Kebijakana Ikha m

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan- tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi. Campur tangan pemerintah inilah disebut sebagai “politik pertanian” (agricultural policy) atau “kebijakan pertanian”. Campur tangan pemerintah ini diperlukan untuk memutus rantai lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal, merupakan gambaran hubungan keterkaitan timbal- balik dari beberapa karakteristik negara berkembang (seperti Indonesia) berupa sumber daya yang ada belum dikelola sebagaimana mestinya, mata pencaharian penduduk yang mayoritas pertanian berlngsung dalam kondisi yang kurang produktif, adanya dualisme ekonomi ekonomi antara 1

Transcript of Kebijakana Ikha m

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi. Campur tangan pemerintah inilah disebut sebagai politik pertanian (agricultural policy) atau kebijakan pertanian. Campur tangan pemerintah ini diperlukan untuk memutus rantai lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal, merupakan gambaran hubungan keterkaitan timbal-balik dari beberapa karakteristik negara berkembang (seperti Indonesia) berupa sumber daya yang ada belum dikelola sebagaimana mestinya, mata pencaharian penduduk yang mayoritas pertanian berlngsung dalam kondisi yang kurang produktif, adanya dualisme ekonomi ekonomi antara sektor modern yang mengikuti ekonomi pasar dan sektor tradisional yang mengikuti ekonomi subsistem, serta tingkat pertumbuhan yang tinggi dengan kualitas sumber daya manusianya yang masih relative rendah.

1.2 Rumusan Masalah1) Bagaimana kebijakan pertanian mempengaruhi keputusan produsen, konsumen, dan para pelaku pemasaran dalam pelaksanaan pembangunan.2) Bagaimana sikap dan tindakan pemerintah dalam memajukan pertanian

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Kebijakan-Kebijakan Perencanaan dan Pembangunan Pertanian Pada Masa Pasca Kemerdekaan (Pemerintahan Soekarno, 1945-1966)Setelah Proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah negara Indonesia dihadapkan pada persoalan masih kentalnya struktur warisan kolonial, seperti masih beroperasinya perusahaan-perusahaan asing multinasional raksasa di bidang perkebunan dan pertambangan serta hancurnya tatanan mode produksi masyarakat Indonesia.Pemerintah justru lebih melihat pada pembangunan sistem pertanian daripada merubah sistem agraria yang ada. Hal ini dimulai sejak tahun 1945 lewat program peningkatan produksi padi, yang dilanjutkan lagi pada tahun 1947; dan baru terealisir pada tahun 1950 setelah situasinya stabil lewat pendirian Badan Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) sebagai badan penyuluh pertanian. Namun, karena keterbatasan dana, sistem penyuluhan tersebut tidak dapat berjalan, yang berakibat pada kecilnya kenaikan produksi padi. Hal tersebut kemudian memaksa pemerintah untuk mengimpor beras, dari 334.000 ton ditahun 1950 menjadi 800.000 ton ditahun 1959.Selanjutnya dimulailah Rencana Tiga Tahun Produksi Padi tahun 1959-1961 dengan target mencapai swasembada pangan pada tahun 1961. Untuk itu kemudian dibentuk Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) yang langsung diketuai oleh presiden Soekarno. Untuk memperbaiki sarana pertanian, dibentuklah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa. Ditingkat desa, dibentuk Pamong Tani Desa (PTD) yang bertugas membantu kepala desa mencapai swasembada beras. Di tahun 1959 juga dibentuk Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BMPT) yang bertugas meningkatkan penyediaan sarana produksi pertanian. Badan ini memiliki dua anak perusahaan yakni, padiSentradanMekatani. Padi Sentra bertugas mengadakan, menyalurkan dan menyediakan sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk, obat-obatan; sementara Mekatani bertugas membuka lahan baru secara mekanis terutama diluar pulau Jawa.Sejak tahun 1960-an mulai diadakan inisiatif perubahan dari bawah, khususnya lewat keaktifan dari kaum tani kecil dan buruh tani. Di tahun itu, dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur program pembaruan agraria, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mo. 5 tahun 1960 yang mengatur tentang landreform, Undang-Undang no. 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) no. 2 tahun 1960 yang mengatur sistem bagi hasil.Dengan ditetapkannya UUPA, maka sistem hukum kolonial yang menyangkut hukum agraria seluruhnya dicabut, peraturan-peraturan itu adalahAgrarische Wet (S. 1870-55), Domein-verklaring, Algemene Domeinverlklaring, Koninklij Besluitserta buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya mengenai bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuanHypotheek.Padatahun 1963/1964 dicetuskanlah Swa Sembada Bahan Makan (SSBM) dengan memperbaiki aspek perencanaan dan pembagian kerja, yang kemudian berwujud dalam penyelenggaraan pusat-pusat intensifikasi yang berfungsi juga sebagai pusat bimbingan untuk Koperasi Produksi Pertanian (KOPERTA), yang kemudian dikenal dengan nama DEMAS (Demonstrasi Massal). Program ini dianggap berhasil karena hasilnya sangat baik, sehingga arealnya diperluas 15 kali lipat pada bulan Juli 1965. Pada tanggal 10 Agustus 1965 nama DEMAS diganti dengan Bimbingan Massal (BIMAS) dengan luas areal 150.000 hektar di Jawa dan diluar Jawa. Namun September 1965 terjadi huru-hara G30S PKI yang menghancurkan seluruh bangunan pertanian nasional yang coba ditata oleh pemerintah Orde Lama. Hal tersebut ditandai dengan konflik politik yang kuat antara militer khususnya Angkatan Darat, dengan gerakan kiri Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun pada awalnya Soekarno mampu meredam terjadinya konfrontasi secara terbuka dari kedua belak pihak, namun peristiwa G 30 S PKI memicu perubahan konstelasi politik secara drastis. Yang kemudian akibatnya adalah:Pertama, terkonsolidasinya kekuatan anti PKI yang dimotori oleh militer serta partai-parta Islam.Kedua,gelombang demonstrasi terus-menerus, dengan ujung tombaknya pada tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang isinya antara lain: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Bubarkan kabinet Dwikora 100 mentri.Ketiga,penghancuran PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya. Naiknya Soeharto kepucuk pimpinan di Indonesia, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam arah pembangunan pertanian serta agraria di Indonesia. Warisan-warisan kolonial yang sebelumnya coba ditata ulang oleh Orde Lama, dihancur leburkan oleh kebijakan baru Orde Baru yang sangat berorientasi ke barat-baratan serta dikomuniskannya kebjiakan-kebijakan agraria yang pernah digagas oleh Orde Baru Lama. Hal tersebut menandai kebijakan baru dengan orientasi baru atau yang nantinya kemudian dikenal dengan kebijakan Revolusi Hijau pada massa Orde Baru.

2.2 Kebijakan-Kebijakan Perencanaan dan Pembangunan Pertanian Pada Massa Orde Baru 1967-1998Semenjak naiknya Seoharto dipuncak kekuasaan RI melalui kudeta berdarah atas Presiden Soekarno, dimulailah perubahan arah kebijakan secara besar-besaran pada berbagai diberbagai sektor khususnya sektor pertanian serta agraria menuju pada populisme kapiatalisme. Sebagai tandingan (counter) terhadap strategi populisme yang dianut oleh pemerintahan Soekarno, pemerintah Soeharto menerapkan idelogi baru, yakni pembangunanisme (developmentalisme). Setelahnya intensifikasi pertanian tanaman padi diperluas arealnya, sehingga muncul istilah INMAS (Intensifikasi Massal). Dengan penerapan tekhnologi baru, maka sejak tahun 1979 INMAS dikembangkan kedalam tiga macam program, yaitu INMAS, INMUM (Intensifikasi Umum) dan INSUS (Intensifikasi Khusus). Dengan hal itu, kini pertanian mengarah ke mekanisme pasar bebas, yang secaragrand designdisebut sebagai Revolusi Hijau.Apa yang melatarbelakangi kebijakan revolusi hijau tidak terlepas dari kelangkaan beras dipasaran kota-kota besar sepanjang rejim Orde Lama. Sejak masa kemerdekaan, impor beras (yang terutama ditujukan untuk kepentingan kota-kota besar) telah meningkat dari sekitar 0,3 hingga 1 juta ton (sekitar 10 % konsumsi domestik) diawal 1960-an, dan menyusut secara drastis hingga hanya menjadi 0,2 juta ton pada masa akhir-akhir pemerintahan Orde Lama. Pemerintah Orde Baru menyadari betul pentingnya ketersediaan bahan pangan, khususnya beras. Oleh karenanya, sejak awal tujuan program ini adalah meningkatkan produksi beras secara luar biasa, tanpa mengubah bangunan sosial pedesaan. Hal tersebut berbeda denganland reformyang berusaha merubah bangunan sosial pedesaan, melalui pemerataan penguasaan tanah.Untuk mendukung program tersebut, maka dipersiapkan berbagai kelembagaan desa, mulai dari penyediaan modaln (kredit berbunga murah) melalui KUT (Kredit Usaha Tani) atau Kupedes (Kredit Umum Pedesaan); alat produksi saprotan (sarana produksi pertanian) dari KUD : peningkatan tekhnologi pertanian seperti penyediaan traktor dan huller; proses produksi pertanian lewat intensifikasi masal (INMAS); penampungan dan pemasaran hasil produksi melalui KUD (Koperasi Unit Desa) dan BULOG (Badan Usaha Logisitik); dan koordinasi secara menyeluruh dari seluruh jajaran dan aparat negara, sejak dari Kabupaten hingga ketingkat desa dengan menggunakan jalur birokrasi sipil ataupun militer.Selain itu, program revolusi hijau memperoleh dukungan besar dari sumber-sumber pembiayaan anggaran pembangunan. Sumber pembiayaan negara ada dua unsur pokok :pertama, Pinjaman dan Hibah Internasional,kedua,Pendapatan dari Minyak Bumi.Pinjaman dan hibah internasional untuk Indonesia disalurkan melalui suatu kelompok badan donor, yang disebutInter-Govermental Group on Indonesia(IGGI). Sejak 1968, setiap tahun, IGGI telah memberi sejumlah dana yang jauh lebih besar dibandingkan seluruh penerimaan atau pengeluaran negara selama tahun-tahun pemerintahan Soekarno. Sedangkan pendapatan dari minyak bumi merupakan hasil dari lonjakan harga minyak per barrel dari US$ 3 menjadi US$ 12 dalam tahun 1974, dan selanjutnya naik sampai US$ 36 ditahun 1982. Jika dilihat lebih dalam, kebijakan Revolusi hijau merupakan cerminan jalan pintas atau kefrustasian pemerintah, hal tersebut dikarenakan terjadinya proses simplifikasi atas pengertian serta hubungan antara agraria dan penyediaan pangan. Dibangunnya pabrik-pabrik yang memproduksi pupuk dalam skala besar, saluran-saluran irigrasi meskipun harus menggusur tanah rakyat, kenyataannya memang telah menghasilkan suatu peningkatan signifikan atas produksi pangan dan berimbas pada penurunan kemiskinan di pedesaan.Para petani di Jawa menghasilkan padi dua kali lipat dibandingkan di masa akhir 1960-an. Sehingga Indonesia yang tadinya mengimpor beras jutaan ton dimasa Orde Lama, pada 1985 bisa mengalami swasembada beras. Namun dibalik prestasi Swasembada Beras tersebut, terdapat suatu proses yang biasa disebut sebagai diferensiasi agraria, yaitu suatu pergeseran kelompok-kelompok sosial yang merupakan akibat dari masuknya unsur baru disektor agraria.Hanya 20 30% rumah tangga pedesaan yang diuntungkan dengan revolusi hijau. Mereka bukanlah petani-petani yang independen, melainkan bergantung pada subsidi negara dan perlindungan extra ekonomi negara dengan mengkonsentrasikansejumlah tanah dan menggunakan sejumlah tekhnologi baru dalam proses produksinya. Konsekuensinya, lambat laun mereka menjadi kapitalis-kapitalis pertanian, yang memperkejakan buruh tani untuk tanah-tanahnya yang cukup luas.Fakta yang terlihat menyadarkan kita bahwa petani pemilik lahan dengan luas lebih dari 0,5 ha hanya sekitar 20 % sedangkan sebagian besar masyarakat di desa hanya memiliki sedikit tanah (kurang dari 0,25 ha) lebih dari itu adalah mereka yang tidak punya sawah sama sekali.Model modernisasi pertanian lewat input modal besar-besaran ini dalam kenyataannya tidak membawa keuntungan bagi kaum petani. Yang diuntungkan pertama-tama adalah orang kota, yaitu para pengusaha, korporasi-korporasi multinasional dan para importir bibit, obat-obatan, traktor, pembangunan irigasi, pompa air, pestisida dan lain-lain. Demikian pula paket BIMAS yang telah disusun sedemikian rupa, ditemukan kenyatan bahwa hanya 38 % saja petani yang dapat memanfaatkan program BIMAS dan INMAS. KUD lebih banyak dikuasai oleh kelompok tertentu dalam elit desa, yang biasanya terdiri dari petani kaya, pejabat, pedagang dan lain-lain yang memperalat KUD tanpa ada rakyat yang berani mengontrol. Desakan dari pemerintah dan tekanan dari kebutuhan masyarakat modern menciptakan apa yang dinamakan keterpaksaan ekonomi. Dalam arti itu, sebenarnya yang terjadi bukan perubahan dari subsisten ke komersial melainkan perluasan pola tingkah laku subsisten ke wilayah-wilayah negara dan kebutuhan masyarakat modern. Artinya pola tingkah laku dasarnya tidak berubah, yakni bertahan hidup (survival). Yang berubah adalah intensitas dan ekstensitas garapannya. Kalau dahulu perhitungannya dibuat dalam tawar-menawar dengan kekuasaan negara dan kebutuhan modern yang digerakkan oleh industrialisasi.Terbukti kejayaan tersebut tidak berlangsung lama. Memasuki tahun 1990-an, sistem perekonomian nasional mulai kolaps. Hal ini sebagai akibat status seluruh dana yang digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi nasional merupakan suntikan hutang luar negeri. Ketika suku bunga naik, maka beban hutang tersebut juga memburuk sampai menjadi rintangan paling berat untuk pembangunan, sehingga ketika masa pinjaman telah jatuh tempo pemerintah menjadi gagap.Kenyataannya Swasembada beras hanya mampu bertahan selama kurang lebih 5 tahun. Setelah tahun 1990, impor beras Indonesia terus melonjak dan tidak pernah turun lagi sampai saat ini. Realitas ini mengindikasikan bahwa kemajuan dalam produksi tidak diikuti oleh kemajuan kesejahteraan petani. Sebabnya adalah, kemajuan dalam berproduksi bukan didorong oleh semangat menyejahterakan diri, tetapi lebih oleh keterpaksaan ekonomi dan atmosfir ketakutan.Disisi lain, Orde Baru juga melahirkan satu prodak hukum yang khusus menyangkut pangan, yaitu Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996, tentang Pangan. Kelahiran produk ini merupakan sebuah pra-kondisi dari industri pangan menjadi industri modern yang siap bersaing dipasar modern. Imbasnya, corak industri pangan hanya sekedar mementingkan kebutuhan keluarga dan subsisten, disesuaikan dengan tuntutan perubahan dan kebutuhan hidup yang berpacu cepat kearah efesiensi serta produktifitas yang tinggi. Yang berarti, bahwa industri pangan nasional menuju kearah industri dengan aplikasi tekhnologi dan manajemen modern dalam rangka memperoleh nilai tambah lebih tinggi dengan sistem produksi yang berorientasi pada kebutuhan dan mekanisme pasar.Munculnya UU Pangan No. 7 tahun 1996 merupakan sebuah produk hukum yang tidak terpisahkan dengan diratifikasinya pembentukan WTO melalui Undang-undang nomor 7 tahun 1994 tentang persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) pasca Putaran Uruguay yang berlangsung dari tahun 1986-1994. Sesuai dengan yang sudah digariskan dalam pelembagaan WTO, Indonesia diharuskan untuk melaksanakan proses liberalisasi pada berbagai sektor khususnya sektor pertanian yang terkandung dalamAgreement on Agriculture(AOA).Krisis ekonomi yang menerpa Asia Tenggara serta bangsa Indonesia khususnya, membuat bangsa Indonesia juga harus mengikuti petunjuk-petunjuk IMF dalam menyelesaikan persoalan krisis yang sedang melanda, yang terangkum dalamStructural Adjusment Program(SAP). Kebijakan SAP pada dasarnya berisi beberapa kebijakan struktural seperti: privatisasi, dergulasi serta liberalisasi. Inti dari kebijakan tersebut adalah pengurangan peran negara dalam mengatur kebijakan-kebijakan nasionalnya.MelaluiStructural Adjusment Program(SAP) yang diturunkan dalam berbagai program setiap tahunnya yang terangkum dalamLetter of Intend(LoI), menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk bagi sepak terjang ekspansi pasar bebas. SAP sendiri memuat beberapa program pokok seperti liberalisasi, deregulasi dan privatisasi.Dengan posisi tawarnya yang lemah, petani-terutama dinegara-negara berkembang, termasuk Indonesia-akhirnya hanya dijadikan obyek dan bulan-bulanan kepentingan ekonomi global yang dihela segelintri TNCs. Inilah yang disebut sebagai restrukturisasi global dalam pertanian dan pangan (global restructuring of agro- food system).Alhasil, kalangan petani lokal semakin tergantung pada paket tekhnologi (bibit, pupuk, pestisida dan paten) yang disediakan secara monopolis oleh segelintir pengusaha agroindustri TNCs. Kondisi tersebut akan membuat ketahanan pangan rumah tangga, komunitas, masyarakat, dan bahkan suatu negara menjadi sangat rentan dan rapuh.

2.3 Kebijakan-Kebijakan Perencanaan dan Pembangunan Pertanian Pada Masa ReformasiLengsernya Jendral Soeharto dari puncak kekuasan RI pada tanggal 21 Mei 1998 akibat krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1997, bukan berarti terhapusnya struktur kebijakan Orde Baru oleh pemerintahan-pemerintahan selanjutnya. Selain persoalan struktural seperti birokrasi yang korup dan sentralistik, krisis moneter juga membawa dampak yang besar bagi perekonomian nasional.Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang hingga mencapai angkaRp 17.000 per dollar AS pada bulan Juni 1998, angka inflasi yang mencapai 11,5 % pada tahun 1997 dan 34,22 % pada tahun 1997/1998, melambungnya harga sembako, tingginya angka pengangguran dan kriminalitas akibat PHK masal, stabilitas keamanan yang kacau akibat huru-hara sosial diberbagai daerah, hutang luar negeri yang terus membengkak dan lain sebagainya, membawa bangsa Indonesia kedalam kondisi yang sangat memprihatinkan.Naiknya wakil presiden BJ Habibie menjadi presiden RI, sebagai pemerintahan transisi menggantikan Jendral Besar Soeharto setelah pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998, terbukti tidak menghasilkan suatu perubahan yang signifikan khususnya berkaitan dengan persoalan pangan serta pertanian. Pada masa pemerintahannya praktis hampir tidak ada kebijakan populis yang dilakukan untuk menangani persoalan pangan yang semakin memperihatinkan. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Masih tunduknya Indonesia dengan lembaga-lembaga Internasional seperti IMF, World Bank serta WTO, membuat pemerintahan Habibie seolah tak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.Diikutinya kebijakan perluasan pasar yang disepakati dalam perjanjian WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar didunia, yaitu 4,8 juta ton beras pada tahun fiskal 1998/1999. Semenjak krisis 1998, bahkan tarif bea masuk beras sempat menjadi 0 % akibat desakan IMF (hal yang sama juga terjadi pada gula, kedelai, jagung, telur dan gandum) yang merupakan skandal yang paling merugikan jutaan petani Indonesia.Sejak itu, maka telah memicu babak baru dalam sejarah perberasan nasional. Ada tiga unsur liberalisasi pertanian yang berdampak kuat terhadap kebijakan perberasan, yaitu:

1) Subsidi pupuk dicabut pada tanggal 2 Desember 1998, diikuti dengan liberalisasi ekonomi pupuk yang sebelumnya dimonopoli PUSRI. Akibatnya biaya produksi melonjak, hingga HDG (Harga Dasar Gabah) dinaikkan dari Rp.1000,- per kg menjadi Rp. 1400,- sampai Rp. 1500,- per kg tergantung wilayahnya; 2) Monopoli impor beras oleh BULOG dicabut pada akhir 1999. Impor kini terbuka bagi siapa saja sehingga tidak terkontrol;3) Yang paling fatal adalah bea masuk komoditas pangan dipatok maksimum 5 %. Bagi beras walaupun monopoli impor BULOG dicabut, bea masuk tetap 0 %. Dampaknya adalah derasnya arus impor beras, gula dan bawang merah yang sangat memukul petani kita.

Hal tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang mengalami kerawanan akibat tidak berdaulatnya kebijakan pangan nasional karena besarnya pengaruh / intervensi asing atas pengelolaan kebijakan pangan khususnya. Pada tahun 2000 ada sekitar 10 juta anak-anak Indonesia yang menderita kekurangan energi protein (KEP) seperti dilaporkan United Nations Children's Fund (Unicef). Ada pula 2,4 juta anak di bawah umur lima tahun (balita) yang menderita gizi buruk dan tujuh juta anak balita yang menderita gizi kurang, berdasar data yang diperoleh lewat Survey Sosial Hasil Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1998Harapan baru akan adanya perubahan sempat muncul ketika Abdurrahman Wahid (atau lebih akrab disapa Gus Dur) yang berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri maju sebagai presiden RI dan wakil presiden RI pada pemilu 1999. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid pembangunan sektor pertanian khususnya dalam kebijakan pangan coba diarahkan melalui GBHN 1999-2004 yakni dengan mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan, serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang- undang.Namun pada kenyataannya proyeksi sistem ketahanan pangan yang coba didorong oleh pemerintahan Gus Dur kemudian berbenturan dengan kebijakan yang sudah disepakati oleh pemerintahan sebelumnya terkait dengan kebijakan liberalisasi yang telah disepakati dengan IMF. Meskipun kemudian ada kesepakatan dengan IMF untuk menerapkan bea masuk beras sebesar Rp. 430,- per kg mulai 1 Januari 2000 (dinaikkan menjadi BM 30%), akan tetapi sudah terlambat, karena stok yang berasal dari impor telah memenuhi gudang-gudang importir, sehingga harga domestik anjlok.Bahkan dikeluarkannya Keppres No. 29 tahun 2000 pada tanggal 26 Februari yang memangkas kewenangan BULOG sehingga meskipun masih mempunyai kewenangan manajemen logistik beras, tetapi fungsi lembaga ini tinggal menjadi mirip usaha dagang atau tengkulak ketimbang badan penstabil harga seperti sebelumnya. Setelahnya berbagai peraturan tingkat Keppres, Inpres dan peraturan menteri dikeluarkan tanggal 1 Februari 2001, yang isinya memberlakukan liberalisasi perdagangan barang. Termasuk yang diatur adalah berbagai barang kebutuhan, seperti gula, tepung terigu, cengkeh serta berbagai komoditas pertanian dapat diperjualbelikan didalam maupun diluar negeri secara lebih bebas. Selain itu hambatan-hambatan impor seperti bea masuk (BM) dan proteksi lainnya dihapuskan atau diturunkan secara tajam.Akibat dari semua kebijakan liberalisasi itu adalah bermainnya aktor-aktor kuat (pedagang, importir besar pemburu rente) dalam masalah perberasan, yang kini dapat bermain dipasar untuk meraup untung besar. Dampak dari hal tersebut adalah melonjaknya impor beras swasta yang mencapai 627,142 ton selama Agustus hingga September 2001. Juga pembelian BULOG atas beras Vietnam sebanyak 500.000 ton yang memicu lonjakkan harga beras dunia. Selanjutnya kebijakan tersebut juga memicu berbagai rentetan persoalan dimana pada awal tahun 2002 harga beras paling murah sempat mencapai Rp. 3700,- /kg dan kualitas super bahkan mencapai Rp. 6000,-/kg. Dalam sepekan lonjakkan harga bisa mencapai Rp. 1000,-/kg, bahkan pernah dalam satu hari melonjak sampai Rp. 500,-/kg.Ini sangat kontras dengan nasib petani, yang pada waktu itu meskipun ada peningkatan produksi dari 6,2 ton/hektar pada tahun 2000 menjadi 6,4 ton/ hektar ditahun 2001, namun sudah harus menjual seluruh hasil panennya pada panen raya dengan harga Rp. 900,-/ kg. Sementara ketika mereka harus membeli beras dipasar, harganya sudah tinggi sekali yaitu antara Rp. 3200,- hingga 4000,-/ kg. Apalagi hal itu juga diperparah dengan meningkatnya biaya produksi akibat lonjakkan pupuk dan obat-obatan, dimana harga pupuk pada tahun sebelumnya seharga Rp. 108.000,-/ kuintal, menjadi Rp.130.000,-/ kuintal. Padatahun 2003, isu impor pangan menjadi perdebatan yang serius, terutama impor beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar 210 juta penduduk Indonesia. Pada tahun 2001 dan 2002 impor beras Indonesia masih sangat tinggi sekaligus menduduki rangking pertama di dunia yaitu sebesar 3,5 juta ton. Dan sampai bulan Februari 2003 impor telah mencapai 3,25 juta ton.Hal ini menujukkan bahwa pemerintah sangat longgar dalam menetapkan kebijakan impor beras, dimana arus impor beras sedemikian deras, sementara tidak ada satupun argumen yang meyakinkan untuk mengharuskan impor beras dibuka sedemikian lebarnya. Tidak hanya beras, namun juga benih padi. Perdebatan tentang impor benih padi hibrida dari Cina sungguh sebuah berita yang mengejutkan berbagai pihak. BULOG secara resmi telah diubah statusnya menjadi Perum Pangan berdasarkan PP No 7 tahun 2003. Dalam fungsinya yang baru maka Bulog akan melakukan impor atas dasar permintaan dalam negeri dan hitung hitungan keuntungan. Walaupun banyak dibantah oleh pejabat di Bulog bahwa Bulog masih akan menjalankan peran sosial dalam memberikan stok pangan untuk hajat hidup orang banyak, namun kenyataan membuktikan lain. Beberapa bulan setelah ganti baju menjadi Perum, Bulog terlibat dalam imbal dagang produk pangan dengan Pesawat Sukhoi produk Russia. Argumen yang dikembangkan adalah soal keuntungan yang didapatkan dari imbal dagang tersebut. Hal ini menegaskan bahwa apapun akan dilakukan Bulog sepanjang proses tersebutmenguntungkan secara hitungan bisnis. Pada tahun 2003 ini telah terbukti bahwa bisnis pangan ala Bulog telah menjadi lahan menangguk keuntungan berlebihan bagi para pelaku bisnis besar tanpa mempedulikan nasib rakyat banyak.Pemerintahan Megawati Soekarnoputri melanjutkan tradisi ritual kebijakan seperti pemerintahan, yang selalu ingin menyenangkan hati petani sehabis anjloknya harga gabah pada panen raya yaitudengan mengeluarkan Inpres Nomor 9 tahun 2003 tentang harga dasar atau tepatnya kebijakan referensi harga pembelian pemerintah (HPP) kepada petani. Namun sama dengan Inpres sebelumnya tentang hal yang sama, persyaratan teknis tidak mengalami perubahan seperti kadar air maksimum 14 %, butir hijau 5 %, dan seterusnya. Harga pembelian Perum Bulog dinaikkan Rp. 1519 per kg menjadi Rp. 1575 per kg untuk gabah dan dari Rp. 2.470 perkilogram menjadi Rp. 2750 per kg. Namun demikian menjadi suatu hal yang serius ketika media massa memberitakan bahwa harga gabah di berbagai tempat jatuh, sampai dibawah Rp. 1000 per kg. Lagi-lagi perdebatan klasik soal harga dasar kembali muncul dengan suatu pertanyaan seberapa efektif kebijakan harga dasar mampu meningkatkan kesejahteraan petani? Pemerintah tidak berubah dalam carapandangnya dengan membuat kebijakan harga terpisah dari kebijakan pangan secara keseluruhan. Dalam hal ini kebijakan harga dilihat sebagai satu satunya instrumen untuk menolong petani, sementara dalam Inpres 9/2003 tidak memuat soal sistem penunjang maupun pendukung untuk tercapainya harga pembelian pemerintah (HPP), tidak ada kebijakan untuk menjaga paritas harga antara harga beras domestik dengan harga beras internasional. Secara inti adalah tidak ada visi yang intergral dalam kebijakan pangan secara umum, semua sepotong sepotong tergantung momentum politis yang tepat untuk menyelamatkan muka pemerintah berkuasa semata.Pertentangan kasus regulasi impor beras dan gula antara Departemen Pertanian dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, semakin memperjelas betapa yang terjadi bukan hanya ketidaksamaan visi dalam Kabinet, namun semakin memperjelas ego-sektoral diantara dua jajaran departemen untuk melindungi kepentingan departemennya.Beberapa persoalan klasik lainnya terus berlanjut di tahun di 2003, tanpa ada upaya yang jelas dalam mengatasinya seperti penyelundupan bahan pangan pokok diperbatasan maupun pelabuhan pelabuhan resmi, kerentanan pangan diberbagai komunitas di daerah daerah pelosok nusantara, peningkatan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dan berbagai sengketa agraria di berbagai wilayah perkebunan baik milik pemerintah maupun swasta. Dari data tersebut sangat jelas bahwa Indonesia mengimpor pangan dalam jumlah yang sangat besar tiap tahunnya. Produk pangan utama seperti beras dan gula selain untuk kecukupan bagi rakyat juga sebagai sumber pendapatan bagi mayoritas petani.Pada tanggal 20 Oktober 2004, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla diangkat menjadi Presiden dan wakil Presiden periode 2004-2009, setelah memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua secara langsung pada bulan September 2004. Tidak jauh dengan pemerintahan sebelumnya pasangan presiden dan wakil presiden SBY-JK, tetap tidak melakukan perubahan secara mendasar persoalan pangan di Indonesia. Bahkan pemerintah SBY-JK masih cenderung menggunakan pola-pola lama seperti yang telah dilakukan pada masa Orde Baru, yakni mengandalkan bantuan asing, hutang dan investasi luar negeri, serta melakukan pendekatan jalan pintas dalam menangani persoalan pangan yakni melalui revolusi hijau bukannya melalui reformasi agraria.Program Revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK) yang coba dicanangkan oleh rezim pemerintahan SBY guna menjawab penanggulangan persoalan kemiskinan di Indonesia menjadi tidak memiliki arah yang jelas. Hal ini mengingat sekitar 60 % petani di Indonesia adalah petani gurem yang hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Lebih parahnya, sekitar 70 % petani hanya menguasai sekitar 13 % lahan, sementara sisanya dikuasai oleh 30 pemilik lahan skala besar. Dalam persoalan pangan pemerintah masih menekankan pada paradigma ketahanan pangan daripada kedaulatan pangan, sehingga persoalan pangan selalu dipandang dengan ketercukupan kebutuhan pangan nasional daripada membangun kekuatan pangan nasional yang mandiri dan kuat. Maka wajar jika pada masa pemerintahan SBY kebijakan impor masih menjadi salah satu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional.Ketertundukan pemerintahan SBY-JK, terhadap modal internasional, diawali ketika 70% anggaran di APBN ditujukanuntukpembayaran hutang luar negeri, untuk itulah kemudian untuk menutupi pembiayaan di sektor lain pemerintahan SBY-JK mengeluarkan kebijakan-kebijakan sosial yang sesuai dengan kehendak modal internasional bahkan mendapatkan pujian dari IMF - namun justru merupakan tindakan yang melawan hukum ditandai dengan tuntutan judicial review dari gerakan masyarakat sipil demokratis - dan bertentangan nilai-nilai demokrasi, ketika pemerintah tidak memperdulikan protes masyarakat dan justru di beberapa kasus melakukan tindakan represif (kriminalisasi atas sikap kritis masyarakat).Sebagai contoh adalah terbitnya Peraturan Presiden Nomer 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres 36) adalah kebijakan legal yang lahir sebagai respon atas KTT Infrastruktur (Infrastructure Summit), selain bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya (Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria; Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan menafikan protes masyarakat, semakin menghilangkan akses masyarakat kepada sumber-sumber agraria, dan semakin hilangnya lahan pertanian untuk kepentingan infrastruktur akan membawa dampak pada situasi rawan pangan.Pada kenyataannya program revitalisasi pertanian SBY hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan yang lebih hakiki yakni soal akses atas pangan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Aspek akses mendapat ancaman serius dengan naiknya BBM dan tidak serta merta selesai dengan kompensasi BBM dalam bentuk bantuan langsung tunai.Hal tersebut kemudian semakin diperparah dengan menurunnya produksi pangan dunia akibat adanya perubahan iklim global akibat pemanasan global serta konversi bahan pangan ke energi yang dipicu kenaikkan oleh kenaikan harga minyak. Produksi gandum Amerika, Australia, Kanada dan Rusia menurun dari 622 juta ton tahun 2005 menjadi 593 juta ton pada tahun 2007 yang memicu kenaikan harga dari USD 4,52 per bushel pada 2006 menjadi US D 9,93 per bushel tahun 2007.Selain faktor eksternal, kelangkaan pangan juga dipicu faktor internal yang dipicu oleh konversi lahan pertanian yang terus meningkat dari 110 ribu ha ditahun 2002, menjadi 145 ribu ha ditahun 2006. Hal ini dipicu oleh menurunnya produktivitas sektor pertanian yang pada tahun 1997 sebesar Rp 1,7 juta sedangkan sektor industri mencapai Rp 9,5 juta (1:5,58) sedangkan kondisi pada tahun 2005 adalah sebesar Rp 6,1 juta untuk sektor pertanian dan Rp 41,1 juta untuk sektor industri (1:6,73). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi semakin tidak menarik. Puncaknya adalah berbagai peristiwa busung lapar, gizi buruk dan lain sebagainya yang menimpa bangsa Indonesia, akibat salah urusnya kebijakan pangan dari waktu ke waktu.Busung lapar dan kekurangan gizi yang terjadi sejak tahun 2007 dan masih terus meningkat angkanya pada tahun 2008 membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah banyak kali menyengsarakan masyarakat.Hingga saat ini, masalah krisis pangan masih menjadi tanda tanya besar untuk kepemimpinan yang ada yang masih dipegang oleh SBY dengan partner barunya Boediono. Semoga saja berbagai kebijakan yang akan diambil nantinya akan memperbaiki kondisi masyarakat kita yang sudah terpuruk secara luar biasa.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanKebijakan pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat.Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk.

Politik pertanian merupakan sikap dan tindakan pemerintah atau kebijaksanaan pemerintah dalam kehidupan pertanian. Kebijaksanaan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu , seperti memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efesien produksi naik, tingkat hidup petani lebih tinggi, dan kesejahteraan menjadi merata.Politik pertanian dalah campur tangan pemerintah di sektor pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan efesiensi yang menyangkut alokasi sumber daya untuk dapat menghasilkan output nasional yang maksimal dan memeratakan pendapatan, yaitu mengalokasikan keuntungan pertanian antargolongan dan antardaerah, keamanan persediaan jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA

http://hogaboawae.blogspot.com/2012/01/agama.htmlhttp://anakekp.blogspot.com/2013/10/makalah-kebijakan-pertanian.html

9