Kekebalan Tubuh File
-
Upload
margaret-dwi -
Category
Documents
-
view
91 -
download
4
Embed Size (px)
Transcript of Kekebalan Tubuh File

LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
“AKTIVITAS OBAT/SEDIAAN UJI TERHADAP KEKEBALAN
TUBUH (IMUNITAS)”
NAMA : Margaret Dwi Forta 121524087 Nailui Ramadhilla 121524103 Doni Kurniawan 121524128 Noval Saputra 121524072 Intan Purnamasari 121524091 Trie Kurnia Waldini 121524064 Cut Alina Zahra 121524053 Siti Aniroh 121524159 Susita Ariani 121524162 Maya Sari Bungsu 121524057
PROGRAM : EKSTENSI
KELOMPOK/HARI : VI / SENIN
ASISTEN :
TGL PERCOBAAN : 01 april 2013
LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI
DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
FAKULTAS FARMASI USU
MEDAN
2012
1

Lembar Persetujuan Dan Nilai Laporan Praktikum
Judul Percobaan : Immunitas
Tanggal ACC : Medan, April 2013
Asisten, Praktikan,
(Asni Zahara Rambe) (Margaret Dwi Forta)
Perbaikan:
1. Perbaikan I, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
2. Perbaikan II, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
3. Perbaikan III, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
4. Perbaikan IV, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
5. Pergantian Jurnal : ___________________
2
Nilai :

I. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Masuknya organisme atau benda asing ke dalam tubuh akan menimbulkan
berbagai reaksi yang bertujuan menghancurkan atau menyingkirkan benda
pengganggu tersebut. Pada makhluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan
manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonspesifik
(innate immunity) dan imunitas spesifik (iadaptive immunity). Imunitas nonspesifik
merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa
keutuhan kulit dan mukosa, komponen biokimiawi (seperti asam lambung, lisozim,
komplemen) dan komponen seluler nonspesifik(seperti netrofil dan makrofag).
Sedangkan imunitas spesifik memiliki karakteristik khusus, antara lain
kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu, kemampuan
membedakan antigen asing dengan antigen sendiri dan kemampuan untuk bereaksi
lebih cepat dan lebih efisien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya
(Nafrialdi, 2007).
Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan alergi
serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses
imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut walaupun bersifat merusak,
berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh (Tjay,
2002).
Bila suatu protein asing (antigen) masuk berulang kali ke dalam aliran darah
seorang yang berbakat hipersensitif, maka limfosit-B akan membentuk antibodies
dari tipe IgE (disamping IgG dan IgM). IgE ini, mengikat diri pada membrane mast-
cells tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen (alergen) yang sama atau
yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan
mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membrane
mast-cells. Sejumlah zat perantara (mediator) dilepaskan, yakni histamin bersama
serotonin, bradikinin dan asam arachidonat yang kemudian diubah menjadi
prostaglandin dan leukotrien (Tjay, 2002).
Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal
abad ke 19, histamanin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar.
Histamin juga ditemukan pada berbagai jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama
3

histamin (histos = jaringan). Hipotesis mengenai peran fisiologis histamin didasarkan
pada adanya persamaan antara efek histamin dan gejala-gejala syok anafilaktik dan
trauma jaringan. Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan patologis
terutama pada anafilksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat bukti bahwa
histamin merupakan mediator terakhir dalam respons sekresi cairan lambung,
histamin juga berperan dalam regulasi mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP.
Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun, bakteri dan
tanaman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung precursor histamin. Kadar
histamin paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus dan paru-paru (Dewoto,
2007).
b. Tujuan percobaan
Untuk mengetahui metode yang digunakan pada evaluasi aktivitas antialergi
obat atau sediaan uji dalam percobaan ini .
Untuk mengetahui fungsi penyuntikan antigen dan larutan evans blue
Untuk mengetahui efek dari pemberian obat CTM dan ekstrak tumbuhan
pada tikus
c. Prinsip Percobaan
Reaksi anafilaksis kutan akut akibat pemberian antigen atau protein asing
dapat dihambat dengan pemberian obat antialergi.
4

II. Tinjauan Pustaka
Alergi, istilah ini yang juga disebut hipersensitivitas pertama kali (1906)
dicetuskan oleh Von Pirquet yang menggambarkan reaktivitas khusus dari tuan
rumah (host) terhadap suatu unsur eksogen, yang timbul pada kontak kedua kali atau
berikutnya. Reaksi hipersensitivitas ini meliputi sejumlah reaksi auto-imun dan alergi
serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses
imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut, walaupun bersifat merusak,
berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh
(Tan,2007).
Bila suatu protein asing masuk berulang kali ke dalam aliran darah seorang
yang berbakat hipersensitif, maka limfosit-B akan membentuk antibodi dari tipe IgE,
yang juga disebut reagin, mengikat diri pada membran mast-cells tanpa
menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen yang sama atau mirip rumus
bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya.
Hasilnya adalah suatu reaksi alergi alibat pecahnya membran mast-cell. Sejumlah zat
perantara (mediator) dilepaskan, yakni histamin bersama serotonin, bradikinin dan
asam arakidonat,yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat-
zat itu menarik makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan
penyerbu. Di samping itu juga menyebabkan beberapa gejala bronkokonstriksi,
vasodilatasi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen.
Mediator tersebut secara langsung atau melalui susunan saraf otonom menimbulkan
bermacam-macam penyakit alergi penting, seperti: asma, rhinitis alergika dan eksim
(Tan, 2007).
Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi di mana reaksi alergen- antibodi
berlangsung,misalnya di hidung (rhinitis), di kulit (eksim), mukosa
mata(konjungtivitis) atau di bronchi (asma). Gejala tersebut juga dapat timbul
bersamaan waktu di berbagai tempat (Tan, 2007).
Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya menurut Gell
& Coombs(1968) dalam 4 tipe hipersensitivitas, yaitu :
Tipe I
5

gangguan-gangguan alergi berdasarkan reaksi antara alergen-antibodi (IgE)
dengan degranulasi mast-cells dan khusus terjadi pada orang yang berbakat
genetis (keturunan). Tipe-I ini juga dinamakan alergi atopis atau reaksi
anafilaksis dan terutama berlangsung di saluran napas dan di kulit, jarang di
saluran cerna dan di pembuluh darah. Mulai reaksinya cepat, dalam waktu 5
sampai 20 menit setelah terkena alergen, maka sering kali disebut reaksi segera.
Gejalanya bertahan lebih kurang 1 jam (Tan, 2007).
Tipe II, autoimunitas(reaksi sitolitis)
Antigen yang terikat pada membran sel bereaksi dengan IgG atau IgM dalam
darah dan menyebabkan sel musnah. Reaksi ini terutama berlangsung di sirkulasi
darah. Contohnya adalah gangguan auto-imun akibat obat, seperti anemia
hemolitis (akibat penisilin), agranulositosis(akibat sulfonamida), SLE (systemic
lupus erythematodes) akibat hidralazin atau prokainamida. Reaksi autoimun jenis
ini umumnya sembuh dalam waktu beberapa bulan (Tan, 2007).
Tipe III,ganguan imun- kompleks (reaksi Arthus).
Pada peristiwa ini,antigen dalam sirkulasi bergabung dengan terutama IgG
menjadi suatu imun-kompleks,yang diendapkan pada endotel pembuluh. Di
tempat itu sebagai respons terjadi peradangan,yang disebut penyakit serum yang
bercirikan urticaria,demam dan nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam
setelah ”terkena” dan lamanya 6-12 hari. Obat-obat yang dapat menginduksi
reaksi ini adalah sulfonamida, penisilin dan iodida. Imun-kompleks dapat terjadi
di jaringan yang menimbulkan raksi ootaksis. Mulai reaksinya sesudah 24-48 jam
dan bertahan beberapa hari. Contohnya adalah reaksi tuberkulin dan dermatitis
kontak (Tan , 2007).
Tipe IV (reaksi lambat,delayed)
Antigen terdiri dari suatu komplek hapten(+)protein yeng beraksi dengan T-
limfosit yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu (sitokin dari
limfosit)dibebaskan yang menarik makrofag dan neutrofil, sehingga terjadi reaksi
peradangan. Proses penarikan itu disebut chemotaxis. Mulai reaksinya sesudah
24-28 jam dan bertahan beberapa hari. Contohnya reaksi tuberkulin dan
dermatitis kontak(Tan , 2007).
6

Bentuk alergi tipe I-III berkaitan dengan imunoglobulin dan imunitas
humoral( Lat.humor=cairan tubuh), artinya ada hubungan dengan plasma. Hanya
tipe IV berdasarkan imunitas seluler( limpfosit T) (Tan , 2007).
Asma, demam hay dan anfilaksis (tanpa perlindungan) disebabkan oleh
proses yang sama dasarnya yaitu antibodi IgE menempel pada sel mast dan pada
pemaparan berulang dengan antigen yang sama,terjadi degranulasi sel mast sehingga
terjadi produksi dan pelepasan mediator. Bila perlepasan mediator terlokalisai,terjadi
demam hay atau asma,tetapi pelepasan mediator yang menyeluruh dan masif
menyebabkan anafilaksis,yang walaupun jarang terjadi,mengancam jiwa akibat
sengatan lebah atau penisilin atau obat lainnya. Antigen yang bisa memicu reaksi ini
disebut alergen(zat penyebab alergi).Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi
dimana ukuran diameter jalan napas menyempit secara kronis akibat edema dan tidak
stabil. Selama serangan pasien mengalami menginitis dan kesulitan bernafas akibat
bronkospasme, edema mukosa, dan pembentukan mukus. Terkadang inflamasi kronis
menyebabkan peubahan ireversibel pada jalan nafas. Bila serangan akut mempunyai
dasar alergi,sering digunakan istilah asma ektrinsik. Bila tidak ada dasar alergi yang
jelas untuk penyakit ini,disebut asma intrinsik.Pada asma ringan sampai sedang,obat
ini pertama adalah agonis adrenoseptor beta 2,bekerja singkat yang dibutuhkan dapat
diinhalasi dari wadah bertekanan. Bila agonis beta2, dibutuhkan lebih dari sekali
sehari, maka ditambahkan pemakaian teratur steroid inhalasi atau kromolikat. Pada
asma yang lebih berat,agonis beta kerja singkat dipertahankan ,dengan penambahan
steroid inhalasi dosis tinggi,ataupun dengan penambahan stimulan beta kerja panjang
(misalnya salmeterol) yang diinhalasi secara teratur bersama dengen steroid inhalasi
dosis standart. Jika dibutuhkan,steroid inhalasi dosis tinggi dapat dikombinasikan
dengan salmeterol,ipratropium inhalasi atau teofilin lepas lambat oral. Beberapa
pasien dikontrol hanya dengan steroid oral (Neal,1995).
Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal
abad ke 19, histamanin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar.
Histamin juga ditemukan pada berbagai jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama
histamin (histos = jaringan). Hipotesis mengenai peran fisiologis histamin didasarkan
pada adanya persamaan antara efek histamin dan gejala-gejala syok anafilaktik dan
trauma jaringan. Meskipun didapatkan perbedaan diantara spesies, pada manusia
7

histamin merupakan mediator yang penting pada reaksi alergi tipe segera
(immediate) dan reaksi imflamasi, selain itu histamin memiliki peran penting dalam
sekresi asam lambung dan berfungsi sebagai suatu neuromodulator (Dewoto, 2007).
Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat
pada permukaan membran. Dewasa ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin H1, H2,
dan H3. Reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan
protein G. pada otak, reseptor H1 dan H2 terletak pada membrane pascasinaptik
sedangkan reseptor H3 terutama prasinaptik. Aktivasi reseptor H1 yang terdapat pada
endotel dan sel otot polos, menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut
mungkin diperrantarai oleh peningkatan cyclicguanosine monophosphate (cGMP) di
dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf
pusat (Dewoto, 2007).
Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung dan beberapa
sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain
itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamin
menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP dan menurunkan
kadar cGMP, sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos
br oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2
oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi(Dewoto, 2007).
Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai
sistem organ. Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan pada beberapa daerah di otak
mengurangi penglepasan transmitter baik histamin maupun norepinefrin, serotonin
dan asetilkolin. Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain
sebagai gastroprotektif dan antagonis reseptor H3 antara lain berpotensi untuk
digunakan sebagai antiobesitas, sampai saat ini belum ada agonis maupun antagonis
reseptor H3 yang diizinkan untuk digunakan di klinik (Dewoto, 2007).
Efek histamin yang terpenting pada manusia adalah dilatasi kapiler (arteriol
dan venul), dengan akibat kemerahan dan rasa panas di wajah (blushing area),
menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah. Afinitas histamin terhadap reseptor
H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya
8

pengaruh histamin terhadap reseptor H2, menyebabkan vasodilatasi yang timbul
lebih lambat dan berlangsung lebih lama. Akibatnya pemberian AH1 dosis kecil
hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin dalam jumlah kecil.
Sedangkan efek histamin dalam jumlah lebih besar hanya dapat dihambat oleh
kombinasi AH1 dan AH2 (Dewoto, 2007).
Antihistamin H1 mengantagonis semua efek histamin, kecuali untuk histamin
yang hanya diperantarai oleh oleh reseptor H2. Efek semua penyekat reseptor H1
secara kualitatif adalah sama. Namun, kebanyakan penghambat ini mempunyai efek
tambahan yang tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor H1, kemungkinan
efek ini-efek ini memantulkan ikatan antagonis H1 pada reseptor kolinergik,
adrenergik, atau reseptor serotonin. Beberapa penyekat H1, seperti difenhidramin,
mempunyai aktivitas anestetik lokal yang baik (Mycek, 2002).
Penyekat H1 berguna pada pengobatan alergi yang disebabkan oleh antigen
yang bekerja pada antibodi-IgE yang mensensitisasi sel mast. Misalnya, antihistamin
adalah obat pilihan dalam mengontrol gejala rinitis alergika dan urtikaria karena
histamin merupakan mediator yang terpenting. Namun penyekat reseptor H1 tidak
efektif pada pengobatan asma bronkiale, karena histaminadalah satu-satunya dari
mediator (Mycek, 2002).
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenik sehingga akan melepaskan
histamin dari sel mast dan basofil. Zat-zat tersebut ialah:
1. Enzim kimotripsin, fosfolipase dan tripsin
2. Beberapa surface active agents misalnya detergen, garam empedu dan
lisolesitin
3. Racun dan endotoksin
4. Polipeptida alkali dn ekstrak jaingan
5. Zat dengan berat molekul tinggi misalanya ovomukoid, zimosan, serum kuda,
ekspander plasma dan polivinilpirolidon
6. Zat bersifat basa misalnya morfin, kodein, antibiotic, meperidin, stilbamidin,
propamidin, dimetiltubokurarin, d-tubokurarin
7. Media kontras
9

Penglepasan histamin juga dapat disebabkan oleh proses fisik seperti mekanik,
termal atau radiasi. Hal ini cukup untuk merusak sel terutama sel mast yan akan
melepaskan histamin. Hal ini terjadi misalnya pada cholinergic urticaria, solar
urticaria, dan cold urticaria (Dewoto, 2007).
Bersama dengan obat antimuskarinik skopolamin, penghambat reseptor H1
tertentu,seperti difenhidramin, dimenhidrinat, siklizin, dan meklizin, merupakan obat
yang paling efektif dalam mencegah gejala motion sickness. Antihistamin mencegah
atau mengurangi mentah dan mual yang diperantarai oleh jalan kemoreseptor dan
vestibular. Efek antiemetik dari substansi ini kelihatannnya tidak tergantung pada
efek antihistamin dan efek lainnya. Beberapa antihistamin, seperti difenhidramin
mempunyai efek sedatif yang kuat dan digunakan untuk pengobatan insomnia
(Mycek, 2002).
Penyekat reseptor H1 diabsorbsi dengan baik setelah pemberian peroral
dengan kadar maksimum dalam serum tercapai setelah 1 sampai 2 jam. Waktu paruh
rata-rata dalam plasma 4 sampai 6 jam, kecuali untuk meklizin, yang mempunyai
waktu paruh 12 sampai 24 jam. Penyekat reseptor H1 mempunyai bioavabilitas
tinggi, didistribusi pada semua jaringan termasuk SSP. Tempat biotransformasi
utama adalah hati. Diekskresi kedalam urin, sedikit dalam bentuk yang tidak berubah
dan sebagian besar dalam bentuk metabolit (Mycek, 2002).
Macam-macam obat antihistamin
Sejak histamin ditemukan sebagai suatu zat kimia yang mempengaruhi
banyak proses faali dan patologik dalam tubuh, maka dicari obat yang dapat
melawan khasiat histamin. Epinefrin merupakan antagonis faali yang pertama kali
digunakan, efeknya lebih cepat dan lebih efektif daripada AH1. ( Fajar, 2013)
a) Antihistamin generasi pertamaSejak tahun 1937-1972, ditemukan beratusratus antihistamin dan digunakan
dalam terapi, namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini dalam dosis terapi
efektif untuk menghilangkan bersin, rinore, gatal pada mata, hidung dan tenggorokan
pada seasonal hay fever, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung
akibat histamin. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada
urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Mekanisme kerja antihistamin dalam
menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan
10

dengan reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan
memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan dalam
antihistamin generasi pertama. (2) Untuk pedoman terapi, penggolongan AH1
dengan lama kerja, bentuk sediaan dan dosis dapat di lihat pada Tabel 1.
Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau
dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya untuk pengobatan
influensa. Kelas ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine, prometazin,
hidroksisin dan lain-lain. Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini
mempunyai efektifitas yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan
dan dapat dibedakan satu sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun,
efek yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga
mengganggu aktifitas dalam pekerjaan, harus berhati-hati waktu mengendarai
kendaraan, mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin berat.
Efek sedative ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki
sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada
reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada reseptor
H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. Selain itu, efek
sedative diperberat pada pemakaian alkohol dan obat antidepresan misalnya minor
tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus berhati-hati. Di samping itu,
beberapa antihistamin mempunyai efek samping antikolinergik seperti mulut menjadi
kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.
( Fajar, 2013)
b) Antihistamin generasi kedua
Setelah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin yaitu burinamid, metilamid dan
simetidin. Ternyata antihistamin generasi kedua ini memberi harapan untuk
pengobatan ulkus peptikum, gastritis atau duodenitis. Antihistamin generasi kedua
mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik
yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap diisi
histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek
mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik,dapat diberikan dengan dosis yang tinggi
untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita alergi yang
11

tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka
panjang pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin
pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat mencegah
bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat meredakan gejala ringan asma
kronik dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada penderita dengan
hiperreaktif bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas dan terutama
untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat, sehingga antihistamin generasi
kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang digolongkan dalam
antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin.
( Fajar, 2013)
c) Antihistamin generasi ketiga
Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin,
norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan
metabolit antihistamin generasi kedua.Tujuan mengembangkan antihistamin generasi
ketiga adalah untuk menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta
menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya. ( Fajar, 2013)
Efek samping obat antihistamin
Antihistamin yang dibagi dalam antihistamin generasi pertama dan
antihistamin generasi kedua, pada dasarnya mempunyai daya penyembuh yang sama
terhadap gejala-gejala alergi. Yang berbeda adalah antihistamin klasik mempunyai
efek samping sedatif. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin klasik
dapat menembus sawar darah otak (blood brain barrier) sehingga dapat menempel
pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel di
reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun sehingga timbul rasa mengantuk.
Sebaliknya, antihistamin generasi kedua sulit menembus sawar darah otak sehingga
reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek sedatif tidak terjadi. Oleh
karena itulah antihistamin generasi kedua disebut juga antihistamin non-
sedatif( Fajar, 2013).
Badan yang mengawasi peredaran obat di Amerika (FDA) pada tahun 1997
mencabut peredaran terfenadine karena timbulnya aritmia, takikardia ventrikular,
pemanjangan interval QT. Aritmia ini dapat menimbulkan pingsan dan kematian
mendadak karena gangguan jantung. Pemilihan obat antihistamin yang ideal harus
12

memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu keamanan, kualitas hidup, pemberian mudah
dengan absorpsi cepat, kerja cepat tanpa efek samping dan mempunyai aktifitas
antialergi( Fajar, 2013).
Kontra Indikasi dan Interaksi Obat
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakain antihistamin H1
pemakaian topical golongan etylen diamin pada penderita yang telah
mendapatkan obat lain yang mempunyai struktur yang mirip (aminophylline).
Efek sedai akan meningkat apabila pemberian obat H1 bersamaan dengan
obat anti depresan atau alcohol
Golongan phenotiazid dapat menghambat efek vasopressor dari epinerphin
Efek antikolinergik dan antihistamin akan lebih berat dan lebih lama
diberikan bersama obat inhibitor monoamine (procarbazin) (Budi,2008).
Toleransi
Pemakaian antihistamin terutama hydroxyzine lebih dari 3minggu dapat
terjadi penurunan efektivitas klinis dalam mengatasi urtika. Mekanisme kerjanya
belum pasti, diduga adanya auto induksi pada metabolisme di hepar dan
meningkatnya ekresi melalui urin, pergantian dengan antihistamin golongan lain
pada beberapa kasus dapat menolong.
Toleransi tidak pernah dilaporkan pada pemakaian chlorpeniramin. Penelitian
lain terhadap antihistamin H1 generasi 2 tidak menunjukkan timbulnya toleransi
setelah pemakain 6-8minggu (Budi,2008).
Lokasi Mungkin Alergi Mungkin TIDAK Alergi
Hidung dan Mata Bersin Sakit tenggorokan
Mata berkaca-kaca Pilek dengan warna, kadang-kadang
tebal, mengeluarkan lendir
Gatal hidung dan
tenggorokan
Demam (sedikit jika dingin, lebih tinggi
jika flu)
Batuk
Sakit kepala
Nyeri wajah
Keluar cairan hidung nyeri otot, pegal seluruh
Paru-paru Mengi Mengi
13

Sesak napas Sesak napas
Batuk (dahak jelas) Batuk (dahak berwarna/darah dahak)
Kesulitan bernapas Kesulitan bernapas
(Anonim, 2010)
Tabel penggolongan antihistamin dengan masa kerja beserta dosis.
( Fajar, 2013)
14

III. Metode Percobaan
a. Alat Spidol Permanent
Timbangan elektrik
Spuit
Oral sonde
Jam Tangan
Tissue gulung
Serbet
b. Bahan Ovalbumin CTM Evans blue Larutan Ekstrak
c. Hewan Percobaan Tikus
d. Prosedur Kerja1. Satu minggu sebelum pratikum, hewan ditimbang dan
ditandai.2. Hewan dibagi dalam beberapa kelompok3. Hewan disensitisasi secara aktif dengan injeksi suspense
ovalbumin sebanyak 0,1ml dalam NaCl 0,9% secara i.p dan 3 hari selanjutnya disensitisasi secara aktif dengan injeksi suspense ovalbumin sebanyak 0,1ml dalam NaCl 0,9% secara intraplantar.
4. Pada hari pratikum, hewan yang sudah disensitisasi dicukur bulu punggungnya lalu ditritmen dengan CTM dengan dosis 6mg/kg BB dan larutan ekstrak dengan dosis 100mg/kg BB.
5. Satu jam berikutnya, hewan disuntik dengan larutan evan blue sebanyak 0,2ml, secara i.v melalui ekor.
6. Hewan disuntikkan lagi dengan ovalbumin pada daerah sensitisasi awal secara subkutan.
7. Dilakukan pengamatan dengan interval waktu 30,60,90 menit.8. Anafilaksis kutan aktif ditandai dengan munculnya benjolan
yang berwarna biru pada area injeksi(punggung).9. Hasil pengamatan diberikan skor seperti yang terdapat pada
table berikut.Intesitas warna pada area skor IritasiTidak berwarna 0 Tidak adaSedikit berwarna biru 2 RinganWarna biru terang 4 RinganWarna biru gelap 6 Moderat( >4 )Bengkak (+)biru gelap 8 Berat
Perhitungan Dosis
15

Pemberian CMC 0,5%
- Tikus 1 = 107,6 g
Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan
= 1% x 107,6
= 1,076 ml
Pemberian CMC 1%
- Tikus 1 = 137,2 g
Volume CMC yang disuntikkan (ml) = 1% x berat badan
= 1% x 137,2
= 1,372 ml
Pemberian CTM 1% dosis 6 mg/kg BB
- Tikus 3 = 148,3 g
Jumlah obat (mg) = 6 mg/kg BB x 148,3 g
1000
= 0,889 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % = 1 g/100 ml
= 1 g x 1000 mg/100 ml
= 10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang diberikan = 0.889 mg = 0.0889 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka
1 skala = 1 : 100
= 0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan = 0.0889 ml = 8,89 skala
0,01 ml
- Tikus 4 = 153.8 g
Jumlah obat (mg) = 6 mg/kg BB x 153,8 g
1000
= 0,922 mg
16

Konsentrasi obat = 1 %
1 % = 1 g/100 ml
= 1 g x 1000 mg/100 ml
= 10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang diberikan = 0,922 mg = 0,0922 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka
1 skala = 1 : 100
= 0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan = 0,0922 ml = 9,22 skala
0,01 ml
Pemberian Ekstrak 1% dosis 100 mg/kg BB
- Tikus 5 = 142,4 g
Jumlah ekstrak = 100 mg/kg BB x 142,4 g
1000
= 14,24 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % = 1 g/100 ml
= 1 g x 1000 mg/100 ml
= 10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang diberikan = 14.24 mg = 1,424 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka
1 skala = 1 : 100
= 0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan = 1.424 ml = 142.4 skala
0,01 ml
Tikus 6 = 123,2 g
17

Jumlah ekstrak = 100 mg/kg BB x 123,2 g
1000
= 12,32 mg
Konsentrasi obat = 1 %
1 % = 1 g/100 ml
= 1 g x 1000 mg/100 ml
= 10 mg/ml
Jumlah larutan obat yang diberikan = 12,32 mg = 1,232 ml
10 mg/ml
Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka
1 skala = 1 : 100
= 0,01 ml
Jadi, jumlah obat yang diberikan dengan syringe 1 ml adalah
Jumlah larutan = 1,232 ml = 123,2 skala
0,01 ml
IV. Hasil dan Pembahasan
18

a. Hasil
No Kelompok Waktu pengamatan (menit)
30 60 90
1. CMC 0,5% 2 4 4
CMC 1% 0 2 2
2. CTM 1%
(6mg/kg BB)
2 4 6
2 0 0
3. Ekstrak
Tumbuhan 1%
(100mg/kg BB)
0 0 0
0 0 0
b. Pembahasan
Percobaan yang dilakukan adalah dengan memberikan suspensi ovalbumin
dalam NaCl 0,9 % sebagai antigen kepada hewan percobaan sebanyak 3 kali
pemberian, yaitu secara intraperitonial, intraplantar, dan subkutan. Tujuannya adalah
untuk menimbulkan reaksi anafilaksis kutan aktif.
Pada penyuntikan antigen yang pertama gunanya untuk proses pengenalan,
kemudian yang kedua terjadi proses pembentukkan antibodi. Pada penyuntikan
antigen yang ketiga tujuannya agar terjadi reaksi anafilaksis kutan aktif. Molekul
IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap
oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metakromatik (mastosit atau sel
basofil), sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkontak dengan alergen
spesifiknya maka akan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit/basofil
dan akibainya terlepas mediator-mediator alergi. Reaksi alergi yang segera terjadi
akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang mencapai
puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60
menit kemudian.
Penyuntikan larutan evan blue setelah sensitisasi gunanya sebagai indikator
adanya histamin yang lepas ke dalam darah. Gejalanya akan memunculkan bentolan
yang berwarna biru pada daerah sensitasi tersebut (Arimura et al. 1990). Pada hasil
percobaan pemberian ekstrak temu mangga terhadap hewan percobaan yang
diberikan antigen, tidak memunculkan bentolan yang berwarna biru yang diberi skor
19

0. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak temu mangga memiliki aktivitas antihistamin.
CTM juga mempunyai aktivitas antihistamin, karena CTM mempunyai efek
antimuskarimik dan melewati sawar darah otak, biasanya menyebabkan rasa kantuk
dan gangguan psikomotorik (Neal, 2006).
V. Kesimpulan dan saran
20

a. Kesimpulan
Metode yang digunakan pada evaluasi aktivitas antialergi obat atau
sediaan uji dalam percobaan ini adalah metode anafilaksis kutan aktif,
yaitu penyuntikan induksi dengan antigen sehingga menghasilkan
antibodi.
Fungsi penyuntikan antigen (suspensi ovalbumin) menyebabkan gangguan
fisiologis pada jaringan dan organ tubuh, yaitu udema (pembengkakan
pada kulit), dilatasi pembuluh darah dan kontraksi saluran pencernaan.
Sedangkan larutan evans blue akan memunculkan benjolan yang
berwarna biru pada daerah sensitisasi tersebut.
Efek dari pemberian obat CTM dan ekstrak pada tikus yang telah
disuntikkan antigen adalah dapat mengurangi bengkak atau benjolan biru
pada area injeksi (punggung).
b. Saran
Daftar Pustaka
21

Mycek. M. J. et al., (2002). Farmakologi Ulasan Bergambar . Edisi Kedua. Jakarta :
Widya Medika . Hal. 426-427.
Neal, M. J., (1995) , At a Glance Farmakolgi Medis . Edisi kelima . Jakarta :
Erlangga . Hal. 28-30.
Tan, H. T & Raharja, K., (2007) . Obat – Obat Penting . Edisi Keenam . Jakarta :
Elek Media Komputindo . Hal. 813-815.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Arifin, Fajar Gunawijaya. Manfaat penggunaan antihistamin generasi ketiga.
http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/anthistamin.pdf pada
tanggal 02 April 2013.
Anonim. 2010. http://www.consumerreports.org/health/resources/pdf/best-buy-
drugs/Antihistamines.pdf. Pada tanggal 02 April 2013.
Budi, Imam Putra. 2008. Pemakaian Antihistamin pada anak.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3405/1/08E00605.pdf . Pada
Tanggal 02 April 2013.
22