kasus HSP edit2nariata

28
Laporan Kasus SEORANG PENDERITA GLOMERULONEFRITIS HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA Pendahuluan Henoch-Schönlein Purpura (HSP) merupakan suatu kelainan inflamasi yang dicirikan dengan vaskulitis menyeluruh yang meliputi pembuluh darah kulit, saluran cerna, ginjal, sendi, dan yang jarang pada paru-paru dan sistem saraf pusat. Menurut Consensus Conference on Nomenclature of Systemic Vasculitides, HSP merupakan suatu vaskulitis dengan deposit imun yang didominasi oleh IgA pada pembuluh darah kecil kulit, saluran cerna serta glomerulus dan berhubungan dengan adanya atralgia atau arthritis (1). Ada banyak bukti yang menyatakan bahwa HSP dan IgA Nephropaty (IgAN) merupakan suatu spektrum klinis dari kelainan yang serupa dimana HSP merupakan bentuk sistemik dari IgAN. Sindroma ini dinamai dari nama dua orang dokter jerman. Pertama kali vaskulitis sistemik dilaporkan oleh Heberden tahun 1806, kemudian pada tahun 1837, Johan Schönlein pertama kali menemukan beberapa kasus peliosis rheumatica atau purpura yang berhubungan dengan arthritis. Tiga puluh tahun kemudian, Edouard Henoch menemukan manifestasi gastrointestinal seperti muntah, nyeri perut, dan melena. Hasil biopsi kulit memberikan gambaran 1

Transcript of kasus HSP edit2nariata

Page 1: kasus HSP edit2nariata

Laporan Kasus

SEORANG PENDERITA GLOMERULONEFRITIS

HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA

Pendahuluan

Henoch-Schönlein Purpura (HSP) merupakan suatu kelainan inflamasi yang

dicirikan dengan vaskulitis menyeluruh yang meliputi pembuluh darah kulit, saluran

cerna, ginjal, sendi, dan yang jarang pada paru-paru dan sistem saraf pusat. Menurut

Consensus Conference on Nomenclature of Systemic Vasculitides, HSP merupakan

suatu vaskulitis dengan deposit imun yang didominasi oleh IgA pada pembuluh

darah kecil kulit, saluran cerna serta glomerulus dan berhubungan dengan adanya

atralgia atau arthritis (1). Ada banyak bukti yang menyatakan bahwa HSP dan IgA

Nephropaty (IgAN) merupakan suatu spektrum klinis dari kelainan yang serupa

dimana HSP merupakan bentuk sistemik dari IgAN.

Sindroma ini dinamai dari nama dua orang dokter jerman. Pertama kali

vaskulitis sistemik dilaporkan oleh Heberden tahun 1806, kemudian pada tahun

1837, Johan Schönlein pertama kali menemukan beberapa kasus peliosis rheumatica

atau purpura yang berhubungan dengan arthritis. Tiga puluh tahun kemudian,

Edouard Henoch menemukan manifestasi gastrointestinal seperti muntah, nyeri

perut, dan melena. Hasil biopsi kulit memberikan gambaran vaskulitis dengan

nekrosis pembuluh darah disertai dengan deposit leukosit dominan

polimormonuklear serta mononuklear. Sehingga Henoch-Schönlein purpura juga

dikenal dengan istilah purpura rheumatica, leukocytoclastic vasculitis dan vaskulitis

alergika.

Penyakit ini bisa muncul pada semua usia, tetapi umumnya ditemukan pada

anak-anak. Secara keseluruhan diperkirakan insidennya 10-20 kasus per 100.000

anak-anak per tahun. Pada orang dewasa insidennya lebih rendah yaitu sekitar 1,3-

1,4 per 100.000 orang per tahun. Pada anak-anak rasio antara laki-laki dan wanita

adalah 2:1 sedangkan pada usia dewasa sekitar 1:1. Sekitar 75% gejala muncul pada

usia 2-11 tahun dengan median 5 tahun. Usia yang lebih dewasa berhubungan

dengan kegagalan fungsi ginjal. Pada anak-anak, nefritis HSP (HSN) termanifestasi a

1

Page 2: kasus HSP edit2nariata

sekitar 20–40% kasus sedangkan pada orang dewasa diperkirakan antara 50–85%

kasus. Secara keseluruhan sekitar 1-3% akan berkembang menjadi gagal ginjal

kronik yang memerlukan terapi pengganti ginjal (4). Penyakit ini sering mengalami

remisi spontan, tetapi lebih seringnya keterlibatan ginjal yang ditemukan pada

penderita dewasa menyebabkan prognosis yang lebih buruk. Berikut ini dilaporkan

sebuah kasus HSP pada dewasa muda yang berkembang secara progresif dan

akhirnya mengalami penyakit ginjal kronik.

Kasus

Seorang laki-laki usia 18 tahun, suku Bali datang dengan keluhan nyeri perut

sejak 3 hari SMRS, nyeri dirasakan seluruh bagian perut dan terasa seperti ditusuk-

tusuk dan kadang –kadang sedikit membaik dengan obat antinyeri. Nyeri terasa

cukup berat dan berlangsung hampir sepanjang waktu sehingga penderita kadang-

kadang gelisah. Penderita juga mengeluh buang air besar berwarna coklat kehitaman

sejak 2 hari sebelumnya disertai muntah berwarna kecokelatan. Bengkak pada kedua

kaki dirasakan sejak sekitar 12 hari disertai dengan bintik-bintik kemerahan pada

kulit disertai nyeri sendi pergelangan kaki. Keluhan bintik-bintik kemerahan yang

disertai nyeri sendi berawal saat penderita usia anak-anak sekitar 8 tahun yang lalu

pernah mengalami keluhan serupa dan dikatakan menderita semacam alergi dan

mendapat obat berupa prednison selama sekitar 2 minggu dan penderita tidak pernah

kontrol lagi karena merasa mengalami perbaikan.

Keluhan bintik-bintik merah kemudian kadang-kadang muncul dan disertai

nyeri dan paling sering muncul pada kaki dan tetapi biasanya membaik dengan

sendirinya tanpa pengobatan dalam 3-7 hari. Keluhan ini dirasakan ringan sehingga

penderita tidak memeriksakan diri. Penderita mengeluh nyeri perut 12 hari yang

sebelumnya disertai dengan kedua kaki bengkak dan bintik kemerahan pada tungkai

dan saat itu penderita di diagnosis mengalami apendisitis akut dan menjalani operasi.

Riwayat penyakit ginjal maupun penyakit jantung tidak diketahui sebelumnya. Tidak

ada riwayat keluarga menderita keluhan yang sama, menderita penyakit alergi,

penyakit ginjal maupun penyakit autoimun.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran kompos mentis, tekanan darah

160/90 mmHg, nadi 96 x/menit dan respirasi 20 x/menit. Pada kelopak mata

didapatkan odema palpebra, pada pemeriksaan thorax masih dalam batas normal,

2

Page 3: kasus HSP edit2nariata

pada pemeriksaan abdomen didapatkan distensi, bising usus dalam batas normal,

nyeri tekan diseluruh abdomen dan asites. Pemeriksaan kedua eksterimitas bawah

didapatkan odema dan purpura kemerahan multipel berbentuk bulat, sebagaian

konfluen, tidak hilang dengan penekanan serta berbatas tegas dengan ukuran

bervariasi di kedua kaki. Pada hari kelima perawatan bintik kemerahan di kaki

membaik tetapi muncul lesi baru yang serupa pada kedua lengan bawah penderita.

Pemeriksaan darah rutin saat awal didapatkan WBC 14,5 K/uL, netrofil 11,4x

103, limfosit 1.57 x 103, Hb 11.0 g/dL PLT 538 K/uL, dan dalam 2 hari menjadi

WBC 29,9 K/uL, Hb 10.3 g/dL, PLT 655 K/uL. Pemeriksaan AST 11.77 U/L, BUN

122.5 mg/dL, serum kreatinin 3.3 mg/dL, asam urat 15,4 mg/dL, Na 133,0 mmol/L,

kalium 4,71 mmol/L. Pemeriksaan darah lengkap serial menunjukkan penurunan

hemoglobin seiring dengan adanya perdaran saluran cerna dengan hasil leukosit 35.3

K/uL, netrofil 32,2 x104, limfosit 1.9 x103, Hb 10.9 g/dL, trombosit 741 K/uL pada

hari keempat. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan pH 5,0, BJ 1,02, protein 500

mg/dL (+4), eritrosit 250 /µl (+5) sedimen leukosit 1-2/lp, sedimen eritrosit 7-8/lp,

dan kristal amorph. Kadar phosfat anorganik 10.9 mg/dL, albumin 2.0 g/dL turun

menjadi 1,7 g/dL dalam 1 minggu dan proteinuri kuantitatif ditemukan secara

bermakna 3.8 gram/24 jam. Pemeriksaan lipid profile, total cholesterol 122,7 mg/dl,

HDl 24.64 mg/dl, LDL 64,7 mg/dl dan trigliserida 166,9 mg/dl. BUN dan kreatinin

serum mengalami peningkatan masing masing 138.7 mg/dL dan 4.43 mg/dL pada

hari ketiga dan BUN 140,7 mg/dl, SC 6,65 mg/dL pada hari keempat. Terjadi

hiperkalemia pada hari kelima (6,6 mmol/L) dan peningkatan serum kreatinin dengan

progresif menyebabkan penderita menjalani hemodialisis. Foto polos abdomen hanya

mengesankan gambaran asites, Thorax foto memberikan gambaran kardiomegali

sedangkan ekokardiografi menggambarkan efusi pericardium ringan sedangkan

dimensi ruang jantung masih dalam batas normal. Ultrasonografi abdomen

memberikan gambaran peningkatan echocortex pada kedua ginjal, hidronefrosis

grade II bilateral dan asites.

Pemeriksaan imunologi ANA test dan antidsDNA memberikan hasil negatif.

Biopsi kulit sesuai dengan gambaran leukocytoclastic vasculitis. Keseluruhan data

mendukung diagnosis Henoch Schonlein Purpura yang termanifestasi dengan

3

Page 4: kasus HSP edit2nariata

purpura, nyeri sendi, nyeri abdomen, perdarahan saluran cerna serta gangguan ginjal

akibat terjadinya vaskulitis sistemik. Dengan temuan tersebut penderita mendapatkan

terapi metilprednisolon intravena dimulai pada hari keenam perawatan awalnya

dengan dosis 2 x 62,5 mg setelah perdarahan saluran cerna membaik. Secara klinis

terjadi perbaikan pada keluhan nyeri abdomen dan purpura setelah hari kedua

pemberian steroid. Perburukan fungsi ginjal dengan peningkatan kada BUN,

kreatinin serum serta penurunan produksi urine menjadi oliguria dan hiperkalemia

pada hari kelima menyebabkan hemodialisis dilakukan dengan segera. Pemeriksaan

fungsi ginjal setelah dialisis BUN 116,1 mg/dL, SC 5.78 mg/dL dan naik kembali

pada hari-hari berikutnya dan tidak menunjukkan perbaikan signifikan setelah

dialisis ulangan (BUN 130.0 mg/dL, SC 6,14 mg/dL setelah 2 minggu perawatan dan

meningkat pada hari ke-15 yaitu BUN 164,3 g/dL, SC 7,36 mg/dL, Na 131,6

mmol/L, K 6,32 mmol/L). Dosis metilprednisolon kemudian ditingkatkan menjadi 2

x 250 mg setelah 5 hari pemberian dosis awal karena kurang baiknya respon fungsi

ginjal dan hemodialisis kembali dilakukan. Terapi lainnya yang diberikan adalah

asam folat 2 x 2 mg, captopril 2 x 25 mg, furosemid 1 x 20 mg iv, allopurinol 1 x 100

mg, serta obat-obat saluran cerna seperti omeperazole 2 x 40 mg i.v, antasida 3x CI

dan sucralfat 3 x CI. Penderita akhirnya pulang paksa setelah 15 hari dirawat untuk

menjalani terapi tradisional setelah sebelumnya mendapatkan penjelasan mengenai

penyakit, manajemen serta kemungkinan prognosis jangka panjang.

Pembahasan

HSP sering muncul dengan gejala palpable purpura, odema, nyeri abdomen,

nyeri sendi dan gangguan ginjal. Prognosis biasanya baik apabila belum terdapat

gejala gangguan ginjal. Gejala gangguan ginjal bervariasi mulai dari hematuria and

proteinuria intermiten sampai rapid progressive glomerulonephritis. Henoch-

Schönlein nephritis (HSN) merupakan penyakit yang lebih sering memiliki prognosis

baik tetapi 1-3% penderita akan mengalami end stage renal disease (ESRD) dan

20-35% menjadi penyakit ginjal kronik menurut penelitian jangka panjang (4).

Penyebab penyakit belum diketahui dengan pasti tetapi beberapa faktor

diketahui menjadi pencetusnya, diperkirakan sebanyak 70-80% penderita HSP

mengalami infeksi saluran nafas saat mulainya perjalanan penyakit. Beberapa faktor

pencetus, khususnya infeksi streptokokus dibuktikan dengan kultur hapusan

4

Page 5: kasus HSP edit2nariata

tenggorokan dilaporkan menjadi pencetus yang paling sering yaitu dalam 20-36%

kasus. Di beberapa negara musim memiliki pengaruh dimana puncak musim dingin

merupakan waktu puncak terjadinya infeksi, sedangkan obat-obatan (antibiotika,

ACE inhibitors, NSAIDs) dan beberapa toksin (gigitan serangga, vaksinasi dan alergi

makanan) juga dikatakan memiliki peranan. Beberapa faktor-faktor pencetus antara

lain:

a. Bakteri: streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus, mycoplasma,

shigella, yersinia, legionella, salmonella, helicobacter pylori, campylobacter

b. Virus: adenovirus, parvovirus, hepatitis B, varicella zoster, Ebstein-Barr,

coxsackie, herpes simplex, HIV

c. Obat: thiazides, antibiotika, ACE-inhibitors, NSAID

d. Lain-lain: gigitan serangga, alergi makanan, toxocara canis

e. Vaksinasi: tuberkulosis, measles, kolera, yellow fever, hepatitis B, influenza,

pneumokokus, meningokokus.

Faktor-faktor pencetus terjadinya HSP kadang-kadang sulit untuk diketahui

karena penderita kadang-kadang datang dalam kondisi dimana gejala sudah demikian

jelas dan faktor-faktor pencetus sulit diidentifikasi.

Mekanisme patogenesis HSP belum sepenuhnya diketahui. Tetapi ada bukti

yang jelas mengenai peranan IgA dalam imunopatogenensis penyakit ini dimana

ditemukan peningkatan konsentrasi serum IgA1 bersama dengan peningkatan

circulating immunocomplexes yang mengandung IgA pada penderita HSP.

Pembentukan IgA seperti pada respon imun humoral lainnya dikontrol oleh limfosit

B dan T dan terjadinya gangguan regulasi ini menyebabkan peningkatan IgA.

Gangguan O-glycosylation dari IgA1 karena hinge region yang abnormal pada

molekul IgA1 dilaporkan pada penderita HSP yang mengalami nefritis dan IgA

nefropati, tetapi tidak pada penderita HSP yang hanya memiliki gejala ekstrarenal.

Terdapat beberapa alasan bagaimana terjadinya abnormalitas dari O-glycosylation

sehingga menjadi patogenik dalam IgAN dan HSN. Hal ini mungkin terjadi akibat

menurunnya pembersihan molekul IgA1 sehingga menghasilkan peningkatan IgA

5

Page 6: kasus HSP edit2nariata

dalam sirkulasi atau dengan cara peningkatan kemampuan ikatan IgA1 untuk

membentuk immunokompleks IgA.

Peranan IgA dalam patogenesis HSP didukukung oleh fakta bahwa IgA

sekretori memainkan peranan utama dalam pertahanan terhadap atigen luar pada

daerah mukosa dan dalam pengamatan diketahui bahwa infeksi saluran nafas

mengawali onset penyakit pada 70-80% kasus. Peningkatan pembentukan IgA oleh

sel B mukosa distimulasi oleh penetrasi transmukosa oleh antigen asing.

Vaskulitis Leukositoklastik merupakan hasil akhir imunopatologis ketika

kompleks imun IgA yang bersirkulasi mengalami deposisi pada organ yang terlibat

dan menimbulkan lesi inflamasi, aktivasi sistem komplemen dan aktivasi sel secara

langsung. Hal yang penting terjadi adalah kemungkinan adanya kerusakan endotel

akibat invasi oleh leukosit pada sel endotel kemudian diikuti oleh migrasi ke

jaringan. Produk penguraian komplemen bersifat kemoatraktan dan menarik leukosit

polimorfonuklear yang terlihat pada didinding pembuluh darah kecil. Aktivasi jalur

alternatif pada sistem komplemen juga diperkirakan terjadi pada HSP fase akut

karena hasil produk degradasi kaskade komplemen tersebut juga ditemukan pada

plasma dan glomerulus, tetapi penelitian lain belum mendukung peranan komplemen

dalam patogenesis HSP. Sitokin proinflamasi seperti endothelin, TNF, dan

interleukin juga ditemukan pada penderita HSP dan kadar sitokin-sitokin ini lebih

tinggi daripada kontrol terutama pada fase akut. Sitokin dicurigai memainkan

peranan penting dalam proses inflamasi pada penderita HSP

Faktor genetika juga dicurigai berperanan dalam patogenesis HSP. Lofters et

al. melaporkan kejadian HSP pada tiga anggota keluarga yang sama yang

menunjukkan predisposisi keluarga dalam perkembangan penyakit ini. Kemudian

kemunculan familial penyakit ini ditemukan pada kasus kembar dan saudara

kandungnya. Kasus IgA nephropathy (IgAN) primer familial yang dihubungkan

dengan HSP juga pernah dilaporkan tetapi usaha untuk mengidentifikasi gen yang

bertanggungjawab terhadap faktor familial ini belum membuahkan hasil.

Temuan terhadap 30 keluarga yang anggota keluarganya terkena penyakit ini

mendukung hipotesis bahwa IgAN merupakan penyakit kompleks yang bersifat

multifaktorial yang melibatkan lebih dari satu gen dan kemungkinan berkombinasi

6

Page 7: kasus HSP edit2nariata

dengan beberapa faktor lingkungan. Demikian pula penelitian yang bertujuan untuk

mencari kemungkinan predisposisi diturunkan pada penyakit ini belum membuahkan

kesimpulan adanya satu faktor tunggal sebagai penyebab penyakit ini walaupun

ditemukan adanya peningkatan frekuensi homozygous null C4 phenotypes (sebuah

gen yang menghasilkan produk gen yang tak teridentifikasi) pada penderita HSP dan

IgAN, menyebabkan defisiensi pada C4. Kepentingan klinis dari temuan ini masih

belum jelas, walaupun diasumsikan bahwa defisiensi C4 mungkin mencerminkan

ketidakcukupan aktivitas komplemen.

Ada beberapa laporan HSN dan IgAN yang mengenai anggota dalam satu

keluarga, keluarga dekat atau bahkan kembar baik secara simultan ataupun dalam

periode waktu tertentu, juga dilaporkan penderita yang sebelumnya terdiagnosa

IgAN kemudian berkembang menjadi HSP. Beberapa kasus yang diterapi sebagai

IgAN ketika dewasa tetapi menunjukkan gejala tipikal pada HSP ketika masa kanak-

kanak dan perbedaan pendapat masih tetap ada karena adanya kesamaan mekanisme

patogenesis keduanya.

Diagnosis HSP berdasarkan tanda klinis yang khas dan tidak ada tes

laboratorium yang spesifik. Trombosit dalam batas normal walaupun ditemukan

purpura yang luas, anemia bisa terjadi apabila penderita mengalami perdarahan

gastrointestinal atau hematuria yang berat dan dapat pula disertai dengan

leukositosis. Sebanyak 64% pasien mengalami kenaikan LED, dan IgA serum

meningkat dalam 22–57 % kasus. Imunoglobulin E dan eosinophil cationic protein

(ECP) dapat meningkat sedangkan komplemen 3 (C3) dan komplemen 4 (C4)

menurun pada 4,2-20% kasus. Rasio IgA/C3 dikatakan sebagai penanda prognostik

pada HSP. Peningkatan antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) yang

merupakan isotop IgA dilaporkan terdapat pada pasien HSP, dan peningkatan serum

antistreptolysin (AST) juga ditemukan pada 30-35% kasus. C-reactive protein (CRP)

dapat meningkat khususnya pada penderita yang memperlihatkan gejala infeksi

saluran nafas atas. Albumin dapat menurun karena proteinuria, walaupun serum

albumin subnormal juga ditemukan pada pasien tanpa proteinuria yang

mencerminkan kehilangan protein melalui enteropati. Proteinuria serta hematuria

menggambarkan telah terjadinya keterlibatan ginjal apalagi jika ditemukan kenaikan

7

Page 8: kasus HSP edit2nariata

kadar BUN dan kreatinin. Perdarahan samar pada feses dapat ditemukan pada 25%

pasien HSP. Aktivasi sistem koagulasi terjadi sekunder karena kerusakan endotel

juga dilaporkan. Konsentrasi D-dimer dan antigen faktor Von Willebrand dapat

mengalami peningkatan dan aktivitas faktor koagulasi XIII menurun, tetapi waktu

koagulasi (APTT, PTT) biasanya normal. Pada kasus nyeri perut yang berat sebelum

munculnya purpura dimana diagnosis menjadi sulit, maka faktor XIII disarankan

sebagai penanda yang berguna. Pada penderita ini didapatkan leukositosis yang

semakin berat seiring dengan anemia akibat perdarahan saluran cerna, selain itu

didapatkan pula proteinuria, hipoalbumin, hematuria serta kenaikan BUN dan

kreatinin yang menunjukkan telah terjadinya gangguan ginjal.

Biopsi kulit merupakan kriteria diagnosis HSP dimana temuan yang khas

adalah leucocytoclastic vasculitis dengan nekrosis dinding pembuluh darah dan

akumulasi sel inflamasi perivaskular di sekitar kapiler dan venula poskapiler dermis

serta deposit IgA, C3 dan IgM pada dinding pembuluh darah (1,2,3). Keadaan ini

diakibatkan oleh adanya deposisi kompleks imun dengan aktivasi komplemen

dengan leukotaksis. Juga dapat ditemukan proliferasi sel endotel, deposit fibrin

mural, dan pada kasus yang berat nekrosis fibrinoid. Deposit IgA juga dapat

ditemukan pada kulit yang tidak mengalami purpura dan gambaran yang sama juga

dapat ditemukan pada biopsi mukosa usus. Duodenum dan usus halus merupakan

tempat yang paling sering terlibat pada penderita dengan nyeri abdomen. Pada

penderita ini ditemukan gambaran biopsi kulit vaskulitis leukositoklastik yang

mendukung gambaran klinis dan laboratorium lainnya untuk diagnosis HSP.

Temuan Immunofluoresensi dari biopsi ginjal menunjukkan deposit IgA saja

atau dengan sedikit deposit C3 dan IgG pada daerah mesangial dan dan dinding

kapiler pada nefritis HSP (HSN). Deposit ini terdistribusi secara difus pada

glomerulus, walaupun perubahan mikroskopis bisa bersifat fokal. Lesi histologis

pada HSN bervariasi dan tidak ada lesi patognomonik yang tunggal walaupun

hiperselularitas mesangial fokal dan lokal dapat bersamaan dengan matrik mesangial

merupakan lesi paling sering. Sebanyak 37-58% HSN muncul dengan perubahan

minimal atau proliferasi mesangial, 23-36% dengan crescents pada <50% glomerulus

dan 2-45% dengan crescents pada >50% glomerulus.

8

Page 9: kasus HSP edit2nariata

Abnormalitas pada HSN diamati dengan mikroskop elektron bervariasi dari

open capillary loops dengan penebalan minimal membran basal dan penyatuan

prosesus sampai glomerulus yang hampir mengalami sklerosis dengan loops yang

telah mengalami oklusi. Sistem klasifikasi histologi ISKDC (International Study of

Kidney Diseases in Children) digunakan secara luas untuk mengklasifikasikan

beratnya temuan biopsi pada HSN. Klasifikasi ini berdasarkan atas adanya formasi

crescent, tanpa memperhitungkan maturitasnya (4,6). Dikenal sistem penilaian

semikuantitatif yang membagi beratnya perubahan akut dan kronik berdasarkan

abnormalitas pada glomerulus, tubulointerstitium dan pembuluh darah pada temuan

biopsi.

Klasifikasi biopsi ginjal menurut ISKDC pada Henoch-Schönlein purpura:

a. Grade I. Perubahan minimal

b. Grade II. Proliferasi mesangial

c. Grade III A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan < 50% crescent

d. Grade III B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan < 50% crescent

e. Grade IV A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan50 – 75% crescent

f. Grade IV B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan 50 – 75% crescent

g. Grade V A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan > 75% crescent

h. Grade V B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan > 75% crescent

i. Grade VI. Glomerulonefritis membranoproliferatif

Klasifikasi temuan biopsi lainnya berdasarkan atas derajat hiperselularitas mesangial

(6). Klasifikasi ini membagi dalam lima derajat sebagai berikut:

a. Grade I. Dengan perubahan minimal, merupakan yang paling ringan meliputi

2% biopsi.

b. Grade II. Mesangial proliferative atau mesangiopathic glomerulonephritis,

dengan karakteristik peningkatan ringan dalam selularitas mesangial dengan

atau tanpa leukosit yang bersirkulasi dan umumnya tanpa pembentukan

crescent dan terdapat pada 10 sampai 32% biopsi.

c. Grade III. Fokal dan segmental glomerulonephritis, juga disebut sebagai focal

segmental endocapillary proliferation, merupakan kelainan tersering dan di

9

Page 10: kasus HSP edit2nariata

jumpai pada 20 sampai 45% pasien. Lesi yang ditemukan adalah

hiperselularitas fokal dan segmental sedang pada mesangial dan sering

disertai dengan lekosit pada lumen kapiler secara segmental dengan scattered

capillary wall fuchsinophilic deposits.

d. Grade IV. Diffuse proliferative glomerulonephritis, juga disebut dengan

diffuse endocapillary proliferation, dengan karakteristik proliferasi mesangial

yang luas, leukosit intraluminal yang bervariasi dengan lebih dari 50%

crescent.

e. Grade V. Proliferasi yang lebih luas dan difus dengan formasi crescent lebih

dari 50%.

Beberapa tipe vaskulitis seperti Wegener’s granulomatosis, polyarteritis

nodosa, sistemic lupus erythematosus, vasculitis urtikaria serta vaskulitis

hipersensitivitas mempunyai gejala mirip dengan HSP. Parameter immunoserologi

(seperti ANCA dan antibodi antifosfolipid) dapat digunakan sebagai salah satu alat

untuk membedakan beberapa dari penyakit tersebut. Menurut American College of

Rheumatology (ACR, 1990), munculnya dua atau lebih dari gejala berikut akan

membedakan HSP dengan vaskulitis tipe lainnya yaitu, usia dibawah 20 tahun,

palpable purpura, nyeri perut yang bersifat akut, atau biopsi yang memberikan

gambaran granulosit pada dinding arteriol atau venula dan munculnya minimal dua

kriteria tersebut memiliki sensitivitas 87,1% dan spesifitas 87,7%. Pada kasus ini

penderita masih berusia muda, dengan gejala klinis nyeri perut yang akut, ada

purpura pada kulit dan disertai oleh gambaran lesi patologik yang khas telah sesuai

dengan kriteria HSP.

HSP muncul paling sering pada anak-anak dan muncul dengan lesi kulit yang

klasik pada ekstremitas bawah dan daerah bokong. Tetapi gambaran lesi kulit tidak

selalu terdisdribusi secara klasik pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih muda

sehingga biopsi kulit sangat penting dilakukan. Kondisi sepsis, leukemia dan

idiopathic thrombocytopenic purpura dapat menyebabkan purpura tetapi kondisi

klinis penderita tersebut biasanya lebih berat dari HSP. Glomerulonefritis akut pasca

streptokokus yang biasanya menunjukkan gejala oedema dan lesi kulit dengan

infeksi saluran nafas atas, mirip dengan HSP tetapi rendahnya kadar serum C3 dan

10

Page 11: kasus HSP edit2nariata

tanpa nyeri perut dan nyeri sendi dapat menyisihkan penyakit tersebut. Gejala klinis

pada penderita ini sesuai dengan kriteria ACR sedangkan kecurigaan SLE disisihkan

oleh pemeriksaan ANA dan anti dsDNA yang negatif.

Istilah IgA nefropati pertama diperkenalkan oleh Berger, merupakan salah satu

bentuk glomerulonefritis yang tersering dan menjadi kausa gagal ginjal terminal

yang penting. Diagnosis IgAN berdasarkan atas temuan immunofluoresensi deposit

IgA pada daerah mesangial glomerulus. Hal tersebut ditemukan sekunder pada

nefritis HSP (HSN) dan beberapa penyakit lain. Pada HSN dan IgAN ditemukan

beberapa gambaran khas tetapi IgAN dikatakan sebagai HSN tanpa purpura. Apakah

keduanya merupakan dua fenotif penyakit penyakit yang berdiri sendiri masih

menjadi kontroversi sampai saat ini. Perbedaan keduanya adalah pada usia saat

diagnosis dan gejala yang nampak, dimana HSN lebih banyak ditemukan pada anak-

anak dan selalu meliputi gejala ekstra-renal sedangkan IgA nephritis biasanya

terdiagnosis pada dewasa muda dengan hanya gejala gangguan ginjal. Demikian juga

elemen hipersensitivitas seperti peningkatan IgE dan ECP (eosinophil cationic

protein) yang sering ditemukan pada HSP tidak ditemukan pada IgAN. Temuan

histologi pada biopsi ginjal menunjukkan lesi yang lebih akut pada pasien HSN, dan

sindroma nefritik-nefrotik lebih sering ditemukan. Pada IgAN ditemukan adanya

deposit IgA secara difus pada sel mesangial disertai dengan hiperselularitas

mesangial. IgM, IgG, C3, atau rantai halus mungkin bersamaan dengan IgA. Sangat

penting untuk memutuskan kapan onset IgA nephritis dimulai karena pada

kebanyakan kasus dimana mungkin hanya terdapat silent microscopic haematuria

selama beberapa tahun sebelum biopsi dilakukan, sedangkan onset gejala lebih jelas

pada HSP oleh karena adanya gejala ekstrarenal (purpura, nyeri abdomen dan nyeri

sendi). Pemeriksaan imunofluoresensi pada pasien HSP dengan gejala gangguan

ginjal sama dengan IgAN dan masih tetap terdapat deposit IgA pada 2/3 pasien

setelah 2-9 tahun fase akut nefritis HSP. Dalam pengamatan jangka panjang penyakit

ginjal pada HSP identik dengan nefritis IgA setelah gejala ekstrarenal akut teratasi.

HSN dan nefritis IgA umumnya disebut dengan nefropati IgA.

Beberapa terapi imunosupresan dan imunomodulator digunakan pada penderita

nefritis karena HSP (HSN), tetapi belum ada terapi spesifik yang bisa merubah

11

Page 12: kasus HSP edit2nariata

perjalanan penyakit. Terapi antikoagulan dan fibrinolitik dikombinasikan dengan

agen imunosupresan untuk mencegah terjadinya trombosis atau keadaan

hiperkoagulasi dan pemberian faktor XIII juga digunakan sebagai konsekuensi dari

temuan bahwa adanya penurunan faktor XIII pada kasus dengan gejala klinis yang

lebih berat termasuk nefritis. ACE inhibitor digunakan untuk mengurangi proteinuria

dan memberikan proteksi terhadap penurunan fungsi ginjal dan dapat digunakan

bersama preparat imunosupresan. Hasil yang lebih baik dilaporkan apabila terapi

agresif dimulai lebih awal tetapi tidak ada rekomendasi yang baku untuk penanganan

HSN.

Beberapa penelitian melaporkan tidak ada keuntungan pemberian steroid oral

pada HSN. Counahan dkk. menemukan tidak ada perbedaan pada hasil akhir antara

pasien yang mendapat kortikosteroid, imunosupresan atau keduanya dan pasien yang

tidak mendapat terapi, sedangkan Tarshish dkk. (2004) menemukan dalam penelitian

prospektif bahwa pasien yang hanya mendapat terapi suportif memiliki hasil yang

sama dengan subjek yang mendapatkan siklofosfamid. Tetapi Foster dkk. (2000)

melaporkan dalam analisis studi prospektif bahwa pasien tanpa terapi memiliki 5,9

kali risiko relatif untuk hasil yang buruk daripada mereka yang mendapat terapi

prednison dan azathioprine. Banyak penelitian yang non-randomized menekankan

keuntungan pemberian terapi imunosupresan, terutama yang ditangani secara agresif.

Metilprednisolon pulses (MP) dikombinasikan dengan prednisolon oral saja atau

dengan tambahan agen imunosupresan seperti siklofosfamid dan azathioprine

dikatakan efektif pada HSN, dan beberapa obat-obatan fibrinolitik dan antikoagulan

seperti urokinase, heparin dan dipridamol juga dapat dikombinasi dengan agen

immunosupresan. Penderita ini mendapatkan kortikosteroid dosis tinggi tetapi tidak

memberikan respon yang baik terhadap pengobatan terutama adanya penurunan

fungsi ginjal yang progresif namun masih terjadi perbaikan dalam gejala nyeri

abdomen dan menghilangnya purpura.

Cyclosporine A (CyA) merupakan calcineurin inhibitor yang mencegah

produksi interleukin-2 (IL-2), yang memainkan peran penting dalam proliferasi

limfosit T yang mengatur produksi IgA. Cyclosporine A digunakan pada HSP

pertama kali pada dua kasus dewasa yang dilaporkan tahun 1997 dan 1998. Pada

12

Page 13: kasus HSP edit2nariata

tahun 2003 Huang dkk. melaporkan dua kasus usia 4 dan 5 tahun yang mengalami

remisi dari gejala HSP yang berat dimana terapi steroid tidak efektif. Gangguan

ginjal berlangsung selama 4 bulan dan diterapi dengan baik pada satu kasus setelah

dua minggu pemberian CyA. Belakangan, Someya dkk. melaporkan kasus laki-laki

usia 7 tahun yang mengalami sindroma nefritik tetapi tidak berespon dengan MP

pulses dan prednisolon oral. CyA diberikan dan proteinuria membaik dalam dua

minggu. Shin dkk. melaporkan serial 7 pasien dengan nephrotic-range proteinuria

yang mendapat CyA, enam diantaranya mengalami remisi lengkap dalam

pengamatan rata-rata 5,5 tahun (2 – 9 tahun) dan satu mengalami penyakit ginjal

menetap.

Imunosupresan lain seperti mycophenolate mofetil (MMF) bekerja dengan

menekan produksi sel B sehingga akan menurunkan kompleks imun IgA yang

bersirkulasi. Obat ini juga memiliki keuntungan dengan mempengaruhi adhesi dan

migrasi limfosit yang hasil akhirnya mempengaruhi gejala klinis HSP. Hasil dari

beberapa randomized controlled trials belum memberikan hasil yang pasti akan

keuntungan pemberian MMF. Belum ada penelitian prospektif mengenai pemberian

MMF pada nefritis HSP (7).

Immunoglobulin digunakan pada IgAN untuk menurunkan produksi IgA dan

menghambat deferensiasi sel B dan produksi immunoglobulin. Rostoker dkk.

memberikan immunoglobulin pada 5 orang penderita HSP dewasa dan menemukan

gejala ekstrarenal menghilang saat pengobatan dan terjadi penurunan proteinuria

tetapi penghentian terapi akan diikuti oleh kekambuhan. Efek samping pada ginjal

dilaporkan setelah pemberian immunoglobulin dosis tinggi sehingga penggunaannya

masih kontroversial. Sampai sejauh ini belum ada laporan penggunaan

immunoglobulin pada anak-anak dengan HSP. Hattori dkk. menggunakan

plasmafaresis sebagai terapi tunggal pada 9 kasus HSN berat dengan nephrotic-range

proteinuria pada awitan penyakit, dengan hasil 6 pasien (67%) menunjukkan hasil

yang baik setelah 5,4 tahun pengamatan dan semuanya berespon terhadap terapi pada

fase akut yang ditandai dengan penurunan proteinuria. Schärer dkk. dan Gianviti

dkk. juga melaporkan perbaikan segera dalam gejala penyakit tetapi tidak ada efek

13

Page 14: kasus HSP edit2nariata

jangka panjang khususnya apabila terapi dimulai lambat setelah mulainya gangguan

ginjal.

Pengelolaan HSP yang baik dapat memperbaiki prognosis HSP, dimana hasil

jangka panjang sangat tergantung pada gejala gangguan ginjal. Laporan mengenai

penggunaan kortikosteroid untuk terapi HSP muncul dalam literatur sekitar tahun

1950. Beberapa penelitian retrospektif tanpa kontrol menunjukkan bahwa steroid

mungkin memberikan efek perbaikan nyeri abdomen dan dikatakan pemberian

kortikosteroid lebih awal dapat mencegah perkembangan menjadi nephritis.

Penelitian retrospektif tanpa kontrol lain memberikan hasil yang kontroversial

terhadap efek kortikosteroid dalam mencegah keterlibatan ginjal. Pada studi

prospektif pertama, Mollica dkk. melaporkan tidak ada satupun dari 84 pasien yang

mendapat prednison dan 10 dari 84 tanpa terapi berkembang menjadi nefritis setelah

6 minggu dari episode akut. Saulsbury melaporkan data retrospektif dari 50 pasien

dimana 20 diantaranya mendapatkan kortikosteroid pada fase akut dan 30 tidak

mendapat kortikosteroid. Nefritis lambat muncul pada 4 dari kelompok pertama dan

6 dari kelompok kedua memberikan kesimpulan bahwa pemeberian kortikosteroid

lebih awal juga tidak memberikan hasil yang berbeda. Penelitian pertama yang

bersifat randomized, placebo-controlled terhadap efek kortikosteroid dipublikasikan

oleh Huber dkk. pada tahun 2004. Sebanyak 40 anak-anak pada pusat perawatan

pediatri tersier dirandomisasi untuk mendapatkan prednison (21 orang) atau plasebo

(19 orang), dengan dosis 2 mg/kg/hari pada minggu pertama dengan penurunan pada

minggu kedua. Setelah satu tahun pengamatan 3 dari 21 penderita pada kelompok

yang mendapat prednison dan 2 orang dari kelompok plasebo mengalami

keterlibatan ginjal sehingga disimpulkan bahwa pemberian prednison tidak efektif

dalam pencegahan HSN. Tetapi keterbatasan dari penelitian ini adalah pada

sedikitnya jumlah sampel dimana penghitungan post hoc asumsi insiden keterlibatan

ginjal pada satu tahun adalah sebesar 10.5% dan sama dengan kelompok plasebo.

Prognosis HSP biasanya baik karena sebagian besar pasien mengalami

perbaikan spontan dalam beberapa minggu. Komplikasi jarang berupa pada paru-

paru atau perdarahan gastrointestinal dapat menyebabkan morbiditas dan bahkan

14

Page 15: kasus HSP edit2nariata

kematian pada fase akut, tetapi outcome jangka panjang sebagian besar berhubungan

dengan durasi dan beratnya keterlibatan ginjal. Terdapat predominan ringan jenis

kelamin laki-laki pada penderita, tetapi risiko keterlibatan ginjal sama pada kedua

jenis kelamin. Risikonya juga lebih tinggi pada pasien diatas usia 4-7 tahun saat

onset gejala dan juga pada kasus dengan nyeri abdomen akut yang berat dan purpura

persisten saat awal gejala. Peningkatan risiko keterlibatan ginjal meningkat 7,5 kali

pada penderita yang mengalami perdarahan saluran cerna. Penderita usia dewasa

lebih sering mengalami gangguan ginjal dengan gejala yang lebih berat dan

prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak.

Sekitar 20-54% penderita HSP mengalami keterlibatan ginjal pada fase akut,

dimana mayoritas (85%) terjadi dalam 4 minggu pertama dan 97% dalam 6 bulan.

Hematuria mikroskopik atau bersama-sama proteinuria merupakan manifestasi

tersering pada HSP dengan keterlibatan ginjal. Sekitar 10-30% penderita HSP akan

mengalami sindroma nefritik atau nefrotik, sumber lain mengatakan ESRD terjadi

pada 1,1-1,5% dan mortalitas kurang dari 1%. Risiko penyakit ginjal menetap

dihubungkan dengan proteinuria yang serius dan sindroma nefritik-nefrotik dimana

sebagian besar pasien yang menunjukkan hematuria dengan atau tanpa proteinuria

ringan akan mengalami remisi dengan baik. Sekitar 8-17% pasien muncul dengan

gejala gangguan ginjal ringan pada saat onset misalnya hematuria dengan atau tanpa

proteinuria ringan (<1g/hari), sedangkan sekitar 44% - 47% pasien dengan gangguan

ginjal yang berat saat onset misalnya telah mengalami sindroma nefritik atau

nefrotik, proteinuria >1g/hari atau dengan biopsi ginjal ditemukan >50% crescents

akan memiliki prognosis yang buruk. Faktor yang mempengaruhi prognosis yang

buruk terutama pada orang dewasa adalah proteinuria, hipertensi dan penurunan

fungsi ginjal saat awitan gejala. Pada kasus ini telah terjadi gangguan fungsi ginjal

yang ditandai dengan adanya proteinuria, hematuria, hipertensi, kenaikan BUN dan

kreatinin sehingga respon terhadap terapi steroid tidak menunjukkan hasil yang baik

walaupun secara klinis ada perbaikan pada gejala ekstrarenal yaitu perbaikan pada

nyeri perut dan lesi kulit.

15

Page 16: kasus HSP edit2nariata

Ringkasan

Telah dilaporkan sebuah kasus penderita HSP yang dalam perjalanan

mengalami glomerulonefritis. HSP merupakan penyakit yang umumnya muncul pada

anak-anak dan bisa mengalami remisi spontan, namun prognosis yang lebih buruk

bisa terjadi apabila ditemukan pada usia dewasa, gejala yang disertai dengan

proteinuria, hematuria, hipertensi serta biopsi ginjal yang menunjukkan > 50%

crescent. Dari keseluruhan data yang ada maka dapat disimpulkan bahwa kasus ini

merupakan penyakit HSP yang baru terdiagnosis saat dewasa dengan manifestasi

vaskulitis pada kulit, atralgia, nyeri abdomen, perdarahan saluran cerna serta

gangguan ginjal yang progresif sehingga memberikan prognosis jangka panjang yang

lebih buruk. Perjalanan penyakit ini telah berlangsung tanpa pengawasan dan

penanganan yang baik sehingga berlangsung progresif dan memberikan hasil akhir

manifestasi sistemik. Belum adanya standar terapi yang baku untuk penanganan HSP

terutama yang telah mengalami gangguan ginjal menyebabkan penanganan menjadi

sulit walaupun terapi steroid memberikan perbaikan pada gejala ekstrarenal tetapi

belum memberikan perbaikan pada fungsi ginjal. Pendekatan yang komperhensif

harus dilakukan meliputi edukasi, perencanaan diet, obat-obatan serta dialisis untuk

mempertahankan kualitas hidup dan prognosis penderita.

16

Page 17: kasus HSP edit2nariata

Kepustakaan

1. Lerma E V et al, Immunoglobulin A Nephropathy & Henoch–Schönlein Purpura, in: Current Diagnosis and Treatment of Nephrology and Hypertension, The McGraw-Hill, 2009.

2. Faull RJ, Clarkson A R, IgA Nephropathy & Henoch–Schönlein Purpura, in: Disease in Kidney and Urinary Tract, 8th edition, Lipincott Williams and Willkins, USA, 2007.

3. Vesna GP et al, Henoch–Schönlein Purpura in Adult Patient: Extragastric, Cutaneous Manifestation of H Pylory Infection, Contributions, Sec. Biol. Med. Sci., XXIX/1 (2008), 291–301.

4. Ronkainen J, Henoch–Schönlein Purpura in Children: Longterm Outcome and Treatment, University of Oulu, Finland, 2005.

5. Bossart P, Henoch Schonlein Purpura. Available in: www.eMedicine.com, updated April 15, 2010.

6. Rai A, Nast C et al, Henoch-Schonlein Purpura Nephritis, J Am Soc Nephrol 10: 2637–2644, 1999.

7. Goel SS, Langford C A, Case Report: A 72 Years Old Man With a Purpuric Rash. Cleveland Clinic Journal of Medicine, No 6. Vol 76, 2009.

8. Knoll BM et al, Case Report: 56 Year Old Man With Rash, Abdominal pain, and Atralgias. Mayo Clinic Foundation for Medical Education and Research, June 2007;82(6):745-748. Available at www.mayoclinicproceedings.com.

9. Shresta S et al, Henoch Schonlein Purpura With Nephritis in Adults: Adverse Prognostic Indicators in a UK Population. Q J Med 2006; 99:253–265, revised January 2006.

10. Glomerular Disease, in: Harrisson’s Principles of Internal Medicine, 17th edition, McGraw-Hill Inc., USA, 2008.

11. Mills JA, Michel BA, Bloch DA, et al.: The American College of Rheumatology 1990 criteria for the classification of Henoch-Schönlein purpura. Arthritis Rheum, 33:1114–1121, 1990.

12. Pillebout E, Thervet E et al, Henoch-Schonlein Purpura in Adults: Outcome and Prognostic Factors, J Am Soc Nephrol 13: 1271–1278, 2002.

17

Page 18: kasus HSP edit2nariata

18