KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana...

44
vii KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Gamelan Selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali ” untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana. Skripsi ini berangkat dari rasa ingin tahu penulis terhadap gamelan selonding yang boleh dikata sangat jarang dibahas dalam literatur kesenian Bali. Beberapa literatur hanya menyebut nama selonding, tanpa penjelasan yang lebih lanjut. Padahal selonding merupakan salah satu jenis kesenian Bali yang memiliki nilai sejarah yang panjang dan penting, tercermin dari beberapa prasasti pada masa Kerajaan Bali Kuna yang menyebutkan istilah selonding. Oleh karena masih jarangnya pembahasan mengenai selonding itulah, pada akhirnya penulis memutuskan untuk menjadikannya bahan kajian dalam skripsi ini. Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, atas jasa-jasanya untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. 3. Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si. selaku Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II . 4. Prof. Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I. 5. Dr. Dra. Ni Made Wiasti, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 6. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum., Drs. I Made Pantja, M.A., dan Dr. Drs. I Ketut Darmana, M.Hum. selaku dosen penguji skripsi. 7. Seluruh dosen Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pengetahuan yang telah diberikan selama ini.

Transcript of KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana...

Page 1: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Gamelan Selonding di Desa

Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali” untuk memenuhi

persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana.

Skripsi ini berangkat dari rasa ingin tahu penulis terhadap gamelan

selonding yang boleh dikata sangat jarang dibahas dalam literatur kesenian Bali.

Beberapa literatur hanya menyebut nama selonding, tanpa penjelasan yang lebih

lanjut. Padahal selonding merupakan salah satu jenis kesenian Bali yang memiliki

nilai sejarah yang panjang dan penting, tercermin dari beberapa prasasti pada masa

Kerajaan Bali Kuna yang menyebutkan istilah selonding. Oleh karena masih

jarangnya pembahasan mengenai selonding itulah, pada akhirnya penulis

memutuskan untuk menjadikannya bahan kajian dalam skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak,

atas jasa-jasanya untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas

Udayana.

2. Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Udayana.

3. Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si. selaku Ketua Program Studi Antropologi

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen

Pembimbing Skripsi II .

4. Prof. Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, M.A. selaku Dosen Pembimbing

Skripsi I.

5. Dr. Dra. Ni Made Wiasti, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

6. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum., Drs. I Made Pantja, M.A., dan Dr. Drs. I

Ketut Darmana, M.Hum. selaku dosen penguji skripsi.

7. Seluruh dosen Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana atas berbagai pengetahuan yang telah diberikan

selama ini.

Page 2: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

viii

8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai

pelayanan yang telah diberikan.

9. Keluarga yang selalu memberikan dukungan dan fasilitas.

10. Bapak Komang Suarda, Kepala Desa Bungaya beserta keluarga yang

bersedia memberi tempat tinggal kepada penulis selama penelitian.

11. Masyarakat Desa Bungaya, terima kasih atas informasi yang diberikan serta

kerja samanya.

12. Sri Mpu Darmapala Vajravani dan Yayasan Selonding Bali atas

kesediaannya menjadi informan di sela-sela kesibukan.

13. Bapak Vaughan Hatch, Ibu Evi Hatch, dan Sanggar Mekar Bhuana yang

juga bersedia menjadi informan di sela-sela kesibukan.

14. Rekan-rekan seperjuangan di Prodi Antropologi angkatan 2012: Ulik,

Emonk, Yanti, Arik, Hartawan, Nanda, Pandu, Caca, Yosua, Mustika,

Angel, Fansi, Antara, Nia.

15. Kakak dan adik tingkat di Prodi Antropologi.

16. Teman-teman di Komunitas Sahaja yang selalu mendukung.

17. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah

memberi semangat dan doa dalam penulisan skripsi ini dari awal sampai

akhir.

Penulisan skripsi ini tentu belum bersifat sempurna dan tentunya masih

terdapat beberapa kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan dengan senang

hati menerima masukan dari pembaca. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan

dapat digunakan sebagai mestinya.

Denpasar, 2016

Penulis

Page 3: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

ix

ABSTRAK

Gamelan menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah upacara

masyarakat Hindu Bali. Hal ini tidak lepas dari kehadiran gamelan sebagai bagian

dari panca nada. Salah satu jenis gamelan Bali yang digunakan dalam kegiatan

upacara keagamaan adalah gamelan selonding. Di beberapa wilayah, gamelan ini

sangat disakralkan. Salah satu desa yang mengeramatkan gamelan selonding adalah

Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Penelitian ini

akan mengungkap sejarah perkembangan, fungsi, serta makna gamelan selonding

yang ada di Desa Bungaya.

Penelitian ini menggunakan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh

Robert K Merton dan interpretatif simbolik oleh Clifford Geertz. Teori

fungsionalisme digunakan untuk mengungkap fungsi manifes dan fungsi laten

gamelan selonding, sedangkan teori interpretatif simbolik digunakan untuk

mengungkap makna-makna dalam gamelan selonding bagi masyarakat Desa

Bungaya. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode etnografi dengan teknik

observasi partisipasi, wawancara mendalam, serta kepustakaan.

Gamelan selonding Desa Bungaya terdiri dari sepuluh (10) komposisi.

Selonding Bungaya merupakan salah satu perangkat selonding terbesar di Bali yaitu

92 buah bilah dengan ukuran bervariasi. Gamelan selonding Bungaya sangat jarang

dibunyikan, hanya pada saat berlangsungnya usaba gede (usaba dangsil) yang

dilaksanakan sepuluh tahun sekali. Akan tetapi, sejak tahun 1990-an, gamelan ini

juga dibunyikan pada saat berlangsungnya upacara maligia di Puri Karangasem.

Adanya perkembangan teknologi menyebabkan beberapa perubahan

pandangan masyarakat Bungaya tentang gamelan selonding. Dulu, saking

disakralkannya, masyarakat tidak diperbolehkan untuk merekam gamelan

selonding dalam bentuk apa pun. Beberapa penglingsir masih mempertahankan

aturan tersebut, namun di kalangan generasi muda saat ini tidak lagi menganggap

upaya dokumentasi sebagai sesuatu yang salah, justru berdampak positif sebagai

upaya pelestarian. Meskipun demikian, masyarakat Bungaya sepakat bahwa

gamelan selonding yang ada di desa mereka adalah sakral, suci, dan keramat.

Kata kunci: gamelan selonding, Ida Bhatara Bagus Selonding, sakral

Page 4: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

x

Abstract

Gamelan becomes one important part in a ceremony of Balinese Hindu

community. This is not out of the presence of gamelan as part of the "Panca Nada".

One type of Balinese gamelan used in a religious ceremony is gamelan Selonding.

In some regions, it is very sacred gamelan, one of them is Bungaya Village, District

Bebandem, Karangasem, Bali. This study will reveal the history, function, and

meaning of gamelan Selonding in the Bungaya village.

This study uses the functionalism theory that proposed by Robert K Merton

and theory of interpretative symbolic by Clifford Geertz. The functionalism theory

used to uncover the manifest function and latent functions of gamelan Selonding,

while the interpretive theory used to reveal the symbolic meanings in the gamelan

Selonding for Bungaya Village community. The method used is the method of

ethnographic techniques participatory observation, interview, and literature.

Gamelan Selonding Bungaya village consisting of ten (10) compositions.

Selonding Bungaya is one of the largest in Bali Selonding i.e. 92 pieces of blades

with varying sizes. Gamelan Selonding Bungaya very rarely sounded, just in the

Usaba Gede (Usaba dangsil) which held ten years. However, since the 1990s, the

orchestra is also sounded at the time of the ceremony maligia in Puri Karangasem.

Technology development leads to some changes in people's views about the

gamelan Selonding Bungaya. In the past, was so sacred and people are not allowed

to record gamelan Selonding in any form. Some penglingsir still retain the rule, but

among young people today no longer considers the efforts of documentation as

something wrong, it had a positive impact on conservation efforts. Nonetheless, the

gamelan Selonding Bungaya agreed that in the village they are holy and sacred.

Keywords: gamelan Selonding, Ida Bhatara Bagus Selonding, sacred

Page 5: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xi

DAFTAR ISI

JUDUL i

PERSYARATAN GELAR ii

PERNYATAAN KEASLIAN iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv

LEMBAR PENGESAHAN v

PANITIA PENGUJI vi

KATA PENGANTAR vii

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK xv

GLOSARIUM xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 7

1.3 Tujuan 7

1.3.1 Tujuan Umum 7

1.3.2 Tujuan Khusus 8

1.4 Manfaat 8

1.4.1 Manfaat Teoritis 8

1.4.2 Manfaat Praktis 9

1.5 Kerangka Teori 9

1.5.1 Teori Fungsionalisme Struktural 10

1.5.2 Teori Interpretatif Simbolik 14

1.6 Konsep 18

1.6.1 Eksistensi 18

1.6.2 Gamelan Selonding 18

1.6.3 Fungsi 20

1.6.4 Makna 21

1.7 Model Penelitian 22

1.8 Metode Penelitian 25

1.8.1 Lokasi Penelitian 25

1.8.2 Jenis dan Sumber Data 26

1.8.3 Teknik Penentuan Informan 26

1.8.4 Instrumen Penelitian 27

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data 28

1.8.6 Analisis Data 30

BAB II GAMBARAN UMUM DESA BUNGAYA 32

2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam 32

2.2 Kependudukan 36

2.3 Sejarah Desa 42

Page 6: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xii

2.4 Kesenian 46

2.5 Organisasi Sosial 52

2.6 Religi 60

BAB III EKSISTENSI GAMELAN SELONDING

DI DESA BUNGAYA 67

3.1 Asal-Usul Penggunaan Gamelan Selonding 67

3.2 Gamelan Selonding di Desa Bungaya 77

3.3 Gamelan Selonding Bungaya di Tengah Modernisasi 89

BAB IV FUNGSI GAMELAN SELONDING 96 4.1 Gamelan Selonding sebagai Sarana Upacara 96

4.2 Gamelan Selonding sebagai Simbol Tuhan (Pratima) 108

4.3 Gamelan Selonding Bungaya Persembahan dalam Upacara Maligia

Keluarga Puri Karangasem 116

BAB V MAKNA GAMELAN SELONDING DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT DESA BUNGAYA 120

5.1 Makna Religius 120

5.2 Makna Sosial Budaya 126

5.2.1 Gamelan Selonding sebagai Media Komunikasi 126

5.2.2 Gamelan Selonding sebagai Sarana Persatuan dan

Integrasi Sosial 128

5.3 Makna Pendidikan 133

5.3.1 Transfer of Knowledge antara Penanga dengan Pragina Selonding 133

5.3.2 Warisan Pengetahuan dalam Klan Pande Tusan 135

5.3.3 Gamelan Selonding sebagai Media Pendidikan Karakter 136

5.4 Makna Estetika 138

5.5 Makna Identitas 141

BAB VI PENUTUP 144

6.1 Simpulan 144

6.2 Saran 146

DAFTAR PUSTAKA 147

LAMPIRAN 152

Lampiran 1 : Peta Provinsi Bali 153

Lampiran 2 : Peta Kabupaten Karangasem 154

Lampiran 3 : Peta Desa Bungaya 155

Lampiran 4 : Pedoman Wawancara 156

Lampiran 5 : Daftar Informan 158

Lampiran 6 : Posisi Instrumen Selonding Bungaya 160

Lampiran 7 : Surat Izin Penelitian 161

Page 7: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tata Guna Lahan Desa Bungaya 34

Tabel 2.2 Data Penduduk Tiap-Tiap Banjar Dinas di Desa Bungaya

Tahun 2015 37

Tabel 2.3 Data Penduduk Desa Bungaya Menurut Umur Tahun 2015 38

Tabel 2.4 Lima Komoditas Unggulan Desa Bungaya 41

Tabel 3.1 Perbandingan Selonding Bungaya dengan

Selonding Tenganan Pegringsingan 83

Page 8: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Lokasi Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten

Karangasem 33

Gambar 2.2 Busana Adat Truna (kiri) dan Daha (kanan) Desa Bungaya 48

Gambar 2.3 Posisi Masing-Masing Prajuru Desa dalam Balai Agung 59

Gambar 2.4 Pelaksanaan Usaba Dangsil Desa Adat Bungaya 62

Gambar 3.1 Seperangkat Gamelan Selonding di Pura Merajan Selonding,

Besakih 68

Gambar 3.2 Bagian Gamelan Selonding Tampak Atas (kiri)

dan Tampak Samping (kanan) 69

Gambar 3.3 Lontar Gending Selonding Bungaya 79

Gambar 3.4 Peralatan Pandai Besi yang Dimiliki oleh Pande Tusan 86

Gambar 3.5 Landesan Batu di Pura Puseh 87

Gambar 3.6 Masyarakat Menghaturkan Sesaji di Depan Balai Penyimpanan

Bhatara Bagus Selonding pada Hari Purnama 89

Gambar 4.1 Pengarakan Dangsil Saat Usaba Gede 99

Gambar 4.2 Ritual Melasti Saat Usaba Gede 104

Gambar 4.3 Gamelan Selonding Dibuyikan saat Usaba Gede 106

Gambar 4.4 Penglingsir Desa (kiri) membagikan Rumput Alang-Alang yang

Digunakan Membersihkan Gamelan Selonding Sakral 110

Gambar 5.1 Masyarakat Bungaya Saat Memohon Minyak Wangsuhan 122

Gambar 5.2 Kain Putih Dibentangkan sebagai Jalur Pemargi

Ida Bhatara Bagus Selonding 124

Gambar 5.3 Para Truna Bertugas Membawa Gamelan Selonding

ke Pura Penataran 129

Gambar 5.4 Pragina dan Truna sedang Merangkai Bilah Selonding

pada Pelawah 130

Page 9: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xv

DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK

Bagan

Bagan 1.1 Model Penelitian 22

Bagan 2.1 Struktur Desa Adat Bungaya 55

Grafik

Grafik 2.1 Persentase Rumah Tangga Usaha Pertanian

Menurut Desa di Kecamatan Bebandem 40

Page 10: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xvi

GLOSARIUM

anda

nama tarian sakral di Desa Bungaya yang ditarikan dengan posisi melingkar.

bhatara bagus selonding

sebutan bagi selonding sakral di Desa Bungaya.

cagak

bagian gamelan selonding yang menjadi tumpuan antara bilah satu dengan lainnya

agar tidak saling bersentuhan.

daha

pemudi. Anggota krama adat Desa Bungaya yang terdiri dari perempuan yang

belum menikah.

de kebayan

jabatan dalam struktur adat Desa Adat Bungaya yang merupakan pucuk pimpinan

dan pemimpin di setiap upacara adat.

de manten

mantan De Kebayan Wayan yang saat menjabat menghadapi usaba atau upacara di

Pura Dalem.

de salah

mantan De Kebayan Wayan yang saat menjabat menghadapi usaba atau upacara di

Pura Bale Agung.

gambang

gamelan yang terdiri dari bilah-bilah bambu, dipukul dengan dua buah panggul

bercabang seperti bentuk Y.

gamelan

orkestra yang terdiri dari bermacam-macam instrumen yang terbuat dari batu, kayu,

bambu, besi, perunggu, kulit, dawai, dan lain-lain dengan menggunakan laras pelog

dan slendro.

gending

lagu atau nyanyian.

kale

nama gending selonding Bungaya untuk mengiringi tari anda gede.

karawitan

Page 11: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xvii

musik tradisional Bali; dapat berupa suara instrumental (gamelan) atau berupa suara

vokal (tembang atau sekar).

krama desa

anggota dari sebuah desa. Masyarakat desa.

megat anda

sanksi yang dikenakan bagi orang yang keluar-masuk dan merusak keutuhan tari

anda.

megat pemargi

sanksi yang dikenakan bagi orang yang dengan sengaja ataupun tidak melintas di

hadapan Bhatara Bagus Selonding saat beliau melewati jalan desa.

palemahan desa

lingkungan desa.

panca nada

lima macam bunyi yang menjadi sarana dalam persembahyangan umat Hindu, yaitu

kulkul (kentongan), kidung (nyanyian suci), gamelan, genta (lonceng Pendeta), dan

mantra (doa).

pande tusan

klan pande besi yang ditugaskan untuk memperbaiki gamelan selonding Bungaya

bila terjadi kerusakan.

panggul

sejenis palu kayu yang digunakan untuk memukul bilah-bilah gamelan.

pelawah

bagian dasar dari sebuah gamelan selonding, berbentuk persegi panjang atau bisa

juga trapesium. Pelawah terbuat dari bahan kayu. Fungsinya adalah sebagai

resonator untuk membuat suara gamelan terdengar lebih jelas dan keras.

pelinggih

benda atau tempat yang diyakini sebagai stana dari dewa atau bhatara.

pelog

laras gamelan Bali (dan Jawa) di mana antara nada satu dengan nada lain memiliki

jarak (interval) yang tidak sama.

penanga

orang yang bertugas sebagai pemangku Bhatara Bagus Selonding. Ia juga

merupakan satu-satunya orang yang boleh memukul gamelan selonding sakral (unit

penanga) yang merupakan pelinggih dari Ida Bhatara Bagus Selonding.

pesaluk

upacara serah-terima jabatan dalam organisasi adat Desa Adat Bungaya.

Page 12: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xviii

pragina selonding

orang yang bertugas menabuh gamelan selonding di Desa Bungaya.

prajuru desa

organisasi kepemimpinan suatu desa adat.

prakempa

nama lontar yang memuat istilah-istilah dalam gamelan.

pratima

benda yang dijadikan simbol perwujudan jasmani para dewa.

profan

sesuatu yang bernilai biasa dan berhubungan dengan bidang kehidupan sehari-hari.

sakral

sesuatu yang bernilai sangat suci, transenden, dianggap memiliki kekuatan magis

yang maha-dahsyat.

saput karah

nama kain tenun khas Desa Bungaya yang didominasi oleh warna merah dan

kuning.

selendro

laras gamelan Bali (dan Jawa) di mana antara nada satu dengan nada lain memiliki

jarak (interval) yang sama.

selonding

jenis gamelan yang bilahnya terbuat dari besi atau tembaga. Di beberapa tempat di

Bali, selonding disakralkan.

truna

pemuda. Anggota krama adat Desa Bungaya yang terdiri dari laki-laki yang belum

menikah.

usaba

sidang atau dalam hal ini festival dalam hal ini para Dewa dan manifestasinya

dimohon untuk berstana di Bale Agung atau tempat suci lainnya dan umat

melaksanakan persembahyangan pada tempat tersebut.

Page 13: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

xix

usaba gede

disebut juga usaba dangsil atau usaba aya. Merupakan upacara terbesar di Desa

Bungaya yang dilaksanakan paling cepat sepuluh (10) tahun sekali. Usaba ini juga

melibatkan 13 desa yang bertetangga dengan Desa Bungaya.

winten (mawinten)

upacara penyucian diri

Page 14: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang memiliki pikiran dan perasaan, oleh

karenanya ia dapat mencipta, merasa, dan menghargai keindahan. Dilihat dari

sudut pandang antropologis, sifat manusia untuk mencari dan mengagumi

keindahan adalah hal yang universal. Kata ‘indah’ bagi setiap orang memiliki

standar yang berbeda karena terdapat unsur subjektivitas pada diri setiap individu

dalam membuat suatu penilaian. Hal ini menimbulkan munculnya bentuk-bentuk

keindahan yang beragam. Harsojo (1977:231) menyatakan bahwa bentuk

keindahan yang sangat beraneka ragam itu timbul dari permainan imajinasi yang

kreatif dan memberikan kepuasan batin yang sedalam-dalamnya bagi manusia.

Seni merupakan ungkapan dari rasa keindahan. Ungkapan rasa tersebut

kemudian dituangkan dalam media-media berupa seni rupa, seni musik, seni

drama, atau seni sastra. Haviland (1988) mengungkapkan bahwa seni merupakan

penggunaan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan

menikmati kehidupan. Sementara itu Soeriadiredja (2003) mengartikan kesenian

sebagai suatu bentuk ekspresi, sebagai perwujudan atau simbolisasi dari perasaan

dan pikiran manusia, tercakup pula pandangan-pandangan atau nilai-nilai yang

dianutnya. Pengertian kesenian yang diungkapkan oleh dua antropolog ini pada

dasarnya sepakat akan satu hal, yaitu seni merupakan media untuk

mengomunikasikan perasaan.

Page 15: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

2

Ilmu antropologi mengenal kesenian sebagai salah satu dari tujuh unsur

kebudayaan universal. Oleh karenanya maka tidak ada kebudayaan manusia yang

tidak memiliki suatu bentuk kesenian, meskipun kesenian itu boleh jadi melulu

diciptakan untuk keperluan praktis yang bermanfaat (Haviland, 1988). Dalam

Harsojo (1977:233) dikemukakan bahwa kesenian merupakan bagian yang vital

dari kebudayaan. Kesenian merupakan faktor yang amat esensial untuk integrasi,

dan kreativitas kultural sosial maupun individual.

Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang terkenal akan ragam

keseniannya. Salah satu jenis kesenian Bali yang berkembang adalah seni musik.

Musik tradisional Bali dinamakan karawitan (Bandem, 2013). Istilah karawitan

berasal dari kata ‘rawit’ yang artinya halus (indah), kemudian mendapat awalan

ka- dan akhiran -an. Karawitan ada yang berupa suara instrumental (gamelan),

ada pula yang berupa suara vokal (tembang atau sekar). Gamelan adalah sebuah

orkestra yang terdiri dari bermacam-macam instrumen yang terbuat dari batu,

kayu, bambu, besi, perunggu, kulit, dawai, dan lain-lain dengan menggunakan

laras pelog dan slendro. Istilah gamelan dipakai juga untuk menyebutkan musik

(lagu-lagu) yang dihasilkan oleh permainan instrumen di atas. Dewasa ini

ditemukan lebih dari tiga puluh (30) jenis perangkat gamelan Bali yang tersebar di

seluruh kabupaten se-Bali dan masing-masing perangkat itu memiliki fungsi,

instrumentasi, orkestrasi, dan teknik permainan yang berbeda-beda (Bandem,

2013:1).

Berkembangnya seni gamelan dalam kehidupan masyarakat Bali utamanya

disebabkan oleh terjadinya persatuan antara jiwa seni dengan jiwa religi. Sumaryo

(dalam Arsini, 1994: 16-17) mengungkapkan bahwa munculnya gamelan bermula

Page 16: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

3

dari ritual dalam sebuah sistem kepercayaan yang bersifat magis. Manusia primitif

yang mempunyai kepercayaan bersifat magis berkeinginan untuk mendapatkan

sesuatu dari makhluk yang didewa-dewakan dengan jalan membunyikan gamelan

tersebut. Hingga saat ini, gamelan masih menjadi salah satu bagian penting dalam

sebuah upacara masyarakat Hindu Bali. Hal ini tidak lepas dari kehadiran gamelan

sebagai bagian dari panca nada, yaitu lima macam bunyi yang menjadi sarana

dalam persembahyangan umat Hindu. Bagian-bagian dari panca nada adalah

kulkul (kentongan), kidung (nyanyian suci), gamelan, genta (lonceng Pendeta),

dan mantra (doa).

I Nyoman Rembang (dalam Bandem, 2013) mengklasifikasikan gamelan

Bali dalam tiga golongan menurut historisnya yaitu Gamelan Golongan Tua,

Golongan Madya, dan Golongan Baru. Seiring perkembangan jaman, maka

anggota klasifikasi ini ditambahkan satu jenis lagi yang disebut sebagai Gamelan

Kontemporer. Selonding termasuk dalam gamelan golongan tua. Seorang profesor

etnomusikologi, Michael Tenzer (1991) menyebutkan bahwa gamelan selonding

merupakan salah satu jenis gamelan yang paling tua di Pulau Bali, mendahului

gamelan gambuh. Selonding diperkirakan telah ada pada masa kebudayaan Pra-

Majapahit.

Tidak semua desa di Bali memiliki instrumen selonding. Di masa awal

perkembangan gamelan ini, hanya beberapa desa yang termasuk golongan desa

kuno yang memiliki instrumen ini. Desa-desa tersebut tersebar di Kabupaten

Karangasem, Bangli, Singaraja, Gianyar, dan Tabanan. Kabupaten Karangasem

merupakan kabupaten yang paling banyak ditemukan instrumen selonding, yaitu

terdapat di Desa Asak, Bungaya, Bugbug, Ngis, Selat, Kayubihi, Tenganan, dan

Page 17: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

4

beberapa desa lainnya. Saat ini, gamelan selonding telah tersebar di sembilan

kabupaten di Bali.

Phillip McKean, seorang antropolog, pada tahun 1973 mengemukakan

bahwa kebudayaan Bali dalam keseluruhannya menggambarkan ciri-ciri yang

dapat disifatkan sebagai tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Unsur-

unsur tradisi kecil merupakan unsur-unsur kebudayaan Bali sebelum tersentuh

pengaruh Hindu Majapahit. Unsur-unsur tersebut kini masih tampak bertahan

mewarnai kehidupan masyarakat di beberapa desa kuna di Bali pegunungan (Bali

Aga), seperti desa Sembiran, Pedawa, Tigawasa, Sidatapa, Tenganan, dan

Trunyan. Tradisi besar mencakup unsur-unsur kehidupan yang berkembang

berkenaan dengan kedatangan pengaruh Hindu dari Majapahit ke Bali. Tradisi

modern mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan dan

kemerdekaan (dalam Pujaastawa, 2014).

Gamelan selonding merupakan bagian dari tradisi kecil. Jika dilihat, maka

aspek-aspek kebudayaan yang termasuk dalam tradisi kecil ini saat ini terdesak

oleh keberadaan kebudayaan tradisi besar dan tradisi modern. Kendati demikian,

bukan berarti tradisi kecil tersebut ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini dapat

dilihat dari kenyataan bahwa di era globalisasi seperti saat ini, gamelan selonding

masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat, utamanya di Desa Bungaya,

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Kebertahanan gamelan

selonding dalam rentangan abad tentunya berkaitan dengan fungsinya yang sentral

dalam kegiatan ritual agama, utamanya bagi masyarakat Bali Kuno.

Keberadaan gamelan selonding sangat disakralkan. Hampir di setiap desa

kuno di Bali memiliki tempat pemujaan tersendiri bagi Bathara Bagus Selonding

Page 18: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

5

(Dewa Gamelan Selonding) yang disebut Pura Merajan Selonding. Tempat

pemujaan ini juga terdapat di pura-pura besar seperti Pura Besakih dan Pura

Batur. Sifat sakral ini membuat masyarakat memberikan perlakuan khusus

terhadap gamelan selonding. Pada masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan

Bebandem, Karangasem, tidak sembarang orang yang boleh memainkan

instrumen selonding ini. Selonding hanya boleh dimainkan oleh orang yang

berstatus sebagai penanga (pemangku khusus gamelan selonding) dan pragina

selonding. Kesakralan gamelan selonding membuat masyarakat pendukungnya

memberikan perlakuan khusus terhadapnya. Di Desa Bungaya, pada saat gamelan

selonding tersebut dibawa melewati jalan desa, masyarakat harus berjongkok di

pinggir jalan agar tidak menghalangi (lihat Schaareman, 1991).

Kendati disakralkan, saat ini ada pula jenis gamelan selonding yang

digunakan untuk kepentingan profan (dalam arti sebagai bagian dalam aktivitas

penciptaan musik kreasi baru bahkan kontemporer). Gamelan selonding yang

digunakan untuk pertunjukan berbeda dengan peralatan gamelan yang digunakan

untuk kepentingan ritual. Di Tenganan Pegringsingan misalnya, memiliki jenis

gamelan selonding yang khusus digunakan untuk kepentingan pertunjukan

kesenian. Beberapa sanggar karawitan juga mengajarkan selonding pada anak

didiknya dengan tujuan pelestarian budaya.

Desa Bungaya merupakan salah satu desa yang sangat mensakralkan

selonding, bahkan Pande Wayan Tusan (2002) menyebutkan bahwa krama

(masyarakat adat) Desa Bungaya tidak berani secara vulgar menyebut “selonding”

demi penghormatan, mereka hanya akan menyebutnya “Bhatara Bagus” saja. Di

tengah pergulatan dengan pandangan yang mengijinkan selonding sebagai seni

Page 19: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

6

profan, masyarakat Desa Bungaya memilih untuk tetap menjaga kesakralan

selonding. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Desa Bungaya memiliki cara

pandang tersendiri dalam memaknai gamelan selonding. Pada bagian awal telah

disebutkan bahwa kesenian merupakan media komunikasi. Tidak terkecuali

gamelan selonding, maka setiap kesenian sarat akan simbol-simbol komunikasi.

Setiap simbol mengandung makna. Makna inilah yang menyebabkan masyarakat

memiliki cara tersendiri dalam memperlakukan sebuah objek.

Kajian mengenai gamelan selonding saat ini masih terhitung sedikit

dibandingkan dengan kajian mengenai gamelan gambang (yang sama-sama

merupakan gamelan tua atau wayah) ataupun seni karawitan lainnya. Beberapa

pakar seni karawitan dan etnomusikolog tercatat pernah melakukan penelitian

terhadap gamelan selonding. Danker Schaareman (1991) misalnya, seorang

etnomusikolog asal Jerman yang pernah meneliti mengenai fungsi gamelan

selonding dalam upacara Ngusaba Sumbu yang terdapat di Desa Tatulingga,

Karangasem. Tahun 2002, seorang seniman bernama Pande Wayan Tusan

menerbitkan buku yang berjudul Selonding: Gamelan Bali Kuna Abad X-XIV.

Buku tersebut merupakan suatu kajian terhadap gamelan selonding di beberapa

Desa Bali Aga (termasuk salah satunya Desa Bungaya), dilihat dari data prasasti,

karya sastra, dan artefak. Selain itu tercatat juga nama-nama seperti Ernst

Schlager, Theo Meier, Hans Oesch, Colin Mc Phee, I Made Bandem, Urs

Ramseyer, dan Kiyoshi Nakamura sebagai peneliti yang pernah menulis mengenai

gamelan selonding (lihat Tusan, 2002: 2-5). Kendati demikian, kajian yang

khusus membahas mengenai eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya

belum pernah penulis temukan.

Page 20: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

7

1.2 Rumusan Masalah

Paparan di atas pada intinya memberikan gambaran mengenai gamelan

selonding yang hingga saat ini masih eksis di tengah masyarakat. Gamelan ini

memiliki nilai sakral, terutama bagi masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan

Bebandem, Kabupaten Karangasem. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Desa

Bungaya memiliki cara pandang dalam memfungsikan dan memaknai gamelan

selonding. Berdasarkan uraian tersebut, maka masalah penelitian yang hendak

dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian

sebagai berikut.

1) Bagaimanakah sejarah perkembangan gamelan selonding di Desa

Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem?

2) Mengapa gamelan selonding di Desa Bungaya masih eksis hingga saat

ini?

3) Apakah makna yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa

Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1) Mengkaji eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya, Kecamatan

Bebandem, Kabupaten Karangasem.

2) Menambah khazanah keilmuan di bidang kebudayaan, utamanya

kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Karangasem, Bali.

Page 21: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

8

3) Sebagai bahan informasi mengenai budaya dan kesenian yang terdapat

di daerah Kabupaten Karangasem, Bali, sehingga dapat digunakan

untuk kepentingan pendidikan, promosi pariwisata, dan pembangunan

di berbagai bidang.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mengetahui dan memahami sejarah perkembangan gamelan selonding

di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

2) Mengetahui dan memahami alasan gamelan selonding di Desa

Bungaya masih eksis hingga saat ini.

3) Mengetahui dan memahami makna yang terkandung dalam gamelan

selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten

Karangasem.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan

sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan

keilmuan.

2) Hasil akhir tulisan ini juga diharapkan memiliki manfaat dalam

memperkaya perbendaharaan pustaka yang telah ada dan berfungsi

Page 22: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

9

sebagai sumber informasi, khususnya dalam rangka menunjang

penelitian dengan tema terkait kesenian Bali, utamanya gamelan

selonding.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan

inventarisasi mengenai salah satu bentuk kesenian yang ada di Bali.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif

dalam pemecahanan masalah pembangunan, khususnya di bidang seni

karawitan.

1.5 Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan beberapa teori untuk mengkaji berbagai

fenomena terkait eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya. Ada tiga

pertanyaan penelitian yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu terkait

sejarah perkembangan, fungsi, serta makna gamelan selonding bagi masyarakat

Desa Bungaya. Mengacu pertanyaan penelitian tersebut, maka teori

fungsionalisme struktural yang dicetuskan oleh Robert K Merton digunakan

sebagai teori utama untuk mengkaji permasalahan secara umum. Selain itu, untuk

mengungkap makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya,

digunakan teori interpretatif simbolik dari Clifford Geertz.

Page 23: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

10

1.5.1 Teori Fungsionalisme Struktural

Teori fungsionalisme struktural merupakan salah satu teori yang

digunakan oleh antropolog dalam mengkaji unsur-unsur kebudayaan. Penganut

fungsionalisme struktural menyatakan bahwa kebudayaan merupakan proses

keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainnya. Sumbangan

terpenting teori ini dalam studi kebudayaan adalah pada temuan konseptualnya

mengenai peranan kebudayaan di dalam kehidupan manusia, baik masyarakat

tradisional maupun modern.

Teori fungsionalisme struktural bukan hal yang baru lagi di dalam dunia

sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata.

Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas

bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam

keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa

perubahan pula terhadap bagian yang lain (Ritzer, 2015). Asumsi dasarnya adalah

bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain.

Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan

hilang dengan sendirinya.

Robert K. Merton merupakan salah satu tokoh pendukung teori

fungsional-struktural. Gaya teori Merton memiliki kemiripan dengan teori Talcott

Parsons yang bersifat abstrak dan agak muluk (grandiose). Hal ini disebabkan

konteks sosial yang terjadi pada masa kedua tokoh tersebut bisa dikatakan

sebanding. Parsons juga merupakan guru dari Merton.

Merton (dalam Ritzer, 2015) memulai analisa fungsionalnya dengan

menunjukkan beberapa hal yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat

Page 24: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

11

kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Postulat tersebut kemudian

disempurnakannya satu demi satu. Postulat yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Postulat pertama terkait kesatuan fungsional masyarakat. Dikatakan bahwa

seluruh sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkatan yang memadai, tanpa

menghasilkan konflik berkepanjangan. Contoh beberapa kebiasaan masyarakat

fungsional bagi suatu kelompok, tapi disfungsional bagi kelompok lain. Atas

postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang

sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini

disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi

satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.

Postulat kedua mengenai fungsionalisme universal, dikatakan bahwa

seluruh bentuk sistem-sistem sosial dan budaya yang sudah baku memiliki fungsi-

fungsi positif. Merton memperkenalkan konsep disfungsi dan fungsi positif

mengenai sistem sosial. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya di

samping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa

perilaku sosial dapat dikategorikan ke dalam bentuk atau sifat disfungsi ini.

Dengan demikian, dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.

Postulat ketiga dikatakan bahwa dalam setiap peradaban, setiap kebiasaan,

ide, objek materiil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki

sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak

dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Ini disebut postulat

indispensability. Menurut Merton, postulat yang ketiga ini masih kabur (dalam

artian tidak memiliki kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan

keharusan. Di dalam menyatakan keberatannya terhadap ketiga postulat itu,

Page 25: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

12

Merton menyatakan bahwa (1) kita tidak mungkin mengharapkan terjadinya

integrasi masyarakat yang benar-benar tuntas; (2) kita harus mengakui baik

disfungsi maupun konsekuensi fungsional yang positif dari suatu elemen kultural;

(3) kemungkinan alternatif fungsional harus diperhitungkan dalam setiap analisa

fungsional.

Dalam membangun teorinya, Merton tertarik terhadap keadaan struktur

sosial dan fungsi sosial sebagaimana organisme kehidupan, yang dia amati di

dalam kehidupan sosial di sekelilingnya (Wirawan, 2012: 29). Robert K. Merton

berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti: peranan

sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian

sosial dan sebagainya. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi

manifes, fungsi laten, dan keseimbangan (equilibrium).

Fungsi manifes dan fungsi laten merupakan dua konsep fungsional yang

dikembangkannya. Fungsi manifes merupakan fungsi yang diharapkan (disadari,

nyata), sedangkan fungsi laten merupakan fungsi yang tidak diharapkan (tidak

disadari, tersembunyi). Fungsi manifes adalah konsekuensi-konsekuensi objektif

yang menyumbang pada penyesuaian terhadap sistem itu yang dimaksudkan dan

diketahui (recognized) oleh partisipan dalam sistem itu; fungsi laten adalah hal

yang tidak dimaksudkan atau diketahui (Wirawan, 2012: 35). Merton (dalam

Ritzer, 2015: 137) menjelaskan bahwa akibat yang tak diharapkan tak sama

dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat

yang tidak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sistem tertentu.

Page 26: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

13

Selain pendekatan fungsi, Merton juga nampaknya tertarik dengan konsep-

konsep struktur sosial dan perubahan kultural. Hal ini disampaikan dalam

autobiografinya yang ditulisnya pada tahun 1981 sebagai berikut:

“Saya ingin dan masih ingin memajukan teori sosiologi dari struktur sosial

dan perubahan kultural yang akan membantu kita memahami bagaimana

institusi sosial dan karakter kehidupan dalam masyarakat bisa muncul

sebagaimana terlihat sekarang (dimuat dalam Ritzer, 2012: 134-135).”

Dalam hal ini, Merton mendefinisikan struktur sosial sebagai “seperangkat

hubungan sosial yang terorganisasi, yang dengan berbagai cara melibatkan

anggota masyarakat atau anggota kelompok”; sedangkan kultur adalah

“seperangkat nilai normatif yang terorganisasi, yang menentukan perilaku

bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok”. Struktur memiliki kaitan

erat dengan berjalannya suatu fungsi, tetapi Merton berpendapat bahwa tidak

semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistem sosial.

Penelitian ini adalah sebuah kajian mengenai gamelan selonding yang

merupakan salah satu hasil kebudayaan di Desa Bungaya. Hingga saat ini,

gamelan selonding masih eksis dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya,

terutama dalam pelaksanaan upacara adat seperti Usaba Gede/ Usaba Aya/ Usaba

Dangsil. Mengacu pada teori yang dikemukakan Merton, maka penelitian ini

menitikberatkan pada analisis fungsional dalam gamelan selonding, baik fungsi

manifes maupun fungsi laten. Dan sebagaimana yang dikemukakan Merton

mengenai pentingnya perubahan kultural, maka teori ini juga digunakan untuk

mengkaji dinamika gamelan selonding di Bali, khususnya di Desa Bungaya, guna

memahami fenomena gamelan selonding yang terjadi di masa sekarang.

Page 27: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

14

1.5.2 Teori Interpretatif Simbolik

Pendekatan interpretatif memusatkan kembali perhatian pada berbagai

wujud konkret dari makna kebudayaan, dalam teksturnya yang khusus dan

kompleks, namun tanpa terjerumus ke dalam perangkap historisisme atau

relativisme kebudayaan dalam bentuknya yang klasik (Saifuddin, 2006: 286).

Interpretasi dimulai dari postulat bahwa jaringan makna menunjukkan eksistensi

manusia hingga batas tertentu yang tidak akan pernah dapat direduksi menjadi

unsur-unsur yang didefinisikan terlebih dahulu.

Dalam mendefinisikan kebudayaan, penganut teori interpretatif simbolik

melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan

sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia (Syam,

2007: 90). Clifford Geertz, sebagai penganut teori ini, dalam kumpulan esainya

yang berjudul Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture

menjelaskan bahwa istilah ‘budaya’ bagi antropolog cenderung memiliki berbagai

arti namun ciri kunci dari kata itu adalah ide tentang ‘makna’ atau ‘signifikasi’.

Adapun definisi budaya menurut Clifford Geertz (dalam Saifuddin, 2006:

288) adalah: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol yang

dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia

mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian

mereka; (2) suatu pola-pola makna yang ditransmisikan secara historis yang

terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik

tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan

pengetahuan mereka mengenai dan bersikap dalam kehidupan; (3) suatu peralatan

simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi;

Page 28: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

15

dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses

kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Dari uraian

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan digambarkan oleh Geertz

sebagai sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat

dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka

tentang kehidupan, dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-

simbol itu (Pals, 2001). Kebudayaan sebagai simbol berlaku lebih dari sekadar

mengartikulasikan dunia; melainkan memberikan pedoman bagi tindakan.

Dalam Religion as a Cultural System (1966), Cifford Geertz melakukan

sintesis simbol dan struktur sosial dan memberikan makna substantif suatu ranah

kajian mengenai agama dalam pendekatan antropologi. Untuk kepentingan

metodologi antropologi yang berorientasi pada realitas empirik, Geertz (dalam

Saifuddin, 2015: 205) mengembangkan suatu definisi agama mengenai suatu

sistem simbol yang: (a) merepresentasikan pikiran, aktualitas, kelakuan, konteks,

dan histori; (b) memberi aura yang menyelimuti aktualitas, sehingga yang tidak

nyata menjadi seolah-olah nyata; (c) sehingga membangun suatu keseluruhan

yang idealistik, intens, memenuhi suasana jiwa.

Menurut Geertz, jika ingin memahami aktivitas kebudayaan, maka seorang

peneliti tidak punya pilihan lain kecuali menemukan metode-metode yang tepat,

karena dalam membicarakan manusia, yang hidup dalam sistem makna yang

kompleks yang disebut kebudayaan, pendekatan sekadar ‘menjelaskan’ perilaku

mereka seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan alam dalam menyelidiki

sekawanan ikan atau serangga, tidaklah memadai. Pendekatan yang ditawarkan

Geertz untuk menyelidiki kebudayaan adalah apa yang disebut oleh filsuf Inggris

Page 29: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

16

Gilbert Ryle dengan “thick description” (deskripsi/ pelukisan mendalam). Istilah

ini dikaitkan dengan kegiatan La Paenseur (sang pemikir) yang sedang

melakukan kegiatan ‘memikirkan dan merefleksikan’ dan ‘memikirkan pikiran-

pikiran’. Melalui cara ini, biasanya penelitian dilakukan dengan mengambil suatu

obyek yang terbatas, sehingga pelukisan terhadap suatu kebudayaan menghasilkan

suatu paparan yang bersifat mikroskopis, deskripsi tentang makna dan sistem

simbol dalam masyarakat.

Maka menurut Geertz, etnografi dan juga antropologi secara umum, harus

selalu melibatkan ‘pelukisan mendalam’ ini, sebagai kebalikan dari ‘pelukisan

dangkal’ (thin description). Tugas etnografer atau antropolog tersebut, bukan

hanya sebatas mendeskripsikan struktur suku-suku atau ritual-ritual masyarakat

yang ditelitinya saja, tetapi juga mencari makna, menemukan apa yang

sesungguhnya berada di balik perbuatan mereka, atau makna yang ada di balik

seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, struktur, dan kepercayaan mereka. Lebih

lanjut mengenai makna, Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan

bersifat publik, dan kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena

mereka saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Sehingga

menurutnya, secara sosial kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna dalam

terma-terma berupa sekumpulan tanda yang dengannya masyarakat melakukan

suatu tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya, ataupun menerima celaan atas

makna tersebut dan kemudian menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan

menemukan artikulasinya melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial.

Menurut Geertz (dalam Saiffudin, 2006: 298-299) makna dalam

masyarakat harus berasal dari “native point of view” atau sudut pandang

Page 30: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

17

masyarakat setempat, namun untuk menemukan makna yang didasarkan pada

pandangan native sesungguhnya relativistik. Yang dimaksud Geertz dalam hal ini

adalah suatu pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri,

persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain,

persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain yang mengidentifikasi dan

memilah siapa pengamat dan siapa orang-orang yang diamati.

Dalam penelitian ini, teori interpretatif simbolik yang diungkapkan oleh

Geertz digunakan untuk mengkaji makna-makna yang terdapat dalam gamelan

selonding. Sesuai dengan anggapan Geertz, maka setiap kebudayaan merupakan

suatu simbol. Gamelan selonding dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya

merupakan suatu simbol, yang di dalamnya terkandung makna-makna yang perlu

diinterpretasi. Eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya hingga saat ini juga

tidak bisa dipisahkan dari peran agama Hindu sebagai dasar kegiatan-kegiatan

ritual yang secara rutin masih dilakukan di Desa Bungaya. Oleh karena itu,

simbol-simbol agama Hindu yang terkait dengan gamelan selonding juga perlu

untuk dibahas. Adapun simbol yang dimaksud dapat berupa simbol konkret (yang

bisa dilihat), mitos, filosofi, ungkapan, dan sebagainya. Simbol tidak hanya dilihat

secara abstrak melainkan dalam konteks sosial, di mana suatu sistem simbol

dijadikan makna oleh masyarakat, yang kemudian membentuk praktik kehidupan

dan bermasyarakat (Arif, 2010: 211). Dengan menggunakan teori ini, peneliti

dapat menginterpretasikan setiap simbol yang terkandung dalam gamelan

selonding di Desa Bungaya, sehingga diperoleh alasan mengenai mengapa

gamelan selonding masih eksis dan sangat disakralkan di desa tersebut.

Page 31: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

18

1.6 Konsep

Konsep merupakan definisi singkat mengenai sekelompok fakta atau

gejala yang menjadi pokok perhatian dalam penelitian yang bersangkutan.

Konsep-konsep yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah eksistensi,

gamelan selonding, fungsi, dan makna.

1.6.1 Eksistensi

Eksistensi berasal dari kata exist dalam bahasa Inggris yang artinya ‘ada’.

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa eksistensi merupakan kata

serapan dari bahasa Inggris yang diartikan sebagai keberadaan yang menunjukkan

akan suatu hal. Menurut Abidin Zaenal (2007: 16) eksistensi adalah suatu proses

yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi

itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi.

Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan

mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada

kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.

1.6.2 Gamelan Selonding

Gamelan (dalam Bandem, 2013: 271) merupakan sebuah ansambel atau

orkestra yang sebesar instrumennya berupa alat perkusi seperti gangsa, kendang,

gong, kempur, kajar, kempli, reyong, trompong, dan kendang yang menggunakan

laras pelog dan slendro. Dalam gamelan umumnya terdapat sejumlah alat tiup dan

gesek seperti suling dan rebab. Munculnya istilah gamelan sebagai salah satu

penyebutan seni musik tradisional sampai sekarang belum bisa diketahui secara

Page 32: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

19

pasti. Kata gamelan berasal dari bahasa Jawa Kuna, yaitu gamel yang berarti

“memegang” atau “memetik”. Gamel sebagai salah satu istilah bentuk instrumen

baru muncul sekitar abad XII dalam kitab Bharatayudha yang digubah oleh Mpu

Sedah dan Mpu Panuluh pada masa Kerajaan Kediri (Wirjosuparto dalam Arsini,

1994: 13).

Selonding adalah jenis gamelan sakral yang terbuat dari besi. Kata

selonding diduga berasal dari kata salon yang artinya “tempat” dan ning berarti

“suci”, jadi gamelan selonding adalah yang disucikan dan dikeramatkan (Bandem,

1983:53). Dalam Tusan (2002: 16) juga disebutkan bahwa seorang berkebangsaan

Swiss bernama Meier juga pernah menafsirkan kata selonding dengan “Salon-

Ning” yang berarti tempat suci. Tusan juga menyebutkan bahwa asal-muasal kosa

kata “selonding “ itu bermula dari kata “salunding”. Mardiwarsito (1985: 495)

menyebutkan bahwa salunding itu adalah alat bunyi-bunyian atau gamelan

semacam sarun (lihat juga Tusan, 2002: 14).

Gamelan selonding merupakan seperangkat alat musik pukul, memiliki

laras pelog saih pitu, dan umumnya terdapat di desa-desa Bali Aga, seperti Desa

Bungaya, Tenganan Pegringsingan, dan Timbrah, Kabupaten Karangasem

(Bandem, 2013). Gamelan ini terdiri dari bilah-bilah yang lebar dan berbahan

dasar besi yang diletakkan di atas wadah gema berbentuk bak yang terbuat dari

kayu. Gamelan ini dipukul dengan panggul (seperti palu dari bahan kayu).

Permainan selonding menggunakan teknik dua tangan.

Gamelan ini merupakan salah satu jenis gamelan sakral. Di Desa Bungaya,

gamelan ini hanya boleh dimainkan oleh orang yang berstatus penanga

(pemangku gamelan selonding) dan pragina selonding. Di beberapa masyarakat,

Page 33: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

20

gamelan ini disebut Bhatara Bagus Selonding. Gamelan selonding menggunakan

laras pelog saih pitu, yaitu lima nada pokok dan dua nada pemero. Kendati pun

demikian, semua nada bisa digunakan sebagai tonika, tergantung dari lagu-lagu

yang dimainkan. Di samping gamelan ini untuk memainkan lagu-lagu sakral, juga

dapat digunakan untuk mengiringi tari sakral seperti Rejang dan saat upacara

usaba.

1.6.3 Fungsi

Fungsi (dalam Fuadi, 2013) adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat

beberapa komponen-komponen yang saling mempengaruhi dan bertujuan untuk

menghasilkan suatu tujuan tertentu. Menurut Kartasapoetra dan Hartini (dalam

Fitrianto, 2013), fungsi atau function dapat didefinisikan sebagai berikut: (1)

kegunaan; (2) golongan dari berbagai aktivitas organisatoris; (3) kontribusi unsur

tertentu pada seluruh kegiatan; (4) suatu tipe aksi di mana bisa dilaksanakan

secara khas oleh suatu struktur tertentu. R. Stryker (dalam Ritzer, 2015)

menyebutkan bahwa suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang

ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem.

Menurut Robert K Merton, fungsi adalah konsekuensi-konsekuensi yang

dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu.

Merton (dalam Ritzer, 2015:136) memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifes)

dan fungsi tersembunyi (laten). Fungsi manifes yaitu konsensus objektif yang

membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan itu disadari oleh partisipan

atau anggota sistem, sedangkan fungsi laten yaitu fungsi yang tidak dimaksudkan

atau tidak disadari.

Page 34: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

21

Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan atau

kontribusi dari budaya masyarakat, dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah

gamelan selonding. Fungsi tersebut ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan

masyarakat, yang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan

Bebandem, Karangasem. Kebutuhan yang dimaksud utamanya merupakan

kebutuhan rohani yang menyangkut masalah kepentingan upacara dan ritual

keagamaan.

1.6.4 Makna

Mead (dalam Ritzer, 2015: 275) mengungkapkan bahwa makna bukan

berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi. Makna

dapat muncul dari hubungan atau interaksi manusia dengan lingkungan.

Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan transenden (niskala) dan

lingkungan imanen (sekala). Makna merupakan arti dari suatu objek (Suarsana,

2008).

Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik dan

kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena mereka saling berbagi

konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Secara sosial kebudayaan terdiri dari

struktur-struktur makna dalam tema-tema berupa sekumpulan tanda yang

dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan, mereka dapat hidup di

dalamnya, ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian

menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan menemukan artikulasinya

melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial.

Page 35: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

22

Dalam penelitian ini, makna yang dimaksud adalah hasil dari interpretasi

simbol-simbol dan nilai-nilai yang melekat dalam gamelan selonding. Mengikuti

pandangan Geertz bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik dan sesuai

konteks masyarakat pendukungnya, maka dalam hal ini simbol dan nilai yang

diinterpretasi merupakan simbol dan nilai yang melekat dalam konteks kehidupan

masyarakat Desa Bungaya.

1.7 Model Penelitian

Model penelitian dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.

Bagan 1.1

Model Penelitian

Keterangan garis

: berpengaruh langsung

: pengaruh bolak-balik

MAKNA

SEJARAH

PERKEMBANGAN

EKSISTENSI GAMELAN

SELONDING

FUNGSI

MASYARAKAT DESA

BUNGAYA

GLOBALISASI

Page 36: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

23

Keterangan Bagan:

Era globalisasi merupakan suatu era yang ditandai oleh bentuk pergaulan

dan interaksi dengan berbagai bangsa dan negara yang dimungkinkan oleh

perkembangan di bidang transportasi, media, dan pariwisata. Globalisasi juga

memungkinkan setiap orang untuk mengakses informasi yang hampir tak terbatas.

Globalisasi merasuki tiap-tiap tempat dan wilayah di seluruh dunia. Desa Bungaya

yang terletak di Kecamatan Bebandem, Karangasem merupakan wilayah yang

tidak luput dari isu globalisasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan

masyarakatnya yang sudah akrab dengan teknologi dan media.

Globalisasi memiliki dampak dalam perubahan suatu kebudayaan

masyarakat. Dalam ilmu antropologi, kebudayaan memang dikatakan sebagai

suatu yang bersifat dinamis, namun globalisasi seakan mempercepat proses

perubahan tersebut. Perubahan ada yang bernilai positif, ada pula yang negatif.

Salah satu dampak negatif globalisasi dalam kebudayaan nusantara adalah

semakin tergesernya nilai-nilai kebudayaan nusantara oleh kebudayaan-

kebudayaan pop (popular culture). Untuk mempertahankan kebudayaan nusantara

tersebut, masyarakat harus memiliki suatu sistem yang kuat untuk menjaga nilai-

nilai yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

Masyarakat Desa Bungaya merupakan salah satu masyarakat yang masih

mempertahankan keluhuran budaya mereka. Salah satu keluhuran budaya yang

hingga kini masih bertahan di dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya adalah

instrumen atau alat musik bernama gamelan selonding. Hingga saat ini, eksistensi

gamelan selonding pada masyarakat Desa Bungaya masih tetap terjaga.

Keberadaan gamelan selonding ini pun sangat disakralkan oleh masyarakat Desa

Page 37: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

24

Bungaya. Kesakralan gamelan selonding tercermin dari cara masyarakat

memperlakukan gamelan tersebut.

Gamelan selonding di Desa Bungaya memiliki sejarah perkembangan

yang cukup panjang karena termasuk jenis gamelan Golongan Tua (Wayah).

Gamelan ini diperkirakan telah ada di Bali pada masa sebelum Kerajaan

Majapahit, kemungkinan telah ada pada masa pemerintahan Raja Bali Kuna

pertama yaitu Sri Kesari Warmadewa. Dalam proses kesejarahan yang panjang

tersebut tentunya masyarakat pendukung kebudayaan selonding telah mengalami

dinamika. Meskipun ragam dinamika terjadi dalam kehidupan masyarakat,

gamelan ini terbukti masih bertahan dan masih ada yang sangat menjaga keutuhan

gamelan ini. Alasan bertahannya gamelan selonding dalam kehidupan masyarakat,

utamanya masyarakat Bali adalah karena memiliki fungsi yang sentral dalam

kehidupan religi. Di Desa Bungaya, gamelan selonding digunakan dalam upacara

besar, yaitu Usaba Gede/ Usaba Dangsil yang dilaksanakan sepuluh tahun sekali

atau lebih. Dalam upacara tersebut, selonding merupakan salah satu unsur yang

sangat penting.

Selain fungsinya yang sentral dalam kegiatan upacara keagamaan, di

dalam gamelan selonding juga mengandung nilai-nilai dan simbol-simbol yang

perlu diinterpretasi. Nilai dan simbol itu terkait dengan fungsi dan sejarah

gamelan selonding itu sendiri. Hasil dari proses interpretasi tersebut akan

mengungkap makna yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa Bungaya.

Tentunya makna tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa gamelan

selonding hingga kini masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat Desa

Bungaya.

Page 38: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

25

1.8. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode

penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan

untuk menggambarkan suatu kejadian atau fenomena yang terjadi oleh sebuah

subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan

dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan suatu konteks

yang alamiah (Moleong, 2012: 6). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan

eksistensi gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan

Bebandem, Kabupaten Karangasem. Dengan demikian permasalahan yang diteliti

dapat dikaji secara mendalam serta diuraikan secara sistematis dan faktual.

Subyek penelitian (orang, tempat, atau benda yang diamati) adalah

gamelan selonding yang terdapat di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem,

Kabupaten Karangasem. Selain itu, masyarakat Desa Bungaya yang menjadi

pendukung kebudayaan selonding ini juga menjadi subyek dalam penelitian ini.

Adapun obyek penelitian (pokok persoalan yang hendak diteliti untuk

mendapatkan data secara lebih terarah) adalah sejarah perkembangan gamelan

selonding di Desa Bungaya, fungsi, serta makna gamelan selonding bagi

masyarakat Desa Bungaya.

1.8.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem,

Kabupaten Karangasem, Bali. Alasan dipilihnya Desa Bungaya sebagai lokasi

penelitian adalah sebagai berikut:

1) Gamelan selonding di Desa Bungaya hingga saat ini masih eksis.

Page 39: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

26

2) Sekaa (kelompok) selonding yang disebut sebagai pragina selonding

di Desa Bungaya masih termasuk salah satu yang masih aktif.

3) Masyarakat Desa Bungaya hingga saat ini masih sangat mensakralkan

gamelan selonding.

4) Desa Bungaya memiliki jenis gegendingan selonding yang tidak

dimiliki oleh desa lainnya.

1.8.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dan dipakai dalam penelitian ini meliputi

data kualitatif berupa kata, kalimat, ungkapan, mitos. Selain itu dalam menangkap

simbol-simbol yang ada dalam sebuah gamelan selonding juga perlu

memperhatikan gesture tubuh dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan

gamelan selonding.

Dilihat dari sumbernya, data tersebut akan digali dari sumber data primer

dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam hal ini adalah sumber data

yang datanya itu digali sendiri oleh peneliti, baik melalui pengamatan maupun

wawancara, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data telah ada dalam

dokumentasi, berupa buku atau karya-karya ilmiah lainnya yang ada relevansinya

dengan penelitian ini.

1.8.3 Teknik Penentuan Informan

Penetapan informan dilakukan menggunakan teknik snow-ball. Adapun

yang dimaksud dengan teknik snow-ball adalah penentuan informan dengan mula-

mula menetapkan kelompok kecil orang sebagai informan, kemudian berdasarkan

Page 40: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

27

rekomendasi informan sebelumnya, akan dicari informan-informan lain yang

dianggap dapat melengkapi data yang dicari. Pencarian informan dan data

dilakukan secara terus-menerus hingga data dianggap jenuh atau informasi sudah

dianggap memadai.

Berdasarkan jenisnya, informan dapat dibedakan menjadi informan kunci

dan informan biasa. Informan kunci merupakan informan yang dianggap sangat

memahami seluk-beluk permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam

penelitian mengenai “Eksistensi Gamelan Selonding di Desa Bungaya, Kecamatan

Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali” ini yang berfungsi sebagai informan

kunci adalah Kelihan Adat Desa Bungaya, De Penanga, pragina selonding, serta

peneliti gamelan selonding. Informan biasa merupakan informan yang bisa

memberikan informasi, namun pengetahuannya akan permasalahan tidak sedalam

informan kunci, misalnya Kepala Desa Bungaya dan masyarakat Desa Bungaya.

1.8.4 Instrumen Penelitian

Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, maka dengan mengacu pada

apa yang diungkapkan oleh Moleong (2012: 9), instrumen utama (primer)

penelitian ini adalah peneliti sendiri. Akan tetapi, mengingat keterbatasan

kemampuan peneliti sendiri, maka digunakan pula instrumen tambahan, yaitu

pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera, dan alat tulis.

Page 41: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

28

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengkaji permasalahan

adalah pengamatan (observasi), wawancara, dan penggunaan dokumen

(kepustakaan). Adapun teknik-teknik tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.

1.8.5.1 Pengamatan (Observasi)

Pengamatan (observasi) adalah suatu upaya mencermati kenyataan dalam

berbagai kegiatan yang terkait dengan permasalahan dan tujuan penelitian, yang

dalam hal ini adalah makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya,

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Hal yang perlu diamati yaitu

kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini dalam memperlakukan

gamelan selonding.

Dalam penelitian ini, jenis observasi yang akan dilakukan adalah observasi

partisipasi. Observasi partisipasi yang dimaksud dalam hal ini adalah peneliti turut

berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh informan, seperti

membantu kegiatan kerja bakti dan membantu kegiatan ngayah dalam upacara-

upacara yang berlangsung di desa. Hal ini diperlukan untuk memudahkan peneliti

dalam berbaur, sehingga proses mendapatkan data menjadi lebih mudah

dilakukan. Membangun hubungan yang baik dengan informan juga dapat

meningkatkan kualitas data yang diperoleh.

1.8.5.2 Wawancara

Wawancara adalah teknik yang dimaksudkan guna menggali informasi

dari para informan. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara

Page 42: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

29

mendalam. Pertanyaan diajukan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah

disiapkan sebelumnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk menanyakan

hal-hal yang berada di luar pedoman wawancara. Hal ini dilakukan agar

narasumber dapat bersikap terbuka dan fleksibel.

Menurut Spradley (2006:68), untuk menemukan informan yang baik,

setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) enkulturasi penuh, (2)

keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang

cukup, dan (5) non-analitis. Enkulturasi penuh yang dimaksud dalam hal ini

adalah informan harus mengetahui budaya mereka dengan begitu baik, tanpa

harus memikirkannya. Informan yang baik juga merupakan orang yang terlibat

langsung dalam suasana budaya. Informan juga sebaiknya memiliki waktu luang

yang cukup.

Beberapa informan menggunakan bahasa mereka untuk menggambarkan

berbagai kejadian dan tindakan dengan cara yang hampir tanpa analisis mengenai

arti atau signifikasi dari kejadian dan tindakan, namun ada juga informan yang

memberikan analisis dan interpretasi dengan penuh pengertian mengenai berbagai

kejadian itu dari perspektif “teori penduduk asli”. Kedua jenis informan itu dapat

menjadi informan yang baik (Spradley, 2006:76).

Berdasarkan kriteria yang disampaikan oleh Spradley, maka dalam

penelitian ini informan yang hendak digali informasinya adalah krama Desa Adat

Bungaya yang dituakan (tokoh adat) dan sekaa gamelan selonding (penanga dan

pragina selonding) sebagai informan kunci, sedangkan sebagai informan biasa

yaitu beberapa krama Desa Adat Bungaya. Akan tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk melakukan wawancara dengan pakar gamelan di Bali sebagai

Page 43: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

30

perbandingan. Pemilihan informan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa

merekalah yang mengetahui informasi perihal permasalahan yang hendak dikaji.

1.8.5.3 Penggunaan Dokumen (Kepustakaan)

Penggunaan dokumen (kepustakaan) dalam penelitian ini digunakan untuk

memperoleh data dan keterangan yang ada dalam dokumen yang terkait dengan

permasalahan penelitian ini, seperti profil Desa Bungaya, hasil-hasil penelitian

mengenai Desa Bungaya dan gamelan selonding, foto-foto yang berkaitan dengan

gamelan selonding, serta dokumen lain yang dapat menunjang penelitian.

1.8.6 Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Hal ini dikarenakan sifat data

yang dikumpulkan adalah dalam bentuk tanda dan simbol, sehingga tidak dapat

disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris. Adapun seperti yang dijelaskan

oleh Miles dan Huberman (2014), prosedur analisis data dapat dilakukan dengan

tahapan, yakni reduksi data, penyajian data sementara, penafsiran data, dan

menarik simpulan.

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus

selama proyek yang berorientasi penelitian kualitatif berlangsung (Miles &

Huberman, 2014:16). Reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yakni

penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan

Page 44: KATA PENGANTAR - sinta.unud.ac.id · viii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan

31

pola, foto dokumentasi untuk situasi atau kondisi yang memiliki makna subyektif,

kutipan wawancara yang memiliki makna subyektif, dan catatan reflektif.

Penyajian dan penafsiran data berkaitan dengan penyusunan teks naratif dalam

kesatuan bentuk, keteraturan, pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab-akibat, dan

proposisi. Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi antara lain mencakup

hal yang hakiki, makna subyektif, temuan konsep, dan proses universal. Tahapan-

tahapan tersebut tentunya tidak bisa terlepas dari masalah yang dikaji.

Analisis seperti ini dapat dilakukan secara terus-menerus. Rangkaian ini

bukan dilakukan dalam satu kali tahapan, melainkan terus berulang tahap demi

tahap untuk mencapai dan menjawab rumusan masalah yang dikaji dalam

penelitian ini.