Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

7
KENAPA AKU MENINGGALKAN SALAFI? 13 Februari 2010 Perjalanan spiritualku dalam mengenal Islam menemui babak baru ketika memulai studi di Jogjakarta. Bertemu dengan senior satu kamar di asrama mahasiswa Sumatera Barat yang memiliki penampilan aneh. Berjenggot tebal dan celana di atas mata kaki. Namanya anak kampung yang baru sekali merantau, aku hanya bisa banyak mendengar apa yang seniorku itu sampaikan. Tiap malam aku dibombardir dengan istilah-istilah baru yang belum kuketahui sebelumnya tapi memiliki indikasi negatif dalam agama. Berjalannya waktu dan semakin intensnya pembicaraan kami, akhirnya aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”. Sebuah ajaran yang diklaim sebagai ajaran yang paling benar dan paling teguh memegang Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara gerakan atau ajaran lain dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”. Meski tanpa didampingi oleh sang senior, aku melakukan pencarian lebih lanjut tentang “Salafi”. Lewat pamflet-pamflet pengajian yang disebar di kampus, akupun mulai mengunjungi masjid-masjid tempat berlangsungnya kajian yang bertitel “mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku terpukau dengan kapabilitas ustadz-ustadznya yang hafal ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist. Banyak hadist-hadist baru yang kudengar. Tampilan tawadhu’ para pendengar yang terdiri dari bapak-bapak dan pemuda-pemuda berjenggot-berjubah, serta wanita-wanita bercadar membuat kepincut untuk terus mengikuti pengajian-pengajian Salafi, karena sejak SMA aku sudah memilih memelihara jenggot sebagai sunnah Nabi, sampai-sampai aku berdebat keras dengan seorang guru berjilbab yang menyuruhku untuk memotong jenggot. Aku berpikir, inilah tempat aku menemukan teman-teman yang

description

Agama

Transcript of Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

Page 1: Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

KENAPA AKU MENINGGALKAN SALAFI?13 Februari 2010

Perjalanan spiritualku dalam mengenal Islam menemui babak baru ketika

memulai studi di Jogjakarta. Bertemu dengan senior satu kamar di asrama

mahasiswa Sumatera Barat yang memiliki penampilan aneh. Berjenggot

tebal dan celana di atas mata kaki. Namanya anak kampung yang baru

sekali merantau, aku hanya bisa banyak mendengar apa yang seniorku itu

sampaikan. Tiap malam aku dibombardir dengan istilah-istilah baru yang

belum kuketahui sebelumnya tapi memiliki indikasi negatif dalam agama.

Berjalannya waktu dan semakin intensnya pembicaraan kami, akhirnya

aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”. Sebuah ajaran yang diklaim

sebagai ajaran yang paling benar dan paling teguh memegang Al Qur’an

dan As Sunnah. Sementara gerakan atau ajaran lain dianggap bid’ah dan

tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”.

Meski tanpa didampingi oleh sang senior, aku melakukan pencarian lebih

lanjut tentang “Salafi”. Lewat pamflet-pamflet pengajian yang disebar di

kampus, akupun mulai mengunjungi masjid-masjid tempat

berlangsungnya kajian yang bertitel “mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku

terpukau dengan kapabilitas ustadz-ustadznya yang hafal ayat-ayat Al

Qur’an dan Hadist. Banyak hadist-hadist baru yang kudengar. Tampilan

tawadhu’ para pendengar yang terdiri dari bapak-bapak dan pemuda-

pemuda berjenggot-berjubah, serta wanita-wanita bercadar membuat

kepincut untuk terus mengikuti pengajian-pengajian Salafi, karena sejak

SMA aku sudah memilih memelihara jenggot sebagai sunnah Nabi,

sampai-sampai aku berdebat keras dengan seorang guru berjilbab yang

menyuruhku untuk memotong jenggot. Aku berpikir, inilah tempat aku

menemukan teman-teman yang melaksanakan hadist yang dulu pernah

kutemui bahwa memilihara jenggot merupakan bagian dari sunnah Nabi.

Meskipun masih menjadi orang “aneh” dengan penampilan modern

(celana panjang dan kemeja), keinginanku untuk belajar mengalahkan

rasa risih. Seringkali para jama’ah lain menatap diriku agak lama.

Mungkin karena dirasa sebagai orang baru, gaya penampilanku yang

Page 2: Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

tidak lazim dapat mereka maklumi. Minggu-minggu berlalu, aku semakin

asyik dengan pengajian demi pengajian. Di Asrama,  sang senior satu

kamar semakin intens menceritakan kejelekan-kejelekan ajaran di luar

Salafi.

Aku tak ingat lagi sejak kapan memotong celana hingga di atas matakaki.

Semua celana panjangku kukirim ke tukang jahit untuk “dirapikan” agar

sama seperti celana-celana yang dipakai oleh anggota pengajian.

Jenggotku mulai memanjang dan celanaku tidak lagi celana lipatan.

Mulailah beberapa peserta pengajian mendekatiku dan mengajakku

ngobrol. Aku mulai merasa diterima sebagai bagian mereka. Aku merasa

enjoy karena mulai mendapatkan teman-teman baru. Lambat laun

hubunganku semakin intens dan mengenal lebih banyak lagi teman-

teman Salafi. Sampai suatu kali perkenalan tentang kuliah, aku bilang

kuliah di Filsafat UGM. Sontak saja raut teman bicaraku berubah. Awalnya

aku tak mengerti, kenapa setiap memperkenalkan diri sebagai mahasiswa

Filsafat mereka mencoba mengalihkan pembicaraan?

Akhirnya aku tahu sebab-musabab, kenapa raut wajah mereka berubah

ketika kubilang kuliah di Filsafat. Ternyata memang Salafi

“mengharamkan Filsafat”. Berkali-kali ketika membahas peran akal dalam

memahami wahyu atau kajian-kajian mengenai firqoh-firqoh Islam, istilah

filsafat dikatakan dengan ucapan sinis. Berbagai istilah dilekatkan kepada

filsafat, “ilmu syetan”, “ilmu sesat”, “ilmu tak bermanfaat”.

Kegelisahan mulai menderaku. Apakah benar kuliah yang sedang kujalani

saat ini adalah kuliah yang mempelajari ilmu yang dilarang dalam Islam?

Suatu ketika kuberanikan diri bertanya empat mata kepada beberapa

Ustadz. Jawaban dari Ustadz yang kudatangi SAMA. Mempelajari filsafat

itu haram. Pertahananku jebol. Aku benar-benar binggung. Semester 3

aku mulai malas-malasan pergi ke kampus. Pagi hari dan siang hari aku

hanya termanggu di asrama, berkata pada diri sendiri, “betapa bodohnya

aku telah salah memilih jurusan”. Aku menghindar memilih jurusan

hukum atas dasar asumsi “Islami”, hukum di Indonesia adalah hukum

thagut (kafir, sesat). Dan pilihan jurusan filsafat kusandarkan kepada

sebuah artikel dalam terjemahan Al Qur’an yang dikeluarkan oleh

Departemen Agama. Tapi, di Jogja aku menemukan hal sebaliknya,

“Filsafat Haram dalam Islam”.

Page 3: Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

Akibat jarang mengikuti perkuliahan, IP-ku jeblok. Padahal semester 1 dan

2 aku berhasil meraih IP di atas 3. Sementara, aktivitas pengajianku di

Salafi semakin intens. Beberapa kajian yang kuikuti telah melewati batas

kota Jogja.

Suatu ketika, aku berpikir tak mungkin lagi melanjutkan kuliah di filsafat.

Kuberanikan diri bicara lewat telpon kepada Bapak untuk berhenti kuliah.

Aku ingin masuk pondok pesantren, mempelajari ilmu agama yang lebih

mulia dari ilmu-ilmu lain. Kusampaikan kepada Bapak dalil-dalil

keharaman filsafat sebagaimana yang kudapatkan dari ustadz. Bapak

marah besar kepadaku. Aku cuek, karena yakin apa yang sampaikan

benar menurut “agama”. Aku bersitegang dengan Bapak. Beberapa hari

setelah percekcokanku dengan Bapak, Ibu datang ke Jogja. Tak henti Ibu

menangis. Memberitahukan bagaimana Bapak kecewa berat dengan

“kegilaan-ku” meninggalkan kuliah di UGM. Ibu memintaku untuk

mengurungkan niat berhenti kuliah. Jiwaku masih memberontak waktu itu.

Beberapa hari Ibu menginap di kamar. Tak henti tangisan beliau ketika

memintaku untuk memikirkan kerja keras Bapak menguliahkanku dengan

biaya yang besar di UGM. Akupun luluh. Tak sanggup rasanya melihat Ibu

bercucuran airmata. Hati kecil berontak, bimbang antara memilih

“agama” dan keinginan orang tua. Terlintas ucapan ustadz-ustadz Salafi

bahwa hormat kepada manusia tidak perlu jika melanggar perintah

Tuhan, hatta itu orangtua sendiri. Di sisi lain sanubariku

berkata, bukankah agama melarang seorang anak durhaka kepada orang

tua?

Aku menghadapi dilema ini sendirian. Seniorku satu kamar yang

mengenalkanku dengan Salafi diam masa bodoh. Sibuk dengan kerja dan

kuliahnya yang memang begitu padat. Menjelang kepulangan Ibu kembali

ke kampung karena sudah tak bisa berlama-lama di Jogja demi kerja dan

mengurusi adik-adikku yang masih kecil-kecil, beliau kembali memintaku

untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku tak bisa melawan Ibu dab

melepas kepergian beliau dengan tangisan. Kukuatkan tekad dan bilang

sama Ibu bahwa aku mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku akan

kembali masuk kuliah dan mengejar ketertinggalan selama ini. Berusaha

keras meraih IP seperti 2 semester awal dulu. Dalam hati aku menguatkan

tekad, “persetan dengan kata-kata Ustadz kalau akhirnya aku membuat

Ibu menangis dan Bapak menjadi kecewa. Terserah dibilang membuang

Page 4: Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

umur untuk mempelajari ilmu yang haram, terserah dibilang sebagai

pengkhianat agama. Persetan dengan semua dalil dan argumen agamis

yang mereka sampaikan. Aku mau menghormati orangtuaku meskipun

dianggap sebagai “kedurhakaan” kepada Tuhan.

Titik balik itu berlangsung saat liburan semester 6, persis tiga tahun aku

menjalani hidup sebagai mahasiswa di Jogja. Kudatangi kampus untuk

registrasi masuk kuliah semester 7. Kuminta transkrip nilai. Tak sampai 40

sks mata kuliah yang telah kuambil. IPK-pun hancur di bawah 2,5. Hanya

satu tekad kukobarkan, aku tak boleh mengecewakan Bapak dan Ibu lagi.

Aku mulai kuliah. Kajian Salafi masih tetap kuikuti. Aku masih senang

dengan uraian hadist dan Al Qur’an dari Ustadz, meskipun sesekali

sentilan negatif terhadap filsafat tetap memerahkan mukaku. Aku

kemudian menjadi orang aneh. Pergaulanku dengan teman-teman Salafi

semakin luas, karena aku adalah santri yang unik bagi mereka, menjadi

Salafi tapi kuliah di filsafat.

Suatu hari di tahun awal 2006, aku memutuskan untuk masuk

Muhammadiyah lewat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM. Aku mulai

intens mengikuti kajian tafsir Ustadz Dr. Yunahar Ilyas, Lc di kantor pusat

Muhammadiyah Yogyakarta. Ada hal lain yang kutemui. Ustadz Yunahar

lulusan Saudi Arabia, sama dengan Ustadz-Ustadz kenamaan Salafi yang

juga menempuh studi di negeri yang didirikan Keluarga Saud itu, yakni

gaya ceramah Ustadz Yunahar yang lebih soft dan lebih mengedepankan

analogi. Tidak pernah beliau menyerang filsafat, malahan mengatakan

filsafat dibutuhkan untuk menghadang musuh-musuh Islam. Aku terheran-

heran. Kok bisa beda ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar, kumis

menghiasi wajahnya. Jenggot hanya sedikit. Tak pernah kulihat Ustadz

Yunahar memakai kopiah haji meskipun beliau sudah naik haji berkali-kali.

Hanya kopiah hitam nasional yang menurut beberapa teman Salafi, tidak

Islami. Kuperhatikan celana beliau, berjuntai melewati mata kaki. Aku

bertanya, kenapa “Ustadz” satu ini berbeda dengan Ustadz-Ustadz Salafi-

ku?

Keherananku semakin kentara ketika Ustadz Faturahman Kamal

mengantikan beberapa kali kajian Ustadz Yunahar. Ustadz Faturahman

adalah alumni Universitas Islam Madinah yang diklaim sebagai salah satu

pusat keilmuan Salafi. Gaya ceramah beliau berbeda. Bahkan sesekali

Page 5: Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

beliau membicarakan geliat dakwah kampus yang menguraikan

ketidakwajaran halaqoh dakwah, yang secara eksplisit mengarah kepada

Salafi.

Aku kembali bertanya-tanya, apakah klaim Salafi sebagai firqoh yang

paling benar sebagaimana yang berbuih-buih disampaikan oleh para

Ustadznya BENAR? Sementara itu, senior satu kamarku yang melepasku

dalam kebimbangan sendirian, meninggalkan Jogja. Dia sudah lulus kuliah

dan hendak pulang kampung untuk mencari pekerjaan demi

mempersiapkan lamarannya kepada salah satu teman dari asrama putri.

Kuliahku berjalan lancar. IPK-ku semakin hari semakin naik. Aku semakin

menikmati perkuliahan dan uraian-uraian filosofis yang disampaikan

dosen. Kajian Salafi mulai jarang kuikuti, kecuali kajian Ustadz Ridwan

Hamidi yang tak bisa kutinggalkan sama sekali. Aku teramat suka dengan

Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat ejekan dari kelompok Salafi

yang lain, karena ceramah beliau yang lembut dan sering membuat

jiwaku tentram.

Singkat cerita, bulan Februari ini aku akan diwisuda. Menjadi lulusan

terbaik fakultas Filsafat UGM untuk wisuda periode pertama di tahun 2010

dengan IPK 3,61. Penampilanku sudah biasa. Tak ada lagi celana jingkrang

di atas mata kaki dan jenggot panjang yang awut-awutan. Aku menjadi

orang biasa. Aku tetap normal tidak menjadi gila dengan filsafat yang

kupelajari. Aku masih sholat, baca Al Qur’an dan mempercayai Tuhan.

Filsafat telah membuka wawasan dan perspektifku lebih luas dalam

memandang dunia. Tidak seperti saat di Salafi dengan pola hitam-putih

yang dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi kebencian kepada orang lain

dengan sekat “Kafir”, “Ahlul Bid’ah” dan “Kaum Sesat” yang didasarkan

bingkai agama.

Bulan ini, aku bisa mengobati airmata Ibu dan kekecewaan Bapak

beberapa tahun lalu. Hari ini aku bahagia tanpa harus kehilangan

keIslamanku. Malahan aku menemukan Islam yang damai lewat uraian

Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.

Aku tak peduli dengan sindiran keputusanku keluar dari Salafi. Terserah

dibilang orang yang futur, tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan

Page 6: Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

menyakitkan lainnya. Aku tak peduli sama sekali. Yang penting aku masih

menyembah Tuhan, masih mendengarkan Al Qur’an dan Hadist, masih

sholat, puasa, mendengarkan ceramah, dan bisa berbakti kepada

orangtuaku. Aku punya jalan hidup sendiri dan punya kekuatan pikiran

untuk mengarahkannya kemana. Aku sudah tak peduli dengan omongan-

omongan negatif tentang keadaanku sekarang. Terserah mereka mau

bilang apa…

*********************

NB: Kutuliskan cerita ini setelah membaca berita penerimaan mahasiswa

baru Universitas Islam Madinah diadakan di Pesantren Gontor yang

notabene bukan pesantren Salafi. Kenapa pemerintah Saudi lebih percaya

kepada Gontor daripada Pesantren-Pesantren Salafi yang saat ini sudah

berdiri di berbagai kota di Indonesia??? Entahlah…