KELEMBAGAAN UPAYA HUKUM HAK ASASI MANUSIA · KANWIL HUKUM DAN HAM PROVINSI BALI 01-Jan-15...
Transcript of KELEMBAGAAN UPAYA HUKUM HAK ASASI MANUSIA · KANWIL HUKUM DAN HAM PROVINSI BALI 01-Jan-15...
2015
KEGIATAN KAJIANPERATURAN DAERAHDISELENGGARAKAN OLEHKANWIL HUKUM DAN HAMPROVINSI BALI01-Jan-15
MARHAENDRA WIJA ATMAJA
PENGKAJIAN PERATURAN DAERAH:PENDEKATAN TEORITIK, ATURAN, DAN
KONTEKS PENGALAMAN
DENPASAR
FOKUS BAHASAN
PENDAHULUAN ______ []
PENDEKATAN TEORITIK PENGKAJIAN PERATURANDAERAH _______ []
PENDEKATAN ATURAN PENGKAJIAN PERATURANDAERAH _______ []
KONTEKS PENGALAMAN PENGKAJIAN PERATURANDAERAH _______ []
PENUTUP _______ []
BAHAN BACAAN _______ []
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 1|Marhaendra Wija Atmaja|2015
PENDAHULUAN
Perlu penjelasan konsep yang termuat dalam judul risalah ini:
Pengkajian Peraturan Daerah. Pengkajian ‒merupakan kata benda‒ berarti
penyelidikan atau pelajaran yang mendalam. Ini terkait dengan kata kerja
“mengkaji”, yang berarti: 1 belajar; mempelajari; 2 memeriksa; menyelidiki;
memikirkan (mempertimbangkan dsb); menguji; menelaah: ia berusaha ~
surat keputusan itu. Hasil mengkaji disebut kajian (Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, 2008).
Pengkajian dapat dilakukan dengan cara analisis (analisa) atau sintesis
(sintesa). Analisis ‒kata benda‒ berarti: 1. penyelidikan terhadap suatu
peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); 2 sebagai kata kerja
berarti penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian
yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Kata kerja dari analisis adalah
menganalisis, berarti menyelidiki dengan menguraikan bagian-bagiannya
(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008). Sintesis ‒kata benda‒ berarti: 1.
paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan
kesatuan yang selaras; 2. penentuan hukum yang umum berdasarkan hukum
yang khusus (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008).
Jadi, pengkajian adalah menyelidiki atau menelaah sesuatu (peristiwa
atau perbuatan, atau hasil dari perbuatan, seperti Peraturan Daerah sebagai
hasil dari perbuatan membentuk Peraturan Daerah), yang dapat dilakukan
secara analisis dan atau sintesis.
Peraturan Daerah, menurut Pasal 1 angka 25 UU 23/2014 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 23/2014), yang
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 2|Marhaendra Wija Atmaja|2015
selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda
Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
bersama Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU 12/2011).
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal 1
angka 8 UU 12/2011).
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 9 UU
12/2011).
Jadi, pengkajian Peraturan Daerah adalah penyelidikan terhadap suatu
Peraturan Daerah untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Keadaan
yang sebenarnya dapat berkenaan dengan aspek bentuk, isi, dan proses
pembentukannya yang benar menurut suatu patokan tertentu. Patokan
tertentu itu misalnya bentuk, isi, dan proses pembentukannya sesuai dengan
UU 12/2011.
PENDEKATAN TEORITIK KAJIANPERATURAN DAERAH
Secara teoritik ada berbagai pendekatan dalam mengkaji Peraturan
Daerah, diantaranya adalah:
a. Analisis Dampak Regulasi.
b. Metode Pemecahan Masalah dan Agenda ROCCIPI,
1. ANALISIS DAMPAK REGULASI.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 3|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Istilah asli: Regulatory Impact Analysis. Akronim: RIA. Terjemahan
lainnya:
a. Analisis Dampak Peraturan.
b. Analisis Pengaruh Regulasi.
c. Analisis Pengaruh Peraturan.
RIA telah diadopsi oleh negara-negara OECD dalam penyusunan
kebijakan publik untuk mewujudkan tata kelola yang baik. RIA adalah
sebuah metode yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif
dan positif peraturan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan.
Tujuan RIA adalah terciptanya good regulatory governance –tata kelola
pemerintahan yang mengembangkan perumusan peraturan yang efektif,
berorientasi pasar, melindungi lingkungan dan kehidupan sosial. Prinsip-
Prinsip RIA adalah:
a. Minimum Efective Regulation. Regulasi bibuat apabila benar-benar
diperlukan.
b. Competitive Neutrality. Netralitas terhadap persaingan dengan
menggunakan mekanisme pasar.
c. Transparancy & Participation. Transparan dengan pelibatan
stakeholder.
d. Cost Benefit (cost effectiveness). Manfaat lebih besar daripada
biaya, bila tidak mungkin setidaknya efektivitas biaya.
Daftar Periksa Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan
RIA:
1. Apakah masalah yang dihadapi sudah didefinisikan dengan benar?
2. Sudahkah tindakan pemerintah diupayakan?
3. Apakah PPu itu merupakan bentuk terbaik dari tindakan
pemerintah?
4. Apakah ada landasan hukum untuk PPu?
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 4|Marhaendra Wija Atmaja|2015
5. Apa jenjang pemerintahan yang tepat untuk melakukan tindakan
ini?
6. Apakah manfaatnya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?
7. Apakah distribusi usaha di masyarakat transparan?
8. Apakah PPu tersebut jelas, dapat dipahami dan mudah diakses oleh
pemakai?
9. Apakah semua pihak yang berkepentingan telah diberi kesempatan
untuk menyampaikan pendapat/pandangan mereka?
10. Bagaimana dapat mencapai kepatuhan?
Langkah-langkah RIA:
1. Perumusan masalah atau issue yang menimbulkan adanya
kebutuhan untuk melakukan pengaturan.
2. Penentuan tujuan atau sasaran dari pengaturan.
3. Pemilihan alternatif pengaturan yang dapat dilakukan untuk
mencapai tujuan.
4. Sudut pandang konsumen, pelaku bisnis, masyarakat, dan
pemerintah melalui analisa biaya dan manfaat.
5. Konsultasi dengan para tenaga ahli, stakeholder dan publik.
6. Analisa masalah kepatuhan.
7. Penyusunan draft laporan dampak regulasi (regulatory impact
statement/RIAS) yang melaporkan hasil-hasil dari RIA.
Tahapan RIA(Regulatory Impact Assessment)
Perumusan
Masalah
IdentifikasiTujuan
Alternatif
Tindakan
Analisis
Biaya &
Manfaat
Pemilihan
Tindakan
StrategiIm
plementasi
Konsultasi Publik
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 5|Marhaendra Wija Atmaja|2015
PENJELASAN LANGKAH-LANGKAH.
Perumusan masalah. Untuk menentukan suatu masalah, beberapa hal
yang perlu diperhatikan adalah:
a. Identifikasi wewenang hukum.
b. Pemahaman tentang susunan peraturan.
c. Konsultasi dengan stakeholder.
d. Uji definisi masalah yang dapat dilakukan dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti:
1. Apa yang menyebabkan timbulnya masalah?
2. Peristiwa apa yang memiliki andil sehingga imbul masalah?
3. Siapa yang harus menyelesaikan masalah?
4. Apa motivasi memiliki pihak-pihak yang memiliki andil sehingga
timbul suatu masalah.
5. Apa karakteristik utama lingkungan yang ikut andil dalam
timbulnya masalah?
6. Bagaimana publik melihat masalah itu?
7. Akankah definisi terhadap masalah bermanfaat bagi regulator
untuk dapat mengusulkan suatu regulasi.
Penentuan Tujuan. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab untuk
dapat mendefinisikan tujuan dengan mempengaruhi perilaku adalah:
a. Apakah orang-orang yang terlibat mengerti dan sepakat bahwa
memang ada masalah?
b. Apakah mereka mengerti dan mengetahui kontribusinya terhadap
masalah?
c. Apakah mereka mengerti dan menerima tujuan pemerintah?
d. Apakah mereka mengerti dan menerima apa yang anda inginkan
dari mereka?
e. Apakah mereka mampu berperilaku dengan cara tersebut?
f. Apakah ada faktor-faktor sosial dan psikologis yang terkait?
Pemilihan Alternatif, menyangkut bentuk-bentuk alternatif:
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 6|Marhaendra Wija Atmaja|2015
a. Self regulation. Masyarakat atau kelompok masyarakat mengatur
diri sendiri.
b. Quasi regulation. Pengaturan yang sifatnya himbauan yang sedikit
mengikat.
c. Explicit regulation. Pengaturan yang tegas.
Ketiga bentuk alternatif tsb ditentukan dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut:
a. Apakah pilihan alternatif itu legal?
b. Apakah pilihan alternatif itu cukup efektif?
c. Apakah pilihan alternatif itu efisien?
d. Apakah pilihan alternatif itu adil?
e. Apakah pilihan alternatif itu terlalu mengganggu?
f. Seberapa cepat pilihan alternatif itu dapat dicapai?
g. Apakah pilihan alternatif itu cukup responsif?
Konsultasi Publik. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan adalah:
a. Konsultasi ditujukan untuk mengumpulkan informasi, membangun
kelompok yang memihak untuk menyetujui adanya regulasi, dan
menyusun laporan yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Konsultasi dapat dilaksanakan dalam bentuk beragam, informal
maupun formal (dengar pendapat, komentar, dll)
c. Harus direncanakan pada awal RIA.
d. Rencana konsultasi harus sudah mengenali pihak-pihak mana yang
akan dilibatkan partisipasinya.
e. Prosesnya transparan, dialog berkesinambungan, pro aktif.
Analisis Manfaat dan Biaya. Memulai AMB, langkah-langkah praktis yang
dapat ditempuh:
a. Buatlah daftar sebanyak mungkin berbagai jenis manfaat yang
diperoleh dari diberlakukannya suatu peraturan.
b. Buatlah daftar sebanyak mungkin berbagai jenis biaya yang
dikeluarkan sehubungan dengan diberlakukannya suatu peraturan.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 7|Marhaendra Wija Atmaja|2015
c. Lakukan konsultasi dengan tenaga ahli, stakeholder, dan
masyarakat untuk menyempurnakan daftar manfaat dan biaya
tersebut.
d. Siapkan sebuah tabel tentang manfaat dan biaya yang disajikan per
tahun.
e. Bagilah ke dalam kelompok sesuai dengan yang terkena dampak
manfaat maupun biaya, serta gunakan “kelompok kunci” yang akan
mewakili konsumen, pengusaha, maupun pemerintah.
f. Dalam Tabel tsb dapat dilihat bahwa pada kolom terakhir terdapat
manfaat bersih setelah dikurangi biaya.
g. Jika demikian, apakah alternatif yang memiliki manfaat bersih
paling besar yang akan dipilih?
h. Tampaknya tidak selalu demikian, sebab dalam hal ini pada
umumnya yang menerima manfaat bukan yang membayar biaya
dan aspek-aspek seperti legalitas, efektivitas, prioritas dari setiap
alternatif masih perlu dipertimbangkan.
i. Di samping itu perlu disadari ada manfaat dan biaya yang tidak
dapat dikuantifikasi, shg hasil AMB belum mencerminkan hasil yang
komprehensif.
j. Oleh karena itu, untuk sampai kepada pilihan yang diinginkan
masih ada langkah berikutnya, yakni konsultasi dengan para ahli,
stakeholder, dan masyarakat khususnya yang terkena dampak.
CATATAN AKHIR. Analisis RIA merupakan suatu metode: evaluasi
kebijakan publik; dan pembuatan kebijakan publik yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
2. METODE PEMECAHAN MASALAH DAN AGENDA ROCCIPI
Dari bukunya Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere,
yang berjudul Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan
Masyarakat Yang Demokratis (terjemahan, diterbitkan Proyek ELIPS
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 8|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2001) dapat
diketahui bahwa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
terdiri dari dua kelompok kegiatan, yakni:
1. Penelitian untuk mendapatkan bahan masukan sebagai materi
muatan peraturan perundang-undangan yang hendak disusun;
dan
2. Perumusan materi muatan yang dihasilkan penelitian itu ke dalam
rancangan peraturan perundang-undangan.
Relevansi dari Metode Pemecahan Masalah adalah pada penelitian
tersebut, yang lazimnya di Indonesia dituangkan dalam Naskah Akademis.
Sedangkan dalam tahap perumusan materi muatan ke dalam rancangan
peraturan perundang-undangan itu diperlukan keahlian mengenai teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, baik menyangkut kerangka
dan bentuk rancangan maupun menyangkut bahasa hukumnya.
Metodelogi Pemecahan Masalah (dari Ann Seidman, Robert B.
Seidman, dan Nalin Abeyserkere), yang meliputi 4 (empat) langkah utama,
yakni:
1. Mengenali permasalahannya;
2. Menemukan penjelasan perilaku bermasalah;
3. Menyusun solusi; dan
4. Memantau dan menilai pelaksanaan.
Inti dari Metodelogi Pemecahan Masalah dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan dengan langkah-langkah tersebut adalah
dalam rangka perubahan masyarakat yang demokratis yang berdasarkan
pada asas-asas kepemerintahan yang baik (good governance). Masing-
masing langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, mengenali permasalahan sosial atau perilaku bermasalah,
melalui kriteria sebagai berikut:
1. Apakah masalah itu terjadi berulang-ulang?
2. Apakah masalah itu mempunyai dampak negatif?
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 9|Marhaendra Wija Atmaja|2015
3. Apakah masalah sosial itu dibentuk oleh perilaku majemuk (banyak
orang)?
Jika jawabannya ”ya“, maka masalah itu merupakan masalah sosial.
Pihak-pihak yang perilakunya terkait dengan masalah sosial adalah:
a. Pemeran (Role Occupant), yakni orang, kelompok, atau organisasi
yang perilakunya menimbulkan masalah.
b. Agen pelaksana (Implementing Agent), yang diberi kewenangan oleh
peraturan untuk memastikan pemeran berperilaku sesuai aturan.
Kedua, menemukan penjelasan atau penyebab perilaku bermasalah.
Dilakukan dengan menggunakan agenda ROCCIPI yang merupakan akronim
dari sejumlah kategori. Ini akan diuraikan dalam bagian berikutnya, khusus
megenai Teori ROCCIPI.
Ketiga, menyusun solusi. Ada dua jenis solusi yakni untuk
menghilangkan perilaku bermasaalah dan memastikan efektivitas
pelaksanaan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Solusi untuk menghilangkan perilaku bermasalah yang berisi
tindakan-tindakan langsung maupun tidak langsung yang bisa
menghilangkan perilaku bermasalah. Misalnya, Jika karena faktor
peraturan, khususnya pada ancaman sanksi maka ancaman sanksi
itu yang perlu diperbaiki atau jika perilaku bermasalah disebabkan
kurangnya perilaku berperan maka tindakannya adalah
mengembangkan kemampuan.
2. Solusi memastikan efektivitas pelaksanaan peraturan. Lankah yang
dapat dilakukan adalah pertama, mempertimbangkan jenis-jenis
lembaga pelaksana peraturan seperti perusahaan negara, lembaga
administratif, lembaga penyelesaian sengketa atau lembaga
swasta. Langkah kedua, menyususn mekanisme tindakan untuk
menghindari tindakan seweng-wenang lembaga pelaksana
peraturan. Ini dapat dilakukan melalui dua cara:
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 10|Marhaendra Wija Atmaja|2015
a) menyusun proses pengambilan keputusan yang partisipatif dan
transparan dalam peraturan; dan
b) menyusun mekanisme pertanggungjawaban dan penyelesaian
sengketa.
Keempat, memantau dan menilai pelaksanaan. Kegiatan ini menyusun
mekanisme pengawasan dan evaluasi dalam rancangan. Untuk memastikan
peraturan yang dirancang benar-benar mempengaruhi tingkah laku dan
dampak yang diinginkan. Mekanisme itu mencakup:
a. Klausula Matahari Terbenam.
b. Mengharuskan pejabat memberikan laporan kepada atasan
dan/atau legislatif.
c. Mengharuskan pejabat pelaksana peraturan membentuk komisi
yang akan mengevaluasi pelaksanaan.
Metodologi pemecahan masalah dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibandingkan dengan metode
”momentum” dari Meuwissen (2007. Arief Sidharta, 1996) yang terdiri dari:
1. Momen Idiil, merupakan nilai-nilai filsafat bangsa atau pandangan
hidup bangsa.
2. Momen Politik, yakni kepentingan dan tujuan politik, yang
merupakan artikulasi dan aspirasi serta kebutuhan riil masyarakat.
3. Momen Normatif yang meliputi cita hak dan asas hukum yang
dijiwai oleh momen idiil.
4. Momen Teknikal (teknik PPU) mencakup legal drafting persiapan
rancangan UU/naskah akademis.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang perlu
diperhatikan adalah:
1. Momen idiil yakni nilai-nilai pandangan hidup di Indonesia. Jangan
sampai dengan pembentukan UU mendasarkan pada pandangan
hidup bangsa lain.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 11|Marhaendra Wija Atmaja|2015
2. Momen politikal, bahwa pembentukan UU mengartikulasi aspirasi
dan kebutuhan riil masyarakat.
3. Momen praktikal ini berinteraksi dan berdialektika dengan momen
normatif, yakni dengan cita dan asas hukum nasional.
4. Hasil interaksi dan dialektika momen praktikal dengan momen
normatif itu diolah bersaranakan momen teknikal (teknik
perundang-undangan) yang meliputi kerangka peraturan
perundangan-undangan, bentuk rancangan peraturan perundang-
undangan dan ragam bahasa perundang-undangan.
Membandingkan kedua metode pembentukan peraturan perundang-
undangan itu (antara metode pemecahan masalah Siedman dengan metode
”momentum” dari Meuwiessen), tampak tidak ada nilai-nilai filsafat atau
pandangan hidup bangsa (momen idiil) dalam metode pemecahan masalah.
Sedangkan yang lain dapat dipertautkan sebagaimana tampak pada visual
berikut:
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 12|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Bagan : Pertautan Metode Pemecahan Masalah dan Metode ”Momentum”
Metode Pemecahan Masalah kebih operasional dibandingkan dengan
Metode ’Momentum’ namun kekurangannya, Metode Pemecahan Masalah
mengabaikan nilai-nilai filsafat bangsa atau pandangan hidup bangsa
(Momen Idiil). Di Indonesia, Momen Idiil itu mempunyai posisi penting dalam
pembentukan undang-undang, yakni dengan adanya dasar pertimbangan
filosofis (validitas filosofis) dalam konsinderan ”Menimbang” dalam suatu
undang-undang. Oleh karena itu, dengan menggunakan Metode Pemecahan
Masalah dalam pembentukan undang-undang, Momen Idiil itu harus
diperhatikan dalam tahapan penyusunan rancangan peraturan perundang-
undangan.
TEORI ROCCIPI
Teori perundang-undangan yang yang dikembangkan Ann Seidman,
Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere adalah untuk mendapatkan
masukan penjelasan tentang prilaku bermasalah yang membantu dalam
Memahami masalahsosialMenemukanpenyebabbermasalahMenyusun solusi
Metode PemecahanMasalah Metode “Momentum”
Menyusun rancanganundang-undangDalam rangka perubahanmasyarakat yang demokratissesuai dengan asas-asaskepemerintahan yang baik
Momen idiil(nilai-nilai filsafat bangsa ataupandangan hidupbangsa)Momen politikal(kepentingan dan tujuan politik, artikulasi danaspirasi serta kebutuhan riil masyarakat)Momen normatif(cita hak dan asas hukum yang dijiwai oleh momenidiil)Momen teknikal(legal drafting persiapan rancangan UU/naskahakademis)
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 13|Marhaendra Wija Atmaja|2015
penyusunan undang-undang. Teori ini lebih dikenal dengan ROCCIPPI, yang
terdiri 7 kategori, yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan),
Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest
(Kepentingan), Process (Prosese), dan Ideology (Ideologi). Kategori-kategori
ini dapat dipilah menjadi dua kelompok factor penyebab, yakni factor
obyektif (yang meliputi: Rule/Peratura), Opportunity/Kesempata),
Capacity/Kemampua), Communication/Komunikas), dan Process/Prosese )
dan factor subyektif (yang meliputi: Interest/Kepentingan dan
Ideology/Ideologi). Penjelasan masing-masing factor tersebut adalah sebagai
berikut.
Pertama, factor-faktor subyektif, terdiri dari apa yang ada dalam benak
para pelaku peran: Kepentingan-kepentingan mereka dan “ideologi-ideologi
(nilai-nilai dan sikap)” mereka. Hal-hal ini merupakan apa yang semula
diidentifikasikan kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai “alasan” dari
perilaku masyarakat. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kepentingan (atau insentif). Kategori ini mengacu pada pandangan
pelaku peran tentang akibat dan manfaat untuk mereka sendiri. Hal
ini termasuk bukan hanya insentif materiil tetapi juga insentif non-
materiil, seperti penghargaan dan acuam kelompok berkuasa. Fokus
pada penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan umumnya
menghasilkan tindakan perundang-undangan yang menerapkan
tindakan motivasi ke arah kesesuaian yang bersifat langsung -
hukuman dan penghargaan - yang dirancang untuk mengubah
kepentingan-kepentingan tersebut.
2. Ideologi (nilai dan sikap). Ideologi merupakan kategori subjektif
kedua dari kemungkinan penyebab perilaku. Bila ditafsirkan secara
luas, kategori ini mencakup motivasi-motivasi subjektif dari perilaku
yang tidak dicakup dalam “kepentingan”. Motivasi tersebut termasuk
semua hal mulai dari nilai, sikap dan selera, hingga ke mitos dan
asumsi-asumsi tentang dunia, kepercayaan keagamaan dan ideologi
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 14|Marhaendra Wija Atmaja|2015
politik, social dan ekonomi yang kurang lebih cukup jelas. Alvin
Gouldner memasukkan hal-hal tersebur dalam istilah: “asumsi-
asumsi domain”.
Faktor-faktor subjektif − Kepentingan dan Ideologi − memang
menawarkan penjelasan secara parsial perilaku bermasalah. Akan tetapi,
sesuai dengan hakekatnya, penjelasan tersebut terfokus pada penyebab
perilaku perorangan di dalam struktur kelembagaan yang ada. Sebagai
akibatnya, pemecahan perundang-undangan dirancang untuk mengubah
kepentingan dan ideologi perorangan. Penyelesaian-penyelesaian perundang-
undangan yang ditujukan hanya pada penyebab-penyebab subjektif dari
perilaku bermasalah tidak dapat mengubah factor-faktor kelembagaan
objektif yang dapat menyebabkan bertahannya perilaku tersebut.
Kedua, factor-faktor obyektif. Berbeda dengan factor subjektif, kategori-
ketegori-kategori objektif ROCCIPI - Peraturan, Kesempatan, Kemampuan,
Komunikasi dan Proses memusatkan perhatian pada penyebab perilaku
kelembagaan yang menghambat pemerintahan yang bersih. Kategori ini
harus merangsang seorang penyusun rancangan undang-undang untuk
memformulasikan hipotesa penjelasan yang agak berbeda dan usulan
pemecahan. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peraturan. Kebanyakan masalah yang mencapai tahap penyusunan
rancangan undang-undang tidak ada dengan tiba-tiba. Hampir
selalu, batang tubuh undang-undang yang layak mempengaruhi
perilaku. Orang berperilaku sedemikian rupa, bukan di hadapan
satu peraturan, tetapi di depan kesatuan kerangka undang-undang.
Keberadaan peraturan-peraturan tersebut dapat membantu
menjelaskan perilaku bermasalah dengan satu atau beberapa dari
lima alasan berikut ini:
Susunan kata dari peraturan tersebut mungkin kurang jelas atau
rancu, sehingga sampai memberikan wewenang tentang apa
yang harus dilakukan;
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 15|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Beberapa peraturan mungkin mengijinkan atau mengijinkan
perilaku yang bermasalah;
Peraturan tersebut tidak menangani penyebab-penyebab dari
perilaku bermasalah.
Peraturan tersebut mungkin mengijinkan pelaksanaan yang tidak
transparan, tidak bertanggung jawab dan tidak partisipatif.
Peraturan tersebut mungkin memberikan kewenangan yang tidak
perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan
bagaimana mengubah perilaku bermasalah tersebut.
2. Kesempatan. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju oleh
suatu undang-undang memungkinkan mereka untuk berperilaku
sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang tersebut? Atau,
sebaliknya, apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang
sesuai tidak mungkin terjadi? Misalnya, bila kebijakan pemerintah
berpihak pada peningkatan penanaman tanaman keras di tengah
dominasi petani tanaman pangan, apakah para petani tersebut
memiliki akses masuk menembus pasar tanaman keras? Apanila
tidak, mereka akan kekurangan kesempatan untuk menjual barang-
barang mereka di pasar.
3. Kemampuan. Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan
berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?
Berangkat dari situasi ini, maka kategori ini memfokuskan perhatian
pada ciri-ciri pelaku yang menyulitkan atau tidak memungkinkan
mereka berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang
yang ada. Misalnya, apabila petani tanaman pangan kekurangan
kredit atau keahlian teknis, kemungkinan mereka tidak memiliki
kemampuan menanam tanaman pangan.
4. Komunikasi. Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-
undang mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak
sesuai. Apakah para pihak yang berwenang telah mengambil
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 16|Marhaendra Wija Atmaja|2015
langkah-langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan
peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak
ada orang yang dengan secara sadar mematuhi undang-undang
bila dia mengetahui perintah.
5. Proses. Menurut kriteria dan prosedur apakah - dengan Proses yang
bagaimana - para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi
undang-undang atau tidak? Biasanya, bila sekelompok pelaku peran
terdiri dari perorangan, kategori “Proses” menghasilkan beberapa
hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-
orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi
peraturan atau tidak. Akan tetapi, dalam hal organisasi yang
kompleks (misalnya, sebuah perusahaan, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), serikat buruh, dan khususnya instansi pelaksana
pemerintah, Proses dapat saja merupakan kategori ROCCIPI yang
paling penting.
Dengan perkataan lain, kategori-kategori ROCCIPI tersebut
mengandung pengertian sebagai berikut:
1. Rule (Peraturan Perundang-undangan). Menganalisis seluruh
peraturan yang mengatur atau terkait dengan perilaku bermasalah,
ini dilakukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang
terkandung pada peraturan yang sudah ada.
2. Oppurtunity (Peluang/Kesempatan). Menganalisis berbagai
kesempatan bagi timbulnya perilaku bermasalah.
3. Capacity (kemampuan). Mengalisis kemungkinan timbulnya perilaku
bermasalah karena faktor kemampuan.
4. Communication (Komunikasi). Perilaku bermasalah mungkin timbul
karena ketidaktahuan pemeran akan adanya peraturan. Ini juga
harus dianalisis dalam rangka menemukan sebab perilaku
bermasalah.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 17|Marhaendra Wija Atmaja|2015
5. Interest (Kepentingan). Kategori ini berguna untuk menjelaskan
pandangan pemeran tentang akibat dan manfaat dari setiap
perilakunya. Pandangan pemeran ini mungkin menjadi penyebab
perilaku bermasalah.
6. Process (Proses). Kategori proses juga merupakan penyebab
perilaku bermasalah. Ada empat proses utama, yakni: proses input,
proses konversi, proses output, dan proses umpan balik. Proses
input menyangkut siapa saja yang dimintai masukan. Proses
konversi siapa saja yang menyaring dan mempertimbangkan
masukan yang ada untuk dijadikan dasar dalam mengambil
keputusan. Proses output menyangkut siapa dan dengan cara apa
keputusan akan dikeluarkan. Proses umpan balik menyangkut
siapa saja yang dimintai umpan balik.
7. Ideology (ideologi). Kategori ini menunjuk pada sekumpulan nilai
yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dan
bertindak.
Dalam Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Teori ROCCIPI
dapat digunakan, misalnya dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
mengenai Penanggulangan HIV/AIDS, yakni:
1. Peraturan adalah menyangkut ada-tidaknya pengaturan tentang
penanggulangan HIV/AIDS; jika ada apakah jelas atau kabur
pengaturannya, atau, apakah ada konflik norma dalam pengaturan
tersebut. Apabila jawabannya ”tidak ada”, maka perlu dibuat
Peraturan Daerah tentang penanggulangan HIV/AIDS. Apabila
jawabannya ”ada” namun tidak jelas atau konflik norma, maka
usulannya bisa berupa perubahan atau penggantian peraturan yang
sudah ada itu.
2. Kesempatan adalah lingkungan dan kondisi yang mempengaruhi
dilaksanakannya berkembang atau menularnya HIV, atau lingkungan
dan kondisi yang mempengaruhi tidak atau kurang berjalannya
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 18|Marhaendra Wija Atmaja|2015
penanggulangan HIV. Maka dalam penyusunan Rancangan, faktor-
faktor penyebab kesempatan itu mesti dicarikan solusinya.
3. Kemampuan adalah menyangkut ketersediaan dan penggunaan
sumber daya yang menjadi penyebab tumbuh-kembangnya HIV atau
penyebab berhasil-tidaknya penanggulangan HIV. Misalnya, dalam
penanggulangan HIV, kemampuan itu bisa berupa keterbatasan
biaya atau keterbatasan ketersediaan obat.
4. Proses menyangkut mekanisme kelembagaan yang mendorong atau
justru menghambat penanggulangan HIV, seperti koordinasi antar-
instansi. Maka faktor koordinasi itu perlu dibenahi, agar misalnya,
penyaluran obat tidak terlambat.
5. Komunikasi adalah menyangkut sosialisasi yang dapat menjadi
penyebab tumbuh-kembangnya HIV atau yang dapat menghambat
penanggulangan HIV. Misalnya, kurangnya sosialisasi mengenai
penyebab timbulnya HIV.
6. Ideologi juga dapat menjadi penyebab tumbuh-kembangnya HIV
atau yang dapat menghambat penanggulangan HIV. Misalnya,
perilaku sek yang tidak aman, atau pandangan bahwa tidak nyaman
melakukan hubungan seks (-beresiko) dengan menggunakan
kondom. Maka, dalam penyusunan Rancangan, mesti dicarikan
solusi penyelesaian terhadap prilaku bermasalah itu.
7. Kepentingan dapat menjadi penyebab tumbuh-kembangnya HIV
atau yang dapat menghambat penanggulangan HIV. Misalnya, hasil
kajian atau penelitian sampai pada simpulan bahwa penyebab
tumbuh-kembangnya HIV adalah lokasi pelacuran, lokalisasi
pelacuran, atau tempat pijat. Maka, solusi penyelesaian haruslah
memperhatikan kategori kepentingan (interes), jika tidak, dapat
menyebabkan solusinya tidak berdayaguna atau berhasilguna. Di
dalam faktor kepentingan itu, misalnya, adalah kepentingan akan
pekerjaan atau penghasilan.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 19|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Berikut ini dikemukakan Skema Sampath yang memberikan
pengertian tentang cara menggunakan agenda ROCCIPI untuk
mengindentifikasi penyebab perilaku bermasalah dari pelaku peran yang
secara logis mampu membantu menyusun rincian tindakan-tindakan di
dalam rancangan peraturan perundang-undangan (Seidman, Ann; Robert B.
Seidman; dan Nalin Abeyserkere, 2002).
Untuk memperjelas penggunaan agenda ROCCIPI, dikemukakan
contoh kasus pembuangan limbah, sebagaimana tampak dalam kotak
berikut:
KOTAK : SKEMA SAMPATH : LANGKAH – LANGKAH MENGANALISA MASALAH SOSIALUNTUK MENYUSUN RANCANGAN UNDANG – UNDANG YANG DAPAT DILAKSANAKANSECARA EFEKTIF
Pelaku peran yangperilakunyamerupakanmasalah sosial
Sebab-sebabperilaku bermasalah
Pemecahan(tindakan-tindakandalam rancangan uuyang secara logisdiarahkan kepadasebab-sebab)
Rincian(tindakan-tindakandalam rancangan uu)
Pelaku Peran #1
Peraturan……….>Kesempatan…….>Kemampuan……>Komunikasi…….>Kepentingan…....>Proses…………..>Ideologi………...>
<………………..><………………..><………………..><………………..><………………..><………………..><………………..>
}}}}}}}
Pelaku Peran #2
Peraturan……….>Kesempatan…….>Kemampuan……>Komunikasi…….>Kepentingan…....>Proses…………..>Ideologi………...>
<………………..><………………..><………………..><………………..><………………..><………………..><………………..>
RINCIAN TINDAKANTINDAKAN DALAMRUU, DISUSUNMENJADI GARISBESAR YANGSESUAI
Pelaku Peran #3
Peraturan……….>Kesempatan…….>Kemampuan……>Komunikasi…….>Kepentingan…....>Proses…………..>Ideologi………...>
<………………..><………………..><………………..><………………..><………………..><………………..><………………..>
}}}}}}}
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 20|Marhaendra Wija Atmaja|2015
KOTAK : MENGGUNAKAN ROCCIPI UNTUK MENYUSUN ANALISA :MENGGAMBARKAN PENGGUNAAN BUKTI-BUKTI KUALITATIF UNTUKMEMBENARKAN TINDAKAN-TINDAKAN TERPERINCI SUATU RUU.(Kasus para pengelola yang perusahaannya secara ilegal membuang limbah industri disungai di dekatnya)
[KATEGORI][ROCCIPI]
Meng-usulkan
[PENJELASAN][HIPOTESA]
Yang secaralogismengarah ke
[KEMUNGKINAN][PEMECAHAN]
Peraturan: Undang-undang melarangpembuangan limbah industri namuntidak mendirikan badan denganpedoman yang jelas untukmemantau dan melaksanakannya.
Menyusun ulang undang-undang tentang badanpemantau dan pengumpulbukti lebih lanjut tentangbiaya dan manfaat sosial
dari undang-untersebut.Kesempatan: Sebagian besar pengelola memiliki
kesempatan untuk mematuhi atautidak mematuhi sanksi.
Memastikan bahwa badanpelaksana memangmemantau dan menghukumtanpa takut para pelanggar. dari undang-untersebut.
Kemampuan: Beberapa pengelola tidakmengetahui teknologi untukmembuang sampah dengan caralain; dan perusahaan kekurangandana untuk menggunakan teknologitersebut apabila memang parapengelola mengetahuinya.
Badan pelaksanabertanggung jawab untukmemberitahukan kepadapara pengelola, membantuperusahaan memperolehkredit untuk teknologi.
Komunikasi: Beberapa pengelola tidakmengetahui tentang undang-undangyang melarang membuang limbah disungai.
Badan pelaksana harusmemberitahukan kepadasemua manajer tentangundang-undang baru.
Kepentingan: Para pengelola berusahamemaksimalkan keuntunganperusahaan dimana merekamendapat bagian;tidak memilikikepentingan dengan air sungaibersih.
Dengan mengenakan denda,badan pelaksanamengurangi keuntunganmengubah kepentingan parapengelola.
Proses : Beberapa pengelola mengambilkeputusan tanpa berkonsultasidengan siapapun untuk melanggarundang-undang;tidak memasukkanmasukan dari masyarakat danpekerja dalam proses pengambilankeputusan mereka
Undang-undangmengharuskan diadakannyasidang terbuka, dan laporantertulis kepada masyarakat,pekerja dan pemberi kerjatentang kebijakanpembuangan limbah di masayang akan datang. dari undang-untersebut.
Ideologi : Beberapa pengelola tidak percayabahwa pembuangan limbah akanmencemarkan sungai Bahayapencemaran air.
Badan pelaksanamenginformasikan kepadapara pengelola, masyarakattentang bahaya pencemaran.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 21|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Metode Pemecahan Masalah beserta Teori ROCCIPI merupakan
sarana di dalam proses penyusunan rancangan peraturan perundang-
undangan, tepatnya pada tahapan penelitian untuk mendapatkan bahan-
bahan yang dapat digunakan sebagai materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan. Khususnya Teori ROCCIPI diperlukan pada langkah
menemukan penyebab atas perilaku bermasalah, yang selanjutnya menjadi
dasar pijakan dalam menyusun solusi atas perilaku bermasalah. Berdasarkan
solusi itulah dilanjutkan pada tahapan berikutnya, yakni perumusan materi
muatan ke dalam rancangan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Setelah menghasilkan produk hukum, misalnya Peraturan Daerah.
Metode Pemecahan Maslah dan Teori ROCCIPI dapat dimanfaatkan kembali
untuk menelaah Peraturan Daerah bersangkutan.
PENDEKATAN ATURAN KAJIANPERATURAN DAERAH
1. ATURAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH DAN DESA
Secara aturan hukum pemerintahan daerah dikenal dua macam
pengkajian Peraturan Daerah, yakni (1) pengkajian dalam rangka evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD dan kepala daerah dan (2) pengkajian dalam rangka pembatalan
Peraturan Daerah.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dilakukan terhadap Rancangan
Peraturan Daeran yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan
APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi
daerah dan tata ruang daerah.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 22|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Dasar pengujian Rancangan Peraturan Daeran yang mengatur tentang
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah:
1. Pasal 268 ayat (1) UU 23/2014: Evaluasi terhadap rancangan
Perda Provinsi tentang RPJPD yang dilakukan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) dilaksanakan
untuk menguji kesesuaian dengan RPJPN dan rencana tata
ruang wilayah provinsi, kepentingan umum dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
2. Pasal 269 ayat (1) UU 23/2014: Evaluasi terhadap rancangan
Perda Provinsi tentang RPJMD yang dilakukan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) dilaksanakan
untuk menguji kesesuaian dengan RPJPD Provinsi dan
RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
3. Pasal 270 ayat (1) UU 23/2014: Evaluasi terhadap rancangan
Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD yang dilakukan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 267 ayat (2) dilaksanakan untuk menguji
kesesuaian dengan RPJPN, RPJPD provinsi dan rencana
tata ruang wilayah kabupaten/kota, kepentingan umum
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
4. Pasal 271 ayat (1) UU 23/2014: Evaluasi terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJMD yang dilakukan oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 267 ayat (2) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian
dengan RPJPD kabupaten/kota, RPJMD provinsi dan
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 23|Marhaendra Wija Atmaja|2015
RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
5. Pasal 314 ayat (3) UU 23/2014: Evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan
Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD dengan: a. ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; b. kepentingan
umum; c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan d. RPJMD.
6. Pasal 315 ayat (3) UU 23/2014: Evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan
Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD dengan: a. ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; b.
kepentingan umum; c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan d.
RPJMD.
7. Pasal 321 ayat (2) UU 23/2014: Menteri melakukan evaluasi
terhadap rancangan Perda Provinsi tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya dengan
Perda Provinsi tentang APBD dan/atau Perda Provinsi
tentang perubahan APBD, peraturan gubernur tentang
penjabaran APBD dan/atau peraturan gubernur tentang
penjabaran perubahan APBD serta temuan laporan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
8. Pasal 322 ayat (2) UU 23/2014: Gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
dan rancangan peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 24|Marhaendra Wija Atmaja|2015
pada ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya dengan Perda
Kabupaten/Kota tentang APBD dan/atau Perda
Kabupaten/Kota tentang perubahan APBD, peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD dan/atau
peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran perubahan
APBD serta temuan laporan hasil pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan.
9. Pasal ayat 324 (2) UU 23/2014: Menteri melakukan evaluasi
terhadap rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan
retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
menguji kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan
umum.
10. Pasal 325 (2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak
daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk menguji kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan
umum.
11. Pasal 400 ayat (1) UU 23/2014: Ketentuan mengenai evaluasi
rancangan Perda tentdimaksud dalam Pasal tribusi daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dan Pasal 325 berlaku
secara mutatis mutandis terhadap evaluasi rancangan Perda
tentang tata ruang daerah.
12. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa: Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau
perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah,
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 25|Marhaendra Wija Atmaja|2015
kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan
perundang-undangan.
Pembatalan Peraturan Daerah diatur dalam Pasal 250 ayat (1) UU
23/2014: Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat
(1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan. Ayat (2): Bertentangan dengan kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. terganggunya kerukunan
antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; d. terganggunya
kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan,
dan gender.
Yang dimaksud dengan “kesusilaan” dalam ketentuan ini adalah norma
yang berkaitan dengan adab dan sopan santun, kelakuan yang baik, dan tata
krama yang luhur (Penjelasan Pasal 250 ayat (1) UU 23/2014).
Dasar pengujian tersebut yang menjadi dasar melakukan kajian
terhadap suatu Peraturan Daerah. Adapun dasar pengujian itu menunjukkan
variasi sebagai berikut:
1. menguji kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.
2. dilarang bertentangan (menguji kesesuaian) dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan.
3. menguji kesesuaiannya dengan Perda Kabupaten/Kota tentang
APBD dan/atau Perda Kabupaten/Kota tentang perubahan APBD,
peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran APBD dan/atau
peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran perubahan APBD
serta temuan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 26|Marhaendra Wija Atmaja|2015
4. menguji kesesuaiannya dengan Perda Provinsi tentang APBD
dan/atau Perda Provinsi tentang perubahan APBD, peraturan
gubernur tentang penjabaran APBD dan/atau peraturan gubernur
tentang penjabaran perubahan APBD serta temuan laporan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
5. menguji kesesuaian rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD
dan rancangan peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran APBD
dengan: a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; b. kepentingan umum; c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan d.
RPJMD.
6. menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD dengan:
a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; b.
kepentingan umum; c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan d. RPJMD.
menguji kesesuaian dengan RPJPD kabupaten/kota, RPJMD provinsi
dan RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
7. menguji kesesuaian dengan RPJPN, RPJPD provinsi dan rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota, kepentingan umum dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
8. menguji kesesuaian dengan RPJPD Provinsi dan RPJMN,
kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
9. menguji kesesuaian dengan RPJPN dan rencana tata ruang wilayah
provinsi, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
10.berdasarkan (menguji kesesuaian dengan) urgensi, kepentingan
nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa,
dan/atau peraturan perundang-undangan.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 27|Marhaendra Wija Atmaja|2015
2. ATURAN HUKUM PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIBAWAH UNDANG-UNDANG
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) menentukan, Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU 14/1985),
Pasal 31A ayat (1) menentukan, permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung
dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Ayat (3) menentukan,
permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan
menguraikan dengan jelas bahwa:1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangandengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;dan/atau
2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhiketentuan yang berlaku; dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
UU 14/1985 menunjukkan pemahaman bahwa kewenangan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-
Undang:
1. Lingkup pengujian melingkupi pengujian materiil dan pengujian
formal; dan
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 28|Marhaendra Wija Atmaja|2015
2. Dasar pengujian diperluas dari Undang-Undang ke Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 31Aayat (10) UU 14/1985 menentukan, ketentuan mengenai tata
cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung." Berdasarkan ketentuan itu,
Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun
2011 tentang Hak Uji Materiil (selanjutnya disebut Perma 01/2011). Pasal 1
angka 1 Perma 01/2011 mendefinisikan Hak Uji Materiil adalah hak
Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-
undangan di bawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-
Undangan tingkat lebih tinggi.
Perma 01/2011 hanya mengatur lebih lanjut salah satu aspek dari
kewenangan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, yakni pengujian materiil (menilai materi muatan
Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang), dan tidak
melingkupi pengujian formal (pembentukan peraturan perundang-undangan
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku).
Berdasarkan uraian tersebut di atas diperoleh pemahaman bahwa
pengkajian terhadap suatu Peraturan Daerah dapat dilakukan secara materiil
(menilai materi muatan Peraturan Daerah) dan formal (menilai pembentukan
Peraturan Daerah). Menilai materi muatan Peraturan Daerah meliputi materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kesusilaan, dan kepentingan umum.
Pada materi muatan tertentu, dasar pengkajian mencakup:
1. Perda Provinsi tentang APBD dan/atau Perda Provinsi tentang
perubahan APBD, peraturan gubernur tentang penjabaran APBD
dan/atau peraturan gubernur tentang penjabaran perubahan APBD
serta temuan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 29|Marhaendra Wija Atmaja|2015
2. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
kepentingan umum; RKPD serta KUA dan PPAS; dan RPJMD.
3. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
kepentingan umum; RKPD serta KUA dan PPAS; dan RPJMD.
4. RPJPD kabupaten/kota, RPJMD provinsi dan RPJMN, kepentingan
umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
5. RPJPN, RPJPD provinsi dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
6. RPJPD Provinsi dan RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. menguji
kesesuaian dengan RPJPN dan rencana tata ruang wilayah provinsi,
kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
7. urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan
masyarakat Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.
Dasar pengkajian terhadap suatu Peraturan Daerah secara materiil
(menilai materi muatan Peraturan Daerah) dapat pula merujuk pada asas
materi muatan Peraturan Daerah (Pasal 237 ayat (1) UU 23/2014), dan dasar
pengkajian terhadap suatu Peraturan Daerah secara formal (menilai
pembentukan Peraturan Daerah) dapat pula merujuk pada asas
pembentukan Peraturan Daerah (Pasal 237 ayat (1) UU 23/2014), selain
tahapan pembentukan Peraturan Daerah (Pasal 237 ayat (2) UU 23/2014).
3. ATURAN HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pengkajian Peraturan Daerah berdasarkan Aturan Hukum Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pengkajian mengenai Bentuk, Isi,
dan Proses Pembentukan Peraturan Daerah.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 30|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Bentuk Peraturan Daerah atau disebut pula bentuk luar Peraturan
Daerah, mencakup: Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup, serta
Penjelasan (Lampiran II UU 12/2011).
Isi Peraturan Daerah, mencakup isi dari batang tubuh (yang pokok
adalah Ketentuan Umum, Materi Pokok Yang Diatur, dan Ketentuan Penutup,
serta yang fakultatif (jika diperlukan) adalah Ketentuan Pidana dan
Ketentuan Peralihan).
Proses Pembentukan Peraturan Daerah berkenaan dengan tahapan
pembentukan Peraturan Daerah, meliputi perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penetapan, dan pengundangan. Termasuk dalam pembentukan
Peraturan Daerah adalah partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan
pembentukan itu (UU 12/2011).
Ada sejumlah ketentuan dapat digunakan sebagai penuntun melakukan
pengkajian Peraturan Daerah, baik secara materiil maupun formal maupun
yakni:
1. Materi Muatan Peraturan Daerah (Pasalo 14 dan Pasal 15 UU
12/2011) dan Asas materi muatan (Pasal 6 UU 12/2011).
2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik
(Pasal 6 UU 12/2011).
3. Landasan Keabsahan (Validitas) yang mencakup landasa filosofis,
landasan sosiologis, dan landasan yuridis (Kaidah nomor 19 Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Lampiran II UU
12/2011).
KONTEKS PENGALAMAN KAJIANPERATURAN DAERAH
Konteks pengalaman pengkajian Peraturan Daerah merujuk pada (1)
praktik pengkajian dan (2) praktik evaluasi dan pembatalan Peraturan
Daerah.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 31|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Praktik pengkajian yang dirujuk adalah pengkajian terhadap Undang-
Undang yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), yang
merupakan organisasi nonpemerintah yang berfokus pada penelitian dan
advokasi hukum dan kebijakan untuk terciptanya tatanan hukum Indonesia
yang berpihak pada kelompok rentan.
Hal yang diperlukan dari rujukan tersebut adalah “Kerangka Analisis”-
nya, sebagaimana dimuat dalam Bobot berkurang, janji masih terutang:
Catatan PSHK tentang Kualitas Legislasi (Bivitri Susanti, 2007).
Ada dua kategori besar penilaian yang digunakan, yaitu substansi dan
proses. Soal substansi dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu materi muatan
serta struktur pengaturan dan kalimat perundang-undangan. Dalam hal
proses, ada dua hal dinilai, yaitu partisipasi publik dan perdebatan. Setiap
bagian dijabarkan melalui serangkaian pertanyaan kunci, yang didesain
berdasarkan dua prinsip, yaitu (1) konstitusi dan prinsip universal; serta (2)
pemihakan kepada kelompok rentan (Bivitri Susanti, 2007).
Praktik evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah, terlampir Keputusan
Gubernur Bali tentang Hasil Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
[].
PENUTUP
Pengkajian Peraturan Daerah, terutama menyangkut kerangka
pengkajiannya dapat merujuk pada (1) pandangan teoritik pembentukan
peraturan perundang-undangan; (2) ketentuan tentang evaluasi dan
pembatalan Peraturan Daerah, serta pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang (Peaturan Daerah adalah peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang); dan (3) konteks
pengalaman pengkajian maupun evaluasi yang dapat bermuara pada
pembatalan Peraturan Daerah.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 32|Marhaendra Wija Atmaja|2015
BAHAN BACAANAhmad, Rival Gulam, dkk., 2003, ”Dari Parlemen Ke Ruang Publik:
Menggagas Penyusunan Kebijakan Partisipatif”, dalam Jentera, Edisi 2.
..............., 2007, 9 Jurus Merancang Peratuan Untuk Transformasi Sosial
Jakarta: Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK).
Bivitri Susanti, 2007, Bobot berkurang, janji masih terutang: Catatan PSHK
tentang Kualitas Legislasi, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) dan Konrad Adenaeur Stiftung (KAS).
DAI, 2009, Laporan Analisa Dampak Regulasi dan Sektor Swasta Di
Indonesia, Program Peningkatan Daya Saing SENADA.
Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang
Peraturan Indonesia, Balitbang Deperindag, Dinas Perindag Bali, PEG,
USAID.
Meuwissen, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan Arief Sidharta, Bandung:
Refika Aditama.
Seidman, Ann; Robert B. Seidman; dan Nalin Abeyserkere, 2002,
Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat
Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-
Undang, terjemahan, Jakarta: Proyek ELIPS Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia.
Sidharta, Arief, 1996, ”Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu
Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia”, Disertasi, Bandung: Universitas Padjadjaran.
Steve Parker dan Usmanto Njo, 2009, Memajukan Reformasi Perundang-
undangan Di Indonesia Peluang dan Tantangan, Program Peningkatan
Daya Saing SENADA.
KAJIAN PERATURAN DAERAH
hlm. 33|Marhaendra Wija Atmaja|2015
Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik,
2007, Tatakelola Pemerintahan Daerah, Sekolah Tinggi Akuntasi Negara.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.