Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

20
1 KAJIAN TENTANG DOKTRIN AL-USHL AL-KHAMSAH SEKTE 1 AL-MU’TAZILAH DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI ISLAM Oleh : Hayat Ruhyat Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon Prodi : Pendidikan Islam Konsentrasi : PAI Semester I Tahun 2013 A. PENDAHULUAN Aliran al-Mu’tazilah merupakan aliran theology Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Aliran Al- Mu’tazilah lahir pada permulaan abad pertama hijriah di kota Basrah (Irak) 2 , pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. 3 Kemunculan gerakan al-Mu’tazilah merupakan tahap yang teramat penting dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Meskipun bukan golongan rasionalis murni, namun jelas mereka adalah pelopor yang amat bersungguh-sungguh untuk digiatkannya pemikiran tentang tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Sikap mereka yang rasionalistik dimulai dengan titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap ini adalah konsekwensi logis dari dambaan mereka kepada pemikiran sistematis. Kebetulan pula pada masa-masa akhir kekuasaan Umayyah itu sudah terasa adanya gelombang pengaruh Hellenisme di 1 Sekte (sect) dalam oxford dictionaries didefinisikan sebagai : a group of people with somewhat different religious beliefs (typically regarded as heretical) from those of a larger group to which they belong (sekelompok orang dengan keyakinan agama yang agak berbeda (biasanya dianggap sebagai bid'ah) dari orang-orang dari kelompok yang lebih besar di mana mereka berada. Lihat http://oxforddictionaries.com/definition/english/sect 2 Irak pada masa sebelum Islam datang merupakan wilayah yang menjadi tempat pergumulan ide-ide dan teori-teori yang datang dari berbagai penjuru, antara lain : Hellenisme, Kristen yang telah ter-hellenisir, Gnostisisme, Dualisme, Manikaen dan unsur-unsur Budhisme yang memberikan pengaruh bagi pemikiran spekulatif tentang moral, keagamaan dan filsafat. 3 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : Al Husna Zikra, 1995), h. 64

description

makalah filsafat kalam

Transcript of Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

Page 1: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

1

KAJIAN TENTANG DOKTRIN AL-USHUL AL-KHAMSAH SEKTE 1AL-MU’TAZILAH DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI ISLAM

Oleh : Hayat Ruhyat

Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon Prodi : Pendidikan Islam Konsentrasi : PAI Semester I Tahun 2013

A. PENDAHULUAN

Aliran al-Mu’tazilah merupakan aliran theology Islam yang terbesar dan tertua,

yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Aliran Al-

Mu’tazilah lahir pada permulaan abad pertama hijriah di kota Basrah (Irak)2, pusat ilmu

dan peradaban Islam kala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan

bermacam-macam agama.3

Kemunculan gerakan al-Mu’tazilah merupakan tahap yang teramat penting dalam

sejarah perkembangan intelektual Islam. Meskipun bukan golongan rasionalis murni,

namun jelas mereka adalah pelopor yang amat bersungguh-sungguh untuk digiatkannya

pemikiran tentang tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Sikap

mereka yang rasionalistik dimulai dengan titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan

yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap ini adalah konsekwensi logis

dari dambaan mereka kepada pemikiran sistematis. Kebetulan pula pada masa-masa akhir

kekuasaan Umayyah itu sudah terasa adanya gelombang pengaruh Hellenisme di

1 Sekte (sect) dalam oxford dictionaries didefinisikan sebagai : a group of people with somewhat different religious beliefs

(typically regarded as heretical) from those of a larger group to which they belong (sekelompok orang dengan keyakinan agama yang agak berbeda (biasanya dianggap sebagai bid'ah) dari orang-orang dari kelompok yang lebih besar di mana mereka berada. Lihat http://oxforddictionaries.com/definition/english/sect

2 Irak pada masa sebelum Islam datang merupakan wilayah yang menjadi tempat pergumulan ide-ide dan teori-teori yang datang dari berbagai penjuru, antara lain : Hellenisme, Kristen yang telah ter-hellenisir, Gnostisisme, Dualisme, Manikaen dan unsur-unsur Budhisme yang memberikan pengaruh bagi pemikiran spekulatif tentang moral, keagamaan dan filsafat.

3 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : Al Husna Zikra, 1995), h. 64

Page 2: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

2

kalangan umat. Karena pembawaan rasional mereka, kaum al-Mu’tazilah merupakan

kelompok pemikir muslim yang dengan cukup antusias menyambut invasi filsafat itu.

Meskipun terdapat berbagai kesenjangan untuk memberi sistem kepada faham al-

Mu’tazilah tingkat awal itu, namun tesis-tesis mereka jelas merupakan sekumpulan

dogma yang ditegakkan di atas prinsip-prinsip rasional tertentu. Karena berpikir rasional

dan sistematis itu sesungguhnya tuntutan alami agama Islam, maka penalarannya, di

bidang lain, juga menghasilkan pemikiran yang rasional dan sistematis pula, seperti di

bidang hukum (syari’ah) yang dirintis oleh Imam Syafi’i (w. 204 H/819 M), perumus

pertama prinsip-prinsip jurisprudensi (Ushul al- fiqh). 4

Dan di tangan kaum al-Mu’tazilah, yang lebih tertarik kepada masalah-masalah

Ushul al -Din (prinsip-prinsip pokok agama) ketimbang masalah-masalah syari’ah itu,

pemikiran rasional dan sistematis tersebut tidak saja mengakibatkan keterbukaan kepada

alam pikiran Yunani, bahkan penggunaannya untuk tujuan-tujuan keagamaan. Disebabkan

oleh kegiatan intelektual mereka itu, kaum al-Mu’tazilah merupakan perintis bagi

tumbuhnya disiplin baru dalam kajian Islam, yaitu Ilmu kalam, khususnya dalam bentuk

pemikiran apologetik keislaman mereka menghadapi agama-agama lain, tapi juga

menghadapi lawan-lawan mereka di kalangan umat Islam sendiri. 5

Dalam catatan sejarah, al-Mu’tazilah bukannya tanpa cacat. Jalan kekerasan yang

pernah ditempuh para penyokong al-Mu’tazilah untuk menjadikan faham al-Mu’tazilah

sebagai mazhab teologi yang hegemonik melalui program politik mihnah menjadi fakta

yang menunjuk cacat sejarah tersebut. Politiklah yang membuat wacana keagamaan al-

4 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 21-22 5 Ibid,… hlm. 22

Page 3: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

3

Mu’tazilah menjadi tertunggangi subyektivisme kekuasaan golongan yang mengusung

faham ini. Seperti diketahui bahwa patronase beberapa penguasa Abbasiyah terhadap

golongan al-Mu’tazilah menjadikan aliran ini meraih titik puncak kejayaannya.

Ahmad Amin, sebagaiman dikutip Harun Nasution, menyatakan bahwa kaum al-

Mu’tazilah merupakan golongan Islam yang pertama memakai senjata yang dipergunakan

lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan Materialist dalam menangkis

serangan-serangan terhadap Islam di permulaan kerajaan Bani Abbas. Mereka

mempunyai kegiatan yang besar sekali dalam melawan musuh-musuh Islam.6

Sebagai faham atau aliran dalam ilmu kalam, al-Mu’tazilah dikenal sebagai aliran

kalam yang memiliki ciri khas tersendiri yaitu mengedepankan metode rasional dalam

menjelaskan konsep-konsep teologinya. Dikemudian hari, sebagaimana dijelaskan oleh

Cyril Glasse, penggunaan metode rasional al-Mu’tazilah ini berpengaruh besar bagi

seluruh penjuru muslim yang mengiringi perkembangan teologi, dan sejumlah

pemahaman khas aliran ini diserap oleh aliran mayoritas (yakni Asy’ariyah), meskipun

aliran ini sendiri dituduh sebagai aliran bid’ah yang menyesatkan.7

Karena dalam memecahkan persoalan-persoalan teologis, al-Mu’tazilah banyak

menggunakan akal sehingga mereka disebut “kaum rasionalis Islam”.8 Harun Nasution,

menyebutkan bahwa kaum al-Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-

persoalan yang lebih dalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang

dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah.

6 Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta : UI Press, 1986), h. 69 7 Cyril Glasse, The Concise Encyclopaedia of Islam, Terjemah Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996), h. 291 8 --------------------, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta : UI Press, 1986), h. 38

Page 4: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

4

Dalam makalah ini penulis berupaya mengulas dan menganalisis tentang doktrin

al-Ushul al-Khamsah al-Mu’tazilah dalam perspektif teologi Islam. Dan makalah ini tidak

akan membahas al-Mu’tazilah secara luas dan menyeluruh tetapi lokus kajiannya lebih

berkonsentrasi pada pemikiran kalamnya yaitu tentang Ushul al - Khamsah (lima ajaran-

ajaran pokok) yang menjadi semacam panca doktrin kalam al-Mu’tazilah yang menjadi

pembeda dari sekte-sekte dalam pemikiran kalam lainnya. Kalaupun dalam makalah ini

dijelaskan tentang sejarah awal kemunculan al- Mu’tazilah sifatnya hanya sekilas, sekedar

untuk melengkapi pemahaman utuh tentang basis dan konstruksi pemikiran kalam al-

Mu’tazilah tersebut.

B. SEJARAH RINGKAS AWAL KEMUNCULAN AL-MU’TAZILAH

Al- Mu’tazilah berasal dari kata اعتزل - يعتزل yang berarti memisahkan diri atau

menjauhi atau menyisihkan diri. Al- Mu’tazilah atau al- Mu’tazilin berarti orang-orang yang

memisahkan diri atau menyisihkan diri. Menurut arti ini, semua orang yang memisahkan

atau menyisihkan diri dari jama’ah disebut Al- Mu’tazilah atau al- Mu’tazilin.

Ada beberapa analisis tentang sejarah timbulnya aliran teologi al- Mu’tazilah,

sebagaimana dijelaskan oleh Supriyadi Ahmad,9 yaitu :

1. Washil bin Atha Memisahkan Diri dari Hasan al- Bashri

Washil selalu mengikuti pengajian-pengajian Hasan al- Bashri di masjid Bashrah. Suatu

ketika ada seorang murid bertanya kepada Hasan al- Bashri, bagaimana pendapat anda,

wahai guru kami, tentang orang yang melakukan dosa besar? Apakah ia menjadi kafir atau

9 Rosyidah AH, Al- Ushul al- Khamsah : Lima Ajaran Pokok al-Mu’tazilah, dalam Sejarah Pemikiran Islam, Teologi – Ilmu Kalam, Supriadi Ahmad dkk, (Jakarta : Amzah, 2012), h. 55

Page 5: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

5

mukmin?. Ketika Hasan al-Bashri sedang berpikir, Washil bin Atha mengeluarkan sendiri

pendapatnya dan mengatakan : “Saya berpendapat bahwa orang yang berdoa besar

bukanlah mukmin dan bukan kafir, tetapi berada pada posisi antara mukmin dan kafir.”

Washil berdiri dan menjauhkan diri dari halaqah hasan al-Bashri, kemudian pergi ke

belahan masjid yang lain untuk menegaskan kembali pendiriannya kepada sekelompok

murid Hasan al-Bashri. Atas peristiwa itu hasan al-Bashri berkata :

“Washil memisahkan diri dari kita”. Dengan demikian, Washil dan teman-temannya, kata

al-Syahrastani, disebut kaum al-Mu’tazilah.10

2. Pertikaian antara Hasan al-Bashri dan Washil serta Amr

Versi ini dituturkan oleh al-Baghdadi bahwa Washil dan Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan al-

Bashri dari majelisnya karena berselisih faham mengenai qadar dan kedudukan orang

mukmin yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri. Maka

mereka dan para pengikutnya disebut kaum al-Mu’tazilah karena dianggap menjauhkan

diri dari paham umat Islam tentang posisi orang mukmin yang berdoa besar.

3. Majelis Amr bin Ubaid Memisahkan Diri dari Hasan al-Bashri

Tasy Kubra Zadah memberi keterangan bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari

masuk masjid Bashrah menuju majelis Amr bin Ubaid yang semula disangkanya majelis

Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata :”ini kaum

Mu’tazilah.” Semenjak itu, mereka disebut kaum Mu’tazilah.

10 Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), h. 38

Page 6: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

6

4. Pendapat Bahwa Orang yang Berdosa Besar Terpisah dari Peristiwa Mukmin dan

Kafir

Mas’udi tidak mengaitkan pemberian nama Mu’tazilah dengan peristiwa perselisihan

paham Washil dan Amr dengan Hasan al-Bashri. Ia berpendapat bahwa Washil dan para

pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar

menjadi jauh atau terpisah dari golongan mukmin dan kafir.

Dari beberapa versi di atas dapat dianalisis bahwa motivasi utama yang

menyebabkan kemunculan al-Mu’tazilah adalah pendapat dan keyakinan yang berbeda

yang dikemukakan oleh tokoh pertama dari al-Mu’tazilah baik Washil bin Atha maupun

Amr bin Ubaid tentang persoalan teologis berupa konsekwensi perbuatan dosa besar

yang dilakukan terhadap status keimanan seseorang yang mengaku muslim apakah ia

masih pantas disebut mukmin ataukah telah menjadi kafir. Perbedaan tajam ini kemudian

memunculkan “sentimen pribadi” yang mendorong Washil atau Amr memisahkan diri dari

kelompok keagamaan yang dipimpin Hasan al-Bashri.

Yang disepakati oleh para ulama salaf adalah bahwa sebab penamaan golongan ini

dengan al-Mu’tazilah adalah karena peristiwa di atas, atau karena menarik atau

memisahkan diri dari pendapat umat dalam hukum dan penilaian mereka terhadap pelaku

dosa besar bahwa ia berada pada antara dua tempat : bukan sebagai mukmin dan bukan

pula sebagai kafir, seperti yang diriwayatkan al-Baghdadi. Yang jelas pada mulanya

mereka tidak pernah menyatakan diri dengan nama ini (al-Mu’tazilah- pen), atau mereka

tidak pernah menerima dinamakan demikian. Pertamanya mereka dinamakan al-

Page 7: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

7

Qadariyah atau al-‘Adaliyah, dan mereka mengaku atau menyatakan diri sebagai Ahl al

‘Adli wa al-Tauhid.11

Namun terkait penamaan al-Mu’tazilah kepada golongan yang ditokohi Washil bin

Atha sebenarnya belum jelas dari siapa dan dari mana berasal. Satu pendapat ada yang

mengatakan pemberian nama ini berasal dari lawan yang kemudian “terpaksa” disetujui

oleh golongan al-Mu’tazilah sendiri. Namun ada pula yang mengatakan nama al-

Mu’tazilah berasal dari kalangan internal golongan al-Mu’tazilah sendiri seperti

dikemukakan al-Qadhi Abdul Jabbar, salah seorang tokoh al-Mu’tazilah, yang menuturkan

bahwa kata-kata اعتزل terdapat dalam al- Qur`an yang mengandung arti menjauhi hal-hal

yang salah dan tidak benar, dengan demikian al- Mu’tazilah mengandung arti pujian.

Selain itu, Abdul Jabbar juga menyebutkan sebuah hadits nabi12 yang mengatakan bahwa

umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik adalah

golongan al-Mu’tazilah. Al-Mu’tazilah dalam pengertian ini berarti orang yang menjauhi

kejahatan, seperti yang ditegaskan oleh hadits13 yang mengatakan bahwa barangsiapa

yang menjauhi kejahatan, ia akan jatuh ke dalam kebaikan.14

C. PERSPEKTIF TEOLOGIS TENTANG DOKTRIN AL-USHUL AL-KHAMSAH SEKTE AL-

MU’TAZILAH

11 Muhammad Dhiauddin Rais, al-Nazhariyyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah, terj. Abdul Hayyie al-kattani dkk. (Jakarta :

Gema Insani Press, 2001), h. 46-47 12 Redaksi hadits ini berbunyi : المعتزلة الفئة وأتقاها أبرها فرقة وسبعين ثالثة علي امتي ستفترق : وسلم عليه هللا صلي النبي قال 13 Redaksi hadits ini berbunyi : :وسلم عليه هللا صلي النبي قال الخير فى سقط اللرر من اعتزل من14 Rosyidah AH, op.cit., h. 57

Page 8: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

8

Laiknya sebuah firqah dalam sejarah ilmu kalam, al-Mu’tazilah pun dikenal sebagai

sebuah golongan yang memiliki sistem pemikiran kalam yang sistematis dan menjadi

doktrin utama yang membedakannya dari golongan-golongan lain. Bangunan doktrin

kalam al-Mu’tazilah lazim disebut dengan : Ushul al-Khamsah yang memuat 5 (lima) ajaran

pokok dan utama yaitu : 1. Al-Tauhid, 2. Al-‘Adl, 3. Al-Wa’du wa al-Wa’id, 4. Al-Manzilah

bayna al-Manzilatain, dan. 5. Amar Ma’ruf Nahyi Munkar.

1. Al- Tauhid (Doktrin Peng-Esaan Tuhan)

Al-Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan utama. Sebenarnya ajaran

tauhid ini bukan monopoli al-Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang Islam.

Hanya saja al- Mu’tazilah mempunyai tafsir khusus sedemikian rupa dan mereka

mempertahankannya, sehingga mereka menamakan dirinya Ahlul ‘Adli wat Tauhid.15

Al-Tauhid adalah intisari dan merupakan ajaran terpenting dari al-Mu’tazilah.

Dengan doktrin ini al-Mu’tazilah berusaha secara maksimal untuk mensucikan Tuhan dari

segala sesuatu yang dapat mengurangi nilai Kemahaesaan-Nya. Bagi al-Mu’tazilah Tuhan

itu betul-betul Maha Esa dan tak ada sesuatu yang dapat menimbulkan pengertian

berbilangnya Tuhan. Menurut al-Mu’tazilah yang qadim hanya Tuhan. Selain dari Tuhan

tak ada yang qadim. Satu-satunya sifat Tuhan yang tidak ada pada yang lain adalah sifat

qadim itu.16

Uraian tentang tentang Tuhan digambarkan, antar lain, penolakan sifat-sifat Allah

(nafy al-sifat), penolakan paham antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan

15 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Bandung : PT. rajaGrafindo

Persada, 2010), h. 168 16

Rosyidah AH, op.cit., (Jakarta : Amzah, 2012), h. 76-77

Page 9: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

9

makhluk), penolakan beautific vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata manusia), dan

segala paham yang membawa kepada ta’addud al qudama.17

Tuhan, pertama-tama, adalah tidak sama dengan makhluk. Mereka menegaskan

bahwa Tuhan tidak berbentuk, tidak berdimensi, tidak berjisim, dan tidak terbatas. Inilah

yang kemudian dikenal dengan tanzih al -muthlaq (penyucian Allah secara mutlak dari

segala hal yang menjadi sifat makhluk). Dengan demikian, Mu’tazilah menentang

pandangan yang menyatakan bahwa Tuhan bertempat, mempunyai anggota tubuh, dan

bergerak, sebagaimana yang dianut oleh Ahl al-Hadits yang saat itu dikembangkan oleh

Ibn Kilab (w. sesudah tahun 240 H.) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.) Yang kedua, Tuhan

maha Esa dalam Dzat-Nya, dan merupakan Sesuatu (‘Ain) Yang Satu, dalam arti bahwa

pada Diri-Nya tidak boleh terdapat pengertian banyak, baik berbilang (ta’addud, plurality)

maupun tersusun (murakkab, composite).18

Tentang nafy al-sifat (penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan) yang menjadi ajaran al-

Mu’tazilah dalam memperkuat doktrin al-Tauhid-nya al-Mu’tazilah memandang bahwa

mustahil Tuhan memiliki sifat-sifat yang berdiri sendiri atau terpisah dari dzat. Jika hal

demikian terjadi pada Tuhan maka komposisi seperti ini akan melahirkan dua yang qadim,

yaitu dzat dan sifat. Adanya dua yang qadim memunculkan pandangan adanya dua Tuhan,

dan ini tidak bias diterima oleh al-Mu’tazilah. Washil bin Atha sebagai tokoh utama

golongan al-Mu’tazilah menegaskan bahwa orang yang menetapkan makna sifat sebagai

sesuatu yang qadim berarti orang tersebut menetapkan adanya dua Tuhan.19

17 Ibid, h. 77 18 Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung : Pena Merah, 2004), h. 162-163 19

________________ , al-Milal wa al-Nihal, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), h. 40

Page 10: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

10

Karena mereka memahami sifat sebagai sesuatu yang berbeda dari –dan berada di

luar—dzat, maka jika Tuhan dinyatakan mempunyai sifat, berarti Tuhan tersusun

(murakkab, composite) dari sifat dan dzat. Jika Tuhan dinyatakan murakkab, berarti Tuhan

tidak lagi Maha Esa, sekaligus tidak berbeda dari makhluk. Sebab, salah satu sifat makhluk

adalah murakkab. Karenanya, al-Mu’tazilah tidak membedakan sifat Tuhan dari Dzat-Nya.

Kalaupun dikatakan bahwa sifat Tuhan – sebagaimana halnya dengan Dzat-Nya – adalah

qadim, maka di situ akan terdapat dua qadim. Akibatnya Tuhan menjadi tidak Esa.

Menegaskan pandangan al-Mu’tazilah ini, al-Asy’ari mengatakan bahwa bagi al- ‘Allaf

(seorang tokoh Mu’tazilah) Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu

sendiri, Dia berkuasa dengan kekuasaan (qudrat) dan qudrat itu adalah Tuhan itu sendiri,

Dia hidup dengan kehidupan (hayat) dan kehidupan itu adalah Tuhan sendiri. Hal yang

sama diberlakukannya pula pada pendengaran, penglihatan, kekadiman, keagungan,

kemuliaan, kebesaran, dan seluruh sifat pada Dzat-Nya. Lebih lanjut mereka mengatakan

bahwa Tuhan selamanya Awal, lebih dulu (sabiq), Qadim dan Wujud sebelum adanya

makhluk. Dia adalah Sesuatu yang tidak sama dengan sesuatu-sesuatu (yang lain). Dia

sendirilah Yang Qadim, dan tidak ada yang qadim selain Dia. Segala sesuatu selain Dia

adalah baru (muhdats). Sifat bukanlah Tuhan. Karena itu, jika ada bersama-sama Tuhan

berarti ia bersama-sama pula memiliki hak Ilahiyyat (Ketuhanan). Kalaupun sifat tersebut

diasumsikan sebagai qadim, berarti di situ ada dua qadim. Bertolak dari sini, maka al-

Mu’tazilah menafikan sifat apa-pun dari Tuhan.20

Sekilas nampaknya al-Mu’tazilah berpandangan tidak mengakui sifat-sifat pada diri

Tuhan. Tetapi yang dimaksud oleh mereka adalah sifat-sifat yang berdiri sendiri dan

20

_____________, Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung : Pena Merah, 2004), h. 163

Page 11: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

11

berbeda dengan Dzat Tuhan. Oleh Harun Nasution ditegaskan bahwa golongan

Mu’tazilah bukannya mengingkari sifat-sifat Tuhan, hanya saja mereka membagi sifat-sifat

Tuhan ke dalam dua kategori, yaitu : 1. Sifat Dzatiyah , yaitu sifat-sifat yang merupakan

esensi Tuhan, dan 2. Sifat Fi’liyah, yaitu sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan

Tuhan. Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara

Tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak (al-iradah), sabda (kalam), keadilan (al-‘Adl),

dan sebagainya. Yang disebut sifat esensi umpamanya, wujud (al-wujud), kekekalan di

masa lampau (al-qadim), hidup (al-hayat), kekuasaan (al-qudrah).21

Tentang antropomorfisme, al-Mu’tazilah sama sekali mengingkari keserupaan

Tuhan dengan makhluk dalam bentuk apapun. Bagi mereka, Tuhan bukanlah Dzat yang

memiliki unsure-unsur atau sifat-sifat jasmani. Karenanya konsep bahwa Tuhan ber-jism

harus ditolak tegas. Oleh Abdul Jabbar al-Qodhi yang dimaksud jism adalah sesuatu yang

memiliki panjang, lebar, dan dalam yang tersusun atas delapan bagian (juz`un).22

Dengan doktrin tentang penolakan terhadap antropomorfisme diatas ayat-ayat

tentang Tuhan yang secara literal mengandung arti seakan-akan Tuhan memiliki anggota

tubuh seperti makhluk, maka kaum al-Mu’tazilah mewajibkan takwil terhadap ayat-ayat

tersebut. Dalam beberapa ayat misalnya Tuhan disebut memiliki tangan (yad), mata (‘ain),

wajah (al- wajh), bertahta, dan lain sebagainya. Metode takwil tersebut selaras dengan

konsep mereka tentang tanzih al -muthlaq (penyucian Allah secara mutlak dari segala hal

yang menjadi sifat makhluk).

Keyakinan tentang Tuhan bisa dilihat oleh mata kepala manusiapun diingkari

dengan keras oleh al-Mu’tazilah. Mereka menganggap bahwa jika Tuhan dapat dilihat

21 _____________, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta : UI Press, 1986), h. 54 22

Al-Qodhi Abdul Jabbar ibn Ahmad , Syarh Ushul al-Khamsah, (Kairo : Maktabah Wahbah, 1996), versi pdf, h. 217

Page 12: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

12

berarti Tuhan ber-jism atau berunsur materi dan mengisi ruang (space) dan tempat

(place), padahal Tuhan merupakan Dzat yang immateri sehingga Tuhan tidak akan bisa

dilihat. Jika Tuhan dapat dilihat di akhirat maka semestinya Tuhan pun bisa dilihat di alam

ini.23

2. Al- ‘Adl (Doktrin Keadilan Tuhan)

Doktrin kedua dari panca doktrin kalam al-Mu’tazilah adalah Al- ‘Adl (Doktrin

Keadilan Tuhan). Doktrin ini berhubungan erat dengan doktrin pertama (al-tauhid). Kalau

dengan al-tauhid kaum Mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan

makhluk, maka dengan al-‘adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan

dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat

zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain, kalau al-tauhid

membahas keunikan diri Tuhan, al-‘adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.24

Jika Tuhan adil, maka, menurut Abdul Jabbar sebagaimana dikutip harun Nasution,

semua perbuatan Tuhan bersifat baik, Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan

apa yang wajib dikerjakan-Nya.25 Al- Mas’udi, sebagaimana ditulis Rasyidah AH,

menggambarkan konsep al-‘adl ini sebagai berikut : Bahwa Allah tidak suka kepada

keburukan. Ia tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia itu mengerjakan

sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu dengan kekuasaan Allah pada diri mereka. Allah

tidak menyuruh kecuali dengan sesuatu yang Ia kehendaki dan tidak melarang kecuali hal-

23 ibid, h. 253 24 Harun Nasution, op.cit, h. 55 25

Ibid

Page 13: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

13

hal yang tidak Ia sukai. Ia melakukan sesuatu yang baik yang diprintahkan-Nya untuk

dilakukan dan berlepas diri dari setiap yang tidak baik yang memang dilarang-Nya.26

Dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa doktrin al-‘adl al-Mu’tazilah

meliputi beberapa poin keyakinan sebagai berikut :

a. Bahwa semua perbuatan Tuhan pasti baik. Karenanya Ia hanya akan

melakukan hal-hal yang baik ;

b. Bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri. Karenanya

manusia diberi kebebasan untuk melakukan yang baik atau yang buruk ;

c. Bahwa Tuhan wajib mendatangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi

manusia. Karena segala sesuatu yang dilakukan Tuhan adalah untuk kemaslahatan

manusia.

Dengan konsep di atas, bagi al- Mu’tazilah, Tuhan itu memang sangat Agung,

Maha Suci dan Maha Sempurna. Tuhan sangat adil, sama sekali tidak melakukan

keburukan dan tidak berbuat zalim. Bahkan kelompok al-Nazzamiyah, salah satu sekte

dalam al-Mu’tazilah, berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat melakukan perbuatan

buruk.27

Dengan mencerna konsep al-Mu’tazilah di atas dapat diketahui bahwa pengaruh

pemikiran kalam al-Qadriyah terhadap konstruksi pemikiran kalam al-Mu’tazilah sangat

kuat terutama tentang perbuatan Tuhan yang terkait perbuatan manusia. Inilah yang

menjadi alasan al-Mu’tazilah pun oleh sebagian pendapat disebut pula sebagai aliran al-

Qadariyah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

26 Rosyidah AH, op.cit., h. 55 27 Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit, h. 54

Page 14: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

14

3. Al- Wa’d wa Al Wa’id (Doktrin Janji dan Ancaman)

Doktrin kalam al-Mu’tazilah ketiga ini merupakan lanjutan dari doktrin kedua.

Menurut mereka Tuhan tidak akan dapat disebut adil jika Ia tidak member pahala kepada

orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan

menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik

diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.28

Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya. Janji Tuhan berupa siksa pasti akan berlaku.

Demikian pula penerimaan taubat nasuha dari orang yang bertaubat atas kesalahan yang

dilakukannya, pasti akan berlaku.29 Prinsip yang dipegang dalam ajaran ini adalah “siapa

yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapa yang berbuat jahat akan

disiksa dengan siksaan yang pedih.30

Dari ajaran al-Mu’tazilah tentang al-wa’d wa al wa’id dapat diambil dua hal pokok :

a. Tuhan mutlak dalam berbuat sesuatu. Perbuatan Tuhan dibatasi

oleh janji-janji-Nya.

b. Al-Mu’tazilah berusaha membawa manusia agar bermoralbaik,

dengan hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan

yang jahat.31

4. Al- Manzilah bain al-Manzilatain (Doktrin Posisi di antara Dua Posisi)

28 Harun Nasution, op.cit, h. 56 29 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Kairo : Dar al- Fikr al-Arabi, t.th), jilid I, h. 142 30 Ibid, h. 142 31

Rosyidah AH, op.cit., h. 82

Page 15: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

15

Konsep kalam tentang al-manzilah bain al-manzilatain merupakan ajaran al-

mu’tazilah pertama kali ketika sekte ini muncul. Doktrin ini ditengarai sebagai doktrin asli

al-Mu’tazilah.32

Doktrin ini muncul ketika ada orang bertanya kepada Hasan al Bashri tentang

posisi orang yang melakukan dosa besar. Sebelum Hasan al Bashri menjawab, Washil bin

Atha member jawaban lebih dulu. Kata Washil, orang yang melakukan dosa besar tidak

mukmin dan tidak pula kafir, tapi ia berada pada posisi di antara dua posisi.33

Doktrin ini juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar

bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan nabi Muhammad, tetapi

bukanlah mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak

dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Ia

seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Inilah sebenarnya keadilan.

Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat

dosa besar, harus dimasukan ke dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu

banyak hubungannya dengan paham al-mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka

digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-

perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tak

dapat masuk surga. Tempat satu-satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia dalam

neraka mendapat siksaan yang sama berat dengan orang kafir. Oleh karena itu pembuat

dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan. Inilah

32 _____________, Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung : Pena Merah, 2004), h. 164 33

Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit, h. 48

Page 16: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

16

menurut al-Mu’tazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan itulah pula

keadilan.34

Mencermati penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa al-manzilah bain al-

manzilatain bukanlah suatu tempat tersendiri yang berada dan terletak antara surga dan

neraka, sebagaimana dipahami bayak orang, tetapi hanya posisi teologis terkait keadaan

keimanan seseorang yang melakukan dosa besar yaitu posisi teologis antara mukmin dan

kafir yang menyebabkannya masuk neraka tetapi diperlakukan (disiksa) tidak sama (lebih

ringan) dengan orang kafir kelak di akhirat.

Menurut doktrin al-Mu’tazilah ini, oraang yang berdosa besar apabila meninggal

sebelum bertaubat, akan dimasukkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya sebab di

akhirat hanya ada dua tempat, yaitu surga dan neraka.35

Doktrin tentang al-manzilah bain al-manzilatain ini menunjukan bahwa :

a. Al- Mu’tazilah betul-betul menempatkan keadilan Tuhan di tempat yang seadil-

adilnya ;

b. Al-Mu’tazilah mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yang baik dan

menjauhi perbuatan jahat terutama dosa besar, sebab orang yang berdosa

besar akan dimasukkan ke dalam neraka.36

5. Al- Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy al-Munkar (Doktrin Perintah berbuat Kebaikan dan

Larangan berbuat Keburukan/Kejahatan).

34 Harun Nasution, op.cit, h. 57 35 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 143 36

Rosyidah AH, op.cit., h. 83

Page 17: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

17

Doktrin kelima dari panca doktrin al-Mu’tazilah ini, menurut Harun Nasution,

dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja. Tetapi juga oleh golongan

umat islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan-golongan itu adalah

tentang pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan cukup dijalankan dengan

penjelasan dan seruan saja, ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan?.

Bagi golongan Khawarij pelaksanaannya dibutuhkan paksaan memakai kekerasan. Bagi al-

Mu’tazilah kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi bila perlu dapat pula dilakukan

dengan kekerasan.37

Ajaran al-Mu’tazilah ini lebih menitikberatkan aspek fiqih ketimbang teologi.

Menurut ajaran ini, Al- Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy al-Munkar adalah wajib dilakukan oleh

orang yang beriman, apabila memenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut menurut

Al-Qadhi Abdul Jabbar, sebagaimana dikutip Rosyidah AH, adalah sebagai berikut :38

a. Ia mengetahui bahwa yang disuruh itu memang sesuatu yang ma’ruf dan yang

dilarang itu memang perbuatan yang munkar.

b. Ia mengetahui bahwa kemunkaran itu nyata dilakukan orang.

c. Ia mengetahui bahwa melakukan Al- Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy al-Munkar itu

tidak akan membawa mudarat yang besar.

d. Ia mengetahui atau setidaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil.

e. Ia mengetahui atau setidaknya sudah mengira bahwa apa yang ia lakukan tidak

akan membahayakan bagi dirinya atau hartanya.

37 Lihat Harun Nasution, op.cit, h. 57 38

Rosyidah AH, op.cit., h. 83-84

Page 18: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

18

Bangunan doktrin al-Mu’tazilah ini berfondasikan pada landasan doktrinal

beberapa ayat al-Qur’an, seperti surat Ali Imran ayat 104 39, Luqman ayat 17 40, yang

menegaskan prinsip yang harus dijalankan oleh setiap muslim untuk menyiarkan agama

dan member petunjuk kepada orang yang sesat. Sejarah pemikiran Islam menunjukan

betapa giatnya orang-orang Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan yang

tersebar luas pada permulaan masa Abbasiah yang hendak menghancurkan kebenaran-

kebenaran Islam, bahkan mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam

melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap golongan-golongan Islam sendiri,

sebagaimana yang pernah dialamai oleh ahli hadits dalam masalah al-Qur’an. Menurut

kaum Mu’tazilah, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan

harus diluruskan.41

Dengan demikian, doktrin Al- Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy al-Munkar ini menjadi

basis legitimasi yang kuat bagi kaum Mu’tazilah untuk melakukan “pembenaran”

sekaligus “pemaksaan” dalam menyebarluaskan faham teologi dan pengaruh politik

mereka kepada golongan-golongan lain yang tidak sefaham dan tidak sejalan dengan

kebijakan-kebijakan penguasa yang menjadi patron penting golongan Mu’tazilah. Realitas

sejarah seperti ini pada akhirnya justru menjadi bomerang terhadap eksistensi mereka

39

Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung”. 40

Artinya : “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. 41

A. Hanafi, op.cit., h. 80

Page 19: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

19

sendiri. Akibat kekarasan terstruktur yang mereka lakukan bukannya rasa simpati yang

dituai melainkan justru kebencian dan perlawanan yang mereka terima.

D. PENUTUP

Demikian paparan tentang pemikiran kalam al- Mu’tazilah yang terrumuskan dalam

bangunan panca doktrin utamanya yaitu al-Ushul al-Khamsah. Doktrin ini menjadi penanda

utama atau karakteristik apakah seseorang disebut bagian dari al-Mu’taziliin (orang-orang

Mu’tazilah) atau tidak. Sebagaimana ditegaskan oleh Abu al-Husain al-Khayyat bahwa

“tak seorang pun dapat dikatakan al-Mu’tazilah, kecuali ia menerima dan berpegang

kepada al-Ushul al-Khamsah”.42

Jika merujuk kepada pendapat al-Khayyat di atas, kiranya al-Mu’tazilah sebagai

sebuah aliran atau sekte resmi telah menjadi langka ditelan oleh dinamika sejarah umat

Islam. Tetapi pola berpikir atau metode berpikir ala al-Mu’tazilah yang bercorak filosofis-

teologis justru berkembang cukup pesat terutama di kalangan terpelajar dan cerdik

cendekia. Pola pikir ala al-Mu’tazilah demikian dianggap relevan untuk mengkaji Islam

dengan lebih berwajah rasional dan kontekstual. Gerakan pembaharuan pemikiran Islam

yang salah satunya dimentori oleh Harun Nasution tidak bisa lepas dari korelasi kuatnya

pengaruh pola pikir ala al-Mu’tazilah ini dalam “grand program” pembaharuan pemikiran

Islam di Indonesia. Realitas ini pada satu sisi sangat positif untuk memperkaya kajian

Islam secara lebih dinamis meskipun banyak kalangan dari beberapa kaum intelektual

Islam yang menolaknya secara apriori maupun yang menyangkalnya dengan argumentasi-

argumentasi ilmiah yang memadai dan mumpuni.

42 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 40

Page 20: Kajian Tentang Al-Ushul Al Khamsah Sekte Al-Mu'Tazilah

20

DAFTAR PUSTAKA

1. A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : Al Husna Zikra, 1995)

2. Abdul Jabbar ibn Ahmad, Al-Qodhi, Syarh Ushul al -Khamsah, (Kairo : Maktabah

Wahbah, 1996), versi pdf

3. Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al -Mazahib al -Islamiyah, (Kairo : Dar al - Fikr al-

Arabi, t.th), jilid I

4. AH, Rosyidah, Al- Ushul al- Khamsah : Lima Ajaran Pokok al-Mu’tazilah, dalam

Sejarah Pemikiran Islam, Teologi – Ilmu Kalam, Supriadi Ahmad dkk, (Jakarta : Amzah,

2012)

5. Al-Syahrastani , Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad, al-Milal

wa al-Nihal, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009)

6. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung : Diponegoro, 2000)

7. Glasse, Cyril, The Concise Encyclopaedia of Islam, Terjemah Ghufron A. Mas’adi,

(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996)

8. http://oxforddictionaries.com

9. Muhammad, Afif, Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung : Pena Merah, 2004)

10. Nasir, Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran dan

Perkembangannya, (Bandung : PT. rajaGrafindo Persada, 2010)

11. Nasution, Harun, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah Analisa

Perbandingan,(Jakarta : UI Press, 1986)

12. Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994)

13. Rais, Muhammad Dhiauddin, al-Nazhariyyat al -Siyasiyyah al-Islamiyyah, terj. Abdul

Hayyie al-kattani dkk. (Jakarta : Gema Insani Press, 2001)