Kekejaman Herodes Agung (Studi Sosio-politik terhadap ......Kekejaman Herodes Agung (Studi...

41
Kekejaman Herodes Agung (Studi Sosio-politik terhadap Rivalitas Herodes Agung dengan Mesias dalam Matius 2:1-18) Oleh Albert Josua Putra Maliogha 71 2009 038 Tugas Akhir Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2015

Transcript of Kekejaman Herodes Agung (Studi Sosio-politik terhadap ......Kekejaman Herodes Agung (Studi...

  • Kekejaman Herodes Agung

    (Studi Sosio-politik terhadap Rivalitas Herodes Agung dengan Mesias dalam Matius

    2:1-18)

    Oleh

    Albert Josua Putra Maliogha

    71 2009 038

    Tugas Akhir

    Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi

    Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

    Teologi

    Program Studi Teologi

    Fakultas Teologi

    Universitas Kristen Satya Wacana

    Salatiga,

    2015

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    Kata Pengantar

    Manakala kekuasaan dipegang oleh orang-orang bangsat selama periode itu sinisme

    cenderung tumbuh dengan cepat. - Bertrand Russell

    Perkataan Russell yang penulis kutip pada titik tertentu mencapai kebenaran. Teks

    Matius yang penulis teliti melalui proses penafisran ternyata menunjukan kebenaran itu.

    Akan tetapi sinisme pada teks Matius tak hanya diam sebagai sebuah -isme namun bergerak

    menjadi sebuah seruan yang mendorong hadirnya praxis dalam menentang kekuasaan yang

    dipegang oleh orang-orang yang disebut Russell sebagai “para bangsat.” Redaktur Matius

    yang hidup dalam konteks tertentu dan dalam pergumulan yang khas mencoba mengatakan

    sesuatu hal yang penting dari apa-apa yang ia dan komunitasnya alami.

    Gaya berpikir sinis yang muncul dalam teks Matius bukan suatu tindakan seseorang

    atau kelompok orang kurang kerja. Sinisme yang muncul tersebut tak datang begitu saja dari

    ruang kosong. Ada dorongan yang khas dari konteks yang membuat redaktur Matius memilih

    sinisme sebagai caranya menanggapi kenyataan. Dalam tulisan ini penulis mencoba

    merekonstruksikan bagaimana sinisme itu coba diketengahkan oleh redaktur Matius dalam

    teks Matius 2:1-18.

    Tulisan ini penulis ajukan bukan pertama-tama demi mencapai gelar sarjana teologi –

    suatu upaya melanggengkan pragmatisme- seperti yang dituliskan dalam format administrasi

    Universitas (nampak pada halaman cover tugas akhir ini). Akan tetapi tulisan ini penulis

    ajukan sebagai realisasi kecintaan terhadap studi hermeneutik dan latihan diri. Maka tentu

    tulisan ini memuat banyak kelemahan sebab ia adalah langkah awal dari proses belajar.

    Atas rampungnya tugas akhir ini maka puji syukur tak terbilang penulis haturkan bagi

    Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab penulis sadar bila tanpa ijin-Nya tentu tulisan ini tak akan

    pernah terselesaikan dan bahkan ada sekalipun. Akan tetapi penulis juga sadar bahwa

    pencapaian ini dapat terwujud juga berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin

    menghaturkan rasa terima kasih dan hormat kepada seluruh pihak yang telah membantu dan

    mendukung sehingga tugas akhir ini boleh terselesaikan. Kepada Orang tua dan keluarga

    yang rela menderita demi kebahagiaan yang sekarang penulis rasakan, kepada merekalah rasa

    terima kasih dan hormat terbesar penulis berikan. Kemudian, tak kurang juga ungkapan

    terima kasih penulis sampaikan kepada Pdt. Yusak Setyawan, Ph.D yang ialah pembimbing

    utama penulis dalam menyusun tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih atas

  • vi

    dorongan Bapak yang membuat penulis bekerja keras dan sekaligus melakukan dua proses

    tafsir, yaitu menafsir keinginan Bapak sebagai pembimbing serta menafsir teks Matius 2:1-18

    sebagai bahan penelitian penulis. Ketiga, penulis memberikan penghargaan kepada Ibu Ira D.

    Mangililo, Ph.D dan Bapak Pdt. Dr. Eben Nuban Timo selaku reviewer tugas akhir ini.

    Terkhusus Ibu Ira Mangililo, Ph.D penulis haturkan terima kasih yang sangat besar atas dua

    poin kritik yang sangat substansial terhadap tugas akhir ini. Kritik ibu tentang adanya gap

    antara locus sosio-politik Komunitas Yahudi dan Komunitas Matius dengan tafsir terhadap

    resistensi Komunitas Matius terhadap Kubu Status Quo Sinanoge dan Imperium Romanum,

    serta kencederungan penulis yang anakronistik melakukan simplifikasi terhadap konteks

    Komunitas Matius dengan kondisi Indonesia dewasa ini sangat membantu penulis

    membenahi tulisan ini. Meski begitu dua kritik tersebut baru akan penulis akomodir lebih

    jauh dalam pengembangan tulisan ini sebab secara jujur harus penulis kemukakan bahwa

    waktu yang sempit dan energi yang tak lagi memadai membuat penulis tak dapat mengubah

    tulisan ini secara signifikan. Kepada kolega yang banyak membantu membentuk saya dalam

    mengarahkan diri pada hasrat episteme, ucapan terima kasih juga penulis berikan. Kepada

    kelompok diskusi Bona Fide, Ladies Club, mahasiswa kelas-kelas Filsafat kepada kalian

    semua penulis ucapkan terima kasih atas ruang diskusi dan kesempatan untuk mengenal

    berbagai pemikir-pemikir besar yang membantu penulis mengubah cara memandang

    kehidupan ini. Kepada mentor Filsafat penulis, Bapak Gusti Menoh, M.Hum penulis

    mengucapkan terima kasih atas diskusi dan keterbukaan untuk mengajak penulis keluar dari

    Goa sehingga penulis kembali memercayai Tuhan dan sekaligus sadar bahwa Filsafat

    Hermeneutik a la Schleiermacher dan Dilthey termasuk positivisme Comte tak lagi pantas

    untuk di- idola- kan oleh karena kelemahan epistemologi mereka juga karena kenyataan

    jaman terus berkembang tak pernah stagnan serta lebih-lebih kesadaran untuk tak

    memperlakukan ilmu apapun sebagai ideologi.

    Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik dan saran

    dari siapapun yang membaca tulisan ini sangat penulis harapkan guna perbaikan kualitas

    penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.

    Salatiga, 18 Februari 2015

    Albert Josua Putra Maliogha

  • vii

    Daftar Isi

    Cover

    Lembar Pengesahan

    Pernyataan Tidak Plagiat

    Persetujuan Akses

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Abstrak

    1 Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian

    1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.5 Sistematika Penulisan

    2 Injil Matius dalam Konteks Sosi-politiknya

    2.1 Anthiokhia

    2.2 Komunitas Sinagoge di Anthiokhia

    3 Memahami Kembali Matius 2:1-18

    3.1 Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan Tuhan

    terhadap dominasi status quo

    3.2 Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari perjuangan

    melawan dominasi status quo

    3.3 Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan politik a la Status

    Quo menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik

    4 Relevansi Narasi Rivalitas Herodes Agung dan Yesus Sang Mesias bagi proses

    Demokratisasi pasca Reformasi

    4.1 Indonesia dalam 16 tahun Reformasi

    4.2 Visi Sosial Mesianik sebagai dasar melawan Oligarki bertopeng Demokrasi di

    Indonesia

    4.3 Landasan Biblis dalam hubungan sosio-politik dengan Sang Liyan

    5 Penutup

    5.1 Kesimpulan

    Daftar Pustaka

    i

    ii

    iii

    iv

    vi

    vii

    1

    1

    3

    3

    4

    4

    4

    5

    7

    10

    10

    16

    21

    24

    24

    26

    28

    29

    29

    31

  • viii

    Abstrak

    Injil Matius merupakan bentuk counter narrative terhadap kekuasaan Imperium

    Romanum dan Aristokrasi Sinagoge yang mempraktekan dominasi dalam pranata sosio-

    politik sebagai tujuan kekuasaan. Pax Romana yang universal ialah yang terbaik menurut

    Imperium Romanum. Teologi Sosial Millitary Messiah menjadi penuntun pemberontakan

    orang Yahudi melawan si kafir Romawi. Namun keduanya dituduh secara sinis oleh

    redaktur Matius sebagai model kekuasaan politik yang haus dominasi, manipulatif,

    menindas dan tak mencerminkan kehendak Allah, itulah mengapa Herodes Agung

    digambarkan ingin membunuh Mesias. Untuk itu pranata sosio-politik Mesias Yang

    Terselamatkan sebagai model yang visioner dan melawan arus utama diajukan sebagai

    ganti dua model pertama yang sama-sama palsu dan rentan pelanggengan status quo.

    Prinsip normatif sebagaimana yang diajukan redaktur Matius dalam menyikapi

    carut marut pranata sosio-politik dari awal abad pertama ternyata menembus jauh hingga

    masa Indonesia pasca reformasi. Sebagai negara yang baru lepas dari otokrasi dan

    bergerak lambat dalam demokrasi, Indonesia tengah terengah-engah mengatasi

    cengkraman oligarki (dekadensi aristokrasi) yang bertopeng demokrasi. Melalui

    pengalaman komunitas Matius yang mengajukan pranata sosial Mesias Yang

    Terselamatkan, rupanya demokrasi di Indonesia yang hampir kehilangan daya dapat

    diperkuat kembali sehingga mampu melawan oligark yang menguasai dua preferensi

    politik utama di Indonesia: fundamentalisme pasar dan fundamantalisme agama. Pranata

    Mesianik ini dapat menjadi basis moral religius bagi pembaca Matius di Indonesia sebab

    prinsip mesianik inheren dalam prinsip demokrasi. Pembaca Matius di Indonesia dapat

    menengok dasar biblis untuk mewujudkan gerakan Demokrasi yaitu dari uncivil society

    menjadi civil society yang dididam-idamkan.

    Kata-kata Kunci: Herodes Agung, Mesias, Status Quo, Demokrasi, Oligarki.

  • 1

    1 Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    Kitab-kitab injil dalam tradisi kekristenan umumnya diterima sebagai sumber

    primer serta terpercaya oleh orang Kristen guna memahami dan mengetahui ragam hal

    tentang Yesus Kristus. Meski demikian secara faktual injil-injil tersebut kerap kali

    menunjukan beberapa jejak yang justru menghadirkan persoalan dalam upaya memahami

    dan mengetahui perihal Sang Mesias. Secara khusus sebagai contoh: kisah seputar

    kelahiran Yesus dalam kaitan dengan upaya pembunuhan diri-Nya oleh Herodes Agung

    hanya ada pada injil Matius 2:1-18.

    Mengenai ketiadaan kisah pembunuhan bayi-bayi pada injil lain sebenarnya telah

    mengundang berbagai tanggapan para ahli. Misalnya saja pendapat Drewes yang

    menyatakan bahwa merujuk teori 4 sumber maka kisah ini merupakan cerita yang berasal

    dari Sumber M, sehingga memang secara eksklusif hanya ada di Matius saja.1 Stefan

    Leeks pada satu bagian dalam bukunya menyatakan bahwa penulis injil Matius ingin

    menyampaikan suatu pesan tertentu melalui kisah yang menghubungkan Raja Herodes

    Agung dengan Yesus.2 Sedangkan, R.T. France secara meyakinkan menulis bahwa kisah

    pembunuhan anak-anak ditambahkan oleh redaktur Matius sebagai bentuk folklore yang

    umum dalam berbagai tradisi bahwa kelahiran seseorang yang hebat sudah selalu diikuti

    oleh ancaman karena kecemburuan para penguasa.3

    Namun pendapat John Drane terhadap narasi Matius 2:1-18 ialah yang paling

    signifikan tetapi sekaligus melahirkan problem serius. Terkait historisitas Matius 2:16,

    Drane justru berpendapat bahwa tidak ada catatan sejarah dalam dokumen-dokumen lain

    tentang cerita ini, meskipun cerita ini bersesuaian dengan tabiat kejam Herodes Agung.4

    Artinya, John Drane meyakini bahwa kisah ini tak faktual secara historis.

    Surip Stanislaus menegaskan bahwa kisah itu tak perlu dilihat dalam kerangka

    historisnya sekalipun informasi-informasi dalam narasi tersebut telah coba diuji secara

    1 Stefan Leeks, Tafsir Injil Matius (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 38

    2 B. F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: Gunung Mulia,2000), 32.

    3France membandingkan Matius 2:13-18 dengan cerita masa kanak-kanak Sargon, Gilgamesh, dan bahkan kisah

    dua bersaudara pendiri Roma yaitu Romulus dan Remus, sebagai bentuk folklore yang umum muncul dalam

    masyarakat kala itu. Lih. R. T. France, “Herod and The Children of Bethlehem,” Novum Testamentum VOL.

    XXI No. 2 (1979), 98. 4 John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 39.

    Perihal tabiat Herodes Agung, ia adalah seorang raja sekaligus politisi yang licik, hebat dalam pembangunan,

    dan kejam. Herodes Agung ialah seorang paranoid yang selalu curiga terhadap siapapun yang dianggapnya

    mengancam kedudukanya sebagai raja. Hirkanus (mertuanya), Mariame (istrinya) dan Aleksander, Aristobulus

    dan Antipater (ketiga anaknya) dibunuh oleh Herodes Agung karena dicurigai ingin mengkudeta kedudukanya.

    Bnd. Jona Lendering, King Herod the Great: Acient Warfare Magazine.

  • 2

    saintifik.5 Rekonstruksi yang melibatkan astronomi dalam menyelidiki Matius 2 hanya

    berhasil sampai pada kesimpulan yang tak determinan berkaitan dengan historisitas

    Matius 2:1-18. Pandangan semacam ini didukung kuat oleh ahli lainya. Misalnya

    menyebut bahwa penjelasan yang menyebut supernova Kepler, komet Heley dan

    hipotesis Konjugasi Planet-planet yang secara historis terjadi berdekatan dengan masa

    kelahiran Yesus dan kematian Herodes Agung, tetap saja kesemuanya itu tak memiliki

    relasi logis langsung dengan kisah pembunuhan anak-anak di bawah usia dua tahun oleh

    Herodes Agung.6

    Keraguan tentang aspek historis dari Matius 2 membuat pernyataan Leeks menjadi

    kuat. Anjuran Leeks untuk memperlakukan kisah ini sebagai “yang mewakili suatu

    keadaan sebenarnya” jauh lebih masuk akal daripada menerima narasi ini sebagai sebuah

    laporan pandangan mata. Sebab perbedaan mencolok kisah kelahiran Yesus dalam Matius

    dan Lukas7 membuat logika internal dari ide bahwa kisah ini ialah laporan pandangan

    mata menjadi tak konsisten sehingga secara epistemologis runtuh dengan sendirinya.

    Antonhy Saldarini menulis satu esai menarik tentang ciri khas Matius sebagai

    sebuah kitab yang memperlihatkan banyak jejak konflik antara kelompok Kristen dengan

    Yahudi. Untuk itulah alasan mengapa Yesus berulang kali digambarkan berada dalam

    posisi tegang yang vis-a-vis dengan para penguasa termasuk sejak kelahiran-Nya dalam

    Matius 2:1-18. Bila saya mencoba menafsirkan kisah ini dalam kerangka konflik antar

    kelompok maka persoalan historisitas seperti apakah benar secara faktual Herodes Agung

    pernah menggerakan pasukanya untuk memburu bayi Yesus dan membantai anak-anak

    tak berdosa tak lagi bermasalah. Akan tetapi sebagai sebuah narasi tentang konflik antar

    kelompok maka pola konflik itu menjadi menarik untuk dibahas. Fenomena ini

    merupakan gesekan antara Komunitas Matius dengan Penguasa Sinagoge yang oleh

    Saldarini disebut sebagai upaya melawan Yudaisme demi sebuah “Yudaisme Baru”

    melalui perjuangan dalam nama Yesus.8

    Selain teks ini bicara pada konteksnya tentu ia juga dapat berbicara lintas waktu

    bagi pembaca di masa kini. Dengan memperhatikan nuansa sosio-politik yang kuat pada

    teks Matius 2:13-18, baik berkaitan dengan konteks dalam teks maupun konteks dari teks,

    5 Surip Stanislaus, Rahasia di Balik Kisah Natal 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 72-74.

    6 Howard W. Clarke, The Gospel of Matthew and Its Reader: a Historical Introduction to the First Gospel

    (Indiana: Indiana University Press, 2008), 18. 7 Kesimpulan bahwa Kisah Kelahiran Yesus berdasarkan Injil Sinoptik ialah faktual secara induktif bermasalah.

    Kedua Injil itu membuat kisah kelahiran yang bertolak belakang (Matius 1:18-2:23 & Lukas 2:1-7) yang mana

    tentu tak dapat diterima prinsip logika. Bnd. Stanislaus, Rahasia, 29-30. 8 Anthony Saldarini, “The Gospel of Matthew and Jewish-Christian Conflict,” dalam David Balch (eds.), Social

    History of the Matthean Community: Cross Disciplinary Approaches (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 42-

    43.

  • 3

    saya menduga bahwa gerakan pembaharuan dalam narasi Matius dapat menjadi sangat

    aktual bagi pembacanya di Indonesia. Konteks Indonesia yang tengah dalam transisi

    negara otoritarian a la orde baru kepada negara demokratis pasca reformasi ternyata

    masih diselubungi skandal oligarki9 sehingga sebuah gerakan pembahuruan seperti

    dengungan Revolusi Mental Jokowian sebagai model normatif yang dikampanyekan

    untuk mengubah mental bangsa muncul kuat. Menurut hemat saya fenomena ini mungkin

    dapat diteropong dari model perlawanan komunitas Matius pada sistem lama yang tak

    berjalan semestinya seperti apa yang coba ditulis dalam Matius 2:1-18.

    1.2 Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian

    Dua rumusan masalah coba diketengahkan, yaitu: Pertama, bagaimana kisah

    pembantaian anak di bawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam

    Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya? Kedua, bagaimana benang merah

    kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung

    dalam Matius 2:1-18 dengan kehidupan pembacanya di Indonesia pasca reformasi?

    Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: Pertama, menjelaskan bagaimana

    kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun yang dilakukan oleh Herodes Agung

    dalam Matius 2:1-18 ditinjau dari konteks sosio-politiknya. Kemudian kedua,

    menjelaskan bagaimana benang merah kisah pembantaian anak dibawah usia dua tahun

    yang dilakukan oleh Herodes Agung dalam Matius 2:1-18 dengan kehidupan pembacanya

    di Indonesia pasca reformasi.

    1.3 Metode & Teknik Pengumpulan Data Penelitian

    Dalam penelitian ini saya akan menggunakan metode hermeneutik yang berfungsi

    untuk menguak makna dari suatu teks.10

    Metode ini digunakan dengan memperhatikan

    nuansa sosio-politik dari teks. Melalui upaya ini penafsir diandaikan dapat

    merekonstruksi teks Matius 2:1-18 sehingga paling tidak tenunan sosio-politiknya dapat

    terurai kembali. Sementara itu, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi

    kepustakaan dan menafsirkan teks Matius 2:1-18. Baik hasil tafsir teks Matius 2:1-18 dan

    sumber-sumber pustaka relevan inilah yang menjadi data-data yang kemudian saya

    kelolah dan analisa. Hasil pengelolahan dan analisa terhadap data tersebut diharapkan

    mampu menjawab masalah yang diteliti.

    9 Lih. Budi Hardiman, Di Dalam Moncong Oligark: Skandal Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,

    2014), 53.

    10

    Yusak B. Setyawan, Critical Approaches in New Testament Hermeneutics: A Draft (Salatiga: Fakultas

    Teologi UKSW, 2010), 4.

  • 4

    1.4 Manfaat Penelitian

    Saya berharap tulisan pada akhirnya dapat digunakan guna pengembangan ilmu

    teologi yang mencakup terhadap studi Hermeneutik Perjanjian Baru serta studi Agama

    dan Politik bagi Fakultas Teologi UKSW secara khusus dan dunia teologi di Indonesia

    pada umumnya. Selain itu juga melalui studi terhadap Matius 2:1-18, saya berharap agar

    penelitian ini dapat memberikan sumbangsih gagasan bagi paham tentang kondisi

    normatif kehidupan sosio-politik orang Kristen di Indonesia dewasa ini.

    1.5 Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan dalam kajian ini akan saya tulis dalam lima bagian. Pada

    bagian pertama berisikan pendahuluan. Bagian kedua dari tulisan ini akan memuat

    informasi terkait konteks sosio-politik Injil Matius. Selanjutnya pada bagian ketiga saya

    akan memberikan pemaparan tentang pemahaman ulang terhadap teks Matius 2:1-18.

    Bagian keempat berisi mengenai refleksi terhadap teks Matius 2:1-18 yaitu aktualisasinya

    bagi kehidupan pembaca Matius di Indonesia. Terakhir, bagian kelima akan memuat

    penutup daripada tulisan ini.

    2 Injil Matius dalam Konteks Sosio-Politiknya

    Banyak ahli menduga kuat bahwa injil Matius ditulis di Anthiokhia di wilayah

    Siria. Injil Matius menunjukan nuansa-nuansa yang mendukung pemahaman tersebut,

    seperti: disebutkanya mata uang dirham (mata uang Siria); diperlunaknya hukum tahir

    dan najis (bagi non Yahudi), serta ada nuasa ketegangan antara pimpinan Yahudi dengan

    jemaat.11

    Dugaan ini diperkuat melalui fakta bahwa naskah injil Matius ditulis dalam

    bahasa Yunani dengan menyertakan nuansa semitis pada berbagai ungkapan yang kualitas

    bahasanya bukan terjemaham dari bahasa Ibrani ataupun bahasa Aram. Dengan

    memperhatikan penggunaan bahasa semacam itu patut diduga bahwa tujuan tulisan ini

    untuk mereka yang menggunakan bahasa Yunani. Lagipula penggunaan bahasa Yunani

    berlaku luas terutama di kota-kota Romawi.

    Penulis dan waktu penulisan injil Matius dipercayai dilakukan oleh seseorang

    dalam kurun waktu tahun 70-90 ZB. Perkiraan waktu tersebut memberikan gambaran

    penulisan Injil terjadi pasca penghancuran Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 ZB.

    Gambaran itu dipercayai oleh para ahli dinarasikan implisit dalam bagian teks Matius

    22:7. Meski begitu dugaan yang didasarkan menurut teks Matius 22:7 itu sendiri belum

    menyelesaikan variasi pendapat para ahli tentang kapan persisnya penulisan dilakukan.

    11

    C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 88-89.

  • 5

    Hal yang sama juga terjadi pada upaya untuk melacak identitas asli dari penulis injil ini.

    Siapa persisnya yang menulis tak dapat diketahui secara pasti. Ada yang menyebutnya

    sebagai seorang pembina jemaat, seorang Yahudi yang menjadi Kristen yang berani

    mengecam orang Yahudi yang tak mau mengikut Yesus, seorang pelarian dari

    Yerusalem, ataupun seorang dari generasi Kristen kedua yang misioner yang berbahasa

    Yunani.12

    Tidak ada satupun dari pendapat tadi yang menegaskan secara pasti siapa yang

    menjadi penulis injil Matius. Akan tetapi pada saat yang sama bermacam pendapat itu

    juga tidak meneguhkan pandangan Papias bahwa penulis injil ini ialah Matius salah satu

    Rasul Yesus.13

    Melalui upaya rekonstruksi yang cermat para ahli juga mencoba merumuskan

    tujuan penulisan injil Matius. Sama seperti analisis sebelumnya, tujuan penulisan didapat

    melalui telaah terhadap karakteristik dari teks itu sendiri. Salah satu hasil telaah itu

    dikemukakan oleh De Heer. Menurut De Heer, injil ini ada demi tiga tujuan utama yaitu:

    (1) Maksud Apologetis: menyatakan bahwa nubuatan di dalam Perjanjian Lama telah

    terpenuhi dan sekaligus membela status Yesus sebagai Mesias. (2) Maksud Katekesis:

    merujuk pada Grundmman bahwa injil ini bertujuan untuk menyampaian pokok-pokok

    ajaran Kristen agar dimengerti dan demi mengajarkanya kepada orang lain. Hal itu

    nampak dari begitu banyak teladan Yesus yang dimuat oleh penulis injil. (3) Maksud

    Parenetis: untuk menegur jemaat Matius di Siria yang yang hidup tidak harmonis (kasih

    diantara mereka telah dingin).14

    2.1 Anthiokhia

    Para ahli menduga cukup kuat bahwa teks Matius ditulis di Anthiokhia. Kota ini

    ialah ketiga terbesar di kekaisaran Romawi yang berpopulasi lebih dari 500.000 jiwa

    terdiri dari orang Siria, Yunani-Romawi, juga minoritas Yahudi yang. Pada tahun 300

    SZB Anthiokhia didirikan oleh Seleukus I di dekat sungai Orontes (berada jauh dari laut

    dan terlindungi benteng alami yaitu Gunung Silpius) untuk menghormati ayahnya

    sekaligus menampung para veteran perang Makedonia serta berfungsi guna menguasai

    12

    Para ahli umumnya bersepakat bahwa sangat sulit mempercayai Rasul Matius yang menulis injil ini. Alasan-

    alasan yang dikemukakan seperti: Jika benar Matius yang menulis maka ia tentu saksi mata lalu mengapa

    seorang saksi mata perlu merujuk kepada teks Markus yang penulisnya bukan saksi mata? Juga bahasa yang

    Matius gunakan ialah Bahasa Aram bukan Bahasa Yunani padahal injil ini ditulis dalam bahasa Yunani. Lih.

    Drewes, Satu Injil, 176; Bnd. Drane, Memahami, 219; Rudolf Schnackenburg, The Gospel of Matthew, (Wm. B.

    Eerdmans Publishing Co: Michigan, 2007), 6-7. 13

    Pandangan bahwa Matius sang Rasul sebagai penulis Injil Matius baru muncul belakangan pada abad II

    setelah injil Matius ditulis. Ialah Papias, seorang penulis dari Hireapolis yang menyatakan hal ini. Lih. Jakob

    van Bruggen, Kristus di Bumi: Penuturan kehidupan-Nya oleh murid-murid dan oleh penulis-penulis sezaman,

    (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 63-65. 14

    J. De Heer, Tafsir Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: Gunung Mulia), 6-7.

  • 6

    jalur-jalur darat yang menghubungkan Asia Kecil, Mesir, tak ketinggalan Eufrat.15

    Dewi

    Tikhe (Fortuna: Keberuntungan) dipercaya menguasai nasib semua kerajaan Helenis,

    menguasai kesuburan tanah, dan menguasai keamanan kota atas banjir serta gempa,

    dijadikan dewi kota oleh penduduk di sana. Anthiokhia ialah pusat intelektual yang besar

    serta menjadi pusat perjalanan dan perdagangan yang sangat makmur serta merupakan

    ibu kota Provinsi Romawi gabungan Suriah dan Kilikia sehingga pada jaman Romawi

    mendapat perlindungan langsung dari Kaisar.16

    Seorang Gubernur Romawi menjadi perwakilan Kaisar memerintah atas

    Anthiokhia. Ia bertugas menegakan hukum dan memelihara ketertiban umum masyarakat.

    Namun ketertiban umum yang diupayakan berlangsung di Antiokhia berada dalam

    bayang-bayang: (1) tatanan masyarakat hirarkis17

    dan (2) demografi penduduk yang

    beragam budaya.18

    Dua hal ini sebenarnya membawa ancaman persoalan sosial bagi

    Gubernur Romawi di Antokhia. Pertama, potensi ancaman terletak pada pola piramida

    kekuasaan politik terpusat pada golongan elit yang jumlahnya lebih sedikit dibanding

    masyarakat kebanyakan yang berada di luar golongan itu. Golongan elit itu menguasai

    sendi-sendi ekonomi, hukum, dan mengatur kesejaterahaan yang akibatnya sendi-sendi

    itu (terutama politik) diatur menurut kepentingan mereka.19

    Dalam hal ini tercipta suatu

    tatanan sosial dalam bentuk kelas sosial yang tidak adil: golongan elit dan golongan

    nonelit. Persoalanya ialah kondisi sosial ini melahirkan rasa saling benci antara kedua

    kelas sosial itu. Kedua, sebagai kota yang mempertemukan beragam identitas dan etnis,

    Anthiokhia menyimpan potensi gesekan sosial manakala terjadi pertemuan dua atau lebih

    entitas yang saling bertolak belakang. Ner Dah mengutip Streeter menyebut kondisi itu

    sebagai “Antagonisme Etnis” yang mana kota itu diliputi ancaman kejahatan dan konflik

    akibat percampuran orang-orang dari latar belakang etnis berbeda.20

    Akan tetapi meski menyimpan potensi konflik rupaya gubernur romawi mampu

    mengatasi gesekan sosial tersebut. Piramid kekuasaan itu menempatkan ia berada pada

    puncak kelas sosial sedangkan dasar terendah ada pada golongan kecil termasuk budak.

    15

    Peter Walker, In Steps of Saint Paul, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 43; Bnd. John Staumbaugh dan David

    Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 179. 16

    Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,180. Bnd. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah teologi

    misi yang mengubah dan berubah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 67.; Robert Coote dan Mary Coote, Kuasa,

    Politik & Proses pembuatan Alkitab: Suatu Pengantar, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 164. 17

    Warren Carter, Matthew & The Margnis: A Sociopolitical and Religious Reading, (New York: Orbis Book,

    2000), 20. 18

    Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,183. 19

    Carter, Matthew & The Margins, 18. 20

    Streeter, The Four Gospel, dalam Ner Dah, "Reading the Kingdom Teaching of Matthew from the Context of

    Myanmar," PhD diss., 2009. Menurut hemat saya, apa yang dikemukakan Streeter tidak berlebihan sebab

    masalah sosial itu kemudian termanifestasi dalam gerakan pembasmian orang Yahudi di Diaspora.

  • 7

    Kekuasaan itu membuka peluang baginya untuk mendapatkan “dukungan” dari golongan

    di bawahnya demi tujuan yang ingin ia capai. Cara gubernur romawi mengatasi

    kerusuhan yang terjadi dikemudian hari khususnya berkaitan dengan isu sektarian di

    Anthiokhia menunjukan betapa “tangan besi” romawi efektif meminimalisir konflik

    terbuka.21

    Bersama para pejabat romawi dan anggota senat, gubernur selain memimpin

    legiun juga mendapat dukungan dari para imam di kuil, para pegawai kekaisaraan,

    pengumpul pajak dll. dalam relasi patron-klien.22

    Kenyataan itu menunjukan hubungan

    transaksional yang sarat kepentingan politik sudah merupakan hal lumrah terjadi di

    golongan masyarakat atas di Antiokhia. Pola relasi yang sangat rapuh karena didasarkan

    pada loyalitas semu yang dapat dibeli oleh kekuasaan.

    2.2 Komunitas Sinagoge di Anthiokhia

    Orang Yahudi yang telah tinggal di Anthiokhia sama tuanya dengan kota tersebut

    hidup dalam situasi sosial masyarakat hirarkis. Menurut Warren Carter argumen para ahli

    menunjukan dimensi-dimensi penting yang menunjukan kelas sosial orang Yahudi di kota

    ini, seperti: (1) pendapat Kingsbury bahwa bahasa Yunani yang digunakan penulis Matius

    mengindikasikan masyarakat ini ialah komunitas urban, (2) penggunaan kata Kota

    dilakukan 26 kali dibandingkan Desa, (3) jemaat Matius diasumsikan tidak asing dengan

    kekayaan, hal itu ditunjukan oleh misalnya letak perbandingan identitas Yusuf orang

    Arimatea yang pada Markus dan Lukas ia dikenal sebagai anggota dewan tinggi namun

    pada Matius ia disebut sebagai Si Orang Kaya, (4) penggunaan sebutan emas, perak dan

    talenta dilakukan sebanyak 26 kali, lebih banyak jika dibandingkan dengan Markus yang

    hanya sekali menyebut perak dan Lukas hanya empat kali lebih banyak dari Markus.23

    Argumen-argumen itu menguatkan dugaan bahwa komunitas Matius terdiri dari mereka

    yang hidup kaya, artinya ada jejak dari mereka berada pada golongan elit. Akan tetapi

    sebagai ganti keengganan Carter untuk secara deterministik menentukan kedudukan

    orang Yahudi itu, ia memberi anjuran yang secara probabilistik menempatkan orang

    Yahudi ada di kedua kelas sosial (Cross section) sebab selain karakteristik teks

    menunjukan nuansa orang terdidik (golongan elit), teks ini juga bernafaskan tindakan

    untuk menjangkau orang-orang yang dimarjinalkan.24

    21

    Upaya untuk merayakan Perbedaan Kultur dan Toleransi pernah dilakukan di Anthiokhia. Lih. Trudy Ring &

    Robert Salkin (ed.), International Dictionary of Historic Places, (London: WIPIDE, 1995), 40. 22

    Carter, Matthew & The Margins, 19. 23

    Carter, Matthew & The Margins, 25. 24

    Carter, Matthew & The Margins, 26.

  • 8

    Dugaan Carter tentang Cross section itu dapat diperkuat melalui laporan Josephus

    bahwa orang Yahudi yang tinggal di Anthiokhia hidup tentram dan secara ekonomi cukup

    kaya.25

    Menurut Staumbaugh dan Balch, kunjungan Herodes Agung beberapa kali ke

    Anthiokhia diduga kuat yang memicu naiknya gengsi, pengaruh dan kedudukan orang

    Yahudi di sana.26

    Laporan betapa kayanya orang Yahudi di Anthiokhia nampaknya bukan

    hisapan jempol belaka. Sebab, berdasarkan catatan Josephus, orang Yahudi di Anthiokhia

    mampu mengirimkan persembahan yang mahal ke Yerusalem.27

    Tidak hanya itu, pada

    masa pemerintahan Klaudius tatkala Yudea dilanda kelaparan, bantuan dari Anthiokhia

    datang untuk menanggulangi bencana tersebut.28

    Lalu bagaimana dapat diandaikan bahwa selain jejak keberadaan orang Yahudi

    dalam lingkaran elit, terdapat pula informasi yang menunjukan bahwa ada orang Yahudi

    hidup dalam kelas non elit? Hal itu dapat dijelaskan melalui identifikasi pekerjaan

    mereka. Orang Yaudi nonelit di Antiokhia ada yang hidup bekerja sebagai tukang dan

    budak yang mana secara kasat mata sudah cukup menunjukan bahwa mereka ialah

    golongan kecil yang dimarjinalkan.29

    Mereka ialah kelompok yang hidup bekerja demi

    memenuhi kesejaterahaan hidup para elit.

    Kondisi kehidupan yang baik dalam aspek sosial, ekonomi, religius, bahkan akses

    politik terhadap kekuasaan memang dinikmati oleh sebagian orang Yahudi di Anthiokhia

    untuk kurun waktu yang cukup lama. Sisanya meski dipinggirkan namun cukup untuk

    melanjutkan kehidupan dengan bekerja bagi para elit. Kehidupan yang tentram dan

    mapan di Anthiokhia bahkan telah dinikmati orang Yahudi sejak jaman Hasmonean yang

    dipicu oleh banyaknya orang baru yang hidup menyatu dengan penduduk tertarik masuk

    ke dalam komunitas sinagoge.30

    Selain bahwa pengaruh Hasmonean yang mendahului

    kunjungan Herodes Agung yang berdampak signifikan itu, perilaku sosio-politik orang

    Yahudi yang menunjukan loyalitas membuat mereka mendapatkan perlindungan.31

    Akan tetapi keadaan berbalik dan semakin memburuk bagi mereka sejak tahun 40

    ZB. Mulai saat itu hubungan sosio-politik antara orang Yahudi dengan orang Antiokhia

    25

    Josephus, Jewish War, 7.13. Bnd. Walker, In Steps, 44. 26

    Nama besar Herodes Agung yang dikenal sebagai sekutu dekat Kaisar Agustus dan juga sebagai The Great

    Builder lewat pembangunan luar biasa misalnya: Bait Allah, berbagai benteng hebat termasuk Masada, kota-

    kota Helenis seperti Sebaste dan Kaisera yang terkenal dengan pelabuhannya, tersiar ke luar Yudea bahkan

    sampai Anthiokhia. Hal itu menempatkan Herodes Agung sebagai orang yang cukup penting sehingga tidak

    heran apabila kunjungan tersebut membawa keuntungan bagi kedudukan sosio-politik orang Yahudi di

    Anthiokhia. Lih. Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, Bnd. F. F. Bruce, New Testament History, (London:

    Thomas Nelson & Sons Ltd, 1969). 27

    Josephus, Jewish War, 7.45. 28

    Walker, In Steps, 47. 29

    Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, 181. 30

    Justin Taylor, Asal Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 156. 31

    Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial,49-51.

  • 9

    berada dibawah ketegangan hebat. Permusuhan yang timbul bahkan tidak bisa menahan

    mereka untuk berhadapan dalam konflik terbuka yang berdarah-darah. Sejak terjadi

    pogrom32

    dan dekrit Kaisar Kaligula yang memuat perintah penempatan patung dirinya di

    Bait Allah di Yerusalem, bentrok pecah di Antiokhia.33

    Pembunuhan terhadap orang

    Yahudi di Anthiokhia terjadi dan sinagoge-sinagoge mereka dibakar. Mulai saat itu

    sentimen anti semit kian meninggi dan tak berhenti hingga kira-kira tahun 48 ZB. Puncak

    konflik terjadi tatkala pemberontakan Yudea melawan Romawi terjadi hingga tahun 70

    ZB.

    Konflik di Yudea turut menyeret keterlibatan Anthiokhia karena kota itu menjadi

    basis dukungan pasukan militer yang dikirim untuk menumpas pemberontakan di

    Yudea.34

    Ketegangan perang itu merembes sampai ke Anthiokhia terutama bagi orang

    Yahudi di sana. Ikut terseretnya Antiokhia dalam tensi perang Yudea membuat beberapa

    orang Yahudi di sana tidak mampu menahan diri. Beberapa anggota dari penguasa

    Yahudi merencanakan perlawanan. Komunitas Yahudi di Anthiokhia dituduh

    merencanakan membakar kota. Akibatnya, Gubernur Romawi menyerang mereka dan

    mencabut hak-hak istimewa orang Yahudi.

    Penaklukan Yudea membawa dampak tidak saja pada memburuknya hubungan

    sosial antara orang Yahudi dengan orang Anthiokhia dan sekaligus melemahkan pengaruh

    32

    Sebab terjadinya Pogrom diduga karena muncul kecemburuan sosial terhadap orang Yahudi yang melalui lobi

    politik mendapat hak istimewa yang mana telah berlangsung sejak jaman Koresh lalu terus menguat ketika

    Romawi menjadi sekutu keluarga Hasmonean. Orang yahudi dibenci oleh orang Yunani-Romawi sebab mereka

    dapat mengakses fasilitas dan hidup layak sama seperti orang Yunani-Romawi tanpa perlu melakukan

    kewajiban yang sama. Ditambah dengan kecenderungan Kaisar-kaisar Romawi yang meski berganti-ganti tetap

    saja membela orang yahudi membuat kebencian orang yunani semakin menjadi-jadi. Hak istimewa itu meliputi

    diperbolehkan melaksanakan hukum Sabat, tidak melakukan kegiataan keagamaan kekaisaraan, boleh

    membayar pajak kepada Bait Allah di Yerusalem dan bahkan mendapatkan otonomi terbatas untuk menegakan

    hukum (politeuma) Yudaisme di Sinagoge. Lih. Staumbaugh dan Balch, Dunia Sosial, 50-51.

    33 Bentrokan ini terjadi jelas dalam dua aspek yang berkaitan yaitu: Sosio-politik dan Sosio-religius.

    Kecemburuan sosial nyata dalam pogrom dan resistensi keagamaan nampak dalam perlawanan dekrit Kaligula

    yang sangat “menyakiti” hati orang Yahudi. Menurut saya, motivasi perlawanan terhadap pogrom yang jelas

    muncul sebagai reaksi mempertahankan “pemberian Romawi” sebagai keberhasilan lobi politik tentu berbeda

    dengan perlawanan terhadap dekrit Kaligula. Identitas keagamaan Yudaisme bukan “pemberian Romawi.”

    Namun resistensi itu juga bukan hanya soal ortodoksi. Ia merupakan peneguhan kemerdekaan politik secara

    religius yang saya kategorikan sebagai Hak Milik. Mengapa hak milik kemerdekaan politik secara religius

    sangat penting? Sebab, orang Yahudi begitu percaya bahwa YHWH tidak mengijinkan mereka dipimpin oleh

    orang Kafir. Penjajahan atas mereka hanyalah teguran YHWH karena mereka lalai menjalankan hukum Tuhan.

    Dalam pada itu kemerdekaan religius berkaitan erat dengan dinantikanya “Hari YHWH” atau datangnya Mesias

    untuk membebaskan mereka dari teguran. Ortodoksi bukan tujuan pada dirinya sebab jika mereka tidak mampu

    menjaga kemerdekaan religius maka sama saja melepaskan peluang hidup bebas untuk kembali mendirikan

    kedigdayaan kerajaan Daud. Gagasan untuk menjaga ortodoksi sebagai implikasi teguran YHWH itu sangat

    ditekankan oleh golongan Parisi yang ternyata ialah pemimpin sinagoge Anthiokhia Bnd. Jeffrey J. Butz, The

    Secret Legacy of Jesus: the Judaic teachings that passed from James the Just to the founding fathers,(Inner

    Tradition/Bear & Co., 2009), 281; F. F. Bruce, History; Alan Richardson, Political Christ, (Philadelpia:

    Westminster Press, 1973). 34

    Walker, In steps, 44.

  • 10

    mereka secara politik, tetapi juga memberikan pengaruh kepada tatanan beragama dalam

    komunitas mereka sendiri. Melalui kejatuhan dengan demikian berakhir juga otoritas Bait

    Allah di Yerusalem. Pasca penghancuran yang dilakukan oleh Titus pada 70 ZB membuat

    kekuasaan dalam urusan keagamaan komunitas Yahudi di diaspora menjadi wewenang

    sektoral di masing-masing Sinagoge.

    Perlu dicatat bahwa pergeseran otoritas keagamaan ke sinagoge sesungguhnya

    secara terbatas membuat mereka tetap memiliki kekuasaanya sendiri, meskipun pada

    masyarakat kota Anthiokhia mereka tidak lagi menikmati keleluasaan. Atas otoritas itu

    perselisihan dengan orang Yunani-Romawi di Anthiokhia terus berlanjut namun lebih

    banyak terjadi di dalam sinagoge. Perselisihan tersebut nampak ketika orang-orang

    Yunani mulai masuk ke dalam komunitas. Terjadi perdebatan apakah mereka harus

    menjalankan hukum Yahudi terutama sunat dan makanan halal atau tidak. Akan tetapi hal

    terpenting dari pergeseran itu bukan terletak pada bagaimana orang Yahudi mulai

    menerapkan standar tegas terhadap hukum mereka, namun terletak pada: apa motif dari

    kekuasaan itu mereka pergunakan? Merujuk pada Groenen, ia menegaskan bahwa akibat

    dari bergesernya otoritas keagamaan tersebut membawa dampak yang tidak

    menyenangkan bagi orang Kristen di Antiokhia, yaitu penindasan oleh Sinagoge terhadap

    mereka.35

    3 Memahami Kembali Matius 2:1-18

    Melalui bantuan pendekatan hermeneutik yang secara khusus menyoroti teks

    dalam kerangka sosio-politiknya, maka narasi Matius 2:1-18 memberikan sekurang-

    kurangnya tiga pemahaman teologis yang memperluas horizon berpikir pembacanya.

    3.1 Mesias yang selamat dari pembantaian adalah tanda penolakan Tuhan terhadap

    dominasi status quo.

    Gelar Mesias yang redaktur Matius tempelkan pada mulut Herodes di ayat ke-4

    menjadi kata kunci yang menunjukan posisi komunitas Matius yang berbeda dengan

    kelompok status quo Yahudi. Teks secara eksplisit menunjukan bahwa Para Majus

    sebagai tokoh yang muncul pertama menyinggung perihal kelahiran Yesus (ayat 1-3)

    justeru tak sekalipun menyebut gelar Sang Bayi sebagai Mesias (ayat 2). Sebutan dalam

    ayat 2 yang para Majus berikan ialah “Raja Orang Yahudi itu: ὁ βαζιλεὺ ς ηῶν

    Ἰ οσδαί ων” (βαζιλεὺ ς menjadi penanda identitas khusus bayi Yesus).36 Istilah Mesias

    35

    Groenen, Pengantar, 90. 36

    Kalimat dalam ayat ini lengkapnya λέ γονηες· ποῦ ἐ ζηιν ὁ ηετθεὶ ς βαζιλεὺ ς ηῶν Ἰ οσδαί ων; εἴ δομεν γὰ ρ αὐ ηοῦ ηὸ ν ἀ ζηέ ρα ἐ ν ηῇ ἀ ναηολῇ καὶ ἤ λθομεν προζκσνῆ ζαι αὐ ηῷ. LAI nampaknya keliru

  • 11

    sendiri baru kemudian muncul manakala Herodes menanyakan perihal kelahiran Yesus

    kepada pemuka agama Yahudi (ayat 4).

    Pemilihan gelar ὁ βαζιλεὺ ς yang ditempelkan ke mulut Para Majus oleh

    redaktur Matius ialah jelas berbeda dengan ὁ τριζηὸ ς yang ditempelkan ke mulut

    Herodes Agung meskipun merujuk pada subjek yang sama, yaitu Yesus. Terma ὁ

    βαζιλεὺ ς ialah istilah Yunani bagi Raja tetapi tak memiliki nuansa berarti dalam

    kosmologi Yudaisme. Berkebalikan dari itu ὁ τριζηὸ ς37 justru memiliki makna spesifik

    dan sarat nuansa dalam Yudaisme. Ada hal penting yang coba disampaikan oleh redaktur

    Matius dari distingsi ini.

    Yosephus memberikan catatan yang sangat berharga perihal gelar “raja orang

    Yahudi (ὁ βαζιλεὺ ς ηῶν Ἰ οσδαί ων).” Menurutnya gelar raja orang Yahudi ialah tanda

    yang diberikan oleh Senat Romawi kepada Herodes Agung ketika mereka

    mengangkatnya sebagai raja pada tahun 40 SZB.38

    Craig Evans menafsirkan bahwa

    tindakan para majus menyebut Yesus sebagai raja orang yahudi (ayat 2) ialah tindakan

    sewajarnya sebab mereka hanya ingin menanyakan perihal suksesi Herodes Agung.39

    Akan tetapi persoalan yang serius ialah narasi ini sulit dipercayai sungguh-sungguh

    faktual secara historis.40

    Dengan memperhatikan distingsi antara gelar raja orang yahudi

    dengan gelar mesias yang muncul dalam tokoh-tokoh pada teks maka saya justeru

    melihat kencederungan lain. Redaktur Matius secara sengaja ingin menunjukan bahwa

    Herodes Agung bersama para Pemuka Agama Yahudi yang berhasil merumuskan perihal

    identitas Yesus secara tepat sebagai Mesias merupakan personifikasi status quo Yahudi.

    Tidak hanya menjadikan Herodes Agung dan Pemuka Agama Yahudi sebagai

    personifikasi kelompok status quo, melalui narasi ini penulis Matius sekaligus

    menyerang mereka.

    Gelar raja orang Yahudi seharusnya milik Herodes Agung tetapi dengan

    munculnya gelar itu disebut oleh para majus maka hal ini menurut saya jelas merupakan

    sebuah sinisme. Hal tersebut saya argumentasikan sebab penulis Matius menempatkan

    Herodes Agung dalam posisi yang sangat ironis. Berdasarkan tafsir Evans maka Herodes

    lah yang jelas-jelas bergelar raja orang Yahudi sehingga seharusnya ia dapat langsung

    memberikan klarifikasi kepada para majus perihal suksesinya. Tetapi yang nampak ialah

    menerjemahkan λέ γονηες· dengan “bertanya-tanya.” Kata yang sesuai dengan bahasa Yunani λέ γονηες· ialah “berkata (to speak). Maka sebenarnya para majus lebih cenderung mendeklarasikan kelahiran Raja Yahudi. 37

    Dalam terjemahan Ibraninya yaitu Mesias (Massiah dari bentuk Massah) keduanya berarti Yang Diurapi. 38

    Yosephus, Jewish War, 1.282. 39

    Craig Evans, Matthew, (New York: Cambridge University Press, 2012), 53. 40

    R. T. France menegaskan bahwa tak ada laporan sekunder di luar injil yang dapat mengkonfirmasikan

    historisitas kunjungan itu. Lih. R. T. France, The Gospel of Matthew (Michigan, Wm. B. Eerdmans Publishing

    Co., 2012) Kindle Version.

  • 12

    justru Herodes Agung seperti seorang bodoh yang tak menyadari bahwa dia sendiri yang

    adalah raja orang Yahudi itu. Herodes Agung digambarkan seperti tak punya petunjuk

    apakah benar ada pengganti dirinya yang baru saja lahir.

    Warren Carter mengajukan pendapat bahwa respon Herodes Agung yang begitu

    saja rela mencarikan informasi lebih jauh bagi para majus (ayat 1-6) perlu dilihat dalam

    kerangka pikir bahwa para majus ialah astrolog yang biasa diminta menjelaskan arti

    kemunculan tanda alam (seperti bintang) dan relasinya dengan kekuasaan.41

    Pandangan

    Carter itu bersesuaian dengan Craig Keneer yang secara eksplisit berani mengatakan

    bahwa para majus ialah astrolog kerajaan Persia yang memiliki peran politik sangat

    penting.42

    Ada tafsiran yang menyebut para majus ialah raja-raja yang bangsa kafir

    sehingga dimengerti sebagai jalan soteriologi untuk menjangkau bangsa-bangsa di luar

    Yahudi. Namun tanda bahwa mereka melihat bintang ialah petunjuk lebih jelas mengenai

    tujuan disebutkannya tokoh ini oleh redaktur Matius.

    Persoalanya apakah bintang raja orang Yahudi itu (ayat 2) ialah bintang per se?

    Anggapan tersebut dipersoalkan oleh Howard Clarke dengan mengatakan bahwa jika

    benar bintang tersebut muncul lalu tidak masuk akal jika Herodes Agung tak

    melihatnya.43

    Umumnya para pakar memandang bahwa bintang (ηὸ ν ἀ ζηέ ρα, ayat 2)

    dikutip redaktur Matius dari Bilangan 24:17 dan menautkan kisah penglihatan Bileam

    tentang bintang Daud pada kisah kelahiran Yesus. Hal ini menunjukan indikasi bahwa

    terjadi pemenuhan dari apa yang dikisahkan dalam perjanjian lama.

    Namun hal yang saya catat ialah redaktur Matius sedang dalam perjuangan

    mendapatkan pengaruh melawan pihak yang merasa secara yuridis berwenang atas

    penetapan ajaran Yudaisme. Pemenuhan kisah perjanjian lama dalam rentang waktu

    ketika komunitas Matius hidup baru dapat dikonfirmasikan bukan oleh sekte ini tetapi

    oleh otoritas Yahudi di Sinagoge yang notabene lawan mereka.44

    Maka dari itu saya

    mengira bahwa redaktur Matius ingin menelanjangi posisi penguasa Sinagoge yang tak

    benar-benar paham tradisi Yudaisme melalui upaya menegaskan status Yesus sebagai

    Mesias.45

    41

    Warren Carter, Matthew and the Margins,74. 42

    Craig S. Keener, A Commentary on the Gospel of Matthew (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.,

    2013). 100. 43

    Clarke, The Gospel of Matthew, 18. 44

    Pasca penghancuran Bait Allah ketika terjadi penumpasan pemberontakan Yerusalem otoritas Yudaisme

    berpindah ke masing-masing Sinagoge. Akan tetapi Saldarini menunjukan bahwa Komunitas Matius tidak

    menerima otoritas itu bahkan menganggap bahwa model di masing-masing Sinagoge perlu diatur ulang. Lih.

    Saldarini, The Gospel, 52. 45

    Masa pasca Bait Allah (Post Temple) ialah masa dimana para Rabi Yahudi di Sinagoge-sinagoge mulai

    menafsir ulang Yudaisme agar sesuai dengan kondisi kehidupan mereka. Dalam paham itu saya menduga bahwa

    Redaktur Matius sedang berupaya sekuat tenaga melawan tafsir baru para Rabi (mungkin sekali dari Golonga

  • 13

    Dengan menautkan tradisi Yudaisme tentang kisah bintang Daud seperti yang

    para ahli katakan dan dengan menempelkan gelar raja orang yahudi pada mulut para

    majus maka apa yang saya sebut sebagai sinisme menjadi lebih jelas. Redaktur Matius

    menempatkan para majus yang ialah personifikasi komunitas Matius sebagai pihak di

    luar status quo Sinagoge yang justru lebih ketat dan peka terhadap tradisi Yudaisme

    dalam hal melihat pentingnya kehadiran Yesus yang sudah terjadi di dunia.46

    Perihal kelahiran Mesias ke bumi apabila merujuk pada teks rupanya bukanlah

    suatu kabar gembira bagi kelompok status quo. Pemilihan kata ἐ ηαρά τθη47 yang

    muncul di ayat ke-3 oleh redaktur memberikan kesan kuat bahwa Yesus yang sudah lahir

    ialah sebuah masalah bagi kelompok status quo. Anggapan bahwa Yesus menimbulkan

    masalah oleh kelompok status quo dipertegas melalui keengganan mereka untuk

    mengakui bahwa Mesias telah lahir. Redaktur Matius menggunakan kata γεννᾶ ηαι48

    yang menunjukan kelompok status quo tak setuju dengan klaim kelompok Matius

    tentang ke-mesias-an Yesus.

    Ketidaksetujuan itu juga nampak dari disebutkannya Bethlehem (ayat 1) sebagai

    tempat kelahiran Yesus dan Yerusalem (ayat 3) sebagai tempat yang menolak kelahiran

    Yesus. Seisi Yerusalem menanggapi kabar bahwa Yesus Sang Mesias sudah hadir di

    dunia sebagai masalah. Yerusalem ialah pusat kekuasan atau dalam hal ini menjadi

    lambang sistem kekuasaan status quo yang mana enggan mengakui bahwa Yesus benar

    Mesias. Melalui pengecekan tradisi Yudaisme dalam diri Herodes Agung dan para

    pemuka agama Yahudi (4-6), redaktur Matius sekaligus menyerang mereka sebagai

    pemegang otoritas keagamaan yang tidak paham mengenai tradisi Yudaisme itu sendiri.

    Pharisi) untuk menjadi pegangan bersama Komunitas Yahudi di Anthiokhia. Tradisi tentang Midrash membantu

    membentuk pemahaman ini. Lih. Brian M. Nolan, The Roayal Son of God: the Christology of Matthew 1-2 in

    the Setting of the Gospel (Gottingen: Universtaries Fribourg, 1979), 52-58. Bnd. Robert M. Prince, New

    Testament Narative as Old Testament Midrash dalam

    http://www.robertmprice.mindvendor.com/art_midrash1.htm, diakses 8 November 2014. 46

    γεννηθέ νηος ialah kata kerja aoris geniitif pasif yang tak hanya menunjukan penegasan tetapi juga sekaligus menujukan tindakan yang sudah pernah terjadi. Artinya penegasan bahwa Raja orang Yahudi sudah pernah

    dilahirkan. Kata ini juga menjadi penegasan tentang status kemesiasan Yesus. 47

    Kata ἐ ηαρά τθη dari bentuk kata ηαρά ζζω kurang tepat jika diterjemahkan dengan “terkejut.” Kata itu berarti: meresahkan, mengacaukan, menganggu, atau menakutkan. Terjemahan King James Version (KJV)

    “troubled (menyusahkan)” menurut saya jauh lebih memadai dibandingkan terjemahan dalam TB-LAI. Untuk

    keperluan tulisan ini maka saya menggunakan kata “mengganggu” sebagai ganti kata “terkejut.” 48

    Kata γεννᾶ ηαι (kata kerja present indikatif pasif untuk orang ketiga tunggal dari bentuk γεννά ω) berarti “sedang dilahirkan.” Dalam narasi Matius pasal 2 kata ini berbeda kasusnya dengan kata yang sama di ayat 1.

    Kata ini menunjukan pemahaman bahwa kegiatan Mesianik masa terus berlangsung. Berbeda dengan kelompok

    Matius yang percaya nubuatan mesianik sudah terjadi dalam diri Yesus, kelompok Yahudi status quo

    menunjukan bahwa mesias bukan seperti yang dipikirkan kelompok matius. Saya menduga ini adalah jejak

    tentang model kubu status quo mendukung teologi Millitary Mesiah, sebab disekitar tahun 70-132 ZB model

    Millitary Mesiah muncul kuat sebagai gerakan pemberontakan.

    http://www.robertmprice.mindvendor.com/art_midrash1.htm

  • 14

    Dengan menempatkan berturut-turut gelar mesias di mulut Herodes Agung,

    kontras antara Bethlehem dengan Yerusalem, penyelidikan dan afirmasi perihal kelahiran

    Mesias dari tradisi Yudaisme di mulut para pemuka agama Yahudi maka hal ini jelas

    menunjukan apa yang saya sebut di atas sebagai ironi. Upaya ini menunjukan bahwa

    redaktur Matius menganggap kelompok status quo di Sinagoge tak lagi memiliki

    legitimasi. Hal tersebut didasarkan pada ironi kelompok status quo yang tidak benar-

    benar memahami isi ajaran Yudaisme manakala mereka tak mengakui Yesus sebagai

    Mesias padahal mereka ialah pemimpin agama.

    Perseteruan antara kelompok Matius dengan kelompok status quo tentang

    pengakuan Yesus sebagai Mesias sebenarnya merupakan masalah yang sentral. Bagi

    kelompok status quo mengakui Yesus sebagai Mesias ialah sama dengan memberi

    pengakuan akan kehadiran kelompok Yahudi yang menyimpang (Deviant Jews).49

    Sedangkan pengkuan akan kelompok yang menyimpang ialah sama dengan membuka

    celah bagi perubahan yang radikal dalam diri komunitas Yahudi. Artinya memberikan

    ruang secara sosio-politik bagi komunitas Matius untuk hidup ialah pilihan yang

    membunuh kelompok status quo. Maka tentu konsekuensi logisnya ialah dominasi atas

    Yudaisme harus terus dilakukan.

    Persoalan semakin rumit sebab komunitas Matius tidak merasa dirinya ialah

    bagian luar dari kelompok Yahudi. Mereka tetap yakin jika dirinya merupakan bagian

    dari kelompok itu. Dalam kesadaran semacam ini mereka berpretensi melakukan

    perubahan atas praktek lama yang tak benar. Anthony Saldarini menegaskan apabila

    komunitas Matius tidak sedang mencoba menciptakan sebuah masyarakat Agama Baru

    tetapi tengah berupaya medelegitimasi kelompok status quo dengan membongkar

    praktek Yudaisme mereka yang keliru.50

    Kekeliruan kelompok status quo sebenarnya bukan semata berkaitan dengan

    persoalan perbedaan pandangan antara mereka dengan komunitas Matius mengenai

    status Yesus sebagai Mesias. Akan tetapi juga terletak pada persengkongkolan kelompok

    status quo untuk menghancurkan komunitas Matius. Sebab secara sosio-politik kehadiran

    komunitas Matius ibarat duri dalam daging. Maka daripada duri itu terus melukai diri

    sendiri lebih baik segera disingkirkan. Jejak ini muncul kuat disepanjang ayat 4 dan 7

    pada narasi. Tindakan Herodes Agung melakukan pertemuan terpisah dengan pemuka

    49

    Perihal telaah tentang Deviant Jews lihat Kai Ericson, Wayward Puritans: A Study in the Sociology of

    Deviance (New York: Wiley, 1966) 3-5. 50

    Saldarini, The Gospel, 46-47

  • 15

    yahudi dan lalu melaksanakan pertemuan rahasia51

    dengan para majus ialah bentuk

    persengkongkolan demi dominasi status quo. Poin yang redaktur Matius angkat ialah

    pendekatan kelompok status quo identik dengan sikap penguasa yang manipulatif dan

    menindas.

    Para majus setelah ayat 7 digambarkan sebagai pihak yang awalnya mengikuti

    gerak manipulasi kekuasaan ala kelompok status quo dalam diri Herodes Agung. Sang

    raja yang seolah memberikan ruang pada para majus dan mendengarkan pendapat

    mereka sebenarnya hanya tindakan manipulasi untuk menggali informasi guna

    menghancurkan Yesus dan para majus sendiri. Richard T. France menyebut peran para

    majus dalam ayat 7-9 sebagai alat spionase sang raja.52

    Artinya tujuan Herodes Agung

    bertemu dengan para majus bukan pertama-tama demi mendengarkan apa yang para

    majus itu inginkan tetapi justru untuk memperalat mereka.

    Ujaran Saldarini dan penjelasan France menurut saya sangat penting dalam

    memahami posisi komunitas Matius dalam konteks tidak ingin mengganti Yudaisme

    dengan suatu agama baru. Melalui kisah kelahiran Yesus, komunitas Matius menegaskan

    bahwa bentuk dominasi dalam kehidupan bersama tidak dapat diterima. Mereka tidak

    sedang bicara ortodoksi Agama Yahudi. Agama Yahudi yang dalam hal ini hanya

    menjadi locus bagi suatu kehidupan bersama atau menjadi arena perebutan pengaruh.

    Dengan ketiadaan tendensi membentuk locus baru maka komunitas Matius sebenarnya

    tengah mencoba mempertahankan diri sebagai bagian dari kesatuan komunitas Yahudi

    umunya. Akan tetapi dengan suatu harapan bahwa hidup bersama itu dilakukan tidak

    dalam penindasan.

    Penolakan paham tentang dominasi ini menurut saya muncul dalam suatu

    pernyataan teologis di sepanjang ayat 10-12. Hal yang sangat menarik ialah upaya

    persekongkolan untuk memperalat para majus agar dominasi dapat dilanggengkan justru

    digagalkan oleh Tuhan melalui mimpi para majus dan penyataan malaikat kepada Yusuf.

    Dalam kepolosanya para majus terjebak pada permainan kekuasaan Herodes Agung

    tetapi permainan itu tidak sampai selesai sebab Tuhan menggagalkannya di tengah jalan.

    Pada titik ini saya menduga redaktur Matius menegaskan bahwa Tuhan justru tidak

    menghendaki model dominasi status quo yang menghalalkan praktek kekuasaan

    manipulatif seperti yang dipraktekan kelompok status quo dalam diri Herodes Agung.

    51

    Ada dua kata kunci dalam pertemuan rahasia ini, yaitu “Secara rahasia (λά θρᾳ )” dan “memastikan secara tepat (ἠ κρί βωζεν).” Pertemuan ini terpisah dan tertutup bersifat rahasia antara Herodes Agung dengan para majus. apa tujuan pertemuan ini? Untuk memastikan dengan tepat apakah Yesus Mesias. Dalam hal ini untuk

    memastikan dampak dari status Yesus sebagai Mesias. 52

    Frnce, The Gospel, Kindle Version

  • 16

    Tidak kembalinya para majus ke istana Herodes Agung lalu disambung pelarian

    Yusuf yang membawa serta keluarganya ke Mesir (ayat 12-15) menjadi indikasi redaktur

    Matius ingin menyampaikan bahwa apa yang telah diupayakan oleh kelompok status quo

    mengalami kegagalan sebab tak dikehendaki oleh Tuhan. Sambil memposisikan diri

    sebagai komunitas yang mengupayakan tidak munculnya suatu locus hidup bersama

    yang baru, redaktur Matius mengetengahkan gagasan bahwa Tuhan menghendaki suatu

    penyelenggaraan kekuasaan yang tak di dominasi oleh kubu yang tak lagi memahami

    benar perintah Tuhan dan yang melakukan praktek memperalat kekuasaanya untuk

    mendominasi sekaligus membungkam pihak yang berbeda. Dengan luputnya Yesus sang

    Mesias dari cengkraman sang penguasa Herodes Agung maka hal ini jelas ialah sindiran

    redaktur Matius bahwa tidak ada basis moral religius lagi bagi dominasi kelompok status

    quo sebab rencana brilian mereka untuk menegaskan kekuasaan telah digagalkan oleh

    Tuhan sendiri.

    Pada cerita pembantaian anak-anak oleh Herodes Agung (ayat 16-18) redaktur

    Matius menunjukan bahwa praktek dominasi status quo tak kunjung berakhir.

    Pembunuhan anak-anak dibawah dua tahun seperti yang Herodes Agung lakukan

    merupakan tanda betapa sang raja tak siap memiliki rival dan bertindak untuk

    menyingkirkanya.53

    Redaktur Matius dengan tepat meminjam tokoh Herodes Agung

    yang memiliki karakter yang begitu cocok tentang ketidaksiapan penguasa menerima

    adanya rival yang mengganggu dominasi mereka.54

    Tabiat Herodes Agung tersebut

    benar-benar mewakili cibiran redaktur Matius terhadap sikap bebal kelompok status quo

    dengan tetap ingin dominan meski secara moral religius mereka dinilai telah benar-benar

    salah oleh redaktur Matius.

    3.2 Revolusi yang berdarah-darah bukanlah pilihan ideal dari perjuangan melawan

    dominasi status quo.

    Sentralnya topik tentang Mesias pada narasi ini juga menunjukan bagaimana

    gagasan tersebut digunakan dalam perjuangan kelompok Matius. Ayat 15 dan 18 dalam

    narasi merupakan kutipan dari Hosea 11:1 dan Yeremia 31:15. Kutipan ini menurut saya

    digunakan redaktur untuk mendramatisir teks yang sebenarnya merupakan puncak dari

    pengantar mengenai pertentangan kelompok Matius dengan kelompok Status quo. Cara

    pengutipan semacam ini begitu populer oleh komunitas Yahudi pada masa pasca Bait

    53

    France, Herod, 105. 54

    Jika saya membuat semacam tipologi maka ada dua Kelompok dalam narasi ini: (1) Para Majus, Yesus dan

    keluarga-Nya ialah personifikasi langsung dari komunitas Matius. (2) Herodes Agung, para pemuka agama

    yahudi dan pasukan yang membantai anak-anak ialah kelompok status.

  • 17

    Allah untuk tujuan menggambarkan situasi hidup mereka yang kerap kali dalam

    kelompok Yahudi dikenal sebagai bentuk Midrash.55

    Richard T. France yang secara spesifik meneliti narasi pembantaian anak-anak

    menyebut bahwa kisah itu tak lebih dari sebuah folklore.56

    Cerita ini dikembangkan

    terutama berada pada peran teks Yeremia 31:15 yang dikutip oleh redaktur Matius.

    Beberapa penafsir menjelaskan bahwa pengutipan teks Yeremia 31:15 ialah cara

    menautkan Yesus dengan Musa. Akan tetapi France membantah argumen tersebut. Ia

    berpendapat jika memang upaya Kristologi semacam itu dapat diterima maka ia

    seharusnya juga muncul di injil lainya.57

    Richard T. France sependapat dengan Jean

    Dean Kingsbury, bahwa ada dua kemungkinan besar yang melahirkan teks pembantaian

    ini, yaitu: (1) alasan apologetis; dan (2) alasan polemik.58

    Dengan memberi ruang kepada pendapat Saldarini tentang konflik antara

    kelompok Matius dengan kelompok status quo maka saya memandang jika teks tentang

    pembantaian anak-anak sebagai klimaks cerita antara rivalitas Yesus Kristus dengan

    Herodes Agung terutama ditempatkan dalam tipologi Polemik seperti dalam teori France.

    Kedudukan teks yang lahir dari situasi problematis dan penuh polemik semacam itu

    membuat peran sentral Mesias dalam narasi menjadi jelas. Sebab jika tak begitu, saya

    melihat implikasi dari sentralnya Mesias dalam tulisan redaktur Matius sulit untuk

    dipahami.

    Sebagai cerita yang lahir dari polemik, alasan Herodes Agung membunuh anak-

    anak setelah intensinya tak tercapai menjadi penting untuk ditelaah. Apabila diperhatikan

    dari teks maka penyebab dibantainya anak-anak seolah-olah oleh kemarahan Herodes

    Agung karena diperdaya (ἐ νεπαί χθη) para majus (ayat 16). Menurut saya melampaui

    kemarahan seperti disebutkan teks sebenarnya tindakan brutal Herodes Agung dipicu

    bukan oleh “keterperdayaan” an sich melainkan tak tercapainya kalkulasi politik tentang

    Mesias. Meski Herodes Agung nampak begitu tertarik bahkan disebutkan ingin

    menyembah Mesias (ayat 8) namun intensinya terhadap bayi Yesus sebenarnya ialah

    jelas berkaitan dengan status Sang Bayi sebagai Mesias.

    F. F. Bruce menjelaskan dengan baik perihal makna Mesias dalam alam berpikir

    orang Yahudi. Mesias bukan hanya persoalan gelar semata namun melampui itu ia

    adalah sebuah tanda pengharapan (the Messianic Hope) di mana terpenuhinya Hari

    55

    Pendapat bahwa narasi Matius ialah Midrash datang dari McNeile seperti dikutip Frederick D. Bruner,

    Matthew A Commentary (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 2004), Kindle Version. 56

    R. T. France menjelaskan kemungkinan narasi pembantaian diambil dari model tradisi yang berkembang

    umum dalam Komunitas Yahudi, yaitu: kisah hidup Musa, Abraham dan Yakub. Lih. France, Herod, 105-108. 57

    France, The Gospel, Kindle Version. 58

    France, The Gospel,.

  • 18

    YHWH dan sekaligus kebangkitan kembali kedaulatan kerajaan wangsa Daud.59

    Ada

    beberapa jenis Pengharapan Mesias namun yang paling banyak berpengaruh di masa

    penjajahan Romawi manakalah komunitas Matius diduga hidup ialah Millitary

    Messiah.60

    Model Millitary Messiah banyak menginspirasi pemberontakan kelompok

    Yahudi terhadap kekuasaan Romawi dengan melalukan perlawanan fisik (kerusuhan,

    perampokan bahkan perang) yang oleh Imperium Romanum sering dikategorikan sebagai

    aksi teror. Dibawah panji Pax Romana maka aksi teror semacam ini tidak akan

    ditoleransi dan bahkan akan ditumpas habis melaui pedang Legiun.61

    Jika saya menganalisis narasi maka redaktur Matius cenderung menolak model

    Millitary Messiah. Saya menduga sebab penolakan itu karena pemberontakan a la

    Millitary Messiah nyata-nyata menemui kegagalan besar manakala Yerusalem

    dihancurkan oleh Jenderal Titus tahun 70 ZB. Harga yang harus dibayar oleh bangsa

    Yahudi atas pilihan untuk mendahulukan model Millitary Messiah sangat mahal. Pasca

    penghancuran Yerusalem beserta Bait Allah bangsa Yahudi diusir dari tanah mereka

    sendiri dan dampaknya bagi mereka yang berada di diaspora ialah dicabutnya oleh

    otoritas Romawi atas berbagai hak istimewa yang telah lama dinikmati.

    Munculnya Herodes Agung yang merasa Mesias ialah rivalnya (sepanjang ayat 1-

    18) dapat memberikan jejak bagi pemahaman di atas. Stefan Leeks menafisrkan bahwa

    gelar orang Yahudi yang disebut para majus ialah untuk mengantipasi bahwa Yesus

    Kritus tidak diterima penguasa.62

    Mengenai nyawa Yesus yang diincar Herodes Agung

    (ayat 13-15) Leeks memberikan komentar yang sangat baik. Ia menilai bahwa introduksi

    pada genealogi Yesus sebagai keturunan Daud memberikan legitimasi kuat bahwa Ia

    pewaris sah kerajaan Daud sehingga membuat Herodes Agung panik.63

    Artinya

    mengikuti pola Messianic Hope maka Yesus ialah yang dapat dipercaya sebagai Mesias

    yang akan menegakan kembali supremasi kerajaan Daud dari tangan Herodes Agung.

    Secara sosio-politik ini adalah tanda akan terjadinya Revolusi Mesias yang mana

    membuat orang-orang Yahudi bangkit melawan Romawi melalui kelahiran Yesus.

    59

    F. F. Bruce, New Testament, 116. 60

    (1) Davidic Messiah (muncul pasca pendudukan Babilonia yang mana berpusat pada janji bahwa kerajaan

    Daud yang jatuh akan dibangun lagi dengan lebih hebat), (2) High-priesthood Messiah (muncul pada jaman

    Hasmonean), (3) Priestly-Royal Messiah (diajukan oleh Komunitas Qumran), (4) Millitary Messiah (muncul

    dan mendominasi sebagai ekstrim baru dari Davidic Messiah yang begitu mengharapkan keturunan Daud

    memimpin “pelepasan” umat Tuhan dari cengkraman Herodian atau Gubernur Romawi) dan (5) Spiritual

    Messiah (model yang menurut Bruce sebenarnya dipilih oleh Yesus namun baru disadari pada abad pertama

    Kekristenan). Lih. F. F. Bruce, New Testament, 116-127. 61

    Benjamin Isaac, The Near East Under Roman Rules (Leiden:Brill, 1998), 377-379. 62

    Leeks, Tafsir, 40. 63

    Leeks, Tafsir, 50.

  • 19

    Akan tetapi fakta sejarah berkata berkebalikan: sampai Yesus mati karena

    disalibkan, Ia tak melakukan Revolusi dalam paham Millitary Messiah. Saya sepakat

    bahwa sosok Yesus Kristus dalam narasi tak diterima oleh penguasa seperti yang Leeks

    kemukakan. Akan tetapi konsekuensi lebih jauh dari dampak garis keturunan Yesus

    Putra Daud yang membuat penguasa Yahudi panik agaknya ahistoris. Lagipula orang-

    orang Yahudi ternyata tidak semua bersepakat atau satu suara perihal memaknai

    keterjajahan mereka oleh bangsa-bangsa kafir dan termasuk memaknai perlawanan

    terhadap penjajah.64

    Agaknya Leeks tidak melihat kecenderungan redaktur Matius

    sengaja membedakan sebutan untuk Yesus ini dalam diri Herodes Agung dan para

    majus. Maka mengenai rivalitas itu saya lebih memilih untuk melihat peran terma Mesias

    yang memiliki konsekuensi politik berkaitan dengan konteksnya pada polemik

    komunitas Matius.

    Guna mengatasi celah historis terma Mesias dari rivalitas antara Herodes Agung

    dengan Yesus maka saya mengusulkan untuk mencoba memahami posisi redaktur

    Matius dalam perspektif penggunaan dua tokoh ini. Menurut saya redaktur Matius ingin

    mengecam tradisi dalam komunitas yahudi yang begitu fantatik terhadap model Millitary

    Messiah namun disisi lain menerima berbagai keistimewaan dari penjajah. Padahal

    keistimewaan itu malah menjamin komunitas Yahudi untuk tidak menista Tuhan dengan

    melanggar hukum mereka sendiri melalui kewajiban melakukan praktek-praktek kafir

    yang ditetapkan Imperium Romanum bagi setiap wilayah kekaisaraan. Akan tetapi karena

    fanatisme terhadap Millitary Messiah mereka justru kehilangan dispensasi sosio-politik

    itu.

    Komunitas Yahudi di Anthiokhia ikut terhisap dalam situasi perang di Yerusalem

    yang akhirnya ditumpas tahun 70 ZB. Komunitas Yahudi di Anthiokhia mengambil sikap

    melakukan pembentorakan dan mengakibatkan kerusuhan. Akibatnya Gubernur

    Anthiokhia mengerahkan pasukan untuk membasmi kerusuhan itu. Kecemburuan sosial

    yang diterima orang Yahudi atas hak eksklusif mereka membuat komunitas ini bukan

    meredam konflik malah makin kukuh dalam resistensi Millitary Messiah sehingga makin

    menambah ketegangan dengan orang-orang kafir di Anthiokhia.

    Padahal menurut redaktur Matius terbebasnya Yesus Sang Mesias dari upaya

    pembunuhan Herodes Agung yang takut kepada dampak Millitary Mesiah (mengikuti

    tafsir Leeks pada konteks dalam teks) ialah tanda bahwa model itu bukan yang

    64

    Perihal perbedaan pandangan antar kelompok agama Yudaisme ini telah dijelaskan dengan sangat baik oleh

    Gerd Theissen dalam karyanya “Aku disuruh Pilatus.” Lih. Gerd Theissen, Aku disuruh Pilatus: Kisah

    penelusuran jejak Yesus dan masa-Nya (Jakarta:Gunung Mulia,1990).

  • 20

    diharapkan. Herodes Agung secara faktual ialah kaki tangan Romawi dan orang dekat

    Kaisar. Dengan menempatkan seolah Yesus Sang Mesias ialah pemberontak yang

    mencoba melawan otoritas Herodes Agung yang didukung Kaisar, redaktur Matius

    kembali lagi menggunakan model sinisme untuk mengecam baik Imperium Romanum

    maupun kelompok Status quo Yahudi yang mendukung pemberontakan. Dalam satu

    pukulan redaktur Matius ingin menunjukan bahwa sosok Herodes Agung yang ialah

    mewakili dua kelompok penguasa itu telah salah kaprah mengenai kehadiran Yesus

    sebagai Mesias.

    Sikap Romawi yang tak lagi ramah pada orang Yahudi merupakan tindakan salah

    kaprah bahwa seluruh kelompok Yahudi mendukung pemberontakan. Redaktur Matius

    ingin mengatakan bahwa Romawi salah memahami arti Mesias yaitu terbatas pada dan

    identik dengan Millitary Mesiah. Padahal model itu hanya ekstrim dari salah satu bentuk

    penafsiran tradisi Yudaisme. Dampak sosio-politik Millitary Mesiah tentu merupakan

    dua hal yang berbeda dari keyakinan kepada Mesianic Hope. Di bagian lain dari narasi

    mengikuti Lukas dan Markus redaktur Matius menunjukan bahwa sikap umum kelompok

    yahudi khususnya yang mengikuti ajaran Yesus ialah tak mendukung pemberontakan

    (bnd. Matius 22:21).

    Sedangkan kelompok status quo di Antiokhia yang masih mendukung paham

    Mesias Sang Liberator disentil oleh redaktur sebagai penganut paham ekstrim yang salah

    kaprah. Yesus Kristus yang lolos dari pembantaian menunjukan bahwa model

    perlawanan dengan kekerasan ialah tak realistis. Bahkan Tuhan sendiri tak menghendaki

    model pemberontakan berdarah-darah itulah sebabnya Yesus luput dari pembantaian.

    Maka posisi pemimpin Sinagoge Antiokhia yang cenderung mendukung agenda

    pemberontakan di Yerusalem tengah dipersoalkan oleh redaktur Matius.

    Melalui teks pembantaian anak-anak (ayat 16-18) redaktur Matius menegaskan

    bahwa kekerasan hati untuk mendukung pemberontakan hanya melahirkan pembunuhan

    bagi orang Yahudi yang tak berdosa dan yang tak tahu menahu perihal pilihan politik

    para pemimpin Yahudi. Anak-anak yang dibantai oleh Herodes Agung ialah gambaran

    karena kecerobohan pemimpin Yahudi65

    membuat Imperium Romanum yang juga adalah

    patron pemuka Yahudi sendiri membunuh orang-orang Yahudi yang tak bersalah dan

    membawa kerugian bagi komunitas Sinagoge di Anthiokhia.

    Pengutipan Yeremia 31:15 pada narasi pembantaian sebagai apa yang disebut R.

    T. France floklore bukan untuk mengatakan bahwa kisah Yesus sama seperti Musa.

    65

    Anak Imam Sinagoge, yaitu M. Anthiokhus di Anthiokhia ialah pemimpin kerusuhan yang akhirnya ditumpas

    oleh Pasukan Gubernur Romawi. Lih. Staumbaugh & Balch, Dunia Sosia, 181.

  • 21

    Namun lebih kepada teknik mirip Midrash yang mengungkapkan penyelasan redaktur

    Matius atas kehidupan komunitas Yahudi yang mana ia bagian dari dalamnya yang

    tengah menderita pasca Perang Yerusalem.

    Penderitaan itu secara sosial jelas berat sebab dengan pilihan politik melawan

    Imperium Romanum maka apa yang Yosephus sebut sebagai kondisi komunitas Yahudi

    di Anthokhia hidup bahagia, mapan dan cukup kaya raya karena mereka sebagian

    merupakan anggota strata sosial tinggi tak lagi mereka nikmati seperti saat sebelum

    perang. Orang yahudi umumnya pasca perang Yerusalem dan kerusuhan dimusuhi oleh

    warga kota Antiokhia bahkan pernah muncul petisi untuk mengusir mereka keluar dari

    kota itu kepada Jenderal Titus manakala ia berkunjung ke sana pasca perang Yerusalem.

    Pada giliranya orang-orang Yahudi berada dalam pengawasan Gubernur Romawi yang

    mana kedudukan politik mereka yang semula cukup baik kini tak ada nilai tawar lagi.

    3.3 Penolakan Tuhan melalui diri Mesias terhadap kekuasaan politik a la Status Quo

    menubuh dalam sebuah pranata sosio-politik.

    Penyingkiran ke Mesir seperti yang muncul pada ayat 13-15 dalam narasi dapat

    ditafsirkan sebagai sebuah alternatif atau jalan keluar.66

    Setelah muncul nuanasa tegang

    dan upaya dominasi kelompok status quo terhadap komunitas Matius (ayat 1-12) lalu

    kemudian adanya nada protes dan penyelasan atas sikap mendukung pikiran ekstrimis,

    maka redaktur Matius mencoba memberikan sebuah gagasan bagi kelompok Yahudi di

    Anthiokhia secara umum. Gagasan itu ialah sebuah pemahaman tentang Mesias Baru

    yang menggantikan cara pandang Millitary Mesiah yang telah cukup membawa petaka

    bagi seluruh orang Yahudi di Anthiokhia.

    Upaya redaktur Matius ini ialah sebuah kewajaran sebab P. J. Tierney

    mengungkapkan bahwa pasca kejatuhan Yerusalem muncul upaya dalam komunitas

    Yahudi untuk mengubah paradigma tentang Mesias sang liberator dengan menggesernya

    dari model Mesias individual menjadi Mesias sebagai pranata sosial.67

    Menurut Tierney

    jika sebelumnya sejak jaman Hasmonean hingga Yesus hidup penekanan pada model

    seorang pejuang akan memimpin perang menjadi primadona di antara sebagian orang

    Yahudi maka pasca Bait Allah para rabi menegaskan bahwa Mesias ialah seluruh bangsa

    Israel itu sendiri.68

    Persoalanya apakah ide tentang mengembalikan kedigdayaan wangsa

    66

    Mesir ialah lambang yang sangat tepat sebab dalam tradisi Yahudi ia ialah tempat pelarian., Lih. Clarke, The

    Gospel, 23-24. 67

    P. J. Tierney, Theocracy: Can Democracy Survive Fundamentalism?: Resolving the Conflict Between

    Fundamentalism and Pluralism, (iUniverse, 2012), 111. 68

    Tierney, Theocracy,. 112.

  • 22

    Daud menghilang dalam kesadaran yang baru itu? Sejarah menunjukan hasrat untuk

    kembali menjadi kerajaan tak kunjung hilang.69

    Hal yang menjadi titik masalah umumnya orang-orang Yahudi masih tak

    berterima dengan kondisi kekalahan perang. Bahkan sejak perang tahun 70 ZB hingga

    Bar Kobha ditumpas tahun 132 ZB muncul terus-menerus mesias-mesias yang

    mengandalkan pemberontakan kepada Romawi. John Staumbaugh dan David Balch

    menulis bahwa pasca penghancuran Yerusalem, Romawi mengadakan pengawasan ketat

    terhadap potensi pemberontakan karena munculnya mesias-mesias dan bahkan seluruh

    keturunan Daud diperiksa dan dianiaya oleh legiun.70

    Penolakan model pemberontakan terhadap pemerintah romawi oleh redaktur

    Matius tak berarti ia sepakat pada penjajahan Romawi. Ialah Warren Carter seorang

    pakar yang secara baik meneliti perihal pergulatan sosio-politik redaktur Matius dan

    responya terhadap imperialisme Romawi mengatakan bahwa ada kaitan erat antara

    model narasi dengan respon Matius terhadap kekuasaan imperialis. Carter menunjukan

    inkonsistensi mendasar dalam propaganda visi sosial Imperium Romanum yang dilawan

    oleh komunitas Matius.71

    Namun poin yang paling penting ialah catatan Carter bahwa

    komunitas Matius tak dapat mengandalkan pemuka agama di Sinagoge sebab mereka

    merupakan bagian dari struktur kekuasaan imperialis karena mereka mempraktekan cara-

    cara the Rulling Class72

    yang kontradiktif dengan agenda visi sosial Imperium Romanum.

    Dalam hal ini Carter menunjukan bahwa tak ada beda antara penjajah besar Romawi

    dengan sikap para pemimpin agama Yahudi sebagai penjajah kecil yaitu hidup dalam

    karakter the Rulling Class.

    Sebagai gantinya mengutip Michael Mann, Luke Johson serta Rodney Stark,

    Carter mengemukakan pola gerakan komunitas Matius yang melawan arus.73

    Warren

    Carter menegaskan bahwa redaktur Matius pada titik tertentu melalui ide utama

    69

    Hasrat untuk menegakan kembali kerajaan seperti masa Daud bahkan bertahan hingga tahun 132 saat

    pemberontakan Simon bar-Koshiba (Bar Kobha-Sang Putra Bintang) ditumpas habis Legion. Lih. Staumbaugh

    & Balch, Dunia Sosial, 22. 70

    Staumbaugh & Balch, Dunia Sosial, 21. 71

    Kekaisaran Romawi mengklaim universalisme dan kesederajatan dibawah Romawi di satu sisi namun di sisi

    lain struktur sosialnya hirarkis, eksklusif, dan menolak orang dapat menjadi warga Romawi begitu saja. Warren

    Carter, Matthew & Empire (London, T&T Clark, 2008) 50. 72

    The Rulling Class di Antiokhia ialah kelompok Aristokrat yang jumlahnya tak lebih dari 2% dari total

    populasi. Kelas ini menguasai hukum, sumber produksi, hidup hedonis namun tidak bekerja, sebab berkuasa

    secara sosial, ekonomi, keagamaan, dan politik. Lih. Carter, Matthew & Empire, 9-10, Bnd. Carter, Matthew &

    the Margins, 19-23. 73

    Kelompok Matius mengusung praktek hidup bersama yang egaliter, univeral, mengalami desentralisasi,

    perduli pada mereka yang teralienasi, kelaparan, tak memiliki harta, dan menjadi komunitas inklusif. Lih.

    Carter, Matthew & Empire, 50-51.

  • 23

    Kedaulatan Allah74

    menolak cara-cara dominasi, penindasan, dan tirani dalam struktur

    hirarki sosio-politik Imperium Romanun dan kubu status quo Sinagoge Anthiokhia.

    Menurutnya redaktur Matius melawan visi sosial penuh dominasi yang menubuh dalam

    pranata Pax Romana dan Aristokrasi Sinagoge itu melalui dua cara, yaitu: (1)

    mengajukan visi sosial yang berbeda dengan mendasarkan diri pada hubungan antar

    sesama dan komunitas, (2) menentang model teologi status quo yang digunakan untuk

    membenarkan model perjuangan dan penindasan baru yang tak beda dari hasrat berkuasa

    serta menindas Romawi.75

    Berkaitan dengan gagasan di atas maka dua tafsiran pakar perjanjian baru

    menjadi signifikan. Tafsir De Heer terhadap narasi Matius 2:13-15 menegaskan bahwa

    cerita ini secara dramatis merupakan bentuk penting dari perang antara kerajaan Allah

    melawan kerajaan dunia yang mana penguasa dunia ingin mempertahankan kemuliaan

    mereka sedangkan Allah menegaskan kebenaran dalam diri Mesias.76

    Sedangkan Leeks

    mengartikan narasi ini sebagai tautan dari bentuk keluaran Israel baru seperti saat Israel

    lama keluar dari Mesir. Sebab Mesias yang lolos dari pembunuhan ialah model dari

    pengalaman keluaran dari kondisi lama kepada keselamatan dalam diri Mesias sang juru

    selamat.77

    Dua tafsiran ini begitu kuat mendukung distingsi antara model kehidupan

    dalam kekuasaan duniawi dengan hidup selamat yang dibawa dalam kerajaan Allah

    melalui diri Mesias.

    Dua distingsi antara model hidup penguasa duniawi dengan kekuasaan Allah

    yang benar ialah tepat roh dari injil Matius. Warren Carter menjelaskan bahwa ia sangat

    yakin jika Matius ialah bentuk narasi yang melawan cara pikir yang umumnya diterima

    dalam sebuah kehidupan sosial. Alih-alih menyetujui imperalisme dan dominasi status

    quo, redaktur Matius justru mengajukan sebuah praksis hidup yang didasarkan pada

    semangat kehidupan sosial yang egaliter, adil, saling bermurah hati, inklusif, dan saling

    melayani satu sama lain sebab visi sosial semacam itulah yang menunjukan Kedaulatan

    Allah.78

    Saya bersepakat dengan Leeks dan De Heer bahwa redaktur Matius menunjukan

    bahwa Allah memenangkan perang atas perlawanan kekuasaan dunia. Akan tetapi posisi

    74

    Narasi Matius perlu dilihat dalam kerangka keseluruhan Kitab bukan parsial pasal per pasal saja. Satu injil ini

    membentuk suatu ide yang secara keseluruhan bertumpu pada gagasan Kedaulatan Allah yang mana Allah

    sebagai pusat kehidupan menghendaki kehidupan bersama yang tidak didasarkan pada dominasi satu atas yang

    lain (Bnd. Matius 417,18-22). Lih. Carter, Matthew & Empire, 51-53. 75

    Carter, Matthew & Empire, 53. 76

    De Heer, Tafsir Alkitab, 29. 77

    Leeks, Tafsir Injil, 53. 78

    Carter, Matthew & Empire, 52.

  • 24

    saya sama dengan Carter yaitu narasi ini tak semata-mata bicara urusan religius79

    tentang

    keselamatan seperti umumnya dimaknai dalam soteriologi. Pelarian ke Mesir dan

    intervensi Allah atas rivalitas Herodes Agung dengan Yesus Sang Mesias ialah sebuah

    pengantar bagi keseluruhan kitab Matius tentang penolakan terhadap imperialisme

    Romawi dan dominasi pemuka agama Yahudi. Lebih jauh Mesias yang lolos dari

    pembantaian yang menunjukan kemenangan Allah atas kekuasaan dunia ialah penegasan

    redaktur Matius bahwa tak benar Millitary Messiah menjadi dasar teologi sosial melawan

    Romawi. Sedangkan praktek Pax Romana yang palsu karena ketidakonsistenanya ialah

    sebuah visi sosial omong kosong. Sebagai ganti keduanya maka Mesias yang

    terselamatkan ialah model pranata sosio-politik yang baru yang menjadi alternatif visi

    sosial dimana kesetaraan, kasih dan keterbukaan antar semua manusia menjadi dasarnya.

    Visi sosial dalam diri Mesias ala kelompok Matius ini ialah sebuah pilihan berani

    dan melawan arus utama. Dengan mengatakan kesetaraan maka hirarki dalam

    masyarakat Romawi harus diruntuhkan. Maka relasi patron-klien yang berlaku umum

    harus dihentikan. Melalu ide keterbukaan maka praktek kepemilikan harta dan sumber-

    sumber produksi yang secara curang dikuasai oleh the Rulling Class juga harus

    ditinggalkan. Model penyelenggaraan kekuasaan ala Aristokrasi Sinagoge dan Romawi

    yang sarat dominasi dan penindasan serta penyelenggaraan hukum yang tak konsisten

    tentu tak memadai dan tak sesuai dengan kasih yang Allah harapkan nyata di antara

    manusia. Lebih dari itu pilihan normatif ini juga tentu termasuk visioner karena

    melampaui jaman tetapi sekaligus menantang bagi diri kelompok Matius sendiri (visi

    sosial yang lama juga membawa kenikmatan bagi kelompok Matius yang kaya).

    4 Relevansi Narasi Rivalitas Herodes Agung dan Yesus Sang Mesias bagi proses

    Demokratisasi pasca Reformasi.

    4.1 Indonesia dalam 16 tahun Reformasi

    Pasca lengsernya Suharto secara paksa oleh gerakan mahasiswa 98’ muncul

    angan-angan kuat akan fajar baru kehidupan bangsa Indonesia. Akan tetapi kurun 16

    tahun secara faktual tak banyak perubahan dicapai oleh bangsa dan negara ini.80

    Korupsi

    kian menggurita, kisruh toleransi antar umat agama terus terjadi, tak terungkapnya

    79

    Ada struktur kekuasaan politik yang menindas. Lih. Carter, Matthew & Empire, 35. 80

    Berdasarkan survey BPS, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2013 mencapai angka 63,68 dari skala 0-

    100 atau stuck di kategori 'sedang'. Dengan rincian, aspek kebebasan sipil mencatat angka rata-rata nasional

    79,00, naik 1,05 dibanding 2012. Aspek hak-hak politik tercatat 46,25 turun sedikit dibanding tahun 2012 46,33.

    Aspek lembaga demokrasi 72,11 atau naik 2,83 poin dibanding tahun 2012. Kenaikan yang lambat dan sedikit

    semacam ini jauh dari kata idealu mengingat bukan baru kemarin Demokrasi berlangsung. Lih. Republika, 4 Juli

    2014.

  • 25

    pelanggaran HAM di masa lalu, ialah contoh-contoh lambanya demokratisasi di

    Indonesia.

    Faktanya kondisi Indonesia 16 tahun belakangan kian kompleks sehingga

    menimbulkan kejenuhan. Akibatnya rakyat (demos) sebagai sendi utama demokrasi

    menjadi apatis terhadap demokratisasi negara di era pasca Reformasi. Namun ada baiknya

    menengok barang sebentar pandangan Claude Lefort agar geliat pembaharuan hidup

    berbangsa dan bernegara di era pasca reformasi ini tak hilang. Claude Lefort mengatakan

    bahwa dalam masyarakat demokratis locus kekuasan menjadi ruang hampa sebab sosok

    otokrat tak lagi memberi totalitas organis sehingga sesungguhnya masyarakat demokratis

    ialah masyarakat kompleks tanpa tubuh.81

    Indonesia dewasa ini tengah bertumbuh

    menjadi remaja pasca reformasi yang berada pada fase yang disebut Lefort. Jika demikian

    siapakah yang memberikan suatu totalitas organis bagi masyarakt kompleks itu? Budi

    Hardiman menjawab tegas itu adalah tugas demos (rakyat) yang tidak sekedar menjadi

    voters dalam demokrasi sehingga malah menghasilkan pemerintahan yang Oligark.82

    Celakanya proses demokratisasi yang berjalan selama 16 tahun belakangan telah

    tersandera oleh para oligark melalui dua skandal preferensi politik, yaitu

    fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.83

    Jeffrey Wintter dengan tegas

    menuliskan bahwa Indonesia ialah contoh baik tentang bagaimana demokrasi kriminal di

    mana para oligark84

    ikut teratur dalam PEMILU sambil menggunakan kekuataan

    kekayaan-nya untuk mengalahkan sistem hukum melalui intimidasi dan bujukan.85

    Akibat

    mengguritanya para oligark itu kehidupan demokrasi di Indonesia hanya demi memenuhi

    imperatif pasar sekaligus menjadi ajang pencapaian agenda pada fundamentalis agama

    untuk memaksakan satu ideologi yang mendasari kehidupan bersama terwujud, yang

    sialnya dua skandal itu kawin-mawin dibawah kekuataan modal para oligark.

    Tentu demokrasi pada dirinya te