Kasus Pajak Di Indo

10
elasa, 06 Maret 2007 Catatan atas kasus pajak Makindo [Info Pajak] - Kasus tagihan pajak atas PT Makindo Tbk senilai Rp494 miliar bisa menj contoh menarik bagaimana sistem administrasi perpajakan di Indonesia dijalankan. Ka ini sangat mungkin juga terjadi pada wajib pajak lainnya. Yang membedakan hanya skalanya, ada yang kena tagihan dalam jumlah sangat bes ada yang relatif kecil. Wajib Pajak belum tentu bisa tidur nyenyak meski masa kedaluwarsa hampir terlampaui. Ini yang menimpa Makindo. urat ketetapan pajak !"P# terbit pada $% &ktober )ika "P ini tidak terbit, maka surat pemberitahuan tahunan yang disampaikan Makindo menjadi pasti pada akhir *esember '%%(. +amun *ewi ortuna tampaknya tak bersama unawan Yusuf, presdir Makindo. ima catatan "embali ke kasus Makindo. /erdasarkan penjelasan manajemen Makindo kepada kepada P0 /ursa 1fek urabaya maupun isi surat ketetapan pajak yang dikeluark "antor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk /ursa paling tidak ada lima hal yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan. Pertama, soal kedaluwarsa. *alam penjelasannya, Makindo menyatakan tagihan tersebut dikenakan untuk tahun buku 233( yang sudah berselang 2% tahun lebih. *alam pembahasan 455 Pajak yang tengah berlangsung di *P4, batas kedaluwarsa diperpendek menjadi lima tahun. ehingga jika 55 ini kelak diberlakukan mulai )anuari '%%6, maka surat pemberitahuan pajak untuk tahun pajak '%%6 akan menj lampau pada 2 )anuari '%27. 0api untuk tahun pajak '%%8, menjadi kedaluwarsa )anuari '%26. ebab kewajiban pajak '%%8 masih mengikuti 55 Pajak '%%% yang m kedaluwarsanya 2% tahun. 5ntuk membahas poin ini, ada baiknya kita lihat bagaimana bunyi pasal dalam 5 perpajakan. Pasal 2$ angka !7# 55 "etentuan 5mum dan 0ata 9ara Perpajakan menyatakan: /esarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh wajib pajak dalam pemberitahuan !P0# menjadi pasti...., apabila dalam jangka waktu sepuluh tah sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun paja tahun pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. Makindo mendapat "P kurang bayar pada $2 &ktober '%%( dan jatuh tempo pembayaran adalah $% +o;ember '%%(. )angka waktu kedaluwarsa dihitung sesudah berakhirnya tahun pajak. ehingga argo mulai jalan per 2 )anuari 2338 <bukan 233(=. )ika ditarik ke 2% tahun kemudian maka batas kedaluwarsa adalah $2 *es '%%(.

description

materi

Transcript of Kasus Pajak Di Indo

elasa, 06 Maret 2007

Catatan atas kasus pajak Makindo

[Info Pajak] - Kasus tagihan pajak atas PT Makindo Tbk senilai Rp494 miliar bisa menjadi contoh menarik bagaimana sistem administrasi perpajakan di Indonesia dijalankan. Kasus seperti ini sangat mungkin juga terjadi pada wajib pajak lainnya.

Yang membedakan hanya skalanya, ada yang kena tagihan dalam jumlah sangat besar, ada yang relatif kecil. Wajib Pajak belum tentu bisa tidur nyenyak meski masa kedaluwarsa hampir terlampaui.

Ini yang menimpa Makindo. Surat ketetapan pajak (SKP) terbit pada 30 Oktober 2006. Jika SKP ini tidak terbit, maka surat pemberitahuan tahunan yang disampaikan Makindo menjadi pasti pada akhir Desember 2006. Namun Dewi Fortuna tampaknya tak bersama Gunawan Yusuf, presdir Makindo.

Lima catatan

Kembali ke kasus Makindo. Berdasarkan penjelasan manajemen Makindo kepada kepada PT Bursa Efek Surabaya maupun isi surat ketetapan pajak yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa paling tidak ada lima hal yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan.

Pertama, soal kedaluwarsa. Dalam penjelasannya, Makindo menyatakan tagihan tersebut dikenakan untuk tahun buku 1996 yang sudah berselang 10 tahun lebih.

Dalam pembahasan RUU Pajak yang tengah berlangsung di DPR, batas kedaluwarsa diperpendek menjadi lima tahun. Sehingga jika UU ini kelak diberlakukan mulai 1 Januari 2008, maka surat pemberitahuan pajak untuk tahun pajak 2008 akan menjadi lampau pada 1 Januari 2014. Tapi untuk tahun pajak 2007, menjadi kedaluwarsa pada 1 Januari 2018. Sebab kewajiban pajak 2007 masih mengikuti UU Pajak 2000 yang masa kedaluwarsanya 10 tahun.

Untuk membahas poin ini, ada baiknya kita lihat bagaimana bunyi pasal dalam UU perpajakan. Pasal 13 angka (4) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan: Besarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh wajib pajak dalam surat pemberitahuan (SPT) menjadi pasti...., apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.

Makindo mendapat SKP kurang bayar pada 31 Oktober 2006 dan jatuh tempo pembayaran adalah 30 November 2006. Jangka waktu kedaluwarsa dihitung sesudah berakhirnya tahun pajak. Sehingga argo mulai jalan per 1 Januari 1997 [bukan 1 Januari 1996]. Jika ditarik ke 10 tahun kemudian maka batas kedaluwarsa adalah 31 Desember 2006.

Artinya, penetapan SKP atas Makindo ini memang sudah masuk injury time, tapi masih dalam jangka waktu 10 tahun. Secara formal penerbitan SKP tersebut tetap sah.

Kedua, Makindo menyatakan SKP tersebut bukan keputusan final, tapi masih dalam proses. Penjelasan ini benar adanya. WP mempunyai hak untuk mengajukan keberatan ke Ditjen Pajak dalam jangka waktu tiga bulan sejak SKP diterbitkan. Ditjen Pajak sendiri harus memberi keputusan atas keberatan itu paling lambat 12 bulan.

Ditjen Pajak kabarnya akan mempercepat proses keberatan tersebut. Pekan lalu Dirjen Pajak Darmin Nasution dan jajarannya sibuk membahas permohonan keberatan Makindo ini. Kita lihat nanti, bagaimana keputusan Dirjen Pajak atas keberatan Makindo.

Dalam banyak kasus, Ditjen Pajak cenderung mempertahankan SKP yang dibuat oleh anak buahnya. Ada spirit kesatuan yang tidak bisa luntur begitu saja. Jadi meski ada koreksi, baik atas pokok utang pajak maupun sanksinya, biasanya tidak terlalu signifkan.

Jika Makindo bisa meyakinkan kantor pajak bahwa penetapan pajak tersebut salah, tentu tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan koreksi atas utang dan sanksi tersebut.

Misalnya, Makindo harus bisa menunjukkan bukti-bukti yang memadai bahwa sejumlah private placement-yang oleh kantor pajak diklaim sebagai pendapatan Makindo-adalah salah.

Tapi jika bukti-bukti tidak cukup, bisa jadi Makindo hanya bisa menikmati pengurangan yang tidak terlalu besar.

Berarti Makindo harus siap tempur di Pengadilan Pajak. WP memang didorong untuk maju ke Pengadilan Pajak dan jika perlu ke Mahkamah Agung untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).

Bahkan ada satu Dirjen Pajak di masa lalu yang selalu menolak keberatan yang diajukan WP karena merasa conflict of interest.

Kala itu, kebijakan seperti ini, tidak masalah karena banding ke Majelis Pertimbangan Pajak (cikal bakal Peradilan Pajak) tidak ada kewajiban membayar sebagian atau seluruh utang pajak. Sehingga WP juga tidak masalah mengajukan banding, apalagi di MPP ada perwakilan Kadin yang biasanya menjadi pelindung dunia usaha.

Surat paksa

Kembali ke masalah SKP Makindo. Meski SKP ini sifatnya belum final, manajemen Makindo perlu memerhatikan surat paksa yang diterbitkan kantor pajak. Surat paksa adalah sarana bagi petugas pajak untuk melakukan penagihan seketika dan sekaligus.

Yang istimewa dari surat paksa adalah kedudukannya yang setara dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Setara putusan kasasi Mahkamah Agung.

Ketiga, soal tax clearance atau surat keterangan fiskal (SKF). Selembar surat ini dulu menjadi salah satu syarat bagi perusahaan yang akan masuk bursa.

Kini kewajiban memperoleh SKF sudah dicabut oleh Darmin Nasution, setelah mantan ketua Bapepam itu duduk sebagai Dirjen Pajak.

Namun SKF bukan surat ketetapan pajak. Selembar kertas yang dikeluarkan oleh kantor pajak ini hanya menyebutkan bahwa perusahaan dalam status tidak punya utang pajak (berdasarkan SKP atau surat tagihan pajak) dan tidak dalam proses penyidikan karena dugaan tindak pidana pajak.

SKF sama sekali tidak mempunyai nilai hukum apa-apa di mata undang-undang pajak maupun undang-undang pasar modal.

Dengan demikian, apakah penerbitan SKF tidak menghilangkan hak fiskus untuk memeriksa pemenuhan kewajiban perpajakan WP dan menetapkan pajak terutang beserta denda dan sanksinya.

Keempat, kepentingan umum dan kepentingan negara. Di banyak negara, termasuk Indonesia, utang pajak mempunyai hak mendahului dibandingkan utang lainnya.

Pasal 21 UU KUP menyatakan negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak, yang mencakup pokok pajak, sanksi administrasi, denda, kenaikan dan biaya penagihan. Hak mendahulu ini hilang setelah melampaui dua tahun.

Dengan demikian siapapun di negara ini-apalagi aparat negara-seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mengedepankan kepentingan negara.

Namun bila melihat pernyataan pejabat Bapepam-LK menyangkut kasus tagihan pajak Makindo ini, rasanya hak mendahului atas tagihan pajak kurang dipahami.

Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany kepada Bisnis menyatakan rencana go private Makindo tidak berarti perusahaan terlepas dari kewajiban pajaknya dan itu bukan kompetensi lembaga itu untuk membicarakan apakah mereka masih punya tunggakan pajak atau tidak.

Bapepam-LK, menurut dia, tidak bisa menggunakan alasan itu [tunggakan pajak] untuk menolak go private Makindo.

Lembaga ini tetap menyetujui rencana Makindo go private karena dinilai telah memenuhi persyaratan administratif dan menaati prosedur keluar dari bursa.

Pernyataan seperti ini jelas mengundang tanda tanya. Apalagi Bapepam-LK dan Ditjen Pajak yang sama-sama dalam asuhan Departemen Keuangan.

Bila ditarik ke belakang, misalnya dalam kasus Energi Mega Persada, Fuad melarang rencana spin off Lapindo Brantas dengan alasan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas atas melindungi kepentingan publik.

Jika kepentingan publik saja harus dilindungi, bagaimana soal utang pajak Makindo-yang di dalamnya ada hak negara-dijawab "bukan kompetensi kami untuk membicarakannya." Apakah kepentingan negara di bawah kepentingan publik?

Terakhir, soal NPWP Gunawan Yusuf. Gunawan disidik aparat pajak berdasarkan surat perintah penyidikan No. Prin-02-Dik/PJ.701/2003 tanggal 6 Maret 2003. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dikirim oleh Direktur P4 Ditjen Pajak kepada Jaksa Agung melalui Kabid Korwas PPNS Bareskrim, Polri pada 7 Maret 2003.

Sebelumnya sumber Bisnis di Ditjen Pajak menyebutkan penyidikan terhadap Gunawan dihentikan karena dia sudah mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Namun, keterangan tersebut dibantah seorang pejabat senior di Ditjen Pajak. Dia menyatakan penyidikan tersebut tidak mungkin dihentikan kecuali ada permintaan dari Menteri Keuangan seperti diatur dalam Pasal 44B UU KUP.

Penyidikan, kata dia, tidak menghasilkan surat ketetapan pajak, melainkan berkas penuntutan perkara jika oleh kejaksaan atau kepolisian dianggap sudah lengkap (P21).

"Bisa jadi penyidikan tersebut berjalan lambat, tapi bukan berarti dihentikan. NPWP atas nama Gunawan Yusuf terbit setelah penyidikan berjalan. Artinya, Ditjen Pajak bisa menggunakan pasal pidana perpajakan seperti diatur Pasal 39 UU KUP," kata sumber ini.

Ditjen Pajak kabarnya menetapkan nilai kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp6 miliar.

Namun, angka ini belum pasti karena para penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) masih terus mengumpulkan bukti-bukti.

Diposkan oleh Conglomerate Monitor Network (CMM) di 04:51

http://conglomeratemonitor.blogspot.com/2007/03/catatan-atas-kasus-pajak-makindo.htmlMasalah Mafia Pajak di Indonesia

Written by | DATE_FORMAT_LC3 Masalah Mafia Pajak di IndonesiaPandangan dari Sisi Politik, Hukum, dan Ekonomi

Sebuah resume dari Kajian Intelektual Bersatu (KIB) FEB UGM1st Speaker M. Adhi Ikhsanto S.I.P., Mi.op (dosen FISIP UGM)2nd speaker Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej S.H., M.Hum (dosen FH UGM)3rd speaker Rimawan Pradiptyo PhD (dosen FEB UGM)

Mafia Pajak. Dua kata ini mungkin adalah kata yang sering didengar oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Secara umum, masyarakat memandang hal ini sebagai sebuah masalah hukum yang serius. Berbagai kejahatan tingkat tinggi sistemik yang pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Pandangan ini memang benar. Tetapi, masalah mafia pajak sebenarnya adalah sebuah masalah yang tidak dapat hanya dikaji dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi politik dan sisi ekonomi. Pemahaman menyeluruh ini amat penting.

Masalah Mafia Pajak dipandang dari Segi Politik

Sekarang ini, ada kecenderungan gagalnya sistem birokrasi di Indonesia yang disebabkan oleh berbagai masalah politik, terutama kegagalan terciptanya konsolidasi elite politik di Indonesia. Sebenarnya, konsolidasi politik dapat dikatakan elit jika memiliki resource yang berkualitas, seperti para pemimpin dan anggota partai yang berkualitas. Tetapi, seperti yang kita lihat belakangan ini, banyak elit politik yang dapat mencapai posisinya bukan karena kualitas mereka, tetapi karena hal-hal lain. Akibatnya, konsolidasi elit politik gagal dan menyebabkan munculnya politik yang profit-oriented.

Politik yang profit-oriented akan menyebabkan kegagalan birokrasi, terutama di negara yang bersistem politik seperti di Indonesia. Birokrasi di Indonesia amat terpengaruh oleh politik. Parlemen (dan berarti partai politik) dapat ikut campur di berbagai urusan birokrasi. Padahal seharusnya birokrasi yang ideal bebas dari kepentingan politik. Akibat usaha mengambil keuntungan di dalam birokrasi (yang disebakan kuatnya kepentingan politik), kita mengenal berbagai masalah, termasuk yang sedang kita bicarakan sekarang ini, yakni mafia pajak.

Mengingat pentingnya kesehatan birokasi, sekarang ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan reformasi. Reformasi yang perlu kita perhatikan adalah reformasi di Departemen Keuangan yang sudah dimulai sejak masa Menteri Keuangan Sri Mulyani. Public Accountability adalah focus dari reformasi di Departemen Keuangangan. Reformasi di departemen ini amat penting mengingat posisi Departemen Keuangan yang amat strategis karena 1) mempunyai lebih dari 60.000 PNS di seluruh Indonesia dan 2) mempunyai income-generating organizations yang amat penting, seperti Dirjen Pajak.

Reformasi di Departemen Keuangan diarahkan kepada:

Desain etik dan kognisi yang pantas dan appropriate.

Penataan birokrasi yang berkorelasi dan bertanggungjawab, dapat menimbulkan kompetisi individu-individu yang ada di dalamnya.

Penataan renumerasi birokrasi. Departemen keuangan menyadari betul bahwa mereka adalah income-generating. Sehingga remunerasi berusaha dilakukan untuk memuaskan para karyawan untuk tidak melakukan berbagai tindakan illegal untuk menambah keuntungan

Penegakan kontrol dan pengawasan birokrasi.Desain pertanggungjawaban birokrasi. Dilihat dari system operasi manajemen memang tidak ada mafia pajak, namun terdapat power relation dalam institusi negara. Lingkungan politik tidak cukup kondusif untuk menjalankan sistem birokrasi.

Jika dilihat sekilas, birokrasi di Departemen Keuangan sudah amat terstruktur sehingga seharusnya tidak muncul mafia pajak. Masalahnya, Departemen Keuangan adalah sebuah institusi negara. Akibatnya, birokrasi di departemen ini pada akhirnya juga akan terpengaruh oleh kepentingan politik.

Hal ini disebabkan karena lingkungan politik kita tidak sehat untuk kepentingan birokrasi. Seharusnya, lingkungan birokrasi bebas dari kepentingan politik. Tetapi, seperti yang kita lihat dalam politik kita, ketika sebuah partai menang dalam pemilu, deal politik dan berbagai kepentingan mereka pada akhirnya mengatur-ngatur masalah birokrasi yang seharusnya bekerja secara independen. Para politisi akan berusaha untuk mengintervensi kegiatan birokrasi untuk mendukung kepentingan mereka.

Kuatnya peran politik di dalam birokrasi juga menyebabkan terjadinya diskresi. Diskresi berarti menerjemahkan aturan sesuai dengan kepentingannya. Semakin kuatnya kepentingan politik di dalam birokrasi, semakin banyak terjadi transaksi politik, yang akhirnya menyebabkan diskresi tak terkendali yang dilakukan oleh para pelaku transaksi itu, seperti :

Birokrasi sebagai sumber keuntungan tertentu, yang acap kali dijadikan sebagai mesin politik dalam sejumlah kampanye politik,, yaitu adanya street level, middle, dan top level.

Sumber patronase, artinya untuk keuntungan politik dalam menginisiasi kepentingan.

Sebagai sumber loyalitas politik

Kuatnya pengaruh politik menyebabkan terjadinya dilema birokrasi, seperti dilema kompetensi dan otoritas. Maksudnya, birokrasi pastinya memiliki akses yang baik di berbagai bidang, seperti memiliki pekerja yang kompeten dan sumber dana. Kuatnya kepentingan politik di dalam birokrasi menyebabkan berbagai akses dan sumber daya yang dimiliki birokrasi tidak lagi digunakan untuk kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan otonom kelompok tertentu yang sering berbeda dengan kepentingan publik.

Dilema bagi birokrasi Indonesia juga muncul dalam interaksi politik. Aturan di Indonesia-lah yang menyebabkan dilema tersebut. Contohnya, 1) birokrasi diharapkan bebas dari intervensi politik tetapi juga harus diawasi oleh politik, seperti munculnya fit and proper test yang dilakukan oleh DPR, dan 2) kegiatan birokrasi merupakan tanggung jawab kementerian tetapi mereka juga harus mempertanggungjawabkan diri sendiri.Contoh terbaik dari hal ini mungkin adalah ancaman masalah reshuffle cabinet. Dengan sistem presidensiil yang kita anut, seharusnya tugas para menteri lepas dari kepentingan partai. Seharusnya mereka murni dipilih sesuai kemampuan dan bekerja sesuai tugas dan bidangnya. Tetapi, pada kenyataannya, seperti yang kita lihat, dalam pemilihannya, para menteri amat terikat dengan partai, dan ketika terjadi gonjang-ganjing politik di parlemen, mereka juga terkena getahnya.

Nah, jika sekarang kita kembali ke masalah mafia pajak, mungkin kita sudah memahami masalah ini lebih jauh sekarang. Mafia pajak adalah sebuah kejahatan terstruktur, yang disebabkan oleh politik profit-oriented yang dilakukan oleh berbagai pejabat birokrasi. Berbagai posisi dalam birokrasi (contohnya, Dirjen Pajak) amat mungkin terisi melalui berbagai deal-deal politik. Akibat kuatnya berbagai pengaruh dan kepentingan, ditambah dengan keinginan untuk mendapat keuntungan, bermunculan-lah berbagai mafia pajak.

Lalu, bagaimana menghilangkan masalah mafia pajak ini? Hal penting yang perlu dilakukan adalah melenyapkan politik profit oriented ini. Politik ini tercipta karena politik high-cost di Indonesia. Partai ataupun calon harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk memenangi pemilihan. Akibatnya, hal pertama yang terpikir oleh mereka ketika menang adalah mengembalikan biaya tersebut. Menghilangkan politik high-cost di Indonesia dapat secara drastis menurunkan keinginan mencari untung di politik (dan brokrasi), termasuk di Dirjen Pajak.

Masalah Mafia Pajak dipandang dari Segi Hukum

Hal utama yang harus diperhatikan dan diketahui dalam memandang masalah mafia pajak dari segi hukum adalah perbedaan antara hukum pidana umum dengan hukum pajak (termasuk hukum pidana pajak). Hukum pidana bersifat represif sedangkan hukum pajak bersifat persuasif. Berarti, hukum pajak berbeda dengan hukum pidana umum dimana pelanggarnya akan langsung dihukum. Pada hukum pajak, jika seorang warga negara melakukan pelanggaran (seperti tidak membayar pajak) maka si pelanggar harus dibujuk untuk mebayar pajak dahulu.

Jika semua cara persuasif gagal, baru hukum pidana pajak digunakan. Hukum pidana pajak adalah hukum tertua paling khusus yang digunakan bila semua pendekatan lain tak dapat digunakan. Tetapi, hukum ini tetap menganut sifat persuasif. Artinya, bila di tengah proses hukum si pelanggar bersedia membayar pajak maka proses hukum harus dihentikan. Perbedaan metode persuasi dan represif inilah yang perlu dimengerti dalam pembahasan kasus mafia pajak.

Perbedaan antara hukum pidana pajak dengan hukum pidana umum ini-lah yang menimbulkan masalah, seperti perbedaan cara berpikir dan sudut pandang dalam penegakannya. Contohnya, aturan pajak negara kita mengenal self assessment (penghitungan pajak sendiri). Ketika terjadi perbedaan besarnya pajak dari self assessment dengan tagihan, wajib pajak berhak melakukan keberatan. Tetapi, ia harus membayar dahulu sesuai SPT (tagihan pajak). Jika keberatan itu dikabulkan, negara harus mengembalikan kelebihannya sebagai restitusi ditambah bunga 5 %. Pengembalian kembali ini memang merugikan negara. Akibatnya, orang-orang dituntut tindak pidana korupsi karena merugikan keuangan negara, padahal seperti itulah aturan perpajakan! Inilah mengapa pelanggaran di sektor pajak hanya dapat disadari oleh orang-orang pajak dan tidak dapat ditentukan dengan hukum pidana umum.

Selain itu, jika kita bicara tentang korupsi kita tidak hanya berbicara tentang korupsi dalam penerapan aturan. Sebenarnya, korupsi sudah dimulai sejak masa pembuatan aturan. Dalam pembuatan aturan, korupsi sudah terjadi saat terjadinya berbagai deal-deal politik yang menguntungkan suatu kelompok tertentu. Jadi, bagaimana mungkin aturan hukum dapat digunakan untuk memberantas korupsi jika dalam proses pembuatannya sudah mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.

Bagaimana cara mengatasi masalah mafia pajak? Pembenahan aturan perpajakan. 1) pembinaan karakter dari para pengurus pajak sendiri 2) masalah transparansi dan akuntabilitas di sektor perpajakan 3) pengadaan sistem penyidikan dengan aturan dan mindset sesuai aturan perpajakan yang berbeda dengan aturan tindak pidana korupsi, karena seperti yang telah dijabarkan tadi, sifat kedua hukum tersebut berbeda. Jadi, dalam penyidikan dan pengadilan tindak pidana pajak, harus digunakan aturan terpisah dan tidak dikait-kaitkan dengan aturan pada tindak pidana korupsi.

Masalah Mafia Pajak Dipandang dari Segi Ekonomi

Korupsi di Indonesia memang telah memasuki level expert. Kita hampir selalu menemukan tindak korupsi di setiap kegiatan yang menggunakan dana, baik dalam jumlah besar ataupun kecil.

Ada istilah yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena ada niat dan kesempatan. Korupsi merajalela di negara kita karena banyaknya kesempatan yang tersedia. Pertama adalah masalah dokumentasi yang berantakan. Seberapa baiknya dokumentasi menentukan seberapa baiknya kualitas data yang dimiliki. Jika dokumentasi tidak jelas akan menyebabkan bias data. Padahal data-data kependudukan ini-lah yang digunakan sebagai dasar berbagai kebijakan, seperti BLT, pembagian raskin, sampai yang akan dilakukan yakni pembatasan BBM bersubsidi. Pada data yang bias inilah para koruptor bermain, termasuk para mafia pajak.

Kedua, masalah insentif di negara kita yang berantakan. Sistem insentif di negara kita sebenarnya merupakan peninggalan masa kolonial, dimana para penjajah beranggapan bahwa untuk mendorong semangat kerja diperlukan pemberian insentif untuk setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem insentif sekarang juga masih sama. Dalam berbagai slip gaji kita dapat melihat dua poin utama; gaji pokok dan penghasilan bersih. Gaji pokok seorang PNS golongan IIIA mungkin relative sama, tetapi dapat sangat berbeda dengan adanya berbagai tunjangan. Plus, berbagai insentif lain seperti uang rapat, uang lembur, uang perjalanan, dll. Hal ini mengakibatkan perbedaan besar antara gaji dan take-home pay (penghasilan yang dinikmati).

Gaji pokok yang kecil menuntut pegawai untuk mencari tambahan penghasilan dari berbagai tunjangan. Gaji kecil menyebabkan orang-orang melakukan assessment yang sesuai dengan apa yang mereka anggap haknya. Di sini lah korupsi dapat (dan paling mungkin) terjadi. Jika kita ingin mengetahui apakah sistem insentif di negara kita berjalan baik atau tidak, kita harus menilik berbagai lembaga pemerintah. Di antara semua lembaga pemerintah, hanya Bank Indonesia yang terbuka tentang penghasilan orang-orangnya. Ini karena gaji yang mereka dapatkan memang setara dengan take-home pay nya.

Cara untuk mengatasi ini adalah perombakan pada sistem insentif kita. Seorang pegawai seharusnya mendapat gaji saja, tanpa embel-embel tunjangan lain. Tentu, besarnya gaji itu harus sepadan (tidak terlalu rendah seperti yang kita alami sekarang). Gaji itu sudah termasuk berbagai insentif dari tugas-tugas dan kegiatan yang ia lakukan sebagai tugasnya. Dengan begitu, gaji = take-home pay. Ini akan semakin memperkecil peluang korupsi.

Jadi, dapat dikatakan bahwa masalah mafia pajak sebenarnya merupakan puncak gunung es dari rapuh dan berantakannya sistem kita yang sialnya sudah kita terapkan sejak zaman penjajahan dan tak ada niat dari kita untuk mengubahnya. Contohnya saja, jika sistem pengadministrasian berjalan rapi dan tak dapat dimanipulasi, para mafia pajak tentunya tak dapat berbuat apa-apa untuk memanipulasi. Begitu pula dengan sistem insentif. Seandainya tidak ada berbagai tunjangan, dengan kata lain besarnya penghasilan sudah dipatok, maka tak akan muncul berbagai tindak pidana korupsi. Kegiatan illegal itu akan langsung tercium karena si pelaku mendapat penghasilan yang jauh lebih besar daripada seharusnya, padahal bayaran sudah dipatok sehingga setiap orang tidak mungkin mendapat penghasilan lebih dari itu.

Masalah lain adalah pada aturan yang menyarankan koruptor untuk korupsi sebesar-besarnya. Penjabaran ini mungkin memang agak ekstrem. Tetapi, jika ingin mengetahuinya kita tilik kembali undang-undang yang mengatur hukuman bagi para koruptor. Jika kita perhatikan, tampak dengan begitu harfiahnya bahwa semakin besar jumlah uang yang dikorupsi, semakin besar pula keuntungannya. Hal ini dihitung dari denda yang harus dibayar. Jadi, dapat dikatakan bahwa aturan negara kita menyarankan untuk melakukan korupsi secara profesional dan jangan setengah-setengah.

http://www.shariaheconomics.org/index.php/publikasi-tulisan/riset-dan-kajian/113-masalah-mafia-pajak-di-indonesia