KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM...

69
KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.013-022/PUU-IV/2006 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Khairul Atma NIM: 1112048000061 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H/ 2017 M

Transcript of KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM...

Page 1: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM

MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO.013-022/PUU-IV/2006

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Khairul Atma

NIM: 1112048000061

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1438 H/ 2017 M

Page 2: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia
Page 3: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia
Page 4: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia
Page 5: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

ABSTRAK

KHAIRUL ATMA. NIM 111204800061. KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT DALAM MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO.013-022/PUU-IV/2006 PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi

Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. 1439 H/ 2017 M. x + 59 halaman + 2 halaman Daftar Pustaka.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana

kepatuhan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan putusan Mahkamah

Konstitusi. Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan putusan mahkamah

konstitusi tercantum dan diamanatkan oleh Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Metode penelitian yang digunakan

dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan normatif

empiris. pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan

hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode

penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif

(undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi

dalam suatu masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan

hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Hasil dari analisis dan penelitian ini

mengungkap bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat

belum menjadi jaminan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan keputuhan

terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

Kata Kunci : DPR, Anggota DPR, Mahkamah Konstitusi, Konstitusi,

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, PMK No 013-022/PUU-IV/2006,

Page 6: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas

segala rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJALANKAN

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.013-022/PUU-IV/2006 dengan lancar dan baik.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada baginda Nabi Muhammad SAW

beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.

Peneliti juga ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang

tua tercinta H.Mashurdi H.S dan Hj. Atik Ekawati yang telah sepunuh hati mendukung peneliti

tanpa henti hingga detik ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu peneliti baik secara

materiil maupun immaterial. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.,Selaku Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.

Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Page 7: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

vi

3. Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan

waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan sabar kepada peneliti

selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Terimakasih tak

terhingga untuk bapak Abu Thamrin, segala kebaikan dan ketulusan hati bapak tak akan

pernah peneliti lupakan seumur hidup.

4. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang selama ini telah memberikan ilmu

selama peneliti melaksanakan studi

5. Kepala perpustakaan yang telah memfasilitasi serta melayani peneliti dengan baik

sehingga peneneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar

6. Segenap teman-teman HMI Komfaksy, HMPS Ilmu Hukum, AMPUH, PSHK, MCC UIN

JKT, BLC, Senat Fakultas Syariah dan Hukum dan seluruh teman-teman.

7. Seluruh pihak yang telah membantu peneliti sejauh ini yang tidak dapat peneliti sebutkan

satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.

Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila

terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 17 Desember 2017

Penulis

Khairul Atma

Page 8: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................................ iii

ABSTRAK ........................................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... v

DAFTAR ISI........................................................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah ........................ 6

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 7

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................................... 8

E. Metode Penelitian......................................................................................................... 10

F. Kerangka Teori dan Konseptual................................................................................... 12

G. Sistematika Penulisan .................................................................................................. 13

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF PEMBENTUK

UNDANG – UNDANG

A. Teori Perwakilan .......................................................................................................... 15

B. Landasan Yuridis Dewan Perwakilan Rakyat .............................................................. 19

C. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat ................................................................ 21

D. Pengujian Konstitusionalitas Suatu Undang-UndanG ................................................. 24

E. Mahkamah Konstitusi Sebagai Penguji Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar 1945 ...................................................................................................... 26

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI

SEBAGAI PENGUJI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

A. Landasan Yuridis Mahkamah Konstitusi ..................................................................... 30

B. Peran Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi .................................................. 30

C. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai reprsentatif rakyat yang wajib meng-

ejawantah-kan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-

IV/2006 pada Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ............................................. 37

Page 9: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

viii

BAB IV TITIK SINGGUNG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM

MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 ...................... 39

B. Keharusan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Putusan

Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006) ................................. 44

C. Progresifitas Mahkamah Konstitusi Dari Negatif Legislator Menjadi Positif

Legislator ....................................................................................................................... 47

D. Penerapan Judicial Activism dalam Semangat Progresifitas Hukum demi

Menggali Nilai-Nilai Moral dan Keadilan pada Pengujian Pasal Penghinaan

Presiden ......................................................................................................................... 49

E. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Harmonisasi Peraturan Perundang-

Undangan ....................................................................................................................... 52

F. Implikasi Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Tidak Patuh dalam

Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi .......................................................... 54

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 56

B. Saran ........................................................................................................................................ 57

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 58

Page 10: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini telah banyak mengalami

perubahan yang sangat penting dan mendasar, perubahan tersebut

merupakan hasil amandemen Undang-undang Dasar 1945 untuk

selanjutnya disebut UUD yang telah dilakukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) pada tahun 1999 hingga 2002. Perubahan tersebut dilatar

belakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintah yang

demokratis dengan checks and balances yang setara dan seimbang diantara

cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan,

serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.

Pasca Amandemen UUD telah terjadi pergeseran sistem

ketatanegaraan dalam penyelenggaraan negara, dengan tidak ada lagi

lembaga yang supreme yang sebelumnya diperankan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat serta adanya penegasan pemisahan kekuasaan

dan prinsip check and balances perubahan tersebut berimplikasi pada

kewenangan untuk menjaga konstitusi dan menilai pelaksanaan konstitusi

sebagai hukum tertinggi (the law of the land).1

Seperti telah dikemukakan, perubahan terhadap UUD telah

mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan yang

berlaku, perubahan seperti meliputi jenis dan jumlah lembaga negaranya,

serta sistem perwakilan, dan sistem peradilan.2

1Tim Penulis Mahkamah Konstitusi, Cetak biru Membangun MK Sebagai Institusi

Peradilan Konstitusi yang modern dan terpercaya (Jakarta, Mahkamah Konstitusi Pers 2004), h. 109.

2Sri soemantri, Hukum dan Kuasa Konstitusi (Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum

Nasional ), h. 16.

Page 11: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

2

Indonesia merupakan negara ke-78 yang memiliki lembaga pengadilan

konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil sebuah

undang-undang. Negara Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali

memperkenalkan fungsi pengadilan konstitusionalitas.3

Melalui sejarah

perdebatan yang panjang di BPUPKI terjadi perdebatan antara Soepomo dan

Yamin yang menyimpulkan bahwa judicial review tidak di perlukan. Pada

awal orde baru, MPRS membentuk sebuah panitia Ad Hoc tetang judicial

review, tetapi hasilnya ditolak oleh pemerintah, penerimaan pemerintah atas

gagasan itu baru dituangkan secara terbatas dan setengah hati (karena tak

dapat diimplementasikan) di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

yang membuka peluang uji materi untuk peraturan- peraturan perundang-

undangan dibawah undang-undang.4

Hak uji undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah

Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang sejajar dengan pembuat undang-

undang selain didasari oleh pandangan perlunya checks and balances antar

lembaga negara, nampaknya mengacu pula pada alasan Jhon Marshall, ketua

Mahkamah Agung Amerika Serikat. Jhon Marshall untuk pertama kalinya

dalam sejarah ketatanegaraan melakukan judial review dengan membatalkan

judicial act 1789 karena bertentangan dengan konstitusi Amerika.5

Pada perubahan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang ketiga, tahun 2001,

memberikan penegasan bahwa kekuasaan kehakiman adalah lembaga yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan

keadilan; sedangkan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa

3Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta, Prenda Media

Group), h. 109.

4Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Kontitusi (Jakarta,

Rajagrafindo persada), h. 98.

5Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Kontitusi (Jakarta,

Rajagrafindo persada 2011 ), h. 99.

Page 12: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

3

kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi dengan kompetensi yang berbeda.6

Secara konseptual gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.

Mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam

hal menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus

pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum, selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan

putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh

presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD.7

Seluruh kewenangan yang ada pada Mahkamah Konstitusi pada

prinsipnya untuk menegakan keadilan dan hukum konstitusional, yang

dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berada digarda

terdepan atas potensi pelanggaran Hak-Hak yang paling mendasar dari setiap

warga masyarakat.8

Peradilan konstitusi memiliki kekuasaan untuk menyatakan undang-

undang yang ditetapkan melalui tindakan bersama legislatif dan eksekutif

batal dan tidak berlaku apabila dinilai bertentangan dengan UUD, bahkan di

penegak hukum telah muncul kecemasan bahwa Mahkamah Konstitusi telah

menjadi superbody yang mengatasi lembaga-lembaga lain karena secara

sepihak suka menafsirkan UUD tanpa dapat dipersoalkan karena hakekatnya

putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat maka oleh karena

6

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional diberbagai Negara, (Jakarta, Kontitusi pers 2005) h. 8.

7Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta, Prenda Media

Group), h. 110.

8Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi studi tentang ajudikasi konstitusional sebagai

mekanisme penyelesaian sengketa Normatif (Jakarta, Pradnya Paramita 2006) h. 264.

Page 13: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

4

itu untuk mengatasi kemungkinan persengketaan antar lembaga negara yang

di atur didalam UUD yang memiliki derajat yang sama Mahkamah Konstitusi

sebagai lembaga penyeimbang dan pemutus sengketa antara lembaga negara

yang bersengketa tersebut.9

Meskipun kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi final dan mengikat

namun sering kali putusan Mahkamah Konstitusi tidak dijalankan dengan baik

oleh Dewan Perwakilan Rakyat didalam suatu peraturan yang dibentuknya

Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, yang dapat dikatakan

mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan

undang-undang.10

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006

mengenai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden R.I terhadap UUD

1945. Konklusi Mahkamah Konstitusi menyatakan kehormatan pribadi, nama

baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah

hak konstitusional (constitutional right) yang harus dilindungi hukum.

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-

undang (Pasal 20), perubahan ini memindahkan titik berat kekuasaan yang

sebelumnya berada ditangan presiden 1945 menjabarkan kekuasaan Dewan

Perwakilan Rakyat :

1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-

undang.

2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat

dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

9Moh.mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta,

Pustaka LP3ES 2007), h. 98.

10 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD

1945 (Yogyakarta, FH UII Press 2005), h. 170.

Page 14: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

5

3) Jika rancangan undang-undang tersebut tidak mendapat persetujuan

bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam

persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui

bersama untuk menjadi undang-undang.

5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama

tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam tiga puluh hari semenjak

rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang

tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.11

Secara umum, dipahami oleh masyarakat bahwa fungsi Dewan

Perwakilan Rakyat meliputi fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi

anggaran. Dari ketiga fungsi itu biasanya yang paling menarik perhatian para

politisi untuk di perbincangkan adalah tugas sebagai pemrakarsa pembuat

undang-undang.

Disinilah terjadi titik singgung antara Mahkamah Konstitusi dan

Dewan Perwakilan Rakyat yang mana Mahkamah Konstitusi memiliki

wewenang sebagai penafsir dan penguji suatu undang-undang terhadap UUD

yang mana kerapkali undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan

Rakyat bersama dengan pemerintah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi

dengan alasan undang undang tersebut bertentangan dengan kaedah–kaedah

UUD.12

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang telah memiliki hukum

tetap serta mengikat sering tidak ditindak lanjuti oleh Dewan Perwakilan

Rakyat selaku lembaga legislatif. Sementara sangatlah jelas ketentuan didalam

Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang

muatan yang harus di atur didalam undang-undang :

11

Ni’matul Huda, Hukum tata negara Indonesia (Jakarta, Rajagrafindo Persada 2005) h. 166.

12Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi studi tentang ajudikasi konstitusional sebagai

mekanisme penyelesaian sengketa Normatif (Jakarta, Pradnya Paramita 2006) h. 266.

Page 15: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

6

1) Peraturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

2) Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang

3) Pengesahan perjanjian internasional tertentu

4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat

Sudah sangat jelas dalam presepsi Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-

Undang Nomor 12 tahun 2011 memerintahkan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat untuk menindak lanjuti putusan dari Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

hukum dalam bentuk skripsi dengan judul “KEPATUHAN DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJALANKAN PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI”

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, dapat ditarik beberapa

kesimpulan yang berkaitan dengan Kepatuhan dari Dewan Perwakilan

Rakyat didalam menidaklanjuti putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah

Konstitusi:

a. Kekuatan dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat

tidaklah menjadi jaminan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

ditindak lanjuti secara benar oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Lemahnya Mahkamah Konstitusi dikarenakan tindak lanjut terhadap

putusan Mahkamah Konstitusi minim dan cenderung diabaikan.

c. Meskipun amanat Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 muatan peraturan perundang undangan yang dibentuk

Dewan Perwakilan Rakyat harus bermuatan Putusan Mahkamah

Konstitusi tidak diilhami dengan baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Page 16: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

7

sehingga putusan Mahkamah Konstitusi diputus tanpa ada

pengimplementasian yang dijawantahkan didalam sebuah peraturan

perundang-undangan.

d. Tiadanya kepastian hukum yang terjadi terhadap putusan Mahkamah

Konstitusi yang tidak ditindak lanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya permasalahan yang peneliti singgung dalam

indentifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah skripsi ini

membatasi pada tingkat kepatuhan Dewan Perwakilan Rakyat didalam

menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan

mengikat. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-

IV/2006 mengenai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden R.I.

3. Rumusan Masalah

Agar penelitian berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat

perumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana kekuatan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

013-022/PUU-IV/2006 berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan?

b. Bagaimana implikasi apabila jika tidak dilaksanakannya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat

dirumuskan sebagai berikut :

a. Untuk menganalisis kekuatan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 013-022/PUU-IV/2006 berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Page 17: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

8

b. Untuk menganalisis implikasi hukum jika Pasal 10 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 12 tahun 2011 tidak dilaksanakan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat.

2. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan

sumbangsih positif dan manfaat dalam segi praktisi dan akademisi, yaitu:

a. Secara Akademisi

Penelitian ini dapat dijadikan sebuah landasan ataupun aspek

penelitian pada kajian keilmuan terkhusus hukum tata negara. Selain

menjadi landasan ataupun aspek, penelitian ini juga ditujukan untuk

menjadi bahan pendukung untuk penelitian terhadap seluruh kalangan

terutama akademisi, mahasiswa, ataupun masyarakat umum.

b. Secara Praktisi

Memberikan informasi bagi seluruh stakeholder atau para pemangku

kebijakan sekaligus seluruh akademisi secara luas mengenai tingkat

kepatuhan DPR didalam menindak lanjuti Putusan dari Mahkamah

Konstitusi ataupun kalangan akademisi untuk melakukan sebuah

tindakan konkrit yang memang diperlukan agar lembaga representatif

rakyat tersebut tidak keluar dari jalur peraturan perundang-undangan.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian

yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi ataupun penelitian-penelitian

lainnya yang pernah membahas terkait kepatuhan DPR didalam

menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi. Berikut, beberapa penelitian

tersebut:

Page 18: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

9

1. Judul Skripsi; Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan

Rakyat Dalam Pengangkatan Hakim Agung: analisis putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang seleksi calon Hakim Agung di

DPR yang ditulis oleh Diah Savitri dengan NIM 1110048000042;

Mahasiswa konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Program Studi Ilmu

Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Tahun 2014. Bahwa dalam skripsi ini ditulis atas reaksi putusan

Mahkamah Konstitusi yang memjelaskan secara komperhensif tentang

kekuasaan yudikatif dan legislatif di Indonesia, sedangkan skripsi yang

saya tulis kali ini berbeda, yaitu mengenai kepatuhan lembaga legislatif

yang pada konteks ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam

menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Judul Skripsi; Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislator pada Uji

Materil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia yang

ditulis oleh Agung Sudrajat dengan NIM 0806461096; Mahasiswa Ilmu

Hukum dengan konsentrasi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum,

Universitas Indonesia, Tahun 2012. Bahwa dalam skripsi ini lebih

mempertajam terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang

mengarah kepada progresifitas dari lembaga yudikatif itu sendiri,

sementara skripsi yang saya tulis, mengenai kepatuhan lembaga legislatif,

menaati lembaga penguji undang-undang (Mahkamah Konstitusi) sebagai

penjelmaan ataupun penafsir konstitusi agar produk undang-undang

ataupun hukum yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya

3. Judul Buku; Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie yang Menjelaskan terkait

dengan kedudukan lembaga negara, termasuk kedudukan DPR RI pasca

reformasi berdasarkan UUD 1945 dan tugas serta fungsi dan

wewenangnya, sedangkan skripsi yang saya tulis mengenai kepatuhan

Page 19: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

10

Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan putusan Mahkamah

Konstitusi.

4. Judul Jurnal; Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur

Ketatanegaraan di Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,

SH. yang menjelaskan terkait dengan komparasi lembaga yudikatif

tersebut (Mahkamah Konstitusi) dengan lembaga kepresidenan dan

lembaga legislatif, sedangkan skripsi yang saya tulis berupa hubungan

antara lembaga legislatif (DPR) kepada lembaga yudikatif (Mahkamah

Konstitusi) yang kali ini wajib meng-ejawantahkan putusannya.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis

dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan

konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.13

Penelitiam hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan pula pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala

yang bersangkutan.14

13

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat

(Jakarta: Rajawali, 2009, cet.Ke-11), h. 14.

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Uinversitas Indonesia Press,

2007, cet.Ke-3), h. 43.

Page 20: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

11

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada

norma hukum yang terdapat pada peraturan Perundang-undangan dan

keputusan pengadilan.15

Serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau

juga yang menyangkut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat,

adapun sumber-sumber yang dilakukan untuk mendukung penelitian ini:

1. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan bahan

hukum utama yang belum pernah di olah oleh orang lain yang terdiri

dari:

1) Undang-undang Dasar 1945 pasca amandemen.

2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan

Pembentukan Perundang-undangan.

3) Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indoneia (DPD-RI) dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPRD).

b. Bahan Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua duplikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi hukum meliputi

buku-buku hukum, jurnal hukum, skripsi, dan komentar-komentar para

ahli dan pakar hukum tata negara.

c. Bahan Hukum Tersier

15

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2011, cet.Ke-3) h. 142.

Page 21: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

12

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan informasi

lebih lanjut terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder antara lain

kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum, majalah, koran,

blog dan lainnya.

2. Prosedur Pengumpulan Data

Adapun bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

atau bahkan bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian

rupa, sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis

untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara deduksi yakni

menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke suatu

permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih kongkrit.16

3. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Bahan pengolahan data penelitian menelaah sistematika peraturan

perundang-undangan, yang dilakukan adalah mengumpulkan peraturan di

bidang yang berkaitan dengan penelitian. Selanjutnya diadakan analisa

dengan mempergunakan, pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum,

yang mencakup: a. Subyek hukum, b. Hak dan kewajiban, c. Peristiwa

hukum, d. Hubungan hukum, dan e. Obyek hukum.

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan buku “Pedoman Penulisan

Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

Bahwa dalam membahas hal ini, membutuhkan penjelasan definisi baik secara

teori ataupun secara harfiah untuk mengurai konsep yang dijelaskan dalam

pembahasan:

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ( Jakarta: Kencana, 2011, cet.Ke-8 h.42.

Page 22: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

13

1) Dewan Perwakilan Rakyat merupakan salah satu bentuk demokrasi secara

tidak langsung atau dalam hal ini diwakilkan melalui orang-orang yang

terpilih secara sah melalui pemilihan umum untuk menyuarakan aspirasi-

aspirasi rakyat dalam pemerintahan.

2) Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan yang menegakan

supremacy of the constitution di Indonesia, yang mana dalam hal ini

lembaga peradilan tersebut menjaga penuh kesucian UUD 1945 dari

adanya produk hukum (dalam hal ini Undang-Undang) yang bertentangan

dengannya.

3) Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang menurut Pasal 24C

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan putusan yang bersifat

akhir dan mengikat bagi siapapun yang salah satunya untuk menguji

produk undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.

4) Revisi Undang-Undang merupakan proses legislative review yang

dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau merupakan salah satu

kekuasaan legislatif dengan materi muatan salah satunya menurut Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan

Perundang-Undangan adalah salah satunya tindak lanjut atas Putusan

Mahkamah Konstitusi.

G. Sistematika Penulisan

Untuk dapat menuangkan hasil penelitian kedalam bentuk penulisan

yang benar, tersistematis dan teratur, maka skripsi ini disusun dengan

sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab sebagai berikut :

BAB 1 : Bab satu menjelaskan tentang latar belakang, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian

(Review) studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Page 23: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

14

BAB II : Bab dua ini akan menjelaskan tentang tinjauan teoritis mengenai

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif pembentuk

undang-undang, teori responsif, teori perwakilan, landasan yuridis

Dewan Perwakilan Rakyat dan fungsi legislasi Dewan Perwakilan

Rakyat.

BAB III : Bab tiga akan menjelaskan lebih dalam lagi mengenai Mahkamah

Konstitusi sebagai penguji peraturan perundang-undang, landasan

yuridis Mahkamah Konstitusi, peran fungsi dan wewenang

Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi sebagai penguji

undang-undang terhadap UUD 1945, pengujian konstitusionalitas

suatu UU.

BAB IV : Bab empat akan menjelaskan tentang titik singgung DPR didalam

menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, ambiguitas posisi

positif dan negatif legislator sehingga terjadi ketidakpastian

hukum, analisis penulis Keharusan Dewan Perwakilan Rakyat

didalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, analisa

kasus putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembatalan norma

terkait penghinaan terhadap presiden.

BAB V : Bab lima akan menjelaskan tentang kesimpulan dan saran

berdasarkan bab-bab sebelumnya

Page 24: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF PEMBENTUK UNDANG -

UNDANG

A. Teori Perwakilan

Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan

prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan

rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui

lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada

masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang

diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga

berkaitan dengan bagaimana hubungan serta kedudukannya.1Heinz Eulau

dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga

pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya

"wakil", yaitu adanya partai, adanya kelompok, dan adanya daerah yang

diwakili.

Alfred de Grazia dalam tulisannya mengenai perwakilan politik

bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu

wakil dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk

melakukan berbagai macam tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan

yang dibuatnya dengan terwakil.2 Dalam hal melaksanakan kewenangan

ini, rakyat yakin bahwa segala kehendak dan segala kepentingannya akan

diperhatikan didalam pelaksanaan kekuasaan negara. Cara melaksanakan

kekuasaan negara ialah

1Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat (Banda Aceh: Syiah Kuala University

Press, 2008 ), h.41.

2Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, cet.Ke-1, 1985), h

1.

Page 25: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF PEMBENTUK UNDANG -

UNDANG

A. Teori Perwakilan

Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan

prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan

rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui

lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada

masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang

diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga

berkaitan dengan bagaimana hubungan serta kedudukannya.1Heinz Eulau

dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga

pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya

"wakil", yaitu adanya partai, adanya kelompok, dan adanya daerah yang

diwakili.

Alfred de Grazia dalam tulisannya mengenai perwakilan politik

bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu

wakil dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk

melakukan berbagai macam tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan

yang dibuatnya dengan terwakil.2 Dalam hal melaksanakan kewenangan

ini, rakyat yakin bahwa segala kehendak dan segala kepentingannya akan

diperhatikan didalam pelaksanaan kekuasaan negara. Cara melaksanakan

kekuasaan negara ialah senantiasa mengingat kehendak dan keinginan

1Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat (Banda Aceh: Syiah Kuala University

Press, 2008 ), h.41.

2Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, cet.Ke-1, 1985), h

1.

Page 26: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

16

rakyat. Jadi, setiap tindakan dalam melaksanakaan kehendak negara tidak

bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat

mungkin berusaha memenuhi segala keinginan rakyat.3

Biasanya ada kategori yang dibedakan. Kategori pertama adalah

perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional

(functional representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota

parlemen sebagai trustee, dan perannya sebagai pengemban "mandat"

Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seorang atau suatu

kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan

bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota

badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal

ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).

Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum,

tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan

perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata,

mengabaikan berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada di dalam

masyarakat terutama di bidang ekonomi. Beberapa negara telah mencoba

untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikusertakan wakil dari

golongan-golongan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus.

Misalnya India mengangkat beberapa orang wakil dari golongan Anglo-

Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari

kalangan kebudayaan, kesusastraan, dan pekerjaan sosial diangkat menjadi

anggota majelis tinggi. Di parlemen Pakistan dalam masa Demokrasi

Dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan perempuan dan untuk

orang-orang yang berjasa di berbagai bidang, misalnya bekas pejabat

tinggi seperti gubernur atau menteri, dan dari kalangan kebudayaan, ilmu

pengetahuan, dan profesi-profesi (seperti pengacara, dan sebagainya).

Umumnya boleh dikatakan bahwa pengangkatan wakil dari berbagai

3C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2

(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, cet. Ke-2), h. 44.

Page 27: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

17

minoritas dimaksudkan sebagai sekadar koreksi terhadap asas perwakilan

politik.4

Disamping itu dikemukakan bahwa di beberapa negara asas

perwakilan politik diragukan kewajarannya dan perlu diganti atau

sekurang-kurangnya dilengkapi dengan asas perwakilan fungsional

(functional or occupational representation). Dianggap bahwa negara

modern dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan terutama dibidang

ekonomi, yang dalam sistem perwakilan politik kurang diperhatikan dan

tidak dilibatkan dalam proses politik. Dicanangkan agar si pemilik

mendapat kesempatan untuk memilih dalam golongan ekonomi atau

profesi dimana ia bekerja, dan tidak semata-mata menurut golongan

politiknya, seperti halnya dalam sistem perwakilan politik. Golongan yang

gigih memperjuangkan pandangan ini antara lain Guild Socialist pada awal

abad ke-20.

Di Indonesia asas perwakilan fungsional (Golongan Karya) juga

telah dikenal. Disamping asas perwakilan politik. Pemilihan Umum tahun

1971 diselenggarakan dengan mengikutsertakan baik partai maupun

golongan fungsional. Teori perwakilan yang dikemukakan oleh Goerge

Jillinek adalah teori mandate.5 Dalam teori mandat, si wakil dianggap

duduk di lembaga perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat

sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di Prancis sebelum

revolusi dan dipelopori oleh Rosseau dan diperkuat oleh Petion. Sesuai

dengan perkembangan zaman, maka teori mandat inipun menyesuaikan

diri dengan kebutuhan zaman. Pertama kali lahir teori mandat ini disebut

sebagai :

1. Mandat Imperatif

Menurut ajaran teori ini si wakil bertindak dan bertugas di

lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh

4Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2016, cet.Ke-3), h.317.

5Abu Daud Busroh, Ilmu Politik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, cet.Ke-7), h.69.

Page 28: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

18

yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak diluar instruksi

tersebut dan apabila ada hal-hal yang tidak terdapat dalam

instruksi-instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi

baru yang diwakilinya baru dapat melaksanakanya.

Untuk adanya suatu jaminan yuridis bagi rakyat agar si wakil tidak

bertindak menyimpang dari keinginannya, maka lembaga recall

ini dimaksudkan untuk dapat menarik kembali si wakil apabila

terbukti aktivitasnya tidak sesuai dengan keinginan rakyat yang

diwakilinya. Konsepsi seperti ini pada dasarnya tidak efisien dan

dapat menghambat peranan lembaga perwakilan, karena para wakil

setia saat jika ingin bertindak harus lebih dahulu menunggu

intruksi dari pihak yang diwakilinya.6

2. Mandat Bebas

Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancils dan Black

Stone Inggris. Ajaran ini mengajarkan bahwa si wakil dapat

bertindak tanpa tergantung dengan instruksi yang diwakilinya.

Menurut ajaran ini si wakil adalah orang-orang yang terpercaya

dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang di

wakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama yang

diwakilinya atau atas nama masyarakat.

3. Mandat Representatif

Dalam teori ini si wakil dianggap bergabung dalam suatu

lembaga perwakilan atau di Indonesia lebih dikenal dengan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR). Rakyat memilih dan memberikan

mandat pada lembaga perwakilan (Parlemen), sehingga si wakil

sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemiliknya apalagi

6Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat (Banda Aceh: Syiah Kuala University

Press, 2008 ), h.41.

Page 29: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

19

pertanggung jawabanya. Lembaga perwakilan (Parlemen) inilah

yang akan bertanggung jawab terhadap rakyat.

Menurut John Stuart Mill, yaitu satu-satunya Pemerintahan

yang sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan suatu kondisi sosial

adalah yang didalamnya seluruh warga dapat berpartisipasi dalam

pemerintahan; yang setiap pertisipasinya berguna, bahkan dalam

fungsi publik yang terkecil; yang dimanapun partisipasinya itu

seharusnya besar yang diberikan tingkat perbaikan umum

masyarakat; dan pada akhirnya yang tak lebih diharapkan adalah

pengakuan seluruh warga negara untuk berbagi kekuasaan dalam

memerintah negara. Namun dalam sebuah masyarakat yang

melebihi kota kecil, ketika semua tidak dapat berpartisipasi secara

pribadi dalam segala hal selain hanya pada beberapa bagian urusan

publik yang sangat kecil, tampaknya tipe ideal untuk suatu

Pemerintahan yang sempurna haruslah berupa perwakilan ataupun

representatif.7

B. Landasan Yuridis Dewan Perwakilan Rakyat

Dasar yuridis keberadaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD, pasal 1 ayat (2) UUD 1945

mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang

berkedaulatan rakyat yang didalam pelaksanaanya menganut prinsip

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip dari kedaulatan

rakyat tersebut, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat, lembaga

perwakilan daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai

demokrasi serta dapat menyerap dan serta memperjuangkan aspirasi

7Efriza, Ilmu Politik (Bandung: Alfabeta, 2013, cet.Ke-3), h.112.

Page 30: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

20

rakyat. salah satu hal penting dalam amandemen UUD 1945 adalah

penataan kembali sistem perwakilan.8

Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan

politik bangsa di Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD,

yang dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan MPR,

DPR, DPD, DPRD. Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 diubah dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada

Undang-Undang sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut

dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada

materi muatan susunan dan kedudukan saja, tetapi juga mengatur hal-hal

lain yang sifatnya lebih luas. Hal ini dilakukan dalam upaya pengefektifan

kelembagaan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Walaupun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR

tetap saja tidak lepas dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai

kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan

kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi yang berupa

Undang-Undang terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya

berdasarkan kepentingan kelompok dan kompromi politik.9

Dikarenakan seiring perkembangan dinamika hukum

ketatanegaraan dan dinamika politik yang terjadi di DPR RI maka

dibentuklah Undang-Undang terbaru yang dapat mengakomodasi dan

mengawal proses fungsi DPR RI yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 Tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD.

8Sebastian Salang. Dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan (Jakarta:

Forum Sahabat, 2009, cet.Ke-1), h.62.

9Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27

Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. h. 5.

Page 31: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

21

C. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat

Menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak di bidang

perundang-undangan, sekalipun ia tidak mempunyai monopoli dalam

bidang itu. Untuk membahas rancangan Undang-Undang sering dibentuk

panitia-panitia yang berwenang untuk memanggil menteri atau pejabat

lainnya untuk dimintai keterangan seperlunya.10

Pemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang

kekuasaan legislatif menjadi titik penting untuk menjelaskan fungsi

legislasi dalam sistem Pemerintahan Presidensial. Dalam pandangan Paul

Christhoper Manuel dan Anne M. Camissa, salah satu karakter mendasar

dari sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan legislatif dan

kekuasaan eksekutif. Dengan pemisahan itu, dalam sistem presidensial,

badan legislateifmenentukan agendanya sendiri, membahas dan

menyetujui Rancangan Undang-Undang pun sendiri pula. Biasanya, badan

legislatif mengusulkan dan memformulasikan dan dapat bekerjasama

dengan eksekutif dalam merumuskan legislasi, terutama pada saat partai

politik yang sama berkuasa di kedua cabang Pemerintahan itu.11

DPR RI hasil pemilu tahun 1999 adalah DPR yang terpilih dalam

iklim politik yang relative demokratis sejak berakhirnya era orde baru

pada tahun 1998. Dengan demikian, DPR RI sekarang memiliki

kesempatan lebih besar untuk menjalankan fungsi-fungsinya secara

optimal.12

Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjadi pada 19 Oktober

1999, dalam sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober

1999. Dalam perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam

10

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2016, cet.Ke-3), h.323.

11

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia” (Jakarta: Persada, 2013, cet.Ke-3), h. 82.

12

T.A. Legowo, Dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia (Studi dan Analisis

Sebelum dan Setelah perubahan UUD 1945) (Jakarta: Formappi, 2005, cet.Ke-1), h.84.

Page 32: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

22

membentuk Undang-Undang, yang diatur dalam pasal 5, berubah menjadi

Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang, dan DPR RI

memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (Pasal 20 UUD 1945).

Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional

yang semula berada di tangan Presiden, dan beralih ke tangan DPR.13

Rumusan pasal 20 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut.

a. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

Undang-Undang.

b. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden

untuk mendapatkan persetujuan bersama.

c. Jika Rancangan Undang-Undang tersebut tidak mendapat

persetujuan bersama, Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh

diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

d. Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah

disetujui bersama menjadi Undang-Undang.

e. Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama

tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari

semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan

Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib

diundangkan.

Biasanya, dalam berbagai konstitusi negara-negara berdaulat

diadakan perumusan mengenai tugas pembuatan Undang-Undang

(legislasi) dan tugas pelaksanaan Undang-Undang itu (eksekutif) ke dalam

dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda.

Meskipun demikian, apabila ditelaah secara mendalam, sesungguhnya

tidak satu pun teks konstitusi maupun praktik di mana pun yang

memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu secara

kaku. Baik dalam rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktik,

fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih.

13

Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010,

cet.Ke-5), h. 167.

Page 33: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

23

Pergeseran kewenangan membentuk Undang-Undang dari

sebelumnya ditangan Presiden dan dialihkan kepada DPR merupakan

langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi-fungsi

lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing yakni DPR

sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang (kekuasaan legislatif) dan

Presiden sebagai lembaga pelaksana Undang-Undang (kekuasaan

eksekutif).

Perubahan UUD 1945 yang tercakup dalam materi tentang Dewan

Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk memberdayakan DPR dalam

menjalankan fungsinya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih oleh

rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya.

Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga DPR serta hak

anggota DPR yang diatur dalam Pasal 20A, berbunyi sebagai berikut.

(1) Dewan perwakilan rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran

dan fungsi pengawasan.

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-

pasal lain Undang-Undang dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat

mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar

ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak

mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul pendapat serta hak

imunitas.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak

anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Undang-Undang.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi

secara optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus

memperkokoh pelaksanaan check and balances oleh DPR akan tetapi,

sejumlah ahli hukum tata negara menilai bahwa perubahan ini justru telah

menggeser executif heavy kearah legislatif heavy sehingga terkesan bukan

Page 34: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

24

keseimbangan yang dituju melalui perubahan UUD 1945, tetapi DPR ingin

memusatkan kekuasaan di tangannya.

Berdasarkan Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran

TNI dan Peran Kepolisian Negara RI, MPR juga mendelegasikan beberapa

kewenangan kepada DPR, yaitu memberikan persetujuan kepada Presiden

dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang Panglima TNI (Pasal 3

ayat (2)). Demikian juga bila Presiden hendak mengangkat seorang Kepala

Kepolisian Negara RI (Pasal 7 ayat [3]). DPR juga diberi kewenangan

untuk memilih/menyeleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi,

Gubernur Bank Indonesia, dan anggota Komisi Nasional HAM. Praktis

hampir semua bidang kekuasaan Presiden dimasuki oleh DPR. Bahkan,

bukan hanya memasuki bidang kekuasaan Presiden, tetapi dapat

mengusulkan untuk memberikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal

7A).

D. Pengujian Konstitusionalitas Suatu Undang-Undang

Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian

mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil

ataupun materiil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian

konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas.

Mahkamah konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan

Mahkamah Agung melakukan melakukan pengujian legalitas, bukan

pengujian konstitusionalitas. Dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jelas

ditentukan, "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang, dan…". Dalam rangka pengujian peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang, alat pengukur untuk menilai atau

dalam menjalankan kegiatan pengujian itu adalah undang-undang, bukan

UUD, seperti Mahkamah Konstitusi karena itu, dapat dikatakan bahwa

pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung itu adalah pengujian

Page 35: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

25

legalitas berdasarkan undang-undang, bukan pengujian konstitusionalitas

menurut UUD 1945.14

Obyek yang diuji pun jelas berbeda. Mahkamah Agung menguji

peraturan di bawah undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi

hanya menguji undang-undang saja, bukan peraturan lain yang

tingkatannya berada di bawah undang-undang. Karena itu, tepatlah jika

dikatakan bahwa Mahkamah konstitusi menguji the constitusionality of

legislative law or legislation, sedangkan Mahkamah Agung menguji the

legality of regulation.

Konstitusi jelas tidak identik dengan naskah UUD. Kerajaan

Inggris adalah contoh yang paling mudah untuk disebut mengenai negara

yang tidak mempunyai naskah konstitusi dalam arti yang tertulis secara

terkodifikasi seperti umumnya negara lain di dunia akan tetapi, semua ahli

sepakat menyebut Kerajaan Inggris (United Kingdom) sebagai salah satu

contoh negara berkonstitusi atau constitusional state atau monarchi

konstitusional (constitusional monarcy)."

Karenanya konstitusionalitas itu tidak hanya terbatas pada apa

yang tertulis dalam naskah UUD karena itu, dalam penjelasan UUD 1945

yang asli, terdapat uraian yang menyatakan bahwa UUD itu hanyalah

sebagian dari konstitusi yang tertulis. Disamping konstitusi yang tertulis

itu masih ada konstitusi yang tidak tertulis, yaitu yang terdapat dalam

nilai-nilai yang hidup dalam praktek-praktek ketatanegaraan.Oleh karena

itu untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang-undang,

kita dapat dipergunakan beberapa alat pengukur atau penilai, yaitu (i)

naskah UUD yang resmi tertulis; beserta (ii) dokumen-dokumen tertulis

yang terkait erat dengan naskah UUD itu, seperti risalah-risalah, keputusan

dan ketetapan MPR, undang-undang tertentu, peraturan tata tertib, dan

lain-lain; serta (iii) nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek

14

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Yarsif Watampone, Cet.Ke-1, 2005 ), h. 6.

Page 36: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

26

ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara;

dan (iv) nilai-nilai yang hidupdalam kesadaran kognitif rakyat serta

kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap

sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalam

perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Karenanya pengertian konstitusionalitas itu bukanlah konsep yang

sempit yang hanya terpaku kepada apa yang tertulis dalam naskah UUD

1945 saja. Keempat hal tersebut adalah termasuk ke dalam pengertian

sumber dalam keseluruhan tatanan hukum tata negara atau constitusional

law yang dapat dijadikan alat pengukur atau penilai dalam rangka

pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang.

E. Mahkamah Konstitusi Sebagai Penguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945.

Hukum acara untuk perkara pengujian undang-undang terhadap

UUD di Mahkamah Konstitusi ini agak berbeda dengan jika dibandingkan

dengan peradilan biasa karena hal yang banyak dipertimbangkan dan

diperiksa adalah opini dan tafsiran, dan bukan pada fakta, sehingga

analisis terhadap data menjadi hal yang penting dan utama untuk

disajikan.

Hal ini secara detail diatur dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. dalam ketentuan disebutkan

bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang

yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, khususnya setelah

Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang bertanggal 19 Oktober 1999.

Pemohon yang diangap memiliki legal standing (kedudukan

hukum) untuk mengajukan permohonan adalah pihak yang menganggap

Page 37: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

27

hak/ kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu (a) perorangan

warga negara Indonesia ; (b) kesatuan masyarakat adat sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (c) badan hukum publik dan privat;

atau (d) lembaga negara.

Dalam mengajukan permohonan tersebut, pemohon wajib

menguraikan dengan jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang

dirugikan karena adanya pembentukan UU yang tidak memenuhi

ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/atau ter muatan dalam ayat, pasal,

dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Permohonan tersebut secara administrasi ditujukan kepada bagian

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan

administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon atau kuasanya

dalam 12 rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar

permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputus.

Permohonan tersebut secara administrasi ditujukan kepada bagian

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan

administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon, ditulis dalam

Bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12

rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar

permohonan dan hal-hal lain yang dimintauntuk diputus.

Terhadap permohonan tersebut, kepaniteraan dapat meminta

pemohon untuk melengkapi permohonan yang belum memiliki

kelengkapan dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak

Page 38: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

28

pemberitahuan kelengkapan tersebut diterima pemohon dan jika

permohonan tersebut telah lengkap maka dapat dicatatkan pada Buku

Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) yang memuat secara lengkap

catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman

nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon,

dan pokok perkara. Setelah hal-hal tersebut dicatat dalam BRPK maka

Mahkamah Konstitusi telah dapat menetapkan hari sidang pertama dalam

jangka waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, Artinya

sudah dapat dimulai acara persidangan yang meliputi sidang pemeriksaan

pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan sidang putusan.

Pemeriksaan pendahuluan pada mulanya, pemeriksaan pedahuluan

juga menggunakan sidang pleno yang secara lengkap oleh sembilan hakim

konstitusi namun, semenjak perkara yang masuk sudah semakin banyak

dan beragam, Mahkamah Konstitusi kini melaksanakan sidang

pendahuluan dengan menggunakan panel yang terdiri dari tiga hakim

konstitusi. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut, hakim

konstitusi memeriksa secara lebih rinci mengenai kelengkapan dan

kejelasan materi permohonan. Kemudian, memberikan nasihat kepada

pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaki permohonan dalam

jangka waktu paling lambat 14 hari.

Pemeriksaan persidangan. Sidang ini merupakan sidang yang

memeriksa secara lebih mendalam materi permohonan maupun alat bukti

yang diajukan. Alat bukti dapat meliputi beberapa jenis, yakni (a) surat

atau tulisan; (b) keterangan saksi ; (c) keterangan ahli; (d) keterangan para

pihak; (e) petunjuk; dan (d) alat bukti lain berupa informasi yang

diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan

alat optik atau yang serupa dengan itu.

Page 39: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

29

Semua alat bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum mengenai cara memperolehnya karena itu, jenis alat bukti

yang perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum

tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Penilaian terhadap sah

atau tidak sahnya itu dilakukan dalam pemeriksaan persidangan.

Disamping itu, untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi wajib

memanggil para pihak yang berperkara untuk memberikan keterangan

yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada

lembaga negara yang terkait dengan permohonan.

Sidang putusan. Sebelum mengambil putusan terhadap suatu

perkara, Mahkamah Konstitusi melakukan suatu rapat permusyawaratan

hakim dalam membuat putusan yang akan diucapkan dalam sidang

pembacaan putusan. Putusan tersebut diambil berdasarkan UUD 1945

serta sesuai dengan alat buat dan keyakinan hakim dengan memuat fakta

yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang

menjadi dasar putusan. Putusan yang mengabulkan permohonan harus

didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti. Putusan itu

memperoleh kekuatan hukum yang tetap sejak selesai diucapkan dalam

sidang pleno yang terbuka untuk umum.

Putusan harus ditandatangani hakim yang memeriksa, mengadili,

dan memutuskan dan panitera pengganti. Untuk kemudian wajib

menyampaikan salinannya kepada pihak, juga memberikan pemberitahuan

kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA.15

15

Jimly Ashiddiqie, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h.35.

Page 40: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

30

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI

SEBAGAI PENGUJI PERATURAN PERUNDANG –UNDANGAN

A. Landasan Yuridis Mahkamah Konstitusi

Salah satu kelembagaan negara baru yang dibentuk untuk

memperkuat pranata demokrasi dalam struktur ketatanegaraan adalah

Mahkamah Konstitusi. Bab IX tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 24

ayat (1) UUD 1945 meyatakan kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Menegaskan kembali kedudukan

Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan Mahkamah Konstitusi

merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 telah mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi bertanggung

jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai

dengan prinsip pemerintahan yang baik.

B. Peran Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

a. Peran Fungsi Makamah Konstitusi

Dikutip Indra Pahlevi dari Slamet Effendy Yusuf, Wakil Ketua

Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat,

latar belakang

1Jimly Ashiddiqie, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan

Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h.16.

Page 41: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

31

Republik Indonesia adalah berasal dari kenyataan banyaknya problem-

problem ketatanegaraan yang bermula dari perbedaan atau sengketa

menginterpretasi UUD oleh lembaga-lembaga kenegaraan. Fungsi

Mahkamah Konstitusi pada awalnya oleh Badan Pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia diarahkan meliputi:

1. Untuk memeriksa dan mengadili sengketa di bidang hukum

ketatanegaraan.

2. Melakukan pengujian terhadap peraturan di bawah UUD.

3. Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan.

4. Mengadili pembubaran partai politik.

5. Mengadili persengketaan antarinstansi pemerintah di pusat, atau

antara instansi pemerintah pusat- pemerintah daerah.

6. Mengadili suatu pertentangan undang-undang.

7. Memberikan putusan atas gugatan yang berdasarkan UUD.

8. Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam

hal Dewan Perwakilan Rakyat meminta Majelis Permusyawaratan

Rakyat bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap

menghianati negara atau merusak nama baik lembaga

kepresidenan. 2

b. Wewenang Mahkamah Konstitusi

Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan dalam

UUD, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur

dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan

Mahkamah Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya.

Wewenang Mahkamah Konstitusi ini secara khusus diatur dalam pasal

24 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan " Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga – lembaga negara

2Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam

Sitem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006 ), h.20.

Page 42: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

32

yang kewenangannnya diberikan oleh UUD, memutuskan

pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil

pemilihan umum".3 Sementara dalam ketentuan Pasal 24C ayat (2)

UUD 1945 Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau

wakil presiden menurut UUD. Ketentuan-ketentuan tersebut

ditegaskan kembali pengaturannnya dalam UU Mahkamah Konstitusi

Pasal 10 ayat (1) dan (2).

Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi sebenarnya

dapat dikatakan merupakan sebuah kewenangan untuk memberikan

putusan atas pendapat DPR terhadap dugaan pelanggaran oleh

presiden dan /atau wakil presiden. Dugaan pelanggaran yang dimaksud

adalah bahwa presiden dan /atau wakil presiden telah melakukan

pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,

dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana presiden dan/atau

wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan/atau

presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/dan atau wakil

presiden.

Berikut ini akan dijelaskan dan dijabarkan kewenangan Mahkamah

Konstitusi yang telah diberikan UUD 1945.

1. Pengujian Undang-Undang

UUD telah meletakkan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia

terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian peraturan

perundang-undangan (judicial review). Kewenangan untuk menguji

undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi

(pasal 24 C ayat (1) UUD 1945), sedangkan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

3Jimly Ashiddiqie, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan

Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h.21.

Page 43: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

33

undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24 A ayat (1)

UUD 1945).

Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD merupakan

suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksanaan

kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara

hukum dan demokrasi. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme

pengujian konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara dan

demokrasi telah mendapatkan penegasannya.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian konstitusionalitas

suatu undang-undang dapat dilakukan secara formal dan materiil

(Pasal 51 ayat (3)). Pengujian secara formal menelaah apakah

pembentukan undang-undang telah memenuhi prosedur pembentukan

berdasarkan ketentuan UUD 1945, Sementara pengujian undang-

undang secara materiil memeriksa apakah materi muatan dalam ayat,

pasal, dan /atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan

UUD 1945.

2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara

Hak dan kekuasaan ini selengkapnya dirumuskan dalam UUD,

yakni memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD. Dari rumusan tersebut dapat

dijelaskan bahwa sengketa lembaga negara yang menjadi kompetensi

Mahkamah Konstitusi adalah sengketa kewenangan, bukan mengenai

sengketa yang lain dan lembaga negara tersebut adalah lembaga negara

yang diatur dan ditentukan kewenangannya melalui UUD.

Jika dirinci, lembaga-lembaga yang disebut dalam UUD 1945 hasil

perubahan di antaranya adalah MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA

dan Komisi Yudisial. Selain itu ada komisi pemilihan umum dan

bank. Kecuali bank sentral, seluruh lembaga lainnya diatur

kewenangannya dalam UUD.

Page 44: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

34

Dalam UU Mahkamah Konstitusi tidak ada pengesahan dan

penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Pasal 61 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya mengatur bahwa pemohon

adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD

1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan

yang dipersengketakan.

Sedangkan dalam pasal lainnya dinyatakan bahwa Mahkamah

Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan

lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi (Pasal 65). Tampaknya,

mengenai hal ini, undang-undang memberikan keleluasaan bagi hakim

untuk menafsirkan apa dan siapa lembaga negara yang dapat

bersengketa di Mahkamah Konstitusi .

3. Memutus Pembubaran Partai Politik

Kewenangan lain Mahkamah Konstitusi adalah membubarkan

partai politik. Di dalam UUD 1945 tidak dirumuskan syarat atau

larangan apa yang mengakibatkan partai politik dibubarkan. Ini

berbeda dengan konstitusi Jerman (Basic Law For the Federal

Republic of Germany) dengan pasal 21 ayat (2)-Nya menyatakan

antara lain bahwa partai politik (parpol) yag berdasarkan tujuan-

tujuannya atau tingkah laku yang berkaitan dengan kesetiaan

mengganggu (menghalangi/mengurangi) atau menghilangkan tata

dasar demokrasi yang bebas atau mengancam kelangsungan negara

Republik Federal Jerman (RFJ) harus dinyatakan inkonstitusional oleh

Pengadilan (Mahkamah ) Konstitusi Federal Constitutional Court).

Alasan pembubaran partai politik dapat ditemukan secara implisit

dari Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yakni

berkaitan dengan ideologi, asas, tujuan, program, kegiatan partai

politik yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sementara

pihak yang menjadi pemohon adalah pemerintah. Adapun pelaksanaan

pembubaran partai politik di Indonesia dilakukan dengan membatalkan

pendaftaran pada pemerintah dalam proses pemeriksaan permohonan

Page 45: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

35

pembubaran partai politik wajib diputus paling lambat 60 hari (PAsal

71 dan 73 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003).

4. Memutus Perselisihan Hasil Pemilu

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan umum di

Indonesia, hasil suara yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum

(KPU) dapat diperkarakan melalui Mahkamah Konstitusi. Perkara

yang dimohonkan itu diberkenaan dengan terjadinya kesalahan hasil

perhitungan suara yang dilakukan KPU. Dalam UU Mahkamah

Konstitusi ditentukan bahwa yang dapat dimohonkan pembatalannya

adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memengaruhi

(i) Terpilihnya calon anggota DPD,

(ii) Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua

pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan

calon presiden dan wakil presiden, serta

(iii) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu

daerah pemilihan (Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No.24 Tahun

2003).

Sementara permohonannya adalah (a) perorangan warga negara

Indonesia (WNI) calon anggota DPD; (b) pasangan calon presiden dan

wakil presiden peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden

(c) partai politik peserta pemilihan umum (Pasal 74 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003). Berdasarkan ketentuan tersebut,

dapat dijelaskan bahwa pihak yang dapat menjadi pemohon dalam

pemilu presiden adalah pasangan calon presiden-wakil presiden yang

ditetapkan masuk putaran kedua serta terpilihnya presiden- wakil

presiden, sementara pasangan calon yang tidak meraih suara signifikan

yang dapat mempengaruhi lolos-tidaknya suatu pasangan ke putaran

kedua, atau terpilih menjadi presiden –wakil presiden, tidak

diperkenankan sebagai pemohon atau memiliki legal standing yang

Page 46: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

36

kuat. Disisi lain, dalam pemilu legislatif, pihak yang menjadi pemohon

adalah hanya partai politik peserta pemilu. Dalam hal ini permohonan

perkara hanya dapat diajukan melalui pengurus pusat partai politik.

Anggota partai dan pengurus wilayah atau cabang tidak dapat

mengajukan sendiri perkara perselisihan hasil pemilu.

5. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden

Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini

merupakan refleksi proses pemberhentian (impeachment ) terhadap

presiden yang sebelumnya hanya berdasarkan mekanisme dan

pertimbangan politik. Penempatan peran Mahkamah Konstitusi

dimaksudkan agar dalam proses pemberhentian presiden dan/atau

wakil presiden terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum. Sesuai

ketentuan Pasal 7B ayat 1-5, Mahkamah Konstitusi berkewajiban

untuk memeriksa dugaan DPR atas pelanggaran hukum berupa (1)

penghianatan terhadap negara, (2) korupsi, (3) penyuapan, (4) tindak

pidana berat lainnya, (5) perbuatan tercela, serta (6) tidak lagi

memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Usul

pemberhentian berdasarkan alasan-alasan tersebut dilakukan oleh

DPR. DPR dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan

permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus dugaan atau pedapat DPR tersebut.

Mahkamah Konstitusi wajib menyelesaikan perkara ini dalam

waktu 90 hari, karena kewenangan ini menjadi suatu hal yang

diwajibkan, apabila hakim konstitusi dengan sengaja menghambat

pelaksanaan kewenangan dapat diberhentikan dengan tidak hormat

(Pasal 23 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi). Selanjutnya apabila Mahkamah

Page 47: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

37

Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden

bersalah, DPR meneruskan usul pemberhentian kepada MPR.

Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai

memutuskan apakah presiden dan/atau wakil presiden layak diberhentikan

atau tidak. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pertimbangan hukum

dan membuktikan benar tidaknya dugaan atau pendapat DPR. Wewenang

pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden ada pada institusi MPR.

Proses persidangan selanjutnya di MPR yang akan menentukan kemudian

apakah presiden dan/atau wakil presiden yang sudah diputus bersalah oleh

Mahkamah Konstitusi bisa diberhentikan atau tidak.

C. Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Representatif Rakyat yang Wajib

meng-ejawantah-kan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomr 013-

022/PUU-IV/2006 Pada Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 013-022/PUU-

IV/2006 seharusnya dalam hal ini, tidak hanya membatalkan suatu norma

yang berada pada pasal-pasal yang dimohonkan tersebut. Jika mengacu

pada ketentuan Pasal 57 (1) dan (2) Undang-Undang 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, pasal 57 ayat (2a) memang menegaskan bahwa,

perintah kepada pembuat undang-undang, dan rumusan norma sebagai

pengganti norma yang bertentangan dengan UUD 1945.

Bahwa setidaknya Mahkamah Konstitusi dapat memuat suatu

redaksi yang bersifat melarang sebuah penggunaan norma pada suatu

produk undang-undang yang telah inkonstitusional terhadap UUD 1945

sehingga dalam hal ini terdapat kepastian hukum untuk tidak

menggunakan kembali norma tersebut baik oleh Legislatif, Eksekutif,

dan/atau pembuat undang-undang lainnya.

Page 48: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

38

Mahkamah Konstitusi setidaknya pada konteks ini, dapat

memberikan peluang kepada Presiden dan/atau DPR agar membuat suatu

kebijakan hukum (legal policy) baru terkait dengan penghinaan presiden

yang dituangkan kepada undang-undang KUHP tersebut lantaran putusan

tersebut hanya menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional terhadap

UUD, dan hal ini merupakan sebuah celah hukum yang dapat

dimanfaatkan oleh Presiden dan/atau DPR yang memang sedang

menguasai sebuah pemerintahan pada periode tertentu.

Berkaca pada contoh kasus tersebut terkait pembangkangan

lembaga-lembaga terkait hal ini pun seharusnya menjadi catatan sendiri

untuk Mahkamah Konstitusi agar putusannnya yang bersifat akhir (final)

dan mengikat (binding) tetap dipatuhi. Selain penambahan redaksi pada

putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang berisi

pelarangan penggunaan norma yang telah inkonstitusional, Mahkamah

Konstitusi, sebaiknya membuat suatu badan pengawas yang dibentuk oleh

Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yang bertujuan untuk mengawasi

jalannya putusan tersebut untuk dipatuhi oleh setiap elemen. Mengingat

dalam hal ini, putusan daripada Mahkamah Konstitusi terkait dengan

pembatalan norma penghinaan presiden yang berada pada pasal 134, 136

bis, 137 KUHP dapat berdampak buruk bagi sistem pemerintahan

Indonesia yang memang notabenenya menganut sistem pemerintahan

demokrasi apabila kembali dihidupkan.

Bahwa dalam hal ini, apabila pencatutan norma tersebut tetap

dimuat dalam suatu produk undang-undang yang pada konteks ini ialah

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), presiden dapat berkuasa

dengan leluasa dan menjadikan norma penghinaan presiden tersebut

sebagai alasan untuk ditafsirkan dalam berbagai sisi apabila ada pihak

yang bersebrangan dengan pemerintah dengan melancarkan kritik dan hal

tersebut dapat mengalami pergeseran sistem pemerintahan yang berasas-

kan demokrasi menjadi tirani.

Page 49: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

39

BAB IV

TITIK SINGGUNG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM

MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Bangsa Indonesia, yang sedang mengalami banyak perubahan,

terutama perubahan hukum yang berlandaskan perundang-undangan,

dengan standar melalui prosedur hukum1

. Hal ini ditandai dengan

amandemen Undang-undang Dasar yang mengalami 4 (empat) kali

perubahan dan terciptanya suatu lembaga-lembaga baru untuk mewadahi

subtansi daripada hasil amandemen Undang-undang Dasar tersebut. Hal

yang paling mendasar dalam perubahan ini ialah suatu struktur

ketatanegaraan yang menjadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

bukan lagi yang dahulunya disebut-sebut menjadi lembaga super power

(Lembaga Tertinggi), penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, dan

pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat didalam negara Indonesia,

melainkan saat ini setelah terjadinya amandemen Undang-undang Dasar

1945 untuk yang ke- 4 (empat) kali, kedudukannya telah setara dengan

lembaga-lembaga primary organ lainnya2.

Lembaga primary organ (Lembaga Utama) tersebut mengalami

pergeseran yang sangat signifikan sehingga dalam hal ini MPR tidak lagi

dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden, menentukan Garis Besar

Haluan Negara (GBHN), melainkan lembaga tersebut hanya dapat

mengamandemen

1Syaiful Bakhri, Hukum Pidana Perkembangan dan Pertumbuhannya (Yogyakarta: total media,

2013), h.123.

2Jimly Asshiddiqie, Hukum dan Kuasa Konstitusi (Catatan-Catatan untuk Pembahasan

Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi); (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 2004), h. 3

Page 50: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

40

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai dengan

ketentuan UUD

Lebih dari itu, perubahan yang terjadi pada struktur ketatanegaraan

pun menimbulkan suatu lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK)

sebagai penegak prinsip supremasi konstitusi. Dibentuknya lembaga

tersebut, Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa biasanya lembaga-

lembaga yang dibentuk untuk menguji konstitusionalitas materi suatu

undang-undang seperti hal-nya Mahkamah Konstitusi, merupakan

pergeseran yang sangat signifikan dari negara yang sebelumnya memiliki

sistem pemerintahan yang bersifat otoriter berubah menjadi demokrasi.3

Sementara, pembentukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di

Indonesia pun, selain karena memiliki kemiripan yang sangat jelas jika

dikorelasikan dengan berakhirnya rezim Presiden Soeharto dan

dilakukannya sebuah reformasi, juga dikarenakan adanya perubahan yang

mendasar pada sifat dari MPR itu sendiri yang tidak lagi menjadi lembaga

tertinggi, oleh karena itu kesetaraan antar lembaga-lembaga utama di

negara ini terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai prinsip

supremasi parlemen dalam membuat suatu undang-undang (legislative

acts), harus diimbangi dengan adanya lembaga seperti Mahkamah

Konstitusi sebagai penegak supremasi konstitusi, agar terciptanya

mekanisme check and balances yang diterapkan pada wewenang

Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian suatu produk undang-

undang (judicial review) dan memberikan tanggapan berupa putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tetap mengawasi

jalannya pemerintahan melalui lembaga eksekutif (Presiden dan Wakil

Presiden).

3

Jimly Asshiddiqie, Hukum dan Kuasa Konstitusi (Catatan-Catatan untuk Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi); (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 2004), h. 4

Page 51: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

41

Terciptanya Mahkamah Konstitusi pun disambut baik oleh

sebagian warga negara Indonesia yang memang pro akan pemerintahan

yang berbasis demokrasi ataupun yang dicetuskan oleh Jean Jacuqes

Rosseau. Bahwa JJ Rosseau berpendapat, kedaulatan negara seharusnya

dipegang oleh rakyat agar tidak terjadinya suatu sistem pemerintahan yang

dapat diatur oleh penguasa secara mutlak dan dapat menyebabkan

penguasa melakukan tindakan sewenang-wenang (abuse of power) dalam

menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara.4

Selain pergeseran dari struktur ketatanegaraan Indonesia,

Mahkamah Konstitusi dalam tugasnya yang sangat vital, yaitu pengujian

konstitusionalitas suatu materi undang-undang terhadap UUD menjadikan

Mahkamah Konstitusi diberi slogan sebagai penjaga ataupun garda

terdepan dalam hal, apakah suatu produk undang-undang tersebut sudah

konstitusional menurut UUD 1945.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri pun sangat

dimanfaatkan oleh warga negara Indonesia yang merasa haknya dilanggar

oleh suatu ketentuan undang-undang yang telah ada salah satunya muatan

yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahwa

seiring dengan berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi menerima

sebuah pengujian konstitusionalitas atas Pasal 134,136 bis, dan Pasal 137

KUHP yang isinya adalah pemidanaan terhadap seseorang (dader) yang

melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pasca

reformasi, pasal ini dirasa sudah tidak memiliki relevansi atau dalam hal

ini mengalami pembiasan terhadap subtansi yang berada pada UUD

terutama mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal 28 dan kesetaraan

dimata hukum (equality before the law) yang diperjelas didalam pasal 27

UUD 1945.

4Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Tangerang: Gaya Media Pratama Jakarta)

h. 71

Page 52: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

42

Jika dipahami secara historis, menurut Mardjono Reksodiputro,

pencantuman pasal tersebut didalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana dikarenakan sebelumnya, Belanda yang juga menggunakan

kodifikasi hukum tersebut, bertujuan untuk melakukan perlindungan

khusus terhadap Ratu atau pemimpin negara mereka, dikarenakan pribadi

seorang ratu sangatlah dekat dengan kepentingan negara yang dalam hal

ini kepribadian ratu tersebut agar terhindar dari sebuah penghinaan dari

rakyatnya. Maka secara historis, perlindungan terhadap ratu belanda pada

masa itu, merupakan perlindungan khusus sehingga dibuatnya suatu pasal

mengenai penghinaan terhadap pemimpin di negara Belanda itu.5

Bahwa jika melihat secara historis, berarti jika negara Indonesia

yang telah mengalami reformasi dan pergeseran sistem pemerintahan yang

dahulu terkesan sangat menipisnya kebebasan berekspresi, sudah sangat

tidak tepat apabila penggunaan pasal tersebut tetap diterapkan pada negara

Indonesia, khususnya disesuaikan dengan subtansi pada pasal 28 UUD

1945. Pun, pasal mengenai penghinaan presiden yang terdapat di KUHP

itu sendiri dapat memicu terjadinya multi interpretasi terhadap penggunaan

pasal itu sendiri, yang mana dapat memudahkan rezim-rezim pemerintahan

menggunakan pasal tersebut, karena tidak dijelaskan lebih rinci, seperti

apa bentuk penghinaan tersebut.

Disisi lain, multi interpretasi sangatlah diperhitungkan karena

negara Indonesia yang telah berbasis demokrasi berarti kebebasan

berekspresi dan/atau berpendapat sebagaimana telah dicantumkan didalam

pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945 harus dijamin demi penyelenggaraan

pemerintahan yang memiliki kesan good governance.

Dalam hal ini, memang presiden merupakan sebuah pemimpin

negara yang harusnya mendapat suatu privilege atas jabatannya

5Keterangan Ahli Mardjono Reksodiputro pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-

022/PUU-IV/2006; h. 12

Page 53: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

43

dikarenakan memang presiden ialah pemegang utama dalam roda

pemerintahan sebuah negara. Tetapi dalam konteks negara yang berbasis

demokrasi, seharusnya kritik dengan dasar kebebasan berekspresi yang

tentunya bertujuan untuk membantu pemerintah dalam penyelenggaraan

negara, seharusnya presiden tidak mendapat suatu privilege atas

jabatannya yang menjadikannya dengan mudah melakukan suatu

pemidanaan atas kebebasan ekspresi yang dilakukan oleh setiap warga

negara6. Karena jika disesuaikan dengan ketentuan pasal 27 ayat (1) UUD

1945 hal ini mengalami disorientasi yang seyogyanya pesamaan dimata

hukum harus ditegakkan, dikarenakan didalam frasa pasal 27 ayat (1)

UUD 1945, ialah ‘setiap warga negara’ yang mana berarti presiden pun

juga merupakan warga negara.

Bahwa sebelum dilakukannya pengujian atas konstitusionalitas

pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP terhadap UUD 1945, setidaknya ada

beberapa daftar korban atas penggunaan pasal tersebut yang dinilai

bertentangan dengan asas demokrasi itu sendiri, baik saat pemerintahan

rezim Soeharto (tanpa adanya penjelasan lebih lanjut mengenai hak asasi

manusia didalam UUD 1945) hingga pasca reformasi sebagai berikut,

yakni:

1. Nuku soleiman, aktivis Gerakan Pro-Demokrasi (1994): memasang

Stiker. Antara lain, di halaman MPR-RI, Jakarta, bertuliskan Soeharto

Dalam Segala Bencana (SDSB), dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun

penjara di tingkat Pengadilan Negeri, dan 5 (lima) tahun di tingkat

banding.

2. Sri Bintang Pamungkas, dosen Universitas Indonesia, aktivis, anggota

DPR-RI (1995): menyebut Soeharto Diktator, dalam sebuah Seminar

di Jerman, dijatuhi hukuman 2 tahun 10 bulan penjara.

6Pertimbangan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. pada Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 013-022/PUU-IV/2006; h. 13

Page 54: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

44

3. I Wayan Suardana, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM

Indonesia (PBHI), Bali (2005): dalam sebuah Penyampaian Pendapat

tentang kenaikan harga BBM, dihukum 6 bulan penjara.

4. Sri Bintang Pamungkas, dosen Universitas Indonesia, aktivis (2005):

Meluncurkan buku berjudul " Membongkar Kebohongan Politik SBY-

JK", dipanggil Polda Metro Jaya untuk diinterogasi.

5. Eggi Sudjana, Advokat (2006): Mengklarifikasi informasi kepada

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kemungkinan Soesilo

Bambang Yudhoyono menerima hadiah mobil mewah oleh seorang

pengusaha.

Bahwa daftar tersebut menunjukkan, penggunaan pasal tersebut

menjadikan kritik-kritik yang dilakukan oleh warga negara dengan tujuan

membantu pemerintah agar memiliki kesan good governance, dan

merupakan penjelmaan daripada asas demokrasi itu sendiri, telah terciderai

akan adanya pasal tersebut.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan

dalam pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD

1945, membatalkan norma ataupun aturan yang terdapat pada pasal 134,

136 bis, dan 137 KUHP yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 yang

telah dilakukan amandemen untuk ke- 4 (empat) kalinya pasca reformasi.

B. Keharusan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Putusan

Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006).

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan sebuah lembaga

negara utama yang memiliki sebuah fungsi legislasi (legislative acts) atau

pada bahasa umumnya kita kenal ialah si ‘pembuat hukum’. DPR dalam

hal ini, fungsi legislasinya telah dijamin oleh konstitusi (verfassungrecht)

Republik Indonesia, pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Page 55: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

45

Bahwa fungsi legislasi itu sendiri sebagaimana diperjelas melalui

pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, fungsi legislasi

merupakan bentuk daripada penjelmaan DPR sebagai lembaga perwakilan

yang merepresentasikan rakyat secara langsung didalam pemerintahan

melalui pembentukan suatu undang-undang. Oleh karena itu, secara tidak

langsung dalam sebuah proses legislasi (legislative acts) rakyat melakukan

kontribusi dalam pemerintahan melalui lembaga tersebut.

Dalam proses pembuatan suatu undang-undang (legislasi) bersama

dengan pemerintah pusat yang dalam hal ini ialah presiden, wakil

presiden, dan/atau diwakilkan oleh menteri yang bertanggungjawab akan

produk undang-undang tersebut, DPR harus mematuhi ketentuan-

ketentuan dalam proses pembuatan tersebut, termasuk juga materi-materi

yang harus dimuat dalam produk undang-undang tersebut.

Lawrence M Friedman menegaskan, sebuah produk undang-

undang sedikitnya harus memuat hal-hal berikut:

a. Penegak Hukum (Legal Structure), dalam produk undang-undang

(hukum) setidaknya harus memuat suatu pasal atau materi yang

menempatkan suatu lembaga, baik itu lembaga pemerintah ataupun

lembaga non-pemerintah yang bertugas menjalankan isi daripada

undang-undang tersebut.

b. Subtansi Hukum (Legal Subtance), subtansi hukum dalam hal ini

sangat diperhitungkan, suatu hukum dibuat untuk kepentingan

masyarakat. Pun DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, yang

memang membuat suatu produk undang-undang, materi tersebut

pun harus memuat subtansi yang menguntungkan rakyat secara

keseluruhan.

Page 56: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

46

c. Budaya Hukum (Legal Culture), budaya hukum menjadi tonggak

sebuah materi hukum harus menyesuaikan suatu budaya disebuah

tempat hukum itu dibuat.7

Diantara ketiga hal tersebut harus dilakukan bersamaan dengan

struktur yang bertanggungjawab, kredeibel, dan kapabel serta subtansi

harus memuat rasa keadilan dan memihak masyarakat, serta budaya

hukum tersebut harus mendukung nilai-nilai yang terkandung dalam

masyarakat. Oleh karenanya, dalam suatu pembuatan produk undang-

undang, demi terciptanya suatu hukum yang bernuansa memihak

kepentingan rakyat secara keseluruhan, pasti akan melibatkan komponen-

komponen berikut dalam pembuatannya.8

Subtansi hukum sebagaimana dimaksud Lawrence M Friedman

dalam hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan suatu produk

undang-undang, selain bertujuan untuk kepentingan masyarakat luas,

subtansi hukum pun harus memperhatikan subtansi yang ada baik pada

UUD 1945, ataupun putusan Mahkamah Konstitusi seperti yang dijelaskan

dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yaitu putusan Mahkamah Konstitusi

terkait dengan pengujian undang-undang terhadap UUD bersifat final atau

akhir.

DPR yang melakukan proses Revisi Undang-Undang (legislative

review) terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau dalam hal ini

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menganggap materi

muatan yang ada pada KUHP sudah tidak memiliki relevansi terhadap

perkembangan zaman saat ini. DPR yang melakukan proses tersebut

(legislatif review) bersama pemerintah tetap harus memuat suatu materi

yang memiliki rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Selain

7Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social

Science Perspective),(Bandung: Nusa Media, 2009), h. 33

8Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia (Jakarta: Jurisprudence

Press, 2011), h. 06

Page 57: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

47

memuat materi tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-

022/PUU-IV/2006, harus tetap menjadi acuan DPR dalam menyusun

produk hukum tersebut.

Suatu produk undang-undang menurut Pasal 10 ayat (1) huruf d

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan secara jelas, suatu

materi muatan undang-undang harus memuat putusan Mahkamah

Konstitusi, karena putusan tersebut bersifat akhir (final) dan mengikat

(binding). Penmatuhan (menindak lanjuti) atas putusan Mahkamah

Konstitusi dari Dewan Perwakilan Rakyat pada suatu proses revisi

undang-undang (legislative review) juga merupakan bentuk terciptanya

mekanisme check and balances yang diterapkan di Indonesia. Terlebih,

putusan tersebut memuat materi yang berkaitan dengan rentannya

pelanggaran hak asasi manusia sebagai tonggak daripada terciptanya

sebuah sistem demokrasi ini.

Bahwa dalam hal ini, DPR sebagai representatif rakyat harus

menghormati nilai-nilai yang terkandung dalam hak asasi manusia,

mengingat isi daripada putusan tersebut terkait dengan pembatalan norma

pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP yang merupakan bentuk pencideraan

atas hak asasi manusia itu sendiri.

C. Progresifitas Mahkamah Konstitusi dari Negatif Legislator Menjadi

Positif Legislator.

Negara Indonesia, merupakan negara hukum yang menganut

sistem berdasarkan perpaduan antara rechtsstaat dan Rule of Law9. Sebuah

negara yang menganut sistem tersebut, menjadikan semua kebijakan-

kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan atas suatu perundang-

9Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta:Penerbit Buku Kompas,

2003), h. 07

Page 58: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

48

undangan, dengan kata lain, tiada suatu hukum selain undang-undang dan

hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

Dewasa ini, Rule of Law sendiri secara tidak langsung menjelma

sebagai suatu sistem yang menggeser negara absolut dengan semangat

idealisme, keadilan, dan moral menjadi sistem yang dinilai mempersulit

rakyat, hal ini ditandai dengan banyaknya seluk beluk birokrat yang

dilalui10

. Pun dalam hal ini, penegakkan Rule of Law ataupun rechtsstaat

secara tidak langsung seperti menggerus rasa keadilan yang ada pada suatu

tempat dimana sistem tersebut ditegakkan. Seperti halnya suatu pasal-pasal

yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan dimana

penegak hukum harus mengikuti apa yang tertera dalam peraturan tersebut

tanpa mementingkan apakah suatu peraturan tersebut sudah memenuhi

rasa keadilan yang ada didalam masyarakat atau belum.

Meneliti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-

IV/2006 yang membatalkan norma pasal penghinaan presiden yang

terdapat di KUHP, menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga

yang diberi slogan ‘negatif legislator’. Julukan tersebut dikarenakan

didalam Undang-Undang 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 57

ayat (2a) memang menegaskan bahwa suatu putusan Mahkamah

Konstitusi tidak memuat suatu amar selain ayat (1) dan (2) Pasal 57,

perintah kepada pembuat undang-undang, dan rumusan norma sebagai

pengganti norma yang bertentangan dengan UUD 1945.

Bahwa apabila hanya norma tersebut dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi, norma yang telah dibatalkan atau telah inkonstitusional, dapat

dijadikan celah hukum oleh Presiden dan/atau DPR untuk membuat

kebijakan hukum (legal policy) baru atas norma yang sudah dibatalkan.

10

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2003), h. 03

Page 59: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

49

Berangkat dari hal-hal tersebut dan agar tidak terjadinya suatu

produk hukum yang cacat karena tidak menindak lanjuti dan mematuhi

putusan Mahkamah Konstitusi, hakim dalam hal ini melalui suatu

putusannya, sudah seharusnya menggali nilai-nilai keadilan yang ada.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

menyatakan, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Jika dikorelasikan

terhadap Mahkamah Konstitusi yang hanya memiliki slogan ‘negatif

legislator’, hal ini berarti menjadikan lembaga peradilan tersebut hanya

terpaku pada teks hitam putih (undang-undang tertulis).

Seharusnya dalam hal ini, hakim Mahkamah Konstitusi yang

merupakan garda terdepan dari penjaga konstitusi dan penggagas akan

terciptanya suatu keadilan sosial diseluruh rakyat, dapat melakukan suatu

progresifitas dalam setiap putusannya yang memenuhi rasa keadilan.

D. Penerapan Judicial Activism dalam Semangat Progresifitas Hukum

demi Menggali Nilai-Nilai Moral dan Keadilan pada Pengujian Pasal

Penghinaan Presiden.

Bahwa sebagaimana telah disampaikan pada sub-bab sebelumnya,

Indonesia yang menganut sistem Rule of Law dan rechtsstaat menjadikan

hukum sebagai supremasi ataupun kekuasaan tertinggi untuk menjaga

pilar-pilar demokrasi seperti hak asasi manusia, kebebasan berpendapat,

dan lain-lain. Bagaimanapun, setiap sistem ataupun bentuk yang

diciptakan pastinya memiliki kelemahan dan kelebihan serta menjadi suatu

keniscayaan sistem seperti Rule of Law ataupun rechtsstaat tidak memiliki

kedua hal tersebut.

Suatu badan peradilan, terkhusus dalam konteks ini Mahkamah

Konstitusi merupakan suatu badan peradilan yang merupakan salah satu

komponen dari konsep Trias Politika yang sangat tidak bisa diabaikan

begitu saja dikarenakan tugasnya yang sangat vital yaitu salah satunya

Page 60: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

50

menjaga kesucian dari sistem demokrasi ini agar tetap kokoh dalam

Republik ini. Pengujian suatu undang-undang terhadap UUD 1945

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, merupakan

salah satu prinsip tegaknya suatu demokrasi dikarenakan undang-undang

merupakan suatu hal yang telah terlegitimasi UUD 1945 yang memang

notabenenya UUD adalah Staat Fundamental Norm ataupun norma dasar

dalam sebuah negara maka harus segera dilakukannya pengujian

konstitusionalitas atas produk hukum tersebut.

Dalam pengujian suatu undang-undang terhadap UUD 1945,

Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam putusannya tidaklah

boleh melebihi ketentuan yang ada pada pada Pasal 57 ayat (1), (2), (2a),

dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sementara dalam hal ini, apabila konteks daripada putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap pengujian pasal penghinaan presiden terhadap UUD

1945 hanya sekadar dibatalkan, hal tersebut dapat memuat suatu kebijakan

hukum (legal policy) baru yang bisa dimanfaatkan baik oleh Pemerintah

ataupun koalisi Dewan Perwakilan Rakyat yang memang pro akan

pemerintah.

Berangkat dari hal tersebut serta mencegah berimplikasinya

menjadi suatu pemerintahan yang totaliter dari pemerintah itu sendiri,

sudah seharusnya dalam hal ini Mahkamah Konstitusi melalui hakim-

hakimnya sebisa mungkin menempatkan moral dan keadilan diatas

hukum. Penerapan Judicial Activism ataupun aktifnya sistem yudikatif

merupakan salah satu jalan terciptanya moral dan keadilan didalam sistem

peradilan, dikarenakan dalam hal ini hakim memberikan putusan yang

bersifat membuat norma ataupun berisi suatu keputusan yang sifatnya

inkonstitusional bersyarat terhadap konteks ini.

Sebelumnya, Judicial Activism merupakan suatu doktrin yang

dimana doktrin tersebut mengisyaratkan agar lembaga peradilan terutama

Page 61: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

51

hakim, bersifat aktif dalam proses peradilan atau dalam konteks ini dapat

menggali nilai nilai moralitas dan keadilan yang dalam putusannya

membuat suatu norma. Penerapan Judicial Activism memang dinilai oleh

beberapa pihak merupakan salah satu keabsolutan hakim dalam membuat

hukum yang dalam hal ini, menggeser legislatif dalam hal pembuatan

norma (hukum). Tidak hanya itu, penggeseran legislatif sebagai pembuat

hukum pun secara tidak langsung membuat konsep Trias Politika dalam

hal ini mengalami kerancuan yang seharusnya lembaga peradilan tidak

dapat membuat suatu norma.

Bahwa dalam konteks pengujian pasal penghinaan presiden yang

terdapat dalam KUHP diujikan terhadap UUD 1945, Mahkamah

Konstitusi hanya membatalkan pasal tersebut tanpa membuat pernyataan

yang berisikan larangan penggunaan pasal tersebut. Jika diilahmi lebih

dalam, pembatalan tanpa adanya redaksi larangan penggunaan pasal

tersebut, dapat mengindikasikan dibuatnya suatu kebijakan hukum (legal

policy) baru tentang pasal tersebut dalam rancangan KUHP terlebih jika

hakim Mahkamah Konstitusi hanya terpaku pada teks tertulis (undang-

undang) yang ada tanpa menerapkan nilai-nilai dari hak asasi manusia itu

sendiri. Kita ketahui bersama, bahwa implikasi daripada pasal tersebut jika

digunakan kembali dalam rancangan KUHP, memungkinka pemerintah

terutama presiden bersama golongan-golongannya dapat melanggengkan

kekuasaannya dengan memberdayakan pasal tersebut jikalau memang ada

pihak yang tidak sependapat dengan pemerintah terutama presiden.

Satjipto Rahardjo berpendapat, bahwa sebagai negara yang sudah

merdeka, seharusnya negara ini pun juga harus berbuat dan berpikir

merdeka yang dalam hal ini, masyarakat dari suatu negara yang sudah

merdeka tersebut juga merasakan kemerdekaan yang sebenarnya, terlebih

sebagai negara yang menjadi wadah masyarakat untuk tetap hidup dan

tinggal. Negara sudah sepantasnya menjadi ‘Bapak’ yang baik bagi warga

negaranya maka dari itu hakim, terutama hakim Mahkamah Konstitusi

dalam hal ini yang notabenenya merupakan penegak dari prinsip

Page 62: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

52

supremasi konstitusi yang menjamin adanya hak asasi manusia,

seharusnya lebih mengedepankan aspek Rule of Moral ataupun Rule of

Justice diatas Rule of Law demi mencapai nilai-nilai moral dan keadilan

yang ada pada masyarakat.11

E. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Harmonisasi Peraturan

Perundang-Undangan

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, salah satu materi muatan yang wajib diejawantahkan dalam

proses pembentukan undang-undang harus menindak lanjut putusan

Mahkamah Konstitusi, sejalan dengan hal itu Mahkamah Konstitusi

sebagai the guardian of constitution harus juga memiliki wibawa

dihadapan lembaga-lembaga yang ada di Republik ini. Setiap putusan

Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung pun harus diselaraskan

dengan peraturan-peraturan yang ada atau dapat dikatakan, dilakukannya

suatu pengharmonisasian antara putusan Mahkamah Konstitusi dengan

peraturan perundang-undangan yang ada.

Bahwa dalam melakukan pengharmonisasian terhadap peraturan

perundang-undangan yang ada atas tindak lanjut putusan Mahkamah

Konstitusi, lembaga-lembaga pemerintah atau instansi terkait terutama

dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat wajib memuat dalam proses

legislasi (revisi undang-undang). Pada putusan Mahkamah Konstitusi,

tidak dijelaskan berapa lama waktu yang harus diberi untuk batasan oleh

instansi terkait atas tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.

Selama beberapa tahun terbentuk, Mahkamah Konstitusi yang

merupakan lembaga pengawal konstitusi tidak hanya mengeluarkan

11

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2003), h

Page 63: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

53

putusan yang berupa pembatalan norma (Undang-Undang) atas apa yang

dimohonkan oleh pemohon, melainkan beragam putusan seperti

konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, dan sampai pembuatan

norma baru, menjadikan Mahkamah Konstitusi hampir disebut sebagai

‘mini parliementary’. Pun dalam penerapannya, masih ada beberapa

putusan Mahkamah Konstitusi yang ditindak lanjuti atau dalam hal ini

terjadi ‘pembangkangan’ yang dilakukan oleh lembaga terkait atas putusan

Mahkamah Konstitusi, yakni:

a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang

mencabut Pasal 263 ayat (3) KUHAP, dibantah dengan SEMA

Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali.

b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang

Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas dimana kedudukan BP

Migas dinyatakan inkonstitusional, tetapi kemudian pemerintah

membentuk SKK Migas yang secara subtantif menjalankan fungsi

yang sama seperti BP Migas.

c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang

mengabulkan permohonan pemohon dalam hal menjadikan DPD

setara dengan Presiden dan DPR dalam pembahasan RUU yang

ditentukan UUD namun, dalam hal ini DPR dan Presiden tidak

mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merevisi

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan memuat norma yang

telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.

d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 yang

membatalkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tentang Advokat terkait dengan konstitusionalitas peran LBH

Kampus. Bahwa dalam praktiknya, LBH Kampus masih sering

dilarang dalam berpraktik dengan dalih Pasal yang telah

dinyatakan inkonstitusional.12

12

Penelitian Setara Institute, ‘Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi 2015-2016’, diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 dari setara-institute.org

Page 64: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

54

e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-VII/2009 yang

membatalkan frasa-frasa yang ada pada Pasal 26C ayat (1) dan 36C

ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan, kemudian frasa ini muncul

kembali pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 pada revisi

undang-undang tersebut.13

Bahwa menurut data tersebut, beberapa Putusan Mahkamah

Konstitusi yang memang tidak dilanjuti oleh lembaga terkait menyebabkan

disharmonisasi antara putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan

produk-produk hukum yang ada. Seharusnya dalam hal ini, lembaga-

lembaga yang memang terkait, disegerakan melakukan pengharmonisasian

atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut agar tidak terjadinya suatu

kerancuan pada tatanan hukum dan sosial. Pengabaian ataupun

pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini pun dinilai

sebagai penghinaan atas lembaga yang dijuluki ‘the guardian of

constitution’.

Terlebih dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat yang memang

merupakan lembaga perwakilan rakyat, sudah seharusnya tidak melakukan

hal-hal sebagaimana data diatas, dan hal ini dapat menyebabkan distorsi

atas mekanisme check and balances yang diterapkan dalam ketatanegaraan

Indonesia.

F. Implikasi Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Tidak Patuh dalam

Menindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebagai lembaga yang merupakan representasi rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat dalam membuat suatu produk hukum yakni UU harus

memuat putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam

13Diakses melalui website Mahkamah Konstitusi; www.mahkamahkonstitusi.go.id pada

tanggal 10 Oktober 2017.

Page 65: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

55

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikarenakan putusan

Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1)

UUD 1945 bersifat final dan mengikat yang dalam artian dapat dikatakan

putusan Mahkamah Konstitusi sifatnya setara dengan UUD.

Ketidakpatuhan akan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini,

dapat menyebabkan rusaknya tatanan hukum, sosial dan politik serta

berkurangnya kepercayaan masyarakat akan Mahkamah Konstitusi sebagai

penegak supremasi dari konstitusi dan penjaga kesucian dari hak asasi

manusia itu sendiri. Mahkamah Konstitusi yang merupakan sebuah

lembaga yudikatif dan setara dengan lembaga legislatif serta eksekutif

dalam konsep yang dicetuskan oleh Montesqiue yaitu trias politika,

membuat tatanan dari konsep tersebut pun secara tidak langsung

menjadikan posisi lembaga yudikatif terlihat lemah dan tidak memiliki

wibawa serta terjadi ketimpangan dalam lembaga utama tersebut.

Bahwa kita ketahui bersama, dalam konsep trias politika semua

lembaga utama di negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memiliki

posisi yang setara dan melakukan mekanisme pengawasan, dalam hal ini

apabila Mahkamah Konstitusi yang memang putusannya tidak

ditindaklanjuti merupakan sebuah bentuk penghinaan atas lembaga

peradilan tersebut dan dapat menyebabkan mosi tidak percaya atas

lembaga peradilan tersebut dalam mengawal konstitusi dan hak asasi

manusia dikalangan masyarakat.

Pengabaian atas putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan

salah satu bentuk tindakan yang keluar dari prosedur hukum yang ada,

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa keputusan

Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat dan akhir yang artinya tidak dapat

diujikan kembali norma-norma yang sudah dibatalkan ataupun putusan

yang berisi konsitusional dan inkonstitusional bersyarat.

Page 66: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

55

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penjelasan secara komperhensif dari bab 1 sampai dengan bab 4, maka

dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi 013-022/PUU-IV/2006 merupakan sebuah

pembatalan norma terkait dengan penghinaan presiden yang ada pada pasal 134,

136 bis, 137 KUHP merupakan keputusan yang bersifat mengikat dan akhir

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adapun

dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam setiap

pembentukan suatu undang-undang harus memuat materi Putusan Mahkamah

Konstitusi.

2. Bahwa muatan dalam suatu undang-undang menurut ketentuan pasal 10 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan yang salah satunya merupakan Putusan Mahkamah

Konstitusi sejatinya merupakan suatu produk hukum yang memang notabenenya

adalah suatu pembatalan atas suatu norma yang bertentangan dengan norma di

atasnya. Oleh karena itu, jika ditinjau dari segi ilmu perundang-undangan, putusan

Mahkamah Konstitusi dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus dimuat dalam

materi pembentukan Undang-Undang.

3. Apabila DPR tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dan tetap

mencantumkan norma yang telah inkonstitusional tersebut pada rancangan KUHP,

hal tersebut dapat mengancam kebebasan berpendapat yang dianut oleh Indonesia

melalui pasal 28E ayat (2) UUD 1945 dan menjadikan presiden dalam hal ini

menafsirkan pasal tersebut untuk kepentingan presiden guna mengalahkan pihak-

pihak yang bersebrangan dengannya, terlebih dalam hal ini apabila amanat dalam

pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan tidak diejawantahkan, terutama

Page 67: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

56

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak

diejawantahkan, terutama dalam konteks RUU KUHP, hal ini merupakan bentuk

penghinaan yang dilakukan oleh baik itu lembaga legislatif maupun eksekutif

terhadap lembaga yudikatif terutama Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian

of constitution dan the sole interpreter of the constitution.

B. Saran

Bahwa demi mengantisipasi terjadinya pencantuman norma tersebut ( pasal 134,

136 bis, 137 KUHP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan/atau Presiden

yang berdampak luas pada sistem pemerintahan Indonesia (Demokrasi), berikut

beberapa saran yang dapat dijadikan acuan untuk mengantispasi terjadinya hal

tersebut:

1. Mahkamah Konstitusi sebagai garda terdepan untuk menjaga supremasi

konstitusi, dalam putusannya yang bersifat akhir (final) dan mengikat

(binding) seharusnya memuat sebuah redaksi yang berisi pelarangan

pencantuman norma yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh

Mahkamah Konstitusi itu sendiri agar tidak terjadinya judicial review

untuk yang kedua kalinya terkait dengan norma yang telah inkonsitusional.

2. Sesuai dengan ketentuan pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

yang memuat putusan tersebut bersifat akhir dan mengikat, putusan

Mahkamah Konstitusi Membuat badan pengawas yang dibuat oleh

Mahkamah Konstitusi itu sendiri yang bertujuan untuk mengawasi

jalannya putusan tersebut. karena putusan tersebut merupakan penjelmaan

dari penegakkan supremasi konstitusi yang harus dijalankan agar tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Page 68: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

58

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional diberbagai Negara, Jakarta,

Kontitusi pers 2005

________________, Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD

1945 Yogyakarta, FH UII Press 2005

Huda, Ni’Matul Hukum tata negara Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada 2005.

Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2009.

Peter Mahmud, Marzuki, Penelitian Hukum Jakarta, Kencana, 2011.

MD, Moh Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Kontitusi, Jakarta,

Rajagrafindo persada 2013.

Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi studi tentang ajudikasi konstitusional sebagai

mekanisme penyelesaian sengketa Normatif, Jakarta, Pradnya Paramita 2006.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat

Jakarta: Rajawali, 2009.

Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum Jakarta, Prenda Media

Group

Soemantri,Sri, Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum

Nasional 2004.

Bakhri, Syaiful, Hukum Pidana Perkembangan dan Pertunmbuhannya, Yogyakarta, total

media 2013.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum

Nasional 2004.

R. Saragih, Bintan dan Moh. Kusnardi, Ilmu Negara, Tangerang, Gaya Media Pratama

Jakarta, 2007.

Rohim Yunus, Nur, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta, Jurisprudence

Press, 2011.

M. Friedman, Lawrence, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ;A Social

Science Perspective), Bandung, Nusa Media, 2009.

Page 69: KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41787/1/KHAIRUL ATMA-FSH.pdf · A. Latar Belakang Masalah . Sistem ketatanegaraan Indonesia

59

Rahardjo, Satjipto, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas,

2003.

Jurnal-Jurnal

Tim Penulis Mahkamah Konstitusi, Cetak biru Membangun MK Sebagai Institusi Peradilan

Konstitusi yang modern dan terpercaya (Jakarta, Mahkamah Konstitusi Pers

2004

Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

Media Elektronik

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id;

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12388#.WdEJSvmqq

ko

http://www.setara-institute.org;http://setara-institute.org/wp-

content/uploads/2016/09/Mendorong-Kepatuhan-Berkonstitusi_Laporan-Kinerja-

MK_2016.pdf