Bab 01 pemikiran politik gus dur

25
Bab 01 Pemikiran Politik Gus Dur Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols 1 . Berbagai macam simbol atau peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular (Al-Zastrouw, 1999: 32). Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden 1 Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000. 1

Transcript of Bab 01 pemikiran politik gus dur

Page 1: Bab 01 pemikiran politik gus dur

Bab 01

Pemikiran Politik Gus Dur

Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan

bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam simbol atau peran

melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri terhadap

realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa

bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga dunia”; yakni

pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis, feodal

dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka

dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular (Al-Zastrouw,

1999: 32).

Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan

perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme

pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya,

sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan

satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis, politisi,

aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak bisa lepas dari

kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah

mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal sebagai

presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk

kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia,

semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang

pemikir humanis.

Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran

politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut

pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika

berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan

demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan negara

pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak

1 Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.

1

Page 2: Bab 01 pemikiran politik gus dur

Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan)

sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas

pluralisme Pancasila.

Gus Dur dalam hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya, keinginan

sebagian muslim untuk menjadikan Islam sebagai azas negara dikarenakan Islam

sendiri merupakan agama hukum. Sebuah agama hukum haruslah menentukan dengan

rinci hubungan antara negara dan hukum itu sendiri, agar ajaran Islam yang berupa

hukum-hukum agama itu bisa terlaksana dalam kehidupan.

Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan

negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern pemikirannya)

bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi penganut Islam

substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin tentang

negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga negara dan

pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran Gus Dur ini

memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan adanya

prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana prinsip

sekularisme murni.

Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan,

tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur

lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga,

daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan

idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan

substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme

demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada

tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus

dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturan

ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L Santoso, 193-

199).

Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh

Fahrurroji M Bukhori (2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi

2

Page 3: Bab 01 pemikiran politik gus dur

Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur

dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog Talcolt

Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat

fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep

struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme

biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi

secara proporsional.

Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah

tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat,

dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami disfungsi,

dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian

menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk

dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari

metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa

hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan

oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya

(Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).

Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah

yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur (2004).

Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali dengan

pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai fenomena

“perlawanan” terhadap Gus Dur.

Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa

kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004,

karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah fiqh

yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi yang

menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada

perkembangan selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung cawapres

KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih ketika Ketum

PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan Megawati. Kedua,

perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya sebagai Sekjen

3

Page 4: Bab 01 pemikiran politik gus dur

PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam pemilihan gubernur

Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Ada ketidaksingkronan antara

interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB level wilayah yang membuat

jago dari PKB gagal meraih kursi.

Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan

menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep

interaksi kontemporer dari Erving Goffman dalam The Presentational of Selfin Every

Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politik Gus Dur sebagai trik seorang aktor

sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan

wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang

berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada

para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada

pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004:

50-55).

Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang

terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan

tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian

“menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver

pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini

dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi

untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi

politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu” bagi

rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam keadaan

ketertindasan politik.

Rahim pemikiran

Situasi ketika pemikiran Gus Dur dilahirkan adalah era developmentalisme yang

merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik saat itu

memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba). Namun,

kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah tersembunyi),

yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan

pemikiran Islam.

4

Page 5: Bab 01 pemikiran politik gus dur

Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah

banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan

perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde Lama,

negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta), maka

pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis mutualisme.

Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas ideologi

tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas menengah

untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi dan bisnis.

Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai pudarnya

dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai kaum santri

(priyayinisasi santri).

Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya

terhadap gagasan-gagasan pembangunan (development), yang merupakan konsep

ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora

pertumbuhan (growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme, laiknya

konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan metafora ini

dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak bisa berbalik, dan

bertujuan.

Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari perspektif

evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed) dipetakan dalam

berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan miskin. Lahirlah term

Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang

miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga membutuhkan uluran tangan kemajuan

dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan dengan demikian

menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses peniruan (imitative

process), dimana bangsa yang kurang berkembang, secara perlahan mengadopsi

kualitas dari bangsa-bangsa industri.

Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah

kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai secular modernizing

intellectual. Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb

5

Page 6: Bab 01 pemikiran politik gus dur

Feith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka mencoba

mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan

modernisasi dan pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah

perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. 2

Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati

terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas ikatan

suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki sedikit struktur

otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan. Meminjam

dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan rasionalitas instrumental

yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya, sementara masyarakat tradisional

masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana tujuan dari perilaku sosial dilandaskan

pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan tentunya tidak manageable. Pada tataran

politis, modernisasi kemudian menciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata

nilai” (fungtional valuational pluralism). 3 Yakni kemajemukan fungsional yang

mengakui agama, hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang

kehidupan lain, semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika,

dan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak

memilki legitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi

sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan

filsafat sekular.

Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai

satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi tidak

diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah

terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan Pembangunan)

pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni antara terma

“persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah mengindikasikan

pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme.

Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada awal

rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan dengan 2 Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-903 Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17

6

Page 7: Bab 01 pemikiran politik gus dur

komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi ekonomisme yang

dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya ideologi”. Dalam

strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya doktrin

evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri, namun

juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi, sehingga

energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara maksimal

mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan perdagangan

global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan idealisme aliran,

harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen, melalui mekanisme

partai, pemilu, dan kompromi politik.

Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai

“ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan agama

dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S Turner,

misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement) sosial yang

menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat agama sebagai

“racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara kelompok yang

saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya konflik antara

otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan sosialnya.

Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka semakin lebarlah potensi

konflik tersebut. 4

Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun

mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi

dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah

agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis

sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. 5

Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang

pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan,

meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama,

namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi

4 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-25 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-21

7

Page 8: Bab 01 pemikiran politik gus dur

dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian berdiri

tegak diatas kredibilitasnya sendir

Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni sebuah

paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen masyarakat dalam

suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik Orde Baru, di

mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi pada level

sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan berhasil,

jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham

kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik

menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.

Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat kehidupan

sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju tujuan politik nan

baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai kesatuan sel-sel;

budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural masyarakat, yang

mengabdi pada tujuan utama sistem politik. Dalam hal ini, tujuan itu telah diarahkan

kepada pembangunan ekonomi, karena dengan tujuan inilah Orde Baru membedakan

dirinya dengan Orde Lama, yang lebih menjadikan pembangunan politik sebagai

tujuan pemerintahan. Dalam model itu, politik menjadi panglima, di mana

kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin

yang sentralistik. Ini yang membuat orientasi ekonomi terbengkalai, sehingga

kelahiran Orde Baru terbebani oleh inflasi ekonomi yang tidak stabil. Soeharto hadir

untuk membalik situasi itu, yakni super-ordinasi pembangunan ekonomi atas

pergulatan politik ideologis, yang nyata membawa Indonesia pada konflik sektarian

melelahkan. Setidaknya inilah legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat

diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan bagi kondisi

bangsa yang tercarut oleh marut perbenturan politik era Soekarno.

Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di

mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada

kesadaran kolektif (collective solidarity) dari sosiologi Durkheim yang menempatkan

agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama

8

Page 9: Bab 01 pemikiran politik gus dur

kemudian menjelma common denominator (sebutan bersama) bagi kesepakatan

masyarakat.

Paradigma ini yang dikritik Gus Dur, karena dalam sejarah, selain memainkan

peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir

misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter,

melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian

menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif atas

kekuasaan yang ada.

Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Gus Dur kemudian menambatkan basis

politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih

berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan, dibanding kepercayaan

akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal, Gus Dur dan masyarakat nahdliyin

lahir dalam rengkuhan kultur, yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi supra-

kultur secara umum. Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan

menjadikannya sebagai penggerak counter-hegemony, menandingi hegemoni negara.

Jadi, Gus Dur bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai

elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan kritik

atas Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur

ekonomi.

Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Gus Dur. Artinya,

demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi

praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang

diperjuangkan Gus Dur, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan

simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan

bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.

Orientasi kultural ini pula yang membuat Gus Dur tidak melakukan revolusi,

karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan umat

yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini kemudian

membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Gus Dur sebut sebagai sosio-

kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan pembaruan, bukan pada

9

Page 10: Bab 01 pemikiran politik gus dur

supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.6 Semisal

Pancasila, di mana Gus Dur tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam.

Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpenting adalah

penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik. Gerak sosio-

kultural kemudian turun ke bumi, untuk menggerakkan kesadaran masyarakat agar

mampu hidup dalam potensi internal kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-

kultural memiliki dua gerak: kritik atas penyimpangan nilai pada supra-struktur

politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat bawah, guna menggali

kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basis kultur.

Pemikiran politik Gus Dur juga berangkat dari paradigma pembaruan sosial.

Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan modernisasi, bukan dari

ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari potensi internal rakyat. Satu

hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan pembangunanisme yang

memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi masyarakat.

Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul adalah

problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas yang

hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa agen

perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan.

Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah melakukan

identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah tradisi bisa

beradaptasi, atau bahkan melakukan perlawanan dengan modernitas?

Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan

Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian memberikan tiga model

pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya. Pertama,

pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif

dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu

yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini kemudian menyalahkan

hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun, struktur pemerintahan yang

tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik begitu

6 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9

10

Page 11: Bab 01 pemikiran politik gus dur

mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya yang tidak

sebanding artinya dengan kedudukan yang mereka pegang.7

Pandangan ini yang diwakili oleh para penulis (literati) tua, semisal Sutan

Takdir Alisjahbana, berangkat dari satu kritik atas adaptasi masyarakat terhadap

modernitas yang hanya terhenti pada “produk”, tanpa mampu menjadikan nilai-nilai

kebudayaan modern sebagai mentalitas dan sikap hidup. Bagi Sutan, modernitas

adalah suatu kebudayaan yang mempunyai susunan nilai-nilainya sendiri. Ia

menentukan etik maupun disiplin kelakuan manusia berdasarkan satu paradigma dan

tujuan hidup. Disinilah makna kebudayaan modern menemu ruang, yakni sebuah

kebudayaan rasional dimana progresifitas sains dan ekonomi menggantikan

ekspresifitas agama dan seni, guna mencapai tata aturan hukum alam serta

keuntungan atau utilitas yang sebesar-besarnya.

Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan

industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan raisonalitas

instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang tidak dapat

terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah

pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern

seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh sex dan kekerasan, sikap

individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan masyarakat, kerusakan moral,

hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap” ini merupakan luapan kebebasan

dari sebagian masyarakat modern guna mengatasi kebosanan kehidupan yang

monoton dalam industrialisasi.8 Dari sinilah para kritikus semacam Sutan, atau

Mochtar Lubis kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam

menemukan “ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai

ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi, seperti

yang dikehendaki kebudayaan modern.

Kritik serupa juga dilontarkan oleh SI Poeradisastro. Dalam makalah,

Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, sejarawan kawakan ini juga

7 Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981, h., 38 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-24

11

Page 12: Bab 01 pemikiran politik gus dur

mengkritik “mental agraris” dimasyarakat perkotaan Indonesia, yang secara material

telah mengalami industrialisasi, namun secara mental masih tetap bersekukuh dengan

kultur pertanian. Hal inilah yang menurutnya telah menimbulkan mental “mengais

sampah” modernitas berupa ekses hedonistik dari budaya konsumen dan hiburan.

Paparnya:

“Di dalam setiap perjumpaan unsur-unsur kebudayaan, ada dua hal yang

mudah diterima, yakni yang bermanfaat dan menyenangkan indria

(convenient to the senses). Yang menyenangkan dan merayu indria ini pada

umumnya justru yang buruk dan merusak atau setidak-tidaknya dangkal.

Bukan yang terbaik yang dipasarkan dan dipromosikan di Indonesia dari

Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan, melainkan sebaliknya sampah dan

buih yang hanyut dipermukaan gelombang. Di dalam tabrakan kebudayaan

(clash of cultures) ini kita adalah pihak yang rugi. Kegemaran mengais

sampah ini tak terbatas pada golongan menengah dan atas saja, melainkan

melalui tempat persewaan video-tapes telah mulai menjalar ke kalangan

rakyat jelata, misalnya anak muda putus sekolah. Tapi konsumerisme yang

menyertai hidup memburu kesenangan keseharian ini tetap merupakan sosis

yang diikatkan di ujung cambuk kereta anjing, yang takkan pernah

terjangkau.” 9

Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap yang

sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai tersebut

pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang telah

membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya harus akan

membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai masyarakat yang adil

dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana” seperti “keserasian

tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan berkurban untuk

mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain, melakukan banyak

hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing pamrih, rame ing gawe),

kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena adanya sikap demikian

bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa pecinta damai, sopan

kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada akibat-akibat koruptif

9 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981, h., 30

12

Page 13: Bab 01 pemikiran politik gus dur

dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang

kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun

masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan satu sama lain, semua nilai

diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan

penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran P4 (Pedoman

Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).

Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai

Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak

terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries)

maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi

negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan

kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang

benar” atas ideologi negara.10 Proses ini, yang oleh Gus Dur disebut sebagai “rekayasa

sosial” guna penurunan “suhu ideologi”11 menemu ruang misalnya dalam penolakan

(atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik dalam

bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.

Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah

termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,

semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan

pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak

perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung

kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru mendukung

proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian dibedakan melalui

idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan dibolehkan, bahkan

didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun persaingan harus

dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling memberi dan

menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua pihak, melalui

keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda dengan

10 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 1411 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28

13

Page 14: Bab 01 pemikiran politik gus dur

liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses

pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.12

Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu

pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari

satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita

harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat

secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Gus Dur melihat adanya transformasi

dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-unsur

kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Gus Dur, pendekatan positivistik dalam

antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek sosio-

budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin dalam

premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi tertentu

masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap priyayi

keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Gus Dur

temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah yang

dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif terhadap

pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi

pembangunan?” Dari sinilah Gus Dur kemudian mengamini sebuah transformasi

metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu

masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.

Panggung politik

Sampai disini, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya

kedalam gerakan civil society melalui NU, Fordem dan aktivitas

kecendekiawanannya. Hingga kemudian, moment reformasi menjadi fase bagi Gus

12 Sayangnya, dalam real politics masih banyak terjadi kontradiksi. Pada satu sisi, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, persaingan politik dalam masyarakat masih mencerminkan “persaingan bebas tanpa konsensus” a la liberalisme. Parahnya, kekisruhan tersebut ditambah melalui intervensi pemerintah dalam proses pergulatan politik sipil, seperti yang terlihat dalam intervensi negara pada berbagai suksesi partai politik (era Orba: PDI-PPP). Demikian juga dari sisi pemerintah, belum tercipta tolok ukur penerapan demokrasi integralisitik, sehingga perilaku politik yang masih jauh dari harapan Pancasila masih belum terdeteksi. Permasalahan bertambah ketika hubungan antara liberalisme dan Pancasila juga belum dirumuskan secara komprehensif dengan mengajak berbagai kekuatan bangsa. Faktanya, setiap gerakan, pandangan, dan kritik yang dilakukan masyarakat, akan selalu dianggap subversif, ketika pandangan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran pemerintah atas Pancasila. Lihat Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68

14

Page 15: Bab 01 pemikiran politik gus dur

Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan

mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.

Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan anak

muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26.

Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu

menggelorakan gerakan unpolitical politics 13(berpolitik tanpa politik), yakni gerakan

kultural sebagai oposisi bagi politik praktis14. Manifesto Khittah 26 merupakan

usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah

dibelokkan oleh kaum politisi NU.

Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah

kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas berbeda

dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika merunut

kepada konsep Bassam Tibi tentang pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai

aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformatif yang tidak

berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni) akan tetapi

melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-kantong kebudayaan

masyarakat awam.

Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti

batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai “siapa

memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu

dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of

possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana

membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya

bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Disinilah kemudian “permainan”

menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai

oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to power (perebutan kekuasaan), maka

13 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hlm. 5114 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.

15

Page 16: Bab 01 pemikiran politik gus dur

kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang

berangkat dari ideal untuk ideal.

16