KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI ... · KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI...

60
KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) Oleh : Dedeh Murniasih F 34104063 2009 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Transcript of KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK BIJI ... · KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL DARI...

KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL

DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)

Oleh :

Dedeh Murniasih

F 34104063

2009

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

DEDEH MURNIASIH. F34104063. Kajian Proses Produksi Biodiesel dari

Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Dibawah Bimbingan

Erliza Noor dan Sudradjat. 2009.

RINGKASAN

Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara nasional mengalami

peningkatan. Tahun 2004 mencapai 26,9 milyar liter, tahun 2010 diperkirakan

mencapai 34,71 milyar liter. Peningkatan laju konsumsi BBM tidak sejalan

dengan produksi minyak bumi di dalam negeri yang semakin menurun, sehingga

perlu diambil langkah-langkah untuk mendapatkan sumber energi alternatif.

Indonesia mempunyai sumber energi terbarukan yang melimpah, diantaranya

kelapa sawit, jarak dan nyamplung.

Penggunaan jarak terkendala produksi yang rendah, minyak yang dihasilkan

hanya 1.892 liter/ha/tahun. Sedangkan minyak sawit mencapai 5.950

liter/ha/tahun, tetapi berkompetisi dengan pangan dan oleokimia lain.

Permasalahan tersebut memacu pencarian bahan alternatif lain salah satunya

nyamplung. Nyamplung dapat menghasilkan 100 kg biji/pohon/tahun dan 4.585

kg minyak biji nyamplung/ha/tahun. Kendala penggunaan minyak nyamplung

yaitu bilangan asam dan viskositas yang cukup tinggi serta masa berbuah yang

relatif lama yaitu setelah berumur 7 atau 8 tahun. Bilangan asam minyak

nyamplung yang tinggi harus diturunkan agar biodiesel yang dihasilkan

memenuhi standar mutu SNI maupun ASTM.

Penelitian ini dilakukan dengan mengkombinasikan proses produksi

biodiesel yaitu metode esterifikasi-transesterifikasi (E1T), esterifikasi- esterifikasi-

transesterifikasi (E1E2T), esterifikasi-netralisasi-transesterifikasi (E1NT) dan

esterifikasi-transesterifikasi-netralisasi (E1TN). Tujuan penelitian ini adalah untuk

mendapatkan rasio molar metanol dengan asam lemak bebas dan waktu reaksi

esterifikasi terbaik untuk memperoleh bilangan asam terendah, dan mendapatkan

tahapan proses produksi biodiesel yang menghasilkan kualitas biodiesel (bilangan

asam, viskositas, densitas serta kadar air) terbaik. Bilangan asam terendah yang

dihasilkan pada proses esterifikasi dengan perlakuan rasio molar metanol 20:1

selama 60 menit yaitu 2,97 mg KOH/g minyak. Perlakuan terbaik yang dipilih

dalam penelitian ini berdasarkan kualitas biodiesel yang memenuhi standar SNI

(no. 04-7182-2006) adalah proses esterifikasi-netralisasi-transesterifikasi (E1NT)

pada rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit dengan bilangan asam 0,71 mg

KOH/g sampel, viskositas 2,60 cSt, densitas yaitu 0,89 g/ml, kadar air 0,05 %

dan rendemen 47,7 % (b/b)

Kata kunci: biodiesel, esterifikasi, transestrifikasi, nyamplung.

DEDEH MURNIASIH. F34104063. Study Production Process of Biodiesel

from Alexandrian Laurel Seed Oil (Calophyllum inophyllum L.). Supervised

by Erliza Noor and Sudradjat. 2009.

SUMMARY

National fossil fuel consumption is increasing. In 2004, solar consumption

rise to 26,9 billion liters, at 2010 is predicted to rise to 34,71 billion liters. The

consumption of fossil inbalance with its production, this performance need to

overcome by looking for an alternative energy resources. Palm oil, jatropha and

calophyllum were some of agriculture abundant available in Indonesia.

The jatropha used was constrained by a low oil production, average oil

production is 1.892 liters/ha/year. Whereas palm oil is 5.950 liters/ha/year,

however it compete with food needs and other oleochemical product. The use of

calophyllum give an advantage as its production of 100 kg (220 lb) nuts/tree/year

or 4.585 kg oil/ha/year. Although the oil has a high acid value and takes longer

time that is 7 or 8 years before fruit production.

The research was done by combining the process that is esterification,

transesterification and netralization to produce oil to meet the SNI standard

(number 04-7182-2006). The purpose of this research was to determine the molar

ratio of methanol in esterification, and esterification time to obtain oil with low

acid value. The esterification conditions than combine with transesterification and

netralization in order to produce biodiesel that meet the standard requirement. The

best oil produced from esterification was obtained by applying molar ratio

methanol of 20:1 in 60 minute, the acid value of oil was 2,97 mg KOH/g feed.

The best process combination to produce biodiesel obtained by esterification-

netralization-transesterification (E1NT) applying molar ratio methanol of 20:1 in

60 minute. Its gave acid value 0,71 mg KOH/g feed, kinematic viskosity 2,59 cSt,

density 0,89 g/ml, water content 0,05% and yield 47,76%.

Keyword: biodiesel, esterification, transesterification, calophyllum.

KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL

DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DEDEH MURNIASIH

F 34104063

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PROSES PRODUKSI BIODIESEL

DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DEDEH MURNIASIH

F 34104063

Dilahirkan di Subang, 13 Juni 1986

Tanggal lulus:

Menyetujui,

Bogor, April 2009

Dr. Ir. Erliza Noor Prof. Dr. Ir. HR. Sudradjat MSc.

Pembimbing I Pembimbing II

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang atas rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada manusia terbaik,

Rasulullah Muhammad SAW. kepada keluarga, sahabat dan tabiin.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program S1

di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian skripsi ini tidak akan sempurna tanpa

bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Erliza Noor, selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan, nasihat dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. HR. Sudradjat, MSc. selaku dosen pembimbing dari Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan yang telah memberikan

bimbingan dan arahan dalam melakukan penelitian dan penyusunan

skripsi.

3. Dr. Ir. Endang Warsiki, selaku dosen penguji atas masukan dan nasihat

untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Ibu Resti dan Bapak Dulhadi serta keluarga yang selalu memberikan doa,

dukungan dan nasihat kepada penulis.

5. Pimpinan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor, yang

telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di

laboratorium kimia dan energi.

6. Bapak Dadang, Bapak Ali, Bapak Djeni dan seluruh staf serta karyawan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor, Ibu Egna, Bapak

Gunawan, Ibu Sri dan seluruh laboran serta staf di Departemen TIN atas

bantuan dan bimbingan selama penelitian.

7. Ibu Waysima, Ibu Sulis, Ibu Nora dan seluruh donatur atas doa, bantuan

dan nasihat selama ini.

8. Saudara-saudaraku di TIN 41 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu

yang telah memberikan semangat dan persahabatan selama ini.

9. Saudari-saudariku di Asrama Putri Darmaga yang telah memberikan

semangat, kasih sayang dan bantuan selama ini.

10. Saudara-saudari dan adik-adikku di Bimbingan Remaja dan Anak-anak

LDK Al Hurriyyah IPB yang telah memberikan semangat dan

persahabatan selama ini.

11. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna karena

kekurangan penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini memberikan informasi

yang bermanfaat.

Bogor, April 2009

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang, pada tanggal 13

Juni 1986 putri pertama dari dari pasangan Ibu Resti

dan Bapak Dulhadi. Penulis menamatkan sekolah

dasar di SDN Mulyasari pada tahun 1998, kemudian

melanjutkan ke SLTPN 1 Pamanukan sampai tahun

2001 dan SMUN 1 Pamanukan sampai tahun 2004.

Tahun 2004, penulis melanjutkan studi di

Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama

kuliah, penulis aktif di Bimbingan Remaja dan Anak-anak (BIRENA) DKM Al

Hurriyyah IPB (2004-2009), Ketua Asrama Putri Darmaga (2007), Forum Bina

Islami Fateta (2005-2006) dan BEM Fateta (2006). Pada tahun 2008 penulis

berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah TPPI.

Tahun 2007, penulis melaksanakan praktek lapang di PT. Rajawali II unit

PG. Subang dengan judul “Proses Produksi Gula dan Penanganan Limbah”.

Alhamdulillah bulan April 2009 menyelesaikan pendidikan S1 dengan judul

Skripsi “Kajian Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung

(Calophyllum Inophyllum L.)”.

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

DAFTAR TABEL................................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG .............................................................................. 1

B. TUJUAN ................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4

A. TANAMAN NYAMPLUNG.................................................................... 4

B. MINYAK NYAMPLUNG........................................................................ 6

C. BIODIESEL.............................................................................................. 7

D. PROSES PRODUKSI BIODIESEL ......................................................... 8

1. ESTERIFIKASI .................................................................................. 9

2. TRANSESTERIFIKASI ................................................................... 10

3. NETRALISASI ................................................................................. 12

III. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................... 15

A. ALAT DAN BAHAN ............................................................................. 15

B. METODE PENELITIAN........................................................................ 15

V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 20

A. MINYAK NYAMPLUNG...................................................................... 20

B. ESTERIFIKASI....................................................................................... 22

C. PENGARUH TAHAPAN PROSES ....................................................... 25

D. KARAKTERISASI BIODIESEL ............................................................ 26

1. Bilangan Asam.................................................................................... 27

2. Viskositas ............................................................................................ 28

3. Densitas ............................................................................................... 30

4. Kadar Air............................................................................................. 31

5. Rendemen............................................................................................ 32

VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 34

A. KESIMPULAN........................................................................................ 34

B. SARAN .................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 35

LAMPIRAN........................................................................................................ 39

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Konsumsi minyak solar sektor transportasi tahun 1995-2010.................1

Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak nyamplung ........................................... 6

Tabel 3. Spesifikasi biodiesel................................................................................ 7

Tabel 4. Perbandingan petrodiesel dan biodiesel.................................................. 8

Tabel 5. Konsentrasi larutan NaOH untuk netralisasi......................................... 13

Tabel 6. Karakteristik minyak nyamplung hasil analisis .................................... 20

Tabel 7. Karakteristik umum biodiesel yang dihasilkan..................................... 26

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman nyamplung......................................................................... 5

Gambar 2. Mekanisme esterifikasi.................................................................... 10

Gambar 3. Mekanisme transesterifikasi............................................................ 10

Gambar 4. Reaksi netralisasi............................................................................. 12

Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian ...................................................... 19

Gambar 6. Minyak nyamplung hasil ekstraksi.................................................. 20

Gambar 7. Grafik pengaruh waktu dan rasio molar metanol

terhadap bilangan asam................................................................... 23

Gambar 8. Grafik hubungan waktu dan rasio molar metanol dengan

rendemen........................................................................................ 24

Gambar 9. Metil ester kasar dan gliserol hasil transesterifikasi metode E1E2T

dan E1NT........................................................................................ 26

Gambar 10. Hubungan variasi proses dengan bilangan asam biodiesel ............ 28

Gambar 11. Hubungan variasi proses dengan viskositas biodiesel ................... 29

Gambar 12. Hubungan variasi proses dengan densitas biodiesel ...................... 31

Gambar 13. Hubungan variasi proses dengan kadar air biodiesel ..................... 32

Gambar 14. Hubungan variasi proses dengan rendemen biodiesel ................... 33

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisa sifat fisikokimia minyak nyamplung

dan biodiesel................................................................................... 39

Lampiran 2. Contoh perhitungan bahan-bahan yang digunakan

dalam proses produksi biodiesel ................................................... 41

Lampiran 3. Jumlah bahan yang digunakan dalam tahapan proses

produksi biodiesel ......................................................................... 43

Lampiran 4. Gambar bahan baku, peralatan proses produksi

dan produk biodiesel. ..................................................................... 44

Lampiran 5. Rekapitulasi data penelitian............................................................ 46

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahan bakar minyak (dari bahan bakar fosil) merupakan sumber energi

yang dikonsumsi paling besar dibandingkan sumber energi lain. Oleh karena

itu, krisis bahan bakar fosil yang dialami dunia saat ini memberikan dampak

yang cukup besar di berbagai negara, terutama Indonesia. Secara nacional,

konsumsi bahan bakar minyak (BBM) mengalami peningkatan. Selama tahun

2004 mencapai 26,9 milyar liter, tahun 2010 diperkirakan mencapai 34,71

milyar liter (Soerawidjaya et al., 2005). Data konsumsi minyak solar di

Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Konsumsi minyak solar sektor transportasi tahun 1995-2010

Tahun Transportasi

(milyar liter)

Total

(milyar liter)

Porsi

(%)

1995

2000

2005

2010

6,91

9,69

13,12

18,14

15,84

21,39

27,05

34,71

43,62

45,29

48,50

52,27

Sumber: Soerawidjaya et al., (2005)

Peningkatan laju konsumsi BBM tidak sejalan dengan produksi

minyak bumi di dalam negeri yang semakin menurun, sehingga perlu diambil

langkah-langkah untuk mendapatkan sumber energi alternatif. Indonesia

mempunyai sumber energi terbarukan yang melimpah, tetapi belum

dimanfaatkan secara optimal dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar

fosil. Kontribusi energi terbarukan terhadap total penggunaan energi masih

dibawah 1% (Sumiarso, 2001). Kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam bentuk

Instruksi Presiden no. 10 tahun 2005 mengenai penghematan penggunaan

energi, Instruksi Presiden no.1 tahun 2006 mengenai penyediaan dan

pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) serta Peraturan Presiden no.5 tahun

2006 mengenai kebijakan energi nasional, menyatakan tahun 2025 ditargetkan

untuk mengoptimalkan bakar nabati mencapai 5% (Perpres, 2006).

Minyak tumbuhan (nabati) dan lemak hewan sebagai sumber energi

alternatif dapat diolah menjadi biodiesel. Biodiesel merupakan senyawa metil

ester hasil reaksi transesterifikasi trigliserida yang berasal dari minyak nabati

atau lemak hewan. Kelebihan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif

pengganti solar diantaranya adalah angka setana tinggi, ramah lingkungan

karena mengandung sedikit gas SOx, daya lumas yang baik, emisi gas buang

sedikit dan karakter pembakaran yang relatif bersih. Selain kelebihan tersebut,

penggunaan biodiesel juga memberikan keuntungan terhadap perawatan mesin

kendaraan. Pengolahan biodisel dari bahan baku terbarukan (renewable) telah

banyak dilakukan di berbagai negara diantaranya negara-negara Eropa

menggunakan rapeseed, Amerika Serikat menggunakan kedelai, minyak

kelapa (coconut oil) di Filipina dan Malaysia menggunakan CPO (Crude Palm

Oil). Sedangkan Indonesia menggunakan CPO dan minyak jarak (Jatropha)

(Mittelbach, 2001). Potensi pengembangan biodiesel di Indonesia cukup besar,

karena selain CPO masih ada 30 spesies tanaman yang dapat dijadikan bahan

baku, diantaranya jarak, nyamplung, kesambi, kemiri, karet, kapuk dan saga

hutan.

Permasalahan utama produksi biodiesel secara komersil adalah harga

bahan baku yang mahal. Penggunaan edible oils sebagai bahan baku

mempengaruhi 60%-70% harga biodiesel (Fukuda, Kondo, dan Noda, 2001).

Oleh karena itu, inovasi baru penggunaan nonedible dan low-grade oil

direkomendasikan sebagai bahan baku agar dapat dihasilkan biodiesel dengan

harga yang relatif murah. Kendala lain yang dihadapi untuk memproduksi

biodiesel skala industri adalah ketersediaan bahan baku. Penggunaan jarak

sebagai bahan baku biodiesel terkendala oleh produksi yang rendah. Produksi

biji jarak rata-rata pada tahun ke-5 sebesar 5 ton/ha/tahun (Francis and Becker,

2001) dan menghasilkan minyak sebesar 1.590 kg atau 1.892 liter/ha/tahun.

Sedangkan sawit mencapai 6 ton/ha/tahun, menghasilkan minyak sebesar

5.950 liter/ha/tahun. Tetapi penggunaan minyak sawit berkompetisi dengan

industri pangan dan oleokimia lain. Permasalahan tersebut mendorong

pencarian bahan alternatif lain.

Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu

bahan baku alternatif biodiesel yang mempunyai potensi cukup besar,

produksi biji nyamplung per tahun mencapai 20 ton/ha. Kandungan minyak

relatif tinggi yaitu antara 40-73 %, dibandingkan sawit 46-54 %, jarak pagar

40-60%, saga hutan 14-28%, kapuk 24-40%, kesumba 30-40% dan kelor 39-

40%. Satu liter minyak nyamplung dapat dihasilkan dari 2,5 kg biji,

sedangkan jarak membutuhkan 4 kg untuk menghasilkan satu liter minyak.

Penyimpanan dalam jangka waktu lama menyebabkan bilangan asam

dan viskositas minyak tinggi. Bilangan asam minyak nyamplung yang tinggi

membutuhkan proses pembuatan biodiesel yang tepat untuk menghasilkan

biodiesel sesuai standar, misalnya dengan kombinasi proses esterifikasi dan

transesterifikasi. Pada penelitian ini dilakukan variasi proses pembuatan

biodiesel dengan metode esterifikasi-transesterifikasi (E1T), esterifikasi-

esterifikasi-transesterifikasi (E1E2T), esterifikasi-netralisasi-transesterifikasi

(E1NT) dan esterifikasi-transesterifikasi-netralisasi (E1TN).

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan biodisel dari minyak biji

nyamplung dengan tujuan khusus yaitu:

• Mendapatkan rasio molar metanol dengan asam lemak bebas dan

waktu reaksi esterifikasi terbaik untuk memperoleh minyak dengan

bilangan asam terendah.

• Mendapatkan tahapan proses produksi biodiesel yang menghasilkan

rendemen dan kualitas biodiesel (bilangan asam, viskositas, densitas

serta kadar air) terbaik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Nyamplung

Tanaman nyamplung dapat ditemukan di Madagaskar, Afrika Timur,

Asia Selatan dan Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika

Selatan. Tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, seperti

bintangor di Malaysia, hitaullo di Maluku, nyamplung di Jawa, bintangur di

Sumatera, poon di India dan di Inggris dikenal dengan nama alexandrian

laurel, tamanu, pannay tree, serta sweet scented calophyllum (Dweek dan

Meadows, 2002). Taksonomi tanaman nyamplung menurut Heyne (1987)

adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Bangsa : Guttiferales

Suku : Guttiferae

Marga : Calophyllum

Jenis : Calophyllum inophyllum L.

Nama umum : Nyamplung

Tanaman nyamplung mudah dibudidayakan, tumbuh baik pada

ketinggian 0-800 meter dpl seperti di hutan, pegunungan dan rawa-rawa, curah

hujan antara 1000-5000 mm per tahun, pH tanah 4,0-7,4, tahan pada tanah

tandus, daerah pantai yang kering dan berpasir atau digenangi air laut. Namun

tanaman ini baru berbuah setelah umur tujuh atau delapan tahun (Friday and

Okano, 2006). Tinggi tanaman dapat mencapai 30 meter dengan diameter 0,8

meter, daun mengkilap, batang berwarna abu-abu hingga putih, warna kayu

bervariasi tergantung spesies. Tanaman nyamplung berproduksi dua kali

dalam satu tahun, yaitu Februari-Maret dan Agustus-September di Indonesia

dan di Hawai April-Juni dan Oktober-Desember (Friday and Okano, 2006).

Luas areal tegakan tanaman nyamplung mencapai 255,35 ribu ha yang

tersebar dari Sumatera sampai Papua (Balitbang Kehutanan, 2008). Daerah

penyebaran nyamplung diantaranya adalah Sumatera Barat, Riau, Jambi,

Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,

Sulawesi, Maluku dan NTT. Hutan nyamplung dikelola secara profesional

oleh Perum Perhutani Unit I KPH Kedu Selatan Jawa Tengah dengan luas

mencapai 196 ha. Nyamplung juga dikembangkan oleh masyarakat Cilacap

khususnya di sekitar kecamatan Patimuan dan daerah Gunung Selok

kecamatan Kroya/Adipala. Mereka memanfaatkan kayu nyamplung untuk

pembuatan perahu nelayan. Sejak tahun 2007, Dinas Kehutanan Perkebunan

Kabupaten Cilacap telah menanam 135 ha di lahan TNI Angkatan Darat

sepanjang pantai laut selatan, tahun 2008 direncanakan menanam seluas 300

ha.

Sumber: Friday dan Okano (2006)

Gambar 1. Tanaman Nyamplung

Produksi minyak nyamplung secara sederhana dilakukan oleh petani

di Kebumen untuk pelapisan genting dan batik. Pohon nyamplung

dimanfaatkan untuk menahan abrasi dan ancaman tsunami, kayunya yang kuat

dan tahan air digunakan sebagai bahan baku pembuatan perahu, bahan

konstruksi bangunan, serta minyaknya digunakan sebagai bahan penerangan.

Getah daun nyamplung mengandung senyawa costatolide A yang efektif

menekan pertumbuhan virus HIV (Wahid, 2001 dalam Supriadi et al., 2001).

Buah nyamplung berwarna hijau, berbentuk bulat, kulit buah tipis dan akan

mengelupas ketika mulai mengering. Inti biji yang mengandung minyak,

berbentuk bulat mancung berwarna kuning, dilindungi tempurung keras mirip

tempurung kelapa seperti terlihat pada Gambar 1. Biji nyamplung dapat

digunakan sebagai obat kudis, penerangan dan penumbuhan rambut (Heyne,

1987).

Produksi biji nyamplung per tahun mencapai 20 ton/ha. Biji

nyamplung mempunyai kandungan minyak tinggi yaitu 55% pada inti segar

dan 70,5% pada inti biji kering (Heyne, 1987), 75% menurut Dweek dan

Meadows (2002) serta menurut Soerawidjaja (2001) sekitar 40-73%. Menurut

Friday dan Okano (2006), satu pohon nyamplung dapat menghasilkan 100 kg

buah/tahun dan rendemen minyak sebanyak 5 kg. Jika jarak tanam 3 x 3,5 m2

setiap pohon menghasilkan 30 kg biji atau 5,1 kg minyak maka dalam 1 hektar

diprediksi menghasilkan 26.973 kg biji atau 4.585 kg minyak biji nyamplung.

B. Minyak Nyamplung

Minyak nyamplung berwarna coklat kehijauan, kental, beraroma

menyengat seperti karamel dan beracun. Petani di Kebumen dan Cilacap Jawa

Tengah, minyak nyamplung digunakan untuk pelapis genting, bahan bantu

pembuatan batik dan pelapis jenazah. Sedangkan di Jawa Barat, TNI AD

memanfaatkan minyak nyamplung untuk bahan bakar kapal laut. Minyak

nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi

seperti asam oleat serta komponen-komponen tak tersabunkan diantaranya

alkohol lemak, sterol, xanton, turunan kuomarin, kalofilat, isokalofilat,

isoptalat, kapelierat, asam pseudobrasilat dan penyusun triterpenoat sebanyak

0,5-2% yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Debaut et al., (2005)

asam lemak penyusun minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Asam Lemak Minyak Nyamplung

Asam Lemak Komposisi

Asam Palmitoleat (C16:1) 0,5-1%

Asam Palmitat (C16) 15-17%

Asam Oleat (18:1) 30-50%

Asam Linoleat (C18:1) 25-40%

Asam Stearat (C18:0) 8-16%

Asam Arachidat (C20) 0,5-1%

Asam Gadoleat (C19:1) 0,5-1%

Sumber: Debaut et al., (2005)

C. Biodiesel

Biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari

minyak tumbuhan atau lemak hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan

sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel (Vicente et al., 2006). Sedangkan

menurut Darnoko et al., (2000), biodiesel merupakan monoalkil ester yang

dihasilkan dari minyak alami terbarukan. Metil ester atau etil ester merupakan

senyawa yang relatif stabil, berwujud cair pada temperatur ruang (titik leleh

antara 4-180C), titik didih rendah dan tidak korosif. Metil ester lebih stabil

secara pirolitik dalam proses distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga

lebih disukai daripada etil ester (Sonntag, 1982). Spesifikasi biodiesel menurut

Standar Nasional Indonesia tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Spesifikasi Biodiesel

Parameter Satuan Nilai

Massa jenis pada 40 °C kg/m3

850 – 890

Viskositas kinematik pd 40 °C mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0

Angka setana min. 51

Titik nyala (mangkok tertutup) °C min. 100

Titik kabut °C maks. 18

Korosi lempeng tembaga (3 jam

pada 50 °C)

maks. no 3

Residu karbon

- dalam contoh asli, atau

- dalam 10 % ampas distilasi

%-massa

maks 0,05

maks. 0,30

Air dan sedimen %-vol. maks. 0,05*

Temperatur distilasi 90 % °C maks. 360

Abu tersulfatkan %-massa maks.0,02

Belerang ppm-m (mg/kg) maks. 100

Fosfor ppm-m (mg/kg) maks. 10

Angka asam mg-KOH/g maks.0,8

Gliserol bebas %-massa maks. 0,02

Gliserol total %-massa maks. 0,24

Kadar ester alkil %-massa min. 96,5

Angka iodium %-massa (g-I2/100 g) maks. 115

Uji Halphen Negatif

Sumber : SNI Biodiesel no. 04-7182-2006

Biodiesel dapat diproduksi dari minyak nabati maupun lemak hewan,

namun minyak nabati lebih umum digunakan sebagai bahan baku. Minyak

nabati tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar karena berat

molekul dan viskositas lebih besar dari minyak diesel atau solar, sehingga

pompa penginjeksi bahan bakar di dalam mesin diesel tidak mampu

menghasilkan pengkabutan (atomization) yang baik ketika minyak nabati

disemprotkan ke dalam kamar pembakaran. Selain itu, molekul minyak nabati

relatif lebih bercabang dibanding ester metil asam-asam lemak yang

menyebabkan angka setana minyak nabati lebih rendah daripada metil ester.

Keuntungan pemakaian biodiesel dibandingkan dengan petrodiesel

(BBM) diantaranya adalah bahan baku dapat diperbaharui (renewable), cetane

number tinggi, biodegradable, dapat digunakan pada semua mesin tanpa harus

modifikasi, berfungsi sebagai pelumas sekaligus membersihkan injector, serta

dapat mengurangi emisi karbon dioksida, partikulat berbahaya, dan sulfur

oksida. Tabel 4 menunjukkan perbandingan antara biodiesel dan petrodiesel.

Tabel 4. Perbandingan Petrodiesel dan Biodiesel

Fisika Kimia Biodiesel Petrodiesel

Komposisi Metil ester Hidrokarbon

Densitas (g/ml) 0,8624 0,8750

Viskositas (cSt) 5,55 4,6

Flash point (oC) 172 98

Angka cetan 62,4 53

Kelembaban (%) 0,1 0,3

Engine power Energi yang dihasilkan

128.000 BTU

Energi yang dihasilkan

130.000 BTU

Engine torque Sama Sama

Modifikasi engine Tidak diperlukan

Konsumsi bahan bakar Sama Sama

Lubrikasi Lebih tinggi Lebih rendah

Emisi CO rendah, total

hidrokarbon, sulfur

dioksida, dan nitroksida

CO tingi, total

hidrokarbon, sulfur

dioksida dan nitroksida

Penanganan Flamable lebih rendah Flamable lebih tinggi

Lingkungan Toxisitas rendah Toxisitas 10 kali lebih

tinggi

Keberadaan Terbarukan Tak terbarukan

Sumber: Pakpahan, 2001

D. Proses Produksi Biodiesel

Hambatan dalam pengembangan serta komersialisasi biodiesel adalah

biaya produksi yang tinggi serta viskositas dan bilangan asam bahan baku

yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan minyak nabati secara langsung di

dalam mesin diesel umumnya memerlukan modifikasi pada mesin, misalnya

penambahan pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan injektor bahan

bakar untuk menurunkan nilai viskositas. Viskositas yang tinggi dapat

menyebabkan atomisasi bahan bakar rendah dan berkorelasi langsung dengan

kualitas pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang, sedangkan bilangan

asam yang tinggi menyebabkan korosi pada mesin pembakaran. Menurut

Sudradjat (2006), teknologi proses biodiesel yang dilakukan harus dapat

menurunkan keasaman biodiesel, terutama minyak nabati yang mempunyai

asam lemak tidak jenuh tinggi karena akan mudah teroksidasi.

Secara umum, biodiesel diproduksi melalui proses transesterifikasi

minyak atau lemak yang menghasilkan metil ester/monoalkil ester dan gliserol

sebagai produk samping. Minyak yang memiliki keasaman tinggi kurang

sesuai diproses langsung melalui transesterifikasi karena akan terjadi

penyabunan (Gubitz, 1999). Menurut Canakci dan Gerpen (2001), konversi

menjadi metil ester dapat dilakukan dengan esterifikasi menggunakan katalis

asam, dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi berkatalis basa untuk

mengkonversi sisa trigliserida. Proses dua tahap ini dikenal dengan istilah

esterifikasi-transesterifikasi (estrans) (Sudradjat, 2006).

1. Esterifikasi

Esterifikasi adalah reaksi antara metanol dengan asam lemak bebas

membentuk metil ester menggunakan katalis asam. Katalis asam yang

sering digunakan adalah asam kuat seperti asam sulfat (H2SO4) dan asam

klorida (HCl). Reaksi esterifikasi tidak hanya mengkonversi asam lemak

bebas menjadi metil ester tetapi juga menjadi trigliserida walaupun dengan

kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Freedman

et al., 1998). Faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah jumlah

pereaksi, waktu reaksi, suhu, konsentrasi katalis dan kandungan air pada

minyak. Metil ester hasil reaksi esterifikasi harus bebas air dan sisa katalis

sebelum reaksi transesterifikasi (Ozgul dan Turkay, 2002). Reaksi

esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme Esterifikasi

2. Transesterifikasi

Transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru

yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982). Reaksi

transesterifikasi bersifat reversible, sehingga dibutuhkan alkohol berlebih

untuk menggeser kesetimbangan ke arah kanan (produk) (Ma et al., 1999).

Metanol paling banyak digunakan dibandingkan dengan etanol karena

harga lebih murah dan secara fisikomia memiliki keuntungan yaitu bersifat

polar dan memiliki rantai paling pendek. Persamaan reaksi transesterifikasi

ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme Transesterifikasi

Transesterifikasi berkatalis antara trigliserida dan metanol melalui

pembentukan berturut-turut digliserida dan monogliserida menghasilkan

metil ester pada setiap tahapan (Mao, Konar, dan Boocoock, 2004). Reaksi

transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari minyak, seperti

kandungan air dan asam lemak bebas. Sedangkan faktor eksternal

merupakan kondisi yang tidak berasal dari minyak meliputi suhu reaksi,

waktu reaksi, kecepatan pengadukan, rasio molar metanol, dan jenis

katalis (Freedman et al., 1984).

Kandungan air dan asam lemak bebas pada minyak dapat berpengaruh

terhadap pembentukan sabun selama reaksi, menurunkan efisiensi katalis,

meningkatkan viskositas dan menyebabkan kesulitan dalam pemisahan

gliserol. Kadar asam lemak bebas terbaik dalam reaksi transesterifikasi

CH2-OOC-R1 R1-COO-CH3 CH2-OH

CH -OOC-R2 + 3 CH3OH R2-COO-CH3 + CH -OH

CH -OOC-R3 R3-COO-CH3 CH2-OH

CH2-OOC-R3 R3-COO-CH3 CH2-OH

Katalis

RCOOH+ CH3OH RCOOCH3 + H2O

adalah kurang dari 0,5 %. Menurut Noureddini dan Zhu (1997), suhu

reaksi berpengaruh terhadap kecepatan reaksi. Semakin meningkat suhu

reaksi, maka waktu reaksi akan berlangsung lebih singkat.

Transesterifikasi akan berlangsung lebih cepat apabila suhu dinaikkan

mendekati titik didih metanol (68oC) (Freedman et al., 1984).

Kecepatan pengadukan berfungsi untuk meningkatkan frekuensi

kontak pada pencampuran antara minyak, alkohol dan katalis. Hal ini

disebabkan fasa minyak dan alkohol tidak dapat bercampur secara

sempurna, sehingga kecepatan pengadukan yang sesuai dapat

meningkatkan kecepatan konversi (Noureddini dan Zhu, 1997).

Rasio molar transesterifikasi sangat dipengaruhi oleh jenis katalis yang

digunakan. Stoikiometri transesterifikasi memerlukan 3 mol alkohol dan 1

mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol metil ester dan 1 mol gliserol.

Peningkatan rasio molar akan menghasilkan konversi ester yang lebih

tinggi dalam waktu yang singkat (Ma et al., 1999). Katalis merupakan

bahan yang ditambahkan untuk mempercepat laju reaksi tanpa

mempengaruhi produk dari reaksi, mengarahkan reaksi sesuai jalur reaksi

tertentu dan mengurangi pembentukan produk samping untuk

meningkatkan kemurnian produk yang dihasilkan (Kirk dan Othmer,

1964). Penentuan katalis merupakan faktor penting dalam transesterifikasi,

karena kondisi reaksi dan kualitas metil ester yang dihasilkan bergantung

pada katalis yang digunakan. Katalis transesterifikasi digolongkan dalam

katalis basa, katalis asam, dan katalis enzim. Berdasarkan fasa yang

dibentuk, ada dua jenis katalis yaitu katalis homogen dan katalis

heterogen. Katalis homogen katalis mempunyai fase yang sama dengan

reaktan, sedangkan katalis heterogen merupakan katalis yang memiliki

fase berbeda dengan reaktan (Kirk dan Othmer, 1964).

Transesterifikasi menggunakan katalis basa akan berlangsung lebih

cepat dan sempurna pada suhu rendah (Swern, 1982) dibandingkan dengan

penggunaan katalis asam. Namun, apabila minyak memiliki kandungan

asam lemak bebas tinggi, katalis asam lebih sesuai digunakan untuk

menghindari terjadinya penyabunan (Freedman et al., 1984). Syarat

transesterifikasi dengan katalis basa adalah minyak harus bersih, bebas air,

dan netral secara substansial (Swern, 1982). Minyak dengan kandungan air

kurang 0,1% dapat menghasilkan metil ester lebih dari 90% (Goff et al.,

2004). Reaksi transesterifikasi dinyatakan gagal apabila terbentuk sabun

yang mengurangi efektifitas katalis serta terbentuk gel yang menyulitkan

pemisahan dan pengendapan gliserol (Canakci dan Gerpen, 2001).

Kandungan asam lemak bebas dan air lebih dari 0.5% dan 0.3% dapat

menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al., 1998)

3. Netralisasi

Pada umumnya netralisasi dilakukan dengan cara kimia, fisika,

fisikokimia dan esterifikasi. Netralisasi secara kimia adalah reaksi antara

asam lemak bebas dalam minyak atau lemak dengan basa yang akan

menghasilkan sabun (Ketaren, 1986). Menurut Swern (1982), netralisasi

bertujuan untuk menetralkan asam lemak bebas, mengurangi gum dan

lendir yang masih tertinggal, memperbaiki rasa dan warna minyak atau

lemak. Reaksi netralisasi dapat dilakukan dengan alkali, natrium

karbonat, amonia atau menggunakan uap (deacidifikasi). Netralisasi

dengan NaOH banyak dilakukan dalam skala industri karena labih efisien

dan lebih murah (Ketaren, 1986). Reaksi yang terjadi pada proses

netralisasi ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Reaksi Netralisasi

Kotoran yang dibuang pada proses netralisasi adalah asam lemak

bebas, fosfatida, zat warna, karbohidrat, protein, ion logam, zat padat, dan

hasil samping oksidasi (Hendrix, 1990). Netralisasi dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu cara kering dan cara basah. Cara kering dilakukan

dengan mereaksikan basa pada suhu rendah dengan pengadukan, di daerah

tropis biasanya pada suhu 30oC. Sedangkan cara basah dilakukan pada

suhu tinggi (60-65oC), dengan larutan basa encer dan pencucian.

RCOOH + NaOH RCOONa+ H2O

Penentuan konsentrasi larutan alkali yang digunakan didasarkan pada

kandungan asam lemak bebas. Semakin tinggi kandungan asam lemak

bebas semakin tinggi pula konsentrasi larutan alkali yang digunakan.

Konsentrasi alkali yang terlalu tinggi menyebabkan trigliserida yang

tersabunkan tinggi, sedangkan larutan yang terlalu lemah menyebabkan

banyaknya emulsi sabun yang terbentuk sehingga menyulitkan pemisahan

soap stock (Ketaren, 1986).

Jumlah NaOH yang digunakan merupakan jumlah stoikiometri

ditambah ekses sebanyak 5-10% tergantung pada minyak yang akan

dinetralkan (Bernardini, 1983). Menurut Sonntag (1982), untuk minyak

nabati dan lemak hewan dengan kandungan gum dan pigmen rendah dapat

menggunakan ekses 0,1-0,2% b/b. Satuan konsentrasi NaOH dalam larutan

adalah derajat Baume (oBe). Tabel 4 menunjukkan konsentrasi NaOH

dalam larutan berdasarkan oBe.

Tabel 4. Konsentrasi larutan NaOH untuk netralisasi

Sumber: Andersen dan William (1962)

Netralisasi dilakukan pada suhu 60-65 oC dengan konsentrasi larutan

NaOH 10-20oBe (Thieme, 1986). Menurut Hendrix (1990), larutan NaOH

yang digunakan adalah 12-30oBe atau 12-20

oBe pada suhu 20-40

oC

dilanjutkan pemanasan pada suhu 60-80oC untuk pemecahan emulsi sabun

dan minyak. Kadar asam lemak bebas 1% digunakan larutan alkali dengan

konsentrasi 8-12oBe, lebih besar dari satu persen sebesar 20

oBe dan lebih

besar dari enam persen digunakan alkali dengan konsentrasi lebih besar

dari 20oBe (Bernardini, 1983). Pemisahan soap stock dari minyak yang

telah dinetralisasi dilakukan berdasarkan gravitasi. Efisiensi netralisasi

oBe g NaOH/100 ml % NaOH dalam larutan

8 5,6 5,29

10 7 0,55

12 8,7 8,00

14 10,4 9,42

16 12,3 10,99

18 14,4 12,64

20 16,7 14,37

22 18,5 15,97

dinyatakan dalam refining factor (RF) yaitu perbandingan kehilangan total

minyak karena netralisasi dengan jumlah asam lemak bebas dalam minyak

kasar. Rumus penentuan RF dapat dilihat pada persamaan berikut:

(%)minyakbebaslemakAsam

(%)totalKehilanganRF =

Semakin rendah nilai RF maka efisiensi netralisasi semakin tinggi.

Konsentrasi NaOH yang digunakan mempengaruhi nilai RF. Semakin

kental larutan, nilai RF semakin tinggi karena minyak netral yang

tersabunkan semakin banyak. Pada reaksi netralisasi, air menjadi media

reaksi penyabunan dan membentuk larutan sabun (emulsi dengan minyak).

Faktor yang mempengaruhi rendemen netralisasi adalah emulsifikasi.

Semakin encer larutan kaustik soda yang digunakan, semakin besar pula

tendensi larutan sabun untuk membentuk emulsi dengan trigliserida.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak

nyamplung yang diperoleh dari Kroya, Cilacap, metanol teknis, etanol 95%,

HCl, natrium tiosulfat, asam oksalat, CH3COOH, NaOH, KOH 0,1 N,

indikator PP dan aquades.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu leher tiga,

erlenmeyer, gelas piala, neraca analitik, pipet volumetrik, buret, gelas ukur,

magnetic stirrer, pendingin tegak, penangas air, kertas saring, termometer,

piknometer, viskosimeter Ostwald, cawan aluminium, oven dan desikator.

B. Metode Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

a. Karakterisasi Minyak Nyamplung

Karakterisasi yang dilakukan pada minyak nyamplung diantaranya

adalah bilangan asam dan kadar asam lemak bebas (SNI 01-3555-1998),

kadar air (SNI 01-2891-1992), viskositas metode Ostwald (ASTM 445),

dan densitas metode piknometer (AOAC, 1995). Metode analisis

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Degumming

100 gr minyak nyamplung dipanaskan pada suhu 80oC sambil terus

diaduk dengan magnetic stirer selama 15 menit. Kemudian ditambahkan

H3PO4 teknis sebanyak 0,3% bobot minyak atau v/v sambil terus diaduk

selama 15 menit sampai warna merah. Gum yang terbentuk dipisahkan

menggunakan corong pemisah dan minyak dicuci dengan air 60oC

sambil dikocok, air cucian diuji sampai pH netral. Minyak yang telah

dicuci dihitung bobot dan dianalisis FFA (Free Fatty Acid).

2. Penelitian Utama

Minyak hasil degumming sebanyak 100 g direaksikan dengan metanol,

rasio molar metanol dengan FFA yang digunakan yaitu 15:1 (sebanyak 36

g) dan 20:1 (sebanyak 47,8 g) menggunakan katalis HCl pekat 37%

sabanyak 6% FFA (b/b) pada suhu 60oC, pengadukan 300 rpm selama 30

dan 60 menit. Lapisan yang terbentuk dipisahkan pada corong pemisah

selama 2 jam, lapisan atas merupakan sisa metanol yang tidak bereaksi dan

air, lapisan bawah yang merupakan metil ester dicuci dengan air yang

mengandung NaHCO3 0,01% untuk mengikat HCl berlebih yang dapat

mengganggu analisis bilangan asam. Hasil pencucian akan membentuk

garam NaCl dan dicuci kembali dengan air hangat 60oC sampai air cucian

netral. Metil ester dihitung bobot dan dianalisa FFA (Free Fatty Acid).

Metil ester ini yang selanjutnya disingkat E1 akan dilakukan kombinasi

proses untuk menghasilkan metil ester dengan bilangan asam yang lebih

rendah, yaitu transesterifikasi, esterifikasi tahap dua dan netralisasi.

Kombinasi pertama yaitu transesterifikasi (E1T), E1 direaksikan

dengan metanol, rasio molar metanol dan FFA 6:1, katalis NaOH 0,5% b/b

pada suhu 60oC, pengadukan 400 rpm selama 30 menit. Hasil reaksi

dipisahkan pada corong pemisah selama 24 jam. Lapisan bawah

merupakan gliserol dan lapisan atas adalah metil ester. Metil ester yang

terbentuk dicuci dengan air yang mengandung asam asetat (CH3COOH)

0,01% untuk mengikat NaOH berlebih, kemudian larutan dicuci dengan air

hangat 60oC sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan

dengan cara dipanaskan pada suhu 110-120oC selama 5 menit. Sisa air

dalam metil ester diserap menggunakan Na-Sulfat anhidrat sebanyak 1%

b/v. Setelah itu metil ester dihitung bobot dan dianalisa FFA, bilangan

asam, viskositas, densitas dan kadar air.

Kombinasi ke dua yaitu esterifikasi tahap dua (E2) dilanjutkan reaksi

transesterifikasi (E1E2T). E1 diesterifikasi pada rasio molar metanol 20:1,

menggunakan katalis HCl pekat 37% sabanyak 6% FFA (b/b) pada suhu

60oC, pengadukan 300 rpm selama 30 menit. Lapisan yang terbentuk

dipisahkan pada corong pemisah selama 2 jam, lapisan atas merupakan

sisa metanol yang tidak bereaksi dan air, lapisan bawah yang merupakan

metil ester dicuci dengan air yang mengandung NaHCO3 0,01% untuk

mengikat HCl berlebih yang dapat mengganggu analisis bilangan asam.

Hasil pencucian akan membentuk garam NaCl dan dicuci kembali dengan

air hangat 60oC sampai air cucian netral. Metil ester (E2) ditimbang bobot

dan dianalisa FFA (Free Fatty Acid). Setelah itu, E2 yang terbentuk

ditransesterifikasi dengan rasio molar metanol dan FFA 6:1, katalis NaOH

0,5% (b/b) pada suhu 60oC, pengadukan 400 rpm selama 30 menit. Hasil

reaksi dipisahkan pada corong pemisah selama 24 jam. Lapisan bawah

merupakan gliserol dan lapisan atas adalah metil ester. Metil ester yang

terbentuk dicuci dengan air yang mengandung asam asetat (CH3COOH)

0,01% untuk mengikat NaOH berlebih, kemudian larutan dicuci dengan air

hangat 60oC sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan

dengan cara dipanaskan pada suhu 110-120oC selama 5 menit. Sisa air

dalam metil ester diserap menggunakan Na-Sulfat anhidrat sebanyak 1%

b/v. Setelah itu metil ester dihitung bobot dan dianalisa FFA, bilangan

asam, viskositas, densitas dan kadar air.

Kombinasi ke tiga yaitu netralisasi dilanjutkan transesterifikasi

(E1NT). E1 dinetralisasi menggunakan larutan NaOH 14oBe pada suhu 40-

50oC dengan pengadukan selama 15 menit. Larutan kemudian didiamkan

sampai terbentuk dua lapisan, gum berada pada lapisan bawah. Metil ester

dicuci dengan air yang mengandung asam asetat (CH3COOH) 0,01%

untuk mengikat NaOH berlebih, pencucian dilanjutkan dengan air hangat

60oC sampai air cucian netral. Setelah itu, metil ester dihitung bobot dan

FFA. Kemudian metil ester tersebut (E1N) ditransestrifikasi pada rasio

molar metanol dengan FFA 6:1, katalis NaOH 0,5% (b/b) pada suhu 60oC,

pengadukan 400 rpm selama 30 menit. Hasil reaksi dipisahkan pada

corong pemisah selama 24 jam. Lapisan bawah merupakan gliserol dan

lapisan atas adalah metil ester. Metil ester yang terbentuk dicuci dengan

air yang mengandung asam asetat (CH3COOH) 0,01% untuk mengikat

NaOH berlebih, kemudian larutan dicuci dengan air hangat 60oC sampai

air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan dengan cara

dipanaskan pada suhu 110-120oC selama 5 menit. Sisa air dalam metil

ester diserap menggunakan Na-Sulfat anhidrat sebanyak 1% b/v. Setelah

itu metil ester dihitung bobot dan dianalisa FFA, bilangan asam,

viskositas, densitas dan kadar air.

Kombinasi ke empat adalah transesterifikasi dilanjutkan dengan

netralisasi (E1TN). Prosedur seperti pada kombinasi pertama (E1T) metil

ester dinetralisasi menggunakan larutan NaOH 14oBe pada suhu 40-50

oC

dengan pengadukan selama 15 menit. Larutan kemudian didiamkan

sampai terbentuk dua lapisan, gum berada pada lapisan bawah. Metil ester

dicuci dengan air yang mengandung asam asetat (CH3COOH) 0,01%

untuk mengikat NaOH berlebih, pencucian dilanjutkan dengan air hangat

60oC sampai air cucian netral. Pengeringan metil ester dilakukan dengan

cara dipanaskan pada suhu 110-120oC selama 5 menit. Sisa air dalam metil

ester diserap menggunakan Na-Sulfat anhidrat sebanyak 1% b/v. Setelah

itu metil ester dihitung bobot dan dianalisa FFA, bilangan asam,

viskositas, densitas dan kadar air.

Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5

sedangkan jumlah bahan-bahan cara perhitungan yang digunakan untuk

proses produksi biodiesel dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian

Karakterisasi Minyak

Nyamplung Kasar

Reaksi esterifikasi rasio molar metanol= 15:1 dan 20:1 (b/b), katalis HCl

37% sabanyak 1%, T= 60oC, pengadukan 300 rpm, t= 30 dan 60 menit

Esterifikasi rasio molar metanol= 20:1

(b/b), katalis HCl 37%= 1%, T= 60oC,

pengadukan 300 rpm, t= 30 menit

Transesterifikasi (rasio molar

metanol dan FFA 6:1),

katalis NaOH 0,5% pada

suhu 60oC, pengadukan 400

rpm selama 0,5 jam

Netralisasi NaOH 14oBe

pada suhu 40-50oC dengan

pengadukan selama 15 menit

Mulai

Selesai

Karakterisasi Biodiesel yang

dihasilkan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Minyak Nyamplung

Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis terhadap sifat fisik dan

kimia minyak nyamplung kasar yang diperoleh dari Kecamatan Kroya,

Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Analisis tersebut meliputi warna minyak,

bilangan asam, densitas, viskositas, dan kadar air. Tujuan analisis ini adalah

untuk mengetahui sifat awal minyak nyamplung yang akan diproses menjadi

biodiesel. Hasil analisis terhadap karakteristik minyak nyamplung dapat

dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik minyak nyamplung hasil analisis

a. Minyak nyamplung kasar b. Minyak nyamplung setelah degumming

Gambar 6. Minyak nyamplung

Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak nyamplung diperoleh kadar air

sebesar 0,31% (b/b). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian

Sahirman (2009) yaitu 0,25% (b/b). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh

perbedaan penanganan pasca panen, seperti proses pengeringan yang belum

sempurna. Pengeringan biji tanpa tempurung dapat dilakukan dengan beberapa

Komposisi Karakteristik

Awal Degumming

Warna Hijau kehitaman Kemerahan

Kondisi Cairan kental kental

Densitas pada suhu 20oC (g/ml) 0,9563 0,9412

Kadar air (% b/b) 0,31 0,46

Bilangan asam (mg KOH/g minyak) 41,88 39,46

Viskositas kinematik 40oC (cSt) 28,77 25,36

cara yaitu pengeringan yang pengeringan di bawah sinar matahari,

penggorengan tanpa minyak (sangrai) dan pengeringan dengan mesin (oven),

sampai biji nyamplung berwarna coklat kemerahan. Pengeringan yang tepat

akan menentukan rendemen minyak yang dihasilkan. Kadar air merupakan

salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas minyak nyamplung.

Kadar air yang tinggi memungkinkan terjadinya reaksi hidrolisis trigliserida

menjadi asam lemak bebas dan gliserol.

Densitas minyak nyamplung pada suhu 20oC sebesar 0,9563 g/ml.

Densitas minyak dipengaruhi oleh bobot molekul asam lemak. Semakin tinggi

bobot molekul maka densitas semakin tinggi. Bilangan asam minyak

nyamplung awal adalah 41,88 mg KOH/g minyak, nilai ini lebih rendah

dibandingkan hasil penelitian Sahirman (2009) yaitu 59,94 mg KOH/g minyak

dan masih diatas persyaratan minyak yang dapat langsung ditransesterifikasi

(kurang dari 1,0 mg KOH/g minyak). Perbedaan tersebut dapat disebabkan

oleh perbedaan kandungan air dalam minyak nyamplung yang dapat

menghidrolisis trigiserida sehingga bilangan asam tinggi. Bilangan asam

menunjukkan jumlah asam lemak yang terdapat dalam minyak. Semakin

tinggi kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak nyamplung

memungkinkan terjadinya oksidasi pada ikatan rangkap tersebut sehingga

bilangan asam meningkat. Kondisi penyimpanan yang kontak langsung

dengan udara dan besi juga dapat menjadi penyebab reaksi oksidasi yang

menghasilkan asam-asam lemak berantai pendek.

Nilai viskositas kinematik minyak nyamplung awal sebesar 28,77 cSt

(centi Stoke atau mm2/s) lebih kecil dari hasil penelitian Sahirman (2009)

yaitu 60,96 cSt. Nilai ini masih cukup tinggi untuk digunakan langsung

sebagai bahan bakar. Minyak nabati yang mempunyai viskositas tinggi tidak

diinginkan dalam bahan bakar. Viskositas bahan bakar yang tinggi

mengakibatkan daya atomisasi rendah dan akumulasi bahan bakar dalam

minyak pelumas (Foglia et al., 1996).

Analisis sifat fisiko kimia juga dilakukan pada minyak hasil

degumming. Pada penelitian ini, degumming dilakukan pada suhu 80oC

menggunakan asam fosfat teknis sebanyak 0,3% (b/b). Koagulasi gum lebih

cepat terjadi pada suhu 80oC karena penggumpalan protein terjadi pada suhu

tinggi sehingga fungsi emulsifiernya hilang. Setelah proses degumming warna

minyak mengalami perubahan dari warna hijau kehitaman menjadi kuning

kemerahan. Hal ini disebabkan pigmen warna dominan pada minyak yaitu

klorofil mengalami kerusakan saat proses digantikan dengan pigmen

karotenoid yang berwarna kuning kemerahan. Rendemen rata-rata minyak

setelah degumming adalah 97,50 % (b/b). Gum (getah dan lendir) yang

menyebabkan kekentalan pada minyak nyamplung hilang saat proses

degumming, sehingga bilangan asam dan viskositas minyak menurun menjadi

39,46 mg KOH/g minyak dan 25,36 cSt. Kadar air mengalami peningkatan

dari 0,31 % menjadi 0,46 %, hal ini dapat disebabkan masih ada air yang

tertinggal setelah proses pencucian.

Penanganan pasca panen biji nyamplung mempengaruhi karakteristik

minyak nyamplung yang dihasilkan. Setelah proses pengupasan, biji

nyamplung harus melalui proses pengukusan untuk inaktifasi enzim lipase

yang dapat bilangan asam dan menghilangkan gum yang terkandung dalam

buah.

B. Esterifikasi

Proses esterifikasi dilakukan untuk menurunkan bilangan asam minyak

nyamplung yang masih tinggi yaitu 41,88 mg KOH/g sebelum reaksi

transesterifikasi. Minyak yang memiliki keasaman tinggi jika transesterifikasi

secara langsung menggunakan katalis basa akan terjadi reaksi penyabunan

yang dapat menghambat pembentukan metil ester dan pemisahan gliserol.

Rasio molar metanol yang digunakan pada proses esterifikasi adalah 15:1 dan

20:1 dikombinasikan dengan waktu reaksi yaitu 30 dan 60 menit. Perlakuan

ini bertujuan untuk mengetahui hubungan waktu dan jumlah metanol yang

digunakan sehingga didapatkan kombinasi terbaik yang dapat menurunkan

bilangan asam. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sahirman

(2009), menghasilkan kombinasi optimum proses estrifikasi pada rasio molar

metanol 20:1 selama 60 menit. Dalam penelitian ini dilakukan pengurangan

rasio molar metanol dan waktu agar dapat diketahui kombinasi waktu dan

rasio molar metanol yang lebih sedikit dapat dihasilkan biodiesel dengan mutu

yang baik serta biaya yang lebih murah. Keberhasilan reaksi esterifikasi

ditentukan oleh rendahnya bilangan asam.

Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan jumlah metanol dan

waktu reaksi berpengaruh terhadap nilai bilangan asam minyak. Kombinasi

waktu dan rasio molar metanol yang menghasilkan bilangan asam paling

rendah adalah perlakuan rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu 2,97

mg KOH/g sampel seperti terlihat pada Gambar 7.

7,27

5,47

4,72

2,97

0

1

2

3

4

5

6

7

8

30 60

Waktu reaksi (menit)

Bilangan a

sam

(m

g K

OH

/g s

am

pel)

15:1 3

20:1 3

Gambar 7. Grafik pengaruh waktu dan rasio molar metanol

terhadap bilangan asam

Semakin banyak jumlah metanol yang digunakan dan semakin lama

waktu reaksi, semakin menurun bilangan asam yang berarti kandungan asam

lemak bebas semakin sedikit dan rendemen metil ester yang dihasilkan juga

meningkat (Ozgul dan Turkay, 2002). Pada penelitian ini, bobot minyak

setelah reaksi esterifikasi mengalami pengurangan, rendemen rata-rata adalah

90% seperti terlihat pada Gambar 8. Hal ini diduga terjadi reaksi hidrolisis dan

oksidasi selama reaksi berlangsung.

90,13

90,28

89,7689,82

89,5

89,6

89,7

89,8

89,9

90,0

90,1

90,2

90,3

90,4

30 60

Waktu reaksi (menit)

Rendem

en (

b/b

)

15:1 3

20:1 3

Gambar 8. Grafik hubungan waktu dan rasio molar metanol

terhadap rendemen

Interaksi antara asam lemak dan metanol bersifat reversibel dan

lambat. Mekanisme reaksi esterifikasi berkatalis asam melibatkan proses

protonasi atom oksigen pada gugus karbonil asam lemak membentuk suatu ion

asam konjugat dari asam lemaknya. Ion ini mengalami reaksi penukaran oleh

molekul metanol untuk menghasilkan molekul air, selanjutnya ion dilepaskan

untuk menghasilkan metil ester.

Proses esterifikasi menurunkan bilangan asam secara signifikan

menjadi 2,97 sampai 7,27 mg KOH/g minyak atau rata-rata 5,10 mg KOH/g.

Nilai ini masih besar untuk persyaratan minyak yang akan ditransesterifikasi.

Kandungan asam lemak bebas hasil esterifikasi akan mempengaruhi jumlah

asam lemak bebas dalam biodiesel akhir. Menurut Freedman et al., (1984)

kandungan asam lemak bebas lebih dari 0,5% (bilangan asam 1,0 mg KOH/g

minyak) dapat menurunkan rendemen transestrifikasi. Oleh karena itu,

sebelum produk hasil esterifikasi dikonversi menjadi biodiesel, pada penelitian

ini dilakukan beberapa tahap perlakuan untuk menurunkan bilangan asam.

Kombinasi perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah esterifikasi-

transesterifikasi (E1T), esterifikasi-esterifikasi-transesterifikasi (E1E2T),

esterifikasi-netralisasi-transesterifikasi (E1NT) dan esterifikasi-

transesterifikasi-netralisasi (E1TN).

C. Pengaruh Tahapan Proses

Perlakuan esterifikasi dengan kombinasi waktu dan rasio yang lebih

tinggi telah dilakukan pada penelitian sebelumya oleh Sahirman (2009),

menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan

semakin banyak metanol yang ditambahkan semakin banyak pula asam lemak

bebas yang dikonversi menjadi metil ester dan air sebagai produk samping.

Keberadaan air dianggap sebagai zat pengotor (impurities) yang dapat

mengganggu reaksi. Oleh sebab itu, penambahan molar metanol yang lebih

banyak dan waktu yang lebih lama tidak berpengaruh nyata terhadap

penurunan bilangan asam. Pada penelitian ini, dilakukan esterifikasi dua tahap

untuk melihat efektifitas penambahan metanol terhadap penurunan bilangan

asam. Esterifikasi kedua dilakukan pada metil ester hasil esterifikasi pertama

yang telah dipisahkan dari air dan sisa metanol (produk samping reaksi

pertama). Rasio molar metanol yang digunakan pada esterifikasi ke dua

adalah 20:1 selama 30 menit. Kondisi transesterifikasi yang digunakan adalah

kondisi optimum yang dilakukan Sahirman (2009) yaitu rasio molar metanol

dengan asam lemak bebas 6:1 selama 30 menit, sedangkan netralisasi

dilakukan dengan konsentrasi larutan NaOH 14 oBe.

Biodiesel yang dihasilkan pada proses E1T, E1TN dan E1NT rasio

molar metanol 15:1 waktu 30 dan 60 menit membentuk gel pada suhu kamar

(27oC), kecuali E1E2T 15:1, 20:1 30 dan 60 menit, E1NT 20:1 30 dan 60

menit. Kontrol suhu reaksi yang kurang baik, memungkinkan terjadi

polimerisasi termal karena metil ester yang digunakan masih mengandung

asam lemak tidak jenuh tinggi dan masih terdapat air setelah proses

esterifikasi. Setelah reaksi transesterifikasi tidak terbentuk lapisan gliserol

dibagian bawah, tetapi yang terbentuk adalah lapisan sisa metanol dibagian

atas seperti setelah reaksi esterifikasi. Hal ini diduga katalis yang digunakan

untuk reaksi transesterifikasi dikonsumsi oleh asam lemak bebas yang masih

terkandung dalam metil ester. Lapisan metil ester dan gliserol hanya terbentuk

pada proses E1NT dan E1E2T, seperti terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Metil ester kasar dan gliserol hasil transesterifikasi

metode E1E2T dan E1NT

Gliserol merupakan indikasi keberhasilan transesterifikasi. Semakin

banyak gliserol yang dihasilkan, maka viskositas biodiesel semakin rendah.

Bahan bakar yang digunakan pada motor diesel harus mempunyai viskositas

yang relatif rendah, sehingga akan mengalir dengan mudah melalui sistem

pompa dan fuel injection line, penyemprotan serta atomisasi bahan bakar dapat

terlaksana dengan baik. Rasio molar metanol yang semakin kecil

menghasilkan gliserol yang semakin kental dan membentuk padatan. Jumlah

gliserol yang dihasilkan tergantung pada asam lemak yang terkandung dalam

minyak serta berkaitan dengan jumlah dan karakteristik fisik metil ester yang

terbentuk.

Gliserol yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna coklat kehitaman

dan kental, sedangkan biodiesel memiliki warna kuning kemerahan kecuali

pada perlakuan E1NT 60 menit mempunyai warna kuning terang. Dengan

kualitas bahan baku yang sama, apabila gliserol yang dihasilkan sedikit dan

warna ester cenderung gelap, maka diperoleh viskositas yang tinggi (Zuhdi,

2002 dalam Fahruri, 2003). Karakteristik fisik biodiesel yang dihasilkan dari

variasi proses secara umum ditunjukkan pada Tabel 7 berikut.

Table 7. Karakeristik umum biodiesel yang dihasilkan dari variasi proses

Karakteristik Fisiko-Kimia Hasil Analisis SNI Biodiesel (2006)

Bilangan asam (mg KOH/g) 0,3 – 1,8 Maks. 0,8

Viskositas kinematik 40oC (cSt) 2,59 – 24,65 2,3-6,0

Densitas 40 oC (g/ml) 0,89 – 0,94 0,85 – 0,89

Kadar Air (%) 0,05-0,19 Maks 0,05

Metil Ester

Gliserol

Proses pencucian dilakukan pada metil ester yang telah dipisahkan dari

gliserol. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan sisa katalis, alkohol, dan

kotoran yang tertinggal di dalam produk. Kandungan asam lemak bebas yang

masih tinggi dalam metil ester dapat membentuk emulsi pada saat proses

pencucian. Hal ini memungkinkan terjadinya pengurangan rendemen biodiesel

yang dihasilkan. Proses pengeringan dilakukan dengan cara memanaskan

minyak sampai suhu 120°C. Proses ini perlu dilakukan dengan hati-hati karena

akan terjadi letupan, apabila kandungan air dalam minyak terlalu banyak.

D. Karakterisasi Biodiesel

1. Bilangan Asam

Proses E1T mempunyai bilangan asam paling rendah pada rasio molar

metanol 20:1 selama 30 menit yaitu 0,74 mg KOH/g sampel. Pada proses

E1E2T bilangan asam terendah adalah rasio molar metanol 15:1 selama 60

menit dengan nilai 0,573 mg KOH/g sampel. Bilangan asam terendah

proses E1NT adalah pada rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu

0,71 mg KOH/g sampel sedangkan proses E1TN pada rasio molar metanol

15:1 selama 30 menit yaitu 0,74 mg KOH/g sampel.

Secara umum bilangan asam terbaik dari hasil penelitian adalah pada

perlakuan E1E2T rasio molar metanol 15:1 selama 60 menit dengan nilai

0,573 mg KOH/g sampel sesuai dengan standar SNI no. 04-7182-2006

tahun 2006 yang ditetapkan yaitu 0,8 mg KOH/g sampel, tetapi warna

yang dihasilkan lebih gelap, hal ini dimungkinkan terjadinya reaksi

browning karena minyak terlalu lama kontak dengan panas. Bilangan asam

menunjukkan banyaknya asam lemak bebas dalam biodiesel. Asam lemak

bebas dapat dijadikan indikator kerusakan metil ester akibat oksidasi.

Senyawa peroksida yang merupakan senyawa intermediet pada reaksi

oksidasi dapat menyerang asam lemak lain yang masih utuh untuk

membentuk asam lemak bebas rantai pendek yang lebih banyak. Bilangan

asam yang lebih besar dari 0,8 mg KOH/g sampel akan menyebabkan

terbentuknya abu saat pembakaran, deposit bahan bakar dan mengurangi

umur pompa bahan bakar dan filter. Hubungan variasi proses dengan

bilangan asam dapat dilihat pada Gambar 10.

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1,6

1,8

E1T E1E2T E1NT E1TN

Proses

Bila

ng

an

As

am

(m

g K

OH

/g s

am

pel)

15:1 ; 30'

15:1 ; 60'

20:1 ; 30'

20:1 ; 60'

Gambar 10. Hubungan variasi proses dengan bilangan asam biodiesel

Biodiesel dengan proses E1NT mempunyai bilangan asam yang rendah

tetapi rendemen yang dihasilkan juga rendah. Hal ini disebabkan produk

hasil esterifikasi masih mempunyai bilangan asam yang tinggi, sehingga

larutan NaOH yang ditambahkan pada netralisasi bereaksi dengan asam

lemak bebas membentuk sabun. Kandungan air dan asam lemak bebas

pada minyak dapat berpengaruh terhadap pembentukan sabun selama

reaksi, menurunkan efisiensi katalis, meningkatkan viskositas, dan

menyebabkan kesulitan dalam pemisahan gliserol. Pada perlakuan yang

lain bilangan asam akhir cenderung naik dan membentuk gel. Hal ini dapat

disebabkan bilangan asam metil ester sebelum transesterifikasi masih

tinggi sehingga menghambat kerja katalis. Selain itu, reaksi oksidasi yang

menyebabkan terbentuknya molekul hidroperoksida, aldehid, keton dan

asam yang dapat mengubah sifat bahan baku.

2. Viskositas

Viskositas kinematik merupakan pengukuran terhadap gaya gesek atau

hambatan dari laju alir suatu cairan pada suhu tertentu. Viskositas

biodiesel pada suhu 40oC dalam SNI no. 04-7182-2006 tahun 2006 adalah

2,3-6,0 cSt. Viskositas pada proses E1T yang paling rendah pada rasio

molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu 16,36 cSt. Pada proses E1E2T

viskositas terendah adalah pada rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit

dengan nilai 6,12 cSt. Nilai viskositas terendah proses E1NT adalah pada

rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit 2,60 cSt, sedangkan proses

E1TN pada rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu 13,10 cSt.

Viskositas terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini adalah perlakuan

E1NT rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu 2,60 cSt. Viskositas

biodiesel dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak ikut bereaksi

dan komposisi asam lemak penyusunnya. Viskositas yang terlalu rendah

maupun terlalu tinggi akan mengurangi daya pembakaran dan dapat

menyebabkan konsumsi bahan bakar meningkat. Nilai viskositas biodiesel

pada variasi proses yang lain dapat dilihat pada Gambar 11

0

5

10

15

20

25

E1T E1E2T E1NT E1TN

Proses

Vis

kositas

(cS

t) 15:1 ; 30'

15:1 ; 60'

20:1 ; 30'

20:1 ; 60'

Gambar 11. Hubungan variasi proses dengan viskositas biodiesel

Viskositas berpengaruh terhadap efektifitas metil ester sebagai bahan

bakar. Perlakuan E1NT, setelah esterifikasi metil ester mengalami reaksi

netralisasi untuk menurunkan bilangan asam dan viskositas sehingga

bilangan asam metil ester sebelum transesterifikasi rendah dan pada akhir

proses diperoleh viskositas yang rendah. Sedangkan pada perlakuan E1E2T

bilangan asam diturunkan melalui proses esterifikasi tahap dua, tetapi

penurunan tidak signifikan karena dalam metil ester masih terdapat

pengotor. Minyak yang ditransesterifikasi memiliki viskositas rendah

karena kandungan metil ester tinggi dan trigliserida rendah. Semakin

tinggi kandungan metil ester, semakin rendah viskositas kinematik.

Pengukuran viskositas pada reaksi transesterifikasi dapat membantu

menentukan kondisi optimum.

Pada perlakuan suhu tinggi ada indikasi terjadinya reaksi oksidasi

termal, yaitu dekomposisi susunan kimiawi akibat pengaruh panas. Reaksi

oksidasi dapat terjadi selama proses pemanasan mungkin sebelum

penambahan metanol dan saat reaksi. Senyawa peroksida memicu

terjadinya proses polimerisasi dan endapan yang tidak larut yang

menyebabkan viskositas tinggi. Viskositas dipengaruhi oleh tingkat

polimerisasi sebagai akibat proses degradasi oksidasi (Canakci dan

Gerpen., 1999).

3. Densitas

Densitas biodiesel dalam SNI no. 04-7182-2006 tahun 2006 adalah

0,85-0,89 g/ml. Densitas pada proses E1T yang paling rendah pada rasio

molar metanol 20:1 selama 30 menit yaitu 0,91 g/ml. Pada proses E1E2T

densitas terendah adalah pada rasio molar metanol 20:1 selama 30 menit

dengan nilai 0,92 g/ml. Proses E1NT densitas terendah adalah pada rasio

molar metanol 20:1 selama 60 menit 0,89 g/ml, sedangkan proses E1TN

pada rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu 0,92 g/ml. Densitas

terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini adalah perlakuan E1NT rasio

molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu 0,89 g/ml.

Gambar 12. menunjukkan hubungan variasi proses dengan densitas

biodiesel. Perbedaan densitas biodiesel berkaitan dengan komposoisi asam

lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt,

2004), yang menunjukkan reaksi transesterifikasi belum sempurna dan

masih mengandung banyak trigliserida yang tidak ikut bereaksi.

Peningkatan densitas juga menunjukkan penurunan panjang rantai karbon

dan peningkatan ikatan rangkap.

0,86

0,87

0,88

0,89

0,90

0,91

0,92

0,93

0,94

0,95

E1T E1E2T E1NT E1TN

Proses

Densitas (

g/m

l)

15:1 ; 30'

15:1 ; 60'

20:1 ; 30'

20:1 ; 60'

Gambar 12. Hubungan variasi proses dengan densitas biodiesel

Densitas biodiesel biasanya lebih besar dari densitas petrodiesel. Hal

ini disebabkan bobot molekul metil ester lebih besar dari petrodiesel.

Menurut Prihandana et al., (2006), densitas berhubungan dengan nilai

kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan

bakar. Densitas bahan bakar motor diesel dapat menunjukkan sifat serta

kinerja seperti kualitas penyalaan, daya, konsumsi, sifat–sifat pada suhu

rendah dan pembentukan asap.

4. Kadar Air

Menurut SNI no. 04-7182-2006 tahun 2006 adalah kadar air maksimal

dalam biodiesel adalah 0,05%. Pada proses E1T kadar air yang paling

rendah pada rasio molar metanol 20:1 selama 60 menit yaitu 0,09%. Pada

proses E1E2T kadar air terendah adalah pada rasio molar metanol 20:1

selama 60 menit dengan nilai 0,06%. Pada proses E1NT kadar air terendah

adalah rasio molar metanol 20:1 selama 30 dan 60 menit 0,05%,

sedangkan kadar air pada proses E1TN pada rasio molar metanol 20:1

selama 60 menit yaitu 0,09%. Gambar 13. menunjukkan nilai kadar air

dari variasi proses yang dilakukan pada penelitian ini.

0,00

0,05

0,10

0,15

0,20

0,25

E1T E1E2T E1NT E1TN

ProsesK

ad

ar

air

(%

b/b

)

15:1 ; 30'

15:1 ; 60'

20:1 ; 30'

20:1 ; 60'

Gambar 13. Hubungan variasi proses dengan kadar air biodiesel

Kadar air terbaik yang memenuhi standar adalah perlakuan E1NT rasio

molar metanol 20:1 selama 30 dan 60 menit yaitu 0,05%. Hal ini

dikarenakan pada proses netralisasi bahan-bahan terlarut ikut terbuang

bersama sabun dan sisa gum. Kadar air merupakan salah satu parameter

penting dalam menentukan kualitas biodiesel. Kandungan air yang tinggi

menyebabkan terjadinya korosi pada ruang pembakaran. Tingginya kadar

air pada variasi proses yang lain dapat disebabkan proses pengeringan

biodiesel belum sempurna yaitu masih ada air yang tidak terikat oleh

Na2SO4 anhidrat dan adanya uap air dari lingkungan yang ikut masuk ke

dalam biodiesel. Pengeringan biodiesel sebaiknya dilakukan dalam

keadaan vakum, agar suhu yang digunakan lebih rendah dan uap air dari

lingkungan tidak masuk ke dalam biodiesel yang sedang dikeringkan.

5. Rendemen

Penghitungan rendemen bertujuan untuk mengetahui jumlah biodiesel

yang dihasilkan dibandingkan dengan minyak nyamplung yang digunakan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa perlakuan E1T

menghasilkan rendemen paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan

yang lain. Perlakuan E1T memiliki rendemen sebesar 77,82-79,03% (b/b),

E1E2T 70,24-71,32% (b/b) , E1NT 47,76-66,71 % (b/b) dan E1TN 42,93-

59,3% (b/b). Rendahnya rendemen yang dihasilkan oleh perlakuan yang

lain disebabkan produk yang dihasilkan pada proses esterifikasi masih

mengandung asam lemak bebas dan banyaknya tahapan proses yang

dilalui sehingga dalam setiap proses biodiesel berkurang lebih banyak.

Perlakuan terbaik yang dipilih pada faktor rendemen ini adalah proses E1T

pada rasio molar metanol dengan asam lemak bebas 20:1 selama 30 menit

dengan nilai 79,03 %. Gambar 14. menunjukkan hubungan variasi proses

dengan rendemen biodiesel yang dihasilkan.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

E1T E1E2T E1NT E1TN

Proses

Rendem

en (

%) 15:1 ; 30'

15:1 ; 60'

20:1 ; 30'

20:1 ; 60'

Gambar 14. Hubungan variasi proses dengan rendemen biodiesel

Rendemen biodiesel sangat dipengaruhi oleh kadar FFA sebelum

transesterifikasi sesuai dengan Tyson (2005) yang menyatakan minyak

yang mengandung FFA 10% akan kehilangan rendemen sebesar 30% jika

diproses dengan transesterifikasi. Menurut Lee et al., (2002) rendemen

transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan

menurunkan kadar FFA dan air masing-masing 10% menjadi 0.23% dan

0,2% menjadi 0,02%. Asam lemak bebas yang tinggi dapat mengkonsumsi

katalis basa pada proses netralisasi dan transesterifikasi membentuk sabun.

Pada proses transesterifikasi katalis yang seharusnya digunakan untuk

membantu reaksi menjadi berkurang, sehingga proses konversi

terigliserida menjadi metil ester tidak sempurna dan menghasilkan

senyawa intermediet (mono dan digliserida) yang dapat menjadi emulsifier

dalam biodiesel. Hal ini yang menyebakan rendemen biodiesel rendah

karena kehilangan pada proses pencucian sangat besar.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

I. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan proses esterifikasi dengan perlakuan

rasio molar metanol dengan asam lemak bebas 20:1 dan waktu 60 menit dapat

menurunkan bilangan asam minyak nyamplung lebih rendah dibandingkan

perlakuan lain, dari bilangan asam awal 41,88 mg KOH/g sampel menjadi

2,97 mg KOH/g sampel. Bilangan asam pada perlakuan rasio molar metanol

dengan asam lemak bebas 15:1 selama 30 dan 60 menit serta rasio molar

metanol 20:1 dan waktu 60 menit berturut-turut adalah 7,27 mg KOH/g

sampel, 5,47 mg KOH/g sampel dan 4,72 mg KOH/g sampel.

Proses esterifikasi-esterifikasi-transesterifikasi, esterifikasi-netralisasi-

transesterifikasi dan esterifikasi-transesterifikasi-netralisasi menghasilkan

biodiesel dengan viskositas dan bilangan asam yang rendah, namun rendemen

kecil. Perlakuan terbaik yang dipilih dalam penelitian ini adalah berdasarkan

kualitas biodiesel yang memenuhi standar SNI (no. 04-7182-2006) adalah

proses esterifikasi-netralisasi-transesterifikasi pada rasio molar metanol 20:1

selama 60 menit dengan bilangan asam 0,71 mg KOH/g sampel, viskositas

2,60 cSt, densitas yaitu 0,89 g/ml, kadar air 0,05 % dan rendemen 47,7 %

(b/b).

II. Saran

Penilitian selanjutnya disarankan melakukan analisis fisiko kimia yang

lain seperti angka setana, bilangan iod dan titk tuang untuk mengetahui

kelayakan biodiesel perlakuan esterifikasi-netralisasi-transesterifikasi sebagai

biodiesel, serta alternatif pengolahan minyak nyamplung yang sesuai dengan

karakteristik alami minyak, misalnya sebagai minyak pelumas.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, A. J. C. dan P. N. William. 1962. Refining of Oils and Fats for Edibel

Purpose. Pergamon Press. Mc. Millad Company. New York.

ASTM. 2003. American Society for Testing and Materials, D6751: Standard

Specification for Biodiesel Fuel (B100) Blend Stock for Distillate Fuels.

USA.

Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan. 2008. Nyamplung (Calophyllum

inophyllum) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Departemen

Kehutanan. Jakarta.

Bernardini, E. 1983. Vegetable Oil and Fats Processing. Interstamps House. Raly.

2:101-168.

Canakci, M. dan J. V. Gerpen. 2001. Biodiesel from Oil and Fat with high Free

Fatty Acid. Trans Am. Soc. Automotive Engine. 44:1429-1436.

Darnoko, D dan M. Cheryan. 2000. Kinetics of Palm Oil Transesterification in A

Batch Reactor. JAOCS, 77 (12):1263-1267.

Debaut, V.J., Y. B. Jean dan S. A. Greentech. 2005. Tamanol a Stimulan for

Collagen Synthesis for Use in anti Wrinkle and anti Stretch Mark Products

Cosmetic and Toiletries Manufacture World Wide. Greentech, St. France.

Dweek, A. C. dan T. Meadows. 2002. Tanamu (Calophyllum inophyllum) the

Africa, Asia Polynesia and Pasific Panacea. International J. Cos. Sci.,

24:1-8.

Fahruri, S. 2003. Studi Eksperimen Unjuk Kerja Motor Diesel Menggunakan

Bahan Bakar Jelantah Ethyl Ester. Tugas Akhir. ITS, Surabaya.

Foglia, T. A., L. A. Nelson, R. O. Dunn dan W. N. Marmer. 1997. Temperature

Properties of Alkyl Ester of Tallow and Grease. Ibid, 74:951-955.

Francis, G. dan K. Becker. 2001. Development Mobility and Environment. A Case

for Production and Use of Biodiesel from Jathropha Plantation in India.

University of Hohenheim, Stugart. http//www.upi-hohenheim. (20 Oktober

2008)

Freedman, B., E. H. Pryde dan T. L. Mounts. 1984. Variable Affecting the Yield of

Fatty Ester from Transesterified Vegetable Oil. JAOCS, 61:1638-1643.

Friday, J. B dan D. Okano. 2006. Species Profiles for Pacific Island Agroforestry

Calophyllum inophyllum. www.traditionaltree.org. (10 Desember 2008).

Fukuda, H., A. Kondo dan H. Noda. 2001. Biodiesel Fuel Production by

Transesteification of Oils. J. Biosci. Bioeng., 405-416.

Goff, M. J., N. S. Bauer, S. Lopes, W. R. Sutterlin dan G. J. Suppes. 2004. Acid

Catalyzed Alcoholysis of Soybean Oil. Departemen of Chemical

Engineering. University of Missouri, Columbia.

Haas, M. J., P. J. Michalski, S. Runyon, A. Nunez dan K. M. Scott. 2003.

Production of Fatty Acid Methyl Ester from Acid Oil, a by Product of

Vegetable Oil Refining. JAOCS , 80 (1): 97-102.

Hendrix, B. 1990. Netralization I: Theory and Practice of Conventional Caustic

(NaOH) Refining. Di dalam. Erickson, D. R. 1990. Edible Fats and Oil

Basic Principles and Modern Practice. World Converence Proceeding.

American Oil Chemists. Illnois USA : 94-100.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Badan Penelitian dan

Pengembangan Hasil Hutan. Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan.

Jakarta.

Istadi. 2008. Nyamplung, BBN Yang Potensial. http://www.Istadi.Net. (19

Oktober 2008).

Joker, D. 2004. Calophyllum Forest and Lanscape. Denmark. http.//www.sl. kul.

Dk. (17 Juli 2008).

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press.

Jakarta.

Lee, K. T., T. A. Foglia dan K. S. Chang. 2002. Production of Alkaly Ester as

Biodiesel from Fractioned Lard and Restourant Grease. JAOCS,

79(2):191-195.

Ma, F. dan M. A. Hanna. 1999. Biodiesel Production: A Review. Bioresource

Technology, 70:77-82.

Mao, V. S., K. Konar dan D. G. B. Boocock. 2004. The Pseudo Single Phase Base

Catalyzed Transmethylation of Soybean Oil. JAOCS, 8:803-808.

Mittelbach, M., P. Tritthart dan H. Junek. 1985. Diesel Fuel Derived from

Vegetable Oils, II: Emission Tests Using Rape Oil Methyl Ester. Energy

Agricul. 4:207–215.

Noureddini, H. dan D. Zhu. 1997. Kinetics Transesterification of Soybean Oil.

JAOCS, 74:1457-1463.

Ozgul, S dan S. Turkay. 2002. Variable Affecting the Yield of Methyl Ester

derived from in situ Esterification of Rice Bran Oil. JAOCS, 79: 611-614.

Pakpahan, A. 2001. Palm Biodieses Its Potency, Technology, Business Prospect

and Environmental Implication in Indonesia. Proceeding of the

International Biodiesel Workshop, Enhanching Biodiesel Development

and Use. Ministry of Agriculture RI. Jakarta. Medan, 2-4 Oktober 2001.

Peraturan Presiden. 2006. Peraturan Presiden no. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan

Energi Nasional. http://perpustakaan.bappenas.go.id (4 Maret 2009).

Prihandana, R., R. Hendroko, dan M. Nuramin. 2006. menghasilkan biodiesel

murah, mengatasi polusi dan kelangkaan bbm. agromedia pustaka, jakarta.

Sahirman. 2009. Perancangan Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji

Nyamplung (Calophyllum inophyllum). Disertasi. Program Pasca Sarjana

IPB.

SNI. 2006. Standar Nasional Indonesia Biodiesel. Badan Standarisasi Nasional,

Jakarta.

Soerawidjaya, T.H., T. Adrisman, U.W. Siagian, T. Prakosa, I. K. Reksowardojo

dan K. S. Permana. 2005. Studi Kebijakan Penggunaan Biodiesel di

Indonesia. Di dalam. P. Hariyadi, N. Andarwulan, L. Nuraida dan Y.

Sukmawati. Editor. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian

Biodiesel. Kementrian Riset dan Teknologi RI-MAKSI IPB Bogor.

Sonntag, N. O. V. 1982. Fat Splitting, Esterification, and Interesterification. Di

dalam. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. 2nd vol. 4

th ed. John Wiley

and Sons. New York.

Sudradjat, R. 2006. Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Sumiarso, L. 2001. Indonesian Policy on Renewable Energy Development.

Proceeding of the International Biodiesel Workshop, Enhanching

Biodiesel Development and Use. Ministry of Agriculture RI. Jakarta.

Medan, 2-4 Oktober 2001.

Swern, D. 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. 2nd vol. 4

th ed. John

Wiley and Sons. New York.

Thieme, J. G. 1986. Coconut Oil Processing. Agriculture Development Paper.

FAO, ROME, 184-186.

Tyson, K. S. 2004. Energy Efficiency and Renewable Energy. US Departement of

Energy.

Vicente, G., M. Martinez dan J. Aracil. 2004. Integrated Biodiesel Production: a

Comparison of Different Homogeneous Catalysts Systems. Biores.

Technol., 92:297–305.

Wahid, P. 2001. Calophyllum inophyllum. Di dalam. Supriadi. Tumbuhan Obat

Indonesia: Penggunaan dan Khasiatnya. Pustaka Populer Obor. Jakarta.

Lampiran 1. Prosedur Analisa Sifat Fisikokimia Minyak Nyamplung dan

Biodiesel

1. Nilai % FFA dan Bilangan Asam (SNI 01-3555-1998)

Contoh minyak ditimbang sebanyak 2-5 gram dalam erlenmeyer 250 ml.

Sebanyak 50 ml alkohol netral 95% ditambahkan, kemudian ditetesi dengan

indikator pp sebanyak 2-3 tetes. Larutan dititrasi dengan 0,1 N KOH sambil

diaduk hingga terlihat warna merah muda yang bertahan setelah dibiarkan

lebih dari 15 detik.

Keterangan:

56,1 = bobot molekul KOH

282 = bobot molekul asam lemak dominan ( Oleat 282)

2. Densitas Metode Piknometer (AOAC, 1995)

Isi piknometer kosong dan kering dengan sampel yang sebelumnya telah

halaman 25oC. Atur level minyak hingga titik yang tepat pada piknometer.

Pindahkan dari waterbath, keringkan dan timbang beratnya. Densitas minyak

dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

t

tm

mm 21 −=ρ

Keterangan =

m1 = berat piknometer berisi minyak

m2 = berat piknometer kosong

mt = berat piknometer berisi H2O

%10010

282×

×

××=

sampelg

NKOHKOHmlFFAKadar

sampelg

NKOHKOHmlAsamBilangan

1,56××=

3. Viskositas Metode Ostwald (ASTM 445)

Viskosimeter dibersihkan dengan cairan pembersih, kemudian dibilas dengan

hati-hati dengan air suling dan dikeringkan dengan aseton di udara terbuka.

Alat dicelupkan ke dalam termostat air yang bertemperatur 25oC agar tercapai

ekuilibrium. Gelas yang berisi air diletakkan di dalam termostat tersebut. Air

suling yang telah disetimbangkan temperaturnya dimasukkan ke dalam

viskosimeter. Selanjutnya contoh minyak diukur viskositasnya pada alat

tersebut pada kondisi yang sama dengan viskositas air.

AirViskositasmengalirairwaktu

mengalirminyakwaktuSampelViskositas ×=

4. Kadar Minyak/Lemak (AOAC, 1995)

Sebanyak 2 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik hexan

dalam alat Soxlet lelama 6 jam. Cotoh hasil ekstraksi diauapkan dengan cara

diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC. Contoh

didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

%100×=contohbobot

lemakbobotLemakKadar t

5. Analisa kadar air (SNI 01-2891-1992)

Cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, diisi

sebanyak 2 ml sampel lalu ditimbang (W1) Kemudian dimasukkan ke dalam

oven suhu 105oC selama 1-2 jam. Cawan alumunium dan sampel yang telah

dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Ulangi

pemanasan sampai dihasilkan bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung

sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air.

%100)(

1

21 ×−

=W

WWAirKadar t

Lampiran 2. Contoh perhitungan bahan-bahan yang digunakan dalam

proses produksi biodiesel

1. Esterifikasi

Bobot minyak = 100 g

FFA awal = 21,05 %

Katalis HCl 1% (b/b) = 1% × 100g = 1 g

Rasio molar metanol : FFA = 20 : 1

Jumlah metanol =

21,05% × 100 g = 21,05 g FFA

molg

g

/282

05,21 = 0,075 mol FFA

0,075 mol FFA × 20 = 1,493 mol metanol

1,493 mol metanol × 32 g/mol = 47,773 g metanol

Bobot minyak = 100 g

FFA awal = 21,05 %

Katalis HCl 1% (b/b) = 1% × 100g = 1 g

Rasio molar metanol : FFA = 15 : 1

Jumlah metanol =

21,05% × 100 g = 21,05 g FFA

molg

g

/282

05,21= 0,075 mol FFA

0,075 mol FFA × 15 = 1,125 mol metanol

1,125 mol metanol × 32 g/mol = 36 g metanol

2. Transesterifikasi

Bobot minyak = 90,397 g

FFA awal = 4,75 %

Katalis NaOH 0,5% (b/b) =0,5% × 90,397 = 0,452g

Rasio molar metanol = 6 : 1

Jumlah metanol =

molg

g

/46,885

397,90= 0.1 mol metanol

0.613 mol metanol × 6 × 32 g/mol= 19.6 g metanol

3. Netralisasi

Bobot minyak = 85,904 g

FFA awal = 5,31%

Jumlah NaOH =

5,31% × 85,904 g = 4,562 g FFA

Untuk menetralkan 1 g FFA dibutuhkan NaOH sebanyak 0,142 g (Ketaren,

1986)

Sehingga NaOH dibutuhkan untuk FFA = 4,562 g

sebanyak : 4,562 g × 0,142 g = 0,648 g

Ekses NaOH yang ditambahkan adalah 0,15% × 85,904 g = 0,129 g

Jadi jumlah NaOH yang diperlukan untuk menetralkan FFA sebesar 4,562 g

adalah

0,648 g + 0,129 g = 0,777 g

Jika digunakan larutan NaOH 14oBe (10,4 g NaOH dalam 100 ml aquades),

maka banyaknya NaOH yang ditambahkan adalah

0,777 g × 100 ml = 7,471 ml

10,4 g

Lampiran 3. Jumlah bahan yang digunakan dalam setiap tahapan proses

produksi biodiesel

Proses E1T

Proses E1E2T

Proses E1NT

E1NT Rasio

molar

metanol

E1

Bilangan

asam E1 Bobot

E1

Metanol

T

Bobot

setelah

T

Bilangan asam

setelah T

ml

NaOH

15:1 30 7,27 90,13 19,54 78,79 1,257 1,81

15:1 60 5,47 90,28 19,58 69,05 0,887 1,41

20:1 30 4,72 89,76 19,46 70,63 0,597 1,31

20:1 60 2,97 89,82 19,48 69,24 0,819 1,39

Proses E1TN

E1T Rasio molar metanol

E1 Bilangan asam E1 Bobot E1 Bobot metanol T

15:1 30 7,27 90,13 19,54

15:1 60 5,47 90,28 19,58

20:1 30 4,72 89,76 19,46

20:1 60 2,97 89,82 19,48

E1E2T

Rasio molar

metanol E1

Bilangan

asam E1 Bobot

E1

Bobot

metanol E2 Bobot E2 Metanol T

15:1 30 7,27 90,13 7,431 7,431 7,431

15:1 60 5,47 90,28 5,60 5,60 5,60

20:1 30 4,72 89,76 4,81 4,81 4,81

20:1 60 2,97 89,82 3,03 3,03 3,03

E1TN

Rasio molar

metanol E1

Bilangan

asam E1 Bobot E1 ml NaOH Bobot setelah N

Metanol

T

15:1 30 7,27 90,13 5,77 67,02 14,53

15:1 60 5,47 90,28 4,67 66,84 14,49

20:1 30 4,72 89,76 4,19 66,78 14,48

20:1 60 2,97 89,82 3,12 65,32 14,16

Lampiran 4. Gambar bahan baku, peralatan proses produksi dan produk

biodiesel

1. Minyak Nyamplung

Sebelum degumming Setelah degumming

2. Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi

Pendingin tegak

Termometer

Labu leher tiga

Magnetik stirer

Penangas air

3. Proses Pemisahan Biodiesel dengan Gliserol

4. Alat-alat analisis

Viskosimeter Ostwald

Lampiran 5. Rekapitulasi Data Penelitian

1. Bilangan asam hasil esterifikasi

2. Rendemen proses esterifikasi

3. Variasi Proses

a. Viskositas

b. Bilangan Asam

Waktu

Rasio molar 30 menit 60 menit

15:1 7,27 5,47

20:1 4,72 2,97

waktu

Rasio molar 30 menit 60 menit

15:1 90,13 90,28

20:1 89,76 89,82

15:1 20:1

Proses 30 menit 60 menit 30 menit 60 menit

ET 18,96 19,71 23,36 16,36

EET 17,18 16,58 6,84 6,12

ENT 18,26 15,72 17,24 2,60

ETN 20,93 21,29 18,58 13,10

15:1 20:1 Proses

30 menit 60 menit 30 menit 60 menit

ET 1,529 1,072 0,742 1,038

EET 0,915 0,573 0,596 0,594

ENT 1,004 0,815 0,815 0,708

ETN 0,742 0,924 0,853 1,072

c. Densitas

d. Rendemen

e. Kadar Air

15:1 20:1

Proses 30 menit 60 menit 30 menit 60 menit

ET 0,9226 0,9222 0,9134 0,9143

EET 0,9353 0,9354 0,9211 0,9256

ENT 0,9335 0,9342 0,9316 0,8925

ETN 0,9341 0,9391 0,9337 0,9247

15:1 20:1

Proses 30' 60' 30' 60'

ET 78,21 77,83 79,03 77,82

EET 71,32 70,24 71,05 77,82

ENT 65,71 62,36 71,05 77,82

ETN 51,02 47,99 71,05 77,82

15:1 20:1

Proses 30 60 30 60

ET 0,0912 0,0892 0,1031 0,0854

EET 0,1076 0,0783 0,0651 0,0574

ENT 0,0735 0,0765 0,0519 0,0501

ETN 0,1010 0,1920 0,1029 0,0924