kejujuran

20
Dikisahkan dari Mubarok -ayahanda dari Abdulloh Ibnu al-Mubarok- bahwasanya ia pernah bekerja di sebuah kebun milik seorang majikan. Ia tinggal di sana beberapa lama. Kemudian suatu ketika majikannya -yaitu pemilik kebun tadi yang juga salah seorang saudagar clari Hamdzan- datang kepadanya clan mengatakan, “Hai Mubarok, aku ingin satu buah delima yang manis.”Mubarok pun bergegas menuju salah satu pohon clan mengambilkan delima darinya. Majikan tadi lantas memecahnya, ternyata ia mendapati rasanya masih asam. Ia pun marah kepada Mubarok sambil mengatakan, “Aku minta yang manis malah kau beri yang masih asam! Cepat ambilkan yang manis!” Ia pun beranjak dan memetiknya dari pohon yang lain. Setelah dipecah oleh sang majikan; sama, ia mendapati rasanya masih asam. Kontan, majikannya semakin naik pitam. Ia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, majikannya mencicipinya lagi. Ternyata, masih juga yang asam rasanya. Setelah itu, majikannya bertanya, “Kamu ini apa tidak tahu; mana yang manis mana yang asam?” Mubarok menjawab. “Tidak.”“Bagaimana bisa seperti itu?”“Sebab aku tidak pernah makan buah dari kebun ini sampai aku benar-benar mengetahui (kehalalan)nya.” “Kenapa engkau tidak mau memakannya?” tanya majikannya lagi.“Karena anda belum mengijinkan aku untuk makan dari kebun ini.” Jawab Mubarok. Pemilik kebun tadi menjadi terheran-heran dengan jawabannya itu .. Tatkala ia tahu akan kejujuran budaknya ini, Mubarok menjadi besar dalam pandangan matanya, dan bertambah pula nilai orang ini di sisi dia. Kebetulan majikan tadi mempunyai seorang anak perempuan yang banyak dilamar oleh orang. Ia mengatakan, “Wahai Mubarok, menurutmu siapa yang pantas memperistri putriku ini?” “Dulu orang-orang jahiliyah menikahkan putrid-putri mereka lantaran keturunan. Orang Yahudi menikahkan karena harta, sementara orang Nashrani menikahkan karena keelokan paras. Dan umat ini menikahkan karena agama.” Jawab Mubarok. Sang majikan kembali dibuat takjub dengan pemikirannya ini.

description

Pengetahuan

Transcript of kejujuran

Page 1: kejujuran

Dikisahkan dari Mubarok -ayahanda dari Abdulloh Ibnu al-Mubarok- bahwasanya ia pernah bekerja di sebuah kebun milik seorang majikan. Ia tinggal di sana beberapa lama. Kemudian suatu ketika majikannya -yaitu pemilik kebun tadi yang juga salah seorang saudagar clari Hamdzan- datang kepadanya clan mengatakan, “Hai Mubarok, aku ingin satu buah delima yang manis.”Mubarok pun bergegas menuju salah satu pohon clan mengambilkan delima darinya. Majikan tadi lantas memecahnya, ternyata ia mendapati rasanya masih asam. Ia pun marah kepada Mubarok sambil mengatakan, “Aku minta yang manis malah kau beri yang masih asam! Cepat ambilkan yang manis!”

Ia pun beranjak dan memetiknya dari pohon yang lain. Setelah dipecah oleh sang majikan; sama, ia mendapati rasanya masih asam. Kontan, majikannya semakin naik pitam. Ia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, majikannya mencicipinya lagi. Ternyata, masih juga yang asam rasanya. Setelah itu, majikannya bertanya, “Kamu ini apa tidak tahu; mana yang manis mana yang asam?”

Mubarok menjawab. “Tidak.”“Bagaimana bisa seperti itu?”“Sebab aku tidak pernah makan buah dari kebun ini sampai aku benar-benar mengetahui (kehalalan)nya.”“Kenapa engkau tidak mau memakannya?” tanya majikannya lagi.“Karena anda belum mengijinkan aku untuk makan dari kebun ini.” Jawab Mubarok. Pemilik kebun tadi menjadi terheran-heran dengan jawabannya itu ..

Tatkala ia tahu akan kejujuran budaknya ini, Mubarok menjadi besar dalam pandangan matanya, dan bertambah pula nilai orang ini di sisi dia. Kebetulan majikan tadi mempunyai seorang anak perempuan yang banyak dilamar oleh orang. Ia mengatakan, “Wahai Mubarok, menurutmu siapa yang pantas memperistri putriku ini?”

“Dulu orang-orang jahiliyah menikahkan putrid-putri mereka lantaran keturunan. Orang Yahudi menikahkan karena harta, sementara orang Nashrani menikahkan karena keelokan paras. Dan umat ini menikahkan karena agama.” Jawab Mubarok.

Sang majikan kembali dibuat takjub dengan pemikirannya ini. Akhirnya majikan tadi pergi dan memberitahu isterinya, katanya, “Menurutku, tidak ada yang lebih pantas untuk putri kita ini selain Mubarok.”

Mubarok pun kemudian menikahinya dan mertuanya memberinya harta yang cukup melimpah. Di kemudian hari, isteri Mubarok ini melahirkan Abdullah bin al-Mubarok; seorang alim, pakar hadits, zuhud sekaligus mujahid. Yang merupakan hasil pernikahan terbaik dari pasangan orang tua kala itu. Sampai-sampai Al-Fudhoil bin ‘Iyadh Rohimahullah mengatakan -seraya bersumpah dalam perkataannya-, “Demi pemilik Ka’bah, kedua mataku belum pernah melihat orang yang semisal dengan Ibnu al-Mubarok.

***Hari ini, kecurangan dan penipuan sudah semakin banyak terjadi dalam kehidupan sebagian orang. Sangat jarang kita temukan orang jujur lagi dipercaya dalam menunaikan amanah serta yang jauh dari sifat curang dan penipu. Kejujuran sudah menjadi sesuatu yang langka. Berbahagialah Anda yang masih memiliki kejujuran sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

Page 2: kejujuran

Dari Abdullah bin Mas'ud ra: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Sesungguhnya seseorang biasa berlaku jujur hingga ia disebut shiddiq (orang yang senantiasa jujur). Sedang dusta mengantarkan kepada perilaku menyimpang (dzalim) darn perilaku menyimpang mengantarkan kepada neraka. Sesungguhnya seseorang biasa berlaku dusta hingga ia disebut pendusta besar." (HR Bukhari Muslim)

Page 3: kejujuran

Kisah Kejujuran Dua Bocah Penjual Tisu di Pinggir Jalan

Kejujuran sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti sebuah kejujuran. Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, �Terima kasih Oom!� Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka. Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan. Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta. �Terima kasih ya mbak � semuanya dua ribu lima ratus rupiah!� tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah. �Maaf, nggak ada kembaliannya � ada uang pas nggak mbak?� mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter. �Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?� suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. �Nggak punya!�, tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata �Ambil saja kembaliannya, dik!� sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur. Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang �Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!�, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. �Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !� Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar �Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!� �Eeh � nggak usah � nggak usah � biar aja � nih!� saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, �Nanti dulu Om, biar ditukar dulu � sebentar.� �Nggak apa apa, itu buat kalian�

Page 4: kejujuran

lanjut saya. �Jangan � jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga� anak itu bersikeras. �Sudah � saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !�, saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat. Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. �Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..�. Ia memberi saya delapan pack tissue. �Buat apa?�, saya terbengong �Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu�. Walau dikembalikan ia tetap menolak. Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. �Terima kasih Om!�..mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan, �Duit mbak tadi gimana ..?� suara kecil yang lain menyahut, �Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin ��.�. Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.

Read more at: http://www.hajsmy.us/2012/09/kisah-kejujuran-dua-bocah-penjual-tisu.htmlDua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil

Read more at: http://www.hajsmy.us/2012/09/kisah-kejujuran-dua-bocah-penjual-tisu.html

Page 5: kejujuran

Kisah kejujuran Polisi Hoegeng yang harus di teladani para pejabat negeri ini.

Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng. Begitulah setidaknya menurut Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Anekdot mantan presiden RI ini sekaligus sindiran karena cuma Hoegeng satu-satunya polisi jujur. Tapi, sebenarnya tahukah Anda, siapa Hoegeng?

Hoegeng yang bernama lengkap Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun.

Misalnya, ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. " Kami tak tahu dari siapabarang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun," kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.

Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana.

Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi.

"Begitu dipensiunkan, Bapak kemudian mengabarkan pada ibunya. Dan ibunya hanya berpesan, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam," ujar Roelani. "Dan kata-kata itulah yang menguatkan saya," tambahnya.Hoegeng memang seorang yang sederhana, ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran. Semua keluarga dilarang untuk menggunakan berbagai fasilitas sebagai anak seorang Kapolri. "Bahkan anak-anak tak berani untuk meminta sebuah sepeda pun," kata Merry.

Aditya, Reni, dan Ayu, putra Hoegeng yang hadir di studio, menceritakan pengalaman berharga mereka ketika menjadi seorang anak pejabat. Misalnya, Adytia bercerita, ketika sebuah perusahaan motor merek Lambretta mengirimkan dua buah motor, sang ayah segera meminta ajudannya untuk mengembalikan barang pemberian itu. "Padahal saya yang waktu itu masih muda sangat menginginkannya," kenang Didit.

Page 6: kejujuran

Reni memiliki cerita lain, yakni sering sekali terlambat sekolah karena jika terjadi kemacetan di pagi hari, sang ayah sering turun ke jalan mengatur lalu lintas terlebih dahulu. Masih banyak kisah-kisah yang sarat makna di ceritakan oleh istri, putra putri Hoegeng, serta sejumlah temannya di tayangan ini. Kisah ketegasan dan kesederhanaan Hoegeng sebagai seorang pengabdi masyarakat.

Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.

Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Karena harus anda ketahui, pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500!

Kepada Kick Andy, Aditya menunjukkan sebuah SK tentang perubahan gaji ayahnya pada tahun 2001, yang menyatakan perubahan gaji pensiunan seorang Jendral Hoegeng dari Rp. 10.000 menjadi Rp.1.170.000. Setelah memasuki masa pensiun, Hoegeng sempat mengisi acara di Radio Elshinta, namun tak lama acaranya ditutup karena dianggap terlalu pedas.

Hoegeng kemudian membesarkan kembali musik Hawaiian yang terkenal dengan nama "Hawaiian Senior" dan mengisi acara di TVRI selama 10 tahun. Acara itupun kemudian "dibredel" oleh pemerintah dengan alasan tidak mencerminkan budaya nasional Indonesia. Hoegeng yang kemudian bergabung dengan kelompok petisi 50, tampaknya memang memiliki banyak ganjalan dalam berkiprah di negeri ini.

Musik Hawaiin memiliki makna tersendiri untuk Merry sang istri. Karena mereka sering bermain musik hawaiin bersama-sama. Hoegeng sendiri pernah ke Pulau Hawaii dalam rangka tugas, tapi sang istri yang sangat-sangat ingin pergi ke pulau itu tak pernah diajaknya. "Kami sudah sepakati bahwa saat Bapak tugas, saya sebagai istri tak perlu ikut," ujar Merry yang mengaku memiliki sahabat di Pulau milik Amerika itu.

Merry memang sosok istri yang tulus. Bahkan mantan ketua YLKI yang juga peneliti bidang kepolisian, Zumrotin yang hadir di studio, memuji ketulusan sosok Merry yang berbeda dengan kebanyakan istri pejabat, terutama di masa kini.

Page 7: kejujuran

Cerita Tentang Kejujuran

Suatu hari saya pergi ke toko  buku dan seperti biasa kendaraan yang saya tumpangi adalah angkot / bemo. Pagi itu liburan anak sekolah, sehingga bemo yang saya naiki hanya ada 1 orang remaja, supir dan kernet (konjak=bahasa kupang).Bberapa meter bemo berjalan, di kaki saya terasa ada "sesuatu" yang saya injak, ternyata sebuah Handphone. Dengan kepolosan (atau kebodohan ?) saya ambil dan tanyakan pada remaja di depan saya, ia menggeleng tanda bukan miliknya (nah, sudah dua orang bodoh ya yang ada di bemo itui ? he he he)Sayapun serta merta menyorongkan pada kernet dan si kernet menyerahkan pada supir.Sampai di sini saya mulai berfikir, kalau memang milik supir , kenapa ekspresi dan bahasa tubuhnya tidak mendukung bahwa ia habis kehilangan dan menemukan kembali barangnya yang hilang ? Tapi saya tidak perduli, yang penting saya tidak mengambil barang yang bukan milik saya.Sampai di rumah sepulang dari toko, saya ceritakan pada sanak famili. Komentar mereka begitu saya ceritakan adalah ; " Ah, bodo' lu..."Ya sudah, biar saya dikatakan bodoh tapi ada perasaan lega dan puas saat saya tidak tergoda mengambil HP tersebut. (2012)

Page 8: kejujuran

Malam belum begitu larut. Setelah membaca al-Quran dan menghapal ayat-ayat pendek, anak-anak Amalia berkumpul duduk melingkar. Beberapa anak duduk bersila seperti sudah siap untuk mendengarkan. Saya katakan kepada anak-anak Amalia bahwa malam ini akan bercerita tentang Kejujuran Gadis Penjual Susu. Sebagian anak-anak Amalia sedang merapikan bukunya. Sedangkan yang lainnya nampak terlihat tertib. Malini, Mayang, Lia dan Icha duduk yang paling depan.

‘Sudah berkumpul semua?’ tanya saya. ‘Sudah Kak.’ Jawab anak-anak Amalia serentak. ‘Nah, kalo sudah Kak Agus mau mulai cerita,’ tutur saya pada mereka. ‘Nah, ceritanya begini..’ Saya mengawali cerita. Pada Zaman Khalifah Umar Bin Khattab, ada seorang gadis kecil penjual susu yang menyiapkan dagangannya untuk Khalifah Umar.

‘Campurkan susunya dengan air,’ perintah Sang Ibu pada gadis kecil itu.

‘Jangan Bu, Khalifah melarang perbuatan itu, jawabnya.

‘Khalifah Umar tidak tahu, yang tahu hanya kita berdua, ‘kata ibunya.

‘Meskipun Khalifah tidak mengetahui, tetapi Alloh SWT Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya. Semua akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat, ucap gadis kecil itu dengan wajah memelas memohon ibunya untuk mengerti.

Tanpa sepengetahuan Ibu dan gadis kecil itu, khalifah Umar Bin Khattab yang sedang keliling kota Madinah mendengar pembicaraan mereka berdua. ‘Subhanallah..begitu mulia hati gadis kecil itu,’ puji Khalifah Umar dalam hatinya. Khalifah Umar kemudian memberikan kepada gadis kecil seekor kambing sebagai hadiah atas kejujurannya.

Diakhir cerita saya berpesan kepada anak-anak Amalia bahwa kita harus mencontoh sifat teladan gadis kecil yang jujur itu. Alloh Maha Melihat perbuatan hambaNya. Sekalipun apa yang ada dalam hati dan pikiran kita. Termasuk disaat kita hendak berbuat tidak baik kepada orang lain. Alloh SWT Maha Mengetahui. Dimanapun kita bersembunyi, bahkan diruangan gelap sekalipun, Alloh SWT akan melihat kita. Pandangan Alloh SWT tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Oleh sebab itu Alloh SWT memiliki nama al-Bashir yang berarti Maha Melihat.

–Dialah yang mencdiptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam diatas ‘Arsy. Dia mngetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Alloh Maha Melihat apa yang engkau kerjakan (QS Al-Hadid (57): 4)

Page 9: kejujuran

Harga Sebuah Kejujuran

Cerpen Yusrizal Firzal (Republika, 16 Mei 2010)

SUARA azan sudah terdengar sedari tadi. Pertanda waktu shalat subuh sudah masuk. Seorang remaja masih saja membolak-balik badannya di tempat tidur. Gelisah, begitulah yang dia rasakan. Semenjak mendapatkan SMS  balasan dari operator dinas pendidikan di kotanya tengah malam tadi, badannya terasa lemas. Dadanya sesak, seperti diimpit oleh batu besar. Dia dinyatakan tidak lulus UN.

Namanya Agung Prasetyo. Teman-teman sekolah biasa memanggilnya Agung. Dia adalah anak sulung dari dua bersaudara. Ayahnya, Prasetyo, saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sipil di salah satu dinas di lingkungan pemerintahan kota. Sedangkan ibunya bernama Mutia, adalah guru SD. Dita, adik satu-satunya saat ini duduk di kelas dua SMP. Anindita Prasetyo, demikian nama lengkapnya.

Agung kembali memagut bantal guling dan menarik selimutnya. Empuknya spring bed dan hangatnya selimut tidak bisa membuat tidurnya nyenyak. Pikirannya selalu tertuju pada balasan

Page 10: kejujuran

SMS  itu. Setiap kali dibukanya SMS itu, dadanya selalu terasa sesak. Gelisah, cemas, tak enak hati, semuanya bercampur menjadi satu.

Dadanya semakin sesak ketika beberapa saat kemudian, masuk SMS dari kawan-kawannya yang mengatakan bahwa mereka lulus. Agung hanya bisa tersenyum kecut membaca setiap SMS yang masuk. Mereka juga bertanya bagaimana dengan dia. Namun, tak satu pun SMS dari kawan-kawannya yang dibalasnya. Termasuk SMS dari Budi, kawan akrabnya semenjak SMP. Budi merupakan teman satu kelasnya di SMA.

Setelah lulus dari SMP dulu, mereka berjanji untuk mendaftar di SMA yang sama. Meskipun diterima di SMA yang sama, mereka berbeda kelas saat duduk di kelas satu. Dan, baru di kelas tiga mereka kembali satu kelas.

Perlahan Agung bangkit dan duduk di samping tempat tidurnya. Pikirannya kembali berkecamuk. Bingung, apa yang harus dikatakan kepada orang tuanya. Bagaimana kalimat pertama yang harus diucapkannya. Takut, membayangkan kemarahan ayahnya. Sedih, membayangkan wajah ibunya yang kecewa.

Dibukanya pintu kamarnya dan segera dia ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudlu. Begitu lewat di depan kamar orang tuanya, lagi-lagi pikirannya berkecamuk.

Ahhh… wajah ibu yang sedih dan muka ayah yang merah menahan amarah, melintas di pikirannya. Segera ditepisnya pikiran itu. Di dalam kamar Agung memulai shalatnya. Berusaha untuk khusyuk. Namun, sesekali pikiran itu terus mengganggu kekhusyukan shalatnya.

Setelah mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, Agung pun menengadahkan kedua tangannya, mengadu kepada Ilahi. Terdengar lirih suaranya:

Ya Allah, Ya Rahman….

Di pagi ini, kembali kuhadapkan wajahku kepada-Mu. Telah Kau beri ketetapan atas diriku. Meskipun aku telah berusaha semaksimal mungkin. Namun, Engkau sungguh Mahakuasa atas segalanya. Ketika Kau telah berucap Kun Fayakun… Tak ada seorang pun, atau sesuatu apa pun yang mampu menghalanginya.

Ya Allah, Ya Rahim….

Aku hanya bermohon kepada-Mu, kuatkan hati ini untuk menerima ketetapan-Mu. Sebagaimana telah Engkau kuatkan diriku untuk bersikap jujur dalam ujian. Kuabaikan bantuan kawan-kawanku yang memberikan contekan. Ya… contekan jawaban. Yang katanya berasal dari guru-guru kami.

Ya Allah, Ya Tuhanku….

Berikanlah kekuatan bagiku untuk menjelaskan semua ini kepada ayah dan ibuku. Berikanlah kelapangan hati bagi mereka untuk menerima kegagalanku ini.

Page 11: kejujuran

Perkenankanlah, Ya Allah….

Amien….

Agung kembali duduk di samping tempat tidurnya. Sesekali dia mengintip keluar kamar untuk melihat apakah orang tuanya sudah bangun. Pikirannya kembali menerawang. Kali ini, dia mengingat saat-saat menghadapi ujian nasional. Dia mendapatkan bisikan dari kawan-kawannya bahwa ada kunci jawaban di dinding kamar mandi sekolah.

Beberapa temannya sudah ada yang mendapatkan kunci jawaban tersebut. Agung tidak menggubris hal itu, ia terus saja mengerjakan soal-soal yang ada di depannya. Satu persatu soal itu mampu dikerjakannya. Ketika dia mendapat soal yang sulit, muncul kebimbangan dalam hatinya. Ingin rasanya meminta kunci jawaban tersebut.

Namun, teringat akan nasihat guru mengajinya dulu ketika masih belajar di Madrasah bahwa keberhasilan yang didapat dengan kebohongan tidak akan berarti apa-apa, membuatnya mengurungkan niatnya itu. Nilai kejujuran itu masih tertanam dalam dirinya hingga saat ini.

Sesaat kemudian, Agung merebahkan dirinya ke atas tempat tidur. Dipagutnya kembali bantal gulingnya. Selimut pun ditarik menutupi kaki hingga dadanya. Agung tersenyum sendiri mengingat suatu kejadian yang menarik perhatiannya. Saat itu, seorang panitia ujian memasuki ruangan ujian untuk mengambil absen pengawas ujian. Panitia ujian itu berusaha mengajak pengawas ujian untuk berbincang-bincang. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh kawan-kawannya untuk saling memberikan contekan. Keberadaan panitia ujian itu seolah-olah mengalihkan perhatian pengawas terhadap peserta ujian.

Keteguhan hatinya untuk jujur dalam mengikuti ujian nasional, sedikit mengobati kegelisahannya. Timbul secercah kepercayaan dalam dirinya. Tanpa terasa kantuk pun menyerang matanya. Sesaat kemudian dia terlelap….

Agung terbangun ketika terdengar suara Dita yang memanggil-manggil namanya sembari mengetuk pintu kamarnya. Sambil mengucek-ngucek matanya, Agung segera keluar kamar mengikuti Dita menuju ke ruang makan. Di sana kedua orang tuanya, Prasetyo dan Mutia, sudah menunggu mereka untuk sarapan pagi.

Sebelum duduk di kursi, segera Agung mengatakan kepada ayah, ibu, dan adiknya perihal ketidaklulusannya. “Yah, Bu, maafkan Agung. Agung tidak lulus UN.”

Mendengar hal itu, ayahnya langsung kaget. Ibunya juga demikian. Kekhawatiran Agung akan sikap kedua orang tuanya, mulai tampak. Prasetyo langsung marah mendengar berita itu. Dia tidak menyangka kalau anaknya akan gagal dalam UN. Padahal, ia sendiri melihat anaknya begitu sibuk belajar mempersiapkan diri menghadapi UN.

Kemarahan Prasetyo berusaha diredam oleh Mutia, dengan menepuk pundak suaminya itu pelan-pelan. Meskipun, di wajahnya tersirat perasaan kecewa yang dalam. Hal itu terlihat jelas oleh

Page 12: kejujuran

Agung. Tebersit dalam hatinya perasaan bersalah. Agung menyesal tak bisa membahagiakan kedua orang tuanya yang telah bersusah payah membiayai pendidikannya.

Dita yang sedari tadi mendengar perbincangan di antara mereka, ikut prihatin atas kegagalan kakaknya. Sesaat kemudian Agung melanjutkan penjelasannya.

“Ayah…, Ibu…, Meskipun Agung gagal dalam UN ini, Agung masih merasa terhormat. Agung menjawab soal-soal dengan pikiran dan ilmu Agung sendiri. Agung tidak mencontek sedikit pun. Meskipun kawan-kawan Agung mendapatkan kunci jawaban dan berusaha membantu Agung, Agung menolaknya. Agung tidak ingin menyelesaikan UN dengan cara yang curang. Agung masih ingat kata Pak Somad, guru mengaji Agung dulu, bahwasanya keberhasilan yang didapat dengan kebohongan tidak akan berarti apa-apa.”

Mendengar itu, amarah Prasetyo mulai reda. Rasa kagum menyelimuti hatinya mendengar penjelasan dari anaknya. Pun dengan Mutia, yang dalam hatinya tersenyum mendengar kejujuran anaknya.

Agung pun melanjutkan penjelasannya:

“Agung berjanji akan belajar lebih giat lagi untuk menghadapi UN susulan yang akan datang. Agung akan tetap memegang prinsip kejujuran dalam ujian itu. Doakan Agung ya, Bu …, Ayah.”

Setelah itu mereka berempat berpelukan. Tidak ada lagi rasa marah, kecewa, dan sedih. Yang ada hanya rasa kagum. Kagum akan nilai kejujuran yang akan terus dipertahankan.

Sore itu, sepulang kerja, Prasetyo dan Mutia duduk di depan televisi menonton berita. Hanya mereka berdua yang berada di rumah. Dita dijemput oleh kawannya untuk menjenguk gurunya yang sakit. Sementara, Agung pamit hendak ke toko buku mencari buku pelajaran yang gagal dilewatinya dalam UN.

Ditemani kopi hangat dan gorengan, kedua suami istri itu mendiskusikan tentang berita seorang pelajar yang nekat bunuh diri karena tidak lulus UN. Ada juga pelajar yang pingsan mendengar ketidaklulusannya. Mereka bersyukur karena Agung, anak mereka, bisa menerima kegagalannya dalam UN. Apalagi, Agung gagal karena bersikap jujur dalam UN. (*)

 

Page 13: kejujuran

Disuatu desa terpencil dipinggiran kota , tinggalah seorang anak laki-laki bersama 6 saudaranya, kehidupan keluarga ini terlihat sangatlah sederhana, orang tuanya hanya seorang buruh tani, kakak dan adiknya semua masih bersekolah sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang hanya mengurusi keluarga. Untuk membantu keuangan keluarganya setiap hari selepas pulang sekolah , ia pergi kepasar untuk berjualan asongan.

Pada suatu hari saat anak ini sedang menjajakan dagangannya, tiba-tiba ia melihat sebuah bungkusan kertas koran yang cukup besar , terjatuh dipinggir jalan, lalu diambilnya bungkusan tersebut, kemudian dibukanya bungkusan itu, namun betapa kaget dan terkejutnya ia, ternyata isi bungkusan tersebut berisi uang dalam nominal besar.

Tampak diraut wajahnya rasa iba dan bukan kegembiraan, ia tampak kebinggungan, karena ia yakin uang ini pasti ada yang memilikinya , pada saat itu juga anak ini langsung berinisiatif untuk mencari sipemilik bungkusan tersebut, sambil mencari-cari sipemiliknya, tiba-tiba seorang ibu dengan ditemani seorang satpam datang dengan berlinang air mata menghampiri anak kecil itu , lalu ibu ini berkata “dek, bungkusan itu milik ibu, isi bungkusan itu adalah uang”.

Uang untuk biaya rumah sakit,karena anak ibu baru saja mengalami kecelakan korban tabrak lari, saat ini anak ibu dalam keadaan kritis dan harus cepat dioperasi karena terjadi pendarahan otak, kalau tidak cepat ditangani ibu khawatir jiwa anak ibu tidak akan tertolong.

Pagi ini ibu baru saja menjual semua harta yang ibu miliki untuk biaya rumah sakit, Ibu sangat membutuhkan uang ini untuk menyelamatkan jiwa anak ibu.

Lalu anak kecil tersebut berkata,” benar bu, aku sedang mencari pemilik bungkusan ini, karena aku yakin pemilik bungkusan ini sangat membutuhkan. “Ini bu !, milik ibu”. setelah itu anak kecil tersebut langsung berlari pulang , sesampai dirumah ia ceritakan semua kejadian yang baru saja dialami kepada Ibu nya.

Lalu ibunya berkata , “ Benar anak ku ! “, kamu tidak boleh mengambil barang milik orang lain, walau pun itu dijalanan , karena barang itu bukan milik kita. Ibu sangat bangga pada mu nak, walau pun kita miskin , namun kamu KAYA dengan KEBAIKAN dan KEJUJURAN.

Untuk apa kita memiliki kekayaan yang melimpah, sementara kita harus mengorbankan nyawa orang lain . “Kamu sungguh anak yang baik nak” , ibu sangat bersyukur mempunyai anak seperti mu.

Hari ini ibu percaya, kamu sudah menyelamatkan satu jiwa melalui kebaikan dan kejujuran mu, kamu harus jaga terus kejujuranmu , karena kejujuran dapat menyelamatkan banyak orang dan kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana . “Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil”.

(“Matamu adalah pelita tubuhmu, Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi gelap. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya.” )

Page 14: kejujuran

Read more: http://www.resensi.net/kejujuran-yang-menyelamatkan-jiwa/2008/08/#ixzz2D3TzAUxi