karya ilmiah karawitan utk anak-anak.pdf

43
KAJIAN GARAP KARAWITAN UNTUK ANAK-ANAK, (Karya Musik “Gembyengan” Sanggar SKI Batu) Oleh: S A B A R JURUSAN SENI KARAWITAN SEKOLAH TINGGI KESENIAN WILWATIKTA (STKW) SURABAYA 2011 ii

description

PENELITIAN MANDIRI"KAJIAN GARAP KARAWITANUNTUK ANAK-ANAK".(Karya Musik “Gembyengan” Sanggar SKI Batu) 2011

Transcript of karya ilmiah karawitan utk anak-anak.pdf

  • KAJIAN GARAP KARAWITAN UNTUK ANAK-ANAK,

    (Karya Musik Gembyengan Sanggar SKI Batu)

    Oleh: S A B A R

    JURUSAN SENI KARAWITAN SEKOLAH TINGGI KESENIAN

    WILWATIKTA (STKW) SURABAYA

    2011

    ii

  • iii

    LEMBAR IDENTITAS PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN DOSEN

    1. Judul Karya : Kajian Garap Karawitan Untuk Anak-Anak (Karya Musik Gembyengan, sanggar SKI Batu) 2. Bidang Ilmu : Seni 3. Peneliti a. Nama : Sabar, M.Sn. b. Jenis Kelamin : Laki-Laki c. Pangkat/Golongan/NIK : - d. Jabatan : Asisten Ahli e. Fakultas/Jurusan : Seni Karawitan f. Sekolah Tinggi : STK Wilwatikta Surabaya 4. Biaya : Mandiri 5. Biaya yang diperlukan : Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) Perpustakaan STKWS Surabaya, 24 Maret 2011 No. Regestrasi: Mengetahui: Peneliti, Dra. Tri Rusianingsih Sabar, M.Sn.

    Lembaga LP2M STKW Surabaya

    Ketua,

    Trinil Windrowati, M.Sn. NIP. 196605191993022001

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

    rahmat dan hidayah-Nya, bahwasanya penulisan kertas penelitian karya seni berjudul

    Kajian Garap Karawitan Untuk Anak-Anak (Karya Musik Gembyengan sanggar

    SKI Batu) ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.

    Penelitian ini disajikan sebagai peningkatan karya dosen dalam wujud kajian

    terhadap sebuah karya seni berjudul Gembyengan oleg Bambang Hermanto dari

    sanggar SKI (Sanggar Karawitan Indonesia) kota Batu. Sasaran yang ingin dicapai

    lebih ditekankan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan karawitan yang

    dimainkan oleh anak serta bagaimana peningkatan volume berkesenian pada musik

    tradisi karawitan.

    Penulis menyadari bahwa kertas penelitian ini masih jauh dari sempurna.

    Oleh karenanya kritik dan saran semua pembaca diharapkan demi perkembangan di

    hari mendatang. Pada kesempatan yang berbahagia ini saya sampaikan terima kasih

    kepada sivitas akademika STK Wilwatikta Surabaya, kepada komponis karya musik

    Gembyengan serta seluruh pendukungnya semoga amal baik kinerjanya selama ini

    mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Esa. Amin.

    Surabaya, Maret 2011

    Penulis,

  • v

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL i

    HALAMAN JUDUL ii

    LEMBAR IDENTITAS PENGESAHAN iii

    KATA PENGANTAR iv

    DAFTAR ISI v

    PENDAHULUAN: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

    GAMELAN UNTUK ANAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

    TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5

    PENYAJIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

    Pemilihan Ricikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

    Rias dan Busana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11

    Setting, Sound dan Lighting . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11

    MATERI SAJIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

    ANALISIS DAN PEMBAHASAN

    Pemilihan Ricikan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17

    Pemilihan Tehnik/Garap . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20

    Pemilihan Lagu/Melodi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26

    Pola Penyajian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28

    Setting . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29

    Sound dan Lighting . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29

  • vi

    Rias dan Busana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31

    KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34

    Penutup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37

    Biodata penulis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38

  • 1.

    KAJIAN GARAP KARAWITAN UNTUK ANAK-ANAK,

    (Karya Musik Gembyengan Sanggar SKI Batu)

    PENDAHULUAN

    Gamelan yang ada sekarang ini merupakan ensambel musik yang selayaknya

    dimainkan oleh orang dewasa. Ketika kita melihat anak memainkan gamelan, maka dikatakan

    anak bermain gamelan dan bukan gamelan untuk anak. Waridi dalam makalahnya

    Pendidikan Gamelan Pada Anak-Anak & Berbagai Permasalahannya menyebutkan bahwa:

    Gamelan yang ada sekarang ini didesain untuk keperluan orang dewasa, bukan

    untuk keperluan anak-anak. Namun karena belum terdapat gamelan yang secara

    spesifik dibuat dengan ukuran yang ideal untuk keperluan anak-anak, maka dalam

    kegiatan pendidikan gamelan yang digunakan masih tetap meminjam gamelan untuk

    orang dewasa (Pendidikan Gamelan Pada Anak-Anak & Berbagai

    Permasalahannya 1995, p.12-13).

    Perhatikan seluruh ricikan yang ada pada ensambel gamelan dan perhatikan pula

    tehnik memainkannya. Kita tahu bahwa gamelan yang dikatakan milik orang dewasa tersebut

    dapat dimainkan secara enak dan fasih dengan berbagai tehnik, pathet, permainan melodi dan

    lain sebagainya. Banyak sekali ketentuan yang perlu dipahami yang hadir ketika kita

    mendalami permainan gamelan dimaksud. Bagi kita yang sudah terbiasa memainkannya,

    semua itu tidaklah menjadikan sebuah masalah, apalagi bagi seorang pakar atau senimannya.

    Bagi mereka yang belum mengenal apa itu gamelan, mungkin dengan sebuah ketekunan dan

    waktu yang cukup banyak baru dimungkinkan untuk bisa mempelajarinya.

    Kajian garap sebuah karya musik Gembyengan perlu mendapat perhatian dengan

    mengingat karya dimaksud dimungkinkan ada dan terkait dengan permasalahan anak bermain

    gamelan atau gamelan untuk anak. Kajian dilakukan dengan memperhatikan beberapa

    pendapat dari berbagai pakar guna mendapatkan hasil, atau paling tidak nilai tambah terhadap

    perkembangan dunia seni tradisi khususnya musik gamelan/karawitan dan sejauhmana anak

    mampu ikut berkiprah sebagai generasi penerus di hari mendatang. Perlu kiranya dipertajam

    tindakan apa yang harus kita lakukan kepada anak dalam kiprahnya terhadap seni tradisi

    musik gamelan, apa dan bagaimana kita sebagai pemerhati dan pecinta seni tradisi ini?.

  • 2

    GAMELAN UNTUK ANAK

    Berbicara tentang anak dalam memainkan gamelan, maka kita harus mampu

    menyelami bagaimanakah dunia anak itu. Sehingga sasaran yang hendak dicapai dalam

    sebuah kekaryaan akan terwujud. Tidak hanya tentang lagu dalam bentuk vokalnya, namun

    aransemen musiknyapun. Mengingat anak adalah harapan generasi penerus/pewaris seni

    tradisi ini, maka berkarya seni tradisi untuk anak perlu disikapi lebih serius. Apa yang kita

    berikan pada anak?

    Layak dan mampukah anak memainkan seluruh ricikan yang ada?. Mampukah anak

    memainkan gender, gambang, siter, rebab atau kendang?. Jawabnya tentu tidak. Ricikan yang

    ada pada ensambel gamelan (musik tradisi karawitan) sekarang ini tidak semuanya dapat

    dimainkan oleh anak. Hal ini menurut Suroso merupakan salah satu penyebab kurang

    berkembangnya karawitan/gamelan pada kaum remaja (ibid, p.13).

    Keterbatasan kemampuan dan kondisi sarana yang ada yang belum sesuai dengan anak

    cukup menghambat kemauan anak dalam menggeluti dunia karawitan (gamelan). Secara

    umum dikatakan bahwa anak tidak mampu bermain pada seluruh ricikan gamelan tersebut.

    Namun demikian apabila terdapat anak yang mampu memainkan salah satu ricikan yang

    dipandang milik orang dewasa tersebut, maka anak tersebut tergolong memiliki

    kemampuan/kemahiran lebih. Kita tidak seharusnya memaksakan kehendak, akan tetapi bila

    anak mampu menjangkau layaknya kemampuan orang dewasa tentu kita bimbing dengan

    sebatas kemampuannya.

    Kita harus mampu memilah-milahkan, mana ricikan atau pola-pola bermain gamelan

    yang bisa dilakukan dan bisa disajikan oleh anak dan mana yang tidak. Upaya tersebut

    amatlah penting. Kita seharusnya pula lebih bijak mengatakan bahwa memang gamelan bukan

    milik anak, akan tetapi bukan berarti anak tidak boleh memainkannya karena gamelan

    merupakan musik tradisi milik kita yang perlu tetap dilestarikan termasuk kehadiran anak

    sebagai generasi penerusnya.

    Tehnik-tehnik yang dihadirkan, pemilihan alat dan sebagainya di dalam berkarya

    karawitan untuk anak perlu disesuaikan dengan kemampuan anak. Waridi menyebutkan:

    Kiranya telah kita ketahui bersama bahwa di era modern saat ini, segala sesuatu

    dapat berjalan dengan baik apabila ditangani oleh orang-orang yang professional

    dalam bidangnya. Guru/pelatih gamelan anak-anak yang memiliki

    kemampuan seperti tersebut di atas akan dapat membawa peserta didiknya kepada

    situasi belajar karawitan yang dinamis. Artinya ia akan selalu memilih dan mengolah

  • 3

    materi yang akan diberikan, dengan pertimbangan kesesuaiannya terhadap karakter

    anak dan situasi jamannya. (ibid, p.14).

    Memanfaatkan gamelan yang sudah ada dengan mempertimbangkan batas-batas

    kemampuan anak selayaknya pula disertai sebuah pemikiran bagaimana anak mampu dan

    mau berkiprah lebih lanjut dalam bermain gamelan. Perlu dimunculkan sebuah karya dengan

    warna, suasana segar dan tidak membosankan yang akan dituangkan pada ide garap dengan

    menitikberatkan pada pemilihan materi, pemilihan instrumen/ricikan, termasuk pula di

    dalamnya pemilihan rias dan busana. Kesemuanya diharapkan memiliki nuansa tidak

    membosankan bagi anak sehingga sebuah kekaryaan masih dirasakan amat diperlukan,

    kapanpun dan dimanapun (dalam even apapun). Hasrat dan kemauan menyajikan suasana

    segar dalam sebuah kekaryaan dengan harapan anak mencintai dan tetap mau berkiprah dalam

    dunia seni tradisi (gamelan) karawitan serta sesuai dengan perkembangan usia dan jamannya.

    Kemampuan anak dalam berolah vokal, bermain musik dan bagaimana reaksi anak

    terhadap materi yang diberikan perlu diperhatikan pula tentang luas wilayah nada, untaian

    nada, daya imajinasi, pikiran dan tingkah laku; serta menggunakan kalimat yang baik sesuai

    dengan kaidah kebahasan. Begitu pula pemikiran tentang pengemasan rias busana yang

    selayaknya dimanfaatkan mode-mode yang sesuai dengan karakter anak. Contoh, dalam hal

    ini anak tidak harus mengikuti jejak orang tua yang harus menggunakan beskap, blangkon dan

    lain-lain, serta tidak menjejali rias anak yang harus menggunakan kumis tambahan seakan-

    akan mereka sudah dewasa. Biarkan mereka tampak keluguannya dan tidak mengada-ada.

    (kecuali upaya pelestarian busana tradisi Jawa). Keterkaitannya dengan anak dimaksud

    menurut Rahayu Supanggah dalam makalahnya Ngamen: Musik Anak Sekarang?:

    Dunia anak adalah dunia di mana dan saat kapan kita semestinya dapat meletakkan

    landasan yang kuat untuk terwujudnya generasi masa depan yang ideal: untuk itulah

    idealnya kepada anak-anak diberikan kesempatan untuk berkembang seluas-

    luasnya(Makalah, Ngamen: Musik Anak Sekarang?, sarasehan Festival Nasional

    Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian, DEPDIKNAS, di Jakarta, 3-7

    September 2000.p.3)

    A.T. Mahmud dalam sarasehannya tentang Fungsi dan Nyanyian Anak-Anak, menyebutkan :

    Seyogyanya nyanyian anak-anak memperhatikan segi formal teknis dan segi

    pedagogis.

  • 4

    1. Segi formal teknis.

    Nyanyian seyogyanya memperhatikan, antara lain yang berhubungan dengan:

    a. Luas wilayah nada lagu yang sesuai dengan kemampuan alat suara anak

    menurut pertumbuhan dan perkembangannya.

    b. Untaian nada dengan interval yang secara wajar dapat dinyanyikan oleh anak,

    sesuai dengan perolehan pengalaman musiknya.

    2. Segi pedagogis.

    Gagasan, pesan, tema nyanyian pada umumnya antara lain hendaknya:

    a. Dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreatifitas anak.

    b. Dapat mempengaruhi pengembangan pikiran dan tingkah laku, budi pekerti

    anak.

    c. Tersusun dalam bentuk-bentuk kalimat yang baik sesuai dengan kaidah

    kebahasan. (A.T. Mahmud,Fungsi dan Nyanyian Anak-Anak. Makalah

    Sarasehan Festival Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian, Jakarta,3-

    7September 2000, p.2-3.)

    Dari beberapa uraian di atas, maka kiranya dapat dikatakan bahwa permasalahan

    kajian garap karawitan untuk anak-anak pada karya musik Gembyengan oleh sanggar SKI

    Batu kali ini adalah terletak pada beberapa pikiran-pikiran dasar yang meliputi:

    1. Tentang pemilihan ricikan. Sebuah karya musik yang berjudul Gembyengan disajikan dengan beberapa ricikan

    gamelan serta dengan beberapa pertimbangan, tentu saja dimungkinkan terkait dengan

    permasalahan anak.

    2. Tentang pemilihan teknik/pola garap. Sejauh mana tehnik/pola garap yang disajikan pada karya dimaksud dan lebih rinci lagi

    pada tehnik masing-masing ricikan yang disajikan.

    3. Tentang pemilihan lagu/melodi. Bagaimana lagu/melodi sajiannya, termasuk tingkat faktor kesulitan yang dapat dijangkau

    oleh anak.

  • 5

    4. Unsur-unsur lain yang mempengaruhi sebuah sajian karawitan (pola penyajian, setting, sound, lighting, dan rias busana).

    Tidak kalah pentingnya permasalahan penyajian, setting, sound, lighting dan rias busana

    yang menopang di dalam membangun keberhasilan karya musik dimaksud.

    Ke kempat permasalahan tersebut di atas diharapkan mampu mewakili bahan sebagai

    kajian masalah karya musik Gembyengan dalam perspekstif karawitan anak.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pola penelitian yang bersumber dari sebuah kekaryaan ini menyangkut permasalahan

    dunia anak, yang menjelaskan tentang bagaimana anak bermain gamelan. Rincian

    permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas yaitu antara lain meliputi: pemilihan

    instrument, pemilihan teknik, pemilihan materi lagu/melodi dan unsur-unsur lain yang

    mempengaruhi sebuah sajian karawitan (setting, sound, lighting, dan rias busana). Oleh

    karenanya pada kesempatan ini penulis merujuk pada beberapa tulisan yang juga sedikit

    banyak telah penulis sajikan pada kupasan di atas untuk membahas permasalahan sajian karya

    musik yang berjudul gembyengan oleh sanggar SKI Batu. Beberapa tulisan dimaksud

    antara lain sebagai berikut:

    1. DR. Rahayu Supanggah:

    Dunia anak adalah dunia yang semestinya penuh dengan keceriaan, fantasi dan

    imajinasi, yaitu dunia bermain yang penuh harapan.

    Menurut DR. Rahayu Supanggah dalam makalahnya Ngamen: Musik Anak

    Sekarang?:

    Dunia anak adalah dunia di mana dan saat kapan kita semestinya dapat

    meletakan landasan yang kuat untuk terwujudnya generasi masa depan yang

    ideal: untuk itulah idealnya kepada anak-anak diberikan kesempatan untuk

    berkembang seluas-luasnya. (Makalah, Ngamen: Musik Anak Sekarang?,

    sarasehan Festival Nasional Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian,

    DEPDIKNAS, di Jakarta, 3-7 September 2000.p.3) .

  • 6

    2. A.T Mahmud:

    Dalam sarasehannya menyebutkan :

    Seyogyanya nyanyian anak-anak memperhatikan segi formal teknis dan segi

    pedagogis.

    1). Segi formal teknis.

    Nyanyian seyogyanya memperhatikan, antara lain yang berhubungan dengan:

    a. Luas wilayah nada lagu yang sesuai dengan kemampuan alat suara anak

    menurut pertumbuhan dan perkembangannya.

    b. Untaian nada dengan imterval yang secara wajar dapat dinyanyikan oleh

    anak, sesuai dengan perolehan pengalaman musiknya.

    2). Segi pedagogis.

    Gagasan, pesan, tema nyanyian pada umumnya antara lainnya hendaknya:

    a. Dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreatifitas anak.

    b. Dapat mempengaruhi pengembangan pikiran dan tingkah laku, budi pekerti

    anak.

    c. Tersusun dalam bentuk-bentuk kalimat yang baik sesuai dengan kaidah

    kebahasan (A.T. Mahmud,Fungsi dan Nyanyian Anak-Anak. Makalah

    Sarasehan Festival Musik Tradisi Nusantara, Direktorat Kesenian, Jakarta,3-

    7September 2000, p.2-3.)

    3. Dieter Mark: Sering kami ditanya.metode manakah yang paling benar untuk mengajar

    anak-anak?, dan kami hanya bisa menjawab,tidak ada metode yang

    mutlak, kecuali keyakinan bahwa tujuan utama adalah mengembangkan

    semacam kompetensi musikal yang paling luas, baik melalui proses

    apresiatif maupun melalui proses kreatif.

  • 7

    4. Suka Harjana:

    Dunia musik (baca: karawitan) anak-anak sebaiknya dibersihkan dari konsepsi-

    konsepsi, faham-faham dan muatan-muatan besar, agar mereka dapat kembali ke

    alam dan dunia mereka sendiri, yaitu bermain dalam dunia permainan

    (makalah:Permasalahan Komposisi Karawitan untuk Anak-Anak, Suka Hardjana,

    1995 p.3-4)

    5. Waridi:

    Waridi dalam makalahnya menyebutkan bahwa:

    Gamelan yang ada sekarang ini didesain untuk keperluan orang dewasa, bukan

    untuk keperluan anak-anak. Namun karena belum terdapat gamelan yang secara

    spesifik dibuat dengan ukuran yang ideal untuk keperluan anak-anak, maka dalam

    kegiatan pendidikan gamelan yang digunakan masih tetap meminjam gamelan untuk

    orang dewasa (Pendidikan Gamelan Pada Anak-Anak & Berbagai

    Permasalahannya 1995 p.12-13)

    Hal ini menurut Suroso merupakan salah satu penyebab kurang berkembangnya

    karawitan/gamelan pada kaum remaja (ibid, p.13).

    Kiranya telah kita ketahui bersama bahwa di era modern saat ini, segala sesuatu

    dapat berjalan dengan baik apabila ditangani oleh orang-orang yang professional

    dalam bidangnya. Guru/pelatih gamelan anak-anak yang memiliki

    kemampuan seperti tersebut di atas akan dapat membawa peserta didiknya kepada

    situasi belajar karawitan yang dinamis. Artinya ia akan selalu memilih dan mengolah

    materi yang akan diberikan, dengan pertimbangan kesesuaiannya terhadap karakter

    anak dan situasi jamannya. (ibid p.14).

  • 8

    PENYAJIAN

    Karya musik berjudul Gembyengan adalah sebuah karya musik yang dimainkan

    oleh anak-anak. Sekumpulan anak yang bernaung di dalam wadah sebuah sanggar seni yang

    menamakan dirinya Sanggar SKI (Sanggar Karawitan Indonesia) tepatnya beralamatkan di Jl.

    Hasanudin I no. 17 Pesanggrahan kota Batu di bawah pimpinan Bambang Hermanto. Anak-

    anak tersebut terdiri dari anak sekolah dasar, sekolah menengah dan sekolah tingkat atas

    (SLTA). Walau ada yang tergolong remaja atau dewasa, namun anak-anak ini berangkat dari

    ketidaktahuan tentang permasalahan gamelan (wawancara: Bambang Hermanto, Januari

    2011), oleh karenanya pada kajian dan bahasannya nanti masih mengacu pada permasalahan

    dunia anak. Berangkat dari sebuah pemikiran senang, semangat juang dan kebersamaan yang

    tinggi akhirnya terbentuklah karya musik ini.

    Menurut sang komponis, karya Gembyengan diambil dari kata gembyng dalam

    bahasa sehari-hari masyarakat setempat mengandung makna ramai. Sudah layak dan wajar

    jika anak-anak berkumpul sering timbul sebuah kegaduhan atau paling tidak sebuah

    keramaian baik itu canda gurau, ramai dalam bermain atau sejenisnya. Secara musikal

    gembyengan mengandung makna byng-byngan atau tetabuhan yang tidak begitu tertata rapi

    (asal bunyi). Berikutnya permasalahan penyajian materi kekaryaan berjudul Gembyengan

    antara lain meliputi: pemilihan ricikan, penuangan rias dan busana, setting, sound dan

    lighting, serta sajian transkrip materi gending-gending berupa notasi yang dikemas dalam

    istilah materi sajian.

    Pemilihan Ricikan.

    Ricikan pada karya musik Gembyengan ini adalah menggunakan gamelan Jawa

    yang sedikit dimodifikasi dengan menggunakan laras Pelog dan hanya memanfaatkan 6

    ricikan dari ricikan gamelan yang ada yaitu:

  • 1. Gong/kempul 4. Bonang,

    2. Demung, 5. Bass Drum,

    3. Saron, 6. Patrol/kenthongan.

    Gambar ricikan

    Gambar 1: gong, kempul Foto: Sab, 10-11-2011

    Keterangan (Gambar 1) : Seperangkat gong yang terdiri dari 1 gong suwuk dan 2 kempul.

    Gong suwuk bernada 1 (ji) dan kempul dengan nada 5 (lima) dan 6

    (nem).

    Gambar 2: Demung Foto: Sab, 10-11-2011

    Keterangan (Gambar 2): Demung terdiri dari 2 buah dengan tehnik adakalanya menggunakan

    1 tabuh dan adakalanya dengan 2 tabuh (tangan kanan dan kiri).

    Ricikan Demung dibuat dengan rancakan rendah.

    9

  • Gambar 3: Saron

    Foto: Sab, 10-11-2011

    Keterangan (Gambar 3): Saron disajikan 4 buah dengan tehnik sama dengan demung yaitu

    dengan menggunakan tabuh masing-masing 2 buah yaitu

    disajikan/ditabuh dengan menggunakan tangan kanan dan tangan

    kiri. Ricikan Saron dibuat dengan rancakan rendah pula.

    Keterangan (Gambar 4):

    Ricikan Bonang 1 buah yang terdiri

    dari 6 pencon dengan nada ji, ro,

    lu, pat, ma dan nem.

    Gambar 4: Bonang

    Foto: Sab, 10-11-2011

    Gambar 5: Bass Drum/bedug Foto: Sab, 10-11-2011

    Keterangan (Gambar 5):

    Alat musik ini diambil dari sebagian dari

    alat musik drum (kelompok musik diatonis)

    yaitu bagian bedugnya untuk difungsikan

    sebagai pengganti kendang.

    10

  • Gambar 6: Kenthongan Foto: Sab, 10-11-2011

    Keterangan (Gambar 6): Ricikan kenthongan disajikan 4 buah dan dibunyikan dengan

    menggunakan 2 buah tangan kanan dan kiri. Kenthongan diberikan

    sandaran agar bisa berdiri dan tidak dipegang oleh si penabuh.

    Rias dan Busana

    Busana disajikan dengan mengenakan atas

    seragam batik yang terbagai dalam 2 warna, sedang

    bawah menggunakan warna merah kecoklatan

    identik dengan seragam sekolah, dan tampak jelas

    rias yang disajikan dengan menggunakan rias

    cantik dan tampan. Gambar 7: Busana dan penyajiannya

    Foto: Sab, 10-11-2011

    Setting, Sound dan Lighting

    Setting.

    Setting dimaksudkan disini adalah masalah letak posisi gamelan di atas panggung.

    Gamelan diposisikan tidak jauh berbeda dengan sajian pertunjukan seni karawitan pada

    umumnya, hanya saja jarak ricikan yang satu dengan yang lain agak diperlebar dengan

    11

  • mengingat lokasi gamelan cukup luas. Lebih tepatnya berikut digambarkan posisinya sebagai

    berikut:

    1.

    6 5 6

    12

    3 3 3 6 3 6 2 4 2

    Keterangan:

    1. Gong suwuk dan 2 kempul 4. Bonang

    2. Demung 5. Bass Drum

    3. Saron 6. Kenthongan

    Sound dan Lighting

    Pada pergelaran karya Gembyengan tidak menggunakan sarana sound, sedangkan

    lighting/lampu hanya disajikan lampu panggung/pendapa yang pada kesempatan ini

    dipergelarkan di Pendapa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, dan

    dengan menggunakan sajian lampu yang ada di pendapa yaitu kondisi cukup terang. Pada

    pergelaran ini tidak disediakan penerangan khusus untuk garap sajian pertunjukannya.

    MATERI SAJIAN.

    Pada sub bab ini disajikan uraian materi yang terkait dengan notasi/transkrip

    sajiannya, sekaligus penjelasan tentang garap/tehnik sajian yaitu notasi karya Gembyengan

  • 13

    dengan menggunakan gamelan laras Pelog. Di dalam transkrip materi sajian ini, disajikan

    dengan pengelompokan nomor-nomor, dan disajikan pula beberapa simbol-simbol seperti:

    Dm : Demung ( ) : Gong

    Sr : Saron // . // : Tanda Pengulangan

    V : Kempul

    Secara beurutan berikut disajikan notasi dari materi sajian karya musik berjudul

    Gembyengan:

    1. Gong Titir (dengung)/menggema (lirih).

    // 0 0 0 0 0 0 0 0 //

    t t tb t (1)

    - - - (1) v // - 5 1 - 5 1 - 5 1 - 5 1 5 3 2 (1) - 5 1 - 5 1 - 5 1 - 5 1 5 3 2 (1) v 1 1 1 1 1 2 3 5 //

    - t b - t b - t b - t b t t t b

    - t b - t b - t b - t b t t t b

    b b b b b t t b

    2. Saron (thinthilan)

    - - - (1) v v // 2 3 5 - 3 - 6 - 5 - 3 - 5 3 2 (1)//4x - - - b

    // b t b - t - b - t - b - t b t b //4x

  • 14

    3. Sulukan, Gong Titir (dengung)/menggema (lirih).

    3 5 6 6 6 6 6 6 6 5 3 3 5 6 A -mrih u - rip bi - sa ne-mo -ni ra ha yu 1 1 1 1 1 1 2 3 3 2 2 2 1 2 1 A - ja kendhat nggegulang nan-dur cip - ta u - ta ma 5 6 1 1 1 6 6 6 6 5 5 5 3 5 6 Sa-jro-ning a - ti sa-nu- ba -ri ki -ta si nar tan 1 1 1 1 1 1 2 3 3 2 2 1 Pa- nyu- wu-nan kang man-teb ma-rang Gus-ti 2 3 3 3 3 4 Kang Ma- ha A - sih 4 4 4 4 4 4 4 5 6 5 5 5 3 5 632 U - gi pi- na ri-ngan nu gra - ha bi- sa ndar-be-ni 2 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2 3 5 6 A - ti kang we -ning lan ji - wa kang pa - ling u ta -ma

    4. Saron.

    - - - - - - 6 (6) v // 5 3 6 5 3 6 5 3 6 5 3 6 5 3 5 (5) 3 2 5 3 2 5 3 2 5 3 2 5 3 2 3 (3) 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 3 1 3 2 1 (1) 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 6 (6)/2x Ket: (ditabuh dengan tangan kanan dua nada, tangan kiri satu nada)

    5. Saron Lamba.

    x - x 5 6 v v // 3 5 6 3 5 6 5 2 3 5 2 x - x 5 (6)//2x Ket: x ditabuh nada 3 dan 6 bersama dengan pengganti jng-jng.

  • 6. Saron Krucil v v // 3 5 6 3 5 6 5 2 3 5 2 3 2 3 5 (6)//2x Ket: saron thinthilan/krucil.

    7. Vokal: v v v v // - 1 2 1 - 1 2 3 (5) - 5 5 5 3 5 3 2 (1) a e o - a e o a a e a o a e a o

    Ket: saron mengikuti, 2x biasa, 2x thinthilan

    - - b -

    // - t b -b b t t b //

    8. Demung/Bonang/Saron: v v Dm: // 5 3 5 - 5 3 5 (-) 5 3 5 - 5 3 5 (-) // Bb: // 5 2 3 3 5 - 5 2 3 3 5 (1) // Sr: // - - -23 5 - - -32 1 // 9. SULUK :

    // - 5 5 6 5 3 6 5 // Ma-nungsa a- me-mu- ji Pocapan: ( saron tetap ditabuh dibarengi dengan suluk selama pocapan) Pancen ora gampang wong ngudi bisane kasinungan cipta utama

    Ngelingi menawa manungsa mono wis nyandang sipat apes lan lali

    Banjur gumregah maneh pengudine dene ora kendhat ing panglantihe

    Manteba ing keyakinan yen Gusti Allah bakal ngudaneni penyuwunan kita.

    15

  • 10. Saron.

    - - - (1) v v // 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 3 - 2 (1)//2x Ket: ditabuh tidak thinthilan dengan 2 tangan.

    11. Krucilan.

    - - - - - - - (1) v v // 2 3 2 3 3 2 3 2 5 5 3 5 5 3 2 (1)//4x Ket: ditabuh thinthilan.

    12. Krucilan Pelan. v v // 6 6 5 6 6 3 6 5 3 6 5 3 5 3 2 (1)//2x

    13. Patrol. // x x xx -x xx x b b // . .. - - - -x xb bx xb bb -b -b bb b 2 3 5 .5x 3 5 6 .5x 5 3 2 .5x 7 6 5 .5x

    14. Bonang/Saron: v v -Bb: // 3 2 3 5 3 2 3 (-) // -Sr: // 3 2 3 5 3 2 3 - //

    -Bb: // 5 2 3 5 2 3 5 2 3 5 3 5 2 3 - //

    -Sr: // 3 5 5 2 - 2 - 2 5 5 3 //

    -Bb: // 3 2 3 3 2 3 3 2 3 3 2 3 2 3 2 3 // 4X

    16

  • 15. Demung tunggal. v v v v // 2 3 1 2 3 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3 (3) 5 6 3 5 6 5 6 3 5 6 3 5 6 5 6 (1)//2x

    Saron thinthilan.

    2 3 1 2 3 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3 3

    5 6 3 5 6 5 6 3 5 6 3 5 6 5 6 1

    Lagu:

    Yo ayo kanca

    Ayo melu aku

    padha joget bebarengan

    16. Jeng-Jeng. // x x xx -x -x x x x // v v // 3 1 32 - 3 2 3 1 3 1 32 - - - - (1) // lamba dan krucil

    ANALISIS DAN PEMBAHASAN.

    Pemilihan Ricikan

    Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa karya musik Gembyengan ini hanya

    menggunakan ricikan bonang, gong kempul, demung, saron, drum dan kenthongan. Pada

    ricikan bonang hanya digunakan 6 bilah pencon yang terdiri dari nada ji, ro, lu, pat, ma dan

    nem. Dilihat dari format/posisi rancakannya tampak dibuat beda dengan rancakan bonang

    pada umumnya. Hal ini menunjukan bahwa kondisi bonang dimaksud tampak lebih mudah

    dapat dijangkau oleh anak sekalipun anak se usia sekolah dasar. Kondisi demikian tidak

    17

  • 18

    berbeda dengan pemanfaatan ricikan gong dan kempul yang hanya menggunakan 1 gong

    suwuk dan 2 kempul, perhatikan jangkauan anak dalam memainkan ricikan gong, kempul

    dimaksud. Tampak mereka lebih leluasa dibanding jika anak memainkan ricikan gong kempul

    orang dewasa. Ricikan demung dan saron dibuat dengan rancakan level rendah yang berbeda

    dengan demung/saron milik orang dewasa. Kondisi inipun penulis rasakan berpengaruh dan

    lebih mudah/luwes bagi anak dalam tehnik menabuh ricikan dimaksud.

    Tampak dalam sajian karya musik ini drum/bedug berfungsi sebagai pengganti

    kendang dalam menuntun jalannya irama (pamurba irama). Drum/bedug disertai keprak

    memberikan aksen-aksen dan juga berperan sebagai pamurba irama, hanya saja kali ini drum

    masih dipegang oleh sang komponis (orang dewasa). Apakah anak tidak mampu memainkan

    ricikan dimaksud?. Dilihat dari tehnik memainkan dan materi yang disajikannya, penulis

    merasakan bahwa tidak ada alasan bagi anak untuk tidak bisa memerankannya. Hal ini

    dimungkinkan terdapat faktor lain yang menghambatnya. Dilihat dari tujuan ricikan drum di

    dalam menggantikan fungsi ricikan kendang, tentu saja pijakan utama adalah agar anak

    mampu memainkannya. Berbeda apabila anak dipaksakan memainkan ricikan kendang seperti

    halnya kendang yang dimainkan oleh orang dewasa, dimungkinkan terlalu berat dengan

    skill/kemampuan yang dimiliki oleh anak. Kondisi ini akan lebih tampak dengan tidak

    disajikannya ricikan-ricikan berat lainnya seperti gender, siter, gambang, seruling, rebab dan

    sebagainya. Kehadiran pemusik orang dewasa disini menunjukkan kelemahan tentang

    perspektif karya musik Gembyengan sebagai salah satu musik karawitan untuk anak.

    Pemilihan kenthongan sebagai salah satu ricikan gamelan pada sajian karya musik

    Gembyengan ini tampak hanyalah memberikan warna bunyi yang berbeda dari ricikan

    lainnya. Semua anak mengenal dan paham akan kenthongan, apalagi dalam menyajikan

    ricikan pada karya ini tidak begitu diperhatikan permasalahan nada yang dihasilkan.

    Perhatikan pula letak kenthongan yang diberi sejenis rancakan, sehingga anak lebih mudah

  • 19

    menyajikannya. Upaya memilih ricikan kenthongan tersebut tergolong tindakan yang bijak

    dalam menempatkan posisi anak yang baru mengenal gamelan.

    Kita tengok kembali bahwasanya ricikan yang ada pada gamelan Jawa pada umumnya

    terdiri dari: gong-kempul, demung, saron, peking, slenthem, bonang babok/barung, bonang

    penerus, kenong, kethuk kempyang, kemanak, kendang, gender, gambang, siter, rebab, dan

    seruling. Kenapa karya musik Gembyengan tidak menggunakan semua ricikan yang ada

    pada gamelan?.

    Di lihat dari upaya pemilihan ricikan gamelan yang dimainkan pada kekaryaan musik

    yang berjudul Gembyengan ini yang hanya memilih dan menggunakan 6 ricikan tersebut di

    atas, maka tampak bahwa pemilihan ricikan dimaksud mengarah pada permasalahan agar

    anak mampu menjangkau atau mampu memainkan ricikan yang ada. Tampak dari

    upaya pengemasan bentuk ricikan dan pemilihan ricikan disesuaikan berdasarkan

    skill/kemampuan anak. Pemilihan ricikan dengan upaya memodifikasi bentuk/wujud seperti

    pada gong/kempul, bonang tersebut agar anak mampu menjangkau/memainkan ricikan

    dimaksud tampak adanya upaya pendekatan/pembentukan ensamble baru. Tindakan ini

    menunjukkan suatu harapan akan hadirnya gamelan spesifik untuk anak. Berikut

    rincian ricikan dengan modifikasinya:

    Modifikasi ricikan:

    Ricikan Kondisi Ket: Bonang Berubah Adanya upaya perubahan pada format

    rancakan/letak posisi nada-nadanya, sehingga anak lebih mudah menjangkau dari pencon yang satu ke pencon lainnya.

    Demung Berubah Adanya upaya perubahan dengan posisi rancakan yag tampak lebih rendah, sehingga lebih mudah dalam menabuh ricikan dimaksud.

    Saron Berubah Kondisinya tidak jauh berbeda dengan demung, yaitu adanya upaya perubahan dengan posisi rancakan yag tampak lebih rendah, sehingga lebih mudah dalam menabuh ricikan dimaksud.

  • 20

    Gong-kempul Berubah Adanya upaya perubahan dari jumlah kempul

    yang biasa berjumlah lebih kurang 9 hanya menjadi 3 yaitu 1 buah gong suwuk dan 2 kempul. Jangkauan anak dalam memainkan ricikan lebih mudah/dekat.

    Drum Tetap Kondisi tetap, hanya saja upaya mencari warna suara yang lebih keras/menggema dengan upaya meletakkan posisinya untuk lebih mudah disajikan.

    Kenthongan Berubah Upaya memberikan rancakan agar lebih mudah dimainkan oleh anak. Kenthongan biasanya ditabuh dengan tehnik tangan kiri memegang, tangan kanan memukul. Namun kali ini kedua tangan bisa memukul kenthongan dimaksud karena posisinya berada dibawah dengan dibuatkannya standar untuk memangku ricikan tersebut.

    Pemilihan Teknik/Garap.

    Seperti disebutkan di atas bahwa tidak dipilihnya gender, siter, gambang, kendang dan

    rebab atas dasar dengan pertimbangan skill/kemampuan anak. Dilihat dari tehnik atau pola

    permainan dari ricikan tersebut memang sangatlah sulit bila dimainkan oleh seorang anak,

    walaupun sebenarnya masih dimungkinkan untuk memainkan beberapa alat musik dimaksud

    dengan memikirkan kembali tentang tehnik atau pola garap memainkannya dan selama tidak

    dituntut adanya tehnik/pola garap pada materi yang sudah ada. Seperti yang pernah penulis

    lakukan dengan menggunakan siter yang dimainkan identik dengan pola tabuhan ricikan

    bonang barung dan bonang penerus dalam gaya Jawa Timuran, misalnya anak hanya memetik

    siter dengan nada 5 (ma) dan 6 (nem) yaitu dengan pola: // 5 6 5 - 5 6 5 - //.

    Pemilihan bonang, gong dan kempul tersebut di atas disertai modifikasi bentuk dan

    jumlah bilahan/pencon. Tentu yang dilakukan disertai dengan pola tehnik yang berbeda

    dengan pola garap yang sudah ada, misalnya tidak adanya jalinan antara bonang barung

    dengan bonang penerus layaknya pada garap karawitan gaya JawaTimuran ataupun gaya

  • 21

    Surakarta yang biasa dimainkan oleh orang dewasa. Sebagai contoh pola tabuhan yang

    dimainkan pada ricikan bonang:

    // - 5 2 3 3 5 - - - 5 2 3 3 5 - 1 //

    Contoh lain:

    -Bb: // 3 2 3 5 3 2 3 - // -Bb: // 5 2 3 5 2 3 5 2 3 5 3 5 2 3 - // -Bb: // 3 2 3 3 2 3 3 2 3 3 2 3 2 3 2 3 //

    Dari beberapa contoh tehnik/pola tabuhan bonang di atas tampak bahwa materi sajian

    bonang dengan menggunakan pola-pola melodis dan bukan metris, yaitu kecenderungan

    disajikan dengan menggunakan melodi-melodi panjang (ngracik) layaknya melodi

    saron/demung dan tampak hanya adanya jalinan dengan saron/demung yang bersangkutan.

    Tindakan yang kurang bijak dari sang komponis adalah terletak pada ricikan bonang yang

    dirangkap oleh pemain saron. Menurut penulis akan sangat menguntungkan jika ricikan

    dimaksud disajikan oleh anak yang berbeda (tidak merangkap), dengan demikian masih

    dimungkinkan adanya pola interaksi/jalinan yang lebih rapat dan fungsi bonang tidak sekedar

    memberikan warna bunyi semata. (Pada saat ini bonang sering tidak disajikan ketika si

    pemusik harus menyajikan/menabuh saronnya). Fungsi garap bonang tampak lebih sedikit

    dalam memberikan jalinan/interaksi dengan ricikan yang lain, dan yang tampak hanya lebih

    memberikan kekuatan atau tambahan volume pada melodi sajiannya.

    Pada sajian garap gong dan kempul-pun tidak tampak membentuk sebuah struktur

    bentuk yang lazim disajikan oleh orang dewasa, misalnya bentuk lancaran, ketawang, sak

    cokro, sak giro dan lain-lain. Garap kempul dan gong pada karya Gembyengan ini tampak

    sejenis dengan pola dangdutan atau masing-masing cenderung dalam satu gongan hanya

    terdiri dari 2 kempul, dengan demikian lebih sesuai dengan kondisi anak yang baru mengenal

    gamelan.

  • 22

    Perhatikan beberapa contoh materi berikut:

    v v No.1 // 2 3 5 - 3 - 6 - 5 - 3 - 5 3 2 (1) //4x

    v v No.5 // 3 5 6 3 5 6 5 2 3 5 2 x - x 5 (6) //2x v v No.11//3 2 3 5 3 2 3 (-) //

    Melihat kesederhanaan garap kempul, gong dan bonang tersebut menunjukkan

    langkah positif di dalam menunjang keberhasilan agar anak mau dan mampu

    berkarawitan. Langkah tersebut tidak jauh berbeda dengan diterapkannya pola tabuhan pada

    ricikan bedhug/drum dan kenthongan yang juga tampak lebih sederhana. Kesederhanaan

    dalam memainkan kenthongan sebagai salah satu musik perkusi sangat wajar dimainkan oleh

    anak. Kenthongan disajikan hanya memberikan aksen-aksen tambahan dan lebih tampak

    hanya memberikan warna bunyi yang berbeda dengan ricikan lainnya. Ricikan ini hanya

    dihadirkan pada sebagian kecil dari seluruh desain yang disajikan. Sedangkan bedhug/drum

    sangat kecil perannya jika dikatakan sebagai pengganti kendang, karena pada sajian ini

    bedhug lebih berperan memberikan volume atau menyertai pola garap balungan, memberikan

    aksen-aksen tambahan dalam memperkuat/mempertebal volume dari melodi yang dihadirkan.

    Seperti pada contoh sajiannya sebagai berikut (bedug dan saron):

    // - 5 1 - 5 1 - 5 1 - 5 1 5 3 2 1 - t b - t b - t b - t b t t t b - 5 1 - 5 1 - 5 1 - 5 1 5 3 2 1 - t b - t b - t b - t b t t t b 1 1 1 1 1 2 3 5 b b b b b t t b //

    Tehnik yang dimainkan pada ricikan bonang, gong-kempul, drum/bedug dan kenthongan

    tergolong tehnik yang mudah dan wajar bisa dimainkan oleh anak. Pemanfaatan pola tehnik

    yang diberikan pada anak terkait dengan ricikan tersebut menunjukkan suatu keberhasilan.

  • 23

    Pengolahan tehnik dimaksud tergolong upaya penanganan dalam kategori professional,

    sejalan dengan pendapat Waridi:

    Kiranya telah kita ketahui bersama bahwa di era modern saat ini, segala sesuatu

    dapat berjalan dengan baik apabila ditangani oleh orang-orang yang professional

    dalam bidangnya..

    Faktor kesulitan dalam memainkan ricikan pada karya musik Gembyengan tampak lebih

    sederhana bila dibanding dengan pola tehnik/garap sajian karawitan yang dimainkan oleh

    orang dewasa. Hal ini tampak sekali pada pola/tehnik yang disajikan oleh ricikan gong-

    kempul, bonang, drum dan kenthongan.

    Terdapat pula beberapa pola/tehnik pada sajian karya ini yang menurut penulis cukup

    unik dan menarik, yaitu pada ricikan demung/saron. Ricikan saron/demung disajikan/ditabuh

    dengan menggunakan dua tangan yaitu tangan kanan dan kiri dengan menggunakan tabuh

    kecil sejenis tabuh karawitan Bali atau Banyuwangi. Ditabuh tanpa dipithet layaknya

    menabuh balungan oleh orang dewasa, termasuk didalamnya dalam tehnik menabuh

    kinthilan/thinthilan. Tindakan menabuh tanpa memanfaatkan tehnik pithetan tentu saja

    dirasakan adanya pertimbangan di dalam memodifikasi ricikan demung atau saron yang

    digunakan. Bunyi/suara yang dihasilkan tidak terlalu menggema sehingga tidak mengurangi

    harmonisasi bunyi yang diharapkan. Untuk pola thinthilan disajikan dengan satu anak

    melakukan sendiri dengan hanya memanfaatkan tangan kanan dan tangan kirinya.

    Tehnik/pola thinthilan ini lebih mendominasi garap yang ada pada materi sajian

    Gembyengan. Pada bagian yang tidak dengan pola thinthilan, disajikan dengan

    menggunakan dua tangan pula. Baik pada pola thinthilan ataupun tidak dirasakan anak lebih

    mampu dan lebih luwes dalam menyajikannya.

  • 24

    Perhatikan contoh pada bagian yang tidak thinthilan tetapi tetap menggunakan 2 tangan,

    sebagai berikut:

    // 6 5 3 6 5 3 6 5 3 6 5 3 5 5 3 2

    5 3 2 5 3 2 5 3 2 5 3 2 3 3 2 1

    3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 1 1 2 3

    1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 6 6 5 3 //

    Ket: - notasi bergaris bawah dengan tangan kanan

    - tidak bergaris bawah dengan tangan kiri

    (perhatikan pula arah nada berdasarkan rangkaian nada-nada yang ada pada

    bilahan: 1,2,3,4,5,6,7)

    Tehnik yang dimainkan dengan 2 tangan pada contoh di atas menurut penulis merupakan

    upaya tindakan kreatif terlepas dari pemikiran apakah tidak bisa dilakukan dengan satu

    tangan, namun dengan 2 tangan memberikan warna tersendiri dan dimungkinkan adanya

    strategi agar anak merasa lebih luwes dalam memainkannya. Upaya tersebut menurut penulis

    akan lebih mengena sasaran apabila pada waktu proses anak diberi kebebasan untuk menabuh

    nada yang harus menggunakan tangan kanan atau kanan kiri. Sasaran yang dituju agar anak

    lebih bebas dan lebih merasa leluasa memainkannya, yang terpenting melodi yang disajikan

    tidak berubah.

    Pemilihan tehnik/garap pada ricikan bonang, gong-kempul, demung, saron, drum dan

    kenthongan pada materi karya musik Gembyengan lebih dominan sesuai dengan

    kemampuan anak. Upaya memaksakan kehendak tampaknya telah dihindari. Penulis

    merasakan upaya dimaksud tidak terlepas dari pemikiran bagaimana anak tidak

    mengalami kesulitan-kesulitan dan pemaksaan dalam bermain gamelan. Anak menjadi

    cinta terhadap karawitan dan akhirnya dengan harapan yang tinggi anak mampu

    menjadi pewaris di masa mendatang, dapat menggeluti dunia seni tradisi karawitan

    yang berkelanjutan.

  • 25

    Secara global dapat disajikan bagan:

    Ricikan Pola Ket: Bonang Pola sederhana, tampak bahwa cenderung

    disajikan pola-pola melodis, dengan menggunakan melodi-melodi panjang (ngracik) layaknya melodi saron/demung.

    Ditabuh dengan merangkap saron, tidak semua nomor sajian dimainkan.

    Demung Ricikan demung ditabuh menggunakan dua tangan yaitu tangan kanan dan kiri. Ditabuh tanpa dipithet, termasuk pada tehnik thinthilan yang disajikan dengan satu anak melakukan sendiri dengan hanya memanfaatkan tangan kanan dan tangan kirinya. Tehnik/pola thinthilan ini lebih mendominasi garap yang ada pada materi sajian Gembyengan. Pada bagian yang tidak dengan pola thinthilan, disajikan dengan menggunakan dua tangan pula. Dirasakan bahwa anak lebih mampu dan lebih luwes dalam menyajikannya baik pada pola thinthilan ataupun tidak.

    Memakai tabuh sejenis tabuh Karawitan Bali/ Banyuwangi. Hanya terdapat 2 nomor yang disajikan dengan menggunakan satu tangan.

    Saron Sama dengan pola yang disajikan oleh ricikan demung, bahkan pada ricikan ini tidak adanya pola yang disajikan oleh satu tangan.

    -

    Gong-kempul

    Tidak disajikannya berdasarkan struktur bentuk yang biasa dimainkan oleh orang dewasa, misalnya sak cokro, sak lancaran dan sebagainya. Tampak mereka lebih leluasa dengan pola sederhana dibanding jika anak memainkan ricikan gong/kempul orang dewasa, apalagi materi sajiannya kali ini dominan tempo cepat dengan suasana riang/semangat.

    Menggunakan satu gong suwuk dan 2 kempul

    Drum Bedhug/drum lebih berperan memberikan /mempertebal volume yang menyertai pola garap balungan dari melodi yang disajikan. Drum/bedug disertai keprak sangat kecil perannya jika dikatakan sebagai pengganti kendang.

    Harapannya drum/ bedug berfungsi sebagai pengganti kendang dalam menuntun jalannya irama (pemurba irama).

    Kenthongan Kenthongan disajikan hanya memberikan aksen-aksen tambahan dan lebih tampak hanya memberikan warna bunyi yang berbeda dengan ricikan lainnya. Ricikan ini hanya dihadirkan pada sebagian kecil dari seluruh desain yang disajikan.

    -

  • Pemilihan Lagu/Melodi

    Sajian vokal meliputi materi syair/cakepan yang dihadirkan dan melodi sajiannya. Pada materi Gembyengan sangat minim dalam menyajikan materi vokal. Terkait dengan sajian syair pada kekaryaan ini cenderung bernuansa dewasa, hanya ada satu materi lebih mengarah pada karakter anak seperti pada contoh 1):

    1) // -1 2 1 - 1 2 3 5 -5 5 5 3 5 3 2 1

    a e o - a e o a a e a o a e a o //

    Perhatikan materi vokal yang lain (vokal dewasa: 2&3) sebagai berikut:

    2). 3 5 6 6 6 6 6 6 6 5 3 3 5 6 A -mrih u - rip bi - sa ne-mo -ni ra ha yu 1 1 1 1 1 1 2 3 3 2 2 2 1 2 1 A - ja kendhat nggegulang nan-dur cip - ta u - ta - ma 5 6 1 1 1 6 6 6 6 5 5 5 3 5 6 Sa-jro-ning a - ti sa-nu- ba -ri ki -ta si - nar - tan 1 1 1 1 1 1 2 3 3 2 2 1 Pa- nyu- wu-nan kang man-theng ma-rang Gus-ti 2 3 3 3 3 4 Kang Ma- ha A - sih 4 4 4 4 4 4 4 5 6 5 5 5 3 5 632 U - gi pi- na ri-ngan nu gra - ha bi- sa ndar-be-ni 2 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2 3 5 6 A - ti kang we -ning lan ji - wa kang pa - ling u - ta -ma

    3). Pancen ora gampang wong ngudi bisane kasinungan cipta utama Ngelingi menawa manungsa mono wis nyandang sipat apes lan lali

    Banjur gumregah maneh pengudine dene ora kendhat ing panglantihe

    Manteba ing keyakinan yen Gusti Allah bakal ngudaneni penyuwunan kita.

    Dilihat dari pemberian syair yang disajikan tampak adanya pengaruh tema yang

    dihadirkan yaitu sebuah keputusan hidup yang pahit dan harus dialami disertai kesedihan

    dalam mengiringi sebuah perjalanannya. Tampak dari tema ini membuat syair dimaksud

    kurang tepat jika disajikan untuk anak. Kondisi ini diperkuat lagi dengan penyampaian materi

    26

  • 27

    dimaksud disampaikan pula oleh orang dewasa. Materi sajian butir 2) dan 3) di atas menurut

    penulis tidak tepat untuk anak apalagi anak jaman sekarang yang kurang begitu memahami

    sastra Jawa seperti di atas, dan ditambah lagi dengan makna yang terkandung pada syair

    tersebut. Rasanya terlalu berat tema tersebut diangkat dengan anak sebagai pelakunya.

    Sebaiknya sajian syairnya tidak mengandung makna permasalahan yang digeluti orang

    dewasa. Kesemuanya itu perlu adanya pengemasan-pengemansan yang salah satu sasarannya

    anak tidak merasa bosan dalam berolah vokal, anak diajak berpikir sesuai dengan kodrat dan

    nalurinya, namun tidak kalah pentingnya nilai-nilai seni tradisi yang terkandung dalam dunia

    seni musik tradisi karawitan sedikit demi sedikit dapat diserap oleh anak.

    Permasalahan tentang melodi dari vokal yang disajikan tampaknya cukup sederhana

    bila disajikan untuk anak-anak. Perhatikan melodi sajiannya, tidak menggunakan nada-nada

    tinggi yang dirasakan tidak melebihi batas ambitus yang dimiliki oleh anak, perhatikan pula

    materi di bawah ini:

    4). // - 5 5 6 5 3 6 5 // Ma-nungsa a- me-mu- ji Dilihat dari garap melodi yang lain misalnya pada melodi bonang, demung atau saronnya

    tampak tidak mempengaruhi akan kemampuan anak dalam menyajikan materi sajiannya.

    Untaian nada-nada yang disajikan tidak mengarah pada lompatan-lompatan nada yang

    membuat anak menjadi kesulitan. Hanya saja materi sajian karya ini cenderung disajikan

    dengan tempo cepat.

    Perhatikan contoh-contoh melodi demung/saron berikut ini:

    1). // 3 5 6 3 5 6 5 2 3 5 2 3 2 3 5 6 //2x

    2). // 2 3 2 3 3 2 3 2 5 5 3 5 5 3 2 1 //4x

    3). // 6 6 5 6 6 3 6 5 3 6 5 3 5 3 2 1 //2x

    4). // 2 3 1 2 3 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3 3

    5 6 3 5 6 5 6 3 5 6 3 5 6 5 6 1 //

  • 28

    Berikut disajikan bagan sederhana tentang pemilihan lagu/melodinya:

    Materi Melodi Ket. Syair vokal Terkait dengan sajian syair pada

    kekaryaan ini cenderung bernuansa dewasa. Adanya pengaruh tema yang dihadirkan membuat syair dimaksud kurang tepat jika disajikan untuk anak.

    Pada materi Gembyengan sangat minim disajikan vokal, banyak disajikan oleh orang dewasa.

    Melodi vokal Melodi dari vokal tampak sederhana dan sesuai untuk anak-anak, tidak menggunakan nada-nada tinggi dan dirasakan tidak melebihi batas ambitus yang dimiliki oleh anak.

    -

    Melodi balungan Melodi bonang, demung/saronnya tidak mempengaruhi kemampuan anak dalam menyajikan materi sajiannya. Untaian nada-nadanya tidak mengarah pada lompatan-lompatan nada yang membuat anak menjadi kesulitan.

    Materi sajian karya ini cenderung disajikan dengan tempo cepat.

    Pola penyajian.

    Karya musik Gembyengan disajikan oleh anak yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana

    orang dewasa menyajikannya. Posisi duduk untuk cewek dengan bersimpuh dan laki-laki

    duduk bersila. Ekspresi yang dihadirkan tampak sekali menunjukan rasa kurang bergairah dan

    tampaknya ada ketegangan yang menyelimutinya. Kondisi ini bisa jadi karena dipengaruhi

    oleh tema yang dihadirkan sehingga sajian tersebut dirasa kurang menguntungkan. Paling

    tidak keceriahan pada diri anak bisa dimunculkan pada penyajiannya, misalnya saja tentang

    bentuk sajian yang menurut penulis bisa dikemas dengan lebih atraktif, menggunakan gerak-

    gerak penyaji/pemusik yang tidak hanya diam seperti halnya sajian klenengan pada karawitan

    orang dewasa. Hal ini dimaksudkan agar anak lebih leluasa, lebih riang dalam penampilannya

    dan dalam penyampaian materi gerak disesuaikan dengan materi lagu yang sesuai dengan

    kebutuhan karakter lagu/gending. Tentu saja sesuai dengan kemampuan anak itu sendiri.

  • 29

    Setting

    Penataan gamelan karya Gembyengan di atas panggung saat ini sebenarnya tampak

    lebih menguntungkan, mengingat lokasi/tempat gamelan yang dipakai cukup luas dan

    memadai, hanya saja tampak kurang dimanfaatkan secara maksimal. Secara penyajian tampak

    sepi dengan memperhatikan pola penyajian yang disampaikan. Kiranya perlu

    dipertimbangkan bahwa panggung yang luas perlu adanya strategi yang lebih

    menguntungkan, misalnya dengan disajikannya lintasan-lintasan anak terkait dengan pola

    penyajian sebagaimana sebuah seni pertunjukan atau dikondisikan sebuah strategi dengan

    penyempitan ruang yang digunakan.

    Sebuah seni pertunjukan karawitan yang dimainkan oleh anak-anak sewajarnya jika

    tidak terlalu menyamakan konsepnya dengan sajian karawitan yang disajikan oleh orang

    dewasa. Seyogyanya lebih diposisikan dengan memperhatikan keleluasaan pendukung dalam

    bergerak/memainkan ricikannya. Apalagi terkait dengan pola penyajian yang menampilkan

    sajian pemusik dengan bergerak, melintas ataupun pindah ke ricikan yang lain dengan

    harapan pola penyajiannya lebih menarik lagi.

    Sound dan Lighting.

    Pada pergelaran kali ini hanya digunakan sebuah mikrofon untuk kebutuhan vokal

    tunggal. Tampaknya kondisi ini dihadirkan karena dengan mengingat dan mempertimbangkan

    even yang ada. Pergelaran saat ini disajikan untuk keperluan ujian mata kuliah komposisi 3

    pada jurusan seni karawitan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya yang disajikan di

    dalam ruang pendapa. Lokasi Pendapa cukup menampung bunyi dengan tanpa disajikannya

    sound dengan kapasitas besar, dan volume yang dihadirkan oleh ensambel yang dimainkan

    pada karya musik Gembyengan ini dirasakan cukup keras dan masih bisa dinikmati dengan

    jarak lebih kurang 10 meter. Tampak terasa lebih alami dan walaupun tidak menggunakan

  • 30

    bantuan sound yang lebih besar, tetapi masih dirasakan tidak berpengaruh terhadap kondisi

    anak dalam bermain gamelan.

    Sound pada sebuah seni pertunjukan sangat dibutuhkan untuk membantu mempertebal

    volume bunyi yang dihasilkan agar bisa ditangkap secara jelas oleh audien, namun kita harus

    tetap hati-hati dan tetap memilih/menentukan berdasarkan kebutuhan. Sound merupakan

    pengeras suara yang diperlukan dalam sebuah seni pertunjukan musik akan tetapi tetap

    dengan menggunakan pertimbangan yang matang, artinya pertimbangan keras lirihnya,

    pertimbangan ricikan mana yang memerlukan bantuan agar bunyi yang dihasilkan antara

    ricikan satu dengan yang lainnya bisa seimbang sesuai dengan harapan. Tidak sedikit bahwa

    sebuah pertunjukan musik menjadi hancur/rusak dikarenakan oleh tindakan pemanfaatan

    sound yang ceroboh.

    Lighting/lampu pada kekaryaan Gembyengan disajikan dengan hanya

    memanfaatkan penerangan yang sudah ada di pendapa STKWS yang terdiri dari 4 buah neon

    dengan kapasitas masing-masing 40 watt. Tampaknya pada saat ini komponis tidak

    memanfaatkan lampu tambahan untuk mempertegas sajian sebuah seni pertunjukan.

    Kehadiran lighting/lampu menurut penulis dalam sebuah seni pertunjukan sangat diperlukan,

    karena dengan pengaturan lampu bisa membantu keberhasilan sebuah seni pertunjukan.

    Lighting merupakan salah satu medium bantu yang peranannya tidak kalah pentingnya jika

    dibanding dengan medium bantu lainnya, akan tetapi sama halnya dengan sound. Kita tetap

    harus hati-hati dalam memanfaatkannya, kita juga harus mengerti tentang pemanfaatan

    penerangan dimaksud misalnya pada permasalahan karakter warna-warna lampu yang

    digunakan. Pada sebuah seni pertunjukan fungsi lighting/lampu salah satunya adalah bisa

    membantu memperkuat suasana yang dikehendaki.

    Permasalahan setting, sound dan lighting pada sebuah karya seni biasanya lebih

    bertumpu pada situasi dan kondisi, artinya seorang komponis harus berhati-hati dengan

    konsep-konsep yang dihadirkan terkait dengan permasalahan setting, sound dan lighting. Hal

  • 31

    ini dimaksudkan dengan tetap mempertimbangkan/ memperhatikan pada even yang ada. Bisa

    dipastikan bahwa konsep awal belum tentu bisa terwadahi sepenuhnya pada penyajiannya

    nanti, dengan mengingat penyajian karya dimaksud terkait dengan keberadaan panitia

    penyelenggara. Sebagai contoh, misalnya komponis membutuhkan microfon 6 buah, pada

    kenyataannya panitia penyelenggara hanya menyediakan 4 buah maka pada kesempatan ini

    naluri kreatifitas sang komponis dituntut untuk berpikir dan bertindak dalam mengatasi

    permasalahan dimaksud; dan lain sebagainya. Masih banyak kasus-kasus lain dan sejenis

    yang memerlukan penanganan dengan serius pula, dan kita harus cepat dan tanggap terhadap

    permasalahan-permasalahan yang muncul secara tidak disengaja.

    Rias dan Busana.

    Busana yang digunakan kali ini bagian atas seragam batik yang terbagai dalam 2

    warna, yaitu satu warna agak kemerahan dan yang satu cenderung agak kekuningan.

    Sedangkan bagian bawah menggunakan warna merah kecokelatan identik dengan seragam

    sekolah, sedang rias disajikan dengan menggunakan rias cantik dan tampan.

    Hadirnya penyajian busana dengan 2 warna yang berbeda menurut penulis cukup

    mengganggu estetika dalam sebuah sajiannya. Coba saja kita bandingkan dengan mereka

    yang mengenakan busana seragam, artinya penggunaan busana dalam sebuah seni

    pertunjukan tidak seharusnya ada kesan asal pakai. Perlu kita pikirkan segi estetik, kesesuaian

    terhadap peraga, bahkan selayaknya dipikirkan pula terkait dengan konsep kekaryaan yang

    dihadirkan, dan lain sebagainya.

    Penulis cukup setuju bahwa rias dan busana yang digunakan tidak terlalu dipaksakan

    seperti layaknya orang dewasa memainkan gamelan misalnya saja dengan menggunakan

    beskap, memakai kumis palsu atau sejenisnya. Hanya saja pemanfataan rias dan busana pada

    pergelaran tersebut di atas perlu lebih dipertimbangkan kembali terkait dengan situasi anak

    sebagai pendukungnya, misalnya saja dengan memperhatikan karakteristik anak maka rias

  • 32

    serta busananya menggunakan busana keprajuritan/perang-perangan dengan asesoris topi,

    penthul dengan pernik-perniknya, tentu saja perlu dipikirkan pula terkait dengan tema yang

    diangkatnya. Dari rias dan busana tersebut diharapkan muncul gairah/semangat dengan

    mempertebal percaya diri akan kegagahan anak yang lugu itu. Tentu saja diharapkan

    berpengaruh terhadap kepercayaan diri pribadi penyaji di dalam menyajikan sajian/materinya.

    Gambaran Unsur-unsur pendukung yang lain:

    Unsur-unsur lain Pembahasan Keterangan Pola penyajian Ekspresi yang dihadirkan tampak

    sekali menunjukan rasa kurang bergairah dan tampaknya ada ketegangan yang menyelimutinya. Bisa jadi karena dipengaruhi oleh tema yang dihadirkan. Menurut penulis selayaknya dimunculkan keceriahan pada diri anak, misalnya saja tentang bentuk sajian yang dikemas dengan lebih atraktif, menggunakan gerak-gerak yang tidak hanya diam seperti halnya sajian klenengan pada karawitan orang dewasa. Hal ini dimaksudkan agar anak lebih leluasa, lebih riang dalam penampilannya.

    Karya musik Gembyengan disajikan oleh anak dan tidak jauh berbeda dengan orang dewasa dalam menyajikannya. Posisi duduk untuk cewek dengan bersimpuh dan laki-laki duduk bersila.

    Setting Penataan gamelan di atas panggung pada karya ini tampak kurang dimanfaatkan secara maksimal, secara penyajian tampak sepi. Panggung yang luas perlu adanya strategi yang lebih menguntungkan, misalnya dengan disajikannya lintasan-lintasan anak terkait dengan pola penyajian sebagaimana sebuah seni pertunjukan atau dikondisikan sebuah strategi dengan penyempitan ruang yang digunakan.

    Lokasi/tempat gamelan yang dipakai cukup luas dan memadai.

  • 33

    Sound Tampak terasa lebih alami walaupun tidak menggunakan bantuan sound yang lebih besar, dan dirasakan tidak berpengaruh terhadap kondisi anak dalam bermain gamelan. Sound merupakan pengeras suara yang diperlukan dalam sebuah seni pertunjukan musik akan tetapi tetap dengan menggunakan pertimbangan yang matang. Tidak sedikit bahwa sebuah pertunjukan musik menjadi hancur/rusak dikarenakan oleh tindakan pemanfaatan sound yang ceroboh.

    Menggunakan sebuah mikrofon untuk kebutuhan vokal tunggal.

    Lighting Komponis tidak menggunakan tambahan lampu untuk mempertegas sajian seni pertunjukan, sehingga kurang membantu akan suasana yang dihadirkan.

    Lighting/lampu menggunakan penerangan yang ada di pendapa STKWS, terdiri dari 4 buah neon masing-masing berkapasitas 40 watt.

    Rias dan busana Hadirnya 2 warna yang berbeda cukup mengganggu estetika dalam penyajiannya. Bandingkan dengan yang mengenakan busana seragam. Perlu dipikirkan segi estetik, kesesuaian terhadap peraga, dan konsep kekaryaannya. Dari rias dan busana dirasakan kurang muncul gairah/semangat percaya diri dari anak. Penulis cukup setuju rias dan busana yang digunakan tidak terlalu dipaksakan, misalnya saja dengan menggunakan beskap, memakai kumis palsu.

    Kurang mendapat perhatian serius

  • 34

    KESIMPULAN

    Dari beberapa permasalahan kajian terhadap garap karawitan untuk anak-anak pada

    karya musik Gembyengan oleh sanggar SKI Batu kali ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan

    sementara dengan beberapa pikiran-pikiran dasar antara lain:

    Upaya pemilihan ricikan gamelan dan dengan memodifikasi ricikan yang ada tampak

    mengarah pada permasalahan agar anak mampu menjangkau atau mampu memainkan ricikan

    yang ada. Pengemasan bentuk ricikan dan pemilihan ricikan dimaksud disesuaikan pula

    berdasarkan skill/kemampuan anak. Tindakan secara sengaja agar anak mampu

    menjangkau/memainkan ricikan dimaksud merupakan sebuah embrio mengarah pada upaya

    pendekatan menuju pembentukan ensambel baru, atau dengan kata lain langkah ini

    menunjukkan suatu harapan akan hadirnya gamelan spesifik untuk anak.

    Pemilihan tehnik/garap pada ricikan bonang, gong-kempul, demung, saron, drum dan

    kenthongan pada materi karya musik Gembyengan lebih dominan sesuai dengan

    kemampuan anak. Upaya memaksakan kehendak tampaknya telah dihindari. Penulis

    merasakan upaya dimaksud tidak terlepas dari pemikiran bagaimana anak tidak mengalami

    kesulitan-kesulitan dan pemaksaan dalam bermain gamelan. Anak menjadi cinta terhadap

    karawitan dan akhirnya dengan harapan yang tinggi anak mampu menjadi pewaris di masa

    mendatang, dan dapat menggeluti dunia seni tradisi karawitan yang berkelanjutan.

    Berbicara tentang melodi vokal tentu tidak bisa lepas dari pemahaman syair yang

    disajikan, sedangkan syair yang digunakan biasanya sedikit banyak menyangkut

    permasalahan tema yang diangkat. Oleh karenanya untuk karawitan anak sebaiknya tidak

    menggunakan tema-tema yang berat, seperti kejadian-kejadian yang dialami oleh orang

    dewasa. Kondisi ini lebih tampak pada karya Gembyengan yang dihadirkan lewat syair-

    syairnya. Pemilihan tema itu bisa dilakukan apabila kita diwajibkan untuk menyajikan

    sebagaimana petunjuk pihak penyelenggara (misalnya, pada even festival atau sejenisnya).

  • 35

    Dalam menciptakan syair perlu adanya pengemasan-pengemasan agar anak tidak

    merasa bosan dalam berolah vokal, anak diajak berpikir sesuai dengan kodrat dan nalurinya,

    dan tetap berpijak pada pentingnya nilai-nilai seni tradisi yang terkandung didalamnya yang

    sedikit demi sedikit dapat diserap oleh anak. Melodi dari vokal yang dihadirkan selayaknya

    dibuat sederhana tidak menggunakan nada-nada tinggi yang dirasakan tidak melebihi batas

    ambitus yang dimiliki oleh anak, serta garap melodi pada aransemen ricikannya juga

    diharapkan tidak mempengaruhi akan kemampuan anak dalam menyajikan materi sajiannya.

    Untaian nada-nada yang disajikan tidak mengarah pada lompatan-lompatan nada yang

    membuat anak menjadi kesulitan. Kondisi demikian ini masih tampak diterapkan pada karya

    musik Gembyengan, sehingga dirasa kurang tepat untuk anak.

    Keceriahan pada diri anak tidak tampak pada kekaryaan Gembyengan ini.

    Sebenarnya keceriaan itu bisa dimunculkan lewat pola penyajiannya, misalnya saja dikemas

    dengan lebih atraktif, menggunakan gerak-gerak. Hal ini dimaksudkan agar anak lebih

    leluasa, lebih riang dalam penampilannya dan tidak menunjukan rasa kurang bergairah dalam

    penyampaian materinya. Sebuah seni pertunjukan karawitan yang dimainkan oleh anak-anak

    sewajarnya jika tidak terlalu menyamakan konsepnya dengan sajian karawitan yang disajikan

    oleh orang dewasa.

    Sound pada sebuah seni pertunjukan sangat dibutuhkan untuk membantu mempertebal

    volume bunyi yang dihasilkan agar bisa ditangkap secara jelas oleh audien, namun kita harus

    tetap hati-hati dan tetap memilih/menentukan berdasarkan kebutuhan, tetap dengan

    menggunakan pertimbangan yang matang. Begitu pula dengan pemanfaatan lighting, bahwa

    kehadiran lighting/lampu menurut penulis dalam sebuah seni pertunjukan sangat diperlukan,

    karena dengan pengaturan lampu bisa membantu keberhasilan sebuah seni pertunjukan. Tidak

    jauh berbeda dengan sound, maka pada lightingpun harus hati-hati dalam memanfaatkannya.

    Tidak sedikit bahwa sebuah pertunjukan musik menjadi hancur/rusak dikarenakan oleh

    tindakan pemanfaatan sound dan lighting yang ceroboh.

  • 36

    Permasalahan setting, sound dan lighting pada sebuah karya seni biasanya lebih

    bertumpu pada situasi dan kondisi, artinya seorang komponis harus berhati-hati dengan

    konsep-konsep yang dihadirkan terkait dengan permasalahan setting, sound dan lighting. Hal

    ini dimaksudkan dengan tetap mempertimbangkan/ memperhatikan pada even yang ada.

    Biasanya ada kecenderungan bahwa konsep awal belum tentu bisa terwadahi sepenuhnya

    pada penyajiannya nanti, dengan mengingat penyajian karya dimaksud terkait dengan situasi

    dan kondisi yang ada. Naluri kreatifitas sang komponis dituntut untuk berpikir dan bertindak

    dalam mengatasi permasalahan dimaksud apabila terjadi permasalahan yang memerlukan

    penanganan secara serius dan mendadak. Pada karya Gembyengan tidak dimanfaatkan

    secara maksimal medium sound dan ligting, sehingga hasilnyapun dirasa kurang maksimal.

    Permasalahan lain yang tidak kalah menariknya adalah tentang permasalahan rias dan

    busana. Sajian karya Gembyengan dirasa kurang begitu besar perhatiannya atas pentingnya

    rias dan busana. Sebuah seni pertunjukan tidak seharusnya penggunaan rias dan busana ada

    kesan asal pakai. Perlu pula kita pikirkan segi estetik, kesesuaian terhadap peraga, bahkan

    selayaknya dipikirkan pula terkait dengan konsep kekaryaan yang dihadirkan, dan lain

    sebagainya. Untuk sajian karawitan anak pemanfataan rias dan busanan selayaknya

    dipertimbangkan terkait dengan situasi anak sebagai pendukungnya. Misalnya saja dari sajian

    rias dan busana tersebut diharapkan muncul gairah/semangat dengan mempertebal percaya

    diri. Tentu saja diharapkan berpengaruh terhadap kepercayaan diri pribadi penyaji di dalam

    menyajikan sajian/materinya.

    Rincian permasalahan yang disertai pula dengan pembahasannya yang meliputi

    tentang: pemilihan instrument, pemilihan teknik, pemilihan materi lagu/melodi dan unsur-

    unsur lain yang mempengaruhi sebuah sajian karawitan (setting, sound, lighting, dan rias

    busana) di atas dirasa cukup bisa mengurai untuk mengetahui sejauh mana keberadaan karya

    musik yang berjudul Gembyengan ini.

  • 37

    Penutup:

    Pernyataan di atas menunjukkan bahwa gamelan yang ada sekarang ini belum tentu bisa

    terjangkau dan sesuai dengan ukuran anak atau bisa jadi pula tehnik yang dihadirkan belum

    bisa dijangkau oleh kemampuan anak, maka sangatlah wajar bila ada pemikiran perlu

    dihadirkan gamelan untuk anak. Tindakan beberapa seniman dalam menyikapi kegiatan

    karawitan (gamelan) untuk anak-anak secara tidak sadar sebenarnya sudah mengarah pada

    keinginan untuk menciptakan gamelan untuk anak.

    Catatan: Faedah dan kegunaan:

    1). Untuk konsumsi batin diri penulis dan juga buat anak-anak sebagai pendukung kekaryaan.

    2). Untuk konsumsi pemerhati seni tradisi karawitan dalam kapasitasnya sebagai pembaca.

    Tema karya musik pada permasalahan dunia anak lebih terfokus pada: Sifat, karakter dan keceriaan anak dalam dunianya yang dituangkan pada medium permainan dengan media bermain musik karawitan/gamelan. Bermain gamelan lebih menunjukkan kondisi sebenarnya, dengan mengingat gamelan merupakan sebuah musik yang semestinya milik orang dewasa. Kapasitas anak baru mencoba dan belajar gamelan yang dalam penerapannya disesuaikan dengan kemampuan anak. Dari sinilah muncul keinginan bermain gamelan.

    Tujuan: 1. Sebagai konsumsi anak diharapkan dapat memacu

    adanya kecintaan terhadap dunia karawitan dalam kapasitasnya secara fundamental.

    2. Sebagai perbendaharan garap materi-materi yang ada dalam dunia musik karawitan.

    3. Sebagai pengalaman dan perbendaharaan penulis/komponis dalam menghadapi kekaryaan

    khususnya konsumsi anak-anak.

  • 38

    Biodata penulis:

    Nama Sabar, lahir Surabaya 27 Januari 1962, domisili jl.Mojoklanggru Lor Baru I/9 Surabaya, kampus Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya jl. Klampis Anom II Surabaya (031) 5949945, riwayat pendidikan SD Negeri Kedung Pengkol I Surabaya1976, SMP Negeri 9 Surabaya 1979, SMA Negeri 7 Surabaya 1984, S-1 Jurusan Seni Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya 1995, S-2 Program Studi Penciptaan Seni Pasca Sarjana ISI Surakarta, 2009, Karya-karya seni yang pernah diciptakan konser musik anak Jurit Anom, konser musik sindenan Ginem, Musik Tari Gondrang, Lagu PPST, dan lain-lain, pengalaman berkesenian hingga kini masih aktif sebagai tenaga pengajar jurusan seni karawitan STKW Surabaya, aktif bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Jawa Timur dan Disbudpar Propinsi Jawa Timur, disbudpar kabupaten/kota dalam berbagai even kesenian seperti Peserta Parade Tari Tingkat Nasional di TMII Jakarta dan yang sejenis, dan lain-lain.

    SAMPUL BATUPENEL BATUPENYAJIAN