BAB 2 2.1 Efektivitas Pengajaran Guru -...

24
7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas Pengajaran Guru 2.1.1 Guru 2.1.1.1 Definisi Guru Definisi yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” (Pasal 1 ayat (1) UURI No.14 thn.2005 tentang Guru dan Dosen) Dari beberapa definisi di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa guru adalah suatu jabatan profesional yang tugas utamanya mendidik para siswa agar memiliki ilmu dan pengetahuan. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 Pasal 8). 2.1.1.2 Peran Guru Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan karena selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik, guru juga dituntut memberikan pendidikan karakter dan menjadi contoh karakter yang baik bagi anak didiknya. Peran guru menurut Crow & Crow (dalam Willis, 2012: 86-89) mengungkapkan 5 peranan pokok seorang guru:

Transcript of BAB 2 2.1 Efektivitas Pengajaran Guru -...

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas Pengajaran Guru

2.1.1 Guru

2.1.1.1 Definisi Guru

Definisi yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa

guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang

memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani.

“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

(Pasal 1 ayat (1) UURI No.14 thn.2005 tentang Guru dan Dosen)

Dari beberapa definisi di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa

guru adalah suatu jabatan profesional yang tugas utamanya mendidik para

siswa agar memiliki ilmu dan pengetahuan. Guru wajib memiliki

kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan

rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan

nasional. (Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 Pasal 8).

2.1.1.2 Peran Guru

Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan karena selain

berperan mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik, guru juga

dituntut memberikan pendidikan karakter dan menjadi contoh karakter

yang baik bagi anak didiknya. Peran guru menurut Crow & Crow (dalam

Willis, 2012: 86-89) mengungkapkan 5 peranan pokok seorang guru:

8

a. Mengarahkan dan membimbing belajar siswanya. Dalam hal ini guru

mengusahakan gangguan-gangguan yang timbul di lingkungan siswa dapat

dihindarkan. Guru kemudian menciptakan suasana belajar yang kondusif,

mantap, dan bertujuan. Guru hendaknya menguasai mata pelajaran dan

metode mengajar yang sesuai dengan suasana, dan menciptakan kegiatan

belajar yang melibatkan seluruh kelas, dapat memotivasi siswa agar

mereka bisa dengan giat.

b. Guru dapat merangsang murid sehingga menerbitkan minat belajar

di kalangan siswa. Dengan timbulnya minat belajar, maka mereka

termotivasi untuk rajin belajar dan timbul semangat bersaing di antara

murid. Jika ada murid yang lemah dalam belajar harus diselidiki apakah

dia tidak mempunyai waktu untuk belajar di rumah, maka guru harus

membimbing mereka yang lemah agar bisa mengikuti teman-temannya

yang lain.

c. Membantu mengembangkan sikap-sikap yang positif pada murid-

murid, dan menghilangkan sikap-sikap yang negatif pada dirinya.

Pengembangan sikap-sikap positif bisa dilakukan guru dengan

memberikan pujian bila murid berhasil melakukan perbuatan positif

misalnya dapat menjawab soal dengan baik, dapat berkomunikasi dengan

bahasa yang baik dan sopan, dapat membantu teman yang kesulitan atau

mendapat musibah, dan sebagainya. Adapun sikap-sikap dan perilaku

negatif harus dihilangkan dengan mendiamkan jika dia salah, dan atau

menegurnya.

9

d. Memperbaiki cara-cara mengajar dengan mempelajari metodik dan

didaktik pengajaran. Di dalam mengajar tidak boleh guru melupakan

beberapa hal sebagai berikut:

1) Hubungan antara kematangan anak dengan belajarnya. Hal ini

menyangkut penyesuaian materi dan metode dengan anak.

2) Untuk murid yang telah dewasa, maka cerita guru hendaklah yang

berhubungan dengan pendekatan ilmiah, logis, dan sistematis.

3) Pendekatan psikologi, suatu pendekatan yang mempertimbangkan

aspek-aspek kejiwaan murid. Penyesuaian materi pelajaran dengan kondisi

kejiwaan dan usia murid karena hal ini amat berhubungan dengan kesiapan

murid dan mudah untuk mengikuti pelajaran. Di samping itu guru juga

harus mempertimbangkan latar belakang kehidupan murid masing-masing.

e. Guru hendaknya mengenal kualitas pribadinya (kekurangan dan

kelebihannya). Adanya guru-guru yang mengikuti sertifikasi tingkat S1 di

seluruh Indonesia adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pribadinya

baik dalam ilmu pengetahuan maupun kualitas pribadinya. Kualitas pribadi

guru tercakup dalam tiga hal:

1) Guru harus memiliki kecakapan yang tinggi.

2) Tajam matanya dalam memperhatikan situasi yang timbul.

3) Memiliki kemampuan dalam hubungan sosial yang baik.

2.1.2 Pengajaran yang Efektif

Willis (2012: 109-110) mengungkapkan asumsi dasar guru secara

sadar ataupun tidak berpandangan bahwa mengajar anak secara bersama-

sama, memperlakukan mereka sama secara keseluruhan. Sesungguhnya

guru harus beranggapan bahwa apapun yang diusahakannya dalam

10

kegiatan belajar mengajar di kelas mesti ada beberapa murid yang cepat

atau pintar belajarnya, sebagian besarnya sekitar dua pertiga adalah

sedang, sedang beberapa atau sepertiga sisanya ialah lambat dan mungkin

bodoh

Mengajar adalah hal yang kompleks dan siswa yang bervariasi

menyebabkan tidak ada cara tunggal untuk mengajar efektif untuk semua

hal (Diaz dalam Santrock, 2007). Guru yang efektif harus bisa menguasai

beragam perspektif dan strategi dan harus bisa mengaplikasikan secara

fleksibel (Santrock, 2007).

2.1.2.1 Strategi Pengajaran Guru

Perencanaan pengajaran melibatkan pengembangan strategi yang

sistematis dan terorganisasi untuk pelajaran. Guru harus memutuskan

materi dan cara pengajaran sebelum mereka melakukannya. Meskipun

beberapa momen pengajaran yang bagus muncul secara spontan, namun

pelajaran masih harus direncanakan dengan seksama. Menurut Darlin-

Hammond et al., (2005: 184) dalam Santrock (2011: 141- 142) harapan

terhadap perencanaan guru telah meningkat bersamaan dengan sosialisasi

standar pembelajaran negara yang menetapkan apa yang perlu diketahui

dan bisa dilakukan oleh siswa. Namun standar ini biasanya tidak

menyatakan apa yang seharusnya dilakukan guru di dalam kelas untuk

mencapai standar tersebut. Guru harus mencari cara untuk merencanakan

dan mengatur kurikulum mereka seputar dimensi penting yang

diimplementasikan oleh standar tersebut serta menciptakan “rangkaian dan

kumpulan aktivitas pembelajaran untuk siswa tertentu yang dibina oleh

mereka”. Guru perlu mengetahui hal yang seharusnya dilakukan para

11

siswa, kapan, dalam urutan seperti apa, dan bagaimana

mengimplementasikan gambar dari visi kurikuler mereka.

2.1.2.2 Aspek Pengajaran yang Efektif

Santrock (2011) menjelaskan karena kompleksitas mengajar dan

variasi individu di antara siswa, mengajar yang efektif tidak hanya “satu

ukuran cocok untuk semua”. Guru harus menguasai berbagai perspektif

dan strategi dan fleksibel dalam aplikasi. Berikut bahan-bahan kunci

keberhasilan: (1) Pengetahuan dan Keterampilan Profesional, dan (2)

Komitmen, Motivasi, dan Kepedulian.

1. Pengetahuan dan Keterampilan Profesional (Professional Knowledge

and Skills)

Guru-guru yang efektif memiliki perintah yang baik dari materi

subjek dan inti yang solid dari keterampilan mengajar. Mereka tahu

bagaimana menggunakan strategi pengajaran yang didukung oleh metode

penetapan sasaran, perencanaan instruksional dan pengelolaan kelas.

Selain itu, mereka memahami bagaimana untuk memotivasi siswa dan

bagaimana untuk berkomunikasi dan bekerja secara efektif dengan orang-

orang dari berbagai tingkat keahlian dan latar belakang budaya. guru-guru

yang efektif juga bekerja sesuai tingkat teknologi di kelas.

a. Penguasaan Materi Pelajaran (Subject-Matter Competence)

Bijaksana, fleksibel, dan memahami materi konsep sangat

diperlukan untuk menjadi guru yang efektif. Tentu saja, pengetahuan

tentang materi mencakup lebih dari sekedar fakta, istilah, dan

konsep-konsep umum. Ini juga mencakup pengetahuan tentang

pengorganisasian ide koneksi antara ide, cara berpikir dan berdebat,

12

pola perubahan dalam disiplin, keyakinan tentang disiplin, dan

kemampuan untuk membawa ide-ide dari satu disiplin ke disiplin

yang lain. Jelas, memiliki pemahaman yang mendalam mengenai

materi adalah aspek penting dari menjadi seorang guru yang

kompeten.

b. Strategi Pengajaran (Instructional Strategies)

Pengajaran yang efektif dimulai jauh sebelum siswa memasuki ruang

kelas. Guru yang baik melakukan perencanaan terlebih dahulu.

Mereka mengidentifikasikan pengetahuan dan keterampilan yang

mereka inginkan untuk dikuasai para siswa, menentukan urutan yang

tepat untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tersebut,

serta mengembangkan pelajaran dan aktivitas kelas yang akan

memaksimalkan pembelajaran dan menjaga siswa tetap termotivasi

dan fokus pada tugas.

c. Keterampilan Berpikir (Thinking Skills)

Berpikir kritis melibatkan pemikiran reflektif dan produktif dan

mengevaluasi bukti. Mendapatkan siswa untuk berpikir kritis itu

tidak mudah, banyak siswa mengembangkan kebiasaan pasif dari

belajar materi dan menghafal konsep daripada berpikir secara

mendalam dan merenung. Berpikir kritis juga berarti menjadi

berpikiran terbuka dan ingin tahu di satu sisi, namun berhati-hati

untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran di sisi lain.

13

d. Penetapan Tujuan dan Keahlian Perencanaan Instruksional (Goal

Setting and Instructional Planning)

Guru menetapkan tujuan yang tinggi untuk mengajar siswa dan

mengatur rencana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Mereka

juga mengembangkan kriteria khusus untuk sukses. Mereka

menghabiskan waktu yang cukup lama dalam perencanaan

instruksional, mengorganisir pembelajaran untuk memaksimalkan

belajar siswa. Seperti yang mereka rencanakan, guru yang efektif

mencerminkan dan berpikir tentang bagaimana mereka dapat

membuat pembelajaran menantang dan menarik. Perencanaan yang

baik memerlukan pertimbangan dari jenis-jenis informasi,

demonstrasi, model, diskusi, dan praktek siswa untuk memahami

konsep-konsep dan mengembangkan keterampilan tertentu.

e. Praktik Mengajar yang Sesuai Perkembangan (Developmentally

Appropriate Teaching Practices)

Guru yang kompeten memiliki sebuah pemahaman yang baik

tentang perkembangan anak dan tahu cara membuat bahan

pengajaran yang sesuai untuk tingkat perkembangan mereka.

Memahami perkembangan jalur dan progress, sangat penting untuk

mengajar dengan cara yang optimal bagi setiap anak.

f. Keterampilan Manajemen Kelas (Classroom Management Skills)

Aspek penting dari menjadi seorang guru yang efektif adalah

menjaga kelas yang bekerja bersama-sama secara keseluruhan dan

berorientasi terhadap tugas-tugas kelas. Guru yang efektif

membangun dan memelihara lingkungan di mana pembelajaran

14

dapat terjadi. Untuk menciptakan lingkungan belajar yang optimal

ini, guru perlu sebuah strategi untuk membangun peraturan dan

prosedur, mengorganisir kelompok, pemantauan dan mondar-mandir

dalam kegiatan kelas, dan penanganan kenakalan.

g. Keterampilan Memotivasi (Motivational Skills)

Guru yang efektif memiliki strategi yang baik untuk membantu

siswa dapat memotivasi diri dan bertanggung jawab untuk

pembelajaran mereka. Siswa termotivasi ketika mereka dapat

membuat pilihan yang sesuai dengan keinginan pribadi mereka.

Guru yang efektif memberi mereka kesempatan untuk berpikir

kreatif dan mendalam tentang proyek-proyek. Selain membimbing

siswa untuk dapat memotivasi diri, guru perlu menetapkan harapan

yang tinggi untuk prestasi siswa. Setelah membuat harapan yang

tinggi, kunci aspek dari pendidikan adalah untuk memberikan anak-

anak instruksi dan dukungan yang efektif untuk memenuhi harapan

ini.

h. Keterampilan Berkomunikasi (Communication Skills)

Juga sangat diperlukan untuk mengajar adalah keterampilan

berbicara, mendengarkan, mengatasi hambatan komunikasi verbal,

dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. Keterampilan

komunikasi sangat penting tidak hanya dalam mengajar tetapi juga

dalam berinteraksi dengan orang tua. Guru yang efektif

menggunakan keterampilan komunikasi yang baik ketika mereka

berbicara 'dengan' daripada 'ke' siswa, orang tua, administrator dan

lain-lain, kritik yang minimal, dan memiliki gaya komunikasi yang

15

tegas daripada agresif, manipulatif, atau pasif. Guru yang efektif

juga bekerja untuk meningkatkan komunikasi siswa. Keterampilan

komunikasi siswa sangat penting karena mereka telah dinilai sebagai

keterampilan yang paling dicari sekarang ini.

i. Lebih dari Sekedar Mengajar ke Beragam Individu (Paying More

Than Lip Service to Individual Variations)

Hampir setiap guru tahu seberapa penting penggunaan variasi

mengajar ke masing-masing individu, tetapi hal ini tidak selalu

mudah dilakukan. Siswa memiliki berbagai tingkat kecerdasan, pola

berpikir dan gaya belajar yang berbeda, dan memiliki temperamen

yang berbeda dan beragam kepribadian (Martinez, 2010 dalam

Santrock). Guru memiliki beberapa siswa yang yang berbakat dan

siswa lain dengan kekurangan dalam berbagai hal (Darragh,

2010;Friend, 2011 dalam Santrock).

Mengajar kelas dengan beragam karakteristik siswa membutuhkan

banyak usaha dan pikiran. Perbedaan instruksi merupakan tantangan

guru untuk mengenali variasi pengetahuan, kesiapan, minat, dan

karakteristik lain siswa, kemudian perbedaan-perbedaan ini

diperhitungkan dalam perencanaan kurikulum dan keterlibatan

instruksi. Dengan demikian, perbedaan instruksi bertujuan untuk

menyesuaikan tugas untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan

siswa.

16

j. Bekerja secara Efektif dengan Siswa dari Beragam Latar Belakang

Budaya (Working Effectively with Student from Culturally Diverse

Backgrounds)

Guru efektif harus memiliki pengetahuan tentang orang-orang dari

berbagai latar belakang budaya dan peka terhadap kebutuhan

mereka. Mereka harus mendorong siswa untuk memiliki kontak

pribadi yang positif dengan siswa lain dari latar belakang berbeda

dan memikirkan cara-cara untuk membuat pengaturan di mana

interaksi seperti itu dapat terjadi. Guru efektif akan membimbing

siswa dalam berpikir kritis tentang isu-isu budaya dan etnis saat

mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi bias dan

mengembangkan penerimaan. Guru sebagai mediator antar siswa

atau, apabila diperlukan, antara budaya sekolah dan budaya siswa,

terutama mereka yang gagal secara akademis.

k. Penilaian Pengetahuan dan Keterampilan (Assessment Knowledge

and Skills)

Guru yang berkompeten memiliki pengetahuan dan keterampilan

penilaian yang baik. Guru harus memutuskan tipe penilaian apa yang

akan digunakan untuk mendokumentasikan kinerja siswa setelah

pembelajaran. Sebagai contoh, sebelum mengajar satu unit di

lempeng tektonik, Guru dapat memutuskan untuk menilai apakah

siswa sudah familiar dengan istilah-istilah seperti benua, gempa

bumi dan gunung berapi.

Selama pembelajaran, guru mungkin menggunakan pengamatan

berkelanjutan dan pemantauan untuk menentukan apakah instruksi

17

sudah pada tingkat yang dapat menantang siswa dan mendeteksi

mana siswa yang membutuhkan perhatian. Guru perlu menilai siswa

untuk memberikan tanggapan mengenai prestasi siswa.

l. Keterampilan Teknologi (Technological Skills)

Teknologi itu sendiri tidak selalu meningkatkan kemampuan siswa

untuk belajar, tetapi dapat mendukung pembelajaran. Kondisi yang

mendukung penggunaan teknologi secara efektif dalam pendidikan

yaitu termasuk visi dan dukungan dari para pemimpin pendidikan,

guru yang terampil dalam menggunakan teknologi untuk belajar,

standar isi dan sumber daya kurikulum, penilaian terhadap

efektivitas teknologi untuk belajar, dan penekanan pada anak sebagai

peserta aktif, dan pembelajar yang konstruktif.

Ada kesenjangan yang mendalam antara pengetahuan dan

keterampilan teknologi yang siswa dapat di sekolah dan yang

mereka butuhkan di tempat kerja. Siswa akan mendapatkan

keuntungan dari guru yang meningkatkan wawasan dan

keterampilan mengenai teknologi, dan mengintegrasikan komputer

pada pembelajaran di dalam kelas. Integrasi ini harus cocok dengan

kebutuhan belajar siswa, termasuk kebutuhan untuk mempersiapkan

untuk pekerjaan masa depan, karena banyak di antaranya

memerlukan keahlian teknologi dan keterampilan berbasis komputer.

Selain itu, guru yang efektif mengetahui tentang berbagai alat bantu

untuk mendukung pembelajaran siswa penyandang cacat.

18

2. Komitmen, Motivasi, dan Kepedulian (Commitment, Motivation, and

Caring)

Menjadi guru yang efektif juga memerlukan komitmen dan motivasi.

Aspek ini mencakup sikap yang baik dan perhatian terhadap murid. Guru

sering merasa membutuhkan investasi waktu dan usaha yang besar untuk

menjadi guru yang efektif. Beberapa guru, bahkan mengatakan bahwa

mereka 'tidak ada memiliki kehidupan' dari September hingga Juni.

Bahkan menambahkan jam pada malam hari dan akhir pekan, selain yang

dihabiskan di dalam kelas, masih tidak cukup untuk melakukan semuanya.

Guru yang efektif memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuan

mereka dan tidak akan membiarkan emosi negatif mengurangi motivasi

mereka, dan membawa sikap positif dan semangat ke dalam kelas. Sifat ini

mudah menular dan membantu membuat ruang kelas nyaman bagi siswa.

2.1.2.3 Penyebab Kegagalan

Banyak para guru yang tidak pernah belajar metodik dan tidak

mengajar, sehingga mengecewakan siswa yang di didik. Penyebabnya

adalah (Willis, 2012: 84-85):

a. Para siswa seperti dipompakan materi pelajaran sehingga membuat

murid-murid bosan dan malas belajar, karena pelajaran tidak menarik.

b. Guru-guru tidak membuat persiapan mengajar, sehingga mereka

tidak mengetahui batasan-batasan pelajaran dan metode apa yang sesuai

dengan materi yang diajarkan.

c. Guru tidak dapat mengajar dengan metode yang bervariasi, kecuali

hanya satu metode yaitu metode ceramah. Karena itu sangat membosankan

para murid, terutama di siang hari.

19

d. Guru tidak memahami psikologi anak dan remaja. Dia mengajar

tanpa memperhatikan murid-muridnya, apa ada yang mengantuk, sakit,

melamun, dan sebagainya. Karena tidak memperhatikan muridnya, maka

murid pun tidak pula memperhatikannya.

2.2 Self-Efficacy (Efikasi Diri)

2.2.1 Definisi Self-Efficacy

Self-Efficacy adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri

untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Menurut

Bandura (1997, dalam Ormrod 2008: 20-21) orang lebih mungkin terlibat

dalam perilaku tertentu ketika mereka yakin bahwa mereka akan mampu

menjalankan perilaku tersebut dengan sukses, yaitu ketika mereka memiliki

self-efficacy yang tinggi. Self-efficacy adalah suatu komponen dari keseluruhan

perasaan diri seseorang. Ini mungkin mirip dengan konsep lain seperti konsep

diri (self-concept) dan harga diri (self-esteem), tapi sifat-sifat yang penting

membedakannya dari kedua konsep tersebut (Bong & Skaalvik, 2003; Pajares

& Schunk, 2002; Pietsch, Walker, & Chapman, 2003 dalam Ormrod 2008).

Ketika psikolog berbicara tentang self-concept dan self-esteem, mereka

biasanya menjelaskan gambaran diri yang bersifat umum yang meliputi banyak

aktivitas (mis., “Apakah aku siswa yang baik?”) dan bisa mencakup perasaan-

perasaan dan juga kepercayaan-kepercayaan (mis., “Seberapa banggakah aku

terhadap performaku di kelas?”). Sebaliknya, self-efficacy lebih spesifik pada

tugas atau situasi dan hanya melibatkan penilaian (bukan perasaan) (mis.,

“Dapatkah aku menguasai soal pembagian yang panjang?”).

Menurut Santrock (2011: 216) self-efficacy adalah sebuah faktor yang

sangat penting dalam menentukan apakah siswa berprestasi atau tidak. Self-

20

Efficacy mempunyai banyak kemiripan dengan motivasi kemampuan

menguasai sesuatu dan motivasi intrinsik. Self-Efficacy adalah keyakinan

bahwa “Saya dapat”; keputusasaan adalah keyakinan bahwa “Saya tidak dapat”

(Maddux, 2002; Lodewyk & Winne, 2005; Stipek, 2002 dalam Santrock 2011).

Siswa dengan efikasi diri tinggi setuju dengan pernyataan seperti “Saya tahu

bahwa saya akan mampu mempelajari materi dalam kelas ini” dan “Saya rasa

saya mampu melakukan aktivitas ini dengan baik.”. Dalam Al-Harthy (2011:

3), Bandura (1977) mendefinisikan self-efficacy sebagai penilaian pribadi

seseorang atas kemampuan seseorang untuk mengorganisir dan melakukan

tindakan untuk mencapai tujuannya.

2.2.2 Pengaruh Self-Efficacy di Kelas

Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi, yang percaya bahwa mereka

dapat menguasai tugas-tugas dan meregulasi cara belajar mereka sendiri adalah

yang paling mungkin mencapai prestasi baik di sekolah. Self-efficacy siswa

dapat meramalkan nilai yang mereka inginkan dan dapatkan. Menurut

Zimmerman et al., (1992) dalam Papalia (2009: 49), tujuan siswa dipengaruhi

oleh tujuan orang tua mereka untuk mereka, tetapi kepercayaan diri mereka

sendiri tentang kemampuan mereka lebih berpengaruh. Peran orang yang lebih

tua disini apabila menginginkan siswa berhasil di sekolah, mereka harus

memastikan bahwa siswa memiliki pengalaman belajar yang membangun

keyakinan diri tentang kemampuan mereka untuk mencapai keberhasilan.

Dalam Ormrod (2008: 21-23) Bandura (1982, 2000) serta Schunk &

Pajares (2004) berpendapat perasaan self-efficacy siswa mempengaruhi pilihan

aktivitas mereka, tujuan mereka, dan usaha serta persistensi mereka dalam

21

aktivitas-aktivitas kelas. Dengan demikian self-efficacy pun mempengaruhi

pembelajaran dan prestasi mereka.

1) Pilihan Aktivitas

Siswa cenderung memilih tugas dan aktivitas yang mereka yakin akan

berhasil dan menghindari aktivitas yang mereka yakin akan gagal.

2) Tujuan

Siswa akan menetapkan tujuan yang lebih tinggi bagi diri mereka sendiri

ketika mereka memiliki self-esteem yang tinggi dalam bidang tertentu

3) Usaha dan Persistensi

Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi akan mengerahkan segenap

tenaga mencoba suatu tugas baru. Mereka juga lebih gigih dan tidak

mudah menyerah.

4) Pembelajaran dan Prestasi

Ketika beberapa individu memiliki kemampuan yang sama, mereka yang

yakin dapat melakukan suatu tugas lebih mungkin menyelesaikan tugas

tersebut secara sukses daripada mereka yang tidak yakin mampu mencapai

keberhasilan. Siswa dengan self-efficacy yang tinggi bisa mencapai

tingkatan yang luar biasa sebagian karena mereka terlibat dalam proses-

proses kognitif yang meningkatkan pembelajaran, menaruh perhatian,

mengorganisasi, mengelaborasi, dan seterusnya (Bong & Skaalvik, 2003;

Pintrich dan Schunk, 2002).

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy

Ormrod (2008: 23-27) berpendapat ada beberapa faktor yang

mempengaruhi perkembangan self-efficacy, diantaranya keberhasilan dan

22

kegagalan pembelajar sebelumnya, pesan yang disampaikan orang lain,

keberhasilan dan kegagalan orang lain, dan keberhasilan dan kegagalan dalam

kelompok yang lebih besar.

1) Keberhasilan dan Kegagalan Pembelajar Sebelumnya

Pembelajar lebih mungkin untuk yakin bahwa mereka dapat berhasil pada

suatu tugas ketika mereka telah berhasil pada tugas tersebut atau tugas lain

yang mirip di masa lalu (Bandura, 1986; Valentine, Cooper, Bettencourt,

& DuBois, 2002) dalam Ormrod (2008).

2) Pesan dari Orang Lain

Self-efficacy siswa dapat ditingkatkan dengan memberi mereka alasan-

alasan untuk percaya bahwa mereka dapat sukses di masa depan (mis.,

Zeldin & Pajares, 2000). Terkadang pesan yang kita berikan bersifat

tersirat alih-alih dinyatakan secara langsung, namun tetap dapat memiliki

dampak yang sama pada self-efficacy. Bahkan umpan balik negatif dapat

meningkatkan performa apabila umpan balik itu memberitahu siswa

bagaimana mereka dapat memperbaiki performanya sekaligus

mengkomunikasikan keyakinan bahwa perbaikan itu mungkin (Deci &

Ryan, 1985; Parsons, Kaczala, & Meece, 1982; Pintrich & Schunk, 2002).

3) Kesuksesan dan Kegagalan Orang Lain

Siswa sering mempertimbangkan kesuksesan dan kegagalan teman-teman

kelasnya, terutama yang kemampuannya setara, ketika menilai peluang

sukses mereka sendiri. Ketika siswa melihat teman-teman yang

kemampuannya setara dengannya sukses, mereka lalu memiliki alasan

untuk optimis akan kesuksesan mereka sendiri. Jika mereka melihat

teman-teman sebaya gagal, mereka akan jauh kurang optimis.

23

4) Kesuksesan dan Kegagalan dalam Kelompok yang Lebih Besar

Kolaborasi dengan teman-teman sebaya memiliki manfaat potensial lain:

pembelajar mungkin memiliki self-efficacy yang lebih besar ketika mereka

bekerja dalam kelompok sendiri. Self-efficacy kolektif semacam ini

tergantung tidak hanya pada persepsi siswa akan kapabilitasnya sendiri

dan orang lain, melainkan juga pada persepsi mereka mengenai bagaimana

mereka dapat bekerja bersama secara efektif dan mengkoordinasi peran

dan tanggung jawab mereka (Bandura, 1997, 2000) dalam Ormrod (2008).

2.2.4 Dimensi dalam Self-Efficacy

Keyakinan akan keberhasilan bervariasi pada beberapa dimensi yang

memiliki implikasi kinerja yang penting. Bandura membedakan self-efficacy

kedalam tiga dimensi yaitu, level, generality, dan strength (Bandura, 1997: 42).

1) Level

Dimensi ini mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu

akan mampu mengatasinya. Tingkat self-efficacy seseorang berbeda satu sama

lain. Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan

menentukan self-efficacy. Pada suatu tugas atau aktivitas, jika tidak terdapat

suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan sangat

mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai self-efficacy yang tinggi

pada permasalahan ini. Sebagai contoh, Bandura (1997: 43) menjelaskan

keyakinan akan kemampuan meloncat pada seorang atlit. Seorang atlit menilai

kekuatan dari keyakinannya bahwa dia mampu melampaui kayu penghalang

pada ketinggian yang berbeda. Seseorang dapat memperbaiki atau

meningkatkan self-efficacy dengan mencari kondisi yang mana dapat

menambahkan tantangan dan kesulitan yang lebih tinggi levelnya.

24

2) Strength

Dimensi ini terkait dengan kekuatan dari self-efficacy seseorang ketika

berhadapan dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahan. Self-efficacy yang

lemah dapat dengan mudah ditiadakan dengan pengalaman yang

menggelisahkan ketika menghadapi sebuah tugas. Sebaliknya orang yang

memiliki keyakinan yang kuat akan tekun pada usahanya meskipun pada

tantangan dan rintangan yang tak terhingga. Dia tidak mudah dilanda

kemalangan. Dimensi ini mencakup pada derajat kemantapan individu terhadap

keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan.

3) Generality

Dimensi ini mengacu pada variasi situasi dimana penilaian tentang self-

efficacy dapat diterapkan. Seseorang dapat menilai dirinya memiliki self-

efficacy pada banyak aktifitas atau pada aktivitas tertentu saja. Dengan semakin

banyak self-efficacy yang dapat diterapkan pada berbagai kondisi, maka

semakin tinggi self efficacy seseorang.

2.2.5 Strategi Meningkatkan Self-Efficacy Siswa

Menurut Stipek (1996; 2002) berikut adalah beberapa strategi yang bagus

untuk meningkatkan self-efficacy siswa (dalam Santrock, 2011: 217)

a. Ajarkan strategi-strategi spesifik, seperti menguraikan dan merangkum

yang dapat meningkatkan kemampuan mereka fokus dalam tugas.

b. Bimbinglah siswa dalam menetapkan tujuan jangka pendek setelah mereka

membuat tujuan jangka panjang. Terutama membantu siswa menilai kemajuan

mereka.

c. Pertimbangkan kemampuan menguasai dengan memberikan penghargaan

yang berkaitan dengan kinerja pada siswa.

25

d. Kombinasikan pelatihan strategi dengan tujuan. Menurut Schunk et al.,

(2001; 1989; 1993) kombinasi dari pelatihan strategi dan penetapan tujuan

dapat meningkatkan efikasi diri serta perkembangan keterampilan siswa.

Umpan balik pada siswa mengenai strategi pembelajaran yang berhubungan

dengan kinerja mereka.

e. Berikan dukungan kepada siswa. Dukungan positif hanya perlu

mengatakan pada siswa, “Kamu dapat melakukannya.”

f. Pastikan bahwa siswa tidak terlalu emosional dan gelisah. Ketika siswa

terlalu khawatir dan merasa menderita mengenai prestasi, efikasi diri mereka

akan hilang.

g. Berikan siswa model dewasa dan teman sebaya yang positif. Menyuruh

setiap siswa bekerja pada sejumlah aspek dari suatu tugas dan kemudian

meminta siswa tersebut menjelaskan bagian mereka pada anggota kelompok

lain setelah mereka menguasainya (Zimmerman & Schunk,2001). Sehingga

mengajarkan keterampilan dan meningkatkan efikasi diri orang lain.

2.3 Persepsi Siswa SMA

2.3.1 Definisi Siswa SMA

Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah individu yang sedang

menjalani pendidikan di sekolah menengah atas. Apabila dilihat dari usia,

siswa SMA berada pada rentang usia 14 tahun – 19 tahun, melihat rentang usia

tersebut maka siswa SMA identik dengan remaja, maka penjelasan tentang

siswa SMA sama dengan penjelasan tentang remaja.

2.3.2 Proses Perkembangan Kognitif Siswa SMA

Menurut Piaget (dalam Papalia et al., 2009: 35), remaja memasuki tingkat

perkembangan kognitif tertinggi, saat mereka mengembangkan kapasitas untuk

26

berpikir secara abstrak. Remaja tidak lagi dibatasi oleh cara berpikir yang ada

saat ini, sehingga mereka dapat memahami waktu dan ruang dalam konteks

masa lalu. Mereka dapat menggunakan simbol untuk mewakili sesuatu

(misalnya huruf X untuk mewakili angka yang tidak diketahui) sehingga dapat

mempelajari aljabar dan kalkulus.

Penelitian Eccles et al., (2003) mengenai pemrosesan informasi telah

mengidentifikasi dua kategori besar dalam perubahan yang dapat diukur pada

kognisi remaja: perubahan struktural dan perubahan fungsional:

Perubahan struktural

Pada remaja meliputi (1) perubahan dalam kapasitas pemrosesan informasi dan

(2) meningkatnya jumlah pengetahuan yang disimpan dalam ingatan jangka

panjang. Perluasan ingatan kerja dapat membuat remaja yang lebih tua untuk

mengatasi masalah kompleks dan pengambilan keputusan yang melibatkan

beberapa bagian informasi.

Perubahan fungsional

Proses mendapatkan, mengelola, dan menyimpan informasi adalah aspek

fungsional dari kognisi. Di antaranya adalah belajar, mengingat, menalar, dan

mengambil keputusan (Papalia et al., 2009: 40-41).

2.3.3 Persepsi Siswa

Persepsi merupakan aspek mendasar dalam kehidupan manusia. Persepsi

adalah suatu sensasi atau stimulus yang diterima oleh otak kemudian

diorganisasikan dan diinterpretasi. Pesan dari reseptor sensoris yang

dihantarkan ke otak memiliki makna sendiri kemudian diatur dan ditafsirkan

dalam proses yang kita sebut persepsi. Proses ini terjadi sama pada setiap

27

orang, namun beberapa aspek dalam persepsi berbeda terkait dengan budaya

masing-masing (Lahey, 2007).

Sedangkan siswa SMA adalah remaja yang sedang berkembang yang

membutuhkan bimbingan dan pengarahan orang lain, yaitu guru, bimbingan

tersebut dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal yaitu sekolah. Sehingga

pengertian persepsi siswa adalah tanggapan atau penerimaan siswa dalam

mengenal dunia luar dapat berupa objek, kualitas, peristiwa dan didahului

dengan penginderaan kemudian tanggapan indera tersebut diteruskan ke otak.

Terjadi proses psikologis, sehingga siswa mengerti dan memahami apa yang

diinderakan.

Menurut Church, Elliot dan Gable (2001) dalam Suprayogi (2010: 267),

persepsi yang positif terhadap pengajaran akan membuat siswa merasakan

kesenangannya dalam belajar, mendorong mereka untuk mempelajari materi

lebih mendalam, dan pada akhirnya dapat membuat siswa lebih terlibat dalam

proses belajar mengajar.

2.3.4 Pendidikan bagi Siswa SMA

Remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke

masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan

psikososial. Saat ini persiapan menuju kedewasaan membutuhkan waktu lebih

panjang dan tidak memiliki batasan yang jelas (Papalia et al., 2009: 8).

Sekolah adalah pengalaman utama organisasi di kebanyakan hidup remaja.

Sekolah menawarkan kesempatan untuk mempelajari informasi, menguasai

keterampilan baru, dan mempertajam keterampilan lama; untuk mengambil

bagian dalam olahraga, kesenian, dan aktivitas lain; untuk menjelajahi pilihan

karier; dan untuk berteman. Sekolah memperluas wawasan intelektual dan

28

sosial. Bagi sebagian remaja, pengalaman bersekolah bukanlah kesempatan,

tetapi merupakan satu lagi halangan dalam perjalanan menuju kedewasaan

(Papalia et al., 2009: 48).

Kebutuhan belajar menyebabkan umat manusia menjadi unggul di dunia

ini, dengan belajar maka berbagai ilmu dan teknologi dapat diraih manusia.

Pada zaman yang sudah maju ini belajar adalah suatu kebutuhan untuk hidup.

Barang siapa pendidikannya tinggi maka ia akan dapat jabatan tinggi dengan

upah lumayan, sedang manusia yang berpendidikan rendah maka pekerjaan

kasar telah menantinya. (Willis, 2012: 69)

Willis (2012: 75-76) juga mengungkapkan tujuan pendidikan adalah untuk

memanusiakan anak. Upaya pendidikan yang bersistem, terarah, dan

bertanggung jawab seperti itu dinamakan sekolah. Belajar pada anak di

sekolah terjadi terjadi manakala ada seorang guru yang mengajar sehingga

terjadi beberapa hal:

a. Proses belajar mengajar. Artinya guru mengajar dan murid belajar, yang

menghasilkan penambahan ilmu, keterampilan, dan sikap yang baik pada

anak

b. Interaksi hubungan belajar dan mengajar. Interaksi ini dimulai oleh guru

dan murid merespon dengan memperhatikan keterangan guru. Makin

banyak respon murid makin baik proses belajar dan mengajar.

c. Maka ada istilah CBSA artinya “cara belajar siswa aktif”, dimana guru

harus bisa membuat siswa belajar lebih aktif atas sentuhan guru

d. Alat peraga. Suatu alat bantu bagi guru untuk mengajar siswa disebut alat

peraga. Alat peraga ini dapat menjelaskan keterangan guru, lebih mantap

dan mudah dimengerti siswa.

29

2.3.4.1 Bidang Studi Fisika bagi Siswa

Mata pelajaran Fisika menuntut intelektualitas yang relatif tinggi.

Keterampilan berpikir sangat diperlukan ketika mempelajari Fisika, di

samping keterampilan berhitung, memanipulasi dan observasi, serta

keterampilan merespon suatu masalah secara kritis (Mundilarto, 2002: 3-

5). Sifat mata pelajaran Fisika salah satunya adalah bersyarat, artinya

setiap konsep baru ada kalanya menuntut prasyarat pemahaman atas

konsep sebelumnya. Oleh karena itu bila terjadi kesulitan belajar pada

salah satu pokok bahasan akan terbawa ke pokok bahasan berikutnya, atau

bila terjadi miskonsepsi akan terbawa sampai jenjang pendidikan

berikutnya.

Fisika banyak menuntut intelektualitas yang cukup tinggi sehingga

sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam mempelajarinya.

Ini dikarenakan oleh rumus-rumus yang banyak dan juga diperlukan

gambar-gambar yang sesuai dengan materi yang diajarkan maka untuk itu

dibutuhkan suatu sistem pembelajaran untuk mempermudah siswa dalam

mempelajari suatu pelajaran dengan cepat dan menarik. Sampai saat ini

masih banyak ditemukan kesulitan - kesulitan yang dialami siswa di dalam

mempelajari Fisika. Namun tingkat kesulitan terhadap Fisika meningkat

ketika siswa mencapai jenjang SMA. Ini dikarenakan dalam Fisika SMA,

siswa dituntut untuk berlogika lebih tinggi. Sehingga siswa SMA pada

umumnya menganggap bahwa pelajaran Fisika merupakan pelajaran yang

sulit untuk dipahami.

30

2.4 Kerangka Berpikir

Penelitian ini mengembangkan sebuah kerangka berpikir berdasarkan

fenomena banyaknya siswa bermasalah dalam kegiatan belajar mengajar fisika di

dalam kelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan

antara persepsi siswa terhadap efektivitas mengajar guru fisika dan self-efficacy

belajar siswa kelas X SMA Negeri 6 Jakarta. Berikut ini merupakan kerangkan

berpikir yang digunakan dalam penelitian:

Subjek Penelitian

Siswa siswi kelas X SMA Negeri 6 Jakarta

Fenomena

Pengajaran fisika yang masih menggunakan metode konvensional yang

melibatkan aktif pada satu pihak yaitu guru, sedangkan siswa umumnya

pasif dalam menerima materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Jika

guru melontarkan pertanyaan kepada siswa, hanya beberapa siswa yang

berani dan mau menjawab. Mereka sering mendapatkan masalah untuk tidak

mengerjakan tugas, atau berkelakuan buruk.

Variabel 1

Efektivitas Mengajar Guru

Variabel 2

Self-Efficacy

Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap efektivitas mengajar

guru fisika dengan self-efficacy belajar siswa di kelas pada siswa kelas X

SMA Negeri 6 Jakarta?