POLIGAMI ILEGAL DI BANDA ACEH-INDONESIA DAN LAHORE-...
Transcript of POLIGAMI ILEGAL DI BANDA ACEH-INDONESIA DAN LAHORE-...
POLIGAMI ILEGAL DI BANDA ACEH-INDONESIA DAN LAHORE-
PAKISTAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Hukum (M.H.)
FATKAN KARIM ATMAJA
21160435000005
MAGISTER HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
II
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
III
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
IV
ABSTRAK
Fatkan Karim Atmaja. NIM: 21160435000005. Poligami Ilegal di Banda
Aceh-Indonesia dan Lahore-Pakistan Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif. Program studi Magister Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seputar poligami ilegal yang
terjadi di Banda Aceh-Indonesia dan Lahore-Pakistan ditinjau dengan perspektif
hukum Islam dan hukum positif, serta menganalisis legalitas poligami yang
berlaku di Indonesia dan Pakistan. Untuk melengkapi hasil penelitian, dirasa perlu
juga menuliskan pandangan para ulama dan praktisi hukum di kedua negara
tersebut.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah pendekatan
perbandingan dan kasus. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah
kualitatif, di antaranya sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung
dari sumbernya, dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil tulisan
yang telah disistematisasi.
Hasil penelitian dari tesis ini adalah penulis menemukan ratio decidendi
hakim pengadilan tingkat pertama di Banda Aceh-Indonesia dan Lahore-Pakistan
dalam menetapkan putusan kasus poligami yang tidak izin. Salah satu syarat
sahnya poligami adalah dengan adanya izin dari istri sahnya. Sehingga jika
ditinjau dengan teori legal positivism, maka hakim sudah benar menetapkan
bahwa poligami atas kasus-kasus tersebut tidak sah secara hukum (secara
legalitasnya) dari peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Pakistan. Hasil
penelitian lainnya, penulis menemukan tidak adanya aturan dari mazhab hanafi
maupun mazhab syafi’i, baik dari ulama klasiknya maupun ulama
kontemporernya tentang izin poligami dari istri. Jika ditinjau dengan teori sadd
dzarî’ah maka ijtihâd hakim sudah benar menjatuhkan ta’zîr kepada suami demi
kemaslahatan rumah tangga dan kesetaraan gender.
Kata kunci : Poligami, Poligami Ilegal, Putusan Pengadilan, Indonesia,
Pakistan, Hukum Islam, Sadd Dzarî’ah, Hukum Positif, Legal Positivism, Gender
Pembimbing : Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma. S.H., M.H., M.M. dan
Dr. H. M. Nurul Irfan. M.Ag.
Daftar pustaka : Tahun 1953 s.d 2019
V
ABSTRACT
Fatkan Karim Atmaja. Student ID: 21160435000005. Illegal Polygamy in
Banda Aceh-Indonesia and Lahore-Pakistan: Perspective of Islamic Law and
Positive Law. Master’s Program of Family Law, Faculty of Sharia and Law,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
This study aims at finding about illegal polygamy that occurs in Banda
Aceh-Indonesia and Lahore-Pakistan, reviewed with the perspective of Islamic
law and positive law, and analyzing the legality of polygamy that applies in
Indonesia and Pakistan. To complete the result of the study, it was deemed
necessary to also reveal the views of Islamic scholars and legal practitioners in
both countries.
The research approach employed in this thesis was a comparison and case
approach. The type of research used was qualitative, including primary data
sources, namely data obtained directly from the source, and secondary data,
namely data obtained from the results of writings that have been systematized.
The result of the research of this thesis is that the ratio decidendi of first-
level court judges in Banda Aceh-Indonesia and Lahore-Pakistan in determining
the verdict of polygamy cases was not permitted. One of the legal requirements
for polygamy is the permission of the first legal wife. Therefore, if it is reviewed
by the theory of legal positivism, the judges have correctly established that
polygamy for these cases is illegal (in term of legality) from legislation in
Indonesia and Pakistan. In addition, the author found the results of other studies
on the absence of rules from the Hanafi school of thought or the Shafi’i school of
thought, both from the classical and contemporary scholars on the permission of
polygamy from the wife. If it is reviewed with the theory of sadd dzari’ah, the
judge’s ijtihad is correct by dropping ta’zir to the husband for the benefit of the
household and equality of gender.
Keywords: Polygamy, Court Ruling, Indonesia, Pakistan, Islamic Law, Sadd
Dzarî’ah , Positive Law, Legal Positivism, gender
Advisor: Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma. S.H., M.H., M.M. and Dr. H.
M. Nurul Irfan. M.Ag
Bibliography: from 1953 until 2019.
VI
ملخص
قانوين يف . إجراء تعدد الزوجات غري ال ٠٠٠٠٢٣٤٠٢٢٢٢٢٠فتحان كرمي امتاجا . رقم القيد: برانمج واالحكام الوضعية.ابكستان يف منظور الشريعة اإلسالمية -ابندا آتشيه إبندونيسيا والهور
املاجستري األحوال الشخصية كلية الشريعة والقانون جامعة شريف هداية هللا اإلسالمية احلكومية جاكرات، .م ٩١٠٢\ه ٠٤٤١
يف ابندا أتشية إندونيسيا القانوينالكشف عن إجراء تعدد الزوجات يهدف هذا البحث اىل المية و االحكام الوضعية و حتليل مدى قانونية تعدد الزوجات والهور ابكستان من منظور الشريعة اإلس
.اجلاري هباتني املدينتني كما أنه يهدف إىل الكشف عن آراء رجال الذين والقانونني فيهماو مدخل البحث املستخدم يف هذا البحث هو مدخل املقارنة ومدخل دراسة احلالة. و هذا
ولية، و هي البياانت ال ي صحصل عليها الباحث من مصادرها البحث حبث نوعي يعتمد على املصادر األبشكل مباشر و كما أنه يعتمد على املصادر القانونية، و هي البياانت ال ي صحصل عليهاالباحث من
.املراجع املكتوبة ال ي مت تنسيقها ابندااألوىل و أما النتائج ال ي توصل إليها هذا البحث فمن أمهما: أن القضاة يف حماكم الدرجة يف حتديد قرار (ratio decidendi)على مبدإ علة القرار اونيسيا والهور ابكستان قد اعتمدو أتشة إند
قضية الزواج بدون موافقة الزوجة األوىل الذي هو شروط من شروط صحة التعدد ال ي يشرتط عليها الوضعية قد صح القضاة هباتني املدينتني احملكمة مبديين ابندا أتشية والهور . ومن مث، فمن منظور النظرية
يف حتديد عدم صحة الزواج بدون موافقة الزوجة األوىل بشكل قانوين أكان من نظام قانون إندونيسيا أم من نظام ابكستان. و ابلنظر إىل نظرية سد الذرائع فإيقاع القضاة التعزير على الزوج يعترب قرار صحيحا
واملساواة اجلندرية. والنتيجة األخرى من هذا البحث هي أن الباحث مل جيد من أجل مصاحل احلياة الزوجيةأي نظام عن اشرتاط موافقة الزوجة األوىل نصه املذهبان احلنفي والشافعي أكنوا علماءمها القدمى أم
.علماءمها املعاصرين الذريعة، الوضعية، اجلندر: تعدد الزوجات، قرار احملكمة، إندونيسيا، ابكستان، سد الكلمات األساسية
. األستاذ الدكتور الدكتوراندوس احلاج حممد أمني سوما الباكالوريوس يف القانون، ماجستري ٠: املشرفان القانون واإلدارة
الدكتور احلاج حممد نور العرفان املاجستري .٩ م٩١٠٢ه إىل سنة ٠٢٩١: من سنة املراجع
VII
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J je ج
H ha garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es ص
D de ض
T Te ط
Z zet ظ
‘ عKoma terbalik di atas
hadap kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H ha ه
opostrop ` ء
Y ya ي
VIII
2. Vokal tunggal
Tanda vokal arab Tanda vokal latin keterangan
- A fathah
- I kasrah
- U dammah
3. Vokal rangkap
Tanda vokal arab Tanda vokal latin keterangan
ي- --- Ai a dan i
و - --- Au a dan u
4. Vokal panjang
Tanda vokal arab Tanda vokal latin keterangan
ا- --- Â a dengan topi
-ي - -- Î i dengan topi
و- --- Û u dengan topi
IX
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas diucapkan dalam kesempatan ini
selain persembahan puji syukur tiada terkira ke hadirat Illahi Robbi, karena atas
karunia dan pertolongan-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi
Agung Sayyidina Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Dalam
penulisan tesis ini, penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Program Studi
Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berperan penting dalam memberikan informasi demi
terselesaikannya tesis penulis.
Di dalam penelitian ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua
tercinta, Ayahanda H. Slamet dan Ibunda Hj. Ismirah yang selalu memberikan
nasihat-nasihat berharga. Dari beliaulah penulis belajar tentang kesabaran dan
pentingnya pendidikan, kelak berguna menjadi pendidik untuk pribadi, anak-anak,
dan masyarakat luas. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kebahagiaan di
masa tuanya.
Di dalam penulisan tesis ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang
penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan pertolongan-
Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik
langsung maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada
akhirnya tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr, Amany Lubis, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
X
3. Dr. Azizah, M.A dan Dr. Afidah Wahyuni, M.A. selaku Ketua Program
Studi dan Sekretaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, M.M dan Dr. H.
Muhammad Nurul Irfan M.Ag. selaku dosen pembimbing yang tiada henti
dan sabar meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan
memberikan semangat kepada penulis agar terselesaikannya tesis ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf dan karyawan akademik
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama serta
Perpustakaan Pasca Sarjana yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi sebagai bahan rujukan tesis.
6. Sayyid Syaikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani R.A., Samahah Imam
Prof. Dr. Shalahuddin Mahmud At-Tijani Al-Hasani R.A. dan Syaikh
Ahmad Al-Khairy Ar-Rodhi At-Tijani R.A., sebagai muqoddam Thariqah
Tijaniyyah dan sebagai inspirasi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Dengan melihat begitu banyak ilmu yang menjadikan referensi sanad
hadis dan tafsir dalam penulisan tesis ini.
7. Dr. H. M. Jamil Ibrahim, S.H., MH., MM., dan Prof, Dr. TGK. H. Muslim
Ibrahim, M.A. yang telah bersedia memberikan pengetahuan seputar Mahkamah
Syariah dan Majelis Persmusyawaratan Aceh
8. Hj. Rahmatillah M.Ag. dan H. Basri S.H. yang telah bersedia mengarahkan
objek-objek penelitian di Aceh sehingga penelitian menjadi mudah dan
teratur. Dengan sebab kunjungan ke rumah beliau berdualah yang
mengarahkan saya kepada Ketua Majelis Hakim Mahkamah Syariah Aceh
dan Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
9. Kedutaan Besar Indonesia di Pakistan dan Kedutaan Besar Pakistan di
Indonesia. Dengan perantara merekalah saya mendapatkan bahan-bahan
penelitian Putusan-Putusan Hakim di Pengadilan Tingkat Pertama Lahore-
Pakistan
XI
DAFTAR ISI
POLIGAMI ILEGAL DI BANDA ACEH-INDONESIA DAN LAHORE-
PAKISTAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ..................... I
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................. II
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................................. III
ABSTRAK ........................................................................................................................ IV
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................... VII
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... IX
DAFTAR ISI..................................................................................................................... XI
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................................. 7 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 7 D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ..................................................................... 8 E. Studi Review Terdahulu ....................................................................................... 9 F. Metode Penelitian ................................................................................................ 10 G. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 15
BAB II .............................................................................................................................. 17
TEORI SADD DZARÎ’AH DAN LEGAL POSITIVISM ............................................ 17
A. Teori Sadd dzarî’ah ............................................................................................. 17 1. Pengertian Dzariah .......................................................................................... 17
2. Sadd Dzarî’ah dan Fath Dzari’ah .................................................................. 17
3. Kedudukan Sadd Dzarî’ah di dalam Hukum Islam .................................... 17
4. Metode Penentuan Hukum Dzariah .............................................................. 18
B. Teori Legal Positivism ......................................................................................... 22 1. Pengertian Legal Positivism ............................................................................ 22
2. Prinsip-Prinsip Legal Positivism .................................................................... 25
3. Tujuan Legal Positivism .................................................................................. 27
BAB III ............................................................................................................................. 30
POLIGAMI MENURUT MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB HANAFI ................ 30
A. Poligami Menurut Mazhab Syafi’i .................................................................... 30 1. Istinbath Hukum Mazhab Syafi’i................................................................... 30
2. Ketentuan Poligami ........................................................................................ 31
3. Kedudukan Izin Istri untuk Berpoligami ..................................................... 33
XII
B. Poligami Menurut Mazhab Hanafi ................................................................... 34 1. Istinbath Hukum Mazhab Hanafi .................................................................. 35
2. Ketentuan Poligami ........................................................................................ 36
3. Kedudukan Izin Istri untuk Poligami ........................................................... 37
BAB IV ............................................................................................................................. 38
POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA INDONESIA DAN PAKISTAN ...... 38
A. Poligami Menurut Hukum Keluarga di Indonesia .......................................... 38 1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ........................................................ 38
2. Praktik Poligami di Banda Aceh-Indonesia ................................................. 58
3. Ketentuan Poligami Menurut Hukum Keluarga di Indonesia ................... 61
4. Status Perkawinan Akibat Poligami Ilegal di Indonesia ............................. 71
B. Poligami Menurut Hukum Keluarga di Pakistan ............................................ 71 1. Sejarah Hukum Keluarga di Pakistan .......................................................... 71
2. Praktik Poligami di Lahore-Pakistan ........................................................... 75
3. Kategori Hukum Keluarga di Pengadilan Pakistan .................................... 78
4. Ketentuan Poligami menurut Hukum Keluarga di Pakistan ..................... 79
5. Status Perkawinan Poligami Ilegal ................................................................ 82
BAB V .............................................................................................................................. 83
HAK PEREMPUAN MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI ......................................... 83
A. Putusan Hakim Banda Aceh-Indonesia ............................................................ 83 1. Ratio Decidendi Putusan Hakim .................................................................... 83
2. Analisis Ratio Decidenci Menurut Teori Sadd dzarî’ah ............................... 88
3. Analisis Ratio Decidenci Menurut Teori Legal Positivism ........................... 92
B. Putusan Hakim Lahore-Pakistan ...................................................................... 93 1. Ratio Decidendi Putusan Hakim .................................................................... 93
2. Analisis Ratio Decidenci Menurut Teori Sadd dzarî’ah ............................. 100
3. Analisis Ratio Decidendi Menurut Teori Legal Positivism ......................... 102
C. Hak Perempuan Memberikan Izin Poligami Perspektif Gender ................. 103 D. Analisis Perbandingan Undang-Undang dan Putusan Hakim Banda Aceh-
Indonesia dan Lahore-Pakistan ............................................................................... 106 1. Vertikal .......................................................................................................... 106
2. Horizontal ...................................................................................................... 111
3. Diagonal ......................................................................................................... 114
E. Solusi Bagi Istri yang Dipoligami Secara Ilegal ............................................. 117 BAB VI ........................................................................................................................... 119
PENUTUP ...................................................................................................................... 119
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 119
XIII
B. Saran .................................................................................................................. 120 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 121
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum keluarga Islam modern tampak unik, dilihat pada tiga
kategori di beberapa negara muslim. Pertama, kelompok negara yang tidak
mengadakan reformasi hukum Islam dan tetap mengaplikasikan hukum yang
ada dalam kitab-kitab fikih sesuai dengan mazhab di negara tersebut. Negara
yang dimaksud adalah Arab Saudi. Kedua, beberapa negara yang
meninggalkan hukum Islam lalu menggantinya dengan hukum sekuler
sebagaimana yang diterapkan di wilayah Eropa. Turki adalah salah satu negara
dalam kategori ini. Ketiga, beberapa negara yang mereformasi hukum Islam
dengan memadukan dan mengkombinasikannya dengan hukum sekuler.
Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Indonesia, Pakistan, Mesir,
Tunisia, Iraq, Syiria, dan lainnya.1
Reformasi hukum keluarga di dunia Islam modern mulai
mengembangkan aturan-aturan dengan memberikan hukuman penjara, denda
maupun skorsing jabatan. Hukum klasik lebih condong untuk tidak memiliki
sanksi hukum kemudian beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk
negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, di lain sisi ada pelarangan
dan mengkategorikan suatu masalah pelanggaran hukum keluarga sebagai
perbuatan pidana.2 Salah satu kejadian yang muncul di dunia Muslim dalam
abad dua puluh yaitu adanya usaha pembaruan hukum keluarga, Turki
misalnya, melakukannya pada tahun 1917, Mesir 1920, Iran 1931, Syria 1953,
Tunisia 1956, Pakistan 1961, dan Indonesia tahun 1974.3
1 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Cauntries, (New Delhi: Academy of
Law an Religion, 1987), h.,136 2 Fristia Berdian Tamza, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern,
(Bandar Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013, Cet. Pertama), h., 105-106 3 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim Word, (Bombay:
N.M,Triparti PVD.LTD, 1772), h.,139
2
Adapun problematika tentang poligami khususnya perilaku
poligami ilegal, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum
dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun
keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik
hangat masyarakat Muslim dunia saat ini. Pembahasan menjadi menarik jika
kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan
melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya,
kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam
konvensional, antarnegara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi
dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern.
Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara
non-Muslim (negara barat) terdapat beberapa perbedaan yang signifikan.4
Penulis ingin mengungkapkan ratio decidendi hakim dari dua
negara, yaitu Banda Aceh-Indonesia dan Lahore-Pakistan dengan perspektif
hukum Islam dan hukum positif, dalam rangka perbandingan putusan hakim
dengan menggunakan teori perbandingan hukum Islam dan perbandingan
hukum positif. Adapun di Banda Aceh, hakim menjatuhkan pembatalan
perkawinan dengan sebab poligami tanpa izin yang sah secara kenegaraan atau
juga disebut dengan poligami secara ilegal kepada laki-laki seorang dosen
Pegawai Negeri Sipil, suami dilaporkan ke pengadilan dan mengajukan
pembatalan perkawinan atas perbuatan poligami ilegalnya sehingga hakim
mengabulkan dengan argumentasi-argumentasi yang akan dibahas dalam
penelitian tesis ini.
Membahas hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam
Peraturan Pemerintah yang melarang melakukan poligami liar atau poligami
ilegal sehingga diadakan penertiban untuk kedisiplinan dan memberikan
sanksi-sanksi dari mulai sanksi ringan hingga sanksi berat. Selaku pengadilan
4 Fristia Berdian Tamza, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern,
(Bandar Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013), h. 105-106
3
hanya menyelesaikan sebatas perdata saja, karena hukum poligami di
Indonesia bukan tindak pidana.
Membahas Hukum Keluarga di Pakistan, Pakistan dengan The
Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961 menetapkan boleh berpoligami
dengan izin lebih dahulu dari pengadilan (Arbitration Council). Sementara
bagi yang melanggar ini dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda.
Badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami
mengambil satu istri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan
perlunya suami kawin lagi. Hal ini diatur dalam landasan hukum utama
Hukum Keluarga di Pakistan setelah merdeka adalah The Muslim Family Law
Ordinance (MFLO) tahun 1961.5
Dalam MFLO 1961 dan pelbagai peraturan perundangan terkait,
termasuk beberapa amandemennya, terdapat sejumlah hal penting yang diatur
tentang hukum keluarga di Pakistan, yaitu: 1) Batas usia minimum
perkawinan; 2) Kewajiban pencatatan perkawinan; 3) Kewajiban memperoleh
izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan poligami; 4) Kewajiban
melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang agar ia dapat segera
membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakim; 5) Ancaman sanksi atas
pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan biaya perkawinan serta
pelanggaran lainnya; 6) Kehadiran ahli waris pengganti; 7) Penyelesaian
sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga (family court); dan 8)
Pemberlakuan kembali hukum Islam tentang hak pemilikan harta terkait orang
murtad.6
Terkait poligami, MFLO 1961 mengatur bahwa seorang laki-laki
yang masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan dilarang melakukan
perkawinan lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah mendapat izin istrinya
dan izin dari Dewan Arbitrasi. Caranya, seorang suami yang hendak kawin
lagi dengan perempuan lain melaporkan keinginannya itu kepada Dewan
5M. Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Pakistan (Antara Islamisasi dan
Tekanan Adat), (Jurnal Al-‘Adalah, Vol. XII, No. 1 Juni 2014), h. 12 6 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011), h. 48
4
Arbitrasi dilengkapi dengan alasan-alasannya dan dilampiri surat izin istri
serta membayar uang sejumlah tertentu. Segera setelah surat permintaan izin
dari pihak suami itu disampaikan kemudian Dewan Arbitrasi meminta nama
seorang wakil dari keluarga suami dan seorang wakil dari keluarga istri untuk
duduk sebagai anggota Dewan Arbitrasi. Jika Dewan Arbitrasi kemudian
melihat adanya alasan-alasan yang jelas, diperlukan dan adil, sehingga
menyetujui usul perkawinan tersebut maka izinpun diberikan.7
Barangsiapa yang melanggar ketentuan tersebut, yakni melakukan
akad nikah tanpa izin istri dan Dewan Arbitrasi, diancam dengan hukuman
kewajiban membayar secara sekaligus seluruh hutang mahar yang belum
terbayar, dan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda paling
banyak 5.000 rupee atau kedua-duanya.8
Hakim pengadilan setempat menjatuhkan putusan memenjarakan
dan memberikan denda terhadap seorang pria yang kedapatan menikah diam-
diam tanpa diketahui istri pertamanya. Hakim pengadilan, Ali Jawwad Naqvi,
mengumumkan putusan di pengadilan tingkat pertama di Lahore pada tanggal
1 November 2017 bahwa pria tersebut harus menjalani hukuman penjara
selama enam bulan dan denda 200.000 rupee Pakistan (sekitar Rp25,7 juta)
sebagaimana yang dilaporkan Thomson Reuters Foundation,9 kasus kali ini
berpihak kepada perempuan, dengan kemenangan perempuan ini dilakukan
melalui petisi Ayesha Khalil, istri yang suaminya bernama Shehzada Saqib
Suhail yang poligami secara diam-diam. Kemudian dalam surat permohonan
7 Asmawi, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer, (Jakarta: Laporan Penelitian No. 214), h. 77 8 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and
Comparative Analisis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h. 245-246. 9 Thomson Reuters Foundation adalah badan pekerjaan yang bertempat di
London, yaitu sebuah jaringan informasi dan berita global Kanada. Yayasan ini
merupakan badan pekerjaan yang terdaftar di Amerika Serikat dan Inggris dan berkantor
pusat di Canary Wharf, London. CEO Thomson Reuters Foundation saat ini adalah
Monique Villa yang merupakan mantan Managing Director Reuters Media dan Chairman
of Action Images.
5
yang diajukannya tertulis bahwa menikah tanpa izin istri pertama adalah suatu
tindakan yang melanggar hukum.10
Hukuman penjara ini merupakan putusan bersejarah dan menjadi
perubahan sosial yang disambut baik oleh para pembela hak-hak asasi
perempuan. Melalui putusan itu, pengadilan Pakistan untuk pertama kalinya
berpihak kepada perempuan berdasarkan undang-undang keluarga 2015 serta
petisi yang diajukan oleh Ayesha Bibi. Ayesha Bibi mengatakan bahwa
suaminya, Shahzad Saqib, telah menikah untuk kedua kalinya tanpa
persetujuannya. Ayesha mengatakan didalam permohonannya bahwa menikah
tanpa izin istri pertama adalah suatu tindakan yang melanggar hukum.11
Berbeda lagi di Indonesia. Hasil keputusan dari Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh membatalkan perkawinan antara suami dengan istri
kedua yang kedapatan menikah tanpa seizin istrinya dan atasannya,
disebabkan suami adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sang suami
memalsukan identitas untuk memperlancar pelaksanaan pernikahan keduanya.
Pada tanggal 7 Juli 2008 di Kabupaten Pidie yang tercatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh
Tenggara dan menyatakan buku kutipan akta nikah Nomor: 235/04/XI/2009
tanggal 04 November 2009 yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara tidak
berlaku dan dicoret daftar catatan pernikahannya.
Selanjutnya penulis akan memberikan poligami ilegal di kedua
negara tersebut dengan teori gender untuk menganalisis kesetaraan dan
10 Diakses pada 8 Mei 2019 pada situs: Pakistan Catat Sejarah Poligami Diam-
Diam Masuk Penjara, Jurnas, konten
http://www.jurnas.com/mobile/artikel/24164/Pakistan-Catat-Sejarah-Poligami-Diam-
diam-Masuk-Penjara/ 11 Di Pakistan Pria Poligami Akan di Penjara dan Didenda, diakses pada 8 Mei
2019 di website: https://www.berkabar.id/kabar/internasional/18186/di-pakistan-pria-
poligami-akan-di-penjara-dan-didenda; lihat juga http://www.bbc.com/news/world-asia-
41840069; lihat juga http://nation.com.pk/02-Nov-2017/man-jailed-for-third-wedlock-
without-second-wife-s-nod; lihat juga pada situs:
http://lahore.dc.lhc.gov.pk/PublicPages/JudgementOrder.aspx arsip di upload pada 31-10-
2017.
6
keadilan gender. Pandangan gender ini akan melihat bagaimana hak istri
memberikan izin suami yang akan berpoligami. Penulis akan mengalanisis
dengan tiga pandangan gender, yaitu gender menurut feminisme liberal,
gender menurut feminisme sosialis dan gender menurut Islam. Dengan 3
pandangan gender tersebut penulis menilai cukup untuk menganalisis
keseteraan dan keadilan gender.
Aturan yang berusaha mempersulit terjadinya poligami itu tentu
saja amat bagus dan mungkin dapat menjadi contoh bagi Negara Muslim lain.
Sekarang pertanyaannya ialah seberapa banyak hak istri di hadapan hukum
Islam dan hukum Negara, mengingat banyaknya faktor-faktor sosial budaya
yang mengitarinya. Kita belum memperoleh hasil penelitian yang
komprehensif mengenai hal ini.
Alasan penulis dalam mengambil objek penelitian di Banda Aceh-
Indonesia dan Lahore-Pakistan adalah karena Pengadilan Tingkat Pertama
kedua daerah tersebut sama-sama menjatuhkan Putusan kepada suami yang
kedapatan melakukan poligami secara ilegal. Keduanya memiliki persamaan
dan perbedaan yang sangat kontras. Sehingga ada daya tarik bagi penulis
untuk merasa perlu membahas ini.
Penelitian ini dianggap sangat penting karena Pertama,
mengungkapkan putusan-putusan tegas pada pelaku poligami yang ilegal
sebagai pelaksanaan undang-undang bahwa Putusan hukum di Negara tersebut
terbukti menjalankannya sesuai undang undang. Kedua, pentingnnya dalam
membandingkan Putusan antar dua negara sebagai ukuran mana yang lebih
tegas dalam menindak hukum. Ketiga, pentingnya membandingkan hukum
poligami dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif, masing-masing
negara agar bisa melihat dari berbagai sudut pandang sehingga ditemukan
jalan tengah dalam mempersoalkan poligami di ranah hukum Islam dan
hukum Negara.
7
B. Identifikasi Masalah
Beberapa permasalahan yang timbul dalam tema ini dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud Poligami Ilegal?
2. Bagaimana Undang-Undang The Muslim Family Laws Ordinance
Tahun 1961mengatur poligami?
3. Bagaimana UU No. 1 Tahun 1974 mengatur poligami?
4. Bagaimana Hukum Islam mengatur poligami?
5. Bagaimana praktik poligami di Indonesia dan Pakistan?
6. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif terhadap
poligami ilegal?
7. Bagaimana hukum yang dipakai oleh hakim dalam mengkriminalisasi
poligami?
8. Bagaimana Ratio Decidendi hakim yang dimiliki olehnya dalam
mengkriminalisasi poligami Ilegal?
9. Bagaimana Ratio Decidendi hakim perspektif gender?
10. Apa isi Putusan hakim terhadap poligami ilegal di Aceh?
11. Apa isi Putusan hakim terhadap poligami illegal di Lahore?
12. Apa hukuman bagi pelaku poligami ilegal di Indonesia dan Pakistan?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pertanyaan Masalah
Bagaimana sudut pandang gender melihat ratio decidendi majelis
hakim di kedua negara tersebut?
2. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan tesis ini agar menjadi baik, maka penulis merasa
perlu untuk melakukan pembatasan-pembatasan masalah agar menjadi
tulisan yang fokus dan tidak melebar dalam pembahasan. Penulis
membatasi yaitu, membahas seputar poligami di MFLO 1961 (undang-
undang hukum keluarga Pakistan) dan UU No. 1 tahun 1974, putusan
hakim 31-10-2017 dan 130 /Pdt.G/2013/MS-Bna, historis terbentuknya
8
MFLO 1961 dan UU No. 1 tahun 1974, poligami yang legal dan ilegal
secara fiqh dan keadilan gender.
Adapun putusan-putusan di Banda Aceh-Indonesia yang diambil
oleh penulis untuk dijadikan objek penelitian dimulai dari tahun 2013-
2018 dan ditemukan hanya ada satu putusan saja, sedangkan putusan-
putusan di Lahore-Pakistan dimulai dari tahun 1962-2018 dan
ditemukan empat putusan.
3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis persoalkan adalah:
1. Bagaimana pandangan teori Hukum Islam dan Hukum Positif
terhadap ratio decidendi hakim atas Poligami Ilegal di Banda
Aceh- Indonesia dan Lahore-Pakistan?
2. Bagaimana pandangan gender atas putusan dari kedua negara
tersebut?
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penulis sangat berharap dalam penulisan tesis ini memberikan
kontribusi hukum di Indoesia dengan memberikan gambaran nuansa
hukum di negara Pakistan. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis
melalui penelitian ini, antara lain adalah:
1) Mengetahui pandangan teori Hukum Islam dan Hukum Positif
terhadap ratio decidendi hakim atas Poligami Ilegal di Banda
Aceh- Indonesia dan Lahore-Pakistan?
2) Mengetahui pandangan gender atas putusan dari kedua negara
tersebut?
2. Signifikansi Penelitian
Adapun dalam penulisan tesis ini, penulisan berharap memberikan
signifikansi sebagai berikut:
1) Bagi peneliti sendiri, semoga dengan penelitian ini menambah
pengetahuan untuk diri sendiri dan memperkaya khazanah
9
keilmuan intelektualitas di bidang hukum keluarga, khususnya
tentang poligami dan akibat hukumnya.
2) Bagi kalangan akademisi, dengan hasil penelitian ini semoga
menjadi sumbangan informasi ilmiah untuk pengkajian lebih lanjut
tentang pemidanaan poligami
3) Bagi kalangan praktisi, dengan hasil penelitian ini diharapkan
dapat berguna untuk memberikan informasi kepada segenap pihak
yang berkompeten untuk dijadikan bahan referensi dan evaluasi
terhadap putusan yang menyangkut poligami
4) Bagi masyarakat luas, dengan hasil penelitian ini diharapkan
menambah wawasan dan pemahaman masyarakat mengenai
poligami
E. Studi Review Terdahulu
1. Tesis yang berjudul “Analisis Pelaksanaan Poligami dan Implikasinya
Terhadap Kehidupan Rumah Tangga” (Studi Kasus di Desa La’han,
Kabupaten Yingo, Propinsi Narathiwat, Thailand Selatan) yang
dituliskan oleh Hanif Yusoh tahun 2015 Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar. Hasil dari penelitian tersebut adalah
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa poligami yang dipraktekkan di
desa La’han adalah poligami (nikah siri), karena mereka percaya
bahwa poligami itu merupakan sunah nabi dan adanya anggapan
masyarakat bahwa (perkawinan)tetap di pandang sah walaupun tidak
dicatatkan. Padahal itu menimbulkan banyak permasalahan bagi
kehidupan rumah tangga yang di dalamnya terjadi praktek poligami,
seperti telah ada kepastian tentang pembagian harta warisandan
seringnya terjadi perselisihan dalam rumah tangga pelaku poligami.
Perbedaan penulis dengan tesis ini adalah objek penelitian lapangan
yaitu Banda Aceh dan Lahore dengan studi putusan hakim. Penulis
mendapatkan persamaan penelitian dengan tesis tersebut yaitu
membahas problematika pelaksanaan poligami.
10
2. Tesis yang berjudul “Permohonan Izin Perkawinan Poligami di
Pengadilan Agama Kota Padang” yang ditulis oleh Hendra Perwira,
Tahun 2014 Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Universitas Andalas. Dari hasil penelitian tersebut pelaksanaan
permohonan izin poligami pada Pengadilan Agama Padang telah
sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yaitu pasal 4 ayat 1 yang
menyatakan bahwa seorang suami yang akan mempunyai istri lebih
dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan poligami pada
pengadilan agama setempat. Perbedaan penulis dengan tesis tersebut
adalah penulis megambil objek lapangan di Banda Aceh dan Lahore-
Pakistan. Adapun persamaan dengan tesis tersebut adalah membahas
izin poligami sebagai syarat menikah yang legal
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada penulis tesis ini menggunakan kualitatif,
berupa penelitian yuridis normatif studi kepustakaan (library research).
Penelitian normatif menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
bahan sekunder belaka.12 Penelitian ini meletakkan hukum sebagai sistem
norma, sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,
kaidah dari peraturan perundang-undangan, Putusan Pengadilan, perjanjian
dan doktrin serta penggalian data yang berasal dari masyarakat.
2. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan penulis adalah perbandingan dan kasus
Putusan-Putusan tentang poligami ilegal Pengadilan Tingkat Pertama di
kedua negara Indonesia dan Pakistan. Hal ini dilakukan dengan cara
menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yan dihadapi
12 Salim & Erlies Septiana Nurbani, Buku Pertama: Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: PT. Raja Grafinndo, 2017), h. 12
11
yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
yang tetap. Yang menjadi kajian tesis ini adalah pendekatan perbandingan
dan pendekatan kasus.
Kajian pokok pendekatan Pendekatan komparatif adalah dengan
membandingkan undang-undang suatu negara, dengan undang-undang
dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Selain itu,
diperbandingkan putusan pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang
sama.13 Dan kajian pokok pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau
reasoning pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan
karena hal ini akan dijadikan referensi bagi penyusunan argumentasi
dalam pemecahann isu hukum. Alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai pada putusannya. Hal ini dapat diketemukan dengan
memperhatikan fakta materil. Fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu
dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya.
Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh
persamaan dan perbedaan di antara undang-undang tersebut. Hal ini untuk
menjawab mengenai isu hukum antara ketentuan undang-undang dengan
filosofi yang melahirkan undang-undang itu. Dengan demikian
perbandingan tersebut, peneliti akan memperoleh gambaran mengenai
konsistensi antara filosofi dan undang-undang di beberapa negara. Hal ini
sama juga dapat dilakukan dengan memperbandingkan putusan pengadilan
antara suatu negara dengan negara lain untuk kasus serupa.14
3. Sumber data
Penelitian ini menekankan penelitian lapangan sebagai pokok dan
penelitian kepustakaan sebagai bahan pendukung dalam upaya
menggambarkan hasil penelitian untuk dapat manarik kesimpulan secara
umum. Oleh karena itu, jenis sumber data dalam penelitian ini ada dua
macam, yaitu:
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2011), cet.11, h. 95
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2011), cet.11, h. 95
12
a. Sumber Hukum Primer
Sumber hukum primer dalam penulisan ini ada dua yaitu hukum
primer pertama adalah peraturan perundang-undangan di Indonesia
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
tentang Poligami Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pakistan The
Muslim Family Law Ordinance 1961. Dan hukum primer kedua
putusan hakim Mahkamah Syariah Banda Aceh-Indonesia dan
Pengadilan Tingkat Pertama Lahore-Pakistan.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang dijadikan penulis adalah data-data
yang berupa penemuan unik dan mendukung penelitian seperti data
sensus pengadilan, buku-buku, literatur-literatur, jurnal-jurnal yang
berkaitan dengan hukum keluarga, khususnya tentang poligami dan
izin poligami.
Sedangkan sumber data secara objektif terbagi menjadi dua macam
bagian, yaitu:
a. Sumber Data Lapangan
Sumber data lapangan penulis berupa pengumpulan putusan-
putusan dari Banda Aceh dan Lahore dan beberapa wawancara
hakim dan ulama. Peneliti melakukan penelitian tentang
Pengadilan Tingkat Pertama Lahore. Penulis memilih Pengadilan
Tingkat Pertama Lahore karena: Pertama, Putusan Hakim
Pengadilan Tingkat Pertama Lahore adalah kasus putusan perdana
di negara mayoritas Islam yaitu memidanakan seorang suami yang
menikah tanpa seizin Lembaga Arbitrase dan tanpa seizin istrinya.
Hal ini menunjukkan bahwa perlu mengkaji alasan-alasan hakim
dalam membuat Putusan. Kedua, hukum keluarga di Pakistan lebih
berani memidanakan poligami yang ilegal. Hal ini menunjukkan
bahwa perlu mengetahui sejarah pembentukan undang-undang
hukum keluarga Pakistan. Berikutnya, sumber hukum primer
13
diambil dari undang-undang dan Putusan Pengadilan Tingkat
Pertama Lahore yang berkaitan dengan penelitian ini.
Peneliti melakukan penelitian tentang Mahkamah Syariah di Aceh
karena, pertama kekentalan hukum Islam di wilayah aceh
dibandingkan wilayah lainnya. Kedua, Mahkamah Syariah adalah
hak istimewa wilayah Aceh untuk menjalankan hukum Islam yang
dilegalkan Negara.
b. Sumber Data Pustaka
a) Beberapa ayat Al-Qur`an, kitab-kitab hadis, kitab-kitab fiqh,
dan kitab-kitab ushul fikih yang semua yang telah disebutkan
fiqhdi atas memiliki relevan dengan substansi kajian dalam
penelitian ini.
b) Peraturan Perundang-undangan hukum keluarga, fokusnya
antara lain The Muslim Family Law Ordinance 1961 Pakistan
dan UU Perkawinan No, 1 Tahun 1974.
c) Berbagai jurnal, majalah, koran, dan forum-forum ilmiah yang
mempunyai kaitan dengan penelitian ini.
d) Kamus hukum, ensiklopedia hukum dan non hukum, dan
berbagai kamus lain yang relevan dengan penelitian ini.
Penulis mengumpulkan sumber data dan mengelompokkan untuk
dimasukkan ke dalam kategori yang sesuai dengan jenis dan sifat
bahan penelitian secara sistematis. Sumber data ini akan penulis
gali dengan teknik dokumen dan pustaka.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian normatif ini, pengumpulan data dilakukan dengan
studi dokumen, adalah metode pengumpulan data yang ditujukan langsung
kepada subjek penelitian. Ini merupakan jenis pengumpulan data yang
14
meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis.15
Dokumen untuk mengumpulkan data dapat terbagi menjadi dua, yaitu
a. Dokumen Primer
Dokumen primer yang ditulis oleh orang yang mengalami suatu
peristiwa, yaitu Putusan Hakim.
b. Dokumen Sekunder
Dokumen sekunder adalah dokumen yang ditulis berdasarkan
laporan-laporan, berita-berita, data sensus.
c. Objek Penelitian
Penulis mengambil objek penelitian ini dengan mempertimbangkan
pengamatan: pertama, Pengadilan Tingkat Pertama Lahore
merupakan pengadilan di Pakistan dalam menangani kasus-kasus
yang berkaitan tentang hukum Islam dan Mahkamah Syariah Aceh
merupakan pengadilan milik negara untuk umat muslim di Aceh
dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan tentang hukum
Islam; kedua, Undang-Undang dan Putusan Pengadilan Tingkat
Pertama Lahore dan Mahkamah Syariah Aceh.
5. Teknik Pengolahan Data
Penulis melakukan pengolahan data dengan cara seleksi data
primer dan sekunder atau bahan hukum kemudian penulis mengklasifikasi
menurut penggolongan bahan hukum dan menganalisisnya, lalu data data
hasil penelitian disusun sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian ini
untuk ditarik kesimpulannya.
6. Metode Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analysis description dan
comparative judgedment. menurut Sugiono Metode Deskriptif adalah
suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi
15 Dr. H.Salim & Erlies Septiana Nurbani, Buku Pertama: Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: PT. Raja Grafinndo, 2017), h. 19
15
gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah
terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum. Dengan kata lain penelitian
deskriptif analisis mengambil filosofi dari masalah atau memusatkan
perhatian kepada bagaimana perbandingan Undang-Undang dan Ratio
Decidendi hakim pengadilan Lahore dan Mahkamah Syariah Aceh untuk
menarik sebuah filosofi.16
Metode ini terbagi menjadi perbandingan vertikal, horizontal, dan
diagonal. Perbandingan vertikal yaitu perbandingan antara konsep fikih
mazhab dan perundang-undangan perkawinan di dua negara Indonesia dan
negara Pakistan. Selanjutnya perbandingan horizontal yaitu perbandingan
antara perundang-undangan perkawinan di dua negara, Indonesia dan
negara Pakistan. Sedangkan perbandingan diagonal yaitu perbandingan
yang melakukan penelusuran terhadap aspek-aspek perbedaan aturan,
antara negara Indonesia dan negara Pakistan berikut dengan tingkat
perbedaannya masing-masing.
G. Sistematika Penulisan
Penulis membagi menjadi 5 bab yaitu:
BAB I Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan signifikasi penelitian, studi review
terdahulu, metode penelitian, sistematika penulisan, semua
penjelasan tersebut akan memberikan gambaran secara
umum dari penelitian ini.
BAB II Menjelaskan tentang teori diantaranya adalah teori sadd
dzarî’ah dan legal positivism.
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.11, h. 94
16
BAB III Menjelaskan tentang poligami menurut mazhab syafi’i dan
mazhab hanafi,
BAB IV Merupakan sejarah perundang-undangan perkawinan
Indonesia dan negara Pakistan dan peraturan perundang-
undangan kedua negara.
BAB V Bab ini merupakan bab analisis tentang hak perempuan
memberikan izin poligami, di antaranya: perbandingan
pendapat fukaha, peraturan perundang-undangan
perkawinan Indonesia dan negara Pakistan; hak perempuan
memberikan izin poligami perspektif gender.
BAB VI Bab penutup yang akan mengakhiri seluruh rangkaian
pembahasan dalam tesis ini yang mencakup di dalamnya
kesimpulan dan saran.
17
BAB II
TEORI SADD DZARÎ’AH DAN LEGAL POSITIVISM
A. Teori Sadd dzarî’ah
1. Pengertian Dzariah
Secara etimologi, kata dzari’ah berarti jalan atau media yang
menuju kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh,
dzari’ah adalah segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan
kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’. Oleh karenanya, jalan yang
dapat mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’ tersebut
ditutup (sadd) atau dicegah atau dihindari.1 Di dalam kajian ushul fiqh,
dzari’ah terbagi menjadi dua, yaitu Sadd dzarî’ah dan fath dzari’ah.
2. Sadd Dzarî’ah dan Fath Dzari’ah
Sadd dzarî’ah adalah mencegah suatu perbuatan agar tidak sampai
menimbulkan kerusakan/kerugian. Pencegahan dilakukan karena di dalam
suatu perkara itu mengandung hal yang terlarang dari ajaran agama.
Sedangkan fath dzari’ah adalah memberikan peluang atau membukakan
jalan yang dapat menimbulkan kemaslahatan. Jika menghasilkan
kemaslahatan haruslah didorong dan dianjurkan karena di dalam suatu
perkara itu mengandung hal yang diperbolehkan dari ajaran agama.2
3. Kedudukan Sadd Dzarî’ah di dalam Hukum Islam
Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd al-
dzari’ah sebagai alat atau dalil dalam menetapkan hukum (istinbath)
syara’. Ulama mazhab Malikiyah dan ulama mazhab Hanabilah
menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu alat
1 Wahbah Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islamy, Juz II, (Beirut: Dar al Fikr, 1986), h. 873; lihat
juga al-Syatibi, Al-Muwâfaqât-IV, (Mesir: Matba’ah al-Maktabah al-Tijariyah, t.th.), h. 198
2 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 236
18
atau dalil untuk menetapkan hukum3 Alasan yang mereka kemukakan
adalah firman Allah dalam surat al-An’am (6) ayat 108 yang artinya :
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa
pengetahuan …”.4
Ulama mazhab Hanafiyah dan mazhab Syafi’iyyah dapat
menerima sadd al-dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu
dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam Syafi’i membolehkan
orang yang karena uzur untuk tidak berpuasa, tetapi tidak membolehkan
menampakkan tidak puasanya di hadapan umum (bagi yang tidak
mengetahui uzurnya). Contoh ini paling tidak berprinsip pada metode sadd
al-dzari’ah.5 Sedangkan Ibnu Hazm Zahiri dari mazhab Adz-Dzahiri
menolak dzari’ah sebagai dalil syara’ (hujjah).
4. Metode Penentuan Hukum Dzariah
Para ulama ushul fikih mengelompokkan dzari’ah kedalam dua
kategori. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas mafsadatnya dan dzari’ah
dilihat dari segi jenis mafsadatnya.
A. Dzari’ah dari kualitas mafsadatnya. Imam al-Syathibi
mengemukakan bahwa dari segi kualitas ke-mafsadat-nya,
dzari’ah terbagi kepada empat macam, yaitu:6
a) Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada
kemafsadatan secara pasti (qath’i). Misalnya, seseorang
menggali sumur di depan pintu rumahnya sendiri dan ia
tahu pada malam yang gelap itu ada orang yang akan
berkunjung ke rumahnya. Perbuatan ini pada dasarnya
boleh-boleh saja (mubah fi dzatih), akan tetapi dengan
3 Muhammad Taqie al-Hakim, Al-usûl al-`Ammah al-Fiqh al-Muqârin, (Beirut: Dar al
Andalus, 1963), h. 414.
4 Ali Imron HS, Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan Metode Sadd Al-
Dzarî’ah, (Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI), h. 69
5 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm-III, (Mesir: Al-Bab al-Halaby, t.th.), h. 272
6 Syatibi, Al-Muwâfaqât-IV, (Mesir: Matba’ah al-Maktabah al Tijariyah, t.th.), h. 358-361
19
melihat akibat yang ditimbulkan perbuatannya secara pasti
akan mendatangkan mafsadat maka menjadi dilarang.
b) Perbuatan yang dilakukan itu biasanya membawa kepada
mafsadat atau besar kemungkinan (dzan al-ghalib)
membawa kepada mafsadat. Misalnya, seseorang menjual
anggur kepada produsen minuman keras Pada dasarnya
menjual barang (anggur) itu boleh-boleh saja, akan tetapi
apabila ternyata dijual kepada produsen minuman keras.
Besar kemungkinan anggur itu diproses menjadi minuman
keras yang memabukkan. Perbuatan seperti ini dilarang,
karena ada dugaan keras bahwa perbuatan itu membawa
kepada kemafsadatan.
c) Perbuatan yang dilakukan itu jarang atau kecil
kemungkinan membawa kepada mafsadat. Misalnya
seseorang mengendarai sepeda motor di jalan raya dengan
kecepatan 30 sampai 50 km/jam pada jalur serta kondisi
yang normal. Perbuatan seperti ini boleh-boleh saja.
d) Perbuatan yang dilakukan itu mengandung kemaslahatan,
tetapi memungkinkan juga perbuatan tersebut membawa
kepada mafsadat. Misalnya, seseorang menjual pisau, sabit,
gunting, jarum dan yang sejenisnya di pasar tradisional
secara bebas pada malam hari.
Untuk jenis yang pertama dan kedua di atas, para ulama’ sepakat
melarangnya sehingga perbuatan tersebut (dzari’ah) perlu dicegah/ditutup
(sadd). Untuk jenis yang ketiga para ulama’ tidak melarangnya, sedangkan
jenis keempat terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama’7
Poligami adalah salah satu solusi rumah tangga, poligami tidak
bisa diharamkan dan tidak bisa diwajibkan secara mutlak tetapi bisa wajib
dan haram melihat dalam kondisi tertentu. Apabila poligami dinilai
merusak maka haram untuk poligami, sebaliknya, jika poligami dinilai
7 Wahbah Zuhaily, Usûl al-Fiqh al-Islamî, Juz II, (Beirut: Daar al Fikr, 1986), h: 877-833
20
sesuatu yang harus, maka wajib untuk poligami. Namun, apabila poligami
dinilai sesuatu yang mubah, maka tidak ada masalah melaksanakannya
atau tidak
B. Dzari’ah dari jenis mafsadat yang ditimbulkan. Menurut Ibn
Qayyim al Jauziyyah,8 dzari’ah dilihat dari jenis mafsadat yang
ditimbulkan terbagi menjadi:
a) Perbuatan itu membawa kepada suatu mafsadat. Seperti
meminum minuman keras dapat menimbulkan mabuk dan
mabuk itu suatu mafsadat.
b) Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan bahkan
dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan perbuatan
yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja maupun tidak.
Perbuatan yang mempunyai tujuan yang disengaja, misalnya
seorang yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh
suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat
menikahinya lagi (nikah tahlil). Sedangkan perbuatan yang
dilakukan tanpa tujuan sejak semula seperti seseorang yang
memaki-maki ibu bapak orang lain. Akibatnya orang tuanya
sendiri akan dibalas caci-makian.
Kedua macam dzari’ah ini oleh Ibn Qayyim dibagi lagi kepada:
a) Perbuatan tersebut maslahatnya lebih kuat daripada
mafsadatnya.
b) Perbuatan tersebut mafsadatnya lebih besar daripada
maslahatnya.
Adapun akibat dari hukum yang ditimbulkan dari kedua macam
perbuatan dzari’ah tersebut, oleh Ibn Qayyim diklasifikasikan ke
dalam empat kategori, yaitu:
8 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwâqi’in `An Rabbil’Alamin, Jilid III, (Beirut:
Dâr al Jail), h. 148.
21
a) Pertama, perbuatan yang secara sengaja ditujukan untuk suatu
kemafsadatan maka dilarang (haram) oleh syara’. Seperti
meminum minuman keras (khamr).
b) Kedua, perbuatan yang pada dasaranya mubah tetapi
ditujukkan untuk melakukan kemafsadatan, maka dilarang
(haram) oleh syara’. Seperti nikah tahlil pada kasus talak
ba’in.
c) Ketiga, perbuatan yang pada dasarnya mubah dan pelakunya
tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya
(dzann al-ghâlib) akan berakibat suatu kemafsadatan, maka
dilarang (haram) oleh syara’. Seperti mencaci-maki
sesembahan orang musyrik akan berakibat munculnya cacian
yang sama bahkan lebih terhadap Allah SWT.
d) Keempat, perbuatan yang pada dasarnya mubah dan akibat
yang ditimbulkannya ada maslahat dan mafsadatnya. Dalam
kategori yang keempat ini dilihat dulu, apabila maslahatnya
lebih banyak maka boleh, dan begitu pula sebaliknya.
Dari uraian di atas nampaknya dzari’ah dapat dipandang dari dua sisi,
yaitu :
a) Dari sisi motivasinya yang mendorong seseorang melakukan suatu
pekerjaan, baik bertujuan yang halal maupun yang haram. Seperti
pada nikah tahlil, dimana pada dasarnya nikah ini dianjurkan oleh
agama akan tetapi memperhatikan motivasi muhallil (orang yang
melakukan nikah tahlil) mengandung tujuan yang tidak sejalan
dengan tujuan serta prinsip-prinsip nikah, maka nikah seperti ini
dilarang.
b) Dalam sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa
dampak negatif (mafsadat). Seperti seorang muslim yang mencaci
maki sesembahan orang non-muslim. Niatnya mungkin untuk
menunjukkan kebenaran aqidahnya. Akan tetapi akibat dari cacian
22
ini bisa membawa dampak yang lebih buruk lagi. Oleh karenanya
perbuatan ini dilarang.
B. Teori Legal Positivism
1. Pengertian Legal Positivism
Istilah ‘positivisme’ diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal
dari kata ‘positif’. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai
memakai istilah ‘filsafat positif’ dan terus menggunakannya dengan arti
yang konsisten di sepanjang bukunya. Kata ‘filsafat’ dia artikan sebagai
sistem umum tentang konsep-konsep manusia, sedangkan ‘positif’
diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta
yang teramati. Dengan kata lain, ‘positif’ sama dengan ‘faktual’, atau apa
yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan
bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.9
Dalam paham hukum positif (legal positivism), hukum hanyalah
aturan yang mengatur kehidupan masyarakat secara konkret yang bersifat
empiris. Hukum tidak mencakup norma agama (hukum agama), norma
susila (moral), dan norma kesopanan.10 Paham hukum alam dan hukum
Tuhan kini telah tergeser oleh paham hukum positif yang bersifat empiris,
baku dan disahkan oleh negara. Bahkan, dalam hukum positif modern
tidak ada tempat untuk hukum alam; semuanya adalah hukum yang dibuat
oleh manusia.11
August Comte merupakan sosok figur yang paling menonjol untuk
positivisme sehingga dia diberi julukan ‘Bapak Positivisme’. Dia
dilahirkan ketika terjadi revolusi, di kota Montpellier dari sebuah keluarga
bangsawan yang beragama Katolik. Pada usia dua puluh lima tahun, dia
9 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2004), h. 203.
10 Pada masa Aufklarung, Kant memisahkan hukum dari hukum alam dan dengan asal
ilahi (hukum Tuhan). Lihat Lili Rasyidi dan B. Arief Sidarta (Peny.), Filsafat Hukum: Mazhab dan
Refleksinya, Cet-2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 23.
11 Kaarlo Tauri, Critical Legal Positivism, (Burlington: Ashgate, 1988), h. 6.
23
menempuh studi di Ecole Polytechnique di Paris dan sesudah dua tahun di
sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideologi Hume dan
Condorcet.12
Adikaryanya yang paling terkenal adalah Cours de Philosophi
positive dalam 6 jilid. Dalam tulisan-tulisannya, dia mengusahakan sebuah
sintesis segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivisme, tetapi
usaha itu tidak rampung sebab pada tahun 1857 dia meninggal dunia.
Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan Comte
menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, dan
seni yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang
faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan
hanyalah ilmu pengetahuan.
Fakta didefinisikan oleh Comte sebagai fenomena yang dapat
diobservasi. Oleh karena itu, sebenarnya positivisme sangat berkaitan
dengan empirisme. Akan tetapi, empirisme masih menerima adanya
pengalaman subjektif yang bersifat rohani, sedangkan positivisme
menolaknya seluruhnya. Pada positivisme, yang dianggap sebagai
pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah,
yang bisa diuji secara indrawi.13
Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan
perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-
hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi,
sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung
aspek kepastian hukum (keadilan prosedural), tetapi juga berdimensi
keadilan legal, keadilan moral dan keadilan sosial. Karena keadilan itulah
yang menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dari proses penyelesaian
sengketa di pengadilan.14
12 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2004), h. 203.
13 http://www.negarahukum.com/hukum/aliran-hukum-positif.html 14 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
d an Berkeadilan, (Jogjakarta: UII Press, 2009), h. 6.
24
Dalam Pancasila kata adil terdapat pada sila kedua, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, di samping itu juga termuat dalam sila kelima,
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang
adil dan keadilan sosial mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia
sebagai makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu
adil dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia yang
lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap
lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam diskursus konsep keadilan, banyak ditemukan berbagai
pengertian keadilan, di antaranya keadilan adalah menempatkan sesuatu
pada tempatnya (proporsional); keadilan adalah keseimbangan antara hak
dan kewajiban dan lain sebagainya. Demikian pula klasifikasi keadilan
juga banyak ditemukan misalnya Aristoteles membagi keadilan komutatif
dan distributif. Beberapa ahli hukum mengungkapkan dan membagi
menjadi: keadilan hukum (legal justice), keadilan secara moral (moral
justice) dan keadilan sosial (social justice).15
Keadilan hukum terkait erat dengan makna legalitas. Dikatakan
adil apabila peraturan yang dibuat berlaku secara sama, setara dan tanpa
diskriminasi hukum yang diterapkan kepada semua kasus yang menurut
peraturannya harus diterapkan.16 Legalitas peraturan yang diberlakukan
secara hukum mempunyai implikasi yang sama terhadap semua perbuatan
yang dilakukan dengan prinsip mengacu kepada isi dari perbuatan itu
sendiri, dan dikatakan tidak adil jika penerapan dari peraturan itu tidak
diterapkan pada perbuatan yang sama di tempat yang berbeda.17
15 Bambang Sutiyoso, Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan, (jurnal
hukum no. 2 vol. 17 april 2010: 217 – 232), h. 226 16 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif
sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, terjemahan Somardi, (Jakarta: Bea Media Indonesia,
2007), h. 15-16. 17 Hayat, Keadilan sebagai Prinsip Negara Hukum: Tinjauan Teoretis dalam Konsep
Demokrasi (Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015), h. 392
25
2. Prinsip-Prinsip Legal Positivism
Positivisme hukum mendapatkan dasar-dasar filsafatnya pada
aliran filsafat positif (positivisme) yang lahir pada awal abad XIX-an.
Aliran fislafat ini memiliki prinsip-prinsip utama, di antaranya:18
1) Hanya menganggap benar apa yang benar-benar tampil dalam
pengalaman. Inilah yang oleh Locke dan David Hume disebut
sebagai empirisme.
2) Hanya apa yang pasti secara nyata yang disebut dan diakui
sebagai kebenaran. Ini berarti tidak semua pengalaman dapat
disebut benar.
3) Hanya melalui ilmulah pengalaman nyata itu dapat dibuktikan.
4) Karena semua kebenaran didapat melalui ilmu maka tugas
filsafat adalah mengatur hasil penyelidikan ilmu.
Di antara contoh konsep hukum positif adalah konsep hukum yang
dirumuskan oleh ahli hukum Inggris, John Austin (1790-1859). Austin
mendefinisikan hukum sebagai―Peraturan yang diadakan untuk memberi
bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang
berkuasa atasnya. Jadi, hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan, dan
tidak didasarkan atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan yang buruk,
akan tetapi ia didasarkan atas kekuasan yang lebih tinggi.19
Hukum positif dalam konsep Austin dan Hart, menurut M.
Galanter merupakan hukum modern, yang memiliki ciri-ciri sebagaimana
berikut ini:20
1) Sistem hukum tersebut terdiri dari peraturan-peraturan yang
seragam, baik dari segi isi maupun pelaksanaannya;
2) Sistem hukum tersebut bersifat transaksional, dalam arti hak-
hak dan kewajiban timbul dari perjanjian-perjanjian yang tidak
18 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, alih
bahasa Muhammad Arifin, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 151
19 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, alih
bahasa: Muhammad Arifin, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 149.
20 Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), hlm. 135-146
26
dipengaruhi oleh faktor usia, kelas, agama ataupun perbedaan
jenis kelamin;
3) Sistem hukum modern bersifat universal, dalam arti dapat
dilaksanakan secara umum;
4) Adanya hierarki pengadilan yang tegas;
5) Birokratis, dalam arti melaksanakan prosedur sesuai dengan
peraturan-peraturan yang diterapkan;
6) Rasional,
7) Pelaksanaan sistem hukum tersebut terdiri dari orang-orang
yang sudah berpengalaman;
8) Dengan berkembangnya spesialisasi dalam masyarakat yang
kompleks, harus ada penghubung antara bagian-bagian yang
ada sebagai akibat adanya sistem pengkotakan;
9) Sistem ini mudah diubah untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat;
10) Lembaga-lembaga pelaksana dan penegak hukum adalah
lembaga kenegaraan karena negaralah yang mempunyai
monopoli kekuasaan; dan
11) Pembedaan yang tegas antara tugas-tugas eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.
Prinsip Legal positivism memiliki beberapa paham tentang hukum,
yaitu yang menjadi sumber hukum adalah hakim, karena hakim dijadikan
pusat titik perhatian dan hakim juga yang melakukan penyelidikan tentang
hukum dan undang-undang. Hakim harus menguasai dan memakai
beberapa kaidah-kaidah ilmu hukum, baik hukum agama, adat, maupun
perundang-undangan. Oleh karenanya, teori legal positivism ini menjadi
salah satu teori yang selalu digunakan hakim untuk membentuk ratio
decidendi (argumentasi hakim) dalam pembentukan putusan. Bahwa
Putusan itu terbentuk karena ratio decidendi hakim. Begitupun sebaliknya,
27
jika hakim tidak memiliki ratio decidendi maka tidak akan terbentuk
sebuah putusan.21
3. Tujuan Legal Positivism
Tujuan legal positivism sebagaimana berikut ini: 22
1) Adanya tatanan masyarakat yang teratur
Paham positivisme hukum (atau dalam wacana hukum sering
disebut dengan legisme dan legal positivism) telah dianut oleh banyak
negara selama beberapa abad. Mulai awal abad XIX, Perancis telah
membuat code civil, yang kemudian diikuti oleh Jerman, Swiss,
Belanda, dan negara-negara lainnya. Bahkan hingga saat ini, Indonesia
masih mempergunakan code warisan Belanda Colonial, yang konon
juga diadopsi dari Perancis. Tatanan hukum positif tersebut telah
menghasilkan tatanan dan sistem hukum yang kuat, rapi, dan teratur.
Tatanan masyarakat diatur oleh hukum yang dibuat oleh pemerintah
(badan legislatif); dan pemerintahan negara dalam menjalankan
kekuasaannya juga diatur oleh hukum perundang-undangan. Hak-hak
warga negara diakui dan dilindungi secara hukum sehingga penindasan
tidak perlu lagi terjadi.
2) Adanya kepastian hukum
Hukum dapat menjamin hak-hak perseorangan dan seluruh
warga negara. Dengan demikian maka kepastian hukum dapat
diperoleh. Seorang yang dilanggar haknya bisa menuntut secara
hukum. Hukum dalam konsep positivisme merupakan hukum tertulis
yang disahkan oleh negara sehingga hukum bersifat pasti. Setiap kali
hakim menghadapi permasalahan hukum maka dia dapat langsung
21 Agus Santoso, Hukum, Moral Dan Keadilan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2014), h. 26
22 Sri Wahyuni, Pengaruh Positivisme dalam Perkembangan Ilmu Hukum dan
Pembangunan Hukum Indonesia, h. 14
28
mencari ketentuan hukumnya di dalam undang-undang yang tertulis
tersebut.
3) Menjamin keadilan secara hukum
Hukum dalam paham positivisme merupakan hukum tertulis
yang telah dibuat dan disahkan oleh negara. Dengan demikian maka
keadilan hukum akan terjamin oleh hukum tersebut. Hukum diciptakan
untuk semua orang, tidak melihat perbedaan suku, jenis kelamin, status
sosial dan kekayaannya. Semua orang dan warga negara akan dijamin
haknya oleh hukum tanpa terkecuali. Semua akan mendapatkan
keadilan hukum (yuridis justice) karena memang hukum diciptakan
untuk menjamin keadilan yang merata bagi semua orang.
Dalam praktik penyelesaian hukum oleh hakim di pengadilan,
pengaruh positivism juga sangat kuat. Misalnya, pembuktian masalah
hukum dan kebenaran hukum berdasarkan pembuktian konkret dan
empiris. Pengaruh positivisme ini juga tampak dalam sistem peraturan
hukum yang standar, yang diberlakukan untuk seluruh warga negara,
terutama dalam bidang hukum pidana.23
Pengaruh positivisme dalam hukum dan terutama hukum Indonesia
sangat kuat. Hukum keluarga di Indonesia yang unifikatif, standar, tertulis
dan dilegislasikan oleh Negara merupakan bukti konkret dari pengaruh
positivism tersebut. Begitu juga hukum keluarga di Pakistan yang juga
unifikatif, standar, tertulis dan dilegislasikan oleh Negara merupakan bukti
konkret dari pengaruh positivism tersebut.
Beberapa kasus terkenal misalnya tentang istri yang menggugat
suami di pengadilan, penulis mengambil contoh di Banda Aceh-Indonesia
dan Lahore-Pakistan. Suami terbukti melakukan tindakan poligami yang
tidak sah secara hukum positif. Hakim Pengadilan Tingkat Pertama di
Banda Aceh memutuskan pembubaran pernikahan dengan istri yang tidak
23 Sri Wahyuni, Pengaruh Positivisme dalam Perkembangan Ilmu Hukum dan
Pembangunan Hukum Indonesia, h. 14
29
sah di poligami disebabkan karena buku nikah kedua belah pihak palsu
dan tidak ada izin resmi dari atasan Pegawai Negeri Sipil dan istri sahnya
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, pasal 3, 4 dan 5. Sedangkan Hakim Pengadilan
tingkat Pertama di Lahore memutuskan memenjarakan dan menjatuhkan
denda atas suami yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
poligami sebagaimana yang telah diatur dalam The Muslim Family Law
Ordinance 1961 (MFLO 1961) pasal 6, ayat 1-5.
Inti tujuan dari ajaran positivisme yaitu hakim merealisasikan
hukum undang-undang demi menegakkan keadilan. Baik merealisasikan
hukum negara maupun hukum kemaslahatan untuk negara. Apabila
merealisasikan hukum negara bukan membuahan keadilan, maka hakim
dituntut untuk berijtihad hukum. Keadilan bisa dicapai oleh keadilan
hakim melalui putusan hakim dan berdasarkan undang-undang. Hakim
dijadikan sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan tentang hukum.
Pembentukan perundang-undangan masih sangat dipengaruhi oleh unsur
logika, di samping itu ada unsur-unsur lainnya yang berpengaruh sangat
besar, contohnya faktor politik, ekonomi dan lain sebagainya.
30
BAB III
POLIGAMI MENURUT MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB HANAFI
A. Poligami Menurut Mazhab Syafi’i
Penulis menetapkan poligami menurut mazhab syafi’i karena
masyarakat Indonesia menganut Islam dengan mazhab syafi’i. Sebagai contoh,
masyarakat muslim di Indonesia yang ingin melakukan akad harus dihadiri
oleh dua mempelai, wali nikah, saksi nikah untuk menjadikan pernikahan sah.
Kemudian Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa pernikahan
harus dicatatkan secara resmi oleh KUA.
1. Istinbath Hukum Mazhab Syafi’i
Dalam menetapkan suatu hukum, Imam Syafi’I memiliki langkah-
langkah tersendiri yang senantiasa dipegang teguh. Hukum asal adalah al-
Qur`an dan Sunnah; apabila tidak ditemukan didalam al-Qur`an dan
Sunnah maka (metode selanjutnya), Qiyâs (analogi) akan dilakukan
terhadap keduanya. Apabila hadis dari Rasulullah SAW telah shahîh
sanâd-nya (muttashîl), maka hadis tersebut adalah hadis yang berkualitas
(muntaha); ijma’ lebih utama atas khabar ahad. Makna hadis yang
diutamakan adalah makna dzâhir (jelas). Apabila terdapat hadis yang
berbeda, maka sanad hadis yang lebih baik yang diutamakan. Hadis
munqathi’ tidak dapat digunakan kecuali hadis munqathi’ yang berasal
dari Ibn al-Musayyab; pokok tidak boleh dianalogikan pada pokok; dan
(mengapa dan bagaimana) tidak boleh dipertanyakan pada hukum yang
pokok dan pertanyaan tersebut dapat dipertanyakan pada far’ (cabang);
apabila ia dianalogikan dengan benar terhadap hukum pokok, maka dapat
dijadikan sebagai hujjah.”1
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai
empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam
1 Thaha Jabir Fayadh al-Ulwani, Adâb al-Ikhtilâf fi al-Islâm, (Kairo: Dâr Al-Kutub al-
Qatriyah, 1985), h. 95.
31
urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat
kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dan istri yang miskin,
yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan
bawah. Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi
semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami.2
Pada dasarnya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami.
Hal ini dapat dipahami dari surat An-Nisa` ayat 3,
ث ط وا يف الي ت ام ى ف انك ح وا م ا ط اب ل ك م م ن الن س اء م ثن و ث ال فت م أ الا ت قس و إ ن خ ة أ و م ا م ل ك ت د فت م أ الا ت عد ل وا ف و اح ع ف إ ن خ أ ي ان ك م ذ ل ك أ دن أ الا ت ع ول وا و ر اب
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Kendati Allah SWT memberi peluang untuk beristri sampai empat
orang, tetapi peluang itu diikuti oleh syarat-syarat yang sebenarnya cukup
berat untuk ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Dalam tafsir
Imam Al-Maraghi, yang dikenal dengan nama tafsir Al-maraghi,
menuliskan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut pada ayat di atas
adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurut beliau, poligami
diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu saja, misalnya keadaan
darurat dan mendesak, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-
benar membutuhkan, kemudian beliau menguatkan pendapatnya dengan
kaidah fiqhiyyah yaitu, dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih.
Hal ini dimaksudkan, barangkali, untuk menunjukkan betapa pentingnya
untuk hati-hati dalam melakukan poligami.3
2. Ketentuan Poligami
2 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munâkahât (Jakarta: Kencana, 2006), h. 133. 3 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Musthafa Al-Bâbi Al-Halabi, 1963), h. 181.
32
Syarat dan rukun nikah menurut mazhab syafi’i adalah adanya
mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali, adanya dua orang saksi
laki-laki, dan ijab kabul. Apabila syarat dan rukun ini tidak terpenuhi
maka pernikahan dianggap tidak sah dan dianggap zina. Semua ulama
klasik dan kontemporer sepakat atas syarat dan rukun di atas.4 Adapun
perbedaannya yaitu tentang tidak adanya keberadaan sang mempelai laki-
laki di dalam satu majelis (via telepon ataupun video call).
Adapun istilah poligami ilegal tidak ada dalam mazhab syafi’i. Di
dalam permasalahan poligami, Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi menjelaskan
Imam Syafi'i pendapat bahwa laki-laki poligami diperbolehkan tanpa
persetujuan dari istri atau istri-istrinya. Poligami masih bisa dilakukan
selama jumlah istri belum melebihi empat.5 Mayoritas ulama klasik
memperbolehkan berpoligami dengan batas adalah empat istri yang
dinikahi.6 Imam Asy-Syafi’i, dan para pengikutnya suami berada di
istrinya yang perawan sebanyak tujuh hari sedangakan istrinya yang janda
tiga hari.7 Namun, poligami harus memenuhi beberapa ketentuan, di
antaranya adalah:
a. Pembatasan Jumlah Istri. Dalam berpoligami, hukum Islam
membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Disebutkan bahwa
seoarang pria dapat menikahi 2, 3 sampai 4 orang wanita pada
waktu yang bersamaan. Dalam hal ini, jumlah wanita yang dapat
dinikahi dalam waktu bersamaan paling banyak 4 orang.
b. Akan Sanggup Adil di antara istri-istrinya itu. Dalam berpoligami,
seorang pria harus dapat berbuat adil kepada istri-istrinya. Syarat
4Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munâkahât, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 44
5 Abu Samah, Izin Istri dalam Poligami Perspektif Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, (jurnal Hukum Islam, Vol. XIV No. 1 Juni 2014), h. 34
6 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
215-216
7 Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Kitab Al-Umm Juz 5, 283; Lihat
juga, Ibnu Rusyd, Kitab Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t), 42.
33
ini menjadi sangat penting, karena terpenuhinya syarat ini
merupakan unsur utama dalam poligami berdasarkan hukum Islam
c. Jangan Ada Hubungan Saudara antara istrinya dengan calon istri
yang akan dinikahinya. Berdasarkan Surat An-nisa ayat: 23,
dikatakan bahwa wanita yang hendak dijadikan istri-istri janganlah
wanita yang bersaudara. Dalam arti saudara ini, bukan hanya
saudara seayah dan seibu, tetapi juga saudara seayah saja atau
saudara seibu saja. Bahkan, penafsirannya diperluas sampai
saudara sesusuan.
3. Kedudukan Izin Istri untuk Berpoligami
Setelah dikaji sumber hukum poligami baik al-Qur`an maupun dari
hadīs, masih belum ditemukan syarat poligami yang mengharuskan adanya
persetujuan/izin istri sebelumnya terlebih dahulu jika seseorang mau
berpoligami. Setelah ditelusuri bahwa poligami di samping memiliki
hikmah dan manfaat namun terdapat juga sisi kemudharatannya, maka
syarat izin poligami dari istri mulai diwacanakan dan dipertimbangkan
menjadi salah satu syarat untuk sahnya berpoligami. Umumnya jika
seorang laki-laki berpoligami secara diam-diam tanpa ada pemberitahuan
awal dari pihak laki-laki kepada pihak istri jelas hal semacam ini akan
menimbulkan kemudharatan dan akhirnya bermuara kepada kerusakan
rumah tangga. Persetujuan istri terhadap suami yang ingin berpoligami
secara metode istislahīyyah dapat diterima karena melihat banyak ‘illat
yang terdapat dalam poligami terutama pada sang istri.
Dengan alasan bahwa poligami dapat menimbulkan kemudharatan
kemaslahatan bagi suami dan istri juga keluarga. Suami yang berpoligami
tanpa memberitahu istri sebelumnya maka pernikahan semacam ini jelas
akan menuai masalah besar dalam rumah tangga, dengan alasan istri
tersakiti hatinya. Efek atau kemudharatannya menimbulkan
ketidaknyamanan, ketidaktentraman dalam rumah tangga, akhirnya istri
mencari cara-cara yang negatif agar hubungan antara istri baru dengan
34
suaminya terputus. Dengan demikian tampak bahwa syarat adanya
persetujuan istri terhadap suami yang ingin melakukan poligami
merupakan sesuatu yang sangat diperlukan demi untuk menjaga
keharmonisan rumah tangga.8
Menjaga keharmonisan rumah tangga adalah bagian dari maqâshid
al-syarȋ’ah, karena tujuan syara` dalam menetapkan suatu hukum untuk
makhluk itu ada lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal pikiran, memelihara keturunan, dan memelihara harta.
Dalam fikih kontemporer syafi’īyyah tidak didapati syarat adanya
persetujuan istri untuk berpoligami, akan tetapi dibolehkan menambah
syarat wadh’i dalam hal memelihara maksud syara’ selama syarat tersebut
tidak merubah ketentuan-ketentuan syara’ demi menjalankan kewajiban
suami secara totalitas untuk memenuhi hak-hak istri. Karena agama
melindungi hak-hak istri.9
B. Poligami Menurut Mazhab Hanafi
Penulis menetapkan poligami menurut mazhab hanafi karena
pakistan menganut islam bermazhab hanafi. Sebagian hakum keluarga
Pakistan mengadopsi mazhab hanafi, yaitu hukum pernikahan, diantaranya
akad tanpa wali, disana diperbolehkan, dan secara undang-undang ditekankan
harus ada pencacatan pernikahan sebagaimana tertuang di dalam The Family
Law Ordinance 1961 pasal tentang pencacatan pernikahan.
8 Prof, Dr. TGK. H. Muslim Ibrahim, MA, Ketua Umum Majelis Permusyawaratan
Ulama Aceh, Interview pribadi, Aceh, 27 September 2018; Lihat juga, Riyandi. S, Syarat Adanya
Persetujuan Istri untuk Berpoligami (Analisis Ushul Fikih Syafi‘Īyyah Terhadap Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) (Jurnal Ilmiah Islam Futura Vol. 15. No. 1, Agustus 2015), h.,
138
9 Rahmatillah, Anggota Mejelis Permusyawaratan Ulama Aceh, interview pribadi, Aceh,
28 September 2018; lihat juga Riyandi. S, Syarat Adanya Persetujuan Istri untuk Berpoligami
(Analisis Ushul Fikih Syafi‘Īyyah Terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
(Jurnal Ilmiah Islam Futura Vol. 15. No. 1, Agustus 2015), h., 138
35
1. Istinbath Hukum Mazhab Hanafi
Pada perkembangannya, ia dikenal dengan sebutan ahlu ra’yi
dalam fikih dengan metodenya yang terkenal, yaitu istihsân10. Dari
beberapa sumber yang ditemukan bahwa yang menjadi dasar pegangan
Imam Abu Hanifah dalam berijtihad adalah al-Qur’an, Sunnah, Qaul al-
Shahâbah, Ijma’, Qiyâs, Istihsân, ‘Urf.11 Imam Abu Hanifah pernah
berkata tentang ijtihad dalam pengambilan hukum, sebagaimana berikut
ini:12
اين اخذت بكتاب هلل اذا وجدته فمامل أجد فبسنة رسول هلل صل هللا عليه و سلم فامل اجد يف كتاب وال سنة رسول هلل صل هللا عليه و سلم اخذت بقول
ن شئت وادع م ن شئت منهم وال أخرج من قوهلم اىل قول اصحابه. اخذ بقوىل م واحلسن نيري و ابن س الشعىبو مي, فاذا ما انتهى االمر او جاء اىل ابراههمري غ
وعدد رجاال فقوم اجتهدوا فاجتهدوا كما اجتهدوا ديوعطاء وسع
Artinya : Dalam menetapakan hukum suatu peritiwa atau suatu
permasalahan saya (Abu Hanifah) mengambil kepada kitab Allah, jika
tidak saya temukan di dalamnya, maka saya ambil sunnah Rasulullah. Jika
saya tidak ketemukan di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka
saya mengambil satu di antaranya pendapat sahabat dan saya tidak
berpindah-pindah kepada pendapat sahabat yang lain. Adapun apabila
telah sampai urusan itu, atau telah datang kepada Ibrahim, asy-Sya’bi,
Ibnu Sirin, al-Hasan, Atha’, Sa’id dan Abu Hanifah dan menyebut
beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad,
karena itu saya pun berijithad sebagaimana mereka berijtihad
Hasbi ash-Shiddiqy menguraikan dasar-dasar pegangan imam
Hanafi adalah sebagai berikut: “pendirian Abu Hanifah dan Hanafiyyah
yaitu mengambil dari orang terpercaya dan menjauhkan dari keburukan,
memperhatikan muamalah manusia dan apa yang telah mendatangkan
maslahat bagi urusan mereka. Beliau menjalankan urusan atas qiyas,
10 Ahmad Mugits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008), h. 73-74.
11 Romli, Muqaranah Madzahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999), h. 22.
12 M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab dalam Membina
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), h. 134. Lihat juga Muhammad Ali al-Sais, Tarikh al
Fiqh al-Islam, (Beirut: Daar al-Kitab al-Imamiyah, 1990), h. 91. Lihat juga Haswir, Op.cit., h. 73,
Lihat juga Zulkayandri, Fiqh Muqaran, (Pekanbaru: Program Pascasarjana UIN Suska Riau,
2008), h. 54
36
apabila qiyas tidak baik dilakukan maka beliau melakukan atas istihsân
selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukannya, beliau
kembali kepada ‘urf masyarakat. Dan mengamalkan hadis yang terkenal
yang telah di ijma’ oleh ulama, kemudian beliau meng-qiyas-kan sesuatu
kepada hadis itu selama qiyâs masih dapat dilakukan.Kemudian kembali
kepada istihsân, mana diantara keduanya yang lebih tepat”.13
Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis mengenai pandangan-
pandangan hukum. Hanya saja terdapat risalah-risalah kecil yang
dinisbatkan kepadanya, seperti al-fiqh al-akbar, al-alim wa al-muta’alim
dan juga risalah yang menolak pandangan qadariyyah. Karya-karya
tersebut kemudian dibukukan oleh para muridnya. Terdapat beberapa
muridAbu Hanifah yang paling terkenal, yakni Ya’kub ibn Ibrahim ibn
Habib al-Ansari, terkenal dengan nama Abu Yusuf, Zuffar ibn Hudail,
Muhammad ibn al-Hassan ibn Farqad asy-Sayibani, dan al-Hasan ibn
Ziyad al-Lu’lui. Melalui keempat muridnya inilah pemikiran Abu Hanifah
tersebar luas, terutama melalui dua muridnya, Abu Yusuf dan asy-
Syaibani.14
2. Ketentuan Poligami
Ketentuan syarat dan rukun nikah menurut mazhab Hanafi adalah
mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali, dan adanya ijab kabul,
ulama mazhab Hanafi klasik dan kontemporer sepakat akan syarat dan
rukum di atas. Adapun perbedaan hanya terletak pada syarat dan rukun ada
empat, karena calon pengantin laki-laki dan perempuan digabung menjadi
satu rukun.15
Adapun istilah poligami ilegal tidak ada dalam mazhab hanafi.
Menurut mazhab Hanafi poligami dapat dilakukan tanpa izin dari istri, tapi
13 M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab dalam Membina
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), h. 134.
14 M. Iqbal Juliansyahzen, Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian Sosio-
Historis Seputar Hukum Keluarga, (Jurnal Al-Mazahib, Volume 3, Nomer 1, Juni 2015), h. 76 15 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munâkahât, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 46
37
diperlukan untuk melakukan keadilan diberkaitan dengan kepuasan psikis,
seperti seks.16Adapun menurut ulama-ulama mazhab Hanafi keadilan yang
dimaksud adalah keadilan seorang suami dalam hal pakaian, tempat
tinggal, makan dan pergaulan, tidak termasuk persenggamaan. Keadilan,
menurut mereka terbatas hanya dalam pekerjaan lahir.17 Adapun tentang
menggilir istri-istri menurut Imam Abu Hanifah giliran diantara mereka
sama, baik istri itu gadis atau janda. Jika ia mempunyai istri baru, maka ia
harus bergilir pula pada istri-istri yang lama.18
3. Kedudukan Izin Istri untuk Poligami
Penulis telah menelaah poligami secara dalam mengenai syarat izin
dari istri atau juga istri memberikan izin kepada suami yang ingin
poligami. Tidak ada ketentuan izin istri untuk poligami di dalam mazhab
hanafi, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer bermazhab hanafi.
Istri tidak memiliki hak mutlak memegang izin poligaminya suami. Tetapi
mazhab hanafi sangat menekankan dan menjunjung tinggi keadilan
diantara hak istri-istrinya.
16 Abu Samah, Izin Istri dalam Poligami Perspektif Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, (jurnal Hukum Islam, Vol. XIV No. 1 Juni 2014), h. 34
17 Henny Yusalia, Poligami dan Batasannya dalam Perspektif Islam, (Jurnal Wardah: No.
XXVI/ Th. XIV/ Juni 2013), h. 124-125
18 Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Kitab Al-Umm Juz 5, 283; Lihat
juga, Ibnu Rusyd, Kitab Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t), 42.
38
BAB IV
POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA INDONESIA DAN
PAKISTAN
A. Poligami Menurut Hukum Keluarga di Indonesia
1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
1.1. Sejarah Hukum Keluarga di Masa Kerajaan
Dahulu, kerajaan-kerajaan Hindu pernah berdiri di perairan
Indonesia yang memiliki pengaruh pada hukum keluarga di pulau Jawa, pulau
Sumatera dan pulau Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari
zaman “Malaio polynesia”1, Pada masa kejayaan kerajaan Hindu telah berdiri
hukum keluarga yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta hukum
agama Budha yang dibawa oleh para pedagang khususnya dari Cina.2
Kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan Sriwijaya, Singosari
dan Majapahit. Pada masa Majapahit, Mahapatih Gajah Mada memberikan
kontribusi pada hukum adat, diantara usaha yang dilakukan patih Gajah Mada
yaitu membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara.
Misalnya soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara.
Keputusan pengadilan pada masa itu disebut: Jayasong (Jayapatra), Gajah
Mada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu “Kitab Hukum Gajah Mada”.3
Setelah kerajaan-kerajan bercorak Hindu dan Budha tersebut
runtuh, kemudian di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam.
Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke–7 M
atau bertepatan dengan abad ke-1 H, ada juga yang berpendapat pada tahun
ke-30 H atau bertepatan dengan tahun 650 M. Ketika wilayah Nusantara
dikusai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah
kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan
1 Suatu zaman dimana pendahulu atau nenek moyang kita masih memegang adat istiadat
asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. 2 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Khairul Bayan, 2004),
h. 202. 3 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Khairul Bayan, 2004),
h. 203.
39
mempunyai peran dalam hukum keluarga sebagai piñata agama Islam dengan
cara mengangkat penghulu sebagai kadi atau disebut juga penengah secara
syariah dan pemberi fatwa – fatwa agama. Manifestasi dari ketentuan ini dapat
dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang
dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Lembaga
Pemasyarakatan.4
Di Aceh Utara, Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran hukum
Islam bermazhab Syafi’i pada abad ke-13 Masehi 5. Di abad ke-15 dan 16-M
di pantai utara Jawa, telah berdiri Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak,
Kerajaan Jepara, Kerajaan Tuban, Kerajaan Gresik dan Kerajaan Ngampel6.
Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para
pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang
peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum
keluarga/perkawinan7. Sementara itu, di Indonesia bagian timur telah berdiri
kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Gowa, Kerajaan Ternate, dan
Kerajaan Bima. Mayoritas masyarakat Islam di wilayah itu diperkirakan
menganut hukum Islam yang beraliran Mazhab Syafi’i8.
Islam membawa hukum ke tanah nusantara, khususnya membawa
hukum keluarga, bahwa beberapa kerajaan mengadopsi hukum keluarga Islam
untuk rakyatnya.9 Kemudian masyarakat merujuk kepada orang-orang yang
ahli dalam bidang agama Islam sebagai tempat memecahkan persoalan seputar
hukum Islam, khususnya hukum keluarga Islam.10
4 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana,
2012), h. 11.Lihat juga: Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan
Sosial Politik di Indonesia, (Malang, Bayumedia, 2005), h. 19 5Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang,1976), h.53. 6Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang,1976), h.145-155 7 Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.70. 8 Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai
Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h.197.
9 Terutama dalam hukum perkawinan, perceraian dan waris. Lihat: Mesraini, Hak-hak
Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dan Malaysia,
(Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren, 2008), cet ke-1, h.50.
10 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002),
h.38.
40
1.2. Sejarah Hukum Keluarga di Masa Penjajahan Indonesia
Pada tahun 1596, Belanda memasuki perairan Indonesia melalui
Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Kebijakan yang telah
dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah
kekuasaanya. Kedudukan hukum keluarga Islam telah ada dan tetap di
masyarakat sehingga pada saat itu hukum keluarga Islam diakui oleh penguasa
VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan fasilitas agar hukum
keluarga Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya.
Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan
membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah mereka
sendiri. Untuk menyempurnakan perannya, mereka berusaha untuk mengikat
masyarakat jajahannya dengan hukum dan badan peradilan yang mereka
bentuk. Namun faktanya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat
berjalan, sehingga Belanda memutuskan membiarkan lembaga-lembaga asli
yang ada dalam masyarakat terus berjalan selama hampir dua abad
menjalankan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam
masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya.11
Fasilitas yang diberikan oleh VOC pada tahun 1760 mesehi yaitu
menerbitkan buku-buku hukum keluarga Islam untuk menjadi pegangan para
Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang
diterbitkan adalah Al-Muharrar di Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang
ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi syarah
oleh Syekh Arsyad Al-Banjary dengan judul “Sabilul Muhtadin” yang
diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar Masin,
kemudian kitab “Sajirat Al-Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah
Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.12
11 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h. 49-
50. 12 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 12. .Lihat juga:
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia,
(Malang, Bayumedia, 2005), h. 34
41
VOC pernah menghimpun hukum keluarga Islam yang disebut
dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya.13 Kemudian
membuat kumpulan hukum keluarga seperti hukum perkawinan dan hukum
kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar kususnya di
daerah Bone dan Gowa.14
Adapun kitab hukum lain yang juga dibuat pada zaman VOC di
antaranya adalah hukum-hukum Jawa yang diwakili oleh Babad Tanah Jawi,
Babad Mataram, dan Papakem Cirebon, pada abad ke-16 atau pada tahun
1768. Berisikan tentang kumpulan hukum Jawa tua yang semula merupakan
kompilasi ketentuan-ketentuan hukum Hindu, kemudian mengalami
perubahan-perubahan yang tampak adanya pengaruh Islam.15
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun 1800-
1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada
pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya
mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.16
Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia,
muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van
Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah
undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini dikenal dengan teori
“Recepcio in Complexu” yang bertepatan pada tahun 1855, diperkuat dan
didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui pasal
75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).17
Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak
sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-
13 Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 11. 14 Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
(jurnal Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982), h. 101.
15 M. Atho` Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Edisi dwibahasa, (Jakarta: INIS, 1993) h. 35.
Lihat juga Mesraini, Hak-Hak Perenpuan Pasca Cerai:Studi Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia dan Malaysia, h. 19.
16Mahadi, Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia: Sebuah Catatan Sejarah sampai
Tahun 1882, h. 101. 17 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h.52.
42
tengah masyarakat Indonesia bukan hukum keluarga Islam, melainkan hukum
adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori Receptie.18
Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui hukum keluarga
Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah
yang diakui.19 Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama)
dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan
lahirnya peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia.
Seandainya ajaran Islam telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka
tentu tidak terlalu banyak menjadi persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa
melangsungkan pernikahan melalui Penghoeluegerecht.
Dalam Indesche Staatsregeling (IS)20 peraturan ini siapapun bisa
menundukkan diri terhadap undang-undang Eropa, baik karena kehendak
mereka sendiri maupun secara bersama. Ini artinya peradila Islam telah
terbentuk dan seorang muslim atau muslimah boleh menikah dengan
menggunakan BW sebagai landasan hukumnya, sementara BW/KUH-Perdata
sendiri tidak mengatur tentang hukum nikah beda agama. Maka dapat
disimpulkan bahwa undang-undang yang ada ketika itu tidak protektif
terhadap umat Islam, karena membuka peluang bagi terjadinya nikah beda
agama dan pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk muslim maupun
muslimah.21
18 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h.54. 19Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis: ”..sebelum hukum untuk bangsa
Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang
berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”. Lihat: Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
PT. Intermasa, 1987), h. 11 20Dalam Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa
Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/
Kitab UndangUndang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun
dengan perubahan-perubahan...”.Kemudian dalam ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan
orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama
dengan bangsa Eropah, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa
Eropa...”. Lihat: Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), h. 12.
21Sebab pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling menyatakan, bahwa perkara-perkara
perdata yang timbul di antara orang-orang Islam diadili oleh Pengadilan Agama Islam, apabila
hukum adat mereka menentukannya, kecuali jika sesuatu undang-undang ditetapkanlain. Lihat: R.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1974), h. 24.
43
Jika diamati secara seksama sebenarnya dari dua pasal di atas
nampak jelas bagaimana upaya kolonoal Belanda berupaya menundukkan
masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara paksa karena
dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan halus.
Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama)
dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada
peraturan yang bersifat megikat dan memaksa bahwa umat Islam harus
mengurus masalah pernikahannya melalui penghoeluegerecht. Yang ada
malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH
Perdata sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk
golongan warga negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga
yang berasal dari Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya
disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda.
Sebagaimana dalam Indesche Staatsregeling pasal 13122;
Sementara penduduk asli Belanda mayoritas menganut agama
Kristen, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung, kebijakan
hukum keluarganya pasti terpengaruh atau bahkan mendukung ajaran Kristen.
Contohnya adalah di dalam pada pasal 27 dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, bab romawi empat yang sama pada bagian pertama (tentang
syarat-syarat perkawinan) yang intinya sama sekali melarang poligami.
Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25
Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar
segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan
mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.23
Pada 1937 Masehi, Pemerintahan Hindia Belanda berencana
menyusun pendahuluan Ordonansi Hukum Perkawinan tercatat
(onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok
isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan
22 Indesche Staatsregeling pasal 131: ”Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh)
perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi)”. 23 Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan,
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), h. 9-10.
44
perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama
dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.24 Ordonansi tersebut
dirancang hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama
Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Ordonansi mengandung hal-
hal yang bertentangan dengan hukum Islam kemudian ditolak oleh organisasi
Islam. Bahkan suara kaum Ibu yang setuju tidak cukup kuat sehingga rencana
ordonansi tersebut batal dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).25
Sampai berakhirnya masa penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda
tidak berhasil membuat undag-undang yang berisi hukum materil tentang
perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Peraturan hukum
materil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah
Kolonial, hanyalah berupa peraturan hukum perkawinan yang berlaku untuk
golongan-golongan tertentu yaitu: Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI)
yang berlaku untuk masyarakat pribumi Indonesia yang beragama Kristen,
Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga
keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.26
Sedangkan peraturan hukum perkawinan bagi umat Islam yang
sempat ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial hanyalah berupa peraturan
hukum formal yang mengatur tata cara perkawinan sebagaimana terdapat
dalam kitab-kitab fikih yang dikarang oleh ulama-ulama di kalangan umat
Islam. Demikian dapat disimpulkan, sebelum datangnya Belanda ke
Indonesia, hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Islam. Kemudian
dengan kedatangan Belanda ke Indonesia, pemberlakuan hukum Islam
24 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), h. 77. 25 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), h. 85. 26 Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2013), h. 100.
45
berkurang sedikit demi sedikit, yang akhirnya hanya diberlakukan untuk
kasus-kasus yang sangat terbatas.27
1.3. Sejarah Hukum Keluarga di Masa Orde Lama
Pemerintahan dalam kepemimpinan orde lama (1945 – 1965)
memiliki keinginan membentuk undang-undang perkawinan yang berlaku
bagi seluruh bangsa Indonesia, ternyata belum juga terwujud. Beberapa
peraturan hukum perkawinan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda masih
tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia menurut golongannya masing-
masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai berikut:28
1. Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum
perkawinan Islam.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi
Perkawinan Kristen (HOCI).
4. Bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab undang-
undang Hukum Perdata (BW).
5. Bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.
Bagi yang beragama Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa
dan Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam praktik,
jarang dijumpai permasalahan-permaslahan yang sulit dalam perkawinan
mereka. Ini berbeda dengan golongan Islam yang belum memiliki kodifikasi
hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh umat Islam
masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munâkahât karya mujtahid dari
Timur Tengah seperti imam Syafi’i misalnya. Pemahaman ummat Islam
Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munâkahât tersebut sering tidak seragam,
27Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h.
40
28R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur,
1974), h. 14
46
sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-
anak, kawin paksa, serta penyalahgunaan hak talak dan poligami.
Keadaan demikian rupanya mendapat perhatian dari pemerintah
Republik Indonesia, di tahun 1946, Pemerintah RI menetapkan Undang-
undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang
berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI
di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera.29
Kemudian diperkuat dengan didukung oleh Instruksi Menteri
Agama No: 4 tahun 194730 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah
(PPN).31
Pada Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar
Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rancangan
undang-undang perkawinan. Akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950
dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober
1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak
dan Rujuk bagi umat Islam.32 Tugas mereka adalah mengupayakan dalam
menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat
menampung semua hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
pada waktu itu. Adapun keanggotaan kepanitiaan rancangan undang-undang
tersebut terdiri dari orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum,
hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku
Hasan.33
29 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), h. 96.
30 berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup
umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya
apabila terpaksa bercerai, selama masa iddah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai
untuk rujuk kembali. 31 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), h 78-79. 32Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang 1978), hal. 9. 33 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), h. 176.
47
Tahun 1952, panitia telah membuat suatu RUU Perkawinan yang
terdiri intinya berisikan peraturan umum hukum keluarga, yang berlaku untuk
semua golongan dan agama dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur
hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada
tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum
kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-
masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal dan hal-
hal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953.34 Rancangan yang
dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah
mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain:
1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak,
untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi
laki-laki dan 15 bagi perempuan
2. Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang
berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga
dapat memenuhi syarat keadilan;
4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi
milik bersama;
5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan
alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam
peraturan Hukum Islam;
6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan
mengesahkan anak, hak dan kewajiban orangtua terhadap anak,
pencabutan kekuasaan orangtua dan perwalian.35
34 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), h. 177. 35 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), h. 178-179.
48
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak
dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam
rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-
Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku:
1. Undang-Undang Pokok yang berisi semua peraturan yang berlaku bagi
umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut
agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan
golongan Kristen Protestan;
3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk
suatu golongan agama agama.36
Pada tahun 1954 melalui Undang-Undang No. 32 tahun 1954, UU
No. 22 tahun 1946 ditetapkan berlaku bagi seluruh wilayah bagian di
Indonesia. Di tahun 1954 panitia berhasil membuat susunan RUU tentang
Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri
Agama kepada Kabinet pada bulan September 1957 dengan penjelasan masih
akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai
permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah
mengenai soal undang-undang perkawinan itu.37
Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan
tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di
bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting
diantaranya keharusan untuk menjalankan monogami, setidak-tidaknya bagi
dunia Islam di Indonesia itu adalah sebuah masalah yang menggemparkan
bahwa didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan. Pemerintah sudah
36 T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,
Medan : Mestika, 1977, hal. 180. 37 T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,
Medan : Mestika, 1977, hal. 180..
49
memberikan reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya
mengatur perkawinan Islam.38
Pada Oktober 1959, RUU Soemari tersebut ditarik kembali oleh
para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah
anggota DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk
dibicarakan. Para anggota Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama
terhadap asas monogami yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah
tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang
dipergunakan untuk membenarkan poligami.39 Alasan itulah sebagai pokok
permasalahan faktor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut
untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor ekternal yang
kemudian muncul, yaitu terjadinya perubahan sistem ketatanegaraan RI akibat
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.40
Sampai pemerintahan orde lama berakhir, undang-undang
perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga terbentuk,
tuntutan untuk segera dibentuk undang-undang perkawainan terus
bermunculan, baik yang datang dari pihak pemerintah sendiri maupun yang
datang dari organisasi kemasyarakatan seperti misalnya dari Kongres Wanita
Indonesia, Musyawarah Nasional Untuk Pekerja Sosial (1960), Musyawarah
Kesejahteraan Keluarga (1960), dan Konferensi BP4 Pusat (1962).41
38 J. Prins, Hukum Perkawinan di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu, ( Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982), h. 19-20. 39 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, (Bandung:
Mandar Maju,2002),h.196-197. 40 T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,
(Medan : Mestika, 1977), h. 98. 41 Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 9.
50
1.4. Sejarah Hukum Keluarga di Masa Orde Baru
Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen
(DPR-GR) membahas kembali RUU perkawinan, yaitu:42
1. RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama,
yang diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967.
2. RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen
Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September
1968.
Pembahasan kedua RUU ini pun pada akhirnya mengalami
kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang
menyangkut hukum agama.43 Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok
pikirannya mengenai RUU Perkawinan” itu yang dimuat dalam harian
Operasi edisi (14 s/d 18 April 1969) bahwa mereka kontra atas ketentuan
tersebut. 44
Pendirian Fraksi katolik tersebut mendapatkan tanggapan dari
Hasbullah Bakry di saat waktu itu bertugas sebagai Kepala PUSROH Islam
POLRI dengan menuangkan tanggapan tersebut di harian Pedoman 1-8-
1969:45
42 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992), h. 103. 43 Sungguhpun wakil golongan katolik sangat kecil jumlahnya (hanya 8 dari 500
anggota), mereka menjadi sebab kemacetan pembahasan kedua RUU tersebut. Sebab menurut tata
tertib Parlemen ketika itu tiap keputusan harus mufakat, Deliar Noor, Administrasi Islam di
Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), h. 98. 44Di dalam redaksi yaitu: “…..tjara pengaturan perkawinan sebagaimana ditentukan oleh
kedua Rantjangan undang-undang adalah tidak sesuai dengan hakekat Negara Pantjasila, hal jang
demikian berarti bahwa ada perubahan dasar Negara. Negara tidak lagi berdasar pantjasila tetapi
berdasarkan agama; hal mana tjotjok dengan perinsip jang terkandung dalam Piagam Djakarta”.
Lihat: H.M Rasjadi, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1974), h. 34. 45Dalam redaksi yang berbunyi: “Dan apabila Undang-undang ini tidak djadi, maka partai
Katolik tidaklah mentjapai tudjuan politiknya djuga. Undang-undang jang mengatur perkawinan
dengan predikat aagama jang dianut warganja itu memang sudah ada sejak sebelum pantjasila
diresmikan dan telah diperkuat oleh Negara Pantjasila. Dan ini tidak perlu diartikan Pepublik
Indonesia lalu telah berobah menjadi Negara Agama. Sebaliknja dengan penolakan partai Katholik
itu, warga Indonesia jang berakal sehat, dapat menganggap sikap itu akan menghianati
kepentingan sosial bangsa Indonesia, menentang perbaikan nasib kaum Ibu jang kebetulan
beragama Islam.” Lihat: Hasbullah Bakry, Pengaturan Undang-undang Perkawinan Ummat
Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970), h. 122.
51
Pada Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman yang
telah merumuskan RUU Perkawinan, mengajukan kembali RUU tersebut
kepada DPR hasil pemilu tahun 1971, yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal.
Kemudian Presiden Soeharto dengan amanatnya menarik kembali kedua RUU
perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967 tersebut di
atas.46
RUU perkawinan 1973 itu ternyata mendapat perlawanan dari
kalangan Islam. Segenap organisasi dan tokoh Islam yang berkontibusi dalam
soal-soal yang menyangkut bidang agama, berpendapat bahwa RUU
Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan karenanya bertentangan pula
dengan Pansasila dan UUD 1945. Meskipun pada waktu itu pemerintah dan
DPR belum melakukan pembahasan internal, baik membentuk pansus maupun
panja. Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi-
fraksi di DPR, fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan satu-
satunya fraksi partai yang menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran
Islam. 47
Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan
berdatangan dari berbagai komunitas, baik dari ulama, masyarakat, maupun
pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi
Partai Persatuan Pembangunan, KH. Yusuf Hasyim48 yang telah mencatat
beberapa kekeliruan dalam RUU Perkawinan dan bertentangan dengan
Hukum Perkawinan Islam, yaitu dalam negara yang berdasarkan pancasila
yang berketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian.49
KH. Yusuf Hasyim menyampaikan hal tersebut bukan tanpa
alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI Nomor
46 Amanat Presiden No. R.02/P.U/VII/1973 tanggal 31 Juli 1973 perihal RUU tentang
perkawinan. Lihat: Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 55. 47 Amak FZ, Proses Undang-Undang Perkawinan. (Bandung: PT al Ma'arif, 1976), h. 7. 48 Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang yang juga menjadi anggota DPR
fraksi PPP unsur NU. 49 "Suara Sugiarto, Paralel dengan Doktrin Komunis RUU Perkawinan Bertentangan
dengan UUD 1945, (Jakarta: Surat Kabar Harian Abadi, 1973).
52
R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang
tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan dengan pendapat
KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA (Haji Abdul Malik bin Karim) juga
menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan
dengan ajaran Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa
yang dipelihara dalam syari’at itu ada lima perkara, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis
manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena
kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul, sedangkan zina
adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan
kawin dengan saudara sesusuan, namun jika dalam draf RUU Perkawinan
disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkan oleh negara. Anak yang
dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah,
dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam
memandang anak itu adalah anak zina.50
Suara dari perguruan tinggi Islam juga dominan dalam menyikapi
draf RUU Perkawinan, IAIN Sunan Kalijaga menyampaikan pendapat
akademisnya terkait proses penggodokan RUU Perkawinan inisiatif
pemerintah. Dalam penelitian Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, terdapat 14 pasal RUU Perkawinan yang dinilai bertentangan
dengan Hukum Islam, antara lain tentang definisi perkawinan, peluang
poligami dan poliandri, tidak ada penegasan tentang pembatasan poligami,
pembatasan izin pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari
seorang, jangka waktu istri pergi tanpa kabar, soal wali, larangan perkawinan
karena hubungan pengangkatan anak, perihal perbedaan agama dalam
perkawinan, waktu tunggu (iddah), perihal larangan kawin lagi bagi suami
istri yang sudah bercerai untuk kedua kalinya, perihal pertunangan dan perihal
putusnya perkawinan.
50 Hamka. "RUU Perkawinan Yang Mengguncangkan.", Artikel, (Jakarta: Media
Dakwah, tt.)
53
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang
dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada masa
tersebut, sebenarnya secara hukum negara tidak bertentangan mutlak karena
masih melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis telah nukilkan pasal 2
ayat (1) RUU Perkawinan yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.51
Dalam pandangan para ulama, perkawinan dapat dikatakan sah
apabila pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai
wanita dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam
tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari
sekedar menuruti kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak menentukan
sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kemudian, yang menarik untuk disimak
adalah ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan.52
Menyikapi draft RUU Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut,
dalam musyawarah para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di
Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri Sjansuri, memutuskan usulan
perubahan RUU Perkawinan. Suatu RUU yang sudah nyata bertentangan
dengan hukum Islam apabila tetap dipaksakan juga menjadi undang-undang,
resikonya adalah undang-undang tersebut sulit untuk bisa berlaku efektif
dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam: sebab, bagi ummat Islam
menaati suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum Islam, artinya
dengan melakukan perbuatan haram.53 Selain itu, bila dilihat dari segi hukum
51 pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah syah apabila
dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat
perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini
dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak
bertentangan dengan UU ini.
52Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi:"1) Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. 2) Anak yang
dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2
pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan”. 53 Hamka dalam tulisan di harian Kami sebagaimana dikutip oleh Amak FZ, menyatakan
bahwa kalau RUU Perkawinan 1973 tetap dipaksakan juga menjadi undang-undang, maka para
ulama akan mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam yang melangsungkan perkawinannya
menurut undang-undang itu dan hanya wajib melangsungkan perkawinan secara Islam (Amak FZ,
Proses Undang-Undang Perkawinan. (Bandung: PT al Ma'arif, 1976), h. 17.
54
ketatanegaraan, suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum
(agama) Islam, merupakan pengingkaran atas jaminan yang telah diberikan
oleh UUD 1945 pada Pasal 29, yaitu jaminan bagi bangsa Indonesia untuk
menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Atas dasar inilah maka umat
Islam menolak RUU Perkawinan tersebut.
Penolakan umat Islam terhadap RUU tersebut, ternyata mendapat
perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto, ketika menerima delegasi partai
/ Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipimpin oleh KH. Bisri
Syamsuri (Ketua DPP-PPP) dan KH. Masykur (Ketua F-PP), sebagaimana
yang diberitakan dalam harian Abadi (26-11-1973), memberikan perhatian
terhadap pokok-pokok pikiran kelompok ini. Serangkaian lobbying-lobying
kemudian diselenggarakan oleh para penguasa tingkat tinggi dengan Fraksi
Persatuan Pembangunan bersama-sama Fraksi ABRI sebagai realisasi dari
pertemuan dari pertemuan antara delegari Fraksi PP tersebut dengan Presiden
Soeharto. Sehingga, dicapailah suatu konsensus antara kedua Fraksi tersebut.54
Adanya perubahan terhadap RUU tersebut sebagai pelaksanaan
dari hasil Konsensus di atas, ternyata kurang disukai oleh kelompok Nasrani.
Dalam pandangannya kelompok Nasrani berpendapat bahwa antara hukum
negara dan hukum agama harus dipisahkan. Atau dengan kata lain kelompok
ini tidak menyetujui pentransformasian norma hukum agama menjadi norma
perundang-undangan negara. Pandangan ini sesuai dengan doktrin Gereja,
yang menganut faham pemisahan antara urusan agama (gereja) dengan urusan
Negara. Urusan negara diatur oleh hukum negara dan urusan agama (gereja)
diatur oleh hukum agama (gereja).55
54 Konsensus tersebut yang pada pokoknya memuat bahwa semua Hukum agama Islam
tentang yang telah termuat dalam RUU tersebut tidak akan dikurangi, kemudian sebagai
konsekuensinya maka semua peraturan pelaksananya juga tidak akan diubah, tidak hanya itu saja
semua hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU
tersebut dihilangkan. Dengan adanya Konsensus tersebut maka draft RUU tersebut mau tidak mau
harus diubah dengan mengacu kepada hal-hal yang telah disepakati dalam Konsensus, Arso
Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), h. 28. 55 Mohammad Daud Ali, “Perkawinan Campuaran”, Majalah Panji Masyarakat, No.709,
1-10 Februari 1992, h. 20.
55
Sedemikian sukarnya perdebatan mengenai RUU perkawinan
tersebut, dimana pada saat itu pembicaraan mengenai RUU tersebut
merupakan topik yang sangat hangat, dari semua kalangan baik itu dari Islam,
Kristen, Organisasi Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi
Kewanitaan dan tokoh – tokoh tingkat tinggi menaruh perhatian yang sangat
besar sebelum RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang.
Jika dilihat dari sejarahnya pada waktu maka pembicaraan RUU
perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan melalui empat
tingkat. Tingakat pertama, merupakan penjelasan pemerintah atas RUU
tersebut. Tingkat kedua, merupakan pemandangan umum masing-masing
Fraksi atas RUU tersebut dan tanggapan Pemerintah atas pandangan umum
itu. Tingkat tiga, berupa rapat Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX)
untuk membahas RUU tersebut, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu
panitia yang diberi nama panitia kerja RUU perkawinan. Tingkat empat,
pengambilan keputusan (pengesahan RUU perkawinan) dengan didahului
pendapat terakhir (stemmotivering) dari setiap Fraksi.56
Pada tahun 1973, Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan
UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus
umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi
sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya
mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya
Pemerintah menarik kembali kedua rancangan tersebut dan mengajukan RUU
Perkawinan yang baru pada tahun 1973.
Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang
masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh
pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang
Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat empat di atas, untuk
disahkan menjadi undang-undang. Dalam sidang tersebut semua Fraksi
56 Fraksi-fraksi ini merupakan salah satu alat kelengkapan DPR, yang dipandang
mencerminkan konstelasi pengelompokan pemikiran dalam masyarakat. Ada empat Fraksi dalam
DPR yaitu : 1) Fraksi Karya Pembangunan (FKP), 2). Fraksi ABRI, 3) Fraksi Persatuan
Pembangunan (FPP), dan 4). Fraksi Demokrasi Pembanguan (FDP)
56
mengemukakan pendapatnya, demikian juga pemerintah yang diwakili oleh
menteri Kehakiman memberikan kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU
tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR-RI setelah memakan waktu
pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan
sebagai Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. LN
Nomor 1 tahun 1974, tambahan LN Nomor 3019/1974.Pada tanggal 22
Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep
RUU Perkawinan yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan.
Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang
tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal
2 Januari 1974.57
1.5. Sejarah Hukum Keluarga di Masa Reformasi
Pada tahun 1998 Rezim Orde Baru berakhir, dengan mundurnya
Presiden Soeharto sebagai Presiden, akibat desakan dari mahasiswa. Dari
sejak lengsernya pemerintahan orde lama tersebut, pemerintahan berikutnya
mendapat istilah dengan “era reformasi” sampai dengan sekarang ini.
Pada era reformasi hukum perkawinan mendapat suatu perubahan
yang sangat fenomenal dengan diubahnya bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-
undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi.
Tepatnya pada hari Jumat, 17 Februari 2012 M, bertepatan dengan
tanggal 24 Rabî’ul Awwal 1433 H, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan
putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di Republik ini. Mahfud
sendiri menilai putusan MK ini sangat penting dan revolusioner.58 Sejak MK
mengetok palu, semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai
57 Untuk terlaksananya UU tersebut maka Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun
1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya
ternyata Pengadilan Agama sebagai lembaga yuridis yang menangani masalah perkawinan antara
orang-orang Islam ternyata dalam putusannya banyak yang disparitas dalam menerapkan hukum,
oleh karena ada hal-hal yang tidak ter-cover dalam UU perkawinan dan PP peraturan
pelaksananya, untuk menghendel hal tersebut maka melaui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan baku bagi para Hakim Peradilan Agama
dalam memutus perkara. 58M. Nurul Irfan, Status Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia Berdasarkan Putusan MK
No. 46/PUU-VII/2010, cet:. I, (Bandung: Fajar Media, 2012), h. 143-144
57
hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi
yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup
bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven.59
Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Dari masalah-masalah yang muncul seperti di atas menurut para
penulis, undang-undang perkawinan yang telah ada sekarang ini sudah kurang
sesuai dengan perkembangan zaman di Negara ini. Oleh karenanya
merumuskan kembali revisi Undang-Undang Perkawinan adalah sebuah
keniscayaan dalam konteks kekinian hukum bersifat dinamis selalu berubah-
ubah dalam ruang dan waktu.
Pemerintah sebagai penggagas sejak enam tahun yang lalu telah
mengusulkan RUU tentang Hukum Materil Peradilan Agama bidang
Perkawinan dan baru dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Tahun 2010. RUU tentang Hukum Materil Peradilan Agama
(RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB dan 156 pasal, yang pada pokoknya
59Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan uji materil terhadap
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Namun, MK hanya mengabulkan
sebagian dari permohonan Pemohon tersebut. “anak hasil zina harus dipertanggungjawabkan”
https://www.viva.co.id/berita/nasional/289731-mahfud-md-putusan-mk-justru-hindari-zina,
diakses pada Jum’at 17 Pebruari 2019, 11.10 WIB.
58
mengatur tentang Perkawinan, dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang
cukup signifikan karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam
RUU tersebut.
2. Praktik Poligami di Banda Aceh-Indonesia
Data perceraian seluruh Aceh dikumpulkan di Mahkamah Syariah
Provinsi Aceh, atau mahkamah tingkat banding. Angka yang paling tinggi
yaitu cerai gugat atau cerai yang digugat oleh seorang istri. Disusul isbat
nikah yang jumlahnya 3 ribu lebih, isbat nikah ini pendataan untuk pasangan
yang hilang akte nikah, atau belum ada buku nikah, kemudian cerai talak
yang diajukan oleh suami, jumlahnya ada seribu lebih. Kasus poligami yang
terjadi di Aceh, yang mendapat proses hukum hanya 17 kasus, sementara
yang terjadi di luar sana yang tidak ada proses hukum tidak ada dalam data,
sehingga tidak diketahui.60
Jumlah perkara yang diterima Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
Kelas I -A berdasarkan jenis di Kota Banda Aceh tahun 2017, diketahui
bahwa izin poligami selama 3 tahun terakhir hanya berjumlah satu saja
terhitung dari 2015-2017. Dan juga pembatalan perkawinan berjumlah tiga
dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dalam kasus isbat nikah di tahun 2017
berjumlah 40 dan di tahun 2016 berjumlah 43. Untuk mempermudah
pemetaan maka penulis membuat tabel agar lebih mudah untuk dipahami,
sebagaimana berikut ini:
Bulan Pembatalan
perkawinan Cerai talak Cerai gugat
Harta
bersama
Januari - 6 16 -
Februari - 7 16 -
60 H. Basri, Panitera Mahkamah Syariah Aceh, Banda Aceh, Interview Pribadi, 1 Oktober
2018; lihat juga: Ihan Nurdin, Acehtrend.com, 15 maret 2019,
https://www.acehtrend.com/2019/01/22/selama-2018-hanya-17-kasus-poligami-tercatat-di-
mahkamah-syariah/
59
Maret - 9 10 -
April - 12 23 -
Mei - 3 14 -
Juni - 5 12 -
Juli - 6 15 1
Agustus - 15 22 -
September - 6 13 -
Oktober - 11 4 2
November - 8 16 2
Desember - 10 23 -
Jumlah
di Tahun
2017
- 98 189 5
Jumlah
di Tahun
2016
3 73 196 7
Jumlah
di Tahun
2015
- - - -
Bulan Isbat
nikah Dispensasi nikah
Izin
poligami Wali adhal
Januari 3 - - -
Februari 4 - - -
Maret 4 - - -
April 5 - - -
Mei 3 - - -
Juni 1 - - -
Juli 5 - - -
60
Sementara di tabel di bawah ini ada faktor poligami tidak sehat
penyebab perceraian di Mahkamah Syar’iyah Kelas I - A di Banda Aceh,
selama tiga tahun terakhir, terhitung dari tahun 2-15-2017 hanya berjumlah
satu saja.61
61 BPS Kota Banda Aceh, Kota Banda Aceh dalam Angka Banda Aceh Municipality in
Figures 2018, (Aceh: CV Tamitra Perdana, Oktober 2018), h. 157
Agustus 1 - - -
September 5 - - -
Oktober 4 - - -
November 1 - - -
Desember 4 1 1 -
Jumlah
di Tahun
2017
40 1 1 -
Jumlah
di Tahun
2016
43 - - 6
Jumlah
di Tahun
2015
- - - -
Bulan
Poligami
tidak
sehat
Krisis
akhlak Cemburu
Tidak bertanggung
jawab
Januari - - - 1
Februari - 1 - 4
Maret - - - 3
April - - - 2
Mei - - - -
61
Tabel di atas yang berkaitan tentang poligami menunjukkan bahwa
kecilnya kasus perihal poligami dan efektifnya UU No. 1 Tahun 1974
menyulitkan dan kecil peluang untuk poligami.62
3. Ketentuan Poligami Menurut Hukum Keluarga di Indonesia
1. Poligami dalam Pandangan Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri bagi suami yang
bermaksud ingin menikah lagi dengan wanita lain (berpoligami) adalah
salah satu syarat untuk mengajukan permohonan izin berpoligami ke
Pengadilan Agama (pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam KHI Alasan
Syarat dan prosedur Poligami Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat 62 Jamil Ibrahim, Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh, Banda Aceh, Interview Pribadi, 1
Oktober 2018.
Juni - - - -
Juli - - - 3
Agustus - - - 3
September - - - 2
Oktober - - - 3
November - - - 3
Desember 1 - - 1
Jumlah di
tahun
2017
1 1 - 25
Jumlah di
tahun
2016
- 10 - 43
Jumlah di
tahun
2015
- - - -
62
masalah Poligami ini pada bagian IX dengan judul beristri lebih dari
seorang yang diungkap dari Pasal 55 sampai 59.63
Poligami diperbolehkan di Indonesia. Akan tetapi dengan
persyaratan yang sangat ketat dan selektif. Hal ini disebutkan dengan tegas
dalam Pasal 3 ayat 1 (satu) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh
memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita
hanya boleh memiliki seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.64
Selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan
Pasal 5 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus
mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon
suami mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang, sebagaimana
disebutkan dalam aturan undang-undang bahwa:65
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-Undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang apabila:
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
63 Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam
lingkungan Pengadilan Agama, (Cet.III; Jakarta: Yayasan AlHikmah, 1993), h.124.
64 Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih satu,
jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, dalam memberi putusan
65 Pasal 4 Undang-Undang No 1 Tahun 1974
63
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan di atas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi
seorang suami untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam
menegaskan pula bahwa:66 Untuk dapat mengajukan permohonan ke
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-
Undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.
d) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
2. Poligami dalam Pandangan Peraturan Pemerintah
Perkawinan seorang pria untuk kedua kalinya dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu mendapatkan izin kawin untuk kedua kalinya
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur lebih lanjut
tentang tatacara seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
66 Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merupakan syarat fakultatif yang harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin dari pengadilan. Lihat pada pasal 5 Undang-Undang No 1 Tahun 1974
64
(berpoligami). Pasal-pasal tersebut antara lain, tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:67
“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan”.
Selanjutnya alasan yang memungkinkan bagi seorang suami untuk
kawin lagi.68 Secara lengkap tentang Pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan menyatakan:69
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami kawin lagi
adalah:
a) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ada atau tidaknya dari persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup, istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan;
a) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
b) Surat keterangan pajak penghasilan; atau
c) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. Ada
atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji yang
dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaa Undang-Undang Perkawinan menyebutkan
bahwa: “Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40
dan Pasal 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang
bersangkutan.”
67 Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
68 Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
69 Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
65
Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
menyebutkan bahwa:70 “Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup
alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari
seorang”.
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan menyebutkan
bahwa:71 “Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum
adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”
3. Poligami Pegawai Negeri Sipil dalam Peraturan Pemerintah
Pegawai Negeri Sipil (PNS) boleh berpoligami mempunyai istri
lebih dari satu jika mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai
persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 juga diatur secara khusus.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang diubah dan
disempurnakan beberapa pasalnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990.72
Kedua Peraturan Pemerintah ini berisi aturan-aturan khusus bagi
PNS dalam hal hendak melaksanakan perkawinan dan perceraian juga
poligami. Izin untuk berpoligami hanya dapat diberikan apabila memenuhi
sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat
kumulatif73. Syarat Alternatif tersebut adalah sebagai berikut: 74
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
70Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
71 Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 72 Rochayah Machali, Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: PT. Mizan, 2005), h.
36.
73 Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 74 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983.
66
b) Istri Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan,
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Untuk syarat kumulatif yang harus dipenuhi keseluruhannya oleh
suami yang akan berpoligami yaitu sebagai berikut:75
a) Adanya persetujuan tertulis dari istri,
b) Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan mempunyai
penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang
istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat
keterangan pajak penghasilan,
c) Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri sipil yang
bersangkutan bahwa Ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.
Pegawai negeri sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat atasan, betapa pentingnya
arti dari sebuah izin dari pejabat atau atasan untuk melakukan poligami.
Tanpa izin dari atasan pegawai negeri sipil tersebut tidak akan
melangsungkan poligaminya, sebab kewajiban dapat diartikan sebagai hal
yang tidak bisa diganggu gugat, sesuatu yang wajib dilaksanakan, sesuatu
hal yang harus dilaksanakan, jika melanggar akan mendapatkan
hukuman.76
Adapun prosedur untuk melakukan poligami terdapat pada
ketentuan tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan77, Pasal 40
yang memberikan pengadilan wewenang dalam memeriksa ada atau
tidaknya alasan yang menunjukkan bahwa suami kawin lagi, ada tidaknya
izin istri, adanya kemampuan suami untuk berlaku adil pada semua
75 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983.
76 Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990
77 pasal 40 hingga 44 tentang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun
1975
67
istrinya, serta adanya persetujuan secara lisan. Hal ini tercantum pada isi
pasal berikut:78 Pengadilan ini memeriksa mengenai :
a) Ada atau tidak adanya alasan yang menunjukkan seorang suami
kawin lagi, adalah
1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri.
2) Bahwa istri mendapat cacat yang sulit disembuhkan.
3) Bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan.
b) Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri secara lisan
maupun tertulis.
c) Apabila persetujuan itu secara lisan, maka ia harus diucapkan
depan pengadilan.
d) Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri dengan anak-anak dengan
memperlihatkan
1) Surat keterangan penghasilan suami yang ditanda
tangani oleh bendahara di tempat kerja.
2) Surat keterangan pajak penghasilan.
3) Surat tidak ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri dan anaknya dengan pernyataan atau janji
dari suami yang dibuat di dalam bentuk yang ditetapkan
itu.
Adapun sanksi-sanksi yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil
(PNS) bagi yang melanggat pelanggaran, salah satunya melakukan
poligami tanpa izin Istri dan atasannya. Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1990, Pasal 14 berbunyi:
“Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang
bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai
suami tanpa ikatan perkawinan yang sah.”
PP 45 Tahun 1990 Pasal 15 (1) berbunyi:
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih
kewajiban/ketentuan Pasal 2 ayat (1),ayat (2), Pasal 3 ayat (1),
Pasal 4 ayat (1), Pasal l4, tidak melaporkan perceraiannya dalam
jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai
terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang
kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya
satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan,
78 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975,
www.djpp.depkumham.go.id, diakses pada tanggal 10 Januari 2019, h. 12.
68
dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 198079 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil;
4. Poligami dalam Pandangan Kompilasi Hukum Islam
Pada dasar aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan
kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1074 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Keberanian KHI
mengambil alih aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis
aktualisasi hukum Islam bidang poligami. Keberanian untuk
mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami didasarkan atas alasan
ketertiban umum. Lagi pula, jika diperhatikan ketentuan Surat Al-Nisa’:3
derajat hukum poligami adalah kebolehan. Kebolehannya apabila
ditelusuri sejarahnya tergantung pada situasi dan kondisi masa permulaan
Islam. Pada pasal 55 dinyatakan :
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Lebih lanjut dalam KHI Pasal 56 dijelaskan :
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohnan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam bab VIII Peraturan
Pemerintah nomor 9 Tahun 1975.
79 PP No 30 Tahun 1980, Pasal 6 (4) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
a) penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1
(satu) tahun;
b) pembebasan dari jabatan;
c) pemberhentian dengan hormat bukan atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri
Sipil; dan
d) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
69
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Dari Pasal-pasal di atas, KHI sepertinya tidak berbeda dengan
Undang-Undang Perkawinan. Kendatipun pada dasarnya Undang-undang
perkawinan dan KHI mengambil prinsip monogami, namun sebenarnya
peluang yang diberikan untuk poligami juga terbuka lebar. Pada pasal 57
dijelaskan :
Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila :
1. Istri tidak menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tampak pada pasal 57 KHI di atas, Pengadilan Agama hanya
memeberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana disebut dalam Pasal 4 Undang-
undang Perkawinan. Jadi pada dasarnya pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam Pasal 58 ayat (1)
KHI menyebutkan: “Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat
(2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi
syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974.”
Selanjutnya pada Pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya
wewenang pengadilan agama dalam memberikan izin. Sehingga bagi istri
yang tidak mau memberi persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami,
persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama. Lebih
lengkapnya bunyi Pasal tersebut sebagai berikut :
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan
izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu
alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama
dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memaksa dan
70
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama,
dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding
atau kasasi.
Masalah enggannya istri memberikan persetujuan dapat saja terjadi
kendatipun ada alasan yang digunakan suami seperti salah satu alasan
yang terdapat pada Pasal 57. Namun tidak jelasnya ukuran alasan tersebut,
contohnya, tuduhan suami bahwa istrinya tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai seorang istri, si istri dapat menyangkal bahwa ia telah
melaksanakan tugas dengan baik, akibat tidak ada ukuran perdebatan bisa
terjadi dan istri tetap tidak mau memberikan persetujuannya. Dalam kasus
ini, Pengadilan Agama dapat memberi penetapan keizinan tersebut.
Tampak sekali posisi wanita sangat lemah.
Kendati demikian, terlepas dari kritik yang muncul berkenaan
dengan beberapa persoalan poligami, dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa perundang-undangan Perkawinan Indonesia tentang
Poligami sebenarnya telah berusaha mengatur agar laki-laki yang
melakuakn poligami adalah laki-laki yang benar-benar (1) mampu secara
eknomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang-pangan-
papan) keluarga (Istri-istri dan anak-anak), serta (2) mampu berlaku adil
terhadap istri-istrinya sehingga istri-istri dan anak-anak dari suami
poligami tidak disia-siakan. Demikian juga perundang-undangan
Indonesia terlihat berusaha menghargai istri sebagai pasangan hidup
suami. Terbukti, bagi suami yang akan melaksanakan poligami, suami
harus lebih dahulu mendapatkan persetujuan para istri.
Di sisi lain peranan Pengadilan Agama untuk mengabsahkan
praktik poligami menjadi sangat menentukan bahwan dapat dikatakan
satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengizinkan
poligami.
71
4. Status Perkawinan Akibat Poligami Ilegal di Indonesia
Apabila seorang suami Pegawai Negeri Sipil maupun masyarakat
pada umunya yang melakukan poligami ilegal maka pernikahan tersebut
tidak dianggap sah sebagai suami istri di mata hukum negara kecuali
melakukan isbat nikah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap
sehingga negara tidak dapat melindungi hak-haknya selayaknya seorang
istri.
Perlunya izin Pengadilan Agama agar poligami menjadi legal dan
istri mendapatkan hak-haknya secara kenegaraan. Jika seorang suami
Pegawai Negeri Sipil melakukan poligami secara tidak sah atau ilegal
maka perkawinan tidak sah bisa digugat di Pengadilan Agama sehingga
perkawinan tersebut akan dibubarkan sebab fasakh.80
Poligami ilegal sah secara agama tetapi tidak sah secara
kenegaraan, karena negara mengatur tentang poligami untuk semua
masyarakat Indonesia di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan
sangat banyak kemaslahatannya, jika kemaslahatan tidak dihiraukan maka
akan timbul banyak kemafsadatannya.
B. Poligami Menurut Hukum Keluarga di Pakistan
1. Sejarah Hukum Keluarga di Pakistan
Konsitusi pertama Republik Islam Pakistan yang diresmikan pada
1956 menetapkan bahwa tidak satu pun UU yang bertentangan dengan ajaran-
ajaran dasar Islam akan diberlakukan, dan UU yang demikian harus ditinjau
ulang dan direvisi agar sejalan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Konstitusi ini
dicabut pada 1958. Ketika Konstitusi 1956 dicabut, Pemerintah Pakistan
meresmikan Ordonansi Hukum Keluarga Islam 1961-yang didasarkan pada
rekomendasi yang disampaikan dalam laporan Komisi Nasional tersebut.81
80 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 3 ayat (2) dan pasal 4, dan Kompilasi Hukum Islam pasal 71, huruf (a)
81 Eleanor Abdella Doumanto, Pernikahan dan Perceraian: Paraktik Modern dalam
Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), (Bandung: Mizan, 2000), h.
346
72
Sejak sebelum merdeka, semasa masih berada di bawah jajahan
Inggris, orang-orang Islam di India itu telah memiliki sebuah UU tentang
hukum keluarga yaitu UU Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim
Personal Law Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait
tanah dan pertanian yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu
mengatur mengenai persoalan-persoalan keluarga dan waris. UU kedua yang
mengatur hukum keluarga bagi orang-orang Islam di India ialah UU
Perceraian Orang-orang Islam (Dissolution of Muslim Marriages Act)82 tahun
1939 yang juga memberikan kedudukan hukum lebih baik kepada perempuan
dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajukan gugatan
perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang dibenarkan.
Terdapat beberapa perundangan yang diberlakukan baik sebelum
maupun setelah merdeka yang terkait dengan hukum keluarga di Pakistan,
yaitu:83
1. Cast Disabilities Removal Act 1850;
2. Divorce Act 1869;
3. Christian Marriage 1872;
4. Majority Act 1875;
5. Guardians and Wards Act 1890;
6. Child Marriage Restraint Act 1929;
7. Dissolution of Muslim Marriages Act 1939;
8. (West Pakistan) Muslim Personal Law (Shariat) Application Act
1962;
9. (West Pakistan) Family Court Act 1964;
10. Offence of Zina (Enforcement of Hudood) Order 1979;
11. Law of Evidence (Qanun-e-Shahadat) Order 1984;
82 Perlu dicatat bahwa dalam daftar tersebut ada UU yang disebut dengan “Act” dan ada
pula yang disebut dengan “Ordinance”. Perbedaan antara keduanya ialah kalau Act adalah UU
yang disahkan melalui Parlemen, sedangkan Ordinance adalah berupa keputusan penguasa
(decree) dalam hal ini Presiden Pakistan selaku pemegang kekuasaan tertinggi baik karena negara
dinyatakan dalam keadaan darurat ataupun lainnya. Baik Act maupun Ordinance, kedua-duanya
sama-sama mempunyai kekuatan hukum memaksa. 83 http://www.ashraflawfirm.com/family.html, diakses pada tanggal 10-12-2018
73
12. Enforcement of Sharia Act 1991;
13. Dowry and Bridal Gifts (Restriction) Act 1976;
14. Prohibition (Enforcement of Hudood) Order 1979;
15. Offence of Qazf (Enforcement of Hudood) Order 1979;
16. Execution of Punishment of Wiping Ordinance 1979.
Pada saat pembentukkan Negara Pakistan, ketika itu Pakistan
masih mengadopsi hukum keluarga India sampai pada tanggal 14 Agustus
1947. UU Hukum Keluarga, yang diadopsi seperti berikut ini:84
a. UU Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Kasta Sosial Tahun
1850;
b. UU Perceraian tahun 1869 dan UU Perkawinan Kristen Tahun
1872
c. UU Orang Dewasa Tahun 1875
d. UU Perwalian dan Orang yang di Bawah Perwalian Tahun 1890
e. UU Validasi Wakaf Tahun 1913-1930;
f. UU Wakaf tahun 1923 (diamandemen di Propinsi Sind oleh UU
lokal, yakni UUNo.18/1935);
g. UU Pencegahan Perkawinan Anak Kecil tahun 1929;
h. UU Hukum Keluarga Islam (Syariah) Tahun 1937; dan
i. UU Perceraian Islam Tahun 1939.
Pada tahun 1961, Komisi Nasional negara itu merekomendasikan
beragam masalah keluarga agar melakukan penyempurnaan UU Hukum
Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat Komisi itu, suatu
ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga Islam disahkan
pada 1961.
Sistem hukum Pakistan dengan common law. Konsitusi pertama
Republik Islam Pakistan yang diresmikan pada 1956 menetapkan bahwa tidak
satu pun UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam akan
84 Azizah Y Al-Hibri, Pernikahan dan Perceraian: Landasan Hukum, dalam Ensikplopedi
Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), jilid 5, (Bandung: Mizan, 2000), h. 343-
346; lihat juga: Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Cauntries (history, text and
comparative analisys), (New Delhi, Academy Of Law And Religion, 1987), h.59
74
diberlakukan, dan UU yang demikian harus ditinjau ulang dan direvisi agar
sejalan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Konstitusi ini dicabut pada 1958.
Ketika Konstitusi 1956 dicabut Pemerintah Pakistan meresmikan Ordonansi
Hukum Keluarga Islam 1961-yang didasarkan pada rekomendasi yang
disampaikan dalam laporan Komisi Nasional tersebut.
Pada tingkat Negara bagian, parlemen Punjab adalah Negara
Bagian yang pertama menyusun rancangan peraturan pembaruan tentang
perkawinan. Secara nasional, langkah awal ke arah pembaruan hukum
keluarga itu dilakukan dengan pembentukan suatu komisi yang disebut
Komisi Hukum Perkawinan dan Keluarga (Marriage and Family Law
Commission) pada tahun 1955 yang diketuai oleh seorang hakim bernama
Badur Rashid dengan keanggotaan tujuh orang, termasuk tiga orang tokoh
perempuan dan seorang filosof, Khalifa Abdul Hakim. Pada bulan Juni 1956
Komisi telah menyelesaikan pekerjaannya dan menyampaikan laporan untuk
dijadikan bahan penyusunan UU Hukum Keluarga. Seorang anggota komisi
dari kelompok ulama konservatif, Maulana Ihteshamul Haq, membuat
pernyataan dissenting opinion karena isi laporan komisi itu dianggap
bertentangan dengan ajaran agama Islam atau sekurang-kurangnya Negara
telah melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap hukum Islam. Memang
sedikit aneh, karena terhadap Mesir yang melakukan pembaruan hukum
keluarga pada tahun 1929, ulama konservatif Pakistan Maulana Maududi
mendukungnya, tetapi ketika pembaruan serupa hendak diberlakukan di
Pakistan, ia menentangnya.85
Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 ternyata tidak semua
rekomendasi Komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga membuat
orang berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi antara
kelompok-kelompok Muslim modernis dan konservatif di Pakistan. Pada
tahun 1961, Komisi Nasional negara itu merekomendasikan beragam masalah
keluarga bagi penyempurnaan UU Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar
85 M. Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Pakistan (Antara Islamisasi dan Tekanan
Adat), (Jurnal Al-‘Adalah: Juni, 2014), Vol. XII, No. 1, h. 14
75
rekomendasi yang dibuat Komisi itu, suatu ordinansi yang dikenal sebagai
Ordinansi Hukum Keluarga Islam disahkan pada 1961. Suatu konstitusi baru
disahkan di Pakistan pada 1962, yang sekali lagi memberi mandat/amanat
kepada negara untuk tidak memberlakukan UU yang bertentangan dengan
ajaran-ajaran dasar Islam; dan Konstitusi ini mengakomodasi kembali ajaran-
ajaran dasar Islam seperti yang terdapat dalam Konstitusi terdahulu.86
Terdapat sejumlah hal penting yang diatur di dalam MFLO 1961
tentang hukum keluarga di Pakistan, yaitu:
1. Batas usia minimum perkawinan;
2. Kewajiban pencatatan perkawinan;
3. Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk
melakukan poligami;
4. Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang
agar ia dapat segera membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan
Hukam;
5. Ancaman sanksi atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin
dan biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya;
6. Kehadiran ahli waris pengganti;
7. Penyelesaian sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga
(family court); dan
8. Pemberlakuan kembali hukum Islam tentang hak pemilikan harta
terkait orang murtad.
2. Praktik Poligami di Lahore-Pakistan
Dalam sebuah buku berjudul The Islamization of the Law in Pakistan,
Rubya Mehdi menunjukkan bahwa pernikahan yang terjadi tanpa izin dari
Dewan Arbitrase pernikahannya tidak valid, tetapi ditolak pendaftaran resmi,
yang berarti bahwa setiap keluhan yang timbul dari perkawinan seperti itu
86Fristia Berdian Tamza, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar
Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013), h. 104-105
76
akan ditolak dari bantuan peradilan.87 Yilmaz juga menunjukkan bahwa tidak
mendaftarkan pernikahan tidak membuat pernikahan menjadi tidak sah atau
melanggar hukum di mata hukum resmi.88 Dia menambahkan bahwa banyak
pernikahan di Pakistan masih belum terdaftar.
Terdapat kebiasaan budaya bahwa pernikahan berikutnya yang
belum mendapat izin dari Dewan Arbitrase adalah sah. Menurut Yilmaz,
MFLO tidak secara khusus menetapkan bahwa pernikahan selama subsistensi
perkawinan yang ada, tanpa izin dari dewan adalah ilegal, batal atau tidak
dapat dibatalkan. Dalam hal ini fakta bahwa pernikahan berikutnya yang
dikontrak atas kebiasaan budaya ini bertentangan dengan bagian 6 dari MFLO
yang berlaku. Hal ini membuat undang-undang resmi kurang efektif terhadap
poligami yang sewenang-wenang dan tidak dapat dibenarkan.89
Yilmaz menambahkan bahwa beberapa orang menikahi lebih dari
satu wanita tanpa izin resmi. Manajer Advokasi di Shirkat Gah
mengindikasikan bahwa jika seorang pria menikahi wanita kedua tanpa izin
dari Dewan Arbitrase, istri pertamanya dapat menceraikannya dan
mendapatkan maharnya kembali.90
Konsultan Kajian Gender menyatakan bahwa Dewan Arbitrase
hanya ada di atas kertas dan orang-orang tidak pergi ke Dewan ketika mereka
memutuskan untuk mengambil istri kedua atau ketiga.91 Profesor Hukum di
Universitas Warwick sama mengatakan bahwa, meskipun MFLO
membutuhkan seorang pria untuk menginformasikan Ketua pemerintah
daerahnya tentang niatnya untuk menikah kembali yang kemudian membentuk
komite untuk memastikan penyebab niat untuk menikah kembali dan
87 Rubya Mehdi. The Islamization of the Law in Pakistan. (New York: Routledge, 2013),
h. 164 88 Ihsan Yilmaz, Limits of Law: Social Engineering Versus Civil Disobedience in
Pakistan. (Journal of Research Society of Pakistan), 30 Desember 2011. 89 Ihsan Yilmaz, Limits of Law: Social Engineering Versus Civil Disobedience in
Pakistan. (Journal of Research Society of Pakistan), 30 Desember 2011. 90 Women Employees Welfare Association (WEWA). Correspondence from the
Secretary-General to the Research Directorate, 11 Desember 2013. 91 Human Rights Commission of Pakistan (HRCP). Correspondence from a
representative to the Research Directorate, 12 Desember 2013.
77
kemudian memberikan izin, sangat sedikit kasus melalui prosedur ini. Yilmaz
menunjukkan bahwa beberapa pengamat menjelaskan ketentuan yang
mewajibkan izin Dewan Arbitrase hanya sebagai 'formalitas'.92 Artikel IPS
menyatakan itu karena kehidupan pribadi dalam masyarakat umumnya diatur
berdasarkan pedoman dan perintah Islam, kurangnya dukungan terhadap
ketentuan Undang-undang Hukum Keluarga Muslim, MFLO 1961, telah
menghasilkan skenario di mana undang-undang ini masih butuh penerimaan di
antara masyarakat dan lebih sering dihindari kemudian ditindaklanjuti.93
Menurut Yilmaz, pengadilan enggan untuk menerapkan hukuman
yang terkandung dalam MFLO sebagaimana diindikasikan oleh hukum kasus.
Yilmaz juga menyatakan bahwa "sanksi ditempatkan sangat kecil dan belum
menjadi alat pencegah yang efektif". Informasi yang menguatkan tidak dapat
ditemukan di antara sumber yang dikonsultasikan oleh Direktorat Penelitian
dalam batasan waktu dari Tanggapan ini.94
Perwakilan HRCP menunjukkan bahwa undang-undang untuk
sebagian besar hanya dilaksanakan dan hanya efektif di daerah perkotaan.95
Profesor Hukum di Universitas Warwick menunjukkan bahwa undang-undang
yang berkaitan dengan poligami tidak terlalu efektif meski negara telah
mengatur undang-undang MFLO 1961. Beberapa kasus telah dilaporkan
mengenai masalah ini. Menurut Manajer Advokasi di Shirkat Gah, sebagian
besar warga tidak mengetahui hukum, dan undang-undang tersebut tidak
dilaksanakan karena sangat sedikit kasus dalam catatan.96
92 Ihsan Yilmaz, Limits of Law: Social Engineering Versus Civil Disobedience in
Pakistan. (Journal of Research Society of Pakistan, 30 Desember 2011. 93 Institute of Policy Studies (IPS). "Legislation on Women and Family in Pakistan
Trends and Approaches - V." Policy Perspectives. 29 Juni 2013 94 Ihsan Yilmaz, Limits of Law: Social Engineering Versus Civil Disobedience in
Pakistan. (Journal of Research Society of Pakistan, 30 Desember 2011. 95 Human Rights Commission of Pakistan (HRCP), Korespondensi oleh Wakil Direktorat
Penelitian HRCP, 13 Desember 2013 96 Shirkat Gah, Correspondence from the Manager of Advocacy to the Research
Directorate, 11 Desember 2013
78
Data di pengadilan tingkat pertama di Lahore terdapat 4 putusan
tentang poligami ilegal, 2 dari pengadilan tingkat pertama Rahim Yar Khan97,
1 dari pengadilan tingkat pertama Rawalpindi98, dan 1 dari pengadilan tingkat
pertama Lahore99. Penulis mengamati tentang putusan-putusan di atas
sehingga ditemukan argumentasi (ratio decidendi) hakim, yang intinya adalah
argumentasi mereka sama antara satu hakim dengan hakim yang lainnya
bahwa hakim menghukum suami yang dilaporkan telah melakukan poligami
ilegal.
3. Kategori Hukum Keluarga di Pengadilan Pakistan
Poligami ilegal di Pakistan adalah suatu perbuatan pidana yang
bisa diancam dengan penjara dan/atau denda. Hukum keluarga pakistan
terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan perdata dan golongan pidana.
Penulis ingin memetakan golongan, kategori, kasus dan hukuman dari hukum
keluarga di pengadilan Pakistan. Adanya penekanan dan ketegasan dalam
hukum keluarga oleh undang-undang the muslim family law ordinance agar
masyarakat sungguh-sungguh melakukan pencacatan perkawinan dan
berpoligami. Agar lebih mudah dipahami maka penulis membuat tabel
sebagaimana berikut ini.100
97 Putusan Hakim Umair Ali Khan, Lahore: Tanggal 6 Februari 2018. Dan Putusan
Hakim Nawaz, Lahore: Tanggal 2 September 2018. Lihat di lampiran tesis.
98 Putusan Hakim Farrukh Fareed Baloch, Lahore: Tanggal 11 Januari 2017. Lihat di
lampiran tesis
99 Putusan Hakim Syed Ali Jawad Naqvi, Lahore: Tanggal 31 Oktober 2017. Lihat di
lampiran tesis
100 Muhammad Akmal Khan, Case and court management district judiciary punjab,
(Pakistan: Lahore High Court, 2017), h., 2-4
79
No Golongan Kategori Kasus Hukuman
1 Perdata
Hukum
keluarga
Perceraian -
Mahar -
Pemeliharaan -
Waris -
Pengembalian hak -
Perwalian -
Barang pribadi -
Kebutuhan sandang -
2 Pidana
Pelanggaran
poligami
Maksimal 1 tahun
penjara dan
denda 5000 rupee
Pelanggaran
pencacatan
perkawinan
Maksimal 3 bulan
penjara dan/atau
denda maksimal
seribu rupee
4. Ketentuan Poligami menurut Hukum Keluarga di Pakistan
Di negara Pakistan, hukum keluarga yang mengatur tentang
ketentuan-ketentuan poligami hanya diatur di dalam The Muslim Family Law
Ordinance (MFLO) 1961 pasal 6. Adapun ketentuan Poligami di Pakistan
sebagaimana berikut ini,:101
(1) No man, during the substance of an existing marriage, shall,
except with the previous permission in writing of the Arbitration
Council contract another marriage, nor shall any such marriage
contracted wihtout such permission be registered under this
Ordinance.
Artinya: Seorang laki-laki, selama masih terikat dengan
perkawinan yang ada, tidak boleh melakukan perkawinan
tambahan, kecuali memiliki izin tertulis terlebih dahulu dari
Majelis Arbitrase untuk melakukan akad perkawinan dengan
101The Muslim Family Law Ordinance 1961 Pakistan, Pasal 6
80
perempuan lain, atau akad perkawinan tanpa ada izin tertulis
tersebut juga tidak dapat dicatat menurut Undang-Undang ini.
(2) An application for permission under subsection (1) shall be
submitted to the Chairman in the prescribed manner, together with
the prescribed fee and shall state the reasons for the proposed
marriage, and whether the consent of existing wife of wives has
been obtained thereto.
Artinya: Suatu permohonan izin seperti dimaksud ayat (1) tersebut
disampaikan kepada pimpinan Majelis Arbitase sesuai tata cara dan
disertai pembayaran biaya yang telah ditetapkan , dan dalam surat
permohonan tersebut dikemukakan alasan-alasan dari kehendak
melakukan perkawinan itu, dan dikemukakan pula persetujuan/izin
yang diperoleh dari istri atau istri-istri yang dimilikinya.
(3) On receipt of application under subsection (2) the Chairman shall
ask the applicant and his existing wife of wives each to nominate a
representative, and the Arbitration Council so constituted may, if
satisfied that the proposed marriage is necessary and just, grant
subject to such conditions, if any, as may be deemed fit, the
permission applied for.
Artinya: Atas dasar penerimaan surat permohonan izin tersebut dan
berdasarkan ayat (2), Pimpinan Mejelis Arbitrase akan meminta
pihak pemohon dan juga pihak istri atau istri-istrinya yang ada,
untuk menunjuk seseorang wakil masing-masing; dan Majelis
Arbitrase tersebut kemudian dapat menetapkan – kalau sudah
merasa cukup dengan alasan-alasan atau keterangan-keterangan
bahwa perkawinan itu bersifat mendesak dan dapat dinilai mampu
berlaku adil – perihal pemberian izin dimaksud, yang sudah sejalan
dengan ketentuan-ketentuan yang ada mengenai permohonan izin
tersebut.
(4) In deciding the application the Arbitration Council shall record its
reasons for the decision and any party may, in the prescribed
manner, within the prescribed period, and on payment of the
prescribed fee, prefer an application for revision, to the collector
concerned and his decision shall be final and shall not be called in
question in any Court.
Artinya: Dalam memutuskan permohonan itu, Majelis Arbitrase
akan mencatat alasan-alasan/keterangan-keterangan permohonan
itu sebagai dasar pertimbanan hukum putusan yang akan dibuat;
dan pihak siapapun dengan cara-cara, dalam tenggang waktu, dan
dengan membayar biaya, yang telah ditetapkan – mengajukan
permohonan peninjauan kembali atas putusan itu, dalam hal
Negara Pakistan Bagian Barat, kepada pejabat kolektor, dalam hal
Negara Bagian Pakistan Timur, kepada pejabat Pemerintah terkait;
81
dan putusan pejabat ini bersifat final dan tidak bisa dilakukan
upaya hukum lagi.
(5) Any man who contracts another marriage without the permission
of the Arbitration Council shall:
a) Pay immediately the entire amount of dower, whether
prompt of deffered, due to the existing wife of wives, which
amount, if not so paid shall be recoverable as arrears of
land revenue; and
b) On conviction upon complainant be punishable with simple
imprisonment which may extend to one year, or with fine
which may extend to five thousand rupees, or with both.
Artinya: Siapapun laki-laki yang sudah beristri, yang melakukan
akad perkawinan dengan perempuan lain tanpa izin tertulis dari
Majelis Arbitrase:
a) Segera membayar seluruh jumlah mahar, baik secara tunai
maupun ditangguhkan, kepada istrinya atau istri-istrinya
yan ada yang nilai harganya – jika tidak dibayarkan maka
diganti dengan angsuran/cicilan yang diambil dari hasil
usaha lahan pertanian; dan
b) Berdasarkan keyakinan terhadap pengaduan yang
disampaikan dapat dihukum dengan hukuman kurungan
maksimal 1 tahun, atau dengan hukuman denda maksimal
5000 Rupee, atau dengan kombinasi pidana kurungan dan
pidana denda tersebut.
Dalam pasal ini, maka jelaslah poligami dapat dilakulan dengan
syarat bahwa diperlakukan izin tertulis dari dewan arbitrase (Hakim)
sebelum seseorang dapat menikahiistri kedua. Izin tersebut hanya dapat
diberikan bila dewan arbitrase itu yakin bahwa perkawinan yang diajukan
itu memang diperlukan dan benar. Dalam hal ini diperlukan adanya
persetujuan dari istri terdahulu kecuali kalau dia sakit ingatan, cacat
jasmani atau mandul.Walau bagaimanapun juga izin dewan hakim harus
didapatkan sebelum melangsungkan perkawinan kedua. Selain semua
pembatasan ini, jika telah dijalin perkawinan kedua tanpa izin dewan,
maka perkawinan tersebut dapat dianggap batal secara hukum. Pada
hakekatnya, ketentuan yang diperkuat ini merupakan upaya untuk
mengurangi atau membatasi praktik poligami beserta implikasi negatif
yang ditimbulkannya, terutama ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
82
5. Status Perkawinan Poligami Ilegal
Apabila seorang suami yang kedapatan melakukan poligami tidak sah
secara hukum positif maka status perkawinan keduanya tetap sah tetapi suami
mendapatkan sanksi pidana, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Tidak ada keterangan di dalam MFLO 1961 tentang poligami di dalam pasal 5
yang menjelaskan bahwa pernikahan tambahan menjadi batal atau bubar yang
tidak sesuai dengan jalur hukum. Dan putusan-putusan hakim di Lahore-
Pakistan yang mengadili poligami ilegal tidak menetapkan bahwa pernikahan
mereka batal ataupun fasakh, putusan tersebut berisi tentang hukuman bagi
yang melakukan poligami ilegal saja.
83
BAB V
HAK PEREMPUAN MEMBERIKAN IZIN POLIGAMI
A. Putusan Hakim Banda Aceh-Indonesia
1. Ratio Decidendi Putusan Hakim
Kebijakan-kebijakan hakim dalam putusan atas kasus poligami ilegal
diantaranya sebagai berikut:
1) Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian;
2) Membatalkan Perkawinan/Pernikahan Termohon I dengan Termohon
II baik yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2008 di Pidie atau yang
dilakukan yang tercatat pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara;
3) Menyatakan buku Kutipan Akta Nikah Nomor 235/04/XI/2009 tanggal
04 November 2009 yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara
tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum;
Kebijakan –kebijakan di atas dilandasi dengan ratio decidendi hakim
sebagai pertimbangan hukum-hukumnya, sebagaimana berikut ini:
1) Bahwa sesuai ketentuan Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 pada pokoknya menurut pasal tersebut, bahwa
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah
apabila: 1. perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum, 2. apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan
terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Kemudian apabila
ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap
hidup sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Akan tetapi
lain halnya dengan perkara a-quo dimana Pemohon mengajukan
pembatalan perkawinan bukan karena adanya ancaman, atau salah
84
sangka mengenai diri suami atau istri yang menikah, melainkan karena
Termohon I telah menikah lagi dengan Termohon II tanpa izin
Pemohon selaku istri pertama, tanpa izin pengadilan, serta tanpa izin
dari pejabat instansi Termohon I bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil
(dosen), oleh karena itu menurut Majelis Hakim Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut tidak dapat diterapkan dalam
kasus ini, dengan demikian alasan keberatan jawaban Termohon II
tersebut adalah tidak relevan, karena itu Pemohon sebagai istri pertama
Termohon I tetap berhak dan berkualitas mengajukan Pembatalan
perkawinan meskipun sampai diajukan permohonan pembatalan waktu
telah lebih 6 bulan dari pernikahan Termohon I danTermohon II;
2) Menimbang, bahwa berdasarkan Pengakuan Termohon I dan
Termohon II maka terbukti benar antara Termohon I dengan
Termohon II telah menikah sirri di Gampong Lhok Igeuh Kecamatan
Tiro Truseb, Kabupaten Pidie pada tanggal 7 Juli 2008, namun
berdasarkan bukti (Bukti P5), bukti (TII.1) dan bukti (TII.2)
Pernikahan Termohon I dengan Termohon II tersebut dilangsungkan
pada Tanggal10 Desember 2007 di Desa Trt. Kute, yang kemudian
tercatat pada PPN/KUA Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara
pada Tahun 2009 dengan Akta Nikah Nomor 235/04/XI/2009 tanggal
04 Nopember 2009. Terlepas dari adanya perbedaan waktu dan tempat
menikah tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa antara Termohon
I dengan Termohon II terbukti telah menikah menurut hukum Islam
yang diyakini Termohon I dan Termohon II sebagai pernikahan sah
sehingga mereka tinggal dan hidup bersama di lantai 2 Toko Molton
Sport, Jl Sri Ratu Safiatuddin No. 8 Peunayong, Kecamatan Kuta
Alam, Kota Banda Aceh;
3) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1 terbukti bahwa Pemohon
dengan Termohon I menikah pada tanggal 7 Oktober 1990, sedangkan
pernikahan Termohon I dengan Termohon II, terjadi pada tahun 2008
(menurut pengakuan Termohon I) atau terjadi pada tanggal 7 Juli 2008
85
(menurut Pengakuan Termohon II) dan terjadi pada tanggal 10
Desember 2007 (menurut bukti bukti P5, bukti TII.1 dan bukti TII.2).
dengan demikian saat pernikahan Termohon I dengan Termohon II
tersebut dilangsungkan, status Termohon I masih terikat perkawinan
dengan Pemohon, persoalannya adalah apakah Termohon I menikah
dengan Termohon II tersebut ada izin dari Pengadilan? Ternyata
Termohon I dan Termohon II tidak mengajukan bukti-bukti tentang hal
tersebut, dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa
Termohon I telah melakukan poligami yakni menikahi Termohon II
tanpa izin Pemohon, tanpa izin Pengadilan;
4) Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan pengakuan Termohon I
dalam jawabanya pada no. 9 maka benar dan terbukti bahwa
Termohon I adalah seorang Pegawai Negeri Sipil telah melakukan
pernikahan dengan Termohon II juga tanpa izin pejabat atasan sesuai
maksud PP Nomor 10 Tahun 1983 dan PP Nomor 45 Tahun 1990;
5) Menimbang, bahwa untuk menentukan dapat tidaknya permohonan
Pemohon tersebut dikabulkan atau tidak, Majelis Hakim perlu
mengetengahkan terlebih dahulu ketentuan hukum yang berkaitan
dengan hal tersebut;
6) Menimbang bahwa, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974, maka jika kedua Pasal tersebut dipahami
secara utuh, dapat disimpulkan bahwa dalam hal seorang suami akan
beristri lebih dari seorang (berpoligami) maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh izin dari
pengadilan;
7) Menimbang, bahwa dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut, jika dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam bahwa
suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan
poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa setiap orang apakah orang tersebut Pegawai Negeri
86
Sipil atau bukan jika hendak melakukan poligami maka ia wajib
memperoleh izin dari Pengadilan;
8) Menimbang bahwa in casu, ketentuan-ketentuan Pasal tersebut
dihubungkan fakta-fakta tersebut di atas, ternyata perkawinan
Termohon I dengan Termohon II tersebut, Termohon I tidak
memperoleh izin dari Pengadilan (Mahkamah Syar’iyah) dan...terlebih
lagi... Termohon I selaku PNS juga tidak memperoleh izin pejabat
(sesuai maksud Pasal 4 PP Nomor 10 tahun 1983 (bukti P4) yang telah
diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990) karena itu perkawinan
Termohon I dengan Termohon II tersebut telah melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan merupakan tindakan
penyelundupan hukum, serta telah melanggar norma ketertiban, karena
itu pernikahan Termohon I dengan Termohon II tersebut tidak
mendapat perlindungan hukum karena dilakukan tidak sesuai menurut
hukum. Dengan demikian, terlepas apakah perkawinan Termohon I
dengan Termohon II tersebut tercatat atau tidak pada PPN/KUA
Kecamatan, Pegawai Negeri Sipil atau bukan, yang jelas pernikahan
Termohon I dengan Termohon II tersebut tidak ada izin dari
pengadilan, terlebih lagi Termohon I sebagai Pegawai Negeri Sipil,
oleh karena itu telah beralasan hukum bagi Majelis Hakim
sebagaimana maksud Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam,
dan dengan mempertimbangkan petitum nomor 7 permohonan, maka
pernikahan Termohon I dengan Termohon II dibatalkan;
9) Menimbang bahwa dengan dibatalkannya pernikahan Termohon I
dengan Termohon II tersebut, maka sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa batalnya suatu perkawinan
dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan, akan tetapi
keputusan pengadilan tersebut tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, b. suami atau istri yang
87
bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila
pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu, c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a
dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum
tetap;
10) Menimbang bahwa permohonan Pemohon agar Majelis Hakim
menyatakan buku Kutipan Akta Nikah Nomor 235/04/XI/2009
tertanggal 04 Nopember 2009 yang dikeluarkan oleh PPN/KUA
Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara batal dan tidak
berkekuatan hukum, sebagaimana petitum permohonan Pemohon pada
nomor 3 dan 4, dalam hal ini Majelis Hakim mempertimbangkan
sebagai berikut:
11) Menimbang, bahwa jika diteliti secara seksama buku Kutipan Akta
Nikah Nomor 235/04/XI/2009 tertanggal 04 Nopember 2009 tersebut
(bukti P.5, T.II.1) jika dihubungkan dengan identitas Termohon II
dalam surat permohonan Pemohon, maka terdapat kejanggalan dimana
dalam Permohonan orangtua (ayah) Termohon II bernama Sa’at,
sementara dalam Akta Nikah tersebut orangtua (ayah) Termohon II
adalah Tojin, kejanggalan lain bahwa sesuai bukti P.6 tempat lahir
Termohon II adalah Takengon, tetapi dalam buku Akta Nikah (bukti
P.5 dan bukti T.II.1) tempat lahir Termohon II adalah Kuta Cane,
begitu pula kejanggalan yang lain mengenai waktu dan tempat
pernikahan, jika dihubungkan dengan pengakuan Termohon I pada
angka 4 dan 7 dan pengakuan Termohon II, bahwa pernikahan
Termohon I dengan Termohon II di Tiro, Pidie, sedangkan dalam Akta
Nikah Termohon I denganTermohon II tersebut tempat nikah di Trt.
Kute pada tanggal 10 Desember 2007, namun pengakuan Termohon I
menyatakan bahwa Termohon I datang ke Kuta Cane hanya untuk
menandatangani surat nikah tersebut (artinya tidak ada pernikahan lagi
di Trt. Kute. Namun terlepas dari kejanggalan-kejanggalan tersebut
88
dengan dikabulkannya permohonan Pemohon tentang pembatalan
perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II, maka buku
Kutipan Akta Nikah Nomor 235/04/XI/2009 tanggal 04 Nopember
2009 yang dikeluarkan oleh PPN/KUA Kecamatan Badar, Kabupaten
Aceh Tenggara terserbut, patut dinyatakan tidak berlaku dan tidak
mempunyai kekuatan hukum,
12) Menimbang bahwa permohonan Pemohon agar Majelis Hakim
memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan
Badar, Kabupaten Aceh Tenggara agar mencoret catatan pernikahan
Termohon I dan termohon II, Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh
karena yang bersangkutan (Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan
Badar) tidak didudukkan sebagai pihak dalam perkara ini, maka
tuntutan Pemohon sebagaimana Petitum nomor 5 harus dinyatakan
tidak dapat diterima;
2. Analisis Ratio Decidenci Menurut Teori Sadd dzarî’ah
Hakim mengimplikasikan undang-undang secara teori sadd
dzarî’ah bahwa tugas hakim adalah memecahkan suatu permasalahan dengan
baik dan benar demi mewujudkan suatu keadilan. Hakim Mahkamah Syariah
Banda Aceh menjatuhkan putusan dengan argumentasi sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Hukum Keluarga di
Indonesia dibentuk dengan kombinasi hukum Islam yang bermazhab Syafi’i
dan hukum adat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa imam syafi’i tidak
menggunakan Sadd dzarî’ah tetapi mengunakan istishab yang eksistensi
hukumnya adalah sama-sama kuat dalam melakukan istinbath hukum.
Putusan hakim di atas ditetapkan semata-mata untuk mencegah
perbuatan dzalim kepada istri kedua, yaitu tidak berkekuatan hukumnya buku
nikah atau dikatakan buku palsu, sehingga apabila terdapat permasalahan
berupa pembagian harta waris, hak asuh anak, harta gono gini dan lain-
lainnya, maka tidak sah secara hukum keluarga Islam di Indonesia. Seorang
muslim yang baik adalah taat kepada Allah, Rasulullah dan Ulul Amri
89
(pemimpin) selama pemimpin tersebut tidak melanggar kaidah-kaidah Islam
sebagaimana di dalam Al-Qur`an:
ي أ ي ه ا الاذ ين آم ن وا أ ط يع وا الل و أ ط يع وا الراس ول و أ ول األ مر م نك م ف إ ن ت ن از عت م يف ر ذ ل ك خ ري ش يء ف ر دوه إ ىل الل و الراس ول لل و الي وم اآلخ إ ن ك نت م ت ؤم ن ون اب
و أ حس ن ت و يال Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Kemudian dikaitkan pada ayat:
فت م أ الا ث و إ ن خ ط وا يف الي ت ام ى ف انك ح وا م ا ط اب ل ك م م ن الن س اء م ثن و ث ال ت قس ة أ و م ا م ل ك ت أ ي ان ك م ذ ل ك أ دن أ الا ت ع ول وا د فت م أ الا ت عد ل وا ف و اح ع ف إ ن خ و ر اب
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. Ani-
Nisâ`: 3)
ا يل ف ت ذ ر وه و ل ن ت ست ط يع وا أ ن ت عد ل وا ب ني الن س اء و ل و ح ر صت م ف ال ت يل وا ك لا الم الم ع لاق ة يماك و إ ن ت صل ح وا و ت ت اق وا ف إ نا اللا ك ان غ ف ورا ر ح
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
Ani-Nisâ`: 129)
Jika dikaitkan antara Q.S. An-Nisa: 3 yang membolehkan poligami
dengan ayat 129 yang menerangkan ketidakmampuan suami berlaku adil.
Yang pertama: tidak diragukan lagi bahwa berpoligami dianjurkan dalam
90
Islam, akan tetapi masalah yang timbul adalah dari istri pertama, fakta yang
ada zaman sekarang, istri pertama mengklaim bahwa ridha suami untuk
berpoligami ada di tangan istri, mereka beranggapan jika istri pertama tidak
memberikan izin, maka suami tidak boleh berpoligami dan berpoligami bagi
suami adalah haram.1
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim, seseorang jika ingin
berpoligami tidak harus mendapat izin dari istri yang pertama, tetapi secara
moral dan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, maka sebaiknya suami
memberitahu hal tersebut kepada istri pertama, untuk menjaga perasaan dan
memperingan sakit hatinya sesuai dengan tabiat wanita pada umumnya,
dengan ungkapan bahasa dan tutur kata yang santun serta pemberian materi
jika diperlukan.2
Ada banyak faktor yang menjadikan poligami banyak terjadi dalam
masyarakat tanpa mengindahkan kaidah hukum Islam adh-dhararu yuzâlu
(kemudharatan harus dihilangkan). Contohnya: kurangnya sosialisasi hukum
Islam, lemahnya penegakan hukum, tingkat pendidikan masyarakat, budaya,
gaya hidup, atau pun keteladanan. Tudingan yang menyudutkan bahwa
sebagai bangsa yang beradab Indonesia seharusnya melarang poligami, hal itu
tidak dapat dibenarkan. Ini karena pembolehan poligami itu untuk
kemaslahatan para pihak yang bersangkutan, bukan untuk melecehkan
perempuan atau menguntungkan laki-laki saja. Buktinya adalah ketatnya dasar
alasan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, yang harus
dipenuhi adalah aspek penegakan hukumnya.
Dalam pelaksanaannya, memang terdapat banyak pelanggaran.
Aturan hukum yang idealnya harus diterapkan sering kali disimpangkan.
Banyak poligami dilakukan dengan tidak memenuhi dasar alasan dan
keseluruhan syarat yang harusnya dipenuhi. Di sisi lain, akibat ketatnya
prosedur yang harus dilalui untuk berpoligami, masyarakat cenderung lebih
senang memilih menikah siri atau bahkan hidup bersama tanpa ikatan
1 Rochayah Machali (Ed.), Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005), h. 456 2 Rochayah Machali (Ed.), Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005), h. 456
91
pernikahan. Tanpa disadari, melalui pernikahan siri atau pun hidup bersama
tanpa nikah, si perempuan tidak memperoleh perlindungan hukum dari
negara, seperti hak waris dan sebagainya.
Dengan penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa hakim
memutuskan perkara di atas telah sesuai dengan konsep teori Sadd dzarî’ah
yaitu:
1) Perbuatan yang dilakukan tergugat itu biasanya membawa kepada
mafsadat atau besar kemungkinan (dzann al-ghalib) membawa kepada
mafsadat.
2) Menurut Ibn Qayyim al Jauziyyah, dzari’ah dilihat dari perbuatan.
Pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan, tetapi
dijadikan jalan untuk melakukan perbuatan yang haram, baik dengan
tujuan yang disengaja maupun tidak. Perbuatan yang mempunyai
tujuan yang disengaja3
Adapun hakim tidak memvonis Peraturan Pemerintah bagi
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar aturan perkawinan maka mendapatkan
sanksi kedisiplinan karena itu dalam wilayah masing-masing instansi yang
terkait. Sehingga hukuman kedisiplinan ini akan didapati suami di wilayah
instansi terkait. Hakim tidak ikut andil dengan perkara tersebut, hakim hanya
memeiliki wewenang membatalkan pernikahan saja.
Hasil analisis dari teori Sadd dzarî’ah dari ratio decidendi hakim
sebagaimana berikut ini:
1) Poligami ilegal yang dimaksud adalah poligami yang melanggar
ketentuan undang-undang, bukan melanggar ketentuan hukum Islam
2) Tuntutan penggugat atas tergugat 1, yaitu permohonan pembatalan
nikah atas pernikahan siri dengan tergugat 2
3) Tergugat adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan
pernikahan siri, tanpa izin pengadilan, istri pertamanya dan pejabat.
3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al Muwaqi’in `An Rabbil’Alamin, Jilid III, (Beirut: Dâr
al Jail), h. 148.
92
4) Buku pernikahan tergugat 1 dengan tergugat 2 terbukti palsu dan tidak
berkekuatan hukum. Tergugat 1 melakukan pemalsuan buku nikah.
5) Hakim berijtihad ditinjau dengan Sadd dzarî’ah menjatuhkan putusan
terhadap tergugat 1 berupa pembatalan nikah atas pernikahan dengan
tergugat 2 dari pada memberikan isbat nikah dan menyatakan bahwa
buku perkawinan tergugat 1 dengan tergugat 2 tidak sah dan tidak
berkekuatan hukum.
6) Hukuman kepada Pegawai Negeri Sipil bersifat hukuman ta’zîr agar
menjalankan sesuai peraturan dengan tertib.
3. Analisis Ratio Decidenci Menurut Teori Legal Positivism
Penulis menganalisis bahwa hakim mengimplikasikan teori legal
positivism. Beberapa poin dari putusan hakim yang sesuai dengan prinsip
dan tujuan teori legal positivism, sebagaimana berikut ini:
1) Hakim melakukan realisasi hukum sesuai dengan hukum positif di
Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang pembatalan
nikah dengan dua ratio decidendi,
2) Ratio decidendi hakim, mengatakan bahwa tergugat 1 melakukan
pernikahan dengan tergugat 2 tanpa seizin istrinya yaitu penggugat 1.
Disebabkan juga karena tergugat 1 adalah seorang Pegawai Negeri
Sipil sebagai seorang dosen.
3) Ratio decidendi hakim, mengatakan bahwa telah ditemukan dokumen
palsu yaitu buku nikah palsu demi melancarkan pernikahan tergugat 1
dengan tergugat 2.
4) Hakim mempunyai 2 pilihan bagi tergugat 1 dan tergugat 2, antara
menetapkan isbat nikah atau melakukan pembatalan nikah. Hakim
berijtihad melakukan pembatalan nikah, karena menurut penulis,
hakim melihat ada peraturan yang harus ditaati di Peraturan
Pemerintah tentang poligami demi menegakkan keadilan dan
ketertiban.
93
Menurut aliran legal positivism hukum bahwa hakim mempunyai
peranan yang lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih kreatif di
dalam penerapan hukum positif dari pada sekadar mengambil di dalam aturan-
aturan yang dibuat oleh penguasa (Undang-Undang). Dan ternyata faktor
seperti temperamen psikologis hakim, spiritual, kelas sosial dan nilai-nilai
yang ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum
dari pada aturan-aturan yang tertulis menjadi hukum positif. Kebebasan inilah
yang memungkinkan hakim untuk menggunakan pertimbangan yang lebih
komprehensif dalam memutuskan hukum sehingga sangat memungkinkan
untuk memakai khazanah yang berketuhanan.4
Prinsip Legal positivism memiliki paham tentang hukum, bahwa
yang menjadi sumber hukum adalah hakim, karena hakim dijadikan pusat titik
perhatian dan hakim juga yang melakukan penyelidikan tentang hukum dan
undang-undang. Hakim harus menguasai dan memakai beberapa kaidah-
kaidah ilmu hukum, baik hukum agama, adat, maupun perundang-undangan.
Oleh karenanya, teori legal positivism ini menjadi salah satu teori yang selalu
digunakan hakim untuk membentuk ratio decidendi (argumentasi hakim)
dalam pembentukan putusan. Bahwa Putusan itu terbentuk karena ratio
decidendi hakim. Begitupun sebaliknya, jika hakim tidak memiliki ratio
decidendi maka tidak akan terbentuk sebuah putusan.5
Penulis melihat dari sudut pandang teori legal positivism atas putusan
hakim Mahmakah Syariah Banda Aceh sudah memenuhi prinsip-prinsip dari
teori ini. Sehingga penulis sangat membenarkan putusan hakim itu perspektif
hukum positif.
B. Putusan Hakim Lahore-Pakistan
1. Ratio Decidendi Putusan Hakim
4 Arief Budiono dan Wafda Vivid Izziyana, Theistic Legal Realism (Suatu Pilihan
Radikal Bagi Pengembangan Hukum), (Ponorogo: Jurnal Hukum Ransendental, Pengembangan
dan Penegakan Hukum di Indonesia), h. 377 5 Agus Santoso, Hukum, Moral Dan Keadilan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2014), h. 26
94
Kebijakan-kebijakan hakim dalam putusan atas kasus poligami ilegal
di antaranya sebagai berikut ini:
1) Mengabulkan Permohonan Pemohon
2) Memberikan sanksi pidana kurungan penjara selama enam bulan dan
denda sebesar 200.000 rupee.
Kebijakan–kebijakan di atas dilandasi dengan ratio decidendi hakim
sebagai pertimbangan hukum-hukumnya, sebagaimana berikut ini:
1) Now, I would like to dilate upon the factual position of the case under
charge. Accused was charge sheet under section 6(5) under Muslim
Family Ordinance. It is necessary to reproduce section 6 of Muslim
Family Ordinance as under:-“6 Polygamy.
Artinya: Sekarang, saya sebagai hakim, ingin melebarkan faktual dari
kasus di bawah tuduhan. Yang dituduh adalah lembar biaya
berdasarkan bagian 6 (5) di bawah Ordonansi Keluarga Muslim.
Penting untuk mereproduksi bagian 6 Ordonansi Keluarga Muslim
(MFLO 1961)sebagai berikut: -“6 Poligami.
No man, during the substance of an existing marriage, shall, except
with the previous permission in writing of the Arbitration Council
contract another marriage, nor shall any such marriage contracted
wihtout such permission be registered under this Ordinance.
Artinya: Seorang laki-laki, selama masih terikat dengan perkawinan
yang ada, tidak boleh melakukan perkawinan tambahan, kecuali
memiliki izin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Arbitrase untuk
melakukan akad perkawinan dengan perempuan lain, atau akad
perkawinan tanpa ada izin tertulis tersebut juga tidak dapat dicatat
menurut Undang-Undang ini.
(1) An application for permission under subsection (1) shall be submitted
to the Chairman in the prescribed manner, together with the
prescribed fee and shall state the reasons for the proposed marriage,
and whether the consent of existing wife of wives has been obtained
thereto.
95
Artinya: Suatu permohonan izin seperti dimaksud ayat (1) tersebut
disampaikan kepada pimpinan Majelis Arbitase sesuai tata cara dan
disertai pembayaran biaya yang telah ditetapkan, dan dalam surat
permohonan tersebut dikemukakan alasan-alasan dari kehendak
melakukan perkawinan itu, dan dikemukakan pula persetujuan/izin
yang diperoleh dari istri atau istri-istri yang dimilikinya.
(2) On receipt of application under subsection (2) the Chairman shall ask
the applicant and his existing wife of wives each to nominate a
representative, and the Arbitration Council so constituted may, if
satisfied that the proposed marriage is necessary and just, grant
subject to such conditions, if any, as may be deemed fit, the permission
applied for.
Artinya: Atas dasar penerimaan surat permohonan izin tersebut dan
berdasarkan ayat (2), Pimpinan Mejelis Arbitrase akan meminta pihak
pemohon dan juga pihak istri atau istri-istrinya yang ada, untuk
menunjuk seseorang wakil masing-masing; dan Majelis Arbitrase
tersebut kemudian dapat menetapkan – kalau sudah merasa cukup
dengan alasan-alasan atau keterangan-keterangan bahwa perkawinan
itu bersifat mendesak dan dapat dinilai mampu berlaku adil – perihal
pemberian izin dimaksud, yang sudah sejalan dengan ketentuan-
ketentuan yang ada mengenai permohonan izin tersebut.
(3) In deciding the application the Arbitration Council shall record its
reasons for the decision and any party may, in the prescribed manner,
within the prescribed period, and on payment of the prescribed fee,
prefer an application for revision, to the collector concerned and his
decision shall be final and shall not be called in question in any Court.
Artinya: Dalam memutuskan permohonan itu, Majelis Arbitrase akan
mencatat alasan-alasan/keterangan-keterangan permohonan itu sebagai
dasar pertimbanan hukum putusan yang akan dibuat; dan pihak
siapapun dengan cara-cara, dalam tenggang waktu, dan dengan
membayar biaya, yang telah ditetapkan – mengajukan permohonan
peninjauan kembali atas putusan itu, dalam hal Negara Pakistan
Bagian Barat, kepada pejabat kolektor, dalam hal Negara Bagian
Pakistan Timur, kepada pejabat Pemerintah terkait; dan putusan
pejabat ini bersifat final dan tidak bisa dilakukan upaya hukum lagi.
(4) Any man who contracts another marriage without the permission of
the Arbitration Council shall:
96
(a) Pay immediately the entire amount of dower, whether prompt of
deffered, due to the existing wife of wives, which amount, if not so
paid shall be recoverable as arrears of land revenue; and
(b) On conviction upon complainant be punishable with simple
imprisonment which may extend to one year, or with fine which
may extend to five thousand rupees, or with both.
Artinya: Siapapun laki-laki yang sudah beristri, yang melakukan akad
perkawinan dengan perempuan lain tanpa izin tertulis dari Majelis
Arbitrase:
a) Segera membayar seluruh jumlah mahar, baik secara tunai
maupun ditangguhkan, kepada istrinya atau istri-istrinya yang
ada yang nilai harganya – jika tidak dibayarkan maka diganti
dengan angsuran/cicilan yang diambil dari hasil usaha lahan
pertanian; dan
b) Berdasarkan keyakinan terhadap pengaduan yang disampaikan
dapat dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 1 tahun,
atau dengan hukuman denda maksimal 5000 Rupee, atau
dengan kombinasi pidana kurungan dan pidana denda tersebut.
2) Complainant filed a private complaint with the allegation that the
accused has contracted third marriage wihtout her permission and
showed himself as bachelor while he was contracting marriage
with complainant. Marriage solemnized between complainant and
accused on 06.07.2013 and a son namely Muhammad Mutahir
Shaaf was born in consequences of this marriage. The accused
firstly married on 14.11.2011 with Rubina bibi and showed himself
bachelor while contracting marriage with the complainant.
Thereafter, the accused contracted third marriage Tehmina Ashraf
on 03.04.2015 wihtout seeking permission from her or any
concerned quarter. In this way, he has violated the requirement of
Muslim Family Ordinance and committed offence which is
punishable under this ordinance.
Artinya: Pengadu mengajukan komplain pribadi dengan tuduhan
bahwa tergugat telah melakukan perkawinan ketiga tanpa izin dan
menunjukkan dirinya sebagai bujangan saat ia melakukan
pernikahan dengan penggugat. Perkawinan antara penggugat dan
97
tergugat terjadi pada 06.07.2013 dan lahir seorang putra yaitu
Muhammad Mutahir Shaaf lahir di konsekuensi dari pernikahan
ini. Tergugat pertama menikah pada 14.11.2011 dengan Rubina
Bibi dan menunjukkan dirinya sebagai bujangan saat melakukan
akad pernikahan dengan penggugat. Setelah itu, tergugat
melakukan pernikahan ketiga Tehmina Ashraf pada 03.04.2015
tanpa meminta izin darinya atau setiap pihak berwenang yang
bersangkutan. Dengan cara ini, ia telah melanggar persyaratan
Ordonansi Keluarga Muslim dan melakukan pelanggaran yang
dapat dihukum menurut peraturan ini.
3) Firstly, the complainant was bound to prove that the marriage was
in existence while the accused has contracted another marriage
and secondly, new marriage was solemnized without her or
Arbitration council’s permission. In order to prove the charge
leveled against the accused, complainant appeared herself and
also produced two ther witnesses.
Artinya: Pertama, penggugat terikat untuk membuktikan bahwa
pernikahan itu ada ketika tergugat telah melakukan poligami,
pernikahan baru diresmikan tanpa izin dari dewan atau Arbitrase.
Untuk membuktikan tuduhan yang ditujukan kepada tergugat,
penggugat muncul sendiri dan juga menghasilkan dua saksi.
4) Admittedly, accused contracted a marriage with the complainant.
Admittedly, it was second marriage and admittedly, accused
marriage with Tehmina Ashraf who was third wife of the accused.
Complainant relation with the accused is admitted fact and third
marriage is also admitted point. The accused had taken a defence
that complainant was not living with him for one year and during
the “panchait” she called him as his brother but this point cannot
authorize the accused to contract third marriage without the
permission of complainant. Admittedly, marriage is not in
existence between complainant and the accused at this time but the
law is very much clear that at the time of third marriage if the
relationship with the previous wife is in existence then permission
to seek another marriage is necessary and mandatory upon the
98
husband. The document Mark-C presented by accused in his
defence shows that the second notice of Talaq was issued on
26.01.2016 and date of first notice was mentioned in that notice as
14.12.2014 but the third marriage was consummated on
03.04.2015, eight month prior to dissolution of marriage.
Artinya: Diakui, tergugat melakukan pernikahan dengan
penggugat. Diakui, pernikahan itu yang kedua dan diakui,
menuduh pernikahan dengan Tehmina Ashraf yang merupakan istri
ketiga tergugat. Relasi pelapor dengan tergugat diakui fakta dan
pernikahan ketiga juga diakui. Tergugat telah mengambil
pembelaan bahwa penggugat tidak tinggal bersamanya selama satu
tahun dan selama "panchait" dia memanggilnya sebagai saudara
laki-lakinya tetapi poin ini tidak dapat memberatkan tergugat untuk
melakukan pernikahan ketiga tanpa izin dari penggugat. Diakui,
tidak ada perkawinan antara penggugat dan tergugat saat ini tetapi
hukum sangat jelas bahwa pada saat pernikahan ketiga jika
hubungan dengan istri sebelumnya masih ada maka izin untuk
mencari pernikahan lain diperlukan dan wajib pada saat suami.
Dokumen Mark-C yang disajikan oleh tergugat dalam
pembelaannya menunjukkan bahwa pemberitahuan kedua Talak
dikeluarkan pada 26.01.2016 dan tanggal pemberitahuan pertama
disebutkan dalam pemberitahuan tersebut sebagai 14.12.2014
tetapi pernikahan ketiga telah selesai pada 03.04.2015, delapan
bulan sebelum pembubaran pernikahan.
5) although, accused produced his first wife namely Rubina bibi as
defence witness and she admitted that she had allow her husband
to contract another marriage but the right of second wife cannnot
be ignored in presence of permission of first wife. The foremost
aggrieved party from the third marriage is second wife who is a
complainant of this case. Keeping in view the principle that
admitted facts need not to be proved, the complainant has
successfuly established the guilt of the accused for contracting
third marriage without her permission.
Artinya: Meskipun, tergugat membawa istri pertamanya yaitu
Rubina Bibi sebagai saksi pembela dan dia mengakui bahwa dia
telah mengizinkan suaminya untuk menikah lagi tetapi hak istri
kedua tidak dapat diabaikan di hadapan izin dari istri pertama.
99
Pihak yang paling dirugikan dari pernikahan ketiga adalah istri
kedua yang merupakan penggugat kasus ini. Dengan tetap
berpegang pada prinsip bahwa fakta-fakta yang diakui tidak perlu
dibuktikan, penggugat telah berhasil membuktikan kesalahan
terdakwa karena melakukan pernikahan ketiga tanpa izin.
6) So, what have been discussed above, I hold that the accused
solemnized third marriage during the existence of marriage with
the complainant and therefore accused namely Shahzada Saqib
Suhail is convicted u/s 6(5) of Muslim Family Ordinance. Now the
question of sentence is concerned, he is sentenced with six months
simple imprisonment alongwith fine of Rs.2,00,000/- under section
6(5) of Muslim Family Ordinance. In case of default of payment of
fine, he will further undergo simple imprisonment of four month.
He is directed to be taken into custody and be sent to judicial lock
up to undergo the sentenced punishment. The warrant commitment
u/s 245 Cr.P.C be prepared accordingly. Copy of judgment be
handed over to the accused free of cost. The surely is discharged
from his liabilities. Ahmad of this court namely Muhammad Usman
is directed to consign the file to the record room after its due
completion.
Artinya: Jadi, apa yang telah dibicarakan di atas, saya berpendapat
bahwa tergugat bersikukuh melakukan perkawinan ketiga selama
adanya perkawinan dengan penggugat dan karena itu dituduh, yaitu
Shahzada Saqib Suhail, divonis bersalah 6/5 (6) dari Ordonansi
Keluarga Muslim. Sekarang pertanyaan tentang hukumannya
diperhatikan, dia dijatuhi hukuman penjara enam bulan sederhana
dengan denda Rs.2,00,000 / - berdasarkan bagian 6 (5) dari
Ordonansi Keluarga Muslim. Jika gagal membayar denda, ia akan
menjalani hukuman penjara sederhana selama empat bulan. Dia
diarahkan untuk dibawa ke tahanan dan dikirim ke penjara
pengadilan untuk menjalani hukuman setelah dijatuhi hukuman.
Komitmen waran u / s 245 Cr.P.C disiapkan sesuai. Salinan
putusan diserahkan kepada terdakwa bebas biaya. Yang pasti
dilepaskan dari kewajibannya. Ahmad dari pengadilan ini yaitu
Muhammad Usman diarahkan untuk menyerahkan file tersebut ke
ruang rekaman setelah selesai.
100
2. Analisis Ratio Decidenci Menurut Teori Sadd dzarî’ah
Penulis menganalisis bahwa hakim mengimplikasikan teori sadd
dzarî’ah dengan memberikan hukuman pidana bukan karena poligami secara
Islamnya, tetapi poligami yang melanggar ketentuan aturan poligami dalam
hukum keluarga Islam di Pakistan. Tindakan hakim telah sesuai dengan
ordinansi aturan hukum di Negara Pakistan. Sebagaimana sejarah hukum
keluarga Pakistan yang telah dibahas bahwa hukum keluarga Pakistan
dibentuk karena mengadopsi hukum sebelumnya, yaitu hukum Inggris
(common law) yang ketat dalam masalah perizinan dan memberikan hukum
pidana di wilayah hukum keluarga yang kemudian dipadukan dengan hukum
Islam.
Fazlur Rahman, pemikir modernis Muslim dari Pakistan,
menyatakan bahwa frase keadilan yang diisyaratkan al-Qur`an untuk orang
ingin berpoligami bukan dengan ukuran materi, tetapi cinta. Dengan merujuk
ayat-ayat lain, seperti QS. al-Rum (30):21 dan al-Baqarah (2):187, Rahman
mengemukakan bahwa al-Qur`an menghendaki hubungan suami istri harus
berlandaskan atas cinta dan kasih sayang. Jika ukuran keadilan adalah materi,
mustahil al-Qur`an mengatakan kemusykilan pria untuk dapat berlaku adil
meski ia menginginkannya. Ketika al-Qur`an mengatakan “adalah mustahil
berlaku adil terhadap istri-istri,” maka secara jelas al-Qur`an mengatakan
bahwa perkawinan yang ideal dalam Islam adalah monogami.6
Jika dilihat dari sudut pandang teori Sadd dzarî’ah , hakim
memutuskan untuk mencegah ketidakadilan suami atas istri-istrinya nanti di
masa yang akan datang dengan memberikan hukum pidana dan denda atas
perbuatan poligami ilegal. Hukum Islam mampu masuk ke dalam hukum adat
dan Negara karena hukum Islam bersifat fleksibel.
6 Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran (Bandung: Pustaka, 1996), h. 68-70. Keadilan
yang dimaksud Abduh lebih pada keadilan kualitatif, seperti perasaan sayang, cinta, dan kasih,
yang kesemuanya tidak diukur dengan angka-angka. Hal ini menurutnya sesuai dengan makna
yang dikandung dalam istilah yang digunakan oleh Alquran, yaitu ‘adalah, yang memang
memiliki makna yang lebih kualitatif. Lihat, Leli Nurohmah, “Poligami, Saatnya Melihat
Realitas”, dalam Jurnal Perempuan, Menimbang Poligami, No. 31 September 2003, h. 37.
101
Apabila suami bertanggung jawab atas melakukan keadilan di
dalam rumah tangga atas istri-istrinya maka hendaklah suami melakukan
prosedur sesuai agama dan negara. Karena muamalah pernikahan yang ada di
dalam hukum Islam bisa diaplikasikan dengan adanya dukungan dari hukum
negara. Penulis setuju dengan kebolehan poligami dilengkapi dengan
memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku di dalam agama dan negara.
Apabila hanya secara agama saja, maka akan ada peluang ketidakadilan suami
terhadap beberapa istrinya.
Seorang istri menuntut suaminya adalah tindakan benar. Karena
bisa jadi istri melihat peluang suami melakukan ketidakadilan. Penulis
menekankan kembali bahwa tidak ada poligami ilegal dalam hukum Islam,
baik pendapat imam mazhab, pendapat ulama klasik maupun ulama
kontemporer. Poligami disebut ilegal karena tidak adanya perlakuan seorang
suami kepada istri yang tidak melakukan perizinan dan/atau mengurus
administrasi yang sangat diangap penting.
Hasil analisis putusan hakim Lahore dengan teori Sadd dzarî’ah ,
sebagaimana berikut ini:
1) Salah satu sistem common law adalah sistem hukum yang sangat
menekankan pentingnya perizinan dan memiliki hakikat yang sama
dengan tujuan Sadd dzarî’ah , yaitu menghilangkan illat gharar dalam
identitas personal maupun publik.
2) Hakim berijtihad dengan Sadd dzarî’ah tentang berapa lama dipenjara
dan berapa denda dijatuhkan. Hakim menetapkan penjara enam bulan
dari hukuman maksimal satu tahun penjara dan denda dua ratus ribu
rupee melebihi batas maksimal dari yang seharusnya, yaitu lima ribu
rupee. Semata-mata agar memberikan efek jera dan menjadi peringatan
untuk lainnya.
3) Hukuman tersebut bersifat hukuman ta’zîr dan hakim menjatuhkan
ta’zîr sebagai peringatan kepada masyarakat lainnya demi ketertiban
negara.
102
3. Analisis Ratio Decidendi Menurut Teori Legal Positivism
Penulis menganalisis bahwa hakim mengimplikasikan teori legal
positivism. Terdapat poin dari putusan hakim yang patut dikaitkan dengan
teori legal positivism sebagaimana berikut ini:
1) Hakim merealisasikan hukum positif, yaitu undang-undang The
Muslim Family Law Ordinance 1961 pasal 6 tentang poligami, dengan
dua ratio decidendi untuk menjatuhkan hukuman.
2) Ratio decidendi hakim, mengatakan bahwa suami tidak melakukan izin
kepada istri kedua untuk menikah dengan istri ketiga. Walaupun istri
pertama tidak mempermasalahkan bahkan menjadi saksi pembela
suami di persidangan.
3) Ratio decidendi hakim, mengatakan bahwa suami telah melanggar
pasal 6 dari MFLO 1961 dengan hukuman pidana penjara 6 bulan dan
denda dengan 200 ribu rupee. Di undang-undang, maksimal penjara
adalah 1 tahun dan denda 5000 rupee. Artinya, ada ijtihad hakim
memilih berapa lama kurungan dan berapa banyak hitungan denda
demi menimbulkan efek jera.
Terciptanya reliasasi hukum dengan menjalankan konsekuensi bahwa
manusia harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang
harus diwujudkan meliputi: 7
1. Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap
warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan
dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan,
subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas
hak dan kewajiban;
2. Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan
wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk menaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; dan
7 Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan Tinggi, (Jakarta: Paradigama,
2007), h. 36
103
3. Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu
dengan lainnya secara timbal balik
Hakim memutuskan putusan sesuai dengan teori legal positivism, di antara
poin-poinya adalah:
1) Ratio decidendi hakim memutuskan putusan sesuai dengan hukum
negara yang ada
2) Hakim tidak melihat pangkat derajat seseorang, hakim cenderung
komulatif
3) Hakim memutuskan kepada yang terikat undang-undang ini, yaitu
warga negaranya.
Secara jelas Fazlur Rahman menyatakan dalam bukunya8:
“Setiap pernyataan yang legal didalam al-Qur’an selalu disertai dengan
ratio legis yang menjelaskan mengapa sebuah hukum dinyatakan dan
untuk memahami ratio legis maka harus dipelajari latar belakang sosio
historis. Ratio legis ini merupakan inti sedangkan legislasi aktual
merupakan perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio
legis tersebut; jika tidak demikian maka hukum tersebut harus diubah. Jika
situasi berubah sedemikian rupa sehingga hukum tidak lagi mencerminkan
ratio legis tersebut, maka hukum tersebut harus diubah”.
Rahman sendiri berpendapat bahwa izin berpoligami itu merupakan
hukum, sedang sanksi-sanksinya adalah untuk mencapai ideal moral yang
harus diperjuangkan masyarakat. Penulis menyimpulkan, telah ditemukan
adanya kesesuaian putusan hakim dengan undang-undangnya dari
perspektif hukum positif.
C. Hak Perempuan Memberikan Izin Poligami Perspektif Gender
Perlu untuk diketahui bahwa inti dari kesetaraan gender adalah
memberikan kedudukan, kesempatan dan kebebasan yang sama dan sejajar
(equality) antara laki-laki dan perempuan untuk mengambil keputusan dan
8 Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka,
1983), h. 70
104
memperoleh manfaat.9 Maka dari itu, bahwa pasal yang terkait dengan
kewenangan istri menolak poligami cenderung mengakomodir kesetaraan gender.
Apabila poligami dilihat dari beberapa perspektif kesetaran gender, di
antaranya: Pertama, feminisme liberal mereka setuju bahwa masyarakat yang adil
adalah masyarakat yang membenarkan setiap individu untuk menunjukkan
otonominya. Golongan ini berasumsi bahwa memang ada ketidakadilan dalam
relasi antara laki-laki dan perempuan, dalam hubungan-hubungan itu laki-laki
lebih diuntungkan., dilatarbelakangi oleh Pada prinsipnya, gerakan feminsime
liberal ini berargumentasi, keterbelakangan dan ketidakmampuan kaum
perempuan bersaing dengan laki-laki. Karena kelemahan mereka sendiri yang
disebabkan oleh kebodohan dan sikap irasional, yang berpegang teguh pada nilai-
nilai tradisional yang berakibat terjadinya patriarki.10 Karena itu, supaya
perempuan pun memperoleh keuntungan, ia musti terlibat dalam peluang dan
kesempatan kerja dan berusaha serta pendidikan yang tersedia di ranah publik.
Namun demikian, emansipasi yang dituju itu tidak sampai menolak kodratinya
yang memiliki sifat-sifat keibuan dan tidak meninggalkan fungsi sosial di ranah
domestik.11
Dalam pandangan ini, hak perempuan memberikan izin poligami
merupakan keadilan bagi perempuan dalam menunjukkan otonominya sehingga
perempuan mempunyai kemampuan untuk mengurus segala kebutuhannya baik
kebutuhan pribadi maupun kebutuhan rumah tangga selama keadaan istri sehat
jasmani dan rohani, setelah dimintai persetujuannya dalam hak memberikan izin
poligami yang diajukan suaminya. Sehingga, yang pada awalnya perempuan lebih
dicondongkan dengan pemikiran irasional dan tradisional, sekarang semakin
melangkah jauh untuk mendapatkan kemaslahatan yang seimbang bagi para pihak
baik suami maupun istri.
9 Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok
Perempuan di Jambi. Bogor: Center for Internasional Forestry Research (CIFOR), 2006., h. 12
10 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2013, Cet. Ke-15, h. 144
11 Siti Hidayati Amal, Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan
Wanita, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 86-88.
105
Kedua, Feminis sosialis menyatakan bahwa kapitalisme dan patriarki
merupakan sumber ideologi yang menyebabkan terjadinya penindasan terhadap
kaum wanita. Hal ini terungkap dalam dua teori yang dikembangkan perspektif ini
yaitu teori sistem ganda dan teori sistem menyatu. Teori sistem ganda memandang
persoalan penindasan kaum wanita dari dua ideologi yang berbeda yaitu
kapitalisme dan patriarki. Sedangkan teori sistem menyatu adalah gabungan dari
berbagai konsep mengenai apa yang menyebabkan penindasan terhadap kaum
wanita di masyarakat.12
Hal ini terungkap pada realita di masyarakat, teori gender ini masuk ke
dalam masalah poligami yang mana ideologi kapitalis dan patriarkis melekat pada
asumsi yang menyatakan bahwa tidak diperlukannya persetujuan istri dalam
poligami yang dilakukan suami. Justru teori feminis sosial ini menyatakan,
persetujuan istri sangat diperlukan demi meraih kemaslahatan bersama. Maka,
sama halnya dengan feminisme liberal yang menyatakan bahwa masyarakat yang
adil adalah masyarakat yang membenarkan setiap individu untuk menunjukkan
otonominya tanpa harus ada perbedaan gender dan kelas.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah dan Kompilasi
Hukum Islam serta The Muslim Family Law Ordinance 1961 (MFLO 1961),
berkaitan dengan pasal-pasalnya memberikan kewenangan bagi istri dalam
memberikan persetujuan atau keputusan untuk mencapai suatu manfaat. Maka
dapat dipahami, bahwa hak bagi istri untuk menerima atau menolak pengajuan
poligami oleh suaminya dapat dipertahankan secara yuridis. Pengakuan terhadap
hak ini tentu saja mengindikasikan bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
Peraturan Pemerintah dan Kompilasi Hukum Islam serta The Muslim Family Law
Ordinance 1961 (MFLO 1961) tidak bersikap diskriminatif. Laki-laki dan
perempuan diberi kesempatan yang sama dalam memutuskan kehendaknya tanpa
ada beban status dirinya baik sebagai suami maupun sebagai istri.
Islam juga menjunjung tinggi martabat perempuan dan meletakkan
kehormatannya sejajar dengan laki-laki. Sebelum diutusnya Nabi Muhammad
12 Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction,
Second Edition, (Yogyakarta : Jalasutra, 1998), h. 120
106
SAW, perempuan tidak memiliki nilai kehormatan yang layak dan dibanggakan,
dan Islam yang memberinya kedudukan ini. Islam memberikan penghormatan
kepada perempuan di mana hal yang sama diberikannya kepada laki-laki.
D. Analisis Perbandingan Undang-Undang dan Putusan Hakim Banda
Aceh-Indonesia dan Lahore-Pakistan
1. Vertikal
Analisis vertikal ini membahas seputar perbandingan aturan
poligami antara konsep fikih mazhab dan perundang-undangan perkawinan di
dua negara Indonesia dan negara Pakistan. Konsep aturan poligami telah
diatur di dalam hukum Islam, jika dilihat dari ketentuan yang telah disepakati
oleh empat madzhab adalah, laki-laki boleh berpoligami maksimal empat,
selama perempuan yang dinikahi tidak haram untuk dinikahi, dan adil dalam
menggilir semua istri-istrinya. Tidak ada di dalam hukum Islam bahwa Istri
mendapatkan hak untuk memberikan izin kepada suaminya untuk
berpoligami. Tetapi istri berhak mengetahui jika suaminya menikah lagi, itu
adalah hak istri dan kewajiban yang harus ditunaikan suami kepada istrinya.
Apabila suami tidak memberikan kabar kepada istrinya maka nilai sakinah
(ketenangan) dalam rumah tangga akan hancur dan akan banyak sekali konflik
yang membawa fitnah rumah tangga.
Di dalam mazhab syafi’i dan mazhab hanafi sepakat bahwa
maksimal poligami adalah empat istri dan bukan perempuan yang haram
dinikahi. Tidak ada kewajiban untuk mencatatkan pernikahan di pemerintah
dalam ketentuan dua mazhab ini dan tidak ada kewajiban untuk izin kepada
istrinya. Sedangkan dalam perundang-undangan di Indonesia, bagi siapapun
laki-laki, khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang hendak melakukan
poligami harus menjalani pernikahan sesuai dengan agamanya dan izin kepada
atasan di kantornya dan istrinya. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut
maka suami akan mendapatkan hukuman disiplin. Tidak ada hukuman pidana
dalam undang-undang perkawinan di Indonesia tentang PNS yang melakukan
poligami secara ilegal. Sedangkan dalam perundang-undangan di Pakistan,
107
bagi siapapun laki-laki yang hendak melakukan poligami maka wajib
mendapatkan izin istri, dengan demikian apabila diketahui melakukan
poligami tanpa ada izin istri maka poligami tersebut tidak sah secara
kenegaraan dan mendapatkan hukuman pidana penjara maksimal satu tahun
dan denda.
Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi
syarat-syarat berikut:
a) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.
d) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Di dalam peraturan perundang-undangan hukum keluarga Islam di
Pakistan, dijelaskan tentang mutlaknya izin istri sebagai syarat sahnya
poligami. Sebagaimana yang telah diatur dalam MFLO 1961 tentang
poligami, pasal 5:
Any man who contracts another marriage without the permission of the
Arbitration Council shall:
a) Pay immediately the entire amount of dower, whether prompt of
deffered, due to the existing wife of wives, which amount, if not so paid
shall be recoverable as arrears of land revenue; and
b) On conviction upon complainant be punishable with simple
imprisonment which may extend to one year, or with fine which may
extend to five thousand rupees, or with both.
108
Artinya: Siapapun laki-laki yang sudah beristri, yang melakukan akad
perkawinan dengan perempuan lain tanpa izin tertulis dari Majelis Arbitrase:
a) Segera membayar seluruh jumlah mahar, baik secara tunai maupun
ditangguhkan, kepada istrinya atau istri-istrinya yan ada yang nilai
harganya – jika tidak dibayarkan maka diganti dengan angsuran/cicilan
yang diambil dari hasil usaha lahan pertanian; dan
b) Berdasarkan keyakinan terhadap pengaduan yang disampaikan dapat
dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 1 tahun, atau dengan
hukuman denda maksimal 5000 Rupee, atau dengan kombinasi pidana
kurungan dan pidana denda tersebut.
Pasal-pasal tentang poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 di Indonesia dan Undang-undang MFLO 1961 di Pakistan, menjelaskan
dan memberikan hak kepada istri dalam menerima atau menolak kehendak
poligami suaminya. Aturan hukum keluarga Indonesia dan Pakistan yang
memberikan hak menolak poligami kepada perempuan, jika dibandingkan
dengan pendapat fukaha. Maka, ditemukan perbedaan yang begitu diametral.
Apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan
negara Pakistan, bertolak belakang dengan apa yang dirumuskan dalam fikih-
fikih klasik. Jelas, dalam fikih klasik fukaha sepakat bahwa poligami itu
adalah hak suami tanpa perlu izin kepada istri.
Alasan mazhab syafi’i dan mazhab hanafi berbeda pandangan
tentang masalah poligami dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana
berikut ini:
a) Nash al-Qur`an
Perintah poligami dalam ayat di atas itu sebenarnya untuk yang
sudah bersuami dan itupun diutamakan kepada janda yang banyak
anaknya.13 Dan perintah untuk berbuat baik kepada anak-anak yatim, jika
mereka ada harta, maka harta mereka itu tidak boleh dicampur dengan
harta orang lain, di samping itu syarat lainnya adalah berbuat adil di antara
mereka. Selanjutnya jika tidak dapat berbuat adil atau tidak memenuhi
13 Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami. Pen : Sahiron
Syamsuddin, dan Burhanuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta : 2004), h. 428.
109
persyaratan tersebut, maka hendaklah mengawini seorang saja. Akan tetapi
jika melihat kembali firman Allah dalam surat an-Nisa’ : 129, maka hal ini
sudah merupakan ketetapan Allah tentang keadilan, adapun nashnya
berbunyi :
ف ال ت يل وا ك لا الم يل ف ت ذ ر وه ا ت ست ط يع وا أ ن ت عد ل وا ب ني الن س اء و ل و ح ر صت م و ل ن يما الم ع لاق ة و إ ن ت صل ح وا و ت ت اق وا ف إ نا اللا ك ان غ ف ورا ر ح ك
Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sehubungan dengan masalah keadilan ini perintah syari’at kepada para
suami untuk selalu berusaha berbuat adil, dan jika tidak ada usaha untuk
berbuat adil, maka hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam satu hadis
yang berbunyi :
ن ف م ال إ ىل ان ت ل ه ا مر أ ات : م ن ك ع ن أ ب ه ر ي ر ة أ نا الن ب ص لاى هللا ع ل يه و س لام ق ال قاه م ائ ل إ حد مه ا، ج اء ي وم الق ي ام ة و ش
Artinya : Dari Abi Hurairah bahwasanya Nabi saw bersabda : Barangsiapa
yang mempunyai dua istri, kemudian ia melebihkan kepada salah satunya,
maka ia akan datang di hari kiamat dalam keadaan miring sebelah
badannya.14
Penulis juga menemukan tidak ada penjelaskan di dalam nash Al-Qur`an
maupun hadis bahwa agar poligami menjadi sah harus dengan adanya izin
istri atau istri-istrinya. Nash Al-Qur`an dan hadis hanya menjelaskan
konsep keadilan dalam poligami.
14 Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal. (Kairo: Dar al-Fikr, 1978), h. 124.
110
b) Sirah Nabawi
Para Imam mazhab masih berpegang teguh pada kisah kehidupan
Rasul yang melakukan poligami itu sebenarnya kehidupan yang sangat
berat dihadapi oleh Rasul, jika tidak dibantu oleh wahyu kemungkinan
tidak akan mampu untuk melakukannya, dari itu jika ingin berpoligami
yang syar’i, dan penuh perjuangan yang mendapat nilai amal shaleh, maka
hendaklah mengambil yang janda-janda yang ada anaknya, sebagaimana
yang dihadapi oleh Rasul.
Ketika Khadijah wafat, masalah poligami di kalangan bangsa Arab
adalah merupakan hal biasa, bahkan dalam sejarahnya masalah poligami
ini sudah dikenal sejak Nabi Ibrahim as, namun Rasul semasa dengan
Khadijah merasa cukup dengan satu istri saja.
Selanjutnya setelah Khadijah wafat, Rasul baru melaksanakan
pernikahan lagi, namun pernikahan ini bukan bermaksud untuk
melaksanakan nafsu sahwatnya, akan tetapi untuk menjalin kekeluargaan
dengan anak dari sahabatnya Abu Bakar, yakni Aisyah. Setelah itu baru
menikah dengan Hafshah binti Umar bin Khattab, ia adalah seorang janda
muda, setelah itu menikah dengan Ummu Salamah, ia adalah janda
panglima perang beliau sendiri yang gugur di medan perang sebagai
pahlawan syahid. Kemudian menikah dengan Saudah, ia adalah seorang
wanita bernasib malang yang tidak mempunyai suami, karena usianya
sudah tua. Sebagai contoh lainnya adalah pernikahan Rasul dengan Zainab
binti Jahsyi, pernikahan ini adalah merupakan pernikahan yang berat bagi
Rasul karena Zainab itu sendiri mantan dari isteri anak angkatnya sendiri,
dan termasuk dari kerabat Rasul sendiri. Juga pernikahan Rasul dengan
Ummu Habibah ia adalah putri dari tokoh dan penguasa Quraisy Makkah
yakni Abu Sofyan bin Harb.15
15 Muhammad al-Ghazali, Fiqh Sirah, Terjemahan : Fiqh Sirah (Menghayati nilai-nilai
riwayat hidup Muhammad Rasulullah saw).: Abu Laila, dan Muhammad Tohir. (Bandung : Al-
Ma’arif, 1998), 715-724
111
Jadi pernikahan Rasul setelah wafatnya Khadijah itu pada dasarnya
didorong atas rasa dan kondisi mereka semua dan untuk menjalin
persauadaraan dengan para sahabatnya.
Perbedaan pendapat antara fukaha dengan peraturan perundang-
undangan di Indonesia dan negara Pakistan pada zaman modern ini, terjadi
karena dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya: faktor sosial, budaya, dan
politik yang cenderung sangat berbeda. Apalagi letak geografis tempat fukaha
tinggal, di wilayah Timur Tengah, serta Indonesia di Asia Tenggara dan
Pakitan di Asia Selatan. Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadikan
ketentuan hukum pun menjadi berbeda. Apabila pendapat fukaha
diimplementasikan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan negara
Pakistan di masa modern ini, tentu tidak menutup kemungkinan timbulnya
polemik tersendiri yang harus diselesaikan. Walaupun kedua negara tersebut
adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun kedua
negara tersebut menambahkan aturan tentang hukum keluarga, khususnya
poligami. Hukum keluarga di Indonesia hanya menyerap hampir sepenuhnya
mazhab syafi’i, sedangkan hukum keluarga pakistan juga banyak menyerap
dari mazhab hanafi. Dengan demikian adanya revolusi hukum keluarga Islam
dari mazhab di kedua negara tersebut. Dengan menambahkan aturan-aturan
maslahah yang sesuai keperluan di kedua negara tersebut, mengembangkan
ijtihad-ijtihad dan bermusyawarah dalam membentuk perundang-undangan
hukum keluarga.
2. Horizontal
Analisis horizontal ini membahas seputar perbandingan aturan
poligami antara perundang-undangan perkawinan di dua negara, Indonesia
dan negara Pakistan. Dalam hukum keluarga Islam di Indonesia, poligami
diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan
Pemerintah dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sedangkan hukum keluarga
Islam di Pakistan, poligami diatur di The Muslim Family Law Ordinance 1961
(MFLO 1961). Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara dua negara
112
tersebut yaitu hukum keluarga Islam di Indonesia tidak memberlakukan sanksi
pidana bagi suami yang melakukan poligami secara tidak sah, sedangkan
hukum keluarga Islam di Pakistan memberlakukan sanksi pidana.
Apabila dilihat dari perspektif perundang-undangan hukum
keluarga baik di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun
MFLO 1961 mengatur tentang hak suami dan istri dalam masalah poligami
secara seimbang. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 poligami merupakan
perkawinan lebih dari 1 (satu). Dalam pelaksanaanya, perkawinan harus di
dasarkan atas persetujuan kedua belah pihak yang akan menjadi pasangan
suami istri atau harus melibatkan persetujuan dari istri. Begitu pun dengan
poligami, ketika suami menikah lagi, maka persetujuan istri sangat diperlukan
sebagaimana Pasal 4 yaitu “Untuk dapat mengajukan permohonan ke
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-
undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a) Adanya persetujuan dari
istri/istri-istri.” Ketika istri tidak bersedia menerima suaminya berpoligami
maka istri berhak melakukan gugatan di pengadilan agama.
Demikian juga peraturan The Muslim Family Law Ordinance 1961 di negara
Pakistan mengatur bahwa istri dapat melakukan menggugat poligami suami
yang tidak izin istri yang dilakukan oleh suaminya, apabila memiliki alasan-
alasan yang dibenarkan hukum. Pernyataan ini sesuai dengan pasal 5, yaitu
“Any man who contracts another marriage without the permission of the
Arbitration Council shall: Pay immediately the entire amount of dower,
whether prompt of deffered, due to the existing wife of wives, which amount, if
not so paid shall be recoverable as arrears of land revenue; and On
conviction upon complainant be punishable with simple imprisonment which
may extend to one year, or with fine which may extend to five thousand
rupees, or with both.”16
16 MFLO 1961, pasal 5, ayat (1) dan (2), Artinya: Siapapun laki-laki yang sudah beristri,
yang melakukan akad perkawinan dengan perempuan lain tanpa izin tertulis dari Majelis
Arbitrase:
a) Segera membayar seluruh jumlah mahar, baik secara tunai maupun ditangguhkan,
kepada istrinya atau istri-istrinya yang ada yang nilai harganya – jika tidak
113
Apabila tidak adanya persetujuan istri untuk berpoligami, mustahil tujuan
pernikahan dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam dapat tercapai. Dengan demikian, dalam upaya pemeliharaan
keutuhan rumah tangga (perkawinan) sesuai hukum Islam, maka salah satunya
istri mengizinkan suami berpoligami. Dan bila dikaitkan dengan hak dan
kedudukan suami istri yang seimbang dalam rumah tangga dan sama-sama
berhak melakukan perbuatan hukum, maka jelas poligami yang dilakukan
harus didasari suka sama suka, sehingga tidak terjadi penindasan hak dan
kedudukan pasangan suami istri. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun
1974 pasal 31 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 79 ayat (2) yang menyatakan
bahwa: “Hak dan Kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat”, dan ayat (3) menyatakan bahwa: “Masing-
masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
Dengan demikian, dalam poligami terjadi perkembangan konseptual yang
signifikan dari fikih ke Undang-undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
dan Kompilasi Hukum Islam maupun MFLO 1961 Pakistan. Hemat penulis,
para perumus peraturan perundang-undangan di kedua negara yaitu Indonesia
dan negara Pakistan tidak ada unsur mengurangi hak-hak suami dalam
masalah poligami, tetapi berusaha mengatur agar kepentingan masing-masing
pihak tetap dapat terlindungi oleh negara. Ketentuan poligami dalam Undang-
undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, pasal 3, 4 Dan 5 merupakan satu
bentuk perlindungan terhadap perempuan, dan aturan yang sangat
memperhatikan hak yang seimbang antara suami istri, yang mana suami
mempunyai hak poligami dan istri mempunyai hak untuk menolak atau
menerima poligami yang dilakukan suami. Begitu pula dalam Undang-undang
MFLO 1961 di negara Pakistan, yang melangkah jauh dari mazhab hanafi
dibayarkan maka diganti dengan angsuran/cicilan yang diambil dari hasil usaha lahan
pertanian; dan
b) Berdasarkan keyakinan terhadap pengaduan yang disampaikan dapat dihukum
dengan hukuman kurungan maksimal 1 tahun, atau dengan hukuman denda
maksimal 5000 Rupee, atau dengan kombinasi pidana kurungan dan pidana denda
tersebut.
114
yang memberikan sanksi kepada suami yang tidak mendapatkan izin dari istri
atau istri-istrinya. Namun sebaliknya undang-undang ini sangat
memperhatikan perempuan dalam hal poligami.
3. Diagonal
Analisis diagonal ini membahas seputar perbandingan aturan
poligami dengan melakukan penelusuran terhadap aspek-aspek perbedaan
aturan, antara negara Indonesia dan negara Pakistan berikut dengan tingkat
perbedaannya masing-masing. Terdapat persamaan dan perbedaan dalam UU
No 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah, Kompilasi Hukum Islam serta
MFLO 1961, tentang kewenangan hak istri dalam poligami yang diajukan
oleh suaminya. Persamaan yang sangat menonjol dari kedua peraturan
perundang-undangan ini yaitu diaturnya hak suami dan istri dalam masalah
poligami secara seimbang. Kedua peraturan ini juga sama-sama
memperjuangkan hak-hak perempuan dan memberikan perlindungan hukum
kepada istri, dengan memberikan hak menolak dan persetujuan kepada istri,
yang mana sebelumnya tidak ada hak persetujuan bagi istri dalam pandangan
fukaha.
Sistem hukum di Indonesia menggunakan civil law system,
sedangan di Pakistan menggunakan common law system, terdapat perbedaan
yang sangat mencolok dalam sistem hukum yang ada di dua negara tersebut
sehingga mengeluarkan produk hukum yang berbeda. Common law system
mengandung aturan yang sangat menekankan disiplin, lebih melindungi hak-
hak masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, apabila disiplin dilanggar
maka terdapat sanksi pidana. Civil law system mengandung aturan yang
kurang menekankan hukuman disiplin terhadap hukum keluarga, tidak heran
jika hukum keluarga adalah wilayah perdata saja, bukan pidana, sebab hukum
keluarga adalah masalah personal bukan masalah umum.
Kedua peraturan perundang-undangan ini memberikan hak kepada
istri dalam menerima atau menolak poligami yang dilakukan oleh suaminya,
terdapat dalam pasal 59 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Dalam
115
hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memaksa dan mendengar istri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini
istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.”
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974, maka jika kedua Pasal tersebut dipahami secara utuh, dapat
disimpulkan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang
(berpoligami) maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk memperoleh izin dari pengadilan. Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut, jika dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam bahwa suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa
izin Pengadilan Agama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap
orang apakah orang tersebut Pegawai Negeri Sipil atau bukan jika hendak
melakukan poligami maka ia wajib memperoleh izin dari Pengadilan
Lalu di tegaskan oleh pasal 59 bahwa poligami yang dilakukan
tanpa persetujuan istri, dapat dijadikan gugatan atas poligami tersebut dan
dinyatakan pembatalan perkawinan dengan putusan Pengadilan Agama.
Begitupun dengan MFLO 1961 terdapat pada pasal 5 menjelaskan bahwa
suami ingin berpoligami dan istri pun menyetujui poligami tersebut. Maka,
Mahkamah dapat memerintahkan untuk hidup bersama seperti semula
sebagaimana suami istri yang sah. Akan tetapi jika istri menolak suami
berpoligami seperti yang dijelaskan pasal 5 bahwa, jika suami ingin
melakukan poligami dan istri tidak bersedia poligaminya itu dengan alasan-
alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka Pengadilan akan menjatuhkan
hukuman pidana berupa penjara maksimal satu tahun dan denda kepada
suaminya. Di sisi lain terdapat perbedaan tentang poligami berkaitan dengan
beberapa hal:
116
1) Tata Cara Izin Berpoligami
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah dan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, menentukan secara tegas bahwa
poligami harus melalui izin pengadilan, dan izin istri bagi Pegawai Negeri
Sipil. Pernyataan izin harus dilaksanakan di hadapan Pengadilan Agama
dengan tulisan bahwa suami ingin melakukan poligami. Jika izin poligami
telah diterima, maka pernikahan kedua, ketiga atau keempat mendapatkan
kekuatan hukum dan bagi Pegawai Negeri Sipil harus mendapatkan izin
dari pimpinan instansi yang bersangkutan dan izin istri agar mendapatkan
izin dari Pengadilan Agama.17
Seusai mendapatkan izin poligami dari Pengadilan Agama, maka
pernikahan selanjutnya berjalan sebagaimana biasanya pernikahan pada
umumnya dengan melakukan pencacatan perkawinan di KUA agar
mendapatkan buku nikah yang sah. Begitupun sama halnya dengan
Pegawai Negeri setelah mendapatkan izin kemudian melakukan pencatatan
perkawinan di KUA agar mendapatkan buku nikah yang sah.
Jika suami yang Pegawai Negeri Sipil ataupun masyarakat umum
yang kedapatan melakukan perkawinan tambahan atau poligami tanpa
adanya izin dari Pengadilan Agama, maka perkawinan tersebut tidak
berkekuatan hukum dan dapat dibatalkan.
Adapaun tata cara perizinan poligami di Pakistan adalah dengan
membuat surat pernyataan di Pengadilan Agama, kemudian pengadilan
agama membentuk dewan arbitrase, dewan arbitrase adalah pihak pihak
keluarga besar suami yang terkait dengan poligami. Dewan Arbitase akan
mengajukan pertanyaan kepada istri atau istri-istrinya apakah mereka
bersedia di poligami atau tidak. Apabila ada satu yang menolak poligami
tidak dapat diteruskan. Jika suami mendapatkan izin, maka Pengadilan
Agama akan mengeluarkan Putusan Izin Poligami. dengan begitu suami
17 Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 3, 4 Dan 5; Peraturan Pemerintah
No 9 Tahun 1975 Pasal 4 ayat 2, 40, 41, 42, 43 dan 44; No 45 Tahun 1990 Pasal 4, 14, 15; No 30
Tahun 1980 Pasal 6; No 10 tahun 1983 Pasal 10 Kompilasi Hukum Islam Pasal 55, 56, 57,58 dan
59
117
dapat melangsungkan pernikahan tambahan. Kemudian suami melakukan
pencatatan pernikahan dengan membuat laporan kepada Pengadilan
Agama dalam kurun waktu dua minggu. Apabila pernikahan tersebut tidak
dilaporkan maka suami terkena sanksi pidana penjara dan denda.18
2) Sanksi
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak
mengatur sanksi bagi suami yang melakukan poligami yang tidak sah
secara hukum positif. Hanya saja perkawinan tambahan atau poligami
kedua, ketiga atau keempat tidak memiliki kekuatan hukum. Jika Pegawai
Negeri Sipil kedapatan melakukan poligami yang tidak sah atau ilegal
maka ada hukuman disiplin dari instansi sesuatu dengan Peraturan
Pemerintah.
Adapun MFLO 1961 di Pakistan, pasal 5 tentang poligami yang
mengatur sanksi bagi siapapun laki-laki yang kedapatan melakukan
poligami yang tidak sah dengan menjatuhkan sanksi pidana berupa penjara
maksimal satu tahun dan denda.
E. Solusi Bagi Istri yang Dipoligami Secara Ilegal
Apabila terjadi pernikahan kedua atau poligami ilegal di Indonesia maka
bisa berakibat kerugian administrasi sipil. Karena tidak mempunyai kekuatan
hukum. Dalam wawancara pribadi, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
mengatakan:19
"Saya memberikan saran kepada negara. Negara harus mengambil langkah.
Yaitu membuat isbat nikah, setiap kabupaten ada 150 kasus per-kabupaten, lalu
diselesaikan dengan isbat nikah dengan datang ke mahkamah syariah. Dengan
membawa saksi-saksi pernikahan ketika itu."
Lalu seumpama bila dihadapkan kasus istri yang menuntut suami yang
menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebab terdapat aturan yang menekankan bahwa
18 The Muslim Family Law Ordinance 1961 (MFLO 1961), pasal 5.
19 Ibrahim, Muslim, Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Interview
pribadi, Aceh, 27 September 2018;
118
Pegawai Negeri Sipil harus izin jika menginginkan poligami. Dalam wawancara
pribadi dengan hakim Mahkamah Syariah Aceh mengatakan:20
“Bagaimana bisa kawin tidak diberitahukan kepada orang lain. Sedangkan istri
paling berhak mengetahui keadaan rumah tangga. Wajarlah harus ada izin istri.
Izin di dalam hukum indonesia tidak secara mutlak dipegang oleh istri. Artinya,
ada pertimbangan khusus, dalam hal tertentu tidak perlu izin istri. Contohya jika
keadaan istri tidak bisa melayani. Bisa saja hakim memberi dispensasi, dan
hakim yang memberikan izin. Ada dalam peraturan pemerintah menegaskan
aturan berpoligami dengan baik dan benar, peraturan tersebut baik. Dengan
adanya aturan ini, seseorang tidak bebas melakukan sekehendaknya.”
Dan solusi bagi masyarakat yang non Pegawai Negeri Sipil, hakim
Mahkamah Syariah Aceh memberikan solusi sebagaimana berikut ini:
“Bagi masyarakat biasa, solusinya adalah bisa mengajak suami untuk
mempertimbangkan tentang melakukan poligami. harus melihat kondisi
suaminya. Tapi harus damai dulu sebelum melakukan hal hal ini: Pertama,
melapor kepada yang berhak (isbat nikah), orang tua, guru, bukan menggugat;
Kedua, membuat perjanjian. Boleh poligami tapi ada perjanjian, nafkah anak dan
sebagainya.”
Dan apabila terjadi pernikahan kedua yang ilegal di Pakistan maka tidak
ada akibat hukum. Sehingga tidak ada istilah isbat nikah. Pernikahan disebut
ilegal disebabkan karena faktor tidak izin istri pertama melalui dewan arbitrase
dan tidak melakukan pencacatan perkawinan sebagai laporan perkawinan.
Pernikahan di Pakistan perlu melaporkan ke Pengadilan dalam jangka waktu
tertentu, jika tidak melaporkan maka terkena hukuman pidana penjara dan/atau
denda.
20 Jamil Ibrahim, Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh, Banda Aceh, Interview pribadi, 1
Oktober 2018.
119
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di Indonesia, hak izin istri atas suami yang ingin berpoligami ini
dilindungi oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Suami dilaporkan
oleh istri pertama dengan permasalahan melakukan poligami ilegal kemudian
pengadilan berperan mengadili suami. Dilihat dalam ratio decidendi hakim di
Banda Aceh-Indonesia dengan teori hukum Islam sadd dzarî’ah sudah tepat.
Karena hak istri terlindungi dengan putusan yang mengandung unsur menghindari
kerusakan yang disebabkan karena nikah siri. Secara teori hukum positif legal
positivism wanita yang dinikahi secara siri oleh laki-laki tidak akan mendapatkan
kepastian dan kekuatan hukum serta tidak mendapatkan tujuan dari pernikahan
yang sakinah mawaddah warahmah.
Sedangkan ratio decidendi hakim Lahore-Pakistan dalam pandangan
hukum Islam sadd dzarî’ah sudah tepat, karena hakim bertugas memberikan
ta’zîr kepada yang melanggar aturan pemerintah, selama aturan pemerintah
mengandung banyak maslahahnya. Secara teori hukum positif legal positivism
istri mendapatkan hak memberikan izin dari yuridis. Sehingga hakim memutuskan
suami yang menikah dengan ilegal mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
yuridis pula.
Pandangan gender atas putusan dari kedua negara tersebut yaitu Putusan-
Putusan dari kedua negara tersebut jika dilihat dengan teori gender feminisme
maka di dalamnya mengandung keadilan dan kesetaraan gender. Wanita diberikan
partisipasi hukum negara yaitu hak secara yuridis menentukan perizinan sah atau
tidaknya pengajuan poligami suami. Islam .lebih awal memberikan perlindungan
gender bagi kaum wanita walaupun dalam Islam tidak mengatur secara khusus
harus mendapatkan izin isti terlebih dahulu, namun sadd dzarî’ah mengandung
kemaslahatan melindungi wanita sehingga kaum wanita mendapatkan ketenangan
batin. Apabila poligami tanpa ada pengetahuan atau izin istri dan/atau pengadilan
terlebih dahulu akan banyak kecenderungan mafsadah di kemudian hari.
120
B. Saran
Penulis memberikan saran atas putusan hakim agar lebih
menyempurnakan ilmu hakim, terutama dalam kemampuan ijtihad. Karena hakim
adalah sumber terealisasikannya dan awal keadilan di negara. Alasan atau
argumentasi hakim akan menjadi cerminan keadilan di negara sehingga hakim
harus memikirkan keadilan negara dan sosial. Seumpama hakim salah mengambil
putusan maka hakim mendapatkan satu kebaikan karena telah berusaha dan
bersungguh-sungguh berniat menyelesaikan permasalahan dengan baik dan benar,
jika putusan hakim tersebut benar maka mendapatkan dua kebaikan.
121
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Zainal Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lingkungan Pengadilan Agama, Cet.III; Jakarta: Yayasan Al-Hikmah,
1993
Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo: Dar al-Fikr, 1978
Ali, Mohammad Daud, Perkawinan Campuaran, Majalah Panji Masyarakat,
No.709, 1-10 Februari 1992
Amal, Siti Hidayati, Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis
Permasalahan Wanita, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995
Asmawi, Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum Keluarga Di Dunia Islam
Kontemporer, Jakarta: Laporan Penelitian No. 214
Bakry, Hasbullah, Pengaturan Undang-undang Perkawinan Ummat Islam,
Jakarta : Bulan Bintang, 1970
BPS Kota Banda Aceh, Kota Banda Aceh Dalam Angka, Banda Aceh
Municipality in Figures 2018, Aceh: CV Tamitra Perdana, Oktober 2018
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011
Doumanto, Eleanor Abdella, Pernikahan dan Perceraian: Paraktik Modern
dalam Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito
(editor), Bandung: Mizan, 2000
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2013, Cet. Ke-15
Friedman, W, Legal Theory, Steven & Sons Limited, Edisi ke 3, 1953
Friedman, W, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum,
alih bahasa: Muhammad Arifin, Jakarta: Rajawali Press, 1990
FZ, Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan. Bandung: PT al Ma'arif, 1976
Gah, Shirkat, Correspondence from the Manager of Advocacy to the Research
Directorate, 11 Desember 2013
Ghazaly, Abdul Rahman, “Fiqih Munâkahât”, Jakarta: Kencana, 2006
122
Al-Ghazali, Muhammad, Fiqh Sirah, Terjemahan : Fiqh Sirah (Menghayati nilai-
nilai riwayat hidup Muhammad Rasulullah saw).: Abu Laila, dan
Muhammad Tohir. (Bandung : Al-Ma’arif, 1998), 715-724
Al-Hakim, Muhammad Taqie, Al-usûl al-`Ammah al-Fiqh al-Muqârin, Beirut:
Dar al Andalus, 1963
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang,1976
Hamka. RUU Perkawinan Yang Menggoncangkan, Artikel, Jakarta: Media
Dakwah, tt.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2004
Al-Hibri, Azizah Y, Pernikahan dan Perceraian: Landasan Hukum, dalam
Ensikplopedi Oxford Dunia Islam Modern, John L. Esposito (editor), jilid
5, Bandung: Mizan, 2000
Irfan, M. Nurul, Status Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia Berdasarkan
Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010, cet. I, Bandung: Fajar Media, 2012
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, I’lâm al-Muwâqi’in `An Rabbil’âlamin, Jilid III,
Beirut: Dâr al Jail
Jafizham, T., Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,
Medan: Mestika, 1977
Ka’bah, Rifyal, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta : Khairul Bayan,
2004
Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, terjemahan Somardi,
Jakarta: Bea Media Indonesia, 2007
Khan, Muhammad Akmal, Case and court management district judiciary punjab,
Pakistan: Lahore High Court, 2017
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2013
Machali, Rochayah, Wacana Poligami di Indonesia, Bandung: PT. Mizan, 2005
Mahadi, Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia: Sebuah Catatan Sejarah
Sampai Tahun 1882,
123
Mahmood, Tahir, Family Law Reform In The Muslim Word, Bombay:
N.M,Triparti PVD.LTD, 1772
Mahmood, Tahir, Personal Law In Islamic Cauntries, New Delhi: Academy Of
Law an Religiaon, 1987
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta :
Kencana, 2012
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Mesir: Musthafa Al-Bâbi Al-Halabi, 1963
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011, cet.11
Mehdi, Rubya. The Islamization of the Law in Pakistan, New York: Routledge,
2013
Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan
PerkawinanIndonesia dan Malaysia, Jakarta: Pusat Studi dan
Pengembangan Pesantren, 2008), cet ke-1
Mudzhar, M. Atho`, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Edisi
dwibahasa, Jakarta: INIS, 1993
Mugits, Ahmad, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana, 2008
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, Jakarta: INIS, 2002
Noor, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali, 1983
Pakistan (HRCP). Correspondence from a representative to the Research
Directorate, 12 Desember 2013.
Poesponegoro, Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III,
Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984
Prins, J, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Penerbit
Sumur, 1974
124
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-qur`an, Bandung: Pustaka, 1996
Rasyidi, Lili dan Sidarta, B. Arief (Peny.), Filsafat Hukum: Mazhab dan
Refleksinya, Cet-2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Rasyidi, Lili dan Putra, Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993
Rasjadi, H.M, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen,
Jakarta : Bulan Bintang, 1974
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006
Romli, Muqâranah Madzâhib fi al-Ushûl, Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999
Rusyd, Ibnu, Kitab Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid, Juz 2,Beirut:
Dar al-Fikr, t.t
Salim & Nurbani, Erlies Septiana, Buku Pertama: Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: PT. Raja Grafinndo, 2017
Al-Sais, Muhammad Ali, Tarîkh al-Fiqh al-Islâm, Beirut: Daar al-Kitab al-
Imamiyah, 1990
Santoso, Agus, Hukum, Moral Dan Keadilan, Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2014
SF, Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Al-Shiddieqy, M. Hasbi, Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab Dalam Membina
Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th
Sosroatmodjo, Arso dan Aulawi, A. Wait, Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Subadyo, Maria Ulfah, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1987
Sugiarto, Suara Paralel Dengan Doktrin Komunis RUU Perkawinan
Bertentangan Dengan UUD 1945, Jakarta: Surat Kabar Harian Abadi,
1973
125
Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia, Malang, Bayumedia, 2005
Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia Dan Belanda,
Bandung: Mandar Maju, 2002
Sutiyoso Bambang, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang
Pasti Dan Berkeadilan, Jogjakarta: UII Press, 2009
Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992
Asy-Syafi’i, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris, Kitab Al-Umm Juz 5;
Syahrur, Muhammad, Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami. Pen : Sahiron
Syamsuddin, dan Burhanuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer
Yogyakarta : 2004
Syahuri, Taufiqurrahman, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta :
Kencana, 2013
Syatibi, Al-Muwâfaqât, jilid IV, Mesir: Matba’ah al-Maktabah al Tijariyah, t.th.
Tamza, Fristia Berdian, Hukum Keluarga Di Negara-Negara Muslim Modern,
Bandar Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013, Cet. Pertama
Tauri, Kaarlo, Critical Legal Positivism, Burlington: Ashgate, 1988
Tong, Rosemary Putnam, Feminist Thought: A More Comprehensive
Introduction, Second Edition, Yogyakarta : Jalasutra, 1998
Al-Ulwani, Thaha Jabir Fayadh, Adâb al-Ikhtilâf fi al-Islâm, Kairo: Dâr Al-Kutub
al-Qatriyah, 1985
Wahyuni, Sri, Pengaruh Positivisme Dalam Perkembangan Ilmu Hukum Dan
Pembangunan Hukum Indonesia
Wiliam, Dede-de Vries, Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi
Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for Internasional Forestry
Research (CIFOR), 2006.
Women Employees Welfare Association (WEWA). Correspondence from the
Secretary-General to the Research Directorate, 11 Desember 2013.
Zuhaily, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islamy, Juz II, Beirut: Dar al Fikr, 1986
126
Zulkayandri, Fiqh Muqaran, Pekanbaru: Program Pasca Sarjana UIN Suska Riau,
2008
WAWANCARA
Basri, Panitera Mahkamah Syariah Aceh, Banda Aceh, Interview Pribadi, 1
Oktober 2018;
Ibrahim, Jamil, Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh, Banda Aceh, Interview pribadi,
1 Oktober 2018.
Ibrahim, Muslim, Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Interview
pribadi, Aceh, 27 September 2018;
Rahmatillah, M.Ag, Anggota Mejelis Permusyawaratan Ulama Aceh, interview
pribadi, Aceh, 28 September 2018
PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERATURAN PEMERINTAH
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980
The Muslim Family Law Ordinance 1961 Pakistan
PUTUSAN
Putusan Hakim Nomor 130 /Pdt.G/2013/MS-Bna
Putusan Hakim Umair Ali Khan, Lahore: Tanggal 6 Februari 2018.
Putusan Hakim Nawaz, Lahore: Tanggal 2 September 2018
Putusan Hakim Farrukh Fareed Baloch, Lahore: Tanggal 11 Januari 2017.
Putusan Hakim Syed Ali Jawad Naqvi, Lahore: Tanggal 31 Oktober 2017.
127
JURNAL
Ali, Muhammad Daud, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Indonesia”, Jurnal Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982
Hayat, “Keadilan sebagai Prinsip Negara Hukum: Tinjauan Teoretis Dalam
Konsep Demokrasi”, Padjadjaran: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 2
Tahun 2015
HS, Ali Imron, “Menerapkan Hukum Islam Yang Inovatif Dengan Metode Sadd
Al-Dzarî’ah”, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI
Juliansyahzen, M. Iqbal, “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian
Sosio-Historis Seputar Hukum Keluarga”, Jurnal Al-Mazahib, Volume 3,
Nomer 1, Juni 2015
Mudzhar, M. Atho, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan
Tekanan Adat”), Jurnal Al-‘Adalah: Juni, 2014), Vol. XII, No. 1
Nurohmah, Leli, “Poligami, Saatnya Melihat Realitas”, dalam Jurnal Perempuan,
Menimbang Poligami, No. 31 September 2003
S,Riyandi, “Syarat Adanya Persetujuan Istri Untuk Berpoligami Analisis Ushul
Fikih Syafi‘Īyyah Terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura Vol. 15. No. 1, Agustus 2015
Sadurski, Wojciech, “Social Justice And Legal Justice”, Jurnal Law and
Philosophy, Vol. 3, No. 3, Tahun 1984), pp. 329-354
Samah, Abu, “Izin Istri Dalam Poligami Perspektif Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV No. 1
Juni 2014
Sutiyoso, Bambang, “Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan”,
Jurnal hukum no. 2 vol. 17 april 2010: 217 – 232
Yilmaz, Ihsan, “Limits of Law: Social Engineering Versus Civil Disobedience in
Pakistan”. Journal of Research Society of Pakistan), 30 Desember 2011.
Yusalia, Henny, “Poligami Dan Batasannya Dalam Perspektif Islam”, (Jurnal
Wardah: No. XXVI/ Th. XIV/ Juni 2013
128
INTERNET
Ihan Nurdin, Acehtrend.com, 15 maret 2019, Institute of Policy Studies (IPS).
"Legislation on Women and Family in Pakistan Trends and Approaches -
V." Policy Perspectives. 29 Juni 2013
http://www.jurnas.com/mobile/artikel/24164/Pakistan-Catat-Sejarah-Poligami-
Diam-diam-Masuk-Penjara/
https://www.berkabar.id/kabar/internasional/18186/di-pakistan-pria-poligami-
akan-di-penjara-dan-didenda;
http://www.bbc.com/news/world-asia-41840069;
http://nation.com.pk/02-Nov-2017/man-jailed-for-third-wedlock-without-second-
wife-s-nod;
http://lahore.dc.lhc.gov.pk/PublicPages/JudgementOrder.aspx arsip di upload
pada 31-10-2017.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/165/409
http://www.e-jurnal.com/2017/02/izin-istri-sebagai-syarat-poligami.html
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/pikir/article/view/2417
http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/syariah/article/view/987
http://www.ashraflawfirm.com/family.html, diakses pada tanggal 10-12-2018
https://www.viva.co.id/berita/nasional/289731-mahfud-md-putusan-mk-justru-
hindari-zina Jum’at 17 Pebruari 2019, 11.10 WIB.
https://www.acehtrend.com/2019/01/22/selama-2018-hanya-17-kasus-poligami-
tercatat-di-mahkamah-syariah/
www.djpp.depkumham.go.id, diakses pada tanggal 10 Januari 2019
http://www.negarahukum.com/hukum/relisme-skandinavia.html
129
LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA TENTANG POLIGAMI
Nama : Prof. Dr. Tgk. H. Abu Ibrahim
Jabatan: Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
Alamat : Banda Aceh
Pertanyaan
1. Apa pendapat abu tentang poligami ilegal? Ilegal dalam agama? Atau
ilegal dalam negara?
Jawab: Islam tidak mengenal ilegal (tidak izin dengan istri).
2. Lebih utama mana izin dengan istri atau dengan tidak izin?
Jawab: Lebih utama izin istri, walaupun tidak izin istri, pernikahan itu
tetap terjadi. Mengapa perlu izin, agar adanya saling komunikasi, bahkan
ada istri mencarikan istri lain untuk suaminya.
3. Apakah perbuatan istri yang menggugat suaminya yang berpoligami
ilegal adalah perbuatan nusyuz?
Jawab: Apabila sudah diatur di dalam undang-undang, istri menuntut
adalah wajar, perilaku itu atas dasar asas keadilan. Sebab “apabila kamu
tidak mampu untuk adil, maka lebih baik satu”. Dia tidak mengikuti
prosedur undang-undang adalah tindak tidak adilnya suami dan bisa
dituntut.
4. Apakah perlu menghukum poligami yang tidak adil dalam konteks di
atas?
Jawab: Saya kira perlu. Di maroko, tidak perlu izin istri, tapi wajib izin
kepada camat. Disana ada aturan jika ingin poligami, maka camat akan
menghitung jumlah kekayaan suami. Apabila cukup, maka bisa melakukan
pernikahan lagi. Ini adalah campur tangan negara demi keadilan.
5. Solusi bagi istri yang di poligami ilegal?
Jawab: Negara harus mengambil langkah. Yaitu membuat isbat nikah,
setiap kabupaten ada 150 kasus per kabupaten, lalu diselesaikan dengan
isbat nikah dengan datang ke mahkamah syariah. Dengan membawa saksi-
saksi pernikahan ketika itu. Saya memberikan saran kepada negara.
6. Perlukah kita membentuk undang-undang pidana seperti pakistan
tidak izin dari istri?
Jawab: Sanksi hanya bagi pelanggaran. Tidak Izin istri itu bukan
pelanggaran secara islam, adapun hak istri-istri tidak adil diberikan maka
130
adil itu bisa relatif. Islam melindungi keadilan. Negara melindungi
keadilan. Hak istri sama dengan hak sipil warga negara.
Nama : Dr. H. Jamil Ibrahim
Jabatan: Ketua Mahkamah Syariah Aceh
Alamat : Banda Aceh
Pertanyaan
1. Bagaimana Aturan Hukum Polugami di Indonesia?
Jawab: Pada prinsipnya, poligami dalam hukum positif sudah benar dan
baik, karena dalam hukum positif tidak melarang poligami, hanya
mempersulit, mempersempit poligami. hal ini dikarenakan memiliki tujuan
baik, diantaranya adalah:pertama, dalam rangka menjaga keutuhan rumah
tangga, karena ada beberapa orang terganggu dengan poligami hadir
dikeluarganya. Kedua, Poligami adalah fitrah, bukan berarti bebas, kalau
agama membenarkan berarti ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan, dan
hukum positif sudah cukup bagus. Boleh poligami tapi harus memenuhi
syarat-syarat semata-mata untuk kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan
dalam bermasyarakat
2. Apakah masih perlu diperbaiki?
Jawab: Perbaikan dalam suatu ketentuan karena ada sebab kebutuhan.
Seumpama kebutuhan karena untuk kelonggaran poligami sehingga orang
bebas berpoligami, itu gak perlu ada perbaikan. Ada yang perlu diperbaiki
yaitu jangan ditutup rapat. Izin poligami tidak hanya di istri saja tapi atas
pertimbangan hakim juga, seumpama istri sakit-sakitan tetapi istri tidak
mengizinkan maka hakim bisa mempertimbangkan.
3. Apakah poligami harus dengan izin istri?
Jawab: Secara formal, dia perlu izin. Kenapa? Bagaimana bisa kawin tidak
diberitahukan kepada orang lain. Sedangkan istri paling berhak
mengetahui keadaan rumah tangga. Wajarlah harus ada izin istri. Izin di
dalam hukum indonesia tidak secara mutlak dipegang oleh istri. Artinya,
ada pertimbangan khusus, dalam hal tertentu tidak perlu izin istri.
Contohya jika keadaan isti tidak bisa melayani. Bisa saja hakim memberi
dispensasi
4. Lebih utama mana, dengan izin istri atau tidak dengan izin?
Jawab: Dengan izin istri lebih baik. Bahkan istri harus mengawinkan
suaminya, dalam hal tertentu boleh.
131
5. Bagaimana solusi bagi wanita yang di poligami secara ilegal?
Jawab: Solusinya adalah bisa mengajak suami untuk mempertimbangkan
tentang melakukan poligami. harus melihat kondisi suaminya. Tapi harus
damai dulu sebelum melakukan hal hal ini:
1. Melapor kepada yang berhak, oran tua, guru, bukan menggugat.
2. Membuat perjanjian. Boleh poligami tapi ada perjanjian, nafkah anak
dsb
6. Pns harus izin dulu sebelum berpoligami, apakah itu sebuah
kemaslahatan?
Jawab: Ada dalam peraturan pemerintah, peraturan tersebut baik. Dengan
adanya aturan ini, seseorang tidak bebas melakukan sekehendaknya.
7. Bagaimana pendapat tentang hukuman pidana yang dijatuhkan
kepada seorang laki-laki yang kedapatan melakukan poligami ilegal
dengan penjara dan denda?
Jawab: Kita tidak bisa menilai karena itu sudah kehendak masyarakat.
Kehendak masyarakat melahirkan sebuah aturan. Laki laki tersebut
dihukum karena tidak melalui prosedur. Ilegal ada macam macam, ada
yang masih layak ada yang tidak layak.
8. Apakah istri menggugat suami karena poligami adalah suatu hal yang
wajar?
Jawab: Wajar, tergantung kondisi orang tersebut
9. Apakah kita perlu menyerap hukum yang digunakan di pakistan?
Jawab: Hukum itu luwes, menyikapi zaman, fleksibel.
Nama : Hj. Rahmatillah, M.Ag
Jabatan: Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
Alamat : Banda Aceh
Pertanyaan
1. Menurut ibu, apa pendapat ibu tentang poligami ilegal menurut
hukum Islam
Jawab: di dalam hukum Islam tidak dikenal poligami ilegal, adanya istilah
ilegal ada di ranah hukum positif negara kita, jadi ketika dikatakan
fankihuu maa thabaa lakum minan nisa matsna wa tsulatsa wa ruba’ tidak
ada penjelasan disitu tentang kelegalan atau tidaknya. Tetapi kita bisa
ambil inti dari legal dan tidak legalnya, fa in lam ta’diluu fawaahidah,
132
disitulah barangkali keluar hukum legal dan tidak legalnya. Seandainya
adanya keadilan bisa jadi keadilan dalam segi materi, kalau perlakuan dan
perasaan tidak bisa dituntut legal atau tidaknya, karena keadilan perasaan
sangat relatif. Apabila diranah hukum maka akan banyak kerugian bagi
perempuan dan jika memiliki anak maka anaknya akan kesulitan dalam hal
administasi hukumnya, kenapa? Karena tidak ada buku catatan nikah dari
orang tuanya. Contohnya kesulitan dalam mengurus akta kelahiran.,
catatan di KK kepala keluarganya adalah ibunya sedangkan ayahnya tidak
ada. Masuk sekolah juga akan bermasalah Secara hukum Islam, apabila
ketika akan terjadi pernikahan, terdapat wali, saksi, kedua mempelai dan
mahar, maka hukumnya sudah sah
2. Bagaimana tentang keadilan gender?
Kebetulan saya mengikuti studi agama Islam di Meoulburne university
tahun 2007, ketika disana, pemahaman yang kita pahami, ada dua jenis.
Gender yang mengarah ke feminism dan gender yang mengarah kepada
keadilan. Jika feminism mengarah kepada tidak ada batasan antara laki-
laki dan perempuan, maka Islam berada diantara keduanya, tidak
kebablasan dan tidak mengekang hak gender. Poligami adalah jalan keluar
yang Allah berikan tentu mengandung kemashlahatan. Bagi suami yang
cukup mempunyai finansial, kesehatannya, akhlaknya baik, ilmu dan
pemahaman tentang etika rumah tangga telah dimilikinya, begitupun
ketika laki-laki tersebut ingin berpoligami maka harus terjun ke wilayah
yang terdapat perempuan yang memiliki nilai keislaman dan nilai
keilmuan yang cukup tentang poligami itu. Maka akan ada kesetaraan
dengan sendirinya. Salah satu keadilan gender adalah mengantisipasi zina
bagi laki-laki yang hypersex
3. Apakah poligami itu perlu izin kepada isti?
Saya memahami kata perlu ini lebih mengarah ke mu’asyarah bil ma’ruf
4. Lebih baik mana, poligami dengan izin istri atau tidak dengan izin
istri?
Dalam tata kesantunan, maka izin adalah lebih baik
5. Apakah tidak izin adalah salah satu dari ketidakadilan gender?
Tidak, itu adalah hak suami yang sudah digariskan dalam agama meskipun
itu adalah emergency exit, ayat sebelumnya adalah nikahi anak yatim dst,
baru solusi nikahi 2, 3 atau 4, solusinya ini berada diujung bukan diawal.
6. Bagaimana menurut ibu dilihat dengan kacamata gender, bukan
agama?
133
Keadilan gender tidak harus selalu mementingkan wanita, tetapi lihat hak
laki-laki juga. Si perempuan dan dewan arbitrase tersebut telah
melakukan pengkhianatan gender kepada kaum laki-laki. Laki-laki juga
punya hak asasi. Negara mereka telah menerapkan gender yang
kebablasan, kenapa? Tidak ada keadilan kecuali dalam ajaram islam.
Apakah istri bisa menjamin, suami tidak melakukan zina dibelakang mata
dia?
7. Bagaimana solusi bagi istri yang sudah terlanjur menjadi istri yang
dipoligami secara ilegal?
Dia harus melakukan isbat nikah, jalur ini memang harus ditempuh, mau
tidak mau.
Nama : H. Basri, S.H
Jabatan: Panitera Mahkamah Syariah Aceh
Alamat : Banda Aceh
Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat bapak tentang solusi bagi perempuan yang
dipoligami ilegal
Jawab: Isbat nikah, kemudian dikabulkan, kemudian dilegalkan oleh
hakim. Dengan ini dia sudah sah dimata hukum positif.
2. Bagaimana poligami pns?
Jawab:Dia harus mendapatkan izin dari atasan, setelah itu dibawakan surat
itu disampaikan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengecek suami
apakah layak mendapatkan izin, pengadilan akan mengecek harta suami.
Begitupun ada aturan bahwa pns tidak boleh menjadi istri kedua ketiga
dan keempat.
3. Perlukah poligami ilegal diberikan sanksi?
Jawab:Seharusnya perlu untuk menjaga ketertiban
4. Bagaimana pendapat bapak tentang seseorang yang berpoligami
hanya mengikuti prosedur hukum islam saja namun tidak mengikuti
koridor hukum positif?
Jawab: Setiap masyarakat itu diatur oleh negara, tetapi akan ada efek
sosial yang diperoleh. Akan mendapatkan dampak yang kurang baik.
Setiap perbuatan yang memiliki efek dan dampak itu diatur oleh negara.
Poligami itu diatur oleh negara. Undang-undang no 1 tahun 1974 sudah
134
mengatur poligami secara pokok permasalahan, hanya saja tidak diperinci
secara mendetail. Poligami ilegal itu memiliki peluang ketidak adilan
gender. Boleh poligami tapi jangan berikan dampak yang negatif. Suami
harus bertanggungjawab, harus adil, paham poligami, jangan hanya
memenuhi hawa nafsu. Dia harus bertanggungjawab ke depan terhadap
keturunan-keturunannya.
5. Bagaimana menurut bapak, poligami dengan izin atau tidak dengan
izin?
Jawab: Sistem perkawinan itu harus melalui birokrasi yang diatur oleh
pemerintah. Karena harus ada perlindungan hukum. Poligami ilegal tidak
dapat ditangani karena tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu harus
isbat nikah. Bagi perempuan dan keluarganya, dia harus menjalankan
prosedur, karena untuk mendapatkan perlindungan hukum. Apabila terjadi
perkawinan diluar jalur, maka lemah di meja hukum.
Nama : Muhammad Siddiq, M.H., Ph.D
Jabatan: Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Aceh
Alamat : Banda Aceh
Pertanyaan
1. Pendapat tentang poligami ilegal?
Jawab: Yaitu perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur
yang ada, maka biasanya ada sanksi. Sebab-sebabnya karena ada
pelanggaran norma.
2. Apakah poligami harus membutuhkan izin istri?
Jawab: Jika memang sudah sah menjadi aturan negara maka harus ada izin
istri
3. Lebih utama mana dengan poligami dengan izin istri atau tidak
dengan izin istri?
Jawab: Dengan izin istri, apalagi sebagai aparatur negara sudah ada
ketentuan undang-undang mengatur izin istri bagi suami yang akan
menikah lagi. Dia sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara.
4. Apakah izin istri termasuk konsep keadilan sebagaimana imam
madzhab menjelaskan adil kepada istri-istri?
135
Jawab: Disini keadilan diatur oleh regulasi negara, bukan terhadap regulasi
lainnya. Jadi perlu diketahui bahwa izin istri ini diatur oleh regulasi
negara.
5. Bagaimana solusi bagi wanita yang sudah telanjur dipoligami secara
ilegal?
Jawab: Dalam kasus seperti ini, perempuan harus dilindungi secara
hukum. Negara harus memberikan perlindungan. Contohnya di aceh ada
isbat nikah. Ketika sudah sampai sistem negara, maka bisa terpenuhi hak-
haknya secara negara.
6. Apakah izin istri itu adalah suatu hal yang berlebih lebihan?
Jawab: Jika sudah diatur negara maka bukan hal yang berlebih lebihan.
Karena masyarakat sudah terikat dengan hukum negara.
136