lain
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
8. Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik International Studies Club (ISC)
yang penulis sayangi, Acan, Ola, Ekal, Karbel, Rahmi, Astrid, Fathin,
Yaqub, Zia, Aisyah, Kak Opin, Kak Innes, Kak Nurul, Dwisyifa, Amel dan
semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
9. Terimakasih McDonald’s Sarmili, Sektor 9, Larangan, Taman Alfa Indah,
True Gentleman Coffee atas wifi juga tempat yang nyaman bagi penulis
dalam proses penyusunan skripsi.
Jakarta, 23 Desember 2018
Widya Astri Bahtiar
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME..........................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI.......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii
DAFTAR TABEL.................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah..................................................................1
1.2. Pertanyaan Penelitian....................................................................10
1.3. Tujuan Penelitian..........................................................................10
1.4. Manfaat Penelitian........................................................................11
1.5. Tinjauan Pustaka...........................................................................11
1.6. Kerangka Pemikiran......................................................................14
1.6.1. Kepentingan Nasional........................................................15
1.6.2. Interdepedensi....................................................................22
1.7. Metode Penelitian..........................................................................27
1.8. Sistematika Penulisan....................................................................31
BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE
2.1. Profil UNFCCC.............................................................................34
2.2. Perkembangan Agenda UNFCCC 2012-2015..............................44
BAB III RESPON JEPANG DALAM ISU PERUBAHAN IKLIM
3.1. Respon Jepang Terhadap Bencana Fukushima Daiichi…............55
3.2. Fokus Mitigasi Jepang dalam Menangani Emisi Gas Rumah
Kaca...............................................................................................59
viii
3.2.1. Energi Terbarukan..............................................................60
3.2.2. Pendekatan Hemat Energi……..........................................60
3.2.3. Teknologi Rendah Karbon…………….............................64
3.3. Joint Crediting Mechanism...........................................................65
BAB IV ANALISIS KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM
THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE DENGAN SKEMA JOINT CREDITING
MECHANISM TAHUN 2012-2015
4.1. Kepentingan Jepang dalam Memenuhi Intended Nationally
Determined Contribution dan Mengamankan Kawasan
Regional.........................................................................................72
4.2. Kepentingan Jepang dalam Menjaga Mitra Strategis di
ASEAN..........................................................................................78
4.3. Interdepedensi Jepang dan Negara Mitra dalam Pengoptimalan
Joint Crediting Mechanism sebagai Langkah Mitigasi
Alternatif........................................................................................81
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan...................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................xii
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Peringkat Negara Terhadap Emisi Dunia Tahun 2015................9
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.3. Skema Joint Crediting Mechanism............................................66
Gambar 4.1. Proyeksi Energi Jepang FY 2030...............................................76
Gambar 4.2. Visualisasi Peta Negara Mitra JCM di ASEAN........................79
xi
DAFTAR SINGKATAN
ADB : Asian Development Bank
CDM : Clean Development Mechanism
CER : Certified Emission Reduction
CO2 : Karbon Dioksida
COP : Conference of Parties
EIT : Economy in Transition
GRK : Gas Rumah Kaca
IAEA : International Atomic Energy Agency
IET : International Emissions Trading
INDC : Intended Nationally Determined Contribution
IPCC : The Intergovernmental Panel on Climate Change
JCM : Joint Crediting Mechanism
JFJCM : Japan Fund for the Joint Crediting Mechanism
JI : Joint Implementation
MOE : The Ministry of the Environment
METI : The Ministry of Economy, Trade, and Industry
NEDO : New Energy Industrial Technology Development Organization
ODA : Official Development Assistance
OECD : Organization for Economic Cooperation and Development
SPV : Solar Photovoltaic
TEPCO : Tokyo Electric Power Company
UNFCCC : The United Nations Framework Convention on Climate Change
VAP : Voluntary Action Plans
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kerusakan lingkungan menjadi salah satu isu utama di dunia saat
ini, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia atas masalah
lingkungan yang melanda dunia. Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan
hidup masyarakat dan industrialisasi turut menjadi penyebab permasalahan
tersebut. Kesadaran manusia secara global tersebut terutama muncul ketika
isu perubahan iklim mulai berkembang, yaitu pada akhir tahun 1970-an.1
Kondisi lingkungan hidup secara global saat ini sudah mengalami
perubahan yang sangat signifikan.
Ketidakstabilan kondisi alam saat ini dikarenakan berbagai aktifitas
negatif manusia dalam mengeksploitasi kekayaan alam secara ekstrem.
Aktivitas tersebut dapat mengancam kerusakan lingkungan yang parah dan
menyebabkan langkanya sumber daya alam.2 Hal tersebut telah membuat
alam mulai menunjukkan kehebatannya kepada manusia di bumi. Telah
banyak terjadi bencana alam yang tidak terduga dan bahkan sudah
menelan begitu banyak korban di berbagai negara.
Kerusakan lingkungan hidup dimulai sejak revolusi industri. Pada
masa revolusi industri, proses perusakan hutan semakin meningkat dan
1 Brent K. Marshall. Globalisation, Environmental Degradation and Ulrich
Beck’s Risk Society. 8th
edition (2002). Hlm. 253. 2 Anthony McMichael. Planetary Overload: Global Environmental Change and
the Health of Human Species. New York: Cambridge University Press (2000).. Hlm. 82.
2
dilakukan secara lebih sistematis. Sejak saat itu, perindustrian mulai
berkembang pesat. Proses industrialisasi, transportasi, dan aktifitas
manusia yang semakin berkembang menimbulkan perubahan terhadap
struktur alam. Sampai saat ini dalam proses industri penggunaan batu bara,
minyak bumi, dan gas alam merupakan unsur terpenting. Namun,
penggunaan bahan bakar tersebut akan menghasilkan karbon dioksida
(CO2).3
Penggunaan bahan bakar ini banyak digunakan untuk kegiatan
industri yang menyebabkan meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca
(GRK). Perubahan iklim merupakan dampak meningkatnya GRK.
Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya konsentrasi GRK yang
disebabkan oleh zat sisa pembakaran dari konsumsi energi yang tidak
dapat diperbaharui terutama minyak bumi dan batu bara yang
menyebabkan meningkatnya suhu udara yang kemudian disebut sebagai
pemanasan global atau Global Warming.4
Perhatian masyarakat internasional mulai nyata saat perubahan
iklim dunia mulai dirasakan sangat signifikan. Masyarakat internasional
menyadari bahwa degradasi lingkungan tersebut tidak hanya terjadi pada
satu negara tetapi juga melewati batas-batas negara. Upaya-upaya untuk
menangani dampak negatif tersebut dilakukan yaitu dengan dibentuknya
3 J. Vogler. Environment. Dalam B.White, R. Little dan M. Smith. Issues in
World Politics. New York (2001). Hlm. 68. 4 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),
The Mechanisms under the Kyoto Protocol: Emissions Trading, the Clean Development
Mechanism and Joint Implementation, di akses dari,
http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/items/1673.php pada 21 November 2017.
3
konvensi yang bertujuan untuk membahas masalah lingkungan dan
mengatasinya untuk mencegah dampak yang lebih parah.5
Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang mengikat
negara-negara berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK di negara-
negara terkait. Perjanjian ini merupakan hasil kesepakatan dalam rangka
melaksanakan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim
atau The United Nations Convention on Climate Change (UNFCCC). Hal
tersebut menjadi fokus masyarakat internasional karena meningkatnya
emisi GRK ke atmosfer sejak masa mulainya industrialisasi hingga saat
ini, hal tersebut dapat berakibat buruk bagi lingkungan hidup terutama
pada perubahan iklim.6
Untuk menangani masalah tersebut diperlukan kerjasama secara
multilateral, yang diikuti oleh negara di dunia, bukan hanya sebagian saja
namun keseluruhan. Karena untuk menangani masalah pemanasan global
usaha secara multilateral sangat diperlukan, jika tidak usaha tersebut akan
sia-sia.
Protokol Kyoto sebagai bentuk amandemen terhadap UNFCCC,
merupakan persetujuan internasional mengenai isu pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk
5 BPKP. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 Tentang
Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework C'onvention On Climate
Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Perubahan Iklim)”. Diakses dari www.BPKP.go.id pada 17 November 2017. 6 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Doha Amendment To The Kyoto Protocol Doha, 8 December 2012 Pasal 3. 2012.
Diakses dari http://treaties.un.org/doc/Publication/CN/2012/CN.718.2012-Eng.pdf pada
21 November 2017.
4
mengurangi emisi atau limbah karbon dioksida dan gas rumah kaca
lainnya. Persetujuan Protokol Kyoto mulai diberlakukan pada Februari
2005 dan diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh
jumlah emisi di dunia.
Jepang adalah salah satu dari 141 negara yang meratifikasi
Protokol Kyoto, juga termasuk dalam daftar negara Annex I dimana
Jepang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam berjalannya protokol
tersebut. Pada 18 November 2004, 55 negara anggota meratifikasi
emisinya termasuk negara-negara industri. Dalam Protokol Kyoto sendiri
terdapat dua Annex, yaitu negara-negara Annex I yang memiliki ekonomi
maju dan negara non Annex yang merupakan negara dengan ekonomi
berkembang.7
Pada 11 Maret 2011, gempa besar dan tsunami yang melanda
pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi Jepang, melumpuhkan
sistem tenaga cadangan yang diperlukan untuk mendinginkan reaktor di
pabrik, menyebabkan tiga dari mereka mengalami pencairan bahan bakar,
ledakan hidrogen, dan rilis radioaktif . Kontaminasi radioaktif dari pabrik
Fukushima memaksa evakuasi masyarakat hingga 25 mil jauhnya dan
mempengaruhi hingga 100.000 penduduk.8
7 Fiona Harvey. UN: methane released from melting ice could push climate past
tipping point. 2012. Diakses dari
http://www.theguardian.com/environment/2012/nov/27/dohaclimate-conference-un-
methane pada 19 Desember 2017. 8 Mari Yamaguchi. Japan Utility Agrees Nuclear Crisis was Avoidable. Boston,
2012. Associated Press. Hlm. 5.
5
Tokyo Electric Power Company (TEPCO) mengoperasikan
kompleks tenaga nuklir Fukushima di distrik Futaba, di Jepang Utara,
yang terdiri dari enam unit nuklir di stasiun Fukushima Daiichi dan empat
unit nuklir di stasiun Fukushima Daini. Semua unit di kompleks
Fukushima adalah reaktor air mendidih, dengan reaktor 1 hingga 5 di situs
Fukushima Daiichi menjadi desain General Electric Mark I, yang juga
digunakan di Amerika Serikat. Reaktor Fukushima Daiichi memasuki
operasi komersial pada tahun 1971 (reaktor 1) hingga 1979 (reaktor 6).
Reaktor Fukushima Daini ditutup secara otomatis setelah gempa bumi dan
mampu mempertahankan pendinginan yang cukup.9
Ketika gempa bumi melanda, Fukushima Daiichi unit 1, 2, dan 3
menghasilkan listrik dan mati secara otomatis. Gempa bumi menyebabkan
mulai dirancangnya generator diesel cadangan untuk memasok daya
cadangan. Namun, tsunami berikutnya membanjiri switchgear listrik untuk
generator diesel, menyebabkan sebagian besar daya AC di unit 1 hingga 4
hilang. Karena Unit 4 sedang menjalani penutupan perawatan, semua
bahan bakar nuklirnya telah dilepas dan ditempatkan di kolam
penyimpanan bahan bakar yang dihabiskan unit tersebut. Satu generator
terus beroperasi untuk mendinginkan unit 5 dan 6.
Hilangnya semua daya di unit 1 hingga 3 mencegah katup dan
pompa dari operasi yang diperlukan untuk menghilangkan panas dan
tekanan yang dihasilkan oleh peluruhan radioaktif bahan bakar nuklir di
9 Maschek Rineiski. Recriticality, a Key Phenomenon to Investigate in Core
Disruptive Accident Scenarios of Current and Future Fast Reactor Designs. 2012. IAEA
& Institute for Nuclear and Energy Technologies (IKET)
6
inti reaktor. Ketika batang bahan bakar di inti reaktor terlalu panas, mereka
bereaksi dengan uap untuk menghasilkan sejumlah besar hidrogen, yang
lolos ke unit reaktor unit 1, 3, dan 4 dan meledak (hidrogen yang meledak
di Unit 4 diyakini berasal dari Unit 3). Ledakan itu mengganggu upaya
pekerja pabrik untuk memulihkan pendinginan dan membantu
menyebarkan radioaktivitas. Pendinginan juga hilang di kolam bahan
bakar yang dihabiskan reaktor, meskipun analisis baru-baru ini
menemukan bahwa tidak ada overheating yang signifikan terjadi.10
Bahan radioaktif yang dilepas kan ke atmosfer menghasilkan
tingkat dosis radiasi yang sangat tinggi di dekat pabrik dan membuat
banyak lahan tidak dapat dihuni, terutama di barat laut pabrik. Amerika
Serikat dan negara-negara lain, serta International Atomic Energy Agency
(IAEA), memberikan bantuan kepada Jepang untuk menangani
penghancuran nuklir. Bantuan A.S. termasuk transportasi pompa, boron,
air tawar, kamera jarak jauh, dukungan evakuasi, dukungan medis, dan
dekontaminasi dan peralatan pemantauan radiasi.
Studi tentang bencana Fukushima telah mengidentifikasi
perubahan desain, pasokan kebutuhan energi, tindakan respon, dan
peningkatan keselamatan lainnya yang bisa mengurangi atau
menghilangkan jumlah radioaktivitas yang dilepaskan dari instalasi.
Kurangnya pasokan energi tersebut mempengaruhi peningkatan GRK,
10
Aliyu Sadiq, Abubakar, dkk., An Overview of Current Knowledge Concerned
the Health and Environmental Consequences of the Fukushima Daiichi Nuclear Power
Plant (FDNPP) Accident. 2015. Environmental International. Hlm. 12.
7
karena Jepang harus melakukan kegiatan impor bahan bakar fosil sebagai
sumber energinya.
Pada 8 Desember 2012, Jepang, diikuti dengan Rusia dan Selandia
Baru memutuskan untuk tetap menjadi negara anggota Protokol Kyoto
namun tidak lagi berkomitmen untuk menurunkan emisi. Posisi Jepang
yang menyatakan tidak lagi ingin berkomitmen bukan suatu langkah untuk
menghentikan Protokol Kyoto. Menurut negosiator Jepang, Akira
Yamada, mereka tidak menginginkan komitmen periode kedua jika
Amerika Serikat dan negara-negara yang termasuk dalam emiter terbesar
dunia seperti China, India dan Brazil tidak ikut dalam upaya mitigasi yaitu
berkomitmen untuk setidaknya mengurangi emisi GRK-nya. Yamada
menyatakan, tanpa China dan Amerika Serikat serta negara emiter terbesar
dunia lainnya, Protokol Kyoto hanyalah jalan buntu karena tidak adanya
keadilan dan efektifitas untuk tercapainya sebuah perubahan yang lebih
baik.11
Protokol Kyoto tidak berjalan efektif dibuktikan dengan tidak
berjalannya negara-negara dalam mereduksi emisi GRK mereka dengan
baik. Beberapa negara yang tidak dapat mengurangi emisi GRK yang
ditargetkan oleh Protokol Kyoto sebesar 5% dari tahun 1990. Yaitu:
1. Australia, negara dengan tingkat pertumbuhan lebih baik, berjanji
membatasi kenaikan emisi karbon kurang dari 8%. Namun, pada rentang
1990-2010, emisi karbon menanjak 47,5%.
11
Wall Street Jurnal. Rapor Merah Protokol Kyoto. 2013. Diakses dari
http://indo.wsj.com/posts/2013/01/08/rapor-merah-protokol-kyoto/ pada 20 Januari 2018.
8
2. Kanada, salah satu pendukung awal yang paling bersemangat, berjanji
mengurangi emisi 6%. Kemudian janji itu diingkari dengan melonjaknya
emisi sebesar 24% dari level 1990
3. Belanda berjanji memangkas emisi sebesar 6%. Namun, angka emisi yang
dicatatkannya justru meningkat 20% pada akhir 2010.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Jepang merasa kecewa
dengan implementasi Protokol Kyoto. Keputusan Jepang dalam Protokol
Kyoto di bawah UNFCCC pada komitmen periode kedua, tepatnya pada
Doha Amandement, hal tersebut diputuskan berdasarkan kontribusi pihak
non-Annex yang tidak memiliki kewajiban mereduksi emisi GRK. Perubahan
komitmen Jepang sebagai negara yang memiliki pengaruh besar dalam
Protokol Kyoto menimbulkan kekhawatiran bagi negara lainnya. Selain itu,
Jepang memiliki kontribusi yang signifikan dalam implementasi pengurangan
emisi GRK dunia.12
Hal tersebut disebabkan karena Jepang merupakan negara
penyumbang emisi terbesar ke-5 setelah Rusia, India, China dan Amerika
Serikat. Keempat negara tersebut tidak memiliki kewajiban yang mengikat
untuk mengurangi emisi GRK. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
Jepang merasa kecewa dengan implementasi Protokol Kyoto. Amerika
Serikat memang tidak berkomitmen sejak Protokol Kyoto bagian pertama
karena tidak meratifikasi Protokol Kyoto sehingga bukan merupakan negara
pihak yang berkewajiban melaksanakan ketentuan pelaksanaan Protokol
12
MOFA. Summary and Evaluation of COP 18/CMP 8(the 18th Conference of
Parties to the UNFCCC and the 8th Session of the Converence of the Parties Serving as
the meeting of the Parties to the Kyoto Protokol. 2012. Diakses dari
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/warm/cop/cop18/ summary.html pada 25
Januari 2018.
9
Kyoto. Sedangkan China dan India tidak termaksud ke dalam negara Annex
1, karena masih termasuk ke dalam kelompok negara berkembang. Rusia dan
Kanada memiliki posisi yang sama dengan Jepang bahwasanya ia tidak
berkomitmen didalam Protokol Kyoto pada COP 18 di Doha.
Hal tersebut dapat menjadi ancaman besar bagi Protokol Kyoto karena
jika kelima penyumbang emisi terbesar di dunia tidak ikut serta di dalam
Protokol Kyoto maka usaha untuk mengurangi emisi GRK akan sia-sia karena
lima besar penyumbang emisi terbesar tidak mengurangi emisi GRK.13
Tabel 1.1. Peringkat Negara Terhadap Emisi Dunia Tahun 2015
Peringkat
Negara
2015 total emisi
karbon dioksida dari
pembakaran bahan
bakar (juta metrik ton)
2015 emisi karbon
dioksida per kapita dari
pembakaran bahan
bakar (metrik ton)
1 China 9040.74 6.59
2 Amerika Serikat 4997.50 15.53
3 India 2066.01 1.58
4 Rusia 1468.99 10.19
5 Jepang 1141.58 8.99
6 Jerman 729.77 8.93
7 Korea Selatan 585.99 11.58
8 Iran 552.40 6.98
9 Kanada 549.23 15.32
10 Arab Saudi 531.46 16.85
11 Brazil 450.79 2.17
12 Meksiko 442.31 3.66
13 Indonesia 441.91 1.72
14 Afrika Selatan 427.57 7.77
15 Britania Raya 389.75 5.99
16 Australia 380.93 15.83
17 Italia 330.75 5.45
18 Turki 317.22 4.10
19 Perancis 290.49 4.37
20 Polandia 282.40 7.34 Sumber: Union of Concerned Scientists, Each County‟s Share of C02 Emission, 2015.
13
Adi. Jepang Tetap Tolak Komitmen Kedua Protokol Kyoto. 2012. Diakses
dari http://www.siej.or.id/?w=article&nid=435 pada 1 Februari 2018.
10
Namun, pasca perubahan komitmennya, Jepang tetap berupaya
menurunkan emisi GRK dunia dengan Joint Crediting Mechanism yaitu
transfer teknologi rendah karbon yang merupakan pengembangan yang
diterapkan bersama oleh Jepang dan negara mitranya, dimana Jepang
bermaksud berkontribusi untuk menjabarkan kerangka pendekatan tersebut
dibawah United Nation Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC).
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan di atas,
maka akan dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Apa
Kepentingan Nasional Jepang dalam The United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan Skema Joint
Crediting Mechanism Tahun 2012-2015?”.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sejauh mana Jepang berkontibusi di dalam The United
Nations Framework Convention on Climate Change.
2. Mengetahui kebijakan pemerintah Jepang dalam menangani emisi
GRK.
11
3. Mengetahui kepentingan Jepang dalam The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan Joint
Crediting Mechanism (JCM) pada tahun 2012 hingga 2015.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Menjadi rujukan dalam perkembangan ilmu hubungan internasional.
2. Menjadi sumber informasi bagi akademisi di dalam ataupun luar
lingkup ilmu hubungan internasional.
3. Memperkaya pengetahuan pembaca ataupun peneliti dalam isu
perubahan iklim dunia.
1.5. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelitian “Kontribusi Jepang dalam The United
Nations Framework Convention on Climate Change: Skema Joint
Crediting Mechanism Tahun 2012-2015” maka dalam penelitian ini telah
dilakukan tinjauan pustaka yang memiliki keterkaitan dengan judul di atas.
Pertama, Jurnal karya Yasuko Kameyama dengan judul Japan in
the Midst of Multilateral Negotiations on the Future Framework for
Climate Change. Dalam jurnal tersebut, Kameyama menjelaskan tentang
pengambil kebijakan Jepang serta kebijakan-kebijakan yang dibuat terkait
isu perubahan iklim. Dengan konsep kebijakan luar negeri, dan dari data
yang dikumpulkan, Kameyama menjelaskan tentang peran Ministry of
12
Foreign Affairs (MOFA) Jepang tentang pengaruhnya dalam pengambilan
tindakan atau keputusan Jepang. MOFA menganggap bahwa konferensi
internasional tentang perubahan iklim adalah cara yang dapat menjadi
kesempatan bagi Jepang untuk menunjukan kepemimpinannya dan
kemampuannya memainkan peran mediator antara negara maju dan
berkembang. Dalam temuannya, Kameyama mengemukakan bahwa posisi
MOFA dalam pengambilan keputusan Jepang mempengaruhi pergeseran
kebijakan Jepang menuju arah pro-lingkungan.
Perbedaan mendasar jurnal tersebut dengan penelitian ini adalah
subjek dan kasus yang diteliti. Jika Kameyama cenderung menjelaskan
tentang peran MOFA sebagai salah satu stake-holder Jepang, pada
penelitian ini mengambil kasus kepentingan Jepang terkait isu perubahan
iklim menggunakan kebijakannya, yaitu Joint Crediting Mechanism.
Dengan subjek dan kasus tersebut, penilitian ini diharapkan dapat
menjelaskan bagaimana Jepang dapat mencapai kepentingan-
kepentingannya melalui kebijakannya tersebut.
Kedua, yaitu jurnal yang ditulis oleh Yelena M. Gordeeva dengan
judul The Russian Federation and the International Climate Change
Regime. Dalam jurnal ini Gordeeva secara spesifik membahas pengaruh
Rusia dalam isu lingkungan hidup di ranah Internasional. Meskipun
Federasi Rusia adalah salah satu pemain kunci dalam politik perubahan
iklim global, namun Rusia agak berhati-hati dalam mengikat dirinya
dengan kewajiban iklim internasional yang baru. Dalam jurnalnya,
13
Gordeeva melakukan kritik karena undang-undang dan kebijakan
perubahan iklim nasional yang lemah. Untuk memberikan konteks saat ini
mengenai status upaya mitigasi perubahan iklim Rusia, jurnal ini
menjelaskan undang-undang dan kebijakan iklim Federasi Rusia di tingkat
domestik dan internasional.
Sebagai pembanding, jurnal karya Gordeeva digunakan sebagai
literatur bahwa Jepang juga memiliki andil yang cukup besar dalam politik
perubahan iklim dan lingkungan hidup dunia. Terlebih lagi setelah Jepang
mengubah komitmennya untuk tidak menjalani kewajiban mengurangi
emisi GRK pada Protokol Kyoto periode kedua. Hal tersebut menjadi
tolak ukur bahwa meskipun Jepang mengubah komitmennya, Jepang tetap
berperan langsung di UNFCCC untuk tetap melakukan upaya secara
multilateral maupun bilateral dengan kebijakan Joint Crediting
Mechanism.
Ketiga, jurnal karya Lavanya Rajamani yang berjudul The Climate
Regime in Evolution: The Disagreements that Survive the Cancun
Agreements, jurnal ini menganalisis Copenhagen Accord, 2009, dan
Cancun Agreements, 2010, dengan fokus pada khususnya mengenai tren
yang muncul dan perselisihan yang masih ada dalam negosiasi iklim.
Jurnal ini berpendapat bahwa sementara Perjanjian Cancun menawarkan
indikasi yang kuat mengenai tren rezim iklim, mereka tidak secara
otoritatif menyelesaikan pembelahan mendasar yang ada dalam negosiasi,
nasib Protokol Kyoto, bentuk hukum dan arsitektur rezim hukum masa
14
depan, dan sifat dan tingkat perlakuan diferensial antara negara maju dan
negara berkembang. Perjanjian Cancun, bagaimanapun, memulihkan
kepercayaan, setelah kegagalan Kopenhagen, dalam proses multilateral,
dan negosiasi iklim internasional akan berlanjut ke masa yang akan
datang.
Berbeda dengan jurnal karya Rajamani, penilitian ini, melalui
tinjauan literatur lebih spesifik membahas bagaimana kontribusi Jepang
dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC). Karena pasca selesainya Cancun Agreements, Jepang yang
pada saat itu mengubah komitmennya untuk tidak lagi berupaya
mengurangi emisinya. Terlepas dari ini, analisis akan dilakukan dari segi
kebijakan Jepang yaitu Joint Crediting Mechanism secara multilateral
yang tidak terlepas dari tujuan awal UNFCCC itu sendiri.
1.6. Kerangka Pemikiran
Analisis Kepentingan Nasional Jepang dalam The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC): Skema Joint
Crediting Mechanism untuk tahun 2012-2015, adapun beberapa konsep
digunakan sebagai landasan untuk menganalisis yaitu konsep kepentingan
nasional dan interdepedensi.
15
1.6.1. Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional digunakan sebagai kerangka kerja
yang akan menjelaskan peran 'negara' sebagai decision maker dan
memainkan peran penting dalam dunia internasional. Menurut
Thomas Hobbes, seorang filsuf Barat, bahwa negara adalah entitas
yang melindungi suatu wilayah dan populasi. Ini karena negara
adalah sesuatu yang penting bagi kehidupan warganya. Tanpa
eksistensi negara dalam menjamin alat atau kondisi keamanan
atau dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat akan
menjadi terbatas.14 Maka segala pergerakan yang dimiliki suatu
bangsa menjadi kontrol suatu negara.
Kepentingan nasional diciptakan dari kebutuhan suatu
negara. Kepentingan tersebut bisa dilihat dari situasi internalnya,
baik dilihat dari politik-ekonomi, militer dan sosial-budaya.
Kepentingan nasional suatu negara juga merupakan 'kekuatan'
yang akan dibuat sehingga negara dapat memberikan dampak
langsung untuk dipertimbangkan arahnya untuk mendapatkan
pengakuan dunia.
Peran suatu negara dalam menyediakan material sebagai
basis kepentingan nasional tidak dapat disangkal bahwa itu akan
menjadi sorotan masyarakat internasional sebagai negara yang
memiliki hubungan yang melekat dengan kebijakan luar
14
Robert Jackson dan George Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 89.
16
negerinya. Kemudian konsep kepentingan nasional digunakan
untuk menjelaskan perilaku kebijakan luar negeri suatu negara.15
Pemahaman ini menjelaskan bahwa keragaman setiap
negara di seluruh dunia memiliki kemampuan yang berbeda. Hal
ini dapat tercipta dari pengaruh demografi, karakter, budaya,
sejarah yang dimiliki suatu negara, sehingga ketika suatu negara
ingin bekerjasama dapat melihat kondisi superioritas-keunggulan
yang mungkin dapat dipertimbangkan. Implementasi kepentingan
nasional yang dapat berupa kerjasama bilateral atau multilateral,
semua itu kembali pada kebutuhan negara masing-masing.16
Hal tersebut didukung oleh kebijakan yang serupa dengan
yang dinyatakan oleh Hans J. Morgenthau bahwa kepentingan
nasional adalah;
“Relations between countries are created because of differences
in the benefits generated by each country. This comparative
advantage opens up opportunities for certain specialties from
each country to support national development in accordance
with national interests.”
Kutipan yang berarti bahwa kemampuan minimum negara
untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik dan
budaya dari gangguan negara lain. Dari ulasan itu, para pemimpin
suatu negara dapat mengurangi kebijakan khusus terhadap negara
lain dalam bentuk kerjasama atau konflik.
15
P. Anthonius Sitepu. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu
(2011). Hlm.163. 16
Miroslav Nincic. The National Interest and Its and Interpretation The review
of Politics, Vol.61, No.1. 1999. Hlm. 25.
17
Adanya kepentingan nasional menggambarkan bahwa ada
aspek yang menjadi identitas negara. Ini bisa dilihat dari sejauh
mana fokus negara tersebut dalam memenuhi target pencapaiannya
demi kelangsungan hidup rakyatnya. Dari identitas yang dibuat
dapat dirumuskan apa targetnya dalam waktu dekat, sementara atau
juga demi keberlanjutan jangka panjang.
Menurut H. J. Morgenthau, kepentingan nasional, secara
konseptual mengandung arti berbagai macam hal yang logis, mirip
dengan isinya, konsep ini ditentukan oleh tradisi politik dan
konteks budaya dalam kebijakan luar negeri yang kemudian
diputuskan oleh negara yang bersangkutan.
Demikian hal ini bisa menjelaskan bahwa kepentingan
nasional suatu negara tergantung pada sistem pemerintahan yang
dijalankan, negara-negara yang menjadi mitra dalam hubungan
diplomatik, hingga sejarah yang menjadikan negara itu menjadi
seperti sekarang ini, adalah tradisi politik. Kemudian tradisi dalam
konteks budaya dapat dilihat dari perspektif bangsa yang
diciptakan dari karakter manusia sehingga menghasilkan kebiasaan
yang bisa menjadi patokan negara sebelum memutuskan untuk
melakukan kerjasama.
Kepentingan nasional juga memiliki beberapa dimensi.
Dimensi pada kepentingan nasional terdiri dari berbagai
kepentingan vital yang fundamental bagi negara. Pertama, adalah
18
kepentingan politik yang bisa menjelaskan bahwa negara akan
mencoba mempertahankan pandangan politiknya terhadap
pengaruh politik negara lain sehingga eksistensinya terjaga. Kedua
adalah kepentingan ekonomi yang membuat suatu negara
melakukan kegiatan ekonomi dengan negara lain untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi negara tersebut. Ketiga adalah kepentingan
keamanan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas negara,
regional, dan bahkan internasional sehingga perdamaian tetap
terjaga. Seperti pendapat H. J. Morgenthau, semakin besar
stabilitas masyarakat, rasa aman dan keselamatan anggotanya,
maka akan cenderung untuk mencari emosi kolektif di jalan
nasionalisme agresif, dan sebaliknya.17
Mohtar Mas'oed, dalam bukunya, menjelaskan konsep ini
sama dengan melakukan bertahan hidup. Kemampuan minimum
dapat dilihat dari kepentingan negara yang terhubung dengan
negara lain. Ini menjelaskan bagaimana minat dapat menghasilkan
kemampuan untuk menilai kebutuhan dan keinginan pribadi yang
sejalan dengan upaya untuk menyeimbangkan kebutuhan dan
keinginan pihak yang lain.18 Konsep ini juga menjelaskan seberapa
luas ruang lingkup dan sejauh mana kepentingan nasional suatu
negara harus sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan di sini
17
Anthony Lake. Defining the National Interest”Proceedings of the Academy of
Political Sciences, Vol.34,No.2. The Power to Govern: Assessing Reform in the United
States, 1981. Hlm. 211. 18
Robert Jackson dan George Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 91.
19
adalah batasan yang didukung oleh sumber daya alam dan sumber
daya manusia.
Kepentingan suatu negara dalam menjelaskan identitas
mereka, memiliki kegunaan. Penjelasan kepentingan nasional itu
sendiri diilustrasikan oleh uraian James N. Rosenau di mana istilah
analitis untuk menggambarkan, menjelaskan atau mengevaluasi
kebijakan luar negeri dan selanjutnya, yaitu sebagai alat tindakan
politik sebagai sarana mengkritik, membenarkan atau mengusulkan
suatu kebijakan.19
Jadi negara yang bekerja sama tidak akan menyesalinya
suatu hari nanti. Kondisi ini menjelaskan tindakan langsung dan
tidak langsung yang dapat menjadi bahan rujukan bagi para pihak
yang berencana untuk bekerja sama. Ini juga dapat digunakan
sebagai bahan pembelajaran dan pengamatan kondisi internal
negara akan menjadi mitra kerjasama.
Dalam kepentingan nasional, terdapat perbedaan yang
mendasar, yaitu, kepentingan nasional vital atau kepentingan
nasional esensial juga non-vital atau sekunder. Kepentingan
nasional yang esensial biasanya terkait dengan kelangsungan hidup
negara serta nilai-nilai inti (core values) yang menjadi identitas
kebijakan luar negerinya. Sedangkan kepentingan nasional non-
19
Miroslav Nincic. The National Interest and Its and Interpretation The review
of Politics, Vol.61, No.1. 1999. Hlm. 29
20
vital atau sekunder tidak terkait langsung dengan keberadaan
negara tetapi masih diperjuangkan melalui kebijakan luar negeri.20
Kepentingan vital menjelaskan seberapa jauh kepentingan
ini ada dan digunakan, yang lebih tentang keadaan darurat suatu
negara sehingga harus diputuskan segera. Berbeda dengan
kepentingan non-vital yang digunakan karena prosesnya
berlangsung lama tetapi hasil dan fungsinya dapat dirasakan lebih
baik di masa depan dengan jangka waktu panjang.
Dalam analisis kepentingan nasional, peran aktor dalam hal
ini negara, akan mengejar apapun yang dapat membentuk dan
mempertahankan kontrol suatu negara atas negara lain. Kontrol
berhubungan dengan kekuatan yang diciptakan melalui teknik
koersi atau kerjasama.21 Tindakan semacam itu tergantung pada
seberapa besar kekuatan yang dimiliki negara.
Sejalan hal tersebut, jika telah ditemukan titiknya, negara
akan mengubah alur yang hanya untuk kepentingan awal tetapi
dapat menjadi kepentingan baru. Kepentingan baru ini dilakukan
dengan terus melaksanakan kepentingan awal atau benar-benar
mengubah kepentingannya tanpa menggunakan dasar dari
kepentingan yang sebelumnya dicapai.
20
Aleksius Jemadu. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu (2008). Hlm. 67-69. 21
Aleksius Jemadu. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu (2008).. Hlm. 70.
21
Demikian hal tersebut diperjelas ketika melihat suatu
negara dalam kepentingan nasionalnya di mana kepentingan A dari
negara X ke negara Y menjadi permulaan hubungan bilateral yang
dibuat kemudian minat B muncul dari negara X yang dapat timbul
sebelum kerjasama atau selama kerjasama.
Kepentingan seperti itu merupakan strategi dalam
melakukan kerjasama untuk memenuhi kepentingan A, B, C dan
seterusnya. Negara menggunakan strategi untuk mewujudkan
kepentingan nasionalnya. Dimana strategi dilakukan untuk
memperkirakan seberapa jauh masa depan akan tercapai.22
Selain itu, negara sebagai aktor utama di arena internasional
harus memiliki nilai jual dalam arti bahwa ada kemampuan yang
dimilikinya, sehingga dihormati oleh lawan-lawannya yang
dianggap sebagai kerjasama. Seperti yang dijelaskan oleh John C.
Pevehouse dalam bukunya yang berjudul International Relations:
“Actors use strategy to pursue good outcomes in bargaining with
one or more other actors. States deploy power capabilities as
leverage to influence each other’s actions. Bargaining is
interactive, and requires an actor to take account of other
actor’s interests even while pursuing its own.”23
Kutipan tersebut berart Aktor menggunakan strategi untuk
mengejar hasil yang baik dalam tawar-menawar dengan satu atau
lebih aktor lain. Negara menggunakan kemampuan daya sebagai
22
W. David Clinton. The National Interest: Normative Foundations. The
Review of Politics, 1986. Hlm. 495. 23
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse. International Relations. Longman:
New York (2010). Hlm.71.
22
pengaruh untuk saling mempengaruhi tindakan satu sama lain.
Tawar-menawar bersifat interaktif, dan mengharuskan aktor untuk
memperhitungkan kepentingan aktor lain bahkan saat mengejar
kepentingannya sendiri. Dalam ranah internasional, kerjasama juga
merupakan tindakan yang dipandang sebagai panggung atau arena
di mana klaim akan membahas kepentingan aktor karena
keterbatasan yang melekat pada negara yang menjalin kerjasama.
Dalam kasus ini negara menyatakan mencoba menggunakan
kepentingan nasional sebagai komponen yang dirumuskan dan
kemudian diperjuangkan dalam suatu „hubungan‟.
1.6.2. Interdepedensi
Interdepedensi dalam politik internasional dipopulerkan
oleh Robert Keohane dan Joseph Nye melalui banyak karya
mereka dalam memajukan teori. Dalam rangka untuk menjelaskan
sepenuhnya maka harus mengesampingkan anggapan Realis
tentang isu-isu tertentu sehingga agak menggiring proposisi
mereka ke arah liberalisme. Namun, teori ini tidak mengklaim
sebagai penolakan terbuka terhadap realisme, tetapi lebih pada
kebutuhan untuk menggabungkan kedua Realisme yang
menekankan struktur dengan Liberalisme yang menekankan
proses.
Pendapat dalam Power and Interdependence 2001,
interdepedensi menghasilkan masalah klasik dari strategi politik
23
karena ini menyiratkan bahwa tindakan negara dan aktor non-
negara yang signifikan akan membebankan costs pada anggota
lain dari suatu sistem. 24 Dengan demikian, interdependensi
melihat sistem internasional sebagai unit dari entitas yang saling
berhubungan yang saling terkait menggunakan perundingan alih-
alih memaksa untuk menarik minat mereka. Masalah penting
lainnya dalam Interdependensi adalah seperti yang pernah
dikatakan Sekretaris Negara Amerika, Albright Madeleine:
“Today the greatest problem to America is not some foreign
enemy, it is the possibility…that we will crawl into a shell…and
forget the fundamental lesson of the century, which is that
problems abroad, if left unattended will all too often come home
to America”.25
Kutipan di atas menjelaskan situasi di mana negara-negara
terjalin sedemikian rupa sehingga apa yang memengaruhi suatu
negara selalu memengaruhi negara lainnya. Oleh karena itu, negara
akan semakin peduli dengan kesejahteraan warga negara dari
negara lain.
Interdependensi juga mengandaikan bahwa hanya di mana
ada efek timbal balik (asimetris atau simetris) di mana dan ketika
dapat dikatakan saling ketergantungan. Kisah oleh Norman (1914)
tentang dua pria dalam sebuah perahu dapat digunakan untuk
menggambarkan hal ini.
24
Keohane R.O and Nye J.S., Power and Interdependence, 3rd
Edition,
Harrisonburg, 2001. Donneley Company. Hlm. 48. 25
Rourke J. T., International Politics on the World Stage. 2001. McGraw. Hlm.
23.
24
“The boat was leaky, the sea heavy and the shore a long way off.
It took all the efforts of the one man to row and of the other to
bail. If either had seized, both would have drowned. At one point
the rower threatened the bailer that if he did not bail with more
energy, he would throw him over board, to which the bailer
made the obvious reply that if he did; he (the rower) would
certainly drown also. And as the rower was really dependent
upon the bailer and the bailer upon the rower, neither could use
force against the other.”26
Kelebihan cerita ini untuk memahami sifat saling
ketergantungan adalah bahwa tingkat saling ketergantungan
bervariasi berbanding terbalik dengan keefektifan kekuatan.
Pelajaran penting lain dari cerita ini adalah bahwa saling
ketergantungan mengarahkan kita ke pembagian kerja, pertukaran,
saling menguntungkan, bergantung pada pihak lain.
Penting juga untuk diketahui bahwa saling ketergantungan
biasanya dilakukan dengan pengorbanan terhadap kedaulatan
negara untuk menikmati manfaat yang menyertainya.
Menggunakan analogi situasi pernikahan, Cooper berpendapat
bahwa “as with marriage, the benefits of close international
economic relation can be enjoyed only at the expense of giving up
a certain amount of national independence”. Pandangan Cooper
mungkin membantu kita dalam memahami mengapa negara
terkadang menyetujui rezim internasional.27
Hubungan saling ketergantungan sering terjadi dan
mungkin dipengaruhi oleh jaringan aturan, norma dan prosedur
26
Norman A., The Foundations of International Polity. London, 1914),
Heinemann. 27
Cooper R.N., Economic Interdependence and Foreign Policy in the Seventies.
World Politics. Vol. 24. 1972.
25
yang mengatur perilaku negara. Perangkat pengaturan
pemerintahan inilah yang disebut sebagai rezim internasional.
Aturan dalam politik dunia tidak koheren dan tidak ada otoritas
menyeluruh sebagai akibat dari tidak adanya aturan yang tertata
baik dalam politik dunia, ada kebutuhan untuk mengintegrasikan
struktur dengan proses. Struktur mengacu pada bentuk yang ada
sementara proses mengacu pada perilaku tawar-menawar dalam
struktur.28
Rezim internasional sangat penting dalam dunia kita yang
saling tergantung karena kita terus melihat bagaimana hal itu
memengaruhi perilaku negara dan bagaimana tindakan pemerintah
mempengaruhi pola saling ketergantungan. Rezim internasional
membantu menciptakan prosedur, lembaga atau aturan untuk jenis
kegiatan tertentu, mengatur tindakan pemerintah dan
mengendalikan hubungan antar negara dan juga antar negara.
Pentingnya lembaga-lembaga internasional tidak dapat terlalu
ditekankan karena mereka bertindak sebagai penanggung bagi
negara-negara lain untuk menjalin hubungan dengan negara-negara
lain “by reducing uncertainty and the costs of making and
enforcing agreements”. Singkatnya, lembaga-lembaga
internasional sangat penting karena mereka bertindak sebagai tanah
28
Keohane R.O., International Institutions: Can Interdependence Work?.
Washington, 1998. Foreign Policy, spring Ed. Hlm. 51.
26
bebas untuk hubungan antar negara dan jalan untuk mencapai
sesuatu yang menguntungkan satu sama lain.29
Konsep Interdependensi ini mencoba membangun cara
pandang baru akan hubungan antara negara dalam politik
internasional. Pada konsep realisme hubungan antar negara selalu
dilihat dari kacamata “threat” dan “security” ketika pola interaksi
negara yang satu selalu menganggap negara lainnya sebagai
musuh. Pendekatan yang digunakan juga selalu mengukur
perbandingan antara military power antara satu aktor dengan aktor
lainnya. Sehingga pola yang terjadi antara satu aktor dengan aktor
lainnya dalam kacamata realisme selalu melihat dalam perspektif
konflik. Sebagai hasilnya maka terbentuk satu logika security,
yaitu kondisi alamiah dari negara perang (states of war): sejauh ini
manusia hidup tanpa adanya satu kekuatan yang mampu
menyatukan mereka semua, manusia selalu berada dalam kondisi
bersaing, seorang manusia selalu bersaing dengan manusia lainnya.
Sedangkan pada konsep interdependensi ini pola hubungan
antara aktor bergeser dari saling meningkatkan “military power”
menjadi ketergantungan antara satu aktor dengan lainnya. Isu
“security” kemudian juga menjadi meluas yang tadinya hanya
berkisar pada aspek “power”, “military forces”, “warfare”
berubah menjadi aspek “economy”, “resources”, “environment”
29
Keohane R.O., International Institutions: Can Interdependence Work?.
Washington, 1998. Foreign Policy, spring Ed. Hlm. 53.
27
dan sebagainya. Pola hubungan antar aktor tidak lagi berbicara
kondisi states of war tetapi juga dependence between states,
ketergantungan antara satu aktor dengan aktor lainnya.30
Keohane dan Nye mencoba membangun paradigma baru
dalam pola relasi para aktor dalam politik internasional, mereka
mencoba menggeser paradigma realisme yang menjadikan negara
dalam kondisi state of war menjadi pola relasi yang lebih memiliki
banyak kemungkinan diluar kemungkinan konflik dan perang.
Keohane dan Nye mencoba menjelaskan kemungkinan adanya
interdependensi antara para aktor dikarenakan perbedaan power
dan resources. Paradigma baru ini menggeser cara pandang
realisme yang tidak memungkinkan adanya interaksi antara aktor
melainkan dalam pendekatan military power. Dengan adanya
paradigma interdependensi, munculnya pola-pola relasi antara
aktor yang less-conflict dapat diwujudkan sebagai cara pandang
baru dalam melihat relasi antar negara.31
1.7. Metode Penelitian
Metode penelitian kualitatif akan digunakan sebagai dasar
penelitian ini. Penelitian kualitatif adalah metode observasi ilmiah untuk
mengumpulkan data non-numerik. Jenis penelitian ini mengacu pada
30
Isiksal, Hüseyin, To What Extend Complex Interdependence Theorists
Challenge to Structural Realist School of International Relations, dalam Alternatives:
Turkish Journal of International Relations. Turkey, 2004. Vol.3, No.2&3 Summer and
Fall. 31
Keohane R.O and Nye J.S., Power and Interdependence, 3rd
Edition,
Harrisonburg, 2001. Donneley Company. Hlm. 50.
28
makna, definisi konsep, karakteristik, metafora, simbol, dan hal-hal
deskriptif dan bukan untuk jumlah atau ukuran.32 Pendekatan penelitian
kualitatif digunakan di banyak disiplin akademis, dengan fokus terutama
pada elemen manusia dari ilmu sosial dan alam. Sebagai bidang studi,
pendekatan kualitatif mencakup konsep dan metode penelitian dari
berbagai bidang akademis yang telah ditetapkan. Tujuan dari proyek
penelitian kualitatif dapat bervariasi dengan latar belakang disiplin, seperti
seorang psikolog yang mencari pemahaman mendalam tentang perilaku
manusia dan alasan yang mengatur perilaku tersebut misalnya. Penelitian
kualitatif banyak digunakan pada ilmu politik, pekerjaan sosial, dan
peneliti pendidikan.33 Adapun menurut L. Neuman, metode penelitian
kualitatif dijelaskan sebagai berikut:
“Qualitative researchers use a language of case and contexts, employ
bricolage, examine social processes and case in their social context, and
look at interpretations or the creation of meaning in spesific settings.
They look at social life from multiple points of view and explain how
people construct identities. Only rarely do they use variable or test
hypotheses, or convert social life into numbers.”34
Kutipan di atas berarti bahwa peneliti kualitatif menggunakan
bahasa kasus dan konteks, menggunakan bricolage, memeriksa proses
sosial dan kasus dalam konteks sosial mereka, dan melihat interpretasi atau
penciptaan makna dalam pengaturan tertentu. Mereka melihat kehidupan
32
Earl Babbie. The Basics of Social Research. (6th ed.). Belmont, California:
Wadsworth Cengage (2014). Hlm. 303. 33
R. Bogdan and S. Taylor. Looking at the bright side: A positive approach to
qualitative policy and evaluation research. Qualitative Sociology. (1987). Hlm. 183. 34
Neuman, W.L. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach, 6th ed. Boston: Allyn and Bacon (2006). Hlm. 157.
29
sosial dari berbagai sudut pandang dan menjelaskan bagaimana orang
membangun identitas. Jarang mereka menggunakan variabel atau menguji
hipotesis, atau mengubah kehidupan sosial menjadi angka.
Dalam Neuman, menurut Harper dan Schwandt, pemahaman
tentang suatu fenomena atau situasi atau peristiwa, berasal dari
mengeksplorasi totalitas situasi (misalnya, fenomenologi, interaksionisme
simbolik), sering dengan akses ke sejumlah besar data dari bentuk non-
numerik . Ini mungkin dimulai sebagai pendekatan grounded theory
dengan peneliti yang tidak memiliki pemahaman sebelumnya tentang
fenomena tersebut; atau penelitian dapat dimulai dengan proposisi dan
dilanjutkan dengan 'cara ilmiah dan empiris' selama proses penelitian.
Dalam metode ini, data yang telah dikumpulkan, diolah dan
dianalisis untuk dicari hubungan antar variabel yang diteliti. Variabel yang
digunakan bisa dua atau lebih. Dalam ilmu sosial biasanya lebih dari dua
karena variabel selalu berada dalam setting sosial yang bersifat
kompleks.35 Menurut Neuman, terdapat beberapa langkah yang sebaiknya
dilakukan peneliti dalam proses metode penelitian kualitatif. Pertama,
mengetahui inti permasalahan. Kedua, mengadopsi perspektif penelitian.
Ketiga, melakukan desain penelitian. Keempat, mengumpulkan data
penelitian. Kelima, menganalisis data penelitian yang telah terkumpul.
Keenam, menafsir dan menjelaskan data hasil penelitian.36
35
Earl R. Babbie. The Practice of Social Reseach. 12th
Edition. California:
Woolworthal Inc, 2010. Hlm. 48. 36
Neuman, W.L. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach, 6th ed. Boston: Allyn and Bacon (2006). Hlm. 159.
30
Dalam penelitian kualitatif, gagasan rekursivitas diekspresikan
dalam hal sifat prosedur penelitiannya, yang dapat dikontraskan dengan
bentuk eksperimen desain penelitian. Dari perspektif eksperimental,
tahapan utama penelitian (pengumpulan data, analisis data, diskusi tentang
data dalam konteks literatur, dan menarik kesimpulan) harus masing-
masing dilakukan satu kali (atau paling banyak beberapa kali) dalam
penelitian. Namun, dalam riset kualitatif, keempat tahapan di atas dapat
dilakukan berulang-ulang sampai satu atau lebih kondisi berhenti spesifik
terpenuhi, yang mencerminkan sikap non-statis terhadap perencanaan dan
desain kegiatan penelitian. Contoh dari dinamika ini mungkin ketika
peneliti kualitatif secara tidak terduga mengubah fokus penelitian atau
desain mereka di tengah-tengah melalui studi penelitian,
Penelitian kualitatif yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan
untuk mendapatkan gambaran dan keterangan-keterangan secara jelas dan
faktual tentang Kepentingan Nasional Jepang dalam The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan Skema
Joint Crediting Mechanism Tahun 2012-2015.
Untuk mendapatkan sumber data dalam penelitian ini, akan
dilakukan pengumpulan data-data baik yang bersifat primer ataupun
sekunder. Data-data primer akan didapatkan melalui wawancara kepada
pihak Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia. Untuk data yang bersifat
sekunder penelitian ini akan menggunakan buku, jurnal online, website, e-
book, artikel, dan buletin yang bisa diakses di Perpustakaan Pusat UIN
31
Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia,
Perpustakaan Nasional dan internet.
1.8. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Agar memudahkan penulisan skripsi ini dalam menjelaskan dan
menganalisis, maka dalam bab pendahuluan ini dibagi menjadi beberapa
pembahasan, yaitu latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK
CONVENTION ON CLIMATE CHANGE
Bab ini bertujuan mendeskripsikan latar belakang The United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) beserta
dengan tujuan dan prinsipnya. Kemudian para pihak atau negara yang
terlibat di dalamnya dan perkembangan UNFCCC selama tahun 2012-
2015. Bab ini diperlukan guna menganalisa posisi Jepang di dalamnya
dan bagaimana agenda UNFCCC mempengaruhi kebijakan Jepang dalam
isu perubahan iklim pada periode tersebut. Maka bab ini dibagi menjadi
beberapa pembahasan yaitu latar belakang UNFCCC, tujuan UNFCCC,
prinsip-prinsip UNFCCC, para pihak UNFCCC dan perkembangan
UNFCCC selama 2012 sampai dengan 2015.
32
BAB III RESPON JEPANG DALAM ISU PERUBAHAN
IKLIM
Pada bagian ini akan membahas mengenai kebijakan Jepang dalam
isu perubahan iklim internasional terutama pasca bencana nuklir
Fukushima Daiichi. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu kebijakan
Jepang dalam perubahan iklim pasca bencana Fukushima Daiichi, fokus
mitigasi Jepang dalam menangani emisi gas rumah kaca dan Joint
Crediting Mechanism. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan
pembuktian bahwa kebijakan Jepang memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam upaya mitigasi emisi GRK di bawah payung UNFCCC,
terutama dengan kebijakan Joint Crediting Mechanism.
BAB IV ANALISIS KEPENTINGAN NASIONAL
JEPANG DALAM THE UNITED NATIONS FRAMEWORK
CONVENTION ON CLIMATE CHANGE DENGAN SKEMA JOINT
CREDITING MECHANISM TAHUN 2012-2015
Dalam bagian ini akan dijabarkan mengenai temuan dalam
penelitian dengan menngunakan konsep kepentingan nasional dan
interdepedensi. Bab ini bertujuan untuk menunjukan bagaimana konsep-
konsep yang digunakan dapat menjelaskan kepentingan nasional Jepang
dalam UNFCCC menggunakan kebijakannya, yaitu JCM. Bab ini dibagi
menjadi dua sub bab, yaitu Kepentingan Jepang dalam Memenuhi
Intended Nationally Determined Contribution dan Mengamankan
Kawasan Regional dan Interdepedensi Jepang dan Negara Mitra dalam
33
Pengoptimalan Joint Crediting Mechanism sebagai Langkah Mitigasi
Alternatif.
BAB V PENUTUP
Bab ini adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan dari
pembahasan dan hasil analisis yang dapat menjawab pertanyaan masalah
yang telah dirumuskan pada awal penelitian.
34
BAB II
THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE
Pada bab ini akan dijabarkan tentang profil dan perkembangan The United
Nations Framework on Convention Climate Change. Adapun dalam bab ini dibagi
menjadi 3 sub bab. Bab ini akan menjelaskan krisis apa yang menjadi acuan atas
terbentuknya UNFCCC dan dijelaskan mengenai tujuan dan prinsip-prinsip yang
ditekankan dalam berjalannya agenda UNFCCC oleh para delegasinya (para
pihak) yang terdiri dari 197 negara. Kemudian di dalam bab ini juga dijelaskan
bagaimana perkembangan UNFCCC pada tahun 2012-2015, termasuk pertemuan-
pertemuan yang mengusung agenda tertentu untuk diterapkan dalam upaya
mitigasi ke depan.
2.1. Profil UNFCCC
Isu perubahan iklim mulai menjadi perhatian di tingkat
internasional karena adanya laporan The Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) pada tahun 1990 yang menyoroti masalah ini
sebagai subjek yang membutuhkan platform politik. IPCC dibuat pada
tahun 1988 oleh World Meteorological and Organisation dan The United
Nations Environment Program untuk memberikan tinjauan pandangan
35
ilmiah tentang masalah ini.37 Temuan IPCC mendorong dimulainya
negosiasi perubahan iklim pada tahun 1991 yang sejak saat itu
berkembang secara bertahap.38
Awalnya, diskusi tentang perubahan iklim bertindak untuk
membangun sebuah kerangka kerja, yaitu The United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC). Adapun UNFCCC sendiri
merupakan konvensi kerangka kerja yang tidak menetapkan batas emisi
gas rumah kaca yang mengikat terhadap setiap negara dan tidak
mencantumkan mekanisme penegakan hukum. Konvensi ini menentukan
bagaimana perjanjian internasional tertentu (disebut "protokol") dapat
mengatur batas gas rumah kaca yang benar-benar mengikat. UNFCCC
dibentuk dan mulai diadopsi pada 5 Juni 1992, kemudian mulai berlaku
dua tahun kemudian, tepatnya 21 Maret 1994.39
UNFCCC yang dirancang
dua tahun sebelumnya di Rio, mulai berlaku. Sekertariat UNFCCC berada
di Bonn, Jerman sejak Agustus 1996. Sekretariat secara institusional
berhubungan langsung dengan PBB dan melaporkan secara rutin setiap
hasil yang dicapai dalam konferensi.40
37
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Understanding Climate
Change: 22 years of IPCC Assessment. Diakses dari
https://www.ipcc.ch/pdf/press/ipcc_leaflets_2010/ipcc-brochure_understanding.pdf pada
2 April 2018. 38
Bodansky, D., The Copenhagen Climate Change Conference: A Post-Mortem.
American Journal of International Law (2010), 104(2). Hlm. 230. 39
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),
Status of Ratification of the Convention. Diakses dari
https:unfccc.int/essential_background/convention/status_of_ratification/items/2631.php
pada 2 April 2018. 40
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), The
Secretariat. Diakses dari
https://unfccc.int/secretariat/history_of_the_secretariat/items/1218.php pada 2 April 2018.
36
Negara-negara yang menandatangani perjanjian itu dikenal sebagai
'para pihak'. Hingga tahun 2015, UNFCCC memiliki 197 anggota
termasuk semua negara anggota PBB. Para pihak atau negara anggota
UNFCCC diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Negara-negara Annex I
Para pihak yang tercantum dalam Annex I diklasifikasikan sebagai
negara industri maju, termasuk Uni Eropa dan negara ekonomi dalam
transisi atau Economy in Transition (EIT).41
Negara-negara EIT
merupakan negara perekonomian pecahan Uni Soviet yang terpusat di
Eropa Timur.42
Para pihak tersebut antara lain; Australia, Austria,
Belarusia, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Siprus, Republik Ceko,
Denmark, Estonia, Uni Eropa, Finlandia, Perancis. Jerman, Yunani,
Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Leichtenstein,
Lithuania, Luksemburg, Malta, Monako, Belanda, Selandia Baru,
Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Rusia, Slowakia, Slovenia,
Spanyol, Swedia, Swiss , Turki, Ukraina, Inggris dan Amerika Serikat.
2. Negara-negara Annex II
Para Pihak yang tercantum dalam Annex I Konvensi, 24 di
antaranya juga tercantum dalam Annex II Konvensi, termasuk Uni
41
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Parties and Observers. Diakses dari https://unfccc.int/parties-observers pada 3 Mei 2018. 42
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Article 4, Commitments. United Nations (1992). Hlm. 11.
37
Eropa.43
Para pihak ini terdiri dari anggota Organisasi untuk
Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD). Pihak Annex II
diharuskan memberikan dukungan keuangan dan teknis kepada EIT
dan negara berkembang untuk membantu mereka mengurangi emisi
gas rumah kaca (mitigasi perubahan iklim) dan mengelola dampak
perubahan iklim (adaptasi perubahan iklim). Para pihak tersebut antara
lain; Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Uni Eropa,
Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang,
Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Spanyol,
Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat.44
3. Negara-negara non-Annex I
Pihak-pihak UNFCCC yang tidak terdaftar dalam Annex I dari
Konvensi sebagian besar adalah negara-negara yang kontribusinya
terhadap GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi
yang jauh lebih rendah.45
Negara-negara ini dapat menjadi sukarelawan
untuk menjadi negara-negara Annex I ketika perekonomian mereka cukup
berkembang menuju negara perindustrian maju.46
Para pihak bertemu
43
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Article 4, Commitments. United Nations (1992). Hlm. 13. 44
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Parties and Observers. Diakses dari https://unfccc.int/parties-observers pada 16 Mei
2018. 45
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). List
of Non-Annex I Parties to the Convention. Diakses dari
https://unfccc.int/process/parties-non-party-stakeholders/parties/list-non-annex-i-parties-
convention pada 18 Mei 2018. 46
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sixth
Compilation and Synthesis of Initial National Communications from Parties not Included
38
setiap tahun di Conference of the Parties (COP) untuk pengambilan
keputusan tertinggi dari konvensi. Semua negara yang merupakan pihak
pada konvensi diwakili di COP, di mana mereka meninjau pelaksanaan
konvensi dan instrumen hukum lainnya yang COP adopsi dan mengambil
keputusan yang diperlukan untuk mempromosikan pelaksanaan konvensi
yang efektif, termasuk pengaturan kelembagaan dan administrasi.47
Pada tahun 1995, Angela Merkel sebagai representatif dari Jerman,
memimpin berjalannya COP yang pertama di Berlin. Para pihak sepakat
bahwa UNFCCC merupakan kerangka kerja yang kurang efektif tanpa
adanya komitmen untuk memenuhi tujuan UNFCCC, dimana secara
umum, tujuan UNFCCC adalah untuk menstabilkan konsentrasi GRK di
atmosfer pada tingkat yang akan mencegah gangguan antropogenik yang
berbahaya terhadap sistem iklim. Kemudian, mandat yang dihasilkan dari
COP pertama yaitu menetapkan proses untuk menegosiasikan komitmen
yang lebih kuat dari maupun bagi para pihak.48
Negosiasi berlanjut untuk mengatur Protokol Kyoto sebagai dasar
komitmen bagi para pihak. Kemudian, Protokol Kyoto mulai diadopsi
pada tahun 11 Desember 1997. Namun, karena serangkaian proses
in Annex I to the Convention. Geneva, Switzerland: United Nations Office (2005). Hlm.
4. 47
R. Stavins, J. Zou, dkk., International Cooperation: Agreements and
Instruments. Wayback Machine. Chapter 13 in: Climate Change 2014: Mitigation of
Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press (2014). Hlm.
47. 48
Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and
Nuclear Safety. Stages of Climate Change Negotiations. Diakses dari
https://www.bmu.de/en/topics/climate-energy/climate/international-climate-
policy/climate-conferences/chronicle-of-climate-change-conferences/ pada 5 April 2018.
39
ratifikasi yang sedemikian rumit, maka Protokol Kyoto baru mulai berlaku
pada 16 Februari 2005.49
Singkatnya, Protokol Kyoto mengoperasionalkan
konvensi dengan melibatkan negara-negara industri untuk membatasi dan
mengurangi emisi GRK sesuai dengan target masing-masing yang
disepakati. Konvensi itu sendiri hanya meminta negara-negara tersebut
untuk mengadopsi kebijakan dan langkah-langkah mitigasi dan
melaporkan secara berkala.50
Protokol Kyoto dibangun dan dibentuk selama hampir dua dekade,
berlandaskan kerja keras dan kemauan politik untuk membenahi
lingkungan hidup yang lebih baik. Protokol Kyoto didasarkan pada prinsip
dan ketentuan konvensi. Itu hanya mengikat negara-negara maju, dan
menempatkan beban yang lebih berat pada mereka di bawah prinsip
"tanggung jawab bersama tetapi berbeda dan sesuai kemampuan masing-
masing", karena mereka mengakui bahwa memiliki bagian besar tanggung
jawab atas tingginya tingkat emisi GRK di atmosfer saat ini.51
UNFCCC mewajibkan semua pihak, dengan sesuai tanggung
jawab dan kemampuan mereka, untuk merumuskan dan menerapkan
program yang mengandung langkah-langkah untuk mengurangi perubahan
iklim. Program-program seperti ini menargetkan kegiatan ekonomi dengan
49
UN Treaty Database, Kyoto Protocol to the United Nations Framework
Convention on Climate Change Retrieved. Diakses dari
https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXVII-7-
a&chapter=27&lang=en pada 5 April 2018. 50
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). An
Introduction to the Kyoto Protocol Compliance Mechanism. Diakses dari
https://unfccc.int/process/kyoto-protocol/compliance-under-kyoto-protocol/introduction
pada 5 April 2018. 51
M. R. Allen, dkk.. Warming caused by cumulative carbon emissions towards
the trillionth tone. Nature (2009). 458(7242). Hlm. 1163.
40
tujuan untuk mendorong tindakan yang lebih bersih atau disinsentif yang
menghasilkan GRK dalam jumlah besar.52
Program-program tersebut
termasuk kebijakan, skema program investasi yang menangani semua
sektor, termasuk pembangkit dan penggunaan energi, transportasi,
bangunan, industri, pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya,
serta pengelolaan limbah.53
Tindakan mitigasi ini dapat dilakukan dalam berbagai cara,
misalnya, peningkatan penggunaan energi terbarukan maupun penerapan
teknologi baru. Lebih lanjut, termasuk memperluas hutan dan penyerapan
lain untuk menghilangkan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar dari
atmosfer. Secara umum, bagaimanapun risiko meningkat hingga dua kali
lipat dampak negatif akibat perubahan iklim di masa depan. Kyoto
dimaksudkan untuk mengurangi emisi global GRK.54
Hal ini juga mendesak negara-negara untuk bekerja sama dalam
proses ini, dengan bertukar praktik-praktik yang baik dan pembelajaran,
dan memperkuat lembaga-lembaga nasional. Lingkup kegiatan yang luas
ini dipandu oleh tujuan khusus yang secara bersama-sama dipandang
penting untuk secara efektif menerapkan adaptasi iklim dan aksi mitigasi,
dan untuk mencapai tujuan akhir UNFCCC.55
52
IEA. Global Gaps in Clean Energy Research, Development and
Demonstration. 2009, OECD/International Energy Agency: Paris, France. 53
IEA. World Energy Outlook 2010. 2010, OECD, International Energy
Agency: Paris. 54
D. Liverman and S. Billett. Copenhagen and the Governance of Adaptation.
Environment Magazine. (2010). Hlm. 28. 55
UNESCO and UNFCCC, Action for climate empowerment: Guidelines for
accelerating solutions through education, training and public. UNESCO and UNFCCC
(2011). Hlm. 6.
41
Tujuan utama dari UNFCCC sebagaimana diatur dalam Article 2
adalah untuk menstabilkan konsentrasi emisi GRK di atmosfer pada
aktivitas manusia yang berbahaya bagi sistem iklim dunia. Dalam Article
tersebut, tingkat konsentrasi emisi GRK yang hendak distabilkan tidak
ditentukan, maka UNFCCC mengupayakan langkah mitigasi sebagai cara
meminimalkan dampak perubahan iklim terhadap lingkungan karena
kerusakan komposisi atau produktivitas ekosistem yang secara alamiah
disebabkan oleh kegiatan sosio-ekonomi demi kesejahteraan manusia.
Cara ini juga harus diikuti dengan dukungan organisasi integrasi ekonomi
regional demi pengimplementasian konvensi yang telah para pihak
sepakati.56
Selain itu, UNFCCC juga bertujuan agar para pihak berkomitmen
mengurangi emisi GRK di atmosfer dalam jangka waktu tertentu. Adapun
komitmen bagi para pihak antara lain:
1. Memberi inventarisasi emisi dan serapan GRK nasional.
2. Menerapkan program nasional guna meminimalisasi perubahan iklim
dan menyesuaikan dengan dampak yang akan timbul.
3. Memperkuat penelitian dan observasi secara sistematis yang berkaitan
langsung dengan iklim serta menyerukan pengembangan dan
diseminasi teknologi yang relevan.
4. Mempromosikan edukasi dan kesadaran publik mengenai peubahan
iklim dan kemungkinan dampaknya.
56
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),
Article 2, Objective. United Nations (1992). Hlm. 9.
42
5. Melakukan komunikasi nasional secara komprehensif mengenai
pelaksanaan komitmen di bawah konvensi.
Sebagian negara, umumnya negara ekonomi berkembang,
berpotensi terkena dampak negatif atas berubahnya sistem iklim, terutama
karena kurangnya sumber daya domestik untuk mendukung proyek dan
inovasi baru, contohnya dengan memfasilitasi transisi ke ekonomi energi
bersih. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan adanya dukungan keuangan,
teknologi dan yang lainnya kepada negara-negara tersebut untuk
menghadapi mitigasi yang disebutkan di dalam konvensi. Terciptanya
dukungan tersebut menunjukan adanya kerjasama yang erat antara negara
berkembang dan negara maju untuk menghadapi perubahan iklim secara
efisien sesuai dengan prinsip-prinsip UNFCCC.57
Adapun prinsip sebagai ketentuan pelaksanaan konveksi secara
efektif untuk semua pihak UNFCCC, antara lain:
1. Equity
Para pihak UNFCCC wajib melindungi sistem iklim global untuk
umat manusia saat ini dan masa yang akan datang.
2. Common but Differentiated Responsibiities
Semua pihak mengemban tanggung jawab yang setara tetapi dalam
tingat pengurangan emisi GRK berbeda. Karena htetapi dalam tingat
pengurangan emisi GRK berbeda. Karena hingga kini, dari seluruh
emisi di dunia, negara-negara maju memiliki andil besar di dalamnya.
57
Edenhofer, O., dkk., Costs, Investments and Burden Sharing. Wayback
Machine (2014). Hlm. 31.
43
Dari seluruh emisi yang ada di dunia, negara-negara maju memiliki
andil besar di dalamnya. Selain memiliki kapabilitas yang cukup
berpengaruh untuk mengurangi emisi GRK, mereka juga harus
mengemban tanggung jawab yang besar dalam menghadapi perubahan
iklim global.58
Prinsip ini sesuai dengan Article 3 yang menyebutkan:
“…setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama tetapi
dibedakan secara khusus sesuai dengan kemampuannya.”
Pernyataan di atas menunjukan bahwa setiap negara memiliki
tanggung jawab dalam rangka mencegah perubahan sistem iklim serta
mengatasi dampaknya.59
3. Precautionary Measure
Jika terdapat ancaman kerusakan serius, kurangnya kepastian tidak
dapat dijadikan alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia
tidak bisa menunggu hasil studi ilmiah yang absolut tanpa melakukan
apa pun untuk mencegah efek pemanasan global lebih jauh.
4. Sustainable Development
Para pihak UNFCCC memiliki hak untuk dan kewajiban terus
mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negara mereka.
Pembangunan berkelanjutan merupakan implementasi pembangunan
yang masih dalam proses. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi
58
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Compilation of Information on Nationally Appropriate Mitigation Actions to be
Implemented by Parties Not Included in Annex I to the Convention. Geneva, Switzerland:
UN Office, Library record (2011). Hlm. 11. 59
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Article 3, Principles. United Nations (1992). Hlm. 9.
44
memang berintegrasi namun tetap harus disertai dengan langkah-
langkah yang membantu mengurangi dan mencegah perubahan iklim
global.60
2.2. Perkembangan Agenda UNFCCC 2012-2015
Berdasarkan tujuan utama UNFCCC yakni "menstabilkan
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang akan
menghentikan gangguan antropogenik yang berbahaya dengan sistem
iklim."61
Bahkan jika Pihak Annex I berhasil dalam memenuhi komitmen
putaran pertama mereka, jauh pengurangan emisi yang lebih besar akan
diperlukan di masa depan untuk menstabilkan konsentrasi GRK
atmosfer.62
Ilmu alam, teknis dan sosial dapat memberikan informasi tentang
keputusan yang berkaitan dengan tujuan ini termasuk kemungkinan
besarnya dan laju perubahan iklim di masa depan. Namun, IPCC juga
telah menyimpulkan bahwa keputusan dari apa yang merupakan gangguan
"berbahaya" membutuhkan penilaian nilai, yang akan bervariasi antara
berbagai wilayah di dunia. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi
keputusan ini termasuk konsekuensi lokal dari dampak perubahan iklim,
60
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Quantified Economy-wide Emission Reduction Targets by Developed Country Parties to
the Convention: Assumptions, Conditions, Commonalities and Differences in Approaches
and Comparison of the Level of Emission Reduction Efforts. Geneva, Switzerland: UN
Office. Library record (2012). Hlm. 5. 61
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Article 2, Objective. United Nations (1992). Hlm. 9. 62
Solomon, S., dkk. Global Climate Projections. Cambridge University Press
(2007). Hlm. 19.
45
kemampuan wilayah tertentu untuk beradaptasi dengan perubahan iklim
dan kemampuan negara untuk mengurangi emisi GRK (kapasitas
mitigatif), sesuai dengan tujuan Protokol Kyoto.63
Protokol mendefinisikan tiga "mekanisme fleksibilitas" yang dapat
digunakan oleh Pihak Annex I dalam memenuhi komitmen pembatasan
emisi dan langkah mitigatif mereka. Mekanisme fleksibilitas tersebut
antara lain, International Emissions Trading (IET), Clean Development
Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI). Jika EIT
mempersilakan pihak-pihak Annex I memperdagangkan emisi mereka
dalam bentuk kredit dengan satuan unit jumlah yang ditentukan, berbeda
dengan EIT, CDM dan JI cenderung disebut "mekanisme berbasis proyek"
memungkinkan negara-negara Annex I supaya memenuhi komitmen
mereka perihal pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mengakuisisi
pengurangan kredit karbon emisi gas rumah kaca.64
Perbedaan antara EIT
dan mekanisme berbasis proyek yaitu IET didasarkan pada pengaturan
pembatasan emisi secara kuantitatif, sementara CDM dan JI didasarkan
pada gagasan "produksi" dari pengurangan emisi. CDM dirancang untuk
mendorong produksi pengurangan emisi di negara-negara non-Annex I,
63
Watson, R.T., Synthesis Report. A Contribution of Working Groups I, II, and
III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC). Cambride University Press (2001). Hlm. 33. 64
Peter Zaman, Clean Development Mechanism: CDM and the UNFCCC.
Advocates for International Development (A4ID) (2012). Hlm. 23.
46
sementara JI mendorong produksi pengurangan emisi dalam Annex I
Parties.65
Tujuan utama dari Protokol Kyoto yaitu mengendalikan emisi
GRK antropogenik terutama dengan cara-cara yang mencerminkan
perbedaan mendasar dalam emisi, kekayaan, dan kapasitas untuk
melakukan pengurangan. Perjanjian ini mengikuti prinsip-prinsip utama
yang disepakati dalam Konvensi Kerangka Kerja 1992 yang asli.66
Menurut perjanjian itu, pada tahun 2012, Pihak Annex I yang telah
meratifikasi perjanjian tersebut harus memenuhi kewajiban mereka dari
pembatasan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan untuk periode
komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012). Komitmen pembatasan
emisi ini tercantum dalam Lampiran B Protokol.67
Komitmen putaran pertama Protokol Kyoto adalah langkah rinci
pertama yang diambil dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim. Protokol menetapkan struktur periode komitmen
pengurangan emisi bergulir. Ini mengatur jadwal mulai tahun 2006 untuk
negosiasi guna menetapkan komitmen pengurangan emisi untuk periode
komitmen kedua. Komitmen pengurangan emisi periode pertama berakhir
65
I. Bashmakov, et.al., Joint Implementation and Clean Development
Mechanism as Project-based Mechanism. in IPCC (2001). Hlm. 37. 66
M. Grubb, Kyoto and the Future of International Climate Change Responses:
From Here to Where?. International Review for Environmental Strategies, Vol. 5 (2004).
Hlm. 2. 67
Morgan Granger, Summary of Climate Change Basics. A Report by the U.S.
Climate Change Science Program and the Subcommittee on Global Change Research.
Washington D.C., USA (2009). National Oceanic and Atmospheric Administration. Hlm.
11.
47
pada 31 Desember 2012.68
Tujuan akhir dari UNFCCC adalah stabilisasi
konsentrasi emisi GRK di atmosfer pada tingkat yang akan menghentikan
gangguan antropogenik yang berbahaya dengan sistem iklim. Bahkan jika
Pihak Annex I berhasil memenuhi komitmen putaran pertama mereka,
jauh pengurangan emisi yang lebih besar akan diperlukan di masa depan
untuk menstabilkan konsentrasi GRK atmosfer berdasarkan konsep utama
dalam Protokol Kyoto itu sendiri.
Komitmen mengikat untuk Pihak Annex I. Konsep utama dari
Protokol adalah bahwa ia menetapkan komitmen yang mengikat untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca untuk Pihak Annex I. Komitmen
tersebut didasarkan pada Mandat Berlin, yang merupakan bagian dari
negosiasi UNFCCC yang mengarah ke pelaksanaan Protokol.69
Untuk
memenuhi tujuan Protokol, Pihak Annex I diminta untuk menyiapkan
kebijakan dan langkah-langkah untuk pengurangan GRK di negara mereka
masing-masing. Selain itu, mereka diminta untuk meningkatkan
penyerapan gas-gas ini dan memanfaatkan semua mekanisme yang
tersedia, IET, CDM, dan JI.70
Sebelumnya pada Desember 2011, tepatnya pada COP17 di
Durban, Protokol Kyoto kembali dihantui ketidakpastian kesepakatan atas
68
Michael Grubb, The Seven Myths of Kyoto, Cimate Policy, Vol. 1. Cambridge
University (2001). Hlm. 269. 69
J. Depledge, United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) Technical paper: Tracing the Origins of the Kyoto Protocol: An Article-by-
Article Textual History. UNFCCC (2007). Hlm. 6. 70
D. M. Liverman, Conventions of Climate Change: Constructions of Danger
and the Dispossession of the Atmosphere. Journal of Historical Geography. Vol. 2 (2008).
Hlm. 279–296.
48
berlangsungnya komitmen putaran kedua. Jepang sebagai salah satu pihak
yang mendorong perjanjian yang sepenuhnya inklusif, termasuk
komitmennya dalam komitmen putaran pertama Protokol Kyoto. Jepang
membenarkan pernyataan sebelumnya pada November 2011 yang
disampaikan oleh Jun Arima dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan
Industri Jepang.
"Japan will not inscribe its target under the Kyoto Protocol on any
conditions or under any circumstances... Discussions focusing on a
second commitment period will go nowhere."
Perpanjangan delapan tahun dari Protokol Kyoto hingga 2020
terbatas dalam lingkup hanya 15% dari emisi karbon dioksida global
karena kurangnya partisipasi dari Kanada, Jepang, Rusia, Belarusia,
Ukraina, Selandia Baru dan Amerika Serikat dan karena fakta bahwa
negara-negara berkembang seperti China (penghasil emisi terbesar di
dunia), India dan Brasil tidak tunduk pada pengurangan emisi di bawah
Protokol Kyoto.71
Pada Desember 2012, tepatnya pada COP18 di Qatar, PBB
mendorong para pihak untuk meratifikasi segera setelah mereka dapat
melakukan amandemen yang berkaitan dengan periode komitmen kedua
dari Protokol Kyoto, perjanjian pengurangan emisi internasional.
Ratifikasi Amandemen Doha terhadap Protokol Kyoto merupakan bagian
71
Michael McCarthy, Japan Derails Climate Talks by Refusing to renew Kyoto
Treaty. Independent (2011). Diakses dari
https://www.independent.co.uk/environment/climate-change/japan-derails-climate-talks-
by-refusing-to-renew-kyoto-treaty-2148769.html pada 5 Juni 2018.
49
berharga dari momentum untuk aksi iklim global untuk tahun-tahun
menjelang tahun 2020.
Pada November 2013, saat COP19 di Polandia, Konferensi ini
menghasilkan kesepakatan bahwa semua negara akan mulai memangkas
emisi sesegera mungkin pada kuartal pertama 2015. Warsaw Mechanism
juga diusulkan.72
COP menetapkan Warsaw Mechanism program Loss and Damage
untuk mengatasi dampak perubahan iklim, termasuk kejadian yang
melanda negara-negara berkembang yang tidak mampu mengatasi efek
buruk dari perubahan iklim. Pelaksanaan fungsi Mekanisme Loss and
Damage akan dipandu oleh Komite Eksekutif di bawah bimbingan COP.73
Mekanisme Loss and Damage memenuhi peran dalam Konvensi
mempromosikan penerapan pendekatan untuk mengatasi kerugian dan
kerusakan yang terkait dengan dampak buruk perubahan iklim,
berdasarkan keputusan 3/CP.18, secara komprehensif, terintegrasi dan
koheren dengan melakukan, antara lain, fungsi-fungsi berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pendekatan
manajemen risiko komprehensif untuk mengatasi loss and damage
mengenai dampak buruk perubahan iklim, dengan memfasilitasi dan
mempromosikan tindakan untuk mengatasi kesenjangan dalam
72
SDG Knowledge Hub. 19th
Session of the Conference of the Parties to the
UNFCCC. Diakses dari http://sdg.iisd.org/events/conference-of-the-parties-to-the-unfccc/
pada 17 Juli 2018. 73
Al Jazeera. Climate summit in overtime due to deadlock. Diakses dari
https://www.aljazeera.com/news/europe/2013/11/climate-summit-overtime-due-
deadlock-201311234643975109.html pada 18 Juli 2018.
50
pemahaman dan keahlian dalam pendekatan untuk mengatasi dampak
terkait dengan dampak buruk perubahan iklim, termasuk, antara lain,
area yang diuraikan dalam keputusan 3 / CP.18, paragraf 7 (a).
2. Memperkuat dialog, koordinasi, koherensi dan sinergi di antara
pemangku kepentingan yang relevan dengan menyediakan
kepemimpinan dan koordinasi dan, sebagai dan di mana tepat,
pengawasan di bawah Konvensi, tentang penilaian dan penerapan
pendekatan untuk menangani dampak yang terkait dengan dampak
perubahan iklim dari peristiwa ekstrim dan kejadian serangan lambat
terkait dengan efek buruk perubahan iklim serta membina dialog,
koordinasi, koherensi dan sinergi di antara semua pemangku
kepentingan, lembaga, badan, proses, dan inisiatif yang relevan di luar
Konvensi, dengan tujuan untuk mempromosikan kerjasama dan
kolaborasi di seluruh pekerjaan dan kegiatan yang relevan di semua
tingkatan.
3. Meningkatkan aksi dan dukungan, termasuk keuangan, teknologi, dan
pengembangan kapasitas, untuk mengatasi kerugian dan kerusakan
yang terkait dengan dampak buruk perubahan iklim, sehingga
memungkinkan negara-negara untuk mengambil tindakan berdasarkan
keputusan 3/CP.18, paragraf 6, termasuk memberikan dukungan teknis
dan panduan tentang pendekatan untuk mengatasi kerugian dan
51
kerusakan yang terkait dengan dampak perubahan iklim, termasuk
peristiwa ekstrim dan kejadian serangan lambat;74
Dalam melaksanakan fungsi di atas, Mekanisme Loss and Damage
antara lain memfasilitasi dukungan tindakan untuk mengatasi kerugian dan
kerusakan, meningkatkan koordinasi pekerjaan yang relevan dari badan-
badan yang ada di bawah Konvensi, mengadakan pertemuan para ahli dan
pemangku kepentingan yang relevan, mempromosikan pengembangan,
dan menyusun, menganalisis, mensintesis dan meninjau informasi,
memberikan bimbingan dan dukungan teknis.
Pada Desember 2014, Konferensi Perubahan Iklim ke-20 (COP20)
berakhir di Peru pada 14 Desember. Lebih dari 190 negara menentukan
kesepakatan yang untuk memerangi perubahan iklim dalam arti bahwa
pintu perjanjian global dibiarkan terbuka untuk terus bekerja pada masalah
yang belum selesai. Berikut beberapa masalah utama dari COP20 untuk
climate actions, layak untuk diikuti selama 2015 Road to Paris:
1. Untuk pertama kalinya, sebuah kesepakatan dicapai di mana semua
negara akan menentukan tujuan mereka, jika mereka siap, dan mereka
akan menyerahkan informasi emisi (INDC) CO2 mereka pada Maret
2015.
2. Isu kontroversial yang mempengaruhi perundingan antara negara-
negara maju dan berkembang adalah Tanggung Jawab Bersama Tapi
74
United Nations Framework Convention on Climate Change. Warsaw
International Mechanism for Loss and Damage. Diakses dari
https://unfccc.int/topics/adaptation-and-resilience/workstreams/loss-and-damage-
ld/warsaw-international-mechanism-for-loss-and-damage pada 21 Juli 2018.
52
Berbeda atau Common But Differentiated Responsibilities (CBDR).
COP20 tidak dapat menentukan bagaimana pengurangan emisi akan
didistribusikan di antara para pihak. Masalah ini akan dibahas pada
COP21 di Paris.
3. Kesepakatan yang dicapai sejalan dengan pekerjaan yang dimulai pada
COP17 di Durban. Fokus di Lima lebih global dan tidak membahas
perkembangan masing-masing negara. Berbeda dengan Protokol
Kyoto, yang hanya melibatkan negara-negara maju, ini adalah
perjanjian inklusif yang berlaku untuk semua negara.
4. Pelaksanaan kerangka kerja baru untuk Pengukuran, Pelaporan dan
Verifikasi. Penilaian Multilateral pertama diadakan di Lima,
memberikan transparansi yang lebih besar untuk tindakan oleh negara-
negara maju, karena mereka dapat membandingkan tingkat kepatuhan
mereka dengan tujuan pengurangan emisi.75
Pada November 2015, merupakan sesi tahunan ke-21 Konferensi
Para Pihak (COP) pada Konvensi Kerangka Kerja PBB 1992 tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC). Konferensi tersebut merundingkan Paris
Agreement, kesepakatan global tentang pengurangan perubahan iklim, teks
yang mewakili konsensus perwakilan dari 196 pihak yang hadir. Perjanjian
ini akan mulai berlaku ketika bergabung dengan setidaknya 55 negara
yang bersama-sama mewakili setidaknya 55 persen emisi rumah kaca
75
United Nations Framework Convention on Climate Change. Schedule of
Events. Diakses dari
http://unfccc.int/files/meetings/warsaw_nov_2013/application/pdf/cop19cmp9_overview_
schedule.pdf pada 21 Juli 2018.
53
global.76
Berikut beberapa poin penting yang dihasilkan selama
perundingan Paris Agreement:
1. Perjanjian hukum universal yang berlaku untuk semua (applicable for
all), 197 pihak berkomitmen untuk menyusun strategi pembangunan
rendah emisi gas rumah kaca jangka panjang. Ini adalah pertama
kalinya kesepakatan universal dicapai dalam perang melawan
perubahan iklim. Aturan-aturan tertentu yang mengikat secara hukum
berlaku untuk Negara-Negara Pihak, seperti kewajiban bagi negara-
negara maju untuk memberikan dukungan keuangan kepada negara-
negara berkembang untuk memungkinkan mereka melaksanakan
perjanjian.
2. Sebagai tanggapan terhadap tantangan iklim, perjanjian mengakui
bahwa Negara memiliki tanggung jawab yang sama tetapi berbeda,
yaitu bergantung pada kemampuan masing-masing dan keadaan
nasional yang berbeda. Ini memperhitungkan tingkat perkembangan
dan kebutuhan khusus dari negara-negara yang sangat rentan,
misalnya. Selain membuat komitmen keuangan, negara-negara maju
perlu memfasilitasi transfer teknologi dan adaptasi terhadap ekonomi
rendah karbon.
3. Perjanjian yang berkelanjutan dan dinamis atau perjanjian dengan
"Action Agenda" yang bertujuan menerapkan sarana untuk memastikan
kemajuan yang lebih ambisius, di atas dan di luar komitmen yang
76
Science Council for Global Initiatives. Paris COP21 Summary. Diakses dari
http://www.thesciencecouncil.com/index.php/tom-blees-president/295-paris-cop21-
summary pada 21 Juli 2018.
54
mengikat. Tujuannya adalah untuk menahan peningkatan suhu rata-
rata global ke bawah 2 ° C dan untuk memastikan bahwa upaya
dilakukan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 ° C. Untuk
mencapai hal ini, Perjanjian Paris menetapkan bahwa semua negara
harus meninjau kontribusi mereka untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca setiap lima tahun.
4. Pendanaan sangat penting untuk mendukung negara-negara
berkembang dan mendukung transisi menuju ekonomi bebas karbon.
Perjanjian tersebut menetapkan bahwa sumber daya publik dan swasta
akan perlu ditingkatkan setiap tahun dari 2020 untuk membiayai
proyek-proyek yang memungkinkan negara-negara untuk beradaptasi
dengan dampak perubahan iklim (kenaikan permukaan laut,
kekeringan, dll) atau mengurangi emisi gas rumah kaca.77
Hasil-hasil di atas menunjukan bahwa perundingan rezim
perubahan iklim berlangsung sangat dinamis. Perubahan dari tahun ke
tahun dari perundingan satu ke perundingan lainnya sering tidak dapat
diduga.
77
France Diplomatie. The COP 21 or the Paris Climate Conference Led to a
New International Climate Agreement, Applicable to All Countries, Aiming to Keep
Global Warming Below, in Accordance with the Recommendations of the
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Diakses dari
https://www.diplomatie.gouv.fr/french-foreign-policy/climate/2015-paris-climate-
conference-cop21/cop21-the-paris-agreement-in-four-key-points/ pada 22 Juli 2018.
55
BAB III
RESPON JEPANG DALAM ISU PERUBAHAN IKLIM
INTERNASIONAL
Bab ini akan menjelaskan bagaimana respom Jepang dalam isu perubahan
iklim internasional. Adapun bab ini terbagi menjadi 3 sub bab. Pertama, kebijakan
Jepang dalam perubahan iklim pasca bencana Fukushima Daiichi, dalam sub bab
ini akan dijelaskan bagimana bencana tenaga nuklir Jepang akibat gempa dan
tsunami dapan mengubah kebijakan lingkungan Jepang secara domestik maupun
internasional. Kedua, fokus mitigasi kebijakan Jepang dalam isu perubahan iklim,
bagian ini menjelaskan tentang berbagai sektor yang menjadi fokus utama Jepang
pasca bencana Fukushima Daiichi dalam rangka efisiensi penggunaan energi
domestik. Ketiga, bagian ini akan menjelaskan tentang Joint Crediting
Mechanism yang ditawarkan Jepang sebagai skema yang dapat membantu upaya
mitigasi kepada UNFCCC berupa kerjasama bilateral antara Jepang dengan
negara-negara mitra dalam mengurangi dan menghindari emisi GRK.
3.1. Respon Jepang Terhadap Bencana Fukushima Daiichi
Segala keputusan terkait dengan perubahan iklim Jepang sebagian
besar merupakan produk dari bencana nuklir Fukushima. Pada Maret
2011, Jepang dilanda dengan bencana gempa di Tohoku, tsunami yang
melanda pantai timur Jepang, dan hancurnya 7 PLTN Fukushima Daiichi,
56
yang menewaskan 16.000 orang, mencemari pasokan air lokal, dan
putusnya aliran listrik. 78
Bencana Fukushima mempengaruhi dukungan politik dan publik
untuk kebijakan iklim Jepang yang ambisius dengan mengatasi perubahan
iklim sekaligus merencanakan pasokan energi yang aman dan stabil.
Penentangan publik terhadap energi nuklir menjadi salah satu isu yang
paling menonjol dalam politik Jepang. Energi nuklir membentuk 29 persen
dari pembangkit listrik Jepang pada tahun 201079
, tetapi semua reaktor
nuklir ditutup setelah bencana. 59 persen masyarakat menentang untuk
membangun kembali reaktor dalam jajak pendapat tahun 201480
, dan
sebagai hasilnya, bauran energi Jepang semakin bergantung pada sumber-
sumber yang lebih banyak menggunakan karbon untuk mengisi celah
akibat dinonaktifkannya listrik tenaga nuklir.
Kekhawatiran tentang keamanan energi Jepang juga meningkat
karena nuklir adalah satu-satunya sumber energi yang diproduksi di dalam
negeri. Dengan peningkatan penggunaan gas alam, batu bara, dan minyak,
Jepang sekarang bergantung pada impor luar negeri untuk 94 persen dari
78
Stokes, Bruce, Richard Wike, and Jill Carle. Global Concern about Climate
Change, Broad Support for Limiting Emissions. Pew Research Center. 5 November
2015. Diakses dari http://www.pewglobal.org/files/2015/11/Pew-Research-Center-
Climate-Change-Report-FINAL-November-5-2015.pdf pada 18 Agustus 2018. 79
National Bureau of Asian Research. Energy Mix in Japan – before and after
Fukushima. 2013. Diakses dari
http://www.nbr.org/downloads/pdfs/eta/PES_2013_handout_kihara.pdf pada 19
September 2018. 80
Asahi Shimbun. Asahi Poll: 59% Oppose Restart of Nuclear Reactors. 18
Maret 2014. Diakses dari
https://ajw.asahi.com/article/0311disaster/fukushima/AJ201403180058 pada 19
September 2018.
57
bahan bakar fosilnya, sebagian besar impor tenaga karbon berasal dari
Timur Tengah atau Rusia.81
Meskipun perhitungan untuk kelistrikan kurang dari setengah
konsumsi energi total Jepang, perdebatan kebijakan perubahan iklim
negara telah difokuskan pada penggunaan pembangkit listrik bertenaga
nuklir sejak bencana PLTN Fukushima. Sebelum gempa bumi, tenaga
nuklir mencapai sekitar 25 hingga 30 persen dari total pasokan listrik
Jepang.82
Sebagai akibat dari peralihan dari nuklir ke bahan bakar fosil,
emisi karbon dioksida (CO2) di Jepang terus meningkat. Total emisi gas
rumah kaca (GRK) meningkat 2,7% antara tahun 2011 dan 2012 dan 1,3%
antara tahun 2012 dan 2013. Pada tahun 2013, tingkat emisi adalah 10,6%
lebih besar dibandingkan pada tahun 1990.83
Sebelum gempa bumi 2011 terjadi, Jepang telah mengajukan target
pengurangan emisi GRK untuk 2020 sebesar 25% dari tingkat 1990.
Kemudian Pemerintah Jepang mengumumkan dalam COP18 pada 2012
bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali target pengurangan emisi
2020-nya. Pada bulan November 2013, saat COP19 di Warsawa,
diumumkan bahwa target 2020 baru akan menjadi sebesar 3,8%
81
Masakazu Toyoda. Energy Challenges and Policies for Japan in the
Dramatically Changing Energy Landscape. Institute for Energy Economics Japan.
January 2016. 82
World Nuclear Association, Japan's Energy Situation and International
Dependence. 2015. Diakses dari http://www.world-nuclear.org/information-
library/country-profiles/countries-g-n/japan-nuclear-power.aspx pada 21 September 2018. 83
Ministry of the Environment Japan. State of Japan's Greenhouse Gas
Emissions. 2014. Diakses dari https://www.env.go.jp/en/wpaper/1997/ch1-2.html pada 22
September 2018.
58
pengurangan dari tahun 2005, yang sebenarnya meningkat sekitar 3,1%
dari tahun 1990.84
Target ini diasumsikan tidak menggunakan tenaga
nuklir hingga 2020, dan pemerintah menyatakan kesiapannya untuk
merevisi target lebih lanjut jika kondisi berubah.
Pemerintah dengan cepat mulai mempertimbangkan Japan’s
Intended Nationally Determined Contribution (INDC) setelah pertemuan
di Lima untuk Climate Action yang diadopsi pada COP20 bulan Desember
2014, untuk meminta pihak-pihak menyerahkan INDC mereka pada
kuartal pertama 2015, jauh sebelum COP21.85
Jepang, bagaimanapun,
belum siap menyerahkan INDC-nya pada akhir Maret 2015, karena setiap
diskusi terkait dengan INDC di Jepang melibatkan perdebatan luas tentang
kebijakan energi masa depan. Pemerintah Jepang sekarang bertujuan untuk
menentukan INDC-nya pada akhir Mei 2015.86
Di tingkat pemerintah nasional, diskusi formal tentang INDC
Jepang dimulai pada Oktober 2015 dengan pembentukan Rapat Dewan
Bersama yang terdiri dari dua komite utama, Komite Lingkungan Global
di bawah Dewan Lingkungan Pusat serta Komite Teknologi dan
Lingkungan untuk Industri di bawah Struktur Industri Dewan. The
84
Ministry of the Environment Japan. Statement by Nobuteru Ishihara, Japanese
Minister of the Environment at COP19/CMP9. Diakses dari
http://www.env.go.jp/en/earth/cc/statement131120.pdf pada 22 September 2018. 85
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Decision 1/CP.20, Lima Call for Climate Action, FCCC/CP/2014/10/Add.1. 86
Climate Policy Observer: Monitoring Climate Policies, Japan Submits Its
Contribution TO Paris 2015: 47 INDCs Received. 2015. Diakses dari
http://climateobserver.org/japan-submits-its-contribution-to-paris-2015-47-indcs-
received/ pada 24 September 2018
59
Ministry of the Environment (MOE) atau Kementerian Lingkungan Hidup
bertanggung jawab atas komite sebelumnya, sementara The Ministry of
Economy, Trade, and Industry (METI) atau Kementerian Ekonomi,
Perdagangan, dan Industri bertanggung jawab untuk yang terakhir.87
Beberapa anggotanya menekankan pentingnya pencapaian target jangka
panjang saat Copenhagen Accord yaitu peningkatan suhu maksimum 2°C
dalam suhu global, disertai dengan peran Jepang dalam proses negosiasi
internasional. Namun, yang lain berpendapat bahwa target pengurangan
emisi global hanya dapat dicapai dengan kontribusi signifikan dari
penghasil emisi besar, seperti China dan Amerika Serikat. Jepang, yang
saat ini bertanggung jawab atas kurang dari 3% emisi global, tidak dapat
melakukan perubahan apa pun di tingkat global dengan hanya mengurangi
emisi domestik. Bersamaan dengan itu, banyak yang menyadari bahwa
pemerintah nasional tidak memiliki kemampuan untuk menentukan INDC
Jepang sendirian.88
3.2. Fokus Mitigasi Jepang dalam Menangani Emisi Gas Rumah Kaca
Sementara perdebatan tentang perubahan iklim telah dirumuskan
kembali sebagai perdebatan tentang tenaga nuklir, perkembangan dalam
aspek mitigasi emisi di tingkat domestik telah membuat kemajuan. Sub
87
Climate Action Tracker, Japan. Diakses dari
http://climateactiontracker.org/countries/japan.html pada 29 September 2018. 88
World Resources Institute, Japan Releases Underwhelming Climate Action
Commitment. 2015. Diakses dari https://www.wri.org/blog/2015/07/japan-releases-
underwhelming-climate-action-commitment pada 1 Oktober 2018.
60
bagian berikut membahas beberapa sektor itu telah membuat kemajuan
nyata dalam beberapa tahun terakhir.
3.2.1. Energi Terbarukan
Selama pertemuan COP15 di Kopenhagen di mana Jepang
mengumumkan target pengurangan emisi sebesar 25%, di tahun yang
bersamaan dengan terjadinya gempa bumi 2011. Untuk
mengkompensasi sebagian untuk penghentian pembangkit listrik
tenaga nuklir, perdana menteri saat itu, Naoto Kan dan Yoshihiko
Noda keduanya mencari implementasi cepat energi terbarukan. Tepat
sebelum bencana 2011, tenaga air menyumbang 8,5% dari total
pasokan listrik, dan sumber terbarukan lainnya hanya menyumbang
1,1%. Skema Tarif Feed-in Jepang diperkenalkan pada bulan
November 2011 untuk mempromosikan Solar Photovoltaic (SPV),
dan aturan direvisi pada bulan Juli 2012 untuk mendukung jenis lain
energi terbarukan. Aturan baru juga mewajibkan perusahaan listrik
untuk membeli semua energi terbarukan yang dihasilkan. Dengan ini
berubah, pangsa energi terbarukan dalam penyediaan listrik telah
berkembang.89
3.2.2. Pendekatan Hemat Energi
Konsumsi energi dapat dikurangi melalui dua pendekatan.
Pertama. mengurangi penggunaan energi, sedangkan metode kedua
89
JETRO, Japan’s Solar PV Market Overview. Diakses dari
https://www.jetro.go.jp/ext_images/_Events/ldn/Japan_solar_PV_market_overview.pdf
pada 2 Oktober 2018.
61
adalah untuk meningkatkan efisiensi energi. Menurunkan
penggunaan energi dapat dicapai dengan, misalnya, mematikan
peralatan listrik yang tidak digunakan atau menggunakan sepeda
daripada mobil untuk mobilitas.90
Permintaan juga menurun ketika
ekonomi mengalami depresi. Efisiensi energi, di sisi lain, dapat
ditingkatkan terutama oleh perbaikan teknologi, tetapi teknologi ini
harus didistribusikan secara luas dan dibeli oleh sebagian besar
konsumen agar konsumsi energi total menurun. Pemerintah Jepang,
khususnya METI, sebagian besar mendukung pendekatan terakhir
ini, yang berhasil di sejumlah sektor, selama bertahun-tahun. Namun,
pendekatannya tidak termasuk dimensi lain dari mitigasi emisi,
termasuk kebijakan yang mengurangi permintaan untuk layanan
energi dan dekarbonisasi ekonomi Jepang dengan merestrukturisasi
industri padat energi. Akibatnya, manufaktur Jepang dan produk
telah mencapai efisiensi energi yang tinggi selama bertahun-tahun,
tetapi ekonomi sebagai suatu sistem belum terdekarbonisasi.91
1. Sektor Perumahan dan Komersial
Banyak peralatan rumah tangga Jepang telah meningkatkan
efisiensi energi mereka selama dekade terakhir karena berbagai
peraturan dan standar. Kulkas dan pendingin ruangan yang dijual
90
Global Environment Committee, Long-term Low-carbon Vision 2017: Central
Environment Council. Diakses dari http://www.env.go.jp/earth/report/h30-01/ref02.pdf
pada 3 Oktober 2018. 91
Ministry of Economy, Trade and Industry Japan. 2012 Energy Supply and
Demand Report. Diakses dari http://www.meti.go.jp/english/press/2014/0415_03.html
pada 3 Oktober 2018.
62
pada tahun 2013, misalnya, masing-masing memiliki
pengurangan 67% dan 21%, dalam konsumsi listrik dari yang
dijual pada tahun 2003. Di antara langkah-langkah yang
diterapkan adalah "skema eco-point" untuk peralatan yang relatif
lebih hemat energi. Selain itu, Jepang menyerukan "penghematan
listrik" di 2011 dan 2012 untuk menyesuaikan dengan pasokan
listrik yang tidak memadai akibat gempa bumi.
Perubahan yang cukup baik selama kurang lebih satu
dekade, selain dipengaruhi oleh skema eco-points, tingginya
kesadaran masyarakat dan peningkatan biaya kelistrikan juga
memiliki peran penting dalam kebijakan penghematan energi
yang dilakukan oleh Jepang.
Perbaikan insulasi bangunan dan rumah mulai sekitar satu
dekade yang lalu. Pembangunan sistem manajemen energi dan
sistem manajemen energi perumahan, telah diminta tetapi belum
terbukti efektif. Perkembangan kebijakan terbaru termasuk jenis
subsidi lain yang disebut “eco-points perumahan” untuk mereka
yang membangun rumah menggunakan jendela berinsulasi dan
bahan konstruksi yang lebih baik
2. Sektor Transportasi
Mobil yang dijual di Jepang termasuk yang paling hemat
energi di dunia untuk waktu yang lama. Prius, yang pertama
Mobil hibrida Toyota, memulai debutnya pada tahun 1995. Sejak
63
itu, mobil hibrida dan kompak telah disubsidi dan telah
berpengalaman penjualan yang sehat. Mobil listrik, yang
dianggap mobil paling bersih dalam hal CO2, juga telah menarik
banyak perhatian, terutama sebelum gempa ketika harga listrik
diperkirakan akan semakin berkurang seiring dengan
pembangunan lebih banyak nuklir. tanaman, yang dilihat sebagai
sumber energi termurah pada saat itu. Sejak gempa, lebih banyak
orang memilih mobil hibrida untuk menghemat bensin, dan lebih
dari sepertiga mobil pribadi ukuran kecil yang dijual adalah
hibrida pada tahun 2014.92
Di sisi lain, pemilik potensial mobil listrik sedang
menunggu untuk melihat bagaimana keputusan pemerintah pada
pasokan energi akan mempengaruhi harga listrik dalam jangka
panjang. Baterai dalam mobil listrik dapat diisi oleh listrik yang
dihasilkan oleh sel surya SPV pada siang hari, dan daya dapat
dilepaskan pada malam hari, mempromosikan penggunaan energi
terbarukan.
3. Sektor Industri
Total emisi CO2 dari sektor industri menurun 6% antara
tahun 2005 dan 2013. Namun, sebagian besar dari pengurangan
ini dikaitkan dengan krisis ekonomi tahun 2008 dan kebingungan
setelah gempa bumi tahun 2011. Ini menunjukkan itu
92
U-Car Guide Web. Sales of New Cars in Japan. 2015. Diakses dari. http://u-
carguide.com/datalibrary/market/new-car/2014/hybrid201401-06 pada 4 Oktober 2018.
64
pengurangan telah dicapai oleh penurunan permintaan untuk
layanan energi, bukan oleh peningkatan energi efisiensi. Tingkat
perbaikan yang telah dibuat juga tampaknya berbeda dari satu
industri ke industri lainnya. Energi efisiensi industri material,
seperti besi dan baja, semen, dan kertas dan pulp, kebanyakan
stabil setiap tahunnya, dan emisi CO2 dari industri-industri ini
dipengaruhi terutama oleh output produksi.93
Kelompok industri Jepang telah membentuk Voluntary
Action Plans (VAP) yang memungkinkan setiap kelompok
industri untuk menetapkan sendiri batas emisi dan target
pengurangan secara sukarela baik dalam hal absolut atau
efisiensi. Standar top-runner yang ditentukan oleh pemerintah
untuk mendorong industri mencapai target sukarela mereka.94
3.2.3. Teknologi Rendah Karbon
Menurut anggota Pertemuan Dewan Bersama tentang INDC,
terdapat persepsi bahwa akan sulit dan mahal bagi Jepang untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca di rumah. Pada saat yang sama,
banyak yang percaya bahwa mengekspor produk dan teknologi
Jepang ke negara berkembang untuk membantu mengurangi emisi di
negara-negara tersebut adalah strategi yang lebih baik bagi Jepang
93
Ministry of the Environment Japan. Japan's National Greenhouse Gas
Emissions in Fiscal Year 2013 (Preliminary Figures). 2014. Diakses dari
http://www.env.go.jp/en/headline/2132.html pada 6 Oktober 2018. 94
Ministry of Economy, Trade and Industry Japan. Best Practice Under the
Voluntary Action Plans. 2015. Diakses dari
http://www.meti.go.jp/english/policy/energy_environment/global_warming/voluntary_ap
proach/pdf/action_plan_eng.pdf pada 6 Oktober 2018.
65
untuk menanggapi masalah perubahan iklim. Pidato Menteri
Lingkungan Hidup Yoshio Mochizuki di COP20 menekankan
kontribusi keuangan dan teknis Jepang kepada negara-negara
berkembang untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dan
pencapaian pembangunan rendah karbon.95
Secara khusus, Jepang
telah menetapkan pendekatan teknologi rendah karbon unik yang
disebut Joint Crediting Mechanism (JCM), yang serupa dengan,
namun lebih sederhana dan lebih cepat daripada, Clean Development
Mechanism (CDM) yang digariskan oleh Protokol Kyoto.
Pemerintah Jepang berharap bahwa berlakunya JCM dalam upaya
mereduksi emisi GRK internasional ini akan diterima di tingkat
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)
sehingga Jepang dapat mengandalkan perolehan kredit untuk
mencapai INDC-nya.96
3.3. Joint Crediting Mechanism
JCM adalah mekanisme bilateral antara pemerintah Jepang dan
pemerintah negara mitra yang memberikan kontribusi untuk penurunan
emisi GRK dari kedua negara dengan memperkenalkan teknologi rendah
karbon. Tujuan utama JCM adalah untuk memilah teknologi rendah
karbon tingkat lanjut ke negara-negara berkembang, mengukur
95
Ministry of the Environment Japan. Statement by Yoshio Mochizuki, Minister
of the Environment of Japan at COP 20. Diakses
http://www.env.go.jp/en/earth/cc/cop20_statement_eng.pdf dari pada 7 Oktober 2018. 96
Ministry of the Environment Japan. Japan's Progress in Developing its
Intended Nationally Determined Contribution. Diakses dari
http://www.env.go.jp/en/earth/cc/jpdindc.html pada 7 Oktober 2018.
66
pengurangan emisi yang dicapai, dan menggunakan bagian dari
pengurangan untuk memenuhi target pengurangan emisi Jepang pada
tahun 2020 dan 2030. Tidak seperti mekanisme berbasis pasar lainnya
seperti Clean Development Mechanism (CDM) di bawah Protokol Kyoto,
di mana hanya pihak Annex 1 yang dapat berpartisipasi, sebaliknmya,
pihak-pihak berkembang dapat berpartisipasi dalam proyek ini sebagai
negara pelaksana bersama dalam skema JCM.97
Gambar 3.3. Skema Joint Crediting Mechanism
Sumber: Basic Concept of the JCM, JCM Mechanism, 2013.
Dalam skema JCM di atas, kedua belah pihak membentuk Joint
Committee (JC) atau Komite Bersama dibentuk untuk setiap negara tuan
rumah JCM. Komite Bersama adalah badan pengelola untuk JCM di negara
tuan rumah itu dan terdiri dari perwakilan dari kedua pemerintah Jepang dan
negara tuan rumah. Setiap pemerintah menunjuk anggota Komite Bersama
termasuk perwakilan dari kementerian terkait. Jumlah anggota dari Komite
97
Koatkutsu K, Umemiya. Realising additional emissions reductions through
the Joint Crediting Mechanism (JCM). 2015. IGES Working Paper.
67
Bersama tidak boleh melebihi jumlah tertentu sebagaimana disetujui oleh
komite. Panitia memiliki dua ketua yang ditunjuk, satu dari negara tuan rumah
dan yang lain dari Pemerintah Jepang.98
Komite Bersama bertanggung jawab untuk pengembangan aturan dan
pedoman untuk implementasi JCM, pengembangan metodologi baru,
persetujuan (dan penolakan) dari metodologi yang diusulkan, pendaftaran
proyek JCM, pendaftaran TPE yang ditunjuk, penentuan volume kredit JCM
yang dapat dikeluarkan untuk setiap pemerintah, dan pengembangan
spesifikasi umum untuk pendaftar.99
Komite ini, juga bertanggung jawab
untuk merumuskan aturan dan pedoman yang pada dasarnya umum dan
berlaku di negara-negara yang berpartisipasi. JC juga bertanggung jawab atas
penerbitan kredit yang diperoleh dari setiap proyek. Kredit akan dibagi antara
dua negara tetapi tidak dapat diperdagangkan secara internasional. Namun,
kredit ini dapat digunakan untuk mencapai target penurunan emisi Jepang,
menurut Article 6 Paris Agreement.100
JCM telah dimulai sebagai mekanisme kredit non-tradable. Perjanjian
bilateral saat ini antara Jepang dan negara-negara tuan rumah yang berbeda
tidak mengizinkan perdagangan internasional dari kredit JCM yang diperoleh
berdasarkan perjanjian ini. Kemungkinan memperluas JCM ke mekanisme
98
Sugino M, Morita M, Iwata K, Arimura HT. Multiplier impacts and emission
reduction effects of Joint Crediting Mechanism: Analysis with a Japanese and
International disaggregated input-output table. 2015. TCER Working Paper Series. Hlm.
1-27. 99
Yu J, Mallory LM. An Optimal Hybrid Emission Control System in a Multiple
Compliance Period Model. Resource and Energy Economics 2015. Hlm. 16-28. 100
Hoang, MH, Islam MT, Yagi M, Kokubu K. Determinants of the efficiency of
CDM and JCM projects: Viewing from Financial and Environmental Outcomes.
Discussion Paper Series, Kobe University 2015. Hlm. 311.
68
kredit yang dapat diperdagangkan dapat dieksplorasi di masa depan. JCM
diharapkan akan beroperasi sampai perjanjian internasional baru di bawah
UNFCCC mulai berlaku, yang diharapkan pada 2020. Namun, baik Jepang
dan negara tuan rumah dapat mempertimbangkan memperluas perjanjian
mereka di JCM, dengan mempertimbangkan kemajuan yang dibuat dalam
perubahan negosiasi iklim internasional.101
Adapun setiap program pembiayaan mendukung berbagai jenis proyek
dengan jumlah anggaran yang berbeda. Adapun proyek yang dibiayai oleh
MOE, pemerintah mendukung hingga setengah dari biaya awal dan sumber
pendanaan dari subsidi ini adalah pendapatan dari Pajak untuk Langkah-
langkah untuk mengatasi Pemanasan Global.102
Proyek model JCM didukung
oleh MOE. MOE telah meluncurkan program ini pada tahun 2013 dan
program ini mencakup pembiayaan tidak hanya fasilitas, peralatan, dan
kendaraan yang mengurangi emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil
tetapi biaya konstruksi untuk menginstal fasilitas tersebut. Dalam pembiayaan
proyek-proyek ini, MOE secara finansial mendukung setengah biaya proyek,
mengingat bahwa setidaknya setengah dari kredit JCM yang dikeluarkan oleh
program tersebut, total 7,2 miliar JPY.103
101
Yun KJ, Yoon ES. The International Climate Change Regime and Evolution
of South Korea’s Climate Change Policy. Journal of Environmental Policy and
Administration 2016. Hlm. 71. 102
Kuramochi T. Review of Energy and Climate Policy Developments in Japan
Before and After Fukushima. Renewable and Sustainable Energy Reviews 2015. Hlm. 43. 103
Ministry of the Environment Japan. Recent Development of the Joint
Crediting Mechanism (JCM). 2016. Diakses dari
http://www.mmechanisms.org/document/20160622_JCM_ goj_e.pdf pada 11 Oktober
2018.
69
Japan Fund for the Joint Crediting Mechanism (JFJCM) atau Dana
Jepang untuk Mekanisme Kredit Bersama adalah dana pendonor tunggal.
Dana tersebut dikelola oleh Asian Development Bank (ADB) dan bertujuan
untuk meningkatkan keberlanjutan proyek-proyek yang dibiayai dan dikelola
ADB melalui penggunaan teknologi rendah karbon yang maju. Proyek-proyek
yang dapat didukung oleh JFJCM harus dilaksanakan di negara-negara yang
memenuhi syarat, memiliki komponen yang mengadopsi teknologi rendah
karbon canggih, dan memenuhi persyaratan aplikasi JCM.104
Japan Fund for the Joint Crediting Mechanism (JFJCM) adalah dana
perwalian tunggal-donor yang didirikan pada tahun 2014 dan dikelola oleh
ADB. Dana tersebut bertujuan untuk memberikan insentif keuangan bagi
penerapan teknologi rendah karbon maju dalam proyek-proyek pemerintah
yang didanai dan dikelola oleh pemerintah. JFJCM akan memberikan hibah
dan bantuan teknis untuk proyek-proyek ADB dengan memanfaatkan Joint
Crediting Mechanism (JCM).
JFJCM berupaya untuk meningkatkan keberlanjutan proyek-proyek
yang didanai dan dikelola ADB melalui penggunaan teknologi rendah karbon
yang maju. Penggunaan hibah di bawah JFJCM akan menunjukkan efektivitas
JCM dan menyediakan sumber pendanaan tambahan untuk negara-negara
berkembang anggota ADB yang memenuhi syarat. JFJCM juga akan
menawarkan kesempatan bagi penerima untuk terlibat dalam proyek dengan
104
Asian Deevelopment Bank (ADB). JFJCM brochure. 2015. Diakses dari
http://www.adb.org/sites/default/files/publication/177324/jfjcm-brochu re.pdf pada 11
Oktober 2018.
70
karakteristik pembangunan yang kuat dan manfaat mitigasi perubahan iklim
jangka panjang.105
JFJCM bertujuan untuk mendukung proyek-proyek yang dibiayai
bersama dengan ADB atau dana yang dikelola ADB atau proyek-proyek yang
berdiri sendiri yang mengadopsi teknologi rendah karbon maju yang dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan prioritas pada karbon dioksida
jangka panjang yang berkurang dari kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
energi. berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca. JFJCM juga
akan menggunakan sumber dayanya untuk memberikan dukungan teknis
kepada penerima dalam memenuhi persyaratan JCM.
Teknologi rendah karbon yang digunakan oleh proyek harus memiliki
implementasi dan catatan operasi yang terbukti dalam kaitannya dengan
efektivitas teknisnya. Selain itu, kapasitas pengurangan emisi GRK proyek
harus sudah ditetapkan. Teknologi di sektor apa pun berlaku selama mereka
memenuhi kriteria yang telah ditentukan.106
Hingga saat ini, 16 negara tuan rumah telah menandatangani perjanjian
bilateral dengan Jepang di JCM. Mongolia adalah negara tuan rumah pertama
yang menandatangani perjanjian bilateral JCM, memulai JCM pada 8 Januari
tahun 2013. Sejak itu, negara-negara lain di Asia dan Pasifik serta daerah lain
telah menandatangani, termasuk Bangladesh 19 Maret 2013, Ethiopia 27 Mei
105
Asian Development Bank (ADB). Handbook for Developing Joint Crediting
Mechanism Projects. Diakses dari https://www.adb.org/documents/handbook-developing-
joint-crediting-mechanism-projects pada 13 Oktober 2018. 106
Asian Development Bank (ADB). Japan Fund for the Joint Crediting
Mechanism (JFJCM). Diakses dari https://www.adb.org/site/funds/funds/japan-fund-for-
joint-crediting-mechanism pada 15 Oktober 2018.
71
2013, Kenya 12 Juni 2013, Maladewa 29 Juni 2013, Vietnam 2 Juli 2013,
Laos 7 Agustus 2013, Indonesia 26 Agustus 2013, Kosta Rika 9 Desember
2013, Palau 13 Januari 2014, Kamboja 11 April 2014. Meksiko 25 Juli 2014,
Arab Saudi 13 Mei 2015, Chili 26 Mei 1015, Myanmar 16 September 2015,
Thailand 19 November 2015. Filipina dan Jepang saling bertukar
memorandum (aide memoire) yang bertujuan untuk membentuk dan
mengoperasionalkan JCM pada 7 Desember 2015, di sela-sela pertemuan
Konferensi Para Pihak (COP21). Ini akan menjadi negara ke 17 yang menjadi
tuan rumah JCM setelah penandatanganan perjanjian bilateral formal.107
107
Joint Crediting Mechanism. About the Mechanism. Diakses dari
https://www.jcm.go.jp/about pada 15 Oktober 2018.
72
BAB IV
ANALISIS KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM
THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE DENGAN SKEMA JOINT CREDITING
MECHANISM TAHUN 2012-2015
Bagian ini akan menjelaskan hasil analisis kepentingan Jepang dalam
UNFCCC dengan skema JCM. Adapun bab ini dibagi menjadi dua sub bab.
Pertama adalah analisis mengenai kepentingan Jepang dalam memenuhi Intended
Determined Contribution dan mengamankan kawasan regional menggunakan
konsep kepentingan nasional. Kedua adalah analisis hubungan yang terjadi antara
Jepang dengan negara mitranya dalam pengoptimalan Joint Crediting Mechanism
sebagai langkah mitigasi alternatif menggunakan konsep interdepedensi. Hal ini
menjadi vital mengingat di pembahasan sebelumnya dijelaskan kondisi energi
domestik Jepang pasca bencana Fukushima.
4.1. Kepentingan Jepang dalam Memenuhi Intended Nationally
Determined Contribution
Kepentingan nasional tercipta dari adanya kebutuhan suatu negara.
Kepentingan tersebut bisa dilihat, baik dari politik, ekonomi, militer, sosial
maupun budaya. Untuk tercapainya kepentingan dari suatu negara,
kekuatan atau basis kepentingan sengaja ditonjolkan untuk memberikan
73
dampak langsung agar eksistensi negara tersebut dapat dipertimbangkan.
Hal tersebut, dengan kata lain, negara yang memiliki peran sebagai
decision maker harus memiliki nilai jual, dalam arti negara tersebut harus
memiliki kemampuan yang diunggulkan.
Dalam penelitian ini, Jepang diposisikan sebagai negara yang
memiliki kepentingan nasional. Kepentingan nasional ini tercipta karena
ada dorongan dari situasi internalnya di mana Jepang mengalami bencana
alam yang disertai kerusakan sumber energi domestiknya. Beberapa tahun
lalu, reaktor nuklir menyediakan 30 persen energi Jepang dan kapasitas
nuklir Jepang adalah yang tertinggi ketiga di dunia (Jepang adalah yang
ketiga tertinggi setelah Perancis dan Amerika Serikat).108
Setelah gempa
bumi dan tsunami Maret 2011 menyebabkan kehancuran Fukushima
Daiichi dan pelepasan bahan radioaktif, semua pembangkit nuklir Jepang
ditutup karena masalah keamanan.109
Setelah kecelakaan itu, Jepang
menjadi importir gas alam terbesar, pengimpor batu bara terbesar kedua,
dan importir minyak mentah terbesar ketiga. Perubahan yang tiba-tiba ini
menyebabkan harga listrik meningkat dan menimbulkan kekhawatiran
tentang kemampuan Jepang untuk memenuhi target pengurangan emisinya
di bawah Protokol Kyoto pada komitmen periode pertama (1 Januari
2008–31 Desember 2012). Dalam beberapa bulan pasca bencana
108
Mark Hay. Five Years After Fukushima, Japan’s Nuclear Power Debate Is
Heating Up. Diakses dari https://www.good.is/articles/japan-nuclear-power-debate-heats-
up pada 19 Oktober 2018. 109
Eliza Strickland. What Went Wrong in Japan’s Nuclear Reactors. Diakses
dari http://spectrum.ieee.org/techtalk/energy/nuclear/explainer-what-went-wrong-
injapans-nuclear-reactors pada 21 Oktober 2018.
74
Fukushima, dan mengutip kekhawatiran tentang kurangnya komitmen
yang mengikat untuk Amerika Serikat, Cina, dan India, Jepang menarik
diri dari Protokol Kyoto dengan tidak mengambil target yang mengikat
untuk periode komitmen kedua Protokol Kyoto.110
Dengan ketidakikutsertaan Jepang pada komitmen Protokol Kyoto
periode kedua, maka Jepang tidak lagi memiliki kewajiban dalam
mencapai target emisi GRK-nya di bawah UNFCCC. Namun jika melihat
kembali pada komitmen Jepang di Protokol Kyoto Periode pertama yang
sukses mencapai target emisinya sebesar 9% dari level 1990.111 Pasca
penarikan dirinya dari komitmen Protokol Kyoto, Jepang memilih
mengurangi emisi GRK secara independen melalui Joint Crediting
Mechanism (JCM). JCM dalam kasus ini dapat dikatakan lebih
menguntungkan Jepang dibandingkan dengan berkomitmen tehadap
Protokol Kyoto. Jepang melalui JCM tetap dapat menunjukan
eksistensinya sebagai negara yang pro-lingkungan, terutama di mata
negara-negara berkembang, dimana fokus penerapan JCM dilaksanakan.
Hingga saat ini, diketahui bahwa JCM sudah dilaksanakan di 17 negara.
Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan negara-negara lain untuk turut
serta menggunakan JCM sebagai langkah mitigasi.
110
Andre Le Roux. Japan on Kyoto Protocol. Diakses dari
http://www.news24.com/Opinions/QAndA/Japan-on-Kyoto-Protocol-20111205 pada 22
Oktober 2018. 111
Ministry of the Environment. Japan's Domestic Efforts to Follow up on the
Kyoto Conference. Diakses dari https://www.env.go.jp/en/earth/cc/jde.html pada 21
Januari 2019.
75
Kemudian dapat dikatakan bahwa JCM lebih efektif untuk
digunakan Jepang sebagai alat politiknya terkait isu perubahan iklim jika
dibandingkan dengan tetap berkomitmen terhadap Protokol Kyoto periode
kedua. Dapat dikatakan demikian karena negara-negara emiter terbesar
lainnya, yaitu AS, China, India dan Rusia tidak memiliki kewajiban untuk
mengurangi emisi GRK-nya. Jadi, dengan atau tanpa adanya kontribusi
negara-negara emiter terbesar tersebut, Jepang tetap melakukan langkah
mitigasi “yang lebih menguntungkan”.112
Dengan JCM, Jepang menyatakan bahwa mereka tetap
berkomitmen terhadap keseluruhan tujuan mitigasi perubahan iklim
dengan memenuhi Intended Nationally Determined Contribution (INDC).
Pada tahun 2015 tepatnya di momen Paris Agreement, Jepang berjanji
untuk mengurangi emisi sebesar 26 persen dari tingkat tahun 2013 pada
tahun 2030. Ini adalah sekitar 1,042 miliar ton CO2 dan merupakan
pengurangan 25,4 persen dari tingkat tahun 2005.113
Target 2030 didukung dengan baik oleh Japan’s Energy Plan yang
diterbitkan pada tahun 2015, yang mengantisipasi peningkatan pasokan
energi terbarukan menjadi antara 22 dan 24 persen dari total pasokan
listrik, dengan 9,2 persen dari tenaga air, 7 persen dari energi matahari, 4,6
persen dari biomassa, 1,7 persen dari energi angin, dan 1,1 persen dari
112
Japan Times. Japan Meets Kyoto Goal via Credit Buys. Diakses dari
http://www.japantimes.co.jp/news/2013/11/17/national/japan-meets-kyoto-goal-via-
credit-buys pada 25 Oktober 2018. 113
Government of Japan. Submission of Japan‟s Intended Nationally
Determined Contribution (INDC). Diakses dari
http://www4.unfccc.int/submissions/INDC/Published%20Documents/Japan/1/20150717_
Japan%27s%20INDC.pdf pada 26 Oktober 2018.
76
energi panas bumi.114
Khususnya, Perdana Menteri Abe mendukung
pembangunan kembali pembangkit listrik tenaga nuklir karena
kekhawatiran perubahan iklim serta kekhawatiran ekonomi. Berdasarkan
Japan’s Energy Plan, nuklir akan menyediakan 20-22 persen listrik. Saat
ini, hanya pembangkit listrik tenaga nuklir Kyushu Electric Power
Company Sendai yang sedang beroperasi.115
Japan’s Energy Plan
mengantisipasi bahwa 56 persen dari pasokan listrik Jepang akan berasal
dari bahan bakar fosil, dengan 27 persen dari gas, 26 persen dari batu bara,
dan 3 persen dari minyak.116
Gambar 4.1. Proyeksi Energi Jepang FY 2030
(Source: Ministry of Economy, Trade and Industry. Japan Energy Plan. 2015.)
114
Chisaki Watanabe, dkk., Japan Sees Clean Energy Edging Out Nuclear
Power in 2030. Bloomberg. Diakses dari http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-
04-28/japan-expects-renewable-energy-to-edge-outnuclear-power-by-2030 pada 28
Oktober 2018. 115
Yomiuri Shimbun. NRA Sees “No Safety Problem” with Nuclear Plants.
Diakses dari http://thejapan-news.com/news/article/0002885516 pada 19 Oktober 2018. 116
Chisaki Watanabe, dkk., Japan Sees Clean Energy Edging Out Nuclear
Power in 2030. Bloomberg. Diakses dari http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-
04-28/japan-expects-renewable-energy-to-edge-outnuclear-power-by-2030 pada 28
Oktober 2018.
77
Bencana Fukushima menjelaskan bahwa keputusan Jepang masuk
akal untuk mengantisipasi bahwa negara-negara akan mengalami
perubahan situasi internalnya dengan tidak terduga dengan konsekuensi
yang menyertainya untuk kepentingannya di dalam isu perubahan iklim
maupun lingkungan internasional. Ukuran yang memungkinkan untuk
memudahkan periode penyesuaian akan kejadian yang tidak terduga untuk
perubahan kebijakan. Kepentingan nasional yang esensial juga tercipta
karena adanya perubahan situasi internal Jepang karena terjadinya bencana
tersebut. Situasi internal yang mengalami perubahan berupa hilangnya
sumber energi utama Jepang yaitu nuklir karena hantaman gempa dan
tsunami, mengharuskan jepang untuk kembali menggunakan energi
berbahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan emisi GRK Jepang terus
mengalami peningkatan. Kemudian JCM merupakan jalan keluar bagi
Jepang, karena Jepang perlu memulihkan situasi internal yang lebih baik,
selain mereduksi emisi GRK, Jepang dapat memberikan keputusan
mengenai partisipasinya dalam upaya mitigasi terkait INDC,
Sementara JCM terlahir sebagai bagian dari upaya pengurangan
emisi total Jepang. Hal tersebut juga mendukung proses terealisasinya
kepentingan nasional yang berupa pemenuhan target INDC Jepang yang
diajukan pada Juli 2015. JCM mendukung ekspor teknologi Jepang seperti
efisiensi industri rendah karbon dengan menciptakan pasar untuk teknologi
ini di negara berkembang. Jepang dengan teknologi yang dimilikinya
78
merupakan sebuah basis kepentingan nasional yang perlu
dipertimbangkan.
4.2. Kepentingan Jepang dalam Menjaga Mitra Strategis di ASEAN
Selain kepentingan esensial, dalam penelitian ini juga ditemukan
kepentingan sekunder, walaupun tidak terkait langsung tetapi kepentingan
ini akan berfungsi dikemudian hari. Analisis kepentingan sekunder Jepang
didasari dari hasil tinjauan terhadap kebijakan Official Development
Assistance (ODA) Jepang yang menyoroti pertimbangan kawasan negara
mitra JCM. Kebijakan ODA terpisah dari JCM tetapi kesadaran akan
kepentingan strategis Jepang mendasari program tersebut.117
Selanjutnya,
pada Maret 2015, Perdana Menteri Abe menegaskan kembali bahwa
peningkatan pembangunan negara-negara berkembang membantu
meningkatkan pengaruh dan suara Jepang secara internasional, sehingga
membantu mengamankan kepentingan nasional negara.118
Pada Maret 2015, Jepang juga mengumumkan 30 persen
peningkatan ODA, peningkatan pertama dalam 17 tahun. Komitmen ini
sebesar $110 miliar hingga 2020 yang ditargetkan untuk investasi
infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan fasilitas pelabuhan. Peningkatan
jumlah ODA ini masih merupakan kira-kira setengah dari jumlah bantuan
117
Nikkei Asian. Japan’s ODA Paper Stresses ASEAN Support for Safety of
Vital Sea Lane. Diakses dari http://asia.nikkei.com/Politics-Economy/International-
Relations/Japan-s-ODA-paperstresses-ASEAN-support-for-safety-of-vitalsea-
lane?page=1 pada 1 November 2018. 118
Yomiuri Shimbun. Shinzo Abe, All-inclusive Endeavors Crucial in Carrying
Out ODA Strategically. Asian News. Diakses dari
http://www.asianews.network/content/editorial-all-inclusive-endeavours-crucial-
carryingout-oda-strategically-12331 pada 1 November 2018.
79
yang diberikan pada tahun 1997, yang merupakan tahun puncak untuk
ODA. Jelas bahwa Perdana Menteri Abe sedang memperhatikan ODA
sebagai alat untuk meningkatkan kepentingan terhadap mitra strategis
Jepang. Dukungan untuk perluasan penggunaan JCM dapat dilihat sebagai
bagian dari perspektif ini, terutama ketika mitra JCM dilihat di peta.
Gambar 4.2. Visualisasi Peta Negara Mitra JCM di ASEAN
(Sumber: Environmental and Oceanography Maps, The South China Sea.)
Pada kasus ini, dimana kawasan merupakan unsur dalam
menjelaskan perilaku politik internasional suatu negara melalui wilayah.
Jepang fokus pada negara mitra yang terkait dengan aspek geografis.
Khususnya wilayah perairan yang mencakup hubungan antara kepentingan
Jepang sebagai aktor rasional dan kepentingan yang difokuskan dalam
suatu wilayah, yaitu ASEAN, khususnya perairan Laut Cina Selatan.
Kemudian yang terkonstruksi dalam analisis ini adalah dua pertiga
dari impor bahan bakar fosil ke transit Jepang melalui Laut Cina Selatan
80
menggarisbawahi pentingnya kepentingan akan mitra strategis di wilayah
ini. Cina telah bergerak maju dengan pekerjaan reklamasi lahan di Laut
Cina Selatan untuk mendukung klaim teritorial dan kepentingan
maritimnya.119
Dengan kekhawatiran ini, Jepang menekankan pentingnya
strategis mitra ASEAN dalam kebijakan ODA baru-baru ini, yang
menyatakan
“ASEAN countries are extremely important from both political and
economic perspectives as they lie along key sea lanes and have strong
economic ties.” 120
Pernyataan tersebut berarti negara-negara ASEAN adalah wilayah
yang sangat penting baik dari perspektif politik dan ekonomi karena
mereka terletak di sepanjang jalur laut Jepang dan memiliki ikatan
ekonomi yang kuat. Jepang secara khusus menekankan pentingnya
menjaga keamanan di jalur Laut Cina Selatan. Konsisten dengan prioritas
kemitraan ini, Jepang telah masuk ke JCM dengan enam dari sepuluh
anggota ASEAN.
Secara khusus, Jepang memiliki JCM dengan Kamboja, Indonesia,
Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Jepang telah menandatangani
nota kesepahaman untuk masuk ke JCM dengan anggota ASEAN ketujuh,
Filipina. Pertimbangan-pertimbangan politik strategis ini tentang Laut
Cina Selatan kemungkinan memfasilitasi dukungan Jepang yang
119
Michael Forsythe and Jane Perlez. South China Sea Buildup Brings China
Closer to Realizing Control, N.Y. TIMES, Mar. 8, 2016. Diakses dari http://nyti.
ms/1X9QPZt pada 1 November 2018. 120
Ayako Mie and Jesse Johnson. Amid South China Sea Spat, Japan Foreign
Aid White Paper Stresses Importance of Sea Lanes. Japan Times. Mar. 11, 2016 Diakses
dari http:// www.japantimes.co.jp/news/2016/03/11/national/politics-diplomacy/amid-
south-china-sea-spatjapan-foreign-aid-white-paper-stresses-importancesea-
lanes/#.VwBfKVJGN0l pada 2 November 2018.
81
berkelanjutan untuk JCM. Sejalan dengan pendekatannya dengan ODA,
Jepang mampu menggunakan JCM untuk berhasil memanfaatkan keahlian
teknologinya untuk memperkuat aliansi dengan mitra strategis sementara
juga bekerja menuju target pengurangan emisinya di era pasca-Fukushima.
4.3. Interdepedensi Jepang dan Negara Mitra dalam Pengoptimalan Joint
Crediting Mechanism sebagai Langkah Mitigasi Alternatif
Interdependensi antara Jepang dengan negara mitranya ditunjukan
dengan terciptanya efek timbal balik karena adanya perbedaan power dan
resource. Proyek JCM menggunakan keahlian teknologi Jepang untuk
menyebarkan berbagai pendekatan untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca, seperti pemasangan jalur transmisi hemat energi di Mongolia;
instalasi sistem hemat energi di rumah sakit nasional Vietnam;
pemasangan pendingin hemat energi di pusat pengolahan makanan
komersial di Indonesia; instalasi sistem fotovoltaik surya di Maladewa dan
Palau; dan pembangkit listrik dengan pemulihan panas limbah di industri
semen di Indonesia.121
Untuk setiap JCM, komite gabungan dibentuk yang terdiri dari
perwakilan dari Jepang dan negara mitra untuk mengembangkan pedoman
dan mengelola pendaftaran proyek dan penerbitan kredit. Meskipun ada
satu Dewan Eksekutif CDM, ada 16 komite gabungan JCM,
121
Government of Japan. Joint Crediting Mechanism. Diakses dari
http://gec.jp/jcm/about/index.html pada 30 Oktober 2018.
82
memungkinkan untuk pendekatan yang disesuaikan untuk masing-masing
negara mitra. Contoh pendekatan yang disesuaikan adalah bahwa JCM
dengan Indonesia mencakup skema pemantauan pembangunan
berkelanjutan. Pada bulan Mei 2015, kredit dikeluarkan untuk proyek-
proyek pertama di bawah JCM dengan Indonesia.122
Setiap komite
bersama memastikan terhadap penghitungan ganda dari pengurangan
emisi. Sebagai contoh, sebuah proyek tidak boleh terdaftar di bawah CDM
dan JCM. Selain itu, peninjauan pihak ketiga atas proposal proyek dan
verifikasi pengurangan emisi memastikan akurasi. Khususnya, JCM
mengharuskan proyek-proyek mengarah pada pengurangan bersih dalam
emisi global. Kredit dari proyek JCM dibagi antara Jepang dan negara
mitra.
Kemudian kemajuan mekanisme yang diusung oleh Jepang,
disadari atau tidak, perlahan mulai menjadi pilihan langkan mitigasi selain
CDM dalam menangani emisi GRK dunia. Mengenai CDM, masa
depannya juga tidak jelas. Pada pertemuan Dewan Eksekutif CDM Maret
2015, dewan sepakat untuk memantau perkembangan yang sedang
berlangsung dari ketentuan Article 6 dan meminta Sekretariat untuk
menyiapkan analisis tentang penggunaan CDM di luar periode komitmen
kedua dari Protokol Kyoto, termasuk sebagai alat untuk kegunaan lain.123
122
Stian Reklev. Japan, Indonesia Issue First Carbon Offset Credits Under
JCM. Carbon Pulse. Diakses dari http://carbon-pulse. com/19918/ pada 31 Oktober 2018. 123
UNFCCC Clean Development Mechanism Executive Board 88th Meeting,
Mar. 7–11, 2016, Meeting Report, 9–11. Diakses dari
http://cdm.unfccc.int/EB/index.html pada 3 November 2018.
83
Sebelumnya, Protokol Kyoto memungkinkan pihak Annex untuk
mencapai target pengurangan emisi melalui investasi di negara
berkembang melalui Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme
investasi dan transfer kredit karbon internasional pertama.124
Menurut
Article 12, pihak Annex dapat melaksanakan proyek pengurangan emisi di
negara berkembang untuk menghasilkan Certified Emission Reduction
(CER) untuk setiap ton karbon yang dikurangi atau dihindari. Contoh
proyek CDM termasuk proyek elektrifikasi pedesaan menggunakan energi
terbarukan. CER yang dapat dijual ini dapat diterapkan menuju target
pengurangan emisi pihak Annex. Agar CDM mencapai targetnya,
pengurangan emisi harus nyata, dapat diukur, dan diverifikasi, serta
tambahan, di atas dan di luar apa yang akan dicapai jika tidak. Kredit dapat
diberikan untuk proyek-proyek yang menyebabkan peningkatan emisi
bersih di negara tuan rumah selama emisi berada pada tingkat yang lebih
rendah daripada yang seharusnya terjadi.125
Di bawah CDM, ketidakseimbangan regional dan penundaan
persetujuan proyek terus menghadirkan tantangan. Sebagian besar proyek
CDM hingga saat ini telah berlokasi di Cina, India, Brasil, dan Meksiko.
Untuk negara kecil dan miskin, proyek tunggal mungkin terlalu kecil
untuk dapat berjalan. Meskipun ada tantangan pelaksanaan, namun, CDM
umumnya dapat dikatakan cukup sukses. Sejak CDM mulai beroperasi
124
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change. Dec. 10, 1997, U.N. Doc FCCC/ CP/1997/7/Add.1, 37 I.L.M. 22 (1998). 125
Carbon Pulse. Baby Steps for Japan’s JCM as It Seeks to Break New Ground.
Diakses dari http://carbon-pulse.com/17597/ pada 30 Oktober 2018.
84
pada tahun 2006, lebih dari 1650 proyek telah terdaftar.126
Selama periode
komitmen pertama Protokol Kyoto, proyek CDM menghasilkan kredit
untuk setiap 2,9 miliar ton CO2.
Jepang menunjukkan dukungannya terhadap CDM melalui
pembelian beberapa ratus juta CER oleh perusahaan Jepang selama
periode komitmen pertama Protokol Kyoto. Setelah Jepang menarik diri
dari Protokol Kyoto, Jepang menciptakan mekanisme baru berdasarkan
interpretasinya terhadap otoritas UNFCCC. Secara khusus, pada COP18
dari Para Pihak, UNFCCC mengadopsi Keputusan 1, yaitu:
“Acknowledges that Parties, individually or jointly, may develop and
implement various approaches, including opportunities for using markets
and non-markets, to enhance the cost-effectiveness of, and to promote,
mitigation actions, bearing in mind different circumstances of developed
and developing countries; . . ."127
Pendekatan semacam itu harus memberikan hasil mitigasi yang
nyata, permanen, tambahan dan diverifikasi, menghindari penghitungan
ganda upaya dan mencapai penurunan bersih dan atau menghindari emisi
GRK.128
126
United Nations Framework Convention on Climate Change. Clean
Development Mechanism. Diakses dari
http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/clean_development_mechanism/items/2718.
php pada 30 Oktober 2018. 127
United Nations Framework Convention on Climate Change. UNFCCC 18th
Conference of the Parties, Nov. 26–Dec. 8, 2012, Report of the Conference of the Parties
Addendum 1, Decision 1. U.N. FCCC/CP/2012/8/Add.2. Diakses dari
http://unfccc.int/resource/docs/2012/cop18/eng/08a01.pdf pada 30 Oktober 2018. 128
United Nations Framework Convention on Climate Change. UNFCCC 17th
Conference of the Parties, Nov. 28–Dec. 11, 2011, Report of the Conference of the
Parties Addendum 1, Decision 2. U.N. FCCC/CP/2011/9/Add.1 diakses dari
http://unfccc.int/resource/docs/2011/cop17/eng/09a01.pdf pada 30 Oktober 2018.
85
Jepang meluncurkan JCM pada tahun 2013 untuk mencapai
sejumlah tujuan. Pertama, JCM memanfaatkan keahlian teknologi Jepang
untuk memfasilitasi difusi teknologi rendah karbon dan berkontribusi pada
pembangunan berkelanjutan negara-negara berkembang. Kedua,
mengkuantifikasi kontribusi Jepang dari pengurangan emisi gas rumah
kaca untuk mencapai target Jepang. Ketiga, JCM mendukung partisipasi
yang lebih besar dan meningkatkan ambisi di antara negara-negara
berkembang. Pada titik pertama, Jepang terkenal dengan keahliannya
dalam inovasi energi, khususnya dalam teknologi batubara dengan
efisiensi tinggi. Setelah krisis minyak era 1970-an, Jepang mendirikan
Organisasi Pengembangan Teknologi dan Energi Baru atau New Energy
and Industrial Technology Development Organization (NEDO) sebagai
organisasi semi- pemerintah untuk meneliti teknologi energi baru. NEDO
meneliti tenaga surya fotovoltaik, angin, dan panas bumi, biomassa dan
energi limbah, pemanfaatan termal, sel bahan bakar, dan teknologi
konservasi energi. NEDO memverifikasi hasil teknis dan melakukan
proyek demonstrasi internasional untuk menyebarluaskan penelitian.129
Selama periode komitmen Protokol Kyoto pertama, NEDO
membantu upaya Jepang untuk mencapai target pengurangan emisinya
menggunakan CDM. Untuk periode pasca-2012, NEDO membantu studi
kelayakan dan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi JCM. Sebagaimana
129
Government of Japan. New Energy and Industrial Technology Development
Organization. Diakses dari http://www.nedo.go.jp/english/introducing_ index.html pada 1
30 Oktober 2018.
86
dibahas di bawah ini, 16 negara mitra Jepang terutama berlokasi di Asia
Tenggara dan banyak dari mereka adalah mitra Asosiasi Negara-negara
Asia Tenggara (ASEAN). 16 negara mitra adalah Mongolia (perjanjian
ditandatangani pada 8 Januari 2013); Bangladesh (19 Maret 2013);
Ethiopia (27 Mei 2013); Kenya (12 Juni 2013); Maladewa (29 Juni 2013);
Vietnam (2 Juli 2013); Lao PDR (7 Agustus 2013); Indonesia (26 Agustus
2013); Kosta Rika (9 Desember 2013); Palau (13 Januari 2014); Kamboja
(11 April 2014); Meksiko (25 Juli 2014); Arab Saudi (13 Mei 2015); Chili
(26 Mei 2015); Myanmar (16 September 2015); dan Thailand (19
November 2015). Baru-baru ini, Jepang dan Filipina menyusun sebuah
memorandum yang mencerminkan keinginan mereka untuk memasuki
JCM ke-17. Negara-negara mitra dalam banyak kasus kekurangan
kapasitas kelembagaan sehingga kemampuan Jepang untuk memberikan
bantuan teknis yang canggih memberikan nilai nyata.
Diketahui Jepang secara terbuka berkomitmen untuk menggunakan
JCM untuk mengurangi 50-100 juta ton karbon pada tahun 2030. Hingga
saat ini, 10 proyek JCM telah disetujui. Pengurangan emisi yang
diantisipasi dari proyek-proyek ini adalah 2000 ton CO2. Pengurangan
emisi yang diantisipasi dari proyek-proyek ini mungkin 1 juta ton CO2,
yang merupakan proporsi kecil dari total emisi Jepang, yang melebihi 1,2
miliar ton CO2 per tahun.
Secara historis, langkah-langkah sukarela di Jepang telah
bermanfaat. Misalnya, selama periode komitmen pertama dari Protokol
87
Kyoto PBB, perusahaan Jepang membeli beberapa ratus juta CER dan
ERUs meskipun hanya memiliki target sukarela. Perkembangan yang
menjanjikan adalah tahun lalu Federation of Electric Power Companies,
asosiasi industri mewakili 10 pembangkit listrik terbesar di Jepang dan 19
pemasok, sepakat untuk membatasi emisi mereka sebesar 35 persen pada
tahun 2030, yang merupakan pengurangan sukarela tetapi signifikan dan
dapat meningkatkan kredit untuk kredit proyek JCM. Rencana rancangan
Jepang mengacu pada kemungkinan penggunaan sistem perdagangan
emisi di masa depan.130
Sejak 2012, Jepang telah memiliki pajak karbon; pendapatan
diarahkan ke efisiensi energi, produksi energi terbarukan, dan bantuan
keuangan untuk pemerintah lokal, di antara tujuan lain.131
Jepang juga
telah menerapkan standar efisiensi energi selama beberapa dekade.
Dengan target dan pembuat kebijakan yang lebih kuat, seperti pajak
karbon yang lebih tinggi, permintaan kredit dari proyek-proyek JCM
mungkin dapat membantu dengan pemenuhan INDC Jepang.
Dengan didukung oleh Paris Agreement pada tahun 2015,
diharapkan dapat mendorong pengoptimalan skema JCM di antara kedua
belah pihak. Dimana Paris Agreement menjadi landasan prosedur yang
cocok bagi Jepang terkait JCM. Pertama, Paragraf 2 dari Article 6
130
Environmental Defense Fund (EDF). Japan: Emission Trading Case Study.
Diakses dari
http://www.ieta.org/resources/Resources/Case_Studies_Worlds_Carbon_Markets/japan_c
ase_ study_may2015.pdf pada 31 Oktober 2018. 131
Government of Japan. Details on the Carbon Tax. Diakses dari
https://www.env.go.jp/en/policy/tax/env-tax/20121001a_dct.pdf pada 1 November 2018.
88
menetapkan bahwa Para Pihak dapat terlibat secara sukarela dalam
pendekatan kooperatif yang melibatkan penggunaan hasil mitigasi yang
ditransfer secara internasional terhadap kontribusi yang ditentukan secara
nasional, mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan memastikan
integritas dan transparansi lingkungan, termasuk dalam pemerintahan.
Ketentuan ini akan menjadi penting karena setidaknya 65 negara
mengindikasikan bahwa mereka akan menggunakan perdagangan karbon
untuk mencapai ikrar pengurangan emisi mereka dan 24 tambahan akan
mempertimbangkan penggunaan perdagangan karbon untuk tujuan ini di
masa depan.132
Kedua, Paragraf 4 dari Article 6 menetapkan aksi mitigasi harus
sesuai dengan tujuan-tujuan berikut:
1. Untuk mempromosikan mitigasi emisi gas rumah kaca sementara
mendorong pembangunan berkelanjutan;
2. Untuk memberikan insentif dan memfasilitasi partisipasi dalam
mitigasi emisi gas rumah kaca oleh badan publik dan swasta yang
diberi wewenang oleh suatu Pihak;
3. Untuk berkontribusi pada pengurangan tingkat emisi di Pihak tuan
rumah, yang akan mendapat manfaat dari kegiatan mitigasi yang
menghasilkan pengurangan emisi yang juga dapat digunakan oleh
132
Anthony Mansell. What’s Ahead for Carbon Markets After COP21. BIORES,
v.10, no.1, 2016. Diakses dari availa http://www.ictsd.org/bridges-
news/biores/news/what‟s-ahead-for-carbon-marketsafter-cop21 pada 2 November 2018.
89
Pihak lain untuk memenuhi kontribusi yang ditetapkan secara nasional;
dan
4. Untuk memberikan mitigasi keseluruhan dalam emisi global.
Paris Agreement mencerminkan partisipasi yang luas serta
menjamin negara-negara maju untuk tetap berkomitmen pada penurunan
emisi hingga tahun 2030 agar tidak lebih dari 2 derajat celcius dan
mempertahankan rata-rata 1,5 derajat celcius suhu bumi. Melalui Intended
Nationally Determined Contribution (INDC), yang diusulkan oleh para
pihak yang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum internasional yaitu prinsip kebersamaan
tetapi berbeda tanggung jawab atau principle equity and common but
differentiated responsibilities dan prinsip menghormati kemampuan dalam
perbedaan kondisi nasional yang ada atau respective capabilities in the
light of different national circumstances.
Secara lebih luas, upaya kemitraan pasca-Paris akan mendapatkan
perhatian yang signifikan. Paris Agreement Article 6 menetapkan dua
ketentuan baru yaitu “memungkinkan ambisi yang lebih tinggi dalam
tindakan mitigasi dan adaptasi mereka” dan “mempromosikan
pembangunan berkelanjutan dan integritas lingkungan.”133
Hal ini menjadi
landasan pengoptimalan JCM sebagai pilihan langkah mitigasi di masa
yang akan datang.
133
UNFCCC 21st Conference of the Parties, Nov. 30– Dec. 11, 2015. Adoption
of the Paris Agreement, Annex, art. 6, U.N. FCCC/CP/2015/L.9/Rev.1. Diakses dari
https://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09r01.pdf pada 2 November 2018.
90
Dari temuan yang telah dijelaskan bahwa situasi internal pasca
bencana Fukushima yang mempengaruhi konsumsi energi berarti bahwa
peninjauan ulang Jepang atas kerangka energinya akan memiliki implikasi
penting bagi kemampuannya untuk mengurangi emisi GRK. Hasil tinjauan
Jepang untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan menerapkan JCM.
Selain menguntungkan Jepang untuk memenuhi usulan INDC-nya, juga
menguntungkan negara-negara mitranya. Selain itu, JCM juga lebih efektif
digunakan sebagai langkah mitigasi emisi GRK dunia jika dibandingkan
dengan CDM, dikarenakan JCM memiliki skema lebih sederhana, JCM
juga mempengaruhi meningkatnya partisipasi negara-negara berkembang.
91
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Emisi gas rumah kaca tahunan Jepang adalah sekitar 1,2 miliar
metrik ton, menjadikan Jepang sebagai penghasil emisi GRK terbesar
kelima di dunia. Di bawah Protokol Kyoto pada UNFCCC, Jepang telah
sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 6 persen di
bawah tingkat 1990 pada tahun 2012. Untuk mencapai tujuan ini, Jepang
memperkenalkan INDC Protokol Kyoto dalam UNFCCC. Beberapa
inisiatif yang diperkenalkan di bawah rencana termasuk promosi rencana
aksi sukarela oleh industri dan perusahaan, meningkatkan efisiensi energi
rumah tangga, transportasi, melaksanakan kampanye nasional untuk
mempromosikan praktik hijau dan berkelanjutan, pembinaan hutan, serta
sebagai memperkenalkan skema Joint Crediting Mechanism pada tahun
2013.
Jepang juga berusaha mencapai target Protokol Kyoto dengan
membeli kredit pengurangan emisi (CER) yang diterbitkan oleh proyek-
proyek pembangunan bersih (CDM). Setiap CER dihitung sebagai satu ton
CO2 dan dapat digunakan oleh negara-negara untuk memenuhi target
GHG mereka di bawah Protokol Kyoto. Jepang memiliki 435 proyek
CDM yang merupakan 11 persen dari semua proyek CDM yang terdaftar.
92
Dalam UNFCCC, Jepang telah mengambil posisi tegas terhadap
kesepakatan untuk menetapkan target lebih lanjut untuk periode komitmen
kedua di bawah Protokol Kyoto kecuali Amerika Serikat dan negara
berkembang seperti China juga siap untuk melakukan bagian mereka.
Terjadinya bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami yang
menyebabkan kerusakan pada Fukushima Daiichi. Hal tersebut
mempengaruhi pasokan energi dalam negeri Jepang yang menyebabkan
Jepang harus melakukan impor bahan bakar fosil. Penggunaan bahan
bakar fosil yang membuat emisi GRK Jepang terus meningkat. Hal ini
menyebabkan Jepang harus bertindak untuk mengatasi perubahan situasi
internalnya.
Hasil tinjauan Jepang tentang kebijakan energi dan perubahan
iklimnya akan menjadi indikator penting apakah Jepang akan dapat
membuat jenis pemotongan emisi GRK-nya yang akan diperlukan untuk
mencapai target INDC mereka. Misalnya, ketidakmampuan untuk
mengatasi penentangan publik terhadap tenaga nuklir kemungkinan akan
menghancurkan target-target ini. Bahkan jika pemerintah dapat
mempertahankan energi nuklir pada saat ini, Jepang akan memerlukan
berbagai langkah perubahan iklim lainnya untuk mencapai target ini.
Pemerintah Jepang telah mempertimbangkan berbagai langkah yang
seharusnya membantu mengurangi emisi GRK. Diketahui bahwa
sebelumnya Jepang menghadapi serangkaian bencana dari gempa bumi,
tsunami dan kehancuran reaktor nuklir di Fukushima. Bencana-bencana ini
93
telah memaksa untuk memikirkan kembali kebijakan energi Jepang ke
depan.
Tantangan yang disajikan oleh energi nuklir, keamanan dan
kontribusi potensial untuk mengatasi perubahan iklim harus menjadi
bagian dari diskusi yang lebih luas tentang peran pasar energi dan energi
dalam membantu negara-negara mencapai ketahanan energi dan
mengurangi GRK mereka. Kemudian hal yang telah disebutkan di atas
menjadi titik awal terjadinya pergeseran kebijakan iklim Jepang, baik
domestik atau internasional. Pergeseran kebijakan yang terjadi, pun
mempengaruhi kepentingan nasional Jepang. Karena keterbatasan energi
yang dimiliki pasca terjadinya bencana Fukushima Daiichi. Serangkaian
kebijakan dan pendekatan Jepang untuk memenuhi kebutuhan energi
domestik dan target INDC dalam UNFCCC, Jepang menawarkan Joint
Crediting Mechanism sebagai „alat‟ untuk mencapai kepentingan
nasionalnya.
Sejarah perkembangan pasar dan karbon tersebut kemudian
memasuki masa implementasi, dimana kemudian berbagai jenis variasi
pasar karbon kemudian juga dikembangkan. Begitu juga adanya berbagai
linking antar pasar dan mekanisme pendukung yang juga ditumbuh-
kembangkan sehingga bukan hanya manfaat penurunan emisi yang
didapatkan, tetapi juga berbagai manfaat ekonomi, teknologi, dan
pengembangan kapasitas. Seiring dengan perkembangan geopolitik global,
maka kemudian juga dibangun berbagai kerjasama antar wilayah dan
94
negara, baik untuk trading maupun crediting. Maka Jepang menawarkan
JCM sebagai jenis baru dari crediting pasar karbon. Kemudian jika dilihat
dari peta negara mitra JCM, Jepang, dengan mitra strategisnya akan sangat
diuntungkan.
JCM yang tujuan dan konsep dasarnya adalah memfasilitasi
penyebaran teknologi, produk, sistem, layanan, dan infrastruktur karbon
rendah, serta implementasi aksi mitigasi, dan berkontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan negara-negara berkembang. Secara tepat
mengevaluasi kontribusi dari Jepang ke pengurangan atau penghapusan
emisi GRK secara kuantitatif dan menggunakannya untuk mencapai target
pengurangan emisinya.
xii
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Aleksius Jemadu. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2008.
Earl Babbie. The Basics of Social Research. (6th ed.). Belmont, California:
Wadsworth Cengage. 2014.
Goldstein, Joshua S. dan Jon C. Pevehouse. International Relations. Longman:
New York. 2010.
Jackson, Robert dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Keohane, R.O., International Institutions: Can Interdependence Work?.
Washington. Foreign Policy, spring Ed. 1998.
Keohane R.O and Nye J.S., Power and Interdependence, 3rd
Edition,
Harrisonburg. Donneley Company. 2001.
Marshall, Brent K.. Globalisation, Environmental Degradation and Ulrich Beck’s
Risk Society. 8th
edition. 2002.
Neuman, W.L. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach,
6th ed. Boston: Allyn and Bacon. 2006.
Miroslav Nincic. The National Interest and Its and Interpretation The review of
Politics, Vol.61, No.1. 1999.
Rourke J. T., International Politics on the World Stage. McGraw. 2001.
Sitepu, P. Anthonius. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu
(2011). Hlm.163.
W. David Clinton. The National Interest: Normative Foundations. The Review of
Politics, 1986.
xiii
JURNAL
Allen, M. R., dkk.. Warming caused by cumulative carbon emissions towards the
trillionth tone. Nature. 458(7242). 2009.
Anthony Lake. Defining the National Interest: Proceedings of the Academy of
Political Sciences, Vol.34,No.2. The Power to Govern: Assessing Reform
in the United States, 1981.
Bashmakov, et.al., Joint Implementation and Clean Development Mechanism as
Project-based Mechanism. in IPCC. 2001.
Bodansky, D., The Copenhagen Climate Change Conference: A Post-Mortem.
American Journal of International Law. 104(2). 2010.
Bogdan and S. Taylor. Looking at the bright side: A positive approach to
qualitative policy and evaluation research. Qualitative Sociology. 1987.
Cooper R.N., Economic Interdependence and Foreign Policy in the Seventies.
World Politics. Vol. 24. 1972.
D. Liverman and S. Billett. Copenhagen and the Governance of Adaptation.
Environment Magazine. 2010.
D. M. Liverman, Conventions of Climate Change: Constructions of Danger and
the Dispossession of the Atmosphere. Journal of Historical Geography.
Vol. 2. 2008.
Depledge. J., United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) Technical paper: Tracing the Origins of the Kyoto Protocol:
An Article-by-Article Textual History. UNFCCC. 2007.
Edenhofer, O., dkk., Costs, Investments and Burden Sharing. Wayback Machine.
2014.
Granger, Morgan. Summary of Climate Change Basics. A Report by the U.S.
Climate Change Science Program and the Subcommittee on Global
Change Research. Washington D.C., USA. National Oceanic and
Atmospheric Administration. 2009.
Grubb M., Kyoto and the Future of International Climate Change Responses:
From Here to Where?. International Review for Environmental Strategies,
Vol. 5. 2004.
Grubb M., The Seven Myths of Kyoto, Cimate Policy, Vol. 1. Cambridge
University. 2001.
xiv
Sugino, M, Morita M, Iwata K, Arimura HT. Multiplier impacts and emission
reduction effects of Joint Crediting Mechanism: Analysis with a Japanese
and International disaggregated input-output table. TCER Working Paper
Series. 2015.
Hoang, MH, Islam MT, Yagi M, Kokubu K. Determinants of the efficiency of
CDM and JCM projects: Viewing from Financial and Environmental
Outcomes. Discussion Paper Series, Kobe University. 2015.
Isiksal, Hüseyin, To What Extend Complex Interdependence Theorists Challenge
to Structural Realist School of International Relations, dalam Alternatives:
Turkish Journal of International Relations. Turkey. Vol.3, No.2&3
Summer and Fall. 2004.
J., Vogler. Environment. Dalam B.White, R. Little dan M. Smith. Issues in World
Politics. New York. 2001.
Kuramochi, T. Review of Energy and Climate Policy Developments in Japan
Before and After Fukushima. Renewable and Sustainable Energy Reviews.
2015.
McMichael, Anthony. Planetary Overload: Global Environmental Change and
the Health of Human Species. New York: Cambridge University Press.
2000.
R. Stavins, J. Zou, dkk., International Cooperation: Agreements and Instruments.
Wayback Machine. Chapter 13 in: Climate Change 2014: Mitigation of
Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge University Press. 2014.
Rineiski, Maschek. Recriticality, a Key Phenomenon to Investigate in Core
Disruptive Accident Scenarios of Current and Future Fast Reactor
Designs. IAEA & Institute for Nuclear and Energy Technologies. 2012.
Sadiq, Aliyu, Abubakar, dkk., An Overview of Current Knowledge Concerned the
Health and Environmental Consequences of the Fukushima Daiichi
Nuclear Power Plant (FDNPP) Accident. Environmental International.
2015.
Solomon, S., dkk. Global Climate Projections. Cambridge University Press. 2007.
Watson, R.T., Synthesis Report. A Contribution of Working Groups I, II, and III to
the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC). Cambride University Press. 2001.
xv
Yamaguchi, Mari. Japan Utility Agrees Nuclear Crisis was Avoidable. Boston.
Associated Press. 2012.
Yun, K.J., Yoon ES. The International Climate Change Regime and Evolution of
South Korea’s Climate Change Policy. Journal of Environmental Policy
and Administration. 2016.
Zaman, Peter, Clean Development Mechanism: CDM and the UNFCCC.
Advocates for International Development (A4ID). 2012
WEBSITE
Asahi Shimbun. Asahi Poll: 59% Oppose Restart of Nuclear Reactors. 18 Maret
2014. Diakses dari
https://ajw.asahi.com/article/0311disaster/fukushima/AJ201403180058
pada 19 September 2018.
Asian Development Bank (ADB). Handbook for Developing Joint Crediting
Mechanism Projects. Diakses dari
https://www.adb.org/documents/handbook-developing-joint-crediting-
mechanism-projects pada 13 Oktober 2018.
Asian Development Bank (ADB). Japan Fund for the Joint Crediting Mechanism
(JFJCM). Diakses dari https://www.adb.org/site/funds/funds/japan-fund-
for-joint-crediting-mechanism pada 15 Oktober 2018.
Asian Development Bank (ADB). JFJCM brochure. 2015. Diakses dari
http://www.adb.org/sites/default/files/publication/177324/jfjcm-brochu
re.pdf pada 11 Oktober 2018.
BPKP. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 Tentang
Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework
C'onvention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim)”.
Diakses dari www.BPKP.go.id pada 17 November 2017
.
Climate Action Tracker, Japan. Diakses dari
http://climateactiontracker.org/countries/japan.html pada 29 September
2018.
Climate Policy Observer: Monitoring Climate Policies, Japan Submits Its
Contribution TO Paris 2015: 47 INDCs Received. 2015. Diakses dari
http://climateobserver.org/japan-submits-its-contribution-to-paris-2015-
47-indcs-received/ pada 24 September 2018
Carbon Pulse. Baby Steps for Japan’s JCM as It Seeks to Break New Ground.
Diakses dari http://carbon-pulse.com/17597/ pada 30 Oktober 2018.
xvi
Environmental Defense Fund (EDF). Japan: Emission Trading Case Study.
Diakses dari
http://www.ieta.org/resources/Resources/Case_Studies_Worlds_Carbon_
Markets/japan_case_ study_may2015.pdf pada 31 Oktober 2018.
Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear
Safety. Stages of Climate Change Negotiations. Diakses dari
https://www.bmu.de/en/topics/climate-energy/climate/international-
climate-policy/climate-conferences/chronicle-of-climate-change-
conferences/ pada 5 April 2018.
France Diplomatie. The COP 21 or the Paris Climate Conference Led to a New
International Climate Agreement, Applicable to All Countries, Aiming to
Keep Global Warming Below, in Accordance with the Recommendations
of the Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Diakses dari
https://www.diplomatie.gouv.fr/french-foreign-policy/climate/2015-paris-
climate-conference-cop21/cop21-the-paris-agreement-in-four-key-points/
pada 22 Juli 2018.
Global Environment Committee, Long-term Low-carbon Vision 2017: Central
Environment Council. Diakses dari http://www.env.go.jp/earth/report/h30-
01/ref02.pdf pada 3 Oktober 2018.
Government of Japan. Details on the Carbon Tax. Diakses dari
https://www.env.go.jp/en/policy/tax/env-tax/20121001a_dct.pdf pada 1
November 2018.
Government of Japan. Joint Crediting Mechanism. Diakses dari
http://gec.jp/jcm/about/index.html pada 30 Oktober 2018.
Government of Japan. New Energy and Industrial Technology Development
Organization. Diakses dari http://www.nedo.go.jp/english/introducing_
index.html pada 1 30 Oktober 2018.
Government of Japan. Submission of Japan’s Intended Nationally Determined
Contribution (INDC). Diakses dari
http://www4.unfccc.int/submissions/INDC/Published%20Documents/Japa
n/1/20150717_Japan%27s%20INDC.pdf pada 26 Oktober 2018.
Mansell, Anthony. What’s Ahead for Carbon Markets After COP21. BIORES,
v.10, no.1, 2016. Diakses dari availa http://www.ictsd.org/bridges-
news/biores/news/what’s-ahead-for-carbon-marketsafter-cop21 pada 2
November 2018.
xvii
Mie, Ayako dan Jesse Johnson. Amid South China Sea Spat, Japan Foreign Aid
White Paper Stresses Importance of Sea Lanes. Japan Times. Mar. 11,
2016 Diakses dari http://
www.japantimes.co.jp/news/2016/03/11/national/politics-diplomacy/amid-
south-china-sea-spatjapan-foreign-aid-white-paper-stresses-
importancesea-lanes/#.VwBfKVJGN0l pada 2 November 2018.
Harvey, Fiona. The Guardian. UN: methane released from melting ice could push
climate past tipping point. 2012. Diakses dari
http://www.theguardian.com/environment/2012/nov/27/dohaclimate-
conference-un-methane pada 19 Desember 2017.
Hay, Mark. Five Years After Fukushima, Japan’s Nuclear Power Debate Is
Heating Up. Diakses dari https://www.good.is/articles/japan-nuclear-
power-debate-heats-up pada 19 Oktober 2018.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Understanding Climate
Change: 22 years of IPCC Assessment. Diakses dari
https://www.ipcc.ch/pdf/press/ipcc_leaflets_2010/ipcc-
brochure_understanding.pdf pada 2 April 2018.
Japan Times. Japan Meets Kyoto Goal via Credit Buys. Diakses dari
http://www.japantimes.co.jp/news/2013/11/17/national/japan-meets-
kyoto-goal-via-credit-buys pada 25 Oktober 2018.
JETRO, Japan’s Solar PV Market Overview. Diakses dari
https://www.jetro.go.jp/ext_images/_Events/ldn/Japan_solar_PV_market_
overview.pdf pada 2 Oktober 2018.
Joint Crediting Mechanism. About the Mechanism. Diakses dari
https://www.jcm.go.jp/about pada 15 Oktober 2018.
McCarthy, Michael. Independent. Japan Derails Climate Talks by Refusing to
renew Kyoto Treaty. Independent (2011). Diakses dari
https://www.independent.co.uk/environment/climate-change/japan-derails-
climate-talks-by-refusing-to-renew-kyoto-treaty-2148769.html pada 5 Juni
2018.
Ministry of Economy, Trade and Industry Japan. Best Practice Under the
Voluntary Action Plans. 2015. Diakses dari
http://www.meti.go.jp/english/policy/energy_environment/global_warmin
g/voluntary_approach/pdf/action_plan_eng.pdf pada 6 Oktober 2018.
xviii
Ministry of Economy, Trade and Industry Japan. 2012 Energy Supply and
Demand Report. Diakses dari
http://www.meti.go.jp/english/press/2014/0415_03.html pada 3 Oktober
2018.
Ministry of the Environment Japan. Japan's National Greenhouse Gas Emissions
in Fiscal Year 2013 (Preliminary Figures). 2014. Diakses dari
http://www.env.go.jp/en/headline/2132.html pada 6 Oktober 2018.
Ministry of the Environment Japan. Japan's Progress in Developing its Intended
Nationally Determined Contribution. Diakses dari
http://www.env.go.jp/en/earth/cc/jpdindc.html pada 7 Oktober 2018.
Ministry of the Environment Japan. Recent Development of the Joint Crediting
Mechanism (JCM). 2016. Diakses dari
http://www.mmechanisms.org/document/20160622_JCM_ goj_e.pdf pada
11 Oktober 2018.
Ministry of the Environment Japan. State of Japan's Greenhouse Gas Emissions.
2014. Diakses dari https://www.env.go.jp/en/wpaper/1997/ch1-2.html
pada 22 September 2018.
Ministry of the Environment Japan. Statement by Nobuteru Ishihara, Japanese
Minister of the Environment at COP19/CMP9. Diakses dari
http://www.env.go.jp/en/earth/cc/statement131120.pdf pada 22 September
2018.
Ministry of the Environment Japan. Statement by Yoshio Mochizuki, Minister of
the Environment of Japan at COP 20. Diakses
http://www.env.go.jp/en/earth/cc/cop20_statement_eng.pdf dari pada 7
Oktober 2018.
MOFA. Summary and Evaluation of COP 18/CMP 8(the 18th Conference of
Parties to the UNFCCC and the 8th Session of the Converence of the
Parties Serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protokol. 2012.
Diakses dari
http://www.mofa.go.jp/policy/environment/warm/cop/cop18/summary.htm
l pada 25 Januari 2018.
National Bureau of Asian Research. Energy Mix in Japan – before and after
Fukushima. 2013. Diakses dari
http://www.nbr.org/downloads/pdfs/eta/PES_2013_handout_kihara.pdf
pada 19 September 2018.
xix
Nikkei Asian. Japan’s ODA Paper Stresses ASEAN Support for Safety of Vital
Sea Lane. Diakses dari http://asia.nikkei.com/Politics-
Economy/International-Relations/Japan-s-ODA-paperstresses-ASEAN-
support-for-safety-of-vitalsea-lane?page=1 pada 1 November 2018.
Reklev, Stian. Japan, Indonesia Issue First Carbon Offset Credits Under JCM.
Carbon Pulse. Diakses dari http://carbon-pulse.com/19918/ pada 31
Oktober 2018.
Roux, Andre Le. News 24. Japan on Kyoto Protocol. Diakses dari
http://www.news24.com/Opinions/QAndA/Japan-on-Kyoto-Protocol-
20111205 pada 22 Oktober 2018.
Science Council for Global Initiatives. Paris COP21 Summary. Diakses dari
http://www.thesciencecouncil.com/index.php/tom-blees-president/295-
paris-cop21-summary pada 21 Juli 2018.
Shimbun, Yomiuri. Asia News. Shinzo Abe, All-inclusive Endeavors Crucial in
Carrying Out ODA Strategically. Asian News. Diakses dari
http://www.asianews.network/content/editorial-all-inclusive-endeavours-
crucial-carryingout-oda-strategically-12331 pada 1 November 2018.
Shimbun, Yomiuri. Japan News. NRA Sees “No Safety Problem” with Nuclear
Plants. Diakses dari http://thejapan-news.com/news/article/0002885516
pada 19 Oktober 2018.
Strickland, Eliza. What Went Wrong in Japan’s Nuclear Reactors. Diakses dari
http://spectrum.ieee.org/techtalk/energy/nuclear/explainer-what-went-
wrong-injapans-nuclear-reactors pada 21 Oktober 2018.
SDG Knowledge Hub. 19th
Session of the Conference of the Parties to the
UNFCCC. Diakses dari http://sdg.iisd.org/events/conference-of-the-
parties-to-the-unfccc/ pada 17 Juli 2018.
Stokes, Bruce, Richard Wike, and Jill Carle. Global Concern about Climate
Change, Broad Support for Limiting Emissions. Pew Research Center. 5
November 2015. Diakses dari
http://www.pewglobal.org/files/2015/11/Pew-Research-Center-Climate-
Change-Report-FINAL-November-5-2015.pdf pada 18 Agustus 2018.
U-Car Guide Web. Sales of New Cars in Japan. 2015. Diakses dari. http://u-
carguide.com/datalibrary/market/new-car/2014/hybrid201401-06 pada 4
Oktober 2018.
xx
UN Treaty Database, Kyoto Protocol to the United Nations Framework
Convention on Climate Change Retrieved. Diakses dari
https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=
XXVII-7-a&chapter=27&lang=en pada 5 April 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 21st
Conference of the Parties, Nov. 30– Dec. 11, 2015. Adoption of the Paris
Agreement, Annex, art. 6, U.N. FCCC/CP/2015/L.9/Rev.1. Diakses dari
https://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09r01.pdf pada 2
November 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). An
Introduction to the Kyoto Protocol Compliance Mechanism. Diakses dari
https://unfccc.int/process/kyoto-protocol/compliance-under-kyoto-
protocol/introduction pada 5 April 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Clean
Development Mechanism. Diakses dari
http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/clean_development_mechani
sm/items/2718.php pada 30 Oktober 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Clean
Development Mechanism Executive Board 88th Meeting, Mar. 7–11,
2016, Meeting Report, 9–11. Diakses dari
http://cdm.unfccc.int/EB/index.html pada 3 November 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Doha
Amendment To The Kyoto Protocol Doha, 8 December 2012 Pasal 3.
2012. Diakses dari
http://treaties.un.org/doc/Publication/CN/2012/CN.718.2012-Eng.pdf pada
21 November 2017.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). List of
Non-Annex I Parties to the Convention. Diakses dari
https://unfccc.int/process/parties-non-party-stakeholders/parties/list-non-
annex-i-parties-convention pada 18 Mei 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Parties
and Observers. Diakses dari https://unfccc.int/parties-observers pada 3
Mei 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Schedule
of Events. Diakses dari
http://unfccc.int/files/meetings/warsaw_nov_2013/application/pdf/cop19c
mp9_overview_schedule.pdf pada 21 Juli 2018.
xxi
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Status of
Ratification of the Convention. Diakses dari
https:unfccc.int/essential_background/convention/status_of_ratification/ite
ms/2631.php pada 2 April 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), The
Mechanisms under the Kyoto Protocol: Emissions Trading, the Clean
Development Mechanism and Joint Implementation, di akses dari,
http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/items/1673.php pada 21
November 2017.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), The
Secretariat. Diakses dari
https://unfccc.int/secretariat/history_of_the_secretariat/items/1218.php
pada 2 April 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
UNFCCC 17th Conference of the Parties, Nov. 28–Dec. 11, 2011, Report
of the Conference of the Parties Addendum 1, Decision 2. U.N.
FCCC/CP/2011/9/Add.1 diakses dari
http://unfccc.int/resource/docs/2011/cop17/eng/09a01.pdf pada 30
Oktober 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
UNFCCC 18th Conference of the Parties, Nov. 26–Dec. 8, 2012, Report of
the Conference of the Parties Addendum 1, Decision 1. U.N.
FCCC/CP/2012/8/Add.2. Diakses dari
http://unfccc.int/resource/docs/2012/cop18/eng/08a01.pdf pada 30
Oktober 2018.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Warsaw
International Mechanism for Loss and Damage. Diakses dari
https://unfccc.int/topics/adaptation-and-resilience/workstreams/loss-and-
damage-ld/warsaw-international-mechanism-for-loss-and-damage pada 21
Juli 2018.
Wall Street Jurnal. Rapor Merah Protokol Kyoto. 2013. Diakses dari
http://indo.wsj.com/posts/2013/01/08/rapor-merah-protokol-kyoto/ pada
20 Januari 2018
Watanabe. Chisaki, dkk., Japan Sees Clean Energy Edging Out Nuclear Power in
2030. Bloomberg. Diakses dari
http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-04-28/japan-expects-
renewable-energy-to-edge-outnuclear-power-by-2030 pada 28 Oktober
2018.
xxii
World Nuclear Association, Japan's Energy Situation and International
Dependence. 2015. Diakses dari http://www.world-
nuclear.org/information-library/country-profiles/countries-g-n/japan-
nuclear-power.aspx pada 21 September 2018.
World Resources Institute, Japan Releases Underwhelming Climate Action
Commitment. 2015. Diakses dari https://www.wri.org/blog/2015/07/japan-
releases-underwhelming-climate-action-commitment pada 1 Oktober
2018.
ARTIKEL DAN BERITA
Al Jazeera. Climate summit in overtime due to deadlock. Diakses dari
https://www.aljazeera.com/news/europe/2013/11/climate-summit-
overtime-due-deadlock-201311234643975109.html pada 18 Juli 2018.
Forsythe, Michael, Jane Perlez. South China Sea Buildup Brings China Closer to
Realizing Control, N.Y. TIMES, Mar. 8, 2016. Diakses dari
http://nyti.ms/1X9QPZt pada 1 November 2018.
IEA. Global Gaps in Clean Energy Research, Development and Demonstration.
OECD/International Energy Agency: Paris, France. 2009.
IEA. World Energy Outlook 2010. OECD, International Energy Agency: Paris.
2010.
Koatkutsu, K, Umemiya. Realising additional emissions reductions through the
Joint Crediting Mechanism (JCM). IGES Working Paper. 2015.
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Dec. 10, 1997, U.N. Doc FCCC/ CP/1997/7/Add.1, 37 I.L.M. 22. 1998.
Masakazu Toyoda. Energy Challenges and Policies for Japan in the Dramatically
Changing Energy Landscape. Institute for Energy Economics Japan. 2016.
UNESCO and UNFCCC, Action for climate empowerment: Guidelines for
accelerating solutions through education, training and public. UNESCO
and UNFCCC. 2011.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Decision
1/CP.20, Lima Call for Climate Action, FCCC/CP/2014/10/Add.1.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Article 3,
Principles. United Nations. 1993.
xxiii
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Article 4,
Commitments. United Nations. 1992.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sixth
Compilation and Synthesis of Initial National Communications from
Parties not Included in Annex I to the Convention. Geneva, Switzerland:
United Nations Office. 2005.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Compilation of Information on Nationally Appropriate Mitigation Actions
to be Implemented by Parties Not Included in Annex I to the Convention.
Geneva, Switzerland: UN Office, Library record. 2011.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Quantified Economy-wide Emission Reduction Targets by Developed
Country Parties to the Convention: Assumptions, Conditions,
Commonalities and Differences in Approaches and Comparison of the
Level of Emission Reduction Efforts. Geneva, Switzerland: UN Office.
Library record. 2012.
Yu, J, Mallory LM. An Optimal Hybrid Emission Control System in a Multiple
Compliance Period Model. Resource and Energy Economics. 2015.