Kajian PERBAIKAN

44
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Wellek dan Warren (1977) dalam bukunya Teori Kesusastraan berpendapat bahwa “Sastra ‘menyajikan’ kehidupan, dan ‘kehidupan’ sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga ‘meniru’ alam dan dunia subjektif manusia.” (1977: 109) Lebih lanjut Darma (1983:52) menyatakan bahwa karya sastra, khususnya novel, diciptakan pengarang dengan tujuan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan bagian pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Mengutip pernyataan penulis Perancis, Michael Butor, Aart van Zoest (1993) dalam bukunya Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya menyatakan bahwa masalah manusia adalah mencari arti dari yang tidak mempunyai arti. Dia juga menyatakan bahwa semua mempunyai arti, atau tidak satupun mempunyai arti. Titik tolak dari pernyataan ini adalah bahwa manusia mencari arti dalam benda-benda dan gejala-gejala yang mengelilinginya dan bahwa dia, tepat atau tidak tepat, benar atau salah, memberikan arti. Karena manusia mampu, maka dia dapat memberikan arti 1

description

Bahasa

Transcript of Kajian PERBAIKAN

Page 1: Kajian PERBAIKAN

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Wellek dan Warren (1977) dalam bukunya Teori Kesusastraan berpendapat

bahwa “Sastra ‘menyajikan’ kehidupan, dan ‘kehidupan’ sebagian besar terdiri

dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga ‘meniru’ alam dan dunia

subjektif manusia.” (1977: 109) Lebih lanjut Darma (1983:52) menyatakan bahwa

karya sastra, khususnya novel, diciptakan pengarang dengan tujuan untuk

dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra

sebenarnya merupakan bagian pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu

jiwa.

Mengutip pernyataan penulis Perancis, Michael Butor, Aart van Zoest

(1993) dalam bukunya Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang

Kita Lakukan Dengannya menyatakan bahwa masalah manusia adalah mencari

arti dari yang tidak mempunyai arti. Dia juga menyatakan bahwa semua

mempunyai arti, atau tidak satupun mempunyai arti. Titik tolak dari pernyataan

ini adalah bahwa manusia mencari arti dalam benda-benda dan gejala-gejala yang

mengelilinginya dan bahwa dia, tepat atau tidak tepat, benar atau salah,

memberikan arti. Karena manusia mampu, maka dia dapat memberikan arti pada

benda-benda dan gejala-gejala. Manusia adalah homo semioticus. Pemuda yang

sedang jatuh cinta melepaskan helai-helai bunga (‘dia cinta padaku’, dia tidak cinta

padaku’), si ragu hati yang melemparkan uang untuk mengambil keputusan,

mahasiswa yang dalam perjalanan ke ujian, berpikir bahwa andai saja dia bertemu

dengan tiga kucing hitam berarti dia akan lulus ujian, merupakan usaha manusia

untuk merebut sebuah tanda dari kekuasaan yang lebih tinggi. Dan apabila kekuasaan

yang lebih tinggi itu berdiam diri, tidak memberikan tanda, maka mereka sendiri akan

memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda. Dengan demikian manusia

mempunyai kemampuan untuk menciptakan tanda. Ia dapat mengirimkan tanda dan

ia dapat sepakat mengenai arti tanda tersebut dengan sesamanya (Zoest, 1993).

1

Page 2: Kajian PERBAIKAN

Mengenai hubungan antara karya sastra dan tanda, Culler (1977:5)

mengungkapkan bahwa karya sastra tersusun oleh seperangkat sistem symbol (bagian

dari tanda), sedangkan sistem simbol itu memiliki arti apabila dapat dijelaskan dari

mana ia berasal dan untuk siapa ia dimanfaatkan. Mengenai hal tersebut, Zoest

mengungkapkan pendapat yang sama. Teks sastra secara keseluruhan merupakan

tanda dengan semua cirinya: bagi pembaca, teks sastra ini menggantikan sesuatu yang

lain, yakni kenyataan yang dipanggil, yang fiksional (Zoest, 1993: 61). Hal senada

diungkapkan oleh Ratna (2004), bahwa sastra dalam bentuk karya atau naskah

mengandung makna tanda-tanda, sesuatu yang lain yang diwalikinya, sebagai tanda-

tanda nonverbal. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal

dari konteks di mana ia diciptakan, di mana ia tertanam (Ratna, 2004: 117). Tanda ini

dikirimkan oleh pengirim (sender), yang bisa juga berarti penulis, kepada penerima

(receiver), yaitu pembaca. Oleh sebab itu, pemahaman suatu karya sastra tidak bisa

dilepaskan dari kenyataan di luarnya, yaitu masyarakat di mana karya itu hadir.

Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman

mengenai tanda yang sangat kaya. Kemampuan pengarang untuk menuangkan ide

dan pengalaman yang dia peroleh dari masyarakat ke dalam karya sastra dan juga

kemampuan pembaca untuk bias memahami atau mengiterpretasikan tulisan dan

maksud pengarang lewat karyanya menentukan nilai sebuah karya sastra

Cerpen merupakan simbol tanda, dan untuk memahami simbol tanda itu

diperlukan pemaknaan dari pembaca. Untuk memahami cerpen harus mampu

memahami bahasa yang di dalam cerpen sebagai sistem tanda yang mempunyai

arti. Di dalam cerpen sebagai sistem tanda yang mempunyai arti. Di dalam cerpen

terdiri dari simbol-unsur yang tersusun, dan setiap susunan tersebut mempunyai

makna yang saling berkaitan, maka di dalam pemaknaan cerpen tidak boleh

memaknai dengan semaunya sendiri melainkan harus dengan kerangka simbol

yaitu ilmu tentang tanda-tanda.

Di dalam cerpen harus diperhatikan tentang cara pemaknaanya karena

cerpen merupakan simbol tanda. Dengan demikian pendekatan semiotik cerpen

akan mampu diartikan. Semiotik mempelajari sistem-sistem, tanda-tanda,

konfensi-konfensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

2

Page 3: Kajian PERBAIKAN

Pengarang dalam menyampaikan idenya, tidak secara langsung

menuliskannya secara jelas dan mudah dimengerti. Pengarang memerlukan

semacam alat untuk menyampaikan pesan-pesan tersembunyi. Dengan tanda-

tanda, maka pengarang tidak perlu menuliskan secara jelas hal yang ingin

disampaikannya kepada pembaca. Pengarang hanya perlu menyuguhkan tanda-

tanda sehingga pikiran pembaca akan mencari-cari maksud yang diinginkan

pengarang.

Dalam cerpen berjudul Harimau Belang karya Guntur Alam, sosiologis

sastra, semiotika sastra, dan hermeneutika sastra menjadi hal yang mesti diungkap

berkaitan pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dalam

cerpen ini, bentuk kehidupan suatu masyarakat tertentu kurang bisa dipahami

ketika dibaca saja tanpa dikaji lebih dalam.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah, yaitu:

Bagaimana bentuk sosiologi, semiotika, dan hermeneutika sastra yang terdapat

dalam cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

bentuk sosiologi, semiotika, dan hermeneutika sastra yang terdapat dalam

cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam?

3

Page 4: Kajian PERBAIKAN

II. KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi memiliki

arti, ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu

pengetahuan yang memelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam

masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sedangkan sastra memiliki arti,

kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.

Kedua ilmu ini, memiliki objek yang sama, yaitu manusia. Sosiologi sebagai suatu

pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan

segi-segi sosial.

Wellek dan Warren (1956-1984, 1990:111) membagi sosiologi sastra

sebagai berikut: Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra,

masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar

belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari

berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah

warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang

adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat

tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau

posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah

sosiologi pengarang. (Wellek dan Warren, 1990:112)

Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang

menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa

yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini

mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial

(1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton

(penyusun sejarah cerpen Inggris yang pertama) bahwa sastra memiliki

4

Page 5: Kajian PERBAIKAN

kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya,

sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban.

Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya

sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya

meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup

tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkannya dalam kehidupannya.

Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam

Damono, 1989: 3-4), yang meliputi hal-hal berikut:

1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial

pengarang dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca

termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya,

yang terutama harus diteliti, yang berkaitan dengan:

a) Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia

mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau

pekerjaan yang lainnya,

b) Profesionalisme dalam kepengaranganya, dan

c) Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat

dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih

kabur, karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus

diperhatikan dalam klasifikasi karya sastra sebagai cermin masyarakat adalah:

a) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan cermin masyarakat pada waktu

ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu

sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis,

b) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi

pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,

c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu,

dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat,

d) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat

secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin

masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan

untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan

5

Page 6: Kajian PERBAIKAN

sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat

tertentu. Dengan demikian pandangan sosial pengarang diperhitungkan

jika peneliti karya sastra sebagai masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan

nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan:

a) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama

derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu sastra harus

berfungsi sebagai pembaharu dan perombak,

b) Sastra sebagai penghibur saja, dan

c) Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

Dari pengertian-pengertian sosiologi sastra menurut beberapa ahli di atas,

dapat saya simpulkan, bahwa sosiologi sastra erat kaitannya dengan kehidupan

sosial yang terjadi pada penulis (yang mempengaruhi proses penulisan sebuah

karya sastra), maupun segi sosial yang benar-benar dicerminkan penulis dalam

karyanya (lepas dari segi kemasyarakatan yang berhubungan langsung dengan

penulis).

2.2 Pengertian Semiotika Pierce

            Semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-

asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis berasal dari risalah

Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung

makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan ini

merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42)

        ”Menurut Pierce salah satu bentuk adalah kata, Sedangkan objek

adalah tanda yang ada dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang

sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. (Sobur, 2002:115)”.

Pierce juga mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari

kepertamaan, objeknya adalah kedua, dan penafsiran unsur pengantara adalah

contoh dari ketigaan. Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga

membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama satu penafsiran (gagasan)

yang membaca tanda sebagai tanda bagi lain (yaitu dari suatu makna dan

6

Page 7: Kajian PERBAIKAN

penanda) bisa ditangkap oleh penafsiran lainnya. Penafsiran ini adalah unsur yang

harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, penangkap)

membentuk tiga jenis penafsiran yang penting. Agar bisa ada sebagai suatu tanda,

makna tersebut harus ditafriskan yang dikupas teori segitiga makna adalah

persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan

orang pada waktu berkomunikasi.

Menurut Pierce tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain

dalam batas-batas tertentu.tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh

Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan, tanda baru

dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melaui

interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri

penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat

ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang

system tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukan

oleh Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik

Bagi Charles Sander Pierce (Pateda, 2001:44 dalam Sobur, 2003:41),

tanda ”is something which stand to somebody for something in some resfect or

capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut

ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau represntamen) selalu terdapat dalam

hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,

Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground

dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan ligisign. Berdasarkan Objeknya, Pierce

membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Dan

Berdasarkan Interpretantnya dibagi atas rheme, dicent sign atau decisign dan

argument.

Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa ada sembilan kajian semiotika

di dalam teori Pierce, yaitu:

1. Qualisigns

Tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan sifat. Contoh, sifat

merah merah mungkin dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisigns

karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar benar-benar menjadi

7

Page 8: Kajian PERBAIKAN

tanda, qualisigns harus memperoleh bentuk, karena suatu qualisigns dalam

bentuknya yang murni tidak pernah ada. Merah akan benar-benar menjadi tanda

kalau ia dikaitkan dengan sosialisme, atau mawar, bahaya atau larangan. Misalkan

bendera merah, mawar merah, dan lain-lain.

2. Sinsigns

Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Semua

pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsigns. Misal

jerit kesakitan, heran atau ketawa riang. Kita dapat mengenal orang dan cara jalan,

ketawanya, nada suara yang semuanya itu merupakan sinsigns.

3. Legisigns

Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu aturan yang berlaku

umum atau konvensi. Tanda-tanda lalu-lintas merupakan legisigns. Hal itu juga

dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisional, seperti mengangguk yang berarti

”ya”, mengerutkan alis, cara berjabatan tangan. Semua tanda bahasa merupakan

legisigns karena bahasa merupakan kode yang aturannya disepakati bersama

(Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32).

4. Ikon

Tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung

pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu

persamaan yang secara potensial dimilikinya. Secara sederhana, dapat dikatakan

bahwa ikon adalah tanda yang keberadaanya tidak bergantung kepada denotatum-

nya. Definisi ini mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan ikon, karena

semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Foto,

patung-patung naturalis, yang mirip seperti aslinya dapat disebut sebagai contoh

ikon.

5. Indeks

Sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya

sebuah denotatum. Dalam hal ini hubungan antara tanda dan denotatum-nya

adalah bersebelahan. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa indeks adalah

tanda yang keberadaannya bergantung pada denotatum-nya. Kita dapat

mengatakan bahwa tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Asap dapat dianggap

sebagai tanda api sehingga dalam kaitannya dengan api, asap ini dapat merupakan

8

Page 9: Kajian PERBAIKAN

indeks. Segala sesuatu yang memusatkan perhatiannya pada sesuatu dapat

merupakan indeks, berupa jari yang diacungkan, penunjuk arah angin, dan lain-

lain.

6. Simbol

Tanda yang hubungan antara tanda dan denotatum-nya ditentukan oleh

suatu peraturan yang berlaku secara umum. Secara umum, yang dimaksud dengan

simbol adalah bahasa (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5

No.1, 2004:32-33).

7. Rheme

Tanda merupakan rheme bila dapat diinterpretasikan sebagai representasi

dari kemungkinan denotatum. Misal, orang yang matanaya merah dapat saja

menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau

mata dimasuki insekta, atau baru bangun atau ingin tidur.

8. Dicisign (atau dicent sign)

Tanda merupakan dicisign bila ia menawarkan kepada interpretan-nya

suatu hubungan yang benar. Artinya, ada kebenaran antara tanda yang ditunjuk

dengan kenyataan yang dirujuk oleh tanda itu, terlepas dari cara eksistensinya.

9. Argument

Bila hubungan interpretatif tanda itu tidak dianggap sebagai bagian dan

suatu kelas. Contohnya adalah silogisme tradisional. Silogisme tradisional selalu

terdiri dari tiga proposisi yang secara bersama-sama membentuk suatu argumen;

setiap rangkaian kalimat dalam kumpulan proposisi ini merupakan argumen

dengan tidak melihat panjang pendeknya kalimat-kalimat tersebut (Ratmanto,

dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:33).

Untuk mengungkap suatu hal dalam karya sastra yang berhubungan

dengan budaya, berhubungan dengan kesepakatan konvensional perihal bahasa,

maka tanda yang berupa simbol-simbol yang akan diteliti dalam cerpen Harimau

Belang karya Guntur Alam.

2.3 Pengertian Hermeneutika

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa

Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis,

9

Page 10: Kajian PERBAIKAN

hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan

pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik

lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan

bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra

terdiri atas bahasa, di pihak lain, didalam bahasa sangat banyak makna yang

tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.

Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam

menafsirkan teks. Hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang

berbeda dan saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2)

persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman interprestasi itu (Palmer,

2005 : 8). Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutika

adalah pemahaman (understanding) pada teks.

Analisis Hermeneutika

Analisis adalah proses dalam merinci suatu data yang akan ditulis pada

penyajian data. Analisis data dilakukan dengan menentukan makna setiap data,

hubungan satu dengan yang lain dan memberikan penafsiran yang dapat diterima

oleh akal sehat dalam konteks masalahnya secara keseluruhan, untuk itu data

tersebut dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan pola berpikir

analitik, sintetik, logis yang kemudian dicari persamaan dan perbedaannya.

Disamping itu dicari hubungan atau ketergantungan antara yang satu dengan yang

lain meskipun bukan dalam bentuk sebab akibat. Hermeneutika berusaha

menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang

melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang,

dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan suatu

upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekon-struksi dan reproduksi

makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh

pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang

ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan

kondisi saat teks dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, hermeneutika

memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran yaitu

teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi. Ricouer (dalam

Rafiek) menjelaskan tentang tata cara kerja hermeneutic sebagai berikut: langkah

10

Page 11: Kajian PERBAIKAN

pertama, ialah langkah simbolik, dari symbol ke symbol. Langkah kedua, adalah

pemberian makna oleh symbol serta penggalian yang cermat atas makna. Langkah

ketiga, adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu menggunakan symbol

sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut mempunyai hubungan erat dengan

langkah-langkah pemahaman bahasa , yaitu semantik (tingkat ilmu bahasa yang

murni), refleksif (tingkat ilmu yang lebih tinggi, yang mendekati tingkat

ontology), dan eksistensial atau ontologism (pemahaman tingkat being atau

keberadaan makna).

Dalam analisis hermeneutik tidak mencari kesamaan antara maksud

penyampai pesan dan penafsir, akan tetapi hermeneutik disini adalah menafsirkan

makna dan pesan seobjektif mungkin dengan keinginan teks. Teks itu sendiri tentu

saja tidak otonom yang tertulis atau terlukis (visual), tetapi selalu berkaitan

dengan konteks. Hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal diluar

teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus

bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Semua proses penafsiranya merupakan

dialog antara teks dan penafsir. Hermeneutik erat kaitanya dengan analisis

structural. Analisis structural yaitu sarana logis untuk menguraikan teks (objek

yang ditafsirkan). Kemudian analisis hermeneutik bergerak lebih jauh dari kajian

struktur, analisis hermeneutik melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga

memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam.

Bagaimanapun berbagai elemen struktur yang bersifat simbolik tidak bisa

dibongkar dengan hanya relasi antarelemen tersebut. Oleh sebab itu penafsiran

hermeunetik mencakup ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya; psikologi,

sosiologi, politik, antropologi, sejarah, dan lain lain. Ini yang dimaksud dengan

distansiasi atas dunia teks (objek) dan pemahaman diri. Dengan kata lain, jika teks

diapahami melalui analisis relasi antar unsurnya (structural), bidang-bidang lain

yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain

yang relevan dan memungkinkan. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode

dan pendekatan yang telah diuaraikan diatas dalam kaitanya dengan karya seni

sebagai subyek penelitian, dengan ini akan digambarkan berupa piramida terbalik

sebagai berikut:

11

Page 12: Kajian PERBAIKAN

Makna

Disiplin Ilmu Lain yang Relevan

Seniman dan Aspek Referensial

Simbolisasi

Objektivasi Struktur

Seni atau Objek

1) Teks (seni), di tempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek

atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.

2) Karya seni, sebagai fakta ontology dipahami dengan cara mengobjektifasi

strukturnya. Disini analisis structural menempati posisi yang penting.

3) Simbolisasi, terjadi sebab tafsir telah melampaui batas struktur.

12

Page 13: Kajian PERBAIKAN

4) Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang

bersifat referensial yang menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor

yang berkaitan denganya.

5) Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan

diluar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.

Makna, dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutic

berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya

seni sebagai fakta ontology), tetapi berada di dalam horizon yang dipancarkan

teks.

III. PEMBAHASAN

3.1 Kajian Sosiologis Sastra dalam Cerpen Harimau Belang

Menurut Wellek dan Warren (dalam Faruk, 1999 : 3), pengklasifikasian

kajian sosiologi meliputi tiga hal, pertama sosiologi pengarang yang

mempermaslahkan atau membahas tentang status sosial, idiologi, sosiologi, dan

sebagainya yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua,

sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan unsur-unsur pembentuk suatu

karya sastra itu sendiri. Hal tersebut membahas hal yang menjadi pokok

permaslahan. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermaslahkan pembaca dengan

pengaruh sosial karya sastra.

3.1.1 Sosiologi Pengarang dalam Cerpen Harimau Belang

Faruk (1999 : 4) mengungkapkan bahwa dari Wellek dan Warren, Sapardi

Djoko Damono menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam

sosiologi sastra, salah satunya yaitu, sosiologi pengarang yang memasalahkan

status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang

sebagai penghasil karya sastra. Sejalan dengan hal itu, Watt (dalam Semi,

1968:54) mengatakan bahwa konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut

13

Page 14: Kajian PERBAIKAN

posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di

dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai

perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

Guntur Alam, lahir di Tanah Abang, Muara Enim, Sumatera-Selatan, 20

November 1986. Belajar menulis di Bengkel Cerpen Nida tahun 2005.

Menyelesaikan pendidikan di Teknik Sipil Universitas Islam “45” Bekasi.

Cerpen-cerpennya tersebar di berbagai media massa nasional dan lokal.

Beberapa prestasi di dunia menulis seperti: Juara 1 Sayembara Menulis

Cerita Rakyat Kabupaten Muara Enim 2003, Finalis LMCPI VII Annida 2005,

Juara Hiburan di LCPI Ummi 2007, 1 dari 10 Cerpenis Terbaik Festival Seni

Surabaya 2010, Juara 2 Lomba Cipta Cerpen Pemuda Kementerian Pemuda dan

Olahraga 2011, Cerpenis Pilihan Kompas 2011, 1 dari 15 Penulis yang lulus

seleksi kurator untuk berpartisipasi dalam Ubud Writers and Readers Festival

2012 pada 3-7 Oktober 2012, 20 Besar Lomba Penulisan Romance Qanita-Mizan

2012, Juara 1 Sayembara Menulis Cerpen “Banten, Suatu Ketika” Banten Muda

Community 2012, Juara 3 Lomba Mengarang Cerpen Pascasarjana Universitas

Negeri Makassar 2013, Cerpenis Pilihan Kompas 2012 dan lain-lain.

Hampir setiap karya yang diciptakan Guntur Alam adalah karya-karya

yang bernuansa sosial. Salah satunya adalah cerpen Harimau Belang. Cerpen ini

mengisahkan pasangan saumi istri yang bernama Nalis dan Menot yang saling

menyayangi. Pengalaman-pengalaman sosial masyarakat yang pernah dialaminya,

mungkin menjadi sebuah pijakan tersendiri untuk menyebutnya sebagai seorang

yang berjiwa sosial. Pengalaman-pengalaman sosial tersebut kemudian diuraikan

dalam cerpen-cerpennya, yang lebih sering tercampur dengan persoalan-persoalan

tradisi masyarakat membuat pembaca terasa memasuki dunia lain.

Harimau belang adalah titisan leluhur dari masa silam. Puyang, begitulah

mereka menyebutnya. Dalam cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam ini,

harimau belang merupakan hewan keramat yang tidak boleh diburu.  Namun,

sepertinya Nalis dan warga dusun Tanah Abang sedikit nyeleweng dari latar

belakang mitos desanya. Guntur Alam menghadirkan cerpen Harimau Belang

dengan latar belakang Mitos/Kepercayaan sebuah dusun. Namun pesan yang

terkandung di dalamnya dapat diterima oleh semua kepercayaan masyarakat.

14

Page 15: Kajian PERBAIKAN

Bahwa tidaklah benar mempercayai mitos terkait harimau belang tersebut.

Pengarang sepertinya ingin menyampaikan pesannya melalui jalan cerita yang tak

biasa.

3.1.2 Sosiologi Karya Sastra dalam Cerpen Harimau Belang

Menurut Wellek, karya sastra memiliki tujuan untuk menghibur dan

mendidik agar pembaca mengetahui atau memahami perasaan yang ingin

disampaikan oleh pengarang. Selain itu karya sastra juga disebut sebagai

ungkapan keindahan sastrawan mengenai suatu objek. Sebagai sarana mencari

uang, dimana karya sastra dapat digunakan semata-mata sebagai sarana mencari

uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yaitu pengarang dengan menjual

hasil karya sastra yang mereka buat kepada para pembaca. Karya sastra dapat

digunakan sebagai propaganda, dengan karya sastra para pengarang dapat

menyampaikan suatu maksud atau pesan yang ditujukan kepada khlayak

umum/pembaca agar para pembaca melakukan pesan atau maksud yang ada pada

karya sastra tersebut, terlepas dari baik atau buruknya pesan yang ingin

disampaikan oleh pengarang.

Cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam merupakan cerpen yang

sangat jenius, penuh kejutan dan mempunyai makna yang dalam. Membaca

cerpen Harimau Belan tidak hanya mengajak kita untuk melihat manusia, dunia

dan isinya, namun memaksa kita memasuki dunia kepercayaan masyarakat

(mitos). Guntur Alam berusaha menyuguhkan permainan bahasa yang lebih

ditekankan dalam hal bentuk-gaya dan mulai sedikit meninggalkan isi. Menot

merupakan tokoh sentral dalam cerpen ini. Ia merupakan istri dari Nalis. Mereka

mempunyai dua anak laki-laki yakni Latas dan Pebot. Sebagai orang tua dan

sekaligus pemimpin rumah tangga, kedua berusaha menjaga agar anak mereka

tersebut tetap aman dan baik, dengan cara ikut berburu Harimau Belang.

….

”BESOK aku akan ikut orang-orang berburu rimau,” ucap Nalis tadi malam

”Tak usahlah, Bang. Nanti kualat berburu puyang,” Menot tak ingin ada hal

buruk yang menimpa Nalis, dia, dan anak-anaknya.

15

Page 16: Kajian PERBAIKAN

”Kalau tak dibunuh, rimau itu akan makan orang lagi. Iya kemarin anak

lanangnya Kudik, besok-besok bisa jadi anak kita,” tukas Nalis.

….

Dialog di atas merupakan sebagian pencarian dari beberapa bagian yang

memperlihatkan bahwa Nalis dan Menot sangat menjaga anak-anaknya sekalipun

harus berburu Harimau Belang. Namun, Tuhan mempunyai kehendak sendiri,

Nalis tak kunjung kembali dari berburu, sedangkan Menot bertemu dengan

Harimau Belang di Danau Piabong.

 

3.1.3 Sosiologi Pembaca dalam Cerpen Harimau Belang

Sosiologi pembaca mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial

karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat

pembacanya ( Wellek dan Werren, 1990: 111 ). Beberapa pengertian dan pendapat

di atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan

terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk

latar belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya sastra. Karya sastra kita

kenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan jiwa namun juga

atas realitas yang terjadi di sekeliling pengarang. Seorang sastrawan tidak hanya

mengikuti selera publiknya atau pembacanya, tetapi juga menciptakan publiknya

sendiri. Pembaca memiliki peran penting dalam dunia sastra. Adanya

pembaca, dunia sastra mengalami perkembangan, baik dalam produksi karya

ataupun segi keilmuan. Tanpa pembaca, fungi sastra tidak memiliki perannya

dalam karya. Jadi karya tanpa ada pembaca tidak lebih dari sekedar kumpulan

naskah.

Dewasa ini, kemunculan karya sastra semakin banyak. Beberapa media

cetak, seperti koran, setiap minggu ada yang memuat karya sastra. Lahirnya

karya sastra, tidak terlepas dari kepiawaian seorang penulis dalam

mengeksplorasikan idenya. Keberadaan karya sastra sampai pada pembaca, tidak

terlepas dari keberadaan penerbit atau media. Tujuan akhir dari penerbitan adalah

mampu menjadikan karya sastra dapat dimiliki oleh pembaca yaitu masyarakat

atau publik. Pembaca dapat dikatakan sebagai raja pada kegiatan produksi sastra.

16

Page 17: Kajian PERBAIKAN

Dalam dunia sastra sorang penulis, karya/hasil ciptaan penulis

dan pembaca merupakan mata rantai dalam menggerakkan perkembangan

dunia sastra. Penulis merupakan titik awal dalam keberadaan karya. Karya inilah

yang akan diterima oleh pembaca atau penikmat sastra.

Keberadaan pengarang dan karya sastra tentunya tidak pernah lepas dari

pembaca, seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa tanpa pembaca, fungi sastra

tidak memiliki perannya dalam karya. Hal itu karna antara ketiganya memiliki

hubungan yang tak dapat dipisahkan, hususnya hubungan antara pengarang dan

pembaca dengan menjadikan karya sastra sebagai sarananya penghubungnya.

Hubungan sastrawan dengan pembaca adalah hubungan timbal balik. Pada awal

komunikasi, sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya berangkat dari

praanggapan yang sama. Dalam dunia sastra, praanggapan ini dinamakan

konvensi sastra (Wahyudi Siswanto, 2008: 94).

Sastrawan yang mengetahui konvensi yang sudah ada dibenak pembaca

bisa mengambil sikap mengikuti dan memanfaatkan konvensi itu. Sastrawan yang

mengambil sikap mengikuti konvensi bisa berangkat dari praanggapan yang sama

dengan pembaca dan tetap setia untuk menghasilkan karya sastra yang sesuai

dengan praanggapan tersebut.

Melalui cerpen Harimau Belang ini, Guntur Alam ingin menyampaikan

kepada pembaca bahwasannya eksistensi manusia hanya sebatas sebagai makhluk,

sedangkan Tuhan adalah sang Pencipta. Ia yang mengendalikan semua dan

menjadi super power yang tidak pernah bisa tertandingi. Mitos warga dusun

Tanah Abang tidak ada satupun yang mampu menandingi kuasa Tuhan. Bukan

mitos yang tak bias dipecahkan, namun kuasa Tuhan yang tak bisa diperkirakan.

3.2 Kajian Semiotik Sastra dalam Cerpen Harimau Belang

Dalam cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam terdapat kutipan kata

yang mengandung simbol-simbol yang perlu dirunut maknanya untuk lebih

memahami maksud dan mengerti pesan yang ingin disampaikan pengarang. Kata

dan kalimat yang mengandung simbol-simbol beserta pemaknaan simbol tersebut

adalah sebagai berikut:

a.       Laki, lanang-lanang, bini

17

Page 18: Kajian PERBAIKAN

Pemilihan kata untuk menyebut laki-laki atau istri dalam cerpen tersebut

menyiratkan pada masyarakat tertentu. Penggunaan diksi-diksi tersebut, laki untuk

menyebut suami atau laki-laki dewasa, lanang-lanang untuk menyebut para lelaki

dan bini untuk menyebut istri, biasa dipakai pada masyarakat Minangkabau. Atau

banyak dipakai pada masyarakat sekitar Sumatera.

b.      Terlebih Menot tengah mengandung anak ketiga mereka. Perempuan

berumur dua puluh enam tahun itu masih percaya jika seseorang tengah hamil,

lakinya tak boleh berbuat macam-macam dengan binatang.

Kutipan tersebut memberikan pengertian bahwa masyarakat dalam cerpen

tersebut adalah masyarakat yang masih terjebak dalam sistem perkawinan dini.

Bila umur dua puluh enam saja sudah akan melahirkan anak ketiga, dan anak

pertama berumur 9 tahun, maka perempuan ini, Menot menikah minimal pada

usia 17 tahun. Atau, bila dikurangi masa mengandung selama 9 bulan, bisa jadi

usia saat menikah adalah 16 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk sebuah

perkawinan. 

”Tas, jaga adik. Emak nak mandi ke Piabong,” ucapnya pada Latas, anak

sulungnya yang berumur sembilan tahun itu.

Kutipan yang menyatakan bahwa anak pertama Menot berusia 9 tahun.

c.       Menot, Nalis, Seron, Kudik, Ceok, Genepo, Latas dan Pebot;

Nama-nama tokoh dalam cerpen tersebut barangkali adalah nama-nama

yang kurang umum di telinga pembaca. Nama-nama tersebut adalah nama yang

menyiratkan dari kelompok tertentu. Sebuah komunitas masyarakat yang

barangkali benar-benar ada, atau memang hanya imajinasi tajam dari pengarang.

Bahkan hanya sekedar untuk menarik perhatian pembaca. Sejauh ini, belum

ditemukan tanda-tanda yang pasti perihal nama-nama tersebut. bila dihubung-

hubungkan dan dimirip-miripkan dengan simbol-simbol yang lain, maka, nama-

nama tersebut adalah nama-nama komunitas masyarakat di daerah Minangkabau,

Sumatera.

d.      Tanah Abang

18

Page 19: Kajian PERBAIKAN

Pemilihan nama dusun dengan Tanah Abang ini, mungkin ditujukan untuk

“menipu” pembaca. Tanah Abang memang identik dengan nama sebuah kawasan

di Jakarta. Namun, dalam cerpen ini, suasana yang digambarkan pengarang sangat

jauh dari Jakarta. Bahkan masyarakatnya dijelaskan berada di dekat hutan, dengan

masyarakat yang masih tradisional dan bahasanya pun bukan bahasa ala Jakarta.

Bila yang dimaksud adalah sebuah kawasan di Jakarta sebagaimana yang

umum diketahui, maka tentu akan banyak hal lain yang mendukung. Dalam

cerpen ini sama sekali tak ada yang mendukung itu. Tanah Abang, dalam cerpen

ini adalah nama dusun. Sehingga bila memang benar-benar ada, maka tak akan

banyak orang yang mengetahuinya. Tanah Abang yang dimaksud dalam cerpen

ini, sama sekali bukan kawasan di Jakarta.

e.       pergi berburu

Berburu berarti ada tempat tujuan untuk berburu. Berburu yang dimaksud

dalam cerpen ini adalah berburu Harimau Belang yang meresahkan masyarakat

tersebut. Dengan pergi berburu, pengarang sebenarnya ingin mengatakan bahwa

masyarakat yang digambarkannya adalah mereka yang tinggal dekat hutan. Hutan

karet.

f.       harimau belang adalah titisan leluhur dari masa silam, jika seseorang

melintas di hutan dan ada harimau belang, dia harus permisi

Budaya masyarakat dalam cerpen tersebut masih percaya dengan mitos

yang diwariskan leluhur mereka. Bahwa ketika melewati harimau belang, mereka

wajib permisi. Kepercayaan ini menandakan bahwa masyarakat yang diletakkan

pengarang dalam cerpen ini adalah masyarakat yang masih memegang teguh

warisan mitos leluhur mereka.

g.      kambing yang sedang merumput di darat dusun

Selain dekat dengan hutan, ternyata masyarakat itu juga ada di sebuah

perkampungan yang kurang layak disebut kota. Kambing merumput menandakan

19

Page 20: Kajian PERBAIKAN

bahwa masyarakat yang dibawa pengarang adalah masyarakat kampung yang

berarti tidak perkotaan. Ini diperjelas juga dengan kata dusun.

h.      Bocah laki-laki enam tahun itu diterkamnya saat tengah bermain perang-

perangan dengan kawan-kawannya di darat dusun.

Kutipan ini menguatkan bahwa masyarakat ini adalah masyarakat

kampung. Karena di kota sudah tidak jamannya lagi anak-anak bermain perang-

perangan.

Perang-perangan adalah salah satu permainan yang cukup populer di kampung-

kampung. Di kota, perang-perangan sudah tidak ada lagi, barangkali. Anak-anak

lebih suka pergi ke tempat playstation atau warnet.

i.        bergumul dengan pokok karet, tambang batubara Serpuh, atau bergumul

dengan gelondongan kayu di BHT, pabrik bubur kertas, di hulu kecamatan

Kutipan ini menunjukkan bahwa mata pencaharian masyarakat dalam

cerpen ini adalah menyadap karet, penambang batubara, atau pekerja pabrik

kertas. Selain itu, mereka juga digambarkan masyarakat yang dekat dengan hutan,

dekat dengan pohon karet. Karena pekerjaan mereka adalah menyadap karet.

Dengan pekerjaan ini, masyarakat dalam cerpen ini digambarkan masyarakat yang

menempati posisi menengah ke bawah. Pernyataan ini diperkuat dengan kutipan

berikut:

Sayangnya orang-orang dusun cuma kebagian jadi satpam, tukang tebang

kayu, tukang angkut kayu di pabrik bubur kertas itu. Tak ada yang diangkat jadi

bos

Masyarakat dusun Tanah Abang tidak ada yang diangkat menjadi bos, karena

tidak memiliki ijasah sarjana. Posisi bos tidak bisa ditempati, sehingga mereka

menjadi masyarakat yang terus berada di kawasan ekonomi menengah ke bawah.

Kemudian masyarakat itu bisa menjadi kaya ketika mereka rela menjual tanahnya.

Seperti dalam kutipan berikut:

Beberapa orang jadi kaya mendadak karena tanahnya kena operan Serpuh

20

Page 21: Kajian PERBAIKAN

Orang yang kaya mendadak sudah pasti berasal dari tidak kaya alias

miskin. Mereka yang merelakan tanahnya dan menjadi mendadak kaya. (Dengan

asumsi kaya adalah bila memiliki banyak uang).

j.        jika seseorang tengah hamil, lakinya tak boleh berbuat macam-macam

dengan binatang

Ungkapan ini menunjukkan bahwa masyarakat dalam cerpen ini adalah

masyarakat yang masih erat dengan mitos. Meskipun memang terdapat bukti-

bukti yang menyatakan bahwa seorang suami yang berbuat buruk pada binatang

ketika istrinya sedang hamil, ada hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi

pada anak ketika ia lahir nanti. Sebagaimana terdapat dalam penggalan berikut:

Dulu, saat bininya hamil muda, Ceok sempat menghajar ular hitam yang dia

temui di kebun karetnya. Ular itu melarikan diri, tak mati tapi babak belur kena

pukulan kayu dari Ceok. Saat anaknya lahir, anaknya lumpuh layu. Orang-orang

dusun mengatakan, Ceok kualat gara-gara ular hitam itu.

Keyakinan ini memang masih menjadi wajah sehari-hari kita dalam

kehidupan masyarakat yang masih tidak bisa dilepaskan dari belenggu pikiran

nenek moyang atau leluhur. Pernyataan ini diperkuat dengan ungkapan berikut:

Binatang yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun dianggap keramat oleh

orang dusun

Bahwa pikiran tentang keramat memang diturunkan dan diwariskan secara

teratur oleh nenek moyang. Orang-orang dusun dahulu terlanjur mengeramatkan

binatang harimau belang yang satu itu sehingga sampai anak cucunya masih tetap

mengikuti persepsi orang dusun terdahulu.

k.      Harus tamat kuliah kalau nak jadi bos, Bang

Penggalan tersebut menyiratkan bahwa pendidikan masyarakat dalam

cerpen ini rata-rata hanya tamatan sekolah menengah atas atau bahkan di

bawahnya lagi. Pernyataan ini diperkuat dengan penggalan berikut:

Perempuan yang hanya tamat SD itu tak berani bersuara. Lakinya tak akan

mendengarnya. Kalau pun dia didengarkan, apa yang bisa mereka perbuat?

21

Page 22: Kajian PERBAIKAN

Si Menot yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini bahkan hanya

seorang yang lulusan sekolah dasar. Sehingga setidaknya menjadi perwakilan

masyarakat sekitarnya bahwa pendidikan mereka memang tidak terlalu baik.

Dalam kutipan lain juga dijelaskan bahwa warga dusun Tanah Abang kebanyakan

adalah lulusan SMA, karena tidak ada keterangan melanjutkan pendidikan.

Berikut kutipannya:

bujang Tanah Abang tamatan SMA melamar kerja di sana dan diterima; jadi

tukang gali batubara!

Dengan alasan yang tidak disebutkan, setelah tamat SMA, para warga

Tanah Abang memilih melamar kerja di pabrik dan memang diterima, meskipun

hanya menjadi tukang gali batubara. Padahal untuk menjadi tukang gali batubara,

secara nalar tidak memerlukan lulus SMA. Asalkan memiliki fisik yang cukup

kuat, maka pekerjaan ini layak bagi orang tersebut.

Maka, pernyataan tersebut juga dapat dimaknai bahwa di kawasan Tanah Abang

tidak ada pekerjaan yang lebih baik yang bisa dipilih dan menjadi alternatif. Dan

menjadi tukang gali batubara adalah pilihan yang sama sekali tidak buruk.

l.        JARUM  jam bergambar Kabah..

Kutipan ini menjadi bukti bahwa masyarakat dalam cerpen ini, beragama

yang identik dengan Ka’bah yaitu agama Islam. Meskipun belum tentu

masyarakat beragama Islam seluruhya, namun berdasarkan tanda ini, dapat

memberi perwakilan gambaran bahwa sebagian masyarakat Tanah Abang

beragama yang identik dengan Ka’bah, yaitu agama Islam.

m.    Limas

Sebagaimana diuraikan di atas, maka tidak salah lagi bahwa masyarakat

dalam cerpen ini adalah masyarakat yang ingin diasumsikan masyarakat di

kawasan Sumatera. Meskipun kurang jelas masyarakat yang mana, namun dari

beberapa tanda-tanda atau simbol yang telah ditemukan, terdapat alternatif untuk

menebak-nebaknya. Ada Palembang, Riau dan Jambi. Rumah Limas memang

identik dengan Sumatera Selatan, namun Jambi adalah penghasil karet terbesar.

Sedangkan Riau, suatu sumber juga menyebutkan daerah ini juga menyumbang

karet yang tidak kecil. Kawasan tersebut juga terdapat taman Nasional yang isinya

22

Page 23: Kajian PERBAIKAN

adalah binatang-binatang. Maka, alternatif itu adalah pilihan yang bisa sedikit

menjawab dari sekian kemungkinan-kemungkinan.

n.      film kartun Spongebob

Di bagian sebelum akhir cerita, disebutkan bahwa ada seorang anak yang sedang

menonton film kartun Spongbob. Film kartun yang banyak berisi adegan konyol

itu membuat kita yakin bahwa latar waktu yang diusung pengarang tidak jauh dari

masa sekarang. Karena film kartun spongbob sendiri baru beredar di Indonesia

sesudah abad ke-21.

3.3 Kajian Hermeneutika Sastra dalam Cerpen Harimau Belang

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa

Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis,

hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan

pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik

lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan

bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra

terdiri atas bahasa, di pihak lain, didalam bahasa sangat banyak makna yang

tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.

Dalam karya sastra, hermeneutik dipakai untuk menginterpretasi sebuah

teks supaya dapat dipahami, Gadmer mengatakan bahwa untuk memahami karya

sastra diperlukan tiga tahapan, yaitu kemengertian, interpretasi, dan aplikasi.

Dalam proses aplikasi, seorang pembaca dapat memahami teks karya sastra jika

cakrawala kesejarahan teks melebur dengan cakrawala pembaca.

Dalam cerpen ini, yang menjadi tokoh utama adalah tokoh Menot, karena

tokoh ini merupakan pusat penceritaan dan memiliki peran penting dalam suatu

cerita.

Tokoh Menot adalah seorang perempuan yang tidak bisa menikmati masa

remajanya bahkan untuk bermain dan bercanda. Keinginannya untuk menikmati

masa remaja yang ceria sama seperti anak remaja lainnya harus kandas. Kondisi

tersebut kemudian memaksanya merelakan masa remajanya hancur karena harus

menikah dengan laki-laki yang bernama Nalis.

23

Page 24: Kajian PERBAIKAN

Keadaan ini dapat kita lihat dalam penggalan cerpen dibawah ini:

“Terlebih Menot tengah mengandung anak ketiga mereka. Perempuan berumur

dua puluh enam tahun itu masih percaya jika seseorang tengah hamil, lakinya tak

boleh berbuat macam-macam dengan binatang.”

Kutipan tersebut memberikan pengertian bahwa masyarakat dalam cerpen

tersebut adalah masyarakat yang masih terjebak dalam sistem perkawinan dini.

Bila umur dua puluh enam saja sudah akan melahirkan anak ketiga, dan anak

pertama berumur 9 tahun, maka perempuan ini, Menot menikah minimal pada

usia 17 tahun. Atau, bila dikurangi masa mengandung selama 9 bulan, bisa jadi

usia saat menikah adalah 16 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk sebuah

perkawinan. 

”Tas, jaga adik. Emak nak mandi ke Piabong,” ucapnya pada Latas, anak

sulungnya yang berumur sembilan tahun itu.

Kutipan yang menyatakan bahwa anak pertama Menot berusia 9 tahun.

Dalam bagian lain, tokoh Mneot mengalami suatu tekanan batin karena

mengalami trauma yang mendalam dalam hidupnya karena mitos yang menyebar

di dusun Tanah Abang. Tokoh Menot tak rela suaminya pergi berburu Karena ia

takut nanti anaknya akan lahir secara cacat akibat ulahnya memburu Harimau

Belang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen di bawah ini:

”Tak usahlah, Bang. Nanti kualat berburu puyang,” Menot tak ingin ada hal

buruk yang menimpa Nalis, dia, dan anak-anaknya. Terlebih Menot tengah

mengandung anak ketiga mereka. Perempuan berumur dua puluh enam tahun itu

masih percaya jika seseorang tengah hamil, lakinya tak boleh berbuat macam-

macam dengan binatang.

“Keyakinan ini makin kuat karena ketabuan ini bukan mitos semata. Anak

pertama Ceok terlahir dengan badan lumpuh layu, tak bisa bergerak, terkapar

saja di atas kasur walau bujang itu sudah berumur lima tahun. Dulu, saat bininya

hamil muda, Ceok sempat menghajar ular hitam yang dia temui di kebun

karetnya. Ular itu melarikan diri, tak mati tapi babak belur kena pukulan kayu

dari Ceok. Saat anaknya lahir, anaknya lumpuh layu. Orang-orang dusun

mengatakan, Ceok kualat gara-gara ular hitam itu.

24

Page 25: Kajian PERBAIKAN

Dari kutipan di atas, kita bisa lihat bahwa tokoh Menot tidak ingin

suaminya pergi berburu, dia ingin diperlakukan seperti layaknya seorang istri, dia

ingin dimanja dan disayang dengan cara yang normal. Karena trauma akan mitos-

mitos yang beredar di Dusun Tanah Abang tersebut, tokoh Menot begitu resah

ketika suaminya pergi berburu.

Tokoh Menot pada dasarnya selalu berusaha bersikap baik dan sopan

kepada suaminya karena hal tersebut merupakan suatu yang harus dilakukan

untuk menjunjung tinggi nilai moral yang berlaku dalam masyarakat meskipun

sebenarnya batinnya menolak untuk melakukan itu. Keadaan ini dapat kita lihat

dalam kutipan cerpen berikut :

“Nah, bagaimana Menot tak cemas ketika Nalis bercerita hendak berburu

harimau belang. Binatang yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun dianggap

keramat oleh orang dusun mereka. Menot tak dapat membayangkan akan seperti

apa nasib yang menimpa anak dalam kandungannya ini kelak.”

”Kalau tak dibunuh, rimau itu akan makan orang lagi. Iya kemarin anak

lanangnya Kudik, besok-besok bisa jadi anak kita,” tukas Nalis.

”Tapi, Bang,” Menot masih berusaha membantah, dia melabuhkan mata ke arah

Nalis. Keduanya berpandangan dalam temaram lampu dapur. ”Aku takut terjadi

hal buruk. Kau tahu sendiri aku tengah hamil. Rimau juga sangat buas. Kau bisa

mati kalau diterkamnya.” Menot memasang wajah memelas.

25

Page 26: Kajian PERBAIKAN

IV. PENUTUP

4.1 Simpulan

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi memiliki

arti, ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu

pengetahuan yang memelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam

masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sedangkan sastra memiliki arti,

kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.

Kedua ilmu ini, memiliki objek yang sama, yaitu manusia. Sosiologi sebagai suatu

pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan

segi-segi sosial.

Wellek dan Warren (1956-1984, 1990:111) membagi sosiologi sastra

sebagai berikut: Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra,

masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar

belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari

26

Page 27: Kajian PERBAIKAN

berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah

warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial.

Semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-

asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis berasal dari risalah

Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung

makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan ini

merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42).

Menurut Charles Sander Pierce ( 1839 - 1913 ) tanda dapat dibagi menjadi

tiga. Mereka adalah simbol, ikon, dan indeks. Simbol merupakan hubungan

petanda dengan petanda sebagai kesepakatan konvensional. Ikon lebih cenderung

menghubungan petanda dan penanda secara fisik. Sedangkan indeks

menghubungkan petanda dan penanda sebagai hubungan sebab akibat.

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa

Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis,

hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan

pesan Illahi kepada manusia.

Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam

menafsirkan teks. Hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang

berbeda dan saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2)

persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman interprestasi itu (Palmer,

2005 : 8). Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutika

adalah pemahaman (understanding) pada teks.

Menurut Ricoeur, pemaknaan adalah suatu dialektika antara penjelasan

dan pemahaman. Penjelasan merupakan analisis struktur yang dilakukan terhadap

karya dengan melihat hubungannya pada dunia yang ada di dalam teks. Model ini

menjelaskan sisi objektif sebagai ranah ilmu alam. Dari sini dapat dilihat bahwa

hasil pemaknaan hermeutika adalah pemahaman diri (refleksi).

4.2 Saran

Karya sastra yang memiliki banyak istilah-istilah atau penggunaan diksi

yang tidak banyak diketahui awam, maka teori semiotik sangat disarankan sebagai

alat analisisnya. Analisis semiotik mengungkap hal-hal yang tak bisa ditangkap

27

Page 28: Kajian PERBAIKAN

dengan sekali baca. Perlu pengumpulan informasi tentang hal-hal yang ada di

dalam karya sastra.

Mengenai karya yang dikaji, cerpen ini menyiratkan simbol-simbol lain yang

masih sangat perlu untuk diungkap pesan-pesannya. Analisis sederhana makalah

ini tentu masih banyak kekurangan. Disarankan bagi pembaca untuk lebih

menganalisis dengan lebih dalam dan lebih teliti.

DAFTAR RUJUKAN

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Alam, Guntur. Harimau Belang. Harian Kompas Edisi 12 Januari 2014.

Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. Routledge & Kegan Paul: London.

Darma, Budi. 1983. Solilokui, Kumpulan Esai Sastra. Jakarta. Gramedia.

E. Palmer. 2005. Hermeneutik: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kaelan, 2009, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, yogyakarta:Paradigma.

Manuaba, Putera. “Hermeneutik dan Interpretasi Sastra”. diakses dari http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html

Purkonudin, Ukon. 2011. “Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra”. Opini Kompas

Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jogyakarta. Pustaka Pelajar.

Santoso, Puji, 1993, ancangan semiotika dan pengkajian susastra, Bandung: Angkasa.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Jakarta: Penerbit

28

Page 29: Kajian PERBAIKAN

Kanisius.Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1977. Theory of Literature. Harcourt Brace Javanovich, Publisher, San Diego. New York. London.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan dengannya. Yayasan Sumber Agung: Jakarta.

29