Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

12
Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al- Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010. 7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa dan keti- kan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas, kedalaman teo- ri, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, inovasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi berikutnya. 8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk print-out dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk CD, atau softcopy melalui flashdisk atau lainnya, atau dengan mengirim ke e- mail; journal_syariahfi[email protected] EPISTEMOLOGI CORAK TAFSIR SUFISTIK Lenni Lestari, S.Th.I, M. Hum Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Abstract Many ideology interpretations of al-Qur’an have developed until to- day. One of them is mystical (sufistik) interpretation. This article will explore about epstemology aspects of mystical interpretation and a little bit of it history in grand mapping of al-Qur’an interpretation. In the last of this article will explain about how mysticism interpreta- tion to be faced with verses (ayat) related to Fiqih, Science, Culture, and etc. Key words: Mysticism (tasawuf), mystical interpretation, epistemology, al- Qur’an A. Pendahuluan Fenomena munculnya tafsir sufistik merupakan bukti bahwa umat Islam terus melakukan tajdid al-‘ilm (pembaharuan pengeta- huan) dalam merespon relasi antara kalam Tuhan dan konteks ma- syarakat di zamannya. Imam Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustari, seorang tafsir sufi, pernah mengatakan bahwa Allah itu tak terbatas (un- limited), maka kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas. Demikian penggalan pernyataan yang dikutip oleh Syaikh Badrud- din al-Zarkasyi dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran. Mungkin karena hal inilah mengapa secara historis-faktual, seiring dengan per- jalanan sejarah peradaban umat Islam, tafsir menggunakan berbagai pendekatan dan perangkat penafsiran. 1 Tulisan ini akan memaparkan tentang aspek epistemologi tafsir sufistik, ulasan singkat mengenai dunia tasawuf untuk mengetahui asal-usul munculnya corak tafsir sufi dalam peta penafsiran al-Quran dan di bagian akhir, penulis menambahkan pembahasan tentang bagaimana ketika tafsir sufistik dihadapkan pada ayat-ayat di luar ta- taran tasawuf seperti fiqih, ayat-ayat kauniyah, kebudayaan, dan lain 1 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari Peri- ode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press. 2012), hlm. 10

Transcript of Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

Page 1: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I

Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.

7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa dan keti-kan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas, kedalaman teo-ri, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, inovasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi berikutnya.

8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk print-out dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk CD, atau softcopy melalui flashdisk atau lainnya, atau dengan mengirim ke e-mail;[email protected]

EPISTEMOLOGI CORAK TAFSIR SUFISTIK

Lenni Lestari, S.Th.I, M. HumPascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

AbstractMany ideology interpretations of al-Qur’an have developed until to-day. One of them is mystical (sufistik) interpretation. This article will explore about epstemology aspects of mystical interpretation and a little bit of it history in grand mapping of al-Qur’an interpretation. In the last of this article will explain about how mysticism interpreta-tion to be faced with verses (ayat) related to Fiqih, Science, Culture,

and etc.

Key words: Mysticism (tasawuf), mystical interpretation, epistemology, al-Qur’an

A. PendahuluanFenomena munculnya tafsir sufistik merupakan bukti bahwa

umat Islam terus melakukan tajdid al-‘ilm (pembaharuan pengeta-huan) dalam merespon relasi antara kalam Tuhan dan konteks ma-syarakat di zamannya. Imam Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustari, seorang tafsir sufi, pernah mengatakan bahwa Allah itu tak terbatas (un-limited), maka kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas. Demikian penggalan pernyataan yang dikutip oleh Syaikh Badrud-din al-Zarkasyi dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran. Mungkin karena hal inilah mengapa secara historis-faktual, seiring dengan per-jalanan sejarah peradaban umat Islam, tafsir menggunakan berbagai pendekatan dan perangkat penafsiran.1

Tulisan ini akan memaparkan tentang aspek epistemologi tafsir sufistik, ulasan singkat mengenai dunia tasawuf untuk mengetahui asal-usul munculnya corak tafsir sufi dalam peta penafsiran al-Quran dan di bagian akhir, penulis menambahkan pembahasan tentang bagaimana ketika tafsir sufistik dihadapkan pada ayat-ayat di luar ta-taran tasawuf seperti fiqih, ayat-ayat kauniyah, kebudayaan, dan lain

1 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari Peri-ode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press. 2012), hlm. 10

Page 2: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

8 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 9

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

sebagainya, sementara wacana yang berkembang mengatakan bahwa tafsir sufistik lebih mementingkan makna batin daripada aspek lain-nya.

B. Pembahasan1. Sekilas Tentang Tasawuf

a. Pengertian TasawufHampir-hampir terdapat kesepakatan para ahli dalam bi-

dang tasawuf tentang sulitnya merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan pengertian tasawuf. Hal ini disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap agama, aliran filsafat, dan peradaban.2 Selain itu, istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Quran ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf di-kaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.3

Salah satu pendapat mengatakan bahwa kata al-ta-sawwuf ( التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) adalah bahasa Arab dari kata suf (

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

), atau bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian domba sebagai simbol kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah dise-butkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150H).4 Al-Zahabi memberi makna tasawuf sebagai sikap me-nyerahkan diri kepada Allah (dan berserah diri) sesuai yang Al-lah kehendaki.5

Abu al-Wafa’ al-Taftazani mencoba mengajukan definisi

2 Alwi Shihab. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia. (Depok: Pustaka Iman. 2009), hlm. 43.

3 Lihat Harun Nasution, “Tasawuf” dalam Budhi Munawar Rachman (Ed.), Kon-tekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina. 1995), hlm. 161. Sebagaimana dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, Vol. 3, No. 2, Januari 2003. Hlm. 148-149.

4 UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005), hlm. 29.

5 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th), hlm. 301.

yang hampir mencakup seluruh unsur substansi tasawuf, yakni “Sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan mengembang-kan moralitas jiwa manusia, yang dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis tertentu yang membuahkan larutnya perasaan dalam hakikat transedental”. Pendekatan yang digunakan adalah zauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman seperti ini tak kuasa diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional dan personal.6

b. Sejarah dan Perkembangan TasawufTimbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya

segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendeka-tan diri kepada Tuhan melalui ibadah puasa dan haji. Mereka merasa ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya.

Al-Zahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, Nabi Muhammad merupakan orang yang pertama kali mencontohkan praktik ke-hidupan sederhana,7 banyak diantara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah lainnya, teta-pi mereka belum mengenal istilah tasawuf sampai kurun abad kedua Hijriah.8

Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H dan seterusnya), se-cara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup seder-hana lebih dikenal dengan kaum sufiah. Pada masa ini pulalah

6 Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, cet. II. (Kairo: Dar al-Saqafah wa al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1976), hlm. 24-25. Dikutip oleh Alwi Shihab. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia. (Depok: Pustaka Iman. 2009), hlm. 46-47.

7 UIN Sunan Kalijaga. Akhlak/Tasawuf, hlm. 41.

8 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302. Sebagaima-na dikutip Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi, hlm. 149.

Page 3: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

10 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 11

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

istilah tasawuf mulai dikenal.9

Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melim-pah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola ke-hidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.

Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran den-gan filsafat dan kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi nazari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah swt.10

Dari hal tersebut diatas mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mem-pelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis, dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagain-ya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Is-lam, seperti halnya filsafat, hukum, dan lainnya.

c. Tasawuf Sebagai Salah Satu Corak Tafsir Al-QuranBerdasarkan pemetaan Abdul Mustaqim, tafsir corak tafsir

termasuk dalam tafsir yang muncul pada abad pertengahan (ter-hitung sekitar abad III H sampai dengan abad VII/VIII H atau ketika peradaban Islam memimpin dunia). Hal ini ditandai den-gan bergesernya tafsir bi al-Ma’sur menjadi tafsir bi al-ra’yi. Penggu-

9 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302.

10 Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Parama-dina, 1995), hlm. 181. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 149.

naan rasio semakin kuat, meskipun sering terjadi bias ideologi. Sebagai implikasinya, muncullah berbagai kitab tafsir yang di-warnai dengan corak dan kecenderungan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu dan mazhab ideologi para mufassirnya dan bahkan penguasa saat itu.11

Dilihat dari pemetaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran,12 metode penafsiran,13 dan corak penafsirannya.14

Berdasarkan pembagian ini, maka dapat dikatakan bahwa ben-tuk penafsiran sufistik adalah tafsir bi al-ra’yi. Metode yang may-oritas digunakan dalam menyajikan hasil penafsirannya adalah metode tahlili. Sedangkan coraknya adalah corak sufi atau ta-sawuf yang dominan digunakan dalam tafsirnya.

Corak tafsir yang lahir akibat dari timbulnya gerakan-ger-akan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak ter-hadap materi, telah mempunyai ciri khusus dan karakter yang membedakannya dengan tafsir lain.15 Bagi para sufi, beberapa ayat dalam al-Quran–tanpa menggunakan kecerdasan yang ter-lampau tinggi- tampak jelas dan pada saat yang sama dapat dipa-hami sebagai teks yang menopang mazhab mereka yang spesi-fik.16

11 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…, hlm. 90.

12 Bentuk penafsiran adalah pendekatan dalam proses penafsiran. Lihat Nashirud-din Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), hlm. 386.

13 Metode penafsiran adalah sarana yang diterapkan untuk mencapai tujuan. Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Hlm. 386.

14 Corak Penafsiran adalah tujuan instruksional dari suatu penafsiran. Tiga isti-lah pembedaan di atas (bentuk, metode, dan corak penafsira) ditawarkan oleh Nashiruddin Baidan yang bertujuan untuk mempermudah para peminat tafsir dalam melakukan kajian tafsir. Lihat Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), hlm. 368-386.

15 Abdul Mustaqim. Pembuatan Buku Daras Madzahibu al-Tafsir (Fakultas Ushu-luddin, IAIN Sunan Kalijaga), hlm. 63. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi…, hlm. 150.

16 D. B. Mac Donald. Aspect of Islam. (New York: 1911), hlm. 75, 186. Seb-agaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher dalam Mazhab Tafsir, Dari Klasik Hingga

Page 4: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

12 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 13

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

Sebagian ulama membagi tasawuf ini menjadi dua bagian, yaitu tasawwuf nazari (teoritis) dan tasawuf ‘amali (praktis). Tasaw-wuf nazari adalah tasawuf yang berdasarkan pada wacana analisis dan studi (kajian). Sedangkan tasawwuf ‘amali adalah tasawuf yang bersandar pada sikap meninggalkan kesenangan duniawi (taqasysyuf) dan zuhud dan mendedikasikan dirinya hanya ke-pada Allah swt.17

Tafsir corak ini dapat ditemukan untuk melegitimasi poin-poin ajaran sufi yang plural dan juga dalam kitab-kitab metodol-ogis tafsir yang menafsirkan al-Quran dari bagian awal hingga paling akhir supaya lingkaran pemikirannya dapat berjalan siste-matis. Porsi terbesar yang cukup mencolok dalam literatur awal corak ini yang dapat diajukan produknya dari tafsir al-Quran adalah Tafsir al-Quran al-‘Azim karya Sahal al-Tustari (wafat 276 atau 286 H/886 atau 896 M) yang masih tersimpan dalam ben-tuk tulisan tangan (manuskrip).18

Selain itu ada juga buku yang paling menonjol dalam di-siplin tafsir sufi terutama karakteristiknya yang tersebar luas di dunia Islam, yaitu kitab tafsir sarjana sufi Andalusia, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (lahir 562 H/ 165 M, wafat 638 H/ 1124 M). Kitab tafsir ini al-Futuhat, beberapa kali telah mengalami cetak ulang di Timur. Ibnu ‘Arabi19 dikenal sebagai sosok paling populer dalam

Modern, (penerj. M. Alaika Salamullah). (Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010), hlm. 221.

17 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 297.

18 Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 259.

19 Ibnu ‘Arabi adalah seorang tokoh besar tasawuf falsafi teoritis. Ia menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan penafsiran yang disesuaikan dengan teori-teori ta-sawufnya, baik di dalam kitab tasawufnya yang populer maupun kitab-kitab lain yang dinisbatkan kepadanya, seperti al-Fusus. Dia adalah penganut paham wihdatul wujud. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan. Studi-studi Ilmu Al-Quran. Terj. Mudzakir. AS. (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa. 2007), hlm. 494. Ibnu ‘Arabi konon lebih mementingkan dan mendahulukan makna batin daripada makna zahir suatu perkataan atau ayat apabila menafsirkan al-Quran. Lihat Syamsud-din Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani. 2008), hlm. 225, yang dikutip dari Muhammad Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah. 1961), hlm. 407.

ranah tasawuf.20 Selain itu juga ada kitab Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi,21 kitab ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karya Abi Mu-hammad al-Syairazi22 dan kitab al-Ta’wilat al-Najmiyah karya Najm al-Din Dayah dan ‘Ula’ al-Daulah al-Samanani.23 Ada satu karya lainnya yang dikenal sebagai tafsir sufi, yaitu tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi.24 Namun, al-Zahabi dikutip juga oleh Abdul Mus-taqim mengatakan bahwa tafsir ini termasuk kitab corak tafsir bi al-ra’yi al-mahmud dengan metode tahlili, meskipun ada seba-gian ulama yang menganggapnya sebagai kitab tafsir bercorak sufi.25 Abdul Mustaqim mengatakan bahwa ada satu kitab tafsir sufistik yang relatif banyak diterima oleh para ulama, yaitu La-taif al-Isyarat karya Abdul Karim Ibn Hawazan Ibn Abd al-Malik Ibn Talhah Ibn Muhammad al-Qusyairi. Kitab ini dinilai positif oleh para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang, selalu berusaha mempertemukan antara syariat dan hakikat serta steril dari ideologi mazhab tertentu.26

2. Kategorisasi Tafsir SufistikAdapun kategorisasi corak tafsir sufi terbagi menjadi dua,

yaitu al-tafsir sufi nazari sebagai turunan dari tasawwuf nazari (aliran yang berusaha menemukan wujud Tuhan dalam makh-luknya) dan al-tafsir al-sufi al-Isyari sebagai turunan dari tasawwuf

20 Ibid,. hlm. 259-260.

21 Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 150.

22 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005), hlm. 341.

23 Ibid., hlm. 344.

24 Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. (Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayiyn. 1988). Hlm. 296.

25 Dilihat dari perspektif “al-taghlib” –meminjam istilah al-Zahabi- maka anggapan bahwa tafsir al-Alusi sebagai tafsir bercorak sufi jelas terlalu berlebihan, sebab porsi sufistiknya ternyata lebih sedikit. Lihat Abdul Mustaqim, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, dalam buku Studi Kitab Tafsir. (Yogyakarta: TERAS. 2004), hlm. 159.

26 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…. hlm. 130.

Page 5: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

14 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 15

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

‘amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah, bahkan in-gin menyatu).27 Adapun pembahasannya adalah sebagai berikut:

a. Al-Tafsir al-Sufi al-NazariDi antara kaum sufi ada yang membangun tasawufnya di

atas teori dan doktrin filsafat, maka rasional kalau kaum sufi mengkaji al-Quran dengan kajian yang sejalan dengan teori mer-eka dan sesuai dengan doktrin mereka, hingga dalam menjelas-kan al-Quran keluar dari makna dzahir yang dikuatkan syara’ secara bahasa.

Sebenarnya suatu hal yang tidak mudah untuk menemu-kan konsep sufi dalam al-Quran sesuai dengan kajian tasawwuf. Karena al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia bu-kan untuk mengokohkan suatu teori tertentu yang terkadang baru dan jauh dari ruh (esensi) al-Quran dan kepastian akal.

Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek keba-hasaan saja. Tafsir ini sering digunakan untuk memperkuat teo-ri-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Ulama yang dianggap ahli dalam bidang ini adalah Muhyiddin bin ‘Arabi, karena beliau dianggap sering bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sufi Ibn ‘Arabi ini banyak diikuti oleh murid-muridnya. Selain itu, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti al-Futuhat al-Makkiyah dan al-Fusus. Dalam dua kitab ini kita akan banyak melihat ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan berlandas-kan teori sufi filosofis.28

Dalam penafsirannya, Ibnu ‘Arabi terpengaruh dengan teori wahdatul wujud (pantheisme) atau dalam bahasa Jawa dike-nal dengan istilah manunggaling kawulo gusti, yaitu teori tasaw-wuf tentang persatuan antara Tuhan dan manusia. Menurut al-Zahabi, penafsiran Ibnu ‘Arabi telah keluar dari madlul yang dikehendaki Allah. Dari pernyataan ini, terlihat bahwa al-Zaha-bi tidak sependapat dengan Ibnu ‘Arabi.

27 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005), hlm. 297.

28 Ibid., hlm. 297-298.

Adapun contoh penafsiran Ibnu ‘Arabi yang terpengaruh dengan teori wahdatul wujud ialah dalam QS. al-Fajr: 29-30,

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.Ayat ini ditafsirkan: “…masuklah ke dalam surgaku dimana ia adalah pe-lindungku, surgaku tidak ada selain Engkau, Engkau yang melindungiku den-gan Zat manusia-Mu, saya tidak tahu apapun kecuali Engkau sebagaimana Engkau tidak akan ada kecuali denganku, maka barangsiapa tahu Engkau pasti ia tahu aku, sedang aku tidak diketahui maka Engkau tidak diketahui juga. Jika aku masuk surga, maka aku masuk jiwa-Mu…”29

Tafsir dengan corak semacam ini banyak mendapat kritik dari para ulama, seperti al-Zahabi yang mengkritik Ibnu ‘Ara-bi yang dianggapnya terlalu batiniyyah (hanya melihat aspek batin)30 dari teks-teks lahiriyah al-Quran dan bahkan melenceng dari syariat Islam.31 Terkadang Ibnu ‘Arabi juga menundukkan kaidah nahwu di bawah teori tasawufnya.32

Adapun contoh penafsiran Ibnu ‘Arabi yang terpengaruh dengan filsafat adalah pada QS. Al-Rahman: 19-20,

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu.

29 Ibnu ‘Arabi. Al-Fusus. Jilid I. Hlm. 191-193. Dikutip oleh al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Hlm. 299.

30 Ada satu ayat yang sering dijadikan dalil adanya tafsir kebatinan, yaitu QS. Al-Hadid:13,

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” Lihat Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an..., hlm. 297.

31 Al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Hlm. 299.

32 Hal ini dapat dicermati dalam penafsirannya tentang QS. Al-Hajj: 30

(

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) Ia mengatakan bahwa ‘amil dalam zaraf (

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) adalah jalan tasawufnya. Lihat al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 301-302.

Page 6: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

16 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 17

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.”Ibnu ‘Arabi menafsirkan dua lautan (

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) dengan lautan pertama sebagai lautan materi fisik seakan air garam yang asin, sedangkan lautan kedua sebagai lautan abstrak, seakan air tawar yang segar. Kata keduanya bertemu (

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) maksudnya adalah bertemu dalam wujud manusia. diantara keduanya ada pembatas yang memisahkan yaitu jiwa hewani (

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) yaitu jiwa yang tidak jernih. Keduanya juga tidak saling melam-paui batas (

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) yaitu antara jasad dan ruh tidak akan sal-ing mengalahkan.

Padahal secara umum, ayat ini ditafsirkan dengan perkem-bangan ilmu pengetahuan. Bahwa maksud dari dua lautan adalah di Selat Gibraltar itu terdapat pertemuan dua jenis laut yang berbeda warna. Seperti ada garis pembatas yang memisah-kan keduanya. Satu bagian berwarna biru agak gelap dan pada bagian lain tampak lebih terang.33

Al-Zahabi memberikan beberapa kriteria dalam penafsir-an nazari, yaitu:34

1) Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penaf-siran ayat-ayat al-Quran.

2) Memberikan perumpamaan terhadap sesuatu yang ghaib (ab-strak) kepada sesuatu yang syahid (tampak/jelas). Menurut al-Zahabi, perumpamaan seperti ini terkesan menerka-nerka, padahal masih menurut al-Zahabi - perumpamaan seperti itu tidak boleh dilakukan kecuali ada informasi dari Rasulullah saw sendiri.

3) Terkadang tidak memperhatikan kaidah Nahwu atau Balaghah. Kaidah ini akan digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah ini diabaikan. Den-gan kata lain, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan

33 Menurut penjelasan para ahli kelautan seperti William W Hay, guru besar Ilmu Bumi di Universitas Colorado, Boulder, AS dan mantan dekan Sekolah Kelau-tan Rosentiel dan Sains Atmosfer di Universitas Miami, Florida AS, serta Prof Dorja Rao, seorang spesialis di Geologi Kelautan dan dosen di Universitas King Abdul-Aziz, Jeddah, air laut yang terletak di selat Gibraltar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari kadar garamnya, suhu maupun kerapatan air laut.

34 Ibid., hlm. 306.

bila membenarkan atau menguatkan teori tasawwufnya.

b. Al-Tafsir al-Sufi al-IsyariAl-tafsir al-sufi al-Isyari menurut al-Zahabi adalah menakwil-

kan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi.35 Tafsir model ini dinisbatkan kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika menafsirkan al-Quran ber-dasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah swt kepada hambanya berupa instuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi makna ayat-ayat al-Quran.36

Dengan kata lain, tafsir isyari ini merupakan usaha menta’wil ayat-ayat al-Quran berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-isyarat rahasia yang ditangkap oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-Quran.

Lahir batin merupakan konsep yang dipergunakan kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Quran khususnya dan melihat dunia umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang bathin. Bagi mereka bathin adalah sumber pengetahuan sedan-gkan dzahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa setiap ayat al-Quran memiliki empat makna: za-hir, batin, had, dan matla’. Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa selain yang dzahir, al-Quran memiliki makna batin. Abdullah (al-Muhasibi) dan Ibn al-‘Arabi memberikan penjelasan per-nyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah ba-

35 Ibid., hlm. 308. Lihat juga dalam kitab Arsyif Multaqa Ahli al-Tafsir (tanpa penga-rang). Jilid I. (T.Tp. T. Th), hlm. 1634.

36 Definisi ini diperketat lagi dengan beberapa kata oleh Khalid Abdurrahman al-‘Ak yaitu: penakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan zahirnya yang tampak dari teks itu dengan panduan isyarat-isyarat tersembunyi (rahasia) yang dihasilkan oleh orang-orang yang berilmu dan sufi/salik (menuju Allah) dan memungkinkan untuk dikompromikan antara makna isyarat dengan makna lahir (tekstual) dengan salah satu cara dari beberapa cara yang dibenarkan syariat. Al-‘Ak. Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu. (Damaskus: Dar al-Nafais. 1986), hlm. 205. Sebagaimana dikutip Abbas Arfan Baraja. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-Qusyairi….hlm. 57-58.

Page 7: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

18 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 19

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

caan dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdur-rahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah bacaannya, sementara yang batin adalah pemahamannya.37

Baik makna zahir ataupun makna batin pada al-Quran, adalah dari Allah. Zahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para Nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan ba-tin adalah pemahaman di hati sebagian orang mukmin yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, dualism lahir-batin dalam wacana al-Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikem-balikan kepada manusia, melainkan kepada Allah. Yang zahir adalah yang bisa diindra (al-Surah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.38

Khalid Abdurrahman al-‘Ak membagi tafsir isyari berdasar-kan isyaratnya dalam dua bagian, yaitu: pertama, isyarat khafiyah (indikasi yang tersembunyi) dimana yang memperolehnya hany-alah ahli taqwa dan ulama di dalam membaca al-Quran, kemu-dian mendapat intuisi-intuisi mistik yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah (indikasi jelas) yang dikandung ayat-ayat kauniyah di dalam al-Quran yang mengisyaratkan dengan jelas adanya ilmu-ilmu seperti era modern.39

Dalam fenomena tafsir isyari terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama membolehkan karena itu sebagai tanda keteguhan iman dan sebagai pengetahuan yang murni serta kontrobusi yang positif, sementara sebagian lain-nya mengharamkan karena dianggap menyimpang dari ajaran Allah swt.

Al-Zahabi menetapkan beberapa syarat diterima tafsir isyari, yaitu:1) Penafsirannya sesuai dengan makna lahir yang ditetapkan

dalam bahasa Arab. Sekiranya sesuai maksud bahasanya, maka tidak berusaha melebih-lebihkan makna lahir.

2) Harus ada bukti syar’i yang bisa menguatkan.

37 Al-Jabiri. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. (Beirut: Markaz al-Dirasah al-Wah{dat al-‘Arabiyah. 1990), hlm. 277. Sebagaimana dikutip oleh Asep Nurdin, Karakter-istik Tafsir Sufi, hlm. 154.

38 Ibid., hlm. 298.

39 Ibid., hlm. 58.

3) Tidak menimbulkan kontradiksi, baik secara syar’i maupun ‘aqli.

4) Harus mengakui makna lahirnya ayat dan tidak menjadi-kan makna batin sebagai satu-satunya makna yang berlaku sehingga menafikan makna lahir.40

Adapun contoh tafsir isyari yang dapat diterima adalah penafsiran al-Tustari terhadap QS. A-Baqarah: 22,

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, pada-hal kamu Mengetahui.”

Al-Tustari mengatakan bahwa makna (

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

) adalah la-wan. Maksudnya adalah nafsu amarah. Jadi, maksud “andaadan” adalah bukan hanya patung-patung, setan, tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan manusia sebagai Tuhannya, sehingga ia terkadang lebih cenderung mengikuti nafsu amarahnya diband-ing Tuhannya. Dengan kata lain, manusia jangan sampai diper-budak oleh nafsu amarahnya.41

Tafsir isyari telah ada sejak masa sahabat. Salah satu con-tohnya adalah penafsiran Ibnu Abbas terhadap QS. Al-Nasr: 1,

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

“Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”Diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn ‘Abbas bahwa suatu

hari Umar mengajak Ibn ‘Abbas bertemu dengan para sahabat senior perang Badar, kemudian Umar bertanya kepada para sa-habat, “Apa penafsiran kalian tentang ayat di atas?”. Kemudian sahabat menjawab, “Kita diwajibkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya jika kita mendapat pertolongan dan kemenangan”. Lalu Umar bertanya kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah seperti itu penafsiranmu?”. Ia menjawab, “Tidak, itu ajal Rasulullah yang disampaikan Allah kepadanya.” Umar ber-

40 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 330.

41 Al-Tustari. Tafsir al-Tustari. Jilid I. (T. Tp, T.Th), hlm. 8.

Page 8: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

20 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 21

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

kata, “Saya tidak tahu tentang ini kecuali dari anda.”42

Sahabat lainnya tidak paham tentang makna batin ayat tersebut, tetapi Umar dan Ibn ‘Abbas sudah paham melalui metode isyarah.43 Melalui penjelasan dan beberapa contoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber penafsiran Al-tafsir al-sufi al-Isyari adalah intuisi. Adapun metode dalam mensajikan komentar tafsirnya menggunakan metode tahlili.

c. Perbedaan Al-tafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari Menurut al-Zahabi, ada dua aspek perbedaan antara Al-

tafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu:1) Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di

dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah terlebih dahulu, akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilaku-kan oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai tingkatan terungkapnya tabir isyarat (petunjuk) kesucian.

2) Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari sebaliknya yaitu ada makna lain yang dikandung ayat, arti-nya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga makna batin.44

3. Kekurangan Tafsir SufistikTafsir sufistik termasuk dalam periode abad pertengahan,

maka dari itu karakteristiknya juga mengikuti penafsiran pada abad pertengahan yang lebih didominasi oleh kepentingan-ke-pentingan politik, mazhab, atau ideologi keilmuan tertentu. Se-belum menafsirkan al-Quran, seorang mufassir sudah diselimuti

42 Pada bagian akhir tafsir ayat di atas, Ibn ‘Abbas berkomentar:

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

Maksudnya adalah bahwa Rasulullah hendak menyampaikan tentang wafatnya

beliau. Lihat Ibn ‘Abbas. Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas. Jilid II. (T. Tp, T. Th), hlm. 162.

43 Ibid,. hlm. 310-311

44 Ibid,. hlm. 308.

“jaket ideologi” tertentu. Akibatnya terjadi pemaksaan dalam penafsirannya. Kekurangan penafsiran periode pertengahan adalah:a. Pemaksaan gagasan eksternal (al-takalluf fi al-idkhal al-anashir

kharijal al-Quran fi al-tafsir) yaitu terjebak dalam arus menon-jolkan kepentingan, sebagai contoh penafsiran Ibn ‘Arabi yang menafsirkan di bawah bayang-bayang teori wahdatu al-wujud.45 Sebagai contoh ketika Ibn ‘Arabi menafsirkan QS. Al-Muzammil:8,

التصوف

صوف

حمة وظاهره من قبله العذاب فضرب بينهم بسور له باب باطنه فيه الر

فهو خير له م حرمات الل عند رب ه ذلك ومن يعظ

البحرين

يلتقيان

النفس الحيوانية

لا يبغيان

أندادا

فنعى رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذه السورة بالموت

“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.”

Ibnu ‘Arabi menafsirkan dengan komentar “Ingatlah nama Tuhanmu, yang dia adalah kamu sendiri”.

b. Berbasis ideologis, yaitu ada kecenderungan cara berfikir yang berbasis pada ideologi mazhab atau sekte keagamaan atau keilmuan tertentu. Penyebab terjadinya hal ini, diantaranya karena tendensi yang buruk dari sebagian pemalsu riwayat, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi atau sahabat untuk melegitimasi tendensi buruk mereka, terlalu berpegang pada pengertian atau makna lughawi tanpa memperhatikan wacana dan konteks kalimat, dan juga -atau- adanya relasi kuasa yang mengintervensi penafsiran dan mem-back up legitimasi kekua-saan.

c. Bersifat repetitif. Sekarang penafsiran mengikuti metode mu-shafi, sehingga adanya penjelasan berulang bagi ayat-ayat yang memiliki semangat yang sama.

d. Bersifat parsial, yaitu uraiannya sepotong-potong, tidak kom-plit, sehingga informasinya ada yang minim ketika hendak mengkaji tema-tema tertentu.46

e. Penulis menambahkan satu kekurangan lain yang sering ditu-jukan bagi tafsir sufistik. Di sini penulis mengutip pendapat yang diungkapkan oleh Subhi al-Salih dalam karyanya Maba-his fi ‘Ulum al-Quran. Ia mengatakan bahwa tafsir seperti ini

45 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 351.

46 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…. hlm. 99-112.

Page 9: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

22 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 23

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

biasanya menghasilkan tafsir yang rancu dan bertentangan dengan ushul syari’ah dan kaidah bahasa.47

Pada dasarnya, empat kekurangan pertama di atas meru-pakan kekurangan yang juga didapatkan pada corak tafsir lain-nya, seperti tafsir ‘ilmi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, dan lain sebagai-nya. Hal ini karena tafsir yang memiliki corak-corak tertentu mulai muncul pada periode abad pertengahan dan kekurangan di atas merupakan hal-hal yang umum terjadi dalam kitab-kitab tafsir pada masa itu.

4. Tafsir Sufistik: Tinjauan EpistemologiSetelah membahas ketegorisasi tafsir tasawuf, maka dapat

dilakukan pemetaan berdasarkan tinjauan epistemologinya. Sumber pengetahuan tafsir sufistik adalah intuisi48 dan teori filsafat. Intuisi diperoleh dari kasyf (penyingkapan) dan muja-hadah yang telah mencapai ahwal (pengalaman spiritual karena kesungguhan dalam beribadah). Sumber ini digunakan oleh ali-ran tafsir al-sufi al-Isyari. Sedangkan sumber pengetahuan tafsir sufistik lainnya adalah teori-teori filsafat. Teori ini diperoleh dari metode ta’wil nazari49 yang dipadukan dengan dasar keil-muan ahli sufi yang mencari teori-teori mistik untuk mempro-mosikan kelompok atau mazhab tertentu. Sumber pengetahuan

47 Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an..., hlm. 297.

48 Intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui penalaran tertentu. Asumsinya adalah bahwa dalam benak kita terdapt kekuatan bawah sadar yang menyerap banyak sekali informasi dan data dari indra kita dan dengan tepat membentuk situasi, memecahkan masalah, dan seterusnya tanpa memerlukan pemikiran yang kaku dan formal. Lihat Nuroni Soyomukti. Pengantar Filsafat Umum. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011), hlm. 160.

49 Penulis sepakat dengan pembagian ta’wil yang ditawarkan Syahrur, yaitu ta’wil hissi (ta’wil indrawi/empiris) dan ta’wil nazari (ta’wil teoritis). Ta’wil hissi (ta’wil indrawi/empiris) adalah menakwilkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan realitas kebenaran objektif. Sedangkan ta’wil nazari (ta’wil teoritis) adalah ta’wil yang dilakukan dengan melakukan penelitian (istiqra’) dan penyimpulan (istintaj) dengan cara merumuskan teori-teori filsafat dan teori ilmiah dari ayat-ayat al-Quran. Model kedua bersifat deduktif, dalam arti berangkat dari teks menuju realitas. Muhammad Syahrur. Al-Kitab wa al-Quran, hlm. 60. Sebagaimana di-kutip oleh Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LKiS. 2010), hlm. 213-214.

ini digunakan dalam Al-tafsir sufi nazari.Dilihat dari metode penafsiran, tafsir corak sufi termasuk

dalam metode tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang tersusun di dalam mushaf. Akan tetapi dalam tafsir al-Tustari, ada banyak ayat yang tidak ditafsirkan, baik secara lughawi maupun aspek lainnya. Begitu juga halnya dalam tafsir al-Qusyairi. Maka dari itu, menurut penulis, tafsir corak sufi tidak memenuhi syarat metode tahlili secara utuh. Atau, dapat dikatakan tafsir corak sufi menggunakan metode semi-tahlili.

Kuatnya pengaruh idelogi mufassir dalam corak tafsir sufi ini, berimplikasi pada validitas kebenarannya yang berdasarkan siapa penguasa pada zaman itu. Hal ini seperti dikatakan oleh Hassan Hanafi, “The validity of an interpretation lies in its power.”50 Selain itu juga berdasarkan keilmuan dan mazhab mufassirnya.

5. Bagaimana Ahli Sufi Menafsirkan Ayat-ayat di Luar Tataran Ta-sawuf ?

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai penafsiran ayat-ayat di luar tataran tasawuf, kiranya perlu diketengahkan terlebih dahulu tentang apakah tafsir sufistik menafsirkan selu-ruh ayat-ayat al-Quran dalam kerangka berfikir tasawuf?. Men-genai hal ini, penulis melakukan pembacaan sekilas pada tafsir al-Tustari dan al-Qusyairi. Dari pembacaan ini, penulis mene-mukan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya.

Ada beberapa ayat yang diloncati dan tanpa alasan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam tafsir al-Qusyairi yang tidak mem-berikan penafsirannya sebanyak 9 ayat dalam surat al-Zariyat, yaitu dari ayat 39-47.51 Pada tafsir al-Tustari penulis menemukan sebanyak 16 ayat dalam surat al-Baqarah, yaitu dari ayat 6-21.52

50 Hassan Hanafi. Method of Thematic Interpretation. Hlm. 197. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 50.

51 ‘Abdul Karim bin Hawazin bin ‘Abd al-Mulk al-Qusyairi. Lataif al-Isyarat. Jilid VII. (T. Tp, T. Th), hlm. 310.

52 Abu Muhammad Sahl bin ‘Abd Allah bin Yunus bin Rafi’ al-Tustari. Tafsir al-Tustari. Jilid I. (T. Tp, T. Th), hlm. 7.

Page 10: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

24 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 25

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

Dari pembacaan –sekilas- ini, penulis menemukan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya dalam nuansa tasawuf. Fenomena ini memberikan dua kemungkinan, pertama, ayat-ayat yang diloncati tampaknya sulit bila ditafsirkan dalam kerangka tasawuf, dan kedua, ada sebagian naskah atau teks yang hilang dan belum ditemukan oleh muhaqqiq.

Selanjutnya adalah tentang isu yang menyatakan bahwa para sufi menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal ini karena mereka lebih menekankan pada aspek hakikat bukan syariat. Oleh karena itu, perlu dik-etengahkan bagaimana sejarah tasawuf menanggapi isu ini.

Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad ke-14 telah ter-jadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali dengan menulis berbagai kitab, terutama kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Al-Ghazali sebagai seorang yang du-lunya seorang filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa hanya mengambil salah satu dari keduanya.53

Ulama sufi –dalam hal ini terutama Ibn ‘Arabi- selalu mengambil makna lebih dari sebuah perintah hukum atau syar-iat. Ayat-ayat tentang perintah shalat, zakat, dan lainnya tetap diterima sebagaimana ahli fuqaha. Yang berbeda adalah ahli sufi tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak, tetapi menelusuri apa hikmah-hikmahnya. Kelebihan inilah yang jarang dilakukan oleh ahli fuqaha.

Ada beberapa contoh penafsiran ahli sufi terhadap ayat-ayat hukum, diantaranya:

a. Ayat-ayat tentang kewajiban menutup aurat. Ibn ‘Arabi dalam karyanya al-Futuhat al-Makkiyah -sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher- mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah kewajiban, tetapi tidak lepas dari makna batin yaitu ke-wajiban bagi orang berakal untuk menutup rahasia Tuhan. Hu-kum yang mengatur tidak bolehnya seorang wanita tanpa tutup

53 Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah.., hlm. 184. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi…, hlm. 157.

kepala dalam melaksanakan shalat ditafsirkan sebagai berikut; “seorang wanita i’tibar-nya54 adalah jiwa dan kepala adalah lam-bang dari kepemimpinan. Maka wajib bagi jiwa untuk menutup kepalanya atau menutup kepemimpinannya di hadapan Tuhan sebagai tanda kepatuhannya kepada Allah, serta membuang se-tiap pemikiran congkak dan takabbur, kemudian menggantinya dengan kerendahan dan ketundukan”.55

b. Zakat dari aspek bahasa dan asal katanya mempunyai makna ke-sucian, maka Ibnu ‘Arabi menafsirkan melalui jalan simbolik dan isyarat penentuan syara’ pada delapan golongan yang wajib diberi zakat (mustahiq al-zakah). Berikutnya dia memahami zakat dengan makna penyucian akhlak pada delapan anggota tubuh. Adapun shadaqah sunnah ditafsirkan dengan meratakan penyu-cian pada seluruh badan.56

c. Sebelum Ibnu ‘Arabi, filosof Ibnu Sina telah menjelaskan konsep yang serupa dalam kajiannya tentang esensi shalat, yang ia sebut sebagai “ibadah ruhani”. Pada saat shalat fisik –yang dikerjakan dengan anggota tubuh dalam bentuk formalistic sekaligus wak-tu yang telah ditentukan- berbanding lurus dengan tingkatan-tingkatan jiwa yang rendah, yang membedakan manusia dengan hewan. Hal ini karena shalat merupakan media pembersihan jiwa manusia dari godaan syeitan dan syahwat serta melepaskan diri dari tujuan-tujuan duniawi.57

54 I’tibar (mengambil pelajaran) maksudnya adalah mengambil ruh maknawi yang bersemayam dalam bentuk dzahir. Ibnu ‘Arabi menerapkan metode ini dalam memaknai bentuk-bentuk legislasi dalam Islam. Sebenarnya Ibnu ‘Arabi mem-punyai keinginan untuk menghimpun pandangan-pandangan ini dalam sebuah kitab khusus yang memuat kajian ilmu Fiqh ala Ibnu ‘Arabi, tetapi cita-citanya ini tidak terealisasi. Namun ia telah mengajukan beberapa contoh yang rep-resentatif tentang hal itu dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah. Dikutip dari Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 293.

55 Ibn ‘Arabi. Al-Futuhat al-Makkiyah. Jilid I. hlm. 407. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 294-295.

56 Al-Ghazali juga tidak merasa puas dengan apa yang dicapai oleh para ulam fiqh yang memahami legislasi dengan pemahaman zahir. Menurutnya ahli fiqh lupa dan hanya menghadap ke dunia. Al-Ghazali. Ihya’, Jilid I, hlm. 226. Dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir, hlm. 298.

57 Traites Mystiques D’ Avicene. Ed. Mehern. (Leiden.

Page 11: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

26 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014 27

Epistemologi Corak Tafsir SufistikLenni Lestari, S.Th.I, M.Hum

Dari beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua ayat-ayat yang berada di luar tataran tasawuf ditinggal-kan oleh mufassir corak sufistik. Melainkan ada beberapa ayat yang memang sengaja “dibawa” ke arah tasawuf, meski terkesan agak dipaksakan. Akan tetapi, menurut penulis, selama hal itu tidak menyimpang, maka sah-sah saja bila ayat nuansa apapun ditafsirkan dalam corak sufistik.

C. Kesimpulan dan PenutupDari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal

terkait tafsir sufistik, diantaranya:1. Corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazari

dan al-tafsir al-sufi al-Isyari. Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari menu-rut al-Zahabi adalah mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang ber-beda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petun-juk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi.

2. Sumber penafsiran corak tafsir sufi adalah intuisi dan filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah takwil. Metode yang digu-nakan adalah tahlili. Sedangkan validitas penafsiran cenderung pada penguasa yang ada saat itu dan teori keilmuan mufassir.

3. Ada dua aspek perbedaan antara Al-tafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu:a. Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di

dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah terlebih dahulu, akan teta-pi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilakukan oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai tingkatan terungkapnya tabir isyarat (petunjuk) kesucian.

b. Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari

1894), hlm. 28-43. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir..., hlm. 302-303.

sebaliknya yaitu ada makna lain yang dikandung ayat, artinya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga makna batin.

4. Tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya dalam nuansa tasawuf.

Demikianlah pemaparan mengenai tafsir sufistik. Meskipun banyak kekurangan di sana-sini, namun penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat. Kritik dan saran konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya.

Daftar Pustaka

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani. 2008.

Arsyif Multaqa Ahli al-Tafsir (tanpa pengarang). Jilid I. T.Tp. T. Th.Baraja, Abbas Arfan. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari

(Sufi) Imam al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Quran. Malang: UIN-Malang Press. 2009.

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir, Dari Klasik Hingga Modern, (penerj. M. Alaika Salamullah). Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010.

Mustaqim, Abdul. Ruh al-Ma’ani Karya al-Alusi, dalam buku Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: TERAS. 2004.

__________. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Yogyakar-ta: Adab Press. 2012.

_________. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS. 2010.Nurdin, Asep. Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penaf-

siran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003.

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi-studi Ilmu Al-Quran. Terj. Mudzakir. AS. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa. 2007.

Al-Salih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayiyn. 1988.

Shihab, Alwi. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia. Depok: Pustaka Iman. 2009.

Soyomukti, Nuroni. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Page 12: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum Al ...

28 Jurnal SyahadahVol. 2, No. 1, April 2014

Media. 2011.Al-Taftazani, Abu Al-Wafa’. Al-Madkhal ila al-Tas}awwuf al-Islami, cet.

II. Kairo: Dar al-Saqafah wa al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1976.UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik

UIN Sunan Kalijaga. 2005.Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II.

Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah. 1961.

CORAK TEOLOGIS-FILOSOFIS DALAM PENAFSIRAN ALQUR’AN

Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA

AbstrakThis paper examines one mode of interpretation of the theological-philosophical style. Where the position of the interpreter in the theological-philosophical or later serve as the subject and the Qoran it self serve as the object of discussion, so that a trend/loaded with interests. The style of the theological-philosophical focus to discuss the themes of the theological-philosophical than forward messages

that brought fundamental Qur’an.

Key Words: corak, teologis-falsafi, tafsir

A. Pendahuluan Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral

tidak hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke islaman, namun juga sebagai inspirator, pemandu, dan pemadu ger-akan umat Islam disepanjang abad kehidupan manusia.

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad lengkap lafal dan maknanya, dirirwayatkan secara mutawatir yang member faedah untuk kepasstian dan keyakinan. Ayat-ayat al-Qur’an masih bersifat universal. Universalisme merupakan cirri yang paling me-nonjol dan khas dari al-Qur’an.1 olehkarenya ia menuntun umat Is-lam melakukan kajian dan studi atas kandungan isisnya atau yang sering disebut dengan tafsir.

Visi utamanya dalah untuk berpegang erat pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan yang hakiki.2 Mengkaji al-Qur’an sesung-guhnya dapat dilakukan dengan melihat obyeknya, mulai aspek ke-sejarahannya, kodifikasinya, qira’at, asbab nuzulnya sampai pada ra-nah penafsirannya. Kajian terhadap aspek penafsirannya nampaknya justru yang lebih mengalami perkembangan cukup siginifikan sejak

1 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran (Yogyakarta: Pusta-ka, 2007), h. 54

2 Manna Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir As (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004), h. 462