Kecap_Cristina Sella Haryanti_12.70.0172_D1

19
I. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan kecap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakter Sensoris Kecap Ke l Perlakuan Aroma Warna Rasa Kekentalan D1 0!" inoculum # cengkeh 1 gram # # ## ### D$ 0%!" inoculum # cengkeh 1 gram & & & & D' 0%!" inoculum # daun serai 1 buah ## # ## ### D( 1 " inoculum # daun serai 1 buah # ## ## ## D! 1" inoculum # pala 1 buah ## # # ## Keterangan) Aroma) Rasa) Kenampakan) Warna) # ) kurang kuat # ) kurang manis# ) kurang kental # ) kurang hitam ## )kuat ## )manis ## )kental ## )hitam ### ) sangat kuat ### ) sangat manis ### ) sangat kental ### ) sangat hitam *erdasarkan tabel diatas dapat dilihat bah+a rata&rata hasil sensori kecap men -ang berbeda&beda. Pada kelompok D1 penambahan inoculum 0!" serta bumb cengkeh mendapatkan hasil kecap dengan aroma -ang kurang kuat +arna kurang hi -ang kuat dan kenampakan -ang sangat kental. Pada kelompok D$ penambah 0%!" serta bumbu 1 gram cengkeh tidak mendapatkan hasil aroma +arna rasa dan kenampakan. Pada kelompok D' penambahan inoculum 0%!" serta bumbu daun serai 1

description

fermentasi kecap

Transcript of Kecap_Cristina Sella Haryanti_12.70.0172_D1

I. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakter Sensoris KecapKelPerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

D10,5% inoculum + cengkeh 1 gram+++++++

D20,75% inoculum + cengkeh 1 gram----

D30,75% inoculum+ daun serai 1 buah++++++++

D41 % inoculum + daun serai 1 buah+++++++

D51% inoculum + pala 1 buah++++++

Keterangan:Aroma:Rasa:Kenampakan:Warna:+: kurang kuat +: kurang manis+ : kurang kental+: kurang hitam++: kuat++: manis++: kental++: hitam+++: sangat kuat+++: sangat manis +++: sangat kental+++: sangat hitam

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata hasil sensori kecap menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada kelompok D1 penambahan inoculum 0,5% serta bumbu 1 gram cengkeh mendapatkan hasil kecap dengan aroma yang kurang kuat, warna kurang hitam, rasa yang kuat dan kenampakan yang sangat kental. Pada kelompok D2 penambahan inoculum 0,75% serta bumbu 1 gram cengkeh tidak mendapatkan hasil aroma, warna, rasa dan kenampakan. Pada kelompok D3 penambahan inoculum 0,75% serta bumbu daun serai 1 buah mendapatkan hasil kecap dengan aroma yang kuat, warna kurang hitam, rasa yang kuat dan kenampakan yang sangat kental. Pada kelompok D4 penambahan inoculum 1% serta bumbu daun serai 1 buah mendapatkan hasil kecap dengan aroma yang kurang kuat, warna hitam, rasa yang kuat dan kenampakan yang kental. Pada kelompok D5 penambahan inoculum 1% serta bumbu pala 1 buah mendapatkan hasil kecap dengan aroma yang kuat, warna kurang hitam, rasa yang kurang kuat dan kenampakan yang kental.

II. PEMBAHASAN

Kecap dikenal sebagai produk dari kedelai dengan konsistensi cair, berwarna coklat gelap dan beraroma daging (Winarno, 1986). Kecap biasanya digunakan sebagai penambah flavor dan menguatkan rasa pada produk-produk pangan. Kecap biasanya dideskripsikan sebagai produk berbentuk cair yang terbuat dari hasil fermentasi kedelai atau bungkil kedelai ditambah gula dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diijinkan (Astuti, 2012).

Kecap kedelai merupakan produk fermentasi kedelai yang kaya flavor, baik flavor dari komponen volatil maupun komponen non-volatil (Winarno et al., 1973). Komponen volatil berkontribusi dalam aroma kecap yang dihasilkan. Komponen volatil ini sebagian berasal dari proses fermentasi yang mengalami perubahan baik kualitatif maupun kuantitatif selama fermentasi. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk melihat bagaimana perubahan komponen volatil selama fermentasi kecap agar dapat membantu menentukan proses fermentasi yang optimal (Apriyantono et al., 2004).

Kedelai mengandung protein tertinggi di antara kacang-kacangan lainnya, yaitu sekitar 40%. Di pasaran terdapat 2 jenis kedelai, yaitu kedelai kuning dan hitam. Kedelai kuning merupakan dapat dipakai sebagai bahan dasar makanan turunan kedelai, baik dengan fermentasi maupun tidak. Kedelai hitam biasanya terbatas hanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap (Purwoko et al., 2007). Mutu dari kecap dipengaruhi oleh kedelai, kemurnian biakan kapang yang digunakan, lama fermentasi di dalam larutan garam, jenis mikrobia yang digunakan dan proses pengolahan yang dilakukan (Astawan & Astawan, 1991).

Fermentasi kecap berkaitan dengan sakarifikasi pati, fermentasi alkohol, proteolisis, degradasi gula, pembentukan aroma, reaksi asam pantotenat dan reaksi maillard. Fermentasi kecap menggunakan enzim untuk menghidrolisis protein dan pati, membentuk sejumlah zat seperti asam amino, gula (Mao et al., 2013). Kecap dalam bahasa Jepang yaitu shoyu adalah cairan bumbu yang biasa digunakan dalam memasak di seluruh dunia. Varietas kecap yang dihasilkan tergantung pada berbagai jenis dan rasio bahan baku yang digunakan, mikroorganisme serta kondisi fermentasi (Murooka & Yamshita, 2008).

Proteolisis adalah biokimia yang paling pokok dan kompleks yang terjadi selama persiapan bumbu kedelai di fermentasi. Produk degradasi asam amino tidak hanya memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai gizi, tetapi juga berkontribusi langsung dengan karakteristik rasa dalam beberapa kasus tidak langsung melayani sebagai prekursor dari produk aromatik. Karakteristik pembentukan rasa dalam kecap tergantung pada cara proses produksi, bahan baku, modus fermentasi serta strain. Langkah-langkah utama produksi kecap yang terlibat dalam pengembangan rasa adalah perlakuan panas bahan baku, koji kultur (fermentasi kapang), fermentasi moromi (penuaan) dan pasteurisasi (Yanfang & Wenyi, 2009).

Beberapa kapang yang sangat berperan dalam proses fermentasi kecap adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus flavus, Aspergilus niger dan Rhizopus sp. Sedangkan untuk bakteri yang penting dalam fermentasi kecap adalah Lactobacillus delbrueckii dan ragi Hansenula sp. Proses pembuatan kecap ini juga dibantu oleh aktivitas enzim protease dan lipase, yaitu enzim yang memecah protein dan lemak kedelai menjadi komponen-komponen (asam amino dan asam lemak) yang lebih sederhana sehingga mudah diserap oleh tubuh. Hasil pemecahan komponen-komponen gizi menjadi bagian yang lebih sederhana oleh enzim-enzim yang dihasilkan kapang selama proses fermentasi yaitu amilase, maltase, lipase, proteinase, fosfatase, dll dapat mempengaruhi cita rasa pada hasil akhir kecap (Astawan & Astawan, 1991).

2.1. Fermentasi KojiPada fermentasi koji, langkah kerja yang dilakukan yaitu kedelai yang masih memiliki kulit ari direndam selama 1 malam. Setelah 1 malam (pada kedelai terkelupas kulitnya) kemudian dicuci, dibuang kulit arinya dan ditiriskan hingga kering. Lalu, kedelai direbus hingga matang dan ditiriskan sampai kering kembali. Sesuai dengan teori Rahayu et al., (2005) bahwa, kedelai direndam selama 24 jam dalam wadah, dicuci dan direbus. Kedelai kemudian diletakkan di dalam besek yang sebelumnya dilapisi dengan daun pisang dan sudah dibersihkan dengan alkohol, lalu ditambahkan inokulum untuk tempe dengan konsentrasi 0,5% kelompok D1; 0,75% kelompok D2 dan D3; 1% kelompok D4 dan D5. Setelah di inokulasi, besek ditutup dan di inkubasi selama 3 hari.

Pada proses perendaman kedelai selama 1 malam bertujuan untuk membantu proses pelepasan kulit ari dari biji kedelai dan untuk melunakkan biji kedelai. Menurut Kasmidjo (1990), pada biji kedelai memerlukan proses perendaman, sehingga proses penghilangan kulit ari menjadi lebih mudah. Proses perendaman harus dilakukan menggunakan jumlah air yang melimpah agar kedelai dapat menyerap air dan beratnya meningkat menjadi 2-3 kali lipat. Tortora et al., (1995) juga menambahkan bahwa tujuan perendaman kedelai untuk menghidrasi air ke dalam biji kedelai, sehingga pada proses pemasakan biji kedelai dapat berjalan lebih singkat karena biji kedelai telah menjadi lebih lunak.

Setelah kedelai bersih dari kulit ari, kedelai direbus hingga matang. Perebusan tersebut bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme kontaminan pada kedelai dan untuk mengurangi bau langu dari kedelai. Menurut Tortora et al., (1995) tujuan perebusan biji kedelai yaitu untuk merusak protein inhibitor, menginaktifkan zat-zat antinutrisi, membantu pelunakkan biji kedelai, dan menghilangkan aroma langu pada kedelai. Proses perebusan biji kedelai ini juga mampu mengurangi sebagian besar mikroorganisme pada permukaan biji kedelai. Perebusan dapat mempermudah enzim pada kapang untuk menghidrolisis protein kedelai saat fermentasi serta dapat menginaktivasi enzim lipoksigenase yang dapat menimbulkan bau langu pada kedelai (Fukushima, 2004).

Gambar 1. Kedelai di rebus

Setelah selesai direbus, kedelai ditiriskan hingga kering. Hal ini sesuai dengan teori dari Santoso (1994) yang menyatakan bahwa, proses penirisan bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat didalam kedelai. Selain itu juga untuk mendinginkan kedelai sehingga pada saat ditambahkan inokulum, inokulum tidak mati akibat suhu yang terlalu tinggi. Pengeringan juga tidak dilakukan hingga kedelai benar-benar kering namun sampai setengah kering, supaya kedelai tetap lembab sehingga dapat menjadi media tumbuh yang baik bagi kapang.) Kedelai yang masih berada dalam kondisi lembab setelah direbus dapat membantu pertumbuhan jamur yang ada pada permukaan kedelai dan juga dapat mengakumulasi enzim proteinase dan amilase. Enzim amilase berfungsi untuk memecah karbohidrat menjadi gula sederhana (gula pereduksi) yang membuat fermentasi menjadi lebih mudah dilakukan, sedangkan enzim proteinase berfungsi sebagai pengurai protein pada kedelai menjadi asam amino (Atlas, 1984).

Gambar 2. Kedelai ditiriskan dan diletakkan diatas daun pisang

Setelah kedelai dikeringkan, kedelai ditambahkan dengan inokulum yaitu ragi tempe. Tahap pemberian inokulum juga sangat mempengaruhi kecap yang akan dihasilkan. Proses pemberian inokulum dilakukan dengan cara mengaduk inokulum dengan kedelai hingga merata diatas besek. Menurut Kasmidjo (1990), fermentasi koji biasanya dilakukan dengan menghamparkan bahan yang akan diinokulasi pada wadah seperti nampan.

Gambar 3. Kedelai diberi inokulum

Kedelai yang sudah diinokulasi kemudian ditutup dan diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Tujuannya adalah untuk memberikan waktu dan kondisi yang tepat bagi kapang untuk melakukan fermentasi. Hal ini sudah sesuai dengan teori Santoso (1994) yang mengatakan bahwa, kedelai yang telah diberi penambahan inokulum ini disimpan pada suhu ruang (25-30C) selama 3 hari hingga terlihat adanya penumbuhan kapang. Astawan & Astawan (1991) juga mengatakan bahwa, proses fermentasi kedelai yang terjadi tidak boleh terlalu cepat ataupun terlalu lama. Hal tersebut dikarenakan apabila terlalu cepat, enzim yang dihasilkan oleh kapang tidak dapat memproduksi komponen-komponen penting yang nantinya akan digunakan selama proses fermentasi berlangsung. Selain itu, apabila proses fermentasi terlalu lama, maka enzim yang dihasilkan akan berlebih dan cita rasa kecap yang dihasilkan menjadi kurang baik dan tidak maksimal.

Gambar 4. Kapang pada kedelai

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menyiapkan kualitas koji yang baik menurut Steinkraus et al., (1983): Mendapatkan pertumbuhan miselia yang cukup. Menghasilkan jumlah maksimum enzim yang dibutuhkan, seperti protease, amilase dan degradasi enzim jaringan tanaman lainnya. Menghindari kontaminasi jamur dan bakteri. Tidak merusak aktivitas produksi enzim. Meminimalisasi konsumsi pati yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur.

2.2. Fermentasi MoromiPada fermentasi moromi, langkah kerja yang dilakukan yaitu kedelai yang sudah berjamur dipotong kecil-kecil lalu diletakkan dalam loyang untuk dikeringkan di dalam dehumidifier selama 2-4 jam. Setelah kedelai kering, dimasukkan ke dalam toples plastik kemudian diberi penambahan larutan garam 20% dan 500 ml air. Lalu direndam selama 1 minggu. Selama perendaman 1 minggu tersebut, setiap siang hari toples dijemur dan diaduk selama 1 jam. Setelah kedelai direndam selama 1 minggu, kedelai dipress dan disaring menggunakan kain saring. Selanjutnya air rendaman kedalai tersebut diambil 250 ml dan ditambahkan dengan 750 ml air lalu dimasak bersama flavor (spices yang diinginkan yang sudah dilarutkan dengan perbandingan 1:1). Setelah masak, larutan disaring dan ditempatkan dalam wadah steril.

Gambar 5. Tempe dipotong berukuran kecil

Proses pengeringan dengan menggunakan dehumidifier dilakukan agar dapat menghambat pertumbuhan kapang yang tidak dibutuhkan. Menurut Peppler & Perlman (1979), tujuan dilakukan pengeringan untuk menurunkan kadar air pada kedelai sehingga kapang yang masih hidup akan dihambat pertumbuhannya. Tortora et al., (1995) juga menambahkan bahwa proses pengeringan akan mempermudah penghilangan kapang yang masih melekat pada permukaan kedelai, karena sudah tidak digunakan lagi pada tahapan selanjutnya.

Pada proses kedelai yang sudah kering dan dilakukan perendaman di dalam larutan garam yaitu untuk menimbulkan citarasa dari kecap. Menurut Tortora et al., (1995), untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahap fermentasi kapang diperlukan perlakuan proses perendaman dengan air garam. Saat proses perendaman berlangsung, bakteri halofilik akan tumbuh secara spontan dan akan membentuk flavor yang khas dari kecap. Pada konsentrasi larutan garam yang digunakan adalah 20% mempunyai tujuan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada kecap yang dihasilkan. Penggunaan garam dengan tingkat konsentrasi yang tinggi akan menimbulkan tekanan osmotik yang tinggi, sehingga air akan tertarik keluar dari bahan pangan. Hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme terhambat karena proses pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan Aw yang tinggi. Adapun konsentrasi larutan garam yang ideal untuk proses pembuatan kecap adalah 15-20%. Apabila kadar garam yang digunakan dibawah 15%, maka mikroorganisme masih dapat tumbuh pada kecap (Astawan & Astawan, 1991). Hidayah (2013) juga menambahkan bahwa, penentuan konsentrasi garam dalam fermentasi moromi juga akan menentukan kualitas kecap. Penambahan garam pada kecap umumnya adalah 20%-23%. Konsentrasi garam biasanya digunakan sebesar 17%-19%, dan berbahaya jika digunakan pada konsentrasi dibawah 16%, karena akan menyebabkan pembusukan dan bakteri fermentasi (asam laktat) belum mampu tumbuh. Namun konsentrasi garam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian mikroorganisme yang seharusnya hidup selama fermentasi moromi. Oleh sebab itu, kadar garam dan waktu fermentasi moromi yang tepat perlu diperhatikan.

Gambar 6. Perendaman dengan air garam

Selama kedalai dalam proses perendaman dengan larutan garam, dilakukan proses penjemuran yang bertujuan untuk memberikan udara pada kedelai. Selain penjemuran dilakukan juga proses pengadukan yang bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan meningkatkan kontak garam dengan substrat sehingga pertumbuhan kapang dan bakteri dapat meningkat. Proses penjemuran dan pengadukan ini dimaksudkan untuk memberikan aerasi pada larutan garam dan untuk menghomogenkan larutan (Tortora et al., 1995).

Setelah proses perendaman kedelai selesai, dilakukan proses penyaringan dan pemasakan kecap dengan bumbu-bumbu. Proses penyaringan bertujuan agar kecap yang dihasilkan bebas dari kotoran kontaminan. Setelah disaring, proses selanjutnya yaitu tahap pemasakan dengan menggunakan gula jawa dan bumbu-bumbu lainnya (Santoso, 1994). Menurut Rahayu et al., (2005), cairan kecap ditambah dengan air. Campuran cairan direbus hingga mendidih. Setelah itu api dikecilkan, sekedar menjaga agar cairan tetap mendidih. Bumbu kecap yang telah dibungkus dicelupkan ke dalam cairan yang mendidih dan digoyang-goyangkan. Cairan diaduk terus-menerus selama 2-3 jam sampai volume menjadi setengah dari volume semula. Bumbu yang terbungkus tetap berada dalam cairan yang sedang dimasak sampai pemanasan selesai dilakukan. Kecap yang dihasilkan adalah kecap manis.

Gambar 7. Penyaringan dengan kain saring

Gambar 8. Ampas setelah disaring

Gambar 9. Hasil penyaringan

Bumbu-bumbu yang digunakan dalam praktikum ini adalah 1 kg gula jawa, 20 gram kayu manis, 3 gram ketumbar, 1 jentik laos, dan 1 buah bunga pekak. Tujuannya untuk meningkatkan flavor dari kecap yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan teori Fachruddin (1997) yang menyatakan bahwa, ketika proses pembuatan kecap dilakukan penambahan bumbu untuk menambah aroma dan citarasa dari kecap. Pada bumbu yang digunakan masing-masing kelompok yaitu kelompok D1 dan D2 menggunakan tambahan bumbu 1 gram cengkeh, untuk kelompok D3 dan D4 menggunakan tambahan bumbu 1 daun serai dan untuk kelompok D5 menggunakan tambahan bumbu 1 buah pala.

Gambar 10. Penambahan gula jawa

Gambar 11. Penambahan kayu manis

Gambar 12. Penambahan cengkeh

Gambar 13. Penambahan bunga pekak

Gambar 14. Penambahan laos

Gambar 15. Penambahan ketumbar

Gambar 16. Proses pengadukan bumbu-bumbu

Penggunaan gula jawa sebagai bumbu bertujuan untuk menghasilkan kecap dengan rasa dan flavor yang baik. Gula jawa sangat mempengaruhi karakteristik sensoris dari kecap yang dihasilkan. Kasmidjo (1990) menyatakan bahwa dalam proses pembuatan kecap manis, gula jawa berguna untuk menciptakan flavor yang spesifik pada kecap dan meningkatkan viskositas kecap. Gula jawa memiliki sifat spesifik berupa rasa manis dengan sedikit rasa asam. Adanya rasa asam ini disebabkan karena di dalam gula jawa terdapat kandungan asam organik, sehingga gula jawa ini memiliki aroma yang khas. Selain itu, gula jawa juga memiliki rasa karamel dan berwarna coklat karena adanya reaksi karamelisasi.

Gambar 17. Kecap yang sudah jadi

2.3. Hasil PengamatanTahapan setelah fermentasi moromi adalah pemasakan. Setelah 1 minggu, larutan disaring kemudian dimasak bersama bumbu yang telah disiapkan sesuai resep masing-masing kelompok. Setelah masak, larutan kecap disaring dan dianalisa karakteristik sensorinya meliputi: aroma, rasa, kekentalan dan warna.

Pada pembuatan kecap digunakan konsentrasi ragi yang berbeda. Pada kelompok D1 sebesar 0,5%; pada kelompok D2 dan D3 sebesar 0,75%; serta pada kelompok D5 sebesar 1%. Semakin tinggi konsentrasi ragi yang digunakan maka proses fermentasi akan berlangsung lebih cepat. Namun, apabila konsentrasi ragi yang ditambahkan tidak optimal yaitu terlalu sedikit ataupun terlalu banyak, maka akan mempengaruhi produk akhir kecap yang dihasilkan. Konsentrasi ragi yang digunakan dapat mempengaruhi komponen di dalam kecap, yaitu jumlah etanol dan asam laktat. Apabila ragi yang digunakan lebih banyak akan menghasilkan etanol yang lebih cepat dan lebih banyak. Pada kelompok D2 tidak mendapatkan hasil pengamatan aroma, rasa, warna dan kenampakan. Hal tersebut dikarenakan pada proses pengeringan menggunakan dehumidifier, tempe tidak mengering melainkan basah dan berbau.

Hasil pengamatan untuk aroma kecap yang dihasilkan tiap kelompok berbeda. Kelompok D3 dan D5 menghasilkan kecap dengan aroma kuat, kelompok D1 dan D4 menghasilkan kecap dengan aroma yang kurang kuat, sedangkan untuk kelompok D2 tidak menghasilkan aroma apapun. Menurut Tjahjadi et al., (2004), aroma kecap dipengaruhi oleh senyawa alkohol dan senyawa aromatik yang dihasilkan oleh khamir selama fermentasi moromi. Selain itu, aroma kecap juga dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang digunakan selama proses pemasakan kecap. Bumbu yang digunakan pada pembuatan kecap akan mempengaruhi aroma karena berperan menimbulkan bau dan cita rasa yang spesifik pada kecap (Astawan & Astawan, 1991). Kelompok D3 dan D5 menghasilkan aroma kecap yang kuat karena menggunakan bumbu yang banyak dan lengkap. Selain itu, aroma kecap timbul karena adanya reaksi kimiawi yang terjadi selama pemanasan hingga dihasilkan komponen-komponen nitrogen seperti kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia. Komponen-komponen ini bila membentuk senyawa garam dengan asam glutamat akan menyebabkan flavor yang enak. Demikian pula dengan arginin, histidin, lisin, putresin dengan asam suksinat (Tortora et al., 1995).

Untuk hasil pengamatan pada rasa kecap yang dihasilkan tiap kelompok berbeda. Pada kelompok D1, D3 dan D4 mempunyai rasa manis yang kuat, sedangkan pada kelompok D5 mempunyai rasa yang kurang kuat yaitu rasa asin. Perbedaan rasa kecap yang dihasilkan tersebut berkaitan dengan perbandingan jumlah gula jawa yang digunakan dengan hasil saringan kedelai dalam proses pemasakan kecap. Menurut Judoadmijojo (1989), komponen terbesar kecap manis adalah karbohidrat yaitu sukrosa, glukosa dan fruktosa. Tingginya kadar gula disebabkan adanya penambahan gula dalam proses pembuatannya, sehingga rasa dihasilkan sangat manis. Selain itu, selama proses fermentasi moromi mikroorganisme yang ditambahkan akan memfermentasi gula dan asam amino menjadi asam laktat, asam asetat dan asam suksinat. Menurut Tjahjadi et al., (2004), asam laktat dan asam suksinat merupakan komponen yang menyebabkan rasa sedap pada kecap.

Pada proses hasil pengamatan kenampakan, kecap yang diperoleh tiap kelompok berbeda. Pada kelompok D1 dan D3 menghasilkan kecap yang sangat kental, sedangkan pada kelompok D4 dan D5 menghasilkan kecap yang kental. Terjadi kekentalan pada kecap dipengaruhi jumlah gula jawa yang digunakan selama proses pemasakan kecap. Apabila gula jawa dipanaskan akan mengalami karamelisasi yang akhirnya akan mengental. Semakin banyak gula jawa yang digunakan, maka proses karamelisasi gula jawa juga akan lebih banyak pada saat proses pemasakan yang mengakibatkan viskositas kecap meningkat (Kasmidjo, 1990).

Untuk hasil pengamatan yang terakhir yaitu warna kecap yang diperoleh tiap kelompok berbeda. Kelompok D1, D3 dan D5 mempunyai warna yang kurang hitam, sedangkan pada kelompok D4 mempunyai warna hitam. Perubahan warna kecap disebabkan karena adanya reaksi browning antara asam-asam amino dengan gula pereduksi yang berasal dari penambahan gula jawa. Serta adanya reaksi karamelisasi dari gula jawa itu sendiri yang dipanaskan. Jenis gula yang terdapat dalam kecap ini adalah glukosa, galaktosa, maltosa, xilosa, arabinosa dan komponen gula alkohol, yaitu gliserol dan manitol. Warna kecap yang dihasilkan dipengaruhi oleh penambahan gula jawa. Penambahan gula jawa yang lebih banyak menyebabkan reaksi browning dan reaksi karamelisasi yang terjadi antara gula jawa dengan gula lainnya pada kecap dengan asam-asam amino (Kasmidjo, 1990).

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi mungkin dikarenakan suhu dan lama waktu pemasakan kecap, sehingga menghasilkan warna kecap yang lebih gelap meskipun hanya menggunakan gula jawa dalam jumlah yang sedikit. Selain itu, proses pemasakan kecap berlangsung pada suhu terlalu tinggi juga dapat membuat warna menjadi lebih gelap. Proses karamelisasi (browning) yang terjadi selama proses pemasakan memberikan hasil yang terlalu gelap pada kecap yang dihasilkan (Kasmidjo, 1990).

III. KESIMPULAN

Kecap kedelai merupakan produk fermentasi kedelai yang kaya akan flavor, baik flavor dari komponen volatil maupun komponen non volatil. Semakin banyak konsentrasi ragi yang digunakan, maka proses fermentasi lebih cepat. Konsentrasi ragi yang digunakan dapat mempengaruhi komponen di dalam kecap, yaitu jumlah etanol dan asam laktat. Tujuan perendaman memudahkan kedelai untuk menyerap air, sehingga akan memudahkan untuk menghilangkan kulit ari. Perebusan kedelai memerlukan waktu yang singkat karena pada saat perendaman biji kedelai telah menyerap air yang cukup banyak. Pengeringan dengan dehumidifier bertujuan untuk menurunkan kadar air dari kedelai agar mikroorganisme yang tidak dikehendaki mati. Tujuan perendaman dalam larutan garam yaitu untuk menimbulkan rasa asin dan sebagai bahan pengawet. Pengadukan dilakukan agar larutan garam dapat homogen dan memberikan udara untuk merangsang pertumbuhan khamir dan bakteri. Aroma kecap dipengaruhi oleh senyawa alkohol dan senyawa aromatik serta penggunaan bumbu saat pemasakan kecap. Perbedaan rasa kecap dipengaruhi oleh penggunaan bumbu terutama gula jawa. Kekentalan kecap dipengaruhi oleh jumlah gula jawa yang digunakan, semakin banyak penambahan gula jawa maka kecap akan semakin kental. Warna kecap yang dihasilkan dipengaruhi oleh penambahan gula jawa yang lebih banyak yaitu dapat menyebabkan reaksi browning dan reaksi karamelisasi.

Semarang, 25 Juni 2015Praktikan,Asisten Dosen,Abigail SharonFrisca Melia

Cristina Sella H12.70.0172IV. DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A. & Yulianawati, G. D. (2004). Perubahan Komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XV No 2. Bogor.

Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akadenika Pressindo. Jakarta.

Astuti, B. C. (2012). Karakteristik Moromi Yang Dihasilkan Dari Fermentasi Moromi Kecap Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.) Pada Kondisi Fermentasi Yang Berbeda. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan. Yogyakarta.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York.

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fukushima, D. (2004). Industrialization of Fermented Soy Sauce Production Centering Around Japanese Shoyu. Di dalam: Steinkraus, K. H. (ed.). Industrialization of Indigenous Fermented Foods Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Hidayah, Eka Y. & Wignyanto. & Mulyadi, A. F. (2013). Pembuatan Kecap Asin Dari Koro Benguk (Mucuna Pruriens) (Kajian Konsentrasi Garam Dan Waktu Fermentasi Moromi). Teknologi Industri Pertanian FTP UB.

Judoamidjojo, R. M., Gumbira Said, E. dan Hartoto, L. (1989). Biokonversi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Mao et al. (2013). Biochemical Changes in The Fermentation of The Soy Sauce with Bittern.Advance Journal of Food Science and Technology 5(2): 144-147.

Murooka & Yamshita. (2008). Traditional Healthful Fermented Products of Japan. J Ind Microbiol Biotechnol 35:791798.

Peppler, H. J. & D. Perlman. (1979). Microbial Technology, Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.

Purwoko, T. & Handajani, N. S. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Biodiversitas Volume 8, Nomor 2. Surakarta.

Rahayu, A. & Suranto. & Purwoko, T. (2005). Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Bioteknologi 2 (1): 14-20, ISSN: 0216-6887. Surakarta.

Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Tauco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Steinkraus et al. (1983). Handbook of Indigenous Fermented Foods. 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.

Tjahjadi et al. (2004). Kadar Karbohidrat, Lemak, dan Protein pada Kecap dari Tempe. Bioteknologi 1 (2):48-53, Nopember 2004 ISSN:0216-6887.

Tortora et al. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Winarno et al. (1973). Indonesian Fermented Foods. Bogor Agricultural University, Indonesia.

Winarno, F. G. (1986). International Soyfoods Symposium. Yogyakarta, September. Organized by Food Technology Development Centre, Bogor Agricultural University.

Yanfang & wenyi. (2009). Flavor and Taste Compounds Analysis in Chinese Solid Fermented Soy Sauce. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673-681.V. LAMPIRAN7.1. Viper

7.2. Laporan Sementara7.3. Jurnal