Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

32
Acara I FERMENTASI SUBSTRAT PADAT FERMENTASI KECAP LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI ` Disusun oleh: Nama: Rr. Ernadya Eka P. NIM: 12.70.0176 Kelompok: A5 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

description

Pembuatan kecap dengan menggunakan kedelai hitam dengan cara fermentasi koji dan fermentasi moromi. Dengan penambahan bumbu-bumbu yang membuat cita rasa kecap.

Transcript of Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

Page 1: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

FERMENTASI SUBSTRAT PADATFERMENTASI KECAP

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

` Disusun oleh:

Nama: Rr. Ernadya Eka P.

NIM: 12.70.0176

Kelompok: A5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Hasil Pengamatan Karakter Sensoris KecapKel Perlakuan Aroma Warna Rasa Kekentalan

A10,5% inoculum + cengkeh 1 gram

++ ++ +++ ++

A20,5% inoculum + cengkeh 1 gram

++ + ++ +

A30,75% inoculum+ daun serai 1

buah+ + ++ +

A41 % inoculum +

daun serai 1 buah+ + ++ ++

A51% inoculum +

pala 1 buah++ ++ +++ ++

Keterangan:Aroma: Rasa: Kekentalan: Warna:+ : kurang kuat + : kurang manis + : kurang kental + : kuranghitam++ : kuat ++ : manis ++ : kental ++ : hitam+++ : sangat kuat +++ : sangat manis +++ : sangat kental +++ : sangat hitam

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa rata-rata hasil sensoris kecap menunjukkan

hasil yang berbeda-beda. Pada kelompok A1 penambahan inoculum 0,5% serta bumbu

1 gram cengkeh dan A5 inokulum 1 % dan penambahan bumbu 1 buah pala

mendapatkan hasil kecap yang sama dengan aroma, warna, dan kekentalan yang paling

baik diantara kelompok A2, A3, dan A4. Sedangkan hasil sensori paling bawah atau

rasa kurang, warna kurang, dan kekentalan kurang ada pada kelompok A3 dengan

inoculum 0,75% dan daun serai 1 buah.

1

Page 3: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

2. PEMBAHASAN

Kecap merupakan makanan tradisional yang dibuat dengan proses fermentasi kacang

kedelai atau bias juga jenis kacang lainnya. Bentuk kecap cair dengan warna coklat

sampai hitam serta memiliki kisaran pH 4,9-5,0. Kecap biasa digunakan untuk

memperkuat flavor dan memberikan warna pada makanan. Kecap terbuat dari

komponen yang memiliki berat molekul rendah dan kelarutan dalam airnya tinggi

(90%) (Rahman, 1992). Kecap di Indonesia dibagi menjadi 2, yaitu kecap manis dan

kecap asin. Kandungan pada kecap manis adalah gula palma dalam jumlah banyak (26-

61%) dan garam dalam jumlah sedikit (3-6%) dan memiliki konsistensi sangat kental.

Kecap asin memiliki konsistensi warna yang encer dan warna yang lebih muda, serta

mengandung sedikit gula palma (4-19%) tetapi mempunyai kandungan garam yang

tinggi (18-21%) (Judoamidjojo, 1987). Proses pembuatan kecap dibagi menjadi 3 cara,

yaitu secara fermentasi, hidrolisis kimia, atau kombinasi antara keduanya (Winarno et

al, 1980).

Pada praktikum ini, membahasa mengenai proses pembuatan kecap dengan

menggunakan metode fermentasi. Prinsip pembuatan kecap dengan metode fermentasi

yaitu memecah senyawa makromolekul kompleks yang terkandung didalam kedelai

menjadi senyawa yang lebih sederhana. Misalnya protein berubah menjadi peptida dan

asam amino; lemak menjadi asam lemak; dan karbohidrat menjadi monosakarida.

Pemecahan senyawa-senyawa tersebut akan menentukan aroma, rasa, flavor, dan

komposisi dari kecap yang terbentuk (Hardjo, 1964). Purwoko & Handjajani (2007)

menambahkan bahwa kecap yang dibuat melalui metode ini memiliki cita rasa dan

aroma yang lebih digemari oleh konsumen.

Pembuatan kecap secara fermentasi dibagi menjadi 2 tahap, tahap pertama adalah

fermentasi dengan kapang (koji) dan tahap kedua adalah fermentasi dengan larutan

garam (moromi). Pada kedua tahap fermentasi tersebut akan terjadi perubahan-

perubahan biokimiawi (Judoamidjojo, 1987). Selama proses fermentasi koji, maupun

fermentasi moromi akan terjadi kenaikan total nitrogen terlarut, padatan terlarut dan

gula pereduksi, serta pembentukan pH kecap pada angka 4,9-5,0 (Rahman, 1992).

2

Page 4: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

Shin et al (2007) dalam jurnalnya yang berjudul

3

Page 5: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

4

“Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders in Rats using

Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract” menambahkan bahwa pada saat

fermentasi kapang (koji), protein dan karbohidrat akan mengalami degradasi oleh enzim

protease, enzim peptidase (termasuk gluminase), dan enzim amilase turunan dari koji

tersebut.

Beberapa jenis kapang yang berperan dalam proses fermentasi koji pada kecap,

diantaranya yaitu Aspergillus soyae, Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, dan

Rhizopus sp menghasilkan enzim protease (Astawan & Astawan, 1991). Selain enzim

protease, terdapat beberapa khamir yaitu seperti Zigosaccharomyces sp. dan Hansenula

sp. selama fermentasi koji akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti 4-etilguakol, 4-

etilfenol dan 2-fenil etanol yang mempunyai peran untuk membentuk citarasa dari

kecap. Mikroorganisme bakteri yang memiliki peran penting dalam fermentasi kecap

seperti Lactobacillus delbruckii (merupakan golongan bakteri asam laktat). Bakteri

asam laktat memproduksi asam-asam organik, seperti asam laktat, asam suksinat, asam

fosfat, dan asam asetat yang memiliki peran untuk membentuk citarasa, warna, dan

umur simpan (Kasmidjo, 1990). Rahman (1992) menambahkan bahwa kapang, khamir,

atau bakteri yang ada pada lingkungan pembuatan kecap dapat terlibat di dalam

fermentasi kecap secara alami.

Menurut Santoso (1994), pada pembuatan kecap terdiri dari 4 tahap, yaitu perebusan biji

kedelai yang telah disortir, penjamuran, penggaraman, dan perebusan akhir. Seperti

yang sudah disebutkan diatas bahwa fermentasi kecap dibagi menjadi 2 tahap yaitu,

fermentasi koji dan fermentasi moromi. Oleh karena itu langkah kerja proses fermentasi

kecap yang dilakukan saat praktikum ini juga digolongkan menjadi 2 tahap tersebut.

Tahap perebusan dan penjamuran termasuk dalam fermentasi koji, sedangkan tahap

penggaraman dan perebusan akhir termasuk dalam fermentasi moromi.

2.1. Fermentasi Koji

Pada fermentasi koji, langkah kerja yang dilakukan yaitu pertama-tama kedelai yang

masih memiliki kulit ari direndam selama 1 malam. Setelah 1 malam dan kedelai mekar

atau terkelupas kulitnya kedelai kemudian dicuci, dibuang kulit arinya, lalu ditiriskan

Page 6: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

5

hingga kering. Selanjutnya kedelai direbus hingga matang, lalu ditiriskan diatas tampah

yang dilapisi dengan daun pisang yang telah dibersihkan dengan alcohol hingga kering.

Kedelai kemudian diletakkan di dalam besek yang sebelumnya dilapisi dengan daun

pisang yang sudah dibersihkan dengan alcohol pula, lalu ditambahkan inokulum

komersial untuk tempe dengan konsentrasi 0,5% (Kelompok A1 & A2); 0,75%

(Kelompok A3 dan 1% (Kelompok A4 dan A5). Setelah diikonulasi, besek ditutup dan

diinkubasi selama 3 hari.

Proses perendaman kedelai selama 1 malam mempunyai tujuan untuk membantu proses

pelepasan kulit ari dari biji kedelai dan untuk melunakkan biji kedelai. Hal ini sesuai

dengan teori dari Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa pada biji kedelai

memerlukan proses perendaman sehingga proses penghilangan kulit ari menjadi lebih

mudah. Proses perendaman harus dilakukan menggunakan jumlah air yang melimpah

agar kedelai dapat menyerap air dan beratnya meningkat menjadi 2-3 kali lipat. Tortora

et al (1995) menambahkan bahwa tujuan dilakukannya proses perendaman kedelai

untuk menghidrasi air ke dalam biji kedelai sehingga pada proses pemasakan biji

kedelai dapat berjalan lebih singkat karena biji kedelai menjadi lebih lunak.

Setelah kedelai bersih dari kulit ari, kemudialn kedelai direbus hingga matang. Proses

perebusan kedelai bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme kontaminan

pada kedelai dan untuk mengurangi bau langu dari kedelai. Hal ini sesuai teori dari

Tortora et al (1995) bahwa proses perebusan biji kedelai memiliki tujuan untuk merusak

protein inhibitor, membantu pelunakkan biji kedelai, menginaktifkan zat-zat antinutrisi,

dan menghilangkan aroma langu pada kedelai. Proses perebusan ini juga mampu

mengurangi sebagian besar mikroorganisme pada permukaan biji kedelai. Hal ini juga

didukung oleh Fukushima (2004) yang menyatakan bahwa perebusan dapat

mempermudah enzim pada kapang untuk menghidrolisis protein kedelai saat fermentasi,

serta dapat menginaktivasi enzim lipoksigenase yang dapat menimbulkan bau langu

pada kedelai.

Setelah selesai direbus, kedelai ditiriskan hingga kering, bertujuan untuk mengeringkan

kedelai. Hal ini sesuai dengan teori dari Santoso (1994) yang menyatakan bahwa proses

Page 7: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

6

penirisan pada kedelai dalam pembuatan kecap bertujuan untuk mengurangi kandungan

air yang terdapat didalam kedelai dan untuk mendinginkan kedelai sehingga pada saat

ditambahkan inokulum, inokulum tidak mati akibat suhu yang terlalu tinggi.

Pengeringan juga tidak dilakukan hingga kedelai benar-benar sepenuhnya kering, hanya

sampai setengah kering. Hal ini bertujuan supaya kedelai tetap lembab sehingga dapat

menjadi media tumbuh yang baik bagi kapang. Atlas (1984) juga mendukung

pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa kedelai yang masih berada dalam

kondisi lembab setelah direbus dapat membantu pertumbuhan jamur yang ada pada

permukaan kedelai, kemudian dapat juga mengakumulasi enzim proteinase dan amilase.

Enzim proteinase tersebut berfungsi sebagai pengurai protein pada kedelai menjadi

asam amino, sedangkan enzim amilase untuk memecah karbohidrat menjadi gula

sederhana (gula pereduksi) yang membuat fermentasi menjadi lebih mudah dilakukan.

Setelah dikeringkan, kedelai ditambahkan dengan inokulum. Inokulum yang digunakan

adalah inoculum komersial yaitu ragi tempe. Sesuai dengan teori dari Rahman (1992)

yang menyatakan bahwa industri kecap berskala kecil, biasanya menggunakan ragi

tempe sebagai inokulum fermentasi produk mereka. Santoso (1994) kemudian

menambahkan bahwa proses penjamuran yang dilakukan pada proses fermentasi

tersebut dilakukan dengan menggunakan kapang jenis Rhizopus sp. Tahap pemberian

inokulum sangat mempengaruhi kecap yang akan dihasilkan. Proses pemberian

inokulum ini dilakukan dengan cara mengaduk inokulum dengan kedelai hingga merata.

Proses pemberian dan pengadukan inokulum ini dilakukan diatas besek dimana hal ini

sesuai dengan teori dari Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa fermentasi koji

biasanya dilakukan dengan menghamparkan bahan yang akan diinokulasi pada wadah

seperti nampan.

Kedelai yang sudah diinokulasi kemudian ditutup dan diinkubasi selama 3 hari pada

suhu ruang, yang bertujuan untuk memberikan waktu yang tepay dan kondisi yang tepat

bagi kapang untuk melakukan fermentasi, hal ini sudah sesuai dengan teori dari Santoso

(1994) yang menyatakan bahwa kedelai yang telah diberi penambahan inokulum ini

disimpan pada suhu ruang (25-30°C) selama 3 hari hingga terlihat penumbuhan kapang.

Astawan & Astawan (1991), juga menambahkan bahwa proses fermentasi kedelai yang

Page 8: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

7

terjadi tidak boleh terlalu cepat ataupun terlalu lama karena apabila terlalu cepat, enzim

yang dihasilkan oleh kapang tidak dapat memproduksi komponen-komponen penting

yang nantinya akan digunakan selama proses fermentasi berlangsung. Selain itu, apabila

proses fermentasi terlalu lama, maka enzim yang dihasilkan akan berlebih dan cita rasa

kecap yang dihasilkan menjadi kurang baik serta tidak maksimal.

Berikut ini adalah langkah kerja yang dilakukan dalam fermentasi koji praktikum ini :

2.2. Fermentasi Moromi

Tahapan moromi yang dilakukan dapat dilihat pada diagaram alir di bawah ini.

Pada fermentasi moromi, langkah kerja yang dilakukan pertama-tama pada proses ini

adalah kedelai yang sudah berjamur diaduk dan dikeringkan di dalam dehumidifier

selama 2-4 jam. Setelah itu kedelai yang sudah kering dimasukkan ke dalam toples

plastik kemudian diberi penambahan larutan garam 20% dari 500 ml dan direndam

Rendam cuci ditiriskan

Page 9: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

8

selama 1 minggu. Selama perendaman 1 minggu tersebut setiap siang hari toples

dijemur dan diaduk selama 1 jam. Setelah 1 minggu, kedelai kemudian dipress, dan

disaring menggunakan kain saring. Langkah berikutnya diambil 250 ml dan

ditambahkan dengan 750 ml air mineral, lalu dimasak bersama flavor (spices yang

diinginkan yang sudah dilarutkan dengan perbandingan 1:1). Setelah masak, larutan

disaring, ditempatkan dalam wadah steril dan siap dikonsumsi.

Proses pengeringan dengan dehumidifier dilakukan agar dapat menghambat

pertumbuhan kapang yang sudah tidak dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan teori dari

Peppler & Perlman (1979) yang menyatakan bahwa pada proses pengeringan

mempunyai tujuan untuk menurunkan kadar air pada kedelai sehingga kapang yang

masih hidup akan dihambat pertumbuhannya. Tortora et al (1995) menambahkan bahwa

proses pengeringan tersebut akan mempermudah penghilangan kapang yang masih

melekat pada permukaan kedelai karena sudah tidak digunakan lagi pada tahapan

selanjutnya.

Kedelai yang sudah kering direndam di dalam larutan garam untuk menimbulkan

citarasa dari kecap. Hal ini sesuai dengan teori dari Tortora et al (1995) yang

menyatakan bahwa untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahap

fermentasi kapang, diperlukan perlakuan proses perendaman dengan air garam. Saat

proses perendaman berlangsung bakteri halofilik akan tumbuh secara spontan dan akan

membentuk flavor yang khas dari kecap. Konsentrasi larutan garam yang digunakan

pada praktikum adalah 20% mempunyai tujuan untuk mencegah pertumbuhan

mikroorganisme pada kecap yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan teori dari Astawan

& Astawan (1991) yang menyatakan bahwa penggunaan garam dengan tingkat

konsentrasi yang tinggi akan menimbulkan tekanan osmotik yang tinggi sehingga air

akan tertarik keluar dari bahan pangan. Hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan

mikroorganisme terhambat karena proses pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan

Aw yang tinggi. Konsentrasi larutan garam yang ideal untuk proses pembuatan kecap

adalah 15-20%, apabila kadar garam yang digunakan dibawah 15%, maka

mikroorganisme masih dapat tumbuh pada kecap.

Page 10: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

9

Selama perendaman dalam larutan garam, dilakukan proses penjemuran dengan tujuan

untuk memberikan udara pada kedelai dan proses pengadukan yang bertujuan untuk

menghomogenkan larutan. Kedua proses tersebut sesuai dengan teori dari Tortora et al

(1995) yang menyatakan bahwa proses penjemuran dan pengadukan ini dimaksudkan

untuk memberikan aerasi pada larutan garam dan untuk menghomogenkan larutan.

Proses pengadukan ini akan meningkatkan kontak garam dengan substrat sehingga

pertumbuhan kapang dan bakteri dapat meningkat.

Setelah proses perendaman selesai, dilakukan proses penyaringan dan pemasakan kecap

dengan bumbu-bumbu. Proses penyaringan ini bertujuan agar kecap yang dihasilkan

bebas dari kotoran kontaminan. Setelah disaring, kecap melalui tahap pemasakan

dengan menggunakan gula jawa dan bumbu-bumbu lainnya. (Santoso, 1994). Bumbu-

bumbu yang digunakan dalam praktikum ini adalah gula jawa, 20 gram kayu manis, 3

gram ketumbar, 1 jentik laos, dan 1 buah bunga pekak. Jumlah gula jawa yang

digunakan sama dalam masing-masing kelompok yaitu sebanyak 1 kg.

Penggunaan bumbu-bumbu yaitu seperti kayu manis, ketumbar, laos, dan bunga pekak

ini bertujuan untuk meningkatkan flavor dari kecap yang dihasilkan. Hal ini sesuai

dengan teori dari Fachruddin (1997) yang menyatakan bahwa ketika proses pembuatan

kecap, dilakukan penambahan bumbu untuk menambah aroma dan citarasa dari kecap.

Bumbu-bumbu yang biasa ditambahkan dalam proses pembuatan kecap adalah

lengkuas, daun salam, kayu manis, daun jeruk, ketumbar, laos, jinten, bunga pekak, dan

kemiri. Bumbu-bumbu tersebut digunakan karena memiliki kandungan minyak atsiri.

Penggunaan gula jawa sebagai bumbu bertujuan untuk menghasilkan kecap dengan rasa

dan flavor yang baik karena gula jawa sangat mempengaruhi karakteristik sensoris dari

kecap yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan teori dari Kasmidjo (1990) yang

menyatakan bahwa dalam proses pembuatan kecap manis, gula jawa berguna untuk

menciptakan flavor yang spesifik pada kecap dan meningkatkan viskositas kecap. Gula

jawa juga berfungsi untuk membentuk warna kecap menjadi coklat karamel.

Judoamidjojo (1987) mendukung dengan mengatakan bahwa gula jawa berperan dalam

Page 11: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

10

reaksi maillard dan karamelisasi dimana reaksi tersebut akan membentuk flavor dan

karakteristik kecap manis. Nurlela (2002) juga menambahkan bahwa gula jawa ini

memiliki sifat spesifik sehingga perannya dalam pembuatan kecap tidak bisa digantikan

oleh jenis gula yang lain. Gula jawa ini memiliki sifat spesifik berupa rasa manis

dengan sedikit rasa asam. Rasa asam ini disebabkan di dalam gula jawa terdapat

kandungan asam organik sehingga gula jawa ini memiliki aroma yang khas. Gula jawa

juga memiliki rasa karamel dan berwarna coklat karenaadanya reaksi karamelisasi.

Berikut ini adalah tahapan proses pemasakan yang dilakukan.

2.3. Hasil Pengamatan

2.3.1. Aroma

Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek aroma, dapat dilihat bahwa kecap yang

dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki aroma yang berbeda-beda, yaitu kuat

(Kelompok A1,A2, dan A5), dan kurang kuat (Kelompok A3 dan A4). Hasil

pengamatan juga menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah inokulum kapang yang

ditambahkan, maka aroma dari kecap menjadi kurang kuat, dimana kita dapat melihat

pada kelompok A4 yang menggunakan inokulum dengan jumlah terbanyak (1%) justru

memiliki kecap dengan aroma yang kurang kuat. Hasil ini sesuai dengan teori dari

Astawan & Astawan (1991) dan Rahayu et al (1993) yang menyatakan bahwa jumlah

pada inokulum yang ditambahkan akan mempengaruhi kecepatan degradasi protein dan

karbohidrat pada kedelai. Protein dan karbohidrat ini didegradasi oleh enzim protease,

Page 12: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

11

enzim amilase dan enzim peptidease yang dihasilkan oleh kapang. Jumlah kapang yang

semakin banyak ditambahkan, maka proses degradasi protein dan karbohidrat ini akan

berjalan semakin cepat. Namun, apabila jumlah kapang yang ditambahkan terlalu

banyak, maka flavor kecap yang dihasilkan menjadi kurang baik.

Penggunaan bumbu juga akan mempengaruhi aroma dari kecap. Hal ini sesuai dengan

teori dari Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa flavor spesifik dari kecap tersebut

akan dipengaruhi oleh jenis bumbu yang ditambahkan, khususnya gula jawa. Selain itu,

aroma pada kecap sendiri akan sangat ditentukan oleh komponen organik yang

terkandung di dalam kecap. Pernyataan tersebut di dukung oleh teori dari Feng et al

(2013) dalam jurnalnya yang berjudul “New Model for Flavour Quality Evaluation of

Soy Sauce” bahwa kecap kedelai adalah produk fermentasi yang mengandung

komponen flavor organik seperti alkohol, fenol, asam, ester, dan heterocyclics.

Komponen-komponen tersebut menjadi indikator yang penting dalam penentuan aroma

dan kualitas dari kecap kedelai.

Komponen nitrogen merupakan komponen organik lain yang mempengaruhi aroma

pada asam amino yang diperoleh dari proses degradasi selama fermentasi kecap. Sesuai

dengan teori yang dinyatakan dari Armstrong (1995) menyatakan yakni aroma dan

flavor kecap ditentukan oleh komponen nitrogen pendukung seperti kadaverin,

ammonia, histidin, dan arginin. Senyawa-senyawa tersebut akan membentuk flavor

kecap yang enak apabila bereaksi dengan asam glutamat atau asam suksinat. Flavor

kecap yang khas sendiri dihasilkan dari penguraian protein menjadi asam amino,

terutama asam amino glutamat. Muangthai et al (2007) dalam jurnal yang berjudul

“Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from

Peagon Pea and Soy bean” mendukung dengan menyatakan bahwa asam amino paling

banyak yang terdapat pada kecap adalah asam amino glutamat, asam amino tersebut

menimbulkan flavor dan aroma yang khas pada kecap.

2.3.2. Rasa

Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek rasa, dapat dilihat bahwa kecap yang

dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki rasa yang berbeda-beda, yaitu sangat kuat

Page 13: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

12

(Kelompok A5 dan A1) serta kuat (Kelompok A2, A3 & A4). Yang menyebabkan

perbedaan hasil analisa rasa manis dari kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok ini

disebabkan karena adanya perbedaan lama pemasakan pada masing-masing keompok.

Hal ini didukung oleh Amalia (2008) yang menyatakan bahwa apabila proses

pemasakan kecap terlalu lama, maka kecap yang terbentuk akan terasa pahit.

Aktivitas bakteri juga akan mempengaruhi rasa kecap. Hal ini didukung oleh Astawan

& Astawan (1991) dan Rahayu et al (2005) dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis

Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung

(Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae” bahwa rasa kecap tersebut

akan dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang digunakan serta aktivitas bakteri asam

laktat, yaitu Lactobacillus delbrueckii yang tumbuh pada saat fermentasi moromi

berlangsung. Selama proses fermentasi, Lactobacillus delbrueckii akan memproduksi

asam-asam organik seperti asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat

dimana asam tersebut akan menyebabkan pH kecap menurun. Menurunnya pH kecap ini

akan menstimulasi pertumbuhan kapang yang penting dalam pembentukan rasa dari

kecap.

2.3.3. Warna

Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek warna, dapat dilihat bahwa kecap yang

dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki rasa yang berbeda-beda, yaitu kurang hitam

(Kelompok A2, A3 & A4) dan hitam (Kelompok A2 & A5). Berdasarkan hasil tersebut,

dapat kita lihat bahwa rata-rata warna kecap yang dihasilkan memiliki warna yang

hitam. Warna hitam diakibatkan dengan penambahan gula jawa dalam proses

pembuatan kecap. Gula jawa akan mengalami reaksi browning karena adanya proses

pemasakan yang menggunakan suhu tinggi selama proses pembuatan kecap. Hal ini

sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1991) yang menyatakan bahwa warna

coklat kehitaman pada kecap dihasilkan dari reaksi browning antara gula pereduksi

dengan asam amino. Kasmidjo (1990) mendukung dengan menyatakan bahwa

penambaham gula jawa pada proses pembuatan kecap akan membuat kecap menjadi

berwarna coklat karamel. Warna coklat ini akan akan menguat selama proses

pemasakan kecap karena adanya pengaruh suhu tinggi.

Page 14: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

13

Warna hitam coklat pada kecap ini juga disebabkan karena gula jawa yang ditambahkan

selama proses pemasakan kecap memiliki warna dasar coklat sehingga sedikit banyak

akan membentuk warna coklat pada kecap. Hal ini didukung oleh teori dari Amalia

(2008) yang menyatakan bahwa gula jawa adalah gula yang berbentuk padat, berwarna

coklat kemerahan hingga coklat tua. Gula merah ini memiliki peran dalam pembuatan

kecap karena reaksi Maillard dan karamelisasi.

2.3.4. Kekentalan

Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek warna, dapat dilihat bahwa kecap yang

dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki kekentalan yang sama, yaitu kental, kecuali

pada kelompok A3 yang kecapnya memiliki kekentalan kurang kental. Hasil yang

diperoleh ini kurang sesuai karena seharusnya kekentalan kecap ini akan dipengaruhi

dari jumlah gula yang ditambahkan, dimana semakin tinggi jumlah gula yang

ditambahkan, maka kecap akan semakin kental. Hal ini didukung oleh teori dari

Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa penambahan gula jawa akan meningkatkan

nilai viskositas atau kekentalan dari kecap. Semakin banyak gula jawa yang

dicampurkan maka warna, viskositas, aroma dan rasa kecap yang dihasilkan juga

semakin baik. Peppler & Perlman (1979) menambahkan bahwa kekentalan kecap yang

dihasilkan disebabkan oleh bumbu-bumbu yang ditambahkan selama proses pemasakan

kecap, terutama gula jawa. Lim et al (2009) dalam jurnalnya yang berjudul

“Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus

Fermented Soybeans” menambahkan bahwa semakin banyak inokulum yang digunakan,

maka komponen pada kedelai akan keluar dan mempengaruhi kekentalan kecap.

2.3.5. Hal-Hal Terkait

Berdasarkan hasil praktikum, kita dapat melihat bahwa perbedaan jumlah inokulum

yang ditambahkan tidak begitu mempengaruhi karakteristik sensoris kecap yang

dihasilkan. Padahal jumlah inokulum yang ditambahkan berbeda-beda, yaitu 0,5%

(Kelompok A1)0,75% (Kelompok A2 & A3); dan 1% (Kelompok A4 & A5). Hasil ini

kurang sesuai dengan teori dari Masashi (2006) yang menyatakan bahwa konsentrasi

dari ragi akan mempengaruhi komponen-komponen di dalam kecap, seperti asam laktat

dan etanol. Semakin tinggi konsentrasi ragi yang ditambahkan, proses fermentasi akan

Page 15: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

14

berjalan dengan lebih cepat sehingga etanol dan asam laktat yang dihasilkan juga

semakin banyak. Namun, apabila jumlah ragi yang ditambahkan terlalu banyak, maka

kecap manis yang dihasilkan akan memiliki kualitas sensoris yang kurang baik akibat

tingginya kadar asam laktat dan etanol. Tidak adanya pengaruh inokulum pada hasil

kecap yang diperoleh saat praktikum ini dapat disebabkan karena karakteristik kecap di

dalam praktikum ini cenderung dipengaruhi oleh proses pemasakan kecap dan bumbu-

bumbu yang digunakan.

Terdapatnya hasil-hasil praktikum yang kurang sesuai dengan teori ini dapat disebabkan

karena terjadinya kesalahan dalam proses pembuatan kecap. Selain itu dapat pula

disebabkan proses pembuatan kecap tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.

Misalnya, tahap fermentasi moromi pada praktikum dilakukan selama 1 minggu. Hal ini

tidak sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1991) yang menyatakan bahwa

proses fermentasi dalam larutan garam membutuhkan waktu 2-4 minggu karena apabila

proses fermentasi berlangsung terlalu cepat, maka tidak akan terbentuk komponen-

komponen yang berperan di dalam proses pembentukan flavor kecap. Purwoko &

Handjajani (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Kandungan Protein Kecap Manis

Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus”

mendukung dengan menyatakan bahwa dalam proses pembuatan kecap, dilakukan 2

macam proses fermentasi, yaitu fermentasi padat (koji) yang membutuhkan waktu 3-5

hari, fermentasi cair (moromi) yang membutuhkan waktu 14-28 hari.

Jenis kedelai juga akan mempengaruhi kecap yang dihasilkan dimana kedelai yang

digunakan oleh setiap kelompok diperoleh dari tempat yang berbeda-beda. Hal ini juga

didukung oleh Astawan & Astawan (1991), yang menyatakan bahwa mutu dari kecap

akan dipengaruhi oleh perbedaan varietas kedelai, lama fermentasi, dan kemurnian

inokulum yang digunakan. Selain itu dapat pula disebabkan proses pembuatan kecap

dilakukan dengan kurang steril sehingga terjadi kontaminasi. Hal ini sesuai dengan teori

dari Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa proses dan kondisi fermentasi perlu

diatur, misalnya suhu, aerasi, dan kadar air agar tercipta lingkungan yang tepat dan tidak

terjadi kontaminasi mikroorganisme yang tidak diinginkan.

Page 16: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

3. KESIMPULAN

Kecap berbentuk cair, berwarna coklat sampai hitam dan memiliki pH 4,9-5,0.

Pembuatan kecap dibagi menjadi 3 cara, yaitu secara fermentasi, hidrolisis kimia,

atau kombinasi antara keduanya.

Proses pembuatan kecap secara fermentasi dibagi menjadi tahap fermentasi dengan

kapang (koji) dan fermentasi dengan larutan garam (moromi).

Secara garis besar, pembuatan kecap terdiri dari 4 tahap, yaitu perebusan biji kedelai

yang telah disortir, penjamuran, penggaraman, dan perebusan akhir.

Tujuan perendaman kedelai selama 1 malam adalah membantu proses pelepasan

kulit ari dan melunakkan biji kedelai.

Tujuan perebusan adalah untuk mengurangi jumlah mikroorganisme kontaminan

dan untuk mengurangi bau langu dari kedelai.

Tujuan penirisan adalah untuk mengeringkan kedelai.

Inokulum yang digunakan dalam pembuatan kecap adalah ragi tempe.

Proses inkubasi kedelai yang sudah diberi inokulum adalah 3 hari pada suhu ruang.

Tujuan pengeringan dengan dehumidifier adalah untuk menghambat pertumbuhan

kapang yang sudah tidak dibutuhkan.

Tujuan perendaman dalam larutan garam adalah untuk membentuk citarasa kecap.

Tujuan penjemuran adalah memberikan udara pada kedelai.

Tujuan pengadukan adalah untuk menghomogenkan larutan.

Tujuan penyaringan adalah agar kecap yang dihasilkan bebas dari kontaminan.

Penggunaan bumbu-bumbu seperti kayu manis, ketumbar, laos, dan bunga pekak

bertujuan untuk meningkatkan flavor kecap.

Gula jawa memberikan flavor spesifik pada kecap yang dihasilkan.

Aroma kecap dipengaruhi jumlah inokulum, bumbu, dan komponen organik.

Warna hitam coklat pada kecap disebabkan karena penambahan gula jawa dalam

proses pembuatan kecap yang mengalami reaksi browning.

15

Page 17: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

16

Semakin tinggi konsentrasi inokulum yang ditambahkan, proses fermentasi akan

berjalan dengan lebih cepat

Semarang, 17 Juni 2015 Asisten dosen:- Abigail Sharon- Frisca Melia

Rr. Ernadya Eka P. 12.70.0176

Page 18: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

4. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. 2008. Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Amstrong, S.B. 1995. Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Feng, J.; Xiao-Bei, Z.; Zhi-Yong, Z.; Dong, W.; Li-Min, Z.; and Chi-Chung L. 2013. New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3: 292–305.

Fukushima, D. 2004. Industrialization of Fermented Soy Sauce ProductionCentering Around Japanese Shoyu. Di dalam: Steinkraus, K. H. (ed.). Industrialization of Indigenous Fermented Foods Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hardjo, S. 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Judoamidjojo, R.M. 1987. The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of Agriculture, Japan.

Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lim, J. Y.; Kim, J.J.;. Lee, D.S.; Kim, G.H.; Shim, J.Y.; Lee, I. and Imm, J.Y. 2009. Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans. Food Chemistry.

Masashi, K. 2006. Method of Brewing Soy Sauce. Diakses di http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html. Diakses tanggal 10 Juni 2014.

17

Page 19: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

18

Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2

Nurlela, E. 2002. Kajian Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Warna Gula Merah. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. IPB, Bogor.

Peppler, H.J. and Perlman, D. 1979. Microbial Technology. Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, T dan Handajani, N.S. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Jurnal Biodiversitas Volume 8(2) p:223-227.

Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. 2005. Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi 2(1): 14-20.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Shin, R.; Momoyo, S.; Takeo, M. and Nobuyuki, S. 2007. Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders in Rats using Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract (BiofermenticsTM). Oxford Journals Volume 6(3): p 357-363.

Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 20: Kecap_Rr. Ernadya Eka Putri_12.70.0176_A5

5. LAMPIRAN

5.1. Laporan Sementara

5.2. Abstrak Jurnal

5.3. Viper

19