KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS...

28
7 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Learning Orientation Learning Orientation mengacu pada kegiatan organization-wide dalam menciptakan dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan keuntungan kompetitif. Ini termasuk mendapatkan dan berbagi informasi tentang kebutuhan pelanggan, perubahan pasar, dan tindakan pesaing, serta pengembangan teknologi baru untuk menciptakan produk baru yang unggul daripada pesaing ( Hurley RF dan Hult GTM,1998 ; Moorman dan Miner,1998) . Learning Orientation mempengaruhi jenis Informasi dikumpulkan ( Dixon NM,1992 ) dan bagaimana ditafsirkan (Argyris dan Schon, 1978 ), dievaluasi ( Sinkula et al, 1997 ) , dan berbagi ( Moorman dan Miner,1998 ). Commitment to Learning Komitmen untuk belajar, atau sejauh mana suatu organisasi menghargai dan mempromosikan pembelajaran ( Sinkula et al, 1997 ) , seperti untuk menciptakan iklim belajar (Norman R,1985) . Komitmen organisasi menganggap pembelajaran sebagai investasi penting untuk kelangsungan hidup. Yang paling penting, komitmen untuk pembelajaran dikaitkan dengan orientasi strategis jangka panjang. Investasi jangka pendek akan menghasilkan keuntungan jangka panjang. Sebagai contoh, manajer dalam organisasi berkomitmen mengharapkan karyawan untuk

Transcript of KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS...

  • 7

    BAB 2

    KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

    2.1 Kajian Pustaka

    2.1.1 Learning Orientation

    Learning Orientation mengacu pada kegiatan organization-wide dalam

    menciptakan dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan keuntungan

    kompetitif. Ini termasuk mendapatkan dan berbagi informasi tentang kebutuhan

    pelanggan, perubahan pasar, dan tindakan pesaing, serta pengembangan teknologi

    baru untuk menciptakan produk baru yang unggul daripada pesaing ( Hurley RF dan

    Hult GTM,1998 ; Moorman dan Miner,1998) . Learning Orientation mempengaruhi

    jenis Informasi dikumpulkan ( Dixon NM,1992 ) dan bagaimana ditafsirkan (Argyris

    dan Schon, 1978 ), dievaluasi ( Sinkula et al, 1997 ) , dan berbagi ( Moorman dan

    Miner,1998 ).

    • Commitment to Learning

    Komitmen untuk belajar, atau sejauh mana suatu organisasi menghargai dan

    mempromosikan pembelajaran ( Sinkula et al, 1997 ) , seperti untuk menciptakan

    iklim belajar (Norman R,1985) . Komitmen organisasi menganggap pembelajaran

    sebagai investasi penting untuk kelangsungan hidup. Yang paling penting, komitmen

    untuk pembelajaran dikaitkan dengan orientasi strategis jangka panjang. Investasi

    jangka pendek akan menghasilkan keuntungan jangka panjang. Sebagai contoh,

    manajer dalam organisasi berkomitmen mengharapkan karyawan untuk

  • 8

    menggunakan waktu dalam perusahaan untuk mengejar pengetahuan di luar lingkup

    dari pekerjaan mereka ( Slater dan Narver, 1994 ). Jika sebuah organisasi tidak

    mendorong pengembangan pengetahuan, karyawan tidak akan termotivasi untuk

    mengejar kegiatan pembelajaran

    • Shared vision

    Shared vision mengacu pada organization-wide fokus pada pembelajaran (Sinkula

    et al, 1997). Verona,1999 menekankan bahwa tanpa shared vision, pembelajaran

    oleh anggota organisasi mungkin kurang bermakna. Dengan kata lain, jika mereka

    termotivasi untuk belajar, sulit untuk mengetahui apa yang harus dipelajari. Masalah

    besar dalam organisasi adalah banyaknya ide-ide kreatif yang tidak pernah

    diimplementasikan (Hult GTM,1998) karena tidak memiliki arah dan tujuan yang

    sama. Ide-ide besar gagal untuk diterjemahkan ke dalam tindakan karena beragam

    kepentingan dalam organisasi. Dengan demikian, sebuah iklim pembelajaran yang

    positif membutuhkan fokus organisasi ketika pengetahuan baru diimplementasikan.

    Sebuah arah yang jelas untuk belajar kemungkinan untuk membentuk kekuatan

    organisasi atau bahkan kompetensi inti.

    Brown dan Eisenhardt, 1995 mencatat bahwa berbagai departemen

    memiliki cara yang berbeda dalam mendapatkan dan menafsirkan pengetahuan. Oleh

    karena itu, individu dari area fungsional yang berbeda memandang inovasi dalam

    cara yang bervariasi. Sebagai contoh, seorang pemasar lebih peduli tentang informasi

    pasar, sedangkan orang di R & D dapat fokus pada aspek teknis inovasi. Hal ini

    dapat menyebabkan berbagai interpretasi, bahkan dari informasi yang sama. Sebuah

    koordinat shared vision fokus di berbagai departemen dan meningkatkan kualitas

    pembelajaran.

  • 9

    • Open Mindedness

    Keterbukaan pikiran adalah kemauan untuk mengevaluasi secara kritis

    operasional rutin organisasi dan menerima ide baru (Sinkula et al, 1997).

    Perusahaan harus mengatasi dengan cepat perubahan teknologi dan gejolak pasar.

    Tingkat pengetahuan usang masih tinggi di sebagian besar sektor. Meski begitu,

    pelajaran pembelajaran di masa lalu mungkin masih instruktif jika organisasi

    memiliki keterbukaan pikiran untuk menanyai mereka (Verona,1999 ; Porac dan

    Thomas,1990 ; Senge,1992 ; Sinkula,1994). Itu mungkin hanya sebagai

    pembelajaran penting untuk melupakan cara lama seperti itu dan untuk

    memperbaharui atau memperbarui basis pengetahuan.

    • Intraorganizational Knowledge Sharing

    Berbagi pengetahuan Intraorganizational mengacu keyakinan kolektif atau

    rutinitas perilaku yang berkaitan dengan penyebaran pembelajaran antara unit-

    unit yang berbeda dalam sebuah organisasi ( Zaltman et al,1973 ; Moorman dan

    Miner,1998 ). Itu membuat hidup pengetahuan dan informasi yang dikumpulkan

    dari berbagai sumber dan berfungsi sebagai referensi untuk tindakan di masa

    depan ( Lukas et al,1996 ). Sebagai contoh, Pengalaman departemen pemasaran

    dengan pelanggan mungkin berharga untuk Unit R & D dalam mengembangkan

    produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan ( Moorman dan

    Miner,1998 ).

    Pembelajaran dalam sebuah organisasi merupakan hasil akumulasi

    pembelajaran individu. Karena perputaran karyawan dan transfer, berbagi

  • 10

    pengetahuan intraorganizational diperlukan untuk mencegah hilangnya informasi

    ( Lukas et al,1996 ). Bahkan jika sebuah organisasi berkomitmen untuk belajar

    dan memiliki visi bersama, pembelajaran akan terbatas tanpa akumulasi

    pengetahuan ( Moorman dan Miner,1998 ).

    Beberapa ahli berpendapat bahwa pembelajaran tidak benar-benar terjadi

    kecuali organisasi memiliki sistem yang efektif dan efisien untuk berbagi dan

    memeriksa kembali informasi (Moorman dan Miner,1998 ). Berbagi

    pengetahuan intraorganizational tidak hanya mengacu memperoleh informasi dari

    berbagai sumber. Ini mencakup sistematis pemeriksaan ulang dan penataan

    informasi. Pengalaman dan pelajaran harus dibagi di seluruh departemen dan

    disimpan dalam memori organisasi.

    2.1.2 Entreptreneurial Orientation

    Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja

    perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai

    mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan.

    Kewirausahaan disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan

    pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.

    Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar dalam

    memperkuat lapangan pekerjaan. Sedangkan Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan

    manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai /

    menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain,

    wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi

    dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan

    wirausahawan.

  • 11

    Peneliti sebelumnya telah menyarankan bahwa ada serangkaian proses organisasi

    dari mana keputusan strategis berkembang (Hart, 1992; Rajagopalan, Rasheed, &

    Datta, 1993). Ini mengambil bentuk pola atau mode yang dapat dicirikan dan

    diidentifikasi di seluruh organisasi (Hart, 1992). Dalam mencoba untuk

    mengidentifikasi variabel yang relevan dengan mode organisasi dan model proses

    keputusan strategis, banyak peneliti telah berfokus pada menggambarkan dimensi

    pembuatan strategi. Misalnya, Miller dan Friesen (1978) mengidentifikasi 11 dimensi

    proses pembuatan strategi, termasuk beradaptasi, analisis, integrasi, pengambilan

    risiko, dan produk-pasar inovasi. Fredrickson (1986) dimensi yang diusulkan seperti

    proactiveness, rasionalitas, kelengkapan, pengambilan risiko, dan ketegasan.

    Studi tentang orientasi kewirausahaan perusahaan sejalan dengan konsep

    Stevenson dan Jarillo (1990) tentang manajemen kewirausahaan, dalam hal ini

    mencerminkan proses organisasi, metode, dan gaya yang digunakan perusahaan

    untuk bertindak kewirausahaan. Miller (1983) menyarankan sebuah entrepreneurial

    firm menggunakan dimensi "inovasi," "pengambilan risiko," dan "proactiveness"

    untuk mengkarakterisasi dan menguji kewirausahaan. Dua dimensi lainnya adalah

    aspek penting dari orientasi kewirausahaan. Yang pertama adalah agresivitas

    kompetitif. Agresivitas kompetitif sangat berhubungan dengan kewirausahaan di

    semua tingkat risiko dalam sebuah penelitian yang menggunakan peringkat risiko

    yang publikasikan untuk membandingkan perusahaan-perusahaan di lingkungan

    rendah dan berisiko tinggi di Eropa Timur, Commonwealth of Independent States,

    dan Amerika Serikat (Dean, Thibodeaux, Beyerlein, Ebrahimi, & Molina, 1993).

    Komponen kunci lain dari Entrepreneurial Orientation adalah sebuah

    kecenderungan tindakan independen dan otonom. Perusahaan Start-up harus

    melaksanakan intensionalitas untuk meneruskan tindakan khusus yang diperlukan

  • 12

    untuk memulai usaha baru (Katz & Gartner, 1988). Lapisan birokrasi dan tradisi

    organisasi jarang berkontribusi untuk kegiatan baru di perusahaan yang telah ada

    (Kanter, 1983). Sebaliknya, itu semua memerlukan pelaksanaan otonomi oleh

    pemimpin yang kuat, tim tak terkekang atau individu kreatif yang terlepas dari

    kendala organisasi untuk memimpin ke entri baru.

    Lumpkin dan Dess (1996, p. 136) dalam usahanya untuk mengklarifikasi

    kebingungan dalam istilah, memberikan perbedaan yang jelas antara orientasi

    wirausaha (entrepreneurial orientation) dengan kewirausahaan (entrepreneurship).

    Kewirausahaan didefinisikan sebagai new entry yang dapat dilakukan dengan

    memasuki pasar yang tetap ataupun pasar yang baru dengan produk atau jasa yang

    telah ada ataupun yang baru ataupun meluncurkan perusahaan baru.

    Sedangkan orientasi wirausaha didefinisikan sebagai penggambaran bagaimana

    new entry dilaksanakan oleh perusahaan. Orientasi wirausaha digambarkan oleh

    proses, praktek dan aktivitas pembuatan keputusan yang mendorong new entry. Jadi

    kewirausahaan dapat dianggap sebagai produk dari orientasi wirausaha. Proses,

    praktek dan aktivitas pembuatan keputusan (orientasi wirausaha) menghasilkan new

    entry (kewirausahaan). Orientasi wirausaha mencerminkan kecenderungan

    perusahaan untuk terlibat dalam perilaku inovatif, berani mengambil resiko dan

    proaktif untuk mengalahkan pesaing. Perusahaan yang terlibat dalam perilaku

    semacam ini dapat secara efektif berkembang atau meningkatkan kinerja dan daya

    saing perusahaan.

    Lumpkin dan Dess (1996), menyimpulkan dan memperjelas dimensi

    Entrepreneurial Orientation menjadi liba sub bagian, yaitu Otonomi, inovasi, risk

    taking, proactiveness, dan competitive aggressiveness.

  • 13

    • Autonomy

    Konsep otonomi adalah dimensi utama dari orientasi kewirausahaan.

    Otonomi mengacu pada tindakan independen dari individu atau tim dalam

    menciptakan ide atau visi dan membawanya sampai tujuan tercapai. Secara

    umum, itu berarti kemampuan dan akan menjadi self-directed dalam mengejar

    peluang. Dalam konteks organisasi, mengacu pada tindakan yang dilakukan

    bebas dari menyesakkan kendala organisasi. Jadi, meskipun faktor-faktor seperti

    ketersediaan sumber daya, tindakan oleh saingan kompetitif, atau pertimbangan

    organisasi internal dapat mengubah arah inisiatif perusahaan baru. hal ini tidak

    memadai untuk memadamkan proses kewirausahaan otonom yang mengarah ke

    entri baru: Selama proses tersebut, para Pemain organisasi tetap bebas untuk

    bertindak secara independen, untuk membuat keputusan penting, dan untuk

    melanjutkan prosesnya.

    • Innovativeness

    Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap

    aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik. Kemampuan berinovasi adalah titik

    penting dari kewirausahaan dan esensi dari karakteristik kewirausahaan.

    Beberapa hasil penelitian dan literature kewirausahaan menunjukkan bahwa

    orientasi kewirausahaan lebih signifikan mempunyai kemampuan inovasi

    daripada yang tidak memiliki kemampuan dalam kewirausahaan .

    • Risk Taking

    Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai

    seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks

  • 14

    pengambilan keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang

    membedakan perusahaan dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari

    tingginya orientasi kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran

    risiko dan pengambilan risiko secara optimal (Looy et al. 2003).

    • Proactiveness

    Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain

    dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila

    suatu perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka

    perusahaan tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara

    otomatis mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003,424). Perusahaan

    dengan aktifitas kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya

    semangat yang tidak pernah padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan.

    Sikap aktif dan dinamis adalah kata kuncinya.

    • Competitive Aggressiveness

    Agresivitas kompetitif mengacu pada kecenderungan perusahaan untuk

    secara langsung dan intens menantang pesaingnya untuk mencapai entri atau

    meningkatkan posisi, yaitu, untuk mengungguli saingan industri di pasar.

    Agresivitas kompetitif ditandai dengan tanggap, yang dapat mengambil bentuk

    konfrontasi head-to-head. Misalnya, ketika perusahaan memasuki pasar yang

    pesaing lain telah diidentifikasi, atau reaktif. Misalnya, ketika suatu perusahaan

    menurunkan harga dalam menanggapi tantangan kompetitif.

    Agresivitas kompetitif juga mencerminkan kesediaan untuk tidak

    konvensional daripada mengandalkan metode bersaing tradisional. Contoh ini

  • 15

    dan bentuk-bentuk lain dari agresivitas kompetitif tersedia bagi pendatang baru

    termasuk mengadopsi taktik yang tidak konvensional untuk menantang

    pemimpin industri (Cooper et al., 1986), menganalisis dan menargetkan

    kelemahan pesaing dan berfokus pada nilai tambah tinggi produk sedangkan hati-

    hati memantau pengeluaran diskresioner (Woo & Cooper, 1981). Pentingnya

    variabel ini sebagai dimensi Entrepreneurial Orientation disorot dalam sebuah

    studi dari proses kewirausahaan dari perusahaan-perusahaan AS di pasar global,

    di mana Dean (1993) menemukan bahwa agresivitas kompetitif menjelaskan

    varians jauh lebih (37%) dalam kewirausahaan korporasi daripada setiap Strategi

    lain atau variabel struktural dianalisis.

    2.1.3 Innovativeness

    Menurut Rothwell dalam Allen (2000), salah satu definisi inovasi adalah

    pengenalan sesuatu yang baru, seperti gagasan, metode, ataupun alat. Suatu

    perusahaan atau produk inovatif merupakan sesuatu yang dapat dibedakan dengan

    sebelumnya melalui keunikannya dalam bentuk, fungsi, ataupun perilaku. Inovasi

    produk menjadi suatu elemen vital dalam strategi perusahaan dan rencana dalam

    menjawab berbagai alasan agar dapat memegang kendali. Alasan ini terdiri dari

    perubahan perilaku konsumen dan kompetitor, perubahan teknologi, dan kebijakan

    pemerintah (Rothberg, 1981).

    Tujuan perusahaan untuk melakukan inovasi produk untuk mempertahanan

    kelangsungan hidup perusahaan karena produk yang telah ada rentan terhadap

    perubahan kebutuhan dan selera konsumen, teknologi, siklus hidup produk yang

    lebih singkat, serta meningkatnyapersaingan domestic dan luar negeri.

    Pada tingkat sederhana, setidaknya ada tiga tipe dasar inovasi, yaitu incremental,

    architectural dan radical (Gupta,2007) . Dengan demikian dapat dijelaskan

  • 16

    berdasarkan pendapat Gupta menunjukkan ada tiga tipe inovasi yang terdiri dari

    pengembangan, rancang bangun dan kebaruan. Adapun penjelasannya sebagai

    berikut :

    • Inovasi Incremental

    Inovasi ini dapat diartikan sebagai perubahan atau penyesuaian sederhana

    dalam produk, jasa, atau proses yang ada. Terdapat semakin banyak bukti

    bahwa perusahaan-perusahaan yang berusaha meningkatkan hasil investasi

    dapat berfokus pada inovasi incremental. Dorongan utama dari inovasi

    incremental dalam banyak perusahaan selama beberapa tahun terakhir bersal

    dari program-program yang ditujukan pada peningkatan hasil terus menerus,

    pengurangan biaya, dan pengelolaan kualitas.

    • Inovasi Architectural

    Inovasi architectural, dapat diartikan sebagai inovasi yang merupakan

    penerapan dari teknologi yang sudah ada atau baru muncul (emerging) untuk

    memecahkan suatu persoalan yang sebenarnya diawalnya tidak dimaksudkan

    untuk hal tersebut.

    • Inovasi Radical

    Inovasi radical, dapat diartikan sebagai inovasi yang mengubah secara drastic

    kemampuan, mengahsilkan produk atau proses baru yang berbeda dari

    sebelumnya atau tidak pernah ada sebelumnya.

    Hurt et al. (1977) adalah salah satu peneliti awal untuk mencoba mendefinisikan

    inovasi, mengungkapkan hal itu sebagai "kemauan untuk berubah". Midgley dan

    Dowling (1978) menganggap inovasi sebagai bentuk ciri kepribadian bawaan.

    Goldsmith dan Hofacker (1991) mendefinisikannya sebagai sikap dan perilaku baik.

    Subramanian dan Nilakanta (1996) dan Subramanian (1996) mendefinisikan inovasi

  • 17

    dalam hal tampilan perilaku inovatif secara konsisten dari waktu ke waktu oleh

    sebuah organisasi. Untuk Stamboulis dan Skyannis (2003) dan Hjalager (1997),

    inovasi menyampaikan beberapa perubahan perilaku dalam menanggapi stimulus.

    Zaltman et al. (1973) dan Hurley dan Hult (1998) mendefinisikan inovasi sebagai

    "keterbukaan terhadap ide-ide baru". Leavitt dan Walton (1975, 1988)

    mengkonseptualisasikan inovasi dalam hal "keterbukaan terhadap pengolahan

    informasi". Demikian pula, Berthon et al. (1999) menggambarkan inovasi sebagai

    "keterbukaan pikiran", "giat", "kemauan untuk berubah", "kemampuan untuk

    berinovasi" atau menjadi kreatif. Avlonitis et al. (1994) inovasi terdiri dari dimensi

    teknologi dan perilaku yang menunjukkan baik "kapasitas teknologi" dan "kemauan

    perilaku dan komitmen" dari perusahaan untuk berinovasi. Kundu dan Katz (2003)

    inovasi berhubungan dengan niat organisasi untuk menjadi inovatif ". Untuk Hult et

    al. (2004), inovasi berarti kapasitas perusahaan untuk memperkenalkan proses baru,

    produk, atau ide-ide dalam organisasi. Demikian pula, Wang dan Ahmed (2004: 304)

    mencirikan "inovasi organisasi sebagai kemampuan inovatif peerusahaan secara

    keseluruhan untuk memperkenalkan produk baru ke pasar, atau membuka pasar baru,

    melalui menggabungkan orientasi strategis dengan perilaku inovatif dan proses ".

    Slater dan Narver (1994) melihat inovasi sebagai salah satu nilai inti-menciptakan

    kemampuan yang mendorong kinerja. Demikian pula, baik Markides (1998) dan

    Besanko et al. (1996) menganggap inovasi sebagai inovasi sebagai pengembangan

    strategi kompetitif baru yang menciptakan nilai bagi perusahaan. Amabile (1997)

    sejalan dengan inovasi konsep "kreativitas organisasi".

    Menguc dan Auch, (2006: 66) menghubungkan inovasi sebagai kecenderungan

    perusahaan, penerimaan dan kecenderungan untuk mengadopsi ide-ide yang

    berangkat dari cara yang biasa mendekati bisnis ". Demikian pula, Lumpkin dan

  • 18

    Dess (1996) mengkonseptualisasikan inovasi sebagai kecenderungan perusahaan

    untuk terlibat dalam dan mendukung ide-ide baru, bereksperimen, dan menjadi

    kreatif. Marcati et al. (2008) dan Blake et al. (2003) inovasi sebagai "kesiapan

    umum" untuk mengikuti cara-cara baru dan kreatif. Hurley dan Hult (1998)

    mengkonseptualisasikan inovasi sebagai kesiapan budaya organisasi untuk

    berinovasi atau untuk mengadopsi cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Cowart

    et al. (2007) inovasi berhubungan dengan gagasan risiko. Demikian pula, dalam

    konseptualisasi inovasi mereka , Gounaris et al. (2003) merujuk pada

    "ketidakpastian", "ambiguitas", dan "kesulitan". Sementara pada pandangan pertama,

    tampaknya ada konsensus dalam literatur mengenai konstruk inovasi, ada kesamaan

    tetap yang mendasari.

    Keinovatifan (Innovativeness) adalah sejauh mana individu atau unit adopsi lain

    relatif lebih awal dalam mengadopsi ide-ide baru dari anggota lain dari suatu

    sistem. Keinovatifan lebih menunjukkan perubahan perilaku yang nyata, yang

    menjadi tujuan utama dari sebagian besar program difusi, daripada hanya perubahan

    kognitif maupun sikap. Keinovatifan merupakan perilaku utama dala proses difusi.

    (Everett,1995).

    Lima dimensi kunci telah muncul dalam pembahasan sebelumnya, yaitu,

    creativity, openness to new ideas, intention to innovate, risk, and capacity to

    innovate. Setiap dimensi dieksplorasi dalam bagian berikut.

    1. Creativity

    Sebagian besar Konseptualisasi inovasi memahami kreativitas sebagai

    komponen kunci (Amabile, 1997; Lumpkin dan Dess, 1996), dianggap oleh

    Dertouzos (1999:31) sebagai "bahan yang paling penting dari inovasi yang

    sukses". Meskipun demikian, kreativitas tetap menjadi konsep yang rumit dan

  • 19

    sukar dipahami, dan telah didefinisikan dalam berbagai cara (Shalley et al.,

    2000). Namun, Gumusluoglu dan Ilsev (2007) menyatakan bahwa definisi

    yang diterima secara luas, mendefinisikan kreativitas sebagai ",

    konseptualisasi pengembangan produksi, atau ide-ide baru dan berguna,

    proses, atau prosedur oleh individu atau oleh tim dari individu-individu yang

    bekerja bersama-sama" (Amabile, 1988: 126). "Berpikir di luar kotak" adalah

    slogan pakar kreativitas banyak yang benar menghubungkan pemikiran

    kreatif untuk inovasi perusahaan (Reckhenrich et al., 2009). Memang, tingkat

    inovasi perusahaan menuntut proactiveness dalam mengeksplorasi metode

    baru dalam berbisnis (Menguc dan Auh, 2006). Tang (1998: 298)

    berpendapat "kreativitas merupakan prasyarat untuk inovasi". Sama, Yusuf

    (2009: 3) menganggap betapa pentingnya kreativitas dalam inovasi,

    menyatakan bahwa ia berfungsi sebagai "batu loncatan untuk loop kreatif

    untuk inovasi berbuah", positioning kreativitas sebagai sarana memfasilitasi

    realisasi keberhasilan inovasi (yaitu, inovasi) . Feinstein (2006) menganggap

    kreativitas dalam hal mengadopsi cara-cara baru dalam melakukan sesuatu,

    sejauh menggabungkan berbagai elemen bersama-sama, kombinasi yang

    mungkin sebelumnya diabaikan. Salavou (2004) dan Sundbo (1997)

    mendiskusikan kreativitas dalam hal kemampuan "perusahaan berpikir untuk

    menghasilkan ide-ide yang baru dan berbeda, yang untuk Markides (1998)

    dapat mengarah pada wawasan baru

    Selain itu, kreativitas sebagai dimensi inovasi telah banyak dipelajari pada

    tingkat individu karyawan, dianggap sebagai sumber penting dari inovasi

    organisasi dan keunggulan kompetitif (Amabile, 1988, 1996; Oldham &

  • 20

    Cummings, 1996; Shalley, 1991; Zhou, 2003). Marcati et al. (2008)

    menganggap kreativitas sebagai gaya kognitif individu.

    2. Openness to new ideas

    The reseptif atau keterbukaan organisasi untuk ide-ide baru dan inovasi

    sebagai suatu proses yang disebut sebagai "inovasi". Dalam literatur (Emas,

    1981). Zaltman et al. (1973) menggunakan istilah "keterbukaan terhadap

    inovasi", menunjukkan komponen sikap terhadap inovasi (Goldsmith dan

    Hofacker, 1991). Ini adalah pendekatan perusahaan keseluruhan (misalnya,

    sikap dan pola pikir) terhadap inovasi (Amabile, 1997, 1996). Hurley dan

    Hult (1998: 44) mematuhi gagasan keterbukaan terhadap ide-ide baru sebagai

    satu aspek dari sebuah inovasi perusahaan, dan menganggap budaya sebagai

    aspek penting dalam perusahaan. Konseptualisasi ini menggarisbawahi

    penulis saat ini “menekankan pada apa yang Menguc dan Auh sebut sebagai

    penerimaan dan keinginan perusahaan untuk melupakan kebiasaan lama dan

    mencoba ide-ide yang belum teruji" (2006: 66). Pemikiran ini sangat

    menyiratkan bahwa inovasi membutuhkan pola pikir perusahaan atau

    kecenderungan untuk mendengarkan "semua suara", baik secara internal

    maupun eksternal (Ahmed, 1998), dan untuk mengeksplorasi dan

    bereksperimen dengan ide-ide (Lumpkin dan Dess, 1996). Dalam hal ini,

    Leavitt dan Walton (1975, 1988) mendiskusikan "keterbukaan terhadap

    pengolahan informasi". Hurt et al. (1977) dalam konseptualisasi mereka

    inovasi merupakan "keterbukaan terhadap ide-ide baru dan metode".

    Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa inovasi terdiri dari sebuah ciri

    kepribadian yang mendasari disebut "keterbukaan terhadap ide-ide baru"

    yang dimiliki oleh semua perusahaan sampai batas tertentu, meningkatkan

  • 21

    niat perusahaan untuk berinovasi, maka akan membawa perusahaan terhadap

    perilaku inovatif.

    3. Intention to innovate

    Melekat dalam definisi sebelumnya merupakan komitmen atau pengabdian

    perusahaan terhadap proses inovasi (Berthon et al, 1999;.. Avlonitis et al,

    1994), dan keinginannya untuk menjadi inovatif (Kundu dan Katz, 2003).

    Avlonitis et al. (1994: 14) mempertimbangkan "niat inovasi diwujudkan

    strategis perusahaan". Inovasi dikonseptualisasikan sebagai niat untuk

    bertindak secara inovatif mengarah ke inovasi, tetapi itu bukan inovasi itu

    sendiri. Hal ini terkait dengan. Dari perspektif perilaku, Avlonitis et al.

    (1994) memperlakukan inovasi sebagai kesediaan perilaku, niat, dan

    komitmen dari perusahaan untuk berinovasi. Gagasan perubahan perilaku ini

    cukup umum dalam semua studi pariwisata inovasi (misalnya Hjalager (1997,

    1996) dan Stamboulis Skyannis (2003) menyatakan bahwa sebuah

    perusahaan pariwisata perlu untuk mengubah perilaku dalam rangka untuk

    tetap berada di garis depan industri dan memerangi tren pasar dan tantangan.

    Oleh karena itu, inovasi adalah niat perusahaan untuk berinovasi, dibentuk

    oleh keseluruhan sikap dan pola pikir terhadap inovasi. Yang paling penting

    adalah fakta bahwa inovasi hanya mengacu pada niat perusahaan untuk

    berinovasi, ia tidak mengacu pada tindakan nyata inovasi.

    4. Risk

    Gagasan "kesediaan untuk mengambil risiko" telah muncul dari definisi

    novasi sebelumnya (Panayides, 2006). Gounaris et al. (2003)

    mempertimbangkan gagasan risiko dalam tingkat kesulitan, ketidakpastian,

    dan ambiguitas yang berkaitan dengan inovasi. Fell et al. (2003) menyatakan

  • 22

    bahwa memperkenalkan produk baru (yaitu, inovasi) yang dibebani dengan

    risiko, terutama karena diperkirakan bahwa sampai sepertiga dari produk baru

    gagal di tahap peluncuran (Cooper dan Kleinschmidt, 1987). Midgley dan

    Dowling (1978) menyelaraskan gagasan "inovasi bawaan", yaitu, inovatif

    yang mendasari kepribadian sifat manusia, dengan risiko yang dirasakan dan

    kecenderungan untuk membuat keputusan berisiko. Cowart et al. (2007) juga

    menemukan bukti empiris untuk mendukung hubungan ini, menemukan

    inovasi yang mempengaruhi persepsi risiko yang dirasakan dan langsung

    mempengaruhi niat perilaku. Apa yang sangat penting dari Cowart et al.

    (2007) pekerjaan adalah penekanan pada "niat perilaku" dan bukan perilaku

    aktual, menyiratkan bahwa kecenderungan melekat terhadap risiko tidak

    selalu berarti bahwa adopsi inovasi berikutnya akan muncul, tetapi hanya

    meningkatkan kemungkinan adopsi tersebut. Memang, literatur menyebutkan

    berbagai jenis risiko, tergantung pada perspektif peneliti mengacu pada

    (yaitu, konsumen terhadap perusahaan). Dari perspektif konsumen, Daneels

    dan Kleinschmidt (2001) mempertimbangkan risiko yang dirasakan adopsi

    produk baru sebagai dimensi inovasi, yang disebut "adopsi resiko".

    Pada intinya, risiko adalah bagian penting dari inovasi di berbagai tingkat

    kepedulian dalam perusahaan. Penulis berpendapat bahwa kesediaan untuk

    terlibat dalam perilaku berisiko sangat penting sebagai inovasi.

    5. Capacity to innovate

    Avlonitis et al. (1994) berpendapat bahwa tidak cukup bahwa perusahaan

    hanya memiliki perilaku kemauan untuk berinovasi dan mengambil risiko

    (yaitu, kemauan dan komitmen), tetapi juga harus memiliki kemampuan

    teknologi yang dibutuhkan untuk mewujudkan keinginan ini. Hurley dan Hult

  • 23

    (1998: 44) melihat kapasitas perusahaan untuk berinovasi sebagai

    "kemampuan organisasi untuk mengadopsi atau menerapkan ide-ide baru,

    proses, atau produk "; diperlakukan sebagai "prekursor budaya" yang

    menyediakan "modal sosial" untuk memfasilitasi inovatif perilaku (Hurley et

    al., 2005). Demikian juga, Hult et al. (2004) merasionalisasi inovasi sebagai

    kapasitas perusahaan untuk memperkenalkan proses baru, produk, atau ide-

    ide dalam organisasi. Gebert et al. (2003: 42) mendefinisikan inovasi sebagai

    "kapasitas organisasi untuk meningkatkan produk yang sudah ada dan / atau

    proses dan kapasitas untuk memanfaatkan sumber daya kreativitas dari

    organisasi sampai kenyang". Selain itu, Tang (1998, 1999) percaya

    pengetahuan dan keterampilan membentuk dasar kompetensi untuk

    berinovasi, terdiri dari kedua kreativitas yang berhubungan dengan

    keterampilan dan pengetahuan yang berhubungan dengan domain-. Slater dan

    Narver (1994) melihat inovasi sebagai salah satu nilai inti-menciptakan

    kemampuan yang mendorong kinerja. Demikian pula, baik Markides (1998)

    dan Besanko et al. (1996) menganggap inovasi sebagai pengembangan

    strategi kompetitif baru yang menciptakan nilai bagi perusahaan.

    Penulis percaya bahwa kapasitas inovatif perusahaan yang terbaik

    dianggap sebagai kemampuan untuk berpotensi menghasilkan inovasi,

    bagaimanapun, ini dimensi dipengaruhi oleh struktur organisasi.

    2.1.4 Business Performance

    Konsep kinerja (Performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian

    hasil atau degree of accomplishtment (Rue dan byars, 1981 dalam Keban 1995). Hal

    ini berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana

  • 24

    organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan

    sebelumnya.

    Kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan

    dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama (Robbins dalam Rai,

    2008, p40). Di lain pihak, Ahuya menjelaskan bahwa performance is the way of job

    or task is done by an individual, a group of an organization (Rai, 20008, p40). Dari

    kedua definisi diatas, terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada 2 hal, yaitu proses

    dan hasil yang dicapai.

    Menurut Wirawan (2009, p5), kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh

    fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu

    tertentu.

    Kinerja atau Performance, merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap

    perusahaan karena kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam

    mengelolah dan mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya.

    Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama

    periode waktu tertentu, merupakan hasil yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional

    perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert dalam

    Rivai dan Sagala, 2009, p604).

    Mengingat bahwa alasan dari suatu organisasi itu adalah untuk mencapai tujuan

    tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka informasi tentang kinerja

    organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting.

    Informasi tentang kinerja organisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah

    proses kerja yang dilakukan organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang

    diharapkan atau belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang

  • 25

    justru kurang atau bahkan tidak jarang ada yang tidak mempunyai informasi tentang

    kinerja dalam organisasinya.

    Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau

    kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang

    jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif

    lebih efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-

    desain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas

    dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah

    kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi.

    Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan

    pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah

    organisasi privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang

    yang dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut

    mampu memproduksi barang untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi.

    Indikator yang masih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar efficiency

    pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar effectivity

    process yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut.

    Sementara itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerja

    organisasi privat/publik seperti : work lood/demain, economy, efficiency,

    effectiveness dan equity productivity.

    Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai. Bila

    dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk

    memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik, kelihatannya sederhana

    sekali ukuran kinerja organisasi publik, namun tidaklah demikian kenyataannya,

  • 26

    karena hingga kini belum ditemukan kesepakatan tentang ukuran kinerja organisasi

    publik.

    Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja organisasi

    publik ini dikemukakan oleh, “kesulitan dalam pengukuran kinerja organisasi

    pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik

    seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi

    publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang

    organisasi swasta. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki

    kepentingan yang berbenturan satu dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja

    organisasi publik dimata para stakeholders juga menjadi berbeda-beda”.

    Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja

    birokrasi publik yaitu sebagai berikut:

    a. Produktivitas

    Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga

    efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio

    antara input dengan output.

    b. Kualitas Layanan

    Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja

    organisasi publik.

    c. Responsivitas

    Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan

    masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan

    program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi

    masyarakat.

    d. Responsibilitas

  • 27

    Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik

    itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau

    sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit

    (Lenvine, 1990).

    e. Akuntabilitas

    Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan

    organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat,

    asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh

    rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.

    Kumorotomo (1995) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman

    dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antar lain adalah berikut ini:

    a. Efisiensi

    Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi

    pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi

    serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.

    b. Efektivitas

    Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut

    tercapai? Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi,

    tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.

    c. Keadilan

    Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang

    diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik.

    d. Daya Tanggap

    Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta,

    organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau

  • 28

    pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria

    organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan

    secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini

    Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses

    tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber

    tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari

    serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu

    organisasi.

    Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara

    anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.

    Sederhananya, kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu kegiatan

    kerjasama untuk mencapai tujuan yang pengelolaannya biasa disebut sebagai

    manajemen.

    Sebagai produk dari kegiatan organisasi dan manajemen, kinerja organisasi selain

    dipengaruhi oleh faktor-faktor input juga sangat dipengaruhi oleh proses-proses

    administrasi dan manajemen yang berlangsung. Sebagus apapun input yang tersedia

    tidak akan menghasilkan suatu produk kinerja yang diharapkan secara memuaskan,

    apabila dalam proses administrasi dan manajemennya tidak bisa berjalan dengan

    baik. Antara input dan proses mempunyai keterkaitan yang erat dan sangat

    menentukan dalam menghasilkan suatu output kinerja yang sesuai harapan atau

    tidak.

    Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa proses manajemen yang berlangsung

    tersebut, merupakan pelaksanaan dari fungsi-fungsi manajemen yaitu planning,

    organizing, actuating, dan controlling (POAC) atau lebih detailnya lagi adalah

  • 29

    planning, organizing, staffing, directing, coordinating, regulating, dan budgetting

    (POSDCoRB).

    Mengingat bahwa kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor input dan

    proses-proses manajemen dalam organisasi, maka upaya peningkatan kinerja

    organisasi juga terkait erat dengan peningkatan kualitas faktor input dan kualitas

    proses manajemen dalam organisasi tersebut.

    Analisis terhadap kondisi input dan proses-proses administrasi maupun

    manajemen dalam organisasi merupakan analisis kondisi internal organisasi. Selain

    kondisi internal tersebut kondisi-kondisi eksternal organisasi juga mempunyai peran

    yang besar dalam mempengaruhi kinerja organisasi. Penilaian terhadap faktor-faktor

    kondisi eksternal tersebut dapat dilakukan dalam analisis: (a) kecenderungan politik,

    ekonomi, sosial, teknologi, fisik, dan pendidikan; (b) peranan yang dimainkan oleh

    pihak-pihak yang dapat diajak bekerja sama (collaborators) dan pihak-pihak yang

    dapat menjadi kompetitor, seperti swasta, dan lembaga-lembaga lain; dan (c)

    dukungan pihak-pihak yang menjadi sumber resources seperti para pembayar pajak,

    asuransi, dan sebagainya (Bryson, 1995 dalam Keban, 2001).

    Berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja organisasi, maka pilihan mana yang

    akan dioptimalkan penanganannya, apakah pada sisi internal organisasi atau pada sisi

    eksternal organisasi, itu tergantung pada permasalahan yang dihadapi organisasi.

    2.1.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi

    Kinerja organisasi yang baik merupakan tujuan dari setiap organisasi/ perusahaan.

    Menurut Wirawan (2009, p7), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja

    organisasi dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • 30

    • Faktor Internal Karyawan

    Faktor internal karyawan, yaitu faktor-faktor dari dalam diri karyawan yang

    merupakan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor

    bawaan, misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik dan kejiwaan.

    Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh misalnya pengetahuan,

    keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja dan motivasi kerja. Setelah

    dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi dan lingkungan eksternal

    organisasi, faktor internal karyawan ini menentukan kinerja mereka.

    • Faktor Lingkungan Internal Organisasi

    Dalam melaksanakan tugasnya, karyawan memerlukan dukungan organisasi

    tempat mereka bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tinggi

    rendahnya kinerja karyawan.

    • Faktor Lingkungan Eksternal Organisasi

    Faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian, atau

    situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasiyang mempengruhi

    kinerja. Misalnya, krisi ekonomi, budaya masyarakat dan lain halnya.

  • 31

    2.2 Kerangka Pemikiran

    T6

    T2

    T1 T4 T5

    T3

    T7

    Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2012

    Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

    2.3 Hipotesis

    • H1 = Entrepreneurial Orientation memiliki hubungan terhadap Learning

    Orientation dalam dealer mobil

    • H2 = Learning orientation dan Entrepreneurial Orientation secara simultan

    memiliki pengaruh terhadap Innovativeness dalam dealer mobil

    • H3 = Learning Orientation memiliki pengaruh terhadap Innovativeness

    dalam dealer mobil

    • H4 = Entrepreneurial Orientation memiliki pengaruh terhadap

    Innovativeness dalam dealer mobil

    Learning Orientation

    • Commitment to Learning • Shared Vision • Open Mindedness • Intraorganizational

    Knowledge Sharing

    Entrepreneurial Orientation

    • Autonomy • Innovativeness • Risk Taking • Proactiveness • Competitive aggressiveness

    Innovativeness

    • Creativity • Openness to new ideas • Intention to innovate • Risk • Capacity to innovate

    Business Performance

    • Faktor Internal Karyawan • Faktor Internarl

    organisasi/perusahaan

    • Faktor lingkungan eksternal

  • 32

    • H5 = Learning Orientation, Entrepreneurial Orientation dan Innovativeness

    secara simultan memiliki pengaruh terhadap Business Performance dalam

    dealer mobil

    • H6 = Learning Orientation memiliki pengaruh terhadap Business

    Performance dalam dealer mobil

    • H7 = Entrepreneurial Orientation memiliki pengaruh terhadap Business

    Performance dalam dealer mobil

    • H8 = Innovativeness memiliki pengaruh terhadap Business Performance

    dalam dealer mobil

    2.4 Penelitian Terdahulu

    Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

    Judul Sumber Hasil Penelitian

    The Innovativeness Effect

    Of Market Orientation And

    Learning Orientation On

    Business Performance

    International Journal

    of Manpower Vol.

    29 No. 8, 2008.

    Lin, Peng, Kao

    (2008)

    Learning orientation

    positively correlates with

    innovativeness (Beta ¼

    0:65, t-value ¼ 5:23 (

    p,0.05)) and

    innovativeness positively

    correlates with business

    performance (Beta ¼ 0:33,

    t-value ¼ 4:91 ( p , 0.05))

    The Effect of

    Entrepreneurship

    International Journal

    of Trade, Economics

    • Entrepreneurship

    orientation has

  • 33

    Orientation on Learning

    Orientation and

    Innovation: A Study of

    Small-Sized Business

    Firms in Iran

    and Finance, Vol.1,

    No.3, October, 2010.

    Ali Reza Ma’atoofi

    and Kayhan

    Tajeddini (2010)

    significantly positive

    relationship with

    commitment to learning

    (β = 0.753; t = 10.237;

    p < 0.001),

    open-mindedness (β =

    0.818; t = 12.699; p <

    0.001) and

    shared vision (β =

    0.730; t = 9.552; p <

    0.001)

    • commitment to learning

    (β = 0.722; t = 9.321; p

    < 0.001),

    open-mindedness (β =

    0.817; t = 12.675; p <

    0.001) and

    shared vision (β =

    0.671; t = 8.093; p <

    0.001) are positively

    and significantly related

    to innovation

    Learning orientation, firm Industrial Marketing The coefficient on the path

  • 34

    innovation capability, and

    firm performance

    Management 31

    (2002) 515– 524.

    Roger J. Calantone,

    S.Tamer Cavusgila,

    Yushan Zhao (2002)

    from learning orientation

    to firm innovativeness is

    .49 (t = 5.28, P < .01).

    Sumber : Jurnal