Kenapa Aku Meninggalkan Salafi
-
Upload
ranggiputra -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
description
Transcript of Kenapa Aku Meninggalkan Salafi
KENAPA AKU MENINGGALKAN SALAFI?13 Februari 2010
Perjalanan spiritualku dalam mengenal Islam menemui babak baru ketika
memulai studi di Jogjakarta. Bertemu dengan senior satu kamar di asrama
mahasiswa Sumatera Barat yang memiliki penampilan aneh. Berjenggot
tebal dan celana di atas mata kaki. Namanya anak kampung yang baru
sekali merantau, aku hanya bisa banyak mendengar apa yang seniorku itu
sampaikan. Tiap malam aku dibombardir dengan istilah-istilah baru yang
belum kuketahui sebelumnya tapi memiliki indikasi negatif dalam agama.
Berjalannya waktu dan semakin intensnya pembicaraan kami, akhirnya
aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”. Sebuah ajaran yang diklaim
sebagai ajaran yang paling benar dan paling teguh memegang Al Qur’an
dan As Sunnah. Sementara gerakan atau ajaran lain dianggap bid’ah dan
tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”.
Meski tanpa didampingi oleh sang senior, aku melakukan pencarian lebih
lanjut tentang “Salafi”. Lewat pamflet-pamflet pengajian yang disebar di
kampus, akupun mulai mengunjungi masjid-masjid tempat
berlangsungnya kajian yang bertitel “mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku
terpukau dengan kapabilitas ustadz-ustadznya yang hafal ayat-ayat Al
Qur’an dan Hadist. Banyak hadist-hadist baru yang kudengar. Tampilan
tawadhu’ para pendengar yang terdiri dari bapak-bapak dan pemuda-
pemuda berjenggot-berjubah, serta wanita-wanita bercadar membuat
kepincut untuk terus mengikuti pengajian-pengajian Salafi, karena sejak
SMA aku sudah memilih memelihara jenggot sebagai sunnah Nabi,
sampai-sampai aku berdebat keras dengan seorang guru berjilbab yang
menyuruhku untuk memotong jenggot. Aku berpikir, inilah tempat aku
menemukan teman-teman yang melaksanakan hadist yang dulu pernah
kutemui bahwa memilihara jenggot merupakan bagian dari sunnah Nabi.
Meskipun masih menjadi orang “aneh” dengan penampilan modern
(celana panjang dan kemeja), keinginanku untuk belajar mengalahkan
rasa risih. Seringkali para jama’ah lain menatap diriku agak lama.
Mungkin karena dirasa sebagai orang baru, gaya penampilanku yang
tidak lazim dapat mereka maklumi. Minggu-minggu berlalu, aku semakin
asyik dengan pengajian demi pengajian. Di Asrama, sang senior satu
kamar semakin intens menceritakan kejelekan-kejelekan ajaran di luar
Salafi.
Aku tak ingat lagi sejak kapan memotong celana hingga di atas matakaki.
Semua celana panjangku kukirim ke tukang jahit untuk “dirapikan” agar
sama seperti celana-celana yang dipakai oleh anggota pengajian.
Jenggotku mulai memanjang dan celanaku tidak lagi celana lipatan.
Mulailah beberapa peserta pengajian mendekatiku dan mengajakku
ngobrol. Aku mulai merasa diterima sebagai bagian mereka. Aku merasa
enjoy karena mulai mendapatkan teman-teman baru. Lambat laun
hubunganku semakin intens dan mengenal lebih banyak lagi teman-
teman Salafi. Sampai suatu kali perkenalan tentang kuliah, aku bilang
kuliah di Filsafat UGM. Sontak saja raut teman bicaraku berubah. Awalnya
aku tak mengerti, kenapa setiap memperkenalkan diri sebagai mahasiswa
Filsafat mereka mencoba mengalihkan pembicaraan?
Akhirnya aku tahu sebab-musabab, kenapa raut wajah mereka berubah
ketika kubilang kuliah di Filsafat. Ternyata memang Salafi
“mengharamkan Filsafat”. Berkali-kali ketika membahas peran akal dalam
memahami wahyu atau kajian-kajian mengenai firqoh-firqoh Islam, istilah
filsafat dikatakan dengan ucapan sinis. Berbagai istilah dilekatkan kepada
filsafat, “ilmu syetan”, “ilmu sesat”, “ilmu tak bermanfaat”.
Kegelisahan mulai menderaku. Apakah benar kuliah yang sedang kujalani
saat ini adalah kuliah yang mempelajari ilmu yang dilarang dalam Islam?
Suatu ketika kuberanikan diri bertanya empat mata kepada beberapa
Ustadz. Jawaban dari Ustadz yang kudatangi SAMA. Mempelajari filsafat
itu haram. Pertahananku jebol. Aku benar-benar binggung. Semester 3
aku mulai malas-malasan pergi ke kampus. Pagi hari dan siang hari aku
hanya termanggu di asrama, berkata pada diri sendiri, “betapa bodohnya
aku telah salah memilih jurusan”. Aku menghindar memilih jurusan
hukum atas dasar asumsi “Islami”, hukum di Indonesia adalah hukum
thagut (kafir, sesat). Dan pilihan jurusan filsafat kusandarkan kepada
sebuah artikel dalam terjemahan Al Qur’an yang dikeluarkan oleh
Departemen Agama. Tapi, di Jogja aku menemukan hal sebaliknya,
“Filsafat Haram dalam Islam”.
Akibat jarang mengikuti perkuliahan, IP-ku jeblok. Padahal semester 1 dan
2 aku berhasil meraih IP di atas 3. Sementara, aktivitas pengajianku di
Salafi semakin intens. Beberapa kajian yang kuikuti telah melewati batas
kota Jogja.
Suatu ketika, aku berpikir tak mungkin lagi melanjutkan kuliah di filsafat.
Kuberanikan diri bicara lewat telpon kepada Bapak untuk berhenti kuliah.
Aku ingin masuk pondok pesantren, mempelajari ilmu agama yang lebih
mulia dari ilmu-ilmu lain. Kusampaikan kepada Bapak dalil-dalil
keharaman filsafat sebagaimana yang kudapatkan dari ustadz. Bapak
marah besar kepadaku. Aku cuek, karena yakin apa yang sampaikan
benar menurut “agama”. Aku bersitegang dengan Bapak. Beberapa hari
setelah percekcokanku dengan Bapak, Ibu datang ke Jogja. Tak henti Ibu
menangis. Memberitahukan bagaimana Bapak kecewa berat dengan
“kegilaan-ku” meninggalkan kuliah di UGM. Ibu memintaku untuk
mengurungkan niat berhenti kuliah. Jiwaku masih memberontak waktu itu.
Beberapa hari Ibu menginap di kamar. Tak henti tangisan beliau ketika
memintaku untuk memikirkan kerja keras Bapak menguliahkanku dengan
biaya yang besar di UGM. Akupun luluh. Tak sanggup rasanya melihat Ibu
bercucuran airmata. Hati kecil berontak, bimbang antara memilih
“agama” dan keinginan orang tua. Terlintas ucapan ustadz-ustadz Salafi
bahwa hormat kepada manusia tidak perlu jika melanggar perintah
Tuhan, hatta itu orangtua sendiri. Di sisi lain sanubariku
berkata, bukankah agama melarang seorang anak durhaka kepada orang
tua?
Aku menghadapi dilema ini sendirian. Seniorku satu kamar yang
mengenalkanku dengan Salafi diam masa bodoh. Sibuk dengan kerja dan
kuliahnya yang memang begitu padat. Menjelang kepulangan Ibu kembali
ke kampung karena sudah tak bisa berlama-lama di Jogja demi kerja dan
mengurusi adik-adikku yang masih kecil-kecil, beliau kembali memintaku
untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku tak bisa melawan Ibu dab
melepas kepergian beliau dengan tangisan. Kukuatkan tekad dan bilang
sama Ibu bahwa aku mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku akan
kembali masuk kuliah dan mengejar ketertinggalan selama ini. Berusaha
keras meraih IP seperti 2 semester awal dulu. Dalam hati aku menguatkan
tekad, “persetan dengan kata-kata Ustadz kalau akhirnya aku membuat
Ibu menangis dan Bapak menjadi kecewa. Terserah dibilang membuang
umur untuk mempelajari ilmu yang haram, terserah dibilang sebagai
pengkhianat agama. Persetan dengan semua dalil dan argumen agamis
yang mereka sampaikan. Aku mau menghormati orangtuaku meskipun
dianggap sebagai “kedurhakaan” kepada Tuhan.
Titik balik itu berlangsung saat liburan semester 6, persis tiga tahun aku
menjalani hidup sebagai mahasiswa di Jogja. Kudatangi kampus untuk
registrasi masuk kuliah semester 7. Kuminta transkrip nilai. Tak sampai 40
sks mata kuliah yang telah kuambil. IPK-pun hancur di bawah 2,5. Hanya
satu tekad kukobarkan, aku tak boleh mengecewakan Bapak dan Ibu lagi.
Aku mulai kuliah. Kajian Salafi masih tetap kuikuti. Aku masih senang
dengan uraian hadist dan Al Qur’an dari Ustadz, meskipun sesekali
sentilan negatif terhadap filsafat tetap memerahkan mukaku. Aku
kemudian menjadi orang aneh. Pergaulanku dengan teman-teman Salafi
semakin luas, karena aku adalah santri yang unik bagi mereka, menjadi
Salafi tapi kuliah di filsafat.
Suatu hari di tahun awal 2006, aku memutuskan untuk masuk
Muhammadiyah lewat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM. Aku mulai
intens mengikuti kajian tafsir Ustadz Dr. Yunahar Ilyas, Lc di kantor pusat
Muhammadiyah Yogyakarta. Ada hal lain yang kutemui. Ustadz Yunahar
lulusan Saudi Arabia, sama dengan Ustadz-Ustadz kenamaan Salafi yang
juga menempuh studi di negeri yang didirikan Keluarga Saud itu, yakni
gaya ceramah Ustadz Yunahar yang lebih soft dan lebih mengedepankan
analogi. Tidak pernah beliau menyerang filsafat, malahan mengatakan
filsafat dibutuhkan untuk menghadang musuh-musuh Islam. Aku terheran-
heran. Kok bisa beda ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar, kumis
menghiasi wajahnya. Jenggot hanya sedikit. Tak pernah kulihat Ustadz
Yunahar memakai kopiah haji meskipun beliau sudah naik haji berkali-kali.
Hanya kopiah hitam nasional yang menurut beberapa teman Salafi, tidak
Islami. Kuperhatikan celana beliau, berjuntai melewati mata kaki. Aku
bertanya, kenapa “Ustadz” satu ini berbeda dengan Ustadz-Ustadz Salafi-
ku?
Keherananku semakin kentara ketika Ustadz Faturahman Kamal
mengantikan beberapa kali kajian Ustadz Yunahar. Ustadz Faturahman
adalah alumni Universitas Islam Madinah yang diklaim sebagai salah satu
pusat keilmuan Salafi. Gaya ceramah beliau berbeda. Bahkan sesekali
beliau membicarakan geliat dakwah kampus yang menguraikan
ketidakwajaran halaqoh dakwah, yang secara eksplisit mengarah kepada
Salafi.
Aku kembali bertanya-tanya, apakah klaim Salafi sebagai firqoh yang
paling benar sebagaimana yang berbuih-buih disampaikan oleh para
Ustadznya BENAR? Sementara itu, senior satu kamarku yang melepasku
dalam kebimbangan sendirian, meninggalkan Jogja. Dia sudah lulus kuliah
dan hendak pulang kampung untuk mencari pekerjaan demi
mempersiapkan lamarannya kepada salah satu teman dari asrama putri.
Kuliahku berjalan lancar. IPK-ku semakin hari semakin naik. Aku semakin
menikmati perkuliahan dan uraian-uraian filosofis yang disampaikan
dosen. Kajian Salafi mulai jarang kuikuti, kecuali kajian Ustadz Ridwan
Hamidi yang tak bisa kutinggalkan sama sekali. Aku teramat suka dengan
Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat ejekan dari kelompok Salafi
yang lain, karena ceramah beliau yang lembut dan sering membuat
jiwaku tentram.
Singkat cerita, bulan Februari ini aku akan diwisuda. Menjadi lulusan
terbaik fakultas Filsafat UGM untuk wisuda periode pertama di tahun 2010
dengan IPK 3,61. Penampilanku sudah biasa. Tak ada lagi celana jingkrang
di atas mata kaki dan jenggot panjang yang awut-awutan. Aku menjadi
orang biasa. Aku tetap normal tidak menjadi gila dengan filsafat yang
kupelajari. Aku masih sholat, baca Al Qur’an dan mempercayai Tuhan.
Filsafat telah membuka wawasan dan perspektifku lebih luas dalam
memandang dunia. Tidak seperti saat di Salafi dengan pola hitam-putih
yang dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi kebencian kepada orang lain
dengan sekat “Kafir”, “Ahlul Bid’ah” dan “Kaum Sesat” yang didasarkan
bingkai agama.
Bulan ini, aku bisa mengobati airmata Ibu dan kekecewaan Bapak
beberapa tahun lalu. Hari ini aku bahagia tanpa harus kehilangan
keIslamanku. Malahan aku menemukan Islam yang damai lewat uraian
Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.
Aku tak peduli dengan sindiran keputusanku keluar dari Salafi. Terserah
dibilang orang yang futur, tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan
menyakitkan lainnya. Aku tak peduli sama sekali. Yang penting aku masih
menyembah Tuhan, masih mendengarkan Al Qur’an dan Hadist, masih
sholat, puasa, mendengarkan ceramah, dan bisa berbakti kepada
orangtuaku. Aku punya jalan hidup sendiri dan punya kekuatan pikiran
untuk mengarahkannya kemana. Aku sudah tak peduli dengan omongan-
omongan negatif tentang keadaanku sekarang. Terserah mereka mau
bilang apa…
*********************
NB: Kutuliskan cerita ini setelah membaca berita penerimaan mahasiswa
baru Universitas Islam Madinah diadakan di Pesantren Gontor yang
notabene bukan pesantren Salafi. Kenapa pemerintah Saudi lebih percaya
kepada Gontor daripada Pesantren-Pesantren Salafi yang saat ini sudah
berdiri di berbagai kota di Indonesia??? Entahlah…