KASUS Asma Bronkhial

download KASUS Asma Bronkhial

of 18

description

LAPSUS

Transcript of KASUS Asma Bronkhial

PENDAHULUANAsma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernapasan kronik. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2000, lebih dari 100 juta orang di dunia menderita asma. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien. (Depkes RI, 2009)Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.Terdapat beberapa faktor etiologi yang berhubungan erat dengan asma pada anak, yaitu faktor allergen, keletihan, ketegangan emosi, infeksi serta faktor lain seperti bahan iritan, asap rokok, rhinitis alergi, obat dan bahan kimia, hormon, anatomi, fisiologi, serta interaksi beberapa faktor pencetus. Lingkungan dalam rumah mampu memberikan kontribusi besar terhadap faktor pencetus serangan asma, maka perlu adanya perhatian khusus pada beberapa bagian dalam rumah. Perhatian tersebut ditujukan pada keberadaan alergen dan polusi udara yang dapat dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan rumah dan perilaku keluarga. Komponen kondisi lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi serangan asma seperti keberadaan debu,bahan dan desain dari fasilitas perabotan rumah tangga yang digunakan (karpet,kasur, bantal), memelihara binatang yang berbulu (seperti anjing, kucing, burung),dan adanya keluarga yang merokok dalam rumah.

Diagnosis yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya kegawatan pada asma. Disamping anamsnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang lainnya sangat dibutuhkan. Pengukuran kadar IgE total berguna untuk menentukan penyebab asma pada anak yang mempunyai riwayat asma, apakah faktor atopik atau bukan, sedangkan pengukuran kadar IgE spesifik dan test kulit berguna untuk mencari allergen penyebab. Penentuan allergen penyebab yang dicurigai harus perlu dilakukan, sehingga factor pencetus terjadinya serangan dapat dihindari. Berikut ini akan dilaporkan mengenai kasus Asma Bronkhial pada salah seorang anak yang dirawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Paviliun Catelya RSUD Undata Palu pada tanggal 5 maret 2014

K A S U SA. Identitas Penderita1. Identitas penderitaNama: An SyJenis Kelamin: PerempuanUmur: 3 Tahun 6 bulan2. Identitas orang tua/wali Nama: Ny. SPekerjaan: URTAlamat: Jl Basuki Rahmat3. Tgl/jam masuk: 5 maret 2014B. AnamnesisKeluhan Utama :Sesak nafasRiwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang ke RS Undata dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak disertai biru pada mulut dan ujung jari. Saat sesak pasien lebih senang duduk daripada berbaring. Ada batuk berlendir yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, tapi tidak ada darah, ada pilek. Anak belum pernah mengalami sesak nafas sebelumnya. Tidak ada demam, tidak ada kejang. Pasien muntah 1 kali berupa makanan yang dimakan sebelumnya. BAB belum ada sejak 2 hari yang lalu, BAK lancar seperti biasa.Riwayat penyakit sebelumnya :Pasien belum pernah merasakan keluhan yang sama .Riwayat penyakit keluarga :Ayah pasien memiliki riwayat asmaRiwayat kehamilan dan persalinan :Anak lahir spontan di rumah dibantu oleh bidan dengan berat badan lahir 3,9 kg. dengan antenatal care ibu rutin.Anamnesis makanan :Nafsu makan pasien selama sakit menurun.Riwayat imunisasi :Imunisasi dasar pasien lengkapC. Pemeriksaan Fisik1. Keadaan Umum: Sakit sedangKesadaran: ComposmentisBB: 14 kgTB/PB: 95 cmStatus Gizi: Gizi baik2. Tanda VitalDenyut Nadi: 154 kali/menitTekanan darah: -/- mmHgSuhu: 36,1CRespirasi: 52 kali/menit3. KulitIkterus (-)Turgor < 2 detikSianosis (-)4. Kepala-LeherNormocephalAnemis Konjungtiva -/-Ikterik Sklera -/-Rhinorrhea (+)Cuping hidung (+)Ottorrhea (-)Lidah Kotor (-)Tonsil T1/T1 tidak hiperemisPembesaran kelenjar leher (-)

5. Thoraxa. Dinding dada/paru-paruInspeksi:Bentuk: Simetris bilateral, Retraksi: IntercostalPalpasi: Fremitus vokal simetrisPerkusi: Sonor kiri dan kananAuskultasi : Bronchial +/+, Rhonki -/-, Wheezing +/+

b. JantungInspeksi: Ictus cordis tidak terlihatPalpasi: Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistraPerkusi: Batas jantung: Atas : Parasternal sinistra SIC2 Kanan: Parasternal dextra SIC4 Kiri: midclavicula sinistra SIC5 Auskultasi : Suara dasar: S1 dan S2 murni, regularBising: Tidak ada

AbdomenInspeksi :Bentuk datar, lemasAuskultasi:Bising usus (+) kesan normalPerkusi:Bunyi: TimpaniAsites: (-)Palpasi: Nyeri tekan: (-)Hati: tidak terabaLien: tidak terabaGinjal: tidak terabac. Ekstremitas: Akral hangat, edema tidak adad. Genitalia : Kesan normal.

D. ResumeSeorang anak usia 3 tahun 6 bulan dengan berat badan 14 kg dan panjang badan 95 cm datang dengan keluhan utama sesak nafas sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat sesak pasien lebih senang duduk daripada berbaring. Ada batuk berlendir yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu dan ada pilek. Pasien muntah 1 kali berupa makanan yang dimakan sebelumnya. BAB belum ada sejak 2 hari yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapat keadaan umum sakit sedang, kesadaran composmentis, dan status gizi baik. Pemeriksaan tanda vital didapatkan nadi 154x/menit, respirasi 52x/menit, suhu 36,1oC. Pada pemeriksaan ditemukan pernapasan cuping hidung dan pemeriksaan di thoraks didapatkan suara napas bronkial dengan wheezing disertai dengan rektraksi intercostal pada dinding dada.

E. DiagnosisAsma bronkhial

F. Terapi Oksigen 4 liter per menit IVFD dextrose 5% 8 gtt Nebulizer ventolin 1 ampul 2 x 1 Ambroxol 7 mg Salbutamol 1,4 mg pulveres 3 x 1 Methylprednisolon 2 mg

G. Anjuran Foto thorax.

DISKUSINelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayatasma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. (1)Pada anamnesis untuk kasus ini diperoleh bahwa pasien datang dengan keluhan utama sesak nafas sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat sesak pasien lebih senang duduk daripada berbaring. Ada batuk berlendir yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu dan ada pilek. Dari pemeriksaan fisik didapat pernapasan cuping hidung dan pemeriksaan di thoraks didapatkan suara napas bronkial dengan wheezing disertai dengan rektraksi intercostal pada dinding dada.Faktor resiko terjadinya asma, bergantung pada faktor herediter dan lingkungan. Bila kedua orang tua menderita asma, 50% anak akan menderita asma, jika salah satu orang tua menderita asma 25% anak akan menderita asma. Sedangkan faktor pencetus dapat berupa: allergen hirup (debu, tungau, bulu kucing, atau binatang peliharaan lainnya), infeksi pada saluran napas, emosi, latihan jasmani yang berlebihan, bahan iritan ( udara dingin, parfum, hair spray) asap rokok, refluks gastroesofagus.(2,3) Untuk kasus ini, serangan asma bronchial diperoleh melalui faktor herediter dan makin diperberat dengan adanya faktor pencetus yaitu infeksi pada saluran nafas.Derajat penyakit asma yang dibuat oleh Konsesus Pediatri Internasional III tahun 1998 membagi derajat penyakit asma menjadi tiga, yaitu :1. Asma episode jarang (asma ringan)Ditandai oleh adanya episode < 1 x tiap 4-6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di antara episode serangan, dan fungsi paru normal di antara serangan.2. Asma episode sering (asma sedang)Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering dan timbul mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemberian agonis-2. Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru di antara serangan normal atau hampir normal.3. Asma persisten (asma berat)Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis-2, lebih dari 3x/minggu karena anak terbangun di malam hari atau dada berat di pagi hari.Pada kasus ini pasien mengalami asma episodik jarang (asma ringan) didasarkan karena ini merupakan serangan pertama, fungsi paru normal diantara serangan. Serangan (eksaserbasi) asma adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai yang mengancam jiwa, perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam atau hari. Serangan akut biasa timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus. Terdapat banyak faktor yang dapat mencetuskan serangan asma, seperti: udara dingin, kabut, olahraga dan pemaparan terhadap alergen pada saluran napas.(1)Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang ditimbulkan oleh kombinasi spasme otot polos bronkus, edema mukosa akibat inflamasi saluran napas dan sumbatan mukus. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel inflamasi. Mediator tersebut antara lain histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran napas, khususnya pada regio peribronkial, cenderung memperparah penyempitan saluran napas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. Produksi mukus yang berlebihan merupakan salah satu karakteristik pasien asma. Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.Penilaian Derajat Serangan AsmaParameter Klinis, Fungsi Paru, LaboratoriumRinganSedangBerat

Tanpa ancaman henti napasAncaman henti napas

SesakBerjalanBerbicaraIstirahat

PosisiBisa berbaringLebih suka dudukDuduk bertopang lengan

BicaraKalimatPenggal kalimatKata-kata

KesadaranMungkin irrtableBiasanya irritableBiasanya irritableKebingungan

SianosisTidak adaTidak adaAdaNyata

MengiSedang, sering hanya pada akhir ekspirasiNyaring, sepanjang ekspirasi inspirasiSangat nyaring terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasiSulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorikBiasanya tidakBiasanya yaYaGerakan paradoks torakoabdominal

RetraksiDangkal, retraksi interkostalSedang, ditambah retraksi suprasternalDalam, ditambah napas cuping hidungDangkal/hilang

Frekuensi napasTakipneaTakipneaTakipneaBradipnea

Frekuensi nadiNormalTakikardiTakikardiBradikardi

Pulsus ParadoksusTidak ada< 10 mmHgAda10-20 mmHgAda > 20 mmHgTidak ada, tanda kelelahan otot napas

PEFR atau FEV1Pra-bronkodilatorPasca-bronkodilator> 60%> 80%40-60%60-80%< 40%< 60%

SaO2 %> 95%

91-95% 90%

PaO2Normal> 60 mHg< 60 mHg

PaCO2< 45 mmHg< 45 mmHg > 45 mmHg

Berdasarkan derajat serangan asma yang terjadi pada kasus ini termasuk dalam serangan asma sedang hal ini dilihat dari gejala yang ada dimana terdapat penderita pada saat bicara hanya pengggalan kata, tidak ada sianosis, adanya mengi saat ekpirasi sepanjang ekspirasi, adanya retraksi intercostal, takikardi, takipneu(2).Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan gelisah, pernapasan cuping hidung, laju napas yang meningkat, tarikan ada dinding dada, suara napas bronkial dimana terdengar inspirasi keras yang disusul oleh ekspirasi yang lebih keras, Ronki basah kasar yang terdengar disebabkan oleh adanya cairan dalam jalan napas yang dilalui udara. Sedangkan wheezing disebabkan karena adanya penyempitan jalan napas yang disebabkan karena respon saluran napas yan berlebihan terhadap rangsangan bronkokontriksi. Batuk kemungkinan besar terjadi akibat rangsangan pada saraf sensorik saluran respiratori oleh mediator inflamasi(2,3).Pemeriksaan Penunjang51. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST). Uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). 5. Petanda inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) denganinflamasi dan derajat berat asma.6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.Manajmen serangan Asma : Tatalaksanan awal :Nebulasi 1-agonis 2x selang 20 menit nebulasi kedua + antikolinergik. Jika serangan sedang atau berat nebulisasi langsung dengan -agonis + antikolinergik.

Serangan ringan Jika pada tatalaksana awal dengan nebulasi 1x berespon baik, selanjutnya :Observasi 2 jam. Jika gejala timbul lagi diberikan manajemen serangan sedang. Jika gejala tidak timbul kembali, pasien boleh pulang dengan dibekali obat -agonis (hirup/ oral). Jika pencetusnya virus diberikan steroid oral dan 24-48 jam kontrok ke poliklinik. Serangan sedang Jika pada tatalaksana awal dengan nebulasi 2x berespon parsial selanjutnya :Observasi 1 hari, berikan oksigen 2-4 liter per menit, berikan steroid oral, nebulasi tiap 2 jam. Bila dalam 12 jam keadaan klinis stabil, pasien boleh pulang. Serangan beratJika telah diberikan nebulasi 3x respon buruk, selanjutnya:Tetap berikan oksigen 2-4 liter per menit, memasang jalur parenteral, foto thoraks. Jika ada asidosis segera diatasi, steroid IV setiap 6-8 jam, nebulasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal, lenjutkan dengan rumatan. Jika memmbaik dalam 4-6 kali nebulisasi maka interval nebulisasi menjadi 4-6 jam. Jika dalam 24 jam keadaan stabil, pasien boleh pulang. Secara umum untuk penyakit asma, dapat diberikan terapi medikamentosa berupa bronkodilator jenis beta adrenergik kerja pendek (Short Acting). Karena beta adrenergik merupakan terapi fundamental dan obat pilihan pada serangan asma. Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilator.efek lain juga dapat terjadi seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast. Reseptor 1 terutama terdapat di jantung sedangkan reseptor 2 berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan pankreas. Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif(1,2). Epinefrin/adrenalin adalah obat yang merupakan betaadrenergik kerja pendek. Pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan asma. Kecuali jika tidak ada obat 2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis dan angioderma. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol. Pemberia subkutan adalah sebagai berikut : larutan epinefrin 1:1000 (1mg/ml), dengan dosis 0,001 ml/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 20 menit(1).Obat-obat 2-agonis selektif yang sering diguanakan adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam. Pemberian secara oral akan menimbulkan bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2-4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara inhalasi (dengan inhaler/nebulizer) memiliki onset kerja yang lebi cepat (1 menit), efek puncak dicapai dalam waktu 10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian subkutan tidak memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan nebulizer, sehingga cara ini tidak dianjurkan jika ada alat nebulizer(1).Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan asma dan pemberiannya merupakan bagian tatalaksana serangan, kecuali pada serangan ringan. Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan sebagai berikut: Terapi inisial inhalasi 2-agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama Serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai controller Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnyaPemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma, mencegah perlunya rawat inap dirumah saki, mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru, serta memperbaiki respon bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh 2-agonis. Preparat oral yang dipakai adalah prednison, prednisolon, atau tramsinolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali seharai selama 5 hari.Kortikosteroid intravena (IV) perlu diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit. Metil-prednisolon merupakan pilihan utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan peru yang lebih baik, efek anti inflamasi yang lebih besar, serta efek minerlokortikoid yang minimal. Dosis metil-prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB diberikan setiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis 1/2-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6-8 jam.Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Mukolitik inhalasi tidak mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan asma berat.Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek yang menguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan karena dapat mengentalkan sputum(1,4).Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator -agonis hirupan kerja pendek (Short Acting 2-Agonist, SABA) atau golongan xanthin kerja cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah(2). Pada klasifikasi asma menurut Konsensus International III maupun Pedoman Nasional Asma Anak, pemberian anti-inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan tidak dianjurkan. Jadi secara tegas, PNAA tidak menganjurkan pemberian obat pengendali pada asme episodik jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang menyatakan bahwa obat pengendali belum diperlukan pada asma intermitten dan baru diperlukan pada asma persisten ringan (derajat 2 dan 4). Obat pengendali yang diberikan adalah anti inflamasi, yaitu steroid hirupan dosis rendah atau kromglikat hirupan(3).Penggunaan -agonis hirupan lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, merupakan indikasi penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali. Dahulu, anti-inflamasi lini pertama yang digunakan adalah kromoglikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kromolin (kromglikat dan nedokromil) kurang bermanfaat pada tatalaksana asma jangka panjang(1,2,3).Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator -agonis hirupan kerja pendek (Short Acting 2-Agonist, SABA) atau golongan xanthin kerja cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah(2). Penentuan faktor pencetus pada setiap pendertia asma sangatlah penting dihubungkan dengan penatalaksanaan dan pencegahan.Beberapa faktor pencetus terjadinya asma :1. Faktor imunologikFaktor pencetus adalah allergen berupa allergen makanan atau allergen hirup.2. Faktor non-imunologik Faktor pencetus adalah infeksi virus/bakteri, bahan iritan/polutan, aktivitas fisik yang berat/berlebihan, dan factor emosional.Secara umum pencegahan dapat dilakukan dalam 2 cara, yaitu :1. Pada anak yang asmanya belum manifest : Mencegah terjadinya sensitasi dengan menunda pemberian makanan padat yang mempunyai tingkat alergenitas tinggi (telur, susu sapi) Orang tua dianjurkan tidak merokok Mencegah terjadinya infeksi saluran napas Pemberian ASI eksklusif pada bayi2. Pada anak yang gejala asmanya sudah manifest : Menghindari factor pencetus berupa allergen makanan, allergen hirup, bahan iritan, tertular infeksi, latihan fisik yang erat, perubahan cuaca dan factor emosi. Pemberian obat pengendaliPada klasifikasi asma menurut Konsensus International III maupun Pedoman Nasional Asma Anak, pemberian anti-inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan tidak dianjurkan. Jadi secara tegas, PNAA tidak menganjurkan pemberian obat pengendali pada asme episodik jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang menyatakan bahwa obat pengendali belum diperlukan pada asma intermitten dan baru diperlukan pada asma persisten ringan (derajat 2 dan 4). Obat pengendali yang diberikan adalah anti inflamasi, yaitu steroid hirupan dosis rendah atau kromglikat hirupan(3).Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Faktor yang mempengaruhi prognosis asma anak adalah umur ketika serangan pertama timbul, seringnya serangan asma, berat ringannya asma terutama 2 tahun sejak mendapat serangan asma. Pada anak yang menderita asma dengan serangan ringan dan jarang, akan bebas asma pada waktu mencapai usia dewasa, sebaliknya kelompok yang sering mendapat serangan pada waktu kecil sebagian besar menetap sampai usia dewasa.(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI, 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

1. Depkes RI, 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Depkes RI, Jakarta.

1. Behram, Kliegman, Arvin, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Ed. 15. Vol. 2. Jakarta : EGC.

1. Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkhial. Maj Kedokteran Indonesia, Volume: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

2