KECEMASAN TOKOH ARUNI DALAM NOVEL MENOLAK PANGGILAN … · vi KATA PENGANTAR Puji syukur penulis...
-
Upload
nguyendieu -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of KECEMASAN TOKOH ARUNI DALAM NOVEL MENOLAK PANGGILAN … · vi KATA PENGANTAR Puji syukur penulis...
KECEMASAN TOKOH ARUNI DALAM NOVEL MENOLAK PANGGILAN PULANG
KARYA NGARTO FEBRUANA PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program studi Sastra Indonesia
Oleh
Agustina
044114004
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
i
KECEMASAN TOKOH ARUNI DALAM NOVEL MENOLAK PANGGILAN PULANG
KARYA NGARTO FEBRUANA PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program studi Sastra Indonesia
Oleh
Agustina
044114004
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
MOTTO
Nalarmu dan semangatmu adalah ibarat penentu arah serta layar jiwamu yang
berlayar. Kalau layar atau penentu arahmu patah, engkau pasti terombang-
ambing kalau tidak terkatung-katung di tengah laut. Sebab, nalar kalau dibiarkan
berkuasa sendirian, adalah kuasa yang membatasi; dan semangat, kalau
dibiarkan sendirian, adalah api yang bernyala-nyala hingga mennghancurkan
diri sendiri. Oleh karenanya, biarlah jiwamu meninggikan nalarmu setinggi
semangatmu, agar ia bernyanyi (Khalil Gibran)
Berilah semampu Anda. Kurangilah ketergantungan kepada orang lain.
Kembangkanlah talenta Anda dan janganlah iri pada talenta orang lain
(J. Donald Walters)
Orang yang tidak pernah membuat kekeliruan adalah orang yang tidak pernah
melakukan apapun
(Theodre Roosevelt)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kepersembahkan untuk:
Almarhum Ibuku tersayang, terima kasih telah membuat aku ada dan bertahan
hingga hari ini kasihmu tiada duanya, Ayahku yang banyak memberiku dukungan,
adik-adikku Bambang, Siska, Agung, Yuyun, dan Nova yang selalu memberiku
semangat, Suami dan anakku Rafa terima kasih atas penantianya.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam menempuh
ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu atas terselesainya skripsi
ini, yaitu:
1. Drs, B. Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I yang telah
memberikan masukan yang membangun hingga terselesainya skripsi ini;
2. S.E Peni Adji, S.S, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan masukan kepada penulis hingga
terselesainya skripsi ini;
3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. sebagai dosen penguji yang telah
memberikan masukan kepada penulis;
4. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah membagikan ilmu
kepada penulis;
5. Seluruh staf perpustakaan USD terima kasih atas pelayanannya;
6. Staf Fakultas Sastra Indonesia, terima kasih atas kesabaran dan
pelayananya;
vii
7. Almarhum Ibuku tersayang terima kasih telah membuat aku ada dan
bertahan hingga hari ini;
8. Ayahku yang selalu mendukungku, terima kasih atas dukungannya;
9. Adik-adikku Bambang, Siska, Agung, Yuyun dan Nova terima kasih atas
dukungan dan semangatnya;
10. Seluruh keluarga besarku di Sintang terima kasih telah mengerti
keadaanku;
11. Suamiku Paloh dan Anakku tercinta Rafa, terimakasih atas kesetiaan dan
penantiannya;
12. Teman-teman angkatan 2004, terima kasih atas kebersamaannya;
13. Sahabat-sahabatku Nanong, Friska, Fely, dan Nena, terima kasih atas
kebersamaannya;
14. Seluruh pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu, namun telah
banyak membantu, memberikan dukungan dalam penyelesain skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala
saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima. Penulis juga berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 24 Agustus 2010
Penulis
viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang telah saya tulis
ini adalah hasil inspriasi dan imajinasi saya sendiri. Saya tidak mengutip hasil
karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, daftar pustaka, dan
sebagai layaknya membuat karya ilmiah.
Yogyakarta 6 September 2010
Penulis
Agustina
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Agustina
Nomor Mahasiswa : 044114004 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Univeritas Sanata Dharma, Mrican karya ilmiah saya yang berjudul: “Kecemasan Tokoh Aruni Dalam Novel Menolak Panggilan Pulang karya Ngarto Februana Pendekatan Psikologi Sastra” Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma, Mrican hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, baik itu mendisbusikan di internet atau kepentingan akademis tanpa perlu minta ijin dari saya ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Pernyataan ini saya buat berdasar data sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 6 September 2010
Yang menyatakan,
(Agustina)
x
ABSTRAK
Agustina. 2010. Kecemasan Tokoh Aruni dalam Novel Menolak Panggilan Pulang Karya Ngarto Februana Pendekatan Psikologi Sastra. Skripsi Strata I (S-I). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas kecemasan tokoh Aruni dalam novel Menolak
Panggilan Pulang karya Ngarto Februana. Tujuan penelitian ini, yaitu, pertama mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan, serta Latar dalam novel Menolak Panggilan Pulang karya Ngarto Februana. Kedua mendeskripsikan kecemasan tokoh Aruni yang berupa bentuk, sebab-akibat kecemasan dalam novel Menolak Panggilan Pulang karya Ngarto Februana.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Pendekatan psikologi sastra adalah model pendekatan yang dikaitkan dengan histeria, fobia, depresi, perilaku jiwa dan mental seseorang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriftif, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan analisis. Analisis yang dilakukan diuraikan dengan memberikan pemahaman dan penjelasan.
Hasil penelitian novel Menolak Panggilan Pulang ini adalah (1) Tokoh dan penokohan, tokoh utama dalam novel Menolak Panggilan Pulang adalah Aruni tokoh Aruni memiliki karakter yang sabar, tegas, cepat tersinggung, berwawasan luas, penakut, setia, berparas cantik dan patuh pada adat. Tokoh tambahan atau tokoh bawahan Utay dan Laur. Tokoh Utay digambarkan sebagai sosok yang ambisius, berpendidikan, gagah, mementingkan diri sendiri, sombong dan tidak bertanggung jawab. Tokoh Laur digambarkan sosok yang berwibawa dan tegas. Latar yang digunakan dalam novel Menolak Panggilan Pulang latar waktu, latar tempat, latar sosial, (2)Analisis bentuk kecemasan dalam novel Menolak Panggilan Pulang ada lima kecemasan realitis, cemas takut akan bahaya-bahaya dari luar, 2)kecemasan neurotis, cemas yang menyebabkan seseorang melakukan hal yang dilanggar, 3)kecemasan moral atau kata hati, kecemasan seseorang yang merasa berdosa jika melakukan kesalahan atau norma-norma, 4)cemas yang timbul akibat gusar, 5)cemas yang timbul akibat takut. (2) Analisis Penyebab kecemasan meliputi 1) keinginan yang tidak disetujui oleh orang tua atau orang lain, 2) kebutuhan yang tidak disetujui oleh orang tua atau orang lain, 3) ingatan yang tidak disetujui oleh orang tua atau orang lain, 4) cemas yang terjadi terus-menerus, 5) kekhawatiran dan panik.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang terjadi pada tokoh Aruni dalam novel Menolak Panggilan Pulang, karena pergulatan hatinya dalam mempertahankan cintanya pada Utay, pengabdiannya pada suku bukit dan aturan adat yang harus ditaati.
xi
ABSTRACT
Agustina. “Literature Psychological approach on Aruni Anxiousness in Ngarto Februana’s Menolak Panggilan Pulang” Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Department of Indonesia Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University. 2010.
This study discusses about Aruni Anxiousness in Ngarto Februana’s Menolak Panggilan Pulang. There are two purposes of this study, first is to describe the elemnt of character, figure, and the setting of Ngarto Februana’s Menolak Panggilan Pulang. The second is to describe the Aruni anxiousness which is a form of causality anxiousness.
This study used psychological approach. The psychological approach is an approach that relates to a person’s hysteria, phobia, depression, soul behavior, and mentality. This study used descriptive method which means that it is done by describing the facts and then followed by the analysis. The writer elaborated the analysis by giving an understanding and explanation.
The results of this study are (1) the main character in Ngarto Februana’s Menolak Panggilan Pulang is Aruni. Aruni characters in this novel are patient, strict, sensitive, knowledgeable, coward, and loyal. She is pretty. She also obeys the tradition. The minor characters in this novel are Utai and Laur. Utai is characterized as someone who is educated. He is ambitious, gallant, selfish, arrogant, and irresponsible. Laur is characterized as authoritative and strict person. There are three kind of setting in this novel; they are the setting of time, the setting of place, and the setting of society. (2) The analysis of types of anxiousness and the causality anxiousness were divided into five, first is realistic anxiousness, it was anxiousness on a fear of outside dangerous. The second is neurotic anxiousness; this anxiousness causes someone to break the norm and will be punished. The third is moral anxiousness or conscience anxiousness, this anxiousness causes someone to feel guilty as he/she made a mistake or broke the norm or tradition in the society where he/she lives. The fourth is the anxiousness that is caused by angry. And the last is anxiousness that is caused by fear.
The causes anxiousness consists of (1) the anxiousness caused by disapproval of someone’s desire by other people, 2) the anxiousness caused by disapproval of’s necessity by other people, 3) the anxiousness caused by disapproval of someone’s memory by other people, 4) the continual anxiousness, 5) the anxiousness and panic.
Based on the result, it can be concluded that the Aruni anxiousness in Ngarto Februana’s Menolak Panggilan Pulang was caused by dilemmatic choices whether to defend her lover, Utay, or to serve suku bukit and obey the tradition.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO.................................................................................. .. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA......................................................... viii
PERNYATAAN PUBLIKASI ........................................................................ ix
ABSTRAK....................................................................................................... x
ABSTRACT....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI.................................................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
1.5 Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 5
1.6 Landasan Teori ............................................................................................. 5
6.1.1 Strukturalisme ........................................................................................... 6
6.1.2 Tokoh dan Penokohan ................................................................................ 6
6.1.3 Tokoh ......................................................................................................... 6
6.1.4 Penokohan ................................................................................................. 7
xiii
6.1.5 Latar ......................................................................................................... 8
6.1.6 Teori Psikologi Sastra.............................................................................. 9
6.1.7 Kecemasan.............................................................................................. 10
6.1.8 Metode Penelitian. ................................................................................. 12
6.1.9 Pendekatan Psikologi Sastra................................................................... 12
6.1.10 Teknik Penelitian.................................................................................... 12
6.1.11 Data dan Sumber Data........................................................................... 13
6.1.12 Sistematika Penyajian............................................................................ 13
BAB II ANALISIS TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR NOVEL
MENOLAK PANGGILAN PULANG.................................. ......... ... 14
2.1Tokoh. ................................................................................................... 14
2.1.1 Aruni. .......................................................................................... 14
2.1.2 Utay ............................................................................................. 15
2.1.3 Laur ............................................................................................. 15
2.1.4 Dingit ......................................................................................... 25
2.1.5 Rohaimi . ..................................................................................... 36
2.1.6 Pak Guru Husein. ........................................................................ 24
2.1.7 Ibu Salabiah. ................................................................................ 20
2.1.8 Asuy ............................................................................................ 24
2.1.9 Ihin .......................................................................................... 24
2.2 Penokohan.......................................................................................... 15
2.2.1 Aruni (protagonis).................................................................... 18
2.2.1.1 Berparas cantik................................................................... 18
xiv
2.2.1.2 Selalu Dihantui Rasa Bersalah......................................... 19
2.2.1.3 Polos................................................................................ 20
2.2.1.4 Cepat Tersinggung............................................................. 20
2.2.1.5 Setia pada Utay dan Suku Bukit.......................................... 21
2.2.1.6 Pemaaf................................................................................. 22
2.2.1.7 Berwawasan Luas................................................................ 23
2.3.1 Utay........................................................................... . .......... 23
2.3.1.1 Sombong........................................................................ 23
2.3.1.2 Pemuda Terpelajar......................................................... 24
2.3.1.3 Gagah............................................................................. 24
2.3.1.4 Berambisi...................................................................... 25
2.3.1.5 Setia pada Aruni........................................................... 26
2.3.1.6 Pembohong................................................................... 27
2.3.1.7 Tidak Bertanggung Jawab............................................. 27
2.2.3 Laur.................................................................................... 28
2.5.1.1 Tidak Mau Menanggung Malu...................................... 28
2.5.1.2 Tegas dan Berwibawa................................................... 29
2.3 Latar............................................................................................... 29
2.3.1 Latar Tempat......................................................................... 29
2.3.2 Latar Waktu.......................................................................... 31
2.3.3 Latar Sosial........................................................................... 35
2.4 Rangkuman................................................................................ 38
xv
BAB III ANALISIS KECEMASAN TOKOH ARUNI DALAM NOVEL
MENOLAK PANGGILAN PULANG....................................... 39
3.1 Bentuk Kecemasan .................................................................... . 40
3.1.1 Kecemasan Realistis................................................................ 40
3.1.2 Kecemasan Neurotis................................................................ 40
3.1.3 Kecemasan Moral atau Kata Hati. .............................................. 42
3.1.4 Cemas yang Timbul Akibat Gusar...............................................42
3.1.5 Cemas yang Timbul Akibat Takut................................................44
3.2 Penyebab Kecemasan...................................................................44
3.2.1 Keinginan yang Tidak Disetujui Oleh Orang Tua atau Orang Lain
..................................................................................................44
3.2.2 Kebutuhan yang Tidak Disetujui Oleh Orang Tua atau Orang Lain
..................................................................................................45
3.2.3 Ingatan yang Tidak Disetujui Oleh Orang Tua atau Orang Lain
.....................................................................................................45
3.2.4 Cemas yang terjadi Terus-Menerus...........................................46
3.2.5 Kekhawatiran dan Panik............................................................47
3.3 Rangkuman................................................................................................. 48
xvi
BAB IV PENUTUP...................................................................................... 49
4.1 Kesimpulan.................................................................................... 49
4.2 Saran.............................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 52
LAMPIRAN.................................................................................................
BIOGRAFI PENULIS...................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra
adalah ekspresi pikiran dalam bahasa, sedang yang dimaksud dengan pikiran
adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pikiran, dan semua kegiatan mental manusia.
Karya sastra merupakan suatu ungkapan perasaan, isi hati, dan pikiran pengarang,
apa yang dilihat, dirasakan bahkan dialamianya. Penciptaan sebuah karya sastra
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Karya sastra merupakan ekspresi atau
pandangan kebudayaan, kehadiran sebuah karya sastra pada saat tertentu dapat
menampilkan kembali sesuatu yang terjadi yang dialami oleh pengarangnya
(Sumardjo, 1986: 2).
Sebuah karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap
kehidupan sekitarnya. Penciptaan sebuah karya sastra dipengaruhi oleh latar
belakang pengarangnya, lingkungan sastra, dan kepribadian pengarang itu sendiri.
Bahkan sebuah karya sastra dapat mengandung kisah kehidupan seseorang
sewaktu ia mengalami krisis dalam jiwanya, krisis tersebut muncul ketika
seseorang mengalami suatu peristiwa dan peristiwa itu kemudian menimbulkan
kesan yang kuat di dalam jiwanya. Dengan kata lain karya sastra mempunyai
kaitan yang erat dengan pengalaman jiwa pengarangnya (Sumardjo, 1984:65).
2
Kajian psikologi sastra juga meneliti perwatakan tokoh secara psikologis
dan aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya
tersebut. Berdasarkan kajian ini, dapat dianalisis juga mengenai seberapa jauh
pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi
semakin hidup. Sentuhan-sentuhan dialog dan pemilihan kata merupakan
gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin inilah yang
menyebabkan orisinilitas karya ( Endraswara,2003: 96). Penelitian psikologi
sastra hendaknya mampu menggali sistem berpikir, logika angan-angan, dan cita-
cita hidup yang ekspresif dan tidak sekedar rasionalitas hidup. Perasaan takut,
was-was, dan aman juga sebagai objek kajian psikologi sastra (Endraswara,
2003:98).
Karya sastra dan psikologi sastra memiliki pertautan yang erat secara tidak
langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung terjadi karena baik sastra maupun
psikologi memiliki objek yang sama, yaitu kehidupan manusia. Psikologi sastra
memiliki hubungan fungsional karena keduanya mempelajari kejiwaan orang lain.
Perbedaannya, yaitu psikologi bersifat riil sedangkan sastra bersifat imajinatif.
Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis akan menampilkan
aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh (Endraswara, 2003:97).
Penelitian ini mengangkat novel Menolak Panggilan Pulang karya Ngarto
Ferbuana, yang meceritakan tentang Aruni gadis dusun di pedalaman Malinau
Kalimantan Selatan dalam mempertahankan adat suku bukit yang mulai luntur
semenjak Utay kekasihnya menyelesaikan sekolahnya di kota. Aruni dan Utay
dijodohkan oleh kedua orangtua mereka sejak kecil.
3
Dalam penantiannya Aruni menunggu kedatangan Utay dengan setia. Berbagai
pikiran berkecamuk dalam hatinya termasuk berpisah dengan Utay. Setelah Utay
menyelesaikan sekolahnya, Utay kembali lagi ke Malinau, sikapnya mulai
berubah dari cara berpakaian, tingkah laku, dan kesederhanaan Utay. Kecemasan
Aruni akan sikap dan perilaku Utay inilah yang membuat Aruni merasa khawatir,
ketika Aruni mengetahui bahwa Utay mengizinkan perusahaan kayu masuk ke
Malinau tanpa sepengetahuan Aruni dan masyarakat di Malinau. Aruni menolak
keputusan yang diambil Utay merugikan masyarakat Malinau.
Kecemasan-kecemasan Aruni penulis ambil sebagai objek penelitian.
Penulis tertarik menganalisis kecemasan tokoh Aruni dalam novel ini karena
Aruni mengalami pergulatan batin untuk mengikuti kata hatinya dalam menjaga
nama baiknya, mempertahankan cintanya dan pengabdiannya pada suku bukit.
Penelitian tentang kecemasan-kecemasan yang ada pada diri Aruni penulis
angkat dalam pembahasan ini dengan judul “ Kecemasan Tokoh Aruni dalam
Novel Menolak Panggilan Pulang Karya Ngarto Februana: Pendekatan Psikologi
Sastra’’.
4
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas rumusan yang akan dibahas dalam penelitian ini
sebagai berikut :
2.1 Bagaimana struktur penceritaan novel Menolak Panggilan Pulang Karya
Ngarto Februana meliputi tokoh, penokohan, serta latar yang membentuk
kecemasan tokoh Aruni ?
2.2 Bagaimana kecemasan-kecemasan tokoh Aruni yang meliputi bentuk
kecemasan dan penyebab kecemasan yang terdapat dalam novel Menolak
Panggilan Pulang karya Ngarto Februana dengan pendekatan psikologi
sastra?
3. Tujuan Penelitiaan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini sebagai berikut :
3.1 Medeskripsikan unsur tokoh dan penokohan serta latar novel Menolak
Panggilan Pulang karya Ngarto februana yang membentuk kecemasan tokoh
Aruni.
3.2 Mendeskripsikan kecemasan-kecemasan tokoh Aruni dalam novel Menolak
Panggilan Pulang karya Ngarto Februana berupa bentuk dan penyebab
kecemasan yang dialami tokoh Aruni.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :
4.1 Memberikan sumbangan kepada pembaca analisis sastra berdasarkan
pendekatan psikologi sastra,
5
4.2 Menambah kajian tentang kecemasan seorang yang meliputi bentuk sebab-
akibat kecemasan tokoh pada sebuah novel,
4.3 Menambah apresiasi sastra Indonesia, khususnya dalam novel Menolak
Panggilan Pulang Karya Ngarto Februana.
5. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan penulis novel menolak panggilan pulang ini
pernah di teliti oleh Lestari Endah 2006 dengan judul Problem-Problem Sosial
tinjauan sosiologi sastra perubahan sosial masyarakat Dayak di pedalaman
Malinau Kalimantan Selatan. Utay sebagai tokoh yang membawa perubahan
terhadap masyarakat Dayak di pedalaman Malinau menimbulkan konflik yang
dihalangi oleh penghulu Dingit dan Aruni yang mewakili masyarakatnya yang
pada dasarnya masyarakat di Bidukun tidak menerima orang luar untuk masuk.
Dan sejauh pengamatan penulis belum ada yang meneliti mengenai kecemasan
tokoh Aruni dalam novel Menolak Panggilan Pulang sebagai objek penelitian.
Maka dari itu penulis tertarik meneliti kecemasan tokoh Aruni dalam novel
Menolak Panggilan Pulang sebagai objek penelitian.
6. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (i)
strukturalisme (ii) psikologi sastra serta kecemasan yang berupa bentuk dan
penyebab kecemasan, serta teori-teori tersebut terdapat dalam teori berikut.
6
6.1 Strukturalisme
Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan,
gambaran, yang menjadi komponen berasama dan membentuk kebulatan
(Abrams, 1981: 68). Struktur karya sastra menyaran pada hubungan antarunsur
(intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi,
yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2009:
36). Analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan
medeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik bertujuan memaparkan
secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang
secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan serta menunjukan
bagaimana hubungan antarunsur membentuk totalitas-kemaknaan yang padu,
bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain kaitannya
dengan dalam hal ini berkaitan dengan tokoh dan penokohan serta latar
(Nurgiyantoro, 2009:37).
6.1.1 Tokoh dan Penokohan
6.1.2 Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai
peristiwa cerita (Sudjiman, 1988: 6). Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita,
tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan tokoh
sentral adalah tokoh yang kehadirannya atau kemunculannya di dalam cerita
sedikit, namun kehadirannya akan sangat mendukung tokoh utama. Tokoh
bawahan dekat dengan tokoh utama dan sering dimanfaatkan pengarang untuk
7
memberi gambaran lebih terperinci tentang tokoh utama mengenai pikiran dan
perasaannya.
Berdasarkan peran tokoh dalam pengembangan tokoh dibedakan menjadi
dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang
penting kerena diceritakan secara terus-menerus. Tokoh yang muncul sekali atau
dua kali disebut tokoh tambahan (Nurgiyantoro, 2009: 177). Tokoh adalah pelaku
cerita. Menurut Abrams, tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2009: 165).
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh terdiri dari tokoh protagonis
dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mengidentifikasikan
diri dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri
secara emosional. Tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik disebut tokoh
antagonis. Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Tokoh antagonis dapat lebih dari satu orang
tokoh (Nurgiyantoro, 2009:178).
6.1.3. Penokohan
Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh
dalam karya sastra. Citra tokoh dapat ditangkap melalui tindakan, ujaran, pikiran,
penampilan fisik, dan apa yang dikatakan atau dipikirkan tokoh tentang dirinya.
Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah melalui pemberian nama. Setiap
“sebutan” merupakan sejenis cara dalam memberi kepribadian dan menghidupkan
8
(Sudjiman, 1988: 24). Penokohan merupakan gambaran ciri lahir, sifat, batin dan
watak, watak merupakan kualitas tokoh nalar dan jiwa yang membedakan dengan
tokoh lain penokohan menunjuk pada tokoh dan penciptaan citra ( Sudjiman,
1998: 23).
Nurgiyantoro (2009: 166) menegaskan penokohan berhubungan dengan
siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2009: 166). Penokohan
menunjukan kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan berhubungan dengan
penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah
cerita. Jones mengatakan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2009:
166).
6.1.4 Latar
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada suatu waktu dalam rentang waktu
tertentu dan pada suatu tempat tertentu dengan waktu dan suasana terjadinya
peristiwa membangun latar cerita (Sudjiman, 1988: 44). Latar menurut Hudson
dibedakan menjadi dua latar sosial dan latar fisik. Latar sosial mencakup
penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikap, adat
kebiasaaan, cara hidup, bahasa yang melatari peristiwa. Latar fisik mencakup
wujud fisik, bangunan, dan daerah (Sudjiman, 1988:44). Latar berfungsi
memberikan informasi serta proyeksi keadaan batin tokoh, latar menjadi metafor
dari keadaan emosional dan spiritual tokoh (Sudjiman, 988:46).
9
Nurgiyantoro (2009:227) menambahkan latar ada tiga Latar Tempat, Latar
Waktu, Latar Sosial menyaran lokasi keadaan geografis, karakteristik dan tempat
terjadinya peristiwa. Latar Waktu berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa.
Latar Sosial menyaran pada hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat, tata cara kehidupan, kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar Sosial secara meyakinkan
menggambarkan suasana kedaerahan, local colour melalui kehidupan sosial
masyarakatnya.
6.2 Psikologi Sastra
Unsur kejiwaan seorang tokoh dalam novel merupakan suatu hal yang
menarik untuk dikaji psikologi merupakan ilmu yang membantu memecahakan
masalah-masalah kejiwaan. Sastra dan psikologi tidak dapat dipisahkan karena
keduanya sama-sama menyentuh manusia dalam persoalan yang diungkapkan
(Sukada, 1987: 102). Dengan demikian, psikologi pada dasarnya mempelajari
proses-proses kejiwaan yang dapat diikut sertakan dalam studi sastra.
Dalam karya sastra ada dua segi yang dapat dijadikan wahana untuk
menganalisis karya sastra tersebut, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Analisis intrinsik mencakup hal-hal dalam sastra yaitu tokoh dan penokohan,
latar, alur, dan tema. Analisis ekstrinsik mencakup hal-hal di luar sastra seperti
tinjauan sosiologi, psikologi, pemikiran dan seterusnya (Wellek dan Warren,
1990:77). Psikologi sastra memiliki empat pengertian, pertama psikologi
pengarang sebagai sebagai tipe atau sebagai pribadi, kedua, studi sastra sebagai
studi kreatif, ketiga psikologi sastra sabagai studi tipe-tipe hukum psikologi yang
10
diterapkan dalam karya sastra, sedangkan pengertian keempat, psikologi sastra
mempelajari dampak sastra sebagai pembaca (psikologi sastra). Pengertian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian ketiga, psikologi sastra sebagai
tipre hukum-hukum yang diterapkan dalkam karya sastra (Wellek dan Warren,
1990: 90).
Kajian psikologi sastra juga memiliki perwatakan tokoh secara psikologis
dan aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya
tersebut. Berdasarkan kajian ini, dapat dianalisis juga mengenai seberapa jauh
pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehinggga karya menjadi
semakin hidup, sentuhan-sentuhan dialog dan pemilihan kata merupakan
gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran inilah yang
menyebabkan orisinalitas karya (Endraswara, 2003:96).
6.3 Kecemasan
Freud via Suryabrata (2006: 139) mengemukakan kecemasan ada tiga
bentuk kecemasan, yaitu kecemasan realistis, kecemasan neurotis, kecemasan
moral atau kata hati. Kecemasan realistis adalah kecemasan akan ketakutan
bahaya-bahaya dari luar, kecemasan neurotis adalah kecemasan yang
menyebabkan seseorang melakukan hal yang dilanggar dan mendapatkan sanksi,
kecemasan moral atau kata hati adalah kecemasan seseorang yang merasa
berdosa jika melakukan kesalahan atau norma-norma yang berlaku, sebagai
perbuatan yang melanggar kode moral dan mendapatkan hukuman.
Albin (1986: 49) menambahkan kecemasan memiliki dua bentuk, yaitu
rasa gusar dan rasa takut. Rasa gusar merupakan suatu pertanda bahwa seseorang
11
harus menghindari keadaan yang menimbulkan rasa takut tersebut. Rasa takut
merupakan ancaman fisik dan rasa gusar merupakan ancaman psikologis. Gusar
menghindarkan kita dari keadaan yang berbahaya secara psikologis, yaitu keadaan
pada waktu kita tampak bodoh, ditolak, ragu-ragu, marah, atau terlihat tidak dapat
menguasai diri.
Sebab-sebab kecemasan dapat berupa keinginan, kebutuhan, ingatan, yang
tidak disetujui oleh orang tua maupun orang lain di sekitar ( Mahmud, 1999:237 ).
Kecemasan berat terjadi sekali-sekali dan terus-menerus, kecemasan
ringan terjadi terus-menerus dan panik (Mahmud, 1999:235). Selama mengalami
panik seseorang takut akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan tidak menentu
tanda-tanda ketakutan tersebut berupa jantung berdebar, denyut nadi berjalan
cepat, sukar bernafas dan menelan (Mahmud, 1999: 236). Kekhawatiran dan panik
adalah tanda-tanda ketakutan yang rangsangan emosi yang merupakan reaksi
terhadap kekecewaan terhadap frustasi, kecemasan seperti itu menyebabkan orang
dapat melarikan diri dari masalah-masalah yang dihadapi (Mahmud, 1999: 236).
12
7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analisis. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Analisis
yang dilakukan diuraikan dengan memberikan pemahaman dan penjelasan (Ratna,
2004:53).
8. Pendekatan Psikologi Sastra
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan psikologi
sastra, pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang ditinjau dari sudut
psikologi dan sastra. Psikologi sastra mempunyai kesamaan yaitu keduananya
mempunyai fugsi dan cara yang sama dalam pelaksanaan fungsinya untuk
memahami perihal manusia dan keduanya menggunakan landasan yang hampir
sama yaitu menjadikan pergolakan manusia sebagai bahan utama penelitian
(Hartoko dan Harmanto: 126).
9. Teknik Penelitian
Teknik yang digunakan dalam penelitian inilah teknik pustaka, teknik
pustaka yang dilakukan dalam penelitian yaitu menelaah pustaka yang berkaitan
dengan objek penelitian yakni mengenai tokoh, penokohan, dan latar serta
kecemasan yang dialami oleh tokoh Aruni dalam novel Menolak Panggilan
Pulang karya Ngarto Februana.
13
10. Data dan Sumber Data
Judul : Menolak Panggilan Pulang
Pengarang : Ngarto Februana
Penerbit : Media Pressindo
Halaman : 204
Tahun Terbit : 2000
11. Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I berisi tentang
latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan pusataka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi analisis
unsur tokoh dan penokohan serta latar dalam novel Menolak Panggilan
Pulang. Bab III berisi analisis kecemasan tokoh Aruni dalam novel
Panggilan pulang. Bab IV penutup berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II
ANALISIS STRUKTUR TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR NOVEL
MENOLAK PANGGILAN PULANG
Dalam bab ini penulis akan memfokuskan penelitian mengenai analisis
struktur penceritaan tokoh, penokohan, serta latar cerita yang menjadi dasar
pembentukan kecemasan tokoh Aruni.
2.1 Tokoh
Dalam karya sastra tokoh memegang peranan penting dalam pembentukan
cerita seperti dalam novel Menolak Panggilan Pulang ini. Tokoh utama
(protagonis) dalam novel ini adalah Aruni. Tokoh (antagonis) dalam novel ini
adalah Utay dan Laur. Utay dan Laur memiliki peranan yang penting dalam
membentuk kecemasan tokoh Aruni dan digambarkan berdsasrkan fungsinya
masing-masing. Tokoh tambahan atau tokoh bawahan adalah tokoh yang
kemunculannya hanya sedikit. Beberapa tokoh tambahan dalam novel ini adalah
Dingit, Rohaimi, Pak Guru Husein, Ibu salabiah, Asuy, dan Ihin.
2.1.1 Aruni (utama)
Aruni adalah gadis berparas cantik di Malinau, dalam novel ini Aruni
berperan sebagai tokoh utama (protagonis). Aruni dan Utay dijodohkan oleh
kedua orang tua mereka sejak kecil, perjodohan antar balai, perjodohan yang
dilakukan antar dua rumah betang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebagai gadis penghulu Jalay yang dikagumi masyarakat Malinau ia memiliki
kelebihan dibanding gadis-gadis lain di Malinau.
15
2.1.2 Utay
Utay adalah kekasij Aruni, di Malinau ia satu-satunya anak yang bersekolah
ke kota. Utay dikagumi masyarakat Malinau karena ia adalah seorang anak
penghulu di balai Bidukun dan ayahnya seorang balian di Malinau. Ia dijodohkan
dengan Aruni. Dampak buruk yang dibawa Utay dari kota adalah gaya pacarannya
dengan Aruni seperti orang kota.
2.1.3 Laur
Laur adalah ayah Aruni, ia seorang penghulu balai Jalay yang taat pada
aturan adat. Warisan yang tidak ia lupakan adalah mewarisi Aruni untuk menjadi
seorang balian wanita. Setelah mengetahui Utay menghianati sukunya ia
memutuskan perjodohan Aruni dan Utay.
2.2 Penokohan
Aruni wanita yang berparas cantik memiliki karakter yang cepat
tersinggung, setia pada Utay dan suku bukit, polos, berwawasan luas, selalu
dihantui rasa bersalah, dan pemaaf. Utay adalah sosok pemuda terpelajar, gagh,
berambisi tinggi, sombong, mementingkan diri sendiri, tidak setia pada Aruni.
Laur adalah ayah Aruni digambarkan sebagai sosok ayah yang tidak mau
menanggung malu dan tegas. Dingit adalah ayah Utay, ia adalah seorang yang
berwibawa, tidak pilih kasih, dan taat pada adat. Rohaimi adalah ayah angkat
Utay ia adalah seorang yang murah hati dan bertanggung jawab. Pak Guru Husein
adalah sosok yang sabar dan setia. Ibu salabiah adalah ibu guru yang setia dan
pendengar yang baik.
16
2.2.1 Aruni (protagonis)
Aruni digambarkan sebagai wanita tercantik di Malinau hal ini terlihat
dalam kutipan pada malam penyambutan Utay pertama kalinya di Balai Bidukun
dan ungkapan syukur atas kelulusan Utay. Hal ini terdapat dalam kutipan (1)
(1)“Sementara itu Aruni duduk di samping Dingit dan Ibis kedua orangtua Utay. Gadis itu betul-betul tampak cantik. Ia berbeda dengan gadis di Malinau. Cara berpakaiannya lebih rapi. Bajunya bersih. Rambutnya diikat. Gadis itu pun jadi perhatian banyak orang, lantaran ia adalah calon pendamping Utay kelak dan terlebih lagi ia adalah gadis tercantik di Malinau mungkin di Loksado(hlm 65).
Kutipan (1) menggambarkan bahwa Aruni adalah wanita cantik yang
dikagumi oleh warga Malinau ia tampak berbeda dengan gadis di Malinau dan
menjadi pusat perhatian.
(2)“Aruni benar-benar cantik, bisik Utay dalam hati. Ia beruntung punya kekasih Aruni, walaupun di Kandangan banyak juga gadis secantik Aruni. Tapi gadis-gadis kota dan modern itu, yang kehidupannya maju, yang pandai dan tidak terbelakang kurang suka kepada pemuda dari bukit, walaupun sang pemuda itu tampan(hlm 74).
Kutipan (2) menjelaskan bahwa sebagai kekasih, Utay mengagumi
kecantikan Aruni yang tidak kalah dengan gadis-gadis di kota Kandangan.
(3)Harum namanya, apalagi lagi kecantikannya, juga tercium oleh penduduk di desa lain, seperti Desa Lumpangi, Tanuhi, dan Desa Loksado(119).
Kutipan (3) kembali menggambarkan kecantikan Aruni tercium oleh desa-
desa lain seperti Lumpangi, Tanuhi, dan desa Lokdaso juga mengagumi parasnya.
Selain cantik Aruni juga sangat polos dalam menghadapi sikap Utay hal ini
dibuktikan pada setiap kali Utay mengajaknya untuk berciuman dan berhubungan
intim Aruni tidak pernah menolak. Hal ini terlihat pada kutipan (4)
(4)“Aruni aku rindu kamu. Aku ingin menciummu,”Bisik Utay. Gadis penghulu Jalay itu tersentak. Matanya membelalak.”itu pamali. Bisa parid, kualat kena kutukan dewa-dewa dan roh leluhur!”Wajah Utay semakin mendekat ke wajah
17
Aruni dan dengan cepat, tanpa bisa dielakkan lagi, Utay mencium bibir Aruni (hlm 63).
Kutipan (4) menggambarkan tokoh Aruni yang cemas dan takut akan
kutukan Dewa karena mereka berciuman dan Aruni tidak menolak.
(4)“Aku ingin mencium bibirmu,”cetus Utay makin nakal. “kada boleh. Pamali! Nanti roh nenek moyang akan murka. Kalau ketahuan kita bisa dihukum cambuk oleh penghulu. Jangan Utay, Utay.” Berbagai perasaan bercampur aduk. Antara rasa nikmat oleh cumbuan Utay dan persaaan takut kutukan dewa.“Ah, tenang saja. Tidak ada orang lain. Boleh, kan?”Utay nekat. Dari samping diciumnya bibir Aruni merekah. Aruni menangis. Utay melepaskan pelukannya. Lalu Aruni menepi dan mengemasi pakaiannya (hlm. 75).
Kutipan (5) menjelaskan bahwa Aruni seorang gadis yang baru menginjak
remaja tidak kuasa menolak cumbuan Utay yang menggetarkan darah mudanya, ia
tidak dapat menolak ajakan Utay untuk mengajaknya bercumbu walaupun
perasaan dosa terus menghantuinya.
Kepolosan Aruni terlihat juga dalam kutipan berikut ketika mereka berdua
mandi di sungai. Kejadian ciuman itu terulang kembali. Hal ini terdapat dalam
kutipan (6)
(6)“Aruni!Awas!Hup!”Utay menangkap tubuh Aruni dari arah depan. Aruni tak sempat mengelak ketika Utay memeluknya rapat-rapat. “Jangan! Pamali! Nanti roh nenek moyang murka. Nanti kita kena malapetaka!Jangan Utay.” Aruni terus meronta(tapi sesungguhnya ia suka juga).” Tidak apa-apa.” Utay semakin erat mendekapnya. Dan dengan nakal ia menciumi bahu dan leher Aruni. Aruni semakin meronta. Tapi Utay pun semakin erat mendekapnya dan mencumbuinya. Dan, Utay berhasil mencium bibir Aruni. Kali ini Aruni tidak menangis lagi (hlm. 95).
Kutipan (6) menggambarkan intensitas pertemuan antara Aruni dan Utay
tidak dapat menghindarkan Aruni dan Utay untuk tidak melakukan hubungan
terlarang mereka, cumbuan demi cumbuan terus mereka lakukan dan Aruni
semakin menikmatinya.
18
Aruni selalu tak kuasa untuk menolak sikap Utay selalu mengawali dan
mengakhiri pertemuan yang mereka secara diam-diam pada saat ia akan kembali
ke kota Kandangan dengan berciuman dan berhubungan intim terdapat dalam
kutipan (7)
(7) Aku ingin bicara penting.”Utay menyeret lengan Aruni dan mengajaknya berlindung dibalik rerimbunan belukar.”Tidak mau ah,” elak Aruni. “sebentar saja.” Utay membujuk. Akhirnya Aruni menurut. Nah dibalik rerimbunan itu Utay mendekap tubuh kekasihnya. Aruni tak sempat menghindar, dan sesungguhnya ia menginginkannya. Pelan-pelan Utay mendekatkan wajahnya ke wajah Aruni. Mata Aruni terpejam. Dan Utay mencium bibir Aruni dengan penuh penghayatan dan kemesraan. Kali ini pun Aruni tidak menangis lagi (hlm. 108).
Pada kutipan (7) kembali Aruni tidak dapat menolak ajakan Utay untuk
berciuman di sungai.
Aruni adalah seorang wanita yang cepat tersingung. Hal ini ia buktikan
pada saat ia harus menghadapi sikap Utay hal ini terdapat dalam kutipan (8)
(8) “Saya kira kamu akan benar-benar kembali ke Bukit. Suku bukit membutuhkan orang seperti kamu. Lagi pula kamu anak putra pengghulu, kelak akan menggantikan ayahmu.” Aruni tampak kecewa. Di Bukit sepi tidak ada bioskop cetus Utay. Mata Aruni melotot. Tubuhnya gemetar seketika darahnya seakan mendidih. Tak disangka Utay tega berbicara begitu melecehkan sukunya sendiri! Kamu anak Bukit. Darah dagingmu adalah Dayak Meratus. Anak penghulu pula. Kamu tidak boleh menghina suku sendiri. Kita memang terbelakang, sering dikatakan sebagai orang bodoh dan terbelakang. Maka kita sendirilah yang harus menghapus kebodohan itu kamu sebagai pemuda terpelajar sudah seharusnya mengabdi pada suku Bukit.”Oh, Dewa, roh leluhur, ampunilah putramu ini,”Aruni terisak. Kita menyadari bahwa kita masih terasing, kita sering dikatakan terbelakang dari segi kehidupan sosial, budaya, pendidikan, dan kesehatan. Kita hidup di pedalaman, di hutan belantara jauh dari kota. Kita hidup serba bersahaja. Anak-anak kurang pendidikan. Para orangtua buta huruf. Bukan kita lantas meninggalkannya,”debat Aruni dengan tegas (hlm.61).
Pada kutipan (8) Aruni kecewa dengan sikap Utay yang menghina sukunya
sendiri, yang mengatakan sukunya bodoh, terbelakang dan di balik
kelembutannya Aruni menyimpan sikap yang keras demi membela sukunya.
(9) “Ah sudahlah rasanya tidak perlu berandai-andai dan berdebat.”Aruni memandang ke kejauhan. Ke bukit-bukit yang diselimuti padang ilalang jauh di
19
sana tak terasa kelopak matanya mengambang bening. Hatinya terasa perih (hlm.62).
Pada kutipan (9) hati Aruni perih atas perkataan yang di ucapkan oleh Utay
dan tidak ada gunanya berdebat bila Utay sudah terlanjur menghina sukunya
sendiri.
Sikap setia Aruni terlihat dalam pengabdiannya kepada Malinau dan
cintanya pada Utay terdapat dalam kutipan(10)
(10) Kalau saja ia tidak dijodohkan dengan Utay, barangkali sopir truk Silker nekat melamarnya. Seorang polisi yang bertugas di pos Loksado sempat pula naksir dirinya, tapi ia segera urung takkala ia tahu bahwa Utay adalah calon istri putra penghulung Bidukun (hlm 119).
Kutipan (10) menjelaskan bahwa Aruni adalah sosok wanita yang setia
dalam menjalin hubungan ia tidak tergoda oleh sopir truk silkar yang nekat
melamarnya dan seorang polisi yang bertugas di pos Loksado yang naksir dirinya.
Tapi demi cintanya pada Utay ia setia pada Utay.
(11)Aruni menunduk seraya berkata,,”saya putri penghulu. Saya sudah bertekad untuk mengabdi kepada suku Bukit dengan kemampuan saya yang terbatas ini demi kesejahteraan suku Bukit,” (hlm 62)
Pada kutipan (11) Aruni digambarakan sebagai wanita yang mengabdi pada
sukunya, yaitu suku bukit, dengan segala kemampuan yang ia miliki.
(12)Saya memutuskan untuk untuk mengabdi kepada Malinau. Kepada suku Bukit. Dengan sedikit keterampilan yang saya miliki. Keterampilan membuat anyaman dan menenenun dan juga memasak (hlm.87).
Kutipan (12) menegasakan bahwa dengan sedikit keterampilan dan
kemampuannya Aruni membagikan kemampuannya kepada masyarakat di
Malinau.
(13)“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, kejadian ini sangat memukul saya. Saya mencintainya dan tak ingin berpisah darinya. Tapi penghianatan Utay terhadap kita membuat saya marah.”(hlm.182)
20
Kutipan (13) menggambarkan bahwa sebesar apa pun kesalahan yang
dilakukan Utay tidak menyurutkan cinta Aruni pada Utay, walaupun dengan
kemarahannya.
Kecerdasan yang Aruni miliki membuat petugas dari PT. Rimba Nusantara
kagum. Hal ini ditunjukan dalam kutipan (14)
(14) Setahun setelah keberangkatan Utay ke Kandangan, Aruni lulus dari sekolah dasar. Ia tidak melanjutkan sekolah ke kota, tapi ia punya kemauan kuat untuk belajar. Di bawah bimbingan Bu Salabiah gurunya, di sekolah dasar ia belajar banyak hal secara informal. Majalah-majalah lama atau ataupun sobekan-sobekan koran milik Bu Salabiah dibacanya. Termasuk buku resep-resep masakan dan buku-buku kewanitaan. Takkala ada jalan tembus, yakni jalan provinsi yang dibangun menghubungkan Padang- Batung-Loksado-Batulicin, semakin terbukalah wawasan Aruni. Dunia tidak sesempit Malinau(hlm.51)
Kutipan (14) menegaskan sebagai gadis dusun yang hanya lulusan sekolah
dasar tidak mengurungkan niat Aruni untuk belajar hal-hal secara formal dan
informal dengan bimbingan Ibu Salabiah gurunya serta dibangunnya jalan
provinsi membuat wawasan Aruni semakin luas.
(15) Meskipun Aruni hanyalah lulusan sekolah dasar, ia anak yang cerdas dan terampil, sejak ia tamat sekolah dasar, Aruni sering diajak oleh Ibu salabiah ke Kecamatan. Ikut berbagai kegiatan seperti PKK, Penyuluhan, dan kursus berbagai keterampilan sesekali ia pernah diajak ke Padang Batung, bahkan ke Kandangan bila ada acara di kabupaten. Nah sekarang Aruni kami perbantukan mengajar di sini. Meski bukan sebagai guru tetap guru sukarela. Ia mengajar keterampilan, seperti membuat anyaman dari bambu dan rotan atau pelajaran masak-memasak. Sore hari, setiap setiap seminggu sekali ia mengajar baca tulis untuk orang-orang dewasa. Ya turut memberantas buta huruf semua itu dilakukan secara sukarela, karena itu tidak dibayar.”tutur Pak Guru Husein(hlm. 85).
Kutipan (15) kembali menggambarkan bahwa Aruni adalah wanita yang
sangat terampil, ia mengikuti berbagai penyuluhan mengajar baca tulis dan buta
huruf semua itu dilakukan secara suka rela.
(16)“ Maaf bapak-bapak sebaiknya kita tidak bicara soal keuntungan dulu. Tapi marilah kita pahami tentang pola hidup suku Bukit pada umumnya. Sejak nenek moyang, selama ratusan tahun, kami tidak pernah menanam tanaman untuk
21
industri. Kami berburu, mengumpulkan hasil hutan, berupa rotan, bambu, kayu manis, kayu cendana. Selanjutnya kami menanam padi, ubi kayu, kacang tanah. Kami tahu padi jenis apa yang yang bisa ditanam pada situs-situs hutan tertentu. Kami mengenal lebih dari 50 macam jenis padi yang sesuai dengan sifat-sifat tanah hutan,” Aruni berhenti sejenak menghela napas. Sementara itu, para karyawan HTI terkesima terhadap penampilan Aruni yang tenang, berwibawa, dan dewasa terlebih uraian yang disampaikan. “ Nah kalau kalian tiba-tiba kami disuruh menanam sengon, sungkai, dan akasia untuk keperluan industri kami kaget. Karena ini berarti mengubah pola hidup kami secara tiba-tiba. Juga mengubah pola pikir kami yang sederhana ini. Kami sepertinya tiba-tiba dipaksa berpikir tentang keuntungan, tentang adil untuk pembangunan. Ini membingungkan bagi kami Pak,”(hlm. 137).
Pada kutipan (16) Aruni memberi penjelasan kepada petugas HTI bahwa
masyarakat Dayak adalah masyarakat yang pola hidupnya bertani mengumpulkan
hasil hutan, berupa rotan, bambu, kayu manis dan kayu cendana mengenal 50
macam jenis padi dan mengenal situs-situs hutan tertentu. Jika secara tiba-tiba
disuruh menanam sengon, sungkai, dan akasia, akan mengubah pola pikir
masyarakat Dayak di Malinau secara tiba-tiba.
Sebagai seorang anak penghulu Aruni hidup dalam kungkungan adat, sikap
hormatnya pada adat ia tunjukan melalui memikirkan segala sesuatu dengan
matang-matang sebelum melakukan tindakan yang bertentangan dengan adat
meskipun bertentangan dengan hati nuraninya misalnya pada saat Utay akan
menggaulinya dan keinginan ayahnya untuk mewarisi Aruni ilmu untuk menjadi
penggantinya kelak menjadi balian atau dukun wanita, serta aib akan apa yang
terjadi dengan dirinya jika hamil terdapat dalam kutipan (17)
(17)” Tidak boleh. Pamali. Dosa! Kita belum suami- istri kada boleh beginian.”Aruni ngotot ingin melepaskan diri “ kada boleh. Pamali! Nanti roh nenek moyang murka. Kalau ketahuan kita bisa dihukum cambuk oleh penghulu. Jangan, Utay.” Berbagai perasaan bercampur aduk. Antara rasa nikmat oleh cumbuan Utay dan perasaan takut kutukan Dewa (hlm. 75).
22
Pada kutipan (17) kembali Aruni berusaha untuk melepaskan diri dari
pelukan Utay, sebab ia takut jika mereka melakukannya lagi dan ketahuan mereka
bisa dihukum cambuk.
(19) Tetapi di sudut hatinya, perasaan berdosa menghantuinya, ancaman kutukan Dewa seakan mengintipnya. Ia tahu perbuatan itu pamali. Ia menyadari bahwa roh leluhur bisa murka dan akan menimpakan hukuman. Ia juga paham bahwa kecaman akan bermunculan jika diketahui orang lain, apalagi jika ayahnya yang seorang kepala adat itu mengetahuinya. Aruni juga sadar akan kedudukannya di mata masyarakatnya (89-90).
Pada kutipan (19) Aruni merasa persaan berdosa dan kutukan Dewa terus
menghantuinya karena ia tahu perbuatan yang mereka lakukan dilarang atau
pamali, sebab ia tahu ia adalah seorang anak kepala adat jika orang lain tahu ia
akan malu.
(20) Dan, sebagai putri penghulu, ayah dengar Aruni belajar jadi balian.” “Dukun perempuan seperti ibu?” Utay sedikit tersentak (hlm. 102).
Kutipan (20) menegaskan bahwa, Aruni diberikan kepercayaan menjadi
menjadi balian atau dukun wanita ia pun rajin mengaji
(21) “ Saya hamil Utay. Tak kusangka jika kejadian di sungai itu, yang baru pertama kita lakukan karena kita tak mampu lagi memgendalikan dorongan nafsu, telah membuahkan janin .” ujar Aruni menyesal. Aruni semakin panik. Dewa dan roh nenek moyang tak akan mengampuninya. Berciuman saja dianggap pamali, akan kena parid, dan karenanya akan dihukum. Apalagi bersetubuhan diluar pernikahan. “ Lantas, apa yang mesti kita lakukan?” utay pun turut panik. “ Saya tidak tahu. Saya pasrah.” Aruni menunduk gadis yang dicintai dengan penuh iba dan rasa bersalah. Kini makin membukitlah rasa bersalahnya. Aruni menatap dengan sayu dan pasrah. “ kita sama-sama hancur. Selamat berpisah.” Aruni membalikan badan, dan berlalu meninggalkan halaman balai (hlm. 199).
Kutipan (21) menggambarkan pengakuan Aruni bahwa ia hamil dan
kejadian pertama di sungai itu telah membuahkan janin. Aruni menyesali
perbuatannya. Aruni merasa hancur dan pasrah harapannya seolah-olah tidak ada
lagi ia pergi meninggalkan Utay.
23
2.2.2 Utay
Utay adalah anak penghulu Bidukun, teman semasa kecil Aruni. Sikap
dan perilaku Utay banyak membawa perubahan setelah ia bergaul dengan orang
kota. Mereka berdua dijodohkan sejak masih kecil. Sikap Utay yang sombong
membuat Aruni kecewa. Sikap sombong yang digambarkan dalam diri Utay
terlihat dalam kutipan (22)
(22)“Aku tidak mau tinggal di Malinau. Bosan jadi manusia terbelakang, bosan hidup di tengah orang-orang primitif.”(hlm. 61).
Kutipan (22) Utay di gambarkan sebagai seorang pemuda tidak mencintai
sukunya sendiri, baginya kehidupan di bukit menjadi tidak menarik lagi, karena
berada di tengah-tengah orang yang tidak berpendidikan.
(23) “Jika kamu mau, kamu bisa mengajar di sekolah. Bapak akan sangat berterima kasih dan senang sekali jika kamu bersedia menjadi guru di sekolah dasar di Malinau ini. Sekolahmu dulu, Utay,” ujar Pak guru Husein penuh harap. Utay hanya tersenyum. Dalam hati ia berkata, jadi guru di Malinau? Tidak. Lebih enak tinggal di kota. Kerja di PT. Rimba Nusantara. Di Malinau sepi terpencil. Di kota ramai, banyak hiburan, dan aku akan bisa kaya. Aruni akan kuboyong ke kota kalau sudah jadi istriku(hlm. 66). Pada kutipan (23) Pak Guru Husein mengharapkan Utay dapat membantu
sukunya dengan menyumbangkan ilmunya kepada anak-anak suku bukit dan
mengajar anak-anak suku bukit di Malinau. Tetapi dalam hatinya kecilnya Utay
menolak karena desa yang terpencil dan sepi membuat pikirannya menjadi sempit.
(24) “Ulun ingin bekerja di kota. Kerja di kota rantau ,” cetus Utay dengan menyalurkan semua keberaniannya(hlm. 69).
Pada kutipan (24) Utay menyatakan maksud pada ayahnya, untuk meminta izin
bekerja di kota dengan keberaniannya.
(25) “Saya pemuda terpelajar, Bu memiliki ijazah SMA dan bisa berbahasa Inggris. Kalau saya tinggal di Malinau ini, lalu untuk apa saya sekolah di kota?” (hlm. 71).
24
Pada kutipan (25) Utay menentang pendapat ibunya untuk mengabdi di
Malinau, sebab tidak ada gunanya memilki ijazah SMA dan sertifikat bahasa
Inggris jika mengajar di Malinau yang terpencil.
(26) “Utay! Lepas sepatumu. Turunlah dan kerja. Kamu bukan raja disini!” nada suara Ihin makin keras dan berkesan penuh kebencian (hlm. 80).
Pada kutipan (26) sikap sombong Utay ia tunjukkan pada saat warga di balai
Bidukun sedang kerja bakti ia justru menjadi mandor tanpa ada rasa malu sedikit
pun.
Rasa kagum akan kegagahan Utay terlihat dalam kutipan (27)
(27) Malam itu tentu saja Utay jadi pusat perhatian duduk di tengah-tengah ruangan. Atas saran ibunya ia terpaksa mengenakan baju bermotif bergambar burung enggang dan naga, celana hitam dan berkalung serangkaian bunga sesuatu yang tidak disukainya, dan sesungguhnya ia lebih suka bercelana jins dan berkaus, serta untuk mengatiasi rasa dingin ia menggunakan jaket tapi ia harus mengalah. Semua mata terarah padanya. Rasa kagum banggga menyelimuti hati warga Bidukun. Mereka memandang Utay seakan tengah memandang titisan Dewa. Utay pemuda kebanggaan warga Bidukun pada umumnya Malinau (hlm. 65). Pada kutipan (27) menggambarkan sikap kekaguman warga Bidukun, balai
Jalay, dan semua tamu undangan pada Utay yang baru saja menyelesaikan
sekolahnya di kota dan seolah ia adalah titisan Dewa.
(28) Orang Jalay kagum akan penampilan Utay yang gagah. Juga cara berpakaian. Kaki Utay di balut celana jins ketat . Telapak kakinya dibungkus sepatu sport putih. Kemeja merah bergaris-garis hitam. Utay benar-benar berpenampilan seperti pemuda kota(hlm. 78).
Pada kutipan (28) Utay sangat kagum pada sosok Utay yang gagah mulai
dari cara berpakaian, karena penampilannya seperti pemuda kota.
(29) Beberapa penduduk Jalay dan Padang tengah berangkat ke ladang berpapasan dengan Utay. Mereka memandang pemuda tampan itu dengan penuh kekaguman sesaat mereka bertegur sapa (hlm. 82).
25
Pada kutipan (29) kembali Utay dikagumi oleh penduduk balai Jalay dan
sesekali mereka bertegur sapa saat bertemu di jalan.
(30) “ Kamu anak kebanggaan Malinau. Semua orang sedesa ini bangga kepadamu, Utay. Kamu punya kesempatan sekolah di kota sampai SMA. Kamu pemuda terpelajar. Sudah seharusnya kamu mengabdi untuk suku Bukit,” Ujar Dingit.
Pada kutipan (30) Dingit ayah Utay menyuruh Utay untuk mengabdi pada
Malinau suku bukit. Sikap ambisius yang ditunjukan Utay terdapat dalam kutipan
(30)
(30) “Tapi ulun akan kerja di PT. Rimba Nusantara, sebuah perusahaan hutan tanaman industri yang pusatnya di Banjarmasin. Dan saya ingin kerja di perwakilan Rantau. Ada kenalan yang membantu memasukan ulun ke sana,” ujar Utay saya akan kerja di kantornya, bukan di areal HTI atau perkebunan. Jadi staf administrasi(hlm.71).
Pada kutipan (30) kembali Utay memohon pada ayahnya untuk bekerja di
Rantau, di bagian administrasi.
(31) “ Tapi aku ingin kerja di PT Rimba Nusantara. Tekadku sudah bulat.”(hlm.92).
Pada kutipan (31) kekerasan hati Utay tidak dapat dibendung lagi
keinginannya sudah bulat untuk bekerja di Rantau.
(32) “ Runi, kalau kamu jadi istriku nanti, kamu tinggal di Rantau, jika aku nanti ditempatkan di sana. Kamu pasti akan senang tinggal di kota. Ramai dan banyak hiburan. Penduduk maju. Modern. Tidak seperti di Bukit Primitif!”(hlm.93).
Pada kutipan (32) Utay berkhayal dan menyatakan maksudnya jika Aruni
menjadi isrtinya kelak mereka akan tinggal di kota.
(33) “ Kamu harus ikut ke kota.” “ Tidak!” “ Harus!” “ Tidak!” Diam. Mereka saling membisu(hlm.94).
Pada kutipan (33) kembali Utay memaksa Aruni untuk ikut ke kota dan
selalu memenuhi keinginannya.
26
(34) “ Kelak, setelah kami menikah, Aruni akan saya bawa ke kota,” kata Utay tiba-tiba(hlm. 72).
Pada kutipan (34) Utay menyatakan maksudnya pada ayahnya bahwa kelak
setelah ia dan Aruni menikah ia akan mengajak Aruni ke kota dan maksudnya
tersebut Utay katakan secara tiba-tiba pada ayahnya. Kutipan (35) kembali
menggambarkan Utay sosok laki-laki yang setia dalam menjalin hubungan dengan
Aruni walaupun gadis-gadis di kota banyak yang cantik.
(35) “ Aku berjanji. Aku akan sering pulang. Untuk cinta kita,” tegas Utay kepada Aruni, “Di kota banyak gadis cantik;” Tapi tidak secantik kamu. Gadis Bukit tidak kalah dengan gadis kota. Yang paling penting, aku hanya mencintai kamu. Tak usah khawatir. Aku tetap setia kepadamu,” janji Utay mantap(hlm. 106).
Pada kutipan (35) Utay digambarkan sebagai sosok laki-laki yang setia pada
Aruni, walaupun banyak gadis di kota yang cantik, tetapi Utay tetap setia pada
Aruni dan itu ia ungkapkan melalui janjinya.
Kutipan (36) kembali ambisi Utay untuk mendapatkan uang pada saat
Utay mengadakan perjanjian rahasia tanpa sepengetahuan peduduk dan pimpinan
proyek. Secara tidak langsung Utay telah membohongi pimpinan proyek dan
warga malinau dan sikap yang tidak bertanggung jawab.
(36)Kebohongan terhadap perusahaan terbongkar. Ia patah harapan bahwa perusahaan mau menerima ia kembali. Tak ada harapan lagi. Bila hari sudah gelap ia berniat melarikan diri ke kota. Tak mungkin ia terus bersembunyi di hutan Malinau, yang kemungkinan besar akan ditemukan penduduk dan itu berarti lebih celaka lagi baginya(hlm. 177).
Pada kutipan (36) diggambarkan sikap ambisi Utay yang telah melakukan
perjanjian rahasia dengan perusahaan HTI dan menyebabkan dua orang penduduk
terluka serta ayahnya yang dipanggil oleh polisi serta kepergian Utay yang tidak
diketahui oleh penduduk Malinau.
27
(37) Utay memperhatikan kedua penjaga itu. Dalam kegelapan yang nyaris sempurna, Balai Budukun dengan rumah-rumah panggung di sekitar balai tampak suram. Nyala obor ada di beberapa tempat. Di dekat karengkeng yang memenjarakannya tak jauh dari tangga balai. Ia memejamkan matanya yang telah dibutakan oleh gemerlap ambisi dan impian kemewahan, hingga ia melupakan nilai-nilai kebersahajaan sukunya. Ambisi yang membimbingnya menuju tepi jurang kehancuran yang sekaligus akan menjadi liang kuburnya (hlm. 202-203).
Kutipan (37) menegaskan bahwa Utay sosok yang dibutakan oleh ambisi
dan dari persembunyiannya ia ditemukan oleh oleh penduduk dihukum oleh
ayahnya di dalam karengkeng atau kurungan. Karena ambisinya ia dihukum oleh
masyarakat di Malinau.
(38) Ia kembali membuka matanya, memperhatikan kedua penjaga. Lalu dengan hati-hati, Utay mencoba melepas tali yang mengikat jeruji. Berhasil. Ia meneruskan yang lain. Tak sulit. Ikatan telah lepas. Utay lalu menguak dua jeruji agar ia bisa menerobos dan keluar. Sementara itu, penjaga masih pulas. Kesempatan itu terbuka ia keluar dari celah jeruji yang terkuak. Lantas dengan mengendap-endap dalam kegelapan, ia sembunyi di balik semak memperhatikan ke sekeliling. Ia mendekati obor. Dengan tangkas ia cabut obor dari tanah. Lalu memandang atap balai yang terbuat dari rumbia yang mudah terbakar itu. Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan obor. Mencabut obor yang lain. Melemparkan lagi ke atap. Sejenak ia menatap api yang mulai menjalar di atap balai. Bibirnya gemetar. Tangan mengepal dan teracung-acung seperti orang gila yang mengutuki dunia yang tak pernah ramah kepadanya. Lalu ia menerobos hutan, dan melarikan diri dari buminya yang terasing. Dan sejak itu Utay bertekad tidak akan lagi mendendangkan nyanyian sukunya; nyayian usang yang hanya pantas untuk mereka yang terbelakang (hlm. 203-204).
Pada kutipan (38) Utay berusaha untuk meloloskan diri dari kurungan
karengkeng. Baginya tidak ada gunanya hidup di suku terasing yang tidak
menerima dirinya, untuk terakhir kalinya ia mencabut obor melemparkannya ke
atap balai dan ia menerobos lari ke hutan.
2.2.3 Laur
Laur adalah ayah Aruni sebagai kepala penghulu, ia malu mendengar
anaknya berduaan dan berciuman di sungai. Sebagai seorang ayah ia tidak mau
menanggung aib. Ketika ia mengetahui bahwa Utay menghianati suku Bukit ia
28
membatalkan perjodohan Aruni dan Utay meskipun keluarganya harus membayar
denda.
(39) Kita ke Bukit pemujaan,” ujar penghulu pelan. Ke bukit pemujaan ?” Aruni tak mengerti maksudnya. “ Ya jawab ayahnya, dingin. “ Ada masalah apa, ayah?” tanya Aruni, bingung. “ Kamu adalah anak kepala adat. Ingat itu. Ayah bangga padamu, kamu jadi kebanggaan warga Malinau, karena wawasan dan keterampilan serta pengabdianmu untuk kesejahteraan Malinau. Jadi teladan. Untuk itu, jagalah dirimu baik-baik, terutama dalam menjalin hubungan dengan Utay. Jangan sampai melakukan perbuatan pamali,” ujar penghulu Jalay, penuh wibawa. Kata-katanya mantap terlontar dari mulutnya seakan mengandung kekuatan magis. Aruni pun pucat seketika. Tanpa tertuduh secara langsung, ia sudah merasa tertuduh secara telak. Langsung ke lubuk hatinya. Tubuhnya gemetaran. Matanya berkaca-kaca. Gejolak di dalam dadanya yakni, cemas, takut, merasa berdosa, menyesal tak mampu dibendung. Tanggul itupun jebol, dan ia pun menangis. “ Kehormatan dan kemuliaan adat yang bisa kita pertahankan sekarang,” tegas Laur( hlm. 120-121).
Pada kutipan (39) menegaskan bahwa Laur ayah Aruni sudah mengetahui
hubungan apa yang terjadi antara Aruni dan Utay, Laur mengajak Aruni ke Bukit
pemujaan untuk mengaku dosa dan bersumpah kepada Dewa untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang adat.
(40) “ Utay terkutuk! Penghianat kaum sendiri!” Seru penghulu jalay keras. “ Aku kecewa padanya. Ia yang dibangga-banggakan Malinau, kebanggan suku Bukit, ternyata tega menyakiti sukunya sendiri demi membela orang lain. Utay tak tahu diri dan lupa akan asal-usulnya. Penghulu Jalay menggelengkan kepala. Memalukan. Kita warga Jalay akan malu jika salah seorang putri Jalay menjadi istri seorang penghianat suku. Perbuatan Utay tidak terpuji dan aib. Maka, demi Dewa dan roh leluhur, putuskan hubunganmu dengan Utay. Kita batalkan perjodohan ini meskipun kita harus membayar denda.” (hlm.188).
Pada kutipan (40) Laur mengutuk perbuatan Utay yang telah mengkhianati
sukunya sendiri dengan mengadakan perjanjian rahasia dengan petugas HTI dan
menyebabkan pertumpahan darah antara polisi dan penduduk Malinau. Demi
menjaga martabatnya pengulu Jalay memutuskan perjodohan antara Aruni dan
Utay meskipun harus membayar denda.
29
2.3 Latar
Sebuah karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur latar. Latar merupakan
landasan peristiwa yang diceritakan yang berkaitan dengan tokoh dan penokohan.
Dalam novel Menolak Panggilan Pulang ada tiga latar yang digunakan, yaitu
Latar Tempat, Latar Waktu, dan Latar Sosial. Latar Tempat mengarah pada lokasi
terjadinya peristiwa. Latar Waktu berhubungan dengan kapan terjadinya
peristiwa. Latar Sosial mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya adat-istiadat, pola pikir.
2.3.1 Latar Tempat
Latar Tempat yang dipaparkan dalam novel Menolak Panggilan Pulang
adalah desa Malinau. Malinau adalah salah satu desa terpencil di antara hutan
bambu, hutan karet, una atau ladang-ladang padi, dan bukit-bukit ilalang, seperti
juga desa-desa lain di wilayah itu. Rumah penduduk terpisah oleh hutan dan bukit
dan terdapat balai atau rumah betang yang tiang-tiang balainya terbuat dari kayu
ulin dan atapnya dari daun rumbia dan setiap balainya dihuni 10 sampai 50
kepala keluarga, dan setiap balai hidup dalam kerukunan, persatuan, kebersamaan,
dan kewaspadaan.
(41) Malinau, desa terpencil di antara hutan bambu, hutan karet, una, atau ladang-ladang padi, dan bukit-bukit ilalang; seperti juga desa-desa lain di wilayah itu. Sebuah desa adat yang menjadikan jalan setapak sebagai penghubung antara desa yang satu dengan desa yang lainnya. Balai atau lamin atau disebut juga rumah betang adalah rumah suku Dayak Meratus. Bentuknya berupa panggung panjang di dalamnya tercetus prinsip hidup yang penuh kerukunan, persatuan, kebersamaan, dan kewaspadaan (hlm.1-2).
Latar pada kutipan (41) menggambarkan sebuah desa adat yang belum
tersentuh oleh hiruk pikuk kota dan pencemaran lingkungan, dengan rumah
pangung sebagai tempat tinggal suku Dayak Meratus sebuah desa hidup dalam
30
kebersamaan. Kutipan (43) pelukisan tempat yang lain adalah sebuah balai yang
terbuat dari bahan-bahan alami, yaitu rumah penduduk setempat yang di sebut
balai atau lamin atau rumah betang, yang menjadi tempat tinggal masyarakat di
desa Malinau.
(43) Di Malinau ada tiga buah balai, yakni Balai Bidukun, Balai Padang, dan Balai Jalay, yang letaknya antara balai yang satu dengan yang lainnya terpisah oleh bukit dan beberapa rumah penduduk yang terpisah dari balai. Bentuknya bentuknya berupa rumah panggung panjang, yang panjangnya bisa mencapai 180 meter dan lebar 9 sampai 18 meter. Tiang-tiang balai terbuat dari kayu ulin. Kolong balai dijadikan kandang babi. Akan halnya atap terbuat dari daun rumbia(hlm.2).
Latar pada kutipan (43) melukiskan tempat tinggal masyarakat Dayak di
Malinau yang tinggal di balai atau rumah panjang atau rumah betang yang
hidupnya berkelompok, dengan tiang yang terbuat dari kayu ulin serta atap dari
daun rumbia kolong balai dijadikan kandang babi.
Kutipan (42) melukiskan alam yang masih alami dan indah serta belum
terkotori oleh polusi membuat desa Malinau manjadi rindang dan tentram suara-
suara alam seolah menyatu dengan kehidupan masyarakat disekitarnya.
(42) Gemericik, deras arus air sungai membentur bebatuan. Gemeresek daun-daun bambu digoyang angin. Cericit, tupai berkejaran di batang pohon kelapa. Desau-desau daun pinus dan kicau beraneka burung: pelatuk merah tua tengah membuat lubang dengan mematuki batang pohon untuk dijadikan sarang; suara merdu burung tekukur bermata besar-tajam; kesemuanya mengisi suasana hutan. Batang-batang bambu pun bergesekan. Seekor pelanduk lari menyelinap di antara semak belukar, membuat suara gemeresek(hlm. 25).
Kutipan latar (42) menggambarkan hutan pedalaman kalimantan yang masih
perawan, suara air sungai yang mengalir, suara burung, serta daun yang gemerisik
membuat suasana hati yang risau rindu akan nyanyian alam yang damai.
Kutipan (43) menggambarkan latar tempat tampak pada kondisi bangunan
sekolah tempat Aruni mengajar.
31
(43) Bangku-bangku kumuh dan tak tertata rapi, dinding kelas yang terbuat dari papan yang banyak lubang, langit-langit kelas yang juga banyak lubang lantai kelas yang tak bersemen (hanya tanah). Enam murid duduk terpencar berpakaian apa adanya, ada yang berseragam ada yang tidak, dan semua tidak pakai sepatu. Di bangku mereka ada bilahan-bilahan bambu dan rotan (hlm.83).
Kutipan latar tempat pada kutipan (43) melukiskan suasana sekolah di
pedalaman Malinau yang jauh dari kemewahan kelas yang tidak tertata rapi
berlanataikan tanah, hanya beberapa murid tidak berseragam, tidak beralasakan
kaki, serta kursi reot yang terbuat dari bilahan bambu dan rotan, pelukisan temapa
yang sangat memprihatinkan.
2.3.2 Latar Waktu
Latar Waktu adalah waktu kapan terjadinya peristiwa dalam cerita, latar
waktu terdapat pada tahun, malam, pagi, siang, sore, serta hujan . Hal ini
terdapat dalam kutipan berikut:
(44) Bintang-gemintang sempurna tertutup mendung yang menggelantung di langit yang mulai mencair. Rintik-rintik hujan dicurahkan dari langit sebagai anugerah bagi bumi(hlm.95).
Latar waktu pada kutipan (44) menggambarkan langit Khatulistiwa yang
hujan pada malam hari yang dilapisi bintang yang mendung anugrah ciptaan bagi
bumi.
Latar waktu tahun terdapat pada kutipan (45) di mana perusahaan dari kota
mulai membelah hutan.
(45) Tetapi sejak tahun 1990, traktor, truk proyek, buldozer, dan puluhan orang berpacu membelah hutan, perbukitan, dan desa-desa. Tebing-tebing batu yang dilalui proyek diledakakan dengan dinamit. Loksado yang terisolasi dibuka dengan jalan provinsi yang menghubungkan Padang Batung sampai ke desa Loksado, sekitar empat puluh kilometer(hlm.45).
32
Latar waktu tahun pada kutipan (45) sejak tahun 1990 desa Malianau sudah
tersentuh oleh kemajuan sedikit demi sedikit dengan masuknya proyek. Daerah
yang dulu terisolir kini telah dibuka dengan jalan provinsi.
Latar waktu pagi.
(46) Pagi yang cerah, matahari menyantuni Malinau dengan kehangatannya yang tulus dan penuh kasih. Warga Bidukun memulai kesibukannya. Sebagian perempuan menyiapkan makanan di dapur masing-masing. Sebagian lagi membantu suami ke huma. Hari itu para pemuda laki-laki dewasa yang kena giliran kerja bakti, sejak pagi tadi sudah memulai kegiatannya yang menggergaji batang kayu meranti, ada yang membelah bambu, menganyam daun rumbia untuk atap, dan sebagian pergi ke hutan mencari daun rumbia(hlm.79).
Pada kutipan (46) latar waktu pagi menyantuni Malinau. Warga Bidukun
sibuk dengan aktivitasnya masing-masing ada yang memasak di dapur, membantu
suami ke ladang, kerja bakti memperbaiki balai dan mencari kayu ke hutan
semuannya dilakukan secara bersama.
(47) Aruni melangkah sendiri, di jalan besar yang tengah dibangun itu, menuju desa Lumpangi, kala matahari sudah merata menyapu perbukitan. Ia hendak ke Loksado, seperti kegiatannya di hari-hari yang lalu. Dan kali ini ia tidak bersama Salabiah, karena ibu guru yang manis itu sedang mengajar(hlm.122).
Pada kutipan di atas tampak latar tempat dengan latar belakang jalan yang
tengah dibangun tersebut memudahkan bagi Aruni dan warga di pedalaman
Malinau untuk ke kota kecamatan, kabupaten dan provinsi untuk bepergian
sendiri tidak masalah bagi Aruni.
Latar Waktu siang
(48) Bidukun pada siang hari. Di saat matahari khatulistiwa tepat di atas kepala, Dingit berada di atas bukit, duduk di ambang pintu lampau sebuah rumah panggung tempat penyimpanan padi. Ia memperhatikan kantung-kantung yang terbuat dari kulit kayu yang dibentuk seperti tong. Kantung-kantung itu selalu penuh dengan padi. Panen padi dua tahun lalu masih tersisa banyak dan tersimpan di lumbung itu. Pada musim ini panen cukup baik. Persediaan padi warga Balai Bidukun berkecukupan. Beras itu hanya dikonsumsi sendiri. Dingit tampak termenung. Jauh di depannya terhampar bukit-bukit ilalang, yang seakan abadi menyelimuti bukit-bukit ilalang, yang seakan abadi menyelimuti perbukitan. Jika
33
musim kemarau sering bukit-bukit itu dilalap api. Tapi ilalang tak pernah jenuh untuk tumbuh dan akarnya menjalar sampai ke ladang penduduk(hlm. 18).
Pada kutipan (48) Bidukun pada siang hari menggambarkan suasana siang
yang panas oleh sinar terik matahari tepat di bawah khatulistiwa. Dingit
memperhatikan lumbung-lumbung penyimpanan padi, dalam hatinya ia bersyukur
tahun ini panen yang mereka hasilkan sangat banyak dan melimpah persediaan
padi di balai Bidukun berkecukupan walaupun pada musim kemarau bukit-bukit
tesebut dilalap api tetapi bukit-bikit itu tidak pernah jenuh memberikan kesuburan
pada penduduk sekitar.
(49)Siang itu, Aruni dan dua orang laki-laki Jalay tengah memperbaiki saluran air, yang terbuat dari bambu, yang melenceng dari tempatnya. Atas prakarsa Aruni dan Bu Guru Salabiah, warga telah berhasil mengalirkan air dari mata air dari lereng bukit tak jauh dari bukit balai. Air yang keluar dari sumber itu semula menagalir membentuk sungai kecil, melewati lembah di antara dua bukit, selanjutnya bergabung dengan sungai Amandit di desa Kandihin. Dari sungai kecil itu warga Jalay memanfaatkan untuk memasak, untuk air minum. Jaraknya agak jauh dari balai. Lantas Aruni punya gagasan untuk membendung mata air, dan dengan bambu yang dijadikan pipa, air itu dialirkan ke belakang balai. Selanjutnya gagasan itu diwujudkan secara gotong-royong(hlm.143).
Pada kutipan (49) menggambarkan aktivitas Aruni di balai Jalay atas
prakarsa Aruni dan Ibu Salabiah warga berhasil mengalirkan air dari mata air
lereng bukit ke balai Jalay yang dapat dimanfaatkan untuk memasak, mandi, dan
mencuci yang diwujudkan secara gotong-royong.
Latar waktu sore
(50)Suatu sore, ketika matahari sudah meredup teriknya, Utay menjumpai Aruni di tempat yang ditentukan. Yakni, di sungai Malinau, tak jauh dari sebuah jeram. Di tempat itu mereka bisa merasa aman, karena selain sepi, juga jauh dari pemukiman ladang penduduk, ataupun hutan bambu. Untuk menuju ke sana, Aruni punya banyak alasan yang tidak menimbulkan curiga(hlm.89).
Pada kutipan (50) latar waktu sore menggambarkan sungai Malinau dengan
hamparan jeram dan suasana yang masih sepi, aman, dan jauh dari ladang
34
penduduk tempat petemuan Utay dan Aruni dalam memadu kasih sungai dan
suara air seolah menjadi saksi bagi insan yang sedang dimabuk cinta tersebut.
Latar Waktu malam.
(51) Malam jahanam terus merangkak. Setan dan roh jahat seakan terus bersorak. Angin malam yang berhembus dari lereng-lereng bukit ilalang. Dan, di langit kelam, di antara bintang-bintang yang berserakan, dari balik awan yang berarak pelan, sepotong rembulan dengan resah mengintip bumi, menyaksikan anak manusia bergelut dengan maut(hlm. 3).
Pada kutipan (51) melukiskan suasana malam yang sangat mencekam, angin
malam dari lereng berhembus bulan sepotong mengintip seakan ikut mengintip
menyaksikan Utay yang bergelut dengan maut. Pada malam itu di balai Bidukun
berlangsung sebuah upacara balian atau pengobatan bagi Utay yang sakit.
(52) Desa Malinau dibungkus gelap malam. Malam penuh berkah. Malam yang mistis. Kegembiraan dan suasana sakral berpadu. Langit bertaburan bintang-bintang seakan turut bersuka cita, dan roh lelehur di alam gaib patilarahan pun mungkin tersenyum penuh kebahagiaan. Sementara itu, nyala obor disekitar kampung bergoyang-goyang ditiup angin malam dan gemericik air sungai yang deras membentur bebatuan kali senantiasa setia mengisi suasana malam(hlm.6). Pada kutipan (52) penggambaran suasana malam di Malinau, malam yang
sakral jika ada upacara atau pengobatan serta suasana malam yang sepi tanpa
lampu-lampu dipinggir jalan, diikuti oleh angin malam yang semilir menambah
suasana semakin mistis.
2.3.3 Latar Sosial
Latar Sosial berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat, tata
cara kehidupan, kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar Sosial secara meyakinkan
menggambarkan suasana kedaerahan, local colour melalui kehidupan sosial
masyarakatnya.
35
Masyarakat Dayak Meratus hidup dalam kebiasaan serta cara yang sangat
sederhana yaitu tergantung kepada alam dan sistem ladang yang berpindah yang
terjadi setiap tahun saling membantu dalam pekerjaan teratanam dalam sikap
gotong royong.
(53) Dalam pada itu, di halaman balai, beberapa orang tampak sibuk. Tak jauh dari kaki tangga utama dua orang tengah menggegergaji kayu,. Ada juga yang sedang memotong kayu dengan kampak. Dua orang laki-laki membuat atap daun rumbia, anak-anak ikut-ikutan sibuk membantu mengangkat daun rumbia dari hutan ke halaman balai(hlm.54).
Pada kutipan (53) latar sosial kehidupan masyarakat dayak Meratus tampak
pada kesibukan orang-orang memperbaiki balai ada yang memotong kayu dengan
kampak, ada yang sedang membuat atap dari daun rumbia, dan anak-anak sibuk
pula mengangkat daun rumbia membantu orang tua mereka.
(54) Hutan bagi Dayak Meratus adalah bagian dari nyawa mereka. Mereka punya pandangan utuh terhadap sumber daya hutan. Hutan tidak hanya bermakna ekonomis, melainkan juga bermakna sosial, budaya, dan religi. Hutan tidak hanya bermakna raneka ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan juga diri mereka yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hutan(hlm. 20).
Kutipan (54) menegasakan bahwa hutan adalah bagian dari hidup Dayak
Meratus, hutan bermakna ekonomis sebab dari hasil hutan seperti kayu, rotan, dan
bambu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan mereka, bermakna sosial budaya
hutan tidak hanya berisi aneka ragam tetumbuhan melainkan juga mereka yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hutan. Hutan bermaksa religi
pantang bagi masyarakat Dayak Meratus membuka hutan tanpa ada ritual terlebih
dahulu sebab roh leluhur akan marah dan murka.
36
Kutipan (55) menyatakan bahwa masyarakat Dayak Meratus patuh pada
adat-istiadat, tradisi, serta keyakinan yang telah diwariskan oleh nenek moyang
sejak jaman dahulu.
(55) Gergaji mesin itu lebih ganas ketimbang golok. Mereka membabat pohon-pohon tanpa upacara, gumam Dingit dalam hati. Roh leluhur pasti murka. Padahal menebang pohon untuk membuka lahan, kami mesti mengadakan aruh agar. Roh leluhur dan Dewa tidak murka (hlm.20).
Pada kutipan (55) menegaskan masyarakat Dayak Meratus percaya bahwa
membabat hutan tanpa upacara berarti akan terjadi bencana untuk membuka
ladang masyarakat harus mengadakan aruh agar roh leluhur tidak murka.
Kutipan (56) menegasakan pada masyarakat dayak di Malinau,
berpegangan tangan apalagi berciuman tidak boleh karena melanggar adat.
(56)“Kamu semakin cantik, Runi,” bisik Utay di telinga Aruni. “Lepaskan. Pamali ah!’’ Aruni terus meronta. Tidak apa-apa. Di Kandangan pelukan seperti ini biasa kalau tidak ada orang lain. Enak kan?” ujar Utay semakin nakal. Tidak boleh. Pamali. Dosa!Kita belum suami-istri kada boleh beginian.” Aruni ngotot ingin melepaskan diri(hlm. 75).
Kutipan (56) menggambarkan anak manusia yang telah terpengaruh
pergaulan kota dan membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat
sekitarnya. Masyarakat Malinau percaya berpegangan tangan saja tidak boleh
karena melanggar adat. Tapi tidak dengan Utay pergaulan kota telah
membentuknya menjadi pemuda nakal dan berani.
Kutipan (57) menggambarkan sikap cara berpikir, bersikap, serta pandangan
hidup masyarakat Dayak Meratus pada oarang luar.
(57)“Piyan datang dari jauh?” tanya penghulu sambil mengambil posisi duduk di sebelah sang tamu.” Tampaknya Piyan urang kota.”Inggih,” jawab tamu yang berpakaian rapi itu. Nama ulun Rohaimi. Ulun datang dari Kandangan.” Penghulu manggut-manggut.” Kalau tidak salah...” Ya, empat tahun yang lalu, tepatnya 1981, saya datang kemari bersama beberapa orang dari dinas sosial Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Penghulu masih ingat?” tutur Rohaimi. Seulas
37
senyuman tersungging di bibir Dinggit mengingat sebuah kesalahpahaman. Ia teringat bagaimana anak-anak dan perempuan segera bersembunyi takkala rom bongan Rohaimi tiba di Malinau. Sementara itu, para pemuda dan orang tua laki-laki menghunus parang, tombak, dan mandau. Mereka berjaga-jaga di depan balai. Bersikap seperti hendak berperang.Rohaimi dan kawan-kawannya ketakutan menghadapi kesiagaan warga Bidukun. Bahkan, seorang rekan Rohaimi lemas tak berdaya. Dalam benaknya tersesaki oleh horor tentang ayau atau pemenggalan kepala(hlm.12).
Pada kutipan (57) latar sosial terlihat pada saat rombongan Rohaimi datang
ke Malinau untuk pertama kalinya mereka disambut oleh parang, tombak, dan
mandau siap untuk berperang sebab masyarakat Dayak bukit percaya jika ada
orang luar masuk ke pedalaman berati akan membawa dampak yang buruk takut
jika orang-orang tersebut memenggal kepala suku bukit.
(58)“Kamu tidak tahu Utay. Siapa sebenarnya yang merusak hutan. Berapa pohon yang kita tebang? Dan berapa yang dibabat orang kaya dari kota itu? Lagi pula sudah beratus-ratus tahun kita buat ladang berpindah. Kita tidak bisa menggarap ladang tetap,” sanggah Dingit (hlm.142).
Pada kutipan (58) Dingit ayah Utay memberi nasehat pada Utay bahwa pola
hidup masyarakat Dayak Meratus sejak dari nenek moyang dahulu adalah ladang
berpindah dan Dingit kecewa pada perusahaan yang semena-mena merusak dan
membabat hutan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat bukit. Kutipan
(59) Aruni ingin memberi penjelasan kepada petugas PT. Rimba Nusantara
datang dan berunding dengan masayarakat di Malinau.
(59)“ Maaf, Pak, saya kira akan sia-sia kita bicara soal-soal teknis,” tukas Aruni. “ Kita belum mencapai kesepakatan. Bahkan, bagi kami, megerti pun belum. Sekali lagi saya tandaskan bahwa persoalannya tidak sesederhana itu. Kami bingung. Saya contohkan, beberapa penduduk Panggungan dan Hanuluk pernah dikirim oleh dinas pertanian ke Jawa untuk belajar menanam padi dengan sistem sawah. Setelah kembali, mereka dibawa ke daerah transmigran. Mereka diberi penjelasan bahwa dengan sistem sawah, produksi padi akan meningkat dua kali lipat dibanding dengan menanam padi di huma. Tapi mereka tetap saja bertani pada seperti semula. Tak ada perubahan (hlm.138).
38
Pada kutipan (59) Aruni memberi penjelasan mewakili suku bukit bahwa
tidak mudah mempengaruhi masyarakat bukit tentang cara menanam sengon,
sungkai, dan akasia di wilayah mereka sebab penduduk tidak akan lantas
menerimanya dengan kemampuan dan keterbatasan pengetahuan yang mereka
miliki serta pola hidup yang diwariskan secara turun-temurun akan memerlukan
proses yang panjang dalam mengubah pola pikir masyarakat suku bukit.
2.4 Rangkuman
Demikianlah hasil analisis struktur novel Menolak Panggilan Pulang
pada bab II ini. Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh Aruni
memiliki karakter polos, sabar, tegas, cepat tersinggung, berwawasan luas, polos,
setia dan dihantui rasa bersalah.. Tokoh Utay memilki karakter sombong,
terpelajar, gagah, keras kepala, tidak bertanggung jawab memiliki ambisi tinggi
dan pembohong. Tokoh Laur memiliki karakter tidak mau menangung malu dan
tegas. Latar yang digunakan dalam analisis ini adalah latar tempat, tempat
mengarah pada sungai, hutan, semak-semak, dan jalan setapak. Latar waktu,
mengarah pada tahun 1990 pada saat jalan tembus ke Malinau. Latar sosial,
menagarah pada kehidupan sosialnya, sistem mata pencaharian, kepercayaan, dan
adat-istiadat. Dari pembahasan bab II kecemasan tokoh Aruni terlihat sangat jelas.
Pada bab III penulis akan menganalisis apa saja kecemasan yang terdapat pada
tokoh Aruni.
39
BAB III
ANALISIS KECEMASAN TOKOH ARUNI
DALAM NOVEL MENOLAK PANGGILAN PULANG
Pada bab III, penulis akan menganalisis kecemasan apa saja kecemasan
yang terdapat dalam diri Aruni dengan menggunakan teori psikologi sastra. Hal
ini didasarkan pada alasan bahwa tokoh Aruni dalam Novel Menolak Panggilan
Pulang karya Ngarto Februana, banyak mengalami kecemasan. Analisis ini
meliputi bentuk dan penyebab kecemasan, adapun bentuk kecemasan menurut
Freud via Suryabrata (2006: 139) dan Albin (1986: 49) meliputi, 1) kecemasan
realitis adalah kecemasan akan ketakutan bahaya-bahaya dari luar, 2) kecemasan
neurotis adalah kecemasan yang menyebabkan seseorang melakukan hal yang
dilanggar dan mendapatkan sanksi, 3) kecemasan moral atau kata hati adalah
seseorang yang merasa berdosa jika melakukan kesalahan yang melanggar kode
moral dan mendapatkan hukuman, 4) cemas yang timbul akibat gusar keadaan
seseorang tampak bodoh, ditolak, ragu-ragu, marah, atau terlihat tidak dapat
menguasai diri, 5) cemas yang timbul akibat takut, perasaan dimana seseorang
yang tidak dapat menguasai diri karena dihantui rasa takut. Adapun penyebab
kecemasan menurut Mahmud (1999: 237) meliputi, 1) keinginan yang tidak
disetujui oleh orang tua maupun orang lain, 2) kebutuhan yang tidak disetujui oleh
orang tua atau orang lain, 3) ingatan yang tidak disetujui oleh orang tua atau orang
lain, 4) cemas yang terjadi terus-menerus, 5) kekhawatiran dan panik.
40
3.1 Bentuk Kecemasan
3.1.1 Kecemasan Realitis
Kecemasan yang terjadi akibat ada bahaya-bahaya dari luar adalah pada saat
Aruni menolak perusahaan Hutan Tanaman Industri masuk ke Malinau karena
secara tidak langsung akan mengubah pola hidup masyarakat setempat.
(59) )“ Maaf bapak-bapak sebaiknya kita tidak bicara soal keuntungan dulu. Tapi marilah kita pahami tentang pola hidup suku Bukit pada umumnya. Sejak nenek moyang, selama ratusan tahun, kami tidak pernah menanam tanaman untuk industri. Kami berburu, mengumpulkan hasil hutan, berupa rotan, bambu, kayu manis, kayu cendana. Selanjutnya kami menanam padi, ubi kayu, kacang tanah. Kami tahu padi jenis apa yang yang bisa ditanam pada situs-situs hutan tertentu. Kami mengenal lebih dari 50 macam jenis padi yang sesuai dengan sifat-sifat tanah hutan,” Aruni berhenti sejenak menghela napas. Sementara itu, para karyawan HTI terkesima terhadap penampilan Aruni yang tenang, berwibawa, dan dewasa, terlebih uraian yang disampaikan. “ Nah kalau kalian tiba-tiba kami disuruh menanam sengon, sungkai, dan akasia untuk keperluan industri kami kaget. Karena ini berarti mengubah pola hidup kami secara tiba-tiba. Juga mengubah pola pikir kami yang sederhana ini. Kami sepertinya tiba-tiba dipaksa berpikir tentang keuntungan, tentang adil untuk pembangunan. Ini membingungkan bagi kami Pak,”.(hlm.136).
Pada kutipan (59) Aruni memberi penjelasan kepada petugas HTI bahwa
kehidupan mereka yang semula bertani sangat sulit digantikan dengan menanam
sengon, sungkai, dan akasia yang secara tiba-tiba dapat merubah pola pikir
masyarakat Dayak di Malinau.
(61) “ Saya mengakui bahwa perubahan pola hidup menuju yang lebih baik tanpa meninggalkan kearifan itu perlu. Sekali lagi, tanpa menghilangkan kearifan. Maaf, pak, sejauh yang saya tahu, dari pengetahuan saya yang terbatas ini, masuknya industri perkayuan, perusahaan HPH, HTI, dan industri penambangan di beberapa wilayah Kalimantan ini telah menghilangkan kearifan adat. Juga terkikisnya tatanan kehidupan asli sebagai pedoman hidup sejak ratusan tahun yang lalu,” Aruni melanjutkan. Yang hadir terkesima. Tak disangka, Aruni bisa berkata seperti itu, yang menunjukan bahwa wawasan serta pengetahuan gadis pedalaman itu cukup luas. Termasuk penghayatannya tentang pola hidup sukunya (hlm.137).
41
Pada kutipan (61) Aruni ingin menegaskan bahwa dengan masuknya Hutan
Tanaman Industri ke wilayah Kalimantan secara tidak langsung telah
menghilangkan kearifan lokal kehidupan asli masyarakat Dayak yang sangat
dekat dengan adat.
(60) Maaf, Pak, saya kira akan sia-sia kita bicara soal-soal teknis,” tukas Aruni. “ Kita belum mencapai kesepakatan. Bahkan, bagi kami, mengerti pun belum. Sekali lagi saya tandaskan bahwa persoalannya tidak sesederhana itu. Kami bingung. Saya contohkan, beberapa penduduk Panggungan dan Hanuluk pernah dikirim oleh dinas pertanian ke Jawa untuk belajar menanam padi dengan sistem sawah. Setelah kembali, mereka dibawa ke daerah transmigran. Mereka diberi penjelasan bahwa dengan sistem sawah, produksi padi akan meningkat dua kali lipat dibanding dengan menanam padi di huma. Tapi mereka tetap saja bertani pada seperti semula. Tak ada perubahan. Sekali lagi saya katakan, masalahnya bukan sekedar teknis, bukan keuntungan, melainkan sosial budaya, masalah pola pikir (hlm.138).
Pada kutipan (60) Aruni memberi penjelasan kepada petugas Tanaman
Industri bahwa masyarakat suku bukit adalah masyarakat yang pola pikirnya sulit
untuk diubah. Hidup dengan ladang berpindah adalah salah satu mata pencaharian
mereka.
3.1.2 Kecemasan Neurotis
Kecemasan yang menyebabkan seseorang melakukan hal yang dilanggar
dan mendapatkan sanksi. Ini terlihat pada kutipan (61)
(61)Tetapi di sudut hatinya, perasaan berdosa menghantuinya, ancaman kutukan Dewa seakan mengintipnya. Ia tahu perbuatan itu pamali. Ia menyadari bahwa roh leluhur bisa murka dan akan menimpakan hukuman. Ia juga paham bahwa kecaman akan bermunculan jika diketahui orang lain, apalagi jika ayahnya yang seorang kepala adat itu mengetahuinya. Aruni juga sadar akan kedudukannya di mata masyarakatnya (hlm.89-90).
Pada kutipan (61) kecemasan Aruni akan perasaan dosa menghantui Aruni
bagaimana jika prilakunya diketahui oleh orangtua serta penduduk di Malinau
mengetahui perbuatannya kecaman pasti akan datang pada dirinya.
42
3.1.3 Kecemasan Moral atau Kata Hati
Kecemasan jika seseorang melakukan kesalahan merasa berdosa atau
melanggar norma-norma yang berlaku dan mendapatkan hukuman. Pada kutipan
(62) Aruni diberi peringatan oleh ayahnya agar ia tidak melakukan kesalahan yang
sama.
(62) Kita ke Bukit pemujaan,” ujar penghulu pelan. Ke bukit pemujaan ?” Aruni tak mengerti maksudnya.
“ Ya jawab ayahnya, dingin. “ Ada masalah apa, ayah?” tanya Aruni, bingung. “ Kamu adalah anak kepala adat. Ingat itu. Ayah bangga padamu, kamu jadi kebanggaan warga Malinau, karena wawasan dan keterampilan serta pengabdianmu untuk kesejahteraan Malinau. Jadi teladan. Untuk itu, jagalah dirimu baik-baik, terutama dalam menjalin hubungan dengan Utay. Jangan sampai melakukan perbuatan pamali,” ujar penghulu Jalay, penuh wibawa Aruni pun pucat seketika. Tanpa tertuduh secara langsung, ia sudah merasa tertuduh secara telak. Langsung ke lubuk hatinya. Tubuhnya gemetaran. Matanya berkaca-kaca. Gejolak di dalam dadanya yakni, cemas, takut, merasa berdosa, menyesal tak mampu dibendung. Tanggul itu pun jebol, dan iapun menangis. “ kehormatan dan kemuliaan adat yang bisa kita pertahankan sekarang,” tegas Laur ( hlm. 120-121).
Pada kutipan (62) Aruni takut ketika mendengar bahwa ayahnya mengetahui
hubungan yang selama mereka rahasiakan Aruni tidak kuasa berbohong dan
tangisnya pun tumpah.
3.1.4 Cemas yang Timbul Akibat Gusar
Rasa cemas yang timbul akibat kegusaran adalah keadaan di mana
seseorang tampak bodoh, ditolak, ragu-ragu, marah, atau terlihat tidak dapat
menguasai diri. Hal ini terlihat pada pada kutipan (63)
(63)Aruni hanya geleng-geleng kepala “Runi, kalau kamu jadi istriku nanti, kamu tinggal di Rantau, jika aku nanti ditempatkan di sana. Kamu pasti senang tinggal di kota. Ramai dan banyak hiburan. Penduduknya maju. Modern. Tidak seperti di Bukit. Primitif!”. Aruni terbelalak. Hatinya kembali tertoreh perih seperti tempo hari takkala Utay menyebut sukunya sebagai suku terbelakang dan bodoh, sebagaimana orang Dayak Meratus. Aruni merasa tersinggung pancaran matanya menunjukan ketidaksukaannya
43
terhadap omongan Utay yang terlalu menyimpang dari adat yang diyakininya (hlm.93).
Pada kutipan (63) Aruni benci dengan perkataan Utay yang menghina
sukunya sendiri, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka suku yang
terbelakang, tapi perkataan Utay membuat Aruni hatinya terluka dan marah.
(64) Aruni adalah seorang calon istri penghulu Balai Bidukun. Terlebih lagi ia adalah seorang calon balian! Calon balian perempuan untuk pengobatan secara tradisional dan ritual, yang kelak akan berhubungan dengan alam patilarahan. Bisa berkomunikasi dengan para roh leluhur. Jika Dewa dan roh nenek moyang marah karena ia melanggar adat dan tata susila, apakah akan tercapai upayanya untuk menjadi balian? (hlm.119).
Kutipan (64) menjelaskan bahwa selain pintar dan dianugerahi kecantikan
Aruni juga di beri kepercayaan oleh ayahnya menjadi seorang balian atau dukun
wanita di balai Jalay, tetapi karena ia melanggar adat susila ia tidak yakin jika ia
akan diampuni oleh roh leleuhur dan ia juga ragu apakah roh leluhur akan
merestuinya.
(65) Saya hamil Utay. Tak kusangka jika kejadian di sungai itu, yang baru pertama kita lakukan karena kita tak mampu lagi memgendalikan dorongan nafsu, telah membuahkan janin .” ujar Aruni menyesal. Aruni semakin panik. Dewa dan roh nenek moyang tak akan mengampuninya. Berciuman saja dianggap pamali, akan kena parid, dan karenanya akan dihukum. Apalagi bersetubuhan diluar pernikahan. “ lantas, apa yang mesti kita lakukan?” utay pun turut panik. “ Saya tidak tahu. Saya pasrah.” Aruni menunduk gadis yang dicintai dengan penuh iba dan rasa bersalah. Kini makin membukitlah rasa bersalahnya. Aruni menatap dengan sayu dan pasrah. “ kita sama-sama hancur. Selamat berpisah.” Aruni membalikan badan, dan berlalu meninggalkan halaman balai (hlm. 199).
Kutipan (65) menggambarkan bahwa Aruni pasrah dengan segala keadaan
yang menimpa dirinya termasuk kehamilannya. Rasa bersalah dan menyesal
membukit dalam diri Aruni kehancuran sudah di depan mata.
44
3.1.5 Cemas yang Timbul Akibat Takut
Cemas yang timbul akibat seseorang tidak dapat menguasai diri. Hal ini
terlihat pada saat Aruni mengetahui dirinya hamil.
(66) Yang selama ini ditakutkannya tampaknya telah tiba. Suatu pagi, takkala Aruni bangun tidur, kepalanya terasa pening dan perutnya mual-mual. Tak lama kemudian rasa mual itu hilang. Lalu datang lagi. Ketika Aruni pergi ke sungai untuk mandi, ia muntah-muntah. Dan yang mencemaskan sudah satu minggu ini haidnya terlambat. Ia tak pernah mengalami keterlambatan itu, selalu rutin setiap tanggal satu. Aruni panik. Aruni merasa akan aib itu dan tak lama lagi semua orang akan tahu. Lalu dirinya akan tercampak sebagai manusia paling nista di Malinau, mungkin di Perbukitan Meratus ini. Roh leluhur akan mengutukinya dan Dewa akan memuntahkan murkanya (hlm.192).
Kutipan (66) menggambarkan kecemasan Aruni yang paling ia takuti dari
yang lain yakni ketika ia mengetahui dirinya terlambat datang bulan, muntah-
muntah, dan hamil hal ini sangat mengkhawatirkan bagi dirinya dan ketakutanya
jika ia akan dicampakan oleh masyarakat di Malinau.
3.2 Penyebab Kecemasan
3.2.1 Keinginan yang Tidak Disetujui Oleh Orang Tua atau Orang Lain
Aruni tidak dapat menghindar ketika Utay mengajaknya bercinta, keinginan
untuk melakukannya lagi terbayang dalam benak Aruni
(67) Dalam benak Aruni muncul bayangan peristiwa yang telah dilewati bersama. Ia ingat masa kecilnya, pada saat Utay berangkat menuju Kandangan dengan rakit bambu yang diantarkan oleh warga Malinau dan pertemuan mereka berikutnya telah memberikan suasana lain. Dan kenangan hari-hari yang menyesakkan oleh kerinduan, takkala ia menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta pada Utay. Hati Aruni terkuak untuk merangkum cinta Utay sepenuhnya. Hari-hari manis dilalui bersama, diiringi senandung hutan belantara, bersama desah napas pepohonan dan rumpun-rumpun bambu, disirami sejuknya air sungai Amandit dan naungan berkah Dewa (hlm.182).
Pada kutipan (67) menegaskan bahwa ingatan kenangan manis pada saat
Aruni bersama Utay.
45
3.2.2 Kebutuhan yang Tidak Disetujui Oleh Orang Tua atau Orang Lain
Kutipan (68) menggambarkan rasa nyaman Aruni ketika berada di sisi Utay
terutama pada saat
(68) “ Aku ingin mencium bibirmu,” cetus Utay makin nakal. “Kada boleh. Pamali! Nanti roh nenek moyang murka. Kalau ketahuan kita bisa dihukum cambuk oleh penghulu. “ Jangan, Utay.” Berbagai perasaan bercampur aduk. Antara rasa nikmat oleh cumbuan Utay dan perasaan takut akan kutukan Dewa. “ Sebaiknya kamu langsung pulang. Aku malu pada orang Jalay. Nanti dikira kita melakukan apa-apa, karena kita mandi saja berduan di sungai,” ujar Aruni memberanikan diri (hlm.76-77). Kutipan (68) menjelaskan Aruni perasaan nikmat cumbuan Utay kepada
Aruni, tetapi rasa takut menghantui Aruni
3.2.3 Ingatan yang Tidak Disetujui Oleh Orang Tua atau Orang Lain
Kutipan (69) menggambarkan kegalauan hati Aruni ketika ayahnya
memutuskan hubungan dengan Utay.
(69) “ Utay terkutuk! penghianat kaum sendiri!” seru penghulu jalay keras. “ Aku kecewa padanya. Ia yang dibangga-banggakan Malinau, kebanggan suku Bukit, ternyata tega menyakiti sukunya sendiri demi membela orang lain. Utay tak tahu diri dan lupa akan asal-usulnya. Pengghulu Jalay menggelengkan kepala. Memalukan. Kita warga Jalay akan malu jika salah seorang putri Jalay menjadi istri seorang penghianat suku. Perbuatan Utay tidak terpuji dan aib. Maka, demi Dewa dan roh leluhur, putuskan hubunganmu dengan Utay. Kita batalkan perjodohan ini meskipun kita harus membayar denda.” (hlm.188).
Kutipan (69) menjelaskan bahwa ayah Aruni memutuskan hubungan
perjodohan antara Utay dan Aruni hal ini dikarenakan ayah Aruni mengetahui
bahwa Utay tidak setia pada suku bukit dan lebih memihak orang luar tanpa
memperhatikan kesejehteraan suku bukit, meskipun pihak Aruni harus
menanggung akibatnya dengan membayar denda.
46
3.2.4 Cemas yang terjadi Terus-Menerus
Cemas yang disebabkan panik yang di alami oleh seseorang akan peristiwa-
peristiwa yang terjadi dan tidak menentu yang ditandai oleh jantung berdebar,
denyut nadi berjalan cepat, sukar bernafas, dan menelan. Pada kutipan (70)
Kecemasan yang dirasakan Aruni adalah setiap kali ia membayangkan dan
menginginkan untuk menjalin cinta dengan Utay. Hal ini terdapat dalam kutipan
(70)
(70)“ Tidak boleh. Pamali. Dosa kita bukan suami-istri. Kada boleh beginian.” Aruni ngotot ingin melepaskan diri. “ Ah, tidak ada yang pamali. Yang penting mesra.” Utay kian mempererat dekapannya dan kali ini ia menciumi leher Aruni. Aruni terengah-engah. Bulu kuduknya merinding. Sekujur tubuhnya merinding. Dan desah nafasnya bergelora tak teratur. “ Aku ingin mencium bibirmu,” cetus Utay makin nakal. “Kada boleh. Pamali! Nanti roh nenek moyang akan murka. Kalau ketahuan kita bisa dihukum cambuk oleh penghulu. Jangan, Utay.” Berbagai perasaan bercampur aduk. Antara rasa nikmat oleh cumbuan Utay dan kutukan Dewa (hlm.76).
Kutipan (70) menjelaskan perasaan cemas, ketika Utay mencumbuinya
perasaan berdosa, nikmat, takut akan kutukan Dewa, serta larangan adat
menghantuinya.
(71 ) “Jangan, Utay. Nanti ketahuan orang lain. Nanti kita bisa dihukum lagi. Disuruh minta ampun kepada Dewa di rumah pemujaan,” Aruni beralasan. “ Tak ada orang lain, “selain kita,” Utay meyakinkan keadaan aman. “ Tapi aku takut akan murka Dewa dan kutukan roh leluhur.”. “Tapi kamu suka, bukan?” Aruni mengangguk (hlm.152).
Kutipan (71) Aruni terbayang saat-saat indah yang ia lalui bersama Utay.
Saat mereka melakukan adengan ciuman untuk pertama kalinya hingga terus
berlanjut serta perasaan dosa yang menghantui diri Aruni. Dan di sudut hatinya ia
takut jika ayahnya yang seorang penghulu juga harus menanggung malu atas
perbuatannya.
47
3.2.5 Kekhawatiran dan Panik
Cemas ini yang terjadi karena tanda-tanda ketakutan dan rangsangan emosi
sebagai bentuk dari reaksi kekecewaan dan meyebabkan seseorang menghindar
dari masalah-masalah yang di hadapi.
Kutipan (72) Aruni merasa hidupnya tidak seindah dulu kekhawatiran
Aruni semakin memuncak ketika Aruni menyaksikan Utay mulai tidak disukai
oleh warga di Malinau.
(72)“Kamu mencintainya, bukan?”Bu Salabiah hanya menghendaki penegasan “ Inggih. Kami sudah sering membicarakan soal perkawinan. Tapi Utay selalu mengulur-ulur waktu. Dan kejadian siang tadi bisa merusak hubungan kami. Saya khawatir orang tua saya tidak simpati lagi kepadanya. Saya takut pendirian ayah berubah, ungkap Aruni masih terisak (hlm.183).
Kutipan (72) menggambarkan suasana hati Aruni sebagai seorang wanita
Aruni tidak sanggup untuk menahan emosi jiwanya dan ia tidak sanggup untuk
menjalani semuanya sendiri, ia pun menceritakan kehidupan pribadinya dengan
Ibu Salabiah ibu guru yang telah dikenalnya sejak lama mengenai hubungan yang
terjalin antara ia dan Utay.
(73)Aruni merasa kakinya lemas. Tubuhnya terasa ringan, dan betul-betul pasrah sekarang. Kini ia merasakan betul-betul jatuh dari puncak kekaguman dan kebangggan ke jurang kehinaan dan cela. Malinau jelas akan terpukul oleh kenyataan ini, perempuan muda yang dianggap sebagai titisan Dewi Cahaya, yang sangat dibanggakan, jadi teladan, yang mengajarkan berbagai keterampilan, yang turut menjadi guru di sekolah dasar, yang sering memberikan penyuluhan itu telah melakukan dosa besar yang bisa kena kutukan Dewa. Sekarang ia tak lebih dari obor tanpa nyala dan tak seorang pun berniat menayalakannya. Ia menyesali diri. Menyesali tanah terasing yang telah dimilikinya. Dunianya sudah runtuh (200-201).
Kutipan (73) menjelaskan kembali bahwa Aruni wanita yang dahulu di puja-puja
kini jatuh dalam kenistaan ia bukan lagi Aruni yang cantik, pintar, dan dikenal banyak
orang kini ibarat obor yang tidak bernyala karena perbutannya karena kutukan dewa.
48
3.3 Rangkuman
Dari hasil analisis bab III dapat disimpulkan akibat kecemasan dan
bentuk-bentuk kecemasan dalam novel Menolak Panggilan Pulang. Bentuk
kecemasan ada lima, 1) Cemas realitis cemas akibat adanya bahaya-bahaya dari
luar, rasa cemas yang dialami oleh Aruni yaitu masuknya Hutan tanaman Industri
yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pola pikir masyakat Malinau, 2)
kecemasan neurotis cemas yang di alami oleh Aruni perasaan dosa karena
melanggar adat dan sanski ancaman kutukan Dewa, perasaan cemas ketika
ayahnya mengetahui ia berciuman dengan Utay di sungai, 3) kecemasan moral
atau kata hati cemas yang timbul akibat seseorang tampak bodoh, ditolak, ragu-
ragu, marah dan tidak dapat menguasai diri, hal ini terlihat pada saat Utay
menghina sukunya sendiri, sehingga membuat Aruni marah, 3) cemas akibat
gusar, cemas yang dialami Aruni ketika ia harus menghadapi sikap Utay yang
memaksa Aruni untuk bercinta, cemas akibat takut, cemas ketika Aruni
mengetahui bahwa dirinya hamil, 4) cemas yang terjadi terus-menerus, perasaan
ketika Utay mencumbuinya dengan perasaan nikmat, takut akan kutukan Dewa, 5)
Penyebab kecemasan ada lima 1) keinginan yang tidak disetujui oleh oraang tua
atau orang lain, 2) kebutuhan yang tidak disetujui oleh orang tua atau orang lain,
3) ingatan yang tidak disetujui oleh orang tua dan orang lain 4) cemas yang
terjadi terus-menerus, perasaan ketika Utay mencumbuinya dengan perasaan
nikmat dan takut akan kutukan Dewa, 5) kekhawatiran dan panik terjadi ketika
Aruni menceritakan pergulatan hatinya kepada ibu Salabiah.
49
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hasil penelitian novel Menolak Panggilan Pulang karya Ngarto Februana
dapat disimpulkan sebagai berikut. Novel Menolak Panggilan Pulang
mengangkat masalah kehidupan Aruni mulai dari kehidupan percintaan sampai
hubungan Aruni dengan masyarakat di Malinau yang mengandung unsur
kecemasan dan kecemasan Aruni itu menjadi masalah bagi Aruni, sebagai tokoh
utamanya.
Unsur intrinsik yang dibahas dalam penelitian ini adalah tokoh, penokohan, dan
latar.
1. Berdasarkan fungsi tokoh dalam novel ini Aruni berperan sebagai tokoh
utama (protagonis), tokoh tambahan atau tokoh bawahan Utay dan Laur.
Tokoh Utay (antagonis) dalam novel ini Utay, tokoh Utay dan Laur
menyebabkan kecemasan dalam diri Aruni.
2. Latar dapat disimpulkan dalam tiga jenis, yaitu latar waktu, latar tempat,
latar sosial. Latar waktu mengarah pada kapan tejadinya peristiwa dalam
novel ini latar waktu yang digunakan dalam novel Menolak Panggilan
Pulang adalah tahun, pagi, siang, sore, malam dan tahun. Latar tempat
dominan di Malinau yaitu di balai Bidukun dan balai Jalay, sungai, dan
hutan, dan semak-semak. Latar sosial mengarah pada keadaan sosial
kehidupan masyarakat Malinau, adat-istiadatnya bahasa, sistem
kepercayaan serta pandangan hidup.
50
3. Analisis bentuk kecemasan meliputi 1) kecemasan realitis, cemas yang
terjadi akibat bahaya-bahaya dari luar, 2) kecemasan neurotis, cemas yang
memyebabkan seseorang melakukan hal-hal yang dilanggar dan
mendapatkan sanksi, 3) kecemasan moral atau kata hati, cemas yang
terjadi bila seseorang melakukan kesalahn merasa berdosa atau melanggar
norma-norma yang berlaku dan mendapatkan hukuman, 4) cemas yang
timbul akibat gusar, cemas dimana seseorang tampak bodoh dan tidak
dapat menguasai diri, 5) cemas yang timbul akibar takut, cemas di mana
seseorang tidak dapat menguasai diri dan terus dihantui rasa taku.
4. Analisis penyebab kecemasan meliputi 1) keinginan yang tidak disetujui
oleh orang tua atau orang lain, 2) kebutuhan yang tidak disetujui oleh
orang tua atau orang lain, 3) ingatan yang tidak disetujui oleh orang tua
atau orang lain, 4) cemas yang terjadi terus-menerus, cemas yang
disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi ditandai oleh jantung
berdebar, denyut nadi berjalan cepat, sukar bernafas dan menelan, 5)
kekhawatiran dan panik, cemas yang terjadi karena tanda-tanda dan
rangsangan emosi sebagai bentuk reaksi kekecewaan dan menyebabkan
seseorang menghindar dari masalah yang dihadapi.
51
4.2 Saran
Demikianlah penelitian yang berjudul kecemasan tokoh Aruni dalam novel
Menolak Panggilan Pulang karya Ngarto Februana. Novel ini masih banyak
memiliki permasalahan yang dapat digunakan untuk penelitian salah satunya
tradisi balian pada masyarakat dayak Meratus di pedalaman Kalimantan Selatan
dalam novel Menolak panggilan Pulang dengan menggunakan pendekatan
antropologi.
52
Daftar Pustaka
Albin, Rochelle Semmel. 1986. Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya. Terjemahan. Sr. M. Brigid, OSF. Yogyakarta. Kanisius.
Dick Hartoko dan B.Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia sastra. Yogyakarta:
Kanisius Endraswara, Suwardi. 2003. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama. Mahmud, Dimyanti. 1989. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Dapartemen
Pendidikan dan Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan.
Ngarto Februana. 2000. Menolak Panggilan Pulang. Yogyakarta: Media
Pressindo. Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori dan Metode Pengkajian Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. Rene Wellek dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Suryabrata, Sumadi. 2006. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Sumardjo, Jacob. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
53
Sinopsis
Malinau adalah salah satu desa di antara 13 desa yang tersebar terpisah di
Kecamatan Loksado, di Perbukitan Meratus Kalimantan Selatan. Sebuah desa
yang akrab dengan suara kera-besar-hitam berbuntut panjang yang disebut
birangan, kicau burung, gesekan batang-batang bambu, gemericik air sungai, desa
yang jauh dari hiruk-pikuk kota, bersih dari segala macam pencemaran. Malinau
desa terpencil di antara hutan bambu, hutan karet, una atau ladang-ladang padi,
dan bukit ilalang. Seperti juga desa-desa lain di wilayah Malinau, sebuah desa
adat yang menjadikan jalan setapak sebagai penghubung antara desa satu dengan
desa lainnya melewati hutan dan bukit.
Malinau adalah salah satu desa di antara 13 desa yang tersebar terpisah di
Kecamatan Loksado, di Perbukitan Meratus Kalimantan Selatan. Sebuah desa
yang akrab dengan suara kera-besar-hitam berbuntut panjang yang disebut
birangan, kicau burung, gesekan batang-batang bambu, gemericik air sungai, desa
yang jauh dari hiruk-pikuk kota, bersih dari segala macam pencemaran. Malinau
desa terpencil di antara hutan bambu, hutan karet, una atau ladang-ladang padi,
dan bukit ilalang. Seperti juga desa-desa lain di wilayah Malinau, sebuah desa
adat yang menjadikan jalan setapak sebagai penghubung antara desa satu dengan
desa lainnya melewati hutan dan bukit.
Di Malinau ada tiga buah Balai, yakni balai Bidukun, balai Jalay dan balai
Padang. Balai atau lamin atau disebut juga Betang adalah rumah adat suku Dayak
Meratus. Bentuknya berupa panggung panjang, yang panjangnya mencapai 180
meter dengan lebar 9 meter hingga 18 meter. Tiang-tiang balai terbuat dari kayu
54
ulin. Kolong balai dijadikan kandang babi dan atapnya terbuat dari daun rumbia.
Setiap balai merupakan cetusan prinsip hidup yang penuh kerukunan, persatuan,
kebersamaan, dan kewaspadaan. Balai-balai tersebut dihuni oleh 10 sampai 50
kepala keluarga. Malinau adalah salah satu satu contoh pemukiman di Kalimantan
yang masih terisolir. Masyarakat di Malinau sangat mempertahankan adat yang
diwariskan oleh leluhurnya dengan sistem kepercayaan animisme. Alam adalah
aset yang sangat berharga bagi masyarakat Dayak di pedalaman Malinau dan
menyatu dalam kehidupan kehidupan mereka.
Aruni dan Utay adalah sepasang kekasih, mereka dijodohkan sejak masih
kecil perjodohan antar-balai, setelah Utay menyelesaikan sekolahnya di kota
banyak perubahan yang terjadi pada Utay, perubahan sikapnya membuat Aruni
cemas. Utay yang ia kenal semasa kecil sangat berbeda dengan Utay yang ia kenal
sekarang, ia mulai melupakan dari mana dirinya berasal, melupakan adat-istiadat
di Malinau. Aruni adalah wanita cantik yang polos, pintar, berwawasan luas,
setia, selalu dihantui rasa bersalah, cepat tersinggung, dan pemaaf.
Sebagai seorang calon istri Utay Aruni merasa khawatir apa yang akan
terjadi dengan Utay. Ia mulai tidak disukai oleh orang-orang di Malinau dan tidak
diterima oleh masyarakat masyarakat setempat karena sikapnya yang sombong.
Hal inilah yang mendorong Aruni untuk memberi penyadaran pada Utay.
Hubungan Aruni dan Utay semakin intim setiap kali Utay pulang ke Malinau
untuk berlibur dan setelah ia menyelesaikan sekolah dan bekerja, gaya pacaran
mereka layaknya seperti orang kota, mereka beberapa kali melakukan hubungan
intim. Aruni tidak kuasa menolak setiap kali Utay mengajaknya berhubungan
55
intim. Di Malinau ia satu-satunya wanita sebayanya yang tamat Sekolah Dasar.
Setelah tamat Sekolah Dasar ia mengikuti berbagai kursus seperti memasak,
menjahit, menganyam termasuk menjadi guru bantu di Malinanu. Ia mengajar
wanita-wanita dan remaja putri di balai Bidukun, Padang, dan Jalay seperti
menganyam, memasak, serta memberikan penyuluhan mengenai pentingnya
kesehatan. Dalam keadaan terdesak pun Aruni adalah sosok wanita yang sabar
dan tetap mencintai Utay, ketika ia harus menerima kenyataan bahwa Utay
dibenci oleh masyarakat di Malinau dan orangtua Aruni tidak menyetujui dibenci
oleh masyarakat di Malinau dan orangtua Aruni tidak menyetujui hubungan
mereka setelah mereka tahu Utay adalah pembawa masalah di Malinau.
49
Biografi Penulis
Agustina lahir di Jerora Satu Sintang, 1 Agustus 1985
menempuh pendidakan sekolah dasar di SD Negri 21 Nobal,
(1992-1999). Pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di
SLTP Panca Setya 2, Sintang (1999-2001). Pendidikan
sekolah menengah umum di SMU Nusantara Indah, Sintang (2001-2004). Meraih
gelar sarjana sastra dari Universitas Sanata Dharma pada tahun 2010 dengan
skripsi yang berjudul Kecemasan Tokoh Aruni dalam Novel Menolak Panggilan
Pulang Karya Ngarto Februana Pendekatan Psikologi Sastra.