KEBERLANJUTAN USAHA TANI POLA PADI SAWAH- SAPI … · SRAGEN: PENDEKATAN RAP-CLS SUWANDI ... (2)...
Transcript of KEBERLANJUTAN USAHA TANI POLA PADI SAWAH- SAPI … · SRAGEN: PENDEKATAN RAP-CLS SUWANDI ... (2)...
KEBERLANJUTAN USAHA TANI POLA PADI SAWAH- SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN
SRAGEN: PENDEKATAN RAP-CLS
SUWANDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi
Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2005
Suwandi
NRP P.026010201
ABSTRAK
SUWANDI. Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS. Dibimbing oleh KOOSWARDHONO MUDIKDJO, BUNASOR SANIM, ANANTO K. SETA.
Tujuan penelitian: Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan keuntungan usaha tani padi pola Crops Livestock System (CLS), kelayakan ekonomi usaha tani, peran kelembagaan dan status keberlanjutan usahatani pola CLS serta merumuskan rekomendasi pengembangan di masa mendatang.
Faktor yang mempengaruhi produksi usaha tani padi sawah adalah penggunaan benih, pupuk urea, KCl, tenaga kerja, pola usaha tani, skala luas lahan. Variabel luas lahan dan pola usaha tani mempengaruhi produksi. Sedangkan keuntungan usaha tani padi sawah selain dipengaruhi oleh variabel yang mempengaruhi produksi juga dipengaruhi oleh faktor harga input dan harga output.
Fungsi produksi berada pada constants return to scale dan petani telah menggunakan faktor produksi secara optimal. Usaha tani pola CLS memberikan harapan bagi petani lahan sempit untuk meningkatkan produksi usaha taninya dan diperlukan insentif untuk mendorong usaha tani pola CLS. Usaha tani padi sawah pola CLS meningkatkan produksi padi sebesar 23,6% dan keuntungan sebesar 14,7% lebih tinggi dibandingkan pola non CLS. Penggunaan pupuk kandang meningkatkan produksi padi dengan koefisien sebesar +0,125 dan keuntungan usaha tani sebesar +0,134. Perbaikan aplikasi pupuk kandang sesuai standar teknis mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Pengelolaan usaha tani dalam skala yang lebih luas dapat menghemat penggunaan input dan meningkatkan produksi padi sebesar 17,7% serta keuntungan sebesar 15,6%. Semakin lama menerapkan pola CLS semakin meningkatkan produksi dan keuntungan. Peran kelembagaan petani dalam usaha tani pola CLS sangat penting terutama dalam rangka mempercepat alih teknologi, efisiensi pengelolaan usaha tani, mempermudah akses terhadap berbagai sumberdaya, serta menjalin kerjasama, kemitraan dan pemasaran.
Kelayakan finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS lebih tinggi dibandingkan pola non CLS. Kelayakan ekonomi usaha tani pola CLS jauh lebih tinggi dibandingkan kelayakan finansial yang diperoleh petani. Pola CLS turut memperbaiki kesuburan lahan, kualitas air dan udara serta menciptakan keserasian lingkungan sosial budaya masyarakat setempat.
Status keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen berada dalam kategori cukup berkelanjutan dan ada empat faktor kunci yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan yang rendah, yaitu: (1) kelembagaan/kelompok tani, (2) subsidi, (3). tingkat penggunaan pupuk/pestisida, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak dan terdapat lima empat variabel yang berpengaruh tinggi dan tingkat ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan ternak sapi, (2) lembaga keuangan, (3) frekuensi penyuluhan dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial dan ekonomi.
Diperlukan kebijakan dan gerakan nasional yang mampu mendorong pembangunan pertanian secara berkelanjutan melalui penerapan pola-pola CLS spesifik lokasi dengan memperhatikan faktor-faktor kunci. Kata kunci: Crop-Livestock System (CLS), produksi padi, ekonomi, keberlanjutan.
SUSTAINABILITY OF INTEGRATED WETLAND PADDY-LIVESTOCK AT SRAGEN DISTRICT: A RAP CLS APPROACH
Suwandi, Kooswardhono Mudikdjo2), Bunasor Sanim2), Ananto K Seta2)
Abstract Objectives of the research: to analyze factors affecting production and profit of rice farming under Crop-Livestock System (CLS), farming economic feasibility, the role of farmers institution and sustainability of CLS, and to formulate future development recommendation.
Factors affecting the production of wetland paddy farming are numbers of seeds, Urea (N-source fertilizer), Potassium Chlorida (KCl) fertilizer, farm size, man power and farming pattern. Number of farming production was influenced by farm size and farming pattern, while wetland paddy farming profit were influenced by both production and prices of inputs and outputs.
Analysis of production function model indicated that CLS was in constants return to scale. This informed that a farmer used optimum of production factors. CLS should be prospective to be applied by small scale farmers to increase their production. To broaden of CLS pattern it is necessary to support farmers with some of incentives.
Data showed that yield of wetland paddy farming increased up to 23.6% and farming profit increased up to 14.7% in CLS, compared with non CLS. In CLS, farming management in larger scale saved the inputs, and increased wetland paddy production up to 17.7%, and farming profit up to 15.6%. The CLS increased the yield and farming profit in the long term application. Application of manure increased wetland paddy production with coefficient value at +0.125, while farming profit coefficient value at +0.134. This information mean that revitalization of manure application as a technical standard/ requirement increased farmer income.
The financial and economic feasibility of CLS application is higher than non CLS. The economic feasibility of CLS is much higher than financial feasibility received by farmers. The CLS potentially increased land fertilization, water and air quality, and also created environmentally sound the socio-culture for its community. Farmer got multiple revenues comes from paddy farming, cattle fattening and manure processing.
Sustainability of CLS at Sragen District could be categorized in “sustainable status”. There are 4 key factors which have stated as high affected and lower dependant level and should be considered in the development of CLS i.e: (1) farmer group/institution, (2) subsidiary/credit scheme, (3) fertilizers and pesticide application level, and (4) use of paddy straw as livestock feed. There are 5 variables which have stated as high influence and high dependant level, i.e: (1) cattle husbandry system, (2) rural micro finance institution, (3) extension and training frequency, (4) the use of livestock by product and (5) financial and economic feasibility.
It is necessary to formulate policy and national movement, toward sustainable agriculture development by adapting of local specific CLS. Key words: Crop-Livestock System (CLS), paddy production, economic, sustainability.
KEBERLANJUTAN USAHA TANI POLA PADI
SAWAH- SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SRAGEN: PENDEKATAN RAP-CLS
SUWANDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2005
Judul Disertasi: Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di
Kabupaten Sragen: Metode Rap-CLS Nama : Suwandi NRP : P026010201
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc
Ketua
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc Dr. Ir. Ananto K. Seta, MSc Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
DRAFT DISERTASI Judul : Keberlanjutan Usaha Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di
Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS. Nama : Suwandi
NRP : P026010201
Program : PSL
Telah disetujui dan layak untuk digunakan sebagai bahan Ujian Terbuka Program Doktor pada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2005
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, MSc
Ketua
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc Dr. Ir. Ananto K. Seta, MSc Anggota Anggota
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga disertasi berhasil diselesaikan. Disertasi dengan judul “Keberlanjutan Usaha
Tani Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan Rap-CLS
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Kooswardhono Mudikdjo, MSc (sebagai ketua komisi pembimbing),
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc (sebagai anggota) dan Dr. Ir. Ananto K. Seta
(sebagai anggota) yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam
penyelesaian disertasi;
2. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB;
3. Bapak Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen dan
Bapak Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sragen beserta
jajarannya yang telah membantu selama pengumpulan data;
4. Bapak Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Bapak Kepala Biro Perencanaan
dan Keuangan serta Bapak Kepala Bagian Perencanaan Anggaran yang telah
memberikan ijin dan mendorong menyelesaikan studi; serta
5. Rekan-rekan di kantor Departemen Pertanian dan di kampus IPB serta semua pihak
yang turut membantu memberikan data dan informasi dalam menyelesaikan
disertasi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, istri dan anak-anak
tercinta serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan.
Bogor, Desember 2005
Suwandi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantul pada tanggal 23 Maret 1967 sebagai anak kedua dari
tiga bersaudara pasangan Noto Darminto dan Anjariah. Pendidikan sarjana ditempuh di
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB Bogor, lulus pada tahun 1991.
Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Magister Perencanaan dan Kebijakan
Publik pada Pascasarjana Universitas Indonesia dan menamatkannya pada tahun 2000.
Pada tahun 2001 penulis melanjutkan kuliah S3 Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB Bogor.
Pada tahun 1992 penulis menikah dengan Ir. Heni Aswiatin, dan pada tahun 1993
mendapat karunia seorang anak laki-laki Hendi Nur Wicaksono dan pada tahun 1997
seorang anak perempuan Nindya Dendrania Fitra.
Penulis sejak tahun 1992 bekerja sebagai PNS di Departemen Pertanian, pada
tahun 1997 sampai tahun 2002 menjadi pemimpin proyek, dan pada tahun 2003 sampai 1
Desember 2005 menjabat sebagai Kepala Subbagian Perencanaan Anggaran
Pembangunan II, dan mulai Desember 2005 menjabat sebagai Kepala Subbagian Analisis
Anggaran, di Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal, Departemen Pertanian.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ………….………………………………………….........…… v DAFTAR GAMBAR …………….……………………………………….........…… vi DAFTAR LAMPIRAN ………..……………………………………………............… viii I. PENDAHULUAN …………….……………………………………………........ 1
1.1. Latar Belakang …..……………………………………………………........ 1 1.2. Tujuan Penelitian .......................……………………………………....... 4 1.3. Kerangka Pemikiran ……………..……………………………………....... 5 1.4. Perumusan Permasalahan ……………………………………………...... 9 1.5. Manfaat Penelitian .......................…………………………………….....
11 1.6. Hipotesis ……………..…………..……………………………………........
11 1.7. Novelty Penelitian ................................................................................
11 II. TINJAUAN PUSTAKA …......……………………….…………………….......... 12
2.1. Pertanian Berkelanjutan …...............……..…….……………………....... 12
2.2. Landasan Teori ….........……….……..….…………………...................... 14 2.2.1. Pendekatan Fungsi Produksi ………………………………... .....
14 2.2.2. Pendekatan Ekonomi Lingkungan ………………………….. .....
17 2.2.3. Pendekatan Analisis Kelembagaan Petani................................
20 2.2.4. Pendekatan Analisis Keberlanjutan dan Prospektif...................
20 2.2.5. Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya ……………………..............
23 III. METODE PENELITIAN …………………………………..……….................... 25
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian …...........………………………………….. 25
3.2. Rancangan Penelitian …......................………………………………….. 25 3.2.1. Analisis Fungsi Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah
25 3.2.2. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi, dan Analisis Peran
Kelembagaan Petani ..…..................................……................... 31
3.2.3. Analisis Status Keberlanjutan Usahatani Pola CLS .................. 35
3.2.4. Analisis Prospektif ...................................................................... 41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keragaan Lokasi Penelitian …......…………………………..…… ............. 46
4.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Sragen …..………………………… . 46 4.1.2. Keragaan Usahatani Padi ........................................................... 47 4.1.3. Keragaan Usaha Ternak Sapi Potong......................................... 51 4.1.4. Karakteristik Responden .........…………………………………… .. 53
4.2. Analisis Fungsi Produksi Dan Keuntungan Usahatani ........................... 60
4.2.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah………………… 60 4.2.2. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah .………..… .. 68 4.2.3. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah .…… .. 72 4.2.4. Dampak Penggunaan Pupuk Kandang Terhadap Produksi Padi.. 74
4.3. Kelayakan Finansial dan Ekonomi Usahatani ........................................... 77
4.3.1. Kelayakan Finansial Usaha tani Pola CLS dan Non CLS.….......... . 77 4.3.2. Kelayakan Ekonomi Usahatani Pola CLS dan Non CLS ............... 79
4.4. Peran Kelembagaan Petani Usahatani Pola Cls ........................................
83 4.4.1. Keragaan Kelompoktani Usahatani Pola CLS.................................
83 4.4.2. Pengembangan Kelembagaan Petani Usahatani Pola CLS............
88
4.5 Tingkat Keberlanjutan Usahatani Pola Cls dan Strategi Pengembangannya 89 4.5.1. Indek dan Status Keberlanjutan Usahatani Pola CLS........................
89 4.5.2. Perumusan Strategi Pengembangan Usahatani Pola CLS ...............
105 V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI.................................….....……..…… ............ 115
5.1. Simpulan ........................................................………………………....... .... 115
5.2. Rekomendasi ..................................................………….……………..... .... 116
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….......... ....... 118 LAMPIRAN …………………………………......................…………………… ....... 125
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi ................................................... 34
2. Atribut dan Skor Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen
39 3. Pengaruh Langsung antar Faktor dalam Pertanian Berkelanjutan Pola CLS
43 4. Penggunaan Sarana Usahatani Padi di Lokasi Penelitian ………………… ...
59 5. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah.............................................
61 6. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS.............................. 64
7. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS...................... 66
8. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Usahatani Padi Sawah ...................... 68
9. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Usahatani Padi Sawah Pola CLS....... 69 10. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Usahatani Padi Sawah Pola Non CLS 71 11. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Pola CLS dan Non CLS...... 73 12. Keragaan Kelembagaan Kelompoktani di Lokasi Penelitian.............................. 84 13. Peran Kelompoktani pada Setiap Jenis Kegiatan Usahatani ............................. 85 . 14. Hasil Analisis Rap-CLS untuk Beberapa Parameter Statistik Usahatani Pola CLS 102 15. Hasil Analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-CLS dan masing-masing Dimensi Usahatani Pola CLS pada Selang Kepercayaan 95% di Kabupaten Sragen .... 105
16. Kondisi Skor 10 dari 26 Atribut Sensitif yang Mempengaruhi IkB-CLS ............... 107 17. Prospektif Faktor-faktor Kunci Pengembangan Usahatani Pola CLS ................... 110 18. Skenario Strategi Pengembangan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen..... 110
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS .......... 6 2. Hubungan-hubungan Diamond Triangle Pembangunan Berkelanjutan………… 8 3. Pemilihan Teknik Valuasi Ekonomi Kualitas Lingkungan ……............................
18 4. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen ........
39 5. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Usahatani Pola CLS ....................
39 6. Tahapan Analisis Rap-CLS Menggunakan MDS dengan Modifikasi Rapfish .....
41 7. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan antar Faktor dalam Sistem ................
44 8. Diagram Alir Tahapan Penelitian Pengembangan Pertanian Berkelanjutan
Pola CLS di Kabupaten Sragen ......................................................................... 45
9. Pola Tanam yang Dilakukan Petani di Lokasi Penelitian ……………….............
50 10. Mata Rantai Perdagangan Gabah………………………………………..…...........
51 11. Mata Rantai Perdagangan Gabah dengan Fasilitasi Pemerintah ……………….
51 12. Sistem Pemasaran Ternak sapi Potong Kabupaten Sragen...............................
54 13. Prosentase Umur Responden.............................................................................
56 14. Tingkat Pendidikan Responden...........................................................................
56 15. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden.........................................................
57
16. Pendugaan Produktivitas Padi Sawah................................................................. 63
17. Pendugaan Produktivitas Padi Sawah Pola CLS.................................................
66
18. Pendugaan Produktivitas Padi Sawah Pola Non CLS......................................... 67
19. Kurva Pengaruh Pupuk Kandang terhadap Produksi Padi..................................
76
20. Model Keterkaitan Kelembagaan Petani Pola CLS.............................................. 86 21. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan nilai Keberlanjutan Pengelolaan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen 53,21 ............................................... 90 22. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi sebesar 49,55 .............................................................................. 91 23. Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekologi yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS .............................................................................. 95 24. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi sebesar 56,23 ............................................................................ 97 25. Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekonomi yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS .............................................................................. 97 26. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya sebesar 67,4 ..................................................................... 98 27. Peran masing-masing Atribut Dimensi Sosial Budaya yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS .............................................................................. 100 28. Diagram Layang (kite diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen .......................................................... 101 29. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 persen yang Menunjukkan
Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi 49,95 ................................................. 103 30. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 54,99 ...............................................
104 31. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial 67,49 ...................................................
104 32. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Diuji ... 109
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Keragaan Penggunaan Pupuk, Produksi dan Produktivitas Beras 1968-1991 126 2. Peta Lokasi Rencana Penelitian …………………………………………… ..
127 3. Unit Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel…………………………... ...........
128 4. Nama Kecamatan, Desa dan kelompoktani Lokasi Penelitian............................
128 5. Jenis, Sumber Data dan Kegunaan Data yang Dikumpulkan......................... .... 128 6. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sragen............................. 129 7. Data Fisik Tanah di Lokasi Penelitian.................................................................. 130 9. Persyaratan Tumbuh Tanaman Padi Sawah........................................................ 131 8. Klas Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian........................................................ 131 10. Data sampel Air di Lokasi Penelitian....................................................................
133 11. Luas Panen dan Produksi Padi Kabupaten Sragen............................................. 134 12. Populasi Ternak Kabupaten Sragen tahun 2003................................................. 135
13. Uji Beda Nyata Produksi Usahatani Pola CLS dan Non CLS...............................
136
14. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Pola CLS................................................ 138 15. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Pola Non CLS........................................ 138
16. Analisis Kelayakan Ekonomi Usahatani Pola Non CLS........................................ 139 17. Analisis Kelayakan Ekonomi Usahatani Pola CLS................................................ 139
18. Ringkasan Kelayakan Finansial dan Ekonomi Usahatani Pola CLS dan Non CLS 140 19. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usahatani CLS dengan Kenaikan
Harga Input (Pupuk dan Pakan) sebesar 10 %...................................................... 140
20. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usahatani CLS dengan Penurunan Harga Output (Beras dan Daging Sapi) sebesar 10 %........................................... 140
21. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah........................................... 141
22. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS........................... 142
23. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS...................
143 24. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah ...................................
144
25. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola CLS .................... 145
26. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola Non CLS ............ 146
27. Atribut, Skor dan Hasil Pengukuran Skor Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen .............................................................................................. 147
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Berbagai teori pembangunan dan pengalaman empiris di banyak negara
membuktikan kemampuan pertanian sebagai satu sektor strategis dalam pembangunan
ekonomi suatu negara. Peran sektor pertanian diwujudkan dalam bentuk penyediaan
pangan bagi seluruh penduduk, bahan baku industri, sebagai pasar bagi barang-barang
produksi dan konsumsi, penciptaan lapangan kerja sekaligus pemasok lapangan kerja,
serta penghasil devisa.
Pembangunan pertanian terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam terutama
lahan dan perairan pada suatu wilayah. Pemanfaatan sumberdaya alam berlebihan tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan dapat berdampak negatif yang lebih besar
dibanding manfaat yang diperoleh. Sejalan dengan semakin intensifnya pembangunan
pertanian, terdapat kecenderungan penggunaan pupuk kimia dan pestisida per hektar
meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut terlihat dari program intensifikasi yang
dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 1963 dalam rangka meningkatkan produksi gabah.
Laju peningkatan produktivitas gabah Indonesia tahun 1961 sampai 1991 rata-rata 3,15%
per tahun sedangkan penggunaan pupuk meningkat rata-rata 13,44% per tahun (IRRI,
2003).
Rintisan usaha intensifikasi telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dalam
program Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) pada tahun 1950 sampai 1960 melalui
peningkatan pengadaan benih padi unggul, penggunaan pupuk dan insektisida, perbaikan
pengairan rakyat, penyuluhan dan konservasi tanah. Pada tahun 1958 dikembangkan
padi sentra di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana petani diberi kredit natura
(benih dan pupuk) serta uang. Pada tahun 1963 kegiatan tersebut dihentikan karena
dinilai kurang berhasil akibat kendala manajemen kurang baik, sistem perkreditan kurang
tepat dan harga jual padi sentra lebih rendah dibandingkan dengan harga pasaran umum.
Walaupun demikian produktivitas padi pada pada tahun 1960-an dapat ditingkatkan dari
1,1 ton/ha menjadi 1,9 ton/ha. Pada periode tersebut juga dikembangkan ternak dan
diproyeksikan populasi ternak sapi dapat meningkat 4% pertahun (Anonim, 2002a).
Pada Musim Tanam (MT) 1963/1964 Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama instansi
terkait mengadakan ‘action research” untuk menemukan cara penyuluhan yang tepat,
dimulai dengan proyek percontohan 100 hektar di Karawang, dilanjutkan dengan Proyek
Demontrasi Massal (Demas) seluas 110.000 hektar. Pada tahun 1965 proyek Demas
ditingkatkan menjadi program Bimbingan Massal (Bimas). Kegiatan pada Program Bimas
meliputi pelayanan penyuluhan, penyaluran kredit oleh BRI, pupuk dan insektisida oleh
PT. Pertani, dan penyaluran bibit oleh Dinas Pertanian. Kegiatan tersebut disalurkan
melalui kelompoktani yang terorganisir dalam koperasi desa. Program Bimas
dikembangkan menjadi Program Intensifikasi Massal (Inmas) dengan maksud agar para
petani peserta Bimas mampu membeli sarana produksi sendiri secara tunai. Program
Bimas diarahkan kepada praktek-praktek better farming yaitu praktek usaha tani yang
baik, better business yaitu berusaha tani yang menguntungkan, better living yaitu
berkehidupan yang layak dan better community yaitu tata kehidupan masyarakat yang
sejahtera. Pada masa tersebut produksi beras meningkat rata-rata 4,7% pertahun yang
berarti di atas rata-rata pertumbuhan penduduk (Deptan, 2002a).
Pada Pelita II karena terjadi gejala “leveling off” pada produksi padi maka pada tahun
1976 dilakukan uji coba dem-area dengan hasil yang baik, selanjutnya mulai tahun 1979
diterapkan Program Intensifikasi Khusus (Insus) yang lebih menekankan pada kerjasama
di dalam dan antar kelompok dalam satu area. Program Insus berhasil meningkatkan
produksi padi dan pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada beras.
Prestasi tersebut dipuji oleh FAO. Namun stabilitas swasembada beras tersebut sangat
rendah karena faktor perubahan iklim, serangan hama dan penyakit serta gejolak pasar.
Selanjutnya pada MT 1987 Program Insus diperluas menjadi Supra Insus dengan
mengembangkan kerjasama antar kelompok dalam penyelenggaraan intensifikasi dalam
Unit Hamparan Supra Insus (UHSI). Hal ini dilakukan untuk menerapkan pola tanam
sehingga terwujud keserempakan panen dan keseragaman varietas dalam hamparan
usaha tani se Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) atau sehamparan irigasi
tersier di bawah kepemimpinan kelompok kontak tani se-WKPP. Memasuki Pelita V
diadakan reorientasi pola pendekatan pembangunan pertanian dari peningkatan produksi
menjadi peningkatan pendapatan dengan mengintroduksi pendekatan agribisnis yang
mengharuskan keterpaduan dalam berusaha tani mulai dari aspek hulu sampai hilir.
Dengan adanya penggunaan input pupuk kimia dan pestisida semakin intensif, ternyata
tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas padi secara proporsional sehingga produksi
padi tidak meningkat secara proporsional. Hal ini karena tanah sawah kekurangan unsur
hara akibat terkurasnya bahan organik tanah dan unsur-unsur mikro sehingga produksi
tidak dapat meningkat seperti yang diharapkan. Gejala levelling off produksi padi dapat
dilihat dari besarnya produktivitas padi di Jawa dari tahun 1980, tahun 1990 dan tahun
1999 berturut-turut 3,8 ton/ha, 5,1 ton/ha dan 4,8 ton/ha, sedangkan dosis penggunaan
pupuk per hektar berturut-turut 268 kg/hektar, 403 kg/hektar dan ditunjukkan secara grafik
laju penggunaan pupuk kimia, produksi dan produktivitas gabah nasional dari tahun 1968-
1991 disajikan pada Lampiran 1.
Potensi lahan di Indonesia yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian terdiri
atas (a) lahan basah seluas 9,6 juta hektar meliputi lahan irigasi seluas 7,3 juta hektar dan
lahan rawa seluas 2,3 juta hektar dan (b) lahan kering seluas 23,5 juta hektar meliputi
sawah tadah hujan seluas 2,1 juta hektar, lahan tegal/ kebun seluas 8,5 hektar, lahan
ladang/huma seluas 3,2 juta hektar, lahan penggembalaan/padang rumput seluas 2,0 juta
hektar dan lahan sementara tidak diusahakan selua 7,7 juta hektar. Potensi lahan
tersebut belum dimanfaatkan secara optimal bahkan cenderung mengalami penurunan
kualitas dan terjadi konversi lahan. Kualitas lahan mengalami penurunan dimana terdapat
lahan kritis pada lahan budi daya pertanian seluas 21,9 juta hektar (Deptan, 2002a).
Terdapat kecenderungan lahan pertanian mengalami fragmentasi akibat sempitnya
kepemilikan dan penguasaan lahan oleh petani sehingga mengakibatkan in-efisiensi
dalam usaha tani. Sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan bahwa jumlah petani
dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar meningkat dari 9,5 juta orang pada tahun
1983 menjadi 10,9 juta orang pada tahun 1993. Berkembangnya sektor industri,
pemukiman dan sektor lainnya mengakibatkan terjadinya alih fungsi (konversi) lahan
pertanian subur untuk kepentingan non pertanian. Dalam periode 10 tahun (1983-1993)
rata-rata seluas 47.000 hektar pertahun lahan sawah beralih fungsi ke non sawah
(Deptan, 2002a). Penurunan luas lahan pertanian terjadi terutama di Pulau Jawa yang
mempunyai implikasi serius dalam produksi beras karena pangsa Pulau Jawa dalam
produksi beras nasional lebih dari 50,0%. Laju konversi lahan juga diikuti dengan
penurunan kualitas lahan dan air akibat pola pemanfaatan lahan dan perkembangan
sektor non pertanian yang kurang memperhatikan aspek lingkungan (Deptan, 2001).
Peranan sektor pertanian terhadap ekonomi nasional sangat penting dilihat dari
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian menyumbang produk
domestik bruto pada tahun 2003 sebesar 15,20%, yang diantaranya berasal dari
subsektor tanaman pangan sebesar 7,39% (Deptan, 2004). Struktur pendapatan rumah
tangga tahun 1999 menunjukkan kontribusi usaha tani (on-farm) sebesar 54,35% dan luar
usaha tani (off-farm) 6,10% (Deptan,200b). Kesempatan kerja di sektor pertanian masih
cukup tinggi yaitu pada tahun 1992 sebesar 44% (Deptan,2002a). Sebab-sebab
kemiskinan antara lain: keterbatasan aksesibilitas pada aset produktif, ketersediaan dan
jangkuan serta ketersediaan teknologi maju yang sangat terbatas, miskinnya prasarana
sosial dan perekonomian, kualitas SDM yang minim, ketersediaan lapangan usaha yang
terbatas, jangkauan pada pembiayaan usaha terbatas, pola pembangunan yang tidak
sesuai dengan keunggulan komparatif wilayah, sangat lemahnya dukungan politik, dan
belum mantapnya desentralisasi manajemen pembangunan dan otonomi daerah masih
lemah.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta
meningkatkan kualitas lingkungan, dikembangkan integrasi antara usaha tanaman dengan
peternakan, usaha tanaman dengan perikanan, maupun usaha perkebunan dengan
peternakan dan lain sebagainya. Dengan harapan bahwa pola integrasi ini merupakan
salah satu terobosan yang tepat untuk menjawab permasalahan terjadinya leveling 0ff
produksi padi dan kualitas lingkungan, maka diperlukan pengkajian lebih jauh mengenai
manfaatnya terhadap perbaikan lingkungan, peningkatan produksi padi dan tingkat
keberlanjutan dari pola integrasi tersebut.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah melakukan analisis keberlanjutan usaha tani pola padi
sawah-sapi potong terpadu dengan pendekatan Rapid Appraisal Crop-Livestock System
(Rap-CLS) di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah serta memberikan rekomendasi
pengembangan di masa mendatang. Secara rinci tujuan penelitian adalah:
(1) Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dan keuntungan
usaha tani berkelanjutan pola CLS dibandingkan dengan usaha tani pola non CLS.
(2) Menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS dan non CLS
serta peran kelembagaan usaha tani pola CLS.
(3) Menilai keberlanjutan melalui penyusunan indeks dan status keberlanjutan usaha
tani pola CLS serta mengidentifikasi faktor-faktor strategis masa depan dalam
pengembangan pertanian berkelanjutan pola CLS, serta
(4) Merumuskan rekomendasi kebijakan dan strategi pengembangan usaha tani pola
CLS di masa mendatang.
1.3. Kerangka Pemikiran
Pembangunan pertanian sangat terkait dengan pemanfaatan sumberdaya lahan dan
air. Upaya peningkatan produktivitas hasil pertanian melalui pola usaha tani konvensional
dengan menggunakan input pupuk kimia dan pestisida secara intensif telah menyebabkan
terjadinya kerusakan lingkungan, produksi tidak meningkat secara proporsional, bahkan
cenderung menurun. Hal ini diperkirakan karena banyak tanah sawah yang kekurangan
unsur hara akibat terkurasnya bahan organik tanah dan unsur-unsur mikro (Abdurahman,
2001 dalam Ella, 2001). Pada sisi lain, terjadi peningkatan harga sarana produksi
sementara kemampuan petani membeli pupuk kimia dan pestisida semakin rendah,
sehingga petani melakukan pemupukan semampunya. Penurunan produksi berakibat
menurunnya pendapatan petani yang dalam jangka panjang berdampak meningkatnya
kemiskinan. Terdapat hubungan timbal balik antara kemiskinan dan kerusakan
lingkungan, dimana kerusakan lingkungan mengakibatkan kemiskinan dan sebaliknya
peningkatan kemiskinan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Salah satu terobosan upaya peningkatan produksi melalui pembangunan pertanian
berkelanjutan yang mampu melestarikan lingkungan serta mengurangi ketergantungan
penggunaan pupuk kimia dan pestisida dengan biaya relatif murah adalah sistem
pertanian pola padi-ternak terpadu atau dikenal dengan nama Crop-Livestock System
(CLS). Pembangunan pertanian berkelanjutan pola CLS adalah integrasi usaha tani yang
memadukan antara usaha tani tanaman pangan dengan ternak. Dalam penelitian ini pola
CLS yang dimaksud adalah usaha tani pola padi sawah – penggemukan ternak sapi
potong secara terpadu.
Di samping dapat memperbaiki kerusakan lingkungan, usaha tani pola CLS juga
mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani, sehingga pola CLS ini dapat
memutus mata rantai kemiskinan. Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada
Gambar 1.
ProduksiUsahatani
KualitasLingkunganUsahatani
Pola CLS
Kemiskinan
-/+
-/+
pendapatan
-/+
-/+
-+
+/-
Usahatani PolaKonvensional
+
Gamba
r 1. Kerangka Pemikiran Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS
Upaya-upaya peningkatan produksi pangan dan pengentasan kemiskinan ini sejalan
dengan komitmen internasional pada dalam pertemuan World Food Summit (WFS) 2002
yang dikenal Millenium Development Goals sebagai tekad komitmen global sebagai tidank
lanjut dari Deklarasi Roma 1996. Pada WFS tersebut menghasilkan kesepakatan untuk
mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang dan menghapuskan penduduk yang
kelaparan di seluruh negara dengan meningkatkan sasaran pengurangan penduduk
rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi rata-rata sekitar 22 juta jiwa per tahun. Deklarasi
Roma 2002 menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan perdesaan dalam
mengurangi kelaparan dan kemiskinan.
Pembangunan pertanian dan perdesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan
ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup di perdesaan dan
mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan bahwa pada puncak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah penduduk
miskin hampir mencapai 50 juta jiwa dan sekitar 64,4 persen tinggal di perdesaan. Pada
tahun 1999, saat ekonomi menuju pemulihan, jumlah penduduk miskin turun menjadi
sekitar 37 juta jiwa dan sekitar 66,8 persen tinggal di perdesaan. Sesuai Renstra
Pembangunan Pertanian tahun 2005-2009, dimana sasaran penduduk miskin di
perdesaan menurun dari 18,90% pada tahun menjadi 15,02% pada tahun 2009 (Deptan,
2005). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pengentasan kemiskinan hanya dapat
dilakukan melalui pembangunan pertanian dan perdesaan yang berkelanjutan, yang dapat
meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat.
Munasinghe (1993) mengembangkan konsep Diamond Triangle yang
menghubungkan antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi dalam kerangka mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi
aspek, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan
secara ekologis lestari (ramah lingkungan). Keterkaitan tiga aspek tersebut seperti
disajikan pada Gambar 2, dimana hubungan antara sosial-ekonomi didekati dengan
ukuran seperti pemerataan dan kesempatan kerja, hubungan ekonomi-ekologi didekati
dengan penilaian lingkungan, valuasi ekonomi dan internalisasi biaya eksternal, serta
hubungan sosial-ekologi didekati dengan tingkat partisipasi, pluralisme dan lainnya.
Valuasi ekonomi sumber daya alam pada dasarnya berlandaskan tujuan umum agar
sumber daya alam dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
(economic welfare). Ekonomi kemakmuran berusaha mencari kriteria mengenai alokasi
faktor produksi antara berbagai penggunaan dan distribusi hasil antar individu, yang
mendasarkan pada analisis manfaat/ kepuasan.
Di samping teori Munasinghe yang mengembangkan pembangunan berkelanjutan
dilihat dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi, OECD (1993) juga menyatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya menyangkut dimensi ekologi, ekonomi,
sosial-budaya yang didalamnya termasuk dimensi kelembagaan. Beberapa literatur lain
menambahkan dimensi teknologi dan dimensi hukum, namun dalam pembahasan
selanjutnya penulis menggunakan dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya untuk menilai
status keberlanjutan dengan pertimbangan bahwa bukan sekedar pengelompokan dimensi
besar tersebut yang penting tetapi atribut atau kriteria pada setiap dimensi tersebut yang
lebih penting, sehingga mencakup kriteria yang lebih luas untuk menilai status
keberlanjutan usaha tani pola CLS.
Gambar 2. Hubungan-hubungan Diamond Triangle Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993)
Dalam penelitian ini sebelum dilakukan analisis status keberlanjutan usaha tani pola
CLS, terlebih dahulu dilakukan analisis model fungsi produksi usaha tani padi pola CLS,
analisis finansial dan ekonomi, serta analisis sosial budaya dengan fokus pada peran
kelembagaan petani. Pendugaan model fungsi produksi dan kelayakan finansial dan
ekonomi usaha tani padi pola CLS penting dilakukan untuk menganalisis pengaruh usaha
tani pola CLS terhadap produksi padi dan pendapatan petani.
Guna menilai status keberlanjutan dari usaha tani pola CLS secara cepat (rapid
appraisal) digunakan metode multi variabel non-parametrik yang disebut multidimensional
scaling (MDS). Metode ini belum pernah dilakukan untuk mengevaluasi pembangunan
pertanian berkelanjutan pola CLS. Metode serupa pernah digunakan untuk mengevaluasi
pembangunan perikanan yang dikenal dengan nama RAPFISH (The Rapid Appraisal of
the Status of Fisheries) dan pernah dimodifikasi untuk melihat status keberlanjutan pada
sistem budidaya sapi potong. Metode multidimensional scaling akan digunakan untuk
menghitung indeks sustainabilitas pengembangan pertanian pola CLS dan selanjutnya
disebut sebagai Rap-CLS (Rapid Appraisal Corps-Livestock System).
Pemerataan Tenaga Kerja Target Asistensi
Partisipasi Pluralisme Konsultasi
Tujuan Ekonomi: Pertumbuhan dan Efisiensi
Tujuan Ekologi: Pelestarian SDAL dan Berkelanjutan.
Tujuan Sosial: Kesejahteraan, Persamaan Hak
Penilaian LH Valuasi Internalisasi
Pada tahapan selanjutnya, hasil penilaian status keberlanjutan usaha tani pola CLS
ini digunakan untuk menganalisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor, sehingga
dapat diketahui faktor-faktor yang dominan sebagai dasar menyusun strategi
pengembangan usaha tani pola CLS dan merumuskan kebijakan pengembangan dimasa
mendatang dengan menggunakan analisis prospektif.
Dengan demikian, diharapkan dapat dirumuskan kebijakan dan strategi
pengembangan pertanian berkelanjutan pola CLS dalam rangka peningkatan produksi
pangan dan pengentasan kemiskinan menunjang Millenium Development Goals.
1.4. Perumusan Permasalahan
Objek yang diteliti adalah usaha tani pola CLS khususnya usaha tani pola padi
sawah dan penggemukan ternak sapi potong secara terpadu. Potensi pengembangan
usaha tani pola CLS di Pulau Jawa sangat besar namun belum dapat dikembangkan
secara luas dan sebagian petani kesulitan menerapkan usaha tani pola CLS karena
diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup serta diperlukan sarana pendukung
dan kelembagaan yang memadai. Dalam melaksanakan usaha tani, petani membutuhkan
kelompok tani sebagai wadah yang menampung seluruh kepentingan dan aktivitas petani.
Dengan adanya kelompok tani maka pengelolaan usah tani dapat dilakukan dengan relatif
mudah. Untuk itu perlu dilakukan analisis diskriptif keragaan dan peran kelompok tani
dalam usaha tani CLS.
Usaha tani pola CLS menggunakan input pupuk kimia dan pestisida sangat rendah
serta lebih banyak menggunakan input dari pupuk organik hasil dari proses pengolahan
limbah pertanian. Hal ini berbeda dengan usaha tani konvensional yang cenderung
menggunakan input pupuk kimia dan pestisida tinggi. Dengan adanya perbedaan
perlakuan tersebut sangat dimungkinkan produktivitas usaha tani pola CLS dan usaha tani
non CLS akan berbeda. Selain kondisi lahan pertanian, sarana produksi, tenaga keja,
modal dan manajemen, faktor sosial ekonomi lainnya turut mempengaruhi tingkat produksi
usaha tani. Untuk itu perlu dianalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha
tani pola CLS dibandingkan dengan usaha tani non CLS.
Sampai saat ini keuntungan finansial usaha tani pola CLS merupakan satu-satunya
kriteria kelayakan usaha tani, dimana keuntungan finansial belum memasukkan komponen
manfaat dan biaya lingkungan seperti peningkatan kesuburan lahan, perbaikan kualitas air
dan lainnya. Hasil-hasil penelitian kelayakan finansial usaha tani pola CLS telah dilakukan
pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan kelayakan ekonomi yang mengukur manfaat
dan biaya bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk memasukkan unsur kualitas
lingkungan belum banyak dilakukan. Mengingat strategisnya sektor pertanian dalam
pembangunan nasional, kiranya sangat diperlukan penelitian mengenai analisis ekonomi
usaha tani pola CLS.
Usaha tani pola CLS di tingkat lapangan sangat beragam dan dihadapkan pada
berbagai kendala, serta belum dapat diukur sejauh mana tingkat keberlanjutannya,
sedangkan konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan belum dijabarkan secara lebih
operasional dan implementatif, sehingga terjadi kesenjangan antara konsepsi ideal
dengan aktual di lapangan. Dengan demikian penelitian ini berupaya menjembatani
kesenjangan tersebut dengan mengembangkan konsep pembangunan pertanian
berkelanjutan usaha tani pola CLS ke arah yang lebih kuantitatif dan implementatif dengan
mengukur indeks dan status keberlanjutan usaha tani pola CLS dan faktor-faktor dominan
yang mempengaruhi keberlanjutan usaha tani pola CLS. Dengan memperhatikan berbagai
permasalahan dan potensi pengembangan usaha tani pola CLS, maka perumusan
masalahnya adalah:
(1) Apakah usaha tani pola CLS mampu meningkatkan produksi padi. Variabel apa
saja yang mempengaruhi produksi usaha tani padi sawah pola CLS? Dan
sejauhmana variabel tersebut mempengaruhi produksi dan keuntungan usaha tani
padi sawah pola CLS? Apakah produksi usaha tani padi sawah pola CLS lebih
tinggi dibandingkan dengan non CLS?
(2) Sejauhmana kelayakan finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS dibandingkan
non CLS? serta bagaimana peran kelembagaan petani dalam usaha tani pola
CLS?
(3) Seberapa besar nilai keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen
pada saat ini dan apa faktor-faktor strategis dalam pengembangan pertanian
berkelanjutan pola CLS, serta
(4) Bagaimana rekomendasi kebijakan dan strategi pengembangan pertanian
berkelanjutan pola CLS di masa mendatang?.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan pertanian, berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai berikut:
(1) Pemerintah, sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan pengembangan
pertanian di masa mendatang.
(2) Akademisi dan Peneliti, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan penelitian di
tempat yang lain maupun penelitian-penelitian lanjutannya.
(3) Swasta, LSM dan masyarakat, penelitian ini dapat menunjukkan kepada
masyarakat mengenai salah satu upaya pelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan serta manfaat yang akan dinikmatinya.
(4) Penulis, bermanfaat untuk mengasah kemampuan riset dan penyelesaian tugas
akhir Program Pascasarjana di IPB.
1.6. Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka pemikiran yang telah disusun, maka
hipotesis yang diajukan sebagai berikut:
(1) Diduga produksi dan keuntungan usaha tani padi sawah pola CLS lebih tinggi
dibandingkan usaha tani padi sawah non CLS.
(2) Diduga tingkat kelayakan baik secara finansial dan ekonomi usaha tani pola CLS
lebih tinggi dibandingkan dengan kelayakan usaha tani non CLS. Diduga pada
usaha tani pola CLS tingkat kelayakan secara ekonomi lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat kelayakan secara finansial.
1.7. Novelty Penelitian
Mengembangkan konsep pembangunan pertanian berkelanjutan usaha tani pola
CLS menjadi konsep yang lebih kuantitatif dan implementatif. Metode Rap-CLS yang
dibuat dari modifikasi Rapfish telah teruji bisa dikembangkan untuk mengukur indeks dan
status keberlanjutan usaha tani pola CLS.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Berkelanjutan
FAO mendefinisikan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai suatu
praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi
kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumbcrdaya alam.
Secara lebih luas pembangunan pertanian berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai
upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya pertanian (lahan, air dan sumberdaya
genetik) melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa
sehingga menjamin tercapainya kebutuhan yang diperlukan secara berkesinambungan
baik dari waktu ke waktu maupun dari generasi ke generasi. Pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture) juga diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya pertanian untuk
memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan SDA. (Reijntjes, et al. 1999). Pertanian
berkelanjutan yang rendah input luar (low external input and sustainable agriculture)
sebagian besar input usaha tani yang dimanfaatkan berasal dari lahan, desa, wilayah atau
negara sendiri dan diupayakan tindakan tepat untuk menjamin dan menjaga
keberlanjutan. (Reijntjes, et al. 1999).
Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan
sumberdaya dan usaha pertanian melalui penerapan teknologi pertanian dan
kelembagaan secara berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan.
Kesinambungan usaha dapat diartikan bahwa usaha tani tersebut dapat memberikan
kontribusi ekonomi bagi petani dan keluarganya, sehingga pemilihan jenis komoditas dan
usaha harus yang bernilai ekonomis, pasar tersedia dan produksi kontinyu (Departemen
Pertanian, 2005).
Aktivitas kegiatan ekonomi yang mencerminkan pembangunan berkelanjutan dapat
dilihat kualitas lingkungan yang ada. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
lingkungan adalah: (1) struktur: jenis barang dan jasa yang diproduksi dalam lingkungan,
(2) efisiensi: input yang digunakan untuk menghasilkan per unit output dalam
perekonomian, (3) substitusi: kemampuan substitusi sumberdaya langka dengan bahan
lain, dan (4) teknologi bersih lingkungan: kemampuan mempengaruhi kerusakan
lingkungan per unit dari penggunaan input atau output yang dihasilkan.
Sistem usaha pertanian dikatakan berwawasan lingkungan apabila dalam
pengelolaannya menerapkan teknologi maju yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan
tidak menimbulkan eksternalitas negatif kepada lingkungan biofisik maupun sosial
ekonomi pada tingkat mikro dan makro (Kasryno, 1998). Selanjutnya dikatakan pertanian
berkelanjutan mengandung arti bahwa dalam jangka panjang secara simultan harus
mampu: (1) mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan, (2) mampu
menyiapkan insentif sosial dan ekonomi bagi semua pelaku dalam sistem produksi, (3)
mampu memproduksi pangan secara cukup dan setiap penduduk memiliki akses terhadap
pasokan pangan. Strategi untuk mewujudkan pertanian bekelanjutan tergantung dari tipe
permasalahan. Konsep pertanian berkelanjutan dikembangkan sebagai payung yang
mewadahi pemikiran dan ideologi tentang pendekatan pembangunan pertanian meliputi:
usaha tani organik, pertanian biologis, pertanian ekologis, LEISA, pertanian biodinamis,
maupun pertanian regeneratif.
Sistem pertanian (farming system) adalah pengaturan usaha tani yang stabil, unik
dan layak yang dikelola menurut praktek yang dijabarkan sesuai lingkungan fisik, biologis
dan sosioekonomi menurut tujuan, preferensi dan sumber daya rumahtangga (Shanner, et
al 1982 dalam Reijntjes, 1999). Usaha tani dapat berupa usaha bercocok tanam atau
memelihara ternak. Usaha tani yang baik adalah bersifat produktif dan efisien yaitu
memiliki produktivitas atau produksi per satuan lahan yang tinggi (Mubyarto, 1994).
Menurut Sutanto, (2002) dikenal tiga farming system yaitu (1) pertanian tunggal
(monocropping), (2) sistem tumpangsari dan tumpang gilir, serta (3) sistem usaha tani
terpadu. Kelemahan monocropping tanpa penambahan bahan organik menyebabkan
degradasi lahan, sementara kelemahan sistem tumpangsari dan tumpang gilir adalah
apabila dieksplotasi berlebihan berakibat sama dengan pola monocropping yaitu
kemunduran aktivitas biologi dan kehilangan hara serta kesuburan lahan.
Menurut Arifin (2001) bahwa dalam sistem usaha tani, faktor-faktor yang
mempengaruhi degradasi lahan antara lain: intensifikasi penggunaan lahan, tekanan
penduduk, pendapatan perkapita, dan tingkat keterjaminan hak-hak atas tanah. Lebih
lanjut dikatakan dikatakan faktor ekonomi (tingkat keuntungan usaha tani) mempengaruhi
keputusan petani menerapkan teknologi pengelolaan lahan. Mubyarto (1994)
mengemukakan pada umumnya tidak ada petani yang menggantungkan hidupnya dari
satu macam pertanian. Petani dalam mengurangi resiko pertaniannya dengan menanam
berbagai macam tanaman di sawah, pekarangan, disamping memelihara ternak, bekerja
sebagai buruh, tukang dan sebagainya.
Kelemahan-kelemahan monocropping diatasi dengan sistem usaha tani terpadu,
dimana sistem ini memerlukan pendekatan holistik dengan menitikberatkan
keanekaragaman produksi dan produk pasca panen akan banyak menghasilkan residu
yang mudah didekomposisi (Sutanto, 2002b). Pola usaha tani monocropping pada
tanaman padi dan ternak sapi potong dapat diatasi secara simultan melalui penerapan
pola integrasi dengan pendekatan zero waste (Diwyanto et al 2001). Pola integrasi ini
sebenarnya sudah lama dikenal petani dan telah dikembangkan beberapa Negara Asia
seperti Thailand, Filipina, Vietnam, RRC dan lainnya. Di Indonesia mulai tahun 1970 telah
dikenal sistem usaha tani terpadu dan muncul istilah pola tanam (cropping pattern),
kemudian muncul pola usaha tani (cropping system), sistem usaha tani (farming system)
dan akhirnya sistem tanaman ternak (crop-livestock system CLS). Selain pola CLS masih
ada beberapa pola sejenis antara lain padi-ikan-itik, mina-padi dan lain sebagainya.
Sistem usaha tani terpadu dikembangkan dengan prinsip pertanian organik untuk
melestarikan hasil tanaman dan produktivitas keseluruhan sistem. Sedangkan yang
dimaksud dengan pertanian organik (organic farming) adalah suatu sistem pertanian yang
mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui praktek seperti pendaur-ulangan unsur
hara bahan organik (seperti kompos dan sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan
yang tepat dan menghindari pupuk sintetis dan pestisida (IASA, 1990 dalam Reijntjes,
1999). Pertanian organik ini merupakan upaya-upaya dalam kerangka pemanfaatan
teknologi bersih lingkungan. Beberapa pola usaha tani terpadu antara lain pengembangan
pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dengan ternak, pertanian dengan perikanan,
dan lainnya yang memerlukan perencanaan dengan baik.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pendekatan Fungsi Produksi
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi usaha tani didekati dengan fungsi
produksi. Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang
dijelaskan/dependent variable (Y) biasanya berupa output dan variabel yang
menjelaskan/independent variable (X) biasanya berupa input. Dengan demikian dapat
diketahui hubungan antara variabel Y dan X serta sekaligus mengetahui hubungan antar
variabel yang menjelaskan. Secara matematis hubungan variabel Y dan X dapat ditulis
peserti pada persamaan (1).
Y= f (X1, X2, ………… , Xn) …………..……………………… ..…… (1)
Dalam proses produksi pertanian, variabel Y dapat berupa produksi pertanian dan
variabel X dapat berupa lahan pertanian, tenaga kerja, modal dan manajemen. Namun
demikian dalam praktek, keempat faktor produksi tersebut belum cukup untuk dapat
menjelaskan Y. Faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, seperti tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, tingkat ketrampilan dan lain-lain juga berperan dalam mempengaruhi tingkat
produksi.
Berbagai macam bentuk fungsi produksi yaitu fungsi produksi linier, kuadratik,
polinom, dan lainnya, namun ada fungsi produksi yang sering digunakan adalah fungsi
produksi Cobb-Douglas (Soekartawi, 1994). Penyelesaian hubungan antara variabel X
dan Y biasanya dengan cara regresi dimana variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi
dari X. Dengan demikian kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam
penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Secara matematis fungsi produksi Cobb-Douglas
dapat dituliskan seperti pada persamaan (2).
Y = a X1bl X2
b2.... Xibi….. X n
bn eu ……………………………………… ..... (2)
Keterangan Y : Variabel yang dijelaskan X : Variabel yang menjelaskan a,b : Besaran yang akan diduga µ : Kesalahan (disturbance term) e : logaritma natural =2,718.
Pendugaan terhadap koefisien a dan b dapat dilakukan dengan metode Ordinary
Least Square (OLS), tetapi sebelum dilakukan pendugaan, fungsi produksi Cobb-Douglas
diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan
persamaan (2) menjadi persamaan (3).
log Y = log a + bl log X1 + b2 log X2 +…..... + b n log Xn + u ……………… .... (3)
Ada tiga alasan mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas lebih banyak dipakai untuk
menganalisis oleh para peneliti (Soekartawi, 1994), yaitu:
1. Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas lebih mudah dianalisis dibandingkan
dengan fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik. Fungsi produksi Cobb-Douglas
mudah ditransfer ke bentuk linear.
2. Hasil pendugaan garis dari fungsi Cobb-Douglas menghasilkan koefisien regresi
yang menunjukkan besaran elastisitas. Jadi besaran b pada persamaan (3) adalah
angka elastisitas.
3. Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran Return to Scale. Dengan
demikian terdapat tiga kemungkinan, yaitu:
a. Decreasing Return to Scale, bila bl +b2+ ... + bn < 1, berarti bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi.
b. Constant Return to Scale, bila bl +b2+ ... + bn = 1, berarti bahwa penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh.
c. Increasing Return to Scale, bila bl +b2+ ... + bn > 1, berarti bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
Kelemahan model fungsi produksi Cobb-Douglas adalah tidak pernah dicapai
tingkat produksi maksimum, sulit menghindari multicolinearity dan karena fungsi produksi
Cobb-Douglas menggunakan bentuk logaritma, maka data tidak boleh bernilai nol atau
negatif. Cara memperbaiki pendugaan yang menggunakan data nol atau negatif adalah
(1) besaran dari variabel yang bernilai nol atau negatif tersebut diubah nilainya menjadi
variabel Dummy, misalnya pengamatan yang bernilai nol atau negatif diberi penimbang
nol dan yang bernilai bukan nol atau bukan negatif diberi penimbang satu, (2)
menambahkan suatu bilangan yang sama untuk setiap nilai X, sehingga pengamatan yang
bernilai nol atau negatif tidak akan menjadi nol atau negatif, dan (3) mengganti
pengamatan yang bernilai nol dengan bilangan yang kecil sekali. Cara ini menurut
Johnson dan Rausser (1971) adalah cara yang lebih baik bila dibandingkan dengan kedua
cara diatas (Soekartawi, 1994).
Pendugaan model dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas
yang dimodifikasi ke dalam bentuk logaritma. Kelemahan dari model ini adalah pendugaan
fungsi produksi dapat dilakukan dengan baik bila logika dan mekanisme proses produksi
diketahui sebelumnya. Variabel manajemen dapat mempengaruhi pendugaan elastisitas
produksi terhadap faktor produksi akan bias ke atas, sedangkan penduga terhadap skala
usaha akan bias ke bawah, sehingga variabel manajemen sering dimsukkan sebagai
variabel boneka (dummy variabel).
Uji t dilakukan untuk melihat signifikasi dari perbedaan dua pengamatan yang
dibandingkan. Model uji t yang digunakan seperti persamaan (4).
_ _ • X iA - XiB • T hitung = ----------------------------- ……….………………. (4) • S 2 ( 1/NA + 1/NB ) _ XiA rata-rata dari nilai pengamatan yang diperoleh dari petani yang menerapkan usaha
tani pola CLS. _ XiB rata-rata dari nilai pengamatan yang diperoleh dari petani yang tidak menerapkan
usaha tani pola CLS. NA jumlah petani sampel yang menerapkan usaha tani pola CLS NB jumlah petani sampel yang tidak menerapkan usaha tani pola CLS S2
varian gabungan yang dihitung dengan rumus persamaan (5): (NA – 1) S2
A + (NB – 1) S2B
S2 = --------------------------------- ……………………………………….. (5) ( NA + NB -2 ) S2
A varian dari sampel petani yang menerapkan usaha tani pola CLS S2
B varian dari sampel petani yang menerapkan usaha tani pola CLS _ _ H0 = XiA = XiB _ _ H1 = XiA > XiB á = 0,05 ttabel = t á %; (NA + NB - 2)
Jika thitung < ttabel, H0 diterima artinya tidak beda nyata antara dua pengamatan yang
dibandingkan. Jika thitung > ttabel, H0 ditolak artinya ada beda nyata antara dua pengamatan
yang dibandingkan.
2.2.2. Pendekatan Ekonomi Lingkungan
Pemberian nilai (valuation) terhadap manfaat dan biaya lingkungan menunjukkan
bahwa lingkungan dalam memberikan pelayanan tidak cuma-cuma, namun mempunyai
nilai dan harga yang sering tidak tersirat oleh mekanisme pasar.
Lingkungan mempunyai nilai sebagai bahan baku untuk kegiatan ekonomi, kegiatan
rekreasi, sumber kenikmatan, keselarasan yang menentukan kualitas hidup, sebagai
pelimbahan dan asimilator atau pendaur ulang limbah dan aktivitas ekonomi, sumber
pengetahuan untuk pendidikan dan penelitian ilmiah, keanekaragaman hayati dan asset
yang dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Valuasi ekonomi merupakan
komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya, dimana valuasi
ekonomi mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dengan ekologi secara integratif
(Hufschmidt, et al, 1983).
Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam valuasi ekonomi dimulai dari identifikasi
biaya dan manfaat pengelolaan pertanian pola CLS, melakukan penilaian biaya dan
manfaat dari masing-masing komponen baik yang dapat dinilai dengan harga pasar
maupun non pasar, menghitung nilai kelayakan sesuai kriteria investasi serta melakukan
analisis biaya manfaat dan kesimpulan.
Beberapa kajian komparasi antara beberapa metode valuasi ekonomi disimpulkan
bahwa (1) tidak ada satu teknikpun yang superior dibandingkan teknik yang lain, (2)
masing-masing teknik adalah cocok bagi beberapa kasus tertentu tetapi tidak cocok untuk
kasus yang lain, dan (3) penentuan teknik yang akan digunakan bergantung pada
masalah yang akan dinilai serta sumberdaya pendukung studi (Ramdan et al 2003).
Pemilihan teknik benefit cost analysis (BCA) valuasi kualitas lingkungan berdasarkan
Askary (2001) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pemilihan Teknik Valuasi Ekonomi Kualitas Lingkungan (sumber : Askary, 2001)
Metode analisis biaya dan manfaat merupakan metode yang cukup penting dalam
analisis dampak lingkungan. Dengan metode ini dapat dibandingkan antara besarnya
pendapatan dengan komponen biaya. Metode ini digunakan untuk menilai proyek
pembangunan berskala mikro dengan menggunakan teknik penilaian Benefit Cost Ratio
(B/C R). Penilaian suatu proyek yang dilakukan dengan mengadakan analisis finansial
atau analisis ekonomi biasa disebut dengan kelayakan finansial atau ekonomi. Penilaian
finansial meliputi perhitungan semua pengeluaran untuk investasi sampai jangka waktu
tertentu dibandingkan dengan semua pendapatan yang timbul sebagai akibat adanya
proyek tersebut. Baik pengeluaran dan penerimaan diperhitungkan pada standar harga
pasar yang berlaku.
Usaha tani tanaman pangan dan usaha ternak sapi potong mengandung unsur
resiko dan ketidakpastian. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk
mengetahui prospek pengembangan usaha di masa yang akan datang. Kepekaan atau
Habitat Kualitas udara & air Rekreasi Estetika,Ya Biodiversitas,
Budaya,Sejarah,
Biaya Efektifitas Biaya Sakit Kematian Biaya Hak milik/Kesempatan Pencegahan perjalanan aset
Hilangnya BiayaBiaya Pengeluaran pendapatan pencegahan Valuasi Valuasi
Ya Pengganti Preventif kontingen kontingen
Biaya ModalGunakan Nilai tanah Biaya relokasi/ pengobatan manusia
Pendekatan penggantiPasar Proksi,Aplikasikan Valuasi
harga kontingenbayanganterhadap
perubahanproduksi
Efek kesehatan
Produktivitas
Perubahan kualitaslingkungan
pasar non-distorsi ?
Tidak
GunakanPerubahan
Perubahan ProduksiTerhitung
Tidak
Tersediakah harga
Dampak Lingkungan
sensitivitas adalah sifat responsif terhadap variabel atau parameter yang mengalami
perubahan baik kualitas atau kuantitas. Manfaat dan biaya pada umumnya bersifat peka
atau responsif terhadap berbagai macam variabel sehingga penerimaan dan pengeluaran
itu sendiri juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut pada umumnya dikatagorikan
dari sikap penganalisis menjadi tiga sikap yaitu sikap optimis, moderat, dan pesimis. Untuk
mengatasi perubahan maka digunakan alat analisis sensitivitas atau analisis kepekaan.
Analisis sensitivitas merupakan analisis untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil
analisis proyek jika ada sesuatu perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau
benefit.
Kadariah (1988) mengatakan bahwa analisis sensitivitas perlu sekali diperhitungkan
karena analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak
ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Yang perlu
diperhatikan dalam analisis sensitivitas antara lain: (1) terdapatnya kenaikan dalam biaya
konstruksi, (2) perubahan harga produksi dan (3) mundurnya waktu implementasi.
Perubahan harga berupa penurunan harga jual produksi (gabah dan daging sapi)
serta kenaikan biaya produksi (terutama pupuk dan pakan ternak) diperkirakan
berpengaruh terhadap NPV, net B/C ratio dan IRR karena komponen tersebut merupakan
bagian yang terbesar dari arus manfaat dan biaya dalam usaha tani pola CLS.
2.2.3. Pendekatan Analisis Kelembagaan Petani
Dalam analisis aspek sosial budaya difokuskan dengan pendekatan kelembagaan
petani yang menempatkan sumberdaya manusia (SDM) sebagai motor penggerak
pembangunan. Pendekatan ini secara konsepsional sesuai dengan kondisi di negara
sedang berkembang yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi (Tonny, 1988).
Aspek manajemen dan kelembagaan petani perlu mendapat perhatian. Perbaikan kinerja
kelembagaan perlu dilakukan secara terus-menerus dan menyeluruh sehingga
kelembagaan petani mampu melayani anggotanya secara optimal. Pendekatan kelompok
merupakan wadah penting sebagai penunjang keberhasilan, dengan berkelompok dapat
dilakukan tindakan kolektif sehingga tercapainya efisiensi. Menurut Norman Uphoff 1986
dalam Syahyuti (2003) keberhasilan pengembangan kelembagaan akan bergantung pada
kapasitas pelaksanaannya dan kelembagaan yang sudah terbentuk (existing condition).
Pendekatan pengembangan kelembagaan dapat dilakukan secara individual dengan
introduksi pengetahuan, kesadaran dan perilaku, maupun melalui pengorganisasian
dengan fokus pada aspek peran-peran, struktur dan prosedur. Dalam usaha tani pola
CLS terdapat beberapa jenis kegiatan yang akan lebih efisien apabila dilaksanakan secara
berkelompok seperti kegiatan pengandangan ternak, pengelolaan kompos dan lainnya.
2.2.4. Pendekatan Analisis Status Keberlanjutan dan Analisis Prospektif
Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multi disiplin karena banyak dimensi
pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain dimensi ekologi, ekonomi, sosial-
budaya, hukum dan kelembagaan. Walaupun banyak pendapat ahli memberikan
persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan aspek-aspek yang hampir sama tetapi
dengan cara dan pendekatan yang berbeda.
Di bidang pertanian menurut Suryana et al. (1998), konsep berkelanjutan
mengandung pengertian, bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan
pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability).
Pembangunan pertanian juga harus mengindahkan aspek kelestarian lingkungan
sehingga pemilihan teknologi dan pengelolaannya tidak hanya didasarkan pada
keuntungan sesaat (jangka pendek). Teknologi ramah lingkungan yang sudah banyak
dikembangkan dan telah digunakan, antara lain Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Pembangunan pertanian berkelanjutan
memerlukan penerapan Good Agricultural Practices (GAP) yang pada dasarnya
menekankan pada penggunaan low external input.
Pola CLS merupakan salah satu kegiatan pertanian organik dengan sistem usaha
tani terpadu dimana dilakukan masukan teknologi rendah dan memanfaatkan sumber
daya lokal didaur ulang secara efektif (Sutanto, 2002a). Pertanian pola CLS diharapkan
dapat menjamin suatu pola usaha tani stabil dan lestari karena mengembangkan
keterkaitan antara limbah padi diolah menjadi pakan ternak dan kotoran ternak diolah
menjadi pupuk organik (kompos) sebagai siklus utama meningkatkan produktivitas padi
dan ternak. Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usaha tani melalui pola
CLS dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumber daya lahan dan
tenaga kerja, serta mebangun kelembagaan usaha bersama (Wein Simei, 1998 dalam
Prasetyo, et al 2001).
Integrasi pola CLS mencakup tiga jenis kegiatan usaha tani yang saling berkaitan
yaitu (1) budidaya ternak, (2) budidaya padi serta (3) pengelolaan jerami dan kompos.
Inovasi yang dikembangkan dalam budidaya ternak mencakup pengandangan ternak
secara berkelompok, aplikasi budidaya ternak termasuk strategi pemberian pakan,
pengelolaan dan pemanfaatan kotoran ternak menjadi kompos tanaman padi.
Pengembangan budidaya padi sawah irigasi melalui teknologi pengelolaan, penyimpanan
dan peningkatan kualitas jerami sebagai pakan ternak.
Pengomposan adalah proses mengubah limbah organik menjadi pupuk organik
melalui kegiatan biologi pada kondisi yang terkontrol (Sutanto, 2001a). Tujuan
pengomposan adalah mengurai bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan
timbulnya bau busuk, membunuh benih gulma dan organisme yang bersifat pathogen dan
sebagai produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan di lahan
pertanian.
Manfaat penggunaan pupuk kompos/pupuk organik memperbaiki kesuburan tanah,
sedangkan kelemahan pupuk organik adalah diperlukan jumlah yang banyak untuk
memenuhi kebutuhan unsur hara pertanaman, bersifat ruah dalam pengangkutan maupun
aplikasi di lapangan, dan dapat menimbulkan kekahatan unsur hara bila bahan organik
yang diberikan belum cukup matang (Sutanto, 2001a).
Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam suatu kegiatan
pembangunan menjadi lebih komprehensif untuk menilai status/tingkat keberlanjutan.
Dengan demikian usaha tani pola CLS dapat dikatakan berkelanjutan jika memenuhi
kriteria dari masing-masing dimensi dari konsep pembangunan berkelanjutan yaitu
dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.
Suatu usaha tani pola CLS disebut memenuhi syarat berkelanjutan dilihat dari
dimensi ekologi jika pola CLS dapat meminimalisir penggunaan input kimia dari luar,
memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan mengolah limbah ternak menjadi kompos
dan mengolah limbah jerami menjadi pakan ternak. Dengan demikian, atribut yang dapat
digunakan untuk mencerminkan keberlanjutan dimensi ini adalah tingkat pemanfaatan
limbah peternakan untuk pupuk organik dan limbah pertanian untuk pakan ternak, instalasi
pengelolaan limbah di rumah potong hewan (RPH) dan lain-lain.
Usaha tani pola CLS dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep
pembangunan berkelanjutan bila mampu menghasilkan produksi secara
berkesinambungan, meningkatkan pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja dan
tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Dengan demikian, atribut ekonomi yang
dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini adalah kelayakan usaha dari aspek
finansial dan ekonomi, tingkat penerimaan petani, kontribusi terhadap pendapatan asli
daerah (PAD), dan lain-lain.
Usaha tani pola CLS dikatakan memenuhi dimensi sosial-budaya, bila pola tersebut
dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, dan pendidikan), terjadi pemerataan pendapatan, terbukanya kesempatan
berusaha secara adil, serta terdapat akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Dengan
demikian atribut sosial-budaya yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini
antara lain adalah pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, bekerja
dalam kelompok, frekuensi penyuluhan dan pelatihan dan lain-lain. Karena kondisi yang
demikian akan mampu mendorong ke arah keadilan sosial dan mencegah terjadinya
konflik kepentingan. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya yang berbasis pada
masyarakat lokal harus dapat dipertahankan.
Dari uraian sebelumnya, semakin jelas bahwa tujuan pembangunan pertanian
berkelanjutan pola CLS bersifat multidimensi (multiobjective) yaitu mewujudkan
kelestarian (sustainability) baik secara ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya. Implikasinya
memang menjadi kompleks jika dibandingkan dengan usaha tani pola monokultur yang
hanya mengejar produksi pertanian. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari
pertanian terpadu pola CLS ini antara lain: meningkatkan produktivitas gabah dan daging,
meningkatkan populasi ternak sapi, meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan
daerah, meningkatkan produktivitas dan kelestarian lahan, meningkatkan lapangan kerja
baru dengan mengolah kompos, meningkatkan keharmonisan kehidupan sosial dan
menyehatkan lingkungan.
2.2.5. Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya
Beberapa hasil penelitian usaha tani pola CLS yang telah dilakukan masih terbatas
melakukan analisis kelayakan secara finansial. Pertama kali penelitian pola CLS
dilakukan di Batumarta, Sumatera Selatan tahun 1985 dimana penerapan model tanaman-
ternak selama tiga tahun meningkatkan pendapatan petani sebesar US$1.500 /KK/tahun,
dimana tiap KK memiliki lahan 2 hektar tanaman pangan dan satu ekor sapi (Puslitbang
Pangan dan Puslitbang Peternakan, dalam Diwyanto et al 2001). Kontribusi hasil ternak
terhadap total pendapatan masih rendah yaitu 10% sedangkan dari tanaman pangan
71,7% dan sisanya berasal dari pendapatan lainnya, dibandingkan dengan pola
konvensial maka pola CLS mampu meningkatkan pendapatan bersih petani sebesar 36%
(CRIFC, 1995 dalam Devendra, et al, 1997).
Hasil penelitian Pramono et al (2001) pola integrasi padi - sapi potong pembibitan
dengan hasil pendapatan usaha tani padi lahan irigasi di Kabupaten Banyumas,
Purworejo, Pati, Boyolali dan Grobogan per tahun rata-rata Rp. 2,455 juta/ha dan
pendapatan dari usaha tani sapi potong pembibitan dengan pola introduksi sebesar
Rp.1,183 juta per periode (13 bulan). Dengan demikian penerapan integrasi padi – sapi
potong mampu memberikan tambahan pendapatan petani.
Hasil penelitian di Philipina menunjukkan bahwa dengan menerapkan CLS, maka
usaha dari ternak sapi mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap
pendapatan usaha tani dan lebih dari 20% terhadap pendapatan keluarga. Pola CLS di
lahan irigasi di Mindanao meningkatkan pendapatan per tahun dari US$ 570/hektar
menjadi US$ 767/hektar (Guy, 1995 dalam Devendra, et al, 1997). Hasil penelitian di
Pulau Luzon tahun 1986-1988 pola CLS pada lahan kering dengan pemberian pakan
konsentrat untuk ternak sapi mampu meningkatkan pendapatan petani dari US$
935/hektar menjadi US$ 1.232/hektar.
Hasil penelitian di Thailand menunjukkan usaha ternak pada lahan kering mampu
meningkatkan pendapatan usaha tani dari US$ 518 pada tahun 1983 menjadi US$ 715
pada tahun 1986 (Devendra, et al, 1997). Sedangkan penelitian di Ban Donpondaeng
Thailand usaha tani pola CLS dengan kepemilikan rata-rata 4,8 ekor sapi menunjukkan
hasil pada tahun kedua mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 18.151 baht/KK
dari 12.728 baht/KK dan kepemilikan rata-rata 7,5 ekor sapi pada tahun kedua mampu
meningkatkan pendapatan 39.982 baht/KK dari 24.972 baht/KK, dimana US$1= 26.5 Bath
(Bromani, 1985 dalam IRRI, 1986).
Mersyah. R. (2005) melakukan penelitian di Kabupaten Bengkulu Selatan
menggunakan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan sistem budidaya sapi
potong, yang bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan dengan metode MDS
disimpulkan bahwa pengembangan sapi potong di Bengkulu Selatan termasuk dalam
kategori “kurang” berkelanjutan.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian
selama 13 bulan bulan mulai bulan Februari 2003 sampai Maret 2004 dan sebagian data
dikumpulkan sampai Juli 2005. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja
dengan pertimbangan bahwa kabupaten tersebut telah tumbuh kegiatan usaha tani pola
CLS integrasi usaha tani padi sawah dengan ternak sapi potong dan pihak Pemda
mendukung pengembangan pertanian pola CLS sebagai transisi menuju pertanian
organik. Peta lokasi penelitian seperti pada Lampiran-2.
3.2. Rancangan Penelitian
3.2.1. Analisis Fungsi Produksi dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah
A. Penentuan Sampel Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data. Penentuan sampel sebanyak lima kecamatan dan tujuh desa dipilih
secara (purposive) dengan pertimbangan petani pada kecamatan dan desa tersebut telah
menerapkan kegiatan usaha tani pola CLS secara rinci disajikan pada Lampiran 3 dan 4.
Pada masing-masing desa dipilih satu kelompoktani secara sengaja (purposive) dan
sepuluh responden petani per kelompoktani secara sampling acak distratifikasi (stratified
random sampling) berdasarkan lama berusaha tani pola CLS dan luas lahan, sehingga
jumlah responden yang menerapkan CLS sebanyak 70 orang. Disamping itu juga pada
desa tersebut dipilih secara acak sederhana sebanyak 40 responden petani yang tidak
menerapkan pola CLS sebagai responden pembandingnya. Petugas PPL, tokoh
masyarakat dan petugas instansi terkait dijadikan sumber informasi.
B. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:
(a) Teknik Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan
pengamatan di lapangan.
(b) Teknik wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan cara
mengadakan komunikasi langsung dengan responden dan informan yang
diambil sebagai sampel penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaan
yang telah disiapkan.
(c) Teknik pencatatan, yaitu mencatat semua data sekunder dari dinas atau
instansi yang berkaitan dengan penelitian.
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa
data pola usahatani, sarana produksi, produksi, struktur ongkos usahatani padi, ternak,
pengolahan kompos dan jerami diperoleh dari hasil wawancara/ interview kepada
responden dan informan dengan kuesioner yang telah disiapkan, pengamatan langsung di
lapang. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait baik di tingkat pusat, Provinsi,
Kabupaten, Kecamatan dan tingkat desa antara lain dari Kantor Statistik Kabupaten,
Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten, Kantor Kecamatan,
Kantor Desa, Puskesmas dan instansi terkait lainnya. Data sekunder mencakup keadaan
umum daerah, keragaan usaha tani padi, usaha tani ternak sapi potong, pengelolaan
limbah, luas areal, produksi dan produktivitas usaha tani, populasi ternak, kelompok tani,
harga, dan lainnya.
C. Definisi, Pengukuran Variabel dan Asumsi-Asumsi
Definisi dan pengukuran variabel sebagai berikut:
(1) Usaha tani terpadu adalah suatu kegiatan petani dalam memanfaatkan secara
optimal secara terpadu dengan lebih dari satu komoditas pertanian, baik komponen
usaha tani pangan, palawija, hortikultura, ternak, dan ikan selama setahun.
Sedangkan usaha tani tidak terpadu hanya dengan satu komoditas selama setahun.
(2) Manajemen dan kelembagaan petani, yang diukur adalah kinerja kelompoktani.
Bagaimana kelompoktani mampu melayani kebutuhan anggotanya. Jenis-jenis
aktivitas usaha tani yang dilakukan bersama dan perorangan, penyediaan sarana
produksi dan fasilitas lain, pengelolaan tenaga kerja, kepemimpinan, keuangan
kelompok, maupun permasalahan-permasalahan dalam kelompoktani.
(3) Lahan sawah adalah tanah pertanian yang hampir sepanjang tahun terdapat irigasi
secara permanen, sebaliknya disebut lahan kering bila sepanjang tahun tidak
tergenang air (mengandalkan air hujan).
(4) Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan yang sesuai dengan kondisi iklim
dan komoditas pada suatu areal dalam kurun waktu tertentu.
(5) Produktivitas adalah kemampuan berproduksi dari usaha tani dalam setahun.
(6) Luas lahan. Luas lahan diukur dalam satuan hektar. Pada tingkat usaha tani luas
lahan yang digunakan adalah rata-rata pemilikan lahan oleh petani. Untuk tingkat
kabupaten luas lahan yang digunakan adalah luas lahan pertanian baik berupa lahan
sawah maupun lahan kering.
(7) Tenaga kerja. Tenaga kerja diukur dalam satuan HOK, dimana satu HOK adalah 6
jam. Pada tingkat usaha tani tenaga kerja dibedakan antara laki-laki dan
perempuan. Pada tingkat kabupaten tenaga kerja laki-laki dan perempuan disatukan,
dimana 1 HOK tenaga kerja perempuan = 0.8 HOK laki-laki. Tingkat upah yang
dipakai adalah rata-rata tingkat upah yang pernah dibayarkan petani atau tingkat
upah yang pernah diterima petani bila bekerja di luar pertanian.
(8) Produksi. Untuk tingkat usaha tani produksi dinilai dalam satuan fisik (untuk
gabah/beras: ton, ternak sapi: ekor, pupuk kompos: ton) yang mana produksi
tersebut merupakan nilai rata-rata yang dihasilkan oleh petani. Sedangkan tingkat
kabupaten karena beragamnya komoditas maka berupa Rp/hektar yang merupakan
perkalian antara produksi yang nyata di lapangan dengan harga jualnya.
(9) Harga. Harga yang terjadi pada tingkat usaha tani, dimana harga output usaha tani
merupakan harga jual yang diterima petani, sedangkan harga input merupakan
harga beli input yang dibayar oleh petani. Pada tingat kabupaten harga yang dipakai
adalah rata-rata harga yang terjadi pada daerah tersebut.
(10) Keuntungan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dari usaha tani dengan
biaya yang dikeluarkan dalam satu tahun (dalam rupiah). Penerimaan usaha tani
adalah hasil kali produk total dikalikan dengan harga output per satuan volume.
Sedangkan total biaya produksi usaha tani adalah jumlah input yang digunakan
selama proses usaha tani dikalikan dengan harga input per satuan volume.
Asumsi yang digunakan dalam pemakaian fungsi Cobb-Douglas antara lain: (a)
petani dianggap rasional dalam melakukan usaha tani untuk memperoleh keuntungan
yang maksimum, (b) harga-harga faktor produksi dan output usaha tani selama penelitian
dianggap tetap dan dihitung berdasaran harga yang dibayarkan dan diterima petani,
dimana masing-masing individu sampel memperlakukan harga input bervariasi, (c) untuk
menduga fungsi Cobb-Douglas diasumsikan pasar dalam kondisi persaingan sempurna,
(d) teknologi dianggap netral yang berarti intercept boleh berbeda tetapi slope garis
penduga Cobb-Douglas dianggap sama, dan (e) fungsi keuntungan adalah menurun
bersamaan dengan bertambahnya jumlah faktor produksi tetap.
D. Pengolahan dan Analisis Data
Fungsi Produksi Usaha tani Pola CLS dan Non CLS
Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
usaha tani padi pola CLS digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Yang
membedakan usaha tani padi sawah CLS dan non CLS adalah pada usaha tani padi pola
CLS menggunakan input pupuk organik dan biasanya sedikit atau bahkan tidak
menggunakan pupuk kimia maupun pestisida, dan sebaliknya untuk usaha tani non CLS.
Dengan adanya perbedaan tindakan usaha tani padi pola CLS dan non CLS yang
dilakukan oleh petani maka dapat diduga adanya perbedaan produksi diantara dua pola
usaha tani tersebut. Langkah pertama dilakukan uji-t untuk melihat signifikasi dari
perbedaan produksi antara usaha tani pol CLS dan non CLS, selanjutnya dilakukan
pendugaan model.
Untuk mempermudah pendugaan fungsi produksi padi sawah, persamaan Cobb-
Douglas diubah dalam bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan menjadi
persamaan (6).
ln Qp = ln a + b1 ln Pb + b2 ln Pu + b3 ln Pt + b4 ln Pc + b5 ln Pk + b6 ln Ppc + b7 ln Ppp + b8 ln
Tk + b9 ln Pdd + bl0 ln Pum + bl1 ln Pgl + b12 ln Tx + b13 ln Ps + b14 ln D1 + b15 ln D2 + u. …......…............................................................ (6)
Keterangan : Qp = produksi (kg) Pb = bibit/benih (kg/ha) Pu = Urea (kg/ha) Pt = TSP (kg/ha) Pc = KCl (kg/ha) Pk = pupuk kompos (kg/ha) Ppc = pestisida cair (liter/ha) Ppp = pestisida padat (kg/ha) Tk = tenaga kerja (HOK/ha) Pdd = pendidikan petani (tahun) Pum = umur petani (tahun) Pgl = pengalaman bertani (tahun) Tx = pajak/sewa lahan Ps = sewa alat dan mesin D1 = dummy luas lahan D2 = variable pola usaha tani D1 = 1 Luas lahan > 0,5 hektar D2 = 1 pola usaha tani CLS D1 = 0 Luas lahan < 0,5 hektar D2 = 0 pola usaha tani non CLS a = intersep/konstanta bi = koefisien regresi variabel independen ke-i u = kesalahan pengganggu
Dengan memasukkan variabel dummy (D2) pola usaha tani CLS dengan non CLS ke
dalam model, maka dapat diketahui ada tidaknya perbedaan nyata antara produksi usaha
tani pola CLS dengan non CLS. Ddalam pendugaan model fungsi produksi dipilih model
yang paling baik dari berbagai variabel yang ada. Pengujian model dilakukan dengan
menghitung koefisien determinasi majemuk (R2) yaitu nilai yang menyatakan besarnya
proporsi atau persentase variasi total dari variabel tak bebas/yang dijelaskan (Y) oleh
variabel yang menjelaskan (X) secara bersama-sama.
Untuk menguji hubungan keseluruhan dari variabel independen terhadap variabel
dependen maka dilakukan uji F (over all test) sedangkan pengujian masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen maka dilakukan uji t (individual test).
Apabila setelah dilakukan analisis diketahui koefisien regresi dari Dummy variable
hasilnya berbeda nyata dan positif, maka dikatakan bahwa ada pengaruh perbedaan
antara usaha tani pola CLS dengan non CLS terhadap produksi usaha tani. Besarnya
nilai intersep dan koefisien regresi dari masing-masing variabel independen antara usaha
tani pola CLS dibandingkan dengan nilai intersep dan koefisien regresi usaha tani pola
non CLS. Dikatakan usaha tani pola CLS lebih baik bila nilai intersep dan koefisien
regresinya lebih besar dibandingkan dengan usaha tani non CLS. Model estimasi fungsi
produksi usaha tani padi sawah pola CLS seperti persamaan (7).
ln Qpc = ln a + bl ln Pb + b2 ln Pu + b3 ln Pt + b4 ln Pc + b5 ln Pk + b6 ln Tk + b9 ln D1 + u. ..........................................…............…...............…. (7)
Keterangan: Qpc produksi padi sawah pola CLS.
Sedangkan model estimasi fungsi produksi usaha tani padi sawah pola non CLS
seperti persamaan (8).
ln Qpn = ln á + âl lnPb + â2 lnPu + â3 lnPt + â4 lnPc + â5 lnTk + â6 ln D1 + u ..... (8) Keterangan: Qpn produksi padi sawah pola non CLS
Setelah diperoleh nilai intersept dan koefisien regresi dari kedua pola usaha tani
tersebut, masing-masing model diuji signifikansi perbedaannya dengan Uji t. Demikian
pula untuk menguji signifikansi dari perbedaan penggunaan input (pupuk kimia, pestisida,
pupuk kompos) terhadap produksi di antara kedua pola usaha tani juga digunakan Uji t .
Fungsi Keuntungan Usaha tani Pola CLS dan non CLS
Untuk mengetahui dan menganalisis tingkat efisiensi harga (ekonomi) pada usaha
tani padi pola CLS dan non CLS dilakukan dengan cara menurunkan model fungsi
produksi Cobb-Douglas dengan teknik Unit-Output Price Cobb-Douglas Profit Function.
Untuk mempermudah pendugaan, pada kondisi model fungsi produksi yang optimal, harga
faktor produksi dan harga produksi “dinormalkan” dengan harga tertentu, artinya besaran
keuntungan dan variabel lain dibagi dengan besarnya harga produksi. Persamaan
keuntungan yang diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas seperti pada persamaan
(9).
m n ð = ApF (X l ,…… X m ; Zi ,…, Z n ) - • c j Xj - • f j Zj …………….… ........… (9)
j=1 j=1 dimana : ð = besarnya keuntungan (rp/ha) A = besaran efisiensi teknik p = harga produksi (rp/ton) Xj = variabel faktor produksi, dimana j= 1,…,n Zj = variabel faktor produksi tetap (fixed variable), dimana j= 1,…,n cj = harga faktor produksi per satuan fj = harga faktor produksi tetap per satuan
Bentuk logaritma dari persamaan (9) menjadi persamaan (10).
m n ln ð* = lnA* + • â j ln cj * + • áj ln Zj ……………………………..…… ......... (10) j=1 j=1
dimana : ð*= keuntungan yang telah “dinormalkan” dengan harga produks i. âj= koefisien variabel faktor produksi “dinormalkan” dengan harga produksi. áj= koefisien variabel faktor produksi tetap “dinormalkan” dengan harga produksi. cj*= variabel faktor produksi yang telah “dinormalkan” dengan harga produksi.
Pendugaan fungsi keuntungan usaha tani padi sawah, usaha tani padi pola CLS dan
non CLS seperti pada persamaan (11).
ln ðp = ln a + b1 ln Wb + b2 ln Wu + b3 ln Wt + b4 ln Wc + b5 ln Wp + b6 ln Ws + b7 ln Wh + b8 ln Wx + b9 ln Lu + bl0 ln Wk + bl1 ln D1 + b12 ln D2 + b13 ln D3 + + u. …................................... ............................................ (11) Keterangan: ðp keuntungan padi sawah, ðpc keuntungan padi sawah CLS , ðpn keuntungan padi sawah non CLS, harga benih (Wb), harga urea (Wu), harga pupuk TSP (Wt), hargaKCl (Wc), harga pestisida (Wp), sewa/ pemeliharaan alsin (Ws), upah kerja (Wh), pajak (Wx), lahan
usaha (Lu), harga pupuk kandang (Wk), dummy luas lahan (D1), dummy pola usaha tani (D2), dan dummy lama usaha tani CLS (D3), a=intersep/konstanta, bi= koefisien regresi variabel independen ke-i, u= kesalahan pengganggu. 3.2.2. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi, serta Analisis Peran Kelembagaan Petani
A. Penentuan Sampel Penelitian
Metode penentuan sampel penelitian yang digunakan pada analisis kelayakan
finansial dan ekonomi sama dengan metode penentuan sampel penelitian pada analisis
fungsi produksi dan fungsi keuntungan usaha tani padi sawah seperti yang telah diuraikan
pada sub bab 3.2.1.
B. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
Teknik pengumpulan data dilakukan analisis kelayakan finansial dan ekonomi sama
dengan metode penentuan sampel penelitian pada analisis fungsi produksi dan fungsi
keuntungan usaha tani padi sawah seperti yang telah diuraikan pada sub bab 3.2.1.
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa
data pola usahatani, sarana produksi, produksi, struktur ongkos usahatani padi, ternak,
pengolahan kompos dan jerami, kegiatan hulu dan hilir usahatani, valuasi ekonomi
lingkungan, manajemen dan kelembagaan petani diperoleh dari hasil wawancara/
interview kepada responden dan informan dengan kuesioner yang telah disiapkan,
pengamatan langsung di lapang. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait baik di
tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan tingkat desa antara lain dari Kantor
Statistik Kabupaten, Dinas Pertanian dan Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten,
Kantor Kecamatan, Kantor Desa, Puskesmas dan instansi terkait lainnya. Data sekunder
mencakup keadaan umum daerah, keragaan usaha tani padi, usaha tani ternak sapi
potong, pengelolaan limbah, luas areal, produksi dan produktivitas usaha tani, populasi
ternak, kelompok tani, harga, dan lainnya.
C. Definisi, Pengukuran Variabel dan Asumsi-Asumsi
Definisi dan pengukuran variabel sebagai berikut:
(1) Total biaya produksi meliputi biaya investasi, biaya produksi/operasional dan biaya
sosial dalam satuan rupiah. Biaya investasi meliputi biaya pembuatan kandang,
bangunan kompos, pembelian bakalan ternak serta pembelian/pengadaan lahan
dalam satuan rupiah. Biaya operasional meliputi biaya tetap dan biaya variabel
dalam satuan rupiah. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak habis sekali pakai
dalam proses produksi meliputi penyusutan alat dan mesin pertanian, kandang,
bangunan kompos, dan bunga modal dalam satuan rupiah, sedangkan biaya
variabel merupakan biaya yang habis pakai dalam proses produksi meliputi biaya
pembelian bibit, pupuk, pakan ternak, biaya obat, transport dan biaya upah tenaga
kerja.
(2) Analisis biaya dan manfaat yang dilakukan tidak hanya mencakup analisis
kelayakan finansial tetapi juga analisis kelayakan secara ekonomi/sosial.
(3) Valuasi ekonomi lingkungan merupakan penilaian manfaat dan biaya yang
berhubungan dengan perbaikan maupun pencegahan kerusakan lingkungan
meliputi penanganan limbah, penanganan bau, gangguan kesehatan dan
tanggungjawab sosial (berbagai sumbangan dan iuran) dalam satuan rupiah.
(4) Identifikasi manfaat lingkungan mencakup seluruh manfaat yang bersifat langsung
dan tidak langsung dinikmati oleh petani maupun masyarakat serta manfaat yang
dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang. Manfaat
usaha tani pola CLS yang bersifat langsung dan dapat dinilai dengan uang diukur
melalui harga pasar, seperti peningkatan produksi gabah, daging ternak maupun
kompos. Sedangkan manfaat yang bersifat tidak langsung dan tidak dapat dinilai
dengan harga pasar, dilakukan penyesuaian (adjusted) terlebih dahulu. Manfaat
bersifat tidak langsung dari usaha tani pola CLS, misalnya seperti: perbaikan
kesuburan lahan dan kualitas air, berkurangnya bau limbah ternak maupun
berkurangnya gangguan kesehatan.
(5) Identifikasi biaya lingkungan mencakup seluruh biaya yang bersifat langsung dan
tidak langsung dikeluarkan oleh petani maupun masyarakat maupun biaya yang
dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang. Biaya usaha
tani pola CLS yang bersifat langsung dan dapat dinilai dengan uang diukur melalui
harga pasar, seperti biaya pakan, bibit, pupuk, pestisida dan lainnya. Sedangkan
biaya yang bersifat tidak langsung dan tidak dapat dinilai dengan harga pasar,
dilakukan penyesuaian (adjusted) terlebih dahulu. Biaya bersifat tidak langsung
dari usaha tani pola CLS, misalnya seperti: penanganan limbah, penanganan bau,
gangguan kesehatan dan tanggungjawab sosial (berbagai sumbangan dan iuran)
dalam satuan rupiah.
Asumsi-asumsi dalam analisis kelayakan antara finansial dan ekonomi lain: (a)
tingkat discount rate sebesar tingkat suku bunga pinjaman pada waktu penelitian, (b)
economics life of the capital selama lima tahun dengan pertimbangan alat dan mesin/aset-
aset produksi sudah memerlukan penggantian, (c) straigth line depreciation method, dan
(d) tidak ada nilai sisa barang dan modal dalam proses produksi.
D. Pengolahan dan Analisis Data
Kelayakan Finansial dan Ekonomi
Perbedaan penilaian antara analisis finansial dan analisis ekonomi adalah pada
kelayakan finansial yang dianalisis adalah besarnya penerimaan dan pengeluaran riil
suatu unit usaha tani, sedangkan kelayakan ekonomi menggunakan pendekatan biaya
dan manfaat sosial atau ditinjau secara ekonomi agregat. Metode analisis finansial lebih
menekankan kepada analisis biaya-manfaat terhadap individu atau privat, sedangkan
analisis ekonomi lebih menekankan kepada analisis biaya-manfaat terhadap masyarakat.
Dalam analisis finansial menggunakan tingkat bunga sebenarnya yang harus
dibayarkan misalnya melalui kredit bank, sedangkan analisis ekonomi menggunakan
tingkat bunga umum yang berlaku. Dalam analisis finansial menggunakan harga pasar
(market prices) sedangkan dalam analisis ekonomi menggunakan shadow price yang
menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya dari unsur-unsur
biaya maupun manfaat. Dalam analisis ekonomi menggunakan asumsi, misalnya shadow
untuk tenaga kerja kasar = 0,5 (tidak memerlukan keahlian khusus) sedangkan tenaga ahli
= 1,0 untuk tenaga terlatih dan berpendidikan.
Dalam analisis ekonomi, faktor-faktor yang supply-nya sudah tetap seperti tanah,
tempat bangunan mungkin menghasilkan sewa yang mencerminkan kelangkaannya. Oleh
karena itu nilai kandang diperhitungkan sewanya sebagai nilai opportunity cost bagi
perekonomian yang berlaku. Semua perhitungan secara finansial dan ekonomis
menggunakan cara diskonto dalam bentuk cash flow dimana pengeluaran dan pemasukan
setiap tahun dinilai sekarang (present value) dengan tingkat bunga (discount rate) tertentu.
Perbedaan antara analisis finansial dan ekonomi secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi
No. Uraian Analisis Finansial Analisis Ekonomi
1. Objek Private/orang/badan (petani)
Publik/perekonomian keseluruhan
2. Harga yang digunakan Harga pasar Harga bayangan 3. Manfaat Private return, manfaat riil
yang diterima oleh petani The social/economic return (termasuk manfaat tidak langsung, manfaat intangible seperti perbaikan lingkungan dan lainnya.
4. Biaya Biaya riil yang dikeluarkan petani
Manfaat yang hilang, opportunity cost, termasuk biaya pencegahan kerusakan lingkungan
5. Pajak Diperhitungkan Tidak diperhitungkan 6. Subsidi Diperhitungkan Tidak diperhitungkan 7. Bunga atas Modal Dibayarkan karena
dianggap sebagai biaya Tidak dianggap sebagai biaya sebab merupakan transfer payment.
8. Tenaga kerja Harga pasar shadow price tenaga kerja skill=1 dan unskill labour=0.5.
9.
Alat dan bahan Harga pasar Harga yang tidak terdistorsi
Sumber: Kadariah (1988).
Metode yang digunakan dalam analisis finansial dan ekonomi dengan menggunakan
metode “with and without” yaitu membandingkan antara usaha tani pola CLS dan non
CLS. Satuan analisis kelayakan adalah skala usaha tani dalam satu hektar dengan
penggemukan dua ekor ternak sapi potong. Dalam hal ini yang diukur secara finansial
adalah penerimaan dari usaha tani pola CLS, sedangkan pengeluarannya berupa biaya
investasi (bangunan, instalasi dan alat dan mesin) serta biaya operasional. Indikator
kelayakan investasi diukur dari nilai kini dari manfaat bersih investasi (net present value
atau NPV), rasio manfaat dan biaya (benefit and cost rasio atau B/C Rasio) dan internal
rate of return (IRR). Rumus NPV, gross B/C rasio dan IRR adalah seperti pada
persamaan (12), (13) dan (14).
n B ti - C ti
NPV = ∑ …………….……………… .........… (12) t=1 ( 1 + i ) t
n B ti
∑ B/C R= t=1 ( 1 + i ) t ……………………...........…. (13)
Gross n C ti ∑
t=1 ( 1 + i ) t
NPV’ IRR = i’ (i” – i’) ……….…………… ...… (14)
NPV’ – NPV”
Nilai NPV pada persamaan (12) pada tingkat discount faktor pada periode tertentu
bila bernilai positif berarti investasi layak, bernilai negatif berarti tidak layak, bernilai 0
berarti titik impas. Gross B/C rasio pada persamaan (13) menilai seberapa besar manfaat
yang dapat dihasilkan dari satu satuan unit biaya yang dikeluarkan. Investasi disebut
layak bila B/C rasio lebih besar dari satu, tidak layak bila B/C rasio lebih kecil dari satu,
bernilai 1 berarti titik impas. Nilai IRR pada persamaan (14) menunjukkan tingkat suku
bunga yang diperoleh bila dibandingkan dengan nilai bunga investasinya. Untuk itu
investasi suatu kegiatan disebut layak bila memiliki nilai IRR lebih besar dari tingkat
discount ratenya. Nilai IRR ini biasa untuk menilai berbagai alternatif-alternatif pilihan
investasi yang paling menguntungkan secara finansial maupun ekonomi.
Peran Kelembagaan Petani
Analisis kelembagaan petani pada usaha tani pola CLS dilakukan secara kualitatif
dan dipaparkan secara diskriptif mengenai keragaan kelompok tani dan analisis fungsional
dengan melihat hubungan antar bagian di dalamnya dan antar lembaga lainnya
(Soekanto, 1999). Dalam penelitian juga dianalisis secara diskriptif peran kelembagaan
petani dalam usaha tani pola CLS yang ditunjukkan oleh jenis-jenis kegiatan yang
dilakukan secara kolektif dalam kelompok dan jenis-jenis kegiatan yang dilakukan secara
perorangan/rumah tangga serta pengembangannya.
3.2.3. Analisis Status Keberlanjutan Usaha Tani Pola CLS
A. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, pengisian
kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap usaha tani pola CLS di lokasi penelitian.
Dipilih expert/pakar yang mewakili pemerintah daerah (dinas pertanian dan ketahanan
pangan), perguruan tinggi, KTNA, petani, swasta. Data sekunder diperoleh dari berbagai
sumber, seperti hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, dan laporan serta
dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian.
B. Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer. Data
sekunder mencakup keadaan umum daerah, keragaan usaha tani padi, usaha tani ternak
sapi potong, pengelolaan limbah, keberadaan RPH, aspek kelembagaan, permodalan,
persepsi masyarakat, dan lainnya yang berkaitan dengan atribut pada setiap dimensi
ekologi, ekonomi dan sosial.
C. Penentuan Atribut dan Pengukuran Skor
Berdasarkan data yang ada, maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang
mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor ini
menunjukkan skala dari nilai yang “buruk” sampai pada nilai ”baik”. Nilai “buruk”
mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengembangan pertanian
berkelanjutan. Sebaliknya nilai “baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan.
Di antara dua ekstrem nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah
peringkat pada setiap atribut.
Jumlah peringkat pada setiap atribut akan ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur
yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah peringkat. Sebagai contoh untuk
menentukan tingkat pemanfataan limbah ternak sapi potong masih belum jelas kriteria
yang dapat digunakan sebagai acuan, oleh karena itu akan ditentukan berdasarkan
“scientific judgement” dari pembuat skor. Dalam penelitian ini dibuat empat peringkat yaitu
tidak dimanfaatkan, sedikit dimanfaatkan, sebagian besar dimanfaatkan, dan seluruhnya
dimanfaatkan. Pada dimensi ekonomi, misalnya atribut kelayakan finansial terdiri dari
empat peringkat yaitu: sangat layak, layak, impas, dan tidak layak. Pada Tabel 2 disajikan
atribut-atribut dan skor yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan pengembangan
pertanian usaha tani pola CLS pada setiap dimensi.
Tabel 2. Atribut dan Skor Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen.
Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan
I. Dimensi ekologi
1. Kesesuaian lahan untuk padi
0; 1; 2;3 3 0 (0) tanah tidak sesuai; (1) kurang sesuai S3; (2) sesuai S2; (3) sangat sesuai S1
2. Tingkat pemanfaatan lahan untuk padi
0; 1; 2;3 0 3 (3) melebihi kapasitas; (2) tinggi (1) sedang; (0) rendah
3. Tingkat penggunaan pupuk/ 0; 1; 2;3 0 3 (3) melebihi standar; (2) tinggi (1) sedang; (0)
pestisida rendah 4. Pemanfaatan limbah ternak
sapi untuk pupuk kandang 0; 1; 2; 3 3 0 (0) tidk dimanfaatkan; (1) sebagian kecil
dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan
5. Pemanfaatan limbah jerami untuk pakan ternak sapi
0; 1; 2; 3 3 0 (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan
6. Sistem Pemeliharaan ternak sapi
0; 1; 2; 3 0 3 (3) >50 % diumbar/liar; (2) 25 % -50% diumbar/liar (1) 10%-25 % diumbar/liar; (0) <10% yang diumbar/liar
7. Kepadatan ternak (ekor ternak/ 1000 orang)
0; 1; 2; 3 3
0 Mengacu pada APWPPP Deptan: (0) sangat padat (300-500); (1) padat (100-300); (2) sedang (50-100); (3) jarang (<50)
8. Ketersediaan Rumah Potong Hewan (RPH)
0; 1; 2; 3 3 0 Mengacu pada Ditjen Peternakan; (0) tidak ada, (1) type C; (2) type B; (3) type A
9. Pemotongan sapi betina produktif
0; 1; 2; 3 0 3 (3 > 50%; (2) 25 - <50%; (1) 10 - < 25%; (0) < 10%;
II. Dimensi Ekonomi 1. Kelayakan finansial dan
ekonomi 0; 1; 2; 3 3 0 Mengacu analisis kelayakan: (0) rugi/tidak layak;
(1) impas/kembali modal; (2) untung/layak; (3) sangat untung/layak
2. Kontribusi terhadap PDRB 0; 1; 2;3 3 0 (0) tidak ada, (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi 3. Rata-rata penghasilan
petani CLS relatif dibanding non CLS
0; 1; 2; 3 3 0 (0) di bawah ; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi
4. Rata-rata penghasilan petani CLS relatif terhadap UMR (upah minimum regional) Jawa Tengah.
0; 1; 2; 3 3
0 (0) di bawah; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi
5. Lembaga keuangan (bank/kredit)
0; 1; 2 ; 3
3 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi menjangkau sebagian kecil petani; (2) ada dan menjangkau sebagai besar petani; (3) menjangkau seluruh petani
6. Transfer keuntungan 0; 1; 2;3 3 0 (0) sebagian besar dinikmati penduduk luar daerah; (1) seimbang antara penduduk lokal dengan penduduk luar daerah; (2) sebagian besar penduduk lokal; (3) seluruhnya penduduk lokal;
7. Besarnya pasar 0; 1; 2;3 3 0 (0) pasar lokal; (1) pasar provinsi, (2) pasar nasional; (3) pasar internasional
8. Besarnya subsidi 0; 1; 2; 3 0 3 (3) mutlak 100% subsidi; (2) besar; (1) sedikit; (0) tidak ada subsidi
III. Dimensi Sosial-Budaya
1. Sosialisasi pekerjaan (individual atau kelompok)
0; 1; 2;3 3 0 (0) pekerjaan dilakukan secara individual; (1) kerjasama satu keluarga; (2) sebagian kerjasama kelompok; (3) seluruhnya kerjasama kelompok
2. Jumlah rumah tangga petani CLS
0; 1; 2;3 3 0 (0) <10%; (1) 10-25%; (2) 25-50%; (3) >50%dari total jumlah rumah tangga di Sragen
3. Pengetahuan terhadap lingkungan
0; 1; 2;3 3
0 (0) tidak ada (1) sedikit; (2) cukup; (3) banyak/luas
4. Frekwensi konflik 0; 1; 2;3 3 0 (0) banyak/sering; (1) ada sedikit; (2) jarang sekali; (3) tidak ada
5. Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS
0; 1; 2; 3 3 0 (0) negatif; (1) netral; (2) positif; (3) sangat positif
6. Frekwensi penyuluhan dan pelatihan
0; 1; 2; 3 3 0 (0) tidak pernah ada; (1) sekali dalam 5 tahun; (2) sekali dalam setahun; (3) dua kali atau lebih dalam setahun
7. Kelembagaan/Kelompok tani 0; 1; 2; 3 3 0 (0) <25% punya; (1) 25-50% punya; (2) 50-75% punya; (3) >75% punya
8. Kelembagaan/badan usaha/jasa di bidang input dan output
0; 1; 2; 3 3 0 Badan usaha/jasa (perusahaan, kios, KUD): (0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) ada, tapi hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses
9. Lembaga layanan pemerintah (layanan
0; 1; 2; 3 3 0 Kelembagaan pemerintah: memberi akses penyuluhan, pengolahan dan pemasaran produk:
penyuluhan, teknologi, informasi saprodi, informasi pengolahan dan pemasaran hasil)
(0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses.
Jika diperhatikan pada Tabel 2, pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan
terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan berdasarkan urutan
nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Untuk selanjutnya nilai skor dari masing-
masing atribut dianalisis secara multidisiplin untuk menentukan satu atau beberapa titik
yang mencerminkan posisi keberlanjutan usaha tani pola CLS yang dikaji relatif terhadap
dua titik acuan yaitu titik “baik” (“good’) dan titik “buruk”(“bad”). Untuk memudahkan
visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi.
D. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahapan penentuan atribut usaha
tani pola CLS secara berkelanjutan yang mencakup tiga dimensi (dimensi ekologi,
ekonomi, sosial-budaya), tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan
kriteria keberlanjutan pada setiap dimensi, analisis ordinasi “Rap-CLS” yang berbasis
metode “Multidimensional Scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan
yang dikaji.
Proses ordinasi Rap-CLS ini menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish
(Kavanagh, 2001). Perangkat lunak Rapfish ini merupakan pengembangan MDS yang ada
di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebaikan posisi (flipping), dan
beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS
ini maka posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi
(sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis
mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor 0% dan titik
ekstrem “baik” diberi skor nila 100%. Posisi keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada
diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan usaha
tani pola CLS yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Sragen. Ilustrasi hasil ordinasi
yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dari sistem yang dikaji disajikan pada
Gambar 4.
0 % 71 % 100 %
Gambar 4. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen sebesar 71 %.
Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan
memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan
mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut, misalnya dimensi
ekologi. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis perbandingan
keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dlam bentuk diagram
disajikan pada Gambar 5.
Ekonomi 100%
0%
Sosial Budaya Ekologi
100% 100%
Gambar 5. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen.
Skala indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS mempunyai selang 0%-100%, jika
sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 50% (>50%) maka sistem tersebut
sustainable, dan sebaliknya jika kurang atau sama dengan 50% (•50%) ma ka sistem
tersebut belum sustainable. Namun demikian dalam penelitian ini penulis mencoba
membuat empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar tersebut yaitu:
Skala Indek 75% - 100% Kategori: baik Skala Indek 50% - 75% Kategori: cukup Skala Indek 25% - 50% Kategori: kurang
Skala Indek 0% - 25% Kategori: buruk
Untuk selanjutnya indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS ini akan disebut
sebagai IkB-CLS, yang merupakan singkatan dari Indeks Keberlanjutan Usaha tani Pola
CLS.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan
kontribusi terhadap IkB-CLS di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam
bentuk perubahan “root mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu-x atau
skala sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut
tertentu maka semakin besar pula peranan atribut dalam pembentukan nilai IkB-CLS pada
skala sustainabilitas atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam
keberlanjutan usaha tani pola CLS di lokasi penelitian. Untuk mengevaluasi pengaruh
galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinsi usaha tani pola CLS digunakan
analisis “Monte Carlo”. Menurut Kavanagh (2001) dan Fauzi dan Anna (2002) analisis
“Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini.
1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman
kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap
atribut atau cara pembuatan skor atribut;
2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti
yang berbeda;
3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi);
4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing date);
5. Tingginya nilai “stress’ hasil analisis Rap-CLS menggunakan metode MDS maksimal
25%. Tahapan dengan aplikasi Rapfish disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Tahapan Analisis Rap-CLS Menggunakan MDS dengan Aplikasi Modifikasi
Rapfish.
3.2.4. Analisis Prospektif
A. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, pengisian
kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap usaha tani pola CLS di lokasi penelitian.
Dipilih expert/pakar yang mewakili pemerintah daerah (dinas pertanian dan ketahanan
pangan), perguruan tinggi, KTNA, petani, swasta. Teknik pengambilan contoh dalam
rangka menggali informasi dan pengetahuannya (akuisisi pendapat pakar)
ditentukan/dipilih secara sengaja (purposive sampling). Dasar pertimbangan dalam
penentuan atau pemilihan pakar untuk dijadikan sebagai responden menggunakan
kriteria keberadaan dan kesediaan menjadi responden, memiliki reputasi dan kedudukan,
kredibel dan memiliki pengalaman di bidangnya. Jenis data primer berupa data sosial-
ekonomi, tujuan sistem, identifikasi faktor strategis, tingkat kepentingan faktro strategis,
perumusan skenario sistem dan prioritas jenis kegiatan.
Mulai
Kondisi Usaha tani pola CLS saat ini
Penetuan Atribut sebagai Kriteria Penilaian
Penilaian (skor) setiap dimensi Variabel
MDS (ordinasi setiap dimensi) variabel)
Analisis Keberlanjutan
Analisis Monte Carlo Analsis Sensitivitas
Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, seperti hasil penelitian terdahulu,
hasil studi pustaka, dan laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan
dengan bidang penelitian.
B. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di
masa yang akan datang. Dari analisis ini akan didapatkan informasi mengenai faktor
kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan pertanian
berkelanjutan pola CLS sesuai dengan kebutuhan dari para pelaku (stakeholders) yang
terlibat dalam sistem ini. Selanjutnya faktor kunci tersebut akan digunakan untuk
mendeskripsikan kemungkinan perubahan di masa depan. Menurut Hartrisari (2002),
tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah sebagai berikut.
1. Menentukan faktor kunci untuk masa depan dari sistem yang dikaji.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi seluruh faktor penting, menganalisis pengaruh
dan ketergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan
menggunakan matriks, dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari
masing-masing faktor ke dalam 4 (empat) kuadran utama, sebagaimana disajikan
pada Gambar 10 (Trayer-POLAGAWAT 2000). Dalam hal ini faktor kunci diperoleh
dari atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dari hasil analisis RMS pada
Rap-CLS.
2. Menentukan tujuan strategis.
3. Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana faktor kunci dapat berubah dengan
menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang
dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan
perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya
terhadap sistem.
Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, yang dilakukan pada
tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks, sebagaimana disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3. Pengaruh Langsung antar Faktor dalam Pertanian Berkelanjutan Pola CLS. Dari • Tehadap •
A B C D E F G H I J
A B C D E F G H I J
Sumber: Godet 1999. Keterangan : A – J = faktor penting dalam sistem
Pedoman pengisian :
1. Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika
tidak ada pengaruh beri nilai 0.
2. Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri
nilai 3.
3. Jika ada pengaruh, baru dilihat apakah pengaruhnya kecil = 1, atau berpengaruh
sedang = 2.
Pedoman penilaian : Skor : Keterangan: 0 Tidak ada pengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat.
Untuk menentukan faktor kunci digunakan software analisis prospektif yang akan
memperlihatkan tingkat pengaruh dan kertergantungan antar faktor di dalam sistem
dengan tampilan hasil pada Gambar 7.
Gambar 7. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan antar Faktor dalam Sistem (Sumber : Byl et al. 2002).
C. Tahapan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan kebijakan dan strategi
pengembagan pertanian berkelanjutan pola CLS. Pada Gambar 8, disajikan tahapan
penelitian dari mulai sampai selesai.
Ketergantungan
Pengaruh
Faktor Penentu INPUT
Faktor Penghubung STAKE
Faktor Bebas UNUSED
Faktor Terikat OUPUT
Gambar 8. Diagram Alir Tahapan Penelitian
MULAI
• Studi Pustaka • Survey lapang • Transformasi model
cobb-douglas • TEV, NPV, B/C R • Analisis diskriptif.
• Pendugaan Model Fungsi Produksi/Produktivitas Padi
• Analisis Finansial & Ekonomi • Peran Kelembagaan Petani
Tahap Kedua
Rap-CLS (status keberlanjutan usaha tani pola CLS)
Multidimensional Scaling (MSD)
Faktor Strategis Pengembangan Pertanian Berkelanjutan Pola CLS
Tahap Ketiga Kebijakan dan Strategi Pengembangan
Pertanian Berkelanjutan Pola CLS
Selesai
Analisis Prospektif
Tahap Pertama
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keragaan Lokasi Penelitian
4.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Sragen
Luas Kabupaten Sragen sebesar 941,55 km2 secara astronomis terletak pada 110
45’ dan 111 10’ BT serta 7 15’ dan 7 30, LS. Secara administrasi pemerintahan
Kabupaten Sragen dengan nama ibukotanya Sragen mempunyai batas-batas sebelah
utara berbatasan Kabupaten Grobogan, sebelah timur berbatasan Kabupaten Ngawi,
Jawa Timur, sebelah selatan berbatasan Kabupaten Karanganyar dan sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Boyolali.
Kabupaten Sragen memiliki topografi bervariasi dari dataran rendah sampai dataran
tinggi, dimana sebesr 53,63% wilayah termasuk klas lereng 1 (0-2%) dan 43,30%
wilayahnya termasuk klas lereng 2 (2-15%). Wilayah Sragen mempunyai ketinggian rata-
rata 109 m di atas permukaan laut dengan standar deviasi 50 m. Tekstur tanah pada
lokasi penelitian sebagian besar bertekstur halus sampai sedang, kedalaman efektif tanah
berkisar 30-90 cm dan jenis tanah yang dominan adalah tanah Grumusol, Aluvial dan
Latosol. Iklim termasuk beriklim tropik dan temperatur sedang. Curah hujan rata-rata di
bawah 2.438 mm pertahun dan hari hujan dengan rata-rata di bawah 106 hari pertahun.
Bulan basah berkisar antara 4-8 bulan, bulan lembab berkisar antara 2-5 bulan dan bulan
kering berkisar antara 2-4 bulan.
Kabupaten Sragen dibelah menjadi dua bagian oleh Sungai Bengawan Solo, dimana
Sragen bagian selatan merupakan sentra pertanian tanaman pangan karena kondisi tanah
subur dan berpengairan yang lebih baik, sedangkan di bagian utara tanahnya kering dan
berkapur sehingga sebagian besar penduduk bekerja berkebun, berdagang dan industri
pengolahan. Kegiatan pertanian selain mengandalkan irigasi dari sungai bengawan solo,
juga memperoleh air dari Waduk Botok, Kembangan, Brambang, Gebyar, Blimbing,
Gembong, Kreto dan Terban.
Kabupaten Sragen terdiri atas 20 kecamatan, 204 desa dan 3 kelurahan. Jumlah
penduduk Kabupaten Sragen pada tahun 2003 sebanyak 853.711 jiwa dengan tingkat
kepadatan penduduk 907 jiwa/km2. Secara rinci terlihat pada Lampiran 6.
Sebagian besar penduduk di Kabuapaten Sragen bekerja di sektor pertanian
(58,40%), jasa (17,22%), perdagangan (13,04%), dan industri (5,21%) , selebihnya
bekerja di sektor lainnya.
Dilihat dari struktur PDRB, maka di Kabupaten Sragen kontribusi sektor pertanian
mencapai 41,09%, industri pengolahan 16,17%, perdagangan, hotel dan restoran 14,60%,
jasa-jasa 12,40%, pengangkutan dan komunikasi 4,43%, keuangan 4,18%, bangunan
4,16%, pertambangan dan galian 1,70% serta listrik, serta gas dan air bersih 1,27%.
Kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan asli daerah (PAD) pada tahun 2002
sebesar Rp. 1 milyar.
Sarana jalan darat dan kereta api melintasi Kabupaten Sragen menjadikan akses ke
kota-kota lain menjadi mudah. Akses ke Bandar Udara Adi Sumarmo Solo dapat
ditempuh dalam waktu satu jam dan ke pelabuhan Tanjung Mas Semarang dapat
ditempuh sekitar tiga jam.
Kabupaten Sragen berdekatan langsung dengan kota Solo. Sarana perekonomian
yang ada antara lain terdapat pasar desa 42 buah, 46 pasar pemda. Pasar hewan 9 buah.
Jumlah koperasi pada tahun 2003 sebanyak 770 terdiri atas non KUD 741 buah dan KUD
29 buah dengan anggota 120.750 orang, serta jumlah kios saprodi 149 unit.
4.1.2. Keragaan Usaha tani Padi
Hasil pengamatan dan pengecekan lapangan, lahan yang digunakan budi daya padi
sawah umumnya jenis tanah aluvial (vertisol) yaitu tanah lempung liat berwarna hitam dan
retak-retak jika kering. Hasil analisis contoh tanah di Laboratprium Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian IPB menunjukkan sifat tanah dapat dilihat pada Lampiran 7. Tanah
aluvial umumnya terbentuk dari sedimen sungai yang berupa sedimen liat, tidak
menemukan adanya perkembangan penampang, tekstur liat sampai liat berdebu, struktur
pejal, konsistensi teguh (lembab) lekat dan plastis (basah), reaksi tanah (pH) 5,75 – 7,85
dan kandungan bahan organik 0,76 – 6,91 %. Apabila dibandingkan dengan persyaratan
tumbuh tanaman padi pada Lampiran 9, maka tanah yang ada di daerah penelitian
memiliki kelas kesesuaian lahan antara Sesuai Marjinal (S3) sampai Sangat Sesuai (S1)
seperti yang ada pada Lampiran 8. Berdasarkan data tersebut, tanah yang tergolong
pada kelas S1 ada pada Kecamatan Sambungmacan, Masaran, dan Gondong; yang
tergolong Cukup Sesuai (S2) ada pada Kecamatan Sambunganmacan, Masaran,
Karangmalang dan Gondong; sedangkan yang tergolong pada Sesuai Marginal (S3) ada
pada Kecamatan Karangmalang.
Kelas kesesuaian tanah pada golongan Cukup Sesuai (S2) pada daerah penelitian
adalah tanah yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat (karena kandungan C-
organiknya antara 0,8 – 1,5 %) untuk penggunaan lahan sawah yang lestari. Pembatas C-
organik yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tanah yang ada di
daerah penelitian dapat ditingkatkan menjadi kelas kesesuaian golongan S1 apabila
dilakukan penambahan C-organik yang cukup, akan memiliki produktivitas yang tinggi
sesuai dengan potensi lahannya.
Hasil pengamatan dan pengecekan di lapangan, air yang digunakan untuk budi
daya padi swah pada umumnya dari air hujan dan air irigasi. Sampel Air dianalisis di
Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB menunjukkan sifat air, kandungan pH
antara 6,0 – 9,0; kandungan N antara 7,76 – 10,40 mg/l; P antara 0,2 – 0,7 mg/l; K antara
1,0 – 7,0 mg/l; Ca antara 10,2 – 30,1 mg/l; Mg antara 1,6 – 7,4 mg/l; Fe antara 0,1 – 3.7
mg/l; dan Mn tak terukur sampai 0,05 mg/l. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
82/2001 tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka
sampel air yang berada di lokasi penelitian termasuk dalam batas toleransi untuk
golongan IV yaitu golongan air untuk irigasi pertanian. Sedangkan sampel air limbah
ternak tidak dapat langsung digunakan untuk air irigasi pertanian dan untuk dapat
digunakan sebagai air irigasi harus melalui proses pelarutan ke dalam air sungai terlebih
dahulu. Hasil sampel air sebagaimana Lampiran 10.
Kabupaten Sragen merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Tengah, Luas
lahan pertanian 94.649 hektar berupa (1) lahan sawah 40.193 hektar terdiri irigasi teknis
18.957 hektar, setengah teknis 3.475 hektar, sederhana 1.527 hektar, pengairan desa/non
PU 1.282 hektar, tadah hujan 14.341 hektar, lebak dan lainnya 611 hektar dan (2) lahan
kering seluas 54.456 hektar terdiri atas bangunan/pekarangan 23.054 hektar, tegal/kebun
19.545 hektar, ladang/huma/padang rumput 72 hektar dan sisanya berupa hutan Negara,
hutan rakyat dan lainnya (Jawa Tengah dalam Angka 1999). Lahan sawah dapat ditanami
2-3 kali setahun dengan produksi hingga 450.000 ton gabah pertahun. Produksi padi
pada tahun 2002 sebanyak 451.337 ton, dengan kebutuhan beras penduduk Sragen
113.180 ton berarti kabupaten Sragen termasuk surplus besar dan mampu mensuplai di
daerah lain terutama kota Solo. Perkembangan luas panen dan produksi padi di
Kabupaten Sragen disajikan pada Lampiran 11.
Pada tahun 2002, seluas 1.000 hektar lebih ditanami padi organik dengan produksi
gabah GKG 6.441 ton. Jumlah ini meningkat lima kali lipat dibanding pada tahun
sebelumnya. Penanaman padi organik dilakukan oleh sekitar 72 kelompoktani di sembilan
kecamatan di Sragen sebelah selatan.
Tanaman padi sebagai salah satu produser energi dalam rantai makanan
membutuhkan input antara lain energi matahari dan unsur hara berupa bahan-bahan
organik, unsur N, P, K dan unsur mineral dan vitamin lainnya. Penggunaan pupuk alami
(organik) merupakan salah satu usaha yang digunakan untuk mengembalikan kesuburan
tanah serta meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Petani di Sragen sudah sejak
lama menggunakan pupuk kompos yang dibuat dari kotoran ternak dan tumbuh-
tumbuhan, namun tidak dapat langsung digunakan untuk pertanian organik, karena harus
mencampur pupuk urea dengan komposisi yang seimbang. Misal bila menggunakan
pupuk kimia dibutuhkan 300 kg/ha, maka dengan aplikasi pupuk organik hanya dibutuhkan
pupuk kimia sekitar 100-150 kg/ha. Pemda Kabupaten Sragen menghimbau agar tidak
menggunakan pestisida, karena dapat mengganggu kesehatan petani dan merusak hasil
pertanian.
Produksi jagung pada tahun 2001 sebanyak 16.574 ton dengan luas panen 4.398
hektar, ubi kayu produksi 102.281 ton dengan luas panen 6.884 hektar, kacang tanah
produksi 16.760 ton luas panen 13.800 hektar, kedelai produksi 2.213 ton luas panen
1.492 hektar dan kacang hijau produksi 3.118 ton luas panen 3.124 hektar. Jenis buah-
buahan yang dominan mangga, pisang, jambu dan pepaya.
Jumlah penyuluh yang dikerahkan untuk pembangunan pertanian sebanyak 140
penyuluh yang membina 1.400 kelompok tani di 20 Kecamatan. Sarana alat dan mesin
pertanian yang dimiliki petani pada tahun 2003 berupa hand-traktor 1.224 unit, pompa air
8.947 unit, hand-spayer 12.420 unit, tresher perontoh sebanyak 11.684 unit, power tresher
14 unit, polisher 684 unit, RMU 684 unit dan huller 684 unit.
Usaha tani padi merupakan salah satu komoditas prioritas petani sebagai sumber
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam hal pola tanam, usaha yang
dilakukan oleh para petani masih bersifat sangat luwes dan dinamis. Untuk meningkatkan
pendapatan, petani memilih jenis tanaman disesuaikan dengan kondisi lingkungan,
ketersediaan air irigasi dan kepastian hasilnya. Pola tanam yang dilakukan oleh petani di
lokasi penelitian Gambar 9.
Gambar 9. Pola Tanam yang Dilakukan Petani di Lokasi Penelitian.
Musim Hujan M a r e n g a n K e m a r a u
N D J F M A M J J A S O
Padi Padi Padi
ternak sapi
Pola tanam model II
Musim Hujan M a r e n g a n K e m a r a u
N D J F M A M J J A S O
Padi Padi Palawija
ternak sapi
Kebiasaan petani pada musim hujam pertama sekitar bulan November sudah
melakukan tanam benih padi selanjutnya pada bulan Februari menanam benih padi lagi
setelah panen padi pada musim hujan (MH). Pada daerah-daerah yang air irigasinya
tersedia sepanjang musim, maka musim kering (MK) dilakukan penanaman padi lagi (Pola
Tanam Model I), sedangkan pada daerah yang air irigasinya terbatas dilakukan
penanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan lainnya maupun tumpang
sari tanaman palawija (Pola Tanam Model II).
Teknologi budi daya padi telah dikuasai petani dengan menerapkan penggunaan
benih unggul varietas IR64 dan sebagian kecil menggunakan varietas Ciherang dan
Mentik. Kegiatan pengolahan tanah menggunakan traktor dan sebagian menggunakan
ternak sapi. Demikian juga teknik pemupukan, telah menggunakan pupuk lengkap urea,
TSP dan KCL, sedangkan untuk pola CLS disamping menggunakan pupuk kimia juga
menggunakan pupuk kandang.
Mata rantai pemasaran gabah pada Gambar 10 tidak menguntungkan bagi petani,
sehingga Pemda Kabupaten Sragen melakukan intervensi bekerja sama dengan Sub
Dolog Surakarta, PT. Kurnia Wijayakusuma Abadi, PD Pelopor Alam Lestari (PD. PAL)
untuk memotong mata rantai gabah organik yang panjang sehingga petani/kelompok tani
dapat langsung memasarkan hasilnya langsung ke Dolog/Sub Dolog maupun ke pasar
seperti Gambar 11. Pemda Sragen juga melakukan kerjasama kemitraan dengan PT.
Pusri untuk pengembangan padi organik, melakukan pemasaran beras bagi konsumen
PNS, dan menjalin jaringan pasar di kota-kota besar.
P
Gambar 10. Mata Tantai Perdagangan Gabah di Kabupaten Sragen.
Gambar 11. Mata Rantai Perdagangan Gabah dengan Fasilitasi Pemerintah.
4.1.3. Keragaan Usaha Ternak Sapi Potong
Populasi sapi potong tahun 2003 sebanyak 75.113 ekor. Sentra penggemukan sapi
potong terletak di Kecamatan gemolong, Plupuh, Masaran, Tanon, Karangmalang,
Gondang, dan Kalijambe. Jenis penyakit ternak yang ditemukan di RPH tahun 2003
fasciolosis 172 ekor sapi, sedangkan penyakit pada tahun 2001 berupa fasciolosis 297
ekor, kelumpuhan 6 ekor sapi, patah tulang 10 ekor dan penyakit lain 3 ekor.
Pemberantasan dan pencegahan penyakit ternak menular yang dilakukan adalah ND dan
SE tahun 1997-2000, dan tahun 2001 penyakit cacing. Tingkat pemotongan ternak sapi di
RPH tahun 2003 ada 2.332 sapi jantan dan 319 sapi betina, lebih tinggi dibanding dengan
tahun 2000 2.613 sapi jantan dan 26 sapi betina. Perkembangan populasi ternak menurut
Kecamatan di Kabupaten Sragen disajikan pada Lampiran 12.
Usaha peternakan sapi yang biasa dilakukan petani berupa penggemukan sapi dan
pembibitan. Usaha penggemukan sapi lebih diminati petani karena lebih menguntungkan
dan siklus produksi lebih pendek sekitar enam bulan, sedangkan pembibitan memerlukan
waktu sekitar 16 bulan. Keberadaan ternak telah menyatu dengan sistem usaha tani,
namun usaha ternak biasanya masih dianggap sebagai usaha sampingan. Teknik
Petani Penebas Pengepul
Pedangang Pasar
Broker Dolog
Petani Pemda Sragen memfasilitasi + kerjasama dengan Swasta
Pasar
Dolog
pemeliharaan ternak bervariasi dari yang tradisional sampai pengelolaan dengan
manajemen yang lebih baik.
Dalam usaha tani pola CLS, limbah jerami dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Pada saat musim penghujan kesediaan pakan selain jerami berlimpah sehingga sistem
budi daya ternak sapi potong tidak mengalami hambatan. Pada musim kemarau ternak
hanya diberikan pakan jerami padi. Petani telah terbiasa menyimpan jerami dalam bentuk
kering dan difermentasi dengan probiotik biasanya berupa starbio untuk dijadikan sebagai
pakan ternaknya.
Pengolahan limbah jerami secara biologi dilakukan dengan perlakuan fermentasi
dengan probiotik yang dikombinasi amoniasi mampu delignifikasi dan menaikkan
kandungan protein jerami padi. Fermentasi aerobik terhadap jerami padi dengan
menggunakan probiotik dan urea masing-masing (6 kg probiotik + 6 kg urea untuk 1000 kg
jerami padi) dengan kadar air sekitar 50-60 % untuk perbaikan kualitas pakan. Proses
pembuatan jerami fermentasi secar umum dilakukan sebagai berikut :
1. Membuat tumpukan jerami segar (kadar air 65 %) dengan ketebalan setinggi 20 cm
(lapisan pertama).
2. Taburkan Urea dan Probiotik secara merata di lapisan atas tumpukan tersebut. Dosis
Urea dan Probiotik masing-masing 2,5 kg/ton jerami segar.
3. Buat tumpukan jerami lapisan ke 2 diatas lapisan pertama, taburkan kembali urea +
probiotik, demikian seterusnya hingga ketinggian jerami sekitar 1-2 m.
4. Biarkan selama 21 hari agar proses fermentasi berlangsung sempurna.
5. Tumpukan jerami padi yang telah terfermentasi dijemur dan dianginkan selama 3 hari,
selanjutnya dapat disimpang di tempat yang tersedia.
6. Jerami padi dapat diberikan pada ternak sebagai pakan pengganti rumput segar.
Jenis pakan ternak yang biasa diberikan yaitu terdiri dari hijuan dan konsentrat.
Hijauan pakan dibedakan menjadi dua yaitu hijauan kering dan hijauan segar. Untuk
hijauan kering yang dominan sebagian besar dari limbah jerami padai dan kadangkala
jerami kacang tanah maupun kedelai, sedangkan hijauan segar dalam jumlah sedikit
berupa rumput kolonjono, daun jagung, daun ubi kayu, rambanan, tebon dan lainnya.
Pakan yang diberikan disesuaikan dengan ketersediaan pakan hijauan yang ada di
sekitarnya.
Pakan komboran yang biasa diberikan pada ternak dibeli dalam bentuk konsentrat.
Pemberian konsentrat per hari sekitar 1,0% dari berat badan ternak dengan harga
konsentrat sekitar Rp. 7.00/kg. Pemberian pakan jerami yang sudah difermentasi dengan
starbio per hari sebanyak 10% dari berat badan ternak. Sampai saat ini belum ada
petani/kelompok tani yang membuat pakan konsentrat dari bahan lokal. Padahal
pemberian konsentrat yang disusun dari bahan pakan lokal mampu meningkatkan bobot
badan per hari ternak sapi potong sebanyak 1,5 % berat badan.
Masih terbuka peluang untuk memanfaatkan potensi limbah jerami pada saat ini
belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak, karena masih ada sebagian
limbah yang ditumpuk di pinggir sawah ataupun dibakar. Salah satu yang dapat
ditumbuhkan untuk mengoptimalisasi pemanfaatan limbah jerami dan limbah pertanian
lainnya sebagai pakan ternak dapat dilakukan dengan pembuatan pakan lengkap
(Complete feed).
Pengelolaan kesehatan ternak ditujukan untuk mengendalikan parasit-parasit dan
kesehatan secara umum. Jenis penyakit yang biasa terjadi yaitu rabies dan kembung,
namun sudah bisa diatasi sendiri oleh petani atau memanggil petugas kesehatan hewan.
Pada awal pemeliharaan, biasanya ternak sapi diberi obat cacing dan vitamin B komplek
serta menjaga kebersihan lingkungan untuk mendapatkan kondisi optimum bagi
kesehatan ternak. Pencegahan kemungkinan timbulnya infeksi penyakit baik yang bersifat
ektoparasit maupun endoparasit. Namun demikian masih dijumpai kondisi tumpukan sisa
pakan bercampur dengan kotoran terletak dipinggir-pinggir kandang dan tidak dikelola
secara baik, sehingga lingkungan kandang menjadi kotor dan akan menimbulkan berbagai
macam penyakit ternak. Kondisi ini menunjukkan perlunya prioritas pengelolaan limbah
kandang, pengelolaan pakan dan penanganan kesehatan ternak. Permasalahan umum
dalam budi daya ternak yaitu petani kesulitan modal untuk penggemukan ternak, harga
ternak tidak stabil, dan terbatasnya pedet yang berkualitas.
Pasar merupakan salah satu aspek penting dalam proses produksi. Ketersediaan
pasar dapat memacu berkembangnya program CLS dalam menerapkan teknologi.
Keterpaduan sistem usaha tani pola CLS ini akan mempunyai dampak terhadap
perubahan ekonomi petani bila pengelolaan usaha tani berorientasi pasar. Bila selama ini
usaha ternak dianggap sebagai usaha sampingan, maka dalam pola CLS ternak sapi
mempunyai peluang pasar sama dengan komoditas tanaman pangan.
Pasar ternak yang relatif besar dan berdekatan dengan lokasi penelitian yaitu pasar
hewan Nglangon di Kecamatan Sragen dan pasar hewan Sumber Lawang, sedangkan
pasar hewan yang sedang berada di Kecamatan Gondang dan Sukodono. Biasanya
peternak tidak menjual sapi langsung ke pasar melainkan ke pedagang penghubung
(blantik). Peran blantik pertama membawa ternak yang mau dijual ke pasar selanjutnya
diterima oleh blantik kedua di pasar, baru masuk ke pedagang besar atau ke jagal. Sistem
pemasaran ternak sapi potong ditunjukkan pada Gambar 12.
Secara mikro tingkat regional pelaku pasar sapi potong terdiri atas: peternak,
blantik, jagal, rumah makan, pedagang daging dan konsumen. Pemasaran ternak sapi
potong membentuk jaringan tataniaga yang sangat komplek. Jaringan tataniaga ini
terbentuk mulai tingkat desa (peternak) sampai konsumen. Yang berperan langsung
adalah keberadaan blantik. Blantik merupakan pedagang perantara yang wilayah kerjanya
meliputi tingkat dusun, desa sampai lintas kabupaten. Penguasaan pasar hewan didominsi
oleh keberadaan blantik yang lebih mempunyai posisi tawar, walaupun dengan modal
yang terbatas.
Gambar 12. Sistem pemasaran ternak sapi potong di Kabupaten Sragen.
Petani dalam melakukan penjualan ternak biasa dilakukan di rumah masing-masing.
Blantik dusun/desa diundang untuk melakukan penawaran. Cara pembayaran bisa kontan
atau dengan uang muka dan sisanya dibayarkan setelah sapi terjual di pasar hewan.
Tingkat harga ternak sapi potong didasarkan atas tipenya yaitu: pedet, bakalan
digemukkan dan sapi siap potong. Pedet dan bakalan jantan segmen pasarnya adalah
peternak di perdesaan dan pengusaha penggemukan. Sapi siap potong mempunyai
segmen tersendiri yaitu pedagang besar atau jagal. Besarnya harga tergantung dengan
jenis ternak (ternak hasil persilangan lebih tinggi dibanding dengan ternak lokal), jenis
Rumah tangga
Blantik
Pedagang Pengumpul Lintas Kabupaten
Jagal
RPH. Regional Cirebon
Pedangan daging
PASAR HEWAN
Rumah tangga
Konsumen
kelamin, umur dan kondisi ternak. Mekanisme penentuan harga dilakukan dengan sistem
taksiran.
Pemasaran ternak sapi berlangsung secar dinamis, harga selalu berfluktuatif.
Kondisi ini berkaitan langsung dengan permintaan dan penawaran. Harga tinggi biasa
terjadi pada saat menjelang hari raya Idul Adha, namun sebaliknya harga turun ketika
kebutuhan sangat mendesak dan harus menjual ternak misal kebutuhan biaya sekolah,
paceklik, pakan, hajatan dan lain-lain.
4.1.5. Karakteristik Responden
Karakteristik petani responden menurut pola usaha tani CLS dan non CLS yang
meliputi umur petani, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, mata pencaharian
utama, lama berusaha tani dan struktur penguasaan lahan.
Umur dan Pendidikan Responden
Karakteristik umur responden yang tercakup dalam penelitian ini rata-rata berumur
45 tahun. Berarti dapat dikatakan bahwa petani yang tercakup dalam penelitian ini
mayoritas masih didominasi oleh petani usia produktif. Hal ini bisa dibenarkan, bahwa
kriteria umur produktif adalah berkisar antara 15-60 tahun. Pada pola usaha tani CLS
responden yang berusia produktif sebesar 94,55 %, sedangkan yang berusia lanjut
sebesar 5,45 responden. Petani dengan katagori usia produkstif tersebut akan lebih
mendorong dalam keberhasilan usaha taninya. Sedangkan bila dilihat lebih rinci, sebagian
besar responden berumur pada kisaran antara 40-44 tahun sebesar 29 orang atau 26,36
% dan 50-54 tahun sekitar 21,82 % (Gambar 13).
Gambar 13. Prosentase Tingat Umur Responden
Selain kategori petani produktif atau non produktif sangat menentukan keberhasilan
usaha taninya, faktor pendidikan juga mempengaruhi petni dalam mengelola usaha
taninya. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka wawasannya semakin meningkat,
dengan demikian akan semakin mudah menerima inovasi teknologi. Responden pada
penelitian ini masih didominasi oleh petani dengan pendidikan SD, yakni sebanyak 51
orang atau 46,36 %. Dominasi ke dua oleh petani dengan tingkat pendidikan SMA hanya
31 orang atau 28,18 %, sedangkan petani dengan tingkat pendidikan SMP hanya 17
orang atau 15,45 %. Petani dengan tingkat pendidikan sarjana hanya sebanyak 2 orang
atau 1,82 %. Walaupun secara keseluruhan, petani yang masuk sebagai responden pada
penelitian ini pernah mengenyam pendidikan, namun ada sekitar 9 petani atau 8,18 %
tidak mengenyam pendidikan. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya kualitas sumber
daya manusia petani yang mengakibatkan rendahnya adopsi teknologi sebagai ukuran
respon petani terhadap perubahan teknologi tersebut. Rincian jumlah petani responden
berdasarkan kelompok tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Prosentase Tingkat Pendidikan Responden
0 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50
25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-60 +60 Kelompok Umur
(%)
0 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50
Tidak sekolah SD SLTP SLTA Sarjana Pendidikan
(%)
Tanggungan Keluarga Responden
Beban yang ditanggung oleh kepla keluarga seringkali dicerminkan oleh
banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Walaupun usaha tani dari
keluarga petani dikatagorikan menguntungkan, namun bila jumlah keluarga yang
ditanggungnya cukup besar maka tingkat kesejahteraannyapun dapat terganggu.
Responden dalam termasuk katagori keluarga sedang, dimana pada pola CLS rata-rata
jumlah anggota keluarga responden sebanyak 5 orang dan non CLS sebanyak 4 orang.
Prosentase terbanyak keluarga seluruh responden memiliki jumlah keluarga sebanyak
empat orang yakni sebesar 38,18 %, kemudian diikuti jumlah keluarga lima orang sebesar
24,55 % dan tiga keluarga sebesar 20,91 %.
Gambar 15. Prosentase Jumlah Tanggungan Keluarga Responden
Anggota keluarga sangat penting artinya sebagai faktor produksi (tenaga kerja)
dalam berusaha tani, sehingga tidak perlu mengeluarkan uang tunai untuk membayar
upah tenaga kerja. Rata-rata kontribusi tenaga kerja keluarga dalam kegiatan usaha tani,
baik yang berpola CLS maupun non CLS mencapai 96,50 %. Ini salah satu indikasi masih
tingginya oeran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, yang tidak terserap
pada sektor non pertanian.
Jenis Pekerjaan dan Lama Berusaha Tani
Walaupun umumnya responden di wilayah kajian bekerja sebagai petani (rata-rata
sekitar 89,02 %), akan tetapi ada juga yang memiliki kegiatan kerja lainnya seperti swasta,
PNS dan buruh masing-masing sekitar 2,81 %, 5,85 % dan 2,33 %. Hal ini menunjukkan
0 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah anggota (orang)
(%)
makin pentingnya sektor pertanian sabagai lapangan kerja di luar sektor industri dan jasa.
Jika dikaji menurut komposisinya, maka kegiatan responden pada usaha tani pola CLS
disamping bertani adalah swasta dan buruh berturut-turut 3,44 % dan 0,32 %, serta
responden pola non CLS adalah swasta 2,17 % dan buruh 4,34 %.
Pengalaman berusaha tani juga nerupakan satu faktor penentu produktivita. Rata-
rata responden di wilayah kajian telah berusaha tanu cukup lama yaitu sekitar 17,05
tahun. Akan tetapi, jika ditinjau berdasarkan distribusinya, pengalaman responden pada
pola CLS telah berpengalaman berusaha tani cukup lama (22,25 tahun) dibandingkan
dengan non CLS yang hanya sekitar 11,85 tahun. Fenomena ini mengindikasikan bahwa
respon petani terhadap pola usaha tani CLS cukup bagus, sehingga pola ini akan bisa
dijadikan alternatif pengembangan pertanian berkelanjutan di masa mendatang. Rata-rata
responden pada pola CLS telah mengusahakan usaha tani pola CLS berkisar antara
tahun 1999-2003, namun ada enam responden telah menerapkan CLS antara tahun 1980-
1990 an.
Status Penguasaan Lahan
Sebagian studi yang dilakukan selama ini sering tidak mengkaji lebih dalam
mengenai status penguasaan lahan pertanian. Padahal isu penting pembangunan
pertanian saat ini adalah menciutnya lahan pertanian akibat tekanan pembangunan sektor
lain yang membutuhkan lahan. Oleh karena itu, dalam studi ini ditinjau status penguasaan
lahan bagi petani, baik usaha tani pola CLS maupun Non CLS.
Pemilikan lahan yang diidentifikasi dalam kajian ini adalah lahan milik dan lahan
sewa. Jika dilihat dari banyaknya responden pola CLS yang mengelola lahan milik sendiri
(73,33%), lahan milik sendiri sekaligus menyewa lahan (11,11%), dan menyewa lahan
(15,56%). Sebagian besar responden (75,0%) yang menyewa lahan dengan lahan lebih
luas adri 0,5 hektar dan sisanya 25,0 % responden dengan luas ≤0,5 hektar. Bila ditelusuri
lebih jauh luas lahan sewa tersebut berkisar 0,3 – 0,5 hektar dan tidak ada yang menyewa
lahan ≤ 0,3 hektar, yang berarti petani melakukan efisiensi produksi dengan tidak
menyewa lahan yang kurang dari 0,3 hektar.
Keragaan usaha tani di lokasi penelitian terlihat penggunaan benih padai bervariasi
antara pola CLS dan non CLS dengan kisaran antar 27,33 kg/ha sampai 36,84 kg/ha.
Penggunaan benih tersebut lebih tinggi dibanding standar teknis benih yang
direkomendasikan yaitu 25 kg/ha. Penggunaan pupuk urea pada pola non CLS cukup
tinggi dengan kisaran 324,56-424,43 kg/ha hampir sama untuk pola serupa berdasarkan
hasil penelitian Puslitanak di Jawa lainnya. Penggunaan pupuk urea yang
direkomendasikan untuk Kabupaten Sragen sebesar 250 kg/ha. Pada pola CLS
penggunaan pupuk urea lebih rendah dibandingkan dengan pola CLS yaitu berkisar
antara 268,70 kg/ha samapai 366,18 kg/ha, namun diikuti dengan pemanfaatan pupuk
kandang berkisar antara 1,25 ton/ha sampai 1,89 ton/ha. Pada sisi yang lain penggunaan
pupuk TSP pada pola CLS sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan non CLS dan
keduanya masih diatas standar penggunaan TSP sebesar 150 kg/ha, sedangkan
penggunaan pupuk kimia (KCL, ZA, dan lainnya) berkisar antara 71,12 kg/ha sampai
126,88 kg/ha.
Dilihat dari produktivitas rata-rata untuk pola CLS yaitu 6,28 ton/ha lebih tinggi 9,27
% di atas produktivitas pola non CLS. Secara rinci penggunaan sarana usaha tani dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Penggunaan Sarana Produksi dan Produksi Usaha tani Pola CLS
Keragaan Usaha tani pola CLS dan Non CLS
Rerata CLS Rerata Non CLS
CLS <0.5ha >0.5ha Non CLS <0.5ha >0.5ha
bibit (kg/ha) 31.66 27.33 35.98 34.83 36.84 32.82
Urea (kg/ha) 317.44 366.18 268.70 374.50 424.43 324.56
TSP (kg/ha) 178.84 189.10 168.58 164.85 154.87 174.82
pupuk kimia lain (kg/ha) 85.29 99.45 71.12 123.67 126.88 120.45
Pupuk kandang (kg/ha) 1,570.10 1,253.70 1,886.50 - - -
Pestisida (lt/ha) 1.20 1.12 1.27 1.29 1.29 1.28
Produksi (kg/ha) 6,284.62 6,047.17 6,522.07 5,751.64 5,637.63 5,865.64
4.2. Analisis Fungsi Produksi Dan Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah
4.2.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah
Langkah pertama yang dilakukan guna memperoleh model fungsi produksi adalah
melakukan uji beda nyata untuk mengetahui perbedaan rata-rata tingkat produksi dari
usaha tani padi pola CLS dan non CLS dengan hasil disajikan pada Lampiran 13.
Berdasarkan uji-t tingkat produksi dengan asumsi variannya sama diketahui bahwa nilai t-
hitung sebesar 4.186 signifikan pada taraf keyakinan 1% yang berarti terdapat perbedaan
nyata antara tingkat produksi padi pola CLS dan non CLS. Demikian pula berdasarkan uji-t
tingkat produktivitas diketahui bahwa nilai t-hitung sebesar 4.632 signifikan pada taraf
keyakinan 1 % yang berarti terdapat perbedaan nyata antara produktivitas usaha tani padi
pola CLS dan non CLS.
Pendugaan model fungsi produksi padi dilakukan dengan menggunakan
pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas yang dimodifikasi ke dalam bentuk logaritma.
Variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap produksi padi adalah penggunaan
benih, pupuk urea, TSP, KCL, pupuk kandang, pestisida, tenaga kerja, tingkat pendidikan
petani, umur petani, pengalaman bertani, sewa alsin, pajak/sewa lahan, dummy luas lahan
(≤0,5 hektar atau >0,5 hektar) dan dummy pola usaha tani (CLS atau non CLS),
sedangkan variabel terikatnya adalah produksi padi.
Setelah dilakukan pengolahan data dengan Statistical Product and Service
Solution (SPSS) ternyata tidak semua variabel bebas mampu menghasilkan model yang
terbaik. Setelah dilakukan eksplorasi masing-masing variabel bebas terhadap variabel
terikat, penapisan variabel bebas dengan step-wise, maka variabel bebas penggunaan
benih, pupuk urea, KCL, sewa/penyusutan alsin, tenaga kerja, pajak/sewa lahan, dummy
luas lahan dan dummy pola usaha tani menghasilkan pendugaan model fungsi produksi
padi yang terbaik. Perhatian utma pendugaan fungsi produksi padi adalah melihat
pengaruh dummy pola usaha tani terhadap intercep fungsi produksi padi sawah yang
dicerminkan dari nilai kepekaan produksi padi terhadap perbedaan pola usaha tani. Hasil
pendugaan fungsi padi sawah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah (Gabungan) No Variabel Bebas Koefisien β Nilai uji t Prob. T 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konstanta (á) Penggunaan Benih (Pb) Penggunaan Urea (Pu) Penggunaan KCl (Pc) Sewa/penyusutan alsin (Ps) Upak kerja (Uk) Pajak (Tx) Dummy luas lahan (D1) Dummy pola usaha tani (D2)
7,688 0,295 -0,119 0,246 -0,114 0,164 0,140 0,177 0,236
8,404 4,055 -2,173 3,742 -2,292 2,261 4,818 3,286 4,259
0,000 0,000 0,033 0,000 0,024 0,026 0,000 0,001 0,000
Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (Qp) R2 = 0,801 F hit = 42,208 Sumber: Olahan data primer.
Dari semua data-data pada variabel bebas telah diolah dengan program SPSS,
ternyata variabel-variabel bebas tersebut memiliki koefisien dengan tanda benar (+/-),
berada dalam batas yang masuk akal dan memenuhi persyaratan asumsi-asumsi statistik.
Selanjutnya, hasil pendugaan fungsi produksi padi harus memenuhi sifat Best Linier
Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian terhadap validitas asumsi klasik dilakukan apakah
terjadi pelanggaran asumsi berupa multikolinearitas dan keteroskedastisitas. Mengingat
data yang dikumpulkan berupa data cross section dan bukan data time series, maka tidak
dilakukan uji statistik Durbin Watson (DW) untuk meluhat apakah terjadi autokorelasi.
Heteroskedastisitas terjadi bila variabel gangguan tidak mempunyai varians yang sama
untuk semua observasi, akibatnya penaksir OLS tetap tidak bias tetapi tidak efisien.
Multikolinearitas adalah keadaan dimana satu atau lebih variabel bebas dapat
dinyatakan sebagai kombinasi linier dari varibale bebas lainnya (saling mempengaruhi).
Untuk mendeteksi dilihat dari nilai adjusted R2 dan F. Uji F dilakukan untuk melihat
pengaruh variabel bebas terhadap penggunaan benih secara keseluruhan. Bila nilai F > 0
berarti variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi penggunaan benih. Jika R2
dan F tinggi sedangkan nilai t-statistik banyak yang tidak signifikan berarti terjadi
multikolinearitas. Kejadian multikolinier yang tinggi mempengaruhi ketepatan pendugaan
parameter secara individu, namun pendugaan kombinasi linier dari parameter-parameter
dapt diduga dengan tepat. Keberadaan multikolinier antar variabel bebas di dalam model
fungsi produksi tidak melanggar asumsi kekonsistenan suatu parameter dugaan. Model
pendugaan fungsi produksi padi sawah pada persamaan (15).
log Qp = 7,688 + 0,295 log Pb - 0,119 log Pu + 0,246 log Pc - 0,114 log Ps +
0,164 log Tk + 0,140 log Tx + 0,177 D1 + 0,236 D2 .......................... (15) R2 = 0,801 F hit = 42,208
Model produksi padi sawah pola CLS menunjukkan bahwa model baik dengan nilai
koefisien R2 0,801. Model mampu bekerja dengan baik apabila nilai R2 cukup tinggi yang
berarti keragaman variabel bebas mampu menjelaskan perilaku variabel terikat (produksi
padi), dengan demikian model ini mampu menjelaskan garis regresi secara baik. Hal ini
berarti bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel produksi padi dapat dijelaskan
oleh variasi perubahan variabel-variabel bebas sebesar 80,10 %. Sedangkan sisanya
sebesar 19,90% dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh
variabel bebas dalam model.
Untuk melihat pengaruh variabel bebas secara bersama-sama dalam mempengaruhi
variabel terikat dapat dilihat dari nilai uji F. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai F-
hitung diperoleh sebesar 42,208 Nilai F tersebut pada taraf keyakinan 1% menunjukkan
hasil signifikan yang berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi variabel
terikat produksi padi swah. Untuk mengetahui masing-masing variabel bebas
mempengaruhi variabel terikat analisi dengan uji t.
Uji t dilakukan untuk melihat signifikansi pengaruh suatu variabel bebas terhadap
variabel terikat, dengan menganggap variabel bebas yang lain tetap. Uji t dengan
signifikansi sebesar <10% menunjukkan bahwa variabel dummy pola usaha tani CLS atau
non CLS (D2) dengan koefisien sebesar 0,236 berpengaruh positif dan nyata terhadap
produksi padi (Qp) yang berarti penerapan pola CLS petani responden menggeser intercep
fungsi produksi rata-rata sebesar 0,236 unit ke atas dari fungsi produksi rata-rata petani
responden yang tidak menerapkan pola CLS. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Suretno (2002) di Lampung Tengah yang
nyata bahwa penggunaan kompos dapat meningkatkan produksi padi 15,06 %
dibandingkan pola konvensional.
Variabel bebas penggunaan benih, KCL, tenaga kerja dan pajak/sewa lahan
berpengaruh positif secara signifikan terhadap produksi padi. Variabel pajak/sewa lahan
mengindikasikan bahwa petani penggarap/penyewa mengusahakan lahannya untuk
memperoleh produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani pemilik. Sedangkan
variabel bebas penggunaan pupuk urea dan sewa/penyusutan alat dan mesin pertanian
secara signifikan berpengaruh negatif terhadap produksi, hal ini dimungkinkan akibat
penggunaan pupuk urea per hektar sudah terlampau tinggi yaitu rata-rata 345,97 kg/ha.
Demikian pula besarnya sewa alat dan mesin pertanian menyebabkan petani mengolah
lahannya sendiri dengan sekedarnya sehingga berpengaruh terhadap penurunan
produksi.
Pendugaan produktivitas padi berdasarkan model fungsi produksi padi sawah pola
gabungan terlihat bahwa model pendugaan produktivitas padi tanpa menggunakan
variabel dummy variabel luas lahan (D1=0) hasilnya mendekati keragaan kondisi nyata di
lapangan dimana antara garis pendugaan dan garis aktual saling berhimpitan. Sedangkan
pendugaan dengan menggunakan variabel dummy luas lahan (D1 =1) terlihat bahwa garis
pendugaan jauh di atas garis aktual yang berarti produktivitas usaha tani padi sawah baik
pola CLS maupun non CLS akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya skala
luas usaha tani. Besarnya koefisien elastisitas D1 = 0,177 menunjukkan penerapan usaha
tani dengan skala lahan yang luas meningkatkan produksi 17,7 %. Pendugaan
produktivitas usaha tani padi sawah pada Gambar 16.
Gambar 16. Pendugaan Produktivitas Padi Sawah
Apabila dirinci dengan membedakan model fungsi produksi padi sawah menurut
usaha tani, maka model fungsi produksi padi dari usaha tani pola CLS dapat dilihat pada
Tabel 6 dan usaha tani non CLS pada Tabel 7.
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93
Produktivitas (ton/ha)
Aktual D1 = 1 D1 = 0
Tabel 6. Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS No Variabel Bebas Koefisien ββ Nilai uji t Prob. T 1 2 3 4 5 6 7 8
Konstanta (á) Penggunaan Benih (Pb) Penggunaan Urea (Pu) Penggunaan TSP (Pt) Penggunaan KCl (Pc) Pupuk Kandang (Pk) Upah Kerja (Uk) Dummy Luas Lahan (D1)
5,396 0,488 -0,109 0,098 0,131 0,125 0,113 0,171
6,006 5,484 -1,161 0,993 2,081 2,633 1,676 3,470
0,000 0,000 0,251 0,325 0,042 0,011 0,099 0,001
Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (Qpc) R2 = 0,831 F hit = 39,302 Sumber: Olahan data primer
Berdasarkan hasil analisis model fungsi produksi padi pola CLS diperoleh nilai R2
sebesar 0,831 yang berarti variasi besar kecilnya perubahan variabel produksi padi pola
CLS dapat dijelaskan oleh variasi perubahan penggunaan benih, urea, TSP, KCL, pupuk
kandang, upah dan dummy luas lahan sebesar 83,10 %, sedangkan sisanya sebesar
16,90 % dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel
bebas. Hasil uji F sebesar 39,302 menunjukkan nyata pada taraf keyakinan sebesar 1%
yang berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi produksi padi pola CLS.
Model pendugaan fungsi produksi padi sawah pola CLS seperti pada persamaan (16).
log Qpc = 5,396 + 0,488 log Pb - 0,109 log Pu + 0,098 log Pt + 0,131 log Pc + 0,125 log Pk + 0,113 log Tk + 0,171 D1 ......................................(16)
R2 = 0,831 F hit = 39,302
Berdasarkan hasil uji-t pada taraf keyakinan 5 % variabel bebas penggunaan benih,
KCL, pupuk kandang dan dummy luas lahan secara signifikan mempengaruhi produksi
padi pola CLS, variabel bebas upah kerja signifikan pada taraf keyakinan 10 %,
sedangkan variabel penggunaan pupuk urea dan TSP tidak nyata mempengaruhi produksi
padi.
Peningkatan penggunaan benih berdampak positif terhadap produksi padi, dengan
demikian walaupun harga benih meningkat, petani tetap menggunakan benih. Tingkat
penggunaan benih di lokasi penelitian sudah relatif tinggi yaitu rata-rata 33,24 kg/ha.
Jumlah ini 32,97 % lebih tinggi dari dosis yang dianjurkan 25 kg/ha. Tingginya dosis
penggunaan benih ini kemungkinan disebabkan petani kawatir bahwa dosis anjuran tidak
mencukupi kebutuhan, daya tumbuhnya kurang, atau menginginkan kepadatan tanaman
padi yang lebih tinggi. Acuan rekomendasi takaran pemupukan di areal sistem usaha
pertanian padi sawah irigasi di Jawa Tengah adalah 215 kg/ha urea, SP36 75 kg/ha, KCL
50 kg/ha, dan tidak menggunakan ZA (kasryno, 1998), sedangkan acuan penggunaan
pupuk di Sragen 250 kg/ha urea, TSP 150 kg/ha, KCL 75 kg/ha.
Nilai elastisitas penggunaan faktor produksi benih, pupuk, tenaga kerja pada
penelitian ini ternyata tidak jauh berbeda engan hasil penelitian Basri, et al (1993) di
Sumatera Barat menunjukkan bahwa faktor produksi bibit dan pupuk berperan besar
terhadap produksi gabah, dimana nilai elastisitas bibit terhadap produksi gabah berkisar
antara 0,12 sampai 0,99; elastisitas pupuk antara 0,27 sampai 0,52; elastisitas pestisida –
0,10; elastisitas tenaga kerja antara –0,10 sampai 0,33; dan elastisitas luas lahan
terhadap produksi gabah antara –0,54 samapai 0,66. Dengan menggunakan gambar
kurva produksi, posisi penggunaan variabel benih, KCL, pupuk kandang dan tenaga kerja
berada pada daerah rasional penggunaan input produksi.
Pendugaan produktivitas padi berdasarkan model fungsi produksi padi sawah pola
CLS terlihat bahwa model pendugaan produktivitas padi tanpa menggunakan variabel
dummy luas lahan (D1 = 0) hasil pendugaan mendekati kondisi aktual di lapangan dimana
antara garis pendugaan dan garis aktual saling berhimpitan. Sedangkan pendugaan
dengan menggunakan variabel dummy luas lahan (D1 = 1) terlihat garis pengudaan
berada sedikit di atas garis aktual yang berarti produktivitas usaha tani padi sawah pola
CLS memberikan harapan bagi petani berlahan sempit dapat meningkatkan produktivitas
padi dengan memperbaiki manajemen usaha tani berdasarkan skala luas usaha tani.
Guna mencapai skala ekonomi kemungkinan dapat dilakukan dengan pendekatan
kelompok, konsolidasi lahan petani, pemberian pinjaman untuk menyewa lahan, maupun
perluasan lahan. Pendugaan produktivitas usaha tani padi sawah pola CLS pada Gambar
17.
Gambar 17. Pendugaan Produktivitas Padi Sawah Pola CLS
Pada model fungsi produksi pola non CLS seperti pada Tabel 7 diperoleh nilai R2
sebesar 0,792 yang berarti bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel produksi padi
pola non CLS dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel penggunaan pestisida,
urea, TSP, KCL, upah kerja dan dummy luas lahan sebesar 79,20 %, sedangkan sisanya
sebesar 10,80 % dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat dijelaskan oleh
variabel bebas dalam model. Hasil uji F diperoleh sebesar 13.936 menunjukkan nyata
pada taraf keyakinan sebesar 1 % berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi
produksi padi pola CLS.
Tabel 7. Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola non CLS
No Variabel Bebas Koefisien ββ Nilai uji t Prob. T 1 2 3 4 5 6 7
Konstanta (á) Penggunaan Benih (Pb) Penggunaan Urea (Pu) Penggunaan TSP (Pt) Penggunaan KCl (Pc) Upah Kerja (Uk) Dummy Luas Lahan (D1)
9,187 0,115 -0,146 -0,386 1,048 -0,103 0,419
4,088 0,715 -0,787 -2,096 4,002 -0,460 2,619
0,000 0,482 0,440 0,048 0,001 0,650 0,016
Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (Qpn) R2 = 0,792 F hit = 13,936 Sumber: Olahan data primer
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00 9.00
10.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64
Produktivitas (ton/ha)
Aktual D1 = 1 D1 = 0
Berdasarkan hasil uji-t pada taraf keyakinan 5% variabel bebas penggunaan TSP,
KCl, dummy luas lahan secara signifikan mempengaruhi produksi padi non CLS,
sedangkan variabel penggunaan pestisida, pupuk urea dan tenaga kerja tidak nyata
mempengaruhi produksi padi dimana nilai probability untuk masing-masing perubah
berada dibawah probability nilai kritis 5%. Model pendugaan fungsi produksi usaha tani
non CLS pada persamaan (17)
log Qpn = 9,187 + 0,115 log Pb - 0,146 log Pu - 0,386 log Pt + 1,048 log Pc – 0,103 log Tk + 0,419 D1 ................................................................(17) R2 =0,792 F-hit=13,936
Pendugaan produktivitas padi berdasarkan model fungsi produksi padi sawah pola
non CLS terlihat bahwa model pendugaan produktivitas padi tanpa menggunakan variabel
dummy variabel luas lahan (D1 = 0) hasilnya mendekati keragaan kondisi nyata di
lapangan dimana antara garis pendugaan dan garis aktual saling berhimpitan. Sedangkan
pendugaan dengan menggunakan variabel dummy (D1 = 1) terlihat garis pendugaan
berada jauh di atas garis aktual yang berarti produktivitas usaha tani padi sawah non CLS
akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya skala usaha tani. Kondisi
demikian memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan teori maupun penelitian-
penelitian pada umumnya. Pendugaan produktivitas usaha tani padi sawah pola non CLS
pada Gambar 18.
Gambar 18. Pendugaan Produktivitas Padi sawah Pola Non CLS
4.2.2. Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah
Guna memperkuat analisis efisiensi alokasi penggunaan faktor produksi tidak hanya
dilihat dari tingkat efisiensi teknis yang dicerminkan dari model fungsi produksi, melainkan
dilihat pula tingkat efisiensi ekonomis yang dicerminkan dari model fungsi keuntungan.
Model fungsi keuntungan dapat digunakan untuk menelaah masalah efisiensi harga dan
ekonomis, dimana variabel yang diamati adalah variabel harga output dan input. Hasil
analisis fungsi keuntungan usaha tani padi sawah (Gabungan) disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah No Variabel Bebas Koefisien ββ Nilai uji t Prob. T 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konstanta (á) Benih (Wb) Urea (Wu) KCl (Wc) Sewa/pmeliharn alsin (Ws) Upah kerja (Wh) Pajak (Wx) Dummy pola usaha tani (D2) Dummy luas lahan (D1)
5,425 0,414 -0,308 -0,051 0,398 -0,097 0,134 0,147 0,156
12,990 3,980 -2,887 -0,440 4,751 -1,418 3,276 1,765 2,055
0,000 0,000 0,005 0,661 0,000 0,160 0,002 0,081 0,043
Ket.: Variabel terikat Keuntungan Padi CL S (ð p) R2 = 0,681 F hit = 22,190 Sumber: Olahan data primer
0 1000
2000 3000
4000 5000 6000
7000 8000
9000 10000
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29
Produktivitas Padi (ton/ha)
Aktual D1 = 1 D1 = 0
Model keuntungan padi sawah menunjukkan bahwa model baik dengan nilai
koefisien R2 0,681 yang berarti bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel
keuntungan padi dapat dijelaskan oleh variasi perubahan variabel-variabel bebas sebesar
68,10 %. Sedangkan sisanya sebesar 31,90% dari variasi perubahan variabel terikat tidak
dapat diterangkan oleh variabel bebas dalam model.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai F-hitung diperoleh sebesar 22,190 nyata
pada taraf keyakinan sebesar 1%. Hal ini menunjukkan minimal ada satu variabel bebas
mempengaruhi variabel terikat keuntungan padi sawah. Berdasarkan uji t pada taraf
keyakinan 5% variabel harga input bibit, urea, sewa/pemeliharaan alat dan mesin
pertanian, pajak dan dummy luas lahan berpengaruh nyata terhadap keuntungan usaha
tani padi sawah, sedangkan dummy pola usaha tani nyata pada tarap keyakinan 10%,
sedangkan variabel harga TSP dan sewa/pemeliharaan alat dan mesin pertanian tidak
nyata mempengaruhi keuntungan usaha tani padi sawah. Pendugaan model fungsi
keuntungan usaha tani padi sawah seperti pada persamaan (18).
log ðP =5,425 + 0,414 log Wb - 0,308 log Wu - 0,0518 log Wc + 0,398 log Ws – 0,097 log Wh + 0,134 log Wx + 0,171 D2 + 0,156 D1 .......................... (18) R2 = 0,681 Fhit = 22,190
Koefisien variabel harga urea, KCL dan upah kerja bertanda negatif menunjukkan
hubungan terbalik antara harga input dengan tingkat keuntungan yang berarti bahwa
makin tinggi harga urea dan KCL serta upah kerja, maka makin kecil keuntungan yang
diperoleh. Sedangkan koefisien harga benih, dan sewa/pemeliharaan alat dan mesin
pertanian, serta pajak bertanda positif menunjukkan walaupun terjadi kenaikan harga
benih, dan sewa/pemeliharaan alat dan mesin, petani tetap menggunakan input tersebut
untuk mencapai keuntungan maksimum. Dummy pola usaha tani menunjukkan tanda
positif yang berarti penerapan usaha tani pola CLS akan meningkatkan keuntungan usaha
tani dengan menggeser ke atas intersep fungsi keuntungan, demikian pula untuk dummy
luas lahan yang berarti semakin luas lahan yang dikelola akan semakin meningkatkan
keuntungan.
Guna melihat lebih mendalam lagi dari variabel dummy pola usaha tani berpengaruh
terhadap keuntungan usaha tani padi, maka model fungsi keuntungan padi sawah
dibedakan lebih lanjut menurut pola usaha tani, dimana model fungsi keuntungan usaha
tani pola CLS pada Tabel 9.
Tabel 9. Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola CLS No Variabel Bebas Koefisien ββ Nilai uji t Prob. T 1 2 3 4 5 6 7 8
Konstanta (α) Luas Lahan (Lu) Benih (Bb) Pestisida (Wp) Pupuk Urea (Wu) Pupuk kandang (Wk) Upah kerja (Wh) Dummy lama ustan (D3)
0,704 0,924 0,397 -0,022 -0,479 0,134 -0,148 0,173
0,588 3,742 2,511 -0,237 -5,005 1,640 -1,222 2,024
0,559 0,000 0,015 0,814 0,000 0,107 0,227 0,048
Keterangan: Variabel terikat Produksi Padi (ðpc) R2 = 0,743 F hit = 23,072 Sumber: Olahan data primer
Seperti halnya fungsi keuntungan padi sawah keseluruhan, maka untuk melihat
ketepatan model fungsi keuntungan pola CLS dilihat dari nilai R2 sebesar 0,743 yang
berarti variasi besar kecilnya perubahan variabel keuntungan padi pola CLS dapat
dijelaskan oleh variasi perubahan variabel harga benih, pestisida, urea, pupuk kandang,
upah kerja, dummy lama usaha tani CLS sebesar 74,30 %, sedangkan sisanya sebesar
15,70 % dari variasi perubahan variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel
bebas dalam model. Hasil uji-F diperoleh sebesar 23.072 menujukkan nyata pad taraf
keyakinan sebesar 1 % yang berarti minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi
keuntungan usaha tani padi pola CLS.
Berdasarkan hasil uji-t varibel luas lahan, harga benih, pupuk urea dan dummy lama
lahan secara signifikan pada taraf keyakinan 5 % mempengaruhi keuntungan usaha tani
padi pola CLS, sedangkan variabel harga pestisida dan upah kerja tidak nyata
mempengaruhi keuntungan. Pendugaan model fungsi keuntungan usaha tani padi sawah
pola CLS seperti pada persamaan (19).
log ðpc= 0,704 + 0,924 log Lu + 0,397 log Wb - 0,022 log Wp - 0,479 log Wu + 0,134 log Wk - 0,148 log Wh + 0,173 D3 ........................................ (19) R2 = 0,743 F hit = 23,072
Koefisien variabel harga pestisida, pupuk urea, dan upah kerja bertanda negatif
menunjukkan hubungan terbalik antara harga input dan tingkat keuntungan yang berarti
bahwa makin tinggi harga pestisida, urea, serta upah kerja, maka makin kecil keuntungan
yang diperoleh. Hal ini relevan dengan prinsip-prinsip usaha tani pola CLS, di mana petani
mengurangi penggunaan input pupuk buatan dan pestisida, digantikan dengan pupuk
kandang dan bio-pestisida yang dapat disediakan sendiri oleh petani. Koefisien variabel
luas lahan bertanda positif yang berarti semakin luas lahan yang dikelola maka
keuntungan akan semakin meningkat. Koefisien variabel harga benih dan harga pupuk
kandang, petani tetap menggunakan input benih untuk mencapai keuntungan maksimum,
serta menggunakan pupuk kandang yang dapat disediakan sendiri. Dummy luas lahan
menunjukkan tanda positif yang berarti semakin luas lahan usaha tani akan meningkatkan
keuntungan dengan menggeser ke atas intersep fungsi keuntungan.
Usaha tani pola CLS dipengaruhi lahan usaha tani dimana nilai lahan secara
signifikan mempengaruhi keuntungan usaha tani dengan nilai elastisitas sebesar 0,924.
Demikian pula dummy lamanya berusaha tani CLS turut mempengaruhi keuntungan
dengan elastisitas 0,713 yang berarti bahwa penerapan CLS lebih dari dua tahun
meningkatkan keuntungan sebesar 17,3 % lebih tinggi dibandingkan penerapan CLS
kurang dari dua tahun. Hal ini dimungkinkan karena pada tahap-tahap awal
mengusahakan pola CLS, dampak penggunaan pupuk kandang masih dalam taraf
memperbaiki kesuburan tanah yang selama ini menjadi tandus akibat penggunaan pupuk
kimia dan pestisida yang intensif pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan pengusahaan
CLS lebih dari dua tahun kesuburan tanah mulai pulih sehingga penggunaan pupuk
kandang berdampak lebih tinggi terhadap produksi padi dan pada akhirnya mempengaruhi
keuntungan petani. Penggunaan pupuk kandang rata-rata petani responden sekitar
1.570,1 kg/hektar dan produksi padi mencapai 6.28 ton/hektar.
Tabel 10. Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Pola non CLS No Variabel Bebas Koefisien ββ Nilai uji t Prob. T 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konstanta (á) Luas Lahan (Lu) Benih (Wb) Pestisida (Wp) Pupuk urea (Wu) Pupuk TSP (Wt) Pupuk KCl (Wc) Upah Kerja (Wh) Pajak (Wx)
-3,363 1,404 0,027 0,052 -0,241 0,403 -0,019 -0,117 -0,290
-2,362 4,957 0,376 0,510 -1,836 2,699 -0,139 -1,464 -2,958
0,029 0,000 0,711 0,616 0,082 0,014 0,891 0,159 0,008
Keterangan: Variabel terikat Produks i Padi (ðpn) R2 = 0,959 F-hit = 56,170 Sumber: Olahan data primer
Pada model fungsi keuntungan usaha tani padi pola non CLS dilihat dari nilai R2
sebesar 0,959, yang berati bahwa variasi besar kecilnya perubahan variabel keuntungan
usaha tani padi pola non CLS dapat dijelaskan oleh variasi perubahan varial bebas
sebesar 95,90 %, sedangkan sisanya sebesar 4,10 % dari variasi perubahan variabel
terikat tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model. Hasil uji F diperoleh
sebesar 56.170 menunjukkan nyata pada taraf keyakinan sebesar 1% yang berarti
minimal ada satu variabel bebas mempengaruhi keuntungan usaha tani padi pola non
CLS. Pendugaan model fungsi keuntungan usaha tani padi sawah non CLS seperti pada
persamaan (20).
log ðpn= -3,363 + 1,404 log Lu + 0,027 log Wb + 0,052 log Wp - 0,241 log Wu + 0,403 log Wt - 0,019 log Wc - 0,117 log Wh - 0,290 log Wx ........ (20)
R2 = 0,959 F-hit = 56,170
Berdasarkan hasil uji-t variabel bebas harga benih, urea, pupuk kandang dan luas
lahan secara signifikan pada taraf keyakinan 5% mempengaruhi keuntungan padi,
sedangkan variabel bebas lainnya tidak signifikan. Koefisien variabel harga urea, KCL,
upah kerja dan pajak bertanda negatif menunjukkan hubungan terbalik dengan tingkat
keuntungan yang berarti bahwa makin tinggi harga urea, KCL, upah kerja maupun pajak,
maka makin kecil keuntungan yang akan diperoleh. Sedangkan koefisien variabel luas
lahan, harga benih, pestisida dan pupuk TSP bertanda positif menunjukkan semakin luas
lahan yang diusahakan akan semakin meningkatkan keuntungan. Walaupun terjadi
kenaikan harga benih, pestisida dan pupuk TSP, petani non CLS sangat bergantung pada
input tersebut untuk mencapai keuntungan maksimum.
4.2.3. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usaha Tani Padi Sawah Berdasarkan hasil pendugaan model fungsi produksi dapat diketahui bahwa
elastisitas fungsi produksi pola usaha tani berada diantara nol dan satu yang berarti
berada dalam kondisi produksi yang rasional dan petani telah menggunakan faktor
produksi secara optimal. Konsep koefisien fungsi adalah konsep jangka panjang,
sedangkan elastisitas produksi parsial adalah konsep jangka pendek. Mengingat data
yang dikumpulkan berupa data cross-section, sehingga koefisien fungsi produksi lebih
mencerminkan fungsi produksi jangka pendek. Namun mengingat keragaman dan
keterwakilan responden dalam penerapan teknologi usaha tani, maka fungsi produksi
jangka pndek dapat dijadikan sebagai proksi ke dalam fungsi produksi jangka panjang
walaupun tidak akurat sekali. Pengujian secara statistik dapat dilakukan untuk melihat
tingkat kepercayaan terhadap besaran koefisien fungsi produksi total. Pada fungsi
produksi jangka panjang, koefisien fungsinya mencerminkan nilai return to scale apabila
semua inputnya berupa variabel, koefisien tersebut dapat berada pada berbagai titik
alternatif return to scale dalam ruang produksi. Oleh karena itu, koefisien fungsi dapat
diperluakan sebagai elastisitas produksi total. Elastisitas produksi total adalah
penjumlahan perubahan output bila variabel input X1 berubah (variabel input lainnya tetap)
sampai variabel input Xn berubah (variabel input lainnya tetap). nilai koefisien fungsi
produksi berkisar atau mendekati nilai satu untuk pola CLS maupun non CLS
menunjukkan elastistas produksi total pada posisi constant return to scale bahwa alokasi
sumber daya sudah dilakukan secara optimal dalam arti peningkatan penggunaan semua
input akan meningkatkan produksi secara proporsional.
Berdasarkan fungsi keuntungan, usaha tani pola non CLS menunjukkan kondisi
increasing return to scale yang berarti ada hubungan berbanding terbalik, peningkatan
harga input akan menurunkan keuntungan yang lebih besar dan peningkatan harga
produk akan meningkatkan keuntungan yang lebih besar. Hal ini berbeda dengan pola
padi sawah (gabungan) dalam kondisi decreasing return to scale yang berarti peningkatan
harga input akan menurunkan keuntungan yang lebih kecil dan peningkatan harga produk
akan meningkatkan keuntungan yang lebih kecil (tidak proporsional).
Pada usaha tani pola CLS tingkat efisiensi fungsi keuntungan berada dalam kondisi
constant return to scale atau optimum berarti keuntungan meningkat secara proporsial
seiring dengan penurunan harga input atau peningkatan harga output. Namun demikian,
dalam kondisi tersebut masih diperlukan pemberian insentif harga dan kemudahan yang
dapat mendorong gairah usaha tani pola CLS. Tingkat produksi dan keuntungan usaha
tani padi di lokasi penelitian disajikan Tabel 11.
Tabel 11. Tingkat Produksi dan Keuntungan Usaha tani Padi Pola CLS dan non CLS
No Uraian Fungsi Produksi Fungsi Keuntungan (UOP)
1 2 3
Pola CLS Pola Non CLS Pola Gabungan
1,017 constant RTS 0,947 constant RTS 1,025 constant RTS
0,979 constant RTS 1,219 increasing RTS 0,793 decreasing RTS
Keterangan: RTS = return to scale
Berdasarkan analisis fungsi keuntungan diperoleh hasil bahwa usaha tani padi pola
CLS telah memberikan keuntungan maksimum bagi petani, yang berarti pertimbangan
harga input secara keseluruhan telah dialokasikan secara optimal. Pencapaian tingkat
keuntungan maksimum tidak hanya ditentukan oleh tingkat produksi, tetapi juga harga
input dan output. Dalam kaitannya dengan harga input dan output, selama ini pemerintah
melakukan intervensi penetapan harga input-output guna melindungi petani karena
posisinya yang lemah dalam pasar input dan output. Hal ini sejalan dengan pedapat
Anthony Giddens (2000) bahwa kita membutuhkan mekanisme pasar, tetapi juga kita
masih memerlukan peran pemerintah.
Dengan demikian diketahui bahwa antara model fungsi produksi padi sawah dan
model fungsi keuntungan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana variabel
input benih, urea, sewa/perawatan alat dan mesin, serta pajak mempengaruhi produksi,
demikian pula harga input benih, urea dan pajak mempengaruhi keuntungan usaha tani
padi sawah. Variabel dummy luas lahan dan pola usaha tani mempengaruhi produksi dan
keuntungan usaha tani padi sawah. Berdasarkan pendugaan model fungsi produksi padi
pola CLS terlihat bahwa usaha tani pola CLS memberikan harapan bagi petani lahan
sempit untuk meningkatkan produktivitas usaha taninya.
4.2.4. Dampak Penggunaan Pupuk Kandang Terhadap Produksi Padi Perbedaan utama antara usaha tani pola CLS dan non CLS adalah penggunaan
pupuk kandang. Sebagai indikasi awal adanya perbedaan nyata antara usaha tani pola
CLS dan non CLS dapat dilihat dari model fungsi produksi padi sawah gabungan, dimana
variabel dummy pola usaha tani (D2) dengan nilai koefisien sebesar 0,236 memberikan
isyarat bahwa dengan menerapkan usaha tani pola CLS menyebabkan tingkat teknologi
petani meningkat dan dapat meningkatkan produksi padi sebesar 23,6 % dibandingkan
produksi padi dari pola non CLS.
Fokus perhatian analisis pada model fungsi produksi padi pola CLS adalah melihat
pengaruh penggunaan pupuk kandang yang ditunjukkan oleh nilai koefisien/elastisitas dari
model fungsi produksi padi sawah pola CLS seperti pada persamaan (16) dengan nilai
koefisien penggunaan pupuk kandang (Pk) terhadap produksi padi (Qpc) sebesar +0,125
yang berarti bahwa peningkatan penggunaan input pupuk kandang sebesar 10 % dengan
asumsi variabel lain konstan, akan meningkatkan produksi padi sebesar 1,25 %.
Beberapa manfaat penggunaan kompos dalam jangka panjang mampu
meningkatkan N, P, K dan Si tanah, disamping itu juga mampu meningkatkan aktivitas
mikrobia penyemat nitrogen melalui peningkatan kandungan bahan organik tanah yang
mudah terdekomposisi, meningkatkan pembentukan agregat yang stabil dan pertukaran
kation (Wada, 1981 dalam Sutanto, 2002a). Pemberian pupuk kandang dapat
meningkatkan dan mempertahankan keanekaragaman dan kehidupan organisme tanah.
Bahan organik merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme tanah. Pemberian
pupuk pada tanah dapat meningkatkan cacing tanah dari 13.000 ekor/hektar menjadi 1
juta ekor/hektar (Poniman, et al, 2003).
Meskipun pupuk kandang banyak memberikan keuntungan, tetapi pemakaiannya di
lapangan juga harus memperhatikan kondisi setiap jenis bahan orgnik yang
dikandungnya. Penggunaan pupuk organik yang tidak tepat juga bisa mencemari
lingkungan. Dengan demikian harus diketahui jenis bahan organik, jumlah yang harus
diberikan, kapan pupuk kandang digunakan secara tepat melalui teknologi diperlukan
untuk men-treatment limbah organik pertanian. Menurut Rochayati, Sri, at al ((2003)
penggunaan pupuk organik di Korea Selatan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.
Persentase agregat berukuran 1 mm atau lebih, prositas, permeabilitas, pH, kandungan
bahan organik dan KTK meningkat, sebaliknya bulk density dan kekerasan tanah
berkurang dengan pemberian pupuk organik. Selanjutnya dikatakan efisiensi penggunaan
pupuk di lahan sawah perlu terus ditingkatkan sehingga penggunaan pupuk dapat lebih
rasional dan efisien berdasarkan analisis tanah, sifat-sifat tanah dan kebutuhan tanaman
serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Perimbangan pupuk organik dan pupuk nonorganik yang tepat menyebabkan
tanaman tumbuh optimal dan produksi meningkat. Berdasarkan penelitian Sutardi et al
(2002) jumlah pupuk anorganik yang tinggi tidak berpengaruh terhadap peningkatan
produksi, namun yang menentukan tingkat produksi adalah perimbangan pupuk organik
dan anorganik dengan perlakuan kurang 30 % atau 105 kg/ha Urea, 45 kg/ha SP-36, dan
30 kg/ha KCL dengan perimbangan pupuk organik 2,5 ton/ha. Faktor genetik juga
menentukan berat gabah pertanaman. Keseimbangan pupuk dengan perbandingan <30
persen pupuk kimia merupakan sistem usaha tani dengan teknologi akrab lingkungan
yang berdampak terhadap peningkatan keamanan produk pertanian serta menghasilkan
produk organik. Pemanfaatan pupuk kandang akan mampu mengurangi kandungan logam
berat Cadmium dalam tanah melalui mekanisme penghelatan sehingga mudah diserap
oleh tanaman.
Penelitian di Maharassta dan Bihar dimana penggunaan pupuk kandang dan
kompos sebanyak 1,26 ton.ha dapat meningkatkan hasil gabah 100 kg/ha dan di Orissa
meningkatkan hasil 216 kg/ha (Grag et al., 1971 dalam Sutanto, 2002a) serta
pemanfaatan berbagai jenis kompos untuk tanaman kacang dan jagung ternyata
memperoleh hasil yang lebih tinggi daripada menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan
dosis anjuran. Menurut Juanda, et-al (2003) perbaikan rekomendasi teknologi pemupukan
melalui pemetaan status har P dan K lahan sawah mutlak diperlukan, karena merupakan
kunci dalam upaya menciptakan swasembada pangan. Lebih lanjut dikatakan dengan
melakukan pemupukan sesuai hasil analisis tanah, maka dapat dihemat biaya sebesar
Rp. 242.884.600-Rp. 315.715.500,-/musim untuk pembelian pupuk SP-36 dan Rp.
337.115.100,-/musim tanam untuk pembelian pupuk KCL.
Simulasi hubungan antara penggunan pupuk kandang dan besarnya penambahan
produksi padi dilakukan dengan asumsi ceteris paribus ditampilkan dalam bentuk kurva
pengaruh penggunaan pupuk kandang terhadap penambahan produksi padi sawah pola
CLS seperti Gambar 19.
Gambar 19. Pendugaan Produktivitas Padi sawah Pola Non CLS Terhadap Peningkatan Produksi Padi
0 50
100 150 200 250 300 350 400
0.25 0.75 1.25 1.75 2.25 2.75 3.25 3.75 4.25 4.75 5.25 5.75 6.25 6.75 7.25 7.75 8.25 8.75
Penggunaan pupuk kandang (ton/ha)
Peningkatan produksi padi (kg)
Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa peningkatan pupuk kandang
sampai dengan 6,75 ton/ha masih mampu meningkatkan produksi padi secara signifikan.
Namun demikian penggunaan pupuk kandang yang berlebihan berakibat tidak
berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi padi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Pakpahan (1980) bahwa faktor produksi yang memberikan respon terpenting terhadap
produksi padi adalah luas garapan dan pupuk organik. Hasil penelitian Puslitanak (2004)
menyatakan penggunaan pupuk kandang sampai 5.000 kg/hektar masih mampu
meningkatkan produksi padi. Dengan demikian, dapat direkomendasikan agar
penggunaan pupuk kandang per satuan luas dapat ditingkatkan dengan memperhatikan
standar teknis kebutuhan hara dan luas pengusahaan pola CLS dalam skala ekonomi.
Guna menentukan besarnya kebutuhan hara menurut wilayah, maka diperlukan pemetaan
kondisi unsur hara menurut wilayah/agro-ecosystem.
Pemakaian pupuk kandang sebagai pupuk organik bukan merupakan hal baru
dalam sistem usaha tani, namun penggunaan pupuk kandang untuk memupuk tanaman
dan menjaga kesuburan tanah secar besar-besaran di kalangan petani masih sangat
terbatas. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat pengguna pupuk kandang adalah masih
terbatasnya persediaan pupuk kandang, proses pengomposan memakan waktu dan
masih sedikitnya instalasi pengomposan baik milik pemerintah maupun masyarakat.
Dengan memperhatikan trend dunia dalam mengurangi pemakaian pupuk kimia dan
lebih mengedepankan kesuburan berkelanjutan yang ramah lingkungan serta
ketersediaan bahan baku limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pupuk
melimpah, maka perlu ditingkatkan gerakan sosialisasi dan penyuluhan pemanfaatan
pupuk organik dan mengembangkan usaha tani pola integrasi spesifik lokasi.
4.3. Kelayakan Finansial Dan Ekonomi Usaha Tani
4.3.1. Kelayakan Finansial Usaha tani Pola CLS dan Non CLS
Dalam analisis tingkat kelayakan finansial usaha tani pola CLS maupun non CLS
menggunakan kriteria kelayakan nilai NPV, B/C rasio dan IRR. Berdasarkan analisis
finansial usaha tani pola CLS nilai NPV sebesar Rp. 24,6 juta, nilai IRR pada OCC 12%
sebesar 28,86% dan B/C rasio sebesar 1,45. Sedangkan analisis finansial usaha tani non
CLS nilai NPV sebesar Rp. 8,4 juta, nilai IRR sebesar 19,38% dan B/C rasio sebesar 1,22.
Baik usaha tani pola CLS maupun non CLS layak dilihat dari nilai NPV, IRR B/C rasio,
namun tingkat kelayakan usaha tani pola CLS lebih tinggi dibandingkan dengan non CLS.
Sehingga dari ke tiga kriteria investasi tersebut dalam analisis finansial dapat disimpulkan
bahwa usaha tersebut adalah layak secara finansial seperti terlihat pada Lampiran 14
dan 15.
Sebagai perbandingan beberapa penelitian mengenai kelayakan finansial adalah
penelitian pola padi-ternak di Laos pada lahan dataran rendah dengan kepemilikan rata-
rata 4,4 ekor sapi/KK dan dataran tinggi dengan 7,2 sapi/KK, diperoleh hasil bahwa
pendapatan dari usaha ternak mampu memberikan kontribusi terhadap total pendapatan
usaha tani masing-masing sebesar 46% dan 56% (DLVS 1993dalam Devendra,et al,
1997). Pola integrasi usaha tani yang dilakukan di Malaysia sebagian besar berupa
integrasi antara tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit) dan ternak domba dengan
hasil mampu memberikan keuntungan sebesar Rp.2,56 juta per farm (Devendra, et al,
1997). Demikian pula berdasarkan hasil penelitian dari BPTP LitbangDepartemen
Pertanian pada usaha tani padi-ikan-itik di Subang secara finansial memberi keuntungan
Rp.889.000 – Rp.1,16 juta per musim. Sementara penelitian integrasi ternak-padi dengan
pola tanam IP-300 di Yogyakarta tahun1999/2000 meningkat pendapatan petani 100%
bila dibandingkan dengan padi tanpa ternak, dimana sekitar 40% dari hasil tersebut
diperoleh dari pupuk organik. Hasil-hasil penelitian tersebut secara keseluruhan
menyatakan bahwa pola integrasi dapat meningkatkan pendapatan petani dengan kisaran
antara 40% samapai dengan 100% dari usaha tani pola konvensional.
Hasil penelitian Litbang Departemen Pertanian tahun 2002 yang dilakukan pada
beberapa Provinsi menunjukkan bahwa produksi usaha tani pola padi-ternak meningkat
berkisar antara 0,20 – 0,55 ton per hektar. Pendapatan dari usaha tani padi pada pola
integrasi padi-ternak di Grobogan pertahun sebesar Rp. 2,45 juta/hektar dengan B/C rasio
2,2 ( Prasetyo, et al 2001).
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan penerimaan dari usaha penggemukan
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil studi ternak sapi potong di Provinsi Jawa Timur
dimana tingkat penerimaan per bulan berkisar Rp.38.124/ekor ternak, di Lampung berkisar
antara Rp.29.466 sampai Rp.68.808/ekor ternak (Adnyana, et al 1999). Hal yang
membedakan besarnya penerimaan diduga adalah jenis ternak sapi yang dikembangkan,
teknik pengolahan ternak dan sistem pemasarannya. Penelitian Umiyasih, et al (2002) di
Jawa Timur dimana diperoleh nilai R/C rasio berkisar antara 2,17 samapi 3,30
Selain ternak, usaha alternatif yang menguntungkan petani adalah pembuatan
kompos. Dilihat dari tingkat teknologi proses pembuatan kompos dan pemasarannya
kompos cukup bervariasi diantara para petani pola CLS. Ada petani yang mengolah
kompos dan dikemas dengan baik dan masih ada dengan ala kadarnya saja, sehingga
terdapat perbedaan tingkat pendapatan dari kompos yang dihasilkan dan kemampuan
memasarkan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa selain usaha tani padi, guna
meningkatkan penerimaan petani dilakukan dengan mengembangkan usaha ternak sapi
potong dan usaha pengolahan limbah ternak menjadi pupuk kandang/ kompos.
Hasil Pengalaman empiris menunjukkan bahwa integrsai padi-ternak merupakan
satu alternatif mengatasi masalah usaha sapi potong dalam menghasilkan bakalan
sekaligus membantu meningkatkan efisiensi dan pendapatan petani padi. Bila
pengembangan diarahkan kepada perbaikan sistem agribisnis maka integrasi ini lebih
relevan, namun perlu dikaji sistem dan jenis ternak yang cocok di suatu wilayah. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara finansial usaha tani pola CLS lebih
menguntungkan dibandingkan dengan usaha tani pola konvensional atau monokultur.
4.3.2. Kelayakan Ekonomi Usaha tani Pola CLS dan Non CLS
Komponen input usaha tani pola CLS meliputi komponen usaha tani padi,
penggemukan sapi dan pengolahan kompos. Komponen usaha tani padi meliputi pupuk,
benih/bibit, pestisida, tenaga kerja, alat dan mesin pertanian, modal, manajemen, dan
lainnya. Komponen input penggemukan sapi antara lain pakan, bibit sapi bakalan, obat-
obatan, kandang, tenaga kerja, dan sarana lainnya. Komponen input pembuatan kompos
berupa limbah kotoran ternak, abu dapur, bahan lainnya, bak jerami dan merang serta
bahan fermentasi. Komponen output antara lain padi/gabah, daging sapi, kompos, jerami
pakan ternak. Output yang tidak dikehendaki antara lain limbah padi dan limbah ternak.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pertanian terpadu pola CLS ini antara
lain: meningkat pendapatan petani dan pendapatan daerah, meningkatkan produktivitas
dan kelestarian lahan, meningkatkan lapangan kerja baru dengan mengolah kompos,
meningkatkan keharmonisan kehidupan sosial dan menyehatkan lingkungan. Dalam
kaitannya dengan perbaikan kualitas lingkungan, usaha tani pola CLS turut mengurangi
emisi Gas Rumah Kaca karena jerami tidak dibakar tetapi diolah menjadi kompos. Namun
demikian sampai saat ini belum ada penelitian mengenai dampak kenaikan Gas Rumah
Kaca akibat pembakaran limbah padi.
Ditinjau manfaatnya bagi perbaikan kualitas lingkungan, usaha tani pola CLS mampu
meningkatan kesuburan lahan dan mengurangi efek gas rumah kaca. Pada budi daya padi
pola non CLS, limbah jerami dibakar dapat menghasilkan polusi. Berdasarkan data FAO
tahun 1998 disebutkan bahwa pembakaran jerami dan jagung menghasilkan gas methan
(CH4) 31,35 ribu ton, carbonmonoksida (CO) 658,3 ribu ton, N20 sebanyak 5 ribu ton dan
NOx 19 ribu ton, gas-gas tersebut berkontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah
kaca (GRK). Gas CH4, CO, NOx CH4 juga turut menyebabkan panas bumi dan NOx turut
menyebabkan menipisnya lapisan ozon, walaupun penyebab utamanya adalah CFC. Gas
CO berpengaruh bagi kesehatan yaitu merintangi darah mengangkut oksigen.
Hasil penelitian Setyanto et aI (1997), di Pati Jawa Tengah dimana emisi gas methan
pada padi sawah tanpa dipupuk organik pada MH 1995/96 sebesar 55,6 kg CH4/ha dan
ebolusi methan 24,1 kg CH4/ha, pada MK 1996 emisi methan sebesar 153,8 kg CH4/ha
dan ebolusi methan 61,7 kg CH4/ha. Penelitian pada lahan tadah hujan tanpa perlakuan
pupuk organik, dengan perlakuan 5 ton jerami per hektar dan perlakuan 5 ton pupuk
kandang/ha pada MH 1995/96 besamya emisi methan masing-masing 51,8; 73,3 dan 52,3
kg CH4/ha dan ebolusi methan sebesar 8,9; 13,8 dan 16,1 kg CH4/ha, sedangkan pada
MK 1996 dengan besamya emisi methan masing-masing 50,0; 67,9 dan 85,2 kg CH4/ha
dan ebolusi methan masing-masing sebesar 6,6; 18,5 dan 40,5 kg CH4/ha. Jika rasio C/N
di dalam tanah rendah, maka peningkatan pemupukan tidak berpengaruh terhadap emisi
methan.
Guna mengurangi efek GRK, hasil penelitian Puslitnak (2002) menyebutkan pola
usaha tani dengan cara: 1) substitusi penggunaan urea dengan ammonium sulfat, (2)
usaha tani pola tanpa olah tanah, (3) dan penyemaian benih dengan sebar benih langsung
dapat mengurangi efek GRK sampai dengan 62%.
Limbah dari usaha tani padi dapat diolah dan dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan, energi dan pupuk/pakan sehingga meningkatkan pendapatan petani
serta turut menurunkan emisi GRK dan memperbaiki kualitas lingkungan. Usaha tani
ternak sapi potong berdampak terhadap efek gas rumah kaca maupun kualitas
lingkungan. Berdasar data FAO tahun 1998 disebutkan bahwa kotoran ternak
menghasilkan gas methan (CH4) 848,4 ribu ton yang dapat meningkatkan emisi GRK.
Namun demikian kotoran ternak dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai penghasil gasbio,
bahan bakar, pupuk kandang sehingga meningkatkan pendapatan petani serta turut
menurunkan emisi GRK dan memperbaiki lingkungan.
Biaya dan Manfaat Usaha tani Pola CLS
Usaha tani pola CLS merupakan salah satu upaya memperbaiki kualitas lingkungan
terutama kesuburan lahan sekaligus meningkatkan pendapatan petani.
1. Identifikasi manfaat usaha tani pola CLS bagi perbaikan kualitas lingkungan dan
peningkatan pendapatan petani yang dihitung dengan rincian sebagai berikut :
a. terjadinya peningkatan kesuburan lahan dengan bertambahnya unsur hara di
dalam lahan akibat pemakaian kompos. Perbaikan produktivitas lahan dari
adopsi pupuk kompos, dimana valuasi ekonomi didekati dengan menghitung
effect on product on Production yaitu terjadi peningkatan produksi gabah
permusim sekitar 0,10 ton/ha x Rp.1.450.000/ton = Rp.145.000/ha dan
meningkatnya produktivitas pakan ternak yang dihitung dari nilai penghematan
dari konsentrat sebesar Rp1.500. 000 per tahun. Adanya lapangan kerja baru
dengan mengelola limbah sebesar 100 HOK atau Rp.1000.000/tahun.
b. meningkatnya kesehatan masyarakat akibat berkurangnya aplikasi pestisida
kimia yang diukur dari penghematan biaya berobat akibat limbah gas dan udara
bila dilakukan pembakaran jerami maupun pemakaian pestisida kimia (non CLS)
dihitung dengan pendekatan cost illness method dengan biaya sekali berobat ke
Puskesmas sebesar Rp. 10.000,-, dengan adanya po1a CLS maka kejadian
penyakit ISPA berkurang.
c. meningkatnya kualitas udara, terutama karena berkurangnya buangan gas
methan dari limbah ternak dengan nilai US$5 per ton methan.
d. bertambahnya keanekaragaman hayati akibat berkurangnya penggunaan
pestisida kimia, dimana valuasi ekonomi didekati dengan menghitung selisih
antara besamya biaya pemakaian pestisida kimia dengan bio pestisida yaitu rata-
rata sekitar Rp.30.000/ha dengan upah kerja yang relatif sama.
e. meningkatnya biodata air akibat tidak ada limbah pertanian yang dibuang ke
sungai dihitung berdasarkan effect on production dimana produksi ikan
meningkat diduga sebesar 0,05 ton/tahun atau setara Rp 250.000/tahun.
Sedangkan manfaat untuk MCK, pemanfaatan air bersih, maupun dampak pada
ekosistem sungai tidak dapat dikuantifikasi.
2. Identifikasi biaya dari untuk pengendalian dampak dari usaha tani pola CLS secara
rinci sebagai berikut:
a. Proses pengomposan dan fermentasi jerami dan merang tetap menghasilkan
limbah padat dan cair yang perlu dilakukan penampungan dan pengelolaan
sebelum dibuang ke sungai dengan biaya tenaga kerja 15 HOK/musim x
Rp.l0.000/HOK Rp.150.000/musim.
b. Proses pengomposan dan fermentasi jerami dan merang juga menghasilkan
aroma bau tidak sedap dan mengganggu estetika, namun tidak bisa
dikuantifikasi, sehingga didekati dengan pemberian gamping agar tidak terlalu
becek dengan biaya pertahun bervariasi antara Rp. 20.000 sampai Rp. 180.000,-
atau rata-rata sebesar Rp. 44.500,-
c. Pembuatan gudang skala satu kelompoktani untuk pengolahan limbah ternak
dan pengepakan dengan rata-rata biaya pertahun sebesar Rp. 1.408.333,-
Pembuatan bak penampung limbah/septictank rata-rata sebesar
Rp.612.500,-. Penyedotan limbah cair dan perbaikan saluran pembuangan
limbah skala satu kelompoktani rata-rata biaya pertahun sebesar Rp. 300.000,-
d. Biaya-biaya pengelolaan lingkungan masyarakat dan sosial budaya dalam satu
tahun meliputi: sumbangan lampu neon/penerangan lain Rp. 50.000,-
sumbangan semen/conblok/perbaikan jalan Rp. 1.492.826,- sumbangan
hajatan/duka Rp. 44.342,- sumbangan acara perayaan/hari besar Rp. 13.409,-
maupun sumbangan ronda ronda Rp.11.333,-.
Kelayakan Ekonomi Usaha tani Pola CLS dan Non CLS.
Berdasarkan analisis ekonomi dengan memasukan unsur perbaikan kualitas
lingkungan, maka usaha tani pola CLS memiliki nilai NPV sebesar Rp. 42,9 juta memiliki
nilai positif (layak), nilai IRR dengan OCC 12 % sebesar 38,05% lebih besar dari 12 %
(layak), dan nilai B/C rasio sebesar 1,54 berarti memiliki nilai lebih dari satu (layak).
Sedangkan kelayakan ekonomi dari usaha tani pola non CLS memberikan hasil layak
tetapi jauh lebih rendah dibandingkan dengn pola CLS, yaitu NPV sebesar Rp.3,07 juta,
IRR sebesar 14,14% dan B/C rasio 1.15. Rincian analisis kelayakan ekonomi terlihat
pada tabel Lampiran 16 dan 17. Apabila dibandingkan antara hasil kelayakan finansial
dengan ekonomi, dapat disimpulkan bahwa kelayakan ekonomi usaha tani pola CLS lebih
tinggi dibandingkan kelayakan secara finansial.
Pada analisis dengan uji sensitivitas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
kenaikan biaya bahan input pertanian (pupuk dan pakan ternak) sebesar 10% baik usaha
tani CLS maupun non CLS masih layak namun kelayakan ekonomi usaha tani pola CLS
lebih tinggi daripada non CLS, yaitu nilai IRR usaha tani pola CLS sebesar 37,45% dan
B/C rasio 1,54 sedangkan nilai IRR usaha tani non CLS sebesar 12,75 % dan B/C rasio
1,13 secara rinci seperti terlihat pada Lampiran 19.
Pada analisis dengan uji sensitivitas dengan adanya penurunan harga jual output
yaitu harga gabah dan sapi sebesar 10 % usaha tani CLS masih layak dilaksanakan,
sedangkan usaha tani non CLS secara ekonomi tidak layak dilaksanakan. Tingkat
kelayakan ekonomi usaha tani CLS untuk nilai IRR usaha tani pola CLS sebesar 29,95 %
dan B/C rasio 1,41, sedangkan nilai IRR usaha tani non CLS sebesar 3,63% da B/C rasio
1,03 dengan rincian seperti terlihat pada Lampiran 20.
Dampak penurunan harga jual output ternyata lebih sensitif dibandingkan dengan
kenaikan harga bahan baku (input pertanian). Dengan demikian guna melindungi petani
terhadap perubahan harga output diperlukan regulasi pada aspek harga dan pemasaran
hasil pertanian.
4.4. Peran Kelembagaan Petani Dalam Usaha Tani Cls
4.4.1. Keragaan Kelompok Usaha tani Pola CLS
Kelembagaan berfungsi untuk: (1) memberikan pedoman dalam bersikap dan
berperilaku dalam menghadapi masalah, (2) menjaga keutuhan masyarakat, dan (3)
memberikan pegangan masyarakat dalam pengendalian sosial (Soekanto, 1999).
Kelembagaan juga berperan dalam pengelolaan sumberdaya, mobilisasi, dan wadah
untuk berkomunikasi. Jenis-jenis kelembagaan yang terkait dengan usaha pertanian di
lokasi penelitian diantaranya Kelompoktani-ternak, Koperasi Unit Desa (KUD), Toko/Kios
Saprotan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Peternakan dan Perikanan,
Perbankan (BRI, BPD, dan lainnya) dan Swasta. Beberapa manfaat adanya kelompok tani
yang dapat dinikmati oleh anggotanya antara lain :
¬ Kemudahan untuk mendapatkan sarana produksi.
¬ Kemudahan untuk pemasaran hasil.
¬ Meningkatkan keahlian dan ketrampilan di bidang teknis dan manajemen kelompok
secara bersama-sama.
¬ Inisiatif dalam melaksanakan kegiatan pembangunan desa dan menciptakan
kesadaran mobilisasi sumberdaya secara optimal.
¬ Mendukung satu sama lain sebagai anggota kelompok.
¬ Memudahkan komunikasi dan alih teknologi di bidang pertanian dan peternakan.
¬ Menciptakan hubungan dan jaringan dengan lembaga lain.
Jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh kelompoktani bervariasi antar kelompoktani
yang mengusahakan pola CLS, namun secara umum kelompoktani tersebut melakukan
usaha pengolahan kompos maupun usaha simpan-pinjam. Kelompoktani Tani Mulyo
telah mampu memberikan pelayanan jasa IB dan kesehatan hewan, penyewaan jasa alat
dan mesin pertanian berupa hand traktor dan memiliki laboratorium mini pengelolaan
enzim/mikroba. Keragaan usaha kelompoktani disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Keragaan Kelembagaan Kelompoktani di Lokasi Penelitian
No. Kelompoktani Tahun Berdiri
Anggota (orang)
Usaha kelompoktani
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sari Mulyo Dewi Sri Tani Mulyo Eko Upoyo Tani Mulyo VI Ngudi Makmur Tani Manunggal
1984 1978 1981 1979 1982 1978 1992
33 85 70 102 82 87 24
Usaha saprodi & kompos, pelayanan jasa IB/ Keswan, dan simpan pinjam. Usaha saprodi & kompos, simpan pinjam. Usaha saprodi & kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, jasa alsin, lab mini, simpan pinjam. Usaha saprodi & kompos, pelayanan jasa IB/ Keswan, simpan pinjam. Usaha kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, simpan pinjam. Usaha kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, simpan pinjam. Usaha kompos, pelayanan jasa IB/Keswan, simpan pinjam.
Sumber : data primer, 2004.
Selain mengembangkan usaha kelompok, kegiatan lain yang dilakukan
kelompoktani antara lain pelayanan kegiatan yang bersifat kelompok seperti penyampaian
informasi, pengaturan rencana tanam, pengandangan ternak, iuran kelompok, arisan dan
lainnya. Dalam hal penguasaan teknologi yang melestarikan lingkungan, kelompoktani
pola CLS relatif lebih maju dibandingkan dengan kelompoktani pola
monokultur/konvensional, namun keberadaan dan peran kelompok masih dapat
ditingkatkan, seperti menjalin kerjasama dengan pihak-pihak penyedia input, sebagai agen
untuk memperoleh permodalan dan meningkatkan jaringan pemasaran. Berdasarkan
wawancara terlihat bahwa kelompoktani masih mengalami kesulitan akses permodalan
maupun pasar. Posisi tawar petani dalam pemasaran lemah, dan peran pemasaran
dikendalikan oleh keberadaan pedagang dan blantik. Kondisi tersebut sejalan dengan
hasil penelitian Setiani, C, at al (2003) dimana tingkat pemanfaatan kelompok belum
menjangkau aspek pasca panen dan pemasaran, masih diperlukan pinjaman modal bagi
pengembangan uasaha tani tanaman-ternak, serta pendekatan organisasi kelompok tani
dalam penerapan teknologi usaha tani tanaman ternak perlu dilakukan berdasarkan
agroekosistem. Pada Tabel 13 disajikan jenis-jenis kegiatan usaha tani yang bisa
dilakukan secara perorangan maupun secara berkelompok.
Tabel 13. Peran Kelompoktani pada Setiap Jenis Kegiatan Usaha tani
No Jenis Kegiatan % Responden dalam Melaksanakan Kegiatan 1. 2.
Usaha tani padi : - Pengolahan lahan - Penanaman - Pemupukan - Pengendalian hama/penyakit - Pemanenan - Pemasaran hasil - Pengolahan jerami
Usaha Penggemukan Ternak - Pengandangan ternak - Pengadaan pakan - Pengolahan kompos - Pengendalian penyakit - Pemasaran hasil
Secara individu (57,14%), berkelompok (42,86%) Secara individu (91,43%), berkelompok (8,57%) Secara individu (100,00%), Secara individu (100,00%), Secara individu (71,43%), berkelompok (28,57%) Secara individu (71,43%), berkelompok (28,57%) Secara individu (78,57%), berkelompok (21,43%) Secara individu (57,14%), berkelompok (42,86%) Secara individu (71,43%), berkelompok (28,57%) Secara individu (62,14%), berkelompok (37,86%) Secara individu (85,71%), berkelompok (14,29%) Secara individu (75,00%), berkelompok (25,00%)
Sumber : olahan data primer, 2004.
Berdasarkan peran kelompoktani dalam berusaha tani, terdapat beberapa kegiatan
usaha tani yang dilakukan secara perorangan seperti penanaman, pemupukan,
pengendalian hama penyakit tanaman maupun pemasaran hasil, namun ada peran
kelompoktani yang dominan melaksanakan beberapa kegiatan secara kolektif dengan
pertimbangan lebih efisien seperti pengolahan lahan, pengandangan ternak, dan
pengolahan kompos, di samping itu sudah terlihat peran kelompok dalam pemanenan,
pendagaan pakan dan pemasaran hasil.
Pelaksanaan kegiatan CLS didukung oleh berbagai lembaga baik di tingkat pusat,
daerah bahkan sampai tingkat petani. Kegiatan CLS melibatkan berbagai pihak antara lain
penyedia saprodi, peternak, pedagang, dokter hewan, poskeswan, alat mesin pertanian
dan sebagainya. Diperlukan pengorganisasian yang baik serta kejelasan fungsi
kelompoktani sebagai wadah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
tersebut. Dalam rangka menunjang kegiatan CLS ditumbuhkan lembaga pelayanan
permodalan/ keuangan dari perbankan. Disamping itu diperlukan kerja sama dengan
swasta ataupun koperasi. Lingkup kegitan layanan permodalan/keuangan meliputi
penyaluran kredit serta memobilisasi dana dari masyarakat. Sedangkan lingkup kegiatan
swasta ataupun koperasi meliputi kerja sama dalam penyaluran sprodi bibit, benih obat
dan ternak serta pemasaran hasil pertanian. Namun demikian, pada saat dilakukan
penelitian terlihat bahwa koperasi dalam hal ini KUD belum berperan dalam penyediaan
pupuk kandang, bahan fermentasi dan pemasaran produk hasil usaha tani pola CLS.
Peran asosiasi petani organik disamping menyediakan kebutuhan pupuk kandang bagi
anggotanya, juga merupakan wadah dalam proses pembelajaran dan pemasaran hasil.
Beberapa hal yang terkait dengan pengembangan dan pemberdayaan kelompoktani
adalah mengenai: kondisi dan kinerja kelompoktani, pemanfaatan potensi dan
pengembangan peluang usaha serta pemenuhan jenis-jenis pelayanan yang dapat
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan anggota. Penumbuhan kelembagaan untuk
mendukung kegiatan CLS dilakukan dengan pendekatan partisipatif petani dalam
mengembangkan usaha bersama.
Pemerintah Daerah; Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan, Dinas Peternakan dan Perikanan
Lembaga Permodalan
Swasta/Koperasi
Kelompoktani/Asosiasi kelompok tani
Produksi Padi Kompos dan jerami Sapi Potong
Gambar 20. Model Keterkaitan Kelembagaan Petani Pola CLS di Lokasi Penelitian
Berdasarkan model keterkaitan kelembagaan petani pada Gambar 20 dapat
dijelaskan bahwa dalam rangka pengembangan usaha tani pola CLS, terdapat keterkaitan
antara kelompoktani/Asosiasi kelompoktani dan pihak pemerintah daerah. Pemerintah
Daerah berperan sebagai regulator dan fasilitator agar kegiatan CLS dapat berjalan.
Bupati beserta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen (sampai
dengan tahun 2004) dan mulai tahun 2005 bersama Dinas Peternakan dan Perikanan
proaktif mendorong pengembangan CLS. Beberapa kegiatan yang dilakukan dinas
beserta jajarannya yaitu Kantor Cabang Dinas di Kecamatan dan PPL antara lain
merancang rencana tanam dan target produksi usaha tani pola CLS dan padi organik,
inventarisasi kelompoktani, pembinaan, penyuluhan dan pemantauan di lapangan.
Kegiatan-kegitan yang dilakukan oleh instansi terkait tersebut terlihat lebih bersifat
satu arah dan top-down, serta belum dilakukan kegiatan yang bersifat penjaringan
masukan dari petani/kelompoktani (konsultasi publik). Kegiatan konsultasi publik sangat
penting untuk dilakukan guna memperoleh masukan dalam menentukan kebijakan yang
terkait dengan pengembangan CLS. Demikian pula agar pembinaan kelompoktani dapat
lebih intensif, maka perlu dilakukan kegiatan pendampingan. Dinas beserta intansi terkait
lain menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang bergerak dalam bidang penyedia
sarana produksi dan pemasaran hasil. Pendampingan dilakukan secara terpadu guna
pemecahan masalah yang dihadapi petani dalam memperoleh perrmodalan, pengadaan
dan distribusi sarana produksi serta pemasaran, manajemen usaha serta meningkatkan
skala usaha.
Perlu dibangun kerja sama yang sinergis antara kelompoktani dan pihak
swasta/pengusaha maupun dengan koperasi mengingat masing-masing pihak memiliki
potensi dan kekuatan yang bisa dipadukan. Kelompoktani memiliki potensi dan kekuatan
dalam penyediaan bahan baku, tenaga kerja, sumber pakan dan lainnya, namun memiliki
Pasar
kelemahan dalam hal manajemen, teknologi/inovasi dan pemasaran ternaknya, sementara
pihak swasta/pengusaha memiliki modal, kemampuan manajemen dan akses pasar dari
produk padi dan ternak, sehingga apabila kedua kekuatan tersebut digabungkan akan
memiliki senergi yang signifkan bagi pengembangan usaha tani pola CLS. Hal yang perlu
dibenahi dalam rangka menjajagi kerjasama antara kelompoktani dengan
swasta/pengusaha adalah detail komponen kegiatan yang dapat dikerjasamakan.
Misalnya untuk usaha tani padi, pihak swasta berperan dalam penyediaan sarana
produksi dan menampung hasil produksi padi, untuk itu sejak awal telah disepakati
besarnya saprodi, produksi dan harga jualnya. Untuk usaha penggemukan sapi potong
perlu ada pengaturan penjualan melalui pengaturan produksi. Pengaturan produksi dapat
membantu dalam perencanaan penjualan maupun pembelian bakalan dan perkiraan
kebutuhan modal. Produksi dapat diatur dengan memperhatikan lamanya proses produksi
dengan permintaan pasar.
4.4.2. Pengembangan Kelembagaan Usaha tani Pola CLS
Keberadaan kelompoktani terlihat cenderung hanya memperkuat hubungan secara
horisontal dengan jenis-jenis aktivitas anggotanya relatif sama yaitu usaha tani padi dan
penggemukan ternak sapi potong dengan asumsi dapat meningkatkan posisi tawar
kelompok bila anggotanya banyak, namun belum dibangun struktur kelompok yan lebih
konprehenship yang menyatukan antara mereka secara vertikal sehingga lemah dalam
menjalin kerja sama pihak terkait. Dengan demikian terlihat jelas dalam kelompoktani,
dimana penyedia input atau bakalan ternak serta yang memasarkan hasil (gabah maupun
sapi potong) adalah bukan kelompoktani malinkan pihak pedagang/blantik.
Upaya pengembangan usaha tani pola CLS lebih tepat dilakukan dengan
pendekatan kelembagaan melalui kelompoktani daripada pendekatan individu. Hal ini
beralasan mengingat setiap individu secara sosial akan memilih satu kelembagaan
sebagai wadah kegiatannya dan tidak ada satu kegiatan yang dapat dilakukan secara
bebas sama sekali. Walaupun disadari bahwa pendekatan individu melalui kontaktani atau
petani yang sukses jauh lebih murah dan mudah, namun dapat melemahkan proses
belajar anggota untuk memajukan kelompok. Pengembangan kelompoktani selama ini
dominan perhatian pada aspek-aspek struktural dan kurang perhatian pada aspek kultural.
Membangun kelembagaan tidaklah mudah dan membutuhkan waktu lama, hal ini
berbeda dengan introduksi suatu teknologi yang dapat langsung diterapkan dan kelihatan
hasilnya. Pada usaha tani pola CLS diperlukan pola pengandangan secara kelompok atau
sering disebut “kandang komunal”, ternyata terdapat beberapa kelompok yang belum
mengelola ternak secara komunal dengan alasan belum fahamnya maksud dan tujuan
pengandangan secara komunal, rasa nyaman apabila ternaknya menyatu dengan
rumah/pekarangannya kerena persepsi sapi sebagai harta “rojo koyo” disamping kendala
dana dan keterbatasan lahan untuk membangun kandang komunal. Kondisi demikian
menunjukkan banyak pertimbangan petani untuk mengubah perilakunya.
Sebagai teknologi yang relatif baru, penggunaan kandang kelompok memerlukan
proses sosialisasi agar dapat diterimah sepenuhnya oleh petani. Salah satu persyaratan
penting agar suatu inovasi dan diadopsi oleh petani adalah manfaat ekonomi. Menurut
Yuwono, DM, (2003, teknik pengandangan kelompok bermanfaat dari aspek lingkungan,
antara lain: mengurangi pencemaran udara (bau), meningkatnya estetika lingkungan
pemukiman dikarenakan kandang sapi tidak menyatu lagi dengan rumah penduduk,
nyamuk menjadi berkurang, sehingga berdampak positif terhadap kesehatan petani,
sedangkan dari aspek non lingkungan, penggunaan kandang kelompok menyebabkan
peluang petani untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran tentang budi daya sapi potong
lebih besar, di samping nafsu makan sapi cenderung meningkat karena saling berdekatan.
Dengan demikian introduksi teknologi pengandangan ternak komunal perlu pendekatan
kelembagaan yang berisi nilai, norma dan kondisi sosial ekonomi lainnya.
Perlu kehati-hatian dalam pengembangan kemitraan dalam kelompoktani, diperlukan
skenario rancangan yang memadai, mengingat kesulitan memadukan dunia petani yang
cenderung bersifat sosial dengan dunia pasar yang berorientasi bisnis. Prinsip utama
kemitraan adalah adanya kemudahan akses dan kesejajaran yang adil antara satu pihak
dengan yang lain.
4.5. Tingkat Keberlanjutan dan Strategi Pengembangan Usaha tani CLS 4.5.1 Indeks dan Status Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS Hasil analisis Rap-CLS dengan menggunakan metode MDS menghasilkan nilai
Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Usaha tani Pola CLS (IkB-CLS) di Kabupaten Sragen
adalah sebesar 53,21 pada skala sustainabilitas 0 – 100 (Gambar 21). Nilai IkB-CLS
sebesar 53,21 yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 26 atribut yang tercakup
dalam tiga dimensi (ekologi, ekonomi, dan sosial) termasuk ke dalam kategori cukup
berkelanjutan, mengingat nilai IkB-CLS-nya berada pada selang nilai 50 – 75 (0< Nilai
indeks •25 = buruk; 25< Nilai indeks• 50 = kurang; 50< Nilai indeks•75 = cukup; dan
75< Nilai indeks •100 = baik). Untuk mengetahui aspek pembangunan apa yang mas ih
lemah dan memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-CLS pada setiap
dimensi.
D OW N
U P
BAD GOOD
-6 0
-4 0
-2 0
0
2 0
4 0
6 0
0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0 1 2 0
Sum bu X Stelah Rotasi: Indeks Keberlanjutan
Su
mb
u Y
Se
tela
h R
ota
si
In de ks Ke be rlan ju ta n Usah a tan i CLS Re fe ren ces Anch ors
Gambar 21. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan nilai Keberlanjutan Pengelolaan Usaha
tani Pola CLS di Kabupaten Sragen 53,21.
Pada Gambar 21 memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap
dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua
nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam
berbagai kondisi daerah/negara tentu memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan
untuk menjadi perhatian, namun prinsipnya adalah bagaimana supaya setiap dimensi
tersebut berada pada kategori “baik” atau paling tidak “cukup” status keberlanjutannya.
Berdasarkan Gambar 22 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah
sebesar 49,55 pada skala sustainabilitas 0–100. Jika dibandingkan dengan nilai IkB-CLS
yang bersifat multi dimensi maka nilai indeks dimensi ekologi berada di bawah nilai IkB-
CLS dan termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (kurang: 25< Nilai indeks •50)
DO W N
UP
B A D G O O D
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
S um bu X S e ta lh Rota si: Inde ks Ke be rla njuta n
Su
mb
u Y
set
elah
Ro
tasi
Indek s K eberlanjutan A s pek E k ologi Referenc es A nc hors
Gambar 22. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi sebesar 49,55.
Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif
memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan
Gambar 23, ada lima atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan
dimensi ekologi, yaitu: (1) sistem pemeliharaan ternak sapi potong, (2) kepadatan ternak,
(3) tingkat pemanfaatan pupuk dan pestisida, (4) tingkat pemanfaatan jerami untuk pakan,
dan (5) pemanfaatan limbah ternak.
Sistem pemeliharaan ternak terutama dapat dilihat dari teknik pengandangan
ternak. Pengadangan ternak yang dilakukan oleh petani sangat beragam, sebagian besar
ternak dipelihara dengan sistem pengandangan dan hanya sebagian kecil petani
mengumbar ternak sapi di kebun/ladang dan di waktu sore hari dikandangkan. Sistem
pengandangan yang ada adalah sistem kandang ternak perorangan yang ditempatkan di
sekitar atau bahkan menyatu dengan rumahnya, tetapi ada juga sistem kandang
berkelompok. Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan ternak pada usaha
tani pola CLS diperlukan sistem pengandangan kelompok. Sistem perkandangan yang
diterapkan dalam pola CLS menyesuaikan sistem perkandangan yang telah diterapkan
oleh anggota kelompok. Pengandangan ternak yang dibangun oleh kelompoktani yang
lebih maju adalah pengandangan ternak dalam satu kandang yang luas (kandang
komunal) agar kotoran ternak terkonsentrasi dan mudah dikumpulkan dalam satu tempat,
bermanfaat dalam menjaga kesehatan ternak dan kebersihan lingkungan serta
meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial antar peternak. Pengandangan ternak
secara komunal juga merupakan solusi kendala keterbatasan lahan yang dimiliki petani.
Populasi ternak di Kabupaten Sragen termasuk dalam katerogi sangat padat. Tingkat
kepadatan populasi ternak juga menunjukkan besarnya minat petani beternak sapi potong.
Banyaknya populasi ternak di Kabupaten Sragen memerlukan pengelolaan ternak sapi
potong secara intensif.
Kegiatan pertanian tanaman padi yang menggunakan bahan kimia (pupuk dan
pestisida) tidak tepat dapat berdampak pada pencemaran air dan tanah. Jenis pestisida
kimia pada umumnya berupa golongan (1) organokhlorin, antara lain endrin, aldrin,
dieldrin, DDT), (2) organophospat, antara lain diazinon, feninthrothion, parathion,
malathion dan (3) karbamat contohnya sevin. Jenis organokhlorin sudah jarang digunakan
karena tingkat bahayanya tinggi, residunya persisten sekali di dalam tanah, hewan, dan
jaringan tumbuhan, dan cenderung terakumulasi kedalam tubuh makhluk hidup dalam
jangka waktu lama. Jenis organophospat dan karbamat bersifat mudah larut dalam air
dan mudah terurai dalam lingkungan, akan tetapi jenis organophospat daya racunnya
sangat tinggi dan walaupun dengan kadar yang rendahpun dapat berakibat gangguan
pada organisme di dalam perairan.
Pada dasarya pupuk kimia terdiri unsur nitrogen, phospor, dan potasium. Sebagian
pupuk yang tidak terserap tanaman akan larut ke dalam air tanah, sungai, danau dan air
laut. Senyawa nitrogen dan phospor menyebabkan eutrofikasi yaitu proses pertumbuhan
tanaman/gulma air berkembang pesat. Senyawa nitrogen dari limbah pemupukan yang
berada di dalam tanah dapat meningkatkan kadar nitrat dan nitrat di dalam tanah da air
tanah. Sedangkan pupuk organik tidak mengandung bahan kimia beracun. Pencemaran
air dan tanah berdampak bahaya baik bagi tanaman, hewan dan bagi manusia.
Limbah pertanian yang tidak diolah dapat menurunkan kualitas lingkungan air, tanah
dan udara serta berdampak bagi kesehatan manusia. Limbah pestisida dapat
mengganggu kesehatan manusia yaitu syaraf otak dan menurunkan sel darah merah.
Gejala keracunan pestisida antara lain pusing, sakit kepala, lemah, kejang dan lainnya.
Tumpukan bahan organik berupa limbah dapat merusak estetika juga menimbulkan bau
tidak sedap dan menjadi tempat berkembangnya vektor penyakit perut. Limbah yang larut
dalam air menyebabkan air berwama, menjadi keruh dan dapat menurunkan pH air. Air
yang mengandung nitrit dapat menyebabkan penyakit metaemoglobin, sedangkan air
yang mengandung limbah organik secara tidak langsung dapat menyebabkan kenaikan
BOD dan COD. Tingkat kekeruhan air yang aman adalah antara 5-25 silika, tingkat pH air
yang aman untuk diminum adalah antara 6,5 sampai 9,2 sedangkan tingkat kadar nitrat
dalam air tidak boleh melampaui 20 ppm (Tugaswati et al, 1985).
Usaha tani pola CLS juga turut mengurangi pencemaran air dan tanah, karena
berkurangnya penggunaan pupuk kimia dan pestisida untuk input usaha tani. Usaha tani
pola CLS mampu meningkatkan kesuburan tanah dengan cara memperkaya unsur luar
dalam tanah dan menambah ketebalan humus sehingga produktivitas lahan untuk usaha
tani padi dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun. Sebaliknya bila dilakukan usaha tani non
CLS dimana penggunaan pupuk kimia dan pestisida tinggi maka mengakibatkan
produktivitas lahan semakin menurun.
Seperti halnya usaha pertanian lainnya, penggemukan sapi potong juga berdampak
terhadap lingkungan baik berupa pencemaran udara maupun pencemaran air dan tanah.
Sapi potong merupakan hewan herbivora yang memanfaatkan produser/hasil fotosintesa
untuk proses biologinya kemudian menghasilkan biomasa antara lain daging, kulit, tulang,
isi rumen, tanduk, kotoran dan air kencing ternak. Manfaat kotoran ternak sapi disamping
dapat digunakan sebagai pupuk kandang, juga dapat digunakan sebagai bahan bakar
pengganti kayu bakar dan sekam, gas bio, pakan ternak unggas (Wiryosuhanto, 1985).
Secara umum manfaat pupuk kandang adalah memperbaiki keadaan fisik, kimia dan
biologi tanah, berupa memudahkan penyerapan air hujan, memperbaiki daya mengikat air,
mengurangi erosi, memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi kecambah biji dan akar,
serta sebagai pemasok unsur hara tanaman. Dibandingkan dengan pupuk organik yang
lain, pupuk kandang lebih banyak mengandung unsur N jantan berat sekitar 450 kg
menghasilkan 10 ton kotoran kering sekitar 1-2 ton kotoran pertahun yang didalamnya
mengandung pupuk dan air kencing sedangkan urine sapi mengandung nitrogen (Ditjen
Peternakan, 1996). Menurut Diwyanto et al (2001) produksi limbah ternak sapi yang dapat
digunakan pupuk kandang per tahun sekitar 3 ton/ekor apabila diolah menjadi kompos
cukup untuk memenuhi kebutuhan kompos satu musim sekitar 1,2 sampai 2 ton
kompos/ha.
Pemanfaatan pupuk dan pestisida kimia di lokasi penelitian masih relatif tinggi dan
melebihi standar yang direkomendasikan. Guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas
usaha tani padi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia harus dikurangi. Penggunaan
pestisida kimia dapat digantikan dengan bio-pestisida yang bermanfaat ganda bagi
peningkatan produksi sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan. Penggunaan pupuk
kandang di lokasi penelitian rata-rata 1.570 kg/ha masih dapat ditingkatkan menjadi
sekitar 4000 kg/ha sampai dengan 6000 kg/ha. Berdasarkan pendugaan model fungsi
produksi usaha tani pola CLS diketahui dampak penggunaan pupuk kandang terhadap
produksi padi sebesar +0,125, sehingga penggunaan pupuk kandang per satuan luas
masih dapat ditingkatkan dengan memperhatikan standar teknis kebutuhan hara.
Jenis limbah usaha tani padi berupa sekam, dedak, bekatul, merang dan jerami
masing-masing mempunyai manfaat tersendiri. Komposisi biomasa tanaman padi
disebutkan bahwa dari 100 kg tanaman padi kering hanya diperoleh 28,9 kg beras,
sisanya berupa limbah jerami 55,6 kg, sekam 8,9 kg, dan bekatul 3,6 kg (Abbas et al,
1985). Sedangkan berdasarkan (data Vademekum 1980 dalam Kantor Meneg.
Peningkatan Produksi Pangan, 1985) bahwa besarnya produksi sekam adalah sebesar 4
% dari produksi gabah, dedak kasar 4 %, dedak halus 2,5 %, bekatul 1,5 % dari produksi
gabah dan tergantung dari peralatan penggilingan padi, besarnya jerami dan merang
sekitar 150 % dari produksi gabah. Sekam dapat dimanfaatkan sebagai bahan energi
alternatif, bahan baku industri kimia, industri bangunan dan industri karet, dan tahan
isolasi. Dedak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk atau bahan bakar namun kandungan
N,P dan K relatif rendah, bahan farmasi penyedia konsentrat vitamin B, dan sebagai
makanan ternak. Merang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kertas,
bahan baku shampoo/mencuci rambut dan pakan ternak, sedangkan jerami banyak
mengandung silika dapat dimanfaatkan strawboard/bahan bangunan (Abbas et al, 1985).
Saat ini jerami dengan ditambahkan bahan organik (jerami fermentasi) dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Potensi jerami sebagai pakan ternak sapi potong di Kabupaten Sragen cukup
tinggi, namun belum dimanfaatkan secara optimal, hanya petani dengan usaha tani pola
CLS yang memanfaatkan limbah jerami sebagai pakan ternak, sedangkan petani pola
konvensional tidak memanfaatkan jerami, limbah jerami dibakar atau hanya ditumpuk di
pinggiran sawah. Menurut Diwyanto et al (2001) produksi jerami dari usaha tani padi per
musim sekitar 6 ton/ha mampu mencukupi kebutuhan pakan ternak 4 – 5 ekor sapi
dewasa sepanjang tahun.
Gambar 23. Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekologi yang Dinyatakan dalam
Bentuk Perubahan Nilai RMS.
Pada Gambar 24 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar
56,23. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sedikit lebih besar daripada nilai indeks
keberlanjutan dimensi ekologi, namun tetap masih termasuk ke dalam kategori cukup
berkelanjutan. Hal ini mengandung pengertian bahwa pengelolaan usaha tani pola CLS
Kabupaten Sragen lebih berkelanjutan (memberikan manfaat) dari dimensi ekonomi
daripada dimensi ekologi. Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin
meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks
dimensi tersebut.
0.55
2.01
4.28
2.19
2.88
6.13
4.36
1.06
0.31
0 1 2 3 4 5 6 7
Kesesuaian lahan
Tingkat pemanfaatan lahan
Tingkat penggunaan pupuk/pestisida
Pemanfaatan limbah ternak sapi
Pemanfaatan jerami untuk pakan ternak sapi
Sistem pemeliharaan ternak sapi
Kepadatan ternak
Ketersediaan RPH
Pemotongan sapi betina produktif
Variabel
Peran masing-masing variabel dimensi ekologi dalam bentuk perubahan nilai RMS
Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana pada Gambar 25 ada tiga atribut
yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi,
yaitu: (1) ketersediaan lembaga keuangan dan kemudahan untuk mengaksesnya, (2)
tingkat kelayakan usaha tani pola CLS, serta (3) jenis subsidi dari pemerintah yang
dibutuhkan petani pola CLS.
Permodalan merupakan unsur yang sangat penting dalam kegiatan usaha tani.
Sumber-sumber permodalan petani/kelompoktani dapat diperoleh dari swadaya anggota,
bantuan pemerintah, kerjasama/pinjaman dari swasta, maupun kredit dari perbankan.
Keberadaan lembaga keuangan sangat penting guna mendukung permodalan petani,
kendala umum yang dihadapi adalah sulitnya mengakses ke lembaga keuangan
(perbankan) karena dibutuhkan agunan, persyaratan administrasi yang rumit dan lainnya,
padahal petani pada umumnya tidak memiliki aset sebagai agunan kecuali lahannya dan
menginginkan prosedur memperoleh kredit secara sederhana. Apabila kelayakan
finansial usaha tani merupakan persyaratan untuk memperoleh kredit dari bank, maka
petani belum terbiasa menyusun proposal kelayakan usaha tani maupun membukukan
keuangan usaha tani, sehingga pihak perbankan kesulitan menilai kelayakan usaha dan
pemantauan perkembangan usahanya. Secara umum tingkat kelayakan di sektor
pertanian lebih rendah dibandingkan dengan sektor industri dan resiko faktor alamnya
lebih tinggi.
Untuk dapat menerapkan usaha tani pola CLS secara sempurna setidaknya harus
tersedia sekitar 2-4 ekor per hektar sawah. Namun petani tidak memiliki modal yang cukup
untuk membeli bakalan sapi, sehingga dibutuhkan modal dari pinjaman. Lembaga
keuangan yang biasa diakses petani di Kabupaten Sragen adalah BRI dan BPD,
kerjasama/kemitraan dengan swasta dan perusahaan daerah. Sedangkan KUD dan
koperasi simpan pinjam belum berkembang. Dalam rangka pengembangan usaha tani
pola CLS mesti disediakan lembaga keuangan dan kemudahan untuk mengakses
permodalan atau setidaknya pemerintah menjembatani antara pihak pemberi modal dan
petani/kelompoktani, sehingga petani dapat dengan mudah mengakses modal. Guna
mengurangi ketergantungan petani kepada pemerintah, maka pola-pola pemberian
bantuan cuma-cuma dari pemerintah agar dikurangi digantikan dengan kredit program.
DO W N
UP
B A D G O O D
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sum bu X se te la h Rota si: Inde ks Ke be rla njuta n
Su
mb
u Y
set
elah
Ro
tasi
Indeks keber lan ju tan A s pek Ekonomi Ref erenc es A nc hors
Gambar 24. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi sebesar 56,23.
Gambar 25. Peran masing-masing Atribut Dimensi Ekonomi yang Dinyatakan dalam
Bentuk Perubahan Nilai RMS.
Pada Gambar 26 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar
67,44. Nilai indeks tersebut berada di atas indeks keberlanjutan dimensi ekologi maupun
ekonomi namun masih termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Untuk
meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, perlu dilakukan perbaikan
terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.
1.36
0.67
0.34
0.67
2.66
0.47
0.11
1.17
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Kelayakan finansial/ ekonomi
Kontribusi terhadap PDRB
Rata-rata penghasilan petani CLS-non CLS
Rata-rata penghasilan petani CLS-UMR
Lembaga keuangan
Transfer keuntungan
Besarnya pasar
Besarnya subsidi
variabel
Peran masing-masing variabel dimensi ekonomi dalam bentuk perubahan nilai RMS
DOWN
UP
BAD GOOD
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X setelah Rotasi: Indeks Keberlanjutan
Sum
bu Y
set
elah
Rot
asi
Indeks Keberlanjutan Aspek Sosial References Anchors
Gambar 26. Analisis Rap-CLS yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya sebesar 67,44.
Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 27, ada lima atribut
yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Dengan demikian
atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks
dimensi ini meningkat di masa yang akan datang. Atribut-atribut yang sensitif
mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial adalah sebagai berikut: (1) frekuensi
konflik, (2) kelembagaan/kelompok tani (3) jumlah rumahtangga CLS, (4) persepsi
masyarakat terhadap CLS, dan (5) frekwensi penyuluhan dan pelatihan.
Di dalam kehidupan masyarakat petani di Kabupaten Sragen tidak dijumpai adanya
konflik yang berarti dan tidak terlihat adanya potensi konflik yang berarti. Tidak terjadinya
konflik terkait dengan sistem budaya dan adat istiadat yang bersifat kekeluargaan dan
adanya tokoh informal maupun formal sebagai panutan. Dengan diterapkan usaha tani
pola CLS dapat meningkatkan gotong royong dan kerukunan antar petani, mengingat
beberapa jenis kegiatan usaha tani pola CLS dikalukan secara bersama-sama dalam
kelompoktani.
Jumlah anggota rumahtangga petani pola CLS yang turut terlibat membantu
mengelola usaha tani turut mempengaruhi keberhasilan usaha tani, mengingat diperlukan
curahan waktu dan jumlah tenaga kerja yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan
usaha tani pola konvensional. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam
usaha tani berkisar antara 2-3 orang per keluarga. Keterlibatan anggota keluarga dalam
usaha tani turut menghemat biaya upah tenaga kerja dari luar keluarga.
Persepsi masyarakat turut mempengaruhi keberlanjutan usaha tani pola CLS,
apabila masyarakat mempunyai persepsi yang positif diharapkan dapat mendukung
pengembangan usaha tani CLS, dan sebaliknya apabila persepsi nya negatif. Intensitas
penyuluhan dan pelatihan akan berpengaruh terhadap laju adopsi teknologi, sehingga
semakin intensifnya penyuluhan akan mempercepat tumbuh berkembangknya usaha tani
pola CLS.
Peran kelembagaan/kelompok tani dalam usaha tani pola CLS sangat penting,
mengingat beberapa jenis kegiatan harus dilakukan secara berkelompok, antara lain
seperti pengolahan kompos, pengandangan ternak, pemasaran hasil dan sebagainya.
Gambar 27. Peran masing-masing Atribut Dimensi Sosial Budaya yang Dinyatakan dalam
Bentuk Perubahan Nilai RMS
Analisis Rap-CLS pada setiap dimensi (ekologi, ekonomi, dan sosial)
sebagaimana disajikan pada Gambar 22, 24, dan 26 memperlihatkan, bahwa dari ketiga
dimensi yang dianalisis ternyata dimensi sosial memiliki indeks keberlanjutan paling tinggi,
kemudian disusul oleh dimensi ekonomi, dan yang paling rendah adalah dimensi ekologi.
Dari nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi hasil analisis Rap-CLS dapat disimpulkan
bahwa tidak ada satupun dimensi pengelolaan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen
yang termasuk kategori “baik” dan sebaliknya juga tidak ada satupun dimensi yang
termasuk kategori “buruk”.
Pada Gambar 28 memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap
dimensi berbeda-beda. Secara proporsional, terlihat indek keberlanjutan dimensi ekologi
termasuk dalam kategori kurang keberlanjutan, sedangkan dimensi lainnya cukup
berkelanjutan. Indek keberlanjutan dari masing-masing dimensi ini saling berinteraksi
sehingga menjadi satu kesatuan indeks keberlanjutan. Dengan demikian perubahan pada
satu dimensi akan mempengaruhi dimensi lain secara kohesif dan berpengaruh terhadap
total indek keberlanjutan. Perhatian tidak hanya dilihat dari besaran masing-masing
0.47
3.02
1.74
4.26
2.39
2.37
3.73
2.00
2.19
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Sosialisasi pekerjaan
Jumlah rumahtangga CLS
Pengetahuan tentang lingkungan
Frekuensi konflik
Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
Kelembagaan/kelompok tani
Kelembagaan/badan usaha/jasa
Lembaga layanan pemerintah
Variabel
Peran masing-masing variabel dimensi sosial dalam bentuk perubahan nilai RMS
dimensi, melainkan juga besarnya permasalahan pada atribut di setiap dimensi. Skor
indek keberlanjutan dapat ditingkatkan dengan memperhatikan masing-masing atribut
pada setiap dimensi yang dapat ditingkatkan kinerjanya. Dalam konsep pembangunan
berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai
yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah tentu memiliki prioritas
dimensi yang lebih dominan untuk menjadi perhatian, namun prinsipnya adalah
mengupayakan agar setiap dimensi tersebut berada pada kategori “baik” atau paling tidak
“cukup” status keberlanjutannya.
Gambar 28. Diagram Layang (kite diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan
Usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-CLS dengan
menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan
terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 14 menyajikan nilai “stress”
dan R2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multi-dimensi. Nilai tersebut
berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan
dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya).
56.23
49.55 67.44
0
20
40
60
80
100 Ekonomi
Ekologi Sosial
Tabel 14. Hasil Analisis Rap-CLS untuk Beberapa Parameter Statistik Usaha tani Pola CLS.
Nilai Statistik Multi Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Stress 0.15 0.13 0.16 0.14 R2 0.96 0.95 0.94 0.95 Jumlah iterasi 2 2 2 2
Sumber : Hasil analisis, 2005. Berdasarkan Tabel 14 setiap dimensi maupun multi dimensi memiliki nilai “stress”
yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai “stress” pada analisis
dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai 25% (Fisheries. Com,
1999). Karena semakin kecil nilai “stress” yang diperoleh berarti semakin baik kualitas
hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2), kualitas
hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1).
Dengan demikian dari kedua parameter (nilai “stress” dan R2) menunjukkan bahwa
seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan usaha tani Pola
CLS Kabupaten Sragen sudah cukup baik dalam menerangkan ketiga dimensi
pembangunan yang dianalisis (ekologi, ekonomi, dan sosial).
Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masing-masing
dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis
komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random
number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi
persamaan atau model matematis (EPA 1997). Mekanisme untuk mendapatkan solusi
tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Oleh karena itu menurut Bielajew
(2001) proses perhitungan akan lebih cepat dan efisien jika menggunakan komputer.
Nama “Monte Carlo” diambil dari nama kota “Monte Carlo” karena analisis Monte Carlo
pada prinsipnya mirip dengan permainan rolet (roullet) di Monte Carlo. Permainan Rolet ini
dapat berfungsi sebagai pembangkit bilangan acak yang sederhana.
Analisis Monte Carlo sangat membantu di dalam analisis Rap-CLS untuk melihat
pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi
yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi
pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda,
stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukan data atau ada data yang hilang
(missing data), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi.
Pemberian skor pada analisis Rap-CLS hanya menunjukkan kondisi sesaat,
sehingga dinamika yang terjadi di dalam sistem itu sendiri tidak dapat digambarkan secara
detail. Oleh karena itu penilaian (pemberian skor) dapat didasarkan pada perkembangan
atribut dalam kurun waktu tertentu dan atau perlu ada analisis tambahan yang dapat
memberikan gambaran dinamika sistem yang berkelanjutan.
Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata
mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total maupun masing-
masing dimensi. Berdasarkan Tabel 15 dan Gambar 29, 30 dan 31 dapat dilihat bahwa
nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan usaha tani Pola CLS di Kabupaten Sragen
pada selang kepercayaan 95% diperoleh hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan
antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo. Kecilnya perbedaan nilai indeks
keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo
mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap
atribut relatif kecil; (2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; (3)
proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; (4) kesalahan pemasukan
data dan data yang hilang dapat dihindari.
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sum bu X s e te lah Rotas i: Inde k s k e be r lanjutan.
Su
mb
u Y
ste
lah
Ro
tasi
Gambar 29. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 persen yang Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi 49,95.
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
S um bu X se te la h Rota si: Inde ks Ke be rla njuta n
Su
mb
u Y
se
tela
h R
ota
si
Gambar 30. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen yang
Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 54,99.
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sum bu X se te la h Rota si: Inde ks Ke be rla njuta n
Su
mb
u Y
se
tela
h R
ota
si
Gambar 31. Analisis Monte Carlo pada Selang Kepercayaan 95 Persen yang
Menunjukkan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial 67,49.
Tabel 15.Hasil Analisis Monte Carlo untuk nilai IkB-CLS dan masing-masing Dimensi Usaha tani Pola CLS pada Selang Kepercayaan 95% di Kabupaten Sragen.
Status Indeks Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan
IkB-CLS 53,21 54,01 0,80 Dimensi Ekologi 49,55 49,95 0,40 Dimensi Ekonomi 56,23 54,99 1,24 Dimensi Sosial-Budaya 67,44 67,49 0.05
Sumber: Hasil Analisis, 2005.
Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel 15
menunjukkan bahwa analisis Rap-CLS dengan menggunakan metode MDS untuk
menentukan keberlanjutan usaha tani pola CLS yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan
yang tinggi, dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode analisis Rap-CLS yang
dilakukan dalam kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk
menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari kegiatan usaha tani di suatu
wilayah/daerah.
4.5.2. Perumusan Strategi Pengembangan Usaha tani CLS
Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan usaha tani padi,
analisis kelayakan finansial dan ekonomi, analisis peran kelembagaan petani dapat
diketahui bahwa usaha tani pola CLS merupakan pola alternatif dalam penerapan
pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Usaha tani pola CLS mampu
meningkatkan produksi dan produktivitas usaha tani, meningkatkan pendapatan dan
melestarikan sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Salikin
K.A. (2003) bahwa sistem pertanian masa depan adalah sistem pertanian berkelanjutan
yang diindikasikan dengan tingkat produksi yang terus meningkat dengan biaya yang
konstan atau menurun.
Guna merumuskan pengembangan usaha tani pola CLS di masa mendatang,
terlebih dahulu dilihat potensi pengembangan CLS di Indonesia. Pulau Jawa dapat
dijadikan sebagai contoh gambaran sumberdaya lahan sawah dan ternak sapi yang
sangat potensi dikembangkan CLS. Kegiatan pertanian pola CLS dengan
mengintegrasikan usaha tani padi dengan penggemukan ternak sapi potong sudah
berkembang terutama di Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur,
sedangkan di Provinsi Jawa Barat belum berkembang, tetapi memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan/diterapkan usaha tani pola CLS. Secara keseluruhan lahan sawah
yang berpotensi untuk dikembangkan usaha tani pola CLS di Pulau Jawa cukup tersedia,
dimana luas lahan sawah sebanyak 2,87 juta hektar. Luas panen padi sawah di Pulau
Jawa pada tahun 2003 seluas 4,70 juta hektar atau 45,24 % dari luas panen padi di
Indonesia dengan kontribusi terhadap produksi gabah nasional mencapai 25,46 juta ton
gabah atau sebesar 51,56 % (Deptan, 2004). Dilihat dari kontribusi produksi gabah dan
luas panen tersebut terlihat bahwa rata-rata produksi gabah di Pulau Jawa lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedangkan produktivitas gabah di Pulau Jawa rata-
rata sebesar 5,23 ton/ha lebih tinggi dibangdingkan dengan rata-rata nasional sebesar
4,25 ton/ha. Bahkan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur produktivitas gabah
mencapai lebih dari 5,35 ton/ha.
Limbah padi yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah dedak, merang
dan jerami. Bila diasumsikan produksi dedak kasar dan halus sebesar 6,5 % dari produksi
gabah, maka potensi pakan ternak dari dedak di Pulau Jawa sebanyak 1,88 juta ton dan
bila produksi jerami 6 ton/ha/musim diperkirakan produksi jerami sebanyak 34,5 juta ton
pertahun, maka bahan baku jerami sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak
sapi potong di Pulau Jawa.
Demikian pula apabila dilihat potensi ternak sapi potong, dimana populasi sapi
potong di Pulau Jawa pada tahun 2003 sebanyak 4,31 juta ekor. Populasi sapi potong
tersebut mencapai 40,3 % dari populasi ternak nasional dan sebagian besar berada di
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Deptan, 2004). Dari populasi ternak 5 juta ekor
akan diperoleh kotoran sekitar 136,9 ribu ton perhari, berat kering pupuk lebih dari 22,8
ribu ton perhari, sehingga produksi pupuk setiap tahunnya diperkirakan 7,9 juta ton. Bila
tanaman padi membutuhkan pupuk kandang per hektar sebesar 1,5 ton.musim tanam (2
kali musim tanam pertahun), maka produksi pupuk kandang tersebut mampu mencukupi
kebutuhan pupuk seluas 2,63 juta hektar atau sekitar 90 % dari luas lahan sawah di Pulau
Jawa.
Potensi sumberdaya pertanian tersebut sampai sekarang belum dikembangkan
secara baik, dan apabila dikembangkan secara tepat akan berdampak positif terhadap
pendapatan petani, menggerakan perekonomian dan kelestarian lingkungan. Untuk itu
diperlukan terobosan melalui gerakan nasional pembangunan pertanian berkelanjutan
melalui pemanfaatan sumberdaya lokal dan meminimalisir penggunaan input dari luar.
Berdasarkan hasil analisis indek dan status keberlanjutan usaha tani pola CLS ada
13 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS di
Kabupaten Sragen. Selanjutnya atribut-atribut tersebut dijadikan sebagai faktor penting
dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan usaha tani pola CLS pada masa
yang akan datang. Atribut–atribut yang menjadi faktor penting dalam perumusan
kebijakan dan skenario strategi pengembangan usaha tani pola CLS adalah: (1) Sistem
pemeliharaan ternak sapi, (2) Kepadatan ternak sapi, (3) Tingkat penggunaan pupuk dan
pestisida, (4) Pemanfaatan jerami untuk pakan ternak sapi, (5) Pemanfaatan limbah ternak
sapi, (6) Frekuensi konflik, (7) Kelembagaan/Kelompok tani, (8) Jumlah rumahtangga
CLS, (9) Persepsi masyarakat terhadap CLS, (10) frekwensi penyuluhan dan pelatihan,
(11) Lembaga keuangan, (12) Kelayakan finansial-ekonomi dan (13) Subsidi.
Selanjutnya faktor-faktor penting tersebut didefinisikan dan dideskripsikan evolusi
kemungkinannya di masa depan. Pada Tabel 16 disajikan kondisi faktor-faktor
kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS dengan berbagai keadaan (state)
untuk setiap faktor dan program atau tindakan yang perlu dilaksanakan sehingga nilai
indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS dapat ditingkatkan lebih tinggi dari kategori
sebelumnya, yaitu menjadi kategori “baik” atau “cukup” berkelanjutan.
Tabel 16. Kondisi skor 13 dari 26 atribut yang sensitif berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen.
Dimensi dan Atribut Kondisi Skor Program/Tindakan
I. Dimensi ekologi
1. Tingkat penggunaan pupuk/ pestisida kimia
Melebihi standar Kurangi penggunaan pupuk/ pestisida kimia
2. Pemanfaatan limbah ternak sapi untuk pupuk kandang
sebagian besar dimanfaatkan Tingkatkan dengan cara meningkatkan jumlah petani ikut menerapkan CLS
3. Pemanfaatan limbah jerami untuk pakan ternak sapi
Sebagian besar dimanfaatkan Tingkatkan dengan cara meningkatkan jumlah petani ikut menerapkan CLS
4. Sistem Pemeliharaan ternak sapi
<10% yang diumbar/liar Terapkan pengelolaan ternak secara intensif
5. Kepadatan ternak (ekor ternak/ 1000 orang)
Sangat padat Pengelolaan dengan intensif dengan sarana yang mendukung
II. Dimensi Ekonomi
6. Kelayakan finansial/ekonomi Untung /layak Pertahakan/tingkatkan kelayakannya
7. Lembaga keuangan (bank/kredit)
Ada tapi menjangkau sebagian kecil petani.
Tingkkatkan akses petani memperoleh permodalan
8. Besarnya subsidi sedikit Kurangi/hapus subsidi dengan kompensasi perbaiki infrastruktur dan regulasi
III. Dimensi Sosial-Budaya
9. Jumlah rumah tangga petani CLS
25%-50% dari total jumlah rumah tangga di Sragen
Sosialisasi kepada petani non CLS
10. Frekwensi konflik Tidak ada Pertahankan agar tidak terjadi konflik
11. Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS
Positif Pertahankan mendukung pola CLS
12. Frekwensi penyuluhan dan pelatihan
Sekali dalam setahun Tingkatkan penyuluhan dan pelatihan
13. Kelembagaan/Kelompok tani >75% punya/menjadi anggota kelompoktani
Tingkatkan jumlah keanggotaan kelompoktani.
Hasil analisis prospektif pada Gambar 32 menunjukkan terdapat empat faktor kunci
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha tani Pola CLS, yaitu (1)
kelembagaan/kelompok tani, (2) subsidi, (3) tingkat penggunaan pupuk/ pestisida, dan (4)
pemanfaatan jerami untuk pakan ternak. Empat faktor tersebut merupakan faktor-faktor
yang memiliki pengaruh yang besar terhadap tujuan pengembangan usaha tani Pola CLS
dan ketergantungan antar faktor tersebut rendah. Disamping itu ada lima faktor
penghubung (stake), dimana faktor tersebut memiliki pengaruh dan ketergantungan yang
tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan, (2) lembaga keuangan, (3) frekwensi penyuluhan
dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial/ekonomi.
Faktor-faktor kunci ini perlu mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan
pengembangan usaha tani Pola CLS agar keberlanjutannya pada masa yang akan datang
dapat terjamin.
Faktor bebas dengan tingkat pengaruh dan ketergantungan yang rendah antara lain
jumlah rumah tangga petani-peternak CLS, kepadatan ternak dan frekwensi konflik.
Walaupun jumlah anggota rumah tangga peternak berpengaruh terhadap penyediaan
tenaga kerja usaha tani CLS dan keberlanjutan usaha tani CLS, namun kondisi rumah
tangga yang ada di lapangan menunjukkan kondisi ideal pengelolaan usaha tani CLS
skala rumah tangga. Kepadatan ternak di lokasi penelitian termasuk sangat padat dan
pengelolaan ternak telah diusahakan secara intensif. Mengingat tidak terjadi konflik di
lapangan, sehingga frekwensi konflik menjadi faktor bebas tidak berpengaruh dan
ketergantungan dengan faktor yang lain. Persepsi masyarakat akan semakin positif atau
sebaliknya terhadap usaha tani pola CLS dengan ketergantungan yang tinggi dengan
faktor-faktor lain secara kohesif.
Gambar 32. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Diuji
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
Penggunaan Pupuk/Pestisida
Subsidi
Lembaga Keuangan
Pemanfaatan Jerami
Sistem Pemeliharaan
Kelayakan Finansial/ ekonomipemanfaatan limbah ternak
Frekuensi penyuluhanKelembagaan/Kelompok Tani
Jumlah Rumahtangga CLS
persepsi masyarakatFrekwensi konflikKepadatan ternak
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
- 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80
Ketergantungan
Pen
garu
h
Dalam rangka pengembangan pertanian berkelanjutan usaha tani pola CLS,
perumusan kebijakan dan strategi yang perlu dilakukan adalah dengan memfokuskan
kepada empat faktor kunci tersebut dan memperhatikan faktor penghubung. Rancangan
program dan kebijakan disusun dengan mengemas empat faktor kunci dan faktor
penghubung menjadi satu kebijakan yang memadukan faktor tersebut melalui suatu
gerakan pembangunan pertanian secara berkelanjutan.
Selanjutnya faktor kunci tersebut didefinisikan dan dideskripsikan evolusi
kemungkinannya di masa depan. Pada Tabel 17 disajikan prospektif faktor-faktor
kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS dengan berbagai keadaan (state)
untuk setiap faktor. Berdasarkan keadaan (state) setiap faktor, maka dirumuskan
berbagai skenario strategi dengan cara memasangkan perubahan yang akan terjadi dan
menganalisis implikasinya. Dari hasil tersebut dirumuskan tiga skenario strategi
pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen yaitu: (1) skenario konservatif-
pesimistik; (2) skenario moderat-optimistik; dan (3) skenario progresif-optimistik (Tabel
18). Jumlah skenario strategi yang dapat dirumuskan dalam rangka pengembangan usaha
tani pola CLS bisa lebih dari tiga skenario, namun keadaan (state) dari masing-masing
faktor penentu/kunci kemungkinan yang paling besar diperkirakan akan terjadi di masa
yang akan datang adalah ketiga skenario tersebut.
Tabel 17. Prospektif faktor-faktor kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen.
Keadaan (State) No. Faktor 1A 1B 1C
1. kelembagaan/kelompok tani Keanggoatan rendah dan kelompoktani kurang berperan
terhadap pengembangan CLS.
Berperan menerapkan konsep pembangunan
berlanjutan secara bertahap
Berperan dominan menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan
2A 2B 2C 2. subsidi Tetap Dikurangi secara
bertahap Tidak ada subsidi
sama sekali
3A 3B 3C 3. tingkat penggunaan pupuk/
pestisida kimia Tetap Berkurang
Berkurang mengacu standar teknis
kebutuhan hara setempat
4A 4B 4C 4. Pemanfaatan jerami untuk
pakan ternak Tetap Meningkat Meningkat/lestari
5A 5B 5C 5. Sistem pemeliharaan ternak Tetap Tetap Meningkat
6A 6B 6C 6. Lembaga keuangan Tersedia dan sedikit
menjangkau Semakin menjangkau Mudah
7A 7B 7C
7. Frekwensi penyuluhan dan pelatihan
Tetap Meningkat Meningkat/intensif
8A 8B 8C 8. Pemanfaatan limbah ternak
untuk pupuk Tetap Meningkat Meningkat/lestari
9A 9B 9C 9. Kelayakan finansial dan
ekonomi Tetap Meningkat Meningkat/sangat
layak
Sumber: Hasil Analisis 2005. Tabel 18 Hasil analisis skenario strategi pengembangan usaha tani pola CLS di
Kabupaten Sragen. No. Skenario Strategi Urutan Faktor 1. Konservatif-pesimistik 1A; 2A; 3A; 4A;5A;6A;7A;8A;9A 2. Moderat-optimistik 1B; 2B; 3B; 4B; 5A;6A;7A;8A;9A 3. Progresif-optimistik 1C; 2C; 3C; 4C; 5A;6A;7A;8A;9A
Sumber: Hasil Analisis 2005. Skenario Konservatif- Pesimistik
Skenario konservatif-pesimistik dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing
condition) dari usahatai pola CLS di wilayah Kabupaten Sragen dan tidak ada perubahan
dan tidak memiliki prospek di masa mendatang. Skenario konservatif-pesimistik dibangun
berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi: yaitu (1) tidak ada
perkembangan jumlah kelompoktani dan anggotanya yang menerapkan pola CLS,
kelompoktani yang menerapkan pola CLS sangat pasif/statis, (2) subsidi yang diberikan
pemerintah tidak fokus sesuai kebutuhan setempat, tidak ada kredit program untuk modal
petani, bahkan tidak ada yang menjembatani petani mengakses permodalan, (3) tingkat
penggunaan pupuk/ pestisida masih melebihi standar teknis yang ada, (4) pemanfaatan
jerami untuk pakan ternak belum optimal dan sebagian petani belum mengolah jerami
untuk pakan ternak, (5) sistem pemeliharaan tetap, (6) lembaga keuangan sedikit
menjangkau masyarakat, (7) frekwensi penyuluhan dan pelatihan tetap, (8) pemanfaatan
limbah ternak untuk pupuk tetap/ tidak ada peningkatan, dan (9) tidak ada peningkatan
kelayakan finansial/ekonomi.
Penerapan skenario koservatif-pesimistik ini akan memberikan implikasi berupa:
(1) usaha tani pola CLS tidak berkembang, (2) tidak ada lagi peningkatan produktivitas
padi, ternak rendah, (3) petani kesulitan memperoleh kemudahan dan akses ke
permodalan, (4) limbah jerami tidak dimanfaatkan, sehingga mengganggu kebersihan dan
keindahan lingkungan, (5) penyerapan tenaga kerja rendah, (6) produksi dan pendapatan
petani rendah.
Skenario Moderat-Optimistik
Skenario moderat-optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan
yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan
keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki serta berkeyakinan pengembangan
yang dapat dilakukan. Skenario ini dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor
kunci/penentu dengan kondisi sebagai berikut: (1) terdapat peningkatan peran
kelompoktani dan jumlah anggotanya dalam menerapkan pola CLS, (2) subsidi yang
diberikan pemerintah dikurangi secara bertahap dan digantikan dengan pendampingan
petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida sesuai standar
teknis dan mulai memanfaatkan pupuk organik, (4) pemanfaatan jerami untuk pakan
ternak ditingkatkan, (5) sistem pemeliharaan tetap, (6) lembaga keuangan semakin
menjangkau masyarakat, (7) frekwensi penyuluhan dan pelatihan meningkat, (8)
meningkatnya pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk, dan (9) meningkatnya kelayakan
finansial/ekonomi.
Penerapan skenario moderat-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1)
usaha tani pola CLS menjadi berkembang, (2) produktivitas padi dan ternak meningkat,
(3) ketergantungan petani terhadap subsidi berkurang (4) limbah pertanian dimanfaatkan
meningkat walaupun belum penuh/lestari, (5) terjadi penyerapan tenaga kerja, (6) produksi
dan pendapatan petani meningkat.
Skenario Progresif-Optimistik
Skenario progresif-optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan
yang mungkin terjadi mendapat dukungan secara maksimal dari setiap faktor
kunci/penentu, mempunyai pemikiran yang sangat maju dan optimisme bahwa usaha tani
pola CLS merupakan solusi pengembangan pertanian di masa mendatang.
Skenario progresif-optimistik dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor
kunci/penentu dengan kondisi: (1) peran kelompoktani dan anggotanya sangat dominan
dalam menerapkan pola CLS, (2) tidak ada subsidi dari pemerintah karena petani secara
mandiri mampu mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida sesuai
standar teknis dan memanfaatkan pupuk organik secara penuh/lestari, (4) limbah jerami
dimanfaatkan secara penuh/lestari, (5) sistem pemeliharaan sangat intensif, (6) lembaga
keuangan banyak menjangkau masyarakat, (7) meningkatnya frekwensi penyuluhan dan
pelatihan, (8) peningkatan pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk secara lestrai, dan (9)
meningkatnya kelayakan finansial/ekonomi (sangat layak).
Penerapan skenario progresif-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1)
usaha tani pola CLS sudah berkembang, (2) produktivitas padi dan ternak meningkat, (3)
kemandirian petani terhadap permodalan dan modal mudah diperoleh, (4) tidak ada lagi
limbah yang tidak dimanfaatkan, pengelolaan lingkungan secara lestari, (5) terjadi
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan petani.
Berdasarkan hasil analisis prospektif, strategi yang dapat digunakan untuk
pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen adalah strategi moderat-
optimistik. Adapun faktor penentu/kunci untuk mengimplementasikan strategi tersebut ada
empat faktor kunci yang memiliki pengaruh yang tinggi dan ketergantungan yang rendah
adalah: (1) peran kelompoktani dan anggotanya dalam menerapkan pola CLS, (2) subsidi
pemerintah dan pendampingan petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan
pupuk/pestisida dan pemanfaatan pupuk organik, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan
ternak. Sedangkan faktor kunci yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi
adalah: (1) sistem pemeliharaan, (2) lembaga keuangan, (3) frekwensi penyuluhan dan
pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial/ekonomi.
Guna mempercepat gerakan pembangunan pertanian berkelanjutan perlu dilakukan
melalui pendekatan kelembagaan. Rekayasa kelembagaan dikembangkan tidak harus
membentuk organisasi yang baru dan menghilangkan kesan yang bersifat arahan top
down melainkan gerakan yang dimulai dari kesadaran bersama dengan memanfaatkan
kelembagaan yang ada. Kelembagaan petani berupa kelompoktani ditingkatkan perannya
menjadi wadah seluruh aktivitas anggota sehingga terjadi proses pembelajaran diantara
anggota. Kelompoktani-kelompoktani atas kesadaran bersama dapat membentuk
gabungan kelompoktani atau asosiasi kelompoktani guna mempermudah membangun
jaringan (networking) dengan pihak luar.
Peran kelompoktani diharapkan dapat ditingkatkan menjadi lembaga ekonomi yang
berorientasi bisnis. Di dalam program CLS sangat berpeluang untuk dibentuk unit-unit
usaha bisnis. Melalui manajemen yang baik dengan mengembangkan unit pengolahan
dan pengadaan pakan lengkap (Complete feed), unit pengolahan pupuk organik dan unit
pengadaan pemasaran hasil dapat dijadikan peluang bisnis yang menguntungkan. Secara
bertahap kegiatan kelembagaan petani dikembangkan sejalan dengan semakin besarnya
skala usaha tani CLS. Untuk memperkuat posisi tawar petani maka kegiatan usaha tani
dan kelembagaan harus menunjukkan tingkat efisiensi secara finansial, kontinuitas dan
kualitas produk yang dihasilkan dapat dijamin. Dengan demikian, dalam jangka panjang
kelembagaan petani diarahkan dalam rangka peningkatan partisipasi dan kemandirian
petani serta meningkatkan berfungsinya kelembagaan agribisnis di perdesaan yang lebih
dinamis dan mandiri.
Usaha tani CLS ini merupakan pola transisi menuju padi organik atau biasa disebut
pertanian semi organik. Sehingga perlu dilakukan gerakan penggunaan pupuk alami yang
diperoleh dari limbah atau sumberdaya alam yang ada di sekitarnya serta mengurangi
penggunaan pupuk/pestisida kimia. Penggunaan pakan konsentrat untuk ternak sapi
dapat dikurangi dan digantikan dengan penggunaan jerami atau limbah apapun yang ada
di sekitar diolah untuk pakan ternak. Pada prinsipnya pertanian berkelanjutan adalah
memanfaatkan sumberdaya lokal sebagai input usaha tani dengan biaya yang relatif
minimum dan mengurangi penggunaan input kimia dari luar sehingga dapat meningkatkan
produktivitas dan menjaga kelestarian lingkungan dalam jangka panjang. Hal ini sejalan
dengan pendapat Salikin K.A (2003) yang menyatakan manajemen baru sistem pertanian
berkelanjutan adalah berorientasi bukan pada produk dan bersifat jangka pendek
melainkan berorientasi pada ekonomi dan lingkungan serta bersifat jangka panjang.
Pengembangan usaha tani pola CLS ini sangat spesifik lokasi, masing-masing
wilayah memiliki keunikan sendiri-sendiri. Jenis integrasi komoditas, sumberdaya yang
ada dan teknik pengelolaannya bervariasi bervariasi antar daerah, dengan demikian
operasionalisasi usaha tani pola CLS sesuai dikembangkan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan setempat. Namun demikian, mengingat pembangunan pertanian dengan pola-
pola sejenis CLS mencakup aspek yang multi dimensi dan terbukti mampu menjawab
permasalahan pembangunan pertanian secara berkelanjutan, maka diperlukan kebijakan
nasional yang mampu memberikan iklim kondusif bagi pengembangan usaha tani pola-
pola integrasi baik secara vertikal maupun horisontal. Kebijakan tersebut dalam dilakukan
dalam kerangka regulasi maupun kerangka anggaran. Regulasi diperlukan untuk
penentuan standar, norma dan pedoman pengembangan pertanian berkelanjutan,
sedangkan kerangka anggaran diperlukan untuk inovasi teknologi dan diseminasi ke
masyarakat petani, anggaran untuk penyediaan sarana publik dan lainnya guna
menstimulasi investasi swasta dan masyarakat dalam usaha tani ini.
Guna mempercepat proses sosialisasi pola-pola integrasi, pemerintah secara
bersama-sama masyarakat pertanian perlu melakukan gerakan nasional dalam rangka
pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Kegiatan penyuluhan dan pembinaan perlu
dilakukan guna mendorong peran aktif swasta di bidang pertanian dan masyarakat petani
untuk mengembangkan pola-pola sejenis CLS maupun pola-pola integrasi usaha
pertanian secara vertikal maupun horisontal yang spesifik lokasi.
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Simpulan 1. Guna meningkatkan produksi padi sawah dan keuntungan usaha tani di Kabupaten
Sragen perlu memperhatikan penggunaan faktor produksi secara efisien. Faktor
produksi tersebut antara lain: benih, pupuk urea, TSP, KCl, pupuk kandang dan
lainnya. Keuntungan usaha tani disamping ditentukan oleh faktor produksi, juga
ditentukan oleh harga padi dan faktor produksi. Pengelolaan usaha tani dalam skala
yang lebih luas dapat menghemat penggunaan input dan meningkatkan produksi padi
sebesar 17,7% serta keuntungan sebesar 15,6% lebih tinggi dibandingkan dengan
lahan sempit. Penerapan usaha tani padi sawah pola CLS meningkatkan produksi padi
sebesar 23,6% dan keuntungan sebesar 14,7% lebih tinggi dibandingkan usaha tani
padi sawah pola non CLS.
2. Usaha tani pola CLS memberikan harapan bagi petani lahan sempit untuk
meningkatkan produksi dan keuntungan usaha taninya dengan memperhatikan skala
luas lahan yang dikelola bersama. Penerapan usaha tani padi sawah pola CLS lebih
dari dua tahun memberikan keuntungan 17,3% lebih tinggi dibandingkan dengan
penerapan pola CLS kurang dari dua tahun. Penggunaan pupuk kandang turut
meningkatkan produksi padi sawah pola CLS dengan koefisien sebesar +0,125 dan
keuntungan sebesar +0,134.
3. Kelayakan finansial usaha tani pola CLS lebih tinggi dari pada non CLS. Kelayakan
ekonomi usaha tani pola CLS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelayakan
finansial. Manfaat usaha tani pola CLS meningkatkan pendapatan petani, memperbaiki
kesuburan lahan, kualitas air dan udara serta menciptakan keserasian lingkungan
sosial budaya masyarakat.
4. Peran kelembagaan kelompoktani pada usaha tani pola CLS masih terbatas pada
pengelolaan usaha secara bersama, belum mampu menyediakan kebutuhan sarana,
permodalan dan pemasaran hasil dari petani anggota.
5. Nilai Indeks Keberlanjutan Usaha tani Pola CLS (IkB-CLS) di Kabupaten Sragen
secara multidimensi sebesar 53,21 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang berarti
termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Nilai paling tinggi pada dimensi
sosial-budaya sebesar 67,44 (cukup berkelanjutan), kemudian dimensi ekonomi
sebesar 56,23 (cukup berkelanjutan), dan yang paling rendah dimensi ekologi sebesar
49,55 (kurang berkelanjutan). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode Rap-CLS
cukup baik untuk dipergunakan sebagai salah satu alat untuk mengevaluasi
keberlanjutan usaha tani pola CLS di suatu daerah/wilayah secara cepat (rapid
appraisal).
6. Terdapat 13 atribut yang menjadi faktor penting dalam perumusan kebijakan dan
strategi pengembangan usaha tani pola CLS di masa mendatang, dimana ada empat
faktor yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan yang rendah adalah: (1)
kelembagaan/kelompok tani, (2) subsidi pemerintah, (3) tingkat penggunaan pupuk/
pestisida, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak. Sedangkan faktor yang
berpengaruh tinggi dan tingkat ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem
pemeliharaan ternak sapi, (2) lembaga keuangan, (3) frekuensi penyuluhan dan
pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial dan ekonomi.
Penerapan skenario moderat-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1)
usaha tani pola CLS menjadi berkembang, (2) produktivitas padi dan ternak
meningkat, (3) ketergantungan petani terhadap subsidi berkurang (4) limbah pertanian
dimanfaatkan secara lestari, (5) terjadi penyerapan tenaga kerja, (6) produksi dan
pendapatan petani meningkat.
5.2. Rekomendasi
1. Peningkatan efisiensi skala ekonomi usaha tani padi sawah pola CLS dapat dilakukan
dengan pendekatan kelompok melalui perbaikan manajemen usaha tani. Efisiensi
penggunaan faktor produksi pada usaha tani pola CLS dapat dilakukan dengan
menggunakan pupuk kandang/kompos per satuan luas sesuai standar teknis
kebutuhan hara serta mengurangi penggunaan pupuk urea secara bertahap.
2. Nilai IkB-CLS di Kabupaten Sragen yang termasuk ke dalam kategori cukup
berkelanjutan perlu ditingkatkan melalui perbaikan masing-masing atribut pada setiap
dimensi pembangunan berkelanjutan berikut ini: (1) kepadatan ternak tetap
dipertahankan/ditingkatkan dengan sistem pemeliharaan ternak intensif, penggunaan
pupuk/pestisida kimia dikurangi, pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak
ditingkatkan (dimensi ekologi); (2) kelayakan finansial-ekonomi
dipertahankan/ditingkatkan, subsidi pemerintah dikurangi digantikan dengan
kemudahan-kemudahan akses permodalan, menyediakan lembaga keuangan yang
mudah diakses (dimensi ekonomi); dan (3) meningkatkan peran kelompoktani,
mempertahankan tidak terjadinya konflik (dimensi sosial)
3. Pemberian skor pada analisis Rap-CLS hanya menunjukkan kondisi sesaat, sehingga
dinamika dari atribut-atribut dalam kurun waktu tertentu belum dapat digambarkan.
Oleh karena itu penilaian (pemberian skor) dapat didasarkan pada perkembangan
atribut dalam kurun waktu tertentu dan atau perlu dilakukan analisis tambahan seperti
analisis kebutuhan pada pihak terkait yang dapat memberikan gambaran dinamika
sistem yang berkelanjutan. Selanjutnya analisis pengembangan di masa mendatang
dapat dilakukan analisis secara dinamis berdasarkan goal oreinted.
4. Diperlukan kebijakan pemerintah dan gerakan nasional guna mendorong
pengembangan pertanian secara berkelanjutan melalui penggunaan sarana produksi
yang memanfaatkan sumber daya lokal secara efisien serta mengurangi penggunaan
pupuk an-organik dan pestisida kimia. Usaha tani pola CLS sangat spesifik lokasi,
pola sejenis CLS ini dapat dikembangkan pada daerah lain dengan memperhatikan
sumberdaya dan faktor produksi spesifik lokasi. Pengembangan pola-pola sejenis CLS
disesuaikan dengan lingkungan ekologi, ekonomi serta kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S., A. Halim dan T. A. Subiarti. 1985. Dalam Monografi Limbah Hasil Pertanian. Kantor Menmud Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. p.59.
Adnyana, O. , I. Kariyana. 1999. Prospek dan Kendala Agribisnis Sapi Potong di
Indonesia Memasuki Era Globalisasi Ekonomi. Dalam Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku III. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI-Press. Jakarta. Askary, M. 2001. Panduan Umum Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan untuk
Penyusunan AMDAL. Bapedal. Jakarta. [Badan Litbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Pedoman Umum
Kegiatan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2002 – 2004. Departemen Pertanian. Jakarta. P.6.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Sragen Dalam Angka 2003. Kerjasama Bappeda dan
BPS Kabupaten Sragen. Jawa Tengah. Basri, I., M. Ali dan H. Nasrul. 1993. Elastisitas Produksi Padi Sawah Dataran Tinggi di
Sumatera. Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Bielajew AF. 2001. Fundamental of the Monte Carlo Method for Nuetral and Charged
Particle Transpot. Departement of Nuclear Engineering and Radiological Sciences. The University of Michingan. Ann Arbor.
Byl R, Trainmar, Guadeloupe. 2002. Strategic Planning Using Scenario. Paper to
Presented at IAME 2002 Conference. Panama City. Panama. [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-
2009. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian Tahun 2004. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002a. Profil Pembangunan Pertanian Menjelang 100
Tahun. Jakarta. p.144 dan 167. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002b. Pembangunan Sistem Agribisnis sebagai
Penggerak Ekonomi Nasional. Jakarta. p.10-14. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian Tahun 2001-
2004. Jakarta. p.9.
Devendra, C., Thomas D., Jabbar M.A. and Kudo H. 1997. Improvement of Livestock
Production in Crop-Animal Systems in Rainfield Agro-ecological Zones of Sounth-East Asia. International Livestock Research Institute (ILRI). Nairobi, Kenya.
[Ditjen Nak] Ditjen Peternakan kerjasama Australian Meat and Livestick Corporation
(AMLC) dan APFINDO. 1996. Petunjuk Teknis Penggemukan Sapi Australia. Jakarta. P.70.
[Disnak] Dinas Peternakan Jawa Tengah. 1998. Statistik Peternakan Jawa Tengah.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah. Ungaran. [Dinas KP] Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen. 2005. Profil Padi
Organik di Kabupaten Sragen. Sragen. Jawa Tengah. Diwyanto, K., R.P. Bambang, dan L.Darwinsyah. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak dalam
Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing, Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner September 2001. Bogor. Puslitbang Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor.
Djojodipuro, M. 1991. Teori Harga. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas
Indonesia. Jakarta. D. Juanda J.S., B.R. Marhening, Samijan, dan S. Jauhari. 2003. Peluang Efisiensi
Penggunaan dan Biaya Pupuk Pada Lahan Sawah Berdasarkan Status Hara Tanah (Kasus Di Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap). Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Dyah, A.W. 1983. Persepsi Staf Pengajar dan Tugas Pimpinan Perguruan Tinggi tentang
Pengabdian Masyarakat. [Tesis] Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Ella, A. 2001. Crop-Livestock System di Sulawesi Selatan: Suatu Tinjauan Pelaksanaan
Kegiatan. Dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner September 2001. Bogor. IP2TP Gowa. Sulawesi Selatan.
EPA. 1997. Guiding Principle of Monte Carlo Analysis. EPA/630/R-97/001. Risk
Assesment Forum. US. Environmental Protection Agency. Wahsington D.C. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press.
Bogor. FAO. 2001. World Markets for Organic Fruit and Vegetables: Opportunity for Developing
Countries in the Production and Export of Organic Horticultural Products. Rome. Fauzi A, Anna S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan.
Aplikasi Pendekatan Rapfish (kasus: Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol.4.
Fisheries.com. 1999. Rapfish Project. http:/fisheries.com/project/rapfish.htm. Giddens, A. 2000. Jalan Ketiga, Pembaharuan Demokrasi Sosial. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. Godet M. 1999. Scenarios and Strategis. A Toolbox For Scenario Planning. Librairie des
Arts et Metiers. Paris. France. Gujarati, D dan S. Zain. 1997. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Haeruman, H. 1979. Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup IPB. Bogor. Hartisari H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Propektif. Fakultas Teknologi Pertanian.
Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Hufschmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, BT.Bower and J.A. Dixon. 1983.
Environment, Natural Systems, and Development – An Economic Valuation Guide. The John Hopkins University Press Baltimore and London.
Hufschmidt, M.M., and J.A. Dixon. 1986. An Economic Valuation Techniques For The
Environment: A Case Study Workbook. The John Hopkins University Press. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan: Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Reksohadiprodjo, Soekanto. penerjemah, Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
[IRRI] International Rice Reseach Institute and The Philipine Ministry of Agricultre and
Food. 1986. The Asean Rice farming Systems Working Group. 5-11 October 1986. Bangkok. Thailand.
[IRRI] International Rice Reseach Institute. 2003.World Rice Statistics. Metro Manila.
Philippines. (http://www.irri.org/science/ricestat/index.asp). 15 April 2003 (data olahan).
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek: Analisa Ekonomis. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Kasryno, F. 1998. Pemanfaatan dan Pengolahan Sumberdaya Pangan dan Lingkungan
Hidup serta Ketersediaan Iptek Pertanian untuk Mendukung Pembangunan Pangan dan Gizi Nasional Berkelanjutan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI. Jakarta.
Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software
Discription (for Microsft Excel). University of British Columbia. Fisheries Centre. Vancouver.
Mersyah. R. 2005. Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan. (Disertasi). IPB. Bogor.
Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Mulya, S,H, Ade R, Arti, D., Agus G., Triny dan Iwan J. 2003. Dampak Pengelolaan
Tanaman Terpadu Terhadap Kelestarian Lingkungan Pertanian. Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas sebelas Maret. Surakarta.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development, World
Bank Environment Paper no.3. Washington, DC. USA. OECD. 1993. Coastal Zone Management. Integrated Policies. Organization for
Economic Co-operation and Development. Paris. Pakpahan, A. 1980. Analisis Fungsi Produksi Usahatani untuk Menunjang
Pengembangan Daerah Aliran Sungai Cimanuk. JAE Vol 1 No.2, Mei 1982. Peraturan Pemerintah. No. 28 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. Pramono, D., U. Nuschati. B. Utomo. dan J. Susilo. 2001. Pengkajian Terintegrasi Sapi
Potong Perbibitan dan Tanaman dalam Sistem Usahatani Terpadu. BPTP Jawa Tengah. Ungaran. Jawa Tengah.
Prasetyo, T., H. Anwar., dan H. Supadmo. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak pada
Sistem Usahatani di Lahan Irigasi. Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner September 2001 di Bogor. BPTP Jawa Tengah. Ungaran. Jawa Tengah.
[Puslitanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Tanah
Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Departemen Pertanian. Bogor. Poniman, 2003. Upaya Peningkatan Produktivitas Lahan Melalui Pengelolaan Bahan
Organik. Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Poniman. 2002. Pertanian Ramah Lingkungan: Kenyataan dan Harapan. Prosiding
Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian, Kudus, 4 November 2002. Puslitanak, Deptan. Bogor.
Ramdan, H., Yusran, D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi
Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint. Jatinangor. Bandung.
Reijntjes, C., Haver K, Bertus and Bayer A.W. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar
untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Sukoco, Y.
[penerjemah]. Terjemahan dari Farming For the Future: An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Kanisius. Yogyakarta.
Rogers, E.M. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication Inovation. A Cross Cultural
Approach. The Free Press. New York. Rochayati S., Mulyadi dan J.S. Adiningsih. 1990. Penelitian Efisiensi Penggunaan Pupuk
di Lahan Sawah. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, 12-13 November 1990. Puslitanak. Bogor.
Rozana, Y. 1998. Usaha Ternak Sapi Potong sebagai Diversifikasi Usahatani untuk
Menambah Pendapatan Petani Padi Sawah di Tasikmalaya, Jawa Barat (Skripsi). IPB. Bogor.
Salikin. K.A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sayaka, B., Saptana, R.S. Rivai, E.L. Hastuti, H. Tarigan, dan Ashari. 2004. Strategi
Mengatasi Pelandaian dan Ketidakstabilan Produksi Padi di Lahan Sub Optimal. Dalam Seminar Hasil Penelitian Puslit Sosial Ekonomi Pertanian Tahun 2004. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Seto, A.K. 2002. Bahan Kuliah Modul Mata Kuliah Ekonomi Lingkungan dan Analisis
Kebijakan. Program Studi PSL. IPB. Bogor. Setiani, C., D. Juanda, dan T. Prasetyo. 2003. Penerapan Teknologi Sistem Usahatani
Tanaman-Ternak Melalui Pendekatan Organisasi Kelompok Tani (Suatu Model Pengelolaan Lingkungan Pertanian). Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Lingkungan Pertanian, Surakarta, 1 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Setyorini, D., L.R. Widowati, dan S. Rochayati. 2004. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan
Sawah Intensifikasi. Puslitanak. Bogor. Siagian, D. dan Sugiarto. 2000. Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Singarimbun, M. dan E. Sofian. 1985. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta. Soekanto S. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Soekartawi S., A. Dillon L, John. Hardaker, Brian, J. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian
untuk pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta. Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Cobb-
Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Suharto. 2000. Integrated Farming System, Modul Pelatihan. CV. Lembah Hijau
Multifarm. Solo. Suretno, N.D., T. Kusnanto dan B. Sudaryanto. 2002. Pemanfaatan Kotoran Ternak
Sebagai Pupuk Pada Lahan Sawah Irigasi di Lampung Tengah. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Ciawi 30 September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan. Bogor.
Suryana A, Erwidodo, Prajogo UH. 1988. Isu Strategis dan Alternatif Kebijaksanaan
Pembangunan Pertanian Memesuki Repelita VII. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Treyer-POLAGAWAT. 2000. Prospective Analysis on Agricultural Water Use in the
Maditerranean. www.engref.fr/rgt/doc-pdf/treyer-polagawat-metodologi.PDF. Sutardi, A., Musofie, Nurhidayat, dan Soeharsono. 2002. Pengkajian Integrasi Usahatani
Tanaman Pangan dan Ternak Ruminansia di Agroekologi Lahan Sawah Tadah Hujan. Dalam seminar Nasional pada Usahatani Ramah Lingkungan di Loka Jakenan, Pati Jawa Tengah, Puslitanak Bogor, 11 Desember 2002.
Sutanto, R. 2002a. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sutanto, R. 2002b. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan
Pengembangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Syahyuti. 2003, Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan
Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Tonny, F. 1988. Dinamika Kelompoktani dan Partisipasi Petani dalam Program
Konservasi Tanah dan Air di DAS Citanduy (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tugaswati, T. dan S. Nugroho. 1985. Dampak Limbah Pertanian terhadap Kesehatan
Masyarakat. Dalam Monografi Limbah Hasil Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. p243.
Umiyasih, U., Aryogi dan Y. N. Anggraeny. 2002. Pengaruh Suplementasi Terhadap
Kinerja Sapi PO yang Mendapatkan Pakan Basal Jerami Padi Fermentasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Ciawi 30 September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan. Bogor.
Winarno, F, G. 1985. Penanganan Limbah Tanaman Pangan, Dalam: Monografi Limbah
Hasil Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. p 11.
Winoto, J. 1997. Studi Penyusunan Pedoman Analisis Pewilayahan Komoditas Pertanian. Kerjasama Proyek Pengembangan Sumberdaya, Sarana dan Prasarana Pertanian, Deptan dengan PT. Murfa Surya Mahardhika. Jakarta.
Wiryosuhanto, S. 1985. Produksi dan Penggunaan Kotoran Ternak, Dalam Monografi
Limbah Hasil Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta. P.169.
Wiyono, U. 2005. Pengembangan Pertanian Organik sebagai Komoditas Unggulan
dalam rangka Peningkatan Pertumbuhan Perekonomian Daerah (makalah). Dalam Workshop Pengembangan Komoditas Agribisnis dan Agroindustri Unggulan Daerah, Jakarta, 16-17 Mei 2005. Departemen Pertanian. Jakarta.
Wiyono, U. 2003. Produksi dan Pemasaran Beras Organik di Kabupaten Sragen
(makalah). Dalam Diskusi Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Produk Pertanian Organik, Jakarta, 30 Juni 2003. Ditjen BP2HP, Departemen Pertanian. Jakarta.
Yuwono, D.M, dan T. Prasetyo, 2003. Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Peternakan
Sapi Potong Rakyat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian 21 Oktober 2003. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Yusdja, Y., R. Sayuti, S.H. Suhartini, I. Sadikin, B. Winarso, dan C. Muslim. 2004.
Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Dalam Seminar Hasil Penelitian Puslit Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2004. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Grafik laju penggunaan pupuk kimia, produksi dan produktivitas gabah secara nasional dari tahun 1968-1991
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian
PET A ST R AT EGI PEMBANGUNAN PR OPI NSI JAWA T ENGAH
Lampiran 3. Unit Populasi Usahatani CLS dan Teknik Pengambilan Sampel
No. Unit Populasi Jumlah Populasi Jumlah Sampel Teknik Pengambilan Sampel 1. 2. 3.
Area/Daerah: a. Kecamatan b. Desa Kelompoktani Responden
16 Kecamatan 114 Desa 157 Kelompoktani 5657 petani
5 Kecamatan 7 Desa 7 Kelompoktani 70 responden
Purposive Purposive Purposive Stratified random sampling
Lampiran 4. Nama Kecamatan, Desa, dan Kelompoktani Lokasi Penelitian
No. Kecamatan Desa Kelompoktani Tahun Berdiri Kelompoktani
Jumlah Anggota Kelompoktani
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Masaran Masaran Sambungmacan Sidoarjo Sidoarjo Karangmalang Gondang
Pringanom Sidodadi Gringging Tenggak Jetak Guworejo Glonggong
Sari Mulyo Dewi Sri Tani Mulyo Eko Upoyo Tani Mulyo VI Ngudi Makmur Tani Manunggal
1984 1984 1981 1979 1982 1978 1992
33 39 70 102 82 87 24
Lampiran 5. Jenis dan Sumber Data, serta Kegunaan Data yang Dikumpulkan
No. Jenis Data Sumber Data Digunakan untuk I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. II. 1. 2. 3.
Data Primer Karakteristik responden Manajemen/kelembagaan petani Pola Usahatani, sarana produksi, produksi Struktur Ongkos usahatani padi & ternak Kegiatan hulu dan hilir usahatani Pengelolaan limbah padi dan ternak Valuasi ekonomi lingkungan Identifikasi faktor-faktor strategis, tingkat kepentingan faktor-faktor strategis, perumusan skenario, penentuan prioritas. Data Sekunder Keadaan umum wilayah: letak geografis, topografi, jenis tanah, iklim, kependudukan, infrastruktur, dan perekonomian Usahatani padi: luas lahan, prasarana & sarana produksi, produksi, tenaga kerja, kelembagaan tani, pengelolaan jerami, upah, harga, dan lainnya. Ternak sapi potong: populasi, produksi, pakan, tenaga kerja, kelembagaan tani, RPH, pengelolaan kompos, harga, kelompok ternak dan lainnya.
Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Kuesioner, wwncr, observsi Responden (Expert/Pakar) Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab, Kantor Statistik, instansi Terkait. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab,
Gambaran umum, analisis kelembagaan Analisis kelembagaan Analisis fungsi produksi, finansial dan ekonomi Analisis fungsi keuntungan, finansial dan ekonomi Analisis finansial dan ekonomi Analisis finansial dan ekonomi Analisis ekonomi Analisis keberlanjutan, analisis prospektif Gambaran umum wilayah, data dukung analisis finansial, ekonomi, indek keberlanjutan. Gambaran umum usahatani padi, data dukung analisis model fungsi produksi & keuntungan, finansial, ekonomi, kelembagaa, dan indeks keberlanjutan. Gambaran umum usaha sapi potong, data dukung analisis finansial, ekonomi, kelembagaan dan indeks keberlanjutan.
Lampiran 6. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kab. Sragen Tahun 2003
Penduduk No Kecamatan Luas (Km2) Jumlah (jiwa) Kepadatan
(jw/km2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kalijambe Plupuh Masaran Kedawung Sambirejo Gondang Sambungmacan Ngrampal Karangmalang Sragen Sidoharjo Tanon Gemolong Miri Sumberlawang Mondokan Sukodono Gesi Tangen Jenar
46,96 48,36 44,04 49,78 48,43 41,17 38,48 34,40 42,98 27,27 45,89 51,00 40,23 53,81 75,16 49,36 45,55 39,58 55,13 63,97
45.208 45.255 64.631 55.045 36.864 42.520 43.549 36.842 56.890 64.607 50.595 54.108 44.430 32.188 44.579 33.610 29.949 20.404 26.330 26.107
963 936
1.468 1.106
761 1.033 1.132 1.071 1.324 2.369 1.103 1.061 1.104
598 593 681 657 516 478 408
Total 941,55 853,711 907 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen, 2003.
Lampiran 7. Data Fisik Tanah di Lokasi Penelitian
No Tanaman Klas Lokasi
Drain Teks-
tur
Bh Ksr (%)
Kdl tnh
(cm)
KTK liat (cmol) KB pH C Org
(%) Salin
(ds/m) Alkalin
(%)
Kdl Sulf (cm)
Lereng (%)
BE
Genang Bt
dipr (%)
Sing Bt
(%)
A1 Padi S2 Kec Sambungmacan pakai kompos
Agak terhambat
h <3 >100 45 99,80 6,57 1,4 0 16,52 >100 <1 sr F0 <5 <5
A4 Padi S2 Kec Sambungmacan tanpa kompos
Agak terhambat
h <3 >100 63,75 82,41 6,61 1,14 0 19,37 >100 <1 sr F0 <5 <5
B1 Padi S1 Kec.Sambungmacan pakai kompos
Agak terhambat
h <3 >100 32,51 64,59 6,28 1,82 0 18,48 >100 <1 sr F0 <5 <5
B4 Padi S1 Kec.Sambungmacan tanpa kompos
Agak terhambat
h <3 >100 28,3 100,00 5,75 2,01 0 18,12 >100 <1 sr F0 <5 <5
C1 Padi S2 Kec.Sidoarjo pakai kompos
Agak terhambat
h <3 >100 30,19 100,00 7,03 1,22 0 15,24 >100 <1 sr F0 <5 <5
C4 Padi S2 Kec.Sidoarjo tanpa kompos
Agak terhambat
h <3 >100 31,73 100,00 6,90 1,36 0 17,33 >100 <1 sr F0 <5 <5
D1 Padi S1 Kec.Masaran pakai kompos
Agak terhambat
h <3 >100 37,76 98,87 6,67 2,29 0 17,42 >100 <1 sr F0 <5 <5
D4 Padi S2 Kec.Masaran tanpa kompos
Agak terhambat
h <3 >100 32,11 98,45 6,95 0,93 0 19,39 >100 <1 sr F0 <5 <5
E1 Padi S1 Kec.Masaran pakai kompos
Agak terhambat
h <3 >100 36,42 84,79 6,85 1,82 0 16,13 >100 <1 sr F0 <5 <5
E4 Padi S1 Kec.Masaran tanpa kompos
Agak terhambat
h <3 >100 31,97 98,55 6,89 1,83 0 19,23 >100 <1 sr F0 <5 <5
F Padi S1 Kec.Masaran pakai kompos
Agak terhambat
h <3 >100 31,97 98,55 6,89 1,83 0 18,95 >100 <1 sr F0 <5 <5
D Padi S1 Kec.Masaan Saat tanam
Agak terhambat
h <3 >100 32,63 100 6,77 1,77 0 16,89 >100 <1 sr F0 <5 <5
1,1 Padi S2 Kec.Karangmalang Bekas panen
Agak terhambat
h <3 >100 42,55 100 6,12 1,03 0 17,41 >100 <1 sr F0 <5 <5
1.2 Padi S2 Kec.Karangmalang Bekas panen
Agak terhambat
h <3 >100 41,53 100 6,27 1,03 0 19,55 >100 <1 sr F0 <5 <5
1.3 Padi S3 Kec.Karangmalang Bekas panen
Agak terhambat
h <3 >100 36,65 100 6,24 0,79 0 23,66 >100 <1 sr F0 <5 <5
2.1 Padi S1 Kec.Karangmalang Ada limbah ternak
Agak terhambat
h <3 >100 26,14 100
7,29 3,9 0 15,64 >100 <1 sr F0 <5 <5
2.2 Padi S1 Kec.Godang Ada limbah ternak
Agak terhambat
h <3 >100 27,43 100
7,85 2,43 0 20,07 >100 <1 sr F0 <5 <5
3.1 Padi S2 Kec.Gondang Saat tanam
Agak terhambat
h <3 >100 21,53 100
6,87 1,48 0 24,53 >100 <1 sr F0 <5 <5
Keterangan: 1. Klas kesesuaian lahan : S1 = sangat sesuai, S2= cukup sesuai, S3 = cukup marjinal 5. Kdl tnh= kedalaman tanah (cm) 9. C-org= kandungan bahan carbon organic (%) 13. BE = bahaya erosi, r=ringan, b=berat 2. Drain = drainase 6. KTK liat = kapasitas tukar kation (cmol) 10. Salin = salinitas (dS/m) 14. Genang= genangan FO <25cm 3. Tekstur = tekstur tanah (h=halus, ah=agak halus, s=sedang, ak=agak kasar,, k=kasar) 7. KB = kejenuhan basa (%) 11. Alkalin = Alkalinitas/ESP (5) 15. Bt dpr= batuan dipermukaan (%) 4. Bh ksr = bakan kasar (%) 8. pH H2O 12. Kdl Sulf = kedalaman sulfidik (cm) 16. Sing Bt=singkapan batuan (%)
Lampiran 8. Kelas Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian
No Tanam-an
Klas Lokasi
Drain Teks-tur Bh
Ksr (%)
Kdl tnh
(cm)
KTK liat (cmol)
KB
pH C Org (%) Salin
(ds/m) Alkalin
(%)
Kdl Sulf (cm)
Lereng (%)
BE
Genang Bt
dipr (%)
Sing Bt (%)
A1 Padi S2 Kec Sambungmacan pakai kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
A4 Padi S2 Kec Sambungmacan tanpa kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
B1 Padi S1 Kec.Sambungmacan pakai kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
B4 Padi S1 Kec.Sambungmacan tanpa kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
C1 Padi S2 Kec.Sidoarjo pakai kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
C4 Padi S2 Kec.Sidoarjo tanpa kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
D1 Padi S1 Kec.Masaran pakai kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
D4 Padi S2 Kec.Masaran tanpa kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
E1 Padi S1 Kec.Masaran pakai kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
E4 Padi S1 Kec.Masaran tanpa kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
F Padi S1 Kec.Masaran pakai kompos
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
D Padi S1 Kec.Masaan Saat tanam
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
1,1 Padi S2 Kec.Karangmalang Bekas panen
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
1.2 Padi S2 Kec.Karangmalang Bekas panen
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
1.3 Padi S3 Kec.Karangmalang Bekas panen
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S3 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
2.1 Padi S1 Kec.Gondang Ada limbah ternak
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
2.2 Padi S1 Kec.Gondang Ada limbah ternak
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
3.1 Padi S2 Kec.Gondang Saat tanam
S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
LAMPIRAN 9. PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN
No
Tanaman
Klas
Suhu (oC)
Ch (mm)
Kelemb (%)
Drain
Teks-tur
Bh Ksr (%)
Kdl tnh
(cm)
KTK liat
(cmol)
KB
pH
C Org (%)
Salin (ds/m)
Alkalin (%)
Kdl Sulf (cm)
Lereng (%)
BE
Genang
Bt dipr (%)
Sing Bt
(%)
S1 24-29
33-90 Agak terhambat, agak baik
h, ah
<3 >50 >16 >50 5,5-8,2
>1,5 <2 <20 >100 <1 sr F0, F11, F12, F21, F23, F31, F32
<5 <5
S2 22-24 29-32
30-33 Terhambat, baik
s 3-15
40-50
<16 35-50
4,5-5,5 8,2-8,5
0,8-1,5
2-4 20-30 75-100
1-2 - F13, F23, F33, F41, F42, F43
5-15
5-15
S3 18-22 32-35
<30 >90
Sangat terhambat, agak cepat
ak 15-35
25-40
<35 <4,5 >8,5
<0,8 4-6 30-40 40-75
2-4 - F14, F24, F34, F44
15-40
15-25
1 Padi sawah (Oryza sativa)
N <22 >35
33-90 Cepat k >35 <25 >6 >40 <40 >4 >sd F15, F25, F35, F45
>40 >25
Lampiran 10. Data Lapangan Sampel Air
No
Lokasi pH N (mg/l)
P (mg/l)
K (mg/l)
Ca (mg/l)
Mg (mg/l)
Fe (mg/l)
Cu (mg/l)
Zn (mg/l)
Mn (mg/l)
1 Sawah CLS 7.70 9.67 0.2 1.5 20.2 2.4 0.5 tr tr tr 2 Sawah CLS 7.90 9.00 0.3 3.0 21.7 4.0 0.4 tr tr tr
3 Sawah CLS 7.20 9.15 0.5 1.5 10.2 1.6 0.8 tr 0.03 0.04
4 Sawah Non CLS 7.20 8.64 0.3 7.0 29.3 7.4 0.1 tr tr tr
5 Sawah Non CLS 7.10 8.93 0.3 2.5 23.3 3.8 1.0 tr tr tr
6 Sawah Non CLS 6.80 8.50 0.7 1.0 28.3 5.0 1.0 tr tr 0.01
7 Sawah CLS 6.60 7.76 0.5 3.0 24.9 4.2 3.7 tr 0.02 0.01
8 Sawah CLS 7.00 9.88 0.3 2.0 30.1 5.6 0.8 tr tr 0.01
9 Sawah CLS 6.60 10.40 0.3 2.0 20.0 4.7 1.9 tr tr 0.04
10 Kandang ternak 8.30 433.97 22.8 5200.0 82.2 11.0 0.6 tr 0.05 2.17
Baku Mutu IV*) 5-9 20.0 5.0 200.0 200.0 63.0 - 0.2 2.0 0.05
Keterangan: tr = tidak terukur. *) Baku mutu golongan IV pemanfaatan air untuk pertanian (PP No.82/2001). Untuk unsure K, Ca, Mg mengacu Puslitanak Bogor. Hasil analisis: sesuai PP No.82/2001 untuk semua sample air layak digunakan untuk golongan IV pemanfaatan air irigasi pertanian, kecuali sample terakhir, (limbah ternak) yang tidak layak untuk air irigasi, karena sample air masih berupa limbah ternak yang belum tercampur dengan air sungai.
Lampiran 11. Luas Panen dan Produksi Padi di Kabupaten Sragen 2003
Padi Sawah Padi Gogo Jumlah No Kecamatan Luas
Panen (ha)
Produksi (ton)
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Luas Panen
(ha)
Produksi (ton)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kalijambe Plupuh Masaran Kedawung Sambirejo Gondang Sambungmacan Ngrampal Karangmalang Sragen Sidoharjo Tanon Gemolong Miri Sumberlawang Mondokan Sukodono Gesi Tangen Jenar
2.500 4.963 7.036 5.526 2.814 4.731 4.921 4.989 4.753 3.811 7.967 5.962 3.369 2.220 3.531 1.619 2.843 1.008
929 951
11.872 24.753 41.730 32.824 16.766 27.354 29.222 29.537 28.481 22.785 49.670 29.030 16.730 10.777 16.637
7.802 12.953
4.835 4.532 4.602
531 595
- - - - - - -
37 -
243 390 368 332 610
94 70
- -
1.696 2.172
- - - - - - -
121 -
726 1.134 1.145
906 1.744
281 219
- -
3.031 5.558 7.036 5.526 2.814 4.731 4.921 4.989 4.753 3.848 7.967 6.205 3.759 2.588 3.863 2.229 2.937 1.078
929 951
13.568 26.925 41.730 32.824 16.766 27.354 29.222 29.537 28.481 22.906 49.670 29.756 17.864 11.922 17.543
9.546 13.234
5.045 4.532 4.602
Total th 2003 Tahun 2002 Tahun 1001 Tahun 2000 Tahun 1999 Tahun 1998 Tahun 1997
76.443 82.952 86.528 86.852 87.989 86.190 78.529
422.892 453.959 448.945 459.748 451.548 501.876 463.575
3.270 4.002 4.692 5.163 4.920 4.709 4.658
10.144 12.741 14.439 21.184 19.454 18.206 18.674
79.713 86.954 91.220 92.015 92.909 90.899 83.187
433.036 466.700 463.384 480.932 471.002 520.082 482.249
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen, 2004.
Tabel 12. Populasi Ternak Kabupaten Sragen Menurut Kecamatan Tahun 2003
No Kecamatan Sapi potong (ekor)
Kambing (ekor)
Domba (ekor)
Ayam kampong
(ekor)
Ayam ras (ekor)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kalijambe Plupuh Masaran Kedawung Sambirejo Gondang Sambungmacan Ngrampal Karangmalang Sragen Sidoharjo Tanon Gemolong Miri Sumberlawang Mondokan Sukodono Gesi Tangen Jenar
3.781 6.435 4.538 2.947 3.260 3.209 3.464 3.104 3.310 2.670 3.005 3.971 3.880 3.315 3.511 4.264 3.787 3.520 4.442 4.700
4.555 2.992 3.306 2.185 4.868 2.776 2.876 4.046 2.013 3.237 2.268 4.763 2.052 1.652 4.695 4.050 4.847 3.355 4.296 2.932
4.374 3.461 2.765 5.161 5.595 2.540 3.578 3.015 4.007 2.523 1.448 5.037 3.279 5.444 5.027 3.863 2.170 2.139 1.509 1.443
52.267 47.625 79.597 66.063 55.111 16.955 43.966 38.767
105.088 72.814 38.018 74.894 32.732 33.493 58.547 59.331 32.477 27.438 30.302 32.078
140.708 49.195
123.765 252.833
44.833 6.195
52.833 -
52.833 109.833
13.195 232.471 105.033
28.883 53.195
6.195 49.195
- - -
Total th 2003 Tahun 2002 Tahun 2001 Tahun 2000 Tahun 1999 Tahun 1998 Tahun 1997
75.113 74.561 73.306 71.696 71.638 69.968 71.070
67.674 67.374 67.359 62.070 66.009 64.090 64.478
68.378 68.038 68.008 66.705 66.540 65.047 69.088
997.563 997.212 996.102 995.870 995.529 970.812 977.239
1.321.145 1.302.025 1.342.595
522.720 199.200 120.465 128.024
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen, 2004.
Lampiran 13. T-Test Uji Beda Nyata Nilai Produksi Usahatani Padi Pola CLS dengan Non CLS (Rp.)
Group Statistics
64 3473234 1368946.741 171118.329 2289534 985163.56447 182940.3
PTT1.00.00
Prod1N Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
1.066 .304 4.186 91 .000 1183699.1 282795.40 621960.8 1745437
4.725 73.443 .000 1183699.1 250496.77 684510.5 1682888
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
Prod1F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
T-Test Uji Beda Nyata Produktivitas Usahatani Padi Pola CLS dan Non CLS (kg/ha)
Group Statistics
64 6505.3152 1338.92172 167.3652229 5260.8368 805.43385 149.56531
PTT1.00.00
prod/tniN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
9.785 .002 4.632 91 .000 1244.4784 268.68384 710.77096 1778.186
5.544 83.698 .000 1244.4784 224.45689 798.09775 1690.859
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
prod/tniF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
Lampiran 21. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .895(a) .801 .782 .19622
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb), Penggunaan Urea (Pu), Pnggunaan KCl (Pc), Sewa/penyusutan alsin (Ps), Tenaga kerja (Uk), Pajak/Sewa Lahan (Tx), Dummy luas lahan (D1), Dummy pola usaha tani (D2) ANOVA(b)
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 13.001 8 1.625 42.208 .000(a) Residual 3.234 84 .039 Total 16.236 92
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb), Penggunaan Urea (Pu), Pnggunaan KCl (Pc), Sewa/penyusutan alsin (Ps), Tenaga kerja (Uk), Pajak/Sewa Lahan (Tx), Dummy luas lahan (D1), Dummy pola usaha tani (D2) b Dependent Variable: Produksi (Qp) Coefficients(a)
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 Konstanta (α) 7.688 .915 8.404 .000 Penggunaan Benih (Pb) .295 .073 .284 4.055 .000 Penggunaan Urea (Pu) -.119 .055 -.136 -2.173 .033 Pnggunaan KCl (Pc) .246 .066 .278 3.742 .000 Sewa/penyusutan alsin (Ps) -.114 .050 -.203 -2.292 .024 Tenaga kerja (Uk) .164 .072 .175 2.261 .026 Pajak/Sewa Lahan (Tx) .140 .029 .343 4.818 .000 Dummy luas lahan (D1) .177 .054 .210 3.286 .001 Dummy pola usaha tani (D2) .236 .055 .262 4.259 .000
a Dependent Variable: Produksi (Qp)
Lampiran 22. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .912(a) .831 .810 .16080
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Pupuk Kandang (Pk), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1) ANOVA(b)
Model Sum of
Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 7.114 7 1.016 39.302 .000(a) Residual 1.448 56 .026 Total 8.562 63
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Pupuk Kandang (Pk), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1) b Dependent Variable: Produksi (Qp) Coefficients(a)
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 Konstanta (α) 5.396 .899 6.006 .000 Penggunaan Benih (Pb) .488 .089 .495 5.484 .000 Penggunaan Urea (Pu) -.109 .094 -.149 -1.161 .251 Penggunaan TSP (Pt) .098 .099 .122 .993 .325 Penggunaan KCl (Pc) .131 .063 .168 2.081 .042 Pupuk Kandang (Pk) .125 .047 .178 2.633 .011 Tenaga Kerja (Uk) .113 .067 .140 1.676 .099 Dummy Luas Lahan (D1) .171 .049 .233 3.470 .001
a Dependent Variable: Produksi (Qp)
Lampiran 23. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .890(a) .792 .735 .21496
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1) ANOVA(b)
Model Sum of
Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 3.864 6 .644 13.936 .000(a) Residual 1.017 22 .046 Total 4.881 28
a Predictors: Konstanta (α), Penggunaan Benih (Pb),Penggunaan Urea (Pu), Penggunaan TSP (Pt), Penggunaan KCl (Pc), Tenaga Kerja (Uk), Dummy Luas Lahan (D1) b Dependent Variable: Produksi (Qp) Coefficients(a)
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 Konstanta (α) 9.187 2.247 4.088 .000 Penggunaan Benih (Pb) .115 .161 .141 .715 .482 Penggunaan Urea (Pu) -.146 .186 -.121 -.787 .440 Penggunaan TSP (Pt) -.386 .184 -.500 -2.096 .048 Penggunaan KCl (Pc) 1.048 .262 1.210 4.002 .001 Tenaga Kerja (Uk) -.103 .225 -.104 -.460 .650 Dummy Luas Lahan (D1) .419 .160 .385 2.619 .016
a Dependent Variable: Produksi (Qp)
Lampiran 24. Hasil Pendugaan Model Fungsi Keuntungan Padi Sawah Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .825(a) .681 .651 .27279
a Predictors: Konstanta (α), Benih (Wb), Urea (Wu), KCl (Wc), Sewa/pemeliharaan alsin (Ws), Upah kerja (Wh), Pajak (Wx), Dummy pola usaha tani (D2), Dummy luas lahan (D1) ANOVA(b)
Model Sum of
Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 13.210 8 1.651 22.190 .000(a) Residual 6.176 83 .074 Total 19.387 91
a Predictors: Konstanta (α), Benih (Wb), Urea (Wu), KCl (Wc), Sewa/pemeliharaan alsin (Ws), Upah kerja (Wh), Pajak (Wx), Dummy pola usaha tani (D2), Dummy luas lahan (D1) b Dependent Variable: Keuntungan produksi (πp) Coefficients(a)
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 Konstanta (α) 5.425 .418 12.990 .000 Benih (Wb) .414 .104 .364 3.980 .000 Urea (Wu) -.308 .107 -.320 -2.887 .005 KCl (Wc) -.051 .115 -.054 -.440 .661 Sewa/pemeliharaan alsin (Ws) .398 .084 .409 4.751 .000 Upah kerja (Wh) -.097 .068 -.158 -1.418 .160 Pajak (Wx) .134 .041 .300 3.276 .002 Dummy pola usaha tani (D2) .147 .084 .148 1.765 .081 Dummy luas lahan (D1) .156 .076 .168 2.055 .043
a Dependent Variable: Keuntungan produksi (πp)
Lampiran 25. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola CLS Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .862(a) .743 .710 .23473
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (Wb), Pestisida (Wp), Pupuk Urea (Wu), Pupuk Kandang (Wk), Upah Kerja (Wh), Dummy lama usaha (D3) ANOVA(b)
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 8.898 7 1.271 23.072 .000(a) Residual 3.085 56 .055 Total 11.984 63
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (Wb), Pestisida (Wp), Pupuk Urea (Wu), Pupuk Kandang (Wk), Upah Kerja (Wh), Dummy lama usaha (D3) b Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpc) Coefficients(a)
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 Konstanta (α) .704 1.197 .588 .559 Luas Lahan (Lu) .924 .247 .663 3.742 .000 Benih (Wb) .397 .158 .341 2.511 .015 Pestisida (Wp) -.022 .093 -.028 -.237 .814 Pupuk Urea (Wu) -.479 .096 -.556 -5.005 .000 Pupuk Kandang (Wk) .134 .082 .161 1.640 .107 Upah Kerja (Wh) -.148 .121 -.156 -1.222 .227 Dummy lama usaha (D3) .173 .085 .200 2.024 .048
a Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpc)
Lampiran 26. Hasil Pendugaan Model Fungsi Produksi Padi Sawah Pola Non CLS Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .980(a) .959 .942 .10631
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (Wb), Pestisida (Wp), Pupuk Urea (Wu), Pupuk TSP (Wt), Pupuk KCl (Wc), Upah Kerja (Wh), Pajak (Wx) ANOVA(b)
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 5.078 8 .635 56.170 .000(a) Residual .215 19 .011 Total 5.293 27
a Predictors: Konstanta (α), Luas Lahan (Lu), Benih (Wb), Pestisida (Wp), Pupuk Urea (Wu), Pupuk TSP (Wt), Pupuk KCl (Wc), Upah Kerja (Wh), Pajak (Wx) b Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpc) Coefficients(a)
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta 1 Konstanta (α) -3.363 1.424 -2.362 .029 Luas Lahan (Lu) 1.404 .283 1.125 4.957 .000 Benih (Wb) .027 .071 .028 .376 .711 Pestisida (Wp) .052 .102 .060 .510 .616 Pupuk urea (Wu) -.241 .131 -.187 -1.836 .082 Pupuk TSP (Wt) .403 .149 .443 2.699 .014
Pupuk KCl (Wc) -.019 .134 -.018 -.139 .891 Upah Kerja (Wh) -.117 .080 -.248 -1.464 .159 Pajak (Wx) -.290 .098 -.354 -2.958 .008
a Dependent Variable: Keuntungan produksi (πpn) Lampiran 27. Atribut, Skor dan Hasil Pengukuran Skor Keberlanjutan Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen.
Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Keterangan
I. Dimensi ekologi
1. Kesesuaian lahan untuk padi
0; 1; 2;3 3 0 2 (0) tanah tidak sesuai; (1) kurang sesuai S3; (2) sesuai S2; (3) sangat sesuai S1
2. Tingkat pemanfaatan lahan untuk padi
0; 1; 2;3 0 3 2 (3) melebihi kapasitas; (2) tinggi (1) sedang; (0) rendah
3. Tingkat penggunaan pupuk/ pestisida
0; 1; 2;3 0 3 3 (3) melebihi standar; (2) tinggi (1) sedang; (0) rendah
4. Pemanfaatan limbah ternak sapi untuk pupuk kandang
0; 1; 2; 3 3 0 2 (0) tidk dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan
5. Pemanfaatan limbah jerami untuk pakan ternak sapi
0; 1; 2; 3 3 0 2 (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan
6. Sistem Pemeliharaan ternak sapi
0; 1; 2; 3 0 3 0 (3) >50 % diumbar/liar; (2) 25 % -50% diumbar/liar (1) 10%-25 % diumbar/liar; (0) <10% yang diumbar/liar
7. Kepadatan ternak (ekor ternak/ 1000 orang)
0; 1; 2; 3 3
0 0 Mengacu pada APWPPP Deptan: (0) sangat padat (300-500); (1) padat (100-300); (2) sedang (50-100); (3) jarang (<50)
8. Ketersediaan Rumah Potong Hewan (RPH)
0; 1; 2; 3 3 0 1 Mengacu pada Ditjen Peternakan; (0) tidak ada, (1) type C; (2) type B; (3) type A
9. Pemotongan sapi betina produktif
0; 1; 2; 3 0 3 0 (3 > 50%; (2) 25 - <50%; (1) 10 - < 25%; (0) < 10%;
II. Dimensi Ekonomi 1. Kelayakan finansial &
ekonomi 0; 1; 2; 3 3 0 2 Mengacu analisis kelayakan: (0) rugi/tidak layak;
(1) impas/kembali modal; (2) untung/layak; (3) sangat untung/layak
2. Kontribusi terhadap PDRB 0; 1; 2;3 3 0 2 (0) tidak ada, (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi 3. Rata-rata penghasilan
petani CLS relatif dibanding non CLS
0; 1; 2; 3 3 0 2 (0) di bawah ; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi
4. Rata-rata penghasilan petani CLS relatif terhadap UMR Provinsi Jawa Tengah.
0; 1; 2; 3 3
0 2 (0) di bawah; (1) sama; (2) lebih tinggi; (3) jauh lebih tinggi
5. Lembaga keuangan (bank/ kredit).
0; 1; 2; 3 3
0 1 (0) tidak ada; (1) ada, tetapi menjangkau sebagian kecil petani; (2) ada dan menjangkau sebagian besar petani; (3) menjangkau seluruh petani
6. Transfer keuntungan 0; 1; 2;3 3 0 2 (0) sebagian besar dinikmati penduduk luar daerah; (1) seimbang antara penduduk lokal dengan penduduk luar daerah; (2) sebagian besar penduduk lokal; (3) seluruhnya penduduk lokal;
7. Besarnya pasar 0; 1; 2;3 3 0 2 (0) pasar lokal; (1) pasar provinsi, (2) pasar
nasional; (3) pasar internasional 8. Besarnya subsidi 0; 1; 2;3 0 3 1 (3) multa 100% subsidi; (2) besar, (1) sedikit; (0)
tidak ada subsidi III. Dimensi Sosial-Budaya 1. Sosialisasi pekerjaan
(individual atau kelompok) 0; 1; 2;3 3 0 2 (0) pekerjaan dilakukan secara individual; (1)
kerjasama satu keluarga; (2) sebagian kerjasama kelompok; (3) seluruhnya kerjasama kelompok
2. Jumlah rumah tangga petani CLS
0; 1; 2;3 3 0 2 (0) <10%; (1) 10-25%; (2) 25-50%; (3) >50%dari total jumlah rumah tangga di Sragen
3. Pengetahuan terhadap lingkungan
0; 1; 2;3 3
0 2 (0) tidak ada (1) sedikit; (2) cukup; (3) banyak/luas
4. Frekwensi konflik 0; 1; 2;3 3 0 3 (0) banyak/sering; (1) ada sedikit; (2) jarang sekali; (3) tidak ada
5. Persepsi/peran masyarakat dalam usaha tani CLS
0; 1; 2; 3 3 0 2 (0) negatif; (1) netral; (2) positif; (3) sangat positif
6. Frekwensi penyuluhan dan pelatihan
0; 1; 2; 3 3 0 2 (0) tidak pernah ada; (1) sekali dalam 5 tahun; (2) sekali dalam setahun; (3) dua kali atau lebih dalam sehatun
7. Kelembagaan/Kelompok tani 0; 1; 2; 3 3 0 3 (0) <25% punya; (1) 25-50% punya; (2) 50-75% punya; (3) >75% punya
8. Kelembagaan/badan usaha/jasa di bidang input dan output
0; 1; 2; 3 3 0 3 Badan usaha/jasa (perusahaan, kios, KUD): (0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) ada, tapi hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses
9. Lembaga layanan pemerintah (layanan penyuluhan, teknologi, informasi saprodi, informasi pengolahan dan pemasaran hasil)
0; 1; 2; 3 3 0 2 Kelembagaan pemerintah: memberi akses penyuluhan, pengolahan dan pemasaran produk: (0) ada tapi semuanya belum dapat diakses petani; (1) hanya sebagian kecil yang dapat diakses; (2) sebagian besar dapat diakses; (3) semuanya dapat diakses.
Tabel 10. Hasil Uji Validitas Berdasarkan Korelasi Pearson Product Moment
No. Item Pertanyaan Korelasi Pearson
Significant (2-tailed)
A Aspek Ekonomi 1 Usahatani CLS dapat dijadikan sebagai usaha
pokok 0,675** 0,000
2 Usahatani CLS dapat mencukupi sekolah anak sampi usia sekolah
0,661** 0,000
3 Dengan usahatani CLS penduduk bisa menabung 0,694** 0,000 4 Usahatani CLS lebih untung disbanding non CLS 0,625** 0,000 5 Banyak petani lain berpindah ke usahatani CLS 0,700** 0,000 6 Menguntungkan sewaktu-waktu ternak dapat
dijual 0,385** 0,001
7 Usahatani CLS dapat menghidupi keluarga 0,400** 0,001 8 Limbah ternak dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk organic 0,643** 0,000
9 Limbah padi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
0,645** 0,000
10 Limbah ternak dan padi dapat digunakan untuk lainnya
0,545** 0,000
B Aspek Sosial 1 Usahatani CLS memerlukan wadah kelompoktani -0,163 0,181 2 Sapi sebaiknya ditempatkan dalam kandang
kelompok -0,065 0,598
3 Masalah bau kandang/limbah ternak dibicarakan musyawarah
0,139 0,256
4 Sosial budaya : pemupukan padi dengan limbah tidak dilarang
0,148 0,225
5 Usahatani padi : jerami diolah menjadi pakan ternak
0,338** 0,005
6 Kerjasama dalam kelompok diperlukan untuk mengelola CLS
0,280* 0,020
7 Petani pola CLS ikut aktif kerja bakti dan kegiatan sosial lain
0,201 0,097
8 Petani aktif membantu warga yang kena musibah 0,486** 0,000 9 Petani aktif membantu perayaan/hajatan 0,374** 0,002 10 Tidak ada konflik sosial dala berusahatani pola
CLS 0,217 0,074
C Aspek Lingkungan 1 Kandang ternak kelompok terpisah dengan
rumah warga 0,462** 0,000
2 Perlu tempat/bangunan khusus mengolah limbah 0,452** 0,000
ternak dan padi 3 Dalam berusahatani perlu menjaga kesuburan
tanah 0,410** 0,000
4 Pupuk kimia dan pestisida merusak lingkungan 0,302* 0,011 5 Usahatani padi : jerami tidak dibakar 0,236* 0,049 6 Limbah ternak dan jerami dimanfaatkan/diolah
sebagai input pertanian 0,325** 0,006
7 Bau ternak sapid an limbahnya menyebabkan orang berpindah dan semangat bekerja menurun
0,053 0,664
8 Bau ternak sapid an limbahnya menyebabkan warga sakit
0,326** 0,006
9 Limbah ternak mencemari sumur-sumur penduduk dan sungai sehingga berbau
0,260* 0,030
10 Selama ini penduduk tidak peduli bau limbah pertanian
0,125 0,303
Keterangan : **) Korelasi nyata pada alpha 0,01 *) Korelasi nyata pada alpha 0,05
Tabel 1 Luas Panen dan Produktivitas Padi sawah 1970-2000
Nomor Peningkatan Tahun Dicapai Lama Pencapaian
1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
10.
Luas Panen (juta ha) 6 – 7 7 – 8 8 – 9
9 – 10 10 – 11
Produktivitas (ton/ha) 2,5 – 3,0 3,0 – 3,5 3,5 – 4,0 4,0 – 4,5 4,5 – 5,0
1970 – 1973 1973 – 1983 1983 – 1989 1989 – 1995
1995 - ?
1970 – 1976 1976 – 1980 1980 – 1982 1982 – 1989
1989 - ?
3 tahun 10 tahun 6 tahun 6 tahun
belum tercapai
6 tahun 4 tahun 2 tahun 7 tahun
belum tercapai Sumber: Pusat Data Pertanian, 2002 diolah)
Lampiran 3. Diagram Lingkar Pengembangan Usahatani Pola CLS.
- + - + + + - + + - + - - + + + + + + + + + + +
Usaha Ternak Sapi Potong
Usahatani Padi
Produksi Gabah
Limbah Padi
Limbah Ternak
Pakan Ternak
Kompos
Produksi Daging
Pendapatan petani
Kerusakan lingkungan
Upah Kerja
Input dari luar
Lampiran 3. Model Usahatani Pola CLS di Kabupaten Sragen.
+
- + + +
Ternak Sapi Padi Sawah
Limbah ternak
Kerusakan Lingkungan
Pupuk Kandang
Limbah Sawah
Benih, Pupuk Kimia, Pestisida
Pakan Ternak
Produksi Gabah Produksi Ternak
Pasar
Tenaga Kerja Ternak
Rumah Tangga
Manajemen Tenaga Kerja
Pakan Konsentrat, Obat-obatan
Perbandingan Pola Usahatani dengan Kesuburan Lahan, Produksi
dan Pendapatan Petani
Kriteria Pola Usahatani Lahan Produksi Usahatani Pendapatan/Kesejahteraan
CLS Subur Tinggi Tinggi Konvensional Kritis Rendah Rendah
Gambar 1. Model Usahatani Pola padi Sawah-Ternak Sapi Potong Terpadu di
Kabupaten Sragen
P A S A R
RUMAH TANGGA
Bibit Pupuk anorganik
Pestisida
TANAMAN PADI SAWAH
Limbah tanaman
Budidaya Sapi potong
Tenaga kerja ternak
Manajemen Tenaga kerja
Tenaga kerja non-farm Pakan Ternak,
Obat hewan
Limbah ternak
Kompos
Usaha Tani Pola CLS
Sisi Ekonomi Sisi Lingkungan
Total Manfaat (a) Penerimaan Kotor
Total Biaya (b) 1. Biaya Investasi 2. Biaya Operasional 3. Biaya Sosial
Biaya Investasi © - pembuatan kandang/gudang - pembelian bakalan - harga lahan, dll
Biaya Operasional (d) - pembelian bibit/benih - pupuk/pakan - pestisida/obat - penyusutan - upah tenaga kerja
Biaya Sosial (e)
Persepsi penduduk
Finansial benefit (a-(c+d)
green/net benefit/ekonomis (a-(c+d+e))
Metode CVM
Metode Produktv
Kompensasi dlm bentuk - tanggung jawab sosial - penanganan limbah
Ditinjau dari 3 aspek - aspek ekonomi - aspek sosial - aspek lingkungan
Evaluasi Kelayakan usaha 3 metode analisis - B/C Ratio - NPV (Net Present Value) - IRR