Kasus Bank Lippo

8
KASUS BANK LIPPO Kasus Bank Lippo bermula ketika bank menarik dana publik melalui tabungan maupun deposito. Melalui kredit yang disalurkan, dana itu, selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi di perusahaan afiliasi. Ketika krisis melanda, dan perusahaan- perusa- haan berguguran, kredit macet, bank pun berguguran. Ketika kemudian diperoleh berita bahwa pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) akan melakukan uji tuntas terhadap bank-bank, apakah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terhadap perusahaan afiliasi, maka Bank Lippo cepat bergerak. Mereka mengambil alih semua agunan dari kredit perusahaan afiliasi. Dengan demikian, seluruh kredit dianggap lunas, dan hapus dari pembukuan. Kalau mau melihat lebih jauh, mestinya Bank Lippo juga melanggar BMPK. Dalam paparan kepada publik untuk menjelaskan kasus laporan keuangan ganda per 30 September 2002, manajemen Bank Lippo kembali berkelit. Ketika dikejar, apakah AYDA berasal dari kredit kepada afiliasi dan pembelinya adalah perusahaan afiliasi, manajemen hanya menjawab bahwa menurut peraturan Bank Indonesia tidak ada aset yang tercatat di buku yang merupakan afiliasi dengan pinjaman grup. Padahal, dalam laporan keuangan Bank Lippo, sejak tahun 1998, jelas-jelas tertulis bahwa AYDA tersebut adalah surat berharga yang meliputi saham PT Lippo Karawaci Tbk, PT Lippo Cikarang Tbk, PT Lippo Securities Tbk, PT Bukit Sentul Tbk, PT Hotel Prapatan Tbk, PT Matahari Putra Perkasa Tbk, dan PT

description

Pelanggaran kode etik bank LIppo

Transcript of Kasus Bank Lippo

Page 1: Kasus Bank Lippo

KASUS BANK LIPPO

Kasus Bank Lippo bermula ketika bank menarik dana publik melalui tabungan maupun

deposito. Melalui kredit yang disalurkan, dana itu, selanjutnya digunakan untuk membiayai

investasi di perusahaan afiliasi. Ketika krisis melanda, dan perusahaan- perusa- haan berguguran,

kredit macet, bank pun berguguran. Ketika kemudian diperoleh berita bahwa pemerintah dalam

hal ini Bank Indonesia (BI) akan melakukan uji tuntas terhadap bank-bank, apakah melanggar

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terhadap perusahaan afiliasi, maka Bank Lippo

cepat bergerak. Mereka mengambil alih semua agunan dari kredit perusahaan afiliasi. Dengan

demikian, seluruh kredit dianggap lunas, dan hapus dari pembukuan. Kalau mau melihat lebih

jauh, mestinya Bank Lippo juga melanggar BMPK.

  Dalam paparan kepada publik untuk menjelaskan kasus laporan keuangan ganda per 30

September 2002, manajemen Bank Lippo kembali berkelit. Ketika dikejar, apakah AYDA

berasal dari kredit kepada afiliasi dan pembelinya adalah perusahaan afiliasi, manajemen hanya

menjawab bahwa menurut peraturan Bank Indonesia tidak ada aset yang tercatat di buku yang

merupakan afiliasi dengan pinjaman grup. Padahal, dalam laporan keuangan Bank Lippo, sejak

tahun 1998, jelas-jelas tertulis bahwa AYDA tersebut adalah surat berharga yang meliputi saham

PT Lippo Karawaci Tbk, PT Lippo Cikarang Tbk, PT Lippo Securities Tbk, PT Bukit Sentul

Tbk, PT Hotel Prapatan Tbk, PT Matahari Putra Perkasa Tbk, dan PT Panin Insurance Tbk.

Selain itu ada pula properti berupa perumahan, komersial, dan industri di Jakarta, Tangerang,

Bekasi, Karawang, Ujung Pandang (Makassar), Bogor, Serang, Bandung, Surabaya, Purwakarta,

Medan, dan Tasikmalaya. Dari namanya saja, jelas-jelas itu dari grup Lippo pemberian kredit

kepada kelompok sendiri.

      Penggelembungan nilai (mark up) memang sulit dibuktikan. Kasus ini mencuat, ketika dalam

laporan keuangan Bank Lippo per 30 September 2002 kepada publik pada tanggal 28 November

2002, manajemen menyebutkan total aktiva perseroan Rp 24 trilyun dan laba bersih Rp 98

milyar. Namun, dalam laporan keuangan kepada BEJ 27 Desember 2002, manajemen

menyebutkan total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 trilyun dengan rugi bersih Rp 1,3 trilyun.

Perbedaan laba dikatakan karena adanya kemerosotan nilai agunan yang diambil alih dari Rp

2,393 trilyun pada laporan publikasi menjadi Rp 1,42 trilyun pada laporan ke BEJ. Akibatnya,

Page 2: Kasus Bank Lippo

dalam keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen

menjadi 4,23 persen.

      Keanehan semakin menjadi, ketika dalam suatu wawancara dengan salah satu majalah berita,

Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo Roy Tirtadji menyatakan, penjualan AYDA tersebut

dilakukan, salah satunya karena AYDA membebani bank dengan biaya perawatan sampai Rp

400 milyar per tahun. Menggelikan. Bank Lippo yang pemegang saham mayoritasnya

pemerintah, harus mengeluarkan biaya Rp 400 milyar tiap tahun untuk biaya pemeliharaan

AYDA, yang berisi aset-aset yang berasal dari Grup Lippo sendiri. Biaya perawatan itu setara

dengan 15 persen dari nilai AYDA sendiri yang Rp 2,393 trilyun.

      Kecurigaan justru menyeruak, apakah ini cara lain moroti bank? Bagaimana mungkin bank

tiap tahun mengeluarkan biaya perawatan Rp 400 milyar untuk aset-aset properti yang bisnisnya

berjalan. "Tiap tahun kita mengeluarkan Rp 400 milyar," katanya. Selain itu kemungkinan

mengakali uang negara juga terbuka dalam proses pengalihan aset yang dianggap macet pada

BPPN. Seluruh permainan memiliki benang merah yang sama. Menyalahgunakan subyektivitas

dalam penilaian aset.Proses penyerahan aset ke BPPN, banyak sekali menimbulkan peluang bagi

pemilik bank yang direkapitalisasi untuk mengambil dana sebanyak mungkin dari negara.

Sementara itu, begitu banyaknya dokumen yang diserahkan ke BPPN, juga membuatnya menjadi

mudah dimainkan. Entah itu karena lelah, malas, lalai, tidak teliti, atau apa pun, yang jelas

menjadi terbuka lebar untuk dibobol saat harus menghadapi banyaknya dokumen. Inilah rupanya

hal yang tak dapat ditolak. Rekapitalisasi besar-besaran di satu sisi memang dibutuhkan, tetapi di

sisi lain menimbulkan banyak kesempatan bagi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan

secara tidak wajar. Proses administrasi yang sedemikian banyak, merupakan titik lemah yang

sering kali menjadi sumber korupsi.

      Belum lagi, rekayasa dengan berbagai bentuk tukar guling dalam bank dan grup sendiri.

Misalnya, aset dalam grupnya sendiri ditukar guling melalui perusahaan jadi-jadian di Mauritius

atau Cayman Island. Dengan demikian, pemilik lama yang sesungguhnya telah melanggar

BMPK akan bisa menguasai kembali asetnya yang telah menjadi AYDA, ataupun membeli

kembali kreditnya sendiri dengan diskon besar. DI sisi lain, dengan memanfaatkan isu-isu, baik

yang alamiah maupun yang direncanakan seperti penggembosan valuasi AYDA dan kasus

laporan keuangan ganda, di pasar modal saham Bank Lippo digarap habis-habisan. . Sejak dari

Page 3: Kasus Bank Lippo

dugaan menggerojog pasar untuk kemudian memborong kembali saham setelah harganya jatuh,

sampai upaya menurunkan saham dengan melakukan transaksi satu lot pada menit terakhir

selama 40 hari.

Berdasarkan kasus dan faktor-faktor fraud diatas, maka dapat Terdapat dua metode

pendekteksian kecurangan secara pro aktif, yaitu :

1. Inductive Detection Method : Pendekatan yang dilakukan dengan menggunakan commercial

data-mining software seperti Audit Command Language (ACL).Pendekatan lain yang dapat

dilakukan adalah melakukan prosedur analytical review.

2. Deductive Detection Method : Pendekatan ini untuk menentukan apa saja yang dapat terjadi

dalam situasi tertentu dan kemudian menggunakan teknik dan metode lainnya untuk menentukan

apabila kecurangan tersebut benar- benar ada.

Menganalisis kasus skandal Bank Lippo melakukan tindakan fraud seperti:

1. Asset Misapropriation (Penggelapan/Penyelewengan Aset) 

Adalah fraud yang dilakukan dengan cara mencuri penerimaan, mencuri kas/asset yang

ada di perusahaan, dan melakukan kecurangan terhadap pengeluaran. Para pelaku biasanya

melakukan kejahatannya secara sendiri atau denga kolusi bersama pihak lain.

Dalam hal ini Bank Lippo mengakali penjualan AYDA karena AYDA membebani Bank

dengan biaya perawatan sampe 400 Milyar per tahun, dan ini untuk membiayai aset yang berasal

dari group sendiri yang bisnisnya masih berjalan. Dan berbagai rekayasa seperti gropu nya

sendiri ditukar guling melalui perusahaan jadi-jadian di Mauritius atau cayman Island, sehingga

dapat menguasai kembali asetnya yang telah menjadi AYDA, membeli kembali kreditnya sendiri

dengan diskon besar.

Selain itu adanya laporan keuangan ganda Bank Lippo yang berbeda antara laporandi

BEJ dan di publik. Laporan keuangan BankLippo kepada publik pada tanggal 28 November

2002, manajemen menyebutkan total aktiva perseroan Rp 24 trilyun dan laba bersih Rp 98

milyar. Namun, dalam laporan keuangan kepada BEJ 27 Desember 2002, manajemen

menyebutkan total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 trilyun dengan rugi bersih Rp 1,3 trilyun.

Page 4: Kasus Bank Lippo

2. Corruption (Korupsi)

Korupsi yang dilakukan Bank Lippo yaitu:

a. Penyuapan (Bribery) 

Adalah menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta sesuatu yang bernilai untuk

mempengaruhi tindakan pejabat. Dalam kasus ini, Bank Lippo mengakali uang Negara dalam

proses pengalihan asset yang dianggap macet pada BPPN. Di BPPN proses rekapitalisasi dan

proses administrasi yang sedemikian banyak, sering kali dan bias menjadi sumber korupsi.

b. Konflik Kepentingan (Conflict of Interest) 

Bertindak atas nama individu atau organisasi tetapi memiliki kepentingan pribadi dalam

aktivitas yang dilaksanakan dan mempengaruhi/merugikan pihak yang diwakilinya. Dalam

kasus ini, Bank Lippo memberikan kredit kepada kelompok sendiri sehingga melanggar

BMPK namun Bank Lippo berdalih tidak ada asset yang tercatat di buku yang merupakan

afiliasi dengan pinjaman group, padahal sudah jelas bahwa AYDA tersebut merupakan surat

berharga meliputi saham dengan nama group sendiri.

      Dengan melihat tindakan-tindakan fraud yang dilakukan oleh Bank Lippo tersebut, maka

dapat dilakukan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk mengatasi fraud yang telah ada

tersebut. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi fraud tersebut diantaranya:

a. Strategi Preventif

Strategi ini dilakukan dengan pengendalian atas faktor-faktor penyebab korupsi, dengan

rumusan sebagai berikut :

memperkuat peran lembaga tinggi Negara,

Membangun kode etik di sektor publik dan lembaga lainnya seperti parpol, organisasi

profesi, asosiasi dan sebagainya.

penataan manajemen yang berorientasi hasil dan ber-azas akuntabilitas baik dalam

manajemen SDM, keuangan, dan manajemen pelayanan public.

Dalam kasus Bank Lippo hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat peran lembaga

tinggi Negara, dalam kasus Bank Lippo mulai dari BI, Bapepam, DPR ataupun BPPN. Dan yang

menjadi ujung tombak berbagai rekayasa uang negara adalah komisaris oleh karena itu peran

Page 5: Kasus Bank Lippo

komisaris, wakil dari kepentingan pemerintah selaku pemegang saham mayoritas menjadi

penting.

b. Strategi Detektif

Strategi ini adalah upaya mengidentifikasi tindakan korupsi dengan rumusan sebagai

berikut:

penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat atas pelayanan publik.

peningkatan kemampuan audit investigasi bagi auditor internal dalam mendeteksi

korupsi

pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan pribadi yang jumlahnya

signifikan dan pelaporan kekayaan pribadi manajemen perusahaan penyempurnaan

sistem pengaduan masyarakat atas pelayanan publik.

Peningkatan partisipasi perusahaan pada gerakan anti korupsi dan pencucian uang

pada masyarakat internasional.

Dalam kasus Bank Lippo yang harus diberlakukan adalah pemberlakuan kewajiban

pelaporan transaksi keuangan pribadi dan pelaporan kekayaan pribadi manajemen perusahaan.

c. Strategi Represif

Adalah tindakan utuk menangani perbuatan-perbuatan korupsi yang terjadi sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat dirumuskan dengan:

Penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penerapan hukuman bagi para manajemen

dan pegawai yang melakukan korupsi.

pemberlakuan system pemantauan proses penyelesaian tindak pidana korupsi secara

terpadu.

Penataan kembali pelaksanaan tugas.

Dalam kasus Bank Lippo strategi represif yang harus dilakukan adalah strategi

penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penerapan hukuman bagi para manajemen dan pegawai

yang melakukan korupsi.