Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur...

87
KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR SEBAGAI PRESIDEN RI KE-4 TERHADAP REFERENDUM ACEH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) Oleh Yastri Rustina NIM: 103022027529 Di Bawah Bimbingan Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A NIP: 150 240 083 PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H. /2008 M.

Transcript of Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur...

Page 1: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR

SEBAGAI PRESIDEN RI KE-4 TERHADAP

REFERENDUM ACEH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh

Yastri Rustina

NIM: 103022027529

Di Bawah Bimbingan

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A

NIP: 150 240 083

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H. /2008 M.

Page 2: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4

Terhadap Referendum Aceh telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06 Juni 2008.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Humaniora (S. Hum.) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 06 Juni 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M. A Usep Abdul Matin, S.Ag, M. A, M. A NIP: 150 247 010 NIP:150 288 391

Anggota

Penguji, Pembimbing Dra. Hj. Tati Hartimah M. A Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M. A NIP: 150 240 484 NIP: 150 240 083

Page 3: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR SEBAGAI PRESIDEN RI KE-4 TERHADAP REFERENDUM ACEH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora

Oleh

Yastri Rustina

NIM: 103022027529

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H. /2008 M.

Page 4: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 06 Juni 2008

Yastri Rustina

Page 5: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

ABSTRAK

Yastri Rustina Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden Gus Dur dalam menghadapi referendum Aceh adalah mengadakan dialog dengan masyarakat Aceh dengan damai. Tuntutan referendum dengan opsi merdeka tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah karena persoalan Aceh masih bisa diatasi dengan cara lain salah satunya melalui dialog. Selain itu pula Presiden Gus Dur berhasil mengadakan perundingan dengan GAM yang dilakukan di Swiss dan menghasilkan adanya Jeda Kemanusiaan di Aceh. Pernyataan Gus Dur mengenai persetujuan dilaksanakannya referendum di Aceh bukanlah suatu kebijakan akan tetapi itu hanyalah pernyataan pribadi dari Presiden Gus Dur. Referendum Aceh merupakan tuntutan dari masyarakat Aceh dimana di dalamnya terdapat dua opsi pilihan yaitu berpisah dari Indonesia atau tetap bergabung. Referendum ini berawal dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat dari masa Soekarno sampai masa Orde Baru pimpinan Soeharto, dimana saat itu diberlakukannya Daerah Operasi Militer atau yang biasa disebut DOM. DOM diberlakukan untuk menumpas Gerakan-Gerakan Pengacau Keamanan akan tetapi pada prakteknya rakyat Aceh yang tidak bersalah menjadi korbannya. Referendum muncul dari demonstrasi para mahasiswa yang terinspirasi oleh peristiwa Timor Timur. Dalam perkembangannya mereka mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh yang kemudian mengadakan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh yang menghasilkan dua opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kebijakan seorang presiden dalam hal ini Presiden Gus Dur menangani masalah referendum Aceh ini. Melalui berbagai sumber Presiden memang sempat mengemukakan bahwa ia setuju dengan adanya referendum di Aceh namun dalam referendum tersebut tidak ada opsi merdeka ia hanya menawarkan otonomi khusus ataupun otonomi istimewa.

Page 6: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

KATA PENGANTAR

Bismillahhirahmanirrahim.

Puji beserta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan nikmat iman dan islam dan hanya dengan ridho dan inaya-Nya-lah

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam

senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para

sahabatnya serta para pengikutnya.

Akhirnya dengan limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui

dalam mencari sumber pustaka maupun wawancara, namun banyak pengalaman

yang penulis dapat dari kesulitan dan hambatan tersebut. Alhamdulillah hal

tersebut dapat teratasi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk

itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing

Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.

2. Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, MA, MA,

selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

3. Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A, selaku Dosen Pembimbing

Skripsi yang telah memberikan pengarahan yang sangat berharga kepada

penulis sampai tulisan ini selesai.

Page 7: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu

pengetahuan, semoga penulis dapat memanfaatkan dan mengamalkan

dengan baik sesuai dengan syariat Islam serta berguna bagi agama, nusa

dan bangsa.

5. Hormat dan bakti penulis yang tertinggi dan setulus-tulusnya kepada

Bapak dan Ibu-ku Tercinta dan Tersayang yang selalu memberikan

limpahan kasih sayang hingga penulis dapat menempuh pendidikan

dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan

limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Dan untuk

keluarga besarku yang tercinta keberadaan kalian sangat berarti bagi

penulis.

6. Bapak Dr. H Muchtar Aziz MA yang telah bersedia meluangkan waktu

untuk diwawancarai oleh penulis sebagai sumber tulisan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Untuk nene-neneku di SPI (Sulis, Ipunk, Babay, Nuril, Riza, Dena, Sinta,

Rara) semoga persahabatan kita akan terus berlanjut tidak hanya sebatas

masa kuliah. Sahabat-sahabatku yang tergabung dalam BFC (Nana, Kajol,

Iep, Tila, Ratu, Icha, Iqoh, Umu, Moef) walaupun kita jauh namun kalian

akan selalu tetap dekat di hatiku dan kepada semua teman-temanku yang

tak bisa disebutkan satu-persatu kalian selalu memberi kesan tersendiri di

hati penulis dan yang terakhir Aku Sayang Kalian.

8. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang

telah banyak membantu memberikan pelayanan bagi penulis.

Page 8: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang

telah turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis hanya dapat

berdoa semoga bantuan dari berbagai pihak dapat diterima sebagai amal shaleh

dan mudah-mudahan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT atas

bantuan yang diberikan kepada penulis. Amin Ya Rabbal’alamin.

Jakarta, 06 Juni 2008

Penulis

Page 9: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................... 6

D. Metodelogi Penelitian .................................................................. 7

E. Survei Pustaka...............................................................................

8

F. Sistematika Penulisan .................................................................. 10

BAB II BIOGRAFI GUS DUR

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan........................................... 11

B. Prestasi dan Karya-Karya Tulis Gus Dur............................................

15

a. Prestasi Gus Dur............................................................................

15

b. Karya-Karya Tulis Gus Dur ..........................................................

18

Page 10: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

C. Gus Dur Sebagai Presiden...................................................................

20

BAB III GAMBARAN UMUM ACEH

A. Letak Geografi dan Demografi ........................................................... 28

B. Keadaan Sosial dan Budaya................................................................ 32

C. Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan ..................................... 39

BAB IV REFERENDUM ACEH A. Latar Belakang Munculnya Referendum Aceh...................................

49

B. Langkah Menuju Referendum Aceh ................................................... 57

C. Kebijakan politik Gus Dur Dalam Menghadapi Referendum Aceh ...

59

D. Implikasi dan Reaksi Dari Referendum Aceh.....................................

66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 73

B. Saran ................................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................75

LAMPIRAN ........................................................................................................81

Page 11: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat sebagai

Presiden RI ke-4 mulai 21 Oktober 1999 pada hari Gus Dur dilantik hingga Juli

2001 dengan mengalahkan calon lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri.

Pemungutan suara yang dilakukan secara tertutup pada tanggal 20 Oktober 1999

di parlemen menghasilkan 373 suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 suara

untuk Megawati, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Maka hasil sidang yang

diperoleh mengumumkan dan menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua

Umum Pengurus Besar NU sebagai presiden RI ke-4, periode 1999 sampai 2004

menggantikan B.J. Habibie.

Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Habibie tampaknya belum

memuaskan banyak pihak sehingga banyak anggota MPR/DPR yang di dalam

Sidang Umum tahun 1999 menolak hasil pertanggungjawaban Habibie, Sehingga

terjadi perubahan peta politik di mana Habibie mundur setelah

pertanggungjawabannya ditolak. Akhirnya pencalonan pun terpecah menjadi 2

kubu yaitu Megawati yang dicalonkan PDI-P dan Gus Dur yang dijagokan oleh

Poros Tengah.

Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden

dan wakil presiden dalam sidang umum MPR 1999 memberi harapan yang besar

bagi bangsa Indonesia. Harapan besar itu pada umumnya bersumber dari

keinginan kolektif agar kehidupan sosial, ekonomi, dan politik nasional segera

Page 12: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

pulih kembali setelah selama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia terpuruk dilanda

krisis ekonomi dan politik yang begitu dahsyat. Ada sejumlah faktor mengapa

harapan masyarakat sangat besar terhadap duet kepemimpinan Gus Dur-Mega.

Pertama, kecuali Soekarno-Hatta yang dipilih secara aklamasi oleh anggota

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk pertama kalinya

sepanjang sejarah Indonesia merdeka, presiden dan wapres dipilih secara

demokratis oleh para anggota MPR hasil pemilu 1999 yang relatif damai dan

demokratis pula. Kedua, K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati merupakan

kombinasi dari dua golongan bangsa yang terpenting yaitu islam disatu pihak dan

golongan nasional lainnya.1

Harapan itu pun sirna ketika kritikan terhadap pemerintahan Gus Dur

terjadi sejak ia tidak mampu untuk memperbaiki kondisi negara ini. Kritikan

terhadap pemerintahannya terjadi sejak Presiden Gus Dur mengumumkan Kabinet

Persatuan Nasional di mana kekuatannya merupakan hasil kompromi dari partai-

partai pendukungnya. Namun kabinet yang dikatakan Gus Dur akan lebih ramping

dari kabinet sebelumnya ternyata jumlah menteri lebih banyak bahkan ada dua

departemen yang dihapus, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan,

yang pada masa Soeharto sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan

penerbitan dan pemberitaan dalam media.

Gus Dur mempunyai daftar panjang yang luar biasa mengenai apa yang

harus dikerjakan dan masalah apa yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah

mengatasi gerakan separatis di Papua Barat dan Aceh. Sebagai presiden, Gus Dur

terus mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh dalam

1 Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas

Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 17

Page 13: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

menegosiasikan suatu penyelesaian. Tapi sayangnya masalah yang ada di Aceh

tidaklah semudah yang diperkirakan. Dalam menghadapi tuntutan rakyat Aceh

yang meminta referendum dalam hitungan minggu, Gus Dur mencoba mengulur

waktu. Dengan berbuat demikian ia masuk dalam suatu pola sikap yang

merugikan posisinya sebagai presiden.2

Kebijakan Gus Dur dalam menangani konflik pemerintah dengan GAM

dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang cenderung lebih lunak dan toleran

seperti kebijakannya yang mengijinkan OPM mengibarkan bendera bintang kejora

dan bahkan ia memberi sumbangan untuk kongres rakyat Papua. Ini berdampak

negatif dan menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI, karena kesempatan tersebut

digunakan OPM sebagai sarana sosialisasi gagasan dan Konsolidasi gerakan

pemisahan diri.3 Kemudian kebijakannya di Aceh dengan memberikan jeda

kemanusian di Aceh dan memberikan janji kepada GAM untuk melakukan

referendum di Aceh. Ia berkeinginan agar setiap penyelesaian konflik ini

dilakukan secara dialogis dan bukan dengan kekerasan.

Sehari setelah terpilih menjadi presiden, Gus Dur berjanji untuk

menjanjikan Aceh sebagai kunjungan perdananya dengan sasaran penyelesaian

kasus Aceh yang sudah berkepanjangan itu. Janjinya tersebut ternyata beralih arah

dari ujung barat pulau Sumatera ke luar negeri untuk mengunjungi beberapa

negara seperti Singapura, Cina, Amerika, Malaysia dan negara-negara di Timur

Tengah. Yang lebih menarik lagi adalah dalam perjalanannya itu sang presiden

dengan tegas mengatakan di dalam buku Tamaddun dan Sejarah bahwa “kalau

untuk Timor Timur bisa diberikan referendum dengan opsi gabung atau pisah

2 Kompas, 22 April 2000 3 Budiarto Danudjaja, Hari-Hari Indonesia Gus Dur, (Jakarta: Galang Pres, 1999), h. 152

Page 14: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

dengan Indonesia, kenapa untuk Aceh tidak bisa”. Janji ini menjadi obat mujarab

bagi bangsa Aceh. Tidak lama kemudian, setelah kembali dari keliling dunia, Gus

Dur kembali memutarbalikan janji dan fakta yang sudah ada. Gus Dur tetap akan

memberikan referendum untuk Aceh akan tetapi dengan opsi otonomi luas dan

sempit. Disini nampak sekali bahwa presiden sepertinya hendak mempermainkan

istilah referendum yang sudah dikenal luas sebagai sebuah solusi untuk

menentukan sikap, apakah tetap bergabung dengan negara tersebut atau pisah

untuk waktu yang tidak terbatas.4

Semenjak menjadi presiden, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah

besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara tentang perjuangan

hak-hak kaum minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1999-2001) telah

memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Paling tidak selama kurang dua tahun banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi

bangsa. Bahkan proyek Desakralisasi Istana, Supremasi Sipil, Konflik dengan

parlemen menjadi wacana yang menakjubkan dimasanya.5

Gus Dur menjadi sosok paling unik, khas dan cukup fenomenal. Tidak saja

dalam jagat organisasi NU, tetapi juga jagat ke-Indonesiaan. Unik, khas dan

fenomenal karena dalam diri Gus Dur melekat sejumlah predikat yang cukup

beragam dari budayawan, agamawan, intelektual sampai pada politikus.6

Untuk itu penulis berusaha mengkaji kebijakan politik Gus Dur selama ia

menjabat sebagai presiden RI dan hanya terfokus kepada kebijakannya terhadap

referendum Aceh. Dengan ini penulis mengajukannya sebagai karya ilmiah skripsi

4 Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,

(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003), h. 162-163 5 Khamami Zada, ed. Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:

LAKPESDAM, 2002), h. 7 6 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 67

Page 15: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

dengan judul: “Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4

Terhadap Referendum Aceh”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Masalah pokok yang menjadi dasar pikiran dari penulisan ini

adalah, apa latar belakang diadakannya referendum Aceh? Siapa sajakah

yang berperan penting dalam referendum Aceh? Bagaimana langkah untuk

menuju referendum Aceh? Bagaimana langkah politik Gus Dur dalam

menghadapi referendum Aceh? Adakah unsur-unsur lain yang terkait

dengan diadakannya referendum Aceh selain unsur politik? Bagaimana

implikasi dan reaksi terhadap referendum Aceh? Apakah tercetusnya

referendum Aceh hanya diwakili oleh kaum elit atau masyarakat

seluruhnya? Apakah referendum Aceh efektif untuk penyelesaian masalah

di Aceh?

2. Pembatasan Masalah

Masalah atau pertanyaan tersebut penting untuk dicermati akan

tetapi skripsi ini hanya akan membatasi pada latar belakang diadakannya,

langkah menuju referendum Aceh, langkah politik Gus Dur dalam

menghadapi referendum Aceh, serta reaksi dan implikasi diadakannya

referendum Aceh.

Page 16: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

3. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalahnya adalah:

a. Apa yang melatarbelakangi dilaksanakannya referendum Aceh?

b. Bagaimana langkah menuju referendum Aceh?

c. Apa saja langkah Politik Gus Dur dalam menghadapi referendum

Aceh?

d. Bagaimana implikasi dan reaksi terhadap tercetusnya referendum

Aceh?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah penulis sampaikan,

maka tujuan diadakannya penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya referendum Aceh

b. Untuk mengetahui langkah-langkah politik menuju referendum Aceh

yang dilakukan oleh Gus Dur?

c. Untuk mengetahui implikasi dan reaksi yang ditimbulkan dengan

adanya referendum Aceh

2. Manfaat Penulisan

Menambah khazanah keilmuan mengenai suatu kebijakan maupun

mengenai suatu tuntutan referendum.

Page 17: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

D. Metodologi Penelitian

Dalam mengkaji permasalahan di atas penulis menggunakan metode:

1. Teknik Pengumpulan data

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, ditinjau dari jenis data yang diperoleh adalah jenis metode penelitian kepustakaan atau library research, dengan cara meneliti berbagai sumber buku, majalah, surat kabar dan lainnya, di berbagai perpustakaan antara lain Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan PBNU, Perpustakaan DPR/MPR, Perpustakaan Nasional, Wahid Institute serta perpustakaan umum lainnya yang tentu mempunyai data yang berkaitan dengan karya tulis ini. Selain itu juga penulis melakukan wawancara untuk melengkapi data-data yang telah ada.

2. Metode analisa data

a. Heuristik

Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yang

dilakukan oleh penulis adalah memilih data yang memang sesuai

dengan topik. Dari data yang telah terkumpul dari berbagai sumber,

kemudian ditelaah kembali dan diklasifikasikan serta disusun sesuai

jenisnya.

b. Kritik sumber

Yaitu mencari kevaliditasan sumber sejarah atau informasi

dengan kata lain penulis akan menilai, menguji, dan menyeleksi

sumber sejarah yang otentik dan relevan. Sumber-sumber yang telah

didapat kemudian akan diverifikasi keabsahannya melalui kritik intern

dan ekstern.

c. Interpretasi

Memberikan penafsiran terhadap fakta sejarah dengan cara

menerangkan peristiwa yang telah terjadi dan mengaitkannya dengan

sumber sejarah yang didapat dari pengumpulan data tersebut.

Page 18: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

3. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan

skripsi, tesis, dan disertasi UIN Jakarta tahun 2007 cetakan kedua.

E. Survei Pustaka

Pembahasan tentang Aceh telah banyak dilakukan, karya tersebut antara lain:

1. Bara Dalam Sekam

Buku ini,7 membahas mengenai pencarian akar masalah dan solusi atas

gejolak serta ledakan kekerasan di sejumlah daerah rawan konflik di tanah

air, dalam bahasan ini yaitu Aceh, Maluku, Riau dan Papua. Keempat

daerah yang disorot di sini telah mengalami konflik dan gejolak lokal

dengan intensitas persoalan yang paling mendasar dari berbagai konflik

dan gejolak lokal tersebut.

2. Tamaddun dan Sejarah

Buku ini,8 membahas tentang kondisi histories-sosiologis Aceh sejak

masa awal berdirinya, mengungkapkan tentang keinginan besar Aceh

dengan berkiblat kepada adat istiadat, budaya, tradisi keagamaan, selain

itu buku ini juga membahas tentang politik yang merujuk kepada prinsip

dan asas-asas politik Islam yang masih dalam koridor ke-Aceh-an. Di buku

7 Riza Sihbudi, et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas

Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001) 8 Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,

(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003)

Page 19: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

ini penulis ingin menyajikan fakta dan keinginan yang sebenarnya dari

masyarakat yang sudah lama terkungkung dalam ketidakjelasan dan

ketidakadilan hidup seperti dalam hal pembagian pengolahan sumber daya

alam Aceh serta budaya kekerasan sampai saat itu. Masalah Aceh

membutuhkan penanganan yang khusus dan berkelanjutan.

3. Aceh Win-Win Solution

Buku ini,9 menceritakan tentang bagaimana solusi atau penyelesaian

tentang konflik-konflik di Aceh, setelah Indonesia merdeka, rakyat Aceh

merasa dikhianati dan bahkan dilupakan. Tuntutan mereka untuk

mendirikan provinsi tersendiri dengan status daerah istimewa ditolak

pemerintah pusat. Kekecewaan telah dialami Aceh, termasuk

pemberlakuan DOM dan berbagai pelanggaran HAM. Karena itu buku ini

membahas mengenai bagaimana mencari solusi terhadap peristiwa-

peristiwa tersebut, dari mulai penyelesaian Aceh secara damai atau melalui

dialog.

Dari tiga buku di atas dapat diambil persamaannya yaitu

bagaimanakah seharusnya penyelesaian terhadap kasus Aceh tersebut, di

dalamnya termasuk opsi otonomi ataupun referendum. Yang membedakan

antara skripsi ini dengan buku-buku tersebut adalah bagaimana kebijakan

Presiden Gus Dur saat itu dalam menghadapi isu referendum Aceh

tersebut.

F. Sistematika Penulisan

9 Musni Umar. ed, Aceh Win-Win Solution (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002)

Page 20: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Untuk memudahkan penulisan maka diperlukan sistematika penulisan.

Untuk itu penulis membagi materi ke dalam beberapa bab yaitu,

Bab I : Bab ini terdiri dari pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penelitian, survei pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini penulis mulai melakukan pembahasan mengenai biografi

Gus Dur meliputi: latar belakang keluarga dan pendidikan, prestasi dan

karya-karya tulis Gus Dur, Gus Dur sebagai presiden.

Bab III : Gambaran umum tentang Aceh, meliputi: geografi dan demografi

Aceh, keadaan sosial dan budaya serta perjalanan politik Aceh pasca

kemerdekaan.

Bab IV : Munculnya referendum Aceh, yaitu latar belakang dilaksanakannya

referendum Aceh, langkah menuju referendum Aceh, kebijakan politik

Gus Dur dan implikasi dan reaksi dilaksanakannya referendum Aceh

Bab V : Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

Page 21: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

BAB II

BIOGRAFI GUS DUR

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Gus Dur panggilan akrab K.H. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama

Abdurrahman Ad-dakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang Jawa

Timur, ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H. Abdul Wahid

Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng

dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia,

bahkan barangkali juga di dunia, melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang.

Ibunya Hj. Sholehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syamsuri, pendiri

pondok pesantren Denanyar Jombang dan Rois Aam Syuriah PBNU setelah K.H.

Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian secara genetik, Gus Dur memang

keturunan darah biru dan jika meminjam istilah Clifford Geertz, ia tergolong

seorang santri dan Priyayi sekaligus, baik dari trah ayah maupun ibu, Gus Dur

sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur

adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia.10

Meski demikian, sejarah hidup Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan

seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat

kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pondok pesantren. Dalam usia lima

tahun, ia sudah lancar membaca Al-Qur’an, gurunya waktu itu adalah

kakeknya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari. Pada masa kecilnya, Gus Dur tidak

seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama

10 Tim Incres, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus

Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), h. 4

Page 22: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

kakeknya daripada bersama ayahnya. Berkat tinggal bersama kakeknyalah Gus

Dur banyak mengenal tokoh-tokoh penting politik.

Masa kecilnya ia lewatkan di kawasan Menteng, Jakarta. Disini, antara lain ia

bertetangga dengan keluarga Prof. Rooseno, dan Toeti Heraty, (salah seorang

anak Prof Rooseno), teman Gus Dur semasa kecil. Selain itu, seraya belajar di

sekolah SD umum, Gus Dur juga dikirim ayahnya untuk mengikuti les privat

bahasa Belanda kepada seorang warga Jerman yang masuk Islam, Willem

Buhl, yang mengganti namanya menjadi Iskandar. Inilah yang mengantarnya

ke khazanah musik klasik, karena lagu-lagu itu diputar untuk mempermudah

pelajaran bahasa Belandanya.

Selanjutnya pada April 1953, ketika itu Gus Dur berumur 13 tahun, Gus Dur

harus sudah kehilangan ayahnya, dan hidup sebagai anak yatim. Wahid Hasyim

ayahandanya meninggal dunia pada usia 38 tahun karena kecelakaan kendaraan.

Pada saat itu Gus Dur melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bersama

ayahnya. Ia berada di depan dan ayahnya berada di belakang. Ketika mobilnya

terbalik, ayahnya terlempar keluar dan terluka parah. Sehari kemudian ia

meninggal dunia.11

Lepas SD, Gus Dur masuk sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di

Jakarta, namun itu hanya berlangsung satu tahun. Sebab tahun berikutnya, ia

dikirim ke pesantren Krapyak. Namun rupanya ia tidak betah di pesantren itu. Gus

Dur masih ingin melanjutkan pelajarannya di sebuah SMEP yang dikelola gereja

katolik setempat. Maka ia pun pindah ke Jogjakarta, dan kos di rumah K.H.Junaid,

seorang guru SMEP sekaligus pemimpin Muhammadiyah di kota itu. Setelah

11 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), h. 339-340

Page 23: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

paginya mengaji kepada Kiai Ma’sum di pesantren Krapyak, siangnya sekolah di

SMEP, malamnya berdiskusi mengenai berbagai hal dengan K.H.Junaid dan

anggota Muhammadiyah. Di Jogjakarta, kebiasaan membacanya mulai meningkat.

Disinilah ia mulai belajar bahasa Inggris. Karya sastrawan dunia, seperti

Hemingway, Steinbeck, Malraux atau Faulkner sudah dibacanya. Sementara

Sumantri, anggota PKI yang menjadi salah seorang gurunya memberikan buku-

buku Marxis-Lennis. Maka, selain Das Kapitas, dalam usia remaja itu, ia juga

sudah membaca What Is To Be Done, petunjuk praktis Lennin tentang bagaimana

melakukan revolusi.12

Setelah menamatkan pendidikannya di SMEP, Gus Dur banyak

menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren yang berada di

bawah naungan NU. Pada mulanya ia mondok di Tegal Rejo Magelang (1957-

1959). Selama ia di pesantren ini, Gus Dur menunjukkan bakat dan kemampuan

dirinya dalam bidang ilmu agama Islam di bawah naungan Kiai Khudori, selain

belajar ilmu agama Islam, selama di pesantren ini, Gus Dur banyak menghabiskan

waktunya untuk membaca buku-buku karangan sarjana barat. Kemampuan Gus

Dur membaca buku-buku barat tersebut jarang dimiliki oleh para santri pada

umumnya. Melalui belajar secara otodidak ini yang dimulainya sejak usia dini.

Menyebabkan Gus Dur sudah mengenal karya-karya sastra tingkat dunia,

pemikiran filsafat karangan tokoh-tokoh terkemuka seperti Karl Marx, Lenin,

Gramsei, Mao Zedong.

Selain itu, dari tahun 1959-1963, Gus Dur menimba ilmu di Muallimat

Bahrululum, Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Selanjutnya pada tahun 1964 ia

12 Forum Keadilan, (30-31 Oktober 1999), h. 70

Page 24: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo hingga

tahun 1966. Selama belajar di Mesir, Gus Dur banyak menggunakan waktunya

untuk menonton film-film terbaik Perancis, Inggris dan Amerika, serta membaca

buku-buku di perpustakaan Al-Azhar Kairo, hal ini ia lakukan karena ia merasa

kecewa dengan sistem pengajaran di Al-Azhar yang dinilainya sudah ketinggalan

zaman.13

Tidak cocok dengan atmosfer dunia intelektual di tempat belajarnya yang

menekankan pada metode hapalan, Gus Dur justru banyak belajar secara mandiri

(otodidak), saat itu ia banyak menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan

terlengkap di kota Kairo, yaitu American University Library. Dari Kairo, ia

pindah ke Baghdad Gus Dur justru bukan memperdalam studi-studi keislaman,

akan tetapi mempelajari sastra dan kebudayaan Arab, Filsafat Eropa dan Teori

Sosial.14

Perjalanan panjang Gus Dur di luar negeri berakhir pada tahun 1971, ketika

akhirnya dia harus kembali kepangkuan ibu pertiwi di pondok pesantren. Gus Dur

menikah dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat orang anak, Allisa

Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus dan

Inayah Wulandari.

B. Prestasi dan Karya Tulis Gus Dur

13 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan, h. 340-341 14 Faisal Ismail, Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Proyek

Peningkatan Pengkajian kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Depag RI 2004), H. 190-191

Page 25: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

a. Prestasi Gus Dur Setelah Gus Dur kembali ke Indonesia, dengan bekal ijazah S1

Universitas Baghdad, pada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus Dekan

Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga

tahun 1974. Ketika itu pula, ia menekuni kembali bakatnya menulis dan

menjadi kolumnis. Tahun 1974, Gus Dur diminta K.H.Yusuf Hasyim,

pamannya untuk membantu di pondok pesantren Tebu Ireng di Jombang. Gus

Dur menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebu Ireng hingga tahun

1980. Selama periode inilah secara teratur ia semakin terlibat dalam

kepengurusan NU dengan menjabat sebagai Wakil Khatib Syuriah PBNU.

Dari sini Gus Dur mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan

kepesantrenan di berbagai tempat, dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun

kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada

program training-training. Di LP3ES, ia bekerjasama dengan M. Dawam

Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan

masyarakat pesantren. Kemudian dalam perkembangannya, bersama para kiai

yang dimotori oleh LP3ES, Gus Dur mendirikan P3M (Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat).15 Pembentukkan P3M ini berawal

dari dinamika pemikiran dan keberhasilan program LP3ES selama tahun 70-an

serta bisa ditariknya Pondok Pesantren dalam proses perubahan sosial dan

politik. Peranan yang dilakukan P3M salah satunya adalah mendukung

proyek-proyek pembangunan secara kritis misalnya lewat program KB

(Keluarga Berencana).

15 Tim Incres, Beyond The Symbol, h. 19-20

Page 26: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Setelah pindah ke Jakarta, ia merintis karir sebagai pengasuh pondok

pesantren Ciganjur. Pada seluruh waktu sepanjang dekade 80-an, Gus Dur

tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir, intelektual, budayawan, dan

agamawan. Darah seninya yang kental sempat menarik jalan hidupnya, pada

tahun 1983, Gus Dur ditawari menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),

Taman Ismail Marzuki. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu pun diterimanya.

Kemudian ia juga menjadi ketua juri Festival Film Indonesia (FFI), 1986-

1987, itulah awal aktualisasi perjalanan kebudayaan Gus Dur. Keputusan

tersebut mendapat reaksi dari para kiai NU, akan tetapi ia tetap menerimanya,

karena memang Gus Dur sangat menyenangi bidang kesenian terutama

perfilman. Pada tahun 1984, ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 1984-

1999.

Selain itu Gus Dur menduduki jabatan sebagai salah seorang presiden pada

Konferensi Dunia Untuk Agama dan Perdamaian (World Council For Religion

and Peace) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Lalu ia menjadi Anggota

Dewan Pembina Institute Simon Perez yang berpusat di Tel Aviv Israel,

menurutnya undangan menjadi anggota ini justru menunjukkan penghormatan

penting bagi NU dan pertanda adanya kesadaran internasional yang sejati,

keterlibatannya ini membuka jalan untuk memperjuangkan misi islam dan

sekaligus misi perdamaian di antara sesama umat beragma di dunia.16

ketertarikannya terhadap Israel juga terlihat ketika ia menjadi presiden di

mana ia mengadakan hubungan dagang dengan negara tersebut. Selain itu juga

Gus Dur menjadi Dewan Penasihat pada Internasional Dialoque Foundation

16 Laode Ida, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Raja Grafindo

1999), h. 261

Page 27: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di Den Haag Belanda. Di

Indonesia, selain menjadi pendiri Forum Demokrasi (FORDEM), ia adalah

penggagas berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI). Jadi tidak salah

jika Gus Dur, setelah menjadi presiden, memberikan status yang sama kepada

umat Konghucu dalam merayakan hari besar mereka. Dalam konteks

pendirian Fordem awal 1991, di mana Gus Dur menjadi Ketua Umum adalah

salah satu bukti perhatiannya yang besar terhadap proses demokratisasi.17

Sebagai implikasi dari pemikiran dan gerakan sosialnya, Gus Dur pernah

menerima penghargaan sebagai Man of The Year 1990 dan oleh majalah editor

Harian Surya Surabaya ia juga pernah diberi gelar Tokoh Terpopuler. Pada

tanggal 31 Agustus 1993, ia juga memperoleh penghargaan Magsaysay dari

Filiphina. Ini suatu bukti pengakuan nasional dan internasional terhadap peran

dan kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia dalam mewujudkan

masyarakat demokratis, terbuka dan toleran.

Puncaknya melalui Sidang Umum MPR-RI Oktober 1999, ia terpilih

sebagai Presiden RI ke-4, saat sekitar sebulan lagi ia akan mengakhiri masa

jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU yang telah dijabatnya selama 15

tahun.18

Dari banyaknya prestasi yang ia raih, Gus Dur ternyata bukan hanya

seorang agamawan, melainkan ia juga seorang budayawan dan politisi. Ketika

ia berada di tengah komunitas NU, ia berperan sebagai ulama sekaligus Ketua

PBNU, ketika ia berada di DKJ, ia berperan sebagai budayawan, dan ketika

17 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 85-

86 18 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid, (Jogjakarta: LKIS 2000), h. 148

Page 28: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

bersama Megawati, Habibie dan tokoh-tokoh lainnya, ia memainkan peranan

sebagai politisi. Gus Dur selain seorang intelektual dan seorang pemikir, ia

juga seorang aktivis organisasi.

b. Karya Tulis Gus Dur

Sebagai seorang intelektual, Gus Dur mengkomunikasikan pemikiran-

pemikirannya lewat tulisan-tulisan dalam berbagai topik yang beberapa di

antaranya sudah dijadikan buku, sebagian lainnya telah menjadi artikel ilmiah

bagian dari sebuah buku editorial. Gagasan-gagasan dan sikapnya dalam

menanggapi persoalan yang berkembang di masyarakat banyak dijumpai

dalam buku hasil karyanya. Di samping yang termuat di media massa, jurnal

laporan penelitian atau dapat ditemukan dalam hasil wawancara. Diantara

karya-karya Gus Dur yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku adalah

sebagai berikut:

1. Prisma Pemikiran Gus Dur

Buku ini,19 tidak menekankan terhadap topik tertentu, tetapi lebih pada

pemikiran Gus Dur secara umum terkait dengan hubungan agama dan

HAM. Buku ini berisi 17 artikel yang memuat sejumlah gagasan besar Gus

Dur tentang perlunya penafsiran kembali ajaran agama dan dialektikanya

dengan diskursus ke-indonesia-an. Bagaimana seharusnya menempatkan

ajaran agama dalam konteks pembangunan dan kehidupan berbangsa dan

bernegara menjadi titik tolak acuan bagi Gus Dur dalam memetakan posisi

agama dalam diskursus modernitas.

2. Tuhan Tidak Perlu Dibela

19 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Jogjakarta: LKIS 1999),

penyunting: M. Shaleh Isre

Page 29: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Dari judulnya, buku ini20 terkesan provokatif, namun berisi kritik

mendasar terhadap bangunan pengetahuan, pemikiran dan gerakan yang

ditampilkan oleh komunitas muslim yang pada saat itu gemar menampilkan

sosok sektarianisme. Buku ini, merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang

dimuat di Majalah Tempo pada paro tahun 1980-an. Isi buku ini

mencerminkan sikap Gus Dur untuk lebih mengedepankan semangat

persamaan, keadilan dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi

berbagai perkembangan dalam konstelasi sosial politik di Indonesia. Sebuah

buku yang juga menampilkan suatu sikap kearifan hidup untuk tidak banyak

mencela pemahaman keagamaan orang lain, sekaligus menghormatinya

dalam kerangka demokratisasi dan hak asasi manusia.

3. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H.

Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4

Buku ini,21 menceritakan tentang pemikiran-pemikiran Gus Dur yang

terekam dalam harian Kompas. Buku ini merupakan upaya memahami

ucapan, pemikiran, dan kiprah Gus Dur secara rasional dan mengambil

pelajaran dan kritik atasnya. Buku ini menghimpun pemikiran Gus Dur

sekitar soal-soal agama Islam dan negara. Pemikiran tentang sikap soal

kepemimpinan politik, serta kepemimpinan dalam bidang moral, spiritual

yang sudah melewati wacana NU. Dalam buku ini juga berisi tentang ajakan

Gus Dur untuk membangun tradisi politik yang demokratis dan demokrasi di

Indonesia. Selain itu buku ini juga berisi pemikiran Gus Dur sekitar politik

20 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jogjakarta: LKIS 1999), penyunting:

M. Shaleh Isre 21 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran

K.H.Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 1999) penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits

Page 30: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Indonesia kontemporer, kepemimpinan politik, hubungan antara individu

dan negara, masalah HAM, dwifungsi ABRI dan pengembangan demokrasi.

C. Gus Dur Sebagai Presiden Mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI ke-2 untuk masa jabatan yang

ketujuh pada tanggal 21 Mei 1998, adalah tonggak sejarah yang sangat

menentukan bagi perjalanan bangsa negara ini ke masa depan. Pada tanggal itu

juga merupakan waktu yang sangat bersejarah, karena terjadi proses peralihan

kekuasaan dari orang kuat Indonesia, Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden

B.J. Habibie. Habibie disumpah menjadi Presiden ke-3 di tengah persoalan bangsa

yang sangat berat, dan dipundaknya telah ada beban untuk melaksanakan agenda

reformasi yang menjadi tuntutan bangsa, dari mulai memberantas KKN sampai

perbaikan krisis ekonomi.22

Di bawah kepemimpinan Habibie, ternyata rakyat belum puas akan

kinerjanya. Pada tanggal 10 November 1998, demonstrasi yang didominasi oleh

mahasiswa menuntut agar Habibie segera menyerahkan kekuasaan kepada

pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Presidium kepemimpinan pro-reformasi

yang terdiri atas Megawati (PDI-P), Gus Dur (PKB), Amien Rais (PAN), Uskup

Belo dan Sultan Hamengkubuwono X.23

Selanjutnya, pemilihan umum pun dilakukan. PDI-P di bawah pimpinan

Megawati berhasil menduduki peringkat pertama, mengalahkan Golkar yang

selama Orde Baru memimpin perolehan suara. Tempat ketiga dan keempat

22 Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan NU Dalam Pentas Politik Nasional, (Surakarta:

Muhammadiyah University Press, 2003), h. 111-117 23 Chriss Manning dan Peter Van Diermen, Indonesia di Tengah Transisi:Aspek-Aspek

Sosial dari Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 21

Page 31: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

diduduki oleh PKB yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan PPP yang

dipimpin oleh Hamzah Haz. Urutan selanjutnya ditempati oleh PAN pimpinan

Amien Rais, yang akhirnya membawa ia untuk menduduki jabatan Ketua MPR.

Penyusunan pemerintahan menjadi tugas Presiden yang akan dipilih oleh MPR

dengan 700 anggotanya dalam bulan Oktober 1999. Oleh karena itu, lama

sebelum hasil pemungutan suara diumumkan pada tanggal 1 September, pusat

perhatian para pemimpin partai bergeser. Kalau semula mereka mengupayakan

dukungan rakyat, sekarang mereka beralih ke perundingan di antara mereka untuk

menjajaki bersama kemungkinan perlunya koalisi. Sepanjang hampir seluruh

kurun waktu antara pemilihan umum dan pemilihan presiden, calon yang berada

paling depan menuju kursi kepresidenan adalah calon dari Golkar, Habibie dan

calon dari PDI-P Mega. Mula-mula Megawati mengandalkan dukungan PKB dan

PAN, mitra-mitra PDI-P dalam koalisi informal yang muncul dari apa yang

disebut Komunike Paso tanggal 18 Mei, sementara Habibie bersandar pada

dukungan PPP dan militer, dan menyebut Wiranto sebagai Wapres yang

cenderung dipilihnya nanti.

Perkembangan terpenting dalam bulan-bulan setelah pemilihan umum

adalah kemunculan apa yang disebut Poros Tengah, sebuah aliansi partai-partai

muslim yang dirintis oleh Hamzah Haz dan diumumkan oleh Amien Rais pada

tanggal 20 Juli 1999. Logikanya ialah bahwa dengan jumlah gabungan sebesar

sekitar 200 kursi di MPR, partai-partai muslim dapat menandingi Golkar atau

PDI-P, sehingga berposisi untuk menempatkan calonnya di Istana. Calon yang

disepakati ialah Abdurrahman Wahid. Selain itu, Golkar sendiri jauh dari utuh.

Fraksi reformis pimpinan Akbar Tanjung dan Marzuki Darusman tidak gembira

Page 32: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

dengan pencalonan Habibie. Ini membuat Marzuki mengajukan tawaran sejumlah

nama lain untuk dicalonkan menjadi Presiden, di dalamnya terdapat beberapa

nama termasuk Jendral Wiranto, yang waktu itu menjabat sebagai Panglima TNI

dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Nasional. Muncul juga spekulasi bahwa

fraksi Akbar akan bergabung dengan Megawati untuk memagari kemungkinan

bahwa fraksi Poros Tengah yang muslim akan mengambil kekuasaan.

Dalam suasana SI MPR yang digelar di bawah pimpinan Amien Rais,

Sidang menolak pertanggungjawaban presiden RI ke-3 Prof B.J Habibie, dan

setelah itu Golkar kehilangan calon presidennya. Kemudian Golkar memberi

suara untuk suara untuk beralih kepada Gus Dur, daripada memilih Megawati.

PAN yang didirikan Amien Rais bersama PK yang bernuansa Islam membentuk

fraksi reformasi, lalu mereka mengusung Gus Dur ke kursi presiden.24

Pidato pertanggungjawaban Habibie ditanggapi skeptis jauh sebelum

dibacakan. Pertanggungjawaban Habibie itu telah dinilai secara apriori oleh

sebagian fraksi dan anggota MPR bahkan sebelum Presiden Habibie

menyampaikan laporannya ada pihak-pihak di MPR yang menolak pidato

pertanggungjawaban tersebut, padahal mereka belum melihatnya.25

Pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dikarenakan berbagai alasan

salah satunya adalah kebijakannya terhadap Timor Timur untuk referendum yang

akhirnya Timor Timur pisah dari Indonesia, lambannya ia dalam mengadili

mantan Presiden Soeharto dan tidak meningkatnya perekonomian Indonesia.

Akhirnya Golkar menarik Habibie dari persaingan pemilihan Presiden, tempat Habibie digantikan oleh Akbar Tanjung yang ketika itu telah menjabat sebagai Ketua DPR. Akan tetapi, karena menyadari bahwa Akbar bukan calon yang kemungkinan besar untuk berhasil, maka baru beberapa jam Golkar sudah menarik kembali calonnya dan menyalurkan

24 Inu Kencana,et.al, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama 2006), h. 52-

53 25 Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan,

2000), hal 339

Page 33: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

seluruh dukungannya kepada satu-satunya calon dari Poros Tengah Abdurrahman Wahid. Setelah bergabungnya Golkar, Amien menghubungi Gus Dur dan ternyata Gus Dur menyetujui untuk terus lanjut ke pemilihan kursi Presiden.

Gus Dur memang relative diterima semua pihak dan yang lebih penting lagi,

rupanya ia telah mendapat restu dari K.H. Abdullah Faqih pemimpin Pondok

Pesantren Langitan Tuban yang sangat disegani warga NU. Restu ini membuat

fraksi PKB, yang sebelumnya mendukung Megawati, berpindah dan menyokong

sepenuhnya kepada Gus Dur. Gedung MPR 20 Oktober 1999, Sidang Umum

MPR berujung dramatis. Gus Dur yang dikenal sebagai Ketua Umum PBNU

terpilih menjadi Presiden RI. Ia mengalahkan Megawati, Ketua Umum PDI-P.

Sebanyak 373 dari 691 anggota MPR memberikan suaranya untuk Kiai tersebut.

Naiknya Gus Dur tak lepas dari faktor Poros Tengah yang dimotori oleh Amien

Rais.

Gus Dur yang menggantikan Habibie karena pertanggungjawabannya

ditolak dalam sidang umum MPR, mengemban estafeta kepemimpinan nasional

yang tidak ringan. Gus Dur dihadapkan dengan persoalan bangsa yang menuntut

untuk secepatnya dicarikan jalan keluarnya, sehingga Indonesia dapat bangun dari

keterpurukannya dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Warisan

kemiskinan, pemutusan hubungan, kemerosotan nilai tukar rupiah, hutang luar

negeri satu sisi, dan sisi lain tuntutan agenda reformasi harus sama-sama

mendapat perhatian yang serius.

Harapan perbaikan ekonomi di tangan Gus Dur sangat besar, karena ia

dipilih secara demokrasi dan dinilai proses sidang pemilihannya transparan,

diliput oleh media dalam dan luar. Namun harapan itu hanyalah tinggal harapan,

karena presiden baru ini tidak mengetahui apa yang diderita rakyatnya, merasa

tidak mempunyai beban, maka langkah-langkah yang diambil bukan mengarah

Page 34: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

pada pemulihan ekonomi, sebaliknya malah memperparah ekonomi. Pada bulan

pertama pemerintahan Gus Dur, yang seharusnya menyamakan persepsinya

dengan kabinet terutama tim ekonominya, dalam mencari solusi dari krisis

ekonomi, tidak dimanfaatkan Gus Dur, sebaliknya malah membuat statement-

statement yang merusak pasar. Salah satu contohnya adalah Gus Dur ingin

membuka hubungan dagang dengan Israel di mana banyak kalangan yang

menentang terutama dari kalangan Islam. Karena protes tersebutlah menyebabkan

berkurangnya investor asing yang datang ke Indonesia.

Seperti yang diungkapkan oleh Riza Sihbudi kepada majalah Forum

Keadilan, Gus Dur tetap ingin membuka hubungan dagang dengan Israel, yang

terbukti justru membangkitkan protes-protes dari kalangan masyarakat Islam. Jika

aksi itu semakin luas, tampaknya tidak ada investor asing yang mau datang ke

Indonesia. Padahal menurut Menlu Alwi Shihab yang menjabat pada saat itu,

pembukaan hubungan dagang dengan Israel dimaksudkan untuk menarik para

investor besar Amerika yang umumnya keturunan Yahudi.26

Masalah ekonomi memang sangat rumit, berkali-kali Gus Dur mengatakan

bahwa perekonomian Indonesia akan pulih dalam beberapa bulan, bahkan terakhir

ia mengatakan pada tahun 2004 nanti GDP Indonesia akan mencapai US$ 5.000

per orang, nyatanya rupiah terus terpuruk, inflasi melambung dan lebih-lebih lagi

hutang terus bertumpuk. Rakyat tidak lagi dapat diberi janji, mereka perlu visi dan

langkah nyata.27

26 Riza Sihbudi. “Politik Luar Negeri Gus Dur,” Forum Keadilan, 21 November 1999, h.

11 27 Ira Rakhmawati, Surat Terbuka Kepada Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bang

Akbar dengan Elite Politik Lainnya: Dari anak bangsa, (Jakarta: Bina Pariwara, 2001), h. 21

Page 35: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Memang, setelah Gus Dur menduduki kursi kepresidenan, pemerintahannya

segera diwarnai oleh perseteruan keras di antara berbagai unsur kabinet dalam

memperebutkan kontrol atas lembaga-lembaga strategis. Hal yang tidak kalah

penting, adalah keterlibatan dirinya dalam sejumlah skandal yang berkaitan

dengan mobilisasi terselubung dana-dana politik. Dua skandal yang menonjol

adalah mobilisasi persediaan dana politik melalui penggunaan uang dari dana

pensiun pegawai badan logistik negara, serta rekening hibah illegal dari Sultan

Brunei yang masing-masing populer dengan sebutan Bullogate dan Bruneigate.28

Kritik kepada presiden juga mengarah kepada kebijakan politiknya meski

beberapa di antaranya masih dalam taraf ide atau gagasan yang dianggapnya

hanya membuat kontroversi. Mengenai kunjungan-kunjungannya ke luar negeri

yang terlalu sering dan memakan waktu cukup lama, telah dianggap pemborosan.

Kemudian, bahwa kabinetnya yang mengakomodasikan banyak partai,

sebagaimana sebelum diramalkan banyak orang akan sangat resisten bagi

munculnya konflik internal, mulai memperlihatkan tanda-tanda. Belum genap tiga

bulan usia kabinetnya, satu personel telah jadi korban. Hamzah Haz, yang karena

dugaan kuat terlibat dalam money politic menjelang pemilihan presiden dalam SU

MPR 1999, harus diberhentikan di tengah jalan. Padahal, presiden sendiri telah

dengan tegas saat pelantikan kabinetnya menyatakan tidak ada rencana untuk

melakukan resuffle.29

Kepercayaan terhadap Gus Dur mulai turun, karena ketidakmampuannya

memberantas KKN, ditambah perilaku ekonomi yang ia lakukan. Selain dari

28 Vedi.R.Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto,

(Jakarta: LP3ES 2005), h. 29 Khamami Zada (ed), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:

LAKPESDAM 2002), h. 38-39

Page 36: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Gus Dur, orang-orang kabinet pun

merasa tidak puas terhadap kinerja Gus Dur. Banyak kalangan mengatakan bahwa

Gus Dur berjalan sendiri. Gus Dur mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang

kurang menguntungkan kelompok partai tertentu, terutama terhadap partai-partai

Poros Tengah atau pun partai Golkar, yang membuat menteri-menteri dari partai-

partai itu bekerja setengah hati. Mereka tidak berada dalam situasi psikologis yang

nyaman di dalam kabinet karena adanya pernyataan-pernyataan Gus Dur yang

tidak jelas ujung pangkalnya. Sepeti tuduhannya terhadap beberapa menteri yang

diduga terlibat KKN.

Gus Dur mengeluarkan pernyataan tersebut di hadapan masyarakat dan

mahasiswa Indonesia di Salt Lake City, Amerika, ketika ia berkunjung ke negara

tersebut pada November 1999. Di antara nama-nama tersebut adalah, Menteri

Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator

Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Hamzah Haz, Menteri Tenaga

Kerja Bomer Pasaribu dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yusuf Kalla.30

Pada waktu Gus Dur menjadi presiden, disintegrasi bangsa semakin terbuka

dengan dibiarkannya beberapa daerah menyuarakan keinginan untuk

memisahkan diri dari NKRI, misalnya Riau, Jatim, Madura, Aceh, Irian Jaya.

Pemicunya adalah lepasnya Timtim. Kecenderungan Gus Dur yang berjalan

sendiri tanpa dipertimbangkan dampaknya bagi masyarakat luas, misalnya

perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, toleransi pengibaran bendera

bintang kejora oleh Presiden merupakan langkah yang kontraproduktif. Model

30 “Tebak-Tebakan ala Gus Dur.” Forum Keadilan, 28 November 1999, h. 18-19

Page 37: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

jalan sendiri ini menguntungkan Gerakan Papua Merdeka, dan menambah

tugas baru buat aparat keamanan.

Puncaknya pada Sidang Istimewa (SI) MPR 2001, Gus Dur turun dari kursi Presiden karena di-impeach oleh MPR. Kesalahannya adalah pertama, mengabaikan Memorandum I yang berisikan bahwa presiden telah melanggar UUD 1945 pasal 9 tentang sumpah jabatan dan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kedua, mengabaikan Memorandum II dimana Gus Dur diberi kesempatan selama satu bulan untuk meperbaiki kinerjanya sebagaimana yang telah diatur dengan ketetapan MPR No III/MPR/1978 dan pasal 7 Tap MPR mengatur, apabila dalam waktu satu bulan presiden tidak mengindahkan Memorandum II, DPR dapat meminta MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa.

Page 38: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

BAB III

GAMBARAN UMUM ACEH A. Geografi dan Demografi

Aceh atau secara resmi, Nangroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah

Istimewa yang terletak di Pulau Sumatra. Secara geografis Aceh terdiri atas 9

kabupaten, 2 kodya, 3 kotip, 142 kecamatan dan 5463 desa. Luas wilayahnya

adalah 57,365.57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatra persegi,

yang meliputi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan status daerah

istimewa. Aceh terletak di barat laut Sumatra.31 Aceh dikelilingi Selat Melaka di

sebelah Utara, Provinsi Sumatera Utara di Timur dan Lautan Hindi di Selatan dan

Barat. Ibukota Aceh adalah Banda Aceh yang dulunya dikenali sebagai Kutaradja.

Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah

seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa.

Aceh mempunyai lahan hutan terluas yaitu mencapai 39.615.76 km persegi,

diikuti lahan perkebunan kecil seluas 3.135.22 km persegi, sedangkan lahan

pertambangan mempunyai luas terkecil yaitu 4,42 km persegi. Aceh mempunyai

luas perairan 56.563 km persegi yang terdiri dari laut teritorial 23.563 km persegi

dan perairan laut dalam 33.000 km persegi. Di samping zona ekslusif ekonomi

(ZEE) 200 mil dari pantai.32

Adapun kegiatan dalam bidang perkebunan di daerah ini dapat dibagi

menjadi 2, perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Adapun perincian dari hasil

31 Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi Atas

Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 31 32 Zulkifli Husin, et,al, Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Masyarakat

Nelayan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala dan Jakarta), h. 8

Page 39: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

perkebunan sebagai berikut: karet, minyak sawit, inti sawit, kelapa, kopi, cengkeh,

pala, lada dan cokelat.33

Aceh yang berada di ujung pulau Sumatera secara historis mempunyai

peranan penting dalam pelayaran dan perniagaan dunia yang melalui selat Malaka,

bandar-bandar Aceh menjadi sangat penting sebagai bandar penghubung yang

melayani kebutuhan perbekalan seperti bahan makanan, air dan keperluan sehari-

hari. Ini yang menghantarkan Aceh menjadi mahkota alam yang merupakan

bandar penghubung dalam hal ini jalur pelayaran dagang antara Timur Tengah,

Eropa, Kerajaan Demak, Brunei, dan Turki Usmani.34

Aceh merupakan salah satu provinsi kaya di Indonesia. Tanahnya subur,

banyak komoditas padi dihasilkan Aceh, tembakau, kelapa sawit, dan kopi.

Kekayaan mineral juga banyak. Sejak lama, berbagai industri sudah dibangun di

Aceh. Hasil ladang minyak dan pabrik pupuk Aceh merupakan salah satu sumber

pendapatan negara. Pantai-pantainya indah dan berbagai kawasan perairan laut

kaya akan ikan. Di sejumlah pulau kecil di lepas pantai, banyak terdapat hutan

bakau yang dikelilingi terumbu karang yang indah sehingga cocok menjadi

kawasan wisata. Pulau-pulau kecil lainnya dipenuhi pohon kelapa yang buahnya

banyak diperdagangkan ke berbagai wilayah lain.

Daerah Aceh mempunyai potensi dan sumber daya alam yang cukup besar,

baik di bidang pertanian, perindustrian, pertambangan maupun pariwisata. Namun

potensi ini belum banyak dikembangkan karena sulitnya medan dan kurangnya

sarana dan prasarana lainnya.

33 Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1990), cet 1, h.

38 34 Denys Lombard, Kerajaan Aceh, (Jakarta: Balai Pustaka 1986), h. 96-99

Page 40: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Dalam bidang pertanian, Aceh menghasilkan cukup bahan makanan seperti

beras, kedelai, ubi kayu, dan sayur-sayuran serta buah-buahan. Di samping

pertanian, perkebunan dan pertambangan, usaha peternakan dan perikanan juga

memegang peranan penting. Aceh mempunyai potensi yang besar, baik perikanan

laut maupun perikanan darat. Wilayah Aceh juga mengandung berbagai bahan

tambang, antara lain minyak bumi, gas alam, tembaga, emas, dan besi.35

Jenis flora dan fauna yang terdapat di Aceh tidak banyak berbeda dengan

jenis flora dan fauna di wilayah lainnya. Selain berbagai jenis tumbuhan dan

binatang yang telah dibudidayakan oleh masyarakat, terdapat pula jenis dan corak

tumbuhan dan binatang yang tumbuh dan hidup liar di kawasan hutan. Salah satu

jenis tumbuhan yang dibudidayakan oleh masyarakat sebagai tanaman hias yaitu

Bungong Jeumpa (Cempaka: Mechiale Chamcapa), telah ditetapkan sebagai

maskot daerah. Kawasan hutan daerah Aceh tergolong hutan tropis. Diantara

keistimewaannnya, hutan di daerah ini memiliki cukup luas tumbuhan Pinus

Maskusii yang dipercaya sebagai asal pinus di seluruh Indonesia. Selain itu

terdapat pula bunga Raflesia Achehensies, yang termasuk tumbuhan langka dan

digolongkan bunga terbesar di dunia. Tanaman ini tersebar di hutan cagar alam

Serba Jadi.36

Aceh memiliki banyak potensi objek wisata yang cukup menjanjikan untuk

dikembangkan. Potensi wisata itu meliputi objek wisata alam, budaya, bahari, dan

objek wisata industri. Tetapi karena keterbatasan prasarana dan sarana penunjang,

maka objek-objek wisata di daerah ini belum berkembang dibanding daerah lain

35 B. Setiawan, Ensiklopedi Nasional, h. 42 36 Profil Provinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Yayasan Bhakti

Wawasan Nusantara Bekerjasama dengan Majalah TELSTRA-Strategic Review dan PT Intermasa, 1992), h. 68

Page 41: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

sehingga belum juga dapat dipasarkan dan dipromosikan ke wisatawan asing

maupun domestik.37

Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku kaum dan bangsa.

Bentuk fisikal mereka menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Cina, Eropa dan

India. Leluhur orang Aceh dikatakan telah datang dari Semenanjung Malaysia,

Cham, Cochin China dan Kamboja. Kumpulan-kumpulan etnik yang terdapat di

Aceh adalah orang Aceh yang terdapat di merata Aceh, orang Gayo di Aceh

Tengah, sebagian Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues, orang Alas di Aceh

Tenggara, orang Tamiang di Aceh Tamiang, Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan

Aceh Barat Daya, orang Kluet di Aceh Selatan dan orang Simeulue di Pulau

Simeulue. Aceh juga mempunyai bilangan keturunan Arab yang tinggi. Sebuah

suku bangsa berketurunan Eropa juga terdapat di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.

Mereka beragama Islam dan dipercayai adalah dari keturunan askar-askar Portugis

yang telah memeluk agama Islam. Pada umumnya, mereka mengamalkan budaya

Aceh dan hanya boleh bertutur dalam bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.

Pada tahun 1905, diperkirakan penduduk Aceh tidak lebih dari 750.000 jiwa,

termasuk penduduk pulau sekitarnya. Menurut data tahun 1987 penduduk Daerah

Istimewa Aceh sekitar 3,12 juta jiwa. Sebagian besar penduduk daerah ini adalah

penduduk asli yang sudah sejak dahulu tinggal di daerah ini. Kepadatan penduduk

di Daerah Istimewa Aceh tidak merata di setiap daerah. Sebagian besar tinggal di

daerah rendah atau daerah dekat pantai. Daerah pedalaman hanya sedikit didiami.

Di pedalaman ini hanya ada satu kota kabupaten, yaitu Takengon. Sebagian besar

tanah masih berupa hutan lebat atau padang ilalang. Kurangnya penduduk, luas

37 Profil Provinsi, h. 219

Page 42: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

lahannya, dan sulit komunikasi antar daerah masih menjadi halangan besar bagi

pembangunan di daerah ini.38 Pada tahun 1990, Aceh baru berpenduduk 3.415.875

jiwa, dari penduduk sejumlah itu lebih dari 70%nya bermukim di pedesaan dan

berusaha di sektor pertanian. Karena itu pula sektor pertanian masih memegang

peranan penting dalam perekonomian daerah, meskipun sektor-sektor lainnya

seperti industri dalam tahun terakhir ini telah pula memberi kontribusi yang cukup

besar.

Mengenai pembangunan, di Aceh menganut konsep keseimbangan dalam

usaha mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan sosial yang tinggi sekaligus

meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat di

daerah ini. Pembangunan di daerah pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan

pembangunan yang berlangsung di daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah

maupun oleh swasta (masyarakat). Pembangunan di Aceh didasarkan pada 4

trilogi pembangunan, yaitu trilogi pembangunan nasional, trilogi pemerintah

daerah, trilogi keistimewaan Aceh, dan trilogi etos kerja. Mengingat Aceh masih

relatif tertinggal dibanding provinsi lain di Indonesia, maka, secara operasional

usaha pembangunan di daerah ini tidak memadai lagi ditempuh dengan cara-cara

yang konvensional semata.

B. Keadaan Sosial dan Budaya

Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan sehingga setiap kebudayaan berbeda wujudnya dengan kebudayaan yang lain. Aceh pun memiliki kebudayaannya sendiri. Dengan polesan warna Islam yang kental, maka budaya Aceh berkembang tidak hanya dalam bentuk adat maupun seni, melainkan dalam suatu peradaban yang tinggi

Berdasarkan beberapa sumber, para sejarawan dan arkeolog menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama di nusantara berdiri di daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa agama yang masuk ke daerah ini adalah Islam, yang dalam batas tertentu telah tersebar dan teradaptasi dengan unsur kebudayaan Persia dan Gujarat (India). Islam yang telah berbaur dengan unsur India dan Persia ini memberi corak tersendiri terhadap budaya dan tradisi Aceh. Namun dalam

38 B. Setiawan, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia: jilid I, (Jakarta: Delta Pamungkas

2004), h. 39

Page 43: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

pelaksanaannya, masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi/adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh, sebagai hasilnya, Islam dan budaya Aceh menyatu sehingga sulit untuk dipisahkan.39

Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-7 M, banyak sekali mempengaruhi adat istiadat Aceh, bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang berbunyi: Hukom ngo adat lagee zatg ngo sipheuet (hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisahkan). Yang dimaksud dengan hukum disini adalah hukum Islam yang diajarkan oleh para ulama. Demikian besar pengaruh Islam di Aceh, sehingga sapaan waktu berjumpa dan ucapan waktu berpisah, tidak lagi diucapkan dengan kata lain melainkan sudah menjadi Assalamu’alaikum (selamat, tuan) dan jawabannya wa’alaikumsalam wa rahmatullah...(tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari orang lain, melainkan sudah diganti dengan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Apabila mendengar ada orang meninggal, segera mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (semua kita milik Allah dan kita semua akan kembali kepada-Nya).40

Sistem kemasyarakatan Aceh juga sangat erat berkaitan dengan Islam. Masyarakat Aceh merupakan suatu masyarakat yang bertingkat dan tersusun dalam golongan-golongan. Golongan tersebut adalah golongan bangsawan, kaum alim ulama, golongan rakyat umum dan juga kelompok-kelompok lain seperti orang pendatang atau orang asing. Memang suatu kenyataan bahwa kaum bangsawan dan alim ulama pada umumnya menduduki tingkatan atas, akan tetapi dari kalangan rakyat umum pun tidak kurang yang mendapat kehormatan dan berada di tingkat yang tinggi, misalnya saja orang-orang yang sudah menunaikan ibadah Haji, dan kaum saudagar.41

Sebelum Aceh diperintah oleh Belanda, penggolongan masyarakat adalah:

1. Golongan Hulubalang (ulebalang), yaitu golongan yang memerintah negeri. Golongan ini, mula-mula juga merupakan rakyat biasa. Tetapi karena mempunyai wibawa, disebabkan kekayaan, keberanian, kecakapan dalam mengatur dan memimpin maka ia diangkat menjadi kepala rakyat.

2. Golongan ulama/golongan ahli dan pengajar agama. Golongan ini berasal dari

rakyat biasa. Tetapi karena ketukunannya belajar, mereka memperoleh

berbagai ilmu pengetahuan.

3. Golongan saudagar, yaitu golongan orang kaya. Golongan ini pun berasal dari

rakyat biasa yang mempunyai nasib lebih baik dalam usaha mereka

mendapatkan kekayaan.

4. Golongan tani, golongan inilah yang terbanyak.

5. Golongan terpelajar/pegawai, yang dimaksudkan dengan terpelajar ialah

mereka yang telah mengenyam pendidikan barat, lalu diangkat menjadi

pegawai pemerintah.

6. Golongan buruh.42

Dari berbagai golongan ini nantinya timbul perbedaan keinginan dalam

penyelesaian kasus Aceh ini. Golongan pelajar, buruh, tani dan ulama

39 Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, (Jakarta:

Ichtiar Baru Van Hoeve 2004), h. 219 40 Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h.

6 41 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia: jilid IV, (Jakarta: Balai Pustaka 1993) h. 84 42 Taufik, Agama dan Perubahan, h. 10-11

Page 44: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

menginginkan adanya referendum di Aceh akan tetapi golongan uleebalang hanya

menginginkan diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh.

Masyarakat Aceh adalah penggolongan rakyat dalam kelompoknya soeke

(suku) atau Kawon (kaum) penggolongan atas kawon ini didasarkan atas

keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya. Kawon terdiri

dari 4, yaitu:

1. Kawon Imeuet Peut (kaum imam empat) adalah mereka yang berasal dari

orang Hindu yang telah memeluk islam.

2. Kawon Lherentoih (suku 300) adalah mereka yang berasal dari orang-orang

mantir dan batak.

3. Kawon Tok Baru adalah mereka yang terdiri dari orang-orang asing seperti

orang Arab, orang parsi dan orang Turki.

4. Kawon Ia Sandang adalah orang hindu yang bekerja untuk majikan masing-

masing.43

Masing-masing kawon ini mempunyai pimpinan yang dipilihnya sendiri-

sendiri dan disebut Panglima Kawon. Walaupun kedudukannya turun temurun,

kalau Panglima Kawon yang baru sudah dipilih harus disahkan oleh Ulebalang

yang berkuasa dimana Panglima Kawon itu bertempat tinggal. Ulebalang adalah

penguasa sebuah Nangroe (negeri) yaitu gabungan beberapa mukim. Para

Ulebalang menerima kekuasaannya langsung dari Sultan Aceh. Mereka

memerintah secara turun temurun dan setiap penggantian pimpinan harus

disyahkan oleh Sultan.

43 Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, h. 86-87

Page 45: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Adapun sistem kekeluargaan di Aceh adalah parental, kecuali di daerah

Gayo Alas. Parental adalah kekerabatan yang menghubungkan kekerabatan

melalui pihak ayah dan pihak ibu, jadi melalui dua pihak. Oleh karena itu, sesuai

dengan hukum Islam, orang boleh menikah dengan saudara sepupunya baik dari

pihak ayah atau ibu. Demikian pula hukum warisan, sejak zaman Iskandar Muda

sampai sekarang, yang dipakai adalah hukum islam baik di pengadilan negeri

maupun di pengadilan agama.

Satuan wilayah terkecil di Aceh adalah Gampong (dalam bahasa melayu:

kampung) yaitu, pekarangan yang sebagian ditata untuk kebun, dengan satu

rumah atau lebih yang satu sama lain terpisah dengan pagar dan jalan kampung

(jurong).44

Di Gampong atau di dekatnya selalu akan ditemukan bangunan yang ditata

sebagai rumah, namun tanpa kamar, lorong atau pembagian lain. Di dekat tangga

bangunan yang disebut Meunasah ini terdapat cadangan air, apakah hanya berupa

galian di tanah atau dibuat dari batu, pipa atau saluran bambu yang miring dari

sumur yang berdekatan yang bermuara di tempat cadangan air untuk memudahkan

pengisian air setiap hari daripada menimba dari sumur. Meunasah berasal dari

Bahasa Arab Madrasah yang berarti tempat belajar atau sekolah. Memang

Meunasah itu mempunyai multi fungsi, diantaranya sebagai tempat belajar

membaca Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran lain. Fungsi lain dari Meunasah itu

adalah sebagai tempat shalat lima waktu untuk kampung tersebut. Dalam

hubungan ini, diatur pula letak meunasah itu harus berbeda dengan letak rumah

44 Snouck Hurgronje, Aceh dan Adat Istiadat, (Jakarta: INIS 1996), h. 46, penterjemah:

Sutan Maimoen

Page 46: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

untuk membedakan mana rumah dan yang mana Meunasah dan sekaligus juga

orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat.45

Selain Meunasah, ada pula tempat ibadah di Gampong yang dibangun tanpa

tiang, namun memakai pondasi tembok yang ditinggikan, lalu di atasnya diberi

semen tangga dari batu untuk memasuki tempat ibadah, namun gedungnya sendiri

selalu dibuat dari kayu, dan di dinding dalam dibuat relung batu (Mehrab/Merab)

untuk menunjukkan kiblat ke ka’bah di Mekah. Kadang-kadang pekarangan

tempat ibadah itu dipagari dengan tembok terendah bersegi empat. Bangunan

yang lebih megah itu disebut Dayah dan berfungsi sama dengan Meunasah.

Dalam kebudayaan Aceh terdapat banyak variasi terutama dalam dialek bahasa dan adat istiadat. Hal ini disebabkan karena pengaruh luar yang terus menerus terjadi. Pengaruh luar ini termasuk kebudayaan daerah tetangga dan asing. Kebudayaan luar antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan bangsa-bangsa. Dapat dikatakan pengaruh luar ini memperkaya kebudayaan Aceh sebagai keseluruhan kebudayaan Aceh yang memberi peranan yang amat penting dalam terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia, karena kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan daerah yang telah mengalami perkembangan lebih lanjut.46

Secara garis besar bahasa di daerah Aceh dapat dibedakan menjadi empat bahasa, yaitu bahasa Gayo Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Tamiang, dan bahasa Aceh Tengah. Bahasa Aneuk Jamee khusus digunakan oleh penduduk di Aceh Selatan dan Aceh Barat. Bahasa Tamiang digunakan oleh penduduk di daerah pantai Timur. Bahasa Aceh adalah bahasa yang paling banyak digunakan di propinsi ini, antara lain di Aceh Timur, Utara, Pidie, dan sebagian Aceh Barat.47

Mayoritas penduduk di provinsi Aceh memeluk agama Islam. Selain itu

provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain,

karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebahagian besar

warganya yang menganut agama Islam.

Peradaban Aceh menduduki tempat tertinggi pada masa Sultan Iskandar, pada masa ini terjadilah peleburan antara nilai-nilai ke-Acehan, keislaman dan kenusantaraan secara padu. Aceh merupakan sebuah komunitas plural Islam yang berperadaban tinggi. Istana diperindah, kemewahan pengiring raja yang besar jumlahnya, kesusastraan yang berkembang dengan sangat pesat, perdebatan keagamaan yang sangat rumit yang diikuti oleh alim ulama terpelajar dari India dan dari tempat yang lebih jauh lagi. Istana dihias dengan indah, batu-batu permata menghiasi dinding-dindingnya, ada pula taman-taman. Selain istana dan taman yang menakjubkan yaitu terdapat karya sastra. Beberapa karya besar di Aceh bukan karya yang disampaikan secara turun temurun dengan lisan, bukan dongeng yang terlalu sering dianggap merupakan inti kesusastraan Melayu, tetapi karangan yang ditulis dengan prosa yang baik dan benar, di berbagai tulisannya dihiasi dengan sajak yang ada tanggalnya dan kebanyakan bahkan ada nama pengarangnya.48

Peradaban inilah yang memberikan Aceh rasa percaya diri sebagai sebuah masyarakat yang terhormat, yang mulia dan berbudi kebangsaan yang luhur. Kebudayaan Aceh yang telah mengalami perkembangan sejak beberapa abad yang lalu dan diperkirakan telah berkembang sejak pada masa abad ke-13 dan mencapai puncaknya pada masa abad ke-17 sekitar pemerintah Sultan Iskandar Muda. Kebudayaan Aceh mengalami pasang surut akibat kolonialisasi Belanda dan perpecahan

45 Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan, h. 7 46 Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, ( Jakarta: Bhatara Karya Aksara 1980), h.

115-116 47 B. Setiawan, Ensiklopedi Nasional, h. 41 48 Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia 2006), h. 212

Page 47: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

dari dalam masyarakat Aceh sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh mencari identitasnya sendiri dan berhadapan pula dengan kebudayaan nasional.49

C. Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan

Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1947. Kemerdekaan tersebut

terdorong oleh kejadian sejarah lain, yaitu kekalahan tentara Nippon dalam perang

Asia Timur Raya melawan sekutu, pimpinan Amerika Serikat. Berita tentang

proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diketahui oleh masyarakat Aceh pada

tanggal 21 Agustus 1945, berkat adanya informasi dari Ghazali Yunus dan kawan-

kawan yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei, kantor penerangan Jepang

(Hodoko) dan Atjeh Sinbun. Berita kemerdekaan ini disambut gegap gempita oleh

rakyat Aceh.50

Dalam perkembangan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Aceh

merupakan wilayah yang mempunyai andil cukup besar bagi pertumbuhan

Republik Indonesia. Ketika pertama kali Bung Karno datang ke Aceh

mengadakan pertemuan empat mata dengan Gubernur Militer Aceh Teungku

Daud Beureuh untuk mengumpulkan dana buat pembelian pesawat terbang,

masyarakat Aceh dengan tangan terbuka dan kerelaan menerimanya. Pada tahun

1948, Bung Karno datang ke Aceh untuk kedua kalinya dengan meminta Teungku

Daud Beureuh agar rakyat Aceh mengambil bagian yang aktif dalam perjuangan

melawan Belanda. Persetujuan ini dilakukan dengan syarat agar setelah

perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh dibolehkan menjalankan syariat Islam.

Akan tetapi, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah

49 Al chaidar, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi

Militer di Aceh 1989-1998, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), h. 9-10 50 Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:

Cita Panca Serangkai 1993), h. 97-98

Page 48: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak dikabulkan. Bahkan

otonomi Aceh dihapuskan dan Teungku Daud Beureuh dicurigai.51

Perjuangan rakyat Aceh berpuluh-puluh tahun melawan Belanda tak dapat

dikatakan mempunyai dasar lain kecuali mempertahankan agama, sehingga

perang melawan Belanda itu dinamakan perang sabil yaitu perang

mempertahankan agama Allah, dan mereka yang tewas dalam perang tersebut

dianggap mati syahid. Perang Aceh yang dahsyat itu berlangsung selama 31 tahun

yang berakhir pada tahun 1904 dengan kemenangan Belanda, akan tetapi dalam

hatinya rakyat Aceh masih belum menerima kekuasaan Belanda. Ternyata

beberapa kali setelah tahun 1904, terjadi pemberontakan terhadap Belanda,

misalnya di Bakongan antara tahun 1925-1927, di Lhong pada tahun 1933.

Kemudian pemberontakan Aceh yang paling besar terhadap Belanda adalah ketika

pemerintah Belanda menghadapi musuh dari luar yaitu Jepang pada waktu Perang

Pasifik, sehingga ketika bala tentara Jepang masuk ke Aceh, mereka tidak

menemui perlawanan lagi dari tentara Belanda yang sudah lebih dahulu pergi

untuk menyelamatkan diri.52 Dilihat dari inilah Bung Karno meminta Aceh untuk

berperang aktif dalam melawan Belanda karena keteguhan hati mereka dalam

memperjuangkan kemerdekaan dan Islam.

Kemerdekaan Indonesia disambut oleh rakyat Aceh dengan gegap gempita.

Mereka bertekad akan mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan merdeka

atau mati syahid. Mereka berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan

kemerdekaan sehingga rencana Belanda hendak menduduki Aceh tidak dapat

terlaksana. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini para ulama berada di

51 Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam, h. 33-34 52 Ismail Suny, Bunga Rampai Aceh, h. 30-31

Page 49: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

garis depan. Setelah kemerdekaan, di Aceh berkumandang seruan-seruan rakyat

agar hukum-hukum Islam dilaksanakan sepenuhnya. Akan tetapi pemimpin-

pemimpin Aceh melihat waktunya belum tepat untuk memenuhi tuntutan rakyat

tersebut. Karena itu ketika Bung Karno meminta rakyat Aceh untuk berperang

aktif melawan Belanda, Teungku Daud Beureuh selaku wakil rakyat Aceh

meminta agar setelah perjuangan selesai Aceh dibolehkan menjalankan Syariat

Islam. Permintaan ini pun disanggupi oleh Bung Karno. Tetapi setelah perjuangan

selesai Bung Karno tidak menepati janjinya. Ini dibuktikan oleh pidato presiden

Sukarno di Amuntai yang menyatakan tidak menyukai lahirnya negara islam dari

Republik Indonesia, hal ini membuat kecewa rakyat Aceh yang telah diberi janji,

padahal Aceh tidak berniat untuk mendirikan Negara Islam, mereka hanya ingin

menjalankan Syariat Islam.53

Kekecewaan rakyat Aceh sampai ke telinga Imam NII Kartosuwiryo, yang

segera mengirim seorang utusannya Abdul Fatah alias Mustafa, untuk mendekati

para pemimpin Aceh pada awal tahun 1952. Melalui Abdul Fatah, Kartosuwiryo

mengirimkan sebuah salinan dakwahnya tentang gerakan DI/TII, dan mengajak

para pemimpin Aceh untuk bergabung. Ajakan ini mendapat sambutan baik di

Aceh.54

Akibat pencabutan Aceh sebagai daerah otonom yang luas dan hanya diberi

status karesiden inilah, akhirnya hubungan antara Aceh dengan pemerintah

pusat merenggang, dan terjadilah keinginan untuk membentuk Negara Islam

Aceh pada tahun 1953, yang kemudian dikenal dengan pemberontakan Daud

53 M. Nur EL Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di

Aceh, (Jakarta: Gunung Agung 1982), h. 41-67 54 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,

(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1990), h. 89

Page 50: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Beureuh. Unsur kekecewaan daerah terhadap pusat inilah yang

melatarbelakangi mengapa Daud Beureuh mendirikan Negara Islam.

Pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletuslah suatu peristiwa yang

merupakan suatu tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Oleh pemerintah pada

waktu itu, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, peristiwa ini

dinamakan peristiwa Daud Beureuh atau pemberontakan Daud Beureueh.

Sedangkan rakyat Aceh menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa berdarah. Pada

tanggal tersebut, Daud Beureuh, seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat,

mantan Gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, mengangkat senjata

terhadap pemerintah pusat dan memproklamasikan Aceh sebagai negara Islam.

Daud Beureuh bersikeras bahwa tidak ada penyelesaian apapun sampai

pemerintah pusat mengakui hak rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam di

daerah itu. Untuk mendukung pendapatnya, Daud menegaskan bahwa Islamlah

yang mendorong para ulama berjuang dalam pemberontakan itu, dan karena Islam

pula mereka mendesak rakyat supaya berpartisipasi. Karena memang tuntutan

rakyat yang ingin menjalankan syariat Islam inilah awal mula peristiwa Daud

Beureuh terjadi.

Untuk menandai lahirnya sejarah baru itu tidak diadakan suatu rapat umum

atau upacara yang meriah. Sebagai gantinya, hanya naskah proklamasi dan sebuah

keterangan politik yang dibacakan dan disebarkan di Indra Puri, sebuah kampung

di sebelah selatan Kutaraja. Adapun isi naskah tersebut adalah:

PROKLAMASI

Berdasarkan pernjataan Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21

Sjawal 1368/7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwiryo atas nama umat islam

Page 51: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi

sebagian dari pada Negara Islam Indonesia.55

Atas Nama Umat Islam Daerah Atjeh dan Sekitarnya TTD Teungku Muhammad Daud Beureuh

Tertanggal:

Atjeh Darus’salam:

13 Muharram 1373

21 September 1953

Namun demikian, naskah-naskah ini sebenarnya bukanlah merupakan suatu

tanda pembukaan lembaran baru sejarah Aceh, sebab pemberontakan itu telah

dimulai sehari sebelum proklamasinya sendiri. Kerumunan-kerumunan rakyat

dengan bendera Tentara Islam Indonesia (TII), yang dilengkapi senjata tajam serta

satu atau dua pucuk senjata api, terlihat di kampung-kampung sepanjang jalan

raya dan jalan kereta api. Mereka sedang bersiap-siap menyerang kota di

sekitarnya. Keadaan menjadi begitu kacau, dan jam malam diberlakukan di kota-

kota. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh agar menjauhkan diri dari

Darul Islam dan tetap setia kepada pemerintah yang sah. Namun demikian, seruan

tersebut tidak membantu pemerintahan daerah yang telah kacau tersebut.56

Setahun setelah peristiwa Daud Beureuh, muncullah peristiwa Pulot-Cot

Jeumpa pada bulan Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar.

Bulan Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan

peristiwa 11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman

tentara republik di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Sehingga

55 M Nur El Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureuh, h. 1 56 M. Nur Ibrahimy, h. 86-87

Page 52: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

karena peristiwa Mar ini, tidak ada seorang pun yang mau menamai anaknya

dengan awalan atau akhiran “Mar” di Aceh. Tidak ada nama-nama seperti

Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, dan ini berlangsung dalam beberapa

tahun. Peristiwa ini masih berhubungan dengan peristiwa Daud Beureuh. Pada

suatu hari di bulan maret 1954, dalam rangka operasi militer mengejar

pemberontak. Sebuah iring-iringan truk militer melewati desa kecil. Sesampainya

di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak iring-ringan

militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak, tembak menembak terjadi

antara militer dengan pemberontak. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak,

sedang segerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua

kampung yang kemudian namanya menjadi tenar itu.57

Hari itu juga diadakan operasi besar-besaran dalam Kampung Pulot dan Cot

Jeumpa, dalam rangka mengejar pemberontak yang diduga keras bersembunyi di

sekitar kampung tersebut. Di sinilah mulainya sikap tentara yang sewenang-

wenang. Rakyat menjadi korban karena mereka tidak tahu menahu tentang para

pemberontak. Tentara yang tidak mendapatkan jawaban-jawaban mengenai

pemberontak menjadi marah, dan tentara menembakkan peluru senjatanya ke

arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Inilah awal mula perilaku tentara yang

semena-mena terhadap rakyat.

Peristiwa Pulot Cot Jeumpa, cepat tersiar ke seluruh pelosok Indonesia.

Selanjutnya kabinet mengirim menteri-menteri untuk mempelajari dari dekat

peristiwa tersebut. Dewan Keamanan Nasional ikut membicarakan, anggota

parlemen Sutarjo menganjurkan agar soal penyelesaian pemberontakan Darul

57 Al Chaidar, Aceh bersimbah Darah, h. 25-26

Page 53: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Islam diarahkan kepada putera Aceh sendiri, dan kepada para pemimpin

pemberontakan diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan baik-

baik, artinya harus dilakukan penyelesaian secara damai dan bijaksana.58

Selanjutnya pada 13 April 1954, pemerintah memberi keterangan dalam rapat

paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa. Dari keterangan

pemerintah, diambil kesimpulan bahwa dalam penyelesaian peristiwa Daud

Beureuh ini pemerintah mengambil tindakan kekerasan senjata untuk mengatasi

para pemberontak yang memberontak dengan senjata terhadap pemerintah RI.

Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 1959, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa

Aceh dengan otonom yang luas, khususnya dalam urusan agama, adat dan

pendidikan, sebagai tonggak sejarah dari perkembangan masyarakat Aceh sejak

tahun 1950-an, yang diawali dengan pergolakan berdarah menuju ke zaman

pembaharuan dan zaman kemajuan.59

Untuk mencapai lahirnya propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebelumnya telah

dilakukan beberapa usaha untuk memulihkan keamanan di Aceh oleh pemerintah

pusat. Pada masa pemerintah Ali Sastroamidjojo dalam usahanya memulihkan

keamanan di Aceh telah memilih tindakan kekerasaan senjata dengan harapan

bahwa kaum pemberontak dapat ditumpas pada akhir tahun 1953 atau paling

lambat pada bulan Maret 1954. Ternyata sampai kabinet Ali jatuh pada tahun

1955 keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Setelah itu, kabinet Burhanuddin

Harahap, mencoba pemulihan keamanan dengan cara halus. Ia berusaha

melakukan kontak dengan para pemberontak, tetapi usaha tersebut tidak berhasil.

Bahkan pada tahun 1955, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengirim dua

58 A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, (Bulan Bintang: Jakarta 1985), h. 457-458

59 Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 177

Page 54: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

kurirnya Abdullah Arif dan Hasbullah Daud untuk melakukan kontak dengan para

pemimpin pemberontak namun tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1957

Kolonel Sjamaun Gaharu Panglima KDMA (Komando Daerah Militer Aceh)

mengadakan kontak dengan pihak pemberontak, dan usaha tersebut berhasil.

Kemudian diantara pemimpin-pemimpin pemberontak terdapat suatu kesepakatan

yang kemudian terkenal dengan Ikrar Lam Teh, pada 8 April 1957. Atas dasar

Ikrar Lam Teh ini tercapai pula suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan

KDMA untuk menghentikan tembak menembak atau gencatan senjata. Gencatan

senjata ini berjalan sampai tahun 1959. Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 1959,

Dewan Revolusi mengadakan musyawarah dengan pemerintah RI yang dipimpin

oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, musyawarah pun berhasil dan

memutuskan sejak tanggal 26 Mei 1959, menyatakan bahwa daerah Swatantra

tingkat I Aceh dapat disebut Daerah Istimewa Aceh.60

Dari berbagai peristiwa, dapat dilihat bahwa pendirian yang kuat para tokoh

Aceh yang didukung oleh ulama dan masyarakatnya, untuk menuntut

keistimewaan Aceh akhirnya dapat dibuktikan oleh sejarah. Status keistimewaan

Aceh ini kemudian diinformasikan melalui UU No 18 tahun 1965 tentang

Pemerintahan Daerah di mana Aceh memperoleh keistimewaan di bidang agama,

adat dan pendidikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1979 gagasan NAM

(Negara Aceh Merdeka) dimunculkan oleh tokoh yang berasal dari Tiro bernama

Dr. Hasan Tiro. Ia lahir di desa Tiro, dekat Lammeulo di Pidie. Pada masa

Belanda ia adalah salah seorang murid Daud Beureuh di madrasah Blang Paseh di

60 M. Nur El Ibrahimy, TGK M.Daud Beureuh, h. 172-175

Page 55: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Sigli, sedangkan pada masa pendudukan Jepang ia belajar di Perguruan Normal

Islam. Sesudah proklamasi ia berangkat ke Jogjakarta untuk belajar di fakultas

hukum Universitas Islam Indonesia. Ia kembali ke Aceh sebentar untuk bekerja

pada pemerintahan darurat Sjafruddin Prawiranegara. Kembali ke Jogjakarta, ia

menjadi salah seorang dari dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia, yang pada

tahun 1950 menerima beasiswa untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas

Columbia. Di Amerika Hasan Tiro bekerja pada dinas penerangan delegasi

Indonesia di PBB.61 Dia datang ke Aceh dari Amerika dan mengatakan akan

mendirikan NAM. Ada dugaan bahwa lahirnya kelompok Hasan Tiro, dengan ide

NAM, maupun kemudian munculnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang

sering disebut oleh pemerintah dan sebagian masyarakat Aceh waktu itu, terkait

dengan mulai hilangnya keistimewaan Aceh sebagai sebuah wilayah yang

otonom. Pemerintah pusat mengambil posisi tegas dengan lahirnya NAM yang

dianggap sebagai GPK. Mereka dihilangkan dan Dr. Hasan Tiro melarikan diri ke

luar negri. Selang 10 tahun kemudian (1987-1990), muncul kembali peristiwa-

peristiwa gangguan keamanan dengan munculnya kembali GPK-GPK pada tahun

itu.

Penumpasan dilakukan, berkaitan dengan keharusan adanya keamanan di

Aceh pada umumnya dan daerah industri untuk membangun dan mengeksplorasi

kekayaan alam, dan menjaga agar investasi asing masuk ke Aceh. Sejak itulah

Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh dari tahun 1990-1998.62

61 Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti 1995), h. 301 62 Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 37-38

Page 56: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

BAB IV

REFERENDUM ACEH

Latar Belakang Referendum Aceh

Setelah Indonesia merdeka, Aceh masih terus menjadi tempat

kekerasaan, baik yang dilakukan oleh yang pro pemerintah maupun yang anti

pemerintah. Namun dapat dipastikan dalam hal ini, korban selalu berjatuhan

dari pihak rakyat sipil. Pada tahun 1953-1959 misalnya diperkirakan ratusan

rakyat menjadi korban kasus DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh di

Aceh. Kekerasan juga terjadi saat peristiwa Cumbok yang menyebabkan

banyak sekali Ulebalang yang diculik. Peristiwa Cumbok adalah kasus

pembunuhan terhadap uleebalang di Sigli, karena kaum uleebalang

berkeinginan mengembalikan kekuasaan Belanda di mana dalam masa

penjajahan Belanda di Aceh, mereka sangat diuntungkan oleh Belanda dan

melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Korban

kekerasaan di Aceh mencapai puncaknya adalah pada masa Orde Baru.63

Persoalan di Aceh dapat digolongkan dalam dua akar masalah, pertama adalah pemberlakuan Daerah Operasi Militer ( DOM ) dan tindak kekerasan militer Orde Baru (Juli 1990-Agustus 1998) maupun sesudah DOM (Agustus 1998-2000) serta tidak seriusnya pemerintahan untuk mengadili para pelaku tindak kekerasaan pada masa DOM maupun pasca DOM.

Pada awal RI terbentuk, saat negara ini belum memiliki apa-apa, rakyat

Aceh melalui dukungan para ulama telah memberikan andil yang amat besar

dalam membantu kelangsungan hidup republik dengan menyumbang sejumlah

63 Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh,

(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003), h. 24-25

Page 57: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

emas batangan dan bahkan bahu membahu membeli pesawat untuk

disumbangkan kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi pengorbanan rakyat

Aceh yang amat tulus kepada republik oleh sebagian masyarakat Aceh tidak

mendapat balasan, karena apa yang mereka inginkan untuk mendirikan

provinsi sendiri dengan status daerah istimewa dalam bidang agama, budaya

dan adat istiadat, serta pendidikan waktu itu tidak dikabulkan. Pemerintah

memilih menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara. Setelah rakyat Aceh

mengadakan perlawanan baru tuntutan tersebut dipenuhi. Ini adalah awal

kekecewaan dan kemarahan rakyat Aceh terhadap pemerintah, yang oleh

sebagian rakyat Aceh dianggap sebagai wujud perlakuan tidak adil dalam

bidang politik yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat Aceh.64

Setelah runtuh kekuasaan Orde Lama, dan digantikan dengan Orde Baru,

kemarahan rakyat Aceh semakin bertambah. Penyebabnya antara lain karena

pembangunan dalam bidang ekonomi yang membuka kesempatan luas bagi

penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Daerah Negara

(PMDN) untuk dilaksanakan di Aceh, ternyata belum banyak memberikan

manfaat bagi peningkatan sosial ekonomi rakyat Aceh, kekayaan alam Aceh

yang melimpah diekploitasi secara besar-besaran tetapi rakyat Aceh kurang

mendapatkan manfaatnya. Akibatnya sebagian besar rakyat Aceh tetap hidup

terbelakang dan bodoh. Hasil kekayaan alam yang begitu besar, yang diambil

dari bumi Aceh belum sepadan dengan apa yang diberikan kepada daerah

sehingga daerah tersebut belum memiliki dana yang cukup untuk membangun

Aceh sebagaimana yang mereka harapkan.

64 Musni Umar (ed), Aceh Win-Win Solution, (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002), h.

10-11

Page 58: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Kesempatan bagi rakyat Aceh untuk berusaha, dirasakan kurang banyak

diberikan, baik akses dalam bidang pekerjaan, permodalan maupun

peningkatan keahlian. Begitu pula penerimaan pegawai untuk mengisi

lowongan kerja yang diisi oleh orang-orang dari luar Aceh.

Selain itu kekecewaan-kekecewaan Aceh terhadap pemerintah pusat

adalah pemerintah pusat mengeksplorasi semua kekayaan yang dimiliki Aceh.

Ini terjadi sejak Orde Baru pada awal tahun 1970-an. Sebagaimana diketahui,

di Aceh Utara pada akhir 1960-an ditemukan gas alam di kawasan pemukiman

masyarakat Arun. Penemuan ini diteruskan dengan dibangunnya pusat-pusat

investasi besar berupa PT arun (1974), PT Pupuk Asean, AAF (ASEAN Aceh

Fertili Zer (1981), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) (1982), PT Kertas Kraft

Aceh (KKA-1985), dan sebuah MNC yakni Mobil Oil. Wilayah ini kemudian

dikemas dalam satu wilayah industri yang dinamakan ZILS (Zona Industri

Lhokseumawe).65

Tidak hanya itu, Aceh memang merupakan daerah modal seperti yang

disebut Bung Karno, disana terdapat pusat-pusat industri, seperti kabupaten

Aceh Timur (minyak tanah), Pidie (pabrik pupuk, korek api dan minyak

kelapa), Kabupaten Aceh Barat (tambang emas, pabrik minyak astiri, pabrik

minyak kelapa, industri kerajinan Rencong), Kabupaten Aceh Utara (gas alam,

pabrik kertas, pabrik gula dan industri petrokimia), dan kabupaten Aceh besar

(pabrik topi, rencong, keramik, tenun sarung).

Selain itu, hadirnya wilayah industri ini bukanlah tanpa meninggalkan masalah, rakyat Aceh tetap menjadi pihak yang dirugikan, misalnya:

65 Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas

Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 44

Page 59: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah PT Arun pada 1972 memberikan

harga antara Rp. 10,00-180,00 per meter. Sementara PT AAF memberikan

harga Rp 300-350 per meter pada 1980. PT PIM memberikan harga antara

Rp 800,00-1200,00.

Sebagian masyarakat ditakut-takuti untuk menyerahkan tanah dengan

menggunakan pihak militer dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik

maupun non fisik.

Pengusiran penduduk asli Aceh akibat tanahnya digusur.

Eksploitasi pusat atas Daerah Istimewa Aceh.

Adanya kecemasan bagi entitas lokal terhadap program transmigrasi yang

dilakukan oleh pemerintah.

Akumulasi perasaan kecewa karena diperlakukan tidak adil, telah mendorong sebagian rakyat Aceh tidak lagi mampu menahan marah, sehingga terpaksa mengangkat senjata sebagai ungkapan protes mereka terhadap pemerintah. Dalam perkembangannya, kemudian mereka mendirikan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, sikap perlawanan dari sebagian rakyat Aceh tersebut ditanggapi oleh pemerintah Orde Baru dengan pengiriman TNI ke Aceh untuk memadamkan pemberontakan yang dianggap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

Gerakan Aceh Merdeka sudah ada sejak 4 Desember 1976. Tetapi, ketika itu, pertarungan antara anggota GAM dengan TNI hanya terjadi sebatas kedua belah pihak yang bertikai. Artinya dampak negatifnya kepada rakyat sipil tidak terlalu banyak. Akan tetapi baru pada tahun 1989, rakyat sipil merasakan betapa menderitanya mereka akibat konflik GAM-TNI tersebut. Hal ini berawal dari terjadinya perampasan 18 pucuk senjata anggota TNI yang sedang melakukan program ABRI Masuk Desa (AMD) di kota Makmur, Aceh Utara. Di tahun 1989 itu, seorang anggota Kopassus yang desertir berpangkat kopral tiba-tiba muncul dan menyebut dirinya sebagai Panglima Perang GAM. Kopral ini menyebut dirinya sebagai Robert. Robert inilah yang kemudian berhasil mengkondisikan lahirnya DOM, di daerah Aceh yang sangat kaya akan gas alam, hutan dan berbagai kandungan mineral lainnya. Gubernur Aceh saat itu Ibrahim Hasan merasa terganggu akibat ulah GAM yang dimotori Robert hingga ia melaporkan situasi daerahnya kepada Presiden Soeharto. Saat itu juga presiden memerintahkan Panglima ABRI waktu itu Try Sutrisno agar mengendalikan situasi Aceh. Hanya saja, saat diklarifikasikan DPR pada awal Desember 1999, Try Sutrisno membantah, jika disebutkan di Aceh telah diberlakukan DOM, yang ada hanya Operasi Jaring Merah untuk menumpas

Page 60: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka. Dalam forum itu, anggota DPR sempat pula mempertanyakan, siapa sesungguhnya Robert dan tak seorang pun petinggi militer Orde Baru itu menjelaskan.66 Operasi Jaring Merah ini hanya terfokus di tiga daerah rawan konflik yaitu Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie, karena diberlakukannya Operasi Jaring Merah tersebut maka Aceh di Sebut Daerah Operasi Militer sejak itu mulai dikenal istilah DOM.

Dilihat dari segi politik kenapa diberlakukannya DOM di Aceh adalah perpecahan dalam kubu TNI yang saat itu dipimpin oleh Jendral Beny Moerdani di mana saat itu akan digantikan oleh Prabowo Subianto yang saat itu menjadi menantu presiden Soeharto. Ketika akhirnya pemilihan Wakil Presiden di mana Soeharto mencalonkan Sudharmono untuk menjadi Wapres kemudian Beny mencalonkan Jaelani Naro yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PPP untuk menjadi Wapres akan tetapi pemilihan tersebut akhirnya menetapkan bahwa Sudharmono menjadi Wapres dari sini pula awal hubungan Soeharto dan Beny Moerdani Menjadi buruk. Kemudian Beny Moerdani yang kecewa terhadap pemerintahan Soeharto saat itu secara diam-diam mendukung pasukan GAM yang bermarkas di Malaysia karena Prabowo Subianto dikirim ke Aceh sebagai Kepala Kostrad pada periode 1989-1999. keberadaannya di Aceh ini guna menekan Beny Moerdani dan beberapa faksi militer yang tidak sejalan dengan Soeharto.67

Oleh karena kegiatan GAM di tanah Serambi Mekah terus meningkat

intensitasnya dan tampaknya mendapat dukungan serta simpati dari sebagian

masyarakat Aceh, untuk menghentikannya serta mencegah meluasnya

pengaruh GAM ke dalam masyarakat, TNI terpaksa memberlakukan Daerah

Operasi Militer di daerah tersebut.68

DOM dengan Operasi Jaring Merah di daerah Aceh telah diberlakukan

sejak tahun 1989, yang pada mulanya diperuntukkan mengamankan situasi

dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah sebagai GAM, yang

selanjutnya disebut GPK. Namun sejak operasi tersebut diberlakukan, ternyata

yang terjadi bukan hanya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang

begitu nyata, seperti tindak kekerasaan yang berlangsung itu dirasakan sendiri

66 Neta S. Pane, Sejarah dan Kemakmuran Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan

Impian, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), h. 172 67 Rahadi Wiratama Teguh, et.al. Supremasi Sipil, pelembagaan Politik dan Masalah

Integrasi Nasional: Masalah Krusial Konsolidasi Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 170-172 68 Musni Umar, Aceh Win-Win, h. 12

Page 61: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

oleh masyarakat. DOM menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan

traumatik, sebab apapun ABRI cenderung bertindak semena-mena terhadap

rakyat Aceh yang dicurigai mempunyai hubungan dengan GPK/GAM.69

Menjadikan suatu daerah menjadi DOM memang belum pasti

menyelesaikan masalah, apalagi mengingat daerah Aceh begitu kuat kultur

keagamaan dan adat istiadatnya. Seharusnya untuk menyelesaikan

permasalahan Aceh harus terlebih dahulu memanfaatkan jasa para ulama,

tokoh adat dan pemerintah setempat. Apapun alasannya, akibat

diberlakukannya Operasi Jaring Merah (OJM) dan dijadikannya DOM di Aceh

telah menimbulkan pelanggaran hukum dan HAM.

Status DOM di Aceh dicabut pada 8 Agustus 1998 oleh

Pangab/Menhankam Jenderal TNI Wiranto di masjid Baiturrahman

Lhokseumawe. Pencabutan ini disambut oleh masyarakat di beberapa tempat,

saat memperingati Maulid Nabi masyarakat melaksanakan sujud syukur.

Rakyat Aceh juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang

dianggap telah ikut mencabut DOM.70 Akan tetapi pencabutan DOM ini baru

tahap awal. Rakyat Aceh masih harus berjuang lagi untuk menegakkan hukum

akibat pelanggaran HAM. Kasus-kasus harus diusut dan ditindak lanjuti

sampai tuntas. Selaku pimpinan ABRI, Wiranto memutuskan bahwa

keamanan Aceh sepenuhnya diserahkan kepada rakyat Aceh sendiri, yaitu

kepada para ulama, para tokoh masyarakat, para guru, pejabat pemerintah dan

seluruh lapisan masyarakat. Pangab harus meminta maaf kepada seluruh

masyarakat Aceh atas tingkah laku prajurit ABRI jika telah melukai hati

69 Al chaidar, Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer di Aceh 1989-1998, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), h. 106

70 Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 199

Page 62: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

rakyat Aceh selama mereka melaksanakan operasi penumpasan GPK di Aceh

sejak beberapa tahun.

Pasca pencabutan DOM, rakyat juga menuntut dampak yang

ditimbulkan oleh DOM. Rakyat Aceh dengan dukungan masyarakat

intelektualnya tidak pernah berhenti menuntut ditegakkannya hak-hak manusia

di Aceh ini. Pada masa Presiden Habibie, kepala negara tersebut

menyampaikan penyesalan sedalam-dalamnya atas pelanggaran hak asasi

manusia di beberapa daerah yang dilakukan oleh oknum petugas dalam

operasi menghadapi gerakan separatis. Ditetapkannya Aceh sebagai daerah

operasi militer adalah suatu keputusan politik. Karenanya pencabutan DOM

harus diikuti dengan pertanggungjawaban politik, hukum dan sosial ekonomi

dari pemerintah. Pertanggungjawaban politik yang dimaksud adalah

pemerintah harus mengakui bahwa operasi militer di Aceh itu salah, kemudian

mengeluarkan daftar orang-orang yang bertanggung jawab serta

mengumumkan langkah-langkah apa yang diambil pemerintah dengan

kesalahan itu. Akan tetapi, nyatanya pemerintah tidak melakukan pertanggung

jawaban politik tersebut baik hukum maupun sosial.71

Kemudian pasca pencabutan DOM hingga Desember 1998, karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menangani para pelanggar HAM, dan kemudian pemerintah pusat kembali memasukkan ratusan pasukan ke Aceh maka muncul tentang ide merdeka yang disosialisasikan oleh Gerakan Aceh merdeka. Gagasan ini, akhirnya mendapat dukungan yang cukup besar dari masyarakat Aceh terutama dari daerah-daerah bekas diberlakukannya DOM. Gagasan GAM ini dilakukan dengan cara rapat-rapat akbar yang umumnya mengundang banyak Teungku (ulama) yang merupakan penganut GAM. Respon yang diberikan masyarakat cukup kuat.

Kemudian selain opsi merdeka, ada 3 macam aspirasi yang hidup dalam

masyarakat Aceh. Pertama merdeka, yakni lepas dari negara Indonesia dan

71 Al Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, h. 100-101

Page 63: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

mendirikan negara Aceh yang berdaulat lazimnya seperti negara-negara lain di

dunia. Kedua referendum, yakni rakyat Aceh secara demokratis diberi pilihan,

merdeka atau tetap bagian dari dan hidup dalam negara Indonesia. Ketiga

otonomi khusus, yakni rakyat Aceh diberikan hak seluas-luasnya dan sesuai

dengan kehendak mereka mengatur dan mengurus dirinya, mengeksploitasi

dan mengolah sumber daya alam untuk kesejahteraan dan kemakmuran

mereka dan siapapun yang tinggal dan hidup di Aceh.72

Menuju Referendum Aceh

3 Februari 1999, gagasan referendum dimunculkan oleh Kongres

Mahasiswa Aceh Serantau. Referendum mereka artikan sebagai cara untuk

mengembalikan kedaulatan Aceh (Aceh Merdeka). Untuk sosialisasi gagasan

ini dibentuklah SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh), SIRA merupakan

salah satu lembaga gerakan sipil masyarakat Aceh yang berjuang

terlaksananya referendum opsi Merdeka di Aceh. Lembaga ini dideklarasikan

dalam sebuah pertemuan atau kongres yang melibatkan 106 lembaga pemuda,

mahasiswa, dan santri baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh. Pertemuan

itu diberi nama KOMPAS, atau Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh

Serantau yang dilaksanakan pada 31 Januari sampai 4 Februari 1999.73 Sejak

itu masyarakat mulai mengenal referendum. Gagasan ini kemudian tersebar di

level masyarakat, dan gerakan atas tuntutan terhadap dua opsi ini, yaitu

merdeka atau referendum semakin meluas dan mengakar tidak hanya sebagai

72 Musni Umar, Aceh Win-Win Solution, h. 5 73 Tempo, 3 April 2001

Page 64: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

tuntutan semata akan tetapi mengalami pergeseran-pergeseran ke arah gerakan

yang sebenarnya.

Pada 8 November 1999 rakyat Aceh yang dikomandoi oleh SIRA

melakukan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) yang

dihadiri oleh sekitar 1,5 juta jiwa. Sebelumnya, tepatnya pada 14 September

1999, SIRA bersama dengan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)

meresmikan papan nama referendum yang isinya adalah dua opsi yaitu

merdeka atau tetap dalam NKRI dan saat itu Gus Dur pun hadir,74 dan

kemudian Gus Dur meresmikan papan nama tersebut, dan ikut hadir juga

Amien Rais. Kedua tokoh tersebut pada tahun 1999 terpilih menjadi tokoh

sentral politik di Indonesia, Abdurrahman Wahid menjadi presiden sedangkan

Amien Rais menjadi Ketua MPR. Inilah problema penyelesaian Aceh, di satu

sisi, Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur pada waktu itu

secara pribadi meresmikan dan menyetujui referendum dengan opsi merdeka,

akan tetapi pada saat ia menjabat sebagai presiden RI justru ia tidak

menyepakati opsi merdeka untuk perjuangan dan penyelesaian kasus Aceh.

C. Kebijakan Politik Gus Dur Terhadap Referendum Aceh Menyelesaikan masalah Aceh yang paling rumit adalah persoalan

persepsi antara lokal dan pusat. Masyarakat lokal umumnya memahami bahwa

penyelesaian masalah Aceh dapat dilakukan dengan cara referendum dengan

mengikutsertakan opsi merdeka di dalamnya. K.H. Abdurrahman Wahid yang

saat itu menjabat sebagai presiden RI memberi 3 opsi mengenai referendum

ini, yaitu (1) otonomi total, (2) otonomi luas dan (3) otonomi khusus.

74 Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz. MA. Tanggal 14 Mei 2008, di Gedung DPR-RI lantai 16

Page 65: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Sementara masyarakat lokal sebagaimana yang disuarakan oleh LSM,

mahasiswa, ulama dan masyarakat secara luas menghendaki adanya

referendum dengan memasukkan opsi merdeka di dalamnya.75

Antogonisme kepentingan antara pusat dan lokal, masih menjadi

perdebatan. Pihak GAM bahkan dengan tegas menolak untuk mengakui

pemerintah pusat dan dengan jelas menghendaki merdeka dengan caranya

sendiri. Pemerintah harus berusaha mengadakan perundingan dengan pihak

GAM guna mencapai kesepakatan. Bila perundingan gagal, maka sangat sulit

untuk menyelesaikan konflik Aceh. Oleh karena itu pemerintah harus dapat

memberi jaminan agar negosiasi mengenai perbedaan pandangan terutama

dalam persoalan penyelesaian Aceh bisa diselesaikan. Demikian pula dari

kelompok lokal juga harus melakukan negoisasi dengan membawa konsep dan

tawaran-tawaran untuk dialog guna menyelesaikan persoalan Aceh secara

menyeluruh terutama mengenai status tuntutan referendum Aceh dengan opsi

merdeka di dalamnya.

Bila pemerintah pusat gagal meyakinkan masyarakat lokal bahwa

pemerintah pusat sungguh-sungguh hendak menyelesaikan masalah Aceh,

maka seluruh tawaran solusi di atas tidak dapat dijalankan tanpa ada

kesepakatan dengan masyarakat lokal sebelumnya. Solusi di atas bertujuan

untuk segera mengakhiri pertentangan-pertentangan yang terjadi antara

pemerintah pusat, masyarakat lokal dan GAM. Tuntutan referendum ini oleh

pemerintah ditolak dengan tegas. Pemerintah lebih memilih penyelesaian

konflik di Aceh melalui cara-cara damai, lewat dialog dan perundingan.

75 Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 62-63

Page 66: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Namun aksi kekerasan baik oleh milisi GAM maupun aparat keamanan RI

terus berlangsung. Korban jiwa di kalangan rakyat sipil tidak terhitung

jumlahnya. Pemerintah tidak mungkin mengabulkan tuntutan referendum

rakyat Aceh, terutama jika terdapat opsi merdeka. MPR telah mengamanatkan

dan merekomendasikan agar pemerintah memelihara keutuhan dan kesatuan

wilayah RI setelah kehilangan Timor Timur. Penyelesaian konflik vertikal dan

separatisme harus dilakukan dengan semangat kesatuan dan persatuan, bukan

perpecahan dan fragmentasi negara.76

Apapun keputusan pemerintah dalam menangani konflik di Aceh,

referendum merupakan solusi paling akhir setelah berbagai upaya mengalami

kegagalan, sebelumnya harus diupayakan cara damai, dengan cara

memperlakukan rakyat Aceh secara adil. Apabila perbaikan perlakuan telah

diterima, maka menurut hukum, negara diberi wewenang menyelesaikan

separatisme secara represif.

Tuntutan referendum di Aceh dengan opsi merdeka merupakan

akumulasi dari kekecewaan dan kemarahan rakyat terhadap pemerintah pusat.

Karenanya dalam menyelesaikan kemelut Aceh, ada beberapa alternatif yang

perlu ditempuh oleh pemerintah pusat. Dalam pernyataan politik, misalnya,

Presiden RI Abdurrahman Wahid dengan tegas memperlihatkan sikap yang

lebih jelas mengenai masalah separatisme. Antara lain dikatakan, “Langkah-

langkah komprehensif untuk menyelesaikan masalah Aceh yang terus

dilakukan pemerintah dalam kerangka solusi damai, dalam bingkai NKRI, dan

lebih mengutamakan pendekatan dialog dan komunikasi politik hendaknya

76 Musni Umar, Aceh Win-Win Solution, h. 98-99

Page 67: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

terus dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, setiap upaya yang menyimpang

dari semangat dan komitmen ini, apalagi bila berbentuk suatu gerakan untuk

memisahkan diri NKRI tentu akan dihentikan, serta diberikan tindakan tegas

sesuai konstitusi, amanah MPR dan tatanan hukum yang berlaku”.77

Pemilihan keputusan referendum tidak dapat diambil sendiri oleh

presiden. Kewenangan mengeluarkan kebijakan kewilayahan, yakni

melepaskan salah satu wilayah negara hukum bukan hanya menjadi wewenang

presiden semata. Dalam mengambil keputusan tentang pemberian referendum

di Aceh, presiden tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus meminta

persetujuan MPR. Dalam era reformasi di mana MPR bersidang setiap tahun,

permintaan persetujuan bukan hal yang sulit. Persetujuan harus diberikan oleh

MPR secara kelembagaan bukan oleh pimpinan MPR beserta pimpinan

fraksi-fraksi.78

Adapun langkah terbaik untuk menyelesaikan persoalan Aceh harus

dibicarakan secara nasional. Misalnya dibahas dan diputuskan dalam sidang

pleno DPR. Paling tidak ada 3 persoalan yang perlu dicermati sebelum

referendum dilakukan. Pertama, mempertegas posisi Aceh dalam struktur

sistem sosial Indonesia yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Kedua,

mencari dasar hukum yang benar untuk menandai boleh atau tidaknya

dilakukan referendum di Aceh. Ketiga, dalam memberikan opsi untuk

77 Budiarto Danudjaja, Hari-Hari Indonesia Gus Dur, (Jogjakarta: Galang Press,1999), h.

151-152 78 Musni Umar, Aceh Win-Win Solution, h. 101-102

Page 68: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

penyelesaian kasus Aceh harus berdasarkan perundang-undangan yang

berlaku dan disetujui oleh DPR.79

Pengalaman pahit dalam kasus Timor Timur tidak boleh terulang

kembali dalam penyelesaian kemelut Aceh. Pernyataan Gus Dur sewaktu

masih menjabat sebagai presiden RI yang menyatakan setuju dilaksanakannya

referendum Aceh sebenarnya hanya merupakan pendapat pribadi. Namun

karena Gus Dur adalah seorang presiden RI, maka pendapatnya akan selalu

ditagih oleh rakyat Aceh meski diucapkan selaku pribadi dan tidak mewakili

pemerintah atau negara. Pernyataan Gus Dur soal referendum tersebut dapat

menjadi suatu keputusan negara jika ditempuh prosedur konstitusional, Yakni

meminta persetujuan tidak cukup dilakukan melalui konsultasi dengan

pimpinan MPR dan fraksi-fraksi, tetapi harus dengan seluruh anggota MPR.

Jadi, jalan menuju referendum di Aceh masih sangat panjang dan kalau pun itu

ditempuh merupakan upaya paling akhir manakala upaya lainnya tidak dapat

menyelesaikan kemelut Aceh.

Usaha menangani kasus Aceh ini telah tertuang dalam TAP MPR yang

berisikan, pemerintah akan mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah

NKRI dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya

masyarakat Aceh, melalui penetapan Daerah Istimewa Aceh sebagai daerah

otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang dan menyelesaikan kasus

Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan

79 Dody S. Singgih, “Memaknai Referendum Secara Sosiologi”, Suara Pembaruan 5

Desember 1999

Page 69: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

pengadilan yang jujur bagi pelanggar HAM baik selama pemberlakuan DOM

maupun pasca DOM.80

Pro dan kontra atas pernyataan Presiden Gus Dur pada 3 November 1999

ketika ia ditanya wartawan di Phnom Penh, Kampuchia, Gus Dur

mengatakan81,“ kalau Timor Timur boleh diadakan referendum kenapa di

Aceh tidak boleh?”. Walaupun diselenggarakan referendum Aceh tidak akan

lepas dari Indonesia karena Aceh ikut mendirikan RI. Gus Dur juga

mengatakan Aceh tidak akan meninggalkan Indonesia. Kalaupun ada

kehendak referendum itu wajar-wajar saja. Referendum kenapa tidak,

keputusan akhir dari suara itu bagaimana nanti harus dihormati, tetapi ia yakin

Aceh tidak akan lepas. Gus Dur sudah menyatakan pro referendum, walaupun

ada referendum di Tim-Tim, mengapa Aceh tidak boleh itukan tidak adil,

tegas Gus Dur. Tentang mekanisme referendum, Gus Dur mengatakan masih

akan dibicarakan lagi dengan pemerintah daerah. Mengenai isu adanya

tandatangan sekitar dua juta orang pro referendum, Gus Dur mengatakan:”itu

kan belum separuh rakyat Aceh, tetapi silahkan saja, itu adalah urusan orang

Aceh”. Gus Dur juga mengatakan kepada wartawan, bahwa ia menginginkan

referendum Aceh karena sebelumnya beberapa pimpinan sipil dan militer

setempat telah berbuat kesalahan pada masyarakat Aceh.82 Ucapan Gus Dur

tersebut dianggap bahwa pusat membuka lebar pintu keluar bagi seluruh

provinsi yang masih tergabung dalam bentuk republik kesatuan, dengan ini

akan mengakibatkan bagi pecahnya negara.83

80 TAP MPR RI dan GBHN, Hasil Sidang Umum MPR RI 1999 81 Kompas, 9 November 1999 82 Kompas, 9 November 1999 83 Rahadi Teguh Wiratama, et.al, Supremasi Sipil, h. 122

Page 70: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Menurut Muchtar Aziz anggota Dewan saat itu sekaligus selaku wakil

ketua peduli Aceh, dan sekarang menjabat sebagai anggota MPR periode

2004-2009 mengatakan Gus Dur mengemukakan bahwa ia menyetujui adanya

referendum di Aceh akan tetapi itu belum pasti di dalamnya opsi merdeka

mungkin saja hanya pemberlakuan otonomi khusus atau istimewa itu belum

jelas.84

Sebagai seorang Presiden Gus Dur terus mengadakan pertemuan dengan

pemimpin-pemimpin masyarakat Aceh dalam usahanya untuk menegoisasikan

suatu penyelesaian. Sayang sekali bagi presiden ini, tidaklah mudah untuk

mencapai kemajuan mengenai penyelesaian masalah Aceh. Memang masalah

konflik separatis di mana saja di dunia ini selalu merupakan masalah yang

sulit dipecahkan. Walaupun Gus Dur menyatakan rasa optimisme bahwa ia

akan menyelesaikan masalah Aceh dengan cepat, tapi kenyataannya itu tidak

terbukti. Prioritas utamanya adalah mencoba membujuk rakyat Aceh untuk

menaruh kepercayaan kepada pemerintah dan memberi waktu bagi

pemerintah.85

Salah satu usaha Gus Dur dalam menangani kasus Aceh adalah

melakukan perundingan damai dengan GAM. Pada 9 Desember 1999, HDC

mampu mengajak pemerintah RI-GAM menandatangani Cessation of

Hostilities Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan) sebanyak enam

halaman kuarto di markas HDC Jenewa, Swiss.86 Perundingan itu adalah

perundingan pertama di Davos, Swiss, dan menghasilkan jeda kemanusiaan,

84 Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di

Gedung DPR-RI, lantai 16 85 Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid,

(Jogjakarta: LKIS, 2001), h. 362 86 Sinar Harapan, 11 Juli 2000

Page 71: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

yang berlangsung pada 2 Juni-2 September 2000. Indonesia diwakili Menteri

Luar Negeri Hasan Wirajuda sementara GAM diwakili Zaini Abdullah,

Menteri Kesehatan GAM.87 RI dan GAM menandatangani dokumen

sementara yang berisi GAM dan RI setuju untuk mentransformasi perjuangan

GAM dari kekuatan bersenjata menjadi perjuangan politik. Perundingan

tersebut difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC).

Dalam menghadapi tuntutan mengenai diselenggarakan referendum

dalam hitungan minggu, Gus Dur mencoba mengulur waktu. Dengan berbuat

demikian ia masuk ke dalam suatu pola sikap yang merugikan posisinya

sebagai presiden. Sebagaimana telah dipelajari dan juga dipraktekkan selama

masa Soeharto, Gus Dur sebagai presiden mencoba mengelak sikap dan

pernyataan-pernyataannya lebih didorong oleh tuntutan sementara dari

manuver taktiknya untuk dapat bertahan. Pada saat yang sama, ia berulang-

ulang tak bisa menjelaskan apa yang tengah dikerjakannya. Ia mengelak dari

masalah dan sebaliknya menyatakan dukungannya bagi dilaksanaannya

referendum adalah pendapat pribadinya sendiri. Ia menjelaskan bahwa apa

yang ada dalam benaknya saat itu bukanlah suatu referendum mengenai

kemerdekaan tetapi mengenai bentuk-bentuk otonomi. Motifnya adalah

mencoba menarik rakyat Aceh untuk kembali dari tepi konflik dengan pihak

militer Indonesia. Sayang sekali sikapnya yang berputar-putar sekitar masalah

ini yang sebenarnya didasari oleh niat baik, hanya akan memperlemah

kredibilitasnya saja. Namun demikian, ia mampu mempertahankan cita-cita

untuk mencapai penyelesaian lewat perundingan.

87 Moh. Sobary et.al, Gus Dur di Istana Rakyat (Catatan Tahun Pertama), (Jakarta:

LKBN Antara & Bright Communication, 2000), h. 257

Page 72: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Reaksi dan Implikasi

Munculnya referendum Aceh, menimbulkan berbagai reaksi yang

bermacam-macam dari berbagai kalangan maupun dari berbagai organisasi.

Adapun organisasi tersebut adalah:

Rabithah Taliban, organisasi ini lahir bermula dari diselenggarakannya

musyawarah para santri dayah (pesantren) di Banda Aceh 4 April 1999.

Dalam musyawarah tersebut mereka mengeluarkan keputusan mendukung

pelaksanaan referendum. Taliban memutuskan ikut bersama kalangan

masyarakat Aceh yang mendukung penyelenggaraan referendum,

nampaknya Taliban termasuk yang mempercayai anggapan bahwa

kemerdekaan Aceh bukan tidak mungkin sebagai hal yang sudah melekat

dengan aspirasi masyarakat Aceh. Dukungan Taliban terhadap

pelaksanaan referendum Aceh, sebagaimana dideklarasikan bersama

dalam pertemuan para santri dayah April 1999, untuk itu Taliban cukup

intensif terlibat dalam gerakan mendukung referendum Aceh.

Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), SMUR berdiri pada 18 Maret

1998, SMUR ikut mendukung digulirkannya ide pelaksanaan referendum

Aceh. Mereka pun ikut memprakarsai penyelenggaraan kongres

mahasiswa dan pemuda Aceh Serantau di Banda Aceh pada tanggal 31

Januari- 4 Februari 1999. Kongres dihadiri 30 peserta dari dan luar Aceh

yang terdiri atas aktivis mahasiswa, LSM dan santri. Pada

perkembangannya SMUR termasuk dalam kelompok mahasiswa yang

menyerukan penentuan nasib sendiri melalui referendum di bawah

Page 73: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

pengawasan PBB atau lembaga independen internasional. Sebagai solusi

untuk mengatasi masalah krusial di Aceh. Padahal, pihak yang

menggulirkan ide pelaksanaan referendum di Aceh muncul dari kalangan

pejuang GAM, menyusul keberhasilan jajak pendapat di Tim-Tim pada

Agustus 1999. Artinya, ide referendum Aceh sebenarnya tidak bisa

dilepaskan dari aspirasi yang berkembang di berbagai kelompok yang

menginginkan Aceh merdeka dari Indonesia.

Isu referendum berkembang pertama kali dalam sebuah poster pada demonstrasi mahasiswa, yang diinspirasi oleh referendum di Tim-Tim, tetapi kemudian diekspos lebih jauh dengan diselenggarakan jajak pendapat oleh Forlinka, sebuah lembaga yang dikelola oleh para dosen Unsyiah, hasilnya 82,6% mahasiswa dan kaum muda menghendaki referendum. Walaupun jajak pendapat ini lebih bersifat politik daripada akademik justru karena itu telah menjadi gerakan, sehingga muncul dalam setiap pertemuan, bahkan kemudian puncaknya adalah para pertemuan akbar yang diselenggarakan SIRA. Akhirnya masyarakat pedalaman yang selama ini apatis akhirnya ikut mengumandangkan kata referendum, yang tidak lain diartikan sebagai kemerdekaan, sebab dalam referendum yang mereka inginkan adalah kemerdekaan itulah opsi utamanya.

Reaksi juga dimunculkan oleh Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud

yang menyatakan mendukung referendum dan akan menandatangani

komitmen SU-MPR Aceh di masjid raya Baiturrahman.88

Jaksa Agung saat itu yaitu Marzuki Darusman meminta agar DPR jangan

terburu-buru menolak tuntutan referendum. Ia menganjurkan agar pemerintah

mengambil langkah-langkah untuk menggelar dialog yang lebih efektif dan

meminta agar DPR tidak terlalu cepat menolak referendum. Pemerintah dan

DPR harus dapat menciptakan suasana dialog dengan seluruh elemen

masyarakat Aceh.89

88 Indomedia, 11 November 1999 89 Indomedia, 26 November 1999

Page 74: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Reaksi pun dimunculkan oleh para mahasiswa dan warga Aceh se-Jawa.

Mereka melakukan demonstrasi di gedung DPR/MPR guna menuntut

referendum di Aceh. Massa yang terhimpun dalam forum Persatuan

Komunikasi Rakyat Aceh (FOPKRA) ini sempat mengibar-ngibarkan spanduk

dan poster bertuliskan referendum di tiang bendera di halaman gedung. Selain

menuntut referendum mereka juga mendesak agar pemerintah menghukum

para pelanggar HAM di Aceh. Mereka juga mengatakan reeferendum

merupakan harga mati yang tidak bisa diganti dengan opsi lain. Tuntutan

referendum harus dipenuhi, apakah nanti merdeka, membentuk negara federal

atau otonomi khusus, yang jelas mereka menuntut agar referendum harus

berjalan dulu.90

Di Aceh, aparat kepolisian resort Aceh Besar dibantu pasukan brimob,

membubarkan apel siaga pejuang referendum Aceh di halaman gedung DPRD

Aceh. Petugas mengambil sejumlah bendera referendum dan meminta para

peserta apel tersebut meninggalkan halaman dewan. Upacara peringatan

setahun perjuangan referendum, semula sudah mendapat persetujuan dari

pimpinan dewan yang bernegoisasi dengan panitia penyelenggara. Akan tetapi

mereka dibubarkan karena mereka menaikkan bendera referendum di tiang

utama karena perjanjiannya mereka boleh menaikkan bendera referendum

akan tetapi bukan di tiang utama.91

Ribuan massa yang menuntut referendum berlaku anarkis di Meulaboh,

Aceh Barat. Mereka membakar gedung pemerintah yakni kantor Bupati Aceh

Barat, kantor Bappeda, kantor DPRD setempat dan kantor meteorologi serta

90 Kompas, 26 November 1999 91 Serambi Indonesia, 4 Februari 2000

Page 75: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

mereka membebaskan sekitar 60 tahanan. Bupati Aceh Barat, Nasruddin MS,

mengatakan amuk massa tersebut pertama melakukan pembakaran kantor

DPRD Aceh Barat. Sedangkan Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) I

Bukit Barisan, Letkol Infantri Nurdin Sulistyo, mengatakan pengunjuk rasa

yang terdiri dari pemuda dan masyarakat diperkirakan mencapai 5000 orang.

Mereka, pada awalnya mendatangi gedung DPRD Tingkat II Aceh Barat di

Meulaboh untuk menyampaikan agar DPRD menandatangani pernyataan

referendum. Ketua DPRD Aceh Barat, Sofyan Sawang dan pimpinan lainnya,

menolak permintaan massa tersebut. Penolakan itu menimbulkan kemarahan

warga yang kemudian mulai membakar gedung DPRD. Selain itu peristiwa

tersebut menyebabkan kerusakan kantor Bupati Nasruddin dan sebagian besar

dokumen yang ada di kantor tersebut hangus terbakar.92

Implikasinya adalah rusaknya fasilitas pemerintah maupun fasilitas

umum lainnya yang meyebabkan kurangnya kinerja pemerintah atau pun

masyarakat dalam melakukan aktivitasnya.

Reaksi pun dimunculkan bukan hanya di wilayah Aceh saja, melainkan

juga di ibukota Jakarta. TNI pun ternyata mendukung adanya referendum di

Aceh, hal ini mungkin dilakukan hanya untuk menambah kacau situasi di

Aceh karena selama ini diketahui bahwa awal mula merebaknya isu

referendum ini adalah dari pemberlakuan DOM yang dikomandoi oleh TNI.93

Panitia Khusus DPR tentang Aceh mengusulkan agar MPR membahas

referendum dalam sidang panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR. Menurut Wakil

Ketua Pansus, Aly Yahya dari Partai Golkar, referendum ini diharapkan bisa

92 Republika, 3 November 1999 93 Wawancara Langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di

Gedung DPR-RI lantai 16

Page 76: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

menjadi salah satu langkah awal penyelesaian Aceh. Ini salah satu hasil

kesimpulan rapat. Pada rapat Pansus, semua wakil masyarakat Aceh, kecuali

Kapolda bersikap sama. Mereka berpendapat satu-satunya cara untuk

menyelesaikan kasus Aceh saat ini hanya melalui referendum. Pada bagian

lain, Pansus DPR mengakui bahwa referendum sudah menjadi kehendak

rakyat Aceh. Dalam hasil rapat Pansus ini dihasilkanlah sepuluh rekomendasi

pansus Aceh, yang isinya antara lain DPR mendesak untuk secepatnya

membangun dan merehabilitasi fasilitas umum di Aceh, seperti tempat ibadah

dan sekolah, selain itu pemerintah perlu memberaikan kompensasi material

dan spiritual kepada korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh,

termasuk kepada keluarga yang ditinggalkan. Pansus Aceh juga mendesak

pemerintah untuk segera mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang

terjadi di Serambi Mekah lewat pengadilan koneksitas, baik sebelum maupun

setelah pencabutan daerah operasi militer (DOM).94 Akan tetapi, semua itu

sepertinya tidak membuahkan hasil apa-apa setelah beberapa lama gejolak di

Aceh masih terjadi.95

Ketika anggota Pansus melakukan rapat kerja dengan berbagai tokoh

Aceh, ratusan mahasiswa, masyarakat dan pemuda Aceh dari berbagai kota di

pulau Jawa menggelar aksi di balkon gedung DPR. Massa ini membawa

berbagai spanduk dan pamplet yang semuanya menuntut pelaksanaan

referendum di Aceh. Ketua DPR saat itu Akbar Tanjung, menemui

demonstran tersebut. Sayangnya dialog berakhir ricuh setelah sikap Akbar

Tanjung ini ternyata dinilai tak memuaskan para demonstran. Ketika didesak

94 http//www.depan.go.id 95 Wawancara langsung dengan Dr.H Muchtar Aziz MA. Tanggal 14 Mei 2008. Di

Gedung DPR-RI, lantai 16

Page 77: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

bagaimana sikap pribadi Akbar tentang referendum, Ketua Umum Partai

Golkar ini tidak memberi jawaban lugas. Sebelumnya salah seorang peserta

demonstran menanyakan bagaimana sikap dewan tentang tuntutan referendum

rakyat Aceh, tentang hal ini Akbar mengaku tidak bisa menjawab

mengatasnamakan DPR. Ia meminta para demonstran menunggu hasil

kesimpulan Pansus DPR. Tentang pernyataan Gus Dur yang sudah setuju

referendum Akbar menegaskan tidak tahu menahu mengenai masalah ini.

Pernyataan Presiden, menurutnya tidak pernah dikonsultasikan dengan

Dewan.96 Gus Dur pun berulang kali mengatakan ia mendukung referendum

Aceh akan tetapi di dalamnya dengan opsi otonomi yang luas, bukan merdeka.

Yang dimaksudkan dengan Otonomi yang luas adalah dengan syarat

melaksanakan syariat Islam dengan pengecualian bagi mereka yang tidak

beragama Islam.97

Presiden Abdurrahman Wahid mendorong pluralisme dan keterbukaan,

ia mengatakan bahwa rakyat Aceh harus diberikan referendum seperti di Tim-

Tim, namun kemudian ia menegaskan bahwa pilihan yang disediakan tidak

termasuk pemisahan diri dari Indonesia.98

Para petinggi Indonesia, termasuk presiden Gus Dur tidak bersedia

mengundang rakyat Aceh untuk memilih masa depannya dalam arti mau

merdeka atau tidak. Menurut penjelasan presiden, pilihan Aceh

dimaksudkannya hanya menyangkut mau atau tidaknya diterapkannya hukum

Islam di wilayah tersebut. Kasus ini mencerminkan kecenderungan presiden

96 Republika, 30 November 1999 97 Republika, 29 November 1999 98 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

2005), h. 671, Penterjemah: Satrio Wahono et.al

Page 78: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

untuk melontarkan pernyataan secara spontan, tanpa persiapan, yang

kemudian harus dikoreksi atau dijelaskan lagi. Semakin sering Gus Dur

berubah pikiran atau berganti pernyataan, semakin sedikit orang yang akan

mempercayai apa yang dikatakannya termasuk janjinya. Kalau proses

legitimasi ini dibiarkan, akan menimbulkan kesan kesimpangsiuran di pusat

yang mudah dijadikan alasan lagi di daerah-daerah kenapa mereka harus

merdeka.99

99 Donald K. Emmerson (ed), Indonesia Beyond Soeharto, Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, bekerjasama dengan The Asia Foundation Indonesia 2001), h. 659-660

Page 79: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

BAB V

KESIMPULAN A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan dalam karya ini, maka kesimpulan

dari penulis sebagai berikut:

1. Latar belakang munculnya ide referendum Aceh adalah kekecewaan

masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat yang berawal dari pengingkaran

janji oleh Presiden Soekarno untuk menjalankan syariat Islam di Aceh.

Kemudian berlanjut pada masa Soeharto, dimana pada masa Orde Baru ini

pemerintah mengeksploitasi secara besar-besaran kekayaan alam Aceh akan

tetapi pembagiannya tidak merata ke seluruh wilayah Aceh, karena itu Aceh

menjadi wilayah yang terbelakang. Pada masa Orde Baru ini juga

diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) dimana operasi ini

diperuntukkan menumpas gerakan-gerakan pengacau keamanan yang ada di

Aceh. Akan tetapi, yang menjadi korban justru rakyat yang tidak bersalah,

selain itu banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Karena

itu muncul ide merdeka dan referendum yang berisikan merdeka atau tetap

bergabung dalam NKRI.

2. Ide referendum tercetus atas Kongres Mahasiswa Aceh Serantau untuk

mengembalikan kedaulatan Aceh. Keseriusan Aceh untuk menuntut adanya

referendum terlihat dengan pembentukan Sentral Informasi Referendum Aceh

(SIRA), dan juga Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR).

Isi dari SU MPR tersebut adalah tetap bergabung dengan Indonesia atau

berpisah dari Indonesia. Pada saat SU MPR tersebut Gus Dur hadir yang

kemudian meresmikan papan referendum tersebut. Inilah yang menyebabkan

Page 80: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

masyarakat Aceh mengira bahwa Gus Dur menyetujui adanya referendum di

Aceh.

3. Kebijakan politik Gus Dur dalam menghadapi tuntutan referendum Aceh ini

adalah melaksanakan dialog dengan cara aman dan damai dan referendum

merupakan pilihan terakhir dalam penyelesaian masalah Aceh tersebut.

Pernyataan Gus Dur pada awal kepemimpinannya merupakan sebuah

pernyataan pribadi bukanlah suatu kebijakan poiltik. Adapun bila

dilaksanakannya suatu referendum di Aceh, merdeka bukanlah opsi pilihan

yang ada melainkan hanya opsi otonomi khusus atau istimewa. Selain itu

Presiden Gus Dur juga berhasil mengadakan perundingan dengan GAM yang

menghasilkan Jeda Kemanusiaan.

4. Reaksi terhadap referendum Aceh ini muncul dengan ide beragam. Beberapa

organisasi mendukung dengan adanya referendum, organisasi tersebut antara

lain adalah Rabithah Taliban dan Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat

(SMUR). Selain itu, reaksi pun ditimbulkan melalui demonstrasi-demonstrasi

baik di Aceh sendiri maupun di ibukota Jakarta, kebanyakan dari demonstrasi

tersebut mendukung untuk diadakannya referendum di Aceh. Implikasi dari

demonstrasi tersebut adalah kinerja pemerintahan menjadi tidak stabil.

Demonstrasi-demonstrasi tersebut mengakibatkan banyaknya fasilitas

pemerintah maupun fasilitas umum lainnya menjadi rusak.

B. Saran-Saran

Selama melakukan penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui kendala karena kurangnya data atau informasi. Di skripsi ini penulis hanya mencantumkan data-data dari buku, surat kabar dan dokumentasi. Kekurangan dari skripsi ini salah satunya adalah kurang data melalui wawancara para tokoh yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut karena dalam skripsi ini penulis hanya mewawancarai kepada satu tokoh saja. Untuk itu bagi mahasiswa lain yang ingin

Page 81: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

meneliti mengenai topik ini disarankan agar melakukan wawancara guna melengkapi data yang telah ada.

Page 82: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (dkk). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara.

Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2004

----------- Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV Rajawali, 1983

Adan Yusuf. Hasanuddin. Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh,

Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003

Al chaidar. Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah

Operasi Militer di Aceh 1989-1998. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998

Alaena, Badrun. NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja. Jogjakarta: Tiara

Wacana, 2000.

Azra, Azyumardi. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan,

2000

Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography Of Abdurrahman

Wahid, Jogjakarta: LKIS

Danudjaja, Budiarto. Hari-Hari Indonesia Gus Dur, Jogjakarta: Galang

Press,1999

El-Ibrahimy, M. Nur. TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di

Aceh. Jakarta: Gunung Agung 1982

Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990

Emmerson K, Donald. (ed). Indonesia Beyond Soeharto, Negara, Ekonomi,

Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, bekerjasama

dengan The Asia Foundation Indonesia 2001

Page 83: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto.

Jakarta: LP3ES, 2005

Hardi. Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya.

Jakarta: Cita Panca Serangkai 1993

Hasjmy, A. Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan

Perjuangan Kemerdekaan. Bulan Bintang: Jakarta 1985

Husin, Zulkifli et,al. Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Masyarakat

Nelayan di Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala

dan Jakarta

Hurgronje, Snouck. Aceh dan Adat Istiadat. Jakarta: INIS 1996

Ida, Laode. Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta: Raja

Grafindo 1999

Incres, Tim. Beyond The Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus

Dur. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000

Ismail, Faisal. Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta: Proyek

peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang

Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan

Depag RI, 2004

Kencana, Inu et.al. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006

Lombard, Denys. Kerajaan Aceh. Jakarta: Balai Pustaka, 1986

----------- Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia 2006

Manning, Chriss dan Van Diermen, Peter. Indonesia Di Tengah Transisi: Aspek-

Aspek Sosial dari Reformasi dan Krisis. Jogjakarta: LKIS, 2000

Page 84: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Nata, Abudin. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005

Profil Provinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Yayasan

Bhakti Wawasan Nusantara Bekerjasama dengan Majalah TELSTRA-

Strategic Review dan PT Intermasa, 1992

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional

Indonesia: jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka 1993

Pane S, Neta. Sejarah dan Kemakmuran Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan

dan Impian, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001

Rakhmawati, Ira. Surat Terbuka Kepada Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bang

Akbar Dengan Elite Politik Lainnya: Dari Anak Bangsa. Jakarta: Bina

pariwara, 2001

Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta, 2005

Sjamsuddin, Nazaruddin. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam

Aceh. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1990

Setiawan, B. dkk. Ensiklopedi Nasional Indonesia: jilid I. Jakarta: Delta

Pamungkas 2004

Suaedy, Ahmad dan Abdalla, Ulil Abshar (ed). Gila Gus Dur: Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid. Jogjakarta: LKIS 2000

Shobron, Sudarno. Muhammadiyah dan NU Dalam Pentas Politik Nasional.

Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003

Suny, Ismail. Bunga Rampai Tentang Aceh. Jakarta: Bhatara Karya Aksara 1980

Page 85: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Sihbudi, Riza et.al. Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas

Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Bandung: Mizan

2001

Singgih S, Dody. Memaknai Referendum Secara Sosiologi, Suara Pembaruan 5

Desember 1999

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:

Djambatan, 2001

Umar, Musni, ed. Aceh Win-Win Solution, Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002

Van Dijk, Cornelis. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti 1995

Wahid, Abdurrahman. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama

Era Lengser. Jogjakarta: LKIS, 1999

---------- Prisma Pemikiran Gus Dur. Jogjakarta: LKIS, 1999

--------- Tuhan Tidak Perlu Dibela. Jogjakarta: LKIS, 1999

Wiratama Teguh, Rahadi, et.al. Supremasi Sipil, pelembagaan Politik dan

Masalah Integrasi Nasional: Masalah Krusial Konsolidasi Demokrasi,

Jakarta: LP3ES, 2003

Zada, Khamami (ed). Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan. Jakarta:

LAKPESDAM, 2002

Surat Kabar Dan Majalah Indomedia, 11 November 1999

Indomedia, 26 November 1999

Kompas, 26 November 1999

Kompas, 9 November 1999

Republika, 30 November 1999

Page 86: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan

Republika, 29 November 1999

Republika, 3 November 1999

Serambi Indonesia, 4 Februari 2000

Sinar Harapan, 11 Juli 2000

Tempo, 3 April 2001

Dokumentasi http//www.depan.go.id

TAP MPR RI dan GBHN, Hasil Sidang Umum MPR RI 1999

Wawancara Langsung Dengan Bapak Dr. H Muchtar Aziz. MA. Di Gedung

DPR/MPR Lantai 16 Tanggal 14 Mei 2008

Page 87: Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4 ... · PDF fileKebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum Aceh ... Harapan itu pun sirna ketika kritikan