kajian stilistika
-
Upload
oyax-ruqoyah -
Category
Education
-
view
132 -
download
1
Transcript of kajian stilistika
KAJIAN STILISTIKA NOVEL RANAH 3 WARNA
KARYA AHMAD FUADI DAN PEMAKNAANNYA:
TINJAUAN RESEPSI SASTRA
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi
estetiknya dominan. Sebagai media ekspresi karya sastra, bahasa sastra
dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna
memperoleh makna estetik. Untuk mencapai efektivitas pengungkapan, bahasa
sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan seoptimal mungkin
sehingga tampil dalam bentuk yang menarik yang berbeda dengan bahasa
nonsastra.
Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada sau hal tertentu,
dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap pengarangnya.
Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda dan simbolisme kata-kata.
Berbagai teknik diciptakan pengarang seperti bahasa figuratif, citraan, alih kode,
dan pola suara, untuk menarik perhatian pembaca. Itulah stilistika karya sastra
yang berfungsi untuk menarik nilai estetik.
Style, ‘gaya bahasa’ dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut
memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan
makna. Style ‘gaya bahasa’ membawa muatan makna tertaentu. Setiap diksi
dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis
disamping maknanya yang netral, Sudjiman (dalam Ali Imron, 2009: 174).
Novel ranah 3 warna merupakan buku kedua dari trilogi negeri 5 menara
yang kehadiranya dapat dikatakan berhasil karena hanya dalam beberapa pekan
saja sudah naik cetak tiga kali. Dalam penulisannya, novel ranah 3 warna
menggunakan bahasa yang bervariasi mulai dari bahasa Minang yang merupakan
bahasa tempat tinggalnya, bahasa arab karena pengarang lulusan dari pondok
gontor dan pernah singgah di Yaman Arab Saudi, bahasa Inggris karena pernah
tinggal di Amerika, dan bahasa Prancis karena tinggal di Sant Raymond Kanada.
Pemilihan struktur lahir berupa penyajian bahasa yang bervarisi tersebut karena
dipengaruhi faktor ideologi dan lingkunngan tempat tinggal pengarang yang
pernah tinggal di beberapa tempat dengan lingkungan sosal budaya yang berbeda.
Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan
mengeksploitasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap bahasa. Corak sarana
retorika tiap karya sastra sesuai dengan gaya bahasa pengarangnya.
Kajian stilistika ranah 3 warna mengungkapkan gagasan pengarang, kondisi
sosial budaya, peristiwa, dan suasana tertentu yang terekam dalam keunikan
stilistikanya. Hasil kajian ini dapat memberikan informasi ilmiah baru bagi
pemerhati linguistik dan pemerhati sastra.
Adapun rumusan masalah dalam kajian ini:
1) Bagaimana stilistika ranah 3 warna sebagai sarana sastra?
2) Bagaimana makna stilistika ranah 3 warna di tinjau dari pendekatan
resepsi sastra?
Kajian stillistika ini bertujuan untuk:
1) Mendeskripsikan stilistika ranah 3 warna sebagai sarana sastra.
2) Mengungkapkan makna stilistika ditinjau dari pendekatan resepsi
sastra.
B. Kajian Teori
1. Style dan Stilistika
Dalam buku ini, sesuai dengan konteks kajiannya yakni karya sastra yang
bermediumkan bahasa, style diartikan sebagai ‘gaya bahasa’. Gaya bahasa adalah cara
pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan
sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-191). Menurut Leech & Short
(1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh
pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Gaya bahasa bagi Ratna (2007: 232) adalah
kesuluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang dalam karyanya. Hakikat ‘style’
adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang
dapat diungkapkan.
Chomsky mengungkapkan istilah deep structure (struktur batin) dan surface
structure (struktur lahir), yang identik pula dengan isi dalam bentuk dalam gaya bahasa
(Fowler, 1977: 6). Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang
konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun stuktur batin merupakan gagasan yang ingin
dikemukakan oleh pengarang melalui gaya bahasanya itu. Berdasarkan uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa style ‘gaya bahasa’ adalah cara mengungkapkan gagasan dan
perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter
pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek
penciptaan makna. Gaya bahasa dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi
dan latar sosiokultural pengarangnya
Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya
sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan
bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana. citraan, hingga bahasa figurative.
Agar ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika lazim dibatasi pada karya sastra
tertentu, dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa,
mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika (stylistic
features) yang membedakan karya, pengarang, aliran, atau periode tertentu dengan
karya, pengarang, aliran, atau periode lainnya.
2. Teori Resepsi Sastra
Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan
dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus,
1984: 2) dan disebut estetika resepsi oleh Pradopo (2002: 23).
Resepsi sastra berpandangan bahwa pada dasarnya karya sastra adalah polisemi.
Tetapi bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam suatu waktu tertentu hanya akan
melihat satu “arti” saja. Atau mereka hanya memberikan tekanan pada satu “arti” tertentu
dan mengabaikan “arti” lainnya. Dengan demikian “arti” dikonkretkan dengan hubungan
oleh khalayak, (audience). Sesuai dengan pembawaan karya itu kepada khalayak,
sehingga ia mempunyai akibat (wirkung) (Junus, 1984: 2).
Rezeptiongeschichte adalah sebuah pendekatan yang khusus memperhatikan
resepsi karya sastra dalam rangka kesusasteraan, dalam keterlibatannya dengan karya
lain, berdasarkan horizon harapan pembaca. Singkatnya, perwujudan karya sastra dalam
rangka sistemik dan sejarah sastra oleh pembaca tertentu. Dalam teori resepsi sastra,
fungsi pembaca demikian penting dalam memberikan tanggapan atau resepsi karya sastra.
Horison harapan pembacalah yang akan menentukan bagaimana resepsinya terhadap
sebuah karya sastra.
3. Teori Semiotik
Pendekatan semiotik berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya
seni, merupakan suatu sistem tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai
sistem tanda ia mengenal dua aspek yakni, penanda (signifiant) dan petanda (signifie).
Sebagai penanda, karya sastra hanyalah artefak, penghubung antara pengarang dengan
masyarakat pembaca. Di sini karya sastra mencapai realisasi semesta menjadi objek
estetik (Mukarovsky, 1976: 3-4).
Ahli semiotik, Sander Peirce memusatkan perhatian pada fungsi tanda-tanda pada
umumnya dengan memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun
bukanlah tempat yang utama. Yang berlaku pada tanda pada umumnya berlaku pula
tanda-tanda linguistik, dan bukan sebaliknya. Peirce (dalam Abrams, 1981: 170)
membedakan tiga kelompok tanda. Ketiga tanda itu yakni:
(1) Ikon (icon) adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang
dimaksudkannya, misalkan kesamaan peta dengan wilayah geografis yang
digambarkannya, kesamaan lukisan kuda dengan binatang yang digambarkannya.
(2) Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa
yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda adanya api, mendung
merupakan tanda akan datangnya hujan.
(3) Simbol (symbol) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item) penanda dengan item
yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat. Misalnya, lampu
merah berarti berhenti, bendera merah (di daerah Solo dan sekitarnya) berarti
tanda ada orang meninggal, dan ada jamur kuning merupakan tanda adanya
upacara pernikahan sepasang manusia.
C. Latar Sosiohistoris Ahmad Fuadi
Ahmad Fuadi,kelahiran Nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir
Danau Maninjau 30 Desember 1972, adalah seorang novelis, praktisi konservasi,
dan wartawan. Ibunya guru SD dan ayahnya guru madrasah. Fuadi merantau ke
Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia masuk di
Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun 1992.
Di sana dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan
mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya
kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh -
sungguh akan sukses.
Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-
jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di
UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan
Internasional, Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan lulus 1997.
Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti
program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di ujung
masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di
National University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997). Lulus
kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto
jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan
(1998). Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di
bawah para wartawan kawakan Indonesia.
Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka.
Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School
of Media and Public Affairs, George Washington University (2001). Merantau ke
Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah
mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi
koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11
September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan
Capitol Hill.
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan
beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London
untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur
Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy (2007-
sekarang).Fuadi menguasai bahasa Inggris, Perancis, dan Arab serta pernah
menerima penghargaan (award) antara lain: Indonesian Cultural Foundation Inc.
Award (2000-2001), Columbus School of Arts and Sciences Award, The Goerge
Washington University (2000-2001), dan The Ford Foundation Award (1999-
2000).
“Negeri 5 Menara” adalah buku pertamanya dari rencana trilogi. Buku-
buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan
yang sangat inspiratif. Diharapkan buku ini bisa membukakan mata, hati serta
menebarkan inspirasi ke segala arah. Buku ini dalam waktu 9 bulan sudah terjual
100.000 eksemplar. Ini adalah rekor baru untuk semua buku lokal yang
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sepanjang 36 tahun ini. Sebagian
royalti buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi
sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan,
rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.
D. Kajian Stilistika Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi
Gaya bahasa dalam karya sastra menjadi media bagi sastrawan untuk
mengekspresikan gagasannya. Makna karya sastra merupakan formulasi gagasan
yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Mengacu teori semiotik,
karya sastra merupakan sistem komunikasi tanda. Oleh karena itu, apapun yang
tercantum dalam karya sastra mengandung makna yang implisit.
Dengan memanfaatkan metode pembacaan heuristik (mendeskripsikan
stilistika sebagai tanda kebahasaan) dan hermeneutik (membaca berulang-ulang
dengan pemaknaan). Hasil pengkajian stilistika cerpen Senyum Karyamin
memiliki keunikan dan kekhasan yang terletak pada penggembaran latar dan
seting. Fuadi lebih memanfaatkan gaya metropolis karena Fuadi dengan
pengalamannya yang pernah tinggal di beberapa tempat yang metropolis seperti
Bandung ketia dia kuliah di UNPAD, Yaman (Arab Saudi) dan Kanada ketika
Fuadi menerima beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri.
Kekhasan novel Ranah 3 Warna terlihat pada pemanfaatan gaya kata
(diksi) dan bahasa figuratif.
1. Gaya kata (diksi)
Diksi dalam Ranah 3 Warna diantaranya yaitu kata konotatif yang
mendominasi, kemudian penggunaan kosakata Minang, Arab, Ingrris dan
Prancis. Penggunaaan kata konotatif menjadikan novel Ranah 3 Warna dapat
ditafsirkan dalam banyak makna. Sebagai sarana ekspresi, setiap diksi dalam
novel Ranah 3 Warna memiliki fungsi dalam mendukung gagasan yang akan
disampaikan. Khususnya kosakata bahasa Minang, yang mencerminkan
kehidupan latar sosial budaya masyarakat Maninjau sesuai tanah kelahirannya.
Berikut ini diksi yang dapat penulis temukan dalam novel Ranah 3 Warna:
1) Hasilnya, satu bukit buku untuk pelajaran kelas satu, satu bukit
untuk kelas dua, dan satu bukit untuk kelas tiga. Tiga bukit buku!
Aku meneguk ludah. Aku baru sadar ketiga bukit inilah yang aku
daki kalau ingin menaklukkan ujian persamaan SMA dan UMPTN.
(hlm 9)
2) Matanya mematut liar halaman kedua. Tangannya yang
mengghunus spidol merah menggantung di awang-awang. Dalaam
pikiranku kini, dia telah menjelma menjadi penghunus pedang
samurai merahyang siap menikam ganas. Aku makin terbenam di
kursi. (hlm. 74).
3) Aden butuh uang tunai secepatnya…. Pinjaman ke wa’ang sudah
banyak… kedua orangtuanya saudagar dan dia tunggak babelang ,
sebutan untuk anak tunggal. (hlm. 108-109).
4) Aku meringis memegang lengan bawahku yang lebam merah
karena bergesekan dengan pasir kasar. Si hitam juga menderita,
kulit bagian depannya coak dan tergores oleh batu cadas yang
runtuh tadi. (hlm 250).
Pada data (1), bentuk bukit tiga buku dengan gaya metaforisnya
merupakan pelukisan tentang betapa banyaknya buku yang harus dipelajari ketika
ia harus dapat lulus dalam ujian persamaan SMA karena Alif yang mempunyai
keinginan yang begitu besar untuk dapat mengikuti ujian UMPTN. Dengan
ungkapan metaforia yang membandingkan antara tumpukan buku dengan bukit,
pembaca akan memperoleh kesan yang lebih dalam sehingga dapat
membayangkan lebih jelas bagaimana banyak dan kerasnya usaha Alif untuk
dapat lulus dalam ujian persamaan SMA dan UMPTN. Seperti yang kita ketahui
bahwa bukit merupakan tempat yang tinggi yang dibandingkan dengan tumpukan
buku dapat kita bayangkan berapa banyak buku yang harus dipelajari Alif sampai
dia tidak mau keluar kamar.
Pada data (2), bentuk matanya mematut liar halaman kedua dan
‘penghunus pedang samurai merah’ menggambarkan tentang kerasnya ajaran kak
Tohar ketika membenarkan tulisan Alif yang baru pertama kali dan mempunyai
keinginan agar tulisannya dapat dimuat. Betapa Alif mempunyai niat yang besar
untuk mencapai suatu keinginan. Ketika kakak tingkatnya yang juga belajar
menulis dengan Togar, tetapi ditengah jalan sudah menyerah. Alif ingin
menunjukkan kalau dia bisa.
Data (3) diatas aden, wa’ang,dan tunggak babelang, yang terdapat pada
kutipan diatas merupakan bahasa daerah Minang yaitu tempat kelahiran
pengarang. Bahasa tersebut dihadirka untuk memperkuat pembaca tentang
gambaran orang Minang. Seakan pengarang mengajak pembaca ikut terlibat
dalam cerita novel tersebut.
Data (4) ‘Si Hitam juga menderita’ pada kutipan di atas merupakan
perumpamaan sepatu hadiah dari ayahnya yang merupakan teman setianya mulai
dari Bandung sampai Sant Raymont.
2. Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif yang unik dan khas Fuadi juga cukup dominan dalam noel
Ranah 3 Warna yang meliputi pemajasan. Melalui bahasa figuratif maka stilistika
Ranah 3 Warna menjadi lebih hidup dan ekspresif. Majas dalam Ranah 3 Warna
yang mendominasi adalah Metafora dan litotes. Pemajasan dimanfaatan untuk
member kesan cerita yang hidup dan memperindah cerita.
Contoh penggunaan majas dalam Ranah 3 Warna:
5) Aku akan mengingat selalu nasehat terakhir ayah, yang jelas kita
tidak bisa menonton bola bersama lagi. Kecuali di surga ada sepak
bola. Kita juga tidak akan bisa berburu durian bersama lagi, kecuali
pohon durian juga tumbuh di surga. (hlm.98).
Data (5) diatas menggambarkan tentang rasa kangennya Alif
dengan ayahnya yang baru saja meninggal. Majas metafora
terdapat dalam kdata tersebut yang membandingkan antara dunia
nyata dengan surga yang diimpikan dapat tumbuh buah durian atau
terdapat permainan sepak bola.
6) Aku terlonjak seperti disengat listrik. Aku ingat sesuatu. Tanganku
cepat merogoh kebawah bantal, mencari dompetku. (hlm.132).
7) Aku pun tahu macam mana mengobati kau. Yok, kita pergi
sekarang juga. Ke rumah sakit malas. (hlm.160).
8) Setiap aku gunakan untuk men-save data ke disket besar, Hulk
selalu mengeluarkan suara campuran rengekan dan terkentut-
kentut. Tapi walau uzur, mesin tua ini memang masih bisa aku
gunakan untuk menulis. Biarlah Hulk fosil fosil buruk rupa, tapi
aku bahagia tidak kepalang. (hlm.175).
9) Kehadiran Randai dan Raisa di seleksi ini berakibat baik buatku.
Adrenalinku seperti muncrat dipompa semangat kompetisi yang
semakin sengit dengan Randai. (hlm.188).
Data diatas terdapat majas personifikasi yang membandingkan
benda mati seperti hidup. Pernyataan adrenalin yang muncrat
seperti dipompa merupakan pernyataa yang mendukung majas
personifikasi.
10) Pada saat aku lemah dan putus harapan, sering catatan-catatan itu
bisa menggerakkan semangatku lagi. Mataku terhenti dan tidak
berkedip ketika membalik satu halaman bertuliskan huruf-huruf
tebal. Tulisan itu: Jurus Golok Kembar Kiai Rais. (hlm.191).
11) Kesibukan naik turun bangunan bersejarah ini membuat perutku
menderu-deru lapar. Tadi aku bolak-balik melirik warung makan
yang dijaga oleh seorang bapak Arab. Pisau kurus panjangnya
berkilat-kilat dan berkali-kali mengiris sebongkah daging yang
digantung sambil diputar-putar dekat api. (hlm.245).
12) Menginjakkan kaki di tarmac bandara di Montreal ini menjadi
sebuah sensasi yang membuat badanku seakan terbang melayang.
Aku cubit lenganku kuat-kuat dan mengiris sendiri. (hlm.255).
13) Sulit aku bayangkan sebelumnya. Dalam hanya beberapa hari, aku
dan si Hitam telah merasakan tiga tanah yang berbeda. Tanah
tumpah darahku, anah timur tengah tempat para nabi lahir, dan
tanah benua Amerika. (hlm.256).
14) “Saya baca kalau orang Indian punya nama julukan asli. Apa Anda
punya juga?” tanyaku. Dia tergelak. “o saya digelari ‘kelinci
berlari’ mungkin karena itu saya jadi lincah pada saat berburu”.
(hlm.343).
15) Makhluk yang paling setia dalam hidup ini mungkin adalah waktu.
Dia tidak pernah ingkar janji dan akan selalu hadir berkunjung ke
mana pun da ke siapa pun, walau topan badai sedang mengamuk.
Dia datang dalam bentuk tanggal, dalam bentuk nama hari, dalam
bentuk bulan, bahkan abad. Dia selalu tepat waktu, tidak telat
sedetik pun, tidak lebih awal sedikit pun. Dan kali ini, waktu
penting itu hadir dalam bentuk pagi kelabu. (hlm.445).
16) Surat ini sesungguhnya mewakili sebuah pelabuhan keberuntungan
yang bahagia setelah berkayuh melalui laut penuh badai dan
gelombang ganas, hanya bermodalkan baju sabar. (hlm.449).
17) Sekujur tubuhku seperti dirayapi beribu semut. Merinding sampai
ubun-ubun. Tiba-tiba ada rasa hangat di tanganku. Satu-dua tetes
air jatuh di ujung jari telunjukku. Beberapa tetes lagi luruh dan
menetesi kepala si Hitam. (hlm.455).
Berdasarkan data diatas tentang bahasa figuratif, pengarang lebih banyak
menggunakan majas perbandingan dan metafora. Terbukti dari beberapa contoh
yang ditemukan hampir semua merupakan majas perumpamaan.
3. Citraan
Citraan atau imaji dalam karya sastra berpera penting untuk menimbulkan
menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat
membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Citraan dalam novel Ranah 3
Warna meliputi citraan visual, gerak, pendengaran, dan perabaan. Adapun citraan
yang mendominasi yaitu citraan intelektual. Citraan intelektual yang mendominasi
menunjukka bahwa Fuadi memiliki kapasitas intelektual yang tinggi disamping
bercerita tentang kehidupan sosial, budaya, moral, nasionalisme, dan religiusitas.
Contoh citraan yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna:
18) Aku cepat memberi latar belakang, “Pak Danang, tulisan ini saya
persiapkan dengan latar belakang teoritis yang kuat yang saya
pelajari di kampus. Juga telah melalui sebuah diskusi kritis dengan
senior saya. Intinya, saya punya argument ilmiah bahwa kalu
Palestina didukung dengan tekanan diplomasi PBB dan Negara
Arab, dan tidak ada halangan dari Amerika Serikat, maka Palestina
akan berhasil menjadi Negara yang berdaulat. (hlm 147)
19) Tanpa budaya menulis dan membaca, Negara ini tidak akan selalu
dianggap Negara terbelakang. Indonesia tidak boleh punah
dimakan zaman. Indonesia tidak boleh dianggap terbelakang.
Indonesia harus dianggap dan diakui, lebih dari sekedar Negara
yang pintar menari dan bernyanyi. Tapi juga bangsa yang bisa
berbicara ide besar dalam tulisan. Itulah salah satu cirri bangsa
besar. (hlm 207).
Data diatas menunjukkan bahwa Fuadi tidak hanya piawai berbincang
tentang aspek kemanusiaan dan budaya. Fuadi juga mamahami kehidupan
manusia yang ditunjukkan melalui citraan intelektual. Fuadi melalui mantra yang
dianutnya man jadda wa jadda dapat meyakinkan pembaca bahwa apapun yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti akan menuai hasil sesuai apa yang kita
usahakan.
E. Makna Stilistika Novel Ranah 3 Warna dengan Pendekatan Resepsi
Sastra
Pendekatan resepsi sastra dapat dikatakan merupakan pendekatan yang
memanfaatkan intuisi pembaca dalam menangggapi dan memberikan makna
terhadap novel yang disajikan oleh pengarang. Berikut beberapa tanggapan yang
diperoleh penulis dari berbagai sumber:
BJ Habibie
Novel yang berkisah tentang generasi muda bangsa ini penuh motivasi,
bakat, semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak kenal menyerah,
merupakan pelajaran yang amat berharga bukan saja sebagai karya seni, tetapi
juga tentang proses pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya sumberdaya
insani yang handal. Andaikan banyak anak bangsa yang mempunyai kesempatan
dan pengalaman seperti mereka, akan beruntunglah bangsa Indonesia dalam
mewujudkan masa depannya yang maju dan sejahtera, yang disegani dan sejajar
dengan bangsa-bangsa lain.
Riri Riza, Pembuat Film
" Masa remaja selalu meninggalkan bekas yang kuat, penuh nostalgia.
Ahmad Fuadi mengolah nostalgia menjadi novel yang menyentuh, sekaligus
menjadi diskusi kritis sekaligus simpatik tentang pendidikan kehidupan. Negeri
Lima Menara adalah kisah enam anak muda berbeda warna menembus pendidikan
pesantren menuju dunia, sebuah kisah yang menggelitik... "
KH Hasan A. Sahal, Pimpinan Pondok Modern Gontor, Ponorogo
Novel ini bercerita bahwa ”pesantren kemasyarakatan” bebas mendidik
anak bangsa dalam keislaman dan keilmuan. Alumninya dengan menumpang
”perahu moral” bisa melesat ke seantero bumi Sang Pencipta, untuk bermanfaat,
bukan hanya dimanfaatkan. Semoga pembaca cerdas dan jujur menggali nilai-nilai
fitri manusiawi darinya. Selamat menikmati.
Farhan, Penyiar dan Pembawa Acara
Membaca mantera sakti man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-
sungguh pasti sukses. Seperti steroid untuk badan yang sudah remuk oleh usia,
amphetamine untuk pikiran yang keruh oleh masalah dan antibiotik yang
mengusir parasit-parasit yang melemahkan ! Aku terhenyak, terbangun dari
peraduan, tempat membenamkan diri berpaling dari masalah, dengan alasan
fatigue ! Bukan dengan amarah dendam tapi dengan semangat inspirasi untuk
bangkit dan arif memandang tantangan.
Ary Ginanjar Agustian – Penulis Buku Best Seller ESQ
“Kisah dalam buku ini menggelorakan semangat untuk mewujudkan
impian sekaligus memberi keyakinan bahwa kesungguhan akan membuahkan
keberhasilan. Bacaan yang tanpa disadari mengasah kecerdasan emosi dan
spiritual.”
Wicaksono, wartawan Majalah Tempo, blogger
Membaca novel ini bagaikan menikmati laporan jurnalistik seorang
wartawan kawakan. Begitu detail dan penuh deskripsi. Kita seperti dibawa
bertamasya secara spiritual, dari Bukittinggi yang permai hingga Washington
yang bersalju. Dari Pondok Madani yang ajaib hingga Trafalgar Square yang
menegakkan bulu roma. Sangat inspiratif.
Helvy Tiana Rosa, Sastrawan dan Dosen Fakultas Bahasa dan Seni
UNJ
Novel ini antara lain bertutur tentang hubungan yang menyentuh antara
anak dan ibu serta murid dan guru. Akhirnya kita yakin haqqul yakin, bahwa
kombinasi patuh kepada ibu, hormat kepada guru dan usaha pantang menyerah
adalah rumus sukses yang tak terlawankan. Berbahagialah para ibu yang telah
membawa beragam keajaiban dan kemungkinan buat anaknya. Layak dibaca para
ibu yang bermimpi membesarkan anak-anak terbaik.
Beberapa tokoh yang sudah membaca novel Ranah 3 Warna memberikan
tanggapan positif terhadap terbitnya novel tersebut. Novel yang sangat
menginspiratif tersebut dapat dijadikan pengalaman terbesar oleh pembaca. Novel
yang bertemakan tentang pendidikan dan agama tersebut memberikan kekuatan
dan keyakinan kepada pembaca tentang kesungguhan dan keberhasilan. Melalui
mantra man jadda wa jadda yang membuktikan tokoh akhirnya dapat meraih
mimpinya yang jauh dari kata mungkin.
F. Simpulan
Novel Ranah 3 Warna sebagai sarana ekspresi memiliki daya pukau yang
luar biasa yang menunjukkan keunikan dan kekhasan ala Fuadi yang tampak pada
diksi, bahasa figuratif, dan citraan. Tampak bahwa Fuadi memanfaaatkan potensi
bahasa yang dimilikinya dan juga berbekal pengalaman yang dimilikinya ketika
dia masih kuliah.
Stilistika merupakan sarana penngungkapan untuk menuangkan ekspresi
gagasan multi dimensi. Terbukti dalam kehidupan saat ini, masih banyak pembaca
yang sangat antusias. Melalui latar belakang kehidupan yang beraneka ragam,
Fuadi mampu menyihir pembaca melalui penyajian cerita yang begitu
mengesankan pembaca.
Secara garis besar, komentar yang diberikan pembaca setelah membaca
novel tetrsebut memberikan tanggapan yang positif. Keunikan dan kekhasan
bahasa dalam novel Ranah 3 Warna membantu pembaca untuk ikut terjun dalam
cerita yang disajikan.
Daftar Pustaka
Al-Ma,ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika teori, metode, dan aplikasi pengkajian estetika bahasa. Solo: Cakra Books.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Stilistika, dalam Jurnal Humaniora, No. 1.ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, metode, dan teknik penelitian sastra.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.http://indonesiaproud.wordpress.com/2010/03/http://shaleholic.com/sinopsis-novel-ranah-3-warna-karya-a-fuadi/http://chandrapzm.wordpress.com/2011/03/25/review-resensi-novel-ranah-3-
warna-man-shabara-zhafira/http://arwinkim.blogspot.com/2010/05/pengertian-teori-resepsi-sastra.htmlhttp://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-
sebuah-pengantar/
Sinopsis Cerita
Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi
dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar teknologi
tinggi di Bandung seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika. Dengan
semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah.
Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia mampu lulus UMPTN. Lalu dia
sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana
mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa ijazah?
Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan
berat. Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti
tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: “Sampai kapan aku harus teguh
bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyerah.
Rupanya “mantra” man jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam
memenangkan hidup. Alif teringat “mantra” kedua yang diajarkan di Pondok
Madani: man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal
kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia
memenangkan semua impiannya?
Kemana nasib membawa Alif? Apa saja 3 ranah berbeda warna itu?
Siapakah Raisa? Bagaimana persaingannya dengan Randai? Apa kabar Sahibul
Menara? Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian dan Michael Jordan dan
Ksatria Berpantun? Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran yang kukuh?
Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-
habisan walau hidup terus digelung nestapa. Tuhan bersama orang yang sabar.
KAJIAN STILISTIKA TRILOGI NOVEL RANAH 3 WARNA
KARYA AHMAD FUADI DAN PEMAKNAANNYA:
TINJAUAN RESEPSI SASTRA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Pengganti Ujian Akhis Semester Mata Kuliah
Stilistika
Dosen Pengampu: Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.hum
Oleh:
SITI RUQOYYAH
A 310 080 053
PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011