Kasus 1

12
Clinical Exposure Laporan kasus RSUS I oleh : Egie Praja 07120100045 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UN!ERSTAS PELTA "ARAPAN LPPO KARA#A$

description

fbf

Transcript of Kasus 1

[LAPORAN KASUS PASIEn RUMAH SAKIT UMUM SILOAM ]

[LAPORAN KASUS PASIEn RUMAH SAKIT UMUM SILOAM ]

Clinical Exposure

Laporan kasus RSUS I

oleh : Egie Praja071201000452013FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS PELITA HARAPAN

LIPPO KARAWACI

1. Identitas Pasien

Nama

: Tn. A Tempat lahir

: Jakarta

tanggal lahir

: 20-06-1996

Usia

: 17 Tahun

Alamat

: Taman Ubud, Lippo Karawaci Barat - Tangerang Agama

: Islam

Kebangsaan

: Indonesia

Status

: Pelajar2. Anamnesa

Jenis anamnesa : Autoanamnesa

Anamnesa dilakukan pada hari Selasa, 17 September 2013.

Keluhan Utama : Demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam terjadi secara mendadak. Demam yang dirasakan pasien naik turun dan berlangsung sepanjang hari

Demam yang dialami oleh pasien disertai dengan pusing, namun tidak diikuti oleh mual dan muntah Pasien mengalami influenza 7 hari sebelum masuk ke rumah sakit. Pasien mencoba minum actived selama 3 hari. Gejala influenza pasien saat ini sudah tidak ada.

Pasien mengaku nafsu makannya berkurang sejak demam yang dialaminya. Badan pasien juga menjadi lemas. Terdapat nyeri sendi ringan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit Pasien sudah mencoba untuk minum parasetamol untuk menurunkan suhu. Namun suhu kembali naik jika tidak mengkonsumsi parasetamol Pasien sudah tidak mengalami demam pada hari kedua di rumah sakit, yakni tanggal 15/09/2013 dan pada saat itu timbul ruam pada kulit di daerah badan, kaki dan tangannya.

Pasien tidak mengalami gangguan buang air besar dan kecil

Tidak ditemukan adanya tanda tanda kuning pada pasien

Riwayat penyakit dahulu :

Pasien pernah dirawat di rumah sakit karena di diagnosis disentri 1 tahun yang lalu. Riwayat penyakit keluarga :

Kedua orang tua pasien tidak pernah mengalami sakit serupa dengan pasien Riwayat alergi dalam keluarga disangkal

Riwayat hipertensi dan diabetes disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi:

Kebiasaan/Pola Hidup:

Kebiasaan merokok disangkal Kebiasaan minum alkohol disangkal

Pasien selalu mengkonsumsi makanan yang bersih dan tidak pernah jajan sembaranganLingkungan:

Pasien tinggal bersama keluarganya di lingkungan yang bersih Tidak ada tetangga sekitar pasien yang mengalami keluhan serupa Pemeriksaan fisik :

Status generalisata

Keadaan umum: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah: 110/70 mmHg

Nadi

: 90 x/m

Suhu

: 370C

Pernafasan

: 18 x/m

Berat badan

: 53 kg

Tinggi badan

: 165 cm

Inspeksi:

Kepala

Tidak terdapat bekas luka gores, tusuk, operasi, atau jahitan

Tidak terdapat hipopigmentasi atau hiperpigmentasi

Tidak terlihat adanya massa

Konjungtiva tidak pucat

Sclera berwarna putih tidak tampak adanya icterik

Tonsil tidak hiperemis , tidak membesar

Leher

Tidak terdapat bekas luka gores, tusuk, atau operasi Tidak terlihat adanya massa Tidak terdapat hiperpigmentasi atau hipopigmentasi

Trakea intak di tengah leher

Tidak ditemukannya pembesaran kelenjar getah bening

Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid

Thorax

Tidak terdapat bekas luka gores, tusuk, operasi, dsb.

Tidak terlihat adanya massa Kedua lapangan paru simetris saat inspirasi maupun ekspirasi

Iktus kordis terlihat

Expansi Thorax pada anterior dan posterior normal

Pada tactil fremitus, getaran antara kedua lapangan paru normal baik bagian anterior maupun posterior, dan simetris

Bunyi perkusi kedua lapangan paru sonor

Bunyi Jantung normal (terdengar S1 dan S2)

Suara paru vesicular (normal)

Ronki : -/-

Wheezing : -/-

Abdomen

Tidak ada bekas luka gores, tusuk, operasi, dsb.

Bentuk perut pasien datar

Nyeri Tekan Epigastrium : -

Tidak terdapat pembesaran hati dan limpa

Pada seluruh lapangan abdomen, ditemukan bunyi timpani

Bising usus normal (6x/m)

Ekstremitas

Tidak terdapat edema pada kedua tungkai kaki pasien

Terdapat nyeri sendi pada ekstremitas atas

Kulit

Terdapat petechie pada badan dan kedua ekstremitas Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan Laboratorium : Hasil lab tanggal 15/09/2013TesHasilUnitNilai Rujukan

Haemoglobin15.61g/dL13.2 - 17.3

Hematocrit47.47%40 - 52

Leucocyte (WBC)2.9410^3 / L3.8 - 10.6

Erythrocyte (RBC)5.5810^6 / L4.40 - 5.90

Differential Count

Basophil1%0 - 1

Eosinophil0%1 - 3.

Band Neutrophil3%2 - 6.

Segmen Neutrophil62%50 - 70

Limphocyte26%25 - 40

Monocyte8%2 - 8.

Platelet127.710^3 / L150 - 440

Hasil lab tanggal 16/09/2013

TesHasilUnitNilai Rujukan

Haemoglobin15.05g/dL13.2 - 17.3

Hematocrit46.03%40 - 52

Leucocyte (WBC)3.1110^3 / L3.8 - 10.6

Platelet106.610^3 / L150 - 440

Pemeriksaan Immunology / serology :

15/09/2013Anti DHF IgG (-)

Anti DHF IgM (+)

Dengue antigen NS-1 (+)

3. Resume

Pasien datang dengan keluhan utama demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik turun dan terjadi mendadak. Demam dapat turun jika meminum parasetamol dan naik kembali. Pusing (+), mual (-), muntah (-), dan nyeri sendi (+).

Pada pemeriksaan fisik , pasien didapati tampak sakit sedang, dengan tingkat kesadaran compos mentis. Pembesaran hati dan limpa (-), petechie (+), anemia (-), icterus (-)

Pada hasil laboratorium ditemukan trombositopenia dan leukopenia. Hasil immunology menunjukkan anti DHF IgM (+), dengue antigen NS-1 (+).4. Diagnosis Diagnosis kerja : DHF grade 1 Pengkajian diagnosis :

Dipikirkan atas dasar :

Demam yang terjadi secara mendadak dan tinggi merupakan karakteristik infeksi virus

Demam yang terjadi pada dengue naik turun dan terjadi sepanjang hari

Terdapat myalgia

Terdapat petechie yang muncul setelah demam turun Trombositopenia dan leukopenia Hasil immunology yang menunjukkan anti DHF IgM (+) dan dengue antigen NS-1 (+)

Diagnosis banding

Chikungunya Yang menunjang diagnosis : Demam tinggi mendadak Terdapat rash Yang tidak menunjang diagnosis : Tidak terdapat nyeri sendi yang sangat hebat Penurunan jumlah trombosit tidak signifikan Diperlukan pemeriksaan IgM and IgG anti-chikungunya antibodies (muncul 3-5 minggu setelah terinfeksi)5. Tatalaksana

Non-medikamentosa Tirah baring Pemberian cairan dengan banyak minum Monitor tanda tanda vital, Ht, dan trombosit Medikamentosa IV Ringer lactate 5-7 ml/kg/jam untuk 1-2 jam, 3-5 ml/kg/jam untuk 2-4 jam, 2-3 ml/kg/jam (total 500 ml/5 jam pertama)6. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam Ad sanactionam : dubia ad bonam7. Tinjauan Pustaka Virus Dengue

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang

bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotype ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

Cara Penularan

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam

penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

Patogenesis

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan

hipovolemia dan syok. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit

yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan

merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian. Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus

binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang

terjadi.

Gejala Demam Dengue

Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari ) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD). yang disertai

dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.

Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini di bawah ini dipenuhi :

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

- Uji bendung positif.

- Petekie, ekimosis, atau purpura.

- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain.

- Hematemesis atau melena.

Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. (WHO, 1997)Pemeriksaan Laboratorium

Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan -nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.

Strategi Pengobatan

Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma danperdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma danpenggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan danjumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat.

8. Daftar pustaka1. http://www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf2. WHO. Dengue Hemorrhagic Fever : diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, 19973. WHO. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. New Delhi, 1999.