Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

21
KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Nama: Cristina Sella Haryanti NIM: 12.70.0172 Kelompok: A6

description

teknologi hasil laut - kecap ikan

Transcript of Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

Page 1: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :Nama: Cristina Sella Haryanti

NIM: 12.70.0172Kelompok: A6

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014

Page 2: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil Pengamatan Kecap Ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan

Kelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma Salinitas (%) Penampakan

A1 0,4% enzim papain ++ ++++ ++++ 3 ++

A2 0,8% enzim papain ++ +++++ ++++ 2,8 ++

A3 1,2% enzim papain ++ ++++ ++++ 3,3 ++

A4 1,6% enzim papain ++ +++++ ++++ 3,5 +++

A5 2% enzim papain ++ ++++ ++++ 2,8 +++

A6 2,5% enzim papain +++ +++ ++++ 3,3 +

Keterangan:

Warna Aroma

+ = tidak coklat gelap + = sangat tidak tajam

++ = kurang coklat gelap ++ = kurang tajam

+++ = agak coklat gelap +++ = agak tajam

++++ = coklat gelap ++++ = tajam

+++++ = sangat coklat gelap +++++ = sangat tajam

Rasa Penampakan

+ = sangat tidak asin + = sangat cair

++ = kurang asin ++ = cair

+++ = agak asin +++ = agak kental

++++ = asin ++++ = kental

+++++ = sangat asin +++++ = sangat kental

Berdasarkan pada tabel diatas bahwa, pada kelompok A1, A2, A3, A4, dan A5

mempunyai warna kurang coklat gelap, sedangkan A6 berwarna agak coklat gelap. Pada

parameter rasa, untuk kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah

asin, sangat asin, asin, sangat asin, asin, agak asin. Untuk parameter aroma kelompok

A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 adalah tajam. Dan nilai salinitas untuk kelompok A1, A2,

A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah 3%; 2,8%; 3,3%; 3,5%; 2,8%; 3,3%. Dan

yang terakhir adalah parameter penampakan untuk kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan

A6 secara berurutan adalah cair, cair, cair, agak kental, agak kental, sangat cair.

Page 3: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan kecap ikan dari limbah ikan tongkol.

Proses pembuatan kecap ikan ini, mula-mula tulang, ekor dan kepala dari ikan

tongkol dihancurkan sebanyak 50 gram dan dimasukan kedalam wadah fermentasi.

Kemudian, ditambahkan dengan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda

untuk setiap kelompoknya, yaitu 0,4% untuk kelompok A1; 0,8% untuk kelompok

A2; 1,2% untuk kelompok A3; 1,6% untuk kelompok A4; 2% untuk kelompok A5;

dan 2,5% untuk kelompok A6. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 3

hari.

Setelah diinkubasi selama 3 hari, maka hasil fermentasi disaring menggunakan kain

saring dengan air mineral sebanyak 250 ml. selanjutnya, filtrat direbus sampai

mendidih dan dilakukan penambahan bumbu-bumbu. Bumbu-bumbu tersebut

meliputi: bawang putih sebanyak 50 gram, garam sebanyak 50 gram, dan gula jawa

sebanyak 50 gram. Setelah mendidih, filtrat didinginkan. Kemudian, kecap ikan

disaring kembali dengan kain saring. Hasil saringan kedua ini merupakan kecap

ikan. Selanjutnya, dilakukan pengujian sensori meliputi warna, rasa, dan aroma,

kemudian diuji salinitas dan penampakannya.

Kamruzzaman et al., (2006) mengatakan bahwa, kecap ikan termasuk suatu produk

yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kecap ikan

sangat terkenal dikalangan dunia (khususnya Asia selatan dan tenggara). Vietnam

merupakan negara yang selalu mengkonsumsi kecap ikan pada bahan makanan

yang mereka olah. Penambahan kecap ikan dilakukan untuk memperkaya tubuh

akan zat besi, karena diketahui bahwa dalam kecap ikan banyak mengandung zat

besi yang berguna bagi tubuh (Fidler, 2003). Kecap ikan merupakan salah satu

produk tradisonal yang dibuat dari jenis ikan kecil, misalnya ikan kembung, ikan

betong, dan ataupun dari limbah ikan (Hendritomo et al., 2005). Menurut

Lopetcharat et al., (2001) mengatakan bahwa, pembuatan kecap ikan yang terkenal

ialah dengan menggunakan ikan teri (Stolephorus spp.), makarel (Ristrelliger spp.),

dan ikan haring (Clupea spp.). Namun, pernyataan tersebut juga didukung oleh

Page 4: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

Ireneous et al., (2006) bahwa, bahan bahan baku dalam pembuatan kecap ikan ini

adalah limbah ikan dan atau bagian kecil dari ikan/produk samping dari rumah

pengasapan ikan (kecuali bagian jerohan).

Afrianto & Liviawaty (1989) mengatakan, untuk membuat kecap ikan dilakukan

proses fermentasi. Proses fermentasi ada 2 macam, yaitu fermentasi menggunakan

garam dan fermentasi secara enzimatis. Dalam percobaan yang telah dilakukan

adalah fermentasi secara enzimatis, dimana yang digunakan ialah enzim papain

dengan berbagai konsentrasi. Enzim papain merupakan salah satu jenis enzim

protease yang berkemampuan untuk memecah ikatan peptida pada suatu substrat

dibawah kondisi tertentu yang memungkinkan (Lay, 1994). Enzim protease yang

dihasilkan dari enzim papain ini dapat bekerja dengan maksimal, jika digunakan

dibawah kondisi yang memungkinkan. Dimana pH, suhu, kemurnian dan

konsentrasi papain berada pada kondisi yang tepat (Muhidin, 1999). Pada saat

proses fermentasi terjadi kontaminasi, maka hasil dari kecap ikan yang dibuat tidak

sempurna (seperti rasa dan aroma yang dihasilkan tidak enak).

Pada proses pembuatan kecap ikan ini, mulai-mula limbah ikan dihancurkan

terlebih dahulu. Menurut Lay (1994), fungsi dari penghancuran ini adalah untuk

mempermudah proses pencampuran limbah ikan dengan bahan-bahan yang lain,

sehingga bisa terbentuk massa adonan yang homogen. Sedangkan menurut Saleh et

al. (1996), penghancuran menyebabkan permukaan bahan menjadi semakin luas,

sehingga rasio luas permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi, sehingga

kemampuan untuk melepas komponen flavornya semakin besar.

Selanjutnya, adanya proses inkubasi yang dilakukan selama 3 hari memiliki tujuan

yaitu untuk enzim papain dapat menghidrolisis ikatan peptida pada limbah ikan

tersebut (Soeparno, 1994). Sedangkan, perlakuan inkubasi pada suhu ruang adalah

jika suhu terlalu tinggi, maka enzim akan mengalami denaturasi. Hal ini sesuai

pendapat dari Gaman & Sherrington (1994) bahwa, enzim memiliki suhu optimum

yaitu sekitar 180C-230C atau maksimal 400C. Karena pada suhu 450C, enzim akan

terdenaturasi karena merupakan salah satu bentuk protein. Setelah inkubasi, maka

Page 5: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

dilanjutkan dengan penyaringan. Proses penyaringan ini bertujuan untuk menahan

padatan limbah ikan yang dihaluskan, sehingga diperoleh ekstrak cair yang murni.

Selanjutnya, dilakukan proses perebusan. Tujuan dari proses perebusan untuk lebih

mengaktifkan enzim protease, sehingga dapat bekerja secara optimal. Enzim

protease menjadi aktif pada temperatur 50oC-70oC selama proses pemasakan. Selain

itu, perebusan juga untuk mematikan mikroorganisme berbahaya yang terkandung

dalam kecap ikan selama proses fermentasi (Soeparno, 1994).

Pada proses penyaringan yang kedua ini dilakukan untuk membersihkan kotoran

yang berasal dari bumbu. Selama proses perebusan dilakukan penambahan bumbu-

bumbu yang telah dihaluskan sebelumnya. Menurut Desrosier & Desrosier (1977),

bumbu yang ditambahkan memberikan karakteristik sensoris pada produk kecap

ikan, yaitu memberikan aroma dan citarasa. Dan menurut Budi (1994),

penambahan gula jawa berfungsi untuk menentukan jenis kecap yang dihasilkan

(yakni kecap asin atau kecap manis), dimana setiap satu liter filtrat kecap asin

membutuhkan gula jawa sekitar 2,5 ons. Sedangkan, peran bawang putih berfungsi

untuk meningkatkan citarasa makanan dan mencegah pembusukan makanan.

Pada hasil analisa sensori yang dilakukan oleh seorang praktikan, didapatkan nilai

warna yaitu kurang coklat gelap (++) untuk kelompok A1, A2, A3, A4 dan A5.

Sedangkan warna agak coklat gelap (+++) untuk kelompok A6. Menurut Afrianto

& Liviawaty (1989), kecap ikan berwarna kekuningan sampai coklat muda banyak

mengandung senyawa nitrogen. Warna yang dihasilkan pada kecap ikan ini,

terbentuk karena adanya reaksi antara asam-asam amino dengan gula reduksi

(Kasmidjo, 1990). Hal ini menunjukan bahwa, hasil yang didapatkan oleh praktikan

\ada yang sesuai dan ada yang tidak. Hal tersebut dikarenakan adanya warna yang

berwarna kurang coklat gelap dan ada yang agak coklat gelap.

Warna dari kecap ikan yang dihasilkan juga tergantung dari pemberian enzim.

Semakin banyak enzim yang digunakan, maka warna kecap ikan akan semakin tua.

Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan praktikan, pada warna yang tergelap

pada pemberian enzim 2,5% yaitu agak coklat gelap. Namun, ada ketidaksesuaian

Page 6: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

pada kelompok A1, A2, A3, A4 dan A5 bahwa pada enzim papain degan

konsentrasi 0,4%; 0,8%; 1,2%; 1,6%; dan 2% mempunyai hasil warna yang sama

yaitu kurang coklat gelap. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena, pada pencucian

yang dilakukan dan penyaringan dapat berbeda-beda. Dimana semakin sedikit hasil

saringan yang didapat, maka pada saat ditambahkan dengan air dalam jumlah yang

sama akan berbeda konsentrasinya. Hal tersebut yang menyebabkan warna yang

didapat tidak selalu sesuai. Kesalahan lain ialah karena lamanya waktu

pemasakan/pemanasan tidak seragam yang menyebabkan reaksi karamelisasi dari

gula jawa yang digunakan juga berbeda, sehingga warna coklat yang timbul akibat

reaksi karamelisasi tersebut juga menjadi berbeda.

Parameter lain yang diamati ialah rasa. Semakin banyak penambahan enzim dalam

proses fermentasi dan inkubasi ikan, maka rasa ikan akan semakin berkurang. Pada

praktikum ini, rasa yang didapatkan adalah asin (++++) pada kelompok A1, A3 dan

E5. Dan rasa sangat asin (+++++) pada kelompok A2 dan A4. Serta rasa agak asin

(+++) pada kelompok A6. Semakin banyak kandungan papain, maka rasa yang

dihasilkan seharusnya tidak berasa ikan. Sedangkan hasil yang diperoleh kurang

sesuai, yaitu rasa kecap ikan yang tidak beraturan, tidak sesuai dengan konsentrasi

yang ada. Menurut pendapat dari Afrianto & Liviawaty (1989), hal ini terjadi

karena dalam proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain akan

terbentuk senyawa peptida yang dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang

sedap.

Parameter selanjutnya ialah aroma. Aroma yang didapat untuk semua kelompok

adalah tajam (++++). Berdasarkan Afrianto & Liviawaty (1989) bahwa, dalam

proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease terbentuk komponen

peptida, pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi menciptakan aroma yang

khas. Maka, dengan semakin kuatnya sifat proteolitik enzim, aroma amis dari ikan

akan semakin kuat. Jika proses enzimatis berjalan sempurna, maka akan terbentuk

rasa lain dari proses hidrolisis protein. Sehingga, aroma akan semakin tidak amis.

Namun pada praktikum ini, didapatkan aroma yang sama untuk semua kelompok.

Hal ini dapat terjadi karena, panelis melakukan kesalahan dalam membau kecap

Page 7: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

ikan. Karena adanya pengujian yang dilakukan terlalu banyak jenis sampel.

Kesalahan lain, karena adanya kandungan garam yang cukup besar yang diberikan

selama proses pemasakan. Garam dapat mengikat air, sehingga kelarutan enzim

sebagai protein akan berkurang dan selanjutnya kompleks enzim substrat sulit

terbentuk (Gaman & Sherrington, 1994).

Parameter selanjutnya adalah penampakan dan mengukur nilai salinitas. Untuk nilai

salinitas kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah 3%; 2,8%;

3,3%; 3,5%; 2,8%; 3,3%. Dan untuk parameter terakhir adalah penampakan untuk

kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah cair, cair, cair, agak

kental, agak kental, sangat cair.

Keberhasilan dari pembuatan kecap ikan secara enzimatis dipengaruhi oleh enzim

serta penambahan bumbu-bumbu yang ada. Menurut pendapat Muhidin (1999),

daya memecahkan molekul protein yang dimiliki papain dapat berlangsung apabila

pH, suhu, kemurnian dan konsentrasi papain berada pada kondisi yang tepat. Selain

itu, penambahan bumbu-bumbu juga harus diperhatikan karena berhubungan

dengan parameter yang dianalisa, seperti garam memiliki kemampuan mengikat air

atau gula jawa yang berpotensi mengatur warna dalam proses karamelisasi (Gaman

& Sherrington, 1994).

Namun, jika mengkonsumsi kecap ikan terlalu banyak akan menyebabkan kanker.

Hal ini terjadi disalah satu provinsi di Cina. Hal ini tidak lain karena kandungan

garam yang terlalu tinggi dan mampu mengeluarkan senyawa N-nitrosamida yang

menyebabkan terjadinya pemicu kanker (Lin, 2000).

Menurut jurnal “A study of chemical characteristics of soy sauce and mixed soy

sauce: chemical characteristics of soy sauce” dikatakan bahwa, kecap ikan adalah

salah satu diantara fermentasi tradisional. Kecap ikan diproduksi oleh fermentasi

ikan dan daging dengan konsentrasi garam yang tinggi. Pada saat fermentasi,

hidrolisis ikan dan daging protein terjadi sehingga adanya asam amino bebas,

peptida dan amonia.

Page 8: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

Menurut jurnal “Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with

intermittent aeration” dikatakan bahwa, kecap telah banyak digunakan sebagai

salah satu agen bumbu utama di negara-negara Asia. Dan pada fermentasi tertinggi

suhu 45°C, warna air garam fermentasi tampaknya paling gelap setelah jangka

waktu tertentu pematangan (Wu et al., 2010).

Menurut jurnal “Biochemical changes in low-salt fermentation of solidstate soy

sauce” dikatakan bahwa, pada hasil penelitian menunjukkan kandungan asam

amino tinggi dapat memberikan informasi berharga tentang optimal rendah garam

saus fermentasi. Meningkatkan rasa senyawa dalam rendah garam solid-state saus

fermentasi lebih penting dalam meningkatkan kualitas dibandingkan dengan negara

yang tinggi garam fermentasi kecapnya (Yanfang et al., 2009).

Menurut jurnal “Identification Of Halophilic Bacteria From Fish Sauce (Nam-Pla)

In Thailand. Journal of culture collections” dikatakan bahwa di Thailand, saus ikan

mengandung konsentrasi garam tinggi (25-30%, w/v NaCl), sehingga

mikroorganisme yang ditemukan selama produksi kecap ikan umumnya

diklasifikasikan sebagai halofilik bakteri (Tanasupawat et al., 2008).

Menurut jurnal “Microbiological Characterization of BUDU, an Indigenous

Malaysian Fish Sauce” dikatakan bahwa, Budu yang merupakan budaya fermentasi

campuran yang melibatkan strain fungsional diprotein ikan hidrolisis menjadi cair

dilarutkan. Kecap ikan adalah produk cair yang dikembangkan selama fermentasi

bahan ikan asin dalam tangki tertutup pada suhu tropis. Rasa yang unik dari kecap

ikan menarik banyak konsumen di seluruh dunia dan memiliki dampak keuangan

besar bagi negara-negara pengekspor. Kecap ikan Malaysia, cukup populer di

pantai timur Semenanjung Malaysia dan biasa dikonsumsi sebagai bumbu atau

penyedap agen hidangan tertentu (Yuen et al., 2009).

Menurut jurnal “Seasonal effects on the physicochemical characteristics of fish

sauce made from capelin (Mallotus villosus)” dikatakan bahwa, sampel untuk

produksi kecap ikan kemudian disusun berdasarkan kondisi optimal dengan

Page 9: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

mencampur tanah capelin dengan 10% garam dan inkubasi pada 50°C hingga 270

hari untuk capelin musim panas dan sampai 360 hari untuk capelin musim dingin.

Pembentukan warna coklat sangat cepat dalam saus panas ikan capelin tetapi

lambat dimusim dingin. Musim panas capelin dapat berhasil dimanfaatkan untuk

produksi kecap ikan tanpa enzim yang ditambahkan. Peningkatan suhu fermentasi

dapat mempersingkat waktu fermentasi kecap ikan, serta mengurangi konsentrasi

garam yang dibutuhkan untuk memproduksi protein konsentrasi melebihi 1,5-2,0%.

Pada pengolahan terdapat kandungan garam yang dikurangi dapat membantu untuk

meningkatkan tingkat fermentasi serta untuk meningkatkan sifat gizi dengan

mengurangi natrium konten (Hjalmarsson et al., 2007).

Menurut jurnal “Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria

in Fish Sauce” dikatakan bahwa, sebagian besar isolat ditoleransi konsentrasi garam

hingga 15% dan suhu hingga 45°C. Penelitian ini memberikan informasi baru

tentang amina biogenik bakteri pendegradasi, terisolasi dari garam berkonten tinggi

produk makanan. Kegiatan degradasi amina dari bakteri dianggap sebagai

ketegangan daripada spesies tertentu. Pada konten histamin dalam sampel kecap

ikan melebihi tingkat cacat 50 ppm dirancang oleh US FDA. Produk ini masih

dianggap aman karena konsumsi kecap ikan terutama sebagai bumbu mungkin

tidak menyebabkan asupan berlebihan (Zaman et al., 2010).

Page 10: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

3. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan salah satu produk tradisional yang diolah dengan cara

fermentasi.

Proses pembuatan kecap asin dalam praktikum ini menggunakan proses

enzimatis dengan adanya enzim papain.

Proses penghancuran pada bahan menyebabkan permukaan bahan menjadi

semakin luas, sehingga kemampuan untuk melepas komponen flavornya juga

akan semakin besar.

Inkubasi selama 3 hari bertujuan untuk mengoptimalkan jalannya proses

fermentasi, sehingga cairan kecap yang diperoleh juga akan semakin banyak.

Penyaringan bertujuan agar hasil fermentasi bebas dari kotoran.

Penambahan bumbu digunakan untuk menambah aroma dan citarasa.

Pemanasan bertujuan untuk mengaktifkan enzim protease agar dapat bekerja

secara optimal.

Semakin banyak enzim yang digunakan, maka warna kecap ikan akan semakin

tua (gelap).

Semakin banyak kandungan papain, maka rasa yang dihasilkan tidak berasa

ikan.

Semakin kuatnya sifat proteolitik enzim, aroma amis dari ikan akan semakin

kuat.

Terlalu banyak mengkonsumsi kecap ikan akan menyebabkan kanker.

Semarang, 28 September 2014

Praktikan, Asisten Dosen,

Cristina Sella Haryanti Yuni Rusiana

12.70.0172

Page 11: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

4. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.

Yogyakarta.

Budi, Hieronymus. 1994. Kecap & Tauco Kedelai. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas

Indonesia Press. Jakarta.

Fidler,M et al. (2003). Iron absorption from fish sauce and soy sauce fortified with

sodium iron EDTA1–3. American Society for Clinical Nutrition. America.

Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan

Mikrobilogi. UGM Press. Yogyakarta.

Hendritomo, H. I., S. Setyahadi, & S. Hadiwiyoto. (2005). Teknologi Pembuatan Kecap

Asin Secara Enzimatik Terkendali Untuk Industri Skala Menengah Dan Rumah

Tangga. http://www.google.com/search?

q=cache:nTtnrxmxXVEJ:www.iptek.net.id/ind/%3Fch%3Djsti%26id

%3D262+%22kecap+ikan%22&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id

Hjalmarsson, Gustaf Helgi. & Park, Jae W. & Kristbergsson, Kristberg. (2007).

Seasonal effects on the physicochemical characteristics of fish sauce made

from capelin (Mallotus villosus). Food Chemistry. Iceland.

Ireneous, N. S.; T. D. Kweku.; A. A. Wisdom. (2006). Physico-chemical and quality

characteristics of fish sauce produced from tuna processing wastes.

http://www.univ-ouaga.bf/conferences/fn2ouaga2003/abstracts/0711_FP_P4_G

hana_Soyiri.pdf.

Page 12: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

K. Lopetcharat and J.W. Park. (2001). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific

Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Oregon State

University Seafood Laboratory. Astoria.

Kamruzzaman, M.; F. Akter.;M. M. H. Bhuiyan.; M. G. Q. Khan.; and M. R. Rahman.

(2006). Consumers Acceptance and Market Test of Fish Sausage and Fish Ball

Prepared from Sea Catfish , Tachsurus thalassinus.

http://scialert.net/qredirect.php?doi=pjbs.2006.1014.1020&linkid=pdf.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta

Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Kim, Ji. & Lee, Young. (2008). A study of chemical characteristics of soy sauce and

mixed soy sauce: chemical characteristics of soy sauce. Eur Food Res Technol.

South Korea.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Lin Cai et al. (2000). Fish sauce and gastric cancer: an ecological study in Fujian

Province, China. World Journal of Gastroenterology. Beijing, China.

Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi

Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-

68.

Soeparno. (1994). Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Page 13: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

Tanasupawat, Somboon. & Namwong, Sirilak. & Kudo, Takuji. & Itoh, Takashi.

(2008). Identification Of Halophilic Bacteria From Fish Sauce (Nam-Pla) In

Thailand. Journal of culture collections. Thailand.

Wu, Ta Yeong. & Kan, Mun Seng. & Siow, Lee Fong. & Palniandy, Lithnes. (2010).

Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with intermittent

aeration. African Journal of Biotechnology. Malaysia.

Yanfang, Zhang. & lijuan, Wang. & Wenyi, Tao. (2009). Biochemical changes in low-

salt fermentation of solidstate soy sauce. African Journal of Biotechnology.

China.

Yuen, Sim Kheng. & Yee, Chye Fook. & Anton, Ann. (2009). Microbiological

Characterization of BUDU, an Indigenous Malaysian Fish Sauce. Borneo

Science. Malaysia.

Zaman, Muhammad Zukhrufuz. & Bakar, Fatimah Abu. & Selamat, Jinap. & Bakar,

Jamilah. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading

Bacteria in Fish Sauce. Department of Food Science. Malaysia.

Page 14: Kecap Ikan Cristina Sella Haryanti 12.70.0172 A6 UNIKA Soegijapranata

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Pengenceran 1 ml kecap ikan + 9 ml aquades

Konversi ‰ menjadi %

Rumus:

% Salinitas = hasil pengukuran

1000 x 100%

Kelompok A1

% Salinitas = 30

1000 x 100% = 3%

Kelompok A2

% Salinitas = 28

1000 x 100% = 2,8%

Kelompok A3

% Salinitas = 33

1000 x 100% = 3,3%

Kelompok A4

% Salinitas = 35

1000 x 100% = 3,5%

Kelompok A5

% Salinitas = 28

1000 x 100% = 2,8%

Kelompok A6

% Salinitas = 33

1000 x 100% = 3,3%

5.2. Diagram Alir

5.3. Laporan Sementara