KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

20
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 184/PJ./2002 TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON PERFORMING DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 , Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah; b. bahwa perlakuan pajak atas penghasilan bank berupa bunga kredit non performing perlu diatur khusus untuk menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah; c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan dengan adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan/PSAK nomor 31 tentang Akuntansi Perbankan (revisi tahun 2000), perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non Performing ; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055); Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON-PERFORMING. Pasal 1 Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan kredit non-performing adalah kredit yang diberikan oleh bank yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Pasal 2 (1) Penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diakui pada saat penghasilan bunga tersebut diterima oleh bank (cash basis). (2) Dalam hal bank membukukan penerimaan bunga kredit non-performing sebagai pengurangan pokok kredit, saat pengakuan penghasilan ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah pelunasan pokok kredit. Pasal 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku sepanjang debitur yang terkait melakukan penyesuaian saat pengakuan biaya bunga kredit non-performing dengan cara yang sama. Pasal 4 (1) Bank wajib menyerahkan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet kepada Kantor Pelayanan

Transcript of KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Page 1: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 184/PJ./2002

TENTANG

PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON PERFORMING

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah;

b. bahwa perlakuan pajak atas penghasilan bank berupa bunga kredit non performing perlu diatur khusus untuk menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;

c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan dengan adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan/PSAK nomor 31 tentang Akuntansi Perbankan (revisi tahun 2000), perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non Performing ;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON-PERFORMING.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan kredit non-performing adalah kredit yang diberikan oleh bank yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.

Pasal 2

(1) Penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diakui pada saat penghasilan bunga tersebut diterima oleh bank (cash basis).

(2) Dalam hal bank membukukan penerimaan bunga kredit non-performing sebagai pengurangan pokok kredit, saat pengakuan penghasilan ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah pelunasan pokok kredit.

Pasal 3

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku sepanjang debitur yang terkait melakukan penyesuaian saat pengakuan biaya bunga kredit non-performing dengan cara yang sama.

Pasal 4

(1) Bank wajib menyerahkan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet kepada Kantor Pelayanan

Page 2: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Pajak tempat bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai lampiran dari SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan.

(2) Daftar debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat nomor urut, nama debitur, alamat, NPWP, jumlah kredit non-performing yang digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet, serta jumlah bunga yang terutang (accrual basis) yang belum diakui sebagai penghasilan pada tanggal laporan keuangan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, lampiran II dan Lampiran III Keputusan ini.

Pasal 5

Pada saat keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-273/PJ/1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ.42/1998 tanggal 30 Desember 1998, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tahun pajak 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 April 2002 DIREKTUR JENDERAL PAJAK ttd HADI POERNOMO

SURAT EDARAN

SE-08/PJ.42/2002

Ditetapkan tanggal 17 Mei 2002

TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON-PERFORMING

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-184/PJ/2002 tanggal 11 Apri1 2002 Tentang Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non-Performing sebagai pengganti Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-273/PJ/1998 tanggal 11 Desember 1998 yang berlaku mulai tahun pajak 2001, dengan ini perlu diberikan penegasan mengenai pelaksanaannya sebagai berikut :

1. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut di atas, diatur bahwa :

Pasal 2 :

(1) Penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing diakui pada saat penghasilan bunga tersebut diterima oleh bank (cash basis).

(2) Dalam hal bank membukukan penerimaan bunga kredit non-performing sebagai pengurang pokok kredit, saat pengakuan penghasilan ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah pelunasan pokok kredit.

Pasal 3 :

Page 3: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Ketentuan sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 2 tersebut di atas berlaku sepanjang debitur yang terkait rnelakukan penyesuaian saat pengakuan biaya bunga kredit non-performing dengan cara yang sarna.

Pasal 4 ayat (1) :

Bank wajib rnenyerahkan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet kepada Kantor Pelayanan Pajak ternpat bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai larnpiran dari SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan.

1. Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :

1. Bank dan debitur yang terkait terlebih dahulu harus mernbuat perjanjian tambahan atau addendum atas perjanjian kreditnya, yang rnenyatakan bahwa kedua belah pihak setuju untuk rnemperlakukan setiap pernbayaran yang dilakukan oleh debitur kepada bank sebagai cicilan pokok kredit hingga lunasnya pokok kredit keseluruhan dan pernbayaran-pernbayaran setelah itu diperlakukan sebagai bunga;

2. Bank dapat langsung rnenerapkan ketentuan Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut di atas, dengan rnenyerahkan satu dokurnen perjanjian tarnbahan atau addendum dirnaksud pada huruf a bersarnaan dengan penyerahan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan rnacet kepada Kantor Pelayanan Pajak ternpat bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai lampiran dari SPf Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan;

3. Apabila debitur ternyata tidak rnelakukan penyesuaian saat pengakuan biaya bunga dalarn pernbukuan tahun yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian tarnbahan atau addendum dirnaksud, rnaka harus dilakukan koreksi fiskal rnelalui prosedur pemeriksaan atau prosedur lain yang berlaku;

4. Dalam hal terjadi gagal bayar (default) oleh debitur sehingga bank melakukan penghapusan piutang tak tertagih atas bunga yang belurn dibayar, maka sebagai konsekuensi belurn diakuinya bunga tersebut sebagai penghasilan bank dan biaya debitur, penghapusan piutang tak tertagih atas bunga tersebut bagi bank bukan merupakan kerugian sedang bagi debitur bukan merupakan keuntungan karena pembebasan utang;

5. Dengan berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-184/PJ/2002tanggal 11 April 2002 mulai tahun pajak 2001, maka bagi Wajib Pajak bank dan debitur terkait yang telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan tahun pajak 2001 sebelum diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut, dapat menerapkan ketentuan ini melalui pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan tahun pajak 2001.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal, ttd Hadi Poernomo NIP 060027375

Tembusan :

1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan; 2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan; 3. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak; dan

para Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 164/KMK.03/2002

Page 4: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

TENTANG

KREDIT PAJAK LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kredit Pajak Luar Negeri;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (LN RI Tahun 1983 No. 49, TLN RI No. 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No.126, TLN RI No. 3984);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (LN RI Tahun 1983 No.50, TLN RI No. 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No.127, TLN RI No. 3985);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;

M E M U T U S K A N :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

(2) Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :

a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut; b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut; c. untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Page 5: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

(3) Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.

Pasal 2

(1) Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.

(2) Pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

1. Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi tertentu.

2. Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

3. Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk masing-masing negara.

4. Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Penghasilan yang dikena Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak sendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 3

Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

Pasal 4

(1) Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyimpan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri :

a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri; b. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

(2) Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 5

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena alasan-alasan di luar kemampuan Wajib Pajak (force majeur).

Page 6: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Pasal 6

(1) Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

(2) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan kurang dibayar, maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.

(3) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan lebih dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Pasal 7

Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 640/KMK.04/1994 tentang Kredit Pajak Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Kuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 19 April 2002

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

B O E D I O N O

L A M P I R A N

Page 7: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

TATA CARA PENGKREDITAN PAJAK LUAR NEGERI

1. UMUM Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 (undang-undang Pajak Penghasilan) menentukan bahwa Wajib Pajak dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan dimanapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk menghindari pengenaan pajak ganda tersebut maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24, pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan. Metode kredit pajak yang disebut metode pengkreditan terbatas (''ordinary credit method'').

1. Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri

1. Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri adalah sebagai berikut :

1. Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak diperoleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak sesuai dengan dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.

Contoh PT A di Jakarta dalam tahun pajak 1995 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut : a. Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 2001 sebesar Rp 800.000.000,00; b. Dividen atas pemilikan saham pada ''X Ltd.'' di Australia sebesar Rp 200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan

Tahun 1998 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham Tahun 2000 dan baru dibayar dalam Tahun 2001; c. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada ''Y Corporation'' di Hongkong yang sahamnya tidak

diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp 75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh Tahun 2001;

d. Bunga kwartal IV Tahun 2001 sebesar Rp 100.000.000,00 dari ''Z Sdn Bhd'' di Kuala Lumpur yang baru akan diterima bulan Juli 2002.

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2001 adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2002.

2. Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak diluar negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia. Contoh : PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 1995 sebagai berikut : a. di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp 400.000.000,00); b. di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp 750.000.000,00); c. di negara Z, menderita kerugian Rp 2.500.000.000,00; d. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp 4.000.000.000,00. Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut : 1. Penghasilan luar negeri :

a. Laba di Negara X Rp 1.000.000.000,00 b. Laba di Negara Y Rp 3.000.000.000,00 c. Laba di Negara Z Rp ------ (+)

----------------------------- Jumlah penghasilan dalam negeri = Rp 4.000.000.000,00

Page 8: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

2. Penghasilan dalam negeri = Rp 4.000.000.000,00 3. Jumlah penghasilan neto adalah :

Rp 4.000.000.000,00 + Rp 4.000.000.000,00 = Rp 8.000.000.000,00

4. PPh terutang (menurut tarif Pasal 17) = Rp 2.382.500.000,00 5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :

a. Untuk negara X = Rp.1.000.000.000,00 x Rp 2.382.500.000,00 Rp 8.000.000.000,00 = Rp 297.812.500,00 Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp 400.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan = Rp 297.812.500,00

b. Untuk negara Y = Rp.3000.000.000,00 x Rp 2.382.500.000,00 Rp 8.000.000.000,00 = Rp 893.437.500,00 Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp 750.000.000,00, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp 750.000.000,00. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah Rp 297.812.500,00 + Rp 750.000.000,00 = Rp 1.047.812.500,00.

Dari contoh di atas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri yaitu (di negara Z sebesar Rp 2.500.000.000,00) tidak dikompensasikan.

3. Penghitungan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut : Contoh. a) PT A di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 1995 sebagai beikut : Penghasilan dalam negeri Rp

1.000.000.000,00 Penghasilan luar negeri (dengan tarif Pajak 20%)Rp 1.000.000.000,00 Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut : 1. Penghasilan luar negeri

Rp 1.000.000.000,00 Penghasilan dalam negeri Rp 1.000.000.000,00 (+) Jumlah penghasilan neto Rp 2.000.000.000,00

2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 582.500.000,00.

3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah : Rp.1.000.000.000,00 x Rp 582.500.000,00 Rp 2.000.000.000,00 = Rp 291.250.000,00

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp 291.250.000,00 lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp 200.000.000,00, maka jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp 200.000.000,00.

b) PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam Tahun 1995 sebagai berikut : Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp 1.000.000.000,00 Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00) Pajak atas penghasilan di luar negeri misalnya 40% = Rp 400.000.000,00 Penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah sebagai berikut : 1. Penghasilan usaha luar negeri Rp 1.000.000.000,00

Rugi usaha dalam negeri (Rp 200.000.000,00) (+) Jumlah Penghasilana neto Rp 800.000.000,00

2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai dengan tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 222.500.000,00

3. Batas maksimum pajak luar negeri adalah : Rp.1.000.000.000,00 x Rp 222.500.000,00 Rp 8.000.000.000,00 = Rp 278.125.000,00 Oleh karena pajak yang dibayar di luar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka kredit pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yaitu Rp 222.500.000,00.

Page 9: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

4. Dalam hal penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka jumlah maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing negara dengan menerapkan cara penghitungan sebagai berikut : Contoh : PT C di Jakarta dalam Tahun 1995 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut : - Penghasilan dari dalam negeri = Rp 2.000.000.000,00 - Penghasilan dari negara X

(dengan tarif pajak 40%) = Rp 1.000.000.000,00 - Penghasilan dari negara Y

(dengan tarif pajak 30%) = Rp 2.000.000.000,00(+) Jumlah penghasilan neto = Rp 5.000.000.000,00 Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar Rp 1.482.500.000,00. Batas maksimum kredit pajak luar negeri setiap negara adalah : a. untuk negara X =

Rp.1.000.000.000,00 x Rp 1.482.500.000,00. = Rp 296.500.000,00 Rp 5.000.000.000,00

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 400.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar Rp 296.500.000,00

1. untuk negara Y = Rp.2.000.000.000,00 x Rp 1.482.500.000,00. = Rp 593.000.000,00 Rp 5.000.000.000,00

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 600.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah Rp 593.000.000,00.

5. Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, maka atas penghsilan tersebut bukan merupakan faktor penambah penghasilan pada saat penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Contoh :

PT “D” di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai berikut :

1. Penghsilan dari Negara Z Rp2.000.000.000,00

(dengan tarif pajak 30%)

2. Penghasilan Dalam Negeri Rp3.500.000.000,00

(Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan sebesar Rp500.000.000,00)

3. Penghasilan Kena Pajak PT “D” sebesar :

(Rp2.000.000.000,00 + Rp3.500.000.000,00 - Rp500.000.000,00 = Rp500.000.000,00)

= Rp5.000.000.000,00

4. Sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp1.482.500.000,00

5. Batas Maksimum kredit pajak luar negeri adalah :

Page 10: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Rp.2.000.000.000,00 x Rp 1.482.500.000,00. = Rp 593.000.000,00

Rp 5.000.000.000,00

Pajak terutang di negara Z sebesar Rp 600.000.000,00 namun maksimum kredit pajak dapat dikreditkan sebesar Rp 593.000.000,00

2. Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan karena perubahan penghasilan dari luar negeri, dilakukan seabagai berikut :

1. Dalam hal koreksi fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah koreksi yang menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih besar dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih.

Contoh : 1. Penghasilan luar negeri (SPT) = Rp1.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri= Rp2.000.000.000,00 3. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp2.000.000.000,00 4. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40 % 5. PPh Pasal 25 yang dibayar = Rp 500.000.000,00 6. PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut :

S P T SPT PEMBETULAN

1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000,00 1. Penghasilan luar negeri Rp 2.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000,00 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 4.000.000.000,00 ================= ================= 4. PPh terutang Rp 882.500.000,00 4. PPh terutang Rp 1.182.500.000,00 5. Kredit Pajak Luar Negeri : 5. Kredit Pajak Luar Negeri :

1.000.000.000,00 x Rp 882.500.000,00 2.000.000.000,00 x Rp 1.182.500.000,00 3.000.000.000,00 = Rp 294.166.667,00 4.000.000.000,00 = Rp 591.250.000,00

6. PPh harus dibayar Rp. 588.333.333,00 6. Harus bayar di Indonesia Rp 591.250.000,00 7. PPh Pasal 25 Rp. 500.000.000,00 7. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00 8. PPh Pasal 29 Rp 88.333.333,00 8. PPh Pasal 29 Rp 88.333.333,00 9. Masih harus dibayar Rp 2.916.667,00

Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp2.916.667,00 tidak ditagih bunga.

2. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar. Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utng pajak yang lain.

Contoh : 1. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp 1.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 3. Penghasilan luar negeri (setelah koreksi di luar negeri) Rp500.000.000,00 4. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40% 5. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp 500.000.000,00 6. PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut :

S P T SPT PEMBETULAN

1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000,00 1. Penghasilan luar negeri Rp 500.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000,00 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000,00 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 2.500.000.000,00

Page 11: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

================= ================= 4. PPh terutang Rp 882.500.000,00 4. PPh terutang Rp 732.500.000,00 5. Kredit Pajak Luar Negeri : 5. Kredit Pajak Luar Negeri :

1.000.000.000,00 x Rp 882.500.000,00 500.000.000,00 x Rp 732.500.000,00 3.000.000.000,00 = Rp 294.166.667,00 2.500.000.000,00 = Rp 146.500.000,00

6. Harus dibayar di Indonesia Rp. 588.333.333,00 6. Harus bayar di Indonesia Rp 586.000.000,00 7. PPh Pasal 25 Rp. 500.000.000,00 7. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00 8. PPh Pasal 29 Rp. 88.333.333,00 8. Kurang bayar Rp 86.000.000,00 9. PPh Pasal 29 telah dibayar Rp. 88.333.333,00 10.Lebih bayar Rp 2.333.333,00

Pajak Penghasilan yang lebih dibayar sebesar Rp2.333.333,00 dapat diminta kembali setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd,

B O E D I O N O

SURAT EDARAN

SE-04/PJ.42/2002

Ditetapkan Tanggal 2 April 2002

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA WAJIB PAJAK

Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan atas Pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak, untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperolah Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,menagih, dan memelihara penghasilan.

3. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan antara lain:

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

1. Berdasarkan Pasal 27A Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, diatur sebagai berikut:

Page 12: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Ayat (1) : Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.

Ayat (2) : Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

1. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan sebagai berikut:

1. Imbalan bung yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan;

2. Pengembalian sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi serta sanksi pidana berupa denda, adalah bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan karena atas pembayaran sanksi tersebut sebelumnya tidak dapat dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

HADI POERNOMO NIP. 060027375

SURAT EDARAN

SE-01/PJ.33/2005

Ditetapkan tanggal 19 Januari 2005

PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Yth.

1. Para Kepala Kantor Wilayah DJP; 2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak; 3. Para Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak; 4. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; 5. Para Kepala Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Pajak; Seluruh Indonesia,

Page 13: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas pemberian imbalan bunga berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, dengan ini diberikan penjelasan sbb.:

1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 tahun 2000, yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang?undang No. 17 tahun 2000, atas penghasilan tsb di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah. Subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatant, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:

1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; 2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; 3. royalti; 4. hadiah dan penghargaan selain yang dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)

huruf e; 3. Berdasarkan butir 5 a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-04/PJ.42/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Perlakuan

Pajak Penghasilan atas Pemberian Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak, Imbalan bunga yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan.

4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tsb di atas, dengan ini ditegaskan bahwa pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan, tatapi bukan merupakan Objek Pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, imbalan bunga tsb rnerupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan.

5. Selanjutnya Kepala KPP yang menerbitkan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak, agar membuat Alat Keterangan (KP Data) pembayaran imbalan bunga untuk memastikan bahwa Imbalan bunga tersebut dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan untuk tahun pajak diterimanya imbalan bunga.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

HADI POERNOMO NIP 060027375

Tembusan Yth:

1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan; 2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan; 3. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan; 4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak; 5. Para Direktur dan para Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR KEP - 141/PJ/1999

Page 14: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

TENTANG

PENGAKUAN PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HARTA/AGUNAN BERUPA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BAGI WAJIB PAJAK TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi, yayasan atau organisasi yang sejenis dan Wajib Pajak badan terutang Pajak Penghasilan;

b. bahwa dalam rangka menunjang kelancaran proses restrukturisasi perusahaan maupun penyelesaian kredit perbankan perlu diberikan kemudahan perlakuan Pajak Penghasilan;

c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan saat pengakuan penghasilan dan biaya sebagai dasar penghitungan penghasilan bruto bagi bidang usaha tertentu dan Wajib Pajak tertentu yang mengikuti program restrukturisasi perusahaan berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah;

d. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur pengakuan penghasilan dari pengalihan harta/agunan berupa tanah dan/atau bangunan yang diperoleh Wajib Pajak tertentu dalam rangka proses restrukturisasi perusahaan maupun penyelesaian kredit perbankan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3579) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3798) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3814);

5. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 tentang Restrukturisasi Kredit;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HARTA/AGUNAN BERUPA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BAGI WAJIB PAJAK TERTENTU.

Pasal 1

(1) Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Tertentu dalam keputusan ini adalah :

a. Bank Dalam Penyehatan; b. Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan; c. Debitur yang langsung atau tidak langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada Bank Dalam Penyehatan, BPPN,

Page 15: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

dan atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan atau BPPN, termasuk Bank yang mempunyai kewajiban kepada Bank Indonesia dalam kaitan dengan Fasilitas Bank Indonesia;

d. Pemegang Saham, Direktur atau Komisaris Bank Dalam Penyehatan; e. Debitur/Pemilik Agunan pada Bank Umum;

yang diambil alih harta/agunannya dalam rangka melaksanakan restrukturisasi perusahaan sesuai dengan program Pemerintah;

(2) Wajib Pajak Tertentu pada ayat (1) huruf a, b, c, dan d sebagaimana diatur/ditetapkan dalam Pasal 1 butir 2 dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

(3) Wajib Pajak Tertentu tersebut pada ayat (1) huruf e, sebagaimana diatur/ditetapkan dalam Pasal 12 A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Pasal 2

(1) Saat pengakuan penghasilan atas pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan milik Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a sampai dengan huruf d yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional ditunda sampai dengan pihak Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengalihkan harta tersebut kepada pembeli yang sebenarnya.

(2) Saat pengakuan penghasilan atas pengalihan agunan berupa tanah dan atau bangunan milik Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e yang dilakukan oleh Bank Umum yang melaksanakan restrukturisasi sesuai program Pemerintah ditunda sampai dengan pihak Bank Umum mengalihkan agunan tersebut kepada pembeli yang sebenarnya.

Pasal 3

(1) Penundaan saat pengakuan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut di atas berlaku paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Surat Pernyataan Pembelian Sementara oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau saat pengambilalihan agunan debitur oleh Bank Umum.

(2) Apabila setelah lewat batas waktu tersebut pada ayat (1) belum terjadi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pembeli yang sebenarnya, maka atas pengalihan yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Umum tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996.

Pasal 4

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Juni 1999 DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. ANSHARI RITONGA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR KEP - 237/PJ./2001

TENTANG

SAAT PENGAKUAN PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN KARENA PEMBEBASAN UTANG YANG DIPEROLEH DEBITUR TERTENTU DARI PERJANJIAN RESTRUKTURISASI UTANG USAHA

Page 16: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu untuk menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang saat pengakuan penghasilan berupa keuntungan karena pembebasan utang yang diperoleh debitur tertentu dari perjanjian restrukturisasi utang usaha;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SAAT PENGAKUAN PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN KARENA PEMBEBASAN UTANG YANG DIPEROLEH DEBITUR TERTENTU DARI PERJANJIAN RESTRUKTURISASI UTANG USAHA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan debitur tertentu adalah debitur Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan perjanjian restrukturisasi utang usaha dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.

Pasal 2

Pengakuan penghasilan atas keuntungan debitur tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dapat dialokasikan dalam jangka waktu (lima) tahun dalam jumlah yang sama besarnya yaitu setiap tahunnya sebesar 20% dari pembebasan utang dimaksud dimulai dari tahun pajak saat dilakukannya pembebasan utang.

Pasal 3

(1) Untuk dapat memperoleh perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, debitur harus mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat debitur terdaftar sebagai Wajib Pajak.

(2) Permohonan harus diajukan paling lambat sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut, dengan dilampiri fotokopi perjanjian restrukturisasi utang usaha yang dilegalisir oleh BPPN.

(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berwenang menetapkan lamanya penundaan/pengangsuran antara 1 (satu) hingga 5 (lima) tahun dengan mempertimbangkan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan kondisi objektif Wajib Pajak.

(4) Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus sudah diterbitkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya permohonan.

Pasal 4

Pada saat berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-28/PJ/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 dinyatakan tidak berlaku.

Page 17: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

Pasal 5

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2001 DIREKTUR JENDERAL, ttd HADI POERNOMO

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 02/PJ.42/2003

TENTANG

KEWAJIBAN MENCANTUMKAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DALAM SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN BAGI PEMEGANG SAHAM/PEMILIK MODAL, PENGURUS DAN KOMISARIS

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-394/PJ/2002 tanggal 30 Agustus 2002 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21, Beserta Petunjuk Pengisiannya, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat Kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

2. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

3. Berdasarkan Pasal 8 UU PPh, diatur bahwa:

(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 22 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila: (2)

a. suami-isteri telah hidup terpisah;

Page 18: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.

(3) Penghasilan netto suami/isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami/isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan netto mereka.

(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c.

4. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-161/PJ/2001 tanggal 21 Februari 2001 tentang jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan tidak Kena Pajak setahun, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

5. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut: a. Bagi pemegang saham/pemilik modal serta pengurus dan komisaris yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri dan

menerima atau memperoleh penghasilan yang melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak wajib mencantumkan NPWP dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

b. Bagi pemegang saham/pemilik modal serta pengurus dan komisaris yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan atau menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia, tidak wajib mencantumkan NPWP dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

c. Bagi istri yang tidak mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dengan suami dan bagi anak yang belum dewasa yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, yang menjadi pemegang saham/pemilik modal dan atau pengurus dan komisaris, wajib mencantumkan NP'WP suami/bapak dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

d. Apabila dalam mengisi SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dibantu konsulan pajak, Wajib Pajak diwajibkan untuk mengisi identitas konsultan pajak (Nama dan NPWP).

Demikian untuk diketahui serta disebarluaskan kepada seluruh Wajib Pajak yang terdaftar di masing-masing Kantor Pelayanan Pajak.

DIREKTUR JENDERAL, ttd HADI POERNOMO

Location : . Joined : 15 Aug 2007. Posts : 161.

15 Oct 2008 20:24 • SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 260/PJ.313/1998

Page 19: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

TENTANG PERMOHONAN PENJELASAN MENGENAI OBJEK PPh PASAL 21 ATAS GAJI DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan surat tanggal 4 September 1998 perihal tersebut di atas, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa : a. PT. XYZ bergerak dalam bidang angkutan barang (truk). Untuk setiap trayek perusahaan membayar sopir dengan suatu jumlah tertentu yang sudah ditabelkan. b. Setiap trayek sopir truk mendapat komisi (kelebihan) yang jumlahnya tidak tetap tergantung dari kondisi perjalanan. c. Sopir truk adalah pegawai tetap perusahaan yang mana komisi tersebut diperhitungkan sebagai bagian gaji yang dibayarkan dan PPh Pasal 21 dipotong dari jumlah sisa komisi yang diterima setiap bulan. d. Saudara mohon penjelasan cara pemotongan PPh Pasal 21 dan apakah uang jalan yang tidak didukung oleh bukti-bukti dapat dibiayakan sebagai biaya. 2. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-02/PJ./1995 tanggal 9 Januari 1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan 26 sehubungan dengan Pekerjaan , Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi diatur bahwa dipotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun, bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun. 3. Berdasarkan uraian di atas, dengan ini ditegaskan bahwa : a. Oleh karena disamping mendapat komisi, sopir adalah pegawai tetap perusahaan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi tersebut adalah dengan cara terlebih dulu mencari penghasilan netto setahun, yaitu penghasilan bruto sebulan (gaji + komisi) setelah dikurangi dengan biaya jabatan, iuran THT kemudian disetahunkan. Penghasilan netto yang disetahunkan selanjutnya dikurangi dengan besarnya PTKP pegawai yang bersangkutan untuk menghitung besarnya PPh Pasal 21 setahun. Besarnya PPh Pasal 21 sebulan dihitung dengan cara membagi besarnya PPh Pasal 21 setahun dengan angka 12. b. Biaya-biaya yang dipergunakan dalam rangka operasional perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sepanjang didukung bukti pengeluaran. Dengan demikian uang jalan yang diberikan kepada sopir dapat dibiayakan apabila pengeluaran seperti pembelian bahan bakar, pelumas, kernet, parkir, retribusi jalan dan jembatan timbang, uang makan didukung bukti-bukti yang sah. c. Apabila uang makan yang dibayarkan kepada sopir diberikan dalam bentuk tunai setiap hari tanpa memperhatikan apakah yang bersangkutan menjalankan tugas pengemudi atau tidak, maka uang makan tersebut merupakan unsur penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21. Apabila sopir tersebut hanya menerima uang makan kalau sedang menjalankan tugas mengemudi maka uang makan tersebut termasuk sebagai uang perjalanan dinas sehingga bukan merupakan unsur penghasilan yang bersangkutan.

Page 20: KEP 184-PJ-2002 ttg pph bunga non performing

d. Bagian uang jalan yang diberikan kepada kernet adalah penghasilan bagi kernet yang bersangkutan. Apabila kernet tersebut menerima penghasilan secara teratur dan diberikan tanpa memperhatikan apakah yang bersangkutan bertugas atau tidak, maka perusahaan yang membebankan biaya tersebut sebagai pemberi kerja wajib menghitung PPh Pasal 21 secara bulanan dengan mengurangkannya dengan jumlah PTKP yang sebenarnya atas penghasilan kernet tersebut. Sedangkan apabila kernet tersebut hanya menerima penghasilan jika ia bertugas, maka perusahaan sebagai pemberi kerja tidak wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan tersebut apabila jumlahnya Rp. 14.400,- (empat belas ribu empat ratus rupiah) atau kurang per hari. Apabila masih terdapat hal-hal yang kurang jelas, agar Saudara mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-02/PJ./1995 tanggal 9 Januari 1995 atau menghubungi Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Demikian untuk dimaklumi. A.n DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN ttd IGN MAYUN WINANGUN