Kasih ibu

1
Empat tahun yang lalu, saya pernah membopong ibu saat sakit keras menuju mobil kemudian membawanya ke rumah sakit. Seolah, beban berat tubuh ibu masih terasa hingga kini dan saya teramat sering menceritakan pengorbanan saya itu kepada isteri dan anak-anak saya. Namun, entah di bagian otak saya yang mana terdapat kesalahan sehingga saat ini tak pernah mampu menghitung berapa kali sehari wanita mulia itu pernah menggendongku semenjak kecil. Bahkan sudah pasti saya tak pernah ingat sembilan bulan lebih ia tak pernah meninggalkan saya. Sejak kecil saya diajarkan untuk senantiasa mendoakan orang tua. Meski kadang saya terlupa dan lebih mendahulukan menyebut nama isteri dan anak-anak saya. Padahal saya teramat tahu ia tak pernah absen menyebut nama saya dalam setiap doa panjangnya. Selalu saja terdengar nama saya disebut dalam isak tangisnya di hadapan Allah. Pernah saya menangis saat ia sakit keras dan beberapa hari tak sembuh. Rasanya habis sudah air mata ini waktu itu membuat saya merasa menjadi anak yang paling cinta terhadapnya. Tentu, masih terlintas jelas dalam ingatan ini kejadian itu karena berhari-hari saya rela tak tidur untuk menemani ibu. Tapi pernahkan saya tahu berapa banyak air mata yang pernah keluar dari sudut matanya untuk diri ini? Kadang ia juga ikut menangis saat saya meringis kesakitan ketika terjatuh dari sepeda. Sore menjelang maghrib saya pernah menunggunya tak lebih dari setengah jam untuk menjemputnya sepulang mengajar. Hujan sore itu memaksa saya menunggunya untuk menghantarkan payung agar ia tak kehujanan. Anehnya, saya tak pernah tahu seberapa sering ia kepanasan dan kehujanan di jalan demi mencari sesuap nasi untuk anak-anaknya. Satu yang masih kuingat, ia pernah melindungi saya dari guyuran hujan dengan wajah dan tubuhnya. Entah sudah kali keberapa ia pernah lakukan itu, saya tak pernah menghitungnya. Dua hari lalu, saya dan anak-anak ibu yang lain berkumpul dan itu membuatnya bahagia. Saya tak pernah tahu sesering apa saya pernah membuatnya bahagia. Saya jauh lebih ingat sebegitu sering membuatnya bersedih dan kecewa dengan sikap dan kenakalan saya. Sementara, disaat yang sama saya benar-benar tak pernah, dan takkan pernah bisa menjumlah kebahagiaan yang pernah ia ciptakan untuk saya. Sungguh, betapa banyak kasih yang terlupakan. Begitu luas cinta yang tak pernah terbalas, dan teramat sedikit yang mampu terekam dengan baik oleh saya. Sehingga hari ini saya tetap tak pernah mampu memutar lintasan-lintasan cintanya, mungkin tak kan cukup memori yang saya miliki yang jelas-jelas tak sebanding dengan semua yang pernah ia tuluskan untuk saya. Saya masih ingat pernah memberinya sebuah baju merah sebagai hadiah sebelas tahun yang lalu. Itu juga merupakan hadiah pertama yang mampu saya berikan setelah empat bulan bekerja di pabrik. Ibu begitu senang menerimanya hingga selautan doa tak pelit tercurah untuk anaknya ini agar Allah senantiasa melimpahkan rezeki. Meski hadiah itu sudah tak lagi terpakai dan entah dimana, entah kenapa saya masih selalu ingat pemberian itu sampai hari .. Tapi disaat yang sama saya tak pernah mampu mengingat apa-apa yang pernah ia berikan kepada saya.

Transcript of Kasih ibu

Page 1: Kasih ibu

Empat tahun yang lalu, saya pernah membopong ibu saat sakit keras menuju mobil kemudian membawanya ke rumah sakit. Seolah, beban berat tubuh ibu masih terasa hingga kini dan saya teramat sering menceritakan pengorbanan saya itu kepada isteri dan anak-anak saya. Namun, entah di bagian otak saya yang mana terdapat kesalahan sehingga saat ini tak pernah mampu menghitung berapa kali sehari wanita mulia itu pernah menggendongku semenjak kecil. Bahkan sudah pasti saya tak pernah ingat sembilan bulan lebih ia tak pernah meninggalkan saya.

Sejak kecil saya diajarkan untuk senantiasa mendoakan orang tua. Meski kadang saya terlupa dan lebih mendahulukan menyebut nama isteri dan anak-anak saya. Padahal saya teramat tahu ia tak pernah absen menyebut nama saya dalam setiap doa panjangnya. Selalu saja terdengar nama saya disebut dalam isak tangisnya di hadapan Allah.

Pernah saya menangis saat ia sakit keras dan beberapa hari tak sembuh. Rasanya habis sudah air mata ini waktu itu membuat saya merasa menjadi anak yang paling cinta terhadapnya. Tentu, masih terlintas jelas dalam ingatan ini kejadian itu karena berhari-hari saya rela tak tidur untuk menemani ibu. Tapi pernahkan saya tahu berapa banyak air mata yang pernah keluar dari sudut matanya untuk diri ini? Kadang ia juga ikut menangis saat saya meringis kesakitan ketika terjatuh dari sepeda.

Sore menjelang maghrib saya pernah menunggunya tak lebih dari setengah jam untuk menjemputnya sepulang mengajar. Hujan sore itu memaksa saya menunggunya untuk menghantarkan payung agar ia tak kehujanan. Anehnya, saya tak pernah tahu seberapa sering ia kepanasan dan kehujanan di jalan demi mencari sesuap nasi untuk anak-anaknya. Satu yang masih kuingat, ia pernah melindungi saya dari guyuran hujan dengan wajah dan tubuhnya. Entah sudah kali keberapa ia pernah lakukan itu, saya tak pernah menghitungnya.

Dua hari lalu, saya dan anak-anak ibu yang lain berkumpul dan itu membuatnya bahagia. Saya tak pernah tahu sesering apa saya pernah membuatnya bahagia. Saya jauh lebih ingat sebegitu sering membuatnya bersedih dan kecewa dengan sikap dan kenakalan saya. Sementara, disaat yang sama saya benar-benar tak pernah, dan takkan pernah bisa menjumlah kebahagiaan yang pernah ia ciptakan untuk saya.

Sungguh, betapa banyak kasih yang terlupakan. Begitu luas cinta yang tak pernah terbalas, dan teramat sedikit yang mampu terekam dengan baik oleh saya. Sehingga hari ini saya tetap tak pernah mampu memutar lintasan-lintasan cintanya, mungkin tak kan cukup memori yang saya miliki yang jelas-jelas tak sebanding dengan semua yang pernah ia tuluskan untuk saya.

Saya masih ingat pernah memberinya sebuah baju merah sebagai hadiah sebelas tahun yang lalu. Itu juga merupakan hadiah pertama yang mampu saya berikan setelah empat bulan bekerja di pabrik. Ibu begitu senang menerimanya hingga selautan doa tak pelit tercurah untuk anaknya ini agar Allah senantiasa melimpahkan rezeki. Meski hadiah itu sudah tak lagi terpakai dan entah dimana, entah kenapa saya masih selalu ingat pemberian itu sampai hari .. Tapi disaat yang sama saya tak pernah mampu mengingat apa-apa yang pernah ia berikan kepada saya.