KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI...

107

Transcript of KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI...

Page 1: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun
Page 2: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 5, Nomor 2, Tahun 2019

Penanggungjawab:

Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Reviewer:

Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Budidaya dan Produksi Tanaman, BBP2TP) Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari

I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jana Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)

Redaksi Pelaksana

Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Tata Letak

Agung Susakti Alamat Redaksi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id

Page 3: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

ISSN-2407-0955

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 5 Nomor 2, Tahun 2019 BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

Page 4: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun
Page 5: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 5 Nomor 2, Tahun 2019

TINGKAT EFISIENSI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI JAMBI Yardha dan Adri……………………………………………………………………………………….. 109-123

UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI DI LAHAN DATARAN MEDIUM KABUPATEN GARUT Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti………………………………………………… 125-130

APLIKASI PUPUK MIKRO PADA PERTANAMAN CABAI MERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU Annisa Dhienar Alifia dan Mizu Istianto……………………………………………………………. 131-140

PROSPEK AMPEK ANGKEK SEBAGAI VARIETAS UNGGUL SPESIFIK LOKASI PADI DATARAN TINGGI DI SUMATERA BARAT

Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti………………………………………………………… 141-148

INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA PADIDI LAHAN PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN

Puspita Harum Maharani, Eni Siti Rohaeni Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina…………… 149-158

ANALISIS EKONOMI MODEL PERTANIAN BIO INDUSTRI BERKELANJUTAN BERBASIS TANAMAN KELAPA DI KABUPATEN MAJENE, SULAWESI BARAT

Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky ……………………………………………… 159-168

EFEKTIVITAS PUPUK ANORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KEDELAI DI LAHAN KERING SULAWESI TENGGARA

Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab…………………………………………………………..

ANALISIS USAHATANI DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO DI KABUPATEN BOYOLALI Dewi Sahara, Chanifah dan Ekaningtyas Kushartanti……………………………………………..

PERAN BIMBINGAN TEKNIS DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN TEKNOLOGI PRODUKSI KEDELAI KEPADA PETANI DAN PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi………………………………………………………………

169-180

181-191

193-207

Page 6: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun
Page 7: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

109

TINGKAT EFISIENSI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI JAMBI

Yardha dan Adri

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

Jl. Samarinda Paal V Kotabaru 36128 Jambi

Email: [email protected]

ABSTRACT

Level of Efficiency of Soybean Production Technology in Jambi Province. Quality seed is one component of

technology that significantly increases yields, therefore availability must be sustainable. Extention seeds that will be

planted by farmers on a large scale are derivatives of the seed class above it. The availability of scattered seeds is very

dependent on the availability of seed sources. In connection with this, the Seed Sources Management Unit (UPBS) of

the Soybean Institute for Agricultural Technology Assessment (IAAT) Jambi has conducted an assessment of

production technology and engineering of soybean seed breeder groups Harapan Mulya in Dusun Baru Village, VII

Koto District, Tebo District, Jambi Province in 2017- 2018. The breed variety is Anjasmoro variety with the Breeder

Seed (BS) seed class and Foundation Seed (FS) class. The results of the study obtained seeds graduation rates labeled

75.0% - 87.5%. The benefits of farming produce seeds higher than Rp. 8.350.000,-/ha/planting season compared to the

benefits of soybean farming consumption. Distribution of technology adoption is 76.7% - 85.6%. FS grade seed yield

was obtained as much as 2.6 tons and SS class seed yield was 53.7 tons. Production Break Even Point (TIP) 977.91 kg

/ ha, Break Even Point Price (TIH) Rp 9779.2 / kg and R / C 1.63

. Keywords: soybean, seed breeder, technology, institution

ABSTRAK

Benih bermutu salah satu komponen teknologi yang dengan nyata meningkatkan hasil, untuk itu ketersediaan benih

bermutu di tingkat petani harus berkesinambungan. Benih sebar yang dibutuhkan petani untuk konsumsi sangat erat

kaitannya dengan ketersediaan benih sumber, baik kelas benih Breeder Seed (BS), Foundation Seed (FS), maupun Stock

Seed (SS). Berkaitan dengan hal tersebut Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) kedelai Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian (BPTP) Jambi telah melakukan suatu pengkajian teknologi produksi dan rekayasa kelompok tani penangkar

benih kedelai Harapan Mulya di Desa Dusun Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Varietas

yang ditangkarkan adalah Varietas Anjasmoro dengan kelas benih Breeder Seed (BS) dan Foundation Seed (FS). Hasil

kajian diperoleh tingkat kelulusan benih berlabel 75,0 % - 87,5%. Keuntungan usahatani memproduksi benih lebih tinggi Rp 8.350.000,- dibandingkan dengan keuntungan usahatani kedelai konsumsi. Sebaran adopsi teknologi 76,7 %

- 85,6 %. Hasil FS 2,6 ton dan hasil SS 53,7 ton. TIP 977,91 kg/ha, TIH Rp 9779,2 / ha dan R/C 1,63

Kata Kunci: Kedelai, Penangkaran Benih, Tekonologi, Kelembagaan

Page 8: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123

110

PENDAHULUAN

Benih unggul kedelai bermutu merupakan

salah satu komponen teknologi yang nyata dapat

meningkatkan hasil dan pendapatan petani.

Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun terus

meningkat seiiring dengan program peningkatan

produksi kedelai nasional.

Produksi dalam negeri belum mampu

mencukupi kebutuhan tersebut sehingga

diperkirakan terjadi import 1,9 juta ton setiap tahun.

Untuk itu, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

(BPTP) Jambi melalui UPBS telah melakukan

pembinaan dan pendampingan penangkar benih

kedelai sejak tiga tahun yang lalu sampai sekarang

(Yardha dkk. 2013; Valerina D. 2016; Yardha dan

Novita. 2016).

Di sisi lain produktivitas kedelai di Provinsi

Jambi masih rendah (sekitar 1,3 ton/ha), disebabkan

beberapa hal antara lain; 1) kurangnya benih

bermutu. 2) Penyediaan benih seringkali kurang

tepat pada saat dibutuhkan; (3) Teknik budidaya

masih kurang baik; (4) Serangan organisme

pengganggu, dan (5) Faktor sosial ekonomi

(Dirjentan. 2005; Balitbangtan. 2013).

Beberapa tahun terakhir pemerintah telah

mencanangkan untuk swasembada kedelai, namun

masih belum terwujud. Terhambatnya atau

tertundanya pencapaian swasembada kedelai,

disebakan oleh ketersediaan benih unggul bermutu

ditingkat petani tidak tersedia dalam 6 tepat, harga

jual tingkat petani masih rendah. Oleh karena itu

perlu dilakukan upaya dan langkah-langkah

strategis agar ketersediaan benih unggul bermutu

terjamin kesinambungnnya (BNN. 2005;

Balitbangtan. 2013).

Provinsi Jambi merupakan salah satu sentra

kedelai di pulau Sumatera, saat ini Pemerintah

Provinsi Jambi berusaha menjadikan daerahnya

sebagai sentra produksi kedelai Nasional (Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

Provinsi Jambi, 2007; Departemen Pertanian.

2009). Namun, hingga saat ini Provinsi Jambi

belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan

akan benih dan konsumsi kedelai. Masih sedikit

penangkar benih kedelai yang eksis dan

berkesinambungan secara mandiri, padahal ini

menjadi faktor penentu. Perbanyakan benih kedelai

berjalan apabila ada program dari Pemerintah

(Sumarno. 1998).

Makalah ini bertujuan untuk membahas

kelembagaan dan teknologi produksi benih kedelai

di Jambi yang diangkat dari hasil kajian Tekonologi

Produksi dan Rekayasa Kelompok Penangkar Brnih

Kedelai di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung

Jabung T imur, Provinsi Jambi.

METO DO LO GI / PRO SEDUR PENGKAJIAN

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Pengkajian dilaksanakan di Desa Dusun

Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo,

Provinsi Jambi pada tahun 2017 dan 2018.

Kabupaten Tebo dipilih karena merupakan daerah

sentra produksi kedelai, baik kedelai untuk

konsumsi maupun untuk benih di Provinsi Jambi.

Rancangan Pengkajian

Teknologi yang diterapkan adalah paket

teknologi perbanyakan benih kedelai yang berasal

dari Balitkabi dan PTT Kedelai (Deptan, 2009)

dengan penyesuaian spesifik lokasi. Varietas yang

diperbanyak adalah Varietas Anjasmoro kelas benih

BS dan FS.

Penyiapan lahan secara minimum tillage

yaitu dengan menggunakan herbisida, setelah gulma

kering dan mati dilakukan pembabatan dan

pembersihan dari sisa-sisa gulma dilahan yang akan

ditanam.

Sebelum dilakukan penanaman, maka

dilakukan persiapan benih. Benih yang digunakan

adalah benih yang memiliki; t ingkat kemurnian

tinggi, daya tumbuh minimal 80%, benih harus

sehat, bernas, mengkilat, t idak keriput , t idak

terinfeksi cendawan, bakteri atau virus, tidak

tercampur biji tanaman lain atau biji rerumputan.

Benih sumber Anjasmoro dengan kelas BS (label

kuning) berasal dari Balai Penelitian Kacang-

kacangan dan ubi-ubian (Balitkabi) Malang.

Page 9: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

111

Perlakuan Dalam Pengkajian

Tanam dilakukan dengan cara menugal.

Jarak tanam 40 cm x 20 cm, 2-3 biji/lubang tanam.

Penjarangan dilakukan pada umur 2 minggu setelah

tanam (mst), yaitu dengan meninggalkan 2 tanaman

terbaik per rumpun. Pemeliharaan tanaman

mencakup; pengelolaan gangguan biotik dan

abiotik, seperti pemupukan, pengendaliaan gulma

dan hama penyakit . Pemupukan diberikan setelah

tanaman berumur 2-3 mst dengan mengunakan

pupuk NPK Phonska plus dengan dosis 200 kg/ha

ditambah 50 kg Urea. Pupuk diberikan secara

ditugal disebelah lubang tanam. Penggunaan pupuk

hayati seperti bakteri penambat N (Rhizobium)

disesuaikan dengan kebutuhan. Pemupukan

dilakukan dengan sistem tugal disamping lubang

tanam, dengan jarak 5-7 cm dari tanaman,

kemudiaan lubang pupuk dengan tanah.

Hama dan penyakit merupakan faktor

penting yang menyebabkan suatu varietas tidak

mampu menghasilkan seperti yang diharapkan.

Karena itu, pengendalian hama dan penyakit harus

dilakukan secara terpadu. Guna menghindari

kompentisi pengambilan hara, air dan udara oleh

gulma, maka dilakukan penyiangan dilakukan

secara intensif agar tanaman tidak terganggu oleh

gulma. Secara optimal, sehingga pertanaman tidak

mengalami gangguan (minimal 2x, yaitu umur 10–

14 hst dan 21–28 hst). Penyiangan ke-2, ikuti dg

penggemburan tanah. Jika perlu penyiangan setelah

berbunga, lakukan dengan cara mencabut atau

memotong gulma.

Seleksi / Rouging Seleksi atau roguing adalah salah satu tahap

atau proses yang sangat penting dalam penangkaran

benih kedelai, karena pada tahapan ini dilakukan

identifikasi dan membuang tanaman yang

menyimpang daripada deskripsi varietas

Anjasmoro. Dengan roguing akan didapatkan

kemurnian dan mutu genetik Varietas Anjasmoro

yang ditangkarkan.

Tahapan rouging diajarkan kepada petani

penangkar agar petani dapat membedakan tipe

simpang dengan tipe normal Varietas Anjasmoro.

Disamping itu, petani juga dapat mengenali dan

mengetahui karakteristik dari Varietas Anjasmoro

dengan baik. Salah satu yang membedakan dengan

tipe simpang ketika berbunga melihat warna

epikotil putih langsung dicabut dan dibuang.

Rouging dilakukan tiga kali yaitu pada fase

juvenil (tanaman muda) yang dilakukan pada umur

15-20 hst. Hal-hal yang perlu dijadikan pedoman

adalah :

Warna hipokotil, kedelai hanya memiliki warna

hipokotil hijau dan ungu. Hipokotil hijau akan

diikuti dengan warna bunga putih, sedangkan

hipokotil ungu akan memiliki warna bunga ungu.

Rouging kedua pada fase berbunga. Apabila pada

fase juvenil belum seluruh campuran varietas

dibuang, maka pengamatan dapat dilakukan lagi

pada saat berbunga. Pedoman yang dapat dipakai

adalah :

Warna bunga. Seperti pada hipokotil, warna bunga

kedelai hanya terdiri atas putih dan ungu. Saat

berbunga. Saat keluar bunga yang menyimpang

dari tanaman dominan maka tanaman tersebut perlu

segera dibuang.

Warna dan kerapatan bulu pada tangkai

daun. Posisi dan bentuk daun. Bentuk daun

seringkali cukup sulit digunakan sebagai parameter

penilai. Parameter yang cukup menentukan adalah

ketegapan batang dan posisi daun pada batang

secara keseluruhan. Reaksi terhadap penyakit.

Varietas kedelai yang memiliki warna putih,

misalnya Galunggung dan Lokon, cukup peka

terhadap penyakit virus. Hal ini dapat digunakan

sebagai parameter penilai. Terakhir rouging ketiga

pada fase masak fisiologi Pada fase ini

pertumbuhan tanaman telah mendekati optimal.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rouging fase

ini adalah keragaan tanaman secara keseluruhan.

Posisi daun, polong, dan bentuk daun merupakan

parameter yang dapat digunakan untuk konfirmasi

terhadap penilaian pada fase sebelumnya.

Variable yang diamati

Variabel yang diamati antara lain; persentase

tanamaan tumbuh, tinggi tanaman, umur

Page 10: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123

112

berbunga,jumlah cabang, jumlah polong bernas,

berat 1000 biji, t ingkat kelulusan calon benih

menjadi benih, produksi benih per hektar, input -

otput usahatani, persepsi petani dan dinamika

kelompok penangkar.

Untuk melihat kelayakan usahatani

perbenihan kedelai dilakukan dengan pendekatan

analisis nisbah atau rasio penerimaan terhadap biaya

yang biasa dikenal analisis R/C (Revenue Cost

Ratio), kemudiaan dilanjutkan dengan analisis TIP

dan TIH.

R/C = TR/TC = (Q.pQ) / (∑n

i=1 Xi.pXi)

TR = totsl revenue=total penerimaan (Rp)

Q = Quantum = jumlah produksi (kg)

pQ = harga produksi (Rp/kg)

TC = Total Cost = Biaya pembeliaan input (Rp)

Xi = jenis input X ke I (I = 1,2,3 ..n)

pXi = harga X ke I ( i=1,2,3)

Analisis tit ik impas digunakan untuk

mentolerir penurunan produksi atau harga produk

sampai batas tertentu dimana usaha yang dilakukan

masih memberikan tingkat keuntungan normal.

Nilai tit ik impas produksi (TIP) dan titik impas

harga (TIH) dihitung dengan rumus (Hendayana,

2016a; Hendayana, 2016b):

Titik Impas Produksi = ∑ XiPXi / Pq

∑ XiPXi merupakan total biaya usahatani

penangkaran benih kedelai dimana Xi

menggambarkan jenis input ke i (i = 1,2,3, ....n)

dan Pq adalah harga produk benih kedelai per

kg.

Titik Impas Harga = ∑ XiPXi / Q

∑ XiPXi merupakan total biaya usahatani

penangkaran benih kedelai dimana Xi

menggambarkan jenis input ke i (i = 1,2,3, ....n)

dan Q adalah produk per satuan luas (kg/ha)

Sebaran adopsi benih kedelai:

n

SA = ------- x 100 %

N

SA = Sebaran adopsi teknologi penangkaran kedelai

(%)

n = Jumlah adopter

N = Jumlah anggota kelompok

Analisis data

Data yang dikumpulkan ditabulasi disusun

dalam bentuk table dianalisis secara deskriptif.

Usahatani dianalisis secara finansial untuk

mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh

petani penangkar digunakan R/C.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Umum Wilayah Pengkajian

Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di

Desa Dusun Baru Kecamatan VII Koto, Kabupaten

Tebo. Kabupaten ini merupakan daerah sentra

produksi kedelai bagi Provinsi Jambi. Pertanaman

kedelai di Kabupaten ini dapat dilakukan 2 s/d 3 kali

dalam satu tahun, usahatani kedelai pada umumnya

tidak monokultur tetapi diusahakan diantara

tanaman karet, kelapa sawit, jeruk yang belum

menghasilkan. Jenis tanah di VII Koto ini ada yang

alluvial ada juga yang Podzolik Merah Kuning dan

pertanaman bias dilaksanakan 2-3 kali setahun.

Kebutuhan dan Ketersediaan Benih Kedelai di

Provinsi Jambi Luas tanam kedelai di Provinsi Jambi seluas

10.314 ha. Berdasarkan luas tanam tersebut , maka

diperlukan benih kedelai sebanyak 412.560 kg.

Pada tahun 2015 kemampuan memproduksi benih

90.780 kg, sehingga terjadi defisiit sebanyak

321.780 kg atau kemampuan menyediakan benih

hanya 22% saja. Guna memenuhi kebutuhan bagi pertanaman kedelai seluas 10.314 ha, maka

78% defisit benih didatangkan dari luar Provinsi

Page 11: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

113

Jambi sepert i dari Jawa T imur atau Lampung.

Dampak negatif mendatangkan benih dari luar

tersebut antara lain: datangnya benih tidak sesuai

saat akan tanam, daya tumbuh dan vigor benih

menurun dan tidak sesuai varietas yang disukai

petani. Kabupaten lain yang juga cukup luas

penanaman kedelainya selain Kabupaten Tebo,

Kabupaten Tanjung Jabung T imur adalah

Kabupaten Merangin dan Kabupaten Bungo.

Kurangnya pasok benih kedelai dalam

Provinsi Jambi disebabkan oleh kurangnya

kelompok atau petani penangkar benih kedelai. Saat

ini jumlah kelompok tani penangkar yang terus

menerus memproduksi benih kedelai tidak lebih

dari 6 (enam) kelompok. Kebanyakan kelompok

tani atau petani penangkar melakukan penangkaran

benih apabila ada proyek perbanyakan benih dari

program pemerintah

Sistem Perbenihan Kedelai di Provinsi Jambi Sistem perbenihan kedelai di Provinsi

Jambi saat ini yang masih lemah, terutama pada

subsistem penunjang seperti kelembagaan,

infrastruktur, sarana prasarana, sumberdaya

manusia, dan Permodalan. Sedangkan pada

subsistem lainnya seperti penelitian yang

menghasilkan varietas unggu dan benih sumber,

pengawasan mutu dan sertifikasi benih sudah

berjalan baik.

Langkah operasional pengembangan

perbenihan di Provinsi Jambi dimulai dari program

yang dilaksanakan pemerintah pusat dan program

Dinas Pertanian Hortikultura dan Peternakan

Provinsi Jambi yang diteruskan ke kabupaten/kota

dibawah pengawasan UPTD Balai Pengawasan dan

Sertifikasi Benih Tanaman Pangan (BPSB-PT),

baik yang dilakukan oleh BBI, BBU dan kelompok

penangkar benih. Teknologi untuk perbenihan dan

budidaya konsumsi kedelai berasal dari BPTP

Jambi.

Dinas Pertanian Provinsi menggerakkan

BPSB-PT, BBU, BBI, dan Kasubdin Produksi

berkoordinasi dengan kabupaten guna menyusun

peta penggunaan varietas yang memiliki

produktivitas tinggi, sedang hingga rendah serta

varietas lokal; (2) Membuat rencana peningkatan

produktivitas melalui penggantian varietas dan

penggunaan benih berlabel; (3) Membuat rencana

kebutuhan benih berdasarkan varietas yang

dibutuhkan, (4) Melaksanakan perbanyakan benih

sumber BD dan BP melalui kegiatan Balai Benih

kerjasama dengan BPTP Jambi dan Balitkabi; (5)

Meningkatkan pengawasan mutu benih dalam

proses produksi, distribusi dan peredaran benih; (6)

Mengevaluasi setiap saat potensi produksi dan daya

Tabel 1. Profil Kelembagaan Kelompoktani Kooperator

Indikator Keterangan

Jumlah anggota 90

Jumlah anggota aktif 34 (37,8%)

Aktivitas pertemuan rutin kelompok 2 kali/bulan

Aktivitas kerjasama dalam usahatani Gotong royong

Cara penjualan hasil Kelompok

Sumberdana Pinjaman kelompok

Norma dan aturan main kelompok Iyuran Rp 2000/bulan

Sumber : data primer (2018)

Page 12: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123

114

adaptasi setiap varietas di lapangan; (7) Mengamati

dan mengiventarisasi varietas lokal provinsi

berpotensi untuk dikembangkan/dilepas sebagai

varietas unggul

Beberapa hal yang menjadi kendala dalam

perbenihan antara lain: 1) Kebijakan pemerintah

dengan peraturan perundang–undangan yang belum

mendorong makin kondusifnya industri perbenihan;

2) Rendahnya kesadaran dan daya beli petani dalam

penggunaan benih unggul bermutu; 3) Belum

berfungsinya institusi penyedia benih (BBI) akibat

keterbatasan dalam tenaga profesional, fasilitas

(sarana) penunjang dan sumber dana pendukung

kegiatan perbenihan; 4) Kurang terjaminnya

pemasaran benih (Ilyas dkk. 2008 dan Yardha dkk.

2013). Dengan demikian kegiatan penangkaran

benih memerlukan biaya dan resiko yang tinggi

dibandingkan dengan usahatani untuk konsumsi.

Beberapa hal yang mempengaruhi terhadap

tingginya biaya produksi pada penangkaran benih

antara lain 1) input produksi seperti benih sumber,

pupuk, pestisida 2). biaya tenaga kerja seperti

roguing, panen dan pasca panen 3) sertifikasi dan

pelabelan.

Beberapa permasalahan yang berpotensi

menghambat perkembangan sistem perbenihan

yang memerlukan langkah-langkah perbaikan agar

berpihak terhadap upaya penumbuhan dan

pengembangan industri benih antara lain

penyelarasan peraturan dan kebijakan pusat dan

daerah yang mendorong perkembangan industri

benih, adanya program perbenihan yang terintegrasi

dengan peningkatan kerjasama dan koordinasi antar

institusi perbenihan (Dirjen Pangan, 2005; Yardha

dan Novita N. 2016).

Sistem produksi benih informal dalam

komoditas kedelai dikenal dengan nama Jalinan

Arus Benih Antar Lapang Antar Musim (Jabalsim).

Jabalsim adalah salah satu pola pengadaan dan

penyaluran benih kedelai yang berlangsung secara

alami dan diperkirakan pola tersebut sudah lama

digunakan (Sumarno.1998; Novita Nugraihaeni.

2013). Faktor yang membentuk adanya sistem

Jabalsim di suatu wilayah adalah karena adanya

perbedaan agroekosistem seperti musim, pola

tanama, tipe ekologi (lahan sawah, lahan kering)

dan adanya perbedaan waktu tanam antar daerah.

Sumarno (1998); Novita Nugraihaeni (2013)

menyampaikan beberapa faktor pendorong

terjadinya Jabalsim, yaitu: 1) benih kedelai mudah

rusak dan cepat mengalami kemunduran sehingga

memerlukan cara penyimpanan yang khusus, 2)

benih kedelai yang baru dipanen memiliki daya

tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan benih yang

sudah disimpan, 3) petani di lahan kering dengan

ekonomi yang rendah cenderung cepat menjual

hasil panen, 4) harga benih Jabalsim lebih

terjangkau dan 5) benih hasil Jabalsim dapat

tersedia tepat waktu.

Selanjutnya Valeriana D. (2016)

menerangkan bahwa kedelai disamping memiliki

berbagai keunggulan seperti daya tumbuh yang

tinggi, harga terjangkau dan mudah didapat, benih

yang dihasilkan dari sistem Jabalsim juga memiliki

kelemahan, antara lain asal usul benih tidak jelas,

mutu beragam, penyediaan benih tidak dapat

dipastikan serta produksi dan pengolahan benih

yang tidak sesuai standar. Kebiasaan petani yang

telah mengakar dalam menggunakan benih hasil

Jabalsim yang bermutu rendah, membuat motivasi

untuk menggunakan benih berlabel menjadi

rendah).

Sumarno (1998), Adie MM (2008)

mengemukakan beberapa penyebab sistem

perbenihan formal pada komoditas kedelai di

Indonesia mengalami stagnasi, yaitu:

1. Usahatani kedelai bersifat tanaman sampingan,

sehingga petani belum memikirkan

penggunaan benih bermutu sebagai komponen

utama,

2. Skala usahatani kedelai oleh petani sempit dan

tersebar dalam areal yang terpencar dan waktu

tanam yang tidak serempak, sehingga tidak

kondusif untuk pasar industri benih kedelai,

3. Musim tanam kedelai bersamaan dengan

musim hujan (MH) yang umumnya merupakan

musim paceklik, sehingga petani memiliki modal yang terbatas dan lebih suka

menggunakan benih sendiri,

4. Harga benih kedelai yang diproduksi secara

formal dinilai mahal oleh petani, dan

5. Jaminan mutu benih kedelai yang diproduksi

secara formal belum dapat meyakinkan petani.

Page 13: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

115

Profil Kelembagaan Petani

Anggota aktif adalah anggota yang selalu

mengikuti kegiatan kelompok seperti pertemuan,

gotong royong dan membayar iuran bulanan. Jika

dilihat jumlah anggota keseluruhan dengan jumlah

anggota aktif dapat disimpulkan bahwa keberadaan

kelompok belum lagi berjalan disiplin dan tidak

adanya aturan sanksi terhadap anggota yang kurang

aktif.

Banyaknya jumlah anggota di Tebo

diransang juga oleh cara penjualan hasil. Hasil

kedelai baik berbentuk kedelai konsumsi maupun

benih dijual secara berkelompok. Ketua kelompok

tani lebih aktif dalam hal pencarian inovasi

teknologi terutama benih sumber varietas unggul

dan mencari peluang pasar. Penjualan hasil petani di

Tebo sudah sampai ke provinsi tetangga seperti

Sumatera Barat dan Riau. Uang iuuran kebanyakan

dipakai untuk kelancaran aktivitas kelompok, jadi

bukan untuk insentif atau honor pengurus.

Kelembagaan penangkaran benih kedelai oleh

kelompoktani Harapan Mulya ini juga membauat

aturan main dalam kelompoknya baik aturan tertulis

maupun tidak tertulis, sebagaimana yang dikatakan

oleh Dove (1985) dalam Syahyuti (2003) bahwa

kelembagaan adalah sebagai aturan dan norma yang

dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat itu

sendiri.

Keberhasilan Tebo sebagai daerah sentra

produksi benih kedelai tidak terlepas dari peran

kelembagaan kelompoktani Harapan Mulya yang

terus berkembang dan mengalami perubahan

perbaikan kinerja internak dan eksternal

kelembagaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh

Sarasutha (2004) bahwa kelembagaan yang

dibentuk secara terus menerus mengalami

perubahan dan penyempurnaan sesuai dinamika

masyarat . Kelembagaan yang sudah eksis ini perlu

dikembangka secara terus menerus.

Merujuk kepada Hendayana (2016a), maka

sebaran teknologi adopsi teknologi penangkaran

benih kedelai dengan teknologi yang diintroduksi

pada tahun 2016 dan 2017 sebanyak 77 orang dari

jumlah anggota 90 orang atau sebesar 85,6 %.

Sistem Perbenihan Kedelai

Sistem perbenihan dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu nonformal dan formal. Sistem

perbenihan nonformal sudah lama berkembang

tanpa melibatkan pemerintah dan produksen secara

resmi. Petani menggunakan benih tidak bersertifikat

dengan kualitas yang tidak terjamin. Sistem ini

sudah berlansung lama dan berkembang karena

pemerintah sulit menjangkau petani kecil untuk

mendistribusikan benih unggul.

Sistem perbenih formal dimulainya dengan

diterbitkannya Keputusan Presiden No. 27 Tahun

1971 sebagai dasar pembentukan Badan Benih

Nasional (BBN). Badan ini berfungsi membantu

perencanaan dan penyiapan kebijakan perbenihan.

Ciri-ciri perbenihan formal adalah produksi

dan pemasaran terencana, penggunaan varietas

dengan nama yang jelas dan berasal dari sumber

yang diketahui (bersertifikat), benih dipasarkan

dalam kemasan teridentifikasi dengan informasi

mutu yang jelas, mekanisme pengendalian mutu

jelas, dan pemasaran dilakukan oleh lembaga yang

menangani perbenihan. Pada kondisi ini,

karakteristik petani antara lain berorientasi

komersial, banyak diantara mereka memiliki lahan

lebih dari 0,5 hektar, preferensi dan dan akses

terhadap VUB sangat tinggi, serta tingkat

penggunaan benih bersertifikat cukup tinggi.

Sistem perbenih formal dan informal

tersebut diatas Ini hampir sejalan sebagaimana yang

dikatakan oleh mazanilla, et all (2013) yaitu sistem

perbenihan formal meliputi mekanisme produksi

dan pasokan benih yang diatur dengan metodologi

yang sudah didefinisikan dalam setiap tahapan

perbanyakannya, pengolahan, distribusi,

transportasi dan penyimpanan benih serta didukung

dan diatur oleh undang-undang atau peraturan

pemerintah (Kementerian Pertanian) dan

metodologi standardisasi internasional. Sementara

sistem perbenihan informal adalah sistem dimana

petani sendiri yang menghasilkan benih (bagian

tertentu dari hasil panen mereka sendiri),

menyebarkan atau mengakses benih benih secara

langsung melalui pertukaran/barter, atau membeli

dari dalam komunitas mereka atau desa terdekat

Page 14: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123

116

melalui keluarga, teman, dan tetangga. Kualitas

benihnya berbeda-beda dan perbedaan antara benih

dan calon benih tidak selalu jelas.

Status penangkaran benih kedelai disebut

formal apabila ikut dalam kegiatan pemerintah

melalui produsen benih PT Pertani atau PR Sang

Yang Seri. Sebaliknya dikatakan nonformal apabila

menghasilkan benih hanya untuk kelebihan sendiri

atau terbatas untuk petani dalam kelompoknya.

Pada umumnya pelaksanaan penangkar

benih bermitra dengan produsen karena usaha ini

membutuhkan biaya yang relative besar, selain ada

pendampingan teknologi dari produsen akan

mendampingi penangkar dalam penggunaan benih

sumber dan budidaya, berupa jenis dan dosis pupuk

serta jenis pestisida yang tepat dan efisien. Calon

benih yang dihasilkan penangkar memperoleh

sertifikat melalui pengawalan BPSB TPH, mulai

dari pemilihan lokasi, penanaman, pemeliharaan,

panen hingga pembuatan label sertifikasi.

Pelatihan dan Pemberdayaan Petani

Pemenuhan kebutuhan benih kedelai

bermutu dapat dilakukan salah satunya dengan

meningkatkan keterampilan dan pengetahuan serta

meningkatkan kapasitas penangkar benih lokal.

Penyediaan benih melalui penangkar benih lokal

diharapkan akan mampu mempercepat diseminasi

dan distribusi varietas unggul baru dan benih

bermutu. Peningkatan keterampilan dan

pengetahuan petani dilakukan melalui kerjasama

produksi benih bersama petani-petani kooperator

serta melalui pelatihan-pelatihan dengan

mendatangkan narasumber yang kompeten

dibidang perbenihan. Analisis usahatani

perbanyakan benih dilakukan untuk melihat

keuntungan usaha yang dapat diterima oleh petani

penangkar dalam produksi benih. Pelatihan petani

penangkar dilakukan tidak hanya di lokasi kajian

tetapi petani penangkar juga dilatih di Balitkabi

Malang.

Preferensi Petani terhadap Varietas Anjasmoro

Analisis preferensi sebaran dan tingkat

adopsi teknologi perbanyakan benih kedelai

dilakukan dengan survey terhadap konsumen

kedelai, petani kedelai, serta pedagang benih

kedelai. Survey dilakukan dengan metode purposive

dengan melibatkan 50 orang responden. Data yang

dikumpulan meliputi faktor-faktor yang

mempengaruhi preferensi petani terhadap varietas

kedelai.

Kinerja Kelompok Memproduksi Benih Sumber

Kedelai Kegiatan Unit Pengelolaan Benih Sumber

(UPBS) Kedelai FS mengunakan varietas

Anjasmoro seluas 3 hektar yang dilaksanakan

sebanyak 3 orang petani penangkar (Tabel 1).

Kegiatan berlokasi pada kelompok tani Harapan

Mulya, Desa Dusun Baru Kecamatan VII Koto,

Tabel 2. Penampilan penangkaran benih kedelai di Desa Dusun Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten

Tebo, Provinsi Jambi, 2017

No Nama Penang-kar

Persentase

tumbuh

(%)

T inggi

Tanaman

(cm)

Umur

Bunga

(hr)

Jumlah

Cabang

(bh)

Jumlah

polong

bernas

(bh)

1 Blok I 89,0 79,0 31 5 90

2 Blok II 90,0 78,5 30 5 111

3 Blok III 88,0 77,3 30 4 97

Rata-rata 89,0 78,3 30,3 4,6 99,3

Page 15: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

117

Kabupaten T ebo. Pelaksanaan kegiatan melibatkan

dua kelompok tani, yang bertangggung jawab

melakukan pekerjaan mulai penyiapan lahan,

penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen

sesuai dengan teknologi yang diterapkan. Pemilihan

lokasi yang sesuai merupakan langkah awal yang

menetukan keberhasilan kegiatan penangkaran

benih kedelai. Agar resiko kegagalan dapat

dihindari atau diperkecil, maka lokasi diarahkan

pada kondisi yang sesuai untuk budidaya tanaman

kedelai.

Keragaan pertanaman kedelai yang dikelola

dengan teknik budidaya anjuran jauh lebih baik

dibandingkan pertumbuhan kedelai pet ani,

meskipun sudah dipupuk dengan Urea, SP -36, dan

kadang-kadang disertai juga dengan KCl dengan

dosis yang sama dengan yang dianjurkan.

Penggunaan benih yang berkualitas baik, serta

adanya penambahan pupuk kandang dan dolomit

menjadi penyebab utama perbedaan keragaan

pertumbuhan tanaman (Tabel 2).

Penampilan tanaman kedelai varietas

Anjasmoro pada saat awal pertumbuhan umur 7 hari

setelah tanam memperlihatkan pertumbuhan yang

baik dan bagus, dengan penampilan yang menarik,

alur dan barisan tanaman yang lurus dan jelas.

Penampilan tanaman terhadap serangan hama ulat

gerayak masih dibawah ambag ekonomis/masih

relatif rendah (>15%), sehingga petani cukup

dibimbing dengan pengendalian secara mekanis,

apabila serangan melebihi ambang batas maka

pengendalian akan dilakukan dengan menggunakan

insektisida, sehingga tidak mempengaruhi masa

pengisian polong. Pada perkembangan selanjutnya

terjadi staknasi, tanaman memanjang dan menjalar

sehingga pengisian polong tidak sempurna. Hal ini

diduga varietas Anjasmoro pada saat penanaman

cuaca banyak mendung/kurang cahaya akibatnya

tanaman pertumbuhannya tidak sempurna.

Pengamatan terhadap umur berbunga

terlihat tanaman mengeluarkan bunga dengan

kisaran umur 33 - 35 HST hal ini sesuai dengan

deskripsi dari varietas Anjasmoro.

Anjasmoro berkisar antara 79,5 – 81,3 cm, hal ini

terlihat bahwa dengan pemupukan P dan

pengelolaan bahan organik dapat meningkatkan

pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai

secara berkelanjutan. Sebagian besar tanah-tanah di

daerah tropik membutuhkan P dalam jumlah besar

yang diperlukan tanaman kedelai relatif kecil

dibanding kebutuhan terhadap unsur N, K dan Ca,

tetapi beberapa hasil penelitian P menunjukkan

adanya peningkatan hasil pada tanaman kedelai.

Disamping itu pemberian kapur akan meningkatkan

kebutuhan tanaman terhadap unsur makro maupun

mikro. Oleh sebab itu pemupukan N, P dan K sangat

diperlukan. Penerapan teknologi yang sesuai

dengan anjuran akan memberikan hasil yang

maksimal terhadap kemurnian benih kedelai.

Pemeliharaan mutu genetik varietasnya

dilakukan dengan cara rouging pada saat tanaman

berumur 15-20 HST, fase berbuga dan fase masak

fisiologi yaitu membuang tanaman yang ciri-ciri

morfologisnya menyimpang dari ciri-ciri varietas

tanaman yang benihnya diproduksi. Pada umur 15-

20 hst komponen yang diamati adalah warna

hipokotil, hipokotil hijau akan menghasikan bunga

berwarna putih, sedangkan hipokotil ungu akan

menghasilkan bunga berwarna ungu. Pada fase

Table 3. Produksi benih di Desa Dusun Baru, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi,

2017

No. Perlakuan Luas Tanam

(ha)

Berat 100 biji

(grm)

Produksi (kg) % lulus

Uji Lulus

1. Blok A 1,0 13,5 1,400 1.000 71,4

2. Blok B 1,0 12,8 1,200 700 58,3

3. Blok C 1,0 13,6 1,300 900 69,2

Rata-rata 1,0 13,2 1,300 867 66,3

Page 16: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123

118

berbunga, bunga yang terlalu menyimpang dari

tanaman dominan maka tanaman tersebut segera

dibuang. Demikian juga pada fase masak fisiologis,

tanaman yang menyimpang dari tanaman dominan

segera dicabut. Jumlah cabang per rumpun berkisar

antara 5 – 6 buah, sedangkan jumlah polong bernas

berkisar antara 101 - 119 biji. Terjadinya perbedaan

antara blok pertanaman ini disebabkan oleh

perbedaan kondisi lingkungan tumbuh tanaman.

Hasil Pengamatan rata-rata umur panen, jumlah

polong bernas dan jumlah polong bernas sangat

ditentukan oleh karakter varietas yang ditanam .

Dari hasil pengamatan terlihat bahwa perbedaan

lingkungan tumbuh sangat berpengaruh terhadap

jumlah polong perumpun tanaman kedelai. Rata-

rata jumlah polong per rumpun dan jumlah polong

bernas diduga akibat keseragaman unsur hara pada

setiap lingkungan tumbuh tanaman kedelai. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa jumlah terintegrasi

dengan peningkatan kerjasama dan

koordinasi antar institusi perbenihan (Dirjen

Pangan, 2005; Yardha dan Novita N. 2016).

Sistem produksi benih informal dalam

komoditas kedelai dikenal dengan nama Jalinan

Arus Benih Antar Lapang Antar Musim (Jabalsim).

Jabalsim adalah salah satu pola pengadaan dan

penyaluran benih kedelai yang berlangsung secara

alami dan diperkirakan pola tersebut sudah lama

digunakan (Sumarno.1998; Novita Nugraihaeni.

2013). Faktor yang membentuk adanya sistem

Jabalsim di suatu wilayah adalah karena adanya

perbedaan agroekosistem seperti musim, pola

tanama, tipe ekologi (lahan sawah, lahan kering)

dan adanya perbedaan waktu tanam antar daerah.

Sumarno (1998); Novita Nugraihaeni (2013)

menyampaikan beberapa faktor pendorong

terjadinya Jabalsim, yaitu: 1) benih kedelai mudah

rusak dan cepat mengalami kemunduran sehingga

memerlukan cara penyimpanan yang khusus, 2)

benih kedelai yang baru dipanen memiliki daya

tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan benih yang

sudah disimpan, 3) petani di lahan kering dengan

ekonomi yang rendah cenderung cepat menjual

hasil panen, 4) harga benih Jabalsim lebih

terjangkau dan 5) benih hasil Jabalsim dapat

tersedia tepat waktu.

Tabel 1. Profil Kelembagaan Kelompoktani Kooperator

Indikator Keterangan

Jumlah anggota 90

Jumlah anggota aktif 34 (37,8%)

Aktivitas pertemuan rutin kelompok 2 kali/bulan

Aktivitas kerjasama dalam usahatani Gotong royong

Cara penjualan hasil Kelompok

Sumberdana Pinjaman kelompok

Norma dan aturan main kelompok Iyuran Rp 2000/bulan

Sumber : data primer (2018)

Page 17: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

119

polong per rumpun dan berat biji kering per hektar Tabel 4. Analisa biaya usaha penangkaran benih kedelai per hektar pada Kelompoktani

Harapan Mulya, 2018

Uraian Jumlah Harga/unit Nilai

% (HOK, kg) (Rp) (Rp.)

Benih Sumber (BD) 40 25.000 1.000.000 8,52

Pupuk 1.635.000 13,93

Pupuk NPK Ponska 200 3.000 600.000

Pupuk SP-36 50 3.000 150.000

Herbisida (ltr) 4 75.000 300.000

Insektisida (kg) 2 250.000 500.000

Fungisida (kg) 1 85.000 85.000

Tenaga Kerja 6.500.000 55,39

Persiapan lahan (pria) 10 75.000 750.000

Tanam (pria) 4 75.000 300.000

Tanam (Putri) 10 50.000 500.000

Pemupukan 4 75.000 300.000

Pengendaliah H & P 12 75.000 900.000

Penyiangan dan Roguing 30 75.000 2.250.000

Pemeriksaan oleh BPSPT 6 75.000 450.000

Panen, jemur, angkut (pria) 10 75.000 750.000

Panen, jemur dan angkut 6 50.000 300.000

Pengolahan benih 2.250.000 19,17

Perontokan dan jemur 6 75.000 450.000

Pengeringan 18 75.000 1.350.000

Pengepakan 5 75.000 375.000

Pelabelan 1 75.000 75.000

Biaya lainnya 350.000 2,98

Uji laboratorium (paket) 1 50.000 50.000

Cetak label (paket) 1 300.000 300.000

Jumlah 11.735.000 100,00

Produksi Benih 1300 12.000 15.600.000

Produksi Konsumsi 433 6.000 2.598.000

Jumlah 18.198.000

Keuntungan 6.463.000

TIP (kg/ha) 977,9

TIH (Rp / kg) 9.799,2

R/C 1,63

Page 18: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123

120

tertinggi Rata-rata tinggi tanaman varietas

tergantung dapat pada yang diusaahakan

(Yardha. dkk. 2013) (Tabel 2).

Hasil pengamatan terhadap berat 100 butir

biji kering menunjukkan rata-rata 13,2 gram per 100

biji. Berat biji dipengaruhi factor genetik dan oleh

lingkungan pada saat pembentukan biji (Tabel 2).

Hasil pengamatan terhadap berat biji kering

kedelai per hektar terlihat bahwa perbedaan antar

blok pertanaman sangat dipengaruhi oleh blok

pertanaman yang diusahakan. Berat biji kering

kedelai per hektar terlihat ada perbedaan, di mana

berat biji kering benih pada blok A sebesar 1.000

kg/ha, sedangkan blok B sebesar 700 kg/ha

sedangkan Blok C sebesar 900 kg/ha. Perbedaan

antra Blok pertanaman disebabkan oleh habitus

tanaman dan keadaan faktor lingkungan. Salah satu

yang diperhatikan didalam membudidayakan

tanaman kedelai terutama dalam hubungannya

untuk peningkatan produksi antara lain adalah

melalui penggunaan lokasi tumbuh. Hasil kegiatan

menunjukkan bahwa masing-masing Blok

memperlihatkan pertumbuhan dan hasil yang

berbeda.

Pada kedua usahatani ini, upah merupakan

pengeluaran usahatani yang lebih besar

dibandingkan dengan pengeluaran biaya untuk

pembelian bahan. Pada usahatani konsumsi biaya

yang harus dikeluarkan untuk upah sebesar 73,04%

, sedangkan biaya untuk pembeliaan bahan sarana

produksi hanya sebesar 26,96%. Sama halnya

dengan usahatani produksi benih, dimana biaya

yang dikeluarkan untuk upah sebesar 63,87%,

sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian

sarana produksi sebesar 36,13%. Besarnya upah

yang dikeluarkan pada usahatani eksisting

dibandingkan dengan usahatani teknologi

introduksi disebabkan rendahnya efisiensi usahatani

pada teknologi eksisting, terutama pada

pengeluaran biaya persemaian yang dua kali pindah.

Berdasarkan latar belakang, kondisi dan

permasalahan perbenihan kedelai di Provinsi Jambi,

maka untuk ketersediaan benih secara 5 (lima) tepat

perlu dilakukan implikasi kebijakan mengenai: 1)

rekayasa dan dan penerapan aturan main (rule of

game), , 2) Pengembangan dan rekayasa

kelembagaan penangkar benih kedelai, peningkatan

pengetahuan dan keterampilan petani dalam

teknologi perbanyakan benih, morfologi dan sayarat

tumbuh kedelai,, 3) Ketua kelompok penangkar

harus mempunyai pemikiran dan wawasan bisnis

yang kuat, 4) Kecukupan ktersediaan benih sumber

dari lembaga penelitian atau balai benih, dan 5)

Penumbuhan dan pengembangan penangkar baru

dan peningkatan kapasitas produksi benih dari

penangkar yang telah ada..

Sumberdaya lahan yang dimiliki kelompok

ini adalah lahan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Pertanaman kedelai tidak monokultur tetapi

melainkan sebagai tumpangsari pada tanaman

coklat, jeruk, karet dan kelapa sawit yang belum

menghasilkan. Setiap tahunnya sebagian

lahan pertanaman kedelai terkena banir luapan

sungai Batang Hari. Bagi petani banjir dianggap

menambah kesuburan lahannya karena membawa

lumpur dan humus. Petani dapat melakukan

penanaman kedelai 2-3 kali setahun. Hasil

pengkajian oleh Adri dan Yardha (2010) didapatkan

perbedaan musim tanam dengan Agroekosistem

lahan pasang surut lahan hanya dapat ditanami satu

kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei – Juni

setiap tahunnya.

Upaya pengembangan kelembagaan

penangkar benih kedelai salah satunya melalui

pemanfaatan sistem informasi baik berbasis web

ataupun SMS dengan tujuan memperlancar dan

mempercepat serta mengurangi biaya pemasaran.

Kebutuhan pengguna sistem informasi perbenihan

dalam kegiatan pemasaran didorong oleh semakin

tingginya tuntutan akses terhadap infromasi yang

cepat, mudah dan hemat biaya. Beberapa informasi

dasar yang dapat dimuat dalam web untuk promosis

benih antara lain ; ketersediaan benih, kelas benih,

varietas, harga dan kontak person.

Kelompok tani penangkar benih kedelai

harapan Mulya yang menjadi andalan untuk

memproduksi benih perlu terus ditingkatkan atau

mengadakan perubahan kearah yang lebih

Page 19: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

121

produktif. Perubahan aspek organisasi sosial dengan

kata lain perlu mengintroduksikan unsur-unsur

kelembagaan baru yaitu dengan strukturisasi

organisasi. Merujuk kepada Uphoff (1986) dalam

Syahyuti (2003) bahwa suatu organisasi baru

dimulai dimulai dengan perubahan peran, untuk

kemudiaan mengharapkan diikuti oleh perubahan

nilai-nilai baru

KESIMPULAN

Dari hasil pengkajian ini dapat diambil

beberapa kesimpulan antara lain;

Provinsi Jambi sebagai salah satu sentra

produksi kedelai nasional belum mampu mandiri

dalam hal penyediaan benih bermutu dan

berlabel. Selama ini benih didatangkan dari luar

daerah terutama dari Jawa dan Lampung.

Rendahnya produktivitas kedelai di tingkat

petani disebabkan penggunaan benih yang

kurang bermutu dan tidak berlabel serta tidak

menerapkan teknologi budidaya rekomendasi

BPTP Jambi melalui UPBS melakukan

akselerasi percepatan mandiri benih benih kedelai tingkat prvinsi sekaligus sebagai upaya meningkatkan produktivitas kedelai

Hasil kajian UPBS kedelai tahun 2018 menghasilkan benih Foundation Seed (FS)

sebanyak 2,6 ton dan kemudiaan ditangkarkan lagi sehingga memperoleh benih Stock Seed (SS) sebanyak 53,7 ton.

Secara finansial usahatani penangkaran benih

kedelai layak dengan indicator R/C 1,63, TIP

977,91 kg/ha, dan TIH Rp 9779,2 / kg.

Keuntungan usahatani memproduksi benih lebih

tinggi Rp 8.350.000,-/ha/musim tanam

dibandingkan dengan keuntungan usahatani

kedelai konsumsi.

Difusi teknologi budidaya penangkaran benih

kedelai 76,7 % - 85,6 %.

DAFTAR PUSTAKA

Adie. M.M., 2013. Varietas unggul kedelai di

Indonesia. Makalah disampaikan pada

Worshop Teknik Produksi Benih Kedelai

Bagi Petugas UPBS dan Penangkar Benih.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Puslitbangtan Bogor. Balitkabi

Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.

Adie. M.M., dan Yardha. 2008. Pengembangan

Kedelai di Provinsi Jambi Melalui

Penyediaan Varietas Spesifik Lokasi.

Prosiding Lokakarya Nasional Percepatan

Penerapan IPTEK dan Inovasi Teknologi

Mendukung Ketahanan Pangan dan

Revitaslisasi Pembangunan Pertanian Jambi, 11-12 Desember 2007.

Adri dan Yardha. 2010. Kajian usahatani benih

kedelai (Glizyn max. L) lahan pasang surut.

Prosiding Seminar Nasional. Teknologi

Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan dan

Agribisnis Perdesaan. Buku II. Kerjasama

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Pertanian dengan Pemerintah Daerah

Provinsi Papua. Jayapura, 7-8 Oktober 2010. ISBN : 978-979-1415-57-6.

Badan Benih Nasional (BBN). 2012. Prosedur

Pelepasan Varietas Tanaman Pangan. Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum

Produksi Benih Sumber Kedelai. Badan

Peneitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih. 2009.

Realisasi Sertifikasi dan Produksi Benih

Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang

Tanah.Balai Pengawasan dan Sertifikasi

Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jambi.

Balitbangtan. 2013. Inovasi Benih Mendukung

Sukses Usahatani Kedelai. Booklet Agro

Page 20: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 109-123

122

Inovasi. Sinar Tani Edisi 3-9 April 2013; 16

hlm.

Darman M. dkk. 2007. Pemberdayaan Kelompok

Tani Sebagai Penangkar Benih Padi dan

Palawija. Proseding Lokakarya Nasional

Akselerasi Diseminasi Inovasi Teknologi

Pertanian Mendukung Pembangunan

Berawal Dari Desa. Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Pertanian. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dep.Pertanian. 2007.

Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Umum

PTT Kedelai. Departe-men Pertanian.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Dinas Pertanian Provinsi Jambi. 2014. Sasaran Produksi Tanaman Pangan Tahun 2014.

Ditjentan Pangan. 2005. Kebijakan Perbenihan

Tanaman Pangan. Seminar Nasional: Peran

Perbenihan dalam Revitalisasi Pertanian.

Kerjasama Departemen Pertanian dan

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 23 November 2006. Bogor.

Harnowo, D., Hidaya, JR., dan Suyamto. 2007.

Kedelai: Teknik Produksi dan

Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Hendayana R,. 2016 a. Persepsi dan Adopsi

Teknologi. Pandangan Teoritis dan Praktek

Pengukuran. Penerbit: IAARD Press. Badan

litbang Pertanian. Jl. Ragunan No. 29 Pasar

Minggu Jakarta Selatan, 12540. Anggota IKAPI No. 4451/DKI/2012.

Hendayana R,. 2016 b. Analisis Data Pengkajian.

Cerdas dan Cermat Menggunakan Alat

Analisis Data Untuk Karya Tulis Ilmiah..

Penerbit: IAARD Press. Badan itbang

Pertanian. Jl. Ragunan No. 29 Pasar Minggu

Jakarta Selatan, 12540. Anggota IKAPI No. 4451/DKI/2012.

Ilyas, Satrias, Memen Surahmen, Suwarto, Sriani

Sujiprihati, Y. R. Hidayat, dan Adi Wijono.

2008. Evaluasi Kinerja Sistem Perbenihan.

Seminar Nasional Perbenihan dan Kelembagaan. II-32 – 42.

International Seed Testing Association. 2007.

International Rules for Seed Testing . Ed 2007. ISTA. Zurich. Switzerland.

Manzanilla, Digna O., Joel D, Janiya., and David E.

Jhonson. 2013. Penterjemah Zulkifli Zaini,

Hermanto dan Diah Wurjandari. Membangun

Sistem Perbenihan Berbasis Masyarakat.

Manual Pelatihan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Marwoto, 2013. Hama kedelai dan

pengendaliannya. Makalah disampaikan pada

Worshop Teknik Produksi Benih Kedelai

Bagi Petugas UPBS dan Penangkar Benih.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Puslitbangtan Bogor. Balitkabi Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.

Novita Nugrahaeni. 2013. Produksi Benih Sumber

Kedelai. Makalah disampaikan pada

Worshop Teknik Produksi Benih Kedelai

Bagi Petugas UPBS dan Penangkar Benih.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Puslitbangtan Bogor. Balitkabi Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.

Puslitbangtan. 2015. Hama, Penyakit, dan Masalah

Hara pada Tanaman Kedelai. Identifikasi dan

Pengendaliaannya. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IAARD PRESS

Sarasutha, IGP. 2004. Inovasi Teknologi Padi dan

Kelembagaan Pendukung (Upaya dan

Masalah Penerapannya). Orasi Pengukuhan

Ahli Peneliti Utama. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor 29 Maret 2004.

Page 21: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Tingkat Efisiensi Teknologi Produksi Benih Kedelai di Provinsi Jambi (Yardha dan Adri)

123

Sumarno. 1998. Penyediaan benih berdasarkan

adaptasi varietas kedelai pada agroklimat

spesifik. Dalam : Roesmiyanto, Sumarno dan

Takhesi Nabeta, editor. Prosiding Lokakarya

Sistem Produksi dan Peningkatan Mutu

Benih Kedelai di Jawa Timur; Malang, 27 Juli 1998. Malang. 1-12.

Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan.

Strategi Pengembangan dan Penerapannya

dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Taufiq Abdullah, 2013. Masalah hara dan

pemupukan spesifik lokasi pada tanaman

kedelai. Makalah disampaikan pada Worshop

Teknik Produksi Benih Kedelai Bagi Petugas

UPBS dan Penangkar Benih. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Puslitbangtan Bogor. Balitkabi Malang. Malang, 26-29 Nopember 2013.

Taufiq, A dan H. Kuntiyastuti, 2005. Pemupukan

dan pengapuran pada verietas kedelai toleran

lahan masam di Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24(3):6-11.

Valeriana Darwis. 2016. Industri Perbenihan dan

Peluan Usaha Penangkaran Benih Kedelai.

Warta Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Volume 38, Nomor 1 Tahun 2016.

ISSN 2016-4427.

Wahyuni, Sri. 2010. Integritas Kelembagaan Petani

Gapoktan dan P3A. Iptek Tanaman Pangan

Volume 5 Nomor 1 Juli 2010. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal : 89-101

Yardha dan Novita N 2016 Kedelai. Teknologi

Perbanyakan Benih Kedelai. Penerbit Kristal Multimedia. ISBN: 978-602-71644-4-4.

Yardha dan Nur Asni. 2011. Peningkatan kapasitas

penangkaran benih kedelai melalui teknologi

budidaya di lahan pasang surut Provinsi

Jambi. Prosiding Seminar Nasional

Akselerasi Pembangunan Pertanian dan

Perdesaan Berbasis Inovasi dan Sumberdaya

Lokal. Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 2011. ISBN:978-979-1415-72-9.

Yardha, Erwan Wahyudi dan Adri. 2016. St rategi

Pengembangan Kawasan Kedelai di

Kabupaten Tebo. Dalam Bunga Rampai

Menguak Potensai Teknologi Spesifik Lokasi

Guna Mencapai Kesejahteraan Petani.

Pendekatan Pengkajian, dan Pendukung

Teknologi Untuk Ketahanan Pangan.

Diterbitkan oleh CV. Kristal Media. Anggota

IKAPI No. 005/SBA/04. Cetakan Pertama

Mei 2016. ISBN : 978-602-74371-1-1.

Page 22: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

124

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019

Page 23: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut

(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)

125

UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI DI LAHAN DATARAN MEDIUM KABUPATEN GARUT

Irma Noviana , Yati Haryati , dan Bebet Nurbaeti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,

Jl. Kayu Ambon No.80 Lembang Indonesia. varietas, padi, dataran medium

Email : [email protected]

ABSTRACT

Performance and Production Potential of New Superior Rice Variety in Medium Land of Garut District Superior

varieties is a very important cultivation component for increasing rice production. The aim of the study is to know

growth performanced and potential production of several varieties of rice in medium land of Garut District. The

experiment was conducted in Garut district on May to August 2016 in irrigated rice fields. Eight varietie used were

Inpari 7, Inpari 28, Inpari 29, Inpari 30, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, and Situ Patenggang. The applied technology was Integrated Crop Management (PTT) of rice. Observed variables: agronomic characteristics of the crop (plant height,

productive seedlings, productivity, length of panicles), and yield components (number of grain content and hollow per

panicle, weight of 1000 grains). The results showed that several varieties has good performance of high number of

productive seedling and good yield components that support to high potential production. They are Inpago 7 for raifed

varieties and Inpari 7, 28, 29 and 30 for irrigated land varieties.

Keywords : rice, variety, medium land

ABSTRAK

Varietas unggul merupakan komponen budidaya yang sangat penting bagi peningkatan produksi padi. Tujuan

pengkajian adalah mengetahui keragaan pertumbuhan dan potensi hasil beberapa VUB padi di lahan dataran medium

Kabupaten Garut. Pengkajian dilaksanakan di desa Cikembulan Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut pada Bulan

Mei hingga Agustus 2016 di lahan sawah irigasi. Varietas padi yang digunakan terdiri dari 8 varietas yaitu Inpari 7,

Inpari 28, Inpari 29, Inpari 30, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, dan Situ Patenggang. Teknologi yang diterapkan adalah

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi. Peubah yang diamati: Karakteristik agronomis tanaman (tinggi tanaman,

jumlah anakan produktif, produktivitas, dan panjang malai) serta komponen hasil (jumlah gabah isi dan hampa per

malai, bobot 1.000 butir). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa VUB yang diuji memiliki karakter yang

cocok untuk dikembangkan di dataran medium Kabupaten Garut karena memiliki jumlah anakan produktif yang banyak

dengan komponen hasil yang baik menunjang terhadap potensi produksi yang tinggi seperti varietas Inpago 7 untuk

padi gogo dan varietas Inpari 7, 28, 29 dan 30 untuk padi sawah.

Kata kunci : padi, varietas, dataran medium

Page 24: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:125-130

126

PENDAHULUAN

Tanaman padi merupakan komoditas

strategis tanaman pangan yang berperan penting

dalam ketahanan pangan nasional. Propinsi Jawa

Barat merupakan salah penyumbang besar bagi

produksi padi nasional. Produksi padi Jawa Barat

pada tahun 2015 mencapai 11.373.234 ton GKG.

Produksi padi Jawa Barat pada tahun 2015

mengalami penurunan sebanyak 271.665 ton GKG

atau turun sebesar 2,33% dibandingkan tahun 2014.

Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh

penurunan luas panen sebesar 6,17%, sedangkan

produktivitas mengalami peningkatan sebesar

4,08% (BPS Jawa Barat 2016).

Di Jawa Barat, sektor pertanian dalam

struktur perekonomian menempati posisi ketiga

terbesar setelah sektor industri dan perdagangan.

Namun demikian, Provinsi Jawa Barat merupakan

salah satu sentra produksi padi dengan kontribusi

terbesar terhadap produksi beras nasional dengan

kontribusi rata-rata 17,6% selama kurun waktu

2001-2010 (BPS Jawa Barat, 2010; Diperta Provinsi

Jawa Barat, 2010).

Namun akhir-akhir ini laju peningkatan

produktivitas padi semakin lambat sehingga

pertumbuhan produksi padi juga semakin lambat.

Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi

ketahanan pangan nasional karena berdampak pada

kekurangan beras dimasa yang akan datang,

mengingat kebutuhan beras nasional terus

meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah

penduduk dan meningkatnya konsumsi beras per

kapita.

Secara agronomis, peningkatan produktivitas

padi disebabkan dua faktor, yaitu : (1)

meningkatnya penggunaan varietas padi yang

berdaya produksi lebih tinggi, dan (2)

meningkatnya mutu usahatani yang dilakukan

petani, seperti cara pengolahan tanah, cara

penanaman, cara pemupukan dan sebagainya.

Penggunaan varietas padi berdaya produksi tinggi

sangat menentukan produktivitas potensial atau

potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi

petani menjadi produktivitas aktual. Berdasarkan

pengamatan di lapangan bahwa selama ini varietas

padi yang masih dominan berkembang di Jawa

Barat adalah varietas IR 64, Ciherang dan

Mekongga dengan rata-rata produktivitas 5,88 t ha-

1(BPS Jawa Barat 2016).

Hingga saat ini Balitbangtan melalui Balai

Besar Penelitian Padi (BB Padi) Sukamandi telah

merakit berbagai varietas Inpari yang memiliki

karakter ketahanan terhadap hama penyakit dan

berdaya hasil t inggi. Potensi hasil setiap VUB akan

berbeda-beda tergantung dari kesesuaian kondisi

lingkungan (spesifik lokasi). Pengkajian bertujuan

melakukan uji adaptasi beberapa VUB padi di

sentra padi Jawa Barat di lahan dataran medium

Kabupaten Garut.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan pada musim tanam

kedua bulan Juni hingga September 2016 di Desa

Cikembulan Kecamatan Kadungora Kabupaten

Garut (650-700 mdpl). Kegiatan dilaksanakan

dalam bentuk demplot teknologi Pengelolaan

Tanaman Terpadu (PTT) padi seluas 2 hektar.

Percobaan dilaksanakan dengan

menggunakan metode pengujian lapang (field

experiment). Rancangan lingkungan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok

(RAK). Perlakuan yang diuji terdiri dari 8 varietas

padi yaitu 4 varietas padi gogo (Inpago 7, Inpago 8 ,

Inpago 9, dan Situ Patenggang) serta 4 varietas padi

sawah (Inpari 7, Inpari 28, Inpari 29, dan Inpari 30)..

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga

kali, sehingga jumlah kombinasi perlakuan yang

diuji sebanyak 24 petak perlakuan.

Pelaksanaan kegiatan:

1. Sebelum disemai, benih padi direndam terlebih

dulu selama 24 jam pada air mengalir,

kemudian dikecambahkan selama 2 malam.

Benih yang baik akan memunculkan radikula

berwarna putih pada benih yang berkecambah.

2. Pupuk kandang sebanyak ±2 ton/Ha

diaplikasikan saat pengolahan tanah. Pupuk

kandang diberikan untuk memperbaiki struktur

tanah, sehingga memudahkan penyerapan hara

tanah oleh tanaman padi. Selain itu, untuk

mengetahui tingkat kesuburan dan status hara

tanah, maka dilakukan analisis sampel tanah

sebagai bahan rekomendasi dosis pupuk N, P,

dan K yang akan diberikan pada tanaman padi.

Page 25: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut

(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)

127

Analisis sampel tanah dilakukan menggunakan

perangkat uji tanah sawah (PUTS). Hasil uji

PUTS dan rekomendasi pemupukan yang

diberikan disajikan selengkapnya pada Tabel

1.

3. 4. Benih ditanam pada umur 17 hari setelah semai

(hss).

5. Pemupukan diberikan sebanyak tiga kali yaitu

pada umur 10 hari setelah tanam (hst) dengan

dosis 1/3 urea + 2/3 NPK phonska, pemupukan

kedua umur 30 hst dengan dosis 1/3 urea + 1/3

NPK phonska, pemupukan ketiga umur 45 hst

pemberian urea sesuai dengan pengamatan

Bagan Warna Daun (BWD). Pupuk

diaplikasikan dengan cara disebar merata di

antara rumpun legowo padi.

6. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan adalah

penyiangan dan pengendalian OPT sesuai

dengan tingkat serangan di lapangan.

Pengamatan agronomis tanaman padi

dilakukan terhadap karakter tinggi tanaman (cm)

dan jumlah anakan. Sedangkan karakter hasil dan

komponen hasil yang diamati meliputi :

produktivitas (t ha-1), jumlah malai per rumpun,

jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per

malai, bobot 1000 butir.

Selanjutnya data dianalisis menggunakan

Anova dan uji DMRT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Wilayah

Desa Cikembulan Kecamatan Kadungora

Kabupaten Garut terletak pada ketinggian tempat

650-700 m dpl dengan topografi kemiringan lahan

sekitar 8-25%, memiliki jenis tanah andosol,

podsolik dan regosol, pH tanah agak masam (5,5-

6,5). Rata-rata curah hujan pada 10 tahun terakhir

mencapai 2.589 mm/tahun, dan kisaran suhu 24oC-

27 oC.

Karakter Agronomis Tanaman

Tinggi tanaman dan jumlah anakan

Hasil analisis varians terhadap karakter agronomis

tanaman yang diamati bahwa karakter tinggi

tanaman dan jumlah anakan dari 8 varietas yang

diuji berbeda (P<0.05) (Tabel 2). T inggi tanaman

merupakan salah satu karakter yang dijadikan

sebagai indikator pertumbuhan. T inggi tanaman

berkaitan dengan tingkat kerentanan tanaman

terhadap kerebahan. Karakter tinggi tanaman

merupakan salah satu karakter morfologis tanaman

yang mudah diturunkan dan tidak berubah dalam

waktu singkat dan nilai heritabilitasnya tinggi

(Austin, 1993).

Sejalan dengan pendapat Mildaerizanti (2008) dan

Sutaryo (2012) bahwa perbedaan tinggi tanaman

lebih ditentukan oleh faktor genetik, di samping

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh

tanaman. Berdasarkan Standard Evaluation System

for Rice (SES) bahwa tinggi tanaman digolongkan

menjadi 3 kriteria, yaitu pendek (<110 cm untuk

padi sawah dan <90 cm untuk padi gogo), sedang

Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Lahan Sawah di Desa Cikembulan Kecamatan Kadungora Kabupaten

Garut, MT 2 2016.

Hara Kategori Rekomendasi

Nitrogen Rendah NPK Phonska (15-15-15) : 250 kg/ha + urea

100 kg/ha

Phospor T inggi SP 36 : 50-75 kg / Ha

Kalium Tinggi KCl : 50 kg /ha (5 ton jerami/ha)

pH Agak masam (5-6) Sistem drainase konvensional

Page 26: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:125-130

128

(110-130 cm untuk padi sawah dan 90-125 cm

untuk padi gogo), dan tinggi (>130 cm untuk padi

sawah dan >125 cm untuk padi gogo) (IRRI, 2013).

Rata-rata tinggi tanaman padi dari 8 varietas yang

diuji berkisar antara 85 cm sampai >100 cm. Pada 4

varietas padi gogo yaitu Inpago 7, 8, 9, dan Situ

Patenggang tinggi tanaman padi tergolong sedang

(99 - 119 cm). Sedangkan untuk varietas padi sawah

yaitu Inpari 7, 28, 29, dan 30 memiliki tinggi

tanaman yang tergolong pendek berkisar antara 83 -

99 cm.

Produktivitas tanaman padi antara lain diukur

dari jumlah anakan produktif yang terbentuk.

Berdasarkan data hasil pengamatan di lapangan,

bahwa rata-rata jumlah anakan produktif varietas

padi gogo (Inpago 7, 8, 9, dan Situ Patenggang)

lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata jumlah

anakan produktif varietas padi sawah. Data jumlah

anakan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa varietas

padi gogo memiliki jumlah anakan produktif <15

batang, sedangkan varietas padi sawah memiliki

jumlah anakan produktif > 15 batang dan terbanyak

adalah varietas Inpari 28 sebanyak 32 batang.

Menurut Silitonga et al., (2003), kriteria jumlah

anakan padi dapat digolongkan dalam 5 tipe,

yaitu sangat banyak (>25 anakan/tanaman), banyak

(20-25 anakan/tanaman) sedang (10-19

anakan/tanaman), sedikit (5-9 anakan/tanaman) dan

sangat sedikit (< 5 anakan/tanaman). Berdasarkan

kriteria tersebut di atas, maka dapat dikatakan

bahwa 8 vaietas yang dikaji memiliki kriteria tinggi

sebagai berikut, varietas padi gogo (Inpago 7, 8, 9,

dan Situ Patenggang) serta Inpari 29 memiliki

jumlah anakan sedang, sedangkan Inpari 7, Inpari

28, dan Inpari 30 memiliki jumlah anakan banyak.

Tabel 3. Rata-rata T inggi Tanaman, Jumlah Anakan, dan Panjang Malai 8 Varietas Padi di

Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut Pada MT 2 Tahun 2016

No Varietas T inggi Tanaman

(cm)

Jumlah Anakan

(batang) Panjang Malai (cm)

1 INPAGO 7 118.9 a 13.0 d 28.5 a

2 INPAGO 9 106.7 c 11.1 d 23.8 cd

3 INPAGO 8 112.1 b 10.9 d 24.8 bcd

4 INPARI 29 85.8 e 16.4 c 25.5 bc

5 INPARI 7 83.9 e 22.6 b 24.6 bcd

6 ST.PATENGGANG 99.3 d 11.7 d 24.3 bcd

7 INPARI 28 99.44 d 32.8 a 25.8 b

8 INPARI 30 85.32 e 21.9 b 23.1 d

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata

pada taraf uji 5%

Tabel 2. Hasil Analisis Varians Karakter T inggi Tanaman dan Jumlah Anakan Padi di Kecamatan

Kadungora Kabupaten Garut, MT2 2016.

No Variabel Varietas KK (%)

1 T inggi Tananaman * 3,38

2 Jumlah Anakan Produktif * 13,5

3 Panjang Malai * 5,17

*) Menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf 95% menurut uji Duncan

Page 27: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut

(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)

129

Karakter panjang malai merupakan parameter

yang dapat menentukan tinggi rendahnya

produktivitas tanaman padi. Malai yang panjang

berpeluang untuk menghasilkan jumlah gabah yang

lebih banyak. Klasifikasi panjang malai menurut

Diptaningsari (2013) dikutip Mulyaningsih et al.,

(2016) dibedakan atas malai pendek (<20 cm),

sedang (21-30 cm), dan panjang (>30 cm). Dengan

demikian, 8 varietas yang dikaji memiliki criteria

panjang malai sedang. Berdasarkan hasil

pengamatan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa

Inpago 7 memiliki malai paling panjang (28,5 cm)

dan paling pendek yaitu Inpari 30 (23,1 cm).

Hasil dan Komponen Hasil

Komponen hasil merupakan parameter yang

sangat berkaitan erat dengan tinggi rendahnya

produksi padi. Hasil analisis varians terhadap

karakter hasil dan komponen hasil pada Tabel 2

menunjukkan bahwa karakter hasil dan semua

komponen hasil dari 8 varietas yang diuji berbeda

(P < 0.05).

Performa suatu tanaman termasuk karakter

hasil dan komponen hasil dipengaruhi oleh faktor

genetik dan lingkungan (Fatimaturrohmah et al.,

2016). Karakter hasil merupakan karakter yang

kompleks yang dikendalikan oleh sejumlah besar

gen-gen kumulatif, duplikat, dan atau dominan, dan

sangat dipengaruhi oleh lingkungan

(Reddi et al., 1986 dalam Satoto dan Suprihatno;

1998). Rata-rata produktivitas dari 8 varietas padi

yang diuji umumnya cukup tinggi (>7 t ha-1) kecuali

2 varietas padi gogo yaitu Inpago 9 dan Situ

Patenggang (< 6 t ha-1).

Komponen hasil yang berpengaruh terhadap

tinggi rendahnya hasil adalah jumlah gabah isi dan

hampa per malai. Berdasarkan Tabel 5, persen

gabah hampa dari jumlah total keseluruhan gabah

per malai 8 varietas padi yang dikaji diketahui

Tabel 4. Hasil Analisis Varians Karakter Hasil dan Komponen Hasil Padi di Kecamatan Kadungora

Kabupaten Garut, MT2 2016.

No Variabel Varietas KK (%)

1 Produktivitas * 10,99

2 Jumlah Gabah Isi per Malai * 15,37

3 Jumlah Gabah Hampa per Malai * 16,54

4 Bobot 1000 butir * 3,78

*) Menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf 95% menurut uji Duncan

Tabel 5. Rata-rata Hasil dan Komponen Hasil 8 Varietas Padi di Kecamatan Kadungora Kabupaten

Garut Pada MT 2 Tahun 2016

No Varietas Produktivita

s (t/ha)

Gabah

Isi/malai

Gabah

Hampa/malai

% Gabah

Hampa

Bobot 1000

butir (g)

1 INPAGO 7 7.0 a 189.5 a 37.0 ab 16.3 bc 28.0 a

2 INPAGO 9 5.2 b 173.2 ab 22.7 b 11.6 bc 26.5 b

3 INPAGO 8 6.6 a 155.8 ab 34.1 ab 18.0 b 25.5 b

4 INPARI 29 7.3 a 163.0 ab 35.2 ab 17.8 b 26.0 b

5 INPARI 7 7.3 a 145.2 b 25.8 b 15.1 bc 26.5 b

6 ST.PATENGGANG 4.8 b 171.1 ab 51.7 a 23.2 a 23.1 c

7 INPARI 28 7.2 a 170.0 ab 27.0 b 13.7 bc 22.3 c

8 INPARI 30 7.3 a 142.9 b 15.7 b 9.9 c 26.0 b

Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada

taraf uji 5%

Page 28: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:125-130

130

bahwa varietas Situ Patenggang memiliki persen

gabah hampa paling tinggi (23.2%) dibandingkan

varietas lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap

produktivitas padi yang dihasilkan sangat rendah.

Persentase gabah hampa dapat dikurangi atau hasil

gabah isi masih berpotensi untuk ditingkatkan lagi

melalui optimalisasi takaran pemupukan (Rustiati

dan Abdulrachman, 2011), atau melalui perbaikan

teknik budidaya karena faktor lingkungan memiliki

andil yang besar dalam menekan jumlah gabah

hampa (Venkaterwaslu vesperas, 1987).

Bobot gabah berpengaruh teradap tinggi

rendahnya hasil padi. Pengamatan terhadap karakter

Bobot 1000 butir bahwa varietas Inpago 7 memiliki

bobot gabah lebih berat (28.0 g per 1000 butir)

dibandingkan varietas lainnya, meskipun memiliki

jumlah anakan yang lebih rendah dibandingkan

varietas Inpari 7, 28, dan 30, namun varietas Inpago

7 mampu memberikan produktivitas hasil yang

sama dengan ketiga varietas tersebut . Dengan

demikian semakin banyak varietas yang berdaya

hasil t inggi dan adaptasinya luas dapat

memudahkan diseminasi varietas (Rohaeni dan

Ishaq, 2015).

KESIMPULAN

Varietas Inpago 7, Inpari 7, 28, 29, dan 30

cocok untuk dikembangkan di dataran medium

Kabupaten Garut karena memiliki jumlah anakan

produktif yang banyak dengan komponen hasil yang

baik menunjang terhadap potensi produksi yang

tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para

teknisi litkayasa yang telah banyak membantu

dalam pelaksanaan pengkajian.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Jawa Barat

dalam Angka. Badan Pusat Statistik.

Austin, R.B. 1993. Augmenting yield-base

selection. In: Plant breeding-Principles and

prospects, edited by M.D. Hyward, N.O.

Basemark and I. Romagosa, Chapman and

Hall, p. 391 - 405.

Fatimaturrohmah, S., Rumanti, I.A., Soegianto, A.,

dan Damanhuri. 2016. Uji Daya Hasil

Lanjutan Beberapa Genotip Padi (Oryza

sativa L.) Hibrida Di Dataran Medium.

Jurnal Produksi Tanaman , vol. 4, no. 2 hh :

129-136.

International Rice Research Institute (IRRI). 2013.

Standard Evaluation System for Rice (SES).

5th edition. Manila, Philippines.

Mildaerizanti. 2008. Keragaan Beberapa Varietas

Padi Gogo di Daerah Aliran Sungai

Batanghari, http:/katalog Online Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Diakses tanggal 20 Nopember 2017.

Mulyaningsih, E.S., Perdani, A.Y., Indrayani, S.,

dan Suwarno. 2016. Seleksi Fenotipe Padi

Gogo untuk Hasil T inggi, Toleran alumunium

dan Tahan Blas pada tanah Masam.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan , vol.

35, no. 3, hh : 191 - 197.

Rohaeni, W., dan Ishaq, I. 2015. Evaluasi Varietas

Padi Sawah Pada Display Varietas Unggul

Baru (VUB) di Kabupaten Karawang, Jawa

Barat, Agric, vol. 27, no. 1, hh

: 1 - 7.

Rustiati, T . dan Abdulrachman, S. 2011.

Komparatif beberapa Metode Penetapan

Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi.

Satoto dan B. Suprihatno. 1998. Heterosis dan

Stabilitas Hasil Hibrida-Hibrida Padi

Turunan Galur Mandul Jantan IR62829A dan

IR58025A. Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan, vol. 17, no. 1, hh :33-37.

Silitonga, T .S., Somantri, I.H., Darajat, A.A., dan

Kurniawan, H. 2003. Panduan Sistem

Karakterisasi dan Evaluasi Tanaman Padi.

Komisi Plasma Nutfah. Balitbangtan. Deptan.

58 hal.

Sutaryo, B. 2012. Ekspresi Daya Hasil dan

Beberapa Karakter Agronomi Enam Padi

Hibrida Indica di Lahan Sawah Berpengaran

Teknis. Ilmu Pertanian, vol. 15, no. 2, hh : 19-

29.

Venkateswarlu, B., R.M. Visperas., 1987. Source-

sink Relationships in Crop Plants.

International Rice Research instititute.

Manila, Philippnes.

Page 29: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

131 Aplikasi Pupuk Mikro pada Pertanaman Cabai Merah di Provinsi Kepulauan Riau (Annisa Dhienar Alifia

dan Mizu Istianto)

APLIKASI PUPUK MIKRO PADA PERTANAMAN CABAI MERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Annisa Dhienar Alifia dan Mizu Istianto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kepulauan Riau

Jalan Sungai Jang No. 38, Bukit Bestari, Tanjungpinang 29124

Telepon (0771)22153 Faximili (0771) 26285

Email: [email protected]

ABSTRACT

Red pepper (Capsicum annuum L.) demand in Riau Islands Province was still unable to be fulfilled by local

production. There needs an effort to increased red pepper production in the Riau Islands through cultivation

development on Bintan Island. One of the means to improve plant growth and production is by ful filling its needs of

nutrients, whether macronut rients or micronutri ents. Some of the obstacles met to cultivat e red pepper in Bintan Island

soil are its limiting factors, which can affect its micronut rient content. Application of micronut rient fertilizer on

several kinds of plants, including red peppers proved to be effective in increasing the plants growth and productivities.

The technology to apply micronutrients fertili zer to increase productivities of red pepper in Bintan Island is fit to be

studied further as an effort to identi fy components for red pepper cultivation technology which will be able to give

maximum result for local farmers.

Keywords: red pepper cultivations, micronutrients, Riau Islands

ABSTRAK

Permintaan terhadap komoditas cabai merah (Capsicum annuum L.) di Provinsi Kepulauan Riau masih belum dapat

dipenuhi oleh produksi lokal. Perlu ada upaya peningkatan produksi cabai di Kepulauan Riau melalui pengembangan budidaya di Pulau Bintan. Salah satu upaya pengembangan adalah melalui perbaikan pertumbuhan tanaman dengan

mencukupi kebutuhan unsur hara, baik makro maupun mikro. Kendala budidaya cabai di pulau Bintan adalah adanya

faktor pembatas yang dapat mempengaruhi ket ersediaan hara mikro. Aplikasi pupuk unsur hara mikro tel ah

dilaporkan mampu memperbaiki pertumbuhan dan produktivit as melalui perbaikan metabolisme berbagai t anaman,

termasuk cabai. Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas t eknologi pemberi an pupuk unsur hara mikro sebagai

bagian dari komponen teknologi budidaya cabai merah yang dapat meningkatkan produktivitas cabai sehingga

memberi hasil maksimal bagi petani Pulau Bintan.

Kata kunci: budidaya cabai merah, hara mikro, Kepulauan Riau

Page 30: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

132

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140

PENDAHULUAN

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan

salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi

tinggi den gan nilai konsumsi domestik yang

diproyeksikan meningkat 0,75% setiap tahunnya,

dari 400,91 ribu ton pada tahun 2016 menjadi

432,82 ribu ton di 2020. Estimasi konsum si cabai

di Kepulauan Riau sen diri pada tahun 2010 adalah

4.706 ton (Farid dan Subekti 2012). Sementara itu,

produksi cabai di Kepulauan Riau sen diri pada

tahun 2017 baru mencapai 3005 ton (BPS 2018).

Kebutuhan cabai Kepulauan Riau masih dipenuhi

dengan men datangkan cabai dari daerah lain

(Ikhsan 2018). Selain itu, provinsi Kepulauan Riau

memiliki potensi ekspor cabai sebagai daerah yang

berbatasan den gan Malaysia dan Singap ura yang

merupakan negera tujuan ekspor cabai Indonesia

(Pusdatin Kementan 2016). Untuk itu perlu adanya

upaya meningkatkan produksi cabai di Kepulauan

Riau.

Salah satu cara memperbaiki pertumbuhan

tanaman adalah dengan mencuk upi kebutuhan

unsur hara. Cabai mem butuhkan hara makro dan

mikro yang cuk up (Boslan d dan Votava 2012).

Defisiensi unsur mikro dapat mengurangi hasil

panen walaupun tanaman hanya menyerapnya

dalam jumlah yang sedikit (Martens dan

Westermann 1991). Aplikasi pupuk yang

mengandung n utrisi mikro biasa dilakukan untuk

menghindari defisiensi (Weil dan Brady 2017).

Patil et al. (2008) melaporkan bahwa aplikasi

campuran beberapa unsur hara mikro pada tomat

dapat meningkatkan jumlah buah per tanaman dan

bobot buah. Aplikasi p upuk komersil yang

mengandung beberapa un sur hara mikro juga dapat

meningkatkan produktivitas cabai hijau (Baloch et

al. 2008).

Pulau Bintan yang menjadi bagian dari

provinsi Kepulauan Riau merupakan lokasi yang

berpotensi untuk pengembangan cabai merah

menurut Paket Rekomendasi Pengelolaan Lahan

yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sum ber Daya

Lahan Pertanian (BBSDLP) pada tahun 2017.

Sum ber daya lahan Pulau Bintan memiliki faktor

pembatas seperti pH tanah yang rendah (masam),

kandungan bahan organik rendah, kandungan P 2O5

dan K2O rendah, serta beberapa lokasi memiliki

topografi berlereng.

Kondisi tanah yang masam kurang optimal

untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu

aplikasi kapur untuk meningkatkan pH.

menyebutkan pengapuran akan mengurangi

ketersediaan beberapa unsur hara mikro (Weil dan

Brady 2017). Topografi tanah yang berlereng juga

menimbulkan potensi pencucian pada tanah dan

juga potensi kurangnya ketersediaan unsur hara

mikro (Jones 2012). Berdasar hal tersebut, lahan di

Pulau Bintan terindikasi memiliki kandungan

unsur hara mikro yang rendah yang mungkin

menjadi salah satu penyebab masih rendahnya

produktivitas cabai merah di Pulau Bintan.

Tulisan ini memuat beberapa hasil penelitian

tentang pengaruh aplikasi unsur hara mikro

terhadap peningkatan pertumbuhan dan

produktivitas cabai sebagai upaya untuk

mengidentifikasi komponen teknologi penanaman

cabai merah di Provinsi Kepulauan Riau,

khususnya di Pulau Bintan.

UNSUR HARA MIKRO

Arti Penting Unsur Hara Bagi Tanaman

Unsur kimia yang dibutuhkan agar tanaman

dapat tumbuh secara normal disebut unsur hara.

Unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah cukup

besar (biasanya 50 mg/kg tanaman) untuk

pertumbuhan tanaman disebut hara makro, yang

terdiri dari karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O),

nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca),

magnesium (Mg), dan sulfur (S). Unsur hara yang

dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit (<50

mg/kg tanaman) disebut hara mikro, seperti boron

(B), klorin (Cl), tembaga (Cu), besi (Fe), mangan

(Mn), seng (Zn), dan molibdenum (Mo) (Weil dan

Brady 2017). Unsur hara tersedia di alam dalam

bentuk organik dan anorganik. Bentuk organik didapatkan dari sisa-sisa pembusukan tanaman

dan bahan organik lain, serta dari mikroorganisme. Bentuk anorganik biasanya didapat dari proses penambahan mineral ke tanah

Page 31: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

133 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut

(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)

melalui pengapuran atau pemberian p upuk kimia

(Jones 2012).

Meski dibutuhkan dalam jumlah san gat

sedikit unsur hara mikro memiliki dampak yang

signifikan pada tanaman, Unsur B diyakini penting

dalam sintesis salah satu basa pembentuk RNA,

membantu perkembangan serbuk sari, dan

berperan dalam aktivitas sel seperti pembelahan,

diferensiasi, dll. Unsur Cl terlibat di antaranya

dalam proses fotosintesis, meningkatkan tekanan

osmosis sel, dan mengatur stomata. Unsur Cu

berfun gsi di antaranya dalam membentuk protein

kloroplas, dalam transport elektron, metabolisme

protein dan karbohidrat, fiksasi nitrogen, dll. Besi

(Fe) diantaranya berfungsi sebagai komponen

berbagai enzim, berperan dalam asimilasi nitrogen

dan produksi energi, sebagai katalis, dll (Jones

2012)

Unsur Mn menyusun enzim dekarboksilase,

dehydrogenase, dan oksidase, penting pada proses

fotosintesis, serta metabolisme dan asimilasi

nitrogen. Unsur Mo adalah komponen enzim

nitrogenase dan nitrat reduktase, penting dalam

fiksasi dan asimilasi nitrogen. Sen g (Zn)

merupakan komponen pada beberapa enzim

dehydrogenase, proteinase, dan pepsidase,

meningkatkan pembentukan hormon pertumbuhan

dan pati, membantu produksi dan pemasakan benih

(Weil dan Brady 2017). Dimkpa dan Bindraban

(2016) juga menyebutkan bahwa hara mikro

berkontribusi dalam memperbaiki ketahanan

tanaman terhadap serangan penyakit.

Tanaman juga terpengaruh kekurangan unsur

hara mikro. Contohnya: defisiensi boron dapat

menyebabkan kematian titik tumbuh akar dan

tunas serta kegagalan pembentukan bun ga;

defisiensi klorin (Cl) dapat membuat daun

beruk uran kecil, mengalami nekrosis, dan

menghambat pertumbuhan akar dan rambut akar ;

defisiensi Cu menyebabkan daun muda

mengunin g, menggulun g, berukuran kecil dan

menghambat pertumbuhan tinggi tanaman, serta

defisiensi Mo ditandai den gan warna daun yang

memudar dan layu, pertumbuhan terhambat, dan

mengurangi produksi benih (Fageria et al. 2002).

Ketersediaan Hara Mikro

Faktor yang mempengaruhi ketersediaan

hara mikro di alam antara lain adalah pH tanah,

dimana pH tanah yang rendah (masam) membuat

kation hara mikro menjadi mudah terlarut dan

tersedia sehingga toksisitas bisa terjadi jika pH

tanah terlalu rendah. Pengapuran untuk

meningkatkan pH dapat mengurangi ketersediaan

unsur mikro Namun pengap uran yang berlebihan

dapat menyebabkan defisiensi unsur Fe, Mn, Zn,

Cu, dan B. Untuk unsur Mo, pH yang rendah

memembuatnya terikat oleh oxida Fe dan Al,

sehingga pengapuran akan meningkatkan

ketersediaan Mo. Selain pH, pencucian juga

mempengaruhi ketersediaan un sur seperti B yang

sangat mudah ik ut tercuci. Unsur Cu dan Mn juga

ditemukan kurang tersedia di tanah yang tidak

memiliki drainase yang baik dan memiliki

kandungan bahan organik tinggi (Weil dan Brady

2017).

Defisiensi unsur hara mikro pada tanaman

budidaya semakin serin g terjadi di beberapa tahun

terakhir akibat praktik budidaya yang semakin

intensif, hilangnya lapisan top soil akibat erosi,

hilangnya hara mikro akibat pencucian ( leaching),

dan pengapuran tanah masam. Penyebab lain

adalah semakin meningkatnya kemurnian pupuk

kimia komersil (NPK) yang menyebabkan

berkurangnya kontaminan dalam bentuk unsur hara

mikro, berkurangnya aplikasi kotoran hewan

sebagai sum ber unsur hara mikro untuk tanah

akibat semakin intensifnya penggunaan pupuk

kimial, dan juga penggunaan lahan marjinal untuk

praktik budidaya tanaman (Fageria et al. 2002).

SUMBER DAYA LAHAN DI PULAU BINTAN

Kondisi Lahan Jenis tanah di daerah Kepulauan Riau terdiri

dari podsolik merah kuning, organosol, glei

humus, latosol dan alluvial. Geomorfologi Pulau

Bintan berupa perbukitan granit yang terletak

dibagian selatan pulau dan dataran yang terletak di

bagian kaki. Pulau-pulau kecil di sebelah timur dan

tenggara Pulau Bintan juga disusun oleh granit

berum ur Trias (Trg) sebagai penghasil bauksit

Page 32: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

134

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140

(Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Provinsi Kepulauan Riau 2016).

Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian

(BBSDLP) pada tahun 2017 mengeluarkan peta

kesesuaian lahan sekaligus paket rekomendasi

pengolahan lahan untuk pengembangan dan

peningkatan produksi komoditas pertanian strategis

untuk berbagai provinsi di Indonesia. Arahan

komoditas ditentukan oleh kelas kesesuaian lahan

dan faktor komoditas unggulan atau prioritas,

kelayakan usahatani, preferensi petani, dan

program pemerintah (pusat/ daerah). Dalam

petunjuk teknis penilaian kesesuaian lahan

(BBSDLP 2016), kriteria kesesuaian lahan untuk

komoditas cabai merah dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan kriteria pada tabel, Pulau

Bintan yang terdiri dari Kabupaten Bintan dan

Kota Tanjungpinang memiliki wilayah yang dapat

menjadi tempat pengembangan cabai melalui

praktik intensifikasi maupun diversifikasi. Masing-

masing lokasi memiliki faktor pembatas yang perlu

diatasi agar potensi hasil panen maksimal bisa

tercapai. Faktor pembatas di Kabupaten Bintan dan

Kota Tanjungpinang antara lain drainase lahan

yang terhambat, pH lahan rendah, kandungan total

P2O5 dan K2O rendah, kandun gan bahan organik

rendah, dan topografi beberapa area yang berlereng

(BBSDLP 2017). Kandungan hara mikro pada

tanah sendiri t idak diketahui karena tidak termasuk

pada aspek yang dievaluasi dalam penentuan

kesesuaian lahan ini.

Berdasarkan literatur, faktor pembatas di

Pulau Bintan akan mempengaruhi ketersediaan

hara mikro di wilayah tersebut. Sebelumnya telah

disebutkan bahwa pH yang rendah membuat hara

mikro lebih tersedia (Weil dan Brady 2017).

Kondisi tanah di daerah Bintan sendiri umumnya memiliki pH rendah (masam) yang kurang sesuai untuk budidaya tanaman, sehingga

perlu diberi kap ur untuk menaikan pH. Pengapuran

tersebut dapat mengurangi ketersediaan hara

mikro. Kondisi tanah yang masam juga

menguran gi ketersediaan unsur Mo. Selain itu,

topografi beberapa area yang berlereng

menimbulkan resiko pencucian yang berpot ensi

menimbulkan defisiensi unsur B (Weil dan Brady

2017). Untuk mengetahui secara pasti tentang

kandungan hara mikro tanah di Pulau Bintan, perlu

adanya pengkajian lebih lanjut.

APLIKASI HARA MIKRO PADA TANAMAN

Pengaruh Aplikasi Hara Mikro terhadap

Pertumbuhan Tanaman

Hara mikro yang diaplikasikan kepada tanaman

memberi pengaruh yang nyata mulai dari tahap

perkecambahan. Benih cabai yan g direndam

dengan memiliki daya berkecam bah 93%, lebih

tinggi dari kontrol yang hanya 75%. Hara mikro

juga dapat memperlambat laju penurunan daya

berkecambah benih. Benih dengan perlakuan 1%

seng sulfat dan disimpan dalam plastik polietilen

(PE) ketebalan 700 gauge selama 6 min ggu

mengalami penurunan daya berkecambah menjadi

80%, sementara benih dengan perlakuan kontrol

mengalami penurunan daya berkecambah menjadi

36% (Pal et al. 2018). Pengaruh hara mikro juga

terlihat pada beberapa parameter pertumbuhan

tanaman, seperti t inggi tanaman dan jumlah daun.

Baloch et al. (2008) melaporkan peningkatan rata-

rata tinggi tanaman cabai yang diberi pupuk

komersil yang mengandun g campuran hara makro

N, Mg, K, P, dan Ca serta hara mikro Fe, Mn, B,

Cu, Mo sebanyak 7 ml produk/L air dari 63,46 cm

menjadi 68,00 cm. Hal serupa juga dilaporkan oleh

Bhalekar et al. (2009) yang mengaplikasikan

Boron (240 ppm) pada tanaman cabai. Perlakuan

tersebut meningkatkan tinggi tanaman dari 51,58

cm menjadi 61,36 cm.

Penyemprotan daun tanaman cabai hijau dengan

larutan asam humat (0,05%) + Zn (0,05%) dan B

(0,02%) meningkatkan rata-rata jumlah daun dari

30,56 daun/tanaman menjadi 58,57 daun/tanaman.

Luas area per daun juga tercatat meningkat, dari

1,19 cm2 menjadi 1,80 cm

2. Datir et al. (2012)

juga melaporkan hasil serupa pada tanaman cabai

yang diberi aplikasi unsur Zn, Fe, Cu, Mn, dan Mo.

Page 33: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

135 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut

(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)

Tabel 1 Kriteria kesesuaian lahan komoditas pertanian strategis cabai merah (Capsicum annuum)

Persyaratan penggunaan/

karakteristik lahan

Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N Temperatur (tc)

Temperatur Rata-rata

Tahunan (°C)

24 – 28 >28 – 30

21 – <24

>30 – 32

18 – <21

>32

<18

Ketersediaan air (wa)

Curah Hujan Tahunan

(mm/th)

1.200 – 2.000 1.000 –<1.200

>2000 – 2.500

800 – <1.000

>2.500 –

3.000

<800

>3.000

Jumlah Bulan Basah (>200

mm/bl)

5 – 6 3 – <5

>6 – 8

<3

>8

- -

Ketersediaan oksigen (oa)

Drainase baik, agak

terhambat

agak cepat,agak

baik

terhambat Sangat terhambat,

cepat

Media perakaran (rc)

Tekstur agak halus,

sedang

halus agak kasar Kasar

Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 – 55 > 55

Kedalaman tanah (cm) > 75 50 - 75 30 – 50 < 30

Gambut:

Ketebalan (cm) < 50 50 - 100 100 – 150 >150

Kematangan Saprik saprik, hemik Hemik Fibrik

Retensi hara (nr)

KTK tanah (cmol/kg) > 16 5-16 < 5

Kejenuhan basa (%) > 35 20 - 35 < 20

pH H2O 6,0 - 7,5 5,5 - 6,0

7,5 - 8,0

< 5,5

> 8,0

C-organik (%) > 2,0 0,8 – 2,0 < 0,8

Hara Tersedia (na)

N total (%) Sedang rendah sgt rendah -

P2O5 (mg/100 g) Tinggi sedang rendah-sgt rendah -

K2O (mg/100 g) Sedang rendah sgt rendah - Toksisitas (xc)

Salinitas (dS/m) < 3 3 - 5 5-7 > 7

Sodisitas (xn)

Alkalinitas/ESP (%) < 15 15 - 20 20 – 25 > 25

Bahaya sulfidik (xs)

Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 - 100 40 – 75 < 40

Bahaya erosi (eh)

Lereng (%) < 3 3 - 8 8 - 15 > 15

Bahaya erosi sgt ringan ringan- sedang berat-sgt berat

Bahaya banjir/genangan

pada masa tanam (fh)

- Tinggi (cm) - - 25 >25

- Lama (hari) - - <7 >7

Penyiapan lahan (lp)

Batuan di permukaan (%) < 5 5 - 15 15 – 40 > 40

Singkapan batuan (%) < 5 5 - 15 15 – 25 > 25

Keterangan: S1 = sangat sesuai; S2 = cukup sesuai; S3 = sesuai marjinal; N = tidak sesuai (Sumber: BBSDLP, 2016)

Page 34: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

136

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140

Jumlah daun tanaman meningkat dari 177,12

daun/tanaman menjadi 212 daun/ tanaman, dengan

luas area daun per tanaman yang meningkat dari

2137,56 cm2 menjadi 2866,73 cm2. Perbaikan

tersebut dapat disebabkan oleh meningkatnya

fotosintesis dan aktivitas metabolik lain yang

berperan dalam pembelahan dan pemanjangan sel

karena aplikasi hara mikro (Manas et al. 2014).

Pengaruh Aplikasi Hara Mikro terhadap

Produksi Tanaman

Aplikasi hara mikro untuk meningkatkan

produktivitas sudah banyak diuji pada berbagai

jenis tanaman. Pada bawang merah, aplikasi un sur

B dengan konsentrasi 0.25% pada 30 dan 45 hari

setelah transplant (HST) meningkatkan

produktivitas dari 10 ton/ha menjadi 15,9 ton/ha,

sementara aplikasi seng sulfat sebagai sum ber Zn

dengan konsentrasi 0,5% pada 30 dan 45 HST

meningkatkannya menjadi 16 ton/ha (Acharya et al

2015). Pengaruh pemberian boron terhadap hasil

panen brokoli varietas Green Harmony dengan

dosis 1 kg/ha yang dibuktikan dengan

meningkatnya produktivitas dari 14,7 ton/ha

menjadi 18,9 ton/ha (Firoz et al. 2008).

Tanaman chickpea (Cicer arietinum L.) yang

diberi perlakuan unsur Mo den gan do sis 1

mg/tanaman mengalami peningkatan jumlah

polong per tanaman dari rata-rata 16,44

polong/tanaman menjadi 20,57 polong/tanaman,

dan meningkatkan bobot kering polongnya dari

6,92 g/tanaman menjadi 8,75 g/tanaman

(Valenciano et al. 2011). Patil et al. (2008)

meneliti pengaruh aplikasi unsur hara mikro

melalui penyemprotan daun pada produksi rata-

rata tanaman tomat selama dua tahun. Pemberian

unsur Mn (100 ppm) meningkatkan hasil panen

dari 18,23 ton/ha menjadi 19,73 ton/ha, campuran

unsur B, Zn, Mo, Cu, Fe, dan Mn den gan dosis

masing-masing 100:100: 100:100:100:50 ppm

meningkatkan produktivitasnya menjadi 27,98

ton/ha, sementara aplikasi pupuk mikro komersil

yang mengandung Zn, Mn, B, dan Fe (100 ppm

produk) meningkatkan produkt ivitas menjadi 27,20

ton/ha.

Salah satu komponen hasil adalah jumlah

buah. Patil et al. (2010) melaporkan pengaruh

pemberian boron (B), besi (Fe), dan seng (Zn) pada

pembun gaan dan pembentukan buah tanaman

tomat. Kombinasi pemberian hara mikro B:Fe:Zn

dengan konsentrasi masing-masing 50:100:100

ppm dapat meningkatkan jumlah bun ga yang

terbentuk dari rata-rata 45,45 bunga per tanaman

menjadi 50,00 bunga per tanaman, serta

meningkatkan persen pembentukan buah dari

45,76% menjadi 47,76%. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh meningkatnya kandungan gula di

kepala putik yang kemudian meningkatkan daya

tumbuh serbuk sari dan pertumbuhan buluh sari

(pollen tube) karena unsur B.

Peningkatan pembentukan bunga juga dapat

disebabkan karena biosintesis auksin yang lebih

baik den gan adanya un sur Zn. Dengan

meningkatnya jumlah bun ga dan presentase buah

yang terbentuk dari bunga, maka berat hasil per

tanaman akan semakin besar, sehingga

produktivitasnya meningkat (Patil et al 2010). Hal

serupa dilaporkan oleh Awalin et al. (2017) yang

menguji pengaruh penyemprotan hara mikro pada

daun tanaman paprika (Capsicum annuum ).

Tanaman paprika yang dipangkas tunas airnya dan

diberi hara mikro (B, Zn, Cu, dan Mn masing-

masing 100 ppm) memiliki presentase

pembentukan buah 41,34%, lebih tinggi

dibandin gkan den gan kontrol yang hanya 30,38%.

Perlakuan tersebut juga mempersingkat periode

dari saat pemindahan tanaman ke lahan hingga

panen, yakni dari 129,67 hari menjadi 107,33 hari.

Pengaruh aplikasi unsur hara mikro terhadap

komponen produksi tanaman cabai dapat dilihat

pada tabel 2.

Page 35: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

137 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut

(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)

Penyemprotan daun cabai dengan larutan FeSO4

0.2% + CaNO3 0.2% + Boron 0.1% + Sulphur

0.3% menghasilkan rata-rata jumlah buah per

tanaman tertinggi, yakni 305,67 buah/tanaman,

diik uti dengan perlakuan FeSO4 0.2% + Bo 0.1%

yang menghasilkan 249,33 buah/tanaman,

meningkat diban dingkan kontrol yang

menghasilkan 212 buah/tanaman. Rata-rata berat

per buah tertinggi juga dihasilkan perlakuan FeSO4

0.2% + CaNO3 0.2% + Boron 0.1% + Sulphur

0.3% dengan hasil 5.33 gr/buah. Peningkatan

tersebut dapat disebabkan oleh ak umulasi

karbohidrat yang lebih baik dengan adanya un sur

hara mikro (Maske 2018).

Peningkatan hasil cabai akibat aplikasi hara

mikro ini juga dilaporkan pada hasil penelitian

lain. Penyemprotan daun cabai den gan larutan

ZnSO4 meningkatkan produktivitas cabai dari

239,7 kwintal/ha menjadi 272,37 kwintal/ha,

sedan gkan aplikasi larutan Zn + Mn + Cu + Fe + B

dapat meningkatkan produktivitas menjadi 290,73

kwintal/ha (Patil et al. 2013). Aplikasi pupuk

mikro komersil yang mengandung Cu, Zn, Mn, dan

Fe pada tanaman cabai merah di tanah gambut

meningkatkan produktivitas dari 40,5 ton/ha

menjadi 49,1 ton/ha (Navrot dan Levin 1976).

Pemberian unsur mikro B (280 ppm)

meningkatkan produktivitas cabai hijau dari 23,41

kwintal/ha menjadi 44,29 kwintal/ha, dan un sur Zn

(0,25%) meningkatkannya menjadi 32,23

kwintal/ha (Bhalekar et al. 2009). Aplikasi pupuk

komersil yang mengandun g campuran hara makro

N, Mg, K, P, dan Ca serta hara mikro Fe, Mn, B,

Cu, Mo sebanyak 7 ml produk/L air meningkatkan

produktivitas cabai hijau dari 10.525 kg/ha

menjadi 14.562,33 kg/ha (Baloch et al. 2008).

Aplikasi Fe (1000 ppm), Cu (10 ppm), Mn (

100 ppm), Zn (50 ppm), dan B (100 ppm)

sebanyak 5 ml larutan per tanaman cabai dapat

meningkatkan jumlah buah per tanamannya dari

rata-rata 11 buah menjadi 26 buah per tanaman

(Askari et al. 1995). Aplikasi pupuk dasar NPK

(100:50:50 kg/ha) yang dikombinasikan dengan

pupuk yang mengandun g Ca, S, dan Fe dengan

dosis 50:50:20 kg/ha dapat meningkatkan rata-rata

hasil panen cabai selama 3 musim tanam

dibandin gkan dengan yang hanya diberi NPK, dari

853 kg/ha menjadi 1189 kg/ha. Perubahan tersebut

dapat diasosiasikan den gan meningkatnya aktifitas

fotosintesis akibat aplikasi unsur Ca, S, dan Fe,

sehingga produksi serta akumulasi karbohidrat dan

auksin esensial meningkat (Shivaprasad et al.

2009).

Tabel 2 Respon tanaman cabai terhadap aplikasi beberapa unsur mikro

Perlakuan Jumlah buah / tanaman (buah) Bobot buah (gram)

Kontrol 212.00 4.00

FeSO4 0.2% + CaNO3 0.2% 216.33 5.36

FeSO4 0.2% + B 0.1% 249.33 4.93

FeSO4 0.2% + S 3% 237.00 4.95

CaNO3 0.2% + B 0.1% 212.33 4.81

CaNO3 0.2% + S 0.3% 209.67 4.97

B 0.1% + S 0.3% 220.00 5.08

FeSO4 0.2%+ CaNO3 0.2% +

Boron 0.1% + Sulfur 0.3% 305.67 5.33

Sumber: Maske (2018)

Page 36: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

138

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140

PENUTUP

Tanaman dapat tumbuh den gan normal

apabila kebutuhan hara makro dan mikronya

terpenuhi. Hara mikro berperan penting dalam

pertumbuhan tanaman walaup un dibutuhkan hanya

dalam jumlah sedikit. Kesadaran akan pentingnya

unsur hara mikro bagi praktik budidaya tanaman

juga terus berkemban g. Ketersediaan hara mikro di

lahan sangat tergantung dengan karakteristik lahan

itu sendiri. Salah satu pulau di provinsi Kepulauan

Riau, yakni Pulau Bintan memiliki potensi sebagai

daerah pengemban gan cabai merah dengan

memperhatikan beberapa faktor pembatas. Faktor

pembatas tersebut dan cara penangannnya

mengakibatakan sum ber daya lahan di Pulau

Bintan terindikasi memiliki ketersediaan hara

mikro yang rendah.

Kekurangan tersebut mun gkin menjadi salah

satu penyebab rendahnya produktivitas cabai di

Pulau BIntan, sehingga perlu dilakukan identifikasi

pengaruh aplikasi hara mikro pada produktivitas

cabai. Hara mikro dapat diaplikasikan ke

pertanaman baik melalui tanah maupun dengan

disemprot ke daun. Kerja hara mikro dalam

memperbaiki pertumbuhan tanaman umumnya

melalui perbaikan metabolisme. Perbaikan

pertumbuhan dan produksi berbagai tanaman,

termasuk cabai telah dilaporkan. Hal ini berarti

teknologi pemberian pupuk unsur hara mikro untuk

meningkatkan produktivitas cabai telah terbukti

dan layak diaplikasikan di Pulau Bintan sebagai

upaya untuk mengidentifikasi komponen teknologi

budidaya cabai merah yang dapat memberi hasil

maksimal bagi petani setempat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada

kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian, Dr. Ir. Haris Syahbuddin,

DEA. yang telah memberikan kesempatan kepada

kami untuk ikut dalam program Workshop

Peningkatan Kinerja dan Kapasitas Peneliti BPTP.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan pada

Prof. Dr. Ir. Rubiyo, M.Si. yang telah membimbing

dalam proses penulisan karya tulis ini.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya U, Venkatesan K, Saraswathi T , dan

Subramanian KS. 2015. Effect of zinc and

boron application on growth and yield

parameters of multiplier onion (Allium cepa

L. var aggregatum Don.) var. CO (On) 5.

Intl. J. of Res. 2(1): 757-765

Askari A., Siddiqui IH, Yasmin A, Qadiruddin M,

Jafri R, Zaidi SAH. 1995. Studies on the

essential trace elements on the growth and

yield of two solanaceous plants. J. of Islamic

Acad. of Sci. 8(1): 9-14.

Awalin S, Shahjahan M, Roy AC, Akter A, Kabir

MH. 2017. Response of Bell Pepper

(Capsicum annuum ) to foliar feeding with

micronutrients and shoot pruning. J. of Agri.

Ecol. Res. Intl. 11(3):1-8

[BAPPEDA PROVINSI KEPRI] Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi

Kepulauan Riau. 2016. Profil Geologi

Provinsi Kepulauan Riau. [internet]

Tersedia pada:

http://bappeda.kepriprov.go.id/index.php/dat

a-informasi/potensi-daerah/47-potensi-

daerah /197-profil-geologi. Diakses pada: 10

November 2018.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Provinsi

Kepulauan Riau dalam An gka. [Internet].

Tersedia pada https://kepri.bps.go.id/

publication/2018/08/16/067191cfe01885859

6646c64/provinsi-kepulauan-riau-dalam-

angka-2018.html. Diakses pada: 18

September 2018.

[BBSDLP] Balai Besar Sum ber Daya Lahan

Pertanian. 2017. Paket RPL: Rekomendasi

Pengelolaan Lahan untuk Pengembangan

dan Peningkatan Produksi Komoditas

Pertanian Strategis Berbasis Agroekosistem

dan Kesesuaian Lahan Kabupaten Bintan

Page 37: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

139 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Lahan Dataran Medium Kabupaten Garut

(Irma Noviana , Yati Haryati, dan Bebet Nurbaeti)

Kepulauan Riau. Bogor (ID): Balai Besar

Sumber Daya Lahan Pertanian

_________. 2017. Paket RPL: Rekomendasi

Pengelolaan Lahan untuk Pengembangan

dan Peningkatan Produksi Komoditas

Pertanian Strategis Berbasis Agroekosistem

dan Kesesuaian Lahan Kabupaten Bintan

Kepulauan Riau. Bogor (ID): Balai Besar

Sumber Daya Lahan Pertanian

Baloch QB, Chachar QI, dan Tareen MN. 2008.

Effect of foliar application of macro and

micro nutrients on production of green

chilies (Capsicum annum L.). J. Agric. Tech.

4(2): 177-184

Bhalekar MN, Kadam VM, Shinde US, Patil RS,

dan Asane GB. 2009. Effect of plant growth

regulator and micronutrients on growth and

yield of chilli (Capsicum annum L.) during

summer season. Advances in Plant

Sci.22(1):111-113

Boslan d PW dan Votava EJ. 2012. Peppers:

Vegetable an d Spice Capsicums. Ed ke-2.

Volume 22. Crop Production Science in

Agriculture. Oxfordshire (UK): CAB

International

Datir RB, Apparao BJ, dan Laware SI. 2012.

Application of amino acid chelated

micronutrients for enhancing growth and

productivity in chili (Capsicum annum L.).

Plant Sci. Feed 2(7): 100-105.

Dimkpa CO, Bindraban PS. 2016. Fortification of

micronutrients for efficient agronomic

production: a review. Agron. Sustain. Dev.

36 (1), pp.7.

Dursun A, Turan M, Ekinci M, Gunes A, Ataoglu

N, Esringu A, dan Yildirim E. 2010. Effects

of boron fertilizer on tomato, pepper, and

cucumber yields and chemical composition.

Comm in Soil Sci. and Plant Analyisis.

41(13):1576-1593

Fageria NK, Baligar V, dan Clark RB. 2002.

Micronutrients in Crop Production.

Advances in Agronomy. Volume 7. Sparks

DL. Editor. San Diego (USA): Elsevier

Science.

Farid M dan Subekti NA. 2012. T injauan terhadap

produksi, konsumsi, distribusi dan dinamika

harga cabe di In donesia. Buletin Ilmiah

Litbang Perdagangan 6(2):211-233

Firoz ZA, Jaman MM, Alam, MS, dan Alam MK.

2008. Effect of boron application on the

yield of different varieties of broccoli in hill

valley. Bangladesh J. Agri. Res.33(3):655-

657

Ikhsan M. 2018. Kebutuhan cabai Batam 10 ton

per hari, DKP coba swasem bada. [Internet].

Tersedia pada: http://batamnews.co.id/

berita-32352-kebutuhan-cabai-batam-10-

ton-per-hari-dkp-coba-swasem bada-.html.

Diakses pada: 22 September 2018.

Manas D, Bandopadhyay PK, Chakravarty A, Pal

S, Bhattacharya A. 2014. Effect of foliar

application of humic acid, zinc and boron on

biochemical changes related to productivity

of pungent pepper (Capsicum annuum L.).

Afr J. Plant Sci. 8(6):320-335.

Martens DC dan Westerman DT. 1991. Fertilizer

application for correcting micronutrient

deficiencies. Di dalam: Micronutrients in

Agriculture. Ed ke-2. Madison (USA):

SSSA Book

Maske G. 2018. Effect of foliar application of

micronutrient on growth and seed yield of

chilli (Capsicum annum L.) [tesis].

Jabalpur(IN): Jawaharlal Nehru Agricultural

University.

Page 38: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

140

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019: 131-140

Navrot J dan Levin I. 1976. Effect of

micronutrients on pepper (Capsicum

annuum ) grown in peat soil un der

greenhouse and field condition. Expl. Agric.

12(1976):129-133

[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.

2016. Outlook Cabai. Jakarta (ID): Pusat

Data dan Sistem Informasi Pertanian.

Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian

Pal AK, Bara BM, dan Chaurasia AK. 2018.

Influence of different micronutrient on seed

viability and vigour parameters in chilli

(Capsicum annum L.) under storage

condition. Int. J. Pure App. Biosci. 6(5).

377-383.

Patil BC, Hosamani RM, Ajjapalavara PS, Naik

BH, Smitha RP, dan Ukkund KC. 2008.

Effect of foliar application of micronutrients

on growth and yield components of tomato

(Lycopersicon esculentum Mill.). Karnataka

J. Agric. Sci. 21(3):428-430

Patil AD, Patil DS, Dhumal SS, dan Ghode PB.

2013. Effect of micro-nutrients sprays on

gro wth and yield parameters of capsicum

(Capsicum annuum var. grossum). Asian J.

Hort. 8(1): 379-380

Patil VK, Yadlod SS, Tambe TB, dan Narsude PB.

2010. Effect of foliar application of

micronutrients on flowering an d fruit set of

tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) cv.

Phule Raja. International J. agric.

Sci.6(1):161-166

Shivaprasad M, Mohankumar HD, Astaputre SA,

Chittapur BM, Tatagar MH, Mesta RK.

2009. Yield and quality of chilli (cv.Bydagi

dabbi ) as influenced by secondary and

micronutrients. Karnataka. J. Agric. Sci.

22(5): 1090-1092

Valenciano JB, Boto JA, dan Marcelo V. 2011.

Chickpea (Cicer arietinum L.) response to

zinc, boron, and molybdenum application

under fie ld conditions. NZ J. of Crop and

Hort. Sci. 39(4): 217-229

Weil RR dan Brady NC. 2017. The Natures and

Properties of Soils. 15 th Edition. Global

Edition. Harlow (UK): Pearson

Page 39: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

141 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera

Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)

PROSPEK AMPEK ANGKEK SEBAGAI VARIETAS UNGGUL SPESIFIK LOKASI PADI

DATARAN TINGGI DI SUMATERA BARAT

Novi Aldi 1)

dan Catur O ktivian Indri Hastuti 2)

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat

2)Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jln. Raya Padang-Solok KM.40 Gunung Talang Kab. Solok, Sumatera Barat

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Email: [email protected]

ABSTRACT

Prospect Of Local Ampect Angkek Varieties For Specific Variety Of Highly Rice Plantation In West

Sumatera.Agam Regency is one of rice production centers in West Sumatera, where its development potential can be

done in lowland and highland areas.The main obstacle on agro-ecosystem in Agam Regency found the main obstacle is

limited availability of superior quality seeds, therefore farmers choose varieties Ampek Angkek and Kuriak Kusuik

variety. Varieties Ampek Angkek has a high yield potential, the texture of rice is favored by the community. The

purpose of this research is to test the growth of local varieties Ampek Angkek compared with other local rice variates; to

test its resistance to disease and to evaluate the rice quality. The research was carried out in two locations which were

the dominant production centers of cultivating the rice field of Ampek Angkek variety in Nagari Kapau, Talang District

and Nagari Balai Gurah, IV Angkek District on Planting season 2013-2014.Testing using five varieties of rice fields

namely Ampek Angkek varieties, Saratuih Hari, Kusuik Putiah, Kuriak Kusuik and Saganggam Panuah. The test was

arranged by Group Random Design (RAK) and Data Analysis Method using ANOVA. The parameters observed were

pest resistance, characteristic evaluation, rice quality, chemical physics and consumer preference. The results of the

research in two locations showed that Ampek Angkek rice varieties have some advantages such as high adaptation in

elevation up to 1,000 m asl, and yield, rendement of rice, milled rice, and rice head higher than other local rice varieties.

Varieties Ampek Angkek resistant to race blas 073 disease and rather resistant to race 133, rather resistant to bacterial

leaf blight patotype III in the nursery and generative phases and consumer preferences are quite high .

Keywords : Rice, Ampek Angkek, Highland, Agam Regency, West Sumatera

ABSTRAK

Kabupaten Agam merupakan salah satu sentra produksi padi sawah di Sumatera Barat, dimana potensi

pengembangannya dapat dilakukan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Pada agroekosistem dataran tinggi di

Kabupaten Agam ditemui kendala utama yaitu terbatasnya ketersediaan benih unggul bermutu, sehingga petani memilih

varietas Ampek Angkek dan Kuriak Kusuik. Varietas Ampek Angkek mempunyai potensi hasil tinggi, tekstur nasinya

sangat disukai oleh masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah menguji pertumbuhan varietas lokal Ampek Angkek

dibandingkan dengan variates padi lokal lain; menguji ketahanannya terhadap penyakit dan mengevaluasi karakteristik

mutu berasnya. Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yang merupakan daerah sentral produksi yang dominan

membudidayakan padi sawah varietas Ampek Angkek di Nagari Kapau, Kec. Talang dan Nagari Balai Gurah, Kec. IV

Angkek pada musim tanam (MT) 2013-2014. Pengujian menggunakan lima varietas padi sawah yaitu varietas Ampek

Angkek, Saratuih Hari, Kusuik Putiah, Kuriak Kusuik dan Saganggam Panuah. Pengujian dilakukan dengan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) dan Metode Analisis Data mengunakan ANOVA. Parameter yang diamati adalah ketahanan

terhadap hama penyakit, evaluasi karakteristik, mutu beras, fisiko kimia dan preferensi konsumen. Hasil penelitian di

dua lingkungan yang berbeda menunjukkan bahwa padi sawah varietas Ampek Angkek memiliki beberapa keunggulan

yakni daya adaptasi baik pada elevasi dataran tinggi sampai ketinggian 1.000 m dpl, serta daya hasil, rendemen beras

pecah kulit, beras giling, dan beras kepala yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas padi lokal lainnya. Varietas

Ampek Angkek tahan terhadap penyakit blas ras 073 dan agak tahan ras 133, agak tahan terhadap hawar daun bakteri

patotipe III pada fase pembibitan dan generatif dan preferensi konsumen yang cukup tinggi

Kata kunci: Padi sawah, Ampek Angkek, Dataran Tinggi

Page 40: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

142 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148

PENDAHULUAN

Kabupaten Agam merupakan salah satu

sentra produksi padi sawah di Sumat era Barat,

yang mana potensi pengembangannya dapat

dilakukan di dataran rendah maupun dataran tinggi

(Anonim, 2014). Pada beberapa varietas padi lokal

Sumatera Barat telah di identifikasi ada 21 varietas

yang memberi hasil t inggi (>7 t/ha), namun hanya

empat varietas di antaranya yang juga memiliki

umur dan tinggi tanaman sedang ( Syarif dan Zen,

2013).Varietas-varietas ini merupakan varietas

dataran rendah.Selama ini untuk pengembangan

padi sawah lebih dominan pada lahan dataran

rendah, dengan dukungan sarana dan prasarana

produksi cukup memadai seperti ketersediaan

benih dari beragam varietas unggul, sarana irigasi

dan kelembagaan petani. Dilain pihak pada

agroekosistem dataran tinggi di Kabupaten Agam

ditemui kendala utama yaitu terbatasnya

ketersediaan benih unggul bermutu, sehingga

petani memilih varietas Ampek Angkek disamping

varietas Kuriak Kusuik. Padi varietas lokal di

Sumatera Barat terbukti memiliki keunggulan

kompetitif relatif t inggi daripada VUB,

ditunjukkan oleh luasnya sebaran tanam padi

varietas lokal, didukung persepsi sebagian besar

petani yang tinggi terhadap padi varietas lokal

(Nurnayetti dan Atman, 2013). Varietas Ampek

Angkek mempunyai potensi hasil t inggi, tekstur

nasinya sangat disukai oleh masyarakat.

Padi sawah Ampek Angkek mempunyai

keunggalan lainnya adalah produktifitasnya relatif

cukup tinggi bila dibandingkan dengan padi sawah

lainnya di daerah dataran tinggi yang berkembang

di Kabupaten Agam yaitu berkisar 6 – 7 ton / ha

(Anonim, 2014).Berdasarkan keunggulan tersebut ,

varietas Padi Ampek Angkek sangat berpeluang

untuk dapat ditingkatkan mutunya menjadi benih

unggul bermutu pada daerah dataran tinggi

Kabupaten Agam. Varietas unggul spesifik

wilayah dianjurkan untuk dilepas dan

akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses

pelepasan varietas, serta akan mampu

membentuk “regional buffering” yang

akan meredam penyebaran hama dan penyakit

(Baihaki dan Wicaksana, 2005). Selanjutnya

masyarakat petani Kabupaten Agam pada daerah

dataran tinggi mempunyai alternatif pilihan benih

padi yang lebih banyak. Disamping Kabupaten

Agam, varietas padi sawah Ampek Angkek juga

berkembang di berbagai daerah di Provinsi

Sumatera Barat (Anonim, 2014).

Permasalahan yang ditemukan dalam

pengembangan padi sawah Ampek Angkek di

Kabupaten Agam khususnya dan Sumatera Barat

karena belum tersedianya benih padi sawah

varietas Ampek Angkek yang bermutu karena

belum dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai

varietas unggul dan varietas lokal Ampek Angkek

belum dapat dimasukan dalam program

pengembangan benih unggul bermutu melalui

benih berbantuan sehubungan varietas tersebut

belum termasuk benih bina.

Sehubungan dengan hal tersebut maka

varietas lokal Ampek Angkek sangat berpeluang

besar untuk dilepas menjadi varietas unggul oleh

Menteri Pertanian. Padi sawah lokal Ampek

Angkek merupakan varietas unggul lokal milik

Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.

Sebelum dilepas menjadi varietas unggul sesuai

dengan Undang-undang RI No.29 tahun 2000

tentang perlindungan varietas, berkenaan dengan

hal tersebut padi sawah varietas lokal Ampek

Angkek sudah terdaftar di Pusat Perlindungan

Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian dengan

No. 62/PVL/2013 tanggal 18 November 2013.

Keragaman varietas unggul yang sudah dilepas

yang sesuai dengan selara konsumen Kabupaten

Agam khususnya dan Sumatera Barat umumnya

untuk daerah dataran tinggi sangat terbatas.

Adapun varietas unggul yang beredar di Kabupaten

Agam yaitu PB-42, Cisokan, Ir-66, Ir-64, Batang

Piaman, Kuruik Kusuik, Ampek Angkek, 1000

Gantang, Pulut , Padi Putiah, 100 Hari, Bendang

Baru, Singkam, Kapau, Bandang Pulau, Bandang

Sarumpun, Palo Batu, IR Payung, Sokan Putiah,

Adil (Anonim, 2014).

Tujuan penelitian ini adalah menguji

pertumbuhan varietas lokal Ampek Angkek

dibandingkan dengan variates padi lokal lain;

Page 41: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

143 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera

Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)

menguji ketahanannya terhadap penyakit dan

mengevaluasi karakteristik mutu berasnya.

METO DE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yang

merupakan daerah sentral produksi yang dominan

membudidayakan padi sawah varietas Ampek

Angkek di Nagari Kapau, Kec. Talang dan Nagari

Balai Gurah, Kec.IV Angkek pada MT 2013-2014.

Pengujian menggunakan lima varietas padi

sawah yaitu varietas Ampek Angkek, Saratuih

Hari, Kusuik Putiah, Kuriak Kusuik dan

Saganggam Panuah yang telah dlepas sebagai

varietas unggul spesifik lokasi (Zen et al, 2010).

Pengujian dengan Rancangan Acak Kelompok

(RAK), ukuran plot 3 x 4.2 meter, jarak tanam 30 x

30 cm, jumlah tanaman 3 batang per rumpun .

Sampel untuk karakter tinggi tanaman dan

anakan diambil lima rumpun secara acak pada

barisan kedua dan tiga rumpun untuk anakan

produktif tersebut dihitung semua jumlah gabah

per malai dan gabah bernas. Pengamatan tersebut

meliputi: t inggi tanaman (cm), umur berbunga

(hari), anakan produktif (batang), anakan produktif

(batang), jumlah gabah dan gabah bernas

(butir/malai), umur panen (hari), bobot 1000 Butir

Gabah, hasil (ton/ha).

Analisis data pada semua parameter

dianalisis ANOVA (ANSIRA) menurut Gomez

dan Gomez (1984). Pengujian ketahanan terhadap

hama dan penyakit meliputi : Pengujian ketahanan

terhadap hama Wereng Coklat , penyakit Hawar

Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv oryzae),

penyakit Tungro, penyakit Blas. Dan evaluasi

karakteristik mutu beras dan fisiko kimia meliputi:

Persentase Rendemen Beras Rendemen Beras

Giling (%), persentase Beras Kepala (BG),

Persentase Beras Patah (BP) dan Preferensi

Konsumen/Masyarakat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produktivitas varietas Ampek Angkek dibandingkan dengan varietas lain Hasil pengujian observasi varietas Ampek

Angkek bersama Varietas Kuriak Kusuik dan tiga

varietas lokal dataran tinggi lainnya didapatkan

varietas Ampek Angkek mempunyai produktivitas

yang tertinggi pada kedua lingkungan masing-

masing adalah 7,95 t/ha di Kapau dan 7,92 t/ha di

Balai Gurah dengan rata-rata 7,93 t/ha kemudian

diikuti varietas Kuriak Kusuik dengan rata-rata

6,91 t/ha. Varietas Inpari 28 adaptaif untuk

lahan dataran tinggi sampai ketinggian 1.110 m

dpl, dimana Inpari 28 mampu berproduksi 7,84

t/ha (Adri dan Yardha, 2014). Produktivitas yang

terendah ditemui pada varietas Saratuih Hari

masing-masing adalah 4,31 t/ha di Kapau dan 5,99

t/ha di Balai Gurah dengan rata-rata 5,15 t/ha.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa varietas

Ampek Angkek memiliki hasil yang lebih tinggi

dibandingkan dengan varietas Kuriak Kusuik dan

tiga varietas lokal lainnya.

pengamatan umur berbunga pada

pengujian observasi padi sawah Ampek Angkek

bersama empat varietas lokal lainnya menunjukkan

bahwa tiga varietas berturut -turut Saganggam

Panuah, Saratuih Hari dan Kusuik Putiah lebih

genjah dibandingkan varietas Kuriak Kusuik dan

Ampek Angkek.

Tapi pada pengamatan anakan produktif

pada pengujian observasi padi sawah Ampek

Angkek dan beberapa varietas lokal lainnya di dua

lokasi yang berbeda menunjukkan bahwa rata-rata

anakan produktif pada kedua lingkungan yang

paling banyak ditemui pada varietas Ampek

Angkek dan menunjukkan varietas Ampek Angkek

bersama Saganggam Panuah dan Kusuik Putiah

memiliki jumlah anakan produktif dengan varietas

Kuriak Kusuik. Varietas Saratuih Hari berbeda

nyata lebih sedikit anakan produktifnya hampir

sama dibandingkan dengan varietas Kuriak Kusuik

dan Ampek Angkek dan dua varietas lainnya.

Page 42: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

144 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148

Tabel 1. Hasil Pengujian varietas padi sawah Ampek Angkek dibandingkan dengan varietas

lainnya di Kabupaten Agam Tahun 2014.

Parameter Ampek

Angkek

Kuriak

Kusuik (cek)

Saganggam

Panuah (cek)

Kusuik

Putiah

Saratuih

Hari

Potensi Hasil (ton /

ha)

7,95 7,32 6,6 6,82 5,99

Rata – Rata Hasil (ton/ha)

7,93 6,91 6,28 6,64 5,15

Umur Tanaman

(HSS)

162-174 145 – 158 130 - 135 137-142 130-135

Rendemen BPK

(%)

78,39 72,71 75,67 74,19 72,36

Rendemen Beras

Giling (%) 68,47 62,43 62,77 65,86 64,25

Beras Kepala 86,06 77,54 72,65 75,95 79,99

Butir patah 12,29 17,00 23,76 17,16 16,32

Butir mengapur 1,20 3,40 2,70 1,97 2,41

Butir Kuning 0,10 1,10 0,10 0,26 0,15

Butir menir 0,44 0,96 0,88 1,65 1,28

Preferensi

Konsumen

Sangat menarik,

enak

Menarik Menarik Menarik Menarik

Tekstur Nasi Pera Pera Pera Pera Pera

Anakan produktif

(batang/rumpun) 28-31 27-30 26-27 26-27 24-25

Tinggi Tanaman

(cm)

121-122 124-125 119-122 119-120 137-140

Jumlah gabah per

malai (butir) 207-211 202-207 175-179 197-200 109-116

Persentase gabah isi

per malai (%) 79-85 71-75 69-76 72-81 74-75

Berat 1.000 butir

(gram) 23,63 24,58 23,40 24,00 23,37

Tekstur Nasi Pera Pera Pera Pera Pera

Kadar Amilosa (%) 27,00 27,00 26,50 - -

Keterangan : Tulisan tebal : Lebih unggul dari Varietas Cek/sama dengan cek

T inggi tanaman pada pengujian observasi

padi sawah Ampek Angkek dan beberapa varietas

lokal lainnya di dua lokasi hasil pengujian

menunjukkan varietas Ampek Angkek bersama

varietas Kuriak Kusuik sebagai pembanding dan

dua varietas lainnya memiliki karakter tinggi

tanaman yang hampir sama pada kedua

lingkungan, kecuali varietas Saratuih Hari lebih

tinggi dengan keempat varietas lainnya. Umur

masak panen pada pengujian observasi padi sawah

Page 43: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

145 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera

Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)

varietas Ampek Angkek bersama empat varietas

lokal lainnya di dua lokasi, menunjukkan varietas

Ampek Angkek miliki umur panen lebih panjang

dibandingkan dengan Kuriak Kusuik dan tiga

varietas lainnya.

Keadaan yang demikian juga dilaporkan oleh

Nishiyama (1976), bahwa suhu rendah yang

ditemui pada elevasi yang lebih tinggi

menyebabkan umur tanaman bertambah

panjang. Selanjutnya Kaneda dan Beachel (1974);

Vergara dan Visperas (1976) menyatakan suhu

rendah menyebabkan umur masak bertambah

panjang. (Tabel 1)

Keragaman jumlah gabah per malai

masing-masing varietas dalam lokasi yang sama

dan dengan lokasi yang berbeda relatif kecil, hal

ini menunjukkan bahwa bawaan faktor genetik

terhadap karakter jumlah gabah per malai lebih

dominan. Hasil pengujian pada kedua lingkungan

menunjukkan varietas Ampek Angkek dan Kusuik

Putiah tidak berbeda banyak terhadap jumlah

gabah per malai dibandingkan dengan Kuriak

Kusuik. Namun, lebih banyak dibandingkan

varietas Saganggam Panuah dan Saratuih Hari.

Persentase gabah bernas per malai di

Kapau berkisar 69,37-79,39% dan di Balai Gurah

74,62 - 84.65%. Varietas Ampek Angkek

mempunyai persentase gabah per malai yang

tertinggi pada kedua lingkungan yaitu rata-rata

82,02% dan yang terendah varietas Saganggam

Panuah dengan rata-rata 72,49%.persentase gabah

bernas varietas Ampek Angkek lebih tinggi

dibandingkan dengan Kuriak Kusuik, sedangkan

tiga varietas lainnya yaitu Saganggam Panuah,

Saratuih Hari dan Kusuik Putiah hamper sama

dengan varietas Kuriak Kusuik.

Bobot 1.000 butir di Kapau berkisar 23,26-

24,93 gram dan di Balai Gurah 23,23-24,24 gram.

Hasil pengujian pada kedua lingkungan

menunjukkan bahwa bobot 1.000 butir varietas

Ampek Angkek lebih rendah dibandingkan

dengan Kuriak Kusuik, sedangkan tiga varietas

lainnya yaitu Saganggam Panuah, Saratuih Hari

dan Kusuik Putiah sama (Tabel 1).

Ketahanan Terhadap Hama Penyakit

Ketahanan Varietas Ampek Angkek terhadap hama

dan penyakit dibanding varietas lainnya dapat

dilihat pada Tabel 2. Ampek Angkek bersama

empat varietas lokal lainnya yang berkembang

pada lingkungan dataran tinggi Agam diuji t ingkat

ketahanannya terhadap wereng coklat biotipe 1, 2,

dan 3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa

varietas Ampek Angkek bersama varietas Kuriek

Kusuik, Saganggam Panuah yang telah dilepas

sebagai unggul spesifik lokasi (Zen et all, 2011)

dan varietas lokal Saratuih hari dan Kusuik Putiah

diuji ketahanannya terhadap hama wereng coklat

biotipe 1, 2, dan 3. Berdasarkan hasil skrining

(penapisan) diperoleh hasil bahwa tingkat

ketahanan kelima varietas tersebut dalam kategori

agak rentan dan rentan dibandingkan dengan

vatietas kontrol yaitu TN1 yang bereaksi sangat

rentan, sedangkan untuk varietas Rat hu Henati dan

PTB 33 bereaksi tahan dan agak tahan.

Ketahanan Galur Terhadap Penyakit

Tungro berdasar hasil skrining terhadap penyakit

tungro yang dilakukan di rumah kaca Inlitpa

Sukamandi menunjukkan, bahwa secara umum

keempat varietas lokal yang diuji ketahanannya

terhadap penyakit tungro menunjukkan tidak ada

yang tahan terhadap penyakit tungro namun hanya

sebatas agak tahan untuk varietas Ampek Angkek,

Kuriek Kusuik dan Kusuik Putiah.

Ketahanan Galur Terhadap Hawar Daun

Bakteri (HDB) pada Fase pembibitan saat 4

minggu setelah inokulasi (MSI), hasil skrining

terhadap hawar daun bakteri pada fase pembibitan

saat 4 MSI di rumah kaca Inlitpa Sukamandi

menunjukkan bahwa varietas Ampek Angkek yang

dipersiapkan untuk diusulkan dilepas sebagai

varietas unggul spesifik lokasi memberikan respon

yang sama dengan varietas pembanding tahan

(Wase Aikoku dan Java 14). Kalau pada fase

generatif saat 4 MSI, hasil pengamatan pada empat

minggu MSI pada fase generatif menunjukkan

bahwa varietas Ampek Angkek bereaksi agak

tahan terhadap patotipe III dan empat varietas

lainnya berekasi agak rentan. Terhadap patotipe IV

dan VII semua varietas bereaksi rentan.

Page 44: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

146 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148

Ketahanan terhadap penyakit blas

(Pyricularia grisea) di rumah kaca Inlitpa Muara

menunjukkan bahwa secara umum varietas Kuriek

Kusuik dan Kusuik Putieh agak tahan terhadap

kempat ras blas dan Ampek Angkek tahan

terhadap ras 073 dan agak tahan ras 133.

Pengujian mutu gabah dan beras

Hasil analisis mutu gabah dan beras

varietas padi Ampek Angkek bersama varietas

lokal lainnya terhadap lima komponen mutu fisik

lainnya varietas Ampek Angkek juga menampilkan

nilai yang terbaik berturut -turut adalah beras

kepala 86,06%, butir patah 12,29%, butir

mengapur 1,20%, butir kuning 0,10% dan menir

0,44%.

Hasil kajian Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Sumatera Barat varietas lokal Ampek

Angkek mempunyai Amylosa 27 %. Kandungan

amylosa merupakan faktor utama yang

menentukan mutu dan tekstur nasi (Juliano, 1979

dan Thayumanavan, 1987). Selanjutnya Khush

et al., (1979) mengklasi-fikasikan kadar amylosa:

Tabel 2. Ketahanan Varietas Ampek Angkek terhadap hama dan penyakit dibanding varietas lainnya.

Parameter Ampek

Angkek

Kuriak

Kusuik (cek)

Saganggam

Panuah (cek)

Kusuik

Putiah

Saratuih

Hari

Wereng Coklat

- Biotipe I Agak Rentan Agak Rentan - Agak Rentan

Agak Rentan

- Biotipe II Agak Rentan Agak Rentan - Agak Rentan Agak Rentan

- Biotipe III Agak Rentan Rentan - Agak Rentan Agak Rentan

Hawar Daun

Bakteri

a.Fase

Pembibitan

- Patotipe III Agak Tahan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan

- Patotipe IV Rentan Rentan Rentan Agak Rentan Rentan

- Patotipe VIII Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan

b. Generatif 2

MSI

- Patotipe III Tahan Agak Tahan Agak Tahan Agak Tahan Tahan

- Patotipe IV Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan

- Patotipe VIII Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan

c. Generatif 4

MSI

- Patotipe III Agak Tahan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan Agak Rentan

- Patotipe IV Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan

- Patotipe VIII Rentan Rentan Rentan Rentan Rentan

Tungro

Strain Garut Agak Tahan Rentan - Rentan Rentan

Strain Purwakarta Agak Tahan Agak Tahan - Agak Tahan Rentan

Blast Tidak

Terserang

Tidak

Terserang Tidak Terserang

Tidak

Terserang

Tidak

Terserang - Ras 033 Rentan Agak Tahan - Agak Tahan -

- Ras 073 Tahan Agak Tahan - Agak Tahan -

- Ras 133 Agak Tahan Agak Tahan - Agak Tahan -

- Ras 173 Rentan Agak Tahan - Agak Tahan -

Page 45: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

147 Prospek Ampek Angkek Sebagai Varietas Unggul Spesifik Lokasi Padi Dataran Tinggi di Sumatera

Barat (Novi Aldi dan Catur Oktivian Indri Hastuti)

10%-20% (rendah); 20%-25% (sedang) dan 25%-

30% (tinggi). Mengacu kriteria yang dikemukakan

sebelumnya maka varietas Ampek Angkek

termasuk kelompok amylosa tinggi dengan tekstur

nasi pera yang merupakan rasa nasi yang disukai

oleh masyarakat Sumatera Barat . Hasil penilain

preferensi konsumen / masyarakat adalah

penampilan beras skoring 3,46; rasa nasi skoring

3,3; harga jual skoring 3 terhadap beras Ampek

Angkek (kuisoner preferensi konsumen /

masyarakat tahun, 2014) (Tabel 1).

Perbedaan morfologi varietas padi sawah

Ampek Angkek dibandingkan dengan varietas

lokal yang sudah dilepas (Tabel 3.)

Berdasarkan pengamatan dan pengujian

observasi di beberapa lokasi, varietas padi sawah

Ampek Angkek sebagai calon varietas unggul

spesifik lokasi untuk dilepas mempunyai

keunggulan dan ketahanan terhadap hama

penyakit. Varietas padi sawah Ampek Angkek

tidak ditemukan kelemahan kecuali umur masak

panen dalam yaitu dengan kisaran 162 – 173 HSS.

Tabel 3. Perbedaan Morfologi varietas padi sawah Ampek Angkek dengan varietas yang sudah dilepas

Karakteristik Varietas

Ampek Angkek Anak Daro Kuriak

Kusuik

Ceredek

Merah

Saganggam

Panuah

Umur tanaman

(HSS)

162-174 135 – 145 155 140 141

Bentuk tanaman Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak

Tinggi tanaman

(cm)

121-123 105 – 121 105 111 130

Anakan produktif 28-31 btg 20 – 27 btg 36 btg 19 btg 22 btg

Warna kaki Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau

Warna batang Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau

Warna telinga

daun

Tidak Berwarna Tidak Berwarna Tidak

Berwarna

Hijau Hijau

Warna lidah daun Tidak Berwarna Tidak Berwarna Tidak

Berwarna

Tidak

Berwarna

Tidak berwarna

Warna helai daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau

Muka daun Kasar Kasar Kasar Kasar Kasar

Posisi daun Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak

Daun bendera Agak tegak – tegak Tegak Miring –

Tegak

Tegak Tegak

Bentuk gabah Ramping Ramping Sedang Ramping Agak Ramping

Warna gabah Jerami Kuning Jerami Kuning emas dengan jalur

coklat pada

dasar gabah

Coklat

kekuningan Kecoklatan

Kerontokan Mudah rontok Sedang Sedang Sedang Sedang

Kerebahan Tahan Tahan Tahan Tahan Tahan

Rata-rata hasil

(KA biji 14%)

7.93 t/ha 5.55 t/ha 5.5 t/ha 5.2 t/ha 6.2 t/ha

Potensi hasil 7,95 t/ha 6.4 t/ha 6.5 t/ha 7.2 t/ha 7.8 t/ha

Bobot 1000 butir 23.63 gr 22.43 gr 24.98 gr 19.00 gr 25.40 gr

Tekstur Nasi Pera Pera Pera Pera Pera

Kadar Amilosa 27% 27% 27.0% 26% 26.50%

Dilepas tahun 2007 2009 2010 2011

Page 46: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

148 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:141-148

KESIMPULAN

Hasil pengujian observasi di dua lingkungan yang

berbeda menunjukkan bahwa padi sawah varietas

Ampek Angkek memiliki beberapa keunggulan

yakni daya adaptasi baik pada elevasi dataran

tinggi sampai ketinggian 1.000 m dpl, serta daya

hasil, rendemen beras pecah kulit , beras giling, dan

beras kepala yang lebih tinggi dibandingkan

dengan varietas padi lokal lainnya. Varietas

Ampek Angkek tahan terhadap penyakit blas ras

073 dan agak tahan ras 133, agak tahan terhadap

hawar daun bakteri patotipe III pada fase pembibitan dan generatif.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

Pemerintahan Kabupaten Agam yang telah

memfasilitasi dan mendukung kegiatan ini serta

kepada Syahrul Zen, Indra Catri, Djoni, Edyarman,

Afdhal, Abrar Hamdy yang membantu penelitian

ini . Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada

Prof.Dr.Ir Subyakto M.Sc dan Ir. Syahrul Zen yang

telah membimbing terhadap penulisan karya tulis

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adri dan Yardha. 2014. Upaya Peningkatan

Produktifitas Padi Melalui Varietas Unggul

Baru Mendukung Swasembada

Berkelanjutan Di Provinsi Jambi. Jurnal

Agroekoteknologi 6 (1) : 1 – 11

Anonim. 2014. Data Varietas Lokal Sumatera

Barat. Laporan UPTD BPSB Provinsi

Sumatera Barat .

Baihaki, A. dan Wicaksana, N. 2015. Interaksi

Genotip × Lingkungan, Adaptabilitas, dan

Stabilitas Hasil, Dalam Pengembangan

Tanaman Varietas unggul di Indonesia.

Zuriat, 6, (1 ) :1 - 10

Gomez, K. A and Gomez A.A. 1984. Statistical

procedures fo agricultural research . New

York: Jhon Wiley & Son. Inc.

Juliano. B.O. 1979. The chemical basis of rice

grain quality. Proc. Workshop Chemical

Aspects of grain quality. Rice Res. Inst.

Los Banos, Philippines. Pp. 69-90.

Kaneda, C. and Beachell, H. M. 1974. Response of

indica- japonica rice hybrids to low

temperature. SABRAO J. 6 (1): 17-32.

Khush, G.S., C.M. Paule and N.M. De La Crue.

1979. Rice grain quality evaluation and

improvement. In: Proc. of the workshop

on Rice Grain Quality. Int. Rice Res. Inst.

Los Banos. Philippines. P. 21-23.

Nishiyama, I. 1976. Effects of temperature on

the growth of rice plant. Pp. 159-185.

In: Proc. Symp. Climate and Rice. IRRI,

Los Banos, Philippines.

Nurnayetti dan Atman. 2013. Keunggulan

Kompetitif Padi Sawah Varietas Lokal Di

Sumatera Barat. Jurnal Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian 16 (2)

:102-110

Syarif, A.A. dan Zen, S. 2013. Keragaman

Karakter Varietas Lokal Padi Sawah

Sumatera Barat . Prosiding Seminar

Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-33

"Optimalisasi Sumberdaya Lokal Melalui

Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian

Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat

Menyongsong Masyarakat Ekonomi

ASEAN 2015" 2013:720-729

Vergara, B.S and R.M.Visperas, 1976. Effects at

temperature on the rice plant to

photoperiod. Third Edition IRRI Los

Banos Laguna Philippines.

Thayumanavan, B. 1987. Physicochemical

properties as a basis for identifying

preferred cooking quality. IRRI. Los

Banos, Philippines 18 p.

Yoshida, S. 1981. Foundamentals of rice crop

science. IRRI Los Banos, Philippines

Zen, S.,Syarief, A.A dan Yufdi, P. 2010. Varietas

unggul lokal padi sawah dengan rasa pera

spesifik Sumatera Barat. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Sumatera Barat. 34

hal.

Page 47: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

149 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum

Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)

INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA PADIDI LAHAN PASANG SURUT

KALIMANTAN SELATAN

Puspita Harum Maharani1, Eni Siti Rohaeni

1, Rina Dirgahayu Ningsih

1 dan Erythrina

2

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

2. )Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jalan Panglima Batur Barat No 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Email : [email protected]

ABSTRACT

Technology Innovation in Rice Cultivation in the Swampy Areas, South Kalimantan. The technological

innovations that have been produced need to be disseminated to users so that they can be adopted and utilized to

improve the competitiveness of agricultural businesses. The purpose of this paper is to provide information on the

performance of Jajar Legowo Super carried out on the technological innovation expose in the World Food Day event

in tidal swampy land, Barito Kuala Regency, South Kalimantan. The typology of land and the type of water overflow

have a very important meaning in determining the suitability of the area for lowland rice farming. Jajar Legowo Super

rice cultivation is a technology package that implements several innovations from different research institutions under

IAARD. This technology package aims to increase the productivity and competitiveness of rice plants. The results

showed that productivity of rice variety Inpara 2 6,5 t GKP/ha, Inpara 3 4,16 t GKP/ha and Inpara 8 4,16 t GKP/ha.

Rice variety Inpara 2 with technology package Jajar Legowo Super produces 6,5 t GKP/ha, higher than the level of

productivity of farmers practices at the location of 4.4 t/ha. This shows that the Jarwo Super technology on tidal land

has been shown to be able to increase rice productivity by up to 67,69% or with a delta increase in productivity of 2.1

t/ha.

Key words: Swampy land, technology innovation expose, jajar legowo super

ABSTRAK

Lahan rawa pasang surut ibarat raksasa tidur yang perlu dibangunkan menjadi lahan pertanian yang produktif, salah satunya melalui penerapan teknologi yang memadai. Inovasi teknologi yang telah dihasilkan perlu

disebarluaskan kepada stakeholder agar dapat diadopsi untuk meningkatkan daya saing usaha pertanian. Salah satu

cara untuk mendiseminasikannya melalui gelar inovasi teknologi yang dilaksanakan pada acara Hari Pangan Sedunia

Ke-38. Tujuan dari makalah ini adalah ini untuk memberikan informasi inovasi teknologi budidaya padi Jajar Legowo

Super yang dilaksanakan pada gelar teknologi Hari Pangan Sedunia di lahan rawa pasang surut, Kalimantan Selatan.

Lokasi gelar teknologi dalam rangka Hari Pangan Sedunia Ke-38 berada di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan

Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala. Pada lokasi gelar teknologi ditampilkan sistem usaha pertanian terpadu berbasis

budidaya padi dengan sistem jajar legowo super. Tipologi lahan dan tipe luapan air mempunyai arti yang sangat

penting dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk usahatani padi sawah. Budidaya jajar legowo super merupakan

paket teknologi yang mengimplementasikan berbagai inovasi lingkup Balitbangtan berbasis cara tanam jajar legowo.

Paket teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tanaman padi. Hasil penerapan gelar

inovasi teknologi Jajar Legowo Super di lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan pada kegiatan Hari Pangan

Sedunia tahun 2018 menunjukkan produktivitas padi varietas Inpara 2 sebesar 6,5 t /ha, Inpara 3 sebesar 4,16 t/ha dan

Inpara 8 sebesar 4,16 t/ha. Produktivitas Inpara 2 lebih tinggi dibandingkan tingkat produktivitas padi unggul petani di

lokasi 4,4 t/ha Hal ini menunjukkan bahwa teknologi jarwo super di lahan pasang surut untuk varietas Inpara 2

terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi hingga 67,69 % atau dengan delta peningkatan produktivitas sebesar

2,1 t/ha.

Kata kunci: Lahan rawa, gelar inovasi teknologi, jajar legowo super

Page 48: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

150

150 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158

PENDAHULUAN

Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS)

Ke-38 tahun 2018 diperingati oleh sekitar 150

negara yang tergabung dalam Food Agriculture

Organization (FAO) dengan tema “ Our Action Are

Our Future: A #ZeroHunger World by 2030 is

Possible”. Tema HPS ke-38 dipilih dengan

harapan masalah kelaparan dapat tuntas sehingga

tidak ada lagi kelaparan dan kemiskinan di dunia

pada tahun 2030. Indonesia merupakan salah satu

negara anggota FAO yang mendapatkan predikat

negara berswasembada pangan, menjadi negara

yang concern dalam hal pangan.

Menurut hasil survei dan pemetaan Balai

Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP,

2015) Badan Litbang Pertanian, luas lahan rawa di

Indonesia tercatat sekitar 34,13 juta ha terdapat di

Kalimantan, Sumatera, Papua, dan sebagian kecil

di Sulawesi yang tersebar di 22 Provinsi. Lahan

rawa terdiri dari rawa pasang surut seluas 8,92 juta

ha, dan rawa lebak 25,21 juta (Tabel 1). Lahan

rawa paling luas berada di Provinsi Papua

mencapai 7,61 juta ha, kemudian Riau 4,91 juta ha,

Kalimantan Tengah 4,11 juta ha, Sumatera Selatan

3,36 juta ha dan Kalimantan Barat 3,10 juta ha.

Berdasarkan luas rawa 34,14 juta ha, sekitar 14,8

juta ha atau 43,4% berpotensi untuk

mengembangkan budidaya padi sawah.

Lahan pasang surut dan rawa lebak ibarat

raksasa tidur yang perlu dibangunkanmenjadi

lahan pertanian yang produktif, salah satunya

melalui penerapan teknologi yang memadai.

Beberapa inovasi teknologi yang telah

dikembangkan secara luas, terbukti menjadi

pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan

usaha dan sistem agribisnis berbagai komoditas

pertanian yang ramah lingkungan. Inovasi

teknologi tersebut diantaranya varietas baru

berumur pendek dengan dukungan teknologi

perbenihan dan sistem penanaman, inovasi tata air

dan ameliorasi lahan, pemupukan, teknologi panen

dan pascapanen, serta pengolahan hasil dan

pemasaran (Hartatik dan Suriadikarta, 2006;

Haryono, 2013).

Teknologi yang telah dihasilkan perlu

disebarluaskan kepada stakeholder agar dapat

diadopsi untuk meningkatkan daya saing usaha

pertanian. Salah satu cara untuk

mendiseminasikannya melalui gelar inovasi

teknologi. Gelar inovasi teknologi yang

Tabel 1. Luas rawa pasang surut dan lebak di Indonesia

Pulau

Luas Rawa (Juta ha) Jumlah (Juta

ha) Rawa Pasang

Surut Rawa Lebak

Sumatera 3.03 9.91 12.93

Kalimantan 2.99 7.04 10.03

Papua 2.43 7.44 9.87

Sulawesi 0.32 0.73 1.05

Maluku 0.07 0.09 0.16

Jawa 0.09 0 0.09

Jumlah 8.92 25.21 34.13

Sumber: BBSDLP (2015)

Page 49: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

151 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum

Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)

dilaksanakan merupakan rangkaian acara Hari

Pangan Sedunia Ke-38. Inovasi teknologi yang

dihasilkan dapat dilihat dari dekat oleh para

pengguna teknologi dan bertemu langsung

`komunikasi dan umpan balik untuk perbaikan dan

pengembangan inovasi kedepan.

Peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-38

yang melibatkan berbagai stakeholder menjadi

salah satu sarana yang tepat untuk

mensosialisasikan pengembangan inovasi

teknologi di bidang pangan, khususnya dalam

pengembangan lahan rawa pasang surut yang

mempunyai potensi besar dalam meningkatkan

produksi pangan nasional, serta meningkatkan

kesejahteraan petani. Tujuan dari makalah ini

adalah untuk memberikan informasi keragaan

inovasi teknologi budidaya padi Jajar Legowo

Super (Jarwo Super) yang dilaksanakan pada gelar

teknologi Hari Pangan Sedunia ke-38 di lahanrawa

pasang surut di Kalimantan Selatan.

KARAKTERISTIK LAHAN RAWA PASANG

SURUT

Lahan rawa pasang surut terlet ak pada

topografi datar, sehingga sering terluapi dan

tergenang air secara periodik. Berdasarkan

jangkauan pasang surutnya air, Widjaja-Adhi et al.

(1992) membagi lahan rawa pasang surut menjadi

dua zona, yaitu: (1) zona pasang surut payau/salin,

dan (2) zona pasang surut air tawar. T ipologi lahan

yang terdapat pada zona pasang surut air payau

yaitu tipologi lahan salin, mempunyai ciri unsur Na

tukar yang cukup tinggi (>8 me/100g tanah), dan

berada dekat dengan pantai. Lahan tersebut pada

umumnya telah dimanfaatkan oleh petani untuk

usahatani padi, juga telah banyak yang

mengkombinasikan padi di tabukan dan tanaman

kelapa di surjan atau tukungan.

Pengelompokan tipologi lahan pada zona

air tawar, berdasarkan pada kedalaman

bahan sulfidik, tingkat oksidasi pirit dan ketebalan

gambut. Atas dasar itu ditemukan delapan tipologi

lahan yang terdiri atas: (1) lahan sulfat masam

aktual (SMA), (2) lahan sulfat masam potensial

(SMP), (3) lahan sulfat masam bergambut

(SMPG), (4) lahan potensial (P), (5) lahan gambut

dangkal (GDK), (6) lahan gambut sedang (GSD),

(7) lahan gambut dalam (GDL), dan (8) lahan

gambut sangat dalam (GSDL) (Abdurachman et al.

2006).

Selain tipologi lahan, tipe luapan air

mempunyai arti yang sangat penting dalam

menentukan kesesuaian wilayah untuk usaha

pertanian. Berdasarkan tipe luapan air pasang,

lahan rawa pasang surut dapat dibagi dalam empat

kategori, yaitu: (1) T ipe luapan A, yaitu suatu

wilayah yang dapat diluapi oleh air pasang baik

oleh pasang besar maupun oleh pasang kecil, (2)

T ipe luapan B, yaitu wilayah yang hanya dapat

diluapi oleh air pasang besar saja, sedang pada

pasang kecil air tidak dapat meluap ke petak

sawah, (3) T ipe luapan C, yaitu wilayah yang tidak

terluapi air pasang, tetapi air pasang

mempengaruhi kedalaman muka air tanah kurang

dari 50 cm dari permukaan tanah, dan (4) T ipe

luapan D, yaitu wilayah yang sama sekali t idak

dipengaruhi oleh air pasang, namun demikian air

pasang mempengaruhi kedalam muka air tanah

pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan

tanah (Ar-Riza dan Alkasuma, 2008).

Penataan lahan dengan tipe luapan A dan

B umumnya disawahkan, sedang tipe luapan C

umumnya ditata dengan sistem surjan. Hal ini

berhubungan dengan kedalaman pirit pada tipe A

dan B yang dimungkinkan dangkal, sedangkan tipe

luapan C jauh pada jeluk lebih dari 100 cm dari

permukaan tanah, sehingga aman dengan

pembuatan sistem surjan (Noor, 2004;

Kusumowarno, 2014).

HASIL PENELITIAN DAN PENGKAJIAN

INO VASI TEKNO LO GI

Inovasi teknologi budidaya padi sistem

jajar legowo super di lahan rawa pasang surut

dikembangkan dari inovasi teknologi jajar legowo.

Page 50: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

152 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158

A. Inovasi Teknologi Sistem Tanam Jajar

Legowo

Salah satu cara untuk meningkatkan

produktivitas tanaman padi adalah dengan

pengaturan jarak tanam (Magfiroh et al. 2017).

Jarak tanam optimum akan memberikan

pertumbuhan bagian atas tanaman yang lebih baik

sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya

matahari serta pertumbuhan perakaran dapat

memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Jarak

tanam yang terlalu rapat akan mengakibatkan

terjadinya kompetisi antar tanaman dalam

pemanfaatan cahaya matahari, air dan unsur hara

(Hatta, 2011).

Cara tanam padi jajar legowo merupakan

perubahan teknologi jarak tanam padi yang

dikembangkan dari sistem tanam tegel yang telah

berkembang di masyarakat (Pahruddin, 2004).

Sistem tanam jajar legowo di artikan sebagai cara

tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan

dan diselingi satu barisan kosong

(Wahyunindyawati, 2010).

Manfaat dari sistem tanam jajar legowo

adalah menjadikan lebih banyak tanaman

mendapat pengaruh tanaman pinggir yang

memperoleh sinar matahari lebih banyak dan

sirkulasi udara yang lebih baik, unsur hara lebih

merata, serta pemeliharaan tanaman lebih mudah

(Mujisihono et. al. 2001). Penerapan sistem jajar

legowo juga memiliki beberapa keunggulan yaitu

pemupukan dan pengendalian organisme

penganggu tanaman menjadi lebih mudah

dilakukan di dalam lorong-lorong dan

meningkatkan populasi tanaman (Anggraini et al.

2013). Sistem tanam legowo adalah pola bertanam

yang berselang-seling antara dua atau lebih

(biasanya dua sampai empat) baris tanaman padi

dan satu baris kosong sedangkan dalam barisan

menjadi setengah jarak tanam antar baris. Istilah

Legowo di ambil dari bahasa jawa, yaitu berasal

dari kata ”lego” berarti luas dan ”dowo” berarti

memanjang.

Pada awalnya tanam jajar legowo

diterapkan untuk daerah yang banyak serangan

hama dan penyakit, atau terjadinya keracunan besi.

Jarak tanam dua baris terpinggir pada tiap unit

legowo lebih rapat daripada baris yang di tengah

(setengah jarak tanam antar baris), dengan maksud

untuk mengkompensasi populasi tanaman pada

baris yang dikosongkan. Pada baris kosong, di

antara unit legowo, dapat dibuat parit dangkal.

Parit berfungsi untuk mengumpulkan keong mas,

menekan tingkat keracunan besi pada tanaman

padi, atau untuk pemeliharaan ikan kecil

(Pahruddin et al. 2004).

Cara tanam padi sistem legowo merupakan

rekayasa teknologi yang ditujukan untuk

memperbaiki produktivitas usaha tani padi.

Penggunaan sistem legowo, tanaman padi tumbuh

lebih baik dan hasilnya lebih tinggi karena luasnya

pengaruh tanaman pinggir (border effect) akibat

adanya lorong di antara beberapa barisan tanaman

padi sawah sehingga menghasilkan bulir gabah

yang lebih bernas (Pahruddin et al. 2004). Hasil

penelitian di Kabupaten Lampung Tengah

menunjukkan produktivitas padi jajar legowo lebih

tinggi dibandingkan sistem tegel karena jumlah

rumpun atau populasi tanaman per ha meningkat

sebesar 37,5-45% dan produktivitas bertambah 7-

15% dengan nilai B/C rasio >1 (Permata et al.

2017). Hal yang sama dikemukakan oleh

Diraatmaja (2002) dan Diraatmaja (2002),

diperoleh rasio B/C pada sistem tanam jajar

legowo sebesar 1,8 dan pada sistem tanam tegel

sebesar 1,5 sehingga sistem tanam jajar legowo

layak untuk diusahakan dan memberikan manfaat.

Hasil penelitian di Provinsi Jambi menunjukkan

bahwa rumpun padi yang berada di barisan pinggir

mempunyai hasil 1.5-2 kali lipat lebih tinggi

dibandingkan rumpun yang berada di bagian

dalam. Sistem jajar legowo meningkatkan hasil

panen sebesar 1,4 t/ha GKP atau sebesar 26 ,9%

bila dibandingkan sistem tanam tegel (Babihoe,

2013).

Keuntungan lain dari sistem tanam padi

jajar legowo yaitu dapat mengurangi dampak

serangan hama dan penyakit tanaman. Adanya

jarak tanam yang lebar tiap dua baris menyebabkan

rendahnya kelembababan mikro, sehingga

menghambat pertumbuhan wereng cokelat,

penyakit blas dan hawar daun bakteri (Darajat et

Page 51: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

153 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum

Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)

al. 1996). Sistem tanam padi jajar legowo

menyebabkan pergerakan hama wereng hijau lebih

rendah, sehingga infeksi virus tungro menjadi lebih

lambat (Widiarta et al. 2003). Banyaknya

intensitas cahaya yang masuk di antara barisan

tanaman legowo menyebabkan serangan tikus

berkurang karena serangan tikus terjadi di tengah

petakan (Nayak et al. 2014).

B. Inovasi Teknologi Sistem Jajar Legowo

Super

Teknologi Jajar Legowo Super (Jarwo

Super) di lahan sawah irigasi pertama kali

diujicobakan dalam demarea 50 ha di Kabupaten

Indramayu, Jawa Barat pada musim tanam 2016.

Berdasarkan ubinan hasil panen, varietas Inpari-30

Ciherang Sub-1, Inpari-32 HBD, dan Inpari-33

mempunyai potensi produksi 12,4-14,4 t/ha GKP.

Produktivitas padi varietas Ciherang yang

diusahakan petani di luar demarea hanya 7 t/ha

GKP. Jarwo super memberikan B/C rasio 2,66

lebih tinggi disbanding cara petani 1,48

(Balitbangtan, 2016). Budidaya jarwo super

merupakan paket teknologi yang

mengimplementasikan berbagai inovasi lingkup

Balitbangtan, Kementerian Pertanian berbasis cara

tanam jajar legowo (Jamil et al. 2016).

Paket teknologi jarwo super adalah

rekayasa teknologi yang bertujuan untuk

meningkatkan produktivitas dan daya saing

tanaman padi. Teknologi jarwo super merupakan

modifikasi dari teknologi jajar legowo dengan

masukan teknologi yang dikembangkan oleh

Badan Litbang Kementerian Pertanian, mencakup:

1. Penggunaan varietas unggul baru dengan

potensi hasil t inggi;

2. Biodekomposer, diberikan saat pengolahan

tanah;

3. Pupuk hayati, diaplikasikan sebagai seed

treatment;

4. Pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat

Uji Tanah Sawah (PUTS);

5. Pengendalian organisme penganggu tanaman

(OPT) menggunakan pestisida anorganik

berdasarkan ambang kendali, serta

6. Alat dan mesin pertanian, khususnya untuk

tanam (transplanter) dan panen (combine

harvester) (Balitbangtan, 2016).

GELAR INO VASI TEKNO LO GI

Lokasi gelar teknologi dalam rangka Hari

Pangan Sedunia Ke-38 berada di Desa Jejangkit

Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito

Kuala. Pada lokasi gelar teknologi ditampilkan

sistem usaha pertanian terpadu:

1. Tata kelola air

Pengelolaan air dilakukan pada skala

mikro, yaitu dari saluran air tersier, kuarter, sampai

ke petak-petak sawah. Pada masing-masing muara

saluran tersier (inlet) maupun pengeluaran (outlet)

dipasang pintu air yang semi otomatis, yaitu pintu

yang membuka apabila terjadi pasang pada saluran

inlet dan penutup apabila surut pada saluran outlet.

Pada saluran outlet juga dipasang tabat konservasi

sehingga sewaktu-waktu air dapat ditahan

(dikonservasi). Oleh karena air yang masuk

melalui pintu inlet dan keluar melalui pintu outlet,

maka terjadi sirkulasi air yang mengalir searah.

Sistem pengelolaan air ini disebut dengan tata air

satu arah (one flow system ) (Ar-Riza dan

Alkasuma, 2008).

2. Tata kelola lahan

Kegiatan pengelolaan lahan rawa yang

pertama kali dilakukan yaitu dengan pemberian

ameliorasi lahan. Ameliorasi ditujukan untuk

memperbaiki sifat kimia tanah di lahan rawa yang

umumnya masam sampai sangat masam (pH <4),

ketersediaan hara makro (N,P,K) dan mikro (Cu,

Zn) yang rendah, serta kelarutan Al, Fe, Mn dan

asam-asam organik yang tinggi (Noor dan Jumberi,

2008). Bahan amelioran yang digunakan pada areal

gelar teknologi berupa kapur dolomit dengan

takaran 2 t/ha, kemudian setelah 2-3 hari dilakukan

pemberian pupuk hayati Biotara 25 kg/ha.

Pengolahan tanah di lahan rawa dilakukan

dengan bajak singkal kemudian rotary satu hingga

Page 52: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

154 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158

dua kali, tergantung pada kondisi lahan. Agar

mempercepat perombakan bahan organik yang ada

di permukaan tanah ditambahkan MDec dan

Biotara yang merupakan decomposer atau

perombak bahan organik secara cepat. MDec

mengandung Trichodema, sp., Aspergilus, sp.

Trametes, sp dengan takaran 2 kg/ha. Kenggulan

MDec adalah mempercepat proses pengomposan

bahan organik, baik pada pada tunggul jerami

bekas pertanaman sebelumnya maupun rumput

atau semak hasil dari pembersihan lahan sehingga

Mdec dapat memperpendek masa persiapan tanam

(Haryati dan Liferdi, 2017).

3. Varietas Varietas padi yang digunakan dalam gelar

teknologi Hari Pangan Sedunia Ke-38 adalah tiga

varietas unggul baru yang sudah diidentifikasi

sebagai varietas adaptif di lahan rawa: varietas

Inpara 2, Inpara 3 dan Inpara 8 ditanam

menggunakan inovasi teknologi budidaya jarwo

super (Balitbangtan, 2016).

4. Pemupukan

Teknologi jajar legowo super merupakan

sistem optimalisasi produksi padi sawah hasil

inovasi yang mengimplementasikan teknologi

budidaya padi secara terpadu berbasis cara tanam

jajar legowo. Berdasarkan status hara tanah yang

dianalisis menggunakan Perangkat Uji Tanah

Rawa (PUTR). Dosis pemberian pupuk yang

diperlukan adalah 400 kg/ha NPK dan 100 kg/ha

urea yang diberikan 2 kali pada 7 hari setelah

tanam (HST) dan 30 HST. Agar meningkatkan

pertumbuhan dan daya tahan tanaman dilakukan

penyemperotan pupuk mikro (Cu dan Zn) yang

diperkaya dengan mikroba dan untuk

meningkatkan pertumbuhan tanaman dan

mencegah tanaman rebah diberikan Biosilika.

Pemberian pupuk hayati Agrimeth dengan dosis 50

g/5 kg benih padi digunakan sebagai seed

treatment yang dapat menghasilkan fitohormon

(pemacu pertumbuhan tanaman), menambat

nitrogen dan melarutkan fosfat yang sukar larut

serta meningatkan kesuburan dan kesehatan tanah.

Gambar 1. Produktivitas panen 3 varietas padi di lahan pasang surut Kalsel

Page 53: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

155 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum

Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)

5. Pengendalian hama dan penyakit Konsep teknologi Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) adalah membatasi penggunaan

insektisida sintesis dengan memperkenalkan

pengamatan ambang ekonomi sebagai dasar

penetapan pengendalian hama, mendorong

penggantian pestisida kimia dengan teknologi

pengendalian alternatif yang lebih banyak

memanfaatkan musuh alami, trap barrier system

(TBS), pestisida hayati, dan feromon. Di sekitar

lokasi Gelar Teknologi dan di pematang sawah

ditanam bunga refugia. Bunga refugia selain

bermanfaat sebagai konservasi musuh alami,

menampilkan keindahan, dan estetika. Tanaman

refugia yang ditanam adalah bunga matahari,

bunga tahi kotok, kenikir, bunga kertas, dan bunga

jengger ayam.

Areal Gelar Teknologi dilengkapi lampu

perangkap yang merupakan alat untuk menarik

serangga yang tertarik cahaya pada waktu malam

hari. Alat ini berfungsi untuk mengetahui

keberadaan atau jumlah populasi serangga di lahan

pertanian. Di bawah lampu diberikan sebuah

wadah air yang sudah dicampur dengan sabun.

Ketika hama mendekati lampu dengan sendirinya

hama tersebut akan jatuh ke dalam air (Alamsyah

et al. 2017).

6. Alat dan mesin pertanian Optimalisasi usaha tani pada lahan rawa

tidak terlepas dari penggunaan alat dan mesin

pertanian (alsintan). Penggunaan alsintan hampir

pada seluruh tahapan budidaya, dimulai dari

persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,

pengairan hingga pada saat panen. Alat tanam yang

digunakan adalah (a) Rice transplanter Jajar

Legowo Prototipe II dan alat tanam benih langsung

jajar legowo, (b) Penyiang gulma padi sawah

bermotor (power weeder), dan (c) combine

harvester.

KERAGAAN GELAR INO VASI TEKNO LO GI

Hasil penerapan gelar inovasi teknologi

jajar legowo super di lahan rawa pasang surut di

tipe luapan B di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan

Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala dalam

peringatan Hari Pangan Sedunia ke-38

menunjukkan hasil sebagai berikut: produktivitas

rata rata gabah kering panen varietas Inpara 2

sebesar 6,5 t/ha, Inpara 3 sebesar 4,16 t /ha dan

inpara 8 sebesar 4,16 t/ha (BPTP KalSel, 2018).

Pada hasil penerapan inovasi jajar legowo super di

lahan pasang surut di Kalimantan Tengah

(Susilawati, 2017), produktivitas Inpari 42

dihasilkan 8,64 t/ha GKP. Rata-rata tingkat

Tabel 2. Analisa usaha tani padi jajar legowo super di lahan pasang surut, Barito Kuala.

No URAIAN

JUMLAH (Rp)

Jarwo super Tegel (kebiasaan

petani)

A. Pengeluaran/input

1. Sarara produksi (benih, pupuk, pestisida) 3.955.000 2.170.000

2. Tenaga Kerja 8.175.000 7.575.000

Jumlah Biaya 12.130.000 9.745.000

B. Penerimaan/output

- Hasil GKP padi unggul 5.400 kg x Rp. 4.500, 24.300.000 - Hasil GKP padi unggul 3.980 kg x Rp. 4.500, 17.910.000

C. Pendapatan 12.170.000 8.165.000

D. R/C Ratio 2,00 1,84 Sumber : BPTP KalSel, 2018.

Page 54: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

156 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158

produktivitas padi unggul petani di lokasi ini tanpa

inovasi teknologi jarwo super adalah 4,4 t/ha GKP.

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi jarwo super

di lahan pasang surut terbukti mampu

meningkatkan produktivitas padi hingga 60,69%

atau dengan delta peningkatkan produktivitas

sebesar 2.7 t/ha GKP. Kelayakan usaha tani karena

penerapan satu teknologi secara ekonomi dinilai

dari revenue cost ratio (R/C). Bila R/C lebih dari 1

berarti teknologi tersebut menguntungkan. Ratio

R/C dari penggunaan teknologi jarwo super

memberikan keuntungan yang lebih tinggi

daripada cara kebiasaan petani, dapat dilihat dari

Tabel 2. Berdasarkan table 2 didapatkan nilai R/C

ratio Jarwo super diperoleh 2,0 dan lebih tinggi

0,16 dari usaha tani sistem tegel (kebiasaan

petani), sehingga usaha tani jajar legowo super

dikatakan lebih mengutungkan dari sistem usaha

tani tegel (kebiasaan petani).

KESIMPULAN

Tipologi lahan dan tipe luapan air

mempunyai arti yang sangat penting dalam

menentukan kesesuaian wilayah untuk usahatani

padi sawah. Budidaya jajar legowo super

merupakan paket teknologi yang

mengimplementasikan berbagai inovasi lingkup

Balitbangtan berbasis cara tanam jajar legowo.

Paket teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan

produktivitas dan daya saing tanaman padi. Hasil

penerapan gelar inovasi teknologi Jajar Legowo

Super di lahan rawa pasang surut di Kalimantan

Selatan pada kegiatan Hari Pangan Sedunia tahun

2018 menunjukkan produktivitas padi varietas

Inpara 2 sebesar 6,5 t /ha GKP, Inpara 3 sebesar

4,16 t /ha GKP dan inpara 8 sebesar 4,16 t/ha GKP.

Produktivitas Inpara 2 lebih tinggi dibandingkan

tingkat produktivit as padi unggul petani di lokasi

4,4 t/ha GKP. Hal ini menunjukkan bahwa

teknologi jarwo super di lahan pasang surut untuk

varietas Inpara 2 terbukti mampu meningkatkan

produktivitas padi hingga 67,69 % atau dengan

delta peningkatan produktivitas sebesar 2 ,1 t/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih pada

pada Ir. Erythrina untuk bimbingannya dalam

penyusunan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., K. Subagyono, dan M. AlJabri.

2006. Konservasi dan rehabilitasi lahan

rawa. Hlm. 250. Dalam D.A. Suriadikarta,

U. Kurnia, Mamat H.S., W. Hartatik, dan

D. Setyorini (Eds.). Karakteristik dan

Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya

Lahan Pertanian. Bogor

Alamsyah, W., O. Nurhilal, J. Y. Mindara, A.

Saad, Setianto, dan S. Hidayat. 2017. Alat

Perangkap hama dengan metode caharya

UV dan sumber listrik panel surya. Jurnal

Ilmu dan Inovasi Fisika 1(1): 37-44

Anggraini, F., A. Suryanto., dan A. Nurul. 2013.

Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman

Padi Sawah (Oryza sativa L.) varietas

INPARI 13. Jurnal Produksi Tanaman

Vol.1 No 2 ISSN: 2338-3976.

Ar-Riza, I., dan Alkasuma. 2008. Pertanian lahan

rawa pasang surut dan strategi

pengembangannya dalam era otonomi

daerah. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(2):

95-104

Babihoe, Julistia. 2013. Sistem Tanam Padi Jajar

Legowo. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Jambi. Jambi.

Balitbangtan. 2016. Petunjuk Teknis Budidaya

Jajar Legowo Super. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Kementerian

Pertanian. Jakarta.

BBSDLP. 2015. Sumberdaya lahan pertanian

Indonesia: luas, penyebaran dan potensi

ketersediaan. Laporan Teknis, Bogor.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian.

Page 55: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

157 Inovasi Teknologi Budidaya Padidi Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan (Puspita Harum

Maharani, Eni Siti Rohaeni dan Rina Dirgahayu Ningsih dan Erythrina)

BPTP Kalimantan Selatan. 2018. Laporan

Tahunan Kegiatan Gelar Teknologi HPS

2018 (belum publikasi). BPTP Kalimantan

Selatan. Banjarbaru.

Daradjat, A., S. K Triny dan Sadeli. 1996.

Keparahan Patogen Penyebab Penyakit

pada Pertanaman Padi Dengan Cara

Legowo. TAJUK: Majalah Ilmiah

Pertanian 2(4):19-26.

Diraatmaja, IGPA. 2002. Keragaan Teknologi Cara

Tanam Padi Sistem Legowo dalam

Mendukung Sistem Usaha tani Terpadu di

Kabupaten Sukabumi. Prosiding

Lokakarya Pengembangan Usaha Tani

Terpadu Berwawasan Agribisnis

Menunjang Pemanfaatan Sumberdaya

Pertanian Jawa Barat.

Hartatik, W. dan D. A. Suriadikarta. 2006.

Teknologi pengelolaan hara lahan

gambut. hlm. 151-180. Dalam D.A.

Suriadikarta, U. Kurnia, Mamat H. S.,

Hartatik, W dan Setyorini, D. (Ed.).

Karakteristik dan Pengelolaan Lahan

Rawa. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan

pertanian, Bogor.

Haryati, Y dan Liferdi. 2017. Kajian teknologi

jajar legowo super dalam mendukung

peningkatan produksi padi. Agrin

21(2)169-175.

Hatta, M. 2011. Pengaruh tipe jarak tanam

terhadap anakan, komponen hasil, dan

hasil dua varietas Padi pada metode SRI.

Jurnal. Floratek 6:104-113.

Haryono. 2013. Lahan Rawa: Lumbung Pangan

Masa Depan Indonesia. IAARD Press,

Jakarta.

Jamil, A., S. Abdulrachman, P. Sasmita, Z. Zaini,

Wiratno, R. Rachmat, R. Saraswati, L.R.

Widowati, E. Pratiwi, Satoto, Rahmini, D.

D. Handoko, L. M. Zarwazi, M. Y.

Samaullah, A. Maolana, dan A. D.

Subagyo. 2016. Budidaya Padi Jajar

Legowo Super. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 35 hal.

Kusumowarno, S. 2014. Percepatan Peningkatan

Produksi dan Produktivitas Padi di Lahan

Rawa Berkelanjutan dan Lestari. Prosiding

Seminar Nasional “Inovasi Teknologi

Pertanian Spesifik Lokasi” Banjarbaru 6-7

Agustus 2014. Hal 37-43.

Magfiroh, N., M. I. Lapanjang, U. Made. 2017.

Cara tanam padi jajar legowo merupakan

perubahan teknologi jarak tanam padi yang

dikembangkan dari sistem tanam tegel

yang telah berkembang di masyarakat.

Journal Agrotekbis 5(2):212-221.

Mujisihono, R. dan T . Santosa. 2001. Sistem

Budidaya Teknologi Tanam Benih

Langsung (TABELA) dan Tanam Jajar

Legowo (TAJARWO). Makalah Seminar

Perekayasaan Sistem Produksi Komoditas

Padi dan Palawija. Dinas Pertanian

Provinsi D.I. Yogyakarta.

Nayak, B., M.M Khan, K. Moshaand dan P.P.

Rani. 2014. Plant spacing and weed

management techniques influence weed

competitiveness of drum seed rice (Oriza

sativa L.). Int. J. Appl. Biol.Pharm.

Technol. 5(3):13-22.

Noor, M., 2004. Lahan Rawa; Sifat dan

Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat

Masam. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Noor, M. dan A. Jumberi. 2008. Potensi,

kendala, dan peluang pengembangan

teknologi budi daya padi di lahan rawa

pasang surut, hlm. 223-244. Dalam A.A.

Daradjat, A. Setyono, A.K. Makarim, A.

Hasanuddin (Ed.). Padi, Inovasi Teknologi

Produksi.Buku 2. Balai Besar Penelitian

Tanaman Padi, Sukamandi, Subang.

Pahruddin, A., Maripul dan P. Rido. 2004. Cara

tanam padi sistem Legowo mendukung

usaha tani di Desa Bojong, Cikembar

Sukabumi. Buletin Teknik Pertanian 9(1):

9-12.

Page 56: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

158 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:149-158

Permata, A.L., S. Widjaya, dan A. Soelaiman.

2017. Analisis perbandingan usaha tani

pada sistem tanam jajar legowo dengan

sistem tegel di Kecamatan Seputih

Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

JIIA 5(1):9-14.

Susilawati. 2017. Paket Teknologi Jarwo Super di

Lahan Pasang Surut, BPTP Kalimantan

Tengah.

https://kalteng.litbang.pertanian.go.id/ind/in

dex.php/publikasi-mainmenu-47-

47/teknologi/728-paket-teknologi-jarwo-

super-di-lahan-pasang-surut. Diakses 18

November 2018.

Wahyunindyawati. 2010. Pengaruh faktor-faktor

produksi terhadap keuntungan usahatani

padi. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Jawa T imur.

Widiarta, I.N., D. Kusdiaman dan A. Hasanuddin.

2003. Pemencaran wereng hijau dan

keberadaan tungro pada pertanaman padi

dengan beberapa cara tanam. Jurnal

Penelitian Tanaman Pangan Vol 22:129-

133.

Widjaja-Adhi I P.G., K. Nugroho, D.A.

Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.

Sumber daya lahan rawa: Potensi,

Kebutuhan dan Pemanfaatan. Dalam.

Risalah Pertemuan Nasional

Pengembangan Pertanian Lahan Rawa

Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4

Maret 1992. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan.

Page 57: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

159 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten

Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)

ANALISIS EKONOMI MODEL PERTANIAN BIO INDUSTRI BERKELANJUTAN BERBASIS TANAMAN KELAPA DI KABUPATEN MAJENE, SULAWESI BARAT

Ketut Indrayana1)

, Endro Gunawan2)

, dan Muh. Ricky1)

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat

Jl. Abdul Malik Pattana Endeng Mamuju, Sulbar 2)Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,

Jl. Tentara Pelajar 3B, 70 Bogor 16161

Email: [email protected]

ABSTRACT

Economic Analysis Of Sustainable Industry-Based Bio Industry Agricultural Models In Coconut Plants In

Majene District, West Sulawesi. Deep coconut plants are a leading commodity in the province of West Sulawesi and

have great potential to be developed. Coconut waste in the form of coir and coconut water has not been utilized.

Agriculture bioindustry is an agricultural model with the concept of zero waste management by integrating

environmental and socio-economic aspects to maintain healthy ecosystems of agriculture, preserve environmental

quality, and conserve natural resources. Through the concept of zero waste, waste from plant cultivation is converted

into animal feed, and other derivative products. Conversely, livestock waste can be used as fertilizer / compost, biogas

and biourine which allows increased value added in each production chain. This study aims to analyze the economic

potential of coconut bioindustry farming models in Majene District, West Sulawesi in 2016 using primary and secondary

data collected through structured interviews with coconut farmers, copra traders and coconut shell charcoal traders. The

study found that the coconut-livestock integration model has the potential to be developed. Based on the results of the

study, there is a positive synergy in the development of coconut bioindustry with livestock, namely the efficiency in

coconut farming, increased crop productivity due to the availability of organic fertilizer produced by cattle. On the other

hand, for cattle, there is a guarantee of the availability of feed supplies sourced from coconut water waste and coconut

pulp. Analysis of copra processing business in Majene district provides a profit of Rp. 1,470 / kg with an R / C value of

0.25. The low R / C value is due to the lack of production capacity and simple copra processing technology so that the

copra produced does not have good quality.

Keywords: Coconut, Animal, Bioindustry, Integrating

ABSTRAK

Tanaman kelapa dalam merupakan komoditas unggulan di provinsi Sulawesi Barat dan mempunyai potensi yang besar

untuk dikembangkan. Limbah tanaman kelapa yang berupa sabut dan air kelapa belum dimanfaatkan. Pertanian

bioindustri merupakan model pertanian dengan konsep zero waste management dengan mengintegrasikan aspek

lingkungan dengan sosial ekonomi untuk mempertahankan ekosistemalami lahan pertanian yang sehat, melestarikan

kualitas lingkungan, dan melestarikan sumber daya alam. Melalui konsep zero waste, limbah dari budidaya tanaman

diubah menjadi pakan ternak, dan produk turunan lainnya. Sebaliknya, limbah peternakan dapat digunakan sebagai

pupuk/kompos, biogas dan biourine yang memungkinkan peningkatan nilai tambah di setiap rantai produksi. Kajian ini

bertujuan untuk menganalisis potensi ekonomi model pertanian bioindustri kelapa di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat

pada tahun 2016 dengan mengunakan Data primer dan Sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara terstruktur

terhadap petani kelapa, pedagang kopra dan pedagang arang tempurung kelapa. Hasil kajian didapat bahwa model

integrasi kelapa-ternak berpotensi untuk dikembangkan.. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sinergi positif dalam

pengembangan bioindustri kelapa dengan ternak yaitu terjadinya efisiensi dalam usahatani kelapa, peningkatan

produktivitas tanaman karena tersedianya pupuk organik yang dihasilkan oleh sapi. Sebaliknya untuk ternak sapi

adanya jaminan ketersediaan suplai pakan yang bersumber dari limbah air kelapa dan ampas kelapa. Analisis usaha

pengolahan kopra di kabupaten Majene memberikan keuntungan Rp. 1.470/kg dengan nilai R/C sebesar 0.25. Nilai

Page 58: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

160 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168

R/C yang masih rendah disebabkan karena kapasitas produksi yang masih sedikit dan teknologi pengolahan kopra yang

masih sederhana sehingga kopra yang dihasilkan belum mempunyai kualitas yang baik.

Kata Kunci: Kelapa, Ternak, Bioindustri, Integrasi

PENDAHULUAN

Tanaman kelapa merupakan salah satu

komoditas strategis di Indonesia dan mempunyai

potensi yang besar untuk dikembangkan. Peran

strategis itu terlihat dari total luas perkebunan

kelapa di Indonesia yang mencapai 3.712 juta hektar

(31.4%) dan merupakan luas areal perkebunan

kelapa terbesar didunia. Produksi kelapa di

Indonesia menempati urutan kedua didunia yakni

sebesar 12.915 milyar butir (24.4% produksi dunia)

(Alamsyah, A. N, 2005). Namun permasalahan dari

komoditas tersebut antara lain produk yang

dihasilkan terbatas pada bentuk produk primer

sehingga tidak kompetitif. Pemanfaatan tanaman

kelapa saat ini hanya untuk pembuatan kopra dan

minyak kelapa. Limbah tanaman kelapa yang

berupa sabut kelapa, air kelapa dan tempurung

kelapa belum banyak dimanfaatkan.

Di Sulawesi Barat, Kelapa dalam termasuk

salah satu komoditas perkebunan yang sangat

prospektif dan potensial untuk pengembangan

bioindustri berkelanjutan, karena memiliki peranan

yang sangat penting dalam menumbuhkan

perekonomian daerah. Ini terlihat dari luas areal

pertanaman kelapa dalam di Provinsi Sulawesi

Barat yaitu 47.504 hektar dengan total produksi

terus mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke

2012 yakni dari 37.524 ton naik menjadi 43.645 ton

(BPS Sulawesi Barat, 2013). Produk yang

dihasilkan oleh petani kelapa dalam di Sulawesi

Barat berupa kelapa butiran, kopra dan minyak

goreng yang diolah secara tradisional, sedangkan

limbah berupa tempurung, sabut, dan air kelapa

belum dimanfaatkan secara optimal (Dinas

Perkebunan dan Kehutanan provinsi Sulawesi

Barat, 2013). Struktur industri kelapa tersebut

menyebabkan nilai tambah yang diperoleh dari

proses pengolahan kelapa tidak maksimal dan tidak

memberi peluang petani ikut menikmati nilai

tambah yang tercipta dalam proses pengolahan hasil

kelapa. Disamping itu kendala utama yang dihadapi

petani adalah rendahnya harga kelapa butiran, serta

keterbatasan modal. Produk olahan kelapa seperti

kopra dan minyak goreng kualitasnya masih sangat

rendah. Hal ini disebabkan penguasaan teknologi

pengolahan hasil masih tradisional, dan kurang

memperhatikan faktor sanitasi. Disamping itu

produk olahan kelapa belum dilakukan secara

komersial dan belum memenuhi standar mutu yang

dikehendaki pasar.

Untuk meningkatkan mutu/kualitas hasil

dan nilai tambah produk olahan kelapa dalam perlu

dilakukan berbagai terobosan untuk mendorong

berkembangnya struktur bio-industri yang kuat

mulai dari hulu hingga hilir dalam kerangka

agribisnis berbasis kelapa. Terobosan inovasi

diperlukan baik dari aspek teknologi, sosial

ekonomi (kelembagaan dan kebijakan) dalam

mengembangkan industri kelapa dalam dari hulu

sampai hilir. Teknologi tersebut sudah banyak

dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian.

Pertanian bioindustri merupakan model

pertanian dengan konsep zero waste

managementdengan mengintegrasikan aspek

lingkungan dengan sosial ekonomi

untuk mempertahankan ekosistem alami lahan

pertanian yang sehat, melestarikan kualitas

lingkungan, dan melestarikan sumber daya

alam.Melalui konsep zero waste, limbah dari

budidaya tanaman diubah menjadi pakan ternak,

dan produk turunan lainnya. Sebaliknya, limbah

peternakan dapat digunakan sebagai

pupuk/kompos, biogas dan biourine yang

memungkinkan peningkatan nilai tambah di setiap

rantai produksi.

Sistem pertanian - bioindustri berkelanjutan

memungkinkan pengem-bangan konsep zero waste

management, serta pengembangan konsep

pertanian berkelanjutan dengan mengintegrasikan

Page 59: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

161 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten

Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)

aspek lingkungan dengan social ekonomi

masyarakat pertanian untuk mempertahankan

ekosistem alami lahan pertanian yang sehat,

melestarikan kualitas lingkungan, dan melestarikan

sumber daya alam. Pertanian berkelanjutan harus

dapat memenuhi kriteria keuntungan ekonomi,

keuntungan sosial, dan konservasi lingkungan

secara berkelanjutan pula. Pertanian berkelanjutan

juga merupakan tulang punggung bagi terwujudnya

ketahanan dan kedaulatan pangan.

Kementerian Pertanian telah menyusun

Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian

(SIPP) 2015-2045. Konsep ini dapat dipandang

sebagai awal pencanangan pengembangan

bioekonomi berbasis pertanian, landasan strategis

dalam pembangunan pertanian jangka panjang, dan

mainstreaming perspektif bioekonomi di

Indonesia. Implementasi konsep bioekonomi

melalui pengembangan Sistem Pertanian-

Bioindustri Berkelanjutan secara luas namun

bertahap.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas,

maka perlu dikaji potensi ekonomi kelapa dalam di

Sulbar dalam kerangka bio industri berkelanjutan

sehingga semua produk berbasis kelapa dan

turunannya dapat dimanfaatkan semaksimal

mungkin oleh petani untuk meningkatkan nilai

tambah. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis potensi ekonomi model pertanian

bioindustri kelapa di Kabupaten Majene, Sulawesi

Barat.

METO DO LO GI

Tempat dan Waktu Pelaksanan Penelitian dilakukan di desa Lombong

T imur, kecamatan Malunda, mulai bulan januari

sampai dengan bulan desember 2016.

Metode Penelitian Metode dasar yang digunakan diskriftif

analitif. Analisis ekonomi yang dilakukan pada

penelitian ini meliputi analisis biaya pengolahan

kopra dan tempurung kelapa yang meliputi analisis

biaya, penerimaan, profit dan R/C ratio. Data primer

dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan

menggunakan kuesioner terstruktur terhadap petani

kelapa, pedagang kopra dan pedagang arang

tempurung kelapa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Desa Lombong Timur Desa Lombong T imur Kecamatan

Malunda, Kabupaten Majene merupakan desa

pemekaran dari Desa Lombong pada tahun 2010,

dihuni oleh sekitar 250 KK mempunyai mata

pencaharian utama sebagai petani kelapa. Desa

Lombong T imur terdiri dari empat dusun : dusun

Mosso T imur, dusun Mosso Barat, dusun

Karalembang Barat dan dusun Karalembang

T imur.Selain sebagai pekebun usaha tani lain

masyarakat desa Lombong T imur adalah sebagai

petani padi sawah, peternak dan nelayan. Terdapat

9 kelompok tani dengan bidang kegiatan yang

beraneka ragam, yaitu padi, kelapa, kakao, pisang

dan ternak.

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten

Majene Nomor 7 Tahun 2010 Tentang

Pembentukan Desa Di Wilayah Kabupaten Majene

Pada Bab IV Batas Wilayah Desa Pasal 35 ayat 24

disebutkan bahwa Desa Lombang T imur

mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lombang

Kecamatan Malunda, sebelah selatan berbatasan

dengan Desa Kabiraan Kecamatan Ulumanda,

sebelah timur berbatasan dengan Desa Ulumanda

Kecamatan Ulumanda, dan sebelah barat berbatasan

dengan Desa Lombang Kecamatan Malunda.

Total luas Desa Lombong T imur sekitar

3.42 km2, merupakan desa pemekaran dari Desa

Lombong pada tahun 2010. Jarak Desa Lombong

T imur ke kota Mamuju ( ibu kota Provinsi Sulawesi

Barat ) berjarak 40 km. Perkembangan disektor

pertanian yang dominan adalah perkebunan ( kelapa

dalam, sawit dan kakao), sedangkan di tanaman

pangan adalah padi, jagung, hortikultura (pisang,

mangga) dan sektor peternakan (sapi). Jumlah

kelompok tani yang ada dalam melaksanakan

fungsinya ada 9 kelompok tani yaitu kelompok tani

Busa Kaweni, Pare Dewanta, Matauran 1, Matauran

Page 60: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

162 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168

2, Pandai-pandai, Galung-galung, Sinar Kadita,

Tunas Kelapa, dan Samu Sengakna.

Di Desa Lombong T imur tidak ada

kelompok tani yang khusus kelompok tani kelapa

dalam, karena dari kelompok tani tersebut

merangkap seluruh tanaman, seperti padi, kelapa,

kakao, pisang, jagung, hortikultura dan ternak sapi.

Jumlah anggota kelompok tani rata-rata berjumlah

25 orang anggota yang memiliki kebun kelapa

dalam dengan rata-rata seluas 1 hektar, sebagian

kecil ( 4-5 petani ) yang memiliki lahan kebun

kelapa dalam seluas 10 ha. Secara total luas

tanaman kelapa dalam sekitar 400 ha ( 80% ) dari

total luas tanaman perkebunan, dan sisanya tanaman

kelapa hibrida 20 %. Awalnya tanaman kelapa

hibrida mendapat bantuan dari dinas perkebunan

kabupaten sekitar tahun 1989. Sedangkan umur

kelapa dalam rata-rata sekitar 30 – 45 tahun,

sehingga tanaman kelapa dalam ini relatif sudah

cukup tua dan perlu ada peremajaan, karena mulai

terilat produksi setiap tahunnya menurun. Pada

tahun 1990 luas lahan kebun kelapa dalam di

Lombong T imur sekitar 300 ha, dan pada tahun

2000 an terdapat peningkatan luas kebun menjadi

400 ha sampai tahun 2015. Informasi dari kepala

desa , bahwa pada tahun 2016 ada pencetakan

sawah seluas 11 ha yang merupakan alih fungsi

komoditas dari lahan kelapa dalam dan kebun

kakao.

B. Model Pertanian Bio Industri Berbasis

Tanaman Kelapa

Konsep pertanian bioindustri tanpa limbah

merupakan salah satu strategi untuk peningkatan

nilai tambah dan daya saing serta kesejahteraan

petani. Model ini menuntut setiap lini produk

mempunyai nilai jual, sehingga penggunan sumber

daya menjadi efisien dan dapat menekan biaya

produksi. Melalui model bio industri kelapa limbah

dari budidaya tanaman diubah menjadi pakan

`

Gambar 1.Model Pertanian Bio-Industri Kelapa di Kabupaten Majene

Page 61: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

163 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten

Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)

ternak, dan produk turunan lainnya. Sebaliknya,

limbah peternakan dapat digunakan sebagai

pupuk/kompos, biogas dan biourine yang

memungkinkan peningkatan nilai tambah di setiap

rantai produksi. Usaha yang semula dinilai tidak

layak, dapat menghasilkan produk berdaya saing,

ramah lingkungan. Dengan demikian petani akan

memperoleh tambahan pendapatan. Sistem ini

sangat ramah lingkungan dan mampu memperluas

sumber pendapatan dan menekan risiko kegagalan.

Model pengembangan pertanian bio industri kelapa

di kabupaten Majene dapat dilihat pada Gambar 1.

.Luas areal perkebunan kelapa rakyat di

kabupaten Majene sekitar 5.000 ha dan didominasi

oleh kelapa dalam (80%) dengan poduksi rata-rata

perbulan sekitar 2,5 juta butir kelapa/bulan.

Komponen utama kelapa terdiri dari daging kelapa,

sabut, tempurung dan air kelapa. Daging kelapa

diolah menjadi kopra dengan produk akhir berupa

minyak goreng dan ampas kelapa. Ampas kelapa

dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang

kemudian dari ternak ini dapat diambil kotoran dan

urinenya untuk dikembalikan sebagai pupuk

tanaman kelapa.

Tempurung kelapa dapat dimanfaatkan

sebagai arang kelapa (charcoal) dan penghasil asap

cair. Tempurung kelapa merupakan bahan pembuat

briket, dimana briket ini dapat digunakan sebagai

biofuel bersama dengan kotoran ternak, terutama

sapi. Limbah kelapa yang berupa sabut dapat

digunakan sebagai bahan coco dust dan coco fiber .

Coco dust ini dapat digunakan sebagai kompos

tanaman sekaligus sebagai media tanaman untuk

Tabel 1. Analisis Usaha Pengolahan Kopra di Desa Lombong T imur, Kabupatan Majene.2016

No Komponen Vol Harga Satuan

(Rp) Total

I Biaya

1 Kelapa segar (kg) 500 5,000 2,500,000

2 Tenaga Kerja

- angkut dan packing (HOK) 2 50,000 100,000

- mengupas kelapa (HOK) 2 50,000 100,000

- membakar dan mencungkil kelapa

(HOK) 4 50,000 200,000

3 Alat dan bangunan (sewa) 1 50,000 50,00

Total Biaya (Rp) 2,950,000

II Penerimaan

1 Penjualan Kopra (kg) 335 11,000 3,685,000

III Pendapatan (Rp) 735,000

Keuntungan (Rp) 1,470

IV R/C 0,25

Page 62: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

164 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168

pembibitan kelapa. Sedangkan air kelapa dapat

dimanfaatkan sebagai bahan nata decoco, venegar

dan minuman ringan.

Model pertanian bio industri kelapa yang

sudah berkembang di kabupaten Majene baru pada

pengolahan kelapa menjadi kopra, pengolahan

minyak kelapa dan pengolahan tempurung menjadi

arang aktif. Limbah kelapa yang berupa sabut dan

air kelapa belum dapat dimanfaatkan karena belum

tersedianya teknologi dan peralatan untuk mengolah

sabut dan air kelapa.

A. Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio

Industri Kelapa

Analisis ekonomi pertanian bio industri

yang akan dibahas meliputi usaha pengolahan kopra

dan arang tempurung di desa Lombong T imur,

kecamatan Malunda. Rata-rata Tanaman kelapa

dipanen 4 bulan sekali, sehingga selama satu tahun

petani mampu memanen kelapa selama 3 kali.

Untuk sekali panen petani kelapa mampu memanen

kelapa rata-rata sekitar500 kg/ha. Satu kg kelapa

rata-rata terdiri 3-4 butir sehingga dalam 1 ha bisa

menghasilkan 1500 - 2000 butir kelapa sekali

panen. Petani kelapa lazim menjual kelapa per kg

bukan per butir, hal ini untuk menghindari kelapa

dalam ukuran kecil yang tidak dibeli oleh pedagang.

Satu pohon kelapa dapat menghasilkan sekitar 25

butir kelapa untuk sekali panen. Ukuran dan tingkat

ketuaan kelapa yang dipanen masih belum seragam.

Harga kelapa per butir ditingkat petani sekitar Rp.

2500.

Agribisnis berbasis kelapa yang sudah

berkembang adalah pembuatan kopra, minyak

kelapa dan pembuatan arang tempurung kelapa.

Pembuatan kopra masih dilakukan sendiri-sendiri

oleh petani dengan metode yang masih sederhana.

Pembakaran kopra dilakukan secara manual dengan

dua kali pembakaran menggunakan tungku

pembakaran permanen dan semi permanen. Tungku

pembakaran permanen terbuat dari beton dan

Tabel 2. Analisis Biaya Pengolahan Tempurung Kelapa di Desa Lombong T imur

Kabupaten Majene. 2016

No Komponen Vol Harga Satuan

(Rp) Total

I Biaya

1 Tempurung (kg) 50 400 20,000

2 Tenaga Kerja

- angkut dan packing (HOK) 1 30,000 30,000

- membakar tempurung kelapa (HOK) 1 30,000 30,000

3 Alat dan bahan (paket) 1 20,000 20,000

Total Biaya (Rp) 100,000

II Pemasukan

1 Penjualan Arang tempurung (kg) 45 3,300 148,500

III Pendapatan (Rp) 48,500

Keuntungan (Rp) 97

IV R/C 0.49

Page 63: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

165 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten

Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)

merupakan milik bersama dengan kapasitas sekitar

1000 butir kelapa dengan bahan bakar tungku

adalah sabut kelapa. Terdapat 3 tempat pembakaran

kopra permanen di desa Lombong T imur. Waktu

pembuatan kopra dari saat kelapa butiran dibuang

sabut dan airnya sampai menghasilkan kopra kering

dibutuhkan waktu sekitar 2 hari pengolahan. Satu

kg kopra kering dihasilkan dari sekitar 4 butir

kelapa. Biaya yang dikeluarkan petani dalam

pengolahan kopra ini hanya berupa biaya tenaga

dalam keluarga dan biaya peralatan untuk

mengupas dan mencungkil . Kalau menggunakan

tenaga kerja upahan sistem pembayarannya

menggunakan sistem bagi hasil.

Di desa Lombong T imur terdapat 4 orang pedagang

pengumpul kopra dan mampu menjual kopra

seminggu sekali sebanyak 1 ton untuk

setiappedagang. Pedagang membeli kopra dari

petani kelapa dengan harga kopra Rp. 9.500/kg dan

menjual ke pedagang besar di Makassar seharga Rp.

11.000/kg. Biaya yang dikeluarkan pedagang

pengumpul terdiri dari biaya transport Rp. 40

ribu/kuintal kopra, harga karung Rp. 3.500/buah

dan ongkos timbang Rp. 1000/karung. Terdapat

ikatan bisnis antara pedagang kopra dengan petani

kelapa sehingga petani tidak bisa menjual

kelapanya ke pedagang lain.Pedagang biasa

memberikan pinjaman berupa uang kepada petani

yang membutuhkan, selanjutnya petani akan

membayar dari hasil kopra. Hal ini menyebabkan

petani tidak punya posisi tawar karena harga kopra

sepenuhnya ditentukan oleh pedagang. Harga kopra

di tingkat petani Rp. 9.500/kg dengan kadar air

maksimal 10% dan akan dipotong lagi jika kadar

airnya lebih dari 10%. Penentuan kadar air

dilakukan oleh pabrik (pedagang besar) setelah

kopra disetor dan akan berpengaruh terhadap

pemotongan harga dilevel petani.

Penggunaan tenaga kerja untuk pembuatan kopra

dilakukan dengan 2 sistem, yaitu tenaga kerja dalam

keluarga dan tenaga kerja upahan. Untuk tenaga

upahan sistem pembayaran yang dilakukan adalah

sistem bagi hasil Analisis usaha pengolahan kopra

di desaLombong T imur, Kab. Majene masih

memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,470/kg

(Tabel 1).

Sesuai dengan kapasitas alat pemanggang, untuk

sekali membuat kopra dibutuhkan sekitar 500 kg

kelapa segar dengan waktu pemanggangan 2 hari

Total biaya yang dibutuhkan untuk membeli kelapa,

upah tenaga kerja dan peralatan untuk sekali

pengolahan sebesar Rp. 2,950,000. Dari 500 kg

kelapa segar dapat dihasilkan kopra sebanyak 335

kg dengan harga jual Rp. 11,000/kg

sehingga total penerimaan pengolahan kopra

sebesar Rp. 3,685,000. Keuntungan yang diperoleh

sebesar Rp 1,470/kg kopra dengan nilai R/C ratio =

0,25. Nilai R/C ini masih terlalu kecil sebagai

akibat kapasitas produksi yang masih sedikit, dan

pengolahan yang masih tidak efisien sehingga

kualitas kopra yang dihasilkan masih mengandung

kadar air yang > 10%. Hal ini akan berpengaruh

terhadap harga jual kopra

Agribisnis berbasis kelapa lainya adalah

pembuatan minyak kelapa dan arang tempurung.

Pembuatan minyak kelapa belum dilakukan secara

kontinyu dan baru merupakan usaha sampingan

berdasarkan pesanan. Minyak kelapa yang dikenal

sebagai”minyak mandar” mempunyai prospek yang

bagus karena mempunyai keunggulan aroma

minyak kelapa yang khas. Pembuatan minyak

kelapa mandar masih dilakukan secara tradisional,

sehingga kurang higienis, t idak awet dan

mempunyai kadar kolesterol yang tinggi. Satu liter

minyak kelapa dihasilkan dari sekitar 7-8 butir

kelapa dengan harga Rp. 10.000/liter. Biaya

pembuatan minyak kelapa terdiri dari komponen

tenaga kerja dalam keluarga, peralatan dan bahan

bakar. Total biaya pembuatan minyak kelapa

sekitar Rp. 5000/liter. Di desa Lombong T imur

terdapat tiga orang yang memproduksi arang

tempurung

kelapa. Pedagang arang tempurung mendapatkan

pasokan arang tempurung dari petani kelapa

setempat dengan harga Rp. 400/kg. Setiap hari

pengrajin arang tempurung mampu mengolah

tempurung kelapa sebanyak 50 kg/hari (setara 1

drum).Selain dari desa Lombong T imur pedagang

arang mendapatkan pasokan bahan baku tempurung

Page 64: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

166 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168

dari tetangga desa dengan harga Rp. 350/kg

ditambah biaya transportasi Rp. 50 ribu per mobil

pick up. Pedagang arang tempurung menjual

arangnya melalui pedagang dari luar kabupaten.

Setiap minggu pedagang dari kab. Polman akan

datang ke Lombong T imur untuk mengambil arang

yang diproduksi untuk dibawa ke Mamuju dan

Makasar. Harga jual arang tempurung dilevel

pedagang Rp. 3.300/kg. Biaya pembuatan arang

tempurung kelapa terdiri dari biaya tenaga kerja

dalam keluarga, drum dan minyak tanah. Arang

tempurung digunakan sebagai bahan bakar dan

media tanam.

Ada dua cara membuat arang tempurung,

yaitu dengan menggunakan drum dan dengan

mengunakan lubang tanah sebagai tempat

pembakaran. Keuntungan menggunakan drum hasil

arangnya lebih bersih, dan tahan sekitar 2 tahun.

Kapasitas drum untuk sekali membakar sebanyak

50 kg dan harga drum sekitar Rp. 100 – 150 ribu.

Keuntungan usaha pembuatan arang per kg hanya

sebsar Rp. 97/kg dengan R/C ratio hanya 0.49.

Produk lain yang belum dimanfaatkan adalah air

kelapa dan sabut kelapa. Kelompok tani

mengharapkan ada teknologi untuk pemanfaatan

limbah sabut kelapa mengingat ketersediaan bahan

bakunya melimpah

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengembangan bio industri berbasis

tanaman kelapa di kabupaten Majene masih

dilakukan secara tradisional dan baru sebagian yang

dimanfaatkan, yaitu olahan kopra, minyak kelapa

dan arang tempurung. Sabut dan air kelapa belum

dimanfaatkan sehingga menjadi limbah pertanian.

Pengembangan agribisnis kelapa masih

terkendala teknologi dan diversifikasi produk.

Terdapat hubungan bisnis antara petani dan penjual

kopra, sehingga petani tidak mempunyai posisi

tawar untuk menentukan harga produk. Informasi

harga dan kualitas kopra dikendalikan oleh

pedagang pengumpul dan pedagang

besar.Agribisnis kopra mempunyai prospek untuk

dikembangan dengan pengolahan yang lebih

modern sehingga kopra yang dihasilkan lebih

berkualitas.

Usa pengolahan kopra masih memberikan

keuntungan Rp. 1.470/kg dengan nilai R/C ratio

sebesar 0.25. Nilai R/C ratio yang kecil ini

disebabkan karena kapasitas produksi yang masih

terbatas dan kualitas kopra masih rendah sehingga

harga jualnya murah. Nilai keuntungan kopra akan

meningkat jika ada introduksi teknologi pengolahan

dan efisiensi pengolahan.

Disarankan untuk implementasi model bio

industri kelapa di kabupaten Majene perlu masukan

teknologi terkait budidaya kelapa dan pengolahan

produk turunannya sehingga usaha tani menjadi

lebih efisiien.Perlu kelembagaan pengolahan dan

pemasaran kopra dalam bentuk kelompok usaha,

sehingga petani mempunyai posisi tawar dam

penentuan harga kopra.Perlu bantuan modal usaha

dan introduksi peralatan pengolahan kopra,

sehingga produk yang dihasilkan mempunyai daya

saing.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimkasih kepada Muh. Ricky yang telah

membantu dalam pelaksanaan penelitian sampai

terwujudnya tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. 2005. Pengembangan sistem

integrasi tanaman-ternak bebas limbah di

KP Muara. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Adnyana, M.O., A.K. Makarim, U.D.Djaenudin, I

G.M. Subiksa, B. Haryanto,Marwan, dan

R. T jahjohutomo. 2007. Master Plan dan

Business Plan Merauke Integrated Rice

Estate (MIRE), Kabupaten Merauke,

Papua.

Bamualim, A., Kuswandi, A. Azahari, dan B.

Haryanto. 2008. Sistem Usahatani

Tanaman-Ternak. hlm 19-33. Dalam

Sistem Integrasi Tanaman Pangan-Ternak

Page 65: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

167 Analisis Ekonomi Model Pertanian Bio Industri Berkelanjutan Berbasis Tanaman Kelapa Di Kabupaten

Majene, Sulawesi Barat (Ketut Indrayana, Endro Gunawan, dan Muh. Ricky)

Bebas Limbah. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan,Bogor.

Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian,

2005. Prospek dan Arah Pengembangan

Agribisnis Kelapa.

Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat, 2013.

Sulawesi Barat dalam Angka. Badan

Pusat Statistik. Mamuju.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Majene, 2013.

Majene Barat dalam Angka. Badan Pusat

Statistik. Majene.

BALITKA, 2004. Pascapanen Kelapa. Monograf.

Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain

Manado, C.V. Kunci Berkat -Manado. 116

hal.

Brotosunaryo, O.A.S. 2003. Pemberdayaan petani

kelapa. Prosiding Konfrensi Nasional

Kelapa V. Tembilahan, 22-24 Oktober

2002. Hal 10-16

Damanik, S. 2007. Strategi Pengembangan

Agribisnis Kelapa (Cocos nucifera)

untukMeningkatkan Pendapatan Petani di

Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.Jurnal

PerspektifVolume 4 Nomor 2, Desember

2005 : 71 – 78. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan. Bogor

Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat. 2013.

Statistik Perkebunan. Pemerintah Provinsi

Sulawesi Barat.

Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Barat. 2013.

Profil Potensi Pengolahan Hasil

Komoditas Unggulan Perkebunan

Provinsi Sulawesi Barat

Diwyanto, K. dan B. Haryanto. 1999. Pembangunan

pertanian ramah lingkungan: Prospek

pengembangan ternak pola integrasi

(Suatu konsep pemikiran dan bahan

diskusi). Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan,Bogor.

Diwyanto, K. Bambang, RP. Dan Darwinsyah, L.

2001. Integrasi Tanaman Ternak Dalam

Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya

Saing Berkelanjutan Dan Berkerakyatan.

Disampaikan Pada Seminar Nasional

teknologi Peternakan dan Veteriner.

Puslitbangnak. Bogor.

Hamdani, M. 2008. Sistem Pertaninan Terpadu

untuk peningkatan produktivitas lahan

dan kesejahteraan petani. Makalah.

Workshop Teknologi unutuk Masyarakat.

Gedung KORPRI Serang-Banten, 24

Desember 008. Guntoro S. 2011. Saatnya

Menerafkan Pertanian Tekno-Ekologis.

Sebuah Model Pertanian Masa Depan

untuk Menyikapi Perubahan Iklim. PT.

Agromedia Pustaka

Haryanto Budi, I Inounu., Artsana. B dan K.

Diwyanto. 2002. Panduan teknis Sistem

Integrasi Padi-Ternak. Badan Litbang

Pertanian. Departemen Pertanian.

Haryanto, B., B. Hasan, D. Sisriyenni, A. Batubara,

dan Bestina. 2005. Penerapan teknologi

pemanfaatan jerami padi dan pembuatan

pupuk organik dari usaha pengembangan

sapi potong di Kabupaten Kampar. hlm. 45-

53. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil

Penelitian dan Pengkajian Teknologi

Pertanian, BPTP Riau

Haryono 2014. Dukungan Program Bioindustri dari

Balitbangtan untuk Sukseskan SIPP. Info

Aktual Adm/27 Jan 2014)

Indrajit . L. W., 2008. Pemanfaatan Limbah Ternak

untuk Biogas, Pupuk Cair dan Bahan

Pakan. Fakultas Pertanian Udayana Bali

Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-

Ternak dalam perspektif reorientasi

kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan

pendapatan petani. Analisis Kebiajkan

Pangan. Vol 3 No. 1, Maret 2005. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial

Page 66: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

168 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:159-168

Ekonomi Pertanian. Badan Litbang

Pertanian. Jakarta.

Kusnadi, U. 2007. Inovasi Teknologi Peternakan

Dalam Sistem Integrasi Tanaman dan

Ternak (SITT) Untuk Menunjang

Swasembada Daging Tahun 2010. Orasi

pengukuhan profesor riset Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian.

Nitis, I.M. 1995. Research methodology for

semiarid crop-animal systems in Indonesia.

Crop-Animal Interaction. In C. Devendra

and C. Sevilla (Eds.). IRRI. Discussion

Paper Series No. 6. IRRI, Manila,

Philippines

Makka,D. 2004. Prospek Pengembangan system

integrasi peternakan yang berdaya saing.

Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi

Tanaman-Ternak. Dempasar, 20-22 Juli

2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama

dengan BPTP Bali dan CASREN.hlm.18-

31.

Pantjar Simatupang 2014. Pengembangan program

bioindustri mendukung strategi induk

pembangunan pertanian. |Informasi

BBalitvet |Kamis, 06 Pebruari 2014)

Suswono 2014a. Sektor Pertanian Akan Menjadi

Bio IndustriSabtu, 25 Januari 2014 16:32

wib Dani Jumadil Akhir –

economy.Okezone.com

Tarigans, D. Dekok. 2005. Diversifikasi Usahatani

Kelapa Sebagai UpayaUntuk

Meningkatkan Pendapatan Petani.

Perspektif Volume 4 Nomor 2, Desember

2005 : 71 – 78. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan. Bogor

Page 67: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

169 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering

Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)

EFEKTIVITAS PUPUK ANORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KEDELAI DI LAHAN KERING SULAWESI TENGGARA

Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara

Jalan Prof. Muh. Yamin No. 89, Kotak Pos 55, Kendari 93114

Email: [email protected]

ABSTRACT

Soybean is one of the national strategic superior commodities after rice and corn. Constraints experienced in the

planting area in Southeast Sulawesi are generally the type of soil is Ultisol or Red Yellow Podzolic (RYP). This soil

type is a land with low soil fertility in the form of high acidity, low organic matter content, macro nutri ent deficiency,

high Al saturation, very high Fe content, alkaline saturation and low CEC. Therefore, to get optimal results, soybean

planting in Southeast Sulawesi needs to get additional fertilizer, especially inorganic fertilizers. Based on the results of

the study showed that NPK fertilizer application can increase the height and total dry weight of soybean plants. In

Konawe Selatan, grobogan varieties that were given NPK fertilizer 200 kg/ha produced higher productivity of 1,293

kg/ha compared to the average soybean yield of 1,051 kg/ha. Soybean yields affect the yield of the number of pods

/clumps, the number of empty pods /clumps, the percentage of empty pods weighing 100 seeds and the yield of seeds.

This paper presents how the effect of inorganic fertilizer application on soybean cultivation in Southeast Sulawesi.

Key words: Soybean, inorganic fertilizer, dry land.

ABSTRAK

Kedelai merupakan salah satu komoditas unggulan strategis nasional setelah padi dan jagung. Kendala yang dialami

pada areal penanaman di Sulawesi Tenggara adalah umumnya jenis tanahnya adalah Ultisol atau Podzolik Merah

Kuning (PMK). Jenis tanah ini merupakan tanah dengan kesuburan yang rendah berupa kemasaman yang tinggi,

kandungan bahan organik rendah, kahat hara makro, kejenuhan Al yang tinggi, kadar Fe sangat tinggi, kejenuhan basa

dan KTK rendah. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil optimal, penanaman kedelai di Sulawesi Tenggara perlu

mendapatkan tambahan pupuk terutama pupuk anorganik. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian

pupuk NPK dapat meningkatkan tinggi dan bobot kering total tanaman kedelai. Di Konawe Selatan, varietas grobogan

yang diberi pupuk NPK 200 kg/ha menghasilkan produktivitas lebih tinggi sebesar 1.293 kg/ha dibandingkan rata-rata

hasil kedelai yang hanya 1.051 kg/ha. Tulisan ini menyajikan bagaimana pengaruh aplikasi pupuk anorganik dalam

budidaya kedelai di Sulawesi Tenggara.

Kata kunci: Kedelai, pupuk anorganik, lahan kering.

Page 68: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

170 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:169-180

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas

unggulan strategis nasional setelah padi dan jagung.

Sampai saat ini kedelai merupakan salah satu

sumber protein utama dalam gizi masyarakat

Indonesia, karena biji kedelai memiliki kadar

protein lebih dari 40% danharga yang relatifmurah.

Kondisi demikian yang menyebabkan permintaan

terhadap kedelai setiap tahun terus meningkat.

Berdasarkan data BPS pada tahun 2017 kebutuhan

nasional diperkirakan mencapai 2,7 juta ton atau

naik 15% dari kebutuhan tahun 2016 sekitar 2,85

juta ton. Sementara produksi nasional tahun 2016

telah mencapai 860 ribu ton berat kering dan di

tahun berikutnya 2017 mencapai 786 ton berat

kering. Di sisi lain, produksi kedelai dalam negeri

tidak banyak mengalami peningkatan, tidak mampu

mengimbangi pertumbuhan kebutuhan konsumsi

kedelai, sehingga impor menjadi solusi untuk

menutupi kebutuhan tersebut . Menurut data FAO,

dalam periode 52 tahun terakhir bahwa laju nilai

impor mencapai rata-rata 200%, hal ini

menyebabkan sampai saat ini, swasembada kedelai

belum tercapai (Aldillah, 2015). Tahun 2018 telah

dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia

dalam hal ini Kementerian Pertanian sebagai tahun

swasembada kedelai.

Wilayah sentra produksi kedelai saat ini

tersebar di beberapa provinsi. Pada periode 2010-

2015, ada 7 provinsi kontributor utama produksi

kedelai nasional (Pusdatin, 2015), yakni Jawa

T imur (351,92 ribu ton = 39,74%), Jawa Tengah

(124,23 ribu ton = 14,03%), Nusa Tenggara Barat

(94,33 ribu ton = 10,65%), Jawa Barat (77,55 ribu

ton = 8,76%), Aceh (52,78 ribu ton = 5,96%),

Sulawesi Selatan (44,80 ribu ton = 5,06%) dan DI

Yogyakarta (28,41 ribu ton = 3,21%). Hal ini sangat

wajar karena kondisi agroekologi di ke 7 sentra

produksi tersebut cukup sesuai untuk

pengembangan kedelai. Saat ini provinsi Sulawesi

Tenggara bukan merupakan sentra produksi kedelai,

namun secara potensial provinsi ini cukup sesuai

untuk pengembangan kedelai.

Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki luas

wilayah 38.067,7 km2 yang terdiri dari lahan kering

seluas 562,263 ha. Luas panen tanaman kedelai di

Sulawesi Tenggara pada tahun 2015 adalah sebesar

7888 ha, dengan produksi 12 799 ton dan

produktivitas sebesar 16,23 kw/ha. Nilai produksi

dan produktivitas tersebut masih jauh dari

kebutuhan nasional (BPS, 2017). Kontribusi

Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap nasional

cenderung berfluktuatif dari 1,62 persen pada tahun

2013, menjadi 0,60 persen pada tahun 2014, dan

meningkat lagi menjadi 0,82 persen pada tahun

2015 (Putra, 2015). Akan tetapi, kontribusi provinsi

Sulawesi Tenggara masih kurang dari 2%. Hal ini

terjadi karena produksi kedelai masih menemui

banyak kendala. Salah satu kendala yang dialami

pada areal penanaman di Sulawesi Tenggara adalah

umumnya jenis tanahnya adalah Ultisol atau

Podzolik Merah Kuning (PMK). Jenis tanah ini

merupakan tanah dengan kesuburan tanah yang

rendah berupa kemasaman yang tinggi, kandungan

bahan organik rendah, kahat hara makro, kejenuhan

Al yang tinggi (Sujana dan Pura, 2015), kadar Fe

sangat tinggi, kejenuhan basa dan KTK rendah

(Sudaryono et al., 2011). Selain itu, terbatasnya

ketersediaan air pada lahan kering menjadi faktor

penghambat yang sangat perlu diperhatikan dalam

pemanfaatan lahan pertanian untuk menunjang

produksi yang optimal.

Melihat kondisi kesuburan lahan tersebut,

secara umum kedelai sangat membutuhkan

tambahan pupuk untuk mendapatkan hasil yang

optimal. Untuk menghasilkan 1 ton biji kedelai

dibutuhkan sebanyak 70 kg N, 7 kg P dan 43 kg K

per hektar (Manshuri,2012). Dengan mem-

perhitungkan kondisi kesuburan tanah di Sultra,

maka dosis pupuk anorganik NPK yang optimal

pada tanaman kedelai adalah 200 kg per hektar

(Nugroho dan Sarjoni, 2013) atau 225 kg per hektar

(Wahab et al., 2017).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk

melihat pengaruh dan efektivitas pemupukan

anorganik dalam meningkatkan produktivitas

kedelai di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan hasil

penelitian Nugroho dan Sarjoni (2013)

menunjukkan bahwa beberapa varietas kedelai

diantaranya varietas Detam 2, Detam 1, Kaba,

Tanggamus, Grobogan dan Argomulyo yang diberi

Page 69: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

171 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering

Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)

pemupukan dengan dosis pupuk NPK 200 kg/ha

yang ditanam di Kabupaten Konawe Selatan

Sulawesi Tenggara dapat mempengaruhi terhadap

respon hasil berupa jumlah polong/rumpun, jumlah

polong hampa/rumpun, persentase polong hampa,

bobot 100 biji dan hasil biji.

Tujuan penulisan ini adalah untuk

membahas efektivitas pupuk anorganik dalam

meningkatkan produktivitas kedelai di lahan kering

Sulawesi Tenggara, dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

DESKRIPSI TANAMAN KEDELAI

Tanaman kedelai (Glycine max L.) dapat

memberikan respons positif dan negatif terhadap

perubahan lingkungan tumbuh baik di atas tanah

maupun di dalam tanah. Respons tersebut dapat

diketahui dari perubahan fenotipik dan fisiologis

tanaman. Kondisi lingkungan di dalam tanah yang

berperan terhadap pertumbuhan kedelai terutama

diantaranya kadar air tanah dan unsur hara, unsur-

unsur toksik, suhu tanah, kemasaman tanah dan

salinitas. Kebutuhan air tanaman kedelai pada fase

generatif lebih tinggi dibandingkan pada fase

vegetatif, sehingga pada fase generatif lebih peka

terhadap kekeringan terutama pada fase

pembungaan hingga pengisian polong. Kandungan

air optimal adalah 70–85% dari kapasitas lapangan.

Kandungan unsur hara tanah harus di atas batas

kekahatan agar tanaman tumbuh optimal. Nilai

kritis suatu unsur hara dalam tanah beragam

tergantung jenis tanah dan metode analisis yang

digunakan. Pengaruh suhu tanah terutama pada fase

perkecambahan, dan suhu tanah optimal adalah 24,2–32,8°C.

Tabel 1. Beberapa varietas unggul baru (VUB) kedelai berdaya hasil t inggi (2,5 t/ha) dan

biji besar (10 g).

No. Nama Varietas Tahun

Dilepas

Potensi Hasil

(t/ha)

Ukuran Biji

(g/100 butir)

Umur Panen

(hari)

1 Kawi 1998 2,80 10,50 88

2 Burangrang 1999 2,50 17,00 82

3 Merubetiri 2002 3,00 14,00 95

4 Baluran 2002 3,50 17,00 80

5 Ratai 2004 2,70 10,50 90

6 Rajabasa 2004 3,90 15,00 85

7 Argopuro 2005 3,05 17,80 84

8 Arjasari 2005 4,68 22,00 100

9 Deta-1 2008 3,45

14,84 84

10 Detam-2 2008 2,96 13,54 82

11 Grobogan 2008 3,40 18,00 76

12 Kipas Merah Bireuen 2008 3,50 12,00 90

13 Mitani 2008 3,20 12,80 90

14 Mutiara 1 2010 4,10 23,20 82

Sumber: Suhartina, 2010.

Page 70: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

172 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180

Kedelai agak sensitif terhadap kemasaman tanah,

unsur-unsur toksik, dan salinitas. Nilai kritis pH, Al,

Mn, dan salinitas berturut -turut adalah pH 5,5, Al-

dd 1,33 me/100g, Mn 3,3 ppm, dan 1,3 dS/m (Taufiq dan Sundari, 2012).

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian telah melepas beberapa varietas unggul

baru (VUB) kedelai yang mempunyai ukuran biji

besar dan potensi hasil t inggi serta kualitas

kandungan protein dan lemak cukup baik (Tabel 1

dan 2). Hasil uji adaptasi beberapa VUB kedelai

memperlihatkan bahwa beberapa varietas (Kawi,

Burangrang, Merubetiri, Baluran, Ratai, Rajabasa,

Argopuro, Arjasari, Deta-1, Detam-2, Grobogan,

Kipas Merah Bireuen, Mitani dan Mutiara 1) cukup

adaptif untuk dibudidayakan di Sulawesi Tenggara

dengan produktivitas antara 2,5-4,68 ton/ha

(Suhartina, 2010; Nugroho dan Sarjoni, 2013;

Wahab et al., 2017). Hasil ini menunjukkan bahwa

secara umum kedelai dapat dikembangkan di lahan

kering Sulawesi Tenggara.

Potensi Lahan Kering Sulawesi Tenggara untuk

Pengembangan Kedelai

Sulawesi Tenggara merupakan lahan

suboptimal bagi pengembangan tanaman kedelai.

Namun, tergolong lahan potensial untuk penanaman

tanaman pangan lahan kering. Luas lahan kering di

Sulawesi Tenggara adalah 562 263 ha. Lahan kering

pada tahun 2016 di Sulawesi Tenggara, tercatat

80,74 persen penggunaan lahan pertanian dan 19,26

persen lahan bukan pertanian. Dari lahan pertanian

tersebut, 3,33 persen merupakan lahan sawah dan

77,41 persen merupakan lahan pertanian bukan

sawah. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan

bahwa ketersediaan areal penanaman cukup luas

terutama bagi budidaya tanaman kedelai. Hal ini

ditunjang dengan peta sebaran lahan potensial untuk

pengembangan padi, jagung dan kedelai di Sulawesi

Tenggara (Gambar 2). Kendala utama bagi

pengembangan kedelai di Sulawesi Tenggara

adalah rendahnya kesuburan tanah dan ketersediaan

air bagi pertumbuhan dan produktivitas tanaman

kedelai. Umumnya lahan pertanian di Sulawesi

Tabel 2. Komposisi kimia tepung dari varietas unggul baru (VUB) kedelai berdaya hasil

t inggi (2,5 t/ha) dan biji besar (10 g)

No. Nama Varietas Kadar (%)

Lemak Protein

1 Kawi 17,50 38,50

2 Burangrang 20,00 39,00

3 Merubetiri 22,00 40,00

4 Baluran 22,00 40,00

5 Ratai 11,70 42,20

6 Rajabasa 19,93 39,62

7 Argopuro 25,10 28,10

8 Arjasari 18,65 43,15

9 Deta-1 33,06 45,36

10 Detam-2 14,83 45,58

11 Grobogan 18,40 43,90

12 Kipas Merah Bireuen 20,00 30,00

13 Mitani 20,48 42,56

14 Mutiara 1 13,80 37,70

Sumber: Suhartina, 2010.

Page 71: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

173 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering

Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)

Tenggara didominasi oleh Ultisol. Tanah Ultisol

memiliki pH tanah masam, miskin hara, kejenuhan

Al tinggi, dan miskin cadangan mineral mudah

lapuk, karena proses pencucian yang intensif.

Kesuburan alami tanah ini hanya bergantung pada

kadar bahan organik lapisan atas (Hikmatullah dan

Suryani, 2014). Salah satu cara yang

direkomendasikan oleh pemerintah dan

Kementerian Pertanian adalah inovasi teknologi.

Pemberian pupuk dengan dosis yang tepat

merupakan salah satu bagian dari inovasi teknologi

dalam berusahatani kedelai. Akan tetapi, paket

pemupukan dengan respon terbaik bagi

pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai

pada lahan kering di Sulawesi Tenggara belum

banyak dilakukan, sehingga petani belum banyak

mengadopsi inovasi teknologi yang ada.

Lahan-lahan potensial di Sulawesi

Tenggara telah banyak dimanfaatkan baik untuk

pertanian maupun non pertanian sehingga peluang

peningkatan produksi tanaman kedelai melalui

perluasan areal penanaman sudah sulit untuk

dilakukan. Dapat dilihat sebaran lahan potensial

Gambar 2. Peta sebaran lahan potensial untuk pengembangan padi, jagung

dan kedelai di Sulawesi Tenggara (Hikmatullah dan Suryani, 2014)

Page 72: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

174 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180

padi, jagung dan kedelai di Sulawesi Tenggara

(Gambar 2), sehingga sentra penanaman kedelai

tersebar di beberapa kabupaten seperti Kabupaten

Konawe Selatan, Buton Utara, Konawe dan Kolaka

dengan produksi pada masing-masing kabupaten

adalah 4526, 3239, 1719 dan 1667 ton, sedangkan

luas panen terdiri dari 2439, 2273, 892 dan 891 ha.

Sementara produktivitas pada Kabupaten Konawe

Selatan, Buton Utara, Konawe dan Kolaka adalah

18.56, 14.25, 19.27 dan 18.71 kw/ha.

Tenggara (Hikmatullah dan Suryani, 2014)

Kedelai memerlukan syarat tumbuh

tertentu dari unsur-unsur lingkungan diantaranya

iklim, ketersediaan air, dan kondisi tanah. Kriteria

Tabel 3. Kriteria kesesuaian lahan tanaman kedelai

Karakteristik

Tingkat Kesesuaian Lahan

S1

(sangat sesuai)

S2

(sesuai)

S3

(agak sesuai)

N

(tidak sesuai)

Suhu

Suhu rata-rata oC

23-28

29-30

22-20

21-32

19-18

>32

<18

Ketersediaan air

Bulan kering (<75 mm) 3-7,5 7,6-8,5 8,6-9,5 >9,5

Curah hujan

Rata-rata (mm/th)

1000-1500

1500-2500

1000-700

2500-3500

700-500

>3500

<500

Lingkungan akar

Drainase Cukup baik

Baik

Agak berlebihan Jelek - >Jelek Sangat jelek

Tekstur tanah lapisan atasX) L, S, CL, SiL,

Si, CL, SiCL

SL, SC LS, SiC, C G, S, Mass. C

Kedalaman tanah (cm) >50 30-49 15-29 <15

Retensi hara

KTK (me/100 g) >25 25-15 15-5 <5

Ph 6,0-7,0 7,1-7,5

5,9-5,5

7,6-8,5

5,4-5,0

>8,5

<20

Ketersediaan hara

N total (%) >1,0-0,5 0,5-0,2 0,2-0,1 <0,1

P2O5 tersedia (Bray 4) (ppm) >50 50-15 <15 <5

P2O5 tersedia (Olsen 3) (ppm) >15 15-5 <5 <2

K tersedia (me/100 g) 0,8-0,4 0,4-0,2 0,2-0,03 <0,03

Salinitas/keragaman

(mmhos/cm)

Lapis tanah bawah <2,5 2,5-4 4-8 >8

Kemiringan lahan (%) 0-5 5-15 15-20 >20

Kejenuhan Al (Al/KTK) % <20 20-30 30-40 >40

Sumber CSR-FAO, 1983; Landon, 1984 dalam Sudaryono, 2007 Keterangan: X) Tekstur : Clay © = lempung, Clay loam (CL) = geluh berlempung, Loam (L) = geluh, Sandy clay loam (SCL)

= geluh lempung berpasir, Sandy clay (SC) = lempung berpasir, Sandy loam (SL) = geluh berpasir, Silt (Si) =

debu, Silty Clay (SiC) = lempung berdebu, Silt loam (SiL) = geluh berdebu, Sand (S) = pasir, Gravels (G) =

berbatu, Massive clay (Mass. C) = lempung pejal.

Page 73: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

175 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering

Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)

kesesuaian lahan untuk usahatani kedelai dibagi

menjadi empat, yaitu: sangat sesuai (S1), sesuai

(S2), kurang sesuai (S3) dan tidak sesuai (N) (Tabel

3).

Tabel 3. Kriteria kesesuaian lahan tanaman kedelai

Berdasarkan Tabel 3. menunjukkan bahwa

lahan kering di Sultra termasuk kategori S3 dengan

ketentuan perlu adanya input untuk menaikkan

tingkatan kesesuaian lahan. Hal ini disebabkan oleh

bentuk topografi Sulawesi Tenggara umumnya

memiliki permukaan tanah yang bergunung,

bergelombang dan berbukit -bukit (BPS, 2017;

Hikmatullah dan Suryani, 2014). Namun, diantara

gunung dan bukit -bukit, terbentang dataran-dataran

yang merupakan daerah potensial untuk

pengembangan sektor pertanian. Permukaan tanah

pegunungan telah banyak digunakan untuk usaha.

Tanah ini sebagian besar berada pada ketinggian

100-500 meter di atas permukaan laut dan pada

kemiringan tanah yang mencapai 40 derajat (BPS,

2017). Selain itu, lahan kering Sultra memiliki nilai

KTK tanah berkisar 15-5 me/100 g tanah yang

tergolong rendah (Asmin dan Syamsiar, 2005) dan

N-Total yang tergolong rendah yakni berkisar 0,2-

0,1% (Zulfikar, 2013) serta suhu rata-rata di

Sulawesi Tenggara yang berkisar 21-320C (Tabel

4.).

Tabel 4. Suhu, kelembapan udara, tekanan udara, kecepatan angin, curah hujan, dan zona agroklimat

provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010-2016

Periode Stasiun

Suhu

udara

rata-

rata

(0C)

Kelembaban

udara rata-

rata

(%)

Tekanan

udara

(mb)

Kecepata

n Angin

(knot)

Curah

hujan

tahunan

(mm)

Jumlah bulan berturut-turut

Zona

Agrokli

mat

Basah

(>200 mm)

Lembab

(100-200 mm)

Kering

(<100 mm)

2016 Kendari 27,60 84 1010,0 - 2113,3 4 4 4 D2

Bau-Bau 28,06 79 1013,8 - 2063,8 5 3 4 D2

Ranomeeto 27,01 86 1010,5 - 2570,9 4 7 1 D2

2015 Kendari 26,91 82,58 1012,98 - 1595 5 2 5 D2

Bau-Bau 27,70 76,00 1014,6 3,2 1468,7 2 4 6 E3

Lanud Wolter

Monginsidi

- 78,5 1008,0 3,7 2183,7 5 2 5 C3

2014 Kendari 26,8 74,7 1010,1 - 2263,6 5 2 5 D3

2013 Kendari 27,04 84,41 1009,74 5,85 2618,4 5 4 3 D2

2012 Kendari 27 83 1010 6 1549 - - - -

Bau-Bau 28 81 1014 8 1833 - - - -

Ranomeeto 27 78 1009 4 2053 - - - - Pomalaa 28 74 1007 - 1940 - - - -

2011 Kendari 27,5 84 1007 2 1511 2 5 5 E3

Bau-Bau - - - - 2114,80 5 3 4 D2

Buton - - - - 2705 7 1 3 B2 Raha - - - - 970 - 4 8 E3

Pomalaa - - - - 1580,50 3 5 4 E3

Andoolo - - - - 2427 5 7 - E3

2010 Kendari 28 85 1011,2 2 2859,30 8 4 - B1

Bau-Bau - - - - 3149,60 7 4 1 C2 Buton - - - - 3432 7 4 1 D3

Raha - - - - 2602 4 5 3 D3

Pomalaa - - - - 3951,80 9 3 - B1

Sumber: BPS (2011-2017), Lakitan (1994).

Page 74: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

176 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180

Kebutuhan air untuk tanaman kedelai pada

lahan kering, Lakitan (1994) menyusun zone

agroklimat menurut metode Oldeman berdasarkan

jumlah bulan basah dan bulan kering yang terjadi

secara berturut -turut. Zona A, B1, B2, C1, C2, C3,

D1, D2 yang tergolong beriklim basah, sedangkan

zona D3, D4, E3 dan E4 yang tergolong beriklim

kering. Periode bulan basah dengan curah hujan

berkisar > 200 mm/bulan dan bulan lembab berkisar

100-200 mm/bulan air merupakan periode dengan

kategori air yang cukup terutama bagi tanaman

kedelai. Pada curah hujan < 100 mm/bulan air atau

bulan kering merupakan periode tidak tersedia

(tidak mencukupi) air bagi tanaman kedelai, kecuali

dengan menggunakan fasilitas irigasi atau air tanah

dangkal. Oleh karena itu, dengan mengetahui

periode ketersediaan air maka dapat merancang

musim tanam/kalender tanam. Daerah yang

potensial untuk pengembangan tanaman kedelai

berdasarkan Tabel 4. adalah wilayah Ranomeeto

dan Buton. Hal ini ditandai dengan besarnya curah

hujan yang dimiliki dengan intensitas bulan kering

yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan

wilayah lainnya.

Peran Pupuk Anorganik dalam Pertumbuhan

dan Produksi Kedelai

Pemberian pupuk anorganik dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai. Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian Nainggolan et al.

(2017) bahwa pupuk NPK memberikan

pertumbuhan terbaik terutama dapat meningkatkan

tinggi tanaman dan bobot kering total tanaman

kedelai. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Subhan

et al. (2009) bahwa penambahan serapan N, P dan

K melalui NPK (15-15-15) per ha memberikan

tingkat pertumbuhan tanaman tertinggi.

Aplikasi pupuk NPK pada saat tanam

merupakan cara yang efektif dan efisien dalam

peningkatan hasil kedelai (Kuntyastuti dan

Sutrisno, 2017). Akan tetapi, penggunaan pupuk

NPK dalam jangka panjang tidak mampu mengatasi

permasalahan kekurangan gizi bagi tanaman. Hal

ini disebabkan oleh penggunaan pupuk NPK dapat

menyebabkanpenurunan kapasitas penampungan

air, mempengaruhi stabilitas makro-agregat tanah,

dan kemampuan tanah berkurang dalam

mempertahankan kelembaban tanah (Liu et al.

2013), pH tanah menurun (Belay et al. 2002),

danbahan organik dan nutrisi (total N) konten juga

ikut menurun (Zhang et al. 2008, 2012). Beberapa

hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk

kimia secara terus menerus dapat menurunkan

populasi mikroba tanah (Qin et al. 2015) dan

aktivitas cacing tanah (Guo et al. 2016), yang pada

akhirnya kualitas kesuburan tanah menjadi menurun

(Kuntyastuti dan Sutrisno, 2017).

Pemberian pupuk dengan kandungan fosfor

225 kg/ha mampu meningkatkan pertumbuhan dan

hasil tanaman kedelai pada lahan ultisol Bengkulu.

Pupuk fosfor dapat memberikan nilai terbaik pada

variabel pengamatan tinggi tanaman, jumlah polong

bernas, bobot polong total dan bobot polong bernas

(Bertham, 2002).

Peranan nitrogen bagi tanaman adalah

memperbesar ukuran daun dan meningkatkan

presentase protein. Besarnya ukuran daun dan

banyaknya protein akan meningkatkan berat kering

berat kering tanaman, namun jika terjadi tanaman

kehilangan air yang banyak maka dapat

menurunkan berat kering tanaman (Meitasari dan

Wicaksono, 2017).

Efektivitas Pupuk Anorganik dalam

Meningkatkan Produksi Kedelai

Pengembangan kedelai di lahan kering

masam tidak dapat lepas dari kendala kemasaman

tanah yang bersumber dari aluminium (Al) dan

senyawa besi (Fe). Komponen pemupukan terutama

penambahan hara P dan K perlu mendapat perhatian

karena ketersediaan P dan K di lahan kering masam

umumnya rendah (Sudaryono, 2007). Tanaman

kedelai membutuhkan unsur hara berupa N, P, dan

K dalam jumlah yang banyak untuk meningkatkan

produksi tanaman. Penentuan status hara P dan K

tanah dapat menggunakan analisis tanah dengan

metode Bray-1. Sedangkan untuk penambahan hara

Page 75: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

177 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering

Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)

N dapat menggunakan dosis pupuk antara 54- 80 kg

N/ha (Permadi, 2014).

Pemupukan pada tanaman kedelai pada

lahan kering masam dianjurkan dengan pemakaian

50-100 kg Urea + 50-150 kg SP36 + 50-100 KCl/ha

diberikan pada saat tanam dengan ditabur menurut

barisan tanaman. Selain itu, dianjurkan menambah

2-5 ton pupuk kandang/ha dan diberikan dengan

cara disebar merata. Jenis dan takaran pupuk dapat

berubah sesuai dengan tingkat kesuburan tanah

(Sudaryono, 2007). Selain itu, kebutuhan pupuk

kalium untuk mencapai hasil maksimum pada

tanaman kedelai di lahan ultisol Deli Serdang,

Sumatera Utara adalah 210, 190, dan 150 kg

KCl/ha, sedangkan untuk mencapai hasil optimum

hanya 85, 2, dan 0 kg KCl/ha masing-masing untuk

kelas K tanah rendah, sedang, dan tinggi

(Nursyamsi, 2006).

Penggunaan varietas unggul merupakan

salah satu keberhasilan dalam sistem usahatani

kedelai. Varietas Grobogan dan Argomulyo mampu

beradaptasi dengan baik pada lahan kering Podzolik

Merah Kuning dengan kondisi cekaman kekeringan,

dibandingkan varietas Detam 2, Detam 1, Kaba dan

Tanggamus. Dengan dosis pupuk NPK yang

diberikan sebesar 200 kg/ha produktivitas varietas

Grobogan adalah 1.293 kg/ha, lebih tinggi dari rata-

rata hasil kedelai di Konawe Selatan yang hanya

1.051 kg/ha.(Tabel 5) (Nugroho dan Sarjoni, 2013)

Pemberian aplikasi pupuk 60 kg Urea/ha +

60 kg TSP/ha + 20 ton pupuk kandang /ha +

Azospirillum 108 cfu/g tanah + Glomus fasiculatum

3000 spora/g tanah menunjukkan pertumbuhan dan

hasil tertinggi dibanding paket pemupukan lainnya.

Selain itu, paket ini memberikan hasil yang lebih

tinggi dibandingkan dengan paket resmi

rekomendasi (100 kg Urea/ha + 100 kg TSP /ha +

Rhizobium) (Astiko, 2018).

Penggunaan pupuk kimia dapat

meningkatkan produksi kedelai.Namun,

penggunaan pupuk anorganik tidak terlepas dari

penggunaan pupuk organik yang berperan dalam

melestarikan lingkungan dan untuk pertanian yang

berkelanjutan. Penggunaan aplikasi pupuk dengan

perbandingan komposisi 50% pupuk kascing + 50%

pupuk kimia dapat membantu meningkatkan

produksi kedelai, tetapi tidak dapat menggantikan

Tabel 5. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong, jumlag polong hampa, persentase

polong hampa, bobot 100 biji dan hasil bibi beberapa varietas kedelai di Kecamatan Kolono,

Kabupaten Konawe Selatan tahun 2012.

Variabel Varietas

Grobogan Tanggamus Kaba Argomulyo Detam 1 Detam 2

T inggi tanaman

(cm)

40,0 a 41,8 a 44,4 a 45,0 a 50,0 a 58,0 a

Jumlah cabang 2,7 a 1,8 a 1,2 b 2,3 a 1,7 ab 2,4 a

Jumlah polong/

rumpun (buah)

74,2 a 63,1 a 31,5 b 65,5 a 35,3 b 64,4 a

Jumlah polong

hampa/ rumpun

(buah)

6,5 a 5,3 a 14,8 b 8,3 a 4,6 a 13,0 a

Persentase polong

hampa

8,8 a 8,4 a 47,1 c 12,7 a 13,0 a 20,2 b

Bobot 100 biji

(gram)

17,0 a 10,9 b 12,5 b 14,7 a 16,3 a 14,1 a

Hasil biji (kg/ ha) 1293,0 a 633,7 ab 266,5 b 852,0 b 509,6 b 756,7 ab Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNT

Sumber: Nugroho dan Sarjoni, 2013.

Page 76: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

178 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180

kebutuhan pupuk kimia sepenuhnya (Damanik et

al., 2013).

Upaya pengenalan budidaya kedelai

dilakukan melalui program Pengelolaan Tanaman

Terpadu (PTT), dimana komponen teknologi yang

diperkenalkan termasuk juga pemupukan. Kegiatan

SL-PTT kedelai dilakukan di salah satu sentra

pengembangan kedelai Sulawesi Tenggara pada

tahun 2014, yakni Kabupaten Buton Utara.

Produktivitas kedelai hasil display VUB di

Kabupaten Buton Utara yaitu: Anjasmoro 16,7

ku/ha, Argomulyo 11,3 ku/ha, Burangrang 15,2

ku/ha, Grobogan 16,3 ku/ha dan Wilis 12,9 ku/ha.

Hal ini menunjukkan bahwa hasil pendampingan

PTT kedelai spesifik lokasi 2014 dapat dijadikan

sebagai acuan untuk rekomendasi dalam usahatani

kedelai di Sulawesi Tenggara. Jika dibandingkan

dengan produktivitas kedelai secara umum di

Sulawesi Tenggara yaitu 0,5–1,05 t/ha, berarti

dengan penerapan PTT spesifik lokasi,

produktivitas kedelai di Sulawesi Tenggara bisa

ditingkatkan menjadi 1,1–1,67 t/ha atau 45-64%

(Rusdi, 2014).

KESIMPULAN

Dari hasil t injauan ini dapat disimpulkan bahwa

lahan kering di Sulawesi Tenggara cukup potensial

untuk pengembangan tanaman kedelai. Peningkatan

pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai

memerlukan tambahan input pupuk anorganik yang

tepat untuk mencapai produktivitas kedelai yang

maksimal. Pemberian pupuk NPK dapat

meningkatkan tinggi dan bobot kering total tanaman

kedelai. Di Konawe Selatan, varietas grobogan

yang diberi pupuk NPK 200 kg/ha menghasilkan

produktivitas lebih tinggi sebesar 1.293 kg/ha

dibandingkan rata-rata hasil kedelai yang hanya

1.051 kg/ha. Faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan produktivitas tanaman kedelai antara

lain faktor iklim, tanah dan teknologi budidaya

tanaman kedelai (pemupukan anorganik spesifik

lokasi lahan kering di Sulawesi Tenggara).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan

kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian yang telah memberikan

kesempatan kepada kami untuk ikut dalam program

pembinaan penulisan karya tulis ilmiah dan Dr. Ir.

Muchamad Yusron, M.Phil yang telah membimbing

dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aldillah R. 2015. Proyeksi Produksi dan Konsumsi

Kedelai Indonesia. Jurnal Ekonomi

Kuantitatif Terapan. 8(1): 9-23.

Asmin dan Syamsiar. 2005. Pemanfaatan lahan

kering dengan pemanfaatan cropping system .

Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian.

Hal. 50-58.

Astiko, W. 2018. Pengaruh paket pemupukan

terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman

kedelai di lahan kering. Crop Agro, Scientific

Journal of Agronomy. 2(2):115-122.

Belay, A., Claassens, A., dan F. Wehner. 2002.

Effect of direct nitrogen and potassium and

residual phosphorus fertilizers on soil

chemical properties, microbial components

and maize yield under long-term crop

rotation. Biol Fert Soils 35 (6): 420-427.

Bertham, R.Y.H. 2002. Respon tanaman kedelai

[Glycine max(L.) Merril] terhadap

pemupukan fosfor dan kompos jerami pada

tanah ultisol. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian

Indonesia. 4(2):78-83.

[BPS] Badan Pusat Statistik, 2011. Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Tenggara.

[BPS] Badan Pusat Statistik, 2012. Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Tenggara.

[BPS] Badan Pusat Statistik, 2013. Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Tenggara.

[BPS] Badan Pusat Statistik, 2014. Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Tenggara.

[BPS] Badan Pusat Statistik, 2015. Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.

Page 77: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

179 Efektivitas Pupuk Anorganik dalam meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Kering

Sulawesi Tenggara (Siti Rahmah Karimuna dan Abdul Wahab)

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Tenggara.

[BPS] Badan Pusat Statistik, 2016. Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Tenggara.

[BPS] Badan Pusat Stat istik, 2017. Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Tenggara.

Damanik, B.S.J, Satwiko, T ., dan R.R. Lahay. 2013.

Tanggap pertumbuhan dan produksi beberapa

varietas kedelai (Glycine max L.) terhadap

perbandingan komposisi pupuk. Jurnal

Online Agroekoteknologi. 1(4):1413-1423.

Guo, L., Wu, G., Li, Y., Li, C., Liu, W., Meng, J.,

and G. Jiang. 2016. Effects of cattle manure

compost combined with chemical fertilizer on

topsoil organic matter, bulk density and

earthworm activity in a wheat -maize rotation

system in Eastern China. Soil T ill Res

156:140-147.

Hikmatullah dan E. Suryani. 2014. Potensi

Sumberdaya Lahan Pulau Sulawesi

Mendukung Peningkatan Produksi Padi,

Jagung, dan Kedelai. Jurnal Sumberdaya

Lahan Edisi Khusus: 41-56.

Kuntyastuti, H., dan Sutrisno. 2017. Effect of

manure, Phosphate Solubilizing Bacteria, and

chemical fertilizer application on the growth

and yield of soybean. Nusantara Bioscience.

9(2): 126-132. DOI:

10.13057/nusbiosci/n090203.

Lakitan, B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Liu, C.A., Li, F.R., Zhou, L.M., Zhang, R.H., Yu,

J., Lin, S.L., and F.M. Li. 2013. Effect of

organic manure and fertilizer on soil water

and crop yields in newly-built terraces with

loess soils in a semi-arid environment. Agric

Water Manag 117: 123-132.

Manshuri, A.G. 2012. Optimasi Pemupukan NPK

pada Kedelai untuk Mempertahankan

Kesuburan Tanah dan Hasil T inggi di Lahan

Sawah. Iptek Tanaman Pangan . 7(1): 38-46.

Meitasari A.D., dan K.P. Wicaksono. 2017.

Inokulasi rhizobium dan perimbangan

nitrogen pada tanaman kedelai (Glycine max

(L.) Merril) varietas Wilis. Plantropica

Journal of Agricultural Science. 2(1): 55-63.

Nainggolan, A., Guritno, B., dan T . Islami. 2017.

Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan

terhadap pertumbuhan dan hasil tanaamn

kedelai (Glycine max (L.) Merill). Jurnal

Produksi Tanaman5(6): 999-1006.

Nugroho, C., dan Sarjoni. 2013. Pertumbuhan dan

hasil beberapa varietas kedelai pada lahan

kering podzolik merah kuning di kabupaten

Konawe Selatan. Prosiding Seminar Hasil

Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan

Umbi. Hal 67-72.

Nursyamsi, D. 2006. Kebutuhan hara kalium

tanaman kedelai di tanah ultisol. Jurnal Ilmu

Tanah dan Lingkungan .6(2): 71-81.

Permadi, K. 2014. Implementasi Pupuk N, P, dan K

untuk Mendukung Swasembada Kedelai.

Agrotrop. 4(1): 1-6.

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian Kementerian Pertanian. 2015.

Outlook Komoditas Pertanian Subsektor

Tanaman Pangan, Kedelai. Pusat Data dan

Sistem Informasi Pertanian Kementerian

Pertanian.

Putra, A.A. 2015. Seri analisis pembangunan

wilayah provinsi Sulawesi Tenggara 2015.

Hal. 1-

40.http://www.academia.edu/34459322/Anal

isis_Provinsi_Sulawesi_Tenggara _2015_ok.

Rusdi, 2014. Pendampingan SL-PTT Kedelai di

Sulawesi Tenggara. Laporan Tahunan BPTP

Sultra TA. 2014. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Sulawesi Tenggara. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Kementerian Pertanian. Hal 72-74.

Subhan, Nurtika N., dan Gunadi. 2009. Respons

tanaman tomat terhadap penggunaan pupuk

majemuk NPK 15-15-15 pada tanah Latosol

pada musim kemarau. J. Hortikultura. 19 (1):

46-47.

Sudaryono. 2007. Inovasi Rekayasa Teknologi

Pengelolaan Tanaman Terpadu Kedelai.

Buletin Palawija. 13:16-28.

Sudaryono, Wijanarko, A., dan Suyamto. 2011.

Efektivitas kombinasi ameliorant dan pupuk

kandang dalam meningkatkan hasil kedelai

Page 78: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

180 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:169-180

pada tanah ultisol. Penelitian Pertanian

Tanaman Pangan. 30(1):43-51.

Suhartina. 2010. Deskripsi Varietas Unggul

Kacang-Kacangan dan Ubi-Ubian. Balitkabi.

179 hal.

Sujana, I.P., dan I.N.L.S. Pura. 2015. Pengelolaan

tanah ultisol dengan pemberian pembenah

organik biochar menuju pertanian

berkelanjutan. Agrimeta. 5(9):1-9.

Taufiq, A., dan T . Sundari. 2012. Respons Tanaman

Kedelai terhadap Lingkungan Tumbuh.

Buletin Palawija. 23: 13-26.

Qin, H., Lu, K., Strong, P.J., Xu, Q., Wu, Q., Xu,

Z., and H. Wang. 2015. Long-term fertilizer

application effects on the soil, root arbuscular

mycorrhizal fungi and community

composition in rotation agriculture. Appl Soil

col 89: 35-43.

Wahab, A., Baharuddin, Asmin, Sarjoni, Dahya,

Basri, Qodri, A., dan A.R. Sery. 2017. Kajian

perbaikan usahatani teknologi kedelai pada

lahan kering di Sulawesi Tenggara. Laporan

Akhir Tahun 2017. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian. Balai Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Kementerian

Pertanian 2017.

Zhang, Q.C., Shamsi, I.H., Xu, D.T ., Wang, G.H.,

Lin, X.Y., Jilani, G., and A.N. Chaudhry.

2012. Chemical fertilizer and organic manure

inputs in soil exhibit a vice versa pattern of

microbial community structure. Appl Soil

Eco l57: 1-8.

Zhang, W., Xu, M., Wang, B., and X. Wang. 2008.

Soil organic carbon, total nitrogen and grain

yields under long-term fertilizations in the

upland red soil of southern China. Nutr Cycl

Agroecosyst 84 (1): 59-69.

Zulfikar, 2013. Efek Residu Bahan Organik dan

Pupuk Kalium terhadap Pertumbuhan dan

Produksi Kacang Buncis (Phaseolus vulgaris

L.) pada Tanah Ultisol. Tesis. Program

Pascasarjana, UHO. Kendari.

Page 79: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

181Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)

ANALISIS USAHATANI DAN PERSEPSI PETANI TERHADAPVARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO DI KABUPATEN BOYOLALI

Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa TengahJalan Soekarno-Hatta Km. 26 No. 10 Bergas, Kab. Semarang Jawa Tengah

Email :[email protected]

ABSTRACT

Farm Analysis and Farmers’ Perception Towards High Yielding Varieties of Upland Rice in BoyolaliDistrict.Upland rice productivity is still low so it needs to be improved using new high yielding varieties (HYVs). TheHYVs of upland rice already known by farmers are Inpago7, Inpago 8, Inpago 9 and Slegreng (local varieties). Thestudy aims to know the feasibility farming and the farmer’s perceptions of the performance of Inpago 7, Inpago 8 andInpago 9. The study was conducted in Singosari Village, Mojosongo Subdistrict, Boyolali District in April - June 2017.The data were collected through survey methods on 30 farmers. To determine the the feasibility of upland rice farmingwith of the approach of cost and income structure, the perceptions and preferences of farmers were analyzed usingscoring techniques and descriptive analysis. The results of the analysis showed that the highest of upland riceproductivity was obtained in Inpago 9, followed by Inpago 8, Slegreng and Inpago 7. From the performance of plants,farmers had high perceptions of Inpago 9 varieties because they had the highest productivity and early maturity whilefarmer preferences highest in Inpago 8 because it has a fluffy rice flavor, bright color and fragrant. Therefore, Inpago 8and Inpago 9 varieties are feasible to be developed in Boyolali District.

Keywords: upland rice varieties, farming system, perception

ABSTRAK

Produktivitas padi gogo yang masih rendah dapat ditingkatkan menggunakan varietas unggul baru (VUB).VUB padi gogo yang sudah dikenal petani adalah Inpago7, Inpago 8 dan Inpago 9. Kajian ini bertujuan untukmengetahui kelayakan usahatani dan persepsi petani terhadap keragaan VUB padi gogo Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9dan varietas lokal (Slegreng). Kajian dilaksanakan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali padabulan April – Juni 2017. Pengumpulan data melalui metode survei pada 30 petani padi. Untuk mengetahui kelayakanusahatani dengan pendekatan struktur biaya dan pendapatan, sedangkan persepsi dan preferensi petani dengan teknikskoring dan analisis deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa produktivitas padi gogo tertinggi diperoleh padavarietas Inpago 9, diikuti Inpago 8, Slegreng dan Inpago 7. Dari keragaan tanaman, petani mempunyai persepsi yangtinggi terhadap varietas Inpago 9 karena mempunyai produktivitas tertinggi dan berumur genjah, sedangkan preferensipetani tertinggi pada Inpago 8 karena rasa nasi yang pulen, berwarna cerah dan beraroma harum. Oleh karena itu,varietas Inpago 8 dan Inpago 9 layak dikembangkan di Kabupaten Boyolali.

Kata kunci: varietas padi gogo, usahatani, persepsi

Page 80: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

182 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191

PENDAHULUAN

Kebutuhan pangan pokok bagi pendudukIndonesia, terutama beras sebagian besardipenuhi dari produksi lahan sawah. Kebutuhanberas setiap tahun meningkat, sementara lahansawah sulit diperluas karena terjadinya alih fungsilahan dan adanya indikasi pelandaian produksipadi sawah (Tarigan et al., 2013). Untukmenyikapi persoalan tersebut makapengembangan dan pemanfaatan lahan keringdapat digunakan untuk menunjang kecukupanpangan masyarakat.

Lahan kering merupakan salah satusumber daya lahan yang potensial untukpengembangan beberapa jenis tanaman pangan.Berdasarkan data Pusdatin (2017), potensi lahankering di Kabupaten Boyolali dalam kurun waktu5 tahun terakhir (2012-2016) rata-rata meningkat0,46%/tahun, yaitu dari 29.024 ha pada tahun2012 menjadi 29.840 ha pada tahun 2016. Potensilahan kering tersebut masih dapat dimanfaatkanuntuk mengembangkan tanaman padi gogo.

Nazirah dan Damanik (2015)menyebutkan bahwa lahan kering dapatdimanfaatkan untuk memperluas areal tanam padimelalui pengembangan padi gogo.Pengembangan padi gogo di lahan kering dapatsecara monokultur maupun tumpangsari dengantanaman pangan lainnya. Pemanfaatan lahankering untuk pengembangan dan peningkatanproduksi padi gogo sangat prospektif mengingatpola pengembangan padi gogo oleh petani relatifmasih sederhana sehingga tingkat produksi yangdiperoleh masih cukup rendah, yaitu 2,56 ton/ha(Fitria dan Ali, 2014; Munawwarah dan Nurbani,2016). Dengan masih rendahnya implementasiteknologi di tingkat petani maka peningkatanproduksi padi gogo masih dapat ditingkatkan.

Sumbangan dan peranan padi gogoterhadap pemenuhan kebutuhan panganmasyarakat masih bisa ditingkatkan. Sampai saatini masih terdapat kesenjangan hasil antaraproduktivitas padi gogo tingkat petani dengan

potensi hasilnya. Produktivitas padi gogo diKabupaten Boyolali rata-rata 2,71 ton/ha lebihrendah dari rata-rata produktivitas padi gogo diJawa Tengah, yaitu 4,28 ton/ha (BPS, 2017),sedangkan potensi hasil padi gogo 8 – 9 ton/ha.Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padigogo, selain kondisi lahan suboptimal sepertikekeringan dan kekurangan unsur hara,disebabkan juga varietas yang digunakan petaniadalah varietas lokal yang sudah ditanam secaraturun temurun (Pasolon et al., 2017).

Salah satu upaya meningkatkanproduktivitas padi gogo dengan menggunakanVarietas Unggul Baru (VUB) yang mempunyaipotensi hasil lebih tinggi. VUB merupakan salahsatu komponen teknologi yang berperan pentinguntuk meningkatkan produksi baik dari segikuantitas maupun kualitas. Hal ini terkait dengansifat-sifat varietas unggul padi gogo yang berdayahasil tinggi, tahan terhadap penyakit utama, umurgenjah, dan rasa nasi enak (pulen) dengan kadarprotein relatif tinggi (Hambali dan Lubis, 2015).

VUB padi gogo yang telah dilepas danberpotensi hasil tinggi adalah Inpago 7, Inpago 8dan Inpago 9. Pengenalan dan demplotpercontohan VUB padi gogo telah dilakukankepada petani di Kabupaten Boyolali pada tahun2016/2017. Dengan melihat potensi hasil VUByang diperoleh, maka petani mempunyai pilihanuntuk mengembangkan varietas sesuai dengankondisi agroklimat dan kesukaan petani (Minarsihet al., 2013). Oleh karena itu untuk mengetahuipotensi VUB padi gogo di Kabupaten Boyolaliperlu dilakukan kajian keragaan hasil dan responpetani terhadap VUB padi gogo dengan tujuanmengetahui struktur biaya dan keuntunganusahatani padi gogo, mengetahui persepsi sertapreferensi petani terhadap keragaan tanaman danrasa nasi VUB padi gogo.

Page 81: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

183Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Kegiatan dilaksanakan di Desa Singosari,Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali padabulan April-Juni 2017. Penentuan lokasidilakukan secara sengaja (purposive) denganpertimbangan Desa Singosari pernah menjadipercontohan penanaman VUB padi gogo padaMH 2016/2017.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah dataprimer dan data sekunder. Data primerdikumpulkan dengan metode survei terhadap 30petani yang menanam padi gogo varietas Inpago7, Inpago 8, Inpago 9 dan varietas lokal(Slegreng). Jenis data primer yang dikumpulkanmeliputi: 1) data input dan output usahatani padigogo, 2) persepsi petani terhadap keragaantanaman VUB padi gogo, dan 3) preferensi petaniterhadap keragaan tanaman dan rasa nasi. Datasekunder diperoleh dari BPS Provinsi JawaTengah dan Pusdatin Kementerian Pertanian danbeberapa hasil penelitian sebelumnya.

Metode Analisis Data

Struktur Biaya dan Pendapatan UsahataniPadi Gogo

Untuk mengetahui struktur biaya danpendapatan usahatani padi gogo denganpendekatan penggunaan input produksi, biayausahatani dan pendapatan dari setiap VUB padigogo. Pendapatan usahatani padi gogo dianalisisdengan analisis finansial (Darus et al., 2015;Asnawi dan Ratna, 2016; Asaad et al., 2017)sebagai berikut:

ߨ = ݔ) ) − ∑( ݔ ௐ )

Keterangan:

ߨ = keuntungan usahatani (Rp/ha)Q = jumlah gabah yang dihasilkan (Rp/kg GKG)Pq = harga gabah yang dihasilkan (Rp/kg GKG)W = jumlah input produksi ke-i (kg, HOK)

PWi = harga input produksi ke-i (Rp/kg,Rp/HOK)

Kelayakan usahatani padi gogo dihitungdengan formula sebagai berikut (Rusdi danAsaad, 2016):

ܥܤ =൫ ݔ ൯−∑( ݔ ௐ )

∑(ݔ ௐ )

Dari nilai yang diperoleh, apabila BCR > 1 berartiinovasi VUB padi gogo layak dikembangkan danapabila BCR < 1 berarti inovasi VUB padi gogotidak layak dikembangkan.

Persepsi dan Preferensi Petani TerhadapInovasi VUB Padi Gogo

Respon petani terhadap inovasi VUBpadi gogo dilihat dengan cara mengetahuipersepsi dan preferensi petani. Persepsi petanidata yang dikumpulkan merupakan data ordinaldan dianalisis dengan teknik skoring. Teknikskoring juga digunakan oleh Hendrawati et al.(2012) untuk mengukut tingkat persepsi petaniterhadap penggunaan benih padi unggul diKabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dataordinal yang diperoleh selanjutnya dianalisissecara deskriptif.

Persepsi petani terhadap introduksi VUBpadi gogo dinilai dengan 8 indikator, yaitu: i)tingkat produksi, ii) tinggi tanaman, iii) umurtanaman, iv) jumlah anakan produktif, v) jumlahgabah/malai, vi) ketahanan terhadap hama danpenyakit, vii) ketahanan terhadap kerebahan sertaviii) tingkat kepulenan nasi. Penentuan nilai rata-rata skor dari setiap pernyataan dan interval kelasdigunakan rumus sebagai berikut:

Rata-rata skor = total skor/jumlah responden

Interval kelas = (nilai tertinggi – nilaiterendah)/jumlah kelasinterval

Page 82: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

184 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191

Persepsi petani terhadap introduksi VUBpadi gogo dikategorikan dalam 3 (tiga) kelas,yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kategori tingkatpersepsi tersebut menggunakan skala interval,yaitu persepsi tinggi (skala 50,67 – 65,00),persepsi sedang (skala 33,33 – 50,66), danpersepsi rendah (skala 22,00 – 36,32). Keragaanpersepsi petani terhadap indikator introduksiVUB padi gogo menggunakan teknik PerceptualMapping, yaitu dengan membuat grafik saranglaba-laba yang merupakan nilai jumlah dalam

bentuk grafik dua dimensi (Theresia et al., 2016).

Evaluasi preferensi petani terhadapinovasi VUB padi gogo dilaksanakan denganmendapatkan data/informasi preferensi petaniterhadap keragaan tanaman dan keragaan beraspadi gogo VUB Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, danvarietas lokal Slegreng. Data yang dikumpulkanmerupakan data ordinal menggunakan teknikskoring, selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

Preferensi petani terhadap keragaantanaman dinilai dengan 10 indikator, yaitu: i)hasil panen/produktivitas, ii) tinggi tanaman, iii)umur tanaman, iv) daun bendera, v) jumlahanakan produktif, vi) jumlah gabah/malai, vii)ketahanan terhadap hama dan penyakit, viii)ketahanan terhadap kerebahan, ix) bentuk gabah,dan x) warna gabah. Preferensi petani terhadapkeragaan beras dinilai dengan lima indikator,yaitu: i) warna nasi, ii) bentuk nasi, iii) aromanasi, iv) tekstur/kepulenan nasi, dan v) rasa nasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Usahatani Padi Gogo

Petani padi gogo di lokasi kegiatanmengembangkan 4 varietas yang ditanam padaMH 2016/2017, yaitu varietas lokal (Slegreng),dan VUB padi gogo, yaitu Inpago 7, Inpago 8 danInpago 9. Rata-rata penggunaan input produksiuntuk usahatani padi gogo ditampilkan padaTabel 1.

Penggunaan benih padi pada usahatanipadi gogo varietas Inpago 7, Inpago 8 dan Inpago9 adalah 30 kg/ha, sedangkan varietas Slegrengbenih yang digunakan petani sebanyak 40 kg/ha.Perbedaan ini disebabkan adanya kekhawatiranpetani terhadap daya tumbuh benih dan adanyakebutuhan bibit untuk mengganti tanaman yangrusak (penyulaman). Pemakaian benih Slegrengini sama dengan pemakaian benih petani diKabupaten Morowali (Sari, 2010) dan diKabupaten Banjar Kalimantan Selatan (Zuraida,2014), yaitu sebanyak 40 kg/ha.

Petani yang menanam VUB padi gogo dilokasi kegiatan menggunakan pupuk Ureasebanyak 120 kg/ha dan pupuk Phonska sebanyak400 kg/ha. Penggunaan pupuk tersebut berbedajika dibandingkan dengan varietas lokal(Slegreng), yaitu pupuk Urea 550 kg/ha, Phonskasebanyak 250 kg/ha dan ZA sebanyak 100 kg/ha.

Perbedaan yang mencolok yaitu padapenggunaan pupuk Urea antara varietas Slegrengdan VUB padi gogo Inpago, yaitu berbeda

Tabel 1. Penggunaan input produksi per hektar pada usahatani padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2016/2017

Jenis Input ProduksiVarietas Padi Gogo

Slegreng Inpago 7 Inpago 8 Inpago 91. Benih (kg) 40 30 30 302. Pupuk (kg):

a. Urea 550 120 120 120b. Phonska 250 400 400 400c. ZA 100 - - -

3. Tenaga kerja (HOK) 69 69 65 65Sumber: Data primer, 2017

Page 83: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

185Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)

sebanyak 430 kg/ha. Pemupukan padi gogomenggunakan Urea dan Phonska juga dilaporkanoleh Fitria dan Ali (2014) bahwa petani diKabupaten Aceh Besar menggunakan 100 kgUrea dan 300 kg Phonska pada sistem usahatanipadi gogo.

Penggunaan tenaga kerja relatif samapada keempat varietas, yaitu berkisar antara 65 –69 HOK. Penggunaan tenaga kerja tersebut sesuaidengan penggunaan tenaga kerja pada usahatanipadi gogo di Kabupaten Banjar, Kaliman Selatansebanyak 60 HOK (Zuraida, 2014). Tenaga kerjadigunakan untuk kegiatan pembersihan danpengolahan lahan, tanam, penyulaman,penyiangan, pemupukan dan pengendalianhama/penyakit tanaman serta panen. Tenaga kerjayang digunakan berasal dari luar keluarga,terutama untuk kegiatan pengolahan lahan, tanamdan panen, sedangkan kegiatan pemeliharaan(penyulaman, pemupukan, penyiangan danpengendalian hama/penyakit tanaman) dikerjakanoleh tenaga kerja dalam keluarga.

Berbeda dengan usahatani padi ladang diKecamatan Sidomulyo, Kabupaten LampungSelatan penggunaan tenaga kerja sebanyak 51,17HOK. Perbedaan pemakaian tenaga kerja dapatdisebabkan adanya perbedaan penggunaan inputproduksi dan sistem usahatani yang dilakukanpetani (Noer et al., 2018).

Adanya pemakaian input produksi yangberbeda menyebabkan terjadinya perbedaandalam biaya usahatani. Besar kecilnya biayausahatani ditentukan oleh jumlah dan jenis inputyang digunakan. Biaya usahatani padi gogodisajikan pada Tabel 2.

Dilihat dari biaya input produksi padausahatani padi gogo terlihat bahwa upah tenagakerja menduduki proporsi tertinggi dari strukturbiaya usahatani, yaitu lebih dari 65% (68,45 –71,4 %), diikuti dengan biaya pemupukan antara15,89 – 24,00%. Demikian pula proporsi upahtenaga kerja pada penelitian Fitria dan Ali (2014)sebesar 39,77 – 41,42% dari total biaya usahatani,sedangkan proporsi biaya pemupukan berkisarantara 24,48 – 25,49%. Secara keseluruhan biayatertinggi diperoleh pada usahatani padi gogovarietas lokal (Slegreng), yaitu Rp 7.560.000,diikuti varietas Inpago 7 sebesar Rp 7.478.000,varietas Inpago 8 sebesar Rp 6.913.000, danInpago 9 sebesar Rp 6.823.000.

Produktivitas gabah yang diperoleh darikeempat varietas tersebut, yaitu Inpago 9sebanyak 4,71 ton/ha GKG, Inpago 8 sebanyak4,48 ton/ha GKG, Slegreng sebanyak 2,62 ton/haGKG dan Inpago 7 sebanyak 2,47 ton/ha GKG(Tabel 3). Rendahnya produktivitas varietasInpago 7 dikarenakan pada saat tanamanmemasuki fase generatif ditemukan gejala

Tabel 2. Rata-rata biaya per hektar usahatani padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2017

Jenis Input ProduksiBiaya Varietas Padi Gogo (Rp)

Slegreng Inpago 7 Inpago 8 Inpago 91. Benih (kg) 200.000 (2,65) 270.000 (3,61) 360.000 (5,21) 270.000 (3,96)2. Pupuk (kg):

a. Urea 1.045.000 (13,82) 228.000 (3,05) 228.000 (3,30) 228.000 (3,34)b. Phonska 600.000 (7,94) 960.000 (12,84) 960.000 (13,89) 960.000 (14,07)c. ZA 170.000 (2,25) - - -

3. Pestisida 370.000 (4,89) 545.000 (7,29) 490.000 (7,09) 490.000 (7,18)4. Tenaga kerja (HOK) 5.175.000 (68,45) 5.175.000 (69,20) 4.875.000 (70,52) 4.875.000

(71,45)Jumlah 7.560.000 7.478.000 6.913.000 6.823.000

Keterangan: *) Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap biaya total usahataniSumber: Data primer, 2017

Page 84: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

186 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191

serangan hama dan penyakit dengan intensitasserangan yang lebih tinggi dibandingkan varietaslainnya. Supriyo et al. (2014) menyatakan bahwasalah satu kendala yang dihadapi petani diKabupaten Boyolali untuk meningkatkanproduktivitas padi gogo adalah tingginyaserangan penyakit blas. Padi gogo Inpago 7ditengarai kurang tahan terhadap seranganpenyakit blas sehingga produksi yang dihasilkanlebih rendah.

Berbeda dengan penelitian Yuliani et al.(2017) bahwa padi gogo varietas Inpago 7memiliki ketahanan yang lebih baik terhadapserangan penyakit dibandingkan Inpago 8 danInpago 9. Perbedaan ini dapat disebabkan olehfactor lingkungan yang berbeda bagiperkembangan dan pertumbuhan padi gogoInpago 7. Meskipun lebih tahan terhadapserangan penyakit, produktivitas Inpago 7 yangdiperoleh lebih rendah dibandingkanproduktivitas Inpago 8 dan Inpago 9, yaitu 4,6ton/ha dibandingkan 5,2 ton/ha.

Rata-rata produktivitas padi gogo yangdiperoleh dari hasil kegiatan di KabupatenBoyolali masih lebih rendah dari produktivitaspadi gogo di Kabupaten Aceh Besar, yaitu rata-rata 4,93 ton/ha GKG (Fitria dan Nasir, 2014),namun lebih tinggi dari produktivitas padi gogoyang diperoleh di Kabupaten Pandeglang, Bantenyaitu rata-rata 2,60 ton/ha GKG (Yuniarti, 2015).Tinggi rendahnya produktivitas padi gogo dapat

dipengaruhi oleh tingkat kesuburan lahan,perbedaan iklim dan cuaca serta perbedaan dalammenggunakan input produksi (Nazirah danDamanik, 2015).

Pada tingkat harga yang berlaku pada saatkegiatan, yaitu Rp 4.000/kg GKG makakeuntungan yang diperoleh petani bervariasiantara Rp 2.382.000 – Rp 12.592.000. Dari sisikelayakan usahatani, usahatani padi gogo varietasInpago 9 mempunyai nilai BCR tertinggi, yaitu1,76, diikuti Inpago 8 dengan BCR = 1,59,varietas Slegreng dengan BCR = 0,39 dan varietasInpago 7 dengan BCR = 0,32. Dari nilai BCRyang diperoleh mengindikasikan bahwa varietasInpago 9 dan Inpago 8 mempunyai kelayakanyang tinggi untuk dikembangkan di daerahkegiatan. Nilai BCR > 1 juga diperoleh padapenelitian Noer et al. (2018) pada usahatani padiladang di Lampung Selatan sebesar 1,15.

Persepsi Petani terhadap Keragaan VUB PadiGogo

Varietas Unggul padi gogo (Inpago 7,Inpago 8 dan Inpago 9) merupakan varietas padigogo unggul baru yang diperkenalkan kepadapetani. Padi gogo yang diperkenalkan akanditerapkan/digunakan petani apabila petanimempunyai persepsi yang baik (positif/tinggi)terhadap VUB padi gogo. Persepsi yang baik akanmempengaruhi petani dalam mengambilkeputusan untuk mengembangkan VUB padi

Tabel 3. Rata-rata keuntungan per hektar usahatani padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2017

UraianVarietas Padi Gogo

Slegreng Inpago 7 Inpago 8 Inpago 91. Produksi:

a. Jumlah (kg GKG) 2.620 2.465 4.475 4.710b. Harga (Rp/kg) 4.000 4.000 4.000 4.000c. Nilai (Rp) 10.480.000 9.860.000 17.900.000 18.840.000

2. Biaya (Rp/ha) 7.560.000 7.478.000 6.913.000 6.823.0003. Keuntungan (Rp) 2.920.000 2.382.000 10.987.000 12.017.0004. BCR 0,39 0,32 1,59 1,76

Sumber: Data primer, 2017

Page 85: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

187Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)

gogo pada musim tanam berikutnya (Rohaeni etal., 2012; Pratama dan Swastika, 2016).

Persepsi petani terhadap keragaan VUBPadi Inpago 7, Inpago 8 dan Inpago 9 disajikanpada Gambar 1. Petani memiliki persepsi yangtinggi terhadap Inpago 8 dan Inpago 9 karenasebagian besar parameter dinilai oleh petanidengan skala lebih dari 71. Varietas Inpago 8

yang ditunjukkan oleh garis warna merahdipersepsikan tinggi oleh petani karena memilikihasil/produksi padi yang tinggi. Produksi gabahyang tinggi pada VUB Inpago 8 didukung olehjumlah anakan produktif banyak, jumlah gabahper malainya tinggi, serta tahan terhadap hamadan penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapatNazirah dan Damanik (2015) yang mendapatkanjumlah dan panjang malai padi gogo Inpago 8terbanyak dibandingkan jumlah malai pada padigogo Inpago 4 dan Inpago 5.

Dari segi tingkat kepulenan nasi, petanimemiliki persepsi yang tinggi terhadap VUBInpago 8 karena memiliki tekstur nasi pulendibandingkan VUB Inpago 9. Namun dari sisiumur tanaman petani memiliki persepsi yang

rendah terhadap Inpago 8 karena memiliki umurpaling panjang, yaitu ± 119 hari. Pada umumnyapetani lebih memilih varietas dengan umur genjahagar cepat panen. Varietas Inpago 8 jugadipersepsikan rendah pada keragaan tinggitanaman yang rata-rata mencapai 122 cm,keragaan tanaman yang terlalu tinggi tersebutmenyebabkan Inpago 8 dipersepsikan palingmudah rebah (roboh).

Varietas Inpago 9 yang ditunjukkan olehgaris warna hijau dipersepsikan tinggi oleh petanikarena hasil/produksi gabah tinggi, keragaantinggi tanaman sangat disukai oleh petani karenakokoh dan tidak terlalu tinggi atau terlalu pendekyaitu tinggi tanaman rata-rata 115 cm sehinggatanaman tidak mudah rebah, umur tanaman palinggenjah yaitu 109 hari, jumlah anakan produktifpaling banyak, jumlah gabah per malai tinggiserta paling tahan terhadap hama/penyakit.Namun, petani memiliki persepsi yang rendahterhadap tingkat kepulenan nasi karena rasa nasidari beras Inpago 9 memiliki rasa lebih pera.

Varietas Inpago 7 yang ditunjukkan olehgaris warna biru secara umum dipersepsikan lebihrendah oleh petani dengan penilaian pada skala 30

Gambar 1. Persepsi petani terhadap keragaan VUB padi inpago di Kabupaten Boyolali, 2017

Page 86: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

188 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191

– 50 dibandingkan Inpago 8 dan inpago 9. Petanimemiliki persepsi bahwa Inpago 7 memilikiproduksi yang rendah akibat jumlah anakanproduktifnya sedikit dan jumlah gabah per malairendah, bahkan dipersepsikan lebih rendahdibandingkan varietas eksisting (Slegreng).Inpago 7 dipersepsikan paling tidak tahanterhadap serangan hama dan penyakit sehinggapertumbuhan tanaman tidak optimal danproduktivitasnya rendah. Namun petani memilikipersepsi yang tinggi pada ketahanannya terhadapkerebahan. Hal ini sangat sesuai dengan deskripsivarietas Inpago 7 yang memiliki keragaan tinggitanaman hanya 107 cm. Berdasarkan kedelapanparameter yang diuji, petani masih menganggappenting parameter hasil/produksi padi, ketahananterhadap hama/penyakit serta umur tanaman.

Preferensi Petani terhadap KeragaanTanaman dan Keragaan Beras Padi Gogo

Preferensi petani terhadap VUB padiInpago 7, Inpago 8 dan Inpago 9 menjadi dasarpetani dalam memilih varietas mana yang palingdisukai (preferensi). Tingkat kesukaan (preferensipetani) terhadap keragaan tanaman maupunkeragaan beras padi gogo disajikan pada Gambar2 dan Gambar 3.

Berdasarkan keragaan tanaman padigogo, secara berurutan petani paling menyukaivarietas Inpago 9, kemudian Inpago 8, Inpago 7dan terakhir varietas Slegreng (varietas lokal).Tingkat kesukaan petani yang tinggi terhadapInpago 9 dan Inpago 8 tersebut terbentuk darihasil persepsi yang tinggi terhadap Inpago 9 danInpago 8.

Preferensi petani terhadap sampel nasidari beberapa varietas padi dilakukan melaluipengujian menggunakan alat indra yang bersifatsubjektif. Preferensi responden terhadap karakternasi dari beberapa VUB padi gogo secarakeseluruhan sulit untuk mendapatkan penilaianyang objektif, karena preferensi adalah selerasehingga preferensi masyarakat akan berbeda-beda di setiap daerah. Setiap VUB padi gogomemiliki karakteristik tersendiri dan berbedaantar varietas. Karakteristik dan perbedaan yangunik tersebut mencakup cita rasa, aroma, warna,zat gizi, dan komposisi kimia (Yang et al., 2010).

Gambar 3 memperlihatkan preferensipetani/tingkat kesukaan petani terhadap keragaannasi yang pertama adalah Inpago 8, diikuti Inpago9, Inpago 7 dan varietas lokal (Slegreng). Inpago8 memiliki warna nasi cerah, aroma harum danrasa nasi enak dengan tekstur pulen. Inpago 9

Gambar 2. Preferensi petani terhadap keragaan VUB padi gogo di Kabupaten Boyolali, 2017

Page 87: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

189Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)

memiliki warna nasi cerah, rasa nasi enak dengantekstur nasi lebih pera (keras) dibanding Inpago 7dan Inpago 8 dan aroma harum. Inpago 7memiliki warna nasi cerah, rasa nasi enak dengantekstur paling pulen, aroma harum namun teksturberas agak pecah (banyak beras patah). Slegrengmemiliki warna nasi cerah, aroma harum, rasanasi enak dengan tekstur lebih pera (keras). Rasanasi ini sama dengan pendapat Yuliani et al.(2017) bahwa Inpago 9 memiliki tekstur nasisedang, sedangkan Inpago 7 dan Inpago 8memiliki tekstur nasi pulen.

Preferensi responden terhadap variabelrasa secara keseluruhan sangat dipengaruhi olehpreferensi responden terhadap variable yang lain,warna dan aroma. Hal ini sejalan denganSetyowati dan Kurniawati (2015) bahwakesukaan terhadap rasa terutama ditentukan olehtingkat kepulenan, kemekaran, tekstur, warna,rasa, dan aroma nasi.

KESIMPULAN

Varietas padi gogo yang memilikiproduktivitas tertinggi, adalah Inpago 9, yaitu4,71 ton/ha GKG dengan keuntungan Rp12.017.000, sedangkan produktivitas terendah

adalah Inpago 7 dengan produktivitas 2,47 ton/haGKG dan keuntungan Rp 2.382.000. Darikeragaan tanaman, petani mempunyai persepsiyang tinggi terhadap varietas Inpago 9 karenaproduktivitas tinggi dan berumur genjah. Padaaspek rasa nasi, petani mempunyai preferensiyang tinggi pada Inpago 8 karena nasi yangberwarna cerah, beraroma harum dan rasa nasiyang lebih enak/pulen. Oleh karena itu padi gogovarietas Inpago 9 dan Inpago 8 layak untukdikembangkan di Kabupaten Boyolali.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepadaIr. Tri Budi S sebagai PPL Desa Singosari,kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali atasperan sertanya dalam pengambilan data sertawawancara kepada petani responden.

DAFTAR PUSTAKA

Asaad, M., Sri Bananiek S., Warda, dan Z.Abidin. 2017. Analisis petani terhadappenerapan tanam jajar legowo padi sawahdi Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajiandan Pengembangan Teknologi Pertanian,20(3): 197 – 207.

Gambar 3. Preferensi Petani terhadap Keragaan Nasi VUB Padi Gogo di Kabupaten Boyolali, 2017

Page 88: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

190 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019:181-191

Asnawi, R dan W.A. Ratna. 2016. Kajian jajartanam jejer manten dan pupuk hayatipada usahatani padi sawah di KabupatenPesawaran Provinsi Lampung. JurnalPengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian, 19(2): 93 – 102.

Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi JawaTengah dalam angka 2017. Badan PusatStatistik Provinsi Jawa Tengah.

Darus, S. Bahri, dan U. Paman. 2015. Analisisusahatani padi sawah di KecamatanRambah Samo Kabupaten Rokan Hulu.Jurnal Dinamika Pertanian, XXX(2): 171– 176.

Fitria, E dan M.N. Ali. 2014. Kelayakan usahatanipadi gogo dengan pola pengelolaantanaman terpadu (PTT) di KabupatenAceh Besar, Provinsi Aceh. Widyariset,17(3): 425 – 434.

Hambali, A dan I. Lubis. 2015. Evaluasiproduktivitas beberapa varietas padi.Buletin Agrohorti, 3(2): 137-145.

Hendrawati, E., E. Yurisnthae, dan Radian. 2012.Analisis persepsi petani dalampenggunaan benih padi unggul diKecamatan Muara Pawan, KabupatenKetapang. Jurnal Social Economic ofAgriculture, 3(1): 53 – 57.

Minarsih, A., B. Prayudi, dan Warsito. 2013.Keragaan beberapa varietas unggul barupadi sawah irigasi dengan menerapkanpengelolaan tanaman terpadu (PTT) diKabupaten Klaten. Prosiding SeminarNasional Menggagas KebangkitanKomoditas Unggulan Lokal Pertaniandan Kelautan. Fakultas PertanianUniversitas Trunojoyo Madura. p. 582 –587.

Munawwarah, T dan Nurbani. 2016. AdaptasiVUB padi gogo pada agroekosistemlahan kering dataran rendah diKalimantan Timur. Prosiding Seminar

Nasional Hasil_Hasil PPM IPB 2016. p.112 - 122.

Nazirah, L dan B.S.J. Damanik. 2015.Pertumbuhan dan hasil tiga varietas padigogo pada perlakuan pemupukan. J.Floratek, 10: 54 – 60.

Noer, S.C., W.A. Zakaria, K. Murniati. 2018.Analisis efisiensi produksi usahatani padiladang di Kecamatan Sidomulyo,Kabupaten Lampung Tengah. JIIA, 6(1):17 – 24.

Pasolon, Y.B., C. Gago, D. Boer, F. S. Rembon,Muhidin, M. Kikuta, dan Y. Yamamoto.2017. Growth of upland rice in variablesoil water-holding capacity. ResearchJournal of Pharmaceutical, Biological andChemical Sciences, 8(2): 1608 – 1614.

Pratama, D dan S. Swastika. 2016. Persepsipetani terhadap teknologi budidayabawang merah pada lahan kering diKecamatan Tapung, Kampar, ProvinsiRiau. Buletin Inovasi Pertanian, 2(1): 6 –12.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2017.Statistik lahan pertanian tahun 2012-2016. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Rohaeni, W.R., A. Sinaga, dan M.I. Ishaq. 2012.Preferensi responden terhadap keragaantanaman dan kualitas produk beberapavarietas unggul baru padi. InformatikaPertanian, 21(2): 107 – 115.

Rusdi dan M. Asaad. 2016. Uji adaptasi empatvarietas bawang merah di KabupatenKolaka Timur, Sulawesi Tenggara.Jurnal Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian, 19(3): 243 – 252.

Sari, N. 2010. Efisiensi pemanfaatan inputproduksi usahatani padi ladang diKecamatan Bungku Utara KabupatenMorowali. J. Agroland, 17(2): 154 – 161.

Setyowati, I dan S. Kurniawati. 2015. Preferensimasyarakat terhadap karakter nasivarietas unggul baru padi: kasus diKecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak,

Page 89: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

191Analisis Usahatani dan Persepsi Petani terhadap Varietas Unggul Baru Padi Gogo di KabupatenBoyolali (Dewi Sahara, Chanifah, Ekaningtyas Kushartanti)

Banten. Prosiding Seminar NasionalMasyarakat Biodiversitas Indonesia,1(4): 880-893

Supriyo, S., S. Minarsih, dan B. Prayudi. 2014.Efektivitas pemberian pupuk hayatiterhadap pertumbuhan dan hasil padigogo pada tanah kering. Agritech, 11(1):1 – 12.

Tarigan, E.E., J. Ginting, dan Meiriani. 2013.Pertumbuhan dan produksi beberapavarietas padi gogo terhadap pemberianpupuk cair. Jurnal Online Agroteknologi,2(1): 113 – 120.

Theresia, V., A. Fariyanti, dan N. Tinaprilla.2016. Analisis persepsi petani terhadappenggunaan benih bawang merah lokaldan impor di Kabupaten Cirebon, JawaBarat. Jurnal Penyuluhan, 12(1): 74 – 88.

Yang, D.S., K.S. Lee, dan S.J. Kays. 2010.Characterization and discrimination ofpremium-quality, waxy and blackpigmented rise based on odor-activecompounds. Journal of the Science ofFood and Agriculture, 90(15): 2595 –2601.

Yuliani, D., J. Amirullah dan Sudir. 2017.Keragaan penyakit padi pada varietasunggul baru untuk agroekosistem rawadan lahan kering. Agric, 29(1): 21 – 30.

Yuniarti, S. 2015. Respon pertumbuhan dan hasilvarietas unggul baru (VUB) padi gogo diKabupaten Pandeglang, Banten.Prosiding Seminar Nasional MasyarakatBiodiversitas Indonesia, 1(4): 848 – 851.

Zuraida, R. 2014. Usahatani padi gogo di selatanaman karet pada lahan kering bukaanbaru di Kalimantan Selatan (Kasus diDesa Kiram Kabupaten BanjarKalimantan Selatan). Prosiding SeminarNasional Inovasi Teknologi PertanianSpesifik Lokasi. p. 159 – 264.

Page 90: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

192

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2, Desember 2019

Page 91: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

193 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

PERAN BIMBINGAN TEKNIS DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN TEKNOLOGI PRODUKSI KEDELAI KEPADA PETANI DAN PENYULUH PERTANIAN

LAPANGAN DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

Yovita Anggita Dewi1), Achmad Subaidi2)

1)Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

2)Balai Besar Litbang Pasca Panen

Jl. Tentara Pelajar 10 Cimanggu, Bogor 16114

Email: [email protected]

ABSTRACT

The Role of Technical Guidance in Increasing Technology Knowledge of Soybean Production to Farmers

and Field Extension Officers in Lamongan District, East Java. Soybean farming is one of the mainstays in Lamongan

District, East Java Province, yet it is still faced various obstacles including the level of knowledge of farmers and

extension agents. This paper aimed to express the knowledge status of farmers and extension workers and analyze

efforts to improve them through the implementation of technical guidance. The study was conducted in October 2017

in Lamongan Sub District, East Java Province involving 41 respondents who were selected purposively, namely farmers

and soybean field extension workers. Data were analyzed descriptive and supplemented by simple statistical analysis

in the form of tables and graphs. Paired t-test was also conducted to compare the level of knowledge and application

of respondents before and after technical guidance. The analysis showed that the level of knowledge on soybean

varieties technology before the technical guidance was around 2.4 - 95.1%. The level of knowledge and application of

production technology prior to technical training averaged 47.7% and 44.5%, while related to other information

between 22.0 - 65.9%. The technical guidance increased respondents' knowledge of variety technology around 18.7 -

52.6% as well as on production technology the level of knowledge and application on average increased by 20.0% and

26.7%. The results of the paired different test analysis also showed an increase in knowledge and implementation after

the technical guidance was significant at = 5%. Technical guidance is also expected to not only be able to improve

the knowledge and skills of participants but also support efforts to accelerate the dissemination of soy technology.

Keywords: soybean, farming technologies, knowledge, implementation, technical guidance

ABSTRAK

Usahatani kedelai merupakan salah satu andalan di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur, namun

pengusahaannya masih dihadapkan pada berbagai kendala termasuk tingkat pengetahuan pelaku usahatani baik petani

maupun penyuluh. Tulisan ini bertujuan mengemukakan status pengetahuan petani dan penyuluh lapang serta

menganalisis upaya peningkatannya melalui pelaksanaan bimbingan teknis. Penelitian dilaksanakan pada Bulan

Oktober tahun 2017 di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur melibatkan responden sebanyak 41 orang yang

dipilih secara sengaja (purposive) yaitu petani dan penyuluh lapang usahatani kedelai. Data dianalisis deskriptif dan

dilengkapi analisis statistik sederhana berupa tabel dan grafik. Uji beda berpasangan (paired t-test) juga dilakukan untuk

membandingkan tingkat pengetahuan dan penerapan responden sebelum dan sesudah bimbingan teknis. Hasil analisis

menunjukkan tingkat pengetahuan pada teknologi varietas kedelai sebelum bimtek sekitar 2,4 – 95,1%. Tingkat

pengetahuan dan penerapan teknologi produksi sebelum bimtek rata-rata 47,7% dan 44,5%, sedangkan terkait informasi

lainnya antara 22,0 – 65,9%. Bimtek meningkatkan pengetahuan responden terhadap teknologi varietas sekitar 18,7 –

52,6% demikian halnya pada teknologi produksi tingkat pengetahuan dan penerapan rata-rata meningkat 20,0% dan

26,6%. Hasil analisis uji beda berpasangan juga menunjukkan peningkatan pengetahuan dan penerapan setelah bimtek

Page 92: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

194 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207

signifikan nyata pada = 5%. Bimtek juga diharapkan tidak hanya dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan

peserta, namun juga mendukung upaya percepatan diseminasi teknologi kedelai.

Kata kunci: kedelai, teknologi usahatani, pengetahuan, penerapan, bimbingan teknis

PENDAHULUAN

Usahatani kedelai di wilayah Lamongan

umumnya dilakukan pada pematang lahan sawah

tadah hujan dengan lebar satu meter. Apabila mutu

kedelai hasil usahatani ini berkualitas baik,

sebagian hasil tersebut akan digunakan untuk

benih pada musim selanjutnya di lahan yang sama.

Pada lahan tegalan, kedelai yang ditanam musim

hujan produksinya benihnya akan diusahakan

pada Musim Kemarau I di lahan sawah (Santoso

dan Andri, 2011). Tahun 2011 – 2015, realisasi

luas tanam kedelai di Kabupaten Lamongan

mencapai 21.711 ha/tahun dengan rata-rata

produktivitas 1,435 ton/ha (Dinas Pertanian

Kabupaten Lamongan, 2016). Capaian ini sedikit

lebih rendah dibandingkan dengan rerata

produktivitas kedelai nasional yaitu 1,447 ton/ha

pada periode yang sama. Produktivitas kedelai di

Kabupaten Lamongan namun demikian, memiliki

rata-rata trend tingkat pertumbuhan lebih baik

dibandingkan nasional.

Peningkatan produktivitas kedelai di

wilayah ini sebesar 3,79%/tahun lebih tinggi dari

rata-rata provinsi bahkan nasional, karena data

Kementan (2016) menunjukkan rata-rata

pertumbuhan tingkat nasional hanya bergerak di

kisaran <1%/tahun. Pengembangan produksinya

di sisi lain, juga masih dihadapkan pada berbagai

tantangan karena meskipun laju pertumbuhan

produktivitas meningkat, namun luas tanamnya

cenderung menurun sekitar (-) 1,08%/tahun.

Secara keseluruhan, trend produksi kedelai juga

berada pada pertumbuhan negatif yaitu sebesar (-

) 5,06 persen/tahun (Dinas Pertanian Kabupaten

Lamongan, 2016). Dikaitkan dengan kebutuhan

benih, untuk Kabupaten Lamongan, pada tahun

2011 – 2015 rata-rata membutuhkan benih kedelai

sekitar 868 ton hingga 977 ton dengan asumsi

penggunaan benih per hektar antara 40 – 45 kg.

Peningkatan produktivitas kedelai di

Kabupaten Lamongan masih berpeluang

ditingkatkan. Salah satu upayanya dengan

penerapan teknologi secara lebih baik utamanya

benih dan pupuk karena hasil penelitian Nugraha

dan Muhaimin (2018) menunjukkan bahwa kedua

faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap

kenaikan produksi kedelai di Lamongan dan di

tingkat petani masih perlu diperbaiki.

Pengetahuan petani kedelai juga masih perlu

ditingkatkan karena menurut Hadi dan Wijaya

(2016) petani kedelai cenderung belum

sepenuhnya paham usahatani kedelai.

Mengacu pada kondisi tersebut dalam

upaya peningkatan produksi kedelai perlu

dilakukan kajian tingkat pengetahuan petani dan

penyuluh pertanian terkait dengan usahatani

kedelai? Upaya peningkatannya melalui

bimbingan teknis (bimtek) serta sejauhmana peran

bimtek terhadap peningkatan pengetahuan

teknologi usahatani kedelai. Tulisan ini

difokuskan pada penelahaan status pengetahuan

teknologi usahatani kedelai pada petani dan

penyuluh pertanian lapang (PPL) serta analisis

perbandingan tingkat pengetahuan sebelum dan

sesudah bimtek.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan pada Bulan

Oktober tahun 2017 di Desa Banyubang,

Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan,

Provinsi Jawa Timur dengan pertimbangan

wilayah ini merupakan salah satu sentra produksi

kedelai di Provinsi Jawa Timur. Penelitian

melibatkan 41 orang responden yang dipilih

secara sengaja (purposive) yaitu penyuluh lapang

yang mengetahui dan paham teknologi komoditas

kedelai serta petani kedelai baik petani penangkar

benih maupun petani bukan penangkar.

Responden ini sekaligus menjadi peserta bimtek

teknologi produksi kedelai.

Page 93: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

195 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

Bimtek dilaksanakan di kelas dan dalam

bentuk tatap muka yang terdiri dari pengisian

kuesioner pre-test, penyampaian materi oleh

narasumber, diskusi/tanya jawab, dan diakhiri

dengan pengisian kuesioner post-test. Materi yang

disampaikan dalam bimtek mencakup: 1)

Pengenalan VUB Kedelai Balitbangtan, 2)

Pengendalian Hama/Penyakit Kedelai, 3)

Prossesing dan Penyimpanan Benih Kedelai, 4)

Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung

Swasembada Kedelai Nasional, 5) Prosedur

Sertifikasi Benih Kedelai, dan 5) Kelembagaan

Perbenihan Kedelai.

Data-data yang dikumpulkan adalah data

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

melalui kuesioner terstruktur mencakup data

karakteristik responden seperti umur, lama

pendidikan (formal), jenis pekerjaan, dan lama

waktu bekerja serta tingkat pengetahuan teknologi

produksi kedelai baik sebelum maupun setelah

bimtek. Tes diagnostik menggunakan kuesioner

terstruktur digunakan untuk mengetahui tingkat

pengetahuan eksisting peserta, mencakup tingkat

pengetahuan dan penerapan varietas kedelai,

tingkat pengetahuan teknologi rekomendasi

produksi kedelai, dan aspek lain terkait perbenihan

kedelai. Harapannya, melalui keterlibatan dalam

bimtek, pengetahuan peserta dapat meningkat,

yang nantinya akan diukur melalui tes setelah

pelaksanaan (post-test). Data sekunder diperoleh

dari laporan dinas terkait dan Badan Pusat

Statistik.

Analisis data yang digunakan adalah

analisis deskriptif kualitatif menggunakan tabel

dan grafik serta analisis kuantitatif berupa uji beda

berpasangan (paired t-test) untuk membandingkan

tingkat pengetahuan dan penerapan teknologi

sebelum dan sesudah bimtek.

Tabel 1. Karakteristik peserta bimbingan teknis teknologi produksi kedelai Kab. Lamongan, Provinsi Jawa

Timur, 2017

No Uraian Rata-rata

1 Rata-rata umur (tahun) 43,4

2 Persentase menurut jenis kelamin (%)

- Laki-laki 75,0

- Perempuan 25,0

3 Lama pendidikan formal (tahun) 14,0

4 Peserta menurut pendidikan (%)

- SD 5,3

- SLTP 10,5

- SLTA 18,4

- Diploma 10,5

- S1 52,6

- S2 2,6

5 Jenis pekerjaan (%)

- Petani 21,9

- PPL 63,4

- Penangkar 4,9

- Penyuluh BPTP 9,8

6 Lama bekerja (%)

- <5 tahun 3,0

- 5-10 tahun 54,6

- >10 tahun 42,4

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 94: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

196 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik

Karakteristik responden sangat menarik

untuk diungkap karena dapat digunakan untuk

menggambarkan potensi dampak dari suatu

kegiatan. Terkait dengan tujuan bimbingan teknis

(bimtek), karakteristik responden peserta

dipandang sebagai potensi dalam menduga

dampak kegiatan bimtek yang merupakan salah

satu bentuk pelatihan.

Secara umum peserta bimtek masih

tergolong dalam usia produktif yaitu rata-rata

43,39 tahun. Usia produktif menciptakan peluang

terjadinya transfer pengetahuan dan menerapkan

hasil pelatihan. Beberapa studi menyebutkan

bahwa faktor usia tidak berpengaruh signifikan

(Tai, 2006) atau justru berpengaruh signifikan

negatif terhadap efektivitas proses transfer dalam

sebuah training atau pelatihan (Warr dan Bunce,

1995). Berdasarkan kategori jenis kelamin, peserta

bimtek didominasi peserta laki-laki terutama

kelompok peserta petani dan petani penangkar

yaitu 75% (Tabel 1). Kondisi ini menunjukkan

bahwa tenaga kerja bidang pertanian khususnya

pada komoditas kedelai didominasi tenaga kerja

laki-laki.

Rata-rata lama pendidikan peserta adalah

14 tahun atau lebih dari tamat sekolah lanjutan

tingkat atas (SLTA). Lebih dari separuh (52,6%)

peserta berpendidikan sarjana strata 1 (S-1),

diikuti peserta dengan jenjang pendidikan SLTA

yaitu 18,4%. Meskipun pendidikan tidak selalu

menjadi jaminan keberhasilan penyelenggaraan

pelatihan namun menjadi unsur yang cukup

penting. Semakin tinggi pendidikan peserta,

diharapkan akan mempermudah dalam menerima

materi-materi yang disampaikan dalam pelatihan.

Menurut Warr dan Bunce (1995) dan Mathieu et

al. (1992), unsur pendidikan menjadi salah satu

faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas

pelatihan.

Tabel 1 menunjukkan peserta yang

mengikuti bimtek didominasi kelompok penyuluh

lapang (PPL) dengan persentase 63,41%, peserta

dari kelompok petani dan petani penangkar

masing-masing 21,95% dan 4,88%. Masing-

masing peserta juga memiliki pengalaman bekerja

bervariasi. Berdasarkan klasifikasi lama bekerja,

hampir 55% peserta sudah bekerja selama 5 – 10

tahun, diikuti kelompok peserta dengan

pengalaman kerja cukup lama atau lebih dari 10

tahun sebanyak 42,4%, dan hanya 3% peserta

dengan pengalaman kerja kurang dari 5 tahun. Hal

ini mengindikasikan bahwa peserta bimtek rata-

rata sudah cukup memiliki pengalaman bekerja di

bidangnya masing-masing dan bekal pengetahuan

Tabel 2. Varietas-varietas kedelai yang diketahui peserta sebelum bimtek perbenihan kedelai di Kab. Lamongan, Jawa

Timur, 2017

No. Varietas Persentase (%)

1. Grobogan 95,1

2. Anjasmoro 78,1

3. Argomulyo 46,3

4. Wilis 41,5

5. Burangrang 29,3

6. Gepak Ijo, Gepak Kuning 19,5

7. Gema 14,6

8. Dena-1, Argopuro 12,2

9. Panderman 9,8

10. Detam-1, Dering-1, Devon-1 7,3

11. Dega-1, Detam-2, Detam-3, Detam-4 4,9

12. Mutiara-1, Mutiara-2, Mutiara-3, Demas-1, Deja-1, Deja-2 2,4

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 95: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

197 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

cukup memadai terkait topik pelatihan. Menurut

Lim dan Morris (2006), pengalaman bekerja

seseorang tidak berpengaruh terhadap proses

penerimaan saat belajar dan transfer pengetahuan

dalam training.

Peserta yang bekerja sebagai penyuluh rata-

rata membina 2,57 desa dengan kisaran desa

binaan antara 1 – 6 desa per penyuluh dan rata-rata

jumlah kelompok tani binaan sekitar 13,37

kelompok tani untuk setiap penyuluhnya. Peserta

petani memiliki jumlah anggota dalam kelompok

tani cukup tinggi, rata-rata mencapai 96 orang per

kelompok tani. Asumsi masing-masing kelompok

tani beranggotakan 96 orang, maka jumlah

kelompok tani yang dibina setiap penyuluh cukup

banyak, mencapai ratusan petani. Kondisi tersebut

menggambarkan cukup besarnya tanggungjawab

penyuluh.

Kelompok petani penangkar masih

menggunakan varietas kedelai yang dirilis cukup

lama seperti Grobogan, Wilis, dan Anjasmoro.

Varietas-varietas unggul baru (VUB) Balitbangtan

terbaru seperti Detam, Deja, Dena, Dering, dan

Mutiara belum dikenal dan dibudidayakan petani.

Dari 6 kelompok petani penangkar, rata-rata luas

lahan yang digarap sekitar 29,60 ha dan jumlah

anggota setiap kelompok penangkar hampir 49

petani. Dikaitkan dengan potensi produksi dan

tingkat penyebaran benih, kelompok penangkar

benih tersebut diperkirakan dapat memenuhi

kebutuhan benih kedelai untuk lahan sekitar 700 –

1.500 ha atau masih di bawah total kebutuhan

benih Kabupaten Lamongan. Kondisi ini sekaligus

dapat dipandang sebagai peluang untuk terus

mendorong perbenihan kedelai di wilayah ini

karena, masih adanya senjang produksi dan

kebutuhan.

Tingkat Pengetahuan dan Penerapan Varietas

Kedelai Sebelum Bimbingan Teknis

Keragaan pengetahuan eksisting peserta

terkait VUB menunjukkan bahwa beberapa VUB

kedelai yang dirilis Balitbangtan sudah dikenal

pengguna, baik pengguna antara maupun

pengguna akhir, namun demikian banyak VUB

yang juga belum diketahui terutama varietas-

varietas yang belum lama dirilis. Varietas yang

paling banyak diketahui peserta adalah Grobogan,

sekitar 95% peserta menjawab tahu varietas ini.

Varietas Grobogan memang sudah biasa ditanam

oleh petani kedelai di Kabupaten Lamongan

secara turun temurun. Varietas berikutnya yang

cukup dikenal peserta adalah Anjasmoro,

Argomulya, dan Wilis. Varietas Panderman,

Dering, seri Detam, seri Mutiara, dan seri Deja

diketahui kurang dari 10% peserta, sedangkan

untuk varietas NS sama sekali tidak dikenal oleh

peserta (Tabel 2).

Tingkat pengetahuan varietas akan lebih

menarik apabila dikaitkan dengan penerapan atau

varietas yang ditanam. Pengetahuan terhadap

suatu teknologi belum menjamin diterapkannya

Tabel 3. Varietas-varietas kedelai yang ditanam peserta bimtek perbenihan kedelai di Kab. Lamongan,

Jawa Timur, 2017

No. Varietas Persentase ditanam (%)

1. Grobogan 73,2

2. Anjasmoro 53,7

3. Argomulyo 22,0

4. Wilis 41,5

5. Burangrang 7,3

6. Panderman, Gema, Gepak Kuning, Dena-1 4,9

7. Gepak Ijo, Demas-1, Dering-1, Devon-1 2,4

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 96: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

198 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207

atau diadopsinya teknologi tersebut, termasuk

teknologi varietas. Hasil analisis varietas yang

ditanam secara umum menggambarkan masih

belum beranjaknya tingkat adopsi varietas dari

varietas-varietas lama.

Hasil analisis data menggambarkan hanya

sekitar 13 varietas yang ditanam oleh peserta atau

59% dari total 22 varietas yang diketahui. Varietas

Grobogan, seperti halnya pada tingkat

pengetahuan adalah varietas yang paling banyak

ditanam dengan persentase mencapai 73% dengan

senjang tingkat pengetahuan dan penerapan

hampir 22%. Varietas berikutnya adalah

Anjamoro, dengan tingkat penerapan 53,7% atau

selisih 24,4% dari persentase pengetahuan.

Varietas Argomulyo yang diketahui lebih dari

46% peserta bahkan hanya ditanam oleh sekitar

22% atau 24% peserta meskipun mengetahui

varietas ini, namun tidak menanamnya di lahan.

Varietas Argopuro, Panderman, dan Mutiara-1-2-

3, sama sekali tidak ditanam walaupun sebagian

peserta sudah mengenal varietas-varietas tersebut

(Tabel 3).

Berbagai faktor mempengaruhi penerapan

inovasi teknologi di tingkat pengguna. Menurut

Douthwaite et al. (2000), faktor motivasi dari

penerima manfaat teknologi dan penghasil

teknologi mempengaruhi tingkat adopsi. Teori

klasik tentang inovasi yang dijelaskan oleh Rogers

(1983) menyebutkan bahwa keputusan menerima

atau menolak suatu teknologi baru erat kaitannya

dengan lima sifat inovasi tersebut yaitu aspek

keuntungan relatif (relative advantage), aspek

kompatibilitasnya (compatibility), aspek

kekomplekkan (complexity) teknologi, aspek

kemudahan untuk mencobanya (trialability), dan

aspek observability. Mengacu pada teori tersebut,

pada pelaksanaan bimtek kedelai juga digali

faktor-faktor yang mempengaruhi peserta

menanam varietas kedelai tertentu.

Aspek produksi tinggi menjadi alasan

utama dalam memilih varietas kedelai yang akan

ditanam, yaitu sebanyak 85,4%. Alasan ini

merupakan keputusan yang sangat rasional,

karena produksi tinggi juga terkait dengan tingkat

pendapatan petani. Semakin tinggi produksi, maka

diharapkan pendapatan yang diterima petani juga

akan lebih besar. Faktor selanjutnya yang

mendorong pengguna dalam menanam varietas

kedelai adalah benihnya mudah didapatkan (61%).

Penyediaan benih tepat waktu sering menjadi

persoalan di tingkat pengguna, sehingga seringkali

adopsi tidak dapat berkelanjutan karena sistem

logistik utamanya penyediaan benih belum

dibangun secara baik. Ketahanan terhadap hama

dan penyakit juga menjadi salah satu pendorong

peserta dalam memilih varietas kedelai. Sebanyak

53,7% peserta menyatakan pentingnya aspek

tersebut dalam suatu varietas. Pertimbangan

tersebut sangat wajar mengingat serangan hama

dan penyakit menjadi salah satu penyebab

kegagalan panen dan turunnya produksi. Alasan

selanjutnya yang diungkap oleh peserta adalah

varietas tersebut mudah diterapkan atau

dibudidayakan, yaitu sebesar 43,9%. Teknologi

yang sulit diterapkan atau lebih kompleks

memang akan cenderung membutuhkan waktu

lebih lama untuk diadopsi (Douthwaite et al.,

2000). Alasan terakhir menanam varietas kedelai

Tabel 4. Pertimbangan dalam pemilihan varietas kedelai yang ditanam menurut peserta bimtek perbenihan kedelai di

Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017

No. Alasan Persentase (%)

1. Mudah didapatkan 61,0

2. Mudah digunakan 43,9

3. Tahan hama dan penyakit 53,7

4. Produksi tinggi 85,4

5. Lainnya (sesuai dengan kondisi setempat) 26,8

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 97: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

199 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

tertentu, menurut peserta adalah kesesuaian

dengan kondisi setempat atau bersifat spesifik

lokasi. Alasan tersebut dipilih sekitar 26,8%

peserta (Tabel 4).

Tingkat Pengetahuan dan Penerapan

Teknologi Produksi Kedelai Sebelum

Bimbingan Teknis

Mengacu pada panduan teknologi produksi

kedelai, terdapat 13 komponen teknologi yang

direkomendasikan Balitkabi sebagai sumber

invensi kedelai mulai jumlah kebutuhan benih,

teknik pengendalian hama dan penyakit, fase

pengamatan, saat panen, suhu ideal untuk

penyimpanan benih, dan cara penyimpanan benih

(Balitkabi, 2008).

Berdasarkan analisis data, tingkat

pengetahuan peserta yang tertinggi pada

komponen teknologi kebutuhan benih kedelai

sebanyak 40 kg/ha, yaitu sebanyak 78% peserta.

Panen saat mutu benih maksimal merupakan

komponen teknologi berikutnya yang juga banyak

diketahui peserta yaitu sebesar 75,6%. Komponen

teknologi pengeringan hingga kadar air 14% dan

pengendalian hama secara hayati/biologis

berturut-turut diketahui 58,5% dan 51,2% peserta.

Komponen teknologi lainnya hanya dikenal

kurang dari 50% peserta. Pengamatan rouging

pada beberapa fase dan pengemasan benih

menggunakan karung benih hanya diketahui

sekitar 48,8%, pengendalian hama secara kultur

teknis, pengendalian penyakit dari vektor virus,

dan penyimpanan benih pada suhu rendah

diketahui 41,5% peserta. Komponen teknologi

yang paling sedikit dikenal peserta adalah

kebutuhan benih lebih dari 40 kg/ha, karena

kurang dari 20% yang mengetahuinya. Secara

agregat, komponen teknologi produksi kedelai

rata-rata hanya diketahui oleh 47,7% atau kurang

dari separuh peserta (Tabel 5).

Tabel 5. Tingkat pengetahuan dan penerapan peserta terkait rekomendasi teknologi produksi kedelai sebelum

bimtek, Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017

No. Komponen teknologi produksi kedelai Persentase tingkat

pengetahuan (%)

Persentase tingkat

penerapan (%)

1 Kebutuhan benih kedelai sebanyak 40 kg/ha 78,1 73,2

2 Kebutuhan benih kedelai lebih dari 40 kg/ha 19,5 21,9

3 Pengendalian hama secara kultur teknis 41,5 51,2

4 Pengendalian hama secara hayati/biologis 51,2 48,8

5 Pengendalian penyakit dari vektor virus pada saat

tanaman 40, 50, dan 60 hari

41,5 39,0

6 Fase pengamatan rouging yaitu fase tanaman

muda, berbunga, dan masak fisiologis

48,8 53,7

7 Panen saat mutu benih maksimal (95% polong

berwarna coklat atau kehitaman)

75,6 68,3

8 Pengeringan hingga KA 14% 58,5 46,3

9 Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu

rendah

41,5 29,3

10 Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu

sedang

29,3 29,3

11 Pengemasan benih menggunakan karung kecil

bening

48,8 43,9

12 Pengemas kedap udara tertutup rapat 39,0 29,3

13 Penyimpanan benih dengan KA 9-10% 46,3 43,9

Rata-rata 47,7 44,5

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 98: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

200 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207

Mengacu pada Tabel 5, dapat dilihat

persentase komponen teknologi yang diterapkan

peserta. Sejalan dengan pengetahuan dan

penerapan teknologi varietas, tingkat penerapan

komponen teknologi produksi tidak selalu linier

dengan tingkat pengetahuan peserta. Kebutuhan

benih kedelai sebanyak 40 kg/ha, diterapkan

sebanyak 73,2% atau terdapat senjang 4,88% dari

persentase tingkat pengetahuan. Panen saat mutu

benih maksimal menurut hasil identifikasi,

diterapkan 68,3% peserta atau selisih 7,32% dari

pengetahuan. Teknologi pengeringan hingga

kadar air 14% diterapkan sekitar 46,3% atau

terdapat perbedaan 12,2%.

Komponen teknologi dengan tingkat

penerapan kurang dari 30% antara lain kebutuhan

benih lebih dari 40 kg/ha, penyimpanan benih

pada suhu rendah dan sedang, serta penyimpanan

menggunakan tutup rapat kedap udara. Secara

umum, perbedaan antara tingkat penerapan dan

pengetahuan bervariasi antara 2,44 – 12,2%.

Namun demikian, terdapat fenomena menarik,

karena terdapat dua komponen teknologi yang

tingkat penerapannya lebih tinggi dari tingkat

pengetahuannya, yaitu kebutuhan benih kedelai

lebih dari 40 kg/ha meskipun hanya diketahui oleh

19,5% peserta namun tingkat penerapannya

sedikit lebih tinggi yaitu 21,9%. Demikian halnya

dengan teknologi pengendalian hama secara kultur

teknis, tingkat penerapannya lebih tinggi 9,8%

dari persentase tingkat pengetahuan. Hal ini dapat

disebabkan karena faktor kebiasaan atau bersifat

turun temurun, sehingga bukan karena mengikuti

teknologi anjuran atau rekomendasi.

Informasi lain yang penting adalah tingkat

pengetahuan terhadap lembaga sertifikasi benih

dan mekanisme sertifikasi, karena keberhasilan

perbenihan kedelai sangat terkait dengan

sertifikasi benih. Proses sertifikasi adalah

persyaratan wajib yang harus dipenuhi untuk

benih-benih yang diedarkan, sebagai bagian dari

pengendalian mutu dan diatur undang-undang

(Harnowo et al., 2007). Menurut Hartono dalam

Harnowo et al. (2007), sertifikasi benih dapat

diberikan setelah melalui proses pemeriksaan,

pengujian, pengawasan, dan memenuhi

persyaratan yang ditentukan.

Empat informasi yang dikumpulkan yaitu

pengetahuan tentang lembaga sertifikasi benih,

proses sertifikasi benih, peran perguruan tinggi

dalam mendukung perbenihan kedelai, dan peran

PPL dalam produksi kedelai. Dari hasil analisis

data, pengetahuan peserta tentang lembaga

sertifikasi benih tidak terlalu baik. Hanya 48,8%

atau kurang dari setengah peserta yang hadir

mengetahui lembaga-lembaga terkait sertifikasi

benih (Tabel 6).

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa

keberadaan lembaga tersebut atau kebutuhan

sertifikasi benih belum dianggap penting dalam

produksi kedelai. Kelembagaan penangkar benih

informal dengan metode diseminasi dari petani ke

petani umumnya lebih banya berkembang dan

tidak melewati jalur lembaga sertifikasi resmi

tersebut. Menurut Santoso dan Andri (2011),

sistem perbenihan di Kabupaten Lamongan secara

informal lebih menonjol yang dicirikan dari lebih

besarnya luas tanam untuk areal perbenihan (2 kali

luas tanam areal perbenihan sistem formal).

Tabel 6. Tingkat pengetahuan peserta sebelum bimtek terkait informasi lainnya dalam mendukung perbenihan

kedelai di Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017

No. Uraian Persentase peserta mengetahui (%)

1. Lembaga sertifikasi benih 48,8

2. Proses sertifikasi benih 22,0

3. Peran perguruan tinggi dalam mendukung

perbenihan kedelai

31,7

4. Peran PPL dalam produksi kedelai 65,9

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 99: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

201 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

Sistem perbenihan informal biasanya melibatkan

sub sistem yang cukup sederhana, yaitu

penggandaan benih, pemasaran, dan pengguna.

Dari Tabel 6, proses sertifikasi benih hanya

diketahui kurang dari 22% peserta sedangkan

sisanya sebanyak 78% peserta belum mengetahui

proses yang harus dilalui dalam sertifikasi benih,

padahal proses sertifikasi sangat krusial dalam

menghasilkan benih unggul dan bermutu.

Kementan (2013) menyebutkan bahwa sertifikasi

benih kedelai dapat dilakukan baik oleh

pemerintah yaitu Balai Pengawasan dan

Sertifikasi Benih (BPSB) di setiap provinsi

maupun lembaga sertifikasi sistem mutu (LSSM)

perbenihan yang diberi kewenangan pemberian

sertifikasi sistem mutu pada industri atau

perusahaan benih.

Pelaksanaan dan pengembangan program

perbenihan membutuhkan dukungan banyak pihak

termasuk perguruan tinggi. Dalam upaya

mensinergikan peran Balitbangtan dan Perguruan

Tinggi, pada bimtek juga menghadirkan

narasumber dari perguruan tinggi. Untuk melihat

tingkat pemahaman dan pengetahuan peserta,

digali pertanyaan terkait perguruan tinggi dan

perannya dalam mendukung perbenihan kedelai.

Dari seluruh peserta yang menjawab, hanya 31,7%

yang mengetahui peran perguruan tinggi dan

sisanya (hampir 70%) tidak tahu. Ketidaktahuan

peserta dimungkinkan disebabkan karena belum

banyaknya keterlibatan perguruan tinggi dalam

kegiatan perbenihan kedelai di lapang. Selain

perguruan tinggi, peran dan keberadaan PPL juga

sangat diperlukan karena PPL merupakan

pendamping langsung petani, sehingga kinerjanya

akan turut mempengaruhi keberhasilan

perbenihan. Sebagian peserta yaitu 65,85% sudah

mengetahui peran PPL dalam perbenihan kedelai

serta mengungkapkan bahwa PPL menjalankan

fungsi pendampingan dan pembinaan kepada

petani.

Tabel 7. Tingkat pengetahuan peserta tentang teknologi produksi kedelai sebelum dan sesudah bimtek, dan persentase

peningkatannya di Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017

No. Komponen teknologi produksi kedelai Sebelum

bimtek (%)

Sesudah

bimtek (%)

Peningkatan (%)

1. Kebutuhan benih kedelai sebanyak 40 kg/ha 78,05 82,93 4,88

2. Kebutuhan benih kedelai lebih dari 40 kg/ha 19,51 46,34 26,83

3. Pengendalian hama secara kultur teknis 41,46 70,73 29,27

4. Pengendalian hama secara hayati/biologis 51,22 80,49 29,27

5. Pengendalian penyakit dari vektor virus pada saat

tanaman 40, 50, dan 60 hari

41,46 65,85 24,39

6. Fase pengamatan rouging yaitu fase tanaman

muda, berbunga, dan masak fisiologis

48,78 85,37 36,59

7. Panen saat mutu benih maksimal (95% polong

berwarna coklat atau kehitaman)

75,61 85,37 9,76

8. Pengeringan hingga KA 14% 58,54 56,10 -2,44

9. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu

rendah

41,46 53,66 12,20

10. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu

sedang

29,27 53,66 24,39

11. Pengemasan benih menggunakan karung kecil

bening

48,78 75,61 27,83

12. Pengemasan kedap udara tertutup rapat 39,02 43,90 4,88

13. Penyimpanan benih dengan KA 9-10% 46,34 78,05 31,71

Rata-rata 47,65 67,54 19,96

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 100: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

202 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207

Tingkat Pengetahuan Peserta Sebelum dan

Sesudah Bimbingan Teknis

Tujuan dari bimtek adalah meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan peserta yang

nantinya diharapkan dapat berdampak perbaikan

penerapan produksi benih kedelai. Hasil evaluasi

di akhir bimtek (post-test) diterapkan untuk

mengidentifikasi ada tidaknya peningkatan

pengetahuan. Berdasarkan hasil analisis data post-

test, terjadi peningkatan pengetahuan terhadap

varietas-varietas kedelai termasuk VUB yang

belum lama dirilis. Varietas-varietas kedelai yang

sudah cukup lama dikenal, peningkatan

pengetahuan tidak terlalu banyak, sebagai contoh

persentase peserta yang mengetahui varietas

Grobogan dan Wilis sebelum dan sesudah bimtek

tidak mengalami perubahan atau penambahan.

Varietas lainnya yaitu Anjasmoro dan Argomulyo,

setelah bimtek diketahui masing-masing sebanyak

92,7% dan 70,7% peserta atau meningkat 18,7%

dan 52,6%.

Tingkat pengenalan peserta terhadap VUB

Balitbangtan meningkat cukup besar. Varietas

Gema, Gepak Ijo, dan Gepak Kuning pada saat

sebelum bimtek masing-masing hanya diketahui

oleh 14,6%, 19,5%, dan 19,5%, sementara setelah

bimtek peserta yang mengenal varietas-varietas

tersebut bertambah menjadi 48,8%, 56,1%, dan

58,5% atau meningkat antara 34,2 – 39%. Varietas

seri Deja, Demas-1, seri Mutiara, dan seri Detam

sebelum pelaksanaan bimtek hanya diketahui

antara 2,44% – 4,88%. Melalui pembelajaran

bimtek, semakin banyak dan ditunjukkan dari

peningkatan jumlah peserta (meningkat 2 – 20 kali

lipat).

Peningkatan pengetahuan tersebut

mengindikasikan bahwa materi yang

disampaikan, terutama pengenalan VUB

Balitbangtan dari Balitkabi cukup efektif

disampaikan dan diterima dengan baik oleh

peserta. Bimtek dapat digunakan sebagai salah

satu metode diseminasi dalam menyampaikan

Tabel 8. Tingkat penerapan teknologi produksi kedelai sebelum dan sesudah bimtek, dan persentase peningkatannya

di Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017

No. Komponen teknologi produksi kedelai Sebelum

bimtek (%)

Sesudah

bimtek (%)

Peningkatan (%)

1. Kebutuhan benih kedelai sebanyak 40 kg/ha 73,17 85,37 12,20

2. Kebutuhan benih kedelai lebih dari 40 kg/ha 21,91 43,90 21,99

3. Pengendalian hama secara kultur teknis 51,22 80,49 29,27

4. Pengendalian hama secara hayati/biologis 48,78 85,37 36,59

5. Pengendalian penyakit dari vektor virus pada saat

tanaman 40, 50, dan 60 hari

39,02 68,29 29,27

6. Fase pengamatan rouging yaitu fase tanaman

muda, berbunga, dan masak fisiologis

53,66 85,37 31,73

7. Panen saat mutu benih maksimal (95% polong

berwarna coklat atau kehitaman)

68,29 87,80 19,51

8. Pengeringan hingga KA 14% 46,34 56,10 9,76

9. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu

rendah

29,27 58,54 29,27

10. Suhu ideal untuk penyimpanan benih adalah suhu

sedang

29,27 60,98 31,71

11. Pengemasan benih menggunakan karung kecil

bening

43,90 78,05 34,15

12. Pengemasan kedap udara tertutup rapat 29,27 48,78 19,51

13. Penyimpanan benih dengan KA 9-10% 43,90 85,37 41,47

Rata-rata 44,47 71,11 26,64

Sumber: Data primer, 2017 (diolah)

Page 101: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

203 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

teknologi varietas. Capaian peningkatan

pengetahuan dapat dijadikan sebagai langkah awal

untuk menggantikan varietas-varietas lama yang

masih bertahan dan ditanam di tingkat petani

kedelai.

Pengetahuan peserta tentang teknologi

produksi kedelai diharapkan juga meningkat

dengan adanya bimtek. Tingkat pengetahuan

sebelum bimtek pada teknologi produksi kedelai

sebesar 47,65% atau kurang dari separuh peserta

bimtek yang sudah mengetahui komponen-

komponen teknologi rekomendasi produksi

kedelai. Hasil analisis data menunjukkan, setelah

bimtek, secara umum terjadi peningkatan

pengetahuan peserta dalam teknologi produksi.

Keseluruhan komponen teknologi, 67,54% peserta

mengetahuinya atau terdapat peningkatan jumlah

peserta sebesar 50,98%, artinya setiap komponen

teknologi produksi kedelai pada akhir bimtek telah

dikenal oleh sekitar 27 orang, dari sebelumnya

hanya 19 orang (Tabel 7).

Tabel 7 menunjukkan peningkatan

pengetahuan yang cukup tinggi pada komponen

teknologi kebutuhan benih lebih dari 40 kg/ha,

yaitu meningkat 137,5%. Komponen teknologi

lainnya dengan persentase peningkatan cukup baik

adalah teknik penyimpanan benih pada suhu

sedang, fase pengamatan rouging, pengendalian

hama secara kultur teknis, dan penyimpanan benih

pada kadar air 9 – 10% berturut-turut dengan

persentase peningkatan sebesar 83,3%, 75%,

70,6%, dan 68,4%. Komponen teknologi

kebutuhan benih sebanyak 40 kg/ha, panen saat

mutu benih maksimal, pengeringan dengan kadar

air 14%, dan pengemasan pada tempat tertutup

rapat tingkat pengetahuan peserta relatif kurang

meningkat (persentase peningkatan kurang dari

15%). Hal dapat disebabkan karena materi-materi

tersebut belum dijelaskan secara lengkap pada saat

bimtek.

Persentase tingkat penerapan juga perlu

dianalisis untuk melihat potensi adopsi di tingkat

pengguna. Peningkatan penerapan diharapkan

dapat mendorong adopsi dan berdampak pada

membaiknya kinerja produktivitas dan produksi

kedelai. Tujuan bimtek relatif tercapai pada

beberapa komponen teknologi karena perubahan

tingkat penerapan yang cukup besar, yaitu teknik

penyimpanan benih pada suhu sedang dan rendah,

penyimpanan benih dengan kadar air 9 – 10%,

serta kebutuhan benih lebih dari 40 kg/ha.

Persentase peningkatan penerapan pada teknologi-

teknologi tersebut berkisar antara 94,4% – 108,3%

atau dua kali lipat dibandingkan sebelum bimtek

(Tabel 8).

Faktor yang menyebabkan membaiknya

tingkat penerapan dimungkinkan karena

sebelumnya belum cukup banyak peserta yang

Tabel 9. Hasil uji beda (paired T-test) tingkat pengetahuan dan penerapan teknologi produksi kedelai sebelum dan

sesudah bimbingan teknis, Kab. Lamongan, Jawa Timur, 2017

Uraian Pengetahuan Penerapan

1. Frekuensi

Sebelum – sesudah Negative differencesa 1 0

Positive differencesb 12 13

Tiesc 0 0

Total 13 13

a. Sebelum < sesudah

b. Sebelum > sesudah

c. Sebelum = sesudah

2. Test statistics

Sebelum – sesudah Exact Sig. (2 tailed) 0,003b 0,000b

a. Sign test

b. Binomial distribution used

Keterangan: Paired T-Test dengan α = 5%

Page 102: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

204 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207

menerapkan. Transfer pengetahuan melalui

bimtek mendorong potensi penerapan. Tabel 8

juga menunjukkan bahwa upaya meningkatkan

penerapan teknologi dengan pendekatan bimtek

tidak selalu mudah dan berhasil. Sebagai contoh,

potensi penerapan teknologi rekomendasi

penggunaan benih 40 kg/ha, pengeringan hingga

kadar air 14% dan panen saat mutu maksimal

hanya meningkat kurang dari 30%.

Efektivitas pelaksanaan bimtek dapat

dianalisis lebih lanjut dengan uji beda

berpasangan (paired t-test) untuk melihat

signifikansi perubahan tingkat pengetahuan dan

penerapan sebelum dan sesudah bimtek. Dari hasil

analisis statistik terlihat bahwa terjadi peningkatan

pengetahuan sebelum dan sesudah bimtek secara

nyata dan signifikan pada α = 5%, yang

ditunjukkan dari koefisien sebesar 0,003. Hasil

serupa juga ditunjukkan pada aspek tingkat

penerapan. Secara statistik, terjadi peningkatan

tingkat penerapan secara nyata dan signifikan

(0,000) (Tabel 9).

Berdasarkan Tabel 9, pendekatan bimtek

dapat digunakan untuk mendorong perbaikan

tingkat pengetahuan dan penerapan teknologi

kedelai. Hasil perbandingan secara umum pada

perubahan tingkat pengetahuan dan penerapan

sebelum dan sesudah bimtek capaiannya cukup

baik meskipun belum optimal, mengingat waktu

pelaksanaan bimtek yang cukup singkat. Metode

yang digunakan dalam bimtek masih terbatas

dalam bentuk mendengar dan berbicara/diskusi.

Lunandi dalam Rozi dan Subandi (2012)

menyatakan metode pembelajaran seperti bimtek

sebaiknya juga dikombinasikan dengan

demonstrasi dan latihan/praktek untuk

meningkatkan efektivitas transfer pengetahuan.

Tingkat pengetahuan peserta tentang

informasi lembaga sertifikasi benih setelah bimtek

meningkat 22%. Peserta umumnya mulai

memahami bahwa terdapat lembaga yang

memiliki kewenangan dan bertugas untuk

memproses sertifikasi benih. Lembaga yang

disebutkan oleh peserta antara lain BPSB dan

Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Benih Tanaman

Pangan dan Hortikultura. Pengetahuan proses

sertifikasi benih meningkat sangat besar 53,7%.

Membaiknya tingkat pengetahuan peserta dalam

hal proses sertifikasi benih, diharapkan dapat

berdampak pada perbaikan teknik budidaya dan

pasca panen benih, sehingga benih-benih yang

dihasilkan dapat disertifikasi dan layak diedarkan

(Grafik 1). Capaian tersebut diharapkan dapat

mendorong suksesnya perbenihan kedelai

khususnya di Kabupaten Lamongan.

Grafik 1 menggambarkan peran perguruan

tinggi dalam mendukung perbenihan kedelai

nasional semakin dipahami peserta. Peserta yang

Grafik 1. Tingkat pengetahuan peserta terkait informasi lainnya dalam mendukung perbenihan kedelai sebelum dan

sesudah bimtek di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 2017 (Sumber: data primer, 2017 (diolah))

22,0

53,7

46,3

19,5

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00

Lembaga sertifikasi benih

Proses sertifikasi benih

Peran perguruan tinggi dalam

mendukung perbenihan kedelai

Peran PPL dalam produksi kedelai

Persentase (%)

Info

rmas

i pen

dukung

Peningkatan (%)

Sesudah bimtek

(%)

Sebelum bimtek

(%)

Page 103: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

205 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

mengetahui peran perguruan tinggi setelah

bimtek, meningkat sebesar 46,3%. Sebagian

peserta menyebutkan bahwa perguruan tinggi

berperan pada membantu mengubah pola pikir

petani tradisional menuju petani yang berwawasan

wirausaha, mendampingi petani, dan memberikan

informasi teknologi. Peserta juga semakin

mengetahui peran PPL khususnya terkait

pendampingan dan pembinaan kepada petani

khususnya dalam budidaya kedelai. Melalui

bimtek, peserta yang mengetahui peran PPL

meningkat sekitar 19,5%.

Bimtek diharapkan tidak hanya dapat

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan

peserta, namun juga mendukung upaya percepatan

diseminasi utamanya perbenihan kedelai.

Percepatan diseminasi dapat diprediksi dari

intensitas adopsi yaitu perkiraan luas lahan yang

mengadopsi teknologi perbenihan kedelai oleh

kelompok peserta penangkar. Asumsi sekitar 50%

peserta bimtek akan mengadopsi dan menerapkan

teknologi, maka percepatan diseminasi melalui

bimtek diharapkan dapat mencapai luasan sekitar

417.925 ha. Luasan tersebut diprediksi dari total

luas lahan penangkar yang menjadi peserta bimtek

sebesar 730 ha dan jumlah anggota kelompok

penangkar mencapai 1.145 orang petani.

Percepatan diseminasi selain melalui petani

penangkar diharapkan juga dapat dilakukan oleh

kelompok peserta penyuluh. Keterlibatan

penyuluh, teknologi perbenihan kedelai,

meningkatkan peluang penyebaran teknologi ke

586 desa dan 3.583 kelompok petani binaan. Hasil

penerapan bimtek diharapkan juga dapat

berkontribusi pada peningkatan produksi kedelai,

semisal diasumsikan produktivitas rata-rata

kedelai antara 1,3 – 1,5 ton/ha, maka diharapkan

kontribusinya terhadap peningkatan produksi

kedelai sekitar 543 – 620 ribu ton. Meskipun

belum sepenuhnya dapat mencukupi kekurangan

produksi kedelai dalam negeri, namun setidaknya

dapat berkontribusi pada pengurangan pasokan

kedelai impor

KESIMPULAN

Peserta belum sepenuhnya mengetahui dan

menerapkan teknologi varietas dan teknologi

produksi kedelai sebelum pelaksanaan bimbingan

teknis. Tingkat pengetahuan peserta terhadap

varietas kedelai kurang dari 100% bahkan untuk

varietas-varietas unggul baru kedelai baru

diketahui kurang dari 20%. Komponen-komponen

teknologi produksi rata-rata diketahui kurang dari

50% peserta sedangkan informasi lainnya terkait

kedelai diketahui sekitar 21 – 65% peserta.

Tingkat penerapan pada teknologi produksi

sebelum adanya bimbingan teknis juga di bawah

50%.

Bimbingan teknis meningkatkan

pengetahuan dan penerapan peserta bimtek pada

teknologi usahatani kedelai seperti pengetahuan

varietas, teknologi produksi, dan informasi

lainnya dengan rata-rata peningkatan sekitar 18 –

53%. Pelaksanaan bimbingan teknis secara nyata

dan signifikan berpengaruh dalam meningkatkan

pengetahuan dan penerapan peserta sehingga

dapat dijadikan salah satu metode dalam

peningkatan kapasitas petani dan penyuluh

pertanian lapang. Bimtek juga mendorong

terjadinya penyebarluasan informasi dan

percepatan diseminasi teknologi. Namun

demikian, kemanfaatan bimtek sebagai metode

diseminasi penyebarluasan teknologi perlu

dibarengi dengan upaya tindak lanjut seperti

praktek atau percobaan lapang oleh peserta,

sehingga peserta dapat terus menguasai teknologi

tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian yang memberikan dan dan

ijin untuk melakukan bimbingan teknis dan

penelitian.

Page 104: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

206 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.2,Desember 2019:193-207

DAFTAR PUSTAKA

Balitkabi. 2008. Benih kedelai: sistem dan

teknologi produksi. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, 30(1): 2008.

Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan. 2016.

Sasaran dan realisasi luas tanam, panen,

produktivitas dan produksi padi dan

palawija keadaan s/d akhir Desember 2015.

Douthwaite, B, J.D.H. Keatinge, dan J.R. Park.

2001. Why promising technologies fail: the

neglected role of user innovation during

adoption. Research Policy, 30(2001): 819 –

836.

Hadi, S. dan I. Wijaya. 2016. Penyebab

melemahnya respons petani terhadap

usahatani kedelai di Kabupaten Jember.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.

Balitkabi. p. 355 – 363.

Harnowo, D., J.R. Hidayat, dan Suyamto. 2007.

Kebutuhan dan teknologi produksi benih

kedelai. p. 383-415. Dalam: Sumarno,

Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H.

Kasim (eds.). Kedelai: Teknik Produksi dan

Pengembangan. Puslitbang Tanaman

Pangan. Bogor.

Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman umum

produksi dan distribusi benih sumber

kedelai. Kementerian Pertanian.

Kementerian Pertanian. 2016. Basisdata statistik

pertanian.

https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newko

m.asp.

Lim, D.H. dan M.L. Morris. 2006. Influence of

trainee characteristics, instructional

satisfaction, and organizational climate on

perceived learning and training transfer.

Human Resource Development Quarterly,

17(1): 85 – 115. DOI: 10.1002/hrdq.

Mathieu, J.E, S.I. Tannenbaum, dan E. Salas.

1992. Influences of individual and

situational characteristics on measures of

training effectiveness. The Academy of

Management Journal, 35 (4): 828 – 847.

Nugraha, D.A. dan A.W. Muhaimin. 2018.

Analisis faktor-faktor produksi dan

pendapatan usahatani kedelai peserta

program bantuan kerjasama Bank Indonesia

kedelai Grobogan (studi kasus di Desa

Takeranklating, Kecamatan Tikung,

Kabupaten Lamongan). Jurnal Ekonomi

Pertanian dan Agribisnis, 2(3): 211 – 224.

Rogers, E. M. 1983. Diffussion of innovation.

Canada: The Free Press of Macmillan

Publishing Co.

Rozi, F. dan Subandi. 2012. Efektivitas pola

pembimbingan perbenihan kedelai untuk

meningkatkan kapasitas petani dan petugas.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, 5 Juli

2012. Balitkabi: Malang.

Santoso, P. dan K.B. Andri. 2011. Sistem

penyediaan benih kedelai dalam

mendukung peningkatan produksi di

Kabupaten Lamongan dan Ngawi.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, 15

November 2011. Balitkabi: Malang.

Tai, W.T. 2006. Effects of training framing,

general self-efficacy and training

motivation on trainees’ training

effectiveness. Personnel Review, 35(1): 51

– 65.

Warr, P. dan Bunce, D. 1995. Trainee

characteristics and the outcomes of open

learning. Personnel Psychology, Inc, 48:

347 – 375

Jeyarani, S. 2004. Population dynamics of brown

plant hopper, Nilaparvata lugens and its

relationship with weather factors and light

trap catches. Journal of Ecobiology, 16: 475

- 477.

Li, X.Z., Y. Zou, H.Y. Yang, H.J. Xiao, dan J.G.

Wang. 2017. Meteorological driven factors

of population growth in brown planthopper,

Page 105: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

207 Peran Bimbingan Teknis Dalam Meningkatkan Pengetahuan Teknologi Produksi Kedelai

Kepada Petani dan Penyuluh Pertanian Lapangan di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

(Yovita Anggita Dewi, Achmad Subaidi)

Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera:

Delpachidae) in rice paddies.

Entomological Research, 47(5): 309 - 3017.

Porter, J.H., M.L. Perry, dan T.R. Carter. 1991.

The potential effects of climate change on

agricultural pests. Agricultural and Forest

Meteorology, 57(1): 221 - 240.

Prasannakumar, N.R. dan S. Chander. 2014.

Weather-based brown planthopper

prediction model at Mandya, Karnataka.

Journal of Agrometeorology,16: 126 - 129.

Reddy, P.P. 2013. Biointensive integrated pest

mangement in Recent advances in crop

protection. Springer, India.

Shimoda, M. dan K. Honda. 2013. Insect reaction

to light and its applications to pest

management. Applied Entomology and

Zoology, 48: 413 – 421.

Yunus, M., E. Martono, A. Wijonarko, dan R.C.H.

Soesilohadi. 2011. Aktivitas ngengat

Scirpophaga incertulas di wilayah

kabupaten Klaten. Jurnal Perlindungan

Tanaman Indonesia, 17(1): 18 - 25.

Page 106: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun

PEDOMAN BAGI PENULIS

NASKAH. Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain.

BENTUK NASKAH. Naskah diketik dengan Microsoft Word, jenis huruf Arial, 2 spasi termasuk abstrak. Panjang naskah tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel, gambar, perhitungan dan literatur.

Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul Naskah, Nama Penulis beserta instansi dan alamat, Abstrak beserta Kata Kunci (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). Untuk tulisan review, urutannya: Pendahuluan, Sub-sub Topik Bahasan, Kesimpulan, dan ditutup dengan Daftar Pustaka. Untuk tulisan naskah hasil Litkaji setelah Pendahuluan dilanjutkan dengan Metodologi, dilanjutkan dengan Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.

BAHASA. Gunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baku. Pemakaian istilah-istilah asing hendaknya dikurangi/disesuaikan dengan Pedoman Bahasa Indonesia.

JUDUL NASKAH. Judul merupakan ungkapan yang mencerminkan isi naskah, tidak lebih dari 15 kata.

ABSTRAK. Naskah dalam bahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris ditulis ringkas dan jelas tidak lebih dari 250 kata. Abstrak dituangkan dalam satu paragraf, mencakup latar belakang, tujuan, metode penelitian, hasil pembahasan dan kesimpulan.

KATA KUNCI. Pemilihan kata kunci mengacu pada deskriptor yang tercantum dalam AGROVOC. Apabila istilah yang dipilih tidak terdapat dalam AGROVOC, maka Thesaurus lain atau kamus istilah dapat dipakai sebagai rujukan. Maksimal 4 kata kunci

PENDAHULUAN. Memuat alur pikir serta justifikasi perlunya penelitian/pengkajian atau penulisan dilakukan, perumusan tujuan secara rinci dan spesifik mengacu pada permasalahan yang akan diteliti atau ditulis

METODE. Memuat unsur lokasi dan waktu, rancangan penelitian/pengkajian meliputi penentuan/penetapan parameter/peubah; metode pengumpulan data (sampling method), metode pengolahan dan analisis data. Penyajian metode memerlukan acuan pustaka. Uraian agar mencantumkan rumusan matematis yang hasil numeriknya dapat divalidasi. Penyajian metode harus cukup terperinci sehingga dapat diulangi (repeatability). Untuk naskah berupa ulasan/review, setelah Pendahuluan langsung pada uraian Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Memuat tampilan dalam bentuk tabulasi data; analisis dan evaluasi terhadap data sesuai formula hasil kajian teoritis yang dilakukan; dan interpretasi hasil analisis

KESIMPULAN. Harus mengakomodasi semua tujuan yang telah ditetapkan, dan secara substantif mampu mengaitkan temuan pokok penelitian dan pengkajian dengan permasalahan yang dihadapi, azas manfaat penelitian, dilengkapi implikasinya dan bukan merupakan pengulangan atau ringkasan dari hasil dan pembahasan

TABEL. Tabel diberi judul singkat, jelas dan diikuti keterangan tempat dan waktu pengambilan data.

GAMBAR DAN GRAFIK. Gambar dan grafik dibuat ukuran besar sehingga memungkinkan direduksi antara 50-60% dari gambar dan grafik asli. Judul gambar dan grafik diletakkan di bawahnya tanpa mempengaruhi bagian gambar atau grafik.

SATUAN PENGUKURAN. Satuan pengukuran dalam teks, grafik dan gambar memakai sistem metrik misalnya kg, g, cm, km, l, ha dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA. Menyajikan semua pustaka yang dikutip (sebaiknya terbitan 10 tahun terakhir), Minimal 80% dari tulisan jurnal primer, disusun menurut abjad dengan urutan nama pengarang, tahun terbit, judul karangan, nama publikasi, volume dan nomor jurnal serta halaman.

Contoh Penulisan Daftar Pustaka:

Gonzales, N.J., T.W. Sullivan, J.H. Douglas, and M.M. Beck. 1993. Effect on inorganic sulfate on bone mineralization in broilers. Poultry Science 72(3):135-174.

Sutriadi, M.T., dan B. Rochayati. 2002. Pengkayaan P dengan phosphat alam pada lahan kering masam. Dalam Suptapto, Hartono (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering. Banjarbaru, 18-19 Desember 2002. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: hal. 47-58.

Chute, H.L. 1984. Fungal infections. In Hofstad, M.S (Eds). Diseases of Poultry. 8th ed. Iowa State Uvinersity Press. Iowa, USA: p. 309-322.

Cooper, M. McG. and R. J. Thomas. 1982. Profitable Sheep Farming. 5th ed. Farming Press Ipswich, UK.

Sutrisno, P.S. 2005. Integrasi Padi dan Ternak. http://www.ajol.info/viewarticle.php?id=abstak [28 Mei] 2006.

BPTP Kalteng. 2006. Pemanfaatan Lahan Rawa Eks PLG Kalimantan Tengah. BPTP Kalteng. Palangkaraya.

PENYERAHAN NASKAH. Naskah (hard copy) diserahkan ke Dewan Redaksi rangkap 3 (tiga) bersama dengan file naskah (soft copy) dengan dilengkapi surat pengantar dari kepala unit kerja/instansi.

WAKTU PENERBITAN. Buletin diterbitkan satu kali setahun. Urutan naskah yang diterbitkan didasarkan pada kelancaran proses pemeriksaan oleh Dewan Redaksi dan perbaikan oleh Penulis.

Page 107: KAJIAN POTENSI PENGGUNAAN BLOTONG SEBAGAI SUMBERbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/Download/...meningkatkan hasil dan pendapatan petani. Kebutuhan benih kedelai unggul setiap tahun