Bab 01 pemikiran politik gus dur
Transcript of Bab 01 pemikiran politik gus dur
Bab 01
Pemikiran Politik Gus Dur
Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan
bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam simbol atau peran
melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri terhadap
realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa
bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga dunia”; yakni
pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis, feodal
dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka
dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular (Al-Zastrouw,
1999: 32).
Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan
perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme
pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya,
sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan
satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis, politisi,
aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak bisa lepas dari
kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah
mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal sebagai
presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk
kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia,
semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang
pemikir humanis.
Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran
politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut
pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika
berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan
demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan negara
pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak
1 Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.
1
Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan)
sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas
pluralisme Pancasila.
Gus Dur dalam hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya, keinginan
sebagian muslim untuk menjadikan Islam sebagai azas negara dikarenakan Islam
sendiri merupakan agama hukum. Sebuah agama hukum haruslah menentukan dengan
rinci hubungan antara negara dan hukum itu sendiri, agar ajaran Islam yang berupa
hukum-hukum agama itu bisa terlaksana dalam kehidupan.
Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan
negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern pemikirannya)
bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi penganut Islam
substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin tentang
negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga negara dan
pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran Gus Dur ini
memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan adanya
prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana prinsip
sekularisme murni.
Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan,
tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur
lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga,
daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan
idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan
substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme
demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada
tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus
dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturan
ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L Santoso, 193-
199).
Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh
Fahrurroji M Bukhori (2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi
2
Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur
dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog Talcolt
Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat
fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep
struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme
biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi
secara proporsional.
Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah
tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat,
dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami disfungsi,
dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian
menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk
dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari
metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa
hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan
oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya
(Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).
Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah
yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur (2004).
Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali dengan
pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai fenomena
“perlawanan” terhadap Gus Dur.
Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa
kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004,
karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah fiqh
yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi yang
menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada
perkembangan selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung cawapres
KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih ketika Ketum
PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan Megawati. Kedua,
perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya sebagai Sekjen
3
PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam pemilihan gubernur
Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Ada ketidaksingkronan antara
interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB level wilayah yang membuat
jago dari PKB gagal meraih kursi.
Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan
menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep
interaksi kontemporer dari Erving Goffman dalam The Presentational of Selfin Every
Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politik Gus Dur sebagai trik seorang aktor
sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan
wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang
berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada
para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada
pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004:
50-55).
Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang
terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan
tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian
“menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver
pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini
dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi
untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi
politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu” bagi
rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam keadaan
ketertindasan politik.
Rahim pemikiran
Situasi ketika pemikiran Gus Dur dilahirkan adalah era developmentalisme yang
merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik saat itu
memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba). Namun,
kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah tersembunyi),
yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan
pemikiran Islam.
4
Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah
banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan
perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde Lama,
negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta), maka
pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis mutualisme.
Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas ideologi
tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas menengah
untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi dan bisnis.
Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai pudarnya
dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai kaum santri
(priyayinisasi santri).
Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya
terhadap gagasan-gagasan pembangunan (development), yang merupakan konsep
ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora
pertumbuhan (growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme, laiknya
konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan metafora ini
dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak bisa berbalik, dan
bertujuan.
Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari perspektif
evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed) dipetakan dalam
berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan miskin. Lahirlah term
Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang
miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga membutuhkan uluran tangan kemajuan
dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan dengan demikian
menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses peniruan (imitative
process), dimana bangsa yang kurang berkembang, secara perlahan mengadopsi
kualitas dari bangsa-bangsa industri.
Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah
kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai secular modernizing
intellectual. Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb
5
Feith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka mencoba
mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan
modernisasi dan pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah
perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. 2
Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati
terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas ikatan
suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki sedikit struktur
otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan. Meminjam
dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan rasionalitas instrumental
yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya, sementara masyarakat tradisional
masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana tujuan dari perilaku sosial dilandaskan
pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan tentunya tidak manageable. Pada tataran
politis, modernisasi kemudian menciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata
nilai” (fungtional valuational pluralism). 3 Yakni kemajemukan fungsional yang
mengakui agama, hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang
kehidupan lain, semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika,
dan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak
memilki legitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi
sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan
filsafat sekular.
Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai
satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi tidak
diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah
terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni antara terma
“persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah mengindikasikan
pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme.
Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada awal
rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan dengan 2 Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-903 Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17
6
komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi ekonomisme yang
dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya ideologi”. Dalam
strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya doktrin
evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri, namun
juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi, sehingga
energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara maksimal
mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan perdagangan
global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan idealisme aliran,
harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen, melalui mekanisme
partai, pemilu, dan kompromi politik.
Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai
“ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan agama
dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S Turner,
misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement) sosial yang
menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat agama sebagai
“racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara kelompok yang
saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya konflik antara
otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan sosialnya.
Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka semakin lebarlah potensi
konflik tersebut. 4
Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun
mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi
dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah
agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis
sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. 5
Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang
pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan,
meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama,
namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi
4 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-25 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-21
7
dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian berdiri
tegak diatas kredibilitasnya sendir
Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni sebuah
paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen masyarakat dalam
suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik Orde Baru, di
mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi pada level
sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan berhasil,
jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham
kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik
menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.
Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat kehidupan
sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju tujuan politik nan
baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai kesatuan sel-sel;
budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural masyarakat, yang
mengabdi pada tujuan utama sistem politik. Dalam hal ini, tujuan itu telah diarahkan
kepada pembangunan ekonomi, karena dengan tujuan inilah Orde Baru membedakan
dirinya dengan Orde Lama, yang lebih menjadikan pembangunan politik sebagai
tujuan pemerintahan. Dalam model itu, politik menjadi panglima, di mana
kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin
yang sentralistik. Ini yang membuat orientasi ekonomi terbengkalai, sehingga
kelahiran Orde Baru terbebani oleh inflasi ekonomi yang tidak stabil. Soeharto hadir
untuk membalik situasi itu, yakni super-ordinasi pembangunan ekonomi atas
pergulatan politik ideologis, yang nyata membawa Indonesia pada konflik sektarian
melelahkan. Setidaknya inilah legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat
diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan bagi kondisi
bangsa yang tercarut oleh marut perbenturan politik era Soekarno.
Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di
mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada
kesadaran kolektif (collective solidarity) dari sosiologi Durkheim yang menempatkan
agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama
8
kemudian menjelma common denominator (sebutan bersama) bagi kesepakatan
masyarakat.
Paradigma ini yang dikritik Gus Dur, karena dalam sejarah, selain memainkan
peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir
misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter,
melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian
menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif atas
kekuasaan yang ada.
Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Gus Dur kemudian menambatkan basis
politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih
berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan, dibanding kepercayaan
akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal, Gus Dur dan masyarakat nahdliyin
lahir dalam rengkuhan kultur, yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi supra-
kultur secara umum. Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan
menjadikannya sebagai penggerak counter-hegemony, menandingi hegemoni negara.
Jadi, Gus Dur bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai
elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan kritik
atas Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur
ekonomi.
Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Gus Dur. Artinya,
demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi
praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang
diperjuangkan Gus Dur, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan
simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan
bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.
Orientasi kultural ini pula yang membuat Gus Dur tidak melakukan revolusi,
karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan umat
yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini kemudian
membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Gus Dur sebut sebagai sosio-
kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan pembaruan, bukan pada
9
supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.6 Semisal
Pancasila, di mana Gus Dur tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam.
Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpenting adalah
penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik. Gerak sosio-
kultural kemudian turun ke bumi, untuk menggerakkan kesadaran masyarakat agar
mampu hidup dalam potensi internal kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-
kultural memiliki dua gerak: kritik atas penyimpangan nilai pada supra-struktur
politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat bawah, guna menggali
kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basis kultur.
Pemikiran politik Gus Dur juga berangkat dari paradigma pembaruan sosial.
Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan modernisasi, bukan dari
ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari potensi internal rakyat. Satu
hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan pembangunanisme yang
memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi masyarakat.
Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul adalah
problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas yang
hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa agen
perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan.
Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah melakukan
identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah tradisi bisa
beradaptasi, atau bahkan melakukan perlawanan dengan modernitas?
Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan
Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian memberikan tiga model
pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya. Pertama,
pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif
dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu
yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini kemudian menyalahkan
hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun, struktur pemerintahan yang
tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik begitu
6 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
10
mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya yang tidak
sebanding artinya dengan kedudukan yang mereka pegang.7
Pandangan ini yang diwakili oleh para penulis (literati) tua, semisal Sutan
Takdir Alisjahbana, berangkat dari satu kritik atas adaptasi masyarakat terhadap
modernitas yang hanya terhenti pada “produk”, tanpa mampu menjadikan nilai-nilai
kebudayaan modern sebagai mentalitas dan sikap hidup. Bagi Sutan, modernitas
adalah suatu kebudayaan yang mempunyai susunan nilai-nilainya sendiri. Ia
menentukan etik maupun disiplin kelakuan manusia berdasarkan satu paradigma dan
tujuan hidup. Disinilah makna kebudayaan modern menemu ruang, yakni sebuah
kebudayaan rasional dimana progresifitas sains dan ekonomi menggantikan
ekspresifitas agama dan seni, guna mencapai tata aturan hukum alam serta
keuntungan atau utilitas yang sebesar-besarnya.
Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan
industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan raisonalitas
instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang tidak dapat
terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah
pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern
seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh sex dan kekerasan, sikap
individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan masyarakat, kerusakan moral,
hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap” ini merupakan luapan kebebasan
dari sebagian masyarakat modern guna mengatasi kebosanan kehidupan yang
monoton dalam industrialisasi.8 Dari sinilah para kritikus semacam Sutan, atau
Mochtar Lubis kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam
menemukan “ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi, seperti
yang dikehendaki kebudayaan modern.
Kritik serupa juga dilontarkan oleh SI Poeradisastro. Dalam makalah,
Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, sejarawan kawakan ini juga
7 Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981, h., 38 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-24
11
mengkritik “mental agraris” dimasyarakat perkotaan Indonesia, yang secara material
telah mengalami industrialisasi, namun secara mental masih tetap bersekukuh dengan
kultur pertanian. Hal inilah yang menurutnya telah menimbulkan mental “mengais
sampah” modernitas berupa ekses hedonistik dari budaya konsumen dan hiburan.
Paparnya:
“Di dalam setiap perjumpaan unsur-unsur kebudayaan, ada dua hal yang
mudah diterima, yakni yang bermanfaat dan menyenangkan indria
(convenient to the senses). Yang menyenangkan dan merayu indria ini pada
umumnya justru yang buruk dan merusak atau setidak-tidaknya dangkal.
Bukan yang terbaik yang dipasarkan dan dipromosikan di Indonesia dari
Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan, melainkan sebaliknya sampah dan
buih yang hanyut dipermukaan gelombang. Di dalam tabrakan kebudayaan
(clash of cultures) ini kita adalah pihak yang rugi. Kegemaran mengais
sampah ini tak terbatas pada golongan menengah dan atas saja, melainkan
melalui tempat persewaan video-tapes telah mulai menjalar ke kalangan
rakyat jelata, misalnya anak muda putus sekolah. Tapi konsumerisme yang
menyertai hidup memburu kesenangan keseharian ini tetap merupakan sosis
yang diikatkan di ujung cambuk kereta anjing, yang takkan pernah
terjangkau.” 9
Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap yang
sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai tersebut
pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang telah
membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya harus akan
membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai masyarakat yang adil
dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana” seperti “keserasian
tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan berkurban untuk
mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, melakukan banyak
hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing pamrih, rame ing gawe),
kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena adanya sikap demikian
bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa pecinta damai, sopan
kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada akibat-akibat koruptif
9 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981, h., 30
12
dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang
kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun
masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan satu sama lain, semua nilai
diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan
penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).
Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai
Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak
terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries)
maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi
negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan
kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang
benar” atas ideologi negara.10 Proses ini, yang oleh Gus Dur disebut sebagai “rekayasa
sosial” guna penurunan “suhu ideologi”11 menemu ruang misalnya dalam penolakan
(atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik dalam
bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.
Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah
termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,
semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan
pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak
perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung
kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru mendukung
proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian dibedakan melalui
idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan dibolehkan, bahkan
didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun persaingan harus
dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling memberi dan
menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua pihak, melalui
keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda dengan
10 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 1411 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28
13
liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses
pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.12
Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu
pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari
satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita
harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat
secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Gus Dur melihat adanya transformasi
dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-unsur
kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Gus Dur, pendekatan positivistik dalam
antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek sosio-
budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin dalam
premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi tertentu
masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap priyayi
keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Gus Dur
temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah yang
dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif terhadap
pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi
pembangunan?” Dari sinilah Gus Dur kemudian mengamini sebuah transformasi
metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu
masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.
Panggung politik
Sampai disini, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya
kedalam gerakan civil society melalui NU, Fordem dan aktivitas
kecendekiawanannya. Hingga kemudian, moment reformasi menjadi fase bagi Gus
12 Sayangnya, dalam real politics masih banyak terjadi kontradiksi. Pada satu sisi, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, persaingan politik dalam masyarakat masih mencerminkan “persaingan bebas tanpa konsensus” a la liberalisme. Parahnya, kekisruhan tersebut ditambah melalui intervensi pemerintah dalam proses pergulatan politik sipil, seperti yang terlihat dalam intervensi negara pada berbagai suksesi partai politik (era Orba: PDI-PPP). Demikian juga dari sisi pemerintah, belum tercipta tolok ukur penerapan demokrasi integralisitik, sehingga perilaku politik yang masih jauh dari harapan Pancasila masih belum terdeteksi. Permasalahan bertambah ketika hubungan antara liberalisme dan Pancasila juga belum dirumuskan secara komprehensif dengan mengajak berbagai kekuatan bangsa. Faktanya, setiap gerakan, pandangan, dan kritik yang dilakukan masyarakat, akan selalu dianggap subversif, ketika pandangan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran pemerintah atas Pancasila. Lihat Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68
14
Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan
mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.
Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan anak
muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26.
Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu
menggelorakan gerakan unpolitical politics 13(berpolitik tanpa politik), yakni gerakan
kultural sebagai oposisi bagi politik praktis14. Manifesto Khittah 26 merupakan
usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah
dibelokkan oleh kaum politisi NU.
Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah
kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas berbeda
dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika merunut
kepada konsep Bassam Tibi tentang pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai
aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformatif yang tidak
berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni) akan tetapi
melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-kantong kebudayaan
masyarakat awam.
Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti
batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai “siapa
memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu
dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of
possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana
membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya
bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Disinilah kemudian “permainan”
menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai
oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to power (perebutan kekuasaan), maka
13 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hlm. 5114 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.
15
kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang
berangkat dari ideal untuk ideal.
16