kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN...

176

Transcript of kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN...

Page 1: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi
Page 2: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi
Page 3: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

kebijakan inovasi di industri

Page 4: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi
Page 5: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

KEBIJAKAN INOVASI

DI INDUSTRI

Penyunting:

Kuncoro B. Prayitno

Rusdy Taufiq

Manifas Zubair

Penerbit:

Page 6: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Inovasi di Industri

ISBN: 978-602-1124-30-7

Cetakan Pertama: 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang/ (c) All rights reserved.

dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun, termasuk

memfotokopi, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya tanpa izin tertulis dari penerbit

Diterbitkan oleh:

BPPT PRESS

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44

Tentang Hak Cipta

Pasal 72 :

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu

ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), atau pidana

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima

miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak

terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama

5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Page 7: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Inovasi

di Industri

Penyunting:

Kuncoro B. Prayitno Peneliti Madya Bidang Kebijakan Sains dan Teknologi

Rusdy Taufiq Perencana Madya

Manifas Zubair Perekayasa Madya

Diterbitkan oleh::

BPPT Press

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Anggota IKAPI No. 476/DKI/III/2013

Page 8: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Inovasi di Industri Penyunting: Kuncoro B. Prayitno, Rusdy Taufiq, Manifas Zubair

Hak Cipta (C) 2014

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang/ (c) All rights reserved.

dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk apapun, termasuk memfotokopi, merekam

atau dengan sistem penyimpanan lainnya tanpa izin tertulis dari penerbit

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Kebijakan Inovasi di Industri/ Penyunting Kuncoro B. Prayitno, Rusdy Taufiq, Manifas Zubair –

Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014

Memuat 11 makalah hasil penelitian

xiv+166 hlm; 17x25 cm

ISBN 978-602-1124-30-7

1. Kebijakan Inovasi I. Kuncoro B. Prayitno II. Rusdy Taufiq

III. Manifas Zubair

338.02

Diterbitkan oleh:

BPPT Press

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Anggota IKAPI No. 476/DKI/III/2013

Gedung BPPT II Lantai 4

Jalan MH. Thamrin No.8, Jakarta 10340

Tel. +62 21-3169091 – 021-31696067

Fax. +62 21-3101802

E-mail : [email protected]

E-mail. [email protected]

Atau

Gedung Teknologi 3 BPPT, Lantai 2

Kawasan Puspiptek Serpong

Tangerang Selatan 15314

Telp. +62 21-75791260, 75791262-63, ext. 232

Fax. +62 21 75791281

E-mail. [email protected]

Website. www.bppt.go.id

Edisi Pertama November 2014

Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

Page 9: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

EDITOR DAN KONTRIBUTOR TULISAN

KUNCORO BUDY PRAYITNO, lahir di Jatibarang (Indramayu). Menamatkan pendidikan S1

(Kimia) pada tahun 1985 di FMIPA, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pendidikan S2

(Kimia) diselesaikan tahun 1998 di Universitas Indonesia Jakarta. Masuk BPPT sejak tahun

1986. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Madya pada Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi

Teknologi, BPPT.

RUSDY TAUFIQ, lahir di Jakarta. Menamatkan pendidikan S1 Teknik Mesin dari Universitas

Trisakti Jakarta. Mengikuti Research Fellow dari Department of Environmental and Sanitary

Engineering, Kyoto University. Pernah menjadi Anggota Tim Teknis Adipura dari tahun 1989

– 1994, Studi Sampah dan Sanitasi dan Penataan Lingkungan di DKI Jakarta. Koordinator

Tim Pembangunan Sistem Inovasi Daerah Kabupaten Blitar, Kajian Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan Pembangunan Jembatan Mahakam Ulu, dan Kajian Penyusunan

Kebijakan dan Strategi Pemacuan IPTEK pada UKM Peralatan dan Mesin Pertanian. Saat ini

sebagai Perencana Madya pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi, BPPT.

MANIFAS ZUBAIR. Lahir di Pekalongan. Memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Teknik

Kimia, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang tahun 1993. Bekerja sebagai

Perekayasa pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak 1994, dengan Jabatan

Fungsional Perekayasa Madya. Melakukan kegiatan perekayasaan di bidang kebijakan dan

memimpin kegiatan kerekayasaan seperti Pengkajian Kebijakan Industri Berbasis Kelapa

Sawit, Pengkajian Kebijakan Sistem Inovasi Pangan, Kebijakan Akuisisi dan Pembelajaran

Teknologi di Sektor Energi, Pengkajian Kebijakan Produk Pangan Berbasis Jagung dan

Perumusan Kebijakan Pupuk Berimbang.

A. HUSNI Y. ROSADI. Lahir di Garut. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik dari

Jurusan Teknik Fisika ITB (1993), Magister Manajemen dengan konsentrasi Manajemen

Keuangan dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM (1998) serta Doktor di bidang Teknologi

Industri Pertanian (Manajemen Agroindustri) pada Sekolah Pascasarjana IPB (2006). Selain

menduduki jabatan Peneliti Madya bidang Kebijakan Industri di Pusat Pengkajian Kebijakan

Difusi Teknologi, juga menjadi Dosen Manajemen pada Program Pascasarjana Universitas

Islam Jakarta. Bidang penelitian yang digeluti diantaranya adalah daya saing industri,

kebijakan inovasi dan industri, manajemen strategi, serta strategi sumberdaya manusia.

DYAN VIDYATMOKO. Lahir di Malang. Menyelesaikan Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian

dari IPB (1983), Postgraduate Diploma bidang Ekonomi Pertanian (1990) dan Master of

Science bidang Ekonomi Pertanian (1991)dari the University of Reading, Inggris. Selain itu

pernah mengikuti berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri seperti Science and

Technology Policy Training Program (STEPI – Korea Selatan), Capacity Enhancment for

Technology Policy Assessment and Management (CETPAM – Jakarta), dan lainnya.Selain

menjabat Peneliti Madya, juga pernah memegang jabatan struktural, yaitu Direktur Pusat

Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi Urusan Penyelarasan

Dukungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada Kementerian Negara Riset dan

Page 10: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Teknologi. Sejak tahun 1999 menjadi Koordinator Dewan Penyunting Bidang Pertanian dan

Agroindustri, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI).

FATHONI MOEHTADI. Memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Ilmu Administrasi

Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (1980). Memperoleh

gelar Master of Public Administration dari University of Southern California, Los Angeles,

California, USA (1989). Gelar Doktor Bidang Manajemen Pendidikan diperoleh dari

Universitas Negeri Jakarta (2008). Bekerja sebagai Peneliti pada Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi sejak 1981-2000. Diperbantukan pada Kementerian Riset dan

Teknologi dari 2000-2011. Pada kurun waktu tersebut, yang bersangkutan menjabat

Asisten Deputi Pemberdayaan SDM Iptek (2003-2010) dan Asisten Deputi Sarana dan

Prasarana Iptek (2010-2011). Diperbantukan pada Dewan Riset Nasional (DRN) dan

mengelola Buletin Dewan Riset Nasional (1990-1994), Majalah Ilmiah Analisis Sistem (BPPT),

(1994-2005) dan Jurnal Dinamika Masyarakat (Kementerian Riset dan Teknologi (2003-

2010). Diperbantukan pada Komite Inovasi Nasional (KIN) sejak 2010-sekarang. Aktif

menulis di berbagai jurnal, buku dan media massa. Kini menjadi Peneliti Utama Bidang

Kebijakan Publik dan Administrasi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak

2011-sekarang.

M. ANSORUDIN SIDIK, lahir di Blitar. Menamatkan pendidikan S1 di Jurusan Ilmu

Administrasi Negara, Universitas Indonesia, tahun 1980. Masuk BPPT sejak tahun 1982. Saat

ini bekerja sebagai Peneliti Madya pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi,

BPPT.

PUDJI HASTUTI..Lahir di Bogor. Menyelesaikan Sarjana Ekonomi dari UI (1995). Saat ini

bekerja sebagai peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT. Bidang

peneltian yang ditekuni adalah manajemen dan kemampuan teknologi.

PUGUH SUHARSO, lahir di Tuban. Lulus Sarjana Matematika dari Institut Teknologi

Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) tahun 1979. Bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi (BPPT) sejak tahun 1979, terlibat di berbagai kegiatan internal maupun

eksternal/antar lembaga. Karya Ilmiah berupa penelitian dan terbit di beberapa Jurnal di

Dalam Negeri. Jabatan Fungsional sebagai Peneliti Madya (IV-c) pada Pusat Pengkajian

Kebijakan Difusi Teknologi. Buku yang diterbitkan antara lain: 1) Tahun 2007, Metoda

Penelitian Kuantitatif Untuk Bisnis: Pendekatan Filosofi dan Praktis, PT Indeks, Jakarta; 2)

Tahun 2010, Metoda Analisis Kuantitatif TEV, PT Indeks, Jakarta; 3) Tahun 2010, Matematik

Terapan Untuk Bisnis, PT Indeks, Jakarta; 4) Tahun 2013 Manajemen Pengambil Keputusan,

PT Indeks, Jakarta.

WARSENO, lahir di Nganjuk. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas

Jember (Jawa Timur) tahun 1989, jurusan Hukum Tata Negara. Saat ini bekerja sebagai

Peneliti Madya bidang kebijakan public di Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi

(PPKDT), BPPT, Jakarta. Selain itu, juga aktif menulis dalam berbagai majalah, jurnal, dan

kontribusi tulisan untuk beberapa buku.

Page 11: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

KATA PENGANTAR

Pertumbuhan ekonomi yang pesat di berbagai kawasan Asia, seperti Korea

Selatan, Tiongkok, Singapura bahkan Thailand tidak dapat dilepaskan dari

penerapan kebijakan Sistem Inovasi dalam program pembangunan mereka.

Program nasional di sektor ilmu pengetahuan, teknologi, penelitian dan inovasi

memainkan peran penting untuk mempercepat pembangunan. Sistem Inovasi

selain mendorong setiap pelaku pembangunan untuk bekerja dalam kondisi paling

optimal, juga mampu memperkuat daya dukung iptek/ litbangyasa serta menjalin

hubungan yang sinergis dan mendorong terjadinya aliran pengetahuan dan

inovasi dari setiap komponennya.

Buku Kebijakan Inovasi di Industri ini mengupas berbagai hasil penelitian

Sistem Inovasi dan komponen penyusunnya di beberapa daerah dan sektor

ekonomi di Indonesia. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama berisi

tentang Sistem Inovasi di Industri, diawali dengan penerapan sistem inovasi di

Tiongkok dan Thailand, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan inovasi dan faktor

yang mempengaruhi inovasi di industri kelapa sawit dan makanan. Bagian Kedua

memuat tentang Model Inovasi dan Bisnis, memuat mengenai model kebijakan

pengembangan jaringan inovasi, model kesiapan pemerintah dalam

pengembangan wilayah dan model pengelolaan kawasan. Bagian Ketiga memuat

Kebijakan dan Dampak Pengembangan Inovasi, yang memuat makalah mengenai

pengembangan klaster industri, aplikasi teknometer, pengaruh lingkungan

ekonomi dan bisnis, serta dampak teknologi dalam pembangunan sosial ekonomi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

sehingga terbitnya buku ini. Kami berharap semoga buku ini dapat menjadi

referensi dalam pengembangan jaringan inovasi dan menjadi bahan dalam

penerapan kebijakan sistem inovasi.

Jakarta, November 2014

Tim Penyunting

Page 12: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi
Page 13: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ix

DAFTAR ISI xi

BAGIAN I. SISTEM INOVASI DI INDUSTRI

Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 1

Fathoni Moehtadi

Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 15

Manifas Zubair

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 27

A. Husni Y. Rosadi

Faktor yang Memengaruhi Inovasi di Industri Makanan : Kerangka

Teoritis

49

Dyan Vidyatmoko dan Pudji Hastuti

BAGIAN II : MODEL INOVASI DAN BISNIS

Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 71

A. Husni Y. Rosadi

Model untuk Menilai Kesiapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam

Pengembangan Wilayah Berbasis Dunia Usaha

85

Puguh Suharso

Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 99

Warseno

BAGIAN III : KEBIJAKAN DAN DAMPAK PENGEMBANGAN INOVASI

Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos di Kabupaten Blitar 115

M. Ansorudin Sidik

Kebijakan Aplikasi Tekno-Meter untuk Mendukung Teknopolitan Kota

Pekalongan

129

Kuncoro B. Prayitno

Page 14: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis Terhadap Industri Kelapa Sawit

Indonesia

141

Dyan Vidyatmoko dan Rusdy Taufiq

Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan

Sosial Ekonomi di Indonesia

155

M. Ansorudin Sidik

Page 15: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

SISTEM INOVASI NASIONAL DI

TIONGKOK

Fathoni Moehtadi

ABSTRACT In the last decade, China’s economic development has progressed rapidly. National

programs in science, technology, research and innovation sectors play a significant

role in accelerating the national progress and establish China as a modern country. In

each year, international institutions with innovation indicators have put China at the

higher rank. The innovation actors who involved in national programs suggest that

the design of national programs has attracted millions of young people thus they

would participate and involve in enormous projects which making China even more

prominent and sophisticated due to its technology, research and innovation.

Keyword: economic development, national programs, science, technology, research and innovation

sectors, innovation indicators

ABSTRAK Dalam dekade terakhir, pembangunan ekonomi Tiongkok telah berkembang pesat.

Program nasional di sektor ilmu pengetahuan, teknologi, penelitian dan inovasi

memainkan peran penting dalam mempercepat kemajuan nasional dan membangun

Tiongkok sebagai negara modern. Dalam setiap tahun, lembaga-lembaga indikator

inovasi internasional telah menempatkan Tiongkok di peringkat yang lebih tinggi.

Para aktor inovasi yang terlibat dalam program nasional menunjukkan bahwa desain

program nasional telah menarik jutaan orang muda sehingga mereka akan

berpartisipasi dan terlibat dalam proyek-proyek besar yang membuat Tiongkok

bahkan lebih menonjol dan canggih karena teknologi, penelitian dan inovasi.

Kata kunci: pembangunan ekonomi, program nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, sektor

penelitian dan inovasi, indikator inovasi

PENDAHULUAN

Tiongkok telah menjadi suatu bangsa pendatang baru yang paling penting di

antara bangsa-bangsa yang inovatif, bukan hanya karena ukuran geografis dan

penduduknya yang raksasa, melainkan juga karena program-program ilmu

pengetahuan, teknologi, riset dan inovasinya yang sangat berambisi mempercepat

proses modernisasi melalui peniruan (imitations) dan inovasi. Pada tahun 2000

Page 16: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

2 Kebijakan Inovasi di Industri

menurut pemeringkatan Innovation Indicator (2011) Tiongkok berada pada

peringkat 24. Pada tahun 2005, peringkatnya naik menjadi 23. Pada tahun 2010,

peringkat Tiongkok naik menjadi 21. Ini merupakan buah karya selama dekade

terakhir pembangunan Tiongkok yang tidak kenal lelah.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Tiongkok menginvestasikan secara besar-

besaran anggaran dalam bidang pendidikan, riset dan sains. Dibutuhkan waktu

sembilan hingga dua belas tahun sebelum investasi ini tercerminkan dalam

keluaran tingginya publikasi, paten, dan ekspor barang-barang berteknologi tinggi.

Tiongkok akan meningkat kinerja inovasinya dalam tahun-tahun yang akan

datang.

TUJUAN DAN METODOLOGI Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk dua hal berikut:

(1) Mengidentifikasi para pelaku dan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan untuk

membangun sistem inovasi; dan

(2) Menganalisis bagaimana interaksi dan interelasi para pelaku dan bagaimana

sinergi antara para pelaku tersebut dalam membangun sistem inovasi di

Tiongkok.

Metodologi

Kajian ini dilakukan dengan metodologi sebagai berikut:

(1) Kajian pustaka dengan memfokuskan diri pada teori sistem inovasi nasional,

para pelaku dan perannya dalam membangun sistem inovasi; dan

(2) Tinjauan lapangan dengan melakukan kunjungan ke Tiongkok pada para

pelaku langsung dan institusi-institusi pendukung yang memungkinkan

terbangunnya sistem inovasi nasional. Selama kunjungan dilakukan pencarian

data dengan sebagai berikut:

(a) wawancara dengan para pelaku inovasi baik yang mewakili kelembagaan

maupun perorangan; dan

(b) mendapatkan data sekunder tentang peran, fungsi dan strategi yang

ditempuh di dalam membangun sistem inovasi.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengertian Sistem Inovasi Nasional (SIN)

Ikujiro Nonaka and Hirotaka Takeuchi mengingatkan bahwa untuk

menjelaskan inovasi, dibutuhkan suatu teori baru tentang penciptaan pengetahuan

organisasi. Tonggak dari epistemologi merupakan pembedaan antara

pengetahuan tacit dan eksplisit, kunci dari penciptaan pengetahuan terletak di

Page 17: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 3

dalam mobilisasi dan pengubahan (conversion) dari pengetahuan tacit (Nonaka

and Takeuchi. 1995). Sedangkan Bruce D. Merrifield menegaskan bahwa tiga

tahapan di dalam proses inovasi adalah penemuan (invention), penerjemahan

(translation) dan komersialisasi (commercialization). (Merrifield. 1986).

Lundvall (1992) berpendapat bahwa sistem inovasi merupakan elemen dan

hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan

menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi. Suatu

sistem nasional yang mencakup elemen-elemen dan hubunganhubungan

bertempat atau berakar di dalam suatu batas negara. Pada bagian lain ia juga

menyampaikan bahwa sistem inovasi merupakan suatu sistem sosial di mana

pembelajaran (learning), pencarian (searching), dan penggalian/eksplorasi

(exploring) merupakan aktivitas sentral, yang melibatkan interaksi antara

orang/masyarakat dan reproduksi dari pengetahuanindividual ataupun kolektif

melalui pengingatan (remembering).

Terdapat 5 (lima) fokus perhatian diberikan pada bahasan sistem inovasi,

yaitu: (1) Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusi inovasi.

Ini berkaitan dengan berikut: (a) Tingkat analisis: mikro, meso dan makro; (b) Aspek

teritorial dan/atau administratif: sistem inovasi pada tataran supranasional

(beberapa negara), nasional, dan sub-nasional (atau daerah); (c) Aspek bidang atau

sektor: sistem inovasi sektoral dan klasterisasi; dan (d) Basis aktivitas utama: sistem

iptek (litbang) dan sistem produksi; (2) Aktor dan/atau lembaga yang relevan

dengan perkembangan inovasi (dan difusinya); (3) Kelembagaan, keterkaitan dan

interaksi antarpihak yang memengaruhi inovasi dan difusinya; (4) Fungsionalitas,

yaitu menyangkut fungsi-fungsi utama sistem inovasi (dari elemen, interaksi dan

proses inovasi dan difusi). Terkait dengan ini adalah isu proses pembelajaran yeng

terjadi dalam sistem; (5) Aktivitas, yaitu menyangkut proses atau tindakan penting

dari proses inovasi dan difusi.

Sistem Inovasi merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan aktor,

kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang

memengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusi beserta

proses pembelajarannya. Dalam mengembangkan sistem inovasi, disadari bahwa

ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan bagian integral yang sangat

penting.

Pelaku Sistem Inovasi Nasional (SIN)

Pelaku utama dari sistem inovasi nasional adalah pelaku riset dan

pengembangan yang melahirkan invensi. Ini bisa individu/kelompok kreatif,

perguruan tinggi, organisasi litbang dan entrepreneur/industri/entitas usaha yang

melakukan off taking atau mengambil alih invensi dan membawanya pada

kegiatan ekonomi. Faktor pendukung terdiri dari pemerintah, lembaga atau pasar

finansial/ventura (pendanaan), pengguna (end user), bridging institution, organisasi

Page 18: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

4 Kebijakan Inovasi di Industri

yang berperan sebagai ‘intermediaries' untuk mempromosikan inovasi/invensi dan

perencanaan usaha, seperti lembaga pengelola inovasi/HaKI/paten, Business

Development Service (BDS), maupun organisasi lain yang memudahkan inovasi dan

invensi diimplementasikan. Pihak ini dapat berupa kantor paten, lembaga

standarisasi dan sertifikasi.

ANALISIS PELAKU DAN KEBIJAKAN SISTEM INOVASI DI TIONGKOK

Terdapat begitu banyak lembaga yang berperan pada terbangunnya sistem

inovasi nasional pada masing-masing negara. Namun, dalam tulisan ini hanya akan

dibatasi beberapa di antaranya, mengingat keterbatasan waktu selama kunjungan.

Meskipun demikian, Indonesia dapat belajar dari keberhasilan negara-negara

tersebut di dalam merangsang masyarakat untuk menghargai ilmu pengetahuan

dan teknologi umumnya, dan kreativitas dan inovasi khususnya yang telah

membangkitkan negara-negara tersebut menjadi negara-negara yang terkemuka

dalam jajaran negara-negara di dunia, terutama dalam mengangkat tingkat

kesejahteraan masyarakatnya.

Pelaku-pelaku dan Kebijakan-kebijakan dalam Sistem Inovasi di Tiongkok

Tiongkok merupakan Negara Kesatuan dengan bentuk pemerintahan

Republik. Dengan luas wilayah 9.564.500 km2 atau 3.692.000 mil2, menjadikan

Negara terluas ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada. Tiongkok berpenduduk

1.314,48 milyar jiwa (Biro Statistik Nasional, 2007). Pemerintahan terdiri dari 23

provinsi, 5 daerah otonomi berpenduduk etnis minoritas, 4 kota setingkat provinsi,

2 daerah administrasi khusus. Tiongkok menjadi salah satu raksasa dunia dan

diakui menjadi semakin penting dalam percaturan internasional. Pertumbuhan

ekonomi sebesar 10,3% (2010) dan mengukuhkan sebagai Negara pengekspor dan

pemilik cadangan devisa terbesar di dunia senilai US$ 2,85 trilyun.

1. Chinese Academy of Science (CAS), The Institute of Policy and

Management/Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, Institut Kebijakan

dan Manajemen

Didirikan pada tahun 1985, Institute of Policy and Management, the

Chinese Academy of Sciences (CAS) (Institut Kebijakan dan Manajemen,

IKM), Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, AIPC) memusatkan pada

riset untuk strategi pembangunan, pembangunan dan kebijakan

reformasi, administrasi negara, manajemen iptek, dan teori-teori dan

metodologi-metodologi dari disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan.

Sedangkan AIPC didirikan pada tahun 1949 untuk mengelola iptek di Tiongkok.

Saat itu Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) (Ministry of

Page 19: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 5

Research and Technology, MoST) belum ada. Pada tahun 1956 terbentuk

beberapa Committee.

Terdapat 5 (lima) divisi spesialisasi riset antara lain kebijakan Iptek, Manajemen

sains dan rekayasa, keberlanjutan pembangunan sosial-ekonomi, manajemen

dan evaluasi iptek, serta kebijakan inovasi dan entrepreneurship. IKM-AIPC juga

melatih generasi muda berbakat untuk jenjang Magister dalam program ilmu

ekonomi teknik dan manajemen dan Doktor serta Post-Doctoral dalam

program manajemen sains dan rekayasa. Sumber daya manusia IKM-AIPC

terdiri dari 32% Associate Research Profesor, 30% pejabat menengah periset

profesional, 21% profesor riset dan 17% posisi lainnya. Rata-rata usia staf IKM-

AIPC adalah 39 Tahun. Para periset profesional ini melaksanakan sejumlah

proyek riset dan konsultansi yang sumber dananya berasal dari beragam

institusi Pemerintah, termasuk institusi National Development and Reform

Commission, dan Kementerian Iptek, serta internal AIPC. Hasil penelitian IKM-

AIPC berupa rekomendasi kebijakan iptek untuk kepentingan pengambilan

kebijakan Pemerintah pusat dan masyarakat luas.

Kini terdapat 13 cabang kantor AIPC yang masing-masing bertanggung jawab

untuk berkomunikasi dengan pemerintah daerah, perusahaan maupun

universitas setempat. Sumber dana AIPC sangat terbatas. Dana diperoleh dari

pemerintah hanya 30%, selebihnya dari kontrak riset dan kompetisi dalam

melakukan berbagai riset, konsultasi dan sebagainya. Sejak didirikan, institut

telah memperoleh 6 penghargaan dari National Awards for S&T Progress dan

32 penghargaan dari kementerian dan provinsi. Institut aktif dalam

memberikan layanan konsultatif tingkat tinggi pada pemerintah pusat, AIPC,

pemerintah daerah dan perusahaan, menghasilkan publikasi rekomendasi

matang sebagai Report on High-tech Development, Repot on China’s

Sustainable Development, Report on China’s Innovation and Development,

Report on China’s Energy Sources, and Technology Foresight of China toward

2020.

2. Ministry of Science and Technology (MoST)/ Kementerian Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi/Iptek)

Ministry of Science and Technology (MoST) /Kementerian Iptek) dibentuk

setelah berdirinya Chinese Academy of Sciences (CAS)/ Akademi Ilmu

Pengetahuan Tiongkok (AIPC). Kementerian Iptek terdiri atas tujuh

departemen, memiliki tugas utama dalam tiga hal. Pertama, menentukan arah

kebijakan iptek nasional Tiongkok. Kedua, mengelola seluruh dana litbang

Pemerintah (R&D Budget management). Dan ketiga, membuat peraturan

perundang-undangan yang menyangkut kegiatan iptek nasional Tiongkok.

Dalam menjalankan fungsinya di seluruh wilayah Tiongkok, Kementerian Iptek

menjalin kerja sama erat dengan Pemerintah Daerah. Sebagai contoh,

Page 20: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

6 Kebijakan Inovasi di Industri

Pemerintah Daerah diberi wewenang untuk mengeluarkan sertifikasi bagi para

tenaga teknis, serta melakukan evaluasi terhadap luaran yang diperoleh dari

riset-riset yang telah dilakukan dengan dana dari pusat. Kementerian Iptek dan

Pemerintah Daerah juga bekerja sama dalam hal pertukaran informasi baik

antardaerah maupun internasional.

Kementerian Iptek juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung

terjadinya sinergi antara swasta, universitas dan lembaga-lembaga penelitian;

mempromosikan aplikasi dan mendemonstrasikan penemuan ilmiah dan

invensi teknologi kepada pihak swasta dan masyarakat serta meningkatkan

kapasitas inovasi dari para pihak swasta. Selain itu, Kementerian Iptek juga

menyusun draft perencanaan dan kebijakan untuk mempopulerkan ilmu

pengetahuan, pasar teknologi dan S&T intermediaries. Kementerian Iptek juga

bertanggung jawab untuk mengeluarkan standardisasi secara confidential dan

mengelola pengkajian iptek dan statistik. Kementerian Iptek membangun

Sistem Inovasi Nasional berkoordinasi dengan Kementerian Informasi,

Kementerian Industri dan AIPC. Juga berkoordinasi dengan Asosiasi Iptek,

National Natural Science. Investasi iptek telah meningkatkan industri dengan

kontribusi 70%. Sedangkan riset-riset dasar dilakukan oleh AIPC. Industri akan

menekankan pada riset-riset terapan. Kini ekonomi Tiongkok telah mengubah

orientasi R&D untuk pasar. Ini semua ditempuh dalam rangka pencapaian

sebesar-besarnya keuntungan publik. Dalam kaitan Sistem Inovasi Nasional,

kementerian mendorong industri sebagai tulang punggung perekonomian

nasional. Ini ditempuh dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan iptek yang

mendukung dan menciptakan lingkungan yang kondusif.

3. Zhongguancun Science Park (Z-Park): “National Innovation

Demonstration Zone”

Z-Park adalah pusat iptek pertama di Tiongkok dan paling besar. Di sini

bermulanya inovasi-inovasi teknologi tinggi. Z-Park merupakan kawasan bagi

pengembangan entrepreneurship dan investasi dengan teknologi tinggi

Tiongkok. Z-Park merupakan kawasan penelitian ternama dari suatu sistem

reformasi ekonomi, iptek dan pendidikan yang terintegrasi. Z-Park menjadi

suatu lahan untuk pembibitan dan pengumpulan bakat-bakat dengan kualitas

tinggi. Z-Park didukung oleh banyak universitas yang tersebar di satu kawasan,

dengan yang lebih dominan di antara yang lain adalah Peking University dan

Tsinghua University.

Tujuan strategis Z-Park adalah menjadi pusat inovasi teknologi dengan

pengaruh dunia. Ini dilakukan dengan mempercepat dan mengumpulkan

bakat-bakat inovatif yang luar biasa, khususnya pemimpin-pemimpin

pemerintahan, melakukan riset dan pengembangan serta memperkenalkan

dan mentransfer sejumlah pencapaian iptek maju secara internasional;

Page 21: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 7

mengembangkan dalam jumlah lebih besar dan lebih kuat perusahaan-

perusahaan yang mempunyai pengaruh global, serta menanamkan cikal bakal

merk-merk yang terkenal secara internasional.

Fungsi strategis Z-Park dapat dirumuskan dalam tiga (3) hal. Pertama

merupakan asal muasal dari inovasi teknologi tinggi Tiongkok: “zona hot spot

bagi pengembangan kewirausahaan (entrepreneurship) dan investasi teknologi

tinggi Tiongkok”. Kedua merupakan daerah tempat berekperimen terkemuka

bagi Tiongkok dalam reformasi di bidang ekonomi, sains dan teknologi, serta

pendidikan: “daerah subur untuk mengumpulkan dan mengembangkan para

sumberdaya berbakat yang berkualitas tinggi (high quality talents)”. Ketiga

merupakan tempat melakukan inkubasi dan melahirkan industri baru Tiongkok

yang strategis.

Adapun sasaran strategis Z-Park adalah menjadi pusat inovasi teknologi yang

berpengaruh secara global. Untuk itu Z-Park menetapkan sasaran-sasaran

utama antara lain:

1. Memelihara dan mengumpulkan para talenta inovatif, khususnya para

pemimpin industri.

2. Meneliti, mengembangkan dan memperkenalkan sejumlah pencapaian

sains dan teknologi maju secara internasional.

3. Mengembangkan sejumlah perusahaan yang besar dan lebih kuat inovatif

yang memiliki pengaruh global.

4. Menghasilkan sekumpulan perusahaan yang memiliki merk (brand) yang

terkenal di dunia.

Di sekitar Beijing banyak yang menggunakan nama dan logo Z. Fungsi daerah

ini dikembangkan dengan pola “Satu Taman dengan Beberapa Sub Taman”.

Luas kawasan kurang lebih 232 km2. Terdapat 10 Park, yang paling besar dan

utama adalah Haidien Park (13.306 ha). Sedangkan lainnya adalah Yizhuang

Park (2.678 ha), Electronic City Park (1.680 ha), Tongzhou Park (1.450 ha),

Changping Park (1.1482, ha), Daxing Bioengineering & Pharmaceutical

Industrial Park (963 ha), Fengtai Park (818 ha), Dosheng Park (564 ha),

Shijingshan Park (345 ha), dan Yonghe Park (300 ha).

Dukungan sumberdaya yang menguntungkan yang meliputi 3 (tiga) kekuatan

inovasi, yaitu ABG (Academician, Business, Government). Kekuatan-kekuatan

tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Terdapatnya sebanyak 39 institusi perguruan tinggi yang diwakili oleh

Peking University dan Tsinghua University.

Lebih dari 140 lembaga riset yang diwakili oleh institusi-institusi di bawah

Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok (AIPC)/the Chinese Academy of

Sciences (CAS) dan National Institute of Biological Sciences, Beijing.

Terdapat hampir 20.000 perusahaan inovatif yang diwakili oleh Lenovo,

Baidu, Vimicro, Sinovac dan Huaqi.

Page 22: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

8 Kebijakan Inovasi di Industri

Terdapat lebih dari satu juta bakat inovatif berkualitas tinggi dan hampir

seperempatnya merupakan mereka yang kembali dari sekolah di luar

negeri.

Sepertiga dari akademisi AIPC dan Chinese Academy of Engineering yang

berpusat di Zhongguancun.

Investasi Modal Ventura (Venture Capital) tiap tahun dan volume investasi

di Zhongguancun adalah sepertiga dari keseluruhan yang ada secara

nasional dengan lebih dari 10 perusahaan mencari IPO (Initial Public

Offerings) tiap tahun.

Institusi-institusi R&D (litbang) telah dibangun di dalam Zhongguancun

dengan 101 di antaranya merupakan top 500 dunia seperti Microsoft,

Oracle dan IBM.

Terdapat 24 on-campus university science park dan 29 park pemula bagi

mereka yang kembali dari luar negeri di Zhongguangcun.

Sejumlah besar pencapaian teknologi penting dengan hak-hak pemilikan

intelektual (HaKI) bebas dan potensial untuk dialihkan di seluruh negeri di

dalam Zhongguancun.

Seperempat dari laboratorium nasional penting berbasis di Zhongguancun,

yaitu National Engineering Research Centers (Pusat Riset Rekayasa

Nasional), National Engineering and Technological Research National

Engineering and Technological Research (Pusat Riset Rekayasa dan

Teknologi Nasional) dan National Enterprises Technological Centers (Pusat

Teknologi Perusahaan Nasional).

Seperempat dari 863 Program proyek dan sepertiga dari 973 Program

proyek dilaksanakan di Zhongguancun.

Lebih dari 50 Penghargaan Utama China National Science Progress Award

telah diberikan pada perusahaan, lembaga litbang dan universitas di

Zhongguancum.

Lebih dari 100 standar internasional penting seperti TD-SCDMA, IGRS

(Intelligent Grouping and Resources Sharing) dan McWill dan 590-ganjil

standar nasional telah dikembangkan di Zhongguancun.

Volume perdagangan teknologi dari Zhongguancun mencapai hampir

sepertiga dari total nasional dengan 60% dari perdagangan dialihkan ke

daerah-daerah di luar Beijing.

Z-Park adalah pusat inovasi utama dan diharapkan tetap berperan penting di

Tiongkok. Target Z-Park adalah mempunyai dampak terhadap dunia pada

tahun 2020. Ke depan, luas Z-Park akan bertambah. Park yang sekarang ada

sebanyak sepuluh (10) buah akan dikembangkan lagi menjadi enam belas (16)

buah.

Para pemimpin Z-Park diberi tugas mengontrol perkembangan secara makro

untuk memaksimalkan potensi dan bakat generasi muda. Tugas utamanya

Page 23: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 9

adalah mencari bibit-bibit unggul guru dan murid serta memberikan

lingkungan yang baik agar inovatif. Ini semua diumumkan Pemerintah tentang

apa yang harus dilakukan. Universitas yang cocok diberi dana. Namun ke arah

mana inovasi itu, ditentukan Pemerintah. Keadaan di Tiongkok mengikuti terus

Z-Park. Dana-dana Z-Park dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan terdahulu

yang telah sukses. Kemudian diberikan kepada pelaksana-pelaksana riset yang

sesuai.

Bisa juga bantuan dilakukan tanpa melalui Z-Park, yaitu jika dipandang penting

dan menguntungkan. Bantuan Pemerintah banyak sekali untuk mendorong

inovasi ini. Bisa dengan memberikan dana segar, atau pembebasan pajak

sejumlah tertentu.

Z-Park melihat guru-guru/dosen-dosen, universitas bidang-bidang yang

prospektif untuk dibantu sampai mereka bisa bergerak sendiri secara mandiri.

Pemerintah Pusat mempunyai peran penting untk semua ini. Namun, intervensi

Pemerintah Pusat ini merupakan permintaan dari pasar. Dan bagi Pemerintah

pula yang bertugas untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sesuai arah

yang ditentukan.

Dana untuk inovasi awal, dahulu diberikan. Namun kini tidak diberikan lagi.

Pemerintah Pusat memberikan bantuan dalam bentuk saham sesuai

permintaan pasar. Ketika akan menarik dana, tidak mengharapkan imbalan

dari perusahaan yang dibantunya. Pemerintah melihat permintaan pasar dan

bagaimana pasar itu bergerak. Z-Park biasa 9menyerahkan dana pada

universitas jika sesuai permintaan Pemerintah. Jadi Pemerintah mau

memberikan dana kepada yang mau berdiri. Bantuan tidak diberikan dalam

bentuk dana, melainkan menciptakan lingkungan yang kondusif. Dukungan

dana Pemerintah dipertimbangkan berdasarkan pasar, bukan subsidi.

Investasi akan dilakukan jika pertimbangan-pertimbangan ini dapat diterima.

Pertama, terdapat pasar yang besar. Kedua, lingkungan dan prospek ke depan

yang baik. Banyak perusahaan baik dalam maupun luar negeri yang tertarik.

Komisi Pembina Generasi Muda merupakan lembaga yang menjembatani

antara Pemerintah dan guru, murid, mahasiswa, dosen yang mempunyai

gagasan menarik. Komisi ini akan memberikan saran dan membantu

mengarahkan ke arah mana riset dilakukan. Komisi juga membantu jika ada

yang perlu magang.

Terdapat juga laboratorium di bidang kimia. Jika tidak memerlukan dana

banyak, lazimnya tidak membayar. Jika dana diperlukan dalam jumlah besar,

perlu membayar. Ini sifatnya terbuka. Prinsipnya, sepanjang murid atau

mahasiswa mempunyai sesuatu yang menarik, pasti dibantu.

Page 24: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

10 Kebijakan Inovasi di Industri

Kunci sukses yang paling utama adalah bagaimana menjadi motivator dan

menciptakan lingkungan agar generasi muda tidak kehilangan semangat

berinovasi.

Z-Park di masa depan akan mengembangkan bidang-bidang lingkungan,

manufaktur, industri dan enjiniring. Dan Pemerintah Tiongkok menetapkan

tujuh bidang industri baru strategis yang akan menjadi perhatian mereka di

masa-masa mendatang, yaitu: (a) Teknologi IT Baru; (b) Bioteknologi; (c) Energi

Baru; (d) Konservasi Energi dan Proteksi Lingkungan; (e) Manufaktur High-end

Equipemnt; (f) Bahan-Bahan Baru; dan (g) Mobil dengan menggunakan energi

alternatif.

Analisis Kebijakan dalam Membangun Sistem Inovasi

Mengkaji sistem inovasi di Tiongkok, dapat diidentifikasi beberapa hal terkait

dengan aktor dan kelembagaan yang sudah terbangun dan mempunyai

mekanisme sedemikian rupa. Dengan mencermati para pelaku dan kelembagaan

yang ada di Tiongkok dapat dianalisis paling tidak tiga (3) hal: (1) Rekomendasi

Kebijakan AIPC pada Presiden; (2) Rumusan Kebijakan Iptek yang Memperkuat

R&D; dan (3) Dibangunnya Z-Park sebagai Wahana dan Pusat Inovasi.

1. Rekomendasi Kebijakan AIPC pada Presiden

AIPC memengaruhi institusi-institusi lain melalui rekomendasi yang diserahkan

kepada Presiden. Rekomendasi kebijakan ini kemudian ditransfer oleh

Kementerian Iptek menjadi kebijakan-kebijakan iptek. Inilah kata kuncinya.

Institute of Policy and Management (Institut Kebijakan dan Manajemen/IKM),

the Chinese Academy of Sciences (Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok/AIPC)

memfokuskan diri pada aktivitas riset untuk strategi pembangunan,

pengembangan dan reformasi kebijakan, administrasi publik, manajemen iptek,

dan kemajuan teori dan metodologi disiplin ilmu yang terkait dengan

kebijakan publik.

Aktivitas operasional AIPC sepenuhnya didanai oleh Kementerian Keuangan,

sedangkan pendanaan aktivitas riset sebagian besar berasal dari NDRC dan

Kementerian Iptek yang bersifat kompetitif. AIPC berfungsi untuk mengelola

iptek dan pengambilan keputusan yang berdampak pada kebijakan

pemerintah, terutama yang mengalihkan gagasan spesifik ke kementerian

tertentu. AIPC juga melakukan evaluasi kinerja institusi riset dan perguruan

tinggi, menggunakan institusi Transfer Teknologi dan Pemerintah Daerah, serta

perwakilan kantor AIPC yang tersebar di 13 daerah di seluruh Tiongkok.

Transfer Teknologi yang dilakukan oleh perusahaan diberi insentif pajak

sebesar 12,5 persen. Dalam rangka penyusunan program pembangunan hi-

tech, AIPC mempromosikan IKM sebagai lembaga riset yang harus bekerja

sama dengan universitas. Dari sini, banyak terjadi alih teknologi.

Page 25: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 11

AIPC mendorong masyarakat untuk lebih inovatif. Pemerintah ikut

menanggung biaya untuk inovasi dalam bentuk kebijakan pajak. Jika

mengeluarkan dana lebih dari US$ 100 juta, maka 12,5% akan dikembalikan.

Institut ini sangat aktif dalam memberikan layanan konsultatif tingkat tinggi

baik pada Pemerintah Pusat, AIPC, Pemerintah Daerah dan Swasta.

2. Rumusan Kebijakan Iptek yang Memperkuat R&D

Kebijakan utama yang dirumuskan Kementerian Iptek termasuk mengatur

lembaga-lembaga riset. Kementerian Iptek sebagai badan pemerintah

menggandeng AIPC sebagai lembaga riset dan mengarahkan Science and

Techno Park.

Industri melakukan riset sesuai kebutuhan pasar, dengan dukungan kebijakan

yang menguntungkan dan kondusif. Demikian juga mendorong kerjasama

industri dengan universitas untuk melakukan terobosan dan inovasi. Dengan

demikian terjadi sinergi antara Pemerintah-Industri-Universitas. Industri

menjadi aktor utama dalam inovasi R&D.

Kebijakan yang dapat mendorong ini tampaknya perlu ditempuh agar tercipta

sinergi yang positif antara berbagai aktor dan institusi iptek dan industri yang

berujung pada munculnya produk-produk inovasi.

3. Z-Park sebagai Wahana dan Pusat Inovasi

Sejauh ini terbentuknya Zhongguancun Science Park (Z-Park) dapat dilihat dari

dua (2) sudut pandang. Pertama, sebagai Pusat Inovasi Tiongkok. Kedua,

sebagai Pusat Kemajuan Teknologi Tiongkok yang dibangun sejak 1978.

Dulu di Tiongkok melaksanakan Rencana Pembangunan Ekonomi Berencana.

Pada tahun 1978 pasar makin besar, tidak kuat lagi mengontrol. Ketika

ekonomi baik dan teknologi maju, mahasiswa-mahasiswa membentuk

perusahaan swasta (enterprises). Ini adalah awal pembentukan Z-Park.

Semua mahasiswa yang berprestasi diberi kesempatan seluas-luasnya. Dengan

pendekatan ini Tiongkok menjadi cepat berkembang. Tumbuhlah puluhan ribu

ilmuwan di Tiongkok. Perusahaan-perusahaan yang berlatar belakang iptek

tumbuh dengan 3.000an per tahun yang mendaftar. Tetapi jumlah keseluruhan

tidak bertambah, karena banyak yang kemudian bergabung satu sama lain

(merger). Perkembangan teknologi cukup berbeda dengan di negara-negara

lain. Hubungan dengan universitas dilakukan dalam arti selaus-luasnya, sejauh

tepat dan menguntungkan, dengan berdasar pada proposal dan kebijakan

yang akan diikuti.

Keberadaan Z-Park merupakan aspek dari strategi untuk mendorong inovasi.

Kini yang sangat bersejarah adalah kemajuan iptek yang mengubah seluruh

Page 26: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

12 Kebijakan Inovasi di Industri

daratan dan masyarakat Tiongkok. Di Tiongkok, perusahaan di bidang jasa

bertambah setiap tahun. Sekarang lebih dari 70%.

Z-Park memainkan peranan penting ke arah mana iptek berkembang.

Perkembangan GNP di Beijing 20% di antaranya dari Z-Park. Ini belum besar,

tetapi dengan kemajuan yang pesat akan terus bertambah. Jadi Pemerintah

sangat memperhatikan perkembangan ini. Tampaknya tidak berlebihan jika Z-

Park diharapkan tidak hanya mempunyai dampak pada Tiongkok saja,

melainkan juga dunia.

Sejauh ini keberadaan Z-Park mempunyai dampak yang sangat positif, karena

beberapa hal berikut. Pertama, menyadarkan masyarakat Tiongkok bahwa

sains dan teknologi memberikan perubahan signifikan kepada masyarakat

Tiongkok. Kedua, keberadaan Z-Park memberikan nilai strategis bagi

pengembangan aplikasi inovasi dan pengembangan budaya inovasi bagi

kalangan masyarakat dan khususnya kaum muda. Ketiga, mahasiswa dan

entrepreneur bersama-sama membangun Tiongkok. Keempat, jumlah

perusahaan di bidang jasa (services) bertambah setiap tahun (70%), karena

manusia berkembang begitu juga sains dan teknologi terus akan berkembang.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari Tiongkok, Indonesia dapat belajar dari keberadaan kelembagaannya.

Sebagai contoh, AIPC (Chinese Academy of Sciences) yakni setiap kebijakan

Pemerintah harus mempertimbangkan hasil-hasil riset yang fokus pada visi & misi

negara. Di Indonesia, lembaga sejenis sebenarnya juga sudah ada, yaitu Akademi

Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Sayang sekali, keberadaannya belum

dimanfaatkan secara optimal.

Di Tiongkok, pendanaan riset dapat berupa insentif pajak (tax insentive) atau

dapat berupa hibah yang dikompetisikan. Aktivitas riset kebijakan ini secara

sistematis dievaluasi kemanfaatannya bagi negara. Tugas-tugas Kementerian Iptek

di Tiongkok, tampaknya sedikit banyak akan menjadi inspirasi Kementerian Riset

dan Teknologi di Indonesia. Paling tidak, terkait dengan program-program insentif,

sejauh ini Kementerian Riset dan Teknologi sudah berbuat banyak dalam jangka

waktu yang lama.

Sementara pelajaran yang dapat dipetik dari Z-Park bila Indonesia ingin

membangun suatu taman sains dan teknologi yang terintegrasi untuk kemajuan

teknologi dan inovasi Indonesia adalah dengan:

Memainkan peranan S&T sebagai motivator.

Sepertiga dari total investor berupa Venture Capital.

Page 27: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Nasional di Tiongkok 13

Menjadikan S&T Park tempat yang kondusif untuk penyemaian dan

penumbuh-kembangan pengusaha-pengusaha muda yang berasal dari

Perguruan Tinggi.

S&T Park berperan melakukan pembinaan berupa konsultansi untuk

generasi muda yang memiliki ide atau hasil riset yang akan

dikomersialisasikan, bukan untuk mencarikan dana.

Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1. Pertama, Peran AIPC (China Academy of Science) di dalam merumuskan visi

dan misi jauh ke depan tampaknya dapat dipandang sebagai pemandu bagi

seluruh pihak di dalam upaya memodernkan Tiongkok. AIPC memang terdiri

dari kaum cendekiawan yang menjadi lokomotif intelektual dan sekaligus

diakui sebagai pembuka wawasan bangsa untuk mencapai kemajuan dengan

menguasai, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi untuk sebesar-besar kemajuan bangsa Tiongkok. Di Indonesia,

institusi seperti ini, di mana merupakan kumpulan para ahli dan ilmuwan

ternama terdapat beberapa. Kita mengenal Akademi Ilmu Pengetahuan

Indonesia (AIPI), yang merupakan institusi penasihat Presiden dalam bidang

iptek. Akademi ini terdiri dari para bagawan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang mempunyai integritas dan reputasi nasional maupun internasional. Selain

itu terdapat Komite Inovasi Nasional (KIN) yang juga merupakan penasihat

Presiden dalam bidang riset, iptek dan inovasi. Kumpulan ilmuwan juga dikenal

di dalam institusi Dewan Riset Nasional (DRN), yang merupakan institusi

penasihat Menteri Riset dan Teknologi. Selain itu juga terdapat berbagai

Komite maupun Dewan yang berisi para pakar sesuai dengan bidangnya.

Misalnya, Dewan Energi Nasional (DEN), Komite Ekonomi Nasional (KEN), untuk

menyebut beberapa contoh. Namun kumpulan para ilmuwan dan cerdik

pandai tersebut tampaknya kalah riuh dengan gegap gempita lembaga-

lembaga lain, karena berbagai sebab, antara lain isu-isu dominan bernuansa

politik dan korupsi yang menerpa baik para penyelenggara Negara maupun

institusi-institusi di mana para penyelenggara Negara tersebut berada. Jika

Indonesia ingin lebih cepat maju seperti halnya Tiongkok misalnya, maka

rakyat Indonesia harus lebih memberikan peran yang jauh lebih besar kepada

para cerdik pandai tersebut untuk merumuskan visi, misi, arah kebijakan,

strategi dan program baik jangka pendek, menengah maupun panjang dengan

sebesar-besarnya memanfaatkan dan mengelola kekayaan sumber daya yang

terbarukan maupun yang non-terbarukan. Kuncinya adalah Presiden. Presiden

harus mempunyai komitmen kuat untuk benar-benar ingin memajukan bangsa

dan Negara Republik Indonesia. Semua instrumen dapat dibuat, diberi

kesempatan dan didayagunakan.

Page 28: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

14 Kebijakan Inovasi di Industri

2. Kedua, peranan institusi penelitian dan pengembangan harus semakin

ditingkatkan. Para peneliti selain meningkatkan kompetensinya juga perlu

bekerja secara profesional, melintasi batas geografis Negara, sehingga kerja

sama penelitian yang bermutu dan berdampak besar, terutama ilmu-ilmu masa

depan semakin banyak dikuasai putra-putri terbaik bangsa Indonesia.

3. Ketiga, semakin didorongnya kerja sama peneliti dan industri yang

memanfaatkan hasil-hasil penelitian. Komersialisasi hasil-hasil penelitian sudah

menjadi suatu keharusan, sehingga konsorsium yang melibatkan ABG

(Academician-Business-Government) semakin didorong. Komersialisasi juga

dapat melibatkan pelaku UKM yang dapat dijadikan lokomotif ekonomi

Indonesia pada kelompok akar rumput. Dengan demikian hasil-hasil penelitian

dapat ditindaklanjuti oleh industri, swasta dan UKM serta Pemerintah sebagai

pemegang kendali kebijakan dapat mengatur dan memberi jaminan bahwa

arah penelitian dan perkembangan industri tetap searah dan satu tujuan, yaitu

bersinergi saling memperkuat posisi masing-masing, yang pada gilirannya

akan memberikan kekuatan Negara dan bangsa Indonesia. Hanya dengan

kemandirian seperti inilah bangsa dan Negara Republik Indonesia dapat

bersaing dan berkiprah di dunia internasional dengan membanggakan.

DAFTAR PUSTAKA

Bengt-Åke Lundvall. “National Systems of Innovation. Towards a Theory of

Innovation and Interactive Learning”. London: Pinter Publishers, 1992.

Bernd Kadura, Joachim Langbein and Kerstin Wilde. Strengthening Innovation

Systems: Foundation, Concept and Strategic Approach, 2011.

Bruce D. Merrifield. Forces of Change Affecting High Technology Industries. A speech

by U.S. Assistant Secretary of Commerce, 1986.

Ikujiro Nonaka and Hirotaka Takeuchi. The Knowledge-Creating Company. New

York, NY: Oxford University Press, 1995.

Report on High-tech Development, Repot on China’s Sustainable Development,

Report on China’s Innovation and Development, Report on China’s Energy

Sources, and Technology Foresight of China toward 2020.

Page 29: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

SISTEM INOVASI AGROINDUSTRI DI

THAILAND

Manifas Zubair

ABSTRACT Thailand is an agricultural country with a majority of the population engaged in

agriculture. Economic growth and industrialization that occurred in Thailand is

caused by some changes in conditions and their farming practices. The most

significant is the change in agricultural existence of traditional agriculture to

commercial agriculture that have a market, which supports agricultural production

are easy to sell (cash crop) and includes export of their agricultural products. The

paper attempts to explain the development of agro-innovation system in Thailand.

This paper also analyzed the characteristics of the Sectoral Innovation System which

includes the categories of groups and key actors in it, as well as linkages Sectoral

Innovation Systems in Thailand. There are at least 6 (six) key actors who was

instrumental in the Sectoral Innovation System in Thailand. This includes Supporting

Institutions, composed of Government and Science Institutions (universities and

research organizations and technology); Group the influence of the Kingdom,

political parties, and Production Group, made up of farmers and companies. Between

key actors is no link in the Innovation System of Agro Industry Thailand and the

interaction mechanism are quite complex.

Keyword : innovation systems, agroindusty, Thailand

ABSTRAK Thailand adalah negara agraris dengan mayoritas penduduk hidup dalam pertanian.

Pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi terjadi karena perubahan dalam kondisi

dan praktek pertanian mereka. Yang paling signifikan, adalah perubahan pertanian

tradisional ke komersial dengan basis pasar, yang memungkinkan produksi pertanian

mudah untuk dijual di pasar lokal dan ekspor. Makalah ini mencoba menjelaskan

pengembangan sistem agro-inovasi di Thailand, dengan menganalisis karakteristik

Sistem Inovasi Sektoral yang meliputi kelompok dan aktor kunci di dalamnya, serta

keterkaitannya. Ada enam aktor kunci yang berperan penting dalam Sistem Inovasi

Sektoral di Thailand. Ini termasuk Kelompok Pendukung, terdiri dari pemerintah dan

lembaga riset (universitas dan organisasi riset dan teknologi); Kelompok yang

mempengaruhi Kerajaan, partai politik, dan Kelompok Produksi, terdiri dari petani

dan perusahaan. Antara aktor-aktor kunci tidak ada keterkaitan dalam Sistem Inovasi

Industri Agro Thailand dan mekanisme interaksi yang cukup kompleks.

Kata Kunci: sistem inovasi, agroindustri, Thailand

Page 30: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

16 Kebijakan Inovasi di Industri

PENDAHULUAN

Sama dengan perekonomian negara berkembang lainnya di dunia, struktur

ekonomi dan sosial masyarakat Thailand mengandalkan sektor pertanian. Thailand

adalah negara agraris dengan mayoritas penduduknya berkecimpung di bidang

pertanian. Negeri ini, mengklaim negaranya sebagai Newly Agro-Industrialising

Country (NABIC), atau sebagai negara agroindustri baru, yang masyarakatnya

mengakar pada keanekaragaman pertanian yang penuh varietas.

Industrialisasi di Thailand telah dimulai lebih dari empat dasawarsa yang lalu.

Dari negeri yang mengandalkan pertanian dan produk-produk utamanya untuk

ekspor menjadi negara agroindustri dan industrialisasi, pemerintah mencoba untuk

mengejar sukses yang telah dicapai beberapa negara industri baru di Asia (ASIAN

NIEs) dan Jepang. Menyadari akan kekayaan sumber daya alam dan dasar

pertanian yang kuat, pemerintah Thailand membuat agroindustri, industri

manufaktur dan industri jasa tumbuh secara simultan (serempak).

Pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang terjadi di Thailand disebabkan

oleh beberapa perubahan dalam kondisi dan praktek-praktek pertanian mereka

(Sriwatanapongse, 1997). Yang paling signifikan adalah terjadinya perubahan

keberadaan pertaniannya dari pertanian tradisional menuju pertanian yang

mempunyai pasar komersial, yang mendukung produksi pertanian yang mudah

dijual (cash crop) dan termasuk didalamnya ekspor beras. Pondasi ini mempunyai

pengaruh sangat kuat sehingga dapat merubah pandangan hidup masyarakat

tradisionil Thailand, dan selanjutnya perubahan ini dapat bersifat positif maupun

negatif.

Tabel 1. Sumbangan pertanian dalam ekonomi Thailand

Sumber :Thailand Development Research Institute, September 1995

Sebagai contoh seperti ditunjukkan pada Tabel 1, dapat memberikan suatu

gambaran kepada kita tentang pertanian dalam masyarakat yang pendapatan per

kapitanya meningkat. Meskipun, sebagian besar penduduk Thailand relatif masih

dalam taraf miskin dan ada gap yang lebar antara yang kaya dan miskin.

Masyarakat yang masuk dalam golongan miskin tersebut biasanya bekerja di

sektor pertanian yang rata-rata pendapatan perkapitanya dua kali di bawah

Year GDP GDP Agriculture Average Average

(%) (mil. Baht) Labour force income : income : all

(%) Agriculture workers

(Baht/year) (Baht/year)

1976* 30.00 97,135 70.00 3,450 7,580

1985 15.80 167,026 - 12,739 21,662

1990 12.70 279,268 - 13,564 29,560

1997*** 9.34 3,072,615 45.14 - 51,360

2001 10.15 3,776,160 56.00 32,120 79,100

Page 31: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 17

pendapatan rata-rata nasional (lihat Table 1). Namun demikian pendapatan per

kapita secara nasional meningkat dari 7,580 Baht per tahun (kira-kira US$ 300 )

pada tahun 1976 menjadi 21,662 Baht pada tahun 1986 dan 79,100 Baht (kira-kira

US$ 2,000 ) pada tahun 2001. Ini suatu indikator keberhasilan meningkatnya

standar hidup secara umum.

Tulisan ini mencoba menjelaskan perkembangan sistem inovasi agroindustri

yang ada di Thailand. Di dalam tulisan dijelaskan terjadinya perubahan pertanian

dari pertanian tradisional menuju pertanian yang mempunyai pasar komersial,

yang mendukung produksi pertanian yang mudah dijual (cash crop) dan termasuk

didalamnya ekspor produk-produk pertanian mereka. Disamping itu dianalisis

karakteristik Sistem Inovasi Sektoral yang meliputi kategori kelompok serta pelaku-

pelaku kunci di dalamnya; serta keterkaitan Sistem Inovasi Sektoral di Thailand.

SISTEM INOVASI AGROINDUSTRI (SIA) DI THAILAND

Produksi, Perdagangan dan Kompetisi Pertanian

Thailand mempunyai keanekaragaman yang luas akan produk pertanian.

Kebanyakan produk pertanian Thailand tidak hanya tanaman yang menghasilkan

tepung (sereal) seperti padi dan tapioka tetapi juga termasuk beberapa tanaman

untuk industri makanan, serta bermacam-macam produk pertanian yang dihasilkan

setiap tahunnya seperti kedelai, singkong, sampai tumbuh-tumbuhan hijau dan

tanaman lain seperti buah-buahan, karet, kelapa sawit dan tanaman untuk

kesehatan. Adanya keanekaragaman dari hasil pertanian, impor yang minim dan

daya saing yang tinggi, mendorong Pemerintah Thailand meluncurkan kampanye

Thailand sebagai “Dapur Dunia”, dan pemerintah menetapkan industri makanan

Thailand sebagai sektor industri strategis nasional.

Tabel 2. menunjukkan 10 (sepuluh) produk pertanian tertentu yang strategis

(product champions) dilihat dari sisi konsumen dan kompetitor utamanya.

Kesepuluh komodiats tersebut adalah beras, singkong, nanas, karet, gula, kelapa

sawit, kelengkeng, udang, ayam dan bunga anggrek. Kesepuluh produk pertanian

strategis tersebut berbeda secara alam, karakteristik maupun pasarnya. Produk-

produk unggulan ini memberikan kontribusi kurang lebih sekitar separuh terhadap

nilai ekspor sektor pertanian negara tersebut.

Hal ini berdasarkan pertimbangan peranannya dalam perekonomian

nasional antara lain ;

Sebagai sumber pendapatan (income) masyarakat,

Mempunyai daya saing kompetitif dalam perdagangan dunia

Tiga dari sepuluh komoditas, yakni padi, singkong dan udang atau dalam

bahasa Thai disebut "Khao Mun khung", telah lama menjadi prioritas dalam

pengembangan baik teknologi maupun pasarnya karena melibatkan sebagian

Page 32: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

18 Kebijakan Inovasi di Industri

besar bangsa Thailand sebagai sumber pendapatan dan negara menikmati

keunggulan kompetitif di pasar dunia, gambarannya sebagai berikut:

Beras yang terkenal produk beras dari Thailand adalah beras jenis jasmine,

yang mempunyai aroma yang khas dan harganya dua kali lipat dari beras jenis

yang lain

Singkong. Pangsa pasar singkong dari Thailand di pasar dunia mencapai

sekitar 80%

Udang. Thailand menempati ranking kedua sebagai pengekspor udang dunia.

Atau biasanya ketiga komoditas pertanian tersebut dalam bahasa aslinya

disebut “Khao Mun Khung”

Tabel 2. Perdagangan dan kompetisi dari produk pertanian tertentu Thailand

Sumber : Agriculture Economic Office, FAO and World trade Atlas

Menurut Marleba, ada dua dimensi yang berbeda hubungannya antara sisi

produk dengan teknologi dasar (Marleba, 2002). Dengan mengaplikasikan

segmentasi antara pasar dan teknologi dari Tidd, Bessant dan Pavitt maka untuk

produk pertanian tertentu, dapat dikategorikan produk-produk tersebut ke dalam

4 (empat) kelompok, yaitu; cash crop group, semi-monopoly/ value-added

(technological) group, niches (architectural) group dan energy security (complex)

2003 2004 2005

Beras 27.55/26.68 25.73/38.83 25.93/32.78

Singkong 6.06/87.13 7.40/89.60 5.50/84.45

Nanas 1.15/41.74 1.18/38.14 1.22/37.70

Karet 5.69/45.23 7.40/89.60 5.50/84.45

Kelapa sawit 19.68/1.12 21.19/1.23 23.02/0.91

Longan 0.36/80.00 0.455/80.00 0.569/80.00

Udang 1.34/12.00 1.54/15.60 1.56/16.00

Ayam 6.07/7.14 5.80/3.47 6.225/4.02

Anggrek 5.92/39.99 6.84/36.25 7.92/34.76 USA, Japan, Italia (cut flower)

Japan, Korea, USA (plants)

Gula 46.3/11.50 45.70/10.70 46.00/7.80

Malaysia, Singapore, Taiwan

Indonesia, Malaysia, China, Japan dan

Cambodia

Australia, Brazil, South Africa,

Guatemala

China, Vietnam, Indonesia, India,

Ecuador

USA, Japan, Canada, Singapore,

South Korea dan Australia (frozen)

USA, South Korea, Japan, Canada,

dan Australia (processed)

Japan, Europian Union, South Korea, Brazil, China dan USA

Kompetitor Utama

Malaysia, China, Myanmar Malaysia, Indonesia

China, Indonesia, Hong Kong,

Singapore, Malaysia, USA, France

Vietnam, China

USA, Australia, Vietnam, China,

Pakistan, Myanmar dan India

Nigeria, Brazil, Vietnam dan

Indonesia

Japan, China, Japan, USA (smoke),

Malaysia (latex), China, Japan, USA

dan South Korea (pallets)

Philippines, Indonesia dan China

Indonesia, Malaysia, Vietnam

Hong Kong, China, Malaysia, USA,

Canada, Iran, Irak, Saudi Arabia,

Ghana, Indonesia, Netherlands, Spain,

South Africa, Senegal, Singapore,

Nigeria, Cameroon European Union pallets dan chips),

Japan, Taiwan, dan China (starch &

modified starch)USA, European Union, Japan

(canned), Netherlands, USA dan Spain

(juice)

Produk

Pertanian

World Trade/Market Share

(million tons/percentage) Importir Utama

Page 33: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 19

group. Adapun segmentasi berdasarkan teknologi dan pasar tersebut untuk

produk pertanian tertentu di Thailand dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Segmentasi produk pertanian di Thailand berdasar teknologi dan

pasar

Secara umum, isu-isu pokok untuk produk pertanian dan agroindustri di

Thailand dapat dikategorikan dalam 5 (lima) area, yaitu:

Proporsi yang tinggi untuk impor barang-barang modal dalam industri dan

aktivitas proses pertanian

Persyaratan standarisasi produk

Mengurangi fluktuasi harga pasar untuk produk pertanian

Kebijakan publik (khususnya pada pengendalian dan struktur harga, land

reform, manajemen kredit petani, kuota dan sektor pembangunan) dan

Kualitas sumber daya manusia.

Karakteristik dari Sistem Inovasi Agroindustri (SIA) di Thailand

Pelaku-pelaku Kunci dalam Sistem Inovasi Agroindustri

Dengan mengikuti pendekatan sistem inovasi dari Freeman berdasarkan

fungsionalnya, pelaku-pelaku kunci dalam Sistem Inovasi Sektoral (SIS) di Thailand

tampaknya sama dengan yang lainnya. Namun jika dilihat secara seksama, untuk

Thailand ilustrasinya agak berbeda bentuknya. Dengan mengaplikasikan

mekanisme pengembangan SIP, perbedaan antara pelaku sektor pertanian di

Thailand terletak pada kelompok yang mempengaruhi (influencing agents) dan

kelompok yang memproduksi (producing agents).

Evolusi pertanian di Thailand secara keseluruhan berbeda dari sejarah

industrialisasi dan perusahaan produksi. Perubahan tersebut mengalami

perjuangan berat dari akar budaya, ekonomi dan politik dari kelas sosial yang ada

Page 34: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

20 Kebijakan Inovasi di Industri

di masyarakat. Keunikan antara pelaku kunci yang ada pada Sistem Inovasi

Agoindustri (SIA) Thailand adalah pada peran kearifan Raja yang berpengaruh dan

dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian terutama dalam

pembangunan kapasitas rakyatnya di daerah pedesaan, pada saat partai politik

dan lembaga swadaya masyrakat (LSM) perannya biasanya cenderung manipulatif

aturan ekonomi dan politik dalam sistem pertanian biasanya melalui proses

pemilihan umum dan lobi.

Pemain kunci yang lain dalam SIS Thailand adalah peran petani atau biasa

disebut peasant yang mana secara alami berbeda dari perusahaan swasta baik

dalam perkembangannya maupun dalam mengembangkan ekonominya. Maka

dapat disebutkan ada 6 (enam) pelaku/ aktor kunci dalam SIS Thailand yaitu,

kerajaan, pemerintah, partai politik, lemabga ilmu pengetahuan (universitas dan

organisasi riset dan teknologi, RTO), petani dan perusahaan.

Kelompok Pendukung (Supporting Agents)

Pemerintah

Kebijakan pertanian dalam pemerintahan ditangani oleh kementerian dalam

“Grade A” (level menteri), yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri

Industri dan Menteri Keuangan.

Universitas dan Lembaga Litbang (RTO)

Pendidikan untuk bidang pertanian telah berlangsung lama, dimulai sejak

tahun 1904. Universitas Kasetsart dan Majoe adalah universitas pertanian yang

cukup terkenal. Disamping itu adanya ARDA (Agriculture Research Development

Agency) sebagai manajemen investasi dan pembiayaan dan LCFA (Laboratory

Centre for Food and Agricultural Products Company Limited) sebagai competent

authorities di bawah Menteri Pertanian dan Koperasi (Ministry of Agriculture and

Cooperative, MAoC).

Kementerian yang menangani pertanian di atas tergabung dalam “Grade A”

dibantu oleh Menteri Sain dan Teknologi (Ministry of Science and Technology,

MOST) membentuk NSTDA (National Scince and Technology Development Agency)

untuk mengembangkan dan mempromosikan iptek, serta BIOTEC (National Centre

for Generic Engineering and Biotechnology). Dan dukungan terhadap sektor

pertanian di Thailand ditunjukkan dengan dukungan anggaran yang mana lebih

dari separuh bujet riset dialokasikan untuk kementerian MOST dan MAoC.

Kelompok Pengaruh (Influencing Agents)

Kerajaan

Raja sebagai personifikasi bangsa Thailand, serta komitmen dari raja untuk

membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik dan peran raja dalam proses

pembangunan politik yang cukup sulit

Page 35: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 21

Partai Politik

Dalam masyarakat pedesaan, para tengkulak (Kam Nan dan Phuyaiban)

sangat berpengaruh terhadap kehidupan petani. Partai Thai Rak Thai mengubah

model tersebut dalam bentuk kelembagaan yaitu partai politik, yang mana

diantara programnya adalah mengadakan bantuan kredit bagi petani dan adanya

skema bantuan kesehatan (seperti adanya bantuan 30 Baht per orang)

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

Perannya kritis sebagai “opinion leader” sekaligus mempunyai kekuatan lobi

dan politik.

Gambar 2. Mekanisme sistem inovasi agroindustri di Thailand

Kelompok Produksi (Producing Agents)

Petani

Struktur sosial dari masyarakat (petani) menganut system “patronase”,

sehingga sangat fleksibel namun sulit dalam hal toleransi, hal ini dipengaruhi

ajaran Budha

Koperasi

Gerakan koperasi diperkenalkan pada masa Raja RAMA VI pada tahun 1910.

Ada sekitar 1.500 buah koperasi pertanian di Thailand, namun perkembangannya

statis dan sangat lambat, dan bersifat top-down.

Perusahaan

Adanya aliansi yang saling menguntungkan antara politikus (pemerintah)

dan pengusaha Cina di luar negeri dalam bisnis komoditas pertanian dan pangan,

maka tidak mengherankan jika bisnis ini didominasi pengusaha Cina, sebagai

contoh Charoen Pokphand (CP) Grup menjadi perusahaan besar yang

perusahaannya ada diberbagai negara.

Page 36: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

22 Kebijakan Inovasi di Industri

Satu Daerah Satu Produk (One Tamboon One Product, OTOP)

Skema Satu Daerah Satu Produk berdasarkan pemikiran bahwa daerah atau

lokal mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk bersaing dalam pasar tingkat

nasional maupun internasional jika mempunyai satu produk yang unggul/ khusus

dengan menerapkan “high touch and high tech”.

Keterkaitan dalam Sistem Inovasi Sektoral di Thailand

Dalam Gambar 2 diilustrasikan secara sederhana keterkaitan antara pelaku-

pelaku kunci dalam SIA Thailand dengan menerapkan mekanisme SIP untuk

menganalisis interaksi yang cukup kompleks. Kelompok pendukung (supporting

agents) terdiri dari menteri-menteri terkait dan lembaga pemerintah di bidang ilmu

pengetahuan (universitas dan RTO). Kelompok pengaruh (influencing agents)

terdiri dari Raja, Partai Politik, dan LSM, sementara kelompok produksi kunci

adalah perusahaan dan petani. Tidak seperti kelemahan dan fragmentasi Sistem

Inovasi Nasional (National Innovation System, NIS) di Thailand, SIA tidak hanya

lemah dan terfragmentasi, itu sangat komplikasi. Dapat dibedakan dua subsistem

dalam SIA Thailand, yang pertama adalah subsistem inovasi bedasarkan

masyarakat (kerajaan, partai politik, petani, pemerintah dan RTO) dan subsistem

inovasi berdasarkan produksi (pendekatan system inovasi berdasarkan

fungsionalnya Freeman, yaitu perusahaan, pemerintah dan universitas).

Keterkaitan yang Mendukung

Dari tiadanya kebijakan dan strategi yang kongkret sampai sektor pertanian

ditangani oleh kementerian yang tergabung dalam “Grade A”.

3 (tiga) grup strategis yang penting meliputi aktivitas-aktivitas; daya saing

tinggi, daya saing rendah, dan yang mempunyai dampak besar dalam lingkup

nasional

Keterkaitan yang Saling Mempengaruhi

Raja, berperan dalam harmonisasi sosial, sebagai guru bagi masyarakat dan

petani

Partai Politik, untuk mendapatkan simpati dari masyarakat dengan

mengeluarkan kebijakan yang dapat bersifat populis

LSM, biasanya kritis terhadap kebijakan pemerintah dan berperan sebagai

leading opinion

Keterkaitan dalam Produksi

Kelompok tani (self-organising assembly), lemah peranannya dalam hal yag

krusial seperti peraturan yang kontroversial, lobi politik, perlindungan dan hak

petani

Koperasi, mendapatkan dana dari pemerintah

OTOP, beberapa anggotanya berhasil

Page 37: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 23

Keterkaitan antara petani dengan pemerintah

Pemerintah pada mulanya tidak terlalu terlibat dengan produksi, kemudian

mengintervensi melalui koperasi, kebijakan pemerintah dan subsidi

Masyarakat/ petani pada umumnya tidak familiar dengan perdagangan, lalu

pemerintah memanfaatkan pengusaha Cina yang berada di luar negeri untuk

pengembangan perdagangan ke luar negeri (ekspor).

Transformasi dari Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand

Ada dua konsep yang secara simultan ditingkatkan melalui kerjasama pelaku-

pelaku kunci dengan mengikuti keagungan raja yang mengembangkan filosofi

seperti yang telah disebutkan di atas. Ada “Teori Swasembada” (Self Sufficiency

Theory) dari kerajaan dan “Restrukturisasi Ekonomi menuju Ekonomi Berbasis Ilmu

Pengetahuan” (Economic Restructuring toward Knowledge Based Economy). Dua

konsep yang disebutkan tadi diperkenalkan oleh pemerintahan dari Thai Rak Thai

(TRT) pada waktu berkuasa menjadi “Kebijakan Ekonomi Dua Jalur” atau Dual Track

Economy Policy.

Kerajaan dan Teori Swasembada

Lebih dari tiga dasa warsa yang lalu, kerajaan secara terus menerus

mengingatkan rakyat Thailand melalui keterangan raja pada berbagai kesempatan

secara bertahap dengan pendekatan yang berimbang untuk pembangunan, yang

mana sekarang dikenal sebagai Pilosofi dari Ekonomi Swasembada. Pilosofi ini

memberikan petunjuk pada tingkah laku meliputi banyak aspek dalam kehidupan.

Menciptakan Nilai dalam Sistem Inovasi Agroindustri Thailand

Bioteknologi;

Revolusi dalam Agro-inovasi di Thailand

Teknologi Foresight;

Perubahan paradigma pada kebijakan teknologi dan perencanaan pada sektor

Agro-Bioteknologi

Inovasi Teknologi dalam Pertanian Agro-Bioteknologi

Tabel 3. Daftar lembaga yang berhubungan dengan riset bioteknologi

dalam komoditas tertentu

Komoditas Universitas dan Litbang

Beras BIOTEC, Kasetsart, University (KU), Rachamnkol University of Technology

(RUT), Lampang Campus, Rice Research Centre (Department of

Agriculture, Ministry of Agriculture and Cooperatives (MoAC), Asian

Institute of Technology (AIT), Khon Kaen University (KKU

Singkong BIOTEC, KU, Mahidol University(MU), dan King Mongkuts's University of

Technology Thonburi (KMUTT)

Udang BIOTEC, Prince of Songkla University (PSU), Department of Fishery

(MoAC), Burapha University (BU) Sumber : Chairatana, et al, 2003

Page 38: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

24 Kebijakan Inovasi di Industri

PENUTUP

Gagasan bahwa negara-negara Asia Tenggara harus meniru Thailand dan

membiarkan pertanian mengisi kesenjangan dalam pertumbuhan, terutama timbul

setelah krisis keuangan melanda kawasan ini di tahun 1990-an. Pertanian masih

memiliki peran penting dalam sebagian besar negara Asia Tenggara, terutama di

Thailand dan Vietnam, sebagian di Malaysia dan Indonesia, kecuali untuk negara

kota seperti Singapura yang sektor jasanya berkembang.

Uraian tentang Sistem Inovasi Sektoral Agroindustri yang diilustrasikan di atas

mencerminkan bagaimana keunikan dan pentingnya sektor tradisional yang

memberikan kontribusi untuk masyarakat Thailand dan pada saat yang sama

bertindak sebagai reservoir modal sosial untuk mesin pendorong transformasi

ekonomi dan sosial Thailand. Di Thailand, pertanian memberikan kontribusi sekitar

10 persen dari perekonomian nasional tetapi memberikan nafkah untuk setengah

dari populasi penduduk Thailand.

Dalam Sistem Inovasi Sektoral Agroindustri di Thailand terdapat paling sedikit

6 (enam) pelaku kunci yang sangat berperan dalam Sistem Inovasi Sektoral

Agroindustri di Thailand dalam 3 (tiga) kategori kelompok yaitu Kelpompok

Pendukung, terdiri dari pemerintah dan lemabga ilmu pengetahuan (universitas

dan organisasi riset dan teknologi, RTO); Kelompok Pengaruh terdiri dari kerajaan,

partai politik, serta Kelompok Produksi, terdiri dari petani dan perusahaan. Antara

pelaku-pelaku kunci tersebut ada keterkaitan yaitu keterkaitan yang mendukung,

keterkaitan yang saling mempengaruhi, keterkaitan dalam produksi serta

keterkaitan antara petani dengan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN Statistical Yearbook, 2003

Bello, W., Cunningham, S. and Li Kheng Poh, 1998. A Siamese Tragedy:

Development & Disintegration in Modern Thailand. London: Zed Books.

Bessant, J, 2003. High-Involvement Innovation: Building and Sustaining

Competitive Advantage Through Continuous Change. Chichester: Wiley &

Sons.

Chairatana, P.-A. and Bach Tan Sinh, 2003. Strategising Agro-Innovation System:

The Cases of Thailand and Vietnam. Paper presented at the 1st GLOBELICS

international conference. Rio de janeiro, Brazil.

Chairatana, P.-A. and Rachdawong, S, 2004. Future and Evolution of Thailand

Biotechnology Innovation System. Paper presented at the 1st ASIALICS

International Conference. Bangkok: JICA-NSTDA-KMUTT.

Chairatana, P.-A, 2004. A Survey on New Niche A eas in Biotechnology Related

Businesses in Thailand. Bangkok: JICA-KMUTT.

Page 39: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Sistem Inovasi Agroindustri di Thailand 25

Chamarik, S. and Goonatilake, S, 1994. Technological Independence: The Asian

Experience. Tokyo: UNU Press.

Chirayu Isarangkun Na Ayuthaya, 2004. National Competition - Essays on the

Application of His Majesty the King’s Sufficiency Economy Philosophy.

(Handout)

Cobbenhagen, J, 2000. Successful Innovation: Towards a New Theory for the

Management of Small and Medium-sized Enterprises. Cheltenham: Edward

Elgar.

Conway, G, 1997. The Doubly Green Revolution: Food for all in the 21st Century.

New York: Penguin Books.

Foss, N. J. and Klein, P. G. (eds.), 2002. Entrepreneurship and the Firm: Austrian

Perspective on Economic Organisation. Chichester: Edward Elgar.

Hossain, M, 1988. Credit Alleviation of Rural Poverty: the G ameen Bank in

Bangladesh, Washington D.C.: International Food Policy Research Institute

(IFPRI Research Report 65).

Ingemann, J. H, 1999. The Political Economy of Satiety and Sustainability –

evolutionary experience from Danish agriculture paper presented at the

conference on Towards a Sustainable Society in the New Millennium. Umea,

Sweden.

Intarakamnerd, P, 2005. The Roles of Intermediaries in Clusters: The Thai

Experiences in High-tech and Community-based Clusters, Asian Journal of

Technology Innovation Vol. 13 (2).

Jain, P. S, 1996. Managing credit for the rural poor: lessons from the Grameen

Bank. Wor d Development, 24, 79-89.

Johnston, R, 1998. Water Supply and Management in the APEC Region, paper

prepared for the APEC Technology Foresight Centre Expert’s Workshop on The

Water Supply and Management. Hua Hin, Thailand.

Malerba, F, 2002a. Sectoral systems of innovation and production. Research Policy.

Vol. 31, (2) February 2002.

Malerba, F, 2002b. New Challenges for Sectoral Systems of Innovation in Europe.

Paper presented at DRUID Summer Conference 2002 on Industrial Dynamics

of New and Old Economy who is embracing whom? Copenhagen, Denmark, 6-

8 June 2002.

Mansell, R. and Steinmueller, W. E, 2000. Mobilizing the Information Society,

Oxford: Oxford University Press.

Martin, B. and Johnston, R, 1999. Technology foresight for wiring up the national

innovation system: experiences in Britain, Australia and New Zealand.

Technological Forecasting & Social Change, 60(1) January 1999, 37-54.

McKelvey, M. and Orsenigo, L, 2001. Pharmaceuticals as a Sectoral Innovation

System. Paper prepared for the ESSY Project (European Sectoral Systems of

Innovation).

Page 40: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

26 Kebijakan Inovasi di Industri

Missingham, B. D, 2003. The Assembly of The Poor in Thailand: From Local

Struggles to National Pro est Movement. Chiang Mai, Thailand: SilkWorm

Books.

Morris-Suzuki, T, 1994. The Technological Transformation of Japan: From the

Seventeenth to the Twenty-first Centu y. Cambridge: Cambridge University

Press.

Mulder, N, 1997. Thai Images: The Culture of the Pubic World. Chiang Mai:

Silkworm.

Nartsupha, C. (Thai ed.), 1984. The Thai Village Economy in The Past, Pasuk

Phongpaichit and Chris Baker (English eds.) (1999). Chiang Mai, Thailand:

SilkWorm Books.

Pansak Vinyaratn, 2003. Asia finds its own way: The Thai roadmap. Asia Times, 30

May, www.atimes.com/atimes/southeast_asia/ee30ae02.html.

Pavitt, K, 2003. Specialisation and Systems Integration: Where Manufacture and

Services Still Meet. In Principe, A., Davies, A. and Hobday, M. (eds.) The

Business of System Integration.Oxford: OUP, 2003, pp. 78-91.

Phongpaichit, P., and Baker, C, 1997. Thailand Economy and politics, Oxford:

Oxford University Press.

Phongpaichit, P., and Baker, C, 1998. Thailand’s Boom and Bust. Chiang Mai,

Thailand: Silkworm Books.

Phongpaichit, P., and Piriyarangsan, 1994. Corruption & Democracy in Thailand,

Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books.

FAO, State of Food and Agriculture (SOFA), various issues.

Sriwatanapongse, S, 1997. The Role of Science and Technology in Thailand’s

Agriculture Sector. In Youngyuth Yuthavong and Angela M. Wojcik (eds.)

Science and Technology in Thailand: Lessons from a Developing Economy.

Bangkok, Thailand: UNESCO-NSTDA Publications.

Thailand Development Research Institute (TDRI), 1993. Thailand Economic Toolkit.

Bangkok.

Tidd, J., Bessant, J. and Pavitt, K, 1997. Managing Innovation: Integrating

technological, market and organizational change. 1st edition. Chichester: John

Wiley & Sons.

Page 41: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

ANALISIS KEBIJAKAN KLASTER INOVASI

DI INDUSTRI KELAPA SAWIT

A. Husni Y. Rosadi

ABSTRACT Every country has attempted in transformation to be a knowledge base economy and

society. One way to make transformation is innovation cluster. Successful innovation

cluster is indicated with close interaction among the entities within the cluster and

their knowledge exchange. To strengthen the cluster and its interaction necessary

policy support. Government has a role to make policy to strengthen and facilitate

innovation cluster. This paper describes how the policy initiatives that can strengthen

the innovation cluster of oil palm by considering many aspects of the policy. The

method used is the method of policy analysis, i.e. the policy cycle approach. The

results show that the innovation cluster components in the palm oil industry in

Indonesia has been already, but still not optimal. The policies were still partial, and

only issued by sectoral institutional and not integrated. Therefore, it is necessary to

propose a policy initiative that involves all stakeholders, to issue a joint policy to

encourage the upgrading of palm oil cluster innovation.

Keywords : innovation cluster, policy initiatives, oil palm industry

ABSTRAK Setiap negara telah berusaha untuk melakukan transformasi menjadi negara dengan

kekuatan ekonomi dan masyarakat yang berbasis pengetahuan. Salah satu cara

transformasi tersebut adalah dengan menerapkan klaster inovasi. Klaster inovasi

yang sukses ditandai dengan interaksi yang erat antara entitas dalam klaster dan

pertukaran pengetahuan diantara mereka. Untuk memperkuat klaster dan

interaksinya diperlukan dukungan kebijakan. Pemerintah memiliki peran membuat

kebijakan dalam memperkuat klaster inovasi. Makalah ini memaparkan bagaimana

inisiatif kebijakan yang dapat memperkuat klaster inovasi kelapa sawit. Metode yang

digunakan adalah metode analisis kebijakan, dengan pendekatan siklus kebijakan.

Hasil kajian menunjukkan bahwa komponen klaster inovasi di industri kelapa sawit di

Indonesia relatif sudah ada meskipun belum optimal. Kebijakan masih bersifat parsial

yang hanya dikeluarkan oleh institusi sektoral dan belum terintegrasi. Oleh karena

itu, perlu diusulkan kebijakan yang mampu melibatkan seluruh pemangku kebijakan

untuk mengeluarkan kebijakan bersama, yang mampu mendorong peningkatan

kemampuan klaster inovasi kelapa sawit.

Kata kunci: kluster inovasi, inisiatif kebijakan, industri kelapa sawit

Page 42: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

28 Kebijakan Inovasi di Industri

PENDAHULUAN

Kajian kebijakan inovasi dapat didekati dari beberapa pendekatan. Ada

pendekatan yang lebih berorientasi kepada industri sebagai bagian inti dalam

pengembangan inovasi (Porter, 1992; Porter dan Stern, 2002). Selain itu, terdapat

juga pendekatan yang lebih menekankan kepada sistem dan lingkungan yang

kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya inovasi (Arnold dan Kuhlman., 2001;

Lundvall, 1992; Albright, 2007; APCTT, 2009).

Pendekatan pertama melihat perusahaan dan industri adalah tempat

tumbuhnya inovasi secara nyata. Sehingga akumulasi inovasi dari berbagai

perusahaan dan industri dalam suatu negara adalah hasil inovasi dari negara

tersebut. Sementara pendekatan kedua, melihat bahwa inovasi di industri akan

berkembang apabila ada sistem dan lingkungan kondusif dalam suatu negara

yang memungkinkan inovasi tumbuh. Secara umum kedua pendekatan tersebut

sangat bersinggungan. Pendekatan pertama fokus kepada industri dengan

memperhatikan lingkungan tumbuhnya inovasi dan bagaimana keterkaitan

diantara mereka, sementara pendekatan kedua fokus kepada sistem secara umum,

dengan industri menjadi salah satu komponennya, serta memperhatikan

bagaimana interaksi diantara komponen-komponen tersebut.

Dalam unit analisis, pendekatan kedua lebih menekankan bagaimana

tumbuhnya inovasi dalam suatu sistem yang utuh melalui interkasi antara pelaku

penghasil teknologi (lembaga litbang dan perguruan tinggi) dan pengguna

teknologi (industri). Hubungan tersebut sering juga melibatkan lembaga

intermediasi sebagai penghubung diantara keduanya. Selain itu, pelaku dan

interaksi tersebut juga memerlukan dukungan dari pasar (pengguna produk),

sistem politik, infrastruktur pendukung serta framework condition yang berupa

dukungan kebijakan (Arnold dan Kuhlman, 2001).

Pada pendekatan pertama, tumbuhnya inovasi di industri, salah satunya

adalah dengan membangun klaster industri, yang kemudian sebagian diantaranya

lebih cenderung dikelompokkan dalam klaster inovasi. Klaster industri secara

generik merupakan kelompok industri spesifik (terdiri dari industri inti, industri

pemasok, industri pendukung, industri terkait, institusi pendukung dan pembeli)

yang dihubungkan oleh jaringan mata rantai proses penciptaan/ peningkatan nilai

tambah, baik melalui hubungan bisnis maupun non-bisnis (Porter, 1992, 1998;

Davis et al., 2006).

Klaster inovasi merupakan suatu klaster yang lebih menekankan kepada

tumbuhnya inovasi di industri melalui adopsi teknologi, penggunaan sistem dan

praktek kegiatan industri yang lebih canggih yang menghasilkan produk dengan

daur hidup yang pendek (Russell dan Schneiderheinze, 2005; Gordon dan McCann,

2003). Klaster inovasi berkembang karena adanya perkembangan teknologi yang

cepat yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga riset, dimana teknologi tersebut

terkonsentrasi dan menjadi bagian dari suatu negara (Fallah dan Ibrahim, 2004).

Page 43: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 29

Sains, teknologi dan inovasi merupakan indikator yang berkontribusi dalam

menyebarkan peran nyata dalam kehidupan dan menerapkan pengetahuan dalam

perekonomian (Davis et al., 2006).

Klaster inovasi adalah upaya untuk meningkatkan daya saing internasional dan

menumbuhkan inovasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan (Arthurs et al., 2009).

Dalam klaster inovasi, interaksi antar masing-masing entitas (pelaku klaster)

bertujuan untuk menghasilkan inovasi di industri. Oleh karena itu, kebijakan yang

dihasilkan harus mendukung bagaimana memperkuat interaksi antar entitas,

sehingga inovasi di industri dapat tumbuh.

Dengan memperhatikan, bahwa klaster inovasi dapat mendorong tumbuhnya

inovasi di industri, maka industri-industri yang memiliki prospek ekonomi yang

besar diharapakan dapat berada dalam klaster inovasi. Dari berbagai industri yang

ada di Indonesia, industri kelapa sawit merupakan industri yang sangat prospektif.

Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan

produksi CPO sekitar 19,4 juta ton pada tahun 2009 (ICN, 2010), dengan

melibatkan sekitar 46 industri besar dan menampung lebih dari 4 juta tenaga kerja,

di luar 2 juta kepala keluarga yang menjadi petani plasma (Widodo et al., 2010).

Selain itu, inovasi di industri kelapa sawit sudah berkembang dengan baik,

terutama dengan adanya PPKS sebagai lembaga riset kelapa sawit terbesar di

Indonesia dan dukungan asosiasi industri, asosiasi riset dan perguruan tinggi.

Tetapi apakah klaster inovasi kelapa sawit di Indonesia mungkin untuk terbentuk

dan berkembang? Kajian di bawah akan memaparkan mengenai prasyarat untuk

tumbuhnya klaster inovasi kelapa sawit dengan mengulas karakteristik pelaku

klaster dan kebijakan apa yang telah ada yang memungkinkan klaster inovasi

terbentuk dan berkembang.

LANDASAN TEORI: KLASTER INOVASI KELAPA SAWIT

Klaster industri menurut Porter (Porter, 1992, 1998) adalah kelompok industri

spesifik (terdiri dari industri inti, industri pemasok, industri pendukung, industri

terkait, institusi pendukung dan pembeli) yang dihubungkan oleh jaringan mata

rantai proses penciptaan/ peningkatan nilai tambah, baik melalui hubungan bisnis

maupun non-bisnis. Dalam klaster industri, industri inti merupakan industri yang

menjadi fokus perhatian dan biasanya dijadikan titik sentral. Industri inti dapat

mendorong industri lainnya untuk tumbuh dan maju, dan memiliki kemampuan

inovasi.

Berbeda dari klaster industri secara umum, klaster inovasi yang dipopulerkan

oleh Schumpeter (DeBresson dan Hu, 1999) merupakan pergantian paradigma dari

ekonomi berbasis produk menjadi ekonomi berbasis pengetahuan melalui inovasi

terdepan (Crapuchettes, 2008) dalam bidang pengembangan teknologi dan

kewirausahaan (European Commission, 2014). Klaster inovasi lebih menekankan

Page 44: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

30 Kebijakan Inovasi di Industri

kepada tumbuhnya inovasi di industri dalam klaster melalui adopsi teknologi,

penggunaan sistem dan praktek kegiatan industri yang lebih canggih (Beker, 2008;

Russell dan Schneiderheinze, 2005).

Seperti halnya klaster industri, klaster inovasi juga merupakan jalinan

(linkages), interaksi, hubungan (relationship) serta mengekploitasi sinergi baik

dalam lingkungan lokal maupun regional dan berorientasi kepada peluang pasar

nyata serta bekerjasama dengan klaster lainnya untuk mendorong inovasi secara

terbuka (Aho et al., 2008).

Jalinan kerjasama dalam klaster inovasi bukan hanya menjadi perhatian daerah

atau negara saja, tetapi juga menjadi perhatian kelompok negara, seperti di Uni

Eropa. Uni Eropa menganggap bahwa mereka memiliki peringkat yang tinggi

dalam kualitas institusi dan berbagai faktor kondisi, tetapi lemah dalam

kemampuan memobilisasi input-input tersebut melalui kewirausahaan,

pembentukan usaha baru dan pembaharuan (European Commission, 2014). Oleh

karena itu, klaster dapat berperan penting dalam dalam meningkatkan nilai

perusahaan dalam bidang ekonomi (Ketels dan Sölvell, 2006).

Dalam pengembangan klaster, klaster dapat diperkuat melalui peningkatan

kesadaran diantara para entitas dan organisasi dalam klaster. Hal tersebut karena

setiap entitas memiliki peluang untuk berkembang dan memiliki keterkaitan

dengan lainnya. Meskipun industri inti (anchor companies) berperan lebih besar

dalam mendorong pengembangan klaster (Porter, tanpa tahun).

Secara umum berkembangnya klaster inovasi di suatu negara/ daerah sangat

ditentukan oleh entitas utama yang menjadi pendukungnya dan kapabilitas inovasi

dari entitas tersebut. Di beberapa negara dengan klaster inovasi yang berkembang

(Hsien-Chun, 2003; Serra, 2000; Bortagaray dan Tiffin, 2000; Ketels dan Sölvell,

2006, Arthurs et al., 2009; Dan, 2012), entitas utama dalam klaster inovasi adalah

adanya lembaga riset (knowledge center), unit pendorong inovasi (innovation

bussiness unit dan professional service institution), industri/ perusahaan (sebagai

pengguna hasil inovasi) dan pemerintah (selaku pembuat kebijakan). Knowledge

center diantaranya adalah Lembaga Riset Pemerintah maupun swasta, Perguruan

Tinggi, Lab. Pengembangan, Lab. Uji Mutu dan lainnya. Unit pendorong inovasi

atau innovation bussiness unit dan professional service institution diantaranya

seperti inkubator teknologi, pusat pengembangan teknologi, institusi pemasar

teknologi, lembaga manajemen, dan lembaga pendanaan (modal ventura,

perbankan, lembaga penyalur kredit lunak pemerintah, dan lainnya).

Di Asia Tenggara, pengembangan klaster inovasi juga banyak dilakukan. Di

Malaysia dan Brunei misalnya, klaster inovasi yang mereka namakan sebagai

klaster pengetahuan (knowledge cluster) sudah menjadi bagian dari strategi

pengembangan negara mereka. Klaster ini diarahkan untuk menjadikan mereka

sebagai negara dengan ekonomi berbasis pengetahuan, yang diantaranya dengan

membangun Klaster Pengetahuan Koridor Penang dan Multimedia Super Corridor

Page 45: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 31

– MSC Cyberjaya (Affif et al., 2014). Begitu juga dengan Singapura yang

mengembangkan R&D cluster, sebagai model dalam pengembangan industri di

Singapura (negara kota) untuk menjadikan mereka sebagai simpul pengembangan

R&D (The Economist Intelligence Unit, 2011).

Pengembangan klaster inovasi kelapa sawit relatif masih terbatas. Malaysia,

dengan sejarah kelapa sawit yang lebih lama, merupakan contoh yang baik dalam

mengembangkan klaster kelapa sawit. Meskipun tidak dinamai sebagai klaster

inovasi, tetapi jalinan kerjasama diantara para pelaku klaster kelapa sawit sudah

melakukan alih pengetahuan dan inovasi diantara mereka (Martin, 2009). Ada tiga

bentuk jaringan antar pelaku klaster yang menumbuhkan inovasi di industri kelapa

sawit di Malaysia, yaitu jaringan kreatif (creative networks), jaringan transformasi

(transformation networks) dan jaringan proses (process networks). Jaringan

kerjasama tersebut dalam bentuk partner bisnis seperti dalam pengembangan

nutraceutical antara MPOB (Malaysian Palm Oil Boards) dengan Procter and

Gamble, Johnson & Johnson, Unilever, Novartis dan Monsanto atau dalam

pengembangan gremplasma antara Advanced Biothechnology and Breeding Center

(ABBC) dengan Orion Genomics dari Amerika Serikat (Martin, 2009).

Di Indonesia, klaster inovasi apalagi klaster inovasi kelapa sawit masih belum

dinyatakan secara eksplisit. Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah-RPJMN (Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010) dan Kebijakan Industri

Nasional – KIN (Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008) telah menetapkan industri

kelapa sawit sebagai klaster industri prioritas. Meskipun tidak dinamakan klaster

inovasi, tetapi dengan memperhatikan keterkaitan antara industri yang

mendorong tumbuhnya inovasi, dimana setiap pelaku yang terlibat secara nyata

melakukan akumulasi peningkatan teknologi, maka secara implisit para pelaku

tersebut membentuk klaster inovasi.

Interaksi diantara pelaku industri kelapa sawit, terutama di sektor hulu telah

terjalin dengan baik dan dilakukan secara intensif, seperti antara PPKS (Pusat

Penelitian Kelapa Sawit), PT. Socfin Indonesia dan PT. London Sumatera Indonesia,

Tbk. Meskipun untuk beberapa pelaku lainnya seperti PT. Dami Mas, PT. Tunggal

Yunus Estate (Asian Agro Group), PT. Bina Sawit Makmur dan PT. Tania Selatan

relatif masih lemah (Sugiyono et al., 2007).

METODOLOGI

Penelitian yang dilakukan dalam makalah ini berkaitan dengan kebijakan

publik, terutama kebijakan untuk mendorong inovasi di industri. Berbagai analisis

kebijakan publik dengan berbagai pendekatan. Pendekatan yang sering digunakan

adalah pendekatan siklus kebijakan (policy cycle), yang dipelopori oleh Lasswell

(1956), dan kemudian dikembangkan oleh Anderson (1975), Jenkins (1978), Dunn

(1994) dan lainnya. Ada lima fasa dalam siklus atau proses pembuatan kebijakan,

Page 46: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

32 Kebijakan Inovasi di Industri

yaitu: penentuan agenda (agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation),

adopsi kebijakan (policy adoption), penerapan kebijakan (policy implementation)

dan kajian kebijakan (policy assessment) atau evaluasi dan penghentian (evaluation

and termination). Proses kebijakan tersebut lebih bersifat preskritif dan normative

dan bukan deskriptif dan analitik (Jann dan Wegrich, 2007). Oleh karena itu, proses

atau fasa tersebut bukanlah sesuatu yang kaku dan pasti, tetapi lebih merupakan

suatu formula untuk memudahkan dalam perumusan kebijakan.

a. Penentuan agenda (agenda setting) adalah menentukan dan mendefinisikan

masalah yang ada di masyarakat yang memerlukan dukungan kebijakan.

Panentuan agenda pada intinya merujuk pada kegiatan mengeksplorasi

berbagai isu-isu atau masalah-masalah dalam industri kelapa sawit dan

kemudian menetapkan satu masalah yang akan menjadi fokus analisis

kebijakan. Setelah masalah kebijakan didefinisikan, maka langkah selanjutnya

adalah mencari penyebab yang menimbulkan masalah tersebut

b. Formulasi kebijakan adalah upaya untuk merformulasikan berbagai alternative

kebijakan yang mampu menjawab permasalahan dalam penentuan agenda.

Alternative kebijakan dapat diperoleh dari kebijakan yang telah ada,

keputusan penentu kebijakan, keputusan pengadilan, inisatif legislative,

usulan masyarakat, dan lainnya. Dari berbagai alternative kebijakan, maka

dipilih beberapa kebijakan yang memiliki tingkat adopsi dan kemampuan

untuk memecahkan persoalan yang paling optimal. Formulasi kebijakan

menyertakan tentang bentuk kebijakan, mekanisme pelaksanaan dan siapa

pelaksananya.

c. Adopsi kebijakan, adalah alternative kebijakan yang dipilih kemudian diadopsi

atau diterima untuk dijadikan kebijakan paling tepat oleh penentu kebijakan

(pemerintah pusat/ daerah dan atau lembaga legislative).

d. Implementasi kebijakan, merupakan penerapan kebijakan di masyarakat, yang

perlu diujicoba lebih dahulu. Ujicoba dapat dilakukan melalui pembahasan

antar instansi dan instutusi serta ujicoba ke masyakarat (public) melalui

berbagai media. Jika tingkat penerimaan masyarakat tinggi, maka alternative

kebijakan tersebut dapat ditetapkan sebagai kebijakan.

e. Evaluasi kebijakan, dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui apakah

kebijakan tersebut efektif untuk memecahkan masalah. Evaluasi dikalukan

terhadap masyarakat yang menerima dampak kebijakan dan mekanisme

pelaksanaan kebijakan. Hasil evaluasi digunakan untuk menilai apakah

kebijakan tersebut dapat diteruskan atau perlu diganti dengan kebijakan baru.

Data yang diperlukan untuk makalah ini adalah data mengenai kondisi dan

kebijakan klaster industri dan inovasi. Data merupakan data sekunder yang

diperoleh melalui kajian litaratur dari berbagai sumber. Untuk mengetahui apakah

kebijakan yang ada merupakan kebijakan yang terintegrasi, maka dilakukan

analisis. Karena penelitian merupakan analisis dan kajian kebijakan, maka makalah

Page 47: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 33

ini hanya membahas mengenai dua hal pertama, yaitu penentuan agenda dan

formulasi kebijakan. Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai kondisi atau

karakteristik pelaku klaster inovasi kepala sawit, sebagai bagian dalam penentuan

agenda, serta beberapa alternative kebijakan (kebijakan yang ada dan kebijakan

yang diperlukan) sebagai bagian dari formulasi kebijakan. Proses lainnya (adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan) dilakukan oleh penentu

kebijakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pelaku Klaster Inovasi Kelapa Sawit

Elemen utama dalam klaster inovasi kelapa sawit pada dasarnya adalah: (1)

industri inti, dalam hal ini adalah industri pengolah kelapa sawit dan produk

turunannya, yaitu industri yang didorong setiap saat melakukan inovasi. (2) industri

pendukung untuk industri pengolah kelapa sawit yaitu industri penyedia bahan

baku, industri mesin dan peralatan, industri kimia, industri penyedia jasa desain

dan rekayasa, dan industri lainnya; dan (3) lembaga litbang atau (R&D).

1. Industri inti

Industri inti dalam klaster inovasi ini adalah industri pengolah kelapa sawit dari

crude palm oil (CPO) dan produk turunannya. Produk-produk olahan minyak sawit

yang dipasarkan atau dikonsumsi di Indonesia, secara umum terdiri dari produk

konsumsi (terutama minyak goreng dan margarine), produk kebutuhan sehari-hari

yang dihasilkan dari produk oleokimia (seperti sabun, deterjen, kosmetika, dan

bahan pelunak, dan lainnya) serta produk untuk kebutuhan energy, seperti

biodiesel, oli dan lainnya (KRT, 2005). Minyak sawit banyak digunakan terutama

sebagian besar (sekitar 90%) untuk industri pangan, seperti minyak goreng dan

margarin dan sisanya untuk industri non pangan, seperti sabun, biodiesel,

oleokimia dan lainnya (CIC, 2004).

Teknologi yang digunakan oleh industri pengolahan kelapa sawit menjadi

produk-produk hilir menggunakan teknologi dari luar negeri, seperti dari Jerman,

Australia, Jepang, dan sebagainya. Teknologi-teknologi tersebut diadopsi oleh

berbagai perusahaan pembuat produk turunan minyak sawit di Indonesia (CIC,

2003).

Secara umum, industri pengolah kelapa sawit di Indonesia sebagian besar

adalah perusahaan besar yang sudah mapan, bahkan beberapa diantaranya adalah

anak perusahaan dari suatu kelompok konglomerat yang besar (CIC, 2004). Sedikit

sekali, pelaku industri adalah industri baru yang masih atau berasal dari spin-off

lembaga litbang atau unversitas. Padahal spin-off merupakan salah satu cara untuk

menunjukkan kemampuan inovasi (Rogers, 1988).

Page 48: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

34 Kebijakan Inovasi di Industri

Karena elemen utama adalah perusahaan-perusahaan yang sudah mapan,

maka inovasi sangat tergantung kepada budaya inovasi di perusahaan induknya.

Inovasi yang dilakukan oleh perusahaan besar hampir didominasi inovasi produk,

karena teknologi proses yang digunakan pada umumnya diperoleh dengan cara

membeli dari pembuat instalasi pemrosesan yang sudah mapan. Padahal daya

saing perusahaan sangat tergantung kepada kemampuan untuk menerapkan

pengetahuan dan teknologi dalam produk dan proses produksi (Roelandt et al.,

2000). Walaupun demikian, terdapat juga pabrik pengolahan kelapa sawit yang

dikembangkan lembaga litbang, seperti pabrik pengolahan bio-diesel yang

dikembangkan oleh BPPT, meskipun produksinya baru mencapai tiga ton perhari

dan diarahkan untuk mencapai 30.000 ton/tahun (BPPT, 2009).

Industri inti dalam klaster inovasi umumnya diinisiasi oleh industri baru

sebagai embrio pusat riset universitas; melibatkan perusahaan yang sudah mapan

sebagai pendorong untuk meningkatkan kemampuan inovasi; adanya budaya

menghasilkan inovasi yang berlangsung tanpa henti; keberanian mengambil resiko

(risk-taking) dari para entrepreneur-nya; kondisi persaingan yang sehat, tidak

didominasi oleh ras tertentu tetapi terjadi sebaran etnis, serta kondisi lainnya; serta

adanya lembaga litbang dan perguruan tinggi yang mendukung secara intensif

(Fallah dan Ibrahim, 2004; Hsien-Chun, 2003; Serra, 2000; Bappenas, 2005). Di

Indonesia, industri inti umumnya adalah industri besar yang berafiliasi kepada

kelompok konglomerat.

Budaya menghasilkan inovasi menjadi keharusan bagi industri, termasuk

industri hilir kelapa sawit. Inovasi tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang

berbasis lembaga litbang, tetapi juga oleh industri yang merupakan anak

perusahaan dari konglomerat. Hal tersebut terjadi karena persaingan produk

turunan minyak sawit sangat ketat. Kemampuan bersaing adalah kemampuan

untuk memberikan nilai tambah, yang hanya terjadi apabila dilakukan inovasi.

2. Industri pendukung

Industri pendukung untuk industri pengolah kelapa sawit adalah industri

penyedia bahan baku, industri mesin dan peralatan, industri kimia, industri

penyedia jasa desain dan engineering, serta industri lainnya. Industri penyedia

bahan baku, adalah perkebunan kelapa sawit. Dalam perkebunan kelapa sawit,

paling tidak ada empat hal yang berperan, yaitu penyediaan lahan, bibit, budidaya

serta pemanenan dan pasca panen.

Untuk meningkatnya produktivitas lahan, penyediaan areal lahan dapat

dilakukan dengan inovasi teknologi. Inovasi teknologi dilakukan diantaranya dalam

menentukan dan memetakan lahan yang sesuai untuk setiap jenis varietas kelapa

sawit, sehingga diperoleh produktivitas lahan yang tinggi (PPKS, 2000a).

Inovasi teknologi juga dilakukan dalam penyediaan bibit tanaman dari

berbagai kultivar unggul, untuk menghasilkan produksi TBS (tandan buah segar)

Page 49: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 35

yang tinggi, memiliki rendemen minyak yang tinggi, tahan berbagai hama dan

penyakit serta mudah dalam pemeliharaannya (PPKS, 1997, 2000b; Tim Pengelola

Rusnas Hulu Kelapa Sawit, 2006). Bibit unggul nasional kelapa sawit telah

dikembangkan melalui berbagai inovasi seperti kultur jaringan oleh Pusat

Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, PT. Sucofindo, PT. Sumatera Plantation, PT

Sampurna Agro, dan lainnya, sekitar 147 juta bibit (setara 700 ribu ha) per tahun.

Inovasi teknologi juga dilakukan dalam budidaya serta pasca panen. Inovasi

dalam budidaya seperti dalam pemuliaan tanaman dan pemupukan untuk

menghasilkan tanaman dengan produktivitas lahan dan mutu minyak yang tinggi.

Inovasi teknologi dalam pengendaliaan hama bertujuan untuk mengendalikan

hama dan penyakit yang menyerang tanaman kelapa sawit, baik yang disebabkan

oleh virus, bakteri, jamur maupun serangga. Inovasi tersebut dilakukan melalui

perkayaan dan pertukaran plasma nutfah dengan pusat penelitian dalam dan luar

negeri, pemanfaatan hibridisasi, mixed farming, sistem pengendalian hama terpadu

dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan (PPKS, 1997, 1999, 2000c). Inovasi

teknologi panen dan pasca panen bertujuan untuk mempertahankan rendemen

minyak yang ada dalam TBS serta meningkatkan produktivitas hasil panen (PPKS,

1997).

Untuk industri penyedia mesin dan peralatan, sampai saat ini teknologi yang

banyak digunakan masih menggunakan teknologi dari luar negeri. Meskipun

demikian, di Indonesia sudah terdapat banyak industri peralatan yang bisa

membuat mesin untuk pabrik (skala besar), misalnya PT. Indo Laval memproduksi

mesin air tank, heat exchanger, dissolution tank, steam dryer dan Jacket Pan, PT.

Bukaka Teknik Utama memproduksi container, PT. Indonesia Marine memproduksi

boiler, PT. Pupuk Kaltim, PT. Pupuk Iskandar Muda dan PT. Boma Bisma

memproduksi dissolution tank dan heat exchanger serta masih banyak lagi.

Meskipun demikian, masih terdapat kendala dalam memproduksi dalam skala

yang besar, karea investor lebih mempercayai produk peralatan (mesin) dari luar

negeri.

Peralatan untuk industri hilir kelapa sawit pada umumnya menggunakan

bahan stainless steel kualitas tinggi. Dan sebagian besar stainless steel tersebut

masih impor. Selain itu, industri permesinan yang ada di Indonesia masih

memproduksi mesin secara umum dan tidak terlalu spesifik. Misalnya belum ada

industri yang memproduksi mesin khusus untuk pengolahan kelapa sawit menjadi

CPO dan produk turunannya. Selain itu, karena perusahaan penghasil peralatan

produksi tersebut sebagian besar adalah anak perusahaan dari perusahaan asing,

maka inovasi teknologi dilakukan di negara asalnya (headquarter).

3. Lembaga Litbang

Kontribusi lembaga riset dalam pengembangan produk-produk hilir kelapa

sawit masih sangat kecil. Belum ada suatu sistem penelitian nasional yang

Page 50: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

36 Kebijakan Inovasi di Industri

mendukung pengembangan industri hilir kelapa sawit secara strategis, terencana

dan berkesinambungan. Program penelitian yang sudah dilakukan belum

terinventarisasi dengan lengkap, sehingga aspek apa saja yang sudah dilakukan

dan mana yang perlu untuk segera dilakukan belum diketahui dengan pasti. Selain

itu, penelitian yang telah dilakukan seperti Riset Unggulan Strategis Nasional

(Rusnas) kelapa sawit pada umumnya masih dalam skala lab, dan belum sampai ke

skala komersial. Walaupun sudah cukup banyak penelitian di perguruan tinggi

maupun litbang, namun hasil-hasil riset tersebut belum tuntas dan belum banyak

dimanfaatkan secara komersial (Tim Pengelola Rusnas Hulu Kelapa Sawit, 2006).

Lembaga penelitian di Indonesia pada umumnya dapat dikelompokkan dalam

tiga kategori, yaitu lembaga penelitian pemerintah (kementerian dan non-

kementerian), lembaga penelitian universitas dan lembaga penelitian perusahaan.

Lembaga penelitian pemerintah yang banyak terlibat dalam penelitian kelapa sawit

adalah PPKS Medan, LIPI, BPPT, Lemigas dan Balai Besar Selulosa. Lembaga

penelitian universitas adalah lembaga penelitian yang ada di perguruan tinggi

yang melakukan penelitian kelapa sawit, seperti IPB, ITB, UGM, USU, Universitas

Syiah Kuala, Unila, dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Sementara itu, lembaga

penelitian perusahaan, merupakan salah satu divisi dari perusahaan, seperti PT.

Sucofindo, PT. Sumatera Plantation, dan PT Sampoerno Agro.

Inovasi teknologi yang dilakukan oleh beberapa lembaga litbang baik

pemerintah, perguruan tinggi maupun industri bervariasi, dari mulai on-farm

seperti penyediaan bibit, teknik budidaya, penanggulangan hama, teknologi panen

dan pasca panen, sampai kegiatan off-farm seperti pengolahan menjadi produk

hilir, proses produksi dan lainnya. Beberapa lembaga penelitian lebih banyak

mengkhususkan pada kegiatan penelitian on-farm seperti PPKS, PT. Sucofindo, PT.

Sumatera Plantation, sementara lembaga penelitian lainnya lebih banyak

melakukan kegiatan penelitian pada sisi off-farm, seperti BPPT, LIPI, BBS, Lemigas

dan sebagian besar perguruan tinggi. PPKS sendiri, selain penyedia bibit kelapa

sawit paling produktif di Indonesia, juga banyak melakukan kegiatan inovasi dalam

hal budidaya, penanggulangan hama, merancang mesin pengolah kelapa sawit,

penelitian produk hilir untuk farmasi, tribologi dan surfaktan dan lainnya

(Wulandari, 2006; Haryati, 2006; Sukirno et al., 2006; Soekoitojo, 2006).

Hasil riset yang diterapkan menjadi produk komersial dilakukan melalui

kerjasama penelitian antara lembaga riset dengan industri. BPPT misalnya bekerja

sama dengan produsen pupuk BUMN (seperti PT. Pupuk Kalimantan Timur, PT.

Pupuk Kujang, dan lainnya) akan mengembangkan pupuk lepas lambat (slow

release fertilizer, SRF) dan pupuk organik, yang salah satunya untuk memenuhi

perkebunan kelapa sawit (BPPT, 2010). Begitu juga beberapa lembaga riset, seperti

LRPI, Balitbang Pertanian, Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih

Perkebunan, serta beberapa perguruan tinggi telah sering melakukan kerjasama

dengan beberapa perusahaan utama pada industri kelapa sawit. Meskipun

Page 51: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 37

demikian, secara umum hubungan kerjasama tersebut masih relatif lemah,

dibandingkan hubungan antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan lembaga

riset luar negeri seperti Centre de coopĕration Internationale en Recherche

Agronomique pourle Dĕveloppement, France – CIRAD Perancis dan The Potash and

Phosphate Institute and the Potash and Phosphate Institute of Canada - PPI-PPIC

Kanada yang sudah mencapai lebih dari 30 tahun (Sugiyono et al., 2007).

Kebijakan yang Ada dan Kebijakan yang Diperlukan

Kebijakan yang ada

Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemeintah yang dapat mempengaruhi,

walaupun tidak secara eksplisit dalam pengembangan klaster inovasi kelapa sawit

diantaranya adalah: kebijakan perindustian, kebijakan pertanian, kebijakan riset

serta kebijakan keuangan dan kebijakan perdagangan.

1. Kebijakan Industri

Kebijakan industri di Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres)

No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Kebijakan industri nasional

meliputi Bangun Industri Nasional, Strategi Pembangunan Industri Nasional dan

Fasilitas Pemerintah. Bangun industri nasional memiliki pilar dasar berupa: daya

kreatif dan sumberdaya alam (yang merupakan kompetensi inti daerah), kemudian

tiangnya adalah basis industri manufaktur (industri petrokimia, semen, baja,

komponen, barang modal, tekstil, sepatu, elektronika dan lainnya), serta atapnya

adalah industri andalan masa depan, yang dikelompokkan dalam tiga kelompok,

yaitu: industri agro, industri telematika dan industri alat angkut. Salah satu industri

dalam kelompok industri agro adalah industri pengolahan kelapa sawit.

Salah satu strategi pokok dan strategi operasional pembangunan industri

adalah mendorong pertumbuhan klaster industri prioritas. Industri prioritas terdiri

dari empat kelompok industri, yaitu: basis industri manufaktur, kelompok industri

agro, kelompok industri alat angkut dan kelompok industri penunjang industri

kreatif dan industri kreatif. Kelompok industri agro terdiri dari 12 industri

pengolahan, termasuk di dalamnya adalah industri pengolahan kelapa sawit.

Dalam Perpres No. 28 tahun 2008, strategi penguatan, pendalaman dan

penumbuhan klaster industri prioritas melalui strategi jangka menengah dan

jangka panjang. Untuk industri pengolahan kelapa sawit, strategi jangka

menengahnya adalah:

a) mendorong pelaksanaan revitalisasi perkebunan kelapa sawit (intensifikasi

dan ekstensifikasi);

b) memanfaatkan produk samping biodiesel berbasis crude palm oil (CPO)

sebagai pengembangan industri oleokimia hilir;

c) meningkatkan jaminan pasokan CPO untuk bahan baku industri turunan

sawit dalam negeri;

Page 52: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

38 Kebijakan Inovasi di Industri

d) meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung industri

berbasis kelapa sawit;

e) meningkatkan kualitas SDM perkelapasawitan nasional;

f) meningkatkan kegiatan riset teknologi industri dan rekayasa produk kimia

turunan kelapa sawit yang terintegrasi;

g) mengembangkan industri yang memanfaatkan limbah industri kelapa sawit.

Sementara itu, strategi jangka panjang yang dilakukan adalah:

a) meningkatkan diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi sumber bahan

baku dan sumber energy industri oleokimia;

b) melakukan revitalisasi perkebunan kelapa sawit;

c) meningkatkan kualitas SDM perkelapasawitan nasional;

d) meningkatkan kegiatan riset teknologi industri dan rekayasa produk kimia

berbasis kelapa sawit;

e) meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung industri kimia

berbasis kelapa sawit;

f) mengembangkan kawasan industri kelapa sawit terpadu di sentra produksi

kelapa sawit;

g) meningkatkan penggunaan sistem teknologi informasi pada industri berbasis

kelapa sawit;

h) mengembangkan pusat unggulan perkelapasawitan.

Kebijakan-kebijakan tersebut berperan dalam mendorong klaster inovasi, baik

dalam hal memperkuat entitas dalam klaster maupun jaringan kerjasama antar

entitas.

2. Kebijakan Riset

Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) merupakan salah satu instrumen

kebijakan dari pemerintah untuk mendorong inovasi dalam bidang kelapa sawit di

Indonesia. Instrumen kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing

Indonesia dalam perkelapasawitan dunia melalui pengembangan industri hilir.

Sasaran dari Rusnas kelapa sawit ini adalah teknologi proses produk hilir kelapa

sawit yang bernilai tambah tinggi (paket, desain, prototipe); sistem pemanfaatan

dan pengolahan limbah serta pengembangan sistem produksi bersih; sistem

kelembagaan penelitian sawit yang efektif; paket teknologi industri hilir kelapa

sawit yang mencapai skala pilot plant; membentuk dan mengoptimalkan klaster

industri hilir; program advokasi/promosi; dan mengembangkan sistem pemasaran

(KRT, 2005).

Output dari Rusnas ini adalah terbentuknya dan berkembangnya konsorsium

technology business service; terbentuknya klaster industri hilir sawit; tersedianya

paket teknologi, publikasi ilmiah; paten dan hasil temuan yang dapat

dikomersialkan; informasi ilmiah terpublikasi dan terwujudnya sistem sawit

Page 53: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 39

nasional. Sedangkan, dampak dari Rusnas adalah sinergi aneka lembaga dan

industri dalam klaster, citra unggul sawit, dan klaster industri hilir sawit yang

berkelanjutan.

Dalam kegiatannya, dana Rusnas sebagian besar diarahkan kepada lembaga

penelitian dan pengembangan (R&D). Kemudian hasil penelitian dan

pengembangan dari lembaga Litbang yang berupa teknologi diberikan kepada

industri. Hal ini menunjukkan bahwa pasokan teknologi dipersepsikan selalu

berada pada lembaga penelitian dan pengembangan. Padahal inovasi yang

sesungguhnya terjadi di industri. Industri juga menghasilkan inovasi teknologi

yang aplikatif sesuai dengan kebutuhan pasar. Oleh karena itu, maka di masa

mendatang insentif Rusnas sebaiknya juga diarahkan secara langsung kepada

industri.

3. Kebijakan Perkebunan

Badan Litbang Pertanian telah memberi usulan mengenai arah

pengembangan agribisnis kelapa sawit. Kebijakan pengembangan agribisnis

kelapa sawit yang diusulkan adalah kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu

kelapa sawit, pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah, kebijakan

industri terpadu dan dukungan penyediaan dana (Goenadi et al., 2007). Kebijakan

tersebut dapat mendorong tumbuhnya klaster inovasi kelapa sawit, terutama dari

sisi penyediaan bahan baku yang terintegrasi dengan proses produksi minyak

sawit. Dari sisi penyediaan bahan baku secara umum kebijakan dapat ditinaju dari

tiga hal, yaitu: inovasi penyediaan bibit, inovasi budidaya dan inovasi panen dan

pasca panen.

Kebijakan penyediaan bibit (perbenihan) dapat mendorong tumbuhnya klaster

inovasi kelapa sawit, terutama untuk industri pemasok dalam menghasilkan bibit

hasil inovasi yang bermutu tinggi. Kebijakan didorong untuk penyediaan benih

yang memenuhi standar mutu serta teknologinya telah diaudit oleh lembaga yang

kompeten. Kebijakan ini menyangkut: kebijakan sub-sistem plasma nutfah dan

pemuliaan; kebijakan sub-sistem produksi, penyediaan dan peredaran benih;

kebijakan sub-sistem pengendalian mutu dan audit sumber benih; serta kebijakan

penunjangnya. Kebijakan perbenihan didukung oleh kebijakan pengawasan mutu

dan peredaran benih, sehingga benih yang dipasarkan memperoleh label resmi

dan terjamin kualitasnya. Selain itu, untuk menjaga pasokan benih yang berkualitas

juga diperlukan kebijakan untuk memperbanyak produsen penghasil benih yang

memiliki kemampuan untuk memenuhi baku mutu sesuai persyaratan yang

ditetapkan. Departemen Pertanian melalui Surat Keputusan Dirjen Perkebunan No.

86/Kpts/HK.330/5/2008 telah menetapkan produsen benih yang telah memenuhi

persyaratan.

Selain penyediaan benih, budidaya kelapa sawit juga terkait dengan

penyediaan lahan. Karena budidaya tanaman kelapa sawit memerlukan waktu yang

Page 54: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

40 Kebijakan Inovasi di Industri

lama, maka perlu adanya jaminan penyediaan lahan dalam jangka panjang.

Kepastian hukum akan hak pengelolaan lahan dalam jangka panjang menjadi

penting. Kepastian hukum untuk usaha perkebunan mempertimbangkan aspek

kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. Kepastian hukum untuk usaha

perkebunan diantaranya diatur dalam UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan,

yang memberi jaminan pengelolaan hutan (untuk hak guna usaha) diberikan

dalam jangka waktu 35 tahun, dan bisa diperpanjang lagi sampai 25 tahun apabila

memenuhi persyaratan yang ditentukan (Pasal 11). Kepastian hukum dalam

pemanfaatan hutan dalam jangka waktu yang cukup lama, akan meningkatkan

jumlah investasi, termasuk investasi untuk inovasi dalam kegiatan pembibitan,

budidaya dan panen. Jangka waktu usaha yang lama, memungkinkan usaha

perkebunan untuk meningkatkan kualitas produksi tanamannya dengan terus

menerus melakukan inovasi.

Sebagai usaha yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan tanaman,

maka kegiatan perkebunan kelapa sawit memerlukan adanya jaminan kelestarian

fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut, karena adanya tuntutan kelestarian

lingkungan alam yang sudah diratifikasi, seperti ekolabeling, ISO 14000,

pembangunan berkelanjutan, dan lainnya yang harus dipenuhi oleh usaha

perkebunan. Kebijakan pelestarian lingkunganpun diatur dalam UU no. 18 tahun

2004 tentang Perkebunan, yang mengatur usaha perkebunan untuk wajib

memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya

(pasal 25), serta mengatur usaha perkebunan untuk tidak membuka, mengolah

lahan dengan cara membakar yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran

dan kerusakan fungsi lingkungan hidup (pasal 26).

Kebijakan perkebunan lebih mendorong penguatan entitas industri

pendukung (industri penyedia bahan baku) untuk melakukan inovasi baik dalam

pembibitan, budidaya maupun dalam panen dan pasca panen, terutama dengan

diterapkannya UU Perkebunan.

4. Kebijakan Keuangan

Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak tak langsung,

yaitu pajak dari pertambahan nilai yang timbul karena dipakainya faktor-faktor

produksi di setiap jalur produksi dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan

dan memperdagangkan barang atau jasa kepada para konsumen. Penurunan dan

penghapusan PPN pada komoditas primer perkebunan mulai tahun 2005 hingga

2008 berdampak positif terhadap produksi, ekspor, nilai tambah. Perubahan

kinerja komoditas primer perkebunan yang sangat berarti terjadi pada nilai

tambah. Penurunan tarif PPN dari 10 persen menjadi 5 persen akan meningkatkan

nilai tambah secara nyata. Nilai tambah kelapa sawit meningkat sebesar Rp. 141

milyar jika PPN diterapkan 5 %. Sedangkan, jika PPN dihapuskan nilai tambah yang

diperoleh peningkatannya menjadi Rp. 282 milyar (Dradjat et al., 2005).

Page 55: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 41

Dampak terhadap peningkatan produksi dan volume ekspor tidak sebesar

dampak terhadap peningkatan nilai tambah. Penurunan tarif PPN dari 10 persen

menjadi 5 persen hanya akan meningkatkan rata-rata produksi per tahun 0,24

persen. Dampak terhadap peningkatan produksi akan meningkat apabila PPN

dihapuskan, yaitu sebesar 0,48 persen. Demikian pula, penurunan tarif PPN dari 10

persen menjadi 5 persen akan meningkatkan rata-rata volume ekspor per tahun

sebesar 0,15 persen. Dampak terhadap peningkatan volume ekspor akan

meningkat apabila PPN dihapuskan, yaitu sebesar 0,30 persen.

Kebijakan PPN secara nyata mendorong klaster inovasi kelapa sawit untuk

berkembang, terutama dengan peningkatan nilai tambah riil yang meningkat

secara signifikan dengan penurunan PPN. Peningkatan nilai tambah sangat

dipengaruhi oleh efisiensi dalam faktor produksi, yang berupa peningkatan output

dan atau efisiensi input. Hal tersebut terjadi karena adanya inovasi dalam proses

maupun produk.

5. Kebijakan Perdagangan

Kebijakan pajak ekspor (PE) CPO dan produk turunannya merupakan agenda

rutin pemerintah dalam kebijakan penetapan harga CPO. Peningkatan PE

mempunyai dampak pada pengembangan industri kelapa sawit. Dampak

peningkatan PE yang paling langsung dan segera akan terlihat adalah berupa

penurunan harga CPO di tingkat domestik. Dengan asumsi bahwa harga di

pasaran internasional bersifat kompetitif, maka setiap kenaikan pungutan ekspor

ditafsirkan sebagai lebih rendahnya harga domestik dibanding harga di pasar

internasional. Hal ini berarti pendapatan yang diterima oleh produsen CPO apabila

dijual di pasar domestik juga turun. Untuk kenaikan PE menjadi 7%, dengan harga

CPO antara USD 455 sampai USD 460 per ton, maka kerugian yang diderita oleh

produsen CPO adalah sekitar Rp 290 per kg dan potensi kerugian selama satu

tahun sekitar Rp 3,45 triliun (Sugema et al., 2007).

Selain itu, pemberlakuan pajak ekspor juga berdampak kepada penurunan

luas areal lahan sawit. Pajak ekspor sebesar 13,3% akan menurunkan luas areal

pertanaman kelapa sawit dewasa sebesar 37 ribu hektar per tahun. Hal tersebut

menyebabkan produksi kelapa sawit juga menurun sebesar 0,81% atau sebesar 36

ribu ton CPO per tahun dan ekspor CPO juga menurun sebesar 6,02% atau sebesar

147 ribu ton per tahun dibadingkan bila tidak ada PE. Kondisi ini menyebabkan

pendapatan petani juga menurun sebesar 11,35% atau Rp 400 ribu per hektar per

tahun, atau Rp 800 milyar per tahun untuk seluruh perkebunan rakyat (Susila,

2004). Pihak yang diuntungkan dari pemberlakuan pajak ekspor adalah industri

minyak goreng dalam negeri dan pemerintah.

Pengenaan pajak ekspor dari satu sisi akan meningkatkan penerimaan negara

dari pajak, tetapi di sisi lain akan mendorong industri kelapa sawit beserta industri

pendukungnya akan mengalami kerugian, karena adanya potensi pendapatan

Page 56: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

42 Kebijakan Inovasi di Industri

yang hilang. Kebijakan ini dapat menjadi penghambat dalam mengembangkan

klaster inovasi kelapa sawit, sehinga entitas dan keterkaitan dalam klaster juga

akan mengalami gangguan. Oleh karena itu, perlu dihitung dan disimulasi untuk

menentukan pajak ekspor yang paling optimal dari sisi penerimaan negara

maupun dari sisi produksi kelapa sawit.

Kebijakan yang Diperlukan

Kebijakan-kebijakan di atas pada dasarnya adalah kebijakan parsial yang

hanya melihat dari salah satu sektor, dan merupakan kebijakan yang

mempertimbangkan sisi lainnya. Keberhasilan yang dapat mendorong tumbuhnya

klaster inovasi adalah kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai berbagai

aspek yang saling terkait. Pertimbangan dalam penyusunan kebijakan yang

komprehensif diantaranya adalah: klaster haruslah berbasis kekuatan lokal, adanya

kerangka yang jelas (misalnya menghilangkan hambatan regulasi), menciptakan

kerangka iklim yang menarik, kebijakan harus memungkinkan industri (terutama

UMKM) untuk tumbuh dan berinovasi sehingga dapat menjadi pemimpin dalam

persaingan terbuka serta pemerintah berperan sebagai penyedia kebutuhan publik

(Aho et al., 2008; Roelandt et al., 1999).

Untuk menumbuhkan klaster inovasi di industri pengolahan kelapa sawit,

maka diperlukan kebijakan yang sinergi antar masing-masing lembaga/

kementerian yang mengeluarkan kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut berupa

insentif yang dapat mendorong tumbuhnya inovasi pada komponen-komponen

(industri inti, industri pendukung dan lembaga litbang) dalam klaster inovasi

industri kelapa sawit dengan memperhatikan kebijakan terkait lainnya, seperti

kebijakan keuangan, kebijakan industri dan kebijakan investasi. Kebijakan yang

diusulkan diantaranya adalah:

1. Kebijakan menumbuhkan inovasi di industri inti

Kebijakan yang berupa insentif untuk mendorong tumbuhnya inovasi di

klaster inovasi. Kebijakan ini harus mempertimbangkan dan didukung oleh

pajak yang menarik industri untuk melakukan investasi (kebijakan fiskal), riset

yang terpadu dan komprehensif melibatkan berbagai intitusi (kebijakan riset),

kemudahan perizinan bagi industri pemula untuk membangun usahanya

(kebijakan investasi), serta kebijakan penguatan klaster industri kelapa sawit di

kawasan khusus (kebijakan industri). Kebijakan ini akan memungkinkan

industri hilir kelapa sawit untuk tumbuh dan berkembang. Insentif dapat

mendorong industri untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi karena

mampu menghasilkan inovasi produk ataupun proses.

2. Kebijakan untuk mendorong industri pendukung

Salah satu kebijakan untuk mendorong industri pendukung adalah kebijakan

mendorong industri mesin dan peralatan pengolahan kelapa sawit untuk

tumbuh. Kebijakan yang diusulkan berupa perpaduan kebijakan kemudahan

Page 57: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 43

memperoleh barang modal (kebijakan industri), kemudahan untuk

memperoleh bantuan pendanaan investasi (kebijakan keuangan), keringanan

dalam pajak – ada grace periode dalam pembayaran pajak (kebijakan fiskal),

serta kolaborasi riset dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang

(kebijakan riset). Kebijakan ini akan mendorong tumbuhnya industri mesin

dan peralatan pengolahan sawit yang bersumber dari dalam negeri. Selain itu,

dalam pelaksanaan kebijakan ini juga perlu diikuti dengan kebijakan

penggunaan kandungan (teknologi) lokal dalam kegiatan proses pengolahan

kelapa sawit.

3. Kebijakan mendorong lembaga litbang untuk terus berinovasi

Kebijakan yang dapat mendorong tumbuhnya inovasi dalam skala komersial

diantaranya adalah dengan membentuk mekanisme spin-off bagi lembaga

litbang atau perguruan tinggi. Para kelompok peneliti yang mampu

menghasilkan produk/ proses yang layak secara komersial diberi keleluasaan

untuk menerapkannya dalam skala komersial dengan membantu pendanaan

dan inkubasi teknologi dan manajemen. Sehingga hasil penelitian tersebut

dapat diaplikasikan dan memiliki dampak ekonomi yang lebih luas. Kebijakan

ini memerlukan dukungan kemudahan dalam pendanaan (kebijakan

keuangan), kemudahan bagi industri pemula untuk memperoleh kredit

(kebijakan keuangan), penyediaan lokasi khusus untuk industri pemula

(kebijakan investasi), bantuan bimbingan teknis dan manajemen (kebijakan

industri), serta kepastian pembelian produk (kebijakan perdagangan).

PENUTUP

Kebijakan sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kemampuan

dan daya saing industri. Daya saing industri semakin lama akan banyak ditentukan

oleh inovasi dalam lingkungannya (klaster inovasi). Ke depan klaster inovasi ini

akan semakin diandalkan untuk memperkuat daya saing industri, bukan hanya

industri kreatif tetapi juga industri berbasis sumberdaya alam. Sebagai sumberdaya

alam yang dapat diperbaharui dengan produk turunan yang sangat banyak,

minyak sawit akan menjadi komoditas potensial pendting di masa menadatang.

Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan terobosan yang mendorong tumbuhnya

klaster inovasi di industri sawit akan terus dibutuhkan untuk memperkuat daya

saing industri sawit nasional.

Page 58: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

44 Kebijakan Inovasi di Industri

DAFTAR PUSTAKA

Affif, S., H-D Evers, A. B. Ndah dan F. Purwaningrum, 2014. Governing Knowledge

for Development: Knowledge Clusters in Brunei Darussalam dan Malaysia.

Center for Development Research, University of Bonn

Aho, E., J-P. Courtois, P. Cox, D. Payre, P. Pouletty, 2008. Clustering for Growth: How

to Build Dynamic Innovation Clusters in Europe. Brussel, Science Business

Innovation Board

Albright, K. 2007. “Research Into Use: Linking Scientists and Users in Innovation

Systems”, presented at the Farmer First Revisited: Farmer Participatory

Research and Development Twenty Years on workshop at the Institute of

Development Studies, University of Sussex, 12th-14th December 2007

Anderson, J.E. 1975. Public Policymaking. New York: Praeger

APCTT 2009, National Innovation Systems: A Case Of India.

(http://www.nis.apctt.org/case-policy-measure-by-government.html, diakses

12 Agustus 2014)

Arnold, E dan Kuhlmann, S, 2001. “RCN in the Norwegian research and innovation

system”, Background Report No 12 in the Evaluation of the Research Council of

Norway, Oslo: Royal Norwegian Ministry for Education, Research and Church

Affairs

Arthurs, D., E. Cassidy C. H. Davis dan D. Wolfe, 2009. ”Indicators to support

innovation cluster policy”, dalam Int. J. Technology Management, Vol. 46, No.

3/4,

Bappenas, 2005. Contoh-Contoh Pembangunan Klaster. Jakarta: Direktorat

Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, BAPPENAS

Beker, G, 2008. “Clusters, secience parks and regional development: strategies and

policies in Hungary”, dalam UNECE TOS-ICP, Geneva, February 14.

BPPT [Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi], 2009. “Sosialisasi Fasilitas

Penelitian Dan Pengembangan Biodiesel BRDST-BPPT”,

[http://www.bppt.go.id/index.

php?option=com_content&view=article&id=115:sosialisasi-fasilitas-

penelitian-dan-pengembangan-biodiesel-brdst-bppt&catid=50:teknologi-

energi]

BPPT [Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi], 2010. Program Manual

Rancang Bangun Industri Pupuk Berimbang. Jakarta: Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi

Bortagaray, I. dan S. Tiffin, 2000. “Innovation clusters in Latin America”, dalam 4th

International Conference on Technology Policy and Innovation, Curitiba, Brazil,

Aug. 28 – 31, 2000

CIC [PT. Capricorn Indonesia Consult Inc]. 2003. Studi Industri Oleokimia dan

Prospeknya di Indonesia 2003. Jakarta: PT. CIC Inc,.

Page 59: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 45

CIC [PT. Capricorn Indonesia Consult Inc]. 2004. Studi dan Direktori Minyak Kelapa

Sawit di Indonesia. Jakarta: PT. CIC Inc,

Crapuchettes, A. 2008. “Identification of knowledge and innovation clusters”, dalam

Council for a New Economy Workforce, September

Dan, M.C. 2012. “Innovative clusters: a solution for the economic development of

Romania”, dalam Theoritical and Applied Economics, Vol XIX, No. 9 (574), hlm.

5-16

Davis, C. H., D. Arthurs, E. Cassidy dan D. Wolfe, 2006. ”What indicators for cluster

policies in the 21st century?”, dalam Blue Sky II 2006: What Indicators for

Science, Technology and Innovation Policies in the 21st Century, Ottawa,

September

DeBresson, C. dan X. Hu, 1999. “Identifying clusters of innovative activity: a new

approach and toolbox”, dalam OECD Proceedings: Boosting Innovation, The

Cluster Approach, Paris: OECD Publications Service,

Dradjat, B., R. Suprihatini, Herman dan K. Anwar, 2005. “Dampak kebijakan pajak

pertambahan nilai pada kinerja komoditas primer perkebunan”, dalam Analisis

Kebijakan Pertanian, Vo. 3, No. 2, hlm. 108-132

Dunn, W.N. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction, 2nd ed. Englewood Cliffs:

Prentice-Hall,

European Commission, 2014. Innovation Union Competitiveness Report.

Luxembourg: European Union.

Fallah, M. H. dan S. Ibrahim, 2004. “Knowledge spillover and innovation in

technological clusters”, dalam IAMOT 2004

Gordon, I. R. dan P. McCann, 2003. “Clusters, Innovation and Regional

Development”, dalam A Project ‘London: Economic Competitiveness, Social

Cohesion and the Policy Environment’ Funded by the (UK) Economic and Social

Research Council

Goenadi, D.H, L. Erningpraja, B. Drajat, B. Hutabarat dan A. Kurniawan, 2007.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian

Haryati, T. 2006; ”Penelitian dan pengembangan riset kelompok riset surfactan

berbasis sawit”, dalam Seminar Peneltian dan Pengembangan Produk Industri

Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus

Hsien-Chun, M, 2003. “Innovation Cluster As The National Competitiveness Tool In

The Innovation Driven Economy”. dalam NIS International Symposium, Seoul,

Oct. 28 ~ Nov.1

ICN [Indonesian Commercial Newsletter], http://www.datacon.co.id/CPO1-

2009Sawit.html, diakses 2 Juni 2010

Jann, W. dan K. Wegrich, 2007. “Theories of the policy cycle”, dalam F. Fischer, G.J.

Miller dan M.S. Sidney, Handbook of Public Policy: Theory, Politics and Methods.

Boca Raton: CRC Press

Page 60: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

46 Kebijakan Inovasi di Industri

Jenkins, W.I., 1978. Policy-Analysis. A Political and Organisational Perspective.

London: Martin Robertsen

Ketels C. dan O. Sölvell, 2006. Innovation Clusters in the 10 New Member States of

the European Union. European Communities

KRT [Kementerian Riset dan Teknologi], 2005. Industri Hilir Kelapa Sawit. Jakarta;

Kementrian Negara Riset dan Teknologi

Lalkala, R. 2003. “Technology business incubators: characteristic and role in

economics development”, dalam Seminar Role Of Technology Business

Incubator In SADC Countries. Mauritus, 24-27 Februari.

Lasswell, H.D. 1956. The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis.

College Park: University of Maryland Press.

Lubis, N. D, A, 2003. Kajian Kemampuan Teknologi Industri Pengolahan Berbahan

Baku Kelapa Sawit. Bogor: Program Pasasarjana IPB

Lundvall, B.A. (ed.) 1992. National Systems of Innovation and Interactive Learning.

London, UK: Pinter

Martin, S. 2009. “Networking and innovation in the Malasysian palm oil industry:

past, present and future”, dalam Oil Palm Industry Economy, Vol 9 , No. 2, hlm.

13 - 22

Porter, M. E. 1992. Competitive Advantage Of Nations. New York: The Free Press.

Porter, M. E. 1998.”Clusters and the new economics of competition”. dalam

Harvard Business Review, Edisi Nov-Dec.

Porter, M. E. dan S. Stern. 2002, “Innovation: Location Matters”, Dalam E. B. Robert

(Ed). Innovation: Driving Product, Process And Market Change. Cambridge:

Jossey-Bass

Porter, M.E. (tanpa tahun). Clusters of Innovation:Regional Foundations of U.S.

Competitiveness. Council on Competitiveness

PPKS, 1997. Company Profile: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan: Pusat

Penelitian Kelapa Sawit

PPKS, 1999. Marfu: Biofungisida Pengendali Jamur Ganoderma Boninense Pada

Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit

PPKS, 2000a. Evaluasi Lahan Dan Pemetaan Lahan. Medan: Pusat Penelitian Kelapa

Sawit

PPKS, 2000b. Bahan Tanaman Kelapa Sawit Unggul. Medan: Pusat Penelitian

Kelapa Sawit

PPKS, 2000c. Penasehatan Kultur Teknis Dan Rekomendasi Pemupukan. Medan:

Pusat Penelitian Kelapa Sawit

PPKS, 2006. Profil Kelapa Sawit Indonesia. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Roelandt, T., V.A. Gilsing dan J. van Sinderen, 2000. “Cluster-based innovation

policy: International experiences”, dalam the 4th Annual EUNIP Conference,

Tilburg, The Netherlands, 7-9 December 2000

Page 61: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Analisis Kebijakan Klaster Inovasi di Industri Kelapa Sawit 47

Roelandt, T., P. Hertog, J. van Sinderen dan N. van den Hove, 1999. “Cluster

analysis and cluster policy in the Netherlands”, dalam OECD Proceedings:

Boosting Innovation, The Cluster Approach, Paris: OECD Publications Service,

Rogers, E.M. 1988. “The role of the research university in the spin-off of high-

technology company”, dalam Gronhaug, K dan G. Kaufmann (ed). Innovation:

A Cross-Disciplinary Perspective. London: Norwegian University Press.

Russell, D dan A. Schneiderheinze 2005. ”Implementing an innovation cluster in

educational settings in order to develop constructivist-based learning

environments”, dalam Educational Technology & Society, 8 (2), hlm. 7-15.

Serra, M. A. 2000. “Building up an innovation cluster: the successful case of LACTEC

in Paraná, Brazil”. Project Undertaken By DEST (Desenvolvimento E Evolução

De Sistemas Técnicos), A Research Group of the Department of Economics at

the Federal University of Paraná,

Soekoitojo, S. 2006. ”Penelitian dan pengembangan riset kelompok oleofood

berbasis sawit”, dalam Seminar Peneltian dan Pengembangan Produk Industri

Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus

Sugema, I., M. F. Hasan, Aviliani, U. Hidayat dan Sugiyono, 2007. Strategi

Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. Jakarta: INDEF

Sugiyono, N. N. Rachma, dan M. Simamora, 2007. “Science & technology network

in the innovation system of up-stream oil palm industry in Indonesia”, dalam

the National Workshop on Subnational Innovation Systems and Technology

Capacity Building Policies to Enhance Competitiveness of SMEs, UN-ESCAP dan

LIPI, Jakarta, 3 – 4 April

Sukirno, M. Nasikin, dan B. Heru 2006. ”Formulasi Pelumas Berbasis Minyak Sawit

Untuk Industri Pangan. Penelitian Dan Pengembangan Riset Kelompok

Farmasetikal-Nutrasetikal Berbasis Sawit”, dalam Seminar Peneltian dan

Pengembangan Produk Industri Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus

Susila, W. R. 2004. “Impacts of CPO-export tax on several aspects of Indonesian

CPO industry”, dalam Oil Palm Industry Economic Journal, Vol. 4, No. 2

The Economist Intelligence Unit, 2011. Fostering Innovation-Led Clusters: A Review

of Leading Global Practices. Geneva: The Economist

Tim Pengelola Rusnas Hulu Kelapa Sawit, 2006. Rencana Penelitian Dan

Pengembangan Riset Hulu Kelapa Sawit. Serpong: Kementrian Negara Riset

dan Teknologi

Wahyono, T., R. Nurkhoiry, Dan M. A. Agustira. 2006. Kondisi Terkini Pasar Global

Minyak Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Widodo, K. H., A. Abdullah dan K.P.D Arbita, 2010. “Sistem supply chain crude palm

oil Indonesia dengan mempertimbangkan aspek economical revenue, social

welfare dan environment”, dalam Jurnal Teknik Industri, Vol 12, No. 1, Hlm. 47-

54

Page 62: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

48 Kebijakan Inovasi di Industri

Wulandari, N. 2006. ”Penelitian dan pengembangan riset kelompok farmasetikal-

nutrasetikal berbasis sawit”, dalam Seminar Peneltian dan Pengembangan

Produk Industri Hilir Kelapa Sawit, Serpong, 31 Agustus

Page 63: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

FAKTOR YANG MEMENGARUHI INOVASI

DI INDUSTRI MAKANAN:

KERANGKA TEORITIS

Dyan Vidyatmoko dan Pudji Hastuti

ABSTRACT This paper tries to propose a theoretical framework to examine the factors that affect

innovation in the food industry in Indonesia. This theoretical framework is the

development of a theoretical framework developed by Cohen and Galende and de la

Fuente. This framework is relevant and useful from both an academic and practical

point of view and has practical implications for policymakers in terms of

conceptualizing and operationalizing innovation factors in the food industries in

Indonesia

Keyword: innovation factors, innovation factors framework/ model, innovation factors indicators,

food industry

ABSTRAK Tulisan ini mencoba untuk mengusulkan kerangka teoritis untuk meneliti faktor-

faktor yang mempengaruhi inovasi dalam industri makanan di Indonesia. Kerangka

teori ini adalah pengembangan kerangka teori yang dikembangkan oleh Cohen dan

Galende dan de la Fuente. Kerangka ini relevan dan berguna dari kedua titik pandang

akademis dan praktis dan memiliki implikasi praktis bagi para pembuat kebijakan

dalam hal konseptualisasi dan operasionalisasi faktor inovasi di industri makanan di

Indonesia.

Kata kunci: faktor inovasi, kerangka/model inovasi, indikator inovasi, industri makanan

PENDAHULUAN

Kegiatan litbang di bidang pangan di Indonesia banyak dilakukan oleh

lembaga litbang pemerintah. Sebagian besar kegiatan untuk menghasilkan inovasi

pangan yang dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah tersebut dananya

diperoleh dari anggaran pemerintah. Sampai sekarang sumber utama pendanaan

untuk riset pangan berasal dari dana pemerintah. Bila dibandingkan dengan

besarnya dana yang telah dikeluarkan untuk penelitian, kontribusi penelitian oleh

lembaga litbang pemerintah terhadap kemajuan sektor pertanian lebih banyak

Page 64: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

50 Kebijakan Inovasi di Industri

terjadi di sektor hulu, seperti benih dan budidaya (on-farm). Di sektor on-farm,

banyak hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah

diperkenalkan pada petani untuk dimanfaatkan. Sementara itu, di sektor off-farm,

meskipun lembaga litbang pemerintah juga telah banyak melakukan penelitian,

tetapi pada umumnya hanya sedikit hasil penelitian sektor publik yang sampai ke

tahap komersialisasi, khususnya penelitian untuk penganekaragaman (diversfikasi)

pangan. Hal ini karena hasil inovasi dari lembaga litbang pemerintah tidak banyak

yang dimanfaatkan industri untuk dikembangkan ke tahap komersialisasi.

Selain oleh lembaga litbang pemerintah, kegiatan inovasi juga dilakukan oleh

industri. Dari sisi industri pun, inovasi pangan yang dihasilkan masih rendah.

Rendahnya inovasi produk pangan menyebabkan diversifikasi produk pangan dan

ketersediaan pangan juga rendah. Dengan pasar yang besar, terbatasnya produk

pangan yang dihasilkan di dalam negeri mendorong terjadinya impor pangan.

Akibatnya, impor pangan Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami

peningkatan.

Dibandingkan dengan lembaga litbang pemerintah yang lebih berorientasi ke

hulu (on-farm), pelaku industri memiliki potensi yang besar untuk melakukan

kegiatan inovasi produk pangan hingga ke tahap komersialisasi (produksi masal

dan pemasaran). Meskipun demikian, tidak banyak industri (perusahaan) yang

sudah melakukan investasi di bidang penelitian dan pengembangan. Perusahaan

yang melakukan kegiatan riset biasanya adalah perusahaan yang tergolong dalam

industri besar (leading industries). Padahal, hanya beberapa perusahaan saja yang

masuk dalam kelompok ini. Hasil studi Fuglie dan Piggot (2001) tentang kegiatan

penelitian dan pengembangan oleh industri di Indonesia memperlihatkan bahwa

nilai investasi litbang oleh industri masih sangat rendah, jauh di bawah biaya

litbang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari sisi pengeluaran penelitian di

bidang pertanian, porsi terbesar, sekitar 80%, adalah biaya litbang untuk kegiatan

yang dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah. Walaupun data pengeluaran

penelitian pertanian ini adalah data tahun 1998-99, namun diperkirakan kondisi

saat ini belum banyak berubah dari kondisi saat itu. Di negara-negara maju,

komposisi pengeluaran litbang ini kebalikan dari kondisi di atas, dimana industri

mengeluarkan biaya litbang yang jauh lebih besar dari sektor pemerintah.

Dengan alasan tersebut di atas, maka perlu ada upaya untuk mendorong agar

industri pangan tertarik untuk melakukan inovasi teknologi dalam rangka

mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan

kondisi yang kondusif bagi industri pangan untuk melakukan kegiatan litbang.

Kurangnya pemahaman manfaat inovasi teknologi dan beberapa determinan

pendorong terjadinya inovasi di industri pangan menjadi salah satu alasan kecilnya

investasi penelitian dan pengembangan oleh industri pangan. Insentif (kebijakan)

yang membentuk kondisi yang dibutuhkan oleh swasta untuk melakukan litbang

dirasakan belum cukup dan perlu dihasilkan insentif-insentif lain. Hal ini sejalan

Page 65: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 51

dengan apa yang disebutkan di ayat 1 pasal 28 UU No. 18 tentang SISNASIPTEK

bahwa badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk

meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam

meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan.

Pelaksanaan dari undang-undang ini kemudian dijabarkan dalam Peraturan

Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan

Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi

Teknologi. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari kajian ini

adalah melakukan identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inovasi di industri

pangan dan penyusunan kerangka analisisnya.

KAJIAN LITERATUR

Penelitian-penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya

inovasi di industri makanan telah banyak dilakukan sebelumnya di negara-negara

maju. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor

internal dan faktor eksternal (Avermaete et al., 2002; Galende & De la Fuente,

2003). Faktor internal adalah faktor-faktor yang dimiliki atau yang ada di dalam

perusahaan, sementara yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah hal-hal

yang berada di luar lingkungan perusahaan.

Cohen (1995) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi inovasi di

perusahaan adalah skala usaha (firm size), status perusahaan (legal status), umur

perusahaan (age), kemampuan finansial (financial capability), sumber daya manusia

(human capital), keterkaitan eksternal (external linkage), ukuran pasar (market

size), dan perkembangan permintaan (demand growth). Hasil penelitian Braadland

(2000) terhadap perusahaan makanan di Norwegia menunjukkan bahwa tiga

sumber inovasi yang penting bagi industri makanan yaitu pemasok peralatan dan

mesin, litbang, dan hubungan dengan pelanggan.

Penelitian tentang inovasi di industri pengolahan makanan di Eropa dilakukan

oleh Bruce dan Mattew (2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal-hal yang

mendorong dilakukannya inovasi di perusahaan antara lain orientasi perusahaan,

skala usaha (firm size), status perusahaan (legal status), ukuran pasar (market size),

dan hubungan dengan pelanggan dan pemasok. Haaga (2002) berdasarkan hasil

penelitian terhadap 7.000 buah restoran di seluruh dunia, membuktikan bahwa

inovasi berkaitan erat dengan orientasi pasar perusahaan.

Galende dan de la Fuente (2003) menuliskan hasil penelitian terhadap 152

perusahaan Spanyol yang inovatif. Hasil analisis yang menggunakan metode

ekonometrik membuktikan bahwa ada hubungan yang kuat antara faktor-faktor

internal dan faktor-faktor eksternal perusahaan dengan proses inovasi. Menurut

hasil penelitian tersebut, faktor-faktor yang mendorong inovasi di perusahaan

adalah skala usaha, status perusahaan, umur perusahaan, kemampuan keuangan

Page 66: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

52 Kebijakan Inovasi di Industri

perusahaan, sumber daya manusia, keterkaitan eksternal, ukuran pasar (market

size), dan pertumbuhan permintaan (demand growth).

Penelitian tentang faktor-faktor yang berperan penting terhadap inovasi

perusahaan, khususnya pengolahan makanan juga dilakukan oleh Avarmaete et al

(2002). Mereka melakukan penelitian di 60 perusahaan makanan skala kecil di dua

provinsi di Belgia. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa hal-hal yang

berperan penting dalam mendorong inovasi di perusahaan antara lain skala usaha,

umur perusahaan, sumber daya manusia, konteks geografis (kinerja ekonomi

daerah), dan hubungan dengan perusahaan lokal lainnya.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dihasilkannya inovasi oleh

perusahaan disebutkan oleh Bagherinejad (2002). Penelitian yang dilakukan

melalui studi literatur, pengiriman kuesioner dan wawancara dengan 20 pejabat

eksekutif di sektor industri di Teheran menunjukkan bahwa skala usaha (firm size),

investasi litbang, sumber daya manusia (human capital), hubungan dengan

pelanggan dan pemasok, peran lembaga pemerintah/kebijakan pemerintah,

hubungan dengan perusahaan lokal lainnya, dan dukungan pendanaan dari

perbankan sebagai faktor-faktor yang memiliki pengaruh terhadap inovasi di

perusahaan.

Narvekar dan Jain (2006) menyebutkan bahwa inovasi di perusahaan

dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Hasil penelitian mereka yang

didasarkan pada studi literatur dan pengalaman profesional memperlihatkan

bahwa sumber daya manusia (human capital), budaya inovasi adalah dua faktor

internal yang dapat mendorong inovasi. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang

berpengaruh antara lain keterkaitan eksternal (external linkage) dan hubungan

dengan pelanggan dan pemasok.

Omidvar (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mendorong

dilakukannya inovasi pada 1200 perusahaan di industri pengolahan makanan di

Kanada. Penelitian yang lebih menfokuskan pada pengaruh sumber daya manusia

terhadap inovasi perusahaan ini dilakukan melalui penyebaran kuesioner dengan

memanfaatkan survey inovasi oleh Jaringan Riset Kebijakan Pertanian. Omidvar

membuktikan bahwa skala usaha (firm size) dan tingkat persaingan di pasar

memiliki pengaruh positif terhadap inovasi di perusahaan. Dalam hal pendidikan

dan konteks daerah, diketahui bahwa perusahaan di wilayah pedesaan dan

perusahaan dengan SDM yang berpendidikan lebih rendah memiliki inovasi

produk yang lebih sedikit, namun tidak menunjukkan dihasilkannya inovasi proses

yang lebih sedikit.

Hasil penelitian Capitanio et al (2009) berdasarkan penelitian terhadap 4.289

perusahaan di industri pengolahan makanan (termasuk industri makanan)

menunjukkan bahwa inovasi produk yang dilakukan oleh perusahaan dipengaruhi

oleh kualitas SDM, konteks geografis, dan umur perusahaan. Untuk inovasi proses,

faktor-faktor yang berpengaruh adalah struktur finansial, skala usaha dan

Page 67: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 53

intensitas permodalan. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa perusahaan

melakukan inovasi dan diferensiasi produk karena harus mempertahankan

keunggulan daya saing terhadap jaringan besar.

Fortuin dan Omta (2009) melakukan penelitian terhadap sembilan perusahaan

pengolahan makanan multinasional di Belanda. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pendorong utama dilakukannya inovasi adalah pembeli, dalam hal ini

sektor retail. Sementara faktor yang menjadi penghambat utama dilakukannya

inovasi oleh perusahaan adalah tidak diterapkannya pengawasan proses inovasi

menggunakan indikator kinerja utama, tidak digunakannya paten/lisensi untuk

melindungi produk dan proses, dan tidak diberikannya penghargaan dan insentif

kepada pekerja untuk mendorong inovasi.

Studi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap inovasi di perusahaan

juga dilakukan oleh Abereijo et al (2009). Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada

dua faktor yang paling berpengaruh terhadap inovasi di perusahaan, yaitu

hubungan dengan pelanggan dan pemasok, dan orientasi pasar. Studi tentang

inovasi di usaha-usaha skala kecil di Iran dilakukan oleh Fazlzadeh dan Moshiri

(2010). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hal-hal yang dapat mempercepat

inovasi di perusahaan terdiri dari investasi litbang di perusahaan, usia perusahaan

dan jumlah pakar di perusahaan. Selain itu, juga diketahui bahwa industri skala

kecil memiliki pengaruh penting dan positif terhadap inovasi dan bahwa jenis

inovasi di industri skala kecil lebih beragam dibandingkan kelompok industri

lainnya.

Selain di luar negeri, penelitian tentang variabel yang memiliki pengaruh

penting terhadap kegiatan inovasi di perusahaan juga dilakukan oleh beberapa

peneliti di Indonesia. Rianto, et al (2006) melakukan penelitian tentang faktor-

faktor yang mempengaruhi kemampuan inovasi di UKM komponen otomotif.

Hasil penelitian Rianto et al menunjukkan bahwa kemampuan inovasi perusahaan

hanya ditentukan oleh faktor internal perusahaan, yaitu faktor latar belakang

pemilik dan manajer, dan usaha teknologi perusahaan. Kemampuan inovasi

perusahaan cenderung dapat dihasilkan bila pemilik dan manajer perusahaan

mempunyai pengalaman kerja di UKM lain dan perusahaan besar dalam bidang

pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya saat ini. Faktor usaha

teknologi perusahaan yang menentukan kemampuan inovasi adalah persentasi

pengeluaran litbang per penjualan, dan pengeluaran litbang per tenaga kerja.

Sedangkan faktor-faktor yang bukan merupakan faktor penentu kemampuan

inovasi perusahaan adalah keterampilan tenaga kerja, frekuensi interaksi dengan

pihak-pihak terkait dengan perusahaan, kedekatan geografis dengan pihak-pihak

yang terkait dengan perusahaan dan dukungan institusi.

Srimindarti (2002) melakukan penelitian untuk menguji faktor-faktor yang

diduga mempengaruhi tingkat inovasi pada bagian penelitian dan pengembangan.

Faktor-faktor tersebut ada yang berasal dari organisasi yaitu gaya kepemimpinan,

Page 68: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

54 Kebijakan Inovasi di Industri

strategi organisasi, serta struktur organisasi dan ada yang melekat pada individu

bagian penelitian dan pengembangan yaitu karakteristik personal berkaitan

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inovasi pada bagian penelitian

dan pengembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan,

karakteristik personal dan strategi organisasi mempengaruhi tingkat inovasi pada

bagian penelitian dan pengembangan sedangkan struktur organisasi berpengaruh

negatif terhadap tingkat inovasi pada bagian penelitian dan pengembangan.

Inggrit (2003) dengan mengambil studi kasus pada industri batik di

Pekalongan, melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi produk.

Hasil penelitian Inggrit menunjukkan bahwa pengaruh orientasi pasar, pengaruh

orientasi pembelajaran adalah positif tehadap inovasi produk. Sismanto (2006)

melakukan penelitian terhadap industri kecil dan menengah produk makanan di

Bengkulu. Secara umum kesimpulan dari hasil pengujian model yang diterapkan

pada industri kecil dan menengah produk makanan di Propinsi Bengkulu

menunjukkan bahwa inovasi dapat ditingkatkan melalui orientasi pembelajaran

dan orientasi pasar.

Berdasarkan atas kajian literatur di atas, maka variabel-variabel yang

berpengaruh terhadap inovasi di industri, khususnya industri pengolahan makanan

secara ringkas dapat dilihat di Tabel 1.

Page 69: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 55

Tabel 1. Variabel-variabel yang Memengaruhi Inovasi Teknologi di Industri Makanan

No Nama

Variabel

Penulis No Nama Variabel Penulis

Internal Eksternal

1 Skala Usaha

Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003); Bruce et al

(2002); Bagherinejad (2006);

Avermaete (2004), Omidvar

(2006).

1 Keterkaitan eksternal Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003)

2 Status

Perusahaan

Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003); Bruce et al

(2002)..

2 Ukuran pasar Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003); Capitanio, et al

(2009); Bruce et al (2002)

3 Umur

Perusahaan

Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003); Capitanio, et al

(2009); Avermaete et al(2003);

Moshiri (2010)

3 Perkembangan

permintaan

Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003)

4 Kemampuan/S

truktur

Keuangan

Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003); Capitanio, et al

(2009); Narvekar & Jain (2006)

4 Hubungan dengan

pelanggan dan pemasok

Egil (2000); Fortuin & Omta

(2009); Bruce et al (2002);

Bagherinejad (2006); Abereijo

et al (2009); Narvekar & Jain

(2006)

5 SDM

Cohen (1995); Galende & de la

Fuente (2003); Capitanio, et al

(2009); Bagherinejad (2006);

Avermaete et al (2003);

Narvekar & Jain (2006)

5 Konteks Geografis/Kinerja

Ekonomi Daerah

Capitanio, et al (2009);

Avermaete et al (2003); Omidvar

(2006)

Page 70: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

56 Kebijakan Inovasi di Industri

No Nama

Variabel

Penulis No Nama Variabel Penulis

Internal Eksternal

6 Investasi

Litbang

Egil (2000); Capitanio, et al

(2009); Bagherinejad (2006);

Moshiri (2010)

6 Orientasi Pasar Haaga (2002); Abereijo et al

(2009)

7 Kemampuan

Belajar

Fortuin & Omta (2009) 7 Peran lembaga

pemerintah/swasta

(pelatihan SDM,

pendanaan)/ Kebijakan

Pemerintah

Bagherinejad (2006); Abereijo

et al (2009)

8 Reward &

Insentif dari

Perusahaan

Fortuin & Omta (2009) 8 Hubungan dengan

perusahaan domestik lain

Bagherinejad (2006); Avermaete

et al (2003)

9 Budaya Inovasi Narvekar & Jain (2006) 9 Dukungan perbankan Bagherinejad (2006)

Page 71: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 57

PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS

Hasil studi pustaka dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa terdapat banyak variabel yang memengaruhi inovasi teknologi di

industri pangan. Kerangka teoritis ini merupakan pengembangan dari kajian

teoritis yang diajukan oleh Cohen (1995) dan Galende dan de la Fuente

(2003). Pendekatan dasar yang diajukan Cohen dan Galende dan de la

Fuente tersebut diharapkan akan memberikan analisis teoritis yang

komprehensif terhadap faktor-faktor yang memengaruhi inovasi teknologi

di Indonesia. Pengembangan dan pembuktian faktor-faktor yang

memengaruhi kompensasi eksekutif dapat dilakukan dengan mengacu

pada data kuantatif dan data kualitatif dengan menggunakan analisis

korelasi, analisis regresi dan analisis kualitatif sebagai alat analisis. Dengan

pendekatan tersebut, faktor-faktor yang menentukan inovasi teknologi

dapat dikelompokan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal meliputi skala usaha perusahaan, umur perusahaan, status

perusahaan, kemampuan keuangan, investasi litbang, human capital,

orientasi belajar, kemampuan perusahan memberikan reward/insentif,

orientasi pasar, tingkat kemampuan adaptasi teknologi dan gaya

kepemimpinan. Faktor eksternal terdiri dari lokasi, ukuran pasar, hubungan

dengan pihak lain, kebijakan pemerintah dan dukungan perbankan.

Penentuan variabel-variabel tersebut juga mempertimbangkan hasil diskusi

dengan beberapa ahli di bidang pangan dan pengamatan empiris.

Kerangka teoritis ini dianggap sebagai penelitian relatif baru terkait dengan

faktor penentu inovasi pangan. Hasil penentuan variabel sebelumnya

didapat dari perusahaan swasta di negara-negara maju tetapi akan diuji

pada industri pangan di Indonesia. Dua kategori tersebut disajikan pada

Tabel 2.

Dibandingkan dengan konsep yang diajukan oleh Cohen dan Galende

dan de la Fuente terdapat pengembangan variabel dalam kerangka teoritis

ini. Ada penambahan dua variabel dari kategori faktor internal yaitu gaya

kepemimpinan dan tingkat kemampuan adaptasi teknologi.

Variabel gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh eksekutif perusahaan

ditambahkan ke dalam variabel yang menentukan inovasi teknologi. Alasan

penting untuk memasukkan variabel tersebut karena berdasarkan

pengamatan empiris dan hasil diskusi dengan pakar pangan, gaya

kepemimpinan memengaruhi inovasi teknologi. Dengan berbagai gaya

kepemimpinan maka berbagai cara dilakukan oleh seorang pemimpin

Page 72: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

58 Kebijakan Inovasi di Industri

untuk memengaruhi bawahannya dalam mencapai tujuan perusahaan. Gaya

bagaimana seorang pimpinan melakukan sesuatu sangat berpengaruh pada

pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh bawahan/karyawan. Misalnya,

pemimpin transformasional akan melakukan berbagai macam tindakan

untuk meningkatkan kesejahteraan perusahaan dan pegawai perusahaan.

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pemimpin

transformasional cenderung menunjukkan komitmen yang besar dalam

upaya meningkatkan inovasi teknologi.

Tabel 2. Kategori dan Indikasi Variabel yang Memengaruhi Inovasi di

Industri Makanan di Indonesia

Kategori Variabel Kategori Variabel

Faktor

Internal

Skala Usaha Faktor

Ekternal

Lokasi

Umur Perusahaan Ukuran Pasar

Status Perusahaan Hubungan dengan

Pihak Lain

Kemampuan

Keuangan

Kebijakan Pemerintah

Investasi Litbang Dukungan Perbankan

SDM

Orientasi Belajar

Kemampuan

Perusahaan

Memberikan Reward

Orientasi Pasar

Tingkat kemampuan

Adaptasi teknologi

Gaya Kepemimpinan

Variabel tingkat kemampuan adaptasi teknologi ditambahkan karena

dapat menggambarkan sampai sejauh mana perusahaan dapat

memperbaiki (up grading) teknologi yang sudah diadopsi perusahaan dan

sampai sejauh mana perusahaan dapat mengantisipasi teknologi baru.

Variabel ini juga diajukan karena tidak semua perusahaan mempunyai unit

litbang.

Page 73: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 59

PENYUSUNAN OPERASIONAL INDIKATOR

Data yang digunakan dalam kerangka teoritis ini adalah berupa data

yang berkaitan dengan kategori faktor internal dan faktor eksternal. Jenis

data tersebut berupa beberapa variabel determinan yang terkait dengan

kedua kategori di atas. Variabel penelitian, definisi operasional dan sumber

data dari kerangka teoritis disajikan pada Tabel 3. Variabel yang digunakan

dalam kerangka teoritis beserta indikator dan satuannya disajikan pada

Tabel 4.

Variabel yang digunakan dalam kerangka teoritis ini secara rinci dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Variabel Skala Usaha

Skala usaha (firm size) adalah ukuran usaha yang dimiliki perusahaan.

Pengukuran variabel ini dilakukan dengan indikator jumlah pegawai,

jumlah penjualan yang dihasilkan perusahaan (revenue) dan nilai aset

dalam suatu perusahaan..

2. Variabel Umur Perusahaan

Umur perusahaan adalah usia perusahaan sejak berdiri sampai dengan

sekarang (Mei 2011). Pengukuran variable ini dilakukan dengan

indikator Start up/young (umur 5 th ke bawah) dan Mature/old (umur di

atas 5 tahun).

3. Variabel Status Perusahaan

Status perusahaan adalah pengkategorian perusahaan berdasarkan

struktur/status kepemilikan (PMA, BUMN/BUMD, Swasta Nasional).

Variabel ini diukur dengan tiga indikator yaitu PMA, BUMN/BUMD dan

Swasta Besar/Menengah/UKM.

4. Variabel Kemampuan Keuangan

Kemampuan keuangan diartikan sebagai kemampuan perusahaan

dalam mengelola dan meningkatkan sumber keuangan perusahaan.

Variabel ini diukur dengan menggunakan dua indicator yaitu total

profit dan total pendapatan.

5. Variabel Investasi Litbang

Investasi litbang adalah kemampuan perusahaan dalam melakukan

investasi penelitian dan pengembangan (litbang) dalam perusahaan.

Indikator yang digunakan dari variable ini adalah pengeluaran litbang

dan besarnya biaya diklat.

Page 74: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

60 Kebijakan Inovasi di Industri

Tabel 3. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Sumber Data

No Variabel Definisi Operasional Sumber Data

FAKTOR INTERNAL

1 Skala Usaha Ukuran usaha yang dimiliki perusahaan Instansi/

perusahaan

2 Umur Perusahaan Usia perusahaan sejak berdiri sampai dengan sekarang ( Mei

2011)

Instansi/

perusahaan

3 Status Perusahaan Pengkategorian perusahaan berdasarkan struktur/status

kepemilikan (PMA, BUMN/BUMD, Swasta Nasional)

Instansi/

perusahaan

4 Kemampuan Keuangan Kemampuan perusahaan dalam mengelola dan meningkatkan

sumber keuangan perusahaan

Instansi/

perusahaan

5 Investasi litbang Kemampuan perusahaan dalam melakukan investasi litbang

perusahaan

Perusahaan

6 SDM Sumberdaya ketrampilan, pengetahuan, pengalaman yang

dimiliki perusahaan sebagai akibat dari investasi seperti diklat

Instansi/

perusahaan

7 Orientasi belajar Orientasi dalam mengembangkan pengetahuan atau wawasan

baru yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi perilaku

perusahaan

Perusahaan

8 Kemampuan Perusahaan

Memberikan Reward/Insentif

Kemampuan perusahaan dalam membayar insentif/reward

kepada pegawai yang melakukan inovasi

Perusahaan

Page 75: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 61

No Variabel Definisi Operasional Sumber Data

9 Orientasi pasar Suatu aspek dimensi dari kultur organisasi dan sifat dari

orientasi belajar serta lebih banyak penelitian untuk memahami

norma dari nilai yang dapat dipertahankan serta pembelajaran

secara organisasional

Perusahaan

10 Tingkat kemampuan Adaptasi

Teknologi

Kemampuan perusahaan dalam memperbaiki teknologi yang

sudah diadopsi perusahaan

Perusahaan

11 Gaya Kepemimpinan

Suatu cara yang digunakan eksekutif untuk mempengaruhi

bawahannya atau orang lain yang dinyatakan dalam bentuk

pola tingkah laku atau kepribadian

Perusahaan

FAKTOR EKSTERNAL

1 Lokasi Tempat (tingkat II) dimana perusahaan berada Perusahaan

2 Ukuran Pasar Jumlah produk perusahaan yang dapat diserap dan dibeli oleh

pasar dalam negeri dan pasar luar negeri

Perusahaan

3 Hubungan dengan pihak lain di

luar perusahaan

Hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan pihak

lainnya (perusahaan lain, lembaga litbang dan universitas)

berkaitan dengan produksi yang dihasilkan perusahaan

Perusahaan

4 Kebijakan pemerintah Intervensi (dukungan dan bantuan) yang dilakukan pemerintah

untuk meningkatkan inovasi di perusahaan

Kementerian

5 Dukungan perbankan Upaya yang dilakukan oleh perbankan untuk mendukung

terjadinya inovasi di perusahaan

Perbankan

Page 76: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

62 Kebijakan Inovasi di Industri

Tabel 4. Indikator dan Satuan dari Variabel

No. Variabel Indikator Satuan

1 Skala Usaha Jumlah pegawai Orang

Total penjualan Rupiah

Nilai asset Rupiah

2 Umur Perusahaan Start up/young (umur 5 th ke bawah) Tahun

Mature/old (umur di atas 5 tahun) Tahun

3 Status Perusahaan PMA Nominal

BUMN/ BUMD Nominal

Swasta Besar/ Menengah/UKM/ Nominal

4 Kemampuan Keuangan

Total profit Rupiah

Total pendapatan Persen

5 Investasi litbang Pengeluaran litbang Rupiah

Besarnya biaya diklat Rupiah

6 SDM Jumlah staf teknis yang berkualitas (Jumlah staf pendidikan

teknis/teknologi)

Orang

Jumlah pegawai yang ikut Diklat Orang

7 Orientasi belajar/Learning

orientation

Komitmen untuk belajar Skala Likert

Visi bersama Skala Likert

8 Kemampuan Perusahaan

Memberikan Reward/Insentif

Janji memberikan insentif/reward kepada karyawan yang

menghasilkan inovasi

Skala Likert

Besarnya insentif/reward karyawan untuk inovasi Skala Likert

9 Orientasi pasar Orientasi pelanggan Skala Likert

Orientasi persaingan Skala Likert

Koordinasi antar fungsi Skala Likert

Page 77: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 63

No. Variabel Indikator Satuan

10 Tingkat kemampuan Adaptasi

Teknologi

Implementasi perbaikan teknologi yang sudah diadopsi Skala Likert

Kemampuan antisipasi teknologi baru Skala Likert

11 Gaya Kepemimpinan

Gaya transformasional Skala Likert

Gaya transaksional Skala Likert

Gaya Mengarahkan Skala Likert

Gaya Demokratis Skala Likert

12 Lokasi Alamat tempat tinggal (tingkat II) Skala Likert

PDB Rupiah

13 Ukuran Pasar Jumlah produk perusahaan sejenis yang dibeli konsumen Ton

Peningkatan permintaan produk perusahaan per tahun Persen

14 Hubungan dengan pihak luar Jenis bahan/peralatan dari pemasok Skala Likert

Derajat pentingnya umpan balik pemasok Skala Likert

Terjadi alih teknologi Skala Likert

Kerjasama produksi dengan perusahaan sejenis Skala Likert

Kerjasama dengan lembaga litbang/universitas Skala Likert

15 Kebijakan pemerintah Bantuan pelatihan SDM dari pemerintah Skala Likerte

Dukungan kebijakan pemerintah Skala Likert

16 Dukungan perbankan Kemudahan kredit suku bunga yg rendah Skala Likert

Pemberian skala prioritas oleh perbankan Skala Likert

Page 78: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

64 Kebijakan Inovasi di Industri

6. Variabel Human Capital

Human capital adalah sumberdaya ketrampilan, pengetahuan,

pengalaman yang dimiliki perusahaan sebagai akibat dari investasi

seperti diklat. Variabel ini diukur dengan indicator jumlah staf teknis

yang berkualitas (jumlah staf pendidikan teknis/teknologi) dan jumlah

pegawai yang ikut diklat.

7. Variabel Orientasi Belajar

Orientasi belajar adalah orientasi dalam mengembangkan pengetahuan

atau wawasan baru yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi

perilaku perusahaan. Indikator yang digunakan adalah komitmen untuk

belajar dan visi bersama.

8. Variabel Kemampuan Perusahaan Memberikan Reward/Insentif

Kemampuan perusahaan memberikan reward/insentif adalah

kemampuan perusahaan dalam membayar insentif/reward kepada

pegawai yang melakukan inovasi. Variabel ini menggunakan dua

indicator yaitu janji memberikan insentif/reward kepada karyawan yang

menghasilkan inovasi dan besarnya insentif/reward karyawan untuk

inovasi.

9. Variabel Orientasi Pasar

Orientasi pasar adalah suatu aspek dimensi dari kultur organisasi dan

sifat dari orientasi belajar serta lebih banyak penelitian untuk

memahami norma dari nilai yang dapat dipertahankan serta

pembelajaran secara organisasional. Pengukuran variable ini

menggunakan tiga indikator yaitu orientasi pelanggan, orientasi

persaingan dan koordinasi antar fungsi.

10. Variabel Tingkat Kemampuan Adaptasi Teknologi (Technology

Adaptation)

Tingkat kemampuan adaptasi teknologi adalah tingkat kemampuan

perusahaan dalam memperbaiki (upgrading) teknologi yang sudah

diadopsi oleh perusahaan. Variabel ini diukur dengan menggunakan

indikator jumlah implementasi perbaikan teknologi yang sudah diadopsi

oleh perusahaan dan kemampuan eksekutif dalam melakukan antisipasi

teknologi baru.

11. Variabel Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan

eksekutif/pimpinan untuk memengaruhi bawahannya atau orang lain

yang dinyatakan dalam bentuk pola tingkah laku atau kepribadian.

Page 79: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 65

Variabel ini diukur dengan gaya transformasional, gaya transaksional,

gaya mengarahkan dan gaya demokratis.

12. Variabel Lokasi

Lokasi diartikan sebagai alamat tempat tinggal (tingkat II) dimana

perusahaan berada. Variabel ini menggunakan dua indikator yaitu

alamat tempat tinggal (tingkat II) dan product domestic bruto (PDB).

13. Variabel Ukuran Pasar

Ukuran pasar (market size) adalah jumlah produk perusahaan yang

dapat diserap dan dibeli oleh pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.

Indikator yang digunakan adalah jumlah produk perusahaan sejenis

yang dibeli konsumen dan peningkatan permintaan produk perusahaan

per tahun.

14. Variabel Hubungan dengan Pihak lain

Hubungan dengan pihak lain adalah hubungan yang terjadi antara

perusahaan dengan pihak lainnya (perusahaan lain, lembaga litbang

dan universitas) berkaitan dengan produksi yang dihasilkan

perusahaan. Terdapat lima indicator yang digunakan dari variable ini

yaitu jenis bahan/peralatan dari pemasok, derajat pentingnya umpan

balik pemasok, terjadi alih teknologi, kerjasama produksi dengan

perusahaan sejenis dan kerjasama dengan lembaga litbang/perguruan

tinggi.

15. Variabel Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah adalah intervensi (dukungan dan bantuan) yang

dilakukan pemerintah untuk meningkatkan inovasi di perusahaan.

Variabel ini menggunakan dua indikator yaitu bantuan pelatihan SDM

dari pemerintah dan dukungan kebijakan pemerintah.

16. Variabel Dukungan Perbankan

Dukungan perbankan adalah upaya yang dilakukan oleh perbankan

untuk mendukung terjadinya inovasi di perusahaan. Indikator yang

digunakan adalah kemudahan kredit suku bunga yang rendah dan

pemberian skala prioritas oleh perbankan.

PENUTUP

1. Berbagai faktor-faktor yang memengaruhi inovasi di industri makanan

disajikan dalam kajian literatur. Pada dasarnya terdapat faktor-faktor

Page 80: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

66 Kebijakan Inovasi di Industri

internal dan factor eksternal yang menjadi determinan dalam inovasi di

industri makanan.

2. DaRi hasil kajian literatur, hasil pengamatan empiris serta hasil diskusi

dengan pakar, dihasilkan kerangka teoritis untuk menentukan faktor

determinan yang memengaruhi inovasi di industri pangan di Indonesia.

3. Kerangka teoritis yang dihasilkan tersebut merupakan pengembangan

dari kajian teoritis yang diajukan oleh Cohen (1995) dan Galende dan de

la Fuente (2003). Pengembangan ini dilakukan dengan menambahkan

dua variabel yaitu gaya kepemimpinan dan kemampuan adaptasi

teknologi

4. Untuk mengoperasikan kerangka teoritis diajukan definisi variabel laten,

pengukuran variable laten dengan indikatornya, satuan indikator dan

sumber data yang dapat diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

Abereijo, Adegbite, Ilori, Adeniyi, Aderemi. Technological Innovation

Sources and Institutional Supports for Manufacturing Small and

Medium Enterprises in Nigeria. Journal of Technology Management and

Innovation, 2009, Vol. 4 No. 2.

Avermaete, Viaene, Morgan, Crawford, Mahon. Determinants of products

and process innovation in small food manufacturing firms. Trends in

Food Science and Technology 2004, vol.15.

Bagherinejad, Jafar. Cultivating technological innovations in Middle Eastern

countries: factors affecting firm’s technological innovation behaviour in

Iran. Cross Cultural Management, 2006, Vol. 13 No. 4

Bass, B.M, and P. Steidlmeier. Ethics, Character and Authentic

Transformational Leadership Behaviour. Leadership Quarterly, 1999, Vol

10 No 2

Bigliardi, B and Alberto Ivo Dormio. An empirical investigation of

innovation determinants in food machinery enterprises. European

Journal of Innovation Management 2009, Vol. 12 No. 2

Braadland, T.E. Innovation in the Norwegian Food System, Working Paper,

STEP-gruppen, Oslo, Norwegia, 2000.

Bruce, W.T and Meulenberg, Matthew. Innovation in the food industry.

Agribusiness Vol. 18 No. 1, 2002

Page 81: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Faktor yang Mempengaruhi Inovasi di Industri Makanan 67

Capitanio, F., Adele, C., Pascussi, S. Indications for drivers of innovation in

the food sector. British Food Journal 2009, Vol III No. 8.

Cohen, William. Empirical studies of Innovative Activity in Stoneman P (ed),

Handbook of the Economics of Innovation an Technological Change,

Oxford: Blackwell, 1995.

Evangelista, R; Tore S; Giorgio S and Keith S. Measuring innovation in

European industry. International Journal of the Economics of Business,

1998, 5,3.

Fazlzadeh, Alireza and Moshiri, Mostafa. An Investigation of Innovation on

Small Scale Industries Located in Science Parks of Iran. International

Journal of Business and Management 2010, Vol. 5 No. 10.

Fortuin, Frances and Omta, Onno. Innovation drivers and barriers in food

processing. British Food Journal 2009, Vol. 111 No. 8

Fuglie Fuglie, Keith O “ Investing in Agricultural Productivity in Indonesia, ”.

Forum Penelitian Agro Ekonomi 17, 2 (December, 1999) : 1-16.

Galende, J. and De la Fuente, J. M.,2003. Internal factors determining a

firm’s innovative behaviour. Research Policy 2003, 32 (5).

Gregrio, D.D, Human Capital, Social Capital and Executive Compensation:

How Does the Slice of Pie Executives Appropriate Compare to What

They Bring to the Table. Dissertation. Smith School of Business,

University of Maryland, 2004

Haaga, Diane P. A study of the relationship between organizational capacity

to innovate and market orientation in a fast food industry. Dissertation

for Doctor of Philosophy at University of Alliant International University,

USA, 2002.

Hill, M.D. Adaption and Innovation During Technology Transfer: the

Perspective of Receiving and Giving Engineers and Managers in A High-

Tech Multi-cultural Joint Venture. Dissertation. Fieding Graduate

University, 2005

Inggrit. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi produk untuk

meningkatkan kinerja pemasaran (studi pada industry batik di

Pekalongan. Tesis Pascasarjana Undip, 2003

Kane, Maud Roucan, Allan Gray, Benjamin M. Gramig, Michael Boehlje,

2010. The Innovation Process: Practices in Food and Agribusiness

Companies. Agricultural & Applied Economics Association 2010.

AAEA,CAES, & WAEA Joint Annual Meeting, Denver, Colorado, July 25-

27, 2010

Page 82: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

68 Kebijakan Inovasi di Industri

Mangkuprawira, S. dan A.V. Hubeis. Manajemen Mutu Sumber Daya

Manusia. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2007.

Muscio, A, Gianluca Nardone and Antonio Dottore. Understanding demand

for innovation in the food industry. Measuring Business Excellence, Vol.

14 No. 4 2010, pp. 35-48, Q Emerald Group Publishing Limited, ISSN

1368-3047

Narvekar, Rajiv S. and Jain, Karunia. A new framework to understand the

technological innovation process. Journal of Intellectual Capital 2006,

7,2

Omidvar, Vahid. Regional and Firm Level Human Effects on the Rate of

Innovation in Food Processing Firms in Canada. Thesis for Master of

Science Degree at University of Manitoba, Library and Archives Canada,

Canada, 2006.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian

Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan

Perekayasaan, Inovasi, Dan Difusi Teknologi, 2007.

Pray E., and Fuglie, K. Private Investment in Agricultural Research and

International Technology Transfer in Asia. Agricultural Economic Report

No. 805, United States Department of Agriculture, 2001.

Rianto Y, Budi T, Chichi S. L. Sistem Inovasi Nasional: Kebijakan Publik dalam

Memacu Kapasitas Inovasi Industri. LIPI Press, 2006. Sistem Inovasi

Nasional: Kebijakan Publik dalam Memacu Kapasitas Inovasi Industri

Singh, P and N.C. Agarwal. Examining an Old Issue From New Perspective.

Compensation and Benefit Review, 2003, Vol 35 No 2

Sismanto, A. Analisis pengaruh orientasi pembelajaran, orientasi psara dan

inovasi terhadap keunggulan bersaing untuk meningkatkan kinerja

pemasaran. Tesis MM Undip, 2006

Srimindari, C. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inovasi bagian

penelitian dan pengembangan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, STIE

Stikubank Semarang, Maret 2002

Tessa, Avermaete, Jacques Viaene, Eleanor J. Morgan. Determinants of

product and process innovation in small food manufacturing firms in T.

Avermaete, et al. Trends in Food Science & Technology 2004 (15).

Thompson, AK and Paul, J.M. Innovation in the food industry:functional

foods. Innovation:management, policy & practice 10, 2008

Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Sistem Nasional Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (Sisnasiptek), 2003

Page 83: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

JARINGAN INOVASI DALAM SISTEM

INOVASI

A. Husni Y. Rosadi

ABSTRACT Innovation system is a development model that has been adopted in many

developed and high economic growth countries. One of the pillars in strengthening

the innovation system is an innovation network. The success of development of

innovation system can not be separated from policy to develop an innovation

network. This paper describes the model of innovation network development policy

that integrated all of the components that affect the strengthening of the innovation

system. The method used is the reconstruction of the various studies that have been

done previously to be a model of development policy of innovation network.

Keyword: innovation network, innovation system, policy model

ABSTRAK Sistem inovasi merupakan model pembangunan yang banyak digunakan di negara

maju dan negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Salah satu pilar

dalam penguatan sistem inovasi adalah jaringan inovasi. Keberhasilan membangun

sistem inovasi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan mengembangkan jaringan

inovasi. Makalah ini memaparkan mengenai bagaimana model kebijakan

pengembangan jaringan inovasi yang mengintegrasikan seluruh komponen yang

mempengaruhi penguatan sistem inovasi. Metode yang digunakan adalah

rekonstruksi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya untuk

dijadikan model kebijakan pengembangan jaringan inovasi.

Kata kunci: jaringan inovasi, sistem inovasi, model kebijakan

PENDAHULUAN

Keberhasilan pengembangan suatu organisasi tidak dapat dilepaskan dari

koordinasi dan kerjasama antar komponen dalam organisasi tersebut. Tidak

pernah tercatat dalam sejarah, keberhasilan suatu organisasi atau kelompok

karena keberhasilan individual tanpa didukung oleh kerjasama tim atau antar tim.

Kerjasama dan sinergi merupakan prasyarat dalam pengembangan dan

Page 84: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

72 Kebijakan Inovasi di Industri

pembangunan suatu organisasi. Begitu juga dalam menata keberhasilan dan

kesejahteraan suatu masyarakat atau negara, maka kerjasama dan sinergi menjadi

suatu keharusan.

Dalam membangun kerjasama dan sinergi, hal mendasar yang harus dimiliki

adalah dibangunnya sistem yang mapan, yang memungkinkan setiap komponen

dalam organisasi dapat menjalankan perannya dengan optimal. Dengan sistem

yang baik, maka tujuan yang akan dicapai organisasi dapat dirumuskan dengan

jelas dan peran masing-masing komponen untuk menunjang pencapaian tujuan

organisasi juga jelas. Sistem yang baik akan mendorong tujuan dan peran setiap

komponen terdefinisikan dengan jelas. Begitu juga kemampuan interaksi dari

setiap komponen untuk saling memberi dan belajar dapat dilakukan dengan

efektif dan efisien. Membangun sistem adalah membangun harmoni dan

keserasian untuk mencapai tujuan masa depan yang efektif dan efisien.

Tujuan utama dari penyelenggaraan pemerintah pada semua negara adalah

membuat masyarakatnya makmur dan sejahtera. Indikator kesejahteraan suatu

bangsa yang paling banyak digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai apabila setiap komponen

di negara tersebut, seperti industri, masyarakat dan pemerintah, mampu

menjalankan peran masing-masing, dan berinteraksi sinergis diantara mereka

dengan menggunakan sistem yang telah mereka sepakati. Setiap negara memiliki

sistem yang berbeda sesuai dengan ideologi dan cara pandang pemerintahnya.

Salah satu sistem yang banyak digunakan di negara-negara yang memiliki

pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah sistem inovasi. Pertumbuhan ekonomi

yang tinggi di Korea Selatan dan Tiongkok, serta kemampanan ekonomi di Jepang,

Finlandia dan berbagai negara lainnya, tidak dapat dilepaskan dari penggunaan

sistem inovasi.

Apakah sistem inovasi di Indonesia sudah memiliki dampak bagi

pembangunan masyarakat? Hal ini yang sering menjadi pertanyaan. Sistem Inovasi

sendiri sudah dimuat secara khusus dalam RPJMN 2010-2014 (Peraturan Presiden

No. 5 tahun 2010), Buku II Memperkuat Sinergi AntarBidang Pembangunan, Bab IV

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa agar

dukungan iptek terhadap pembangunan nasional dapat berlangsung secara

konsisten dan berkelanjutan, sistem inovasi nasional sebagai wahana

pembangunan iptek akan diperkuat melalui penguatan kelembagaan, sumberdaya,

dan jaringan iptek. Sistem inovasi akan berkembang apabila setiap komponen baik

dari sisi kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan yang ada di dalamnya dapat

saling bersinergi. Upaya untuk melakukan sinergi adalah dengan memperkuat

hubungan diantara mereka melalui jaringan iptek atau secara lebih luas sebagai

jaringan inovasi. Makalah ini akan memaparkan bagaimana usulan kebijakan untuk

mengembangkan dan memperkuat jaringan inovasi, sehingga sistem inovasi dapat

berkembang seperti yang diharapkan.

Page 85: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 73

TINJAUAN TEORITIS: SISTEM INOVASI DAN JARINGAN INOVASI

Sistem inovasi merupakan sistem yang terdiri dari berbagai sub-sistem dan

komponen (aktor) yang saling terintegrasi satu sama lain. Terdapat berbagai

model dalam menggambarkan dan mengurai komponen penyusun sistem inovasi.

Model yang dirujuk untuk menguaraikan sistem inovasi yang digunakan dalam

Rakornas Ristek (2009 dan kemudian 2013) adalah model Arnold dan Kuhlman.

Dalam model Arnold-Kuhlman, sub-sistem yang menyusun sistem inovasi

diantaranya adalah sub-sistem: pendidikan dan penelitian, industri, permintaan

(pengguna), intermediaries, politik, supra dan infrastruktur dan kerangka kondisi

(Arnold dan Kuhlman, 2001).

Sistem inovasi merupakan suatu kesatuan komponen yang mempengaruhi

arah perkembangan dan kecepatan inovasi, difusi, dan proses pembelajaran dalam

pengembangan, penguasaan, pemajuan dan penerapan/ pemanfaatan iptek.

Bagaimana sub-subsistem (elemen/ faktor) berperan, kesaling-terkaitannya

(termasuk koherensi kebijakannya), dan dinamika interaksinya menentukan atau

mempengaruhi kinerja dinamis sistem inovasi. Penguatan sistem inovasi berarti

membenahi sistem (holistik, serentak, isu-isu sistemik) secara terstruktur. Dalam

perspektif kebijakan, penguatan sistem inovasi berarti langkah perbaikan yang

perlu diarahkan untuk membenahi isu-isu kegagalan sistemik (systemic failures).

Oleh karena itu, strategi kebijakan perlu dikembangkan sebagai suatu kesatuan

kerangka kebijakan inovasi (KKI) untuk memperkuat sistem (Taufik, 2012).

Gambar 1. Elemen sistem inovasi (diadopsi dari Arnold dan Kuhlman, 2001)

Page 86: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

74 Kebijakan Inovasi di Industri

Kerangka Kebijakan Inovasi

Kunci keberhasilan implementasi penguatan sistem inovasi di suatu negara

adalah koherensi kebijakan inovasi dalam dimensi antar sektor dan lintas sektor;

antar waktu (intertemporal); antar kawasan (daerah-daerah, nasional-

daerah/interteritorial), dan antar negara (internasional). Dalam perspektif

hubungan nasional-daerah, koherensi kebijakan inovasi dalam penguatan sistem

inovasi di Indonesia perlu dibangun melalui kerangka kebijakan inovasi. Hal

tersebut sebagai platform bersama dan memiliki sasaran dan milestones terukur,

serta komitmen sumberdaya yang memadai, baik pada tataran pembangunan

nasional maupun daerah (Taufik, 2012). Terdapat enam kerangka kebijakan inovasi

untuk memperkuat sistem inovasi. Keenam kerangka tersebut adalah: (1)

mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi dan bisnis; (2)

memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/ litbangyasa dan

mengembangkan kemampuan absorpsi oleh industri, khususnya UKM; (3)

menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi,

praktik baik/terbaik dan/atau hasil litbangyasa serta meningkatkan pelayanan

berbasis teknologi; (4) mendorong budaya inovasi; (5) menumbuhkembangkan

dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan klaster industri

nasional dan daerah; dan (6) menyelaraskan dengan perkembangan global (Taufik,

2005).

Gambar 2. Isu dan agenda pokok penguatan sistem inovasi

(sumber: Taufik, 2012)

Page 87: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 75

Jaringan Inovasi

Untuk mengimplementasikan keenam kerangka kebijakan inovasi tersebut,

perlu adanya inisiatif (prakarsa) strategis penguatan sistem inovasi. Prakarsa

strategi penguatan sistem inovasi dapat dikelompokkan dalam lima pilar. Kelima

pilar tersebut adalah: (a) Penguatan Sistem Inovasi Daerah: sebagai wahana untuk

memperkuat pilar-pilar bagi penumbuh-kembangan kreativitas-keinovasian di

tingkat daerah, di mana penguatan sistem inovasi daerah merupakan bagian

integral dari penguatan sistem inovasi nasional; (b) Pengembangan Klaster

Industri: sebagai wahana untuk mengembangkan potensi terbaik & meningkatkan

daya saing industrial; (c) Pengembangan Jaringan Inovasi: sebagai wahana untuk

membangun keterkaitan dan kemitraan antar aktor, serta mendinamisasikan aliran

pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran; (d) Pengembangan Teknoprener:

sebagai wahana modernisasi bisnis/ekonomi dan sosial, serta mengembangkan

budaya inovasi; dan (e) Penguatan Pilai-pilar Tematik: sebagai wahana

memperbaiki elemen-elemen penguatan sistem yang bersifat tematik dan

kontekstual (Taufik, 2012).

Jaringan inovasi merupakan salah satu pilar dalam sistem inovasi. Fungsi utama

jaringan inovasi adalah sebagai wahana untuk membangun keterkaitan dan

kemitraan antar aktor, serta mendinamisasikan aliran pengetahuan, inovasi, difusi,

dan pembelajaran. Apabila jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) lebih

ditekankan kepada hubungan interdisipliner berbagai bidang dalam sains dan

teknologi dan industri (Wikipedia, Techopedia), maka jaringan inovasi lebih

difokuskan pada wahana dan aliran pengetahuannya.

METODOLOGI

Penelitian ini meupakan jalinan dan kompilasi dari beberapa penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya. Data yang digunakan adalah data-data mengenai

interaksi antar pelaku, proses pembelajaran dan aliran pengetahuan, penyiapan

kawasan teknopolitan, dan berbagai model pengukuran. Data-data tersebut

diperoleh dari hasil analisis penelitian tersebut, yang kemudian direkonstruksi

untuk dijadikan dasar dalam analisis lebih lanjut sebagai bahan dalam pengusulan

kebijakan. Model kebijakan yang disusun merupakan model yang menyertakan

seluruh komponen kebijakan yang mampu mendorong jaringan inovasi dapat

dilakukan dengan baik.

Page 88: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

76 Kebijakan Inovasi di Industri

ANALISIS DAN PEMBAHASAN:

MODEL KEBIJAKAN JARINGAN INOVASI

Pengembangan jaringan inovasi merupakan salah satu pilar dalam prakarsa

penguatan sistem inovasi. Sebagai pilar utama, Jaringan Inovasi diharapkan

menjadi jembatan penghubung diantara para pelaku sistem inovasi, supaya

terjadinya kolaborasi dan sinergi diantara mereka, untuk menghasilkan inovasi,

aliran pengetahuan dan pembelajaran. Jaringan inovasi merupakan komponen

struktural dalam sistem inovasi yang terdiri dari para pelaku dan interaksi antar

mereka (Ahrweiler, 2010), atau secara spesifik sebagai interaksi antara perguruan

tinggi, industri, dan pemerintah (interaksi Tripel Helix), yang didukung oleh

insfrastruktur, baik itu bersifat teknik, komersial, sosial, maupun finansial (Mowery

dan Oxley, 1997). Jaringan inovasi adalah interaksi antar pelaku dalam sistem

inovasi, sehingga aliran pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran

berlangsung diantara mereka untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan kohesi

sosial (BPPT, 2011). Dalam jaringan inovasi setiap komponen (pelaku) dari berbagai

bidang/ disiplin/ organisasi mengambil peran dalam kegiatan dan menentukan

kriteria baru untuk mendesain, memproduksi, mengevaluasi, mereview dan

membuktikannnya langsung ke pasar (Ahrweiler dan Keane, 2013). Dengan

memperhatikan definisi di atas, maka pada dasarnya kebijakan pengembangan

jaringan inovasi memiliki esensi, yaitu: kebijakan untuk menyiapkan pelaku (aktor)

sistem inovasi dari berbagai bidang/ disiplin/ organisasi, terutama perusahaan

pemula berbasis teknologi; kebijakan untuk memperkuat hubungan (interaksi/

silaturahmi) diantara para pelaku sistem inovasi; kebijakan untuk memfasilitasi

aliran pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran diantara para pelaku;

kebijakan untuk mendukung infrastruktur teknis, komersial, sosial, maupun

finansial melalui pengembangan wilayah dan kawasan; kebijakan untuk

memperkuat peningkatan daya saing ekonomi dan kohesi sosial; serta kebijakan

untuk menyiapkan kegiatan mendesain, memproduksi, mengevaluasi, mereview

dan membuktikan keberhasilan penerapan jaringan inovasi. Secara sederhana,

komponen tersebut dapat digambarkan dalam model sebagai telihat pada Gambar

3.

Kebijakan Menyiapkan Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi

Pelaku dalam sistem inovasi seperti terlihat pada Gambar 1 adalah seluruh

komponen yang terlibat dalam sub-sistem: pendidikan dan penelitian, industri,

permintaan (pengguna), intermediaries, politik, supra dan infrastruktur dan

kerangka kondisi. Salah satu komponen dalam sub-sistem industri adalah

perusahaan pemula berbasis teknologi (PPBT), selain industri besar-sedang dan

UKM yang telah mapan. PPBT didorong untuk menjadi ujung tombak dalam

pembangunan ekonomi daerah dan nasional di masa mendatang. Sebagai

perusahaan pemula, PPBT memiliki keterbatasan, baik dalam hal manajemen,

Page 89: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 77

produksi maupun pembiayaan dan dihadapkan dengan risiko yang besar. Oleh

karena itu, perlu dukungan kebijakan untuk menyiapkan perusahaan pemula dapat

berkembang dengan baik. Hal tersebut diperkuat dengan interaksi antar aktor

supaya diantara mereka dapat saling mengalirkan pengetahuan, inovasi dan difusi

dalam kegiatan produksi, pembiayaan dan manajemen serta meminimalisasi risiko

yang akan dihadapi mereka. Perusahaan pemula perlu belajar menyiapkan diri

untuk menghadapi resiko dan memperoleh pengetahuan yang memadai.

Gambar 3. Model kebijakan jaringan inovasi

Kebijakan Memperkuat Interaksi antar Pelaku Sistem Inovasi

Sementara itu, sensi lain dari jaringan inovasi adalah interaksi antar pelaku.

Interaksi antar para pelaku akan lebih efektif jika mendapat dukungan

infrastruktur. Kegiatan interaksi yang dilakukan dengan dukungan infrastruktur

teknis jaringan telekomunikasi data, termasuk penggunaan free/open source

software (F/OSS), memungkinkan untuk dikembangkannya e-develepment, e-

government, e-business, e-health dan lainnya. Dukungan jaringan ini akan

membuka interaksi antar pelaku dengan lebih cepat dan mudah serta berbiaya

rendah. Kebijakan pengembangan e-development di beberapa daerah di Indonesia

sudah dilakukan dalam belasan tahun terakhir. Di Kota Pekalongan misalnya, e-

development yang terdiri dari e-leadership; kebijakan dan kelembagaan;

infrastruktur informasi dan komunikasi; e-government; e-society; serta industri dan

e-business sudah dilakukan dengan baik, terutama untuk leadership, kebijakan dan

kelembagaan (Hardianto et al., 2013). Di beberapa daerah seperti Solo,

Page 90: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

78 Kebijakan Inovasi di Industri

Pekalongan, Jembrana dan lainnya pengembangan F/OSS telah lama digunakan di

lingkungan pemerintah, swasta, maupun lembaga pendidikan.

Kebijakan Memfasilitasi Aliran dan Manajemen Pengetahuan

Hal penting lainnya dari jaringan inovasi adalah adanya aliran pengetahuan,

inovasi, difusi, dan pembelajaran diantara para pelaku. Aliran pengetahuan

dilakukan diantara pelaku sistem inovasi harus secara timbal balik, bukan searah.

Kegiatan aliran pengetahuan, inovasi, difusi, dan pembelajaran akan lebih efektif

apabila dilakukan secara sistematis melalui manajemen pengetahuan. Manajemen

pengetahuan pada dasarnya adalah aliran pengetahuan yang tersistematisasi dan

terkodifikasi sehingga dapat dipelajari setiap anggota organisasi kapanpun.

Manajemen pengetahuan merupakan kemampuan organisasi untuk menciptakan

pengetahuan baru, mendesiminasikannya dan menjadikannya sebagai produk, jasa

dan sistem. Pengetahuan diciptakan melalui proses sosialisasi, eksternalisasi,

kombinasi dan internalisasi atau model SECI (Socialization, Externalization,

Combination, Internalization) yang merupakan interaksi antara pengetahuan

eksplisit dan tacit (Nonaka dan Takeuchi, 1995; Bratianu, 2010; Probert, 2003;

Ramirez, et al., 2011). Penciptaan pengetahuan tergantung konteks spesifik sesuai

waktu, ruang dan hubungan, sehingga individu, working group, team proyek,

lingkaran informal, pertemuan temporer, serta komunikasi maya (millis, facebook,

intranet, dll) dapat dipertemukan, yang dikenal sebagai model Ba (Nonaka dan

Toyama, 2003).

Kebijakan memfasilitasi aliran pengetahuan dan manajemen pengetahuan

dalam mendukung sistem inovasi di daerah telah dilakukan di beberapa daerah

diantaranya di Kota Pekalongan. Manajemen pengetahuan di Kota Pekalongan

dibagi dalam tiga tahap utama yaitu: memperoleh pengetahuan dan/atau

penciptaan (knowledge capture and/or creation); membagi dan menseminasi

pengetahuan dan (knowledge sharing and dissemination); dan mengakuisisi dan

menerapkan pengetahuan (knowledge acquisition and application). Dalam

penerapan kebijakan, pada tahap awal misalnya dilakukan dengan membuka

kesempatan belajar dan memfasilitasi pelatihan di bidang teknologi informasi

(PPKDT, 2013b).

Kebijakan Mengembangkan Wilayah dan Kawasan

Dukungan teknis untuk interaksi antar pelaku dapat juga dilakukan dengan

pengembangan wilayah atau kawasan. Kawasan merupakan tempat berkumpulnya

para pelaku sistem inovasi. Kawasan ini menjadi tempat yang memungkinkan

interaksi antar pelaku bukan hanya melalui komunikasi maya, tetapi juga langsung

secara fisik. Pembelajaran di kawasan dapat dilakukan langsung melalui

komunikasi dan praktek. Pengembangan kawasan untuk mendukung interaksi

dapat berbentuk kawasan khusus untuk bisnis dan industri atau kawasan yang

Page 91: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 79

melibatkan seluruh stakeholder. Pengembangan kawasan usaha yang sudah

banyak dikembangkan di beberapa daerah diantaranya adalah sentra bisnis,

kawasan berikat, kawasan ekonomi khusus atau klaster industri. Sebagai contoh,

kebijakan pengembangan Klaster Industri Putri Kencana di Kabupaten Blitar, yang

terdiri dari tiga klaster industri: Java Atsiri, Manggar Sari dan Sari Raos merupakan

klaster industri minyak wangi, produk kerajinan dan makanan olahan yang

dikembangkan oleh UMKM, sebagai wahana untuk berinteraksi diantara para

pelaku industri dan antara pelaku industri dengan para stakeholder lainnya (Sidik

dan Pratiwi, 2011).

Pengembangan kawasan sebagai tempat interaksi antar pelaku sistem inovasi

di beberapa negara dengan pertumbuhan yang pesat dilakukan dengan

membangun kawasan teknopolitan (technopolis) seperti di Korea Selatan (Lee,

2012; Kim dan An, 2012; Oh dan Yeom, 2012), Cina (Cha, 2012), Taiwan (Hu dan

Lin, 2013) atau Singapura (A*STAR, 2012), dan Amerika Serikat (Smilor, et al., 1988;

Gibson dan Butler, 2013), Eropa (European Commission, 2007; Ekiz, 2006), Rusia

(Launonen, 2006), juga di Mesir (Abdel-Fatah et al., 2013), dan lainnya.

Teknopolitan adalah konsepsi kawasan berdimensi pembangunan ekonomi,

sosial dan budaya, yang memiliki sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dan

gerakan masyarakat, yang mendukung percepatan perkembangan inovasi, difusi

dan pembelajaran. Kawasan teknopolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu

atau lebih sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dan gerakan masyarakat pada

wilayah tertentu (satu atau lebih daerah otonom) sebagai sistem pembangunan

yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan

sistem inovasi (Taufik, 2012). Dalam membangun teknopolitan ada beberapa

komponen yang dikembangkan yaitu: perguruan tinggi yang kuat, incubator bisnis

baru, research parks, perusahaan teknologi-tinggi dan berbasis pengetahuan,

dukungan jasa professional (akuntansi, hukum, investor), serta pemerintah (pusat

dan daerah) dan lembaga pendukung wirausaha teknologi (Smilor, et al., 1988;

Philips, 2012).

Di Indonesia, kawasan teknopolitan belum banyak dikembangkan dan baru

mulai diinisiasi dengan kebijakan akan dibangunnya kawasan Teknopolitan

Pelalawan di Kabupaten Pelalawan, Riau dan Teknopolitan Batik di Kota

Pekalongan, Jawa Tengah. Sebagai kawasan interaksi antar pelaku sistem inovasi,

di kawasan Teknopolitan Pelalawan akan dikembangkan kawasan industri, kawasan

riset dan pengembangan, kawasan pendidikan, kawasan komersial, kawasan

pemukiman, kawasan rekreasi serta kawasan pendukung. Kawasan Teknopolitan

Pelalawan didorong untuk menjadi kawasan riset, industri dan pendidikan yang

produktif dengan memanfaatkan posisi strategisnya di wilayah ASEAN. Begitu juga

pengembangan kawasan teknopolitan batik di Kota Pekalongan, yang dinamakan

sebagai Batik Innovation and Cultural Centre (BICC). BICC sebagai “hub” kawasan

Teknopolitan Batik Kota Pekalongan, yang memungkinkan interaksi antar pelaku

Page 92: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

80 Kebijakan Inovasi di Industri

lebih intensif dan menjadikan Kota Pekalongan sebagai ikon batik bertaraf

internasional (PPKDT, 2013a).

Kebijakan Memperkuat Daya Saing Ekonomi dan Kohesi Sosial

Peningkatan daya saing ekonomi dan kohesi sosial menjadi bagian penting

untuk dicapai dalam sistem inovasi. Peningkatan daya saing ekonomi dapat diukur

dalam lingkup mikro (perusahaan), meso (industri) atau makro (daerah/ nasional).

Daya saing di tingkat mikro (perusahaan) terlihat dari kemampuan perusahaan

untuk menghasilkan produk atau jasa dengan kualitas, harga dan deliveri (quality-

cost-delivery) yang lebih baik dibandingkan perusahaan sejenis (Porter, 1980).

Sementara itu, daya saing ekonomi di tingkat daerah adalah dengan

membandingkan indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, jumlah

investasi, laju inflasi, tingkat pengangguran, dan lainnya. Pada sisi lain, kohesi

sosial mencerminkan bagaimana peran serta masyarakat untuk menjadi bagian

dalam pembangunan. Kebersamaan, gotong royong, toleransi menjadi alat ukur

untuk mengetahui kohesi sosial di masyarakat.

Salah satu komponen dalam jaringan inovasi adalah menyiapkan kebijakan

yang mampu mendorong supaya daya saing ekonomi kawasan (daerah/ nasional)

meningkat dan kohesi sosial diantara seluruh pemangku kepentingan juga dapat

terus ditumbuhkan. Hal tersebut karena dengan jaringan inovasi seluruh

pemangku kepentingan bersinergi dan bahu membahu mendorong terjadinya

aliran pengetahuan, inovasi dan difusi terus terjadi.

Kebijakan Menyiapkan Metode untuk Mengukur Keberhasilan Jaringan

Inovasi

Untuk mengetahui kuat atau lemahnya jaringan inovasi di suatu kawasan

(daerah) maka salah satu cara yang efektif adalah dengan melakukan pengukuran.

Pengukuran dengan alat ukurnya dapat menggunakan berbagai metode dan

jenisnya. Terdapat berbagai alat ukur yang digunakan dalam mengukur jaringan

inovasi, seperti mengukur pola interaksi antar pelaku dalam jaringan, mengukur

kesiapan pelaku dalam menghasilkan inovasi dan mendifusikan hasilnya kepada

pelaku lain, mengukur kemampuan pelaku dalam menjadi mediator bagi pelaku

lainnya, mengukur keberhasilan penguatan jaringan dan ukuran lainnya. Mengukur

keberhasilan jaringan inovasi harus menjadi kebijakan yang tertulis. Untuk daerah

dapat dicantumkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah) atau indikator keberhasilan Renstra setiap SKPD (satuan kerja perangkat

daerah).

Salah satu alat untuk mengukur pola interaksi aktor yang terjadi dalam

jaringan inovasi adalah metode Sosial Network Analysis (SNA). Mengukur kesiapan

pelaku dalam menghasilkan inovasi dan mendifusi hasil teknologi maka dapat

menggunakan teknometer atau Technology Readiness Level (TRL). Sementara itu,

Page 93: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 81

mengetahui kemampuan pelaku untuk menjadi mediasi dan clearing house bagi

kegiatan teknologi berbagai pelaku, dapat digunakan Technology Clearing House

(TCH).

SNA digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai pola interaksi aktor

yang terjadi dalam jaringan inovasi pada suatu sistem di suatu daerah. SNA

merupakan analisis untuk mengetahui struktur hubungan mulai dari hubungan

social biasa sampai hubungan bisnis antar pelaku individu (juga organisasi), formal

maupun non formal untuk memahami apa yang dapat mendorong dan

menghambat aliran pengetahuan antar pelaku, informasi apa yang diberikan dan

melalui media apa (Serrat, 2009; Butts, 2008; Anonim, 2011). SNA digunakan untuk

menganalisis mengetahui keadaan jaringan secara umum dan kepadatan

hubungan/relasi antar aktor, mengidentifikasi aktor yang paling sentral atau

mempunyai pengaruh yang besar dalam sebuah jaringan dan mengidentifikasi

aktor yang menempati posisi strategis dalam penyebaran/aliran pengetahuan

(PPKDT, 2012a).

TRL adalah suatu sistem pengukuran sistematis, proses berbasis-metrik yang

mendukung penilaian kematangan, risiko atau kesiapan dari suatu teknologi

tertentu untuk digunakan (Department of Defense, 2011) atau pada kondisi nyata

(Engel et al., 2012), yang dikembangkan NASA dengan skala antara 1 - prinsip

dasar observasi- sampai 9 -sistem total berjalan sempurna dalam operasi proyek

(Departemnet of Energy, 2011). TRL sebagai indikator yang menunjukkan seberapa

siap/matang suatu teknologi untuk bisa diterapkan dan diadopsi oleh

pengguna/calon pengguna. Informasi hasil TRL pada pelaku sistem inovasi di

daerah dapat menjadi gambaran kemampuan pelaku dalam menghasilkan

teknologi yang dapat diterapkan oleh pengguna atau masyarakat. Selain itu, juga

dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk untuk memperkuat hubungan

keterkaitan supply-demand teknologi (BPPT, 2012).

TCH merupakan peran pada suatu institusi, lembaga atau organisasi

independen untuk menilai, mengumpulan, mengevaluasi informasi terkait suatu

teknologi dan menyatakan bahwa suatu teknologi layak (aman) untuk diterapkan

(Spero, 2008) di suatu negara atau daerah serta tidak mengandung emisi yang

merugikan (Kuo, 2008). TCH dapat menjamin kelayakan teknologi dengan

mempertimbangkan berbagai faktor keuntungan dan kerugian dalam menerapkan

suatu teknologi (PPKDT, 2012b).

PENUTUP

Jaringan inovasi merupakan salah satu pilar dari prakarsa penguatan sistem

inovasi, disamping penguatan sistem inovasi daerah, klaster industri, teknopreneur

dan tematik. Kebijakan pengembangan jaringan inovasi akan terbangun dengan

baik, apabila ada dukungan kebijakan yang mendorong para pelaku dalam sistem

Page 94: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

82 Kebijakan Inovasi di Industri

inovasi saling berinteraksi mengalirkan pengetahuan, inovasi, difusi, dan

pembelajaran untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan kohesi sosial dengan

didukung infrastruktur teknis, komersial, sosial, maupun finansial. Keberhasilan

kebijakan pengembangan jaringan inovasi adalah membangun interaksi antar

pelaku dengan memanfaatkan berbagai metode dan perangkat, sehingga

hubungan tersebut dapat berlangsung dengan efektif dan efisien untuk mencapai

tujuan yang ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Fatah, Y.R., A.H.B. Kahyout dan W. M. Sheta, 2013. “Egypt's Science and

Technology Parks Outlook : A Focus on SRTACity (City for Scientific Research

and Technology Applications)”, dalam World Technopolis Review, Vol. 2, No. 2

Issue 6, hlm. 96-108

Agency for Science, Technology and Research [A*STAR], 2012. Pursuing Knowledge

for the Prosperity of Singapore. Singapore: A*STAR

Ahrweiler, P. (ed), 2010. Innovation in Complex Social Systems. London: Routledge

Ahrweiler, P. dan M. Keane, 2013. “Innovation network”, dalam Mind & Society, Vol.

12, hlm. 73-90

Anonim, 2011. Social Network Analysis: Theory and Applications.

[http://en.wikipedia.org/w/index.php?oldid=404640258]

Arnold, E dan S. Kuhlman, 2001. “RCN in the Norwegian research and innovation

system”, dalam Background Report No 12 in the Evaluation of the Research

Council of Norway, Oslo: Royal Norwegian Ministry for Education, Research

and Church Affairs

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi [BPPT], 2011. Panduan Pemetaan

Jaringan Inovasi dalam Kerangka Sistem Inovasi Daerah. Jakarta: BPPT

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi [BPPT], 2012. Panduan Pengukuran

Tingkat Kesiapan Teknologi: Teknometer, Jakarta: BPPT

Bratianu, C. 2010. “A Critical analysis of Nonaka’s Model of knowledge dynamics”,

dalam Electronic Journal of Knowledge Management, Vol. 8, Issue 2, hlm. 193 --

200, [www.ejkm com]

Butts, C. T. 2008. “Social network analysis: A methodological introduction”, dalam

Asian Journal of Social Psychology, Vol. 11, hlm. 13–41

Cha, S., 2012. “A global network for sustainable technopolis development: Case of

World Technopolis Association on strengthening NISs in the Asia-Pacific

region”, dalam Tech Monitor , Jan-Mar

Department of Defense, 2011. Technology Readiness Assessment (TRA) Guidance.

Assistant Secretary of Defense for Research and Engineering (ASD(R&E)),

Department of Defense, USA

Page 95: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Kebijakan Pengembangan Jaringan Inovasi dalam Sistem Inovasi 83

Departemnet of Energy, 2011. Technology Readiness Assessment Guide.

Washington, D.C.: U.S. Department of Energy

Ekiz, C. 2006. New Space Organization and Development Alternatives in Metu-Tech

(Metu Technopolis). Tesis The Graduate School of Natural and Applied

Sciences, Middle East Technical University

Engel, D.W., A.C. Dalton, K. Anderson, C. Sivaramakrishnan dan C. Lansing, 2012.

Development of Technology Readiness Level (TRL) Metrics and Risk Measures.

Pacific Northwest National Laboratory, United States Department of Energy

European Commission, 2007. Technopolis: Identification and Dissemination of Best

Practice in Science Mentoring and Science Ambassador Schemes across Europe.

Brussels: European Commission. [http://ec.europa.eu/research/ research-eu]

Gibson, D.V. dan J. S. Butler, 2013. “Sustaining the technopolis: The case of Austin,

Texas”, dalam World Technopolis Review, Vol. 2, No. 2 Issue 6, hlm. 64-80

Hardianto, A., A. Widodo, G. Soehadi, Saparudin dan A. Rais, 2013. ”Analisis tingkat

penerapan e-development di Kota Pekalongan dan Cimahi”, dalam Prayitno

(ed). Pengembangan Jaringan Inovasi, Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan

Difusi Teknologi

Hu, T. S. dan C. Y. Lin, 2013, “Technopolis and regional development: A Review of

development experience in Hsinchu, Taiwan”, dalam World Technopolis Review,

Vol. 2, No. 2 Issue 6, hlm. 50-63

Launonen, M., 2006. Promoting Innovation-Based Growth in Rusia. Moscow:

Technopolis

Lee, T. 2012. “Rethinking path dependency and regional innovation - policy

induced ‘government dependency’: The case of Daedeok, South Korea”, dalam

World Technopolis Review, Vol. 1, No. 2 Issue 2, hlm. 92-106

Kim, S. dan G.D. An, 2012, “A comparison of Daedeok Innopolis Cluster with the

San Diego Biotechnology Cluster”, dalam World Technopolis Review, Vol. 1, No.

2 Issue 2, hlm. 118-128

Kuo, J. 2008. Clearinghouse of Technological Options for Reducing Anthropogenic

Non-CO2 GHG Emissions from All Sectors. Contract No.: CARB 05-328.

Sacramento, CA: State of California Air Resources Board Research Division

Mowery, D. C. dan Y..J. Oxley, 1997. “Inward technology transfer and

competitiveness: the role of national innovation systems”, dalam D.Y.

Archibugi dan J. Michie, (ed). Technology, Globalisation and Economic

Performance. Cambridge; New York and Melbourne: Cambridge University

Press.

Nonaka, I. dan H. Takeuchi, 1995. The Knowledge-Creating Company. New York:

Oxford University Press

Nonaka, I. dan R. Toyama, 2003. “The knowledge-creating theory revisited:

knowledge creation as a synthesizing process”, dalam Knowledge Management

Research & Practice, Vol. 1, hlm. 2–10

Page 96: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

84 Kebijakan Inovasi di Industri

Oh, D. S. dan I. Yeom, 2012, “Daedeok Innopolis in Korea: From science park to

innovation cluster”, dalam World Technopolis Review, Vol. 1, No. 2 Issue 2, hlm.

141-154

Philips, F. Y. 2012. “Social capital, social engineering, and the technopolis”, dalam

World Technopolis Review, Vol. 1, No. 2 Issue 2, hlm. 86-91

Porter, M. E. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and

Competitors. New York: The Free Press

Probert, S. K., 2003. “Knowledge management: A critical investigation”, dalam

Electronic Journal of Business Research Methods, Vol. 2, Issue 1, hlm. 63-70

Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2012a. Jaringan Inovasi Kota

Pekalongan. Jakarta: PPKDT-BPPT

Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2012b. Technology Clearing

House. Jakarta: PPKDT-BPPT

Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2013a. Program

Pengembangan Jaringan Inovasi Kegiatan Intermediasi, Pendampingan Difusi

Teknologi dan Implementasi Jaringan Inovasi. Jakarta: PPKDT-BPPT

Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi [PPKDT], 2013b. Pendampingan

Manajemen Pengetahuan di Daerah. Jakarta: PPKDT-BPPT

Ramirez, A.M., V.J.G.Morales dan R.M. Rojas, 2011. “Knowledge creation,

organizational learning and their effects on organizational performance”,

dalam Inzinerine Ekonomika-Engineering Economics, Vol. 22(3), hlm. 309-318

Serrat, O. 2009. Social Network Analysis. Manila: Asian Development Bank

Sidik, M.A. Dan S. Pratiwi, 2011.”Upaya peningkatan daya saing IKM melalui sistem

inovasi daerah di Kabupaten Blitar”, dalam D. Vidyatmoko, H.Y. Rosadi dan R.

Taufiq (ed), Peningkatan Daya Saing Industri: Metode dan Studi Kasus. Jakarta:

BPPT-Press

Smilor, R.W., D.V. Gibson dan G. Kozmetsky, 1988. “Creating the technopolis: high

technology development in Austin, Texas”, dalam Journal of Business

Venturing, Vol. 4, hlm. 49-67

Spero, K. 2008. The Regional Technology Clearinghouse. San Diego

[http://rtc.sdsu.edu]

Taufik, T. A. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan.

Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi

Taufik, T. A. 2012. “Pengantar penguatan sistem inovasi dalam mendukung

pembangunan daerah”, dalam Workshop dan Capacity Building Penguatan

Sistem Inovasi di Provinsi Riau, Pekanbaru, 24 - 27 September

Page 97: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

MODEL UNTUK MENILAI KESIAPAN

PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA

DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

BERBASIS DUNIA USAHA

Puguh Suharso

ABSTRACT The era of globalization with a definite pass and deliver to the world community to

interactive with each other, on the other hand have to compete economically. How

much readiness Government of Jakarta in the face of global competitiveness, to

improve people's living standards as developed society. Some indicators will be used

as a criterion to measure the degree of success in realizing the advanced societies, i.e.

infrastructure needed by entrepreneurs such as licensing, taxation, labor regulations,

roads, customs and ports, public infrastructure services, land, security conditions,

access to enterprise financing and business environment. Analysis of the research

has been carried out with data collection in the field of employer opinion. The

objective of the research is to measure how high the value of the achievements of

each indicator that has been prepared by Government of Jakarta to face global

competition? The results of the research conclusion: that the Jakarta administration is

good enough to prepare for global competition. The weak indicator is only tax

issues, as in the category of less well, while others are quite good indicator.

Measuring the parameters that cause a weak indicator (taxation) is taking care of the

needs of the time in service tax, the amount and variation of retribution, the number

and variety of local taxes and clarity of tax administration procedures.

Keyword: policy indicator, public, andvanced society

ABSTRAK Era globalisasi dengan pasti berlalu dan mengantarkan kepada masyarakat dunia

untuk saling interaktif, di sisi lain harus bersaing secara ekonomi. Seberapa jauh

kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam menghadapi daya saing global, yaitu dalam

memperbaiki standar hidup masyarakat sebagai masyarakat maju. Beberapa

indikator akan digunakan sebagai kriteria untuk mengukur tingkat keberhasilan

dalam mewujudkan masyarakat maju, yaitu: infrastruktur yang dibutuhkan oleh

pengusaha seperti perijinan, perpajakan, peraturan ketenagakerjaan, jalan raya,

kepabeanan dan pelabuhan, jasa infrastruktur publik, tanah / lahan, kondisi

keamanan, akses pembiayaan perusahaan dan kondisi lingkungan bisnis. Analisis

Page 98: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

86 Kebijakan Inovasi di Industri

riset sudah dilakukan dengan pengumpulan data secara opeasional di lapangan dari

opini pengusaha. Tujuan analisis riset adalah untuk mengukur seberapa tinggi nilai

capaian setiap indikator yang telah dipersiapkan Pemerintah DKI Jakarta untuk

menghadapi persaingan global? Hasil kesimpulan riset: bahwa Pemerintah DKI

Jakarta cukup baik dalam mempersiapkan diri menghadapi persaingan global.

Indikator yang lemah hanya masalah perpajakan, karena masuk dalam kategori

kurang baik, sementara untuk indikator yang lain cukup baik. Parameter ukur yang

menyebabkan indikator yang lemah (perpajakan) adalah kebutuhan waktu dalam

pelayanan mengurus pajak, jumlah dan variasi retribusi daerah, jumlah dan variasi

pajak daerah dan kejelasan prosedur pengurusan pajak.

Kata kunci: indicator kebijakan, kebijakan publik, masyarakat maju

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menjelang berakhirnya abad ke-20 tepatnya pada bulan Mei tahun 1998,

bangsa Indonesia telah mengukir sejarah dengan gerakan revolusi demokrasi.

Demokrasi orde baru diganti dengan demokrasi reformasi, dan dalam waktu yang

relatif singkat berhasil menunjukkan kinerja yang tinggi yaitu ketetapan Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Digariskan dalam

undang-undang tersebut bahwa daerah diberikan keleluasaan otonomi

sepenuhnya untuk mengatur dan mengembangkan daerahnya sendiri, yang

kemudian diperkuat dengan tersusunnya suatu sistem demokrasi daerah melalui

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang intinya adalah mengangkat Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis. Atas dasar

ketetapan undang-undang tersebut, daerah diharapkan sebagai ujung tombak

bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan di era global, sehingga

pendekatan pengembangan wilayah / daerah melalui persaingan lokal yang sehat

dan adil akan menumbuhkembangkan peran pemerintah daerah secara positif

terhadap kepentingan nasional khususnya dalam menghadapi globalisasi.

DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan kota metropolitan, secara phisik tidak

diragukan lagi perkembangannya sehingga Jakarta menjadi daerah impian

(percontohan) bagi masyarakat dari daerah lain maupun sebagai tempat untuk

mengadu nasib. Akibatnya juga tidak dapat dihindari, bahwa masyarakat yang

mengadu nasib di Jakarta banyak yang tidak mempunyai kapasitas bersaing.

Kondisi tersebut merupakan persoalan tersendiri bagi pemerintah Jakarta untuk

mencari solusinya. Dari sisi lain bahwa pembangunan ekonomi, Jakarta tampak

maju pesat, hal tersebut terbukti dengan semakin tingginya volume kendaraan

bermotor, tumbuhberkembangnya gedung perkantoran maupun komplek hunian

serta berbagai kesibukan masyarakatnya. Akan tetapi, beberapa faktor tersebut

adalah sebagai indikator hasil (variabel terikat) yang belum tentu dapat dijadikan

Page 99: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 87

sebagai ukuran keberhasilan usaha menuju masyarakat maju. Alasan tersebut

disebabkan oleh karena yang dijadikan sebagai indikator belum tentu seluruhnya

adalah hasil pencapaian dari dunia usaha atau dari proses produksi. Setidaknya

bahwa dunia usaha atau proses produksi merupakan upaya yang kongkrit untuk

mewujudkan kegiatan ekonomi dalam rangka menciptakan masyarakat maju.

Dalam dunia usaha dikenal ada beberapa segmentasi pasar yang berkaitan erat

dengan modal usaha maupun salah satu ukuran lainnya adalah produk yang

dihasilkan, sehingga jenis usaha digolongkan dalam segmentasi bawah dan atas.

Segmentasi bawah terdiri atas Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM),

sedangkan segmentasi atas adalah industri besar. Proporsi dari segmentasi usaha

tersebut secara nominal mayoritas adalah berada pada kelas bawah, yaitu Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah.

Pemerintah dalam mendukung proses pencapaian tingkat keberhasilan dunia

usaha dalam rangka menuju masyarakat maju adalah sebagai fasilitator, yaitu

menyediakan dan melayani kebutuhan bagi dunia usaha. Penyediaan dan

pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam mendukung dunia

usaha perlu dilakukan penilaian agar diketahui kebijakan apa saja yang harus

dilakukan ketika penyediaan dan pelayanan jasa yang diberikan kepada dunia

usaha dianggap masih menjadi kendala. Dengan demikian Pemerintah DKI Jakarta

dapat mempersiapkan segala sesuatunya sebagai strategi yang harus diatur

dengan baik, agar kebutuhan dunia usaha dapat dilayani secara lebih optimal.

Sehingga dampaknya akan dapat dirasakan oleh dunia usaha dalam mendorong

pencapaian yang lebih baik, dan diharapkan dapat mewujudkan kemampuan daya

saing ekonomi secara global. Jika upaya tersebut dilakukan dengan baik oleh

setiap pemerintah otonomi daerah, maka dapat menciptakan kemampuan

bersaing secara nasional dalam menghadapi globalisasi ekonomi terhadap negara-

negara di dunia. Terwujudnya kondisi yang demikian akan membawa Indonesia

mampu mengurangi ketergantungan dari negara-negara maju yang selama ini

menguasai pasar dunia. Selanjutnya dapat memperkokoh kedudukan bangsa

Indonesia dalam persaingan global, dan kiat-kiat dalam menghadapi daya saing

akan mampu meningkatkan pangsa pasar dunia.

Permasalahan

Dunia kini telah melewati masa tanpa batas-batas suatu negara dalam segala

aspek kehidupan sehingga persaingan untuk menjadi negara yang maju tidak

dapat terelakkan lagi. Inti permasalahan untuk menciptakan negara maju adalah

unggul dalam persaingan ekonomi secara global. Sebagai akibat dari kondisi

tersebut, negara yang tidak mampu bersaing akan menjadi sasaran

ketergantungan terhadap negara lain yang lebih maju. Di dalam lingkup yang lebih

sempit bahwa untuk mencapai keunggulan dalam persaingan ekonomi global

maka Pemerintah DKI Jakarta harus mampu memberikan dorongan yang kuat

Page 100: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

88 Kebijakan Inovasi di Industri

kepada dunia usaha agar dapat menciptakan masyarakat Jakarta menjadi

masyarakat yang maju. Unsur-unsur dorongan yang harus dipersiapkan oleh

Pemerintah DKI Jakarta kepada dunia usaha belum teridentifikasi dengan jelas,

sehingga masih sulit dalam menyusun strategi untuk menyediakan kebutuhan dan

memberikan pelayanan yang optimal bagi dunia usaha.

Tujuan Penelitian

Untuk mendukung kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam menyusun suatu

kebijakan guna mencapai keberhasilan dalam globalisasi ekonomi yaitu

menciptakan masyarakat maju, maka tujuan penelitian antara lain adalah :

a. Menyusun dan menetapkan indikator yang digunakan sebagai unsur-unsur

dorongan (motivasi) dalam rangka menyiapkan kebutuhan dan pelayanan bagi

pengusaha, yang sekaligus digunakan sebagai kriteria penilaian.

b. Analisis / penilaian dengan data operasional atas indikator ke dalam lima

kategori, di mana kategori rendah sebagai faktor kelemahan dan sebaliknya

kategori tinggi sebagai faktor kekuatan.

c. Memberikan saran yang diperlukan untuk menyusun suatu kebijakan dalam

rangka lebih mendorong dunia usaha untuk menciptakan masyarakat maju.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian merupakan informasi strategis yang sangat bermanfaat bagi

pemerintah DKI Jakarta, khususnya unit kerja yang berkaitan erat dengan pelaku

bisnis (pengusaha). Muatan informasi dapat digunakan sebagai dasar untuk

pengambilan keputusan dalam rangka optimisasi kerja pemerintah dalam

menyediakan dan melayani kebutuhan para pengusaha. Diharapkan strategi yang

demikian membawa dampak positif terhadap pembangunan masyarakat maju

yang memiliki kemampuan daya saing global.

Konsep Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah

ditetapkan tersebut adalah penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan seluruh

unsur yang tercakup dalam setiap indikator sebagai variabel penelitian secara

detail. Sedangkan metodologi yang digunakan sebagai pendekatan pemecahan

masalah adalah menggunakan model analisis kuantitatif “TEV”. Model tersebut

terdiri atas tiga langkah kegiatan, yaitu menyusun pohon keputusan (decision tree)

sebagai diagram penyelesaian, melakukan optimisasi pohon keputusan dan

memberikan pembobotan setiap unsur yang tercakup dalam pohon keputusan

optimal dengan metode Delphi, dan melakukan penilaian (expected value) yang

diawali dari setiap unsur pohon keputusan paling bawah dengan menggunakan

data operasional berdasarkan skala ukur yang telah ditetapkan (skala Likert lima

kategori).

Page 101: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 89

Penelitian didesain sebagai penelitian survei dengan menggunakan data

sampling dan subyek penelitian adalah para pengusaha UMKM komoditas

unggulan. Metode sampling yang dipilih adalah sampel klaster berdasarkan atas

komoditas barang dan jasa yang diunggulkan di DKI Jakarta dengan sumber data

dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia, yaitu: Makanan & Minuman;

Bahan & Barang Kimia; Alas Kaki; Tekstil & Produk Tekstil (TPT); dan Perhotelan.

Jumlah sampel (subyek penelitian) menurut Gay bahwa untuk penelitian deskriptif

adalah 10% dari populasi untuk masing-masing klaster komoditas pilihan tersebut

secara proporsional. Metode pengumpulan data adalah pengamatan di lapangan

atas unsur-unsur indikator secara operasional dan membuat kuesioner untuk

menjaring opini pengusaha atas penyediaan dan pelayanan yang diberikan oleh

Pemerintah DKI Jakarta kepada para pengusaha. Butir-butir pertanyaan dibuat dari

unsur-unsur operasional beberapa indikator penilaian yang digunakan untuk

mengukur seberapa jauh kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam meyediakan dan

memberikan pelayanan terhadap kebutuhan para pengusaha, sebagian indikator

yang lainnya dengan metode pengamatan. Pengumpulan data dilakukan selama

satu semester, dimulai medio tahun 2006.

Setelah seluruh data terkumpul, analisis data dilakukan untuk membuat

penilaian. Kemudian hasilnya disesuaikan dengan desain skala pengukuran yang

telah ditetapkan (lima kategori), yaitu: tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik,

dan sangat baik. Untuk mengantisipasi hasil perhitungan (nilai), maka kategori

diformulasikan dalam suatu interval range seperti berikut:

Kategori nilai dalam interval range

Interval Range Nilai Kategori

4,21 - 5,00 5 Sangat Baik

3,41 - 4,20 4 Baik

2,61 - 3,40 3 Cukup Baik

1,81 - 2,60 2 Kurang Baik

1,00 - 1,80 1 Tidak Baik

METODOLOGI ANALISIS

Identifikasi indikator sebagai kriteria pengukuran prestasi / hasil yang telah

dicapai oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka menciptakan masyarakat maju,

dilakukan dengan menggunakan pendekatan model analisis kuantitatif “TEV”.

Algoritme pemecahan masalah dengan model analisis kuantitatif “TEV” adalah

sebagai berikut:

Pohon Keputusan

Obyek penilaian adalah kesiapan Pemerintah DKI Jakarta dalam

menyelenggarakan dan memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan yang

Page 102: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

90 Kebijakan Inovasi di Industri

diperlukan oleh para pengusaha, harus dijabarkan menjadi beberapa indikator

yang digunakan sebagai kriteria penilaian. Berdasarkan data dari hasil kajian

Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan

di bawah Departemen Perdagangan Republik Indonesia; bahwa indikator iklim

usaha perdagangan adalah perizinan, perpajakan, peraturan ketenagakerjaan, jalan

raya, pabean dan pelabuhan, jasa infrastruktur publik, tanah / lahan, kondisi

keamanan, akses pembiayaan perusahaan, dan kondisi lingkungan bisnis (lihat

Lampiran).

Metode Delphi

Ketika konsep awal untuk pohon keputusan belum mencapai pada tingkat

operasional secara optimum, upaya untuk mengoptimisasikan pohon keputusan

dilakukan dengan metode Delphi, yaitu melibatkan pakar kebijakan di bidang

usaha perdagangan (bisnis). Para pakar yang dilibatkan antara lain adalah dari

pemerintah (birokrat), akademisi, pelaku bisnis dan masyarakat ahli lainnya dengan

jumlah seluruhnya 50 (lima puluh) orang pakar. Kemudian para pakar secara

terpisah diberikan angket agar memberikan usulan yang berkaitan dengan cabang

pohon keputusan mulai dari jajaran tingkat kedua dan seterusnya hingga

mencapai pada jajaran tingkat operasional (cabang terakhir). Setelah seluruh

angket terkumpul kembali, kemudian mengundang 5 (lima) orang pakar dari

anggota yang terlibat untuk diajak dalam suatu pertemuan tertutup. Agenda

dalam pertemuan tersebut adalah merumuskan pohon keputusan, dan hasilnya

disebar kembali kepada seluruh pakar untuk ditanggapi dan diberikan masukan

supaya lebih sempurna (optimum). Iterasi kegiatan dalam pertemuan tertutup

digelar kembali untuk optimisasi pohon keputusan, dan hasilnya disepakati

bersama.

Unsur-unsur dari pohon keputusan optimum yang telah dihasilkan adalah

sebagai instrumen kebijakan, apabila nilainya rendah merupakan kelemahan yang

dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun strategi dalam memperbaiki

kebijakan selanjutnya. Instrumen kebijakan tersebut mengandung formula untuk

menghasilkan nilai setiap unsur pohon keputusan, yang terdiri atas bobot unsur

dan nilai pengukuran. Rumus 1 berikut adalah pembobotan unsur pohon

keputusan:

mi

nk

jma

Am

k

m

j

ij

i ,........3,2,1;

1

1

1

Page 103: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 91

Keterangan :

Ai = Nilai bobot unsur ke-i

aij = Jumlah pakar yang menilai Ai sebagai peringkat ke-j

m = Jumlah unsur dalam kelompok setiap anak cabang pohon keputusan

n = Jumlah seluruh pakar yang melakukan pembobotan

Kemudian, penilaian diawali dari setiap unsur di tingkat yang paling bawah

menggunakan data operasional berdasarkan skala ukur yang telah ditetapkan

(yaitu lima kategori) hingga penilaian secara menyeluruh yang total hasilnya

adalah sebagai nilai obyek yang dikaji. Data operasional diperoleh dari hasil survei

pengamatan maupun dari kuesioner, selanjutnya di samping bobot bahwa nilai

pengukuran masing-masing unsur diperoleh dari hasil perhitungan dengan

menggunakan rumus nilai harapan (expected value) berdasar pada skala lima.

Perhitungan Nilai Harapan

Penilaian dimulai dari setiap unsur operasional (paling bawah), yang setiap

kelompoknya mewakili unsur di tingkat atasnya hingga pada unsur indikator dan

kelompok indikator merupakan nilai total yaitu nilai obyek. Rumus 2 berikut adalah

perhitungan nilai harapan (expected value) unsur pohon keputusan:

i

n

i

i pkXEV

1

)(

Keterangan :

X = Indikator yang dinilai

pi = Probabilitas responden yang menilai parameter ke-i sebesar

ki

ki = Nilai kategori jawaban parameter ke-i

n = Banyaknya parameter yang tercakup dalam indikator

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis

Setelah seluruh data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan

rumus 1 tentang pembobotan masing-masing unsur pohon keputusan dan rumus

2 mengenai nilai harapan unsur pohon keputusan. Nilai hasil analisis

mencerminkan kategori setiap unsur dalam pohon keputusan mulai dari tingkat

operasional (paling akhir) hingga nilai obyek yang dikaji. Hasil perhitungan nilai

harapan (expected value) total sebagai nilai obyek, yaitu kesiapan Pemerintah DKI

Jakarta dalam mempersiapkan dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya

(optimal) tentang kebutuhan bagi pengusaha untuk mewujudkan masyarakat yang

maju sehingga mampu bersaing dalam merebut pangsa pasar global, tergolong

dalam kategori cukup baik dengan nilai adalah 3,08.

Page 104: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

92 Kebijakan Inovasi di Industri

Pembahasan

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indikator kebanyakan lebih dari angka

3 (tiga) dalam kategori mulai cukup baik. Untuk meningkatkan nilai menjadi

kategori baik dibutuhkan strategi, yaitu memperbaiki kinerja unsur-unsur

operasional yang kurang mendukung seperti hasil pembahasan berikut.

Indikator perpajakan

Unsur bagian sub-indikator yang dipandang sebagai kendala yang sangat

menggangu dalam rangka memberikan pelayanan perpajakan adalah :

3.2.1.1. Jangka waktu pelayanan pajak tidak sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan.

3.2.1.2. Besaran tarif retribusi dan pajak daerah perlu direduksi secara optimal.

3.2.1.3. Banyaknya jenis retribusi dan pajak daerah perlu direduksi secara optimal.

Jalan Raya

Arus lalu-lintas jalan raya dinilai kurang baik, karena kepadatan jalan raya cukup

tinggi.

Tanah / lahan

Pengadaan Tanah/Lahan dinilai kurang baik, karena:

3.2.3.1. Tingkat kelayakan harga tanah/lahan dipandang cukup tinggi.

3.2.3.2. Kemudahan memperoleh tanah / lahan dipandang masih cukup sulit.

Kondisi Lingkungan Bisnis

Sub-indikator lingkungan bisnis yang dipandang sebagai kendala yang sangat

menggangu adalah :

3.2.4.1. Akses bahan baku, karena kurang mendukung.

3.2.4.2. Akses pasar, dipandang kurang mendukung

Hasil Pengamatan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan berhasil dicatat ada

penyimpangan seperti berikut:

3.2.5.1. Surat Keterangan Asal, Angka Pengenal Importir Produsen, Tanda Daftar

Gudang / Ruangan, Tanda Daftar Perusahaan, Angka Pengenal Importir

Terbatas, pengurusannya membutuhkan waktu yang lebih dibanding waktu

standar yang telah ditentukan.

3.2.5.2. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Gudang / Ruangan, Ijin

Usaha Industri, Tanda Daftar Perusahaan, Ijin Undang-undang Gangguan,

dan Pengesahan Akte Pendirian Perusahaan, pengurusannya

membutuhkan biaya tambahan di luar biaya standar yang ditetapkan.

Page 105: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 93

PENUTUP

Kesiapan pemerintah DKI Jakarta dalam memberikan pengadaan fasilitas dan

pelayanan kepada para pengusaha tentang kebutuhan yang diperlukan dalam

rangka membangun masyarakat maju, dinilai masih dalam kategori cukup baik.

Kondisi demikian berarti bahwa fasilitasi dan pelayanan yang diberikan oleh

pemerintah DKI Jakarta kepada para pengusaha masih belum sepenuhnya

memuaskan, sehingga masih terdapat kelemahan seperti:

4.1. Waktu palayanan perpajakan disesuaikan waktu standar yang ditetapkan.

4.2. Besaran tarif dan banyaknya jenis retribusi daerah lebih dioptimalkan.

4.3. Besaran tarif dan banyaknya jenis pajak daerah lebih dioptimalkan.

4.4. Prosedur pengurusan perpajakan lebih disederhanakan.

4.5. Cara memperoleh dan harga tanah / lahan lebih dioptimalkan.

4.6. Memberikan fasilitasi yang lebih luas terhadap kelancaran akses jalan raya,

akses bahan baku, dan akses pasar.

Strategi yang disarankan untuk dilakukan tersebut akan mengandung resiko,

yaitu sebagai dampak lipat ganda (multiplier effect) yang harus dihadapi. Sehingga

ada kandungan unsur-unsur yang merugikan dan menguntungkan, namun hal itu

justru membuat strategi pengembangan wilayah yang konprehensif dan optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, R., 2005, Model Kuantitatif Pengambilan Keputusan dan Perencanaan

Strategis, ALFABETA, CV., Bandung.

Dunn, W.N., Penyunting : Darwin. M, (Penerjemah Wibawa S, et al), 2003,

Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Douglas, E.J, 1992, Managerial Economics : Analysis and Strategy, Prentice-Hall, Inc.,

USA.

Gilbert, G.G, and Koehler, D.O., 1984, Applied Finite Mathematics, McGraw-Hill, Inc.,

USA.

Hiller, F.S., and Lieberman, G.J., 1980, Introduction to Operations Research, Holden-

Day, Inc., USA.

Kuncoro, M., 2003, Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Erlangga, Jakarta.

Mizrahi, and Sullivian, 1979, Mathematics for Business and Social Sciences : An

Applied Approach, John Wiley & Sons, Inc., Canada.

Rangkuti, F., 2001, Riset Pemasaran, PT. Gramedia Pustaka Utama, IBII, Jakrta.

Sekaran, U., 2003, Research Methods for Business, John Wiley & Sons, Inc., New

York.

Suharso, P.,2007, Metode Penelitian Kuantitatif untuk Bisnis : Pendekatan Filosofi

dan Praktis, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah,

BPP Teknologi, Jakarta.

Page 106: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

94 Kebijakan Inovasi di Industri

----------, 2007, Laporan Akhir Penyusunan Indikator Iklim Usaha Perdagangan,

Departemen Perdagangan, Jakarta.

Page 107: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 95

LAMPIRAN:

1. Grafik Pohon Keputusan Keputusan

2. Hasil Analisis Pohon Keputusan

Nomer

Hirarki

Nama Unsur

Nilai hasil

Perhitungan

Kategori

1. Indikator perijinan 2,89 Cukup baik

1.1. Sub-indikator biaya perijinan 2,74 Cukup baik

1.1.1. Kelayakan biaya standar 2,69 Cukup baik

1.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar 2,78 Cukup baik

1.2 Sub-indikator jangka waktu perijinan 2,87 Cukup baik

1.2.1 Kelayakan waktu standar 2,88 Cukup baik

1.2.2 Kesesuaian waktu dengan standar 2,86 Cukup baik

1.3 Sub-indikator persyaratan prosedur

perijinan

2,90 Cukup baik

1.3.1 Kemudahan persyaratan 2,77 Cukup baik

1.3.2 Pemahaman atas persyaratan 3,08 Cukup baik

1.4 Sub-indikator kejelasan prosedur

perijinan

3,01 Cukup baik

1.4.1 Tingkat kemudahan perijinan 2,98 Cukup baik

1.4.2 Pemahaman prosedur 3,06 Cukup baik

Page 108: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

96 Kebijakan Inovasi di Industri

Nomer

Hirarki

Nama Unsur

Nilai hasil

Perhitungan

Kategori

2. Indikator perpajakan 2,59 Kurang baik

2.1 Sub-indikator biaya pelayanan

perpajakan

2,70 Cukup baik

2.1.1 Kelayakan biaya dalam standar

pelayanan pajak

2,75 Cukup baik

2.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar

pelayanan pajak

2,78 Cukup baik

2.2 Sub-indikator jangka waktu pelayanan

pajak

2,69 Cukup baik

2.2.1 Kelayakan waktu dalam standar

pelayanan pajak

2,88 Cukup baik

2.2.2 Kesesuaian waktu dengan standar

pelayanan pajak

2,53 Kurang baik

2.3 Sub-indikator jenis dan tarif retribusi

daerah

2,55 Kurang baik

2.3.1 Besaran tarif retribusi daerah 2,55 Kurang baik

2.3.2 Banyaknya jenis retribusi daerah 2,55 Kurang baik

2.4 Sub-indikator jenis dan tarif pajak

daerah

2,46 Kurang baik

2.4.1 Besaran tarif pajak daerah 2,45 Kurang baik

2.4.2 Banyaknya jenis pajak daerah 2,47 Kurang baik

2.5 Sub-indikator kejelasan prosedur

perpajakan

2,63 Cukup baik

2.5.1 Tingkat kemudahan prosedur

perpajakan

2,37 Kurang baik

2.5.2 Pemahaman prosedur perpajakan 2,86 Cukup baik

3. Indikator peraturan ketenagakerjaan 3,19 Cukup baik

3.1 Sub-indikator hubungan industrial 3,28 Cukup baik

3.1.1 Kelayakan substansi peraturan

ketenagakerjaan

3,20 Cukup baik

3.1.2 Pemahaman terhadap peraturan 3,31 Cukup baik

3.2 Sub-indikator UMK / UMP 3,14 Cukup baik

3.2.1 Partisipasi pengusaha dalam penetapan

UMK / UMP

3,14 Cukup baik

3.2.2 Besaran penetapan UMK / UMR 3,14 Cukup baik

4. Indikator jalan raya 3,10 Cukup baik

4.1 Sub-indikator biaya pemanfaatan jalan 2,73 Cukup baik

4.1.1 Kelayakan biaya dalam standar

pemanfaatan jalan

2,63 Cukup baik

4.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar

layanan jalan raya

2,82 Cukup baik

Page 109: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model untuk Menilai Kesiapan Pemprov DKI Jakarta dalam Pengembangan Wilayah 97

Nomer

Hirarki

Nama Unsur

Nilai hasil

Perhitungan

Kategori

4.2 Sub-indikator kelancaran arus lalu lintas 2,59 Kurang baik

4.2.1 Kelengkapan marka jalan 3,33 Cukup baik

4.2.2 Kepadatan jalan 2,16 Kurang baik

4.3 Sub-indikator ketersediaan jalan raya 3,86 Baik

4.3.1 Kelas jalan raya 3,82 Baik

4.3.2 Kualitas jalan raya 3,88 Baik

5. Indikator pabean dan pelabuhan 3,18 Cukup baik

5.1 Sub-indikator kejelasan prosedur

pabean dan pelabuhan

3,31 Cukup baik

5.1.1 Tingkat kemudahan prosedur pabean

dan pelabuhan

3,37 Cukup baik

5.1.2 Pemahaman prosedur pabean dan

pelabuhan

3,24 Cukup baik

5.2 Sub-indikator fasilitas pelabuhan 3,12 Cukup baik

5.2.1 Dukungan bongkar muat 3,08 Cukup baik

5.2.2 Dukungan bounded warehouse 3,16 Cukup baik

5.2.3 Dukungan armada angkutan 3,14 Cukup baik

5.3 Sub-indikator ketersediaan pabean dan

pelabuhan

3,29 Cukup baik

5.3.1 Kualitas layanan 3,24 Cukup baik

5.3.2 Kualitas pelabuhan 3,37 Cukup baik

6. Indikator jasa infrastruktur publik 3,17 Cukup baik

6.1 Sub-indikator biaya pemanfaatan

infrastruktur publik

3,17 Cukup baik

6.1.1 Kelayakan biaya dalam standar

pelayanan

3,45 Baik

6.1.2 Kesesuaian biaya dengan standar

layanan

2,88 Cukup baik

6.2 Sub-indikator kualitas layanan 3,02 Cukup baik

6.2.1 Kelayakan standar layanan infrastruktur

publik

2,73 Cukup baik

6.2.2 Kesesuaian dengan standar layanan

infrastruktur publik

3,35 Cukup baik

6.3 Sub-indikator ketersediaan infrastruktur

publik

3,25 Cukup baik

6.3.1 Kualitas infrastruktur publik 3,33 Cukup baik

6.3.2 Kuantitas infrastruktur publik 3,14 Cukup baik

7. Indikator tanah / lahan 2,82 Cukup baik

7.1 Sub-indikator kejelasan status tanah 3,39 Cukup baik

7.1.1 Kelengkapan dokumen 3,39 Cukup baik

Page 110: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

98 Kebijakan Inovasi di Industri

Nomer

Hirarki

Nama Unsur

Nilai hasil

Perhitungan

Kategori

7.1.2 Tuntutan masyarakat / sengketa 3,39 Cukup baik

7.2 Sub-indikator pengadaan tanah / lahan 2,24 Kurang baik

7.2.1 Tingkat kelayakan harga tanah / lahan 2,26 Kurang baik

7.2.2 Kemudahan memperoleh tanah / lahan 2,24 Kurang baik

8. Indikator kondisi keamanan 3,28 Cukup baik

8.1 Sub-indikator biaya keamanan 3,29 Cukup baik

8.1.1 Besaran biaya keamanan 3,14 Cukup baik

8.1.2 Jenis biaya keamanan 3,43 Baik

8.2 Sub-indikator sengketa dan konflik 3,28 Cukup baik

8.2.1 Kecepatan penanganan aparat

keamanan

4,00 Baik

8.2.2 Intensitas sengketa / konflik masyarakat 2,20 Kurang baik

9. Indikator akses pembiayaan perusahaan 3,13 Cukup baik

9.1 Sub-indikator proses kredit 3,10 Cukup baik

9.1.1 Persyaratan kredit 3,35 Cukup baik

9.1.2 Penilaian agunan 2,75 Cukup baik

9.2 Sub-indikator ketersediaan lembaga

keuangan

3,16 Cukup baik

9.2.1 Kemudahan memperoleh kredit 2,67 Cukup baik

9.2.2 Jumlah lembaga keuangan (Bank / non-

Bank)

3,80 Baik

10. Indikator kondisi lingkungan bsinis 3,14 Cukup baik

10.1 Sub-indikator akses usaha 3,47 Baik

10.1.1 Akses distribusi 3,67 Baik

10.1.2 Akses tenaga kerja 3,31 Cukup baik

10.1.3 Akses teknologi 3,78 Baik

10.1.4 Akses bahan baku 2,39 Kurang baik

10.1.5 Akses pasar 2,39 Kurang baik

10.2 Sub-indikator kebijakan pemerintah

daerah

2,91 Cukup baik

10.2.1 Pembinaan pemerintah daerah 2,75 Cukup baik

10.2.2 Komitmen pemerintah daerah 3,00 Cukup baik

Page 111: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

MODEL PENGELOLAAN KAWASAN ALIH

DAYA UMKM DI KAWASAN INDUSTRI

Warseno

ABSTRACK Regions outsourcing (outsourcing) medium enterprises, small and micro enterprises

(SMEs) have not been implemented by many regional developers considering this

policy was launched in 2009. In fact, the government itself has issued a technical

manual operational implementation of outsourced development of SMEs in

Industrial Area (KI). Therefore, the need for the concept of area management

outsourcing SMEs. Outsourcing is a region in the KI that produce goods / services for

the purposes of major industries in the vicinity or export oriented. Some emerging KI

is currently outsourcing SMEs. In this study the model of outsourcing the

management of SMEs in KI is done through several scenarios: (1) The management of

the business KI Jababeka; (2) Management Model Management Cluster IP; (3)

Management of Institutional Models Intermediation

keyword: management model, outsourcing, small & medium enterprises

ABSTRAK Kawasan alih daya (outsourcing) usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) belum

banyak dilaksanakan oleh pengembang kawasan mengingat kebijakan ini baru

diluncurkan tahun 2009. Bahkan pemerintah sendiri belum mengeluarkan petunjuk

teknis operasional pelaksanaan pengembangan alih daya UMKM di Kawasan Industri

(KI). Karena itu, perlu adanya konsep pengelolaan kawasan alih daya UMKM.

Kawasan alih daya adalah tempat dalam KI yang memproduksi barang/jasa untuk

keperluan industri-industri besar di sekitarnya atau berorientasi ekspor. Beberapa KI

yang sedang berkembang pada saat ini sedang melakukan alih daya UMKM. Pada

kajian ini model pengelolaan alih daya UMKM di KI dilakukan melalui beberapa

skenario yaitu (1) Pengelolaan oleh Pengelola KI Jababeka; (2) Pengelolaan Model

Klaster Manajemen KI; (3) Pengelolaan Model Kelembagaan Intermediasi.

Kata kunci: model manajemen, alih daya, usaha kecil menengah

PENDAHULUAN

Peranan kelembagaan sebagai pengelola kawasan alih daya UMKM di KI

menjadi sangat penting karena akan mendukung terhadap pelaksanaan kebijakan

Page 112: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

100 Kebijakan Inovasi di Industri

pemerintah tentang pengembangan KI UMKM di Indonesia sebagaimana tertuang

dalam PP No 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri selanjutnya disebut PP

24/2009, kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian No 35

Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri.

Dalam PP 24/2009, khususnya pada bagian penjelasan, dipaparkan bahwa KI

merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional yang diarahkan

dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan industri yang berkelanjutan

yang didasarkan pada aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan

hidup.

Saat ini pembangunan industri nasional sedang dihadapkan pada persaingan

global. Karenanya, peningkatan daya saing industri menjadi pilihan yang tidak bisa

ditawar agar produk industri nasional mampu bersaing baik di dalam negeri

maupun luar negeri. Langkah-langkah peningkatan daya saing dimulai dengan

menciptakan iklim usaha yang kondusif, efisien, memiliki kepastian hukum, dan

pemberian fasilitas fiskal serta kemudahan-kemudahan lain bagi dunia investasi.

Selain itu, adanya lokasi industri di satu KI merupakan instrument penting bagi

peningkatan daya saing.

Dari sisi efisiensi, adanya KI sangat membantu investor pengguna kaveling

industri (user) dalam melakukan kegiatan industri. Di KI seperti ini biasanya sudah

tertata dengan baik, memiliki kemudahan dalam pelayanan administrasi,

infrastruktur yang lengkap, keamanan dan kepastian tempat usaha yang sesuai

dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota.

Dari aspek tata ruang, pembangunan KI sudah dilengkapi dengan prasarana

dan sarana penunjang seperti penyediaan energi listrik, telekomunikasi, fasilitas

jalan, dan lain sebagainya. KI mendukung sepenuhnya peningkatan kualitas

lingkungan hidup di kawasan secara menyeluruh dengan menyediakan fasilitas

pengelolaan dan pengendalaian limbah sehingga kegiatan industri di kawasan

tidak terganggu.

PP 24/2009 juga mengatur hal-hal yang meliputi kewenangan pemerintah

pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam

pengembangan KI, kewajiban perusahaan industri untuk berlokasi di KI, izin usaha

KI dan batas minimal luas KI serta sanksi bagi perusahaan KI maupun perusahaan

industri yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 Ayat 1 dalam PP 24/2009

menyebutkan bahwa luas lahan KI minimal 50 hektar dalam satu hamparan.

Kemudian, disebutkan pula bahwa di KI wajib disediakan lahan bagi kegiatan

UMKM paling rendah 5 hektar. Kewenangan pemerintah pusat yakni Kementerian

Perindustrian, menurut Pasal 5 PP 24/2009, yaitu:

a. Menetapkan KI tertentu.

b. Melakukan pengaturan dan pembinaan terhadap KI, KI tertentu, dan

perusahaan industri.

Page 113: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 101

c. Menetapkan suatu KI sebagai obyek vital untuk mendapat pengamanan

khusus.

Kewenangan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan :

1). Menetapkan pedoman teknis KI;

2). Memfasilitasi penyelesaian permasalahan antara perusahaan KI dengan

perusahaan industri yang berlokasi di KI;

3). Membentuk tim nasional KI; dan

4). Menetapkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan

industri di KI atas usul Timnas-KI.

Kemudian dalam rangka optimalisasi pemanfaatan KI, gubernur atau

bupati/walikota berwenang memberikan:

1). Insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

2). Kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada wilayah daerah yang

diperuntukkan bagi pembangunan KI;

3). Pengarahan kegiatan industri ke dalam KI; dan/atau

4). Pelayanan terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perusahaan KI wajib menyediakan lahan bagi kegiatan UMKM serta memiliki tata

tertib KI yang paling sedikit memuat informasi mengenai:

1). Hak dan kewajiban masing-masing pihak;

2). Ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan

hidup sesuai hasil studi amdal, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana

Pemantauan Lingkungan;

3). Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan

4). Ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola KI.

Perusahaan industri di dalam KI wajib memiliki upaya pengelolaan lingkungan

dan upaya pemantauan lingkungan, Perusahaan industri di dalam KI yang

mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib

menyusun amdal dan mendapat pengesahan. Perusahaan industri di dalam KI

dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan, lokasi, dan pengesahan

rencana tapak tanah. Setiap perusahaan industri di KI memiliki kewajiban sebagai

berikut:

a) Memenuhi semua ketentuan perizinan dan tata tertib KI yang berlaku;

b) Memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak

melakukan pengambilan air tanah;

c) Melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat)

tahun sejak pembelian lahan; dan

d) Mengembalikan kaveling industri kepada perusahaan KI apabila dalam batas

waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak melakukan

pembangunan pabrik.

Page 114: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

102 Kebijakan Inovasi di Industri

Kelembagaan yang terkait dalam pengembangan alih daya UMKM ke KI

antara lain terkait lembaga pengelola UMKM, lembaga permodalan, dan lembaga

pendukung pengembangan kebijakan UMKM. Disisi lain pelaksanaan alih daya

juga melibatkan badan penyedia jasa, aspek administrasi dan manajemen.

Mengingat secara operasional belum diatur pelaksanaan alih daya UMKM pada KI,

maka untuk mewujudkan sistem pengelolaan alih daya tersebut diperlukan

dukungan kelembagaan terutama pada instansi pemerintah maupun lembaga

terkait dengan pelaksanaan alih daya tersebut. Berdasarkan hasil diskusi antar

stakeholder yang ada telah disimpulkan bahwa pertama, adanya penyamaan

persepsi tentang pendekatan pengembangan kawasan outsourcing sebagai cara

efektif untuk meningkatkan kualitas keterkaitan di antara mata rantai–mata rantai

produksi di dalam klaster/KI. Kedua, adanya penyamaan persepsi dan dukungan

para stakeholder tentang pentingnya UKM masuk dalam jaringan rantai nilai dari

industri dalam KI. Ketiga, konfirmasi pada para stakeholder tentang lini usaha yang

berpotensi untuk dapat dikaitkan pada usaha UKM.

BAHAN DAN METODE

Model pengelolaan kawasan alih daya UMKM di dalam tulisan sini

menggunakan metode rekonsilidasi dan refungsionalisasi (rekonfu) serta metode

analisis deskriptif. Kedua Metode ini didukung oleh data primer berupa observasi

lapangan dengan melakukan kunjungan ke KI Jababeka serta berdiskusi dengan

beberapa pejabat instansi terkait di tingkat pusat dan daerah. Sedangkan

pengumpulan data sekunder dilakukan melalui eksplorasi terhadap beberapa hasil

kajian yang telah dilakukan sebelumnya serta telaah peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan pengembangan kawasan alih daya UMKM.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep Pengembangan Kawasan Alih Daya UMKM.

Pengembangan kawasan alih daya UMKM belum banyak dilaksanakan oleh

pengembang kawasan karena selain baru kebijakannya (tahun 2009), pemerintah

sendiri belum mengeluarkan petunjuk teknis operasional pelaksanaan

pengembangan UMKM di dalam KI sebagai wujud alih daya UMKM. Karena itu,

perlu adanya konsep pengembangan kawasan alih daya UMKM. Adapun yang

dimaksud dengan kawasan outsourcing (alih daya) adalah tempat dalam KI yang

memproduksi barang/jasa untuk keperluan industri-industri besar di sekitarnya

atau berorientasi ekspor.

Di sisi lain alih daya diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian

beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan

penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen

Page 115: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 103

berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak yang

terlibat. Secara umum, alih daya dipandang sebagai tindakan mengalihkan

beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak

lain, dimana tindakan ini terkait dalam suatu kontrak kerjasama. Alih daya atau

outsourcing ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk

memfokuskan perhatian pada suatu hal (spesifikasi kegiatan).

Beberapa negara maju seperti Amerika dan Eropa, pemanfaatan outsourcing

sudah menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan

utamanya, lebih fokus pada keunggulan produk servisnya. Dari definisi tersebut

maka dapat disimppulkan bahwa kawasan alih daya adalah tempat dalam KI yang

disediakan untuk perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang/ jasa untuk

keperluan industri di sekitarnya atau industri-industri berorientasi ekspor.

Berdasarkan pengertian alih daya di atas, pada prinsipnya terdapat beberapa

aspek penting untuk pelaksanaan alih daya UMKM di KI antara lain aspek

pemindahan tempat usaha dari luar kawasan ke dalam kawasan, pendelegasian

proses produksi dari perusahaan besar ke UMKM, serta adanya aspek administrasi

atau manajemen, serta adanya peran badan usaha.

Sesuai dengan himbauan Presiden Republik Indonesia, perusahaan-

perusahaan yang bergerak dalam industri besar harus bisa menggandeng UMKM

untuk mengembangkan kegiatan industrinya. Dalam Kebijakan Pengembangan

Industri Nasional pun demikian. Salah satu agendanya adalah berupa program

revitalisasi industri dengan menggunakan konsep klaster untuk beberapa industri

tertentu, termasuk industri alat angkut yang ditunjang dengan rencana aksi jangka

menengah yaitu memfokuskan peningkatan industri komponen. Di samping itu,

Kementerian Perindustrian mengeluarkan kebijakan mengenai diperlukan adanya

peningkatan UMKM dalam bentuk peningkatan kemitraan, aspek keuangan,

peningkatan mutu produk, dan peningkatan kemampuan desain. Jadi, dengan

adanya klaster industri maupun program-program peningkatan lainnya ini akan

mampu meningkatkan produktifitas UMKM. Selain itu karena adanya kemudahan

bagi UMKM dalam mengakses atau memperoleh sumberdaya yang akhirnya

mampu menekan biaya produksi, hal ini juga akan bermanfaat bagi UMKM

maupun industri besar (IB) dalam memperkuat hubungan kemitraan sehingga

terjadi hubungan bisnis yang memberikan manfaat secara timbal-balik. Dengan

demikian konsep pengembangan kawasan alih daya UMKM ke KI dilakukan

melalui:

1. Pengembangan Rantai Nilai.

Value Chain Porter ditemukan oleh Michael Porter, merupakan model yang

digunakan untuk membantu menganalisis aktivitas-aktivitas spesifik yang

dapat menciptakan nilai dan keuntungan kompetitif bagi organisasi. Value

Chain Analysis atau Analisis Rantai Nilai merupakan suatu analisis stratejik yang

Page 116: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

104 Kebijakan Inovasi di Industri

digunakan untuk memahami secara lebih baik tentang keunggulan kompetitif,

hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan

lain dalam industri.

Pada dasarnya, analisis rantai nilai memandang perusahaan sebagai salah satu

bagian dari rantai nilai produk. Rantai nilai ini mencakup aktivitas yang terjadi

karena adanya hubungan dengan pemasok (Supplier Linkages), dan hubungan

dengan konsumen (Consumer Linkages). Dengan kata lain, konsep rantai nilai

mencakup seluruh kegiatan dan layanan untuk membawa suatu produk atau

jasa dari tahap perencanaan hingga penjualan di pasar akhirnya dengan

didukung berbagai penyedia jasa teknis, bisnis, dan keuangan. Dari

keseluruhan proses tersebut, kegiatan utamanya diklasifikasikan menjadi dua

bagian, yaitu dari sisi supply dan juga demand. Kegiatan supply mencakup

pengadaan bahan mentah, penyimpanan di gudang, dan produksi barang

mentah menjadi barang jadi. Sedangkan kegiatan demand mencakup

pendistribusian barang, penciptaan kebutuhan (marketing), dan penjualan.

Konsep-konsep yang mendasari analisis rantai nilai adalah bahwa setiap

perusahaan menempati bagian tertentu atau beberapa bagian dari

keseluruhan rantai nilai. Rantai nilai meliputi berbagai kegiatan atau aktivitas di

dalamnya yang terdiri dari aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas

pendukung (supported activities).

a. Primary Activities:

Procurement: berkaitan dengan proses perolehan input/sumber daya.

Production : melaksanakan proses produksi, fokus pada pembuatan

suatu produk, menjaga kualitas barang, konsisten dengan delivery time.

Marketing: mencari mitra bisnis dengan etika yang baik, menjalin

hubungan dengan pemerintah untuk mendapatkan dukungan dalam

hal promosi.

Research and development: melakukan inovasi secara kontinyu,

melakukan improvisasi untuk mencapai kualitas yang lebih baik,

mencari bahan pengganti yang lebih ekonomis.

b. Supported Activities:

Human Resources Management: pengaturan SDM mulai dari perekrutan,

kompensasi, sampai pemberhentian.

Finance: pengaturan dana modal dan pinjaman secara baik.

Technological Development: pengembangan peralatan, software,

hardware, prosedur, didalam transformasi produk dari input menjadi

output.

2. Pengembangan Klaster

Michael Porter mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan

lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis

Page 117: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 105

dan saling terkait karena “kebersamaan (commonalities) dan komplementaritas”

(Porter, 1990).

Kementerian Koperasi dan UKM seperti tersurat dalam buku Pemberdayaan

UKM Melalui Pemberdayaan SDM dan Klaster Bisnis, menunjukkan pengertian

klaster sebagai kelompok kegiatan yang terdiri atas industri inti, industri

terkait, industri penunjang, dan kegiatan-kegiatan ekonomi (sektor-sektor)

penunjang dan terkait lain, yang dalam kegiatannya akan saling terkait dan

saling mendukung. Lingkup geografis klaster dapat sangat bervariasi,

terentang dari satu desa saja atau salah satu jalan di daerah perkotaan sampai

mencakup sebuah kecamatan atau provinsi. Sebuah klaster dapat juga

melampaui batas negara menjangkau beberapa negara tetangga (misalnya

Batam-Singapore-Malaysia).

3. Pengembangan Kemitraan

Secara umum kemitraan adalah sikap menjalankan bisnis yang berorientasi

pada hubungan kerjasama yang solid/kokoh dan mendalam, berjangka

panjang, saling percaya dan dalam kedudukan yang setara (Franciscus

Welirang dalam Pola-Pola Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ekonomi

Skala Kecil, Menengah dan Besar). Pada dasarnya, sifat kemitraan berorientasi

pada bisnis, saling membutuhkan, saling percaya, sukarela, disiplin, saling,

menguntungkan, accountable, dan saling memperkuat. Kemitraan sangat

penting perannya terutama dalam hal memenuhi kebutuhan dalam menjaga

kinerja kompetitif perusahaanan, berkelanjutannya usaha dalam sektor yang

sama atau yang berhubungan, serta membangun kebersamaan dan penguatan

sesama pelaku bisnis.

Bentuk atau pola kemitraan tergantung pada apa yang diinginkan atau dalam

hal apa yang akan dikerjasamakan. Pada umumnya, jenis pola kemitraan terdiri

dari inti-plasma, subkontrak, dagang umum, waralaba, dan keagenan.

a. Inti-Plasma.

Hubungan kemitraan antara UKM dan IB, dimana IB sebagai inti membina

dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dlam hal penyediaan

lahan, sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan

produksi, perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang

diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal

ini, IB mempunyai tanggung jawab sosial untuk membina dan

mengembangkan UKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang

(Corporate Social Responsibility).

b. Subkontrak.

Hubungan kemitraan antara UKM dan IB dimana UKM memproduksi

komponen yang diperlukan oleh IB sebagai bagian dari produksinya.

Dalam hal ini IB bertindak sebagai perusahaan induk yang meminta UKM

Page 118: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

106 Kebijakan Inovasi di Industri

selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan

dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Di samping itu, IB

memberikan bantuan kepada UKm berupa kesempatan perolehan bahan

baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi,

dan pembiayaan.

c. Dagang Umum.

Hubungan kemitraan UKM dan IB dimana IB memasarkan hasil produksi

UKM atau UKM memasok kebutuhan IB melalui transaksi langsung dan

terbuka.

d. Waralaba.

Hubungan kemitraan dimana di dalamnya pemberi waralaba (IB)

memberikan hak guna lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi

perusahaannya kepada penerima waralaba (UKM) dengan disertai bantuan

manajemen.

e. Keagenan.

Hubungan kemitraan antara UKM dan IB dimana UKM diberi hak khusus

untuk memasarkan barang dan jasa IB sebagai mitranya.

Selain pola hubungan kemitraan di atas, kemitraan usaha dapat dilakukan

antara pihak pemerintah dan pihak swasta (Kerjasama Pemerintah

Swasta/Public Private Partnership). Dalam kemitraan ini, keahlian dan aset

kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan dalam

menyediakan pelayanan kepada masyarakat, dimana risiko dan manfaat

potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dibagi kepada

pemerintah dan swasta.

Skenario Pengelolaan Alih Daya UMKM.

Dengan mengacu pada ketentuan di atas dan berpedoman pada hasil survey

yang pernah dilakukan maka penyusunan skenario pengembangan kawasan alih

daya khususnya yang terkait dengan industri besar di Jababeka akan dilakukan

beberapa skenario dari aspek pengelolaannya.

Gambar 1. Alternatif Skenario Pengembangan Lokasi UKM

IB

Kawasan

UKM

Kawasan

UKM IB UKM

UKM IB

Kawasan

1 2 3

Page 119: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 107

Sesuai dengan Gambar 1 dapat diuraikan bahwa alternatif pertama, UKM

pemasok industri besar tetap berada di luar KI. Hal ini diperlukan antara lain

membuat perangkat kebijakan yang bisa mengoptimalkan kemitraan UKM alih

daya dengan industri besar dalam kawasan. Implikasinya adalah butuhnya

perbaikan dan peningkatan sistem transportasi dan regulasi tertentu.

Alternatif kedua adalah mendorong masuknya UKM ke dalam KI. Hal ini

diperlukan perangkat kebijakan yang bisa mengoptimalkan keberadaan UKM alih

daya dalam kawasan. Implikasinya berupa perlunya penambahan fasilitas publik

dan infrastruktur dalam kawasan serta pengadaan lahan bagi UKM.

Alternatif ketiga, dimana UKM yang dikaitkan dengan industri besar ada yang

berada di dalam dan ada yang di luar KI. Hal ini diperlukan yakni membuat

perangkat kebijakan yang bisa mengoptimalkan hubungan kemitraan antara UKM

(baik yang berada di luar maupun dalam kawasan) dan industri besar. Dampak dari

kebijakan ini adalah perlunya perbaikan dan peningkatan sistem transportasi dan

regulasi tertentu, serta penambahan fasilitas publik, pembangunan infrastruktur

dalam kawasan dan pengadaan lahan bagi UKM di KI. Berdasarkan alternatif

skenario di atas, maka skenario pengelolaan kawasan alih daya untuk industri

besar di KI meliputi 3 (tiga) skenario:

1) Skenario I : Pengelolaan oleh Pengelola KI Jababeka.

KI Jababeka telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, didalamnya

juga dikembangkan industri kecil dan menengah (IKM). Dalam survey di KI

Jababeka (khususnya industri pembuat komponen otomotif) telah dilakukan

pemetaan terhadap beberapa industri besar pembuat komponen otomotif

dan IKM di Jababeka. Dari hasil pemetaan tersebut, beberapa IKM telah

berhasil masuk dalam KI dan terkait sebagai pemasok industri besar antara

lain Tricipta, Shuket, Arlene, Yokata. Kebayakan IKM tersebut memiliki fasilitas

yang sudah cukup maju dengan digunakannya SW desain dan peralatan

permesinan yang berbasis CNC.

Untuk mendorong agar UMKM dapat masuk dalam rantai pasok industri besar

dalam KI (KI) sekaligus masuk dalam KI sebagaimana diamanatkan oleh PP No

24 tahun 2009, maka perlu disusun skenario pengelolaannya. Dalam

penyusunan konsep skenario ini, pengembangan KI Jababeka juga telah

menyusun pengembangan UMKM yang berada di dalam KInya.

Pengembangan kawasan UMKM di dalam KI Jababeka yang dilakukan oleh

Pengelola Kawasan Jababeka diarahkan sebagai UKM Center dengan konsep

dasar untuk pengembangan:

Mediasi dan edukasi (UKM dan industri);

Clustering produk/service;

Inkubasi, yaitu pengembangan perusahaan baru/pemula inovatif.

Page 120: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

108 Kebijakan Inovasi di Industri

Pengelolaan UKM Center merupakan bagian dari manajemen Pengelola KI

Jababeka. Dengan demikian manajemen pengelola UKM Center juga akan

ditentukan/diatur oleh manajemen pengelola KI Jababeka.

Adapun ketentuan yang diarahkan untuk Kawasan UKM Center di Jababeka,

meliputi:

a. Stakeholder, meliputi UMKM yang sudah dan atau belum berada dalam KI

Jababeka;

b. Lokasi UKM Center, adalah didalam KI Jababeka.

c. Pengembangan UKM Center, antara lain meliputi:

Luas Lahan kurang lebih 2,3 hektar

Jumlah bangunan yang direncanakan sebanyak 106 unit (LB= 80 dan

120 M2)

Total investasi sekitar Rp 51 milyar;

Unit selling price Rp 500 juta;

Unit rent price Rp 4,2 juta/bulan.

d. Dengan stimulus investasi, adalah :

Daya serap UKM sekitar Rp 2 juta/bln.

Sedangkan sistem pengelolaan Kawasan UKM Center dilakukan melalui 2 jenis

atau cara, yaitu:

a. Membeli, yaitu UMKM membeli lahan dan bangunan secara langsung;

b. Menyewa, yaitu UMKM diberi kesempatan menyewa Rp. 2 juta/bulan.

UMKM yang dengan sistem sewa tersebut akan diberikan kesempatan

beberapa lama (waktu belum ditentukan) untuk tumbuh dan terkait

dengan industri besar di KI. Setelah itu UMKM diharapkan pindah secara

permanen kedalam kawasan yang masuk dalam kategori bisnis. Tempat

yang ditinggalkan akan diperuntukan untuk UMKM secara bergulir.

Pada skenario pertama ini, kelompok SDM yang akan mengelola sistem

pengelolaan Kawasan UKM Center diisi oleh tenaga-tenaga profesional murni

swasta yang berada dalam manajemen KI Jababeka.

Peranan pemerintah (baik kementerian UMKM maupun pihak pemerintah

daerah) hanya sebatas pada ketentuan kebijakan, namun tidak terlibat secara

langsung terhadap pengelolaan kawasan UKM Center ini.

2) Skenario II : Pengelolaan Model Klaster Manajemen KI.

Skenario kedua ini akan menggambarkan peranan pengelolaan kawasan IKM

yang berkembang didalam KI. Konsep ini telah dilakukan oleh KI Candi di

Semarang. KI Candi di Semarang didalamnya telah dikembangkan KI UKM di

bidang furniture seluas kurang lebih 1000 m2. Kawasan UKM yang telah

masuk ke KI, pemerintah mengarahkan pada pembiayaan melalui kerja sama

antara lembaga modal ventura daerah (LVMD) dan LPDB-KUMKM. Menurut

Peraturan Menteri Keuangan No.99/PMK.05/2008. PMK No.99 mewajibkan

Page 121: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 109

dana bergulir sebagai sumber pendanaan UKM, harus disalurkan oleh

Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro, Kecil Menengah

(LPDB-KUMKM).

Program ini berjalan sejak 2006 hingga 2007, dan kini telah tercatat sejumlah

29 UKM masuk ke dalam KI, yakni 18 UKM di KI Candi, Semarang dan 11 UKM

di kawasan Jababeka, Bekasi.

Selama 2 tahun berjalan, akses pendanaan bagi UKM difasilitasi oleh

Kementerian Koperasi yang disalurkan melalui LMVD serta lembaga keuangan

sejenis lainnya seperti PT PNM Venture Capital (PT.PNMVC).

Pengembangan UKM yang difasilitasi oleh Kementerian Koperasi tersebut

meliputi:

a. Jenis usaha UKM di kawasan Jababeka didominasi oleh industri komponen

otomotif jenis sepeda motor. Sisanya adalah produk kebutuhan rumah

tangga seperti sabun deterjen sampai pembersih lantai.

b. Kawasan Candi, seluruh UKM adalah produsen furnitur berorientasi ekspor

serta kebutuhan lokal. UKM di Candi bahkan bisa bersinergi mengerjakan

order secara bersama.

Permintaan pembeli asing biasanya harus selesai dalam jumlah besar dan

waktu terbatas. UKM di kawasan itu lalu berbagi tugas sehingga kehadiran

mereka dalam satu kawasan berhasil meningkatkan pendapatan,

Konsep pengembangan kawasan UKM Candi di Semarang dilakukan melalui

dua pendekatan yaitu pengembangan klaster industri dan klaster manajemen :

a. Klaster industri telah dikembangkan berbagai industri UKM yang terkait

dengan bidang furniture;

b. Klaster manajemen dilakukan oleh PT ICP Prima sebagai pengelola

Kawasan UKM Candi. PT. ICP PRIMA didirikan pada tanggal 23-Mei 2008

yang merupakan pengembangan dari UD ICP sebelumnya. Lembaga ini

didirikan oleh kalangan pengusaha UKM dan para pemerhati UKM yang

ada di Jawa-Tengah. Dalam mengembangkan UKM, lembaga ini

mempunyai konsep "3 In 1" , yaitu:

Membantu UKM dalam hal akses pasar dan pemasaran dengan

meningkatkan bauran pemasaran seperti produk, promosi, disain

produk kemasan dan show room di Jakarta dan Semarang.

Membantu UKM dalam hal akses permodalan ke lembaga keuangan

untuk mendapatkan modal kerja.

Mengelola Cluster UKM ( Khusus bagi anggota cluster ) yang ada di KI

Candi Blok 20 A.

Pada skenario ke dua ini lebih mendekatkan pada konsep klaster

manajemen artinya sistem pengelolaan dilakukan oleh kelompok

professional yang sangat paham terhadap pengembangan kawasan UKM

Page 122: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

110 Kebijakan Inovasi di Industri

ini, sehingga peranan pengelola kawasan UKM ini dapat dirasakan

manfaatnya oleh anggota UKM yang ada didalamnya.

Sedangkan peranan pemerintah (khususnya kementerian UMKM) terlibat

kerjasama dalam memberikan dukungan pendanaan serta dukungan yang

terkait dengan kebijakan dan regulasi, namun tidak terlibat secara langsung

terhadap pengelolaan kawasan UKM Center ini.

3) Skenario III : Pengelolaan Melalui Kelembagaan Intermediasi.

Pada skenario ke tiga ini, pengelolaan kawasan UMKM dilakukan oleh lembaga

intermediasi. Artinya mereka yang memfasilitasi hubungan, keterkaitan, jejaring,

kemitraan antara dua pihak atau lebih dalam rangka pelayanan, litbangyasa

teknologi dan reformasi kebijakan terkait. Pada prinsipnya lembaga intermediasi

ini nantinya merupakan lembaga yang berfungsi layanan kepada UMKM melalui

advokasi/ pendampingan.

Adapun lembaga intermediasi ini diarahkan dalam bentuk lembaga kerjasama

antara pemerintah dan swasta. Karena itu lembaga intermediasi ini harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tenaga professional yang berpengalaman dalam pembinaan dan

pendampingan terhadap UMKM;

b. Memberikan jasa layanan berbasis teknologi;

c. Berpotensi dalam pengembangan SDM UMKM

d. Membangun jejaring/network pemasaran;

e. Memiliki jejaring/network dan akses ke sumber pendanaan.

Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka lembaga intermediasi ini

merupakan gabungan dari kalangan professional yang berasal dari swasta dan

Pemerintah (pusat ataupun daerah) antara lain meliputi:

Perwakilan Jababeka;

Perwakilan Pemerintah Kabupaten Bekasi;

Perwakilan Pemerintah Pusat;

Perwakilan Asosiasi UMKM sekitar Jababeka;

Perwakilan President University;

Perwakilan Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATM) I; dan

Perwakilan Industri Besar (KI) Jababeka.

Sedangkan peranan yang harus dilakukan oleh masing-masing perwakilan tersebut

sesuai dengan fungsinya, antara lain berupa:

Penyediaan lahan khusus UMKM dengan cara bergulir;

Pembinaan Teknis, Pemasaran dan SDM;

Memberikan skema pendanaan yang murah khusus UMKM; dan

Membuka kesempatan menjadi vendor.

Page 123: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Model Pengelolaan Kawasan Alih Daya UMKM di Kawasan Industri 111

PENUTUP

Merujuk pada hasil pembahasan di atas, maka berikut ini dapat ditarik

beberapa kesimpulan:

1. Pengembangan kawasan alih daya (outsourcing) merupakan kebijakan baru

yang perlu dilakukan oleh pengembang kawasan. Kawasan alih daya

merupakan pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada

suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan

proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang

telah disepakati oleh para pihak yang terlibat. Secara umum, alih daya

dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan

hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain, dimana tindakan ini terkait

dalam suatu kontrak kerjasama. Alih daya atau outsourcing ini biasanya

dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memfokuskan

perhatian pada suatu hal (spesifikasi kegiatan).

2. Beberapa KI di Indonesia telah mencoba menerapkan model alih daya antara

industri besar dengan UMKM melalui model pengembangan klaster industri,

dan manajemen klaster.

3. Mekanisme pengelolaan kawasan alih daya belum diatur secara khusus

sehingga masing-masing pengembang kawasan dapat berinisiatif menerapkan

model pengelolaan kawasan alih daya UMKM. Dalam perkembangannya

terdapat 3 (tiga) model skenario yang dapat dilakukan yaitu (a) pengelolaan

oleh pengelola KI Jababeka, (b) pengelolaan model klaster manajemen KI, (c)

pengelolaan melalui kelembagaan intermediasi.

DAFTAR PUSTAKA

Robbins, Stephen P, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Lic.,EC, 1995. Teori Organisasi,

Struktur, Desain dan Aplikasi. Edisi 3, Penerbit Arcan, Jakarta.

Ati Widiati, Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kawasan Alih Daya Bagi Umkm

Di KI Jababeka, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Volume 13, No 1, Tahun

2013, Jakarta.

Ermawan dkk, Laporan Akhir PI-UMKM WP 3.4 Pengembangan Kawasan Alih Daya

(Outsourcing), Tahun 2012, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja

Sama Daerah.

Page 124: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

112 Kebijakan Inovasi di Industri

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis

Kawasan Industri.

Page 125: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

EVALUASI PENGEMBANGAN

KLASTER SARI RAOS

DI KABUPATEN BLITAR

M. Ansorudin Sidik

ABSTRACT One of the industrial cluster in the program Princess Kencana (priority products

industry sub-districts) in Blitar is Sari Raos (processed food commodities). BPPT has

assisted the program for 4 years, so that in the fourth year 2013 needs to be done on

the evaluation of this program in particular is processed food cluster. With the

methodology questionnaire distribution on one mentoring visit, it is revealed that

this cluster has been running well. This is evidenced by the growth of typical food

shops scattered in Blitar Regency and Blitar City. But there is still small portion of its

members who have not progress ude to the less stringent an unappropriate selection

process. Besides socialization of this program hass not reached out to all entire task

force (SKPDs) and Local Parliament (DPRD). It is recommended that re-new the

commitment or consensus among local government, parliament and business

communities (SMEs) conducted by Regent Regional Head.

Keyword: Puteri Kencana, industrial cluster, evaluation, direct fund

ABSTRAK Salah satu klaster industri dalam program Putri Kencana (produk unggulan industri

kecamatan) di Kabupaten Blitar adalah Sari Raos (komoditas pangan olahan). BPPT

telah mendampingi program ini selama 4 tahun, sehingga pada tahun ke empat 2013

perlu dilakukan evalusi terhadap program ini khususnya klaster pangan olahan ini.

Dengan metodologi penyebaran angket pada salah satu kunjungan

pendampingannya diketahui bahwa klaster ini sudah berjalan dengan baik. Hal ini

terbukti dengan tumbuhnya toko-toko makanan khas Blitar yang tersebar di

Kabupatan dan Kota Blitar. Namun ada juga sebagian kecil anggotanya yang belum

berubah, karena proses seleksinya kurang tepat. Disamping itu Sosialisasi program

ini belum menjangkau ke seluruh SKPD dan DPRD. Disarankan agar diadakan

komitmen ulang atau konsensus bersama antara Pemda, DPRD dan Pelaku Usaha

(UMKM) yang dilakukan oleh Bupati Kepala Daerah.

Kata kunci: Puteri Kencana, klaster industri, evaluasi, pembiayaan langsung

Page 126: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

116 Kebijakan Inovasi di Industri

PENDAHULUAN

Misi ketiga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemda

Kabupaten Blitar Tahun 2011 -2016 adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi

yang berkualitas dan berkelanjutan dengan didukung penguatan Sistem Ekonomi

Daerah. Misi ketiga ini merupakan salah satu penjabaran dari visi Kabupaten Blitar

yakni “Terwujudnya Kabupaten Blitar Yang Sejahtera, Religius Dan Berkeadilan”

Untuk mengemban visi dan misi tersebut maka Pemda Kabupaten Blitar

telah melancarkan sebuah program yang dinamakan program Putri Kencana yang

merupakan singkatan dari Produk Unggulan Industri Kecamatan. Dalam program

ini telah dilakukan serangkaian pendataan terhadap pelaku usaha industri kecil

dan menengah sebagai awal dari pengidentifikasian, yang selanjutnya diadakan

diskusi kelompok usaha terbatas (FGD) sebagai bagian penting dari perencanaan

partisipatif. Peserta diskusi tidak diarahkan kepada poin tertentu apapun, tetapi

dibekali dengan pengetahuan berkaitan dengan sisitem inovasi daerah dan

kerangka pengembangan klater industri. Perencanaan partisipatif ini merupakan

perencanaan dari bawah atau bottom up. Karena perencanaan dari kelompok

usaha mereka sendiri, diharapkan mereka bertanggung jawab terhadap hasil kerja

mereka.

Dari hasil diskusi partisipatif tersebut dihasilkan tiga klaster industri yang akan

menjadi prioritas awal pengembangan kelompok industri tersebut. Klaster industri

itu adalah Java Atsiri yang merupakan kelompok usaha industri aromatik; rumpun

usaha Manggar Sari yaitu rumpun usaha berbasis komoditas kelapa; dan rumpun

usaha Sari Raos yang mendasarkan pada komoditas aneka pangan olahan.

Tulisan ini adalah memaparkan klaster Sari Raos setelah diadakan

pendampingan oleh tim BPPT selama 4 tahun, sejak berdirinya program ini dari

tahun 2009 s.d 2013. Dalam arah kebijakan Pembangunan RJPMD Kabupaten

Blitar disebutkan untuk peningkatan peran kelembagaan dan permodalan koperasi

dan UMKM dalam pengembangan ekonomi lokal pada butir No. 7 tercantum

menguatkan program Putri Kencana yang terdiri dari klaster industri Manggarsari,

Java Atsiri, Sari Raos dan mendorong tumbuhnya klster industri lainnya. Dan pada

no. 8 tertulis memfasilitasi pembentukan jaringan perdagangan untuk memasarkan

produk-produk unggulan daerah yang dihasilkan oleh program Putri Kencana.

Tujuan penulisan ini adalah mengevaluasi dan menganalisis klaster Sari Raos

yang merupakan salah satu klaster dari program Putri Kencana di Kabupaten Blitar.

METODOLOGI

Metodologi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner terstruktur pada

kelompok usaha klaster Sari Raos yang di undang oleh Pemda pada saat dilakukan

kunjungan pendampingan pada pertengahan Juli 2013. Jumlah kuesioner yang

Page 127: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 117

direncanakan sebanyak 16 buah, namun yang hadir berjumlah 14 orang yang

merupakan perwakilan dari kelompok usaha ini.

Disamping itu dilakukan kunjungan lapangan ke perusahaan anggota klaster

Sari Raos secara acak sebanyak 4 buah, yaitu UKM Anisa Jaya (kripik pisang aneka

rasa, karamel dodol buah, kripik buah, stik aneka rasa), Arfi Sagon Kelapa (sagon),

UKM Sekar Mawar (opak gambir, kembang goyang), dan Rumah Jamur Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil penyebaran kuesioner

Kemampuan Internal Perusahaan

Pertanyaan untuk mengukur kemampuan internal perusahaan terdiri dari tiga

pertanyaan. Pertama prosentase karyawan yang mendapatkan pelatihan, kurang

dari 25% sebanyak 71%. Antara 25 s.d. 50% sebanyak 14,3 % dan lebih dari 75%

sebanyak 14,3% (Tabel 1). Pertanyaan kedua adalah karyawan yang memiliki

kemampuan menguasai alat produksi yang paling banyak adalah 25-50% sebesar

42,9% yang disusul dengan kurang dari 26% sebesar 28,6% yang seimbang

dengan lebih dari 75% juga 28,6 (Tabel 1). Sementara, sumber informasi atau ide

dalam mengembangkan produk-produk baru berasal dari produk yang

dimodifikasi sebesar 37,5% dan seluruhnya merupakan ide sendiri juga sebesar

37,5%. Sisanya 25% karena permintaan pasar (Table 2).

Tabel 1. Prosentase karyawan yang mendapat pelatihan dan menguasai alat

produksi

JAWABAN MENDAPAT

PELATIHAN

MENGUASAI ALAT

PRODUKSI

Kurang dari 25% 71,4 28,6

Antara 25-50 % 14,3 42,9

Lebih dari 75 % 14,3 28,6

Jumlah 100 100

Tabel 2. Sumber informasi/ide dalam mengembangkan produk-produk baru

JAWABAN PROSENTASE

Mencontoh yang ada di pasar 0

Atas permintaan pasar 25

Produk yg ada dimodifikasi 37,5

Seluruhnya ide sendiri 37,5

JUMLAH 100

Kemampuan eksternal Perusahaan

Pertanyaan tentang kemampuan eksternal perusahaan sebanyak 7 pertanyaan.

Pertama adalah kemana saja produk perusahaan dipasarkan. Jawaban dari

Page 128: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

118 Kebijakan Inovasi di Industri

pertanyaan ini menunjukkan bahwa produk mereka dipasarkan paling banyak

jangkauannya adalah di tingkat nasional sebanyak 62,5%. Selanjutnya di tingkat

lokal/Kabupaten Blitar sebanyak 12,5%; jangkauan di tingkat propinsi yakni di Jawa

Timur sebanyak 12,5% dan juga kepasar internasional sebesar juga 12,5% (Tabel 3).

Juga ditanyakan tentang manfaat setelah berinteraksi dengan pembeli. Jawaban

dari kelompok usaha ini adalah sebanyak 57,1% adalah menambah

wawasan/informasi/peluang pasar. Disusul dengan memperoleh pesanan/produk

jenis baru sebanyak 42,9% (Tabel 4). Ditanyakan juga kemudahan yang diperoleh

setelah berinteraksi dengan lembaga finansial/permodalan/bank. Jawaban yang

diperoleh sebagai berikut: Memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan

pihak lain, sebanyak 37,5%; memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan

perusahaan itu sendiri sebesar 37,5%; yang disusul sangat mudah memperoleh

dukungan finansial dan tidak memperoleh manfaat apapun masing-masing

sebesar 12,5% (Tabel 5).

Tabel 3. Kemana saja produk-produk perusahaan dipasarkan

JAWABAN PROSENTASE

Lokal/Kabupaten Blitar 12,5

Propinsi Jawa Timur 12,5

Nasional 62,5

Ekspor ke pasar Internasional 12,5

JUMLAH 100

Tabel 4. Manfaat setelah berinteraksi dengan pembeli

Tabel 5. Kemudahan yang diperoleh setelah berinteraksi dengan Lembaga

Finansial/ Permodalan/ Bank.

JAWABAN PROSENTASE

Tidak memperoleh manfaat apapun 12,5

Memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan pihak lain 37,5

Memperoleh dukungan finansial dengan penjaminan sendiri 37,5

Sangat mudah memperoleh dukungan finansial 12,5

JUMLAH 100

JAWABAN PROSENTASE

Tidak memperoleh manfaat apapun 0

Menambah wawasan / informasi / peluang pasar 57,1

Memperoleh pesanan / order produk perusahaan 0

Memperoleh pesanan / produk jenis baru 42,9

JUMLAH 100

Page 129: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 119

Manfaat yang diperoleh setelah menjadi anggota klaster Sari Raos merupakan

pertanyaan lanjutan. Hasil dari pertanyaan itu adalah memperoleh kemudahan

akses dan fasilitas sebanyak 50% dan memperoleh kemudahan akses dan fasilitas

serta sumberdaya dan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah sebesar 50%

juga (Tabel 6). Peran lembaga pemerintah pusat atau pemerintah daerah terhadap

perusahaan merupakan pertanyaan untuk menggali lebih lanjut kemampuan

eksternal perusahaan. Jawaban yang paling besar adalah berperan dalam

pembinaan dan penyedia fasilitas 62,5%, yang disusul dengan berperan dan

pembinaan sebesar 25% dan yang terakhir adalah berperan dalam melibatkan

perusahaan dalam penyusunan kebijakan sebanyak 12,5% (Tabel 7).

Tabel 6. Manfaat yang diperoleh menjadi anggota kluster Sari Raos

JAWABAN PROSENTASE

Terlindungi dari tekanan bisnis 0

Memperoleh kemudahan akses dan fasilitas 50

Memperoleh kemudahan akses & fasilitas sumberdaya &

mempengaruhi kebijakan pemerintah

50

JUMLAH 100

Tabel 7. Peran lembaga pemerintah pusat/daerah terhadap perusahaan

JAWABAN PROSENTASE

Tidak ada 0

Berperan dalam pembinaan 25,0

Berperan dlm pembenaan dan penyedia fasilitas 62,5

Melibatkan perusahaan dlm penyusunan kebijakan 12,5

JUMLAH 100

Pertanyaan berikutnya adalah apakah Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah turut serta dalam mendorong tumbuhnya kegiatan inovasi di perusahaan.

Jawaban yang diperoleh adalah ya, melalui pemberian fasilitas dn bantuan sarana

sebesar 62,5% yang disusul dengan jawaban ya, memalui penyuluhan dan

bimbingan teknis sebanyak 37,5% (Tabel 8).

Tabel 8. Apakah pemerintah pusat/daerah turut serta dalam mendorong

tumbuhnya kegitan inovasi di perusahaan

JAWABAN PROSENTASE

Tidak 0

Sebatas memberi informasi 0

Ya, melalui penyuluhan dan bimbingan teknis 37,5

Ya, melalui pemberian fasilitas / bantuan sarana 62,5

JUMLAH 100

Page 130: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

120 Kebijakan Inovasi di Industri

Pertanyaan pamungkas dalam kemampuan eksternal perusahaan ini adalah

apakah ada Peraturan Daerah maupun Peraturan Pemerintah Pusat yang dapat

menghambat tumbuhnya kegiatan inovasi di perusahaan. Jawaban dari

pertanyaan ini adalah semuanya menjawab tidak ada 100% (Tabel 9).

Tabel 9. Ada ada peraturan daerah/pusat yang dapat menghambat untuk

tumbuhnya kegiatan inovasi di perusahaan

JAWABAN PROSENTASE

Tidak ada 100

Ada, Perda 0

Ada, Perpem Pusat Pemerintah Pusat 0

Ada, Perda dan Perpem pusat 0

JUMLAH 100

Kemampuan Strategis Perusahaan

Untuk menggali kemampuan strategis perusahaan ditanyaan dengan 5

pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah apakah perusahaan Sudara mengetahui

keberadaan perusahaan sejenis yang menjadi pesaing. Hasil jawaban mereka

adalah ya, mengetahui pesaing pada tingkat lokal /propinsi sebanyak 50%.

Selanjutnya mengetahui pesaing pada tingkat nasional sebanyak 25% dan pada

tingkat global juga sebanyak 25% (Tabel 10).

Tabel 10. Apakah perusahaan Saudara mengetahui keberadaan perusahaan

sejenis yang menjadi pesaing

JAWABAN PROSENTASE

Tidak 0

Ya, pesaing pada tingkat lokal/provinsi 50,0

Ya, pesaing oada tingkat nasional 25,0

Ya, pesaing pada tingkat global 25,0

JUMLAH 100

Strategi pemasaran dalam menghadapi persaingan merupakan lanjutan dari

pertanyaan di atas. Jawaban dari pertanyaan ini paling banyak adalah inovasi

produk sebesar 75%. Pemilihan lokasi strategis, harga jual yang bersaing dan

promosi/ iklan di media, masing-masing sebanyak 12,5% (Tabel 11). Pertanyaan

selanjutnya adalah apakah Saudara mengetahui kelebihan dan kelemahan

perusahaan pesaing. Jawaban yang paling besar adalah ya, mereka mengetahui

kelebihan dan kelemahan perusahaan pesaing dan memiliki strategi bisnis untuk

menghadapinya 75%,ya, mereka mengetahui kelebihan perusahaan pesaing

sebanyak 12,5% dan ya, mereka mengetahui kelemahan peusahaan pesaing juga

sebanyak 12,5% (Tabel 12).

Page 131: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 121

Tabel 11. Strategi pemasaran dalam menghadapai persaingan

JAWABAN PROSENTASE

Pemilihan lokasi strategis 12,5

Harga jual yg bersaing 12,5

Promosi/iklan di media 12,5

Inovasi produk 62,5

JUMLAH 100

Tabel 12. Apakah mengetahui kelebihan dan kelemahan perusahaan pesaing

JAWABAN PROSENTASE

Tidak 0

Ya, mengtahui kelebihan perusaan pesaing 12,5

Ya, mengetahui kelemahan perusahaan pesaing 12,5

Ya, mengetahui kelebihan dan kelemahan pesaing dan memiliki

strategi bisnis untuk menghadapinya

75,0

JUMLAH 100

Juga ditanyakan apakah saudara mengetahui apa yang menjadi keinginan

pembeli atau buyers. Jawaban atas pertanyaan ini adalah ya, mengetahui dan tahu

cara memenuhinya tetapi tidak dapat melaksanakan sebesar 50% dan ya,

mengetahui mengetahui apa yang menjadi keinginan pembeli dan mampu

memenuhinya sebesar 50% (Tabel 13).

Tabel 13. Apakah mengetahui apa yang menjadi keinginan pembeli/buyers

JAWABAN PROSENTASE

Tidak 0

Ya, mengathui tetapi tidak tahu bagaimana memenuhinya 0

Ya, mengtahui dan tahu cara memnuhinya tetapi tidak dapat

melaksakan

50,0

Ya, mengathui dan mampu memenuhinya 50,0

JUMLAH 100,0

Ditanyakan juga apakah Sudara melakukan perubahan penggunaan teknologi

dalam proses produksi untuk meningkatkan kapasitas produksi serta efisiensi

waktu dan biaya? Jawaban yang diterima adalah mereka melakukan perubahan

dari manual ke mesin mekanik sebanyak 50%. Dari manual ke mesin automatis

sebanyak 25% dan yang tidak malakukan perubahan penggunaan teknolgi

sebanyak 25% (Tabel 14).

Page 132: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

122 Kebijakan Inovasi di Industri

Tabel 14. Apakah melakukan perubahan penggunaan teknologi dalam

proses produksi untuk meningkatkan kapasitas produksi serta efisiensi waktu

dan biaya

JAWABAN PROSENTASE

Tidak 25,0

Dari manual ke mesin mekanik 50,0

Dari mesin mekanik ke mesin automatis 0

Dari manual ke mesin automatis 25,0

JUMLAH 100,0

Untuk mengetahui sikap dari responden terhadap perusahaan pesaing telah

diberikan statemen-statemen untuk dipilih dari sangat tidak setuju, tidak setuju,

setuju dan sangat setuju. Disini tidak digunakan statetemen ganjil segagaimana

skala likert, karena menurut hasil penelitian bahwa jawaban dari responden

biasanya diambil yang tengah-tengah saja. Disini diberikan 7 statemen untuk

dipilih oleh responden. Statemen pertama Perusahaan kami unggul dari pesaing

karena memiliki layanan purna jual yang baik. Jawaban atas statement ini sebagian

besar menyatakan setuju sebanyak 87,5%, dan tidak setuju sebanyak 12,5% (Tabel

15).

Tabel 15. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki layanan

purna jual yang baik.

JAWABAN PROSENTASE

Sangat tidak setuju 0

Tidak setuju 12,5

Setuju 87,5

Sangat setuju 0

JUMLAH 100,0

Statemen berikutnya keinginan pembeli Perusahaan kami unggul dari pesaing

karena memiliki kemampuan untuk memenuhi keiinginan pembeli. Jawaban. yang

paling besar adalah setuju sebanyak 62,5%, sangat setuju sebesar 25%, sangat

tidak setuju 12,5% (Tabel 16).

Tabel 16. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki kemampuan

untuk memenuhi keinginan pembeli

JAWABAN PROSENTASE

Sangat tidak setuju 12,5

Tidak setuju 0

Setuju 62,5

Sangat setuju 25,0

JUMLAH 100,0

Page 133: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 123

Statemen selanjutnya adalah Perusahaan kami unggul dari pesaing karena

memiliki produk yang berkualitas lebih baik. Jawaban yang setuju adalah 71,4%,

dan sangat setuju sebesar 28,6% (Tabel 17).

Tabel 17. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki produk yang

berkualitas lebih baik

JAWABAN PROSENTASE

Sangat tidak setuju 0

Tidak setuju 0

Setuju 71,4

Sangat setuju 28,6

JUMLAH 100

Statemen lanjutan adalah Perusahaan kami unggul dari pesaing karena

memilki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Jawaban terbesar

adalah setuju 87,5% dan sangat setuju 12,5% (Tabel 18). Perusahaan kami unggul

dari pesaing karena memiliki jenis produk yang beragam, merupakan statemen

lanjutan. Jawaban atas statatemen ini adalah setuju 62,5% disusul sangat setuju

25% dan tidak lanjutan. setuju 12,5% (Tabel 19).

Tabel 18. Perusahan kami unggul dari pesaing karena memiliki kualitas SDM

yang handal

JAWABAN PROSENTASE

Sangat tidak setuju 0

Tidak setuju 0

Setuju 87,5

Sangat setuju 12,5

JUMLAH 100

Tabel 19. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki jenis produk

yang beragam

JAWABAN PROSENTASE

Sangat tidak setuju 0

Tidak setuju 12,5

Setuju 62,5

Sangat setuju 25

JUMLAH 100

Persahaan kami unggul dari pesaing karena sering menawarkan jenis-jenis

produk baru. Statemen ini dijawab dengan setuju 87,5% disusul sangat setuju

12,5% (Tabel 20). Statetemen pamungkas dari pengukuran sikap ini adalah

Page 134: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

124 Kebijakan Inovasi di Industri

Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki harga produk yang lebih

bersaing. Jawaban atas statemen ini adalah setuju 75%, sangat setuju 12,5% dan

setuju 12,5% (Tabel 21).

Tabel 20. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena sering menawarkan

jenis-jenis produk baru

JAWABAN PROSENTASE

Sangat tidak setuju 0

Tidak setuju 0

Setuju 87,5

Sangat setuju 12,5

JUMLAH 100,0

Tabel 21. Perusahaan kami unggul dari pesaing karena memiliki harga

prtoduk yang lebih bersaing

JAWABAN PROSENTASE

Sangat tidak setuju 0

Tidak setuju 12,5

Setuju 75,0

Sangat setuju 12,5

JUMLAH 100,0

2. Hasil Diskusi dengan Bappeda, Kelompok Sari Raos dan Sebagian

Anggota DRID (Dewan Riset Inovasi Daerah)

Program Sistem Inovasi Daerah.

Sistem Inovasi Daerah telah dilakukan sebelum Peraturan Bersama Menteri

Ristek dan Menteri Dalam Negeri keluar, sehingga ada Kabupaten Blitar

merupakan daerah pertama yang menerapkan Sistem Inovasi Daerah di

Propinsi Jawa Timur, sehingga menjadi rujukan dari Kabupaten dan Kota di

Jawa Timur.

Penerapan program beberapa nomenklatur yang harus disesuaikan.

Peraturan bersama tersebut adalah Peraturan Bersama Menegristek RI No.3

Tahun 2012 dan Mendagri RI No. 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sistem

Inovasi Daerah.

Blitar sudah membentuk Dewan Riset Inovasi Daerah (DRID) dan Pokja

Klaster pda tahun 2009 yang perlu disesuaikan dengan Peraturan Bersama

Mendagri dan Menritek di atas.

Program Putri Kencana

Putri Kencana merupakan suatu program, sehingga semua produk

unggulan Kecamatan di Kabupaten Blitar dapat berpartisipasi dan

memanfaatkan fasilitas yang ada di dalam program tersebut.

Page 135: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 125

Maih ada anggapan bahwa Putri Kencana adalah sebuah organisasi,

sehingga timbul rasa iri dan persaingan yang tidak sehat dari kelompok

atau organisasi lain yang tidak mendapat bantuan dari program Putri

Kencana.

Hubungan di tingkat pimpinan Pokja (Kelompok Kerja) tidak ada masalah,

karena mereka juga anggota dari Pokja lainnya. Pimpinan Pokja Klaster Sari

Raos, juga merupakan anggota Pokja Aspamin (Asosiasi Makanan dan

Minuman) yang dibentuk oleh SKPD Deperindag. Hanya di tingkat akar

rumput masih belum menerima, karena kurangnya sosialisasi Program Putri

Kencana.

Dari 14.000 UKM yang ada di Kabupaten Blitar, hanya terdapat 1% yang

eksis, sehingga perlu pendataan ulang.

Jumlah anggota klaster Sari Raos yang mendapat bantuan BLM Putri

Kencana sebanyak 9 Pokja dan yang tidak mendapat BLM sebanyak 10

Pokja yang disebut ebagai kelompok Mandiri. Sehingga pemasok chip

kasava sebanyak 19 Pokja. Justru yang saat ini berkembang adalah yang

tidak mendapat bantuan dari BLM Putri Kencana.

Permasalahan Program Putri Kencana yang mendasar adalah Outlet Putri

Kencana. Kontrak di lokasi Makam Bung Karno selama 3 tahun sudah habis.

Semula direncanakan hasil dari penjualan Putri Kencana dapat dipakai

untuk mengontrak lebih lanjut. Karena pengelolanya kurang profesional,

maka mereka tidak dapat meneruskan kontrak tersebut. Sementara outlet

pindah di Jalan Seruni. Rencananya nanti akan dibuat outlet yang lokasinya

strategis yaitu dipintu masuk Blitar dari arah Timur dan Barat, untuk

menjaring wisatawan yang masuk melalui jalur tersebut. Semangat

pembuatan outlet menggebu-nggebu di awal, kemudian merosot di

tengah jalan, sehingga manajemen outlet perlu dikaji ulang termasuk

petugas yang ditugaskan mengelola outlet. Direncanakan pula pengadaan

“mobil sales” untuk operasional program Putri Kencana. Mobil Sales ini

dapat digunakan tidak hanya oleh UKM yang mendapat anggaran dari

Program Putri Kencana, tetapi dapat digunakan oleh UKM lainnya.

3. Hasil Kunjungan Ke lapangan

Dari hasil kunjungan ke lapangan, diketahui bahwa karyawan UKM Sekar Jaya

(opak gambir dan kembang goyang) cukup banyak sekitar 150 pekerja yang

dibangi ke dalam ship-ship. Karyawan UKM Anisa Jaya (kripik pisang aneka rasa,

kramel dodol buah, kripik buah, stik aneka rasa) sebanyak sekitar 15 orang.

Managernya justru Sarjana Agama. Tim peneliti juga membeli oleh-oleh khas Blitar

ini yang dikemas dengan cukup bagus. Pekerjanya cukup terlatih dalam

memproduki produknya. Demikian juga untuk UKM yang lain yang ditinjaunya.

Terkesan bahwa usaha ini cukup profesional.

Page 136: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

126 Kebijakan Inovasi di Industri

4. Mengukur sikap para pengusaha.

Untuk mengukur sikap para pengusaha, sebagaimana lazimnya menggunakan

statemen-statemen. Statemen ini terdiri dari 7 statemen yang diberi pilihan

jawaban, yakni sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju dan sangat tidak setuju.

Dari jawaban yang diperoleh hampir semuanya, menyatakan setuju yang

merupakan pilihan jawaban no. 3. Statetemen-statemen tersebut adalah

perusahaan kami unggul karena :

1. Memiliki layanan purna jual yang baik,

2. Memilikikemampuan untuk memenuhi keinginan pembeli,

3. Memiliki produk yang berkualitas lebih baik,

4. Memiliki kualitas SDM yang handal,

5. Memiliki jenis produk yang beragam,

6. Sering menawarkan jenis-jenis produk baru, dan

7. Memiliki harga produk yang lebih bersaing.

Dari pilihan jawaban ini, maka pengusaha klaster Sari Raos, mempunyai sikap

yang positif terhadap perkembangan usahanya.

PENUTUP

Dari hasil kajian dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:

Kesimpulan

1. Anggota Klaster Industri Sari Raos, jika ditinjau dari kemampuan internal,

kemampuan eksternal, kemampuan strategis, sikap perusahaan adalah cukup

positif dalam menghadapi dan menyongsong era persaingan aneka pangan

olahan dewasa ini.

2. Proses seleksi penerima bantuan BLM program Putri Kencana kurang tepat

karena terkendala oleh waktu yang diberikan Pemda, sehingga ada anggota

klaster Sari Raos yang tidak berkembang/stagnan/jalan di tempat, bahkan

menimbulkan iri bagi UKM lain yang tidak mendapat bantuan BLM.

3. Belum semua SKPD mengerti tentang program Putri Kencana, diantaranya

Deperindag yang membentuk Aspamin (Asosiasi Makanan dan Minuman)

tahun 2012, padahal program Putri Kenacana sudah dimulai sejak tahun 2009.

4. Pengembangan Klaster Sari Raos belum tersosialisasi ke akar rumput, sehingga

masih ada anggapan bahwa Putri Kencana itu adalah sebuah organisasi, yang

pada akhirnya menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

Saran

1. Pemda membantu dan mendorong untuk membuat roadmap bagi

pengembangan program Putri Kencana termasuk klaster Sari Raos, sehingga

Page 137: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Evaluasi Pengembangan Klaster Sari Raos Kabupaten Blitar 127

dapat diprediksi pengembangan ke depannya sebagai konsekwensi dari

dikeluarkannya Peraturan Bersama Menegristek No 3 Tahun 2012 dan

Mendagri No. 36 Tahun 2012.

2. Proses seleksi penerima BLM ke depannya benar-benar di survai lebih dahulu

agar tepat sasaran, sehingga mempunyai daya ungkit untuk mengembangkan

UKM lain, dan tidak ada anggota klaster yang stagnan /jalan di tempat atau

mati suri.

3. Program Putri Kencana disosilisasikan ke seluruh SKPD, sehingga SKPD ikut

mendukungnya dan memasukkan anggarannya ke dalam pembinaan,

termasuk ke DPRD untuk mendapat dukungan politik.

4. Melakukan komitmen ulang atau konsensus terhadap program Putri Kencana

yang melibatkan seluruh SKPD dan stake holder yang dicanangkan oleh Bupati

Kepala Derah.

DAFTAR PUSTAKA

BPPT, 2011, Panduan Pengembangan Klaster Industri. Jakarta: BPPT

BPPT Press, 2012, Strategi Pengembangan Klaster Industri di Kabupaten Blitar

dalam Kerangka Sistem Inovasi Tahun 2012-2014. Blitar: BPPT

Rosadi, H. Y. (ed), 2012, Sistem Inovasi dan Klaster Industri, Jakarta: BPPT Press.

Kartasasmita, G. 1996, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan

Pemerataan, Jakarta, Jakarta: PT Pustaka Cidesindo.

Taufik, T.A. 2005, Pengembangan Sistem Inovai Daerah: Persfektif Kebijakan,

Jakarta: PUDPKM-BPPT.

Perda Kabupaten Blitar No. 09 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah Kabupaten Blitar Tahun 2011-2016.

Page 138: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

128 Kebijakan Inovasi di Industri

Page 139: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

KEBIJAKAN APLIKASI TEKNOMETER

UNTUK MENDUKUNG TEKNOPOLITAN

KOTA PEKALONGAN

Kuncoro Budy Prayitno

ABSTRACT Basically Technometer is a general guide that gives an overview of the level of

maturity of a technology universally, but Technometer also be applied to measure a

particular type of technology. Measurement Technology Readiness Level (TRL) can be

adapted to apply to either specific or generic, by modifying the measurement

questionnaire for each particular field of technology has a different character from

one technology to another technology. Technology readiness level measurement is

done by using Teknometer. Teknometer is a software based on spreadsheet from

Microsoft Excel that raise some standard questions for each level and displays

graphically TRL achieved. This software is helpful in the process of measurement TRL

(which can be done over and over). In order to improve the quality of results research

and development form research institutions and universities in the area of

Pekalongan Batik Technopolis area, then these institutions in Pekalongan must

determine the TRL of their results. The introduction about the measurement of TRL

must be mastered by every research institutes and higher education in Pekalongan.

Keyword: technology readiness, techno-meter, university, technopolis area

ABSTRAK Pada dasarnya Teknometer merupakan panduan umum yang memberikan gambaran

tingkat kematangan sebuah teknologi secara universal. Selain itu, Teknometer juga

dapat diterapkan guna mengukur satu jenis teknologi tertentu. Pengukuran Tingkat

Kesiapan Teknologi (TKT) dapat disesuaikan untuk diterapkan baik secara spesifik

atau generik, dengan memodifikasi perangkat kuesioner pengukuran, karena setiap

bidang teknologi tertentu mempunyai karakter yang berbeda. Pengukuran tingkat

kesiapan teknologi dilakukan dengan menggunakan Teknometer. Teknometer adalah

sebuah perangkat lunak (software) berbasis spreadsheet dari Microsoft Excel yang

menghimpun beberapa pertanyaan standar untuk setiap tingkatan dan menampilkan

secara grafis. Perangkat lunak ini cukup membantu dalam proses pengukuran TKT.

Dalam rangka meningkatkan kualitas hasil litbangyasa dari Lembaga Litbang dan

Perguruan Tinggi di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka mereka

harus mengetahui tingkat kesiapan teknologi Untuk itu pengenalan dan

Page 140: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

130 Kebijakan Inovasi di Industri

pengetahuan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi harus dikuasai oleh setiap

Lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan.

Kata kunci: kesiapan teknologi, teknometer, universitas, teknopolitan

PENDAHULUAN

Teknologi merupakan salah satu faktor utama untuk kemajuan ekonomi dan

inovasi merupakan kata kunci yang sangat penting dalam proses pembangunan

ekonomi berbasis teknologi. Namun manfaat dari inovasi tidak akan pernah dapat

dinikmati masyarakat apabila tanpa melalui suatu proses, yakni proses difusi

teknologi yang merupakan proses dari penyebarluasan teknologi kepada suatu

sistem sosial.

Perkembangan inovasi, difusi dan proses pembelajaran diyakini semakin

menentukan produktivitas atau daya saing. Karena itu, penguatan sistem inovasi

menjadi agenda yang sangat penting di banyak negara, termasuk Indonesia. Pada

era globalisasi, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu

dinamis, pembangunan sistem inovasi di suatu negara tidak mungkin lagi

dilaksanakan secara terisolasi dan para pelakunya bekerja sendiri. Agar berhasil

dalam pembangunan sistem inovasi, para pemangku kepentingan pembangunan

sistem ini harus memegang dan mendorong perbaikan lima faktor yaitu

keterkaitan (linkages), kemitraan (partnership), jaringan (networking) dan interaksi

serta sinergi positif sebagai faktor kunci keberhasilan. Lima faktor ini menunjukkan

bahwa keberhasilan inovasi sangat tergantung pada adanya interaksi yang efektif.

Proses difusi teknologi dapat terjadi antara lembaga litbang/litbangyasa atau

perguruan tinggi sebagai salah satu penghasil inovasi iptek dengan sektor

produksi / usaha ekonomi. Proses ini ditentukan oleh kemampuan dan kapasitas

teknologi di sisi penghasil teknologi (Lembaga litbang/litbangyasa) dan

kemampuan serta kapasitas absorpsi di sisi pengguna.

Peran Lembaga litbang/litbangyasa baik di Perguruan Tinggi ataupun

Lembaga litbang/litbangyasa Daerah dan kalangan Industri dalam pelaksanaan

berbagai kegiatan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan dan

pemanfaatan iptek guna mendukung pembangunan nasional, yang diharapkan

akan memberikan dampak dalam peningkatan kemandirian, daya saing dan

kualitas kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam rangka meningkatkan kualitas dan daya saing industri batik serta

kohesi sosial di Kota Pekalongan maka Pemerintah Kota Pekalongan

mencanangkan Pengembangan wilayah Kota Pekalongan sebagai Kawasan

Teknopolitan yaitu untuk meningkatkan interaksi antar pelaku dalam sistem

inovasi, sehingga aliran pengetahuan dan teknologi, inovasi, difusi, dan

pembelajaran berlangsung diantara mereka. Kota Pekalongan sebagai kawasan

Teknopolitan dapat menjamin perlindungan terhadap pengembangan industri,

Page 141: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 131

khususnya industri batik di Kota Pekalongan. Pengembangan kawasan Kota

Pekalongan sebagai Teknopolitan mengitegrasikan elemen masyarakat

(community) ke dalam pengembangan konsep kawasan.

Dalam rangka mendukung pengembangan Kota Pekalongan sebagai Kawasan

Teknopolitan Batik melalui sistem inovasi daerah diperlukan

penumbuhkembangan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi,

praktek baik dan atau hasil litbangyasa. Permasalahan dalam program

pengembangan litbangyasa dan pemanfaatan hasil riset dari sejumlah program

dan kegiatan kerekayasaan yang dikembangkan oleh Lembaga Litbangyasa di Kota

Pekalongan seringkali :

a. Interaksi antar aktor/pelaku/komponen yang terkait dalam proses

pengembangan inovasi industri batik di Kota Pekalongan masih lemah.

b. Tidak diketahui informasi tentang teknologi hasil litbang/ rekayasa yang

dihasilkan lembaga litbangyasa di Kota Pekalongan yang siap untuk diterapkan.

Ini tentu saja membuat pihak lain yang ingin memanfaatkan hasil litbangyasa

mengalami kesulitan untuk mengetahui potensi apa yang sudah dimiliki oleh

lembaga litbangyasa di Kota Pekalongan.

Salah satu penentu keberhasilan pemanfaatan hasil litbangyasa teknologi

adalah seberapa tinggi Tingkat Kematangan Teknologi atau Tingkat Kesiapan

Teknologi (TKT) yang dihasilkan oleh Lemlitbangyasa seperti BPP Kota, Unit

Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat

(LPPM, DPPM atau LPM) di Perguruan Tinggi yang terdapat di daerah.

Kemampuan dan kesiapan teknologi di Lemlitbangyasa atau hasil

litbangyasanya seringkali tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat atau industri.

Berbagai kendala dihadapi, mulai dari rendahnya kesiapan penerapan

teknologinya, kurangnya informasi yang diberikan dan rendahnya interaksi di

antara keduanya dan belum berkembangnya hubungan keterkaitan dan peran

intermediasi yang terbatas.

Informasi tentang TRL hasil litbang/rekayasa menjadi informasi dinamis yang

perlu update dalan jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi dan

perkembangan hasil litbang itu sendiri. Oleh karenanya perlu kesinambungan

dalam informasi dan upaya untuk meningkatkan manfaatnya dalam difusi hasil

litbang dan rekayasa Lembaga litbang/litbangyasa di daerah. Oleh karena itu

dalam kelembagaan kawasan teknopolitan di Kota Pekalongan diperlukan ”Front

Office” yang diberi wewenang khusus yaitu mengkoordinasikan dan

mengintegrasikan Sistem Jaringan Inovasi industri batik. ”Front Office” dapat

berupa sekertariat bersama antar lembaga terkait yang mewakili unsur

Pemerintahan, Perguruan Tinggi, Industri dan Community yang dapat dikelola

oleh BPP Kota.

Page 142: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

132 Kebijakan Inovasi di Industri

TEKNOPOLITAN

Teknopolitan merupakan konsepsi kawasan berdimensi pembangunan

ekonomi, sosial dan budaya, yang memiliki sentra kegiatan iptek, kegiatan

produktif dan gerakan masyarakat, yang mendukung percepatan perkembangan

inovasi, difusi dan pembelajaran. (Taufik, 2010). Teknopolitan adalah kawasan yang

terdiri atas satu atau lebih sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dan gerakan

masyarakat pada wilayah tertentu (satu atau lebih daerah otonom) sebagai sistem

pembangunan yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki

keruangan sistem inovasi. (Taufik, 2010).

STP (Science and Technology Park), Technopolis (Teknopolitan), atau Innovation

Cluster menyatukan pemerintah, komunitas akademik, sektor bisnis dan keuangan

(triple helix) dalam sebuah pengembangan terencana yang mengintegrasikan

semua fasilitas yang diperlukan seperti bangunan komersial, fasilitas penelitian,

hotel dan pusat konferensi tempat tinggal, rekreasi, di sebuah kawasan tertentu.

Penggunaan istilah Science/Techno Park, Technopolis (Teknopolitan), Techno

Valley atau Innovation Cluster pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan pada

fungsi dasarnya yaitu sebagai salah satu wahana jaringan inovasi yang mampu

mendorong terciptanya budaya inovasi dan ekonomi berbasis pengetahuan,

namun umumnya dibedakan menurut luas dan cakupan wilayah

pengembangannya, dan elemen yang membentuk kawasan tersebut.

Umumnya STP yang diinisiasi oleh Pemerintah daerah dikembangkan dengan

maksud untuk vitalisasi/ memperkuat daya saing ekonomi lokal artinya

“berbasiskan potensi ekonomi daerah. Tantangan bagi Kota Pekalongan –

branding “world city of batik” adalah :

1. Memaksimumkan potensi ekonomi masyarakat dalam Industri Kreatif Batik

(Batik craft and art)

2. Memposisikan diri sebagai ‘Pioneer” dalam melestarikan “batik” sbg warisan

budaya dunia

3. Mendorong Batik agar menjadi komoditi ‘fashion and cultural’ yang bernilai

tinggi dengan memanfaatkan IPTEK

Tipologi Umum Kawasan Teknopolitan

Teknopolitan

Kawasan Khusus

Hubungan antara Lembaga Pendidikan Tinggi, Lembaga Riset, dan klaster Industri

Fokus pada riset dan kegiatan produksi

Badan Pengelola Kawasan

Produk utama kawasan berupa Produk Teknologi hasil inovasi teknologi

Jaringan Industri Anker dan Industri Pemula

Peraturan dan Kerangka Hukum

Page 143: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 133

Teknopolitan dari Perspektif Kelembagaan dapat diartikan sebagai :

a. Infrastruktur fisik/Lembaga

b. Fungsi Inkubator untuk tenan-tenannya

c. Merupakan Kantong (enclave) Teknologi

d. Memberikan kontribusi langsung dan berwujud

e. Pembukaan Lapangan Kerja, Investasi R&D, Modal Ventura, Produk/ Proses

inovatif dll

Gambar 1. Kerangka Teknopolitan Pekalongan

Sedangkan Teknopolitan dari Perspektif Ekonomi Geografis dapat diartikan

sebagai :

Distrik/Kawasan teknologi

Hub dalam Sistim Inovasi Daerah (SID)

Promosi Pertumbuhan ekonomi

Berkembang berdasarkan efek agglomeratife

Katalis untuk proses revitalisasi atau pembangunan ekonomi regional

APLIKASI TEKNOMETER UNTUK MENDUKUNG TEKNOPOLITAN KOTA

PEKALONGAN

Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) adalah suatu sistem pengukuran sistematis

yang mendukung penilaian kematangan atau kesiapan dari suatu teknologi

tertentu dan perbandingan kematangan atau kesiapan antara jenis teknologi yang

berbeda. Kesiapan teknologi (technology readiness) dapat diartikan sebagai

Page 144: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

134 Kebijakan Inovasi di Industri

indikator yang menunjukkan seberapa siap/matang suatu teknologi untuk bisa

diterapkan dan diadopsi oleh pengguna/calon pengguna. Pengertian ”kesiapan”

menunjukkan adanya kemungkinan perbedaan antara “siap”, “tidak siap” dan

“belum siapnya suatu teknologi” atau perbedaan “tingkatan kesiapan teknologi”

untuk dimanfaatkan atau diterapkan sesuai kegunaannya.

Dengan melakukan pengukuran TKT terhadap hasil rekayasa/riset Lembaga

litbang/litbangyasa di daerah dapat diketahui indikator dan informasi tentang

status kematangan (maturity) hasil litbang atau teknologi tersebut. Informasi TKT

Hasil Riset lembaga litbangyasa di daerah dapat dikembangkan menjadi sebuah

indikator penguasaan dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

sekaligus dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk untuk memperkuat

hubungan keterkaitan supply-demand teknologi. Pengukuran tingkat kesiapan

teknologi dapat dilakukan secara mandiri (self assessment) dimaksudkan untuk

memetakan kapasitas dan kapabilitas teknologi.

TKT merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat kematangan atau kesiapan

teknologi pada skala 1 – 9, yang mana antara satu tingkat dengan tingkat yang

lain saling terkait dan menjadi landasan bagi tingkatan berikutnya. Berikut ini

adalah peringkat kesiapan teknologi yang ditunjukkan dengan nilai TKT:

9Teknologi benar-benar teruji/terbukti melalui keberhasilanpengoperasian.

8Sistem Teknologi telah lengkap dan memenuhi syarat (qualified)melalui pengujian dan demonstrasi dalam lingkungan/aplikasisebenarnya.

7 Prototipe telah diuji dalam lingkungan sebenarnya.

6 Model atau Prototipe telah diuji dalam lingkungan yang relevan.

5Komponen teknologi telah divalidasi dalam lingkungan yang relevan.

4Komponen teknologi telah divalidasi dalam lingkunganLaboratorium.

3Konsep dan karakteristik penting dari suatu teknologi telahdibuktikan secara analitis dan eksperimental.

2 Konsep teknologi dan aplikasinya telah di formulasikan.

1 Prinsip dasar dari suatu teknologi telah diteliti.

Page 145: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 135

Pengukuran TKT mulanya dilakukan menggunakan TRL Calculator, dalan TRL

Calculator ini terdapat sejumlah pertanyaan standar untuk setiap tingkatan. Tetapi

perlu diingat bahwa pada penggunaan untuk teknologi tertentu, diperlukan

customization terhadap kumpulan pertanyaan standar pada setiap tingkat,

sehingga sesuai dan relevan dengan teknologi tersebut. TRL Calculator juga

memungkinkan pengukuran ketiga “jenis” teknologi, baik berupa perangkat keras

(hardware), perangkat lunak (software), dan keduanya.1

Pengukuran tingkat kesiapan teknologi dengan TRL Calculator mencoba

mengukur kesiapan teknologi dalam “multi dimensi” (walaupun diakui tetap masih

mengabaikan banyak dimensi penting lain menyangkut kematangan teknologi).

Selain tingkat kesiapan teknologi, TRL Calculator menggunakan dua dimensi lain

yaitu:

Manufacturing readiness level (MRL), yang pada dasarnya menyangkut

kesiapan teknologi terkait dengan aplikasinya dalam manufaktur, dan

Programmatic readiness level (PRL), terkait dengan “kepentingan” program.

TRL Calculator ini kemudian dikembangkan dan sejauh mungkin disesuaikan

dengan kondisi Indonesia kemudian dimodifikasi menjadi Tekno-Meter.

Teknometer

Pada dasarnya Teknometer merupakan panduan umum yang memberikan

gambaran tingkat kematangan sebuah teknologi secara universal, akan tetapi

Teknometer juga dapat diterapkan guna mengukur satu jenis teknologi tertentu.

Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) dapat disesuaikan untuk diterapkan

baik secara spesifik atau generik, dengan memodifikasi perangkat kuesioner

pengukuran karena setiap bidang teknologi tertentu mempunyai karakter yang

berbeda antara satu teknologi dengan teknologi yang lain. Pengukuran tingkat

kesiapan teknologi dilakukan dengan menggunakan Teknometer. Teknometer

adalah sebuah perangkat lunak (software) berbasis spreadsheet dari Microsoft

Excel yang menghimpun beberapa pertanyaan standar untuk setiap tingkatan

dan menampilkan TKT yang dicapai secara grafis. Perangkat lunak ini cukup

membantu dalam proses pengukuran TKT (yang dapat dilakukan berulang).

Teknometer dapat memberikan gambaran se saat (snap shot) tentang status

kematangan teknologi pada waktu tertentu. Di samping itu juga dapat untuk

mengevaluasi proses historis pencapaian kesiapan/kematangan teknologi dari

program pengembangan yang dilakukan dalam suatu teknologi.

Konsep kesiapan ini perlu dikembangkan untuk dapat ditafsirkan secara sama

oleh pihak yang berkepentingan. Perbedaan penafsiran mungkin saja terjadi antara

pihak penyedia teknologi dengan pengguna/calon pengguna teknologi. Penyedia

1 Untuk penjelasan lebih teknis TRL Calculator ini, lihat:

http://www.aero.org/conferences/documents/TRLCalcBrief28Apr05_NOLTE.ppt dan

http://www.aero.org/conferences/documents/TRLCalcVer2_2.xls

Page 146: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

136 Kebijakan Inovasi di Industri

teknologi mungkin mengartikan bahwa hasil litbangyasanya (proses pembuatan

produk atau prototipe teknologi) sebagai teknologi yang dapat diterapkan.

Sementara pihak pengguna/ calon pengguna belum menganggapnya sebagai

teknologi yang siap untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhannya. Dengan

demikian diperlukan dua jenis Teknometer yang berbeda, yaitu spesifik dan

generik. Panduan ini bersifat generik yang selanjutnya dapat dikembangkan

menjadi Tekno-Meter spesifik sesuai bidang teknologi yang akan diukur

kesiapannya oleh komunitas periset yang spesifik.

a. Teknometer Spesifik

Hasil pengukuran TKT terhadap suatu hasil pengembangan teknologi yang

menggunakan Tekno-Meter yang dibuat generik kadangkala tidak dapat

diterapkan untuk maksud pengukuran terhadap bidang-bidang teknologi yang

spesifik karena trayektori pengembangan teknologi yang berbeda-beda. Sebagai

contoh adalah pengukuran TKT dalam bidang industri otomotif dengan industri

farmasi, meskipun pengukuran TKT dapat dilakukan menggunakan Tekno-Meter

yang generik akan tetapi dapat menghasilkan penafsiran yang tidak tepat ketika

terdapat hal-hal teknis yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam pertanyaan dan

atau pernyataan yang sama untuk dua bidang teknologi yang berbeda. Untuk itu

disamping dibuat Teknometer generik perlu dibuat juga Teknometer yang spesifik.

Secara umum sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip antara hasil ukur yang

menggunakan Teknometer yang generik ataupun Teknometer yang spesifik.

Perbedaan sebenarnya, adalah pada saat proses pengukuran yang membutuhkan

daya analisis dan sintesis pelaku teknologi untuk melakukan interpretasi

perangkat ukur yang digunakan guna menentukan pilihan ukuran nilai yang tepat.

Pengukuran secara spesifik membutuhkan pemahaman substansi teknis

teknologi terkait, guna menyusun perangkat ukur yang lebih fokus dan

kontekstual. Perangkat ukur spesifik mempunyai keuntungan karena mudah

difahami oleh responden, pelaku teknologi.

Dalam Teknometer spesifik telah ditetapkan penjelasan dan penentuan

komponen indikator TKT untuk bidang teknologi tertentu (berdasarkan hasil

konsensus). Mengingat bahwa bidang teknologi yang ada sangat beragam,

pembuatan Teknometer yang spesifik mempunyai tingkat kesulitan yang lebih

tinggi. Penentuan kriteria unsur dalam proses customization TKT pada tiap level

Teknometer yang dibuat spesifik bergantung pada kompetensi penyusunnya.

b. Teknometer Generik

Secara umum Teknometer dapat mengukur semua hasil teknologi yang telah

dikembangkan. Akan tetapi terhadap hal-hal khusus terkadang Teknometer yang

dibuat generik itu tidak dapat menunjukkan hasil pengukuran yang tepat. Hal ini

menyangkut pada kompleksitas teknologi yang dikembangkan. Beberapa hal

Page 147: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 137

khusus terkadang ada yang tidak dapat terdefinisikan dalam customization

komponen indikator pada tiap tingkat (level) dalam Teknometer, sehingga

kesimpulan akhir dari hasil pengukuran secara generik lebih bersifat sebuah

pendekatan terhadap kesiapan teknologi tersebut. Prinsip dasar pengukuran

dengan Teknometer Generik, harus melampaui 9 tahapan sebagai berikut :

1. Studi awal (riset ilmiah) tentang teori-teori yang mendukung suatu

teknologi yang akan dikembangkan.

2. Formulasi teknologi yang akan dikembangkan telah dalam bentuk konsep

dan sudah sesuai aplikasinya.

3. Uji di laboratorium/workshop terhadap beberapa komponen teknologi

yang akan dikembangkan.

4. Pengujian konsep dasar, komponen teknologi dasar telah diintegrasikan

dan prototipe (skala laboratorium) telah dibuat dan diuji pada lingkungan

laboratorium.

5. Validasi Prototipe teknologi (skala laboratorium) telah diuji pada

lingkungan yang relevan.

6. Validasi Prototipe teknologi (skala laboratorium) telah diuji pada

lingkungan yang sebenarnya.

7. Prototipe teknologi dibuat dalam skala yang sebenarnya (1 : 1) dan telah

diuji pada lingkungan yang sebenarnya.

8. Perhitungan perkiraan investasi teknologi secara matang telah dilakukan.

9. Teknologi benar-benar telah teruji/terbukti melalui keberhasilan

pengoperasian.

Pemanfaatan Teknometer

Konsep TKT yang pada awalnya dikembangkan oleh NASA dalam rangka

mendukung program pengembangan dan perencanaan teknologi ruang angkasa,

sekarang sudah banyak digunakan di berbagai bidang teknologi. Biasanya aplikasi

TKT selalu dikaitkan dengan model aplikasi dari program pengembangan

teknologi lainnya. Di antara tujuan dan manfaat pengukuran tingkat kesiapan

teknologi dengan menggunakan Tekno-Meter adalah untuk:

a. Memberikan informasi penting tentang status dan pencapaian kematangan

(maturity) dari teknologi yang dihasilkan lembaga litbang yang

menunjukkan tingkat kematangan/ kesiapan teknologi untuk diterapkan.

Informasi ini dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan

berkaitan dengan pemanfaatan dan program pengembangan teknologi.

b. Mendukung fokus pengembangan kegiatan litbang, pendanaan dan

transisi teknologi melalui seleksi kegiatan, alokasi sumber daya, dan

keputusan pendanaan dan pemberian insentif terhadap aktivitas litbang

dan pengembangan teknologi. Dapat juga ditujukan untuk monitoring dan

evaluasi suatu program pengembangan teknologi bila pengukuran TKT

Page 148: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

138 Kebijakan Inovasi di Industri

dilakukan secara berulang dengan mengetahui riwayat / historikal

pencapaian TKTL pada periode waktu tertentu.

Pemanfaatan TKT di Indonesia, khususnya dalam bidang iptek akan sangat

membantu dalam rangka persiapan dan pematangan suatu teknologi untuk siap

didifusikan atau tidak. Manfaat Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi adalah

untuk :

1. Mendapatkan indikator (antara 1-9) yang menunjukkan tingkat

kematangan/ kesiapan teknologi untuk diterapkan, yang dapat menjadi

informasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan berkaitan

dengan pemanfaatan dan program pengembangan teknologi.

2. Mengetahui riwayat/ historikal pencapaian suatu program pengembangan

teknologi, bila pengukuran dilakukan secara berulang pada periode waktu

tertentu.

3. Mengembangkan alat (tool) untuk mengukur TKT dan membangun

kesepahaman persyaratan (negosiasi/konsensus TKT) untuk teknologi

tertentu antar pihak yang berkepentingan.

Dengan diterapkannya atau dimanfaatkannya Teknometer sebagai alat

Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi hasil litbangyasa Lembaga Litbangyasa

yang terdapat di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka akan

diketahui tingkat kesiapan teknologi yang dihasilkan Lembaga Litbangyasa di Kota

Pekalongan sehingga dapat diantisipasi rencana pengembangan terhadap

teknologi hasil litbangyasa Lembagalitbangyasa yang dibutuhkan oleh pengguna

teknologi yang terdapat diKawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan.

Disamping itu pemanfaatan Teknometer juga dapat meningkatkan interaksi yang

lebih kuat dan kondusif diantara aktor/pelaku/komponen yang terkait dalam

kerangka sistem inovasi daerah dalam mendukung pengembangan Kawasan

Teknopolitan Batik di Kota Pekalongan.

PENUTUP

Konsep kesiapan ini perlu dikembangkan untuk dapat ditafsirkan secara sama

oleh pihak yang berkepentingan. Perbedaan penafsiran mungkin saja terjadi antara

pihak penyedia teknologi dengan pengguna/calon pengguna teknologi. Penyedia

teknologi mungkin mengartikan bahwa hasil litbangyasanya (proses pembuatan

produk atau prototipe teknologi) sebagai teknologi yang dapat diterapkan.

Sementara pihak pengguna/ calon pengguna belum menganggapnya sebagai

teknologi yang siap untuk diterapkan dan memenuhi kebutuhannya.

Tekno-Meter sebagai Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi untuk

mendukung Penguatan Sistem Inovasi Daerah khususnya dalam Kawasan

Teknopolitan dapat dimanfaatkan untuk mengukur TKT hasil litbangyasa di

Perguruan Tinggi ataupun Lembaga Litbangyasa Daerah dan kalangan Industri.

Page 149: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Kebijakan Aplikasi Teknometer Teknopolitan Kota Pekalongan 139

Secara umum memang Teknometer belum dikenal dan dimanfaatkan atau

digunakan di lembaga atau instansi Kota Pekalongan. Hal ini disebabkan karena

memang belum tersosialisasi kesemua personil di Lembaga Litbangyasa yang

terdapat di Kota Pekalongan, sehingga yang memahami Teknometer masih

terbatas pada personil yang mengikuti pelatihan Pengukuran TKT saja.

Dalam rangka meningkatkan kualitas hasil litbangyasa dari Lemlitbangyasa

dan Perguruan Tinggi di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka

Lemlitbangyasa dan Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan harus mengetahui

tingkat kesiapan teknologi dari hasil Litbangyasanya, untuk itu pengenalan dan

pengetahuan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi harus dikuasai oleh setiap

Lemlitbangyasa dan Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan.

Untuk pencapaian TKT yang lebih tinggi terhadap teknologi hasil

Lemlitbangyasa di Kawasan Teknopolitan Batik Kota Pekalongan maka optimalisasi

pemanfaatan Tekno-Meter perlu ditingkatkan, untu itu maka dibutuhkan:

1. Respon dari Pemerintah Kota Pekalongan untuk memfasilitasi terlaksananya

Workshop/Pelatihan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi di Lembaga

Litbang Daerah (BPP Kota), Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD).

2. Respon dari Perguruan Tinggi di Kota Pekalongan untuk memfasilitasi

terlaksananya Workshop/Pelatihan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi di

Lembaga Litbang Perguruan Tinggi (LPPM, DPPM atau LPM).

3. Respon dari kalangan Industri Batik di Kota Pekalongan (sebagai pengguna

teknologi) untuk mengerti, memahami dan memanfaatkan Teknometer dalam

memilih teknologi yang dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Mankins, John C. 1995. Technology Readiness Levels: A White Paper. Advanced

Concepts Office. Office of Space Access and Technology. NASA. April 6,

NASA. 2001. NASA Technology Commercialization Process: NASA Procedures and

Guidelines. NPG 7500_1. NASA - Commercial Technology Division. Dari

http://nodis3.gsfc.nasa.gov/library/

Smith, Jim. 2004. An Alternative to Technology Readiness Levels for Non-

Developmental Item (NDI) Software. Integration of Software-Intensive Systems

Initiative. CMU/SEI-2004-TR-013. ESC-TR-2004-013. April.

Smith II, James D. 2004. ImpACT: An Alternative to Technology Readiness Levels for

Commercial-Off-The-Shelf (COTS) Software. Carnegie Mellon Software

Engineering Institute.

Nolte, William. 2005. Technology Readiness Level Calculator. Presented at Assessing

Technology Readiness & Development Seminar. April 28,

Prayitno, Kuncoro Budy, 2012. Rekomendasi Penguatan Jaringan Inovasi Kota

Pekalongan, Laporan Perjalanan Dinas, PPKDT, PKT, BPPT,

Page 150: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

140 Kebijakan Inovasi di Industri

Monoarfa, Tommy. 2012. Inisiatif Pengembangan Teknopolita Batik Kota

Pekalongan, PPKDT, PKT, BPPT,

Page 151: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

PENGARUH LINGKUNGAN EKONOMI DAN

BISNIS TERHADAP INDUSTRI KELAPA

SAWIT INDONESIA

Dyan Vidyatmoko dan Rusdy Taufiq

ABSTRACT Palm oil industry plays a strategic role in the Indonesian economy in the past, present

and future. This industry has a role as a source of income, employment and a

significant source of foreign exchange. This paper discusses (1) develop a

comprehensive framework that describes the influence of economic and business

environments to the palm oil industry, (2) identify the specification of economic

and business variables and classify the variables defined by internal and external

factors , and endogenous and exogenous variables, (3) create the mathematical

models that describe the interplay between the variables of the framework, and

formulate equations and structural equations and the identity equation (4) develop

several oil palm agribusiness development scenarios through simulations of one or

more economic variables and business.

Keyword : economic, business, environment, palm oil industry

ABSTRACT Industri kelapa sawit memainkan peran strategis dalam perekonomian Indonesia di

masa lalu, sekarang dan masa depan. Industri ini memiliki peran sebagai sumber

pendapatan, pekerjaan dan sumber signifikan bagi devisa. Makalah ini membahas (1)

pengembangan kerangka komprehensif yang menggambarkan pengaruh lingkungan

ekonomi dan bisnis untuk industri kelapa sawit, (2) identifikasi spesifikasi variabel

ekonomi dan bisnis dan mengklasifikasikan variabel yang didefinisikan oleh faktor

internal dan eksternal, dan endogen dan variabel eksogen, (3) pembuatan model

matematika yang menggambarkan interaksi antara variabel kerangka, dan

merumuskan persamaan dan persamaan struktural dan persamaan identitas (4)

pengembangan beberapa skenario pembangunan agribisnis kelapa sawit melalui

simulasi dari satu atau lebih variabel ekonomi dan bisnis.

Kata kunci: ekonomi, bisnis, lingkungan, industri kelapa sawit

Page 152: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

142 Kebijakan Inovasi di Industri

PENDAHULUAN

Hampir seluruh hasil penelitian ilmiah (scientific research) menunjukkan bahwa

pembangunan sektor pertanian (dalam arti luas) atau sektor agribisnis mempunyai

peranan yang sangat penting dan strategis dalam memenuhi Triple Track Strategy

yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) mengatasi pengangguran (pro job) dan

mengurangi kemiskinan (pro-poor). Khusus untuk kasus Indonesia pada waktu

krisis (Juli 1997) sektor agribisnis menjadi satu-satunya sektor yang mempunyai

pertumbuhan positif, sedangkan sektor lain mempunyai pertumbuhan negatif.

Perkembangan pada triwulan I s/d triwulan IV tahun 2007, untuk sub sektor

perkebunan, khususnya Industri Kelapa Sawit (CPO) mengalami kenaikan harga

internasional yang sangat signifikan, sehingga memberikan dampak positif pada

Balance of Trade Indonesia.

Industri kelapa sawit (CPO) memegang peranan strategis terhadap

perekonomian Indonesia di masa lalu, masa sekarang maupun masa mendatang.

Pada saat ini, peran industri CPO sebagai sumber pendapatan, lapangan kerja dan

sumber penghasil devisa cukup signifikan. Sebagai sumber pendapatan, petani

memperoleh pendapatan antara Rp 2-6 juta per Ha. Jumlah pekerja yang dapat

diserap di perkebunan kelapa sawit diperkirakan lebih dari dua juta orang dengan

mengelola kebuh lebih dari 2,5 juta Ha. Devisa yang dihasilkan pada tahun 1998

adalah sekitar US$ 0,80 miliar dengan laju peningkatan 12% pada dekade terakhir

(Departemen Pertanian, 2005). Peran strategis lainnya adalah menjadi bahan baku

minyak goreng yang merupakan kebutuhan pokok.

TUJUAN

Tujuan dari penulisan ini adalah membahas pengaruh lingkungan ekonomi

dan bisnis terhadap industri minyak sawit Indonesia. Secara rinci, tujuan tersebut

adalah:

Menyusun suatu kerangka pemikiran (KP) secara komprehensif yang

menggambarkan pengaruh lingkungan ekonomi dan agribisnis (LEB)

terhadap industri Kelapa Sawit.

Menganalisis spesifikasi variabel-variabel ekonomi maupun bisnis yang

terkait dan mengklasifikasikan variabel-variabel dimaksud dengan faktor

internal dan eksternal, dan variabel endogen dan eksogen

Membuat model matematik yang menggambarkan saling pengaruh antar

variabel dengan blok-blok persamaan dan sekaligus menunjukkan klasifikasi

persamaan struktural dan persamaan identitas

Menyusun beberapa skenario pengembangan agribisnis kelapa sawit melalui

simulasi dari satu atau lebih variabel ekonomi maupun bisnis.

Page 153: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 143

KERAGAAN EKONOMI KELAPA SAWIT INDONESIA

Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit

Areal, produksi kelapa sawit dan produksi minyak sawit di Indonesia terus

meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1969 areal perkebunan budidaya

kelapa sawit sekitar 119,5 ribu ha dengan hasil CPO (crude palm oil) 118,8 ribu ton,

maka pada tahun 2005 produksi CPO sudah mencapai 13,11 juta ton dengan luas

areal perkebunan mencapai lebih dari 5,6 ribu hektar (Deptan, 2007)

Produk CPO dan Turunan

Produksi utama dari perkebunan kelapa sawit ialah tandan buah segar (TBS).

Hasil olahan TBS pada pabrik kelapa sawit (PKS) dapat dibedakan menjadi dua

jenis yaitu (1) hasil utama, (2) hasil ikutan (by product). Hasil utama PKS ialah

minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Produk olahan minyak

sawit dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu produk pangan dan produk non

pangan. Produk pangan yang dihasilkan dari minyak sawit ialah alin emulsifier,

margarine, minyak goreng, minyak makan merah, shortening, susu kental manis,

vanaspati, confectioneries, es krim dan yoghurt. Produk-produk non pangan dari

proses pengolahan minyak sawit adalah oleokimia dasar (basic oleochemicals) dan

derivat oleokimia (oleochemicals derivats). Biodiesel merupakan produk turunan

minyak sawit yang digunakan sebagai renewable energy.

Jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit mencapai 320 unit dengan kapasitas

13.520 ton TBS per jam (Deptan, 2003). Dilihat dari segi produksi dan pangsa

pasarnya terhadap pasar dunia, Indonesia masih di bawah Malaysia. Pada tahun

2006 Indonesia memproduksi minyak sawit 15,7 juta ton dengan pangsa pasar

dunia 42,66%. Malaysia menghasilkan CPO 15,8 juta ton dengan pangsa pasar

dunia 42,93%.

Struktur Biaya Industri Minyak Sawit

Biaya produksi secara umum dapat dibagi menjadi biaya tetap dan biaya

variabel. Pahan (2006) berdasarkan data tahun 1989 sampai dengan tahun 1992

memberikan gambaran rata-rata prosentase komponan biaya terhadap biaya total

pengolahan sebuah Pabrik Kelapa Sawit sebagai berikut: gaji dan upah 13,45%,

alat-alat dan perkakas kecil 0,40%, bahan kimia dan pelengkap 2,24%, biaya

analisis 0,37%, bahan baker dan pelumas 3,89 %, listrik 12,98%, Air 1,59%,

pengangkutan 3,68%, pemeliharaan bangunan 2,54%, pemeliharaan mesin dan

perlengkapan 52,96%, Perabot dan perlengkapan kantor 0,05, Pengiriman 1,26%

dan asuransi 1,61.

Berdasarkan pengalaman telah diketahui bahwa biaya produksi berasal dari

biaya bahan baku TBS 80% dan biaya pengolahan 20% (Pahan, 2006).

Page 154: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

144 Kebijakan Inovasi di Industri

Pasar Minyak Sawit

Beberapa rantai terpenting yang digunakan dalam pemasaran minyak sawit,

yaitu perkebunan negara, swasta dan rakyat yang menghasilkan TBS (tandan buah

segar), pabrik ekstraksi TBS atau PKS (pabrik pengolah kelapa sawit) dan eksportir.

TBS yang dihasilkan rakyat (petani) peserta PIR dibeli oleh PTP/ swasta yang

menjadi inti dalam proyek PIR. Selanjutnya TBS rakyat ditambah TBS PTP/swasta

diolah/diekstraksi di pabrik pengolah kelapa sawit (PKS). Hasil ekstraksi berupa

CPO untuk perusahaan negara selanjutnya dipasarkan melalui KPB (Kantor

Pemasaran Bersama). Penentuan harga dilakukan dengan sistem lelang yang

dilakukan dua kali seminggu Setiap perusahaan swasta bebas melakukan

penjualan produksinya tanpa melalui KPB. Kesepakatan harga melalui mekanisme

pasar dengan mengacu pada harga CPO internasional di Bursa Berjangka Kuala

Lumpur (MDEX).

Permintaan CPO

Sampai dengan tahun 2005, konsumsi minyak sawit domestik sekitar 40%-

60% dari produksi minyak sawit. Konsumsi minyak sawit dalam negeri sebagian

besar (80-85%) untuk minyak goreng dan sisanya digunakan oleh industri sabun,

industri oleochemical, industri margarine & shortening dan biodiesel.

Pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri diperkirakan adalah sekitar

11,5%/ tahun. (Warta Ekonomi, 2006).

Tiga negara pengimpor terbesar produk minyak sawit Indonesia yaitu India

(23,99%), Belanda (10,22%) dan Pakistan (8,52%) pada tahun 2005. Disamping itu,

minyak sawit Indonesia diekspor ke Jerman (3,25 %), Italia (1,43%) dan Inggris

(0,48%) (BPS, 2006). Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi

dalam keadaan mendesak Indonesia juga mengimpor turunan minyak sawit dalam

bentuk olein dari Malaysia Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia

tinggi dimana terjadi rush export dari Indonesia.

Kebijakan Pemerintah

Dalam upaya pengembangan industri kelapa sawit, pemerintah telah

melaksanakan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah

terus berusaha mendorong pihak swasta nasional maupun asing untuk berperan

serta dalam investasi di sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Usaha

perluasan perkebunan kelapa sawit dilakukan melalui berbagai bentuk baik

perkebunan besar dan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Kebijakan investasi yang

pernah diberikan oleh pemerintah ditujukan untuk usaha perkebunan melalui

Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) Dengan adanya kredit likuiditas dari Bank

Indonesia yang terutama ditujukan pada Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN)

dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) telah mendorong peningkatan perluasan areal

perkebunan yang cukup besar. Tanpa kredit ini akan sulit untuk mencapai

Page 155: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 145

perluasan areal sebesar 10,49% (1988-1993) karena investasi dalam perkebunan

kelapa sawit membutuhkan modal yang cukup besar dengan waktu pengembalian

yang cukup panjang pula. Namun pada tanggal 31 Maret 1990 pemerintah

menghapuskan KLBI ini sehingga suku bunga yang berlaku pada kredit investasi ini

mengikuti suku bunga komersial (Comercial Floating Rate ). Fasilitas kredit yang

pernah tersedia adalah Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), Kredit Program

Agricultural Financing Project (AFT), Kredit Usaha Kecil (KUK) Perkebunan, Kredit

Investasi/Modal Kerja Umum, Kredit Modal Kerja Ekspor

Kebijakan tata niaga dan ekspor untuk pertama kalinya pengaturan tata niaga

minyak goreng dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1978 sebagai salah satu

upaya mengatasi krisis minyak goreng yang terjadi pada tahun 1970-an. Untuk

lebih meningkatkan efektivitas kebijakan tataniaga maka pada tahun 1984

pemerintah menetapkan pajak ekspor CPO sebesar 37,18 persen. Kebijakan ini

berlangsung hingga sekarang dengan beberapa penyesuaian. Disamping

instrumen pajak ekspor, instrumen lain yang ditempuh pemerintah untuk menjaga

stabilitas harga minyak goreng dalam negeri ialah operasi pasar.

Kerangka Pemikiran Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Agribisnis Terhadap

Industri Kelapa Sawit

Lingkungan ekonomi dan bisnis dari industri kelapa sawit dapat dibedakan

atas lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal adalah

lingkungan yang berada di dalam industri kelapa sawit. Lingkungan internal

terdiri dari struktur (structure), budaya (culture) dan sumber daya (resources).

Struktur adalah bagaimana industri diorganisasikan yang berkaitan dengan

komunikasi, wewenang dan arus kerja. Budaya merupakan pola keyakinan,

pengharapan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota industri. Sumberdaya

meliputi sumberdaya manusia (human resources) seperti pengalaman

(experiences), kemampuan (capabilities), pengetahuan (knowledge), keahlian (skill),

dan pertimbangan (judgment), sumberdaya perusahaan (organizational resources)

seperti proses dan sistem, termasuk strategi, struktur, budaya, manajemen,

produksi/operasi, keuangan, riset dan pengembangan, pemasaran, sistem

informasi, dan sistem pengendalian, dan sumberdaya fisik seperti pabrik dan

peralatan, lokasi geograpis, akses terhadap material, jaringan distribusi dan

teknologi.

Lingkungan eksternal adalah lingkungan yang berada di luar industri kelapa

sawit. Lingkungan eksternal industri terdiri dari faktor politik/ legal, ekonomi,

sosial/budaya dan teknologi. Faktor politik/ legal dimana Industri kelapa sawit

secara langsung dipengaruhi oleh tindakan pemerintah dan peristiwa politik

lainnya serta kerangka hukum dimana industri beroperasi. Pada faktor ekonomi,

bisnis kelapa sawit dipengaruhi secara keseluruhan oleh berbagai faktor ekonomi

seperti nilai tukar, pajak, suku bunga. Dalam faktor sosial/budaya dikaji

Page 156: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

146 Kebijakan Inovasi di Industri

lingkungan bisnis yang terkait dengan perilaku sosial dan nilai (values). Dalam

faktor teknologi dibahas pengaruh teknologi terhadap industri. Pembagian faktor-

faktor yang mempengaruhi industri ke dalam politik, ekonomi, sosial dan

teknologi dikenal sebagai analisis PEST.

Kerangka pemikiran pengaruh lingkungan ekonomi dan bisnis terhadap

industri kelapa sawit lebih ditekankan pada analisis ekonomi melalui pendekatan

ekonomi mikro dan ekonomi makro. Dengan pendekatan ekonomi mikro,

dianalisis pengaruh permintaan dan penawaran, pengaruh ketenagakerjaan,

pengaruh pemerintah terhadap lingkungan bisnis kelapa sawit. Dengan

pendekatan ekonomi makro, dikaji pengaruh kebijakan ekonomi makro terhadap

lingkungan bisnis kelapa sawit.

Faktor yang berpengaruh terhadap industri kelapa sawit dapat dianalisis dari

sisi penawaran dan sisi permintaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

penawaran terdiri dari produksi CPO, luas areal tanaman kelapa sawit, biaya

input produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan dan tenaga kerja dan

produktivitas. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi sub sistem atau blok

produksi. Dari sisi permintaan, faktor-faktor yang mempengaruhi industri kelapa

sawit adalah jumlah permintaan atau konsumsi CPO dan harga CPO, yang

dikelompokan menjadi sub sistem/blok pasar. Faktor lainnya yang berpengaruh

adalah ekspor, impor, stok yang dikelompokan menjadi sub sistem/blok

perdagangan. Kerangka model pengaruh lingkungan ekonomi dan bisnis

terhadap industri kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Model Umum Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap

Industri Kelapa Sawit

Blok Produksi : Luas Areal TM Input Produksi

(Pupuk, Benih,Tenaga Kerja)

Produktivitas CPO

Blok Pasar : Konsumsi Harga CPO

Blok Perdagangan : Ekspor Impor Stok

Page 157: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 147

Produksi dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga CPO dalam negeri, areal

tanaman kelapa sawit, harga input produksi dan kebijakan pemerintah. Areal

Tanaman Kelapa Sawit secara umum dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga CPO

dalam negeri, harga komoditas pesaing seperti harga karet (karena ada kompetisi

penggunaan lahan antara kelapa sawit dengan karet), harga input produksi,

tingkat suku bunga, nilai tukar dan kebijakan pemerintah (pembangunan

perkebunan kelapa sawit mendukung dukungan pemerintah diantaranya melalui

berbagai kemudahan dalam memperluas lahan perkebunan).

Penggunaan input produksi seperti benih, pupuk, pestisida/ obat-obatan dan

tenaga kerja dihipotesisikan dipengaruhi oleh harga kelapa sawit, harga benih,

harga pupuk, harga pestisida/obat-obatan, harga tenaga kerja, luas areal TM.

Produktivitas kelapa sawit atau hasil kelapa sawit per hektar dihipotesiskan

dipengaruhi oleh harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana produksi.

Konsumsi secara umum diperkirakan dipengaruhi oleh harga CPO dalam

negeri, harga substitusi (minyak kelapa, minyak kedelai), jumlah penduduk,

pendapatan per kapita serta konsumsi periode sebelumnya. Pengertian konsumsi

CPO adalah CPO yang diproses oleh industri hilir seperti industri minyak goreng.

Harga CPO dalam negeri dihipotesiskan dipengaruhi oleh produksi, harga di pasar

internasional, pajak ekspor, nilai tukar, harga sebelumnya, stok sebelumnya,

ekspor, impor.

Ekspor dihipotesiskan dipengaruhi oleh harga dunia, nilai tukar, pajak ekspor,

produksi dan ekspor periode sebelumnya. Impor dihipotesiskan dipengaruhi oleh

konsumsi, ekspor, produksi dan stok. Stok dihipotesiskan dipengaruhi oleh

perbedaan harga CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya, produksi,

konsumsi dan stok sebelumnya.

a. Areal Tanaman Kelapa Sawit

Variabel endogen adalah areal tanaman kelapa sawit. Variabel eksogen

terdiri dari harga CPO domestik, harga komoditas pesaing, harga saprodi, tingkat

suku bunga, nilai tukar, areal tanaman kelapa sawit sebelumnya dan kebijakan

pemerintah.

Faktor internal adalah harga CPO, harga komoditas pesaing, areal tanaman

kelapa sawit sebelumnya, harga saprodi. Faktor eksternal adalah tingkat suku

bunga, nilai tukar dan kebijakan pemerintah

b. Produksi.

Variabel endogen adalah produksi CPO. Variabel eksogen adalah harga CPO

domestik, areal tanaman kelapa sawit, harga saprodi dan kebijakan pemerintah.

Faktor internal adalah harga CPO domestik, harga input, areal tanaman

kelapa sawit. Faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah

Page 158: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

148 Kebijakan Inovasi di Industri

c. Penggunaan sarana/ input produksi

Variabel endogen adalah jumlah sarana produksi seperti benih, pupuk,

pestisida/ obat-obatan dan tenaga kerja. Variabel eksogen adalah harga CPO,

harga benih, harga pupuk, harga pestisida/ obat-obatan, harga tenaga kerja, luas

areal TM.

Faktor internal adalah harga CPO domestik, harga saprodi, luas areal TM.

d. Produktivitas

Variabel endogen adalah produktivitas kelapa sawit. Variabel eksogen

adalah harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana produksi.

Faktor internal adalah harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana

produksi.

e. Harga CPO Domestik

Variabel endogen adalah harga CPO domestik. Variabel eksogen adalah

produksi, harga di pasar internasional, pajak ekspor, nilai tukar, harga sebelumnya,

stok sebelumnya, ekspor, impor.

Faktor internal adalah produksi, harga sebelumnya, stok sebelumnya,

ekspor, impor. Faktor eksternal adalah harga dunia, pajak ekspor, nilai tukar.

f. Konsumsi

Variabel endogen adalah konsumsi. Variabel eksogen terdiri dari harga

domestic, harga substitusi (minyak kelapa, minyak kedelai), jumlah penduduk,

pendapatan per kapita serta konsumsi periode sebelumnya.

Faktor internal adalah harga domestik, harga substitusi, konsumsi. Faktor

internal adalah pendapatan per kapita, jumlah penduduk.

g. Ekspor

Variabel endogen adalah ekspor. Variabel eksogen adalah harga dunia, nilai

tukar, pajak ekspor, produksi dan ekspor periode sebelumnya.

Faktor internal adalah produksi, ekspor periode sebelumnya. Faktor ekternal

adalah harga dunia, nilai tukar, pajak ekspor.

h. Impor

Variabel endogen adalah impor. Variabel eksogen adalah konsumsi, ekspor,

produksi dan stok.

Faktor internal adalah konsumsi, ekspor, stok, produksi.

i. Stok

Variabel endogen adalah stok. Variabel eksogen adalah perbedaan harga

CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya, produksi, konsumsi dan

stok sebelumnya.

Faktor internal adalah konsumsi, stok sebelumnya. Faktor eksternal adalah

perbedaan harga CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya.

Page 159: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 149

MODEL MATEMATIK ANTAR VARIABEL

Spesifikasi model untuk masing-masing sub sistem atau blok pada dasarnya

mengikuti model ekonomi seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Model Spesifik Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis

terhadap Industri Kelapa Sawit

Blok Produksi

a. Areal Tanaman Kelapa Sawit

Variabel endogen adalah areal tanaman kelapa sawit (POA). Variabel

eksogen terdiri dari harga CPO domestik (POPDt), harga komoditas pesaing karet

(RBP), tingkat suku bunga (IIR), nilai tukar (IER), areal tanaman kelapa sawit

sebelumnya (POAt-1), dan kebijakan pemerintah (perubah dummy, D=0 sebelum

tahun 1979 dan D=1 dari tahun 1979-2007)

Persamaan struktural:

POA = a0 + a1 POPDt + a2 RBP + a3 IIR + a4 IER + a5 POAt-1 +

a6 POT + a7 D+ U1

Page 160: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

150 Kebijakan Inovasi di Industri

b. Penggunaan Saprodi

Variabel endogen adalah jumlah sarana produksi seperti benih, pupuk,

pestisida/obat-obatan dan tenaga kerja (POI). Variabel eksogen adalah harga CPO,

harga benih (POS), harga pupuk (POF), harga pestisida/obat-obatan (POM), harga

tenaga kerja (POL), luas areal TM.

Persamaan struktural:

POI = b0 + b1 POPDt + b2POS + b3 POF + b4 POM + b5 POL +

b6 POA+ b7D + u2

c. Produktivitas

Variabel endogen adalah produktivitas kelapa sawit (POY). Variabel eksogen

adalah harga CPO, luas areal TM, penggunaan sarana produksi

Persamaan struktural:

POY = c0 + c1 POPDt + c2 POA + c3 POI + c4 D + u3

Persamaan identitas

POY= POQ/POA

d. Produksi

Variabel endogen adalah produksi CPO (POQ). Variabel eksogen adalah

harga CPO domestik (POPDt), areal tanaman kelapa sawit (POA), harga saprodi

(POI) dan kebijakan pemerintah

Persamaan struktural

POQ = d0 + d1 POPDt + d2 POA + d3 POI +d4D + u4

Persamaan identitas:

POQ = POA *POY

Blok Pasar

a. Konsumsi

Variabel endogen adalah konsumsi (POC). Variabel eksogen terdiri dari

harga domestic, harga substitusi (minyak kelapa, minyak kedelai, PSC), jumlah

penduduk (IJP), pendapatan per kapita (INY) serta konsumsi (POC).

Persamaan struktural:

POC = e0 + e1 POPDt + e2 PSC + e3 INY + e4POC + e5 D + u5

Persamaan Identitas:

POC = POQ+ IMP – EXP - POS

b. Harga Domestik

Variabel endogen adalah harga CPO domestik (POPDt). Variabel eksogen

adalah produksi (POQ), harga di pasar internasional (POPWt), pajak ekspor (POT E),

nilai tukar (EXR), harga sebelumnya (POPt-1), stok sebelumnya (POSt-1) , ekspor

(EXP), impor (IMP)

Persamaan struktural:

Page 161: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 151

POPDt = f0 + f1 POQt + f2 POPWt + f3 POT E + f4 EXR+f5 POPt-1 +

f6POSt + f7 EXP + f8 IMP +f9D+ u6

Blok Perdagangan

a. Ekspor

Variabel endogen adalah ekspor (EXP). Variabel eksogen adalah harga dunia,

nilai tukar, pajak ekspor, produksi dan ekspor periode sebelumnya

Persamaan struktural:

EXP = g0 + g1 POPWt + g2 EXR+ g3 POTE + g4POQt-1 + g5 EXPt-1

+ g6 D+ u8

Persamaan identitas :

EXP = POQ – POC - POS

b. Impor

Variabel endogen adalah impor. Variabel eksogen adalah konsumsi, ekspor,

produksi dan stok.

Persamaan struktural:

IMP = h0 + h1 POC + h2 EXP+ h3 POQ + h4POS t + h5D+ u9

Persamaan identitas:

IMP = POQ – EXP – POC - POS

c. Stok

Variabel endogen adalah stok. Variabel eksogen adalah perbedaan harga

CPO dunia suatu periode dengan periode sebelumnya (POWD), produksi,

konsumsi dan stok sebelumnya.

Persamaan struktural:

POS = i0 + i1 POWD + i2 EXP+ i3 POQ + i4POC t + i5 POSt-1 +

i6 D+ u9

Persamaan identitas:

POS = POQ + IMP – EXP – POC

Skenario Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit

Perubahan-perubahan ekonomi makro dan mikro sebagai akibat dari

perubahan lingkungan ekonomi dan bisnis akan mempengaruhi variabel-variabel

yang ada dalam industri kelapa sawit. Untuk melihat sampai sejauh mana

sensitivitas variabel-variabel yang ada dalam industri kelapa sawit dilakukan

simulasi dengan menganalisis dampak perubahan ekonomi mikro dan makro

terhadap pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia. Untuk itu disusun

beberapa alternatif simulasi perubahan lingkungan internal dan lingkungan

eksternal yaitu:

Skenario 1. Untuk mengembangkan agribisnis kelapa sawit di Indonesia

diskenariokan perubahan harga CPO di pasar dalam negeri melalui peningkatan

Page 162: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

152 Kebijakan Inovasi di Industri

harga kelapa sawit sebesar 10 persen. Dengan adanya skenario ini diperkirakan

akan mengakibatkan perubahan-perubahan langsung dan positif atau terjadi

peningkatan terhadap variabel-variabel blok produksi dalam industri kelapa sawit

seperti luas areal TM, penggunaan sarana produksi, produktivitas. Dalam blok

pasar, diperkirakan akan terjadi peningkatan langsung pada variabel harga

domestik, penawaran CPO ke dalam negeri tetapi akan terjadi penurunan pada

tingkat konsumsi. Pada blok perdagangan, apabila terjadi perubahan harga CPO

domestik akan berpengaruh langsung dan positif terhadap ekspor, impor dan stok

yang tersedia di dalam negeri. Dengan demikian, adanya skenario peningkatan

harga CPO akan memberikan pengaruh langsung terhadap seluruh variabel, baik

variabel permintaan dan penawaran, yang ada dalam industri kelapa sawit. Adanya

skenario peningkatan harga CPO akan menyebabkan dampak positif langsung

terhadap pengembangan agribisnis kelapa sawit.

Skenario 2. Untuk mengembangkan agribisnis kelapa sawit di Indonesia

diskenariokan terjadi peningkatan harga sarana produksi sebesar 10 persen.

Dengan adanya skenario ini diperkirakan akan mengakibatkan perubahan-

perubahan langsung pada beberapa variabel yang ada dalam industri kelapa sawit.

Dalam blok produksi, kenaikan harga sarana produksi akan langsung berpengaruh

langsung dan negatif terhadap luas areal TM kelapa sawit, produksi, produktivitas

dan jumlah penggunaan sarana produksi. Pada blok pasar, skenario kenaikan

harga sarana produksi diperkirakan akan menyebabkan pengaruh tidak langsung

terhadap kenaikkan harga CPO dalam negeri dan turunnya tingkat konsumsi.

Dalam blok perdagangan, skenario naiknya harga sarana produksi akan

menyebabkan pengaruh tidak langsung terhadap ekspor dan stok akan turun dan

kemungkinan impor akan meningkat. Dengan demikian, adanya skenario naiknya

harga sarana produksi akan memberikan pengaruh negatif terhadap

pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia.

Skenario 3 adalah adanya peningkatan luas areal TM sebesar 10 persen

untuk skenario pengembangan agribisnis di Indonesia. Melalui skenario ini

diperkirakan akan mengakibatkan perubahan langsung terhadap beberapa

variabel yang ada dalam industri kelapa sawit. Pada blok produksi, skenario

peningkatan luas areal TM kelapa sawit berpengaruh langsung terhadap empat

variabel yaitu luas areal TM (semakin luas areal), penggunaan saprodi

(penggunaan saprodi bertambah), produktivitas (produktivitas diperkirakan dapat

turun atau naik tergantung kualitas lahan) dan produksi (semakin meningkat).

Pada blok pasar, skenario peningkatan luas areal TM kelapa sawit berpengaruh

tidak langsung terhadap konsumsi (ketersediaan produksi semakin meningkat)

dan harga CPO dalam negeri (harga CPO dapat turun karena bertambahnya

Page 163: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Pengaruh Lingkungan Ekonomi dan Bisnis terhadap Industri Kelapa Sawit 153

pasokan CPO). Pada blok perdagangan skenario ini berpangaruh tidak langsung

terdahap ekspor, impor dan stok.

Skenario 4 adalah skenario dimana untuk mengembangkan agribisnis perlu

dilakukan upaya peningkatan nilai tukar 10 persen. Dengan adanya skenario ini

diperkirakan akan memberikan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung

terhadap variabel-variabel yang ada di dalam industri kelapa sawit. Pada blok

produksi, skenario ini diperkirakan memberikan dampak tidak langsung terhadap

variabel luas areal TM, penggunaan saprodi, produktivitas dan produksi. Pada blok

pasar, skenario ini memberikan pengaruh tidak langsung terhadap konsumsi tetapi

memberikan pengaruh langsung terhadap harga CPO dalam negeri. Pada blok

perdagangan, skenario ini akan memberikan pengaruh langsung terhadap ekspor,

tetapi tidak memberikan pengaruh langsung terhadap impor dan stok.

Dengan membandingkan keempat skenario diatas, maka skenario 1 yaitu

peningkatan harga CPO sebesar 10 persen merupakan skenario yang paling baik.

Ada berbagai alasan yaitu:

1. Hanya skenario ini yang dapat memberikan pengaruh langsung terhadap

semua variabel yang ada di dalam industri kelapa sawit yaitu areal TM,

saprodi, produktivitas, produksi, konsumsi, harga CPO dalam negeri, ekspor,

impor dan stok.

2. Adanya skenario peningkatan harga CPO akan menyebabkan dampak positif

langsung (dengan membandingkan total benefit dan total biaya yang

mempengaruhi variabel permintaan dan penawaran) terhadap

pengembangan agribisnis kelapa sawit.

3. Variabel harga CPO dalam negeri merupakan variabel yang sensitif terhadap

perubahan pengembangan agribisnis kelapa sawit. Dengan adanya

peningkatan harga CPO dalam negeri akan membantu pengembangan

agribisnis kelapa sawit

PENUTUP

1. Kerangka pemikiran pengaruh lingkungan ekonomi dan bisnis terhadap

industri kelapa sawit ditekankan pada analisis ekonomi melalui pendekatan

ekonomi mikro dan ekonomi makro. Dengan pendekatan ekonomi mikro,

dianalisis pengaruh permintaan dan penawaran, pengaruh ketenagakerjaan,

pengaruh pemerintah terhadap lingkungan bisnis kelapa sawit. Dengan

pendekatan ekonomi makro dikaji pengaruh kebijakan ekonomi makro

terhadap lingkungan bisnis kelapa sawit.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran terdiri dari produksi CPO, luas

areal tanaman kelapa sawit, biaya input produksi seperti pupuk, benih, obat-

Page 164: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

154 Kebijakan Inovasi di Industri

obatan dan tenaga kerja dan produktivitas. Faktor-faktor ini dikelompokkan

menjadi sub sistem atau blok produksi.

3. Dari sisi permintaan, faktor-faktor yang mempengaruhi industri kelapa sawit

adalah jumlah permintaan atau konsumsi CPO dan harga CPO, yang

dikelompokan menjadi sub sistem/blok pasar.

4. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah ekspor, impor, stok yang

dikelompokan menjadi sub sistem/blok perdagangan.

5. Terdapat empat skenario untuk mengembangkan agribisnis kelapa sawit di

Indonesia yaitu (1) perubahan harga CPO di pasar dalam negeri melalui

peningkatan harga kelapa sawit sebesar 10 persen, (2) peningkatan harga

sarana produksi sebesar 10 persen, (3) peningkatan luas areal TM sebesar 10

persen, dan (4) peningkatan nilai tukar 10 persen.

6. Dengan membandingkan keempat skenario, maka skenario peningkatan harga

CPO sebesar 10 persen merupakan skenario yang paling baik.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2010. Statistik Kelapa Sawit Indonesia. BPS Jakarta, Indonesia

Departemen Pertanian, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa

Sawit. Deptan Jakarta

Direktorat Jendral Perkebunan, 2004. Kumpulan Data Statistik Perkebunan

Indonesia

Pahan, Iyung, 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis

dari Hulu Hingga Hilir. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta

Salvatore, D, 2005. Ekonomi Manajerial Dalam Perekonomian Global. Penerbit

Salemba Empat, Jakarta

Sloman, J, 2005. The Economic Environment of Business. Pearson Education

Limited, England.

Warta Ekonomi, 2006. Industri Minyak Goreng: Persaingannya Kian Seru. Warta

Ekonomi, 7 April 2006

Wheelen, T.L and J.D Hunger. 2006. Strategic Management and Business Policy.

10th Upper Saddler River, N.J: Pearson Education International, Inc.

Page 165: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI DAN

KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN

SOSIAL EKONOMI DI INDONESIA

M. Ansorudin Sidik

ABSTRACT In this information era, Information and Communication Technology plays very

important role in nation and state development. The Social development of the

nations that do not make use of Information and Communication Technology will be

left behind. Three social dimensions of Information and Communication Technology

have been noticed in International Conference in Copenhagen were poverty

alleviation, productive work enhancement and unemployment reduction, and

increase of social integration. In the agenda, these principles were used to analyze

the role of Information and Communication Technology in social development with

the purpose to increase human welfare.

Keywords: social development, information and communication technology, poverty, productive work

and social integration.

ABSTRACT Di era informasi ini, teknologi informasi dan komunikasi memainkan peran yang

sangat penting dalam pembangunan bangsa dan negara. Perkembangan sosial

bangsa-bangsa yang tidak memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan

tertinggal. Tiga dimensi sosial teknologi informasi dan komunikasi telah melihat

dalam Konferensi Internasional di Kopenhagen adalah pengentasan kemiskinan,

peningkatan kerja produktif dan pengurangan pengangguran, dan meningkatkan

integrasi sosial. Dalam agenda, prinsip-prinsip ini digunakan untuk menganalisis

peran teknologi informasi dan komunikasi dalam pengembangan kehidupan sosial

dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Kata kunci: pembangunan sosial, teknologi informasi dan komunikasi, kemiskinan, pekerjaan

produktif dan integrasi sosial.

PENDAHULUAN

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan faktor yang penting

bagi pembangunan bangsa dan negara di era informasi. Peran TIK bagi kemajuan

Page 166: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

156 Kebijakan Inovasi di Industri

bangsa tidak hanya berguna pada satu aspek saja tetapi berguna dalam berbagai

aspek, seperti pembangunan demokrasi, kehidupan politik, ekonomi, hukum,

pengembangan budaya dan pendidikan serta peningkatan kapasitas

pemerintahan. Bahkan aspek perubahan sosial bagi kemajuan suatu bangsa dapat

diprediksi dengan menggunakan jasa TIK.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kopenhagen, Denmark, pada

tanggal 6-12 Maret 1995, telah dirumuskan visi pembangunan sosial yang terus

bergulir hingga kini. Deklarasi dan aksi yang pada intinya komitmen yang tegas

mengenai perlunya penanganan segera terhadap penyebab utama dan penyebab

struktural masalah sosial dikemas dalam tiga agenda besar, yaitu :

Pengentasan kemiskinan,

Perluasan kerja produktif dan pengurangan penganggguran, dan

Peningkatan integrasi sosial.

Dalam kerangka pembangunan sosial inilah TIK akan dicoba dianalisa untuk dapat

dipakai sebagai pembantu melahirkan kebijakan yang optimal.

Meskipun TIK mempunyai peranan yang sangat penting, namun perlu

ditekankan bahwa TIK hanyalah merupakan salah satu teknologi diantara

bermacam teknologi lainnya. Isu globalisasi yang semakin cepat dan meluas

keseluruh dunia, diantaranya difasilitasi oleh TIK. Diantara pergulatan kemajuan

teknologi dan kemajuan di bidang sosial, maka peranan TIK menjadi isu yang

sentral. Apa saja yang terjadi di belahan dunia ini menjadi semakin cepat tersebar

dengan memanfaatkan TIK. Dengan kondisi demikian menjadikan TIK sebagai

agen perubahan yang mampu merubah tatanan sosial kehidupan manusia di

seluruh penjuru dunia. Dalam lingkungan sosial yang selalu berubah, setidaknya

ada dua faktor yang mempegaruhi perubahan tersebut, pertama adalah pelaku

perubahan dan kedua adalah mereka yang terkena perubahan. Dua posisi ini

dapat diperankan oleh TIK sekaligus, yakni sebagai aktor pengubah sekaligus

sebagai sasaran dari perubahan yang diinginkan.

Pada sisi lain pemanfaatan teknologi TIK yang bersifat netral mempunyai

pengaruh bagi kehidupan sosial kemasyarakat. Semua itu tergantung dari manusia

yang mengoperasikannya. Sejarah membuktikan bahwa evolusi teknologi pada

awalnya selalu diaplikasikan untuk memperoleh kemudahan dalam aktivitas

kehidupan manusia memperoleh manfaat dari teknologi tersebut. Secara

sistematis tahapan perkembangan teknologi adalah sebagai berikut : pertama,

teknologi diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia keseharian dalam

memecahkan persoalan yang dihadapi, kedua, temuan teknologi ini kemudian

diperkenalkan kepada masyarakat atau disosialisasikan, dan ketiga, jika temuan

tersebut terbukti dapat membantu memudahkan aktifitas masyarakat, maka

memasuki tahap kemersialisasi atau dipasarkan kepada masyarakat dengan

harapan dapat diadopsi secara luas.

Page 167: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 157

ASPEK TIK DI INDONESIA

Dari berbagai artikel yang ada diantaranya ditulis oleh Yulius Hafian yang

berjudul PR buat Menkominfo Baru, disebutkan bahwa berbagai aspek dari TIK

antara lain.

Aspek Infrastruktur

Akses untuk TIK masih merupakan kenyataan yang jauh bagi sebagian besar

orang Indonesia. Di daerah-daerah khususnya pedesaan, secara nyata tertinggal

jauh dari revolusi informasi ini. Hal ini ditandai dengan tidak adanya informasi

dasar, biaya yang tinggi untuk pengadaan TIK, ketidaktahuan mengenai TIK,

dominasi dalam bahasa Inggris pada konten internet, serta kurangnya demonstrasi

keuntungan TIK untuk menjawab tantangan pembangunan pada tingkat bawah.

Fakta yang ada adalah sebagai berikut . Persentase penetrasi internet baru

mencapai 8,7% atau sekitar 20 juta pengguna, dan jumlah warnet baru mencapai

angka 7.602 (AWARI, 2007) dengan 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah seluruh

pengguna internet di Indonesia yang masih didominasi oleh daerah Jakarta dan

sekitarnya. Penetrasi personal computer (PC) baru mencapai 6,5 juta unit saja,

dengan penjualan PVC tahun 2007 diperkirakan mencapai 1.257.631 unit

(International Data Center, 2006). Penggunaan PC dan internet lebih banyak di

perkantoran dari pada di rumah (home user) dengan perbandingan 5:1. Investasi di

sektor telekomunikasi di Indonesia berkisar pada Rp 50 trilyun/tahun di mana

industri dan jasa domestik hanya berkontribusi sebesar 2%.

Selain itu, perkembangan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di

Indonesia masih jauh dari memadai. Jumlah sambungan telepon tetap saat ini baru

8,7 penduduk atau tingkat teledensitas kurang dari 4 persen. Sementara

pemerintah menargetkan jumlah sambungan telepon per 100 penduduk sebesar

13% pada tahun 2009. Hal itu berkebalikan dengan penetrasi telepon selular yang

telah mencapai 22,8%. Sampai saat ini terdapat sekitar 43 juta ribu desa atau 65%

desa yang belum terjangkau oleh jaringan telepon.

Aspek Hukum

Kalau kita belajar ilmu hukum dalam arti luas, selalu diperkenalkan bahwa

perkembangan hukum selalu kalah dengan perkembangan sosial. Artinya

perkembangan masalah sosial yang begitu cepat selalu tidak terkejar oleh aturan-

aturan hukum yang seharusnya menjadi payung bagi tindakan sosial masyarakat.

Contoh nyata dari masalah hukum ini adalah bahwa sekian tahun kita merdeka

masih menggunakan KUHP yang dilahirkan pada zaman penjajahan Belanda.

Saat ini sudah ada UU No. 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi dan

UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang tersebut tidak

sepenuhnya mengatur tentang TIK secara komprehensif. Disini belum ada undang-

Page 168: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

158 Kebijakan Inovasi di Industri

undang yang mengatur secara khusus tentang Cyberlaw. Undang-undang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah diterbitkan pada tahun 2008.

Namun undang-undang tersebut masih ada sisi positif dan negatifnya, diantaranya

berkaitan dengan aspek keamanan informasi atau transaksi elektronik cyberlaw

diperlukan untuk keamanan dan kepastian transaksi serta kepastian berinvestasi

(sisi negatifnya). Dengan adanya perangkat hukum yang relevan, kegiatan bisnis

akan dapat berjalan dengan kepastian hukum yang memungkinkan semua

tindakan kejahatan dalam kegiatan bisnis, mapun yang terkait dengan kegiatan

pemerintahan (e-Goverment).

Tidak hanya cybercrime saja, perkembangan dunia maya yang sangat pesat

memunculkan berbagai implikasi yang harus segera dicover oleh aspek hukum

dengan cepat. Munculnya spam (e-mail yang tidak dikehendaki), serangan virus

dan sejenisnya, illegal contens (konten internet yang mengandung unsur

pornografi, kekerasan, dan kebohongan) hingga fenomena blog merupakan

sebagian permasalahan dunia maya yang menjadi bukti betapa aspek hukum

harus berkembang dan dinamis seiring perkembangan TIK itu sendiri.

Aspek Sumber Daya Manusia

Kualitas Sumber Daya Manusia yang dimiliki Indonesia belum memadai.

Dengan tingkat Human Development Index di angka 108 (World Bank, 2006)

tingkat daya saing Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara

yang dahulu berada di belakang Indonesia. Kunci utama akselerasi percepatan

pertumbuhan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia. Sebagai

contoh, untuk tingkat buta huruf penduduk Indonesia, diperkirakan mencapai 8%,

dimana angka huta huruf tertinggi justru terjadi di pulau Jawa (Depdiknas, 2007).

Selain iu rata-rata partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan masih

rendah, terutama untuk 7-12 tahun dan 13-15 tahun hanya mencapai angka

95,26% dan 82,09% tahun bahkan untuk tingkat perguruan tinggi hanya mencapai

angka 13% (BPS,2006)

Kondisi tersebut ditambah pula dengan sarana/prasarana pendidikan yang

tidak merata, baik antara wilayah kota dan desa atau wilayah terpencil maupun

antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Untuk tenaga pengajar

saja, dari 2.692.217 guru di seluruh Indonesia, hanya 27% saja yang memenuhi

syarat sertifikasi. Begitu juga dengan tingkat kelulusan UAN yang masih rendah

serta rata-rata nilai UAN yang tergolong rendah juga.

Kondisi ini berimbas pada pada kesediaan sumber daya manusia di bidang

TIK. Jumlah perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) yang melaksanakan

program Informatika/ Komputer berjumlah 476 perguruan tinggi, bidang

komunikasi berjumlah 136 perguruan tinggi, dengan lulusan per tahunnya

sebanyak sekitar 25.000 orang. Hal ini jelas masih jauh dari kebutuhan secara

nasional.

Page 169: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 159

Sementara itu tingkat kebutuhan dunia akan tenaga yang memiliki

kompetensi di bidang TIK sangatlah tinggi. Sebagai contoh, Cina yang setiap tahun

menghasilkan 200.000 tenaga profesional di bidang tersebut, pada akhir 2008

diperkirakan bakal mengalami kekurangan sebanyak 2,2 juta tenaga TIK. India

setiap tahun menghasilkan sekitar 70.000 tenaga kerja yang terkait dengan TIK,

dan itu dianggap belum memenuhi kebutuhan industri TIK di sana. Hingga tahun

2009, India akan memiliki 1,176.650 tenaga kerja di bidang TIK dengan

pertumbuhan angkatan kerja mencapai 7,4% yang langsung terserap oleh pasar

(International Data Center, 2006).

Di satu sisi, tingginya tingkat kebutuhan tenaga kerja di bidang teknologi

informasi bisa jadi merupakan sebuah peluang yang patut dimanfaatkan. Sebagai

gambaran bahwa kebutuhan terhadap tenaga IT di bidang industri sofware baik di

luar negeri maupun di dalam negeri, adalah sebagai berikut : Tenaga IT di luar

negeri, untuk tahun 2015, diperkirakan 3,3 juta lapangan kerja. Sedangkan tenaga

IT domestik, berdasarkan proyeksi pertumbuhan pada tahun 2010, dengan asumsi

produktivitas 25.000 per orang dan pertumbuhan per tahun mencapai 9,2%,

dibutuhkan tenaga kerja sekitar 327.813 orang.

Isu Konvergensi

Konvergensi sektor telekomunikasi, media dan teknologi informasi memiliki

potensi yang lebih dahsyat apabila ditinjau dari sudut pandang politik, dan

keamanan dibandingkan hanya sebagai sarana perekonomian, khususnya new

economy yang berbasis TIK. Hal itu bisa dipahami karena konvergensi mampu

merekonstruksi cara pandang selama ini mengenai telekomunikasi, media, dan

teknologi informasi. Selama ini antara telekomunikasi, media, dan teknologi

informasi merupakan tiga hal yang berbeda dan terpisah, baik secara institusi,

hukum, maupun manfaat yang diperoleh. Namun pesatnya TIK ternyata

mendorong terjadinya arus konvergensi yang tidak diduga sebelumnya.

Telekomunikasi, media, dan teknologi informasi menjelma menjadi satu kesatuan

yang tidak terpisahkan.

Hal yang menjadi perhatian dari isu konvergensi adalah belum adanya

perangkat yang capable, baik secara institusi maupun secara hukum, dalam

menghadapi gelombang konvergensi. Secara institusi Departemen Komunikasi dan

Informatika (Depkominfo) dianggap memiliki kesiapan dalam menghadapi era

konvergensi, dimana sektor telekomunikasi, media dan informatika telah

terlingkupi. Di sisi lain, terdapat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berwenang

dalam konten penyiaran di Indonesia.

Wacana tentang perlunya Undang-Undang Konvergensi yang menyatukan

ke dua Undang-Undang tersebut sebagai solusi terhadap permasalahan itu. Hal

tersebut tentunya menimbulkan konsekwensi logis, seperti munculnya suatu

Page 170: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

160 Kebijakan Inovasi di Industri

kelembagaan satu atap yang mengurus tentang telekomunikasi, media, dan

teknologi informasi yang berdampak pada dileburnya lembaga-lembaga lainnya.

Perlu dikemukakan pula bahwa masyarakat belum sepenuhnya memahami

dan memanfaatkan internet sebagai suatu kebutuhan. Jangankan berbicara

tentang konvergensi, untuk sekedar melek internet saja belum sepenuhnya

tercapai. Kesenjangan digital masih sangat dirasakan, terutama di daerah-daerah

yang belum terjangkau akses insfrastruktur telekomunikasi.

PEMANFAATAN TIK DALAM PEMBANGUNAN SOSIAL

Sebagaimana telah dikemukan didepan bahwa beberapa agenda

pembangunan, yang dikemas dalam tiga dimensi pembangunan sosial adalah :

Pengentasan Kemiskinan

Pemanfaatan TIK untuk pengentasan kemiskinan, antara lain:

Mengatasi keterbatasan Daya Beli terhadap Teknologi

TIK mampu mengatasi keterbatasan daya beli masyarakat, termasuk dalam

konsep ini adalah disediakannya angkutan massal di perkotaan atau dalam bidang

layanan informasi seperti Community Access Center (CAP) dalam bentuk Warung

Tekomunikasi (Wartel) dan Warung Internet (Warnet). Fakta ini menunjukkan

bahwa anggota masyarakat tidak perlu harus memiliki teknologi untuk dapat

menikmati manfaat teknologi. Jadi TIK menjawab pertanyaan mendasar, yaitu

bukan pada kepemilikan atas teknologi tetapi akses kepada teknologi. Disini

masyarakat seoptimal mungkin menggunakan atau memanfatkannya untuk

memperbaiki taraf hidupnya. Uraian ini mengindikasikan dua hal, di satu sisi

teknologi dianggap sebagai alat (means) yang menawarkan kemudahan dan pada

gilirannya memberikan kemakmuran. Di sisi lain karena kemampuannya

memberikan kemakmuran teknologi menjadi tujuan (ends) masyarakat agar dapat

memilikinya. Dengan demikian dalam hubungannya sebagai end , tak dapat

dihindarkan bahwa TIK menjadi dambaan setiap individu, masyarakat bahkan

negara untuk memilikinya dan atau berhasil menguasainya. Semangat ini

merupakan salah satu semangat untuk pengentasan kemiskinan masyarakat.

Isu Globalisasi

Diantara bermacam teknologi, dalam konteks pergulatan antara kemajuan di

bidang sosial dan teknologi serta interaksi saling pengaruh diantara keduanya, TIK

menempati peran sentral. Isu globalisasi yang tidak dapat terhindarkan dan

semakin cepat meluas, maka peran TIK semakin positif untuk kemajuan masyarakat

dan bangsa. Apa saja yang terjadi diberbagai belahan dunia semakin cepat

tersebar, termasuk kemajuan-kemajuan yang dicapai bangsa lain untuk dapat

dijadikan sebagai pendorong bagi kemakmuran masyarakat baik sebagai

perorangan atau sebagai komunitas sosial, bahkan bagi perbaikan kehidupan

bangsa. Semua ini menjadikan TIK sebagai agen perubahan yang dapat mengubah

Page 171: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 161

tatanan sosial kehidupan manusia. Jadi peranan TIK dalam era globalisasi ini

sangat membantu masyarakat berinteraksi, termasuk pengentasan kemiskinan dari

masyarakat dalam suatu komunitasnya.

Membantu Memberdayakan Masyarakat

Upaya menciptakann teknologi tepat guna si sektor pertanian, perikanan

dan industri rumah tangga (home industry) yang berbiaya murah dan lain-lain

dapat menggunakan fasilitas TIK atau dapat dilhami oleh penggunaan TIK. Bahkan

transaksi transaksi untuk mengetahui situasi harga telor misalnya, bisa

menggunakan TIK dengan amat cepatnya tanpa dibatasai oleh ruang dan jarak.

Ada contoh sederhana dari peternak ayam di Blitar yang merupakan sentra telor

ayam terbesar di Indonesia. Para peternak besar disana mengetahui, memantau

dan mengendalikan harga telor di Jakarta hanya dengan jasa dari TIK. Jelas peran

TIK dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat.

Perluasan Kerja Produktif dan Pengurangan Pengangguran

Muncul inisiatif pembentukan telecenter

Berbagai inisiatif TIK telah dilakukan untuk mengurangi kesenjangan digital

sekaligus memberdayakannya masyarakat. Beberapa contoh adalah Balai Informasi

Masyarakat (BIM) yang dibangun oleh Masyarakat Telematika (Mastel) untuk

membantu petani bunga di Bandung. Community Training ang Learning Centres

(CTLC) yang dibangun oleh Micrasoft Corporation di lebih 50 lokasi untuk

membantu kelompok masyarakat termasuk petani dan Information and

Communication Technology (ICT) Centre yang dibangun oleh Direktorat Pendidikan

Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional untuk membantu para

guru. Masih banyak program-program serupa lainnya seperti Community Access

Point (CAP) oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), Warung

Informasi Teknologi oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) dan lain lain

yang merupakan program-program telecenter.

Minilik kenyataan ini menjadikan TIK berdampak positif bagi institusi dalam

membantu masyarakat pada bidang-bidang tertentu. Disini yang ditekankan

adalah bahwa satu pembelajaran (lessons learned) dari pembangunan telecenter

yang sukses adalah dengan memastikan bahwa akses TIK yang dibangun dapat

menghasilkan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Artinya tidak hanya

memperhatikan penyediaan akses TIK semata, namun juga memperhatikan

pembangunan sosial dan ekonomi mereka Munculnya inisiatif ini merupakan salah

satu bentuk perluasan kesempatan kerja sekaligus mengurangi pengangguran.

Peluang bisnis baru

Fenomena perubahan yang muncul seiring dengan maraknya internet

adalah tumbuh menjamurnya bisnis berbasis internet. Google, Yahoo, Amazon,

Page 172: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

162 Kebijakan Inovasi di Industri

eBay, Lelang,com indoexchange.com, klikbca, detik.com, dan lainnya menjadi

familiar di kalangan bisnis dan pengguna TIK.

Fenomena di atas menggambarkan bagaimana antusiasme kalangan bisnis

dalam menyambut internet. Perubahan ternyata juga terjadi pada perusahaan

lama yang kemudian menyadari perlunya memiliki sarana interaksi dengan stake

holder melalui internet. Kiat yang banyak dipakai para pebisnis internet antara lain

”tidak ada yang tidak dapat dibisniskan di internet”. Salah satu contoh sukses

adalah seorang wanita di Bandung selatan menjadi terkenal di seantero dunia dan

bertambah kekayaannya setelah ia membuka jasa perdagangan melalui internet.

Kenyataan ini juga merupakan perluasan kesempatan kerja prodiktif bagi

masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran.

Semua bebas menjadi sumber informasi

Salah satu bentuk TIK adalah internet. Perubahan pertama yang dapat

ditunjuk sebagai akibat perkembangan TIK adalah semua orang yang dapat

menggunakan akses ke internet bebas untuk menjadi sumber informasi dalam

berbagai bidang, seperti : bidang poitik, ekonomi, hukum dan lainnya. Ini dapat

dilakukan oleh warga dengan sebebas-bebasnya. Sebagai salah satu wujud

teknologi hasil konvergensi antara Teknologi Informasi dan Telekomunikasi,

internet menawarkan banyak kemudahan dalam berkomunikasi. Contoh sederhana

adalah pengumuman hasil kelulusan siswa dapat langsung dilihat di internet tanpa

susah-susah datang ke sekolah masing-masing, sehingga tidak menimbulkan

kerumunan siswa yang biasanya menimbulkan masalah sosial seperti pada tahun-

tahun yang terdahulu. Demikian juga pelanggaran-pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh aparat birokrasi dan lainnya dapat dilaporkan oleh setiap warga

dengan bebas tanpa halangan apapun. Dari kenyataan ini jelas TIK merupakan

salah satu aspek perluasan kerja masyarakat.

PENINGKATAN INTEGRASI SOSIAL

Pengendalinya memiliki integritas tinggi

TIK akan bernilai positif secara sosial apabila manusia yang

mengendalikannya memiliki integritas yang tinggi. Pengendali TIK atau manusia

dibelakang TIK bila mempunyai integritas terhadap lingkungan sosialnya, maka

akan membawa ke suasana positif, sehingga TIK dapat dicitrakan sebagai

bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian persoalannya menjadi bergeser

bukan pada teknologinya saja, melainkan perhatian harus dipusatkan juga pada

manusianya pengguna teknologi dan interaksi antara manusia tersebut dengan

teknologi yang digunakan. Perlu digaris bawahi kembali bahwa pengendali TIK

harus memiliki nilai moral yang harus dibangun bersamaan dengan perkembangan

dan kemajuan TIK yang semakin pesat. Ini adalah dampak positif lain dari sudut

sosial dari pemanfaatan TIK. Serbuan budaya harus diimbangi dengan kemampuan

Page 173: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 163

moral manusia sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa kita. Ini merupakan bentuk

dampak positif lain dari sudut sosial.

Demokrasi menjadi lebih baik

Setelah lebih dari tiga dekade di bawah kepemimpinan nasional yang

otoriter, maka dorongan prubahan ke arah negara Indonesia yang lebih

demokratis menjadi semakin mudah terwujud dengan fasilitasi TIK. Karakter TIK

yang egaliter sangat sesuai dengan sifat demokrasi, oleh karenanya dalam konteks

pembangunan demokrasi TIK lebih tepat diposisikan sebagai tujuan (means) dari

pada alat (end). Ide perjuangan demokrasi menjadi lebih mudah mencapai sasaran

masyarakat luas tanpa terkendala oleh rejim, pengawasan informasi dari penguasa.

TIK juga membuktikan dirinya memberikan kontribusi besar dalam proses

pemilihan umum (pemilu). Penggunaan TIK dalam proses penghitungan suara

menjadi salah satu yang dapat ditunjuk sebagai bukti. Selain itu, ada banyak sekali

bukti bagaimana TIK melancarkan poses pemilu. Sejak proses pendaftaran partai

politik, pendaftaran calon pemilih termasuk calon independen yang sudah

dinaungi oleh Mahkamah Konstitusi, kampanye, dan lain-lain. Ini juga menjadi

bukti dampak positif dari sudut sosial terhadap pemanfaatan TIK.

Perubahan dalam layanan publik

Dampak TIK tidak saja melanda perusahaan atau organisasi privat, tetapi

juga terhadap layanan birokrasi pemerintahan yang memanfaatkan TIK. Ini

digunakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan publik. Lee Kuan

Yew Perdana Menteri Singapura memerintahkan kepada aparat di bawahnya agar

dapat menyelesaikan setiap permintaan layanan masyarakat selambat-lambatnya

dalam tempo dua kali dua puluh empat jam. Di Indonesia, layanan pembuatan SIM

kendaraan bermotor relatif lebih cepat dengan penggunaan TIK. Layanan Kantor

Pos-pun relatif lebih cepat, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), demikian

juga layanan bank pemerintah, juga instansi-instansi yang menggunakan jasa TIK.

Jadi dengan jasa TIK maka layanan publikpun mengalami dampak positif yang

cukup signifikan.

Mengatasi kesenjangan sosial

Sebagai salah satu dari bentuk teknologi, maka TIK dapat dituduh sebagai

penyebab atau biang dari kesenjangan sosial. Namun demikian TIK juga berperan

untuk mengatasi kesenjangan sosial masyarakat. Masyarakat yang kurang

informasi tentang masalah tertentu dapat menggunakan TIK. Internet dapat

dipakai untuk menggali berbagai keperluan meskipun tempatnya cukup jauh dari

sumber bahkan meskipun dari luar negari.. Untuk menulis artikelpun dapat

menggunakan jasa internet dengan amat mudahnya dari berbagai kalangan

masyarakat. Masalah pertanian, perikanan, atau bisnis dapat dimudahkan dengan

Page 174: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

164 Kebijakan Inovasi di Industri

menggunakan jasa TIK. Ini merupakan salah satu manfaat untuk mengurangi

kesenjangan sosial masyarakat.

TANTANGAN PEMANFAATAN TIK KE DEPAN

Mengingat perkembangan kemajuan teknologi TIK begitu pesat, maka untuk

menghindari atau meminimalkan dampak negatif pemanfaatannya perlu

dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan situasi dan kondisi

perkembangan sosial kemasyarakatan. Hal ini dikarenakan perkembangan sosial

masyarakat harus mampu untuk menerima dan mengimbangi kemajuan teknologi

tersebut. Dengan demikian ada keseimbangan yang bersifat dinamis antara

teknologi yang masuk dengan sistem sosial yang ada, sehingga

ketidakseimbangan diantara keduanya tidak terjadi. Hal-hal yang perlu dilakukan

adalah :

Penyesuaian perundangan dan peraturan

Telah diurai di atas bahwa aspek hukum tidak mampu mengimbangi

kemajuan teknologi TIK, sehingga ada peluang-peluang negatif yang

dimanfaatkan masyarakat dari pemanfaatan TIK. Hukum belum mampu

memayungi atau menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari pemanfaatan

TIK. Terlebih ditandai bahwa mitra bisnis di luar negeri konon tidak bersedia

berbisnis dengan pelaku internet di Indonesia karena tidak adanya kepastian

hukum.

Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penyesuaian dan perubahan

perundangan dan peraturan yang ada saat ini. Sebagai salah satu contoh adalah

laporan pajak melalui internet misalnya, menjadi dipertanyakan efektivitasnya jika

prosedur operasional standar yang berlaku tidak diganti dengan yang berorientasi

ke online transactions. Layanan KTP melalui internet, menjadi kehilangan ruh

perubahan bila termyata masih harus disertai dengan transaksi bawah meja.

Kebijakan dan peraturan dibuat untuk memfasilitasi masyarakat atau

warganya agar dapat seoptimal mungkin memanfaatkan TIK secara benar dan

bertanggung jawab. Kebijakan dan peraturan harus diarahkan untuk mendorong

makin tingginya nilai-nilai positif dari TIK, dan menekan serendah mungkin

dampak negatif pemanfaatan TIK.

Disamping itu pakar-pakar hukum yang mendalami masalah TIK perlu

didorong pengadaannya karena ditengarai masih langka. Mungkin dibuka jurusan

spesial hukum TIK di berbagai perguruan, terutama yang mempunyai Fakultas

Hukum

Page 175: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

Dampak Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi 165

Peningkatan Jumlah dan Kualitas SDM TIK

Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa jumlah dan kualitas SDM

yang dimiliki Indonesia belum memadai. Ini juga berkaitan dengan jumlah lulusan

dari perguruan tinggi yang tidak cukup dengan kebutuhan dan permintaan

jumlah tenaga kerja di bidang TIK.

Untuk itu diperlukan pendidikan sumber daya manusia agar trampil dan

mumpuni di bidang TIK, penyediaan bantuan dana bagi mereka yang tergolong

miskin untuk memperoleh akses kepada informasi, kemudahan perijinan bagi

penyelenggaraan layanan TIK merupakan isu dan tantangan bagi pemerintah

Indonesia. Demikian juga dalam konteks pembinaan, pengaturan, pengawasan

dan pengendalian harus diperhatikan dalam pemanfaatan TIK.

Hal ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah, mengingat bahwa

perubahan sosial selalu terjadi setiap saat secara terus menerus. Perubahan sosial

tersebut diharapkan tidak melenceng ke arah keruntuhan nilai-nilai moral suatu

bangsa, meskipun perubahan yang terjadi bisa karema memang diinginkan atau

sebagai dampak dari perubahan pada sektor lain yang terkait dengan masalah

sosial. Perubahan sosial yang terjadi dapat memasuki bidang ekonomi, bisnis,

politik, pemerintahan, dan terutama pergaulan antar anggota masyarakat.

Menyatukan Program Telecenter

Program telecenter sekarang yang sedang berkembang di Indonesia dengan

berbagai inisiatif replikasi pemerintah pusat maupun daerah, juga lembaga donor,

serta sektor swasta masih berjalan sendiri-sendiri. Mereka mencoba mengatasi

berbagai tantangan yang dihadapi dengan sumber daya dan kapasitas mereka

sendiri yang terbatas. Mereka belum mengambil manfaat kerjasama (partnership)

dengan telecenter lain untuk memaksimalkan upaya mereka. Oleh sebab itu

hasilnya sering kali tidak begitu optimal. Di sisi lain, setiap program telecenter di

atas mempunyai keunikan dan kekuatan masing-masing.

Melihat kenyataan ini perlu diupayakan pembentukan suatu jaringan

telecenter di Indonesia agar mereka dapat bekerja sama dan saling memberi

dukungan dalam hal teknis, manajemen, pelatihan, konsultasi dan sebagainya.

Dengan demikian mereka akan lebih berhasil menjawab tantangan yang dihadapi,

terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan dan kemandirian telecenter.

PENUTUP

Peran TIK dalam pembangunan sosial dapat ditempatkan dalam salah satu

tujuan mengembangkan lingkungan agar tercipta hubungan antar manusia secara

harmonis yang memungkinkan tercipnya kesejahteraan umat manusia seluruh

dunia. Tiga dimensi pembangunan sosial yang telah dideklarasikan dalam KTT

Page 176: kebijakan inovasi di industri - BADAN PENGKAJIAN DAN ...digilib.bppt.go.id/sampul/Kebijakan_inovasi_industri.pdf · Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT serta Asisten Deputi

166 Kebijakan Inovasi di Industri

Dunia untuk pembangunan sosial dapat dipakai sebagai kerangka pembangunan

TIK di masa yang akan datang. Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang

dilahirkan di bidang TIK hendaknya mengacu pada tiga agenda besar tersebut,

yaitu pengentasan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja produktif dan

pengurangan pengangguran serta, peningkatan integrasi sosial. Dengan kata lain

perkembangan dan kemajuan TIK sebagai suatu teknologi dibingkai oleh kebijakan

pembangunan sosial karena ujung dari kemajuan teknologi diperuntukkan bagi

kesejahteraan ummat.

DAFTAR PUSTAKA

Bowyer Kevin W.,1996, Ethics and Computing – Living Responsibly in a

Computerized World, Los Alamitos, California : IEEE Computer Society Press

106662 Los Vaqueros Circle

Baumer David and J.C. Poindexter, 2002, Cyberlaw and E-Commerce, New York: A

Division of The McGraw Hill Companics

Suharto Edi, 2005, Analisis Kebijakan Publik-Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan

Kebijakan Sosial, Bandung, CV Alfabeta.

Maswig.blospot.com/2005/02/teknologi-informasi-dan-komunikasi-html-108k-

Yulius Haflan. http://ponsgila.wordpress.com/2007/05/11/teknologi, insfrastruktur,

menkominfo,mohamad nuh, konvergensi, gyber crime.