kajian stilistika

28
KAJIAN STILISTIKA NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI DAN PEMAKNAANNYA: TINJAUAN RESEPSI SASTRA A. Pendahuluan Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Sebagai media ekspresi karya sastra, bahasa sastra dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna memperoleh makna estetik. Untuk mencapai efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan seoptimal mungkin sehingga tampil dalam bentuk yang menarik yang berbeda dengan bahasa nonsastra. Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada sau hal tertentu, dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap pengarangnya. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda dan simbolisme kata-kata. Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, alih kode, dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika karya sastra yang berfungsi untuk menarik nilai estetik. Style, ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan

Transcript of kajian stilistika

Page 1: kajian stilistika

KAJIAN STILISTIKA NOVEL RANAH 3 WARNA

KARYA AHMAD FUADI DAN PEMAKNAANNYA:

TINJAUAN RESEPSI SASTRA

A. Pendahuluan

Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi

estetiknya dominan. Sebagai media ekspresi karya sastra, bahasa sastra

dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna

memperoleh makna estetik. Untuk mencapai efektivitas pengungkapan, bahasa

sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan seoptimal mungkin

sehingga tampil dalam bentuk yang menarik yang berbeda dengan bahasa

nonsastra.

Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada sau hal tertentu,

dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap pengarangnya.

Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda dan simbolisme kata-kata.

Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, alih kode,

dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika karya sastra

yang berfungsi untuk menarik nilai estetik.

Style, ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut

memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan

makna. Style ‘gaya bahasa’ membawa muatan makna tertaentu. Setiap diksi

dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis

disamping maknanya yang netral, Sudjiman (dalam Ali Imron, 2009: 174).

Novel ranah 3 warna merupakan buku kedua dari trilogi negeri 5 menara

yang kehadiranya dapat dikatakan berhasil karena hanya dalam beberapa pekan

saja sudah naik cetak tiga kali. Dalam penulisannya, novel ranah 3 warna

menggunakan bahasa yang bervariasi mulai dari bahasa Minang yang merupakan

bahasa tempat tinggalnya, bahasa arab karena pengarang lulusan dari pondok

gontor dan pernah singgah di Yaman Arab Saudi, bahasa Inggris karena pernah

tinggal di Amerika, dan bahasa Prancis karena tinggal di Sant Raymond Kanada.

Pemilihan struktur lahir berupa penyajian bahasa yang bervarisi tersebut karena

Page 2: kajian stilistika

dipengaruhi faktor ideologi dan lingkunngan tempat tinggal pengarang yang

pernah tinggal di beberapa tempat dengan lingkungan sosal budaya yang berbeda.

Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan

mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap bahasa. Corak sarana

retorika tiap karya sastra sesuai dengan gaya bahasa pengarangnya.

Kajian stilistika ranah 3 warna mengungkapkan gagasan pengarang, kondisi

sosial budaya, peristiwa, dan suasana tertentu yang terekam dalam keunikan

stilistikanya. Hasil kajian ini dapat memberikan informasi ilmiah baru bagi

pemerhati linguistik dan pemerhati sastra.

Adapun rumusan masalah dalam kajian ini:

1) Bagaimana stilistika ranah 3 warna sebagai sarana sastra?

2) Bagaimana makna stilistika ranah 3 warna di tinjau dari pendekatan

resepsi sastra?

Kajian stillistika ini bertujuan untuk:

1) Mendeskripsikan stilistika ranah 3 warna sebagai sarana sastra.

2) Mengungkapkan makna stilistika ditinjau dari pendekatan resepsi

sastra.

B. Kajian Teori

1. Style dan Stilistika

Dalam buku ini, sesuai dengan konteks kajiannya yakni karya sastra yang

bermediumkan bahasa, style diartikan sebagai ‘gaya bahasa’. Gaya bahasa adalah cara

pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan

sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-191). Menurut Leech & Short

(1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh

pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Gaya bahasa bagi Ratna (2007: 232) adalah

kesuluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang dalam karyanya. Hakikat ‘style’

adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang

dapat diungkapkan.

Chomsky mengungkapkan istilah deep structure (struktur batin) dan surface

structure (struktur lahir), yang identik pula dengan isi dalam bentuk dalam gaya bahasa

(Fowler, 1977: 6). Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang

Page 3: kajian stilistika

konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun stuktur batin merupakan gagasan yang ingin

dikemukakan oleh pengarang melalui gaya bahasanya itu. Berdasarkan uraian di atas,

dapat disimpulkan bahwa style ‘gaya bahasa’ adalah cara mengungkapkan gagasan dan

perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter

pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek

penciptaan makna. Gaya bahasa dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi

dan latar sosiokultural pengarangnya

Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya

sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan

bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana. citraan, hingga bahasa figurative.

Agar ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika lazim dibatasi pada karya sastra

tertentu, dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa,

mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika (stylistic

features) yang membedakan karya, pengarang, aliran, atau periode tertentu dengan

karya, pengarang, aliran, atau periode lainnya.

2. Teori Resepsi Sastra

Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan

dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus,

1984: 2) dan disebut estetika resepsi oleh Pradopo (2002: 23).

Resepsi sastra berpandangan bahwa pada dasarnya karya sastra adalah polisemi.

Tetapi bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam suatu waktu tertentu hanya akan

melihat satu “arti” saja. Atau mereka hanya memberikan tekanan pada satu “arti” tertentu

dan mengabaikan “arti” lainnya. Dengan demikian “arti” dikonkretkan dengan hubungan

oleh khalayak, (audience). Sesuai dengan pembawaan karya itu kepada khalayak,

sehingga ia mempunyai akibat (wirkung) (Junus, 1984: 2).

Rezeptiongeschichte adalah sebuah pendekatan yang khusus memperhatikan

resepsi karya sastra dalam rangka kesusasteraan, dalam keterlibatannya dengan karya

lain, berdasarkan horizon harapan pembaca. Singkatnya, perwujudan karya sastra dalam

rangka sistemik dan sejarah sastra oleh pembaca tertentu. Dalam teori resepsi sastra,

fungsi pembaca demikian penting dalam memberikan tanggapan atau resepsi karya sastra.

Horison harapan pembacalah yang akan menentukan bagaimana resepsinya terhadap

sebuah karya sastra.

Page 4: kajian stilistika

3. Teori Semiotik

Pendekatan semiotik berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya

seni, merupakan suatu sistem tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai

sistem tanda ia mengenal dua aspek yakni, penanda (signifiant) dan petanda (signifie).

Sebagai penanda, karya sastra hanyalah artefak, penghubung antara pengarang dengan

masyarakat pembaca. Di sini karya sastra mencapai realisasi semesta menjadi objek

estetik (Mukarovsky, 1976: 3-4).

Ahli semiotik, Sander Peirce memusatkan perhatian pada fungsi tanda-tanda pada

umumnya dengan memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun

bukanlah tempat yang utama. Yang berlaku pada tanda pada umumnya berlaku pula

tanda-tanda linguistik, dan bukan sebaliknya. Peirce (dalam Abrams, 1981: 170)

membedakan tiga kelompok tanda. Ketiga tanda itu yakni:

(1) Ikon (icon) adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang

dimaksudkannya, misalkan kesamaan peta dengan wilayah geografis yang

digambarkannya, kesamaan lukisan kuda dengan binatang yang digambarkannya.

(2) Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa

yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda adanya api, mendung

merupakan tanda akan datangnya hujan.

(3) Simbol (symbol) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item) penanda dengan item

yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat. Misalnya, lampu

merah berarti berhenti, bendera merah (di daerah Solo dan sekitarnya) berarti

tanda ada orang meninggal, dan ada jamur kuning merupakan tanda adanya

upacara pernikahan sepasang manusia.

C. Latar Sosiohistoris Ahmad Fuadi

Ahmad Fuadi,kelahiran Nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir

Danau Maninjau 30 Desember 1972, adalah seorang novelis, praktisi konservasi,

dan wartawan. Ibunya guru SD dan ayahnya guru madrasah. Fuadi merantau ke

Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia masuk di

Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun 1992.

Di sana dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan

mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya

Page 5: kajian stilistika

kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh -

sungguh akan sukses.

Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-

jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di

UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan

Internasional, Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan lulus 1997.

Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti

program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di ujung

masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di

National University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997). Lulus

kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto

jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan

(1998). Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di

bawah para wartawan kawakan Indonesia.

Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka.

Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School

of Media and Public Affairs, George Washington University (2001). Merantau ke

Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah

mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi

koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11

September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan

Capitol Hill.

Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan

beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London

untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur

Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy (2007-

sekarang).Fuadi menguasai bahasa Inggris, Perancis, dan Arab serta pernah

menerima penghargaan (award) antara lain: Indonesian Cultural Foundation Inc.

Award (2000-2001), Columbus School of Arts and Sciences Award, The Goerge

Washington University (2000-2001), dan The Ford Foundation Award (1999-

2000).

Page 6: kajian stilistika

“Negeri 5 Menara” adalah buku pertamanya dari rencana trilogi. Buku-

buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan

yang sangat inspiratif. Diharapkan buku ini bisa membukakan mata, hati serta

menebarkan inspirasi ke segala arah. Buku ini dalam waktu 9 bulan sudah terjual

100.000 eksemplar. Ini adalah rekor baru untuk semua buku lokal yang

diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sepanjang 36 tahun ini. Sebagian

royalti buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi

sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan,

rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.

D. Kajian Stilistika Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi

Gaya bahasa dalam karya sastra menjadi media bagi sastrawan untuk

mengekspresikan gagasannya. Makna karya sastra merupakan formulasi gagasan

yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Mengacu teori semiotik,

karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda. Oleh karena itu, apapun yang

tercantum dalam karya sastra mengandung makna yang implisit.

Dengan memanfaatkan metode pembacaan heuristik (mendeskripsikan

stilistika sebagai tanda kebahasaan) dan hermeneutik (membaca berulang-ulang

dengan pemaknaan). Hasil pengkajian stilistika cerpen Senyum Karyamin

memiliki keunikan dan kekhasan yang terletak pada penggembaran latar dan

seting. Fuadi lebih memanfaatkan gaya metropolis karena Fuadi dengan

pengalamannya yang pernah tinggal di beberapa tempat yang metropolis seperti

Bandung ketia dia kuliah di UNPAD, Yaman (Arab Saudi) dan Kanada ketika

Fuadi menerima beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri.

Kekhasan novel Ranah 3 Warna terlihat pada pemanfaatan gaya kata

(diksi) dan bahasa figuratif.

1. Gaya kata (diksi)

Diksi dalam Ranah 3 Warna diantaranya yaitu kata konotatif yang

mendominasi, kemudian penggunaan kosakata Minang, Arab, Ingrris dan

Prancis. Penggunaaan kata konotatif menjadikan novel Ranah 3 Warna dapat

ditafsirkan dalam banyak makna. Sebagai sarana ekspresi, setiap diksi dalam

Page 7: kajian stilistika

novel Ranah 3 Warna memiliki fungsi dalam mendukung gagasan yang akan

disampaikan. Khususnya kosakata bahasa Minang, yang mencerminkan

kehidupan latar sosial budaya masyarakat Maninjau sesuai tanah kelahirannya.

Berikut ini diksi yang dapat penulis temukan dalam novel Ranah 3 Warna:

1) Hasilnya, satu bukit buku untuk pelajaran kelas satu, satu bukit

untuk kelas dua, dan satu bukit untuk kelas tiga. Tiga bukit buku!

Aku meneguk ludah. Aku baru sadar ketiga bukit inilah yang aku

daki kalau ingin menaklukkan ujian persamaan SMA dan UMPTN.

(hlm 9)

2) Matanya mematut liar halaman kedua. Tangannya yang

mengghunus spidol merah menggantung di awang-awang. Dalaam

pikiranku kini, dia telah menjelma menjadi penghunus pedang

samurai merahyang siap menikam ganas. Aku makin terbenam di

kursi. (hlm. 74).

3) Aden butuh uang tunai secepatnya…. Pinjaman ke wa’ang sudah

banyak… kedua orangtuanya saudagar dan dia tunggak babelang ,

sebutan untuk anak tunggal. (hlm. 108-109).

4) Aku meringis memegang lengan bawahku yang lebam merah

karena bergesekan dengan pasir kasar. Si hitam juga menderita,

kulit bagian depannya coak dan tergores oleh batu cadas yang

runtuh tadi. (hlm 250).

Pada data (1), bentuk bukit tiga buku dengan gaya metaforisnya

merupakan pelukisan tentang betapa banyaknya buku yang harus dipelajari ketika

ia harus dapat lulus dalam ujian persamaan SMA karena Alif yang mempunyai

keinginan yang begitu besar untuk dapat mengikuti ujian UMPTN. Dengan

ungkapan metaforia yang membandingkan antara tumpukan buku dengan bukit,

pembaca akan memperoleh kesan yang lebih dalam sehingga dapat

membayangkan lebih jelas bagaimana banyak dan kerasnya usaha Alif untuk

dapat lulus dalam ujian persamaan SMA dan UMPTN. Seperti yang kita ketahui

bahwa bukit merupakan tempat yang tinggi yang dibandingkan dengan tumpukan

Page 8: kajian stilistika

buku dapat kita bayangkan berapa banyak buku yang harus dipelajari Alif sampai

dia tidak mau keluar kamar.

Pada data (2), bentuk matanya mematut liar halaman kedua dan

‘penghunus pedang samurai merah’ menggambarkan tentang kerasnya ajaran kak

Tohar ketika membenarkan tulisan Alif yang baru pertama kali dan mempunyai

keinginan agar tulisannya dapat dimuat. Betapa Alif mempunyai niat yang besar

untuk mencapai suatu keinginan. Ketika kakak tingkatnya yang juga belajar

menulis dengan Togar, tetapi ditengah jalan sudah menyerah. Alif ingin

menunjukkan kalau dia bisa.

Data (3) diatas aden, wa’ang,dan tunggak babelang, yang terdapat pada

kutipan diatas merupakan bahasa daerah Minang yaitu tempat kelahiran

pengarang. Bahasa tersebut dihadirka untuk memperkuat pembaca tentang

gambaran orang Minang. Seakan pengarang mengajak pembaca ikut terlibat

dalam cerita novel tersebut.

Data (4) ‘Si Hitam juga menderita’ pada kutipan di atas merupakan

perumpamaan sepatu hadiah dari ayahnya yang merupakan teman setianya mulai

dari Bandung sampai Sant Raymont.

2. Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif yang unik dan khas Fuadi juga cukup dominan dalam noel

Ranah 3 Warna yang meliputi pemajasan. Melalui bahasa figuratif maka stilistika

Ranah 3 Warna menjadi lebih hidup dan ekspresif. Majas dalam Ranah 3 Warna

yang mendominasi adalah Metafora dan litotes. Pemajasan dimanfaatan untuk

member kesan cerita yang hidup dan memperindah cerita.

Contoh penggunaan majas dalam Ranah 3 Warna:

5) Aku akan mengingat selalu nasehat terakhir ayah, yang jelas kita

tidak bisa menonton bola bersama lagi. Kecuali di surga ada sepak

bola. Kita juga tidak akan bisa berburu durian bersama lagi, kecuali

pohon durian juga tumbuh di surga. (hlm.98).

Data (5) diatas menggambarkan tentang rasa kangennya Alif

dengan ayahnya yang baru saja meninggal. Majas metafora

terdapat dalam kdata tersebut yang membandingkan antara dunia

Page 9: kajian stilistika

nyata dengan surga yang diimpikan dapat tumbuh buah durian atau

terdapat permainan sepak bola.

6) Aku terlonjak seperti disengat listrik. Aku ingat sesuatu. Tanganku

cepat merogoh kebawah bantal, mencari dompetku. (hlm.132).

7) Aku pun tahu macam mana mengobati kau. Yok, kita pergi

sekarang juga. Ke rumah sakit malas. (hlm.160).

8) Setiap aku gunakan untuk men-save data ke disket besar, Hulk

selalu mengeluarkan suara campuran rengekan dan terkentut-

kentut. Tapi walau uzur, mesin tua ini memang masih bisa aku

gunakan untuk menulis. Biarlah Hulk fosil fosil buruk rupa, tapi

aku bahagia tidak kepalang. (hlm.175).

9) Kehadiran Randai dan Raisa di seleksi ini berakibat baik buatku.

Adrenalinku seperti muncrat dipompa semangat kompetisi yang

semakin sengit dengan Randai. (hlm.188).

Data diatas terdapat majas personifikasi yang membandingkan

benda mati seperti hidup. Pernyataan adrenalin yang muncrat

seperti dipompa merupakan pernyataa yang mendukung majas

personifikasi.

10) Pada saat aku lemah dan putus harapan, sering catatan-catatan itu

bisa menggerakkan semangatku lagi. Mataku terhenti dan tidak

berkedip ketika membalik satu halaman bertuliskan huruf-huruf

tebal. Tulisan itu: Jurus Golok Kembar Kiai Rais. (hlm.191).

11) Kesibukan naik turun bangunan bersejarah ini membuat perutku

menderu-deru lapar. Tadi aku bolak-balik melirik warung makan

yang dijaga oleh seorang bapak Arab. Pisau kurus panjangnya

berkilat-kilat dan berkali-kali mengiris sebongkah daging yang

digantung sambil diputar-putar dekat api. (hlm.245).

12) Menginjakkan kaki di tarmac bandara di Montreal ini menjadi

sebuah sensasi yang membuat badanku seakan terbang melayang.

Aku cubit lenganku kuat-kuat dan mengiris sendiri. (hlm.255).

Page 10: kajian stilistika

13) Sulit aku bayangkan sebelumnya. Dalam hanya beberapa hari, aku

dan si Hitam telah merasakan tiga tanah yang berbeda. Tanah

tumpah darahku, anah timur tengah tempat para nabi lahir, dan

tanah benua Amerika. (hlm.256).

14) “Saya baca kalau orang Indian punya nama julukan asli. Apa Anda

punya juga?” tanyaku. Dia tergelak. “o saya digelari ‘kelinci

berlari’ mungkin karena itu saya jadi lincah pada saat berburu”.

(hlm.343).

15) Makhluk yang paling setia dalam hidup ini mungkin adalah waktu.

Dia tidak pernah ingkar janji dan akan selalu hadir berkunjung ke

mana pun da ke siapa pun, walau topan badai sedang mengamuk.

Dia datang dalam bentuk tanggal, dalam bentuk nama hari, dalam

bentuk bulan, bahkan abad. Dia selalu tepat waktu, tidak telat

sedetik pun, tidak lebih awal sedikit pun. Dan kali ini, waktu

penting itu hadir dalam bentuk pagi kelabu. (hlm.445).

16) Surat ini sesungguhnya mewakili sebuah pelabuhan keberuntungan

yang bahagia setelah berkayuh melalui laut penuh badai dan

gelombang ganas, hanya bermodalkan baju sabar. (hlm.449).

17) Sekujur tubuhku seperti dirayapi beribu semut. Merinding sampai

ubun-ubun. Tiba-tiba ada rasa hangat di tanganku. Satu-dua tetes

air jatuh di ujung jari telunjukku. Beberapa tetes lagi luruh dan

menetesi kepala si Hitam. (hlm.455).

Berdasarkan data diatas tentang bahasa figuratif, pengarang lebih banyak

menggunakan majas perbandingan dan metafora. Terbukti dari beberapa contoh

yang ditemukan hampir semua merupakan majas perumpamaan.

3. Citraan

Citraan atau imaji dalam karya sastra berpera penting untuk menimbulkan

menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat

membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Citraan dalam novel Ranah 3

Warna meliputi citraan visual, gerak, pendengaran, dan perabaan. Adapun citraan

yang mendominasi yaitu citraan intelektual. Citraan intelektual yang mendominasi

Page 11: kajian stilistika

menunjukka bahwa Fuadi memiliki kapasitas intelektual yang tinggi disamping

bercerita tentang kehidupan sosial, budaya, moral, nasionalisme, dan religiusitas.

Contoh citraan yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna:

18) Aku cepat memberi latar belakang, “Pak Danang, tulisan ini saya

persiapkan dengan latar belakang teoritis yang kuat yang saya

pelajari di kampus. Juga telah melalui sebuah diskusi kritis dengan

senior saya. Intinya, saya punya argument ilmiah bahwa kalu

Palestina didukung dengan tekanan diplomasi PBB dan Negara

Arab, dan tidak ada halangan dari Amerika Serikat, maka Palestina

akan berhasil menjadi Negara yang berdaulat. (hlm 147)

19) Tanpa budaya menulis dan membaca, Negara ini tidak akan selalu

dianggap Negara terbelakang. Indonesia tidak boleh punah

dimakan zaman. Indonesia tidak boleh dianggap terbelakang.

Indonesia harus dianggap dan diakui, lebih dari sekedar Negara

yang pintar menari dan bernyanyi. Tapi juga bangsa yang bisa

berbicara ide besar dalam tulisan. Itulah salah satu cirri bangsa

besar. (hlm 207).

Data diatas menunjukkan bahwa Fuadi tidak hanya piawai berbincang

tentang aspek kemanusiaan dan budaya. Fuadi juga mamahami kehidupan

manusia yang ditunjukkan melalui citraan intelektual. Fuadi melalui mantra yang

dianutnya man jadda wa jadda dapat meyakinkan pembaca bahwa apapun yang

dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti akan menuai hasil sesuai apa yang kita

usahakan.

E. Makna Stilistika Novel Ranah 3 Warna dengan Pendekatan Resepsi

Sastra

Pendekatan resepsi sastra dapat dikatakan merupakan pendekatan yang

memanfaatkan intuisi pembaca dalam menangggapi dan memberikan makna

terhadap novel yang disajikan oleh pengarang. Berikut beberapa tanggapan yang

diperoleh penulis dari berbagai sumber:

BJ Habibie

Page 12: kajian stilistika

Novel yang berkisah tentang generasi muda bangsa ini penuh motivasi,

bakat, semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak kenal menyerah,

merupakan pelajaran yang amat berharga bukan saja sebagai karya seni, tetapi

juga tentang proses pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya sumberdaya

insani yang handal. Andaikan banyak anak bangsa yang mempunyai kesempatan

dan pengalaman seperti mereka, akan beruntunglah bangsa Indonesia dalam

mewujudkan masa depannya yang maju dan sejahtera, yang disegani dan sejajar

dengan bangsa-bangsa lain.

Riri Riza, Pembuat Film

" Masa remaja  selalu meninggalkan bekas yang kuat, penuh nostalgia.

Ahmad Fuadi mengolah nostalgia menjadi novel yang menyentuh, sekaligus

menjadi diskusi kritis sekaligus simpatik tentang pendidikan kehidupan. Negeri

Lima Menara adalah kisah enam anak muda berbeda warna menembus pendidikan

pesantren menuju dunia,  sebuah kisah yang menggelitik... "

KH Hasan A. Sahal, Pimpinan Pondok Modern Gontor, Ponorogo

Novel ini bercerita bahwa ”pesantren kemasyarakatan” bebas mendidik

anak bangsa dalam keislaman dan keilmuan. Alumninya dengan menumpang

”perahu moral” bisa melesat ke seantero bumi Sang Pencipta, untuk bermanfaat,

bukan hanya dimanfaatkan. Semoga pembaca cerdas dan jujur menggali nilai-nilai

fitri manusiawi darinya. Selamat menikmati. 

Farhan, Penyiar dan Pembawa Acara

Membaca mantera sakti man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-

sungguh pasti sukses. Seperti steroid untuk badan yang sudah remuk oleh usia,

amphetamine untuk pikiran yang keruh oleh masalah dan antibiotik yang

mengusir parasit-parasit yang melemahkan ! Aku terhenyak, terbangun dari

peraduan, tempat membenamkan diri berpaling dari masalah, dengan alasan

fatigue ! Bukan dengan amarah dendam tapi dengan semangat inspirasi untuk

bangkit dan arif memandang tantangan.

Ary Ginanjar Agustian – Penulis Buku Best Seller ESQ

“Kisah dalam buku ini menggelorakan semangat untuk mewujudkan

impian sekaligus memberi keyakinan bahwa kesungguhan akan membuahkan

Page 13: kajian stilistika

keberhasilan. Bacaan yang tanpa disadari mengasah kecerdasan emosi dan

spiritual.”

Wicaksono, wartawan Majalah Tempo, blogger

Membaca novel ini bagaikan menikmati laporan jurnalistik seorang

wartawan kawakan. Begitu detail dan penuh deskripsi. Kita seperti dibawa

bertamasya secara spiritual, dari Bukittinggi yang permai hingga Washington

yang bersalju. Dari Pondok Madani yang ajaib hingga Trafalgar Square yang

menegakkan bulu roma. Sangat inspiratif.

Helvy Tiana Rosa, Sastrawan dan Dosen Fakultas Bahasa dan Seni

UNJ

Novel ini antara lain bertutur tentang hubungan yang menyentuh antara

anak dan ibu serta murid dan guru. Akhirnya kita yakin haqqul yakin, bahwa

kombinasi patuh kepada ibu, hormat kepada guru dan usaha pantang menyerah

adalah rumus sukses yang tak terlawankan. Berbahagialah para ibu yang telah

membawa beragam keajaiban dan kemungkinan buat anaknya. Layak dibaca para

ibu yang bermimpi membesarkan anak-anak terbaik.

Beberapa tokoh yang sudah membaca novel Ranah 3 Warna memberikan

tanggapan positif terhadap terbitnya novel tersebut. Novel yang sangat

menginspiratif tersebut dapat dijadikan pengalaman terbesar oleh pembaca. Novel

yang bertemakan tentang pendidikan dan agama tersebut memberikan kekuatan

dan keyakinan kepada pembaca tentang kesungguhan dan keberhasilan. Melalui

mantra man jadda wa jadda yang membuktikan tokoh akhirnya dapat meraih

mimpinya yang jauh dari kata mungkin.

Page 14: kajian stilistika

F. Simpulan

Novel Ranah 3 Warna sebagai sarana ekspresi memiliki daya pukau yang

luar biasa yang menunjukkan keunikan dan kekhasan ala Fuadi yang tampak pada

diksi, bahasa figuratif, dan citraan. Tampak bahwa Fuadi memanfaaatkan potensi

bahasa yang dimilikinya dan juga berbekal pengalaman yang dimilikinya ketika

dia masih kuliah.

Stilistika merupakan sarana penngungkapan untuk menuangkan ekspresi

gagasan multi dimensi. Terbukti dalam kehidupan saat ini, masih banyak pembaca

yang sangat antusias. Melalui latar belakang kehidupan yang beraneka ragam,

Fuadi mampu menyihir pembaca melalui penyajian cerita yang begitu

mengesankan pembaca.

Secara garis besar, komentar yang diberikan pembaca setelah membaca

novel tetrsebut memberikan tanggapan yang positif. Keunikan dan kekhasan

bahasa dalam novel Ranah 3 Warna membantu pembaca untuk ikut terjun dalam

cerita yang disajikan.

Page 15: kajian stilistika

Daftar Pustaka

Al-Ma,ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika teori, metode, dan aplikasi pengkajian estetika bahasa. Solo: Cakra Books.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Stilistika, dalam Jurnal Humaniora, No. 1.ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, metode, dan teknik penelitian sastra.

Yogyakarta: Pustaka pelajar.http://indonesiaproud.wordpress.com/2010/03/http://shaleholic.com/sinopsis-novel-ranah-3-warna-karya-a-fuadi/http://chandrapzm.wordpress.com/2011/03/25/review-resensi-novel-ranah-3-

warna-man-shabara-zhafira/http://arwinkim.blogspot.com/2010/05/pengertian-teori-resepsi-sastra.htmlhttp://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-

sebuah-pengantar/

Page 16: kajian stilistika
Page 17: kajian stilistika

Sinopsis Cerita

Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi

dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar teknologi

tinggi di Bandung seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika. Dengan

semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah.

Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia mampu lulus UMPTN. Lalu dia

sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana

mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa ijazah?

Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan

berat. Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti

tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: “Sampai kapan aku harus teguh

bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyerah.

Rupanya “mantra” man jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam

memenangkan hidup. Alif teringat “mantra” kedua yang diajarkan di Pondok

Madani: man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal

kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia

memenangkan semua impiannya?

Kemana nasib membawa Alif? Apa saja 3 ranah berbeda warna itu?

Siapakah Raisa? Bagaimana persaingannya dengan Randai? Apa kabar Sahibul

Menara? Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian dan Michael Jordan dan

Ksatria Berpantun? Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran yang kukuh?

Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-

habisan walau hidup terus digelung nestapa. Tuhan bersama orang yang sabar.

Page 18: kajian stilistika

KAJIAN STILISTIKA TRILOGI NOVEL RANAH 3 WARNA

KARYA AHMAD FUADI DAN PEMAKNAANNYA:

TINJAUAN RESEPSI SASTRA

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas Pengganti Ujian Akhis Semester Mata Kuliah

Stilistika

Dosen Pengampu: Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.hum

Oleh:

SITI RUQOYYAH

A 310 080 053

PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2011