kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

13
Kasus 1 Seorang anak perempuan, usia 2 tahun, dibawa orang tuanya ke Puskesmas, dengan keluhan sesak napas. Pada anamnesis sesak napas baru terjadi 3 jam, ada suara parau dan panas 2 hari. Pada pemeriksaan ditemukan ada membran/beslag putih keabu-abuan. Pada salah satu tonsil dan sebagian faring ditemukan juga stridor inspirasi. Kata Sulit : - Beslag : - Stridor : suara pernapasan bernada tinggi dan kasar, seperti suara inspirasi yang sering terdengar pada obstruksi laring akut. Kata Kunci : - Perempuan, 2 tahun - Sesak napas 3 jam - Suara parau - Panas 2 hari - Membran/beslag putih keabu-abuan - Stridor inspirasi Masalah Dasar : Anak perempuan 2 tahun dengan keluhan sesak napas. Pertanyaan : 1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang 2. Etiologi 3. Patofisiologi 4. Diagnosis dan DD 5. Penatalaksanaan 6. Prognosis 7. Edukasi 8. Komplikasi Pembahasan : 1. Anamnesis : 1) Identitas : nama, umur, alamat. 2) Riwayat penyakit sekarang Keluhan utama

Transcript of kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

Page 1: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

Kasus 1Seorang anak perempuan, usia 2 tahun, dibawa orang tuanya ke Puskesmas, dengan keluhan sesak napas. Pada anamnesis sesak napas baru terjadi 3 jam, ada suara parau dan panas 2 hari. Pada pemeriksaan ditemukan ada membran/beslag putih keabu-abuan. Pada salah satu tonsil dan sebagian faring ditemukan juga stridor inspirasi.

Kata Sulit : - Beslag :

- Stridor : suara pernapasan bernada tinggi dan kasar, seperti suara inspirasi yang sering terdengar pada obstruksi laring akut.

Kata Kunci :- Perempuan, 2 tahun

- Sesak napas 3 jam

- Suara parau

- Panas 2 hari

- Membran/beslag putih keabu-abuan

- Stridor inspirasi

Masalah Dasar :Anak perempuan 2 tahun dengan keluhan sesak napas.

Pertanyaan :1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang2. Etiologi3. Patofisiologi4. Diagnosis dan DD5. Penatalaksanaan6. Prognosis7. Edukasi8. Komplikasi

Pembahasan :1. Anamnesis :

1) Identitas : nama, umur, alamat.2) Riwayat penyakit sekarang Keluhan utama

- Sejak kapan : baru saja? Sudah lama dan kambuh-kambuhan? Tiba-tiba atau perlahan-lahan?

- Apakah timbul sesudah melakukan kegiatan fisik berat?

- Apakah timbul bila berjalan jauh atau naik tangga?

- Apakah disertai batuk?

- Apakah disertai sputum : banyak? Berbuih? Mengandung darah?

- Apakah disertai nyeri dada kiri?

- Keadaan lingkungan?

- Riwayat obat? Keluhan lain

Page 2: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

3) Riwayat penyakit dahulu4) Riwayat penyakit keluarga

Pemeriksaan fisik :1) Inspeksi

Pasien yang tampak gelisah dengan nafas yang cepat bisa disebabkan oleh hipoksemia berat karena primer penyakit paru, jantung atau anxiety attack otot bantu perfapasan di leher yang berkontraksi menunjukkan obstruksi saluran nafas yang cukup parah. Gerakan dada yang asimetri juga harus diperiksa.

2) PalpasiPengembangan hemitoraks yang tidak simetris menunjukkan adanya gangguan yang dapat disebabkan oleh obstruksi, pneumotoraks, atau efusi pleura. Selain itu menurunnya fremitus taktil pada daerah yang di palpasi dapat menunjukkan bronkus yang tersumbat atau adanya efusi pleura.

3) PerkusiJika terdengar suara redup di atas batas paru hepar dapat menunjukkan adanyan efusi pleura.

4) AuskultasiBerkurangnya intensitas suara nafas pada paru-paru menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas. Bunyi tambahan seperti ronkhi, wheezing, dan sebagainya juga harus diperhatikan karena merupakan ciri khas dari penyakit tertentu.

5) TNRS (Tensi, Nadi, Respirasi, Suhu)

Pemeriksaan Penunjang :

1) Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab).

2) Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.

3) Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis, intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan secara in vitro dan in vivo.

4)  Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit,trombosit, LED 5)  Urin lengkap : protein dan sedimen6)  Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)7)  EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung

dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

8) Tes schick:Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan

timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.

Page 3: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.

9) Tes hapusan specimenDiambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies, uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.

2. Etiologi :

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan  pada manusia yaitu gravis, inter-medius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi  sekitar 180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.

3. Patofisiologi :Secara singkat :Kuman -> mukosa/kulit -> berkembang biak pada mukosa saluran napas bagian atas -> produksi toksin -> menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah -> kerusakan pada setiap organ terutama jantung, saraf dan ginjal.

Penjelasan :

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif.

Page 4: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation Factor-2) yang aktif.

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-

ribosil-EF2 yang inaktif .Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk

rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.

Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa

Page 5: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.

4. Diagnosis :Difteria tonsil dan faring yang telah meluas ke laring.

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala klinis tanpa menunggu hasil mikrobiologi karena penundaan pengobatan membahayakan jiwa penderita. Selain itu, penegakan diagnosis dengan preparat apusan kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari.

Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri karena pada beberapa penyakit lain juga ditemui adanya membran. Akan tetapi, membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain; warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai lebih banyak fibrin dan melekat pada mukosa di bawahnya. Bila diangkat, terjadi perdarahan. Biasanya membran dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

Untuk pemeriksaan bakteriologis, bahan yang diambil adalah membran atau bahan di bawah membran. Bahan dibiak dalam media Löffler, Tellurite dan bllod agar. Pada pemeriksaan laboratorium darah dan urine, tidak ditemukan arti yang spesifik. Leukosit dapat meningkat atau normal, kadang-kadang terjadi anemia karena hemolisis sel darah merah. Pada neuritis cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein.

DD :

1) Difteri Hidunga. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)b. Benda asing dalam hidungc. Snuffles (lues congenita).

2) Difteri Faring :a. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore

throat)b. Mononucleosis infectiosac. Tonsilitis membranosa non bakteriald. Tonsillitis herpetika primere. Moniliasisf. Blood dyscrasiag. Pasca tonsilektomi.

5. Penatalaksanaan :

1. Isolasi dan Karantina Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :

Page 6: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

a. biakan hidung dan tenggorokb. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria. Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).3

2. Pengobatan Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.

1) UmumIstirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

2) Khusus :a. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.

Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.

Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena.

Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.

Page 7: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut : 20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit, konjungtiva). 40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas pada

tonsil, diphtheria laring). 100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran meluas ke

luar tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin).

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

b. AntimikrobialBukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk

menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.

c. KortikosteroidBelum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini

pada diphtheria. Di Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

d. Pengobatan penyulitPengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar

hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.

e. Pengobatan CarrierCarrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,

mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

6. Komplikasi :

Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.

Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot

laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.

Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.

Page 8: kasus 1 sistem pernapasan atas.docx

7. Prognosis :

Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis.Prognosa tergantung pada :1) Usia penderita

Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difterik.

2) Waktu pengobatan antitoksinSangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.

3) Tipe klinis difteriMortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)

4) Keadaan umum penderita5) Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.

Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai disosiasi atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.

8. Edukasia. Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anakb. Imunisasi (penting) karena setelah menderita penyakit Difteri kekebalan penderita terhadap

penyakit ini sangat rendah.

Kesimpulan : anak perempuan usia 2 tahun didiagnosis difteri tonsil yang meluas ke laring

Sumber :1 Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta. 1997. 2 Snell. Buku Ajar Ilmu Anatomi Klinik. Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2001.3 www.pediatric.com4 Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke lima. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.5 www.medicastore.com