Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola Spp) Pada Sapi Potong Di Kabupaten Kebumen Tahun 2012

11
BULETIN LABORATORIUM VETERINER Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta International Standard Serial Number Vol : 12 No : 1 Tahun 2012 Edisi Bulan : JANUARI KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI POTONG DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2011 oleh : Ari Puspita Dewi, Eni Fatiyah dan Edy Sumarwanta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11 KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI POTONG DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2011 Ari Puspita Dewi 1 , Eni Fatiyah 1 dan Edy Sumarwanta 2 1 Medik Veteriner pada Laboratorium Parasitologi – Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta 2 Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kebumen ABSTRAK Fasciolosis atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh cacing daun (trematoda) genus Fasciola spp., seperti Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Di Indonesia, fasciolosis pada ternak disebabkan oleh F. gigantica dan kejadiannya lebih sering pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah. Untuk memonitor infeksi cacing Fasciola spp. pada sapi potong di Kabupaten Kebumen, telah dilakukan pengambilan sampel feses sebanyak empat kali yaitu pada bulan Maret, April, Juli dan Nopember 2011. Sampel diambil dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Kebumen dengan jumlah sampel dari tiap kecamatan berbeda-beda tergantung pada populasi sapi potong yang ada di tiap kecamatan. Sampel feses dilakukan pemeriksaan terhadap cacing Fasciola spp. dengan uji sedimentasi di Laboratorium rujukan (Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta dan Laboratorium Kesehatan Hewan Tipe B Purwokerto). Jumlah sampel feses yang diambil sebanyak 671 sampel. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rata-rata persentase kasus positif Fasciolosis di Kabupaten Kebumen pada tahun 2011 adalah 62,74%. PENDAHULUAN Gangguan penyakit pada ternak merupa- kan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Pe- ningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara simultan disertai pe- nyediaan pakan yang memadai dan pe- ngendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indone- sia, penyakit parasit masih kurang men- dapat perhatian dari para peternak. Peny- akit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun menyebabkan ke- rugianyang sangat besar berupa penuru- nan berat badan dan daya produktivitas hewan. Diantara penyakit parasit yang sa- ngat merugikan adalah penyakit yang di- sebabkan oleh cacing hati Fasciola spp., yang dikenal dengan nama distomatosis, fascioliasis atau fasciolosis (Mukhlis, 1985). Pada umumnya F. hepatica ditemu- kan di negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand. Fasciola gigantica umum-

description

Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola Spp) Pada Sapi Potong Di Kabupaten Kebumen Tahun 2012

Transcript of Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola Spp) Pada Sapi Potong Di Kabupaten Kebumen Tahun 2012

BULETIN LABORATORIUM VETERINERBalai Besar Veteriner Wates Jogjakarta

International Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968

Vol : 12 No : 1 Tahun 2012

Edisi Bulan : JANUARI –

KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI POTONG DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2011

oleh : Ari Puspita Dewi, Eni Fatiyah dan Edy Sumarwanta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

11

KEJADIAN INFEKSI CACING HATI (Fasciola spp) PADA SAPI POTONG DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2011

Ari Puspita Dewi 1, Eni Fatiyah

1 dan Edy Sumarwanta

2

1 Medik Veteriner pada Laboratorium Parasitologi – Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta

2 Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kebumen

ABSTRAK

Fasciolosis atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh cacing daun (trematoda) genus Fasciola spp., seperti Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Di Indonesia, fasciolosis pada ternak disebabkan oleh F. gigantica dan kejadiannya lebih sering pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah. Untuk memonitor infeksi cacing Fasciola spp. pada sapi potong di Kabupaten Kebumen, telah dilakukan pengambilan sampel feses sebanyak empat kali yaitu pada bulan Maret, April, Juli dan Nopember 2011. Sampel diambil dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Kebumen dengan jumlah sampel dari tiap kecamatan berbeda-beda tergantung pada populasi sapi potong yang ada di tiap kecamatan. Sampel feses dilakukan pemeriksaan terhadap cacing Fasciola spp. dengan uji sedimentasi di Laboratorium rujukan (Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta dan Laboratorium Kesehatan Hewan Tipe B Purwokerto). Jumlah sampel feses yang diambil sebanyak 671 sampel. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rata-rata persentase kasus positif Fasciolosis di Kabupaten Kebumen pada tahun 2011 adalah 62,74%.

PENDAHULUAN

Gangguan penyakit pada ternak merupa- kan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Pe- ningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara simultan disertai pe- nyediaan pakan yang memadai dan pe- ngendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indone- sia, penyakit parasit masih kurang men- dapat perhatian dari para peternak. Peny- akit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun menyebabkan ke- rugianyang sangat besar berupa penuru- nan berat badan dan daya produktivitas hewan. Diantara penyakit parasit yang sa- ngat merugikan adalah penyakit yang di- sebabkan oleh cacing hati Fasciola spp., yang dikenal dengan nama distomatosis, fascioliasis atau fasciolosis (Mukhlis,1985). Pada umumnya F. hepatica ditemu- kan di negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia danNew Zealand. Fasciola gigantica umum-nya ditemukan di negara tropis dan sub- tropis, seperti India, Indonesia, Jepang, Fi-

lipina, Malaysia, dan Kamboja (Martindah, dkk., 2005).

Fasiolosis akibat F. gigantica merupakan penyakit penting pada ternak di daerah tropis seperti Afrika, subkontinen India dan Asia Tenggara. Di Indonesia, fasciolosis pada ternak disebabkan oleh F. gigantica dan kejadiannya lebih sering pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah (Martindah, dkk.,2005). Durr (1998) mencatat bahwa di Asia Tenggara parasit ini pertama kali di- laporkan oleh Faust pada tahun 1920 di Filipina dan oleh Purvis pada tahun 1931 di Malaya.

Penyakit ini menimbulkan banyak kekha- watiran, karena distribusi dari kedua inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk manusia dan dalam siklus hidupnya termasuk siput air tawar sebagai hospes perantara parasit. Baru-baru ini, tercatat bahwa kerugian di seluruh dunia pada produktivitas ternak karena fasciolosis diperkirakan lebih dari US $ 3,2 miliar per tahun. Selain itu, fas- ciolosis sekarang dikenal sebagai penyakit

yang dapat menular pada manusia. Orga- nisasi Kesehatan Dunia (WHO) mem- perkirakan bahwa 2,4 juta orang terinfeksi oleh Fasciola spp., dan 180 juta orang berada pada risiko tinggi terkena infeksi (Purwono, 2010).

Cacing dewasa terlokalisir hidup dalam saluran atau kandung empedu. Pada sapi, prevalensi penyakit ini di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat men- capai 90% (Suhardono, 1997) dan di Dae- rah Istimewa Jogjakarta kasus kejadian- nya antara 40-90% (Estuningsih, dkk.,2004), sedangkan prevalensi penyakit fas-ciolosis pada domba belum banyak dike- tahui. Penyakit ini sangat merugikan kare- na dapat menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan produksi, pengafkiran organ tubuh terutama hati, bahkan dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, se- cara ekonomi kerugiannya dapat menca- pai Rp. 513,6 milyar/tahun (Anonymous,1990). Dari berbagai hewan ruminansia yang ada di Indonesia dilaporkan bahwa domba ekor tipis merupakan domba yang resisten terhadap infeksi fasciolosis dan daya resistensi tersebut dapat diturunkan secara genetik (Wiedosari dan Copeman,1990).

Program pengendalian penyakit parasit, termasuk fasciolosis, akan efektif apabila dirancang berdasarkan informasi akurat tentang kejadian penyakit serta faktor- faktor resiko yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, pemeriksaan parasit pada sapi potong ini bertujuan untuk menge- tahui kejadian tingkat infeksi cacing hati pada sapi potong di Kabupaten Kebumen. Sehingga dapat dibuat rencana penangan- an secara baik dan berkelanjutan.

MATERI DAN METODE

Sebagai bahan pemeriksaan digunakan sampel feses sapi potong. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 (empat) kali yaitu pada bulan Maret, April, Juli dan Nopember 2011. Untuk pengambilan pada bulan Maret dan Juli 2011, sampel diambil dari seluruh kecamatan yang ada di Kabu- paten Kebumen dengan jumlah sampel tiap kecamatan berbeda tergantung jum- lah populasi sapi potong yang ada di se- tiap kecamatan. Sedangkan pengambilan

sampel pada bulan April dan Nopember2011, sampel feses hanya diambil pada salah satu kecamatan di Kabupaten Kebu- men. Pengujian sampel feses untuk peme- riksaan terhadap adanya telur cacing Fasciola spp. dilakukan di Laboratorium rujukan (Balai Besar Veteriner Wates Jog- jakarta dan Laboratorium Kesehatan He- wan Tipe B Purwokerto) dengan metode sedimentasi.

Adapun cara kerja metode sedimentasi adalah sebagai berikut :

1. Ambil feses segar 3 gram, taruh dalam gelas sampel, di tambah air 50 ml, ke- mudian diaduk dengan batang penga- duk hingga feses hancur.

2. Saring suspensi dengan saringan 200 mikromili, tampung larutan dalam ta- bung kerucut dan tambahkan air secu- kupnya hingga penuh.

3. Diamkan selama 5 menit, kemudian cairan bagian atas dibuang dan sisa- kan filtrat kurang lebih 10 ml.

4. Tambahkan air pada filtrat dalam ta- bung kerucut hingga penuh, diamkan selama 5 menit, kemudian dibuang lagi cairan bagian atas dan disisakan 5 ml.

5. Tuang filtrat kedalam cawan petri dan tambahkan dua tetes methylene blue1%.

6. Periksa dibawah mikroskop stereo. Te- lur cacing Fasciola spp. akan tampak berwarna kuning keemasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji sedimentasi pada pemeriksaan spesi- men feses sapi adalah untuk menemukan telur cacing Kelas Trematoda, sedangkan untuk penelitian ini lebih diarahkan pada pemeriksaan Fasciola spp. Jumlah kese- luruhan sampel feses sapi potong yang di- ambil untuk dilakukan pemeriksaan parasit cacing Fasciola spp. sebanyak 671 sam- pel.

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rata-rata persentase kasus positif kejadian Fasciolosis pada sapi potong di Kabu- paten Kebumen pada tahun 2011 adalah sebesar 62,74% seperti rincian pada Tabel 1.

Tabel 1. PERSENTASE KASUS POSITIF INFEKSI FASCIOLA SPP. PADA SAPI POTONG DI KAB. KEBUMEN TAHUN 2011

NoBulan Pengambilan

SampelJumlahSampel

Sampel Positif

Fasciola spp.

Persentase KasusPositif (%)

1 2 3 4 5

1 Maret 2011Musim 260 172 66,15

64,152 Nopember 2011 Basah 58 32 55,17

3 April 2011 Musim 54 30 55,5661,47

4 Juli 2011 Kering 299 187 62,54

Total 671 421 62,74

Tingginya angka persentase kasus positif infeksi Fasciola spp. pada sapi potong di Kabupaten Kebumen (62,74%) menunjuk- kan bahwa sebagian besar sapi potong yang ada di Kabupaten ini terinfeksi oleh cacing hati. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pola pemeliharaan sapi, dimana sapi yang dipelihara kebanyakan masih di gembalakan pada pagi hari. Selain itu sapi yang dikandangkan diberi makan hijauan yang diperoleh dari rumput yang ditanam atau tumbuh liar disekitar sawah atau sungai, dan pemotongannya biasanya sampai pada pangkal rumput. Metacer- caria berada didalam air atau menempel di bawah batang padi, rumput dan tumbuh- tumbuhan lain yang berada disekitar su- ngai. Apabila sapi minum dan makan ta- naman tersebut maka sapi akan terinfeksi larva Fasciola spp.

Walaupun dari hasil penghitungan analisis chi kudrat, tidak menunjukan adanya per-

bedaan yang signifikan (α = 0,05) antara infeksi cacing Fasciola spp. pada musim basah dan musim kering, tetapi kecende- rungan lebih tingginya angka persentase kasus positif pada musim basah, masih mendukung pendapat bahwa pada saat musim basah sapi potong yang menderita fasciolosis lebih banyak bila dibandingkan pada saat musim kering. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada musim ba- sah mempunyai peluang yang lebih besar terhadap epidemiologi penyakit bila diban- dingkan pada saat musim kering.

Kejadian fasciolosis pada ternak ruminan- sia berkaitan dengan daur hidup cacing Fasciola spp. Ternak terinfeksi karena me- makan hijauan yang mengandung meta- serkaria (larva infektif cacing hati). Sekitar16 minggu kemudian cacing tumbuh men- jadi dewasa dan tinggal di saluran empe- du. Daur hidup Fasciola spp. diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus hidup Fasciola spp. (h tt p :// www . dpp .c d c. gov / dpd x )

Cacing dewasa memproduksi telur dan keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok telur cacing menetas dan menge- luarkan mirasidium. Telur cacing F. Hepa- tica akan menetas dalam 9-12 hari pada suhu 26°C, sedangkan telur cacing F. gi- gantica akan menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28°C. Mirasidium memiliki cilia (rambut getar) dan aktif berenang untuk mencari induk semang antara yang sesu-ai, yaitu siput Lymnaea sp., yang kemudi-

an akan menembus ke dalam tubuh siput. Dalam waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporo- kista dan 8 hari kemudian akan berkem- bang menjadi redia ; 1 sporokista tumbuh menjadi 1-6 redia. Redia kemudian siap keluar dari siput, menjadi serkaria yang di- lengkapi ekor untuk berenang, dan akan menempel pada benda yang terendam air seperti jerami, rumput atau tumbuhan airlainnya (Martindah, dkk., 2005).

Gambar 2. Telur cacing Fasciola spp. (Jansen Animal Health-2006)

Tidak lama kemudian serkaria melepas- kan ekornya dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola spp. Bila metaserkaria termakan oleh ternak, di dalam usus akan keluar dari kis- ta menembus dinding usus menuju ke hati. Dalam waktu sekitar 16 minggu akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai mem- produksi telur. Cacing Fasciola spp. dapat hidup sekitar satu tahun di dalam tubuh ternak. Cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah pada saat masih muda, dan makanan utama setelah dewasa ada- lah darah. Pada pemeriksaan hati sapi di rumah potong hewan, luas kerusakan hati tergantung pada hebatnya infeksi dan la- manya hewan sakit. Pada infeksi yang parah terlihat adanya perubahan berupa pembengkakan yang berair dan penyum- batan saluran empedu, jaringan hati me- ngeras karena terbentuk jaringan parut

(cirrhosis) dan hati mengecil (atrophi) (Martindah, dkk., 2005).

Pencegahan yang efektif terhadap penul- aran infeksi Fasciola spp. sulit dilakukan karena sulit untuk menghindarkan ternak dari sawah atau daerah basah yang meru- pakan habitat siput. Pengendalian fascio- losis pada ternak ruminansia pada prin- sipnya memutus daur hidup cacing. Se- cara umum, strategi pengendalian fas- ciolosis didasarkan pada musim (peng- hujan/basah dan kemarau/kering). Pada musim penghujan, populasi siput menca- pai puncaknya dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi, pada saat itu pula petani sibuk mempersiapkan lahan dalam musim tanam. Untuk itu, diperlukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi dan atau menekan serendah mung- kin terjadinya pencemaran lingkungan, antara lain dengan cara :

1. Limbah kandang hanya digunakan se- bagai pupuk pada tanaman padi apa- bila sudah dikomposkan terlebih dahu- lu, sehingga telur Fasciola sudah mati.

2. Pengambilan jerami dari sawah seba- gai pakan ternak dilakukan dengan pemotongan sedikit di atas tinggi gale- ngan air atau 1-1,5 jengkal dari tanah.

3. Jerami dijemur selama 2-3 hari bertu- rut-turut di bawah sinar matahari dan dibolak-balik selama penjemuran se- belum diberikan untuk pakan.

4. Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi pen- cemaran metaserkaria.

5. Tidak melakukan penggembalaan ter- nak di daerah berair atau yang terce- mar oleh metaserkaria cacing hati, se- perti di sawah sekitar kandang ternak atau dekat pemukiman.

6. Mengandangkan sapi dan itik secara bersebelahan sehingga kotorannya tercampur saat kandang dibersihkan (pengendalian secara biologis).

7. Gabungan dari cara-cara tersebut di atas (Martindah, dkk., 2005).

Pencegahan penyakit dapat dilakukan de- ngan obat cacing (flukisida) yang diberikan setiap 2 - 3 bulan sekali. Flukisida mempu- nyai kemampuan yang berbeda-beda da- lam membunuh cacing hati, ada yang

mampu membunuh cacing dewasa saja (nitroxynil dan albendazole), cacing muda hingga dewasa (clorsulonivermectin), dan segala umur cacing (trichlabendazole). Dalam membunuh cacing hati, khusus al- bendazole memerlukan dosis dua kali lipat (15mg/kg bobot badan), sedangkan untuk flukisida lainnya dapat diberikan sesuai dosis yang dianjurkan (Martindah, dkk.,2005). Oleh karena itu, yang perlu diper- hatikan dan dipertimbangkan dalam memi- lih flukisida adalah : harga, waktu pembe- rian, target umur cacing yang akan dibu- nuh dan daya bunuh flukisida tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Derajat persentase kasus positif infeksi cacing hati (Fasciola spp.) di Kabupaten Kebumen pada tahun 2011 cukup tinggi (62,74%), hal ini diduga berkaitan dengan musim, manajemen, sanitasi dan pendidi- kan peternak.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laborato- rium disarankan kepada peternakan rakyat di Kabupaten Kebumen untuk lebih mem- perhatikan manajemen peternakan. Ter- nak sapi potong yang lebih berisiko untuk terinfeksi Fasciola spp., agar lebih diper- hatikan kesehatannya dengan cara dilaku- kan pemeriksaan feses secara teratur un- tuk mengontrol kesehatan ternak terhadap infeksi parasit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1990. Data Ekonomi Akibat Penyakit. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta.

Anonymous. 2006. Fasciolosis. http:// www .dpp. c d c .go v /dpd x. Diunduh 15 Januari 2012.

Durr, P.A. 1998. Application of Epidemiological Modelling for The Control of Tropical Fasciolosis in Southeast Asia. A Consultant Report for ACIAR Project AS1/96/160. James Cook University, Townsville, Queensland.

Estuningsih, S.E., Adiwinata G., Widjajanti S., dan Piedrafita D. 2004. Pengembangan Teknik Diagnosa Fasciolosis Pada Sapi Dengan Antibody Monoclonal Dalam Capture ELISA Untuk Deteksi Antigen. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Bogor, 20-21 April 2004 .

Martindah E., Widjajanti S., Estuningsih S.E., dan Suhardono. 2005. Meningkatkan Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit Infeksius. Wartazoa Vol. 15. http:// www .pete m a k an. li tbang.deptan.go. i d. Diunduh tanggal 15 Januari 2012.

Muchlis A. 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Daur Hidupnya di Indonesia.Thesis Ph.D. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Purwono. 2010. Fasciolosis. http:// www .pu r 07_ v et. w o r dp r e ss . c o m. Diunduh tanggal 15Januari 2012.

Suhardono. 1997. Epidemiology and Control of Fasciolosis by Fasciola gigantica in Ongole Cattle in West Java. Thesis Ph.D. James Cook University of North Queensland, Australia.

Wiedosari, E. and D.B. Copeman. 1990. High Resistance to Experimental Infection WithFasciola gigantica in Javanese thin-tailed sheep. Vet. Parasitol. Vol 37. Hal 101-111.

----- =o0o= -----