KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM...
Transcript of KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM...
KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.013-022/PUU-IV/2006
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Khairul Atma
NIM: 1112048000061
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/ 2017 M
ABSTRAK
KHAIRUL ATMA. NIM 111204800061. KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.013-022/PUU-IV/2006 PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 1439 H/ 2017 M. x + 59 halaman + 2 halaman Daftar Pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana
kepatuhan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan putusan Mahkamah
Konstitusi. Peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan putusan mahkamah
konstitusi tercantum dan diamanatkan oleh Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Metode penelitian yang digunakan
dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan normatif
empiris. pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan
hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode
penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif
(undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi
dalam suatu masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan
hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Hasil dari analisis dan penelitian ini
mengungkap bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat
belum menjadi jaminan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan keputuhan
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci : DPR, Anggota DPR, Mahkamah Konstitusi, Konstitusi,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, PMK No 013-022/PUU-IV/2006,
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas
segala rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
KEPATUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJALANKAN
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.013-022/PUU-IV/2006 dengan lancar dan baik.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.
Peneliti juga ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang
tua tercinta H.Mashurdi H.S dan Hj. Atik Ekawati yang telah sepunuh hati mendukung peneliti
tanpa henti hingga detik ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu peneliti baik secara
materiil maupun immaterial. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.,Selaku Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.
Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
vi
3. Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan sabar kepada peneliti
selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Terimakasih tak
terhingga untuk bapak Abu Thamrin, segala kebaikan dan ketulusan hati bapak tak akan
pernah peneliti lupakan seumur hidup.
4. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang selama ini telah memberikan ilmu
selama peneliti melaksanakan studi
5. Kepala perpustakaan yang telah memfasilitasi serta melayani peneliti dengan baik
sehingga peneneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar
6. Segenap teman-teman HMI Komfaksy, HMPS Ilmu Hukum, AMPUH, PSHK, MCC UIN
JKT, BLC, Senat Fakultas Syariah dan Hukum dan seluruh teman-teman.
7. Seluruh pihak yang telah membantu peneliti sejauh ini yang tidak dapat peneliti sebutkan
satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT.
Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 17 Desember 2017
Penulis
Khairul Atma
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... v
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah ........................ 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................................... 8
E. Metode Penelitian......................................................................................................... 10
F. Kerangka Teori dan Konseptual................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan .................................................................................................. 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF PEMBENTUK
UNDANG – UNDANG
A. Teori Perwakilan .......................................................................................................... 15
B. Landasan Yuridis Dewan Perwakilan Rakyat .............................................................. 19
C. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat ................................................................ 21
D. Pengujian Konstitusionalitas Suatu Undang-UndanG ................................................. 24
E. Mahkamah Konstitusi Sebagai Penguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 ...................................................................................................... 26
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAI PENGUJI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
A. Landasan Yuridis Mahkamah Konstitusi ..................................................................... 30
B. Peran Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi .................................................. 30
C. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai reprsentatif rakyat yang wajib meng-
ejawantah-kan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-
IV/2006 pada Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ............................................. 37
viii
BAB IV TITIK SINGGUNG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 ...................... 39
B. Keharusan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Putusan
Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006) ................................. 44
C. Progresifitas Mahkamah Konstitusi Dari Negatif Legislator Menjadi Positif
Legislator ....................................................................................................................... 47
D. Penerapan Judicial Activism dalam Semangat Progresifitas Hukum demi
Menggali Nilai-Nilai Moral dan Keadilan pada Pengujian Pasal Penghinaan
Presiden ......................................................................................................................... 49
E. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan ....................................................................................................................... 52
F. Implikasi Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Tidak Patuh dalam
Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi .......................................................... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 56
B. Saran ........................................................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini telah banyak mengalami
perubahan yang sangat penting dan mendasar, perubahan tersebut
merupakan hasil amandemen Undang-undang Dasar 1945 untuk
selanjutnya disebut UUD yang telah dilakukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) pada tahun 1999 hingga 2002. Perubahan tersebut dilatar
belakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintah yang
demokratis dengan checks and balances yang setara dan seimbang diantara
cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan,
serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.
Pasca Amandemen UUD telah terjadi pergeseran sistem
ketatanegaraan dalam penyelenggaraan negara, dengan tidak ada lagi
lembaga yang supreme yang sebelumnya diperankan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta adanya penegasan pemisahan kekuasaan
dan prinsip check and balances perubahan tersebut berimplikasi pada
kewenangan untuk menjaga konstitusi dan menilai pelaksanaan konstitusi
sebagai hukum tertinggi (the law of the land).1
Seperti telah dikemukakan, perubahan terhadap UUD telah
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan yang
berlaku, perubahan seperti meliputi jenis dan jumlah lembaga negaranya,
serta sistem perwakilan, dan sistem peradilan.2
1Tim Penulis Mahkamah Konstitusi, Cetak biru Membangun MK Sebagai Institusi
Peradilan Konstitusi yang modern dan terpercaya (Jakarta, Mahkamah Konstitusi Pers 2004), h. 109.
2Sri soemantri, Hukum dan Kuasa Konstitusi (Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional ), h. 16.
2
Indonesia merupakan negara ke-78 yang memiliki lembaga pengadilan
konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil sebuah
undang-undang. Negara Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali
memperkenalkan fungsi pengadilan konstitusionalitas.3
Melalui sejarah
perdebatan yang panjang di BPUPKI terjadi perdebatan antara Soepomo dan
Yamin yang menyimpulkan bahwa judicial review tidak di perlukan. Pada
awal orde baru, MPRS membentuk sebuah panitia Ad Hoc tetang judicial
review, tetapi hasilnya ditolak oleh pemerintah, penerimaan pemerintah atas
gagasan itu baru dituangkan secara terbatas dan setengah hati (karena tak
dapat diimplementasikan) di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
yang membuka peluang uji materi untuk peraturan- peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang.4
Hak uji undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang sejajar dengan pembuat undang-
undang selain didasari oleh pandangan perlunya checks and balances antar
lembaga negara, nampaknya mengacu pula pada alasan Jhon Marshall, ketua
Mahkamah Agung Amerika Serikat. Jhon Marshall untuk pertama kalinya
dalam sejarah ketatanegaraan melakukan judial review dengan membatalkan
judicial act 1789 karena bertentangan dengan konstitusi Amerika.5
Pada perubahan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang ketiga, tahun 2001,
memberikan penegasan bahwa kekuasaan kehakiman adalah lembaga yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan; sedangkan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa
3Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta, Prenda Media
Group), h. 109.
4Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Kontitusi (Jakarta,
Rajagrafindo persada), h. 98.
5Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Kontitusi (Jakarta,
Rajagrafindo persada 2011 ), h. 99.
3
kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi dengan kompetensi yang berbeda.6
Secara konseptual gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
Mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam
hal menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum, selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh
presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD.7
Seluruh kewenangan yang ada pada Mahkamah Konstitusi pada
prinsipnya untuk menegakan keadilan dan hukum konstitusional, yang
dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berada digarda
terdepan atas potensi pelanggaran Hak-Hak yang paling mendasar dari setiap
warga masyarakat.8
Peradilan konstitusi memiliki kekuasaan untuk menyatakan undang-
undang yang ditetapkan melalui tindakan bersama legislatif dan eksekutif
batal dan tidak berlaku apabila dinilai bertentangan dengan UUD, bahkan di
penegak hukum telah muncul kecemasan bahwa Mahkamah Konstitusi telah
menjadi superbody yang mengatasi lembaga-lembaga lain karena secara
sepihak suka menafsirkan UUD tanpa dapat dipersoalkan karena hakekatnya
putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat maka oleh karena
6
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional diberbagai Negara, (Jakarta, Kontitusi pers 2005) h. 8.
7Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta, Prenda Media
Group), h. 110.
8Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi studi tentang ajudikasi konstitusional sebagai
mekanisme penyelesaian sengketa Normatif (Jakarta, Pradnya Paramita 2006) h. 264.
4
itu untuk mengatasi kemungkinan persengketaan antar lembaga negara yang
di atur didalam UUD yang memiliki derajat yang sama Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga penyeimbang dan pemutus sengketa antara lembaga negara
yang bersengketa tersebut.9
Meskipun kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi final dan mengikat
namun sering kali putusan Mahkamah Konstitusi tidak dijalankan dengan baik
oleh Dewan Perwakilan Rakyat didalam suatu peraturan yang dibentuknya
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, yang dapat dikatakan
mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan
undang-undang.10
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006
mengenai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden R.I terhadap UUD
1945. Konklusi Mahkamah Konstitusi menyatakan kehormatan pribadi, nama
baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah
hak konstitusional (constitutional right) yang harus dilindungi hukum.
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang (Pasal 20), perubahan ini memindahkan titik berat kekuasaan yang
sebelumnya berada ditangan presiden 1945 menjabarkan kekuasaan Dewan
Perwakilan Rakyat :
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
9Moh.mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta,
Pustaka LP3ES 2007), h. 98.
10 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945 (Yogyakarta, FH UII Press 2005), h. 170.
5
3) Jika rancangan undang-undang tersebut tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.11
Secara umum, dipahami oleh masyarakat bahwa fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat meliputi fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi
anggaran. Dari ketiga fungsi itu biasanya yang paling menarik perhatian para
politisi untuk di perbincangkan adalah tugas sebagai pemrakarsa pembuat
undang-undang.
Disinilah terjadi titik singgung antara Mahkamah Konstitusi dan
Dewan Perwakilan Rakyat yang mana Mahkamah Konstitusi memiliki
wewenang sebagai penafsir dan penguji suatu undang-undang terhadap UUD
yang mana kerapkali undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat bersama dengan pemerintah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
dengan alasan undang undang tersebut bertentangan dengan kaedah–kaedah
UUD.12
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang telah memiliki hukum
tetap serta mengikat sering tidak ditindak lanjuti oleh Dewan Perwakilan
Rakyat selaku lembaga legislatif. Sementara sangatlah jelas ketentuan didalam
Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
muatan yang harus di atur didalam undang-undang :
11
Ni’matul Huda, Hukum tata negara Indonesia (Jakarta, Rajagrafindo Persada 2005) h. 166.
12Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi studi tentang ajudikasi konstitusional sebagai
mekanisme penyelesaian sengketa Normatif (Jakarta, Pradnya Paramita 2006) h. 266.
6
1) Peraturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2) Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang
3) Pengesahan perjanjian internasional tertentu
4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat
Sudah sangat jelas dalam presepsi Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2011 memerintahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk menindak lanjuti putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
hukum dalam bentuk skripsi dengan judul “KEPATUHAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJALANKAN PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI”
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan yang berkaitan dengan Kepatuhan dari Dewan Perwakilan
Rakyat didalam menidaklanjuti putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi:
a. Kekuatan dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat
tidaklah menjadi jaminan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
ditindak lanjuti secara benar oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Lemahnya Mahkamah Konstitusi dikarenakan tindak lanjut terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi minim dan cenderung diabaikan.
c. Meskipun amanat Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 muatan peraturan perundang undangan yang dibentuk
Dewan Perwakilan Rakyat harus bermuatan Putusan Mahkamah
Konstitusi tidak diilhami dengan baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat
7
sehingga putusan Mahkamah Konstitusi diputus tanpa ada
pengimplementasian yang dijawantahkan didalam sebuah peraturan
perundang-undangan.
d. Tiadanya kepastian hukum yang terjadi terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi yang tidak ditindak lanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya permasalahan yang peneliti singgung dalam
indentifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah skripsi ini
membatasi pada tingkat kepatuhan Dewan Perwakilan Rakyat didalam
menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-
IV/2006 mengenai penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden R.I.
3. Rumusan Masalah
Agar penelitian berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat
perumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kekuatan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
013-022/PUU-IV/2006 berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan?
b. Bagaimana implikasi apabila jika tidak dilaksanakannya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Untuk menganalisis kekuatan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 013-022/PUU-IV/2006 berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
8
b. Untuk menganalisis implikasi hukum jika Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2011 tidak dilaksanakan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih positif dan manfaat dalam segi praktisi dan akademisi, yaitu:
a. Secara Akademisi
Penelitian ini dapat dijadikan sebuah landasan ataupun aspek
penelitian pada kajian keilmuan terkhusus hukum tata negara. Selain
menjadi landasan ataupun aspek, penelitian ini juga ditujukan untuk
menjadi bahan pendukung untuk penelitian terhadap seluruh kalangan
terutama akademisi, mahasiswa, ataupun masyarakat umum.
b. Secara Praktisi
Memberikan informasi bagi seluruh stakeholder atau para pemangku
kebijakan sekaligus seluruh akademisi secara luas mengenai tingkat
kepatuhan DPR didalam menindak lanjuti Putusan dari Mahkamah
Konstitusi ataupun kalangan akademisi untuk melakukan sebuah
tindakan konkrit yang memang diperlukan agar lembaga representatif
rakyat tersebut tidak keluar dari jalur peraturan perundang-undangan.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian
yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi ataupun penelitian-penelitian
lainnya yang pernah membahas terkait kepatuhan DPR didalam
menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi. Berikut, beberapa penelitian
tersebut:
9
1. Judul Skripsi; Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan
Rakyat Dalam Pengangkatan Hakim Agung: analisis putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang seleksi calon Hakim Agung di
DPR yang ditulis oleh Diah Savitri dengan NIM 1110048000042;
Mahasiswa konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2014. Bahwa dalam skripsi ini ditulis atas reaksi putusan
Mahkamah Konstitusi yang memjelaskan secara komperhensif tentang
kekuasaan yudikatif dan legislatif di Indonesia, sedangkan skripsi yang
saya tulis kali ini berbeda, yaitu mengenai kepatuhan lembaga legislatif
yang pada konteks ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam
menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi.
2. Judul Skripsi; Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislator pada Uji
Materil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia yang
ditulis oleh Agung Sudrajat dengan NIM 0806461096; Mahasiswa Ilmu
Hukum dengan konsentrasi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Tahun 2012. Bahwa dalam skripsi ini lebih
mempertajam terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang
mengarah kepada progresifitas dari lembaga yudikatif itu sendiri,
sementara skripsi yang saya tulis, mengenai kepatuhan lembaga legislatif,
menaati lembaga penguji undang-undang (Mahkamah Konstitusi) sebagai
penjelmaan ataupun penafsir konstitusi agar produk undang-undang
ataupun hukum yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya
3. Judul Buku; Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie yang Menjelaskan terkait
dengan kedudukan lembaga negara, termasuk kedudukan DPR RI pasca
reformasi berdasarkan UUD 1945 dan tugas serta fungsi dan
wewenangnya, sedangkan skripsi yang saya tulis mengenai kepatuhan
10
Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan putusan Mahkamah
Konstitusi.
4. Judul Jurnal; Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur
Ketatanegaraan di Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
SH. yang menjelaskan terkait dengan komparasi lembaga yudikatif
tersebut (Mahkamah Konstitusi) dengan lembaga kepresidenan dan
lembaga legislatif, sedangkan skripsi yang saya tulis berupa hubungan
antara lembaga legislatif (DPR) kepada lembaga yudikatif (Mahkamah
Konstitusi) yang kali ini wajib meng-ejawantahkan putusannya.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis
dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan
konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.13
Penelitiam hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan pula pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala
yang bersangkutan.14
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: Rajawali, 2009, cet.Ke-11), h. 14.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Uinversitas Indonesia Press,
2007, cet.Ke-3), h. 43.
11
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada
norma hukum yang terdapat pada peraturan Perundang-undangan dan
keputusan pengadilan.15
Serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau
juga yang menyangkut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat,
adapun sumber-sumber yang dilakukan untuk mendukung penelitian ini:
1. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan bahan
hukum utama yang belum pernah di olah oleh orang lain yang terdiri
dari:
1) Undang-undang Dasar 1945 pasca amandemen.
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan
Pembentukan Perundang-undangan.
3) Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indoneia (DPD-RI) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPRD).
b. Bahan Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua duplikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi hukum meliputi
buku-buku hukum, jurnal hukum, skripsi, dan komentar-komentar para
ahli dan pakar hukum tata negara.
c. Bahan Hukum Tersier
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2011, cet.Ke-3) h. 142.
12
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan informasi
lebih lanjut terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder antara lain
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum, majalah, koran,
blog dan lainnya.
2. Prosedur Pengumpulan Data
Adapun bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
atau bahkan bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis
untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara deduksi yakni
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke suatu
permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih kongkrit.16
3. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Bahan pengolahan data penelitian menelaah sistematika peraturan
perundang-undangan, yang dilakukan adalah mengumpulkan peraturan di
bidang yang berkaitan dengan penelitian. Selanjutnya diadakan analisa
dengan mempergunakan, pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum,
yang mencakup: a. Subyek hukum, b. Hak dan kewajiban, c. Peristiwa
hukum, d. Hubungan hukum, dan e. Obyek hukum.
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Bahwa dalam membahas hal ini, membutuhkan penjelasan definisi baik secara
teori ataupun secara harfiah untuk mengurai konsep yang dijelaskan dalam
pembahasan:
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ( Jakarta: Kencana, 2011, cet.Ke-8 h.42.
13
1) Dewan Perwakilan Rakyat merupakan salah satu bentuk demokrasi secara
tidak langsung atau dalam hal ini diwakilkan melalui orang-orang yang
terpilih secara sah melalui pemilihan umum untuk menyuarakan aspirasi-
aspirasi rakyat dalam pemerintahan.
2) Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan yang menegakan
supremacy of the constitution di Indonesia, yang mana dalam hal ini
lembaga peradilan tersebut menjaga penuh kesucian UUD 1945 dari
adanya produk hukum (dalam hal ini Undang-Undang) yang bertentangan
dengannya.
3) Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang menurut Pasal 24C
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan putusan yang bersifat
akhir dan mengikat bagi siapapun yang salah satunya untuk menguji
produk undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.
4) Revisi Undang-Undang merupakan proses legislative review yang
dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau merupakan salah satu
kekuasaan legislatif dengan materi muatan salah satunya menurut Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-Undangan adalah salah satunya tindak lanjut atas Putusan
Mahkamah Konstitusi.
G. Sistematika Penulisan
Untuk dapat menuangkan hasil penelitian kedalam bentuk penulisan
yang benar, tersistematis dan teratur, maka skripsi ini disusun dengan
sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab sebagai berikut :
BAB 1 : Bab satu menjelaskan tentang latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
(Review) studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
14
BAB II : Bab dua ini akan menjelaskan tentang tinjauan teoritis mengenai
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif pembentuk
undang-undang, teori responsif, teori perwakilan, landasan yuridis
Dewan Perwakilan Rakyat dan fungsi legislasi Dewan Perwakilan
Rakyat.
BAB III : Bab tiga akan menjelaskan lebih dalam lagi mengenai Mahkamah
Konstitusi sebagai penguji peraturan perundang-undang, landasan
yuridis Mahkamah Konstitusi, peran fungsi dan wewenang
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi sebagai penguji
undang-undang terhadap UUD 1945, pengujian konstitusionalitas
suatu UU.
BAB IV : Bab empat akan menjelaskan tentang titik singgung DPR didalam
menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, ambiguitas posisi
positif dan negatif legislator sehingga terjadi ketidakpastian
hukum, analisis penulis Keharusan Dewan Perwakilan Rakyat
didalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, analisa
kasus putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembatalan norma
terkait penghinaan terhadap presiden.
BAB V : Bab lima akan menjelaskan tentang kesimpulan dan saran
berdasarkan bab-bab sebelumnya
15
BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF PEMBENTUK UNDANG -
UNDANG
A. Teori Perwakilan
Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan
prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan
rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui
lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada
masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang
diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga
berkaitan dengan bagaimana hubungan serta kedudukannya.1Heinz Eulau
dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga
pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya
"wakil", yaitu adanya partai, adanya kelompok, dan adanya daerah yang
diwakili.
Alfred de Grazia dalam tulisannya mengenai perwakilan politik
bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu
wakil dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk
melakukan berbagai macam tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan
yang dibuatnya dengan terwakil.2 Dalam hal melaksanakan kewenangan
ini, rakyat yakin bahwa segala kehendak dan segala kepentingannya akan
diperhatikan didalam pelaksanaan kekuasaan negara. Cara melaksanakan
kekuasaan negara ialah
1Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat (Banda Aceh: Syiah Kuala University
Press, 2008 ), h.41.
2Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, cet.Ke-1, 1985), h
1.
15
BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF PEMBENTUK UNDANG -
UNDANG
A. Teori Perwakilan
Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat hubungannya dengan
prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan
rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui
lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada
masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang
diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga
berkaitan dengan bagaimana hubungan serta kedudukannya.1Heinz Eulau
dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga
pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya
"wakil", yaitu adanya partai, adanya kelompok, dan adanya daerah yang
diwakili.
Alfred de Grazia dalam tulisannya mengenai perwakilan politik
bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu
wakil dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk
melakukan berbagai macam tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan
yang dibuatnya dengan terwakil.2 Dalam hal melaksanakan kewenangan
ini, rakyat yakin bahwa segala kehendak dan segala kepentingannya akan
diperhatikan didalam pelaksanaan kekuasaan negara. Cara melaksanakan
kekuasaan negara ialah senantiasa mengingat kehendak dan keinginan
1Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat (Banda Aceh: Syiah Kuala University
Press, 2008 ), h.41.
2Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, cet.Ke-1, 1985), h
1.
16
rakyat. Jadi, setiap tindakan dalam melaksanakaan kehendak negara tidak
bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat
mungkin berusaha memenuhi segala keinginan rakyat.3
Biasanya ada kategori yang dibedakan. Kategori pertama adalah
perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional
(functional representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota
parlemen sebagai trustee, dan perannya sebagai pengemban "mandat"
Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seorang atau suatu
kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan
bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota
badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal
ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).
Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum,
tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan
perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata,
mengabaikan berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang ada di dalam
masyarakat terutama di bidang ekonomi. Beberapa negara telah mencoba
untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikusertakan wakil dari
golongan-golongan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus.
Misalnya India mengangkat beberapa orang wakil dari golongan Anglo-
Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari
kalangan kebudayaan, kesusastraan, dan pekerjaan sosial diangkat menjadi
anggota majelis tinggi. Di parlemen Pakistan dalam masa Demokrasi
Dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan perempuan dan untuk
orang-orang yang berjasa di berbagai bidang, misalnya bekas pejabat
tinggi seperti gubernur atau menteri, dan dari kalangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan, dan profesi-profesi (seperti pengacara, dan sebagainya).
Umumnya boleh dikatakan bahwa pengangkatan wakil dari berbagai
3C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, cet. Ke-2), h. 44.
17
minoritas dimaksudkan sebagai sekadar koreksi terhadap asas perwakilan
politik.4
Disamping itu dikemukakan bahwa di beberapa negara asas
perwakilan politik diragukan kewajarannya dan perlu diganti atau
sekurang-kurangnya dilengkapi dengan asas perwakilan fungsional
(functional or occupational representation). Dianggap bahwa negara
modern dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan terutama dibidang
ekonomi, yang dalam sistem perwakilan politik kurang diperhatikan dan
tidak dilibatkan dalam proses politik. Dicanangkan agar si pemilik
mendapat kesempatan untuk memilih dalam golongan ekonomi atau
profesi dimana ia bekerja, dan tidak semata-mata menurut golongan
politiknya, seperti halnya dalam sistem perwakilan politik. Golongan yang
gigih memperjuangkan pandangan ini antara lain Guild Socialist pada awal
abad ke-20.
Di Indonesia asas perwakilan fungsional (Golongan Karya) juga
telah dikenal. Disamping asas perwakilan politik. Pemilihan Umum tahun
1971 diselenggarakan dengan mengikutsertakan baik partai maupun
golongan fungsional. Teori perwakilan yang dikemukakan oleh Goerge
Jillinek adalah teori mandate.5 Dalam teori mandat, si wakil dianggap
duduk di lembaga perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat
sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di Prancis sebelum
revolusi dan dipelopori oleh Rosseau dan diperkuat oleh Petion. Sesuai
dengan perkembangan zaman, maka teori mandat inipun menyesuaikan
diri dengan kebutuhan zaman. Pertama kali lahir teori mandat ini disebut
sebagai :
1. Mandat Imperatif
Menurut ajaran teori ini si wakil bertindak dan bertugas di
lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh
4Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2016, cet.Ke-3), h.317.
5Abu Daud Busroh, Ilmu Politik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, cet.Ke-7), h.69.
18
yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak diluar instruksi
tersebut dan apabila ada hal-hal yang tidak terdapat dalam
instruksi-instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi
baru yang diwakilinya baru dapat melaksanakanya.
Untuk adanya suatu jaminan yuridis bagi rakyat agar si wakil tidak
bertindak menyimpang dari keinginannya, maka lembaga recall
ini dimaksudkan untuk dapat menarik kembali si wakil apabila
terbukti aktivitasnya tidak sesuai dengan keinginan rakyat yang
diwakilinya. Konsepsi seperti ini pada dasarnya tidak efisien dan
dapat menghambat peranan lembaga perwakilan, karena para wakil
setia saat jika ingin bertindak harus lebih dahulu menunggu
intruksi dari pihak yang diwakilinya.6
2. Mandat Bebas
Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancils dan Black
Stone Inggris. Ajaran ini mengajarkan bahwa si wakil dapat
bertindak tanpa tergantung dengan instruksi yang diwakilinya.
Menurut ajaran ini si wakil adalah orang-orang yang terpercaya
dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang di
wakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama yang
diwakilinya atau atas nama masyarakat.
3. Mandat Representatif
Dalam teori ini si wakil dianggap bergabung dalam suatu
lembaga perwakilan atau di Indonesia lebih dikenal dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Rakyat memilih dan memberikan
mandat pada lembaga perwakilan (Parlemen), sehingga si wakil
sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemiliknya apalagi
6Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat (Banda Aceh: Syiah Kuala University
Press, 2008 ), h.41.
19
pertanggung jawabanya. Lembaga perwakilan (Parlemen) inilah
yang akan bertanggung jawab terhadap rakyat.
Menurut John Stuart Mill, yaitu satu-satunya Pemerintahan
yang sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan suatu kondisi sosial
adalah yang didalamnya seluruh warga dapat berpartisipasi dalam
pemerintahan; yang setiap pertisipasinya berguna, bahkan dalam
fungsi publik yang terkecil; yang dimanapun partisipasinya itu
seharusnya besar yang diberikan tingkat perbaikan umum
masyarakat; dan pada akhirnya yang tak lebih diharapkan adalah
pengakuan seluruh warga negara untuk berbagi kekuasaan dalam
memerintah negara. Namun dalam sebuah masyarakat yang
melebihi kota kecil, ketika semua tidak dapat berpartisipasi secara
pribadi dalam segala hal selain hanya pada beberapa bagian urusan
publik yang sangat kecil, tampaknya tipe ideal untuk suatu
Pemerintahan yang sempurna haruslah berupa perwakilan ataupun
representatif.7
B. Landasan Yuridis Dewan Perwakilan Rakyat
Dasar yuridis keberadaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD, pasal 1 ayat (2) UUD 1945
mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang
berkedaulatan rakyat yang didalam pelaksanaanya menganut prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip dari kedaulatan
rakyat tersebut, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat, lembaga
perwakilan daerah yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai
demokrasi serta dapat menyerap dan serta memperjuangkan aspirasi
7Efriza, Ilmu Politik (Bandung: Alfabeta, 2013, cet.Ke-3), h.112.
20
rakyat. salah satu hal penting dalam amandemen UUD 1945 adalah
penataan kembali sistem perwakilan.8
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan
politik bangsa di Indonesia, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD,
yang dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan MPR,
DPR, DPD, DPRD. Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 diubah dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Frasa “Susunan dan Kedudukan” pada
Undang-Undang sebelumnya dihapuskan. Penghapusan tersebut
dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada
materi muatan susunan dan kedudukan saja, tetapi juga mengatur hal-hal
lain yang sifatnya lebih luas. Hal ini dilakukan dalam upaya pengefektifan
kelembagaan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Walaupun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR
tetap saja tidak lepas dari kesan atau penilaian yang kurang bagi berbagai
kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi yang berupa
Undang-Undang terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya
berdasarkan kepentingan kelompok dan kompromi politik.9
Dikarenakan seiring perkembangan dinamika hukum
ketatanegaraan dan dinamika politik yang terjadi di DPR RI maka
dibentuklah Undang-Undang terbaru yang dapat mengakomodasi dan
mengawal proses fungsi DPR RI yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD.
8Sebastian Salang. Dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan (Jakarta:
Forum Sahabat, 2009, cet.Ke-1), h.62.
9Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang atas Perubahan Undang-Undang No 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. h. 5.
21
C. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat
Menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak di bidang
perundang-undangan, sekalipun ia tidak mempunyai monopoli dalam
bidang itu. Untuk membahas rancangan Undang-Undang sering dibentuk
panitia-panitia yang berwenang untuk memanggil menteri atau pejabat
lainnya untuk dimintai keterangan seperlunya.10
Pemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang
kekuasaan legislatif menjadi titik penting untuk menjelaskan fungsi
legislasi dalam sistem Pemerintahan Presidensial. Dalam pandangan Paul
Christhoper Manuel dan Anne M. Camissa, salah satu karakter mendasar
dari sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan legislatif dan
kekuasaan eksekutif. Dengan pemisahan itu, dalam sistem presidensial,
badan legislateifmenentukan agendanya sendiri, membahas dan
menyetujui Rancangan Undang-Undang pun sendiri pula. Biasanya, badan
legislatif mengusulkan dan memformulasikan dan dapat bekerjasama
dengan eksekutif dalam merumuskan legislasi, terutama pada saat partai
politik yang sama berkuasa di kedua cabang Pemerintahan itu.11
DPR RI hasil pemilu tahun 1999 adalah DPR yang terpilih dalam
iklim politik yang relative demokratis sejak berakhirnya era orde baru
pada tahun 1998. Dengan demikian, DPR RI sekarang memiliki
kesempatan lebih besar untuk menjalankan fungsi-fungsinya secara
optimal.12
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjadi pada 19 Oktober
1999, dalam sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober
1999. Dalam perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2016, cet.Ke-3), h.323.
11
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia” (Jakarta: Persada, 2013, cet.Ke-3), h. 82.
12
T.A. Legowo, Dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia (Studi dan Analisis
Sebelum dan Setelah perubahan UUD 1945) (Jakarta: Formappi, 2005, cet.Ke-1), h.84.
22
membentuk Undang-Undang, yang diatur dalam pasal 5, berubah menjadi
Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang, dan DPR RI
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (Pasal 20 UUD 1945).
Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional
yang semula berada di tangan Presiden, dan beralih ke tangan DPR.13
Rumusan pasal 20 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut.
a. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang.
b. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.
c. Jika Rancangan Undang-Undang tersebut tidak mendapat
persetujuan bersama, Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
d. Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama menjadi Undang-Undang.
e. Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan
Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.
Biasanya, dalam berbagai konstitusi negara-negara berdaulat
diadakan perumusan mengenai tugas pembuatan Undang-Undang
(legislasi) dan tugas pelaksanaan Undang-Undang itu (eksekutif) ke dalam
dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda.
Meskipun demikian, apabila ditelaah secara mendalam, sesungguhnya
tidak satu pun teks konstitusi maupun praktik di mana pun yang
memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu secara
kaku. Baik dalam rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktik,
fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih.
13
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010,
cet.Ke-5), h. 167.
23
Pergeseran kewenangan membentuk Undang-Undang dari
sebelumnya ditangan Presiden dan dialihkan kepada DPR merupakan
langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi-fungsi
lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing yakni DPR
sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang (kekuasaan legislatif) dan
Presiden sebagai lembaga pelaksana Undang-Undang (kekuasaan
eksekutif).
Perubahan UUD 1945 yang tercakup dalam materi tentang Dewan
Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk memberdayakan DPR dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih oleh
rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya.
Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga DPR serta hak
anggota DPR yang diatur dalam Pasal 20A, berbunyi sebagai berikut.
(1) Dewan perwakilan rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran
dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-
pasal lain Undang-Undang dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar
ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul pendapat serta hak
imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Undang-Undang.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi
secara optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus
memperkokoh pelaksanaan check and balances oleh DPR akan tetapi,
sejumlah ahli hukum tata negara menilai bahwa perubahan ini justru telah
menggeser executif heavy kearah legislatif heavy sehingga terkesan bukan
24
keseimbangan yang dituju melalui perubahan UUD 1945, tetapi DPR ingin
memusatkan kekuasaan di tangannya.
Berdasarkan Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan Peran Kepolisian Negara RI, MPR juga mendelegasikan beberapa
kewenangan kepada DPR, yaitu memberikan persetujuan kepada Presiden
dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang Panglima TNI (Pasal 3
ayat (2)). Demikian juga bila Presiden hendak mengangkat seorang Kepala
Kepolisian Negara RI (Pasal 7 ayat [3]). DPR juga diberi kewenangan
untuk memilih/menyeleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi,
Gubernur Bank Indonesia, dan anggota Komisi Nasional HAM. Praktis
hampir semua bidang kekuasaan Presiden dimasuki oleh DPR. Bahkan,
bukan hanya memasuki bidang kekuasaan Presiden, tetapi dapat
mengusulkan untuk memberikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal
7A).
D. Pengujian Konstitusionalitas Suatu Undang-Undang
Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian
mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil
ataupun materiil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian
konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas.
Mahkamah konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan
Mahkamah Agung melakukan melakukan pengujian legalitas, bukan
pengujian konstitusionalitas. Dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jelas
ditentukan, "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan…". Dalam rangka pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, alat pengukur untuk menilai atau
dalam menjalankan kegiatan pengujian itu adalah undang-undang, bukan
UUD, seperti Mahkamah Konstitusi karena itu, dapat dikatakan bahwa
pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung itu adalah pengujian
25
legalitas berdasarkan undang-undang, bukan pengujian konstitusionalitas
menurut UUD 1945.14
Obyek yang diuji pun jelas berbeda. Mahkamah Agung menguji
peraturan di bawah undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi
hanya menguji undang-undang saja, bukan peraturan lain yang
tingkatannya berada di bawah undang-undang. Karena itu, tepatlah jika
dikatakan bahwa Mahkamah konstitusi menguji the constitusionality of
legislative law or legislation, sedangkan Mahkamah Agung menguji the
legality of regulation.
Konstitusi jelas tidak identik dengan naskah UUD. Kerajaan
Inggris adalah contoh yang paling mudah untuk disebut mengenai negara
yang tidak mempunyai naskah konstitusi dalam arti yang tertulis secara
terkodifikasi seperti umumnya negara lain di dunia akan tetapi, semua ahli
sepakat menyebut Kerajaan Inggris (United Kingdom) sebagai salah satu
contoh negara berkonstitusi atau constitusional state atau monarchi
konstitusional (constitusional monarcy)."
Karenanya konstitusionalitas itu tidak hanya terbatas pada apa
yang tertulis dalam naskah UUD karena itu, dalam penjelasan UUD 1945
yang asli, terdapat uraian yang menyatakan bahwa UUD itu hanyalah
sebagian dari konstitusi yang tertulis. Disamping konstitusi yang tertulis
itu masih ada konstitusi yang tidak tertulis, yaitu yang terdapat dalam
nilai-nilai yang hidup dalam praktek-praktek ketatanegaraan.Oleh karena
itu untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang-undang,
kita dapat dipergunakan beberapa alat pengukur atau penilai, yaitu (i)
naskah UUD yang resmi tertulis; beserta (ii) dokumen-dokumen tertulis
yang terkait erat dengan naskah UUD itu, seperti risalah-risalah, keputusan
dan ketetapan MPR, undang-undang tertentu, peraturan tata tertib, dan
lain-lain; serta (iii) nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek
14
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Yarsif Watampone, Cet.Ke-1, 2005 ), h. 6.
26
ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara;
dan (iv) nilai-nilai yang hidupdalam kesadaran kognitif rakyat serta
kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap
sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalam
perikehidupan berbangsa dan bernegara.
Karenanya pengertian konstitusionalitas itu bukanlah konsep yang
sempit yang hanya terpaku kepada apa yang tertulis dalam naskah UUD
1945 saja. Keempat hal tersebut adalah termasuk ke dalam pengertian
sumber dalam keseluruhan tatanan hukum tata negara atau constitusional
law yang dapat dijadikan alat pengukur atau penilai dalam rangka
pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang.
E. Mahkamah Konstitusi Sebagai Penguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Hukum acara untuk perkara pengujian undang-undang terhadap
UUD di Mahkamah Konstitusi ini agak berbeda dengan jika dibandingkan
dengan peradilan biasa karena hal yang banyak dipertimbangkan dan
diperiksa adalah opini dan tafsiran, dan bukan pada fakta, sehingga
analisis terhadap data menjadi hal yang penting dan utama untuk
disajikan.
Hal ini secara detail diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. dalam ketentuan disebutkan
bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang
yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, khususnya setelah
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang bertanggal 19 Oktober 1999.
Pemohon yang diangap memiliki legal standing (kedudukan
hukum) untuk mengajukan permohonan adalah pihak yang menganggap
27
hak/ kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu (a) perorangan
warga negara Indonesia ; (b) kesatuan masyarakat adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (c) badan hukum publik dan privat;
atau (d) lembaga negara.
Dalam mengajukan permohonan tersebut, pemohon wajib
menguraikan dengan jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
dirugikan karena adanya pembentukan UU yang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/atau ter muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan tersebut secara administrasi ditujukan kepada bagian
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan
administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon atau kuasanya
dalam 12 rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar
permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputus.
Permohonan tersebut secara administrasi ditujukan kepada bagian
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan
administrasi, misalnya keterangan lengkap diri pemohon, ditulis dalam
Bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12
rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar
permohonan dan hal-hal lain yang dimintauntuk diputus.
Terhadap permohonan tersebut, kepaniteraan dapat meminta
pemohon untuk melengkapi permohonan yang belum memiliki
kelengkapan dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak
28
pemberitahuan kelengkapan tersebut diterima pemohon dan jika
permohonan tersebut telah lengkap maka dapat dicatatkan pada Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) yang memuat secara lengkap
catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman
nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon,
dan pokok perkara. Setelah hal-hal tersebut dicatat dalam BRPK maka
Mahkamah Konstitusi telah dapat menetapkan hari sidang pertama dalam
jangka waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, Artinya
sudah dapat dimulai acara persidangan yang meliputi sidang pemeriksaan
pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan sidang putusan.
Pemeriksaan pendahuluan pada mulanya, pemeriksaan pedahuluan
juga menggunakan sidang pleno yang secara lengkap oleh sembilan hakim
konstitusi namun, semenjak perkara yang masuk sudah semakin banyak
dan beragam, Mahkamah Konstitusi kini melaksanakan sidang
pendahuluan dengan menggunakan panel yang terdiri dari tiga hakim
konstitusi. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut, hakim
konstitusi memeriksa secara lebih rinci mengenai kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan. Kemudian, memberikan nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaki permohonan dalam
jangka waktu paling lambat 14 hari.
Pemeriksaan persidangan. Sidang ini merupakan sidang yang
memeriksa secara lebih mendalam materi permohonan maupun alat bukti
yang diajukan. Alat bukti dapat meliputi beberapa jenis, yakni (a) surat
atau tulisan; (b) keterangan saksi ; (c) keterangan ahli; (d) keterangan para
pihak; (e) petunjuk; dan (d) alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu.
29
Semua alat bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum mengenai cara memperolehnya karena itu, jenis alat bukti
yang perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Penilaian terhadap sah
atau tidak sahnya itu dilakukan dalam pemeriksaan persidangan.
Disamping itu, untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi wajib
memanggil para pihak yang berperkara untuk memberikan keterangan
yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada
lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
Sidang putusan. Sebelum mengambil putusan terhadap suatu
perkara, Mahkamah Konstitusi melakukan suatu rapat permusyawaratan
hakim dalam membuat putusan yang akan diucapkan dalam sidang
pembacaan putusan. Putusan tersebut diambil berdasarkan UUD 1945
serta sesuai dengan alat buat dan keyakinan hakim dengan memuat fakta
yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang
menjadi dasar putusan. Putusan yang mengabulkan permohonan harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti. Putusan itu
memperoleh kekuatan hukum yang tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Putusan harus ditandatangani hakim yang memeriksa, mengadili,
dan memutuskan dan panitera pengganti. Untuk kemudian wajib
menyampaikan salinannya kepada pihak, juga memberikan pemberitahuan
kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA.15
15
Jimly Ashiddiqie, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h.35.
30
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAI PENGUJI PERATURAN PERUNDANG –UNDANGAN
A. Landasan Yuridis Mahkamah Konstitusi
Salah satu kelembagaan negara baru yang dibentuk untuk
memperkuat pranata demokrasi dalam struktur ketatanegaraan adalah
Mahkamah Konstitusi. Bab IX tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 24
ayat (1) UUD 1945 meyatakan kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Menegaskan kembali kedudukan
Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 telah mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi bertanggung
jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai
dengan prinsip pemerintahan yang baik.
B. Peran Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
a. Peran Fungsi Makamah Konstitusi
Dikutip Indra Pahlevi dari Slamet Effendy Yusuf, Wakil Ketua
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat,
latar belakang
1Jimly Ashiddiqie, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan
Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h.16.
31
Republik Indonesia adalah berasal dari kenyataan banyaknya problem-
problem ketatanegaraan yang bermula dari perbedaan atau sengketa
menginterpretasi UUD oleh lembaga-lembaga kenegaraan. Fungsi
Mahkamah Konstitusi pada awalnya oleh Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia diarahkan meliputi:
1. Untuk memeriksa dan mengadili sengketa di bidang hukum
ketatanegaraan.
2. Melakukan pengujian terhadap peraturan di bawah UUD.
3. Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan.
4. Mengadili pembubaran partai politik.
5. Mengadili persengketaan antarinstansi pemerintah di pusat, atau
antara instansi pemerintah pusat- pemerintah daerah.
6. Mengadili suatu pertentangan undang-undang.
7. Memberikan putusan atas gugatan yang berdasarkan UUD.
8. Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam
hal Dewan Perwakilan Rakyat meminta Majelis Permusyawaratan
Rakyat bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap
menghianati negara atau merusak nama baik lembaga
kepresidenan. 2
b. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan dalam
UUD, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur
dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan
Mahkamah Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya.
Wewenang Mahkamah Konstitusi ini secara khusus diatur dalam pasal
24 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan " Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga – lembaga negara
2Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam
Sitem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006 ), h.20.
32
yang kewenangannnya diberikan oleh UUD, memutuskan
pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil
pemilihan umum".3 Sementara dalam ketentuan Pasal 24C ayat (2)
UUD 1945 Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau
wakil presiden menurut UUD. Ketentuan-ketentuan tersebut
ditegaskan kembali pengaturannnya dalam UU Mahkamah Konstitusi
Pasal 10 ayat (1) dan (2).
Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi sebenarnya
dapat dikatakan merupakan sebuah kewenangan untuk memberikan
putusan atas pendapat DPR terhadap dugaan pelanggaran oleh
presiden dan /atau wakil presiden. Dugaan pelanggaran yang dimaksud
adalah bahwa presiden dan /atau wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana presiden dan/atau
wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan/atau
presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/dan atau wakil
presiden.
Berikut ini akan dijelaskan dan dijabarkan kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang telah diberikan UUD 1945.
1. Pengujian Undang-Undang
UUD telah meletakkan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia
terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan (judicial review). Kewenangan untuk menguji
undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
(pasal 24 C ayat (1) UUD 1945), sedangkan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
3Jimly Ashiddiqie, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan
Konstitusi Yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h.21.
33
undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24 A ayat (1)
UUD 1945).
Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD merupakan
suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksanaan
kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara
hukum dan demokrasi. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme
pengujian konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara dan
demokrasi telah mendapatkan penegasannya.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian konstitusionalitas
suatu undang-undang dapat dilakukan secara formal dan materiil
(Pasal 51 ayat (3)). Pengujian secara formal menelaah apakah
pembentukan undang-undang telah memenuhi prosedur pembentukan
berdasarkan ketentuan UUD 1945, Sementara pengujian undang-
undang secara materiil memeriksa apakah materi muatan dalam ayat,
pasal, dan /atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara
Hak dan kekuasaan ini selengkapnya dirumuskan dalam UUD,
yakni memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD. Dari rumusan tersebut dapat
dijelaskan bahwa sengketa lembaga negara yang menjadi kompetensi
Mahkamah Konstitusi adalah sengketa kewenangan, bukan mengenai
sengketa yang lain dan lembaga negara tersebut adalah lembaga negara
yang diatur dan ditentukan kewenangannya melalui UUD.
Jika dirinci, lembaga-lembaga yang disebut dalam UUD 1945 hasil
perubahan di antaranya adalah MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA
dan Komisi Yudisial. Selain itu ada komisi pemilihan umum dan
bank. Kecuali bank sentral, seluruh lembaga lainnya diatur
kewenangannya dalam UUD.
34
Dalam UU Mahkamah Konstitusi tidak ada pengesahan dan
penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Pasal 61 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya mengatur bahwa pemohon
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan
yang dipersengketakan.
Sedangkan dalam pasal lainnya dinyatakan bahwa Mahkamah
Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan
lembaga negara pada Mahkamah Konstitusi (Pasal 65). Tampaknya,
mengenai hal ini, undang-undang memberikan keleluasaan bagi hakim
untuk menafsirkan apa dan siapa lembaga negara yang dapat
bersengketa di Mahkamah Konstitusi .
3. Memutus Pembubaran Partai Politik
Kewenangan lain Mahkamah Konstitusi adalah membubarkan
partai politik. Di dalam UUD 1945 tidak dirumuskan syarat atau
larangan apa yang mengakibatkan partai politik dibubarkan. Ini
berbeda dengan konstitusi Jerman (Basic Law For the Federal
Republic of Germany) dengan pasal 21 ayat (2)-Nya menyatakan
antara lain bahwa partai politik (parpol) yag berdasarkan tujuan-
tujuannya atau tingkah laku yang berkaitan dengan kesetiaan
mengganggu (menghalangi/mengurangi) atau menghilangkan tata
dasar demokrasi yang bebas atau mengancam kelangsungan negara
Republik Federal Jerman (RFJ) harus dinyatakan inkonstitusional oleh
Pengadilan (Mahkamah ) Konstitusi Federal Constitutional Court).
Alasan pembubaran partai politik dapat ditemukan secara implisit
dari Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yakni
berkaitan dengan ideologi, asas, tujuan, program, kegiatan partai
politik yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sementara
pihak yang menjadi pemohon adalah pemerintah. Adapun pelaksanaan
pembubaran partai politik di Indonesia dilakukan dengan membatalkan
pendaftaran pada pemerintah dalam proses pemeriksaan permohonan
35
pembubaran partai politik wajib diputus paling lambat 60 hari (PAsal
71 dan 73 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003).
4. Memutus Perselisihan Hasil Pemilu
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilihan umum di
Indonesia, hasil suara yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dapat diperkarakan melalui Mahkamah Konstitusi. Perkara
yang dimohonkan itu diberkenaan dengan terjadinya kesalahan hasil
perhitungan suara yang dilakukan KPU. Dalam UU Mahkamah
Konstitusi ditentukan bahwa yang dapat dimohonkan pembatalannya
adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memengaruhi
(i) Terpilihnya calon anggota DPD,
(ii) Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua
pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan
calon presiden dan wakil presiden, serta
(iii) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu
daerah pemilihan (Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No.24 Tahun
2003).
Sementara permohonannya adalah (a) perorangan warga negara
Indonesia (WNI) calon anggota DPD; (b) pasangan calon presiden dan
wakil presiden peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden
(c) partai politik peserta pemilihan umum (Pasal 74 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003). Berdasarkan ketentuan tersebut,
dapat dijelaskan bahwa pihak yang dapat menjadi pemohon dalam
pemilu presiden adalah pasangan calon presiden-wakil presiden yang
ditetapkan masuk putaran kedua serta terpilihnya presiden- wakil
presiden, sementara pasangan calon yang tidak meraih suara signifikan
yang dapat mempengaruhi lolos-tidaknya suatu pasangan ke putaran
kedua, atau terpilih menjadi presiden –wakil presiden, tidak
diperkenankan sebagai pemohon atau memiliki legal standing yang
36
kuat. Disisi lain, dalam pemilu legislatif, pihak yang menjadi pemohon
adalah hanya partai politik peserta pemilu. Dalam hal ini permohonan
perkara hanya dapat diajukan melalui pengurus pusat partai politik.
Anggota partai dan pengurus wilayah atau cabang tidak dapat
mengajukan sendiri perkara perselisihan hasil pemilu.
5. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden
Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi ini
merupakan refleksi proses pemberhentian (impeachment ) terhadap
presiden yang sebelumnya hanya berdasarkan mekanisme dan
pertimbangan politik. Penempatan peran Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan agar dalam proses pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum. Sesuai
ketentuan Pasal 7B ayat 1-5, Mahkamah Konstitusi berkewajiban
untuk memeriksa dugaan DPR atas pelanggaran hukum berupa (1)
penghianatan terhadap negara, (2) korupsi, (3) penyuapan, (4) tindak
pidana berat lainnya, (5) perbuatan tercela, serta (6) tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Usul
pemberhentian berdasarkan alasan-alasan tersebut dilakukan oleh
DPR. DPR dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus dugaan atau pedapat DPR tersebut.
Mahkamah Konstitusi wajib menyelesaikan perkara ini dalam
waktu 90 hari, karena kewenangan ini menjadi suatu hal yang
diwajibkan, apabila hakim konstitusi dengan sengaja menghambat
pelaksanaan kewenangan dapat diberhentikan dengan tidak hormat
(Pasal 23 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi). Selanjutnya apabila Mahkamah
37
Konstitusi memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden
bersalah, DPR meneruskan usul pemberhentian kepada MPR.
Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai
memutuskan apakah presiden dan/atau wakil presiden layak diberhentikan
atau tidak. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pertimbangan hukum
dan membuktikan benar tidaknya dugaan atau pendapat DPR. Wewenang
pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden ada pada institusi MPR.
Proses persidangan selanjutnya di MPR yang akan menentukan kemudian
apakah presiden dan/atau wakil presiden yang sudah diputus bersalah oleh
Mahkamah Konstitusi bisa diberhentikan atau tidak.
C. Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Representatif Rakyat yang Wajib
meng-ejawantah-kan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomr 013-
022/PUU-IV/2006 Pada Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 013-022/PUU-
IV/2006 seharusnya dalam hal ini, tidak hanya membatalkan suatu norma
yang berada pada pasal-pasal yang dimohonkan tersebut. Jika mengacu
pada ketentuan Pasal 57 (1) dan (2) Undang-Undang 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, pasal 57 ayat (2a) memang menegaskan bahwa,
perintah kepada pembuat undang-undang, dan rumusan norma sebagai
pengganti norma yang bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa setidaknya Mahkamah Konstitusi dapat memuat suatu
redaksi yang bersifat melarang sebuah penggunaan norma pada suatu
produk undang-undang yang telah inkonstitusional terhadap UUD 1945
sehingga dalam hal ini terdapat kepastian hukum untuk tidak
menggunakan kembali norma tersebut baik oleh Legislatif, Eksekutif,
dan/atau pembuat undang-undang lainnya.
38
Mahkamah Konstitusi setidaknya pada konteks ini, dapat
memberikan peluang kepada Presiden dan/atau DPR agar membuat suatu
kebijakan hukum (legal policy) baru terkait dengan penghinaan presiden
yang dituangkan kepada undang-undang KUHP tersebut lantaran putusan
tersebut hanya menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional terhadap
UUD, dan hal ini merupakan sebuah celah hukum yang dapat
dimanfaatkan oleh Presiden dan/atau DPR yang memang sedang
menguasai sebuah pemerintahan pada periode tertentu.
Berkaca pada contoh kasus tersebut terkait pembangkangan
lembaga-lembaga terkait hal ini pun seharusnya menjadi catatan sendiri
untuk Mahkamah Konstitusi agar putusannnya yang bersifat akhir (final)
dan mengikat (binding) tetap dipatuhi. Selain penambahan redaksi pada
putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang berisi
pelarangan penggunaan norma yang telah inkonstitusional, Mahkamah
Konstitusi, sebaiknya membuat suatu badan pengawas yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yang bertujuan untuk mengawasi
jalannya putusan tersebut untuk dipatuhi oleh setiap elemen. Mengingat
dalam hal ini, putusan daripada Mahkamah Konstitusi terkait dengan
pembatalan norma penghinaan presiden yang berada pada pasal 134, 136
bis, 137 KUHP dapat berdampak buruk bagi sistem pemerintahan
Indonesia yang memang notabenenya menganut sistem pemerintahan
demokrasi apabila kembali dihidupkan.
Bahwa dalam hal ini, apabila pencatutan norma tersebut tetap
dimuat dalam suatu produk undang-undang yang pada konteks ini ialah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), presiden dapat berkuasa
dengan leluasa dan menjadikan norma penghinaan presiden tersebut
sebagai alasan untuk ditafsirkan dalam berbagai sisi apabila ada pihak
yang bersebrangan dengan pemerintah dengan melancarkan kritik dan hal
tersebut dapat mengalami pergeseran sistem pemerintahan yang berasas-
kan demokrasi menjadi tirani.
39
BAB IV
TITIK SINGGUNG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Bangsa Indonesia, yang sedang mengalami banyak perubahan,
terutama perubahan hukum yang berlandaskan perundang-undangan,
dengan standar melalui prosedur hukum1
. Hal ini ditandai dengan
amandemen Undang-undang Dasar yang mengalami 4 (empat) kali
perubahan dan terciptanya suatu lembaga-lembaga baru untuk mewadahi
subtansi daripada hasil amandemen Undang-undang Dasar tersebut. Hal
yang paling mendasar dalam perubahan ini ialah suatu struktur
ketatanegaraan yang menjadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
bukan lagi yang dahulunya disebut-sebut menjadi lembaga super power
(Lembaga Tertinggi), penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, dan
pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat didalam negara Indonesia,
melainkan saat ini setelah terjadinya amandemen Undang-undang Dasar
1945 untuk yang ke- 4 (empat) kali, kedudukannya telah setara dengan
lembaga-lembaga primary organ lainnya2.
Lembaga primary organ (Lembaga Utama) tersebut mengalami
pergeseran yang sangat signifikan sehingga dalam hal ini MPR tidak lagi
dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden, menentukan Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), melainkan lembaga tersebut hanya dapat
mengamandemen
1Syaiful Bakhri, Hukum Pidana Perkembangan dan Pertumbuhannya (Yogyakarta: total media,
2013), h.123.
2Jimly Asshiddiqie, Hukum dan Kuasa Konstitusi (Catatan-Catatan untuk Pembahasan
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi); (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 2004), h. 3
40
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai dengan
ketentuan UUD
Lebih dari itu, perubahan yang terjadi pada struktur ketatanegaraan
pun menimbulkan suatu lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK)
sebagai penegak prinsip supremasi konstitusi. Dibentuknya lembaga
tersebut, Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa biasanya lembaga-
lembaga yang dibentuk untuk menguji konstitusionalitas materi suatu
undang-undang seperti hal-nya Mahkamah Konstitusi, merupakan
pergeseran yang sangat signifikan dari negara yang sebelumnya memiliki
sistem pemerintahan yang bersifat otoriter berubah menjadi demokrasi.3
Sementara, pembentukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di
Indonesia pun, selain karena memiliki kemiripan yang sangat jelas jika
dikorelasikan dengan berakhirnya rezim Presiden Soeharto dan
dilakukannya sebuah reformasi, juga dikarenakan adanya perubahan yang
mendasar pada sifat dari MPR itu sendiri yang tidak lagi menjadi lembaga
tertinggi, oleh karena itu kesetaraan antar lembaga-lembaga utama di
negara ini terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai prinsip
supremasi parlemen dalam membuat suatu undang-undang (legislative
acts), harus diimbangi dengan adanya lembaga seperti Mahkamah
Konstitusi sebagai penegak supremasi konstitusi, agar terciptanya
mekanisme check and balances yang diterapkan pada wewenang
Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian suatu produk undang-
undang (judicial review) dan memberikan tanggapan berupa putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tetap mengawasi
jalannya pemerintahan melalui lembaga eksekutif (Presiden dan Wakil
Presiden).
3
Jimly Asshiddiqie, Hukum dan Kuasa Konstitusi (Catatan-Catatan untuk Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi); (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 2004), h. 4
41
Terciptanya Mahkamah Konstitusi pun disambut baik oleh
sebagian warga negara Indonesia yang memang pro akan pemerintahan
yang berbasis demokrasi ataupun yang dicetuskan oleh Jean Jacuqes
Rosseau. Bahwa JJ Rosseau berpendapat, kedaulatan negara seharusnya
dipegang oleh rakyat agar tidak terjadinya suatu sistem pemerintahan yang
dapat diatur oleh penguasa secara mutlak dan dapat menyebabkan
penguasa melakukan tindakan sewenang-wenang (abuse of power) dalam
menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara.4
Selain pergeseran dari struktur ketatanegaraan Indonesia,
Mahkamah Konstitusi dalam tugasnya yang sangat vital, yaitu pengujian
konstitusionalitas suatu materi undang-undang terhadap UUD menjadikan
Mahkamah Konstitusi diberi slogan sebagai penjaga ataupun garda
terdepan dalam hal, apakah suatu produk undang-undang tersebut sudah
konstitusional menurut UUD 1945.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi itu sendiri pun sangat
dimanfaatkan oleh warga negara Indonesia yang merasa haknya dilanggar
oleh suatu ketentuan undang-undang yang telah ada salah satunya muatan
yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahwa
seiring dengan berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi menerima
sebuah pengujian konstitusionalitas atas Pasal 134,136 bis, dan Pasal 137
KUHP yang isinya adalah pemidanaan terhadap seseorang (dader) yang
melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pasca
reformasi, pasal ini dirasa sudah tidak memiliki relevansi atau dalam hal
ini mengalami pembiasan terhadap subtansi yang berada pada UUD
terutama mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal 28 dan kesetaraan
dimata hukum (equality before the law) yang diperjelas didalam pasal 27
UUD 1945.
4Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Tangerang: Gaya Media Pratama Jakarta)
h. 71
42
Jika dipahami secara historis, menurut Mardjono Reksodiputro,
pencantuman pasal tersebut didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dikarenakan sebelumnya, Belanda yang juga menggunakan
kodifikasi hukum tersebut, bertujuan untuk melakukan perlindungan
khusus terhadap Ratu atau pemimpin negara mereka, dikarenakan pribadi
seorang ratu sangatlah dekat dengan kepentingan negara yang dalam hal
ini kepribadian ratu tersebut agar terhindar dari sebuah penghinaan dari
rakyatnya. Maka secara historis, perlindungan terhadap ratu belanda pada
masa itu, merupakan perlindungan khusus sehingga dibuatnya suatu pasal
mengenai penghinaan terhadap pemimpin di negara Belanda itu.5
Bahwa jika melihat secara historis, berarti jika negara Indonesia
yang telah mengalami reformasi dan pergeseran sistem pemerintahan yang
dahulu terkesan sangat menipisnya kebebasan berekspresi, sudah sangat
tidak tepat apabila penggunaan pasal tersebut tetap diterapkan pada negara
Indonesia, khususnya disesuaikan dengan subtansi pada pasal 28 UUD
1945. Pun, pasal mengenai penghinaan presiden yang terdapat di KUHP
itu sendiri dapat memicu terjadinya multi interpretasi terhadap penggunaan
pasal itu sendiri, yang mana dapat memudahkan rezim-rezim pemerintahan
menggunakan pasal tersebut, karena tidak dijelaskan lebih rinci, seperti
apa bentuk penghinaan tersebut.
Disisi lain, multi interpretasi sangatlah diperhitungkan karena
negara Indonesia yang telah berbasis demokrasi berarti kebebasan
berekspresi dan/atau berpendapat sebagaimana telah dicantumkan didalam
pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945 harus dijamin demi penyelenggaraan
pemerintahan yang memiliki kesan good governance.
Dalam hal ini, memang presiden merupakan sebuah pemimpin
negara yang harusnya mendapat suatu privilege atas jabatannya
5Keterangan Ahli Mardjono Reksodiputro pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-
022/PUU-IV/2006; h. 12
43
dikarenakan memang presiden ialah pemegang utama dalam roda
pemerintahan sebuah negara. Tetapi dalam konteks negara yang berbasis
demokrasi, seharusnya kritik dengan dasar kebebasan berekspresi yang
tentunya bertujuan untuk membantu pemerintah dalam penyelenggaraan
negara, seharusnya presiden tidak mendapat suatu privilege atas
jabatannya yang menjadikannya dengan mudah melakukan suatu
pemidanaan atas kebebasan ekspresi yang dilakukan oleh setiap warga
negara6. Karena jika disesuaikan dengan ketentuan pasal 27 ayat (1) UUD
1945 hal ini mengalami disorientasi yang seyogyanya pesamaan dimata
hukum harus ditegakkan, dikarenakan didalam frasa pasal 27 ayat (1)
UUD 1945, ialah ‘setiap warga negara’ yang mana berarti presiden pun
juga merupakan warga negara.
Bahwa sebelum dilakukannya pengujian atas konstitusionalitas
pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP terhadap UUD 1945, setidaknya ada
beberapa daftar korban atas penggunaan pasal tersebut yang dinilai
bertentangan dengan asas demokrasi itu sendiri, baik saat pemerintahan
rezim Soeharto (tanpa adanya penjelasan lebih lanjut mengenai hak asasi
manusia didalam UUD 1945) hingga pasca reformasi sebagai berikut,
yakni:
1. Nuku soleiman, aktivis Gerakan Pro-Demokrasi (1994): memasang
Stiker. Antara lain, di halaman MPR-RI, Jakarta, bertuliskan Soeharto
Dalam Segala Bencana (SDSB), dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun
penjara di tingkat Pengadilan Negeri, dan 5 (lima) tahun di tingkat
banding.
2. Sri Bintang Pamungkas, dosen Universitas Indonesia, aktivis, anggota
DPR-RI (1995): menyebut Soeharto Diktator, dalam sebuah Seminar
di Jerman, dijatuhi hukuman 2 tahun 10 bulan penjara.
6Pertimbangan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 013-022/PUU-IV/2006; h. 13
44
3. I Wayan Suardana, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM
Indonesia (PBHI), Bali (2005): dalam sebuah Penyampaian Pendapat
tentang kenaikan harga BBM, dihukum 6 bulan penjara.
4. Sri Bintang Pamungkas, dosen Universitas Indonesia, aktivis (2005):
Meluncurkan buku berjudul " Membongkar Kebohongan Politik SBY-
JK", dipanggil Polda Metro Jaya untuk diinterogasi.
5. Eggi Sudjana, Advokat (2006): Mengklarifikasi informasi kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kemungkinan Soesilo
Bambang Yudhoyono menerima hadiah mobil mewah oleh seorang
pengusaha.
Bahwa daftar tersebut menunjukkan, penggunaan pasal tersebut
menjadikan kritik-kritik yang dilakukan oleh warga negara dengan tujuan
membantu pemerintah agar memiliki kesan good governance, dan
merupakan penjelmaan daripada asas demokrasi itu sendiri, telah terciderai
akan adanya pasal tersebut.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
dalam pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap UUD
1945, membatalkan norma ataupun aturan yang terdapat pada pasal 134,
136 bis, dan 137 KUHP yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 yang
telah dilakukan amandemen untuk ke- 4 (empat) kalinya pasca reformasi.
B. Keharusan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Putusan
Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan sebuah lembaga
negara utama yang memiliki sebuah fungsi legislasi (legislative acts) atau
pada bahasa umumnya kita kenal ialah si ‘pembuat hukum’. DPR dalam
hal ini, fungsi legislasinya telah dijamin oleh konstitusi (verfassungrecht)
Republik Indonesia, pasal 20A ayat (1) UUD 1945.
45
Bahwa fungsi legislasi itu sendiri sebagaimana diperjelas melalui
pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, fungsi legislasi
merupakan bentuk daripada penjelmaan DPR sebagai lembaga perwakilan
yang merepresentasikan rakyat secara langsung didalam pemerintahan
melalui pembentukan suatu undang-undang. Oleh karena itu, secara tidak
langsung dalam sebuah proses legislasi (legislative acts) rakyat melakukan
kontribusi dalam pemerintahan melalui lembaga tersebut.
Dalam proses pembuatan suatu undang-undang (legislasi) bersama
dengan pemerintah pusat yang dalam hal ini ialah presiden, wakil
presiden, dan/atau diwakilkan oleh menteri yang bertanggungjawab akan
produk undang-undang tersebut, DPR harus mematuhi ketentuan-
ketentuan dalam proses pembuatan tersebut, termasuk juga materi-materi
yang harus dimuat dalam produk undang-undang tersebut.
Lawrence M Friedman menegaskan, sebuah produk undang-
undang sedikitnya harus memuat hal-hal berikut:
a. Penegak Hukum (Legal Structure), dalam produk undang-undang
(hukum) setidaknya harus memuat suatu pasal atau materi yang
menempatkan suatu lembaga, baik itu lembaga pemerintah ataupun
lembaga non-pemerintah yang bertugas menjalankan isi daripada
undang-undang tersebut.
b. Subtansi Hukum (Legal Subtance), subtansi hukum dalam hal ini
sangat diperhitungkan, suatu hukum dibuat untuk kepentingan
masyarakat. Pun DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, yang
memang membuat suatu produk undang-undang, materi tersebut
pun harus memuat subtansi yang menguntungkan rakyat secara
keseluruhan.
46
c. Budaya Hukum (Legal Culture), budaya hukum menjadi tonggak
sebuah materi hukum harus menyesuaikan suatu budaya disebuah
tempat hukum itu dibuat.7
Diantara ketiga hal tersebut harus dilakukan bersamaan dengan
struktur yang bertanggungjawab, kredeibel, dan kapabel serta subtansi
harus memuat rasa keadilan dan memihak masyarakat, serta budaya
hukum tersebut harus mendukung nilai-nilai yang terkandung dalam
masyarakat. Oleh karenanya, dalam suatu pembuatan produk undang-
undang, demi terciptanya suatu hukum yang bernuansa memihak
kepentingan rakyat secara keseluruhan, pasti akan melibatkan komponen-
komponen berikut dalam pembuatannya.8
Subtansi hukum sebagaimana dimaksud Lawrence M Friedman
dalam hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan suatu produk
undang-undang, selain bertujuan untuk kepentingan masyarakat luas,
subtansi hukum pun harus memperhatikan subtansi yang ada baik pada
UUD 1945, ataupun putusan Mahkamah Konstitusi seperti yang dijelaskan
dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yaitu putusan Mahkamah Konstitusi
terkait dengan pengujian undang-undang terhadap UUD bersifat final atau
akhir.
DPR yang melakukan proses Revisi Undang-Undang (legislative
review) terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau dalam hal ini
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menganggap materi
muatan yang ada pada KUHP sudah tidak memiliki relevansi terhadap
perkembangan zaman saat ini. DPR yang melakukan proses tersebut
(legislatif review) bersama pemerintah tetap harus memuat suatu materi
yang memiliki rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Selain
7Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social
Science Perspective),(Bandung: Nusa Media, 2009), h. 33
8Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia (Jakarta: Jurisprudence
Press, 2011), h. 06
47
memuat materi tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-
022/PUU-IV/2006, harus tetap menjadi acuan DPR dalam menyusun
produk hukum tersebut.
Suatu produk undang-undang menurut Pasal 10 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan secara jelas, suatu
materi muatan undang-undang harus memuat putusan Mahkamah
Konstitusi, karena putusan tersebut bersifat akhir (final) dan mengikat
(binding). Penmatuhan (menindak lanjuti) atas putusan Mahkamah
Konstitusi dari Dewan Perwakilan Rakyat pada suatu proses revisi
undang-undang (legislative review) juga merupakan bentuk terciptanya
mekanisme check and balances yang diterapkan di Indonesia. Terlebih,
putusan tersebut memuat materi yang berkaitan dengan rentannya
pelanggaran hak asasi manusia sebagai tonggak daripada terciptanya
sebuah sistem demokrasi ini.
Bahwa dalam hal ini, DPR sebagai representatif rakyat harus
menghormati nilai-nilai yang terkandung dalam hak asasi manusia,
mengingat isi daripada putusan tersebut terkait dengan pembatalan norma
pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP yang merupakan bentuk pencideraan
atas hak asasi manusia itu sendiri.
C. Progresifitas Mahkamah Konstitusi dari Negatif Legislator Menjadi
Positif Legislator.
Negara Indonesia, merupakan negara hukum yang menganut
sistem berdasarkan perpaduan antara rechtsstaat dan Rule of Law9. Sebuah
negara yang menganut sistem tersebut, menjadikan semua kebijakan-
kebijakan yang diambil pemerintah didasarkan atas suatu perundang-
9Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta:Penerbit Buku Kompas,
2003), h. 07
48
undangan, dengan kata lain, tiada suatu hukum selain undang-undang dan
hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Dewasa ini, Rule of Law sendiri secara tidak langsung menjelma
sebagai suatu sistem yang menggeser negara absolut dengan semangat
idealisme, keadilan, dan moral menjadi sistem yang dinilai mempersulit
rakyat, hal ini ditandai dengan banyaknya seluk beluk birokrat yang
dilalui10
. Pun dalam hal ini, penegakkan Rule of Law ataupun rechtsstaat
secara tidak langsung seperti menggerus rasa keadilan yang ada pada suatu
tempat dimana sistem tersebut ditegakkan. Seperti halnya suatu pasal-pasal
yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan dimana
penegak hukum harus mengikuti apa yang tertera dalam peraturan tersebut
tanpa mementingkan apakah suatu peraturan tersebut sudah memenuhi
rasa keadilan yang ada didalam masyarakat atau belum.
Meneliti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-
IV/2006 yang membatalkan norma pasal penghinaan presiden yang
terdapat di KUHP, menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
yang diberi slogan ‘negatif legislator’. Julukan tersebut dikarenakan
didalam Undang-Undang 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 57
ayat (2a) memang menegaskan bahwa suatu putusan Mahkamah
Konstitusi tidak memuat suatu amar selain ayat (1) dan (2) Pasal 57,
perintah kepada pembuat undang-undang, dan rumusan norma sebagai
pengganti norma yang bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa apabila hanya norma tersebut dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi, norma yang telah dibatalkan atau telah inkonstitusional, dapat
dijadikan celah hukum oleh Presiden dan/atau DPR untuk membuat
kebijakan hukum (legal policy) baru atas norma yang sudah dibatalkan.
10
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2003), h. 03
49
Berangkat dari hal-hal tersebut dan agar tidak terjadinya suatu
produk hukum yang cacat karena tidak menindak lanjuti dan mematuhi
putusan Mahkamah Konstitusi, hakim dalam hal ini melalui suatu
putusannya, sudah seharusnya menggali nilai-nilai keadilan yang ada.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
menyatakan, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Jika dikorelasikan
terhadap Mahkamah Konstitusi yang hanya memiliki slogan ‘negatif
legislator’, hal ini berarti menjadikan lembaga peradilan tersebut hanya
terpaku pada teks hitam putih (undang-undang tertulis).
Seharusnya dalam hal ini, hakim Mahkamah Konstitusi yang
merupakan garda terdepan dari penjaga konstitusi dan penggagas akan
terciptanya suatu keadilan sosial diseluruh rakyat, dapat melakukan suatu
progresifitas dalam setiap putusannya yang memenuhi rasa keadilan.
D. Penerapan Judicial Activism dalam Semangat Progresifitas Hukum
demi Menggali Nilai-Nilai Moral dan Keadilan pada Pengujian Pasal
Penghinaan Presiden.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan pada sub-bab sebelumnya,
Indonesia yang menganut sistem Rule of Law dan rechtsstaat menjadikan
hukum sebagai supremasi ataupun kekuasaan tertinggi untuk menjaga
pilar-pilar demokrasi seperti hak asasi manusia, kebebasan berpendapat,
dan lain-lain. Bagaimanapun, setiap sistem ataupun bentuk yang
diciptakan pastinya memiliki kelemahan dan kelebihan serta menjadi suatu
keniscayaan sistem seperti Rule of Law ataupun rechtsstaat tidak memiliki
kedua hal tersebut.
Suatu badan peradilan, terkhusus dalam konteks ini Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu badan peradilan yang merupakan salah satu
komponen dari konsep Trias Politika yang sangat tidak bisa diabaikan
begitu saja dikarenakan tugasnya yang sangat vital yaitu salah satunya
50
menjaga kesucian dari sistem demokrasi ini agar tetap kokoh dalam
Republik ini. Pengujian suatu undang-undang terhadap UUD 1945
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, merupakan
salah satu prinsip tegaknya suatu demokrasi dikarenakan undang-undang
merupakan suatu hal yang telah terlegitimasi UUD 1945 yang memang
notabenenya UUD adalah Staat Fundamental Norm ataupun norma dasar
dalam sebuah negara maka harus segera dilakukannya pengujian
konstitusionalitas atas produk hukum tersebut.
Dalam pengujian suatu undang-undang terhadap UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam putusannya tidaklah
boleh melebihi ketentuan yang ada pada pada Pasal 57 ayat (1), (2), (2a),
dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sementara dalam hal ini, apabila konteks daripada putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap pengujian pasal penghinaan presiden terhadap UUD
1945 hanya sekadar dibatalkan, hal tersebut dapat memuat suatu kebijakan
hukum (legal policy) baru yang bisa dimanfaatkan baik oleh Pemerintah
ataupun koalisi Dewan Perwakilan Rakyat yang memang pro akan
pemerintah.
Berangkat dari hal tersebut serta mencegah berimplikasinya
menjadi suatu pemerintahan yang totaliter dari pemerintah itu sendiri,
sudah seharusnya dalam hal ini Mahkamah Konstitusi melalui hakim-
hakimnya sebisa mungkin menempatkan moral dan keadilan diatas
hukum. Penerapan Judicial Activism ataupun aktifnya sistem yudikatif
merupakan salah satu jalan terciptanya moral dan keadilan didalam sistem
peradilan, dikarenakan dalam hal ini hakim memberikan putusan yang
bersifat membuat norma ataupun berisi suatu keputusan yang sifatnya
inkonstitusional bersyarat terhadap konteks ini.
Sebelumnya, Judicial Activism merupakan suatu doktrin yang
dimana doktrin tersebut mengisyaratkan agar lembaga peradilan terutama
51
hakim, bersifat aktif dalam proses peradilan atau dalam konteks ini dapat
menggali nilai nilai moralitas dan keadilan yang dalam putusannya
membuat suatu norma. Penerapan Judicial Activism memang dinilai oleh
beberapa pihak merupakan salah satu keabsolutan hakim dalam membuat
hukum yang dalam hal ini, menggeser legislatif dalam hal pembuatan
norma (hukum). Tidak hanya itu, penggeseran legislatif sebagai pembuat
hukum pun secara tidak langsung membuat konsep Trias Politika dalam
hal ini mengalami kerancuan yang seharusnya lembaga peradilan tidak
dapat membuat suatu norma.
Bahwa dalam konteks pengujian pasal penghinaan presiden yang
terdapat dalam KUHP diujikan terhadap UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi hanya membatalkan pasal tersebut tanpa membuat pernyataan
yang berisikan larangan penggunaan pasal tersebut. Jika diilahmi lebih
dalam, pembatalan tanpa adanya redaksi larangan penggunaan pasal
tersebut, dapat mengindikasikan dibuatnya suatu kebijakan hukum (legal
policy) baru tentang pasal tersebut dalam rancangan KUHP terlebih jika
hakim Mahkamah Konstitusi hanya terpaku pada teks tertulis (undang-
undang) yang ada tanpa menerapkan nilai-nilai dari hak asasi manusia itu
sendiri. Kita ketahui bersama, bahwa implikasi daripada pasal tersebut jika
digunakan kembali dalam rancangan KUHP, memungkinka pemerintah
terutama presiden bersama golongan-golongannya dapat melanggengkan
kekuasaannya dengan memberdayakan pasal tersebut jikalau memang ada
pihak yang tidak sependapat dengan pemerintah terutama presiden.
Satjipto Rahardjo berpendapat, bahwa sebagai negara yang sudah
merdeka, seharusnya negara ini pun juga harus berbuat dan berpikir
merdeka yang dalam hal ini, masyarakat dari suatu negara yang sudah
merdeka tersebut juga merasakan kemerdekaan yang sebenarnya, terlebih
sebagai negara yang menjadi wadah masyarakat untuk tetap hidup dan
tinggal. Negara sudah sepantasnya menjadi ‘Bapak’ yang baik bagi warga
negaranya maka dari itu hakim, terutama hakim Mahkamah Konstitusi
dalam hal ini yang notabenenya merupakan penegak dari prinsip
52
supremasi konstitusi yang menjamin adanya hak asasi manusia,
seharusnya lebih mengedepankan aspek Rule of Moral ataupun Rule of
Justice diatas Rule of Law demi mencapai nilai-nilai moral dan keadilan
yang ada pada masyarakat.11
E. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Harmonisasi Peraturan
Perundang-Undangan
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, salah satu materi muatan yang wajib diejawantahkan dalam
proses pembentukan undang-undang harus menindak lanjut putusan
Mahkamah Konstitusi, sejalan dengan hal itu Mahkamah Konstitusi
sebagai the guardian of constitution harus juga memiliki wibawa
dihadapan lembaga-lembaga yang ada di Republik ini. Setiap putusan
Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung pun harus diselaraskan
dengan peraturan-peraturan yang ada atau dapat dikatakan, dilakukannya
suatu pengharmonisasian antara putusan Mahkamah Konstitusi dengan
peraturan perundang-undangan yang ada.
Bahwa dalam melakukan pengharmonisasian terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada atas tindak lanjut putusan Mahkamah
Konstitusi, lembaga-lembaga pemerintah atau instansi terkait terutama
dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat wajib memuat dalam proses
legislasi (revisi undang-undang). Pada putusan Mahkamah Konstitusi,
tidak dijelaskan berapa lama waktu yang harus diberi untuk batasan oleh
instansi terkait atas tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.
Selama beberapa tahun terbentuk, Mahkamah Konstitusi yang
merupakan lembaga pengawal konstitusi tidak hanya mengeluarkan
11
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2003), h
53
putusan yang berupa pembatalan norma (Undang-Undang) atas apa yang
dimohonkan oleh pemohon, melainkan beragam putusan seperti
konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, dan sampai pembuatan
norma baru, menjadikan Mahkamah Konstitusi hampir disebut sebagai
‘mini parliementary’. Pun dalam penerapannya, masih ada beberapa
putusan Mahkamah Konstitusi yang ditindak lanjuti atau dalam hal ini
terjadi ‘pembangkangan’ yang dilakukan oleh lembaga terkait atas putusan
Mahkamah Konstitusi, yakni:
a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang
mencabut Pasal 263 ayat (3) KUHAP, dibantah dengan SEMA
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang
Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas dimana kedudukan BP
Migas dinyatakan inkonstitusional, tetapi kemudian pemerintah
membentuk SKK Migas yang secara subtantif menjalankan fungsi
yang sama seperti BP Migas.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang
mengabulkan permohonan pemohon dalam hal menjadikan DPD
setara dengan Presiden dan DPR dalam pembahasan RUU yang
ditentukan UUD namun, dalam hal ini DPR dan Presiden tidak
mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merevisi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan memuat norma yang
telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 yang
membatalkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat terkait dengan konstitusionalitas peran LBH
Kampus. Bahwa dalam praktiknya, LBH Kampus masih sering
dilarang dalam berpraktik dengan dalih Pasal yang telah
dinyatakan inkonstitusional.12
12
Penelitian Setara Institute, ‘Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi 2015-2016’, diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 dari setara-institute.org
54
e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-VII/2009 yang
membatalkan frasa-frasa yang ada pada Pasal 26C ayat (1) dan 36C
ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, kemudian frasa ini muncul
kembali pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 pada revisi
undang-undang tersebut.13
Bahwa menurut data tersebut, beberapa Putusan Mahkamah
Konstitusi yang memang tidak dilanjuti oleh lembaga terkait menyebabkan
disharmonisasi antara putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan
produk-produk hukum yang ada. Seharusnya dalam hal ini, lembaga-
lembaga yang memang terkait, disegerakan melakukan pengharmonisasian
atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut agar tidak terjadinya suatu
kerancuan pada tatanan hukum dan sosial. Pengabaian ataupun
pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini pun dinilai
sebagai penghinaan atas lembaga yang dijuluki ‘the guardian of
constitution’.
Terlebih dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat yang memang
merupakan lembaga perwakilan rakyat, sudah seharusnya tidak melakukan
hal-hal sebagaimana data diatas, dan hal ini dapat menyebabkan distorsi
atas mekanisme check and balances yang diterapkan dalam ketatanegaraan
Indonesia.
F. Implikasi Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Tidak Patuh dalam
Menindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebagai lembaga yang merupakan representasi rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dalam membuat suatu produk hukum yakni UU harus
memuat putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam
13Diakses melalui website Mahkamah Konstitusi; www.mahkamahkonstitusi.go.id pada
tanggal 10 Oktober 2017.
55
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikarenakan putusan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 bersifat final dan mengikat yang dalam artian dapat dikatakan
putusan Mahkamah Konstitusi sifatnya setara dengan UUD.
Ketidakpatuhan akan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini,
dapat menyebabkan rusaknya tatanan hukum, sosial dan politik serta
berkurangnya kepercayaan masyarakat akan Mahkamah Konstitusi sebagai
penegak supremasi dari konstitusi dan penjaga kesucian dari hak asasi
manusia itu sendiri. Mahkamah Konstitusi yang merupakan sebuah
lembaga yudikatif dan setara dengan lembaga legislatif serta eksekutif
dalam konsep yang dicetuskan oleh Montesqiue yaitu trias politika,
membuat tatanan dari konsep tersebut pun secara tidak langsung
menjadikan posisi lembaga yudikatif terlihat lemah dan tidak memiliki
wibawa serta terjadi ketimpangan dalam lembaga utama tersebut.
Bahwa kita ketahui bersama, dalam konsep trias politika semua
lembaga utama di negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memiliki
posisi yang setara dan melakukan mekanisme pengawasan, dalam hal ini
apabila Mahkamah Konstitusi yang memang putusannya tidak
ditindaklanjuti merupakan sebuah bentuk penghinaan atas lembaga
peradilan tersebut dan dapat menyebabkan mosi tidak percaya atas
lembaga peradilan tersebut dalam mengawal konstitusi dan hak asasi
manusia dikalangan masyarakat.
Pengabaian atas putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan
salah satu bentuk tindakan yang keluar dari prosedur hukum yang ada,
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa keputusan
Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat dan akhir yang artinya tidak dapat
diujikan kembali norma-norma yang sudah dibatalkan ataupun putusan
yang berisi konsitusional dan inkonstitusional bersyarat.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penjelasan secara komperhensif dari bab 1 sampai dengan bab 4, maka
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi 013-022/PUU-IV/2006 merupakan sebuah
pembatalan norma terkait dengan penghinaan presiden yang ada pada pasal 134,
136 bis, 137 KUHP merupakan keputusan yang bersifat mengikat dan akhir
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adapun
dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam setiap
pembentukan suatu undang-undang harus memuat materi Putusan Mahkamah
Konstitusi.
2. Bahwa muatan dalam suatu undang-undang menurut ketentuan pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang salah satunya merupakan Putusan Mahkamah
Konstitusi sejatinya merupakan suatu produk hukum yang memang notabenenya
adalah suatu pembatalan atas suatu norma yang bertentangan dengan norma di
atasnya. Oleh karena itu, jika ditinjau dari segi ilmu perundang-undangan, putusan
Mahkamah Konstitusi dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus dimuat dalam
materi pembentukan Undang-Undang.
3. Apabila DPR tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dan tetap
mencantumkan norma yang telah inkonstitusional tersebut pada rancangan KUHP,
hal tersebut dapat mengancam kebebasan berpendapat yang dianut oleh Indonesia
melalui pasal 28E ayat (2) UUD 1945 dan menjadikan presiden dalam hal ini
menafsirkan pasal tersebut untuk kepentingan presiden guna mengalahkan pihak-
pihak yang bersebrangan dengannya, terlebih dalam hal ini apabila amanat dalam
pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan tidak diejawantahkan, terutama
56
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak
diejawantahkan, terutama dalam konteks RUU KUHP, hal ini merupakan bentuk
penghinaan yang dilakukan oleh baik itu lembaga legislatif maupun eksekutif
terhadap lembaga yudikatif terutama Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian
of constitution dan the sole interpreter of the constitution.
B. Saran
Bahwa demi mengantisipasi terjadinya pencantuman norma tersebut ( pasal 134,
136 bis, 137 KUHP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan/atau Presiden
yang berdampak luas pada sistem pemerintahan Indonesia (Demokrasi), berikut
beberapa saran yang dapat dijadikan acuan untuk mengantispasi terjadinya hal
tersebut:
1. Mahkamah Konstitusi sebagai garda terdepan untuk menjaga supremasi
konstitusi, dalam putusannya yang bersifat akhir (final) dan mengikat
(binding) seharusnya memuat sebuah redaksi yang berisi pelarangan
pencantuman norma yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh
Mahkamah Konstitusi itu sendiri agar tidak terjadinya judicial review
untuk yang kedua kalinya terkait dengan norma yang telah inkonsitusional.
2. Sesuai dengan ketentuan pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
yang memuat putusan tersebut bersifat akhir dan mengikat, putusan
Mahkamah Konstitusi Membuat badan pengawas yang dibuat oleh
Mahkamah Konstitusi itu sendiri yang bertujuan untuk mengawasi
jalannya putusan tersebut. karena putusan tersebut merupakan penjelmaan
dari penegakkan supremasi konstitusi yang harus dijalankan agar tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
58
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional diberbagai Negara, Jakarta,
Kontitusi pers 2005
________________, Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945 Yogyakarta, FH UII Press 2005
Huda, Ni’Matul Hukum tata negara Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada 2005.
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2009.
Peter Mahmud, Marzuki, Penelitian Hukum Jakarta, Kencana, 2011.
MD, Moh Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Kontitusi, Jakarta,
Rajagrafindo persada 2013.
Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi studi tentang ajudikasi konstitusional sebagai
mekanisme penyelesaian sengketa Normatif, Jakarta, Pradnya Paramita 2006.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
Jakarta: Rajawali, 2009.
Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum Jakarta, Prenda Media
Group
Soemantri,Sri, Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional 2004.
Bakhri, Syaiful, Hukum Pidana Perkembangan dan Pertunmbuhannya, Yogyakarta, total
media 2013.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional 2004.
R. Saragih, Bintan dan Moh. Kusnardi, Ilmu Negara, Tangerang, Gaya Media Pratama
Jakarta, 2007.
Rohim Yunus, Nur, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta, Jurisprudence
Press, 2011.
M. Friedman, Lawrence, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ;A Social
Science Perspective), Bandung, Nusa Media, 2009.
59
Rahardjo, Satjipto, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas,
2003.
Jurnal-Jurnal
Tim Penulis Mahkamah Konstitusi, Cetak biru Membangun MK Sebagai Institusi Peradilan
Konstitusi yang modern dan terpercaya (Jakarta, Mahkamah Konstitusi Pers
2004
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Media Elektronik
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id;
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12388#.WdEJSvmqq
ko
http://www.setara-institute.org;http://setara-institute.org/wp-
content/uploads/2016/09/Mendorong-Kepatuhan-Berkonstitusi_Laporan-Kinerja-
MK_2016.pdf