KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

23
780 KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA* Oleh : Turnomo Rahardjo* ABSTRACT The Chinese existence in Indonesia is still a problem although they have been in this country for many generations. There is still a negative image among the natives Indonesians toward their Chinese counterpart. Therefore, the Chinese had suffered from various coercion in alomost every social conflict. Besides, unclear policies of the government in handling this culturally based problem constitutes another unsolved “Chinese problem”. The President’s Decision Number 6, 2000, creates a “space” for a recognition of the existence of this etnical group. However problem exist in the reaction of the “natives” Indonesians toward this decision. It is argued whether they are willing to change their (negative) view which has persisted for a long time. Keywords: Chinese problem, race conflict, cultural identity recognition. A. Pendahuluan Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keraga- man tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, suku bangsa (etnis), dan keyakinan agama. Pada satu sisi, kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada sisi yang lain pluralitas kultural tersebut memiliki potensi bagi terjadinya disintegrasi atau perpecahan bang- sa. Pluralitas kultural sering dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku, agama, ras, dan antar golo- ngan (SARA), meskipun sebenarnya faktor-faktor penyebab dari perti- kaian tersebut lebih pada persoalan- persoalan ketimpangan ekonomi, ketidak adilan sosial, dan politik. Secara konseptual, potensi konflik yang besar dalam masya- rakat Indonesia yang multikultur secara demografis maupun sosiolo- gis disebabkan oleh terbelahnya masyarakat ke dalam kelompok- kelompok berdasarkan identitas kultural. Ting-Toomey (1999) men- jelaskan bahwa identitas kultural merupakan perasaan ( emotional significance) dari individu-individu untuk ikut memiliki ( sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Mereka kemudian melakukan identifikasi kultural (cul- tural identification), yaitu menegas- kan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultural ini (Rogers & Steinfatt, 1999) pada gilirannya akan menentukan mereka ke dalam ingroup atau outgroup. Bagaimana

Transcript of KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

Page 1: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

780

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA*

Oleh : Turnomo Rahardjo*

ABSTRACT

The Chinese existence in Indonesia is still a problem although they havebeen in this country for many generations. There is still a negative image amongthe natives Indonesians toward their Chinese counterpart. Therefore, the Chinesehad suffered from various coercion in alomost every social conflict. Besides,unclear policies of the government in handling this culturally based problemconstitutes another unsolved “Chinese problem”. The President’s DecisionNumber 6, 2000, creates a “space” for a recognition of the existence of thisetnical group. However problem exist in the reaction of the “natives” Indonesianstoward this decision. It is argued whether they are willing to change their (negative)view which has persisted for a long time.

Keywords: Chinese problem, race conflict, cultural identity recognition.

A. PendahuluanIndonesia merupakan sebuah

negara kepulauan yang dicirikan olehadanya keragaman budaya. Keraga-man tersebut antara lain terlihat dariperbedaan bahasa, suku bangsa(etnis), dan keyakinan agama. Padasatu sisi, kemajemukan budaya inimerupakan kekayaan bangsa yangsangat bernilai, namun pada sisiyang lain pluralitas kultural tersebutmemiliki potensi bagi terjadinyadisintegrasi atau perpecahan bang-sa. Pluralitas kultural sering dijadikanalat untuk memicu munculnya konfliksuku, agama, ras, dan antar golo-ngan (SARA), meskipun sebenarnyafaktor-faktor penyebab dari perti-kaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan ketimpangan ekonomi,ketidak adilan sosial, dan politik.

Secara konseptual, potensikonflik yang besar dalam masya-rakat Indonesia yang multikultursecara demografis maupun sosiolo-gis disebabkan oleh terbelahnyamasyarakat ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitaskultural. Ting-Toomey (1999) men-jelaskan bahwa identitas kulturalmerupakan perasaan (emotionalsignificance) dari individu-individuuntuk ikut memiliki (sense ofbelonging) atau berafiliasi dengankultur tertentu. Mereka kemudianmelakukan identifikasi kultural (cul-tural identification), yaitu menegas-kan diri mereka sebagai representasidari sebuah budaya partikular.Identifikasi kultural ini (Rogers &Steinfatt, 1999) pada gilirannya akanmenentukan mereka ke dalamingroup atau outgroup. Bagaimana

Page 2: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

781

mereka berperilaku, sebagianditentukan oleh apakah merekatermasuk ke dalam budaya tertentuatau tidak.

Dalam konteks identitas danidentifikasi kultural ini, Suparlan(2002) menilai bahwa isu tentangetnis dan etnisitas dalam masyarakatIndonesia yang majemuk merupakanrealitas yang tampak dalam kehidu-pan sehari-hari. Para anggota kelom-pok etnis dilahirkan, dididik dandibesarkan dalam suasana askriptifprimordial etnisitas mereka. Akibat-nya, perbedaan antara “siapa saya”dengan “siapa anda” atau “siapakami” dengan “siapa mereka” terlihatdengan jelas batas-batasnya. Dalamsituasi seperti itu, stereotip danprasangka akan tumbuh dan berkem-bang dengan subur.

Dalam masyarakat yang ter-pilah ke dalam kelompok berdasar-kan identitas kultural akan sulitdicapai keterpaduan sosial. Sebab,setiap kelompok berada dalamlingkup pergaulan yang eksklusif,sehingga relatif tidak intensif dalamberkomunikasi antar budaya secaraefektif, yaitu komunikasi yangdimaksudkan untuk mengurangikesalahpahaman budaya, tetapijustru cenderung melakukan penghin-daran komunikasi (communicationavoidance). Akibat dari tidak adanyaketerpaduan sosial, maka usahauntuk membentuk kehendak ber-sama (common will) sebagai suatubangsa menjadi persoalan rumit danmembutuhkan waktu yang relatifpanjang.

Pidato Presiden Soekarnodalam memperingati ProklamasiKemerdekaan 17 Agustus 1954mengingatkan pentingnya mema-hami kemajemukan budaya yangdimiliki masyarakat Indonesia. “Ingatkita ini bukan dari satu adat istiadat.Ingat, kita ini bukan dari satu agama.Bhinneka Tunggal Ika, berbedatetapi satu, demikianlah tertulis dilambang negara kita, dan tekanankataku sekarang ini kuletakkankepada kata bhinna, yaitu berbeda-beda. Ingat kita ini bhinna, kita iniberbeda-beda …” (Kompas, 4 Maret2001, hal. 31).

Gambaran secara umum yangdapat dicermati dari pernyataan diatas adalah bahwa usaha untukmembangun bangsa yang multi-kultural, yaitu kondisi masyarakatyang mampu memberi apresiasiterhadap perbedaan-perbedaankultural, ras, dan etnis (Speight dalamDeetz, 1993) atau pengakuan bahwabeberapa kultur yang berbeda dapateksis dalam lingkungan yang samadan memberi manfaat satu sama lain(Rogers & Steinfatt, 1999) masihdalam tahapan mencari bentuk.Multikulturalisme (Shuter dalamDeetz, 1993) mempersyaratkanpemeliharaan (preservation) yangtidak dapat dirubah dari setiapbudaya, yaitu nilai-nilainya, panda-ngan-pandangannya, dan pola-polakomunikasinya.

Ketimpangan ekonomi, sosialdan politik serta ketidakmampuanmasyarakat dalam memahamikeragaman kultural mengakibatkan

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 3: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

782

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

terjadinya pertikaian antar-kelompok.Konflik SARA terutama pertikaianantar etnis telah terjadi di hampirsemua wilayah Indonesia. Surat

Tanggal Lokasi Pemicu 10 Oktober 1994 Situbondo,

Jatim Bermula dari perbedaan pendapat antara santri muda dengan seorang kiai senior. Karena dianggap me-lecehkan agama, masyarakat menun-tut santri muda itu dihukum mati. Namun, pengadilan hanya memvonis 5 tahun penjara. Terjadilah amuk massa dengan membakar gereja dan penjarahan toko milik etnis Cina.

1 Januari 1997 Sanggau Ledo, Kalbar

Perkelahian antara pemuda etnis Dayak dengan etnis Madura pada malam menyambut Tahun Baru yang berbuntut pada aksi balas dendam.

15 September 1997 Makassar, Sulsel

Berawal dari terbunuhnya seorang anak berusia 9 tahun oleh seorang pengidap sakit jiwa keturunan Cina. Akibatnya massa menjadi marah, me-reka menyerang dan membakar ru-mah, toko, tempat hiburan milik etnis Cina dan vihara.

19 Januari 1998 Ambon, Maluku

Dipicu oleh perkelahian antara penge-mudi kendaraan umum dengan pe-numpang yang akhirnya menjadi per-kelahian antar agama.

13 dan 14 Mei 1998 Jakarta Kerusuhan rasial yang diikuti oleh penjarahan dan pembakaran tempat-tempat bisnis serta pelecehan sek-sual terhadap perempuan keturunan Cina.

21 Februari 1999 Sambas, Kalbar

Bermula dari seorang penumpang angkutan umum yang tidak mau membayar, sehingga terjadi perke-lahian yang melukai sopir dari etnis Dayak yang dilakukan oleh penum-pang etnis Madura. Kejadian tersebut berbuntut pada aksi balas dendam etnis Dayak.

kabar Kompas menyajikan datatentang sebagian dari peristiwakerusuhan sosial yang terjadi diIndonesia dalam kurun waktu 1994-2001.

Tabel 1. Konflik Sara Di Indonesia Tahun 1994-2001

Page 4: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

783

Sumber: Surat kabar Kompas 4 Maret 2001

Pertikaian SARA juga melibat-kan warga etnis Cina, baik sebagaifaktor pemicu (langsung) terjadinyakerusuhan atau pun karena imbasdari kerusuhan sosial yang diakibat-

Tanggal Lokasi Pemicu 30 Januari 1997 Rengas

Dengklok, Jabar

Seorang warga etnis Cina merasa terganggu oleh ulah para pemuda yang membangunkan umat Islam untuk melaksanakan sahur.

13-14 Mei 1998 Jakarta dan kota-kota lain

Krisis politik menjelang tumbang-nya rezim Orde Baru yang berim-bas pada munculnya tindakan ke-kerasan terhadap warga etnis Cina.

7 September 1998 Kebumen, Jateng

Kemarahan majikan (etnis Cina) terhadap anak buahnya (etnis Ja-wa) yang menumpahkan oli. Ke-jadian tersebut kemudian dimani-pulasikan sebagai penganiayaan terhadap seorang pribumi.

15 September 1998 Bagan Siapi-api, Sumut

Dipicu oleh isu seorang warga pri-bumi yang meninggal di rumah sakit akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pemuda etnis Cina.

Sumber: Widiyanto dalam Prisma No. 1 Tahun XXVII – 1998 dan data tambahan dari penulis.

27 Juli 1999 Batam, Riau Pertikaian etnis terjadi akibat rebutan penumpang antara warga etnis Flores dengan warga etnis Batak. Pertikaian tersebut akhirnya menjadi kerusuhan massa antara kedua kelompok etnis.

6 Oktober 2000 Wamena, Irian Jaya

Penurunan bendera Bintang Kejora oleh aparat Brimob yang mengakibat-kan kemarahan penduduk asli Papua.

18 Pebruari 2001 Sampit, Kalteng

Empat anggota dari keluarga etnis Ma-dura dibunuh, diduga pelakunya orang Dayak, kemudian ratusan etnis Ma-dura menyerang satu keluarga etnis Dayak. Ribuan warga etnis Dayak, bahkan dari pedalaman memasuki kota untuk melakukan pembersihan et-nis Madura.

kan oleh konflik politik, sepertimisalnya “Peristiwa Mei 1998” diJakarta dan beberapa kota lainmenjelang berakhirnya kekuasaanpemerintah Orde Baru.

Tabel 2. Konflik Sara Yang Melibatkan Warga Etnis Cina

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 5: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

784

Pertikaian antar etnis yangterjadi dihampir sepanjang jalurnegeri ini sebenarnya inginmenegaskan kembali bahwa sifatmultikultur atau kemajemukan budayamasyarakat Indonesia merupakanpersoalan yang perlu dikelola denganserius. Dalam arti, perlu ada pena-nganan yang sifatnya mendasar.Dalam banyak peristiwa konflik,penanganannya masih sebatasmengurangi ketegangan. Carapenyelesaian seperti itu tidak akanpernah menyentuh akar persoalandari kelompok-kelompok yangbertikai.

Berbagai peristiwa konflik yangterjadi, beberapa diantaranya telahmencapai tataran prasangka yangpaling tinggi : eksterminasi (exter-mination), yaitu ekspresi prasangkayang diwujudkan dalam bentukhukuman mati tanpa peradilan(lynchings), pembunuhan massalyang terorganisasi (pogroms),pembunuhan besar-besaran(massacres) dan pemusnahanterhadap kelompok etnis tertentu(genocides). “Peristiwa Mei 1998”(konflik anti Cina), “PeristiwaSanggau Ledo, Sambas, Sampit”(pertikaian antar etnis: Dayak/Melayudengan Madura) dan “PeristiwaAmbon, Poso” (konflik antar agama)merupakan bukti nyata yangmenunjukkan adanya perilakueksterminasi tersebut.

Realitas empirik tentang konflikantar etnis di Indonesia memberiindikasi bahwa pertikaian tersebuttelah menyentuh basis identitas

kultural dari pihak-pihak yang bertikai.Komunitas etnis tertentu yang selamaini merasa terpinggirkan secaraekonomi, sosial dan politik sertaterlebih lagi mengalami penindasanbudaya mencoba mendapatkankembali hak-hak yang dimilikinya.Hak kebudayaan yang dimaksud(Hartman, 2000) adalah suatugaransi yang memberikan ruangbebas agar orang dapat mengeks-presikan ide-idenya, dan secaraindividual melaksanakan imajinasi-imajinasinya dalam konteks tradisiyang mereka warisi.

Pengakuan terhadap identitaskultural sebagai hak yang perludimiliki oleh setiap kelompok etnisjuga dirasakan oleh warga etnis Cinadi Indonesia. Keberadaan merekahingga sekarang masih menjadipersoalan. Warga etnis Cina belumditerima secara penuh sebagaibagian dari anggota bangsaIndonesia. Hal ini kemungkinandisebabkan oleh tidak adanya istilahbaku bagi orang Cina yang telahmenanggalkan akar-akar kulturalmereka dari negeri asal. Chinesediaspora (Beng dalam Suryadinata,1997), sebuah istilah yang dipakaiuntuk menjelaskan tentang orangYahudi yang menyebar ke berbagaibelahan dunia, tidak dapat diterimaoleh etnis Cina karena merekasebenarnya memiliki sense ofbelonging terhadap negara dimanamereka tinggal, namun pemerintahmasih memperlakukan keturunanCina sebagai orang asing.

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 6: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

785

Pengakuan terhadap identitaskultural (etnis Cina) merupakan salahsatu bagian dari “masalah Cina” yangbelum terselesaikan. Di kalanganmasyarakat etnis non Cina (pribumi)masih berkembang pandangan yangtidak menguntungkan terhadapkeberadaan etnis Cina, sepertimisalnya stereotip yang mengatakanbahwa warga etnis Cina bersikaparogan, memandang rendahmasyarakat Indonesia asli, cende-rung eksklusif dan mempertahankanhubungan “kekerabatan“ denganCina daratan.

Disamping masih berkem-bangnya stereotip negatif dikalangan pribumi terhadap etnisCina, kebijakan pemerintah yangtidak jelas dalam menangani per-soalan berbasis kultural, merupakanwujud nyata dari “masalah Cina” yangbelum terselesaikan tersebut.“Masalah Cina” di Indonesia sangatberkaitan dengan sikap dan kebija-kan pemerintah yang tidak cukup

tegas dalam persoalan kewargane-garaan etnis Cina. Disamping itu,Beng (dalam Suryadinata, 1997)menilai bahwa kebijakan asimilasiyang diterapkan menjadi salah arah(misguided), karena muncul panda-ngan bahwa loyalitas etnis Cinahanya dapat dicapai melaluipengingkaran terhadap ciri-cirikultural mereka. Dalam kenyataan-nya, keragaman adalah sebuah faktakehidupan, dan kesatuan dalamkeberagaman (unity in diversity)dapat dicapai tanpa harus melaku-kan penyeragaman.

Jika dirunut berdasarkanperjalanan sejarahnya, maka apayang dikenal dengan “masalah Cina”dapat dicermati dari akibat yangditimbulkan oleh kebijakan-kebijakanyang diambil paling tidak sejakpemerintah Orde Lama hingga pe-merintahan Presiden AbdurrahmanWahid. Liem (2000) mencatatbeberapa peristiwa besar tentangkeberadaan etnis Cina di Indonesia.

Tabel 3. Kebijakan Tentang Etnis Cina Di Indonesia

Tahun Peristiwa 1960 Program pribumisasi pemerintah (Perpu No. 10) yang melarang

warga Indonesia keturunan Cina untuk berdagang di tingkat pedesaan. Sekitar 120.000 warga dipulangkan ke RRC atau pun negara-negara lainnya.

1965 Warga etnis Cina ditangkap dan dibunuh tanpa proses pengadilan atau prosedur yang jelas atas tuduhan komunisme. Di wilayah-wilayah luar Pulau Jawa, ribuan anak-anak keturunan Cina yang ikut dimasukkan ke dalam kamp-kamp konsentrasi meninggal karena kelaparan dan kekurangan gizi.

1967 Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 yang melarang agama, kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan, dan sastera Cina.

1998 Sentimen anti-Cina yang munccul di kalangan masyarakat sejak dulu menemukan puncaknya pada kerusuhan rasial 14-15 Mei yang berakhir dengan penjarahan dan pemerkosaan terhadap warga etnis Cina.

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 7: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

786

Sumber: Yusiu Liem, 2000, hal. IX – X

“masalah Cina”. Kebijakan tersebutditempuh setelah Baperki yangbertindak sebagai motor yangmenggerakkan paham integrasidianggap memiliki pertalian yangerat dengan gerakan komunis diIndonesia beberapa tahun menjelangpemberontakan G30S/PKI. Sebagaisebuah organisasi massa, Baperkimenjadi tidak berfungsi seiringdengan tumbangnya PKI. Banyaktokoh Baperki yang ditangkap ataumelarikan diri ke luar negeri (ThungJu Lan dalam Wibowo, 1999; Taher,1997). Dengan diterimanya programasimilasi sebagai solusi nasionaluntuk mengatasi “masalah Cina”,maka pada saat yang bersamaandikeluarkan beberapa regulasi yang“mendukung” kebijakan asimilasitersebut , yaitu 1) Pelarangan sekolahdan penerbitan berbahasa Cina; 2)Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966 tentang Per-gantian Nama; 3) Instruksi PresidenNo. 14/1967 yang mengatur agama,kepercayaan dan adat istiadatketurunan Cina; 4) KeputusanPresiden No. 240/1967 mengenaikebijakan pokok yang menyangkutWNI keturunan asing; dan 5) InstruksiPresidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan PokokPenyelesaian Masalah Cina.

Dalam penilaian Suryadinata(1997), kebijakan asimilasi di

Dalam konteks kebijakan untukmencari solusi terhadap “masalahCina”, di masa Orde Lamaberkembang dua arus pemikiranutama tentang hubungan antarapribumi-non pribumi (Taher, 1997).Arus pemikiran pertama adalahpaham integrasi yang intinyamencita-citakan agar keturunan Cinadi Indonesia diakui sebagai salahsatu etnis, sebagaimana etnis Jawa,Sunda atau Minangkabau. Paham inidianut dan diperjuangkan olehBaperki (Badan PermusyawaratanKewarganegaraan Indonesia).Kesetaraan kelompok etnis yangdiperjuangkan Baperki dinilai olehCoppel (2002) sebagai lebih dekatdengan konsep masyarakat multi-kultur, meskipun kata integrasi itusendiri sudah ketinggalan zaman (outof fashion).

Arus pemikiran kedua adalahpaham asimilasi yang padadasarnya menganjurkan agarketurunan Cina di Indonesia mem-baur dengan masyarakat lokal.Paham ini dikembangkan dandiperjuangkan oleh LPKB (LembagaPembina Kesatuan Bangsa) dandilanjutkan oleh Bakom PKB (BadanKomunikasi Penghayatan KesatuanBangsa).

Di masa Orde Baru, pemerin-tah menetapkan kebijakan asimilasisebagai solusi untuk mengatasi

2000 Dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 untuk mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 membuat ruang “demokrasi” mulai dibuka kembali.

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 8: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

787

Indonesia merupakan kebijakan yangpaling radikal, sebab kebijakantersebut telah menghilangkan 3 pilaryang menyangga keberadaanmasyarakat dan identitas kulturaletnis Cina, yaitu sekolah, mediamassa, dan asosiasi-asosiasi etnisCina. Sedangkan Suparlan (2000)memberikan pandangan yangberbeda tentang praktik asimilasiterhadap warga etnis Cina.Masyarakat Indonesia yang majemukdidasarkan pada prinsip kebang-saan, namun memiliki sistemnasional yang askriptif primordialsecara etnisitas. Dalam perspektiftersebut, seseorang tidak bisamenjadi orang Indonesia jika ia tidakmenjadi anggota dari salah satukelompok etnis yang ada dandigolongkan sebagai pribumi.Karenanya, tidak mengherankan bilakebijakan asimilasi menjadi gagalsebab meskipun orang Cina sudahberganti nama atau berpindahkeyakinan agama (bukan Khong-hucu), tetapi tetap saja mereka masihdigolongkan sebagai bukan orangIndonesia. Ringkasnya, asimilasigagal karena kebijakan itu sendiritidak jelas. Orang Cina akandiasimilasikan ke dalam masyarakatIndonesia atau masyarakat etnis?

Di masa Orde Baru pulaWibowo (1999) mencatat munculnyaberbagai kebijakan untuk warga etnisCina yang dapat dipilah ke dalamtiga gugus, yaitu : 1) GugusStigmatisasi. Kebijakan ini dirumus-kan dalam Surat Edaran PresidiumKabinet Ampera Republik Indonesia

No. SE-06/Pres.Kab/6/1967 yangmelarang pemakaian kata “Tionghoa”dan menggantikannya dengan kata”Cina”. Keputusan ini dinilai telahmenciptakan stigma dalam masya-rakat, bahwa etnis Cina identikdengan semua perilaku negatif :tidak patriotik, eksklusif, tidakmemiliki kepedulian sosial dansebagainya; 2) Gugus Marjinalisasi.Merupakan kelanjutan dari kebijakanstigmatisasi. Karena berperilakunegatif, maka etnis Cina harusdijauhkan. Pada awal kekuasaanOrde Baru dikeluarkan serangkaiankebijakan yang menetapkan supayagolongan Cina keluar dari lingkarantengah mayoritas. Kebijakan ter-sebut diawali dengan sistem kuotasekolah, kemudian diikuti denganlarangan segala aktifitas kebudayaanCina, seperti bahasa Cina, perayaantradisional Cina, dan agama Cina;dan 3) Gugus Viktimisasi. Kebija-kan ini dinilai sebagai usaha untukmenjadikan etnis Cina sebagai“binatang korban”, tidak dirumuskanke dalam sebuah dokumen hukum,tetapi dipraktikkan secara luas daricara yang halus sampai cara yangkasar, seperti tindakan pemerasandalam urusan dengan birokrasi.

Berdasarkan rangkaian peris-tiwa yang terkait dengan kebera-daan etnis Cina di Indonesia sejakpemerintahan Hindia Belandahingga pemerintahan PresidenAbdurrahman Wahid, maka “MasalahCina” dapat dirumuskan secaraskematis berdasarkan aspek-aspekpolitik, ekonomi, kultural, dan hukum.

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 9: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

788

Tabel 4. Peta “Masalah Cina” Di Indonesia

Bidang Pemerintahan Masalah Politik Hindia

Belanda Orde Lama Orde Baru

Stratifikasi sosial yang diskriminatif: Eropa, Timur Asing, Pribumi. Munculnya 2 arus pemikiran yang berbeda: asimilasi dan integrasi/akomodasi. Asimilasi sebagai solusi nasional: usaha mereduksi ciri-ciri kecinaan. Stigmatisasi. Marjinalisasi. Viktimisasi.

Ekonomi Hindia Belanda Orde Lama Orde Baru

Monopoli penjualan candu, perantara jual beli antara pemerintah dengan pribumi dan hak untuk memungut pajak. Larangan berdagang di tingkat pedesaan bagi warga keturunan Cina (Perpu No. 10 Tahun 1960). Akumulasi dan pendayagunaan modal milik etnis Cina dengan alasan pemulihan ekonomi.

Kultural Sikap etnosentris warga keturunan Cina, karena menganggap kebudayaan Cina sebagai kebudayaan yang tertua di dunia. Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam masih diidentikkan dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Juga, ajaran Islam dipandang terlalu keras, sehingga sulit diadaptasikan ke dalam nilai-nilai budaya etnis Cina.

Hukum Orde Lama

Larangan berdagang bagi warga keturunan Cina di tingkat pedesaan (Perpu No. 10 Tahun 1960).

Orde Baru Reformasi

Pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina. Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tentang pergantian nama. Pelarangan terhadap agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina (Inpres No. 14/1967). Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing (Keppres No. 240/1967). Kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina (Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967). Keppres No. 6/2000 tentang pencabutan Inpres No. 14/1967.

Mencermati berbagai per-

soalan yang terangkum dalam“masalah Cina” di atas, makamasalah (research questions) yang

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 10: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

789

dapat dirumuskan dalam studi iniadalah : 1) Konflik sosial yangberulangkali terjadi dan melibatkaneksistensi warga etnis Cina sebagaisasaran menjadi pertanda bahwastruktur masyarakat masih dipahamidalam dikotomi antara ingroupdengan outgroup. Mengapa kea-daan ini masih terjadi dan usaha apayang perlu dilakukan agar setiapkelompok bisa menghargai perbe-daan-perbedaan kultural (etnisitas)?2) Pengakuan terhadap identitaskultural merupakan hal yang esensialbagi subjektifitas warga etnis Cinauntuk menjawab pertanyaan yangpaling dasar dari eksistensinyasebagai manusia. Namun, sebagaikelompok (etnis) yang sudah turun-temurun menetap di Indonesia,mengapa keberadaan merekamasih menjadi persoalan?

Berdasarkan pemikiran di atas,maka studi ini bertujuan untukmengetahui pengalaman etnis Cinadalam memahami persoalanpengakuan identitas kultural mereka.

Studi ini diharapkan tidak sajamemiliki signifikansi praktis, tetapijuga dapat memberikan kontribusisecara akademis/teoritis. Dalamtataran praktis, studi ini diharapkanbisa memberikan penjelasan tentangbagaimana individu-individu darikelompok etnis yang berbeda (etnisCina dengan etnis non Cina) dapatmenegosiasikan identitas kulturalmasing-masing dalam sebuah “ruangsosial” yang memungkinkan merekabisa bertemu, berkomunikasi, dansaling mempengaruhi.

Secara akademis/teoritis, studiini merupakan usaha untuk mengem-bangkan pemikiran teoritik tentangmodel atau bangunan komunikasiantar etnis yang sesuai bagihubungan antara etnis Cina denganetnis non Cina. Bangunan komuni-kasi antar etnis yang dimaksudadalah apakah dalam wujudpemikiran teoritik tentang budayaketiga (third-culture) atau multikul-turalisme.

Dalam tataran teoritik makro,studi ini merujuk pada gagasan darigenre interpretif, yaitu pemikiranteoritik yang berusaha menjelaskansuatu proses dimana pemahaman(understanding) terjadi dan membuatperbedaan yang tajam antarapemahaman dengan penjelasanilmiah (Little John, 1999). Tujuan dariinterpretasi bukan untuk menemukanhukum yang mengatur kejadian-kejadian, tetapi berusaha mengung-kap cara-cara yang dilakukan orangdalam memahami pengalamanmereka sendiri. Genre interpretif inidipakai sebagai landasan berpikirdengan pertimbangan bahwa penga-kuan terhadap identitas kulturalmerupakan hal yang dirasakan dandialami secara subjektif oleh setiapindividu. Dengan identitas kulturalyang melekat dalam diri seseorang,maka ia akan dapat menjawabpertanyaan yang paling dasar darieksistensinya sebagai manusia, yaitu“Siapa Saya?”. Tanpa pengakuanidentitas, subjektifitas seseorangmenjadi tidak jelas, sehingga

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 11: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

790

eksistensinya pun akan selaludipertanyakan.

Sejalan dengan gagasan genreinterpretif yang menekankan padapengalaman subjektif dalam mema-hami suatu fenomena, maka studi iniberusaha menerapkan pemikirandari paradigma pluralist tentangheterogenitas masyarakat dalammemahami realitas. Gagasan para-digma pluralist ini merupakancerminan dari sifat manusia yangmemiliki kehendak bebas danberpikir secara rasional (Perdue,1986). Disamping itu, studi ini jugamerujuk pada gagasan dari pende-katan subjectivist yang berusahamenjelaskan suatu fenomena yangdikaji dari dalam (understanding,verstehen). Komunikasi, dalamperspektif subjectivist, hanya dapatdipahami dari sudut pandang partisi-pan komunikasi, mereka memiliki“otonomi” dan “kehendak yangbebas” (Asante & Gudykunst, 1989).

Pendekatan teoritik yangsejalan dengan perspektif makro diatas adalah fenomenologi. Asumsipokok dari gagasan fenomenologiadalah bahwa orang secara aktifakan menginterpretasikan pengala-man mereka dengan memberikanmakna terhadap apa yang merekalihat. Interpretasi (understanding,verstehen) merupakan proses aktifdalam memberikan makna terha-dap sesuatu yang diamati, sepertimisalnya sebuah teks, sebuahtindakan atau suatu situasi, yangkesemuanya dapat disebut sebagaipengalaman (experience). Karena

sebuah pesan atau tindakan laindapat bermakna banyak hal, makamakna tidak dapat secara seder-hana ditemukan (discovered).Interpretasi, berdasarkan definisinya,merupakan sebuah proses aktif daripikiran (mind), sebuah tindak kreatifdalam mencari berbagai kemung-kinan makna.

Husserl (dalam Bertens, 2002;Adian, 2002) mengatakan bahwafenomenologi adalah ilmu penge-tahuan (logos) tentang apa yangtampak (phainomenon). Dengandemikian, seperti yang sudah tersiratdi dalam namanya, fenomenologimempelajari apa yang tampak atauapa yang menampakkan diri ataufenomen ke pengalaman subjek.Fenomen dalam pemahamanHusserl adalah realitas sendiri yangtampak. Menurutnya, tidak adaselubung atau tirai yang memisahkankita dari realitas, karena realitas itusendiri tampak bagi kita. Denganberkonsentrasi pada apa yangtampak dalam pengalaman, makaesensi dapat terumuskan secarajernih.

Gagasan teoritik yang menggu-nakan pendekatan fenomenologiadalah co-cultural theory yangmerupakan hasil pemikiran dari Orbe(Gudykunst dalam Gudykunst &Mody, 2002). Orbe lebih memilih kataco-culture daripada terminologi lainseperti subcultural, subordinate, danminority (Kim dalam Gudykunst,2002) untuk menegaskan pema-haman bahwa tidak ada satu punbudaya dalam masyarakat yang lebih

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 12: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

791

unggul (superior) terhadap budaya-budaya yang lain.

Teori ini dilandasi oleh gagasanteori kelompok diam (muted grouptheory). Co-cultures mencakup tidaksaja kelompok nonwhites, perem-puan, penyandang cacat, gay danlesbian, tetapi juga kelompok lainyang berada pada kelas sosialrendah. Menurut Orbe, “dalambentuknya yang paling umum,komunikasi co-cultural merujuk padainteraksi diantara para anggotakelompok under-representeddengan kelompok dominan”. Fokusdari teori co-cultural adalah mem-berikan sebuah kerangka dimanapara anggota co-cultural menego-siasikan usaha-usaha untukmenyampaikan suara diam merekadalam struktur masyarakat dominan.

Ada dua premis dalam teori co-cultural, yaitu : 1) Para anggotakelompok co-cultural terpinggirkan(marginalized) dalam strukturmasyarakat dominan; dan 2) Paraanggota co-cultural menggunakangaya-gaya komunikasi tertentu untukmeraih keberhasilan ketika berha-dapan dengan “struktur-strukturdominan yang opresif”. Orbe menye-butkan strategi-strategi komunikasico-cultural secara spesifik dariavoiding, mirroring, embracing,stereotypes, dan censoring selfmenuju educating others, bagaining,attacking dan sabotaging others.Lebih lanjut ia menegaskan bahwapada umumnya para anggota co-cultural memiliki satu dari tiga tujuanketika mereka berinteraksi dengan

para anggota kelompok dominan,yaitu : 1) Assimilation: menjadibagian dari kultur dominan (main-stream); 2) Accomodation: berusahaagar para angota kelompok dominandapat menerima keberadaan paraangggota co-cultural; dan 3) Separa-tion: menolak kemungkinan ikatanbersama dengan para anggotakelompok dominan.

Dalam studi komunikasi antarbudaya ( intercultural commu-nication), terdapat beberapa modelatau bangunan komunikasi yangmasing-masing memberi pene-kanan yang berbeda terhadap usahauntuk memahami keterpaduansosial. Bangunan komunikasi yangpertama dikenal dengan third-cultureatau budaya ketiga (Dodd, 1998).Budaya ketiga diciptakan olehpartisipan A dan partisipan B dimanamereka mengesampingkan budayaasal mereka guna memberi pene-kanan pada landasan bersama.Dalam suatu kontak antar budaya,mereka memfokuskan pada kons-truksi budaya baru tersebut. Parapartisipan tidak perlu memfusikanidentitas kultural mereka, tetapi lebihpada usaha untuk menciptakansebuah arena bersama, paling tidakpada waktu mereka membutuhkanuntuk berkomunikasi.

Gagasan yang berbeda ten-tang budaya ketiga diperkenalkanoleh Casmir (dalam Deetz, 1993).Bangunan budaya ketiga ini bera-sumsi bahwa transaksi-transaksiantar budaya akan dapat mencapaiefektifitasnya yang optimal apa para

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 13: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

792

partisipan berusaha keras untukmengembangkan budaya ketiga,yaitu integrasi dari latar belakangkultural kedua individu yangmenghasilkan sebuah pengalamankulturan baru dan berbeda, yaitupengalaman kultural yang diintegra-sikan.

Bangunan komunikasi yang lainadalah multikulturalisme, yaitupengakuan terhadap beberapa kulturyang berbeda yang dapat eksisdalam lingkungan yang sama danmenguntungkan satu sama lain.Multikulturalisme menghargai danberusaha melindungi pluralismekultural (Suryadinata, 2000; Rogers& Steinfatt, 1999). Asumsi-asumsidari pemikiran multikulturalismebertentangan dengan konsepbudaya ketiga (Shuter dalam Deetz,1993), yaitu : 1) Negosiasi dankonvergensi kultural yang melekatdalam budaya ketiga merupakananathema (hal yang ditabukan) olehtujuan multikulturalisme yangberusaha mempertahankan danmentransmisikan budaya yang tidakdapat dirubah oleh kekuatan-kekuatan relasional maupuneksternal; 2) Bila budaya ketigamengedepankan sisi positif dariadaptasi kultural dalam suatuhubungan, maka multikulturalismeberusaha memelihara identitaskultural dengan segala konsekuensi-nya; dan 3) Budaya ketiga merupa-kan sebuah proses etic, karenabudaya ketiga menekankan padakesamaan (commonality) daripadaperbedaan (difference) dan beru-

saha menciptakan budaya baru untukmengakomodasikan perbedaan-perbedaan. Multikulturalisme, padasisi yang lain, bersifat emic karenamempersyaratkan pemeliharaanyang tidak dapat dirubah dari setiapbudaya tentang nilai-nilainya,worldview dan pola-pola komuni-kasinya.

Studi ini merujuk pada gagasandari paradigma interpretif, yaituusaha untuk memahami pengalamanindividu-individu etnis Cina dan etnisnon Cina (Jawa) sebagai pelakusosial dalam menginterpretasikanhubungan antar etnis yang terjalinselama ini. Disamping itu, studi inijuga berusaha untuk menjelaskanpengalaman etnis Cina dalammemahami identitas kultural mereka.

Subjek penelitian ini adalahindividu-individu etnis Cina dan etnisJawa yang bertempat tinggal diwilayah Sudiroprajan, Solo. Secarakonseptual, Solo dipilih sebagaiwilayah penelitian dengan pertim-bangan bahwa dalam skala kecilkota tersebut merupakan represen-tasi dari masyarakat multietnis.Disamping itu, Solo merupakanwilayah yang sering terjadi konflikantar etnis. Dalam catatan sejarah,Solo merupakan kota yang pertamakali menciptakan konflik rasial antiCina. Sedangkan penetapan Sudiro-prajan sebagai wilayah penelitiandidasarkan pada pertimbanganbahwa karakteristik kawasanpermukiman tersebut memungkin-kan individu-individu etnis Cina dan

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 14: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

793

etnis Jawa dapat berkomunikasidengan intensitas yang relatif tingi.

Satuan analisis dari studi iniadalah individu-individu dari masing-masing kelompok etnis. Disampingitu, dengan mempertimbangkanbahwa pemahaman identitas kulturalbukan hal yang bersifat baku (fixed),maka individu-individu etnis Cinadiklasifikasikan berdasarkankelompok umur 30-an dan 60-an.Selain usaha untuk memperoleh datapada tataran individual, studi ini jugaberusaha mendapatkan data padatataran kelembagaan. Lembaga-lembaga yang dilibatkan dalam studiini adalah Persatuan MasyarakatSolo (PMS), Forum Suara HatiKebersamaan Bangsa (FSHKB)dan, Paguyuban Wong Solo (PWS).

B. HASIL DAN PEMBAHASANDalam catatan sejarah (Mulyadi

dkk., 1999) permukiman di wilayahSudiroprajan sudah terbentuk sejakzaman pemerintah kolonial Belandabersamaan dengan terjadinyaperistiwa pembunuhan massalterhadap etnis Cina di Bataviasekitar tahun 1745 yang dikenaldengan “Peristiwa Roa Malaka” atau“Keberingasan Batavia” (BatavianFury) dimana tidak kurang dari100.000 orang etnis Cina matiterbunuh (Yusiu Liem, 2000). Soloatau tepatnya Kartasura yang padawaktu itu menjadi ibukota kerajaanmenjadi tempat pelarian etnis Cinadari Batavia. Sunan Paku Buwono IIyang memerintah Keraton KartasuraHadiningrat sangat terbuka terhadap

kehadiran etnis Cina yang menye-lamatkan diri dari usaha pembunuhanmasal tersebut.

Sudiroprajan terletak di sebe-lah Utara Kali Pepe yang meliputiwilayah Ketandan, Limalasan,Balong, dan Warung-pelem. Peme-rintah kolonial Belanda sengajamelakukan kebijakan permukimanyang eksklusif dengan meman-faatkan sungai sebagai garispembatas. Jika etnis Cina ditempat-kan di sekitar Kali Pepe (wilayahPasar Gede), maka keturunan Arabditempatkan di sekitar Kali Wingko(wilayah Pasar Kliwon). Tujuan daripenetapan wilayah yang eksklusif iniadalah untuk menghambat interaksiantar kelompok etnis. Di bawahpemerintah kolonial Belanda,Sudiroprajan yang menjadi tempatbermukim etnis Cina dipimpin oleh“Babah Mayor” yang bertugassebagai penghubung antara orangCina dengan pemerintah kolonialdalam berbagai kepentingan. Dalamkonteks kebudayaan, warga etnisCina di Sudiroprajan diharuskanmenjalankan kebiasaan kulturalwarisan leluhur, sehingga identitaskultural mereka sebagai orang Cinamasih tetap bisa dipertahankan.

Hal yang menonjol dariSudiroprajan adalah bahwa seba-gian besar orang Cina yang bertem-pat tinggal di Solo, nenek moyangnyaberasal dari Kampung Balong, salahsatu bagian dari wilayah Sudiro-prajan. Mayoritas warga etnis Cinadi Sudiroprajan menjadi penganutagama Kristen atau Katholik.

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 15: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

794

Sedangkan mereka yang masihmemeluk keyakinan Khonghucusudah tidak banyak dijumpai. Dalamkesehariannya, mereka mengguna-kan bahasa Jawa atau bahasaIndonesia ketika berkomunikasidengan orang Jawa. Bahasa Cina(Mandarin) cenderung sudah tidaklagi mereka pahami, hanya orangCina generasi tua saja yang relatifmasih bisa berkomunikasi denganmemakai bahasa Cina.

1. Persoalan Pengakuan Iden-titas Kultural dan EksistensiEtnis Cina

a. Pengalaman Etnis Cina Gene-rasi 60-an

Dalam catatan pengalamanpara informan paling tidak ada duahal yang menjadi pemicu munculnyakerusuhan sosial yang secaralangsung maupun tidak langsungmelibatkan warga etnis Cina di Solo.Penyebab pertama, menurut merekaadalah kecemburuan sosial yangdiakibatkan oleh kesenjanganekonomi antara orang Cina yangdianggap kaya dengan pribumi(orang Jawa) yang kebanyakanmiskin. Kesenjangan ekonomi itukemudian dijadikan isu olehkelompok kepentingan tertentu untukmelakukan provokasi kepadamasyarakat.

Sudiroprajan, menurut mereka,merupakan wilayah yang relatif amandari kerusuhan anti Cina. Sebab, dilingkungan permukiman tersebuthampir tidak ada lagi perbedaanyang mencolok antara orang Cina

dengan orang Jawa. Tingkatkehidupan sosial-ekonomi wargakedua kelompok etnis tersebut relatifsama. Mereka juga sudah lamaberinteraksi, sehingga sudahmengenal dengan baik karakteristikmasing-masing kelompok etnis.

Asimilasi atau pembauran yangpernah dijadikan kebijakan nasionalpada masa pemerintah Orde Baru,diberi arti yang berbeda oleh parainforman yang pada intinya inginmenjelaskan tentang usaha mencip-takan persaudaraan antara wargaetnis Cina dengan warga etnis Jawamelalui aktifitas saling menghormatikeberadaan masing-masing, se-hingga tidak ada lagi perasaansaling mencurigai diantara keduakelompok etnis itu. Dalam panda-ngan mereka, asimilasi harusberjalan secara alami, tumbuh darikesadaran setiap orang, dan tidakperlu dipaksakan melalui kebijakanpemerintah. Asimilasi yang direka-yasa justru akan memisahkan wargaetnis Cina dari warga pribumi. Diwilayah tempat tinggal mereka,asimilasi sudah berlangsung lamadan berjalan secara alami. Wujudnyata dari asimilasi di Sudiroprajanadalah perkawinan campur antaraetnis Cina dengan etnis Jawa.Disamping itu, persaudaraan antarwarga juga tercermin melalui aktifitaskebudayaan, yaitu keterlibatanwarga etnis Cina dan etnis Jawadalam berbagai wujud kesenian yangada, seperti barongsai, liong, danlaras madya.

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 16: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

795

Perkawinan campur sebagaiwujud asimilasi yang paling nyata diSudiroprajan, menurut para informan,merupakan peristiwa yang biasa,alami dan bisa terjadi dimana-mana.Dalam catatan seorang informan,pernikahan itu seharusnya melam-paui batas-batas etnisitas, tidak bisadipaksakan dan jangan pernahmemaksa kepada siapa pun (untukmelakukan perkawinan campur). DiSudiroprajan sendiri, perkawinancampur sudah berlangsung lama dantidak pernah ada kebijakan daripihak mana pun yang berusahamengaturnya.

Tidak ada reaksi yang berle-bihan dari para informan ketikasaluran untuk menunjukkan identitasmereka dibuka kembali. Merekamenilai sebagai hal yang wajar,karena tidak merugikan pihak manapun. Di wilayah tempat tinggalmereka, identitas kultural etnis Cinasudah lama diakui dan tidak pernahada larangan dari warga etnis Jawa.

Dibukanya kembali saluranuntuk menunjukkan identitas kultural,dalam catatan sebagian informan,merupakan wujud pengakuanpemerintah terhadap eksistensiwarga etnis Cina. Sebagai kelompoketnis minoritas, orang Cina sudahmulai diberi ruang untuk meng-hidupkan kembali hak kebudayaanmereka. Ada ruang yang lebih bebasbagi orang Cina untuk mengeks-presikan identitas kultural mereka.

Ciri yang menonjol dari etnisCina generasi 60-an adalah bahwamereka masih menjalankan kebia-

saan kultural orang Cina, yaitusembahyang untuk arwah leluhurpada tanggal-tanggal tertentumenurut kalender Cina, sembah-yang rebutan (king hoo ping) danpergi ke makam leluhur (cengbeng)menjelang perayaan Imlek. Di wilayahSudiroprajan, menurut pengamatanseorang informan, warga etnis Cinayang masih menjalankan kebiasaankultural sudah semakin berkurang,karena mereka sudah menjadipenganut agama lain.

Dalam konteks penegasanterhadap identitas mereka sebagaiorang yang memiliki garis keturunanCina, sebagian besar informanmenyebut diri mereka sebagai “orangIndonesia”, karena disampingmereka sudah “tidak murni lagi”sebagai orang Cina (ada garisketurunan Jawa), juga merekamerasa lahir, hidup dan kelakmeninggal di Indonesia. Sedangkanseorang informan secara terbukamenyebut dirinya sebagai “orangIndonesia keturunan Cina”. Pene-gasan ini perlu disampaikannya,karena selama ini warga etnis Cinatidak cukup memiliki keberanianuntuk menunjukkan identitas merekadi depan publik. Di wilayah tempattinggalnya masih bisa ditemukanwarga etnis Cina yang sebenarnyamasih menjalankan ritual agamaKhonghucu, tetapi dengan pertim-bangan “mencari aman”, merekaterpaksa mengaku beragama lain(Buddha).

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 17: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

796

b. Pengalaman Etnis CinaGenerasi 30-an

Dalam catatan pengalamanpara informan, persoalan yangmenjadi pemicu munculnya kerusu-han sosial yang secara langsungmaupun tidak langsung melibatkanwarga etnis Cina di Solo adalahkecemburuan sosial yang diakibat-kan oleh kesenjangan ekonomi.Warga etnis Cina rata-rata kehidu-pan ekonomi mereka lebih baikdibandingkan etnis Jawa. Namun,dalam catatan seorang informan,orang Cina sebenarnya tidak bisadisalahkan dan keliru bila merekadijadikan sasaran ketidak-puasanpribumi (orang Jawa). Sebab,mereka selama ini bekerja dengankeras, tekun dan ulet sehingga bisaberhasil. Sebaliknya, orang Jawamaunya mendapat pekerjaan yangenak dengan penghasilan yangbesar, tetapi tidak bersedia bekerjakeras. Dalam penilaian informan ini,orang Cina juga tidak bisa dikatakantertutup karena setiap hari merekabekerja hampir sepanjang waktu,sehingga wajar bila mereka butuhuntuk beristirahat setelah bekerja.

Ada beragam pengertiantentang asimilasi yang dipahamioleh para informan etnis Cinagenerasi 30-an, namun muncul satu“kesepakatan” dari mereka bahwaasimilasi atau pembauran harusberjalan secara alami dan tidak perludiatur dengan kebijakan pemerintah.Sebab, asimilasi tidak dimaksudkanuntuk memaksa warga etnis Cina

melakukan tindakan yang belum tentusesuai dengan keinginan mereka.

Secara tegas mereka menga-takan bahwa di wilayah Sudiroprajantidak ada kebijakan asimilasi.Pembauran berjalan secara alamidan tidak pernah ada anjuran ataupaksaan dari pihak mana pun juga.Seorang informan berharap bahwapembauran jangan hanya ditujukankepada warga etnis Cina saja, tetapijuga warga etnis lain yang digolong-kan sebagai “pendatang”, sepertimisalnya orang keturunan Arab danIndia. Pembauran yang melibatkanbanyak etnis akan mengurangipotensi terjadinya konflik antar etnis,kata informan tersebut.

Para informan memberikantanggapan positif terhadap perka-winan campur. Menurut mereka,perkawinan campur bisa menjadi talipengikat persaudaraan antar etnis.Mereka menganggap perkawinancampur sebagai peristiwa yangbiasa dan tidak ada masalahsepanjang mereka yang akanmenikah seiman. Di wilayah tempattinggal mereka, sudah banyak terjadiperkawinan campur antara etnisCina dengan etnis Jawa. Beberapainforman yang masih lajang merasatidak keberatan jika kelak akanmenikah dengan etnis lain.

Dalam catatan pengalamanpara informan, meskipun adasuasana yang lebih bebas, tetapitidak ada pengaruh yang besar ketikasaluran untuk mengekspresikanidentitas kultural mereka dibuka(kembali), karena sejak dulu

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 18: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

797

berbagai ekspresi kebudayaan Cinasudah ada dan diterima olehmasyarakat. Di tempat merekabermukim, tidak pernah ada“larangan” dari orang Jawa terhadaporang Cina yang akan mengekspre-sikan identitas kultural merekasecara terbuka.

Dibukanya kembali saluranuntuk mengekspresikan identitaskultural orang Cina, menurut mereka,merupakan wujud pengakuanpemerintah terhadap eksistensiorang Cina. Sebagai kelompokminoritas, warga etnis Cina sudahmulai diberi ruang kebebasansetelah sekian lama mengalamipengekangan. Pemerintah sekarangdinilai sudah lebih demokratis.Menurut seorang informan, disam-ping kesenian Cina yang bisadiekspresikan secara terbuka, jugabanyaknya lembaga pendidikanbahasa Cina yang berdiri merupakanbukti lain bahwa pemerintah sudahmemberi kebebasan kepada wargaetnis Cina.

Ciri yang menonjol dari etnisCina generasi 30-an adalah bahwamereka sudah tidak lagi menjalan-kan kebiasaan kultural etnis Cina,kecuali seorang informan yangmengaku masih melakukan ritualcengbeng menjelang perayaan tahunbaru Imlek. Mereka merasa sudahtidak mengerti lagi tujuan danmanfaat menjalankan kebiasaankultural warisan leluhur.

Dalam konteks penegasanterhadap identitas mereka sebagaiorang yang memiliki garis keturunan

Cina, para informan menyebut dirimereka sebagai “orang Indonesia”,sebab mereka lahir dan menetap diIndonesia, bahkan sudah tidak lagimengerti adat istiadat yang diwaris-kan oleh leluhur mereka, meskipunsecara fisik dalam diri mereka adagaris keturunan Cina. Salah seoranginforman secara lugas menyebutdirinya sebagai “orang Indonesiaketurunan Cina” dan “bukan orangCina” untuk menegaskan kembalibahwa ia dilahirkan di Indonesia dansudah menjadi warga negaraIndonesia.

2. Persoalan Pengakuan Iden-titas Kultural dan EksistensiEtnis Jawa

a. Pengalaman Etnis JawaGenerasi 60-an

Dalam catatan pengalamanbeberapa informan, pemicu muncul-nya kerusuhan sosial yang melibat-kan orang Cina di Solo adalahkecemburuan sosial. Orang Cinayang dianggap sebagai pendatangmemiliki tingkat kehidupan ekonomiyang lebih baik daripada orangJawa. Dalam hampir setiap kerusu-han, kecemburuan dilampiaskankepada warga etnis Cina. Namuninforman lain justru mengingatkanperlunya belajar dari keberhasilan(ekonomi) orang Cina.

Sudiroprajan sendiri, menurutmereka, merupakan wilayah yangrelatif aman dari kerusuhan antiCina. Pergaulan antara orang Jawadengan orang Cina yang sudahberlangsung lama menjadi salah satu

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 19: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

798

kekuatan yang membantu keduakelompok etnis tersebut menghadapitekanan-tekanan dari luar.

Ada beragam pengertiantentang asimilasi yang diberikanoleh para informan, namun padaintinya mereka memahaminyasebagai usaha untuk menciptakanpersaudaraan antara warga etnisCina dengan etnis Jawa dalamberbagai segi kehidupan dengantidak membeda-bedakan asalketurunan. Asimilasi, menurutmereka, tidak selalu harus diwujud-kan melalui perkawinan campur,tetapi bisa juga melalui berbagaikegiatan sosial-budaya yangmelibatkan warga dari keduakelompok etnis.

Dalam persepsi para informan,asimilasi merupakan peristiwa yangharus berjalan secara alami, tidakperlu ada rekayasa melalui aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah.Di wilayah Sudiroprajan sendiri,asimilasi yang dicerminkan olehadanya perkawinan campur merupa-kan peristiwa yang biasa dan sudahberlangsung lama. Namun demikian,dalam catatan seorang informan,asimilasi itu seharusnya tidak hanyaditujukan kepada warga etnis Cinasaja, tetapi perlu melibatkan wargaketurunan yang lain.

Perkawinan campur, dalampemahaman para informan, merupa-kan peristiwa yang biasa, sudahberlangsung lama dan berjalansecara alami, karena memang tidakpernah ada kebijakan yang menga-turnya. Perkawinan campur antara

orang Jawa dengan orang Cinabanyak terjadi di kalangan stratabawah. Seorang informan mencobamenjelaskan alasan mengapaperkawinan campur banyak terjadipada masyarakat lapis bawah.Menurut pendapatnya, ada dua halyang mempengaruhi, yaitu tingkatsosial-ekonomi yang rendah danlingkup pergaulan yang terbatas. Iamemperkirakan 75% perkawinancampur di wilayah tempat tingalnyaadalah perkawinan antar tetangga.

Ada reaksi yang bertolak bela-kang dari para informan berkaitandengan dibukanya kembali saluranbagi ekspresi identitas kultural orangCina. Satu pihak mempersilakanidentitas kultural orang Cina dieks-presikan kembali dengan alasanbahwa dari dulu berbagai ekspresikebudayaan Cina memang sudahada, setidaknya yang mereka lihatdan alami di Sudiroprajan. Alasanlainnya, kehadiran (kembali) kebu-dayaan Cina bersama-sama dengankebudayaan lokal lainnya dapatmemperkaya kebudayaan bangsa.Sebaliknya, beberapa informan laintidak setuju dengan dibukanyakembali saluran tersebut. Merekamengkhawatirkan muncu-lnyadominasi baru, yaitu dominasikebudayaan. Padahal, kata mereka,orang Cina hingga sekarang masihmelakukan dominasi di bidangekonomi.

Dibukanya kembali saluranbagi ekspresi identitas kultural etnisCina, dalam catatan sebagianinforman, merupakan wujud penga-

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 20: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

799

kuan pemerintah terhadap eksistensiwarga etnis Cina. Informan lainmenegaskan, meskipun orang Cinadiakui eksistensinya, tetapi ruangkebebasannya perlu dibatasi supayamereka tidak mendominasi.

b. Pengalaman Etnis JawaGenerasi 30-an

Persoalan politik, menurutcatatan pengalaman beberapainforman, merupakan pemicumunculnya kerusuhan sosial yangmelibatkan warga etnis Cina di Solo.“Orang luar” mengunakan isukesenjangan sosial untuk mempro-vokasi warga (pribumi) agarmelakukan tindakan destruktifterhadap warga etnis Cina besertaberbagai fasilitas yang mereka miliki.

Pandangan yang berbedadikemukakan oleh seorang informantentang penyebab terjadinyakerusuhan sosial di Solo. Ia menilaibahwa kerusuhan rasial yang terjadiberulangkali itu karena persoalansejarah. Pemerintah kolonial Belandapada saat itu melakukan tindakandiskriminasi melalui pembagianwilayah masing-masing kelompoketnis. Orang Arab di Pasar Kliwon,orang Cina di Sudiroprajan danpribumi Jawa di Laweyan. Pemba-gian wilayah yang diskriminatif inimasih terasakan hingga sekarang.Pergaulan antar etnis sangatberjarak, masing-masing orangsecara eksklusif hanya bergauldengan ingroup mereka.

Wilayah Sudiroprajan, menurutmereka, merupakan wilayah yang

relatif aman dari kerusuhan antiCina. Menurut seorang informan,dalam kerusuhan Mei 1998,Sudiroprajan dijadikan tempatpenyimpanan mobil-mobil mewahorang Cina dari luar Sudiroprajan.Jadi, menurut informan tersebut,meskipun Sudiroprajan menjaditempat bermukim orang Jawa kere(miskin) dan orang Cina gereh (ikanasin), namun aman terhadapberbagai tekanan dari luar yangberusaha merusak hubunganpersaudaraan antar etnis.

Dalam pemahaman parainforman, terjadinya konflik rasialdipicu oleh dua persoalan utama,yaitu kesenjangan ekonomi dankepentingan politik yang diprovo-kasikan oleh pihak luar. Kedua faktortersebut sudah menjadi pemahamanyang berlaku secara umum diSudiroprajan. Namun, konflik rasialyang terjadi berulangkali hampirtidak pernah menyentuh wilayah ini.Dalam kasus Sudiroprajan, secarahorisontal perbedaan dalam konteksetnisitas sudah dianggap bukan lagisebagai persoalan yang krusial,sehingga konflik vertikal yangdiakibatkan oleh kesenjanganekonomi dapat dicegah secaramaksimal. Penyebab konflik dipa-hami sebagai faktor yang datang dariluar (exogenous), bukan dari masya-rakat itu sendiri (endogenous).

Asimilasi, menurut para infor-man, seharusnya dijalankan secaraalami, sukarela dan tidak puladipaksakan melalui berbagaikebijakan pemerintah yang represif.

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 21: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

800

Mereka secara tegas tidak setujudengan program asimilasi yangpernah dijalankan pada masa OrdeBaru yang melarang berbagaiekspresi identitas kultural etnis Cina.Merujuk pada gagasan Jary & Jary(1991), asimilasi yang dimaksud-kan sebagai proses yang diarahkanbagi kelompok minoritas untukmengadopsi nilai-nilai dan pola-polakehidupan dari kelompok mayoritas(host culture) dianggap akanmembawa kerugian ketika proses-nya berjalan secara tidak terbukaatau tidak sukarela. Sebab,menghilangkan identitas asalmerupakan hal yang sangat sulitdilakukan, karena pada dasarnyaidentitas itu sendiri sudah menjadisemacam keyakinan ideologis.

Perkawinan campur, dalamkasus Sudiroprajan, sudah menjadirealitas sosial yang sangat lumrah.Hal yang menjadi penekanan dalamperkawinan campur di Sudiroprajanadalah kesamaan keyakinan agamadan kesediaan untuk menerimaperbedaan dalam konteks etnisitas.Fenomena lain yang menonjol adalahbahwa perkawinan campur diSudiroprajan banyak terjadi dikalangan strata sosial-ekonomibawah dan lingkup pergaulan yangterbatas, sehingga mereka yangakan menikah sudah saling menge-nal sebelumnya. Kesemua gejalasosial ini memperlihatkan bahwaperkawinan campur memiliki polayang disebut homogamy (Thio,1999). Artinya, pasangan yang akanmelangsungkan pernikahan meng-

hendaki adanya kesamaan-kesamaan dalam karakteristiksosialnya, seperti kelas sosial, rasial,dan keyakinan agama.

Para informan etnis Cina gene-rasi 60-an dan 30-an menegaskandiri mereka sebagai “orangIndonesia”, karena merasa sudahmenjadi warga negara Indonesiasejak lahir. Penegasan tersebutbermakna bahwa persoalan yangberkaitan dengan pengakuanidentitas dan eksistensi etnis Cinasebenarnya sudah tidak lagi menjadiwacana yang serius untuk diper-bincangkan, sejak mereka mengakuidan diakui sebagai warga negaraIndonesia, paling tidak pengakuanyang diberikan oleh komunitas etnisJawa di lingkungan permukimanmereka. Merujuk pada gagasanIdentity Negotiation Theory(Gudykunst, 2002; Ting-Toomey,1999) pengakuan yang diberikanterhadap identitas kultural etnis Cinamerupakan hasil dari negosiasi, yaituproses interaksi dimana setiap orangdalam situasi antar budaya berusahamenegaskan, mendefinisikan,merubah, mempertentangkan dan/atau mendukung citra diri yangdiinginkan. Dalam pratiknya,negosiasi identitas membutuhkanwaktu yang relatif lama.

C. PENUTUPKonsep SARA yang diperkenal-

kan pada masa pemerintah Ordebaru yang pada akhirnya secarahegemonik menguasai kesadaranmasyarakat, tidak selamanya

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802

Page 22: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

801

merupakan persoalan murni akibatkeragaman primordial. SARA akanmuncul mejadi persoalan ketikaterjadi kesenjangan ekonomi, sosial,dan politik. Mencermati realitassemacam ini, maka pemerintah tidakselayaknya melakukan penyatuandengan cara represif sebagai akibatdari adanya keragaman primordial,misalnya degan kebijakan asimilasi.Integrasi terhadap keragamankultural perlu dilakukan melaluikomunikasi yang persuasif dengantetap mempertahankan kontekskebudayaan setempat.

Hubungan yang setara antarawarga kedua kelompok etnistercermin dari adanya pengakuanterhadap perbedaan karakteristikkultural masing-masing kelompok.Kondisi seperti ini merupakan wujuddari bangunan multikulturalisme.Namun demikian, bangunan tersebuttidak sejalan dengan model bangsaIndonesia yang menekankan padakonsep indigenous versus fore-igners (pribumi-orang asing).Konsep model atau bangunan yanglebih dekat dengan moto “BhinnekaTunggal Ika” (Unity in Diversity)adalah Third-Culture atau BudayaKetiga, yaitu integrasi yang terjadiantara dua kelompok atau lebih kedalam sebuah kelompok baru.Dalam realitasnya, model budayaketiga ini masih dipahami sebataskonsep.

DAFTAR PUSTAKA

Beng, Tan Chee. 1997. Komentar“Ethnic Chinese in Southeast Asia:Overseas Chinese, ChineseOverseas or Southeast Asians?”.Dalam Leo Suryadinata ed. EthnicChinese as Southeast Asians.Singapore : Institute of SoutheastAsian Studies.

Casmir, Fred L. 1993. “Third-CultureBuilding: A Paradigm Shift forInternational and InterculturalCommunication” Dalam Stanley A.Deetz, ed. Communication YearBook/16. Newburry Park, California:SAGE Publications.

Charles A. Coppel. 1994. TionghoaIndonesia Dalam Krisis. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

Dodd, Carley H. 1998. Dynamics ofIntercultural Communication (FifthEdition). Mc.Graw-Hill, New York.

Gudykunst, William B. 2002. “Inter-cultural Communication Theories”Dalam William B. Gudykunst, BellaMody, ed. Handbook of Internationaland Intercultural Communication(Second Edition). Thousand Oaks,California : SAGE Publications, Inc.

Gudykunst, William B. 2002. “Issuesin Cross-Cultural CommunicationResearch” Dalam William B.Gudykunst, Bella Mody, ed. Hand-book of International and Inter-cultural Communication (Second

Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina (Turnomo Raharjo)

Page 23: KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG ETNIS CINA

802

Edition). Thousand Oaks, California:SAGE Publications, Inc.

Gudykunst, William B. & TsukasaNishida. 1989. “Theoritical Pers-pective for Studying InterculturalCommunication” Dalam Molefi K.Asante, William B. Gudykunst, ed.Handbook of International andIntercultural Communication.Newburry Park, California : SAGEPublications, Inc.

I. Wibowo. 1999. “CatatanPendahuluan” Dalam I. Wibowo, ed.Retrospeksi dan RekontekstualisasiMasalah Cina. Jakarta : Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama.

Leo Suryadinata. 1997. “EthnicChinese in Southeast Asia:Overseas Chinese, ChineseOverseas or Southeast Asians?”Dalam Leo Suryadinata, ed. EthnicChinese as Southeast Asians.Singapore : Institute of SoutheastAsian Studies.

Rogers, Everett M. & Thomas M.Steinfatt. 1999. Intercultural Commu-nication. Illinois : Waveland Press,Inc.

Shuter, Robert. 1993. “On Third-Culture Building” Dalam Stanley A.Deetz, ed. Communication YearBook/16. Newburry Park, California:SAGE Publications.

Thung Ju Lan. 1999. “TinjauanKepustakaan tentang Etnis Cina diIndonesia” Dalam I. Wibowo, ed.Retrospeksi dan Rekonteks-tualisasi Masalah Cina. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.

Yusiu Liem. 2000. Prasangkaterhadap Etnis Cina, SebuahIntisari. Jakarta : PenerbitDjambatan.

Parsudi Suparlan. 2000. “Masya-rakat Majemuk dan Perawatannya”Jurnal Antropologi Indonesia. No. 63Tahun XXIV. September-Desember.

Parsudi Suparlan. 2002. “MenujuMasyarakat Indonesia yangMultikultural”. Dalam SimposiumInternasional III Jurnal AntropologiIndonesia. Bali : UniversitasUdayana.

• Artikel ini merupakan salah satu bagiandari disertasi “Mindfulness DalamKomunikasi Antar Budaya”.

• Disertasi telah dipertahankan padaSidang Senat Terbuka UniversitasIndonesia tanggal 15 Januari 2004.

“Dialogue” JIAKP, Vol. 2, No. 2, Mei 2005 : 780-802