BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah...

282

Transcript of BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah...

Page 1: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”
Page 2: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

BAB I

PENDAHULUAN

A. Norma dan Norma Hukum

Norma berasal dari kata bahasa Inggeris yang berasal dari istilah

‘norm’ istilah Yunani “nomoi” atau “nomos” yang berarti hukum atau kaidah

(qo’idah) dalam Bahasa Arab. Karena itu, judul buku Plato “Nomoi” juga biasa

diterjemahkan dengan kata “The Laws” dalam bahasa Inggris. Dalam

perkataan lain, “norma” juga dikenal dengan istilah “kaidah.” . Istilah kaidah

atau “qo’idah” dalam bahasa Arab juga biasa dikonotasikan pengertiannya

dengan hukum (singular) atau al-ahkam (plural). Karena itu, 5 (lima) kaedah

yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah,

makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah” atau

“kaidah yang lima.”

Institutionalisasi nilai-nilai yang diidealkan sebagai kebaikan,

keluhuran, dan bahkan kemuliaan berhadapan dengan nilai-nilai yang

dipandang buruk, tidak luhur, atau tidak mulia. Nilai-nilai baik dan buruk itu

berisi keinginan dan harapan yang tercermin dalam perilaku setiap manusia.

Nilai baik dan buruk itulah yang dilembagakan atau dikonkretisasikan dalam

bentuk atau berupa norma atau kaedah perilaku dalam kehidupan bersama.

Sebagaimana tercermin dalam pengertian tentang “al-ahkam al-khamsah”

tersebut di atas, kaedah-kaedah perilaku itu dapat dibedakan dalam 5 (lima)

norma, yaitu (i) wajib atau “obligattere”, (ii) haram atau “prohibere”, (iii)

sunnah atau anjuran untuk melakukan, (iv) makruh atau anjuran untuk jangan

melakukan, dan (v) mubah atau kebolehan atau “permittere.”

Kelima norma tersebut, menurut Hazairin, dapat dibedakan dalam 3

(tiga) jenis sistem norma, yaitu norma agama, norma hukum, dan norma

kesusilaan. Norma agama mencakup kelima kaidah itu sekaligus. Tetapi norma

hukum hanya mencakup 3 (tiga) kaidah saja, yaitu (i) kaidah kewajiban

Page 3: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

(obligattere), (ii) kaidah larangan (haram), dan (iii) kaidah kebolehan atau

(mubah, ibahah). Sebaliknya, norma kesusilaan berisi 3 (tiga) kaidah, yaitu

(i) kaidah kebolehan (mubah), (ii) kaidah anjuran untuk melakukan (sunnah),

dan (iii) kaidah anjuran untuk tidak melakukan (makruh). Pengelompokan

jenis kaidah yang lima (al-ahkam al-khamsah) menurut Hazairin tersebut

dapat dielaborasi lebih rinci dengan mengaitkannya dengan sistem norma

yang dikembangkan dalam filsafat hukum dan politik yang selalu dinisbatkan

berasal dari warisan tradisi Yunani kuno mengenai adanya tiga macam

kaedah yang meliputi (a) obligattere (kewajiban), (b) permittere (kebolehan),

dan (c) prohibere (larangan) seperti diuraikan di atas.1

Norma kesusilaan, menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi

Purbacaraka, dapat dibedakan antara norma kesusilaan pribadi dan norma

kesusilaan antar pribadi.2 Keduanya dapat dicakup ke dalam pengertian etika

yang kita bahas dalam buku ini. Etika atau kesusilaan pribadi menyangkut

keinsyafan pribadi setiap manusia tentang nilai baik dan buruk dalam suatu

keadaan atau dalam menghadapi segala sesuatu yang perlu disikapi oleh

seseorang, terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Misalnya, seorang

yang kaya raya dan baru saja mendapat rizki yang besar, dengan mudah

dapat saja tergerak hatinya untuk berbuat baik dengan membagikan

rizki dengan memberikan bantuan beasiswa tanpa publikasi kepada anak-anak

sekolah SD dan SMP se-desa di suatu daerah terpencil. Dorongan untuk

membantu anak-anak desa itu merupakan dorongan etika yang murni bersifat

pribadi. Pengertian tentang etika pribadi inilah yang biasa disebut dengan

istilah kesusilaan saja.

1 Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Perkembangan Sistem Norma Menuju TerbentuknyaSistem Peradilan Etika”, Makalah ini disampaikan untuk pembekalan bagi para calon HakimAgung yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial, 9 Maret 2015, hlm. 7.

2 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaedah Hukum, CitraAditya Bakti, Bandung.

Page 4: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sedangkan etika atau kesusilaan antar pribadi terkait dengan nilai

baik dan buruk dalam hubungan antar manusia dalam pergaulan bersama

secara interaktif dalam kehidupan bermasyarakat. Kesusilaan antar pribadi

inilah yang oleh Soekanto dan Purnadi Purbacaraka disebut sebagai kaidah

sopan-santun atau kesopanan.3 Misalnya dalam bertutur kepada seorang yang

usianya dan kedudukan sosialnya lebih tinggi harus menggunakan kata-kata

yang dipilih dan yang biasa dipakai dalam hubungan yang dianggap pantas.

Dalam pergaulan, diidealkan bahwa kita harus memakai pakaian yang pantas

menurut tempat dan waktunya. Ke pesta, tidaklah dianggap pantas untuk

berpakaian daster bagi perempuan atau piyama bagi laki-laki. Demikian pula

pakaian yang pantas dikenakan di kantor oleh perempuan bekerja,

bukanlah baju kebaya dengan sanggul yang biasa dikenakan untuk pergi ke

pesta atau juga bukan lah pakaian rok mini atau baju minim yang hanya

pantas dipakai untuk bertamasya ke pantai.

Dari kelima kaidah wajib, haram, mubah, sunnah, dan makruh

tersebut di atas, hanya 3 (tiga) kaedah saja yang dapat disebut sebagai norma

hukum, yaitu wajib, haram (larangan), dan mubah (boleh). Norma hukum

timbul bukan dari masyarakat tetapi berasal dari suatu negara yang bersifat

wajib untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Ada

persamaan serta perebedaan antara norma hukum dengan norma lainya.

Perbedaannya norma hukum dengan norma lainya adalah sebagai berikut:4

1. Suatu norma hukum itu bersifat “Heteronom‟, dalam arti bahwa norma

hukum itu datang dari luar diri seseorang. Sedangkan norma lainnya

bersifat otonom, dalam arti norma itu berasal dari diri seseorang.

3 Ibid.4 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar

Pembentukannya, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 25-26.

Page 5: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun

sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma yang lain tidak dapat

dilekati dengan sanksi pidana atau sanksi pemaksa secara fisik.

3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan

oleh aparat negara (misalnya polisi, jaksa, hakim), sedangkan terhadap

pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.

Sedangkan persamaannya adalah bahwa norma-norma itu

merupakan pedoman bagaiman seseorang harus bertindak,dan selain itu

norma-norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang

lebih tinggi, norma yang lebih tinggi ini berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma

dasar yang disebut dengan Grundnorm. Norma-norma hukum dan norma-

norma lainnya itu berjenjang dan berlapis-lapis, serta membentuk suatu

hierarki.

Tujuan hukum menurut para filosof hukum mencakup tujuan

keadilan, tujuan kepastian, dan tujuan kemanfaatan. Karena itu, norma

hukum harus berisi keadilan yang pasti dan kepastian yang adil, yang secara

keseluruhan memberikan manfaat dan solusi bagi warga masyarakat dalam

menghadapi dinamika kehidupan bersama. Oleh karena itu, kaedah hukum di

samping berguna dan berkeadilan, juga harus bersifat pasti, formal, jelas, dan

tidak boleh abu-abu, dan semua itu hanya ada pada kaedah wajib, haram, dan

boleh. Menurut ajaran liberal, pada asal mulanya, semua hal merupakan

kebolehan, kecuali oleh hukum tegas dinyatakan sebagai larangan atau

kewajiban. Jika larangan dilanggar dan kewajiban tidak dijalankan

sebagaimana mestinya, norma hukum menyediakan sistem sanksi yang tegas

Namun, dalam implementasinya, sistem norma hukum itu sendiri

memang tidak selalu diikuti oleh sistem sanksi. Itu sebabnya kita mendapati

banyak sekali undang-undang yang tidak menentukan sistem sanksi sama

sekali. Misalnya, undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan

Page 6: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

daerah, seperti UU tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di dalamnya tidak

ditentukan ada sanksi karena sifat norma yang dituangkan di dalam undang-

undang ini hanya bersifat mengatur dan membimbing pelaksanaan

pemerintahan di ibukota Jakarta. Karena itu, dapat dikatakan bahwa

substansi norma hukum, di samping ada yang bersifat memaksa

(imperative), ada pula norma hukum yang hanya bersifat mengatur dan

membimbing saja (directive). Dalam perumusan norma yang bersifat

memaksa selalu ada sistem sanksi, baik berupa sanksi pidana, sanksi

perdata, atau pun sanksi administrasi, dan bentuk-bentuk lainnya. Tetapi,

dalam perumusan norma yang bersifat mengatur dan membimbing,

kadang-kadang tidak disediakan ancaman sanksi sama sekali. Namun, hal itu

tidak mengurangi makna normatif hukum yang berisi 3 (tiga) jenis norma,

yaitu wajib (obligattere), boleh (permittere), dan haram (prohibere)

sebagaimana dimaksudkan di atas.

Oleh karena itu, doktrin tentang norma hukum yang hanya berisi tiga

macam kaedah kewajiban (obligattere), kebolehan (permittere), dan larangan

(prohibere) patut dipertanyakan kembali. Ketiga sistem kaidah ini bersifat

khas terkait dengan konsepsi mengenai bidang hukum pidana dan bidang

hukum perdata. Kedua bidang hukum pidana dan perdata inilah yang menjadi

cikal bakal mula-mula berkembangnya sistem hukum dalam sejarah umat

manusia. Namun, dalam perkembangan sesudah abad ke-17, muncul

kesadaran baru mengenai pentingnya bidang hukum tata usaha negara

(hukum administrasi negara) dan bahkan hukum tata negara. Bahkan pada

abad ke-19 muncul doktrin baru mengenai ide “rechtsstaat” atau negara

hukum yang dikaitkan dengan gagasan pelembagaan peradilan administrasi

negara (administratieve rechtspraak) untuk maksud menyediakan mekanisme

upaya hukum bagi warga guna menggugat para pejabat yang membuat

keputusan-keputusan yang merugikan warga negara. Dengan

berkembangnya sistem hukum administrasi negara dan hukum tata negara

Page 7: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dalam arti luas, pengertian mengenai keharusan mutlak adanya sanksi dalam

perumusan norma hukum menjadi berubah.

Karena itu, menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, pendapat Hazairin

sebagaimana dikemukakan di atas mengenai doktrin “al-ahkam al-khamsah”

itu perlu ditinjau kembali. Bahkan doktrin mengenai tiga kaedah “obligattere”

(kewajiban), “permittere” (kebolehan), dan “prohibere” (larangan) yang

diwarisi dari filsafat Yunani dan diterima luas dalam pemikiran filsafat hukum

kontemporer dapat pula ditinjau kembali. Perumusan norma hukum

sebagaimana tercermin dalam naskah-naskah undang-undang dasar, undang-

undang, dan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai dokumen

hukum yang bersifat mengikat untuk umum tidak selalu berisi sistem sanksi

yang bersifat memaksa. Ketegasan sifat memaksa yang terdapat dalam

kaedah kewajiban dan kaedah larangan tidak selalu diikuti dengan sanksi yang

konkrit. Sementara itu, kaedah kebolehan (permittere) yang terdapat dalam

norma hukum sekali pun, dalam implementasinya, juga bersifat sangat

dinamis, sehingga tidak dapat dipastikan secara mutlak tentang

kebolehannya. Sesuatu yang boleh dilakukan, jika didorong oleh motif yang

buruk (te kwade trouw) dapat berubah menjadi sesuatu yang jahat. Karena

itu, dalam norma hukum juga dapat termuat adanya nilai-nilai kaedah

anjuran, seperti dalam sistem norma agama atau pun norma etika.5

Dalam rumusan norma hukum dalam pelbagai naskah peraturan

perundang-undangan di zaman sekarang sering menemukan unsur-unsur nilai

kaedah anjuran positif atau pun anjuran negatif itu. Dalam perkembangan

dewasa ini, substansi sifat kaedah anjuran ini semakin banyak ditemukan

dalam pelbagai rumusan undang-undang, terutama dalam perumusan-

perumusan norma yang menyangkut prinsip-prinsip mengarahkan (directive

principles) atau prinsip-prinsip yang membimbing (guiding principles) yang

bersifat abstrak. Misalnya pasal-pasal yang memuat asas dan prinsip-prinsip,

5 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 12.

Page 8: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

semuanya tidak bersifat konkrit, sehingga tidak menentukan dengan pasti

apakah berisi kaedah wajib atau larangan atau kebolehan.

Hal terakhir ini perlu diperhatikan dengan sekasama mengingat

pemahaman norma hukum itu sendiri sering bertumpu kepada pemaknaan

positivism yang menuntut kepastian dan kejelasan dalam perumusan. Secara

embrional, positivisme hukum merupakan turunan dari positivisme, suatu

paham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di

Prancis dengan dua eksponennya yang terkenal, yaitu Henri Saint-Simon

(1760-1825) dan August Comte (1798-1857).6 Dalam positivisme hukum-

hukum yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alam dirumuskan berdasarkan

anggapan bahwa alam dapat diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dari

ruang dan waktu. Positivisme ini berkembang berkat usaha gigih dari August

Comte. Comte mengatakan terdapat hukum perkembangan yang menguasai

manusia dan segala gejala hidup bersama dan itu mutlak. Inilah yang oleh

Comte disebutnya sebagai hukum 3 (tiga) tahap.7 Artinya, tiap-tiap

masyarakat mesti melalui tiga tahap itu; pertama, tahap teologis; kedua,

tahap metafisik; dan ketiga, tahap positif.

Pada tahap teologis ini manusia percaya pada kekuatan-kekuatan

ilahi di belakang gejala-gejala alam. Sedangkan pada tahap metafisik ini

dimulailah kritik terhadap segala pikiran termasuk teologis. Ide-ide teologi

diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Adapaun pada tahap positif

gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu idea alam yang abstrak, tetapi

gejala diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum-hukum di

6 Soetandyo Wignjosoebroto, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, JurnalWacana, Vol 6, 2002, hlm. 12.

7 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta:Kanisius, hlm. 122-126.

Page 9: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

antara gejala-gejala yang bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya

merupakan bentuk relasi yang konstan di antara gejala-gejala tersebut.8

Pemikiran positivisme ini kemudian digunakan dalam hukum

sehingga menjelma menjadi aliran positivisme hukum. Aliran ini lahir pada

abad ke-19. Dua tokoh utamanya yang terkenal adalah John Austin dan Hans

Kelsen. Austin mengatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah perintah

penguasa.9 Sedangkan Kelsen terkenal dengan teori hukum murninya (the

pure theory of law). Kelsen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan

dari hukum itu sendiri, hukum harus seragam dalam arti dapat diterapkan

pada semua waktu dan tempat, hukum harus dilepaskan dari anasir- anasir

politik dan dipisahkan dari moral; dengan kata lain hukum harus benar-benar

murni, dan hukum merupakan pencerminan dari proposisi yang

“seharusnya”.10

Konsep yang dibangun oleh aliran positivisme hukum ini

menghendaki dilepaskannya pemikiran meteyuridis mengenai hukum

sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu,

setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objekif sebagai

norma-norma yang positif (all law is enacted law)11 ditegaskan sebagai wujud

kesepakatakan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum

tidak lagi mesti dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang

abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami

positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa

8 F.X. Adji Samekto, 2005, Studi Hukum Kritis Kritik terhadap Hukum Modern, Bandung,Citra Aditya Bakti, hlm. 2.

9 Hedar Laudjeng dan Rikardo Simartana, “Pendekatan Mazhab Hukum Non-Positivistikdalam Bidang Hukum Sumberdaya Alam”, Jurnal Wacana, Vol 6, 2000, hlm. 122.

10 R.M Dworkin, 2007, Filsafat Hukum Sebuah Pengantar, Diterjemahkan oleh YudiSantoso, Yogyakarta, Merkid Press, hlm. 2.

11 George P. Fletcher, 1996, Basic Concepts of Legal Thought, New York: OxfordUniversity Press, hlm. 33.

Page 10: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalian normatif harus dinyatakan

sebagai sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.12

Secara ideologis aliran positivisme hukum meyakini bahwa dalam

teori maupun dalam praktiknya hukum itu akan dapat dikonstruksikan dan

dikelola sebagai suatu institusi yang netral (neutrality of law) dan terlepas dari

politik (law politics distinction), mereka mengidealkan sebagai hasil positivisasi

norma-norma yang telah disepakati, yang berdasarkan prinsip rule of law,

dipastikan akan mempunyai otoritas internal yang akan mengikat siapapun

dari pihak manapun, tidak peduli kelas sosialnya. Dari sini kemudian

dirumuskan kaidah terkenal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality

before the law). Jadi hukum yang dipositifkan itu, karena merupakan

kesepakatan, akan benar-benar bersifat netral dan akan dapat ditegakkan

oleh badan yudisial yang netral pula dalam posisinya sebagai suatu badan

yang mandiri.13

Di samping itu, dalam perkembangan dewasa ini sistem norma etika

juga mengalami perubahan yang sangat mendasar. Seperti pernah dialami

oleh sistem norma hukum mulai abad ke 10 dalam sejarah Islam atau pun

mulai sekitar abad ke-17 di Eropah dimana sistem norma hukum mengalami

proses positivisasi, sistem norma etika dewasa ini mengalami proses

positivisasi yang serupa. Proses positivisasi hukum terjadi karena sistem

norma hukum pada saatnya memerlukan proses pelembagaan yang lebih

konkrit melalui proses penuangan secara tertulis disertai dengan

pelembagaan infra-struktur penegaknya. Karena itu, dalam sejarah Islam

muncul pengertian-pengertian mengenai “qanun” (perundang-undangan)

12 Soetandyo Wignjoseobroto, Permasalahan…op.cit., hlm. 13.13 Ifdhal Kasim, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di

Indonesia”, Jurnal Wacana, Vol 6, 2000, hlm. 25.

Page 11: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

sebagai pelengkap terhadap sistem norma hukum yang sebelumnya hanya

tertuang dalam bentuk paham-paham fiqh yang bersifat ilmiah.14

Dalam sistem norma etika ada anjuran-anjuran yang, seperti dalam

sebagian substansi norma hukum, berisi prinsip-prinsip nilai yang

membimbing dan memandu (guiding principles) atau pun mengarahkan

(directive principles). Karena itu, fungsinya terutama berkaitan dengan sistem

sanksinya, lebih bersifat pencegahan, di samping pula penindakan. Untuk itu,

sanksinya biasa ditentukan berupa teguran atau peringatan yang bertingkat-

tingkat, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, ataupun teguran ringan dan

teguran keras. Bahkan kadang-kadang ditentukan pula bahwa teguran itu

dapat dijatuhkan secara bertahap atau bertingkat, misalnya teguran tingkat

pertama, teguran kedua, dan teguran tingkat terakhir. Penentuan dan

pengaturan mengenai sistem dan mekanisme penjatuhan sanksi itu dalam

suatu pedoman penegakan kode etik dengan sebaik-baiknya, menurut

keperluan berdasarkan sifat pekerjaan yang perilaku aparatnya hendak

dikendalikan dengan sistem etik yang terkait. Bentuk yang paling keras karena

tingkat keseriusan atau beratnya pelanggaran etik yang dilakukan oleh

seorang aparat atau pemegang jabatan publik (ambts-dragger) adalah sanksi

pemberhentian atau pemecatan seseorang dari jabatan publik yang

bersangkutan.

Masalahnya sekarang, di masa kini, bagaimanakah sebaiknya

membangun dan memahami pola hubungan atau relasi yang ideal antara

sistem norma hukum, norma, etika, dan norma agama itu? Apakah cara

pandang para sarjana hukum yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi

masih dapat dipertahankan? Lihatlah bagaimana para ulama, pendeta dan

rohaniawan lainnya memandang etika dan agama pada posisi yang lebih tinggi

daripada hukum. Hukum negara bagi para tokoh-tokoh agama justru tidak

boleh bertentangan dengan hukum-hukum agama, sehingga karena itu norma

14 Ibid., hlm. 14.

Page 12: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

agama lah yang dianggap paling tinggi, bukan norma hukum. Jika kedua

pandangan ini dipertentangkan, secara mudah orang dapat berkesimpulan

bahwa kedua cara pandang tersebut sama-sama bias. Para sarjana hukum

tentu saja bias dan berusaha untuk memelihara kesombongannya sendiri

dengan hanya mengakui hukum sebagai panglima kehidupan, bukan agama

ataupun etika. Doktrin hukum yang diyakini benar selama selama ini adalah

prinsip “the rule of law, not of man” sebagai ciri utama negara hukum atau

“rechtsstaat.” Sebaliknya para rohaniawan atau agamawan sudah tentu akan

menempatkan kaedah agama dalam posisi tertinggi, bukan hukum.

Perdebatan mengenai kaidah mana yang lebih tinggi dan mana yang

lebih rendah itu terjadi karena berkembang-luasnya upaya untuk memisahkan

secara kaku sistem norma hukum itu sendiri dari sistem norma agama dan

etika. Namun dalam perkembangan di zaman sekarang, muncul praktik-

praktik baru yang justru memberikan gambaran yang berbeda mengenai pola

hubungan atau relasi ideal di antara ketiga sistem norma tersebut, terutama

antara sistem norma hukum dan sistem norma etika. Di zaman sekarang,

banyak bukti menunjukkan bahwa kedua sistem norma ini tidak dapat lagi

dipahami terpisah sama sekali satu dengan yang lain. Sistem hukum yang

selama ini dipercaya dan dijadikan tumpuan harapan yang dinilai paling

handal untuk menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terbukti makin memperlihatkan

keterbatasannya. Pidana mati yang semula dianggap sebagai solusi semakin

dinilai tidak manusiawi, sedangkan pidana penjara yang dijadikan andalan

semakin tidak efektif dalam mencapai tujuan mulianya untuk resosialisasi. Di

mana-mana penjara penuh dan jumlah serta jenis kejahatan terus

berkembang biak semakin tidak teratasi.

Penanggulangan kejahatan pada mulanya berpijak kepada

keberlakuan hukum pidana. Penanggulangan kejahatan dengan

menggunakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal.

Page 13: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Menurut Marc Ancel, kebijakan kriminal adalah suatu usaha yang rasional dari

masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Penanggulangan kejahatan

tersebut adalah dalam rangka untuk mencapai tujuan akhir dari kebijakan

kriminal itu sendiri,yaitu memberikan perlindungan masyarakat dalam

rangka untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Salah satu usaha

untuk mencegah dan menanggulangi masalah kejahatan adalah dengan

menggunakan hukum pidana (penal policy). Masalah kebijakan hukum

pidana tidak hanya sebatas membuat atau menciptakan suatu peraturan

perundang-undangan yang mengatur hal-hal tertentu. Lebih dari itu,

kebijakan hukum pidana memerlukan pendekatan yang menyeluruh yang

melibatkan berbagai disiplin ilmu hukum selain ilmu hukum pidana serta

kenyataan di dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum pidana yang

digunakan tidak keluar dari konsep yang lebih luas yaitu kebijakan sosial dan

rencana pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

masyarakat.

Ancas kesejahteraan masyarakat tadi menjadi kata kunci untuk

memetakan keberadaan hukum dalam sistem kehidupan masyarakat.

Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik

orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung

tombak perubahan. Hal-hal terakhir inilah yang kemudian dianggap menjadi

fondasi dasar mengenai pemikiran hukum progresif, yang sering dilantangkan

oleh mendiang Satjipto Rahardjo, guru besar Universitas Diponegoro.15

Konfigurasi pemikiran Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan

cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari

kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti

perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala

dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan

15 Satjipto Rahardjo, “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15Juni 2002, hlm. 4.

Page 14: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.16

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang

kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu

yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian

kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif, yang dapat

dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas

empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan

keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting

Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Satjipto

Rahardjo berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan

kualitas penegak hukum di Indonesai adalah dominasi paradigma positivisme

dengan sifat formalitasnya yang melekat.17

Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi

pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum

dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan

tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena

pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap

peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak

aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis

keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi secara baru

terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada

pencari keadilan.18

Dalam perkembangan berikutnya, dalam ilmu pengetahuan maupun

praktik diterima pendekatan yang digunakan dalam rangka upaya melakukan

penanggulangan kejahatan melalui sarana pendekatan kriminal dengan

16 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, hlm. Ix.17 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, hlm.

22-25.18 Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8

No. 2, 2005, hlm. 186.

Page 15: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

menggunakan sarana nonpenal. Kebijakan kriminal dengan sarana non penal

artinya upaya penanggulangan kejahatan dengan tidak melakukan hukum

pidana. Upaya non penal dapat juga disrtikan sebgai upaya yang bersifat

preventif, misalnya memperbaiki kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat

atau melakukan pengwasan tertantu sebgai upaya prevensi terhadap

kejahatan. Selain itu, dapat juga berbentuk sosialisasi terhadap suatu

perundang-undangan yang baru, yang didalamnya mencangkup suatu

kriminalisasi perbuatan tertentu yang menjadi gejala sosial dalam masyarakat

modern. Peranan manusia di sini merupakan konsekuensi terhadap

pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada

teks formal suatu peraturan. Di atas telah dijelaskan betapa besar risiko dan

akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat” kepada

peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau

stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta

kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa dilakukan, apabila kita

melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena

pada dasarnya the life of law has not been logic, but experience.19

Perbedaan perlakuan dalam kasus demi kasus kadang-kadang dapat

dipolakan secara umum, misalnya, untuk kasus-kasus yang terkait di bidang

keperdataan yang seringkali harus lebih diutamakan adalah pendekatan

formalistik. Demi kepentingan nilai-nilai keadilan yang lebih luas, sistem

norma hukum dengan asas kepastian harus lebih diutamakan daripada norma

etika dan prinsip keadilan yang lebih sempit. Karena itu, dalam proses

pembuktian di pengadilan, biasa diterima luas adanya doktrin tentang

pembuktian formil versus pembuktian materiel. Di bidang hukum pidana

proses pembuktiannya harus bersifat materiel, tetapi di bidang hukum

perdata harus bersifat formil. Dalam urusan kepemiluan, perkara-perkara

yang terkait membutuhkan kepastian jadwal waktu, sehingga oleh sebab itu,

19 Satjipto Rahardjo, “Hukum itu Perilaku Kita Sendiri”, Kompas, 23 September 2002.

Page 16: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

peradilan dalam urusan kepemiliuan (electoral justice) harus dipandang

sebagai salah satu bentuk atau jenis peradilan cepat (speedy trial) yang

prosesnya cukup dilakukan dengan pendekatan kepastian hukum yang adil

dan dengan asas pembuktian formil saja. Meskipun secara teoritis, asas

pembuktian materiel lebih dimuliakan tetapi pengadilan tidak perlu

mempersulit diri sendiri dengan bersusah payah melakukan pembuktian

materiel dengan akibat beban perkara tidak tertangani dengan baik dan

kualitas putusan menjadi terbengkalai yang pada gilirannya justru membebani

negara sebagai keseluruhan.

Kompleksitas kehidupan umat manusia di zaman modern dan post

modern terbukti sangat rumit dan tidak dapat diselesaikan secara sendiri-

sendiri hanya oleh sistem norma hukum, sistem etika, atau bahkan, dalam arti

yang sempit, hanya sistem norma agama saja. Dalam kenyataan praktiknya,

ketiga sistem norma itu sama-sama berurusan dengan kualitas prilaku

manusia yang dianggap ideal, sehingga oleh karena pemisahan formalistik dan

positivistik yang terjadi selama ini, ketiganya sering saling berbenturan atau

bahkan sengaja dibentur-benturkan satu sama lain untuk maksud yang

bersifat tidak seimbang dalam memberikan perlakuan kepada ketiganya

dengan lebih mengutamakan sistem norma hukum daripada yang lain.

Sekarang, baru disadari bahwa ternyata sistem norma hukum tidak dapat

lagi diharapkan sebagai andalan satu-satunya, sehingga oleh sebab itu

harus mulai disinergikan secara seimbang dengan sistem norma etika dan

bahkan sisrtem norma agama. Ketiganya tetap harus dibedakan dan tidak

boleh dicampuradukkan pengertian-pengertiannya. Tetapi ketiganya jangan

dipisahkan atau apalagi dipertentangkan.

Dalam proses pemberlakuan sistem norma yang dimaksudkan

sebagai sarana untuk mendidik dan membimbing ke arah perilaku ideal itu

tentu diperlukan iming-iming agar dorongan dan bimbingan itu efektif.

Untuk itulah dikenal adanya sistem “reward and punishment” atau imbalan

Page 17: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pujian bagi yang taat dan ganjaran sanksi atau hukuman bagi yang tidak

mentaatinya. Perkembangan pemikiran para ahli tentang sistem “reward and

punishment” ini juga berkembang pesat di dunia akademis. Adanya sistem

“reward and punishment” dan bahkan “rewards of punishmen”’ seperti yang

diistilahkan oleh Christine Horne tersebut dapat dikatakan merupakan gejala

yang bersifat alamiah. Ada norma, baik norma agama, norma, etika, dan

norma hukum, maka diperlukan adanya sistem imbalan pujian dan ganjaran

sanksi. Adanya ancaman sanksi atau hukuman itu penting untuk menuntun

perilaku warga agar tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, sebaliknya

adanya janji atau iming-iming pujian agar orang melakukan sesuatu perbuatan

yang baik akan mendorong orang untuk benar-benar berbuat baik. Ketakutan

orang akan hukuman (punishment) seperti juga harapan orang akan pujian

dan penghargaan (reward) memberikan insentif untuk kerjasama dan

menyumbang terhadap kepentingan umum dan kebaikan publik. Hanya saja,

“reward and punishment”’ itu sendiri tidak mudah dan juga menelan biaya

(sosial) yang tidak kecil, sehingga menyebabkan orang yang rasional mencari

jalan yang paling aman untuk tidak menghukum ataupun memuji orang lain.

Akan tetapi, jika tidak ada orang yang menghukum ataupun memberi

penghargaan, insentif untuk kerjasama menjadi hilang. Akibatnya, hukuman

atau pujian bersendirian, dan tidak mungkin diharapkan mempromosikan

kerjasama secara persisten. Pendek kata, dalam kehidupan bermasyarakat,

keduanya, “reward and punishment”, haruslah sama-sama ada untuk

menjalankan fungsinya sebagai pendorong dan penuntut ke arah perilaku

ideal dalam kehidupan bersama.

B. Tujuan dan Pembentukan Norma Hukum

Dari segi tujuannya, norma hukum itu tertuju kepada cita kedamaian

hidup antarpribadi (het recht wil de vrede). Karena itu, sering dikatakan bahwa

penegak hukum itu bekerja “to preserve peace”. Dalam kedamaian atau

keadaan damai selalu terdapat “orde en rust.” “Orde” menyangkut ketertiban

Page 18: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dan keamanan, sedangkan “rust” berkenaan dengan ketentraman dan

ketenangan. “Orde” terkait dengan dimensi lahiriah, sedangkan “rust”

menyangkut dimensi “batiniah”. Keadaan damai yang menjadi tujuan akhir

norma hukum terletak pada keseimbangan antara “rust” dan “orde” itu, yaitu

antara dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan antara

ketertiban dan ketenteraman, antara keamanan dan ketenangan.

Sebagai pemenuhan akan kebutuhan pelayanan publik, pemerintah

dapat dituntut untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara permanen dan

rutin demi kesejahteraan rakyat. Adapun cara yang dilakukan oleh pemerintah

dalam memenuhi kebutuhan yang dimaksud adalah seperti halnya dengan

individu, yakni dengan melakukan suatu hubungan kontraktual dengan pihak

lain.

Instrumen hukum kontrak menjadi koridor hukum yang sangat

penting sebagai upaya perlindungan hukum terhadap aset negara. Urgensi

Kontrak Kerja Sama (KKS) sebagai upaya perlindungan hukum terhadap aset

negara. Kontrak tersebut merupakan aturan main (rule of the game) bagi para

pihak yang bertindak sebagai kontraktan. Di dalam kontrak- kontrak yang

melibatkan pemerintah sebagai salah satu kontraktannya, karakteristik

kontrak tersebut tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat. Salah satu

aspek terpenting dalam kontrak yang melibatkan pemerintah adalah

menyangkut imunitas (kekebalan) pemerintah manakala digugat di muka

pengadilan. Demi melindungi aset keuangan negara terdapat peraturan yang

juga berfungsi sebagai upaya untuk melindungi kekayaan negara. Di Indonesia

pengaturan ini terdapat di dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara.

Urgensi dari diterbitkannya aturan tersebut tidak lain adalah sebagai

sebuah landasan hukum bagi aparatur pengelola keuangan negara. Prinsip

larangan sita yang mana terkandung di dalam Pasal 50 tersebut merupakan

penyimpangan dari prinsip sita sebagaimana yang tercantum dalam Pasal

Page 19: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

1131 jo. 1132 BW. Implikasi larangan sita atas aset negara dalam kaitan

dengan kontrak pemerintah yang dibuat dan tunduk pada hukum Indonesia

itu membawa konsekuensi bahwa pemerintah itu kebal atas tuntutan di muka

hakim. Konsekuensi kekebalan dimaksud juga tetap mengikat meskipun

terdapat suatu klausula yang menyatakan pelepasan terhadap aset negara

dan juga sepenuhnya tunduk pada hukum privat.20 Pada prinsipnya apabila

negara ingin melakukan hubungan kontraktual dengan pihak lain yakni negara

tidak boleh sampai dirugikan. Prinsip ini juga berlaku secara universal demi

melindungi aset negara. Dari segi ilmu negara, prinsip penting untuk

mempertahankan tujuan kedamaian hidup bersama.21

Tujuan kedamaian hidup bersama biasanya dikaitkan pula dengan

perumusan tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian,

keadilan, dan kebergunaan. Artinya, setiap norma hukum itu haruslah

menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid),

keadilan (equity, billijkheid, evenredigheid), dan kebergunaan (utility). Ada

pula sarjana yang hanya menyebut pentingnya tugas dwitunggal norma

hukum, yaitu kepastian hukum (rechtszekerheid), dan keadilan hukum

(rechtsbillijkheid).

Percakapan tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari kehadiran

manusia dalam kebersamaannya. Manusia adalah subjek yang memiliki

kepribadian yang unik sebagai kodratnya yang tidak dapat disangkal tanpa

meniadakan kemanusiaannya. Karena itu setiap manusia untuk dapat tetap

menjadi manusia harus mengakui dan menerima adanya kepribadian

tersebut, termasuk kepribadian manusia-manusia lain sebagai konsekuensi

kodrat kebersamaannya. Pengakuan dan penerimaan kepribadian

mansusia itu mengimplikasikan juga pengakuan dan penghormatan atas

20 Y. Sogar Simamora, 2009, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang danJasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang PRESSindo, hlm. 103.

21 Isharyanto, 2016, Ilmu Negara, Surakarta, Penerbit Oase Pustaka.

Page 20: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

martabat kemanusiaan dari setiap manusia yang meliputi juga pengakuan dan

penghormatan terhadap “the Sanctity of (human) life”. Kesemuanya itu

membawa pengakuan terhadap hak setiap manusia untuk merealisasikan

dirinya secara penuh sepenuh mungkin. Untuk tetap mempertahankan

eksistensinya sebagai masyarakat manusia yang berkemanusiaan, maka

masyarakat harus mengakui dan memelihara serta melindungi kepribadian

masing-masing warganya, yakni manusia-manusia in konkreto melalui siapa

kemanusiaan diwujudkan (direalisasikan). Jadi, masyarakat sebagai suatu

kesatuan berkewajiban menciptakan dan memelihara kondisi yang

memungkinkan setiap manusia merealisasikan diri.

Sebaliknya hal itu tidak berarti bahwa masing-masing individu

manusialah yang terpenting, dan karena itu kepentingan tiap manusia

secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat (seperti pada

individualisme). Sebab, terbawa oleh kodrat kehadiran manusia dalam

kebersamaan dengan sesamanya, manusia hanya dapat merealisasikan dirinya

secara otentik (utuh) dalam masyarakat yang ke dalamnya setiap manusia

menjadi warga atau anggotanya.

Dengan demikian penyelenggaraan kehidupan manusia atau proses

merealisasikan diri dari setiap manusia berlangsung di dalam

kebersamaannya itu, yakni di dalam masyarakat. Untuk dapat merealisasikan

dirinya secara wajar, manusia memerlukan adanya ketertiban dan keteraturan

(berekenbaarheid, prediktabilitas, hal dapat diperhitungkan terlebih dahulu)

di dalam kebersamaannya itu. Ketertiban diwujudkan dalam perilaku manusia.

Untuk mewujudkan ketertiban itu, manusia memunculkan keharusan-

keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk

kaidah hukum. Kaidah hukum menetapkan bahwa jika terjadi situasi tertentu,

maka subjek tertentu dalam hubungannya dengan subjek lain harus bertindak

(melakukan perilaku) dengan cara tertentu. Jadi, pada hakikatnya kaidah

hukum menetapkan hubungan antara syarat dan apa yang seharusnya terjadi

Page 21: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

jika syarat itu dipenuhi. Jika apa yang diharuskan itu dalam kenyataan ditaati

(dilaksanakan) maka akan terwujudlah ketertiban di dalam masyarakat.

Tetapi, ketertiban dan kaidah hukum yang diperlukan manusia adalah

ketertiban dan kaidah hukum yang secara otentik mampu menciptakan

kondisi yang memungkinkan manusia secara wajar dapat merealisasikan

dirinya secara utuh-penuh. Ketertiban dan kaidah hukum yang demikian

hanya mungkin terwujud, jika yang menjadi titik tolak dan tujuan

penyelenggaraan ketertiban adalah pengakuan dan penghormatan atas

martabat manusia dalam kebersamaannya, yang secara implisit memuat

pengakuan atas “the sanctity of life”.

Dengan demikian, hukum yang ditimbulkan oleh manusia itu dalam

aktualisasinya menguasai hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, manusia

individual in konkreto tidak hanya sekedar hadir di dunia, melainkan

menghadirkan diri di (ke) dalam situasinya. Manusia menentukan situasinya

sendiri dengan memberikan nilai dan makna terhadap situasi yang di

dalamnya ia hadir bagi dirinya. Ini berarti, manusia mempunyai kebebasan

untuk menentukan sikap terhadap situasinya; manusia mempunyai kemauan

bebas. Dalam kaitan ini, manusia juga menghayati kehadiran hukum sebagai

bagian dari situasinya. Karena itu, manusia juga akan menentukan sikap

terhadap hukum, yakni untuk mentaati atau tidak mentaati apa yang

diharuskan oleh hukum. Tetapi, demi terwujudnya tujuan hukum itu sendiri,

maka penaatan terhadap hukum tidak dapat sepenuhnya diserahkan

kepada kemauan bebas masing-masing manusia. Untuk mempengaruhi

kemauan bebas itu, maka hukum menetapkan kaidah hukum yang

merumuskan apa yang seharusnya terjadi jika kemauan bebas manusia

individual tertentu memutuskan dan mewujudkan tindakan yang menyimpang

dari apa yang diharuskan.

Idealisasi dari apa yang seharusnya ini dinamakan sebagai sanksi

hukum. Jadi, sanksi hukum itu sendiri adalah kaidah hukum, artinya

Page 22: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dihadirkan atau ditampilkan dalam wujud kaidah hukum. Karena itu, sanksi

hukum juga harus berdasarkan dan tidak bertentangan dengan pengakuan

dan penghormatan atas martabat manusia, inklusif pengakuan dan

penghormatan atas “the sanctity of (human) Life”-nya. Hal ini berlaku bagi

semua jenis dan bentuk sanksi hukum.

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas

legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala

tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-

undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis

tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau

perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan

atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau “rules and

procedures” (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat

kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu,

untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam

menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip

“frijsermessen”’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara

mengembangkan dan menetapkan sendiri “beleid­regels” atau “policy rules”

yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan

tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang

ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum

dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau

keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara

adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai

hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan.

Oleh sebab itu, legitimasi hukum adalah kehendak rakyat yang

tertinggi. Tidak mengherankan bahwa tujuan ini sejak awal menjadi cita-cita

pendiri negara Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan

Page 23: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukkan bahwa

kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai

kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang

dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya

legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif. Sebaliknya,

rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik

calon yang bersangkutan. Pemngutan suara itu akan menghasilkan lembaga

negara yang diberi kekuasaan untuk membentuk undang-undang.

Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh

rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang

kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem ‘participatory

democracy’, dikembangkan pula tambahan “bersama rakyat”, sehingga

menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh

rakyat dan bersama rakyat”.

Dalam hubungan dengan lingkup kegiatannya, ide kedaulatan rakyat

meliputi proses pengambilan keputusan, baik di bidang legislatif maupun di

bidang eksekutif. Artinya, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk

menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai

otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan

hukum itu. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan,

penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap

pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan

dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkaitan

dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai rakyat negara yang

bersangkutan. Dalam paham kedaulatan rakyat, yang didaulat dari segi politik

tentu saja bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan

kenegaraan sebagai keseluruhan. Hubungan kedaulatan bukan lagi terjadi

Page 24: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

antara Raja dengan Rakyatnya, tetapi antara rakyat dengan proses

pengambilan keputusan dalam negara itu sebagai keseluruhan. Oleh sebab

itu, tidak lagi relevan untuk memisahkan kedua konsep “imperium” versus

“dominium” itu secara diametral. Rakyat menurut paham modern sekarang,

berdaulat baik di lapangan politik maupun di lapangan perekonomian. Dengan

demikian, sebagaimana kekuasaan Raja dalam paham Kedaulatan Raja yang

meliputi aspek politik dan ekonomi, maka kedua aspek politik dan ekonomi ini

tetap tercakup dalam konsep kekuasaan tertinggi yang berada di tangan

rakyat dalam paham Kedaulatan Rakyat. Artinya, baik dalam bidang politik

maupun di bidang ekonomi, rakyatlah yang berperan sebagai pengambil

keputusan tertinggi. Karena itu, dalam hubungannya dengan “subject and

sovereign”, kedua pengertian kekuasaan di bidang politik dan di bidang

ekonomi tidak dapat dipisahkan. Kedaulatan rakyat di bidang politik disebut

demokrasi politik, sedangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi disebut

demokrasi ekonomi.

Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu

dipahami bersifat monistik dan mutlak dalam arti tidak terbatas, karena sudah

dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh

kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang

dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan sahkan

bersama, terutama mereka mendirikan negara yang bersangkutan. Inilah yang

disebut dengan “kontrak sosial” antara warga masyarakat yang tercermin

dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana

kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam

kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari.

Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin

bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala

kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di

bidang legislatif, eksekutif, maupun yudisial. Rakyatlah yang berwenang

Page 25: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta

penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu. Bahkan lebih

jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan

ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan

berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau

demokrasi yang bersifat “total” dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan

bersama rakyat. Hanya saja, karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan

demokrasi ini dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan. Dari

sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen dalam

sejarah. Dalam sistem “representative democracy” ini tentu ada saja usaha

untuk mengebiri pengertian kedaulatan rakyat itu.

Dalam konteks Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif

sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yaitu “Dewan

Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.

Adapun fungsi DPR diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 yaitu fungsi legislasi,

fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas

kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan

membentuk Undang-Undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR

untuk membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Fungsi pengawasan adalah fungsi

DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan

pemerintahan dan pembangunan oleh pemerintah.

Pada saat ini, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan

DPRD dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dengan demikian,

rakyat dapat memilih dan menentukan wakil-wakilnya yang dicalonkan oleh

partai politik dalam Pemilu sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat

terwujud dengan harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya

Page 26: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi

rakyat.

Dalam konteks ini, DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan selain

DPD, dalam mekanisme pengisian anggota DPR dipilih seluruhnya melalui

pemilihan umum melalui partai politik yaitu berdasarkan sistem perwakilan

perorangan (people representative). Karena itu jumlah anggota DPR dari

setiap daerah adalah proporsional sesuai jumlah penduduknya. Secara

konseptual keterwakilan anggota DPR dalam lembaga menitikberatkan untuk

menyuarakan kepentingan nasional dengan tidak mengabaikan daerah yang

diwakilinya, sedangkan untuk memberikan tempat bagi wakil dari daerah-

daerah dalam lembaga perwakilan tingkat nasional untuk mengakomodir dan

memperjuangkan kepentingan daerahnya, terdapat DPD sebagai lembaga

perwakilan untuk mengakomodirnya. Dengan demikian sistem perwakilan

DPD adalah bersifat regional representative, sehingga pada hakikatnya

keterwakilan dari anggota DPD adalah merupakan wakil daerah di tingkat

nasional.

Dalam sistem perwakilan rakyat di Indonesia keanggotaan DPR

adalah representasi seluruh rakyat Indonesia secara proporsional melalui

partai politik (political representation), sedangkan DPD sebagai representasi

dari daerah di seluruh wilayah Indonesia (regional representation) yang

jumlah anggotanya sama banyaknya untuk setiap provinsi

Perwakilan merupakan sifat yang hakiki dari sistem demokrasi

modern. Di dalam badan perwakilan itulah wakil-wakil rakyat diorganisir

untuk mengambil peran dalam merepresentasikan kedaulatan rakyat. Untuk

itulah DPR sebagai lembaga perwakilan memiliki tugas untuk menyerap

aspirasi masyarakat. Anggota DPR yang dipilih oleh pemilih di suatu daerah

pemilihan memiliki kedekatan dan tanggung jawab politik terhadap

pemilihnya di daerah pemilihannya. Melalui kedekatan politik, anggota DPR

lebih mengetahui dan memahami permasalahan dan kebutuhan di daerah

Page 27: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pemilihannya, sedangkan melalui tanggung jawab politik, anggota DPR

memiliki keterikatan dan hubungan baik langsung maupun tidak langsung

kepada pemilih yang telah memilihnya di daerah pemilihannya. Untuk itulah

lembaga perwakilan tidak saja dapat melambangkan semua kekuatan sosial

politik masyarakat, tapi juga mampu menyalurkan aspirasi masyarakat dan

menerjemahkannya menjadi kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada

masyarakat.

Tugas DPR dalam menyerap aspirasi rakyat ini terkadang dikaitkan

dengan daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan, sehingga anggota

DPR dari Daerah Pemilihan tertentu seakan-akan hanya menyerap aspirasi

dari daerah pemillihannya saja. Daerah pemilihan (Dapil) pada dasarnya

hanyalah tools untuk memudahkan dan/atau menyederhanakan sistem

Pemilu. Tujuan utamanya agar kursi DPR RI dapat tersebar secara

proporsional ke seluruh daerah, mengingat populasi penduduk Indonesia yang

tidak merata. Untuk itu, Dapil tidak dapat digunakan sebagai alat untuk

melaksanakan program pembangunan karena pendekatan dapil adalah

pendekatan jumlah kursi. Sehingga besar kecilnya anggaran untuk program

pembangunan nantinya akan didasarkan pada jumlah kursi. Akibatnya hanya

rakyat yang tinggal di wilayah dengan jumlah kursi terbanyak sajalah yang

akan mendapatkan anggaran untuk program pembangunan nantinya akan

didasarkan pada jumlah kursi. Akibatnya hanya rakyat yang tinggal di wilayah

dengan jumlah kursi terbanyak sajalah yang akan mendapatkan anggaran

paling banyak.

Hal demikian kerapkali menyebabkan benturan antara kepentingan

konstituen yang diwakili dengan kepentingan nasional yang lebih luas. Ada

konstruksi politik bahwa melalui Pemilu hubungan antara pemilih dengan

calon anggota DPR yang dipilih digambarkan sebagai kontrak politik yang

langsung ataupun tidak langsung mengikat pemilih dengan anggota DPR yang

dipilihnya. Benturan antara kepentingan daerah pemilihan dengan

Page 28: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kepentingan nasional seharusnya tidak pernah ada, karena daerah pemilihan

di seluruh Indonesia adalah bagian dari kepentingan nasional itu sendiri.

Walaupun anggota DPR mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan

kepentingan rakyat di daerah pemilihannya, namun hal itu tidaklah berarti

bahwa anggota DPR hanya semata-mata memperjuangkan kepentingan rakyat

di daerah pemilihannya saja sebab hakikat anggota DPR adalah mewakili

rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Dalam mengimplementasikan tugas menyerap aspirasi rakyat

melainkan sekaligus amanat kepada seluruh anggota DPR untuk sungguh-

sungguh menyerap aspirasi rakyat di mana hal itu tidak terlepas dari fungsi

legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan dari DPR. Ketiga fungsi

dimaksud berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai lembaga eksekutif

yang bertugas melaksanakan pembangunan nasional demi tercapainya tujuan

nasional. Pembagian tugas antar legislatif dan eksekutif telah jelas dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan DPR sebagai penyerap aspirasi

rakyat yang mencakup seluruh wilayah Indonesia akan membawa aspirasi

tersebut ke forum dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga perwakilan,

yang kemudian diserahkan kepada lembaga eksekutif, baik tingkat pusat

maupun daerah, untuk dilaksanakan.

Dalam konteks ini, wajar jika setiap anggota DPR mempunyai hak

mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah

pemilihan. Implementasi dari hak mengusulkan dan memperjuangkan

program pembangunan daerah pemilihan seharusnya memikirkan pula

keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan jangan sampai mempertajam

kesenjangan pembangunan daerah, karena alokasi kursi DPR kepada setiap

provinsi tidak dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan keterwakilan (equal

representation) dan besaran daerah pemilihan bukan single-member

constituency (satu kursi untuk setiap Dapil), melainkan multi-member

constituency (satu Dapil untuk beberapa kursi). Pertimbangan-pertimbangan

Page 29: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

demikian seharusnya menjadi kebijakan pembuat Undang-Undang demi

mewujudkan tujuan nasional, termasuk penentuan produk hukum yang sesuai

dengan kepentingan rakyat.

Sementara itu, seiring dengan manajemen desentralisasi yang

memberikan kewenangan kepada satuan-satuan pemerintahan di tingkat

lokal, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di daerah propinsi

maupun di daerah kabupaten dan kota. Pada umumnya, dewan perwakilan ini

disebut sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif, dan karena

itu biasa disebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya

haruslah dicatat bahwa fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada

di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungan dengan Presiden.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD

1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR ditentukan

memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan dalam Pasal 5 ayat (1)

dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang

kepada DPR. Sedangkan kewenangan menetapkan Peraturan Daerah, baik

daerah propinsi maupun kabupaten, tetap berada di tangan Gubernur dan

Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD sebagaimana ketentuan UUD 1945

sebelum diamandemen. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan

Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan

sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan

dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap

kekuasaan pemerintahan di daerah.

Oleh karena itu, sesungguhnya, DPRD lebih berfungsi sebagai

lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai

lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan

sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif.

Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut

ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini

Page 30: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut

ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif

perancangan undang-undang. Demikian pula DPRD, baik di daerah propinsi

maupun daerah kabupaten/ kota, berdasarkan ketentuan UU No. 23/2014

tentang Pemerintahan Daerah berhak mengajukan rancangan Peraturan

Daerah kepada Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun, hak inisiatif ini

sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang

kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini

tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.

Oleh karena itu, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol

jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi

legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan

yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota.

Bahkan dalam UU No. 23 Tahun 2014, Gubernur dan Bupati/Walikota

(“diwajibkan”) mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya

menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya

bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat

menyetujui, menolak ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan, dan

sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan

Peraturan Daerah.

Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran

para wakil rakyat tersebut maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga

perlu diberikan wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat

pelaksanaan. Karena itu, selain undang-undang, Presiden juga berwenang

mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden (Pouvoir

Reglementair). Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota dan Kepala Desa,

selain bersama-sama para wakil rakyat membentuk Perda dan Peraturan

Desa, juga berwenang mengeluarkan Peraturan Gubernur, Peraturan

Bupati/Walikota, dan Peraturan Kepala Desa sebagai pelaksanaan terhadap

Page 31: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

peraturan yang lebih tinggi tersebut. Karena banyaknya kebijakan

pemerintahan yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan yang bersifat

pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi, maka para Pembantu

Presiden, yaitu para Menteri atau Pejabat Tinggi yang menduduki jabatan

politis setingkat Menteri seperti Gubernur Bank Indonesia, Jaksa Agung,

Kepala Kepolisian, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dapat pula

diberikan kewenangan untuk membuat peraturan yang bersifat pelaksanaan

tersebut. Dengan begitu, tidak perlu lagi menyaksikan penerbitan-penerbitan

Surat Edaran oleh Gubernur Bank Indonesia yang tidak jelas kedudukan

hukumnya untuk kepentingan mengatur perkembangan dunia perbankan

nasional. Gubernur Bank Indonesia nantinya secara resmi dapat menuangkan

kebijakan regulasi yang dibuatnya dalam bentuk Peraturan Gubernur Bank

Indonesia.22

Dengan demikian, secara tegas dapat diatur bahwa semua kebijakan

yang bersifat mengatur di bidang yang menjadi tugas kementerian tertentu,

haruslah dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri atau pejabat setingkat

Menteri. Sedangkan Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan pejabat yang

lebih rendah di tiap-tiap kementerian atau Departemen Pemerintahan tidak

berwenang mengatur kepentingan publik. Mereka hanya melaksanakan

kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri sebagai pemegang

tanggungjawab politik di kementerian atau Departemennya. Demikian pula

dengan para Kepala Kantor Wilayah Departemen di daerah-daerah tidak

diperkenankan membuat peraturan yang mengatur kepentingan publik. Tugas

Kepala Kantor Wilayah hanyalah melaksanakan kebijakan dan peraturan-

peraturan di tingkat Departemennya. Dalam hal diperlukan pengaturan yang

22 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, PenerbitKonstitusi Press, hlm. 126.

Page 32: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bersifat khusus di daerah, maka ketentuan demikian itu harus dituangkan

dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur.23

Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hamid Attamimi24,

Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan dapat pula bersifat mandiri

dalam arti tidak dimaksudkan melaksanakan Undang-Undang ataupun

mengatur hal-hal yang ditunjuk oleh undang-undang untuk diatur lebih oleh

Presiden. Jenis Keputusan Presiden demikian itu disebut Attamimi sebagai

Keputusan Presiden yang mendiri. Logika pengaturan yang mandiri oleh

Presiden ini, meskipun banyak dipersoalkan di kalangan para ahli hukum,

tetapi dapat saja diterima dalam paradigma pemikiran UUD 1945 yang lama,

yaitu karena Presidenlah yang ditentukan dalam UUD sebagai pemegang

kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang. Akan tetapi, dalam

ketentuan yang baru berdasarkan Perubahan Pertama UUD maka logika yang

mungkin dapat dijadikan pertimbangan pembenar terhadap eksistensi

Keputusan yang mengatur secara mandiri tersebut dengan sendirinya tidak

dapat diterima lagi.

Pada prinsipnya, Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan utama

dalam pembentukan UU. Kalaupun Presiden diberi hak untuk mengajukan

rancangan undang-undang, hak itu tidak memberikan kedudukan kepadanya

sebagai pemegang kekuasaan legislatif, melainkan sekedar memberikan hak

kepadanya untuk mengambil inisiatif karena kebutuhan yang sangat dirasakan

oleh pihak eksekutif untuk mengatur suatu kebijakan publik yang harus

dilayani oleh pemerintah, tetapi pihak DPR sendiri belum siap dengan

rancangan dari mereka sendiri. Dalam hal ini, Presiden dapat mengambil pra-

karsa untuk menyusun rancangan undang-undangan tersebut dan kemudian

mengajukannya kepada DPR. Oleh karena tidak boleh ada lagi peraturan-

23 Ibid., hlm. 127.24 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan, Disertasi Universitas Indonesia.

Page 33: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

peraturan untuk kepentingan pengaturan kepentingan publik yang dibuat

Presiden atau Pemerintah secara mandiri. Semua peraturan di bawah undang-

undang hanyalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Dasar

dan Undang-Undang.

Satu-satunya peraturan yang dapat berisi pengaturan yang mandiri

hanyalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dari segi

isinya seharusnya dituangkan dalam bentuk UU na- mun dari segi proses

pembuatannya ataupun karena adanya faktor eksternal berupa keadaan

bahaya atau kegentingan yang memaksa, maka oleh Presiden dapat

ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU (PERPU) yang bersifat

mandiri. Perpu tersebut harus diajukan untuk mendapat persetujuan DPR

menjadi UU selambat-lambatnya tahun sejak dikeluarkannya PERPU tersebut,

dan apa- bila tidak disetujui peraturan pemerintah (PERPU) ini harus dicabut

kembali oleh Presiden atau seperti dalam ketentuan Konstitusi RIS dan UUDS

1950, dinyatakan tidak berlaku lagi karena hukum. Jadi, dalam sistem

pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial, Presiden tidak dapat

lagi membuat peraturan-peraturan yang bersifat mandiri seperti kedudukan

Keputusan Presiden pada masa lalu. Satu-satunya peraturan yang dapat

ditetapkan oleh Presiden dengan sifat mandiri adalah Peraturan Pemerintah

sebagai Pengganti Undang-Undang seperti dikemukakan di atas. Karena itu,

eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ini

menurut Jimly Asshiddiqie tetap dipertahankan dengan perubahan fungsi

seperti yang dikemukakan di atas.25

Bentuk Peraturan yang ditetapkan oleh Presiden ada dua macam,

yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Peraturan Pemerintah

adalah bentuk peraturan yang berkaitan dengan kewenangan regulatif yang

ada di tangan Presiden untuk melaksanakan perintah Undang-Undang (UU).

Dengan begitu, Peraturan Pemerintah dapat dipahami sebagai peraturan yang

25 Ibid., hlm. 250.

Page 34: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

ditetapkan karena diperintahkan oleh UU untuk dibuat atau ditetapkan oleh

Presiden. Yang menjadi masalah adalah apakah jika UU tidak menentukan

sesuatu ketentuan tertentu harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah, maka berarti Presiden tidak boleh membuat aturan yang lebih

rinci dari apa yang sudah diatur dalam UU. Pengaturan regulatif lebih rinci

demikian kadang-kadang memang diperlukan dalam rangka melaksanakan

ketentuan UU tersebut.

Akan tetapi, dalam rangka melaksanakan undang-undang atau

menjalankan undang-undang itu, Presiden sebagai kepala pemerintah tentu

haruslah diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas. Presiden

harus memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri kebijakan yang akan

ditetapkannya dalam rangka melaksanakan undang-undang itu. Prinsip yang

berkenaan dengan ruang gerak inilah yang dalam konsep hukum administrasi

negara disebut sebagai frijs ermessen. Presiden dianggap sudah seyogyanya

dapat menentukan sendiri norma-norma aturan kebijakan atau policy rules

(beleids regels) yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang. Jika

Pemerintah dibatasi terlalu kaku, sehingga tidak diizinkan mengatur

pelaksanaan tugasnya sendiri, kecuali apa yang sudah ditentukan secara

normatif oleh undang-undang, maka pemerintahan akan berjalan lamban dan

kaku, atau malah menjadi lame duck government yang tidak dapat efektif

bekerja, terutama dalam rangka meningkatkan pelayanan umum dan

kesejahteraan masyarakat.26

Tentu saja dapat dipertahankan pemikiran bahwa pengaturan dan

pembatasan mengenai tatacara pembentukan Peraturan Presiden. Di samping

itu, harus dibedakan pula dengan jelas, jenis putusan-putusan yang memuat

materi pengaturan (regeling) dengan jenis-jenis putusan yang hanya bersifat

administratif. Yang pertama dapat kita namakan dengan Peraturan Presiden,

sehingga penamaan atau nomenklatur yang digunakan bersifat konsisten

26 Ibid., hlm. 275.

Page 35: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mulai dari tingkat tinggi sampai ke tingkat paling rendah hingga ke Peraturan

Desa dan Peraturan Kepala Desa. Sedangkan yang kedua yang bersifat

administratif dapat kita namakan dengan Keputusan Presiden, yang juga

dicontoh sampai ke tingkat yang lebih rendah seperti Keputusan Menteri,

Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati, Keputusan Walikota, dan bahkan

Keputusan Kepala Desa.

C. Eksistensi Hukum Adat

1. Praktik Hukum Adat

Dalam sebuah perkara yang diputus Pengadilan Negeri Palu

pada 2010, majelis hakim mempertimbangkan bahwa pengertian zina tak

semata-mata yang adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), tetapi juga “makna menurut hukum adat.” Pertimbangan hakim

merujuk pada yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1975, yang intinya

menyebutkan delik adat zina adalah perbuatan terlarang lepas dari

apakah perbuatan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, lepas dari

apakah salah satu pihak sudah menikah atau belum sesuai syarat Pasal

284 KUHP.

Overspel adalah perbuatan tercela yang beberapa kali

disidangkan di pengadilan, dan hakim tak semata merujuk pada rumusan

Pasal 284 KUHP. Pengadilan Tinggi Makassar juga pernah menghukum

seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana adat yaitu

persetubuhan di luar perkawinan oleh orang yang sama-sama dewasa.

Hakim memutus demikian karena perbuatan itu tidak ada bandingannya

dalam KUHP. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP, maka hakim

mencari ke hukum adat (Putusan No. 427/Pid/2008/PT.MKS Tahun 2009).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,

Nyoman Serikat Putra Jaya, mengatakan sumber hukum pidana di

Indonesia bukan hanya pidana tertulis tetapi juga pidana tidak tertulis.

Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht

Page 36: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang

tidak diberlakukan. Tetapi secara materill tetap berlaku dan diterapkan

dalam praktek peradilan.

Setelah kemerdekaan, pidana adat mendapat tempat lewat UU

Darurat No. 1 Drt 1951. Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang ini

menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada bandinganya dalam

KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan sanksi adat.

Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim

dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang

hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya

dalam KUHP.

Salah satu putusan yang menghargai pidana adat, adalah

putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan

ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah

dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa

adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka

tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Putusan lain adalah putusan MA No. 1644 K/Pid/1988 tanggal

15 Mei 1991. Dalam putusan ini majelis mempertimbangkan:

“seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menuruthukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut merupakansuatu perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu ‘delikadat’. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi reaksiadat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itutelah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yangsudah dijatuhi ‘reaksi adat’ oleh kepala adat tersebut, maka iatidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagaiterdakwa dalam persidangan badan peradian negara(Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggarhukum adat, dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP(Pasal 5 ayat 3 huruf b UU Darurat No. 1 Drt 1951). Dalamkeadaan yang demikian itu, maka pelimpahan berkas perkaraserta tuntutan kejaksaan di Pengadilan Negeri harusdinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).”

Page 37: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Kedua putusan itu, menunjukkan bahwa MA “mengakui

eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup

dalam masyarakat Indonesia”. Pijakan hukum pengakuan pidana adat tak

hanya yurisprudensi. Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan

dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-

undangan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan

dasar untuk mengadili.

Jika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mengakui dan

memberi nilai tinggi terhadap penyelesaian hukum pidana adat, maka

hakim pun bisa menjadikan perdamaian dalam kasus pidana bernilai

tinggi. Putusan yang mempertimbangkan restorative justice bisa dilihat

dari putusan MA No. 1600 K/Pid/2009. Dalam putusan MA berargumen

salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang

terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat

waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, MA menilai pencabutan

perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. MA

mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor

mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini

dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.

Page 38: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Pemerintah dan DPR masih terus melakukan pembahasan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tujuan

terbesar dari langkah itu adalah mengganti kitab “warisan” pemerintah

kolonial Belanda dengan kitab hukum yang menjadi ciri khas Indonesia.

Dalam menyusun RKUHP, tim penyusun berupaya menggali kitab-kitab

hukum kuno di nusantara khas Indonesia sebagai inspirasi dalam

pembuatan RKUHP. Menurut Pemerintah, sistem hukum kuno yang

pernah ada di wilayah Indonesia telah mengatur banyak hal tentang

pidana dan pemidanaan serta falsafahnya. Sayangnya, di masa

kemerdekaan, para ahli hukum kurang memperhatikan hal ini. Akibatnya,

ada banyak naskah-naskah hukum kuno yang tersebar di bumi Indonesia

yang belum tersentuh. Misalnya, kakawin (syair dengan metrum

tertentu), pepakem (piagam), babad (teks sejarah), jayapattra (putusan

pengadilan), prasasti dan lontara. Kecuali di Bali dimana ditemukan awig-

awig, yang sampai kini masih dipergunakan untuk hal-hal tertentu dan

Lontara Latoa di Sulawesi Selatan.

Terdapat beberapa kitab-kitab hukum yang sudah ada di

nusantara sejak abad ke-10. Di antaranya, Ciwasana atau Purwadhigama

(abad ke-10), Kitab Gajamada (abad ke-14), Kutaramanawadharmasastra

(tahun 1350), dan Kitab Adhigama (tahun 1430). Ada lagi Kitab Simbur

Cahaya di Palembang (tahun 1630an), Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung

(Abad 16), Kitab Lontara’ ade’ di Sulawesi Selatan yang berlaku hingga

abad 19. Sementara di Tanah Batak, ada Patik Dohot Uhum ni Halak

Batak yang tak jelas kurun waktunya. Dalam hal ini, meski dibuat

berabad-abad lalu dan jenis sanksi pidananya masih terbatas

dibandingkan masa kini, kitab-kitab hukum kuno ini ternyata telah

mengenal pilar-pilar hukum pidana modern. Misalnya, asas legalitas dan

proporsionalitas.

Page 39: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dapat ditunjuk misalnya Pasal 65 Kitab Perundang-undangan

Agama tentang penjatuhan denda berbunyi,” …. Ingatlah, jangan sekali-

kali raja yang berkuasa menjatuhkan denda lebih besar daripada seketi

enam laksa…” Atau Lontara di Sulawesi Selatan yang menekankan, “…

adapun cemetinya negeri terhadap orang, tak aus, tak diubah dan tak

dibikin lain, walaupun balok besar ditimpakan kepadanya….. tetapi walau

hanya ujung kapas digulung dikipaskan kepadanya, (bila) pidananya tak

sesuai dengan hukum adat, maka mereka melayangkan dan pergi…”

Tidak hanya menyangkut hukum materil, kitab-kitab kuno itu

juga mengatur hukum acara pembuktian. Misalnya, dalam Tatya

Wyawahara disebutkan saksi wus wus winasu de sang pandita (saksi yang

telah direstui pendeta), likhita na inungwakneng tulis (ditempatkan di

surat atau keterangan tertulis) dan bhuki na ikang toya apan kna tinadah

(air yang dapat diminum). Pada sisi lain Kitab Adigama mengatur

ketentuan mengenai saksi. Yakni, “orang lain yang mengetahui”,

“kelihatan apa yang dikatakan”, “kelihatan semuanya oleh orang banyak”.

Sanksi denda merupakan sanksi yang umum dijatuhkan

manakala terjadi tindak pidana, walau beberapa yang termasuk dalam

astadusta dan asta corah dikenakan pidana mati. Dalam hal ini, falsafah

pemidaan deterrence atau pencegahan sebagai tujuan penjauhan pidana

di masa depan, ternyata telah dijumpai dalam Pasal 93 Kitab Perundang-

undangan Agama (Majapahit). Ketentuan itu berbunyi, “.. maksud raja

mengenakan denda ialah untuk mengendalikan nafsu orang, supaya

jangan tersesat budinya, jangan menerjang di jalan yang benar..” Asas

proporsionalitas juga dianut dalam Pasal 93 Kitab Perundang-undangan

Agama itu dengan menyebut “.. kesalahan besar dendanya besar, kesalah

kecil dendanya kecil…”

Uraian di atas menunjukan bahwa Indonesia meiliki harta karun

ilmu hukum pidana yang tersimpan dalam local wisdom. Itulah sebabnya

Page 40: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

sejumlah pemikiran yang ada dalam kitab hukum pidana kuno

diinkorporasikan ke dalam RUU KUHP. Nmaun demikian, Masuknya

hukum adat dalam Rancangan KUHP menjadi kekhawatiran bagi sebagian

kalangan. Tak saja bakal terkena hukuman adat, bagi orang yang

melanggar juga akan dipidana atas hukum negara. Para anggota DPR

dalam melakukan pembahasan terhadap RKUHP mesti mengedepankan

kehati-hatian. Pasalnya, sejumlah perbuatan di luar KUHP kini masuk

dalam RKUHP. Setidaknya, RKUHP dinilai over kriminalisasi terhadap

masyarakat sipil.

Hukum adat yang memiliki otoritas dan terpisah dari hukum

positif menjadi ancaman bagi mereka pelanggarnya. Pelanggar tak saja

dikenakan hukum negara, tetapi juga hukum adat. Hal itu berdampak

pada kriminalisasi masyarakat sipil. Dengan demikian, perlu jalan tengah

agar tidak terjadi double hukuman. Setidaknya, ketika pengadilan negara

telah menjatuhkan hukuman, tidak kemudian pengadilan adat pun

memberikan hukuman adat. Apalagi, penerapan hukum adat tak dapat

dihilangkan di semua daerah. Sumatera Utara dan Papua misalnya,

hukum adat sedemikian kental dijaga penerapannya. Bahkan sudah

mengurat akar sekalipun adanya KUHP. Dalam rangka mencari jalan

tengah itulah, dapat diusulkan agar ada koneksitas antara peradilan adat

dengan peradilan negara. Penulis berpandangan, dengan terhubungnya

antara peradilan adat dengan peradilan negara, setidaknya dapat saling

mengontrol. Misalnya, ketika peradilan adat menjatuhkan hukuman

terhadap seseorang untuk membayar 10 babi, maka dibutuhkan

pengawas. Pengawas tersebut adalah peradilan negara yang tugasnya

memastikan pihak terhukum membayar 10 babi.

Dalam praktik, pemberlakuan dan jenis-jenis hukum adat,

terutama dalam ranah pemidanaan, berkembang dinamis. Seperti diteliti

Page 41: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

oleh Ida Ayu Sadnyini di Bali27, sanksi hukum adat perkawinan antar-

wangsa pada zaman kerajaan (1352-1849), dibakar di atas rumput

kering, sanksi labuh geni bagi perempuan yaitu dijatuhkan dalam api

unggun sedangkan laki-laki dikenakan sanksi labuh batu dengan

ditenggelamkan di laut, kakinya diikat dan diperberat batu agar

tenggelam. Ada pula dibunuh dengan cara ditusuk dengan keris, selong

seumur hidup, dan denda. Sanksi hukum adat perkawinan antar-

wangsa pada zaman kolonial (1849-1945), dengan datangnya Belanda

ke Bali, terjadi perubahan hukum dalam hukum adat perkawinan antar-

wangsa karena faktor Politik Sanksi perkawinan antar-wangsa diatur

dalam peswara tahun 1900 dikenakan sanksi selong seumur hidup baik

laki-laki maupun perempuan ke luar pulau Bali. Peswara tahun 1910

mengatur sanksi selong 10 tahun kemudian berubah menjadi 6 tahun

terhadap pasangan Asu Pundung ke luar daerahnya, tetapi masih di

wilayah pulau Bali. Alangkahi Karang Hulu cukup dengan sanksi denda 50

feku (satu feku setara dengan 1000 uang kepeng bolong) ditambah

penurunan wangsa. Peswara 1927 mengatur sanksi selong selama 6

(enam) bulan di wilayah Pulau Bali ditambah upacara patiwangi terhadap

pasangan Asu Pundun. Perkawinan Alangkahi Karang Hulu dikenakan

sanksi denda, apabila tidak mampu memabayar akan dikenakan sanksi

selong.

Kemudian, pada zaman Orde Lama (1945-1965) terbitnya

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1945 menghapus peswara 1927,

sepanjang mengenai lembaga adat perkawinan Asu Pundung dan

Alangkahi Karang Hulu termasuk sanksi patiwangi. Sanksi yang

dikenakan pada zaman ini adalah: sanksi melakukan upacara patiwangi,

27 Ida Ayu Sadnyini, 2015, Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-Wangsa Di Bali (Perspektif HAM), Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada ProgramDoktor, Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Page 42: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

tidak boleh ke Pura Tri Kahyangan apabila belum melakukan upacara

patiwangi, tidak dperbolehkan mengadakan lamaran, tidak

diperbolehkan pulang dalam waktu yang lama, tidak diperbolehkan

melakukan upacara mepamit/ mejauman, tidak diberikan air suci oleh

pendeta, adanya penggantian nama secara resmi.

Pada masa Orde-Baru (1966-1998) sanksi perkawinan antar-

wangsa pada zaman ini adalah: sanksi upacara patiwangi, dibuang oleh

keluarga namun hanya beberapa bulan/sanksi dari keluarga sudah

mengendor. Etika keluarga masih melarang orang tua untuk menyaksikan

upacara perkawinan anaknya. Nama diganti secara resmi/ simbolis saja.

Pasca reformasi, sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa

pada zaman ini masih seperti zaman sebelumnya. Namun kualitas sanksi

semakin ringan, upacara patiwangi ada yang melakukan ada yang tidak

melakukan, semakin pendek sanksi diperbolehkan pulang, semakin

pendek waktu untuk melaksanakan mepamit. Sudah ada yang melakukan

peminangan, sudah ada yang melakukan upacara mepamit setelah tiga

hari upacara adat perkawinan, etika keluarga sudah memperbolehkan

orang tua/keluarga perempuan menyaksikan perkawinan anaknya.

2. Desa dan Desa Adat

Di Indonesia, sebagai bangsa yang merdeka, dengan semboyan

“Bhineka Tunggal Ika” adalah inspirasi yang menegaskan bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia sangat menjunjung paradigma masyarakat

kewargaan yang aktual dengan istilah Masyarakat Madani. Kondisi seperti ini

menghadapkan Negara Kesatuan Rebublik Indonesia pada masyarakat

Indonesia yang pluralis, sehingga hukumnyapun pun dalam konteks pluralisme

hukum. dalam rangka dimensi domestik, dihadapkan pada kenyataan

pluralisme hukum yang harus dijadikan sebagai berhak dan kekayaan.

Sehingga unsur- unsur hukum lokal harus dipelihara. Termasuk juga eksistensi

hukum adat dalam system pemerintahan.

Page 43: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Prinsip-prinsip politik pluralisme hukum sebagai arahan pengakuan

kesatuan masyarakat hukum adat adalah pengakuan terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat yang meliputi (i) pengakuan sebagai subjek hukum,

(ii) tata pemerintahan adat, (iii) keberlakuan hukum adat, dan (iv) hak-hak

atas benda adat, termasuk hak ulayat; kedua pengakuan, penghormatan,

perlindungan, dan pemenuhan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat

sebagai hak asasi manusia, baik sebagai hak kolektivitas maupun sebagai hak

perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat. Atas dasar politik

pluralisme hukum, negara hukum, dan fungsi peraturan daerah,

pemerintahan daerah mempunyai kewenangan membentuk peraturan daerah

tentang pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat yang dapat lebih

mengakomodasi kemajemukan, kejelasan rumusan sesuai dengan kekhasan

kesatuan masyarakat hukum adat, dan menjamin kemanfaatan bagi kesatuan

masyarakat hukum adat untuk mengenyam hak-haknya.

Lebih lanjut dalam disertasinya yang berjudul "Politik Pluralisme

Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan

Peraturan Daerah", Gede Marhaendra Wija Atmaja mengungkapkan

peraturan daerah tentang pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat

belum berkoherensi secara sempurna dengan prinsip-prinsip politik

pluralisme hukum, oleh karena perlindungan sebatas terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat sebagai kolektivitas, dan tidak meliputi perlindungan

terhadap perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat ketika

bersengketa dengan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai kolektivitas.

Selain itu, tidak ada ketentuan yang mengatur mekanisme penyelesaian

sengketa antara perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat dengan

kesatuan masyarakat hukum adat sebagai kolektivitas.

Dalam disertasi tersebut Gede menyarankan 3 (tiga) hal yaitu

pertama agar dibentuk undang-undang tentang kesatuan masyarakat hukum

adat yang mengelaborasi prinsip-prinsip politik pluralisme hukum sebagai

Page 44: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

arahan pengakuan kesatuan masyarakat adat. Kedua, agar pemerintahan

daerah membentuk peraturan daerah yang menetapkan pengakuan atau

pengukuhan suatu kesatuan masyarakat hukum adat tertentu, selain

membentuk peraturan daerah yang mengatur tata cara pengakuan kesatuan

masyarakat hukum adat sesuai dengan kekhasan kesatuan masyarakat hukum

adat di daerah bersangkutan. Ketiga, agar ada pengaturan dalam peraturan

daerah tentang perlindungan secara holistik, yakni tidak saja terhadap

kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu kolektivitas, juga terhadap

perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat, dan perlunya

pengaturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa antara perorangan

warga kesatuan masyarakat hukum adat dengan kesatuan masyarakat hukum

adat sebagai suatu kolektivitas.

Politik pluralisme itu sendiri sudah berlangsung sejak era kolonial. Ciri

sistem hukum pada era kolonial adalah dualistik, bagi golongan Eropa berlaku

prosedur dan hukum seperti yang ada di Belanda; sementara bagi golongan

pribumi termasuk Tionghoa, mengikuti hukum lembaga dan kebiasaan mereka

sendiri. Ini cerminan dari politik diskriminasi yang terjadi saat itu. Kenyataan

dualisme hukum disikapi secara berbeda, ada yang mengusulkan pembaruan

berupa penyatuan (unifikasi), dan ada pula yang mempertahankan keduanya

sebagai bentuk pengakuan, meski untuk yang terakhir ini ada pula yang

memaknai sebagai pengefektifan eksploitasi pribumi.

Kelompok penentang berupaya mengakhiri dualisme itu dengan

mengusulkan penyeragaman. Pada tahun 1866, Mahkamah Agung Batavia

menugasi F. F. L. U. Last menyusun hukum pidana pribumi mengikuti hukum

Belanda. Ia menolaknya dengan resiko diberhentikan, sebab menurutnya

peniruan itu akan sangat tidak cocok bagi penduduk. Undang-Undang Pidana

tahun 1918 berhasil memisahkan secara bentuk daripada substansi antara

yang diberlakukan bagi orang Eropa dengan yang diberlakukan bagi orang

pribumi. Akan tetapi, rencana penyeragaman hukum acara pidana mendapat

Page 45: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

tentangan keras pada tahun 1919 melalui argumen-argumen yang cerdas

Cornelis van Vollenhoven. Ia melawan usulan pemerintah, yang jika

diberlakukan, memaksakan prinsip-prinsip Barat bagi kepemilikan atas tanah

penduduk Pribumi yang itu hanya akan menguntungkan pembangunan agraria

skala besar bagi perusahaan-perusahaan Barat. Demikian pula ia menentang

Rancangan Undang-Undang (RUU) hukum perdata yang seragam yang

memuat 2220 pasal yang dianggap siap pakai (dan kenyataannya sangat

rumit) yang terbit tahun 1923.28

Perhatian hukum Indonesia terhadap eksistensi hukum adat, terlihat

dari kaidah-kaidah yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.

Sebagai hukum dasar Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas mengakui

dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus

atau bersifat istimewa serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selain mengakui dan menghormati satuan-

satuan pemerintah daerah yang bersipat khusus, negara juga mengakui dan

menghormati hukum adat yang berlaku dalam kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat. Walaupun pengakuan tersebut haruslah sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Mengenai konsepsi satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa dapat kita lihat dalam Penjelasan

Undang Undang Dasar 1945 (Sebelum Perubahan) yang pada Bab IV Pasal 18

UUD 1945 mengatur masalah Pemerintahan Daerah.29 Dalam rangka

28 C. Fasseur, “Dilema Zaman Kolonial: Van Vollenhoven dan Perseturuan antaraHukum Adat dan Hukum Barat di Indonesia”, dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan SandraMoniaga, (eds.), 2010, Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia,hlm. 64-71.

29 Di sini diatur bahwa, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

Page 46: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

memperkuat konsepsi tentang daerah istimewa sebagaimana tercantum

dalam Penjelasan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, pemerintah

menuangkannya kembali ke dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948

tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini dinyatakan: “Bahwa

daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan

dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi

istimewa. Daerah-daerah ini dibagi atas tiga tingkatan yaitu: (1) Propinsi, (2)

Kabupaten/ Kota Besar, dan (3) Desa/ kota kecil. Yang dimaksud Daerah

Istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul, yang di zaman

sebelum R.I. mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa”.30

Sejarah mencatat bahwa Daerah Istimewa ini mengalami beberapa

perubahan nama. Daerah Istimewa pernah diubah namanya menjadi

Desapraja. Perubahan penamaan tersebut berawal dari undang-Undang No. 1

Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.31 Kemudian pada

tahun 1965, dipertegas lagi melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 1965

tentang Desapraja.32 Daerah Istimewa kemudian berubah namanya

memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, danhak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa.”

30 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Bab 2 Pasal 3 angka 1.31 Dalam undang-undang ini, daerah otonom terdiri dari dua jenis, yaitu otonom biasa

dan daerah swapraja. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 mengamanatkan bahwa jumlahtingkatan daerah sebanyak-banyaknya ada tiga tingkatan. Pembentukan daerah Tingkat III harusdilakukan secara hati-hati, karena daerah itu merupakan batu dasar pertama dari susunannegara. Selain hati-hati, penyelenggaraannya juga harus secara tepat karena daerah itu bertaliandengan masyarakat hukum Indonesia yang coraknya beragam, yang sulit sembarangan untukdibikin menurut satu model. Bahwa pada dasarnya tidak akan dibentuk kesatuan kesatuanmasyarakat hukum secara bikin-bikinan tanpa berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakathukum seperti Desa, nagari, kampung dan lain-lain. Karena itu Desapraja (sebagai daerah TingkatIII) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga Undang- Undang No. 1/ Tahun 1957 digantikanUndang-Undang yang lain, belum dapat dilaksanakan.

32 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Desa praja, Desa praja adalah kesatuanmasyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganyasendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan nyadinyatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar1945 Pasal 18, Volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau,Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah Desaprajamenurut Undang-Undang Desapraja. Dengan demikian, persekutuan- persekutuan masyarakat

Page 47: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

menjadi Desa melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa.33

Pada tahun 2000 MPR melakukan Perubahan UUD 1945 dan

pengaturan tentang keberadaan masyarakat hukum adat yang keberadaannya

diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah

dan Pasal 28 l ayat (3) dalam Bab tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan

perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan

Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut

dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan

atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut.

Dalam konteks implementatif data awal menunjukan, bahwa di

daerah-daerah ada hubungan yang khas antara penerapan adat dan

penyelenggaran pemerintahan desa.34 Di Papua, lembaga adat sangat

dominan sedangkan desa dinas tidak memiliki pengaruh. Berbeda dengan di

Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, dan sebagian Sumatera, di

daerah tersebut, pengaruh adat sangat kecil. Desa dinas sudah tumbuh kuat.

hukum yang berada dalam (bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai Desapraja.Keseluruhan kesatuan masyarakat hukum di wilayah Indonesia yang mempunyai nama asliberagam sebagaimana yang termaktub dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18,diganti namanya menjadi Desapraja. Dalam penjelasan umum tentang Desapraja itu terdapatketerangan yang menyatakan bahwa Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tidak membentukbaru Desapraja, melainkan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada diseluruh Indonesia dengan berbagai macam nama menjadi Desapraja. Kesatuan-kesatuanmasyarakat hukum lain yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yangterdapat di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan Desapraja, melainkan dapatlangsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III. Penjelasan juga menyatakanbahwa Desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanya sebagai bentukperalihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III dalam rangka Undang-UndangNo.18 Tahun1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunyasemua Desapraja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpapenggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya Desapraja yang bersangkutan.

33 Undang-undang ini menegaskan bahwa: “Desa adalah wilayah yang ditempati olehsejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakathukum yang mempunyai organisasi pemerintaha.”

34 Suherman Toha, 2011, Laporan Akhir Penelitian Hukum Eksistensi Hukum AdatDalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa: Study Empiric Di Bali, Jakarta, Badan Pembinaan HukumNasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Page 48: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Di Sumatera Barat terjadi kompromi antara adat dan desa dinas, karenakan

lembaga adat dan desa dinas sama-sama kuat. Di Bali, seperti juga di

Kalimantan Barat, Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku, pengaruh

lembaga adat jauh lebih kuat ketimbang Desa dinas.

Provinsi Bali telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1986

tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Bali (selanjutnya disebut dengan

Perda Desa Adat) sebagai pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3

Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Penegmbangan

Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lemabaga Adat di

Daerah. Perda Desa Adat tersebeut untuk menegaskan bahwa desa adat

merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Akan tetapi, di samping sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat, desa adat juga sekaligus merupakan

suatu organisasi pemerintahan yang tidak langsung di bawah camat.

Pembinaan desa adat dilakukan oleh gubernur yang dibantu oleh Majelis

Pembinaan Lembaga Adat dan Badan Pembinaan Lembaga Adat. Pembinaan

juga dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sebagaimana amanat

Perda No. 12 Tahun 1988 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja

Dinas Kebudayaan. Salah Satu pembinaan yang dilakukan adalah lomba desa

adat.

Dengan telah diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,

persoalan desa adat kemudian menjadi berkaitan dengan pengakuan

(rekognisi). Hingga 2 (dua) tahun sejak diundangkan, persoalan itu belum

terlaksana. Padahal, hanya Pasal 96-111 perihal desa adatlah yang menopang

konstitusionalitas mandat UUD 1945 Pasal 18B agar menghormati masyarakat

hukum adat. Artinya, ketiadaan desa adat yang resmi diakui pemerintah

berpeluang jadi lubang besar gugatan inkonstitusional UU ini. Sayang,

persiapan pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan rekognisi desa

adat hampir nihil. Program revitalisasi desa adat sebenarnya hanya berujung

Page 49: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

penguatan lembaga adat, tetapi tak sampai membentuk desa adat definitif.

Padahal, penataan rekognisi membuka pintu kesahihan masyarakat adat

untuk mendirikan dua puluhan ribu desa, yang kemudian berhak mengelola

jutaan hektar hutan desa dan tanah ulayat. Hambatan rekognisi berpangkal

pada prasangka masyarakat adat sebagai komunitas pengelola sumber daya

secara tertutup (closed corporate community). Mereka tak pernah

membutuhkan masyarakat modern atau masuk program komunitas adat

terpencil (KAT). Menyetarakan kehidupan mereka dengan promiskuitas di

gua-gua purbakala, kartu keluarga (KK) dari pemerintah diisi nama istri

sebagai kepala keluarga. Anak-anak dirunut menurut keturunan ibu, sebagai

buah perkawinan primitif tanpa ayah sah. Buktinya, tak ada tulisan

perkawinan dalam dokumen resmi itu. Suami dipisahkan dan dicetak sebagai

orang lain dalam KK.

Penjelasan UU No 6 Tahun 2014 merujuk rekognisi sebagai

pengakuan terhadap hak asal usul lokal. Ketika hak tersebut berwujud aturan

adat yang tetap hidup di tengah warga, berikut dukungan sumber daya lahan

dan lingkungan adat, maka wewenang lokal boleh dijelmakan menjadi desa

adat. Sesuai Pasal 113-116, seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah

daerah provinsi menyelesaikan kajian kesatuan masyarakat hukum adat

berikut peta batas desa adat hingga Januari 2016. Dalam proses itu dapat

dibuka partisipasi warga untuk merumuskan aturan adat, mendiskusikan

batas geografi mutakhir, merancang struktur organisasi dan personel

pemerintahan adat, penertiban aset tanah ulayat dan sumber daya

pendukung lain. Saat ini data masyarakat adat berikut potensi dan garis

wilayahnya lengkap tersedia pada potensi desa dan kelurahan yang dikelola

Kemendagri, serta basis data Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

ataupun lembaga swadaya masyarakat lain. Statistika potensi desa adat juga

disediakan Badan Pusat Statistik. Basis data hutan untuk masyarakat dan

rancangan hutan desa terpampang pada Kementerian Lingkungan Hidup dan

Page 50: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Kehutanan. Ribuan komunitas adat telah dikompilasi Kementerian Sosial sejak

1980-an. Yang terbaru, penyusunan titik spasial desa adat dapat disediakan

oleh Badan Informasi Geospasial ataupun komunitas drone desa. Dengan data

yang lengkap tersebut, warga berhak mengajukan pembentukan desa adat

yang berdaulat penuh atas wilayah ulayat, berikut sumber daya di dalamnya.

Pemerintah kabupatenlah yang berwewenang menetapkan desa adat, lalu

dicatatkan secara resmi dan definitif pada Kemendagri. Sayang, norma-norma

mengenai desa adat dalam UU No. 6 Tahun 2014 terlalu umum untuk

dipraktikkan sehingga muncul perintah penyusunan prosedur terinci pada

tingkat peraturan menteri. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah

Tertinggal, dan Transmigrasi pernah merinci wewenang adat dalam Peraturan

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 1

Tahun 2015 tentang Kewenangan Lokal dan Hak Asal Usul. Namun, peraturan

ini belum pernah dilaksanakan, lalu gugur demi hukum lantaran Peraturan

Pemerintah No. 47 Tahun 2015 mengalihkan mandat penetapan wewenang

desa kepada Kementerian Dalam Negeri.

Meskipun UU No. 6 Tahun 2014 telah menentukan bahwa

masyarakat hukum adat dapat berkedudukan sebagai badan hukum publik

karena bisa menjadi bagian dari pemerintahan, kebanyakan undang-undang

mengenai masyarakat hukum adat tidak memposisikan masyarakat hukum

adat sebagai bagian dari pemerintahan. Oleh karena itu, saat ini dalam

kerangka hukum Indonesia, masyarakat hukum adat dapat berkedudukan

sebagai badan hukum privat yang berada di luar struktur pemerintahan atau

menjadi badan hukum publik dalam bentuk desa adat yang merupakan bagian

dari penyelenggaraan pemerintahan nasional.

3. Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat merupakan subyek hukum khusus

yang keberadaannya diakui oleh peraturan perundang-undangan baik

oleh UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Page 51: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sebagai sebuah subyek hukum, maka keberadaan masyarakat adat perlu

ditelaah apakah ia masuk kategori sebagai subyek hukum publik, subyek

hukum keperdataan, atau gabungan diantara keduanya. Bila masyarakat

hukum adat merupakan subyek hukum publik, maka masyarakat

hukum adat merupakan bagian dari badan hukum publik atau

menjadi badan hukum yang diberikan kewenangan oleh badan hukum

publik untuk melakukan kewenangan publik. Badan hukum publik dalam

hal ini adalah negara atau pemerintahan dalam arti luas. Sedangkan

bila masyarakat adat merupakan badan hukum privat, maka masyarakat

tidak merupakan bagian dari pemerintahan melainkan diperlakukan sama

sebagaimana badan hukum privat seperti perseorangan maupun badan

hukum privat lainnya.

Bila dilihat dalam sejarahnya pada masa kolonial,

keberadaan masyarakat hukum adat dalam bentuk unit-unit kekuasaan

lokal bukanlah bagian dari pemerintahan kolonial. Nagari, huta, marga,

winua, mukim/gampong dan sebutan lainnya merupakan persekutuan-

persekutuan atau masyarakat hukum yang tidak berada di dalam struktur

pemerintahan kolonial Belanda.

Langkah berbeda ditempuh oleh Pemerintah Republik

Indonesia pada masa Presiden Soekarno, terutama pada periode

demokrasi terpimpin yang menghendaki penyegeraan menjadikan

masyarakat hukum adat sebagai desapraja. Upaya ini terlihat dalam UU No.

1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19

Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mencapai

Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Namun belum sampai upaya tersebut dilakukan, terjadi gejolak politik dan

perubahan pemerintahan, sehingga UU Desapraja tidak dilaksanakan

sebagaimana mestinya.

Page 52: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sebagai gantinya, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU

No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU

No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Melalui undang-undang ini,

semua bentuk pemerintahan di kampung-kampung dijalankan oleh

pemerintahan desa yang kelembagaan dan kewenangannya ditentukan

secara seragam oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, maka

pemerintah memasukan bentuk pemerintahan desa kepada masyarakat

hukum adat dan kelembagaan masyarakat hukum adat tidak lagi

mendapatkan tempat untuk menjadi pemerintah yang resmi di dalam

masyarakat hukum adat. Pada tahapan ini, masyarakat hukum adat tidak

mendapatkan tempat untuk diposisikan sebagai badan hukum publik yang

menjadi bagian dari pemerintahan. Masyarakat hukum adat dengan

diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 berada di luar lingkaran struktur

pemerintahan. Sehingga pada titik itu, masyarakat hukum adat

diperlakukan sama dengan entitas badan hukum privat lainnya

seperti yayasan, perkumpulan, koperasi maupun perusahaan yang

tidak melaksanakan tugas-tugas yang berasal dari otoritas publik yang

diberikan oleh negara.

Ketentuan UUD 1945 mengatur keberadaan masyarakat

hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum

lainnya. Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana

pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat uraian mengenai “persekutuan

hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah

ada sebelum proklamasi Republik Indonesia.35 Ketika dilakukan perubahan

35 Di sini dikutipkan sebagian uraian tersebut, “Dalam territoir Negara Indonesiaterdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa diJawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerahyang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerahistimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akanmengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”

Page 53: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

terhadap UUD 1945, bagian penjelasan UUD 1945 dihapus keberadaannya.

Kemudian dasar hukum mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan

pada Batang Tubuh UUD 1945. Setidaknya terdapat tidak 3 (tiga) ketentuan

utama dalam UUD 1945 yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan

hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga ketentuan tersebut yaitu Pasal 18B

ayat (2)36, Pasal 28I ayat (3)37 dan Pasal 32 ayat (1)38 dan ayat (2) UUD

1945.39

Ketiga ketentuan tersebut yang paling serig dirujuk ketika

membicarakan mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum

adat. Meskipun demikian tidak berarti bahwa dasar konstitusional bagi hak

masyarakat hukum adat hanya pada tiga ketentuan tersebut. Masyarakat

hukum adat sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia juga memiliki

hak-hak konstitusional sebagai warga negara misalkan untuk mendapatkan

penghidupan yang layak, lingkungan yang baik, persamaan di hadapan

hukum dan hak-hak lainnya.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan

konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif

bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak

masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan

batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui

keberadaan sebagai masyarakat hukum adat. Ada 4 (empat) persyaratan

36 Ketentuan ini berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diaturdalam undang-undang.”

37 Ketentuan ini berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionaldihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban."

38 Ketentuan ini berbunyi,” Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara danmengembangkan nilai-nilai budayanya.”

39 Ketentuan ini berbunyi, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerahsebagai kekayaan budaya nasional.”

Page 54: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara

lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan

masyarakat; (c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d)

Diatur dalam undang-undang.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk dari

pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.

Rikardo Simarmata menyebutkan model pengakuan bersyarat itu

merupakan model yang diwariskan oleh pemerintahan colonial.40 Pasal 18B

ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan penghormatan

terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur dalam undang-

undang. Secara terminologis, frasa “diatur dalam undang-undang” memiliki

makna bahwa penjabaran ketentuan tentang pengakuan dan

penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat tidak

harus dibuat dalam satu undang-undang tersendiri. Hal ini berbeda dengan

frasa “diatur dengan undang-undang” yang mengharuskan penjabaran

suatu ketentuan dengan undang-undang tersendiri. Jadi bila dilihat secara

gramatikal, maka untuk menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidak

harus dibentuk sebuah undang-undang khusus tentang masyarakat adat.

Akan tetapi, kebutuhan akan sebuah UU tentang masyarakat hukum adat

juga disampaikan oleh Mahkamah Konsitusi ketika memeriksa dan

memutus pengujian Undang-Undang Kehutanan.41

Menarik untuk diamati, bahwa ketentuan Pasal 28I ayat (3)

tersebut hampir sama dengan materi muatan Pasal 6 ayat (2) UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi,

“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah

ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.” Perlu dicatat

40 Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat diIndonesia, Jakarta: UNDP Regional Centre in Bangkok, hlm. 23.

41 Putusan No. 35/PUU-X/2012, hlm 184.

Page 55: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bahwa UU HAM lahir satu tahun sebelum dilakukannya amandemen

terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Kuat dugaan, Pasal 28I ayat (3) UUD

1945 dan juga beberapa ketentuan terkait hak asasi manusia lainnya di

dalam konstitusi mengadopsi materi muatan yang ada di dalam UU HAM.

Namun ada sedikit perbedaan antara Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dengan

Pasal 6 ayat (2) UU HAM. Pasal 6 ayat (2) UU HAM mengatur lebih tegas

dengan menunjuk subyek masyarakat hukum adat dan hak atas tanah

ulayat. Sedangkan Pasal 28I ayat (3) membuat rumusan yang lebih

abstrak dengan menyebut hak masyarakat tradisional. Hak masyarakat

tradisional itu sendiri merupakan istilah baru yang sampai saat ini belum

memiliki definisi dan batasan yang jelas. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga

mempersyaratkan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat

sepanjang sesuai dengan perkembangan zaman. Bila dibandingkan dengan

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, maka rumusan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945

memberikan persyaratan yang lebih sedikit dan tidak rigid.

Pengaturan masyarakat hukum adat juga ditemukan dalam

sejumlah undang-undang. Dalam konteks tata pemerintahan, pertama kali

istilah masyarakat hukum adat ditemukan secara resmi di dalam undang-

undang yang berlaku di Indonesia adalah pada UU No. 1 Tahun 1957

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Di dalam undang- undang

tersebut masyarakat hukum adat dipertimbangkan sebagai bagian dari

pemerintahan republik yang akan berkedudukan sebagai daerah otonom

pada tingkat ketiga, bersamaan dengan desa. Selanjutnya dalam UU No. 19

Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mencapau

Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Dalam undang-undang ini masyarakat hukum adat dan kesatuan-kesatuan

hukum lainnya yang berbasis territorial ditetapkan sebagai daerah tingkat

ketiga yang disebut dengan Desapraja. Bahkan di dalam undang-undang itu

Page 56: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pula disadari pentingnya peran masyarakat hukum adat dalam

menyukseskan agenda revolusi.

Kemudian dalam konteks hukum agraria pengaturan mengenai

masyarakat hukum adat terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (4)

UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai dari negara dalam

pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan

masyarakat-masyarakat hukum adat. Dalam hal ini masyarakat hukum adat

bisa menerima delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi, air,

ruang angkasa dan kekayaan alam. Jika ada bidang tanah yang dikuasai

langsung oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal dari tanah

bekas hak erfpact bahkan bekas hak guna usaha (HGU), penguasaannya

dapat didelegasikan kepada masyarakat hukum adat, agar tujuan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat bisa dicapai. Kemudian penyebutan

masyarakat hukum adat terdapat dalam pengaturan pengakuan

keberadaan hak ulayat. Hal ini terdapat dalam Pasal 3 UUPA yang

menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa

itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan

kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa

serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-

peraturan lain yang lebih tinggi.

Pada masa Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang

mengatur mengenai hak masyarakat hukum adat. Tercatat hanya UU No.

11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang menentukan bahwa pelaksanaan

hak menguasai negara dalam bidang pengairan tetap menghormati hak

yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional (Pasal 3 ayat [3]). Undang-

undang ini sekarang sudah tidak berlaku lagi karena sudah diganti dengan

Page 57: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yang juga menyebut

masyarakat hukum adat yang harus diperhatikan. Pasal 6 ayat (2) UU ini

menyatakan bahwa penguasaan sumber daya air oleh negara

diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan

tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang

serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan peraturan perundang- undangan. Kemudian, Pasal 6 ayat (3)

memberikan arahan teknis pengaturan bahwa hak ulayat masyarakat

hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya

masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.

Berbeda dengan masa Orde Baru, pada masa pasca Orde Baru

sejak tahun 1998 ada banyak undang-undang yang dibuat oleh pemerintah

bersama-sama dengan DPR yang mengatur mengenai keberadaan dan hak-

hak masyarakat adat. Dalam 15 tahun sejak 1999 sampai tahun 2014 saja

telah terdapat sekurang-kurangnya 16 (enam) belas undang-undang

yang mengatur keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Undang-

Undang tersebut adalah:

a. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia42;

b. UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan43;

c. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi44;

d. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional45;

42 Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi, “Dalam rangka penegakan hakasasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dandilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah”. Dan Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi,“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selarasdengan perkembangan zaman”.

43 Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi, “Pembentukan wilayahpengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkankarakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batasadministrasi pemerintahan”.

44 Di dalam Undang-Undang ini, istilah yang digunakan adalah masyarakat adat.Pengaturannya terkait dengan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (3)huruf p.

Page 58: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

e. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi46;

f. UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi47;

g. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air48;

h. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan49;

i. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang50;

j. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil51;

k. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan52;

l. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup53’

45 Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi, “Warga negara di daerahterpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikanlayanan khusus”.

46 Masyarakat Hukum Adat menjadi salah satu pemohon dalam Undang-Undang inisebagaimana dimksud dalam Pasal 51 huruf b.

47 Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a yang berbunyi,” Kegiatan UsahaPertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan Di tempat pemakaman, tempat yangdianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, sertatanah milik masyarakat adat”.

48 Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 6 ayat (3) huruf a yang berbunyi,”unsurmasyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatananhukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui danmenerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari”. Perludiketahui bahwa Undang-Undang ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

49 Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi,”Pengelolaan perikanan untukkepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adatdan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.”

50 Hal ini diatur dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (9) huruf f yang berbunyi,”hak,kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjaminketerlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraanpenataan ruang”.

51 Hal ini diatur dalam Pasal 61 ayat (1) yang berbunyi,”Pemerintah mengakui,menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan KearifanLokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.”

52 Hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat 6 yang berbunyi,”Dalam hal tanah yang digunakanpemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannyadilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan denganmemperhatikan ketentuan hukum adat setempat”.

Page 59: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

m. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan54;

n. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil55;

o. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa56, serta

p. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan57.

Di samping itu pengaturan keberadaan dan hak-hak

masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang-undang

otonomi khusus sebagai berikut:

a. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

b. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; serta

c. UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah

Yogyakarta.

Banyaknya jumlah undang-undang ini menunjukan bahwa

penempatan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-

53 Hal ini diatur dalam Pasal 63 ayat (1) huruf t yang berbunyi,”menetapkan kebijakanmengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hakmasyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.”

54 Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 7 yang berbunyi,”Yang dimaksud dengan“masyarakat” adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum.Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar hutanyang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantungpada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupanbersama dalam wadah kelembagaan.”

55 Hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi,”Pemanfaatan ruang dansumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat HukumAdat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.”

56 Hal ini diatur dalam Penjelasan Pasal 19 huruf a yang berbunyi,”Yang dimaksuddengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsaDesa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat,antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanahkas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa. “

57 Hal ini diatur dalam Pasal 12 ayat (1) yang berbunyi,”Dalam hal Tanah yangdiperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adatpemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah danimbalannya”.

Page 60: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

undangan, terutama dalam undang- undang yang berkaitan dengan tanah

dan sumber daya alam lainnya, merupakan kecenderungan legislasi pada

masa pasca Orde Baru. Secara kuantitatif telah banyak undang-undang

mengenai masyarakat hukum adat, bahkan ada kesan tidak lengkap bila

pemerintah atau menyiapkan undang-undang tanpa memasukkan

pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Namun pada sisi lain dapat

dipahami bahwa masa pasca Orde Baru atau Orde Reformasi juga

merupakan era kebangkitan masyarakat hukum adat dalam proses legislasi.

Hal ini tentu juga dapat dikatakan sebagai hasil perjuangan masyarakat sipil

terhadap hak-hak masyarakat hukum adat walaupun baru pada tahap

legislasi.

Meskipun banyak peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai masyarakat hukum adat, namun tidak semuanya

menyebutkan kriteria masyarakat hukum adat. Pada tingkat undang-

undang terdapat 4 (empat) undang-undang yang mengatur mengenai

kriteria masyarakat hukum adat, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Perbedaan paling mendasar dari kriteria-kriteria di atas adalah

sifat kumulatif atau alternatif antara satu kriteria dengan kriteria lain. UU

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi satu-satunya undang-undang yang

tidak mempersyaratkan kriteria masyarakat hukum adat secara kumulatif

untuk menjadi desa adat. Artinya, UU Desa hanya mewajibkan kriteria

wilayah (territorial) sebagai kriteria wajib ditambah dengan salah satu atau

beberapa dari empat kriteria lain yaitu (i) masyarakat yang warganya

memiliki perasaan bersama dalam kelompok; (ii) pranata pemerintahan

adat; (iii) harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau (iv) perangkat

norma hukum adat.

Page 61: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sementara itu kriteria masyarakat hukum adat yang

diatur dalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, serta UU Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merumuskan kriteria yang bersifat

kumulatif. Artinya keberadaan masyarakat hukum adat baru diakui apabila

memenuhi kesemua kriteria yang telah ditentukan. Dalam konteks

kehutanan, UU Kehutanan mengatur bahwa kriteria masyarakat hukum

adat meliputi: (i) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban

(rechsgemeenschap); (ii) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat

penguasa adatnya; (iii) ada wilayah hukum adat yang jelas; (iv) ada pranata

hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (v) masih

mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satu pembeda utama

antara kriteria masyarakat hukum adat dalam UU Kehutanan dengan

undang-undang lain adalah kriteria “masih mengadakan pemungutan hasil

hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari.” Kriteria ini mengandaikan bahwa masyarakat hukum adat

yang diakui dalam konteks kehutanan adalah mereka yang masih

melakukan hubungan langsung dengan hutan dan sumber daya hutan

untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun ketentuan ini belum

secara terperinci menjelaskan apa yang dimaksud dengan “pemenuhan

kebutuhan sehari-hari”, apakah itu berarti masyarakat yang memperoleh

pendapatan untuk kebutuhan ekonominya dari hutan, atau termasuk pula

manfaat yang secara tidak langsung yang diperoleh masyarakat dari

keberadaan hutan misalkan pasokan air, udara yang bersih dan manfaat-

manfaat lainnya yang diperoleh dari keberadaan hutan.

Berdasarkan identifikasi perundang-undangan di atas, terdapat

beragam kriteria kesatuan masyarakat hukum adat yang berbeda antara

satu undang-undang dan undang-undang lain. Padahal semua kriteria

tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 18B Ayat (2) UUD

Page 62: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

1945. Kriteria lain ditemukan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

dalam Perkara No. 31/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 31

Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Dalam

putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menafsirkan maksud dari 3 (tiga)

syarat pengakuan keberadaan masyarakat adat di dalam Pasal 18B ayat (2)

UUD 1945 dan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dengan kriteria

berikut:

a. ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu

kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;

b. ada lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;

c. ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

d. ada norma hukum adat yang masih berlaku; dan

e. ada wilayah adat tertentu;

Dengan demikian, maka berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusi terdapat 5 (lima) kriteria kesatuan masyarakat hukum adat yaitu ada

masyarakatnya, ada lembaga adatnya, ada harta kekayaan bersama, ada norma

hukum adatnya, dan ada wilayah tempat keberadaannya. Suatu kesatuan

masyarakat hukum adat yang memenuhi kelima kriteria itu berkedudukan

sebagai subyek hukum dan oleh karenanya memiliki hak dan kewajiban yang

dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan

mengenai sifat kesatuan masyarakat hukum adat dalam 3 (tiga) karakter, yaitu

genalogis, territorial, dan fungsional. Sifat genealogis artinya suatu kesatuan

masyarakat hukum adat terikat karena satu asal usul keturanan atau pertalian

dasar. Sifat territorial menekankan kepada kesamaan wilayah tempat tinggal.

Sementara itu sifat fungsional berarti kesatuan masyarakat hukum adat tersebut

masih menjalankan fungsi-fungsi sosialnya melalui lembaga adat. Kesatuan

masyarakat hukum adat dapat bersifat genealogis dan teritoral, tetapi juga bisa

bersifat genalogis, territorial dan fungsional. Kesatuan masyarakat hukum adat

Page 63: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dengan sifat genealogis, territorial dan fungsional dapat ditetapkan sebagai desa

adat berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pada tanggal 25 Mei 2015 yang lalu, telah diterbitkan Peraturan

Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal

atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat dalam Kawasan Tertentu

(Permen ATR 9/15). Penerbitan Permen ATR 9/15 ini semestinya diletakkan

dalam rangka menjawab kesenjangan hukum terkait hak-hak masyarakat hukum

adat atas sumber daya alam yang selama ini belum terlindungi dengan baik.

Kesenjangan hukum ini telah mengucilkan masyarakat hukum adat atas sumber

daya alamnya. Masyarakat hukum adat telah lama dipaksa untuk melepaskan

ikatannya dengan tanah, hutan, air dan kekayaan alam yang mereka miliki.

Dalam konteks tersebut, terdapat pertanyaan mendasar, yaitu;

apakah peraturan baru ini mampu menjawab persoalan kesenjangan hukum hak-

hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alamnya, atau sebaliknya; Permen

ATR 9/2015 ini malah memperkuat kesenjangan hukum tersebut. Untuk

menjawab pertanyaan diatas, maka mesti merujuk pada konsep yang mendasar

tentang pengakuan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya

alamnya, yaitu (i) tentang bagaimana hukum mengatur perlindungan masyarakat

hukum adat sebagai subjek hak, (ii) bagaimana hukum melindungi ikatan-ikatan

hukum masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya, serta

(iii) bagaimana hukum mengatur tentang tanah dan sumber daya alam

masyarakat hukum adat itu sendiri.

Jika ditelusuri lebih lanjut, Permen ATR 9/15 mengatur subjek hak

komunal bukan hanya untuk masyarakat hukum adat, namun juga berlaku bagi

masyarakat lain, yang dalam Permen ATR 9/15 mengistilahkannya dengan

“masyarakat pada kawasan tertentu”, yaitu masyarakat yang berada di kawasan

hutan atau perkebunan. Masyarakat hukum adat sendiri dijabarkan sebagai

masyarakat yang terikat dengan hukum adat, baik secara geneologis (persamaan

garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat tinggal).

Page 64: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dengan kata lain, masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang

mempunyai ikatan sosial-kultural dengan tanah dan sumber daya alamnya sejak

lama. Sedangkan masyarakat pada kawasan tertentu adalah masyarakat yang

menguasai tanah selama 10 tahun yang bergantung pada hasil hutan dan sumber

daya alam serta ada kegiatan sosial-ekonomi yang terintegrasi dalam kehidupan

masyarakat tersebut. Disparitas subyek hak komunal dalam Permen ATR 9/15 ini

kontroversial, karena menyamakan basis lahirnya hak komunal yang sosial-

kultural (geneologis dan atau teritorial) dengan basis penguasaan tanah pada

kurun waktu tertentu. Akibatnya, Permen ATR 9/15 potensial memunculkan

persoalan hukum, yaitu saling tumpang tindih antara masyarakat hukum adat

dengan masyarakat yang berada pada kawasan tertentu pada objek yang sama.

Van Vallenhoven menjelaskan “Hak ulayat” atau beschikkingsrecht

ini tidaklah dapat diketemukan dalam Burgelijk Wetboek, juga tidak dapat

disamakan dengan recht van heerschappij (semacam hak pertuanan) di negara

Barat. Namun di seluruh kepulauan Indonesia hal itu merupakan hak yang

tertinggi atas tanah. Hak ini dipunyai oleh suatu suku (stam), atau oleh sebuah

gabungan desa (dorpenbond), atau biasanya oleh sebuah desa saja tetapi tidak

pernah dipunyai oleh seorang individu.58 Beschikkingsrecht ini tidak dikenal dan

diakui oleh hukum Barat (Burgerlijk Wetboek). Traktat ini hanya mengenal 3

(tiga) jenis hak, yakni eerfelijk individueel bezitrecht (hak milik individual yang

bisa diwariskan), communaal bezitrecht (hak milik komunal), dan

gebruiksaandelen in communaal bezitrecht (hak milik komunal dengan

pemakaian bergiliran).59 Selain kritik atas domeinverklaring, soal

beschikkingsrecht inilah yang menjadi inti soalnya.

Hak ulayat dalam kemasyarakatan (hukum) adat dalam pengertian

Vollenhoven di atas yang juga kemudian diidealkan oleh politik hukum agraria

58 Van Vollenhoven, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, Jakarta, STPN Press, SajogyoInstitute, HuMa, dan Tanah Air Beta, hlm. 8−9.

59 Ibid., hlm. 21.

Page 65: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Indonesia, bukanlah (kemasyarakatan) adat dalam pengertian kerajaan beserta

segenap hak-hak feodalnya. Konsep terakhir ini pada era kemerdekaan disebut

sebagai unit swapraja. Disebut swapraja dalam konteks hubungan kerajaan

dengan Vereenigde Oost−Indische Compagnie (VOC) atau selanjutnya

pemerintah Kolonial: kerajaan diberi kewenangan mengelola pemerintahannya

sendiri. Hubungan ini ditandai dengan kontrak politik (lange contract dan korte

verklaring). Tujuannya bukan untuk memerdekakan kerajaan, namun justru

dengan terikat secara politik itu kerajaan berada di bawah kendali kekuasaan

kolonial, serta tersembunyi tujuan agar rakyat mudah dikendalikan oleh raja-

rajanya sendiri sehingga tidak melakukan perlawanan.60

Pemerintahan swapraja sejalan dengan sistem indirect rules

pemerintahan kolonial. Di sisi lain karena kondisi obyektif yang dihadapi

pemerintah Belanda saat itu yang tidak cukup mempunyai uang dan tenaga

dalam menjalankan pemerintahan secara langsung di seluruh Nusantara. Dalam

sejarah politik agraria Indonesia, tanah-tanah kerajaan di-reorganisasi dan

dibagikan, misalnya pengalaman reorganisasi di Vorstenlanden pada tahun 1918

dan redistribusi tanah-tanah eks-perusahaan Belanda kepada rakyat Yogyakarta

melalui Undang-Undang Darurat Nomor 13/1948. Kebijakan landreform melalui

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 tahun 1961 justru menjadikan tanah-

tanah eks-swapraja sebagai obyek landreform, dan seluas 73.566 ha telah

berhasil dibagi pada tahun 1963. Hal ini karena hubungan kerajaan dengan tanah

dinilai berciri feodalistik. Oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 ia

dinyatakan dihapus. Nyata sekali UUPA 1960 membedakan hukum adat yang

membingkai hak-hak ulayat (diakui sebagaimana pasal 5) dengan adat berciri

feodalistik (dalam bingkai pemerintahan swa-praja) sehingga perlu di-retool atau

dihapuskan (lihat Memori Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang Pokok

Agraria, Bagian III, poin [1]).

60 Usep Ranawidjaja, 1955, Swapradja, Sekarang dan dihari Kemudian, Jakarta:Penerbit Djambatan, hlm. 2−5.

Page 66: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dalam konteks pengajaran, di sinilah selanjutnya penting bagi

lembaga pendidikan memikirkan ulang jenis pengetahuan agraria yang perlu

diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah yang mereka lahir,

hidup bersama, dan menghadapi masyarakat dengan keragaman (sistem

keagrariaan) daerahnya. Tidak tepat jika terjadi penyeragaman pengetahuan dan

sistem pengelolaan pertanahan di Nusantara ini, dari ujung pulau Sumatera

hingga ujung Papua. Khawatir, jika terulang lagi apa yang telah diingatkan jauh-

jauh hari oleh Vollenhoven itu, “satu abad pelanggaran hak” atau “satu abad

ketidakadilan”.

Dari sisi regulasi, penafian hak-hak agraris penduduk dan lahirnya

regulasi berorientasi kapitalistik memang terjadi, sebagaimana dinyatakan

“berbagai peraturan agraria akhirnya menjadi alat menghalalkan ‘pencurian’

harta milik rakyat (het recht als instrument van diefstallen). Misalnya pemberian

ganti rugi pembebasan tanah yang tidak manusiawi, pengambilan tanah ulayat,

dan sebagainya.”61 Di sinilah perlu kritik dan koreksi terhadap peraturan-

perundang-undangan. Suatu produk legislasi dapat berarti legal, namun tidak

legitimate di hadapan publik dan bagi penciptaan keadilan dan jaminan hak-hak

dasar warga. Dalam konteks ini maka kata “supremasi hukum” dan “taat aturan”

dapat menjadi ironi. Hal demikian sebab kebijakan yang diekstrapolasi dari

peraturan-perundang-undangan tidaklah netral, tapi mencerminkan proses

interaksi antara kepentingan, wacana, dan aktor-aktor tertentu, yang ketiganya

ini dipengaruhi oleh ruang historis, kekuasaan, ekonomi-politik, dan budaya. Jika

dirujuk secara substantif terkadang peraturan-perundang-undangan tersebut

tidak sesuai dengan konstitusi. Oleh karena itulah Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung bertugas melakukan peninjauan yudisial di berbagai

tingkatannya. Debat dan polemik pada awal abad 20 di parlemen

Hindia−Belanda, baik di Majelis Tinggi (eerste Kamer) maupun Majelis Rendah

61 Achmad Sodiki, 2013, Politik Hukum Agraria, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm.13.

Page 67: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

(tweede Kamer), dan Volksraad, mengimajinasikan soal-soal hukum dan hak-hak

warga negara itu diperjuangkan, yang sebagian ide-idenya tercermin dalam UUD

1945. Harus dilembagakan pentingnya pengetahuan mengenai hukum adat,

pengakuan hak-hak agraria rakyat Indonesia, dan kemasyarakatan adat,

mengingat matakuliah yang mengkaji masalah-masalah itu di beberapa kampus

tidak lagi banyak diminati bahkan tidak diajarkan.

Di tengah optimisme penyambutan terbitnya ulang buku ini di

beberapa tempat, gempita penyusunan 3 (tiga) Rancangan Undang-Undang

(RUU) yang berkenaan dengan adat dan hak ulayat (RUU Desa, RUU Pengakuan

dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Pertanahan), izinkan

penulis membersitkan kekhawatiran. Penulis khawatir masyarakat (hukum) adat

mengalami positivisasi ketika didefinisikan dan dengan syarat-syarat yang

menyertainya, penulis khawatir pengakuan atas hak ulayat tereduksi ketika

diterjemahkan secara teknis (rendering technical) oleh praktik administrasi

pertanahan Indonesia.

Pada awalnya, aturan operasional pengakuan hak masyarakat

hukum adat atas tanah dan sumber daya alam (Hak Ulayat) terdapat dalam

Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permanag 5/1999). Permenag 5/1999 mengatur

tentang tata cara penetapan subjek hak masyarakat hukum adat dan hak

ulayatnya dengan parameter tertentu, yaitu berdasarkan pada kriteria-kriteria

yang telah ditetapkan dalam aturan ini. Selanjutnya, Permenag 5/1999 juga

mengatur tentang prosedur penetapan hak ulayat, yaitu melalui penelitian

tentang keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, dan menentukan

Peraturan Daerah sebagai instrumen penetapan. Pengaturan ini kemudian

dirujuk oleh pelbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur hak-hak

masyarakat hukum adat serupa terutama dalam bidang sumber daya alam.

Dengan dicabutnya Permenag 5/1999 oleh Permen ATR 9/2015,

maka pengaturan yang ada dalam Permanag 5/1999 tidak berlaku lagi. Namun

Page 68: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

secara substansi, Permenag 9/2015 masih menggunakan kriteria-kriteria

keberadaan masyarakat hukum adat, prosedur penetapan masyarakat hukum

adat sebagai subjek hak dan penetapan haknya. Prosedur penetapan masyarakat

hukum adat sebagai subjek hak tidak lagi menggunakan penelitian oleh

Pemerintah Daerah, namun melalui lembaga kepanitiaan adhoc, yaitu;

Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah(IP4T).

Selanjutnya, IP4T dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/kota dan

atau Provinsi yang terdiri dari unsur BPN, Dinas Kehutanan, Akademisi, LSM dan

Perwakilan Masyarakat Hukum Adat bersangkutan. IP4T bertugas untuk

melaksanakan identifikasi, verifikasi dan pemeriksaan lapangan yang bertujuan

untuk menghasilkan laporan tentang keberadaan masyarakat hukum adat

sebagai subjek hak, data fisik dan yuridis penguasaan tanah oleh masyarakat

hukum adat, termasuk batas-batas wilayahnya. Selanjutnya, Bupati/Walikota dan

atau Gubernur menetapkan hak komunal masyarakat hukum adat tersebut, yang

selanjutnya disampaikan kepada kantor BPN setempat untuk didaftarkan hak

atas tanahnya.

Penetapan hak komunal oleh Gubernur dan Bupati/Walikota

dalam Permenag 9/2015 tidak dijelaskan secara tertulis menggunakan Perda dan

atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Namun dalam praktek hukum, penetapan

objek tertentu oleh Kepala Daerah melalui Surat Keputusan Kepala Daerah, maka

bisa ditafsir bahwa penetapan hak komunal tersebut dilaksanakan melalui Surat

Keputusan Kepala Daerah. Artinya, penetapan masyarakat hukum adat oleh

Perda dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang ada tidak lagi menjadi prasyarat untuk penetapan hak

masyarakat hukum adat dalam konteks hak komunal, sehingga Penetapan hak

komunal sekaligus penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek haknya

secara bersamaan.

Persoalan muncul ketika konstruksi hak mesti memastikan siapa

subjek hak dan jenis-jenis hak yang dimilikinya. Persoalan ini terkait dengan

Page 69: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

karakter hak ulayat sebagai seperangkat hak (Bundle of Rights) yang dimiliki oleh

subjek-subjek hak yang beragam, namun terhubung dalam ikatan persekutuan

hukum masyarakat hukum adat tertentu. Selain itu, Hak ulayat mempunyai

dimensi publik dan privat. Hak publik adat adalah hak yang mirip dengan hak

menguasai Negara. Hak publik adat melingkupi hak untuk menentukan hubungan

hukum antara anggota/klan dalam masyarakat hukum adat atau diluar

masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, hak untuk mengatur

peruntukkan ruang, dan hak-hak untuk mengalokasikan lahan dan ruang untuk

kepentingan publik masyarakat hukum adat, misalnya penentuan hutan

larangan.

Dalam konteks ini, subjek hak publik adat semestinya adalah

persekutuan masyarakat hukum adat atau desa adat seperti nagari, negeri,

kasepuhan dan lain-lain. Sedangkan hak privat adat adalah hak anggota dan atau

klan (keluarga besar) yang merupakan bagian dari persekutuan masyarakat

hukum adat yang lebih luas. Anggota/Klan masyarakat hukum adat ini

mempunyai hak untuk memanfaatkan tanah dan sumber daya alamnya untuk

kepentingan individu, keluarga inti dan keluarga besarnya (Klan)-nya yang berada

di tanah milik adat. Model paling jelas dalam konteks hak privat adat ini adalah

tanah ulayat kaum di Minangkabau.

Persoalan hukum lainnya muncul dengan pemberlakukan Permen

ATR 9/2015 ini, yaitu terkait dengan 2 (dua) hal. Pertama, bagaimana dengan

status hak ulayat (berdimensi publik) sejak Permenag 5/1999 dicabut oleh

Permenag 9/2015 ini, Kedua, bagaimana dengan hak privat adat dan hak ulayat

yang berada di kawasan hutan yang mempersyaratkan penetapan masyarakat

hukum adat sebagai subjek hak terlebih dahulu.

Secara normatif, aturan operasional tentang Penetapan hak ulayat

yang berdimensi publik tidak lagi ada sejak dicabutnya Permenag 5/1999 untuk

persekutuan masyarakat hukum adat. Namun dalam konteks masyarakat hukum

adat sebagai “desa adat” yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,

Page 70: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

hak ulayat melebur dalam aset desa adat, sehingga penetapan desa adat

merupakan bagian dari penetapan hak asal usul atas wilayah adat yang disebut

juga dengan hak ulayat.

Persoalan selanjutnya muncul terkait implementasi Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (tentang hutan adat. Putusan tersebut

menyebutkan bahwa hutan adat tak terpisah dari wilayah adat. Atau dengan

kata lain, hutan adat tidak bisa dipisahkan dari hak-hak yang melekat dalam

wilayah adat, baik itu yang berdimensi publik adat maupun berdimensi privat

adat. Dalam konteks desa adat, persoalan sinkronisasi penetapan hutan adat

dimungkinkan karena UU Desa juga merujuk pada Putusan MK tersebut yang

mengatur hak ulayat yang berdimensi publik dalam aset desa adat. Namun

ketidakpastian hukum muncul pada masyarakat hukum adat non desa adat,

karena Permenag 5/1999 telah dicabut.

Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak,

baik itu dalam bentuk desa adat maupun masyarakat hukum adat melalui

Peraturan Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan

mekanisme yang beragam. Aturan peralihan Permenag 9/2015 mengakomodasi

keberagaman mekanisme penetapan tersebut, dengan memastikan penetapan

masyarakat hukum adat dan hak-haknya yang sudah ada maupun yang sedang

berproses diakui, sehingga hak-hak masyarakat adat tersebut dapat ditetapkan

sebagai hak komunal. Dengan pembatasan penetapan hak masyarakat hukum

adat hanya pada hak komunal yang bersifat privat tersebut, maka hak ulayat,

seperti halnya ulayat nagari yang ada dalam Perda Tanah Ulayat di Sumatera

Barat mengalami ketidakpastian hukum. Sehingga yang paling memungkinkan

adalah merubah status nagari sebagai desa adat yang memasukkan ulayat nagari

sebagai asset nagari sebagai desa adat.

Selain persoalan di atas, Permen ATR 9/2015 ini dikhawatirkan

melahirkan potensi konflik horizontal antar masyarakat hukum adat dengan non

masyarakat hukum adat yang mempunyai penguasaan pada objek yang sama,

Page 71: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

yaitu diatas wilayah adat. Situasi ini mengkhawatirkan pada wilayah-wilayah adat

yang dikuasai oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sedang berkonflik

dengan masyarakat hukum adat.

Di sisi lain, di lapangan telah ada proses sosial yang dibangun

masyarakat untuk penyelesaian konflik dan asimilasi sosial terkait tumpang

tindih klaim masyarakat hukum adat dengan non masyarakat hukum adat diatas

wilayah adat. Misalnya, prosesi “Malakok” masyarakat hukum adat terhadap non

masyarakat hukum adat yang telah menguasai wilayah adat di beberapa nagari-

nagari di Sumatera Barat. “Malakok” sendiri adalah pengakuan masyarakat

hukum adat pada kelompok masyarakat lain sebagai bagian dari masyarakat

hukum adat tersebut, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan akses pada

tanah dan sumber daya alam. Dengan lahirnya Permen ATR 9/2015

dikhawatirkan memperkuat klaim antar masyarakat, sehingga proses asimilasi

sosial yang telah atau sedang dibangun potensial goyah.

Dengan demikian, Permenag 9/2015 ini layak dikaji ulang sebagai

aturan penetapan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya

alam, terutama terkait dengan; Pertama, tentang tidak adanya pengakuan

terhadap keberagaman jenis dan karakter hak-hak masyarakat hukum adat atas

tanah dan sumber daya alam. Kedua, tentang penyamaan masyarakat hukum

adat dan non masyarakat hukum adat sebagai subjek hak komunal. Penyamaan

tersebut menyederhanakan konsep hak komunal secara khusus dan hak ulayat

secara umum, sebatas pada penguasaan efektif atas wilayah. Ikatan-ikatan atas

tanah dan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat yang berbasis tradisi,

dan proses sosial penyelesaian konflik antar masyarakat melalui proses sosial

sebagai bagian dari asimilasi sosial seolah-olah di luar optik Permenag 9/2015 ini.

Page 72: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

BAB II

NEGARA HUKUM

A. Pengantar

Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2001,

konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya

tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam

Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”

Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan

panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik

ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa

Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of

man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai

sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari

skenario sistem yang mengaturnya.

Semula gagasan Negara Hukum terdapat dalam penjelasan UUD

1945. Soepomo selaku perancang utamanya, menulis bahwa Indonesia

adalah “rechtsstaat” bukan “machtsstaat.” Hampir lima tahun kemudian,

Indonesia mengadopsi konstitusi baru, yang juga dirancang oleh Soepomo,

Page 73: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dan di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat itu sekali lagi ditekankan

bahwa Indonesia Merdeka adalah negara hukum. Lebih eksplisit lagi, UUD

Sementara 1950 dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa Republik Indonesia

adalah negara-hukum yang demokratis, seperti yang juga diamanatkan dalam

Perubahan Ketiga atas UUD 1945, yang berlaku lagi sejak tahun 1959.

Dari posisi khusus negara hukum dalam UUD Indonesia, dapat

ditarik kesimpulan bahwa istilah ini menempati posisi yang istimewa dalam

pemikiran hukum tata negara Indonesia. Anehnya, istilah ini sangat berbeda

terjemahannya dalam institusi tata negara yang diciptakan oleh masing-

masing Konstitusi tersebut. Walaupun semuanya menyatakan bentuk negara

Indonesia adalah negara hukum, institusi dan hak yang mereka definisikan

sangat berbeda. Sehingga menjadi wajar jika pertanyaan apa yang dimaksud

dengan istilah negara hukum terus muncul dalam perdebatan para pakar

hukum tata negara maupun di diskusi politik dan bahkan di media massa.

Sekarang ini, banyak pakar di Indonesia tidak ingin menggunakan istilah

negara hukum lagi karena maknanya yang kontroversial.

Diskusi semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Apa pun

namanya rechtsstaat, état de droit, atau rule of law, perdebatan mengenai

maknanya seperti tidak bisa diselesaikan. Diskusi di bagian dunia lain

bahkan sangat membingungkan. Selama dekade terakhir banyak ilmuwan

bermaksud menentukan apa makna dari negara hukum, apa makna

seharusnya, atau paling tidak apa ciri-ciri pokoknya atau ciri-ciri yang

semestinya. Upaya-upaya ini sangat membantu pemahaman mengenai istilah

negara hukum, namun tak ada satupun dari upaya ini yang telah menyediakan

definisi yang dapat diterima oleh semua pihak. Definisi negara hukum tampak

terjerat oleh waktu, tempat, konteks, dan dari pengarang ke pengarang.

Secara akademik hal ini tidaklah mengejutkan, karena negara

hukum adalah “konsep yang sejatinya bersaingan” (esentially contested

concept). Artinya makna ‘sesungguhnya’ dari negara hukum tergantung pada

Page 74: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kesepakatan atas isu-isu normatif yang bersaing dan karenanya dapat diduga

pula adanya ketidaksepakatan. Beberapa dari persaingan konsep tentang

negara hukum dapat diselesaikan dengan cara mempertimbangkan konteks

nasional di mana konsep tersebut digunakan. Misalnya, menjadi masuk akal

untuk menimbang hak-hak warga negara mendapatkan peradilan oleh

seorang juri sebagai salah satu elemen penting negara hukum di sebuah

negara dengan tradisi Anglo Saxon. Akan tetapi, pengenalan sistem juri ke

dalam sistem hukum pidana di negara dengan tradisi dan sejarah yang

berbeda akan mensyaratkan sebuah pembenahan kelembagaan hukum yang

menyeluruh dan mahal, namun belum tentu mampu memperoleh

manfaat seketika. Walaupun demikian, di dalam satu konteks (nasional) pun

negara hukum juga dipersaingkan. Masalahnya, perdebatan-perdebatan

mengenai negara hukum tersebut termasuk perdebatan akademiknya acap

tidak jelas mengenai yang dimaksudkan oleh para pihak tersebut tentang

negara hukum karena mereka kerap mengungkapkannya dengan istilah-istilah

yang cukup umum.

Dengan demikian, ada beberapa alasan untuk mencari sebuah

pendekatan bernuansa analitis yang mampu menjawab masalah- masalah

semacam itu, tanpa harus mengorbankan kemampuan adaptasi dari konsep

negara hukum. Tulisan ini bermaksud untuk berkontribusi pada tujuan

tersebut dengan menawarkan sebuah kerangka konseptual untuk menata

perdebatan mengenai negara hukum.

B. Evolusi dan Relevansi Gagasan Negara Hukum

Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan

perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan

berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur

kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina

dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan

impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Page 75: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Demi mempermudah, istilah negara hukum dalam tulisan ini akan

digunakan untuk menyebutkan rule of law Inggris dan Amerika, rechtsstaat

Jerman dan Belanda, negara hukum Indonesia, dan lain-lain. Keputusan ini

mungkin menyiratkan bahwa tulisan ini memperlakukan negara hukum

sebagai suatu yang nonesensialis atau konsep “kosong.” Akan tetapi, memang

sudah ada sebuah pendasaran umum yang kokoh untuk mengawali

penyelidikan terhadap negara hukum. Kendati ada ketidaksepakatan

mengenai definisi-definisi negara hukum, namun hampir semua pihak sepakat

pada dua fungsi yang diberikan oleh negara hukum.

Yang pertama adalah membatasi kesewenang-wenangan dan

penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan negara. Negara hukum

adalah konsep payung bagi beberapa instrumen hukum dan kelembagaan

demi melindungi warga negara dari kekuasaan negara. Fungsi negara hukum

ini pertama kali diajukan oleh Plato dan Aristoteles, namun lenyap selama

lebih dari seribu tahun, kemudian “ditemukan kembali” dan dielaborasi oleh

ahli-ahli keagamaan, khususnya Thomas Aquinas, sepanjang Abad

Pertengahan. Inti gagasannya adalah kedaulatan dibatasi oleh hukum,

gagasan yang semenjak itu dielaborasi dengan beragam cara. Fungsi kedua

tidak mengacu balik pada filsafat Yunani, tetapi masuk melalui “pintu

belakang” pada masa Pencerahan. Fungsinya adalah untuk melindungi

kepemilikan dan keselamatan warga dari pelanggaran dan serangan warga

lainnya.

Walaupun demikian, ada alasan-alasan yang kuat untuk tetap

membiarkan fungsi kedua ini. Pertama adalah bahwa fungsi perlindungan

kepemilikan warga ini menjadi sentral pada banyak diskusi terkini yang

memberi perhatian pada negara hukum. Membuangnya akan menghilangkan

pokok-pokok dari perdebatan- perdebatan yang tergantung di tiang pancang

negara hukum. Alasan tambahan yang bisa diberikan adalah posisi sentral

bahwa hak asasi manusia yang menurut pertimbangan banyak orang menjadi

Page 76: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bagian integral dari negara hukum, telah semakin dimanfaatkan sebagai

standar utama dalam hubungan antara warga dan warga lainnya; bukan

hanya di antara negara dengan warga negaranya. Isunya tidak lagi sekadar

bagaimana negara memperlakukan warganya, namun juga bagaimana warga

memperlakukan sesama warga.

Hal ini mempunyai implikasi penting bagi negara, yang harus

mencegah warga negaranya melanggar hak asasi sesama warga negara. Sejak

banyak penulis mendiskusikan isu-isu ini dalam istilah negara hukum, menjadi

masuk akal bila kita menimbang fungsi kedua sebagai isu sentral dari negara

hukum juga.

Penting pula untuk melihat bahwa fungsi-fungsi ini cenderung

bertentangan. Stephen Holmes secara meyakinkan berpendapat bahwa

pembatasan kekuasaan negara sesungguhnya mening- katkan keefektifan dari

kekuasaan itu. Negara kerap merasa bahwa mereka memerlukan kekuasaan

yang lebih besar dengan dalih bahwa mereka perlu melindungi warga dari

sesamanya. Ketegangan antara pengelolaan negara (governability) dan tujuan

negara hukum untuk membatasi kekuasaan adalah suatu masalah yang selalu

muncul dalam perdebatan-perdebatan mengenai upaya mempromosikan

negara hukum.

Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan

ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi

sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya

konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme

law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi

sebagai “the guardian” dan sekaligus “the ultimate interpreter of the

constitution.”

Dalam kepustakaan berbahasa Indonesia telah populer dengan

istilah “negara hukum”. Ada pendapat yang mengatakan istilah negara hukum

Page 77: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

merupakan terjemahan dari istilah “rechtsstaat” atau “Rule of Law”, sehingga

menyamakan pengertian negara hukum dengan rechtsstaat atau rule of law.

Menurut Philipus Hadjon dari segi konsepnya negara hukum tidak

dapat disamakan dengan rechtsstaat dan Rule of law. Menurutnya

Rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, yakni

kekuasaan dari raja yang sewenang-wenang untuk mewujudkan negara yang

didasarkan pada peraturan perundang-undangan, atau sifatnya revolusioner.

Lain halnya dengan rule of law berkembang secara evolusioner. Selanjutnya

konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum Kontinental (civil law),

sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum common law.

Dengan demikian istilah Rechtsstaat dan Rule of law tidak bisa disamakan

begitu saja dengan negara hukum (Pancasila). Meskipun berbeda konsep

antara rechtsstaat dan Rule of law, namun keduanya mengarahkan dirinya

pada satu sasaran yang utama yaitu “pengakuan dan perlindungan terhadap

hak-hak asasi manusia”, dengan sistem hukumnya sendiri (berbeda).

Jika melihat sejumlah literatur hukum tata negara, di kalangan

kebanyakan ahli hukum masih sering terpaku kepada unsur-unsur

pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-19 dan abad ke-20.

Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara Hukum

(Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat unsur

“rechtsstaat,” di mana unsurnya yang keempat adalah adanya

“administratieve rechtspraak” atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri

pokok Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian

Negara Hukum Modern itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau

setidak-tidaknya fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan

tata Negara. Jawabannya ialah karena konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat)

sebagaimana banyak dibahas oleh para ahli sampai sekarang adalah hasil

inovasi intelektual hukum pada abad ke 19 ketika Pengadilan Administrasi

Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan Mahkamah

Page 78: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping

Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru

dibentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika

pengadilan tata usaha Negara merupakan fenomena abad ke-19, maka

pengadilan tata negara adalah fenomena abad ke-20 yang belum

dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara Hukum kontemporer.

Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk

merumuskan secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk

kebutuhan praktek ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.

Dalam studi ilmu negara, ide negara hukum rechtsstaat

sesungguhnya sejak lama telah dikembangkan oleh para filosuf Yunani Kuno

yang pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental yang

mulai populer pada abad ke-17 karena pada saat itu situasi dan kondisi sosial

politik di Eropa didominasi oleh absulutisme. Ide negara hukum rechtsstaat ini

sesungguhnya dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Kant

memahami negara hukum itu sebagai negara penjaga malam

(nachtwakersstaat). Artinya, negara itu bertugas untuk menjaga ketertiban

dan keamanan masyarakat. Pada awalnya Plato berpendapat bahwa adalah

mungkin mewujudkan negara edial untuk mencapai kebaikan yang berintikan

kebaikan. Karena itu, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui

kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher king). Pada kesempatan lain

Plato juga menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling

baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum.

Pemerintahan yang mampu mencegak kekemerosotan kekuasaan seseorang

adalah pemerintahan oleh hukum. Plato tujuan negara menurut Aristoteles

adalah untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang

dapat dicapai dengan supremasi hukum.62

62 Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Pilar Demokrasi, SerpihanPemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta, Konstitusi Perss, hlm. 129.

Page 79: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sejak Plato menulis “Nomoi,” E. Kant memaparkan prinsip-prinsip

negara hukum (formil). J. Stahl mengetengahkan negara hukum (materil),

Descey mengajukan “Rule of law”. Ringkasnya, merupakan suatu negara

yang edial pada abad ke-20 ini, jika segala kegiatan kenegaraan didasarkan

pada hukum.63 Dalam pandangan Padmo Wahyono, pengisian pengertian

tersebut selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa.

Oleh karena itu, Padmo Wahjono berpegang pada perumusan sebagaimana

yang digariskan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar, yaitu, Indonesia ialah

negara yang berdasarkan atas hukum, dengan rumusan “Reschtaas” dengan

anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara

hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Artinya

digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara.64

Pada awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi

politik negara-negara barat yaitu freedom under the rule of law. Karena itu

menurut Tamanaha65 liberalisme yang lahir pada akhir abad ke-17 dan akhir

abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum

dan negara hukum pada masa kini secara keseluruhan dipahami dalam istilah

liberalisme. Tamanaha menulis “…every version of liberalism reserve and

essential place for the rule of law, and the rule of law today is thoroughly

understood in the terms of liberalism.” Akan tetapi di atas segala-galanya dari

liberalisme dalam tradisi politik barat adalah kebebasan individu, seperti

dalam terminologi klasik yang dikemukakan oleh John Stuart Mill “...the only

freedom which divers the name, is that of pursuing our own good in our own

way, so long as we do not attempt to deprive others of theirs or impede their

efforts to obtain it.”66 Di bawah hakekat kebebasan setiap individu adalah

63 Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: GhaliaIndonesia, hlm. 7.

64 Ibid.65 Brian Tamanaha, 2004, hlm. 2.66 Ibid., hlm. 32.

Page 80: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

merdeka untuk mengejar cita-citanya tentang kebaikan. Setiap orang juga

mempunyai hak untuk diberi hukuman dan mendapatkan penggantian atas

pelanggaran hak-hak dasarnya oleh orang lain. Akan tetapi kebebasan

bukanlah berarti melakukan apa saja yang disukainya, sehingga kemudian

setiap orang berada di bawah ancaman yang sama yang dilakukan oleh orang

lain. Oleh karena itu Immanuel Kant berkesimpulan kebebasan adalah hak

untuk melakukan apapun yang sesuai hukum.

Menurut Tamanaha67 ada 4 (empat) tema pokok yang menjadi

landasan liberalism Barat, yaitu: pertama; setiap orang bebas dalam lingkup

dimana hukum dibuat secara demokratis, dimana setiap orang adalah

pengatur sekaligus yang diatur, tentunya mereka wajib taat hukum, kedua;

setiap orang bebas dalam lingkup dimana pejabat pemerintah diharuskan

bertindak berdasarkan hukum yang berlaku, ketiga; setiap orang bebas

sepanjang pemerintahan dibatasi dari pelanggaran atas diganggunya otonomi

individu, serta keempat; kebebasan mengalami kemajuan ketika kekuasaan

dipisahkan dalam beberapa kompartemen dengan tipe legislatif – eksekutif

dan yudikatif. Dari landasan pemikiran itulah yang melahirkan konsep negara

hukum Barat seperti yang dikemukakan oleh Julius Stahl, seperti dikutip Jimly

Asshidieqie68 yang mengemukakan empat elemen penting dari negara hukum

yang diistilahkannya dengan rechtstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia,

pembagian kekuasaan pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan

berdasarkan undang-undang serta peradilan tata usaha negara. Kemudian

Dicey yang dianggap sebagai teoretisi pertama yang mengembangkan istilah

rule of law dalam tradisi hukum Anglo-Amerika, rule of law mengandung 3

(tiga) elemen penting yang secara ringkas dapat dikemukakan yaitu: absolute

supremacy of law, equality before the law, dan due process of law, di mana

67 Ibid., hlm. 34-35.68 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, hlm. 152.

Page 81: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan individu dan hak-hak asasi

manusia.

Dalam suatu negara hukum, salah satu pilar terpentingnya adalah

perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perlindungan

terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam

rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.

Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian

pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti

atau makna kebebasan dan hak asasi kemanusiaan itu. Bahkan dewasa ini

salah satu ciri yang disebut sebagai negara yang gagal adalah ketika negara

tersebut tidak berhasil melindungi dan menegakkan hak-asasi rakyatnya.

Suatu masalah penting untuk diperhatikan dalam isu ini adalah

banyak lembaga donor yang mempromosikan pengembangan negara hukum

berpura-pura mempromosikan sesuatu yang “melampaui politik.” Versi

mereka mengenai negara hukum ditampilkan sebagai “kebaikan universal”,

padahal banyak di antaranya yang tidak. Beberapa donor bahkan

menghilangkan instrumen-instrumen inti negara hukum tertentu yang

berseberangan dengan kepentingan mereka, biasanya kepentingan itu adalah

untuk tujuan ekonomi. Cara ini lebih baik bagi tujuan mereka daripada

menerima kenyataan bahwa beragam instrumen negara hukum itu bisa jadi

saling berkompetisi.

Sejumlah rezim otoritarian mengangkat hal ini lebih jauh lagi;

meregangkan definisi negara hukum sebegitu jauhnya sampai kita heran

apakah masih ada yang tersisa darinya. Mereka bisa saja mengabaikan

komponen-komponen utama dari negara hukum seperti peradilan yang

independen, namun tetap mengklaim bahwa mereka menjalankan doktrin-

doktrin negara hukum secara keseluruhan. Hal ini dapat dijelaskan

Page 82: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dengan gampang dari daya tarik universal istilah negara hukum. Menolak

negara hukum seluruhnya berarti mengambil risiko yang terkait dengan

legitimasi internal dan eksternal dari rezim, sama dengan menolak

sepenuhnya demokrasi. Bahkan suatu keuntungan politik untuk mengklaim

bahwa anda tetap di dalam batasan negara hukum, meskipun hanya berada

pada “jenis yang berbeda” dari negara hukum. Untuk ini, pemerintah akan

selalu menemukan advokat konstitusi yang siap untuk menyokong klaim

tersebut dengan argumen teoretisnya.

Kesimpulan pokok yang bisa diambil dari diskusi pendek ini adalah

bahwa bertentangan dengan kesepakatan atas fungsi-fungsi negara hukum,

pijakan bersama dari definisi-definisi negara hukum itu sangat tipis. Akan

mustahil menemukan sebuah definisi yang memuaskan bagi semua dan

karenanya memilih definisi yang lain sepertinya tidak akan banyak

menjernihkan perdebatan tentang negara hukum.

Kesemua konsep negara hukum Barat tersebut bermuara pada

perlindungan atas hak-hak dan kebebasan individu yang dapat diringkas

dalam istilah “dignity of man” dan pembatasan kekuasan serta tindakan

negara untuk menghormati hak-hak individu yang harus diperlakukan sama.

Karena itulah harus ada pemisahan kekuasaan negara untuk menghindari

obsolutisme satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya serta

perlunya lembaga peradilan yang independen untuk mengawasi dan jaminan

dihormatinya aturan-aturan hukum yang berlaku, yang dalam praktik negara-

negara Eropa kontinental memerlukan peradilan administrasi negara untuk

mengawasi tindakan pemerintah agar tetap sesuai dan konsisten dengan

ketentuan hukum. Pandangan negara hukum barat didasari oleh semangat

pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu.

Pada sisi konsep rule of law ditentang oleh para ahli hukum yang

menganut paham Marxis yang memperkenalkan istilah socialist legality. Jika

konsep rule of law ditujukan pada satu titik sentral yaitu dignity of man

Page 83: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

sehingga kekuasaan negara harus dibatasi, maka dalam konsep sosialist

legality, hukum sebagai guiding principles yang meliputi segala aktivitas dari

organ-organ negara, pemerintahnya, pejabat-pejabatnya serta warga-

warganya. Dalam kaitan ini, Oemar Seno Adji berkesimpulan bahwa socialist

legality lebih memberi kemungkinan bagi uniformitas dan similaritas dalam

asa-asanya daripada variatas yang bermacam-macam. Ia dapat dikembalikan

kepada putusan Lenin mengenai “On the precise observance of laws” yang

menghendaki agar supaya semua warga negara, organ-organ negara dan

pejabat-pejabat mematuhi hukum dan dektrit-dekrit dari penguasa Uni

Sovyet.69 Hak-hak individu dalam konsep socialist legality tetap dihormati,

akan tetapi harus dikaitkan dengan dan tunduk pada cita-cita masyarakat

sosialis. Karena itu pembatasan tidak saja difokuskan pada kekuasaan negara

terhadap individu tetapi juga pada kebebasan individu terhadap negara dan

cita masyarakat sosialis. Demikian juga pengadilan yang independen diakui,

tetapi memberikan hak kepada pemerintah untuk memberikan rekomendasi,

usul dan saran. Walaupun Uni Soviet sudah runtuh sebagai sebuah negara

namun konsep socialist legality tetap memiliki pengaruh dan menjadi kajian

yang menarik sebagai sumber pengembangan konsep negara hukum pada

masa kini dan ke depan.

Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara hukum

moderen Jimly Asshiddiqie70, sampai pada kesimpulan bahwa ada 12 (dua

belas) prinsip pokok negara hukum (rechtstaat) yang berlaku di zaman

sekarang, yaitu: sumpremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam

hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law),

pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas

dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara,

perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana

69 Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta, Erlangga, hlm. 13.70 Op.cit., hlm. 151-162.

Page 84: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mewujudkan tujuan negara serta trasnparansi dan kontrol sosial. Kedua belas

prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri

tegaknya satu negara hukum modern dalam arti yang sebenarnya.

Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara

hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan

konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai

genus begrip yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh

konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami

apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis penjelasan UUD 1945

jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami

sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo71 sampai pada kesimpulan bahwa

negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam

masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah

bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses

menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa

kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa.

Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang

tertuang dalam pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga

rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah

suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat

maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih

mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekat

pada sosialisme,Wirjono Prodjodikoro sampai pada kesimpulan negara

Indonesia menganut “Indonesia socialist legality”. Akan tetapi istilah tersebut

ditentang oleh Oemar Seno Adji yang berpandangan bahwa negara hukum

Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan yang dimaksud

socialist legality.

71 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Pemikiran Hukum Progresif, op.cit. hlm. 48.

Page 85: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Karena terinspirasi dari konsep negara hukum Barat dalam hal ini

rechtsstaat maka UUD 1945 menghendaki elemen-elemen rechtsstaat

maupun rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara Indonesia.

Bahkan secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa

negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan

negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Rumusan

penjelasan UUD mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan

kekuasaan negara oleh hukum.

Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara hukum

Pancasila harus dilihat dan diselami ke dalam proses dan latar belakang

lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kehendak

lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan negara. Dari

kajian dan pemahaman itu, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa

konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi juga

memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat, rule

of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno Adji,

antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila memiliki

“similarity” dan “divergency”.

Jika konsep negara hukum dalam pengertian - rechtstaat dan rule of

law – berpangkal pada “dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan dan hak-

hak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan

negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila

didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan

cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan

makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip

ketuhanan adalah elemen paling utama dari elemen negara hukum

Indonesia.

Page 86: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Lahirnya negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono

sebagaimana dikutip oleh Tahir Azhary72, berbeda dengan cara pandang

liberal yang melihat negara sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh

suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari

status “naturalis” ke status “civis” dengan perlindungan terhadap civil rights.

Tetapi dalam negara hukum Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia

dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaannya dengan Tuhan Yang Maha

Esa. Karena itu negara tidak terbentuk karena perjanjian atau “vertrag yang

dualistis” melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan

didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang

bebas…”. Jadi posisi Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu

elemen utama bahkan menurut Oemar Seno Adji73 merupakan “causa prima”.

Begitu pentingnya prinsip ketuhanan ini dalam negara Indonesia

menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai prinsip pertama

dari dasar negara Indonesia. Begitu pentingnya dasar ke-Tuhan-an ketika

dirumuskan oleh para founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato

Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara

(philosophische grondslag ) yang menyatakan :

“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang kristen menyembah Tuhanmenurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurutpetunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankanibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapimarilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negaraIndonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapatmenyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyathendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan

72 Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah danMasa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, hlm. 96.

73 Oemar Seno Adji, op.cit., hlm. 25.

Page 87: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesiasatu negara yang ber-Tuhan”.

Pidato Soekarno ini, nampaknya merupakan rangkuman pernyataan

dan pendapat dari para anggota BPUPK dalam pemandangan umum

mengenai dasar negara yang dimulai sejak tanggal 29 Mei sampai dengan 1

Juni itu. Kesemuanya mengemukakan pentingnya dasar ketuhanan ini menjadi

dasar negara, terutama pandangan dan tuntutan dari para tokoh Islam yang

menghendaki negara berdasarkan Islam. Dengan demikian negara hukum

Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum barat yang menganut hak

asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan maupun tidak ber-Tuhan, serta tidak

memungkinkan kampanye anti Tuhan maupun anti agama dalam konsep

socialist legality.

Demikian juga posisi agama dalam hubungannya dengan negara yang

tidak terpisahkan. Walaupun terdapat sebahagian para founding fathers

menghendaki agar agama dipisahkan dengan negara akan tetapi pada tanggal

22 Juni 1945 disepakati secara bulat oleh panitia kecil hukum dasar dan

diterima penuh dalam Pleno BPUPK mengenai Mukadimah UUD atau yang

disebut Piagam Jakarta dasar negara yang pertama adalah “Ketuhanan

dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-

pemeluknya”. Artinya sejak awal para founding fathers menyadari betul

betapa ajaran agama ini menjadi dasar negara yang pokok, khususnya ajaran

Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Walaupun Piagam Jakarta ini diubah dengan

Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, posisi Piagam

Jakarta kembali memperoleh tempat ketika Dektrit Presiden tanggal 5 Juli

1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 menempatkan Piagam Jakarta

sebagai menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian-kesatuan

dengan konstitusi tersebut.

Dengan demkian posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak

bisa dipisahkan dengan negara dan pemerintahan. Agama menjadi elemen

Page 88: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

satu elemen yang sangat penting dalam negara hukum Pancasila. Negara

hukum Indonesia tidak mengenal doktrin “separation of state and Curch”.

Bahkan dalam UUD 1945 setelah perubahan nilai-nilai agama menjadi ukuran

untuk dapat membatasi hak-hak asasi manusia (lihat Pasal 28J UUD 1945).

Negara hukum Indonesia tidak memberikan kemungkinan untuk adanya

kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta

tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau

kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori

nama Tuhan. Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang

menandakan perbedaan pokok antara negara hukum Indonesia dengan

hukum Barat, sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan negara,

pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar

ketuhanan dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk

menentukan hukum yang baik atau hukum buruk bahkan untuk menentukan

hukum yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.

Disamping kedua perbedaan di atas negara hukum Indonesia

memiliki perbedaan yang lain dengan negara hukum Barat, yaitu adanya

prinsip musyawarah, keadilan sosial serta hukum yang tuntuk pada

kepentingan nasional dan persatuan Indonesia yang melindungi segenap

tumpah darah Indonesia. Prinsip musyawarah dan keadilan sosial nampak

sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam bagi elemen negara hukum

Indonesia.

Prinsip musyawarah merupakan salah satu dasar yang pokok bagi

hukum tata negara Indonesia sehingga merupakan salah satu elemen negara

hukum Indonesia. Apa yang nampak dalam praktik dan budaya politik

ketatanegaraan Indonesia dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara

terlihat jelas bagaimana prinsip musyawarah ini dihormati. Pembahasan

undang-undang antara pemerintah dan DPR yang dirumuskan sebagai

pembahasan bersama dan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden

Page 89: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

merupakan implementasi prinsip musyawarah dalam hukum tata negara

Indonesia. Demikian juga dalam budaya politik di DPR, perdebatan yang

dalam dan usaha mendapatkan keputusan melalui musyawarah adalah suatu

kenyataan politik yang betul-betul diterapkan. Prinsip musyawarah

memberikan warna kekhususan dalam hubungan antar lembaga negara dalam

struktur ketatanegaraan Indonesia jika dikaitkan dengan teori pemisahan

kekuasaan dan check and balances. Artinya, pemisahan kekuasaan yang kaku

dapat dicairkan dengan prinsip musyawarah. Rusaknya hubungan antara

Presiden dan DPR serta MPR seperti tercermin dalam pemkazulan Presiden

Abdurrahman Wahid dan Presiden Soekarno adalah akibat telah buntunya

musyawarah.

Prinsip keadilan sosial menjadi elemen penting berikutnya dari

negara hukum Indonesia. Atas dasar prinsip itu, kepentingan umum,

kepentingan sosial pada tingkat tertentu dapat menjadi pembatasan terhadap

dignity of man dalam elemen negara hukum Barat. Dalam perdebatan di

BPUPK, prinsip keadilan sosial didasari oleh pandangan tentang kesejahteraan

sosial dan sifat kekeluargaan serta gotong royong dari masyarakat Indonesia,

bahkan menurut Soekarno jika diperas lima sila itu menjadi eka sila maka

prinsip gotong royong itulah yang menjadi eka sila itu. Dalam hal ini Soekarno

dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 berkata:

“sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negaraIndonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semuabuat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golonganIslam buat Indonesia, bukan Hadikoesumo buat Indonesiabukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kayabuat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia – semuabuat semua. Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, yangtiga menjadi satu maka dapatlah saya satu perkataanIndonesia yang tulen yaitu perkataan “gotong royong”.Negara Indonesia yang kita dirikan adalah negara gotongroyong”.

Page 90: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Prinsip terakhir negara hukum Indonesia adalah elemen dimana

hukum mengabdi pada kepentingan Indonesia yang satu dan berdaulat yang

melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Indonesia dari Sabang sampai

Merauke yang masing-masing memiliki adat dan istiadat serta budaya yang

berbeda. Hukum harus mengayomi seluruh rakyat Indonesia yang beragam

sebagai satu kesatuan.

Dengan dasar-dasar dan elemen negara hukum yang spesifik itulah

dapat dipahami perubahan UUD 1945 ketika mengadopsi hak-hak asasi

manusia, diadopsi pula pembatasan hak-hak asasi yang ditetapkan dengan

undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan serta ketertiban umum

dalam masyarakat yang demokratis.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa elemen negara hukum

Indonesia disamping mengandung elemen negara hukum dalam arti

rechtsstaat maupun rule of law, juga mengandung elemen-elemen yang

spesifik yaitu elemen ketuhanan serta tidak ada pemisahan antara agama dan

negara, elemen musyawarah, keadilan sosial serta persatuan Indonesia.

C. Negara Hukum Indonesia dan Prinsip Konstitusionalisme

Unsur-unsur negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep seperti

telah diuraikan di atas adalah nilai yang dipetik dari seluruh proses lahirnya

negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia. Dengan

demikian posisi pembukaan ini menjadi sumber hukum yang tertinggi bagi

negara hukum Indonesia. Perubahan UUD 1945 (dalam Perubahan Keempat)

mempertegas perbedaan posisi dan kedudukan antara Pembukaan dengan

pasal-pasal UUD 1945. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menegaskan

bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri

dari Pembukaan dan pasal-pasal. Hanya pasal-pasal saja yang dapat menjadi

Page 91: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

objek perubahan sedangkan Pembukaan tidak dapat menjadi objek

perubahan.

Pembukaan UUD 1945 memiliki nilai abstraksi yang sangat tinggi

sehingga kita hanya dapat menimba elemen-elemen yang sangat mendasar

bagi arah pembangunan negara hukum Indonesia. Nilai yang terkandung

dalam pembukaan itulah yang menjadi kaedah penuntun bagi penyusunan

pasal-pasal UUD 1945 sehinga tidak menyimpang dari nialai-nilai yang

menjadi dasar falsah dan cita negara Indonesia. Dalam tingkat implementatif,

bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara

harus dilihat pada pasal-pasal konstitusi. Kaedah-kaedah yang terkandung

dalam pasal-pasal konstitusilah yang menjadi kaedah penuntun bagi

pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi

melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan

prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jika konsep negara hukum bersifat

abstrak maka konsep konstitusionalisme menjadi lebih nyata dan jelas.

Konstitusionalisme merupakan faham pembatasan kekuasaan negara

dalam tingkat yang lebih nyata dan operasional. Pasal undang-undang dasar

mengatur lebih jelas mengenai jaminan untuk tidak terjadinya monopoli satu

lembaga kekuasaan negara atas lembaga kekuasaan negara yang lainnya,

kewenangan masing masing lembaga negara, mekanisme pengisian jabatan-

jabatan bagi lembaga negara, hubungan antar lembaga negara serta

hubungan antara negara dengan warga negara yang mengandung jaminan

kebebasan dasar manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara.

Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie, konstitusi dimaksudkan untuk

mengatur tiga hal penting yaitu: (i) menentukan (ii) pembatasan kekuasaan

organ negara, (iii) mengatur hubungan antara lembaga-lembaga yang satu

dengan yang lain, serta (iv) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-

lembaga negara dengan warga negara.74

74 Op.cit., hlm. 144.

Page 92: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan

erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam

perkataan Yunani kuno “politeia” dan perkataan bahasa Latin ‘constitutio’

yang juga berkaitan dengan kata “jus.” Dalam kedua perkataan “politeia” dan

“constitution” itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh

umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam

sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibanding- kan, dapat dikatakan bahwa

yang paling tua usianya adalah kata “politeia” yang berasal dari kebudayaan

Yunani.75 Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya istilah yang

mencerminkan pengertian kata “jus” ataupun “constitution” seperti dalam

tradisi Romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berpikir

para filosof Yunani kuno, perkataan “constitution” seperti yang kita

maksudkan sekarang, tidak dikenal. Menurut Charles Howard McIlwain dalam

bukunya Constitutionalism: Ancient and Modern ( 1947), perkataan

“constitution” di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk

bahasa Latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah teknis untuk menyebut

“the acts of legislation by the Emperor.” Bersamaan dengan banyak aspek dari

hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan

gereja, maka istilah teknis “constitution” juga dipinjam untuk menyebut

peraturan- peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk

beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu

(ecclesiastical province). Karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum

Gereja (Kanonik) itulah yang sering dianggap sebagai sumber rujukan

(referensi) paling awal mengenai penggunaan perkataan “constitution” dalam

sejarah.76

Kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu

yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal

75 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 1.76 Ibid., hlm. 2.

Page 93: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

entity). Misalnya saja akhir-akhir ini di tengah wacana mengenai organisasi

badan hukum di Indonesia, muncul bentuk badan hukum baru yang

dinamakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seperti misalnya yang

dikaitkan dengan status hukum perguruan tinggi negeri tertentu. Sebagai

badan hukum, maka setiap perguruan tinggi yang bersangkutan memerlukan

dokumen Anggaran Dasar tersendiri sebagai konstitusi seperti halnya badan-

badan hukum lain- nya, seperti yayasan (stichting), perkumpulan

(vereeniging), organisasi kemasyarakatan, dan partai politik. Di dunia usaha

dikenal adanya badan hukum berbentuk perusahaan, yaitu perseroan

terbatas, koperasi atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha

Milik Daerah (BUMD). Semua bentuk badan hukum itu selalu memerlukan

Anggaran Dasar yang berfungsi sebagai konstitusinya.

Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang

disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan

Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis

yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang- Undang Dasar di kedua negara

ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman

praktek ketatanegaraan.77 Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu

tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi

kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedu- dukan

organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan

mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat

didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dia- nut

dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat,

maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah

paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu

77 Brian Thompson, 1997, Textbook on Constitutional and Administrative Law, London,Blackstone Press Ltd., hlm. 5.

Page 94: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai “constituent power”

yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem

yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah

yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.78

Oleh sebab itu, konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap

sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti

dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas,

“constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized

restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan

umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai

bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu

diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama

dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan

mekanisme yang disebut negara.

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman

modern pada umumnya dipahami bersandar pada 3 (tiga) elemen

kesepakatan (consensus), yaitu (i) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita

bersama (the general goals of society or general acceptance of the same

philosophy of government); (ii) Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai

landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of

government); serta (iii) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan

prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).79

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita- cita

bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konsti- tusionalisme di

suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya

paling mungkin mencerminkan kesa- maan-kesamaan kepentingan di antara

sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah

78 Ibid.79 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op.cit., hlm. 21.

Page 95: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk

menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan

perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga

disebut sebagai falsafah kenegaraan atau “staatsidee” (cita negara) yang

berfungsi sebagai “filosofische grondslag” dan “common platforms” atau

“kalimatun sawa” di antara sesama warga masyarakat dalam konteks

kehidupan bernegara. Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan

itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima

prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara.

Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip (i) ke- Tuhanan

Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan

Indonesia, (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat

Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar folosofis-ideologis untuk

mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii)

meningkatkan kesejahteraan umum, (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerin- tahan

didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus

kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada

keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks

penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas “rule of the game” yang

ditentukan bersama. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah “constitutional

state” yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern.

Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga

konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan

segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus

Page 96: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi

sebagai kertas dokumen yang ‘mati’, hanya bernilai semantik dan tidak

berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ

negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-

hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara

organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan

itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar

mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan

dan mekanisme ke- tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka

kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-

kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang

diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama.

Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membay- angkan,

bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat.

Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah.

Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah

seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu,

tidak mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh

menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak

dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan

perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.

Konstitusi di satu pihak (i) menentukan pembatasan terhadap

kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain (ii)

memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan. Konstitusi juga (iii)

berfungsi sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang

kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau Raja dalam sistem

Monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara.

Page 97: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Di sisi lain, konstitusionalisme sering disandingkan dengan negara

hukum (rule of law). Akibatnya, membawa pada makna yang agak negatif

terhadapnya. Sesungguhnya, konstitusionalisme menyiratkan bahwa negara

mempunyai hukum sebagai senjata yang dahsyat tanpa jadi sasaran dari

segala pembatasan yang secara inheren terkandung di dalamnya.80 Walau

demikian, jika kita membayangkan bahwa pemerintah memerintah dengan

hanya keputusan individual sehingga jelaslah bahwa persyaratan rule of law

adalah vital. Negara semacam Tiongkok sudah hampir mengakui versi

paling sempit ini dari negara hukum dan tidak sulit untuk melihat

kelebihannya ketika kita membandingkannya dengan situasi pada masa

Revolusi Kebudayaan. Konstitusionalisme lebih jauh lagi menganjurkan

bahwa hukum pada prinsipnya harus bersifat umum dalam muatannya dan

harus diketahui. Keperluan bagi hukum yang bersifat umum menjadi

sangat jelas dari kritik terhadap rezim yang “memerintah dengan

pengecualian” (rule by exception). Dalam situasi ini hukum-hukum yang

bersifat umum disisihkan untuk memberi jalan bagi keputusan individual,

yang menyingkirkan jaminan pada kepastian yang ada di dalam persyaratan

dari pemerintahan dengan hukum. Tindakan yang dilakukan dalam

“pemerintahan dengan pengecualian” menyiratkan bahwa konstitusionalisme

dapat dikurangi dengan cara-cara legal.

Mirip dengan itu, Shapiro telah mengungkap bagaimana dalam

penyelesaian perselisihan, kesepakatan para pihak mengenai aturan yang

akan diterapkan dan kesepakatan tentang pihak ketiga yang akan

memutus sengketa telah tergantikan oleh hukum dan jabatan. Tindakan ini

harus dilakukan pemerintah agar dapat mengendalikan masyarakat dengan

memutus sengketa sesuai aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Hal ini

juga menyiratkan bahwa segala bentuk kewenangan yang tersentralisasi

akan berhadapan, pada derajat tertentu, dengan negara hukum.

80 Tamanaha, op.cit., hlm. 92.

Page 98: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Pada awalnya, pendapat dominan menyatakan bahwa kekuasaan

tidak bisa dibatasi oleh hukum, karena penguasa dapat mengubah hukum

sekehendaknya, tetapi kemudian persyaratan prosedural memungkinkan

hukum, demokrasi, dan ide-ide tentang hukum alam digunakan untuk

mengatasi permasalahan ini.

Persyaratan tentang tiap tindakan negara memiliki landasan hukum

dapat tak bermakna jika landasan hukum ini kurang spesifik. Wilayah

tradisional dari persaingan ini adalah isu kekuasaan bertindak (discretionary

power), yang lebih baik mungkin diekspresikan dalam konsep Jerman

mengenai ‘freies ermessen’. Freies ermessen melekat pada lingkup

pemerintahan yang secara leluasa menentukan kebijakannya tanpa harus

mempertanggungjawabkannya secara hukum. Hal ini berarti mengakui suatu

kemustahilan dan ketidaknyamanan bahwa pembentuk undang-undang

menentukan tiap tindakan pemerintah secara terperinci sebelumnya. Namun,

di sisi lain hal ini menciptakan bahaya bahwa pemerintah akan bertindak

sewenang-wenang. Sama halnya dengan isu ketertundukan pada hukum,

masalah ini telah diselesaikan oleh ahli hukum dengan persyaratan kualitas

hukum yang inheren dalam elemen berikutnya dikategori ini, serta konsep

hukum administrasi sebagai prinsip pemerintahan yang baik.

Legalitas juga dapat digerogoti oleh negara melalui pembentukan

berbagai undang-undang, yang menyediakan landasan hukum untuk tindakan

tertentu yang berlaku surut. Ini bukan mengacu pada pemahaman yang lebih

umum mengenai prinsip tidak berlaku surut (non-retroactivity), yang berarti

bahwa tindak-tanduk warga negara dapat dihukum berdasarkan aturan yang

dibuat setelah peristiwa terjadi. Hal ini lebih mirip dengan “pemerintahan

dengan pengecualian” yang menyediakan pembenaran hukum bagi negara

ketika tindakannya tidak berlandaskan hukum. Isu ini jarang mendapat

perhatian, tetapi ini memang suatu cara yang secara mendasar bermasalah

karena negara bisa melonggarkan ikatan hukumnya sendiri.

Page 99: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Ada hal lain dari prinsip legalitas, yang tidak melibatkan penggunaan

hukum dan hanya dapat secara terbatas ditanggulangi oleh hukum. Prinsip ini

juga berkaitan dengan persyaratan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

selalu berdasar hukum, namun hal ini lebih sulit diselesaikan daripada

masalah sebelumnya dalam hal bahwa prinsip ini bahkan tidak ada pura-pura

memandang tindakan itu sah secara hukum dengan melegalisasi tindakan

berlaku surut. Ia melibatkan dua situasi di mana aparat negara bertindak

tanpa landasan hukum apa saja dan situasi di mana negara memanfaatkan

“warga kebanyakan” untuk tujuan ini, misalnya preman. Tentu saja bisa

dibuat peraturan-peraturan dan prosedur untuk mengendalikan pemerintah

dalam isu ini, namun jika perilaku tersebut telah meluas maka prosedur paling

‘liberal’ yang diterapkan oleh peradilan paling independen sekalipun tidak

dapat efektif. Pada akhirnya perilaku lembaga-lembaga negara sendiri yang

akan menentukannya.

Gagasan bahwa legalitas formal bersama-sama dengan hak atas

kepemilikan dan peradilan yang independen, elemen-elemen dalam kategori

kedua dan ketiga, mendukung pembangunan ekonomi sangat

berpengaruh dalam lingkaran donor internasional dan menjadi dasar bagi

banyak proyek di lapangan ini. Memang benar bahwa bagi sebuah negara

modern legalitas formal dapat menjadi perangkat yang sangat dahsyat dalam

rangka memperkenalkan prasyarat kepastian untuk pembangunan ekonomi,

dengan Singapura sebagai contoh yang mungkin paling meyakinkan. Meskipun

demikian, ada cara-cara lain pula untuk memperoleh kepastian, sebagaimana

ada jalan mencapa legitimasi selain daripada cara formal-rasionalitas.

Legalitas formal juga terkait dengan isu-isu yang membumi seperti

apakah hukum diketahui oleh para sasarannya. Rentang ini dari sarana yang

paling dasar seperti pengumuman “narkoba melanggar hukum” di bandara

Jakarta, lewat komik menjelaskan hak atas tanah kepada masyarakat adat

sampai ketersediaan bantuan hukum, terutama bagi kaum miskin dan yang

Page 100: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

tak beruntung. Legalitas formal-lah yang pada gilirannya menyediakan rantai

pertama yang langsung antara konsep negara hukum yang terpusat pada

negara dengan pendekatan akses pada keadilan yang terpusat pada warga

negara.

Kendati demikian, secara umum ada kesepakatan bahwa legalitas

formal dapat menyokong tujuan ini secara baik pada sistem politik apapun

dan mungkin bukan hanya di negara-negara modern di mana peraturan-

peraturan yang terkodifikasi secara jelas memberikan jaminan terbaik bagi

transaksi antar-warga masyarakat yang tidak punya ikatan hubungan keluarga

atau klan. Pertanyaannya adalah apakah hal ini dapat dicapai dengan cara-

cara selain kodifikasi dan putusan hakim.

Dalam praktek, memang dapat dikemukakan adanya 2 (dua) aliran

pemikiran mengenai konstitusi, yaitu aliran pertama memfungsikan konstitusi

hanya sebagai dokumen yang memuat norma-norma yang hidup dalam

kenyataan. Kebanyakan konstitusi dimaksudkan untuk sekedar

mendeskripsikan kenyataan- kenyataan normatif yang ada ketika konstitusi itu

dirumuskan. Di samping itu, banyak juga konstitusi yang bersifat “prospective”

dengan mengartikulasikan cita-cita atau keinginan-keinginan ideal masyarakat

yang dilayaninya. Banyak konstitusi negara-negara modern yang juga

merumuskan tujuan-tujuan sosial dan ekonomi, belum dapat diwujudkan atau

dicapai dalam ma- syarakat menjadi materi muatan konstitusi. Konstitusi di

lingkungan negara-negara yang menganut paham sosialis atau dipengaruhi

oleh aliran sosialisme, biasa memuat ketentuan mengenai hal ini dalam

rumusan konstitusi. Hal inilah yang saya sebut sebagai “economic

constitution” dan “social constitution.”.

Konstitusi-konstitusi jenis demikian sangat berbeda dari konsti- tusi

yang ditulis menurut tradisi paham demokrasi liberal atau “libertarian

constitution.” Sebagai contoh, konstitusi Amerika Serikat tidak memuat sama

sekali ketentuan mengenai cita-cita ekonomi ataupun ketentuan mengenai

Page 101: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

sistem ekonomi dan kegiatan ekonomi. Alasannya jelas, yaitu bahwa soal-soal

yang berkenaan dengan perekonomian tidaklah menyangkut urusan

kenegaraan, melainkan termasuk ke dalam wilayah urusan pasar yang

mempunyai mekanismenya tersendiri sesuai dengan prinsip “free market

liberalism” yang dianggap sebagai pilar penting dalam sistem kapitalisme.

Karena ekonomi adalah urusan pasar maka ketentuan mengenai hal itu tidak

seharusnya dicantumkan ke dalam naskah konstitusi. Demikian pula urusan

orang kaya dan orang miskin bukanlah persoalan negara, dan karena itu tidak

perlu diatur dalam UUD. Pandangan demikian jelas berbeda dari apa yang

dianut dalam sistem sosialisme yang mengembangkan pengertian “welfare

state”’. Dalam “welfare state”, negara bertanggungjawab untuk mengurusi

orang miskin. Karena itulah, UUD 1945 mengadopsikan perumusan Pasal 4

yang aslinya menentukan bahwa: “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara

oleh negara.”

Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma

dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan

negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah

Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana keba- tinan

(geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis,

politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar

perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-

baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja.

Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis,

sosio-historis, sosio-politis, sosio-yuridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang

mempe- ngaruhi perumusannya.

Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula

kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka

pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience)

Page 102: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman

terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang

dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-

Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,

memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan

sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan

yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.

Pada tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara baik dalam

pembentukan undang-undang, pengujian undang-undang maupun

pelaksanaan wewenang lembaga-lembaga negara dengan dasar prinsip

konstitusionalisme harus selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan konstitusi.

Karena pasal-pasal konstitusi tidak mungkin mengatur segala hal mengenai

kehidupan negara yang sangat dinamis, maka pelaksanaan dan penafsiran

konstitusi dalam tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka dasar

konsep dan elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada

Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila. Sehingga

pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 menjadi lebih hidup dan dinamis.

Pembentuk undang-undang maupun Mahkamah Konstitusi memliki ruang

penafsiran yang luas terhadap pasal-pasal UUD 1945 dalam frame prinsip-

prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD

1945.

Pengujian konstitusional dalam UUD 1945 sebenarnya sudah menjadi

perdebatan dalam tahap awal pembentukan republik. Dalam sidang BPUPK,

isu itu mempertemukan secara diametral antara Soepomo dan Muhammad

Yamin. Yamin dikenal sebagai tokoh yang menggagas pentingnya judicial

review, sedangkan Soepomo sebaliknya. Ia menolak gagasan Yamin. Soepomo

beralasan saat itu pengujian undang-undang hasil kerja legislatif belum layak

karena jumlah ahli hukum di Indonesia masih sedikit. Soepomo juga beralasan

panitia penyusun konstitusi sudah sepakat sistem ketatangaraan yang akan

Page 103: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dianut bukan pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, sehingga tak mungkin

memberikan kewenangan kepada satu cabang kekuasaan untuk membatalkan

produk cabang kekuasaan lain. Yamin melihat pentingnya checks and balances

antar lembaga negara. Karena itu ia mengusulkan agar Balai Agung tak hanya

melaksanakan kekuasaan kehakiman belaka. Balai Agung juga harus bisa

membanding undang-undang produk DPR jika undang-undang itu melanggar

konstitusi. Balai Agung yang dimaksud Yamin adalah Mahkamah Agung.

Sebaliknya, Soepomo khawatir jika diberi wewenang pengujian itu

akan muncul kesan Balai Agung lebih tinggi dibanding legislatif dan yudikatif.

Padahal sistem ketatanegaraan yang sudah disepakati para pendiri negara,

eksekutif, legislatif, dan yudikatif sama-sama lembaga tinggi negara.

Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR.

Gagasan Yamin itu pada akhirnya memang tidak mendapat tempat dalam

konstitusi UUD 1945. Balai Agung (Mahkamah Agung) tak diberi wewenang

“membanding undang-undang” produk DPR.

Jika diamati, pemikiran Soepomo tidak statis, tetapi terus

berkembang sesuai kebutuhan zamannya. Dalam soal hak asasi manusia,

misalnya. Dulu ia berdebat dengan Yamin perlu tidaknya masuk pasal-pasal

HAM dalam konstitusi. Gagasan Yamin tentang HAM memang tak sepenuhnya

mentok karena penolakan Soepomo. Ada kompromi. Tetapi pada fase

berikutnya perjalanan Soepomo, ketika ia ditunjuk jadi panitia perancangan

konstitusi pasca kemerdekaan, Soepomo malah mengakomodasi isu-isu HAM.

Saldi Isra menunjuk bukti, UUD RIS dan UUD 1950, yang ikut disusun

Soepomo, bertabur dengan pasal-pasal HAM.

Barangkali alasan utama untuk memasukkan hak asasi manusia ke

dalam kerangka negara hukum adalah karena ranah ini telah menjadi tema

pengarah sentral dari kerja sama dalam pembangunan dan secara bertahap

menjadi jelas bahwa dalam rangka mencapai perbaikan apapun untuk

mewujudkan hak asasi manusia diperlukan suatu sistem hukum yang efektif

Page 104: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

untuk mencapai hal tersebut. Bersatunya hak azasi manusia dengan sistem

yang efektif dalam satu konsep bermanfaat untuk menunjukkan secara

singkat kepada kesejahteraan manusia dan kerangka hukum yang diperlukan

untuk mencapai hal tersebut.

Catatan akhirnya bahwa secara akademik tidak harus meragukan

manfaat konstitusionalisme bagi seorang penguasa. Konstitusionalisme adalah

langkah pertama menuju legitimasi yang berbasis pada pemerintahan legal-

rasional. Menggunakan peraturan yang bersifat umum adalah lebih krusial

untuk sebuah pemerintahan atas sejumlah besar orang dalam rangka

menciptakan kejelasan dan stabilitas di mana regulasi-mandiri (self-

regulation) tidak diinginkan atau dikesampingkan. Tiap kasus mengenai

pengembangan negara pada titik tertentu mensyaratkan pengintroduksian

pemerintahan dengan hukum, tak peduli seberapa memihak atau

canggungnya upaya ini dilihat dari perspektif kontemporer.

Walaupun ada sumber yang relatif baru, penulisan riwayat proses-

proses hukum pada abad ke-17 oleh para pakar sejarah, seperti Hay dan

Thompson menunjukkan bagaimana pentingnya, bahkan sebelum

Montesquieu, gagasan tentang independensi peradilan terhadap negara

hukum. Dalam konteks ini, pengetahuan utama yang didapat dari analisis

mereka adalah bahwa penerapan suatu hukum yang keberpihakan pada kelas

yang berkuasa secara jelas mengarah pada hasil-hasil yang tidak adil, namun

hal ini dapat dikurangi oleh suatu lembaga peradilan yang independen, yang

dapat memastikan bahwa setidaknya hukum dapat sekali-sekali melawan

orang perorangan yang berasal dari kelas yang berkuasa tersebut dan hal ini

terbukti dengan adanya hukuman mati yang kadang-kadang juga dijatuhkan

terhadap individu dari kelas atas yang sangat menyalahgunakan posisi

mereka.

Suatu peradilan yang independen adalah bagian dari seluruh definisi

tentang negara hukum, kecuali definisi yang diberlakukan dalam negara-

Page 105: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

negara otoriter, seperti Vietnam atau Tiongkok. Definisi-definisi yang

terdapat pada negara-negara tersebut berargumentasi bahwa peradilan

harus senantiasa melayani kepentingan negara, yang tujuannya tidak berbeda

dari negara-negara nonotoriter, namun negara- negara otoriter tersebut

kemudian berasumsi bahwa negara sama artinya dengan eksekutif. Meskipun

demikian, selain dari pandangan tersebut, suatu peradilan yang independen

secara umum dianggap sebagai elemen yang esensial dari negara hukum.

Fakta bahwa definisi selalu berbicara tentang independensi peradilan

daripada ketidakberpihakannya (impartiality) mencerminkan bahwa prioritas

sebagian besar definisi tentang negara hukum masih dihubungkan dengan

perlindungan atas warga negara terhadap eksekutif (dan terhadap badan

legislatif walaupun tidak sejauh seperti terhadap badan eksekutif).

Independensi adalah cara-cara untuk mencapai ketidakberpihakan, suatu

konsep yang secara mengejutkan tidak banyak dibahas dalam literatur

teoretis. Meskipun sebagian besar literatur tersebut membahas pengadilan-

pengadilan, beberapa dari literatur tersebut memperhatikan masalah

independensi yang berkaitan dengan mediasi dan bentuk-bentuk alternatif

penyelesaian sengketa lainnya, yang biasanya menghasilkan peringatan-

peringatan tentang adanya perbedaan kekuasaan antara pihak yang

bersengketa.

Untuk menjadi efektif, peradilan tidak hanya harus independen

namun juga harus mudah diperoleh, suatu kualitas kedua yang disyaratkan

oleh elemen ini. Hal ini berarti bahwa keseluruhan per- debatan tentang akses

terhadap peradilan dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai memang

relevan dengan konteks negara hukum. Oleh karena sebagian besar literatur

memang terkait dengan akses terhadap pengadilan, hal ini menjadi wajar.

Perkembangan terakhir yang menjadikan akses terhadap keadilan sebagai

akses terhadap ragam lembaga yang lebih luas, termasuk lembaga-lembaga

nonpemerintah, menunjuk pada dua masalah yang relevan dengan

Page 106: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pembahasan ini: pertama, bahwa peradilan tidak memiliki monopoli atas

keadilan, dan kedua, bahwa relasi antara peradilan dan lembaga penyelesaian

sengketa lainnya juga relevan dengan perdebatan tentang negara hukum.

Meskipun demikian, hanya sedikit yang berpendapat bahwa pada akhirnya

suatu lembaga peradilan yang independen dapat dikesampingkan.

Page 107: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

BAB III

PENGUJIAN KONSTITUSIONAL

A. Pengantar

Pendalaman prinsip Negara Hukum terwujud ke dalam sistem

konstitusional, yang melahirkan komitmen “self-binding procedure”, yang

mana pemerintah terikat oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang

diatur dalam konstitusi.81 Jika konstitusi dilanggar, tentu akan mengusik

posisinya yang fundamental dan “tertinggi.” Perbuatan demikian

berpotensi membuat konstitusi terancam tidak lagi supreme sebagai

acuan dasar penyelenggaraan negara. Implikasinya konstitusi berlaku

tanpa konstitutionalitas.82 Keadaan itu berpotensi menyayat-nyayat

idealita bahwa suatu konstitusi merupakan “a higher order law (which)

will generally be entrenced.”83

Oleh karena pembicaraan mengenai konstitusi lebih mendekati

isu yang bersifat politik, maka pembebanan kepada strategi

mempertahankan konstitusi tak lepas pula akan diberi makna politik. Ada

banyak strategi mempertahankan konstitusi dan salah satu aktor yang

“menanggung” beban itu adalah pengadilan dengan pelekatan skema

pengujian konstitusional (constitutional review). Menyusul uraian lebih

rinci pada pembahasan berikutnya, pelekatan kepada pengadilan sebagai

strategi mempertahankan konstitusi telah melahirkan pemahaman “the

81 Juan Linz dan Alfred Stephen, “Defining and Crafting Democratic Transition,Constitution, and Consolidation”, dalam R. William Liddle (Editor), 2001, Crafting IndonesianDemocracy, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka, hlm. 30. Bandingkan juga dengan tulisan menarikYonky Karman, yang antara lain mengatakan, “Konstitusi adalah hukum rakyat, bukan hukumAllah, juga bukan hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi.Otoritas pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya oleh rakyat. Pemerintahharus menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan jujur kepada masyarakat.”Lihat Yonky Karman, “Krisis Konstitusionalitas”, Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011, hlm. 6.

82 Fadjar Laksono, “Constitutional Review sebagai Ikhtiar Menghentikan Kejahatanterhadap Konstitusi guna Mewujudkan Konstitusionalitas Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 5, No.2, November 2008, hlm. 84.

83 Peter Layland, 2007, The Constitution of The United Kingdom: a Contextual Analysis,Oxford, Hart Publishing, hlm. 1.

Page 108: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

judicialization of politic” . Pemahaman tersebut mempunyai 2 (dua) aspek

yang berbeda akan tetapi berkaitan. Pertama, aspek yang memandang

bahwa pengadilan “have embraced a new, higher profile political role that

depicts them as defenders of constitutional commitments, advocates of

rights, and arbiters of social policy conflicts.”84 Pengadilan kemudian

“have been granted or have begun exerting the power to review

legislation under the constitution”85 dan sebagai akibatnya, pengadilan

“assumed a more significant role within important political and social

debates that were traditionally left to the elected branches.”86 Kedua,

“the judicialization of politic” dicirikan dengan “the growing use of law,

legal discourse, and litigation by a range of political actors, including

politicians, social movements, and individual actors.”87 Sebagai akibatnya,

seperti dituturkan sementara pakar tata negara, “legislators write laws

with the courts’ language and opinions in mind and social movements,

individual citizens and the political opposition alike frame their political

struggles in the language of rights, and turn to courts to advance them.”88

Penelitian ini menekankan kepada aspek yang pertama yang

berhubungan dengan “the discourse and activity of courts.” Dengan

demikian, CR menunjuk upaya mempertahankan konstitusi melalui

mekanisme pengadilan.

Upaya mempertahankan konstitusi melalui mekanisme

pengadilan tersebut sesungguhnya mempunyai relevansi gagasan

mengenai supremasi hukum. Dalam rumpun pemikiran dan hukum,

84 Neal Tate dan Torbjorn Vallinder (Editors), 1995, The Global Expansion of JudicialPower, New York: New York University Press, hlm. 6-7.

85 Ibid., hlm. 7.86 Ibid., hlm. 26.87 Alec Stone Sweet, 2000, Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe.

Oxford and New York: Oxford University Press.88 Jean Comaroff dan John Comaroff, “Law and Disorder in the Postcolony”, Social

Anthropoloy, Vol. 15, Vol. 2007, hlm. 133.

Page 109: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

demokrasi acapkali dimaknai sebagai relasi kekuasaan di mana rakyat

merupakan entitas tertinggi.89 Pemaknaan demikian menyusun bangun

kedaulatan rakyat dengan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi terletak

di tangan rakyat. Akan tetapi, pengertian kedaulatan rakyat di sini

bukanlah seperti gagasan Rousseau yang “mengidentifikasi kehendak

negara dengan kehendak umum sehingga tidak bertentangan sama sekali

antara kehendak individu (volonte parti cullere) dengen kehendak

negara.”90 Pengertian kedaulatan rakyat dalam penelitian ini adalah

rakyat bukan sebagai totalitas akan tetapi sebagai komunitas yang

pluralis.91 Kedaulatan rakyat bukan bersumber kepada satu kekuasaan

yang memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk pengearuh dari kekuatan-

kekuatan yang berkembang di dalam masyarakat.92 Hal ini tidak berarti

kedaulatan berada di tangan mayoritas, akan tetapi secara teoritis

terletak pada representasinya sebagai resultan atas semua pengaruh

89 Konsepsi mengenai kekuasaan tertinggi (supreme authority) ini dikenal sebagaikonsep “kedaulatan” atau “sovereignty.” Ide mengenai kedaulatan ini telah dikenal sejak zamanYunani Kuno. Aristoteles misalnya, pada saat melakukan studi atas berbagai konstitusi sempatmenyinggung adanya sesuatu yang “superior” dalam suatu unit politik, apakah itu satu, beberapaatau banyak. Lihat: Andrew Vincent, 1987, Theories of the State, Oxford, Basil Blackwell, hlm. 32.

90 Secara konseptual, gagasan ini berpijak pada pemahaman “rakyat” sebagai “bangsa”dengan meyakini adanya suatu entitas misterius dari kehendak umum dan konsepsi masyaratorganic sebagai fondasi nasional yang menggerakkan masyarakat. Lihat: J.J. Rousseau, 1986,Kontrak Sosial (terjemahan), Jakarta, Penerbit Erlangga, hlm. 15.

91 Pandangan pluralis berakar pada aliran pragmatism yang terutama berkembang diAS dan Inggris. Tokoh-tokoh yang terpenting adalah Wukkuan James dan John Dewey (AS) sertaF.C.S. Schiller (Inggris). Pragmatism adalah aliran filsafat yang menekankan kepada aplikasigagasan. Pada ranah pemikiran hukum, aliran ini menjadi dasar berkembangnya aliran realism-pragmatis (Pragmatic Legal Realism) yang sangat berpengaruh pada perkembangan hukumdewasa ini. Lihat: Andrew Vincent, op.cit., hlm. 181. Baca juga: Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum:Apakah Hukum Itu?, Bandung, Penerbit Rosda Karya, hlm. 50; Theo Huijbers, op.cit., hlm. 180;Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan Nasional, Bandung,Penerbit Bina Cipta, hlm. 9.

92 Pemikiran ini serupa dengan gagasan yang dikembangkan oleh Stanley I. Benn dalamkonsep “influential sovereignty”, yang menunjuk adanya pengaruh-pengaruh “a rulling class”,mayoritas di badan perwakilan, pendeta, atau kelompok-kelompok sejenis lainnya. Lihat: StanleyI. Benn, “The Uses of Sovereingty”, dalam Anthony Quinton (Editor), 1982, Political Philosophy,London, Oxford University Press, hlm. 68.

Page 110: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kekuatan politik.93 Dengan demikian, tidak dapat diklaim sepenuhnya

bahwa kekuatan mayoritas menjadi satu-satunya kekuatan dalam suatu

majelis pemilihan atau badan perwakilan, melainkan harus dipandang

sebagai resultan dari seluruh kekuatan-kekuatan politik yang bertarung di

tengah masyarakat.

Berkaitan dengan hal itu, sekalipun demokrasi modern

mempertahankan kehendak rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, akan

tetapi sistem pengambilan keputusan dilaksanakan melalui badan

perwakilan. Oleh karena watak pluralis dari penyokong konfigurasi badan

tersebut, maka sangat dimungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang

ditetapkan, termasuk Undang-Undang, berpotensi untuk bertentangan

dengan komitmen demokrasi itu sendiri terutama yang tertuang dalam

konstitusi sebagai kontrak politik tertinggi kehidupan berbangsa dan

bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu badan yang netral dan

imparsial untuk melaksanaan forum yang memungkinkan peninjauan

(review) terhadap keputusan-keputusan badan perwakilan dikaitkan

dengan konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.

B. Ruang Lingkup Pengujian Konstitusional

Sebagai suatu istilah hukum, pengujian konstitusional harus

dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian konstitusional selain

dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim

atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi

memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep

judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas obyeknya, misalnya

mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang, sedangkan pengujian konstitusional hanya menyangkut

93 Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Gramedia, hlm.61-63.

Page 111: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pengujian konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi.94 Perlu juga

dicamkan di sini, bahwa judicial review itu sendiri tidak identik dengan

hak uji materiil (toetsingsrecht).95

Menelaah pengujian norma hukum, perlu membedakan

juga antara pengujian materiil (materiile toetsing) dan pengujian

formil (formile toetsing). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi

muatan undang-undang.96 Pengujian materiil adalah pengujian undang-

undang yang dilakukan atas materinya. Pengujian tersebut berakibat

pada dibatalkannya sebagian materi muatan atau bagian undang-

undang yang bersangkutan. Yang dimaksud materi muatan undang-

undang itu adalah isi ayat, asal dan/atau bagian-bagian tertentu dari

suatu undang-undang bahkan bisa hanya satu kata, satu titik, satu

koma atau satu huruf saja yang dinilai bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebaliknya,

yang dimaksud bagian dari undang-undang itu dapat pula berupa

94 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 3.95 Kekeliruan konsep ini misalnya terdapat dalam buku Sri Soemantri. Profesor hukum

tata negara Universitas Padjajaran, yang dari segi usia merupakan yang paling senior di Indonesia,dengan fasih menggunakan istilah “hak uji materiil” sebagai terjemahan konsep “materieletoetsingsrecht” yang ia bedakan dari istilah “hak uji formal” sebagai terjemahan “formeletoetsingsrecht. Dalam mebedakan keduanya, Sri Soemantri hanya mengulas secara ringkasbahwa “hak uji materiil” menyangkut penilaian mengenai isi peraturan perundang-undanganapakah bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan “hakuji formil” berkenaan dengan tata cara pembentukan suatu undang-undang apakah sesuai atautidak dengan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasansecara keseluruhan, masalah “hak uji materiil” dibahas tetapi kadang-kadang bercampur dengankonsepsi “hak uji formil” seperti yang tercermin dalam definisi “hak menguji materiil.” Di sampingitu, ketika menjelaskan “hak menguji materiil” di negara lain, istilah “hak uji materiil” atau “hakmenguji material” itu disejajarkan begitu saja dengan istilah “judicial review.” Bahkan ketikamenguraikan kosnepsi yang berlaku di Dewan Konstitusi Prancis, istilah yang tetap dipakai adalah“hak menguji material di Prancis.” Lihat: Sri Soemantri, loc.cit.

96 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit., hlm. 57.

Page 112: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan dari suatu bab undang-

undang yang bersangkutan.97

Dari perpektif teoritis, pengujian konstitusional bertujuan untuk

“transform public policy disputes into questions of constitutional

interpretation that can be decided by texts, procedures, principles, and

rules that are generally accepted as legal and not political.”98 Melalui

putusan pengujian konstitusional, “even onpopular ones, being accepted,

because courts are viewed as appropriate institutions for making such

decisions and commitmen to procedure and process trumps concerns over

outcomes.”99 Oleh sebab itu, kinerja pengujian konstitusional “operate in

an environment of national political constraints that compromise their

own institutional legitimacy and decisional effacy.”100

Kasus “judicial review” yang didasarkan atas pengalaman MA

Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada

tahun 1803 itu menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia,

terutama oleh negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem

konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini, pengujian dilakukan

sepenuhnya oleh MA dengan status sebagai “the Guardian of the

Constitution‟. Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa

juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall's doctrine),

“judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan

konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang

dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a

97 Ibid., hlm. 59-60.98 Adam Schwartz, 2000, The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist

Europem Chicago: University of Chicago Press, hlm. 5.99 James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “Defenders of Democracy? Legitimacy,

Populair Acceptance, and the South African Constitutional Court”, Journal of Politics, Vol. 65,2005, hllm. 2.

100 George Vanberg, “Abstract Judicial Review, Legislative Bargaining, dan PolicyCompromise”, Journal of Theoritical Politics, Vol. 10, 1998, hlm. 299.

Page 113: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang

diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian

itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri,

melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh

hakim dalam semua lapisan pengadilan.

Karena itu, oleh para sarjana, model Amerika ini juga biasa

disebut sebagai “Decentralized Model”. Pengujian konstitusional yang

dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori “a

posteriori review”. Sedangkan, MA dalam sistem tersebut

menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan

(the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar,

putusanputusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang

bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter partes), kecuali

dalam kerangka prinsip “stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan

di kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah

diambil sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain.

Dari segi kelembagaannya, sistem pengujian yang dilakukan

oleh MA Amerika ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Eropa.

Dalam sistem Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’,

peranan hakim penting penting dalam proses pembentukan hukum

menurut asas “precedent”. Bahkan hukum dalam sistem “common

law‟ itu biasa disebut sebagai “judge-made law’, atau hukum buatan

para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall memprakarsai

praktek pengujian konstitusionalitas undangundang oleh MA dan

bahwa sejak masa-masa sebelumnyapun para hakim di semua

tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi tradisi

pengujian atau mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-undang

yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam memeriksa

setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa

Page 114: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

peranan hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang

seharusnya demikian.

Lagi pula jumlah undang-undang dalam sistem demikian

tidak sebanyak yang terdapat dalam tradisi di Eropa Kontinental yang

dari waktu ke waktu lembaga-lembaga parlemennya terus

memproduksi peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan

sistem “judicial review” itu tidak memerlukan lembaga baru,

melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi MA yang sudah ada.

Lembaga MA itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan

sebagai Pengawal ataupun Pelindung Undang-Undang Dasar (the

Guardian or the Protector of the Constitution).

Sementara itu, sistem yang berkembang di Eropa

menyangkut hubungan yang saling berkaitan antara prinsip supremasi

konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan

prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the

Parliament). Asumsi dasarnya adalah bahwa pemberlakuan prinsip

“supremasi parlemen‟ harus diimbangi oleh penerapan prinsip

“supremasi konstitusi‟, sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat

yang tercermin di parlemen tidak menyimpang dari pesanpesan

konstitusi sebagai “the supreme law of the land”. Dengan perkataan

lain, dalam model ini, apabila prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin

dalam doktrin supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip

supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum,

prinsip supremasi konstitusilah yang harus diutamakan.

Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini,

dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan

hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini. Dalam

menjalankan kewenangannya MK melakukan pengujian konstitusional

terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review),

Page 115: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete

review). Bahkan, dalam model Eropa ini, pengujian dapat bersifat “a

posteriori” (a posteriori review) ataupun bersifat “a priori” (a priori

review). Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara “a

poteriori”, tetapi pengujian “a priori” yang bersifat preventif juga biasa

dipraktekkan.

Segala putusan MK ini mempunyai kekuatan “erga omnes”

yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang

diberikan kepadanya oleh UUD (the absolute authority of the

institution). Lembaga MK ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang

berwenang menjalankan fungsi CR itu dengan kedudukan yang

tersendiri di luar MA dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-

cabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas publik.

C. Perkara Marbury sebagai Rintisan Pengujian Konstitusional

Pertumbuhan pengujian konstitusional dalam fase waktu ini

biasanya dikaitkan dengan pelembagaan Judicial Review pada

perkembangan hukum yang terjadi di Amerika Serikat yang pada tahun

1803, disentakkan oleh putusan yang sangat controversial dan

mengandung perdebatan luas diantara politisi dan pakar hukum, yaitu

putusan Mahkamah Agung atas perkara Marbury V.S. Madison. Adapun

kasus posisi atas perkara tersebut adalah sebagai berikut.

Dalam pemilu tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya,

Presiden John Adams—sebagai incumbent--dikalahkan oleh Thomas

Jefferson dari Partai Democratic-Republic (yang dewasa ini dikenal

sebagai Partai Demokrat). Setelah kalah, dalam masa peralihan untuk

serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John

Adams membuat keputusan-keputusan, yang menurut menurut para

pengkritiknya dimaksudkan untuk “menyelematkan sahabat-sahabatnya

Page 116: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

sendiri supaya mendapatkan kedudukan-kedudukan yang penting.”101

Termasuk, Menteri Luar Negeri John Marshall yang diangkat sebagai

Ketua MA (Chief Justice). Bahkan sampai detik-detik menjelang pukul

00.00 tanggal 3 Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden

baru, Presiden John Adams, dengan dibantu John Marshall yang tetap

merangkap sebagai Menteri Luar Negeri, masih terus menyiapkan dan

menandatangani surat-surat pengangkatan pejabat, termasuk beberapa

orang diantara diangkat menjadi duta besar dan hakim. Diantara pejabat

tersebut adalah William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend

Hooe, dan William Harper, yang diangkat menjadi hakim perdamaian

(justices of peace).102 Sayangnya, salinan surat pengangkatan mereka

tidak sempat lagi diserahterimakan sebagaimana mestinya. Pada

keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1801, surat-surat tersebut masih

berada di kantor kepresidenan. Karena itu, ketika Thomas Jefferson

sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari pertama, surat-surat itu

ditahan oleh James Madison yang diangkat sebagai Menteri Luar Negeri

menggantikan John Adams.

Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dan

kawan-kawan melalui kuasa hukum mereka, Charles Lee (mantan Jaksa

Agung Federal), mengajukan tuntutan langsung ke MA yang dipimpin

oleh John Marshall agar sesuai kewenangannya memerintahkan

Pemerintah melaksanakan “writ of mandamus’ dalam rangka

penyerahkan surat-surat pengangkatan tersebut. Karena pengangkatan

mereka menjadi hakim telah mendapat persetujuan Kongres

sebagaiamana mestinya dan pengangkatan itu telah pula dituangkan

dalam Keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan dicap resmi

(sealed).

101 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 17.102 Ibid., hlm. 18.

Page 117: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dalam dalil gugatannya, Charles Lee menguraikan bahwa

berdasarkan Judiciary Act Tahun 1789, MA bewenang memeriksa dan

memutus perkata yang mereka ajukan serta mengeluarkan “writ of

mandamus” yang mereka tuntut. Namun Pemerintahan Jefferson tetap

menolak, bahkan menolak pula memberikan keterangan yang diminta

oleh MA agar pemerintah menunjukkan bukti-bukti mengapa menurut

Pemerintah “writ of mandamus” seperti yang didalihkan penggugat tidak

dapat dikeluarkan. Malah sebaliknya, Kongres yang dikuasai oleh kaum

Republik yang berpihak kepada Presiden Thomas Jefferson mengesahkan

UU yang menunda persidangan MA salama lebih dari 1 tahun.

Pada persidangan yang dibuka pada Februari 1803, Marbury Vs.

Madison ini kembali menjadi pusat perhatian. Dalam putusan yang ditulis

sendiri oleh John Marshall jelas sekali bahwa MA membenarkan bahwa

pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang

ditentutukan oleh hukum sehingga Marbury dan kawan-kawan dianggap

memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut

hukum. Namun MA sendiri dalam putusannya menyatakan tidak

berwenang memerintahkan kepada aparat untuk menyerahkan surat-

surat dimaksud. Selanjutnya, MA menyatakan bahwa permohonan

mengenai “writ of mandamus” sebagaimana ditentukan oleh Section 13

dari Judiciary Act Tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena

bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika. Oleh karena

itu, dalil yang diajukan oleh MA untuk memeriksa perkara tersebut bukan

bersumber dari Judiciary Act Tahun 1789, akan tetapi dari kewenangan

untuk menafsirkan konstitusi.103

Dalam putusan tersebut, meskipun MA dalam

pertimbangannya menyatakan hak Marbury dan kawan-kawan adalah sah

menurut hukum, tetapi gugatan Marbury dan kawan-kawan ditolak

103 Ibid., hlm. 20.

Page 118: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

karena MA menyatakan tidak berwenang mengeluarkan “writ of

mandamus” seperti yang diminta. Namun demikian, yang lebih penting

lagi putusan itu membatalkan UU yang mengatur mengenai “writ of

mandamus” itu sendiri yang dinilai oleh MA bertentangan dengan

ketentuan Article III Section 2 Konstitusi Amerika.

Dalam putusan itu, titik pemahaman penting adalah argumen

bahwa MA merupakan pengawal konstitusi (the Guardian of the

Constitution of the United States of America) yang bertanggung jawab

menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya sungguh-

sungguh ditaati dan dilaksanakan.104 Dengan sendirinya, menurut John

Marshall segala UU buatan Kongres apabila bertentangan dengan dengan

konstitusi sebagai “the supreme law of the land” harus dinyatakan “null

and void.” Kewenangan inilah yang kemudian dikenal sebagai Judicial

Review sebagai sesuatu yang sama sebali baru dalam perkembangan

hukum di Amerika Serikat sendiri maupun di dunia. Perlu dicatat bahwa

kewenangan membatalkan undang-undang itu sama sekali tidak pernah

dicantumkan dalam konstitusi105, karena itu merupakan sesuatu yang

sama seali baru bahkan dalam sejarah hukum di dunia, karena yang telah

berkembang sebelumnya adalah kewenangan untuk menilai106, dan tidak

sampai membatalkan seperti dalam perkara Marbury V.s. Madison itu.107

Oleh sebab itu, menurut penulis, dengan keaktifan hakim agung di bawah

104 Ibid., hlm. 19-20.105 Dikatakan oleh seorang penulis, “the text of the American Constitution is silent on

the issue and it was not until the 1803 in Marbury v. Madison.” Lihat: Louis Henkin, 1990, TheAge of Rights, New York: Columbia University Press, hlm. xviii dan 65.

106 Di Amerika Serikat sendiri, hanya ditemukan 5 (lima) perkara pada awalpelaksanaan konstitusi, termasuk perkara Marbury, yang mana putusannya menolakpemberlakuan Undang-Undang karena bertentangan dengan konstitusi. Lihat dalam Larry D.Kramer, “The Supreme Court 2000 Term: Foreword: We the Court”, Harvard Law Review, Vol115, No. 4, 2001.

107 Saikrishna B. Prakash & John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, University ofChicago Law Review, Vol. 70, 2003, hlm. 913.

Page 119: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pimpinan John Marshall, maka lahirlah putusan yang melampaui

preseden dan konstitusi, untuk menegakkan paham supremasi konstitusi

itu sendiri.108 Dengan substansi demikian maka Judicial Review dalam

putusan John Marshall tersebut berada dalam kategori Judicial Activism

seperti sudah dipaparkan di bagian terdahulu dari bab ini.109

Pada awal revolusi sendiri, MA Amerika Serikat tidak menerima

perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna memeriksa suatu

UU yang bertentangan dengan konstitusi.110 Dalam riset yang dilakukan

oleh William Casto, sampai saat itu MA percaya bahwa tidak ada UU yang

dibatalkan, sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan

konstitusi.111 David Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja MA

selama 100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury

itu tidak ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan

dalam konstitusi.112

Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not

found judicial review because the practice was well established before the

case was decided”113, dan juga karena para pendiri negara beranggapan

108 Dapat dikatakan bahwa konstitusi telah ditafsirkan sedemikian rupa dengankeaktifan hakim, yang menyebabkan timbulnya norma baru yang jauh dari kehendak parapembentuk Undang-Undang Dasar itu sendiri. Baca: Davison Douglas, “The Rhetorical Uses ofMarbury v. Madison: The Emergence of a Great Case”, Wake Forest Law Review, Vol. 28, 2003, ,hlm. 386.

109 Seorang pakar menulis, bahwa formulasi pemahaman yang harus disusun adalahadanya momentum dalam perkara Marbury dan judicial review merupakan doktrin baru akibatputusan itu. Ditulis bahwa “[I]f any legal doctrine can be said to have been created in a moment,judicial review is that doctrine and Marbury is the moment.” Selengkapnya lihat: Suzanna Sherry,“The Founders’ Unwritten Constitution”, University of Chicago Law Review, Vol. 54, 1987,hlm.1127.

110 Gordon Wood, “The Origins of Judicial Review Revisited, or How the Marshall CourtMade More out of Less”, Washington & Lee Law Review, Vol. 56, 1999, hlm. 787 dan 809.

111 Ibid., hlm. 799.112 Ibid., hlm. 789.113 Mary Sarah Bilder, “The Corporate Origins of Judicial Review”, Yale Law Journal,

Vol. 116, 2006, hlm. 504.

Page 120: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bahwa “that the Court would exercise this power.”114 Dengan demikian,

seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous

case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the

Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”115 Bahkan

“The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce

individual rights until after World War II.”116 Lagipula, seperti disampaikan

oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that seventeenth- and

eighteenth-century judges described their constitutional decisions as

judicial review.”117 Setelah memperhatikan paparan tersebut, kiranya

rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa dalam

Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review statutes

and other government acts for their constitutionality.”118 Konteks dari

Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all

decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.119

Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review

merupakan bentuk lain dari Judicial Duty.

Sekalipun secara konvensional diperlihatkan dalam putusan

John Marshall yang amat terkenal dalam perkara Marbury Vs. Madison

(1803), praktis judicial review telah dikenal dengan baik pada masa

kolonial Amerika.120 Penyokong mekanisme ini adalah 3 gagasan besar

yang muncul saat revolusi awal yaitu konsep hukum tertinggi (the higher

114 Jack N. Rakove, “The Origins of Judicial Review: A Plea for New Contexts”, StandfordLaw Review, Vol. 49, 1997, hlm. 1031-1047.

115 Davison M. Douglas, op.cit., hlm. 375.116 Ibid., hlm. 377.117 Philip Hamburger, 2008, Law and Judicial Duty, Masschucet, Standford University

Press, hlm. 188-189.118 Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm: Judicial Review and Judicial Duty”,

Stanford Law Review, Vol. 78, No, 6, 2010, hlm. 1162.119 Ibid.120 Diskusi yang menarik soal ini, periksa: W.M. Treanor, “Judicial Review Before

Marbury”, Stanford Law Review, Vol. 58, 2005, hlm. 455-462.

Page 121: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

law), kontrak sosial, dan supremasi konstitusi. Konsep hukum tertinggi—

yang diwariskan dari tradisi Nasrani, mengisnyaratkan bahwa apabila di

dalam suatu sistem hukum terbagi atas hukum tertinggi dan hukum

dengan tingkatan lebih rendah, ada kebutuhan untuk membatasi bahwa

hukum yang lebih rendah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

hukum yang tertinggi. Teori kontrak sosial—versi John Locke—

memberikan pemahaman bahwa kewajiban pemerintah adalah untuk

menyelenggarakan hak-hak dasar individu. Jika pemerintah abai terhadap

komitmen tersebut, maka individu berhak untuk menuntut penegakan

kontrak tadi. Untuk mempertegas tuntutan tersebut, maka kontrak sosial

tadi—sebagai inovasi ketatanegaraan Amerika—diwujudkan dalam

dokumen konstitusi.121

Hanya saja penerimaan konstitusi sebagai hukum yang

tertinggi, tidak diikuti dengan ketentuan mengenai desain institusional

sebagai mekanisme untuk mempertahankan supremasi tersebut. Para

hakim sendiri tunduk kepada tradisi Anglo-American yang menjunjung

tinggi legalitas hukum, sebagai warisan tradisi otonomi hukum Inggris.

Menurut Ginsburg, “autonomy is not itself supremacy.”122 Bahkan,

pendapat hakim Coke dalam perkara Bonham (1609-1610) yang

memanggil hakim untuk meninggal kaidah hukum yang bertentangan

dengan tradisi common law dan nalar tidak mendapatkan tanggapan

selama kejayaan kedaulatan Parlemen pada abad ke-17 di Inggris.

Pendapat Coke tersebut bersandar kepada argumentasi para pengacara

muda di Amerika yang tidak menyukai prinsip supremasi parlemen di

Inggris. Tradisi yang mengakar mengenai otonomi hukum dan hukum

alam mendorong sistem common law sebagai sumber bagi para hakim

121 Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 82.122 Ibid.

Page 122: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

untuk menciptakan mekanisme adjudikasi sebagai pengawal hukum

dalam kemerdekaan Amerika.

Oleh sebab itu, judicial review pada hekakatnya merupakan

ekspressi alamiah dari sistem Anglo-American dalam era positivisasi

legislasi; sesuatu yang tidak dikenal dalam tradisi hukum Islam, China,

atau Romawi.123 Seperti ditulis Saphiro, “The Islamic tradition had a

strong emphasis on religiously-rooted natural law contrainst on temporal

rulers, but lacked a general theory of legislation.”124 Sementara itu, tradisi

China “had a theory of legislation but no notion of institutional constraint

on the Emperor, who stood at the center of the cosmological system.”125

Pada awal revolusi sendiri, Mahkamah Agung Amerika Serikat

tidak menerima perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna

memeriksa suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan

konstitusi.126 Dalam riset yang dilakukan oleh William Casto, sampai saat

itu Mahkamah Agung percaya bahwa tidak ada UU yang dibatalkan,

sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan konstitusi.127 David

Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja Mahkamah Agung selama

100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury itu

tidak ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan

dalam konstitusi.128

Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not

found judicial review because the practice was well established before the

123 Ibid., hlm. 83.124 M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, dalam H. Scheiber dan L.

Friedman (Editors), 1996, Legal Culture and the Legal Profession, Boulder Colo, Westview, hlm.105.

125 Ibid.126 Gordon Wood, op.cit., hlm. 787 dan 809.127 Ibid., hlm. 799.128 Ibid., hlm. 789.

Page 123: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

case was decided”129, dan juga karena para pendiri negara beranggapan

bahwa “that the Court would exercise this power.”130 Dengan demikian,

seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous

case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the

Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”131 Bahkan

“The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce

individual rights until after World War II.”132 Lagipula, seperti disampaikan

oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that seventeenth- and

eighteenth-century judges described their constitutional decisions as

judicial review.”133 Setelah memperhatikan paparan tersebut, kiranya

rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa dalam

Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review statutes

and other government acts for their constitutionality.”134 Konteks dari

Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all

decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.135

Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review

merupakan bentuk lain dari Judicial Duty.

Menurut Philip Hamburger, memahami Judicial Review tanpa

mengkaitkannya dengan duty of judge, maka

[I]t is difficult to find constitutional authority forconstitutional decisions, and it therefore seems that earlyAmerican judges in the 1780s, and especially after 1789,must have created their own most significant power—as ifthey lifted themselves up by their bootstraps to achieve a

129 Mary Sarah Bilder, op.cit., hlm. 504.130 Jack N. Rakove, op.cit., hlm. 1031-1047.131 Davison M. Douglas, op.cit., Vol. 38, hlm. 375.132 Ibid., hlm. 377.133 Philip Hamburger, op.cit., hlm. 188-189.134 Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm, op.cit., hlm. 1162.135 Ibid.

Page 124: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

power their constitutions apparently did not give them. Thejudicial review paradigm thereby implies that constitutionaldecisions have only a rather contingent authority and thatthe judges have a remarkable degree of power, including adiscretionary power of their own rule.”136

Namun, apabila memahami Judicial Review atas dasar

kewajiban para hakim, maka di dalam praktik “judges have no distinct

power over the constitutionality of government acts, but rather must

make decisions on such matters because it is part of their office or

duty.”137 Oleh sebab itu, menurut penulis, Judicial Review dalam tradisi di

Amerika Serikat merupakan bagian dari Judicial Duty dan tidak

merupakan paradigm peradilan tersendiri. Menjadikan Judicial Review

sebagai paradigm akan menyebabkan kesulitan dan keragu-raguan

mengenai dasar legitimasinya karena tidak ada kualifikasi dalam

konstitusi.138

Sejauh ini menurut Suzanna Sherry, telah berkembang luas

mengenai gagasan Judicial Review.139 Dalam tulisan yang sama, Sherry

menegaskan bahwa hakekat Judicial Review adalah “that statutes would

be judged for their consistency with fundamental principles of natural

law, as well as for their consistency with the written constitution.”140

Substansi pendapat yang sama dianut oleh Randy Barnet141, Helen K.

Michael142, dan Althur Wilmarth, Jr.143 Hampir setengah abad kemudian,

136 Ibid.137 Ibid.138 Lihat juga komentar senada: William W. Van Alstyne, “A Critical Guide to Marbury v.

Madison”, Dule Law Journal, Vol. 22, 1989, No. 1.139 Suzanna Sherry, op.cit., hlm. 1127.140 Ibid.141 Randy Barnett, “Reconceiving the Ninth Amendment”, Cornell Law Review, Vol. 74,

1988.142 Helen K. Michael, “The Role of Natural Law in Early American Constitutionalism”,

North Carolina Law Review, Vol. 69, 1991, hlm. 421.

Page 125: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

putusan serupa tidak pernah lagi terjadi, sampai dengan Putusan Dred

Scott selama terjadinya perang sipil.144

Praktik Mahkamah Agung Amerika Serikat dewasa ini juga telah

menghasilkan pemahaman yang lebih luas lagi sehubungan dengan

pengertian dan ruang lingkup Judicial Review. Mahkamah Agung

membatalkan Undang-Undang yang disusun oleh Konggres dengan alasan

bertentangan dengan prinsip-prinsip federalisme.145 Namum demikian,

perkembangan praktik itu tetap bertumpu pada satu pemahaman, bahwa

sejak semula hakekat Judicial Review adalah “Judicial supremacy in

constitutional interpretation.”146 Dalam bahasa lain, Kramer mengatakan

bahwa hakekat awal Judicial Review adalah “a power to be employed

cautiously, only where the unconstitutionality of a law was clear beyond

doubt.”147 Hal ini, lanjut Kramer, bahwa para pendiri negara “expected

constitutional limits to be enforced through politics and by the people

rather than in the courts”, yang berarti juga ““judges did not confine

themselves strictly to text” dan “drew on well-established principles of the

customary constitution.”148 Dengan demikian, dikembangkan justifikasi

Judicial Review dengan dalil “a theory of interpretation.”149

143 Arthur Wilmarth, Jr., “Elusive Foundation: John Marshall, James Wilson, and theProblem of Reconciling Popular Sovereignty and Natural Law Jurisprudence in the New FederalRepublic”, George Wahington University Law Reviwe, Vol. 72, 2003.

144 Lino A. Graglia, “Constitutional Law without the Constitution: The Supreme Court’sRemaking of America” dalam Robert H. Bork, ed., 2005, A Country I Do Not Recognize: The LegalAssault on American Values , Stanford: Hoover Institution Press, hlm. 8.

145 William Michael Treanor, “Judicial Review Before Marbury”, Stanford Law Review,2005, hlm. 11.

146 Ibid., hlm. 12.147 Larry D. Kramer, op.cit., hlm. 161-162.148 Ibid., hlm. 99.149 Rudolf B. Schlesinger et al, 1998, Comparative Law: Cases-Text-Materials, New York:

Foundation Press, hlm. 283.

Page 126: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Gagasan “judicial review” menjadi isu sangat strategis dalam 2

(dua) hal yaitu “why do social movements contest constitutional meaning

by fighting over judicial appointments in the United States, and why does

such a strategy make little sense in democracies that constitutionalized

rights in the late twentieth century?”150 Secara politik pula, pelembagaan

pengujian konstitusional di Amerika Serikat “has been both a model and

an anti-model in the worldwide spread.”151 Bagi yang setuju dengan

gagasan pengujian konstitusional—dan karena itu harus disebarkan ke

seluruh dunia—dilandaskan kepada asumsi bahwa “law is separate from

politics and that courts have the power and the duty to maintain that

distinction”152 dan juga karena “that courts that exercise judicial review

are powerful political as well as legal actors.”153

Dalam praktik pengujian di Amerika Serikat, pertumbuhan

pengujian UU sangat ketat. Dikatakan bahwa “Judicial review is not the

review of statutes at large; judicial review is constitutional review of

governmental action.”154 Pada sejumlah putusan, setiap Undang-Undang

yang dihasilkan Kongres, (i) “sejauh mungkin dihindarkan sebagai bagian

150 Baca: Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacyof ‘Constitutional Justice’”, Catholic University Law Review, Vol. 35, No. 1, 1995.

151 Heinz Klug, “Model and Anti-Model: The United States Constitution and the ‘Rise ofWorld Constitutionalism’”, George Washington Law Review, Vol. 3, 2000, hlm. 597.

152 Miguel Schor, “Mapping Comparative Judicial Review”, Washington University ofGlobal Studies Law Review, Vol. 7, 2008, hlm. 257.

153 Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why ItMayNot Matter” , Michigan Law Review, Vol. 101, 2003, hlm. 2744.

154 Black Law Dictionary 864 (8th ed. 2004) (defining judicial review as “[a] court’spower to review the actions of other branches or levels of government; esp., the courts’ power toinvalidate legislative and executive actions as being unconstitutional” (emphasis added). Dalamsuatu putusannya, Mahkamah Agung Federal mengatakan bahwa “The Court must either holdthat the Suspension Clause has ‘expanded’ in its application to aliens abroad, or acknowledgethat it has no basis to set aside the actions of Congress and the President.” Putusan PerkaraBoumediene v. Bush, 128 S. Ct. 2229, 2297 n.2 (2008).

Page 127: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dari pertentangan antarcabang kekuasaan”155, (ii) “ditetapkan sebagai

suatu rangkaian keputusan yang konstitusional hingga terbukti

sebaliknya”156, (iii)“dihindarkan dalam pengujian oleh badan

peradilan”157, dan (iv) “merupakan produk koordinatif antara pemerintah

dan Konggres sehingga harus dibuktikan batas-batas konstitusi yang

dilanggar oleh Konggres”158. Kemudian, jika pengadilan memandang

hanya terdapat satu doktrin saja untuk menyelesaikan sengketa

konstitusional, maka permohonan harus diabaikan kecuali permohonan

itu benar-benar tidak dapat dihindarkan.159 Bahkan, suatu pengujian

Undang-Undang oleh Mahkamah Agung merupakan suatu “one of great

gravity and delicacy.”160 Oleh karena itu, menyatakan suatu produk

Konggres atau parlemen negara bagian bertentangan dengan konstitusi

berarti has rendered void its attempt at legislation.161

Argumen diperlukannya “judicia review” dalam format

American style ini adalah “it contributes to the efficacious protection of

155 Putusan Perkara Almendarez-Torres v. United States, 523 U.S. 224, 238 (1998) (“The[constitutional avoidance] doctrine seeks in part to minimize disagreement between thebranches by preserving congressional enactments that might otherwise founder on constitutionalobjections.”

156 Putusan Perkara Hepburn v. Griswold, 75 U.S. (8 Wall.) 603, 610 (1869) (“This courtalways approaches the consideration of [constitutional] questions of this nature reluctantly; andits constant rule of decision has been, and is, that acts of Congress must be regarded asconstitutional, unless clearly shown to be otherwise.”).

157 Putusan Perkara Ashwander v. Tenn. Valley Auth., 297 U.S. 288, 345-49 (1936)(Brandeis, J., concurring) (affirming the principle that the judiciary should avoid constitutionalquestions and enumerating seven strategies for doing so”).

158 Putusan Perkara United States v. Morrison, 529 U.S. 598, 607 (2000) (“Due respectfor the decisions of a coordinate branch of Government demands that we invalidate acongressional enactment only upon a plain showing that Congress has exceeded its constitutionalbounds.”).

159 Putusan Perkara Spector Motor Serv. v. McLaughlin, 323 U.S. 101, 105 (1994) (“Ifthere is one doctrine more deeply rooted than any other in the process of constitutionaladjudication, it is that we ought not to pass on questions of constitutionality . . . unless suchadjudication is unavoidable.”

160 Putusan Perkara Adkins v. Children’s Hosp., 261 U.S. 525, 544 (1923).161 Putusan Garland, 71 U.S. (4 Wall.) 333, 382 (1866) (Miller, J., dissenting).

Page 128: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

rights162, to the operation of representative institutions163, to the stability

of legal decisions and settlement of disputes, to the realization of

decisions made during constitutional moments or to the maintenance of

other valuable aspects of liberal democracy.”164 Namun demikian, tetap

saja bahwa “Judicial review can be successfully justified if it can be shown

that individuals have a right to the judicial review of legislative decisions

independent of the “correctness” of judicial decisions or other long-term

contingent effects of judicial decision-making.”165 Hal ini karena “Judicial

review provides an opportunity for individuals who believe (rightly or

wrongly) that their rights have been violated to raise their grievance

against the (actual or presumed) violation.”166

Penjelasan di atas membutuhkan sokongan ideologis terhadap

pengujian konstitusional, tetapi dalam sebagian tidak rinci sampai akhir

abad ke-18. Salah satu pemahaman mengenai hakekat judicial review

adalah “game theory” dan sebagian menyangkut pertentangan antara

Marshall dengan Jefferson dalam konteks perkara Marbury.167

Kontekstualisasi itu dijelaskan sebagai berikut:

162 Lihat uraian lengkap, antara lain: Jeremey Waldron, “Freeman’s Defense of JudicialReview”, Law & Philosophy, Vol. 13, 1994, hlm. 27-36; Richard H. Fallon, “An Uneasy Case forJudicial Review”, Harvard Law Review, Vol. 121, 2008, hlm. 1693-1699; dan Frank B. Cross,“Institutions and Enforcement of the Bill of Rights”, Cornell Law Review, Vol. 85, 2000, hlm. 1529-1576; dan Wojciech Sadurski, “Judicial Review and the Protection of Constitutional Rights”,Oxford Law Journal, Vol. 22, 2002, hlm. 275-278.

163 Hal ini disebabkan karena “the Constitution is designed to protect the representativenature of government.” Lihat dalam: Allan Hutchinson, ”A Hard Core Case against JudicialReview”, Harvard Law Review, Vol. 57, 2008.

164 Lihat uraian lengkap dalam: Thomas C. Grey, “Do We Have an UnwrittenConstitution?”, Stanford Law Review, Vol. 27, 1995, hlm. 703-714 dan Einer R. Elhauge, “DoesInterest Group Theory Justify More Intrusive Judicial Review”, Yale Law Journal, 1991, Vol. 101.

165 Yuval Eylon dan Alon Harel, “The Right to Judicial Review”, Virginia Law Review,Vol. 92, 2006, hlm. 991.

166 Ibid., hlm. 996.167 R. L. Clinton, “Game Theory, Legal History, and The Origins of Judicial Review: A

Revisionist Analysis of Marbury V. Madison, American Journal of Political Science, Vol. 38, 2004,hlm. 285.

Page 129: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Marshall, in deciding wheter to order Jefferson to deliver acommission he did not want to deliver, faced uncertaintyabout the prospects of compliance. Jefferson too faceduncertainty with regard to reactions of other political actorsto his various possible responses to Marshall. This set up agame theoretic situation in which alternative outcomesmight easily have resulted. Marshall could have declinded toclaim the power of judicial review, or deliverded it stillbornby ordering an action that woulrd generate presidentialdefiance. Instead, Marshall’s decision, to decline to irder thedelivery of Marbury’s ill-fated commission but to establishjudicial review, fit the strategic logic of the situation andestablished a new institutional equilibrium.

Pandangan pada perkara Marbury itu ditentang oleh Graber

yang mennggunakan “gradual political approach” terhadap pengujian

konstitusional, dengan mengatakan bahwa Madison dihadapkan pada

situasi tanpa pilihan apapun, sehingga Marshall menggagasnya sebagai

kunci untuk memberdayakan MA. Dalam hal ini Graber menguraikan

pendapatnya menurut konteks dan sejarah panjang relasi diantara

cabang-cabang kekuasaan dalam melaksanakan pengujian, dibandingkan

menurut pandangan pada kasus tunggal.168

Pandangan lain menggunakan pijakan federalisme sebagai

logika “judicial review” di masa awal pertumbuhan Amerika. Terdapat 2

alasan mendasar atau saling melengkapi dengan mengkaitkan

federalisme dan “judicial review.” Pertama, ketika terdapat 2 (dua)

badan atau tingkat pembentuk hukum dengan yurisdiksi yang berbeda,

maka memungkinkan munculnya potensi konflik kewenangan. Pihak

ketiga yang netral menyelesaikan persoalan yang timbul manakala kedua

badan atau tingkat tersebut mengalami perselisihan.169 Bahkan, sistem

168 Lihat selengkapnya: M. Graber, “The Problematic Establishment of Judicial Review”,dalam H. Gillman dan C.Clayton (Editors), 1999, The Supreme Court in American Politics,Lawrence, University of Kansas Press, hlm. 28-42.

169 M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, op.cit., hlm. 106-107.

Page 130: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

federal nampaknya mempersyaratkan mekanisme semacam itu guna

menyelesaikan sengketa kewenangan, dan kesesuaian antara federalisme

dengan “judicial review” dapat diilustrasikan dengan banyaknya sistem

federalisme yang mengatur pula ketentuan mengenai “judicial review.”

Logika cabang-cabang kekuasaan dalam federalisme menampakkan

struktur yang berkarakter fungsional, yang menuntut mekanisme

penyelesaian perselisihan diantara cabang dan tingkat kekuasaan dalam

struktur negara yang kompleks dan pembentuk hukum yang majemuk.

Kedua, relasi federalisme dan “judicial review” adalah

menyangkut kawasan perdagangan bebas (free trade).170 Dalam suatu

kawasan perdagangan bebas dengan pembentuk hukum yang beragam,

negara di hadapkan pada tindakan yang problematik terkait dengan

otoritas legislasi pada setiap badan. Terdapat kecenderungan bahwa

setiap negara bagian akan memberikan aturan-aturan yang terkait

dengan proteksi. Jika demikian yang terjadi, maka konsep perdagangan

bebas tidak dapat diberlakukan di seluruh wilayah. Setiap negara bagian

harus mempunyai komitmen untuk melaksanakan sistem tersebut pada

wilayah masing-masing. Ketentuan konstitusi yang membentuk

pengadilan sebagai badan netral menjadi diperlukan karena untuk

memastikan aturan-aturan yang ditetapkan oleh tiap-tiap negara bagian

berkesesuaian dengan komitmen prinsip perdagangan bebas.171 Bahkan,

dalam awal revolusi di Amerika, MA memberikan perhatian khusus

terhadap persoalan ini yang dikaitkan dengan konsilidasi kekuatan

nasional.

Pendekatan fungsional (game theory, federalism) dapat

digunakan untuk menjelaskan perluasan pengujian konstitusional. Asumsi

170 Ibid., hlm. 107.171 Y. Qian dan B. Weingast, “Federalism as a Commitment to Market Insentives”,

Journal of Economic Perspektive, Vol. 11, 2007, hlm. 89-93.

Page 131: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

logis yang diuraikan dalam suatu perkara dapat digunakan untuk perkara

yang muncul berikutnya. Di luar Amerika, pengujian konstitusional jarang

diterima sampai dengan berakhirnya Perang Dunia II. Sebagai contoh, MA

Norwegia mempunyai kekuasaan serupa tapi cenderung untuk tidak

menggunakannya.172 Portugal telah mengadopsi “judicial review” pada

tahun 1909. Kelembagaan “judicial review” yang aktif dilaksanakan di

hampir semua negara federal seperti Amerika, Kanada, dan Australia.173

Meksiko mengadopsi bentuk lain dari CR, dikenal sebagai “amparo” yang

terbatas pada upaya hukum terhadap tindakan individu yang melanggar

konstitusi dan bentuk ini pada awal pertumbuhannya menyangkut

masalah federalisme.174

Kesesuaian antara federalisme dengan pengujian konstitusional

termasuk juga “free trade area” berlaku pula untuk menjelaskan dinamika

pengujian konstitusional di luar Amerika (khususnya dalam kasus Uni

Eropa). Pemerhati federalisme menyatakan bahwa pada abad ke-20,

keterkaitan itu menjadi terbatas, mengingat penerapan federalisme yang

tidak sama. Namun demikian, perkembangan pengujian konstitusional

setelah Perang Dunia II di banyak negara tanpa mengkaitkannya dengan

federalisme dan masalah internal “free trade area” menunjukkan bahwa

kedua faktor itu bisa saja berkesusian tidak tidak dibutuhkan sebagai

syarat pengadopsian.175

172 Baca selengkapnya: C. Smith, “Judicial Review of Parliamentary Legislation in theNorwegian System”, Public Law Journal, Vol. 45, 2000, hlm. 595-606.

173 Badnar, et.al., 2001, hlm. 246.174 Ibid., hlm. 249.175 Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 84.

Page 132: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

D. Mahkamah Konstitusi sebagai Pilihan

Pada masa-masa berikutnya, penerimaan gagasan pengujian

konstitusional sebagaimana akan diuraikan dalam bagian ini, sesungguhnya

merujuk kepada pertumbuhan pengujian di Eropa. Jika diperhatikan pada

uraian sebelumnya, nampak bahwa “judicial review” dalam tradisi Amerika

menunjukkan “virtually unique in having judicial review, if judicial review

means a system in which ordinary judges can review and strike down

legislation.”176 Dalam tahap berikutnya, negara lain, khususnya di Eropa yang

bersedia menerima gagasan pengujian konstitusional, menolak apabila para

hakim dalam lingkungan peradilan umum dilibatkan dalam mekanisme

konstitusional tersebut.

Suatu hal yang menarik bahwa sesungguhnya di Eropa pengujian

konstitusional berasal dari Inggris, negara yang sering dianggap menempatkan

supremasi parlemen dan menolak pengujian Undang-Undang. Pada abad ke-

18, Privy Council (semacam Penasehat Kerajaan) diberikan wewenang untuk

membatalkan suatu Undang-Undang yang disusun oleh negara yang menjadi

koloni Inggris dengan alasan bertentangan dengan produk hukum yang

ditetapkan oleh Parlemen Inggris atau bertentangan dengan tradisi Common

Law.177 Pada perkembangan selanjutnya, pelembagaan pengujian

konstitusional dilaksanakan oleh Austria setelah Perang Dunia I178, dan pada

era yang sama pada Kanada179 dan Swedia180, lalu dikembangkan di Jerman181

176 John E. Ferejohn, “Constitutional Review in the Global Contex”, Journal ofLegislation and Public Policy, Vol. 6, 2002, hlm. 49.

177 Gagik Harutyunnyan, et.al, Study on Individual Accses to Constitutional Justice,Venice Comission, 27 Januari 2011, hlm. 10.

178 Hans Kelsen, “Judicial Review of Legislation, op.cit., hlm. 185–186. Baca juga:Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Notes on theBeginnings”, Ratio Jurist, Vol.16, 2003, hlm. 223.

179 Jennifer Smith, “The Origins of Judicial Review in Canada”, Canada Journal PolticalScience, Vol. 16, No. 1, 1993.

180 Michael Crommelin, “Intergovernmental Relations: Dispute Resolution in FederalSystems”, International Social Science Journal, Vol. 53, 2001, hlm. 139.

Page 133: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dan Italia182 setelah Perang Dunia II. Pelembagaan selanjutnya dilaksanakan di

Spanyol183 dan Portugal184 setelah kejatuhan rezim otoritarian. Pelembagaan

serupa berkembang lagi setelah runtuhnya Uni Soviet, di mana negara-negara

yang tergabung sebagai federasi mandiri sebagai negara tersendiri.185 Di era

pasca komunis tersebut, pelembagaan pengujian konstitusioanal

menunjukkan, “Subjecting their policy choices to judicial review, post-

Communist rulers demonstrate their commitment to democracy and the rule

of law to their domestic constituencies and to therest of the world.”186 Sampai

sekarang telah 78 negara yang mengadopsi kelembagaan pengujian

konstitusional tersebut.187 Perkembangan itu sepaket dengan munculnya

gelombang demokrasi baru dalam 2 (dua) dekade terakhir pada abad ke-20.188

Di Eropa, penerimaan gagasan pengujian konstitusional

berkembang dalam 3 tahap. Pertama, perkembangan di Jerman dan Italia

selepas Perang Dunia II. Kedua, “was after the collapse of the Spanish and

Portuguese authoritarian governments, and of the Greek dictatorship about

181 Donald P. Kommers, “The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic ofGermany, Journal of Comparative Law, Vol 3 No. 4, 1989.

182 Alessandro Pizzorusso, op.cit., , hlm. 111-114.183 Francisco Rubio Llorente, op.cit., , hlm. 127-131.184 Rett R. Ludwikowski, loc.cit.185 Robert F. Utter dan David C. Lundsgaard, op.cit., hlm. 585.186 Alexei Trochev, op.cit., hlm. 514.187 Seorang penulis berkata, ”Not so in the rest of the world. Around the globe, popular

as well as academic interest in courts and judicial review is growing.” Baca: H. Kawshi Prempeh,“Marbury in Africa: Judicial Review and the Challenge of Constitutionalism in Africa”, Tulane LawReview, Vol. 80, 2006, hlm. 2.

188 Diskusi soal ini periksa: Cheryl Saunders, “The Use and Misuse of ComparativeConstitutional Law”, Indiana Journal of Global Legal Studies, Vol. 13, 2006.

Page 134: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

quarter century ago.”189 Ketiga, “followed the collapse of the Soviet Union

about ten years ago.”190 Menurut Schwartz:

Before World War II, few European States had constitutionalcourts, and virtually none exercised any significant judicialreview over legislation. After 1945 all that changed. WestGermany, Italy, Austria, Cyprus, Turkey, Yugoslavia, Greece,Spain, Portugal and even France…created tribunals with powerto annul legislative enactments inconsistent with constitutionalrequirements. Many of these courts have become significant—even powerful—actors.191

Hal itu dirintis pada abad ke-19, saat para sarjana Eropa mulai

memikirkan dampak pengujian model Amerika Serikat.192 Gagasan pengujian

di Amerika Serikat memperoleh perhatian dalam suatu perdebatan Majelis

Nasional Jerman pada pertemuan di Frankfrut tahun 1848.193 Sekalipun di

Frankfrut berlangsung diskusi yang menaruh harapan besar terhadap

pengujian dengan mengkaji secara sungguh-sungguh perkara Marbury, akan

tetapi di belahan Eropa yang lain secara berbeda disodorkan pemikiran oleh

Prancis mengenai kemungkinan penerapan model lain dalam

kelembagaannya. Sejumlah pakar di Eropa cenderung mencemaskan

pengujian model Amerika Serikat tersebut karena akan menjerumuskan ke

dalam sistem legislasi yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial.194

189 Stephen Gardbaum, “The New Commonwealth Model of Constitutionalism”,American Journal of Comparative Law, Vol. 49, 2001, hlm. 714-715.

190 Rett R. Ludwikowski, “Fundamental Constitutional Rights in the New Constitutionsof Eastern and Central Europe”, Cordozo Journal of International & Contemporary Law, Vol. 3,1995, hlm. 73.

191 Herman Schwartz, "The New Eastern European Constitutional Courts”, MichiganJournal of International Law, Vol. 13, 2002, hlm. 763.

192 Helmut Steinberger, “Historic Influences of American Constitutionalism uponGerman Constitutional Development: Federalism and Judicial Review”, Columbia Journal ofTransnasional Law, Vol. 36, 2008, hlm. 193.

193 Ibid., hlm. 194.194 Alec Stone, 1992, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in

Comparative Perspective , New York: Oxford University Press, hlm. 37-40.

Page 135: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sama halnya dengan gagasan “judicial review”, ide pengujian

konsttitusional di Eropa juga diwarnai dengan penerimaan dan penolakan.

Pada satu sisi, affinitas pengujian terjadi karena, “Judges frequently make

discretionary judgments when adjudicating constitutional cases.”195 Dalam

konteks ini, disekresi merupakan “refer to those judgments that courts must

make when, due to the indeterminacy of the relevant legal texts, there are two

or more ways in which a judge who conscientiously applies the interpretive

conventions of the legal profession could resolve a given dispute.196

Maknanya, dalam perkara konstitusi, hakim “often must choose from an array

of conflicting—yet conventionally permissible—interpretive options.”197

Sekalipun di lingkungan pengadilan diskresi tersebut lumrah, akan tetapi “in

popular political rhetoric, one often encounters fierce resistance to the

proposition that much of the Constitution‘s text is indeterminate and that

judges thus can reasonably disagree about what the Constitution prohibits or

permits.”198

Gagasan pengujian konstitusional juga memunculkan diskursus pada

saat berbicara mengenai efek dari wewenang pengujian, apakah mencakup

pemberlakuan UU sebelum putusan pengujian dijatuhkan (Retroactive

Perspective) atau mencakup pemberlakuan UU ke depan (Prospective

Perspective)? Dalam hal sifat putusan pengujian itu Retroactive Perspective,

maka “the law no longer exists and never did exist.”199 Putusan ini terjadi

195 Theodore A. McKee, “Judges as Umpires”, Hofstra Law Review, Vol. 35, 2007, hlm.1709-1710.

196 Todd E. Pettys, “Judicial Discretion in Constitutional Cases”, University of Iowa LegalStudies Research Paper, No. 10-36, Desember, 2010, hlm. 2.

197 Kent Greenawalt, “Discretion and Judicial Decision: The Elusive Quest for theFetters that Bind Judges”, Columbia Law Review, Vol. 75, 1995, hlm. 359.

198 Harry T. Edwards, “The Role of a Judge in Modern Society: Some Reflections onCurrent Practice in Federal Appellate Adjudication”, Cleveland State Law Review, Vol.32, 2003,hlm. 385.

199 Sujid Choudrhy dan Kent Roach, “Putting the Past Behind Us? Prospective Judicialand Legislative Constitutional Remidies”, Supreme Court Law Review, Vol. 26, 2006, hlm.211-212.

Page 136: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

manakala “the substantive legal principles in force at the time of the

unconstitutional act.”200 Basis pemikiran ini adalah “the courts is that these

judgments declare the law as it has always been — that judges discover, not

make the law — and apply the pre-existing law to the dispute at hand.”201

Sementara itu, sifat Prospektif putusan menggambarkan bahwa putusan itu

berlaku “postpone the operative date of the judgment”202, yang dapat

dikatakan sebagai suatu “an exception to the norm of retroactive judicial law-

making.”203 Di dalam praktik, putusan ini kadang-kadang mencampuradukkan

keadaan masa transisi dan penolakan pembatalan suatu UU di mana

substansinya adalah “the suspended declaration of invalidity for a temporary

period of time, in order to give the government an opportunity to respond to

the court’s judgment with new legislation that complies with the Constitution”

sehingga menimbulkan kesan “make courts look like legislatures”204, karena

“The courts have actively participated in this change in the legislative role, by

remanding remedial issues to legislatures.”205 Putusan ini dalam praktik

memnimbulkan kontroversi karena “Suspended declarations of invalidity are

deeply controversial, because they allow an unconstitutional state of affairs to

persist, thereby posing a threat to the very idea of constitutional

supremacy.”206

Oleh sebab itu tidak kurang pula sejumlah penulis yang menetang

adanya CR tersebut. Misalnya pemikir J.A.G. Griffith yang dalam basis

argumennya menolak adanya wewenang untuk menguji konstitusionalitas

200 Ibid., hlm. 213.201 Kent Roach, 1995, Constitutional Remedies in Canada, Aurora, Canada Law Book,

hlm. 920.202 Sujid Choudrhy dan Kent Roach,op.cit., hlm. 217.203 Ibid., hlm. 218.204 Ibid., hlm. 226.205 Ibid., hlm. 227.206 Ibid., hlm. 230.

Page 137: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Undang-Undang. Dalam pandangan Griffith, merupakan sesuatu yang

“misleading to speak of certain rights of the individual as being fundamental

and inherent in the person of the individu”207 dan akibatnya “so-called

individual or human rights are no more or no less than political claims made

by individuals on those in authority.”208 Griffith juga mengatakan pendapat itu

tersusun dari anggapan bahwa “law is not and cannot be a substitute for

politics”209 dan adanya Constittutional Review akan menyebabkan “pass

political decisions out of the hands of politicians and into the hands of judges

or other persons.”210 Demikian juga dengan J. Waldron211 dan R. Bellamy.212

Penentangan terhadap pengujian konstitusional tersebut secara

epistimologis berbeda dengan argumen bahwa pemenuhan hak-hak individu

dapat dipaksakan oleh pengadilan sebagai salah satu kelaziman dalam

demokrasi konstitusional. Dapat ditunjuk di sini penulis seperti John Rawls213,

207 J.A. G. Griffith, “The Political Constitution”, Michigan Law Review, Vol. 42, 1989,No. 1.

208 Ibid., hlm. 17. Baca juga: T. Poole, “Tilting at Windmills? Truth and Illusion in thePolitical Constitution’”, Michigan Law Review, Vol. 70, 2007, hlm. 250.

209 Ibid., hlm. 16.210 Ibid.211 J. Waldron, “The Core Case Againts Judicial Review”, Yale Law JournalVol. 115,

2006, hlm. 1346. Tulisan Waldron sangat populer dalam banyak law journal dan telahmemperoleh tanggapan dari para pakar. Pada intinya, Waldron mengatakan bahwa pengadilanberhadapan dengan suatu perkara. Oleh karena itu, apa yang mereka putuskan sesungguhnyaakan mencerminkan kebijakan para hakim mengenai perkara tersebut dan tidaklah hal inidipersamakan dengan pandangan serupa dari kalangan legislator maupun pejabat pemerintah.Oleh sebab itu, sekalipun memandang bahwa constitutional review sangat berkaitan dengandemokrasi, tetapi Waldron berpendapat hal itu dapat dilaksanakan jika didukung dengan kondisiyang demokratis juga. Salah satu tulisan yang menurut saya cukup bagus dalam mengupas dansekaligus melahirkan kritik terhadap Waldron adalah tulisan Richard H. Fallon. Baca: Richard H.Fallon, Jr., op.cit., , hlm. 1693.

212 R. Bellamy, 2007, Political Constitutionalism, A Republican Defence of theConstitutionality of Democracy, Cambridge: Cambridge University Press. Dalam salah satu bagiandari tulisan tersebut Bellamy menolak pandangan kalau pemenuhan hak individu akan terlaksanajika individu berhadapan dengan negara, karena pemenuhan tersebut lebih mencerminkankondisi “continuously reflexive process, with citizens reinterpreting the basis of their collective lifein new ways that correspond to their evolving needs and ideals.”

213 John Rawls, 1996, Political Liberalism, Columbia University Press.

Page 138: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

R. Dworkin214, P. Pettit215, C. Sunstein216, dan F. Michelman.217 Sekalipun

berbasis liberal, menurut penulis, pandangan para penulis terakhir tersebut

dapat diterima dibandingkan argumen Waldron dan Belammy, karena

sesungguhnya tidak setiap keputusan yang dilakukan oleh para legislator

dapat mencerminkan kaidah-kaidah demokrasi itu sendiri. Dalam kaitan ini,

mempertahankan keberadaan hak-hak individu sebagaimana jaminan

konstitusi melalui pengujian konstitusional menjadi dapat diterima.

Figur utama dalam pemikiran pengujian konstitusional di Eropa

adalah Hans Kelsen.218 Menurut Kelsen, dalam penerapan di Eropa, pengujian

konstitusional akan menampakkan benturan pemikiran diantara sentuhan

konstitusi dengan persoalan politik. Hal ini karena “that civil law courts were

not attractive organs to endow with the power of constitutional interpretation

because they were staffed by civil servants and were ideologically accustomed

to being subservient to legislatures.”219 Dengan demikian yang diperlukan

adalah “a specialized constitutional court that could speak with a single,

authoritative voice and have equal dignity with the legislature.”220 Pada sisi

214 Ronald Dworkin, 1996, Freedom’s Law: The Moral Reading of the AmericanConstitution, Oxford: Oxford University Press.

215 P. Pettit, 1997, Republicanism, A Theory of Freedom and Government, Oxford:Clarendon Press.

216 C. Sunstein, “Beyond the Republican Revival”, Yale Law Journal, Vol. 97, 1998,hlm.1539.

217 F. Michelman, ‘Foreword: Traces of Self-Government”, Harvard Law Review, Vol.100, No. 4, 1996.

218 Profesor tata negara Austria ini memegang peran penting dalam menyusunKonstitusi Autria 1920, yang antara lain memuat mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitandengan Constitutional Review. Pengaturan ini dapat dikatakan sebagai pengalaman yang palingberharga mengenai kelembagaan Constitutional Review khas Eropa sebelum Perang Dunia II.Penting juga dicatat bahwa Kelsen juga memegang peran penting saat penyusunan konstitusiJerman pasca Perang Dunia II. Diskusi lebih lanjut mengenai masalah ini, baca: Stanley L. Paulson,op.cit., hlm. 223.

219 Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554.220 Ibid.

Page 139: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

lain, tradisi Eropa menempatkan parlemen sebagai pemegang kedaulatan

yang kekuasaannya merajalela di atas konstitusi itu sendiri.

Dengan gagasan itu, Kelsen menganjurkan penolakan pengujian

model Amerika Serikat karena menganggap konstitusi merupakan suatu

bentuk hukum yang bersifat khusus dan ditentukan oleh faktor politik.221

Menurut Kelsen, dalam proses pembentukan hukum positif, lembaga yang

menyusunnya dengan sengaja juga dilekatkan wewenang untuk mencabut

hukum positif tersebut dan hal ini adalah pekerjaan Parlemen. Keberadaan

pengadilan adalah “would therefore be circumscribed by carefully drafting

constitutions to exclude from judicial competence broad principles such as

equality, justice, and liberty.”222 Dengan demikian, akan tercipta “effect

horizontal and vertical separation of powers, but courts would gain too much

influence if they had a broad power to construct rights.”223

Namun gagasan Kelsen mengenai batasan pengadilan untuk

construct rights ditentang oleh pemikir hukum di Eropa. Pengalaman

kejahatan perang oleh Jerman dan praktik-praktik antidemokrasi lain justru

harus memaksa pengadilan untuk melaksanakan hak-hak asasi.224 Walaupun

demikian ada 3 hal pokok warisan pemikiran Hans Kelsen dalam pengujian di

Eropa. Pertama, pengujian dilakukan secara terkonsentrasi oleh suatu badan

pengadilan khusus yang menangani perkara konstitusi dibandingkan

wewenang yang terdesentralisasi di semua tingkatan pengadilan seperti di

Amerika Serikat. Kedua, pengujian tidak perlu mensyaratkan terjadinya suatu

perkara konkrit sehubungan dengan legislasi, bahkan suatu Undang-Undang

221 Mark Tushnet, “Marbury v. Madison Around the World”, Tennesse Law Review, Vol.71, 2004, hlm. 251.

222 Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why It MayNot Matter” , op.cit., hlm. 2766.

223 Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Noteson the Beginnings”, op.cit., hlm. 2767,

224 Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of‘Constitutional Justice’, op.cit., hlm. 5-6.

Page 140: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

yang belum berlaku sekalipun dapat dimohonkan pengujian. Ketiga, pengisian

jabatan hakim memerlukan dukungan Parlemen.225

Sebelum mengerucut gagasan mengenai pengujian yang dilekatkan

pada organ khusus pengadilan di luar Mahkamah Agung, di Austria sendiri

sudah muncul gagasan untuk mengadopsi model Marbury. Pada tahun 1867,

MA Austria mendapatkan kewenangan baru untuk menangani sengketa

yuridis yang berkenaan dengan perlindungan hak-hak politik individu vis a vis

pemerintah (public administration).226 Sebaliknya, pengadilan negara-negara

bagian membuat putusan yang berkenaan dengan constitutional complaint

(Statliche Verfassungsbeschwerde). Perkembangan yang terjadi ini yang

selanjutnya makin mendorong lahirnya ide Hans Kelsen untuk membentuk

mahkamah yang berdiri sendiri di luar MA Austria.227

Sementara itu, di negara-negara lain, muncul pula berbagai

perkembangan baru untuk mengadopsi gagasan pengujian tersebut.

Pengaturan aspek-aspek pengujian di Swiss sudah diatur dalam Konstitusi

Federal 1848. Akan tetapi MA baru memperoleh wewenang resmi yang lebih

luas dengan Perubahan Konstitusi Federal pada tahun 1874. Di Norwegia, ide

mengenai pengujian tumbuh dari perkembangan pemikiran hukum sejak

tahun 1890. Sementara itu, Romania memperkenalkan pengujian

konstitusional sebelum Perang Dunia I dengan mengikuti model Amerika

Serikat.228 Negara lain yang hingga sebelum Perang Dunia II mengadopsi

pengadilan konstitusi model Austria adalah Cekoslovakia (1920),

Di Italia, secara resmi pengujian diterapkan pertama kali pada

Konstitusi 1948 pasca kejatuhan pemerintahan fasis. Konstitusi baru, yang

kerap disebut sebagai konstitusi demokrasi, menyandarkan kekuasaan pada

225 Patricio Navia & Julio Rios, “The Constitutional Adjudication Mosaic of LatinAmerica” , Comprative Politic Studies, hlm.189.

226 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitutional, op.cit., hlm. 24.227 Ibid.228 Ibid., hlm. 25.

Page 141: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kedaulatan rakyat, akan tetapi disertai dengan pengakuan supremasi

konstitusi dengan perubahan yang bersifat rigid. Mekanisme pengujian diatur

pada Pasal 134-139 Konstitusi 1948 dengan membentuk MK sebagai organ

khusus di luar MA. Pilihan ini ditetapkan diantara berbagai gagasan mengenai

guarantee of the Constitution, dengan menolak pengujian model Amerika

Serikat dan menerima pemikiran Hans Kelsen. Namun pendirian Mahkamah

Konstitusi itu sendiri baru terlaksana pada tahun 1956 dan hampir selama

setengah abad kemudian, praktik pengujian berjalan secara dinamis, karena

bagaimanapun, badan pengadilan di lingkungan peradilan umum juga

memberikan kontribusi yang penting dalam pengujian tersebut.229

Berkebalikan dengan keadaan di atas, Belanda hingga sekarang

konsisten menerapkan argumen bahwa “The constitutionality of Acts of

Parliament and treaties shall not be reviewed by the courts.”230 Hal ini

menjadikan Belanda sebagai “as one of the last liberal democracies to insist

that the courts desist from reviewing the constitutionality of acts of

parliament.”231 Di Belanda telah disusun Konstitusi 1814 dan direvisi tahun

1848, yang dalam proses tersebut “the inclusion of fundamental rights that

the question of the courts’ role regarding such new rights became a bone of

contention, one that ultimately led to the inclusion of the bar on constitutional

review.”232 Hal itu digambarkan oleh Thorbeke, pakar kenegaraan yang

pernah terlibat dalam penyusunan perubahan konstitusi pada masa itu, yang

mengatakan bahwa “adopting the bar on review would politically speaking be

easier to accomplish than to one day undo again.”233 Perdebatan mengenai

pengujian konstitusional terus diperbincangkan termasuk pada saat

229 Tannia Groppi, “The Italian Constitutional Court: Towards ‘A Multysystem’ ofConstitutional Review?”, op.cit., hlm. 101.

230 Charles F. Abernathy, op.cit., hlm. 595.231 Wolfgang Hoffmann‐Riem, op.cit., hlm. 595.232 Gerhard van der Schyff, op.cit., hlm. 276.233 Ibid.

Page 142: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Perubahan Konstitusi pada tahun 1983.234 Kondisi di Belanda dengan

demikian dapat digambarkan “it is intended to make the review of acts of

parliament impossible on constitutional grounds.”235

Sementara itu, Inggris dikenal sebagai negara yang memiliki tradisi

intelektual panjang untuk menolak memberdayakan pengadilan dalam skema

pengujian untuk melindungi hak-hak asasi. Jeremy Bentam merupakan sosok

penting dan berpengaruh untuk mengembangkan doktrin tersebut. Bentham

amat meragukan kemampuan pengadilan untuk dapat membatasi atau

mengawasi perilaku parlemen. Dikatakan oleh Bentham, “Give the judges the

power of annulling [Parliament’s] acts; and you transfer a portion of the

supreme power from an assembly which the people have had some share, at

least, in choosing, to a set of men in the choice of whom they have not had the

least imaginable share.”236 Wawasan Bentham itu lestari dalam formulasi

hukum tata negara Inggris baik dalam dimensi yang positif maupun negatif.

Dimensi positif maksudnya adalah memperkuat kedaulatan parlemen dalam

membentuk putusan-putusan yang partisipatorif, sementara dimensi negatif

adalah posisi untuk menolak memberikan kekuasaan pengujian kepada

pengadilan.237

Formulasi tersebut menjadi akar penolakan kuat terhadap pengujian

di Inggris dan kemudian telah menghasilkan banyak tulisan tentang itu.238

234 Maurice Adams & Gerhard van der Schyff, “Constitutional Review by the Judiciary inthe Netherlands: A Matter of Politics, Democracy or Compensating Strategy?”, Zeitchrift furAuslandisches Offentliches Recht Und Volkerrecht, Vol. 66, 2006, hlm. 399.

235 Ibid.236 Lord Hoffmann, ‘Bentham and Human Rights’, 2001, CLP, Vol. 54, hlm. 61.237 “The positive dimension celebrates the value of democracy and the supreme

importance of strong parliamentary government, in whose decision-making all citizens canparticipate to some degree. The negative dimension is contained in a deep-seated scepticismabout judges and judicial power.” Lihat: D. Dyzenhaus, “op.cit, hlm. 62.

238 Lihat, antara lain: C. O’Cinneide, “Democracy, Rights and the Constitution – NewDirections in the Human Rights Era”, CLP, Vol. 57, 2004, hlm. 175; G. Phillipson, “Deference,Discretion, and Democracy in the Human Rights Act Era”, CLP, Vol. 60, 2007, hlm. 40; S.

Page 143: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Berhadapan dengan demokrasi, pengujian tidak diterima di Inggris karena

alasan moral maupun empiris. Ditinjau dari sudut moral, “Constitutional

Review is democratically illegitimate, because it allows unelected judges to

constrain and sometimes override decisions made by our elected

representatives.”239 Sementara itu, dari segi empiris ada semacam anggapan

bahwa “that judges do not do a very good job of protecting rights” dan

kenyataannya juga “that parliament did a consistently better job of protecting

civil liberties over this period than judges and, moreover, that judges were

often bent on denying the protection of civil liberties to individuals who

belonged to groups which the judges considered politically dangerous.”240

Ketidakpercayaan kepada pengadilan akhirnya mengakibatkan “built upon

empirical evidence and came out of the experience of frustration about judicial

intervention in the social sphere over many years.”241

Walaupun demikian, Inggris tidaklah mengenal pengujian sepanjang

dipahami sebagai prinsip seperti supremasi parlemen, tetapi di negara ini

konstitusi tidaklah terkodifikasi dalam suatu naskah tertulis yang sistematis

lazimnya dikenal pada negara lain. Pengujian yang dikenal sebatas dalam

hukum administrasi negara dan tidak dalam pengertian pengujian. Melalui

pengujian administratif tersebut, segala tindakan pemerintah dikontrol agar

tetap tunduk pada aturan hukum. Setiap individu, penguasaha atau kelompok

bisnis dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap legalisasi keputusan

Menteri, lembaga pemerintahan, maupun badan-badan publik yang lain,

termasuk otoritas lokal, otoritas imigrasi, badan-badan independen, dan

lembaga pemutus sengketa lain. Pengujian ini dianggap tepat untuk

Fredman, “Judging Democracy: The Role of the Judiciary under the HRA 1998”, CLP, Vol. 53,2000, hlm. 99.

239 Jeremy Waldron, “The Core of the Case Against Judicial Review”, op.cit, hlm. 1365.240 K. Ewing, “The Futility of the Human Rights Act – A Long Footnote”, Bracton Law

Journal, Vol. 37, 2005, hlm. 41.241 Ibid.

Page 144: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mempertahankan doktrin kedaulatan parlemen dengan sekaligus

menjalankan prinsip supremasi hukum.242

Di Prancis sendiri gagasan yang menentang pengujian model Amerika

Serikat memperoleh dukungan yang kuat hingga pembentukan Konstitusi

1958.243 Dalam perkembangannya, sekalipun dikenal skema pengujian oleh

Dewan Konstitusi, akan tetapi sifatnya lebih politik dibandingkan yuridis. Pada

masa Republik III (1875-1940) dan Republik IV (1946-1957), ketentuan

konstitusi menghindari adanya pengujian dan pengadilan konstitusi. Parlemen

dapat mengubah konstitusi dengan suara mayoritas. Pada masa Republik III

para pengamat sering berkomentar mengenai perilaku politisi yang tidak

ubahnya seorang hakim konstitusi yang mengemukakan justifikasi legal atas

tindakan-tindakannya. Pada masa Republik IV telah dibentuk alat internal

parlemen yang disebut Komisi Konstitusi tetapi lembaga ini tidak pernah

menghasilkan putusan apapun.244 Dewan Konstitusi sendiri sudah sejak tahun

1880-an dilepaskan dari Kementerian Kehakiman akibat tuntutan dari para

praktisi hukum. Dengan demikian, wewenang legislasi parlemen menjadi lebih

dominan, dibandingkan bahwa masalah pembentukan merupakan isu

konstitusi. Pada masa Republik V (sejak 1958), persoalan itu lalu menjadi

ajang perdebatan diantara politisi dan akademisi hukum.

Di bawah pengawasan Jenderal Charles de Gaulle, disusun Konstitusi

1958 untuk menggantikan Konstitusi 1946. Ketika itu Michel Debre bersama

dengan koleganya telah secara efektif mentransformasikan sebagian

kekuasaan legislatif dari parlemen menjadi kewenangan yang dimiliki oleh

eksekutif. Kemudian dibentuk Dewan Konstitusi sebagai organ tersendiri guna

menjamin keberlangsungan distribusi kekuasaan yang mengalami

restrukturisasi tersebut. Hal demikian tentu sangat berbeda dengan tradisi

242 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 65.243 Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554.244 Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politic in

France, op.cit., , hlm. 23-45.

Page 145: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Bonapartis, di mana usaha-usaha untuk memperkuat kekuasaan eksekutif

dalam periode tersebut dilakukan tanpa kehadiran yudisial yang berperan

secara agresif.245

Sejak tahun 1970-an watak politik Dewan Konstitusi menjadi lebih

kentara dan salah satu wewenang penting adalah “tightly restricted to the

control of parliamentary statutes, after their adoption, but before

promulgation, upon referral by elected politicians.”246 Nampaklah bahwa

motif Dewan Konstitusi adalah untuk mengendalikan kekuasaan parlemen

melalui batas-batas konstitusi.247 Model pengujian di Prancis ini merupakan

salah satu model yang berpengaruh dan kemudian diadopsi oleh banyak

negara di Asia dan Afrika.

Sebelum menuju kepada pertumbuhan gagasan di gelombang ke-3,

sebagai akibat Perang Dunia II (1940-1945), maka telah terinterupsi perluasan

CR di seluruh dunia. Bahkan, dalam masa tersebut, sejumlah negara yang

mengoperasionalkan CR dalam suatu kelembagaan khusus kemudian gagal

dilaksanakan, seperti kasus MK di Austria (1933-1945) dan Cekoslovakia yang

bahkan terhenti sejak 1938.

E. Adopsi Pengadilan Konstitusi Spesifik

Sesudah Perang Dunia II, gagasan pengujian konstitusional menjadi

salah satu navigasi penting dalam format kehidupan bernegara, terutama di

Eropa. Ciri khas pada waktu itu adalah pilihan bentuk pengadilan khusus yang

“almost concurrently founded in European states, and their main task is to

ensure the comformity of laws and other normative acts with the

Fundamental Law.”248 Banyak negara yang kemudian juga mengadopsi

245 Ibid., hlm. 46.246 Alec Stone Sweet, “The Politics of Constitutional Review in France and Europe”,

Journal ICON, Vol. 69, 2007, hlm. 70.247 “The creation of the Conseil constitutional was originally intended as an additional

mechanism to ensure executive by keeping Parliament within constitutional rule.” Periksa: JohnBell, 1992, French Constitutional Law, Oxford University Press, hlm. 19-20.

248 Gagik Haruntyunnyan, op.cit., hlm. 3.

Page 146: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pengujian konstitusional setelah Perang Dunia II tersebut seperti Brazil (untuk

kedua kalinya sejak 1946), Jepang (1947), Burma (1947), Italia (1948), Thailand

(1949), Jerman (1949), India (1949), Luxemburg (1950), Syiria (1950), Uruguay

(1952), Prancis (1958), dan lain-lain.249 Sementara itu, di kalangan negara-

negara berhalauan Komunis dengan sistem partai tunggal, mekanisme

pengujian konstitusional dianggap sebagai simbol keberadaan kaum borjuis

sehingga ditolak.

Pada fase ini mulai muncul pemikiran khas pengujian seperti praktik

di Austria, Jerman, dan Spanyol, yang menentukan bahwa bukan saja kepada

pengadilan konstitusi diberikan mekanisme untuk perlindungan hak-hak

individual, akan tetapi kepada setiap warganegara pun mempunyai

wewenang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Gagasan pengujian

semakin memperoleh tempat dengan munculnya gelombang demokratisasi

sebagai bentuk tranformasi politik di Eropa yang ditandai dengan jatuhnya

kediktatoran rezim militer seperti halnya di Yunani (1968), Portugal (1976),

dan Spanyol (1978). Sebelumnya, gagasan CR telah diterima di Syprus (1960),

Turki (1960), Aljazair (1963), dan Republik Federasi Yugoslavia (1963).

Pada fase konfigurasi gagasan di masa gelombang ke-4 ini merupakan

buah munculnya negara-negara independen baru. Runtuhnya Tembok Berlin

yang memicu bersatunya Jerman (1990), bubarnya Uni Soviet (1991), dan

konflik di Semenanjung Balkan, memunculkan negara-negara baru dan

kemudian mendesain konstitusi secara rumit dan kaku. Mulaih diterima

prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan, yang antara lain dirumuskan dalam

penerimaan gagasan pengujian secara komprehensif. Lebih dari itu, pengujian

dianggap sebagai jalan ke arah yang lebih baik dan mendorong transformasi

sosial dalam kondisi transisi.250 Gagasan pengujian konstitusional kemudian

acapkali dianggap berbarengan dengan penerimaan ide HAM yang semakin

249 Ibid.250 Ibid.

Page 147: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

menglobal. Menurut Hamid Awaludin, ada 7 ciri utama yang menunjukkan

HAM semakin diterima dalam kancah global.251 Pertama, HAM telah menjadi

agenda utama dalam hubungan internasional. Kedua, negara telah diwajibkan

untuk melaksanakan norma-norma HAM melalui instrumen-instrumen hukum

internasional mengenai HAM yang telah disepakati bersama. Ketiga, individu

telah memiliki status hukum untuk dilindungi dari segala bentuk pelanggaran

HAM. Keempat, konsep kedaulatan negara terpenetrasi oleh HAM. Kelima,

aktor utama pemajuan dan penagakan HAM tidak lagi monopoli negara, tetapi

juga aktor nonnegara, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional, sudah

ikut dalam agenda ini. Keenam, individu-individu yang memiliki pengaruh dan

charisma serta komitmen dan kepemimpinan kuat, ikut menentukan jalannya

pemajuan dan penegakan HAM. Ketujuh, telah terjadi perubahan persepsi dan

pendekatan mengenai HAM. Masalah HAM tidak lagi ditekankan pada aspek-

aspek legal semata, tetapi semua aspek kehidupan dilaksanakan dengan HAM.

Di negara-negara yang mengalami transisi ke demokrasi setelah

keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1990-an misalnya, pengujian

konstitusional menjadi ide populer sepaket dengan perjuangan untuk

menegakkan kembali independensi badan pengadilan.252 Padahal sebelum

tahun-tahun tersebut, “only two states in the region possessed anything like a

constitutional tribunal neither of which gave the slightest hint of a robust

constitutional review power.”253 Tidak mengherankan bahwa anutan

pengujian konstitusional menjadi “a trade mark or as a proof of the

democratic character of the respective country.”254 Pelembagaan pengujian

konstitusional bahkan merupakan “the more important mystery is the success

251 Hamid Awaludin, op.cit. hlm. 7-8.252 W. Sadurski, “Postcommunist constitutional courts in search of political legitimacy,”

European University Institute Law Working Paper No. 2001/11, Department of Law, EuropeanUniversity Institute, Florence 2001, hlm. 8.

253 Ibid.254 L. Sólyom, op.cit., hlm. 134.

Page 148: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

of some of these courts in propelling, guiding, safeguarding, and making

themselves essential to the larger transformations to constitutional democracy

of their respective states.”255 Dengan Constitutional Review tersebut, “The

courts contributed to the process of transition to democracy in a number of

vital ways ––some quite general, and some highly country-specific.”256

Mekanisme pengujian telah menghadirkan “an effective political check on

other branches of the national (and in some cases local) government, partially

diffused some of the most explosive conflicts over both substantive issues and

interbranch power struggles,9 and generated an until-then unfathomable

degree respect for the primacy of constitutional law and compliance with the

courts’ edicts.”257 Bahkan, pengujian “reveal[ed] a radical development in the

transition out of the Soviet-style governmental system of entirely centralised

state power.”258

Hal ini karena tradisi sebelumnya, disebabkan pengaruh ajaran

Marxis, “interpretations of the law, concepts such as justice, rule of law, and

equality before the law were fictions.”259 Hukum tidak lebih dari sekadar

instrumen pemerintah untuk memaksakan kehendak penguasa dan oleh

karena itu maka “law acted to maintain the existing political system and to

quash unrest” dan ”the judiciary in communist states was neither independent

nor active.”260 Pada negara Eropa post communist tersebut, kebanyakan

mengadopsi adanya kelembagaan pengadilan khusus yaitu MK setelah

mengalami transisi ke demokrasi, kecuali Yugoslavia dan Polandia, yang

255 Ibid.256 W. Sadurski, op.cit., hlm. 7-8.257 Herman Schwartz, op.cit.,, hlm. 100.258 M. Brzezinski, op.cit., hlm. 130.259 Gordon B. Smith, 1996, Reforming the Russian Legal System. New York: Cambridge

University Press, hlm. 28.260 Kathryn Hendley, 1996, Trying to Make Law Matter: Legal Reform and Labor Law in

the Soviet Union. Ann Arbor: University of Michigan Press, hlm. 16.

Page 149: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

masing-masing sejak 1963 dan 1985 telah mengadopsi kelembagaan

tersebut.261 Hampir semua negara dalam dekade tersebut membentuk

Mahkamah Konstitusi seperti di Rusia, Polandia, Hongaria, Bulgaria, Ceko,

Slovakia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Macedonia, Lithuania, Georgia,

Armenia, dan Azerbaijan. Menurut Jimly Asshiddiqie, MK di negara-negara

demokrasi baru itu berhasil menempatkan diri sebagai pendatang baru yang

cukup produktif dan “menjanjikan perbaikan.”262 Seperti disimpulkan Jan Erick

Lane dan Ersson Svante, situasi di negara demokrasi baru itu terformat dalam

kata-kata “if a country wishes to introduce democracy, then the best

institutional devices it could employ in constitutional engineering are legal

institutions such asstrong legal [judicial or constitutional] review.”263

Gelombang demokratisasi sebagai penanda dinamika politik pada

tahun 1990-an memaksa juga negara-negara di kawasan Amerika Latin untuk

melakukan reformasi peradilan dan mendorong pelembagaan pengujian

konstitusional yang pada akhirnya menciptakan arus baru kekuasaan yang

menghormati hukum dan hak-hak asasi.264 Di negara Amerika Latin, adopsi

gaya pemisahan kekuasaan Amerika mengalami kegagalan karena “their

‘founding fathers’ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted this

system, not to guarantee personal freedom, but rather to establish a strong

executive power for the purposesof preventing the disintegration of their

newly independent states.265 Implementasi sistem tersebut di negara kawasan

Amerika Latin menunjukkan “the model of governance concentrated around

261 Herman Schwartz, op.cit., hlm. 29-30.262 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 40.263 Jan-Erik Lane dan Ersson Svante op.cit., hlm. 178.264 Diskusi mengenai judicial reform di negara kawasan Amerika Latin dapat dibaca

antara lain: William Rafflift dan Edgardo Buscaglia, op.cit., hlm. 59-71 dan Peter DeShazo danJuan Enrique Vagas, “loc.cit.

265 Rett R. Ludwikowski, “Latin American Hybrid Constitutionalism: The United StatesPresidentialism in the Civil Law Melting Pot”, Boston University International Law Journal, Vol.21, No.29, 2003, hlm. 51.

Page 150: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

the executive power.”266 Lagipula, semenjak masa penjajahan Portugis dan

Spanyol, “almost all Latin American constitutions are provisions that permit

both democracy and dictatorship.”267 Hal ini diperparah juga dengan

kenyataan bahwa “constitutions are not entrenched because political leaders

do not fear citizen mobilization when fundamental rules of the game are

violated.”268

Sekalipun di sejumlah negara pengujian konstitusional sudah diatur

dalam konstitusi pada abad ke-19 dan ke-20, mekanisme itu hanya akan

efektif apabila terjadi praksis yang memberikan independensi pengadilan di

hadapan pemerintah dan parlemen. Hingga awal abad ke-20, konstitusi di

kawasan ini gagal menghasilkan pengadilan yang independen. Praktik

demokrasi yang terhenti pada dekade 1960-an dan 1970-an menyebabkan

pengujian konstitusional menjadi tidak berfungsi. Hal ini disebabkan karena

pemerintah bebas untuk memilih mana diantara aturan-aturan dalam

konstitusi yang harus dihormati dan mana yang harus disingkirkan baik karena

watak diktatorial maupun karena pemerintahan dalam keadaan darurat, yang

menyebabkan isu-isu ketatanegaraan dianggap tidak relevan.

Pelembagaan pengujian yang populer di kawasan ini adalah

mengintegrasikan ke MA atau membentuk Dewan Konstitusi (Constitutional

Tribunal) secara khusus. Dalam hal diintegrasikan ke MA, maka ada yang

dilekatkan kepada fungsi peradilan dari badan ini maupun dibentuk special

chamber di lingkungan lembaga ini. Negara seperti Argentina (Konstitusi

1994), Brazil (Konstitusi 1994), Honduras (Konstitusi 1962), Meksiko

(Konstitusi 1995), Nikaragua (Konstitusi 1987), Panama (Konstitusi 1941), dan

Uruguay (Konstitusi 1967) merupakan contoh negara yang melembagakan CR

pada Mahkamah Agung. Sementara itu, Costa Rica (Konstitusi 1989), El

266 Ibid.267 Keith S. Rosenn, “The Success of Constitutionalism in the United States and Its

Failure in Latin America”, University of Miami Inter-American Law Review,Vol. 22, 1990, hlm. 33.268 Rett R. Ludwikowski, op.cit., hlm. 57.

Page 151: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Savador (Konstitusi 1983), Paraguay (Konstitusi 1992), dan Venezuela

(Konstitusi 2000) merupakan contoh negara yang membentuk special

chamber dalam lingkungan MA. Sedangkan negara yang melembagakan

pengujian dengan membentuk badan khusus adalah Bolivia (Konstitusi 1994),

Chile (Konstitusi 1990), Kolumbia (Konstitusi 1991), Ekuador (Konstitusi 1998),

Guetamala (Konstitusi 1985), dan Peru (Konstitusi 2001).

Pertumbuhan gelombang demokratisasi yang dicirikan antara lain

pelembagaan ide pengujian juga tidak luput di negara-negara kawasan Asia.

Kejatuhan rezim Ferdinand Marcos di Filipina (1986) diikuti dengan

demokratisasi di Korea Selatan (1987), Mongolia (1990), Taiwan dan Thailand

(1992), Kamboja (1993), Indonesia (1999), dan Timor Leste (2002). Wajah baru

demokratisasi di kawasan ini memberikan bahan untuk studi komparatif

politik dengan format baru.269 Kebanyakan studi tersebut sedkit

memperhatikan masalah penguatan secara politik dari pengadilan. Sekalipun

isu pengadilan menjadi bagian dari diskusi mengenai rule of law dan rule of

law sendiri merupakan salah satu konsentrasi utama dari transisi ke

demokrasi, sedikit studi yang melihat keterkaitan antara demokrasi dengan

peran pengadilan.270 Suatu pengecualian dari analisis ini adalah Singapura dan

Hong Kong. Kedua negara itu dikategorikan sebagai “never faced any credible

electoral” sehingga pembicaraan pengujian tidak dikaitkan dengan transisi ke

demokrasi. Institusi pengujian sendiri tumbuh seiring dengan tingkat

perkembangan ekonomi yang tinggi, minimalisasi korupsi, kepatuhan

terhadap tertib sipil, dan efisiensi pemerintahan. Oleh sebab itu, maka “the

269 “This development has inspired a new generation of comparative analyses ofinstitutions of democratic governance in the region.” Lihat: Aurel Croissant, Provisions, Practices,and Performances of Constitutional Review in Democrating East Asia, Paper to be Presented atIPSA-ECPR Joint Conference: Whatever Happened to North-South? Section: Transitional Justice,Reconciliation and the Quality of Democracies Panel: Constitutional Courts – Advocates ornotaries of democracy?, San Paulo, 19 Februari 2011, hlm. 2.

270 Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, dapat dilihat dalam: C. Sunstein, “Constitutionsand Democracy: An Epilogue”, dalam J. Elster dan R. Slagstad, 1993, (eds), Constitutionalism andDemocracy. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 327-356.

Page 152: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Singapore Supreme Court has consistently deferred to the Government, the

Hong Kong Court of Final Appeal has taken a relatively activist stance in

constitutional adjudication.”271 Oleh sebab itu:272

In Singapore constitutional rights were adopted as part ofthe symbolism expressing the city-state’s modernity andequality to the West, but then the Judicial Committee ofthe Privy Council and the early Supreme Court beganimporting actually liberal elements into their rulings.Nonetheless, in the past two decades constitutional judicialreview was turned into a regularly used instrument forgiving authoritative legal credibility to the government’scontroversial decisions. In Hong Kong constitutional judicialreview was introduced to express the colonialgovernment’s disapproval of China’s human rights record,yet it has since 1997 became a robust and activist check ongovernment authority.

Dari kasus Singapura dan Hong Kong itu layak disampaikan bahwa

pengujian “appears more important to democratic than to authoritarian

polities.”273 Terkait dengan pengujian, Filipina menggunakan model Amerika

di mana wewenang itu melekat pada MA, sementara model Prancis dianut di

Kamboja dan Timor Leste. Indonesia dan Mongolia secara praksis tak pernah

menikmati kebebasan pengadilan sampai terjadinya demokratisasi era 1990-

an.di Taiwan Konstitusi 1947 mengadopsi the Council of Grand Justices yang

mempunyai wewenang untuk menafsirkan Undang-Undang secara ekslusif,

sekalipun badan ini melekat kepada pemerintah. Di Korea Selatan, Dewan

Konstitusi menurut Konstitusi Repulik I (1948-1960), Republik IV (1972-1980),

dan Republik V (1980-1987), maupun MK menurut Konstitusi Republik II

(1960-1961) dan MA menurut Konstitusi Republik III (1963-1972) tunduk di

bawah kekuasaan Pemerintah. Sementara itu, Thailand, beberapa diantara 15

271 Eric I.P., “A Positive Theory of Constitutional Judicial Review: Evidence in Singaporeand Hongkong”, http://ssrn.com/abstract=1928867, diakses di Sukoharjo, 12 Oktober 2011, hlm.15.

272 Ibid., hlm. 65.273 Ibid., hlm. 66

Page 153: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

konstitusi yang dibentuk antara 1932-1991 mengatur MK yang berwenang

menentukan konstitusionalitas UU produk parlemen dan keputusan

pemerintah. Tetapi menurut Gisburg, “this power was not actively exercised

as the lack of a stable system of constitutional rule worked against the

emergence of an effective system of constitutional review.”

Seiring dengan terjadinya transis ke demokrasi, terdapat perubahan

adopsi mekanisme pengujian konstitusional. Korea Selatan pada tahun 1988

menganut MK yang dekat dengan model Jerman.274 Sementara dalam

reformasi konstitusi (1990-1992), Mongolia mengadopsi Dewan Konstitusi

(Tsets) yang mempunyai wewenang terbatas. Untuk pertama kalinya dalam

Konstitusi 1997 Thailand membentuk MK yang independen, akan tetapi

dengan kudeta militer 2006, diberlakukan Konstitusi sementara yang

mengatur mengenai Dewan Konstitusi, dan dengan telah diberlakukannya

Konstitusi 2007, diatur MK dengan kewenangan yang diperluas hingga

menangani constitutional complaint dan mengurangi pengaruh Senat dalam

rekrutmen hakim.

Sejak perubahan politik dari partai tunggal ke multipartai, pada

tahun 1980 Taiwan mengadopsi the Council of Grand Justices of the Judicial

Yuan yang memperkuat kelembagaan sejenis pada Konstitusi 1947.275 Dalam

perubahan Konstitusi 1992, wewenang the Council of Grand Justices of the

Judicial Yuan dperluas hingga menangani masalah pemilihan umum dan

reformasi konstitusi serta konstitusionalitas partai politik. Dengan

keaktifannya lembaga ini sejak 1995 menyatakan berwenang menangani

masalah constitutional petition dan sejak 1997 berhasil merombak masa

jabatan hakim konstitusi menjadi 8 tahun dan setengahnya diganti tiap 4

274 Herbert Han-pao Ma, The Rule of Law in a Contemporary Confucian Society: AReinterpretation, presentation to Harvard Law School’s East Asian Legal Studies Program (Spring1998).

275 G. Healy, “Judicial Activism in the New Constitutional Court of Korea”, ColumbiaJournal of Asian Law, Vol. 14, 2000, hlm. 213.

Page 154: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

tahun dengan proses yang dimulai pada 2005. Di Indonesia, dengan

memperlajari kasus pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid (2001),

dibutuhkan lembaga yang merupakan forum hukum dibandingkan mekanisme

politik, sehingga pada tahun 2003 dibentuklah menurut UU No. 24 Tahun

2003 lembaga Mahkamah Konstitusi.276

Sementara itu, di Afrika, Perkembangan pengujian sudah

melampaui warisan Marbury (the legacy of Marbury) karena mekanisme

tersebut telah mencapai “taking the constitution away from the courts.”277

Salah kawasan yang dengan cepat mengadopsi pengujian tersebut adalah

kawasan Sub-Sahara Afrika. Sebelumnya, sistem politik di negara-negara

kawasan ini umumnya ditandai dengan mekanisme yang antikompetitif,

dikuasai oleh militer, partai tunggal, dan presiden yang berkuasa dalam jangka

lama (“life president”). Situasi itu, yang merupakan warisan pasca kolonial278,

kemudian berubah dengan dilaksanakannya pemilihan umum, pembatasan

kekuasaan presiden, dan pembentukan lembaga perwakilan rakyat, seperti

terjadi di Nigeria, Ghana, Kenya, Senegal, Mozambique, Zambia, Tanzania,

Malawi, Benin, Uganda, dan Mali. Tak kalah penting, dalam pembentukan

276 Jimly Asshiddiqie, 2009, “Creating a Constitutional Court for a New Democracy”,paper presented at Melbourne Law School, March 11, 2009, The University of Melbourne, hlm.10.

277 Sanford Levinson, “Why I Do Not Teach Marbury (Except to Eastern Europeans) andWhy You Shouldn’t Either”, Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003, hlm. 553. Baca juga: MichaelJ. Klarman, “How Great Were the “Great” Marshall Court Decisions?, Virginia Law Reviwe, Vol.87, 2001, hlm. 1111-1113.

278 Sistem ketatanegaraan, termasuk isu yudisial dan Constitutional Review secarapraksis sebenarnya bukanlah agenda baru dalam konteks post-colonial di Afrika. Pada umumnya,yang terjadi adalah penciptaan negara merdeka baru yang kemudian mereka melaksanakanbangun kenegaraan yang sebelumnya telah ditata selama kolonisasi. Pergantian konstitusiseketika menyebabkan terbentuknya rezim pemerintahan baru, suatu gambaran pula ketikajunta militer berkuasa, mereka dengan segera membuat restorasi konstitusi guna memberikancap legitimasi atas kekuasaan politiknya, yang kadang-kadang rezim seperti ini membuatkonstitusi yang juga diberi label konstitusi demokratis. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: VictorT. Le Vine, “The Fall and Rise of Constitutionalism in West Africa”, Journal of Modern AfricaStudies, Vol. 35, 1997, hlm. 183-87 dan William Dale, “The Making and Remaking ofCommonwealth Constitutions”, International Law and Comperative Lagal Quartely, Vol.42,1993, hlm. 67.

Page 155: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

gelombang baru demokrasi itu, terjadi reformasi konstitusi279, yang salah satu

isu yang menonjol adalah pemberdayaan badan pengadilan. Pemberdayaan

itu memberikan atribut konkrit kepada pengadilan untuk menafsirkan

konstitusi, menguji undang-undang baru, dan berbagai jaminan konstitusional

lain.280

Diantara negara di kawasan ini yang paling populer adalah Afrika

Selatan. Selepas penghapusan apharteid politic, Afrika Selatan

memberlakukan Konstitusi Sementara (1993) yang memuat prinsip-prinsip “a

non-racial, multiparty democracy, based on respect for universal rights.”281

Setelah terbentuknya pemerintahan sipil yang mendorong terpilihnya

Presiden Nelson Mandela dan diberlakukannya Konstitusi 1996, mekanisme

pengujian dilembagakan ke dalam Mahkamah Konstitusi, yang meniru model

Jerman dengan sedikit variasi.282 Mengenai yurisdiksi Mahkamah ini, Karl E.

Klare menulis:

This institutionalfeature is significant for theargument of this essay because it means that theCCSA, unlike courts of mixed jurisdiction, is not ableto build its legal legitimacy in nonconstitutionalmatters – even when deciding routine matters, theCCSA is declaring constitutional law that may haveapplication in later, more politically controversial

279 Dalam literature, perubahan politik yang disertai dengan reformasi konstitusimerupakan suatu “ a constitutional moment”, yaitu suatu istilah untuk “describe episodic pointsin a country’s constitutional history when previously settled understandings as to the nature andstructure of the constitutional order are repudiated without recourse to the formal amendmentprocedure and replaced by new understandings that are widely accepted as legitimate. “ Lihat H.Kawshi Prempeh, op.cit., hlm. 6.

280 Christopher S. Wren, “Katutura Journal: For Namibians, After the Battles, a CivicsClass”, N.Y.TIMES, 19 Maret 1991, hlm. A4.

281 Stephen Ellmann, “The New South African Constitution and Ethnic Division”,Columbia Human Rights Law Review, Vol. 26, 1994, hlm. 44.

282 Variasi tersebut adalah bahwa lingkungan pengadilan di bawah Mahkamah Agungmempunyai wewenang terbatas dalam melakukan judicial review, yang putusannya dapatdikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat: Lech Garlicki, “Constitutional Courts versus SupremeCourts”, International Law Journal on Constituional Law, Vol. 44, 2007, hlm. 50-54. Baca jugaPasal 169-172 Konstitusi Afrika Selatan (1996).

Page 156: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

cases. If the theoretical reflections in the previouspart are sound, this means that the CCSA must bealert in every case it decides to the potential impactof its decision on its institutional security.283

Pelembagaan seperti di Afrika Selatan juga dilaksanakan di

negara Rwanda dan Togo, sementara Nigeria, Seychelles, Sierra

Leone, dan Tanzania mengadoposi model Amerika Serikat.

Sedangkan Senegal menggunakan model Prancis dengan membentuk

Dewan Konstitusi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa “judicial

review” dalam awal mula tradisi di Amerika berangkat dari inovasi

konstitusional MA tanpa terlebih dahulu ada pengaturan dalam

konstitusi. Hal tersebut mengkonfirmasi sebagai “judicialization of

politics” yang berangkat dari relasi horizontal antara Presiden dan

Congress. Kemudian, dalam masa-masa selanjutnya, pengujian dalam

demokrasi di Eropa (Barat) yang tumbuh pada masa pasca Perang

Dunia II, penerimaan gagasannya berangkat dari asumsi bahwa para

pembentuk UU (legislature) dapat bertindak keliru dan oleh sebab

itu, pengadilan dianggap sebagai institusi yang tepat untuk

“merapikan” kembali pembentukan legislasi. Dengan demikian,

menjadi hal yang wajar, jika gagasan pengujiaan tumbuh berkesuaian

dengan anutan sistem parlementer. Pada perkembangan berikutnya,

gagasan pengujian diterima seiring dengan demokratisasi yang

mengadopsi kelembagaan khusus pengadilan konstitusi dengan

penyesuaian seperlunya. Dalam tahap ini, mekanisme pengujian

telah memberikan sumbangan yang penting bagi konsolidasi

demokrasi.

283 Karl E. Klare,”Legal Culture and Transformative Constitutionalism”, African Journalof Human Rights, Vol. 14, 1998, hlm. 146.

Page 157: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

F. Penerimaan di Indonesia

Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian UU terhadap UUD

berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000

tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Alasan MA mempunyai wewenang menguji hanya terhadap peraturan

perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum

perubahan UUD 1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran

bahwa UU sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan

kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji/diganti/diubah oleh yang

berwenang membuatnya, yaitu MPR berdasarkan praktik ketatanegaraan

yang pernah berlaku.284

Gagasan pengujian konstitusional tidak dapat diakomodasi pada

pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman dalam perjuangan peneguhan

konstitusionalisme di awal Orde Baru. Sudah sejak sidang BPUPKI gagasan itu

disampaikan285 dan kemudian dalam rapat Konstituante, IKAHI mengusulkan

agar “kompetensi konstitusional untuk memutuskan berlawanan-tidaknya

sesesuatu dengan undang-undang dasar diserahkan pada badan peradilan

yang harus berdiri bebas-merdeka dan terpisah benar-benar dari segala

kekuasaan negara lainnya.”286 Bahkan anggota Konstituante Hermanu

Kartodirejo, di samping mendukung rekomendasi itu menjadi bagian dari

UUD, juga sudah memikirkan kelembagaan pengujian itu yaitu dapat diberikan

kepada parlemen, MA, atau pengadilan konstitusi yang baru.287 Anggota

284 Padmo Wahjono, op.cit., hlm. 15. Baca juga: Ketetapan MPRS RI NomorXIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di luar ProdukMajelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.

285 Selaku Ketua Panitia Kecil, Soepomo menolak usul Yamin yang menghendakidicantumkannya secara tegas tentang kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD dalamrancangan konstitusi. Lihat: Joeniarto, 1996, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, BumiAksara, hlm. 25.

286 Adnan Buyung Nasution, op.cit., hlm. 237.287 Ibid.

Page 158: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Konstituante lainnya, Renda Saroengalo mengeluh bahwa jika hanya dalil

bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat dan pengadilan tidak

mempunyai wewenang pengujian, maka hanya Parlemen saja yang bisa

menentukan isi perundang-undangan.288 Lebih lanjut Astrawinata

memaparkan kecurigaannya jika UU tidak dapat diuji, maka andaikata UU

tersebut bertentangan dengan UUD maka akan tetap berlaku.289 Siauw Giok

Tjhan secara progresif bahkan mengatakan bahwa di samping harus ada

kelembagaan baru untuk pengujian, ada baiknya lembaga tersebut juga

kompeten untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang melanggar

hak asasi dan memeriksa pengaduan soal HAM.290

Terbawa karena sifat negara federal, pada saat berlakunya

Konstitusi RIS (1949), pengadilan mempunyai kewenangan pengujian

konstitusional. Suatu peraturan dari daerah bagian tidak boleh bertentangan

dengan Konstitusi. Kepada MA dan pengadilan-pengadilan lain diberi

wewenang menyatakan dalam putusannya, bahwa suatu ketentuan dalam

peraturan ketatanegaraan atau undang-undang daerah bagian adalah “tak

menurut Konstitusi” (ongrondwettingverklaring).291

Pada tahun 1960, hakim agung Tirtaatmadja mengejutkan publik

dengan mengusulkan pelembagaan pengujian konstitusional di MA.292 Bahkan

pada tahun 1967, saat bertugas di PT Jakarta, Asikin Kusumah Atmadja

membuat putusan yang mengandung substansi pengujian konstitusional,

288 Ibid.289 Ibid., hlm. 238.290 Ibid.291 Pasal 31-33 UU MA 1948 dan Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS.292 Menurut Tirtaatmadja, ketentuan UUD 1945 sama sekali tidak mengatur larangan

MA melakukan hal tersebut. Bahkan dalam konstitusi sebelumnya, Konstitusi RIS (1949)pelembagaan CR itu telah dikenal. Gagasan tersebut merupakan penegakan prinsip konstitusi,sekalipun secara tegas dalam pasal-pasal UUD 1945 sama sekali tidak dikenal. Lihat: Pompe,op.cit., hlm. 89.

Page 159: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

sebuah putusan yang oleh pers dianggap revolusioner.293 Putusan ini

dibenarkan oleh MA di bawah Soebekti.294 Pada tahun 1969, MA

membenarkan putusan PT Jakarta yang menyingkirkan ketentuan UU rasial

warisan kolonial.295 Bahkan, pada akhir tahun 1971, MA membatalkan

sejumlah ketentuan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD.296

Pada saat gagasan semacam itu menyeruak di tengah rintisan

Orde Baru kemudian berkembang menjadi perdebatan populer. Seminar

LPHN di Semarang 27-30 Desember 1968 secara sistematis

mendokumentasikan aneka pandangan yang pada intinya mendukung

pelembagaan pengujian konstitusional tersebut.297 Dalam pengertian

terbatas, pengujian pernah dikenal dalam Konstiusi RIS (1949).298 Dalam

perkembanannya, MPRS merespon baik gagasan pengujian konstitusional

293 Putusan No. 25/1967 tanggal 15 Maret 1967. Menurut pertimbangan Asikin,Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 mengizinkan aturan-aturan yang sudah ada sebelum UUD1945 lahir dianggap berlaku sebelum ada pergantian. Dalam hal hakim menghadapi konflik UUterhadap UUD 1945 yang diterapkan dalam perkara yang sedang diperiksa, maka otomatis hakimharus mempertimbangkan kesesuain UU ini terhadap UUD 1945. Karena UUD 1945 sama sekalitidak memerintahkan larangan pengujian UU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 124 ayat (2)Konstitusi Belanda dan Pasal 92 ayat (2) UUD Sementara, maka harus ditafsirkan UUD 1945mengenal gagasan untuk bahwa hakim dapat melakukan CR. Lihat: Soedargo Gautama dan R.N.Hornick, 1983, An Introduction of Indonesian Law, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 189.

294 Lihat: Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung,Penerbit Alumni, hlm. 464.

295 Soedargo Gautama dan R.N. Hornick, op.cit., hlm. 189-190.296 Ibid.297 Pandangan itu mencakup 5 hal alternatif. Pertama, pengujian dapat dilakukan dan

subyeknya adalah MA dengan obyek 3 alternatif yaitu (i) Tap MPRS, UU, dan peraturan di bawahUU; (ii) UU dan peraturan di bawah UU; dan (iii) peraturan di bawah UU. Kedua, pengujianperaturan hanya dapat dilakukan oleh peraturan yang harus diatur dalam UUD atau setidak-tidaknya dalam Ketetapan MPR. Ketiga, pengujian hanya dapat dilakukan oleh MPR. Keempat,pengujian peraturan perundang-undangan merupakan wewenang hakim dengan mengesampingUUmelalui suatu perkara yang dihadapinya. Kelima, khusus untuk Ketetapan MPR, MA diberiwewenang untuk menilai dan menyatakan pendapatnya apakah Ketetapan MPR tersebutbertentangan dengan UUD. Lihat: Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, op.cit., hlm.51.

298 Pada Pasal 130 ayat (2) dan Pasal 139 ayat (2) secara tegas UU Federal dan UUDarurat tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi Pasal 158 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)mengizinkan MA untuk memeriksa UU Negara Bagian sehubungan konsistensinya denganKonstitusi RIS. Jadi, yang menjadi obyek CR hanyalah UU yang ditetapkan oleh Negara Bagian.

Page 160: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

tersebut dan bahkan menindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Ad Hoc

untuk mempersiapkan peraturan-peraturan dasar bagi penyelenggaraan

pengujian tersebut. Sayangnya, dalam kerangka UU Kekuasaan Kehakiman,

Menteri Oemar Seno Adji menolak usul pemberian wewenang pengujian

terhadap MA.299 Akan tetapi kemudian dicapai kesepakatan kompromistis

dengan pemberian wewenang kepada MA untuk “menyatakan tidak sah”

peraturan perundang-undangan di bawah UU sebagai bagian dari UU

Kekuasaan Kehakiman.300 Ketentuan pengujian ini kemudian ditindaklanjuti—

hampir-hampir tanpa perubahan—baik melalui Ketetapan MPR301, UU302,

maupun peraturan internal MA303. Akan tetapi, seperti dicatat oleh Moh.

299 Menurut Oemar Seno Adji, pemberian wewenang pengujian kepada MA merupakanpersoalan politik dan lagipula hal itu haruslah diberikan kepada lembaga yang memang dikendakioleh UUD 1945 dan sekurang-kurangnya diatur oleh Ketetapan MPR. Andaikata gagasan iniditerima, maka MA akan menempati posisi di atas Presiden dan DPR. Dalam civil law system,kata Oemar, MA sudah terlalu berat fungsinya dalam rangka mengendalikan peradilan di tingkatbawah sehingga gagasan pengujian itu menjadi tidak berguna. Lihat: Oemar Seno Adji, PeradilanBebas Negara Hukum, op.cit., hlm. 170-171.

300 Rumusan kompromistis itu termaktub dalam UU Kekuasaan Kehakiman 1970 dalamPasal 26 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 26 ayat (1): Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakantidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Pasal 26 ayat (2) menyatakan Putusan tentang pernyataan tidak sah peraturan perundang-undangan tersebut diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

301 Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR No. III/MPR/1978: Mahkamah Agung mempunyaiwewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang. Jika diperhatikan, ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 1970menggunakan klausula “menyatakan tidak sah”, sementara Ketetapan MPR No. III/MPR/1978menggunakan klausula “mempunyai wewenang menguji secara materiil.”

302 Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 14/1985 tentang MA. Pasal 31 ayat (2):Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 31 ayat (3): Putusan tentang pernyataantidak sah peraturan perundang-undangan tersebut diambil berhubung dengan pemeriksaandalam tingkat kasasi.

303 Peraturan MA No. 1/1993 tentang Hak Uji Materiil dan Peraturan MA No. 1/1999tentang Hak Uji Materiil.

Page 161: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Mahfud M.D. formulasi rumusan pengujian dalam UU Kekuasaan Kehakiman

itu tidak dapat dioperasionalkan.304

Pelembagaan pengujian konstitusional baru terlaksana sesudah

dilaksanakan Perubahan UUD 1945. Dalam konsttiusi diatur bahwa kekuasan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.305

Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah MA dan badan peradilan

yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah MK.306 Dengan demikian,

kedudukan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di

samping MA. MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan

hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK

sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan

kehakiman lain, yaitu MA307, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain

304 Menurut Mahfud, tidak operasionalnya ketentuan pengujian tersebut karena 2 hak.Pertama, prosedurnya tidak mendapat pintu masuk. Sebab pemeriksaan kasasi itu artinyapemeriksaan terakhir setelah ada putusan pengadilan di bawah (PN dan PT). Tentu MA tidakdapat melakukan pemeriksaan pengujian sebelum ada putusan pengujian di bawahnya;sebaliknya pengadilan tidak akan melakukan pengujian karena pengujian itu hanya menjadikompetensi MA. Kedua, subyek penggugat tidak representatif. Ketentuan Ketetapan MPR No.III/MPR/1978, UU No. 14/1970, UU No. 14/1985, dan Peraturan MA No. 1/1993 tidak menunjuksuatu badan hukum publik tertentu untuk melakukan gugatan atau permohonan. Ini menjadimasalah di dalam hukum sebab yang dipersoalkan adalah peraturan perundang-undanganyangberlaku umum dalam arti mengikat banyak orang. Lihat: Moh. Mahfud M.D., PergulatanPolitik dan Hukum di Indonesia, op.cit., hlm. 303-304.

305 UUD 1945 Pasal 24 ayat (1).306 UUD 1945 Pasal 24 ayat (2).307 MK dan MA sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman

(judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah(executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanyastruktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah danberbeda sama sekali satu sama lain.Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyaistruktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yangstrukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkunganperadilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkunganperadilan agama, dan lingkungan peradilan militer.

Page 162: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip

supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan.308

Melihat kewenangan dan kewajiban tersebut, tugas pokok dari MK

adalah untuk menegakkan konstitusi dalam kerangka negara hukum. MK

adalah pengawal sekaligus penafsir konstitusi (the guardian and interpreter of

constitution).309 Ini merupakan ide dasar dari pembentukan MK, yang

308 Menurut ketentuan UUD 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalamstruktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 buah organ negara yang secaralangsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organtersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) MajelisPermusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii)Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilanlembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannyadalam UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c)Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya,tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang,yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihanumum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupunKomisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umummerupakan lembagalembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang. Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negaraberdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenanganorgan negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power),dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dariatau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalahpembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkancontoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalahKomisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan AnalisaTraksaksi Keuangan (PPATK). Lihat: Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalamStruktur Ketatanegaraan Indonesia”, makalah Workshop tentang Koordinasi, Konsultasi, EvaluasiImplementasi MOU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sertaPenyelenggaraan Pemilukada Aceh 2011 yang Aman, Tertib, dan Damai, di Jakarta, Kamis, 8Desember, 2011, hlm. 1.

309 Perkara-perkara yang diadili di MK pada umumnya menyangkut persoalanpersoalankelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luasataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum danabstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidakadilan secara individuil dankonkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara“impeachment‟ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, untuktujuan memudahkan pembedaan, MA pada hakikatnya adalah “court of justice”, sedangkanMahkamah Konstitusi adalah “court of law.” Kedua istilah ini seringkali dikaitkan denganpembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantif, seperti dalam istilah“court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”.Namun disini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan pembedaan antara hakikatpengertian peradilan oleh MA dan oleh MK. LIhat: Ibid.

Page 163: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

setidaknya dapat terlihat dari kewenangan untuk menguji konstitusionalitas

undang-undang dan memutus sengketa kewenangan konstitusional

antarlembaga. Umumnya MK dibanyak negara, diberikan pula kewenangan

seperti, constitutional complaint, constitutional question, interpreter of

constitution. Menurut Harjono, dapat dikatakan kewenangan uji

konstitusionalitas tersebut merupakan kewenangan yang utama, sedangkan

kewenangan lainnya bersifat asesoris atau pelengkap.310 Oleh karena itu, MK

disebut juga sebagai Peradilan Konstitusi (constitutional judiciary) yaitu organ

yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan persengketaan hukum (legal

dispute) berdasarkan konstitusi.311 Peradilan ini dapat memfasilitasi setiap

individu atau kelompok masyarakat untuk mempertanyakan kelayakan suatu

kebijakan negara (eksekutif dan legislatif), yang biasanya dituangkan dalam

bentuk peraturan perundang-undangan. Secara konseptual peradilan

konstitusi ini mengandung 2 fungsi strategis yaitu; (i) untuk melindungi hak-

hak fundamental masyarakat, dan (ii) untuk mengawasi aktifitas legeslatif

pemerintahan. Apabila hal itu dilaksanakan secara berkesinambungan maka

akan mencapai titik kulminasi yang disebut sebagai keadilan konstitusional

(constitutional justice).312

Dengan demikian, MK merupakan satu-satunya lembaga yang

paling berwenang untuk menjaga dan menegakkan konstitusi. MK adalah

mekanisme formal kenegaraan yang dibentuk untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konstitusi. MK dibentuk dan

diadakan lewat konstitusi, dan dasar bertindak atau mengambil keputusan

adalah konstitusi. Namun demikian bukan berarti MK lebih tinggi dari

lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk lebih tinggi dari MA. Pendekatan

310 Harjono, “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam SistemKetatanegaraan Indonesia” dalam Firmansyah Arifin, et.al.,(Editors), 2004, Hukum dan KuasaKonstitusi, Jakarta, Penerbit KRHN, hlm. 25-27.

311 Achmad Syahrizal, op.cit., hlm. 75.312 Ibid., hlm. 82-85.

Page 164: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dan pandangan yang bersifat struktural-hierarkhis seperti itu, selayaknya

ditinggalkan dalam membaca sistem ketatanegaraan pascaamandemen UUD

1945. Jadi, posisi atau kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

perlu dilihat berdasarkan fungsi dan kewenangannya memperkuat cheks and

balances di dalam kerangka negara hukum.

Masalahnya, Bab II Pasal 2 UUMK tentang Susunan dan

Kedudukan, hanya menegaskan bahwa, ”MK merupakan salah satu lembaga

negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.”

Ketentuan ini sedikit berbeda dengan pengaturan yang ada dalam UU

Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 UU KK menentukan bahwa, “Kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Selanjutnya dinyatakan

dalam Pasal 3 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa, MK sebagai peradilan

negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, nampak ada ketidaksinkronan

antara ketentuan dalam UU MK dengan UU KK. Lebih dari itu, tidak jelas apa

yang dimaksud dengan ‘penegakan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila’, dan bagaimana hal itu harus dilaksanakan oleh MK.

Kekuasaan menjalankan peradilan yang dimiliki oleh MK sebagai

lembaga dijalankan oleh pejabat hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (3) UUD

1945 menyatakan bahwa MK memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang

ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, 3

orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden.313 Dalam mengajukan calon hakim

313 Lihat Pasal 18 ayat (1) UU MK. Meskipun dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan“cukup jelas”, tetapi sebenarnya pembagian porsi kewenangan untuk mengajukan calon hakimkonstitusi dari tiga lembaga ini dimaksudkan untuk menjamin agar dalam menjalankan tugaskonstitusionalnya, para hakim konstitusi akan bersikap imparsial dan independent. Apalagi, salahsatu kewenangan MK adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, sehinggamengharuskan para hakim konstitusi untuk secara moral dan hukum bersikap netral dan tidak

Page 165: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

konstitusi, MA, DPR, dan Presiden harus memperhatikan ketentuan Pasal 19

UU MK 2003 yang menyatakan bahwa pencalonan hakim konstitusi

dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Penjelasan ketentuan ini

menyatakan bahwa calon hakim konstitusi harus dipublikasikan di media

massa baik cetak maupun elektronik agar masyarakat mempunyai

kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim konstitusi yang

bersangkutan. Tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi

dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel, yang dapat diatur oleh masing-

masing lembaga.314

Tugas konstitusional MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD

1945, yaitu (i) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD; (ii) memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (iii)

memutus pembubaran partai politik; dan (iv) memutus perselisihan tentang

hasil pemilu. Satu lagi kewajiban yang diemban oleh MK sebagaimana

tercantum dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 adalah terkait dengan

pemakzulan (impeachment) yakni memberikan putusan atas pendapat DPR

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau

tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kemudian, dengan ditetapkannya

UU Penyelenggara Pemilu yang memastikan pemilukada masuk ke dalam

rezim pemilu315 maka MK memiliki kompetensi terhadap obyek perselisihan

berpihak kepada salah satu lembaga negara yang bersengketa. Di samping itu,dejaratindependensi hakim konstitusi juga diharapkan dapat lebih terjamin karena yangmenentukan pengangkatannya sebagai hakim bukan hanya satu lembaga, seperti apabilapengangkatan mereka hanya ditentukan oleh Presiden.

314 UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 20.315 Sampai dengan diundangkannya UU Pemerintahan Daerah pada tahun 2004,

pemilukada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, namun tidak dalam kualifikasi sebagai

Page 166: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pemilukada.316 Sekalipun demikian, perselisihan pemilukada ditangani oleh

MA317, sampai dengan diubahnya ketentuan UU Pemerintahan Daerah yang

memerintahkan penanganannya kepada MK.318

Pelaksanaan wewenang MK, yang merupakan bentuk judicial

activism319, dengan melakukan pengujian hukum, sesungguhnya menjaga

konstitusionalitas UU, yang dalam perspektif tertentu sering menjadi

“momok” (scourage) konstitusionalisme.320 Tidak berlebihan bahwa ada

sementara anggapan “A burgeoning consensus on all sides of the political

spectrum seems to be that judicial activism is bad.”321 Sebagai suatu konsep

konstitusional, “is used so often and so imprecisely, its significance

becomes questionable.”322

rezim pemilu karena menjadi domain pemerintahan daerah. Pada tahap berikutnya, MK mengujiUU Pemerintahan Daerah dan di masa depan pemilukada dilaksanakan secara langsung.

316 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Penyelenggara Pemilu. Dengan regulasi baru ini, MKberwenang untuk mengadili perselisihan pemilukada yang mempengaruhi: (a) penentuanpasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; dan (b) terpilihnya pasangancalon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Inilah yang lazim dikenal sebagai “obyekperselisihan oemilukada.”

317 Lihat ketentuan Pasal 108 UU Pemerintahan Daerah.318 Lihat ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Pemerintahan

Daerah. Pasal 236C mengatakan, “penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lambat 18 bulansejak Undang-Undang ini diundangkan.” Karena UU yang bersangkutan diundangkan pada 24April 2008, maka paling lambat penanganan oleh MK pada 24 Oktober 2009. Faktanya pengalihanitu terjadi pada Rabu, 29 Oktober 2008

319 The term “judicial activism” refers to a family of views concerning the natureof constitutional interpretation and the institutional role of the Court. Lihat William P. Marshall,“Conservatives and the Seven Sins of Judicial Activism”, Colorado Law Review, Vol. 73, 2002,hlm.1217-1220.

320 Lino Gralia, “ Rule of Law: Our Constitution Faces Death by ‘Due Process,’ WallStreet Journal, 24 Mei 2005, hlm. A12.

321 Bruce Hausknecht, “Focus on the Family’s Issue Analysis” The Law & the Courts”,Q & A - Judicial Activism, http://www.citizenlink.org/FOSI/Courts/A000001374.cfm, diakses 26Maret 2011.

322 Robert Justin Lipkin, “We Are Judicial Acitivist Now”, University of Cincinati LawReview, Vol. 77, 2008, hlm. 186.

Page 167: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Di dalam praktik, putusan-putusan MK telah memberikan warna

sendiri pada ketatanegaraan Indonesia. Khususnya dalam rangka

melaksanakan kewenangan pengujian konstitusional—yang antara lain

berpengaruh kepada pemilu dan pemilukada, baik langsung maupun tidak

langsung, MK telah memberikan warna baru bagi perkembangan hukum dan

sistem hukum di Indonesia. Melalui putusan-putusan MK untuk pengujian

konstitusional, pengaruh tersebut mencakup hukum konstitusi dan

menjangkau hampir semua lapangan hukum yaitu dalam bidang politik,

hukum perekonomian, HAM, pelaksanaan pengujian konstitusional oleh MK

telah menghasilkan putusan-putusan yang penting dan memberikan khasanah

baru.

Secara akademik, banyak persoalan yang dapat ditelusuri atas

putusan-putusan pengujian konstitusional tersebut. Ada putusan yang dinilai

melampaui batas kewenangan MK dan masuk ke ranah legislatif, padahal

putusannya bersifat final dan mengikat.323 Selain itu, seperti telah disinggung

di atas, pengaturan UUD 1945 tentang pengujian konstitusional telah sedikit

merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan konflik

peraturan dan konflik orang atau lembaga.324 Selanjutnya, terdapat putusan

MK yang bersifat ultra petita (melampaui apa yang dimohonkan)325 seperti (ii)

323 Misalnya Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yang antara lain mengatakanbahwa UU Tindak Pidana Korupsi 2002 tidak mempunyai kkeuatan hukum mengikat dan mulaiefektif 3 tahun ke depan sejak putusan MK dibacakan. Padahal, ketentuan Pasal 47 UU MK 2003mengatakan bahwa putusan berlaku sejak selesai dibacakan di persidangan.

324 Misalnya Putusan No. 005/PUU-IV/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim MK dariobyek kewenangan pengawasan oleh KY.

325 Penelitian ELSAM menilai bahwa putusan MK yang melebihi apa yang dimintaPemohon (ultra petita) tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap UU MK dan asaskardinal dalam hukum acara. Pertama, pelanggaran serius terhadap UU MK terjadi karena tidakada peraturan atau ketentuan dalam UU MK yang membolehkan MK memutuskan melebihi apayang dimohonkan. UU MK hanya mengatur mengenai prosedur pembuatan putusan dan formatputusan. Sama sekali tidak mengatur mengenai kewenangan ultra petita. Kedua, pelanggaranserius terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asasyang berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court todeal with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in theirfinal submissions, asked it to adjudicate dan “to ensure that the Court does not exceed the

Page 168: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

putusan pengujian UU Ketenagalistrikan326; (ii) putusan pengujian UU KKR327;

dan (iii) putusan pengujian UU BHP328 yang mengarah kepada intervensi ke

dalam bidang legislasi. Ada juga putusan yang dianggap melanggar asas nemo

judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut diri sendiri),

serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan

kepada pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang lain,

padahal mandat dari UUD 1945 adalah pengujian konstitusionalitas UU

terhadap konstitusi. Hal yang perlu mendapatkan perhatian selanjutnya

adalah masalah pelaksanaan putusan MK. Sebagai suatu kekuasaan yudisial,

putusan pengadilan merupakan produk kenegaraan yang mengikat329 antara

lain kemampuannya menciptakan atau menetapkan keadaan hukum baru.330

jurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnyaMahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case” pelanggaranserius terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asasyang berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court todeal with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in theirfinal submissions, asked it to adjudicate28 dan “to ensure that the Court does not exceed thejurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnyaMahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case.” Pasal 45 s/d49. Bandingkan juga: Bagian Menimbang huruf c Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasidan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lihat juga Nancy A. Combs, Daryl A.Mundis, Ucheora O. Onwuamaegbu, Mark B. Rees, and Jacqueline Weisman, “InternationalCourts and Tribunals”, http://www.abanet.org, diakses 27 April 2012.

326 Putusan No. 001-021-022.327 Putusan No. 006/PUU-IV/2006.328 Putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009.329 Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.330 Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan Mahkamah

Konstitusi memiliki sifat declaratoir (menyatakan apa yang menjadi hukum), condemnatoir(menghukum tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi) dan constitutive(menciptakan suatu keadaan hukum baru). Lihat: Maruarar Siahaan, Hukum Acara Pengujian…,op.cit., hlm. 240-242.

Sejak awal memang didesain bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujianundang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusimeniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator.Lihat: A. Fickar Hadjar, dkk. 2003. Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undangMahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan, hlm. 34.

Page 169: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Oleh karena itu, MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai

lembaga yang super body, karena dengan berlindung di dalam ketentuan UUD

bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini ada kalanya

membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan

konstitusionalnya. Dengan melihat kecenderungan tersebut, muncul gagasan

agar ada Perubahan UUD 1945 dan/atau amandemen UU MK yang dapat

membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan

bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan

masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudisial.331

Pelaksanaan pengujian oleh MK sangat menarik untuk dikaji

terutama dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia. Makna penting

format transisi demokrasi dalam memahami kinerja MK oleh karena secara

empirik Indonesia mengalami transisi sistemtik (systemtic transition).332

Transisi semacam ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan

catatan sejarah Indonesia terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu

historic discontinuity. Pada satu sisi, kelembagaan legislasi yang sejak

Perubahan UUD 1945 dialihkan ke DPR333 menampakkan kesan tidak diikuti

331 Walaupun sebenarnya kecenderungan praktik global menunjukkan bahwa MKdalam menjalankan fungsinya kadang-kadang membatasi Pemerintah dan penegak hukum.Dikatakan oleh seorang penulis bahwa: “The path to the constitutional court to determine theissue of legality is frequently confined to government and law makers. For example, in the case ofthe German Federal Constitutional Court the issue can be referred for resolution by the Federalgovernment, the Land government or by a third of Bundestag members. There are manyvariations granting a right of referral to PM, prosecutor general, ombudsman, president of thehigh council of local authorities (Mali), president of the high broadcasting authority (Benin), orvarying proportions of member of the legislature.” Lihat: Andrew Harding, Peter Leyland,danTania Groppi (Editors), “Constitutional Courts: Forms, Functions and Practice in ComparativePerspective”, Journal of Comparative Law, Vol. 3, No. 2, 2010, hlm. 15.

332 Terminologi systemic transition untuk Indonesia, diperkenalkan oleh Mishra yangmenjelaskan proses transisi politik dan ekonomi yang terjadi serta bagaimana seharusnya prosestersebut disikapi, belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih dahulu mengalami transisiserupa. Lihat dalam: Satish Mishra, “Systemic Transition in Indonesia: Implications for InvestorConfidence and Sustained Economic Recovery”, UNSFIR Working Paper 00/06, Jakarta, 2000.

333 Ketentuan Perubahan UUD 1945 yang dianggap menciptakan pergeseran kekuasaanlegislatif itu adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang awalnya berbunyi, “Presiden memegangkekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” yang diubah menjadi,“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.” Lalu, ketentuan Pasal 20

Page 170: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dengan perencanaan dan kesadaran semangat pembentukan UU yang

memadai334, walaupun hal yang sama terjadi di lingkungan pemerintah

juga.335 Penelitian mengenai putusan MK menjadi penting karena posisi

semacam itu putusan itu akan dihormati oleh cabang kekuasaan lain,

ayat (1) yang semula berbunyi, “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”,diubah menjadi “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Sementarapandangan mengatakan bahwa dengan adanya perubahan ketentuan UUD 1945 tersebut, makatelah terjadi pergeseran fungsi legislasi. Lihat pendapat-pendapat berikut: Jimly Aasshiddiqie,2005, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta, Pusat Studi HTN UI,hlm. 25; Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, hlm. 135; H.A.S Natabaya, 2006,Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK,hlm. 42; dan Wicipto Setiadi, “Makna Persetujuan Bersama dalam Pembentukan Undang-Undangserta Penandatangan oleh Presiden atas Rancangan Undang-Undang yang telah MendapatPeretujuan Bersama”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1, No. 2, 2006, hlm. 21. Sebagai wawasan,analisis implikasi ketentuan Perubahan UUD 1945 tersebut dalam praktik dapat dibaca, antaralain: Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementerdalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 209-232.

334 Moh. Fajrul Falaakh, akademisi UGM dan anggota Komisi Hukum Nasional (KHN)mengatakan bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh DPR makin tak keruan, tumpang tindih,dan menampakkan gejala otoritarianisme. Dalam beberapa hal, produk hukum itu justru mulaimenjauh dari semangat reformasi. Hampir semua UU memiliki bobot ancaman pidana. Bahkanterdapat perbedaan yang mencolok dalam hal pengaturan ancaman pidana antara UU yang satudan yang lain. Misalnya, di dalam KUHP, pencemaran nama baik diancam sanksi pidana yangrendah. Lain halnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu membuktikan carapandang pembentuk UU terkait dengan substansi hukum tidak sinkron satu sama lain. Filosofipemidanaan tidak dikuasai. Ancaman pemidanaan ini, sayangnya tidak dibarengi denganpembenahan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum, yakni penyelidik, penyidik, danpenuntut umum. Jadi, ada sisi yang memang saling menunjang gagalnya reformasi di bidanghukum. Lihat: Kompas, Senin, 21 Mei 2012, hlm. 4.

335 Sebagai contoh adalah kasus Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33/2012 tentangPendaftaran Organisasi Kemasyarakatan. Dalam peraturan itu antara lain diatur: (i) setiaporganisasi kemasyarakatan (Ormas) harus terdaftar untuk memperoleh Surat KeteranganTerdaftar (SKT); (ii) pemerintah bisa menolak menerbitkan SKT dan juga bisa mencabutnya; (iii)ormas harus membuat surat pernyataan kesediaan atau persetujuan ormas dalamkepengurusannya mencantumkan nama pejabat negara, pejabat pemerintahan, dan tokohmasyarakat; dan (iv) menteri, gubernur, bupati/walikota diberi wewenang untuk membekukanSKT, antara lain jika ormas menyebarkan ideology marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme,dan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk merusak hubungan antaranegara Indonesia dengan negara lain. Peraturan itu dianggap bertentangan UU No. 8/1985 danbahkan dengan UUD 1945 terkait dengan kebebasan berserikat. Aturan itu dianggapmemunculkan otoritarianisme di era demokrasi. Lihat: Tajuk Rencana, “Menguji PeraturanMendagri”, Kompas, Sabtu, 19 Mei 2012, hlm. 6.

Page 171: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

termasuk pengadilan, baik karena personalitas para hakim maupun karena

pertimbangan-pertimbangan hukum yang layak untuk dirujuk.336

G. Mahkamah Konstitusi dan Tafsir Konstitusi

Ketika UUD 1945 memposisikan MK sebagai penafsir tertinggi

konstitusi (the sole and the highest interpreter of the constitution) terutama

dalam kaitannya dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang atas

undang-undang dasar337, kondisi demikian akan menimbulkan 2 (dua)

pertanyaan mendasar. Apakah MK akan menafsirkan konstitusionalitas suatu

undang-undang hanya didasarkan pada rumusan teks pasal berdasarkan

paradigma positivisme hukum dengan ciri khasnya yang silogistik dan

reduksionis338 sehingga kedudukan teks menjadi otonom dan independen

sifatnya serta terlepas dari posisi penafsir339, atau MK melakukan penafsiran

hukum berdasarkan spirit keadilan sosial dan keadilan substantif yang

menjadikan teks tidak sebagai pusat tapi pinggiran?

Jika penafsiran yang pertama yang diikuti MK maka hakikatnya

manusia diciptakan salah satunya untuk menjadi “budak” hukum (UUD 1945).

Semua tindakan manusia harus sesuai dengan hukum yang dibentuk itu,

336 Dalam tradisi penelitian di AS, kedua hal itu tercakup dalam pendekatan penelitianmasing-masing “attitudinal model” dan “legal model.” Dalam hal ini, model pertama “haveinherited the mantle of legal realists in arguing that judges are influenced far more by theirpersonal preferences than by the dictates of higher courts”, sedangkan yang kedua “havetheorized that judges do in fact abide by the governing legal regime as embodied in bindingprecedent.” Diskusi yang menarik mengenai kedua pendekatan ini lihat: Frank B. Cross, “PoliticalScience and the New Legal Realism: A Case of Unfortunate Interdisciplinary Ignorance”, New YorkUniversity Law Review, Vol. 92, 2007, hlm. 315 dan Nancy C. Staudt, “Modeling Standing”, NewYork University Law Review, Vol. 79, 2004, hlm. 614.

337 Jimly Asshiddiqie, “Pengenalan Mahkamah Konstitusi dan Pendidikan KesadaranBerkonstitusi” makalah disampaikan dalam “Temuwicara Mahkamah Konstitusi dengan PejabatPemerintah Daerah se-Indonesia tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Jakarta,April, 7-9, 2005, hlm 1.

338 Anthon F. Susanto, “Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia”, dalam SriRahayu Oktoberina dan Niken Savitri, (Penyunting), 2008, Butir-butir Pemikiran dalam HukumMemperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Bandung, Refika Aditama, hlm. 14-16.

339 Michael J. Clark, “Faucault, Gadamer and the Law: Hermeneutics inPostmodern Legal Thought”, University of Toledo Law Review, Vol. 26, 1994, hlm 115.

Page 172: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

tidak perduli apakah hukum yang dibentuk itu adil atau tidak adil,

bermanfaat atau tidak bermanfaat, dan memberikan kesejahteraan kepada

masyarakat atau tidak. Akan tetapi, jika MK melakukan penafsiran hukum

dengan mengabaikan rumusan teks dalam pasal UUD 1945, maka MK

sesungguhnya telah mengabaikan salah satu prinsip terpenting dalam negara

hukum, yakni kepastian hukum. Kepastian hukum tidak memiliki arti apa-apa

dengan penafsiran MK yang demikian.

Pilihan atas penafsiran yang seperti apa yang seyogyanya

dijadikan pedoman oleh MK untuk menafsiran konstitusionalitas suatu

undang-undang, pasti akan mendatangkan pro kontra terutama di kalangan

ahli dan pemerhati hukum. Tidak salah kalau Mahfud MD menyatakan,

putusan-putusan MK membuat banyak pihak harus mengernyitkan dahi

sebagai tanda keheranan atau ketidaksetujuan. Belum lagi apabila

terdapat pihak-pihak yang hingga saat ini masih mempertanyakan posisi

MK yang hanya digawangi oleh 9 (Sembilan) hakim konstitusi yang diangkat

dan bukan dipilih langsung oleh rakyat, namun mampu menggugurkan suatu

produk undang-undang yang telah disepakati dan diputuskan oleh 560 orang

anggota DPR bersama Presiden yang keduanya justru dipilih melalui proses

demokratis yang cukup panjang dan menelan biaya yang tidak sedikit.340

Namun demikian, penafsiran yang hanya bertumpu pada

otonomi dan independensi teks merupakan penafsiran yang bersifat artifisial

atau semu, karena yang dicari adalah keadilan menurut teks suatu Pasal.

Dalam konteks inilah, sudah seharusnya di dalam menafsirkan

konstitusionalitas suatu undang-undang atas UUD 1945, MK tidak lagi

menjadikan teks sebagai yang utama. Sebab, supremasi konstitusi tidak hanya

dimaknai semata-mata sebagai supremasi teks pasal-pasal UUD 1945

340 Moh. Mahfud MD, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Pengembangan HukumProgresif untuk Keadilan Sosial”, makalah disampaikan dalam Seminar Menembus KebuntuhanLegalitas Formal Menuju Pembangunan Hukum dengan Pendekatan Hukum Progresif, UniversitasDiponegoro Semarang, 19 Desember 2009, hlm. 2.

Page 173: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

melainkan juga memperhatikan konteks dan kontekstualisasi suatu pasal

dengan kondisi kekinian. MK dapat menjadikan penafsiran hukum yang

progresif di dalam menafsirkan konstitusionalitas suatu undang-undang

karena diyakini penafsiran tersebut tidak kaku dan tidak hanya bertumpu

pada otonomi teks, sehingga eksistensi UUD 1945 sebagai “living

constitution”, akan benar-benar terwujud.

Andaikata secara tegas MK menolak mempertahankan status quo

dalam berhukum dan lebih memberikan perhatian besar terhadap peranan

perilaku manusia dalam hukum, ini berarti dalam menafsirkan suatu teks,

seorang penafsir tidak menjadi tawanan teks. Maksudnya, karena

menafsirkan merupakan suatu proses menggali makna dari suatu objek yang

sempit (teks) ke dalam realitas sosial yang luas dan sangat kompleks, maka

eksistensi dan makna teks tidak menjadi satu-satunya dasar untuk

mewujudkan suatu keadilan hukum. Selain itu, teks suatu Pasal bersifat kaku

dengan ruang lingkup makna yang ditentukan sebelumnya pada saat teks itu

dibentuk. Padahal, masalah sosial bersifat dinamis dan seringkali tidak

berjalan secara linier. Ketika masalah tersebut hanya cukup dengan mengacu

pada rumusan suatu teks dengan makna tetap yang terkandung di dalamnya,

yang terjadi adalah terbelenggu atau menjadi tawanan suatu teks.

Sebab, penafsiran (interpretasi) merupakan fungsi dari hukum

tertulis yang membuat rumusan-rumusan. Pembuatan dan penafsiran

merupakan dua sisi dari barang yang sama, yaitu hukum. Teks hukum tidak

lain adalah suatu bentuk rumusan, suatu konseptualisasi dari sesuatu yang

ada dan terjadi di alam. Setiap perumusan adalah penegasan atau pencitraan

tentang suatu hal. Pencitraan adalah pembuatan konsep. Dalam pembuatan

konsep selalu dimulai dengan pembatasan atau pembedaan antara yang

dirumuskan atau tidak atau yang berada di luarnya.341

341 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, UKI Press, hlm.165-167.

Page 174: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Oleh karena itu, perumusan itu bekerja dengan cara membatasi

seperti itu, maka timbul risiko besar akan ketidaktepatan perumusan. Hampir

tidak ada jaminan, bahwa perumusan itu akan tetap sesuai kebenaran.

Dalam hubungan dengan inilah, perumusan selalu membawa kegagalan.

Dengan lain perkataan, perumusan merupakan proyek kegagalan.

Disebabkan oleh tuntutan untuk merumuskan ke dalam suatu teks, hukum

sudah masuk ke ranah kebahasaan dan dengan demikian memasuki

permainan bahasa (language game). Kalau hukum itu dituntut untuk

membuat rumusan-rumusan, maka pada waktu yang sama ia ditakdirkan akan

gagal menjalankan tugas tersebut. Dalam perspektif tersebut hukum itu sudah

cacat sejak dilahirkan.342

Sebagai teks hukum merupakan suatu konstruksi sosial melalui

proses legislasi. Berkaitan dengan pertanyaan tentang apa itu hukum dan

bagaimana hukum harus dipahami, ada dua kemungkinan yang bisa muncul.

Pertama, apakah teks hukum harus dipahami dan ditafsirkan berdasarkan

proposisi logis, yakni sebuah statemen yang dapat dinilai benar atau salah

(dalam pengertian tertentu) menurut aturan-aturan penalaran? Posisi formal-

estetis, Ronald Dworkin dalam A Matter of Principle dan Law’s Empire

menghendaki agar tugas utama ‘yurisprudensi analitis’ adalah memahami

integritas hukum sama seperti suatu objek estetik dimana ia dibangun

berdasarkan prinsip yang selaras seperti keadilan, kesetaraan, kejujuran, dan

dijadikan sebagai standar untuk menilai kasus-kasus hukum yang muncul

saat ini.

Kedua, pada sisi yang lain terdapat gagasan kritis-historis bahwa

teks hukum selalu tertanan dalam sejarah dan digerakkan secara politis

sehingga hukum tidak bisa dipahami sebagai poduk nalar dan argumen

semata. Maka teks hukum harus dipahami dan ditafsirkan sesuai dengan

kategori-kategori materialitas: kekuasaan, teknologi, hubungan sosial,

342 Ibid.

Page 175: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

perspektif gender, dan sebagainya. Pemikir semacam Peter Goodrich dalam

bukunya The Reading the Law: A Critical Introduction to Legal Method and

Techniques, memahami hukum sebagai salah satu wacana di tengah wacana-

wacana disiplin normatif lain, terkait erat dan berutang budi pada wacana

lain, menjangkau masyarakat yang lebih luas daripada sekedar pelanggar

hukum atau pelaku kejahatan. Tetapi teks hukum selalu merupakan kanon

yang memaksa dan mengikat bahkan mengungkapkan diri dalam bentuk

kekuasaan (bukan nalar). Ungkapan “nalar hukum” merupakan ungkapan

dogmatis yang berlebihan sehingga membuat hukum dihormati dan

dipatuhi. Bahkan bahasa hukum yang khas dengan peristilahannya sendiri

merupakan upaya untuk mengontrol dan memanipulasi secara sengaja supaya

digunakan secara beranekaragam.

Di samping itu tradisi analitis menunjukkan bahwa interpretasi

hukum harus dijalankan berdasarkan kontrol argumentatif yang ketat

sehingga tidak ada ruang tersisa yang terbuka. Tetapi muncul argumen lain

bahwa gagasan mengenai interpretasi hukum melemahkan pengertian kita

mengenai legitimasi hukum. Maka sejauh interpretasi dipandang perlu, maka

hal itu harus bersifat ketat dan final. Maka perlu ditetapkan logika

interpretasi. Kita sudah memiliki tradisi dan pemahaman yang berbeda

tentang teks hukum dan pengertiannya pun bisa berbeda berdasarkan jenis

interpretasinya, tetapi kita pun merupakan bagian dari tradisi dan masa lalu

bahkan juga otoritas yang sama yang membantu pemahaman kita.

Meskipun penting, interpretasi akhirnya juga harus dipahami

bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Interpretasi adalah sebuah sarana

untuk mengungkapkan makna hukum sebagai teks atau ketika berhadapan

dengan sebuah kasus hukum. Pertanyaannya, jika interpretasi hukum

merupakan sebuah “sarana”, apa yang merupakan tujuan dari interpretasi

hukum itu sendiri? Interpretasi memang bertujuan untuk mengungkap makna

“teks’”hukum. Tetapi tujuan interpretasi tidak berhenti di sini.

Page 176: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Pengungkapan makna hukum secara tepat, pada akhirnya, bertujuan untuk

menegakkan keadilan sebagai tujuan tertinggi hukum itu sendiri. Memang apa

yang disebut sebagai ‘adil’ masih selalu bisa diperdebatkan. Tetapi dalam

menangani suatu perkara hukum, interpretasi dan putusan yang adil adalah

interpretasi dan putusan yang mampu mempertimbangkan segala fakta dan

ketentuan hukum yang relevan serta prinsip-prinsip hukum yang lebih tinggi

sehingga setiap mereka yang terlibat dalam perkara hukum memperoleh

haknya. Singkatnya, kedua belah pihak memahami “posisi” masing-masing

berdasarkan fakta atau data yang terungkap di pengadilan dan konstruksi

argumentasi hukum yang tepat secara logis, legal dan moral sehingga pihak

yang berperkara tidak lagi memiliki opsi menolak putusan pengadilan. Dengan

rumusan lain, interpretasi hukum pun mesti mempertimbangkan “kebutuhan”

real masyarakat hukum itu sendiri.

Bahkan dalam kasus yang “meragukan” pihak yang lemah tidak

boleh dikorbankan meskipun tujuan umum hukum pun tidak boleh

dikalahkan. Prinsip ini menegaskan perlunya keseimbangan “kreatif” antara

kepentingan pihak yang lemah dan kepentingan masyarakat secara

keseluruhan. Dengan prinsip ini, keadilan sebagi tujuan hukum tidak lagi

berarti bahwa “setiap orang harus diperlakukan secara sama; jadi berlaku

prinsip “sama rata, sama rasa” melainkan kepentingan setiap komponen

masyarakat harus diperhatikan. Dalam keadilan distributif misalnya, “orang

lemah” yang tidak bisa berkembang dari dirinya sendiri mesti diberi “ruang”

lebih besar agar bisa berkembang jika dibandingkan dengan kelompok yang

mampu karena kelompok yang mampu dapat mengembangkan diri tanpa

bantuan pihak lain. Dengan demikian, bertindak adil berarti bahwa mereka

yang lemah “memperoleh” lebih banyak dari mereka yang mampu. Tertib

berpikir demikian mengingatkan para hakim, jaksa, dan advokat bahwa

menginterpretasikan ketentuan hukum yang berkaitan dengan kekuasaan

harus dilakukan secara cermat. Ketentuan ini merupakan salah satu ketentuan

Page 177: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

penting karena kapan dan dimana pun kekuasaan dapat menyusup dan

mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung putusan pengadilan.

Pengalaman sejarah pemerintahan kita sebagai bangsa menunjukkan bahwa

kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto sebagian

dilegalkan melalui interpretasi Undang-Undang Dasar bahwa “Presiden dan

wakil presiden dipilih dalam 5 (lima) tahun dan setelah itu dapat dipilih

kembali.” Bagian kalimat “setelah itu dapat dipilih kembali” memiliki 2 (dua)

tafsiran. Pertama, setelah masa jabatan selesai dapat dipilih kembali sampai

kapan pun (senyatanya sampai 32 tahun). Kedua, setelah masa jabatan selesai

dapat dipilih kembali “hanya” untuk periode berikut tetapi tidak lagi bisa

mengikuti pemilihan presiden untuk ketiga kalinya. Adanya kemungkinan

“intervensi kekuasaan” dalam interpretasi hukum serta ketidakjelasan

ketentuan hukum itu sendiri membuka kemungkinan bagi kekuasaan untuk

menginterpretasikan ketentuan, aturan, atau undang-undang sesuai dengan

kepentingannya.

Ketentuan atau prinsip bahwa “Segala sesuatu yang terkait

dengan kekuasaan harus ditafsirkan secara cermat; segala sesuatu yang

terkait dengan keamanan warga negara dan perlindungan individu juga harus

ditafsirkan secara utuh dan meliputi semua pihak” juga menegaskan

prinsip atau kaidah lain yang mesti diperhitungkan dalam memutuskan

sebuah perkara hukum. Ketentuan atau prinsip itu adalah bahwa interpretasi

hukum tak boleh mengabaikan keamanan dan kepentingan individu dan

masyarakat secara keseluruhan (semua pihak). Istilah interpretasi secara utuh

pada konteks ini juga menunjukkan bahwa sebuah aturan mesti dipahami

dalam seluruh konteks, kondisi, dan relasi dengan kepentingan masyarakat

secara keseluruhan serta undang-undang yang lain, termasuk semangat yang

dikandung oleh aturan atau undang-undang tersebut.

Sebagai teks, rumusan atau kata-kata dalam produk hukum harus

dipahami sebagaimana yang mungkin dimaksudkan oleh penutur (publik).

Page 178: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Konstruksi sebuah teks hukum dimaksudkan sebagai upaya membangun

unsur-unsur dasar makna sebuah teks hukum, dan bukan berupa pemaksaan

suatu materi luar ke dalam teks. Guna mengungkap makna sesungguhnya

sebuah teks hukum, konstruksi hukum secara cermat dan tepat diperlukan.

Dengan pemikiran yang demikian, menyerahkan secara penuh

kepada penafsiran hukum berdasarkan otonomi teks hanya akan

menimbulkan keadilan berdasarkan teks, sedangkan yang hendak dicari

bukanlah keadilan seperti itu tapi suatu makna yang lebih dalam lagi,

yakni keadilan sosial atau keadilan substantif.

Keadilan berdasar teks akan tercipta proses silogisasi antara teks

dengan kejadian konkret. Jika kejadian konkret tersebut mencocoki rumusan

teks, kesimpulannya sudah dapat ditebak yaki teks akan selalu menjadi

panduan atau dasar, dan dengan demikian keadilan berdasar teks tercipta.

Singkatnya, keadilan berdasar teks diarahkan pada latar teks hukum positif,

diendapkan ke dalam kesadaran hukum, dan dari kesadaran hukum itu

kemudian lahir perilaku hukum.343

Jika pemikiran mengenai perlunya penafsir tidak menjadi tawanan

atau terbelenggu dengan teks dikaitkan dengan salah satu kewenangan

MK sebagai pegawai konstitusi penafsir tunggal atas konstitusi344, maka hakim

Mahkamah Konstitusi hendaknya memperlakukan teks UUD 1945 dan

konstitusi terpisah dan berada di luar konteks sosial kemasyarakatan dimana

teks itu diterapkan. Hal ini karena pengertian konstitusi tidak sama dengan

pengertian UUD 1945. Pengertian konstitusi adalah lebih luas karena bersifat

fundamental yang berkaitan dengan negara yang meliputi asas-asas dasar,

pranata-pranata, asas-asas hukum, norma-norma dasar, dan aturan-aturan

hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi Indonesia merupakan

343 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yangBaik, Jakarta, Kompas, hlm. 70.

344 Moh. Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca AmandemenKonstitusi, Jakarta: LP3ES, hlm. 97.

Page 179: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

terjemahan atau penjabaran atau pokok-pokok pikiran yang terkandung

dalam Pembukaan UUD 1945 yang tingkatannya lebih tinggi. Preambul

(pembukaan) mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem kenegaraan.345

Dengan kata lain, konstitusi tidak sama dengan UUD 1945 dan

tidak mengenal hierarkhi norma antara pembukaan dan batang tubuh, tetapi

kaidah yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk

norma pada pasal-pasal UUD 1945. Di samping itu, organ (komponen) UUD

1945 merupakan kumpulan organ (komponen) konstitusi yang diambil dari

konstitusi untuk dimasukkan ke dalam Pasal-pasal UUD 1945. Artinya, ada

organ-organ dari konstitusi yang dimasukkan ke dalam UUD 1945. Organ-

organ itu berupa organ yang menopang sehingga UUD 1945 memenuhi syarat

sebagai konstitusi yang cocok untuk dipakai di Indonesia saat ini.346

Masalahnya, seorang penafsir teks memiliki kedudukan yang

istimewa dibandingkan dengan teks sejak makna teks dibentuk, tidak

ditemukan, sehingga interpretasi selalu menciptakan teks yang signifikan

(konsteks). Fokus interpretasi tidak pada teks, melainkan pada pembaca

yang pemikirannya mendominasi teks.347 Pentingnya memperhatikan konteks

dan tidak hanya berpangku pada otonomi teks karena pada dasarnya

kehidupan manusia dari produk-produk kulturalnya memperlihatkan suatu

perkaitan yang bermakna penuh. Berbeda dengan alam yang tidak

bernyawa, manusia tidak ditentukan oleh sebab akibat, melainkan dibimbing

oleh alasan-alasan atau aturan-aturan. Manusia memberikan sendiri makna

pada kehidupan mereka, dan ini tidak dapat diamati dan direkam dengan

observasi eksternal berdasarkan model keilmu-alaman.348

345 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinyadalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 144.

346 Ibid., hlm. 123.347 Michael J. Clark, op.cit., hlm. 115-116.348 Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis terhadap

KUHP, Bandung, Refika Aditama, hlm. 32.

Page 180: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Selain itu, UUD 1945 secara ekplisit menegaskan bahwa

Indonesia adalah negara hukum. Makna negara hukum tidak dapat

direduksi maknanya dengan negara undang-undang. Makna hukum lebih luas

dari sekadar makna undang-undang. Jika MK menafsirkan konstitusionatas

suatu undang-undang atas UUD 1945 hanya bertumpu pada teks-teks Pasal di

dalamnya, MK mereduksi dan mempersempit makna negara hukum.

Akibatnya, penafsiran hukum MK bersifat kaku (rigid), hitam putih, dan

menyebabkan hukum jauh dari keadilan serta dari kebutuhan masyarakatnya.

Hukum bisa jadi menjadi asesori yang kurang bermanfaat bagi

masyarakat.

Sebagai penafsir tunggal konstitusi yang perlu dilakukan MK

adalah mendekonstruksi sakralitas teks, karena ketika teks disakralkan dan

diformalkan, maka kepentingan yang lebih kuat akan menjadi sangat dominan

khususnya dalam proses penafsiran terhadap teks tersebut. Formalisasi itu

kemudian menimbulkan reduksionis dan sakralitas teks.349 Sakralitas teks

inilah yang menjadikan produksi makna teks bersifat tertutup, dan realitas

tersembunyi sulit untuk diungkap. Inilah salah satu tanda tidak kreatifnya

penafsir, sehingga teks kehilangan prgoresivitas makna. Pada akhirnya proses

pengistimewaan teks, teks dibakukan dan substansinya tidak dapat diganggu

gugat.

Berdasarkan uraian di atas kewenangan MK sebagai penafsir

tunggal konstitusi hendaknya tidak dimaknai hanya sebagai kewenangan

menafsirkan Pasal-pasal dalam konstitusi yang memiliki kekuatan hukum350,

tapi lebih pada mencari makna yang terkandung di balik teks, dan

menghubungkannya dengan kondisi sosial masyarakat. Artinya, menyatakan

bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 tidak

349 Antoh Freedy Susanto, Semiotika…, op.cit., hlm. 186350 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum

yang Demokratis, Yogyakarta, Penerbit Total Media, hlm. 244.

Page 181: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

cukup hanya menafsirkan pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi rujukan

dengan penafsiran yang bersifat tekstual. MK perlu untuk melangkah lebih

jauh keterkaitan suatu pasal dalam UUD 1945 dengan esensi dan makna yang

terkandung dalam Pembukaannya dan butir-butir Pancasila.

Memang harus diakui bahwa tindakan MK yang kadangkala

melakukan penafsiran yang kontekstual dengan bertumpu pada keadilan

substantif dan penafsiran hukum yang progresif mengundang kritik.

Dikatakan bahwa penafsiran kontekstual telah menggelincirkan MK menjadi

lembaga kehakiman otoriter, karena MK memiliki cek kosong yang dapat

ditulisnya sendiri. Atas nama penafsiran kontekstual, MK bebas menafsirkan

konstitusi sesuai dengan keyakinannya meskipun bertolak belakang dengan

yang tertulis di konstitusi. Selain itu, penafsiran konstitusi yang lentur

(arbitrary interpretation) mengisyaratkan bahwa kedudukan MK lebih

tinggi (supreme) daripada konstitusi. Tidak ada perbedaan kedudukan

antara konstitusi dan MK karena keduanya telah menjelma menjadi satu-

kesatuan. Artinya, MK tidak dapat lagi disebut sebagai pengawal konstitusi,

karena yang mengawal dan dikawal telah melebur menjadi satu. Padahal,

dalam konteks prinsip supremasi konstitusi sebagaimana dikemukakan oleh

Hans Kelsen sebagai tokoh pencetus ide pembentukan MK di dunia, pengawal

harus patuh dan berkedudukan lebih rendah daripada yang dikawal.351

351 Munafrizal Manan, “Mahkamah Konstitusi dan Penafsiran Tekstual”, Koran Tempo,26 Februari 2009.

Page 182: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

BAB IV

KUALITAS LEGISLASI DAN ASPEK BERACARA DALAM PENGUJIAN

KONSTITUSIONAL

A. Pengantar

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara baru

yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman

sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003. Eksistensi MK sebagai

pengadilan Konstitusi berdiri atas dasar asumsi adanya supremasi konstitusi

yang menjadi hukum tertinggi yang melandasi kegiatan negara serta sebagai

parameter untuk mencegah negara bertindak secara tidak konstitusional.

Dalam konteks ini MK memiliki peran strategis dalam membangun

demokrasi dan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam

rangka penyempurnaan reformasi konstitusional di Indonesia,

keberadaan MK menjadi penting adanya sebagai salah satu pilar dari

proses demokratisasi yang integral dan progresif.

Kelahiran MK tidak saja membuktikan bahwa Indonesia

menganut kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka akan tetapi

sekaligus merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum yang

demokratis. Secara kelembagaan, MK dalam menjalankan fungsinya

sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) sesuai

dengan ketentuan UUD 1945, memiliki 4 (empat) kewenangan mengadili

dan satu kewajiban, yaitu (i) melakukan pengujian atas konstitusionalitas

Undang-Undang; (ii) mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar

lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar; (iii)

memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik; (iv)

memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum.

Serta satu kewajiban tersebut yakni: mengambil putusan atas pendapat

Page 183: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah

melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga

secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden dari jabatannya.

Keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekaligus

memperlihatkan adanya harapan baru bagi para pencari keadilan di tengah

masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap institusi

peradilan. Adanya MK merupakan suatu bentuk upaya dalam

mengimbangi atas kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.

Keberadaan MK di Indonesia dilatarbelakangi adanya kehendak untuk

membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances

system diantara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum

dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional

warga negara. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana

penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan

yang sebelumnya tidak ditentukan oleh konsitusi.

Upaya pembentukan MK merupakan salah satu wujud nyata dari

perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia, yang mempunyai tujuan

terciptanya keseimbangan dan kontrol yang ketat diantara lembaga-

lembaga negara. Secara teoritis, konteks tersebut di atas berkaitan dengan

ajaran trias politca dari Montesquieu yang mengingatkan kekuasaan negara

harus dicegah agar jangan terpusat pada satu tangan atau lembaga. Konsep

trias politica yang memisahkan secara tegas kekuasaan negara ke dalam 3

(tiga) kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan

kekuasaan yudikatif. Di Indonesia ajaran trias politica tersebut tidak diadopsi

secara utuh. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Bagir Manan bahwa

ajaran trias politica terdapat prinsip checks and balances yang berarti dalam

Page 184: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

hubungan antar lembaga negara dapat saling menguji atau mengoreksi

kinerjanya sesuai dengan ruang lingkup kekuasaan yang telah ditentukan

dan diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan pembagian kekuasaan dibagi

dalam 3 (tiga) kekuasaan untuk menjalankan kekuasaan negara, yakni

eksekutif, legislatif dan yudisial yang saling mempengaruhi. Dalam praktik,

relasi ketiga cabang kekuasaan itu bisa menjadi persoalan manakala unsur

politik lebih dikedepankan dan reaksi terhadapnya tak melulu menjadi jalan

untuk menyelesaikan masalah.

Kegalauan terhadap politik biasanya memunculkan inisiatif

teknokratisasi. Orde Baru adalah kasus historis yang menarik. Merespons

Orde Lama yang sepenuhnya politik, Orde Baru pun menarik politik

perlahan-lahan dari urusan bersama. Proliferasi ideologi politik direduksi

melalui fusi partai politik. Tujuannya jelas. Teknokrasi tak membutuhkan

ideologi, tetapi teknisi. Kenaikan harga kebutuhan pokok tak dapat

diselesaikan oleh ideologi, tetapi oleh kebijakan ekonomi yang terukur.

Alhasil, demokrasi digeser dari "pemerintahan oleh partisipasi" menjadi

"pemerintahan oleh teknisi". Dicabutnya politik dari urusan publik memang

membuahkan hasil yang memuaskan. Pertumbuhan ekonomi merangkak

naik. Kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan tanpa gangguan oposisi.

Ekonomi pun diselamatkan dari "kecerewetan politik" yang berlebihan.

Ekonomi menjadi panglima. Garis besar haluan negara disesaki visi-visi

ekonomi berbasis stabilitas politik. Orde Baru sungguh membawa biduk

republik ini ke dermaga baru yaitu dermaga ekonomi.

Politik sejatinya bersandar pada aksi, bukan kerja. Aksi dapat

dimengerti dalam 2 (dua) modus. Pertama, aksi sebagai aktivitas manusia

yang menyingkapkan siapa dan bukan apa dirinya melalui transendensi

kefanaan dengan suri teladan. Kedua, aksi sebagai modus kebersamaan

manusia yang dapat membangun relasi yang didasarkan pada kesalingan dan

Page 185: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

solidaritas. Aksi adalah tindak komunikasi yang mengakomodasi berbagai

pandangan demi keputusan bersama.

Logika distribusi dan harmoni mementingkan pemilahan bagian

dan posisi yang didasarkan pada ruang, waktu, dan jenis kegiatan.

Aristoteles, misalnya, mengemukakan bahwa warga negara adalah mereka

yang mengambil bagian dalam tindak memerintah dan diperintah. Namun,

jenis distribusi lain mendahului sekaligus menentukan partisipasi politik

warga negara. Distribusi yang dimaksud menentukan siapa yang memiliki

bagian dalam komunitas politik dan siapa yang tidak. Saat ekonomi menjadi

panglima, mereka yang berpartisipasi adalah para teknokrat, sementara

rakyat banyak dikesampingkan sebagai penonton kebijakan belaka.

Pada 2010, Indonesia menempati urutan ke-110 dari 178 negara

dengan nilai 28, pada 2011 menduduki peringkat ke-100 dari 182 negara

dengan nilai 30, pada 2012 turun menjadi ke-118 dari 176 dengan nilai 32,

dan pada 2013 naik sedikit menjadi ke-114 dari 177 negara dengan nilai yang

masih 32. Masih sulit bagi kita untuk mencapai nilai di atas 85 seperti yang

dicapai Singapura. Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada 2013

Indonesia masih menempati urutan ke-121 (naik tiga tingkat dari 124 pada

2012). Posisi Indonesia masih di bawah Singapura (18), Brunei (30), Malaysia

(64), dan Filipina (114), walau masih di atas Vietnam (127), Kamboja (138),

Laos (138), dan Myanmar (149). Namun, dari sisi jumlah kematian ibu

setelah melahirkan, ranking Indonesia termasuk yang terendah di Asia dan di

Asia Tenggara, bahkan di bawah Vietnam! Setiap lima juta ibu melahirkan,

20.000 meninggal atau 1 berbanding 65. Ini amat jauh di bawah Thailand

yang 1:1.100. Rata-rata orang Indonesia yang bersekolah juga masih rendah,

sekitar 6,7 untuk anak laki-laki dan 5,9 untuk anak perempuan.

Data yang dirangkum Pusat Penelitian Ekonomi LIPI menunjukkan

bahwa daya saing ekonomi Indonesia pada 2013 stagnan, hanya naik dari

posisi 129 ke 128. Dari sisi 64 komoditas ekspor hanya empat yang

Page 186: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mengalami peningkatan daya saing, sementara 28 tetap berdaya saing, 12

mengalami penurunan daya saing, dan 20 tetap tidak berdaya saing.

Penyerapan tenaga kerja di sektor industri menurun dari 13,2 persen pada

2002 menjadi 12,9 persen pada 2013, sementara porsi kredit perbankan

menurun tajam dari 37,6 persen (2002) menjadi 24,0 persen pada

September 2013. Ditinjau dari sumber daya manusia dan sistem

pengupahan, tingkat produktivitas hanya 74,9 persen dari China, 92,6 persen

dari Filipina, dan hanya 51,7 persen dari Thailand, sementara peningkatan

upah minimum tertinggi di Asia. Satu sisi yang menarik, Indonesia cenderung

lebih liberal dengan pungutan tarif bea masuk yang amat rendah. Namun,

dari sisi bunga bank, Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan China

yang hanya 5-6 persen, sementara Indonesia masih 12-13 persen. Rencana

Aksi di China juga lebih jelas dibandingkan dengan Indonesia, sementara

komitmen Indonesia menciptakan lingkungan bisnis yang baik semakin

dikalahkan oleh Vietnam. Penurunan angka kemiskinan di Indonesia juga

amat rendah, 34,96 juta pada Maret 2008 menjadi 28,59 juta pada

September 2012. Tingkat pengangguran terbuka usia muda di Indonesia

termasuk tertinggi di Asia Pasifik, yakni 19,9 persen, dan mereka yang

menganggur lebih banyak di perkotaan ketimbang di pedesaan. Kita juga

masih mengalami ketimpangan, baik secara horizontal maupun vertikal,

termasuk ketimpangan pembangunan antardaerah yang kian merisaukan.

Para pemegang otoritas politik terlelap dan terlena dengan

nikmatnya kekuasaan dan memuja ritus-ritus demokrasi tanpa memaknai

esensinya. Hakikat dan etika dipaksa tunduk dengan prosedur. Pendangkalan

kehidupan politik menghasilkan mantra bahwa proses menjadi sarana absah

dan ampuh meraih kekuasaan. Oleh sebab itu, tidak benar sama sekali kalau

demokrasi telah menggerus nilai-nilai luhur bangsa. Subyek politik tak selalu

mudah mewujudkan artikulasi politiknya ke dalam realitas begitu diskursif

dari praktik politik. Sama tidak mudahnya dengan mengatasi konflik yang

Page 187: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

selalu muncul di antara subyek politik yang begitu plural untuk mencapai

kepentingan umum atau publik.

Perusak moral bangsa bukan demokrasi, melainkan perilaku korup

para petualang politik yang kalap dan rakus kekuasaan. Banyak kasus

menunjukkan, bahaya demagogi politik selalu mengintai politik demokrasi,

terutama ketika demokrasi mengalami krisis, yaitu ketika besarnya harapan

publik tidak diimbangi kapasitas pemimpin, atau di luar kapabilitasnya

memenuhi harapan. Seperti terjadi di banyak negara, kesulitan hidup

dihadapi rakyat justru sering kali dimanipulasi pemimpin demagog, entah

dari kelompok ekstrem tengah-kanan ataupun konservatif tengah-kiri

dengan melantunkan janji-janji mesianistik tanpa disertai dengan realitas

politik perubahan.

Seiring dengan upaya penataan sistem ketatanegaraan yang

hendak dibangun serta sejalan dengan ide dasar dan tujuan (perubahan)

UUD 1945, dalam perkembangannya akan mengalami disorientasi ketika

praktik penyelenggaraan ketatanegaraan negara tidak diikuti dengan proses

pembentukkan perundang- undangan yang baik, sebagai substansi yang

diinginkan oleh UUD 1945. Potret pembuatan undang-undang sebagai salah

satu produk hukum di Indonesia yang saat ini oleh banyak pihak dipandang

belum berhasil memenuhi harapan masyarakat. Secara empiris, hal itu

tergambar dari banyaknya permohonan pengujian terhadap produk legislasi

DPR dan Presiden tersebut. Dari data MK, dalam Rekapitulasi Perkara

Pengujian Undang-Undang sejak tahun 2003, terdapat 499 kali uji materiil

terhadap berbagai produk hukum berupa undang-undang.352

Dari akumulasi data tersebut, terdapat 141 permohonan uji

materiil yang dikabulkan oleh MK, 198 ditolak dan 160 tidak diterima.

Kontras, dengan konsekuensi ratusan pasal yang dibatalkan MK itu,

menandakan begitu buruknya pembuatan undang-undang selama ini. Tak

352 Data hingga 6 September 2014.

Page 188: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bisa dipungkiri juga, jika kualitasnya baik, sangat tidak mungkin MK

membatalkan sampai 141 kali. Sejauh ini terlihat, kewenangan pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah kewenangan yang

paling banyak dijalankan oleh MK. Dari semua itu, menimbulkan suatu

kekhawatiran bahwa undang-undang gagal menjadi instrumen untuk

menata sistem ketatanegaraan di Indonesia.353

Dalam hal substansi undang-undang yang dirasa merugikan

masyarakat, akan selalu menimbulkan penolakan, bahkan ketika proses

pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tengah berlangsung di DPR.

Hal ini seumpama yang pernah diungungkapkan oleh seorang pakar hukum

tata negara, Saldi Isra, “semakin dominan kepentingan (seperti politik)

pembentuk undang-undang, proses dan hasil legislasi seperti mengalami

mati rasa.”354

Sebagai contoh adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sepanjang pelaksanaan

pemilihan kepala daerah serentak 2015, banyak pihak yang menguji norma

undang-undang ini. Dari sekian banyak yang mengajukan pengujian,

setidaknya 6 (enam) putusan MK yang telah mengubah UU Pilkada.

Pertama, Kewajiban PNS mundur saat penetapan calon.355 Kedua, Kewajiban

Anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur saat penetapan calon.356 Ketiga,

353 Zainuddin Ali,2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 32.354 Saldi Isra, “Legislasi Mati Rasa”, Kompas, 30 Desember 2008.355 Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) mengatur Pegawai Negeri Sipil (PNS) wajib

pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah. Akantetapi pasal ini dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai pengunduran diri secaratertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon, melainkanpengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon kepaladaerah.

356 Pasal 7 huruf s mengatur anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukanpencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pimpinan sehingga tidakperlu mengundurkan diri. Namun, MK menganggap ketentuan itu inkonstitusional danmewajibkan anggota legislatif mundur setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

Page 189: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Mantan narapidana dapat maju sebagai pasangan calon.357 Keempat,

Penghapusan syarat tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.358

Kelima, Daerah bercalon tunggal ikut pilkada.359 Keenam, Syarat dukungan

perseorangan dari jumlah penduduk menjadi DPT pemilu sebelumnya.360

Guna membangunkan proses pembentukan undang-undang dari

suasana mati rasa itu, berbagai kelompok masyarakat berupaya melakukan

lobi, membangun opini, dan menawarkan draf alternatif. Jika cara yang

paling lunak itu tidak tercapai, penolakan dengan ancaman mengajukan

pengujian konstitusional ke Mahkamah Konstitusi menjadi cara lain

berikutnya. Tidak jarang, penolakan diikuti dengan unjuk rasa dan aksi-aksi

lain yang terbilang satir.

B. Menakar Kualitas Legislasi

Masih segar dalam ingatan ketika MK merilis sebanyak 29 persen

produk undang-undang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi selama 2012.

Penyebabnya adalah kualitas undang-undang itu makin memburuk. Pada

waktu itu, Ketua MK Mahfud MD menjelaskan alasan banyaknya undang-

undang yang dibatalkan MK. Dia menyebut ada 3 (tiga) alasan. Alasan

pertama memang sudah terjadi persekongkolan sejak dibuatnya undang-

undang tersebut. Ada tukar menukar kepentingan politik di antara para

357 MK mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g Undang-undang nomor 8 tahun2015 dibatalkan. Pasal tersebut memuat ketentuan mantan narapidana dilarang ikut pilkada.Dalam putusannya MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi dan mantanterpidana boleh maju di pilkada sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepadapublik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

358 Pasal 7 huruf f membatasi calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflikkepentingan dengan petahana yaitu tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/ataugaris keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping. MK berpandangan pasal inimenghalagi warga maju dalam pilkada karena membedakan perlakuan atas status kelahiran dankekerabatan.

359 MK menimbang hak untuk dipilh dan memilih tidak boleh tersandera aturan palingsedikit dua pasangan calon. Pemilihan harus tetap dilaksanakan meski hanya ada satu paslon.

360 Putusan MK meringankan calon independen dalam pilkada serentak 2017 danseterusnya. MK mengubah Pasal 41 ayat 1 dan 2, jika sebelumnya calon independen berdasarkanpersentase penduduk, kini cukup berdasarkan persentase daftar pemilih tetap (DPT).

Page 190: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pembuat undang-undang sendiri, antara pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR.

Alasan kedua adalah si pembuat undang-undang tidak becus. Banyak UU

yang salah memasukkan pasal atau menginterpretasi pasal per-pasal.

Sehingga ada pasal yang saling bertentangan. Sedangkan alasan ketiga,

memang ada faktor alami dari situasi negara. Sehingga UU itu sudah tidak

relevan mengakomodir keinginan publik.

Penelusuran sejarah dan analisis terhadap produk hukum

menunjukkan watak produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi

politik yang melahirkannya. Artinya kelompok dominan (penguasa) dapat

membuat UU atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap

politiknya sendiri yang belum tentu sesuai dengan jiwa konstitusi yang

berlaku. Ada kecenderungan pemerintah mendapatkan peluang yang sangat

besar untuk membuat berbagai peraturan perundang-undangan sebagai

peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari setiap UU.

Di luar asumsi membaiknya kesadaran warga negara atas hak-hak

konstitusional mereka, yang dibuktikan dengan antusi- asme mereka untuk

menguji konstitusionalitas undang-undang yang mengatur mereka, tingginya

angka pengajuan pengujian undang-undang ke MK, baik atas materi muatan

undang-undang, maupun proses penyusunannya, adalah pertanda buruknya

kinerja legislasi DPR. Fakta di atas menunjukkan ketidakcermatan DPR dalam

menjalankan fungsi substansialnya,membentuk peraturan perundang-

undangan yang seharusnya berpihak pada pemajuan dan pemenuhan hak-

hak konstitusional warga negara, sekaligus memperlihatkan tingginya

pertentangan norma antinomi dalam peraturan perundang-undangan yang

diproduksi DPR dan Presiden.

Kesalahan baik karena ketidakprofesionalan atau banyaknya

kepentingan asing terhadap substansi perundang-undangan berakibat pada

terabaikannya hak-hak ribuan jiwa masyarakat Indonesia bahkan terhadap

kedaulatan suatu bangsa. Salah satu contoh yang belum lama ini dibatalkan

Page 191: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

oleh MK tentang UU Migas yang ditengarai banyak kalangan dapat

menghilangkan kedaulatan energi baik secara ekonomi ataupun politik

apabila tidak segera dibatalkan. Perumpamaan di atas dapat sedikit

menggambarkan relasi antara politik dan hukum. Keduanya memiliki

keterikatan satu sama lain,di mana satu disiplin ilmu tidak memiliki makna

apa-apa tanpa melibatkan disiplin hukum yang lain. Dengan kata lain,

keduanya harus beriringan untuk menjaga kepentingan nasional.

Pada dasarnya ada beberapa faktor munculnya undang-undang

yang dibatalkan oleh MK. Pertama, adanya unsur kesengajaan legislatif

bersama eksekutif untuk melanggar konstitusi.Kepentingan asing terhadap

perundang-undangan yang akan dibuat oleh legislatif dan atau eksekutif

melalui peraturan perundangundangan yang berlaku di belakangan ini

sangatlah dominan kepentingan asing. PB PMII pernah merilis 26 UU yang

berbau kepentingan asing dan bernuansa memuat materi yang banyak

menguntungkan asing. Sebagai perbandingan, dalam sejarah Indonesia, ADB

pernah menawarkan USD300 juta dengan syarat Pemerintah Indonesia

membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN. Begitu pun Undang-Undang

Privatisasi Air yang dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman

USD400 juta. Jadi, air yang di dalam Undang-Undang Dasar kita dinyatakan

dengan tegas dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat, itu pun mau diprivatisasi oleh asing, termasuk Undang-Undang

Migas.

Kedua, kualitas para pembuat perundang-undangan yang masih di

bawah standar. Dari banyaknya UU yang dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi, selain banyak yang menguntungkan asing dan tidak berpihak ke

rakyat, juga karena faktor lemahnya pengetahuan para pembuat peraturan.

Hal ini dapat dilihat dari sebagian undang-undang yang unpredictability dan

unfairness sehingga banyak investor takut menanamkan investasinya di

Indonesia. Ini menunjukkan bahwa para pembuat undang-undang tidak

Page 192: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

memiliki profesionalisme dalam membuat peraturan perundang-undangan.

Indonesia akan mengalami kemajuan ekonomi apabila diatur dengan

peraturan yang memuat asas kepastian dan dijamin keadilannya.

Ketiga, tekanan partai politik. Sudah bukan rahasia umum lagi saat

ini partai politik disibukkan dengan usahausaha untuk mencari dukungan di

dapilnya. Tak jarang tugas sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sudah banyak

ditinggalkan. Bahkan, fungsi utama sebagai pembuat undang-undang yang

dimandatkan untuk membela kepentingan rakyat banyak tersandera oleh

kepentingan elite partai politik. Pada 2003 hingga 2011 ada sekitar 11%

undang-undang yang dibuat kemudian dibatalkan. Pada 2012 saja, sebagai

tanda dimulainya kepentingan partai politik, sudah ada 29% undang-undang

yang dibatalkan oleh MK. Sejak 2009 hingga 2012 DPR RI masih punya

tanggungan menyelesaikan 252 RUU. Tapi, hingga Oktober 2012 baru 62

RUU yang disahkan menjadi UU. Secara tidak langsung ini menegaskan,

selain para anggota Dewan tidak memiliki profesionalisme dalam membuat

peraturan perundang-undangan juga karena faktor tekanan kepentingan

partai politik yang dominan. Hegemoni partai politik melalui elite-elite partai

dalam sistem multipartai seperti ini tampak jelas dalam kesepakatan partai-

partai dalam pemberlakuan parliamentary threshold di UU No 8 Tahun 2012

tentang Pemilu. salah satu penyebab terjadinya pelanggaran konstitusi

semacam itu adalah political threshold.

Banyaknya undang-undang produksi DPR dan Presiden yang

dibatalkan oleh MK, terjadi sebagai akibat materi muatan undang-undang

tersebut yang jamak mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpastian

hukum. Seringkali pengaturan yang dilakukan DPR justru kontradiktif dengan

pengaturan yang telah ada sebelumnya, dan mengingkari ama nat undang-

undang dasar, serta tidak sesuai dengan keinginan masyarakat secara luas.

Tidak adanya keharmonisan pengaturan yang dilakukan DPR itulah yang

memberi dampak pada jamaknya undang-undang, yang diajukan pengujian

Page 193: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

ke MK. Belum lagi beberapa undang-undang yang berkali-kali diajukan

pengujian.361

Perihal pengujian undang-undang sebenarnya tidak perlu banyak

terjadi, bilamana DPR jeli dalam menentukan materi muatan suatu undang-

undang. Perumusan suatu materi undang-undang seharusnya terlebih

dahulu dilakukan sinkronisasi dengan pe- ngaturan yang terdapat dalam

konstitusi, sebagai norma dasar tertinggi, dilakukan persandingan dengan

pengaturan serupa yang telah ada sebelumnya, serta disesuaikan dengan

kepentingan atau suara dari kons- tituen (masyarakat secara luas). Ketelitian

dan kecermatan DPR, dengan memformulasi antara aturan yuridis dan

situasi sosial di masyarakat, adalah kunci untuk menekan sekecil mungkin

adanya pertentangan norma dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Jauh-jauh hari, pada mula adanya MK, sesungguhnya DPR telah sering

diingatkan untuk lebih serius dalam melakukan pemba- hasan berbagai

rancangan undang-undang, sebab dengan mudahnya MK dapat

membatalkan kekuatan mengikat RUU tersebut setelah diundangkan,

apabila tidak dilakukan pembahasan secara serius. Tingginya tingkat

pengajuan pengujian berimplikasi pula pada melambatnya kinerja legislasi

DPR, sebab DPR diharuskan untuk melakukan revisi dengan segara atas

undang-undang yang dibatalkan kekuatan mengikatnya oleh MK, agar

supaya tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), yang dapat

berakibat pada terganggunya akses para pencari keadilan (justitiabelen).

Salah satu kecenderungan yang bisa dilihat dari perkembangan

perundang-undangan di Indonesia adalah banyaknya persoalan yang ingin

diatur dalam undang-undang. Seolah-olah undang-undang menjadi obat

yang paling ampuh untuk mengatasi persoalan yang ada. Sebagai contoh,

361 Sebagai contoh, Undang-Undang yang sering dimintakan pengujian ke MK, misalnya(i) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubahdengan UU No 20 Tahun 2001; (ii) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; (iii) UU No. 8Tahun 2003 tentang Advokat; (iv) Kitab Undang-undang Hukum Pidana; (v) Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan (vi) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Page 194: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

untuk mengatasi permasalahan hubungan antar umat beragam, muncul

usulan untuk membentuk undang-undang yang mengatur kerukunan antar

umat beragama. Contoh lain, merespon aksi terorisme belakangan,

pemerintah menggagas revisi undang-undang antiterorisme. Beberapa

contoh lainnya dapat dicermati dari daftar RUU yang masuk dalam program

legislasi nasional 2015-2019.

nn Seydman dalam bukunya Penyusunan Rancangan Undang-

Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis menuliskan ada dua

alasan urgensi pengaturan dalam bentuk undang-undang. Pertama, alasan

kebutuhan untuk memerintah. Bagi pemerintah kedudukan undang-undang

berguna untuk menjalankan roda pemerintahan. Kedua, alasan tuntutan

legitimasi. Kebijakan pemerintah yang diformulasikan dalam bentuk undang-

undang memberikan pemerintah suatu legitimasi. Alasan yang dikemukakan

oleh Ann Seydman tersebut melihat dari kelanjutan perumusan kebijakan.

Pemerintah untuk mengefektifkan kebijakannya perlu mengubah bentuknya

menjadi undang-undang yang dapat mengikat secara umum baik masyarakat

maupun aparatur pemerintah sendiri. Legitimasi ini dibutuhkan pemerintah

dan aparaturnya untuk menguatkan posisi kebijakannya ketika berhadapan

dengan publik.

Dari pendapat tersebut juga dapat dilihat bahwa undang-undang

diperlukan untuk mengatur kepentingan umum. Pemerintah menjalankan

fungsinya untuk melayani kepentingan umum. John Locke sebagaimana

dikutip Bayu Dwi Anggono dalam bukunya Perkembangan Pembentukan

Undang-Undang di Indonesia menyatakan bahwa undang-undang yang

dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat

memberikan kebaikan bagi masyarakat luas atau memuat unsur-unsur

kepentingan umum.

Undang-undang yang dibentuk harus memberikan manfaat yang

luas bagi masyarakat. Akan tetapi, persoalan yang berkembang dalam sistem

Page 195: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

undang-undang saat ini tidak jelas batasan materi yang harus diatur dalam

undang-undang. Walaupun pengaturan normatif mengenai batasan materi

muatan undang-undang sudah terdapat dalam UU No. 12/2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi: (i) pengaturan lebih

lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; (ii) perintah suatu Undang-Undang

untuk diatur dengan Undang-Undang; (iii) pengesahan perjanjian

internasional tertentu; (iv) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;

dan/atau (v) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Jadi sebenarnya sistem perundang-undangan sudah membatasi

materi yang dapat diatur dalam suatu undang-undang. Memang kalau

diperhatikan,materi muatan kelima yaitu pemenuhan kebutuhan hukum

dalam masyarakat menjadi materi yang terbuka. Undang-undang tidak

memberi batasan lebih lanjut mengenai kebutuhan hukum dalam

masyarakat tersebut. Hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengatur

banyak hal dalam suatu undang-undang.

Pakar perundang-undangan yang kini menjadi hakim konstitusi,

Maria Farida, menerangkan bahwa saat ini banyak materi muatan yang

seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang justru dipaksakan diatur dengan undang-undang. Padahal

seandainya diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang, pelaksanaannya menjadi lebih sederhana dan anggaran

yang dibutuhkan relatif kecil.

Kita bisa mempertanyakan urgensi pembentukan berbagai

undang-undang yang tidak masuk dalam lingkup pengaturan kepentingan

umum, seperti undang-undang yang mengatur mengenai profesi, berbagai

peraturan di bidang kesehatan, sampai pada undang-undang yang bersifat

sangat teknis. Alasan legitimasi juga ditengarai muncul dalam pembentukan

berbagai undang-undang tersebut. Kebutuhan legitimasi yang menurut Ann

Seydman hanya tertuju pada pemerintah untuk menguatkan kebijakannya,

Page 196: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

ternyata juga dibutuhkan oleh organisasi atau masyarakat, sehingga

keinginan membentuk undang-undang, didasarkan pada alasan prakmatis.

Tanpa mempertimbangkan apakah akan memberi manfaat bagi masyarakat

luas atau hanya sebagian kecil kelompok.

Sistem perundang-undangan mengenal berbagai jenis peraturan

perundang-undangan. Kewenangan membentuknya menyebar di berbagai

lembaga pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan

demikian, tidak mengherankan jumlah peraturan perundang-undangan di

Indonesia sangat banyak. Namun, sulit menyebutkan atau mencari rujukan

angka pasti jumlah peraturan yang masih berlaku. Situs peraturan.go.id yang

dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM menyediakan 32.806 (data 16

September 2015). Jumlah ini sangat mungkin lebih besar. Terutama untuk

peraturan di tingkat teknis atau peraturan di tingkat daerah. Jumlah

peraturan perundang-undangan yang sangat besar ini berpotensi

menimbulkan persoalan harmonisasi dan konsistensi pengaturan di antara

berbagai peraturan yang berkaitan sehingga memicu permasalahan dalam

implementasi. Seperti yang ditemukan Kementerian Koordinator

Perekonomian dan Kementerian PPN, dengan jumlah yang berbeda,

menemukan peraturan perundang-undangan yang menjadi kendala dalam

pembangunan. Angka regulasi yang bermasalah itu baru seputar materi

sektor ekonomi atau investasi. Jumlahnya semakin besar apabila menyentuh

bidang sosial, politik, dan lainnya. Terlebih lagi, apabila tidak dilakukan

perubahan mendasar dalam sistem perundang-undangan, produksi

peraturan perundang-undangan terus akan dilakukan.

Adanya kecenderungan pendapat bahwa setiap persoalan perlu

diatur dalam undang-undang, keinginan memperoleh legitimasi melalui

undang-undang, keyakinan bahwa undang-undang menjadi alternatif solusi

menyelesaikan masalah sosial akan menyebabkan tingginya produksi

undang-undang. Jumlah undang-undang akan semakin membengkak.

Page 197: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Indonesia masuk dalam situasi hiper regulasi. Banyak hal yang diatur dengan

undang-undang. Permasalahan ini juga akan berdampak pada pemborosan

anggaran negara. Pembahasan undang-undang melalui proses yang panjang

dengan tuntutan ketersediaan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Ditambah

lagi dengan alokasi anggaran yang tidak relevan misalnya studi banding.

Permasalahan lain terkait dengan ongkos sosial yang muncul dari

pembahasan undang-undang yang menimbulkan pro kontra yang ekstrem di

masyarakat. Padahal belum tentu undang-undang yang diperdebatkan

tersebut akan dapat diimplementasikan secara efektif dan memberi manfaat

bagi masyarakat luas.

Proses legislasi seringkali dimaknai dengan proses membuat

peraturan perundang-undangan yang berhenti sampai dengan adanya

produk dari proses tersebut. Perlu dicatat, UU 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan

pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan

perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,

pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Definisi

normatif dalam Undang-Undang tersebut mengatur bahwa proses

pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dengan perencanaan

dan berakhir saat pengundangan.

Padahal dinamika yang terjadi setelah peraturan selesai dibentuk

juga menjadi area yang harus dipantau oleh pembentuk peraturan.

Implementasi peraturan merupakan kondisi riil yang dapat menunjukkan

adanya persoalan dalam peraturan perundang-undangan, seperti tumpang

tindih peraturan, inkonsistensi, maupun pertentangan antarperaturan.

Efektivitas peraturan diuji dengan situasi yang nyata. Temuan-temuan dalam

implementasi seharusnya menjadi umpan balik bagi pembentuk peraturan

perundang-undangan untuk memutuskan tindakan yang harus dilakukan

dalam mengatasi permasalahan peraturan tersebut. Di sinilah perlunya

Page 198: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

proses legislasi juga memasukkan tahapan pengawasan pelaksanaan

(monitoring dan evaluasi). Jadi tidak sekedar membentuk atau memproduksi

tetapi juga memantau hasil dari proses pembentukan tersebut di dalam

implementasi.

Sebagai tahapan yang terabaikan dalam proses legislasi saat ini,

belum ada lembaga yang khusus melakukan fungsi monitoring evaluasi

regulasi. Padahal fungsi monitoring evaluasi sangat perlu dilakukan secara

rutin dan permanen masuk dalam tahapan proses legislasi. Lembaga yang

berhubungan dengan perundang-undangan masih berkutat pada

perencanaan, penyiapan, pembahasan sampai dengan pengundangan

dengan hasil akhir naskah akademik maupun naskah peraturan perundang-

undangan.

Fungsi yang diatur setelah pengundangan sebatas pada penyiapan

menjalani sidang judicial review peraturan perundang-undangan terkait.

Kurangnya perhatian atau bahkan tidak adanya perhatian terhadap

kebutuhan monitoring dan evaluasi ini bisa dilihat dari struktur organisasi

yang terdapat di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Kementerian Hukum dan HAM. Ditjen ini memiliki fungsi di bidang peraturan

perundang-undangan. Struktur organisasinya meliputi Direktorat

Perancangan, Direktorat Fasilitasi Peraturan Daerah, Direktorat Harmonisasi,

Direktorat Pengundangan, Publikasi dan Kerjasama Perundang-undangan,

dan Direktorat Litigasi. Susunan organisasi dalam Direktorat Jenderal yang

sangat berhubungan dengan peraturan perundang-undangan tersebut

mencerminkan pelaksanaan tugas pembentukan peraturan perundang-

undangan sampai dengan pengundangan dan litigasi dalam hal terdapat

pengujian konstitusional. Tidak ada unit kerja yang memiliki tugas

melakukan monitoring evaluasi atau analisis peraturan perundang-undangan

yang sudah dibentuk. Semua unit bekerja untuk tahapan sampai

menghasilkan peraturan perundang-undangan.

Page 199: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kekacauan kualitas

peraturan perundang-undangan yang terjadi tidak mudah diselesaikan.

Bahkan selama ini tidak pernah tersentuh. Solusi yang ditempuh seringkali

dengan membentuk peraturan baru. Tanpa melihat apakah substansi

pengaturannya masih diperlukan atau tidak. Padahal dalam kewenangan

membentuk peraturan perundang-undang juga melekat kewenangan untuk

mencabut. Fungsi mencabut ini yang jarang sekali digunakan. Kebijakan

deregulasi dan pernyataan banyaknya peraturan yang justru menghambat

pembangunan di awal tulisan ini, menegaskan perlunya dibentuk lembaga

khusus yang menangani monitoring evaluasi peraturan perundang-

undangan. Peran dan fungsinya tidak bisa dianggap menjadi tugas

“sampingan” dari lembaga yang berhubungan dengan perundang-undangan

yang sudah ada saat ini. Tidak bisa juga peran ini dijalankan melalui fungsi

koordinasi yang berisikan unsur Kementerian/Lembaga. Namun yang

diperlukan adalah lembaga khusus yang fungsinya mengawasi dan

menganalisis berbagai peraturan (existing regulation) yang menimbulkan

persoalan di masyarakat. Hasilnya adalah rekomendasi yang harus

ditindaklanjuti pembentuk peraturan perundang-undangan.

Definisi normatif dalam Undang-Undang tersebut mengatur

bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai

dengan perencanaan dan berakhir saat pengundangan sehingga yang

dilakukan oleh pembentuk peraturan adalah membuat peraturan sesuai

dengan kewenangannya.

Sebenarnya kecenderungan memudahkan persoalan dengan

menerbitkan undang-undang sudah terjadi sejak Indonesia memasuki era

reformasi 1998. Hasil penelitian disertasi Dr Bayu Dwi Anggono dari Fakultas

Hukum Universitas Jember menyatakan bahwa tahun 1998-2013 di tingkat

pusat telah diterbitkan 428 undang-undang. Namun dia melihat indikasi

tidak terpenuhinya butir-butir muatan undang-undang.

Page 200: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Artinya, hal-hal yang diatur dalam undang-undang tersebut,

menurut ketentuan hukum di Indonesia, sebenarnya bukan materi yang

seharusnya diatur lewat undang-undang. Terjadilah apa yang disebut

hyperregulation. Fakta itu menunjukkan kesalahan cara berhukum di negara

kita, yang memperlakukan undang-undang layaknya sarana penjamin bahwa

segala sesuatunya telah sah karena telah dibuat peraturan hukumnya.

Temuan penelitian Bayu Dwi Anggono itu, bisa menunjukkan

beberapa hal. Pertama, cara berhukum di negara kita masih didominasi

peraturan belaka. Seolah-olah dengan menerbitkan perundang-undangan,

sudah sah memenuhi kualifikasi negara hukum. Nilai-nilai luhur seperti

kejujuran, iktikad baik, keadilan hukum,dan kebenaran kedaulatan rakyat,

tidak menjadi acuan yang melandasi. Padahal nilai-nilai itu tidak boleh

dilepaskan dari sebuah aturan hukum.

Kedua, perundang-undangan disusun tanpa dilandasi nilai-nilai

dasar hukum. Padahal penyusunan undang-undang —yang notabene adalah

hukum— harus selalu mendasarkan nilai-nilai (values) tertentu yang bersifat

metayuridis. Nilai-nilai itu adalah hal-hal abstrak yang diyakini

kebenarannya. Selain itu, dibangun berdasarkan perpaduan pengalaman

perjalanan suatu bangsa, berbasis realitas, dan perenungan mengenai

semua hal yang telah terjadi.

Ketiga, perundang-undangan disusun tanpa memperhatikan

efektivitas. Membicarakan efektivitas hukum adalah membicarakan

implementasinya. Membicarakan implementasi hukum, secara teori bukan

sekadar menerbitkan undang-undang lalu selesai. Kita juga harus

mempersiapkan kelembagaan yang melaksanakan dan menjaga ketaatan

atas undang-undang itu, termasuk budaya hukum yang mendukung

pelaksanaan regulasi tersebut.

Penambahan ini juga dipengaruhi adanya kecenderungan yang

menganggap peraturan perundang-undangan menjadi solusi atau pra syarat

Page 201: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat. Kecenderungan lainnya yang

muncul adalah keinginan mengatur profesi dalam undang-undang. Contoh

Undang-Undang Nomor 11/2014 tentang Keinsinyuran, UU Nomor 38/2014

tentang Keperawatan sehingga persoalan yang sebenarnya bukan materi

perundangan-undangan diatur dalam produk hukum itu. Persoalan yang

muncul dengan peraturan yang sudah berlaku (existing regulation) belum

mampu diselesaikan. Justru akan bertambah dengan persoalan-persoalan

baru dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk

dengan kecenderungan yang ada saat ini.

Realitasnya, kita banya menerbitkan undang-undang atau perda

namun tak berjalan efektif karena tidak ditopang budaya hukum yang

mendukung keberhasilan pelaksanaan undang-undang. Contoh paling nyata

berkait dengan penerbitan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Walaupun regulasi tersebut

diberlakukan sejak 2009, hingga kini terlalu banyak pelanggaran atas

undang-undang itu, dan tak diikuti penegakan hukum sebagaimana

mestinya. Penyebabnya, karena tidak tumbuh kesadaran tentang betapa

penting melibatkan pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan

pembangunan. Hal itu mencakup wawasan berpikir yang pada giliran akan

membentuk budaya hukum.

Montesquieu berpendapat bahwa perubahan-perubahan yang

tidak penting dalam undang-undang yang ada, undang-undang yang sulit

dilaksanakan, dan undang-undang yang benar-benar tidak diperlukan, harus

dihindari karena hukum-hukum seperti itu akan memperlemah otoritas

hukum secara umum. Jadi membengkaknya undang-undang justru akan

berdampak negatif bagi keberadaan hukum itu sendiri. Undang-undang

hanya akan menjadi dokumen tertulis yang tidak berpengaruh bagi

perubahan masyarakat. Bahkan dapat berpengaruh pada kepercayaan

masyarakat terhadap hukum.

Page 202: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Undang-undang menjadi bagian penting dalam sistem hukum kita.

Ketidakcermatan dalam membentuk undang-undang dapat menimbulkan

dampak negatif bagi hukum itu sendiri. Oleh karena itu, DPR dan Presiden

sebagai pemegang kuasa membentuk undang-undang perlu melakukan

penataan ulang dengan melihat pada kecenderungan motiv membentuk

undang-undang saat ini. Seleksi usulan undang-undang perlu dilakukan

secara lebih ketat, prioritaskan pada undang-undang yang mengatur

kepentingan umum.

Sesungguhnya, negara hukum tak bisa disamakan dengan negara

undang-undang. Negara hukum bukan negara undang-undang. Ada 2 (dua)

unsur dalam definisi negara hukum, yakni hubungan antara negara dan

rakyat berdasarkan hukum, bukannya berdasarkan kekuasaan. Kemudian,

hukum yang dituangkan dalam perundang-undangan, bukan hanya

memenuhi syarat formal melainkan secara materi juga dibangun

berdasarkan nilai-nilai itu.

Peraturan perundang-undangan disebut memenuhi syarat formal

bila proses pembuatannya memenuhi syarat keterbukaan dan tidak

memanfaatkan keterbatasan waktu. Disebut memenuhi syarat material bila

secara substansi dapat dipertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan

peraturan yang lebih tinggi. Yang paling hakiki adalah bisa

dipertanggungjawabkan berdasarkan tiga nilai dasar hukum: keadilan,

kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Berdasarkan ketiga nilai dasar hukum tersebut, tiap peraturan

perundang-undangan harus memenuhi sedikitnya lima kriteria. Pertama;

mencerminkan kehendak bersama. Kedua; disusun berdasarkan iktikad baik.

Ketiga; tidak memuat agenda tersembunyi, semisal menghancurkan pihak

lain. Keempat; tidak menyimpang dari nilai-nilai yang telah disepakati

bersama sehingga mendorong kepercayaan terhadap hukum. Kelima;

bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kestabilan hidup.

Page 203: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Penulis menyuguhkan kriteria itu kepada sidang pembaca untuk

digunakan sebagai alat ukur. Artinya, kita bisa menilai sendiri apakah

peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini banyak diwacanakan di

media massa bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Tentu sebagai warga

negara, pembaca berhak mengharapkan kehadiran Indonesia yang lebih

baik.

Selain itu, ketaatan pada ketentuan normatif yang mengatur

materi muatan undang-undang juga harus ditingkatkan kembali, sehingga

materi yang seharusnya diatur dalam jenis peraturan di bawah undang-

undang tidak perlu dibahas untuk menjadi undang-undang. Di sisi lain, perlu

mendorong berbagai kalangan untuk lebih memahami kedudukan undang-

undang dalam mengatur kepentingan negara dengan mengedepankan pada

pengaturan yang bersifat umum dan luas.

Banyaknya undang-undang yang dianulir Mahkamah Kontitusi baik

sebagian maupun seluruhnya karena terbukti melanggar hak kontitusi warga

negara, disikapi Mahkamah Agung dengan menggelar rapat pleno

jajarannya. Pleno yang digelar selama tiga hari, sejak 9 hingga 11 Oktober

2014 di Bandung, Jawa Barat itu juga mengagendakan pemaparan keadaan

perkara dan permasalahan di masing-masing kamar MA. Mulai dari Kamar

Agama, Kamar Peradilan Militer, Kamar Pembinaan, Kamar Perdata, Kamar

Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Kamar Pengawasan dan

Kamar Pidana Mahkamah Agung. Langkah MA untuk menggelar rapat pleno

terkait permasalahan hukum ini, diduga adanya kasus pemidanaan yang

menggunakan pasal-pasal dalam UU yang telah dicabut MK.

Salah satu diantaranya kasus pemidanaan terhadap dr Bambang

Suprapto dalam pengajuan kasasinya. Dalam putusan kasasi majelis hakim

kasasi yang dipimpin hakim Agung Atridjo Alkotsar bersama Surya Jaya dan

Andi Samsan Nganro menjatuhkan hukuman kepada Bambang penjara

selama 1,5 tahun. Bambang dinilai melanggar pasal pasal 76 dan pasal 79

Page 204: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

huruf c UU Praktik Kedokteran. Padahal seperti diketahui pada 19 Juni 2007

MK telah menganulir ancaman pidana dalam pasal 76 dan pasal 79 huruf c

itu, sehingga berbunyi Dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja

melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp

100 juta. Sedangkan pasal 79 huruf c menjadi Dipidana dengan denda paling

banyak Rp50 juta setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak

memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf

b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Putusan-putusan MK, tidak hanya dapat diketahui dengan cepat

melalui publikasi media massa dan website MK, tetapi dapat diperoleh

secara gratis. Dengan kata lain, prinsip-prinsip peradilan yang cepat, mudah,

murah dan transparan telah diterapkan oleh MK. Suatu hal yang nampaknya

masih sulit dipraktekkan pada institusi peradilan umum ataupun institusi

negara lainnya.

Kendati demikian, selama ini dirasakan pula sejumlah

permasalahan dalam praktek penyelenggaraan MK. Permasalahan yang

seringkali menjadi sorotan adalah berkenaan dengan putusan-putusan yang

dikeluarkan MK, terutama dalam perkara pengujian konstitusionalitas

undang-undang. Tidak jarang putusan MK sangat kontroversial, yang

kemudian menimbulkan pro-kontra. Dalam hal ini, beberapa putusan

diantaranya dianggap merupakan putusan yang “progressif” dan bersejarah

(landmark decisions). Sebaliknya, ada juga putusan-putusan yang kemudian

dinilai janggal, membingungkan sekaligus mengecewakan. Kontroversi

lainnya adalah, ketika sejumlah putusan MK dinilai ‘melanggar’ prinsip yang

melarang hakim mengabulkan melebihi tuntutan atau permohonan (ultra

petita). Terkadang dalam mengadili dan memutus perkara, MK bertindak

“melampui kewenangan” dengan memasuki ranah legislasi. Bahkan

Page 205: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kemungkinan besar terjadi conflict of interest ketika MK harus menilai dan

mengadili dirinya sendiri.

Bisa jadi kontroversi dalam putusan MK, karena ada sudut

pandang, pemahaman dan juga “kepentingan” yang berbeda dalam

memaknainya. Sebagaimana hakim MK yang kerap kali berbeda tafsir atau

pendapat (dissenting atau concurring opinion) dalam putusan. Kemungkinan

pula karena pengaruh dari keluasan dimensi issue atau persoalan

(politik, ekonomi, hak asasi manusia, pidana, dan perdata) yang mesti

diputus MK dalam perkara pengujian undang-undang. Sehingga memaksa

putusan MK bersikap ‘moderat’, tetapi disisi lain menjadi ‘tidak tegas’.

Demikian halnya ketika putusan MK tidak implementatif, besar kemungkinan

karena selalu dihadang oleh kompleksitas masalah yang mengemuka

ditahap aplikasi putusan final. Namun jika dibiarkan terus berlangsung,

dapat dipastikan akan melahirkan ketidakadilan, menciptakan ketidakpastian

hukum dan hilangnya kepercayaan terhadap MK. Ini tentunya menjadi

persoalan serius yang perlu dicarikan jalan keluarnya.

Disadari bahwa putusan-putusan MK memiliki dampak yang luas

bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Beragam persoalan dan

respon yang muncul mengiringinya, mendorong keinginan kuat untuk

melihat dan mempertanyakan kembali peraturan perundang- undangan

tentang MK. Sejauh mana peraturan perundang-undangan, khususnya UU

No. 24 Tahun 2003, telah mengatur secara lengkap dan memadai. Sebab,

putusan sebagai hasil dari pelaksanaan kewenangan, memerlukan tatacara

(hukum acara) yang dapat menuntun dan menjadi pedoman terlaksananya

kewenangan dengan baik. Adakah yang keliru dalam pengaturannya,

ataukah belum secara lengkap UUMK mengatur hal-hal yang berkaitan

dengan hukum acara? Apabila UUMK sudah mengatur secara lengkap,

sejumlah persoalan yang muncul dapat diantisipasi. Tentunya selain dapat

mendukung pelaksanaan kewenangan yang akan berpengaruh terhadap

Page 206: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

putusan yang akan diambil. Sebagaimana diketahui UUMK memang belum

memberikan pengaturan secara lengkap bagi kebutuhan terselenggaranya

peranan MK. Masih terdapat sejumlah pertanyaan atau permasalahan dalam

UUMK yang memerlukan rincian, penjelasan dan penegasan lebih lanjut.

Kelemahan dan kekurangan itu dirasakan ketika UUMK

diterapkan, terutama dalam hal ketika MK menjalankan tugas dan

wewenang konstitusionalnya. Berbagai kelemahan dan permasalahan dalam

UUMK tentu saja memerlukan perbaikan dan perubahan. Perubahan yang

setidaknya dapat dilakukan secara komprehensif, tidak hanya menyangkut

aspek hukum acara, akan tetapi menyangkut juga persoalan lain yang

diperlukan bagi pengembangan dan penguatan peranan MK ke depan.

Sekalipun MK telah membuat beberapa Peraturan Mahkamah

Konstitusi (PMK), terutama berkaitan dengan hukum acara, kode etik dan

pedoman perilaku bagi hakim konstitusi, serta tata cara untuk pemilihan

Ketua MK. Namun demikian, PMK tersebut belum cukup memadai untuk

menutupi kelemahan UU No. 24 Tahun 2003 dan menunjang pelaksanaan

kewenangan MK kedepan. Selain karena legitimasinya kurang kuat,

meskipun dibenarkan atas perintah UUMK, PMK tidak bisa digunakan untuk

menjawab dan mengatasi seluruh kekurangan dan problem yang muncul

dari UUMK.

Di sisi lain, putusan MK seringkali tidak segera ditindaklanjuti

dengan merevisi undang-undang yang telah dibatalkan. Pemerintah dan DPR

sangat lamban dan cenderung tidak merespon secara positif putusan-

putusan MK. Ini bisa berakibat terjadinya kekosongan hukum. Pada

kenyataan lain juga menunjukkan bahwa, putusan MK yang bersifat final dan

mengikat (final and binding), terkadang bak macan diatas kertas. Bergigi

tapi tidak begitu efektif. Putusan final merupakan putusan pertama dan

terakhir, yang dapat dimaknai tidak ada lagi upaya hukum yang bisa

Page 207: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

ditempuh. Putusan final yang semestinya dipatuhi, faktanya malah diabaikan

bahkan ditolak oleh aktor-aktor negara judicial maupun non judicial

Berhadapan dengan antinomi tentu saja diperlukan kearifan.

Pembentuk undang-undang dalam konteks positive legislature, maupun MK

sebagai negative legislature tentu tak bisa menghilangkannya, karena itu

menjadi bagian integral dari kerangka hukum itu sendiri. Namun bukan

berarti tak bisa diselesaikan secara arif dan bijaksana dengan kembali ke

pemenuhan hak konstitusional warga. Alasan hukum (legal reasoning) tepat

dan kuat itulah yang akan sangat membantu menyelesaikan ketegangan

yang lahir dari antinomia ini.

Pada dasarnya, wewenang uji materiil suatu UU ini dimiliki oleh

MK. Dalam konteks ini, MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk [Pasal 10

ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Pengujian itu

sendiri kemudian memberikan akibat terhadap eksistensi undang-undang

dalam bentuk yang bervariasi.

C. Legal Standing Pengujian Undang-Undang

Perlu dicatat, semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai

perkara permohonan, bukan gugatan. Alasannya karena hakikat perkara

konstitusi di MK tidaklah bersifat adversarial atau contentious yang berkenaan

dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain

seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara. Kepentingan yang

sedang digugat dalam perkara pengujian undang-undang adalah kepentingan

yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama.

Pengujian undang-undang oleh MK sesuai amanat UUD 1945 memberikan

prospek yang baik pada penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Artinya, pengujian undang-undang sebagai upaya mengidentifikasi,

Page 208: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

menyelidiki lebih komprehensif, dan kemudian menilai secara objektif, akan

menghindarkan atau mencegah undang-undang menyalahi atau menyimpang

dari Undang-Undang Dasar. Filosofi yang dikenal dan dipahami negara-negara

hukum modern, bahwa pengujian konstitusioal sebagai kontrol antar

lembaga-lembaga negara untuk terwujudnya cita negara hukum yang

demokratis. Tegasnya, pengujian undang-undang adalah persoalan

fundamental dalam kehidupan sebuah negara hukum. Undang-undang adalah

produk politik yang notabene merupakan kristalisasi kepentingan-

kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin

saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi.

Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang

yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di

atasnya.

Undang-undang yang digugat adalah undang-undang yang

mengikat umum terhadap segenap warga negara. Oleh sebab itu, perkara

yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permohonan. Karena

itu, subjek hukum yang mengajukannya disebut sebagai Pemohon, bukan

Penggugat.

Permohonan yang diajukan kepada MK diterima oleh petugas

penerima permohonan untuk disampaikan kepada Panitera MK yang akan

melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan. Selain berkas

permohonan perkara (hard copy) dalam praktik pemohon juga diminta untuk

menyerahkan permohonan dalam bentuk soft copy atau file. Pemeriksaan

yang dilakukan oleh panitera ini bersifat kelengkapan administratif, bukan

terhadap substansi permohonan. Pemeriksaan administrasi ini misalnya

meliputi jumlah rangkap permohonan, surat kuasa, kejelasan identitas, serta

daftar alat bukti.362 Permohonan yang dinyatakan belum lengkap belum dapat

dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Pemohon wajib

362 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003.

Page 209: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak

pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon. Hanya

permohonan yang telah dinyatakan lengkap yang dicatat dalam BRPK yang

memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi disertai dengan

pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama

pemohon, dan pokok perkara.363

Setelah permohonan dinyatakan lengkap dan diregistrasi dalam

BRPK, MK akan menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling

lambat 14 hari kerja. Artinya, penetapan jadwal sidang pertama dimaksud

adalah paling lambat 14 hari kerja sejak diregistrasi, sedangkan sidang

pertama itu sendiri dapat dilakukan lebih dari 14 hari kerja. Penetapan jadwal

sidang pertama ini harus diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan

kepada masyarakat. Pengumuman ini dilakukan dengan cara menempelkan

salinan pemberitahuan di papan pengumuman MK yang khusus disediakan

untuk itu. Setiap permohonan yang diajukan kepada MK dapat ditarik

kembali, baik sebelum maupun selama sidang pemeriksaan oleh MK. Pada

saat suatu permohonan ditarik kembali, pemohon dimaksud tidak dapat

mengajukan kembali permohonan dimaksud, kecuali dengan alasan

konstitusional yang berbeda.

Di samping permohonan yang disampaikan secara fisik ke kantor

MK, permohonan juga dapat dilakukan secara online melalui sistem informasi

yang dikembangkan dan menjadi satu dengan laman MK. Namun demikian,

pengajuan perkara secara online harus tetap diikuti dengan penyampaian

berkas perkara secara fisik. Permohonan perkara online diatur dalam PMK

Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik

(Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video

Conference). Untuk mengajukan permohonan secara online, pemohon harus

melakukan registrasi, baik secara online maupun offline, guna mendapatkan

363 Pasal 32 dan Pasal 33 UU No. 24 Tahun 2003.

Page 210: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

nama identifikasi (user name) dan kode akses (password) untuk dapat

mengakses program Sistem Informasi Manajemen Permohonan Elektronik

(SIMPEL). Melalui SIMPEL, dapat diajukan permohonan, alat bukti,

penambahan dokumen, serta daftar saksi dan ahli yang diajukan. User name

dan password tersebut juga akan berfungsi sebagai tanda tangan elektronik

(electronic signature) dalam proses perkara di MK.

Permohonan dianggap diterima apabila permohonan dimaksud

sudah masuk dalam jaringan komputer Kepaniteraan MK. Apabila

permohonan dimaksud telah masuk, Kepaniteraan MK menyampaikan

konfirmasi kepada pemohon dan/atau kuasanya dalam waktu 1 hari setelah

dokumen permohonan masuk dalam SIMPEL. Pemohon atau kuasanya harus

menjawab konfirmasi itu secara tertulis kepada Kepaniteraan MK dalam

waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak permintaan konfirmasi disampaikan

oleh Kepaniteraan MK. Jawaban atas konfirmasi tersebut disertai dengan

penyerahan 12 rangkap dokumen asli (hard copy) permohonan. Proses

pemeriksaan kelengkapan permohonan dan pemberitahuan dilakukan melalui

e-mail. Permohonan online yang telah memenuhi syarat didokumentasikan

dan disimpan oleh Panitera disertai dengan penomoran perkara. Panitera

mengirimkan Akta Registrasi Perkara kepada pemohon melalui e-mail dalam

waktu 7 hari sejak diregistrasi.

Terhadap beberapa permohonan perkara yang diterima, MK dapat

menetapkan penggabungan perkara, baik dalam pemeriksaan persidangan

maupun dalam putusan. Penggabungan perkara dilakukan melalui Penetapan

Mahkamah Konstitusi apabila terdapat dua perkara atau lebih yang memiliki

obyek atau substansi permohonan yang sama. Penggabungan perkara

biasanya dilakukan untuk perkara sejenis walaupun ada kemungkinan

terdapat dua perkara yang masuk dalam dua wewenang yang berbeda yang

memiliki isu hukum atau pokok perkara yang sama.

Page 211: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Penggabungan juga dapat dilakukan apabila ditengah proses

persidangan terdapat perkara baru yang mengajukan pengujian ketentuan

yang sama atau memiiki isu konstitusional yang sama. Perkara baru ini akan

digabungkan pemeriksaan dan putusannya dengan perkara yang sedang

diperiksa.

Penggabungan perkara untuk perkara pengujian UU diatur dalam

PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian

Undang- Undang. Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 dinyatakan bahwa

penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim

terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan; (b)

memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas

permintaan pemohon.

Penggabungan perkara dalam perkara pengujian undang-

undang dilakukan terhadap dua atau lebih permohonan yang meminta

pengujian ketentuan pasal-pasal yang sama atau saling terkait dalam satu

undang-undang. Penggabungan perkara dan putusan pertama kali dilakukan

terhadap perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan Perkara Nomor 017/PUU-

I/2003 yang keduanya diputus dalam satu Putusan Nomor 011-017/PUU-

I/2003 pada Selasa, 24 Februari 2004. Kedua permohonan itu terkait dengan

ketentuan Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD,

dan DPRD yang memuat ketentuan persyaratan calon anggota DPR, DPD, dan

DPRD salah satunya adalah “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai

Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang

terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S./PKI, atau organisasi

terlarang lainnya”.

Contoh penggabungan perkara pengujian undang-undang yang

lain adalah pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang

menggabungkan Perkara Nomor 001/PUU-I/2003, Nomor 021/PUU-I/2003,

Page 212: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dan Nomor 022/PUU- I/2003, karena ketiganya mengajukan pengujian

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Penggabungan perkara dilakukan tidak hanya terhadap

permohonan yang mengajukan ketentuan pasal yang sama dari suatu undang-

undang. Terhadap permohonan pengujian pasal yang berbeda dalam satu

undang-undang dapat dilakukan penggabungan apabila memiliki keterkaitan

isu hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat pada Putusan Nomor 072-073/PUU-

II/2004 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, serta Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006

mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penggabungan perkara juga dapat dilakukan sepanjang

memiliki kesamaan jenis perkara dan pokok permohonan atau isu hukum.

Untuk perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) juga dapat dilakukan

penggabungan perkara apabila terkait dengan permasalahan yang sama.

Misalnya, perselisihan hasil Pemilu DPR di suatu daerah pemilihan yang sama,

tetapi diajukan oleh partai politik yang berbeda-beda dapat digabungkan

pemeriksaan dan putusannya.

Di sisi lain, terdapat kemungkinan adanya pokok permohonan

yang sama tetapi diajukan melalui permohonan perkara yang berbeda. Pada

kasus demikian dalam praktiknya tidak dilakukan penggabungan perkara,

tetapi hanya diputus dalam waktu yang hampir bersamaan. Dalam praktik hal

ini pernah terjadi terkait dengan perselisihan hasil pemilihan Wali Kota dan

Wakil Wali Kota Depok, yang diajukan ke dalam dua perkara, yaitu perkara

Nomor 01/PUU-IV/2006 dengan pokok perkara pengajuan pengujian Putusan

PK MA Nomor 01/PK/PILKADA/2005 yang dikonstruksikan sebagai

yurisprudensi yang berkedudukan sama dengan Undang-Undang, serta

Perkara Nomor 02/SKLN-IV/2006 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga

Negara antara Pasangan Calon Wali Kota dan Wali Kota Depok Terhadap

Page 213: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

KPUD Kota Depok. Walaupun kedua perkara tersebut pada prinsipnya adalah

satu perkara, yaitu perselisihan dalam proses pemilihan Wali Kota dan Wakil

Wali Kota Depok, namun karena masuk dalam dua jenis perkara yang berbeda

sehingga tidak dapat dilakukan penggabungan perkara. Namun demikian

perkara dimaksud diputus pada hari yang sama, yaitu pada 25 Januari 2006.

Ketatnya seleksi atas permohonan atau petisi ini berkaitan pula

dengan ketentuan mengenai “legal standing” pemohon. Mahkamah Agung

Amerika Serikat menentukan beberapa persyaratan “legal standing” untuk

dapat secara resmi memeriksa sesuatu permohonan atau petisi. Sebanyak 3

(tiga) kriteria ‘standing’ dirumuskan dari konstitusi, dan 3 (tiga) lainnya dari

undang-undang tetapi ditafsirkan oleh Mahkamah Agung tidak bertentangan

dengan pembatasan yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar.

Di Austria, persyaratan untuk mengajukan “individual request”

untuk pengujian konstitusional ini cukup ketat. Misalnya, dipersyaratkan

adanya gangguan aktual yang sangat serius (Betroffenheitsdichte) terhadap

hak-hak seorang individu warga negara, sehingga terpenuhi unsur-unsur (i)

kerugian aktual, yang tidak hanya bersifat potential, (ii) gangguan yang

bersifat langsung, bukan tidak langsung, (iii) dengan tingkat ‘seriousness’ yang

tinggi, dan (iv) upaya untuk mengembalikan atau memulihkan kerugian itu

benar-benar sudah final (exhausted) dan tidak tersedia lagi upaya hukum yang

lain (Umwegsunzumutbarkeit).

Menarik juga mengamati praktik di Prancis. Mengenai

kewenangan Dewan Konstitusi ini, dalam article 61 UUD Tahun 1958

ditentukan “Organic laws, before their promulgation, and regulations of

Parliamentary assemblies, before they come into application, must be

submitted to the Constitutional Council, which shall rule on their

constitutionality”. Untuk disahkan menjadi undang-undang, rancangan

undang-undang dapat diajukan kepada Dewan Konstitusi oleh Presiden

Republik, Perdana Menteri atau oleh salah satu Ketua dari kedua kamar

Page 214: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

parlemen (Majelis Nasional dan Senat). Jika rancangan peraturan dimaksud

memang benar-benar diajukan untuk diperiksa, maka pemeriksaan tersebut

harus segera dilakukan oleh Dewan Konstitusi dan dalam waktu selambat-

lambatnya 1 (satu) bulan setelah itu, putusan final sudah harus ditetapkan,

meskipun, apabila terdapat keadaan memaksa (in case of emergency), atas

permintaan Pemerintah, tenggat waktu tersebut dapat pula diperpendek

menjadi hanya 8 (delapan) hari. Selama masa pemeriksaan oleh Dewan

Konstitusi, rancangan undang- undang atau segala peraturan dimaksud belum

dapat diberlakukan sebagai peraturan yang mengikat sampai putusan final

Dewan Konstitusi ditetapkan. Apabila putusan Dewan menyatakan bahwa

rancangan peraturan dimaksud tidak konstitusional, maka peraturan

dimaksud tidak boleh diundangkan atau diimplementasikan sebagai hukum.

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan

menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara

konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan

kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi

pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dengan

perkataan lain, pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka

benar-benar memiliki legal standing atau kedudukan hukum, sehingga

permohonan yang diajukannya dapat diperiksa, diadili, dan diputus

sebagaimana mestinya oleh MK. Persyaratan legal standing atau kedudukan

hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam

undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau

kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang

dipersoalkan.

Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in

judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan

Page 215: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

di depan pengadilan.364 Intinya adalah Legal standing atau kedudukan hukum

merupakan penentu apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek

hukum yang telah memenuhi syarat menrut undang-undang untuk

mengajukan perkara di muka pengadilan dalam perkara sebagaimana undang-

undang tersebut mengatur.365

Tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke MK dan

menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal

dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara tidak

dapat dijadikan dasar. Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point

d’interet point d’action yaitu apabila ada kepentingan hukum boleh

mengajukan gugatan. Standing atau personae standi in judicion adalah hak

atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di

depan pengadilan (standing to sue). Doktrin yang dikenal di Amerika tentang

standing to sue diartikan bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang

cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan

keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep

yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara

cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah

satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar

memperoleh putusan akhir dari pengadilan.366

Pengertian legal standing adalah keadaan di mana seseorang

atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai

hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa

atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi. Pemohon yang tidak memiliki

364 Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Dr. Harjono.,S.H., MCLWakil Ketua MK, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 176.

365 Henry Campbell Black, 1999, Black’s Law Dictionary, (st. Paul, West Group, hlm.1413.

366 Maruarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Edisi Revisi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 94.

Page 216: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kedudukan hukum akan menerima putusan MK yang menyatakan

permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).367

Kedudukan hukum (legal standing) mencakup syarat formal

sebagaimana ditentukan dalam UU, dan syarat materiil yang kerugian hak

dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang

dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU

No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi tersebut diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam

Pasal 3 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara

Pengujian Undang-Undang. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-

undang, yang meliputi: (i) Perorangan warga negara Indonesia; (ii) Kesatuan

masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangannya masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) Badan hukum publik atau

privat; atau (iv) Lembaga negara.

Untuk itu, dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003

sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK No. 06/PMK /2005,

ditentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang mengganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,

yaitu (i) perorangan warga negara Indonesia; (ii) kesatuan masyarakat hukum

adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-

undang; (iii) badan hukum publik atau privat; atau (iv) lembaga negara.

Perseorangan Warga Negara Indonesia

367 Ibid., 98-99.

Page 217: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Konsep tentang orang dalam hukum memegang kedudukan

sentral, karena semua konsep yang lain seperti hak, kewajiban, pemilikan,

hubungan hukum dan seterusnya, pada akhirnya berpusat pada konsep

mengenai orang.368 Orang inilah yang menjadi pembawa hak, yang bisa

dikenai kewajiban, dimana seorang yang mempunyai hak oleh hukum diberi

kekuasaan untuk mewujudkan haknya itu, yaitu dengan cara meminta pihak

lain untuk menjalankan kewajiban tertentu.369 Termasuk dalam kriteria

perorangan disini adalah kelompok orang yang memiliki kepentingan yang

sama.370 Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi, orang disini adalah Warga Negara Indonesia, yang dibuktikan

dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).371

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Kesatuan masyarakat hukum adapt sebagai pihak yang diberikan legal

standing untuk menjadi pemohon di MK merupakan pengakuan atas hak asli

masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945.372 Kesatuan

masyarakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik yang tersusun

dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk

kepentingan mencapai tujuan bersama.373 Berdasarkan peraturan MK, kesatuan

masyarakat hukum adat dibuktikan dengan bukti keberadaan masyarakat hukum

adat menurut undang-undang.374

Badan Hukum Publik atau Privat

368 Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, hlm. 66.369 Ibid., hlm. 67.370 Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi.371 Penjelasan Pasal 6 ayat (3) huruf a angka 1, UU Mahkamah Konstitusi.372 Dalam ketentuan ini diatur bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak traditionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yangdiatur dalam undang-undang.”

373 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit., hlm. 76.374 Pasal 6 ayat (3) huruf a angka 3 UU Mahkamah Konstitusi.

Page 218: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Badan hukum bersifat publik apabila didirikan baik dengan undang-

undang maupun perbuatan pemerintahan lainnya yang tidak saja memiliki hak

tetapi juga mempunyai kewenangan tertentu menjalankan sebagaimana tugas

dan kewenangan pemerintahan.375 Sedangkan badan hukum privat biasanya

merupakan perjanjian antara lebih dari dua orang yang menyendirikan sebagian

kekayaannya untuk disendirikan pada badan yang dibentuk dengan perjanjian.376

Kriteria utama yang menentukan suatu badan hukum itu perdata atau publik

terletak pada kepentingan yang diwakili badan hukum yang bersangkutan yang

tercermin dalam tujuan dan kepentingan para pendiri badan hukum itu

sendiri.377 Oleh karena itu pembuktian badan hukum ini adalah dengan akta

pendirian dan pengesahan badan hukum.378

Lembaga Negara

Lembaga negara yang dimaksud disini bukan hanya lembaga negara

yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945, tetapi juga lembaga negara

sebagai auxiliary institution yang dalam praktik banyak dibentuk oleh undang-

undang, bahkan juga atas dasar Keputusan Presiden.379 Dalam hal ini lembaga

negara ditingkat pusat dapat digolongkan menjadi: (i) Lembaga yang dibentuk

berdasarkan UUD 1945, contohnya; Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR,

MK, MA, dan BPK; (ii) Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang,

contohnya Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, KPU, Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), dan sebagainya; (iii) Lembaga yang dibentuk berdasarkan

Peraturan Presiden; dan (iv) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan

Menteri.

375 Maruarar Siahaan, op.cit., hlm. 89.376 Ibid., hlm. 90.377 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 90.378 Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 3 UU Mahkamah Konstitusi.379 Maruarar Siahaan, op.cit., hlm. 93.

Page 219: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Keempat pihak sebagaimana disebutkan diatas, tidak serta merta dapat

menjadi pemohon dalam pengujian, melainkan harus memenuhi persyaratan

agar keempat pihak tersebut memiliki legal standing sehingga permohonan yang

diajukannya dapat diperiksa, diadili, dan diputus sebagaimana mestinya oleh MK.

Persyaratan dimaksud adalah (i) Salah satu dari keempat kelompok subjek

hukum tersebut diatas; (ii) Subyek hukum dimaksud memang mempunyai hak-

hak atau kewenangan- kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Apa

yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD

1945380; (iii) hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan

memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau

bagian dari undang-undang yang dipersoalkannya itu;381 (iv) adanya atau

timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan kausal

(causal verband) dengan berlakunya undang- undang yang dimaksud;382 dan (v)

apabila permohonan yang bersangkutan, memang dapat dipulihkan kembali

dengan dibatalkannya undang-undang yang dimaksud.

Untuk membuktikan bahwa seseorang atau ke lompok orang ataupun

badan tertentu adalah salah satu dari keempat kelompok subjek hukum seperti

yang dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, maka yang

bersangkutan diharuskan memperlihatkan bukti-bukti yang mencukupi,

380 Lihat Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi.381 Kerugian konstitusional berkaitan erat dengan pengertian hak konstitusional yaitu

yang menyangkut hak-hak yang diatur dalam UUd 1945. Jika hak-hak yang dijamin oleh UUDtersebut ternyata dikurangi, dibatasi, atau menjadi tidak dapt diwujudkan sebagaimanamestinya, karena adanya atau berlakunya undang-undang yang bersangkutan, berarti undang-undang tersebut dapat dinilai atau dianggap merugikan hak konstitusional orang atau subyekhukum yang bersangkutan. Lihat: Jimly Asshiddiqie., op. cit., hal. 102.

382 Hubungan kausal dapat dijelaskan dengan teori-teori kausalitas. Dalam hukumpidana dikenal teori-teori kausalitas, yang diantaranya adalah: (i) Teori condition sine qua non,yaitu semua faktor atau syarat yang turut menyebabkan suatu akibat, yang tidak dapatdihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan,harus dianggap causa (sebab) akibat itu; dan (ii) Teori adaequaat, dimana diantara faktor-faktordalam rangkaian faktor- faktor yang dapat dihubungkan dengan terjadinya kerugian, ada satuyang dapat dianggap sebagai causa, yaitu faktor yang adaequaat (sesuai, seimbang) denganterjadinya akibat yang bersangkutan. Lihat: E. Utrecht, 2000, Rangkaian Sari Kuliah HukumPidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, hlm. 383-387.

Page 220: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

misalnya, dengan kartu tanda pengenal, kartu penduduk, passport, akta

kelahiran, akta yayasan atau surat pengesahan badan hukum, atau dokumen-

dokumen lain yang perlu.383 Mengenai lembaga negara, juga perlu dibuktikan

dengan dokumen -dokumen hukum yang sah, seperti ketentuan pasal

Undang-Undang Dasar, ataupun pasal-pasal Undang-Undang tertentu, pasal

peraturan pemerintah, atau keputusan presiden (peraturan presiden) tertentu,

dan sebagainya.

Setelah itu, selanjutnya harus dibuktikan pula bahwa dalam konstitusi,

memang benar terdapat jaminan-jaminan bahwa yang bersangkutan

mempunyai hak atau kewenangan konstitusional tertentu, yang hak atau

kewenangan konstitusional dimaksudkan itu dianggap telah dirugikan atau

dilanggar oleh berlakunya undang-undang yang bersangkutan.

Di samping itu, penilaian mengenai legal standing berdasarkan kelima

kriteria di atas, kadang-kadang juga tidak dapat dilakukan sebelum memeriksa

pokok perkara. Bahkan, kesimpulan mengenai kelima hal tersebut di atas,

kadang-kadang baru dapat diketahui setelah proses pembuktian. Setelah

dilakukan penilaian yang mendalam terhadap alat -alat bukti yang diajukan, baik

oleh pemohon, oleh pembentuk undang-undang, ataupun oleh pihak terkait,

seringkali majelis hakim baru mendapatkan kesimpulan mengenai kualitas legal

standing pemohon yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang

yang bersangkutan. Jika telah terbukti bahwa seseorang atau kelompok orang,

atau badan/lembaga yang bersangkutan sebagai subjek hukum memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud, maka subyek hukum yang

bersangkutan dapat dianggap mempunyai kedudukan hukum atau legal standing

383 Menurut Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/4627/SJ tentang penajamanKetentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah, yang dimaksud dengan badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadanhukum Indonesia adalah Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dansosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, badan dan lembagakemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan sosial yang telah memiliki Surat KeteranganTerdaftar (SKT) yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri, gubernur, atau bupati atau walikota.

Page 221: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

untuk tampil sebagai pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-

undang di MK.

Jimly Asshiddiqie mengemukakan 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi

untuk sahnya kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam perkara

pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi, keempat pihak atau

subjek hukum tersebut di atas (perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum

adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara), pertama-tama

haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang memenuhi

syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003

tersebut. Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya

memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-

kewenangan tertentu yang ditentukan dalam UUD 1945. Ketiga, hak-hak atau

kewenangan konstitusional dimaksud memang terbukti telah dirugikan oleh

berlakunya Undang-Undang yang bersangkutan.384

Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam putusan

nomor 006/PUU- III/2005 dan 011/PUU-V/2007 tentang persyaratan legal

standing, pendapat Laica Marzuki bahwa legal standing adalah suatu dasar dari

seseorang atau kelompok orang untuk mengajukan permohonan pengujian

undang-undang. apabila seorang pemohon tidak dirugikan oleh adanya undang-

undang tersebut, ia dapat dipandang tidak memiliki legal standing. Ia juga

menambahkan bahwa hal ini sesuai dengan asas yang berlaku universal dalam

gugatan di pengadilan, yaitu point d’interet point d’action. Mahkamah dalam

pertimbangan hukumnya memberikan legal standing merujuk pada syarat ketiga

yaitu bahwa kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau

setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi.

384 Ibid., hlm. 95-96.

Page 222: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dalam perkara nomor 36/PUU-X/2012 para pemohon tidak terlibat

langsung dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, para pemohon dikategorikan

oleh Mahkamah sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk

kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang secara potensial

dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal dari UU Migas

yang dimohonkan pengujian dan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian

konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam

perkara nomor 7/PUU-XI/2013 para pemohon sampai detik terakhir pembukaan

lowongan hakim konstitusi di DPR para pemohon tidak pernah mendaftar,

hanya berkemungkinan sewaktu-waktu diangkat menjadi hakim konstitusi dan

kemungkinan pula diperpanjang masa jabatannya. Dalam perkara No. 7/PUU-

XI/2013 terdapat 2 (dua) hakim konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting

opinion) dalam hal pemberian legal standing kepada para pemohon yaitu Hakim

Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Harjono menilai para

pemohon tidak memiliki legal standing, seharusnya Mahkamah menolak

memeriksa pokok perkara dan menyatakan permohonan para Pemohon

seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Sehingga tidak tepat mahkamah menilai para pemohon memiliki legal standing.

Dalam perkara nomor 7/PUU-XI/2013 seharusnya MK juga harus lebih berhati-

hati, karena menguji masa jabatan untuk pengangkatan hakim konstitusi periode

kedua, dalam hal ini terkait dengan conflict of interest terhadap diri sendiri.

Abdul Mukhtie Fadjar mengemukakan kedudukan hukum pemohon

(legal standing) merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pengkajian

lebih lanjut, termasuk diantaranya mengenai pemohon perseorangan dan

kesatuan masyarakat hukum adat. Pada tahun 2012 dan 2013 MK mendapat

permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi terhadap UUD 1945 yang diregistrasi dengan Perkara Nomor 36/PUU-

Page 223: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

X/2012 dan Perkara Nomor 7/PUU-XI/2013. Pengujian konstitusional perkara

nomor 36/PUU-X/2012 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pimpinan Pusat

Muhammadiyah dan perkara nomor 7/PUU-XI/2013 yang dimohonkan

pengujiannya oleh Dr. Andi Muhammad Asrun S.H., M.H. dan Dr. Zainal Arifin

Hoesein, S.H., M.H. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya mengabulkan

permohonan para pemohon untuk sebagian. Para pemohon adalah perorangan

dan Badan Hukum Privat atau organisasi Masyarakat Islam. Pertanyaan yang

kemudian timbul adalah mengenai legal standing para pemohon mengajukan

permohonan Pengujian undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi. Pertimbangan apa yang mendasari para pemohon diberikan legal

standing oleh MK. Kejelasan mengenai legal standing yang rumit memerlukan

pengkajian lebih lanjut.

D. Sistem dan Prinsip Pembuktian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Dalam ilmu hukum dikenal luas adanya doktrin yang menyatakan

bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan mencari

kebenaran materiil, sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata

bertujuan mencari kebenaran formil. Dengan kebenaran materiil,

dimaksudkan bahwa kebenaran itu tidak cukup dibuktikan berdasarkan alat-

alat bukti formal belaka, melainkan harus didasarkan atas galian keterangan

yang tersembunyi di balik fakta-fakta yang nampak di permukaan (the

underlying truth behind the concrete facts). Karena itu, hakim pidana tidak

boleh berhenti hanya dengan memeriksa alat-alat bukti yang nampak tanpa

berusaha sungguh-sungguh mendalami untuk menemukan kebenaran yang

lebih sejati yang ada di balik fakta-fakta yang nampak di permukaan

tersebut. Sebaliknya, para hakim perdata, cukup mengandalkan pembuktian

yang bersifat formal dengan hanya mengandalkan apa yang dapat diketahui

dan alat-alat bukti formal, seperti surat-surat berupa akta otentik yang

Page 224: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dibuat oleh pejabat umum (public official)385 ataupun surat-surat yang

dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.386

Proses peradilan konstitusional jelas berbeda dan peradilan

pidana ataupun perdata. Baik proses peradilan perdata maupun pidana

berkenaan dengan kepentingan orang per orang atau satu-satu badan

hukum konkret yang terlibat dalam perkara. Sedangkan dalam perkara

pengujian undang-undang, meskipun pintu masuk perkara konstitusional itu

di Mahkamah dapat diawali oleh persoalan kepentingan konkret orang per

orang yang dinyatakan memiliki legal stand-ing untuk berperkara, tetapi

substansi perkara yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah menyangkut

undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak

(general and abstract norms).387

Oleh karena itu, proses peradilan yang dilakukan dalam perkara

pengujian undang-undang berkaitan erat dengan kepentingan umum (public

interest). Jika suatu norma dalam undang-undang itu terbukti bertentangan

dengan UUD dan karena itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat, maka alasan yang dipakai untuk itu haruslah didasarkan atas

pertimbangan kepentingan umum (public interest) juga, yaitu setidak-

tidaknya untuk kepentingan umum yang lebih besar atau lebih luas.

Malahan, jika dikaitkan dengan kenyataan umum itu, maka mau tidak mau

hakim konstitusi haruslah membuat putusan berdasarkan pembuktian yang

benar-benar sangat mendalam. Artinya, pembuktian dalam perkara

pengujian undang-undang haruslah diorientasikan untuk menemukan

kebenaran yang hakiki dan pokok persoalan yang sedang diuji nilai

385 Pasal 1868 KUHPerdata berbunyi, “Satu akta otentik adalah satu akta yang dibuatdalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau di hadapan pejabat umum yangberwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

386 Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan, “Yang dianggap sebagai tulisan di bawahtangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumahtangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”.

387 Jimly Assihiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm. 203.

Page 225: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

konstitusionalitasnya. Dengan demikian, pembuktian adalah penyajian alat-

alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu

perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang

dikemukakan.388 Mengenai beban pembuktian, bahwa pada pokoknya, siapa

yang mendalilkan, maka dialah yang harus membuktikan. Prinsip umum ini

juga berlaku dalam pembuktian perkara pengujian undang-undang. Artinya,

pihak pemohonlah yang harus membuktikan dalil-dalil yang diajukannya

bahwa sesuatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang

dasar.389

Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan, pihak-pihak

yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat

dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk

membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah tentu

tidak cukup dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan.

Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum

agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa

itu harus disertai pembuktian secara yuridis.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar permohonan harus

dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi

diakui sepenuhnya oleh pihak termohon tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam

hal pembuktian tidak selalu pihak pemohon saja yang harus membuktikan

dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan

menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang

diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak pemohon atau pihak lain.

Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana

388 Riduan Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, CitraAditya Bakti, hlm. 83.

389 Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan “ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatuhak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untukmembantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”

Page 226: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang membebankan kepada

para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang

seadil- adilnya.

Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak

bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel),

seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian

kebenaran. Cara pembuktian bertitik tolak dan keyakinan hakim sampai

kepada batas tertentu berdasarkan alasan yang logis berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, dalam metode keempat

(negative wettelijk), titik tolaknya adalah norma-norma undang-undang yang

mengatur secara limitatif mengenai pembuktian tersebut. Namun demikian,

titik tolak normatif tersebut harus diikuti dengan keyakinan hakim sendiri

untuk memberi konklusi dan keputusan yang dianggap adil atas pembuktian

perkara yang bersangkutan. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam

proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan

mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim.

Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang

diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan,

sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.390

Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Namun, tidak

demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan

diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada

dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan

kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan,

hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran

formil.391

390 R. Subekti, 2007, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 9.391 M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 498.

Page 227: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sebagai jalan tengah dikembangkan pula metode ketiga yang

tetap mempertahankan pembuktian yang bersifat positif berdasarkan

undang-undang, akan tetapi keyakinan-keyakinan bebas para hakim juga

dianggap menentukan sampai kepada batas-batas tertentu. Alasan yang

dimaksud adalah alasan yang logis sebagai kriteria pembatas atas kebebasan

para hakim menerapkan keyakinannya sendiri. Karena itu, metode ketiga ini

biasa disebut juga sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas

alasan yang logis (conviction rasionee).

Di dalam UU MK tidak ditentukan secara khusus tentang beban

pembuktian ini. hanya menyatakan bahwa untuk memutus perkara

konstitusi, harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti392, baik

yang diajukan oleh pemohon, termohon, atau pihak terkait. Tidak ditentukan

siapa yang harus membuktikan sesuatu. Oleh karena itu berlaku prinsip

umum hukum acara bahwa barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia

wajib membuktikan. Walaupun demikian, karena perkara konstitusi yang

sangat terkait dengan kepentingan umum, hakim dalam persidangan MK

dapat aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli tertentu yang diperlukan.

Oleh karena itu pembuktian dalam peradilan MK dapat disebut menerapkan

“ajaran pembuktian bebas yang terbatas.”393 Dikatakan sebagai bebas

karena hakim dapat menentukan secara bebas kepada beban pembuktian

suatu hal akan diberikan. Tentu saja dalam menentukan hal tersebut hakim

dapat menggunakan salah satu atau beberapa teori dan ajaran pembuktian

yang ada. Namun dalam kebebasan tersebut hakim juga masih dalam

batasan tertentu. Paling tidak pihak pemohon yang mendalilkan

memilikikedudukan hukum untuk suatu perkara, harus membuktikan

dalil tersebut. Beban pembuktian terkait kedudukan hukum ini tentu saja

tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Ketentuan tentang pembuktian

392 Maruarar Siahaan, op. cit., hlm. 157-160.393 Ibid., hlm. 156.

Page 228: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

“bebas yang terbatas” dapat dijumpai dalam PMK yang mengatur pedoman

beracara untuk setiap wewenang MK.394

Alat-alat bukti yang diajukan ke peradilan MK, baik yang diajukan

oleh pemohon maupun yang diajukan oleh termohon dan/atau pihak terkait,

perolehannya atau cara mendapatkannya harus dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Alat bukti yang didapatkan atau

diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum (illegally obtained

evidence) tidak dapat disahkan oleh hakim konstitusi sebagai alat bukti. Oleh

karena itu setiap pemohon dan atau pihak lainnya mengajukan alat bukti

kepada hakim konstitusi, selalu diperiksa cara memperoleh atau

mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti dari pemohon, biasanya

dilakukan dalam sidang pendahuluan.

Alat bukti yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 memiliki

perbedaan dengan alat bukti yang lazim dalam proses peradilan lain.

Menurut Maruarar Siahaan, perbedaan tersebut antara lain, Pertama, tidak

dikenal alat bukti pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim yang

berlaku pada hukum acara PTUN, atau yang dalam hukum acara perdata

disebut dengan “persangkaan”, pengakuan, dan sumpah, serta dalam

hukum acara pidana disebut dengan keterangan terdakwa. Pengakuan

pihak yang berperkara dipandang tidak relevan dalam Hukum Acara

Konstitusi karena hal itu tidak menghilangkan kewajiban hakim konstitusi

mencari kebenaran mengingat perkara yang diperiksa dan akan diputus

terkait dengan kepentingan umum dan akan mengikat semua warga negara,

bukan hanya pihak yang berperkara.395

Namun demikian, ada pula hal yang tidak termasuk dalam alat

bukti namun dalam proses berpekara ternyata memengaruhi pemeriksaan,

394 Lihat Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentangPedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

395 Ibid., hlm. 160-161.

Page 229: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

yaitu “pengetahuan hakim”. Hal ini terjadi terutama dalam perkara

pengujian undang- undang di mana salah satu metode yang dapat digunakan

untuk mengetahui makna ketentuan dalam konstitusi adalah dengan

mencari maksud dari pembentuk Undang-Undang Dasar (original intent). Di

antara hakim periode pertama, terdapat beberapa hakim konstitusi yang

mengetahui bahkan terlibat dalam proses pembahasan suatu ketentuan

dalam UUD 1945 karena pada saat itu menjadi anggota PAH BP MPR yang

merumuskan Perubahan UUD 1945. Bahkan pengetahuan hakim konstitusi

dimaksud lebih dalam dan tidak terekam dengan baik dalam risalah rapat

Perubahan UUD 1945.

E. Model Putusan Pengujian Undang-Undang

1. Putusan Sela (Provisi)

Terdapat 2 (dua) jenis putusan hakim dalam suatu proses

peradilan, yaitu putusan yang mengakhiri perkara atau sengketa yang

diadili atau putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan menjadi

bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau

sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan

sela atau putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis

hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal

yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa. Putusan sela dapat

berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau

terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.

Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya hanya

terdapat dalam perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga

Negara. Pasal 63 UU MK menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan

penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon

untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang

dipersengketakan sampai ada putusan MK. Pada perkembangannya,

putusan sela juga dikenal dalam perkara pengujian UU dan perselisihan

Page 230: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

hasil Pemilu. Putusan sela dalam perkara pengujian UU pertama kali

dijatuhkan dalam proses pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), perkara Nomor

133/PUU-VII/2009. Dalam proses persidangan perkara tersebut atas

permohonan dari pemohon MK memberikan putusan sela yang pada

intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 30 UU KPK mengenai

pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak dapat

dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan MK mengenai

pengujian pasal dimaksud.

Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, putusan sela diatur

dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah; PMK Nomor 16 Tahun

2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD; dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman

Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil

Presiden. Putusan Sela dalam PMK Nomor 16 dan PMK Nomor 17

diartikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan

akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

berkaitan dengan obyek yang dipersengketakan yang hasilnya akan

dipertimbangkan dalam putusan akhir.396

Salah satu contoh putusan sela pada perkara perselisihan hasil

Pemilu adalah dalam Perkara Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 yaitu

Putusan Sela Nomor Nomor 47-81/PHPU.AVII/2009, tanggal 9 Juni 2009.

Di dalam putusan sela tersebut MK memerintahkan kepada Termohon

(Komisi Pemilihan Umum), Turut Termohon I (Komisi Pemilihan Umum

Provinsi Papua) dan Turut Termohon II (Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Yahukimo) untuk melaksanakan pemungutan suara ulang

396 Lihat Pasal 1 angka 19 PMK Nomor 16/PMK/2009 dan Pasal 1 angka 9 PMK Nomor17/PMK/2009.

Page 231: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pemilihan umum calon anggota DPD pada Distrik Ninia, Distrik Holuwon,

Distrik Soba, Distrik Kayo, Distrik Hilipuk, Distrik Sobaham, Distrik Kwikma,

Distrik Kabianggema, Distrik Lolat, Distrik Soloikma, Distrik Duram, Distrik

Korupun, Distrik Sela, Distrik Kwelamdua, Distrik Langda, Distrik Bomela,

Distrik Suntamon, Distrik Dekai, Distrik Sumo, Distrik Obio, Distrik

Seradala, Distrik Anggruk, Distrik Walma, Distrik Pronggoli, Distrik

Panggema, Distrik Ubahak, Distrik Yahuliambut, Distrik Kosarek, Distrik

Nipsan, Distrik Talambo, Distrik Endomen, Distrik Fuldama, Distrik Kona,

Distrik Dirwemna, Distrik Nalca, Distrik Ubalihi, dan Distrik

Hereapini, dan pelaksanaan Penghitungan Suara Ulang pemilihan

umum calon anggota DPD pada Distrik Kurima, Distrik Tangma, Distrik

Ukha, Distrik Mugi, Distrik Yogosem, Distrik Werima, Distrik Pasema,

Distrik Samenage, Distrik Silimo, Distrik Hogio, Distrik Amuma, Distrik

Musaik, Distrik Suru-Suru, dan Distrik Wusama.

2. Putusan Akhir

Dalam hal putusan akhir untuk perkara pengujian undang-

undang, berdasarkan Pasal 56 UU No. 24 Tahun 2003 terdapat 3 (tiga)

kemungkinan yaitu (i) Putusan yang menyatakan permohonan pengujian

tidak dapat diterima; (ii) Putusan yang menyatakan permohonan

pengujian ditolak; dan (iii) Putusan yang menyatakan mengabulkan

permohonan pengujian.

a. Putusan yang Menyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima

Putusan MK menyatakan dalam putusannya bahwa

permohonan ditolak apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak

memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU No. 24

Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa, “Pemohon adalah pihak yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan

oleh berlakunya undang-undang”. Yang dimaksud dengan hak

konstitusionalnya adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.

Page 232: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Apabila pemohon atau permohonannya tidak memenuhi

syarat seperti yang dinyatakan dalam Pasal 51 tersebut maka amar

putusan akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Hal ini

didasarkan pada Pasal 56 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003. Permohonan

yang tidak dapat diterima merupakan permohonan yang tidak sesuai

secara administratif sebagai suatu pengajuan perkara pengujian

undang-undang ke MK yaitu dalam hal (i) legal standing pemohon dan

(ii) dalam hal permohonan tidak diuraikan secara jelas dan rinci

mengenai alasan yang menjadi dasar permohonan. Hal ini sama

dengan pengajuan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri maupun

pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Serupa seperti pemeriksaan perkara di Pengadilan Tata

Usaha Negara, dalam pemeriksaan perkara di MK juga ada

Pemeriksaan Pendahukuan sebelum Pemeriksaan Pokok Perkara

dalam persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 24

Tahun 2003. Pemeriksaan Pendahuluan ini digunakan untuk

memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Dalam

proses pemeriksaan pendahuluan ini, MK wajib memberi nasihat

kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki

permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

Sebagaimana dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Tata

Usaha Negara, apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari

pemohon tidak melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan maka

MK akan menyatakan dalam amar putusannya bahwa permohonan

tidak dapat diterima. Jadi, permohonan tidak dapat diterima ini

berkaitan dengan hal-hal administratif dan bukan pada pokok

perkaranya.

Dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha

Negara terhadap putusan yang tidak dapat diterima tersebut tidak

Page 233: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dapat diajukan upaya hukum tetapi dapat diajukan gugatan baru. Hal

ini berbeda dengan penyelesaian perkara di MK, karena putusan

Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat maka jelas tidak

ada upaya hukum bentuk apapun.

b. Putusan yang Menyatakan Permohonan Ditolak

Suatu permohonan pengujian undang-undang akan ditolak

apabila tidak bertentangan dengan UUD 1945 baik materi muatannya

maupun pembentukannya. Hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (5) UU

No. 24 Tahun 2003 yang menyatakan “Dalam hal undang-undang

dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 baik mengenai pembentukan maupun

materinya, sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan

permohonan ditolak”. Permohonan yang amar putusannya

menyatakan ditolak juga tidak bisa diuji kembali oleh MK.

Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang lain yang

berlaku untuk semua perkara pengujian undang-undang terhadap UUD

1945 yaitu undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap

berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-

undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana diatur

dalam Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003.

Selain itu, diatur dalam Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2003

bahwa putusan MK mengenai pengujian undang-undang disampaikan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden

dan Mahkamah Agung. Pemberitahuan ini penting agar lembaga yang

berkaitan dengan pembentukan maupun pelaksana undang-undang

mengetahui apalagi kalau putusannya menyatakan materi ayat, pasal

dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945

proses pembentukannya yang bertentangan maka undang-undang

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan

Page 234: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

demikian, undang-undang yangt tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam tindakan apapun.

Selain itu, hal ini sebagai tindak lanjut dari Pasal 55 yang menyatakan

bahwa pengujian peraturan perundang-undangan yang sedang

dilakukan MA wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi

dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalm proses pengajuan MK

sampai ada putusan MK.

Kemudian bentuk pelaksanaan putusan MK berdasarkan

pola pelaksanaan di atas, yaitu, pertama, ditindaklanjuti. Suatu

putusan mempunyai bentuk pelaksanaan putusan ditindak lanjuti

penulis artikan dengan tindak lanjut pengumuman pada Berita Negara

serta tidak dapat dimohonkannya pengujian kembali terhadap materi

muatan undang-undang yang telah diujikan tersebut. Bentuk

pelaksanaan putusan seperti ini dilakukan untuk putusan yang polanya

adalah dikabulkan. Mengenai pengumuman dalam Berita Negara siatur

dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003. Pengumuman dalam

Berita Negara dilakukan paling lambat (30) hari sejak putusan

diucapkan. Kemudian mengenai tidak dapat dimohonkannya pengujian

kembali diatur dalam Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003. Kedua, Tidak

perlu ditindaklanjuti. Suatu putusan mempunyai bentuk pelaksanaan

tidak perlu ditindaklanjuti ketika pola pelaksanaan putusan tersebut

adalah ditolak atau tidak dapat diterima. Sama seperti bentuk

sebelumnya, bentuk pelaksanaan ini juga termasuk didalamnya

terhadap materi muatan undang-undang tersebut tidak dapat

dimohonkan pengujian kembali.

c. Putusan yang Mengabulkan Permohonan

Berdasarkan Pasal 56 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003, suatu

permohonan pengujian undang-undang bisa dikabulkan apabila MK

berpendapat bahwa permohonan beralasan. Kemudian ayat (3)

Page 235: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan, MK menyatakan

dengan tegas materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-

undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, ayat (4)

menyatakan bahwa dalam pembentukan undang-undang tidak

memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD

1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

Pasal 57 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa

putusan MK yang amar putusannya menyatakan materi muatan ayat,

pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945,

maka materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula

putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan

undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan

undang-undang berdasarkan UUD 1945, undang-undang tersebut juga

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti yang dinyatakan

dalam Pasal 57 ayat (2). Selanjutnya, Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa

putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita

Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

putusan diucapkan.

Permohonan yang sudah diuji oleh MK tidak dapat diuji

kembali. Hal ini berdasarkan Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 bahwa

materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang sudah

diuji tidak dapat diuji kembali. Pengecualian terhadap ketentuan pasal ini

diatur dalam Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

6/PMK/2005 yng menyatakan bahwa permohonan pengujian undang-

undang terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian yang sama dengan

perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dapat

Page 236: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas

yang menjadi alasan permohonan pemohon yang bersangkutan berbeda.

Page 237: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

BAB V

DINAMIKA PENGUJIAN KONSTITUSIONAL DI INDONESIA

A. Pengantar

Ketentuan UUD 1945 secara tegas menyatakan Negara Indonesia

adalah Negara Hukum, karena itu pengakuan hukum dan keadilan merupakan

syarat mutlak dalam mencapai tegaknya negara hukum yang dijamin oleh

konstitusi. Salah satu prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi

adalah mengenai proses hukum yang adil (due process of law). Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Dari segi filsafat hukum manusia hendak mencapai kepastian hukum

dan keadilan. Meskipun demikian, harus disadari bahwa kepastian hukum dan

kemudian keadilan yang hendak dicapai melalui penyelenggara hukum itu

hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinamis sebagai

penyelenggaraan hukum dalam suatu proses hukum yang adil. Dalam

penyelenggaraan, hukum itu bisa (atau tidak bisa) memperoleh kepercayaan

dari masyarakat akan memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada

kehidupan bersama. Konsekuensinya adalah, hukum itu sendiri harus

memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila

penyelenggara hukum mampu memperlihatkan suatu alur kinerja yang

konsisten. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan

membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat norma

yang mengatur kehidupan bersama. Karena itu konsistensi dalam

penyelenggaraan hukum lalu menjadi sangat potensial untuk menghasilkan

kepastian hukum.397

397 Radbruch mula-mula merefleksikan kepastian hukum itu adalah semata-matamasalah kekuasaan. Ia menyatakan bahwa hukum yang mengandung kekuasaan itu terdiri atas 3(tiga) aspek, yaitu (i) hukum memberikan manfaat umum; (ii) hukum memberikan keadilan; dan(iii) hukum pun memberikan kepastian hukum.Radbruch mengakui bahwa persoalan kepastianhukum itu hampir tidak pernah dipersoalkan secara serius dengan kebijaksanaan dan keadilan,karena dalam refleksinya, Radbruch juga memahami bahwa kepastian hukum malah bisa

Page 238: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Kendati demikian, dapat dibayangkan bahwa konsistensi dalam

penyelenggaraan hukum itu bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya,

sehingga bisa saja terdapat risiko bahwa penyelenggaraan hukum itu menjadi

tidak konsisten. John Rawls berpendapat bahwa bahkan penyelenggaraan

hukum yang tidak konsisten harus tetap konsisten dalam inkonsistensinya itu:

“… even where laws and institutions are unjust, it is aften better that they

should be consistently applied. In this way those subject to them at least know

what is demanded and they can try to protect themselves accordingly…”398

Walaupun pernyataan Rawls ini sebenarnya absurd, konotasinya adalah setiap

orang lalu bisa paham akan keadaan yang tidak konsisten dari hukum dan

institusi masyarakat, sehingga setiap orang boleh dikata secara tidak langsung

dianjurkan untuk tidak mengharapkan terlalu banyak dari penyelenggaraan

hukum dan membela dirinya masing-masing.

Kendati kepastian hukum itu harus memiliki kewibawaan yang

formal (prosedurnya harus benar) maupun yang materiil (substansinya

harus benar) untuk bisa dirasakan kehadirannya, supaya kepastian hukum

itu juga mempunyai kinerja yang dapa diamati oleh masyarakat,

“masyarakat biasanya mempunyai perasaan cukup peka terhadap

ketidakadilan.” Artinya kepastian hukum itu dinilai melalui dampak

keadilan yang (seharusnya) dihasilkannya.399 Kinerja penegakan hukum

membenarkan hukum yang tidak bijaksana dan tidak adil. Lihat: Suri Ratnapala, 2009,Jurisprudence, Cambridge, Cambridge University Press, hlm. 163-164.

398 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Harvard University Press., hlm. 56.399 Rawls malahan memberi nilai yang sedemikian tinggi kepada konsistensi sistemik

dari hukum, sehingga hukum seperti itu menurut Rawls bisa menjadi jaminan bagitercapainya keadilan yang substansil. “… where we find formal justice, the rule of law and thehonoring of legitimate expectations, we are likely to find substantive justice as well.” Kita pahambahwa apa yang menjadi keyakinan dari Rawls ini tentunya terbuka untuk pemikiran lebih lanjut,karena kinerja formal dari hukum tidak bebas dari manipulasi yang berasal dari sektor yangbukan hukum, misalnya sektor politik dan ekonomi yang menjadi motivasi dasar bagi Kelsenuntuk mengembangkan ajarannya tentang hukum murni. Berbeda dengan kepastian hukumformal yang diperoleh terutama melalui kinerja yang konsisten, kepastian hukum materialakan terbaca dalam rasa keadilan yang proporsional yang mengemuka manakala perilaku yangmenyimpang dari norma hukum memperoleh penilaian dengan bobot yang berbeda-beda. Lihat

Page 239: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang

relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum,

atau seperti yang dikemukakan oleh Rawls “Formal justice is adherence to

principle or as some have said, obedience to system”.400

Dengan asumsi-asumsi bahwa pengertian hukum mencakup hukum

yang “bersih” dari elemen-elemen lain, seperti digagas oleh Hans Kelsen,

maka norma hukum akan ditempatkan dengan ruang yang berisi 2 (dua)

dimensi eksis. Kaidah hukum yang positif itu dianggao berlaku, atau memiliki

validitasnya, karena ia memuat hal yang seharusnya. Ini dibedakan dengan

kenyataan yang terjadi. Jadi sepanjang suatu kaidah dituangkan dalam suatu

hukum yang positif, maka ia dianggap berlaku atau memiliki validitas, terlepas

dari tindakan nyata yang diatur dalam hukum positif tersebut. Di sini Kelsen

menunjukkan bahwa keberadaan suatu kaidah hukum yang positif itu dapat

dilihat dari segi validitas dan efektifitasnya. Keduanya eksis, namun bagi

Kelsen, karena ia berniat dari awal hendak mengeluarkan unsur-unsur bukan

hukum, maka ia tidak menaruh perhatian pada efektifitas kaidah hukum yang

positif.401

Dalam perspetif konstitusional, yang mengandaikan adanya relasi

hukum dengan kekuasaan, memuja legalitas yang dikonfirmasi lewat validitas

dan kemudian abai terhadap efek hukum itu dalam kenyataan, merupakan

sebuah problematik serius. Ia bisa dengan sengaja mencocoki sebagai kaidah

yang dikehendaki oleh konstitusi, akan tetapi bisa jadia ia dengan sengaja

menyingkir dari kehendak tulus untuk memberlakukan gagasan konstitusi

dalam kenyataan. Pada titik ini harus ditolak bahwa legalitas menjadi

prasyarat secara mandiri keberlakuan sebuah rumusan hukum. Pemahaman

Rawls, hlm. 60. Baca juga: Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum (ProblematikKetertiban yang Adil, Jakarta, Grasindo, hlm. 207-211.

400 Ibid., hlm. 58.401 E. Fernando M. Manullang, 2016. Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum, Jakarta,

Prenada Media Group, hlm. 145.

Page 240: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

semacam ini mengandaikan sebuah keadaan yang terumuskan dalam suatu

rumusan undang-undang dan ia diadakan secara obyektif tanpa campur

tangan pihak manapun, karena ia ditentukan ada oleh si undang-undang itu

sendiri.402 Padahal apa yang dirumuskan dalam sebuah hukum atau undang-

undang, itu melibatkan sebuah struktur kekuasaan yang menentukan sesuatu

itu menjadi bagian dari rumusanhukum atau tidak.403 Penegakan kepastian

hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama yaitu; Pertama, kepastian

dalam orientasi bagi masyarakat (asas kepastian orientasi) bahwa orang

memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain

daripadanya, dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari

orang lain bagi perilakunya itu. Kedua, kepastian dalam penerapan hukum

oleh penegak hukum. Asas kepastian realisasi hukum yang memungkinkan

orang untuk mengandalkan diri pada perhitungan bahwa norma-norma yang

berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan

Pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan ditaati.404

Secara keliru arti dari “proses hukum yang adil” ini, oleh

penegak hukum (polisi dan jaksa) dan pengadilan (hakim), sering diartikan

dengan hanya penerapan secara harfiah hukum acara pidana yang berlaku.

Padahal makna yang seharusnya dipergunakan adalah sebagai sikap batin

penghormatan terhadap hak-hak yan dipunyai warga negara, meskipun ia

adalah pelaku kejahatan. Dalam kaitan inipun kita selalu diingatkan, bahwa

meskipun kita selalu dapat menjaga dan mendisiplinkan diri untuk tidak

melanggar hukum, namun kita tidak dapat menjamin diri kita bebas dari risiko

untuk menjadi tersangka menurut keyakinan penegak hukum semata-

402 Ibid., hlm. 144.403 Ibid.404 Abdul Latif, “Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil”, Jurnal

Konstitusi, Vol. 7 No. 1, Februari 2010, hlm. 55.

Page 241: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mata.405 Jaminan konstitusi atau UUD 1945 (constitutional guaranty) bahwa

sistem peradilan kita berpegang teguh pada asas proses hukum yang adil

menjadi sangat penting, apabila kita mau menyadari bahwa setelah

seorang menjadi “tersangka”, status hukumnya sebagai warga negara

segera menjadi berubah. Seorang tersangka akan selalu mengalami berbagai

pembatasan dalam kebebasannya dan sebagai individu warga negara sering

pula mengalami degradasi secara fisik maupun moral. Hukum hendaknya

mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan

zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat

dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia

penegak hukum itu sendiri.406

Karena itu, faktor-faktor terpenting yang merupakan acuan bagi

suatu kepastian hukum bagi masyarakat adalah pertama, norma-norma yang

jelas menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dilarang. Sebagai

perangkat hukum cenderung dapat ditafsirkan berlainan baik di antara para

penegak hukum itu sendiri maupun di antara pihak yang dikenai sanksi

menurut selera dan keuntungannya sendiri. Kedua, transparansi hukum yang

menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif. Konsistensi dalam

tindakan dan ucapan dari para pejabat negara dan penegak hukum adalah

bagian yang menentukan dari transparansi hukum. Pertentangan dalam

tindakan dan ucapan di antara mereka akan semakin memperdalam

”kebingungan normatif” dikalangan rakyat, karena di negara mana pun juga,

rakyat memandang (dan acapkali mengingat) ucapan dan perilaku dari para

pejabat negara dan penegak hukum sebagai acuannya. Ketiga,

kesinambungan tertib hukum yang memberi acuan bagi perilaku di masa

akan datang. Jika seorang pejabat negara pada suatu ketika menyatakan

405 Mardjono Reksodiputro, 1993, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan PidanaKumpulan Karangan, Jakarta, hlm. 35-45.

406 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, loc.cit.

Page 242: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bahwa pemerintah tidak akan melakukan campur tangan dalam proses

hukum, namun dalam kenyataannya kemudian pemerintah melakukan

campur tangan, dia akan menghasilkan ketidakpercayaan rakyat terhadap

kesinambungan tertib hukum.

Penerapan faktor-faktor acuan bagi orientasi kepastian hukum

masyarakat maupun penerapan asas atau prinsip hukum yang berlaku umum

itu harus dilaksanakan berdasarkan 2 (dua) asas atau prinsip keadilan, agar

tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Kedua, asas atau prinsip keadilan

bagi penerapan hukum itu adalah asas atau prinsip daya–laku hukum yang

umum, dan asas atau prinsip kesamaan di hadapan hukum. Prinsip daya

laku hukum yang umum sebagai prinsip keadilan keadilan yang pertama

mensyaratkan, bahwa suatu norma hukum yang diberlakukan sebagai

hukum positif akan menjangkau setiap dan semua orang dalam yurisdiksi

hukum tersebut, tanpa kecuali. Prinsip kesamaan di hadapan hukum sebagai

prinsip keadilan yang kedua mensyaratkan, bahwa semua dan setiap warga

negara berkedudukan sama di hadapan hakim yang harus menerapkan

hukum.

Pada sisi inilah, diperlukan sebuah konfirmasi melalui pelembagaan

tata cara yang memungkinkan untuk meninjau eksistensi sebuah undang-

undang. Dengan tata cara tersebut sangat dimungkinkan untuk menjauhkan

legalitas semata-mata hanya pada keberlakuan sebuah rumusan dalam

undang-undang, atau justru hanya mengkaitkannya dengan campur tangan

kekuasaan saja. Peninjauan eksistensi undang-undang itu harus dilakukan oleh

pengadilan, yang diandaikan sebagai aktor yang jauh dari kapasitas politik dan

melulu berdiri di atas legitimasi koersif kekuasaan.

B. Ide Constitutional Question

Istilah constitutional question bagi kalangan awam barangkali hal

tersebut adalah istilah baru namun tidak halnya bagi penstudi hukum maupun

praktisi atau akademisi hukum, sudah tentu paham dan tidak asing lagi

Page 243: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dengan istilah tersebut. Akan tetapi penulis hanya mencoba menyegarkan

kembali (refresh) dalam memori ketatanegaraan kita, bahwa istilah tersebut

sangat penting untuk dikaji secara mendalam dan komprehensif serta

kebermanfaatannya dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara di

Indonesia. Pengertian constitutional question secara leksikal dapat diartikan

sebagai persoalan konstitusional atau pertanyaan konstitusional.

Mekanisme constitusional question secara maknawi merujuk pada

setiap persoalan yang berkaitan dengan konstitusi yang sifatnya (sangat

luas), dan berada dalam ranah kewenangan pengadilan konstitusi untuk

memutusnya. Secara spesifik pengertian constitutional question itu terkait

dengan mekanisme pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang, di

mana seorang hakim yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-

ragu akan konstitusionalitas Undang-Undang yang berlaku tersebut. Oleh

sebab itu maka hakim dapat mengajukan pertanyaan konstitusionalnya

kepada MK, dan dalam hal ini MK hanya memutus persoalan

konstitusionalitas UU, bukan memutus kasus, namun selama MK belum

menyatakan putusannya, pemeriksaan terhadap kasus tersebut harus

dihentikan. Demikian secara sederhana dan singkat penulis memahami istilah

tersebut.

Constitutional question dalam arti khusus merujuk pada suatu

mekanisme pengujian konstitusionalitas UU di mana seorang hakim (dari

pengadilan umum) yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-

ragu akan konstitusionalitas UU yang berlaku untuk perkara itu, maka ia

mengajukan "pertanyaan konstitusional" ke MK (mengenai konstitusional-

tidaknya undang-undang ini). Kemudian MK hanya memutus persoalan

konstitusionalitas undang-undang itu dan bukan memutus kasus.

Dalam tradisi Amerika Serikat, seperi tercermin dalam beberapa

yurisprudensi, keragu-raguan konstitusional itu dapat muncul karena problem

konstitusional undang-undang atau karena sama sekali tidak mau

Page 244: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mengkaitkan eksis undang-undang dengan konstitusi.407 Pengadilan

cenderung menghindari untuk memeriksa keragu-raguan konstitusional ini,

karena sejak awal hanya akan membangun saluran untuk memberi jalan bagi

terciptanya konflik antara Kongres dengan pengadilan. Doktrin ini dikenal

sebagai “avoidance cannon.” Manakala pengadilan menyadasri bahwa sebuah

penafsiran undang-undang justru akan menimbulkan keragu-raguan

konstitusional, maka hakim harus menghindari penafsiran tersebut dan segera

memutus penolakan permohonan pengujian. Dalam konteks ini, pengadilan

telah menahan diri (judicial restraint) untuk tidak melampaui pemahaman

tradisional mengenai pengujian konstitusional. Ia dipandang sebagai upaya

menghormati pemisahan kekuasaan yang menjadi inti konstitusi. Sebuah

penafsiran, diwajibkan untuk menghormati prinsip-prinsip tersebut sehingga

pengadilan tidak terjebak ke dalam upaya untuk mencederai landasan

konstitusi yang paling fundamental.

Sebagai a passive instrument government, pengadilan tak boleh

memeriksa masalah hukum tanpa benar-benar ada permohonan para pihak

dalam sebuah sengketa yang bersifat konkrit. Pengadilan, bahkan andaikata

sungguh-sungguh dimohon oleh para pihak, harus menolak untuk membuat

putusan yang bersifat pernyataan atau pendapat. Ini berlaku untuk semua

perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung Federal. Prinsip ini harus

dipegang oleh mahkamah, sekalipun dalam perkara konstitusi, sama sekali

tidak ditemukan jalan keluar untuk direkam dalam sebuah putusan

penyelesaian perkara. Semua keragu-raguan konstitusional adalah wewenang

eksklusif Kongres dan Presiden untuk menyelesaikannya. Sudah barang tentu,

doktrin “avoidance canon” merupakan bentuk lain dari supremasi parlemen.

Bersama-sama doktrin lain seperti “presumption of constitutionality”,

“doctrine of severability”, diperlukan untuk “a decent respect due to the

wisdom, the integrity, and the patriotism of the legislative body."

407 Putusan Perkara Jones vs. United States, 1999.

Page 245: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Ringkasnya seperti diilustrasikan dalam sebuah perkara, “pengadilan sama

sekali tidak memiliki lisensi untuk menulis ulang kata-kata dalam undang-

undang.”408

Akan tetapi belakangan, argumen ini dikritik karena

sesungguhnya, skema konstitusional dalam eksistensi undang-undang sejak

awal melibatkan Kongres dan Presiden.409 Kemudian, mulai muncul sanggahan

seberapa jauh kekuatan lembaga perwakilan untuk membungkam para hakim

dan sudah menjadi keniscayaan, bahwa pengadilan pun turut serta dalam

merumuskan sebuah kebijakan.410 Hakim tidak dapat dipaksa untuk menebak-

nebak kemauan legislator yang sungguh-sungguh tidak pernah dinyatakan

secara tegas.411

Terdapat 2 (dua) kasus yang cukup populer untuk memberikan

gambaran bagaimana keragu-raguan konstitusional undang-undang dibiarkan

tanpa memberikan putusan yang paling memadai. Kasus tersebut adalah

perkara New Labour Relation Board Vs. Catholic Bishop (1979) dan kasus Kent

Vs. Dulles (1958).

Kasus yang pertama berkaitan dengan undang-undang

perburuhan yang berlaku antara 1935-1974, yang mana dipersoalkan

konstitusionalitasnya karena melarang para pekerja di lingkungan organisasi

keagamaan untuk membetuk serikat pekerja. Hakim Agung Brenann bersama-

sama 4 orang hakim agung lain meyakini, dalam posisi memberikan pendapat

yang berbeda, bahwa undang-undang dimaksud tidak bermaksud menihilkan

para pekerja di lingkungan organisasi keagamaan. Dari penafsiran historis,

Brenann meyakini bahwa terdapat keinginan anggota Kongres untuk

408 United States Vs. Albertini (1985).409 William K. Kelly, “Avoiding Constitutional Question As A Tree Branch Problems”,

Cornell Law Review, Vol. 86, 2001, hlm. 834.410 William N. Eskridge,Jr., “Spinning Legislative Supremacy”, Georgetown Law Journal,

Vol. 78, 1989, hlm. 322.411 Daniel A Farber, “Statutory Interpretation and Legislative Supremacy”, Georgetown

Law Journal, Vol. 78, 1989, hlm. 292-293.

Page 246: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

menihilkan para pekerja tersebut, namun pada saat pengesahan undang-

undang nampak bahwa aspirasi itu tidak menjadi norma. Oleh sebab itu,

pengadilan harus melakukan rekonstruksi ulang secara fair, terhadap

ketentuan undang-undang tersebut. Rekonstruksi itu diperlukan guna

menghindari keragu-raguan konstitusional, dan apabila dilakukan penafsiran

secara ekstensif, bahwa larangan membentuk serikat pekerja berlaku pula

bagi organisasi keagamaan, maka hal itu bertentangan dengan konstitusi.

Oleh sebab itu, diperlukan konfirmasi dari Kongres mengenai makna

ketentuan undang-undang tersebut. Pengadilan kemudian menyimpulkan

bahwa karena larangan itu tidak tegas-tegas diatur dalam ketentuan undang-

undang, maka badan perburuhan dilarang mengatur ketanegakerjaan di

lingkungan organisasi keagamaan.

Kasus Kent Vs. Dulles, mungkin termasuk kasus yang paling

termuka soal keragu-raguan konstitusional tersebut. Mahkamah dalam kasus

ini bersikukuh, bahwa karena tidak diatur secara tegas, maka Menteri Luar

Negeri tidak boleh menolak permohonan paspor oleh aktivis partai komunis

dan para warganegara dari negara dengan ideologi komunis. Karena

pembatasan itu tidak terang diatur dalam undang-undang, maka Mahkamah

pun tidak bisa mengeluarkan putusan untuk menghasilkan norma pelarangan

tersebut.

Pemahaman Mahkamah didasarkan kepada sejarah pembentukan

undang-undang dan kewenangan Kementerian Luar Negeri untuk

mengeluarkan dan menolak mengeluarkan sebuah paspor. Kewenangan

kementerian pertama kali diperoleh pada tahun 1926, di mana lembaga ini

berwenang untuk menerbitkan paspor dengan memperhatikan peraturan-

peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Namun, pada tahun 1952, timbul

aturan mengenai kewajiban memperoleh paspor bagi setiap orang yang

hendak melakukan perjalanan ke luar negeri. Sebelum perubahan undang-

undang pada tahun 1952, Kementerian Luar Negeri dalam memiliki

Page 247: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kewenangan menerbitkan paspor yang diajukan secara sukarela, tanpa ada

delegasi untuk mengatur pembatasan-pembatasan dokumen perjalanan

tersebut. Akan tetapi sesudah 1952, Kementerian Luar Negeri membuat

aturan yang berisi antara lain larangan penerbitkan paspor bagi aktivis partai

komunis atau negara-negara komunis. Dengan kenyataan itu, Mahkamah

lantas menyimpulkan bahwa karena tidak tercantum dalam undang-undang,

maka pembatasan kewenangan penerbitan parpor tidak dimiliki oleh

Kementerian. Dengan demikian, Mahkamah mengasumsikan bahwa Kongres

sejak awal tidak pernah memberikan delegasi untuk pengaturan tata cara

penerbitan dan/atau penolakan paspor. Dari kedua kasus itu, penolakan

Mahkamah untuk menjawab keragu-raguan konstitusional disertai dengan

keyakinan bahwa apa yang dirumuskan sebagai aturan oleh Kongres adalah

bahasa yang paling baik dan tidak dapat ditafsirkan lebih lanjut.

Pada sisi lain, mekanisme peradilan konstitusi (constitusional

adjudication) itu sendiri merupakan hal baru yang diadopsi ke dalam sistem

konstitusional negara kita dengan dibentuknya pengadilan konstitusi.

Peradilan konstitusi dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD benar-benar

dijalankan dan ditegakkan sebagai pedoman dalam kegiatan penyelenggaraan

negara. Pada hakikatnya konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur

penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi

dari konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam

konstitusi, sehingga menjadi hak konstitusional warga negara. Sebagai the

guardian of constitution Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawal

dan sekaligus penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution), yang

memiliki 4 (empat) kewenangan dan satu kewajiban. Oleh sebab itu maka, MK

harus dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan baik.

Kewenangan konstitusional MK merupakan perwujudan dari

prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga-lembaga

negara dalam kedudukan setara, sehingga dapat saling mengawasi atau

Page 248: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kontrol dalam praktek penyelenggaraan negara. Keberadaan MK jelas

merupakan langkah progresif untuk mengoreksi kinerja antar lembaga

negara khususnya dalam proses pendewasaan politik berbangsa dan

bernegara. Diakui atau tidak banyak hal yang sudah dilakukan oleh lembaga

negara ini (MK), sebagai institusi hukum yang dapat dipercaya dan terhormat

(reliable and honoured court) di Indonesia.

Sejumlah negara sudah menerapkan ketentuan ini seperti Jerman,

Austria, Belgia, Italia, Luxemburg dan Spanyol. Jerman memiliki sistem

pelaksanaan MK yang paling menonjol dan berpengaruh bukan saja di

kawasan benua Eropa namun juga Asia, Amerika Latin, dan Afrika.

Kewenangan MK Jerman untuk mengadili perkara constitutional question

diatur dalam konstitusi Federal Jerman (Grundgesetz) dan Undang-Undang

tentang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman

(Bundesverfassungsgerichtsgesetz). Bahkan, MK Jerman menurutnya memiliki

kewenangan yang luas, mencakup pelaksanaan dan penafsiran Grungesetz

dan kewenangan eksklusif terhadap semua proses peradilan yang secara

langsung tercakup dalam ketaatan terhadap konstitusi (Grungesetz). Di negeri

ini, persoalan Constitutional Question akan muncul dalam tiga kondisi. Yang

pertama jika suatu pengadilan menganggap bahwa suatu UU tidak

konstitusional dengan konstitusi Negara bagian (Land) ataupun konstitusi

Federal (Bundesgesetz). Yang kedua jika suatu pengadilan menganggap bahwa

suatu UU Negara bagian tidak sesuai dengan UU Federal dan yang ketiga

suatu pengadilan selama berlangsungnya persidangan dalam suatu kasus

merasa ragu apakah suatu ketentuan hukum internasional merupakan bagian

dari UU Federal dan apakah ketentuan hukum internasional itu secara

langsung melahirkan hak dan kewajiban pada individu.

Dalam beberapa literatur istilah constitutional question

mengandung dua pengertian, umum dan khusus. Dalam pengertian yang

umum, constitutional question adalah istilah yang merujuk pada setiap

Page 249: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

persoalan yang berkaitan dengan konstitusi dan yang lazimnya merupakan

kewenangan mahkamah konstitusi untuk memutusnya.412 Sedangkan dalam

arti khusus, constitutional question adalah merujuk pada suatu mekanisme

pengujian konstitusionalitas undang-undang di mana seorang hakim (dari

regular courts) yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-

ragu akan konstitusionalitas undang-undang yang berlaku untuk perkara itu

maka ia mengajukan “pertanyaan konstitusional” ke MK (mengenai

konstisional-tidaknya undang-undang itu). Selanjutnya, MK hanya memutus

persoalan konstitusionalitas undang-undang itu, jadi bukan memutus kasus itu

sendiri, namu selama MK belum menyatakan putusannya, pemeriksaan

terhadap kasus tersebut dihentikan.413

Secara historis kelahiran constitutional question tidak terlepas dari

sejarah kelahiran mahkamah konstitusi. Sebagaimana diketahui, ide

membentuk peradilan konstitusi mula pertama digagas oleh Hans Kelsen

setelah berakhirnya Perang Dunia I, yang antara lain diikuti oleh runtuhnya

Kekaisaran Austro-Hungaria dan berdirinya Republik Austria. Di republik yang

baru terbentuk ini Hans Kelsen diangkat menjadi Chancelery yang bertugas

menyusun konstitusi dalam rangka pembaruan konstitusi Austria (1919-1920).

Di sinilah Kelsen mengemukakan gagasannya tentang perlunya Austria

memiliki peradilan konstitusi (yang terpisah dari sistem peradilan biasa) yang

fungsinya adalah untuk menegakkan konstitusi dengan kewenangan utama

membatalkan undang-undang jika undang-undang itu bertentangan dengan

412 I Dewa Gede Palguna, “Constitusional Question: Latar Belakang dan Praktik DiNegara Lain serta Kemungkinan Penerapannya di Indoinesia”, Makalah Pada Seminar NasionalMekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi yangdiselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijayabekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan MK RI di Malang, 21 November 2009. hlm. 1-4.

413 Ibid.

Page 250: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

konstitusi. Kewenangan ini yang kemudian dikenal sebagai pengujian

konstitusional (constitutional review).414

Oleh karena itu, MK disebut juga sebagai Peradilan Konstitusi

(constitutional judiciary) yaitu organ yang memiliki otoritas untuk

menyelesaikan persengketaan hukum (legal dispute) berdasarkan

konstitusi.415 Peradilan ini dapat memfasilitasi setiap individu atau kelompok

masyarakat untuk mempertanyakan kelayakan suatu kebijakan negara

(eksekutif dan legeslatif), yang biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan. Secara konseptual peradilan konstitusi ini mengandung

2 (dua) fungsi strategis yaitu; (i) untuk melindungi hak-hak fundamental

masyarakat, dan (ii) untuk mengawasi aktifitas legeslatif pemerintahan.

Apabila hal itu dilaksanakan secara berkesinambungan maka akan

mencapai titik kulminasi yang disebut sebagai keadilan konstitusional

(constitutional justice).416

Dengan demikian, MK merupakan satu-satunya lembaga yang

paling berwenang untuk menjaga dan menegakkan konstitusi. MK adalah

mekanisme formal kenegaraan yang dibentuk untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konstitusi. MK dibentuk dan

diadakan lewat konstitusi, dan dasar bertindak atau mengambil keputusan

adalah konstitusi. Namun demikian bukan berarti MK lebih tinggi dari

lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk lebih tinggi dari MA. Pendekatan

dan pandangan yang bersifat struktural-hierarkhis seperti itu, selayaknya

ditinggalkan dalam membaca sistem ketatanegaraan pascaamandemen UUD

1945. Jadi, posisi atau kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan

414 Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional, Jakarta, PenerbitKonstitusi Press, hlm. 1-47.

415 Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang AdjudikasiKonstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta-Pradnya Paramita,hlm. 75.

416 Ibid., hlm. 82-85.

Page 251: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Indonesia perlu dilihat berdasarkan fungsi dan kewenangannya memperkuat

cheks and balances di dalam kerangka negara hukum.

Dari sisi praktik pengujian Undang-Undang yang pernah

dilakukan oleh MK, ada alasan yang cukup kuat untuk menerapkan

constitusional question terlepas bahwa penerapan tersebut adalah sebuah

perluasan atau penambahan kewenangan MK. Realitanya sudah cukup banyak

keluh kesah atau surat pengaduan dari warga masyarakat (baik

peorangan, atau kolektif) yang masuk ke MK. Padahal berbagai persoalan

tersebut tidak atau belum termasuk pada ranah kewenangan MK baik itu

constitusional question atau constitusional complaint. Sebagai contoh

perkara pengujian Undang-Undang dengan alasan kerugian konstitusional

yang diderita oleh pemohon karena sudah di adili dan bahkan dihukum

berdasarkan ketentuan yang diragukan konstitusionalitasnya. Menurut

Harjono, dapat dikatakan kewenangan uji konstitusionalitas tersebut

merupakan kewenangan yang utama, sedangkan kewenangan lainnya

bersifat asesoris atau pelengkap.417

Perkara pengujian KUHP yaitu Perkara Nomor 013-022/PUU-

IV/2006 yang diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandopatan Lubis, Perkara

Nomor 6/PUU-V/2007 yang diajukan oleh Panji Utomo, Perkara Nomor

7/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Rizal Ramly. Perkara Nomor 14/PUU-

VI/2008 yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Semua

pemohon dalam perkara-perkara tersebut telah diadili dan divonis bahkan

telah menjalani hukuman sebelum mengajukan permohonan ke MK.

Beberapa perkara yang mendapat perhatian luas yang diperiksa

dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi antara lain: Perkara Nomor 016/PUU-

I/2003 (permohonan pembatalan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah

Agung), Perkara Nomor 061/PUU-II/2004 (permohonan pembatalan dua

Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang saling bertentangan),

417 Harjono, op.cit., hlm. 25-27.

Page 252: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 (dugaan adanya unsur penyuapan dalam

putusan Mahkamah Agung), Perkara Nomor 013/PUU-III/2005 (penyimpangan

penerapan norma undang-undang), Perkara Nomor 018/PUU-III/2005

(penafsiran yang keliru dalam penerapan undang-undang), Perkara Nomor

025/PUU-III/2006 (dua putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan),

Perkara Nomor 007/PUU-IV/2006 (ketidakpastian penanganan perkara di

peradilan umum dan dugaan adanya unsur penyuapan), Perkara Nomor

030/PUU-IV/2006 (kewenangan mengeluarkan izin penyiaran), Perkara Nomor

20/PUU-V/2007 (pembuatan kontrak kerjasama pertambangan yang tidak

melibatkan persetujuan DPR), Perkara Nomor 026/PUU-V/2007 (sengketa

tentang pemenang pemilihan kepala daerah), Perkara Nomor 1/SKLN-VI/2008

(laporan temuan pelanggaran pemilihan kepala daerah yang tidak

ditindaklanjuti), Perkara Nomor 133/PUU- VII/2009 (kriminalisasi pimpinan

KPK), dan lain-lain.

Selain itu, constitutional question juga disinggung dalam putusan

perkara Nomor 14/PUU-VI/2008. Dalam putusan tersebut, Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa apa yang dialami Pemohon bukan merupakan

persoalan norma, melainkan penerapan hukum yang sesungguhnya dapat

diwadahi dalam mekanisme constitutional question yang saat ini tidak dimiliki

MK. Perkara tersebut adalah uji materi Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2),

Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Contoh lain yang serupa menggenai praktek penerapan

constitusional question yaitu; seorang warga negara dapat

mempertanyakan ke MK soal adanya benturan nilai dan ruang lingkup makna

antara Pasal 28E ayat (1) dan (2) dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang

mengatakan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

Page 253: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

agamanya dan kepercayaannya itu.” Benturan nilai antar Pasal dalam UUD

1945 tersebut dapat dipertanyakan karena efeknya dapat meyebabkan

kesalahan penafsiran pada setiap individu masyarakat. Bahwa setiap

individu hanya percaya terhadap adanya Tuhan saja, akan tetapi mereka juga

bisa ingkar terhadap syariat/ritual formal yang dimiliki masing-masing agama

yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Atau sebaliknya setiap warga

dimungkinkan dalam satu kurun waktu memeluk dua agama sekaligus untuk

kepentingan tertentu (melakukan murtad pindah agama seenaknya

sendiri). Hal ini berbeda jauh dengan kewajiban negara untuk melindungi

pelaksanaan kehidupan keber-agama-an sesuai dengan keyakinan dan

kepercayaannya (Pasal 29 UUD 1945).

Persoalan constitutional question yang lain seperti tertuang

pada Pasal 18 ayat 4 dengan Pasal 22E17 UUD 1945 yang debatebel.

Ketentuan tentang pemilihan umum diatur lebih lanjut dalam Pasal 22E ayat

(1) sampai dengan ayat (6) UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai

pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Pengaturan

pemilihan kepala daerah bagian (rezim) dari pemilihan umum hanya

diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 22 Tahun 2007. Perihal kewenangan MK

dalam memutus sengketa pemilihan kepala daerah yang hanya diatur melalui

UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan

Daerah khususnya Pasal 236C, juga patut untuk dipertanyakan

konstitusionalitasnya.

Keseluran contoh tersebut merupakan case study dari

qonstitusional question, di mana setiap individu masyarakat atau badan

hukum dapat mengajukan pertanyaan konstitusionalnya kepada MK sebagai

lembaga yang berkompeten untuk menafsirkan hal tersebut.

Realitas yang lain dari penerapan constitusioanal quetion yang

sebenarnya sudah dilaksanakan misalnya adalah (i) seseorang yang divonis

melalui putusan PK, tetapi putusan tersebut salah dalam penerapan

Page 254: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

hukumnya dan jika terpidana itu memiliki novum (bukti-bukti baru),

perkaranya bisa dipertanyakan atau diajukan kembali melalui constitusioanal

question; (ii) pemutaran hasil rekaman atau penyadapan KPK di dalam

persidangan MK; (iii) kasus Amrozi menguji UU yang mengatur tata cara

hukuman mati yang dianggap konstitusional, hakim yang menyidangkan

perkara tersebut terlebih dahulu bertanya ke MK sebelum melanjutkan

pemeriksaan perkaranya.

Dalam hubungan dengan usul untuk mengadopsi mekanisme

pengaduan konstitusional secara terbatas, ada 2 (dua) hal yang harus

dicermati. Pertama, meskipun substansi permohonan itu sesungguhnya

adalah pengaduan konstitusional, permohonan itu sendiri dikonstruksikan

sebagai permohonan pengujian undang-undang. Artinya, sama sekali tidak

menambah kewenangan MK yang telah ditentukan secara limitatif oleh

UUD 1945. Kedua, permohonan itu hanya dapat dilakukan oleh pihak

yang secara faktual telah menderita kerugian hak konstitusional yang

disebabkan oleh kekeliruan penafsiran dan penerapan undang-undang. Jadi,

berbeda dengan praktik yang selama ini berlangsung di MK, di mana bukan

hanya pihak yang secara faktual telah menderita kerugian hak konstitusional

tetapi pihak yang (menurut penalaran yang wajar) potensial menderita

kerugian konstitusional oleh berlakunya suatu undang-undang pun telah

dianggap cukup memenuhi syarat untuk bisa diterima legal standing-nya

sebagai pemohon, dalam mekanisme pengaduan konstitusional yang

diusulkan ini, kerugian faktual merupakan keharusan untuk memenuhi syarat

legal standing.

Memperhatikan permasalahan seperti diuraikan di atas, ada

keuntungan apabila menerapkan mekanisme constitutional question, antara

lain yaitu: (i) dapat dihindari adanya putusan hakim yang bertentangan

dengan konstitusi dan melanggar hak konstitusional warga negara; (ii) ruang

pengujian terhadap peraturan perundang-undangan semakin luas, apalagi

Page 255: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

hakim pengadilan adalah profesi yang mempunyai kapasitas lebih untuk

mengetahui adanya kemungkinan pertentangan norma; dan (iii) dapat

dihindari adanya pelanggaran hak konstitusional yang tidak perlu karena

dengan adanya pengajuan constitutional question proses pengadilan yang

sedang berlangsung di pengadilan lain yang meragukan konstitusionalitas

suatu norma undang-undang, dihentikan sementara sampai adanya putusan

MK.

Pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak konstitusional

warga negara merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa di tawar, serta

diatur dan ditegakkan dalam konstitusi oleh setiap negara di dunia, terlebih

bagi negara yang menjadikan demokrasi sebagai cita-cita dan tujuan yang

ingin di capai. Tak terkecuali dengan negara Indonesia, yang masih

mendambakan demokrasi sebagai sebuah sistem yang perlu dan harus terus

di kawal demi terwujudnya pemerintahan yang diidealkan. Salah satunya

adalah dengan gagasan mengadopsi mekanisme constitusional question

kedalam sistem peradilan konstitusi (constitusional adjudication). Urgensi

penerapan mekanisme constitusional question di Indonesia merupakan wujud

konkrit dari upaya penghormatan dan perlindungan maksimum terhadap hak-

hak konstitusional warga negara, selain itu adalah sebagai salah satu solusi

alternatif dalam memulihkan citra dan wajah penegakan hukum yang

selama ini sudah tercabik-cabik oleh keserakahan sistem yang sengaja

“dikondisikan”. Sudah saatnya kedaulatan itu dikembalikan kepada rakyat

dan bukan kedaulatan yang utopis. Bermula dari sebuah gagasan yang

sangat penting untuk diperdebatkan kebermanfaatannya tersebut, persoalan

constitusional question merupkan dua sisi mata uang yang tidak dapat

dipisahkan dalam konteks penerapannya.

C. Gagasan Constitutional Complaint

Constitutional complaint adalah salah satu upaya hukum untuk

menjamin tidak dilanggarnya hak konstitusional warga negara oleh seluruh

Page 256: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kebijakan pemerintah maupun putusan peradilan. Di berbagai negara,

constitutional complaint menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah

Konstitusi (MK). Namun, kewenangan consti- tutional complaint masih

belum dimiliki oleh MK di Indonesia.

Seiring dengan menguatnya kesadaran akan hak konstitutional

masyarakat, gagasan constitutional complaint kini mulai diusung sebagai

salah satu alternatif perlindungan hak asasi manusia. Meskipun belum

populer di kalangan masyarakat umum, constitutional complaint kini tengah

menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi serta praktisi hukum

tata negara untuk melihat kemungkinannya diterapkan di Indonesia.

Pan Mohammad Faiz, S.H. lebih spesifik menjelaskan

constitusional complaint. Dalam Jurnal hukum yang berjudul Menabur Benih

Constitusional Complaint, Faiz berpendapat, bahwa constitusional complaint

sangat dimungkinkan menjadi kewenangan MK di Indonesia, yang sangat

disayangkan saat ini kewenangan tersebut belum bisa diberikan kepada MK

selaku lembaga yang dapat menampung dan menyalurkan keluh kesah

(personal grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya hukum

yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap

individu warga negara. Dalam tulisannya menyatakan konstitusi harus

diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih utama dari pada

wakil-wakilnya sehingga dapat menjadikan konstitusi yang selalu hidup

(living constitution).

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Abdul Latif. Dalam

tulisannya tersebut, penulis menyoroti fungsi Mahkamah Konstitusi yang

belum mampu mewujudkan negara hukum yang demokratis yang salah satu

kendalanya adalah sistem pembatasan subtansi undang-undang yang boleh

diuji oleh MK, yaitu tidak berwenangnya menilai efektif tidaknya sebuah

undang-undang dan juga tidak berwenangnya menilai maksud dan tujuan

pembentukan UU, karena hal itu menjadi kopetensi pembentuk UU.

Page 257: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Sehingga Latif mengusulkan Pengaduan konstitusional (constitutional

complaint) sebagai alternatif salah satu pemecahan masalah belum

tercapainya fungsi Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan negara hukum

demokrasi.418

Vino Devanta Anjas Krisdanar mengeksplorasi wacana

constitutional complaint terkait masalah Ahmadiyah. Dalam tulisannya

penulis menyatakan, bahwa constitutional complaint sangat berfungsi dalam

menjaga hak konstitusi masyarakat yang salah satu hak konstitusi tersebut

adalah hak kebebasan beragama.419

Kebutuhan akan constitutional complaint menjadi sangat nyata

disebabkan adanya sejumlah kebijakan lembaga negara yang tidak memiliki

salurah hukum apabila hendak diuji. Salah satu contohnya adalah Surat

Keputusan Bersama (SKB) yang tidak dapat diujikan baik melalui Mahkamah

Agung (MA) maupun MK. Pasalnya, SKB tidak masuk dalam kualifikasi

peraturan di bawah undang-undang yang dapat diuji ke MA serta tidak

sederajat dengan undang-undang (UU) yang dapat diuji ke MK.

Constitutional complaint atau yang beberapa ahli

menerjemahkannya sebagai Pengaduan Konstitusional adalah pengaduan

atau gugatan yang diajukan oleh perorangan (warga negara) ke pengadilan,

dalam hal ini mahkamah konstitusi, terhadap suatu perbuatan atau kelalaian

yang dilakukan oleh suatu lembaga atau otoritas publik (public

institution/public authority) yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak

dasar (basic rights) orang yang bersangkutan. Pada umumnya, constitutional

complaint baru dapat diterima (admissible) apabila semua upaya hukum

yang tersedia bagi penyelesaian persoalan tersebut telah dilalui (exhausted).

418 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan NegaraHukum Demokrasi, Yogyakarta, Penerbit Kreasi Total Media.

419 Vino Devanta Anjas Krisdanar, “Menggagas Constitutional Complaint dalamMemproteksi Hak Konstitusional Masyarakat Mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama diIndonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 3, Juni 2010, hlm.185-205.

Page 258: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Constitutional complaint adalah pengajuan perkara ke Mahkamah

Konstitusi atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada

instrument hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia

lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan). Perkara yang bisa

dilakukan constitutional complaint yaitu kebijakan pemerintah, peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang yang langsung melanggar

isi konstitusi, tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi di bawah UUD, dan putusan pengadilan yang

melanggar hak konstitusi padahal sudah mempunyai kekuatah hukum yang

tetap dan tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum ke pengadilan

yang lebih tinggi, misalnya adanya putusan kasasi atau herziening

(peninjauan kembali) dari MA yang ternyata merugikan hak konstitusional

seseorang.420

Constitutional complaint berfungsi untuk melindungi hak

individual seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi di mana pada saat

yang sama juga merupakan upaya untuk menegakkan konstitusi sebagai

bagian dari aturan hukum. Biasanya constitutional complaint memiliki 4

(empat) karakteristik umum, yakni, pertama, menyediakan upaya hukum

atas pelanggaran dari hak-hak konstitusional. Kedua, hanya memainkan

peranan dalam perkara yang berhubungan dengan konstitusi dan bukan

mengenai perkara hukum lainnya yang mungkin berkaitan dengan kasus

tersebut. Ketiga, hanya bisa diajukan oleh orang yang telah secara langsung

dirugikan dengan berlakunya peraturan yang berlaku. Keempat, pengadilan

yang menangani constitutional complaint memiliki kewenangan untuk

membatalkan keberlakuan kebijakan atau peraturan yang dianggap tidak

konstitutional.

420 Mahfud MD, 2011, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta, Rajawali,hlm.287.

Page 259: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Salah satu negara yang terkenal dengan praktik pengujian

constitutional complaint adalah negara Jerman. Tercatat, dalam kurun waktu

dari tahun 1951 hingga tahun 2005, terdapat 157.233 permohonan yang

didaftarkan ke Federal Constitutional Court. Sebanyak 151.424 masuk dalam

kategori constitutional complaint, namun hanya 2,5% dari permohonan atau

sekitar 3.699 permohonan yang berhasil dikabulkan.

Jerman memang merupakan negara yang kental dengan praktik

pengujian konstitutional yang sangat dinamis di dunia. Basic Law Jerman

tahun 1949 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Mahkamah

Konstitusi Republik Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht).

Kewenangan tersebut lebih detail tercantum dalam Pasal 93 Basic Law

Tahun 1949 antara lain, pertama, Constitutional Review, yang digunakan

untuk menyelesaikan perselisihan sengketa kewenangan antara Pemerintah

Federasi dengan negara bagian (federal states) atau perselisihan yang

melibatkan organ-organ tinggi dalam pemerintah federal saja. Kedua,

Judicial Review, yang digunakan ketika MK melaksanakan pengujian norma

hukum secara konkrit (concrete norm control), atau pada saat organ tersebut

melakukan pengujian UU secara umum (abstract norm control). Ketiga,

Constitutional Complaint, di mana hak mengajukan petisi yang dimiliki

secara perorangan ataupun kelompok, ketika pemohon mendalilkan bahwa

hak konstitusional yang bersangkutan, seperti yang tercantum dalam Basic

Law tahun 1949 telah dilanggar oleh aneka produk hukum atau putusan

peradilan umum (ordinary judges). Keempat, menyelesaikan sengketa hasil

pemilihan umum, seperti ditentukan dalam Pasal 41 II Basic Law.

Bacis Law tahun 1949 juga mengatur bahwa constitutional

complaint hanya dapat dilakukan dengan beberapa syarat yang mampu

mengendalikan bahwa kebijakan lembaga publik telah mencederai hak

konstitusional yang telah dijamin oleh Konstitusi. Berdasarkan Article 23(1)

Bagian II Basic Law Jerman, setidaknya gugatan atau permohonan

Page 260: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

constitutional complaint harus setidaknya mencakup hal berikut, pertama,

dalam gugatan tersebut harus secara jelas menyatakan kebijakan/keputusan

berbentuk putusan pengadilan, kebijakan administratif, hukum, dan

sebagainya yang dianggap telah merugikan dan juga harus disertai dengan

nomor putusan, nomor peraturan pemerintah dengan tanggal

pemberlakuannya hingga saat berlaku. Kedua, dalam gugatan harus secara

jelas menerangkan hak konstitusional yang telah dilanggar dengan

berlakunya sebuah peraturan atau putusan. Ketiga, gugatan harus secara

gamblang menjelaskan bagaimana peraturan tersebut telah atau dapat

memberikan kerugian konstitusional yang dijamin oleh konstitusi.

Praktik constitutional complaint juga diadopsi di Korea Selatan.

Hingga 30 September 2009, MK Korea Selatan telah menerima 17.826 kasus

dan 17.154 kasus di antaranya sebanyak adalah permohonan constitutional

complaint. Kewenangan MK Korea Selatan untuk mengadili perkara

constitutional complaint adalah sebuah hal baru dalam proses litigasi

konstitusi di Korea Selatan. Namun menurut sejarah, konsep ini telah hadir

dalam kebudayaan Dinasti Chosun Korea sejak A.D 1392- A.D 1910. Hal ini

dikenal sebagai tradisi “Shinmoonko”, seseorang yang hendak memberikan

petisi langsung kepada Raja, akan memukul sebuah drum besar bernama

“Shinmoonko”.

Kewenangan MK Korea untuk mengadili perkara constitutional

complaint diatur dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi Korea (Constitutional Court Act). Petisi perorangan ini dapat

dilakukan oleh setiap warga negara yang haknya telah dilanggar oleh UU

(non-exercise) dan juga tindakan langsung aparatur negara (exercise).

Namun, ada batas waktu untuk mengajukan constitutional

complaint di Korea Hal tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 90 hari

sejak kerugian konstitusional ditemukan atau setahun ketika akibat kerugian

tersebut terjadi. MK Korea juga hanya dapat menerima constitutional

Page 261: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

complaint ini setelah yang bersangkutan selesai menempuh upaya hukum

biasa guna memperoleh haknya (remedies). Apabila perkara tersebut telah

mendapatkan putusan pengadilan biasa maka hanya dapat diajukan ke MK

dalam jangka waktu 90 sejak putusan diterima.

Hal yang menarik dari kewenangan yang diberikan kepada MK

Korea adalah bahwa selain putusan peradilan umum yang dapat diuji di MK,

putusan peradilan militer juga dapat diuji melalui MK. Adapun Pasal 41 ayat

(1) menentukan bahwa putusan dari MK yang menyatakan bahwa sebuah

UU atau peraturan adalah inkonstitusional maka akan sekaligus mengikat

peradilan umum dan lembaga negara lain maupun pemerintah lokal.

Di Indonesia, Pengujian konstitutional yang ditawarkan oleh Pasal

24C UUD 1945 baru sebatas pengujian terhadap UUD 1945. Seorang

maupun kelompok warga negara dapat mengajukan permohonan pengujian

undang-undang apabila dengan berlakunya sebuah pasal atau bagian dalam

UU bertentangan dengan UUD 1945. Tercatat, sejak tahun 2003 berdiri

hingga 25 Oktober 2009, MK telah menerima permohonan PUU sebanyak

300 perkara. Dari 300 perkara tersebut, sebanyak 55 permohonan

dikabulkan dan sisanya ditolak, tidak diterima atau ditarik kembali oleh

pemohon yang bersangkutan.

Pengertian dari dikabulkannya 55 permohonan adalah bahwa

putusan MK telah menyatakan bahwa berlakunya sebuah pasal dalam UU

maupun keseluruhan UU yang diputuskan oleh legislatif bertentangan

dengan UUD 1945. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah tidak berlakunya

UU atau pasal dalam UU tersebut secara otomatis.

Salah satu pengujian UU yang dikabulkan permohonannya adalah

perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-

Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Dampak dari

dikabulkannya permohonan pemohon adalah pernyataan tidak berlaku

mengikat keseluruhan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.

Page 262: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Pemohon yang merupakan gabungan LSM Indonesia merasa hak

kosntitusional dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 2002 tentang

Ketenagalistrikan. Pemohon beranggapan bahwa UU tersebut yang

memperbolehkan privatisasi listrik adalah bertentangan dengan Pasal 28 dan

Pasal 33 UUD 1945 yang berkenaan dengan hak asasi dan perekonomian

rakyat. Setelah persidangan lebih dari satu tahun kemudian MK

memutuskan mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa UU Nomor

20 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945. Melalui contoh di atas,

dapat dicermati bahwa MK memberikan tafsir atas Pasal 33 UUD 1945

sebagai keharusan negara untuk menguasai segala sumber ekonomi

masyarakat juga mencakup pada penguasaan terhadap listrik. Oleh karena

itu, amanat konstitusi untuk menguasai SDA dan sumber daya ekonomi yang

menyangkut hajat hidup orang banyak tidak dapat diwakili oleh swasta

melalui program privatisasi.

Sayangnya, MK memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian

konstitusionalitas hanya pada UU saja. Masih banyak kebijakan otoritas

publik lainnya yang tidak dapat dilakukan uji konstitusionalitasnya meskipun

berpotensi melanggar hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945.

Belajar dari praktik dan kewenangan yang dimiliki oleh MK Jerman dan Korea

Selatan maka menjadi penting untuk menambahkan satu kewenangan ke

MK Indonesia bernama constitutional complaint. Melalui sejumlah contoh

yang diberikan, constitutional complaint dapat memberikan peluang untuk

pengujian konstitutional mulai dari putusan pengadilan tentang ekstradisi,

perjanjian bilateral mengenai perdagangan hingga penerapan sebuah

konvensi di Indonesia.

Pada akhirnya, melalui constitutional complaint, tidak akan ada

kebijakan pemerintah (otoritas publik) maupun peradilan yang dapat

terbebas dari kewajiban mewujudkan cita-cita konstitusi. Constitutional

complaint memungkinkan bagi setiap warga negara untuk memberikan

Page 263: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pengawasan maksimal bagi pemerintah maupun lembaga peradilan atas hak

konstitutional yang telah dijamin oleh konstitusi sebagai sumber hukum

tertinggi di Indonesia.

Constitutional complaint berpotensi untuk menjadi kewenangan

dari MK di Indonesia. Hal ini dilandaskan pada Pasal 24C UUD 1945 yang

memberikan kewenangan MK untuk melakukan uji konstitusionalitas hanya

pada UU saja. Adapun, kebutuhan untuk melakukan uji terhadap keputusan

atau kebijakan pemerintah lainnya yang besifat abstrak dan umum masih

belum dimungkinkan. Namun, menambahkan kewenangan constitutional

complaint ini mengharuskan adanya amandemen UUD 1945 karena

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

D. Putusan Ultra Petita

Pada dasarnya wewenang pengujian konstitusional sebagai bagian

dari penerapan prinsip pemerintahan yang terbatas. Pembatasan ini terutama

ditujukan terhadap organ kekuasaan pembentuk undang-undang (DPR

bersama Presiden). Berdasarkan penelitian sejarah dan analisa hukum, watak

produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.

Artinya, kelompok dominan (penguasa) dapat membentuk undang-undang

atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap politiknya sendiri

yang belum tentu sesuai dengan jiwa konstitusi yang berlaku.421 Pelaksanaan

dari kewenangan ini dilakukan agar konsistensi tindakan bernegara

seperti yang telah disepakati dalam konstitusi dapat dipertahankan. Dengan

demikian, potensi ketidaksesuaian (diskrepansi) antara preferensi atau

kepentingan rakyat dengan yang mewakilinya dapat diatasi.

Selain sebagai penerapan pemerintahan yang terbatas, kewenangan

menguji ini disebabkan oleh adanya kecenderungan yang mengharuskan

persoalan diatur melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Kondisi

demikian berpotensi menimbulkan ketidakselarasan baik secara vertikal

421 Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, op.cit.,hlm. 359.

Page 264: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

maupun horizontal antarsesama norma hukum yang lebih rendah, atau antara

norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih

tinggi. Dalam sebuah doktrin hukum yang bersifat hierarkhi struktural, yang

juga digunakan dalam sistem hukum di Indonesia422 bahwa peraturan yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang diatasnya.

Untuk hal itu, baik UUD 1945 maupun UU No. 24 Tahun 2003

memberikan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga cenderung

membatasi upaya pencapaian perlindungan dan keadilan konstitusional

secara utuh. Ketentuan UUD 1945 menentukan dengan cara membagi

kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD oleh MK. Sedangkan

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).423 Ketentuan UU No. 234

Tahun 2003 memberikan pengaturan yang membatasi bahwa, Undang-

undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang

diundangkan setelah Perubahan UUD 1945.424 Artinya, undang-undang yang

lahir dan dibuat sebelum amandemen UUD 1945 tidak dapat dilakukan

pengujian oleh MK.425 Sedangkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3),

422 Lihat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

423 Pengujian produk hukum oleh Peradilan Konstitusi biasanya diselenggarakandengan 3 cara, yaitu (i) pengujian abstrak, sebelum produk hukum disahkan, (ii) pengujiankonkret, dilakukan setelah produk hukum disahkan, (iii) pengaduan konstitusional. Masing-masing memiliki prosedur acara persidangan sendiri, manfaat dan implikasi hukum yangberbeda satu dengan yang lainnya. Untuk hal ini lihat, Ahmad Syahrizal, dalam PeradilanKonstitusi., op.cit., hlm. 88.

424 Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003, menentukan bahwa undang-undang yang dapatdimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan UUD 1945.

425 Dalam perkembangannya, MK menyatakan Pasal 50 UU Nomer 24 Tahun 2003 tidakmengikat. Putusan ditetapkan sehubungan dengan Pengujian UU No. 1 tahun 1997 tentangKamar Dagang dan Industri (Kadin) yang lahir sebelum ada perubahan UUD 1945). Putusandiucapkan tanggal 12 April 2005. Namun dalam putusan ini ada tiga hakim yang menyatakanpendapat yang berbeda yaitu Laica Marzuki, Ahmad Roestandi, dan HAS Natabaya. Ketiga hakimtersebut menyatakan MK tidak boleh menjangkau terlalu jauh guna menguji UU Kadin karenapasal 50 UU MK tidak saja menentukan pengujian sebatas UU yang diundangkan setelahperubahan UUD 1945 guna menghindari tumpukan perkara tapi juga MK merupakan lembagaproduk masa perubahan UUD 1945. Menurut Laiza, pasal 50 UU MK tidak dimaksudkan untuk

Page 265: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pengujian dapat dimohonkan terhadap; (i) pembentukan undang-undang

tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 (uji formil), dan/atau (ii) materi muatan

dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan

dengan UUD 1945 (uji materiil). undang-undang dasar dapat menyangkut

aspek formal, yaitu dari proses pembentukan dan/atau kewenangan,

maupun aspek materil dari ayat, pasal dan/atau bagian Undang-Undang.

Jikalau menyangkut aspek formal, baik karena tidak adanya dasar

kewenangan maupun mekanisme dan tatacara dalam proses pembentukan

yang ditentukan dalam UUD 1945 tidak dipenuhi, maka secara keseluruhan

Undang- Undang yang dimohon diuji tersebut akan dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikalau

pengujian menyangkut materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari

Undang-Undang, maka materi muatan ayat, pasal dan atau bagian Undang-

Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 tersebut akan

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ada kalanya bahwa yang dimohon untuk diuji adalah beberapa pasal

saja, dan kemudian satu atau dua dari pasal tersebut ditemukan bertentangan

dengan UUD 1945, akan tetapi diluar dari permohonan yang hanya meminta

beberapa pasal itu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan diminta

untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK telah dua

kali menemukan yaitu dalam perkara pengujian Undang-Undang

Ketenagalistrikan dan Undang-Undang KKR, di mana justru kemudian

dinyatakan bahwa Undang-Undang yang dimohon untuk diuji tersebut secara

keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, meskipun petitum

permohonan Pemohon tidak meminta demikian.

Suatu putusan MK diambil setelah mempertimbangkan permohonan

yang terdiri dari bagian posita atau uraian perihal yang menjadi dasar

mereduki kewenangan MK tetapi justru melaksanakan dan menjabarkan kewenangankonstitusional yang dimaksud sebagaimana lazimnya suatu UU.

Page 266: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

permohonan dan petitum berdasarkan bukti yang ada. Dalam hal

permohonan beralasan dan dikabulkan, amar putusan menyatakan bahwa

materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan

dengan UUD 1945, dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat [Pasal 56 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 57 ayat (1), ayat

(2)]. Permohonan pengujian Undang-Undang terhadap

Dalam melaksanakan kewenangan menguji ini, tidak jarang MK

melakukan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi. Pengujian konstitusional undang-undang

adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas suatu undang-undang,

baik dari segi formil maupaun materil. Artinya, MK memberi tafsir atas

undang-undang apakah sudah sesuai dengan UUD atau justru bertentangan

dengan UUD. MK menentukan apakan perintah UUD sudah termaktub dalam

undang-undang, sekaligus menentukan apakah proses pembentukannya telah

sesuai dengan perintah UUD atau belum. MK menjadi pengaman (the

guardian) konstitusi agar tidak dilanggar oleh undang-undang.

Permasalahan yang kemudian muncul ke permukaan adalah

bahwa MK ternyata tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak menafsirkan

undang-undang terhadap undang-undang. Meskipun MK dianggap melakukan

penafsiran dengan metode teristematis, dengan tetap menggunakan UUD

sebagai pijakan utama tafsir, akan tetapi jika dilihat dari pertimbangan hukum

yang dipilih, terang pada perkara tertentu MK membenturkan undang-

undang satu dengan undang-undang lain. Kasus ini terjadi pada pengujian UU

No. 45 Tahun 1999 jo UU No, 5 Tahun 2000 yang dianggap bertentangan

dengan UU No. 21 Tahun 2001, dengan argumen asas lex posterior derogat

legi priori dan lex specialis derogat legi generalis. Kasus semacam ini berulang

kembali pada perkara pengujian UU No. 25 Tahun 2008 tentang Penanaman

Modal. Meski pijakan utama penafsiran adalah Pasal 33 UUD 45, namun pada

dasarnya MK menganggap UU No. 25 Tahun 2008 bertentangan dengan UU

Page 267: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Di sini tidak berlaku asas lex posterior

derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generalis. Walaupun kedua

putusan tersebut mendapat apresiasi positif dari masyarakat, sebagai pijakan

hukum, hal-hal yang demikian ke depan harus dihindari, karena bisa

memunculkan persepsi bahwa MK telah keluar dari kewenangannya.

Wewenang menafsirkan itu memang melekat, dan dapat dikatakan secara

langsung sudah menjadi bagian atau hak yang harus dilakukan oleh para

hakim ketika mengadili perkara. Namun sekiranya hal ini perlu ditegaskan

dalam ketentuan UU No. 24 Tahun 2003.

Dalam rangka perubahan UU No. 24 Tahun 2003 yang dituangkan

dalam UU No. 8 Tahun 2011, diatur ketentuan bahwa dalam menguji undang-

undang terhadap UUD 1945, MK tidak menggunakan undang-undang lain

sebagai dasar pertimbangan hukum (Pasal 50A). Namun norma ini kemudian

dinyatakan tidak berlaku mengikat oleh MK dalam putusan pengujian yang

diajukan oleh Saldi Isra, dan kawan-kawan.426 Putusan itu penulis anggap

tepat sebab tidaklah mungkin Mahkamah Konstitusi dalam hal-hal tertentu

tidak memperhatikan ketentuan Undang-Undang selain UUD 1945 dalam

pertimbangan hukumnya. Apalagi jika kemudian terdapat proses

pengujian undang-undang secara formil, tentu ketentuan Undang-Undang

terkait tata cara pembentukan Undang-Undang menjadi acuan MK. Ketentuan

Pasal 50A UU MK telah menyebabkan kerugian konstitusional warga negara

Keberadaan Pasal 50A tersebut menyebabkan MK tidak maksimal

dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara. pembentuk Undang-

Undang tidak memperhatikan ketentuan UUD 1945 terutama Pasal 22A

UUD 1945.427 Sulit bagi MK, misalnya dalam pengujian formil jika tidak

memperhatikan ketentuan Undang-Undang terkait tata cara

426 Putusan No. 49/PUU-/2011.427 Ketentuan ini mengatur bahwa, ““Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara

pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.”

Page 268: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

pembentukan Undang-Undang yang didelegasikan oleh ketentuan konstitusi.

Mustahil pula bagi MK mengabaikan keberadaan Undang-Undang tentang

tata cara pembentukan Undang-Undang dalam pengujian materil Undang-

Undang dikarenakan terkait dengan asas-asas pembentukan undang-undang

pastilah diatur dalam Undang-Undang tentang tata cara pembentukan

Undang-Undang. Apalagi jelas-jelas berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 22A

UUD 1945 terdapat delegasi konstitusional kepada Undang-Undang untuk

pengaturannya.

Dalam argumentasinya, MK berpendapat bahwa Indonesia telah

menyatakan sebagai negara hukum yang demokrasi konstitusional atau

negara demokrasi yang berdasar atas hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 1

ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Salah satu syarat setiap negara yang

menganut paham rule of law dan constitutional democracy adalah prinsip

konstitusionalisme (constitutionalism), antara lain yaitu prinsip yang

menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai hukum

tertinggi dalam suatu negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya

konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang menjamin bahwa

ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar dilaksanakan dalam

praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 24 ayat (2)

UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai

salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi mengawal konstitusi

atau Undang-Undang Dasar (the guardian of the constitution) dan karena

fungsinya itu Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tertinggi Undang-

Undang Dasar (the ultimate interpreter of the constitution). Dalam kerangka

pemikiran demikian maka seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi

kepada MK, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat

(1) dan ayat (2) UUD 1945, bersumber dan mendapatkan landasan

konstitusionalnya. Salah satu kewenangan Mahkamah adalah menguji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan kewenangan yang

Page 269: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

diberikan tersebut Mahkamah dalam mengadili suatu Undang-Undang wajib

menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi maupun Undang-

Undang sebagai penjabaran dari UUD 1945. Pelarangan terhadap

Mahkamah untuk menggunakan Undang-Undang lain sebagai dasar

pertimbangan hukum adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai

kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain

sebagai dasar pertimbangan hukum justru untuk menciptakan kepastian

hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dalam praktik Putusan Mahkamah terkait dengan pengujian materil

Mahkamah tidak pernah menggunakan Undang-Undang sebagai dasar

pertimbangan, akan tetapi dalam permohonan-permohonan tertentu,

Mahkamah harus melihat seluruh dengan yang lain sehingga apabila

Mahkamah menemukan ada satu Undang- Undang bertentangan dengan

Undang-Undang lain, hal itu berarti bertentangan dengan kepastian hukum

yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Dalam pengujian formil memang benar Mahkamah dalam putusan

Nomor 27/PUU- VII/2009, tanggal 16 Juni 2010 antara lain menyatakan

“...sepanjang Undang- Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan

peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil

prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi maka

peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau

dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.

Hal itu dilakukan Mahkamah karena Pasal 22A UUD 1945 menentukan

bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tatacara pembentukan Undang-

Undang diatur dengan Undang-Undang. Adapun mekanisme pembentukan

Undang-Undang di DPR diatur dengan tata tertib DPR sehingga menurut

Mahkamah penggunaan Undang-Undang mengenai pembentukan Undang-

Page 270: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Undang dan tata tertib DPR sebagai dasar putusan Mahkamah dimaknai

sebagai penjabaran dari UUD 1945 secara langsung. Oleh karena itu menurut

Mahkamah jika pasal tersebut diterapkan maka akan membatasi tugas dan

fungsi Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UUD

1945.428

Putusan dalam suatu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim

sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka

untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa/perkara

yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang

akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan

hakim itu merupakan tindakan negara dimana kewenangannya

dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan Undang-Undang Dasar maupun

undang-undang. Putusan hakim seringkali diibaratkan dengan putusan Tuhan

(judicium dei).429 Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan harus benar-benar

melalui proses pemeriksaan peradilan yang jujur (fairtrial) dengan

pertimbangan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan (moral justice), dan

bukan semata- mata berdasarkan keadilan undang-undang (legal justice)

berdasarkan Undang-Undang Dasar maupun undang-undang. Putusan hakim

seringkali diibaratkan dengan putusan Tuhan (judicium dei). Oleh karena itu,

putusan yang dijatuhkan harus benar-benar melalui proses pemeriksaan

peradilan yang jujur (fairtrial) dengan pertimbangan yang didasarkan pada

keadilan berdasarkan (moral justice), dan bukan semata-mata berdasarkan

keadilan undang-undang (legal justice).

Dalam mengadili perkara yang menjadi kewenangannya, konstitusi

(Pasal 24C ayat 1 UUD 1945) menempatkan MK sebagai pengadilan tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Ketentuan ini

428 Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011, hlm. 74-75.429 Maruara Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op.cit.,

hlm. `123.

Page 271: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kemudian diikuti pengaturannya di Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun

2003. Putusan final berarti bahwa putusan MK secara langsung memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang

dapat ditempuh. Putusan final ini langsung berlaku mengikat, yang juga dapat

diartikan bahwa pihak-pihak, semua orang, badan publik atau lembaga negara

akan mematuhi dan melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan. Dengan

kata lain, sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat

digunakan, berarti putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap

(in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro

veritate habetur).

Perkara-perkara yang menjadi kewenangan MK merupakan

perkara konstitusi. Artinya, konstitusi yang akan menjadi tolak ukur atau alat

untuk menguji dan menyelesaikan perkara yang diajukan ke MK. Oleh karena

konstitusi yang menjadi rujukan, dan konstitusi merupakan sumber dari

segala sumber hukum tertinggi dalam kontreks negara hukum Indonesia,

maka tidak tepat jika MK diposisikan bukan sebagai pengadilan tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Di samping itu, karena

perkara yang menjadi kewenangan MK memiliki dimensi yang luas (sifat,

kepentingan dan akibatnya) dari segi sosial-politik, ekonomi maupun lingkup

ketatanegaraan. Dengan melihat keluasan dimensi perkara tersebut,

apabila disediakan upaya hukum terhadap putusan MK, maka akan

mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakadilan bukan hanya pada para

pihak pemohon tetapi juga banyak pihak. Ketidakpastian dan ketidakadilan

itu tentu saja dapat berujung pada “kekacauan” dan “instabilitas” di dalam

masyarakat maupun pemerintahan.

Dalam ketentuan Pasal 58 UUMK dinyatakan bahwa, “Undang-

undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada

putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan

dengan UUD 1945”. Ketentuan ini berarti memposisikan putusan MK berlaku

Page 272: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

kedepan (prospektif), tidak berlaku surut (retroaktif). Konsekuensi dari

putusan prospektif adalah segala peristiwa, perbuatan atau keputusan yang

telah terjadi sebelum ketentuan pasal/ayat/undang-undang dibatalkan, selalu

dianggap sah dan tidak bertentangan dengan putusan yang telah dijatuhkan

(rechtmatig). Keputusannya hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi

hukum.

Suatu hal yang dirasakan dan oleh banyak pihak sulit dipahami

adalah putusan prospektif itu mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum

(Rechtvacuum). Landasan hukumnya sudah tidak ada, tetapi secara de facto

fakta atau peristiwa hukumnya masih berlangsung. Dalam hal ini, masalahnya

organ pembentuk UU tidak cepat tanggap terhadap sifat mengikat dari

putusan MK. Bahkan mereka terkesan mengacuhkan kehendak putusan MK.

Akibatnya putusan MK memiliki problem di tingkat implementasi. Banyak

UU yang sudah dibatalkan kekuatan mengikatnya, kemudian tidak jelas

kelanjutannya, sehingga berimplikasi pada tidak adanya aturan hukum yang

bisa menjadi pegangan. Pada sisi lain, jamak juga UU yang kekuatan

mengikatnya telah dibatalkan, tetapi masih tetap digunakan sebagai kaidah

hukum yang berlaku.

Melihat perkembangan yang demikian, untuk menghindari

terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum), khususnya bagi perkara-

perkara yang krusial, strategi yang ditempuh MK selanjutnya adalah dengan

cara mengundurkan periode pembatalan suatu UU. Guna memberikan

tenggat waktu bagi organ undang-undang, untuk menyiapkan pengganti UU

yang dibatalkan, sehingga tidak terjadi periode kekosongan hukum.

Contoh nyata tindakan ini adalah pada perkara pengujian pengadilan tindak

pidana korupsi. Dalam putusannya secara de jure Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi sudah dinyatakan inkonstitusional, namun MK memberikan tenggat

waktu tiga tahun bagi organ pembentuk UU, untuk menyiapkan UU

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang baru, sebelum Pengadilan Tindak

Page 273: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Pidana Korupsi secara defacto dinyatakan inkonstitusional. Meskipun

demikian, organ pembentuk UU pun masih lambat menanggapinya.

Pemberlakuan putusan bagi UU selain yang diuji (erga omnes) adalah

sebuah bentuk bahwa putusan tersebut dipatuhi oleh berbagai pihak.

walaupun tidak dapat diartikan mengikat terhadap ketentuan serupa dalam

UU yang berbeda (UU yang tidak diuji) namun dalam hal ketentuan serupa

menjadi dasar sengketa di pengadilan mestinya hakim memperhatikan

putusan MK. Dalam hal di luar pengadilan mestinya pembentuk UU termasuk

Perda segera merubah produk hukum yang bersangkutan untuk

disesuaikan dengan putusan MK. Misalnya tentang syarat untuk calon

legislatif Pasal 60 huruf g UU No. 22 Tahun 2003. Dengan demikian perlu

diatur agar sifat final dan mengikat putusan MK dirinci tentang tindakan yang

harus dilakukan oleh penyelenggara negara yang lain untuk tidak

memberlakukan ketentuan yang sudah dinyatakan tidak mengikat atau segera

mereviu produk hukum yang memiliki ketentuan senada.

Selama ini putusan MK bisa dikatakan tidak berwatak implementatif,

di mana ketika mencapai tahap aplikasi, seringkali putusan MK dihadang oleh

sekian banyak rintangan yang menggangu eksekusi putusan tersebut. Oleh

karenanya, kiranya perlu suatu strategi kesadaran kolektif untuk bersama-

sama mengaplikasikan putusan MK pada kondisi yang dikehendaki konstitusi.

Akan sangat absurd pengimplementasian putusan MK tanpa adanya respon

positif dari organ pembentuk undang-undang dan pemerintah berkuasa.

Selama ini kerap kali terjadi kesenjangan dan disparitas antara tahap

pembacaan dengan implementasi putusan final di lapangan. Jika persoalan ini

terus dibiarkan, niscaya putusan MK hanya akan memiliki kekuatan simbolik

yang menghiasi lembaran berita negara.

Ke depan, organ MK sebaiknya tidak sekedar memiliki kewenangan

yang besar dalam hal pengujian konstitusionalitas, melainkan juga harus

dibekali kewenangan untuk mengawasi putusannya, artinya putusan final

Page 274: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

harus disertai dengan judicial order yang diarahkan kepada perorangan atau

pun institusi negara. Selanjutnya harus pula diadakan ketentuan formal

yang mengatur implementasi putusan final dan mengikat, selain diperkuat

dengan adanya kesepakatan kolektif dari lembaga dan aktor negara untuk

melakukan tindakan koordinatif dan kolaboratif yang mendukung

pelaksanaan/implementasi dari putusan MK. Persoalan besarnya pada

dasarnya terdapat pada daya ikat atau keberlakukan putusan MK. Bilamana

organ pembentuk undang-undang memiliki kesadaran untuk segara

menindaklanjuti atau melakukan eksekusi atas keluarnya suatu putusan MK,

yang membatalkan UU tertentu, sebenarnya permasalahan kekosongan

hukum tidak akan pernah terjadi. Artinya, yang perlu didorong adalah

bagaimana membuat putusan MK memiliki daya eksekutorial yang kuat.

Di samping masalah kekosongan hukum, putusan pengujian undang-

undang juga dirasakan tidak memberi rasa keadilan secara langsung kepada

para pemohon, maupun masyarakat lain yang potensial merasakan keadilan

sebagai akibat dari putusan yang dijatuhkan. Hak atas keadilan dari pemohon

atau masyarakat yang mendapatkan akibat dari putusan MK, tidak serta merta

didapatkan, melainkan harus menunggu atau menempuh suatu proses lain di

lembaga lain. Bahkan besar kemungkinan malah diabaikan atau ditolak. Jika

hal ini terus berlanjut, bisa jadi MK akan ditinggalkan para pencari keadilan.

Kondisi demikian terjadi karena faktor-faktor yang saling berkaitan, antara

putusan MK yang berlaku prospektif dengan respon negatif dari aktor

dan lembaga negara terhadap putusan MK. Ada baiknya kemudian

memberikan kemungkinan untuk pemberlakukan putusan yang dapat

berlaku surut (retroaktif), seperti MK di Italia dan Korea, terutama dalam

kasus-kasus pidana atau yang mendapatkan perhatian dan berdampak luas

kepada masyarakat.430

430 Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Sjahrizal, op.cit., hlm. 243-244.

Page 275: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dalam beberapa putusan pengujian undang-undang, MK telah

bertindak ultra petita atau memutus melebihi yang dimintakan oleh

pemohon. Misalnya, putusan tentang pengujian UU No. 31 Tahun 1999 jo

UU No. 30 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, putusan

pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta putusan

judicial review UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Pada putusan

pengujian UU PTPK, MK mengambil langkah ultra petita, dengan menyatakan

tidak mengikat penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang mempersempit

ruang lingkup ajaran sifat melawan hukum. Sedangkan pemohon pada waktu

itu hanya sekedar memohonkan pembatalan beberapa frasa dari UU PTPK,

tidak keseluruhan kalimat. Pada putusan pengujian UU KY, MK membatalkan

kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi,

padahal pemohon hanya memintakan pembatalan kewenangan KY untuk

mengawasi hakim agung. Fungsi substansial KY menjadi terhapuskan, KY

sekedar memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi hakim agung, dan

pengawasan hakim pada lingkungan peradilan umum, di bawah MA.

Sedangkan pada putusan pengujian UU KKR, MK memotong jantung UU KKR,

sehingga tamatlah riwayat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Terhadap ketiga putusan tersebut MK beralasan, bahwa materi yang

dilakukan pengujian adalah materi inti (organ vital) undang-undang, yang

berakibat pada batalnya materi-materi lain, sebagai implikasi batalnya organ

vital tersebut. Sebagian pakar kemudian berpendapat, bahwa secara tidak

langsung, MK sebagai negative legislature telah mengambil peran DPR sebagai

positif legislature, karena MK membuat putusan yang sifatnya mengatur

(regeling), melalui putusan yang sifatnya ultra petita. Padahal fungsi MK

adalah untuk menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan UUD,

Page 276: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bukan membatalkan UU yang pengaturannya dinyatakan terbuka oleh

UUD, dan menjadi kewenangan DPR untuk menafsirkannya.431

Ketentuan yang memuat larangan bagi Hakim untuk mengabulkan

diluar atau lebih dari permohonan pemohon, dikenal dalam hukum acara

perdata. Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta padanannya Pasal 189 ayat

(2) dan ayat (3) Rbg, dikenal sebagai hukum acara perdata yang berlaku di

pengadilan negeri dan pengadilan agama, memuat larangan untuk mengadili

dan memutus melebihi dari pada yang diminta (petitum). Hal tersebut sangat

mudah dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak

yang bersifat keperdataan yang dimiliki orang-perorangan, terletak pada

kehendak atau pertimbangan orang-perorang tersebut. Permintaannya tidak

dapat dilampaui, karena ada kalanya mengabulkan melebihi apa yang

diminta, justru merugikan kepentingan yang bersangkutan. Karakter

hukum acara perdata sebagai demikian adalah untuk mempertahankan

kepentingan individu, yang hanya digerakkan (triggered) oleh

permohonan atau gugatan seorang penggugat. Oleh karena itu pula

kekuatan mengikat dan akibat hukum putusan hakim demikian hanya

menyangkut pihak-pihak dalam perkara tersebut atau disebut mengikat inter-

partes. Akan tetapi perkembangan yang terjadi dan kebutuhan

kemasyarakatan serta tuntutan keadilan, menyebabkan aturan demikian juga

tidak sepenuhnya lagi ditaati. Dalam beberapa kesempatan dan putusan

Mahkamah Agung, aturan demikian tidak lagi diperlakukan secara mutlak.

Pertimbangan keadilan dan kepantasan dijadikan alasan untuk tidak

menggunakan aturan tersebut secara mutlak, sebagaimana tampak dalam

beberapa putusan Mahkamah Agung.

Pakar hukum generasi pertama Indonesia, Soepomo pernah

mengkritik ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR tersebut, dengan mengatakan

431 Moh. Mahfud MD, “Mendudukkan Soal Ultra Petita”, Kompas, Senin, 5 Februari2007, hlm. 4.

Page 277: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

bahwa ketentuan itu adalah buah semangat zaman lampau di Dunia

Barat, yang menganggap peradilan perdata sebagai urusan kedua belah

pihak semata-mata, dan Jurisprudensi pada zaman Hindia Belanda telah

mengosongkan (uithollen) isi larangan Pasal 178 ayat (3) tersebut karena

alasan sifat dan praktek Pengadilan.432 Klassifikasi hukum yang demikian

dikenal dengan sebutan hukum yang responsif, dimana hukum dipandang

sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi

sosial. Hukum responsif demikian bertujuan untuk merespon tuntutan

keadilan.433 Hukum acara perdata yang sifatnya mempertahankan

kepentingan perseorangan juga telah menafsirkan larangan ultra petita dalam

Pasal 178 ayat (3) HIR, sehingga hakim tidak memperlakukannya secara

mutlak dalam praktik.

Dengan demikian, pada dasarnya ultra petita hanya dilarang dalam

ranah peradilan perdata, sebab mereka yang bersengketa adalah individu

melawan individu, sehingga jika diperbolehkan ultra petita dikhawatirkan

akan menguntungkan sekaligus merugikan salah satu pihak yang bersengketa.

Lagipula dalam mekanisme sengketa perdata, diperkenankan adanya tahapan

banding yang dapat melawan kembali putusan yang telah dijatuhkan

pengadilan dibahwanya.

Hal ini akan sangat berbeda dengan karakter hukum acara di MK.

Khusus dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka

tugas hukum acara MK adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan

konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi, yang dijabarkan dalam Undang-

Undang. Undang-Undang tersebut mempunyai daya laku yang bersifat umum

(erga omnes). Meskipun perorangan atau kelompok orang yang memiliki

kepentingan yang sama mengajukan pengujian satu Undang-Undang karena

432 Soepomo, 2002, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT Pradnya Paramita, ,hlm. 92.

433 Philippe Nonet & Philip Selznick, 2003, Hukum Responsif, Pilihan DimasaTransisi,Terjemahan oleh Rafael Edy Bosco,Jakarta, Penerbit Huma, hlm. 12.

Page 278: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

dipandang melanggar hak konstitusional nya yang dilindungi oleh UUD 1945,

akan tetapi kepentingan demikian tidak hanya menyangkut perorangan yang

mengklaim kepentingan dan hak konstitusionalnya dilanggar, karena undang-

undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan mengikat

secara hukum serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada

sekedar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Oleh karena itu

apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim Konstitusi tidak boleh

terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan. Kalaupun yang

dikabulkan dari permohonan Pemohon misalnya hanya menyangkut satu

pasal saja, akan tetapi apabila dengan dinyatakannya pasal tertentu tersebut

Undang-Undang yang dimohonkan diuji menjadi tidak mungkin untuk

diperlakukan lagi, maka Undang-Undang demikian tidak dapat dipertahankan

dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara

keseluruhan. Hal itu merupakan aturan hukum acara dan praktik yang lazim

diterapkan oleh MK negara lain.

Pasal 45 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987)

menentukan,”The Constitutional Court shall decide only whether or not the

requested statute or any provision of the statute is unconstitutional: Provided,

that if it is deemed that the whole provisions of the statute are unable to

enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested provision, a

decision of unconstitutionality may be made on the whole statute”. Artinya,

MK memutus konstitusionalitas Undang-Undang atau suatu ketentuan dari

Undang-Undang hanya terhadap ketentuan yang dimohonkan pengujian.

Dalam hal seluruh ketentuan dalam Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan yang

menyatakan inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan

tentang inkonstitusionaitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan Undang-

Undang tersebut. Dalam praktik, MK telah menerapkan hal tersebut dalam

perkara Nomor 001, 021, 022/PUU-I/2003 mengenai Undang-Undang

Page 279: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Ketenagalistrikan (Undang-Undang 20 Tahun 2002) dan perkara Nomor

06/PUU- III/2006 dalam perkara pengujian Undang-Undang KKR.

Juga dalam hal seluruh ketentuan dalam Undang-Undang yang

dimohonkan untuk diuji dinilai tidak dapat dilaksanakan (impossibility of

performance) sebagai akibat putusan yang menyatakan inkonstitusionalnya

pasal yang dimohonkan, maka putusan inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan

terhadap keseluruhan Undang-Undang tersebut. MK telah menerapkan hal

tersebut dalam perkara 001,021,022/PUU-I/2003 mengenai Undang-Undang

Ketenagalistrikan (UU Nomor 20 Tahun 2002) dan perkara nomor 06/PUU-

III/2006 dalam perkara pengujian UU KKR. Justru hal itu menjadi tugas pokok

MK.

Berbeda dengan MK yang perkaranya menyangkut kepentingan

umum, tidak hanya terkait kepentingan para pemohon secara an sich.

Para hakim konstitusi dapat secara “leluasa” memberikan penafsiran yang

dibutuhkan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum berdasarkan

konstitusi. Oleh karena itu, dengan karakteristik sikap aktifnya hakim

konstitusi memang dapat melakukan memutus diluar permohonan (ultra

petita). Meski demikian, hakim tidak boleh memutus tentang hal-hal yang

berada di luar batas permasalahan dan isi dari kebijakan (undang-undang)

yang dimohonkan. Hakim hanya dapat memeriksa dan memutus tentang hal-

hal yang langsung terkait dengan permasalahan pokok yang digugat,

meskipun hal tersebut tidak dimohonkan oleh pemohon untuk diputus. Dari

ultra petita itu, dapat pula menjurus kepada adanya ”reformatio in peius”,

dimana putusan yang nantinya dikeluarkan bisa jadi merugikan atau

mengurangi kepentingan hukum penggugat/pemohon. Artinya, putusan yang

dikeluarkan akan membawa situasi yang lebih merugikan baginya daripada

keadaan sebelum perkara diajukan.

Oleh karenanya, ultra petita seharusnya tidak dilarang dalam

ranah peradilan tata negara. Jika ultra petita dilarang, MK akan menjadi

Page 280: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

sangat positivis dan legalistik, yang akan merugikan kepentingan banyak

pihak, sebab hanya mengabulkan permohonan yang diajukan para pemohon

saja. Tugas MK adalah menguji norma-norma yang sifatnya umum, bukan

sengketa antara individu yang satu dengan lainnya, dan bukan perkara yang

sifatnya legalistik saja, melainkan norma konstitusi. Karenanya ultra petita

dibutuhkan untuk menjaga tetap berdirinya norma-norma umum/konstitusi,

dan tidak dilanggaranya kepentingan umum. Dan yang paling mendasar

adalah, larangan terhadap ultra petita akan menabrak prinsip independensi

hakim yang sudah ditegaskan dalam konstitusi. Putusan merupakan ranah

independensi hakim yang patut dijaga dan dijunjung tinggi, dan tidak boleh

diintervensi. Dengan kata lain, larangan ultra petita akan bertentangan

dengan konstitusi yang berpotensi diajukan pengujiannya ke MK.

Tuduhan selama ini bahwa MK melakukan abuse of power dengan

putusan yang dianggap ultra petita tersebut sesungguhnya disebabkan

ketidak pahaman banyak pembuat Undang-Undang tentang fungsi judicial

review. Ketika praktek pertama yang memicu lahirnya lembaga constitutional

review tersebut diputuskan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1803

dalam perkara Marbury vs Madison, yang terjadi pada masa pemerintahan

baru dibawah Presiden Thomas Jefferson menolak untuk mengakui

pengangkatan hakim-hakim yang dilakukan oleh Presiden John Adams dalam

saat-saat terakhir dari pemerintahannya. Yang dimohon Penggugat

Marbury adalah agar surat pengangkatannya oleh Presiden terdahulu John

Adams yang sudah disahkan, berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman

(Judiciary-Act) tahun 1789, oleh MA Amerika dengan menggunakan writ of

mandamuss memerintahkan Pemerintah baru menyerahkan surat keputusan

pengangkatan tersebut kepada penggugat untuk dapat melaksanakan

tugasnya. MA tidak mengabulkan gugatan tersebut, dengan alasan bahwa MA

tidak dapat menggunakan Undang-Undang demikian, karena Undang-Undang

tersebut menurut pendapat MA, bertentangan dengan konstitusi Amerika.

Page 281: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

Dalam keputusannya MA menyatakan Judiciary Act 1789 inkonstitusional dan

dinyatakan tidak berlaku.

Dalam putusan tersebut kita menyaksikan bahwa antara petitum

gugat dengan putusan MA justru jauh melebihi sekadar ultra petita, dan

bahkan secara keseluruhan bukan menyangkut hal yang diminta penggugat.

Pertimbangannya tentu bahwa dalam melaksakan tugas konstitusionalnya,

hakim tidak boleh diikat sekedar pada kotak permohonan penggugat yang

didasari dan dimotivasi kepentingan pribadi yang bersifat individual.

Kepentingan umum mengharuskan Hakim akan melaksanakan tugas dan

fungsinya mengawal konstitusi lebih luas dari sekedar kepentingan pribadi

dan bersifat individual, melainkan sebagai the guardian of the constitution,

ada kewajiban konstitusional yang diletakkan padanya untuk melihat dari

perspektif kepentingan umum.

Dalam rangka perubahan UU No. 24 Tahun 2003 melalui UU No. 8

Tahun 2011, pada waktu Presiden dan DPR sepakat untuk melarang MK

mengeluarkan putusan ultra petita. Ha; itu diatur di dalam ketentuan Pasal

Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a. Akan tetapi, MK kemudian

menyatakan ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku mengikat dalam

putusan pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh Saldi Isra, dan

kawan-kawan.434

Ketentuan Pasal 45A mengatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi

tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau

melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait

dengan pokok PermohonanI. Ketentuan Pasal 57 ayata (2) huruf a semual

memerintahkan agar Putusan MK tidak memuat: (i) amar selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); (ii) perintah kepada pembuat undang-

undang; (iii) rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang

yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini mengatur

434 Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011. Lihat juga Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011.

Page 282: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah”

mengenai pembatasan bentuk dan amar putusan MK. Secara normatif, MK

bertugas melindungi hak-hak konstitusional yang ada tidak hanya pada teks

UUD 1945 tetapi juga kandungan tersembunyi dari maksud UUD 1945. Untuk

itu upaya membatasi putusan Mahkamah Konstitusi jelas berseberangan

dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menghendaki MK menjadi

peradilan yang menegakkan hukum (termasuk juga ide-ide

konstitusionalisme) dan keadilan.

Dalam kajian dalam kajian hukum tata negara, hakim diberikan

kewenangan untuk membentuk Undang-Undang apabila terjadi kekhilafan

pembentukan (formil) maupun muatan pasal-pasalnya (materiil). Hal itu juga

dikemukakan oleh Douglas E. Edlin dalam perspektif common law bahwa

kewajiban hakim untuk menerapkan hukum, namun apabila hukum tersebut

tidak adil (unjust) maka hakim kemudian dapat mengabaikan hukum itu

dengan membentuk hukum yang lebih baik.435 Singkatnya, hakim jika

diperlukan dapat membentuk hukum baru demi kepentingan yuridis.436

435 Douglas E. Edlin, 2010, Judges and Unjust Laws, Common Law Constitutionalismand the Foundations of Judicial Review, the University of Michigan Press, hlm. 52.

436 Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara,op.cit., hlm. 11.